SAMPAI di gubug Alap-alap Jalatunda, Tohpati berhenti. Wajahnya tampak berkerut-kerut. Diangkatnya telinganya sambil bergumam lirih,
“Siapa itu
paman?”
Sumangkar
menarik pundaknya tinggi-tinggi. Katanya,
“Itulah Raden,
gambaran kehidupan kita”
Tohpati
menggeram. Didengarnya sekali lagi suara tertawa perempuan seperti seekor
kucing tercekik. Kemudian terdengar suara Alap-alap Jalatunda yang muda itu,
“Jangan
merajuk anak muda. Tinggalkan istrimu di sini. Ia tidak akan berkurang
cantiknya”
Yang terdengar
kemudian ringkik perempuan. Katanya,
“Kembalilah
dulu kang, aku ingin tinggal di sini dahulu”
Tohpati itu
kemudian melihat anak muda yang tinggi kurus dan berkumis jarang. Anak muda
yang pernah diajaknya bercakap-cakap. Anak muda yang istrinya jauh lebih tua
dan bernama Nyai Pinan. Laki-laki muda itu berjalan tersuruk-suruk dengan wajah
yang suram. Sekali ia berpaling, dan terdengar istrinya berkata,
“Kang, aku
akan segera kembali membawa sepotong daging rusa untuk kakang. Bukankah kakang
senang makan daging rusa?”
Laki-laki itu
mengangguk. Dan kembali ia berjalan meninggalkan gubug itu diiringi oleh suara
tertawa istrinya dan Alap-alap Jalatunda. Di antara suara tertawa itu terdengar
Nyai Pinan berkata,
“Suamiku
adalah laki-laki yang baik hati”
Laki-laki muda
yang bertubuh kurus itu berhenti sesaat mendengar pujian istrinya. Namun
kemudian ia berjalan kembali. Tetapi alangkah terkejutnya ketika tiba-tiba
sebuah tangan yang kuat menyambar bahunya. Ketika ia berpaling, maka tubuhnya
terputar dengan kuatnya. Laki-laki itu sesaat seakan-akan kehilangan
kesadarannya. Namun ketika ia menengadahkan wajahnya, ia bertambah terkejut
lagi. Dilihatnya sepasang mata Tohpati seolah-olah memancarkan sinar api yang
merah membara.
Laki-laki muda
itu tidak mengerti apa yang harus dilakukannya, sehingga dengan gemetar ia
menyeringai ketika tubuhnya diguncang-guncang oleh tangan Tohpati yang serasa
akan meremukkan tulangnya.
“Kembali masuk
kedalam gubug itu” teriak Tohpati dengan suara parau dan gemetar, sehingga
suaranya seolah-olah telah berubah menjadi suara hantu yang sedang marah,
“Masuk kembali
ke gubug itu. Seret perempuan itu keluar. Perempuan yang pernah kau larikan
dari suaminya”
Laki-laki muda
yang tinggi kurus dan berkumis jarang itu menjadi semakin bingung. Ia kini
benar-benar kehilangan akal dengan demikian maka ia masih saja berdiri dengan
mulut ternganga.
“Ayo masuk
kembali ke dalam gubug itu” teriak Macan Kepatihan dengan marahnya.
Laki-laki itu
benar-benar menjadi kebingungan, sehingga tanpa sesadarnya terloncat
jawabannya,
“Tetapi tuan,
ia masih ingin tinggal di sana”
“Ambil
perempuan gila itu. Seret keluar kalau tidak mau dilemparkan dari perkemahan
ini”
Otak laki-laki
kurus itu kini seolah-olah menjadi seperti baling-baling yang dipermainkan
angin. Kalau angin itu bertambah kencang sedikit saja, maka ia akan semakin
kencang berputar, dan tidak mampu untuk mencoba berhenti dengan sendirinya.
Dalam
kebingungan itu tiba-tiba terdengar suara Alap-alap Jalatunda dengan garangnya,
“He, siapa di
luar?”
Laki-laki
kurus itu tidak dapat menjawab. mulutnya benar-benar serasa terbungkam,
sehingga sekali lagi terdengar suara Alap-alap Jalatunda,
“Siapakah
laki-laki gila yang mengumpat-ngumpat itu?”
Demikian
marahnya Macan Kepatihan mendengar kata-kata itu sehingga bibirnya menjadi
gemetar, dan bahkan tak sepatah kata pun yang dapat melontar dari bibirnya. Dalam
pada itu terdengar suara perempuan dari dalam bilik itu,
“Ah, jangan
marah kang. Tunggulah di luar. Sebentar lagi antarkan aku kembali ke gubug
suamiku”
Bukan main
marahnya Macan Kepatihan itu. Dan kemarahannya itu benar-benar menimbulkan
keheranan pada Sumangkar yang tua. Apa yang terjadi itu bukanlah barang baru di
dalam perkemahan ini. Tetapi agaknya Tohpati tidak pernah menaruh perhatian
atasnya. Namun tiba-tiba ada suatu perubahan pada sikapnya. Perubahan yang tak
dapat diketahui ujung dan pangkalnya. Namun yang dilihatnya kini Macan Kepatihan
itu tidak dapat lagi mengendalikan kemarahannya. Karena itu, maka tiba-tiba
Tohpati itu mengangkat tongkatnya tinggi-tinggi. Sekali ia meloncat mendekati
gubug itu, dan dengan sekuat tenaganya tiang sudut gubug itu berderak patah,
dan runtuhlah sudut gubug Alap-alap Jalatunda. Mendengar suara berderak-derak
itu, alangkah terkejutnya Alap-alap Jalatunda dan Nyai Pinan. Dengan tangkasnya
anak muda itu meloncat ke pintu dan dengan sebuah loncatan yang panjang ia
telah berdiri tegak di luar pintu. Tetapi alangkah terkejutnya Alap-alap yang
garang itu. Demikian ia berdiri tegak, maka dengan serta-merta sebuah tangan
terjulur ke arahnya dan dengan kuatnya menggenggam leher bajunya. Alangkah
kuatnya tangan itu. Alap-alap Jalatunda itu serasa kehilangan segenap kekuatannya
ketika tangan itu menariknya. Sebelum Alap-alap Jalatunda sadar akan
keadaannya, maka sebuah tamparan yang keras mengenai pipinya. Kini ia
terhuyung-huyung. Tangan yang kuat itu telah tidak menggenggam bajunya lagi,
sehingga Alap-alap itu terbanting jatuh. Namun sebenarnya tubuh Alap-alap
Jalatunda itu sedemikian kokohnya. Demikian ia terguling, maka segera ia
meloncat berdiri di atas kedua kakinya yang kokoh. Kini barulah ia melihat
siapakah laki-laki yang telah menamparnya itu. Seorang laki-laki yang bertubuh
tinggi kekar berkumis tebal melintang. Macan Kepatihan. Ketika disadarinya
siapa yang berdiri di hadapannya itu, maka berdesirlah hatinya. Tiba-tiba ia
tidak lagi bersikap garang. Sekali ia membungkukkan badannya dan berkata,
“Maafkan aku
Raden. Aku tidak tahu, bahwa Raden berada di sini”
Terdengar gigi
Macan Kepatihan gemeretak menahan kemarahannya yang memuncak. Dengan tajamnya
ia memandangi wajah Alap-alap Jalatunda yang tunduk. Seandainya pada saat itu
Alap-alap Jalatunda berkata sepatah kata saja, maka wajahnya pasti akan menjadi
bengkak, karena Tohpati telah menggenggam tinjunya siap untuk memukul mulut
Alap-alap Jalatunda itu. Namun untunglah bahwa Sumangkar sempat menenangkannya,
katanya,
“Sudahlah
ngger, biarlah ini menjadi pelajaran bagi setiap orang di perkemahan ini. Anak
muda itu telah menyesal”
Tohpati tidak
menjawab. Diedarkannya pandangan matanya berkeliling. Ternyata di sekitar
tempat itu telah berdiri berkerumun beberapa orang. Di ujung berdiri seseorang
dengan mulut yang bergerak-gerak, Sanakeling. Meskipun ia tegak dengan wajah
tegang, namun mulutnya masih saja mengunyah daging menjangan yang belum sempat
ditelannya. Tohpati itu kemudian melangkah selangkah maju. Dengan tongkatnya ia
menunjuk ke dalam kekelaman malam, ke kelaman hutan di sekitarnya,
“Perempuan
yang jahat. Pergi dari sini. Kaulah yang membawa sial dalam laskar kami”
“Raden” cegah
Sumangkar hati-hati,
“Biarkan
perempuan ini di sini. Tempatkanlah perempuan itu pada suaminya. Jangan
meninggalkan tempat ini. Kalau ia pergi maka suaminyalah yang akan menjadi
gantinya”
Betapa
marahnya Macan Kepatihan, namun naluri kepemimpinannya segera merayapi otaknya.
Karena itu, maka katanya,
“Paman benar.
Perempuan itu tidak boleh meninggalkan tempat ini”. Kemudian katanya kepada
laki-laki kurus berkumis jarang, “Kau menjaga istrimu di gubug ini. Biarlah
Alap-alap gila itu mencari tempat lain. Kalau istrimu sampai meninggalkan
tempat ini, maka lehermu menjadi taruhannya”
Laki-laki itu
mengangguk-anggukkan kepalanya dalam-dalam sambil gemetar. Ia tidak tahu kenapa
istrinya tidak boleh meninggalkan tempat itu. Apakah besok istrinya akan
dihukum, apakah ada persoalan-persoalan lain yang akan dilakukan oleh Macan
Kepatihan itu? Tetapi ia hanya mampu menjawab,
“Ya, ya tuan”
Namun Sumangkar
yang berpengalaman itu dapat membayangkan apa saja yang akan terjadi seandainya
perempuan itu benar-benar meninggalkan perkemahan itu. Perkemahan yang dengan
hati-hati dipersiapkan khusus untuk tujuan yang penting. Perkemahan yang
dibangun dengan tergesa-gesa untuk mempersiapkan laskar-laskar Jipang yang
terpencar di segala penjuru. Kalau perempuan itu lepas dengan luka di hatinya,
maka perkemahan itu pasti segera akan hancur. Sebab tidak mustahil, tempat itu
pun akan segera diketahui oleh Untara dan Widura. Untunglah bahwa Tohpati
segera menyadari pula keadaan itu, sehingga orang-orang Untara belum dapat
mengetahui dengan pasti letak perkemahan itu. Hubungan-hubungan yang dibuat
dengan orang-orang dalam masih terlalu sulit dan kesempatan untuk itu masih
belum dapat diperoleh. Yang baru diketahui oleh orang-orang Untara adalah
persiapan-persiapan dan kesibukan dari beberapa orang yang terpencar-pencar.
Pemusatan kekuatan di sekitar daerah yang sudah dikenal. Namun secara pasti,
tempat itu belum dapat diketahui. Apalagi tempat ini belum lama dibangun,
setelah beberapa puluh kali berpindah-pindah.
Nyai Pinan
kemudian menjadi ketakutan bukan alang kepalang. Merangkak-rangkak ia menangis
minta ampun. Bahkan ketika ia hampir sampai di hadapan Tohpati, maka segera ia
menjatuhkan dirinya menelungkup. Namun Tohpati tidak menghiraukannya. Sekali
lagi matanya beredar di antara orang-orangnya yang berdiri berkerumun sambil
menahan gelora hati masing-masing. Dengan lantang ia berkata,
“Aku tidak mau
melihat perbuatan terkutuk berulang di perkemahan ini”
Dan sebelum
gema suaranya lenyap dalam kekelaman malam, maka segera Tohpati itu melangkah
pergi. Beberapa orang menyibak ke samping memberinya jalan. Tanpa menoleh
Tohpati berjalan masuk ke dalam malam yang gelap. Di belakangnya Sumangkar
berjalan cepat-cepat. Di ujung perkemahan itu Sumangkar masih sempat meraih
sebuah golok pembelah kayu. Kalau mereka pergi ke Sangkal Putung, maka
perjalanan itu bukanlah perjalanan tamasya di malam purnama. Sehingga karena
itu, maka golok itu akan sangat bermanfaat baginya apabila ditemuinya bahaya di
perjalanan. Sepeninggal Tohpati, Sanakeling melangkah maju. Mulutnya yang masih
mengunyah daging menjangan itu berkata,
“Apakah yang
kau lakukan Alap-alap kecil?”
Alap-alap
Jalatunda menundukkan wajahnya. Terasa darah yang seakan-akan menggelegak,
namun ia tidak berani berbuat apa-apa. Meskipun demikian terasa juga bahwa
telah terjadi suatu perubahan sikap pada Tohpati yang garang itu. Meskipun
Pratanda yang juga bergelar Alap-alap Jalatunda itu belum menjawab, namun
dengan melihat Nyai Pinan yang masih merangkak-rangkak, segera Sanakeling dapat
menduga apa yang telah terjadi. Karena itu, maka gumamnya di dalam mulutnya,
“Hem, karena
itu aku tidak mau berurusan dengan perempuan. Perempuan dimana-mana dapat
menimbulkan persoalan. Dunia ini dapat menjadi sedemikian indah dan
menggairahkan, karena perempuan. Namun dunia ini dapat berubah menjadi neraka
juga karena perempuan. Nah alap-alap kecil, jangan menyesal. Yang sudah biarlah
terjadi, tetapi ingatlah untuk seterusnya, bahwa Macan Kepatihan yang garang
itu membenci perempuan”
Alap-alap
Jalatunda mengangkat wajahnya. Dilihatnya Sanakeling masih menggerak-gerakkan
mulutnya. Tetapi Alap-alap Jalatunda tidak berkata apa-apa, dengan langkah yang
gontai ia berjalan meninggalkan tempat itu.
“Mau kemana?”
bertanya Sanakeling.
“Tidak
kemana-mana” sahut Alap-alap Jalatunda.
“Kau tidak
boleh menempati gubug yang hampir roboh itu. Tidurlah di tempatku bersama
orang-orangku”
Alap-alap
Jalatunda menggeleng, katanya,
“Aku akan
tidur bersama orang-orangku sendiri”
Sanakeling
dengan susah payah menelan segumpal daging yang tidak dapat dikunyahnya. Sesaat
terasa kerongkongannya tersumbat. Namun setelah gumpalan daging itu melalui
lehernya ia berkata,
“Terserahlah,
tetapi aku akan berbicara kepadamu. Datanglah ke gubukku”
“Tentang apa?”
bertanya Alap-alap Jalatunda.
“Tidak tentang
perempuan” sahut Sanakeling.
“Ah” desah
Alap-alap Jalatunda,
“Tentang apa?”
Sanakeling
memandang Alap-alap Jalatunda dengan tajamnya. Ia tidak senang mendengar
Alap-alap itu berkata tajam kepadanya. Meskipun demikian ia menjawab,
“Tentang
kedudukan kita dan Sangkal Putung. Pergilah”
“Apa yang akan
kita bicarakan?”
“Pergilah ke
gubugku” desak Sanakeling.
“Kita bicara
di sini saja”
Sanakeling mengerutkan
keningnya. Katanya,
“He, apakah
kau sudah menjadi gila?”
Alap-alap
Jalatunda tidak memperdulikannya. Selangkah ia berjalan ke samping sambil
bergumam,
“Aku akan
pergi”
“Pergilah ke
tempatku. Aku perlu berbicara tentang berbagai persoalan”
Alap-alap
Jalatunda yang sedang dibakar oleh gejolak hatinya itu menjawab dengan
jengkelnya,
“Berbicaralah
di sini”
Sanakeling
menjadi marah pula karenanya. Selangkah ia maju sambil menggeram
perlahan-lahan,
“Alap-alap
kecil. Jangan menjadi gila. Kau dihukum karena kesalahanmu. Jangan membuat
persoalan baru. Pergi ke gubug itu, atau kau aku tampar mulutmu di muka anak
buahmu. Aku masih merasa berbaik hati kepadamu bahwa aku memperingatkanmu
perlahan-lahan”
Langkah
Alap-alap Jalatunda itu terhenti. Alangkah sakit hatinya mendengar geram itu.
Tetapi ketika dilihatnya mata Sanakeling yang seolah-olah menyala itupun,
hatinya menjadi kecut. Disadarinya kini kekecilannya di antara para pemimpin
Jipang. Sanakeling adalah orang yang garang segarang Plasa Ireng yang telah
mati dibunuh oleh Sidanti dengan luka arang kranjang di tubuhnya.
Sekali lagi
Alap-alap Jalatunda terpaksa menahan gelora di dadanya. Ditelannya kepahitan
itu meskipun hatinya tidak ikhlas. Karena itu, maka ia menjawab pendek,
“Ya, aku akan
pergi ke sana”
Sanakeling
menarik nafas panjang. Namun matanya masih saja menyalakan kemarahannya. Dengan
langkah yang berat ia berjalan meninggalkan gubug itu sambil memperingatkan
perempuan yang masih saja menangis sambil duduk di tanah,
“Ingat semua kata-kata
Macan Kepatihan supaya nyawamu tidak dicabut dengan tongkatnya yang mengerikan
itu. Sekali kepalamu tersentuh kepala tongkatnya, maka otakmu pasti akan
berhamburan. Nah, masuklah ke gubug itu dan jangan meninggalkan tempat ini”
“Baik tuan.
Aku tidak berani melanggar perintah itu” tangis Nyai Pinan.
Sanakeling itu
pun kemudian kembali ke gubugnya. Ia dapat mengerti juga kenapa Nyai Pinan
tidak boleh meninggalkan tempat itu. Sebab perbuatan itu akan sangat berbahaya
bagi rahasia gerombolannya.
Alap-alap
Jalatunda pun tidak dapat berbuat lain daripada datang memenuhi permintaan
Sanakeling. Ia sudah dapat membayangkan apa saja yang akan dikatakan oleh
Sanakeling itu. Persiapan untuk menyerbu kembali Sangkal Putung.
Dalam pada
itu, Tohpati berjalan dengan tergesa-gesa meninggalkan perkemahannya,
seakan-akan ia ingin segera pergi sejauh-jauhnya dari tempat itu. Tempat yang
dibangunnya sebagai landasannya untuk meloncat ke daerah perbekalan yang subur,
Sangkal Putung. Namun perkemahan itu telah menumbuhkan kebencian padanya.
Tempat yang terkutuk. Tempat yang dipenuhi oleh berbagai ciri kehidupan liar
yang benar-benar menjemukan. Ia tidak mengerti apa yang terjadi di dalam
dirinya, bahwa baru sekarang ia merasa muak melihat perbuatan-perbuatan itu.
Bukankah sebelumnya telah diketahui, setidak-tidaknya pernah didengarnya bahwa
hal-hal semacam itu pernah dan bahkan sering terjadi? Kenapa pada saat itu ia
tidak berbuat apa-apa? Kenapa pada saat itu dibiarkannya kemaksiatan semacam
itu tumbuh seenaknya? Macan Kepatihan itu menggeram. Ketika ia berpaling
dilihatnya Sumangkar berjalan beberapa langkah di belakangnya sambil menjinjing
sebilah golok.
“Apakah yang
paman bawa itu?”
“Golok” sahut
Sumangkar.
“Untuk apa?”
“Tongkat”
jawabnya pendek.
Tohpati
mengerutkan keningnya dan memperlambat langkahnya, sehingga Sumangkar pun
berjalan lebih lambat pula.
Sekali-sekali
Macan Kepatihan itu berpaling dan akhirnya ia berkata,
“Golok itu
terlampau pendek untuk dijadikan tongkat”
Sumangkar
terkejut mendengar kata-kata itu. Cepat ia mencari jawaban yang lain, katanya,
“Tidak ngger.
Bukan tongkat sebagai penyangga tubuh. Maksudku, golok ini dapat dipakai untuk
menerabas dahan-dahan yang mengganggu jalan”
Tohpati itu
tersenyum. Katanya dengan nada datar,
“Paman
ternyata memerlukan juga senjata”
Sumangkar
tidak menjawab. Ternyata Macan Kepatihan itu dapat menebak maksudnya. Namun
bukankah ia akan pergi ke daerah lawan? Maka adalah kewajibannya untuk
berhati-hati. Meskipun demikian Sumangkar itu tidak menjawab. Ia masih saja
berjalan di belakang Tohpati sampai mereka muncul dari balik rimbunnya dedaunan
yang agak lebat. Mereka melangkahkan kaki mereka keluar hutan. Tohpati menarik
nafas lega, seolah-olah ia telah keluar dari suatu daerah yang dibencinya.
Suatu daerah yang sama sekali tidak menyenangkan. Seakan-akan ia baru keluar
dari suatu tempat yang padat pepat sehingga menyesakkan nafasnya. Ketika
Tohpati menengadahkan wajahnya, di langit dilihatnya bulan yang terbelah.
Sehelai-sehelai awan yang putih hanyut dibawa arus angin yang lembut. Sekali
lagi Tohpati menarik nafas dalam-dalam. Bulan itu tampaknya sangat asing
baginya. Sudah beberapa tahun ia melupakan keindahan bulan, langit yang
sumeblak, bintang-bintang dan bahkan melupakan apa saja yang dapat memberinya
kesegaran seperti malam ini. Angin yang lembut dan daun-daun yang
bergerak-gerak dibelai oleh angin yang lembut itu.
“Hem”
desahnya.
Sumangkar
melangkah lebih cepat lagi, sehingga ia berjalan di samping Macan Kepatihan
itu. Ketika ia mendengar Tohpati itu berdesah, ia berpaling. Tetapi ia tidak
bertanya apa-apa. Tohpati masih mengagumi kesegaran angin malam dan kelembutan
sinar bulan setengah. Cahaya yang redup kekuning-kuningan dan daun-daun yang
hijau gelap seperti langit di garis cakrawala. Dari dalam kekelaman malam, menjulang
lamat-lamat gunung Merapi menyentuh langit.
“Paman”
tiba-tiba terdengar Tohpati itu berkata,
“Umurku sudah
cukup banyak paman. Sudah sepertiga abad. Tetapi aku merasa tiba-tiba menjadi
orang asing di sini. Asing dari alam di sekitarku ini”
Sumangkar
mengangguk-anggukkan kepalanya. Pertanyaan itu telah mengatakan kepadanya,
bahwa terjadi sesuatu pergolakan di dalam dada murid saudara seperguruannya
itu. Namun Sumangkar menjawab,
“Mungkin
angger merasa asing. Tetapi alam yang Raden anggap asing ini, adalah alam yang
sehari-hari telah memeluk angger dalam rangkumannya. Alam ini mengenal angger
dengan baik. Sebab angger adalah bagian daripadanya. Angger telah lahir dari
sumber yang sama”
Tohpati
berdesir mendengar kata-kata Sumangkar itu. Tiba-tiba disadarinya bahwa alam
adalah saudara kandungnya. Pepohonan, hutan, gunung, ngarai, bahkan bintang dan
bulan, matahari dan seluruh isi angkasa. Semuanya telah tercipta oleh sabda
yang Maha Pencipta. Semesta alam dan isinya. Juga manusia yang amat kecilnya
dibandingkan dengan seluruh kebesaran alam ini. Tetapi selama ini Tohpati tidak
pernah mengingat sumbernya lagi. Yang diingatnya sehari-hari adalah nafsu yang
menyala-nyala di dalam dadanya untuk memusnahkan lawan. Membunuh dan
menghancurkan. Membuat malapetaka dan meruntuhkan air mata. Sekali lagi Tohpati
menengadahkan wajahnya. Bulan itu masih memancar di langit, dan bintang-bintang
masih bergayutan pada dataran yang biru.
“Paman” gumam
Macan Kepatihan itu perlahan-lahan,
“Besok kita
akan mulai dengan persiapan yang terakhir. Mudah-mudahan kita akan dapat
merebut daerah perbekalan itu kali ini”
Sumangkar
berpaling. Kata-kata itu sama sekali tidak bernafsu seperti arti katanya.
Tohpati itu seakan-akan berkata asal saja mengucapkan kata-kata. Karena itu
Sumangkar tidak segera menjawab. Dibiarkannya Tohpati berkata pula,
“Besok kita
akan mulai lagi dengan suatu gerakan. Aku mengharap lusa kita telah berada di
Sangkal Putung”
Sumangkar
mengangguk-anggukkan kepalanya. Jawabnya pendek,
“Ya ngger”
Tohpati sama
sekali tidak tertarik kepada jawaban Sumangkar. Bahkan seolah-olah tidak
didengarnya. Ia masih saja berkata seterusnya,
“Besok aku
akan mulai dengan pembunuhan-pembunuhan dan kematian-kematian baru. Besok aku
mengadakan benturan benturan antara manusia dengan manusia. Antara sesama yang
mengalir dari sumber yang satu”
Sumangkar
menarik nafas dalam-dalam. Kini ia tahu benar apa yang terkandung di dalam hati
Macan Kepatihan itu. Sehingga karena itu diberanikan dirinya berkata,
“Besok itu
belum terjadi. Kita masih dalam keadaan kita sekarang. Apa yang terjadi besok
bukanlah suatu kepastian dari sekarang. Kita mendapat wewenang untuk menentukan
hari besok. Hari kita sendiri”
“Ya” sahut
Tohpati,
“Paman benar.
Tetapi apa yang kita lakukan besok pasti berdasarkan pertimbangan tentang hari
sekarang dan hari kemarin. Apakah dan siapakah kita sekarang dan kemarin.
Dengan dasar itulah kita berbuat untuk besok”
“Ya. Kita
sendiri adalah kelanjutan dari masa lampau. Tetapi tidak seharusnya apa yang
kita lakukan besok harus senafas dengan apa yang kita lakukan kemarin” sahut
Sumangkar,
“Dengan
demikian maka tidak akan ada perubahan-perubahan di dalam diri manusia. Tetapi
perubahan-perubahan itu selalu terjadi. Seorang yang hidup karena pekerjaan
yang nista suatu ketika akan dapat menjadi seorang yang alim dan berbudi.
Seorang yang baik hati, suatu saat dapat berbuat di luar batas kemanusiaan”
“Seorang
pahlawan di medan-medan perang, suatu ketika memilih jalan hidupnya di
dapur-dapur dan di sudut-sudut perapian” potong Tohpati.
“Ya, itu pun
suatu perkembangan yang terjadi di dalam diri manusia” sahut Sumangkar.
Tohpati
mengerutkan keningnya. Sejenak ia berdiam diri. Ditatapnya padang rumput yang
sempit di hadapannya, kemudian di seberang padang rumput itu terdapat
sawah-sawah yang tidak pernah ditanami selama kerusuhan terjadi di daerah ini.
Para petani yang memilikinya menjadi ketakutan untuk menggarapnya, sebab setiap
saat laskar Jipang yang liar sering memerang mereka. Ketika mereka melangkah
semakin jauh ke dalam padang itu, kembali Tohpati berkata tanpa berpaling,
“Paman, apakah
paman puas dengan keadaan paman sekarang?”
“Puas tentang
apa, ngger?”
“Tentang
keadaan paman. Paman yang pernah dikagumi di garis perang, kini tidak lebih
dari seorang juru masak di dapur”
“Aku puas
ngger. Aku puas bahwa aku untuk sekian lamanya berhasil meletakkan senjataku
dan menggantinya dengan pisau dapur dan golok pembelah kayu ini”
Macan
Kepatihan mengerutkan keningnya. Terasa sesuatu menggeram di dalam rongga
dadanya, tetapi ia ragu-ragu untuk mengutarakannya. Namun yang terloncat dari bibirnya
adalah,
“Paman adalah
seorang yang berhati goyah. Paman telah meletakkan suatu tekad perjuangan.
Namun paman berhenti di tengah jalan”
“Raden” sahut
Sumangkar perlahan-lahan,
“Aku memang
pernah meletakkan suatu tekad. Tetapi aku bukan orang yang buta pada keadaan.
Orang yang dengan membabi buta pula berbuat hanya karena sudah terlanjur.
Sebenarnya ngger, terus terang, sejak Arya Penangsang dan Pamanda Patih
Mantahun melakukan rangkaian-rangkaian pembunuhan, sejak itu hatiku telah
goyah. Tetapi aku pada saat itu tidak yakin, hatiku dapat goyah. Aku tidak
percaya pada setiap persoalan yang timbul di dalam diriku. Dan aku telah
berusaha untuk membutakan mataku dan berbuat seperti yang sudah mulai aku
lakukan. Tetapi akhirnya aku menyadari keadaanku. Aku tidak dapat membohongi
perasaanku terus memerus. Aku jemu pada peperangan”
“Jangan
berkata begitu” potong Tohpati. Langkahnya pun terhenti dan dengan pandangan
yang tajam ditatapnya mata Sumangkar. Namun kini Sumangkar tidak lagi
menundukkan wajahnya. Bahkan langsung dipandangnya biji mata Tohpati yang
seakan-akan menyala itu. Pandangan mata seorang yang sudah lanjut usia.
Tohpati lah
yang kemudian berpaling. Meskipun demikian ia bergumam,
“Paman jangan
mencoba melemahkan hatiku. Apakah paman ingin memaksa aku untuk berbuat seperti
paman itu. Meletakkan senjata ini dan merunduk-runduk kepada orang Pajang untuk
menjadi juru masak atau pekatik”
“Tidak” sahut
Sumangkar,
“Angger tidak
dan aku pun tidak”
“Lalu?”
Sumangkar menarik
nafas dalam-dalam. Timbullah kebimbangan di dalam hatinya. Sudah pasti ia tidak
dapat mengatakan kepada Tohpati meskipun ia tahu bahwa hati Macan Kepatihan
yang garang itu sedang goncang. Tetapi Sumangkar itu terkejut ketika tiba-tiba
ia mendengar Tohpati berkata,
“Paman, aku
bukan pengecut. Aku bukan orang yang takut melihat beberapa kekalahan kecil.
Dan aku tak akan dapat digoyahkan oleh keadaan yang bagaimanapun juga. Lusa
apabila Sanakeling telah berhasil mengumpulkan segenap orang-orang kita, maka
aku benar-benar akan menghancur-lumatkan Sangkal Putung. Kali ini yang
terakhir. Kalau aku tidak berhasil menguasai Sangkal Putung, maka lebih baik
Sangkal Putung itu aku binasakan. Rumah-rumahnya, sawah-sawahnya dan segala
kekayaan yang ada di dalamnya. Buat apa aku menyayangkan kehancurannya, kalau
aku tidak dapat memanfaatkannya”
Sumangkar
memandangi wajah Tohpati dalam keremangan cahaya bulan. Dilihatnya Macan
Kepatihan itu kemudian menggigit bibirnya dan terdengar ia menggeram.
“Hem”
Sumangkar menarik nafas dalam-dalam, meskipun ia tidak segera mengucapkan
kata-kata.
“Kenapa paman
berdesah?” bertanya Tohpati
“Tidak” sahut
Sumangkar,
“Aku tidak
berdesah. Aku sedang menyesal”
“Apa yang
paman sesali?”
“Angger sudah
mulai berkelahi dengan pertimbangan-pertimbangan sendiri. Angger melihat
kewajaran di dalam diri angger, tetapi angger tidak mau”
“Bohong”
teriak Tohpati tiba-tiba. Wajahnya benar-benar menjadi merah. Tanpa
disangka-sangka ia melangkah maju mendekati Sumangkar sambil menudingnya,
“Jangan berkhianat
terhadap pimpinanmu paman. Paman sedang berusaha melemahkan hatiku”
“Kekuatan hati
seseorang tidak harus ditampakkan pada kekerasan pendirian yang membabi buta.
Mungkin angger mampu menghancurkan Sangkal Putung. Tetapi itu perbuatan putus
asa. Angger benar-benar kehilangan akal. Dengan demikian maka beribu-ribu jiwa
akan kehilangan tempat tinggal dan mata pencaharian apabila sawah-sawahnya
dihancurkan. Mereka akan kelaparan dam mereka akan mati sia-sia”
“Itu adalah
akibat dari kekerasan kepala mereka. Kenapa mereka tidak menyadari bahwa mereka
harus menyerah?”
“Siapakah yang
keras kepala? Siapakah yang tidak menyadari keadaannya?”
“Setan” potong
Tohpati,
“Paman
benar-benar telah berkhianat. Karena itu maka tidak sewajarnya paman ada di
dalam barisanku”
“Apakah aku
harus pergi ke Pajang?”
“Tidak, tidak
dalam barisanku dan tidak boleh pergi ke Pajang. Sebab dengan demikian maka
pengkhianatan paman akan menjadi sempurna”
“Jadi, apa
yang harus aku kerjakan?”
Sejenak
Tohpati terbungkam. Yang terdengar hanyalah dengus nafasnya yang
terengah-engah. Tetapi tiba-tiba ia berteriak,
“Mati, kau
harus mati”
“He?”
Sumangkar terkejut mendengar kata-kata itu, sehingga untuk sesaat mulutnya
seakan-akan terkunci. Tetapi sesaat kemudian orang tua itu telah berhasil
menguasai dirinya kembali sepenuhnya. Bahkan Sumangkar itu kemudian tersenyum.
Ditatapnya mata Tohpati seolah-olah orang tua itu ingin memandang tembus ke dalam
pusat jantungnya. Dengan tenangnya Sumangkar itu kemudian menjawab,
“Angger,
apakah angger bermaksud membunuh aku?”
Pertanyaan itu
menghantam dada Tohpati sehingga serasa akan meruntuhkan segenap tulang-tulang
iganya. Sesaat Tohpati terdiam, namun kemudian dikerahkannya segenap tenaga dan
kekuatannya untuk menjawab, hanya sepatah kata,
“Ya”
Kembali Sumangkar
tersenyum. Senyum yang menggoncangkan hati Macan yang garang itu. Di mata
Tohpati, Sumangkar yang berdiri di hadapannya itu bukan lagi seorang juru masak
yang malas, namun Sumangkar itu kini berdiri dengan wajah tengadah. Sumangkar itu
kini benar-benar bersikap sebagai seorang senapati di garis peperangan.
Sumangkar yang pernah dikenalnya dahulu. Karena itu dada Tohpati menjadi
berdentang cepat. Meskipun demikian, ia masih berusaha untuk tegak dengan wajah
yang tegang, menghadapi orang tua itu. Mendengar jawaban Tohpati yang pendek
itu, Sumangkar kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya. Perlahan-lahan ia
berkata,
“Raden, aku
adalah seorang abdi yang sejak Pamanda Kepatihan masih hidup aku adalah abdi
kepatihan. Kalau aku kebetulan menjadi saudara seperguruan Gusti Patih itu
bukanlah soal dalam hubungan antara hamba dan gustinya. Kini angger adalah
pimpinan laskar Jipang sepeninggal Arya Penangsang. Dalam hal ini pun siapa
Sumangkar dan siapa Tohpati bukan juga menjadi soal”
“Diam” potong
Tohpati dengan suara bergetar,
“Kubunuh kau”
Tetapi ia
terkejut ketika ia melihat Sumangkar meletakkan golok pembelah kayu di
tangannya dan selangkah ia maju mendekatinya,
“Marilah
ngger. Seperti juga Pamanda Kepatihan, Sumangkar dapat pula dibunuh dan mati
untuk tidak bangkit kembali. Hanya dongeng-dongeng ngayawara saja yang
mengatakan bahwa murid-murid perguruan Kedung Jati memiliki nyawa rangkap
sepuluh”
Macan
Kepatihan itu kemudian menundukkan wajahnya dalam-dalam. Bahkan kemudian selangkah
ia berjalan ke samping, dan dengan lemahnya menjatuhkan dirinya duduk di atas
rerumputan liar.
Sumangkar pun
kemudian duduk pula di sampingnya. kini ia sudah yakin apa yang terjadi di
dalam diri Tohpati itu. Kini ia yakin bahwa Tohpati telah menemukan nilai-nilai
yang lain dari apa yang dimilikinya selama ini. Sejenak mereka saling berdiam
diri. Sumangkar sengaja membiarkan Tohpati meyakinkan dirinya sendiri, sebelum
ia membantunya. Malam menjadi semakin lama semakin dingin. Angin yang basah
mengusap tubuh-tubuh mereka yang seakan-akan membeku. Bagaimana di dalam dada
mereka telah bergolak dengan riuhnya, berbagai-bagai pertimbangan dan
angan-angan.
“Paman”
berkata Tohpati kemudian,
“Sejak aku
memanggil paman Sumangkar, sebenarnya aku sudah dilanda oleh perasaan yang
tidak menentu. Itulah sebabnya aku menunda penyerangan ke Sangkal Putung sampai
beberapa kali. Tetapi aku tidak dapat berbuat demikian terus-menerus. Aku tidak
dapat membiarkan anak buahku menjadi jemu dan semakin liar. Tetapi tiba-tiba
aku kehilangan keberanian untuk menyerang Sangkal Putung”
Sumangkar
menarik nafas dalam-dalam. Ia pun menjadi terharu mendengar pengakuan itu.
Pengakuan seorang pemimpin yang teguh hati serta soerang yang memiliki
keberanian dan kemampuan yang cukup. Namun orang itu dihadapkan pada suatu kenyataan
yang berlawanan dengan tekad serta kemauannya. Dalam keremangan malam dibawah
cahaya bulan sepotong, Sumangkar melihat kegelisahan wajah Tohpati. Tampaklah
betapa ia menyesali keadaan dan menyesali kenyataan. Tetapi kenyataan itu telah
dihadapkan di muka wajahnya. Tohpati benar-benar bukan seekor binatang liar
yang tidak mempunyai jantung. Betapa ia keras dan buas di dalam medan-medan
peperangan, namun ia memiliki perasaan yang utuh. Karena itulah, maka ia dapat
mengerti beberapa keberatan yang dikatakan oleh orang lain kepadanya. Yang
dikatakan oleh orang tua di atas batu-batu di tengah sungai beberapa hari yang
lalu, dan apa yang dikatakan Sumangkar sejak lama kepadanya. Meskipun ia telah
berusaha menindas perasaan yang berkecamuk di dalam dadanya, meskipun ia tidak
ingin terpengaruh oleh perasaan-perasaan itu, namun sebenarnya hatinya selalu
tersentuh-sentuh. Setiap kali ia pulang dari peperangan, setiap kali ia kembali
dari nganglang, dan setiap kali ia melihat kekerasan, apalagi atas penduduk yang
tidak banyak mengetahui seluk beluk pertentangan antara Pajang dan Jipang,
hatinya selalu terganggu. Puncak dari gangguan di hatinya adalah orang tua di
tengah-tengah kali itu, dan selanjutnya kata-kata Sumangkar itu sendiri.
Sehingga seandainya benar Untara dan Widura mengatakan, bahwa pertentangan ini
menjadi amat menjemukan, adalah benar. Kalau seseorang mengatakan bahwa
pertentangan ini hanya akan menyengsarakan rakyat, adalah beralasan. Dan sejak
ia melakukan pembunuhan yang pertama atas Sunan Prawata, apalagi ketika
Sumangkar mendengar Ratu Kalinyamat bertapa tanpa mengenakan pakaian apa pun
selain rambutnya sendiri sebagai suatu penolakan, sebagai suatu jerit seorang
wanita atas kekerasan dan kebiadaban yang terjadi pada suaminya. Namun
Sumangkar pun mencoba mengingkari perasaan sendiri pada waktu itu.
Meskipun
Tohpati itu duduk diam seperti patung, namun hatinya bergolak dahsyat.
Sedahsyat pusaran di muara sungai yang sedang banjir bandang. Tiba-tiba Tohpati
itu mengeluh,
“Aku kini
sampai pada suatu titik yang terkatung-katung di tengah-tengah gumulan ombak
yang tidak menentu. Aku tidak dapat terus, tetapi aku tidak dapat kembali”
Sumangkar
merasakan kesulitan itu. Sumangkar dapat mengerti sepenuhnya, bahwa Tohpati
benar-benar tidak dapat maju tetapi juga tidak dapat kembali. Meskipun demikian
ia mencoba menjajagi hati anak muda yang perkasa itu,
“Angger tidak
usah terus dan tidak usah kembali. Angger dapat mencoba berhenti. Tetapi angger
harus membiarkan orang lain kembali”
Tohpati mengangguk-anggukkan
kepalanya. Memang benar, ia dapat menghilang dan tidak muncul kembali. Ia dapat
menganjurkan orang lain untuk menghentikan perlawanan. Tetapi kenyataannya
tidak dapat membenarkannya. Ia tidak mau lari dari kenyataan yang bagaimanapun
pahitnya. Karena itu, Tohpati itu menggeleng lemah,
“Tidak paman,
tidak”
Sumangkar pun
tahu, bahwa Tohpati tidak akan dapat menyetujuinya. Tetapi ia tidak mempunyai
pendapat lain yang dapat dikemukakan saat itu, sehingga sejenak ia terdiam. Kembali
mereka diamuk oleh kegelisahan di hati masing-masing. Kembali mereka dicengkam
oleh kesepian di padang rumput yang tidak terlalu luas itu. Suara cengkerik
terdengar mengorek-ngorek dinding telinga. Sekali-sekali terdengar pekik
binatang-binatang hutan mengejutkan. Dalam keheningan malam itu tiba-tiba
Sumangkar menundukkan wajahnya. Terasa sesuatu berdesir di hatinya, sehingga
duduknya bergeser beberapa jari. Matanya yang tajam, menembus keremangan malam
menusuk kekejauhan. Sumangkar menarik nafas. Ia berpaling ketika terdengar
Tohpati menggeram perlahan-lahan. Tetapi Sumangkar itu mengangguk-anggukkan
kepalanya ketika ia mendengar Tohpati bergumam perlahan-lahan,
“Dua orang
berjalan di ujung padang ini”
“Ya, aku
melihatnya”
“Siapa paman,
apakah orang itu orang-orang kita?”
“Entahlah
ngger. Apakah angger memberikan perintah kepada seseorang atau kedua orang itu
untuk suatu pekerjaan?”
“Aku tidak.
Entahlah kalau Sanakeling. Atau Alap-alap Jalatunda atau yang lain. Mungkin
juga para pengawas yang telah dikirim lebih dahulu”
Meskipun
demikian, firasat Sumangkar yang tua itu memberitahukan kepadanya, bahwa orang
itu akan dapat membawa bahaya. Dengan demikian maka Sumangkar beringsut
sejengkal demi sejengkal untuk meraih golok pembelah kayu yang diletakkannya.
“Apakah paman
memerlukan benda itu?”
“Aku tidak
tahu ngger, mudah-mudahan tidak”
“Mudah-mudahan.
Tetapi orang itu datang dari jurusan yang lain dari setiap jurusan yang akan
dilalui para pengawas ke Sangkal Putung. Juga sama sekali bukan jurusan
orang-orang Pajang yang berada di Sangkal Putung”
“Mungkin
mereka memilih jalan yang melingkar demi keamanan mereka”
“Mungkin”
Sumangkar
memandang kedua bayangan itu dengan seksama. Semakin lama menjadi semakin
dekat. Namun agaknya mereka belum melihat Sumangkar berdua dengan Tohpati yang
sedang duduk.
“Bagaimana
kalau mereka orang-orang Pajang paman?”
“Apakah angger
akan membiarkannya?”
“Tidak, aku
tidak dapat membiarkan mereka mengetahui kedudukan kami. Aku tidak dapat
membiarkan orang-orangku dihancurkan oleh orang-orang Pajang dalam peperangan”
Sumangkar
mengangguk-anggukkan kepalanya. Sudah tentu Tohpati tidak akan berbuat
demikian. Tidak akan membiarkan orang-orangnya hancur disergap oleh lawannya,
Betapapun juga. Maka kalau benar kedua orang itu orang Pajang, maka kedua orang
itu pasti mendapat tugas untuk menyelidiki pertahanan laskar Jipang. Sumangkar
dan Tohpati kemudian saling berdiam diri. Bahkan nafas mereka pun seakan-akan
mereka tahankan, agar kehadiran mereka tidak segera diketahui oleh kedua orang
itu.
“Kalau orang-orang
itu orang Pajang” bisik Tohpati perlahan-lahan sekali,
“alangkah
beraninya”
Sumangkar
mengangguk, tetapi ia tidak menjawab.
“Tetapi aku
pasti, mereka bukan orang-orang kita” sambung Tohpati hampir tak terdengar.
Sekali lagi
Sumangkar mengangguk.
Dada mereka
tiba-tiba berdesir ketika melihat kedua orang itu berhenti sesaat. Namun
kemudian mereka melangkah kembali. Tetapi mereka kini tidak menuruti arah
mereka semula. Menyilang garis pandangan Tohpati. Jantung Tohpati hampir-hampir
berhenti berdenyut, ketika dilihatnya kedua orang itu berjalan ke arahnya.
“Mereka
kemari” bisik Tohpati.
Sumangkar
menerik afas panjang-panjang,
“Tak ada
gunanya untuk menyembunyikan diri dan mengintai mereka. Mereka telah melihat
kehadiran kita.”
“Belum tentu.
Mungkin suatu kebetulan.”
Sumangkar
menggeleng.
“Aku yakin.”
Tohpati
mengangguk-anggukkan kepalanya. Apabila demikian maka kedua orang itu pasti dua
orang yang terlalu percaya kepada diri mereka sendiri, sehingga mereka sengaja
mendatanginya. Terkaan Sumangkar itu sesaat kemudian ternyata terbukti. Kedua
orang itu berhenti berjalan, dan salah seorang daripada mereka berkata,
“Siapa yang
duduk di situ?”
Tohpati
menjadi bimbang sesaat. Ditatapnya wajah Sumangkar untuk mendapatkan
pertimbangan. Ketika Sumangkar menganggukan kepalanya, maka Macan Kepatihan itu
pun segera menjawab,
“Aku di sini,
siapa kalian?”
“Aku siapa?”
desak salah seorang yang berdiri itu.
“Kau siapa?”
Jawab Tohpati.
Sejenak mereka
saling berdiam diri. Kedua orang itu masih tegak seperti patung. Dalam
keremangan cahaya bulan, mereka tempaknya seperti bayangan hitam yang
menakutkan. Tohpati menjadi semakin berdebar-debar ketika kedua orang itu
melangkah kembali. Dan bahkan mendekatinya.
“Berhenti”
teriak Tohpati,
“Kalau tidak,
aku akan menyerang kalian dengan senjata jarak jauh.”
“Apa kau
membawa panah?” terdengar suara di antara mereka.
“Tulup” sahut
Tohpati,
“Aku tulup
biji tulupku dengan getah pohon luwing dan bisa serangga. Kalian akan mati
terkena sentuh saja”.
“Jangan
terlalu kejam” sahut suara itu pula.
“Karena itu
jawab, siapa kalian?”
Tohpati
terkejut ketika kemudian didengarnya suara tertawa berderai. Di antara suara
tertawa itu terdengarlah kata-kata, “Menyerang dengan tulup bukanlah pekerjaan
yang mudah. Bagaimanakah kalau aku berlari melingkar-lingkar.”
Sesaat Tohpati
tidak menjawab. sebenarnya ia tidak membawa tulup. Kalau orang itu berlari
melingkar-lingkar, maka ia tidak akan dapat berbuat apa-apa. Jangankan berlari
melingkar-lingkar sedangkan apabila mereka berjalan perlahan-lahan dalam garis
yang lurus sekalipun ia tidak akan dapat menyerang dari jarak yang jauh.
Sebenarnya Tohpati pun tidak perlu menyerangnya dari jarak yang jauh. Namun ia
hanya ingin menggertaknya dan segera mengetahui siapakah mereka itu. Tetapi
ternyata orang itu orang yang berani dan tidak gentar mendengar ancamannya. Namun
tiba-tiba terasa Sumangkar merebut tongkat bajanya. Demikian tiba-tiba sehingga
Tohpati tidak sempat menahannya. Sebelum Tohpati itu menyadari, Sumangkar telah
meletakkan ujung tongkat itu di muka mulutnya sambil berjongkok. Dengan suara
parau Sumangkar berteriak,
“Nah cobalah.
Berlarilah melingkar-lingkar. Salah seorang dari kalian berdua akan mati. Aku
tidak akan memperdulikan yang seorang lagi.”
Kedua orang
yang berdiri beberapa puluh langkah dari mereka itu pun terdiam. Baru sejenak
kemudian terdengar salah seorang berkata,
“Bagus. Kalian
benar-benar dapat mempergunakan tulup. Kalian tidak akan dapat dibingungkan
oleh bayangan kami berdua yang berlari melingkar-lingkar. Tetapi kami
benar-benar tidak akan berbuat jahat terhadap kalian, siapa pun kalian berdua
itu.”
“Kalau
demikian, sebut namamu” sahut Sumangkar.
Orang itu diam
sesaat, dan kemudian terdengar ia menyebutkan sebuah nama,
“Supita,
namaku Supita dan kawanku ini bernama Sukra.”
Sumangkar
menarik nafas panjang-panjang. Bahkan hampir ia tertawa mendengar orang-orang
itu menyebutkan namanya. Sekali ia berpaling memandang wajah Tohpati. Agaknya
Tohpati pun sependapat dengan pikirannya, sehingga karena itu terdengar Tohpati
menjawab lantang,
“Namaku Patra
dan kawanku bernama Dadi. Nah apakah kau puas mendengar nama-nama kami?”
Orang itu
terdengar tertawa. Suaranya berderai melingkar-lingkar membentur dinding hutan
dan menggema kembali berulang-ulang. Katanya,
“Adakah
gunanya kita menyebutkan nama masing-masing?”
Sumangkar
menyahut,
“Nama-nama
yang kami sebut, mungkin jauh lebih baik dari nama kalian sebenarnya. Nah
apakah maksudmu datang kemari.”
“Apakah kita
dapat berbicara perlahan-lahan” berkata orang itu.
Sumangkar
tidak segera menyahut. Ditatapnya wajah Tohpati seakan-akan menyerahkan segenap
persoalan kepadanya. Namun Tohpati tidak dapat berbuat lain daripada menerima
orang itu. Seandainya orang itu lari sekalipun pasti akan dikejarnya. Dan kini
orang itu bersedia datang kepadanya. Karena itu, maka Tohpati menjawab tegas,
“Datanglah,
supaya aku tidak menghajarmu.”
Sekali lagi
terdengar salah seorang daripadanya tertawa. Sejenak kemudian kedua bayangan
itu bergerak maju perlahan-lahan penuh kewaspadaan. Tohpati dan Sumangkar pun
segera berdiri. Diserahkannya tongkat Tohpati kembali. Tongkat ciri kebesaran,
keperkasaan dan kewibawaan Macan Kepatihan, sehingga kawan maupun lawan
mengenal tongkat itu seperti mengenal pemiliknya sendiri. Semakin dekat kedua
bayangan itu, hati mereka masing-masing baik yang menunggu maupun yan
mendatangi, saling berdebaran. Semakin dekat, maka wujud masing-masing menjadi
semakin jelas di bawah cahaya keremangan bulan sepotong yang menggantung di
antara bintang-bintang di langit. Ketika bayangan itu sudah cukup dekat, maka
terdengarlah Tohpati menggeram keras. Selangkah ia maju dan tiba-tiba tubuhnya
menjadi gemetar. Bayangan itu pun kemudian berhenti beberapa langkah
daripadanya. Yang terdengar adalah suara Macan Kepatihan itu parau,
“Kau. Kau guru
dan murid lereng merapi. He, apa kerjamu di sini Tambak Wedi?”
Terdengar
orang itu, yang tak lain adalah Ki Tambak Wedi dan Sidanti, menarik nafas
perlahan-lahan. Dengan menganggukkan kepalanya Ki Tambak Wedi menjawab,
“Selamat malam
angger Macan Kepatihan. Apakah angger pernah melihat muridku?”
“Hampir
kupecahkan dadanya dengan tongkatku ini kalau paman Widura tidak
menyelamatkannya. Nah, sekarang kalian datang untuk memberi kesempatan kepadaku
menyelesaikan pekerjaan itu?”
“Jangan marah.
Dengarlah dulu maksud kedatangan kami” berkata Ki Tambak Wedi. Sesaat ia
berpaling kepada Sumangkar yang berdiri di belakang Tohpati. Tampaknya alisnya
berkerut, dan dengan ragu-ragu ia berkata,
“Adi
Sumangkar?”
Sumangkar
tertawa pendek. Kini ia maju selangkah. Goloknya terselip pada ikat
pinggangnya. Sambil mengangguk ia menjawab,
“Ya, Kakang
Tambak Wedi. Agaknya kakang masih ingat kepadaku.”
“Ah. Aku tidak
akan dapat melupakan kalian. Sepasang murid perguruan Kedung Jati.”
“Huh” potong
Tohpati,
“Kau juga
tidak lupa kepada guruku?”
“Tentu tidak
angger. Aku adalah kawan seiring dengan almarhum patih Mantahun.”
“Omong kosong.
Kau tinggalkan paman dalam kesulitan. Bahkan kemudian aku temui muridmu di
Sangkal Putung dalam laskar paman Widura.”
Tambak Wedi
terbahak-bahak. Sahutnya,
“Angger
keliru. Angger keliru. Muridku berada di Sangkal Putung dengan tugasnya sendiri,
apakah angger tidak mendengar bahwa Untara terluka?”
“Untara?”
Tambak Wedi
mengangguk penuh kebanggaan.
”Ya, Angger
Untara terluka. Hampir-hampir mambawa nyawanya.”
Tohpati
mengerutkan keningnya. Kemudian terdengar ia bertanya,
“Apakah
hubungan luka Untara itu dengan paman Tambak Wedi?”
“Ada sangkut
paut yang erat dengan perjuanganmu, ngger” jawab Tambak Wedi,
“Karena itulah
maka aku sengaja menemuimu. Maksudku aku akan datang keperkemahanmu.”
“Apakah paman
Tambak Wedi tahu letak perkemahan kami?”
“Aku tidak
tahu tepat. Tetapi aku kira-kira saja letak perkemahan itu.”
Macan
Kepatihan menggeram.
“Kau sedang
memata-matai perkemahan kami untuk kepentingan Untara?”
“Tidak ngger,
tidak.” potong Tambak Wedi cepat-cepat.
“Aku datang
untuk keperluan yang cukup penting.”
“Apa itu?”
“Apakah angger
dapat menerima kami di perkemahan angger?”
Tohpati menggeleng.
Dengan tegas ia berkata,
“Tidak. Di
sini paman dapat mengatakan keperluan itu.”
Tambak Wedi
mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia menjadi kecewa tetapi ia tahu keberatan
Macan Kepatihan. Karena itu ia berkata,
“Angger. Luka
Untara adalah bukti, bahwa sebenarnya aku tidak pernah meninggalkan pamanmu
patih Mantahun.”
“Apakah hubungannya?”
“Sidanti lah
yang melakukannya atas petunjukku.”
Tohpati mengerutkan
keningnya. Desisnya,
“Tetapi Untara
masih hidup. Ia masih berkeliaran, bahkan sampai ke Benda dan sekitarnya.”
“Sidanti salah
hitung. Disangkanya serangannya berhasil, karena itu tidak diulanginya.”
“Omong kosong.
Mungkin benar Sidanti melukai Untara, sebagai suatu cara untuk berpura-pura
mengusir atau mengejar Sidanti. Sidanti akan lari kepadaku. Namun dalam pada
itu, segala rahasiaku akan jatuh ke tangan Untara.”
“Tidak angger.
Tidak. Sebenarnya Untara dan Sidanti telah bermusuhan. Aku memang memberikan
beberapa petunjuk. Bukankah aku sahabat pamanda kepatihan?”
Tohpati
mengerutkan keningnya. Dan dibiarkannya Tambak Wedi berkata,
“Namun sayang.
Tugas Sidanti itu tidak dapat selesai dengan baik.”
“Apa sebabnya
Sidanti melukai Untara?”
“Untara adalah
pemimpin laskar Pajang di lereng Merapi ini. Sedangkan lereng Merapi ini adalah
Ki Tambak Wedi. Apalagi Untara adalah lawan sahabat Tambak Wedi, patih
Mantahun.”
Tohpati
menarik alisnya. Sesaat ia terdiam. Dicobanya untuk menimbang kata-kata Ki
Tambak Wedi. Namun kemudian terdengar Sumangkar berkata,
“Muridmu yang
bernama Sidanti itu, berusaha membunuh Untara karena daerah kekuasaanmu
dikuasai pula olehnya, begitu?”
“Ya. Sebagian
begitu.”
“Kalau
demikian, maka kalian telah terlibat dalam persoalan kalian sendiri.” sahut
Sumangkar.
Ki Tambak Wedi
mengerutkan keningnya mendengar kata-kata Sumangkar. Namun sejenak kemudian ia
tersenyum sambil berkata,
“Hem, Adi
Sumangkar, jangan menarik garis dari kepentingan yang saling mendorong itu. Aku
mendendamnya karena ia berada di dalam daerah kekuasaanku, tetapi aku tidak
akan berbuat demikian terhadap angger Macan Kepatihan, meskipun angger itu
berada di lereng merapi pula.”
Namun
kata-kata itu segera disahut oleh Tohpati,
“Jangan
mengelabuhi aku paman. Seorang pimpinan Jipang telah dibunuh mati oleh
Sidanti.”
Hati Sidanti
menjadi berdebar-debar karenanya. Tetapi ia sama sekali tidak ikut campur dalam
percakapan itu, seolah-olah sama sekali tidak mempunyai kepentingan, atau
benar-benar seperti anak-anak yang sedang dibicarakan nasibnya oleh ayah
bundanya. Yang menjawab kemudian adalah Ki Tambak Wedi,
“Ya, angger.
Hal itu terpaksa dilakukan. Maksudnya untuk menghilangkan jejak dibunuhnya
Untara, sehingga Sidanti tidak pernah meninggalkan Sangkal Putung dan dapat
berbuat serupa terhadap pemimpin-pemimpin yang lain”
“Hem” geram
Tohpati,
“Jadi Sidanti
membunuh Plasa Ireng hanya sekedar untuk mendapat kepercayaan. Jadi Plasa Ireng
itu nilainya tidak lebih dari alat untuk mendapat kepercayaan. Seandainya
demikian, kenapa Sidanti kemudian melukainya arang kranjang meskipun Plasa
Ireng telah terbunuh? Itu benar-benar suatu kekejaman. Kekejaman yang tidak
pernah dilakukan oleh orang-orang yang beradab. Orang-orangku yang kalian sebut
liar itu pun jarang-jarang yang berbuat demikian.” Sekali lagi Ki Tambak Wedi
menarik nafas. Ia terdorong dalam kesulitan untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan itu. Meskipun demikian ia tidak segera kehilangan akal,
maka katanya,
“Angger,
memang sulit untuk menjawab pertanyaan angger. Memang sukar untuk menjelaskan
sikap kami. Tetapi biarlah aku coba urut-urutannya. Sidanti menggabungkan diri
dalam kelaskaran Pajang dan berhasil memilih Sangkal Putung sebagai daerah
garis perangnya, kenapa tidak di tempat lain? Karena aku yakin bahwa suatu
ketika Untara akan hadir di tempat itu. Kemudian Sidanti akan membunuh
pimpinan-pimpinan Pajang itu satu demi satu tanpa kecurigaan. Baru kemudian
setelah selesai pekerjaannya, ia akan memberitahukan kepada angger. Sebab
apabila sebelum itu angger telah menyadari kedudukan Sidanti, serta orang lain
mendengarnya, maka jiwa Sidanti sendiri akan terancam. Karena itulah, maka
Sidanti selalu berusaha menjadi orang yang tampaknya paling gigih di Sangkal
Putung sebagai usaha untuk menyelubungi dirinya. Tetapi usahanya itu tidak
dapat sempurna. Suatu ketika usaha itu diketahui setelah Untara hampir mati.
Sayang ia dapat sadar kembali dan mengatakan siapa yang telah berusaha untuk
membunuhnya. Nah sekarang tidak ada lagi cara lain untuk berjuang selain
melalui garis perang yang langsung berhadapan. Karena itu Sidanti aku bawa
kemari. Mungkin dapat angger pergunakan untuk ganti yang telah terbunuh itu.”
Tohpati
mendengarkan kata-kata Tambak Wedi itu dengan wajah yang tegang. Sepercik
harapan timbul di dalam hatinya. Mungkin Sidanti tidak benar-benar seperti apa
yang dikatakan oleh Ki Tambak Wedi itu, namun dengan hadirnya Sidanti di
perkemahannya, pasti akan mengurangi kekuatan Sangkal Putung. Mungkin ia masih
harus mencoba kesetiaannya sekali dua kali dengan pangawasan yang ketat. Namun
apabila kemudian ternyata kata-kata Tambak Wedi itu benar, maka ia akan
mendapat kekuatan baru di samping berkurangnya kekuatan di Sangkal Putung. Tetapi
tidak demikian yang terlintas diotak Sumangkar. Ia tidak dapat menerima Sidanti
apa pun alasannya. Ia tidak mau melihat Sidanti mengkhianati Tohpati. Menusuk
dari belakang atau perbuatan apa pun yang akan mencelakakannya. Tetapi
seandainya Sidanti benar-benar ingin bekerja sama dengan Tohpati pun sama
sekali tidak dikehendakinya. Dengan demikian maka peperangan ini akan semakin
riuh. Dengan kekuatan baru mungkin Tohpati akan melupakan persoalan-perasoaan
yang sudah timbul di dalam kepalanya. Hal itu akan menghanyutkan kejemuannya
terhadap perang, seandainya ia mendapat kemenangan baru saat-saat terakhir
nanti. Dengan demikian penderitaan akan berjalan semakin lama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar