Tidak ada seorang pun yang menyahut. Tetapi tatapan mata mereka yang suram, membayangkan kecemasan yang tiada taranya. Akhirnya, semuanya telah terbaring di serambi barak. Kiai Gringsing pun telah berada di serambi itu pula. Satu demi satu luka mereka mendapat pengobatan. Terutama mereka yang luka parah. Orang-orang di serambi barak yang melihat orang-orang itu terbaring diam, perlahan-lahan menjadi agak berani juga mendekat. Bahkan salah seorang dari mereka yang berjongkok di belakang Agung Sedayu bertanya lirih,
“Siapakah
mereka itu?”
Sebelum Agung
Sedayu menjawab, Swandaru telah mendahului menyahut,
“Coba katakan,
siapakah mereka menurut dugaanmu.”
Orang itu
tidak segera menyahut. Dipandanginya Swandaru yang berwajah bulat itu meskipun
kini agak susut.
“Tebaklah.”
Orang itu
ragu-ragu. Namun kemudian ia menjawab,
“Orang itu
adalah korban dari hantu-hantu yang marah itu.”
“He, bukankah
ia marah kepada kita di sini?”
“Tetapi
orang-orang itu dibawanya dari barak-barak yang lain di tempat yang lain.”
“Coba terka,
ke mana mereka, maksudku hantu-hantu itu sekarang pargi.”
Orang itu
tidak dapat menjawab. Sementara orang-orang lain yang mendengar pembicaraan itu
semuanya memandang Swandaru dengan wajah yang bertanya-tanya.
“Ke mana? Coba
terka ke mana perginya hantu-hantu itu?”
Tidak ada
seorang pun yang menjawab.
Akhirnya
Swandaru itu berkata,
“Inilah
hantu-hantu itu. Merekalah yang menyebut dirinya hantu-hantu. Mereka pulalah
yang sering menakut-nakuti kalian dengan tengkorak yang dilekati kunang-kunang
atau kuda yang diberi kerincing dikakinya dan dilekati kunang-kunang pula di
bagian-bagian tubuhnya.”
Sejenak
orang-orang di serambi barak itu terpaku diam. Namun kemudian salah seorang
berkata,
“Tetapi, ada
di antara kita yang pernah melihat hantu-hantu itu.”
Swandaru
mengerutkan keningnya sejenak. Tiba-tiba ia berlari menghambur ke belakang
barak itu. Sejenak kemudian ia kembali sambil membawa sebatang tongkat, dan di
ujung tongkat itu ditaruhnya tengkorak yang ditemukannya di belakang barak itu.
“Inilah hantu
itu. Apakah kalian percaya?” bertanya Swandaru kepada mereka.
“Lihatlah,
betapa menakutkan hantu-hantu ini. Kemudian mereka berkerudung hitam. Lihat,
kain yang tersangkut di leher Ki Sumangkar itu. Itulah kerudung hantu-hantu
itu. Kami telah terlibat dalam perkelahian melawan hantu-hantu kecil dari Alas
Mentaok. Ternyata hantu-hantu tidak lebih dari orang gila yang mencoba menakut-nakuti
kita. Sekarang kalian melihat, apakah hantu-hantu itu benar-benar menakutkan?
Hantu-hantu itu sekarang sudah tidak berdaya sama sekali.”
Beberapa orang
saling berpandangan sejenak.
“Cobalah.
Sentuhlah kakinya atau tangannya. Kalian akan merasa bahwa kalian sama sekali
tidak bersentuhan dengan hantu-hantu. Tetapi kalian akan merasakan kehangatan
kulitnya dan denyut nadinya. Hantu-hantu tidak berdarah, dan karena itu
tubuhnya sama sekali tidak mempunyai panas sama sekali.”
Beberapa orang
masih tetap ragu-ragu. Tetapi seorang yang masih muda merayap maju. Meskipun
ragu-ragu juga tetapi tangannya kemudian dijulurkannya perlahan-lahan. Tetapi
ketika orang yang terbaring dihadapannya itu menggeliat, ia meloncat mundur.
“Jangan
takut.”
Orang-orang
yang terbaring karena luka-lukanya itu pun menjadi berdebar-debar pula. Mereka
merasa bahwa berpuluh-puluh pasang mata memandangi mereka dengan tajamnya,
penuh kebencian dan penuh dendam. Apabila mereka sadar, bahwa yang dihadapinya
itu adalah orang-orang yang sudah tidak berdaya, maka sikap mereka akan dapat
membahayakan.
“Sentuhlah,”
desis Swandaru.
Sekali lagi
orang itu mengulurkan tangannya. Kali ini ia memaksa dirinya sehingga akhirnya
ia menyentuh tangan orang yang sedang terbaring karena lukanya.
“Nah, apa katamu.”
Orang itu
ragu-ragu sejenak. Kemudian sekali lagi ia menyentuhnya. Bahkan kemudian
tiba-tiba ia mencengkam tangan itu. Dengan serta-merta tangan itu ditariknya
sambil menggeram,
“Jadi kau yang
menjadi hantu jadi-jadian itu, he.”
Hampir saja
orang itu meremas wajah orang yang sedang terluka itu. Namun Swandaru yang
berdiri di sampingnya dengan cepatnya menangkap tangannya sambil berkata,
“Hantu-hantu
itu sudah menjadi jinak. Jangan kau apa-apakan dia. Biarlah ia menikmati
luka-lukanya. Kalau luka-luka itu sudah sembuh, maka kita akan memeliharanya.
Mungkin kita memerlukannya.”
Orang yang
hampir saja mencengkam wajah orang yang terluka itu terpaksa melepaskannya.
Tetapi tiba-tiba ia berkata,
“He,
orang-orang yang tinggal di barak ini, yang selama ini telah dibayangi oleh
ketakutan terhadap hantu-hantu. Sekarang kita sudah berhadapan dengan mereka,
sehingga karena itu, apakah yang akan kita lakukan terhadap mereka.”
“Itu pasti
akan mereka akui. Baiklah mereka akan kita serahkan saja kepada para petugas
yang besok akan datang.”
“Tidak. Mereka
tidak akan kita serahkan kepada orang lain. Mereka akan kami adili di sini.
Kamilah yang akan menjatuhkan hukuman kepada mereka.”
Agung Sedayu
termangu-mangu sejenak. Ia melihat beberapa orang telah bergerak mendekat. Bahkan
orang-orang yang berada di dalam barak pun telah berdesakan di muka pintu.
“Ya, serahkan
kepada kami. Serahkan kepada kami.”
Sejenak
kemudian suasana menjadi semakin tegang. Agung Sedayu berdiri termangu-mangu.
Kiai Gringsing dan Sumangkar pun telah bergeser mendekatinya pula. Bahkan Kiai
Gringsing berbisik di telinga muridnya,
“Pertahankan.
Pertahankan orang-orang itu.”
Agung Sedayu
menjadi semakin mantap. Namun sebelum ia berkata lagi, terdengar suara diambang
pintu,
“Kalian tidak
akan dapat berbuat apa-apa atas mereka. Akulah pemimpin pengawas di sini.
Mereka akan diserahkan kepadaku dan aku akan menyerahkan mereka kepada
atasanku.”
Kini semua
orang memandang kepada pemimpin pengawas yang memaksa dirinya untuk berdiri
bersandar tiang pintu. Sejenak orang-orang itu terdiam. Mereka memandang
pengawas itu sejenak. Namun orang yang marah itu agaknya sulit mengendalikan
diri. Salah seorang dari mereka berteriak,
“Kami tidak
akan menyerahkan kepada siapa pun juga. Kami akan mengadilinya sendiri.”
“Itu tidak
mungkin. Orang-orang itu akan dibawa ke Mataram. Kita semuanya sangat
memerlukan mereka. Keterangan mereka akan dapat membantu kita seterusnya.”
“Aku tidak
peduli.”
“Ya, kami
tidak peduli,” sahut yang lain. Dan yang lain berteriak,
“Bunuh saja.
Mereka membuat kita malu dan muak.”
Agung Sedayu
menjadi semakin berdebar-debar. Dan tiba-tiba saja di dalam ketegangan itu, ia
tidak melihat Swandaru.
“Kemanakah
anak ini pergi?” ia bertanya kepada diri sendiri. Tetapi agaknya Kiai Gringsing
dan Sumangkar pun bertanya-tanya pula di dalam hati.
“Tidak apa,”
terdengar suara Agung Sedayu,
“kalian tidak
akan berbuat apa-apa.”
“Tetapi mereka
telah menakut-nakuti kami untuk waktu yang cukup lama sehingga kami telah
kehilangan banyak sekali kawan dan kehilangan banyak waktu.”
“Tetapi kalian
tidak akan berbuat apa-apa.”
Orang itu
termangu-mangu sejenak. Dipandanginya wajah Agung Sedayu dan orang yang
terbaring itu berganti-ganti.
Namun dalam
pada itu terkilas dikepalanya, ketakutan yang selama ini telah merusak semua usaha
orang-orang di dalam barak ini. Beberapa orang telah meninggalkan tempat
mencari tempat baru karena mereka tidak dapat lagi kembali ke tempat mereka
yang lama. Kemudian beberapa orang yang lain tidak lagi berani keluar dari
baraknya sehingga lebih baik bekerja saja di dapur. Dan banyak lagi persoalan
yang telah mengungkat kemarahannya. Orang itu menjadi malu kalau dikenangnya,
bagaimana ia bersembunyi di balik selimut apabila terdengar suara gemerincing
dan derap kaki-kaki kuda. Karena itu, dengan wajah yang kemudian menjadi merah
padam ia berkata,
“Orang-orang
ini telah membuat kami di sini mengalami banyak sekali gangguan. Karena itu,
serahkanlah mereka kepada kami. Kami akan mengadili mereka dengan cara kami.”
Permintaan itu
telah mengguncangkan jantung orang-orang yang sedang terbaring diam karena
luka-luka mereka. Tetapi yang lukanya tidak begitu parah perlahan-lahan mencoba
mengumpulkan kekuatan yang masih ada. Tentu tidak menyenangkan sekali jatuh di tangan
orang-orang yang sedang marah karena ledakan perasaan yang sudah lama ditekan. Beberapa
orang merasa, lebih baik lari atau melawan dan kemudian mati di dalam
perlawanan itu apabila tidak berhasil lolos sama sekali, daripada menjadi
permainan.
Tetapi Agung
Sedayulah yang menjawab,
“Sebaiknya
kalian tidak berbuat apa-apa. Mereka sudah tidak berdaya. Mereka sudah tidak
akan dapat menakut-nakuti kalian lagi.”
“Tetapi mereka
pernah melakukannya. Mereka pernah membuat hati kita kecut sehingga kami
kehilangan gairah untuk berbuat sesuatu.”
Namun mereka tidak
sempat mencari anak yang gemuk itu. Mereka kini benar-benar dicengkam oleh
kecemasan, bahwa orang-orang di barak itu tidak dapat dikendalikan lagi.
“Kalian jangan
melindungi mereka,” tiba-tiba salah seorang dari mereka berteriak. Seorang yang
bertubuh besar meskipun agak pendek berdiri di sudut serambi.
“Akulah yang
akan membunuhnya. Aku telah banyak sekali dikecewakan oleh orang-orang gila
itu. Aku sudah meninggalkan gubug yang sudah aku bangun itu untuk beberapa saat
dan tidur berjejal-jejal di sini.”
“Kenapa kau
berbuat begitu?” bertanya Kiai Gringsing tiba-tiba.
“Orang-orang
itulah yang telah menakut-nakuti kami.”
“Salahmu
sendiri bahwa kau menjadi takut.”
“Kalau aku
tidak takut, mereka akan membunuh aku.”
“Dan kau, kau,
kau dan yang lain lagi, sama sekali tidak berani melawan, kalian hanya berani
bersembunyi. Bahkan menyalahkan kami yang dengan susah payah berusaha
membongkar kejahatan ini. Sekarang, kalian akan memaksa kami menyerahkan mereka
kepada kalian,” jawab Agung Sedayu,
“tentu kami
tidak mau. Misalnya orang berburu, kamilah yang mendapat binatang buruan.
Terserah kepada kami, apa yang akan kami lakukan.”
“Tepat,” sahut
pemimpin pengawas.
Keadaan
menjadi hening sejenak, meskipun wajah-wajah menjadi semakin tegang. Namun
sejenak kemudian meledaklah perasaan yang selama ini tertekan,
“Kami tidak
peduli. Kami memerlukan mereka. Kami akan mencincang mereka di halaman. Siapa
yang melindungi, akan kami sertakan pula. Akan kami cincang pula di antara
mereka di halaman.”
“Ya, ambil
saja dengan paksa.”
“Bunuh saja.”
Agung Sedayu
menjadi bingung. Orang-orang itu bagaikan orang yang kehilangan kesadaran.
Kalau satu dua orang di antara mereka kemudian berdiri dan maju selangkah, maka
keadaan akan menjadi kacau. Mereka tidak ubahnya dengan orang-orang yang sakit
ingatan, yang sama sekali tidak dapat mengekang dirinya sendiri. Dalam keadaan
yang demikian, di dalam lingkungan orang banyak, seseorang akan dapat
kehilangan dirinya sendiri. Seseorang akan dapat berbuat seperti yang dilakukan
oleh orang-orang yang ada di sekitarnya tanpa memikirkan akibatnya. Kiai
Gringsing dan Sumangkar pun menjadi berdebar-debar pula. Seperti Agung Sedayu,
mereka tidak segera mengerti, apa yang sebaik-baiknya dikerjakan. Sedang
pemimpin pengawas yang berdiri bersandar pintu pun menjadi bingung pula.
Apalagi pemimpin pengawas itu menyadari, betapa pentingnya
keterangan-keterangan yang dapat didengar dari hantu-hantu yang kini sudah
tidak berdaya itu.
“He, kenapa
kita menunggu?” bertanya orang yang bertubuh besar dan pendek.
“Ya, apa yang
kita tunggu. Ambil saja mereka semuanya, Kita cincang bersama-sama.”
“Kalian tidak
akan dapat mengambil mereka,” berkata Agung Sedayu sambil mengurai cambuknya.
“Aku sudah
bertempur mati-matian melawan hantu-hantu Alas Mentaok ini. Sebagian dari
mereka lari, dan sebagian dapat kami tangkap. Hantu-hantu itu sama sekali tidak
dapat mengalahkan kami. Apalagi kalian. Ayo, siapakah di antara kalian yang
jantan. Majulah lebih dahulu. Siapa yang akan mencincang mereka dan orang yang
melindunginya sama sekali. Akulah yang melindungi mereka.”
Sejenak
orang-orang itu terbungkam. Tetapi suasana yang panas itu menjadi semakin panas
ketika seseorang berkata,
“Jumlah kita
lipat sepuluh lebih dari jumlah mereka. Mereka tidak akan dapat menahan arus
kemarahan kita.”
“Kita paksa
anak itu.”
“Kami
bersenjata,” geram Agung Sedayu.
Sekali lagi
orang-orang itu terdiam. Namun kemudian seseorang berkata,
“Tidak peduli.
Tangkap mereka.”
Ketika Agung
Sedayu melihat sorot mata mereka yang marah, harapannya untuk dapat menahan
arus kemarahan mereka menjadi pudar. Adalah tidak mungkin baginya bersama guru
dan Sumangkar, untuk melayani orang-orang yang tidak bersenjata itu.
Orang-orang bingung yang tidak tahu apa yang harus mereka lakukan. Kalau ia
bersama gurunya dan Sumangkar berbuat sesuatu, maka akibatnya akan sangat parah
bagi orang-orang itu. Tetapi kalau ia tidak berbuat sesuatu, maka hantu-hantu
Alas Mentaok itu akan menjadi korban dan mereka akan kehilangan sumber
keterangan meskipun sedikit. Sebelum Agung Sedayu berbuat sesuatu, maka ia
sudah melihat satu dua orang mulai bergerak. Dan ia menjadi semakin
berdebar-debar ketika beberapa orang telah berdiri serentak.
“Bagaimana,
Guru,” desis Agung Sedayu.
Kiai Gringsing
tidak juga segera menjawab. Seperti Sumangkar ia pun menjadi kebingungan.
Apakah yang sebaiknya dilakukan. Kalau ia terpaksa mempergunakan kekerasan,
maka akibatnya sama sekali tidak dikehendakinya. Selama ini ia berbuat sesuatu,
yang dapat membahayakan jiwanya, justru untuk kepentingan orang-orang itu. Tetapi
kini orang-orang itu justru marah kepadanya. Sebelum Kiai Gringsing menemukan
cara yang sebaik-baiknya, maka meledaklah kemarahan orang-orang di dalam barak
itu. Beberapa orang hampir berbareng berdiri sambil berteriak,
“Ambil, ambil
saja.”
“Tidak,” tiba-tiba
Agung Sedayu berteriak untuk mengatasi suara riuh mereka. Dan hampir berbareng
dengan itu, orang-orang yang merasa dirinya masih mampu bangkit, tiba-tiba pula
telah mencoba bangkit pula perlahan-lahan.
Ternyata
beberapa orang yang bergerak-gerak, dan kemudian duduk di serambi sambil
menyeringai itu berpengaruh. Apalagi ketika salah seorang dari mereka berdiri
dengan terhuyung-huyung. Agung Sedayu melihat gelagat itu. Karena itu, maka ia
berkata,
“Mereka tidak
rela menyerahkan diri mereka kepada kalian. Ternyata salah seorang dari mereka
telah bangkit berdiri. Sebentar lagi semuanya akan berdiri dan aku tidak tahu
apa yang akan mereka lakukan.”
Serambi itu
menjadi hening.
Agung Sedayu
melihat sorot mata keragu-raguan di setiap wajah. Orang-orang dibarak itu
sejenak memandang Agung Sedayu, sejenak kemudian gurunya dan Sumangkar, lalu
sesosok tubuh yang kemudian berdiri meskipun pakaiannya telah bernoda darah. Tetapi
selagi mereka ragu-ragu, salah seorang berkata lantang,
“Kenapa kita
ragu-ragu, kenapa? Mereka sudah tidak berdaya. Orang-orang yang melindungi
mereka itu pun juga tidak berdaya.”
“Ya, mereka
sudah tidak berdaya.”
“Mereka sudah
tidak akan dapat melawan. Cepat, cincang saja…”
Sekali lagi
orang-orang di dalam barak itu mulai bergerak. Agung Sedayu yang kebingungan,
tiba-tiba saja telah menggerakkan cambuknya, sehingga suara ledakan yang
memekakkan telinga telah menyobek malam yang panas. Kejutan suara cambuk Agung
Sedayu memang membuat mereka tertegun. Tetapi tidak membuat mereka surut. Mereka
masih bergerak pula mendekati orang-orang yang masih sangat lemah itu. Agung
Sedayu benar-benar telah kehabisan akal. Gurunya dan Sumangkar pun masih belum
menemukan jalan sama sekali. Namun selagi suasana memanjat menjadi semakin
panas, tiba-tiba setiap telinga tergerak ketika tiba-tiba mereka mendengar
suara gemerincing. Semakin lama semakin dekat. Suara gemerincing seperti yang
selalu mereka dengar selama ini. Suara hantu-hantu dari Alas Mentaok. Tiba-tiba
terasa bulu kuduk orang-orang yang sedang marah itu meremang. Semakin keras
suara itu, mereka pun menjadi semakin berkerut.
“Hantu-hantu
yang lain telah datang lagi,” desis Agung Sedayu.
Serambi barak
yang hampir saja direnggut oleh udara maut itu tiba-tiba menjadi hening. Namun
terasa setiap dada menjadi tegang. Beberapa orang yang semula berdiri dengan
garangnya, tiba-tiba melangkah surut dan perlahan-lahan berkerut berdesakan.
Beberapa orang segera membaringkan dirinya dan berselimut kain sampai ke ujung
kepalanya. Sedang beberapa orang yang lain membeku di tempatnya.
“Hantu-hantu
itu datang lagi,” sekali lagi Agung Sedayu berdesis,
“kali ini
pasti lebih banyak. Mereka pasti akan mengambil kawan-kawannya yang sudah
kamanungsan, dan membuat mereka menjadi hantu kembali.”
Orang-orang
yang mendengar kata-kata Agung Sedayu menjadi semakin kecut. Kini mereka telah
kehilangan segala kemauan dan bahkan seolah-olah mereka telah kehilangan
kesadaran. Wajah-wajah mereka menjadi pucat dan bibir mereka bergetar.
“Nah, siapakah
yang masih akan mencincang hantu-hantu ini,” bertanya Agung Sedayu.
“Tetapi jelas
bukan aku, bukan ayah dan bukan pamanku yang baru sore ini datang. Ayo, siapa?”
Tidak ada
seorang pun yang berani menyahut.
“Tetapi
hantu-hantu yang kamanungsan itu pasti dapat berceritera, siapakah yang akan
mencincang mereka apabila kawan-kawannya yang lebih kuat akan datang, yang
barangkali tidak akan terlawan lagi oleh kami.”
Setiap dada
serasa hampir retak oleh ketakutan yang bergejolak. Apalagi ketika suara
gemerincing itu menjadi semakin dekat. Dekat sekali di samping barak.
“He, kenapa
kalian bersembunyi di balik selimut?” bertanya Agung Sedayu.
“Apakah kalian
sudah kehilangan kegarangan kalian? Kalian akan mencincang siapa saja, termasuk
mereka yang akan melindungi hantu-hantu yang sudah kamanungsan itu. Sekarang
kawan-kawan mereka pasti akan melindungi dan membuat mereka kembali ke dalam
dunia mereka. Dunia hantu. Kenapa kalian tidak menyingsingkan lengan baju
kalian dan mencincang hantu-hantu yang lain itu.”
Sama sekali tidak
ada jawaban. Tetapi serasa darah orang-orang di serambi itu sudah tidak
mengalir lagi. Tiba-tiba mereka mendengar Agung Sedayu menahan suara
tertawanya. Tetapi agaknya Swandaru tidak dapat, sehingga tiba-tiba meledaklah
suara tertawanya berkepanjangan. Tetapi bagi orang-orang yang ketakutan itu,
suara tertawa Swandaru terdengar sangat mengerikan. Seolah-olah berpuluh-puluh
hantu telah tertawa bersama-sama melihat bakal korban mereka telah meringkuk di
bawah kain panjang masing-masing.
“He, lihat.
Lihatlah, siapa aku,” teriak Swandaru yang membawa sebatang tongkat yang
digantungi beberapa kerincing. Setiap kali tongkat itu dihentakkan di atas
tanah, maka terdengar suara gemerincing dari beberapa buah kerincing yang
bergantungan pada tongkat itu.
Tetapi tidak
seorang pun yang berani membuka kerudung kain panjang mereka yang menutupi
kepala. Baik mereka yang sudah melingkar berbaring di lantai atau di mana saja
mereka sempat, atau mereka yang masih tidak sempat berbaring dan duduk memeluk
lututnya, membenamkan kepalanya di bawah tangannya sambil berselubung kain
panjang.
“Lihat aku,”
teriak Swandaru sambil mengguncang guncang tongkatnya. Bahkan kemudian
tongkatnya telah dihentak-hentakkan di atas beberapa kepala yang tersembunyi.
“Buka
selimutmu, lihat aku.”
Tetapi tidak
ada seorang pun yang berani. Bahkan ketika ujung tongkat itu menyentuh
seseorang, maka orang itu pun segera jatuh pingsan. Orang itu merasa,
seolah-olah ujung jari mautlah yang telah merabanya. Swandaru akhirnya menjadi
jengkel. Karena tidak ada seorang pun yang mau melihatnya, tiba-tiba tangannya
terjulur dan menarik dengan paksa beberapa lembar selimut yang menyelimuti
orang-orang yang ketakutan. Satu dua di antara mereka masih tetap
menyembunyikan wajahnya. Tetapi yang lain kemudian jatuh terguling dan pingsan
pula. Namun demikian ada juga satu dua orang yang dengan terpaksa sekali
melihat tongkat yang diacu-acukan Swandaru. Sesaat ia tidak percaya kepada
penglihatannya. Namun sambil menyembunyikan wajah mereka, beberapa orang itu
berusaha melihat dari sela-sela lingkaran tangan mereka. Dan yang mereka lihat
memang Swandaru mengguncang-guncang sebatang tongkat yang digayuti oleh
beberapa buah kerincing. Dengan ragu-ragu satu dua orang mengangkat wajah
mereka. Yang mereka lihat sama sekali tidak berubah. Anak Truna Podang yang
gemuk itulah yang bermain-main dengan kerincing.
Tiba-tiba
seseorang di antara mereka bertanya,
“Apakah kau
anak Truna Podang?”
“Siapa, siapa
aku. Coba tebak? Apakah kau sangka aku sesosok hantu yang membentuk diriku seperti
anak Truna Podang?”
“Tetapi?”
orang itu ragu-ragu.
“Akulah yang
sejak tadi bermain dengan kerincing-kerincing ini. Apakah kalian tahu
maksudku?”
Tidak ada yang
menjawab. Meskipun demikian satu dua orang kini telah membuka kerudung mereka
meskipun dengan ragu-ragu.
“Aku ingin
melihat, apakah benar-benar kalian orang-orang jantan. Kalian berniat ingin
mengadili orang-orang yang terluka itu. Tetapi apakah kalian benar-benar
berhak?”
Sejenak
suasana menjadi sepi. Beberapa orang yang telah berani membuka kerudung mereka
saling berpandangan. Bahkan beberapa orang yang berbaring melingkar, telah
bangkit dan duduk termangu-mangu. Mula-mula mereka sama sekali tidak tahu,
bagaimana menanggapi keadaan itu. Mereka hanya memandang saja Swandaru yang
berdiri sambil memegangi tongkat yang digantungi kerincing-kerincing itu.
Namun sejenak
kemudian orang yang besar agak pendek itulah yang berteriak untuk pertama kali,
“He anak gila.
Kau telah mempermainkan aku, mempermainkan kami.”
Swandaru
mengerutkan keningnya. Sebelum ia menyahut orang yang lain telah berteriak
pula,
“Ya. Kau
mempermainkan kami.”
“Apa maksudmu
mempermainkan kami?” bertanya yang lain.
Dan tiba-tiba
orang yang pendek itu berkata,
“Kalian memang
orang-orang gila. Sekarang sudah jelas bagi kami, bahwa kami selama ini telah
dipermainkan orang. Bahkan selagi kami dicengkam oleh ketegangan kali ini pun
ada juga orang yang mempermainkan kami. Sekarang kami akan menuntut balas. Kami
akan memuaskan hati kami yang selama ini tertekan.”
Suasana di
serambi barak itu menjadi semakin tegang. Namun tiba-tiba semua orang telah
dikejutkan oleh suara tertawa Swandaru yang meledak. Sambil menunjuk kepada orang
yang pendek itu ia berkata,
“He, kenapa
kau dapat dipermainkan orang? Kenapa? Apalagi untuk waktu yang lama?”
Orang itu
termangu-mangu sejenak. Sebelum ia menjawab, Swandaru telah mendahului,
“Karena kau
penakut. Semua orang yang ada di barak ini penakut dan pengecut. Aku masih
menghormati seorang penakut yang merasa dirinya penakut. Tetapi kau tidak. Kau
adalah seorang penakut, tetapi juga pengecut. Di dalam keadaan yang gawat, kau
sembunyi di bawah selimutmu rapat-rapat. Tetapi kalau kau menghadapi
orang-orang sakit yang hampir mati, kau bertolak pinggang seperti seorang
pahlawan. Ayo, di mana kejantananmu? Kejantanan bukan berarti berani membunuh
orang-orang tidak berdaya. Atau bahkan yang dengan penuh dendam mencekik
lawan-lawan yang memang sudah hampir mati.”
Dan Agung
Sedayu pun menyambung,
“Bukan pula
semata-mata karena kita berani bertempur dan berani mati. Tetapi kejantanan
juga mengandung segi-segi perikemanusiaan dan pengakuan terhadap kenyataan.
Seorang kesatria sebagai lambang kejantanan bukan semata-mata yang menyandang
pedang di peperangan, yang membunuh musuh dengan ujung senjata dan membelah
dada lawan tanpa berpaling. Tetapi sifat-sifat kesatria adalah ngabehi.
Meliputi sifat-sifat baik yang menyeluruh. Kesatria jantan bukan saja berjiwa
seluas lautan yang mampu menampung semua persoalan dan selapang langit yang
menyerap semua masalah dengan kesabaran.”
Sejenak
serambi itu menjadi sepi. Orang-orang yang mendengar kata-kata Agung Sedayu itu
menundukkan kepalanya. Tetapi bukan saja orang-orang itu yang mendengarkannya
dengan sentuhan-sentuhan di dalam hati. Bahkan Swandaru pun
mengangguk-anggukkan kepalanya. Agaknya ada beberapa perbedaan dari kata-kata
Agung Sedayu itu dengan kata-kata yang akan diucapkannya. Namun ia bahkan ikut
mencoba memahami kata-kata Agung Sedayu itu. Tanpa sesadarnya Swandaru
berpaling, memandang wajah gurunya. Tetapi gurunya tidak sedang memandanginya.
Orang tua itu sedang mengangguk-anggukkan kepalanya, seakan-akan membenarkan
kata-kata Agung Sedayu itu.
“Untunglah,
aku belum mengatakannya,” desis Swandaru di dalam hati. Hampir saja ia
mengatakan,
“Bahwa
seseorang yang jantan, adalah seseorang yang berani menengadahkan dadanya. Yang
berani bertempur seorang lawan seorang dalam keadaan yang seimbang. Bukan
melawan orang-orang sakit dan hampir mati. Yang dengan jujur membunuh musuhnya
berhadapan.”
“Itu hanya
sebagian saja,” Swandaru mengangguk-angguk sendiri oleh kata-katanya di dalam
hatinya itu. “Agaknya apa yang akan aku katakan memang kurang lengkap.”
Orang-orang
diserambi barak itu mematung sejenak. Kata-kata Agung Sedayu agaknya
benar-benar telah menusuk langsung ke pusat jantung.
“Nah,” berkata
Agung Sedayu kemudian,
“sekarang
cobalah lihat. Apakah yang sudah terjadi atas kalian dan apa yang sekarang
kalian hadapi. Kalau memang menurut pertimbangan kalian, orang-orang jantan
yang bersifat kesatria, orang-orang yang sudah tidak berdaya ini harus dibunuh
atau dicincang, demikian pula orang-orang yang kalian anggap melindungi mereka,
maka aku akan mempersilahkan. Cincanglah mereka yang selama ini telah
mengganggu kalian dan membuat kalian ketakutan seperti kelinci mendengar gonggong
anjing liar di hutan-hutan.”
Tidak ada
seorang pun yang menyahut. Kiai Gringsing dan Sumangkar yang berdiri di sebelah
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Agaknya muridnya yang tua ini
memiliki ketajaman sikap menghadapi ketegangan yang sudah memuncak, meskipun
agaknya Swandaru pun akan dapat mengatasinya dengan caranya sendiri. Tetapi
Kiai Gringsing semakin melihat perbedaan sifat dari keduanya. Keduanya
mempunyai kelebihan masing-masing tetapi juga kekurangan masing-masing. Karena
tidak seorang pun yang berkata sepatah kata pun, maka Agung Sedayu meneruskan,
“Sekarang,
bagaimana? Apakah kalian akan melangsungkan niat kalian.”
Tidak ada
seorang pun yang menjawab. Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya
dengan nada yang rendah,
“Baiklah.
Terserahlah kepada kalian. Kalau kalian masih ingin melakukannya, silahkan,
sekarang juga. Kalau tidak, aku silahkan kalian kembali ke tempat kalian
masing-masing. Sebentar lagi fajar akan datang. Kalau masalah ini tidak segera
kita selesaikan, maka kita akan menghadapi persoalan yang lain. Apalagi
matahari telah terbit, kita akan menunggu kedatangan para pengawas dari pusat
Tanah Mataram. Apabila utusan kita sampai ke tujuan, mereka pasti akan kembali
besok pagi.”
Sejenak Agung
Sedayu menunggu, karena tidak ada yang bergerak sekali lagi ia berkata, “Apa
pun yang akan terjadi, lakukanlah sekarang. Cepat.”
Tetapi tidak
seorang pun yang segera beranjak dari tempatnya. Apakah mereka akan
meninggalkan tempat itu dan kembali ke tempat masing-masing, atau mereka akan
melakukan niatnya, membalas sakit hati setelah sekian lama mereka merasa
dipermainkan. Karena itu sekali lagi Agung Sedayu berkata agak keras,
“He, kenapa
kalian hanya berdiam diri dengan mulut ternganga. Berbuatlah sesuatu supaya
kami dapat mengambil sikap. Apa yang akan kalian lakukan, lakukanlah. Sesegera,
sebelum kami membuat keputusan baru. Bergeraklah. Membalas dendam atau kembali
ke tempat masing-masing.”
Ketika Agung
Sedayu melihat beberapa orang yang kemudian bergerak, ia pun menjadi
berdebar-debar. Ia tidak tahu pasti, apakah yang akan mereka lakukan. Tetapi
ketika orang-orang itu mulai berdiri dengan kepala tunduk, Agung Sedayu menarik
nafas dalam-dalam. Agaknya orang-orang itu menyadari diri mereka, dan
perlahan-lahan mereka berjalan ke tempat masing-masing. Kiai Gringsing,
Sumangkar, dan Swandaru pun kemudian mengangguk-anggukkan kepala mereka pula.
Sejenak mereka saling berpandangan. Swandaru yang masih memegang tongkat
berkerincing itu kemudian mengangguk-angguk sambil memandangi orang-orang
bergeser dari tempat masing-masing perlahan-lahan. Kemudian sambil menarik
nafas dalam-dalam ia berdesis,
“Benda-benda
macam inilah yang telah membuat kalian selama ini kehilangan kepribadian,
kehilangan kesempatan dan bahkan seakan-akan telah kehilangan harapan.
Sebenarnya benda ini adalah benda yang sederhana sekali. Tongkat yang
digantungi dengan kerincing-kerincing. Sebuah tengkorak dan kerudung hitam.
Mungkin juga seekor atau dua ekor kuda. Selebihnya, yang paling menakutkan
adalah hati kalian sendiri. Kalian sendirilah yang membuat benda-benda
sederhana ini menjadi hantu-hantu Alas Mentaok.”
Tidak ada yang
menyahut. Tetapi kata-kata yang dilontarkan sambil tersenyum-senyum itu
ternyata mampu juga menyentuh perasaan orang-orang di dalam barak itu.
Sebenarnyalah bahwa yang paling menakutkan bagi mereka adalah hati mereka
sendiri. Bayangan-bayangan yang mengerikan yang mereka buat sendiri. Sejenak
kemudian, orang-orang di serambi itu telah duduk di tempat masing-masing.
Orang-orang yang berdesakan di pintu pun telah duduk pula di dalam sambil
menekurkan kepala mereka.
Pengawas yang
masih bersandar pintu itu pun menarik nafas dalam-dalam. Dengan susah payah ia
berjalan berpegangan dinding, mendekati Agung Sedayu. Kemudian ditepuknya
bahunya sambil berkata,
“Kau berhasil,
Anak Muda. Aku sudah kehabisan akal. Aku cemas, apabila orang-orang yang bodoh
ini berkeras kepala, dan kalian bertahan untuk mempertanggung-jawabkan
perbuatan kalian kepada para pengawas apabila mereka datang. Aku sudah membayangkan,
apabila terjadi benturan yang tidak dapat dihindarkan, korban pasti akan
bertambah. Ujung cambuk kalian yang seperti mempunyai mata itu, benar-benar
sangat berbahaya.”
Agung Sedayu
tersenyum sambil menyahut,
“Terima kasih.
Pujian itu terlampau berlebih-lebihan.”
“Aku berkata
sebenarnya.”
Agung Sedayu
tidak menyahut lagi. Ia memandang orang yang terakhir duduk di tempatnya.
Kemudian menundukkan kepalanya.
“Mereka telah
kembali ke tempat masing-masing,” berkata pemimpin pengawas itu.
Agung Sedayu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya kemudian kepada orang itu,
“Terima kasih.
Kalian ternyata telah membantu kami, memelihara ketenangan di dalam barak ini.
Sekarang, biarlah orang-orang yang terluka ini dapat beristirahat dengan
tenang, tugas kami di sini tinggal mengawasi. Kami minta bantuan kalian, agar
kalian ikut serta menjaga orang-orang ini, agar tidak seorang pun yang dapat
lolos. Kita besok akan menyerahkan mereka kepada para pengawas yang akan datang
dari pusat pemerintahan Mataram.”
Orang-orang itu
masih menundukkan kepala mereka.
“Nah, baiklah.
Kita anggap semua persoalan kini sudah selesai. Persoalan berikutnya adalah
persoalan para petugas dari Mataram dan pemimpin pengawas di sini.”
Orang-orang
itu masih menundukkan kepalanya,
“Sekarang,
apabila masih sempat, silahkan beristirahat. Kalian dapat tidur nyenyak
menghabiskan malam yang tinggal sedikit. Kami pun akan tidur pula. Besok kami
akan minta bantuan kalian, mengubur mayat yang kini masih ada di belakang barak
ini.”
“Mayat?”
orang-orang itu bertanya di dalam hatinya.
Meskipun
pertanyaan itu tidak diucapkan, Agung Sedayu menangkap sorot mata mereka,
katanya,
“Ya, dua sosok
mayat. Di antara hantu-hantu itu ada yang terbunuh. Dan dengan demikian akan
semakin jelas bagi kalian, bahwa sebenarnya mereka adalah manusia yang terdiri
dari daging dan tulang seperti kita. Sama sekali bukan hantu dari Alas Mentaok
seperti yang kalian percaya saat ini. Kalau aku berkerudung sambil membawa
tengkorak yang dilekati dengan kunang-kunang itu, kalian pasti tidak akan
ketakutan, karena seperti yang dikatakan oleh adikku itu, ketakutan itu datang
dari diri kita sendiri. Sekarang, kalian pun sudah tahu dengan pasti, sehingga
kalian tidak akan takut lagi mendengar suara gemerincing, suara derap kaki
kuda, dari melihat di dalam gelapnya malam, sesosok hantu hitam berkepala
tengkorak. Karena mereka adalah orang-orang yang kini terbaring di hadapan
kalian karena luka-luka mereka.”
Orang-orang di
dalam barak itu merasa diri mereka semakin kecil. Namun seolah-olah mereka telah
mengucapkan janji, bahwa mereka tidak akan terperosok untuk kedua kalinya ke
dalam keadaan yang memalukan itu. Mereka tidak akan mau lagi menjadi permainan
siapa pun juga. Mereka datang untuk membuka hutan. Dan kini harapan itu
seakan-akan telah terbit kembali.
“Sudahlah,
tidurlah,” berkata Agung Sedayu kemudian.
Bersama dengan
Swandaru, Kiai Gringsing, Sumangkar, dan pemimpin pengawas itu, mereka menepi
dan duduk bersandar dinding. Tetapi ternyata mereka tidak mendapat kesempatan
cukup untuk beristirahat. Langit di sebelah Timur pun mulai menjadi
kemerah-merahan.
“Hampir pagi,”
desis Swandaru.
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Tidurlah
kalau kau lelah. Masih ada waktu sedikit sebelum matahari terbit.”
“Apakah Guru
tidak beristirahat?”
“Tidurlah kau
berdua. Aku dan pamanmu Sumangkar akan duduk di sini. Waktu yang sedikit ini
menyimpan bermacam-macam kemungkinan bagi barak ini.” Kiai Gringsing berhenti
sejenak. Dipandanginya wajah pemimpin pengawas yang berkerut-merut. Kemudian wajah
Agung Sedayu dan Sumangkar. Lalu perlahan-lahan ia meneruskan,
“Pagi ini akan
dapat menjadi pagi yang cerah dan tenang. Tetapi saat-saat ini adalah saat-saat
yang mendebarkan. Kalau Kiai Damar menyadari bahwa kehadiran para pengawas dari
Mataram menjadi semakin dekat, maka ada kemungkinan mereka mempergunakan waktu
yang pendek ini sebaik-baiknya.”
Swandaru dan
Agung Sedayu mengerutkan keningnya, sedang pemimpin pengawas itu beringsut
mendekat, “Benarkah begitu?”
“Ini hanya
suatu kemungkinan. Tetapi kemungkinan yang lain adalah, bahwa mereka belum siap
melakukan hal itu dan menundanya sampai waktu yang tidak dapat kita
perhitungkan. Jika demikian kita akan dapat beristirahat untuk beberapa hari.
Mereka pasti memerlukan waktu untuk mengetahui kekuatan para pengawas di daerah
ini.”
Pemimpin
pengawas itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Aku mengharap
bahwa setelah sembuh aku akan tetap diperkenankan tinggal di daerah ini,
meskipun karena selama ini aku sudah gagal, aku tidak lagi menjadi tetua para pengawas.
Aku puas apabila aku dapat melihat akhir dari permainan yang gila itu.”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Mudah-mudahan.
Mudah-mudahan kau akan tetap berada di sini. Kau adalah salah seorang yang
telah mengenal daerah ini sebaik-baiknya. Mengenal perkembangan keadaan dan
masa-masa yang paling pahit di daerah ini.”
“Tetapi aku
gagal mengatasi kesulitan. Usaha perluasan tanah garapan di sini menjadi sangat
mundur. Bahkan aku pun telah terseret ke dalam suatu keadaan yang memalukan
sekali. Aku sama sekali tidak berdaya melawan hantu-hantu itu, meskipun
ternyata mereka sama sekali tidak berbeda dengan kita yang berkulit dan
daging.”
“Meskipun kau
tahu akan hal itu, tetapi memang sulit untuk melawan mereka. Ternyata jumlah
mereka cukup banyak. Hari ini lebih dari sepuluh orang telah datang. Aku kira,
di tempat persembunyian mereka, masih ada orang-orang yang lebih banyak lagi.”
“Kita dapat
bertanya kepada orang-orang yang terluka itu.”
“Ya. Kita akan
mendapatkan beberapa keterangan dari mereka meskipun tidak banyak. Besok kalau
luka-luka mereka telah tidak membahayakan jiwanya, kita akan dapat
mendengarnya.”
Pemimpin
pengawas itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi Agung Sedayu berbisik,
“Guru, apakah
tidak mungkin mereka akan berbuat seperti orang yang kita simpan di dapur itu?”
Kiai Gringsing
mengerutkan keningnya, lalu,
“Mungkin.
Memang mungkin sekali.”
“Apakah yang
dilakukan?” bertanya Sumangkar.
“Mereka
membunuh kawan mereka sendiri sebelum melarikan diri. Maksudnya sudah jelas,
agar kawannya tidak dapat memberikan penjelasan.”
Sumangkar
mengangguk-anggukkan kepalanya, dan Kiai Gringsing pun berkata,
“Karena itu,
kita akan mengawasi mereka sebaik-baiknya. Apabila besok para pengawal itu
benar-benar datang, kita akan mendapat banyak kawan untuk melakukannya.”
Agung Sedayu meng-angguk-anggukkan
kepalanya.
“Ya
mudah-mudahan mereka benar-benar datang besok.”
“Bagaimana
kalau tidak?” desis Swandaru,
“Kau yang akan
menjaga mereka sepanjang hari.”
“Kau?”
“Aku akan
tidur.”
Swandaru mengerutkan
keningnya. Namun kemudian di sandarkannya tubuhnya pada dinding barak sambil
memejamkan matanya,
“Aku yang akan
tidur lebih dahulu.”
Agung Sedayu
memandanginya sejenak. Namun kemudian sambil menarik nafas dalam-dalam ia
berdesah,
“Matahari
sudah akan terbit.”
Dalam pada
itu, perlahan-lahan langit menjadi semakin merah. Ternyata sampai saatnya pagi
mulai memancar, tidak terjadi sesuatu, meskipun itu bukan berarti bahwa bahaya
telah dapat diabaikan. Kemungkinan orang-orang itu datang di siang hari pun
ada, apalagi setelah mereka tidak berhasil menakut-nakuti dengan kedok
hantu-hantu Alas Mentaok. Mereka tidak dapat memilih jalan lain daripada
menyatakan diri mereka sewajarnya. Meskipun demikian, suasana pagi yang cerah
telah membuat ketegangan-ketegangan di dalam barak itu menjadi agak mereda.
Beberapa orang telah berani keluar dari dalam barak, mengambil air di sumur.
Apalagi karena Kiai Gringsing berkata kepada mereka,
“Sekarang
kalian tahu, kalau kalian menjumpai apa pun, itu adalah manusia-manusia biasa
seperti kita. Tinggal tergantung kepada kita sendiri. Apakah kita seorang
penakut atau bukan.”
Demikianlah
perlahan-lahan barak itu seakan-akan terbangun dari tidurnya. Agung Sedayu dan
Swandaru pun segera pergi ke barak yang lain untuk menenangkan ketegangan yang
ada di dalam barak itu. Meskipun tidak pasti bagi mereka, apakah yang terjadi,
tetapi hati mereka telah dicengkam olen kecemasan sepanjang malam. Sumangkar
dan Kiai Gringsing bergantian pergi mengambil air untuk membersihkan diri.
Mereka masih harus mengawasi orang yang meskipun terluka, tetapi ada di antara
mereka yang sudah dapat bangkit berdiri dan berjalan meskipun lemah. Ketika
hari menjadi semakin terang, orang-orang di dalam barak itu dengan diam-diam,
memerlukan memperhatikan orang-orang yang terluka yang selama itu mereka sangka
hantu-hantu. Ternyata mereka adalah orang-orang biasa. Orang-orang yang
mempunyai wadag seperti mereka sendiri. Tangan, kaki, kepala, dan
anggauta-anggauta badan yang lain. Kadang-kadang terasa juga hati mereka
melonjak. Darah mereka merasa panas apabila mereka mengenangkan, apa saja yang
pernah mereka alami di dalam barak itu. Tetapi mereka tidak berani melanggar
pesan Agung Sedayu, dan agaknya mereka pun masih juga mempunyai harga diri,
untuk tidak bertindak kasar terhadap orang-orang yang sudah tidak berdaya.
Ketika
matahari sudah menjadi semakin tinggi. Kiai Gringsing telah memanggil Agung
Sedayu dan Swandaru,
“Kedua mayat
yang masih ada di belakang barak itu harus dikuburkan.”
“Adi Sumangkar,”
berkata Kiai Gringsing,
“tunggulah di
sini. Orang-orang itu masih memerlukan pengawasan. Aku akan mengubur kedua
orang di belakang barak itu.”
Ki Sumangkar
mengangguk sambil menjawab,
“Silahkan.
Mudah-mudahan aku tidak tertidur.”
Mereka pun
kemudian mengajak beberapa orang untuk pergi ke belakang barak. Orang-orang
yang ikut dengan Kiai Gringsing itu menjadi berdebar-debar. Meskipun mereka
tidak melihat, tetapi berdasarkan pendengaran mereka semalam dan bekas-bekas
yang mereka jumpai kini, terasa dada mereka tergetar. Alangkah dahsyatnya
perkelahian itu. Pohon-pohon perdu bertebaran seperti ditebas. Tanahnya
bagaikan dibajak. Bahkan rerumputan pun telah terungkat beserta akar-akarnya.
“Mengerikan
sekali,” seorang berdesis perlahan-lahan.
“Apa?”
bertanya yang lain.
“Kau tidak
melihat bekas perkelahian ini?”
Kawannya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Terasa juga bulu-bulu tengkuknya meremang. Sejenak
kemudian mereka pun telah menemukan dua sosok mayat yang terbaring tidak
berjauhan.
“Inilah
mereka,” berkata Swandaru. Namun ia pun kemudian mengerutkan keningnya. Tubuh
mayat itu menjadi kebiru-biruan. Wajahnya tegang, seolah-olah sedang menahan
kesakitan yang amat sangat. Kedua belah matanya terbuka dan jari-jarinya
seolah-olah sedang mencengkeram.
“Mengerikan
sekali,” desis Swandaru.
“Tampaknya
mereka telah dicengkam oleh perasaan sakit yang tidak terhingga.”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya kemudian,
“Sebenarnya,
meskipun perasaan sakit itu juga menjadi sebab ketakutannya menghadapi maut,
namun yang lebih parah dari itu adalah ketidak-ikhlasannya menjelang tangan
maut mencengkam mereka. Mereka menyesal, kecewa, dan segala macam perasaan
sakit, karena sebelum mereka menghembuskan nafasnya yang penghabisan, mereka
menyadari, bahwa ternyata kawan mereka sendirilah yang telah membunuh mereka
dengan semena-mena. Itulah yang membuat mereka dihantui oleh sentuhan maut
itu.”
Swandaru dan
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Mereka adalah anak-anak muda yang
pernah menyaksikan kematian-kematian di peperangan. Tetapi kali ini mereka
masih juga merasa ngeri. Terbayang dimata mereka, penderitaan yang tidak
terhingga menyertai kematian mereka.
“Racun itu
bekerja dengan sempurna,” desis Kiai Gringsing.
Kedua muridnya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Orang-orang yang menyaksikan pun menjadi ngeri
pula. Penderitaan itu terlampau berat.
Demikianlah
mereka kemudian menyelenggarakan penguburan mayat itu secukupnya. Bagaimana pun
juga mereka harus memperlakukan mereka sebagai sesamanya. Ketika semuanya sudah
selesai, maka orang-orang itu pun kembali ke barak mereka. Mereka duduk-duduk
di tangga serambi. Yang mereka bicarakan adalah orang-orang yang kini masih
berada di serambi itu. Sebagian masih terbaring diam, sedang yang lain duduk
bersandar dinding sambil menundukkan kepala mereka. Mereka merasa seakan-akan
setiap mata memandang mereka dengan tajamnya. Ejekan dan umpatan membayang di
wajah-wajah orang yang berada di sekitarnya. Kiai Gringsing, Agung Sedayu, dan
Swandaru pun kemudian duduk pula diserambi itu bersama Ki Sumangkar dan
pemimpin pengawas yang masih belum sembuh benar dari lukanya itu. Sementara itu
sepasukan kecil pengawal berkuda sedang berpacu melewati jalan-jalan kecil
menuju ke hutan yang sedang dibuka dan yang selalu diganggu oleh hantu-hantu.
Sebenarnya hampir di semua daerah, tetapi yang didiami oleh Ki Truna Pedang
itulah yang seakan-akan merupakan letusan yang paling keras, sehingga perhatian
Mataram langsung tertuju ke daerah itu. Di daerah lain, hantu-hantu masih tetap
berkuasa karena tidak ada orang yang berusaha untuk meyakinkan, bahwa mereka
sebenarnya bukan hantu. Ki Gede Pemanahan dan puteranya, Sutawijaya, agaknya
terlampau sibuk, sehingga mereka tidak sempat secara terus-menerus mengawasi
suatu daerah tertentu. Tetapi kini mereka terpaksa mengkhususkan persoalan yang
mereka hadapi karena ada perkembangan yang khusus pula. Sekelompok pengawal
berkuda itu langsung dipimpin oleh Raden Sutawijaya sendiri. Di tangannya
digenggamnya tombak pusakanya, sedang di lambungnya terselip keris Kiai Naga
Kumala.
Sambil
memandang lurus ke depan, Raden Sutawijaya berkuda di belakang pengawas yang
datang memberitahukan apa yang sudah terjadi, sedang di belakangnya Wanakerti
yang sebenarnya masih belum sehat benar, tidak mau tinggal di Mataram.
Bagaimana pun juga ia menyatakan ke-inginannya untuk ikut serta kembali ke
tempat tugasnya.
“Aku ingin
melihat akhir ceritera yang mendebarkan itu?” katanya di dalam hati.
Berdasarkan
pengalaman para pengawas yang pergi ke Mataram untuk menyampaikan laporan itu,
maka mereka harus berhati-hati. Meskipun kelompok itu agak lebih besar dari
hanya tiga orang, namun kemungkinan yang tidak terduga-duga dapat saja terjadi.
Raden
Sutawijaya yang diiringi oleh sepuluh, orang pengawas itu telah mulai menyusup
hutan-hutan rindang. Kuda mereka kini tidak dapat berlari terlampau cepat.
Jalan yang sempit itu kadang-kadang tertutup oleh sampah dan ranting-ranting
pepohonan yang patah. Sulur-sulur kayu yang bergayutan pada dahan-dahan
pepohonan telah mengganggu perjalanan itu pula. Tetapi lebih daripada itu,
setiap saat mereka dapat saja dengan tiba-tiba diserang oleh orang-orang yang
tidak dikenal dan jumlahnya sama sekali tidak dapat mereka bayangkan. Mereka
sama sekali tidak mempunyai gambaran tentang gerombolan orang-orang yang bersembunyi
di dalam hutan yang lebat itu. Kadang-kadang dada mereka menjadi
berdebar-debar. Meskipun mereka menyandang pusaka rangkap, tetapi seandainya
tiba-tiba mereka dihadapkan pada sekelompok orang-orang yang ganas itu sebanyak
lima puluh orang, apakah mereka akan dapat melawan. Tetapi hati mereka menjadi
teguh apabila mereka melihat Raden Sutawijaya yang berkuda di depan mereka,
selalu menengadahkan wajahnya memandang lurus ke depan. Dalam pada itu, selagi
pasukan itu beriringan di dalam hutan yang tidak begitu lebat, beberapa pasang
mata mengikutinya dengan saksama. Seorang yang bertubuh tinggi kekar dan
berjambang lebat mengatupkan giginya rapat-rapat. Perlahan-lahan ia berdesis
kepada orang yang berdiri di sampingnya. Dan orang itu adalah Kiai Damar,
“Sayang, kita
tidak membawa orang cukup untuk menghancurkan mereka.”
“Hati-hatilah,”
berkata Kiai Damar,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar