Jilid 009 Halaman 1


SAMPAI di gubug Alap-alap Jalatunda, Tohpati berhenti. Wajahnya tampak berkerut-kerut. Diangkatnya telinganya sambil bergumam lirih,
“Siapa itu paman?”
Sumangkar menarik pundaknya tinggi-tinggi. Katanya,
“Itulah Raden, gambaran kehidupan kita”
Tohpati menggeram. Didengarnya sekali lagi suara tertawa perempuan seperti seekor kucing tercekik. Kemudian terdengar suara Alap-alap Jalatunda yang muda itu,
“Jangan merajuk anak muda. Tinggalkan istrimu di sini. Ia tidak akan berkurang cantiknya”
Yang terdengar kemudian ringkik perempuan. Katanya,
“Kembalilah dulu kang, aku ingin tinggal di sini dahulu”
Tohpati itu kemudian melihat anak muda yang tinggi kurus dan berkumis jarang. Anak muda yang pernah diajaknya bercakap-cakap. Anak muda yang istrinya jauh lebih tua dan bernama Nyai Pinan. Laki-laki muda itu berjalan tersuruk-suruk dengan wajah yang suram. Sekali ia berpaling, dan terdengar istrinya berkata,
“Kang, aku akan segera kembali membawa sepotong daging rusa untuk kakang. Bukankah kakang senang makan daging rusa?”
Laki-laki itu mengangguk. Dan kembali ia berjalan meninggalkan gubug itu diiringi oleh suara tertawa istrinya dan Alap-alap Jalatunda. Di antara suara tertawa itu terdengar Nyai Pinan berkata,
“Suamiku adalah laki-laki yang baik hati”
Laki-laki muda yang bertubuh kurus itu berhenti sesaat mendengar pujian istrinya. Namun kemudian ia berjalan kembali. Tetapi alangkah terkejutnya ketika tiba-tiba sebuah tangan yang kuat menyambar bahunya. Ketika ia berpaling, maka tubuhnya terputar dengan kuatnya. Laki-laki itu sesaat seakan-akan kehilangan kesadarannya. Namun ketika ia menengadahkan wajahnya, ia bertambah terkejut lagi. Dilihatnya sepasang mata Tohpati seolah-olah memancarkan sinar api yang merah membara.

Laki-laki muda itu tidak mengerti apa yang harus dilakukannya, sehingga dengan gemetar ia menyeringai ketika tubuhnya diguncang-guncang oleh tangan Tohpati yang serasa akan meremukkan tulangnya.
“Kembali masuk kedalam gubug itu” teriak Tohpati dengan suara parau dan gemetar, sehingga suaranya seolah-olah telah berubah menjadi suara hantu yang sedang marah,
“Masuk kembali ke gubug itu. Seret perempuan itu keluar. Perempuan yang pernah kau larikan dari suaminya”
Laki-laki muda yang tinggi kurus dan berkumis jarang itu menjadi semakin bingung. Ia kini benar-benar kehilangan akal dengan demikian maka ia masih saja berdiri dengan mulut ternganga.
“Ayo masuk kembali ke dalam gubug itu” teriak Macan Kepatihan dengan marahnya.
Laki-laki itu benar-benar menjadi kebingungan, sehingga tanpa sesadarnya terloncat jawabannya,
“Tetapi tuan, ia masih ingin tinggal di sana”
“Ambil perempuan gila itu. Seret keluar kalau tidak mau dilemparkan dari perkemahan ini”
Otak laki-laki kurus itu kini seolah-olah menjadi seperti baling-baling yang dipermainkan angin. Kalau angin itu bertambah kencang sedikit saja, maka ia akan semakin kencang berputar, dan tidak mampu untuk mencoba berhenti dengan sendirinya.
Dalam kebingungan itu tiba-tiba terdengar suara Alap-alap Jalatunda dengan garangnya,
“He, siapa di luar?”
Laki-laki kurus itu tidak dapat menjawab. mulutnya benar-benar serasa terbungkam, sehingga sekali lagi terdengar suara Alap-alap Jalatunda,
“Siapakah laki-laki gila yang mengumpat-ngumpat itu?”
Demikian marahnya Macan Kepatihan mendengar kata-kata itu sehingga bibirnya menjadi gemetar, dan bahkan tak sepatah kata pun yang dapat melontar dari bibirnya. Dalam pada itu terdengar suara perempuan dari dalam bilik itu,
“Ah, jangan marah kang. Tunggulah di luar. Sebentar lagi antarkan aku kembali ke gubug suamiku”

Bukan main marahnya Macan Kepatihan itu. Dan kemarahannya itu benar-benar menimbulkan keheranan pada Sumangkar yang tua. Apa yang terjadi itu bukanlah barang baru di dalam perkemahan ini. Tetapi agaknya Tohpati tidak pernah menaruh perhatian atasnya. Namun tiba-tiba ada suatu perubahan pada sikapnya. Perubahan yang tak dapat diketahui ujung dan pangkalnya. Namun yang dilihatnya kini Macan Kepatihan itu tidak dapat lagi mengendalikan kemarahannya. Karena itu, maka tiba-tiba Tohpati itu mengangkat tongkatnya tinggi-tinggi. Sekali ia meloncat mendekati gubug itu, dan dengan sekuat tenaganya tiang sudut gubug itu berderak patah, dan runtuhlah sudut gubug Alap-alap Jalatunda. Mendengar suara berderak-derak itu, alangkah terkejutnya Alap-alap Jalatunda dan Nyai Pinan. Dengan tangkasnya anak muda itu meloncat ke pintu dan dengan sebuah loncatan yang panjang ia telah berdiri tegak di luar pintu. Tetapi alangkah terkejutnya Alap-alap yang garang itu. Demikian ia berdiri tegak, maka dengan serta-merta sebuah tangan terjulur ke arahnya dan dengan kuatnya menggenggam leher bajunya. Alangkah kuatnya tangan itu. Alap-alap Jalatunda itu serasa kehilangan segenap kekuatannya ketika tangan itu menariknya. Sebelum Alap-alap Jalatunda sadar akan keadaannya, maka sebuah tamparan yang keras mengenai pipinya. Kini ia terhuyung-huyung. Tangan yang kuat itu telah tidak menggenggam bajunya lagi, sehingga Alap-alap itu terbanting jatuh. Namun sebenarnya tubuh Alap-alap Jalatunda itu sedemikian kokohnya. Demikian ia terguling, maka segera ia meloncat berdiri di atas kedua kakinya yang kokoh. Kini barulah ia melihat siapakah laki-laki yang telah menamparnya itu. Seorang laki-laki yang bertubuh tinggi kekar berkumis tebal melintang. Macan Kepatihan. Ketika disadarinya siapa yang berdiri di hadapannya itu, maka berdesirlah hatinya. Tiba-tiba ia tidak lagi bersikap garang. Sekali ia membungkukkan badannya dan berkata,
“Maafkan aku Raden. Aku tidak tahu, bahwa Raden berada di sini”
Terdengar gigi Macan Kepatihan gemeretak menahan kemarahannya yang memuncak. Dengan tajamnya ia memandangi wajah Alap-alap Jalatunda yang tunduk. Seandainya pada saat itu Alap-alap Jalatunda berkata sepatah kata saja, maka wajahnya pasti akan menjadi bengkak, karena Tohpati telah menggenggam tinjunya siap untuk memukul mulut Alap-alap Jalatunda itu. Namun untunglah bahwa Sumangkar sempat menenangkannya, katanya,
“Sudahlah ngger, biarlah ini menjadi pelajaran bagi setiap orang di perkemahan ini. Anak muda itu telah menyesal”

Tohpati tidak menjawab. Diedarkannya pandangan matanya berkeliling. Ternyata di sekitar tempat itu telah berdiri berkerumun beberapa orang. Di ujung berdiri seseorang dengan mulut yang bergerak-gerak, Sanakeling. Meskipun ia tegak dengan wajah tegang, namun mulutnya masih saja mengunyah daging menjangan yang belum sempat ditelannya. Tohpati itu kemudian melangkah selangkah maju. Dengan tongkatnya ia menunjuk ke dalam kekelaman malam, ke kelaman hutan di sekitarnya,
“Perempuan yang jahat. Pergi dari sini. Kaulah yang membawa sial dalam laskar kami”
“Raden” cegah Sumangkar hati-hati,
“Biarkan perempuan ini di sini. Tempatkanlah perempuan itu pada suaminya. Jangan meninggalkan tempat ini. Kalau ia pergi maka suaminyalah yang akan menjadi gantinya”
Betapa marahnya Macan Kepatihan, namun naluri kepemimpinannya segera merayapi otaknya. Karena itu, maka katanya,
“Paman benar. Perempuan itu tidak boleh meninggalkan tempat ini”. Kemudian katanya kepada laki-laki kurus berkumis jarang, “Kau menjaga istrimu di gubug ini. Biarlah Alap-alap gila itu mencari tempat lain. Kalau istrimu sampai meninggalkan tempat ini, maka lehermu menjadi taruhannya”
Laki-laki itu mengangguk-anggukkan kepalanya dalam-dalam sambil gemetar. Ia tidak tahu kenapa istrinya tidak boleh meninggalkan tempat itu. Apakah besok istrinya akan dihukum, apakah ada persoalan-persoalan lain yang akan dilakukan oleh Macan Kepatihan itu? Tetapi ia hanya mampu menjawab,
“Ya, ya tuan”
Namun Sumangkar yang berpengalaman itu dapat membayangkan apa saja yang akan terjadi seandainya perempuan itu benar-benar meninggalkan perkemahan itu. Perkemahan yang dengan hati-hati dipersiapkan khusus untuk tujuan yang penting. Perkemahan yang dibangun dengan tergesa-gesa untuk mempersiapkan laskar-laskar Jipang yang terpencar di segala penjuru. Kalau perempuan itu lepas dengan luka di hatinya, maka perkemahan itu pasti segera akan hancur. Sebab tidak mustahil, tempat itu pun akan segera diketahui oleh Untara dan Widura. Untunglah bahwa Tohpati segera menyadari pula keadaan itu, sehingga orang-orang Untara belum dapat mengetahui dengan pasti letak perkemahan itu. Hubungan-hubungan yang dibuat dengan orang-orang dalam masih terlalu sulit dan kesempatan untuk itu masih belum dapat diperoleh. Yang baru diketahui oleh orang-orang Untara adalah persiapan-persiapan dan kesibukan dari beberapa orang yang terpencar-pencar. Pemusatan kekuatan di sekitar daerah yang sudah dikenal. Namun secara pasti, tempat itu belum dapat diketahui. Apalagi tempat ini belum lama dibangun, setelah beberapa puluh kali berpindah-pindah.

Nyai Pinan kemudian menjadi ketakutan bukan alang kepalang. Merangkak-rangkak ia menangis minta ampun. Bahkan ketika ia hampir sampai di hadapan Tohpati, maka segera ia menjatuhkan dirinya menelungkup. Namun Tohpati tidak menghiraukannya. Sekali lagi matanya beredar di antara orang-orangnya yang berdiri berkerumun sambil menahan gelora hati masing-masing. Dengan lantang ia berkata,
“Aku tidak mau melihat perbuatan terkutuk berulang di perkemahan ini”
Dan sebelum gema suaranya lenyap dalam kekelaman malam, maka segera Tohpati itu melangkah pergi. Beberapa orang menyibak ke samping memberinya jalan. Tanpa menoleh Tohpati berjalan masuk ke dalam malam yang gelap. Di belakangnya Sumangkar berjalan cepat-cepat. Di ujung perkemahan itu Sumangkar masih sempat meraih sebuah golok pembelah kayu. Kalau mereka pergi ke Sangkal Putung, maka perjalanan itu bukanlah perjalanan tamasya di malam purnama. Sehingga karena itu, maka golok itu akan sangat bermanfaat baginya apabila ditemuinya bahaya di perjalanan. Sepeninggal Tohpati, Sanakeling melangkah maju. Mulutnya yang masih mengunyah daging menjangan itu berkata,
“Apakah yang kau lakukan Alap-alap kecil?”
Alap-alap Jalatunda menundukkan wajahnya. Terasa darah yang seakan-akan menggelegak, namun ia tidak berani berbuat apa-apa. Meskipun demikian terasa juga bahwa telah terjadi suatu perubahan sikap pada Tohpati yang garang itu. Meskipun Pratanda yang juga bergelar Alap-alap Jalatunda itu belum menjawab, namun dengan melihat Nyai Pinan yang masih merangkak-rangkak, segera Sanakeling dapat menduga apa yang telah terjadi. Karena itu, maka gumamnya di dalam mulutnya,
“Hem, karena itu aku tidak mau berurusan dengan perempuan. Perempuan dimana-mana dapat menimbulkan persoalan. Dunia ini dapat menjadi sedemikian indah dan menggairahkan, karena perempuan. Namun dunia ini dapat berubah menjadi neraka juga karena perempuan. Nah alap-alap kecil, jangan menyesal. Yang sudah biarlah terjadi, tetapi ingatlah untuk seterusnya, bahwa Macan Kepatihan yang garang itu membenci perempuan”
Alap-alap Jalatunda mengangkat wajahnya. Dilihatnya Sanakeling masih menggerak-gerakkan mulutnya. Tetapi Alap-alap Jalatunda tidak berkata apa-apa, dengan langkah yang gontai ia berjalan meninggalkan tempat itu.
“Mau kemana?” bertanya Sanakeling.
“Tidak kemana-mana” sahut Alap-alap Jalatunda.
“Kau tidak boleh menempati gubug yang hampir roboh itu. Tidurlah di tempatku bersama orang-orangku”
Alap-alap Jalatunda menggeleng, katanya,
“Aku akan tidur bersama orang-orangku sendiri”

Sanakeling dengan susah payah menelan segumpal daging yang tidak dapat dikunyahnya. Sesaat terasa kerongkongannya tersumbat. Namun setelah gumpalan daging itu melalui lehernya ia berkata,
“Terserahlah, tetapi aku akan berbicara kepadamu. Datanglah ke gubukku”
“Tentang apa?” bertanya Alap-alap Jalatunda.
“Tidak tentang perempuan” sahut Sanakeling.
“Ah” desah Alap-alap Jalatunda,
“Tentang apa?”
Sanakeling memandang Alap-alap Jalatunda dengan tajamnya. Ia tidak senang mendengar Alap-alap itu berkata tajam kepadanya. Meskipun demikian ia menjawab,
“Tentang kedudukan kita dan Sangkal Putung. Pergilah”
“Apa yang akan kita bicarakan?”
“Pergilah ke gubugku” desak Sanakeling.
“Kita bicara di sini saja”
Sanakeling mengerutkan keningnya. Katanya,
“He, apakah kau sudah menjadi gila?”
Alap-alap Jalatunda tidak memperdulikannya. Selangkah ia berjalan ke samping sambil bergumam,
“Aku akan pergi”
“Pergilah ke tempatku. Aku perlu berbicara tentang berbagai persoalan”
Alap-alap Jalatunda yang sedang dibakar oleh gejolak hatinya itu menjawab dengan jengkelnya,
“Berbicaralah di sini”
Sanakeling menjadi marah pula karenanya. Selangkah ia maju sambil menggeram perlahan-lahan,
“Alap-alap kecil. Jangan menjadi gila. Kau dihukum karena kesalahanmu. Jangan membuat persoalan baru. Pergi ke gubug itu, atau kau aku tampar mulutmu di muka anak buahmu. Aku masih merasa berbaik hati kepadamu bahwa aku memperingatkanmu perlahan-lahan”
Langkah Alap-alap Jalatunda itu terhenti. Alangkah sakit hatinya mendengar geram itu. Tetapi ketika dilihatnya mata Sanakeling yang seolah-olah menyala itupun, hatinya menjadi kecut. Disadarinya kini kekecilannya di antara para pemimpin Jipang. Sanakeling adalah orang yang garang segarang Plasa Ireng yang telah mati dibunuh oleh Sidanti dengan luka arang kranjang di tubuhnya.
Sekali lagi Alap-alap Jalatunda terpaksa menahan gelora di dadanya. Ditelannya kepahitan itu meskipun hatinya tidak ikhlas. Karena itu, maka ia menjawab pendek,
“Ya, aku akan pergi ke sana”
Sanakeling menarik nafas panjang. Namun matanya masih saja menyalakan kemarahannya. Dengan langkah yang berat ia berjalan meninggalkan gubug itu sambil memperingatkan perempuan yang masih saja menangis sambil duduk di tanah,
“Ingat semua kata-kata Macan Kepatihan supaya nyawamu tidak dicabut dengan tongkatnya yang mengerikan itu. Sekali kepalamu tersentuh kepala tongkatnya, maka otakmu pasti akan berhamburan. Nah, masuklah ke gubug itu dan jangan meninggalkan tempat ini”
“Baik tuan. Aku tidak berani melanggar perintah itu” tangis Nyai Pinan.
Sanakeling itu pun kemudian kembali ke gubugnya. Ia dapat mengerti juga kenapa Nyai Pinan tidak boleh meninggalkan tempat itu. Sebab perbuatan itu akan sangat berbahaya bagi rahasia gerombolannya.
Alap-alap Jalatunda pun tidak dapat berbuat lain daripada datang memenuhi permintaan Sanakeling. Ia sudah dapat membayangkan apa saja yang akan dikatakan oleh Sanakeling itu. Persiapan untuk menyerbu kembali Sangkal Putung.

Dalam pada itu, Tohpati berjalan dengan tergesa-gesa meninggalkan perkemahannya, seakan-akan ia ingin segera pergi sejauh-jauhnya dari tempat itu. Tempat yang dibangunnya sebagai landasannya untuk meloncat ke daerah perbekalan yang subur, Sangkal Putung. Namun perkemahan itu telah menumbuhkan kebencian padanya. Tempat yang terkutuk. Tempat yang dipenuhi oleh berbagai ciri kehidupan liar yang benar-benar menjemukan. Ia tidak mengerti apa yang terjadi di dalam dirinya, bahwa baru sekarang ia merasa muak melihat perbuatan-perbuatan itu. Bukankah sebelumnya telah diketahui, setidak-tidaknya pernah didengarnya bahwa hal-hal semacam itu pernah dan bahkan sering terjadi? Kenapa pada saat itu ia tidak berbuat apa-apa? Kenapa pada saat itu dibiarkannya kemaksiatan semacam itu tumbuh seenaknya? Macan Kepatihan itu menggeram. Ketika ia berpaling dilihatnya Sumangkar berjalan beberapa langkah di belakangnya sambil menjinjing sebilah golok.
“Apakah yang paman bawa itu?”
“Golok” sahut Sumangkar.
“Untuk apa?”
“Tongkat” jawabnya pendek.
Tohpati mengerutkan keningnya dan memperlambat langkahnya, sehingga Sumangkar pun berjalan lebih lambat pula.
Sekali-sekali Macan Kepatihan itu berpaling dan akhirnya ia berkata,
“Golok itu terlampau pendek untuk dijadikan tongkat”
Sumangkar terkejut mendengar kata-kata itu. Cepat ia mencari jawaban yang lain, katanya,
“Tidak ngger. Bukan tongkat sebagai penyangga tubuh. Maksudku, golok ini dapat dipakai untuk menerabas dahan-dahan yang mengganggu jalan”
Tohpati itu tersenyum. Katanya dengan nada datar,
“Paman ternyata memerlukan juga senjata”

Sumangkar tidak menjawab. Ternyata Macan Kepatihan itu dapat menebak maksudnya. Namun bukankah ia akan pergi ke daerah lawan? Maka adalah kewajibannya untuk berhati-hati. Meskipun demikian Sumangkar itu tidak menjawab. Ia masih saja berjalan di belakang Tohpati sampai mereka muncul dari balik rimbunnya dedaunan yang agak lebat. Mereka melangkahkan kaki mereka keluar hutan. Tohpati menarik nafas lega, seolah-olah ia telah keluar dari suatu daerah yang dibencinya. Suatu daerah yang sama sekali tidak menyenangkan. Seakan-akan ia baru keluar dari suatu tempat yang padat pepat sehingga menyesakkan nafasnya. Ketika Tohpati menengadahkan wajahnya, di langit dilihatnya bulan yang terbelah. Sehelai-sehelai awan yang putih hanyut dibawa arus angin yang lembut. Sekali lagi Tohpati menarik nafas dalam-dalam. Bulan itu tampaknya sangat asing baginya. Sudah beberapa tahun ia melupakan keindahan bulan, langit yang sumeblak, bintang-bintang dan bahkan melupakan apa saja yang dapat memberinya kesegaran seperti malam ini. Angin yang lembut dan daun-daun yang bergerak-gerak dibelai oleh angin yang lembut itu.
“Hem” desahnya.
Sumangkar melangkah lebih cepat lagi, sehingga ia berjalan di samping Macan Kepatihan itu. Ketika ia mendengar Tohpati itu berdesah, ia berpaling. Tetapi ia tidak bertanya apa-apa. Tohpati masih mengagumi kesegaran angin malam dan kelembutan sinar bulan setengah. Cahaya yang redup kekuning-kuningan dan daun-daun yang hijau gelap seperti langit di garis cakrawala. Dari dalam kekelaman malam, menjulang lamat-lamat gunung Merapi menyentuh langit.
“Paman” tiba-tiba terdengar Tohpati itu berkata,
“Umurku sudah cukup banyak paman. Sudah sepertiga abad. Tetapi aku merasa tiba-tiba menjadi orang asing di sini. Asing dari alam di sekitarku ini”
Sumangkar mengangguk-anggukkan kepalanya. Pertanyaan itu telah mengatakan kepadanya, bahwa terjadi sesuatu pergolakan di dalam dada murid saudara seperguruannya itu. Namun Sumangkar menjawab,
“Mungkin angger merasa asing. Tetapi alam yang Raden anggap asing ini, adalah alam yang sehari-hari telah memeluk angger dalam rangkumannya. Alam ini mengenal angger dengan baik. Sebab angger adalah bagian daripadanya. Angger telah lahir dari sumber yang sama”

Tohpati berdesir mendengar kata-kata Sumangkar itu. Tiba-tiba disadarinya bahwa alam adalah saudara kandungnya. Pepohonan, hutan, gunung, ngarai, bahkan bintang dan bulan, matahari dan seluruh isi angkasa. Semuanya telah tercipta oleh sabda yang Maha Pencipta. Semesta alam dan isinya. Juga manusia yang amat kecilnya dibandingkan dengan seluruh kebesaran alam ini. Tetapi selama ini Tohpati tidak pernah mengingat sumbernya lagi. Yang diingatnya sehari-hari adalah nafsu yang menyala-nyala di dalam dadanya untuk memusnahkan lawan. Membunuh dan menghancurkan. Membuat malapetaka dan meruntuhkan air mata. Sekali lagi Tohpati menengadahkan wajahnya. Bulan itu masih memancar di langit, dan bintang-bintang masih bergayutan pada dataran yang biru.
“Paman” gumam Macan Kepatihan itu perlahan-lahan,
“Besok kita akan mulai dengan persiapan yang terakhir. Mudah-mudahan kita akan dapat merebut daerah perbekalan itu kali ini”
Sumangkar berpaling. Kata-kata itu sama sekali tidak bernafsu seperti arti katanya. Tohpati itu seakan-akan berkata asal saja mengucapkan kata-kata. Karena itu Sumangkar tidak segera menjawab. Dibiarkannya Tohpati berkata pula,
“Besok kita akan mulai lagi dengan suatu gerakan. Aku mengharap lusa kita telah berada di Sangkal Putung”
Sumangkar mengangguk-anggukkan kepalanya. Jawabnya pendek,
“Ya ngger”
Tohpati sama sekali tidak tertarik kepada jawaban Sumangkar. Bahkan seolah-olah tidak didengarnya. Ia masih saja berkata seterusnya,
“Besok aku akan mulai dengan pembunuhan-pembunuhan dan kematian-kematian baru. Besok aku mengadakan benturan benturan antara manusia dengan manusia. Antara sesama yang mengalir dari sumber yang satu”
Sumangkar menarik nafas dalam-dalam. Kini ia tahu benar apa yang terkandung di dalam hati Macan Kepatihan itu. Sehingga karena itu diberanikan dirinya berkata,
“Besok itu belum terjadi. Kita masih dalam keadaan kita sekarang. Apa yang terjadi besok bukanlah suatu kepastian dari sekarang. Kita mendapat wewenang untuk menentukan hari besok. Hari kita sendiri”
“Ya” sahut Tohpati,
“Paman benar. Tetapi apa yang kita lakukan besok pasti berdasarkan pertimbangan tentang hari sekarang dan hari kemarin. Apakah dan siapakah kita sekarang dan kemarin. Dengan dasar itulah kita berbuat untuk besok”
“Ya. Kita sendiri adalah kelanjutan dari masa lampau. Tetapi tidak seharusnya apa yang kita lakukan besok harus senafas dengan apa yang kita lakukan kemarin” sahut Sumangkar,
“Dengan demikian maka tidak akan ada perubahan-perubahan di dalam diri manusia. Tetapi perubahan-perubahan itu selalu terjadi. Seorang yang hidup karena pekerjaan yang nista suatu ketika akan dapat menjadi seorang yang alim dan berbudi. Seorang yang baik hati, suatu saat dapat berbuat di luar batas kemanusiaan”
“Seorang pahlawan di medan-medan perang, suatu ketika memilih jalan hidupnya di dapur-dapur dan di sudut-sudut perapian” potong Tohpati.
“Ya, itu pun suatu perkembangan yang terjadi di dalam diri manusia” sahut Sumangkar.

Tohpati mengerutkan keningnya. Sejenak ia berdiam diri. Ditatapnya padang rumput yang sempit di hadapannya, kemudian di seberang padang rumput itu terdapat sawah-sawah yang tidak pernah ditanami selama kerusuhan terjadi di daerah ini. Para petani yang memilikinya menjadi ketakutan untuk menggarapnya, sebab setiap saat laskar Jipang yang liar sering memerang mereka. Ketika mereka melangkah semakin jauh ke dalam padang itu, kembali Tohpati berkata tanpa berpaling,
“Paman, apakah paman puas dengan keadaan paman sekarang?”
“Puas tentang apa, ngger?”
“Tentang keadaan paman. Paman yang pernah dikagumi di garis perang, kini tidak lebih dari seorang juru masak di dapur”
“Aku puas ngger. Aku puas bahwa aku untuk sekian lamanya berhasil meletakkan senjataku dan menggantinya dengan pisau dapur dan golok pembelah kayu ini”
Macan Kepatihan mengerutkan keningnya. Terasa sesuatu menggeram di dalam rongga dadanya, tetapi ia ragu-ragu untuk mengutarakannya. Namun yang terloncat dari bibirnya adalah,
“Paman adalah seorang yang berhati goyah. Paman telah meletakkan suatu tekad perjuangan. Namun paman berhenti di tengah jalan”
“Raden” sahut Sumangkar perlahan-lahan,
“Aku memang pernah meletakkan suatu tekad. Tetapi aku bukan orang yang buta pada keadaan. Orang yang dengan membabi buta pula berbuat hanya karena sudah terlanjur. Sebenarnya ngger, terus terang, sejak Arya Penangsang dan Pamanda Patih Mantahun melakukan rangkaian-rangkaian pembunuhan, sejak itu hatiku telah goyah. Tetapi aku pada saat itu tidak yakin, hatiku dapat goyah. Aku tidak percaya pada setiap persoalan yang timbul di dalam diriku. Dan aku telah berusaha untuk membutakan mataku dan berbuat seperti yang sudah mulai aku lakukan. Tetapi akhirnya aku menyadari keadaanku. Aku tidak dapat membohongi perasaanku terus memerus. Aku jemu pada peperangan”
“Jangan berkata begitu” potong Tohpati. Langkahnya pun terhenti dan dengan pandangan yang tajam ditatapnya mata Sumangkar. Namun kini Sumangkar tidak lagi menundukkan wajahnya. Bahkan langsung dipandangnya biji mata Tohpati yang seakan-akan menyala itu. Pandangan mata seorang yang sudah lanjut usia.
Tohpati lah yang kemudian berpaling. Meskipun demikian ia bergumam,
“Paman jangan mencoba melemahkan hatiku. Apakah paman ingin memaksa aku untuk berbuat seperti paman itu. Meletakkan senjata ini dan merunduk-runduk kepada orang Pajang untuk menjadi juru masak atau pekatik”
“Tidak” sahut Sumangkar,
“Angger tidak dan aku pun tidak”
“Lalu?”

Sumangkar menarik nafas dalam-dalam. Timbullah kebimbangan di dalam hatinya. Sudah pasti ia tidak dapat mengatakan kepada Tohpati meskipun ia tahu bahwa hati Macan Kepatihan yang garang itu sedang goncang. Tetapi Sumangkar itu terkejut ketika tiba-tiba ia mendengar Tohpati berkata,
“Paman, aku bukan pengecut. Aku bukan orang yang takut melihat beberapa kekalahan kecil. Dan aku tak akan dapat digoyahkan oleh keadaan yang bagaimanapun juga. Lusa apabila Sanakeling telah berhasil mengumpulkan segenap orang-orang kita, maka aku benar-benar akan menghancur-lumatkan Sangkal Putung. Kali ini yang terakhir. Kalau aku tidak berhasil menguasai Sangkal Putung, maka lebih baik Sangkal Putung itu aku binasakan. Rumah-rumahnya, sawah-sawahnya dan segala kekayaan yang ada di dalamnya. Buat apa aku menyayangkan kehancurannya, kalau aku tidak dapat memanfaatkannya”
Sumangkar memandangi wajah Tohpati dalam keremangan cahaya bulan. Dilihatnya Macan Kepatihan itu kemudian menggigit bibirnya dan terdengar ia menggeram.
“Hem” Sumangkar menarik nafas dalam-dalam, meskipun ia tidak segera mengucapkan kata-kata.
“Kenapa paman berdesah?” bertanya Tohpati
“Tidak” sahut Sumangkar,
“Aku tidak berdesah. Aku sedang menyesal”
“Apa yang paman sesali?”
“Angger sudah mulai berkelahi dengan pertimbangan-pertimbangan sendiri. Angger melihat kewajaran di dalam diri angger, tetapi angger tidak mau”
“Bohong” teriak Tohpati tiba-tiba. Wajahnya benar-benar menjadi merah. Tanpa disangka-sangka ia melangkah maju mendekati Sumangkar sambil menudingnya,
“Jangan berkhianat terhadap pimpinanmu paman. Paman sedang berusaha melemahkan hatiku”
“Kekuatan hati seseorang tidak harus ditampakkan pada kekerasan pendirian yang membabi buta. Mungkin angger mampu menghancurkan Sangkal Putung. Tetapi itu perbuatan putus asa. Angger benar-benar kehilangan akal. Dengan demikian maka beribu-ribu jiwa akan kehilangan tempat tinggal dan mata pencaharian apabila sawah-sawahnya dihancurkan. Mereka akan kelaparan dam mereka akan mati sia-sia”
“Itu adalah akibat dari kekerasan kepala mereka. Kenapa mereka tidak menyadari bahwa mereka harus menyerah?”
“Siapakah yang keras kepala? Siapakah yang tidak menyadari keadaannya?”
“Setan” potong Tohpati,
“Paman benar-benar telah berkhianat. Karena itu maka tidak sewajarnya paman ada di dalam barisanku”
“Apakah aku harus pergi ke Pajang?”
“Tidak, tidak dalam barisanku dan tidak boleh pergi ke Pajang. Sebab dengan demikian maka pengkhianatan paman akan menjadi sempurna”
“Jadi, apa yang harus aku kerjakan?”

Sejenak Tohpati terbungkam. Yang terdengar hanyalah dengus nafasnya yang terengah-engah. Tetapi tiba-tiba ia berteriak,
“Mati, kau harus mati”
“He?” Sumangkar terkejut mendengar kata-kata itu, sehingga untuk sesaat mulutnya seakan-akan terkunci. Tetapi sesaat kemudian orang tua itu telah berhasil menguasai dirinya kembali sepenuhnya. Bahkan Sumangkar itu kemudian tersenyum. Ditatapnya mata Tohpati seolah-olah orang tua itu ingin memandang tembus ke dalam pusat jantungnya. Dengan tenangnya Sumangkar itu kemudian menjawab,
“Angger, apakah angger bermaksud membunuh aku?”
Pertanyaan itu menghantam dada Tohpati sehingga serasa akan meruntuhkan segenap tulang-tulang iganya. Sesaat Tohpati terdiam, namun kemudian dikerahkannya segenap tenaga dan kekuatannya untuk menjawab, hanya sepatah kata,
“Ya”
Kembali Sumangkar tersenyum. Senyum yang menggoncangkan hati Macan yang garang itu. Di mata Tohpati, Sumangkar yang berdiri di hadapannya itu bukan lagi seorang juru masak yang malas, namun Sumangkar itu kini berdiri dengan wajah tengadah. Sumangkar itu kini benar-benar bersikap sebagai seorang senapati di garis peperangan. Sumangkar yang pernah dikenalnya dahulu. Karena itu dada Tohpati menjadi berdentang cepat. Meskipun demikian, ia masih berusaha untuk tegak dengan wajah yang tegang, menghadapi orang tua itu. Mendengar jawaban Tohpati yang pendek itu, Sumangkar kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya. Perlahan-lahan ia berkata,
“Raden, aku adalah seorang abdi yang sejak Pamanda Kepatihan masih hidup aku adalah abdi kepatihan. Kalau aku kebetulan menjadi saudara seperguruan Gusti Patih itu bukanlah soal dalam hubungan antara hamba dan gustinya. Kini angger adalah pimpinan laskar Jipang sepeninggal Arya Penangsang. Dalam hal ini pun siapa Sumangkar dan siapa Tohpati bukan juga menjadi soal”
“Diam” potong Tohpati dengan suara bergetar,
“Kubunuh kau”
Tetapi ia terkejut ketika ia melihat Sumangkar meletakkan golok pembelah kayu di tangannya dan selangkah ia maju mendekatinya,
“Marilah ngger. Seperti juga Pamanda Kepatihan, Sumangkar dapat pula dibunuh dan mati untuk tidak bangkit kembali. Hanya dongeng-dongeng ngayawara saja yang mengatakan bahwa murid-murid perguruan Kedung Jati memiliki nyawa rangkap sepuluh”
Macan Kepatihan itu kemudian menundukkan wajahnya dalam-dalam. Bahkan kemudian selangkah ia berjalan ke samping, dan dengan lemahnya menjatuhkan dirinya duduk di atas rerumputan liar.

Sumangkar pun kemudian duduk pula di sampingnya. kini ia sudah yakin apa yang terjadi di dalam diri Tohpati itu. Kini ia yakin bahwa Tohpati telah menemukan nilai-nilai yang lain dari apa yang dimilikinya selama ini. Sejenak mereka saling berdiam diri. Sumangkar sengaja membiarkan Tohpati meyakinkan dirinya sendiri, sebelum ia membantunya. Malam menjadi semakin lama semakin dingin. Angin yang basah mengusap tubuh-tubuh mereka yang seakan-akan membeku. Bagaimana di dalam dada mereka telah bergolak dengan riuhnya, berbagai-bagai pertimbangan dan angan-angan.
“Paman” berkata Tohpati kemudian,
“Sejak aku memanggil paman Sumangkar, sebenarnya aku sudah dilanda oleh perasaan yang tidak menentu. Itulah sebabnya aku menunda penyerangan ke Sangkal Putung sampai beberapa kali. Tetapi aku tidak dapat berbuat demikian terus-menerus. Aku tidak dapat membiarkan anak buahku menjadi jemu dan semakin liar. Tetapi tiba-tiba aku kehilangan keberanian untuk menyerang Sangkal Putung”
Sumangkar menarik nafas dalam-dalam. Ia pun menjadi terharu mendengar pengakuan itu. Pengakuan seorang pemimpin yang teguh hati serta soerang yang memiliki keberanian dan kemampuan yang cukup. Namun orang itu dihadapkan pada suatu kenyataan yang berlawanan dengan tekad serta kemauannya. Dalam keremangan malam dibawah cahaya bulan sepotong, Sumangkar melihat kegelisahan wajah Tohpati. Tampaklah betapa ia menyesali keadaan dan menyesali kenyataan. Tetapi kenyataan itu telah dihadapkan di muka wajahnya. Tohpati benar-benar bukan seekor binatang liar yang tidak mempunyai jantung. Betapa ia keras dan buas di dalam medan-medan peperangan, namun ia memiliki perasaan yang utuh. Karena itulah, maka ia dapat mengerti beberapa keberatan yang dikatakan oleh orang lain kepadanya. Yang dikatakan oleh orang tua di atas batu-batu di tengah sungai beberapa hari yang lalu, dan apa yang dikatakan Sumangkar sejak lama kepadanya. Meskipun ia telah berusaha menindas perasaan yang berkecamuk di dalam dadanya, meskipun ia tidak ingin terpengaruh oleh perasaan-perasaan itu, namun sebenarnya hatinya selalu tersentuh-sentuh. Setiap kali ia pulang dari peperangan, setiap kali ia kembali dari nganglang, dan setiap kali ia melihat kekerasan, apalagi atas penduduk yang tidak banyak mengetahui seluk beluk pertentangan antara Pajang dan Jipang, hatinya selalu terganggu. Puncak dari gangguan di hatinya adalah orang tua di tengah-tengah kali itu, dan selanjutnya kata-kata Sumangkar itu sendiri. Sehingga seandainya benar Untara dan Widura mengatakan, bahwa pertentangan ini menjadi amat menjemukan, adalah benar. Kalau seseorang mengatakan bahwa pertentangan ini hanya akan menyengsarakan rakyat, adalah beralasan. Dan sejak ia melakukan pembunuhan yang pertama atas Sunan Prawata, apalagi ketika Sumangkar mendengar Ratu Kalinyamat bertapa tanpa mengenakan pakaian apa pun selain rambutnya sendiri sebagai suatu penolakan, sebagai suatu jerit seorang wanita atas kekerasan dan kebiadaban yang terjadi pada suaminya. Namun Sumangkar pun mencoba mengingkari perasaan sendiri pada waktu itu.

Meskipun Tohpati itu duduk diam seperti patung, namun hatinya bergolak dahsyat. Sedahsyat pusaran di muara sungai yang sedang banjir bandang. Tiba-tiba Tohpati itu mengeluh,
“Aku kini sampai pada suatu titik yang terkatung-katung di tengah-tengah gumulan ombak yang tidak menentu. Aku tidak dapat terus, tetapi aku tidak dapat kembali”
Sumangkar merasakan kesulitan itu. Sumangkar dapat mengerti sepenuhnya, bahwa Tohpati benar-benar tidak dapat maju tetapi juga tidak dapat kembali. Meskipun demikian ia mencoba menjajagi hati anak muda yang perkasa itu,
“Angger tidak usah terus dan tidak usah kembali. Angger dapat mencoba berhenti. Tetapi angger harus membiarkan orang lain kembali”
Tohpati mengangguk-anggukkan kepalanya. Memang benar, ia dapat menghilang dan tidak muncul kembali. Ia dapat menganjurkan orang lain untuk menghentikan perlawanan. Tetapi kenyataannya tidak dapat membenarkannya. Ia tidak mau lari dari kenyataan yang bagaimanapun pahitnya. Karena itu, Tohpati itu menggeleng lemah,
“Tidak paman, tidak”
Sumangkar pun tahu, bahwa Tohpati tidak akan dapat menyetujuinya. Tetapi ia tidak mempunyai pendapat lain yang dapat dikemukakan saat itu, sehingga sejenak ia terdiam. Kembali mereka diamuk oleh kegelisahan di hati masing-masing. Kembali mereka dicengkam oleh kesepian di padang rumput yang tidak terlalu luas itu. Suara cengkerik terdengar mengorek-ngorek dinding telinga. Sekali-sekali terdengar pekik binatang-binatang hutan mengejutkan. Dalam keheningan malam itu tiba-tiba Sumangkar menundukkan wajahnya. Terasa sesuatu berdesir di hatinya, sehingga duduknya bergeser beberapa jari. Matanya yang tajam, menembus keremangan malam menusuk kekejauhan. Sumangkar menarik nafas. Ia berpaling ketika terdengar Tohpati menggeram perlahan-lahan. Tetapi Sumangkar itu mengangguk-anggukkan kepalanya ketika ia mendengar Tohpati bergumam perlahan-lahan,
“Dua orang berjalan di ujung padang ini”
“Ya, aku melihatnya”
“Siapa paman, apakah orang itu orang-orang kita?”
“Entahlah ngger. Apakah angger memberikan perintah kepada seseorang atau kedua orang itu untuk suatu pekerjaan?”
“Aku tidak. Entahlah kalau Sanakeling. Atau Alap-alap Jalatunda atau yang lain. Mungkin juga para pengawas yang telah dikirim lebih dahulu”

Meskipun demikian, firasat Sumangkar yang tua itu memberitahukan kepadanya, bahwa orang itu akan dapat membawa bahaya. Dengan demikian maka Sumangkar beringsut sejengkal demi sejengkal untuk meraih golok pembelah kayu yang diletakkannya.
“Apakah paman memerlukan benda itu?”
“Aku tidak tahu ngger, mudah-mudahan tidak”
“Mudah-mudahan. Tetapi orang itu datang dari jurusan yang lain dari setiap jurusan yang akan dilalui para pengawas ke Sangkal Putung. Juga sama sekali bukan jurusan orang-orang Pajang yang berada di Sangkal Putung”
“Mungkin mereka memilih jalan yang melingkar demi keamanan mereka”
“Mungkin”
Sumangkar memandang kedua bayangan itu dengan seksama. Semakin lama menjadi semakin dekat. Namun agaknya mereka belum melihat Sumangkar berdua dengan Tohpati yang sedang duduk.
“Bagaimana kalau mereka orang-orang Pajang paman?”
“Apakah angger akan membiarkannya?”
“Tidak, aku tidak dapat membiarkan mereka mengetahui kedudukan kami. Aku tidak dapat membiarkan orang-orangku dihancurkan oleh orang-orang Pajang dalam peperangan”
Sumangkar mengangguk-anggukkan kepalanya. Sudah tentu Tohpati tidak akan berbuat demikian. Tidak akan membiarkan orang-orangnya hancur disergap oleh lawannya, Betapapun juga. Maka kalau benar kedua orang itu orang Pajang, maka kedua orang itu pasti mendapat tugas untuk menyelidiki pertahanan laskar Jipang. Sumangkar dan Tohpati kemudian saling berdiam diri. Bahkan nafas mereka pun seakan-akan mereka tahankan, agar kehadiran mereka tidak segera diketahui oleh kedua orang itu.
“Kalau orang-orang itu orang Pajang” bisik Tohpati perlahan-lahan sekali,
“alangkah beraninya”
Sumangkar mengangguk, tetapi ia tidak menjawab.
“Tetapi aku pasti, mereka bukan orang-orang kita” sambung Tohpati hampir tak terdengar.
Sekali lagi Sumangkar mengangguk.

Dada mereka tiba-tiba berdesir ketika melihat kedua orang itu berhenti sesaat. Namun kemudian mereka melangkah kembali. Tetapi mereka kini tidak menuruti arah mereka semula. Menyilang garis pandangan Tohpati. Jantung Tohpati hampir-hampir berhenti berdenyut, ketika dilihatnya kedua orang itu berjalan ke arahnya.
“Mereka kemari” bisik Tohpati.
Sumangkar menerik afas panjang-panjang,
“Tak ada gunanya untuk menyembunyikan diri dan mengintai mereka. Mereka telah melihat kehadiran kita.”
“Belum tentu. Mungkin suatu kebetulan.”
Sumangkar menggeleng.
“Aku yakin.”
Tohpati mengangguk-anggukkan kepalanya. Apabila demikian maka kedua orang itu pasti dua orang yang terlalu percaya kepada diri mereka sendiri, sehingga mereka sengaja mendatanginya. Terkaan Sumangkar itu sesaat kemudian ternyata terbukti. Kedua orang itu berhenti berjalan, dan salah seorang daripada mereka berkata,
“Siapa yang duduk di situ?”
Tohpati menjadi bimbang sesaat. Ditatapnya wajah Sumangkar untuk mendapatkan pertimbangan. Ketika Sumangkar menganggukan kepalanya, maka Macan Kepatihan itu pun segera menjawab,
“Aku di sini, siapa kalian?”
“Aku siapa?” desak salah seorang yang berdiri itu.
“Kau siapa?” Jawab Tohpati.
Sejenak mereka saling berdiam diri. Kedua orang itu masih tegak seperti patung. Dalam keremangan cahaya bulan, mereka tempaknya seperti bayangan hitam yang menakutkan. Tohpati menjadi semakin berdebar-debar ketika kedua orang itu melangkah kembali. Dan bahkan mendekatinya.
“Berhenti” teriak Tohpati,
“Kalau tidak, aku akan menyerang kalian dengan senjata jarak jauh.”
“Apa kau membawa panah?” terdengar suara di antara mereka.
“Tulup” sahut Tohpati,
“Aku tulup biji tulupku dengan getah pohon luwing dan bisa serangga. Kalian akan mati terkena sentuh saja”.

“Jangan terlalu kejam” sahut suara itu pula.
“Karena itu jawab, siapa kalian?”
Tohpati terkejut ketika kemudian didengarnya suara tertawa berderai. Di antara suara tertawa itu terdengarlah kata-kata, “Menyerang dengan tulup bukanlah pekerjaan yang mudah. Bagaimanakah kalau aku berlari melingkar-lingkar.”

Sesaat Tohpati tidak menjawab. sebenarnya ia tidak membawa tulup. Kalau orang itu berlari melingkar-lingkar, maka ia tidak akan dapat berbuat apa-apa. Jangankan berlari melingkar-lingkar sedangkan apabila mereka berjalan perlahan-lahan dalam garis yang lurus sekalipun ia tidak akan dapat menyerang dari jarak yang jauh. Sebenarnya Tohpati pun tidak perlu menyerangnya dari jarak yang jauh. Namun ia hanya ingin menggertaknya dan segera mengetahui siapakah mereka itu. Tetapi ternyata orang itu orang yang berani dan tidak gentar mendengar ancamannya. Namun tiba-tiba terasa Sumangkar merebut tongkat bajanya. Demikian tiba-tiba sehingga Tohpati tidak sempat menahannya. Sebelum Tohpati itu menyadari, Sumangkar telah meletakkan ujung tongkat itu di muka mulutnya sambil berjongkok. Dengan suara parau Sumangkar berteriak,
“Nah cobalah. Berlarilah melingkar-lingkar. Salah seorang dari kalian berdua akan mati. Aku tidak akan memperdulikan yang seorang lagi.”
Kedua orang yang berdiri beberapa puluh langkah dari mereka itu pun terdiam. Baru sejenak kemudian terdengar salah seorang berkata,
“Bagus. Kalian benar-benar dapat mempergunakan tulup. Kalian tidak akan dapat dibingungkan oleh bayangan kami berdua yang berlari melingkar-lingkar. Tetapi kami benar-benar tidak akan berbuat jahat terhadap kalian, siapa pun kalian berdua itu.”
“Kalau demikian, sebut namamu” sahut Sumangkar.
Orang itu diam sesaat, dan kemudian terdengar ia menyebutkan sebuah nama,
“Supita, namaku Supita dan kawanku ini bernama Sukra.”
Sumangkar menarik nafas panjang-panjang. Bahkan hampir ia tertawa mendengar orang-orang itu menyebutkan namanya. Sekali ia berpaling memandang wajah Tohpati. Agaknya Tohpati pun sependapat dengan pikirannya, sehingga karena itu terdengar Tohpati menjawab lantang,
“Namaku Patra dan kawanku bernama Dadi. Nah apakah kau puas mendengar nama-nama kami?”
Orang itu terdengar tertawa. Suaranya berderai melingkar-lingkar membentur dinding hutan dan menggema kembali berulang-ulang. Katanya,
“Adakah gunanya kita menyebutkan nama masing-masing?”
Sumangkar menyahut,
“Nama-nama yang kami sebut, mungkin jauh lebih baik dari nama kalian sebenarnya. Nah apakah maksudmu datang kemari.”
“Apakah kita dapat berbicara perlahan-lahan” berkata orang itu.

Sumangkar tidak segera menyahut. Ditatapnya wajah Tohpati seakan-akan menyerahkan segenap persoalan kepadanya. Namun Tohpati tidak dapat berbuat lain daripada menerima orang itu. Seandainya orang itu lari sekalipun pasti akan dikejarnya. Dan kini orang itu bersedia datang kepadanya. Karena itu, maka Tohpati menjawab tegas,
“Datanglah, supaya aku tidak menghajarmu.”
Sekali lagi terdengar salah seorang daripadanya tertawa. Sejenak kemudian kedua bayangan itu bergerak maju perlahan-lahan penuh kewaspadaan. Tohpati dan Sumangkar pun segera berdiri. Diserahkannya tongkat Tohpati kembali. Tongkat ciri kebesaran, keperkasaan dan kewibawaan Macan Kepatihan, sehingga kawan maupun lawan mengenal tongkat itu seperti mengenal pemiliknya sendiri. Semakin dekat kedua bayangan itu, hati mereka masing-masing baik yang menunggu maupun yan mendatangi, saling berdebaran. Semakin dekat, maka wujud masing-masing menjadi semakin jelas di bawah cahaya keremangan bulan sepotong yang menggantung di antara bintang-bintang di langit. Ketika bayangan itu sudah cukup dekat, maka terdengarlah Tohpati menggeram keras. Selangkah ia maju dan tiba-tiba tubuhnya menjadi gemetar. Bayangan itu pun kemudian berhenti beberapa langkah daripadanya. Yang terdengar adalah suara Macan Kepatihan itu parau,
“Kau. Kau guru dan murid lereng merapi. He, apa kerjamu di sini Tambak Wedi?”
Terdengar orang itu, yang tak lain adalah Ki Tambak Wedi dan Sidanti, menarik nafas perlahan-lahan. Dengan menganggukkan kepalanya Ki Tambak Wedi menjawab,
“Selamat malam angger Macan Kepatihan. Apakah angger pernah melihat muridku?”
“Hampir kupecahkan dadanya dengan tongkatku ini kalau paman Widura tidak menyelamatkannya. Nah, sekarang kalian datang untuk memberi kesempatan kepadaku menyelesaikan pekerjaan itu?”
“Jangan marah. Dengarlah dulu maksud kedatangan kami” berkata Ki Tambak Wedi. Sesaat ia berpaling kepada Sumangkar yang berdiri di belakang Tohpati. Tampaknya alisnya berkerut, dan dengan ragu-ragu ia berkata,
“Adi Sumangkar?”
Sumangkar tertawa pendek. Kini ia maju selangkah. Goloknya terselip pada ikat pinggangnya. Sambil mengangguk ia menjawab,
“Ya, Kakang Tambak Wedi. Agaknya kakang masih ingat kepadaku.”
“Ah. Aku tidak akan dapat melupakan kalian. Sepasang murid perguruan Kedung Jati.”
“Huh” potong Tohpati,
“Kau juga tidak lupa kepada guruku?”
“Tentu tidak angger. Aku adalah kawan seiring dengan almarhum patih Mantahun.”
“Omong kosong. Kau tinggalkan paman dalam kesulitan. Bahkan kemudian aku temui muridmu di Sangkal Putung dalam laskar paman Widura.”
Tambak Wedi terbahak-bahak. Sahutnya,
“Angger keliru. Angger keliru. Muridku berada di Sangkal Putung dengan tugasnya sendiri, apakah angger tidak mendengar bahwa Untara terluka?”
“Untara?”
Tambak Wedi mengangguk penuh kebanggaan.
”Ya, Angger Untara terluka. Hampir-hampir mambawa nyawanya.”
Tohpati mengerutkan keningnya. Kemudian terdengar ia bertanya,
“Apakah hubungan luka Untara itu dengan paman Tambak Wedi?”
“Ada sangkut paut yang erat dengan perjuanganmu, ngger” jawab Tambak Wedi,
“Karena itulah maka aku sengaja menemuimu. Maksudku aku akan datang keperkemahanmu.”
“Apakah paman Tambak Wedi tahu letak perkemahan kami?”
“Aku tidak tahu tepat. Tetapi aku kira-kira saja letak perkemahan itu.”
Macan Kepatihan menggeram.
“Kau sedang memata-matai perkemahan kami untuk kepentingan Untara?”
“Tidak ngger, tidak.” potong Tambak Wedi cepat-cepat.
“Aku datang untuk keperluan yang cukup penting.”
“Apa itu?”
“Apakah angger dapat menerima kami di perkemahan angger?”
Tohpati menggeleng. Dengan tegas ia berkata,
“Tidak. Di sini paman dapat mengatakan keperluan itu.”

Tambak Wedi mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia menjadi kecewa tetapi ia tahu keberatan Macan Kepatihan. Karena itu ia berkata,
“Angger. Luka Untara adalah bukti, bahwa sebenarnya aku tidak pernah meninggalkan pamanmu patih Mantahun.”
“Apakah hubungannya?”
“Sidanti lah yang melakukannya atas petunjukku.”
Tohpati mengerutkan keningnya. Desisnya,
“Tetapi Untara masih hidup. Ia masih berkeliaran, bahkan sampai ke Benda dan sekitarnya.”
“Sidanti salah hitung. Disangkanya serangannya berhasil, karena itu tidak diulanginya.”
“Omong kosong. Mungkin benar Sidanti melukai Untara, sebagai suatu cara untuk berpura-pura mengusir atau mengejar Sidanti. Sidanti akan lari kepadaku. Namun dalam pada itu, segala rahasiaku akan jatuh ke tangan Untara.”
“Tidak angger. Tidak. Sebenarnya Untara dan Sidanti telah bermusuhan. Aku memang memberikan beberapa petunjuk. Bukankah aku sahabat pamanda kepatihan?”
Tohpati mengerutkan keningnya. Dan dibiarkannya Tambak Wedi berkata,
“Namun sayang. Tugas Sidanti itu tidak dapat selesai dengan baik.”
“Apa sebabnya Sidanti melukai Untara?”
“Untara adalah pemimpin laskar Pajang di lereng Merapi ini. Sedangkan lereng Merapi ini adalah Ki Tambak Wedi. Apalagi Untara adalah lawan sahabat Tambak Wedi, patih Mantahun.”
Tohpati menarik alisnya. Sesaat ia terdiam. Dicobanya untuk menimbang kata-kata Ki Tambak Wedi. Namun kemudian terdengar Sumangkar berkata,
“Muridmu yang bernama Sidanti itu, berusaha membunuh Untara karena daerah kekuasaanmu dikuasai pula olehnya, begitu?”
“Ya. Sebagian begitu.”
“Kalau demikian, maka kalian telah terlibat dalam persoalan kalian sendiri.” sahut Sumangkar.

Ki Tambak Wedi mengerutkan keningnya mendengar kata-kata Sumangkar. Namun sejenak kemudian ia tersenyum sambil berkata,
“Hem, Adi Sumangkar, jangan menarik garis dari kepentingan yang saling mendorong itu. Aku mendendamnya karena ia berada di dalam daerah kekuasaanku, tetapi aku tidak akan berbuat demikian terhadap angger Macan Kepatihan, meskipun angger itu berada di lereng merapi pula.”
Namun kata-kata itu segera disahut oleh Tohpati,
“Jangan mengelabuhi aku paman. Seorang pimpinan Jipang telah dibunuh mati oleh Sidanti.”
Hati Sidanti menjadi berdebar-debar karenanya. Tetapi ia sama sekali tidak ikut campur dalam percakapan itu, seolah-olah sama sekali tidak mempunyai kepentingan, atau benar-benar seperti anak-anak yang sedang dibicarakan nasibnya oleh ayah bundanya. Yang menjawab kemudian adalah Ki Tambak Wedi,
“Ya, angger. Hal itu terpaksa dilakukan. Maksudnya untuk menghilangkan jejak dibunuhnya Untara, sehingga Sidanti tidak pernah meninggalkan Sangkal Putung dan dapat berbuat serupa terhadap pemimpin-pemimpin yang lain”
“Hem” geram Tohpati,
“Jadi Sidanti membunuh Plasa Ireng hanya sekedar untuk mendapat kepercayaan. Jadi Plasa Ireng itu nilainya tidak lebih dari alat untuk mendapat kepercayaan. Seandainya demikian, kenapa Sidanti kemudian melukainya arang kranjang meskipun Plasa Ireng telah terbunuh? Itu benar-benar suatu kekejaman. Kekejaman yang tidak pernah dilakukan oleh orang-orang yang beradab. Orang-orangku yang kalian sebut liar itu pun jarang-jarang yang berbuat demikian.” Sekali lagi Ki Tambak Wedi menarik nafas. Ia terdorong dalam kesulitan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Meskipun demikian ia tidak segera kehilangan akal, maka katanya,
“Angger, memang sulit untuk menjawab pertanyaan angger. Memang sukar untuk menjelaskan sikap kami. Tetapi biarlah aku coba urut-urutannya. Sidanti menggabungkan diri dalam kelaskaran Pajang dan berhasil memilih Sangkal Putung sebagai daerah garis perangnya, kenapa tidak di tempat lain? Karena aku yakin bahwa suatu ketika Untara akan hadir di tempat itu. Kemudian Sidanti akan membunuh pimpinan-pimpinan Pajang itu satu demi satu tanpa kecurigaan. Baru kemudian setelah selesai pekerjaannya, ia akan memberitahukan kepada angger. Sebab apabila sebelum itu angger telah menyadari kedudukan Sidanti, serta orang lain mendengarnya, maka jiwa Sidanti sendiri akan terancam. Karena itulah, maka Sidanti selalu berusaha menjadi orang yang tampaknya paling gigih di Sangkal Putung sebagai usaha untuk menyelubungi dirinya. Tetapi usahanya itu tidak dapat sempurna. Suatu ketika usaha itu diketahui setelah Untara hampir mati. Sayang ia dapat sadar kembali dan mengatakan siapa yang telah berusaha untuk membunuhnya. Nah sekarang tidak ada lagi cara lain untuk berjuang selain melalui garis perang yang langsung berhadapan. Karena itu Sidanti aku bawa kemari. Mungkin dapat angger pergunakan untuk ganti yang telah terbunuh itu.”

Tohpati mendengarkan kata-kata Tambak Wedi itu dengan wajah yang tegang. Sepercik harapan timbul di dalam hatinya. Mungkin Sidanti tidak benar-benar seperti apa yang dikatakan oleh Ki Tambak Wedi itu, namun dengan hadirnya Sidanti di perkemahannya, pasti akan mengurangi kekuatan Sangkal Putung. Mungkin ia masih harus mencoba kesetiaannya sekali dua kali dengan pangawasan yang ketat. Namun apabila kemudian ternyata kata-kata Tambak Wedi itu benar, maka ia akan mendapat kekuatan baru di samping berkurangnya kekuatan di Sangkal Putung. Tetapi tidak demikian yang terlintas diotak Sumangkar. Ia tidak dapat menerima Sidanti apa pun alasannya. Ia tidak mau melihat Sidanti mengkhianati Tohpati. Menusuk dari belakang atau perbuatan apa pun yang akan mencelakakannya. Tetapi seandainya Sidanti benar-benar ingin bekerja sama dengan Tohpati pun sama sekali tidak dikehendakinya. Dengan demikian maka peperangan ini akan semakin riuh. Dengan kekuatan baru mungkin Tohpati akan melupakan persoalan-perasoaan yang sudah timbul di dalam kepalanya. Hal itu akan menghanyutkan kejemuannya terhadap perang, seandainya ia mendapat kemenangan baru saat-saat terakhir nanti. Dengan demikian penderitaan akan berjalan semakin lama.


Halaman 1 2 3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar