Jilid 026 Halaman 3


Keduanya menggeleng. Agung Sedayu  pun tidak biasa tidur pada saat-saat seperti ini. Berbeda dengan Ki Tanu Metir. Ia tidur kapan saja ia inginkan, tetapi kadang-kadang semalam suntuk ia sama sekali tidak tidur. Sebenarnya Agung Sedayu  pun tidak ingin tidur. Ia ingin mengatur perasaannya seperti yang dikatakan oleh gurunya. Ketika kemudian malam tiba, dan padepokan Tambak Wedi disaput oleh warna yang kelam, maka perlahan-lahan Agung Sedayu meninggalkan pondoknya.
“Kau akan pergi ke banjar?” bertanya Swandaru.
“Ya, Kakang Untara memanggil aku. Mungkin ada sesuatu yang dianggapnya penting.”
Swandaru mengerutkan keningnya. Tampaknya ia ingin mengucapkan sesuatu, tetapi ternyata ia berdiam diri saja.
Namun di luar dugaan Swandaru dan Agung Sedayu, tiba-tiba Sekar Mirah bertanya lirih,
“Tetapi, bukankah kau akan kembali ke pondok ini, Kakang?”
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Dengan serta-merta ia menjawab,
“Tentu Mirah. Aku tentu kembali ke mari.”
“Lalu, apakah Kakang Agung Sedayu akan kembali ke Jati Anom segera?”
“Ah, aku kira kita akan pergi bersama-sama.”
“Mungkin ada perintah lain dari Kakang Untara.”
Agung Sedayu terdiam. Hal yang demikian itu memang mungkin sekali. Tetapi apakah ia harus selalu tunduk saja kepada perintah kakaknya yang bertentangan dengan kehendaknya? Bukankah ia bukan seorang prajurit Pajang? Karena Agung Sedayu tidak menjawab maka Sekar Mirah mendesaknya,
“Bagaimana, Kakang? Dan apakah kau akan pergi juga ke Sangkal Putung seperti katamu?”
Agung Sedayu masih berdiam diri. Pertanyaan itu telah membuat hatinya berdebar-debar. Sebelum itu, Sekar Mirah seolah-olah membiarkannya, seandainya ia ingin meninggalkan kedua anak-anak Sangkal Putung itu, bahkan tampaknya Sekar Mirah acuh tak acuh saja seandainya ia tidak lagi akan pergi ke Sangkal Putung. Namun dalam keadaan yang mendebarkan ini, Sekar Mirah bertanya kepadanya, apakah ia akan pergi ke Sangkal Putung.
“Bukankah kau mengatakan,” sambung Sekar Mirah,
“bahwa kau bersama-sama dengan Kakang Swandaru sedang mencari aku, dan kau akan menyerahkan aku kepada ayah bundaku bersama dengan Kakang Swandaru?”
Debar di dada Agung Sedayu terasa menjadi semakin cepat. Kini ia tidak dapat berdiam diri saja. Maka dengan ragu-ragu ia menjawab,
“Ya, Mirah. Aku akan pergi ke Sangkal Putung.”

Sekar Mirah menatap mata Agung Sedayu dengan tajamnya. Tiba-tiba dari mata itu memancar suatu perasaan yang aneh, bahkan mata itu seolah-olah menjadi basah. Dan perlahan-lahan sekali Agung Sedayu mendengar suara Sekar Mirah di-sela-sela bibirnya yang bergerak-gerak lamban,
“Aku dan Kakang Swandaru menunggumu, Kakang.”
Agung Sedayu menganggukkan kepalanya. Dipandanginya kedua kakak beradik itu berganti-ganti. Terasa darahnya seakan-akan menjadi semakin cepat mengalir. Maka jawabnya kemudian tersendat-sendat,
“Ya, ya. Aku pasti akan kembali ke pondok ini dan aku akan mengantarkan kalian ke Sangkal Putung.”
Agung Sedayu itu pun kemudian pergi meninggalkan mereka dengan perasaan yang aneh. Sekar Mirah masih berdiri saja sejenak di halaman sehingga Agung Sedayu itu hilang ditelan gelapnya malam. Sekar Mirah itu tersadar ketika ia mendengar kakaknya berdesis di belakangnya,
“Marilah kita masuk, Mirah. Malam terlampau dingin.”
Sekar Mirah mengangguk. Tetapi tiba-tiba gelap malam membuatnya ketakutan lagi. Dengan gemetar dipeganginya tangan kakaknya. Di dalam kegelapan itu terbayang kembali mayat yang bergelimpangan, membujur lintang di halaman, di jalan-jalan bahkan bersandar pagar-pagar batu.
“Kakang,” kata-katanya bergetar, dan pegangannya pada tangan kakaknya menjadi semakin erat,
“aku takut Kakang, takut.”
“Apa yang kau takutkan?”
Sekar Mirah tidak menjawab, tetapi wajahnya disembunyikannya di dada kakaknya.
“Marilah masuk, Mirah.”
Swandaru itu  pun kemudian membimbing Sekar Mirah masuk ke dalam pondoknya, dan Sekar Mirah itu berjalan saja sambil memejamkan matanya. Demikian mereka masuk kedalam pondok itu, maka Sekar Mirah  pun segera berkata,
“Tutuplah pintunya, Kakang.”
Swandaru  pun segera menutup pintu. Sekar Mirah kini kembali menjadi ketakutan dan selalu berpegangan tangan kakaknya. Meskipun kemudian mereka telah duduk di atas amben besar di dalam pondok itu, dan ruangan itu diterangi oleh sebuah lampu minyak yang tersangkut di tiang, namun Sekar Mirah masih saja ngeri karena bayangan yang mengganggunya. Perasaan ngeri itu ternyata mempengaruhi pula perasaan Swandaru Geni. Tetapi ia tidak menjadi ngeri dihantui oleh bayangan mayat yang bergelimpangan. Yang mendebarkan jantungnya adalah suasana yang dirasanya terlampau sepi. Tanpa disengajanya maka matanya hinggap pada pedangnya yang besar, bertangkai gading yang tergantung di dinding. Pedang itu tidak terlampau jauh dari padanya. Sekali loncat ia akan sudah dapat meraih senjata itu. Tetapi perasaannya telah memaksanya untuk berdiri sejenak.
“Kau akan kemana, Kakang?” bertanya Sekar Mirah yang masih berpegangan tangannya.
Swandaru Geni tidak menjawab. Tetapi ia bergeser sedikit dan meraih pedang itu.
“Apakah kau akan pergi?” bertanya adiknya.
Swandaru menggeleng, “Tidak.”
“Tetapi kenapa kau kenakan pedang itu di lambungmu?”
“Hanya sekedar untuk menenteramkan hati.”
“Kenapa, Kakang?” Sekar Mirah menjadi semakin cemas, “apakah ada sesuatu?”
“Tidak, tidak Mirah. Tidak ada apa-apa. Duduklah. Aku ingin membuat hatimu dan hatiku sendiri tenteram. Di samping senjata ini aku tidak akan mengenal takut lagi. Aku harap kau juga tidak lagi menjadi berdebar-debar dan ketakutan.”
Sekar Mirah terdiam. Keduanya kemudian duduk lagi. Tanpa dikehendaki, Sekar Mirah bermain-main dengan juntai pedang Swandaru yang berwarna kekuning-kuningan. Juntai yang diterimanya dari pemberian Sutawijaya. Di luar malam menjadi semakin kelam. Derik cengkerik dan pekik bilalang bersahutan dengan lengking angkup nangka. Ngelangut. Di kejauhan sekali-sekali terdengar anjing liar menyalak dan menggonggong seakan-akan menangisi keluarganya yang hilang di peperangan. Sekar Mirah duduk semakin merapat kakaknya. Kesepian malam membuatnya menjadi semakin ngeri. Tetapi dengan pedang di lambungnya Swandaru sudah tidak diganggu lagi oleh kecemasan. Meskipun demikian setiap desir yang lemah sekalipun seakan-akan telah membuat telinga Swandaru bergerak.

Di dalam kegelapan malam itulah Agung Sedayu melangkah dengan hati yang berdebar-debar. Dilewatinya jalan padepokan Tambak Wedi yang sepi. Jalan yang belum begitu dikenalnya. Tetapi ia tahu benar arah yang harus diambilnya untuk sampai ke banjar padepokan. Namun Agung Sedayu sama sekali tidak kehilangan kewaspadaan. Ia berjalan di daerah yang belum begitu dipahami. Dan daerah itu adalah daerah yang baru saja dilanda oleh pertempuran. Di ujung jalan ini kemarin berserakan mayat dan orang-orang yang terluka. Di halaman-halaman dan di kebun-kebun di sekitar banjar. Tidak pula mustahil apabila di balik rimbunnya pepohonan itu masih ada satu dua orang yang bersembunyi, mengintai perjalanannya. Sisa-sisa orang Tambak Wedi atau orang Jipang yang berhasil bersembunyi di balik gerumbul-gerumbul dan rerungkutan, atau di dalam kebun-kebun salak yang terbentang di sela-sela kebun-kebun bambu yang padat. Gemerisik angin malam menggoyangkan dedaunan dan ranting kecil. Dingin malam di lereng pegunungan mulai terasa membelai kulit. Tetapi Agung Sedayu tidak menghiraukannya. Ia berjalan terus. Selangkah demi selangkah menembus gelapnya malam. Pedangnya tergantung di lambung kirinya. Bergerak-gerak seirama dengan langkah kakinya. Meskipun jarak yang akan dilalui Agung Sedayu dari pondoknya ke banjar padepokan itu tidak jauh, tetapi di dalam jarak yang dekat itu menunggu berbagai kemungkinan yang tidak dapat diperkirakan sebelumnya.
Dalam gelap malam Agung Sedayu melangkah terus, seperti hatinya yang sedang gelap pula. Kadang-kadang timbul niatnya untuk berbuat sekehendak hatinya tanpa menghiraukan apa  pun yang akan dikatakan kakaknya nanti. Bahkan ia akan bersedia melakukan akibat yang bagaimana  pun juga. Tetapi kemudian tumbuhlah sifat-sifatnya yang tidak dapat ditinggalkannya. Ragu-ragu. Tiba-tiba langkah Agung Sedayu tertegun. Ia sudah melihai lamat-lamat nyala obor di halaman. Tetapi dekat, hanya beberapa langkah daripadanya, ia melihat bayangan hitam yang bergerak-gerak. Menilik sikapnya, bayangan itu pasti bukan prajurit Pajang. Hati Agung Sedayu menjadi berdebar-debar dan curiga. Selangkah ia maju mendekati bayangan itu, tetapi bayangan itu  pun kemudian menjauhinya selangkah pula.
Debar di dada Agung Sedayu menjadi semakin keras. Perlahan-lahan ia bertanya,
“Siapa kau?”
Tetapi ia tidak mendengar jawaban. Sekilas angan-angannya meloncat kepada Wuranta. Apakah orang itu Wuranta? Lalu apakah maksudnya ia menungguku di kegelapan. Agung Sedayu menggeleng lemah, “pasti bukan Wuranta.” Namun di dalam hatinya itu terdengar,
“Mungkin. Ia sedang menungguku. Bukankah sikapnya pada saat-saat terakhir sangat membingungkan?”
Selangkah Agung Sedayu maju, dan selangkah orang itu menjauh. Segera Agung Sedayu mengerti, bahwa orang itu sedang memancingnya. Karena itu, maka ia menjadi semakin berhati-hati. Mungkin orang itu cukup berbahaya baginya. Tetapi hati Agung Sedayu saat itu sedang disaput oleh kegelapan. Betapapun ia mencoba untuk berbuat sebaik-baiknya dan dengan penuh kewaspadaan, namun tiba-tiba kemarahan, kejemuan, dan segala macam perasaan yang tidak menyenangkannya, serasa terungkat. Sekali terdengar anak muda itu menggeram. Lalu sekali lagi ia bertanya,
“Siapa kau, he?”
Masih belum ada jawaban. Karena itu maka kemarahan di dada Agung Sedayu menjadi semakin membara, Ia merasa dipermainkan oleh bayangan yang tidak dikenalnya. Agung Sedayu yang sedang pepat itu, sama sekali tidak sempat untuk membuat pertimbangan-pertimbangan yang jernih. Memang sekali terkilas di dalam hatinya sebuah pertanyaan,
“Apakah orang ini Ki Tambak Wedi yang berhasil kembali ke dalam padepokan ini?”
Tetapi pertanyaan yang demikian dijawabnya sendiri,
“Tidak. Kalau orang ini yang bernama Ki Tambak Wedi, ia tidak memancing aku. Dengan sekali loncat ia sudah berhasil menerkam aku dan membuatku pingsan atau membunuhku sama sekali. Orang ini pasti bukan Ki Tambak Wedi.”
“Sidanti, Argajaya?”

Agung Sedayu menjadi ragu-ragu. Tetapi ketika ia melihat bentuk bayangan dalam keremangan malam, maka ia mencoba meyakinkan dirinya sendiri,
“Bukan keduanya,” desisnya.
“Aku tidak peduli apakah orang itu Sidanti, Argajaya, atau Tambak Wedi sekalipun,” geramnya kemudian.
Agung Sedayu kemudian benar-benar menjadi bermata gelap. Hatinya yang bingung karena persoalan-persoalan yang bertubi-tubi menggoda perasaannya telah membuatnya kehilangan pertimbangan. Sikap Wuranta yang tidak dimengertinya, sikap kakaknya, dan persoalan yang membuat hatinya menjadi kisruh. Kini ia ingin menumpahkan segala macam perasaannya itu. Segala macam kejemuan, kejengkelan, kebingungan, dan apa saja. Tiba-tiba Agung Sedayu menggeretakkan giginya.
“Aku sudah cukup dewasa untuk menentukan sikap. Juga terhadap ini, aku tidak perlu berlari-lari melaporkannya kepada Kakang Untara. Aku hanya akan dimarahinya. Diejeknya dan barangkali dimaki-makinya. Apalagi kalau orang ini ternyata orang-orang yang berbahaya, yang kemudian berhasil melepaskan diri. Aku pasti dikiranya seorang pengecut yang hanya berani berbuat di antara orang-orang dapat melindungiku.”
Dengan serta-merta Agung Sedayu  pun segera meloncat mengejar bayangan itu. Demikian tiba-tiba sehingga bayangan itu  pun terkejut. Namun orang yang berada di dalam kegelapan itu masih mampu menghindarkan dirinya dan berlari membelok ke dalan lorong yang sempit. Agung Sedayu sudah tidak dapat berpikir jernih lagi. Dikejarnya orang yang berlari itu. Ia sudah tidak lagi menghiraukan apa pun, meskipun mereka kemudian memasuki lorong-lorong yang makin sempit dan rimbun. Lorong-lorong yang jarang sekali dilalui oleh peronda-peronda prajurit Pajang. Namun Betapapun juga, naluri Agung Sedayu masih mencegahnya ketika bayangan itu meloncat masuk ke dalam sebuah kebun yang kosong. Kebun yang gelap pepat ditumbuhi oleh gerumbul-gerumbul liar, dan rumpun-rumpun bambu. Di sana-sini tumbuh pohon yang besar dan rimbun.
“Ia memancing aku masuk,” geram Agung Sedayu. Tapi ia kini dicengkam oleh keragu-raguan. Perlahan-lahan ia menenangkan diri, menjernihkan pikirannya. Kini ia mencoba untuk menduga, siapakah orang itu.
“Ada beberapa kemungkinan,” katanya di dalam hati,
“tetapi kemungkinan bahwa orang itu satu di antara tiga, Sidanti, Argajaya, atau Ki Tambak Wedi sendiri adalah sangat tipis. Menurut pengamatanku, bentuk tubuh mereka agak berbeda. Sikap dan cara untuk melarikan diri pun berbeda pula. Agaknya Wuranta  pun bukan pula. Yang paling mungkin adalah sisa-sisa orang Jipang atau orang-orang Tambak Wedi sendiri yang lolos dari tangan prajurit Pajang dan berhasil bersembunyi di dalam liarnya gerumbul-gerumbul dan rumpun-rumpun bambu itu.”

Agung Sedayu masih saja berhenti di tempatnya. Kini ia sudah tidak melihat bayangan itu lagi. Bayangan itu telah hilang ke dalam rimbunnya dedaunan. Tetapi Agung Sedayu kini telah melihat bahaya yang dapat tumbuh apabila ia masuk ke dalam halaman yang liar itu. Ia akan dengan mudahnya disergap dari segala penjuru. Ia tidak tahu, apakah orang itu hanya seorang diri, atau mempunyai kawan-kawan yang cukup banyak. Karena itu, maka ia masih tetap berdiri tegak di tempatnya. Ketka ia masih saja tidak bergerak, ia melihat bayangan yang hitam itu muncul lagi di dalam kegelapan. Agung Sedayu melihat bayangan itu berdiri tegak dengan kaki renggang, seolah-olah siap untuk menyerangnya. Selangkah Agung Sedayu surut. Kesadarannya telah memperingatkannya untuk berbuat lebih hati-hati. Dan tiba-tiba saja, maka di tangan Agung Sedayu itu telah tergenggam pedangnya. Tetapi bayangan yang hitam itu masih berdiri diam. Agaknya ia sengaja menunggu Agung Sedayu menyerangnya. Tetapi Agung Sedayu  pun masih tetap berdiri saja di tempatnya. Ternyata bayangan itu tidak dapat bersabar lebih lama lagi. Sejenak kemudian terdengar suaranya berdesis,
“He, prajurit Pajang. Kau memang terlampau berani datang seorang diri ke tempat ini.”
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Dan ia mendengar bayangan itu berkata lagi,
“Menurut pengamatan kami, kau adalah seorang dari dua anak-anak muda yang menunggui gadis itu di pondoknya.”
“Nah, sekarang aku ingin minta tolong kepadamu, supaya kau memanggil seorang kawanmu itu dan gadis yang kau tunggui itu pula, supaya kau selamat.”
Terdengar gigi Agung Sedayu gemeretak.
“Kalau kau bersedia, marilah. Kami, beberapa orang, akan mengantarmu ke pondok itu. Tetapi ingat, jangan berbuat hal-hal yang dapat membahayakan jiwamu,” Orang itu berhenti sejenak, lalu,
“Kami sebenarnya tidak berkepentingan sama sekali dengan kalian. Tetapi bersama-sama dengan kalian, kami akan dapat keluar dari neraka ini. Dengan kalian, maka para penjaga pintu regol tidak akan dapat banyak berbuat atas kami.”
Agung Sedayu menggeram. Kini ia sadar, siapakah yang dihadapinya. Mereka adalah orang-orang yang berhasil bersembunyi di dalam padepokan ini, di antara gerumbul-gerumbul liar dan rumpun-rumpun bambu. Mungkin mereka adalah orang-orang yang pada saat pertempuran terjadi antara orang-orang Tambak Wedi dan orang-orang Jipang, sedang bertugas meronda atau tugas apa pun, sehingga mereka tidak sempat menggabungkan dirinya ketika pasukan Pajang memasuki daerah ini.
“Bagaimana? Apakah kau setuju? Aku tidak akan berbuat apa-apa. Kami hanya ingin keluar dari neraka ini. Hanya itu, tidak lebih.”
Sekali lagi Agung Sedayu menggeram. Orang itu ingin mempergunakannya bersama Swandaru dan Sekar Mirah sebagai tanggungan, supaya mereka dapat keluar dari padepokan ini dengan selamat.
“Mereka benar-benar bodoh,” berkata Agung Sedayu di dalam hatinya,
“mereka sama sekali tidak melihat kesempatan untuk lari lewat urung-urung itu. Atau barangkali urung-urung itu  pun sudah dijaga oleh prajurit Pajang?”
Karena Agung Sedayu tidak segera menjawab, maka orang itu  pun berkata pula,
“Nah, apakah kau setuju? Sebenarnya bagimu sudah tidak ada pilihan lain. Salahmulah bahwa kau terjebak di tempat ini. Kau terlampau sombong, berjalan seorang diri di dalam gelapnya malam, di daerah yang masih kemelut diasapi oleh sisa-sisa peperangan. Ayo, lekas, letakkan pedangmu dan ikutlah kami menjemput gadis itu.”
Yang terdengar kemudian suara Agung Sedayu gemetar,
“Darimana kau tahu, bahwa gadis itu berada di pondok bersamaku.”
Terdengar suara tertawa lirih. Katanya,
“Perempuan-perempuan di padepokan ini selalu berbaik hati kepada kami, memberitahukan apa saja yang ingin kami ketahui. Ternyata mereka mendendam sampai ke ujung rambutnya kepada orang-orang Pajang yang bengis itu.”
“Tutup mulutmu!” Agung Sedayu tiba-tiba membentak. Kemarahannya telah menyala dengan dahsyatnya. Perasaan-perasaan yang telah diendapkannya tiba-tiba teraduk kembali. Dan sekali lagi ia berkata di dalam hatinya,
“Aku bukan kanak-kanak lagi. Aku harus dapat berbuat menurut pertimbanganku sendiri. Aku tidak perlu menggantungkan diriku kepada siapapun.”

Perasaan itu telah mendorong Agung Sedayu untuk menyelesaikan masalah yang kini sedang dihadapi. Dengan sepenuh kekuatan ia menindas segala macam keragu-raguan yang ada di dalam dirinya. Ia tidak mau mendengar lagi pertimbangan-pertimbangan apa  pun yang tumbuh di dalam hatinya. Tetapi ia masih tetap berdiri di tempatnya. Ia tidak mau maju lagi masuk ke dalam perangkap. Karena Agung Sedayu tidak beranjak dari tempatnya, maka bayangan itu maju setapak.
“Letakkan pedangmu,” suaranya berdesis,
“bagimu sudah tidak ada pilihan lain kecuali mati.”
“Aku memilih mati,” suara itu bergetar seperti gelora di dalam dadanya.
“Gila kau,” bayangan itu  pun menggeram, “jangan bodoh.”
“Kalau aku mati, maka kau  pun akan mati karena kau tidak akan dapat keluar dari padepokan ini.”
“Kau memang terlampau bodoh, aku dapat mendatangi pondok itu tanpa kau. Mungkin kami perlu membawa kepalamu saja uutuk menakut-nakuti mereka agar mereka bersedia menuruti perintah kami.”
“Lakukanlah,” sahut Agung Sedayu dalam nada yang berat penuh tekanan kemarahan.
Bayangan itu terdiam sejenak. Tetapi Agung Sedayu melihat orang itu melambaikan tangannya.
“Ia memberikan tanda kepada kawan-kawannya,” berkata Agung Sedayu di dalam hatinya.
Dugaan Agung Sedayu itu ternyata tepat. Sejenak kemudian Agung Sedayu melihat empat orang yang lain berloncatan dari tempat persembunyian mereka. Agung Sedayu meloncat selangkah surut. Ketika ia mencoba menghitung orang-orang yang berdiri di sekitarnya, maka dilihatnya semuanya berjumlah lima orang. Sekali lagi Agung Sedayu bergeser. Ia mencoba untuk mendapat tempat yang baik. Ia harus melawan kelima orang itu sekaligus. Perkelahian yang demikian adalah suatu pengalaman baru baginya. Tetapi pengalaman itu mengandung bahaya yang cukup besar.
“Tetapi aku bukan kanak-kanak yang hanya dapat merengek lagi kepada kakang Untara. Kakang Untara selalu berbuat tanpa ragu-ragu. Aku bukan pengecut. Aku sudah cukup dewasa untuk menyelesaikan masalah ini,” kata-kata itu selalu terngiang di dalam rongga telinganya. Ia sama sekali tidak mau diganggu lagi oleh keragu-raguan dan kebimbangan. Dan tiba-tiba saja, kelima orang itu terkejut ketika mereka mendengar Agung Sedayu berteriak,
“Aku bunuh kalian! Aku berhak juga membunuh musuh-musuhku.”
Terdengar kemudian salah seorang dari kelima orang itu berdesis,
“Jangan membunuh diri. Kau sudah terkepung, Betapapun dahsyat ilmu prajurit Pajang, tetapi melawan kami berlima adalah mustahil”
“Ayo, kalian membunuh aku atau aku membunuh kalian.”
Kelima orang itu tertegun. Ternyata mereka berhadapan dengan seorang yang agaknya tidak berperasaan. Dan sebenarnyalah bahwa Agung Sedayu tidak mau lagi dipengaruhi oleh segala macam perasaan ragu-ragu, bimbang, pertimbangan-pertimbangan atau ijin dari kakaknya atau kecemasan bahwa kakaknya akan marah, atau perasaan apapun. Apalagi perasaan takut. Karena itu maka sikapnya  pun menjadi terlampau garang dan kasar.
“Apakah kau mencoba menakut-nakuti kami?” bertanya yang lain.
“Persetan! Apakah kau takut atau tidak bukan soalku. Ayo kita bertempur,” jawab Agung Sedayu.
Sekali lagi kelima orang itu menjadi heran. Namun mereka tidak mendapat kesempatan untuk bertanya-tanya lagi. Tiba-tiba-saja mereka melihat Agung Sedayu menggerakkan pedangnya sambil berkata,
“Hanya ada dua kemungkinan, “membunuh atau dibunuh.” Aku memilih kemungkinan yang pertama, “membunuh.” Aku tidak peduli lagi atas kalian. Apakah kalian akan merengek minta maaf atau minta dikasihani. Tidak ada maaf dan belas kasihan di peperangan. Kita bersama-sama telah menjadi buas melampaui serigala.”

Kelima orang itu pun sebenarnya adalah orang-orang yang hampir berputus asa. Mereka sebenarnya telah hampir kehilangan pertimbangan-pertimbangan mereka. Mereka pun sebenarnya berada dalam daerah kedua pilihan itu pula, “membunuh atau dibunuh”, tetapi ternyata sikap Agung Sedayu itu telah membuat dada mereka menjadi semakin berdebar-debar. Mereka terkejut, bahwa dalam sekejap kemudian Agung Sedayu telah meloncat sambil memutar pedangnya. Dengan penuh nafsu ia menyerang lawan-lawannya yang telah mengepungnya itu. Hampir bersamaan kelima orang yang berdiri melingkari Agung Sedayu itu meloncat surut. Tetapi mereka tidak dapat berbuat lain daripada segera melakukan perlawanan, sebab serangan Agung Sedayu selanjutnya melanda mereka seperti banjir. Selama ini Agung Sedayu selalu dibayangi oleh keragu-raguan dan kebimbangan. Bahkan ia menjadi bingung melihat sikap kakaknya. Seolah-olah apa yang dilakukannya selalu saja salah. Tiba-tiba kini ia dengan sekuat tenaganya telah melepaskan diri dari setiap ikatan yang membelenggu perasaannya.
“Aku harus melepaskan diri dari semua ikatan,” Agung Sedayu itu berteriak di dalam hatinya.
“Aku akan berbuat apa saja yang aku inginkan. Sekarang aku ingin membunuh, persetan dengan pendapat orang lain.”
Dengan demikian maka tandang Agung Sedayu menjadi semakin garang. Pedangnya berputaran seperti baling-baling. Kilatan pantulan cahaya samar-samar yang memancar dari langit tampak berkali-kali meloncat dari batang pedangnya. Tetapi kali ini ia harus bertempur melawan lima orang yang memiliki ilmu tata bela diri pula. Ternyata mereka berlima merupakan lawan yang cukup berat bagi Agung Sedayu. Meskipun Agung Sedayu cukup lincah dan tangguh, namun berkelahi melawan lima orang di dalam gelapnya malam, merupakan pekerjaan yang cukup berat baginya. Perkelahian itu semakin lama menjadi semakin dahsyat. Ketika tubuh Agung Sedayu telah basah diusap oleh keringatnya sendiri, maka tandangnya pun menjadi semakin garang. Dengan lincahnya ia berloncatan menghindar dan menyerang, seperti kijang di padang perburuan. Pedangnya terayun-ayun seperti angin pusaran yang melindungi tubuhnya, sehingga sama sekali tidak tertembus oleh satu  pun dari kelima ujung pedang lawan-lawannya.
“Anak ini dapat berkelahi seperti hantu,” berkata salah seorang lawan Agung Sedayu di dalam hatinya. Ia sama sekali tidak menyangka, bahwa Agung Sedayu seorang diri mampu melawan mereka berlima. Ternyata mereka yang belum banyak mengenal anak muda, adik Senapati Pajang ini, telah membuat salah hitung. Mereka menyangka bahwa mereka berlima, yang masing-masing merasa mempunyai beberapa kelebihan dari kawan-kawannya, dapat dengan mudah menangkap Agung Sedayu dan memperalatnya.
“Ah, bagaimana kalau kami berhadapan dengan Untara sendiri,” desis yang lain di dalam dadanya. Ternyata mereka tidak saja berhasrat menangkap Agung Sedayu, Swandaru, atau Sekar Mirah, tetapi di dalam setiap kesempatan siapa  pun mereka kehendaki, asal orang itu cukup bernilai untuk dapat dijadikannya tanggungan untuk melepaskan diri. Namun ternyata kini mereka terbentur kepada seorang anak muda yang luar biasa. Agung Sedayu.

Meskipun mengalami beberapa kesulitan, tetapi Agung Sedayu yang sedang dicengkam oleh pergolakan persoalan di dalam dirinya itu sama sekali tidak berhasrat berkisar dari tempatnya. Ia sudah bertekad untuk bertempur. Ia sudah bertekad untuk meninggalkan segala macam perasaan yang ada di dalam dadanya. Setiap perasaan yang tumbuh, maka segera ditindasnya.
“Ini adalah kungkungan keragu-raguan dan kebimbangan yang selama ini membuat aku kehilangan kesempatan untuk berbuat apa pun menurut kehendakku dan keinginanku sendiri.”
Namun dengan demikian, Agung Sedayu telah benar-benar dicengkam oleh kegelapan hati. Ia tidak mau lagi melihat pertimbangan-pertimbangan apa  pun di dalam dirinya. Yang diteriakkan di dalam hatinya adalah,
“Aku adalah laki-laki dewasa. Aku dapat berbuat apa saja menurut pertimbanganku sendiri.”
Dengan demikian maka serangannya  pun menjadi semakin dahsyat. Pedangnya semakin cepat berputar dan ayunannya  pun menimbulkan desing yang mendebarkan hati. Perkelahian itu semakin lama menjadi semakin dahsyat. Kedua belah pihak seolah-olah sedang dicengkam oleh perasaan yang tidak wajar. Kelima orang itu adalah orang-orang yang sedang berputus asa. Bagi mereka tidak ada pilihan lain daripada berkelahi mati-matian. Kalau mereka kalah, maka mereka  pun akan mati pula. Kalau mereka melarikan diri  pun mereka tidak akan mendapat kesempatan untuk keluar dari padepokan ini. Karena itu maka apabila mereka masih ingin hidup, maka mereka harus memenangkan pertempuran ini. Pilihan mereka adalah, mati atau berhasil memperalat Agung Sedayu untuk melepaskan diri. Maka di lorong sempit itu telah terjadi perkelahian antara hidup dan mati. Mereka bergeser dari satu titik ke titik yang lain. Sekali-sekali Agung Sedayu memerlukan tempat yang cukup luas untuk menghadapi serangan-serangan yang datang beruntun seperti banjir, sehingga perkelahian itu  pun bergeser masuk ke dalan halaman yang kosong. Tetapi di saat-saat yang lain Agung Sedayu berusaha untuk mempersempit arena. Dengan demikian maka ia berdiri hampir melekat dinding batu di muka halaman yang kosong itu, menghadapi kelima lawannya pada satu arah. Gelap malam semakin lama menjadi semakin pekat, tetapi langit menjadi semakin bersih. Bintang-bintang yang gemerlapan di langit menjedi semakin jernih, berkilat-kilat dan berkeredipan. Agung Sedayu sudah tidak mau berpikir lain kecuali membunuh lawan-lawannya. Pikiran yang demikian, membunuh lawan-lawannya tanpa ampun, sebelumnya tidak pernah terkilas di kepalanya. Bahkan dalam peperangan yang hiruk-pikuk, dalam perang brubuh atau di dalam gelar-gelar perang yang lebih baik, membunuh lawannya selalu menimbulkan persoalan di dalam dirinya. Tetapi kali ini ia benar-benar ingin membunuh lawan-lawannya itu. Semakin lama perkelahian itu berlangsung, maka semakin tampak kegarangan Agung Sedayu. Kelincahan dan ketangkasanya telah menempatkannya ke dalam keadaan yang lebih baik dari lawan-lawannya, meskipun kelima orang itu masih tetap merupakan bahaya yang setiap saat dapat merenggut jiwanya. Apalagi ketika kelima orang lawan-lawannya itu menjadi semakin berputus asa. Mereka seolah-olah benar-benar ingin membunuh dirinya dengan mempergunakan tangan Agung Sedayu. Agaknya mereka sudah tidak melihat jalan lain untuk keluar dari padepokan ini. Kesempatan yang dianggapnya kesempatan terakhir ini agaknya terlampau sulit untuk dapat dipergunakannya.
“Kalau kali ini kami gagal,” berkata salah seorang dari mereka di dalam hatinya,
“nasib kami akan menjadi lebih jelek. Kami akan diburu seperti memburu bajing. Beramai-ramai. Setelah kami tertangkap, maka kami akan menjadi pangewan-ewan. Karena itu, maka lebih baik mati pada saat ini dari pada tertangkap hidup-hidup.”
Dengan demikian maka tandang mereka  pun menjadi semakin dahsyat. Berlima mereka berputar-putar mengelilingi Agung Sedayu. Sekali-sekali mereka berloncatan menyerang. Berganti-ganti dan kadang-kadang hampir bersamaan.

Agung Sedayu menggeram. Memang kadang-kadang ia menjadi bingung menghadapi cara kelima lawannya itu bertempur. Namun setiap kali ia selalu berusaha menembus lingkaran mereka dan berdiri di luar. Setiap kali ia melontarkan dirinya jauh-jauh, namun tiba-tiba ujung pedangnya telah mematuk dengan garangnya. Angin malam di pegunungan yang dingin berhembus semakin kencang. Suaranya berdesir di antara dedaunan yang rimbun. Ketika di kejauhan terdengar anjing hutan berteriak berebut makan, terdengar dari kancah perkelahian itu sebuah keluhan tertahan. Seorang dari kelima orang yang berkelahi melawan Agung Sedayu itu meloncat surut. Tangan kirinya menggenggam pergelangan tangan kanannya. Sepercik darah merah meleleh dari luka yang menganga. Meskipun demikian pedangnya masih tidak terlepas dari tangannya yang terluka itu. Kawan-kawannya sama sekali tidak sempat untuk menolongnya karena serangan Agung Sedayu masih saja membadai. Bertubi-tubi tiada putus-putusnya. Apalagi kini lawannya tinggal empat orang. Kesempatan baginya menjadi semakin luas. Pedangnya menjadi semakin lincah bermain-main di antara keempat senjata lawan-lawannya. Tetapi ternyata orang yang terluka itu tidak segera menyerahkan diri kepada nasibnya. Ia masih ingin berbuat sesuatu seandainya ia harus mati. Lebih baik baginya untuk mati dengan dada terbelah, daripada mati perlahan-lahan karena kehabisan darah atau tertangkap oleh orang-orang Pajang. Kini pedangnya berada di tangan kirinya. Dengan garangnya ia meloncat sambil menggeretakkan giginya. Meskipun pedangnya berada di tangan kiri, namun karena luapan kemarahan dan putus asa, maka tandangnya  pun menjadi semakin kasar. Tetapi baru saja orang itu menginjakkan kakinya di dalam arena perkelahian, sekali lagi terdengar salah seorang kawannya memekik kecil. Seorang lagi terlempar dari lingkaran. Pundaknya tersayat oleh pedang Agung Sedayu. Darah yang merah telah membasahi bajunya. Namun seperti kawannya, ia tidak menyerah. Bahkan dengan wajah yang membara ia menyerang sejadi-jadinya. Tetapi keadaan Agung Sedayu menjadi semakin baik. Hatinya  pun menjadi semakin terbakar pula melihat sikap lawan-lawannya. Orang-orang yang sudah terluka itu sama sekali tidak menunjukkan kecemasan dan gentar. Bahkan mereka menyerangnya seperti angin ribut yang berputaran. Dengan demikian, maka Agung Sedayu  pun menjadi semakin bernafsu. Pedangnya bergerak semakin cepat, dan tandangnya  pun menjadi semakin garang. Bahkan akhirnya ia sudah sampai ke puncak ilmunya. Tanpa kendali. Dilepaskan segenap kemampuannya untuk membinasakan kelima orang lawannya yang sudah menjadi semakin lemah. Ternyata lawannya benar-benar menjadi semakin bingung. Sesaat kemudian seorang lagi terluka di keningnya. Darah yang segar mengalir di wajahnya. Ketika tangan kirinya mengusapnya, maka tangan itu  pun menjadi merah seolah-olah menyala.
“Setan!” orang itu menggeram. Giginya gemeretak dan dengan kutukan yang paling kotor ia meloncat menyerang kembali.
Semakin lama mereka bertempur, maka semakin dekatlah Agung Sedayu pada batas kemenangannya. Tetapi kemarahan yang meluap-luap telah benar-benar menggelapkan hatinya. Tidak ada pikiran lain daripada membunuh lawan-lawannya.
Ia menggeram ketika ia melihat seorang lawannya kini tidak saja terluka di tangan, pundak, atau kening. Tetapi ujung pedangnya berhasil menggores dada. Terdengar orang itu mengaduh, dan sejenak kemudian tubuhnya terguling di atas tanah. Dari mulutnya meluncur desis kesakitan. Melihat kawannya terbanting jatuh dan tidak segera dapat bangkit lagi, maka keempat kawannya menjadi semakin kalap. Mereka berloncatan dan menyerang membabi-buta. Seperti Agung Sedayu yang semakin lama menjadi semakin kasar dan garang juga. Apalagi ketika lawan-lawannya sudah menjadi semakin lelah. Beberapa orang telah benar-benar tidak mampu lagi menghentakkan pedangnya karena darah yang semakin banyak mengalir. Sehingga akhirnya mereka tidak lebih dari seonggok tubuh-tubuh yang hampir tidak berdaya sama sekali.

Saat yang ditunggu-tunggu oleh Agung Sedayu itu kini telah datang. Ia tidak akan dapat dihalang-halangi lagi. Ia tinggal menghunjamkan saja ujung pedangnya ke dada setiap orang yang sudah dengan lemahnya mengayun-ayunkan senjatanya. Tetapi ayunan itu sudah tidak berarti sama sekali. Terdengar gigi anak muda itu gemeretak. Selangkah ia surut untuk mengambil ancang-ancang. Ia akan segera meloncat maju dengan pedang terjulur. Satu demi satu lawan-lawannya itu akan roboh. Mati. Ia akan dapat berkata kepada kakaknya, bahwa ia telah membunuh lima orang sekaligus yang dengan licik memancingnya. Ia akan berkata kepada kakaknya, bahwa ia adalah laki-laki seperti prajurit yang lain. Lawan-lawannya pun seolah-olah telah pasrah diri. Mereka sudah merasa tidak mampu untuk berbuat apa-apa. Mereka telah sampai pada puncak keputus-asaan, meskipun ujung pedang mereka masih juga terangkat setinggi lambung. Tetapi kekuatan tenaga mereka sama sekali sudah tidak memadai.
“Tariklah nafas yang terakhir sepuas-puas hati kalian,” desis Agung Sedayu, “sekejap lagi kalian akan terguling di tanah tanpa dapat bernafas lagi.”
Kelima lawannya sama sekali sudah tidak menjawab, apalagi yang masih belum dapat tegak karena terluka di dadanya. Ia masih duduk di tanah, walau pun tangannya masih juga menggenggam pedangnya. Tetapi yang terjadi adalah di luar dugaan mereka. Di luar dugaan kelima orang yang sudah tidak berdaya itu, dan di luar dugaan Agung Sedayu sendiri. Ketika Agung Sedayu menggerakkan kakinya, siap untuk meloncat dengan pedang terjulur, tiba-tiba terasa sentuhan di bahunya. Ketika ia berpaling, terjadi hal yang hampir tidak masuk di dalam akalnya, pedangnya dengan serta-merta lepas dari tangannya seperti ditarik oleh kekuatan yang sangat dahsyat. Selangkah Agung Sedayu meloncat ke samping. Baru sekejap kemudian ia dapat melihat, bayangan berdiri tegak di hadapannya. Pedangnya telah berpindah ke tangan orang itu.
Tetapi Agung Sedayu tidak perlu bertanya. Namun dadanya berdesir tajam ketika ia melihat orang itu menyerahkan pedangnya kembali sambil berkata,
“Sudah cukup, Ngger. Kau tidak perlu menyelesaiannya sendiri. Persoalan selanjutnya adalah persoalan para prajurit Pajang.”
Sejenak Agung Sedayu terbungkam. Tanpa berkedip di tatapnya wajah yang kehitam-hitaman di dalam gelapnya malam. Tetapi Agung Sedayu segera mengenalnya, bahwa orang itu adalah gurunya, Ki Tanu Metir.
Tidak sepatah kata  pun dapat diucapkan, tiba-tiba kepala Agung Sedayu terkulai tunduk dalam-dalam. Sesuatu telah menusuk langsung ke pusat jantungnya. Bukan ujung pedang lawan, tetapi peringatan yang langsung diberikan oleh gurunya, meskipun tidak dengan kalimat-kalimat. Ia segera menyadari keadaannya. Tidak sepantasnya ia membunuh tanpa mengenal batas-batas perlakuan yahg wajar. Hampir saja ia terperosok ke dalam kegelapan karena hatinya sendiri yang sedang gelap. Namun yang terjadi itu telah benar-benar merupakan suatu peringatan yang dirasakannya terlampau keras. Tetapi ketika hatinya telah mengendap, maka di sela-sela bibirnya yang bergerak-gerak ia mengucap syukur. Perlahan-lahan sekali. Tidak seorang  pun yang mendengarnya selain dirinya sendiri.
Ki Tanu Metir itu  pun kemudian melangkah maju, mendekati kelima orang yang sedang menantikan ajal itu. Terdengar ia berkata,
“Kalian lebih baik menghentikan perlawanan. Marilah ikut kami, kami tidak akan berbuat terlampau jauh seperti yang kalian duga. Kami akan menyerahkan kalian kepada para peronda.”
Sejenak suasana menjadi hening. Tidak segera terdengar jawaban dari kelima orang itu.
“Menyerahlah. Aku menjamin bahwa kalian akan diperlakukan dengan wajar,” berkata Ki Tanu Metir pula.
Orang tua itu mengerutkan keningnya ketika ia mendengar jawaban,
“Kami sudah siap untuk mati.”
“Jangan kehilangan akal. Kalian masih akan mendapat kesempatan seperti kawan-kawanmu yang lain, yang telah menyerah lebih dahulu.”

Sekali lagi kelima orang itu terdiam. Dan yang terdengar adalah suara Ki Tanu Metir kepada Agung Sedayu,
“Angger Agung Sedayu. Pergilah ke banjar, bukankah kakakmu Untara menunggumu di sana. Kau sudah kehilangan waktu beberapa saat untuk bermain-main di sini. Beritahukan kepada beberapa orang peronda yang kau jumpai, bahwa di sini ada beberapa orang yang akan menyerah.”
Agung Sedayu mengangguk. Jawabnya,
“Baik, Guru. Aku akan pergi ke banjar. Mungkin Kakang Untara sudah terlalu lama nenunggu aku.”
“Ya, pergilah.”
Ketika kaki Agung Sedayu terayun, ia tertegun. Ia mendengar salah seorang dari kelima orang itu berkata,
“Aku-tidak akan nenyerah. Aku ingin mati oleh tusukan pedang.”
“Jangan membunuh diri dengan cara yang demikian.”
“Tetapi pertempuran ini belum selesai. He, anak muda. Kalau kau tinggalkan orang tua ini seorang diri di sini, aku akan membunuhnya.”
Agung Sedayu memandangi orang yang berbicara itu, yang keningnya masih menitikkan darah dari lukanya.
“Lakukanlah kalau mampu,” sahut Agung Sedayu. Tetapi dadanya kini sudah tidak dibakar lagi oleh nafsunya untuk membunuh.
“Mungkin Ki Tanu Metir bahkan akan memberimu obat yang dapat memampatkan darah dari lukamu.”
Orang itu menjadi heran. Tiba-tiba ia teringat, bagaimana mungkin orang tua itu dapat merebut pedang Agung Sedayu dengan mudahnya, sehingga orang ini pasti seorang yang jauh lebih dahsyat dari anak muda itu. Tetapi sikapnya dan kata-katanya telah mencairkan hati kelima orang yang telah membatu karena putus asa itu.
Sepeninggal Agung Sedayu, kelima orang itu tidak menolak ketika Ki Tanu Metir memberi obat pada luka-luka mereka sekedar untuk menahan arus darah yang mengalir.
“Kalian tidak boleh kehabisan darah,” berkata orang tua itu.

Sementara itu Agung Sedayu berjalan dengan kepala tunduk. Peristiwa yang baru saja terjadi telah mengguncang dadanya. Ia merasa menyesal, bahwa ia telah hanyut ke dalam arus kegelapan hati. Namun kadang-kadang masih juga timbul desah di dalam hati,
“Kenapa aku tidak dapat berbuat sebebas orang-orang lain? Kenapa aku masih saja terikat sama sekali kepada Kakang Untara?”
Ketika Agung Sedayu sampai di gardu peronda, segera diberitahukannya tentang kelima orang yang baru saja berkelahi melawannya.
“Selesaikanlah mereka menurut ketentuan yang berlaku,” berkata Agung Sedayu.
“Apakah mereka tidak melarikan diri sepeninggalmu?” bertanya prajurit yang sedang bertugas itu.
“Mereka kini bersama Ki Tanu Metir,” jawab Agung Sedayu.
“Baiklah,” sahut prajurit itu kemudian, “aku akan persiapkan orang-orangku. Bukankah mereka berlima?”
“Ya.”
Agung Sedayu tidak menunggui prajurit itu menyiapkan teman-temannya. Segera ditinggalkannya gardu perondan itu untuk pergi ke banjar padepokan menemui kakaknya. Langkahnya semakin lama menjadi semakin cepat. Dicobanya untuk melupakan apa yang baru saja terjadi. Ia tidak mau lagi membayangkannya, apalagi betapa yang akan terjadi seandainya gurunya tidak mencegahnya melakukan pembunuhan yang tidak terkendali itu.
“Hem,” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam,
“aku harus memetik pelajaran dari padanya.” Tetapi ia tidak ingin bahwa peristiwanya itu sendiri selalu membayangi perasaannya.
Sehingga dalam keragu-raguan ia bertanya kepada diri sendiri,
“Apakah aku perlu mengatakannya kepada Kakang Untara?”
Agung Sedayu menggelengkan kepalanya.
“Tidak. Tidak perlu. Laporan itu akan datang dari para prajurit yang akan menangkap mereka. Aku tidak perlu berkata apa  pun tentang peristiwa itu.” Tetapi kemudian ia berkata pula di dalam hatinya,
“Tetapi jangan-jangan Kakang Untara menganggap aku bersalah. Aku telah berbuat sendiri di daerah ini justru di luar wewenangku. Ah, biarlah aku mengatakannya. Salah atau benar, aku akan mengatakannya.”
Agung Sedayu itu  pun kemudian melangkah terus. Kini ia mencoba memusatkan perhatiannya kepada kakaknya. Kepada kepentingan yang akan disampaikan kepadanya. Ketika beberapa puluh langkah daripadanya terpancar seberkas sinar obor, hati Agung Sedayu menjadi semakin berdebar-debar. Sinar obor itu pastilah sinar obor yang dipasang di halaman banjar. Dan kakaknya telah menunggunya di banjar itu pula.
“Apakah yang akan dikatakannya?” gumamnya lambat. Agung Sedayu itu menggelengkan kepalanya.
“Tak seorang pun yang tahu selain Kakang Untara sendiri. Mungkin guru, tetapi mungkin pula tidak.”
Semakin dekat Agung Sedayu dengan banjar padepokan itu hatinya menjadi semakin berdebar-debar.
Ketika kemudian ia berdiri di muka regol banjar padepokan itu, dua orang prajurit mendatanginya dan bertanya,
“Siapa?”
“Aku, Agung Sedayu,” sahut Agung Sedayu.

Sinar obor yang kemerah-merahan jatuh di atas wajahnya, membuat kesan tersendiri pada kedua prajurit yang memandangi dengan tajam. Tetapi sebelum keduanya bertanya lebih lanjut, Agung Sedayu telah mendahuluinya membuat penjelasan,
“Aku dipanggil oleh Kakang Untara.”
“Sekarang?”
“Ya,” sahut Agung Sedayu.
Kedua prajurit itu saling berpandangan. Dan salah seorang dari mereka berkata,
“Silahkanlah.”
Agung Sedayu segera melangkah masuk ke halaman. Halaman banjar padepokan itu kini sudah tampak lebih bersih dan terang. Beberapa buah obor dipasang di sudut-sudut halaman dan sebuah lampu minyak yang cukup terang tergantung di tengah-tengah pendapa. Beberapa orang masih tampak duduk bercakap-cakap di pendapa itu. Sedang beberapa orang yang lain, yang terluka berbaring-baring sambil bercakap-cakap satu sama lain.
Mereka memandangi Agung Sedayu ketika anak muda itu naik tangga dan berjalan di antara mereka, di tengah-tengah pendapa itu. Salah seorang yang telah mengenalnya dengan baik bertanya,
“Apakah kau akan menemui kakakmu?”
“Ya,” sahut Agung Sedayu.
“Ia berada di pringgitan.”
Agung Sedayu sebenarnya sudah tidak memerlukan keterangan itu lagi. Ia tahu pasti bahwa kakaknya berada di pringgitan. Mungkin dengan beberapa orang perwira pembantu-pembantunya. Mungkin bahkan sendiri sambil menunggunya. Tetapi ia menjawab,
“Terima kasih.”
Dengan dada yang semakin berdebar-debar ia melangkah menuju ke pintu pringgitan. Pintu leregan itu masih terbuka sedikit. Sepercik sinar dian di dalam pringgitan itu sempat meloncat keluar. Hati-hati Agung Sedayu mendekati pintu. Kini ia sudah berada tepat di muka pintu. Tetapi keragu-raguannya ternyata membuat ia tertegun. Tanpa disengajanya ia berpaling, memandangi orang-orang yang berada di pendapa banjar itu. Agung Sedayu itu terkejut ketika tanpa disangka-sangkanya orang yang sudah mengenalnya dan memberitahukan kepadanya bahwa Untara berada di pringgitan itu berbicara lagi, cukup keras,
“Buka saja. Pintu itu tidak pernah dislarak.”
“Terima kasih,” sekali lagi Agung Sedayu menjawab. Kini tangannya telah memegang wengku pintu yang dibuat dari anyaman bambu wulung. Perlahan-lahan ia mendorong ke samping. Dan pintu itu  pun terbuka.
Dada Agung Sedayu berdesir. Di dalam pringgitan itu duduk hanya dua orang saja. Kakaknya, Untara dan seorang lagi, Wuranta.
“Masuklah,” terdengar suara kakaknya berat tetapi dingin. Sedingin angin pegunungan yang bertiup semakin kencang.
“Terima kasih, Kakang,” sahut Agung Sedayu. Suaranya pun tiba-tiba bernada berat. Tetapi terasa sebuah getaran di dadanya terpercik di antara kata-katanya.
Tetapi begitu ia melangkahkan kakinya, Agung Sedayu itu tertegun. Ia melihat Wuranta tiba-tiba berdiri dan berkata,
“Untara, aku akan keluar sebentar. Udara terlampau panas di pringgitan ini.”
Terasa jantung Agung Sedayu menjadi semakin cepat berdentang. Ia sadar bahwa kehadirannyalah yang seolah-olah telah mengusir Wuranta dari pringgitan itu. Agaknya Wuranta benar-benar tidak dapat menemuinya. Dengan demikian maka teka-teki di dalam dada Agung Sedayu menjadi semakin kisruh. Panggilan kakaknya telah membingungkannya, dan kini ia menemukan suatu pertanyaan baru yang semakin membelit hati.
“Apakah sebenarnya yang telah aku lakukan, sehingga aku terperosok dalam keadaan yang membingungkan ini?” desis Agung Sedayu di dalam hatinya.
Tetapi yang terdengar adalah suara Untara, “Duduklah Wuranta.”
“Aku akan keluar sebentar,” sahut Wuranta sambil melangkah.
Tetapi sekali lagi terdengar Untara berkata, “Duduklah.”
Wuranta menggeleng. “Aku tidak betah duduk di dalam pringgitan yang panas ini.”
“Di luar udara akan lebih panas lagi. Duduklah,” ulang Untara.
Tetapi Wuranta masih juga melangkah. Namun langkahnya pun tertegun. Agung Sedayu masih berdiri tegak di muka pintu.
“Wuranta,” Untara mengulanginya lagi,
“kemarilah dan duduklah. Dengar kata-kataku. Kemarilah kalian berdua. Duduk di sini. Aku perlu dengan kau berdua.”

Nada kata-kata Untara serasa semakin berat, memberati hati kedua anak-anak muda itu. Ketika sekali lagi Untara memanggil, maka Wuranta tidak dapat lagi menolaknya,
“Wuranta. Kemari. Duduklah di sini.”
Dengan wajah yang tegang Wuranta itu  pun melangkah kembali. Dengan dada yang berdebaran ia duduk di tempatnya. Sekali matanya menyambar Agung Sedayu yang masih berdiri tegak di muka pintu. Tetapi sesaat kemudian dilemparkannya pandangan matanya ke sudut ruangan. Agung Sedayu masih tegak di tempatnya. Di lambungnya tergantung sehelai pedang. Di wajahnya terpancar berbagai macam pertanyaan yang telah membingungkannya.
“Jangan seperti hendak berkelahi Sedayu,” tiba-tiba suara kakaknya mengejutkan, “duduklah.”
“Oh,” terdengar Agung Sedayu berdesah, “terima kasih, Kakang.”
“Apakah kau akan pergi berperang?”
Pertanyaan Untara terdengar begitu tajamnya menyentuh telinganya. Dan tiba-tiba saja Agung Sedayu itu menjawab tegas, “Tidak.”
Untara bergeser. Ditatapnya wajah adiknya. Tetapi Agung Sedayu menundukkan kepalanya. Meskipun demikian jawaban Agung Sedayu itu terasa telah menggerakkan hati kakaknya. Dalam keadaan yang wajar, adiknya tidak akan menjawab. Apalagi jawaban sesingkat dan tegas itu. Tetapi Untara itu terdiam. Dipandanginya langkah Agung Sedayu mendekatinya dan kemudian duduk di sampingnya. Dijulurkannya pedangnya ke belakang. Sejenak mereka saling berdiam diri, dan pringgitan itu dijalari oleh suasana yang sepi tegang. Di kejauhan terdengar lamat-lamat suara burung hantu yang menggetarkan udara malam yang dingin. Sesaat kemudian Untara menarik nafas dalam-dalam. Ditatapnya adiknya dengan penuh pertanyaan. Tetapi sebelum Untara bertanya, Agung Sedayu berkata,
“Aku bertemu dengan lima orang yang bersembunyi di balik rerungkudan. Mereka sengaja menjebak aku.”
Untara masih terdiam, dan Agung Sedayu mengatakan dengan singkat apa yang dijumpainya di perjalanan ke banjar padepokan ini. Terasa jantung Untara menjadi semakin cepat bergetar. Ia merasakan suatu kebanggaan di dalam dirinya, bahwa Agung Sedayu telah berhasil menguasai diri dalam keadaan yang tiba-tiba itu dan dapat berbuat sesuatu. Tetapi ia tidak ingin menunjukkan pengaruh perasaannya itu. Bahkan wajahnya seolah-olah tidak menunjukkan perubahan apa pun. Meskipun demikian, Agung Sedayu menjadi agak berlega hati bahwa kakaknya tidak menyalahkannya lagi. Sekali lagi ruangan itu menjadi sepi. Baru sejenak kemudian Untara berkata kepada Wuranta tanpa mempersoalkan ceritera Agung Sedayu,
“Aku memang menunggu kesempatan semacam ini Wuranta.”
Wuranta tidak menyahut, tetapi wajahnya  pun tunduk memandangi anyaman tikar yang didudukinya.
“Aku ingin setiap persoalan segera selesai. Aku tidak ingin kalian bersikap seperti anak-anak.”
Tiba-tiba Wuranta mengangkat kepalanya. Sorot matanya menjadi tajam bercahaya. Dari sela-sela bibirnya terdengar suaranya bergetar,
“Apakah maksudmu, Untara?”

Untara mengerutkan keningnya. Ia berhadapan dengan seorang anak muda perasa. Anak muda yang mudah tersinggung perasaannya. Apalagi dalam keadaan seperti ini. Tetapi Untara tetap dalam pendiriannya, ia ingin menyelesaikan persoalan ini.
“Wuranta,” berkata Untara,
“tidak baik kau selalu dikejar oleh perasaanmu itu. Setiap kali kau selalu menghindari pertemuan dengan Agung Sedayu sejak kau meninggalkannya, ketika Agung Sedayu sedang berkelahi dan mengejar Sidanti. Sejak ini, maka anggaplah bahwa di antara kalian sudah tidak ada persoalan lagi, sehingga hubungan kalian menjadi wajar seperti sediakala. Agung Sedayu adalah anak Jati Anom seperti kau, seperti aku juga. Ia untuk seterusnya akan menetap pula di Jati Anom, kalian akan selalu bertemu di jalan-jalan, di perapatan atau di gardu-gardu perondan. Kalau hubungan kalian tidak dapat pulih kembali maka akibatnya pun akan mempengaruhi seluruh anak-anak muda Jati Anom.”
Wajah Wuranta sesaat menjadi pucat. Keringat dinginnya mengalir membasahi pakaiannya. Namun justru karena itu maka ia  pun terbungkam. Agung Sedayu  pun menjadi berdebar-debar. Ia tidak tahu persoalan apakah yang sedang dihadapinya. Tetapi yang telah menyengat hatinya adalah kepastian kakaknya bahwa ia akan tinggal untuk seterusnya di Jati Anom. Dengan demikian maka segera ia menemukan kesimpulan, bahwa hal inilah yang akan dikatakan kakaknya kepadanya, di samping persoalan yang masih tidak jelas baginya, hubungannya dengan Wuranta yang menjadi serasa tegang.
“Aku dapat merasakan perasaan kalian,” berkata Untara seterusnya,
“tetapi aku tidak sependapat bahwa perasaan itu akan terlampau berkuasa di hati kalian. Kalian harus mengimbanginya dengan nalar dan pikiran, bahwa kalian adalah anak-anak muda Jati Anom. Bahkan kalian adalah harapan bagi kampung halaman. Kalian harus dapat menyingkirkan semua persoalan pribadi untuk kepentingan-kepentingan yang lebih besar. Apakah kalian dapat mengerti maksudku?”
Wuranta masih terdiam. Keringatnya semakin banyak mengalir di seluruh wajah kulitnya.


Halaman 1 2 3


<<< Jilid 025                                                                                                       Jilid 027 >>>

Tidak ada komentar:

Posting Komentar