Jilid 026 Halaman 2


“Kalau Angger Agung Sedayu itu seorang pengecut, maka ia memang perlu dikasihani.”
“Tetapi ia sekarang sudah tumbuh dan berkembang.”
“Itu hanya terjadi sesaat. Ia akan menjadi seorang pengecut untuk seterusnya. Ia tidak akan berani melihat bahaya yang cukup besar.”
“Kenapa, Kiai? Bukankah ia sekarang telah berani menghadapi lawan yang dahulu sangat ditakutinya? Sidanti.”
“Tetapi jiwanya tetap kerdil. Kalau jiwa itu sudah mulai mekar, maka Angger Untara sendiri telah menekannya. Dan ia akan tetap berjiwa kecil dan pengecut.”
Dada Untara berdesir mendengar kata Ki Tanu Metir yang langsung menyentuhnya. Sesaat ia terdiam. Dipandanginya wajah orang tua itu. Wajahnya itu tampaknya agak berbeda dengan wajah yang selalu dilihatnya. Wajah itu selalu tampak jernih dan seolah-olah selalu membayangkan senyum. Namun kini Untara melihat wajah itu terlampau bersungguh-sungguh.
“Ki Tanu Metir benar-benar tersinggung karena aku marah kepada muridnya, meskipun muridnya itu adalah adikku,” katanya di dalam hati.
Tetapi Ki Tanu Metir itu kemudian berkata,
“Bukan saja Angger yang telah menekan jiwanya untuk tetap kerdil, tetapi aku  pun telah mengorbankannya. Aku tidak dapat berbuat lain untuk kepuasan prajurit Pajang di Tambak Wedi dan untuk kepentingan anak-anak Jati Anom.”
Untara menjadi semakin tidak mengerti. Wajahnya menjadi semakin berkerut-merut. Tiba-tiba ia berkata berterus-terang,
“Aku tidak mengerti Kiai.”

Ki Tanu Metir menarik nafas dalam-dalam. Kemudian ia berkata dengan wajah yang semakin tampak bersungguh-sungguh,
“Aku sebenarnya sangat kasihan kepada adikmu, Angger. Sebagian dari kesalahannya sehingga Angger marah kepadanya, adalah kesalahanku. Aku sengaja menyimpannya di dalam gubug itu. Aku pula yang mendorong mereka untuk minta kepadamu tempat yang lain, tidak di banjar ini. Alasannya agaknya cukup kuat, karena Sekar Mirah selalu ketakutan di sini. Tetapi apakah Angger ingat alasan yang telah mendesak Angger meluangkan waktu Angger yang terlampau sempit ini untuk memanggil Wuranta?”
“Oh,” Untara mengangguk-anggukkan kepalanya,
“Wuranta mempunyai kedudukan yang lain dengan Agung Sedayu, Kiai. Wuranta menurut Kiai sendiri adalah orang yang berhasil menembus rapatnya dinding padepokan ini. Bukankah karena Wuranta ada di dalam padepokan ini maka semuanya dapat berlangsung dengan lancar? Bukankah menurut keterangan dan pengakuan Kiai sendiri, bahwa Kiai dapat masuk ke dalam padepokan ini juga karena petunjuk-petunjuk Wuranta. Itulah sebabnya maka Wuranta harus mendapat penghargaan yang sewajarnya. Para prajurit Pajang harus mendapat penjelasan sehingga mereka tidak memperlakukan Wuranta sekenanya. Meskipun sebagai seorang anak muda Wuranta tidak mampu melawan seorang prajurit pun dalam olah kanuragan, namun keprigelannya dalam bidang sandi perlu mendapat penghargaan.”
“Dan aku telah membantu Angger untuk menyatakan terima kasih itu kepada Angger Wuranta. Aku merasa kasihan, karena kejutan jiwanya Angger Wuranta menjadi rendah diri dan berbuat di luar kewajaran. Kini ia telah menemukan kepercayaan kepada diri sendiri karena Angger Untara sendiri telah menaruh perhatian atasnya, sehingga dengan demikian tidak seorang pun akan mengumpati para prajurit Pajang, bahwa seolah-olah setelah tidak diperlukan lagi, Wuranta langsung dilemparkan tanpa perhatian. Hal itu pasti akan menyakitkan hati anak-anak Jati Anom.”
“Ya, ya aku sudah mengerti. Karena itu betapa aku sibuk, aku perlukan datang mengambilnya.”
“Dan kelak membuat suatu upacara untuk mengucapkan terima kasih kepadanya bersama orang-orang Jati Anom.”
“Ya. Kita harus menjaga supaya ia tetap tenang dan cukup percaya pada diri sendiri. Bukankah seperti yang Kiai katakan, gadis Sangkal Putung itulah yang telah membuatnya hampir berputus asa. Dan itu adalah karena Agung Sedayu pula?”
“Ya. Itulah sebabnya Angger Agung Sedayu harus dikorbankan.”
“Bagaimana?” Untara menjadi semakin bingung.
“Bahwa ia pergi dari banjar, dan kemudian tidak selalu menampakkan dirinya itu berarti memberi kesempatan Angger Untara untuk menempatkan Angger Wuranta di tempat sewajarnya. Ada pun kata orang terhadap Agung Sedayu yang tidak berperan apa  pun di sini, itu tidak penting.”

Dada Untara menjadi berdebar-debar mendengar kata-kata Ki Tanu Metir itu. Ia menjadi semakin jelas arah percakapan yang diucapkan oleh Ki Tanu Metir dengan nada yang berat dan bersungguh-sungguh itu. Sejenak kemudian ia masih mendengar Ki Tanu Metir berkata,
“Dan aku sudah berusaha untuk melakukannya Aku sudah menyingkirkan Agung Sedayu dari banjar ini, supaya Wuranta tidak lagi berkeberatan datang kemari. Dan aku sengaja tidak memberitahukan upacara yang diadakan hari ini supaya Agung Sedayu tidak datang kemari, apalagi bersama Sekar Mirah. Apabila demikian maka ada kemungkinan bahwa Wuranta akan menyingkir dari banjar ini dan untuk seterusnya ia tidak akan datang kembali. Bahkan mungkin ia akan terus kembali ke Jati Anom sebelum Angger Untara sendiri kembali bersama sebagian dari pasukan Pajang di sini. Nah, Wuranta akan dapat mengatakan kekecewaannya kepada anak-anak muda Jati Anom. Ia dapat mengatakan hal-hal yang tidak benar atau setidak-tidaknya kurang tepat karena arus perasaannya yang kadang-kadang kurang dapat dikendalikan. Dengan demikian bukankah ada baiknya bagi Angger bahwa Angger Agung Sedayu tidak datang dalam upacara ini?”
“Oh,” dahi Untara menjadi berkerut-merut, “itu tidak jujur Kiai,” katanya dengan serta-merta.
“Kenapa?”
“Kiai tidak bersikap adil terhadap keduanya,” ternyata kata-kata Kiai Gringsing telah menyentuh hati Untara sebagai seorang kakak yang sangat menyayangi adiknya sejak masa kanak-kanaknya.
“Seharusnya Kiai memberitahukan dahulu kepadaku akan rencana itu. Aku telah bersikap terlampau kasar terhadap Agung Sedayu. Seharusnya Wuranta  pun harus dapat menyadari dirinya. Persoalan-persoalan pribadi harus dapat disingkirkan di dalam masalah-masalah yang jauh lebih besar dan penting.”
“Ya,” sahut Kiai Gringsing.
“Aku memang bersalah. Aku tidak memberitahukan dahulu kepada Angger Untara. Tetapi aku tidak sempat. Terlalu sulit untuk mendapat kesempatan berbicara dengan Angger karena pekerjaan Angger yang tidak ada hentinya. Namun Angger jangan mempersoalkannya dengan Angger Wuranta. Ternyata perasaan anak muda itu terlampau mudah tersinggung. Aku kira baru untuk pertama kalinya ia merasa tertarik kepada seorang gadis. Dan gadis itu adalah Sekar Mirah. Justru Sekar Mirah yang sudah terlanjur terikat oleh Angger Agung Sedayu. Tetapi Angger Untara jangan mengatakan kepada adik Angger itu, bahwa ia harus mementingkan persoalan-persoalan yang lebih besar dari persoalan-persoalan pribadinya. Misalnya hubungannya dengan Sekar Mirah dan hubungannya dengan kewajiban-kewajiban yang akan Angger berikan kepadanya. Hubungan yang demikian adalah wajar bagi anak-anak muda. Bahkan mungkin akan membuatnya agak aneh dan berbeda dari kebiasaan hidup sebelumnya. Mungkin ia menjadi berani menentang orang lain dan bersikap kurang menyenangkan. Apalagi di hadapan gadis itu sendiri. Hanya satu dua orang sajalah yang dapat berbuat seperti Angger Untara, mengesampingkan semua persoalan pribadi dan menenggelamkan diri dalam kuwajiban Angger sebagai seorang prajurit. Tetapi aku kira Angger Agung Sedayu tidak akan dapat berbuat demikian. Meskipun mungkin ia dapat menyingkirkan segala macam pamrih kebendaan yang lain, namun hal yang satu itu pun harus hidup di dalam hatinya. Dengan demikian maka pribadinya akan dapat mekar. Hidup Agung Sedayu di masa kanak-kanaknya selalu berada di samping seorang perempuan. Ibunya. Itulah sebabnya Agung Sedayu memerlukan seorang perempuan untuk mengembangkannya. Berbeda dengan Angger Untara. Angger Untara sejak lahir seolah-olah telah menggenggam pedang. Dan pedang itu kini masih tetap di dalam genggaman. Pedang merupakan kawan hidup yang paling setia bagi Angger Untara.”

Wajah Untara yang tegang menjadi semakin tegang. Terasa ia benar-benar berbicara dengan seorang yang rambutnya telah memutih, yang memandang segi-segi kehidupan dari sudut-sudut yang tidak pernah dipikirkannya. Dengan demikian maka Untara tidak menjawab. Ia mencoba mencernakan kata-kata Ki Tanu Metir itu. Namun bagaimanapun juga ia merasakan bahwa hal ini tetap merupakan persoalan-persoalan yang harus di tanganinya dalam keadaan serupa ini. Persoalan-persoalan yang tumbuh di dalam masa-masa perjuangan yang berat. Di Sangkal Putung, Untara dan Widura harus menangani persoalan Sidanti yang terlampau tamak dan terlampau ingin cepat menginjakkan kakinya ke tingkat yang lebih tinggi. Di sini ia berhadapan dengan persoalan yang lain. Ki Tanu Metir agaknya melihat perasaan yang berkecamuk di dalam dada Untara sehingga ia berkata,
“Bukankah persoalan-persoalan yang demikian itu dapat tumbuh di mana-mana? Dan bukankah di setiap saat Angger dapat menemui seribu satu macam persoalan? Apalagi dalam saat-saat serupa ini. Di saat-saat anak-anak muda kehilangan sasaran untuk melepaskan ketegangan yang masih mencengkam dada masing-masing, setelah lawan terkalahkan. Kadang-kadang ketegangan-ketegangan itu tidak tersalur sewajarnya. Karena itulah maka Angger Untara harus berusaha untuk menyalurkannya, jangan membendung. Carilah keseimbangan dari keduanya. Mungkin hal ini akan sangat mengganggu Angger. Tetapi ini pun merupakan sebagian dari tanggung jawab Angger sebagai seorang pemimpin. Persoalan ini justru persoalan yang belum pernah Angger alami sendiri.”
Untara mengerutkan dahinya. Tetapi kali ini ia melihat Ki Tanu Metir tersenyum,
“Karena itu, Ngger, lengkapilah pengalaman Angger dalam segala segi, supaya Angger tidak canggung menghadapi persoalan-persoalan yang demikian.”
“Ah,” Untara berdesah.
“Hal itu akan sangat berguna bagi Angger, pekerjaan Angger kini sudah jauh berkurang. Pajang telah hampir menemukan kemantapannya. Mudah-mudahan tidak ada persoalan lagi yang akan mengganggu. Mudah-mudahan Pajang berbuat bijaksana sehingga tidak menumbuhkan persoalan-persoalan baru lagi.”
Untara mengerutkan keningnya. Dan ia mendengar Ki Tanu Metir bergumam,
“Sebaiknya tidak saja daerah Pati, tetapi Mentaok pun harus segera diselesaikan, di samping Sidanti yang pasti akan kembali ke Tanah Perdikan Menoreh, justru berhadapan dengan Mentaok.”
Untara tidak segera menjawab. Dicernakannya kata-kata itu baik-baik di dalam hatinya. Meskipun seakan-akan Ki Tanu Metir begitu saja mengatakannya, namun agaknya kalimat-kalimatnya mengandung suatu tuntutan terhadap pimpinan pemerintahan Pajang.

Ia tahu benar janji Adiwijaya kepada Ki Gede Pemanahan dan Ki Penjawi. Apabila mereka dapat mengalahkan Arya Penangsang maka mereka akan mendapat tanah Pati dan bumi Mentaok. Meskipun yang memegang peranan penting dalam pertempuran yang terjadi antara kedua induk pasukan Pajang dan Jipang, yang langsung dipimpin oleh Arya Penangsang adalah Sutawijaya yang bergelar Mas Ngabehi Loring Pasar, dengan mempergunakan tombak Kiai Pleret, namun Adiwijaya tidak akan mengingkari janjinya. Ki Gede Pemanahan dan Ki Penjawi akan mendapat tanah yang telah dijanjikan kepada mereka, tapi saat ini yang baru diberikan adalah tanah Pati. Baru Ki Penjawi yang telah menerima tanah yang telah dijanjikan oleh Adiwijaya. Kedua daerah yang dijanjikan untuk hadiah itu  pun ternyata sangat berbeda keadaannya. Pati telah tumbuh menjadi sebuah kota yang semakin hari semakin ramai, tetapi bumi Mentaok masih berupa sebuah hutan yang ganas dan liar. Hutan yang isinya telah dilihat sendiri oleh Sutawijaya dan beberapa kali oleh Ki Gede Pemanahan sebagai seorang prajurit Wira Tamtama. Namun sampai saat terakhir, tanah yang masih berupa hutan itu pun belum juga diberikannya. Tetapi persoalan itu adalah persoalan para pemimpin pemerintahan. Bukan persoalannya dan bukan persoalan Ki Tanu Metir.
“Apakah maksud Ki Tanu Metir mengungkapkan persoalan itu?” bertanya Untara di dalam hatinya.
Dalam kediamannya itu Untara mendengar Ki Tanu Metir berkata,
“Sudahlah, Ngger, silahkan. Para perwira mungkin telah menunggu Angger. Mungkin Angger perlu berislirahat atau ada persoalan-persoalan yang masih perlu Angger bicarakan.”
Untara menganggukkan kepalanya,
“Baik, Kiai. Lalu Kiai sendiri akan pergi ke mana?”
“Ah, jangan hiraukan aku,” sahut Ki Tanu Metir sambil tersenyum.
“Mungkin aku akan pergi kepada Angger Agung Sedayu atau berjalan-jalan ke mana saja.”
Untara mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi tiba-tiba ia tidak dapat menahan diri lagi dan bertanya,
“Tetapi apakah maksud Kiai mengatakan tentang tanah Pati dan bumi Mentaok?”
“Oh,” Ki Tanu Metir mengerutkan keningnya,
“tidak apa-apa, Ngger. Aku tidak bermaksud apa-apa. Tetapi sebaiknya hal-hal semacam itu mendapat perhatian. Tidak seorang  pun tahu maksud pimpinan pemerintahan Pajang sekarang. Kenapa Pati yang justru telah berupa menjadi tanah yang ramai telah diserahkan, tetapi bumi Mentaok yang masih harus banyak mendapat pembinaan masih belum. Setelah persoalan orang-orang Jipang ini selesai, maka kejanggalan ini akan sangat terasa. Ki Gede Pemanahan, yang selama ini masih sibuk dengan tugasnya, maka kini ia akan segera mendapat peluang untuk memikirkannya.”
“Ah,” desah Untara,
“Ki Gede Pemanahan tidak akan memperhitungkan hal-hal serupa itu. Ia adalah seorang besar yang tidak menimbang betapa besar pengorbanannya. Ia tidak akan berpikir tentang masalah-masalah yang tidak penting seperti tanah Pati dan bumi Mentaok.”
Untara mengerutkan keningnya ketika ia melihat Ki Tanu Metir tersenyum. Orang tua itu menjawab,
“Bagaimanakah persoalannya sehingga janji itu lahir? Janji tentang kedua daerah itu?”

Untara tidak menjawab. Ditatapnya saja wajah Ki Tanu Metir yang selama ini dikenalnya sebagai seorang dukun yang baik dan seorang yang pilih tanding dalam olah kanuragan. Seorang yang juga mempergunakan nama Kiai Gringsing. Tetapi apakah Kiai Gringsing itu sudah cukup menyatakan dirinya dengan melepas kedoknya yang dipakainya untuk mengelabui Agung Sedayu, kemudian menyatakan dirinya bahwa Kiai Gringsing itu adalah Ki Tanu Metir? Tetapi siapakah Ki Tanu Metir itu sebenarnya? Ternyata orang itu terlampau banyak menaruh perhatian dan bahkan terlalu banyak mengerti tentang keadaan pemerintahan.
“Angger Untara,” berkata Ki Tanu Metir kemudian,
“Aku kira Ki Gede Pemanahan tidak akan mengusik hal-hal yang telah dijanjikan itu seandainya tanah Pati pun tidak diserahkan. Dan kenapa Adiwijaya mempergunakan janji itu di dalam tindakannya? Bukankah sudah sewajarnya bahwa Ki Gede Pemanahan, Ki Penjawi, dan para senapati seperti Angger Untara melakukan perintahnya walau pun tanpa janji apa pun?”
“Ya, ya Kiai,” potong Untara, “aku tahu.”
“Nah,” berkata Ki Tanu Metir,
“bukankah Adipati Pajang yang pasti akan menyebut dirinya kemudian Sultan Pajang itu juga mengharapkan janji atas kesanggupannya melenyapkan Arya Jipang.”
“Ah,” desah Untara, “apakah maksud Kiai sebenarnya?”
“Sudah aku katakan,” jawab Ki Tanu Metir,
“tidak bermaksud apa-apa. Aku bukan orang penting. Aku bukan orang yang berwenang membicarakan. Tetapi aku ingin Pajang dapat tegak dengan mantap tanpa persoalan-persoalan apa pun yang dapat mengganggunya. Kalau Angger Untara dapat menolong memperingatkan Adipati Adiwijaya lewat siapa pun atas keterlambatannya, maka aku kira Pajang akan bersih dari segala gangguan dan Pajang akan sempat membangun dirinya.”
“Mudah-mudahan hal yang serupa itu tidak terjadi, Kiai. Jangan terlampau mencemaskannya. Orang-orang Pajang cukup besar jiwanya untuk mengatasi kesulitan-kesulitan kecil semacam itu.”
Ki Tanu Metir tersenyum.
“Tetapi bukankah Adipati Adiwijaya juga menuntut janji yang diberikan oleh Ratu Kalinyamat kepadanya?”
“Sudahlah Ngger. Aku terlampau banyak berbicara. Lihat Angger Wuranta datang. Apabila Angger telah memutuskan untuk kembali ke Jati Anom, harap Angger memberitahukan kepadaku.”

Untara mengangkat wajahnya, memandangi jalan yang membujur di hadapan banjar itu. Dilihatnya Wuranta berjalan bersama beberapa orang prajurit Pajang. Kini tampaklah mereka menjadi semakin akrab. Wuranta sudah tidak lagi kehilangan keseimbangan, meskipun setiap kali dadanya masih juga berdebar-debar dan gairahnya menghadapi masa depan seolah-olah akan patah. Namun ia sudah mampu menempatkan dirinya. Ia sudah dapat membeda-bedakan persoalan yang dihadapinya.
“Ia tidak akan datang apabila Angger Agung Sedayu masih di sini. Ia pasti akan meninggalkan halaman ini,” desis Ki Tanu Metir.
Untara mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Anak itu terlampau perasa. Ia harus menyadari keadaannya dan tidak mudah dihempaskan ke dalam suatu perbuatan putus asa.”
“Perlahan-lahan, Ngger. Perlahan-lahan. Lambat-laun pengalamannya akan menuntunnya. Seperti Angger Agung Sedayu yang kini telah berhasil melepaskan diri dari kungkungan sifat-sifatnya di masa kanak-kanaknya.”
Untara mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi tiba-tiba ia berkata,
“Kiai sebenarnya aku masih ingin tahu, kenapa Kiai menaruh perhatian yang besar sekali terhadap Adipati Pajang.”
“Ah, sudahlah anggaplah itu hanya sekedar sendau gurau saja.”
“Tidak, Kiai,” sahut Untara, “ternyata Kiai tidak sekedar bergurau saja.”
“Lihat, Angger Wuranta telah memasuki halaman. Persilahkan ia masuk ke dalam pringgitan.”
Untara tidak mendapat kesempatan lagi untuk bertanya. Wuranta telah berdiri di hadapannya bersama beberapa orang prajurit.
“Masuklah,” Untara mempersilahkan.
Wuranta menganggukkan kepalanya. Kemudian ia melangkah masuk, sedang para prajurit segera pergi ke gandok kiri.
Ketika Wuranta telah hilang di balik pintu, Kiai Gringsing berkata,
“Sudahlah, Ngger. Aku akan pergi. Angger sebenarnya tidak perlu merisaukan kata-kataku itu.”
“Aku perlu mengetahui, Kiai.”
Kiai Gringsing menggeleng, kemudian melangkah pergi sambil berkata,
“Nanti malam aku akan datang kemari. Agung Sedayu, Swandaru, dan Sekar Mirah, biarlah tetap di dalam pondoknya. Besok atau lusa mereka akan ikut serta bersama-sama dengan Angger pergi ke Jati Anom. Kemudian mereka pasti akan segera kembali ke Sangkal Putung. Di Sangkal Putung orang tua mereka telah menunggu dengan cemas. Mudah-mudahan persoalan Sekar Mirah itu dapat diselesaikan dengan baik. Mudah-mudahan Wuranta tidak terluka karenanya, dan Agung Sedayu pun dapat mengerti pula keadaannya.”
“Hem,” Untara menarik nafas dalam-dalam. Tetapi sebelum ia berkata sesuatu, Kiai Gringsing telah mendahului,
“Jangan kau salahkan anak-anak muda itu. Perasaan yang demikian itu wajar bagi anak-anak muda.”
Untara hanya dapat mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Sudahlah, Ngger,” sekali lagi Kiai Gringsing minta diri.
“Silahkan, Kiai.”

Kiai Gringsing pun kemudian meninggalkan halaman padepokan itu. Namun sejenak Untara masih berdiri saja di tangga pendapa. Dicobanya untuk mengingat apa yang baru saja dilakukan. Tiba-tiba anak muda itu menarik nafas dalam-dalam. Ia dapat mengerti kenapa Ki Tanu Metir seolah-olah menahan Agung Sedayu di pondoknya. Ternyata Ki Tanu Metir berusaha memberi kesempatan kepada Wuranta untuk menemukan dirinya kembali. Sebab menurut penilaiannya, Wuranta mempunyai jasa yang cukup besar bagi Pajang.
“Tetapi tanpa Ki Tanu Metir, Wuranta tidak akan dapat berbuat apa-apa,” desis Untara itu.
“Anak muda itu hanya sekedar melakukan petunjuk-petunjuk orang tua itu, meskipun dalam saat-saat yang penting kecakapan berpikir Wuranta juga dapat menentukan. Tetapi keduanya memiliki jasanya yang seimbang. Sayang aku tidak dapat berbuat banyak terhadap orang tua itu. Aku tidak akan dapat mengucapkan terima kasih kepadanya. Setiap kali ia hanya tertawa saja, seolah-olah pernyataan terima kasih yang demikian itu hanya merupakan keharusan adat tata cara”
Untara menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya di dalam hati,
“Tetapi terhadap Wuranta aku akan dapat melakukannya. Aku harus menunjukkan kepada anak-anak muda Jati Anom, bahwa pasukan Pajang menyatakan terima kasihnya tidak terhingga kepada mereka, khususnya Wuranta. Mudah-mudahan Ki Tanu Metir  pun kali ini mau menerima pernyataan resmi dari pada prajurit Pajang.”
Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya Untara melangkah naik ke pendapa. Namun tiba-tiba tersirat di dalam hatinya kata-kata Ki Tanu Metir,
“Bukankah Adipati Adiwijaya juga menuntut janji yang diberikan oleh Ratu Kalinyamat kepadanya?”
“Hem,” Untara masih mengangguk-anggukkan kepalanya,
“dari mana orang tua itu tahu bahwa Ratu Kalinyamat menjanjikan dua orang gadis cantik bagi Adipati Pajang yang kini telah menyebut dirinya Sultan Pajang?”
Sejenak angan-angan Untara meloncat kepada peristiwa itu, pada saat Adipati Adiwijaya menghadap kakanda Ratu Kalinyamat yang sedang bertapa dengan bertelanjang tanpa mengenakan pakaian sama sekali selain rambutnya sendiri yang hitam lebat dan panjang.
Janji Ratu Kalinyamat telah membuat Adipati Adiwijaya menjadi bingung. Wajar kedua gadis itu selalu mengganggunya, sehingga dengan tergesa-gesa pula ia berkeinginan untuk menyelesaikan persoalan Arya Penangsang yang telah membunuh Sunan Prawata, Pangeran Hadiri, dan orang-orang yang tidak sependapat dengan pendiriannya. Dan ketergesa-gesaannya itulah yang menyebabkannya, maka ia  pun segera menyatakan janjinya, meskipun tanpa janji apa pun Ki Gede Pemanahan dan Ki Penjawi, apalagi Sutawijaya yang telah diangkat menjadi puteranya itu, pasti akan melakukannya. Ternyata ketergesa-gesaannya itu kini dapat menumbuhkan akibat, menurut panggraita Ki Tanu Metir.
Langkah Untara itu tiba-tiba tertegun. Seolah-olah ia belum puas mengenang semua yang pernah terjadi menjelang pecah perang antara Pajang dan Jipang. Dua kadipaten yang termasuk dalam lingkungan Kerajaan Demak. Tetapi setelah Demak kosong, maka kedua kadipaten ini terlibat dalam suatu pertentangan yang tidak dapat diselesaikan, selain dengan peperangan.

Untara masih berdiri di muka pintu yang memisahkan pringgitan dan pendapa banjar padepokan itu. Tangannya sudah melekat pada gawang pintu, tetapi ia masih belum mendorong pintu jtu. Di halaman ia melihat satu dua orang prajurit berjalan hilir-mudik. Sedang di pendapa itu sendiri ia masih melihat beberapa orang yang terluka duduk-duduk di antara mereka. Orang yang lukanya tidak terlampau parah.
“Itu adalah salah satu kelemahan dari Adipati Pajang,” Untara masih saja berbicara sendiri di dalam hatinya. Ia tidak menyadari bahwa beberapa pasang mata para prajurit yang berada di pendapa itu memandanginya dengan heran. Tetapi Untara masih berbicara di dalam dirinya,
“Adipati Adiwijaya tidak dapat menahan diri apabila ia melihat wanita-wanita cantik. Tetapi aku kira tindakaanya tentang kedua tanah yang dijanjikan itu tidak terlampau salah. Pati memang harus segera diserahkan. Tetapi aku rasa Mentaok tidak akan terlampau tergesa-gesa. Seandainya tanah itu jatuh ketangan Ki Gede Pemanahan sebagai tanah perdikan yang kini masih berupa hutan yang lebat dan liar, namun akhirnya daerah itu akan jatuh ketangan puteranya Mas Ngabei Loring Pasar. Sedangkan apabila tanah itu dibuka lebih dahulu, maka Ki Gede Pemanahan tidak perlu mencemaskannya, bahwa akhirnya tanah itu pasti akan jatuh ketangan Sutawijaya pula. Bahkan mungkin bukan sekedar daerah Mentaok sebagai tanah perdikan. Mungkin Sutawijaya akan menerima daerah yang jauh lebih luas, untuk mendirikan sebuah kadipaten baru.”
Untara terkejut-ketika tiba-tiba pintu itu terdorong ke samping. Ternyata seseorang telah membukanya dari dalam.
“Oh,” orang itu  pun terkejut, tetapi keduanya kemudian tersenyum,
“aku tidak tahu kalau Kakang Untara berdiri di situ.”
“Aku baru akan masuk,” sahut Untara.
“Silahkanlah,” orang itu mempersilahkan.
Untara kemudian masuk pula ke dalam pringgitan yang lembab. Disuruhnya beberapa orang untuk membuka genting supaya panas matahari dapat masuk dan memanaskan udara di dalam banjar itu.
“Ki Tambak Wedi tidak sempat membersihkan pringgitan ini,” gumam Untara.
“Ia lebih senang berjalan dari satu tempat ke tempat yang lain, membuat kisruh dan menuntun muridnya untuk berbuat seperti dirinya sendiri.”
Ketika kemudian kepada mereka dihidangkan makan dan minuman, maka mereka  pun segera menikmatinya. Badan mereka yang lelah telah membuat mereka lapar dan haus, sehingga makanan yang dihidangkan itu menjadi sangat lezat terasa di lidah-lidah mereka. Sambil makan ada-ada saja yang mereka percakapkan, dari yang paling menyeramkan sampai yang paling menggelikan dalam peperangan yang baru saja terjadi. Wuranta kini telah dapat ikut dalam percakapan itu dengan wajar. Ia sudah tidak terlalu mudah tersinggung, meskipun ada satu dua orang perwira di antara mereka yang sengaja menyebut-nyebut namanya. Bahkan anak muda Jati Anom yang telah berhasil menemukan dirinya sendiri itu hanya tersenyum saja. Ia kini merasa, bahwa kedudukanya sama sekali tidak berada di bawah para perwira itu di dalam perjuangan. Tetapi selama itu Untara sendiri tidak terlampau banyak ikut berbicara. Angan-angannya kadang-kadang masih saja diganggu oleh keadaan yang bakal datang. Kadang-kadang ia ikut serta menyesalkan tindakan Adipati Pajang. Tetapi kadang-kadang ia menganggap bahwa tindakan itu cukup bijaksana.
“Kedua sudut pandangan itu mempunyai alasannya masing-masing,” katanya di dalam hati.
“Tetapi apa pun alasannya, maka tidak akan dapat dijadikan sebab untuk berbuat hal-hal yang tidak semestinya.”
Untara itu tersadar ketika ia mendengar Wuranta bertanya,
“Untara, kapan aku mendapat kesempatan untuk kembali ke Jati Anom?”
“Aku juga sedang memikirkan,” jawab Untara.
“Aku kira segera setelah semua persoalan aku selesaikan di sini. Aku sudah memutuskan bahwa aku akan membuat kedudukan untuk sementara di Jati Anom bersama separo dari seluruh pasukan. Sedang yang separo lagi mempunyai tugas di sini. Mengawasi dan menyelesaikan masalah-masalah harian yang akan timbul. Orang-orang yang menyerah memerlukan bimbingan, juga perempuan dan kanak-anak yang kehilangan suami dan ayah-ayah mereka. Sedangkan yang berbahaya akan aku kirimkan ke Pajang.”
Wuranta mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Aku sebenarnya tidak perlu menunggu kau, Untara. Aku dapat kembali sendiri.”
“Jangan,” potong Untara.
“Aku akan membuat sekedar pernyataan terima kasih. Hari ini aku akan memerintahkan beberapa orang prajurit untuk turun menemui Ki Demang Jati Anom. Setelah aku menentukan hari-hari yang pasti, maka aku akan memberitahukan hal itu lagi kepada Ki Demang.”
“Untuk apa?” bertanya Wuranta.
“Prajurit-prajuritku dan orang-orang Jati Anom yang sudah cukup lama mengalami ketegangan jiwa, perlu mendapat sedikit pelepasan. Aku yakin bahwa Jati Anom masih memiliki kemungkinan-kemungkinan untuk itu.”
Wuranta tersenyum. Katanya,
“Maksudmu, Jati Anom masih mampu menyelenggarakan keramaian?”
“Begitulah.”
“Mungkin masih. Tetapi selama ini hati kita terampas oleh kecemasan. Aku tidak tahu, apakah Ki Demang masih sanggup menyelenggarakannya.”
“Aku akan menanyakannya. Mungkin besok aku sudah dapat menemukan keputusan, kapan kita akan kembali.” Dan di luar sadarnya Untara meneruskan,
“Anak-anak Sangkal Putung itu  pun sudah tergesa-gesa pula ingin pulang ke kampung-halamannya.”
Mendengar kata-kata Untara itu Wuranta mengerutkan keningnya. Wajahnya tiba-tiba menunduk. Dan ia tidak menyahut sama-sekali.
Untara melihat perubahan wajah itu, dan disadarinya keterlanjurannya. Dengan demikian maka ia ingin memperbaikinya katanya, “Mudah-mudahan Ki Demang Jati Anom masih menemukan kemungkinan itu.”
Tetapi Wuranta masih tetap menundukkan kepalanya. Namun terdengar ia bergumam,
“Kalau anak-anak Sangkal Putung itu ingin segera kembali, apakah keberatannya? Biarlah mereka kembali ke kampung halaman mereka. Barangkali mereka memang sudah tidak mempunyai urusan apa pun di sini.”
“Ya,” sahut Untara, “mereka sudah tidak mempunyai urusan di sini. Karena itu biarlah mereka segera kembali. Tetapi aku belum tahu, kapan mereka ingin pergi ke Sangkal Putung.”

Sekali lagi Wuranta terdiam. Percakapan mereka kini sudah tidak selancar semula. Dan Untara menyesali keterlanjurannya, namun ia juga menyesali sikap Wuranta yang terlampau mudah tersinggung itu pula. Bahkan di dalam hati Untara berkata,
“Biarlah anak-anak Sangkal Putung itu segera saja kembali. Suasana di sini dan di Jati Anom harus tetap baik. Wuranta mempunyai pengaruh yang cukup di Kademangan Jati Anom. Apalagi setelah mereka mendengar apa yang sebenarnya telah dilakukannya. Maka apabila anak itu kecewa, anak-anak muda Jati Anom  pun akan menjadi kecewa pula. Terhadapku, dan terhadap prajurit-prajurit Pajang pada umumnya, yang sementara masih memerlukan Jati Anom sebagai tempat kedudukan mereka.”
Sejenak ruangan itu menjadi sepi. Masing-masing terdiam kaku. Di dalam kediaman itu Untara tiba-tiba berpikir tentang adiknya. Apakah anak itu akan tinggal bersamanya di Jati Anom, ataukah ia akan pergi ke Sangkal Putung?
“Tak ada yang akan dilakukannya di Sangkal Putung. Ia harus tetap berada di Jati Anom bersamaku. Aku akan dapat mendidiknya untuk menjadi seorang laki-laki,” berkata Untara di dalam hatinya.
“Baru saja ia berhasil melepaskan diri dari kungkungan dunianya yang sempit dan penuh ketakutan, kini ia telah jatuh ke dalam dunia lain yang sama-sama mengikatnya seperti dunianya yang dulu. Tetapi ia kini terikat oleh perasaan-perasaan yang tidak ubahnya seperti seorang yang sakit ingatan. Seseorang yang terkungkung dalam dunia yang demikian, maka ia akan kehilangan pribadinya. Mungkin Ki Tanu Metir benar, bahwa orang-orang muda akan mengalaminya sesuai dengan kewajaran sifat manusia. Tetapi Agung Sedayu masih terlampau muda. Ia masih harus banyak berbuat dan bekerja untuk membentuk dirinya, sebelum ia terjerumus kedalam dunia lain, yang sebenarnya belum masanya dialaminya”
Terngiang di telinga Untara kata-kata Ki Tanu Metir,
“Jangan kau salahkan anak-anak muda itu, Ngger. Perasaan yang demikian itu wajar bagi anak-anak muda.”
“Memang,” Untara membantah di dalam hatinya,
“hal itu adalah hal yang wajar. Tetapi bagi mereka yang sudah cukup dewasa. Akan tetapi belum waktunya buat Agung Sedayu. Ia segera akan kehilangan kepribadiannya dan terjerumus dalam suatu keadaan yang berbahaya. Ia akan menjadi alat saja bagi gadis Sangkal Putung itu. Ia tidak akan dapat membedakan lagi apa yang sebaiknya dilakukan dan apa yang tidak. Aku harus menjaganya supaya ia tetap teguh akan kediriannya. Aku harus membantu membentuknya menjadi seorang anak yang memiliki kelebihan dari sesamanya. Hal itu sudah tampak padanya. Benih-benih dari ayah ternyata hidup subur di dalam dirinya. Ia adalah seorang pembidik yang baik. Seorang yang cukup lincah dan tangguh. Kematangannya akan membuatnya pilih tanding. Tetapi apabila sebelum waktu itu datang ia sudah jatuh ke dalam pengaruh seorang gadis, maka semuanya itu tidak akan dapat terwujud.”
Untara tersadar ketika ia mendengar beberapa orang minta ijin kepadanya untuk keluar dari pringgitan itu. Udara ternyata terlampau panas.
“O, silahkanlah,” sahut Untara.
Beberapa orang kemudian berdiri dan berjalan meninggalkannya. Wuranta  pun kemudian minta ijin pula untuk keluar. Ia ingin melepaskan diri dari ketegangan yang tiba-tiba mencengkamnya setelah sekian lama dapat dihindarinya. Namun ia kini tidak lagi menjadi seolah-olah kehilangan akal. Ia berjalan di antara para perwira yang pergi keluar pringgitan dan bercakap-cakap di antara mereka. Dengan demikian maka hatinya menjadi agak tenang.

Akhirnya Untara sendiri merasa bahwa udara di dalam pringgitan itu terlampau panas. Ia kini sudah tidak begitu terikat oleh tugas-tugas yang terlampau banyak. Karena itu maka tiba-tiba ia ingin mengunjungi adiknya dan kedua anak-anak muda Sangkal Putung kakak beradik. Ia ingin tahu, apakah keinginan mereka, dan kapankah mereka akan kembali ke Sangkal Putung. Dengan dua orang perwira bawahannya Untara pergi ke pondok tempat tinggal Agung Sedayu. Ditemuinya ketiga anak-anak muda di pondok itu sedang duduk di bawah sebatang pohon sawo di halaman.
“Hem,” Untara berdesah di dalam hatinya,
“itulah kerja mereka di pondok ini. Duduk-duduk dengan malasnya. Ini mempunyai pengaruh yang jelek terhadap Agung Sedayu. Wajarlah apabila ia semakin dalam tenggelam di bawah pengaruh Sekar Mirah. Setiap hari mereka berkumpul tanpa mempunyai perhatian atas masalah-masalah yang penting selain masalah-masalah di dalam diri mereka sendiri.”
Ketika anak-anak muda itu melihat kedatangan Untara, bagaimanapun juga anggapannya terhadap senapati itu, namun dengan tergopoh-gopoh mereka menyambut kedatangannya. Dengan ramahnya Untara dipersilahkan untuk masuk ke dalam dan duduk di sebuah amben yang besar.
Tetapi dada Untara itu menjadi berdebar-debar tetika ia melihat sesosok tubuh terbaring dengan nyamannya diamben itu. Ternyata Ki Tanu Metir sedang tidur dengan nyenyaknya. Tetapi langkah mereka telah membangunkannya. Sambil menggeliat ia berkata,
“Ah marilah, Ngger. Aku sedang tidur.”
Untara tidak menyahut. Dianggukkan kepalanya, kemudian bersama kedua kawannya ia duduk di amben yang besar itu, sementara Ki Tanu Metir telah bangun dan duduk pula di antara mereka. Kain yang dipakainya kali ini adalah kain gringsingnya, diselimutkan pada sebagian dari tubuhnya yang tidak berbaju.
Untara menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya Swandaru dan Sekar Mirah berganti-ganti, kemudian adiknya, Agung Sedayu.
“Bagaimanakah dengan kalian?” bertanya Untara tiba-tiba.
“Kami baik-baik saja di sini, Kakang,” Swandaru-lah yang menyahut.
Senapati muda itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu tiba-tiba ia bertanya pula,
“Apakah kalian kerasan di sini?”
Pertanyaan itu mengejutkan mereka, sudah tentu mereka tidak kerasan di tempat yang asing ini. Mereka lebih senang segera kembali ke Sangkal Putung.

Ternyata Ki Tanu Metir sempat menangkap maksud dari pertanyaan itu. Pertanyaan yang mengejutkannya pula. Seharusnya Untara tidak langsung bertanya kepada kedua anak-anak muda itu.
“Apakah yang terjadi dengan Angger Wuranta?” bertanya Ki Tanu Metir di dalam hatinya.
“Angger Untara adalah seorang senapati yang berpengalaman. Ia dapat memperhitungkan hampir tepat setiap gerakan lawan. Ia dapat melawan gelar yang bagaimanapun sulitnya. Tetapi ia bukan seorang yang mengerti perasaan anak-anak muda. Ia kurang bijaksana menanggapi persoalan ini. Angger Untara memandang segala persoalan dari kepentingan keprajuritan. Seperti tanggapannya terhadap Angger Agung Sedayu dan Wuranta. Persoalan yang langsung menyangkut pasukannyalah yang paling banyak mendapat perhatian.”
Karena itu selagi Swandaru dan Sekar Mirah masih bingung menanggapi pertanyaan Untara, maka Ki Tanu Metir-lah yang menyahut,
“Sudah tentu tidak, Ngger. Kedua anak-anak muda ini, bahkan ketiganya sama sekali tidak kerasan berada di tempat ini. Bagi mereka lebih baik untuk segera kembali ke Sangkal Putung daripada berada di sini. Sudah tentu ayah bundanya menunggu mereka dengan cemasnya. Bahkan mereka telah menyatakan keinginan mereka untuk mendahuluinya.”
Untara mengangguk-anggukkan kepalanya. Ketika ia beringsut maju dan hampir memotong kata-kata Kiai Gringsing, Kiai Gringsing itu cepat-cepat melanjutkannya,
“Tetapi hal itu tidak dapat dilakukannya, akulah yang melarangnya. Mereka harus mengerti bagaimana sikap yang sebaik-baiknya dilakukan. Mereka harus mengucapkan terima kasih kepada pasukan yang telah membebaskannya. Aku minta mereka menunggu, Ngger. Mereka akan pergi bersamamu ke Jati Anom, kemudian secara resmi mereka akan mohon diri untuk kembali ke Sangkal Putung.”
Wajah Untara tampak berkerut. Ia kehilangan kalimat untuk menjawab. Sebenarnya ia ingin berkata, bahwa tidak ada keberatannya seandainya kedua anak-anak muda itu ingin segera kembali ke Sangkal Putung, bahkan itulah yang diinginkannya. Tetapi Ki Tanu Metir telah melarang mereka. Bagi Untara semakin cepat Sekar Mirah pergi, akan semakin baik. Senapati itu mencemaskan kehadirannya sebagai seorang gadis yang cantik. Kecantikannya akan dapat mempengaruhi keadaan. Terutama adiknya. Bukan mustahil apabila kelak akan dapat menumbuhkan persoalan-persoalan baru. Sudah tentu Wuranta tidak akan segera dapat melupakannya. Bahkan seandainya diminta, ia bersedia menyediakan pengawal yang cukup kuat, yang akan dapat melindungi mereka berdua seandainya mereka bertemu dengan Ki Tambak Wedi di perjalanan.
Tetapi Ki Tanu Metir telah mendahului sikapnya. Karena itu maka Untara untuk sejenak tidak berkata sesuatu. Yang berkata kemudian adalah Ki Tanu Metir, yang melihat wajah Untara berkerut-merut. Seolah-olah ia dapat menebak isi hati anak muda itu. Katanya,
“Sebenarnya aku pun tidak kerasan pula berada di sini, Ngger. Aku pun ingin segera kembali ke Dukuh Pakuwon. Tetapi aku  pun ingin mengucapkan terima kasih kepada kalian, bahwa kalian telah membebaskan Sekar Mirah. Adik muridku yang muda ini.”
Dada Untara berdesir. Ternyata kini ia dapat merasakan sesuatu di dalam hatinya, tentang orang tua itu. Ada yang tidak diakui oleh Ki Tanu Metir. Mungkin sikapnya atas Agung Sedayu dan kini sikapnya atas Swandaru, yang keduanya adalah murid Ki Tanu Metir. Untara masih tetap berdiam diri. Ki Tanu Metir baginya adalah seorang yang banyak sekali memberikan jasanya. Jauh lebih banyak dari apa yang dapat diberikan oleh Wuranta.

Karena itu maka Untara menjadi gelisah. Ia ingin mengatakan berterus terang kepada Ki Tanu Metir, bahwa perasaannya menangkap sesuatu yang tidak wajar pada orang tua itu. Tetapi itu tidak akan dapat diucapkannya di hadapan Agung Sedayu, Swandaru, dan Sekar Mirah. Karena itu, maka ia ingin segera mendapat penjelasan dari persoalannya. Kalau ia secepatnya pergi ke Jati Anom membawa mereka itu, maka persoalannya akan menjadi semakin jelas. Ia pun akan segera dapat melihat perkembangan keadaan adiknya. Ia sudah memutuskan, bahwa Agung Sedayu tidak boleh pergi ke Sangkal Putung. Ia tidak berkeberatan hubungan apa pun yang akan dilakukan dengan Sekar Mirah, tapi yang menurut penilaian Untara, Agung Sedayu masih harus membentuk dirinya. Ia akan dapat menjadi seorang yang pilih tanding. Kelak apabila dikehendaki, ia akan dapat menjadi seorang prajurit yang dapat melampaui kebanyakan prajurit. Adipati Adiwijaya pasti akan menghargainya. Dan adiknya itu pasti akan segera mendapat tempat yang baik di kalangan Wira Tamtama.
Terdesak oleh perasaannya yang bergolak itu, maka tiba-tiba Untara berkata,
“Besok lusa kita akan pergi ke Jati Anom. Besok aku akan memberitahukannya kepada Ki Demang Jati Anom. Aku mengharap Jati Anom akan menyambut kita dengan resmi. Dalam kesempatan itu kita akan mengucapkan terima kepada orang-orang yang banyak berjasa kepada perjuangan ini.”
Ki Tanu Metir mengerutkan keningnya. Ia  pun merasakan apa yang bergetar di hati senapati muda itu, tetapi orang tua itu sama sekali tidak menunjukkan kesan apapun. Ia masih saja tersenyum-senyum dan berkata,
“Semakin cepat semakin baik, Ngger.”
Untara mengangguk. “Ya, Kiai,” jawabnya pendek. Ternyata Untara kemudian tidak dapat menyampaikan maksudnya, bertanya tentang keinginan Swandaru dan Sekar Mirah. Bahkan kemudian ia mendapat kesan yang aneh pada orang yang bernama Ki Tanu Metir dan yang sering menyebut diri Kiai Gringsing. Bahkan kesannya terhadap Kiai Gringsing itu menjadi semakin menggetarkan dadanya, sehingga tumbuhlah pertanyaan di dalam kepalanya,
“Siapakah sebenarnya orang ini? Apakah benar bahwa Ki Tanu Metir itu hanya sekedar seorang dukun tua di Dukuh Pakuwon, tidak lebih dan tidak kurang? Hubungan apakah yang pernah dijalin antara Kiai Gringsing ini dengan ayah dahulu?”

Pembicaraan itu pun kemudian menjadi terlampau canggung. Sejenak mereka saling berdiam diri. Masing-masing menundukkan kepalanya. Kedua perwira kawan Untara menjadi heran melihat sikap Untara yang seolah-olah dicengkam oleh keragu-raguan dan kebimbangan. Untuk hal-hal yang tampaknya tidak penting itu sebenarnya ia akan dapat mengambil keputusan tanpa menghiraukan terlampau banyak persoalan. Tetapi pembicaraan yang pendek itu agaknya telah membuat Untara ragu-ragu dan membuat kedua kawannya berdebar-debar. Dalam kecanggungan itulah maka Ki Tanu Metir telah mencoba membuka pembicaraan-pembicaraan yang tidak berarti. Ia bertanya tentang beberapa hal yang tidak ada sangkut pautnya dengan kepentingan Untara mendatangi adiknya dan kedua anak-anak muda kakak beradik dari Sangkal Putung itu. Tetapi Untara tidak dapat terlampau lama duduk di amben bambu yang besar itu. Sejenak kemudian, ia  pun minta diri.
“O, begitu tergesa-gesa, Ngger?” bertanya Ki Tanu Metir.
“Ya, Kiai, aku agak lelah. Aku ingin beristirahat sebentar.”
Ki Tanu Metir mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Silahkan, Ngger.”
Untara  pun kemudian turun dari amben itu dan melangkah keluar. Tetapi di muka pintu ia berhenti sejenak dan berkata,
“Sedayu, aku memerlukanmu.”
Dahi Agung Sedayu berkerut. Tetapi ia menjawab,
“Ya, Kakang, aku akan datang.”
“Datanglah ke banjar.”
Sebelum Agung Sedayu menjawab, Ki Tanu Metir telah mendahuluinya, “Tetapi apakah tidak lebih baik Angger Agung Sedayu tidak usah datang ke banjar hari ini?”
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Apakah artinya kata-kata gurunya itu, dan apakah keberatannya?
Untara  pun terdiam sejenak. Ia segera menangkap maksud Ki Tanu Metir. Namun tiba-tiba Untara mempunyai pendirian lain. Segalanya harus cepat menjadi jelas. Ia tidak ingin bermain sembunyi-sembunyian. Itu akan menyulitkan pekerjaannya saja. Ia harus segera berterus terang. Ia harus segera mendapatkan pemecahan.
Ternyata Ki Tanu Metir dapat mengerti apa yang tersirat di balik tatapan mata Untara yang tajam. Orang tua itu dapat mengerti bahwa Untara sebagai seorang senapati pasti mempunyai cara tersendiri. Apalagi seorang senapati muda. Orang tua itu  pun kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya. Kalau cara itu yang akan ditempuh oleh Untara, maka ia  pun tidak akan dapat menghalangi. Karena itu maka kemudian ia berkata,
“Kalau Angger menghendaki, maka Agung Sedayu  pun pasti akan pergi ke sana.”
“Ya,” sahut Untara. “Ia harus pergi ke banjar. Nanti malam.”
Ki Tanu Metir menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak menjawab lagi.

Untara kemudian pergi meninggalkan mereka. Swandaru memandangi ketiga perwira itu dengan wajah yang keheran-heranan. Tetapi yang bertanya adalah Sekar Mirah,
“Apakah sebenarnya keperluan mereka kemari?”
Ki Tanu Metir berpaling. Ditatapnya wajah gadis itu. Ternyata perasaan gadis itu cukup tajam. Tetapi Ki Tanu Metir menjawab,
“Ia hanya ingin melihat-lihat semua lingkungan tanggung jawabnya.”
Sekar Mirah terdiam, tetapi hatinya menangkap sesuatu yang lain seperti juga Swandaru Geni. Apalagi Agung Sedayu. Beberapa saat sebelumnya sikap kakaknya telah membuatnya berdebar-debar. Dan kini kakaknya langsung memanggilnya. Apakah kepergiannya atas pendapat Ki Tanu Metir dari banjar tidak menyenangkan hati kakaknya, sehingga kakaknya memerlukan datang memanggilnya? Kalau hanya itu, bukankah kakaknya dapat memerintahkan bawahannya untuk datang ke pondoknya ini. Tetapi teka-teki itu sudah tentu tidak akan dapat dijawabnya, kecuali langsung bertanya kepada Untara. Dan tiba-tiba saja Agung Sedayu menemukan suatu sikap di dalam dirinya. Sikap yang selama ini belum pernah dimilikinya. Dengan tetap ia berkata di dalam hatinya,
“Apa pun yang akan terjadi, aku harus menghadapinya. Aku tidak punya pilihan lain. Mungkin aku sudah berbuat kesalahan di luar sadarku. Tetapi aku harus mendengar apakah salahku yang sebenarnya. Kalau sekedar ketidak-hadiranku dalam upacara itu saja, maka aku kira persoalannya sudah selesai. Aku sudah memenuhi perintah Kakang Untara untuk minta maaf kepadanya.”
Dengan demikian maka hati Agung Sedayu justru menjadi tenang. Anak muda yang seakan-akan sepanjang hidupnya hanya tergantung saja kepada kakaknya, kini tanpa dikehendakinya sendiri dan tanpa disangka-sangka sebelumnya justru menemukan sikap di dalam dirinya, pada saat-saat ia digelisahkan oleh sikap kakaknya, tempat ia bergantung selama ini. Maka tanpa disadarinya, perlahan-lahan ia bergumam lirih,
“Aku akan datang, dan aku akan bertanggung jawab, apa  pun kesalahan yang telah aku lakukan.”
Agung Sedayu itu terkejut ketika ia mendengar kata-kata lembut di belakangnya,
“Bagus. Kau memang harus datang, Ngger.”
Ketika Agung Sedayu berpaling, dadanya menjadi berdebar-debar. Ternyata gurunya berada di belakangnya dan mendengar gumamnya, sehingga gurunya itu menyahut kata-katanya. Namun sejenak Agung Sedayu tidak dapat mengerti maksud gurunya yang sebenarnya. Dan kebimbangannya itu memancar lewat sorot matanya.
Ki Tanu Metir kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan diulanginya kata-katanya,
“Kau memang harus berbuat demikian, Ngger.”
“Apakah maksud guru sebenarnya?” bertanya Agung Sedayu kemudian.
“Kau sudah menjadi semakin dewasa. Kau harus menemukan bentuk dari kepribadianmu sendiri. Kau tidak boleh selalu dibebani oleh perasaan ragu-ragu dan terlalu bergantung kepada orang lain. Misalnya kepada kakakmu. Suatu ketika kau harus menemukan sikap sendiri. Kau pada suatu saat harus meyakini suatu pendirian. Pendirian itu adalah pendirianmu. Pendirianmu sendiri.”

Agung Sedayu menundukkan wajahnya. Ia kini mengerti maksud gurunya. Memang selama ini ia terlampau bergantung kepada kakaknya. Dalam segala hal ia seolah-olah terikat kepada keputusan Untara. Ia merasakan bahwa ia tidak sebebas Swandaru apalagi Sutawijaya. Keduanya dapat menentukan sikapnya tanpa terlampau banyak mempertimbangkan pendapat orang lain. Namun demikian ia mendengar gurunya meneruskan,
“Tetapi Ngger, ini tidak berarti bahwa kau harus memutuskan semua seakan seperti seekor kuda yang lepas dari kendali. Kau masih tetap seorang saudara muda Angger Untara. Kau masih tetap harus mendengarkan nasehatnya. Tetapi kau sendiri harus mempunyai landasan sikap. Sikap seorang yang dewasa. Tetapi juga tidak berarti bahwa kau harus menentang setiap pendapat kakakmu.”
Kini perlahan-lahan Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan Ki Tanu Metir berkata selanjutnya,
“Dalam keadaan yang memaksa kau sebenarnya sudah dapat bersikap. Pada saat Angger Sekar Mirah hilang dari Sangkal Putung, kau sudah bersikap. Tanpa menunggu persetujuan Angger Untara. Tetapi dalam saat-saat yang wajar, kau hanya dapat berbuat sesuatu apabila Angger Untara menentukan.”
Agung Sedayu masih mengangguk-anggukkan kepalanya. Tanpa disadarinya ia memandangi Sekar Mirah dan Swandaru yang telah masuk kembali ke dalam pondoknya.
“Nah, dengan bekal itu, pergilah menghadap Angger Untara. Namun jangan lepas dari keseimbangan. Kau tetap adiknya dan kau tetap di bawah pengaruhnya, apalagi Angger Untara adalah seorang senapati perang yang bertanggung jawab di daerah ini. Daerah medan perang yang masih kemelut, yang masih belum dingin benar. Dalam daerah yang demikian, maka dada setiap prajurit itu pun masih juga berasap. Sentuhan minyak setetes masih dapat mengobarkan api yang masih membara di dalam dada.”
Perlahan-lahan terdengar Agung Sedayu menyahut,
“Ya, Guru, aku mengerti.”
Kini Ki Tanu Metir-lah yang mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Bagus. Tetapi hati-hatilah akan sikapmu itu.”
“Ya, Guru,” jawab Agung Sedayu.
“Nah, sekarang beristirahatlah. Kau dapat mengatur perasaanmu, supaya kau tidak terkejut menghadapi sesuatu yang baru di dalam dirimu. Setiap perubahan harus kau sadari. Dan kau mengerti, supaya kau tetap berada di dalam keseimbangan.”
Ki Tanu Metir itu pun kemudian melangkah pergi. Beberapa langkah ia tertegun, sambil berpaling ia berkata,
“Aku akan pergi ke sungai. Kalau aku tidak segera kembali, maka pergilah pada saatnya ke banjar.”
Agung Sedayu mengangguk, “Ya, Guru.”
Ketika Ki Tanu Metir meneruskan langkah, terdengar Swandaru melangkah ke luar dan bertanya,
“Kemanakah guru itu?”
“Ke sungai.”
“Kenapa?”
Agung Sedayu memandangi wajah adik seperguruannya ini. Tetapi kemudian ia tersenyum.
“Mungkin ia akan mandi. Mungkin mencuci kain gringsingnya yang sudah mulai masem.”
Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya, “Kelak, kalau aku sudah sampai di Sangkal Putung, aku akan minta kepada ayah, supaya ayah membeli sehelai kain gringsing yang baru. Kiai Gringsing itu pasti akan senang memakainya.”
Agung Sedayu tersenyum,
“Mungkin. Tetapi mungkin tidak. Ia mempunyai ciri-ciri yang khusus pada kain gringsingnya itu.”
Swandaru menggeleng,
“Tidak. Kain itu adalah kain gringsing biasa saja.”
“Aku akan membatik buatnya,” tiba-tiba Sekar Mirah menyela.
“Kalau ada ciri-ciri kekhususannya, ia dapat memberitahukan. Dan aku dapat membuat ciri-ciri itu pada kain yang aku batik dengan tanganku sendiri.”
Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi ia melangkah masuk ke dalam pondok.
“Aku akan beristirahat,” katanya, “apakah kalian tidak tidur?”


Halaman 1 2 3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar