“Kalau Angger Agung Sedayu itu seorang pengecut, maka ia memang perlu dikasihani.”
“Tetapi ia
sekarang sudah tumbuh dan berkembang.”
“Itu hanya
terjadi sesaat. Ia akan menjadi seorang pengecut untuk seterusnya. Ia tidak
akan berani melihat bahaya yang cukup besar.”
“Kenapa, Kiai?
Bukankah ia sekarang telah berani menghadapi lawan yang dahulu sangat
ditakutinya? Sidanti.”
“Tetapi
jiwanya tetap kerdil. Kalau jiwa itu sudah mulai mekar, maka Angger Untara
sendiri telah menekannya. Dan ia akan tetap berjiwa kecil dan pengecut.”
Dada Untara
berdesir mendengar kata Ki Tanu Metir yang langsung menyentuhnya. Sesaat ia
terdiam. Dipandanginya wajah orang tua itu. Wajahnya itu tampaknya agak berbeda
dengan wajah yang selalu dilihatnya. Wajah itu selalu tampak jernih dan
seolah-olah selalu membayangkan senyum. Namun kini Untara melihat wajah itu
terlampau bersungguh-sungguh.
“Ki Tanu Metir
benar-benar tersinggung karena aku marah kepada muridnya, meskipun muridnya itu
adalah adikku,” katanya di dalam hati.
Tetapi Ki Tanu
Metir itu kemudian berkata,
“Bukan saja
Angger yang telah menekan jiwanya untuk tetap kerdil, tetapi aku pun telah mengorbankannya. Aku tidak dapat
berbuat lain untuk kepuasan prajurit Pajang di Tambak Wedi dan untuk
kepentingan anak-anak Jati Anom.”
Untara menjadi
semakin tidak mengerti. Wajahnya menjadi semakin berkerut-merut. Tiba-tiba ia
berkata berterus-terang,
“Aku tidak
mengerti Kiai.”
Ki Tanu Metir
menarik nafas dalam-dalam. Kemudian ia berkata dengan wajah yang semakin tampak
bersungguh-sungguh,
“Aku
sebenarnya sangat kasihan kepada adikmu, Angger. Sebagian dari kesalahannya
sehingga Angger marah kepadanya, adalah kesalahanku. Aku sengaja menyimpannya
di dalam gubug itu. Aku pula yang mendorong mereka untuk minta kepadamu tempat
yang lain, tidak di banjar ini. Alasannya agaknya cukup kuat, karena Sekar
Mirah selalu ketakutan di sini. Tetapi apakah Angger ingat alasan yang telah
mendesak Angger meluangkan waktu Angger yang terlampau sempit ini untuk
memanggil Wuranta?”
“Oh,” Untara mengangguk-anggukkan
kepalanya,
“Wuranta
mempunyai kedudukan yang lain dengan Agung Sedayu, Kiai. Wuranta menurut Kiai
sendiri adalah orang yang berhasil menembus rapatnya dinding padepokan ini.
Bukankah karena Wuranta ada di dalam padepokan ini maka semuanya dapat
berlangsung dengan lancar? Bukankah menurut keterangan dan pengakuan Kiai
sendiri, bahwa Kiai dapat masuk ke dalam padepokan ini juga karena
petunjuk-petunjuk Wuranta. Itulah sebabnya maka Wuranta harus mendapat
penghargaan yang sewajarnya. Para prajurit Pajang harus mendapat penjelasan
sehingga mereka tidak memperlakukan Wuranta sekenanya. Meskipun sebagai seorang
anak muda Wuranta tidak mampu melawan seorang prajurit pun dalam olah
kanuragan, namun keprigelannya dalam bidang sandi perlu mendapat penghargaan.”
“Dan aku telah
membantu Angger untuk menyatakan terima kasih itu kepada Angger Wuranta. Aku
merasa kasihan, karena kejutan jiwanya Angger Wuranta menjadi rendah diri dan
berbuat di luar kewajaran. Kini ia telah menemukan kepercayaan kepada diri
sendiri karena Angger Untara sendiri telah menaruh perhatian atasnya, sehingga
dengan demikian tidak seorang pun akan mengumpati para prajurit Pajang, bahwa
seolah-olah setelah tidak diperlukan lagi, Wuranta langsung dilemparkan tanpa
perhatian. Hal itu pasti akan menyakitkan hati anak-anak Jati Anom.”
“Ya, ya aku
sudah mengerti. Karena itu betapa aku sibuk, aku perlukan datang mengambilnya.”
“Dan kelak
membuat suatu upacara untuk mengucapkan terima kasih kepadanya bersama
orang-orang Jati Anom.”
“Ya. Kita
harus menjaga supaya ia tetap tenang dan cukup percaya pada diri sendiri.
Bukankah seperti yang Kiai katakan, gadis Sangkal Putung itulah yang telah
membuatnya hampir berputus asa. Dan itu adalah karena Agung Sedayu pula?”
“Ya. Itulah
sebabnya Angger Agung Sedayu harus dikorbankan.”
“Bagaimana?”
Untara menjadi semakin bingung.
“Bahwa ia
pergi dari banjar, dan kemudian tidak selalu menampakkan dirinya itu berarti
memberi kesempatan Angger Untara untuk menempatkan Angger Wuranta di tempat
sewajarnya. Ada pun kata orang terhadap Agung Sedayu yang tidak berperan
apa pun di sini, itu tidak penting.”
Dada Untara
menjadi berdebar-debar mendengar kata-kata Ki Tanu Metir itu. Ia menjadi
semakin jelas arah percakapan yang diucapkan oleh Ki Tanu Metir dengan nada
yang berat dan bersungguh-sungguh itu. Sejenak kemudian ia masih mendengar Ki
Tanu Metir berkata,
“Dan aku sudah
berusaha untuk melakukannya Aku sudah menyingkirkan Agung Sedayu dari banjar
ini, supaya Wuranta tidak lagi berkeberatan datang kemari. Dan aku sengaja
tidak memberitahukan upacara yang diadakan hari ini supaya Agung Sedayu tidak
datang kemari, apalagi bersama Sekar Mirah. Apabila demikian maka ada
kemungkinan bahwa Wuranta akan menyingkir dari banjar ini dan untuk seterusnya
ia tidak akan datang kembali. Bahkan mungkin ia akan terus kembali ke Jati Anom
sebelum Angger Untara sendiri kembali bersama sebagian dari pasukan Pajang di
sini. Nah, Wuranta akan dapat mengatakan kekecewaannya kepada anak-anak muda
Jati Anom. Ia dapat mengatakan hal-hal yang tidak benar atau setidak-tidaknya
kurang tepat karena arus perasaannya yang kadang-kadang kurang dapat
dikendalikan. Dengan demikian bukankah ada baiknya bagi Angger bahwa Angger
Agung Sedayu tidak datang dalam upacara ini?”
“Oh,” dahi
Untara menjadi berkerut-merut, “itu tidak jujur Kiai,” katanya dengan
serta-merta.
“Kenapa?”
“Kiai tidak
bersikap adil terhadap keduanya,” ternyata kata-kata Kiai Gringsing telah
menyentuh hati Untara sebagai seorang kakak yang sangat menyayangi adiknya
sejak masa kanak-kanaknya.
“Seharusnya
Kiai memberitahukan dahulu kepadaku akan rencana itu. Aku telah bersikap
terlampau kasar terhadap Agung Sedayu. Seharusnya Wuranta pun harus dapat menyadari dirinya.
Persoalan-persoalan pribadi harus dapat disingkirkan di dalam masalah-masalah
yang jauh lebih besar dan penting.”
“Ya,” sahut
Kiai Gringsing.
“Aku memang
bersalah. Aku tidak memberitahukan dahulu kepada Angger Untara. Tetapi aku
tidak sempat. Terlalu sulit untuk mendapat kesempatan berbicara dengan Angger
karena pekerjaan Angger yang tidak ada hentinya. Namun Angger jangan
mempersoalkannya dengan Angger Wuranta. Ternyata perasaan anak muda itu
terlampau mudah tersinggung. Aku kira baru untuk pertama kalinya ia merasa
tertarik kepada seorang gadis. Dan gadis itu adalah Sekar Mirah. Justru Sekar
Mirah yang sudah terlanjur terikat oleh Angger Agung Sedayu. Tetapi Angger
Untara jangan mengatakan kepada adik Angger itu, bahwa ia harus mementingkan
persoalan-persoalan yang lebih besar dari persoalan-persoalan pribadinya.
Misalnya hubungannya dengan Sekar Mirah dan hubungannya dengan
kewajiban-kewajiban yang akan Angger berikan kepadanya. Hubungan yang demikian
adalah wajar bagi anak-anak muda. Bahkan mungkin akan membuatnya agak aneh dan
berbeda dari kebiasaan hidup sebelumnya. Mungkin ia menjadi berani menentang
orang lain dan bersikap kurang menyenangkan. Apalagi di hadapan gadis itu
sendiri. Hanya satu dua orang sajalah yang dapat berbuat seperti Angger Untara,
mengesampingkan semua persoalan pribadi dan menenggelamkan diri dalam kuwajiban
Angger sebagai seorang prajurit. Tetapi aku kira Angger Agung Sedayu tidak akan
dapat berbuat demikian. Meskipun mungkin ia dapat menyingkirkan segala macam
pamrih kebendaan yang lain, namun hal yang satu itu pun harus hidup di dalam
hatinya. Dengan demikian maka pribadinya akan dapat mekar. Hidup Agung Sedayu
di masa kanak-kanaknya selalu berada di samping seorang perempuan. Ibunya.
Itulah sebabnya Agung Sedayu memerlukan seorang perempuan untuk
mengembangkannya. Berbeda dengan Angger Untara. Angger Untara sejak lahir
seolah-olah telah menggenggam pedang. Dan pedang itu kini masih tetap di dalam
genggaman. Pedang merupakan kawan hidup yang paling setia bagi Angger Untara.”
Wajah Untara
yang tegang menjadi semakin tegang. Terasa ia benar-benar berbicara dengan
seorang yang rambutnya telah memutih, yang memandang segi-segi kehidupan dari
sudut-sudut yang tidak pernah dipikirkannya. Dengan demikian maka Untara tidak
menjawab. Ia mencoba mencernakan kata-kata Ki Tanu Metir itu. Namun
bagaimanapun juga ia merasakan bahwa hal ini tetap merupakan
persoalan-persoalan yang harus di tanganinya dalam keadaan serupa ini.
Persoalan-persoalan yang tumbuh di dalam masa-masa perjuangan yang berat. Di
Sangkal Putung, Untara dan Widura harus menangani persoalan Sidanti yang
terlampau tamak dan terlampau ingin cepat menginjakkan kakinya ke tingkat yang
lebih tinggi. Di sini ia berhadapan dengan persoalan yang lain. Ki Tanu Metir
agaknya melihat perasaan yang berkecamuk di dalam dada Untara sehingga ia
berkata,
“Bukankah
persoalan-persoalan yang demikian itu dapat tumbuh di mana-mana? Dan bukankah
di setiap saat Angger dapat menemui seribu satu macam persoalan? Apalagi dalam
saat-saat serupa ini. Di saat-saat anak-anak muda kehilangan sasaran untuk
melepaskan ketegangan yang masih mencengkam dada masing-masing, setelah lawan
terkalahkan. Kadang-kadang ketegangan-ketegangan itu tidak tersalur sewajarnya.
Karena itulah maka Angger Untara harus berusaha untuk menyalurkannya, jangan
membendung. Carilah keseimbangan dari keduanya. Mungkin hal ini akan sangat
mengganggu Angger. Tetapi ini pun merupakan sebagian dari tanggung jawab Angger
sebagai seorang pemimpin. Persoalan ini justru persoalan yang belum pernah
Angger alami sendiri.”
Untara
mengerutkan dahinya. Tetapi kali ini ia melihat Ki Tanu Metir tersenyum,
“Karena itu,
Ngger, lengkapilah pengalaman Angger dalam segala segi, supaya Angger tidak
canggung menghadapi persoalan-persoalan yang demikian.”
“Ah,” Untara
berdesah.
“Hal itu akan
sangat berguna bagi Angger, pekerjaan Angger kini sudah jauh berkurang. Pajang
telah hampir menemukan kemantapannya. Mudah-mudahan tidak ada persoalan lagi
yang akan mengganggu. Mudah-mudahan Pajang berbuat bijaksana sehingga tidak
menumbuhkan persoalan-persoalan baru lagi.”
Untara
mengerutkan keningnya. Dan ia mendengar Ki Tanu Metir bergumam,
“Sebaiknya
tidak saja daerah Pati, tetapi Mentaok pun harus segera diselesaikan, di
samping Sidanti yang pasti akan kembali ke Tanah Perdikan Menoreh, justru
berhadapan dengan Mentaok.”
Untara tidak
segera menjawab. Dicernakannya kata-kata itu baik-baik di dalam hatinya.
Meskipun seakan-akan Ki Tanu Metir begitu saja mengatakannya, namun agaknya kalimat-kalimatnya
mengandung suatu tuntutan terhadap pimpinan pemerintahan Pajang.
Ia tahu benar
janji Adiwijaya kepada Ki Gede Pemanahan dan Ki Penjawi. Apabila mereka dapat
mengalahkan Arya Penangsang maka mereka akan mendapat tanah Pati dan bumi
Mentaok. Meskipun yang memegang peranan penting dalam pertempuran yang terjadi
antara kedua induk pasukan Pajang dan Jipang, yang langsung dipimpin oleh Arya
Penangsang adalah Sutawijaya yang bergelar Mas Ngabehi Loring Pasar, dengan
mempergunakan tombak Kiai Pleret, namun Adiwijaya tidak akan mengingkari
janjinya. Ki Gede Pemanahan dan Ki Penjawi akan mendapat tanah yang telah
dijanjikan kepada mereka, tapi saat ini yang baru diberikan adalah tanah Pati.
Baru Ki Penjawi yang telah menerima tanah yang telah dijanjikan oleh Adiwijaya.
Kedua daerah yang dijanjikan untuk hadiah itu
pun ternyata sangat berbeda keadaannya. Pati telah tumbuh menjadi sebuah
kota yang semakin hari semakin ramai, tetapi bumi Mentaok masih berupa sebuah
hutan yang ganas dan liar. Hutan yang isinya telah dilihat sendiri oleh
Sutawijaya dan beberapa kali oleh Ki Gede Pemanahan sebagai seorang prajurit
Wira Tamtama. Namun sampai saat terakhir, tanah yang masih berupa hutan itu pun
belum juga diberikannya. Tetapi persoalan itu adalah persoalan para pemimpin
pemerintahan. Bukan persoalannya dan bukan persoalan Ki Tanu Metir.
“Apakah maksud
Ki Tanu Metir mengungkapkan persoalan itu?” bertanya Untara di dalam hatinya.
Dalam
kediamannya itu Untara mendengar Ki Tanu Metir berkata,
“Sudahlah,
Ngger, silahkan. Para perwira mungkin telah menunggu Angger. Mungkin Angger
perlu berislirahat atau ada persoalan-persoalan yang masih perlu Angger
bicarakan.”
Untara
menganggukkan kepalanya,
“Baik, Kiai.
Lalu Kiai sendiri akan pergi ke mana?”
“Ah, jangan
hiraukan aku,” sahut Ki Tanu Metir sambil tersenyum.
“Mungkin aku
akan pergi kepada Angger Agung Sedayu atau berjalan-jalan ke mana saja.”
Untara
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi tiba-tiba ia tidak dapat menahan diri
lagi dan bertanya,
“Tetapi apakah
maksud Kiai mengatakan tentang tanah Pati dan bumi Mentaok?”
“Oh,” Ki Tanu
Metir mengerutkan keningnya,
“tidak
apa-apa, Ngger. Aku tidak bermaksud apa-apa. Tetapi sebaiknya hal-hal semacam
itu mendapat perhatian. Tidak seorang
pun tahu maksud pimpinan pemerintahan Pajang sekarang. Kenapa Pati yang
justru telah berupa menjadi tanah yang ramai telah diserahkan, tetapi bumi
Mentaok yang masih harus banyak mendapat pembinaan masih belum. Setelah
persoalan orang-orang Jipang ini selesai, maka kejanggalan ini akan sangat
terasa. Ki Gede Pemanahan, yang selama ini masih sibuk dengan tugasnya, maka
kini ia akan segera mendapat peluang untuk memikirkannya.”
“Ah,” desah
Untara,
“Ki Gede
Pemanahan tidak akan memperhitungkan hal-hal serupa itu. Ia adalah seorang
besar yang tidak menimbang betapa besar pengorbanannya. Ia tidak akan berpikir
tentang masalah-masalah yang tidak penting seperti tanah Pati dan bumi
Mentaok.”
Untara
mengerutkan keningnya ketika ia melihat Ki Tanu Metir tersenyum. Orang tua itu
menjawab,
“Bagaimanakah
persoalannya sehingga janji itu lahir? Janji tentang kedua daerah itu?”
Untara tidak
menjawab. Ditatapnya saja wajah Ki Tanu Metir yang selama ini dikenalnya
sebagai seorang dukun yang baik dan seorang yang pilih tanding dalam olah kanuragan.
Seorang yang juga mempergunakan nama Kiai Gringsing. Tetapi apakah Kiai
Gringsing itu sudah cukup menyatakan dirinya dengan melepas kedoknya yang
dipakainya untuk mengelabui Agung Sedayu, kemudian menyatakan dirinya bahwa
Kiai Gringsing itu adalah Ki Tanu Metir? Tetapi siapakah Ki Tanu Metir itu
sebenarnya? Ternyata orang itu terlampau banyak menaruh perhatian dan bahkan
terlalu banyak mengerti tentang keadaan pemerintahan.
“Angger
Untara,” berkata Ki Tanu Metir kemudian,
“Aku kira Ki
Gede Pemanahan tidak akan mengusik hal-hal yang telah dijanjikan itu seandainya
tanah Pati pun tidak diserahkan. Dan kenapa Adiwijaya mempergunakan janji itu
di dalam tindakannya? Bukankah sudah sewajarnya bahwa Ki Gede Pemanahan, Ki
Penjawi, dan para senapati seperti Angger Untara melakukan perintahnya walau
pun tanpa janji apa pun?”
“Ya, ya Kiai,”
potong Untara, “aku tahu.”
“Nah,” berkata
Ki Tanu Metir,
“bukankah
Adipati Pajang yang pasti akan menyebut dirinya kemudian Sultan Pajang itu juga
mengharapkan janji atas kesanggupannya melenyapkan Arya Jipang.”
“Ah,” desah
Untara, “apakah maksud Kiai sebenarnya?”
“Sudah aku
katakan,” jawab Ki Tanu Metir,
“tidak
bermaksud apa-apa. Aku bukan orang penting. Aku bukan orang yang berwenang
membicarakan. Tetapi aku ingin Pajang dapat tegak dengan mantap tanpa
persoalan-persoalan apa pun yang dapat mengganggunya. Kalau Angger Untara dapat
menolong memperingatkan Adipati Adiwijaya lewat siapa pun atas
keterlambatannya, maka aku kira Pajang akan bersih dari segala gangguan dan
Pajang akan sempat membangun dirinya.”
“Mudah-mudahan
hal yang serupa itu tidak terjadi, Kiai. Jangan terlampau mencemaskannya.
Orang-orang Pajang cukup besar jiwanya untuk mengatasi kesulitan-kesulitan
kecil semacam itu.”
Ki Tanu Metir
tersenyum.
“Tetapi
bukankah Adipati Adiwijaya juga menuntut janji yang diberikan oleh Ratu
Kalinyamat kepadanya?”
“Sudahlah
Ngger. Aku terlampau banyak berbicara. Lihat Angger Wuranta datang. Apabila
Angger telah memutuskan untuk kembali ke Jati Anom, harap Angger memberitahukan
kepadaku.”
Untara
mengangkat wajahnya, memandangi jalan yang membujur di hadapan banjar itu.
Dilihatnya Wuranta berjalan bersama beberapa orang prajurit Pajang. Kini
tampaklah mereka menjadi semakin akrab. Wuranta sudah tidak lagi kehilangan
keseimbangan, meskipun setiap kali dadanya masih juga berdebar-debar dan
gairahnya menghadapi masa depan seolah-olah akan patah. Namun ia sudah mampu
menempatkan dirinya. Ia sudah dapat membeda-bedakan persoalan yang dihadapinya.
“Ia tidak akan
datang apabila Angger Agung Sedayu masih di sini. Ia pasti akan meninggalkan
halaman ini,” desis Ki Tanu Metir.
Untara
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Anak itu
terlampau perasa. Ia harus menyadari keadaannya dan tidak mudah dihempaskan ke
dalam suatu perbuatan putus asa.”
“Perlahan-lahan,
Ngger. Perlahan-lahan. Lambat-laun pengalamannya akan menuntunnya. Seperti
Angger Agung Sedayu yang kini telah berhasil melepaskan diri dari kungkungan
sifat-sifatnya di masa kanak-kanaknya.”
Untara
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi tiba-tiba ia berkata,
“Kiai
sebenarnya aku masih ingin tahu, kenapa Kiai menaruh perhatian yang besar
sekali terhadap Adipati Pajang.”
“Ah, sudahlah
anggaplah itu hanya sekedar sendau gurau saja.”
“Tidak, Kiai,”
sahut Untara, “ternyata Kiai tidak sekedar bergurau saja.”
“Lihat, Angger
Wuranta telah memasuki halaman. Persilahkan ia masuk ke dalam pringgitan.”
Untara tidak
mendapat kesempatan lagi untuk bertanya. Wuranta telah berdiri di hadapannya
bersama beberapa orang prajurit.
“Masuklah,”
Untara mempersilahkan.
Wuranta
menganggukkan kepalanya. Kemudian ia melangkah masuk, sedang para prajurit
segera pergi ke gandok kiri.
Ketika Wuranta
telah hilang di balik pintu, Kiai Gringsing berkata,
“Sudahlah,
Ngger. Aku akan pergi. Angger sebenarnya tidak perlu merisaukan kata-kataku
itu.”
“Aku perlu
mengetahui, Kiai.”
Kiai Gringsing
menggeleng, kemudian melangkah pergi sambil berkata,
“Nanti malam
aku akan datang kemari. Agung Sedayu, Swandaru, dan Sekar Mirah, biarlah tetap
di dalam pondoknya. Besok atau lusa mereka akan ikut serta bersama-sama dengan
Angger pergi ke Jati Anom. Kemudian mereka pasti akan segera kembali ke Sangkal
Putung. Di Sangkal Putung orang tua mereka telah menunggu dengan cemas.
Mudah-mudahan persoalan Sekar Mirah itu dapat diselesaikan dengan baik.
Mudah-mudahan Wuranta tidak terluka karenanya, dan Agung Sedayu pun dapat
mengerti pula keadaannya.”
“Hem,” Untara
menarik nafas dalam-dalam. Tetapi sebelum ia berkata sesuatu, Kiai Gringsing
telah mendahului,
“Jangan kau
salahkan anak-anak muda itu. Perasaan yang demikian itu wajar bagi anak-anak
muda.”
Untara hanya
dapat mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Sudahlah,
Ngger,” sekali lagi Kiai Gringsing minta diri.
“Silahkan,
Kiai.”
Kiai Gringsing
pun kemudian meninggalkan halaman padepokan itu. Namun sejenak Untara masih
berdiri saja di tangga pendapa. Dicobanya untuk mengingat apa yang baru saja
dilakukan. Tiba-tiba anak muda itu menarik nafas dalam-dalam. Ia dapat mengerti
kenapa Ki Tanu Metir seolah-olah menahan Agung Sedayu di pondoknya. Ternyata Ki
Tanu Metir berusaha memberi kesempatan kepada Wuranta untuk menemukan dirinya
kembali. Sebab menurut penilaiannya, Wuranta mempunyai jasa yang cukup besar
bagi Pajang.
“Tetapi tanpa
Ki Tanu Metir, Wuranta tidak akan dapat berbuat apa-apa,” desis Untara itu.
“Anak muda itu
hanya sekedar melakukan petunjuk-petunjuk orang tua itu, meskipun dalam
saat-saat yang penting kecakapan berpikir Wuranta juga dapat menentukan. Tetapi
keduanya memiliki jasanya yang seimbang. Sayang aku tidak dapat berbuat banyak
terhadap orang tua itu. Aku tidak akan dapat mengucapkan terima kasih
kepadanya. Setiap kali ia hanya tertawa saja, seolah-olah pernyataan terima
kasih yang demikian itu hanya merupakan keharusan adat tata cara”
Untara menarik
nafas dalam-dalam. Kemudian katanya di dalam hati,
“Tetapi
terhadap Wuranta aku akan dapat melakukannya. Aku harus menunjukkan kepada
anak-anak muda Jati Anom, bahwa pasukan Pajang menyatakan terima kasihnya tidak
terhingga kepada mereka, khususnya Wuranta. Mudah-mudahan Ki Tanu Metir pun kali ini mau menerima pernyataan resmi
dari pada prajurit Pajang.”
Sambil
mengangguk-anggukkan kepalanya Untara melangkah naik ke pendapa. Namun
tiba-tiba tersirat di dalam hatinya kata-kata Ki Tanu Metir,
“Bukankah
Adipati Adiwijaya juga menuntut janji yang diberikan oleh Ratu Kalinyamat
kepadanya?”
“Hem,” Untara
masih mengangguk-anggukkan kepalanya,
“dari mana
orang tua itu tahu bahwa Ratu Kalinyamat menjanjikan dua orang gadis cantik
bagi Adipati Pajang yang kini telah menyebut dirinya Sultan Pajang?”
Sejenak
angan-angan Untara meloncat kepada peristiwa itu, pada saat Adipati Adiwijaya
menghadap kakanda Ratu Kalinyamat yang sedang bertapa dengan bertelanjang tanpa
mengenakan pakaian sama sekali selain rambutnya sendiri yang hitam lebat dan
panjang.
Janji Ratu
Kalinyamat telah membuat Adipati Adiwijaya menjadi bingung. Wajar kedua gadis
itu selalu mengganggunya, sehingga dengan tergesa-gesa pula ia berkeinginan
untuk menyelesaikan persoalan Arya Penangsang yang telah membunuh Sunan
Prawata, Pangeran Hadiri, dan orang-orang yang tidak sependapat dengan
pendiriannya. Dan ketergesa-gesaannya itulah yang menyebabkannya, maka ia pun segera menyatakan janjinya, meskipun
tanpa janji apa pun Ki Gede Pemanahan dan Ki Penjawi, apalagi Sutawijaya yang
telah diangkat menjadi puteranya itu, pasti akan melakukannya. Ternyata
ketergesa-gesaannya itu kini dapat menumbuhkan akibat, menurut panggraita Ki
Tanu Metir.
Langkah Untara
itu tiba-tiba tertegun. Seolah-olah ia belum puas mengenang semua yang pernah
terjadi menjelang pecah perang antara Pajang dan Jipang. Dua kadipaten yang
termasuk dalam lingkungan Kerajaan Demak. Tetapi setelah Demak kosong, maka
kedua kadipaten ini terlibat dalam suatu pertentangan yang tidak dapat
diselesaikan, selain dengan peperangan.
Untara masih
berdiri di muka pintu yang memisahkan pringgitan dan pendapa banjar padepokan
itu. Tangannya sudah melekat pada gawang pintu, tetapi ia masih belum mendorong
pintu jtu. Di halaman ia melihat satu dua orang prajurit berjalan hilir-mudik.
Sedang di pendapa itu sendiri ia masih melihat beberapa orang yang terluka
duduk-duduk di antara mereka. Orang yang lukanya tidak terlampau parah.
“Itu adalah
salah satu kelemahan dari Adipati Pajang,” Untara masih saja berbicara sendiri
di dalam hatinya. Ia tidak menyadari bahwa beberapa pasang mata para prajurit
yang berada di pendapa itu memandanginya dengan heran. Tetapi Untara masih
berbicara di dalam dirinya,
“Adipati
Adiwijaya tidak dapat menahan diri apabila ia melihat wanita-wanita cantik.
Tetapi aku kira tindakaanya tentang kedua tanah yang dijanjikan itu tidak
terlampau salah. Pati memang harus segera diserahkan. Tetapi aku rasa Mentaok
tidak akan terlampau tergesa-gesa. Seandainya tanah itu jatuh ketangan Ki Gede
Pemanahan sebagai tanah perdikan yang kini masih berupa hutan yang lebat dan
liar, namun akhirnya daerah itu akan jatuh ketangan puteranya Mas Ngabei Loring
Pasar. Sedangkan apabila tanah itu dibuka lebih dahulu, maka Ki Gede Pemanahan
tidak perlu mencemaskannya, bahwa akhirnya tanah itu pasti akan jatuh ketangan
Sutawijaya pula. Bahkan mungkin bukan sekedar daerah Mentaok sebagai tanah
perdikan. Mungkin Sutawijaya akan menerima daerah yang jauh lebih luas, untuk
mendirikan sebuah kadipaten baru.”
Untara
terkejut-ketika tiba-tiba pintu itu terdorong ke samping. Ternyata seseorang
telah membukanya dari dalam.
“Oh,” orang
itu pun terkejut, tetapi keduanya
kemudian tersenyum,
“aku tidak
tahu kalau Kakang Untara berdiri di situ.”
“Aku baru akan
masuk,” sahut Untara.
“Silahkanlah,”
orang itu mempersilahkan.
Untara
kemudian masuk pula ke dalam pringgitan yang lembab. Disuruhnya beberapa orang
untuk membuka genting supaya panas matahari dapat masuk dan memanaskan udara di
dalam banjar itu.
“Ki Tambak
Wedi tidak sempat membersihkan pringgitan ini,” gumam Untara.
“Ia lebih
senang berjalan dari satu tempat ke tempat yang lain, membuat kisruh dan
menuntun muridnya untuk berbuat seperti dirinya sendiri.”
Ketika
kemudian kepada mereka dihidangkan makan dan minuman, maka mereka pun segera menikmatinya. Badan mereka yang lelah
telah membuat mereka lapar dan haus, sehingga makanan yang dihidangkan itu
menjadi sangat lezat terasa di lidah-lidah mereka. Sambil makan ada-ada saja
yang mereka percakapkan, dari yang paling menyeramkan sampai yang paling
menggelikan dalam peperangan yang baru saja terjadi. Wuranta kini telah dapat
ikut dalam percakapan itu dengan wajar. Ia sudah tidak terlalu mudah
tersinggung, meskipun ada satu dua orang perwira di antara mereka yang sengaja
menyebut-nyebut namanya. Bahkan anak muda Jati Anom yang telah berhasil
menemukan dirinya sendiri itu hanya tersenyum saja. Ia kini merasa, bahwa
kedudukanya sama sekali tidak berada di bawah para perwira itu di dalam
perjuangan. Tetapi selama itu Untara sendiri tidak terlampau banyak ikut
berbicara. Angan-angannya kadang-kadang masih saja diganggu oleh keadaan yang
bakal datang. Kadang-kadang ia ikut serta menyesalkan tindakan Adipati Pajang.
Tetapi kadang-kadang ia menganggap bahwa tindakan itu cukup bijaksana.
“Kedua sudut
pandangan itu mempunyai alasannya masing-masing,” katanya di dalam hati.
“Tetapi apa
pun alasannya, maka tidak akan dapat dijadikan sebab untuk berbuat hal-hal yang
tidak semestinya.”
Untara itu
tersadar ketika ia mendengar Wuranta bertanya,
“Untara, kapan
aku mendapat kesempatan untuk kembali ke Jati Anom?”
“Aku juga sedang
memikirkan,” jawab Untara.
“Aku kira
segera setelah semua persoalan aku selesaikan di sini. Aku sudah memutuskan
bahwa aku akan membuat kedudukan untuk sementara di Jati Anom bersama separo
dari seluruh pasukan. Sedang yang separo lagi mempunyai tugas di sini.
Mengawasi dan menyelesaikan masalah-masalah harian yang akan timbul.
Orang-orang yang menyerah memerlukan bimbingan, juga perempuan dan kanak-anak
yang kehilangan suami dan ayah-ayah mereka. Sedangkan yang berbahaya akan aku
kirimkan ke Pajang.”
Wuranta
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Aku
sebenarnya tidak perlu menunggu kau, Untara. Aku dapat kembali sendiri.”
“Jangan,”
potong Untara.
“Aku akan
membuat sekedar pernyataan terima kasih. Hari ini aku akan memerintahkan
beberapa orang prajurit untuk turun menemui Ki Demang Jati Anom. Setelah aku
menentukan hari-hari yang pasti, maka aku akan memberitahukan hal itu lagi
kepada Ki Demang.”
“Untuk apa?”
bertanya Wuranta.
“Prajurit-prajuritku
dan orang-orang Jati Anom yang sudah cukup lama mengalami ketegangan jiwa,
perlu mendapat sedikit pelepasan. Aku yakin bahwa Jati Anom masih memiliki
kemungkinan-kemungkinan untuk itu.”
Wuranta
tersenyum. Katanya,
“Maksudmu,
Jati Anom masih mampu menyelenggarakan keramaian?”
“Begitulah.”
“Mungkin
masih. Tetapi selama ini hati kita terampas oleh kecemasan. Aku tidak tahu,
apakah Ki Demang masih sanggup menyelenggarakannya.”
“Aku akan
menanyakannya. Mungkin besok aku sudah dapat menemukan keputusan, kapan kita
akan kembali.” Dan di luar sadarnya Untara meneruskan,
“Anak-anak
Sangkal Putung itu pun sudah
tergesa-gesa pula ingin pulang ke kampung-halamannya.”
Mendengar
kata-kata Untara itu Wuranta mengerutkan keningnya. Wajahnya tiba-tiba
menunduk. Dan ia tidak menyahut sama-sekali.
Untara melihat
perubahan wajah itu, dan disadarinya keterlanjurannya. Dengan demikian maka ia
ingin memperbaikinya katanya, “Mudah-mudahan Ki Demang Jati Anom masih
menemukan kemungkinan itu.”
Tetapi Wuranta
masih tetap menundukkan kepalanya. Namun terdengar ia bergumam,
“Kalau
anak-anak Sangkal Putung itu ingin segera kembali, apakah keberatannya? Biarlah
mereka kembali ke kampung halaman mereka. Barangkali mereka memang sudah tidak
mempunyai urusan apa pun di sini.”
“Ya,” sahut
Untara, “mereka sudah tidak mempunyai urusan di sini. Karena itu biarlah mereka
segera kembali. Tetapi aku belum tahu, kapan mereka ingin pergi ke Sangkal
Putung.”
Sekali lagi
Wuranta terdiam. Percakapan mereka kini sudah tidak selancar semula. Dan Untara
menyesali keterlanjurannya, namun ia juga menyesali sikap Wuranta yang
terlampau mudah tersinggung itu pula. Bahkan di dalam hati Untara berkata,
“Biarlah
anak-anak Sangkal Putung itu segera saja kembali. Suasana di sini dan di Jati
Anom harus tetap baik. Wuranta mempunyai pengaruh yang cukup di Kademangan Jati
Anom. Apalagi setelah mereka mendengar apa yang sebenarnya telah dilakukannya.
Maka apabila anak itu kecewa, anak-anak muda Jati Anom pun akan menjadi kecewa pula. Terhadapku, dan
terhadap prajurit-prajurit Pajang pada umumnya, yang sementara masih memerlukan
Jati Anom sebagai tempat kedudukan mereka.”
Sejenak
ruangan itu menjadi sepi. Masing-masing terdiam kaku. Di dalam kediaman itu
Untara tiba-tiba berpikir tentang adiknya. Apakah anak itu akan tinggal
bersamanya di Jati Anom, ataukah ia akan pergi ke Sangkal Putung?
“Tak ada yang
akan dilakukannya di Sangkal Putung. Ia harus tetap berada di Jati Anom
bersamaku. Aku akan dapat mendidiknya untuk menjadi seorang laki-laki,” berkata
Untara di dalam hatinya.
“Baru saja ia
berhasil melepaskan diri dari kungkungan dunianya yang sempit dan penuh
ketakutan, kini ia telah jatuh ke dalam dunia lain yang sama-sama mengikatnya
seperti dunianya yang dulu. Tetapi ia kini terikat oleh perasaan-perasaan yang
tidak ubahnya seperti seorang yang sakit ingatan. Seseorang yang terkungkung
dalam dunia yang demikian, maka ia akan kehilangan pribadinya. Mungkin Ki Tanu
Metir benar, bahwa orang-orang muda akan mengalaminya sesuai dengan kewajaran
sifat manusia. Tetapi Agung Sedayu masih terlampau muda. Ia masih harus banyak
berbuat dan bekerja untuk membentuk dirinya, sebelum ia terjerumus kedalam
dunia lain, yang sebenarnya belum masanya dialaminya”
Terngiang di
telinga Untara kata-kata Ki Tanu Metir,
“Jangan kau
salahkan anak-anak muda itu, Ngger. Perasaan yang demikian itu wajar bagi
anak-anak muda.”
“Memang,” Untara
membantah di dalam hatinya,
“hal itu
adalah hal yang wajar. Tetapi bagi mereka yang sudah cukup dewasa. Akan tetapi
belum waktunya buat Agung Sedayu. Ia segera akan kehilangan kepribadiannya dan
terjerumus dalam suatu keadaan yang berbahaya. Ia akan menjadi alat saja bagi
gadis Sangkal Putung itu. Ia tidak akan dapat membedakan lagi apa yang
sebaiknya dilakukan dan apa yang tidak. Aku harus menjaganya supaya ia tetap
teguh akan kediriannya. Aku harus membantu membentuknya menjadi seorang anak
yang memiliki kelebihan dari sesamanya. Hal itu sudah tampak padanya.
Benih-benih dari ayah ternyata hidup subur di dalam dirinya. Ia adalah seorang
pembidik yang baik. Seorang yang cukup lincah dan tangguh. Kematangannya akan
membuatnya pilih tanding. Tetapi apabila sebelum waktu itu datang ia sudah
jatuh ke dalam pengaruh seorang gadis, maka semuanya itu tidak akan dapat
terwujud.”
Untara
tersadar ketika ia mendengar beberapa orang minta ijin kepadanya untuk keluar
dari pringgitan itu. Udara ternyata terlampau panas.
“O,
silahkanlah,” sahut Untara.
Beberapa orang
kemudian berdiri dan berjalan meninggalkannya. Wuranta pun kemudian minta ijin pula untuk keluar. Ia
ingin melepaskan diri dari ketegangan yang tiba-tiba mencengkamnya setelah
sekian lama dapat dihindarinya. Namun ia kini tidak lagi menjadi seolah-olah
kehilangan akal. Ia berjalan di antara para perwira yang pergi keluar
pringgitan dan bercakap-cakap di antara mereka. Dengan demikian maka hatinya
menjadi agak tenang.
Akhirnya
Untara sendiri merasa bahwa udara di dalam pringgitan itu terlampau panas. Ia
kini sudah tidak begitu terikat oleh tugas-tugas yang terlampau banyak. Karena
itu maka tiba-tiba ia ingin mengunjungi adiknya dan kedua anak-anak muda
Sangkal Putung kakak beradik. Ia ingin tahu, apakah keinginan mereka, dan
kapankah mereka akan kembali ke Sangkal Putung. Dengan dua orang perwira
bawahannya Untara pergi ke pondok tempat tinggal Agung Sedayu. Ditemuinya
ketiga anak-anak muda di pondok itu sedang duduk di bawah sebatang pohon sawo
di halaman.
“Hem,” Untara
berdesah di dalam hatinya,
“itulah kerja
mereka di pondok ini. Duduk-duduk dengan malasnya. Ini mempunyai pengaruh yang
jelek terhadap Agung Sedayu. Wajarlah apabila ia semakin dalam tenggelam di
bawah pengaruh Sekar Mirah. Setiap hari mereka berkumpul tanpa mempunyai
perhatian atas masalah-masalah yang penting selain masalah-masalah di dalam
diri mereka sendiri.”
Ketika
anak-anak muda itu melihat kedatangan Untara, bagaimanapun juga anggapannya
terhadap senapati itu, namun dengan tergopoh-gopoh mereka menyambut
kedatangannya. Dengan ramahnya Untara dipersilahkan untuk masuk ke dalam dan
duduk di sebuah amben yang besar.
Tetapi dada
Untara itu menjadi berdebar-debar tetika ia melihat sesosok tubuh terbaring
dengan nyamannya diamben itu. Ternyata Ki Tanu Metir sedang tidur dengan
nyenyaknya. Tetapi langkah mereka telah membangunkannya. Sambil menggeliat ia
berkata,
“Ah marilah,
Ngger. Aku sedang tidur.”
Untara tidak
menyahut. Dianggukkan kepalanya, kemudian bersama kedua kawannya ia duduk di
amben yang besar itu, sementara Ki Tanu Metir telah bangun dan duduk pula di
antara mereka. Kain yang dipakainya kali ini adalah kain gringsingnya,
diselimutkan pada sebagian dari tubuhnya yang tidak berbaju.
Untara menarik
nafas dalam-dalam. Dipandanginya Swandaru dan Sekar Mirah berganti-ganti,
kemudian adiknya, Agung Sedayu.
“Bagaimanakah
dengan kalian?” bertanya Untara tiba-tiba.
“Kami
baik-baik saja di sini, Kakang,” Swandaru-lah yang menyahut.
Senapati muda
itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu tiba-tiba ia bertanya pula,
“Apakah kalian
kerasan di sini?”
Pertanyaan itu
mengejutkan mereka, sudah tentu mereka tidak kerasan di tempat yang asing ini.
Mereka lebih senang segera kembali ke Sangkal Putung.
Ternyata Ki
Tanu Metir sempat menangkap maksud dari pertanyaan itu. Pertanyaan yang
mengejutkannya pula. Seharusnya Untara tidak langsung bertanya kepada kedua
anak-anak muda itu.
“Apakah yang
terjadi dengan Angger Wuranta?” bertanya Ki Tanu Metir di dalam hatinya.
“Angger Untara
adalah seorang senapati yang berpengalaman. Ia dapat memperhitungkan hampir
tepat setiap gerakan lawan. Ia dapat melawan gelar yang bagaimanapun sulitnya.
Tetapi ia bukan seorang yang mengerti perasaan anak-anak muda. Ia kurang
bijaksana menanggapi persoalan ini. Angger Untara memandang segala persoalan
dari kepentingan keprajuritan. Seperti tanggapannya terhadap Angger Agung
Sedayu dan Wuranta. Persoalan yang langsung menyangkut pasukannyalah yang
paling banyak mendapat perhatian.”
Karena itu
selagi Swandaru dan Sekar Mirah masih bingung menanggapi pertanyaan Untara,
maka Ki Tanu Metir-lah yang menyahut,
“Sudah tentu
tidak, Ngger. Kedua anak-anak muda ini, bahkan ketiganya sama sekali tidak
kerasan berada di tempat ini. Bagi mereka lebih baik untuk segera kembali ke
Sangkal Putung daripada berada di sini. Sudah tentu ayah bundanya menunggu
mereka dengan cemasnya. Bahkan mereka telah menyatakan keinginan mereka untuk
mendahuluinya.”
Untara
mengangguk-anggukkan kepalanya. Ketika ia beringsut maju dan hampir memotong
kata-kata Kiai Gringsing, Kiai Gringsing itu cepat-cepat melanjutkannya,
“Tetapi hal
itu tidak dapat dilakukannya, akulah yang melarangnya. Mereka harus mengerti
bagaimana sikap yang sebaik-baiknya dilakukan. Mereka harus mengucapkan terima
kasih kepada pasukan yang telah membebaskannya. Aku minta mereka menunggu,
Ngger. Mereka akan pergi bersamamu ke Jati Anom, kemudian secara resmi mereka
akan mohon diri untuk kembali ke Sangkal Putung.”
Wajah Untara tampak
berkerut. Ia kehilangan kalimat untuk menjawab. Sebenarnya ia ingin berkata,
bahwa tidak ada keberatannya seandainya kedua anak-anak muda itu ingin segera
kembali ke Sangkal Putung, bahkan itulah yang diinginkannya. Tetapi Ki Tanu
Metir telah melarang mereka. Bagi Untara semakin cepat Sekar Mirah pergi, akan
semakin baik. Senapati itu mencemaskan kehadirannya sebagai seorang gadis yang
cantik. Kecantikannya akan dapat mempengaruhi keadaan. Terutama adiknya. Bukan
mustahil apabila kelak akan dapat menumbuhkan persoalan-persoalan baru. Sudah
tentu Wuranta tidak akan segera dapat melupakannya. Bahkan seandainya diminta,
ia bersedia menyediakan pengawal yang cukup kuat, yang akan dapat melindungi
mereka berdua seandainya mereka bertemu dengan Ki Tambak Wedi di perjalanan.
Tetapi Ki Tanu
Metir telah mendahului sikapnya. Karena itu maka Untara untuk sejenak tidak
berkata sesuatu. Yang berkata kemudian adalah Ki Tanu Metir, yang melihat wajah
Untara berkerut-merut. Seolah-olah ia dapat menebak isi hati anak muda itu.
Katanya,
“Sebenarnya
aku pun tidak kerasan pula berada di sini, Ngger. Aku pun ingin segera kembali
ke Dukuh Pakuwon. Tetapi aku pun ingin
mengucapkan terima kasih kepada kalian, bahwa kalian telah membebaskan Sekar
Mirah. Adik muridku yang muda ini.”
Dada Untara
berdesir. Ternyata kini ia dapat merasakan sesuatu di dalam hatinya, tentang
orang tua itu. Ada yang tidak diakui oleh Ki Tanu Metir. Mungkin sikapnya atas
Agung Sedayu dan kini sikapnya atas Swandaru, yang keduanya adalah murid Ki
Tanu Metir. Untara masih tetap berdiam diri. Ki Tanu Metir baginya adalah
seorang yang banyak sekali memberikan jasanya. Jauh lebih banyak dari apa yang
dapat diberikan oleh Wuranta.
Karena itu
maka Untara menjadi gelisah. Ia ingin mengatakan berterus terang kepada Ki Tanu
Metir, bahwa perasaannya menangkap sesuatu yang tidak wajar pada orang tua itu.
Tetapi itu tidak akan dapat diucapkannya di hadapan Agung Sedayu, Swandaru, dan
Sekar Mirah. Karena itu, maka ia ingin segera mendapat penjelasan dari
persoalannya. Kalau ia secepatnya pergi ke Jati Anom membawa mereka itu, maka
persoalannya akan menjadi semakin jelas. Ia pun akan segera dapat melihat
perkembangan keadaan adiknya. Ia sudah memutuskan, bahwa Agung Sedayu tidak
boleh pergi ke Sangkal Putung. Ia tidak berkeberatan hubungan apa pun yang akan
dilakukan dengan Sekar Mirah, tapi yang menurut penilaian Untara, Agung Sedayu
masih harus membentuk dirinya. Ia akan dapat menjadi seorang yang pilih
tanding. Kelak apabila dikehendaki, ia akan dapat menjadi seorang prajurit yang
dapat melampaui kebanyakan prajurit. Adipati Adiwijaya pasti akan
menghargainya. Dan adiknya itu pasti akan segera mendapat tempat yang baik di
kalangan Wira Tamtama.
Terdesak oleh
perasaannya yang bergolak itu, maka tiba-tiba Untara berkata,
“Besok lusa
kita akan pergi ke Jati Anom. Besok aku akan memberitahukannya kepada Ki Demang
Jati Anom. Aku mengharap Jati Anom akan menyambut kita dengan resmi. Dalam
kesempatan itu kita akan mengucapkan terima kepada orang-orang yang banyak
berjasa kepada perjuangan ini.”
Ki Tanu Metir
mengerutkan keningnya. Ia pun merasakan
apa yang bergetar di hati senapati muda itu, tetapi orang tua itu sama sekali
tidak menunjukkan kesan apapun. Ia masih saja tersenyum-senyum dan berkata,
“Semakin cepat
semakin baik, Ngger.”
Untara
mengangguk. “Ya, Kiai,” jawabnya pendek. Ternyata Untara kemudian tidak dapat
menyampaikan maksudnya, bertanya tentang keinginan Swandaru dan Sekar Mirah.
Bahkan kemudian ia mendapat kesan yang aneh pada orang yang bernama Ki Tanu
Metir dan yang sering menyebut diri Kiai Gringsing. Bahkan kesannya terhadap
Kiai Gringsing itu menjadi semakin menggetarkan dadanya, sehingga tumbuhlah
pertanyaan di dalam kepalanya,
“Siapakah
sebenarnya orang ini? Apakah benar bahwa Ki Tanu Metir itu hanya sekedar
seorang dukun tua di Dukuh Pakuwon, tidak lebih dan tidak kurang? Hubungan
apakah yang pernah dijalin antara Kiai Gringsing ini dengan ayah dahulu?”
Pembicaraan
itu pun kemudian menjadi terlampau canggung. Sejenak mereka saling berdiam
diri. Masing-masing menundukkan kepalanya. Kedua perwira kawan Untara menjadi
heran melihat sikap Untara yang seolah-olah dicengkam oleh keragu-raguan dan
kebimbangan. Untuk hal-hal yang tampaknya tidak penting itu sebenarnya ia akan
dapat mengambil keputusan tanpa menghiraukan terlampau banyak persoalan. Tetapi
pembicaraan yang pendek itu agaknya telah membuat Untara ragu-ragu dan membuat
kedua kawannya berdebar-debar. Dalam kecanggungan itulah maka Ki Tanu Metir
telah mencoba membuka pembicaraan-pembicaraan yang tidak berarti. Ia bertanya
tentang beberapa hal yang tidak ada sangkut pautnya dengan kepentingan Untara
mendatangi adiknya dan kedua anak-anak muda kakak beradik dari Sangkal Putung itu.
Tetapi Untara tidak dapat terlampau lama duduk di amben bambu yang besar itu.
Sejenak kemudian, ia pun minta diri.
“O, begitu
tergesa-gesa, Ngger?” bertanya Ki Tanu Metir.
“Ya, Kiai, aku
agak lelah. Aku ingin beristirahat sebentar.”
Ki Tanu Metir mengangguk-anggukkan
kepalanya.
“Silahkan,
Ngger.”
Untara pun kemudian turun dari amben itu dan
melangkah keluar. Tetapi di muka pintu ia berhenti sejenak dan berkata,
“Sedayu, aku
memerlukanmu.”
Dahi Agung
Sedayu berkerut. Tetapi ia menjawab,
“Ya, Kakang,
aku akan datang.”
“Datanglah ke
banjar.”
Sebelum Agung
Sedayu menjawab, Ki Tanu Metir telah mendahuluinya, “Tetapi apakah tidak lebih
baik Angger Agung Sedayu tidak usah datang ke banjar hari ini?”
Agung Sedayu
mengerutkan keningnya. Apakah artinya kata-kata gurunya itu, dan apakah
keberatannya?
Untara pun terdiam sejenak. Ia segera menangkap
maksud Ki Tanu Metir. Namun tiba-tiba Untara mempunyai pendirian lain.
Segalanya harus cepat menjadi jelas. Ia tidak ingin bermain
sembunyi-sembunyian. Itu akan menyulitkan pekerjaannya saja. Ia harus segera
berterus terang. Ia harus segera mendapatkan pemecahan.
Ternyata Ki
Tanu Metir dapat mengerti apa yang tersirat di balik tatapan mata Untara yang
tajam. Orang tua itu dapat mengerti bahwa Untara sebagai seorang senapati pasti
mempunyai cara tersendiri. Apalagi seorang senapati muda. Orang tua itu pun kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya.
Kalau cara itu yang akan ditempuh oleh Untara, maka ia pun tidak akan dapat menghalangi. Karena itu
maka kemudian ia berkata,
“Kalau Angger
menghendaki, maka Agung Sedayu pun pasti
akan pergi ke sana.”
“Ya,” sahut
Untara. “Ia harus pergi ke banjar. Nanti malam.”
Ki Tanu Metir
menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak menjawab lagi.
Untara
kemudian pergi meninggalkan mereka. Swandaru memandangi ketiga perwira itu
dengan wajah yang keheran-heranan. Tetapi yang bertanya adalah Sekar Mirah,
“Apakah
sebenarnya keperluan mereka kemari?”
Ki Tanu Metir
berpaling. Ditatapnya wajah gadis itu. Ternyata perasaan gadis itu cukup tajam.
Tetapi Ki Tanu Metir menjawab,
“Ia hanya
ingin melihat-lihat semua lingkungan tanggung jawabnya.”
Sekar Mirah
terdiam, tetapi hatinya menangkap sesuatu yang lain seperti juga Swandaru Geni.
Apalagi Agung Sedayu. Beberapa saat sebelumnya sikap kakaknya telah membuatnya
berdebar-debar. Dan kini kakaknya langsung memanggilnya. Apakah kepergiannya
atas pendapat Ki Tanu Metir dari banjar tidak menyenangkan hati kakaknya,
sehingga kakaknya memerlukan datang memanggilnya? Kalau hanya itu, bukankah
kakaknya dapat memerintahkan bawahannya untuk datang ke pondoknya ini. Tetapi
teka-teki itu sudah tentu tidak akan dapat dijawabnya, kecuali langsung
bertanya kepada Untara. Dan tiba-tiba saja Agung Sedayu menemukan suatu sikap
di dalam dirinya. Sikap yang selama ini belum pernah dimilikinya. Dengan tetap
ia berkata di dalam hatinya,
“Apa pun yang
akan terjadi, aku harus menghadapinya. Aku tidak punya pilihan lain. Mungkin
aku sudah berbuat kesalahan di luar sadarku. Tetapi aku harus mendengar apakah
salahku yang sebenarnya. Kalau sekedar ketidak-hadiranku dalam upacara itu
saja, maka aku kira persoalannya sudah selesai. Aku sudah memenuhi perintah
Kakang Untara untuk minta maaf kepadanya.”
Dengan
demikian maka hati Agung Sedayu justru menjadi tenang. Anak muda yang seakan-akan
sepanjang hidupnya hanya tergantung saja kepada kakaknya, kini tanpa
dikehendakinya sendiri dan tanpa disangka-sangka sebelumnya justru menemukan
sikap di dalam dirinya, pada saat-saat ia digelisahkan oleh sikap kakaknya,
tempat ia bergantung selama ini. Maka tanpa disadarinya, perlahan-lahan ia
bergumam lirih,
“Aku akan
datang, dan aku akan bertanggung jawab, apa
pun kesalahan yang telah aku lakukan.”
Agung Sedayu
itu terkejut ketika ia mendengar kata-kata lembut di belakangnya,
“Bagus. Kau
memang harus datang, Ngger.”
Ketika Agung
Sedayu berpaling, dadanya menjadi berdebar-debar. Ternyata gurunya berada di
belakangnya dan mendengar gumamnya, sehingga gurunya itu menyahut kata-katanya.
Namun sejenak Agung Sedayu tidak dapat mengerti maksud gurunya yang sebenarnya.
Dan kebimbangannya itu memancar lewat sorot matanya.
Ki Tanu Metir
kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan diulanginya kata-katanya,
“Kau memang
harus berbuat demikian, Ngger.”
“Apakah maksud
guru sebenarnya?” bertanya Agung Sedayu kemudian.
“Kau sudah
menjadi semakin dewasa. Kau harus menemukan bentuk dari kepribadianmu sendiri.
Kau tidak boleh selalu dibebani oleh perasaan ragu-ragu dan terlalu bergantung
kepada orang lain. Misalnya kepada kakakmu. Suatu ketika kau harus menemukan
sikap sendiri. Kau pada suatu saat harus meyakini suatu pendirian. Pendirian
itu adalah pendirianmu. Pendirianmu sendiri.”
Agung Sedayu
menundukkan wajahnya. Ia kini mengerti maksud gurunya. Memang selama ini ia
terlampau bergantung kepada kakaknya. Dalam segala hal ia seolah-olah terikat
kepada keputusan Untara. Ia merasakan bahwa ia tidak sebebas Swandaru apalagi
Sutawijaya. Keduanya dapat menentukan sikapnya tanpa terlampau banyak
mempertimbangkan pendapat orang lain. Namun demikian ia mendengar gurunya meneruskan,
“Tetapi Ngger,
ini tidak berarti bahwa kau harus memutuskan semua seakan seperti seekor kuda
yang lepas dari kendali. Kau masih tetap seorang saudara muda Angger Untara.
Kau masih tetap harus mendengarkan nasehatnya. Tetapi kau sendiri harus mempunyai
landasan sikap. Sikap seorang yang dewasa. Tetapi juga tidak berarti bahwa kau
harus menentang setiap pendapat kakakmu.”
Kini
perlahan-lahan Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan Ki Tanu Metir
berkata selanjutnya,
“Dalam keadaan
yang memaksa kau sebenarnya sudah dapat bersikap. Pada saat Angger Sekar Mirah
hilang dari Sangkal Putung, kau sudah bersikap. Tanpa menunggu persetujuan
Angger Untara. Tetapi dalam saat-saat yang wajar, kau hanya dapat berbuat
sesuatu apabila Angger Untara menentukan.”
Agung Sedayu
masih mengangguk-anggukkan kepalanya. Tanpa disadarinya ia memandangi Sekar
Mirah dan Swandaru yang telah masuk kembali ke dalam pondoknya.
“Nah, dengan
bekal itu, pergilah menghadap Angger Untara. Namun jangan lepas dari
keseimbangan. Kau tetap adiknya dan kau tetap di bawah pengaruhnya, apalagi
Angger Untara adalah seorang senapati perang yang bertanggung jawab di daerah
ini. Daerah medan perang yang masih kemelut, yang masih belum dingin benar.
Dalam daerah yang demikian, maka dada setiap prajurit itu pun masih juga
berasap. Sentuhan minyak setetes masih dapat mengobarkan api yang masih membara
di dalam dada.”
Perlahan-lahan
terdengar Agung Sedayu menyahut,
“Ya, Guru, aku
mengerti.”
Kini Ki Tanu
Metir-lah yang mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Bagus. Tetapi
hati-hatilah akan sikapmu itu.”
“Ya, Guru,”
jawab Agung Sedayu.
“Nah, sekarang
beristirahatlah. Kau dapat mengatur perasaanmu, supaya kau tidak terkejut
menghadapi sesuatu yang baru di dalam dirimu. Setiap perubahan harus kau sadari.
Dan kau mengerti, supaya kau tetap berada di dalam keseimbangan.”
Ki Tanu Metir
itu pun kemudian melangkah pergi. Beberapa langkah ia tertegun, sambil
berpaling ia berkata,
“Aku akan
pergi ke sungai. Kalau aku tidak segera kembali, maka pergilah pada saatnya ke
banjar.”
Agung Sedayu
mengangguk, “Ya, Guru.”
Ketika Ki Tanu
Metir meneruskan langkah, terdengar Swandaru melangkah ke luar dan bertanya,
“Kemanakah
guru itu?”
“Ke sungai.”
“Kenapa?”
Agung Sedayu
memandangi wajah adik seperguruannya ini. Tetapi kemudian ia tersenyum.
“Mungkin ia
akan mandi. Mungkin mencuci kain gringsingnya yang sudah mulai masem.”
Swandaru
mengangguk-anggukkan kepalanya, “Kelak, kalau aku sudah sampai di Sangkal
Putung, aku akan minta kepada ayah, supaya ayah membeli sehelai kain gringsing
yang baru. Kiai Gringsing itu pasti akan senang memakainya.”
Agung Sedayu
tersenyum,
“Mungkin.
Tetapi mungkin tidak. Ia mempunyai ciri-ciri yang khusus pada kain gringsingnya
itu.”
Swandaru
menggeleng,
“Tidak. Kain
itu adalah kain gringsing biasa saja.”
“Aku akan
membatik buatnya,” tiba-tiba Sekar Mirah menyela.
“Kalau ada
ciri-ciri kekhususannya, ia dapat memberitahukan. Dan aku dapat membuat
ciri-ciri itu pada kain yang aku batik dengan tanganku sendiri.”
Agung Sedayu
tidak menjawab. Tetapi ia melangkah masuk ke dalam pondok.
“Aku akan
beristirahat,” katanya, “apakah kalian tidak tidur?”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar