Keduanya menggeleng. Agung Sedayu pun tidak biasa tidur pada saat-saat seperti ini. Berbeda dengan Ki Tanu Metir. Ia tidur kapan saja ia inginkan, tetapi kadang-kadang semalam suntuk ia sama sekali tidak tidur. Sebenarnya Agung Sedayu pun tidak ingin tidur. Ia ingin mengatur perasaannya seperti yang dikatakan oleh gurunya. Ketika kemudian malam tiba, dan padepokan Tambak Wedi disaput oleh warna yang kelam, maka perlahan-lahan Agung Sedayu meninggalkan pondoknya.
“Kau akan
pergi ke banjar?” bertanya Swandaru.
“Ya, Kakang
Untara memanggil aku. Mungkin ada sesuatu yang dianggapnya penting.”
Swandaru
mengerutkan keningnya. Tampaknya ia ingin mengucapkan sesuatu, tetapi ternyata
ia berdiam diri saja.
Namun di luar
dugaan Swandaru dan Agung Sedayu, tiba-tiba Sekar Mirah bertanya lirih,
“Tetapi,
bukankah kau akan kembali ke pondok ini, Kakang?”
Agung Sedayu
mengerutkan keningnya. Dengan serta-merta ia menjawab,
“Tentu Mirah.
Aku tentu kembali ke mari.”
“Lalu, apakah
Kakang Agung Sedayu akan kembali ke Jati Anom segera?”
“Ah, aku kira
kita akan pergi bersama-sama.”
“Mungkin ada
perintah lain dari Kakang Untara.”
Agung Sedayu
terdiam. Hal yang demikian itu memang mungkin sekali. Tetapi apakah ia harus
selalu tunduk saja kepada perintah kakaknya yang bertentangan dengan
kehendaknya? Bukankah ia bukan seorang prajurit Pajang? Karena Agung Sedayu
tidak menjawab maka Sekar Mirah mendesaknya,
“Bagaimana,
Kakang? Dan apakah kau akan pergi juga ke Sangkal Putung seperti katamu?”
Agung Sedayu
masih berdiam diri. Pertanyaan itu telah membuat hatinya berdebar-debar.
Sebelum itu, Sekar Mirah seolah-olah membiarkannya, seandainya ia ingin
meninggalkan kedua anak-anak Sangkal Putung itu, bahkan tampaknya Sekar Mirah
acuh tak acuh saja seandainya ia tidak lagi akan pergi ke Sangkal Putung. Namun
dalam keadaan yang mendebarkan ini, Sekar Mirah bertanya kepadanya, apakah ia
akan pergi ke Sangkal Putung.
“Bukankah kau
mengatakan,” sambung Sekar Mirah,
“bahwa kau
bersama-sama dengan Kakang Swandaru sedang mencari aku, dan kau akan
menyerahkan aku kepada ayah bundaku bersama dengan Kakang Swandaru?”
Debar di dada
Agung Sedayu terasa menjadi semakin cepat. Kini ia tidak dapat berdiam diri
saja. Maka dengan ragu-ragu ia menjawab,
“Ya, Mirah.
Aku akan pergi ke Sangkal Putung.”
Sekar Mirah
menatap mata Agung Sedayu dengan tajamnya. Tiba-tiba dari mata itu memancar
suatu perasaan yang aneh, bahkan mata itu seolah-olah menjadi basah. Dan
perlahan-lahan sekali Agung Sedayu mendengar suara Sekar Mirah di-sela-sela
bibirnya yang bergerak-gerak lamban,
“Aku dan
Kakang Swandaru menunggumu, Kakang.”
Agung Sedayu
menganggukkan kepalanya. Dipandanginya kedua kakak beradik itu berganti-ganti.
Terasa darahnya seakan-akan menjadi semakin cepat mengalir. Maka jawabnya
kemudian tersendat-sendat,
“Ya, ya. Aku
pasti akan kembali ke pondok ini dan aku akan mengantarkan kalian ke Sangkal
Putung.”
Agung Sedayu
itu pun kemudian pergi meninggalkan mereka dengan perasaan yang aneh. Sekar
Mirah masih berdiri saja sejenak di halaman sehingga Agung Sedayu itu hilang
ditelan gelapnya malam. Sekar Mirah itu tersadar ketika ia mendengar kakaknya
berdesis di belakangnya,
“Marilah kita
masuk, Mirah. Malam terlampau dingin.”
Sekar Mirah
mengangguk. Tetapi tiba-tiba gelap malam membuatnya ketakutan lagi. Dengan
gemetar dipeganginya tangan kakaknya. Di dalam kegelapan itu terbayang kembali
mayat yang bergelimpangan, membujur lintang di halaman, di jalan-jalan bahkan
bersandar pagar-pagar batu.
“Kakang,”
kata-katanya bergetar, dan pegangannya pada tangan kakaknya menjadi semakin
erat,
“aku takut
Kakang, takut.”
“Apa yang kau
takutkan?”
Sekar Mirah
tidak menjawab, tetapi wajahnya disembunyikannya di dada kakaknya.
“Marilah
masuk, Mirah.”
Swandaru
itu pun kemudian membimbing Sekar Mirah
masuk ke dalam pondoknya, dan Sekar Mirah itu berjalan saja sambil memejamkan
matanya. Demikian mereka masuk kedalam pondok itu, maka Sekar Mirah pun segera berkata,
“Tutuplah
pintunya, Kakang.”
Swandaru pun segera menutup pintu. Sekar Mirah kini
kembali menjadi ketakutan dan selalu berpegangan tangan kakaknya. Meskipun
kemudian mereka telah duduk di atas amben besar di dalam pondok itu, dan
ruangan itu diterangi oleh sebuah lampu minyak yang tersangkut di tiang, namun
Sekar Mirah masih saja ngeri karena bayangan yang mengganggunya. Perasaan ngeri
itu ternyata mempengaruhi pula perasaan Swandaru Geni. Tetapi ia tidak menjadi
ngeri dihantui oleh bayangan mayat yang bergelimpangan. Yang mendebarkan
jantungnya adalah suasana yang dirasanya terlampau sepi. Tanpa disengajanya
maka matanya hinggap pada pedangnya yang besar, bertangkai gading yang
tergantung di dinding. Pedang itu tidak terlampau jauh dari padanya. Sekali
loncat ia akan sudah dapat meraih senjata itu. Tetapi perasaannya telah
memaksanya untuk berdiri sejenak.
“Kau akan
kemana, Kakang?” bertanya Sekar Mirah yang masih berpegangan tangannya.
Swandaru Geni
tidak menjawab. Tetapi ia bergeser sedikit dan meraih pedang itu.
“Apakah kau
akan pergi?” bertanya adiknya.
Swandaru
menggeleng, “Tidak.”
“Tetapi kenapa
kau kenakan pedang itu di lambungmu?”
“Hanya sekedar
untuk menenteramkan hati.”
“Kenapa,
Kakang?” Sekar Mirah menjadi semakin cemas, “apakah ada sesuatu?”
“Tidak, tidak
Mirah. Tidak ada apa-apa. Duduklah. Aku ingin membuat hatimu dan hatiku sendiri
tenteram. Di samping senjata ini aku tidak akan mengenal takut lagi. Aku harap
kau juga tidak lagi menjadi berdebar-debar dan ketakutan.”
Sekar Mirah
terdiam. Keduanya kemudian duduk lagi. Tanpa dikehendaki, Sekar Mirah
bermain-main dengan juntai pedang Swandaru yang berwarna kekuning-kuningan.
Juntai yang diterimanya dari pemberian Sutawijaya. Di luar malam menjadi
semakin kelam. Derik cengkerik dan pekik bilalang bersahutan dengan lengking
angkup nangka. Ngelangut. Di kejauhan sekali-sekali terdengar anjing liar
menyalak dan menggonggong seakan-akan menangisi keluarganya yang hilang di
peperangan. Sekar Mirah duduk semakin merapat kakaknya. Kesepian malam
membuatnya menjadi semakin ngeri. Tetapi dengan pedang di lambungnya Swandaru
sudah tidak diganggu lagi oleh kecemasan. Meskipun demikian setiap desir yang
lemah sekalipun seakan-akan telah membuat telinga Swandaru bergerak.
Di dalam
kegelapan malam itulah Agung Sedayu melangkah dengan hati yang berdebar-debar.
Dilewatinya jalan padepokan Tambak Wedi yang sepi. Jalan yang belum begitu
dikenalnya. Tetapi ia tahu benar arah yang harus diambilnya untuk sampai ke
banjar padepokan. Namun Agung Sedayu sama sekali tidak kehilangan kewaspadaan.
Ia berjalan di daerah yang belum begitu dipahami. Dan daerah itu adalah daerah
yang baru saja dilanda oleh pertempuran. Di ujung jalan ini kemarin berserakan
mayat dan orang-orang yang terluka. Di halaman-halaman dan di kebun-kebun di
sekitar banjar. Tidak pula mustahil apabila di balik rimbunnya pepohonan itu
masih ada satu dua orang yang bersembunyi, mengintai perjalanannya. Sisa-sisa
orang Tambak Wedi atau orang Jipang yang berhasil bersembunyi di balik
gerumbul-gerumbul dan rerungkutan, atau di dalam kebun-kebun salak yang
terbentang di sela-sela kebun-kebun bambu yang padat. Gemerisik angin malam
menggoyangkan dedaunan dan ranting kecil. Dingin malam di lereng pegunungan
mulai terasa membelai kulit. Tetapi Agung Sedayu tidak menghiraukannya. Ia berjalan
terus. Selangkah demi selangkah menembus gelapnya malam. Pedangnya tergantung
di lambung kirinya. Bergerak-gerak seirama dengan langkah kakinya. Meskipun
jarak yang akan dilalui Agung Sedayu dari pondoknya ke banjar padepokan itu
tidak jauh, tetapi di dalam jarak yang dekat itu menunggu berbagai kemungkinan
yang tidak dapat diperkirakan sebelumnya.
Dalam gelap
malam Agung Sedayu melangkah terus, seperti hatinya yang sedang gelap pula.
Kadang-kadang timbul niatnya untuk berbuat sekehendak hatinya tanpa
menghiraukan apa pun yang akan dikatakan
kakaknya nanti. Bahkan ia akan bersedia melakukan akibat yang bagaimana pun juga. Tetapi kemudian tumbuhlah
sifat-sifatnya yang tidak dapat ditinggalkannya. Ragu-ragu. Tiba-tiba langkah
Agung Sedayu tertegun. Ia sudah melihai lamat-lamat nyala obor di halaman.
Tetapi dekat, hanya beberapa langkah daripadanya, ia melihat bayangan hitam
yang bergerak-gerak. Menilik sikapnya, bayangan itu pasti bukan prajurit
Pajang. Hati Agung Sedayu menjadi berdebar-debar dan curiga. Selangkah ia maju
mendekati bayangan itu, tetapi bayangan itu
pun kemudian menjauhinya selangkah pula.
Debar di dada
Agung Sedayu menjadi semakin keras. Perlahan-lahan ia bertanya,
“Siapa kau?”
Tetapi ia
tidak mendengar jawaban. Sekilas angan-angannya meloncat kepada Wuranta. Apakah
orang itu Wuranta? Lalu apakah maksudnya ia menungguku di kegelapan. Agung
Sedayu menggeleng lemah, “pasti bukan Wuranta.” Namun di dalam hatinya itu
terdengar,
“Mungkin. Ia
sedang menungguku. Bukankah sikapnya pada saat-saat terakhir sangat
membingungkan?”
Selangkah
Agung Sedayu maju, dan selangkah orang itu menjauh. Segera Agung Sedayu
mengerti, bahwa orang itu sedang memancingnya. Karena itu, maka ia menjadi
semakin berhati-hati. Mungkin orang itu cukup berbahaya baginya. Tetapi hati
Agung Sedayu saat itu sedang disaput oleh kegelapan. Betapapun ia mencoba untuk
berbuat sebaik-baiknya dan dengan penuh kewaspadaan, namun tiba-tiba kemarahan,
kejemuan, dan segala macam perasaan yang tidak menyenangkannya, serasa terungkat.
Sekali terdengar anak muda itu menggeram. Lalu sekali lagi ia bertanya,
“Siapa kau,
he?”
Masih belum
ada jawaban. Karena itu maka kemarahan di dada Agung Sedayu menjadi semakin
membara, Ia merasa dipermainkan oleh bayangan yang tidak dikenalnya. Agung Sedayu
yang sedang pepat itu, sama sekali tidak sempat untuk membuat
pertimbangan-pertimbangan yang jernih. Memang sekali terkilas di dalam hatinya
sebuah pertanyaan,
“Apakah orang
ini Ki Tambak Wedi yang berhasil kembali ke dalam padepokan ini?”
Tetapi pertanyaan
yang demikian dijawabnya sendiri,
“Tidak. Kalau
orang ini yang bernama Ki Tambak Wedi, ia tidak memancing aku. Dengan sekali
loncat ia sudah berhasil menerkam aku dan membuatku pingsan atau membunuhku
sama sekali. Orang ini pasti bukan Ki Tambak Wedi.”
“Sidanti,
Argajaya?”
Agung Sedayu
menjadi ragu-ragu. Tetapi ketika ia melihat bentuk bayangan dalam keremangan
malam, maka ia mencoba meyakinkan dirinya sendiri,
“Bukan
keduanya,” desisnya.
“Aku tidak
peduli apakah orang itu Sidanti, Argajaya, atau Tambak Wedi sekalipun,”
geramnya kemudian.
Agung Sedayu
kemudian benar-benar menjadi bermata gelap. Hatinya yang bingung karena
persoalan-persoalan yang bertubi-tubi menggoda perasaannya telah membuatnya
kehilangan pertimbangan. Sikap Wuranta yang tidak dimengertinya, sikap
kakaknya, dan persoalan yang membuat hatinya menjadi kisruh. Kini ia ingin
menumpahkan segala macam perasaannya itu. Segala macam kejemuan, kejengkelan,
kebingungan, dan apa saja. Tiba-tiba Agung Sedayu menggeretakkan giginya.
“Aku sudah cukup
dewasa untuk menentukan sikap. Juga terhadap ini, aku tidak perlu berlari-lari
melaporkannya kepada Kakang Untara. Aku hanya akan dimarahinya. Diejeknya dan
barangkali dimaki-makinya. Apalagi kalau orang ini ternyata orang-orang yang
berbahaya, yang kemudian berhasil melepaskan diri. Aku pasti dikiranya seorang
pengecut yang hanya berani berbuat di antara orang-orang dapat melindungiku.”
Dengan
serta-merta Agung Sedayu pun segera
meloncat mengejar bayangan itu. Demikian tiba-tiba sehingga bayangan itu pun terkejut. Namun orang yang berada di
dalam kegelapan itu masih mampu menghindarkan dirinya dan berlari membelok ke
dalan lorong yang sempit. Agung Sedayu sudah tidak dapat berpikir jernih lagi.
Dikejarnya orang yang berlari itu. Ia sudah tidak lagi menghiraukan apa pun,
meskipun mereka kemudian memasuki lorong-lorong yang makin sempit dan rimbun.
Lorong-lorong yang jarang sekali dilalui oleh peronda-peronda prajurit Pajang. Namun
Betapapun juga, naluri Agung Sedayu masih mencegahnya ketika bayangan itu
meloncat masuk ke dalam sebuah kebun yang kosong. Kebun yang gelap pepat
ditumbuhi oleh gerumbul-gerumbul liar, dan rumpun-rumpun bambu. Di sana-sini
tumbuh pohon yang besar dan rimbun.
“Ia memancing
aku masuk,” geram Agung Sedayu. Tapi ia kini dicengkam oleh keragu-raguan.
Perlahan-lahan ia menenangkan diri, menjernihkan pikirannya. Kini ia mencoba
untuk menduga, siapakah orang itu.
“Ada beberapa
kemungkinan,” katanya di dalam hati,
“tetapi
kemungkinan bahwa orang itu satu di antara tiga, Sidanti, Argajaya, atau Ki
Tambak Wedi sendiri adalah sangat tipis. Menurut pengamatanku, bentuk tubuh
mereka agak berbeda. Sikap dan cara untuk melarikan diri pun berbeda pula.
Agaknya Wuranta pun bukan pula. Yang
paling mungkin adalah sisa-sisa orang Jipang atau orang-orang Tambak Wedi
sendiri yang lolos dari tangan prajurit Pajang dan berhasil bersembunyi di
dalam liarnya gerumbul-gerumbul dan rumpun-rumpun bambu itu.”
Agung Sedayu
masih saja berhenti di tempatnya. Kini ia sudah tidak melihat bayangan itu
lagi. Bayangan itu telah hilang ke dalam rimbunnya dedaunan. Tetapi Agung
Sedayu kini telah melihat bahaya yang dapat tumbuh apabila ia masuk ke dalam
halaman yang liar itu. Ia akan dengan mudahnya disergap dari segala penjuru. Ia
tidak tahu, apakah orang itu hanya seorang diri, atau mempunyai kawan-kawan
yang cukup banyak. Karena itu, maka ia masih tetap berdiri tegak di tempatnya. Ketka
ia masih saja tidak bergerak, ia melihat bayangan yang hitam itu muncul lagi di
dalam kegelapan. Agung Sedayu melihat bayangan itu berdiri tegak dengan kaki
renggang, seolah-olah siap untuk menyerangnya. Selangkah Agung Sedayu surut.
Kesadarannya telah memperingatkannya untuk berbuat lebih hati-hati. Dan
tiba-tiba saja, maka di tangan Agung Sedayu itu telah tergenggam pedangnya. Tetapi
bayangan yang hitam itu masih berdiri diam. Agaknya ia sengaja menunggu Agung
Sedayu menyerangnya. Tetapi Agung Sedayu
pun masih tetap berdiri saja di tempatnya. Ternyata bayangan itu tidak
dapat bersabar lebih lama lagi. Sejenak kemudian terdengar suaranya berdesis,
“He, prajurit
Pajang. Kau memang terlampau berani datang seorang diri ke tempat ini.”
Agung Sedayu
mengerutkan keningnya. Dan ia mendengar bayangan itu berkata lagi,
“Menurut
pengamatan kami, kau adalah seorang dari dua anak-anak muda yang menunggui
gadis itu di pondoknya.”
“Nah, sekarang
aku ingin minta tolong kepadamu, supaya kau memanggil seorang kawanmu itu dan
gadis yang kau tunggui itu pula, supaya kau selamat.”
Terdengar gigi
Agung Sedayu gemeretak.
“Kalau kau
bersedia, marilah. Kami, beberapa orang, akan mengantarmu ke pondok itu. Tetapi
ingat, jangan berbuat hal-hal yang dapat membahayakan jiwamu,” Orang itu
berhenti sejenak, lalu,
“Kami
sebenarnya tidak berkepentingan sama sekali dengan kalian. Tetapi bersama-sama
dengan kalian, kami akan dapat keluar dari neraka ini. Dengan kalian, maka para
penjaga pintu regol tidak akan dapat banyak berbuat atas kami.”
Agung Sedayu
menggeram. Kini ia sadar, siapakah yang dihadapinya. Mereka adalah orang-orang
yang berhasil bersembunyi di dalam padepokan ini, di antara gerumbul-gerumbul
liar dan rumpun-rumpun bambu. Mungkin mereka adalah orang-orang yang pada saat
pertempuran terjadi antara orang-orang Tambak Wedi dan orang-orang Jipang,
sedang bertugas meronda atau tugas apa pun, sehingga mereka tidak sempat
menggabungkan dirinya ketika pasukan Pajang memasuki daerah ini.
“Bagaimana?
Apakah kau setuju? Aku tidak akan berbuat apa-apa. Kami hanya ingin keluar dari
neraka ini. Hanya itu, tidak lebih.”
Sekali lagi
Agung Sedayu menggeram. Orang itu ingin mempergunakannya bersama Swandaru dan
Sekar Mirah sebagai tanggungan, supaya mereka dapat keluar dari padepokan ini
dengan selamat.
“Mereka
benar-benar bodoh,” berkata Agung Sedayu di dalam hatinya,
“mereka sama
sekali tidak melihat kesempatan untuk lari lewat urung-urung itu. Atau
barangkali urung-urung itu pun sudah
dijaga oleh prajurit Pajang?”
Karena Agung
Sedayu tidak segera menjawab, maka orang itu
pun berkata pula,
“Nah, apakah
kau setuju? Sebenarnya bagimu sudah tidak ada pilihan lain. Salahmulah bahwa
kau terjebak di tempat ini. Kau terlampau sombong, berjalan seorang diri di
dalam gelapnya malam, di daerah yang masih kemelut diasapi oleh sisa-sisa
peperangan. Ayo, lekas, letakkan pedangmu dan ikutlah kami menjemput gadis
itu.”
Yang terdengar
kemudian suara Agung Sedayu gemetar,
“Darimana kau
tahu, bahwa gadis itu berada di pondok bersamaku.”
Terdengar
suara tertawa lirih. Katanya,
“Perempuan-perempuan
di padepokan ini selalu berbaik hati kepada kami, memberitahukan apa saja yang
ingin kami ketahui. Ternyata mereka mendendam sampai ke ujung rambutnya kepada
orang-orang Pajang yang bengis itu.”
“Tutup
mulutmu!” Agung Sedayu tiba-tiba membentak. Kemarahannya telah menyala dengan
dahsyatnya. Perasaan-perasaan yang telah diendapkannya tiba-tiba teraduk
kembali. Dan sekali lagi ia berkata di dalam hatinya,
“Aku bukan
kanak-kanak lagi. Aku harus dapat berbuat menurut pertimbanganku sendiri. Aku
tidak perlu menggantungkan diriku kepada siapapun.”
Perasaan itu
telah mendorong Agung Sedayu untuk menyelesaikan masalah yang kini sedang
dihadapi. Dengan sepenuh kekuatan ia menindas segala macam keragu-raguan yang
ada di dalam dirinya. Ia tidak mau mendengar lagi pertimbangan-pertimbangan
apa pun yang tumbuh di dalam hatinya. Tetapi
ia masih tetap berdiri di tempatnya. Ia tidak mau maju lagi masuk ke dalam
perangkap. Karena Agung Sedayu tidak beranjak dari tempatnya, maka bayangan itu
maju setapak.
“Letakkan
pedangmu,” suaranya berdesis,
“bagimu sudah
tidak ada pilihan lain kecuali mati.”
“Aku memilih
mati,” suara itu bergetar seperti gelora di dalam dadanya.
“Gila kau,”
bayangan itu pun menggeram, “jangan
bodoh.”
“Kalau aku
mati, maka kau pun akan mati karena kau
tidak akan dapat keluar dari padepokan ini.”
“Kau memang
terlampau bodoh, aku dapat mendatangi pondok itu tanpa kau. Mungkin kami perlu
membawa kepalamu saja uutuk menakut-nakuti mereka agar mereka bersedia menuruti
perintah kami.”
“Lakukanlah,”
sahut Agung Sedayu dalam nada yang berat penuh tekanan kemarahan.
Bayangan itu
terdiam sejenak. Tetapi Agung Sedayu melihat orang itu melambaikan tangannya.
“Ia memberikan
tanda kepada kawan-kawannya,” berkata Agung Sedayu di dalam hatinya.
Dugaan Agung
Sedayu itu ternyata tepat. Sejenak kemudian Agung Sedayu melihat empat orang
yang lain berloncatan dari tempat persembunyian mereka. Agung Sedayu meloncat
selangkah surut. Ketika ia mencoba menghitung orang-orang yang berdiri di
sekitarnya, maka dilihatnya semuanya berjumlah lima orang. Sekali lagi Agung
Sedayu bergeser. Ia mencoba untuk mendapat tempat yang baik. Ia harus melawan
kelima orang itu sekaligus. Perkelahian yang demikian adalah suatu pengalaman
baru baginya. Tetapi pengalaman itu mengandung bahaya yang cukup besar.
“Tetapi aku
bukan kanak-kanak yang hanya dapat merengek lagi kepada kakang Untara. Kakang
Untara selalu berbuat tanpa ragu-ragu. Aku bukan pengecut. Aku sudah cukup
dewasa untuk menyelesaikan masalah ini,” kata-kata itu selalu terngiang di
dalam rongga telinganya. Ia sama sekali tidak mau diganggu lagi oleh
keragu-raguan dan kebimbangan. Dan tiba-tiba saja, kelima orang itu terkejut
ketika mereka mendengar Agung Sedayu berteriak,
“Aku bunuh
kalian! Aku berhak juga membunuh musuh-musuhku.”
Terdengar
kemudian salah seorang dari kelima orang itu berdesis,
“Jangan
membunuh diri. Kau sudah terkepung, Betapapun dahsyat ilmu prajurit Pajang,
tetapi melawan kami berlima adalah mustahil”
“Ayo, kalian
membunuh aku atau aku membunuh kalian.”
Kelima orang
itu tertegun. Ternyata mereka berhadapan dengan seorang yang agaknya tidak
berperasaan. Dan sebenarnyalah bahwa Agung Sedayu tidak mau lagi dipengaruhi
oleh segala macam perasaan ragu-ragu, bimbang, pertimbangan-pertimbangan atau
ijin dari kakaknya atau kecemasan bahwa kakaknya akan marah, atau perasaan
apapun. Apalagi perasaan takut. Karena itu maka sikapnya pun menjadi terlampau garang dan kasar.
“Apakah kau
mencoba menakut-nakuti kami?” bertanya yang lain.
“Persetan!
Apakah kau takut atau tidak bukan soalku. Ayo kita bertempur,” jawab Agung
Sedayu.
Sekali lagi
kelima orang itu menjadi heran. Namun mereka tidak mendapat kesempatan untuk
bertanya-tanya lagi. Tiba-tiba-saja mereka melihat Agung Sedayu menggerakkan
pedangnya sambil berkata,
“Hanya ada dua
kemungkinan, “membunuh atau dibunuh.” Aku memilih kemungkinan yang pertama,
“membunuh.” Aku tidak peduli lagi atas kalian. Apakah kalian akan merengek
minta maaf atau minta dikasihani. Tidak ada maaf dan belas kasihan di
peperangan. Kita bersama-sama telah menjadi buas melampaui serigala.”
Kelima orang
itu pun sebenarnya adalah orang-orang yang hampir berputus asa. Mereka
sebenarnya telah hampir kehilangan pertimbangan-pertimbangan mereka. Mereka pun
sebenarnya berada dalam daerah kedua pilihan itu pula, “membunuh atau dibunuh”,
tetapi ternyata sikap Agung Sedayu itu telah membuat dada mereka menjadi semakin
berdebar-debar. Mereka terkejut, bahwa dalam sekejap kemudian Agung Sedayu
telah meloncat sambil memutar pedangnya. Dengan penuh nafsu ia menyerang
lawan-lawannya yang telah mengepungnya itu. Hampir bersamaan kelima orang yang
berdiri melingkari Agung Sedayu itu meloncat surut. Tetapi mereka tidak dapat
berbuat lain daripada segera melakukan perlawanan, sebab serangan Agung Sedayu
selanjutnya melanda mereka seperti banjir. Selama ini Agung Sedayu selalu
dibayangi oleh keragu-raguan dan kebimbangan. Bahkan ia menjadi bingung melihat
sikap kakaknya. Seolah-olah apa yang dilakukannya selalu saja salah. Tiba-tiba
kini ia dengan sekuat tenaganya telah melepaskan diri dari setiap ikatan yang
membelenggu perasaannya.
“Aku harus
melepaskan diri dari semua ikatan,” Agung Sedayu itu berteriak di dalam
hatinya.
“Aku akan
berbuat apa saja yang aku inginkan. Sekarang aku ingin membunuh, persetan
dengan pendapat orang lain.”
Dengan
demikian maka tandang Agung Sedayu menjadi semakin garang. Pedangnya berputaran
seperti baling-baling. Kilatan pantulan cahaya samar-samar yang memancar dari
langit tampak berkali-kali meloncat dari batang pedangnya. Tetapi kali ini ia
harus bertempur melawan lima orang yang memiliki ilmu tata bela diri pula.
Ternyata mereka berlima merupakan lawan yang cukup berat bagi Agung Sedayu.
Meskipun Agung Sedayu cukup lincah dan tangguh, namun berkelahi melawan lima
orang di dalam gelapnya malam, merupakan pekerjaan yang cukup berat baginya. Perkelahian
itu semakin lama menjadi semakin dahsyat. Ketika tubuh Agung Sedayu telah basah
diusap oleh keringatnya sendiri, maka tandangnya pun menjadi semakin garang.
Dengan lincahnya ia berloncatan menghindar dan menyerang, seperti kijang di
padang perburuan. Pedangnya terayun-ayun seperti angin pusaran yang melindungi
tubuhnya, sehingga sama sekali tidak tertembus oleh satu pun dari kelima ujung pedang lawan-lawannya.
“Anak ini
dapat berkelahi seperti hantu,” berkata salah seorang lawan Agung Sedayu di
dalam hatinya. Ia sama sekali tidak menyangka, bahwa Agung Sedayu seorang diri
mampu melawan mereka berlima. Ternyata mereka yang belum banyak mengenal anak
muda, adik Senapati Pajang ini, telah membuat salah hitung. Mereka menyangka
bahwa mereka berlima, yang masing-masing merasa mempunyai beberapa kelebihan dari
kawan-kawannya, dapat dengan mudah menangkap Agung Sedayu dan memperalatnya.
“Ah, bagaimana
kalau kami berhadapan dengan Untara sendiri,” desis yang lain di dalam dadanya.
Ternyata mereka tidak saja berhasrat menangkap Agung Sedayu, Swandaru, atau
Sekar Mirah, tetapi di dalam setiap kesempatan siapa pun mereka kehendaki, asal orang itu cukup
bernilai untuk dapat dijadikannya tanggungan untuk melepaskan diri. Namun
ternyata kini mereka terbentur kepada seorang anak muda yang luar biasa. Agung
Sedayu.
Meskipun
mengalami beberapa kesulitan, tetapi Agung Sedayu yang sedang dicengkam oleh
pergolakan persoalan di dalam dirinya itu sama sekali tidak berhasrat berkisar
dari tempatnya. Ia sudah bertekad untuk bertempur. Ia sudah bertekad untuk
meninggalkan segala macam perasaan yang ada di dalam dadanya. Setiap perasaan
yang tumbuh, maka segera ditindasnya.
“Ini adalah
kungkungan keragu-raguan dan kebimbangan yang selama ini membuat aku kehilangan
kesempatan untuk berbuat apa pun menurut kehendakku dan keinginanku sendiri.”
Namun dengan
demikian, Agung Sedayu telah benar-benar dicengkam oleh kegelapan hati. Ia
tidak mau lagi melihat pertimbangan-pertimbangan apa pun di dalam dirinya. Yang diteriakkan di
dalam hatinya adalah,
“Aku adalah
laki-laki dewasa. Aku dapat berbuat apa saja menurut pertimbanganku sendiri.”
Dengan
demikian maka serangannya pun menjadi
semakin dahsyat. Pedangnya semakin cepat berputar dan ayunannya pun menimbulkan desing yang mendebarkan hati.
Perkelahian itu semakin lama menjadi semakin dahsyat. Kedua belah pihak
seolah-olah sedang dicengkam oleh perasaan yang tidak wajar. Kelima orang itu
adalah orang-orang yang sedang berputus asa. Bagi mereka tidak ada pilihan lain
daripada berkelahi mati-matian. Kalau mereka kalah, maka mereka pun akan mati pula. Kalau mereka melarikan
diri pun mereka tidak akan mendapat
kesempatan untuk keluar dari padepokan ini. Karena itu maka apabila mereka
masih ingin hidup, maka mereka harus memenangkan pertempuran ini. Pilihan
mereka adalah, mati atau berhasil memperalat Agung Sedayu untuk melepaskan
diri. Maka di lorong sempit itu telah terjadi perkelahian antara hidup dan
mati. Mereka bergeser dari satu titik ke titik yang lain. Sekali-sekali Agung
Sedayu memerlukan tempat yang cukup luas untuk menghadapi serangan-serangan
yang datang beruntun seperti banjir, sehingga perkelahian itu pun bergeser masuk ke dalan halaman yang
kosong. Tetapi di saat-saat yang lain Agung Sedayu berusaha untuk mempersempit
arena. Dengan demikian maka ia berdiri hampir melekat dinding batu di muka
halaman yang kosong itu, menghadapi kelima lawannya pada satu arah. Gelap malam
semakin lama menjadi semakin pekat, tetapi langit menjadi semakin bersih.
Bintang-bintang yang gemerlapan di langit menjedi semakin jernih,
berkilat-kilat dan berkeredipan. Agung Sedayu sudah tidak mau berpikir lain
kecuali membunuh lawan-lawannya. Pikiran yang demikian, membunuh lawan-lawannya
tanpa ampun, sebelumnya tidak pernah terkilas di kepalanya. Bahkan dalam
peperangan yang hiruk-pikuk, dalam perang brubuh atau di dalam gelar-gelar
perang yang lebih baik, membunuh lawannya selalu menimbulkan persoalan di dalam
dirinya. Tetapi kali ini ia benar-benar ingin membunuh lawan-lawannya itu.
Semakin lama perkelahian itu berlangsung, maka semakin tampak kegarangan Agung
Sedayu. Kelincahan dan ketangkasanya telah menempatkannya ke dalam keadaan yang
lebih baik dari lawan-lawannya, meskipun kelima orang itu masih tetap merupakan
bahaya yang setiap saat dapat merenggut jiwanya. Apalagi ketika kelima orang
lawan-lawannya itu menjadi semakin berputus asa. Mereka seolah-olah benar-benar
ingin membunuh dirinya dengan mempergunakan tangan Agung Sedayu. Agaknya mereka
sudah tidak melihat jalan lain untuk keluar dari padepokan ini. Kesempatan yang
dianggapnya kesempatan terakhir ini agaknya terlampau sulit untuk dapat
dipergunakannya.
“Kalau kali
ini kami gagal,” berkata salah seorang dari mereka di dalam hatinya,
“nasib kami
akan menjadi lebih jelek. Kami akan diburu seperti memburu bajing.
Beramai-ramai. Setelah kami tertangkap, maka kami akan menjadi pangewan-ewan.
Karena itu, maka lebih baik mati pada saat ini dari pada tertangkap
hidup-hidup.”
Dengan
demikian maka tandang mereka pun menjadi
semakin dahsyat. Berlima mereka berputar-putar mengelilingi Agung Sedayu. Sekali-sekali
mereka berloncatan menyerang. Berganti-ganti dan kadang-kadang hampir
bersamaan.
Agung Sedayu
menggeram. Memang kadang-kadang ia menjadi bingung menghadapi cara kelima
lawannya itu bertempur. Namun setiap kali ia selalu berusaha menembus lingkaran
mereka dan berdiri di luar. Setiap kali ia melontarkan dirinya jauh-jauh, namun
tiba-tiba ujung pedangnya telah mematuk dengan garangnya. Angin malam di
pegunungan yang dingin berhembus semakin kencang. Suaranya berdesir di antara
dedaunan yang rimbun. Ketika di kejauhan terdengar anjing hutan berteriak
berebut makan, terdengar dari kancah perkelahian itu sebuah keluhan tertahan.
Seorang dari kelima orang yang berkelahi melawan Agung Sedayu itu meloncat
surut. Tangan kirinya menggenggam pergelangan tangan kanannya. Sepercik darah
merah meleleh dari luka yang menganga. Meskipun demikian pedangnya masih tidak
terlepas dari tangannya yang terluka itu. Kawan-kawannya sama sekali tidak
sempat untuk menolongnya karena serangan Agung Sedayu masih saja membadai. Bertubi-tubi
tiada putus-putusnya. Apalagi kini lawannya tinggal empat orang. Kesempatan
baginya menjadi semakin luas. Pedangnya menjadi semakin lincah bermain-main di
antara keempat senjata lawan-lawannya. Tetapi ternyata orang yang terluka itu
tidak segera menyerahkan diri kepada nasibnya. Ia masih ingin berbuat sesuatu
seandainya ia harus mati. Lebih baik baginya untuk mati dengan dada terbelah,
daripada mati perlahan-lahan karena kehabisan darah atau tertangkap oleh
orang-orang Pajang. Kini pedangnya berada di tangan kirinya. Dengan garangnya
ia meloncat sambil menggeretakkan giginya. Meskipun pedangnya berada di tangan
kiri, namun karena luapan kemarahan dan putus asa, maka tandangnya pun menjadi semakin kasar. Tetapi baru saja
orang itu menginjakkan kakinya di dalam arena perkelahian, sekali lagi
terdengar salah seorang kawannya memekik kecil. Seorang lagi terlempar dari
lingkaran. Pundaknya tersayat oleh pedang Agung Sedayu. Darah yang merah telah
membasahi bajunya. Namun seperti kawannya, ia tidak menyerah. Bahkan dengan
wajah yang membara ia menyerang sejadi-jadinya. Tetapi keadaan Agung Sedayu
menjadi semakin baik. Hatinya pun
menjadi semakin terbakar pula melihat sikap lawan-lawannya. Orang-orang yang
sudah terluka itu sama sekali tidak menunjukkan kecemasan dan gentar. Bahkan
mereka menyerangnya seperti angin ribut yang berputaran. Dengan demikian, maka
Agung Sedayu pun menjadi semakin
bernafsu. Pedangnya bergerak semakin cepat, dan tandangnya pun menjadi semakin garang. Bahkan akhirnya
ia sudah sampai ke puncak ilmunya. Tanpa kendali. Dilepaskan segenap
kemampuannya untuk membinasakan kelima orang lawannya yang sudah menjadi
semakin lemah. Ternyata lawannya benar-benar menjadi semakin bingung. Sesaat
kemudian seorang lagi terluka di keningnya. Darah yang segar mengalir di
wajahnya. Ketika tangan kirinya mengusapnya, maka tangan itu pun menjadi merah seolah-olah menyala.
“Setan!” orang
itu menggeram. Giginya gemeretak dan dengan kutukan yang paling kotor ia
meloncat menyerang kembali.
Semakin lama
mereka bertempur, maka semakin dekatlah Agung Sedayu pada batas kemenangannya.
Tetapi kemarahan yang meluap-luap telah benar-benar menggelapkan hatinya. Tidak
ada pikiran lain daripada membunuh lawan-lawannya.
Ia menggeram
ketika ia melihat seorang lawannya kini tidak saja terluka di tangan, pundak,
atau kening. Tetapi ujung pedangnya berhasil menggores dada. Terdengar orang
itu mengaduh, dan sejenak kemudian tubuhnya terguling di atas tanah. Dari
mulutnya meluncur desis kesakitan. Melihat kawannya terbanting jatuh dan tidak
segera dapat bangkit lagi, maka keempat kawannya menjadi semakin kalap. Mereka
berloncatan dan menyerang membabi-buta. Seperti Agung Sedayu yang semakin lama
menjadi semakin kasar dan garang juga. Apalagi ketika lawan-lawannya sudah menjadi
semakin lelah. Beberapa orang telah benar-benar tidak mampu lagi menghentakkan
pedangnya karena darah yang semakin banyak mengalir. Sehingga akhirnya mereka
tidak lebih dari seonggok tubuh-tubuh yang hampir tidak berdaya sama sekali.
Saat yang
ditunggu-tunggu oleh Agung Sedayu itu kini telah datang. Ia tidak akan dapat
dihalang-halangi lagi. Ia tinggal menghunjamkan saja ujung pedangnya ke dada
setiap orang yang sudah dengan lemahnya mengayun-ayunkan senjatanya. Tetapi
ayunan itu sudah tidak berarti sama sekali. Terdengar gigi anak muda itu
gemeretak. Selangkah ia surut untuk mengambil ancang-ancang. Ia akan segera
meloncat maju dengan pedang terjulur. Satu demi satu lawan-lawannya itu akan
roboh. Mati. Ia akan dapat berkata kepada kakaknya, bahwa ia telah membunuh
lima orang sekaligus yang dengan licik memancingnya. Ia akan berkata kepada
kakaknya, bahwa ia adalah laki-laki seperti prajurit yang lain. Lawan-lawannya
pun seolah-olah telah pasrah diri. Mereka sudah merasa tidak mampu untuk
berbuat apa-apa. Mereka telah sampai pada puncak keputus-asaan, meskipun ujung
pedang mereka masih juga terangkat setinggi lambung. Tetapi kekuatan tenaga
mereka sama sekali sudah tidak memadai.
“Tariklah
nafas yang terakhir sepuas-puas hati kalian,” desis Agung Sedayu, “sekejap lagi
kalian akan terguling di tanah tanpa dapat bernafas lagi.”
Kelima
lawannya sama sekali sudah tidak menjawab, apalagi yang masih belum dapat tegak
karena terluka di dadanya. Ia masih duduk di tanah, walau pun tangannya masih
juga menggenggam pedangnya. Tetapi yang terjadi adalah di luar dugaan mereka.
Di luar dugaan kelima orang yang sudah tidak berdaya itu, dan di luar dugaan
Agung Sedayu sendiri. Ketika Agung Sedayu menggerakkan kakinya, siap untuk
meloncat dengan pedang terjulur, tiba-tiba terasa sentuhan di bahunya. Ketika
ia berpaling, terjadi hal yang hampir tidak masuk di dalam akalnya, pedangnya
dengan serta-merta lepas dari tangannya seperti ditarik oleh kekuatan yang
sangat dahsyat. Selangkah Agung Sedayu meloncat ke samping. Baru sekejap
kemudian ia dapat melihat, bayangan berdiri tegak di hadapannya. Pedangnya
telah berpindah ke tangan orang itu.
Tetapi Agung
Sedayu tidak perlu bertanya. Namun dadanya berdesir tajam ketika ia melihat
orang itu menyerahkan pedangnya kembali sambil berkata,
“Sudah cukup,
Ngger. Kau tidak perlu menyelesaiannya sendiri. Persoalan selanjutnya adalah
persoalan para prajurit Pajang.”
Sejenak Agung
Sedayu terbungkam. Tanpa berkedip di tatapnya wajah yang kehitam-hitaman di
dalam gelapnya malam. Tetapi Agung Sedayu segera mengenalnya, bahwa orang itu
adalah gurunya, Ki Tanu Metir.
Tidak sepatah
kata pun dapat diucapkan, tiba-tiba
kepala Agung Sedayu terkulai tunduk dalam-dalam. Sesuatu telah menusuk langsung
ke pusat jantungnya. Bukan ujung pedang lawan, tetapi peringatan yang langsung
diberikan oleh gurunya, meskipun tidak dengan kalimat-kalimat. Ia segera
menyadari keadaannya. Tidak sepantasnya ia membunuh tanpa mengenal batas-batas
perlakuan yahg wajar. Hampir saja ia terperosok ke dalam kegelapan karena hatinya
sendiri yang sedang gelap. Namun yang terjadi itu telah benar-benar merupakan
suatu peringatan yang dirasakannya terlampau keras. Tetapi ketika hatinya telah
mengendap, maka di sela-sela bibirnya yang bergerak-gerak ia mengucap syukur.
Perlahan-lahan sekali. Tidak seorang pun
yang mendengarnya selain dirinya sendiri.
Ki Tanu Metir
itu pun kemudian melangkah maju,
mendekati kelima orang yang sedang menantikan ajal itu. Terdengar ia berkata,
“Kalian lebih
baik menghentikan perlawanan. Marilah ikut kami, kami tidak akan berbuat
terlampau jauh seperti yang kalian duga. Kami akan menyerahkan kalian kepada
para peronda.”
Sejenak
suasana menjadi hening. Tidak segera terdengar jawaban dari kelima orang itu.
“Menyerahlah.
Aku menjamin bahwa kalian akan diperlakukan dengan wajar,” berkata Ki Tanu
Metir pula.
Orang tua itu
mengerutkan keningnya ketika ia mendengar jawaban,
“Kami sudah
siap untuk mati.”
“Jangan
kehilangan akal. Kalian masih akan mendapat kesempatan seperti kawan-kawanmu
yang lain, yang telah menyerah lebih dahulu.”
Sekali lagi
kelima orang itu terdiam. Dan yang terdengar adalah suara Ki Tanu Metir kepada
Agung Sedayu,
“Angger Agung
Sedayu. Pergilah ke banjar, bukankah kakakmu Untara menunggumu di sana. Kau
sudah kehilangan waktu beberapa saat untuk bermain-main di sini. Beritahukan
kepada beberapa orang peronda yang kau jumpai, bahwa di sini ada beberapa orang
yang akan menyerah.”
Agung Sedayu
mengangguk. Jawabnya,
“Baik, Guru.
Aku akan pergi ke banjar. Mungkin Kakang Untara sudah terlalu lama nenunggu
aku.”
“Ya,
pergilah.”
Ketika kaki
Agung Sedayu terayun, ia tertegun. Ia mendengar salah seorang dari kelima orang
itu berkata,
“Aku-tidak
akan nenyerah. Aku ingin mati oleh tusukan pedang.”
“Jangan
membunuh diri dengan cara yang demikian.”
“Tetapi pertempuran
ini belum selesai. He, anak muda. Kalau kau tinggalkan orang tua ini seorang
diri di sini, aku akan membunuhnya.”
Agung Sedayu
memandangi orang yang berbicara itu, yang keningnya masih menitikkan darah dari
lukanya.
“Lakukanlah
kalau mampu,” sahut Agung Sedayu. Tetapi dadanya kini sudah tidak dibakar lagi
oleh nafsunya untuk membunuh.
“Mungkin Ki
Tanu Metir bahkan akan memberimu obat yang dapat memampatkan darah dari
lukamu.”
Orang itu
menjadi heran. Tiba-tiba ia teringat, bagaimana mungkin orang tua itu dapat
merebut pedang Agung Sedayu dengan mudahnya, sehingga orang ini pasti seorang
yang jauh lebih dahsyat dari anak muda itu. Tetapi sikapnya dan kata-katanya
telah mencairkan hati kelima orang yang telah membatu karena putus asa itu.
Sepeninggal Agung
Sedayu, kelima orang itu tidak menolak ketika Ki Tanu Metir memberi obat pada
luka-luka mereka sekedar untuk menahan arus darah yang mengalir.
“Kalian tidak
boleh kehabisan darah,” berkata orang tua itu.
Sementara itu
Agung Sedayu berjalan dengan kepala tunduk. Peristiwa yang baru saja terjadi
telah mengguncang dadanya. Ia merasa menyesal, bahwa ia telah hanyut ke dalam
arus kegelapan hati. Namun kadang-kadang masih juga timbul desah di dalam hati,
“Kenapa aku
tidak dapat berbuat sebebas orang-orang lain? Kenapa aku masih saja terikat
sama sekali kepada Kakang Untara?”
Ketika Agung
Sedayu sampai di gardu peronda, segera diberitahukannya tentang kelima orang
yang baru saja berkelahi melawannya.
“Selesaikanlah
mereka menurut ketentuan yang berlaku,” berkata Agung Sedayu.
“Apakah mereka
tidak melarikan diri sepeninggalmu?” bertanya prajurit yang sedang bertugas
itu.
“Mereka kini
bersama Ki Tanu Metir,” jawab Agung Sedayu.
“Baiklah,”
sahut prajurit itu kemudian, “aku akan persiapkan orang-orangku. Bukankah
mereka berlima?”
“Ya.”
Agung Sedayu
tidak menunggui prajurit itu menyiapkan teman-temannya. Segera ditinggalkannya
gardu perondan itu untuk pergi ke banjar padepokan menemui kakaknya. Langkahnya
semakin lama menjadi semakin cepat. Dicobanya untuk melupakan apa yang baru
saja terjadi. Ia tidak mau lagi membayangkannya, apalagi betapa yang akan
terjadi seandainya gurunya tidak mencegahnya melakukan pembunuhan yang tidak
terkendali itu.
“Hem,” Agung
Sedayu menarik nafas dalam-dalam,
“aku harus
memetik pelajaran dari padanya.” Tetapi ia tidak ingin bahwa peristiwanya itu
sendiri selalu membayangi perasaannya.
Sehingga dalam
keragu-raguan ia bertanya kepada diri sendiri,
“Apakah aku
perlu mengatakannya kepada Kakang Untara?”
Agung Sedayu
menggelengkan kepalanya.
“Tidak. Tidak
perlu. Laporan itu akan datang dari para prajurit yang akan menangkap mereka.
Aku tidak perlu berkata apa pun tentang
peristiwa itu.” Tetapi kemudian ia berkata pula di dalam hatinya,
“Tetapi
jangan-jangan Kakang Untara menganggap aku bersalah. Aku telah berbuat sendiri
di daerah ini justru di luar wewenangku. Ah, biarlah aku mengatakannya. Salah
atau benar, aku akan mengatakannya.”
Agung Sedayu
itu pun kemudian melangkah terus. Kini
ia mencoba memusatkan perhatiannya kepada kakaknya. Kepada kepentingan yang
akan disampaikan kepadanya. Ketika beberapa puluh langkah daripadanya terpancar
seberkas sinar obor, hati Agung Sedayu menjadi semakin berdebar-debar. Sinar
obor itu pastilah sinar obor yang dipasang di halaman banjar. Dan kakaknya
telah menunggunya di banjar itu pula.
“Apakah yang
akan dikatakannya?” gumamnya lambat. Agung Sedayu itu menggelengkan kepalanya.
“Tak seorang
pun yang tahu selain Kakang Untara sendiri. Mungkin guru, tetapi mungkin pula
tidak.”
Semakin dekat
Agung Sedayu dengan banjar padepokan itu hatinya menjadi semakin
berdebar-debar.
Ketika
kemudian ia berdiri di muka regol banjar padepokan itu, dua orang prajurit mendatanginya
dan bertanya,
“Siapa?”
“Aku, Agung
Sedayu,” sahut Agung Sedayu.
Sinar obor
yang kemerah-merahan jatuh di atas wajahnya, membuat kesan tersendiri pada
kedua prajurit yang memandangi dengan tajam. Tetapi sebelum keduanya bertanya
lebih lanjut, Agung Sedayu telah mendahuluinya membuat penjelasan,
“Aku dipanggil
oleh Kakang Untara.”
“Sekarang?”
“Ya,” sahut
Agung Sedayu.
Kedua prajurit
itu saling berpandangan. Dan salah seorang dari mereka berkata,
“Silahkanlah.”
Agung Sedayu
segera melangkah masuk ke halaman. Halaman banjar padepokan itu kini sudah
tampak lebih bersih dan terang. Beberapa buah obor dipasang di sudut-sudut
halaman dan sebuah lampu minyak yang cukup terang tergantung di tengah-tengah
pendapa. Beberapa orang masih tampak duduk bercakap-cakap di pendapa itu.
Sedang beberapa orang yang lain, yang terluka berbaring-baring sambil bercakap-cakap
satu sama lain.
Mereka
memandangi Agung Sedayu ketika anak muda itu naik tangga dan berjalan di antara
mereka, di tengah-tengah pendapa itu. Salah seorang yang telah mengenalnya
dengan baik bertanya,
“Apakah kau
akan menemui kakakmu?”
“Ya,” sahut
Agung Sedayu.
“Ia berada di
pringgitan.”
Agung Sedayu
sebenarnya sudah tidak memerlukan keterangan itu lagi. Ia tahu pasti bahwa
kakaknya berada di pringgitan. Mungkin dengan beberapa orang perwira
pembantu-pembantunya. Mungkin bahkan sendiri sambil menunggunya. Tetapi ia
menjawab,
“Terima
kasih.”
Dengan dada
yang semakin berdebar-debar ia melangkah menuju ke pintu pringgitan. Pintu
leregan itu masih terbuka sedikit. Sepercik sinar dian di dalam pringgitan itu
sempat meloncat keluar. Hati-hati Agung Sedayu mendekati pintu. Kini ia sudah
berada tepat di muka pintu. Tetapi keragu-raguannya ternyata membuat ia
tertegun. Tanpa disengajanya ia berpaling, memandangi orang-orang yang berada
di pendapa banjar itu. Agung Sedayu itu terkejut ketika tanpa disangka-sangkanya
orang yang sudah mengenalnya dan memberitahukan kepadanya bahwa Untara berada
di pringgitan itu berbicara lagi, cukup keras,
“Buka saja.
Pintu itu tidak pernah dislarak.”
“Terima
kasih,” sekali lagi Agung Sedayu menjawab. Kini tangannya telah memegang wengku
pintu yang dibuat dari anyaman bambu wulung. Perlahan-lahan ia mendorong ke
samping. Dan pintu itu pun terbuka.
Dada Agung
Sedayu berdesir. Di dalam pringgitan itu duduk hanya dua orang saja. Kakaknya,
Untara dan seorang lagi, Wuranta.
“Masuklah,”
terdengar suara kakaknya berat tetapi dingin. Sedingin angin pegunungan yang
bertiup semakin kencang.
“Terima kasih,
Kakang,” sahut Agung Sedayu. Suaranya pun tiba-tiba bernada berat. Tetapi
terasa sebuah getaran di dadanya terpercik di antara kata-katanya.
Tetapi begitu
ia melangkahkan kakinya, Agung Sedayu itu tertegun. Ia melihat Wuranta
tiba-tiba berdiri dan berkata,
“Untara, aku
akan keluar sebentar. Udara terlampau panas di pringgitan ini.”
Terasa jantung
Agung Sedayu menjadi semakin cepat berdentang. Ia sadar bahwa kehadirannyalah
yang seolah-olah telah mengusir Wuranta dari pringgitan itu. Agaknya Wuranta
benar-benar tidak dapat menemuinya. Dengan demikian maka teka-teki di dalam
dada Agung Sedayu menjadi semakin kisruh. Panggilan kakaknya telah
membingungkannya, dan kini ia menemukan suatu pertanyaan baru yang semakin
membelit hati.
“Apakah
sebenarnya yang telah aku lakukan, sehingga aku terperosok dalam keadaan yang
membingungkan ini?” desis Agung Sedayu di dalam hatinya.
Tetapi yang
terdengar adalah suara Untara, “Duduklah Wuranta.”
“Aku akan
keluar sebentar,” sahut Wuranta sambil melangkah.
Tetapi sekali
lagi terdengar Untara berkata, “Duduklah.”
Wuranta
menggeleng. “Aku tidak betah duduk di dalam pringgitan yang panas ini.”
“Di luar udara
akan lebih panas lagi. Duduklah,” ulang Untara.
Tetapi Wuranta
masih juga melangkah. Namun langkahnya pun tertegun. Agung Sedayu masih berdiri
tegak di muka pintu.
“Wuranta,”
Untara mengulanginya lagi,
“kemarilah dan
duduklah. Dengar kata-kataku. Kemarilah kalian berdua. Duduk di sini. Aku perlu
dengan kau berdua.”
Nada kata-kata
Untara serasa semakin berat, memberati hati kedua anak-anak muda itu. Ketika
sekali lagi Untara memanggil, maka Wuranta tidak dapat lagi menolaknya,
“Wuranta.
Kemari. Duduklah di sini.”
Dengan wajah
yang tegang Wuranta itu pun melangkah
kembali. Dengan dada yang berdebaran ia duduk di tempatnya. Sekali matanya
menyambar Agung Sedayu yang masih berdiri tegak di muka pintu. Tetapi sesaat
kemudian dilemparkannya pandangan matanya ke sudut ruangan. Agung Sedayu masih
tegak di tempatnya. Di lambungnya tergantung sehelai pedang. Di wajahnya
terpancar berbagai macam pertanyaan yang telah membingungkannya.
“Jangan
seperti hendak berkelahi Sedayu,” tiba-tiba suara kakaknya mengejutkan, “duduklah.”
“Oh,”
terdengar Agung Sedayu berdesah, “terima kasih, Kakang.”
“Apakah kau
akan pergi berperang?”
Pertanyaan
Untara terdengar begitu tajamnya menyentuh telinganya. Dan tiba-tiba saja Agung
Sedayu itu menjawab tegas, “Tidak.”
Untara
bergeser. Ditatapnya wajah adiknya. Tetapi Agung Sedayu menundukkan kepalanya.
Meskipun demikian jawaban Agung Sedayu itu terasa telah menggerakkan hati
kakaknya. Dalam keadaan yang wajar, adiknya tidak akan menjawab. Apalagi
jawaban sesingkat dan tegas itu. Tetapi Untara itu terdiam. Dipandanginya
langkah Agung Sedayu mendekatinya dan kemudian duduk di sampingnya.
Dijulurkannya pedangnya ke belakang. Sejenak mereka saling berdiam diri, dan
pringgitan itu dijalari oleh suasana yang sepi tegang. Di kejauhan terdengar
lamat-lamat suara burung hantu yang menggetarkan udara malam yang dingin. Sesaat
kemudian Untara menarik nafas dalam-dalam. Ditatapnya adiknya dengan penuh
pertanyaan. Tetapi sebelum Untara bertanya, Agung Sedayu berkata,
“Aku bertemu
dengan lima orang yang bersembunyi di balik rerungkudan. Mereka sengaja
menjebak aku.”
Untara masih
terdiam, dan Agung Sedayu mengatakan dengan singkat apa yang dijumpainya di
perjalanan ke banjar padepokan ini. Terasa jantung Untara menjadi semakin cepat
bergetar. Ia merasakan suatu kebanggaan di dalam dirinya, bahwa Agung Sedayu
telah berhasil menguasai diri dalam keadaan yang tiba-tiba itu dan dapat
berbuat sesuatu. Tetapi ia tidak ingin menunjukkan pengaruh perasaannya itu.
Bahkan wajahnya seolah-olah tidak menunjukkan perubahan apa pun. Meskipun
demikian, Agung Sedayu menjadi agak berlega hati bahwa kakaknya tidak
menyalahkannya lagi. Sekali lagi ruangan itu menjadi sepi. Baru sejenak
kemudian Untara berkata kepada Wuranta tanpa mempersoalkan ceritera Agung
Sedayu,
“Aku memang menunggu
kesempatan semacam ini Wuranta.”
Wuranta tidak
menyahut, tetapi wajahnya pun tunduk
memandangi anyaman tikar yang didudukinya.
“Aku ingin
setiap persoalan segera selesai. Aku tidak ingin kalian bersikap seperti
anak-anak.”
Tiba-tiba
Wuranta mengangkat kepalanya. Sorot matanya menjadi tajam bercahaya. Dari
sela-sela bibirnya terdengar suaranya bergetar,
“Apakah
maksudmu, Untara?”
Untara
mengerutkan keningnya. Ia berhadapan dengan seorang anak muda perasa. Anak muda
yang mudah tersinggung perasaannya. Apalagi dalam keadaan seperti ini. Tetapi
Untara tetap dalam pendiriannya, ia ingin menyelesaikan persoalan ini.
“Wuranta,”
berkata Untara,
“tidak baik
kau selalu dikejar oleh perasaanmu itu. Setiap kali kau selalu menghindari
pertemuan dengan Agung Sedayu sejak kau meninggalkannya, ketika Agung Sedayu
sedang berkelahi dan mengejar Sidanti. Sejak ini, maka anggaplah bahwa di
antara kalian sudah tidak ada persoalan lagi, sehingga hubungan kalian menjadi
wajar seperti sediakala. Agung Sedayu adalah anak Jati Anom seperti kau,
seperti aku juga. Ia untuk seterusnya akan menetap pula di Jati Anom, kalian
akan selalu bertemu di jalan-jalan, di perapatan atau di gardu-gardu perondan.
Kalau hubungan kalian tidak dapat pulih kembali maka akibatnya pun akan mempengaruhi
seluruh anak-anak muda Jati Anom.”
Wajah Wuranta
sesaat menjadi pucat. Keringat dinginnya mengalir membasahi pakaiannya. Namun
justru karena itu maka ia pun
terbungkam. Agung Sedayu pun menjadi
berdebar-debar. Ia tidak tahu persoalan apakah yang sedang dihadapinya. Tetapi
yang telah menyengat hatinya adalah kepastian kakaknya bahwa ia akan tinggal
untuk seterusnya di Jati Anom. Dengan demikian maka segera ia menemukan
kesimpulan, bahwa hal inilah yang akan dikatakan kakaknya kepadanya, di samping
persoalan yang masih tidak jelas baginya, hubungannya dengan Wuranta yang
menjadi serasa tegang.
“Aku dapat
merasakan perasaan kalian,” berkata Untara seterusnya,
“tetapi aku
tidak sependapat bahwa perasaan itu akan terlampau berkuasa di hati kalian. Kalian
harus mengimbanginya dengan nalar dan pikiran, bahwa kalian adalah anak-anak
muda Jati Anom. Bahkan kalian adalah harapan bagi kampung halaman. Kalian harus
dapat menyingkirkan semua persoalan pribadi untuk kepentingan-kepentingan yang
lebih besar. Apakah kalian dapat mengerti maksudku?”
Wuranta masih
terdiam. Keringatnya semakin banyak mengalir di seluruh wajah kulitnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar