SEJENAK ketiga anak-anak muda itu saling berdiam diri, sehingga pringgitan itu sekali lagi menjadi sepi. Dan sekali lagi terdengar burung hantu seolah-olah merintih menggetarkan udara malam. Di halaman daun-daun yang kuning berguguran oleh sentuhan angin lereng bukit yang semakin keras. Gemerasak seperti gemerasaknya nafas Agung Sedayu dan Wuranta. Yang memecahkan keheningan itu adalah suara Untara memberat,
“Pikirkanlah.
Kalian bukan lagi anak kecil yang manja.”
Ketika Untara
terdiam, tiba-tiba udara pringgitan itu digetarkan oleh suara Wuranta setajam
getar jantungnya,
“Aku tidak
mengerti apa yang kau katakan, Untara.”
Untara mengerutkan
keningnya. Jawabnya,
“Aku kira
cukup jelas.”
“Kau agaknya
menganggap, bahwa selama ini aku selalu menghindari pertemuan dengan Agung
Sedayu. Kau salah sangka. Aku tidak pernah berpikir demikian. Adalah kebetulan
sekali bahwa aku tidak bertemu dengan Adi Agung Sedayu untuk beberapa lama.”
Untara menarik
nafas dalam-dalam,
“Kau aneh
Wuranta. Kita sudah cukup dewasa. Aku tahu benar perasaanmu. Jangan ingkar.”
Baju Wuranta
telah menjadi basah oleh keringat. Namun ia masih berkata,
“Jangan
mencari-cari, Untara. Katakan saja apa maksudmu sebenarnya.”
Untara
terperanjat mendengar kata-kata itu. Ia adalah seorang senapati perang di
daerah ini. Ia adalah orang tertinggi dalam tata keprajuritan Pajang di daerah
lereng Merapi. Tetapi kemudian disadarinya, bahwa di hadapannya duduk seorang
anak muda Jati Anom. Bukan seorang prajurit Wira Tamtama. Seorang anak muda
kawannya bermain semasa kanak-kanak, sehingga bekas-bekas pergaulan di masa
kecilnya itu tidak dapat dihapuskannya. Sikap itulah yang masih dibawa oleh
Wuranta kali ini. Sekali lagi Untara menghela nafas dalam-dalam untuk menahan
hatinya. Persoalan yang akan dibicarakannya memang bukan masalah-masalah
keprajuritan, meskipun akibatnya akan menyentuh pula. Wuranta merasa bahwa
ruangan itu menjadi semakin lama semakin panas, seperti tungku yang dipanasi
dengan bara api kayu mlandingan.
Yang terdengar
kemudian adalah suara Untara,
“Wuranta,
tidak baik apabila aku terpaksa mengatakan dengan berterus terang. Tetapi
seharusnya kau dapat menangkap maksudku dan kau tidak perlu menghindarinya
lagi. Marilah persoalan ini kita selesaikan. Kemudian, kalian akan dapat hidup
seperti sediakala. Tanpa perasaan canggung dan segan.”
Gigi Wuranta
menjadi semakin terkatup rapat untuk menahan gelora perasaannya. Dentang jantung
di dadanya serasa menjadi semakin cepat dan keras. Seperti kentong titir yang
memekik-mekik hampir-hampir mematahkan seluruh tulang iganya. Tetapi Agung
Sedayu pun tidak pula kalah gelisahnya. Ia belum tahu, apakah yang akan
dikatakan kakaknya itu kepadanya. Tetapi menilik pembicaraannya dengan Wuranta,
maka ia sudah dapat meraba ujung dan bahkan pangkalnya. Dengan dada yang
semakin berdebar-debar ia mendengar Untara melanjutkannya,
“Apakah kau
dapat mengerti? Dan kau dapat mempertimbangkan dengan pikiran yang jernih.
Tidak sekedar dengan perasaan saja.”
Kini tubuh
Wuranta menjadi gemetar. Dipandanginya Untara dan Agung Sedayu berganti-ganti.
Kemudian terdengar Wuranta itu menggeram,
“Lalu apakah
yang harus aku lakukan menurut pertimbanganmu, Untara? Apakah aku harus minta
maaf dan berjanji untuk melupakan persoalan ini.”
“Tidak perlu,”
sahut Untara,
“tidak ada
yang salah dan tidak ada yang benar. Tetapi apabila kalian melupakan persoalan
di antara kalian, maka dengan demikian sudah terlepas dari persoalan itu.”
Wuranta tidak
menjawab. Sekali lagi tatapan matanya jatuh di atas anyaman tikar yang
silang-menyilang. Tetapi Wuranta itu kemudian bergumam seperti kepada diri
sendiri,
“Apakah yang
harus aku lakukan? Aku tidak mengerti. Apakah aku setiap hari harus pergi ke
mana pun bersama Adi Sedayu atau aku harus menunggunya di banjar ini atau di
kademangan Jati Anom? Dan aku juga tidak mengerti, apakah yang harus dilakukan
oleh Adi Agung Sedayu dalam hal ini.”
Tampaklah
sebersit warna merah di wajah Agung Sedayu. Sesaat ia mengangkat wajahnya.
Sorot matanya menghunjam langsung ke wajah Wuranta, seolah-olah ingin melihat
apakah yang sedang bergulat di dalam kepala anak muda itu. Betapa dahsyatnya
jantungnya bergetar, sehingga ia tidak mampu untuk duduk mematung, mendengarkan
pembicaraan yang tidak begitu jelas baginya, yang hanya dapat diraba-rabanya
saja. Karena itu, maka terloncat katanya dengan suara gemetar,
“Aku tidak
tahu, apakah yang sedang kita bicarakan.”
Kedua
anak-anak muda yang lain, Untara dan Wuranta, serentak berpaling kepadanya.
Namun Wuranta kemudian segera melontarkan pandangan matanya ke sudut
pringgitan, sedang Untara menarik nafasnya dalam-dalam. Dengan nada datar ia
berkata,
“Seharusnya
kau pun sudah tahu. Setidak-tidaknya kau dapat merabanya.”
Agung Sedayu
sendiri tidak mengerti, kekuatan apakah yang tiba-tiba mendorongnya, sehingga
ia berkata,
“Kakang ingin
menyelesaikan masalah yang agaknya menyangkut diriku. Menurut tangkapanku
adalah masalah antara aku dan Kakang Wuranta. Aku tidak ingkar, bahwa aku
merasakan hubungan antara aku dan Kakang Wuranta menjadi aneh. Aku tidak tahu,
siapakah yang menyebabkannya. Tetapi itu adalah kenyataan, Kakang menghendaki
persoalan ini harus segera mendapat pemecahan dalam sikap yang cukup dewasa.
Tetapi menghadapi persoalan yang harus aku hayati dengan sikap dewasa itu aku
hanya dapat meraba-raba.”
Untara
terperanjat mendengar jawaban adiknya. Jawaban yang sama sekali tidak
diduga-duganya. Dengan tajam ditatapnya wajah Agung Sedayu yang kemudian
tertunduk. Seolah-olah anak muda itu baru pertama kali ini dilihatnya. Di dalam
hati Untara bergetar beberapa macam pertanyaan tentang adiknya itu. Namun
kemudian ia berkata di dalam hatinya itu,
“Anak ini
telah benar-benar meningkat menjadi dewasa. Ia agaknya telah menemukan sesuatu
pada dirinya. Sikap dan kepercayaan diri. Mudah-mudahan ia tidak kehilangan
arah.”
Wuranta pun menjadi gelisah mendengar jawaban Agung
Sedayu itu. Terasa dadanya bergetar dan wajahnya menjadi semakin tegang. Yang
berkata kemudian adalah Untara,
“Ya, Sedayu.
Kau benar. Kau harus mendengar dengan pasti apakah persoalannya.”
Tiba-tiba
Wuranta memotong,
“Kau dapat
memperbesar persoalan itu, Untara. Seolah-olah persoalan yang cukup penting
dibicarakan oleh seorang senapati seperti kau. Kalau kau tidak mempersusah
dirimu dengan soal yang sama sekali tidak bersangkut-paut dengan jabatanmu itu,
maka aku kira persoalan ini pun akan
dapat selesai dengan sendirinya.”
Untara
menggelengkan kepalanya,
“Tidak,
Wuranta. Meskipun kemungkinan yang demikian itu ada, tetapi kemungkinan yang
lain pun dapat terjadi. Persoalan itu akan menjadi semakin parah.”
Wajah Wuranta
menjadi kemerah-merahan.
“Sebaliknya
aku berterus terang. Kalian harus melupakan persoalan kalian,” berkata Untara
kemudian,
“persoalan
yang dapat mengganggu hubungan kalian, hubungan antara anak-anak muda Jati Anom
pada umumnya.”
“Ya, aku
tahu,” sahut Agung Sedayu,
“aku akan
melupakan persoalan itu. Tetapi persoalan yang mana? Persoalan, bahwa aku siang
tadi tidak datang menghadiri upacara pelepasan jenazah atau persoalan lain.”
“Ah,” Untara
mengerutkan keningnya,
“kau tidak
memperlancar pembicaraan ini. Baiklah, aku akan mengatakannya. Aku ingin kalian
melupakan Sekar Mirah. Biarlah gadis itu kembali ke Sangkal Putung. Kalian
adalah anak-anak muda Jati Anom. Kalian berdua termasuk orang-orang penting,
terutama di lingkungan anak-anak muda.”
Wajah-wajah
Agung Sedayu dan Wuranta berubah sesaat. Wajah-wajah itu dijalari oleh warna
kemerah-merahan. Keduanya menundukkan kepalanya. Dan untuk sejenak keduanya
tidak menyahut.
“Nah, aku
sudah berterus-terang. Kalian agaknya menghendaki aku berkata begitu. Dan aku
sudah mengatakannya,” Untara berkata selanjutnya. Alisnya tampak berkerut, dan
ia berkata-pula,
“Sudah cukup
persoalan yang disebabkan oleh gadis itu. Salah satu sebab dari kepergian
Sidanti dari Sangkal Putung adalah gadis itu pula. Kalau tidak ada Sekar Mirah
di sana, yang agak-nya akan mengecewakannya, maka ia masih harus
mempertimbangkan sepuluh kali lagi untuk meninggalkan Sangkal Putung.”
Agung Sedayu
dan Wuranta masih berdiam diri. Namun dengan demikian Agung Sedayu kini telah
mendapat kepastian, bahwa dugaannya selama ini ternyata benar. Tetapi dengan
demikian pula, maka wajahnya menjadi semakin memerah. Ia menjadi malu atas
persoalan yang melibatnya. Apalagi apabila diingatnya, bahwa Wuranta adalah
kawan sepermainan, meskipun umurnya agak lebih tua sedikit daripadanya.
“Kalian tidak
usah ingkar. Kalian sama-sama mencintai gadis itu. Itulah sebabnya, maka kalian
seolah-olah menjadi bersaing. Mungkin karena Agung Sedayu telah mengenal gadis
itu lebih dahulu, maka hubungannya menjadi agak lebih rapat dari Wuranta. Hal
itulah yang telah timbul pada kalian. Hal itu pulalah yang telah merenggangkan
hubungan kalian.”
Keduanya masih
berdiam diri. Dan Untara meneruskan,
“Kemudian
kalian harus bercermin pada padepokan Tambak Wedi. Langsung atau tidak
langsung, kehancuran padepokan ini sebagian dipengaruhi pula oleh kehadiran
gadis itu di sini. Perkelahian antara Sidanti dan Alap-alap Jalatunda adalah
karena Sekar Mirah. Kemudian perkelahian itu menjalar menjadi pertempuran yang
menyala antara orang-orang Tambak Wedi dan orang-orang Jipang di bawah pimpinan
Sanakeling. Nah, apakah persoalan yang dapat ditumbuhkan oleh Sekar Mirah itu
tidak juga belum berakhir? Dan kini kalian berdua terlibat pula dalam masalah
itu seperti Sidanti dan Alap-alap Jalatunda.”
Keduanya tidak
segera menjawab. Dengan demikian ketika Untara berhenti sejenak, maka
pringgitan itu sekali lagi menjadi sepi. Sekali lagi di kejauhan terdengar
suara burung hantu. Lalu terdengar pula anjing-anjing liar menggonggong
bersahut-sahutan.
Tetapi
kesepian malam itu terasa menekan dada Agung Sedayu seperti hendak menghimpit
patah tulang-tulang iganya. Ketika ia mencoba mengangkat wajahnya dan memandangi
Wuranta, maka anak muda itu masih menundukkan kepalanya.
Terdengar
kemudian suara Untara memecah kesepian,
“Bagaimana?
Apakah kalian dapat mengerti? Aku mempunyai perhitungan atas kalian berdua.
Kau, Wuranta. Kau akan menjadi seorang tetindih anak-anak muda Jati Anom. Kau
akan dapat memperdalam pengetahuanmu tentang olah kanuragan. Dan kau akan dapat
menjadi tempat untuk meletakkan dasar kekuatan Jati Anom.” Untara berhenti
sejenak, lalu kepada Agung Sedayu berkata,
“Dan kau,
Sedayu. Kau masih terlalu muda. Masa depanmu masih sangat panjang. Karena itu,
maka sebaiknya kau membentuk dirimu lebih dahulu sebelum kau tertarik akan
hal-hal lain. Semula aku tidak menaruh keberatan apa pun atas hubunganmu dengan
Sekar Mirah. Tetapi ternyata aku melihat sendiri, bahwa hubungan itu akan dapat
mengganggumu, yang kini tampak di mataku adalah hubunganmu dengan Wuranta sudah
terganggu. Ternyata kau lebih mementingkan gadis itu daripadanya. Sedang kau
tahu, bahwa Wuranta adalah seorang yang cukup penting dalam pertempuran yang
baru saja terjadi. Bahkan seakan-akan turut menentukan permulaan yang menjadi
pembuka jalan masuk ke padepokan ini.”
Meskipun Agung
Sedayu sudah menyangka, bahwa kakaknya akhirnya akan sampai juga pada persoalan
dan pendirian itu, namun kata-kata itu masih juga membuatnya terperanjat
sekali. Terasa seakan-akan dadanya sejenak menjadi pepat, dan nafasnya
seolah-olah terhenti. Untara melihat wajah adiknya yang tiba-tiba menjadi pucat
itu. Tetapi sejenak kemudian wajah yang pucat itu menjadi merah membara. Mata
Agung Sedayu seakan-akan menyala karena desakan-desakan di dalam dadanya.
Sesaat dipandangnya wajah kakaknya, sesaat kemudian matanya hinggap pada wajah
Wuranta. Tetapi anak Jati Anom itu menundukkan wajahnya meskipun hatinya juga
bergolak seperti hati Agung Sedayu. Namun betapa hati Wuranta bergolak, tetapi
ada perbedaan tingkat di antara keduanya. Wuranta kini merasa bahwa apa yang
dikatakan oleh Untara itu adalah wajar. Sebagai seorang pemimpin, ia berusaha
untuk menyelesaikan persoalan yang tumbuh di antara orang-orang yang berada di
bawah tanggung jawabnya. Ketika ternyata Untara tidak menjadi berat sebelah,
tidak memihak kepada Agung Sedayu dan menyalahkannya, maka sejak itu hati
Wuranta mempunyai tangkapan lain terhadap usaha penyelesaian yang dilakukan
oleh Untara. Tiba-tiba hatinya menjadi sangat terpengaruh oleh cara senapati
muda itu. Bahkan kemudian ia menghargainya. Ternyata Untara mempunyai sikap
yang tidak disangka-sangkanya. Semula ia menyangka, bahwa Untara pasti akan membela
adiknya. Menyalahkannya dan berusaha untuk membela kebenaran Agung Sedayu.
Tetapi ternyata tidak. Untara tidak berbuat demikian menurut penilaian Wuranta.
Bahkan Untara itu berkata, bahwa mereka berdua, Agung Sedayu dan Wuranta
bersama-sama harus melupakan gadis itu. Gadis yang telah membuat Agung Sedayu
dan Wuranta seolah-olah saling menjauhi. Betapapun berat perasaannya, namun ia
merasa bahwa hal itu sebaiknya dilakukan. Melupakan Sekar Mirah. Dengan
demikian, maka antara dirinya dan Agung Sedayu tidak akan ada lagi batas yang
menghalang-halangi seperti yang mereka alami pada saat-saat terakhir. Tetapi
untuk melupakan Sekar Mirah pasti akan terampau sulit. Itulah sebabnya, maka
Wuranta masih tetap membisu sambil menundukkan kepalanya. Dadanya yang bergolak
terasa menjadi semakin pepat. Namun ia dapat mengerti pendirian Untara. Bagi
Untara tidak ada jalan yang lebih baik dari jalan yang ditempuhnya kali ini.
Berbeda dengan
Wuranta, maka pendirian Untara itu serasa telah membelah jantung Agung Sedayu.
Ia tidak tahu, kenapa tiba-tiba saja ia merasa bahwa ia dihadapkan pada suatu
tantangan yang harus dijawabnya berdasarkan atas keyakinan sendiri. Apabila
selama ini pendiriannya sebagian besar tergantung kepada kakaknya, maka kali
ini tiba-tiba ia merasa kakaknya sebagai orang asing baginya. Orang yang tidak
dapat mengerti tentang dirinya dan yang tidak dapat dimengertinya. Tetapi
karena kepepatan hatinya, karena gelora yang dahsyat melanda dadanya seperti
kawah gunung Merapi, maka untuk sejenak Agung Sedayu justru terbungkam. Hanya
matanya sajalah yang bergetar memancarkan perasaannya yang membara.
Untara dapat
menangkap perasaan adiknya. Terasa hatinya pun menjadi berdebar-debar. Adiknya
kini ternyata bukan adiknya beberapa waktu yang lalu, yang menangis sambil
berpegangan ikat pinggangnya, di perjalanan ke Sangkal Putung ketika mereka
bertemu untuk pertama kalinya dengan Alap-alap Jalatunda dan Pandai Besi dari
Sendang Gabus. Tetapi nyala pandangan mata Agung Sedayu kini adalah pancaran
perasaan seseorang yang mempunyai keyakinan pada dirinya sendiri. Dengan
demikian maka Untara merasa, bahwa ia harus berhati-hati menghadapi adiknya
ini. Adiknya yang bagi Untara masih terlampau muda untuk menentukan sikap dan
jalan hidupnya. Adiknya yang menurut pandangan Untara masih terlampau hijau
dalam pengalaman dan pengamatan hidup. Mungkin ia sudah merasa dewasa karena
keadaan yang memaksanya bersikap dewasa. Tetapi kedewasaan yang demikian
bukanlah kedewasaan yang matang. Bahkan mungkin keyakinan diri dalam keadaan yang
demikian akan dapat menjerumuskan Agung Sedayu ke dalam tindakan yang salah dan
berbahaya. Namun untuk sesaat, mereka seolah-olah terbungkam. Mereka tidak
segera menemukan kata-kata untuk memecahkan kesenyapan yang tegang. Hanya nafas
mereka sajalah yang berdesahan memenuhi ruangan pringgitan banjar padepokan
Tambak Wedi.
Tetapi
akhirnya Untara memecahkan kesepian itu. Katanya,
“Aku kira
kalian dapat mengerti, bahwa tidak ada jalan lain yang dapat kalian tempuh.
Mungkin untuk sesaat, perasaan kalian akan menjadi sakit. Kalian akan merasa
kehilangan sesuatu. Tetapi sesuatu itu memang belum pernah menjadi milik
kalian. Karena itu, biarlah segera Sekar Mirah kembali ke Sangkal Putung. Aku
akan menyediakan pengawalan yang kuat sehingga meyakinkan bahwa mereka akan
selamat sampai ke kademangan itu, meskipun seandainya mereka bertemu dengan Ki
Tambak Wedi, Sidanti, dan Argajaya di perjalanan. Kalian berdua akan tetap
tinggal di sini. Sebentar lagi kalian akan berhasil melupakannya dan kalian
akan segera tenggelam dalam kesibukan yang lain. Kalian adalah anak-anak muda
yang memiliki kemampuan yang cukup. Agung Sedayu akan dapat menjadi seorang
Wira Tamtama yang pilih tanding. Sedang Wuranta akan dapat menjadi landasan
kekuatan Jati Anom. Apabila semuanya itu telah kalian capai, maka jalan hidup
kalian akan kalian tentukan sendiri. Aku adalah saudara tua Agung Sedayu.
Karena itu, maka aku wajib menuntunmu.”
Dada Agung
Sedayu benar-benar akan pecah mendengar kata-kata kakaknya. Betapa ia berusaha
untuk menahan gelora di dalam dadanya, namun kegelisahannya memancar juga lewat
matanya. Bahkan segenap pergolakan di dalam dirinya. Tetapi justru karena itu,
maka ia tidak segera dapat mengucapkan sesuatu. Agung Sedayu itu duduk saja
seperti patung mati, membeku. Namun dalam kebekuannya itu, Untara dapat membaca
pada sorot matanya, betapa hati adiknya itu sedang menyala.
Meskipun
demikian, Untara merasa wajib untuk mempertahankan pendiriannya itu. Senapati
itu mengharap, bahwa dengan demikian adiknya yang masih terlampau muda itu akan
terbebas dari pengaruh yang dapat membuatnya tetap kerdil. Menurut jalan
pikiran Untara, Agung Sedayu harus mendapatkan dahulu kesempatan yang sebaik-baiknya
di dalam lapangan yang sesuai bagi seorang laki-laki. Ternyata kini Agung
Sedayu telah dapat menyingkirkan perasaan takutnya yang berlebih-lebihan, dan
telah memiliki kecakapan dan ilmu yang pantas untuk menjadi seorang prajurit.
Bukan saja seorang prajurit kebanyakan, tetapi ia mempunyai bekal yang cukup
untuk dalam waktu yang singkat menjadi seorang lurah Wira Tamtama.
Melihat wajah
dan sorot mata adiknya, Untara dapat mengetahui bahwa agaknya Agung Sedayu
berpendirian lain. Karena Agung Sedayu tidak segera menyahut, maka Untara
itu pun bertanya,
“Bagaimana?
Apakah kalian dapat mengerti.”
Wuranta masih
menundukkan kepalanya. Tetapi dari sikap dan pandangan matanya, Untara pun dapat mengerti, bahwa agaknya Wuranta
dapat menerima penjelasannya. Berbeda dengan adiknya, Agung Sedayu. Sejenak
mereka bertiga terdiam. Pringgitan itu dikuasai oleh kesenyapan. Tetapi setiap
hati ketiga anak-anak muda yang berada di dalamnya, berdentangan bagaikan
seribu genta yang berbunyi bersama-sama di dalam dada mereka. Namun Agung
Sedayu masih berdiam diri. Wajahnya yang tegang telah menjadi basah oleh
keringatnya. Terasa keningnya berdenyut dan kepalanya menjadi pening. Seperti
ketakutan baru di kepalanya, ia mendengar kakaknya langsung bertanya kepadanya,
“Bagaimana
pendirianmu, Agung Sedayu?”
Agung Sedayu
menggigit bibirnya. Dengan sepenuh tenaga ia mencoba memenangkan hatinya.
Tetapi ia tidak segera dapat menjawab. Terlampau banyak masalah yang berdesakan
di dalam dadanya. Namun seolah-olah masalah yang terlampau banyak itu
desak-mendesak berebut dahulu, sehingga justru karena itu, maka meskipun
mulutnya bergerak-gerak, tetapi belum sepatah kata pun yang terloncat dari sela-sela bibirnya.
Karena Agung
Sedayu masih diam, maka sekali lagi Untara bertanya,
“Bagaimana
Agung Sedayu. Kenapa kau diam saja?”
Agung Sedayu
menggeser diri setapak surut. Titik-titik keringat di keningnya jatuh satu-satu
di pundaknya.
Terbata-bata
terdengar ia berkata, “Kakang, aku tidak dapat melakukannya.”
Hanya itulah
yang dapat diucapkan. Beribu macam kata-kata masih tetap tersimpan di dalam
hatinya. Beribu persoalan yanq tidak terucapkan karena justru berdesakan di
dalam dadanya. Tetapi jawabannya yang singkat itu telah melontarkan pokok
persoalan yang bergelora di dalam dadanya. Jawaban yang singkat itu telah
menyebabkan dada Untara dan Wuranta berdesir. Meskipun Untara telah dapat meraba
lewat sorot matanya, tetapi bahwa dengan tegas Agung Sedayu menyatakan
pendapatnya itu, telah mengejutkannya.
Karena itu,
maka Untara itu pun kemudian menyahut,
“Agung Sedayu.
Aku sudah menyangka, bahwa kau akan menjawab demikian. Aku sudah menyangka
bahwa kau pasti akan berkeberatan. Tetapi aku yakin, bahwa kau akan mampu
mengendalikan perasaanmu. Kau sudah bukan anak-anak lagi. Kau harus sudah dapat
membedakan, mana yang baik dan mana yang buruk.”
“Kakang,”
suara Agung Sedayu masih bergetar, “aku tidak dapat.”
“Kenapa,
Sedayu?” bertanya Untara.
Dada Agung
Sedayu masih berdentangan. Dengan susah payah ia berkata,
“Aku bersama
Adi Swandaru pergi dari Sangkal Putung. Aku akan kembali ke Sangkal Putung
bersama-sama.” Kata-kata Agung Sedayu masih belum dapat tersusun baik. Ia
mengatakan apa saja yang dapat dikatakannya. Tetapi Untara dapat mengerti
maksudnya. Maka jawabnya,
“Itu tidak
penting, Sedayu. Kau dan Swandaru telah menemukan Sekar Mirah. Biarlah Swandaru
membawa adiknya kepada orang tuanya. Swandaru akan dapat mengatakan bahwa kau
akan tetap tinggal di Jati Anom.”
“Tidak,”
kata-kata Agung Sedayu terlampau singkat.
Untara
mengerutkan keningnya. Ia masih berkata dengan tenang,
“Aku kakakmu,
Agung Sedayu. Selama ini kau tidak pernah bersikap demikian terhadapku. Apalagi
bersitegang tentang sesuatu pendirian. Aku merasa bahwa aku masih bertanggung
jawab terhadapmu sebagai seorang kakak. Aku adalah pengganti ayah dan ibu.” mendengar
kata-kata Untara yang terakhir itu terasa dada Agung Sedayu seperti terhimpit
pecahan Gunung Merapi. Ia ingin menjerit sekeras-kerasnya. Ia ingin menyebut
nama ayah dan ibunya sambil berteriak sepuas-puasnya untuk mengurangi kepepatan
dadanya. Tetapi ia tidak dapat melakukannya.
Yang
didengarnya kemudian adalah suara kakaknya itu lagi,
“Agung Sedayu,
sebagai saudara tua aku ingin melihat kau maju di dalam perkembangan yang
wajar. Seperti Sidanti, ia mencoba mulai di bidang keprajuritan. Tetapi sayang,
ia ternyata sesat jalan sehingga kemungkinan yang baik tertutup seluruhnya baginya.
Kau akan dapat mulai dengan itu pula. Menjadi seorang prajurit. Maka harapan
akan terbuka di hadapanmu untuk segera memanjat pada tingkat-tingkat yang lebih
tinggi, karena kau mempunyai cukup kemampuan untuk itu.”
Tetapi sekali
lagi Untara terkejut mendengar jawaban Agung Sedayu,
“Tidak,
Kakang. Aku tidak ingin menjadi seorang prajurit.”
Jawaban Agung
Sedayu itu benar-benar mendebarkan hati Untara. Ia belum pernah melihat sikap
Agung Sedayu yang demikian kerasnya. Namun dengan demikian, maka ia menarik
kesimpulan, bahwa pengaruh seorang gadislah yang telah membuat adiknya menjadi
berkeras kepala. Meskipun demikian Untara masih berusaha menahan kata-katanya.
Ia masih berusaha untuk berkata dengan tenang,
“Agung Sedayu.
Kenapa kau tidak ingin menjadi seorang prajurit? Setiap laki-laki ingin dapat
menjadi seorang prajurit yang baik, yang berguna bagi negara dan tanah
kelahirannya.”
Gejolak di
dada Agung Sedayu menjadi semakin bergelora. Tetapi ia tidak segera dapat
menjawab.
“Prajurit
adalah suatu lapangan kebaktian yang paling baik bagi seorang laki-laki muda
yang mempunyai bekal yang kuat seperti kau. Ayah juga mengharap aku menjadi
seorang prajurit. Dan aku telah mencoba untuk memenuhi harapan ayah itu.”
Tetapi tanpa
diduga-duga Agung Sedayu menjawab,
“Kakang,
apakah ayah dan ibu juga mengharap aku menjadi seorang prajurit?”
Sebersit warna
merah merayap di wajah Untara. Namun kemudian ia masih mencoba tersenyum.
Jawabnya,
“Agung Sedayu,
kalau ayah mengharap aku menjadi seorang prajurit, maka ayah pun akan
bergembira sekali seandainya sempat melihat kau sudah berubah sifat sama
sekali, alangkah senangnya. Kau sekarang sudah tidak takut lagi terhadap
Gendruwo Bermata Satu di tikungan Randu Alas. Kau sudah tidak takut lagi
terhadap Sidanti. Alangkah senangnya.”
“Tetapi, Kakang,”
suara Agung Sedayu sendat,
“ibu akan
menjadi sedih kalau aku menjadi seorang prajurit. Seandainya ibu masih ada,
maka ibu pasti akan berpendirian lain.”
“Ah,”
kesabaran Untara sedikit demi sedikit menjadi larut, seperti sebongkah garam
yang benamkan ke dalam air,
“itu adalah,
karena kau pada waktu itu seorang penakut. Tetapi kau harus berbangga, bahwa
kau sekarang bukan lagi seorang penakut. Kau kini seorang laki-laki penuh. Dan
kau pantas untuk menjadi seorang prajurit.”
“Aku tidak
ingin menjadi seorang prajurit, Kakang.”
“He,” wajah
Untara menjadi tegang. Sedang Wuranta yang duduk membeku itu pun menjadi tegang juga. Ia kini tinggal
mendengarkan saja pembicaraan kakak beradik yang lebih condong pada persoalan
keluarga itu.
“Kau harus
mendengarkan nasehatku, Agung Sedayu. Aku dapat memilih lapangan yang pantas
buatmu.”
Terasa getar
di dada Agung Sedayu seolah-olah telah merontokkan iga-iganya. Ia merasakan
kata-kata kakaknya yang tajam. Perlahan-lahan tumbuhlah keseganannya kepada
saudara tuanya itu, meskipun ia tidak dapat mengerti dan menerima petunjuknya.
“Agung Sedayu.
Tak ada orang lain yang mencoba menempatkan kau di tempat yang sebaik-baiknya
selain aku. Kalau kau tidak ingin menjadi seorang prajurit, lalu kau ingin
menjadi apa?”
Agung Sedayu
tidak segera dapat menjawab. Selama ini ia memang belum pernah berpikir,
lapangan apakah yang paling sesuai dengan dirinya, sifat-sifatnya, dan
kemampuannya. Karena itu, ketika kakaknya mengajukan pertanyaan itu, ia menjadi
bingung.
“Coba katakan,
apakah kau sudah mempunyai pilihan?”
Perlahan-lahan
Agung Sedayu menggeleng, “Belum, Kakang.”
“Nah, kau
masih belum tahu apa yang akan kau lakukan. Kau masih belum menemukan tempat
berpijak, tetapi kau sudah menambatkan hatimu kepada seorang gadis. Coba, apa
yang akan kau lakukan dengan gadis itu. Dan apa pula yang akan terjadi dengan
dirimu sendiri.”
Dada Agung
Sedayu terasa terhantam guntur yang meledak di depan hidungnya. Terasa dadanya
menjadi pepat dan nafasnya menjadi sesak. Justru karena itu, maka pikirannya
menjadi gelap. Dan ia tidak tahu, apa yang harus dikatakannya.
“Sadari,
Sedayu. Sadari. Aku adalah kakakmu. Tidak akan aku menjerumuskan kau ke dalam
keadaan yang pahit. Aku berusaha untuk membantumu, menemukan hari depan yang
baik. Kau harus mengerti.”
Ketika Untara
terdiam sejenak, maka keadaan pringgitan itu menjadi terlampau sepi. Di halaman
sudah tidak terdengar lagi suara para prajurit. Sepi. Sepi sekali. Sejenak
mereka tenggelam di dalam angan-angan masing-masing. Betapa dinginnya malam,
tetapi dada Agung Sedayu terasa hangus terbakar. Ia sama sekali tidak dapat
menerima pendirian kakaknya. Tiba-tiba keinginannya untuk mengantarkan Sekar
Mirah ke Sangkal Putung justru menjadi semakin besar. Terbayang di ruang
matanya, wajah gadis itu menangis. Dengan suaranya yang pedih
memanggil-manggilnya sambil melambaikan tangannya.
Tiba-tiba
hatinya berteriak, “Aku akan pergi ke Sangkal Putung.”
Tetapi
mulutnya tetap terbungkam.
“Pikirkan,
Agung Sedayu. Dengarlah nasehatku. Kau seharusnya menemukan tempat untuk
berpijak lebih dahulu. Baru kemudian kau berpikir tentang seorang gadis. Apakah
kau dapat mengerti? Apalagi gadis itu telah beberapa kali membuat bencana. Langsung
atau tidak langsung, terhadap orang-orang yang menaruh perhatian atasnya.
Bukankah itu kau rasakan juga.”
Agung Sedayu
tidak menjawab, tetapi hatinya memekik tinggi,
“Tidak. Tidak
benar.”
“Nah.
Sebaiknya kau mendengarkan kata-kataku. Kau tetap di sini. Besok lusa kita
kembali ke Jati Anom. Mungkin kita dapat mengadakan sekedar keramaian atas
kemenangan kita. Tetapi tidak berlebih-lebihan dan tidak meninggalkan
kewaspadaan. Sesudah itu, Swandaru dan Sekar Mirah akan diantarkan ke Sangkal
Putung. Kau dan Wuranta tetap berada di Jati Anom. Kalau kelak kau sudah cukup
dewasa, dan cukup mempunyai alas yang kuat, terserahlah, apa yang akan kau
lakukan.”
Kata-kata
kakaknya serasa menyayat dada Agung Sedayu. Kini pendirian itu sudah tegas. Ia
tidak boleh pergi ke Sangkal Putung mengantarkan Sekar Mirah. Bahkan ia tidak
boleh lagi berhubungan dengan gadis itu. Tetapi Agung Sedayu sama sekali tidak
dapat mendengar alasan kakaknya yang berkepanjangan itu. Tentang umurnya yang
masih terlampau muda, tentang kemungkinan-kemungkinan yang masih panjang
baginya, kesempatan untuk menjadi seorang prajurit dan lainnya lagi. Yang
berputar di kepalanya adalah pendirian kakaknya itu pasti sudah dipengaruhi
oleh Wuranta. Kehadiran Wuranta di antara mereka ternyata telah membuat hatinya
menjadi pedih. Namun semuanya itu hanya bergolak saja di dalam dadanya. Ia
tidak dapat mengatakannya kepada kakaknya. Sampai saat ini kakaknya ternyata
masih terlampau disegani, sehingga bagaimanapun juga hatinya bergolak, tetapi
ditahannya saja di dalam dadanya, sehingga dada itu seolah-olah akan meledak.
“Bagaimana,
Agung Sedayu?” pertanyaan itu telah menyengat telinganya, sehingga Agung Sedayu
bergeser ke samping. Ia menjadi sangat gelisah. Melampaui Wuranta pada saat
melihat kedatangannya.
Sejenak Agung
Sedayu masih juga membeku. Tetapi hatinya seakan-akan meronta-ronta ingin
melepaskan diri dari pendirian kakaknya yang sama sekali tidak dapat
diterimanya itu. Betapa ia ingin berbuat atas kehendak sendiri dan tanggung
jawab sendiri seperti apa yang dapat dilakukan oleh Swandaru dan Sutawijaya
yang bergelar Mas Ngabehi Loring Pasar, meskipun kemudian mereka harus dimarahi
justru oleh ayah-ayah mereka. Karena Agung Sedayu tidak segera menjawab, maka
Untara mendesaknya lagi,
“Bagaimana,
Sedayu, apakah kau sependapat? Aku ingin mendengar jawabanmu. Kau tidak usah
pergi ke Sangkal Putung. Dan untuk sementara kau masih belum perlu mengadakan
hubungan dengan Sekar Mirah dan gadis mana pun juga. Umurmu masih terlampau
muda.”
Alangkah
sakitnya dada Agung Sedayu. Semuanya itu bertentangan dengan kehendaknya.
Tetapi ia tidak dapat menyatakannya. Dan akhirnya ia menyadari, bahwa ia takut
untuk menyatakan perasaannya yang bergolak itu. Ia takut mengatakan apa yang
sebenarnya dikehendaki. Ketika sekali lagi Untara bertanya kepadanya,
“Bagaimana,
Sedayu?” Maka tanpa disadarinya sendiri, dengan gemetar kepalanya mengangguk
lemah.
“Kau dapat
mengerti?”
Sekali lagi
kepalanya mengangguk perlahan sekali.
“Kau tetap
tinggal di Jati Anom bersama aku dan Wuranta. Kau harus mendapat kesempatan
untuk menjadi seorang laki-laki. Lapangan yang paling baik adalah lapangan
keprajuritan. Aku akan dapat mencarikan kesempatan untukmu. Dan aku akan dapat
menuntunmu.”
Dan sekali
lagi kepala itu mengangguk.
“Bagus, kau
mengerti Agung Sedayu. Dan ternyata kau masih Agung Sedayu yang dahulu. Kau
masih tetap seorang adik yang mengerti bahwa aku adalah pengganti ayah dan
ibu.”
Kini kepala
Agung Sedayu tertunduk lemah. Jalur-jalur pandan pada anyaman tikar yang didudukinya
menjadi semakin lama semakin kabur, seperti hatinya yang tidak dapat lagi
melihat dirinya dan kehendak sendiri. Meskipun demikian, ia masih mendengar
kakaknya berkata,
“Untuk
seterusnya kau pasti akan menjadi seorang prajurit yang pilih tanding. Nah,
bagaimanakah kau malam ini? Apakah kau akan tetap tinggal di sini atau kau
ingin kembali ke pondokmu? Sebaiknya untuk seterusnya kau tetap tinggal di sini
supaya kau tidak terpengaruh lagi oleh gadis itu. Tetapi kalau malam ini kau
akan kembali ke pondok itu, maka besok pagi kau harus sudah berada di banjar
ini. Seterusnya kau tidak boleh terlampau banyak berhubungan dengan kedua kakak
beradik itu. Bukan karena soal-soal lain, bukan karena masalah keprajuritan,
tetapi sekedar masalahmu. Itulah sebabnya, supaya tidak menimbulkan salah
paham, kau malam ini masih aku perbolehkan kembali lagi ke pondok itu.”
Dada Agung
Sedayu seakan-akan terbakar menjadi abu. Hangus tanpa dapat berbuat apa-apa.
“Bagaimana,
Sedayu?” bertanya kakaknya.
Bukan saja
mata Agung Sedayu, telinganya pun
seolah-olah menjadi kabur. Ia benar-benar telah kehilangan akal dan nalar.
“Malam ini
sebaiknya kau kembali ke pondok itu. Kau harus dapat membuat alasan yang tidak
menimbulkan salah paham tentang keputusanmu untuk tidak pergi ke Sangkal
Putung. Kau mengerti?”
Agung Sedayu
seolah-olah hanya dapat menganggukkan kepalanya. Dan kali ini pun ia mengangguk.
“Kalau begitu
pergilah,” berkata kakaknya kemudian.
“Hati-hati,
jangan menimbulkan salah paham.”
Sekali lagi
Agung Sedayu mengangguk, tetapi ia masih duduk saja di tempatnya, sehingga
kakaknya bertanya,
“Bagaimana?
Kenapa kau masih duduk saja?”
“Oh,” baru
Agung Sedayu serasa sadar dari mimpinya yang dahsyat. Baru ia merasa bahwa
bajunya basah oleh keringat dinginnya. Perlahan-lahan ia bangkit dan berkata,
“Aku akan
kembali ke pondok, Kakang.”
“Hati-hati
Sedayu. Kau bukan anak-anak lagi. Jangan menumbuhkan sakit hati, supaya
hubungan Sangkal Putung dan prajurit Pajang yang masih berada di sana tidak
terpengaruh oleh kesalahanmu.”
Sedayu mengerutkan
keningnya. Kalau terjadi demikian, maka ia lagilah yang bersalah. Dan kakaknya
pasti akan mengatakan bahwa sumber kesalahan itu juga adalah hubungannya dengan
Sekar Mirah. Karena itu, maka dada Agung Sedayu rasa-rasanya benar-benar akan
meledak. Kepalanya bertambah pening dan nalarnya menjadi pepat, sehigga ia
berdiri saja tegak seperti patung.
“He, kenapa
kau tegak saja di situ?” terdengar suara kakaknya.
“Apakah masih
ada yang akan kau tanyakan?”
“Oh,” Agung
Sedayu tergagap. “Tidak, Kakang. Aku minta diri.”
“Hati-hatilah,”
pesan kakaknya sekali lagi.
Agung Sedayu
segera melangkah meninggalkan pringgitan itu. Tetapi ia sama sekali tidak ingat
untuk minta diri kepada Wuranta. Baru ketika ia sudah berada di pendapa luar
pintu pringgitan, ia teringat kepadanya. Tetapi Agung Sedayu tidak melangkah
kembali. Ia berjalan terus dengan kaki gemetar di antara beberapa orang yang
sudah tertidur di pendapa. Satu dua masih terjaga dan Agung Sedayu mendengar
mereka terbatuk-batuk. Wuranta, yang masih duduk bersama-sama dengan Untara,
ternyata merasa tersinggung juga akan sikap Agung Sedayu, sehingga ia berkata,
“Kalau
hubunganku dengan adikmu itu kemudian tidak juga dapat menjadi baik, sama
sekali bukan salahku. Kau lihat sendiri bagaimana sikapnya kepadaku. Ketika ia
meninggalkan pringgitan ini ia sama sekali tidak menyapaku. Apalagi minta
diri.”
“Ia masih
terlampau muda. Perasaannya masih lebih banyak berbicara daripada pikirannya.
Kau sendiri pernah juga mengalami masa-masa di mana kau kehilangan pegangan.
Sekarang kau sudah menemukan keseimbangan. Kau harus dapat mengerti keadaan
Agung Sedayu. Karena itu kau akan dapat memaafkannya.”
Wuranta tidak
menjawab. Bagaimanapun juga, Untara adalah kakak Agung Sedayu, sehingga untuk
menyalahkannya ia agak segan-segan juga. Namun sikap Agung Sedayu itu
benar-benar menyinggung perasaannya. Justru karena di antara mereka ada
persoalan yang seakan-akan menjadi kabut yang membatasi mereka itu. Ketika
Agung Sedayu keluar dari regol halaman bandar padepokan Tambak Wedi, maka ia
seakan-akan tidak dapat lagi menahan hatinya. Ingin ia berteriak
sekeras-kerasnya. Ingin ia menjerit dan melontarkan suaranya sampai ke puncak
Gunung. Tetapi yang dirasakannya hanyalah pepat di dadanya. Hanya tiba-tiba
saja meledaklah geramnya seperti gelegak perut Gunung Merapi,
“Tidak. Aku
tidak dapat melakukannya. Aku akan pergi ke Sangkal Putung, malam ini juga.”
Ternyata Agung
Sedayu tidak kuasa menahan dirinya. Tekanan-tekanan yang diberikan oleh Untara
hanya dapat menahan anak itu di hadapannya. Tetapi setelah ia meninggalkan
pringgitan, maka ia sama sekali telah melupakan kesanggupannya yang
dinyatakannya karena perasaan segan dan takut, tetapi yang sebenarnya sama
sekali tidak dapat diterima oleh perasaannya. Tiba-tiba Agung Sedayu itu
seolah-olah didorong oleh desakan-desakan di dalam dadanya, langkahnya pun menjadi semakin cepat. Bahkan ia
berlari-lari kecil seperti takut kamanungsan karena kokok ayam jantan di
kejauhan.
Ia terkejut,
ketika tiba-tiba saja di perapatan ia bertemu dengan dua orang peronda yang
menyapanya,
“He, siapa
kau?”
Agung Sedayu
berhenti sejenak, tetapi ia tidak segera menjawab, sehingga kedua peronda itu
mengulanginya,
“Siapa kau?”
Agung Sedayu
menjawab dengan malasnya, “Agung Sedayu.”
“O,” orang itu
menyahut, “Apakah kau baru dari banjar?”
“Ya,” jawab
Sedayu.
Meskipun
demikian, salah seorang dari kedua peronda itu mendekati dan mengamat-amatinya
dengan seksama.
“Kemana kau
malam-malam begini?” bertanya peronda itu.
“Kembali ke
pondokku.”
“O,” peronda
itu mengangguk-anggukkan kepalanya, “silahkan.”
Agung Sedayu
meneruskan langkahnya. Tergesa-gesa. Dadanya serasa selalu mendesaknya untuk
segera sampai ke pondoknya, untuk kemudian mengatakan kepada Swandaru dan Sekar
Mirah, bahwa mereka harus segera bersiap. Malam ini juga pergi ke Sangkal
Putung. Ketika nyala lampu di regol halaman pondoknya sudah dilihatnya, maka
Agung Sedayu semakin mempercepat langkahnya. Jarak yang sudah menjadi semakin
pendek itu, terasa terlampau lama dilampauinya. Ia ingin sekali loncat dan
langsung sampai ke dalam pondoknya. Karena itu, maka Agung Sedayu itu kemudian
berlari sekuat-kuatnya seolah-olah takut di kejar hantu. Swandaru dan Sekar
Mirah yang belum juga dapat tidur terkejut mendengar langkah berlari-lari di
halaman. Swandaru segera meloncat berdiri. Tangannya tanpa disadarinya telah
melekat di hulu pedangnya.
“Siapa,
Kakang?” bertanya Sekar Mirah yang menjadi cemas.
“Duduklah,
Mirah.”
Sekar Mirah
yang telah berdiri di belakang Swandaru mendesaknya,
“Siapa,
Kakang?”
“Aku tidak
tahu. Tenanglah.”
Tetapi
kecemasan Sekar Mirah menjadi semakin dalam mengusik jantungnya, sehingga
dadanya menjadi berdentangan.
Langkah di
luar itu kini terputus. Sejenak kemudian terdengar pintu rumah itu diketuk
orang.
Swandaru
melangkah mendekati pintu. Ketika Sekar Mirah ingin mengikutinya, maka
didorongnya gadis itu surut perlahan-lahan sambil berbisik,
“Jangan
dekat-dekat. Mungkin aku harus menarik pedangku.”
Wajah Sekar
Mirah menjadi berkeringat. Dan ia mendengar Swandaru menyapa,
“Siapa di
luar?”
Terdengar
sebuah jawaban dengan suara bergetar,
“Aku, Agung
Sedayu.”
“He,” Swandaru
terkejut. Ia tidak dapat mengerti, kenapa Agung Sedayu terpaksa berlari-lari.
Karena itu, maka dadanya menjadi berdebar-debar. Hanya oleh hal-hal yang luar
biasa sajalah, maka Agung Sedayu terpaksa berlari. Karena itu maka cepat ia
meloncat meraih palang pintu. Sekali renggut, maka pintu itu pun telah terbuka. Maka dilihatnya Agung
Sedayu berdiri di muka pintu dengan wajah yang pucat dan tubuh gemetar. Karena
itu maka Swandaru pun menjadi semakin
cemas. Dengan terbata-bata ia bertanya,
“Apa yang
telah terjadi, Kakang?”
Agung Sedayu
yang sedang kebingungan itu menjadi semakin bingung mendengar pertanyaan itu.
Tiba-tiba saja ketika ia telah berdiri di muka Swandaru dan Sekar Mirah, ia
menjadi ragu-ragu untuk mengatakan apa yang sebenarnya telah terjadi atas
dirinya.
“Apa yang
telah terjadi, Kakang? Apakah Kakang sedang dalam bahaya?”
Swandaru
melihat Agung Sedayu menggelengkan kepalanya. Dan terdengar kata-katanya
perlahan,
“Tidak, Adi
Swandaru. Aku tidak apa-apa.”
“Tetapi,”
Swandaru berhenti sejenak. Diamat-amatinya Agung Sedayu yang gemetar. Nafasnya
masih terdengar berkejaran lewat lubang hidungnya.
“Tetapi,”
Swandaru mengulang,
“kau baru saja
berlari.”
Agung Sedayu
mengangguk lemah,
“Ya,” jawabnya.
“Kenapa Kakang
berlari-lari?”
Agung Sedayu
menarik nafas dalam-dalam. Ia mencoba menenangkan hatinya yang sedang terlampau
gelisah dan bingung.
“Aku akan
masuk dahulu,” desisnya tiba-tiba.
“Oh,” Swandaru
tergagap, “Marilah. Masuklah.”
Agung Sedayu
itu pun kemudian masuk ke dalam
pondoknya. Swandaru-lah yang kemudian menutup pintu dan menyelaraknya dengan
sepotong kayu. Agung Sedayu kemudian duduk di amben besar yang ada di dalam
ruangan itu. Ia mencoba menenteramkan hatinya dan mencoba berpikir apakah yang
sebaiknya dilakukan. Kini ia menjadi ragu-ragu untuk berkata sesungguhnya. Hal
itu pasti akan menyinggung perasaan anak-anak muda Sangkal Putung kakak beradik
itu. Dan Agung Sedayu masih sempat mengingat kata-kata kakaknya, bahwa apabila
terjadi demikian, maka hal itu akan dapat menyulitkan kedudukan
prajurit-prajurit Pajang di Sangkal Putung di bawah pimpinan pamannya, Widura.
Dan nalarnya tidak menghendaki hal itu terjadi. Tetapi untuk tetap berdiam
diri, dan kemudian menuruti perintah kakaknya untuk tinggal di Jati Anom dan
menjadi seorang prajurit, sama sekali tidak terlintas di dalam angan-angannya.
Ia tidak ingin tinggal di Jati Anom. Ia tidak ingin lagi selalu berada
bersama-sama dengan kakaknya seperti pada masa kanak-kanaknya. Kini ia telah
berani menghadapi kehidupan ini seorang diri. Ia telah berani tampil sebagai
seorang laki-laki yang berpribadi. Swandaru dan Sekar Mirah yang kemudian duduk
di amben itu pula menjadi heran melihat keadaan Agung Sedayu. Mereka melihat
anak muda itu pucat dan gelisah. Bahkan sekali-sekali menarik nafas dan
berdesah. Tetapi Swandaru tidak ingin mendesaknya sekali lagi. Ia tahu, bahwa
Agung Sedayu sedang kebingungan dan ia tidak ingin menambah anak muda itu
menjadi semakin bingung.
Sejenak mereka
bertiga saling berdiam diri. Meskipun Swandaru dan Sekar Mirah selalu
memandangi Agung Sedayu yang gelisah, tetapi mereka tidak bertanya sepatah
katapun. Mereka hanya menyimpan keheranan dan kecemasannya di dalam dadanya. Di
luar gemersik dedaunan menjadi semakin keras ditiup angin lereng pegunungan
yang mengalir dari Selatan. Dinginnya menembus dinding pondok yang tidak
terlampau rapat, menyusup menyentuh kulit. Sementara itu, dada Agung Sedayu
masih saja bergolak. Dicarinya cara yang sebaik-baiknya untuk mengatakan
keadaannya tanpa menyinggung perasaan kedua kakak beradik itu, seolah-olah
mereka sama sekali sudah tidak diperlukan lagi di sini dan diusir untuk segera
pergi kembali ke Sangkal Putung. Sekali lagi Agung Sedayu berdesah. Kediamannya
telah membuat ruangan itu semakin lama semakin tegang. Dan untuk melepaskan
ketegangan itu tiba-tiba saja terloncat dari bibirnya pertanyaan,
“Apakah kalian
belum tidur?”
Kini
Swandaru-lah yang menarik nafas dalam. Pertanyaan itu memang dapat mengurangi
ketegangan perasaan masing-masing. Dengan menggelengkan kepalanya, Swandaru
menjawab,
“Belum,
Kakang. Kami tidak segera dapat tidur.”
Agung Sedayu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia kehilangan pertanyaan yang akan
diucapkannya. Karena itu, sejenak mereka terdorong di dalam kesenyapan kembali,
dan kali ini menegangkan lagi.
Baru sejenak
kemudian, Agung Sedayu dapat mengucapkan kata-kata,
“Malam telah
larut. Beristirahatlah.”
Swandaru
mengangguk,
“Kami
sebenarnya juga ingin beristirahat, tetapi kegelisahan dan malam yang terlampau
sepi ini membuat kami tidak dapat memejamkan mata.”
Agung Sedayu
mengangguk-angguk pula. Ia melihat pedang Swandaru tergantung di lambungnya.
Hal itu telah mengatakan kepadanya, bahwa anak muda Sangkal Putung itu pun pasti benar-benar sedang digelisahkan
oleh sepi malam yang telah membakar perasaannya. Setelah sekian lama Agung
Sedayu berusaha, maka ditemukannya kalimat-kalimat yang dapat diucapkannya.
Maka katanya,
“Aku sudah
dapat ijin dari Kakang Untara untuk meninggalkan padepokan ini.”
“He,” ternyata
kalimatnya itu telah mengejutkan Swandaru dan Sekar Mirah, sehingga mereka pun bergeser mendekati.
“Jadi,
bagaimanakah maksudmu, Kakang? Apakah itu bararti kita tidak ada keberatan apa
pun lagi untuk segera meninggalkan padepokan ini dan kembali ke Sangkal
Putung?” bertanya Sekar Mirah.
Agung Sedayu
menjadi ragu-ragu sejenak. Dengan susah payah ia kemudian menjawab,
“Ya,
begitulah.”
“Oh,” wajah
Sekar Mirah segera berseri.
“Jadi kita
dapat segera pulang kepada ayah dan ibu? Kalau begitu, kita akan segera pulang
ke Sangkal Putung. Bagaimana kalau sekarang?” Tetapi kata-katanya terputus
ketika tiba-tiba diingatnya, bahwa menurut kedua anak-anak muda itu dan bahkan
menurut Kiai Gringsing, Sidanti mungkin berkeliaran di sekitar tempat itu.
Swandaru dan
Agung Sedayu pun tidak segera menyahut
kata-kata Sekar Mirah itu. Bahkan sejenak mereka saling berpandangan di dalam
kediaman mereka. Sekar Mirah yang menjadi ngeri membayangkan kemungkinan yang
dapat terjadi apabila Sidanti mencegat perjalanan mereka, menggigit bibirnja.
Sekali dipandanginya wajah kakaknya Swandaru dan sekali wajah Agung Sedayu.
Seandainya Kiai Gringsing tidak pernah mengatakannya, maka Sekar Mirah tidak
akan menjadi demikian ngeri. Tetapi tiba-tiba, baik Sekar Mirah maupun Swandaru
terkejut, ketika mereka mendengar Agung Sedayu berkata,
“Kita memang
dapat segera meninggalkan tempat ini. Bahkan sekarang pun dapat.”
Kini Swandaru
dan Sekar Mirah lah yang saling berpandangan. Tiba-tiba terasa suasana menjadi
demikian tegangnya. Dengan gemetar Sekar Mirah bertanya,
“Jadi kita
benar-benar dapat kembali ke Sangkal Putung sekarang?”
“Ya,” sahut
Agung Sedayu pendek.
Dalam
kegelapan, maka jalan inilah yang akan ditempuh oleh Agung Sedayu. Pergi
meninggalkan padepokan ini dan meninggalkan kakaknya. Ia tidak ingin tinggal di
Jati Anom, apalagi menjadi seorang prajurit. Karena itu, ia harus segera lari.
Lari dari padepokan ini dan menjauhinya. Tetapi sikap Agung Sedayu itu ternyata
menimbulkan berbagai macam pertanyaan di dalam dada Swandaru. Semula Agung
Sedayu menyatakan keberatannya untuk segera meninggalkan padepokan ini dengan
berbagai alasan. Ketika Sekar Mirah mencoba memaksa untuk minta diantar segera
ke Sangkal Putung, maka Agung Sedayu telah mencoba menahannya. Kemudian Kiai
Gringsing pun menahan mereka itu pula.
Kini tiba-tiba Agung Sedayu sendirilah yang seakan-akan ingin segera
meninggalkan padepokan ini. Swandaru yang hampir-hampir tidak pernah berpikir
mengenai persoalan yang dapat membuatnya pening, kini mencoba menghubungkan
sikap Agung Sedayu dan apa saja yang baru terjadi atasnya. Baru saja Agung
Sedayu berlari-lari seperti orang yang sedang ketakutan dengan wajah yang
pucat. Lalu tiba-tiba kini Agung Sedayu berkeinginan untuk segera mengantarkan
Sekar Mirah ke Sangkal Putung. Begitu tajamnya pertanyaan-pertanyaan itu
mengganggu perasaannya, sehingga ia tidak dapat lagi menahannya. Dengan nada
datar ia bertanya,
“Kakang,
apakah hal itu tidak akan menimbulkan prasangka yang kurang baik?”
“Siapakah yang
akan berprasangka?” bertanya Agung Sedayu.
“Bukankah ayah
dan ibumu, sudah sekian lamanya menunggu? Bagi mereka, kedatangan kalian
semakin cepat akan menjadi semakin baik.”
“Ya,” sahut
Sekar Mirah, “semakin cepat semakin baik.”
“Nah, bukankah
kau juga sudah rindu kepada ayah ibumu?” bertanya Agung Sedayu pula.
“Tentu,” sahut
Sekar Mirah,
“apabila
sekarang kita memang dapat berangkat kembali ke Sangkal Putung, aku akan senang
sekali.” Sekar Mirah itu terdiam sejenak, lalu tiba-tiba suaranya menjadi
sangat perlahan-lahan,
“Tetapi,
bagaimana dengan Sidanti?”
“Ah,” desah
Agung Sedayu,
“aku tidak
takut dengan Sidanti. Aku dan kakakmu, Adi Swandaru akan menjagamu.”
“Bagaimana
dengan Ki Tambak Wedi?”
Agung Sedayu
terdiam mendengar pertanyaan itu. Ditatapnya wajah Swandaru yang bulat. Tetapi sepasang
mata pada wajah itu memancarkan beribu macam pertanyaan yang bergelora di dalam
dada anak muda yang gemuk itu.
“Kakang,”
berkata Swandaru,
“aku pun sebenarnya ingin segera pulang ke Sangkal
Putung. Tetapi betapa tumpul otakku, namun aku merasakan sesuatu yang tidak
wajar. Aku tidak tahu, apakah perasaanku yang tidak wajar, apakah memang
sebenarnya sedang terjadi sesuatu atasmu. Aku masih belum tahu, apakah sebabnya
kau berlari-lari di halaman. Dan sekarang aku pun masih belum tahu, apakah yang
menyebabkan kau tergesa-gesa meninggalkan padepokan ini?”
Dada Agung
Sedayu berdesir mendengar pertanyaan itu. Tetapi kemudian ia menyadari, bahwa
pertanyaan yang demikian itu justru adalah pertanyaan yang wajar. Dicobanya
untuk menahan gelora di dadanya. Dan dicobanya untuk memperhitungkan keadaan
yang dihadapinya dengan tenang. Tetapi hatinya benar-benar menjadi pepat.
Karena itu, sejenak ia berdiam diri saja. Direnunginya kini sudut ruangan itu
dengan pandangan mata yang kosong. Sekali lagi Swandaru melihat kebingungan
yang mencengkam hati Agung Sedayu. Dan sekali lagi ia tidak ingin menambah hati
anak muda itu menjadi semakin bingung. Karena itu, maka ia pun tidak mendesak lagi. Kini Swandaru pun duduk merenung. Tanpa sesadarnya
tangannya telah membelai hulu pedangnya yang dibuatnya dari gading.
Sedang Sekar
Mirah pun menjadi bingung sendiri. Ia
tidak tahu persoalan apakah yang sebenarnya sedang dihadapi. Tetapi seperti
juga Swandaru, ia pun merasakan pula
sebuah sentuhan yang tidak sewajarnya pada perasaannya. Tetapi ia pun tidak bertanya sesuatu. Namun sekali lagi
Swandaru dan Sekar Mirah terkejut, ketika mereka mendengar Agung Sedayu
bergumam lirih,
“Tetapi aku
harus segera meninggalkan padepokan ini.”
Ketika
Swandaru dan Sekar Mirah berpaling kepadanya, Sedayu masih saja merenungi sudut
ruangan itu. Sejenak Swandaru masih tetap berdiam diri. Tetapi kini gejolak di
dalam dadanya menjadi semakin tajam. Bahkan tiba-tiba tumbuhlah berbagai
masalah di dalam dadanya. Dan seperti juga Agung Sedayu yang bergumam
perlahan-lahan, maka Swandaru pun
kemudian bertanya perlahan-lahan, seperti seseorang yang sedang bergumam,
“Kakang,
apakah sebenarnya yang telah terjadi? Apakah kehadiran kami, aku dan Sekar
Mirah di sini tidak dikehendaki? Dan apakah Kakang sedang mencoba menyingkirkan
kami dengan cara yang tidak kami ketahui, supaya kami tidak tersinggung
karenanya?”
Meskipun
kata-kata Swandaru itu diucapkan perlahan-lahan, bahkan hampir tidak terdengar,
tetapi Agung Sedayu terperanjat karenanya. Diangkatnya kepalanya, dipandanginya
wajah anak muda yang gemuk itu. Setapak ia bergeser, dan hampir ia berteriak,
“Darimana kau
mengetahuinya?”
Untunglah,
bahwa mulutnya segera dapat dikuasainya. Dan Agung Sedayu tidak mengucapkan
kata-kata itu.
Sejenak Agung
Sedayu berjuang untuk menenangkan hatinya. Ketika ia mendengar suara burung
hantu di kejauhan, maka ia menarik nafas dalam-dalam.
“Kau salah
tafsir, Adi Swandaru,” desis Agung Sedayu. Namun suaranya bernada datar dan
diwarnai oleh keragu-raguan hatinya.
Swandaru tidak
segera menyahut.
“Tidak ada
seorang pun yang berpendirian demikian di padepokan ini. Kalian di sini sama
sekali tidak mengganggu siapa pun, sehingga karena itu, maka tidak seorang pun yang merasa berkeberatan atas kehadiranmu
di sini.” Tetapi hati Agung Sedayu berkata lain. Ia tahu benar, bahwa kakaknya
menghendaki agar Sekar Mirah segera meninggalkan padepokan ini. Lebih cepat
lebih baik.
Besok atau
lusa kakaknya akan menyelenggarakan sebuah pertemuan untuk menyatakan kebesaran
hati para prajurit Pajang dan orang-orang Jati Anom, karena mereka telah
berhasil menyelesaikan tugas-tugas mereka yang berat. Kemudian setelah itu,
segera Sekar Mirah akan diantar ke Sangkal Putung oleh sepasukan prajurit,
supaya gadis itu terpisah daripadanya, dan tidak lagi menimbulkan
persoalan-persoalan di antara anak-anak muda. Tetapi keringat dingin mulai
mengalir di punggungnya ketika Swandaru bertanya,
“Tetapi apakah
sebabnya Kakang menjadi terlampau gelisah? Kakang berbuat sesuatu yang sama
sekali tidak dapat aku mengerti, dan Kakang bersikap tidak wajar dalam
tangkapanku. Mudah-mudahan aku keliru.”
Agung Sedayu
memang tidak dapat menyembunyikan perasaannya. Cemas, gelisah dan bingung. Ia
tidak mau menuruti perintah kakaknya. Ia ingin lari malam ini meninggalkan
padepokan Tambak Wedi.
“Tetapi tidak
ada tujuan lain, selain Sangkal Putung,” katanya di dalam hati.
“Untuk itu aku
harus pergi bersama-sama dengan Swandaru dan Sekar Mirah. Tetapi bagaimana aku
menjelaskan persoalan ini.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar