NAMUN SUARA cambuk itu masih juga terdengar. Sekali lagi dan sekali lagi.
“Persetan,”
desis Ki Peda Sura.
“Mungkin
akulah yang nanti akan menghentikannya. Tetapi kini lebih baik menyelesaikan
kelinci-kelinci bodoh ini. Begitu menyenangkan, seperti menebas batang
ilalang.”
Ki Peda Sura
tersenyum. Sepasang senjatanya pun
kemudian berputar menyambar-nyambar. Senjata Ki Peda Sura benar-benar telah
menimbulkan kengerian pada para pengawal yang bertempur di sekitarnya. Setiap
sepasang senjata itu menyentuh lawan, maka senjata lawan itu hampir dapat
dipastikan, terlempar dari tangan. Nasibnya kemudian sudah dapat dibayangkan.
Tanpa senjata di medan perang yang riuh. Meskipun demikian para pengawal Tanah
Perdikan Menoreh yang telah bertekad untuk merebut tanahnya kembali, sama
sekali tidak menghindar. Mereka sadar, bahwa kematian adalah akibat yang
mungkin akan terjadi. Tetapi harga tanahnya tidak ada ubahnya dengan harga
nyawanya. Mereka telah mencoba untuk mengurung Ki Peda Sura dalam sebuah arena
yang sempit. Sedang para pengawal yang lain mencoba menarik batas dengan
keributan pertempuran di sekitarnya. Namun usaha itu tidak pernah dapat berhasil,
karena anak buah Ki Peda Sura menyadari apa yang akan terjadi atas pemimpinnya
itu. Karena itu, setiap kali lingkaran itu selalu dapat dipecahkan. Bahkan
semakin lama Ki Peda Sura dan orang-orangnya semakin mendesak maju masuk ke
dalam garis benturan antara kedua pasukan itu.
“Orang-orang
Menoreh berhasil menahan gerak maju Ki Tambak Wedi,” berkata Ki Peda Sura di
dalam hatinya,
“tetapi tidak
bagi Ki Peda Sura. Tidak ada kekuatan yang dapat melawan Ki Peda Sura.”
Dan Ki Peda
Sura pun menjadi semakin ganas bersama
beberapa orang anak buahnya yang terpercaya. Dengan demikian maka arena di
seputarnya pun menjadi sangat menarik
perhatian, sehingga kedua gembala muda yang bernama Gupita dan Gupala pun akhirnya berhasil menemukannya.
“Di situ,”
desis Gupala, “lihat, bukankah yang berputaran itu sepasang senjatanya?”
Gupita
mengerutkan keningnya. Mereka pun segera
berlompatan mendekat ketika mereka melihat seorang pengawal terlempar sambil
berlumuran darah.
“Cepat!” geram
Gupala.
“Kebuasan itu
harus segera dihentikan. Beberapa orang korban akan berjatuhan lagi tanpa
ampun.”
Gupita tidak
menjawab. Tetapi matanyalah yang memancarkan kemarahan yang menyala di dadanya.
Ia tidak dapat membiarkan para pengawal itu jatuh tersungkur, kemudian yang
lain terlempar untuk tidak pernah bangun kembali. Apalagi tindakan-tindakan
anak buah Ki Peda Sura yang melampaui sikap wajar di peperangan.
“Mereka
sengaja berbuat demikian untuk menakut-nakuti lawan,” berkata Gupita di dalam
hatinya.
“Kesan-kesan
yang mengerikan itu akan membuat setiap hati menjadi kecut.”
Dengan
demikian maka keduanya pun segera
bergeser semakin mendekat. Gupala yang agaknya tidak dapat menahan diri lagi,
segera meloncat di hadapan orang tua itu sambil berteriak,
“Cukup! Kau
jangan berbuat gila. Aku sudah menjadi muak.”
Ki Peda Sura
mengerutkan keningnya. Kemudian dengan kasar ia bertanya,
“Siapa kau?
Apakah kau akan melawan aku atau akan membunuh diri.”
“Aku memang
akan membunuh. Tetapi bukan diriku sendiri. Aku akan membunuhmu.”
Ki Peda Sura mengerutkan
keningnya. Namun kemudian terdengar suara tertawanya,
“Jangan mimpi
anak muda. Kau lihat, berapa banyak korban yang telah jatuh di sekitarku,”
“Aku percaya,
aku telah melihatnya,” jawab Gupala,
“tetapi korban
berikutnya adalah kau sendiri.”
“Persetan!” Ki
Peda Sura menjadi semakin marah. Ia tidak menjawab lagi. Sepasang senjatanya
segera berputar menyerang Gupala dengan sangat tiba-tiba.
Gupala
terkejut mengalami serangan yang begitu cepatnya mengarah ke kepalanya. Dengan
demikian maka ia pun segera meloncat
surut. Tetapi arena tidak begitu luas. Di sekitarnya telah terjadi pertempuran
yang seru pula, sehingga ia tidak leluasa mengambil jarak dari lawannya. Namun
dalam kesulitan itu, sebuah ledakan cambuk telah memekakkan telinga. Hampir
saja ujung juntai cambuk yang panjang itu melingkar di leher Ki Peda Sura.
Namun ketangkasannya telah melepaskannya dari sambaran ujung cambuk itu.
“Setan!” orang
tua itu mengumpat. Kini dilihatnya Gupala telah siap menyerangnya pula dengan
cambuknya. Sekias Ki Peda Sura melihat kilatan yang melingkar di beberapa
bagian dari juntai cambuk itu. Semacam karah yang tajam, yang akan mampu
mengelupas kulitnya apabila ujung cambuk itu berhasil menyentuh. Selain Gupala
yang gemuk itu, seorang anak muda yang lain, yang pertama-tama menyerangnya
dengan cambuknya, telah pula siap melontarkan serangan-serangan berikutnya. Dan
anak itu ternyata telah pernah dikenalnya. Ki Peda Sura menggeram.
Dipandanginya kedua anak-anak muda itu berganti-ganti. Kemantapan tatapan mata
keduanya telah membuat hati Ki Peda Sura menjadi berdebar-debar. Tetapi ia
tidak akan dapat tinggal diam. Keduanya itu harus dilawannya dan
dibinasakannya. Karena itu, maka sejenak kemudian Ki Peda Sura segera melibat
keduanya dalam pertempuran. Ki Peda Sura ternyata tidak menunggu kedua
anak-anak muda itu menyerangnya lebih dahulu. Tetapi dengan tangkasnya ia
meloncat sambil memutar sepasang senjatanya. Tetapi baik Gupita maupun Gupala
telah siap pula menghadapi segala kemungkinan, sehingga karena itu, maka mereka pun segera dapat menanggapi serangan-serangan
Ki Peda Sura yang datang sedahsyat angin prahara. Medan pertempuran itu semakin
lama menjadi semakin ribut. Masing-masing telah menemukan lawannya. Tidak saja
para pemimpin, tetapi setiap orang di dalam masing-masing pasukan yang
bertempur itu sedang memeras tenaganya.
Sidanti yang
bertempur melawan Hanggapati harus memeras segenap kemampuannya apabila ia
ingin menundukkan lawannya. Tetapi lawannya
pun telah berusaha sekuat-kuat tenaganya pula untuk mempertahankan
dirinya, bahkan Hanggapati pun berusaha untuk dapat mengalahkan Sidanti pula. Demikian
pula Argajaya dengan tombak pendeknya. Agaknya ia sama sekali tidak
berpengharapan untuk dapat mengalahkan Dipasanga. Tetapi ia yakin bahwa ia akan
dapat bertahan untuk waktu yang lama. Bahkan ia berpengharapan, bahwa ia akan
dapat menyimpan tenaga lebih lama dari lawannya. Tetapi Argajaya adalah seorang
yang keras hati. Bagaimana pun juga
dihadapinya lawannya dengan dada tengadah. Apabila ia sudah mulai menggerakkan
senjatanya, maka ia tidak akan memperhitungkan lagi kemungkinan apa pun yang dapat terjadi atas dirinya. Meskipun
demikian ia tidak segera kehilangan akal menghadapi kesulitan. Dalam
hiruk-pikuk pertempuran itu, Wrahasta agaknya masih belum dapat melupakan
kawan-kawannya yang telah terbunuh di dalam tugasnya, selagi mereka mendahului
pasukan induk membungkam gardu-gardu. Apalagi ketika ternyata korban itu tidak
menghasilkan penyelesaian tugas seperti yang diharapkan, karena ternyata bahwa
Ki Tambak Wedi masih sempat mengetahui kedatangan pasukan Menoreh, meskipun
dengan tergesa-gesa mereka harus menyiapkan diri.
“Setiap orang
harus mendapat ganti sepuluh nyawa,” geramnya tidak henti-hentinya. Dan raksasa
itu pun kemudian mengamuk
sejadi-jadinya.
Tetapi sudah
barang tentu bahwa lawannya tidak akan tinggal diam dan membiarkan diri mereka
terbunuh. Betapapun juga mereka pasti akan mengadakan perlawanan sekuat-kuat
tenaga. Apalagi Wrahasta tidak terlalu banyak memiliki kelebihan dari
lawan-lawannya. Orang-orang Ki Peda Sura yang buas, yang menjadi marah melihat
sikapnya, segera berusaha menghancurkannya pula. Tetapi Wrahasta tidak
mempedulikannya. Diayunkannya senjatanya ke segenap penjuru. Ia kehilangan
pengamatan yang mantap atas lawan-lawannya karena kemarahan yang meluap-luap di
dalam dadanya. Dengan demikian ia tidak dengan pasti melawan seorang demi
seorang. Dilawannya siapa pun yang dilihatnya. Dan perlawanan yang demikian
justru berbahaya bagi diri Wrahasta sendiri. Hanggapati sempat melihat sekilas
cara bertempur raksasa yang sedang dipenuhi oleh berbagai macam kekecewaan,
kemarahan, dan bermacam-macam perasaan bercampur-baur di dalam hatinya. Tetapi
ia tidak sempat berbuat apa pun karena tekanan Sidanti yang tidak dapat
dielakkannya. Sidanti yang marah itu pun menyerang lawannya tanpa memberinya
kesempatan untuk memperhatikan keadaan di sekitarnya. Namun demikian Hanggapati
sempat pula menjadi cemas melihat sikap Wrahasta. Di sayap lain Kerti bertempur
dengan cermatnya. Sambil membimbing pasukannya, ia berusaha setapak demi
setapak untuk mendesak maju. Bukan sekedar dirinya sendiri, tetapi seluruh
sayap yang dipimpinnya. Tetapi itu bukan pekerjaan yang mudah dapat dilakukan.
Meskipun pasukan Ki Tambak Wedi dipersiapkan dengan tergesa-gesa, namun pada
dasarnya pasukan itu cukup kuat. Apalagi karena masih saja ada
kelompok-kelompok kecil yang mengalir dan menggabungkan diri ke dalam
hiruk-pikuknya peperangan. Dipasanga masih saja berkelahi dengan gigihnya. Ia
mencoba untuk tetap dapat memberikan tekanan-tekanan kepada lawannya, meskipun
ada saat-saat terjadi sebaliknya. Satu demi satu korban berjatuhan di kedua
belah pihak. Di antara dentang senjata beradu, terdengarlah pekik kesakitan dan
rintih yang memelas. Tetapi tidak banyak di antara mereka yang sempat mendapat
pertolongan, karena setiap orang sibuk dengan persoalannya masing-masing.
Justru persoalan hidup dan mati. Bukan sekedar hidup dan mati bagi diri
sendiri, tetapi hidup dan mati bagi seluruh pasukan.
Namun tusukan
pertama yang langsung menghunjam ke jantung pertahanan Ki Tambak Wedi itu ada
juga hasilnya. Pada benturan yang pertama, pasukan Menoreh telah mampu
mengurangi jumlah lawan di gardu-gardu dan dengan anak-anak panah. Hal itu
telah memberikan kejutan yang berpengaruh pada seluruh pasukan Ki Tambak Wedi. Mereka
yang pada dasarnya bukan bekas pengawal yang memalingkan wajahnya, bukan pula
orang-orang Ki Peda Sura dan orang-orang yang bertualang lainnya, kejadian itu
sangat membekas di dalam diri mereka. Orang-orang yang selama ini adalah petani-petani
yang tekun, pedagang-pedagang dan mungkin juga bekas-bekas pengawal, tetapi
yang sudah lama meletakkan senjata-senjata mereka, yang karena keadaan telah
dikerahkan oleh Argajaya dan Sidanti, kali ini tidak dapat menunjukkan
perlawanan seperti yang diharapkan. Dengan demikian, maka Ki Tambak Wedi,
Sidanti, dan Argajaya kali ini tidak lagi dapat menepuk dada kekuatan mereka.
Tanpa mereka duga, ternyata pasukan Ki Argapati memiliki tekad yang memang
mendekati sikap putus asa. Karena mereka berjanji di dalam diri, merebut
padukuhan induk, atau tidak kembali sama sekali. Itulah agaknya yang telah
mendorong mereka untuk berbuat dan mengorbankan apa saja yang ada. Akibat
daripada itu, perlawanan mereka pun benar-benar
ngedab-edabi. Para pengawal itu merasa, bahwa mereka telah terlalu lama terusir
dari padukuhan induk. Kalau mereka tidak berhasil sekarang, maka masa depan
mereka tidak akan dapat mereka bayangkan. Beberapa lama pertempuran itu sudah
berlangsung dengan serunya. Namun nampaknya kedua pasukan itu mempunyai
kekuatan yang seimbang. Kemenangan-kemenangan kecil di garis pertempuran itu
terjadi silih berganti. Orang-orang Ki Peda Sura dan petualang-petualang yang
lain kadang-kadang tidak dapat menahan hati mereka yang liar.
Kemenangan-kemenangan kecil telah membuat mereka berteriak-teriak dan
bersorak-sorak. Bukan saja mereka, tetapi keliaran itu agaknya merambat ke
segenap pasukan, bahkan pasukan lawan. Dengan demikian maka berganti-ganti
kedua belah pihak bersorak-sorak seperti hendak memecahkan langit. Semakin lama
menjadi semakin keras. Dan tandang mereka
pun menjadi semakin kasar. Mereka sama sekali tidak lagi menghiraukan
pekik kesakitan dan rintihan mereka yang terluka. Bahkan sambil tertawa seperti
orang yang kehilangan ingatan, orang-orang yang bertualang di atas Tanah
Perdikan Menoreh, dan melibatkan diri dalam api peperangan itu, telah berbuat
hal-hal yang mendirikan bulu roma. Selagi lawannya mengaduh sambil memegangi
lukanya, dengan tanpa ragu-ragu, orang-orang itu menghunjamkan senjata-senjata
mereka. Bahkan kadang-kadang dengan perlahan-lahan.
Ki Tambak Wedi
yang bertempur sepenuh tenaga, kadang-kadang sempat juga melihat hal itu
terjadi. Tetapi ia sama sekali tidak berkeberatan. Orang-orang Menoreh harus
ditakut-takuti dengan perlakuan yang kasar dan buas. Tetapi harapan mereka,
bahwa dengan demikian para pengawal akan gentar, ternyata meleset. Para
pengawal justru menjadi marah, dan mereka yang berdarah panas, segera ditumbuhi
nafsu untuk melakukan pembalasan. Gupita yang berkelahi berpasangan dengan
Gupala melawan Ki Peda Sura, hampir saja terpekik ketika tiba-tiba sebuah
kepala berguling di hadapannya. Sejenak ia terpukau diam. Ia tidak dapat segera
mengatasi gejolak yang melanda dinding jantungnya.
“Oh, ternyata
di dalam peperangan manusia-manusia ini telah kehilangan sifat-sifatnya,”
desisnya di dalam hati.
Saat itu
hampir saja dapat dimanfaatkan oleh Ki Peda Sura. Hampir saja kepalanya sendiri
pun akan pecah karena pukulan senjata lawannya. Untunglah bahwa Gupala tidak
begitu terpengaruh oleh kengerian itu, sehingga ia masih sempat dengan
tangkasnya meledakkan cambuknya mengarah ke wajah Ki Peda Sura yang tegang. Orang
tua itu mengumpat-umpat tidak habis-habisnya. Ia terpaksa mengurungkan
serangannya dan menghindari ujung cambuk Gupala. Namun yang sesaat itu, telah
memberi kesempatan kepada Gupita untuk menyadari keadannya. Anak muda itu
menggeram sambil menggeretakkan giginya. Kini ia tidak mempunyai pilihan lain.
Pertempuran ini telah berubah menjadi ajang pembantaian. Peluapan nafsu yang
paling rendah, nafsu yang buas dan mengerikan. Sejenak kemudian Gupita telah
mempersiapkan dirinya. Sekilas terpandang olehnya hirup-pikuk pertempuran di
sekitarnya. Kebuasan orang-orang yang mencari keuntungan dari perselisihan yang
terjadi di atas tanah perdikan ini. Terasa darahnya menjadi semakin panas. Kini
ditatapnya lawannya yang kasar itu tajam-tajam. Kemudian ia menarik nafas
dalam-dalam. Kini ia telah mendapatkan suatu kepastian di dalam dadanya. Ia
telah berhasil mengatasi keragu-raguan. Ia harus membinasakan lawannya. Sejenak
kemudian maka Gupita itu memutar juntai cambuknya di atas kepalanya sambil
memusatkan segenap kemampuan dan kegairahan tekadnya. Sesaat kemudian cambuknya
itu pun meledak seakan-akan memecahkan selaput telinga. Ki Peda Sura
mengerutkan keningnya. Ia melihat sorot mata Gupita yang telah berubah.
Kemudian dipandangnya Gupala yang tertawa-tawa kecil sambil menyerangnya dengan
ujung cambuknya. Orang tua itu melihat perbedaan pada kedua anak-anak muda yang
melawannya. Tetapi ia yakin bahwa keduanya bersumber dari perguruan yang sama.
Maka pertempuran itu pun segera meningkat semakin seru. Serangan-serangan
Gupita menjadi semakin garang, sedang Gupala selalu menempatkan dirinya, dan
mengisi setiap kelemahan kakak seperguruannya, meskipun kadang-kadang ia sempat
juga tertawa apabila ujung cambuknya mengena. Ki Peda Sura, yang sekali-sekali
tersentuh oleh kedua ujung cambuk itu semakin lama menjadi semakin buas juga.
Matanya menjadi semakin merah, dan sekali-sekali terdengar mulutnya mengumpat
dengan kata-kata kasar. Seluruh medan perang menjadi semakin kalut. Semua pihak
menjadi semakin kasar, dan dalam keadaan yang demikian nyawa seakan-akan tidak
berharga lagi.
Di ujung
pertempuran kedua belah pihak saling mendesak, sedang di pusat pertempuran, dua
orang tua-tua masih saja berkelahi dengan dahsyatnya. Ki Tambak Wedi semakin
lama menjadi semakin gelisah. Ia yakin bahwa ia tidak akan dapat mengalahkan
orang bercambuk itu. Sedangkan ia tidak dapat mengira-ngirakan apa yang terjadi
di seluruh medan. Tetapi ia kini tidak lagi mempunyai perhitungan bahwa
kekuatannya jauh melampaui kekuatan lawannya. Apalagi dengan kehadiran orang
bercambuk itu. Kemungkinan terbesar orang bercambuk itu pasti telah membawa
kedua murid-muridnya pula. Tiba-tiba di samping Ki Tambak Wedi telah
digemparkan oleh sorak yang memekakkan telinga. Sejenak Ki Tambak Wedi berusaha
untuk mengetahui apa yang telah terjadi. Tetapi demikian garangnya serangan
cambuk lawannya sehingga ia tidak berhasil. Karena itu, sambil bertempur terus
ia berteriak kepada seorang penghubungnya,
“Lihat, apa
yang telah terjadi.”
Orang itu pun segera menyusup di daerah pertempuran
untuk melihat apakah yang telah terjadi di samping pusat pertempuran itu. Sorak
yang riuh itu adalah sorak para pengawal Tanah Perdikan Menoreh. Mereka tidak
dapat menahan perasaan mereka yang sedang meluap-luap. Sementara itu,
pertempuran masih tetap berlangsung dengan sengitnya. Sedang sorak-sorai para
pengawal semakin lama menjadi semakin riuh. Dengan jantung yang mengembang,
para pengawal Tanah Perdikan Menoreh bersama-sama rakyat yang setia kepada
pemimpinnya, bertempur semakin mantap. Dengan sepenuh harapan mereka
menyaksikan bagaimana kedua anak-anak gembala itu berhasil menguasai lawannya,
meskipun lawan itu bernama Ki Peda Sura. Sebenarnyalah bahwa Ki Peda Sura
berada dalam kesulitan. Setiap kali ia selalu terdesak. Betapa pun ia berusaha
untuk bertahan, tetapi kedua lawannya yang masih muda itu terlampau cepat
bergerak di arah yang berbeda-beda. Keduanya demikian baik menyusun serangan
yang kadang-kadang dapat membingungkan orang tua yang sudah cukup banyak makan
garam peperangan. Ki Peda Sura adalah seorang yang hampir sepanjang hidupnya
berada dalam pertempuran, peperangan, dan perkelahian. Kekerasan, kekasaran,
dan kelicikan adalah kelengkapannya sehari-hari. Namun ketika ia harus melawan
dua kakak-beradik seperguruan itu, terasa bahwa ia mengalami kesulitan. Gupita
dan Gupala yang telah menemukan kemenangan-kemenangan kecil, segera berusaha
untuk memperbanyak kemenangan-kemenangannya. Mereka berusaha agar Ki Peda Sura
tidak berhasil memperbaiki kedudukannya. Dengan demikian maka kedua ujung
cambuk anak-anak muda itu tanpa henti-hentinya menyerang dari segala arah,
sehingga kadang-kadang Ki Peda Sura tidak lagi berhasil menghindarinya. Ketika
terdengar keluhan Ki Peda Sura yang tertahan, serta seleret warna merah
membekas di pipinya, maka Gupala telah mendesaknya semakin ketat. Sekali
cambuknya berputar. Tetapi ia kali ini tidak menyerang dengan ujung cambuk kali
itu. Kali ini ia berusaha membelit kaki lawannya, kemudian dengan suatu
hentakan ia menariknya. Serangan itu sama sekali tidak terduga-duga. Selagi Ki
Peda Sura menghindari serangan Gupita, maka begitu kakinya menginjak tanah,
kaki itu telah terbelit ujung cambuk Gupala. Dengan demikian maka Ki Peda Sura
sama sekali tidak dapat menghindarinya lagi ketika sebelah kakinya terseret
oleh ujung cambuk itu. Sambil menggeletakkan giginya Ki Peda Sura berusaha
menarik kakinya. Tetapi keseimbangannya sudah tidak begitu mantap lagi. Dengan
demikian, maka Ki Peda Sura justru menjatuhkan dirinya, dan berguling beberapa
kali. Sebuah tarikan yang mengejutkan hampir saja melepaskan pegangan Gupala
pada pangkal cambuknya. Namun segera ia menyadarinya, sehingga dengan
sekuat-kuat tenaganya ia menahan genggamannya. Sejenak kemudian, belitan itu
pun terlepas. Dengan sigapnya Ki Peda Sura meloncat berdiri sambil menggeram.
Jantungnya serasa telah terbakar oleh kemarahannya yang meluap-luap. Sementara
para pengawal yang menyaksikannya masih saja bersorak-sorak dengan riuhnya,
karena serangan-serangan berikutnya yang dilancarkan oleh Gupita telah membuat
Ki Peda Sura menjadi agak bingung. Kesempatan yang demikian itu tidak
disia-siakan oleh Gupala dan Gupita. Serangan mereka pun menjadi semakin cepat. Ujung cambuk
Gupala berputaran menyambar-nyambar, sedang Gupita yang merendahkan diri pada
lututnya, menyerang mendatar dengan dahsyatnya.
Ternyata bahwa
gabungan kekuatan Gupita dan Gupala masih berada di atas kemampuan Ki Peda Sura
yang bersenjata sepasang bindi. Semakin lama ujung cambuk itu semakin sering
menyentuh tubuhnya, meskipun tidak berbahaya. Tetapi perasaan pedih telah mulai
merayapi kulitnya ketika keringatnya menjadi semakin banyak mengalir. Orang tua
itu menggeretakkan giginya. Kini ia mencoba untuk berbuat lain. Ia melihat
kelemahan pada anak muda yang gemuk itu. Ternyata ia tidak selincah Gupita.
Karena itu, timbul niatnya untuk mengalahkan lawannya seorang demi seorang. Dalam
perkelahian berikutnya, tiba-tiba saja tanpa menghiraukan serangan-serangan
cambuk Gupita, Ki Peda Sura langsung menerkam Gupala. Kedua bindinya berputaran
melindungi dirinya. Gupala terkejut menerima serangan yang tiba-tiba itu.
Dengan tangkasnya ia mencoba menghindar ke samping. Meskipun ia berhasil
menghindari serangan yang pertama, namun Ki Peda Sura agaknya telah benar-benar
menjadi wuru. Ia melenting pula seperti seekor bilalang, menyerang Gupala
dengan segenap kemampuannya. Tetapi Gupita tidak tinggal diam. Dengan, sigapnya
ia melangkah maju, melecutkan cambuknya langsung mengarah kekening lawan. Namun
Ki Peda Sura benar-benar tidak menghiraukannya lagi. Bahkan ia sama sekali
tidak menghiraukan ketika ujung cambuk itu meledak di keningnya, dan menyobek
kulitnya. Ia sama sekali tidak menghiraukan darah yang menetes dari lukanya.
Tetapi, serangannya atas Gupala menjadi semakin dahsyat. Gupala menjadi agak
bingung mendapat serangan yang membabi buta itu. Yang dapat dilakukan adalah
melindungi dirinya dengan putaran juntai cambuknya. Bahkan dengan ayunan
bersilang, ia masih mencoba menyerang lawannya. Ki Peda Sura menyeringai
menahan sakit ketika juntai cambuk Gupala mengenai pundaknya. Tetapi ia sudah
mengayunkan bindinya mengarah ke dahi Gupala yang berada dalam kesulitan.
Gupala tidak dapat merundukkan kepalanya, kalau ia tidak ingin ubun-ubunnya
yang pecah, sementara ia tidak sempat meloncat lagi karena hiruk-pikuknya
pertempuran. Yang dapat dilakukannya adalah melawan ayunan bindi itu. Tetapi
senjatanya adalah senjata lentur yang tidak akan mampu membentur langsung bindi
lawan. Meskipun demikian, Gupala tidak berputus asa. Ia mencoba bergeser dan
memiringkan tubuhnya, sementara dengan cambuknya berusaha membelit lengan
lawannya untuk mencoba merubah arah ayunan bindinya. Bersamaan dengan itu,
Gupita yang melihat bahaya yang hampir menerkam Gupala itu pun segera bertindak cepat. Ujung cambuknya
segera membelit pergelangan tangan Ki Peda Sura hampir bersamaan ujung cambuk
Gupala sendiri yang membelit lengan. Hampir bersamaan pula keduanya
menghentakkan ujung-ujung cambuk itu. Tetapi ayunan tangan Ki Peda Sura yang
dilambari oleh sepenuh kekuatan itu benar-benar mengerikan. Kedua ujung cambuk
itu tidak berhasil menahan ayunan tangan orang tua yang perkasa itu. Karena
itu, bindi Ki Peda Sura dengan derasnya menukik turun. Namun demikian usaha
kedua anak-anak muda itu tidak sia-sia belaka. Hentakan ujung-ujung cambuk itu
ternyata telah berhasil mempengaruhi arah ayunan bindi Ki Peda Sura. Karena itu
maka bindi itu kemudian tidak lagi membentur dahi Gupala, tetapi bindi itu
kemudian menyentuh pundak. Terdengar anak muda yang gemuk itu berdesis pendek.
Setapak ia melangkah surut. Terasa pundak kirinya menjadi sakit bukan buatan,
dan bahkan seluruh tangannya hampir-hampir tidak lagi dapat digerakkan. Karena
itu, maka sejenak kemudian ia menggeram. Matanya menjadi semerah darah yang
memerahi kulitnya yang terkelupas. Dalam pada itu, Gupita sama sekali tidak
membiarkan Ki Peda Sura mendapat kesempatan berikutnya. Dengan garangnya
cambuknya pun kemudian terayun deras sekali mengarah ke leher lawannya.
Ki Peda Sura
yang sudah terluka di beberapa tempat itu menyadari bahaya yang dapat
mencekiknya. Karena itu, maka ia telah mencoba bergeser, namun di luar
dugaannya Gupala yang terluka pundaknya menyerangnya dengan dahsyatnya. Sebuah
ayunan mendatar langsung mengenai lambungnya. Sesaat Ki Peda Sura menyeringai
menahan pedih. Pedih di lambungnya, di keningnya, di pundaknya dan di beberapa
bagian lagi. Kakinya pun telah terkelupas pula pada saat cambuk Gupala
membelitnya. Namun serangan-serangan berikutnya datang beruntun seperti banjir
bandang. Sekali-sekali Ki Peda Sura berloncatan menghindar. Namun di suatu saat
ia masih juga mencoba menyerang. Sepasang bindinya terayun-ayun mengerikan. Tetapi
ia menyadari, bahwa agaknya ia telah memeras tenaganya hampir melampaui
kemampuan yang ada padanya. Sehingga karena itu maka nafasnya pun menjadi kian
terengah-engah, dan bahkan seakan-akan ujungnya telah tersangkut di lubang
hidung. Sedang kedua lawannya yang cukup terlatih itu masih berusaha menahan
diri agar pada saatnya mereka dapat melakukan tekanan terakhir atas lawannya. Ki
Peda Sura menyadari kesalahannya. Tetapi ia tidak dapat berbuat lain. Ia memang
harus memeras tenaganya, karena ia menyadari bahaya yang dapat menyentuhnya. Ia
mengharap bahwa dengan mencurahkan segenap kekuatan dan kemampuan ia akan
segera mengakhiri perkelahian, setidak-tidaknya ia dapat mengurangi satu dari
kedua lawannya. Tetapi rencana itu tidak dapat dilaksanakannya. Gupita dan Gupala
justru menjadi semakin garang. Serangan-serangan mereka menjadi kian cepat.
Apalagi Gupala yang terluka pundaknya. Nafsunya serasa telah dibakar oleh titik
darahnya yang merah. Tandangnya menjadi kian cepat dan bahkan kadang-kadang
menjadi kasar. Akhirnya, Ki Peda Sura tidak dapat mengelak lagi. Memang timbul
niatnya untuk melarikan diri, tetapi kedua anak muda itu mengurungnya dengan
ketat. Karena itu, maka tidak ada pilihan lain kecuali bertempur terus. Sedang
anak buahnya masih juga sibuk melayani para pengawal Tanah Perdikan Menoreh
yang semakin mendesak. Namun terasa betapa tenaganya menjadi semakin lama
semakin lemah. Kedua bindinya sudah tidak lagi sebuas semula. Ayunannya tidak
lagi berdesing-desing seperti prahara. Gupala yang sedang dibakar oleh
kemarahannya itu mempergunakan kesempatan sebaik-baiknya. Ketika Ki Peda Sura
sedang sibuk melayani serangan Gupita, maka Gupala tidak dapat bersabar lagi.
Tiba-tiba saja ia menggenggam cambuknya di tangan kirinya yang lemah karena
luka di pundaknya. Selagi Ki Peda Sura kehilangan keseimbangan, maka anak yang
wuru itu melompat yang memekik tinggi. Pedangnya terjulur lurus ke depan. Sejenak
kemudian terdengar Ki Peda Sura mengeluh tertahan. Terasa ia terdorong ke
samping, kemudian perasaan sakit yang amat sangat telah menyengat lambungnya.
Ia sadar, bahwa yang menyentuhnya kini bukanlah sekedar ujung cambuk yang
meskipun berkarah rapat. Tetapi yang menghunjam di lambungnya kini adalah ujung
pedang. Pedang Gupala. Ki Peda Sura memandang wajah Gupala yang geram. Tetapi
anak muda itu tidak segera mencabut pedangnya, justru dengan segenap
kekuatannya ia menghentakkan tangannya, membenamkan pedang itu semakin dalam. Ki
Peda Sura menggeliat. Tetapi kemudian terhuyung-huyung sejenak.
Sorak-sorai
para pengawal meledak seperti hendak meruntuhkan langit. Ujung-ujung senjata
terangkat tinggi-tinggi, sementara yang lain masih sibuk berkelahi di garis
batas benturan kedua pasukan itu. Orang tua itu pun kemudian jatuh terjerembab.
Ia masih sempat menatap wajah kedua anak-anak muda yang berdiri berdampingan.
Tanpa sesadarnya Ki Peda Sura itu berdesis,
“Kalian memang
luar biasa. Kalian memang anak-anak muda yang tangguh.”
Ki Peda Sura
tidak dapat melanjutkan kata-katanya. Sesaat ia masih memandangi wajah-wajah
yang tegang di atasnya. Namun kemudian semuanya menjadi kabur. Ki Peda Sura
menghembuskan nafas yang penghabisan sebelum ia dapat merajai seluruh Tanah
Perdikan. Sebelum ia berhasil memasuki rumah demi rumah dengan leluasa. Yang
baru dapat dilakukan adalah merampas satu-dua rumah yang tidak mendapat
perlindungan, di setiap kerusuhan. Tetapi belum begitu banyak, dan ia mati
terjebak oleh nafsunya itu.
Sejenak Gupita
dan Gupala saling berpandangan. Kini mereka telah kehilangan lawan. Sementara
perang masih berkecamuk.
“Pundakku
harus ditukar dengan seratus pundak,” geram Gupala.
“Kau sudah
kejangkitan penyakit Wrahasta itu,” sahut Gupita.
Gupala tidak
segera menjawab. Dipandanginya mayat Ki Peda Sura yang terbujur diam.
“Lalu apa
kerja kita sekarang? Membunuh sebanyak-banyaknya?” bertanya Gupala.
Gupita
merenung sejenak Namun kemudian ia menjawab,
“Gupala, aku
kira sekarang Guru sedang bertempur mati-matian melawan Ki Tambak Wedi. Kalau
mereka dibiarkan berkelahi seorang melawan seorang, aku kira, sepuluh hari
perkelahian yang demikian itu tidak akan dapat selesai.”
Gupala
mengerutkan keningnya. Sejenak ia terdiam di dalam hiruk-pikuknya perkelahian
yang masih berkecamuk di sekitarnya. Sejenak ia mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Jadi
maksudmu, kita membantu Guru?” desis Gupala.
Gupita
menganggukkan kepalanya, “Begitulah.”
Gupala menjadi
ragu-ragu sejenak. Dilihat seorang lawan dengan sangat bernafsu menyerang
seorang pengawal yang sedang dalam kesulitan. Tiba-tiba saja Gupala meloncat
sambil menjulurkan pedangnya. Ia tidak perlu mengulanginya. Orang yang
tersentuh ujung pedangnya itu terpelanting jatuh di tanah. Mati. Gupita
menggeleng-gelengkan kepalanya. Tetapi ia tidak dapat menyalahkan adik
seperguruannya. Kalau anak muda yang gemuk itu tidak bertindak cepat, maka seorang
pengawal pasti telah terbunuh. Gupala kemudian mengamat-amati pedangnya yang
berlumuran darah. Disarungkannya pedangnya itu sambil berkata,
“Mari, kita
melihat bagaimana Guru berkelahi.”
Keduanya pun kemudian meninggalkan medan. Mereka tidak
begitu cemas lagi akan nasib para pengawal, karena Ki Peda Sura sudah tidak ada
lagi. Namun demikian, Gupala masih juga menyeringai karena pundaknya yang
pedih, sehingga tangan kirinya terasa seakan-akan menjadi lumpuh.
Kematian Ki
Peda Sura segera sampai ke telinga Ki Tambak Wedi. Wajah orang tua itu sejenak
menjadi tegang. Kematian Ki Peda Sura akan dapat berakibat dua kemungkinan.
Anak buahnya menjadi ketakutan dan sedikit demi sedikit meninggalkan arena,
yang pasti akan diikuti oleh orang-orang yang mereka bawa atau mereka akan
menjadi gila dan mengamuk sejadi-jadinya. Tetapi kemungkinan yang terakhir itu
pun tidak akan banyak bermanfaat. Para pengawal Tanah Perdikan Menoreh pasti
menjadi berbesar hati sepeninggal Ki Peda Sura, sehingga mereka akan menjadi
bertambah berani. Ki Tambak Wedi tidak dapat lagi menyembunyikan
kegelisahannya. Orang-orang yang berhasil membunuh Ki Peda Sura itu sudah
kehilangan lawan-lawannya. Lalu apakah yang akan mereka kerjakan?
Dugaan Ki
Tambak Wedi sama sekali tidak meleset ketika tiba-tiba saja muncul dua orang
anak-anak muda di arenanya. Kedua anak-anak muda yang juga bersenjata cambuk. Dengan
isyarat Ki Tambak Wedi kemudian memanggil orang-orangnya yang terpercaya.
Mereka harus membantunya, apabila kedua anak-anak muda bercambuk itu akan
berkelahi bersama dengan gurunya.
Sejenak Gupita
dan Gupala memperhatikan pertempuran itu. Pertempuran antara dua orang yang
berilmu jauh lebih tinggi dari ilmu mereka. Keduanya memiliki kemampuan, dan
pengalaman yang seimbang, sehingga karena itu, maka pertempuran semakin lama
menjadi kian seru. Tidak ada tanda-tanda bahwa salah seorang dari mereka akan
terdesak, apalagi dikalahkan. Meskipun senjata Ki Tambak Wedi jauh lebih pendek
dari juntai cambuk lawannya, namun kelincahannya telah banyak menolongnya
membebaskannya dari ujung cambuk itu, sementara senjatanya yang berujung
rangkap itu berputar mengerikan. Gupita dan Gupala merasa, bahwa apabila mereka
berdua harus melawan Ki Tambak Wedi seperti mereka melawasi Ki Peda Sura,
mereka pasti akan mengalami banyak kesulitan. Tetapi di sini ada gurunya.
Keseimbangan itu pasti akan segera bergeser, apabila keduanya ikut serta pula
di dalam pertempuran itu. Gupita dan Gupala masih tetap termangu-mangu di
tempatnya. Mereka berusaha untuk mengerti, kesan gurunya tentang kehadirannya. Ternyata
gurunya pun tidak berkeberatan. Sesaat, pada waktu pandangan gurunya menyambar
mata Gupita, orang tua itu menganggukkan kepalanya.
“Kita sudah
mendapat ijin,” desis Gupita.
“Ya, aku juga
melihat Guru mengangguk,” sahut Gupala.
Keduanya pun kemudian mendekat. Dengan cambuk di
tangan, mereka siap untuk menerjunkan diri di dalam peperangan yang dahsyat
itu. Tetapi belum lagi mereka berhasil masuk ke dalam arena itu, tiba-tiba
beberapa orang pengawal kepercayaan Ki Tambak Wedi telah menyergap mereka,
setelah mereka menggeser lawan-lawan mereka. Dengan berbagai macam senjata
mereka mencoba membatasi keduanya, agar mereka tidak dapat mempengaruhi
perkelahian antara dua orang tua-tua itu. Gupala yang memang sedang meluap
karena pundaknya yang terluka, tidak dapat menahan diri lagi. Segera ia
berloncatan sambil memutar cambuknya. Sejenak kemudian cambuk itu pun telah
meledak-ledak di udara, kemudian menyambar satu dua orang yang berdiri di
paling dekat. Gupita pun tidak dapat tetap
tinggal diam. Ia memang harus membuka jalan sebelum bersama adiknya ia akan
ikut di dalam pertempuran melawan Ki Tambak Wedi. Sementara itu di bagian lain
dari pertempuran, masih saja berlangsung dengan sengitnya. Ternyata
kelompok-kelompok kecil masih saja mengalir dari padukuhan induk. Empat orang,
lima orang bahkan kadang-kadang delapan orang sekaligus. Dengan tergesa-gesa
mereka segera menggabungkan diri dalam riuhnya peperangan. Meskipun demikian,
ternyata jumlah yang kecil itu semakin lama menjadi jumlah yang semakin besar,
sehingga akhirnya terasa juga pengaruhnya. Sidanti dan Argajaya agaknya
berhasil memikat orang-orang di berbagai padukuhan di sekitar padukuhan induk,
dan bahkan di padukuhan-padukuhan terpencil di lereng-lereng bukit, selain orang-orang
yang tidak dikenal di tlatah Menoreh. Dengan demikian terasa, bahwa kekuatan
pasukan Ki Tambak Wedi yang bertambah-tambah itu menjadi semakin kuat, sedang
jumlah para pengawal menjadi kian susut karena korban yang berjatuhan di
peperangan.
Sidanti yang
bertempur melawan Ki Hanggapati, mencoba mengerahkan segenap kemampuannya.
Kemarahan dan nafsu yang menyala di dadanya seakan-akan telah menambah
kemampuannya, sehingga Ki Hanggapati terpaksa beberapa kali melangkah surut. Serangan-serangan
Sidanti bagaikan badai yang tiada taranya menghantam bibir hutan yang lebat. Namun
Hanggapati bukan pula anak ingusan di peperangan. Itulah sebabnya maka ia masih
tetap bertahan meskipun ia kadang-kadang harus menghindar dan menghindar. Di
sayap yang lain, Dipasanga harus mengerahkan segenap kemampuannya pula. Adik
Kepala Tanah Perdikan Menoreh yang telah terlanjur memusuhi kakaknya itu, sama
sekali tidak lagi dapat melangkah surut. Karena itu, tidak ada jalan lain
baginya, kecuali meneruskan peperangan ini. Sementara itu, Gupita dan Gupala
perlahan-lahan berhasil menguasai lawan-lawannya. Satu demi satu mereka
terlempar dari lingkaran. Sehingga akhirnya Gupita dan Gupala berhasil
mendekati arena pertempuran gurunya. Sejenak mereka tertegun. Mereka masih
harus berusaha menyesuaikau diri. Di mana mereka hadir, dan bagaimana sebaiknya
mereka mempengaruhi peperangan itu. Gupala mengerutkan keningnya sambil
mengangguk-anggukkan. Melawan Ki Tambak Wedi baginya lebih baik mempergunakan
senjata panjang, meskipun lentur. Adalah sangat berbahaya apabila ia
mempergunakan pedangnya. Perlahan-lahan keduanya menjadi semakin dekat.
Kemudian mereka berpencar, mengambil arah masing-masing. Sedang cambuk mereka
telah tergenggam erat-erat. Sekali-sekali mereka terpaksa menjauh, dan bahkan
sekali-sekali mereka masih juga harus melayani para pengawal Ki Tambak Wedi.
Namun kemudian para pengawal Tanah Perdikan Menoreh yang lain telah berhasil
menempatkan diri mereka melawan orang-orang Ki Tambak Wedi untuk memberi
kesempatan kepada Gupita dan Gupala membantu ayahnya melawan Ki Tambak Wedi. Melihat
gelagat yang tidak menguntungkan itu, Ki Tambak Wedi menjadi semakin marah.
Tetapi sepercik kecemasan memang telah meraba hatinya. Betapa pun tidak
berarti, tetapi kedua anak-anak muda itu pasti akan dapat mempengaruhi
keseimbangan peperangan.
“Keduamya pula
yang telah membunuh Ki Peda Sura,” geram Ki Tambak Wedi di dalam hatinya. Namun
yang terlontar dari mulutnya adalah sebuah teriakan nyaring,
“Ayo, majulah
bersama-sama, supaya pekerjaanku segera selesai.”
Gembala tua
itu tidak menjawab. Dipandanginya kedua murid-muridnya sejenak. Setelah mereka
mendapat tempatnya masing-masing, maka gembala tua itu pun segera mendesak
lawannya. Ki Tambak Wedi kini harus berpikir sebaik-baiknya. Bagaimana ia harus
melawan ketiga orang yang bersenjata cambuk itu. Lawan yang sama sekali tidak
diperhitungkannya, namun yang agaknya justru ikut menentukan akhir dari
peperangan ini. Sejenak kemudian maka Ki Tambak Wedi harus mengumpat-umpat di
dalam hati. Tiga ujung cambuk meledak-ledak di sekitarnya. Beruntun tanpa
kendat. Yang satu disahut yang lain, kemudian yang lain lagi meledak pula di
sebelah telinganya.
“Gila, gila!”
Ki Tambak Wedi tiba-tiba berteriak. Suara cambuk yang memekakkan telinga itu
sungguh-sungguh memuakkan. Namun demikian Ki Tambak Wedi berusaha untuk
mengerahkan segenap kemampuan yang ada padanya. Tetapi untuk melawan ketiganya,
Ki Tambak Wedi akan segera mengalami kesulitan, karena satu dari yang tiga itu,
memiliki kemampuan yang seimbang dengan kemampuannya sendiri. Namun yang paling
membakar jantungnya adalah ledakan-ledakan cambuk yang seakan-akan berputaran
di telinganya. Ledakan-ledakan yang kadang-kadang membingungkannya.
“Setan alas!”
ia mengumpat. Dicobanya untuk menilai kekuatan kedua anak-anak muda itu,
“Aku harus
menerkam mereka satu demi satu, sehingga kemudian aku tidak akan terganggu lagi
oleh suara-suara bising yang memuakkan.”
Ki Tambak Wedi
menegangkan keningnya. Kini arah serangannya justru dipusatkan kepada kedua
anak-anak muda itu. Tetapi sudah tentu bahwa gurunya tidak akan membiarkannya.
Setiap kali Ki Tambak Wedi melakukan tekanan, maka setiap kali gembala tua
itu pun telah mendesaknya pula. Iblis
tua dari lereng Gunung Merapi itu mengumpat-umpat tidak habis-habisnya. Bagaimana
pun juga, kehadiran kedua anak-anak muda itu telah berpengaruh atas perkelahian
antara kedua orang-orang tua yang pilih tanding itu.
Sementara itu,
Ki Argapati mengikuti pertempuran itu dari jarak yang tidak terlampau jauh.
Dengan tegang ia menyaksikan garis peperangan yang tidak rata, kadang-kadang ia
melihat gelombang-gelombang pasang dan surut dari keduanya. Sekali-sekali
pasukannya di satu sayap terdesak, tetapi di sayap lain maju beberapa langkah,
dan kemudian terjadi sebaliknya. Namun dengan cemas ia menyaksikan pula
kelompok-kelompok kecil yang masih saja mengalir, meskipun peperangan sudah
berlangsung sekian lamanya, bahkan menurut perhitungannya, sebentar lagi
matahari pasti akan segera menyingsing di ujung Timur. Setiap kali Ki Argapati
menghentakkan tangannya. Ia tidak dapat melihat seorang demi seorang. Yang
diketahuinya hanyalah sebuah deretan hitam yang bergerak-gerak dan sorak-sorai
yang memekakkan telinga. Namun demikian seorang penghubung telah memberitahukan
kepadanya, bahwa Ki Peda Sura telah terbunuh di peperangan oleh kedua
gembala-gembala muda yang bernama Gupita dan Gupala.
Ki Argapati
mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia berbangga atas kemenangan kecil itu, seperti
juga Pandan Wangi menjadi berdebar-debar mendengarnya. Bukan kematian Ki Peda
Sura yang membuat jantungnya semakin cepat berdetak, tetapi kedua pembunuhnya. Tetapi
dalam pada itu, Ki Argapati sama sekali tidak menduga, bahwa timbul suatu niat
yang licik di hati Ki Tambak Wedi. Karena ia merasa tidak akan dapat
memenangkan pertempuran melawan ketiga guru dan murid itu, maka kini ia mencoba
memperhitungkan kemungkinan yang lain.
“Sebaiknya aku
menyerang Argapati dengan tiba-tiba, selagi ia tidak berdaya. Aku yakin bahwa
yang di belakang garis perang itu adalah Argapati yang terluka parah.
Kematiannya akan sangat berpengaruh, meskipun kemudian aku harus berlari-lari
menghindari ketiga demit-demit kecil ini,” berkata Ki Tambak Wedi di dalam
hatinya.
Maka kini
perhatian Ki Tambak Wedi sebagian terbesar justru tertuju kepada seseorang yang
berada di belakang garis perang dan dikawal oleh beberapa orang termasuk Pandan
Wangi. Namun meskipun demikian Ki Tambak Wedi tidak berani melengahkan
lawan-lawannya yang bersenjata cambuk itu.
“Aku akan
mencari kesempatan itu,” desisnya di dalam dadanya.
“Aku harus
mencapai kuda itu secepat-cepatnya. Kemudian meloncat dan sekaligus
membunuhnya,” Ki Tambak Wedi mulai berangan-angan.
Namun
tiba-tiba karena itu ia terlonjak ketika ujung cambuk gembala tua menyentuh
punggungnya. Terdengar giginya gemeretak menahan marah. Sentuhan yang pedih itu
telah mendorongnya untuk lebih cepat bertindak. Membunuh Ki Argapati yang pasti
tidak akan menyangka, mendapat serangan yang tiba-tiba. Kini Ki Tambak Wedi
hanya sekedar menunggu kesempatan. Ia tidak lagi bernafsu untuk menerkam
gembala-gembala muda itu, atau bahkan gurunya sama sekali. Kini ia sedang
mencari akal, bagaimana ia dapat melepaskan diri dari pertempuran itu dengan
tiba-tiba, dan dalam waktu yang singkat, sebelum orang-orang yang mengejarnya
kemudian dapat menyusulnya, ia sudah berhasil membunuh Argapati. Setelah itu,
ia harus berusaha melarikan dirinya dan kembali ke tengah-engah medan ini
sambil meneriakkan kematian Argapati.
“Kematiannya
akan merontokkan setiap jantung di dada orang-orang Menoreh,” katanya di dalam
hati,
“dan
pertempuran ini pun akan segera berakhir. Mereka pasti tidak akan mempunyai
nafsu lagi untuk bertempur. Betapa saktinya orang-orang bercambuk itu, namun
melawan sekian banyak orang, mereka pasti tidak akan berdaya.”
Maka Ki Tambak
Wedi pun kemudian mengambil keputusan
untuk segera melakukannya. Ketika ia mendapat kesempatan, maka tiba-tiba
serangannya datang membadai. Begitu dahsyatnya dan seakan-akan menghentak
dengan tiba-tiba, sehingga gembala tua itu terpaksa mundur beberapa langkah
untuk menghindarinya. Tetapi yang terjadi kemudian sangat mengejutkannya. Ki
Tambak Wedi sama sekali tidak memburunya. Bahkan dengan tanpa disangka-sangka
ia meloncat berlari meninggalkan arena, menerobos hiruk-pikuknya peperangan. Gembala
tua dan kedua muridnya untuk sejenak justru mematung, seakan-akan terpukau oleh
peristiwa yang tidak terduga-duga itu. Namun sekejap kemudian, gembala tua itu
menyadari apa yang akan dilakukan oleh Ki Tambak Wedi. Karena itu, maka ia pun segera meloncat pula mengejarnya. Tetapi
Ki Tambak Wedi mendapat kesempatan beberapa saat di muka. Dengan garangnya ia
mengayunkan senjatanya untuk merambas jalan. Tidak seorang pun yang dapat menahan langkahnya, sehingga
akhirnya ia berhasil muncul di belakang garis perang para pengawal Tanah
Perdikan Menoreh. Gembala tua beserta kedua anaknya pun mencoba berlari menyusulnya. Mereka kini
menyadari sepenuhnya, apa yang akan dilakukan oleh Ki Tambak Wedi. Tetapi
langkah Ki Tambak Wedi yang sedang dilanda oleh nafsunya untuk membinasakan
Argapati itu seakan-akan menjadi semakin cepat. Kakinya seolah-olah tidak lagi
berjejak di atas tanah. Ki Argapati melihat juga seseorang berlari dari
peperangan menuju ke arahnya. Tetapi ia tidak segera mengenal siapakah orang
itu. Karena itu maka ia bertanya kepada Pandan Wangi,
“Siapakah
orang itu Pandan Wangi?”
Pandan Wangi
menggelengkan kepalanya. “Entahlah, Ayah.”
“Apakah ada
sesuatu yang penting sekali sehingga ia terpaksa berlari-lari demikian
cepatnya?”
Pandan Wangi
mengerutkan keningnya. Tiba-tiba saja ia mendapat firasat, bahwa orang yang
berlari-lari itu bukanlah orang Menoreh.
“Aku
mencurigainya, Ayah,” desis Pandan Wangi.
Ki Argapati mengangguk-anggukkan
kepalanya,
“Ya. Aku juga
tidak dapat mengerti sikapnya.”
Kedua ayah
beranak itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan tiba-tiba saja pedang Pandan
Wangi telah bergetar di tangannya. Perlahan-lahan ia melangkah maju sambil
berkata kepada para pengawal yang lain,
“Berhati-hatilah.”
Apalagi ketika
kemudian mereka melihat orang-orang lain berlari-lari pula di belakang orang
itu. Tiga orang. Tetapi langkah Ki Tambak Wedi terlampau cepat untuk dapat
disusul oleh gembala tua bersama kedua anaknya. Meskipun mereka telah
mengerahkan semua tenaga, tetapi jarak antara mereka itu tidak menjadi semakin
pendek. Karena itu, maka untuk menghindarkan bencana yang bakal datang, maka
gembala tua itu pun berteriak,
“Hati-hatilah,
hati-hatilah dengan Ki Tambak Wedi yang menjadi gila.”
“Ki Tambak
Wedi,” desis Ki Argapati dan Pandan Wangi hampir bersamaan.
Dengan
demikian, maka dada gadis itu pun
bergetar dengan dahsyat. Dan tiba-tiba saja ia maju semakin jauh dari ayahnya
sambil menggeram,
“Biarlah aku
yang menyongsongnya.”
“Pandan
Wangi,” panggil ayahnya, “jangan kau. Kemarilah.”
Tetapi Pandan
Wangi seakan-akan tidak mau mendengar panggilan ayahnya. Ia harus menahan orang
tua yang mengerikan itu agar tidak berhasil mendekati ayahnya. Beberapa orang
pengawal yang lain mengikutinya sambil menggenggam senjata mereka erat-erat. Tetapi
ternyata Pandan Wangi telah berbuat kesalahan seperti yang diperhitungkan oleh
Ki Argapati. Beberapa kali ia masih berusaha memanggil puterinya.
“Pandan Wangi.
Pandan Wangi. Jangan kehilangan akal. Kembalilah kemari.”
Tetapi Pandan
Wangi yang hanya memikirkan nasib ayahnya itu, tidak menghentikan langkanya,
apalagi kembali seperti yang diperintahkan ayahnya itu, meskipun ia masih
mendengar ayahnya memanggil-manggilnya, sementara Ki Tambak Wedi semakin lama
menjadi semakin dekat. Semua orang memandang gadis itu dengan mata yang tidak
berkedip. Apalagi Ki Argapati sendiri. Bahkan serasa ia telah melepaskan
anaknya itu untuk tidak kembali lagi kepadanya. Argapati yang sangat mencintai
anaknya itu pun tiba-tiba telah lupa diri. Lukanya serasa tiba-tiba saja telah
sembuh, dan sama sekali tidak mengganggunya. Itulah sebabnya, maka
dihentakkannya kudanya, sehingga kuda itu terloncat maju, menyusul Pandan
Wangi. Sebagian para pengawal yang tidak mengikuti Pandan Wangi menjadi
terkejut karenanya. Tetapi mereka tidak dapat terbuat apa-apa. Kuda Ki Argapati
itu tiba-tiba saja telah berlari maju. Yang dapat mereka lakukan, adalah
menyusul kuda itu. Terloncat-loncat mereka berlari sekuat-kuat tenaga mereka. Tetapi
Ki Tambak Wedi sudah begitu dekat dengan Pandan Wangi. Ki Argapati hampir
kehilangan akal ketika ia melihat Pandan Wangi meloncat menghalang langkah Ki
Tambak Wedi sambil menyilangkan sepasang pedangnya di muka dada. Bukan saja Ki
Argapati, tetapi Ki Tambak Wedi pun sama sekali tidak akan menduga, bahwa gadis
itu seakan-akan menjadi kehilangan akal dan berbuat karena putus asa.
“Pergi, pergi
kau,” teriak Ki Tambak Wedi.
Tetapi Pandan
Wangi sama sekali tidak beranjak dari tempatnya. Bahkan pedangnya itu pun
kemudian bergetar siap untuk menyerang Ki Tambak Wedi.
“Kubunuh kau,”
teriak Ki Tambak Wedi.
Pandan Wangi
sama sekali tidak menghiraukannya. Tetapi Ki Tambak Wedi memang tidak dapat
membuat pertimbangan-pertimbangan lain. Ia sadar bahwa di belakangnya guru dan
dua orang muridnya yang bersenjata cambuk itu sedang mengejarnya. Karena itu,
maka ketika Pandan Wangi tidak juga mau menepi, Ki Tambak Wedi meloncat sambil
menggeram. Senjatanya berputar dengan dahsyatnya. Sejenak kemudian terjadilah
sebuah benturan yang dahsyat. Kedua belah pedang Pandan Wangi telah membentur
putaran senjata Ki Tambak Wedi. Begitu kerasnya, sehingga Pandan Wangi sama
sekali tidak mampu mempertahankannya. Kedua pedangnya itu terlempar beberapa
langkah daripadanya. Kini terbuka kesempatan bagi Ki Tambak Wedi untuk menusuk
dada gadis yang sama sekali sudah tidak berdaya itu. Meskipun tatapan matanya
sama sekali tidak tergeser. Dengan tabah Pandan Wangi yang segera dapat
menguasai keseimbangannya kembali itu, berdiri tegak di tempatnya sambil
menengadahkan dadanya. Namun dalam saat yang sekejap itu, terbayang di rongga
mata iblis tua itu seorang perempuan yang menatapnya dengan tajam sambil menengadahkan
dadanya dan berkata,
“Di sini, di
sini kau menusukkan senjatamu. Ayo, siapakah di antara kalian yang jantan,
Paguhan atau Arya Teja.”
Bayangan itu
telah menghambat tangan Ki Tambak Wedi. Wajah Pandan Wangi memang hampir tidak
ubahnya wajah ibunya, Rara Wulan. Tetapi Ki Tambak Wedi tidak dapat
menghentikan loncatannnya yang tergesa-gesa. Ia diburu oleh waktu dan oleh
ketiga orang bercambuk itu. Karena itu, maka Ki Tambak Wedi kemudian
menjulurkan tangan kirinya dan mendorong Pandan Wangi ke samping sementara ia
berlari terus menyongsong kuda Ki Argapati yang sudah menjadi begitu dekatnya. Dorongan
itu telah melemparkan Pandan Wangi beberapa langkah, kemudian jatuh terbanting
di tanah. Terasa tulang-tulangnya seakan-akan berpatahan sehingga sejenak
matanya serasa menjadi gelap dan berputaran. Hanya karena tekadnya yang luar
biasa ia berhasil mengangkat kepalanya untuk menyaksikan apa yang akan
dilakukan oleh Ki Tambak Wedi atas ayahnya. Adalah di luar dugaan Ki Tambak
Wedi, bahwa Ki Argapati yang takut kehilangan anaknya itu telah melupakan semua
rasa sakitnya sendiri. Luka-lukanya dan bahkan pembalut-pembalutnya sama sekali
tidak dapat menahannya. Apalagi ketika ia melihat Pandan Wangi terlempar
kemudian terbanting jatuh. Ia tidak tahu akibat apa yang akan menerkam Pandan
Wangi. Mungkin gadis itu akan mati atau cacat atau apa pun. Karena itu maka
kemarahannya sama sekali tidak tertahankan lagi. Sejenak kemudian maka kedua orang
yang selama bertahun-tahun telah merendam dendam dan permusuhan di dalam dada
masing-masing itu kini telah bertemu lagi.
Ki Tambak Wedi
tidak mau membuang waktu terlampau banyak. Dengan garangnya ia langsung
menerkam Ki Argapati yang duduk di atas punggung kudanya. Ia sama sekali tidak
memperhitungkan kemungkinan bahwa Ki Argapati telah siap dengan tombak
pendeknya, menyongsong serangannya yang dahsyat itu. Menurut perhitungan Ki
Tambak Wedi, Argapati sama sekali tidak akan berdaya melawan atau menangkis
serangannya. Kalau ia masih mampu berbuat demikian, menilik watak dan tanggung
jawabnya, ia tidak akan berada di belakang garis peperangan. Ternyata
perhitungan Ki Tambak Wedi keliru untuk kesekian kalinya, seperti kekeliruannya
memperhitungkan kekuatan pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh. Tetapi
ternyata bahwa Ki Argapati itu kini mampu mengatasi segala perasaan sakit dan
gangguan-gangguan yang ada di dalam dirinya, justru karena Pandan Wangi,
satu-satunya anaknya yang diharapkannya akan dapat melanjutkan tidak saja
jabatannya tetapi juga garis keturunan Menoreh, garis keturunan Argapati. Dalam
pada itu, maka benturan dari kedua orang yang pilih tanding itu tidak dapat
dihindarkan lagi. Kedua-duanya memang tidak berusaha untuk menghindari sama
sekali. Ki Tambak Wedi yang diburu oleh waktu itu langsung meloncat menerkam
orang yang berada di atas punggung kuda yang berlari ke arahnya. Senjatanya
yang mengerikan itu sudah terangkat tinggi-tinggi. Terdengar orang tua dari
Tambak Wedi itu berteriak nyaring, dan sejenak kemudian terjadilah benturan
yang dahsyat itu. Beruntunglah bahwa senjata Ki Argapati agak lebih panjang
dari senjata lawannya, sehingga ia berhasil mengungkit ujung senjata Ki Tambak
Wedi yang mengerikan itu, kemudian dengan menumpahkan segenap kemampuan yang
ada padanya memutar mata tombaknya langsung menusuk tubuh yang dengan
dahsyatnya telah menimpanya. Ki Tambak Wedi benar-benar tidak menyangka bahwa
Ki Argapati masih mampu berbuat demikian. Ketika ujung senjatanya terungkit,
dadanya berdesir tajam, Tetapi ia sudah tidak sempat memperbaiki keadaannya,
Yang dapat dilakukan kemudian adalah memutar senjata itu. Dengan ujung yang
lain ia masih berusaha untuk menyerang Ki Argapati. Tetapi Ki Tambak Wedi
menahan sengatan di dadanya. Oleh dorongan kekuatannya sendiri, maka ujung
tombak Ki Argapati membenam di dadanya. Namun sementara itu, ujung senjatanya
berhasil mengenai pundak lawannya. Sejenak kemudian keduanya terlempar dari
punggung kuda oleh dorongan loncatan Ki Tambak Wedi. Demikian kerasnya sehingga
mereka terpelanting dan terguling beberapa kali. Beberapa langkah dari mereka,
Pandan Wangi berusaha untuk bangkit. Tertatih-tatih ia berdiri, namun kemudian
terdengar ia menjerit nyaring. Ayahnya terbaring darinya tiga empat langkah
dari Ki Tambak Wedi yang tergolek pula di tanah. Ketika Pandan Wangi kemudian
tersuruk-suruk berlari ke ayahnya, maka pada saat yang bersamaan gembala tua
beserta kedua anaknya telah berdiri pula di sampingnya. Sejenak mereka menatap
kedua orang itu berganti-ganti. Mereka melihat Ki Tambak Wedi menggeliat sambil
memegangi tangkai tumbak Ki Argapati yang masih menancap di dadanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar