Jilid 058 Halaman 2


Tidak ada seorang pun yang menyahut. Tetapi tatapan mata mereka yang suram, membayangkan kecemasan yang tiada taranya. Akhirnya, semuanya telah terbaring di serambi barak. Kiai Gringsing pun telah berada di serambi itu pula. Satu demi satu luka mereka mendapat pengobatan. Terutama mereka yang luka parah. Orang-orang di serambi barak yang melihat orang-orang itu terbaring diam, perlahan-lahan menjadi agak berani juga mendekat. Bahkan salah seorang dari mereka yang berjongkok di belakang Agung Sedayu bertanya lirih,
“Siapakah mereka itu?”
Sebelum Agung Sedayu menjawab, Swandaru telah mendahului menyahut,
“Coba katakan, siapakah mereka menurut dugaanmu.”
Orang itu tidak segera menyahut. Dipandanginya Swandaru yang berwajah bulat itu meskipun kini agak susut.
“Tebaklah.”
Orang itu ragu-ragu. Namun kemudian ia menjawab,
“Orang itu adalah korban dari hantu-hantu yang marah itu.”
“He, bukankah ia marah kepada kita di sini?”
“Tetapi orang-orang itu dibawanya dari barak-barak yang lain di tempat yang lain.”
“Coba terka, ke mana mereka, maksudku hantu-hantu itu sekarang pargi.”
Orang itu tidak dapat menjawab. Sementara orang-orang lain yang mendengar pembicaraan itu semuanya memandang Swandaru dengan wajah yang bertanya-tanya.
“Ke mana? Coba terka ke mana perginya hantu-hantu itu?”
Tidak ada seorang pun yang menjawab.
Akhirnya Swandaru itu berkata,
“Inilah hantu-hantu itu. Merekalah yang menyebut dirinya hantu-hantu. Mereka pulalah yang sering menakut-nakuti kalian dengan tengkorak yang dilekati kunang-kunang atau kuda yang diberi kerincing dikakinya dan dilekati kunang-kunang pula di bagian-bagian tubuhnya.”
Sejenak orang-orang di serambi barak itu terpaku diam. Namun kemudian salah seorang berkata,
“Tetapi, ada di antara kita yang pernah melihat hantu-hantu itu.”

Swandaru mengerutkan keningnya sejenak. Tiba-tiba ia berlari menghambur ke belakang barak itu. Sejenak kemudian ia kembali sambil membawa sebatang tongkat, dan di ujung tongkat itu ditaruhnya tengkorak yang ditemukannya di belakang barak itu.
“Inilah hantu itu. Apakah kalian percaya?” bertanya Swandaru kepada mereka.
“Lihatlah, betapa menakutkan hantu-hantu ini. Kemudian mereka berkerudung hitam. Lihat, kain yang tersangkut di leher Ki Sumangkar itu. Itulah kerudung hantu-hantu itu. Kami telah terlibat dalam perkelahian melawan hantu-hantu kecil dari Alas Mentaok. Ternyata hantu-hantu tidak lebih dari orang gila yang mencoba menakut-nakuti kita. Sekarang kalian melihat, apakah hantu-hantu itu benar-benar menakutkan? Hantu-hantu itu sekarang sudah tidak berdaya sama sekali.”
Beberapa orang saling berpandangan sejenak.
“Cobalah. Sentuhlah kakinya atau tangannya. Kalian akan merasa bahwa kalian sama sekali tidak bersentuhan dengan hantu-hantu. Tetapi kalian akan merasakan kehangatan kulitnya dan denyut nadinya. Hantu-hantu tidak berdarah, dan karena itu tubuhnya sama sekali tidak mempunyai panas sama sekali.”
Beberapa orang masih tetap ragu-ragu. Tetapi seorang yang masih muda merayap maju. Meskipun ragu-ragu juga tetapi tangannya kemudian dijulurkannya perlahan-lahan. Tetapi ketika orang yang terbaring dihadapannya itu menggeliat, ia meloncat mundur.
“Jangan takut.”
Orang-orang yang terbaring karena luka-lukanya itu pun menjadi berdebar-debar pula. Mereka merasa bahwa berpuluh-puluh pasang mata memandangi mereka dengan tajamnya, penuh kebencian dan penuh dendam. Apabila mereka sadar, bahwa yang dihadapinya itu adalah orang-orang yang sudah tidak berdaya, maka sikap mereka akan dapat membahayakan.
“Sentuhlah,” desis Swandaru.
Sekali lagi orang itu mengulurkan tangannya. Kali ini ia memaksa dirinya sehingga akhirnya ia menyentuh tangan orang yang sedang terbaring karena lukanya.
“Nah, apa katamu.”
Orang itu ragu-ragu sejenak. Kemudian sekali lagi ia menyentuhnya. Bahkan kemudian tiba-tiba ia mencengkam tangan itu. Dengan serta-merta tangan itu ditariknya sambil menggeram,
“Jadi kau yang menjadi hantu jadi-jadian itu, he.”

Hampir saja orang itu meremas wajah orang yang sedang terluka itu. Namun Swandaru yang berdiri di sampingnya dengan cepatnya menangkap tangannya sambil berkata,
“Hantu-hantu itu sudah menjadi jinak. Jangan kau apa-apakan dia. Biarlah ia menikmati luka-lukanya. Kalau luka-luka itu sudah sembuh, maka kita akan memeliharanya. Mungkin kita memerlukannya.”
Orang yang hampir saja mencengkam wajah orang yang terluka itu terpaksa melepaskannya. Tetapi tiba-tiba ia berkata,
“He, orang-orang yang tinggal di barak ini, yang selama ini telah dibayangi oleh ketakutan terhadap hantu-hantu. Sekarang kita sudah berhadapan dengan mereka, sehingga karena itu, apakah yang akan kita lakukan terhadap mereka.”
“Itu pasti akan mereka akui. Baiklah mereka akan kita serahkan saja kepada para petugas yang besok akan datang.”
“Tidak. Mereka tidak akan kita serahkan kepada orang lain. Mereka akan kami adili di sini. Kamilah yang akan menjatuhkan hukuman kepada mereka.”
Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Ia melihat beberapa orang telah bergerak mendekat. Bahkan orang-orang yang berada di dalam barak pun telah berdesakan di muka pintu.
“Ya, serahkan kepada kami. Serahkan kepada kami.”
Sejenak kemudian suasana menjadi semakin tegang. Agung Sedayu berdiri termangu-mangu. Kiai Gringsing dan Sumangkar pun telah bergeser mendekatinya pula. Bahkan Kiai Gringsing berbisik di telinga muridnya,
“Pertahankan. Pertahankan orang-orang itu.”
Agung Sedayu menjadi semakin mantap. Namun sebelum ia berkata lagi, terdengar suara diambang pintu,
“Kalian tidak akan dapat berbuat apa-apa atas mereka. Akulah pemimpin pengawas di sini. Mereka akan diserahkan kepadaku dan aku akan menyerahkan mereka kepada atasanku.”

Kini semua orang memandang kepada pemimpin pengawas yang memaksa dirinya untuk berdiri bersandar tiang pintu. Sejenak orang-orang itu terdiam. Mereka memandang pengawas itu sejenak. Namun orang yang marah itu agaknya sulit mengendalikan diri. Salah seorang dari mereka berteriak,
“Kami tidak akan menyerahkan kepada siapa pun juga. Kami akan mengadilinya sendiri.”
“Itu tidak mungkin. Orang-orang itu akan dibawa ke Mataram. Kita semuanya sangat memerlukan mereka. Keterangan mereka akan dapat membantu kita seterusnya.”
“Aku tidak peduli.”
“Ya, kami tidak peduli,” sahut yang lain. Dan yang lain berteriak,
“Bunuh saja. Mereka membuat kita malu dan muak.”
Agung Sedayu menjadi semakin berdebar-debar. Dan tiba-tiba saja di dalam ketegangan itu, ia tidak melihat Swandaru.
“Kemanakah anak ini pergi?” ia bertanya kepada diri sendiri. Tetapi agaknya Kiai Gringsing dan Sumangkar pun bertanya-tanya pula di dalam hati.
“Tidak apa,” terdengar suara Agung Sedayu,
“kalian tidak akan berbuat apa-apa.”
“Tetapi mereka telah menakut-nakuti kami untuk waktu yang cukup lama sehingga kami telah kehilangan banyak sekali kawan dan kehilangan banyak waktu.”
“Tetapi kalian tidak akan berbuat apa-apa.”
Orang itu termangu-mangu sejenak. Dipandanginya wajah Agung Sedayu dan orang yang terbaring itu berganti-ganti.

Namun dalam pada itu terkilas dikepalanya, ketakutan yang selama ini telah merusak semua usaha orang-orang di dalam barak ini. Beberapa orang telah meninggalkan tempat mencari tempat baru karena mereka tidak dapat lagi kembali ke tempat mereka yang lama. Kemudian beberapa orang yang lain tidak lagi berani keluar dari baraknya sehingga lebih baik bekerja saja di dapur. Dan banyak lagi persoalan yang telah mengungkat kemarahannya. Orang itu menjadi malu kalau dikenangnya, bagaimana ia bersembunyi di balik selimut apabila terdengar suara gemerincing dan derap kaki-kaki kuda. Karena itu, dengan wajah yang kemudian menjadi merah padam ia berkata,
“Orang-orang ini telah membuat kami di sini mengalami banyak sekali gangguan. Karena itu, serahkanlah mereka kepada kami. Kami akan mengadili mereka dengan cara kami.”
Permintaan itu telah mengguncangkan jantung orang-orang yang sedang terbaring diam karena luka-luka mereka. Tetapi yang lukanya tidak begitu parah perlahan-lahan mencoba mengumpulkan kekuatan yang masih ada. Tentu tidak menyenangkan sekali jatuh di tangan orang-orang yang sedang marah karena ledakan perasaan yang sudah lama ditekan. Beberapa orang merasa, lebih baik lari atau melawan dan kemudian mati di dalam perlawanan itu apabila tidak berhasil lolos sama sekali, daripada menjadi permainan.
Tetapi Agung Sedayulah yang menjawab,
“Sebaiknya kalian tidak berbuat apa-apa. Mereka sudah tidak berdaya. Mereka sudah tidak akan dapat menakut-nakuti kalian lagi.”
“Tetapi mereka pernah melakukannya. Mereka pernah membuat hati kita kecut sehingga kami kehilangan gairah untuk berbuat sesuatu.”
Namun mereka tidak sempat mencari anak yang gemuk itu. Mereka kini benar-benar dicengkam oleh kecemasan, bahwa orang-orang di barak itu tidak dapat dikendalikan lagi.
“Kalian jangan melindungi mereka,” tiba-tiba salah seorang dari mereka berteriak. Seorang yang bertubuh besar meskipun agak pendek berdiri di sudut serambi.
“Akulah yang akan membunuhnya. Aku telah banyak sekali dikecewakan oleh orang-orang gila itu. Aku sudah meninggalkan gubug yang sudah aku bangun itu untuk beberapa saat dan tidur berjejal-jejal di sini.”
“Kenapa kau berbuat begitu?” bertanya Kiai Gringsing tiba-tiba.
“Orang-orang itulah yang telah menakut-nakuti kami.”
“Salahmu sendiri bahwa kau menjadi takut.”
“Kalau aku tidak takut, mereka akan membunuh aku.”
“Dan kau, kau, kau dan yang lain lagi, sama sekali tidak berani melawan, kalian hanya berani bersembunyi. Bahkan menyalahkan kami yang dengan susah payah berusaha membongkar kejahatan ini. Sekarang, kalian akan memaksa kami menyerahkan mereka kepada kalian,” jawab Agung Sedayu,
“tentu kami tidak mau. Misalnya orang berburu, kamilah yang mendapat binatang buruan. Terserah kepada kami, apa yang akan kami lakukan.”
“Tepat,” sahut pemimpin pengawas.

Keadaan menjadi hening sejenak, meskipun wajah-wajah menjadi semakin tegang. Namun sejenak kemudian meledaklah perasaan yang selama ini tertekan,
“Kami tidak peduli. Kami memerlukan mereka. Kami akan mencincang mereka di halaman. Siapa yang melindungi, akan kami sertakan pula. Akan kami cincang pula di antara mereka di halaman.”
“Ya, ambil saja dengan paksa.”
“Bunuh saja.”
Agung Sedayu menjadi bingung. Orang-orang itu bagaikan orang yang kehilangan kesadaran. Kalau satu dua orang di antara mereka kemudian berdiri dan maju selangkah, maka keadaan akan menjadi kacau. Mereka tidak ubahnya dengan orang-orang yang sakit ingatan, yang sama sekali tidak dapat mengekang dirinya sendiri. Dalam keadaan yang demikian, di dalam lingkungan orang banyak, seseorang akan dapat kehilangan dirinya sendiri. Seseorang akan dapat berbuat seperti yang dilakukan oleh orang-orang yang ada di sekitarnya tanpa memikirkan akibatnya. Kiai Gringsing dan Sumangkar pun menjadi berdebar-debar pula. Seperti Agung Sedayu, mereka tidak segera mengerti, apa yang sebaik-baiknya dikerjakan. Sedang pemimpin pengawas yang berdiri bersandar pintu pun menjadi bingung pula. Apalagi pemimpin pengawas itu menyadari, betapa pentingnya keterangan-keterangan yang dapat didengar dari hantu-hantu yang kini sudah tidak berdaya itu.
“He, kenapa kita menunggu?” bertanya orang yang bertubuh besar dan pendek.
“Ya, apa yang kita tunggu. Ambil saja mereka semuanya, Kita cincang bersama-sama.”
“Kalian tidak akan dapat mengambil mereka,” berkata Agung Sedayu sambil mengurai cambuknya.
“Aku sudah bertempur mati-matian melawan hantu-hantu Alas Mentaok ini. Sebagian dari mereka lari, dan sebagian dapat kami tangkap. Hantu-hantu itu sama sekali tidak dapat mengalahkan kami. Apalagi kalian. Ayo, siapakah di antara kalian yang jantan. Majulah lebih dahulu. Siapa yang akan mencincang mereka dan orang yang melindunginya sama sekali. Akulah yang melindungi mereka.”
Sejenak orang-orang itu terbungkam. Tetapi suasana yang panas itu menjadi semakin panas ketika seseorang berkata,
“Jumlah kita lipat sepuluh lebih dari jumlah mereka. Mereka tidak akan dapat menahan arus kemarahan kita.”
“Kita paksa anak itu.”
“Kami bersenjata,” geram Agung Sedayu.
Sekali lagi orang-orang itu terdiam. Namun kemudian seseorang berkata,
“Tidak peduli. Tangkap mereka.”

Ketika Agung Sedayu melihat sorot mata mereka yang marah, harapannya untuk dapat menahan arus kemarahan mereka menjadi pudar. Adalah tidak mungkin baginya bersama guru dan Sumangkar, untuk melayani orang-orang yang tidak bersenjata itu. Orang-orang bingung yang tidak tahu apa yang harus mereka lakukan. Kalau ia bersama gurunya dan Sumangkar berbuat sesuatu, maka akibatnya akan sangat parah bagi orang-orang itu. Tetapi kalau ia tidak berbuat sesuatu, maka hantu-hantu Alas Mentaok itu akan menjadi korban dan mereka akan kehilangan sumber keterangan meskipun sedikit. Sebelum Agung Sedayu berbuat sesuatu, maka ia sudah melihat satu dua orang mulai bergerak. Dan ia menjadi semakin berdebar-debar ketika beberapa orang telah berdiri serentak.
“Bagaimana, Guru,” desis Agung Sedayu.
Kiai Gringsing tidak juga segera menjawab. Seperti Sumangkar ia pun menjadi kebingungan. Apakah yang sebaiknya dilakukan. Kalau ia terpaksa mempergunakan kekerasan, maka akibatnya sama sekali tidak dikehendakinya. Selama ini ia berbuat sesuatu, yang dapat membahayakan jiwanya, justru untuk kepentingan orang-orang itu. Tetapi kini orang-orang itu justru marah kepadanya. Sebelum Kiai Gringsing menemukan cara yang sebaik-baiknya, maka meledaklah kemarahan orang-orang di dalam barak itu. Beberapa orang hampir berbareng berdiri sambil berteriak,
“Ambil, ambil saja.”
“Tidak,” tiba-tiba Agung Sedayu berteriak untuk mengatasi suara riuh mereka. Dan hampir berbareng dengan itu, orang-orang yang merasa dirinya masih mampu bangkit, tiba-tiba pula telah mencoba bangkit pula perlahan-lahan.
Ternyata beberapa orang yang bergerak-gerak, dan kemudian duduk di serambi sambil menyeringai itu berpengaruh. Apalagi ketika salah seorang dari mereka berdiri dengan terhuyung-huyung. Agung Sedayu melihat gelagat itu. Karena itu, maka ia berkata,
“Mereka tidak rela menyerahkan diri mereka kepada kalian. Ternyata salah seorang dari mereka telah bangkit berdiri. Sebentar lagi semuanya akan berdiri dan aku tidak tahu apa yang akan mereka lakukan.”
Serambi itu menjadi hening.

Agung Sedayu melihat sorot mata keragu-raguan di setiap wajah. Orang-orang dibarak itu sejenak memandang Agung Sedayu, sejenak kemudian gurunya dan Sumangkar, lalu sesosok tubuh yang kemudian berdiri meskipun pakaiannya telah bernoda darah. Tetapi selagi mereka ragu-ragu, salah seorang berkata lantang,
“Kenapa kita ragu-ragu, kenapa? Mereka sudah tidak berdaya. Orang-orang yang melindungi mereka itu pun juga tidak berdaya.”
“Ya, mereka sudah tidak berdaya.”
“Mereka sudah tidak akan dapat melawan. Cepat, cincang saja…”
Sekali lagi orang-orang di dalam barak itu mulai bergerak. Agung Sedayu yang kebingungan, tiba-tiba saja telah menggerakkan cambuknya, sehingga suara ledakan yang memekakkan telinga telah menyobek malam yang panas. Kejutan suara cambuk Agung Sedayu memang membuat mereka tertegun. Tetapi tidak membuat mereka surut. Mereka masih bergerak pula mendekati orang-orang yang masih sangat lemah itu. Agung Sedayu benar-benar telah kehabisan akal. Gurunya dan Sumangkar pun masih belum menemukan jalan sama sekali. Namun selagi suasana memanjat menjadi semakin panas, tiba-tiba setiap telinga tergerak ketika tiba-tiba mereka mendengar suara gemerincing. Semakin lama semakin dekat. Suara gemerincing seperti yang selalu mereka dengar selama ini. Suara hantu-hantu dari Alas Mentaok. Tiba-tiba terasa bulu kuduk orang-orang yang sedang marah itu meremang. Semakin keras suara itu, mereka pun menjadi semakin berkerut.
“Hantu-hantu yang lain telah datang lagi,” desis Agung Sedayu.
Serambi barak yang hampir saja direnggut oleh udara maut itu tiba-tiba menjadi hening. Namun terasa setiap dada menjadi tegang. Beberapa orang yang semula berdiri dengan garangnya, tiba-tiba melangkah surut dan perlahan-lahan berkerut berdesakan. Beberapa orang segera membaringkan dirinya dan berselimut kain sampai ke ujung kepalanya. Sedang beberapa orang yang lain membeku di tempatnya.
“Hantu-hantu itu datang lagi,” sekali lagi Agung Sedayu berdesis,
“kali ini pasti lebih banyak. Mereka pasti akan mengambil kawan-kawannya yang sudah kamanungsan, dan membuat mereka menjadi hantu kembali.”
Orang-orang yang mendengar kata-kata Agung Sedayu menjadi semakin kecut. Kini mereka telah kehilangan segala kemauan dan bahkan seolah-olah mereka telah kehilangan kesadaran. Wajah-wajah mereka menjadi pucat dan bibir mereka bergetar.
“Nah, siapakah yang masih akan mencincang hantu-hantu ini,” bertanya Agung Sedayu.
“Tetapi jelas bukan aku, bukan ayah dan bukan pamanku yang baru sore ini datang. Ayo, siapa?”
Tidak ada seorang pun yang berani menyahut.
“Tetapi hantu-hantu yang kamanungsan itu pasti dapat berceritera, siapakah yang akan mencincang mereka apabila kawan-kawannya yang lebih kuat akan datang, yang barangkali tidak akan terlawan lagi oleh kami.”

Setiap dada serasa hampir retak oleh ketakutan yang bergejolak. Apalagi ketika suara gemerincing itu menjadi semakin dekat. Dekat sekali di samping barak.
“He, kenapa kalian bersembunyi di balik selimut?” bertanya Agung Sedayu.
“Apakah kalian sudah kehilangan kegarangan kalian? Kalian akan mencincang siapa saja, termasuk mereka yang akan melindungi hantu-hantu yang sudah kamanungsan itu. Sekarang kawan-kawan mereka pasti akan melindungi dan membuat mereka kembali ke dalam dunia mereka. Dunia hantu. Kenapa kalian tidak menyingsingkan lengan baju kalian dan mencincang hantu-hantu yang lain itu.”
Sama sekali tidak ada jawaban. Tetapi serasa darah orang-orang di serambi itu sudah tidak mengalir lagi. Tiba-tiba mereka mendengar Agung Sedayu menahan suara tertawanya. Tetapi agaknya Swandaru tidak dapat, sehingga tiba-tiba meledaklah suara tertawanya berkepanjangan. Tetapi bagi orang-orang yang ketakutan itu, suara tertawa Swandaru terdengar sangat mengerikan. Seolah-olah berpuluh-puluh hantu telah tertawa bersama-sama melihat bakal korban mereka telah meringkuk di bawah kain panjang masing-masing.
“He, lihat. Lihatlah, siapa aku,” teriak Swandaru yang membawa sebatang tongkat yang digantungi beberapa kerincing. Setiap kali tongkat itu dihentakkan di atas tanah, maka terdengar suara gemerincing dari beberapa buah kerincing yang bergantungan pada tongkat itu.
Tetapi tidak seorang pun yang berani membuka kerudung kain panjang mereka yang menutupi kepala. Baik mereka yang sudah melingkar berbaring di lantai atau di mana saja mereka sempat, atau mereka yang masih tidak sempat berbaring dan duduk memeluk lututnya, membenamkan kepalanya di bawah tangannya sambil berselubung kain panjang.
“Lihat aku,” teriak Swandaru sambil mengguncang guncang tongkatnya. Bahkan kemudian tongkatnya telah dihentak-hentakkan di atas beberapa kepala yang tersembunyi.
“Buka selimutmu, lihat aku.”

Tetapi tidak ada seorang pun yang berani. Bahkan ketika ujung tongkat itu menyentuh seseorang, maka orang itu pun segera jatuh pingsan. Orang itu merasa, seolah-olah ujung jari mautlah yang telah merabanya. Swandaru akhirnya menjadi jengkel. Karena tidak ada seorang pun yang mau melihatnya, tiba-tiba tangannya terjulur dan menarik dengan paksa beberapa lembar selimut yang menyelimuti orang-orang yang ketakutan. Satu dua di antara mereka masih tetap menyembunyikan wajahnya. Tetapi yang lain kemudian jatuh terguling dan pingsan pula. Namun demikian ada juga satu dua orang yang dengan terpaksa sekali melihat tongkat yang diacu-acukan Swandaru. Sesaat ia tidak percaya kepada penglihatannya. Namun sambil menyembunyikan wajah mereka, beberapa orang itu berusaha melihat dari sela-sela lingkaran tangan mereka. Dan yang mereka lihat memang Swandaru mengguncang-guncang sebatang tongkat yang digayuti oleh beberapa buah kerincing. Dengan ragu-ragu satu dua orang mengangkat wajah mereka. Yang mereka lihat sama sekali tidak berubah. Anak Truna Podang yang gemuk itulah yang bermain-main dengan kerincing.
Tiba-tiba seseorang di antara mereka bertanya,
“Apakah kau anak Truna Podang?”
“Siapa, siapa aku. Coba tebak? Apakah kau sangka aku sesosok hantu yang membentuk diriku seperti anak Truna Podang?”
“Tetapi?” orang itu ragu-ragu.
“Akulah yang sejak tadi bermain dengan kerincing-kerincing ini. Apakah kalian tahu maksudku?”
Tidak ada yang menjawab. Meskipun demikian satu dua orang kini telah membuka kerudung mereka meskipun dengan ragu-ragu.
“Aku ingin melihat, apakah benar-benar kalian orang-orang jantan. Kalian berniat ingin mengadili orang-orang yang terluka itu. Tetapi apakah kalian benar-benar berhak?”
Sejenak suasana menjadi sepi. Beberapa orang yang telah berani membuka kerudung mereka saling berpandangan. Bahkan beberapa orang yang berbaring melingkar, telah bangkit dan duduk termangu-mangu. Mula-mula mereka sama sekali tidak tahu, bagaimana menanggapi keadaan itu. Mereka hanya memandang saja Swandaru yang berdiri sambil memegangi tongkat yang digantungi kerincing-kerincing itu.
Namun sejenak kemudian orang yang besar agak pendek itulah yang berteriak untuk pertama kali,
“He anak gila. Kau telah mempermainkan aku, mempermainkan kami.”
Swandaru mengerutkan keningnya. Sebelum ia menyahut orang yang lain telah berteriak pula,
“Ya. Kau mempermainkan kami.”
“Apa maksudmu mempermainkan kami?” bertanya yang lain.

Dan tiba-tiba orang yang pendek itu berkata,
“Kalian memang orang-orang gila. Sekarang sudah jelas bagi kami, bahwa kami selama ini telah dipermainkan orang. Bahkan selagi kami dicengkam oleh ketegangan kali ini pun ada juga orang yang mempermainkan kami. Sekarang kami akan menuntut balas. Kami akan memuaskan hati kami yang selama ini tertekan.”
Suasana di serambi barak itu menjadi semakin tegang. Namun tiba-tiba semua orang telah dikejutkan oleh suara tertawa Swandaru yang meledak. Sambil menunjuk kepada orang yang pendek itu ia berkata,
“He, kenapa kau dapat dipermainkan orang? Kenapa? Apalagi untuk waktu yang lama?”
Orang itu termangu-mangu sejenak. Sebelum ia menjawab, Swandaru telah mendahului,
“Karena kau penakut. Semua orang yang ada di barak ini penakut dan pengecut. Aku masih menghormati seorang penakut yang merasa dirinya penakut. Tetapi kau tidak. Kau adalah seorang penakut, tetapi juga pengecut. Di dalam keadaan yang gawat, kau sembunyi di bawah selimutmu rapat-rapat. Tetapi kalau kau menghadapi orang-orang sakit yang hampir mati, kau bertolak pinggang seperti seorang pahlawan. Ayo, di mana kejantananmu? Kejantanan bukan berarti berani membunuh orang-orang tidak berdaya. Atau bahkan yang dengan penuh dendam mencekik lawan-lawan yang memang sudah hampir mati.”
Dan Agung Sedayu pun menyambung,
“Bukan pula semata-mata karena kita berani bertempur dan berani mati. Tetapi kejantanan juga mengandung segi-segi perikemanusiaan dan pengakuan terhadap kenyataan. Seorang kesatria sebagai lambang kejantanan bukan semata-mata yang menyandang pedang di peperangan, yang membunuh musuh dengan ujung senjata dan membelah dada lawan tanpa berpaling. Tetapi sifat-sifat kesatria adalah ngabehi. Meliputi sifat-sifat baik yang menyeluruh. Kesatria jantan bukan saja berjiwa seluas lautan yang mampu menampung semua persoalan dan selapang langit yang menyerap semua masalah dengan kesabaran.”

Sejenak serambi itu menjadi sepi. Orang-orang yang mendengar kata-kata Agung Sedayu itu menundukkan kepalanya. Tetapi bukan saja orang-orang itu yang mendengarkannya dengan sentuhan-sentuhan di dalam hati. Bahkan Swandaru pun mengangguk-anggukkan kepalanya. Agaknya ada beberapa perbedaan dari kata-kata Agung Sedayu itu dengan kata-kata yang akan diucapkannya. Namun ia bahkan ikut mencoba memahami kata-kata Agung Sedayu itu. Tanpa sesadarnya Swandaru berpaling, memandang wajah gurunya. Tetapi gurunya tidak sedang memandanginya. Orang tua itu sedang mengangguk-anggukkan kepalanya, seakan-akan membenarkan kata-kata Agung Sedayu itu.
“Untunglah, aku belum mengatakannya,” desis Swandaru di dalam hati. Hampir saja ia mengatakan,
“Bahwa seseorang yang jantan, adalah seseorang yang berani menengadahkan dadanya. Yang berani bertempur seorang lawan seorang dalam keadaan yang seimbang. Bukan melawan orang-orang sakit dan hampir mati. Yang dengan jujur membunuh musuhnya berhadapan.”
“Itu hanya sebagian saja,” Swandaru mengangguk-angguk sendiri oleh kata-katanya di dalam hatinya itu. “Agaknya apa yang akan aku katakan memang kurang lengkap.”
Orang-orang diserambi barak itu mematung sejenak. Kata-kata Agung Sedayu agaknya benar-benar telah menusuk langsung ke pusat jantung.
“Nah,” berkata Agung Sedayu kemudian,
“sekarang cobalah lihat. Apakah yang sudah terjadi atas kalian dan apa yang sekarang kalian hadapi. Kalau memang menurut pertimbangan kalian, orang-orang jantan yang bersifat kesatria, orang-orang yang sudah tidak berdaya ini harus dibunuh atau dicincang, demikian pula orang-orang yang kalian anggap melindungi mereka, maka aku akan mempersilahkan. Cincanglah mereka yang selama ini telah mengganggu kalian dan membuat kalian ketakutan seperti kelinci mendengar gonggong anjing liar di hutan-hutan.”

Tidak ada seorang pun yang menyahut. Kiai Gringsing dan Sumangkar yang berdiri di sebelah Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Agaknya muridnya yang tua ini memiliki ketajaman sikap menghadapi ketegangan yang sudah memuncak, meskipun agaknya Swandaru pun akan dapat mengatasinya dengan caranya sendiri. Tetapi Kiai Gringsing semakin melihat perbedaan sifat dari keduanya. Keduanya mempunyai kelebihan masing-masing tetapi juga kekurangan masing-masing. Karena tidak seorang pun yang berkata sepatah kata pun, maka Agung Sedayu meneruskan,
“Sekarang, bagaimana? Apakah kalian akan melangsungkan niat kalian.”
Tidak ada seorang pun yang menjawab. Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya dengan nada yang rendah,
“Baiklah. Terserahlah kepada kalian. Kalau kalian masih ingin melakukannya, silahkan, sekarang juga. Kalau tidak, aku silahkan kalian kembali ke tempat kalian masing-masing. Sebentar lagi fajar akan datang. Kalau masalah ini tidak segera kita selesaikan, maka kita akan menghadapi persoalan yang lain. Apalagi matahari telah terbit, kita akan menunggu kedatangan para pengawas dari pusat Tanah Mataram. Apabila utusan kita sampai ke tujuan, mereka pasti akan kembali besok pagi.”

Sejenak Agung Sedayu menunggu, karena tidak ada yang bergerak sekali lagi ia berkata, “Apa pun yang akan terjadi, lakukanlah sekarang. Cepat.”
Tetapi tidak seorang pun yang segera beranjak dari tempatnya. Apakah mereka akan meninggalkan tempat itu dan kembali ke tempat masing-masing, atau mereka akan melakukan niatnya, membalas sakit hati setelah sekian lama mereka merasa dipermainkan. Karena itu sekali lagi Agung Sedayu berkata agak keras,
“He, kenapa kalian hanya berdiam diri dengan mulut ternganga. Berbuatlah sesuatu supaya kami dapat mengambil sikap. Apa yang akan kalian lakukan, lakukanlah. Sesegera, sebelum kami membuat keputusan baru. Bergeraklah. Membalas dendam atau kembali ke tempat masing-masing.”

Ketika Agung Sedayu melihat beberapa orang yang kemudian bergerak, ia pun menjadi berdebar-debar. Ia tidak tahu pasti, apakah yang akan mereka lakukan. Tetapi ketika orang-orang itu mulai berdiri dengan kepala tunduk, Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Agaknya orang-orang itu menyadari diri mereka, dan perlahan-lahan mereka berjalan ke tempat masing-masing. Kiai Gringsing, Sumangkar, dan Swandaru pun kemudian mengangguk-anggukkan kepala mereka pula. Sejenak mereka saling berpandangan. Swandaru yang masih memegang tongkat berkerincing itu kemudian mengangguk-angguk sambil memandangi orang-orang bergeser dari tempat masing-masing perlahan-lahan. Kemudian sambil menarik nafas dalam-dalam ia berdesis,
“Benda-benda macam inilah yang telah membuat kalian selama ini kehilangan kepribadian, kehilangan kesempatan dan bahkan seakan-akan telah kehilangan harapan. Sebenarnya benda ini adalah benda yang sederhana sekali. Tongkat yang digantungi dengan kerincing-kerincing. Sebuah tengkorak dan kerudung hitam. Mungkin juga seekor atau dua ekor kuda. Selebihnya, yang paling menakutkan adalah hati kalian sendiri. Kalian sendirilah yang membuat benda-benda sederhana ini menjadi hantu-hantu Alas Mentaok.”
Tidak ada yang menyahut. Tetapi kata-kata yang dilontarkan sambil tersenyum-senyum itu ternyata mampu juga menyentuh perasaan orang-orang di dalam barak itu. Sebenarnyalah bahwa yang paling menakutkan bagi mereka adalah hati mereka sendiri. Bayangan-bayangan yang mengerikan yang mereka buat sendiri. Sejenak kemudian, orang-orang di serambi itu telah duduk di tempat masing-masing. Orang-orang yang berdesakan di pintu pun telah duduk pula di dalam sambil menekurkan kepala mereka.
Pengawas yang masih bersandar pintu itu pun menarik nafas dalam-dalam. Dengan susah payah ia berjalan berpegangan dinding, mendekati Agung Sedayu. Kemudian ditepuknya bahunya sambil berkata,
“Kau berhasil, Anak Muda. Aku sudah kehabisan akal. Aku cemas, apabila orang-orang yang bodoh ini berkeras kepala, dan kalian bertahan untuk mempertanggung-jawabkan perbuatan kalian kepada para pengawas apabila mereka datang. Aku sudah membayangkan, apabila terjadi benturan yang tidak dapat dihindarkan, korban pasti akan bertambah. Ujung cambuk kalian yang seperti mempunyai mata itu, benar-benar sangat berbahaya.”
Agung Sedayu tersenyum sambil menyahut,
“Terima kasih. Pujian itu terlampau berlebih-lebihan.”
“Aku berkata sebenarnya.”
Agung Sedayu tidak menyahut lagi. Ia memandang orang yang terakhir duduk di tempatnya. Kemudian menundukkan kepalanya.
“Mereka telah kembali ke tempat masing-masing,” berkata pemimpin pengawas itu.

Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya kemudian kepada orang itu,
“Terima kasih. Kalian ternyata telah membantu kami, memelihara ketenangan di dalam barak ini. Sekarang, biarlah orang-orang yang terluka ini dapat beristirahat dengan tenang, tugas kami di sini tinggal mengawasi. Kami minta bantuan kalian, agar kalian ikut serta menjaga orang-orang ini, agar tidak seorang pun yang dapat lolos. Kita besok akan menyerahkan mereka kepada para pengawas yang akan datang dari pusat pemerintahan Mataram.”
Orang-orang itu masih menundukkan kepala mereka.
“Nah, baiklah. Kita anggap semua persoalan kini sudah selesai. Persoalan berikutnya adalah persoalan para petugas dari Mataram dan pemimpin pengawas di sini.”
Orang-orang itu masih menundukkan kepalanya,
“Sekarang, apabila masih sempat, silahkan beristirahat. Kalian dapat tidur nyenyak menghabiskan malam yang tinggal sedikit. Kami pun akan tidur pula. Besok kami akan minta bantuan kalian, mengubur mayat yang kini masih ada di belakang barak ini.”
“Mayat?” orang-orang itu bertanya di dalam hatinya.
Meskipun pertanyaan itu tidak diucapkan, Agung Sedayu menangkap sorot mata mereka, katanya,
“Ya, dua sosok mayat. Di antara hantu-hantu itu ada yang terbunuh. Dan dengan demikian akan semakin jelas bagi kalian, bahwa sebenarnya mereka adalah manusia yang terdiri dari daging dan tulang seperti kita. Sama sekali bukan hantu dari Alas Mentaok seperti yang kalian percaya saat ini. Kalau aku berkerudung sambil membawa tengkorak yang dilekati dengan kunang-kunang itu, kalian pasti tidak akan ketakutan, karena seperti yang dikatakan oleh adikku itu, ketakutan itu datang dari diri kita sendiri. Sekarang, kalian pun sudah tahu dengan pasti, sehingga kalian tidak akan takut lagi mendengar suara gemerincing, suara derap kaki kuda, dari melihat di dalam gelapnya malam, sesosok hantu hitam berkepala tengkorak. Karena mereka adalah orang-orang yang kini terbaring di hadapan kalian karena luka-luka mereka.”
Orang-orang di dalam barak itu merasa diri mereka semakin kecil. Namun seolah-olah mereka telah mengucapkan janji, bahwa mereka tidak akan terperosok untuk kedua kalinya ke dalam keadaan yang memalukan itu. Mereka tidak akan mau lagi menjadi permainan siapa pun juga. Mereka datang untuk membuka hutan. Dan kini harapan itu seakan-akan telah terbit kembali.
“Sudahlah, tidurlah,” berkata Agung Sedayu kemudian.

Bersama dengan Swandaru, Kiai Gringsing, Sumangkar, dan pemimpin pengawas itu, mereka menepi dan duduk bersandar dinding. Tetapi ternyata mereka tidak mendapat kesempatan cukup untuk beristirahat. Langit di sebelah Timur pun mulai menjadi kemerah-merahan.
“Hampir pagi,” desis Swandaru.
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Tidurlah kalau kau lelah. Masih ada waktu sedikit sebelum matahari terbit.”
“Apakah Guru tidak beristirahat?”
“Tidurlah kau berdua. Aku dan pamanmu Sumangkar akan duduk di sini. Waktu yang sedikit ini menyimpan bermacam-macam kemungkinan bagi barak ini.” Kiai Gringsing berhenti sejenak. Dipandanginya wajah pemimpin pengawas yang berkerut-merut. Kemudian wajah Agung Sedayu dan Sumangkar. Lalu perlahan-lahan ia meneruskan,
“Pagi ini akan dapat menjadi pagi yang cerah dan tenang. Tetapi saat-saat ini adalah saat-saat yang mendebarkan. Kalau Kiai Damar menyadari bahwa kehadiran para pengawas dari Mataram menjadi semakin dekat, maka ada kemungkinan mereka mempergunakan waktu yang pendek ini sebaik-baiknya.”
Swandaru dan Agung Sedayu mengerutkan keningnya, sedang pemimpin pengawas itu beringsut mendekat, “Benarkah begitu?”
“Ini hanya suatu kemungkinan. Tetapi kemungkinan yang lain adalah, bahwa mereka belum siap melakukan hal itu dan menundanya sampai waktu yang tidak dapat kita perhitungkan. Jika demikian kita akan dapat beristirahat untuk beberapa hari. Mereka pasti memerlukan waktu untuk mengetahui kekuatan para pengawas di daerah ini.”
Pemimpin pengawas itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Aku mengharap bahwa setelah sembuh aku akan tetap diperkenankan tinggal di daerah ini, meskipun karena selama ini aku sudah gagal, aku tidak lagi menjadi tetua para pengawas. Aku puas apabila aku dapat melihat akhir dari permainan yang gila itu.”
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Mudah-mudahan. Mudah-mudahan kau akan tetap berada di sini. Kau adalah salah seorang yang telah mengenal daerah ini sebaik-baiknya. Mengenal perkembangan keadaan dan masa-masa yang paling pahit di daerah ini.”
“Tetapi aku gagal mengatasi kesulitan. Usaha perluasan tanah garapan di sini menjadi sangat mundur. Bahkan aku pun telah terseret ke dalam suatu keadaan yang memalukan sekali. Aku sama sekali tidak berdaya melawan hantu-hantu itu, meskipun ternyata mereka sama sekali tidak berbeda dengan kita yang berkulit dan daging.”
“Meskipun kau tahu akan hal itu, tetapi memang sulit untuk melawan mereka. Ternyata jumlah mereka cukup banyak. Hari ini lebih dari sepuluh orang telah datang. Aku kira, di tempat persembunyian mereka, masih ada orang-orang yang lebih banyak lagi.”
“Kita dapat bertanya kepada orang-orang yang terluka itu.”
“Ya. Kita akan mendapatkan beberapa keterangan dari mereka meskipun tidak banyak. Besok kalau luka-luka mereka telah tidak membahayakan jiwanya, kita akan dapat mendengarnya.”
Pemimpin pengawas itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi Agung Sedayu berbisik,
“Guru, apakah tidak mungkin mereka akan berbuat seperti orang yang kita simpan di dapur itu?”
Kiai Gringsing mengerutkan keningnya, lalu,
“Mungkin. Memang mungkin sekali.”
“Apakah yang dilakukan?” bertanya Sumangkar.
“Mereka membunuh kawan mereka sendiri sebelum melarikan diri. Maksudnya sudah jelas, agar kawannya tidak dapat memberikan penjelasan.”
Sumangkar mengangguk-anggukkan kepalanya, dan Kiai Gringsing pun berkata,
“Karena itu, kita akan mengawasi mereka sebaik-baiknya. Apabila besok para pengawal itu benar-benar datang, kita akan mendapat banyak kawan untuk melakukannya.”
Agung Sedayu meng-angguk-anggukkan kepalanya.
“Ya mudah-mudahan mereka benar-benar datang besok.”
“Bagaimana kalau tidak?” desis Swandaru,
“Kau yang akan menjaga mereka sepanjang hari.”
“Kau?”
“Aku akan tidur.”
Swandaru mengerutkan keningnya. Namun kemudian di sandarkannya tubuhnya pada dinding barak sambil memejamkan matanya,
“Aku yang akan tidur lebih dahulu.”
Agung Sedayu memandanginya sejenak. Namun kemudian sambil menarik nafas dalam-dalam ia berdesah,
“Matahari sudah akan terbit.”

Dalam pada itu, perlahan-lahan langit menjadi semakin merah. Ternyata sampai saatnya pagi mulai memancar, tidak terjadi sesuatu, meskipun itu bukan berarti bahwa bahaya telah dapat diabaikan. Kemungkinan orang-orang itu datang di siang hari pun ada, apalagi setelah mereka tidak berhasil menakut-nakuti dengan kedok hantu-hantu Alas Mentaok. Mereka tidak dapat memilih jalan lain daripada menyatakan diri mereka sewajarnya. Meskipun demikian, suasana pagi yang cerah telah membuat ketegangan-ketegangan di dalam barak itu menjadi agak mereda. Beberapa orang telah berani keluar dari dalam barak, mengambil air di sumur. Apalagi karena Kiai Gringsing berkata kepada mereka,
“Sekarang kalian tahu, kalau kalian menjumpai apa pun, itu adalah manusia-manusia biasa seperti kita. Tinggal tergantung kepada kita sendiri. Apakah kita seorang penakut atau bukan.”
Demikianlah perlahan-lahan barak itu seakan-akan terbangun dari tidurnya. Agung Sedayu dan Swandaru pun segera pergi ke barak yang lain untuk menenangkan ketegangan yang ada di dalam barak itu. Meskipun tidak pasti bagi mereka, apakah yang terjadi, tetapi hati mereka telah dicengkam olen kecemasan sepanjang malam. Sumangkar dan Kiai Gringsing bergantian pergi mengambil air untuk membersihkan diri. Mereka masih harus mengawasi orang yang meskipun terluka, tetapi ada di antara mereka yang sudah dapat bangkit berdiri dan berjalan meskipun lemah. Ketika hari menjadi semakin terang, orang-orang di dalam barak itu dengan diam-diam, memerlukan memperhatikan orang-orang yang terluka yang selama itu mereka sangka hantu-hantu. Ternyata mereka adalah orang-orang biasa. Orang-orang yang mempunyai wadag seperti mereka sendiri. Tangan, kaki, kepala, dan anggauta-anggauta badan yang lain. Kadang-kadang terasa juga hati mereka melonjak. Darah mereka merasa panas apabila mereka mengenangkan, apa saja yang pernah mereka alami di dalam barak itu. Tetapi mereka tidak berani melanggar pesan Agung Sedayu, dan agaknya mereka pun masih juga mempunyai harga diri, untuk tidak bertindak kasar terhadap orang-orang yang sudah tidak berdaya.
Ketika matahari sudah menjadi semakin tinggi. Kiai Gringsing telah memanggil Agung Sedayu dan Swandaru,
“Kedua mayat yang masih ada di belakang barak itu harus dikuburkan.”
“Adi Sumangkar,” berkata Kiai Gringsing,
“tunggulah di sini. Orang-orang itu masih memerlukan pengawasan. Aku akan mengubur kedua orang di belakang barak itu.”
Ki Sumangkar mengangguk sambil menjawab,
“Silahkan. Mudah-mudahan aku tidak tertidur.”

Mereka pun kemudian mengajak beberapa orang untuk pergi ke belakang barak. Orang-orang yang ikut dengan Kiai Gringsing itu menjadi berdebar-debar. Meskipun mereka tidak melihat, tetapi berdasarkan pendengaran mereka semalam dan bekas-bekas yang mereka jumpai kini, terasa dada mereka tergetar. Alangkah dahsyatnya perkelahian itu. Pohon-pohon perdu bertebaran seperti ditebas. Tanahnya bagaikan dibajak. Bahkan rerumputan pun telah terungkat beserta akar-akarnya.
“Mengerikan sekali,” seorang berdesis perlahan-lahan.
“Apa?” bertanya yang lain.
“Kau tidak melihat bekas perkelahian ini?”
Kawannya mengangguk-anggukkan kepalanya. Terasa juga bulu-bulu tengkuknya meremang. Sejenak kemudian mereka pun telah menemukan dua sosok mayat yang terbaring tidak berjauhan.
“Inilah mereka,” berkata Swandaru. Namun ia pun kemudian mengerutkan keningnya. Tubuh mayat itu menjadi kebiru-biruan. Wajahnya tegang, seolah-olah sedang menahan kesakitan yang amat sangat. Kedua belah matanya terbuka dan jari-jarinya seolah-olah sedang mencengkeram.
“Mengerikan sekali,” desis Swandaru.
“Tampaknya mereka telah dicengkam oleh perasaan sakit yang tidak terhingga.”
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya kemudian,
“Sebenarnya, meskipun perasaan sakit itu juga menjadi sebab ketakutannya menghadapi maut, namun yang lebih parah dari itu adalah ketidak-ikhlasannya menjelang tangan maut mencengkam mereka. Mereka menyesal, kecewa, dan segala macam perasaan sakit, karena sebelum mereka menghembuskan nafasnya yang penghabisan, mereka menyadari, bahwa ternyata kawan mereka sendirilah yang telah membunuh mereka dengan semena-mena. Itulah yang membuat mereka dihantui oleh sentuhan maut itu.”
Swandaru dan Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Mereka adalah anak-anak muda yang pernah menyaksikan kematian-kematian di peperangan. Tetapi kali ini mereka masih juga merasa ngeri. Terbayang dimata mereka, penderitaan yang tidak terhingga menyertai kematian mereka.
“Racun itu bekerja dengan sempurna,” desis Kiai Gringsing.
Kedua muridnya mengangguk-anggukkan kepalanya. Orang-orang yang menyaksikan pun menjadi ngeri pula. Penderitaan itu terlampau berat.

Demikianlah mereka kemudian menyelenggarakan penguburan mayat itu secukupnya. Bagaimana pun juga mereka harus memperlakukan mereka sebagai sesamanya. Ketika semuanya sudah selesai, maka orang-orang itu pun kembali ke barak mereka. Mereka duduk-duduk di tangga serambi. Yang mereka bicarakan adalah orang-orang yang kini masih berada di serambi itu. Sebagian masih terbaring diam, sedang yang lain duduk bersandar dinding sambil menundukkan kepala mereka. Mereka merasa seakan-akan setiap mata memandang mereka dengan tajamnya. Ejekan dan umpatan membayang di wajah-wajah orang yang berada di sekitarnya. Kiai Gringsing, Agung Sedayu, dan Swandaru pun kemudian duduk pula diserambi itu bersama Ki Sumangkar dan pemimpin pengawas yang masih belum sembuh benar dari lukanya itu. Sementara itu sepasukan kecil pengawal berkuda sedang berpacu melewati jalan-jalan kecil menuju ke hutan yang sedang dibuka dan yang selalu diganggu oleh hantu-hantu. Sebenarnya hampir di semua daerah, tetapi yang didiami oleh Ki Truna Pedang itulah yang seakan-akan merupakan letusan yang paling keras, sehingga perhatian Mataram langsung tertuju ke daerah itu. Di daerah lain, hantu-hantu masih tetap berkuasa karena tidak ada orang yang berusaha untuk meyakinkan, bahwa mereka sebenarnya bukan hantu. Ki Gede Pemanahan dan puteranya, Sutawijaya, agaknya terlampau sibuk, sehingga mereka tidak sempat secara terus-menerus mengawasi suatu daerah tertentu. Tetapi kini mereka terpaksa mengkhususkan persoalan yang mereka hadapi karena ada perkembangan yang khusus pula. Sekelompok pengawal berkuda itu langsung dipimpin oleh Raden Sutawijaya sendiri. Di tangannya digenggamnya tombak pusakanya, sedang di lambungnya terselip keris Kiai Naga Kumala.
Sambil memandang lurus ke depan, Raden Sutawijaya berkuda di belakang pengawas yang datang memberitahukan apa yang sudah terjadi, sedang di belakangnya Wanakerti yang sebenarnya masih belum sehat benar, tidak mau tinggal di Mataram. Bagaimana pun juga ia menyatakan ke-inginannya untuk ikut serta kembali ke tempat tugasnya.
“Aku ingin melihat akhir ceritera yang mendebarkan itu?” katanya di dalam hati.
Berdasarkan pengalaman para pengawas yang pergi ke Mataram untuk menyampaikan laporan itu, maka mereka harus berhati-hati. Meskipun kelompok itu agak lebih besar dari hanya tiga orang, namun kemungkinan yang tidak terduga-duga dapat saja terjadi.

Raden Sutawijaya yang diiringi oleh sepuluh, orang pengawas itu telah mulai menyusup hutan-hutan rindang. Kuda mereka kini tidak dapat berlari terlampau cepat. Jalan yang sempit itu kadang-kadang tertutup oleh sampah dan ranting-ranting pepohonan yang patah. Sulur-sulur kayu yang bergayutan pada dahan-dahan pepohonan telah mengganggu perjalanan itu pula. Tetapi lebih daripada itu, setiap saat mereka dapat saja dengan tiba-tiba diserang oleh orang-orang yang tidak dikenal dan jumlahnya sama sekali tidak dapat mereka bayangkan. Mereka sama sekali tidak mempunyai gambaran tentang gerombolan orang-orang yang bersembunyi di dalam hutan yang lebat itu. Kadang-kadang dada mereka menjadi berdebar-debar. Meskipun mereka menyandang pusaka rangkap, tetapi seandainya tiba-tiba mereka dihadapkan pada sekelompok orang-orang yang ganas itu sebanyak lima puluh orang, apakah mereka akan dapat melawan. Tetapi hati mereka menjadi teguh apabila mereka melihat Raden Sutawijaya yang berkuda di depan mereka, selalu menengadahkan wajahnya memandang lurus ke depan. Dalam pada itu, selagi pasukan itu beriringan di dalam hutan yang tidak begitu lebat, beberapa pasang mata mengikutinya dengan saksama. Seorang yang bertubuh tinggi kekar dan berjambang lebat mengatupkan giginya rapat-rapat. Perlahan-lahan ia berdesis kepada orang yang berdiri di sampingnya. Dan orang itu adalah Kiai Damar,
“Sayang, kita tidak membawa orang cukup untuk menghancurkan mereka.”
“Hati-hatilah,” berkata Kiai Damar,


Halaman 1 2 3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar