Jilid 058 Halaman 1


AGUNG SEDAYU dan Sumangkar mengerutkan keningnya. Dan mereka segera dapat menebak,
“suara itu suara Swandaru.”
“Anak itu senang sekali bermain-main dengan cara ini,” desis Agung Sedayu.
Sumangkar mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan mereka pun mendengar suara melengking tinggi,
“Kalian benar-benar telah menjadi pikun. He, apakah hantu-hantu di Alas Mentaok itu sudah pada pikun? Atau memang kalian adalah jadi-jadian dari orang-orang yang sudah pikun dan kehilangan akal? Aku di sini. Akulah Kiai Dandang Wesi yang kalian cari,” suara itu terputus sejenak oleh batuk-batuk kecil. Tetapi agaknya Swandaru memang anak bengal, katanya,
“Maaf, aku sedang terbatuk-batuk. Di Gunung Merapi memang sedang berjangkit penyakit batuk khusus bagi hantu-hantu.”
“Gila,” desis Agung Sedayu,
“Swandaru tidak dapat bermain dengan baik.”
Ternyata kata-kata itu benar-benar telah mengguncangkan hati orang-orang yang sedang berusaha mengepung Kiai Dandang Wesi. Orang-orang yang menyebut diri mereka hantu-hantu Alas Mentaok. Karena itu salah seorang dari mereka segera berteriak,
“Omong kosong! Kalian mencoba mengelabuhi kami. Aku tahu, kalian bukan terdiri dari seseorang. Ternyata kalian berada di beberapa tempat dan bermain hantu-hantuan.”
Swandaru masih juga menjawab,
“Bodoh sekali. Aku adalah Kiai Dandang Wesi. Apakah kau tidak percaya.”
Dalam pada itu, Agung Sedayu pun berkata kepada Sumangkar,
“Paman, Swandaru dan Guru telah memencar. Sebaiknya aku pun akan memisahkan diri. Kita sudah berada di dalam keadaan yang cukup jelas. Kita akan bertempur. Tetapi sebaiknya kita mencoba untuk menurunkan gelora keberanian mereka. Kalau mereka menjadi agak bingung maka jantung mereka pun akan susut.”
Sumangkar menganggukkan kepalanya. “Hati-hatilah,” desisnya.

Agung Sedayu pun kemudian merayap menjauhkan diri dari Sumangkar. Permainan mereka akan segera sampai ke puncaknya, dan mereka pun akan segera berbuat sesuatu. Sementara itu, keadaan di belakang barak itu masih saja hening dan tegang. Orang-orang yang menyebut dirinya hantu-hantu Alas Mentaok itu masih diliputi oleh keragu-raguan. Sementara Swandaru pun tidak lagi berteriak-teriak karena lehernya sudah mulai terasa serak. Selagi orang-orang yang berusaha mengepung yang menyebut darinya Kiai Dandang Wesi itu masih diliputi oleh keragu-raguan, maka terdengar suara melengking di tempat yang lain pula. Suara Agung Sedayu,
“Ayo, tangkaplah aku. Aku sudah berpindah tempat, sedang kalian masih saja membeku. Apakah dengan demikian kalian akan mampu menangkap kami?”
Tidak terdengar jawaban. Tetapi Agung Sedayu melihat bayangan yang bergerak-gerak di dalam gelapnya malam. Sejenak kemudian dari dalam rimbunnya dedaunan Agung Sedayu, Swandaru, Kiai Gringsing, dan Sumangkar yang memencar itu melihat sesuatu yang berkilat-kilat tersembul dari dalam gerumbul. Bahkan kemudian tampak benda itu seakan-akan bercahaya di dalam gelapnya malam.
“Permainan apa lagi yang sedang mereka lakukan?” bertanya Kiai Gringsing dan murid-muridnya di dalam hati.
Ketika cahaya itu kemudian hilang, maka mereka pun melihat bayangan yang lain bergerak-gerak mendekati. Seperti yang diduga oleh Sumangkar. Kira-kira sepuluh orang. Agaknya benda yang bercahaya itu merupakan tanda untuk mengumpulkan orang-orang mereka. Agung Sedayu menjadi semakin ingin tahu, apakah yang akan mereka percakapkan. Karena itu, ia pun kemudian merayap mendekati kelompok yang telah terkumpul itu. Namun ternyata, bukan saja Agung Sedayu, tetapi juga gurunya, Swandaru dan Sumangkar ingin tahu apa yang akan mereka perbincangkan. Namun mereka terkejut ketika tiba-tiba mereka mendengar salah seorang dari orang-orang itu berkata,
“Nah, kita sudah berhasil. Agaknya bukan kita sajalah yang tertarik oleh tanda itu. Agaknya hantu dari Gunung Merapi itu sudah mendekat pula.”

Dada Agung Sedayu menjadi berdebar-debar. Pasti ada seorang yang berilmu cukup tinggi di antara mereka. Seorang atau bahkan lebih, karena mereka segera menangkap desah nafas orang yang sedang merayap mendekati. Tetapi sekali lagi Agung Sedayu mengumpat. Ternyata Swandaru yang serak itu tidak berhasil menahan gatal-gatal di lehernya. Ialah agaknya yang telah memungkinkan orang-orang itu mendengar kehadirannya, karena Agung Sedayu pun kemudian berhasil menangkap desah nafasnya. Sehingga dengan demikian Agung Sedayu mengetahui bahwa adik seperguruannya itu juga sudah ada di dekatnya. Dengan hati-hati ia bergeser, mendekati. Tetapi ia tidak berani menyentuhnya. Kalau Swandaru itu terkejut, maka ia pasti akan segera berbuat sesuatu dan kehadiran mereka akan segera diketahui lebih pasti lagi.
“Ayo, jangan hanya mengintip di dalam gelap. Kemarilah. Kita akan bersama-sama melepaskan kedok kita,” berkata salah seorang dari mereka.
Tetapi tidak ada seorang pun yang menyahut. Agung Sedayu, Swandaru, Kiai Gringsing, Sumangkar yang sudah ada di sekitar tempat itu masih tetap berada di dalam persembunyian mereka, di balik dedaunan yang rimbun.
“Baiklah,” berkata suara itu,
“kamilah yang akan mulai. Kami akan berbuat sesuatu. Kalau kalian masih tetap bersembunyi, maka kami akan membakar barak itu. Itu adalah usaha kami yang terakhir untuk memancing kalian keluar dari persembunyian.”
Tetapi masih belum ada jawaban. Kiai Gringsing masih juga berdiam diri di tempatnya.
“Tidak ada waktu lagi. Kita harus segera melakukannya,” desis salah seorang dari mereka.
Sejenak kemudian orang-orang itu pun berdiri dari persembunyiannya. Namun tanpa disangka-sangka salah seorang dari mereka dengan cepatnya telah meloncat ke arah persembunyian Swandaru. Agaknya suara desah nafasnyalah yang telah didengar oleh orang-orang itu, karena lehernya yang gatal setelah ia berteriak-teriak. Untunglah bahwa Swandaru telah bersiaga menghadapi setiap kemungkinan. Apalagi orang yang menyerangnya itu masih belum tahu pasti di mana ia bersembunyi. Dengan demikian, maka Swandaru masih mendapat kesempatan untuk berguling menjauh dan mengurai senjata yang membelit lambungnya. Tetapi yang terdengar lebih dahulu adalah ledakan cambuk di arah yang lain. Ternyata Kiai Gringsing berusaha menarik perhatian orang-orang itu, supaya mereka tidak memusatkan serangan mereka kepada Swandaru.

Usaha Kiai Gringsing itu pun berhasil. Beberapa orang segera berloncatan menyerangnya. Namun di saat yang hampir bersamaan, cambuk Agung Sedayu pun telah meledak pula, hampir berbareng dengan cambuk Swandaru sendiri. Orang-orang yang menyebut diri mereka hantu-hantu Alas Mentaok itu kini merasa bahwa lawan mereka telah genap tiga orang. Tiga orang yang agaknya telah dituntutnya dari orang-orang di dalam barak itu. Tiga orang yang bersenjata cambuk.
“Tangkap mereka hidup-hidup,” terdengar perintah dari salah seorang lawan-lawan Kiai Gringsing itu,
“kita memerlukan keterangannya. Siapakah yang telah menempatkannya di dalam barak ini.”
Tidak terdengar jawaban. Tetapi pertempuran telah terjadi di tiga lingkaran. Agung Sedayu melawan beberapa orang, Swandaru juga dan demikian pula Kiai Gringsing. Sumangkar masih tetap diam di tempatnya. Sejenak ia mengamati perkelahian itu. Apakah di dalam kelompok lawan Kiai Gringsing itu terdapat orang yang harus mendapat perhatian. Sejenak kemudian ia mengangguk-anggukkan kepalanya. Ada empat orang yang tampaknya memimpin kawan-kawannya di dalam olah kanuragan. Satu di antara mereka adalah orang yang terkuat, yang justru menyerang Swandaru yang pertama kali. Sumangkar menjadi berdebar-debar. Orang itu bukan sekedar orang-orang kebanyakan. Apalagi orang yang kini sedang berusaha untuk segera berhasil menguasai Swandaru yang tampak mengalami kesulitan.
“Siapakah orang ini?” pertanyaan itu mengetuk jantung Sumangkar.
“Tangkap mereka hidup-hidup,” terdengar orang itu memberikan perintah,
“atau setidak-tidaknya mereka bertiga jangan sampai terbunuh seandainya kalian harus melukainya.”
Tidak ada jawaban. Tetapi serangan mereka menjadi semakin garang. Mereka tampaknya berusaha sungguh-sungguh untuk dapat menguasai Kiai Gringsing beserta anak-anaknya dengan segera.
Meskipun salah seorang dari orang-orang terkuat ikut serta bertempur melawan Agung Sedayu namun Agung Sedayu tidak mengalami kesulitan seperti Swandaru. Agung Sedayu yang melawan tiga orang sekaligus, masih sempat meloncat surut, mencari tempat yang agak lapang, sehingga ia dapat mempergunakan senjatanya dengan leluasa. Ujung senjatanya tidak tersangkut ranting-ranting atau pohon-pohon perdu, meskipun ranting-ranting itu pun kemudian seakan-akan ditebas dengan pedang, namun kadang-kadang terasa geraknya terganggu juga.

Kiai Gringsing yang bertempur di lingkaran yang lain, harus melawan lima orang sekaligus. Adalah kebetulan sekali bahwa bukan orang-orang terkuat yang menghadapinya. Sementara Swandaru dengan susah payah mencoba mempertahankan diri dari sergapan empat orang yang bertempur dengan garangnya.
“Swandaru lah yang berada di dalam bahaya yang sebenarnya,” berkata Sumangkar di dalam hatinya.
Dan tiba-tiba hatinya dijalari oleh keinginannya untuk menyesuaikan diri dengan cara yang telah dilakukan oleh Kiai Gringsing. Tanpa setahu lawan-lawannya, ia berhasil mengambil kerudung hitam yang justru semula dipergunakan oleh hantu-hantu Alas Mentaok itu. Kemudian dipungutnya pula tengkorak yang sudah mereka tanggalkan dari tangkainya. Sumangkar pun kemudian mempergunakan kerudung itu. Dengan hati-hati ia mendekati Swandaru yang selalu terdesak surut. Kiai Gringsing pun menjadi cemas melihat keadaan muridnya yang muda itu. Karena itu maka ia pun segera mengerahkan kemampuannya untuk menerobos kepungan kelima lawan-lawannya yang tidak begitu berat baginya. Meskipun demikian, ia masih memerlukan waktu beberapa saat untuk dapat menembus kepungan mereka. Sedang waktu yang beberapa saat itu ternyata sangat gawat bagi Swandaru. Orang terkuat dari lawan-lawan mereka benar-benar berusaha untuk dapat menangkap Swandaru. Serangannya bagaikan angin ribut yang menghantam dari segala arah. Sejenak kemudian Swandaru telah menjadi pening. Ia kehilangan keseimbangannya untuk melawan serangan-serangan yang membadai dari segala arah itu. Bahkan kemudian senjatanya seakan-akan sudah tidak berdaya lagi untuk menahan mereka. Apalagi salah seorang dari mereka adalah orang yang mempunyai ilmu yang lebih tinggi dari Swandaru sendiri. Kecemasan yang tajam telah menyengat hati Kiai Gringsing ketika ia melihat Swandaru terdorong jauh ke belakang, sehingga ia hampir kehilangan keseimbangannya. Dengan susah payah ia mencoba berdiri tegak di atas kedua kakinya. Tetapi ia masih juga terhuyung-huyung. Dengan demikian maka ketika datang serangan berikutnya, Swandaru sama sekali tidak berhasil bertahan. Ketika ia melihat pedang yang terjulur lurus ke dadanya, ia masih sempat melecutkan cambuknya. Tetapi sentuhan kaki di lambungnya, telah membuat Swandaru terlempar ke samping dan jatuh terbanting melanggar sebatang pohon perdu, sehingga pohon itu ikut roboh pula. Pada saat itulah orang yang memiliki kemampuan yang luar biasa itu meloncat mendekati Swandaru. Ia sudah siap menerkam anak itu dan membuatnya tidak berdaya. Dengan demikian, ia akan segera dapat membantu kawan-kawannya yang lain.

Namun disaat yang gawat itu, Kiai Gringsing telah berhasil melepaskan diri dari lawan-lawannya. Dengan sigapnya ia meloncat sambil meledakkan cambuknya tepat di belakang orang yang sedang berusaha menerkam Swandaru yang masih terbaring di tanah.
Ternyata suara cambuk itu telah membuatnya terkejut. Sejenak ia berpaling, dan dilihatnya Kiai Gringsing telah menyerangnya dengan garangnya. Namun dalam pada itu, lawan-lawan Kiai Gringsing sendiri telah memburunya. Lawan-lawan Swandaru pun ikut mengepungnya pula, termasuk orang yang terkuat di antara mereka. Kiai Gringsing terkejut ketika ia melihat wajah orang itu. Orang yang dengan mudahnya dapat menguasai Swandaru. Orang itu adalah Kiai Damar.
“Kau Kiai Damar,” desis Kiai Gringsing.
“Huh, aku sudah mengira bahwa kau sama sekali bukan seorang gembala yang dungu. Tetapi umurmu tidak akan dapat diperpanjang lagi. Kau akan jatuh ke tangan kami. Kami akan memeras keteranganmu sebelum kalian mati di bawah kaki-kaki kuda kami.” Kiai Damar berhenti sejenak, lalu,
“Beberapa orangku terbunuh siang ini. Kami datang menuntut balas. Pengawas-pengawasmu yang gila itu akan kami musnahkan bersamamu dan anak-anakmu itu.”
Kiai Gringsing tidak menjawab. Tetapi ia harus menghadapi tugas yang cukup berat. Ia mengharap bahwa Swandaru akan dapat mempergunakan kesempatan itu, melepaskan diri dan kembali turun di peperangan.
Namun dalam pada itu, di dalam ketegangan yang memuncak, tiba-tiba mereka dikejutkan oleh sebuah tengkorak yang terlontar di udara dan jatuh tepat di antara mereka yang telah siap untuk mempertaruhkan jiwanya. Apalagi sejenak kemudian disusul oleh suara yang melengking tinggi,
“Jangan takut. Kiai Dandang Wesi tidak akan mengingkari janjinya. Aku akan melindungi kalian dari setiap bencana. Inilah aku, Kiai Dandang Wesi dari Gunung Merapi.”
Ternyata suara yang melengking tinggi itu telah memberikan pengaruh yang luar biasa. Beberapa di antara mereka yang berkelahi melawan Kiai Gringsing dan kedua anak-anaknya itu menjadi bingung sesaat.
Agung Sedayu, Swandaru, dan Kiai Gringsing sendiri segera dapat mengetahui, bahwa yang kini sedang bermain hantu-hantuan itu adalah Sumangkar. Bahkan Swandaru yang telah meloncat bangun itu masih sempat tersenyum. Agaknya Ki Sumangkar pun telah dijangkiti kebiasaan gurunya yang kadang-kadang aneh.

Selagi keadaan diliputi oleh keragu-raguan dan kebimbangan itulah maka Kiai Gringsing dan kedua muridnya seakan-akan mendapat kesempatan. Dengan lantang maka Kiai Gringsing pun berkata,
“Nah menyerahlah. Kalau tidak, maka Kiai Dandang Wesi akan menggilas kalian dengan kekerasan.”
Namun Kiai Damar dan anak buahnya itu justru seperti terbangun dari mimpinya. Apalagi ketika Kiai Damar berteriak,
“Persetan dengan hantu-hantu dari Gunung Merapi. Kami sudah terlanjur mulai. Apa pun yang akan terjadi, akan kami hadapi.”
“Jangan sombong,” sahut Kiai Gringsing, lalu,
“kau harus merasa bahwa kau tidak akan berdaya menghadapi hantu yang sebenarnya, bukan sekedar hantu-hantuan seperti orang-orangmu. Tengkorak yang dipasang di atas tongkat dan dilekati dengan kunang-kunang itu sama sekali tidak menakutkan. Kerudung hitam dan kuda-kuda yang bersayap itu seperti mainan kanak-anak yang jemu bermain kuda-kudaan dari pelepah pisang.”
“Diam!” teriak Kiai Damar.
“Kau akan segera binasa. Kami akan melanjutkan usaha kami menakut-nakuti orang-orang di dalam barak itu dan kemudian menguasainya setelah kalian bertiga mati.”
“Kau lupa Kiai Dandang Wesi.”
“Persetan, ia tidak mampu melawan kami.”
Belum lagi mulutnya terkatup, maka sesosok tubuh yang berkerudung hitam telah tampil di dalam pertempuran itu. Seperti yang pernah diceriterakan oleh Agung Sedayu, pengalamannya dengan Kiai Dandang Wesi, maka Sumangkar yang berkerudung hitam itu pun mencoba menyesuaikan diri. Mula-mula ia melingkar di tanah, seperti seonggok batu yang hitam kemudian melenting tinggi. Lalu dengan, tiba-tiba pula menyerang orang-orang yang menyebut dirinya hantu-hantu dari Alas Mentaok itu.

Gerak dan tingkah laku Sumangkar benar-benar telah mengejutkan mereka. Mereka tidak mengira bahwa akan hadir di tengah peperangan itu, suatu bentuk yang sangat mendebarkan jantung mereka. Apalagi bentuk yang aneh itu ternyata sangat berbahaya. Demikianlah maka mereka pun segera terlibat di dalam perkelahian melawan Kiai Gringsing, kedua anak-anaknya dan sesosok tubuh yang menyebut dirinya hantu dari Gunung Merapi. Kiai Damar yang memimpin kawannya, merasa wajib untuk melawan musuh yang mereka anggap paling kuat, yaitu hantu dari Gunung Merapi itu. Namun sebenarnyalah bahwa hantu itu adalah hantu yang benar-benar lincah dan berbahaya. Demikianlah di belakang barak itu telah terjadi perkelahian yang semakin lama semakin sengit. Beberapa orang terkuat dari rombongan Kiai Damar itu telah dibagi. Masing-masing dikawani oleh orang-orang lain, berusaha untuk dapat menangkap lawan mereka hidup-hidup. Bahkan Kiai Damar pun telah mencoba pula, apabila mungkin menangkap hantu-hantu dari Gunung Merapi itu. Namun kekuatan lawan mereka benar-benar tidak mereka duga sebelumnya. Mereka hanya mengira bahwa kekuatan lawannya itu sedikit melampaui orang-orang mereka yang telah terbunuh. Tetapi ternyata bahwa mereka menjumpai kekuatan yang luar biasa. Menurut perhitungan mereka, mereka yang berjumlah lebih dari sepuluh orang itu telah cukup kuat untuk menangkap tiga orang yang mereka anggap telah menghalang-halangi usaha mereka itu. Bahkan mereka menyangka bahwa orang-orang di dalam barak itu akan dapat mereka pengaruhi ikut serta, bahkan mengeroyok beramai-ramai ketiga orang tersebut. Namun perhitungan mereka ternyata telah meleset. Tiga orang itu ternyata mempunyai kekuatan yang luar biasa, ditambah dengan hadirnya sesosok tubuh yang sama sekali berada di luar dugaan, yaitu sesosok tubuh dengan pakaian hitam dan menyebut dirinya Kiai Dandang Wesi. Demikianlah, maka masing-masing telah bertempur melawan tiga orang sekaligus. Juga Kiai Dandang Wesi telah berkelahi melawan tiga orang, dan di antara ketiga orang itu ialah Kiai Damar sendiri. Dalam pada itu, orang-orang di dalam barak itu pun seakan-akan telah benar-benar membeku. Mereka hanya mendengar suara cambuk meledak-ledak, kemudian beberapa kalimat-kalimat yang merontokkan isi dada mereka.

Mereka sama sekali tidak dapat membayangkan apa yang telah terjadi sebenarnya di belakang barak mereka. Namun terbayang di kepala mereka, seakan-akan hantu-hantu sedang berkelahi mati-matian. Mereka berterbangan dan sambar-menyambar. Sesosok hilang dan yang lain telah membakar dirinya dan berusaha menyentuh lawannya dengan nyala yang berkobar. Tetapi kemudian telah memancar air dari tubuh sesosok hantu yang menyebut dirinya Kiai Dandang Wesi memadamkan api itu. Tetapi api itu kemudian menjelma seekor naga raksasa yang siap menelan lawannya. Namun sudah tentu hantu dari Gunung Merapi dan pasukannya akan tidak membiarkan dirinya ditelan oleh ular naga. Mereka segera berubah menjadi seekor harimau sebesar gunung anakan. Sedang di pihak lain, tengkorak-tengkorak berkeliaran melawan hantu-hantu bermata bara. Tetapi di antara mereka terdapat tiga orang manusia yang bersenjata cambuk itu. Cambuknya terdengar meledak-ledak memekakkan telinga.
“Apakah mereka dapat mengimbangi kemarahan hantu-hantu itu?” pertanyaan itu setiap kali telah melonjak di dalam setiap dada. Namun ada di antara mereka yang berkata di dalam hati,
“Ketiga orang itu pasti orang-orang yang sebenarnya dapat melihat hantu dan cambuk mereka itu mempunyai kekuatan yang dahsyat.”
Meskipun demikian kecemasan yang memuncak telah mencengkam hati mereka. Bahkan ada di antara mereka yang sama sekali tidak dapat membayangkan apa pun juga dan meskipun mereka tidak pingsan, tetapi mereka seakan-akan telah kehilangan segenap kesadaran.
Pemimpin pengawas yang terluka itu pun menjadi cemas pula. Sejenak terbayang perkelahian yang dahsyat antara orang tua yang menyebut dirinya bernama Truna Podang itu dengan beberapa orang dari gerombolan yang tidak dikenal. Namun ia pun membayangkan juga betapa dahsyatnya hantu-hantu yang sedang bertempur. Di dalam kepalanya terbayang campur baur yang buram. Dan pemimpin pengawas itu tidak berani membuat gambaran yang tegas, apakah yang sebenarnya berkelahi itu adalah manusia-manusia seperti Truna Podang atau hantu-hantu dari Alas Mentaok melawan hantu-hantu dari Gunung Merapi. Bahkan akhirnya pemimpin pengawas itu bertanya kepada diri sendiri,
“Apakah Truna Podang itulah yang menyebut dirinya Kiai Dandang Wesi?”
Tetapi pemimpin pengawas itu ternyata telah membuat kesimpulan yang terbalik. Katanya,
“Kalau begitu Truna Podang itu bukan manusia sewajarnya. Ia tentu hantu dari Gunung Merapi yang membuat dirinya seperti manusia untuk menolong kami. Juga kedua anak-anaknya itu pasti anak-anak jin atau perayangan.”

Dalam pada itu perkelahian di belakang barak itu masih berlangsung terus. Agung Sedayu bertempur dengan gigihnya melawan lawan-lawannya bersenjata pedang. Setiap kali cambuknya meledak dan menyentuh tubuh lawannya terdengar keluhan tertahan. Ujung cambuk Agung Sedayu, seperti juga ujung cambuk Swandaru dan gurunya, di beberapa bagian terikat oleh karah-karah besi baja yang dapat menyobek tubuh. Di bagian lain Swandaru yang sudah mulai dapat bernafas karena kekuatan lawannya telah menjadi jauh berkurang, bertempur sambil berputar-putar. Ia masih juga sempat melihat bagaimana gurunya, mendesak terus lawan-lawannya, betapa pun lawan-lawannya berjuang dengan gigihnya. Bahkan kemudian Kiai Gringsing berhasil menguasai mereka, sehingga mereka seakan-akan tidak berdaya sama sekali. Di bagian lain, Kiai Dandang Wesi yang berkerudung hitam masih juga bertempur melawan Kiai Damar beserta kedua kawan-kawannya. Ternyata permainannya itu terasa agak mengganggunya sehingga Sumangkar tidak dapat bertempur sewajarnya. Ia hanya dapat melenting-lenting dan meloncat-loncat. Sekali-sekali melempar lawan-lawannya dengan batu, kemudian menghindar jauh-jauh. Akhirnya Sumangkar tidak telaten lagi mempergunakan kerudung hitam itu. Kerudung itu pun kemudian disingsingkannya dan disangkutkan di pundaknya. Katanya,
“Kalau hantu-hantu di Alas Mentaok bertempur dengan mengambil bentuk sebagai seorang manusia, apa salahnya aku menyesuaikan diriku. Aku akan mengambil bentukku sebelum aku menjadi perayangan. Inilah Kiai Dandang Wesi, Abdi Dalem Pajang pemomong Raden Sutawijaya yang bergelar Mas Ngabehi Loring Pasar di masa kanak-kanaknya.”
Kiai Damar yang bertempur melawan Sumangkar yang menyebut dirinya Kiai Dandang Wesi itu tidak menyahut. Tetapi sejenak ia terpengaruh juga melihat bentuk Ki Sumangkar, yang tampaknya memang sudah cukup tua. Janggutnya telah memutih dan di wajahnya telah tampak kerut-merut ketuaannya.

Dalam kesuraman malam, Kiai Damar tidak dapat melihat bentuk wajah itu sejelas-jelasnya, namun, ternyata bahwa tandang Sumangkar kemudian benar-benar di luar dugaan Kiai Damar. Bahkan di dalam hatinya ia justru menjadi ragu-ragu. Apakah benar orang itu adalah perayangan yang telah musna dengan raganya? Hanya di dalam saat-saat tertentu saja muncul kembali dalam bentuknya dan wadagnya itu? Keragu-raguan Kiai Damar itu ternyata di dalam tata geraknya. Senjatanya tidak menjadi semakin garang lagi, bahkan kadang-kadang terasa agak menurun. Sumangkar yang mengetahui keragu-raguan itu berusaha menekannya semakin dalam. Katanya,
“Inilah ujudku yang sebenarnya. Kalau pada sekitar dua puluh tahun yang lampau kau pernah menjelajahi daerah Demak lama kemudian Pajang dan sekitarnya, maka kau pasti pernah bertemu dengan seorang yang bernama Kiai Dandang Wesi. Itu adalah aku. Dua puluhan tahun atau lebih sedikit, aku juga sudah setua ini. Dalam bentuk perayangan aku tidak bertambah tua sampai akhir dari bumi ini. Seratus tahun, dua ratus tahun mendatang, aku akan tetap setua ini.”
Dada Kiai Damar menjadi semakin berdebar-debar. Tetapi ternyata ia tidak mau surut. Ia mencoba berkelahi terus bersama kawan-kawannya. Bahkan untuk mengusir keragu-raguannya sendiri ia berkata,
“Jangan dengarkan igauannya. Marilah kita tangkap ia hidup-hidup. Ia akan menjadi saksi yang paling menarik bagi kita semuanya.”
Dengan demikian, maka Kiai Damar pun berusaha untuk semakin menekan lawannya yang kini sudah berbentuk, yaitu Sumangkar, yang masih saja nekat menyebut dirinya Kiai Dandang Wesi. Demikianlah maka perkelahian itu menjadi semakin sengit. Sumangkar yang sudah tidak memiliki tongkatnya lagi, karena telah diberikannya kepada Sekar Mirah, kini ternyata telah mempergunakan jenis senjata yang lain. Sepasang trisula bertangkai pendek. Senjata jenis itu adalah senjata kecil berujung tiga. Panjangnya tidak lebih dari dua jengkal. Tetapi di tangan seorang yang hampir mumpuni seperti Sumangkar, senjata di antara sepasang trisula itu, ternyata terikat pada seutas rantai baja yang kuat, sehingga trisula itu dapat dilontarkannya dan kemudian ditarik kembali, seperti jenis senjata bulatan-bulatan besi yang berduri.
“Eh,” berkata Swandaru di dalam hatinya,
“orang tua itu sempat juga membuat mainan aneh itu.”

Dan ternyata bahwa senjata itu segera dapat mempengaruhi perkelahian. Lawannya yang belum menjajagi betapa dahsyatnya senjata itu, segera terlihat dalam kesulitan. Seorang kawan Kiai Damar yang menyerang sekuat-kuatnya, telah kehilangan pedangnya yang terjepit pada trisula yang diputar dengan cepatnya. Tangan orang itu tidak cukup kuat menahan putaran pedangnya sendiri, sehingga pedang yang terlepas itu terlempar beberapa langkah daripadanya. Kiai Damar yang melihat hal itu menggeram sambil meloncat maju. Senjatanya terjulur lurus-lurus ke depan. Namun ketika senjatanya itu tersentuh trisula Ki Sumangkar, maka Kiai Damar pun segera menariknya kembali sebelum Sumangkar sempat memutarnya di sela ujung-ujung trisulanya. Namun demikian tekanan Kiai Damar berhasil memberi kesempatan kepada kawannya untuk memungut pedangnya yang terjatuh. Bahkan kemudian mereka bertiga telah berhasil kembali mengepung Ki Sumangkar yang menyebut dirinya Kiai Dandang Wesi dari Gunung Merapi itu. Namun, ketika tekanan ketiga orang itu datang bersama-sama dari tiga arah, Ki Sumangkar segera memutar trisulanya pada rantainya. Demikian cepatnya sehingga melontarlah bunyi desing yang mengerikan.
“Setan alas,” Kiai Damar mengumpat. Dan Sumangkar yang sudah kejangkitan penyakit Kiai Gringsing itu menyahut,
“Kaulah setan alas, aku hantu dari Gunung.”
“Tutup mulutmu,” Kiai Damar menjadi semakin marah. Namun ia tidak segera berhasil menembus putaran trisula Ki Sumangkar yang justru menjadi semakin cepat.
Yang paling parah adalah orang-orang yang mengeroyok Kiai Gringsing. Mereka sama sekali tidak dapat berbuat sesuatu. Cambuk orang tua itu meledak-ledak tidak henti-hentinya, membuat telinga mereka seakan-akan tidak dapat bertahan dan bahkan kepala mereka menjadi pening. Belum lagi sentuhan-sentuhan ujung juntai cambuk itu, yang telah melukai kulit mereka dan membuat jalur-jalur merah silang menyilang. Agaknya Kiai Gringsing memang tidak ingin membinasakan mereka. Seperti yang diinginkan, ia hendak menangkap mereka hidup-hidup supaya dapat diketahui, setidak-tidaknya dapat dibayangkan, apakah sebenarnya yang mereka kehendaki dengan mengganggu para pekerja yang sedang membuka hutan ini.

Dalam pada itu Agung Sedayu dengan mengerahkan tenaganya berhasil mengimbangi lawannya. Bahkan karena orang-orang yang terkuat dari lawan-lawannya telah berkumpul melawan Sumangkar dan Kiai Gringsing, maka lambat laun ia berhasil menguasai lawannya meskipun tidak akan segera dapat mengalahkan mereka. Sedangkan Swandaru masih harus berjuang mati-matian untuk mendesak lawan-lawannya. Namun kadang-kadang ia berhasil mengenai salah seorang dari mereka dan masih juga berkesempatan melihat, betapa dahsyatnya trisula Ki Sumangkar.
“Bukan main,” desisnya,
“setelah ia kehilangan tongkatnya yang mengerikan, kini ia membuat senjata yang tidak kalah garangnya. Bahkan sepasang. Sebentar lagi, Sekar Mirah pun pasti akan mampu juga bermain-main dengan baling-baling maut itu.”
Dan senjata itu ternyata telah menggelisahkan Kiai Damar. Meskipun Ki Sumangkar tidak segera dapat menguasai Kiai Damar beserta kawan-kawannya, namun karena Kiai Damar sendiri tidak juga segera dapat memenangkan perkelahian itu, ia menjadi cemas. Kiai Damar yang merasa dirinya orang terkuat, bersama dua orang kawannya sama sekali tidak segera dapat menang atas lawannya. Apalagi kawan-kawannya yang lain. Dan ternyata pula ketika ia sempat melihat, betapa Kiai Gringsing dengan mudahnya menggiring ketiga lawannya. Kiai Gringsing bermaksud menekan mereka ke dinding barak. Kemudian membuat mereka tidak berdaya. Kiai Damar menggeram di dalam hatinya. Ia sadar bahwa sebentar lagi, ketiga orang yang melawan gembala tua itu pasti akan segera dikuasainya. Orang tua itu pasti akan dapat membantu lawannya yang menyebut dirinya bernama Kiai Dandang Wesi itu. Karena itu, Kiai Damar telah berjuang sekuat-kuatnya. Meskipun dengan susah payah, ketiga orang terkuat itu perlahan-lahan sekarang berhasil mendesak Sumangkar yang bersenjata dahsyat itu. Untunglah, bahwa Sumangkar dapat mempertahankan jarak jangkau lawan-lawannya dengan trisulanya yang diputarnya pada rantainya.

Meskipun perlahan-lahan Sumangkar sendiri terdesak, tetapi ia sama sekali tidak cemas. Ia pasti akan dapat bertahan untuk waktu yang lama. Kekuatan nafasnya akan membantunya mengatasi kesulitannya. Pada suatu saat, ketiga lawannya pasti akan susut kekuatannya. Sedang Sumangkar yang tua itu berusaha untuk tetap menyimpan tenaga cadangan, sehingga pada suatu saat, ia akan menguasai medan itu setelah lawannya menjadi lelah. Apalagi setelah ia melihat bahwa Agung Sedayu, Swandaru dan apalagi Kiai Gringsing tidak memerlukan bantuannya sama sekali. Dengan demikian ia dapat berkelahi sesuai dengan kemampuan dan perhitungannya. Ia merasa tidak akan dapat memaksa lawan-lawannya tunduk kepadanya, karena ilmu mereka cukup tinggi. Tetapi ia dapat memaksa lawannya mengarahkan segenap kekuatan dan kemampuan mereka, sehingga mereka kehilangan pengamatan dan penghematan tenaga itu. Perhitungan yang matang itulah yang telah membuatnya semakin tenang menghadapi lawan-lawannya yang tangguh. Tetapi Kiai Damar benar-benar tidak dapat menolong kawan-kawannya yang semakin lama menjadi semakin tersudut di dinding barak. Cambuk Kiai Gringsing kali ini tidak menggiring kambing-kambing di lapangan rumput. Tetapi kali ini ia menggiring tiga orang yang menyebut dirinya hantu Alas Mentaok.
“Besok aku akan dapat memperlihatkan hantu-hantu ini kepada penghuni barak,” katanya,
“dan kalian tidak usah takut, bahwa penghuni-penghuni barak akan berbuat sesuatu atas kalian. Mungkin ada juga di antara mereka yang ingin melihat kalian melenyapkan diri seperti asap, atau ingin melihat kalian berkepala tengkorak naik kuda sembrani dan sebagainya seperti yang pernah kalian perlihatkan kepada mereka di malam hari.”
Kata-kata Kiai Gringsing itu benar-benar membuat Kiai Damar dan kawan-kawannya menjadi sakit hati. Tetapi mereka tidak dapat berbuat banyak. Mereka masih harus menghadapi lawan masing-masing. Apalagi Kiai Damar yang merasa orang terkuat di antara mereka, bersama dua orang kawannya, tidak segera dapat mengalahkan lawannya yang menyebut dirinya bernama Kiai Dandang Wesi.

Dalam pada itu Agung Sedayu, Swandaru, dan Kiai Gringsing melihat juga, betapa Sumangkar berusaha dengan cermat untuk dapat mengimbangi lawan-lawannya. Ternyata Kiai Damar cukup memiliki bekal untuk bertempur melawan Sumangkar, dibantu oleh dua orang terkuat pula di antara mereka.
“Aku harus segera menyelesaikannya,” berkata Kiai Gringsing di dalam hati.
Demikianlah maka perkelahian itu menjadi semakin seru. Kiai Damar berusaha semakin keras untuk dapat segera mengalahkan lawannya. Apalagi ketika ia melihat, ketiga kawannya yang bertempur melawan Kiai Gringsing menjadi terdesak karenanya. Karena usaha Kiai Damar tidak segera dapat berhasil, maka ia pun kemudian mengambil jalan yang terakhir yang dapat dilakukan. Dalam perkelahian yang sengit, tiba-tiba tangan kirinya telah menggenggam sebilah keris pusakanya. Sumangkar adalah orang yang cukup berpengalaman. Karena itu ketika ia melihat keris Kiai Damar, maka ia pun menjadi berdebar-debar karenanya. Keris yang berwarna kehitam-hitaman tanpa memantulkan cahaya sama sekali itu tampaknya bagaikan wajah yang buram penuh dengan kemurkaan dan dendam.
“Warangan keris itu pasti mengandung racun yang kuat,” desis Sumangkar di dalam hatinya.
Dalam pada itu, sekilas Sumangkar teringat kepada senjatanya yang dahsyat. Tongkat berkepala tengkorak kecil yang berwarna kekuning-kuningan. Namun yang ada padanya kini adalah sepasang trisula itu. Apa pun yang dihadapinya, maka ia hanya dapat mempergunakan sepasang trisula itu. Ternyata, bukan saja Sumangkar yang menjadi berdebar-debar melihat senjata itu. Kiai Gringsing yang juga melihatnya, menjadi berdebar-debar juga. Seperti Sumangkar, ia pun segera mengetahui bahaya senjata Kiai Damar itu pasti mengandung warangan yang sangat tajam.
“Senjata itu sangat berbahaya,” berkata Kiai Gringsing di dalam hatinya.
“Apalagi Ki Sumangkar harus menghadapi tiga orang lawan yang cukup tangguh.”

Karena itu, Kiai Gringsing tidak dapat memperpanjang waktu lagi. Tiba-tiba cambuknya menggelepar dan sekaligus dua orang lawannya memekik kesakitan. Ketika cambuknya sekali lagi meledak seorang di antara lawan-lawannya itu terlempar dan jatuh pingsan. Kedua lawannya yang lain menjadi terkejut melihat akibat senjata yang dahsyat itu. Tetapi mereka tidak mendapat kesempatan. Selagi mereka termangu-mangu, maka cambuk itu telah menghantam punggung keduanya hampir bersamaan. Sekali lagi keduanya terdorong ke samping. Dengan susah payah mereka berusaha mempertahankan keseimbangan mereka. Namun semua usaha itu sama sekali tidak berarti. Dengan dahsyatnya Kiai Gringsing menekan, lawannya tanpa memberi kesempatan apa pun. Cambuknya terdengar meledak kembali, dan kedua orang lawannya itu pun terlempar jatuh, dan keduanya menjadi pingsan pula. Kini Kiai Gringsing telah berdiri bebas. Sejenak ia menarik nafas dalam-dalam sambil melihat, bagaimana Sumangkar dengan susah payah berusaha mempertahankan diri. Melawan keris beracun itu Sumangkar tidak dapat sekedar memperpanjang waktu dan menunggu lawan-lawannya menjadi lelah. Untuk mengurangi tekanan lawan, maka ia pun kemudian harus mengambil sikap yang dapat mempengaruhi jalan pertempuran itu. Dengan sepasang trisula kecilnya Sumangkar berusaha menyerang lawan-lawannya. Yang sebuah diputarnya di atas kepalanya untuk mempertahankan jarak dari lawannya. Namun apabila sekali-sekali senjata lawannya berhasil menyusup, maka dengan trisulanya yang lain ia berusaha melindungi dirinya, terutama dari sentuhan ujung keris Kiai Damar. Sejenak, Sumangkar berhasil merubah keadaan. Ia tidak lagi membiarkan dirinya terdesak, agar ia tidak selalu dikejar oleh senjata beracun itu. Tetapi ialah yang kemudian memegang peran di dalam gerak perkelahian itu, justru karena ia melihat bahaya yang mengancamnya. Namun demikian, keris Kiai Damar benar-benar merupakan senjata yang berbahaya. Setiap kali, hanya dengan susah payah Sumangkar berhasil menghindar, menangkis dan kadang-kadang mendesak Kiai Damar untuk meloncat surut. Tetapi di saat lain, bahaya yang sebenarnya hampir-hampir saja menyentuhnya.
Kiai Gringsing tidak dapat tinggal diam. Ia pun kemudian mendekati arena perkelahian Sumangkar sambil berkata,
“Kiai Dandang Wesi. Kenapa kau bertempur dengan ragu-ragu. Jangan disesali seandainya terpaksa kau membunuh mereka. Mereka adalah orang-orang, eh, hantu-hantu yang tidak menurut perintah rajanya di Alas Mentaok ini.”

Tidak terdengar jawaban sama sekali. Tetapi semuanya menjadi jelas. Kiai Damar harus melepaskan dua orang kawannya untuk melawan Truna Podang. Ia sendiri masih tetap bertempur menghadapi Sumangkar dengan senjata pusakanya.
“Jangankan manusia, jin, peri atau perayangan,” berkata Kiai Damar,
“bahkan gunung akan runtuh dan lautan akan kering tersentuh oleh pusakaku ini.”
Sumangkar tidak menjawab. Ia sadar, betapa dahsyatnya kemampuan keris itu.
Namun yang menjawab adalah Kiai Gringsing,
“Gunung dan lautan tidak dapat berusaha menghindar atau menangkis. Tetapi beda dengan Kiai Dandang Wesi. Itulah sebabnya, maka kau dapat meruntuhkan perlawanannya dan mengeringkan darahnya.”
Demikianlah akhir dari perkelahian itu segera menjadi jelas. Kiai Damar tidak sempat menjawab kata-kata Kiai Gringsing, karena Sumangkar segera menyerangnya. Tanpa dua orang kawan yang membantunya, ternyata bahwa Kiai Damar tidak dapat mengimbangi kemampuan Sumangkar, meskipun Kiai Damar mempergunakan pusakanya yang beracun itu. Ternyata senjata Sumangkar di tangan orang yang cakap menggerakkannya, terlampau sulit untuk ditembus. Sejenak kemudian, segera tampak bahwa Kiai Damar terdesak karenanya. Betapa pun orang itu berusaha, namun Sumangkar adalah seorang tua yang cukup berpengalaman. Ia adalah seorang yang disegani di Jipang hampir seperti Patih Mantahun sendiri. Persoalan yang dihadapi ini benar-benar tidak masuk perhitungan Kiai Damar. Dengan kawan-kawannya yang lebih dari sepuluh orang itu ia merasa bahwa ia pasti akan segera dapat menyelesaikan tugasnya. Ia merasa pasti bahwa ia akan dapat menangkap Truna Podang bersama dua anaknya. Tetapi yang dihadapinya ternyata jauh berbeda dari rencananya itu. Truna Podang ternyata memiliki kemampuan yang luar biasa. Bahkan kedua anaknya tidak juga dapat dikalahkan oleh masing-masing tiga orang kawan-kawannya yang terpilih.
“Siapakah mereka itu?” pertanyaan itu telah mengganggu pikiran Kiai Damar.

Tetapi Kiai Damar sadar, ia tidak boleh hanya sekedar berteka-teki. Ia harus membuat perhitungan yang semasak-masaknya menghadapi keadaan ini. Dan Kiai Damar pun menyadari, bahwa ia tidak boleh mengorbankan semua kawan-kawannya itu untuk suatu tugas yang sia-sia. Tetapi Kiai Damar tidak juga dapat meninggalkan mereka hidup-hidup, terutama orang-orang terpenting, karena mereka akan dapat memberikan keterangan tentang keadaan mereka sendiri, meskipun Kiai Damar sendiri sadar, bahwa orang-orang itu sebenarnya tidak terlampau banyak yang diketahui. Mereka hanya tahu bahwa Kiai Damar adalah seorang dukun. Mereka tunduk pada perintahnya, dan barangkali satu dua di antara mereka tahu, bahwa masih ada orang lain di belakang Kiai Damar, namun mereka pasti tidak dapat mengatakan tentang orang lain itu. Kiai Damar menyadari keadaannya itu sepenuhnya. Apalagi ketika ia mendengar sebuah keluhan yang panjang. Seorang lagi kawannya yang melawan Kiai Gringsing terlempar ke samping, kemudian jatuh berguling.
“Gila,” desis Kiai Damar. Dan tidak menunggu lebih lama lagi, ia pun segera mengambil keputusan. Mumpung malam masih panjang. Ia masih mempunyai kesempatan untuk berbuat sesuatu menjelang pagi hari.
“Besok pagi kami akan bertambah sulit. Para pengawas yang berhasil menerobos pengawasan dan sampai ke pusat Tanah Mataram itu pasti akan kembali sambil membawa orang-orang baru. Bersama tiga orang gila dan seorang yang menyebut dirinya bernama Kiai Dandang Wesi, maka sulitlah kiranya, untuk berbuat sesuatu di sini.”
Tetapi Kiai Damar tidak dapat berbuat banyak. Rencananya untuk membinasakan tiga orang ini lebih dahulu, dan kemudian orang-orang baru yang datang besok, ternyata tidak berhasil. Bahkan beberapa orang-orangnya telah dilumpuhkan.

Maka sejenak kemudian terjadilah sesuatu yang tidak terduga-duga itu. Kiai Damar yang tidak mau bertempur lebih lama, tiba-tiba meloncat sambil bersuit nyaring. Tanpa menunggu lagi, ditinggalkannya Ki Sumangkar. Tetapi Kiai Damar tidak segera meninggalkan arena. Ia sadar, bahwa kawan-kawannya pun tidak akan dengan mudah melepaskan diri. Juga orang-orang yang melawan Kiai Gringsing, yang kini tinggal seorang, dan yang sebenarnya sudah tidak berdaya sama sekali. Dua orang yang mula-mula bersamanya melawan Sumangkar adalah orang-orang yang termasuk penting di dalam lingkungannya. Kedua orang itu mengerti serba sedikit hubungan yang lebih jauh di belakang Kiai Damar di dalam usahanya menguasai daerah yang sedang dibuka. Tetapi agaknya usahanya masih jauh dari sasaran. Bahkan untuk menyingkirkan tiga orang itu pun ia tidak berhasil. Adalah mengejutkan sekali, bahwa justru pada saat Kiai Damar meninggalkan arena, ia masih sempat meloncat mendekati kedua kawannya di tanah, dan yang seorang yang melangkah surut didesak oleh Kiai Gringsing. Hampir tidak masuk akal, bahwa Kiai Damar itu berlari sambil menggoreskan ujung kerisnya kepada kedua orang itu. Yang mula-mula dilukainya adalah orang yang terbaring di tanah sambil mengerang, kemudian sebuah goresan mengenai tangan kawannya yang justru sedang bertempur melawan Kiai Gringsing. Sementara itu, kawan-kawannya yang lain pun, telah mencoba meninggalkan gelanggang. Tetapi kebanyakan dari mereka tidak sempat melakukannya. Apalagi tiga orang yang melawan Swandaru. Disaat terakhir, Swandaru telah mengerahkan segenap kemampuannya, ketika ia mendengar Kiai Damar bersuit nyaring. Ia tahu benar maksudnya. Karena itu, maka dengan sepenuh kemampuannya ia telah melumpuhkan tiga orang lawannya tanpa ampun. Ledakan cambuknya telah mengenai leher, wajah dan yang seorang yang sudah sempat melangkah lari, telah dijerat kakinya dengan ujung cambuk itu, sehingga ia jatuh terjerembab. Sebelum ia sempat bangkit, maka ujung cambuk Swandaru telah membuatnya pingsan.

Hanya seorang saja lawan Agung Sedayu yang berhasil lolos. Agung Sedayu menjadi ragu-ragu ketika ia mendengar orang itu seakan-akan merintih mohon ampun. Kalau saja Agung Sedayu tidak dibayangi oleh keragu-raguannya, ia sempat meraih sebutir batu dan melempar punggung orang yang kemudian seakan-akan tenggelam di balik dedaunan. Tetapi, tangannya serasa menjadi sangat berat, ketika ia mendengar orang itu seakan-akan menangis. Tetapi dua orang lawannya yang lain telah terbaring di tanah. Yang seorang pingsan sedang yang lain merintih, kesakitan karena lambungnya sobek oleh karah-karah besi cambuk Agung Sedayu. Arena pertempuran itu menjadi hening sejenak. Kiai Gringsing masih dicengkam oleh keheranan dan bahkan terkejut melihat Kiai Damar, yang dengan keris pusakanya, telah melukai kawan-kawannya sendiri, yang dua orang itu.
“Yang dua orang ini pasti orang-orang penting,” berkata Kiai Gringsing di dalam hatinya.
Karena itu, sejenak kemudian Kiai Gringsing menyadari, betapa pentingnya keterangan dari kedua orang itu, kalau ia berhasil menyelamatkannya.
Tetapi kedua orang yang telah dilukai oleh Kiai Damar itu bagaikan orang gila. Keduanya sama sekali tidak menyangka, bahwa justru Kiai Damar sendirilah yang telah berusaha membunuhnya. Karena itu, terbayang di wajah keduanya, perasaan marah, kecewa, penyesalan dan dendam yang bercampur baur, sehingga mereka berteriak-teriak sambil berguling-guling tidak menentu. Meskipun tubuh mereka menjadi lemah dengan cepatnya, namun seakan-akan mereka tidak mau menerima kenyataan itu.
“Kiai Damar, tunggu, tunggu aku,
”teriak salah seorang dari mereka sambil meronta-ronta. Sebenarnya ia masih dapat berlari meninggalkan arena kalau mendapat kesempatan. Tetapi menurut perhitungan Kiai Damar, ia pasti tidak akan dapat lepas dari tangan Kiai Gringsing yang menyebut dirinya bernama Truna Podang itu. Karena itu, sambil berlari meninggalkan arena, ia masih sempat menggoreskan pusakanya. Bagi Kiai Damar, kedua orang yang mengerti tentang keadaannya, dan beberapa macam persoalan yang menyangkut tentang dirinya, lebih baik dimusnahkan, apabila memang tidak ada harapan untuk diselamatkan. Sedang orang-orang lain adalah pengikut-pengikut kecil yang hampir tidak mengetahui persoalan yang sebenarnya di dalam lingkungan mereka. Seandainya ada juga yang mengerti, maka keterangan mereka tidak akan cukup banyak.

Kiai Gringsing, Sumangkar, Agung Sedayu, dan Swandaru memandang kedua orang yang sedang diraba oleh maut itu dengan hati yang berdebar-debar. Mereka melihat suatu pergulatan yang dahsyat antara kenyataan dan pemberontakan di dalam diri mereka.
“Marilah, kita mencoba menolong mereka,” berkata Kiai Gringsing.
Sumangkar menganggukkan kepalanya.
“Cobalah, tahan tubuhnya, agar ia tidak meronta-ronta. Aku akan berusaha mengobatinya.”
Sumangkar pun kemudian melangkah mendekati salah seorang dari mereka. Yang seorang itu agaknya masih cukup mempunyai kekuatan untuk bertahan seandainya ia sempat ditolong. Tetapi karena ia selalu meronta-ronta maka racun warangan keris itu seakan-akan telah dipercepat menjalari seluruh tubuhnya. Dengan hati-hati Sumangkar mendekatinya. Kemudian dengan cepatnya ia menerkam kedua tangannya dan memeganginya erat-erat.
“Inilah lukanya,” berkata Sumangkar sambil menahan tubuh orang itu.
Tetapi ia masih tetap meronta-ronta. Sambil berteriak ia berusaha untuk melepaskan diri. Tetapi tubuhnya sudah menjadi sangat lemah. Keringat dingin mengalir seperti terperas dari tubuh itu. Dengan tergesa-gesa Kiai Gringsing mengambil serbuk obat dari bumbung kecilnya. Dengan susah payah ditaburkan serbuk itu di atas luka di tangannya. Namun demikian, Kiai Gringsing sudah tidak berpengharapan lagi. Luka itu cukup dalam, sehingga racun yang menyusup ke dalam darah pun dengan cepatnya menjalar ke seluruh tubuh, dan mencengkam jantung. Kiai Gringsing masih mendengar orang itu berteriak mengumpat. Tetapi suaranya yang parau seakan-akan hilang di tenggorokan. Namun semua orang masih sempat mendengar orang itu mencaci maki Kiai Damar yang telah membunuhnya.

Sejenak kemudian ia pun terdiam. Obat Kiai Gringsing yang sudah mulai bekerja tidak berhasil menolongnya. Sejenak kemudian ia pun menghembuskan nafasnya yang penghabisan. Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Ketika tiba-tiba ia teringat pada orang yang satu lagi, ia pun segera bangkit pula. Tetapi keadaan orang itu agaknya lebih buruk lagi dari kawannya. Sebelum Kiai Gringsing berbuat sesuatu, ia pun telah meninggal pula. Tubuhnya yang memang sudah terlampau lemah, sama sekali tidak mempunyai daya tahan yang cukup untuk menahan arus racun dari lukanya keseluruh tubuhnya dan menghentikan detak jantungnya. Agung Sedayu dan Swandaru menjadi ngeri melihat peristiwa itu. Alangkah kejamnya. Mereka dengan hati yang dingin membunuh kawan-kawan sendiri apabila sudah tidak diperlukan lagi, atau dianggap berbahaya bagi mereka.
Sumangkar pun menggeleng-gelengkan kepalanya. Perlahan-lahan ia berdesis,
“Mengerikan sekali.”
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Tanpa disadarinya ia melangkah mendekati orang-orang lain yang masih terbaring di tanah. Beberapa orang sudah mulai sadar, akan tetapi tubuh mereka terasa sama sekali tidak bertenaga. Dari dua belas orang yang datang ke barak itu, dua di antara mereka sempat melarikan dirinya, yang dua terbunuh oleh kawannya sendiri, sedang yang lain sudah tidak mempunyai kemampuan lagi untuk berbuat sesuatu. Seorang lawan Swandaru ternyata luka sangat berat dan mengancam jiwanya. Demikian juga seorang lawan Agung Sedayu yang luka di lambung meskipun ia tidak pingsan. Sedang lawan-lawan Kiai Gringsing yang pingsan justru tidak berbahaya bagi jiwa mereka.
“Marilah, kita bawa mereka ke barak,” berkata Kiai Gringsing.
Sumangkar menganggukkan kepalanya. Kemudian bertiga bersama Agung Sedayu dan Swandaru, Sumangkar mengusung orang-orang yang terluka. Sedang Kiai Gringsing tetap mengawasi keadaan, apabila ada perkembangan baru yang mencemaskan.

Satu demi satu mereka diletakkan di serambi. Sedang orang-orang yang ada di serambi itu menjadi ketakutan dan menyibak karenanya.
“Jangan takut,” berkata Agung Sedayu,
“mereka tidak akan berbuat apa-apa.”


Halaman 1 2 3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar