Jilid 058 Halaman 3


“ternyata daerah Mataram menyimpan banyak rahasia yang tidak kita ketahui. Kita yang merasa telah mengenal hutan ini sebaik-baiknya, namun ternyata perhitungan kita masih keliru juga. Semalam aku telah gagal lagi. Ternyata orang-orang tua yang ada di dalam barak itu bukan orang-orang kebanyakan. Kau harus membuat perhitungan yang cermat untuk menentukan sikap di sini.”
“Aku akan menghadap guru,” berkata orang berjambang itu.
Kiai Damar mengerutkan keningnya. Katanya,
“Itu akan lebih baik daripada kita bertindak sendiri. Aku tidak dapat mengimbangi salah seorang dari dua orang tua-tua yang ada di barak itu. Dan barangkali kau masih harus menyediakan tenaga sepenuhnya untuk melawan anak-anaknya.”
Orang itu menggeram. Katanya,
“Karena itu aku akan menghadap guru. Tidak ada seorang manusia pun yang akan dapat melawannya. Bahkan seandainya Ki Gede Pemanahan sendiri akan turun ke gelanggang, maka itu akan berarti rencananya semakin cepat musnah. Ia tidak akan berhasil menyelesaikan kerja ini.”
Kiai Damar mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Mudah-mudahan orang tua itu tidak berkeberatan.”
“Tentu tidak? Bukankah guru juga yang menganjurkan kita melakukan ini semua? Dan Paman menyetujuinya?”
“Ya,” Kiai Damar mengangguk-anggukkan kepalanya,
“tetapi menghancurkan mereka bukan penyelesaian yang tuntas. Seandainya Ki Gede Pemanahan terusir dari Mentaok sekali pun, bahkan terbunuh, maka kau masih akan menghadapi soal-soal lain.”
“Itu sudah aku perhitungkan, Paman. Maksud Paman, bahwa kekuasaan Sultan Pajang masih tetap mencakup hutan Mentaok.”
“Ya.”
“Sultan Pajang akan berterima kasih kalau usaha Pemanahan gagal. Bukankah dengan berat hati Sultan Pajang menyerahkan Mataram kepada Pemanahan? Kalau Sultan tidak mengingat putera angkatnya itu anak Pemanahan, maka aku kira Pemanahan justru sudah digantungnya di alun-alun.”
“Mungkin begitulah kalau kau yang kebetulan menjadi Sultan Pajang. Seorang Raja tidak akan berbuat demikian. Ia telah berjanji untuk menyerahkan Pati dan Alas Mentaok kepada mereka yang dapat membunuh Arya Penangsang. Penjawi sudah mendapatkan Pati, dan wajar sekali kalau Pemanahan menuntut Bumi Mentaok.”
“Tetapi Sultan juga tahu, bahwa yang membunuh sebenarnya bukan Pemanahan dan Penjawi, tetapi putera angkatnya itu.”
“Tentu. Tetapi laporan yang diterimanya menyebut bahwa yang melakukan adalah Penjawi dan Pemanahan. Ia tidak akan dapat ingkar akan janjinya. Siapa pun yang melakukannya, tetapi keduanya yang menyatakan dirinya tanpa ada orang lain yang mengemukakan keberatannya.”
“Nah, karena itulah maka kegagalan Pemanahan akan menyenangkan hatinya. Karena ia memberikan Mataram tidak dengan ikhlas hati.”
“Lalu bagaimana dengan Pati?”
Orang berjambang itu mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak menyahut.
“Sultan Pajang tidak pernah mempersoalkan Pati. Kenapa ia berkeberatan atas Mentaok?” bertanya Kiai Damar.
“Mentaok terlampau dekat dengan pusat pemerintahan Pajang.”
“Bukan itu. Tetapi bagi Sultan Pajang, menyerahkan Mentaok secara resmi tidak ada gunanya, karena akhirnya ia akan memberikan juga kedudukan kepada anak Pemanahan. Buat apa Pemanahan harus menuntut haknya apabila kelak akan temurun juga kepada Sutawijaya. Tentu Sultan Pajang menilai juga hal itu. Tetapi ia pasti tidak akan berkeberatan apabila pada suatu saat Mentaok dapat menjadi ramai. Bukankah kelak Sutawijaya juga yang akan menjadi penguasa daerah ini? Apakah kelak ia akan menguasai Mataram sebagai seorang putera raja yang mewakili kekuasaan ayahnya, atau sebagai seorang adipati, seperti Sultan Pajang dahulu atau sebagai kepala suatu daerah yang mendapat hak sebagai tanah perdikan, itu masih belum jelas.”
“Tetapi seperti yang Paman katakan sendiri, Sultan agaknya memang mencurigai niat Pemanahan. Inilah yang harus dimanfaatkan.”

Kiai Damar merenung sejenak. Keningnya masih juga berkerut-merut. Tetapi kini iring-iringan yang dipimpin Raden Sutawijaya sudah menjadi semakin jauh dan hilang di balik rimbunnya dedaunan.
“Bagaimana kau dapat memanfaatkan kecurigaan Sultan Pajang kepada Ki Gede Pemanahan atau justru kepada putera angkatnya itu?”
“Serahkan kepadaku. Sultan pasti akan segera menggerakkan senapati muda yang dikuasakan di daerah Selatan ini. Apakah kau kenal dengan Untara?”
“Orangnya belum. Tetapi namanya sudah. Hampir setiap orang di daerah Selatan mengenalnya. Menurut pendengaranku, Untara-lah yang menyelesaikan masalah orang-orang Jipang yang kehilangan pegangan sesudah Arya Penangsang gugur.”
“Ya. Ia telah berhasil membunuh Tohpati, Macan Kepatihan.”
“Apakah yang dapat dilakukan oleh Untara?”
“Untara adalah seorang senapati. Ia akan menjalankan tugas yang diperintahkan oleh Sultan Pajang. Ia adalah seorang yang setia. Ia ikut berjuang menegakkan Pajang.”
Kiai Damar mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Mudah-mudahan Untara benar-benar seorang senapati yang baik.”
“Tentu.”
“Tetapi,” berkata Kiai Damar,
“apa hubungannya dengan usaha kita sekarang?”
“Kita akan mendesak Sutawijaya. Kita akan melontarkannya ke luar dari dalam hutan. Dan kita berharap bahwa kita dapat berbuat sesuatu di istana untuk memancing Untara mendekati pusat pemerintahan tanah yang baru di-buka ini, sehingga Sutawijaya akan menghadapi kesulitan. Ia harus mengatasi perlawanan dari dalam hutan ini, yang meskipun agaknya cara kita yang pertama sudah gagal karena kehadiran orang-orang gila yang menyebut dirinya gembala itu, tetapi kita akan mencari cara lain, bahkan kalau perlu seperti yang sudah kita lakukan. Beradu dada. Kita menyerang di setiap saat, kemudian kita akan menarik diri. Selain itu, Sutawijaya harus selalu berhati-hati menghadapi pasukan Untara yang mendekati pusat pemerintahan tanah Mataram.”
Kiai Damar mengerutkan keningnya. Ia berpikir sejenak untuk mencoba mencernakan kata-kata orang berkumis itu. Tetapi kemudian ia berkata,
“Aku kurang mengerti jalan pikiranmu.”
“Paman,” berkata orang itu,
“katakanlah bahwa Sultan Pajang tidak banyak mempunyai tuntutan atas tanah Mataram. Ia sudah memberikan. Tetapi ia tidak dapat melepaskan kecurigaan itu, kecurigaan atas Ki Gede Pemanahan, sehingga ia berada di simpang jalan. Ia melepaskan Mataram dengan harapan agar putera angkatnya dapat mempergunakannya sebaik-baiknya, tetapi juga ia curiga kalau Mataram kelak justru menjadi besar di bawah Ki Gede Pemanahan.”
Kiai Damar mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia masih juga berkata,
“Ada beberapa perbedaan tangkapan. Tetapi pada dasarnya kau telah mencoba mengerti pikiranku. Aku juga mengerti jalan pikiranmu. Kau akan menempuh dua jalan apa pun yang ada di dalam hati Sultan Pajang. Kita harus dapat meraba-raba. Tetapi kalau kau berhasil, mungkin kau akan mendapat tempat yang baik. Aku setuju. Tetapi kau harus berhati-hati agar kau tidak terjerumus ke dalam kesalahan yang dapat membawamu ke tiang gantungan.”
Orang berjambang itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Aku akan selalu minta nasehat guru.”
“Aku tahu, gurumu jugalah yang mempunyai pikiran itu.”
“Ya.”
“Ia adalah orang yang paling benci terhadap Pemanahan justru karena Pemanahan membuka hutan ini. Mudah-mudahan orang Mangir dapat bekerja bersama dengan kita di sini.”
Orang berjambang itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan Kiai Damar berkata,
“Tetapi apakah kau akan segera pergi ke Pajang?”
“Aku akan menunggu sejenak. Kemudian aku akan pergi ke Pajang lewat Jati Anom. Kalau mungkin aku akan melihat kesiagaan Untara meskipun aku tidak akan menemuinya. Kalau pada suatu saat aku datang ke Jati Anom, aku akan membawa perintah dari Pajang kepada, Untara untuk memagari Mataram dengan pasukan.”
Kiai Damar mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Aku percaya bahwa kau akan dapat melakukannya. Tetapi kau harus menyesuaikan dirimu setiap saat ada perubahan tanggapan atas sikap dan pendapat Sultan Pajang.”
Orang itu mengangguk.
“Marilah, kita kembali. Kita melakukan persiapan baru menghadapi perkembangan keadaan. Kita menyusun rencana dari dalam hutan ini, sebelum kau berhasil menggiring Untara datang ke pinggir Alas Mentaok.”

Orang-orang itu pun kemudian meninggalkan tempat persembunyiannya. Kuda-kuda yang mereka intip pun sudah menjadi sangat jauh. Dalam pada itu Sutawijaya dan pasukannya pun yang kecil itu maju terus mendekati barak yang telah menarik perhatian itu. Semakin lama semakin dekat. Ternyata mereka tidak menemui kesulitan apa pun di perjalanan mereka yang melelahkan. Derap kaki-kaki kuda yang mendekati barak itu pun segera didengar oleh orang-orang yang sedang duduk-duduk di sekitar barak mereka. Agung Sedayu dan Swandaru pun segera bangkit dan turun ke halaman. Banyak kemungkinan dapat terjadi dengan derap kaki-kaki kuda itu. Karena itu, ia pun harus berhati-hati. Kiai Gringsing dan Sumangkar pun telah berdiri pula di tangga serambi, sedang beberapa orang yang terluka itu menjadi berdebar-debar pula. Mereka tahu benar bahwa dua orang kawannya yang terbunuh itu justru mati oleh kawan mereka sendiri. Itulah sebabnya mereka menjadi sangat cemas, siapa pun yang datang. Ia cemas kalau yang datang itu para pengawal dari Mataram, karena mereka akan segera diserahkan untuk mendapatkan hukuman. Tetapi mereka juga cemas apabila yang datang itu kawan-kawan mereka sendiri. Sejenak kemudian kuda-kuda itu telah memasuki halaman barak di pinggir hutan. Dibayangi oleh sebuah senyum di bibirnya, Sutawijaya memandang Agung Sedayu dan Swandaru yang datang menyongsongnya.
“Aku sudah menduga,” kata-kata itulah yang pertama-tama diucapkan oleh Sutawijaya.
Tetapi anak muda yang masih di atas punggung kuda itu mengerutkan keningnya ketika ia melihat Agung Sedayu dan Swandaru membungkukkan badannya dalam-dalam sambil berkata,
“Kami di sini semuanya mengucapkan selamat datang. Meskipun kami belum mengetahui siapakah Tuan, tetapi kami pasti, bahwa Tuan adalah salah seorang pemimpin dari Tanah Mataram yang sedang dibuka ini.”
Pengawal yang berkuda di paling depan sudah meloncat dari kudanya. Ia tidak sempat memikirkan, kenapa Sutawijaya berkata, bahwa ia ‘sudah menduga’.
“Yang datang adalah puteranya Ki Gede Pemanahan, Raden Sutawijaya yang bergelar Mas Ngabehi Loring Pasar,” berkata pengawas itu kepada Agung Sedayu dan Swandaru.
“Hormat kami berdua bagi Raden Sutawijaya,” berkata Agung Sedayu dan Swandaru hampir berbareng.
Sutawijaya menarik nafas dalam-dalam. Di dalam hati ia menggerutu,
“Anak-anak ini sudah kejangkitan penyakit gurunya.”
Tetapi Sutawijaya hanya mengangguk-anggukkan kepalanya saja. Bahkan tiba-tiba ia bertanya,
“Di mana ayahmu?”

Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Namun ia tersenyum kecil. Ternyata Sutawijaya mengerti bahwa ia tidak ingin segera menyebut nama Agung Sedayu.
“Itulah, Tuan,” jawab Agung Sedayu sambil menunjuk kepada seorang tua yang berdiri di tangga, di samping Sumangkar.
Sutawijaya mengerutkan keningnya. Dan tiba-tiba pula ia berdesis,
“Paman Sumangkar ada di sini pula?”
Agung Sedayu tidak menyahut.
Tetapi Sutawijaya pun kemudian tersenyum. Sambil turun dari kudanya ia berkata,
“Kaliankah yang disebut orang-orang yang bersenjata cambuk?”
Agung Sedayu mengangguk,
“Memang kami adalah keturunan gembala yang selalu membawa cambuk.”
Sutawijaya menepuk bahu Agung Sedayu sambil berbisik,
“Macam kau. Kenapa kau masih saja suka bermain-main.”
“Kami menghadapi hantu-hantu,” desis Agung Sedayu.
Sutawijaya menarik nafas dalam-dalam. Para pengiringnya pun kemudian telah turun pula dari kuda mereka, dan menambatkannya di halaman. Perlahan-lahan mereka melangkah maju mendekati barak. Pemimpin pengawas yang terluka dengan susah payah, dibimbing oleh Kiai Gringsing berusaha untuk menyongsong kedatangan Sutawijaya.
“Kaukah yang terluka?”
“Ya, Tuan,” jawab pemimpin pengawas itu.
“Dan kau gembala tua yang bersenjata cambuk dan berkain Gringsing itu?”
Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia menjawab sambil tersenyum pula,
“Sampai begitu teliti laporan itu sampai kepada Tuan. Apakah pengawas itu menyebut bahwa berkain gringsing yang sudah lusuh?”
Sutawijaya tertawa. Tetapi pengawas yang berdiri di belakangnya, yang membawa laporan kepada putera Pemanahan itu menjadi terheran-heran. Ia sama sekali tidak menyebutkan pakaian orang tua itu, apalagi menyebutkan berkain gringsing. Ia hanya mengatakan bahwa gembala itu bersama dua anaknya bersenjata cambuk.
“Inilah tempat yang ada,” berkata pemimpin pengawas yang terluka itu.
“Kami tidak dapat mempersilahkan pada tempat yang lebih baik.”
Sutawijaya memandang pemimpin pengawas itu sejenak, lalu,
“Agaknya lukamu cukup parah. Beristirahatlah. Jangan kau risaukan tempat untuk rombongan kami. Kami adalah sama-sama prajurit dan pengawal Tanah yang baru dibuka ini. Kami harus menyesuaikan diri di dalam segala keadaan.”
Pemimpin pengawas itu menganggukkan kepalanya
“Aku ingin mendengar berita tentang daerah ini. Biarlah kawanmu yang kemarin datang ke Mataram berceritera tentang perjalanannya yang sangat berat, sehingga salah seorang dari mereka telah menjadi korban.”
“He?” pemimpin pengawas itu terkejut. Sutawijaya berpaling kepada pengawas yang datang kepadanya sambil berkata,
“Nanti kau ceriterakan perjalananmu dan Wanakerti kepadanya. Sekarang aku ingin mendengar laporannya tentang daerah ini.”
Pemimpin pengawas itu termangu-mangu sejenak. Lalu,
“Tetapi kami ingin mempersilahkan Tuan duduk sejenak.”

Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia pun kemudian berjalan ke serambi barak bersama pemimpin pengawas itu, Kiai Gringsing, Agung Sedayu, Swandaru, dan Sumangkar.
“Apakah kau juga seorang gembala?” bertanya Sutawijaya kepada Sumangkar sambil tertawa.
“Jika kau juga seorang gembala tunjukkan cambukmu kepadaku.”
Sumangkar tersenyum. Sambil membungkukkan badannya ia berkata,
“Yang aku gembalakan bukan domba, Tuan. Tetapi diriku sendiri.”
Sutawijaya pun tertawa pula. Ternyata sikap Sutawijaya kepada keempat orang itu membuat pemimpin pengawas dan para pengawas yang lain menjadi heran. Bahkan orang-orang yang kemudian berkerumun di bawah tangga serambi pun menjadi heran pula. Tetapi mereka tidak bertanya apa pun tentang mereka. Tetapi ketika mata Sutawijaya menyentuh orang-orang yang terbaring di ujung serambi itu pun ia mengerutkan keningnya. Dan sebelum ia berkata sesuatu, pemimpin pengawas itu sudah mendahuluinya,
“Itulah yang akan aku laporkan kepada Tuan.”
Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia pun kemudian duduk di serambi itu di atas tikar yang sudah kumal, sedang para pengiringnya tetap berada di halaman. Sejenak Sutawijaya masih memandangi orang-orang yang terbaring di ujung serambi itu. Sedang orang-orang yang terluka itu pun menjadi semakin cemas karenanya. Yang datang ternyata adalah pemimpin tertinggi dari Mataram. Beberapa di antara mereka yang sudah dapat duduk bersandar dinding, tiba-tiba telah membaringkan dirinya pula di samping kawan-kawannya.
“Itulah hantu-hantu Alas Mentaok yang kamanungsan,” berkata Kiai Gringsing.
Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Hantu-hantu yang malang. Apakah mereka kehilangan kesaktian mereka untuk melenyapkan diri?”
“Hantu-hantu yang sudah terlanjur tersentuh tangan manusia tidak akan dapat melenyapkan dirinya lagi. Itulah sebabnya aku katakan kepada Tuan, mereka adalah hantu yang kamanungsan. Apalagi sesudah matahari terbit, mereka tidak akan berdaya sama sekali.”
Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Apakah mereka sudah dapat diajak berbicara dengan bahasa manusia.”
“Tentu, Tuan, tetapi luka-luka mereka kadang-kadang masih mengganggu. Mungkin Tuan harus menunggu beberapa saat. Kalau keadaan mereka menjadi baik, maka mereka akan segera dapat menjawab pertanyaan yang diberikan kepada mereka.”
Sutawijaya masih mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu ia bertanya,
“Darimana kalian dapat menangkap hantu-hantu itu?”
“Mereka datang sendiri kemari. Semalam,” jawab Kiai Gringsing.
“Menyenangkan sekali,” desis Sutawijaya. Orang-orang yang terluka itu mendengarkan percakapan Sutawijaya dan gembala tua yang bersenjata cambuk itu dengan hati yang terasa menjadi semakin panas. Tetapi mereka tidak dapat berbuat apa-apa. Apalagi sekarang, di hadapan pemimpin tertinggi Mataram yang membawa beberapa orang pengawal.

Kiai Gringsing pun kemudian berkata kepada pemimpin pengawas itu,
“Kaulah yang berkewajiban untuk menyampaikan laporan tentang keadaan di daerah ini.”
“Ya. Akulah yang berkuwajiban,” tetapi ia kemudian berkata kepada Sutawijaya,
“Tetapi maaf Tuan. Ternyata Ki Truna Podang lebih banyak mengetahui keadaan di daerah ini daripada aku. Apalagi setelah aku terluka. Karena itu, apabila Tuan tidak berkeberatan, biarlah Ki Truna Podang sajalah yang memberikan laporan tentang daerah ini atas namaku.”
“O, jadi orang inilah yang bernama Truna Podang.”
Pemimpin pengawas itu justru menjadi termangu-mangu, sedang pengawas yang membawa laporan ke Mataram pun, yang mendengar juga dari bawah tangga, menjadi heran. Ia memang menyebut nama orang tua itu Truna Podang, gembala yang bersenjata cambuk. Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian,
“Baiklah. Mungkin aku dianggap orang yang banyak berbicara, sehingga akulah yang paling pantas untuk menyampaikan laporan ini.”
“Ah,” pemimpin pengawas itu berdesah. Tetapi ia tidak mengatakan apa-apa. Ia tidak menyatakan keheranannya, bahwa di hadapan Raden Sutawijaya, gembala tua itu seakan-akan berbicara sesuka hatinya. Dan agaknya Sutawijaya sendiri bersikap aneh pula terhadap gembala itu beserta anak-anak dan tamunya.
Kiai Gringsing pun kemudian menceriterakan kepada Sutawijaya apa yang sudah terjadi di sekitar barak itu. Diberinya sedikit pengantar tentang apa yang terjadi beberapa saat sebelumnya. Pertentangan-pertentangan yang timbul, sikap yang kasar dan mencurigakan. Kemudian perselisihan di antara mereka sendiri. Akhirnya terjadilah peristiwa semalam. Dan Kiai Gringsing tidak lupa pula mengatakan, bahwa mereka telah membunuh kawan-kawan mereka yang tidak mereka perlukan lagi. Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Samar-samar ia dapat membayangkan apa yang sudah terjadi. Bahkan ia berkata di dalam hatinya,
“Apakah jadinya kalau Kiai Gringsing tidak datang ke tempat ini.”

Namun dengan demikian Sutawijaya segera dapat mengambil kesimpulan pula, bahwa di tempat-tempat lain yang selalu diganggu oleh hantu-hantu itu pun pasti terjadi persoalan yang serupa. Yang mengganggu itu pasti sama sekali bukan hantu, seperti yang terjadi di tempat ini.
“Jika demikian, mereka pasti mempunyai kekuatan yang cukup dan jumlah orang yang memadai. Mereka ternyata menguasai daerah yang luas di sekitar Alas Mentaok. Hampir setiap daerah pembukaan hutan, hantu-hantu itu selalu mengganggu mereka dan berusaha mendesak mereka keluar dari tlatah hutan Mentaok.”
“Kita sudah dapat menduga, apakah maksud mereka. Tetapi maksud yang lebih dalam lagi, kita masih harus meraba-raba.”
“Ya. Mula-mula mereka akan menggagalkan pembukaan hutan ini. Selanjutnya, kita belum tahu.”
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya,
“Kita mempunyai beberapa orang tawanan. Kita akan segera dapat bertanya kepada mereka apabila keadaan mereka berangsur baik.”
“Ya. Tetapi apakah peristiwa ini tidak akan mempengaruhi sikap mereka di daerah-daerah yang lain?”
“Memang mungkin. Tetapi aku kira mereka sedang memusatkan perhatian mereka di tempat ini. Di tempat yang mereka anggap tidak menguntungkan dan berbahaya.”
Sutawijaya mengerutkan keningnya. Sebagai seorang pemimpin ia tidak membatasi sudut pandangannya sekedar daerah yang sedang dihadapinya. Tetapi Sutawijaya mulai membuat gambaran apa yang dapat terjadi di daerah-daerah lain. Mungkin pembalasan dendam, mungkin pelepasan sakit hati atau semacam itu. Bahkan di beberapa tempat yang masih belum mendengar peristiwa ini, pasti masih selalu dibayangi oleh ketakutan karena hantu-hantu Alas Mentaok. Tetapi agaknya hantu-hantu itu kini memang justru sedang menyoroti daerah yang mereka anggap sebagai pintu gerbang dari kegagalan mereka. Meskipun mereka dapat berbuat banyak di daerah lain, namun dari daerah ini pasti akan tersebar berita tentang peristiwa yang telah terjadi di sini. Sementara itu Sutawijaya masih merenungi daerah yang sedang dibinanya. Mataram. Daerah yang sedang dikembangkannya menjadi suatu negeri yang ramai. Namun kini ia harus menghadapi rintangan yang cukup berat baginya.
Sejenak kemudian maka Sutawijaya itu pun berkata,
“Aku mempunyai perhitungan, bahwa mereka, maksudku orang-orang yang tidak kita kenal itu, pasti sedang menyiapkan orang-orangnya yang terpencar. Mereka pasti menyiapkan diri untuk suatu tindakan yang cermat atas daerah ini. Mereka harus dapat menyembunyikan kekalahan mereka serapat-rapatnya, supaya mereka masih mempunyai lapangan yang luas untuk membuat rencana-rencana baru bagi daerah-daerah yang lain.”
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Ya,” jawab orang tua itu, “Beberapa dari orang-orang mereka itu tertawan di sini. Mereka pasti mempunyai rencana untuk itu. Mengambil mereka, atau membinasakan mereka sama sekali.” Kiai Gringsing berhenti sejenak, lalu,
“Bahkan mungkin ia akan berbuat lebih jauh lagi di sini.”

Sutawijaya mengerutkan keningnya. Dipandanginya halaman yang terhampar di depan barak itu. Kemudian pepohonan yang jarang, dikelilingi oleh pagar yang lemah. Di muka barak itu sebuah jalan menghubungkan regol halaman ini dengan gardu pengawas yang kosong. Sedang ujung lain adalah barak yang sebuah lagi.
“Untuk sementara kita hanya dapat bertahan,” berkata Sutawijaya.
“Aku tidak memperhitungkan sampai sejauh ini ketika aku belum melihat keadaan terakhir. Sedang para pengawas yang datang ke Mataram itu pun masih belum dapat mengatakannya, karena hal itu terjadi setelah mereka meninggalkan tempat ini.”
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Apakah ada di antara mereka yang sudah dapat diajak berbicara?” bertanya Sutawijaya.
Kiai Gringsing mengangguk.
“Ada dua atau tiga orang yang meskipun tidak terlalu banyak, dapat dimintakan keterangan kepada mereka.
“Aku ingin berbicara dengan mereka. Sedikit saja.”
“Silahkan.”
Sementara orang-orang di dalam barak itu menyediakan minuman panas untuk Sutawijaya dan pengiringnya, Sutawijaya sendiri bangkit berdiri diikuti oleh Kiai Gringsing mendekati orang-orang yang terluka.
“Orang yang berdahi lebar itulah yang agaknya dapat dibawa berbicara meskipun tidak terlampau banyak. Lukanya tidak begitu parah. Bahkan ia sudah dapat duduk bersandar dinding.”
Sutawijaya memandang orang yang berdahi lebar itu. Katanya kemudian,
“Apanya yang terluka?”
“Pundak dan lambungnya. Darahnya kadang-kadang masih mengalir apabila ia terlalu banyak bergerak. Orang ini agak keras kepala. Kadang-kadang ia menggeliat atau bangkit dengan tiba-tiba.”
“Tetapi masih ada tempat untuk mencekiknya atau menikam dengan keris pusaka ini.”
Kiai Gringsing mengerutkan keningnya mendengar jawaban Sutawijaya itu. Apalagi ketika Sutawijaya kemudian berdiri setapak di samping orang itu.
“Siapa namamu?” bertanya Sutawijaya.
Orang itu tidak menyahut.
“Siapa namamu?”
Orang itu masih diam saja.
“Kau tidak mau menjawab? Baiklah. Sekarang aku bertanya tentang yang lain. Siapakah pemimpin yang tertinggi yang kau kenal di dalam gerombolanmu. Katakanlah, hantu yang paling tinggi derajatnya. Apakah kau kenal?”
Orang itu tidak menyahut.
“Dan berapa orang yang ada di dalam lingkunganmu seluruhnya yang tersebar di hutan ini?”
Orang itu sama sekali tidak menjawab.

Tetapi orang yang berdahi lebar itu, bahkan kawannya yang berbaring di sekitarnya, terkejut ketika tiba-tiba saja Sutawijaya tertawa,
“Bagus. Memang seharusnya kau tidak menjawab. Kau adalah laki-laki yang sudah berjanji untuk terjun ke dalam dunia yang hitam. Karena itu, kau harus tetap bertekad di dalam keadaan apa pun juga untuk bersatu di dalam ikatan batin dengan kawan-kawanmu, meskipun kadang-kadang pemimpinmu sendiri kurang mempercayaimu. Terbukti ada di antara kawan-kawanmu yang mati terbunuh oleh pemimpin-pemimpinmu sendiri, pemimpin-pemimpin kecil.” Sutawijaya berhenti sejenak, lalu,
“Nah, sebelum kau dibunuh oleh kawan-kawanmu sendiri, kau harus menunjukku bahwa kau adalah seorang laki-laki. Ketahuilah, bahwa pada suatu saat, kalian akan kami tempatkan di halaman ini sambil mengikat kalian pada tiang-tiang. Kalian akan menjadi sasaran latihan memanah yang baik sekali bagi kawan-kawan kalian yang bersembunyi di balik gerumbul-gerumbul liar di sekitar banjar ini. Kalau mereka tidak pandai memanah, maka mereka akan merayap dengan diam-diam mendekati kalian di malam hari, dan menikam dada kalian dengan keris, atau dengan tombak. Apakah kalian mengerti?”
Orang itu masih membeku. Tetapi wajahnya menjadi tegang. Bahkan kawan-kawannya yang lain, yang terluka parah pun menjadi semakin kecut.
“Tetapi sebelum itu, kami akan berusaha memeras keterangan dari kalian dengan segala cara. Kami tahu, bahwa kalian adalah orang-orang jantan, yang tidak akan membuka mulut kalian. Karena itulah maka kami akan memperlakukan kalian sebagai laki-laki jantan. Kami akan menyiksa kalian dengan cara yang paling kejam yang pernah disebut oleh manusia beradab.”
Kata-kata Sutawijaya itu benar-benar telah mengejutkan orang-orang yang mendengarnya. Bukan saja orang-orang yang sedang terluka, yang terbaring sebagai tawanan, tetapi juga orang-orang di barak itu. Bahkan Kiai Gringsing dan kedua muridnya serta Sumangkar pun menjadi heran pula.
“Apakah kemarahan Raden Sutawijaya benar-benar telah sampai ke puncak ubun-ubunnya, sehingga ia akan memperlakukan orang-orang yang sudah tidak berdaya itu sedemikian kejamnya,” pertanyaan itu timbul di setiap dada.
Namun demikian, ada juga orang-orang yang berkata di dalam hati.
“Nah, ternyata putera Ki Gede Pemanahan pun memperlakukan demikian. Kenapa orang tua dan kedua anak-anaknya itu telah mencegah kami? Seandainya Raden Sutawijaya itu ada di sini, aku kira kita akan dapat melakukannya, meskipun harus membiarkan dua atau tiga di antaranya tetap hidup untuk memberikan keterangan-keterangan yang diperlukan.”

Tetapi kini tawanan-tawanan itu sudah berada di tangan Sutawijaya. Orang-orang yang masih dibakar oleh dendam itu hanya dapat menunggu. Mungkin mereka akan mendapat giliran pula untuk melepaskan sakit hati mereka.
“Bersiaplah,” berkata Sutawijaya,
“kau, orang yang berdahi lebar yang tidak mau menyebut namanya dan tidak mau menjawab semua pertanyaanku itulah yang harus mengalaminya pertama-tama. Kau tidak berkeberatan?”
Wajah orang itu menjadi pucat.
“He, kenapa kau menjadi pucat seperti orang yang ketakutan? Bukankah kau seorang laki yang sudah menentukan sikap? Jangan menjadi pengecut. Jangan membuat lingkungan yang kau pilih menjadi malu. Kau harus menengadahkan wajah dan dadamu sambil berkata, “Inilah aku. Salah seorang dari segerombolan orang-orang yang telah menghimpun diri dengan rahasia. Kami terdiri dari laki-laki jantan yang tidak gentar menghadapi setiap kemungkinan’ Bukankah begitu? Dengan demikian kau masih dapat berbangga di saat-saat terakhir.”
Orang berdahi lebar itu tidak menjawab. Tetapi wajahnya menjadi semakin pucat.
“Bawalah orang ini,” perintah Sutawijaya sambil berpaling kepada pengiringnya,
“bawalah orang ini ke belakang barak ini. Aku ingin melihat, sampai di mana ia mempertahankan kejantanannya. Sediakan sepotong dahan cangkring yang berduri rapat dan semangkuk air garam.”
“Jangan, jangan,” tiba-tiba orang berdahi lebar itu berteriak.
“Kenapa kau berteriak seperti seorang pengecut? Kau adalah seorang laki-laki. Sebelum dadamu remuk dan kulitmu terluka arang kranjang, kau tidak boleh menjawab setiap pertanyaanku. Dengan demikian kau akan menodai kejantanan kalian.” Lalu sekali lagi Sutawijaya memerintahkan kepada pengiringnya,
“Bawa orang ini ke belakang barak.”
Ketika beberapa orang naik ke serambi, orang itu tiba-tiba bangkit berdiri. Dengan sisa tenaganya ia ingin meloncat dan berlari. Tetapi ternyata Sutawijaya benar-benar tangkas. Dengan cepatnya ia menangkap lengan orang itu dan menariknya,
“Kau mau lari?”
“Ampun,” teriaknya. Lukanya tiba-tiba terasa menjadi demikian sakitnya disertai dengan perasaan takut yang luar biasa.
“Jangan meronta-ronta seperti kanak-kanak,” berkata Sutawijaya,
“lukamu akan berdarah lagi.”
“Jangan, jangan,” orang itu masih tetap meronta ketika dua orang pengawal memegang lengannya dan membawanya turun dari serambi.
“Jagalah luka-lukamu. Kenapa kau tiba-tiba saja menjadi seorang pengecut.”

Orang itu tidak sempat menjawab. Ia masih saja berteriak dan meronta-ronta. Tetapi kedua pengawal itu membawanya langsung ke belakang serambi.
“Seorang pun tidak boleh melihat caraku memeriksa orang itu,” berkata Sutawijaya sambil mengedarkan pandangan matanya.
“Para pengawalku akan menjaga. Siapa yang memaksa ingin melihat, akan mengalami nasib yang serupa dengan orang itu. Aku tidak ingin kalian tidak dapat tidur sepanjang hidup kalian karena kalian melihat, bagaimana aku menyiksa orang yang tidak mau menjawab pertanyaanku. Hanya orang-orang yang aku tunjuk sajalah yang boleh mengikuti aku.”
Tidak ada seorang pun yang menjawab.
“Aku minta perintah ini ditaati,” berkata Sutawijaya kemudian. Dan diperintahkannya para pengawalnya untuk mengawasi orang-orang di barak itu. Katanya kemudian,
“Para tawanan ini pun harus diawasi baik-baik. Siapa yang mencoba melarikan diri, ia pasti akan menyesal, karena ia akan mengalami perlakuan yang lebih mengerikan.”
Barak itu telah dicengkam oleh kengerian yang memuncak. Dada mereka menjadi tegang dan darah mereka serasa menjadi semakin lambat mengalir. Sutawijaya kemudian meninggalkan serambi itu, pergi ke belakang barak. Yang dibawanya adalah Truna Podang beserta kedua anaknya dan Sumangkar. Seorang pengawal dan pemimpin pengawas yang terluka itu.
“Kalau kau ingin membalas, kau akan mendapat kesempatan,” berkata Sutawijaya. Tetapi pemimpin pengawas itu tidak menjawab. Ia sama sekali tidak mengira, bahwa demikianlah yang akan dijumpainya, justru setelah Sutawijaya sendiri datang.
Orang yang berdahi lebar itu masih saja meronta-ronta. Apalagi ketika ia melihat kehadiran Sutawijaya. Tiba-tiba saja ia berteriak,
“Jangan, jangan, jangan Tuan. Aku minta ampun. Aku minta ampun.”

Sutawijaya mengerutkan keningnya. Dilihatnya orang itu menjadi sangat ketakutan. Wajahnya menjadi seputih kapas dan matanya meratap minta belas kasihan. Kiai Gringsing, Sumangkar, Agung Sedayu, dan Swandaru serta pemimpin pengawas yang terluka itu masih berdiri termangu-mangu. Namun terasa dada mereka terguncang-guncang oleh keheranan akan sikap Sutawijaya. Apalagi pemimpin pengawas yang terluka itu, yang masih belum dapat berdiri tegak sendiri, sehingga ia masih memerlukan pertolongan Agung Sedayu. Tetapi orang-orang itu menjadi semakin heran, bahwa Sutawijaya sama sekali tidak berbuat sesuatu. Ia masih berdiri saja sambil memandang orang yang berteriak-teriak itu,
“Ampun, aku minta ampun.”
Ketika Sutawijaya perlahan-lahan melangkah maju, maka nyawa orang itu serasa sudah melekat di ubun-ubun. Karena itu ia berteriak semakin keras. Kawan-kawannya yang masih ada di serambi, mendengar teriakan itu meskipun tidak begitu jelas. Namun setiap kali dada mereka berdesir. Terbayang di rongga mata mereka, kawannya yang berdahi lebar itu sedang mengalami siksaan yang tiada taranya, sehingga orang itu berteriak-teriak tidak menentu.
“Jangan, jangan,” teriak orang berdahi lebar itu.
Sutawijaya masih berdiri memandanginya dengan tajamnya. Perlahan-lahan ia mengangkat tangannya. Dengan ujung jarinya ia menyentuh lambung orang yang berdahi lebar itu. Oleh ketakutan yang dahsyat, maka sentuhan itu terasa bagaikan duri-duri cangkring yang tajam tergores dikulitnya. Karena itu ia berteriak semakin keras.
“He,”desis Sutawijaya,
“kenapa kau berteriak-teriak? Apakah aku sudah berbuat sesuatu?”
Pertanyaan itu telah menghentikan teriakan-akan yang seakan-akan mengumandang memenuhi pinggir hutan yang sedang dibuka itu.
“Kenapa kau berteriak-teriak?” ulang Sutawijaya,
“Coba katakan, apakah aku sudah berbuat sesuatu? Aku memang akan menyiksamu dengan cara yang paling kejam seperti sudah aku katakan. Aku ingin memeras semua keteranganmu tentang dirimu sendiri dan tentang gerombolanmu yang selama ini berkedok sebagai hantu-hantu di Alas Mentaok. Kalau kau tidak mau berbicara, maka aku akan mempergunakan segala macam cara tanpa menghiraukan perikemanusiaan. Tanpa menghiraukan belas kasihan dan peradaban manusia.”
“Jangan, jangan,” orang itu memohon. Suaranya merintih seperti ujung nyawanya sudah mulai lepas dari tubuhnya.
“Kenapa kau melarang? Itu terserah kepadaku. Selain Ayahanda Pemanahan, tidak ada orang yang lebih berkuasa dari aku di sini. Aku dapat berbuat apa saja. Aku dapat membunuh siapa saja tanpa dapat dituntut oleh seorang pun. Aku tidak takut oleh dendam siapa pun juga.”

Tubuh orang itu kini menggigil seperti sedang kedinginan.
“Lepaskan,” perintah Sutawijaya kepada kedua pengawalnya yang memegangi orang itu.
Pengawalnya menjadi ragu-ragu sejenak. Tetapi Sutawijaya mengulangi,
“Lepaskan. Sediakan saja tali yang cukup panjang. Apabila ia mencoba lari, ikatlah kedua tangannya dengan tali yang direntang pada dua batang pohon. Setiap orang akan lewat di sampingnya dan melakukan hukuman picis.”
“Tidak. Tidak,” orang itu berteriak lagi.
Perlahan-lahan kedua pengawal itu melepaskan pegangannya. Namun orang yang ketakutan itu hampir tidak dapat berdiri sendiri. Bukan saja karena lukanya, tetapi karena ia benar-benar dicengkam oleh kengerian mendengar ancaman-ancaman Sutawijaya. Tetapi, Sutawijaya kemudian justru tersenyum. Dengan terus terang ia berkata,
“Aku kecewa melihat sikapmu. Kau pasti bukan orang yang dapat dibanggakan oleh gerombolanmu. Sebelum kau tersentuh apa pun, kau sudah ketakutan setengah mati. Ayo, bersiaplah menerima siksaan yang paling berat.”
“Jangan, jangan, Tuan.”
Sutawijaya menarik nafas dalam-dalam. Tiba-tiba saja ia membentak,
“Siapa namamu?”
“Sura Mudal,” orang itu membentak pula diluar sadarnya.
“Kau menbentak aku he?”
“Tidak, tidak, Tuan. Aku tidak sengaja.”
“Nah, sekarang kau dapat memilih. Kau menjawab setiap pertanyaanku, atau aku benar-benar harus melakukan seperti yang aku katakan?”
Kiai Gringsing, Sumangkar, Agung Sedayu, Swandaru, dan pemimpin pengawas yang terluka itu menarik nafas dalam-dalam. Kini mereka sadar bahwa Sutawijaya telah melakukan suatu permainan yang berhasil. Bahkan Kiai Gringsing mengusap keningnya yang basah sambil berkata kepada diri sendiri,
“Ternyata putera Pemanahan ini pandai juga berkelakar, meskipun orang lain hampir menjadi pingsan karenanya.”
“Apakah kau dapat memilih?” bertanya Sutawijaya.
“Ya, ya. Aku dapat memilih.”
“Yang manakah yang kau pilih? Tubuhmu dilecut dengan ranting pohon cangkring yang berduri rapat kemudian disiram dengan air garam?”
“Tidak, tidak, Tuan. Jangan itu.”
“Jadi?”
“Aku, aku akan menjawab pertanyaan Tuan.”
Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Ternyata kau cukup bijaksana. Karena itu, duduklah. Kita berbicara dengan baik.”

Orang itu menjadi bingung melihat sikap Sutawijaya. Kini Sutawijaya tiba-tiba menjadi ramah dan baik.
“Duduklah,” berkata Sutawijaya. Ia sendiri mendahului duduk di bebatur barak bersandar dinding, diikuti oleh orang-orang lain yang menunggui pemeriksaan itu. Tetapi orang yang menyebut dirinya Sura Mudal itu masih berdiri dengan gemetar. Ia tidak mengerti apa yang harus dilakukan karena kecemasan dan ketakutan yang mencengkam jantung.
“Duduklah,” sekali lagi Sutawijaya mempersilahkannnya dengan ramah,
“jangan takut. Kalau kau dapat menempuh kebijaksanaan ini aku sangat hormat kepadamu. Sebenarnya memang tidak ada gunanya menyakiti diri sendiri. Tidak menjawab pertanyaan yang diajukan kepadamu, adalah suatu perbuatan yang sia-sia. Kau akan mengalami penderitaan. Sedang yang kau simpan itu pun akhirnya akan terloncat pula dari bibirmu karena segala macam cara. Mungkin cara yang belum pernah kau bayangkan.”
Orang itu masih berdiri kebingungan.
“Nah, kau sudah menjawab siapa namamu,” berkata Sutawijaya,
“sekarang duduklah di sini. Di sampingku.”
Dengan ragu-ragu orang itu melangkah maju. Sekali-sekali ia masih menyeringai karena luka-lukanya yang terasa sakit.
“Kau bernama Sura Mudal bukan?” berkata Sutawijaya kemudian.
“Nah, sekarang katakan, siapakah pemimpinmu?”
“Kiai Damar,” jawab orang itu.
“Apakah Kiai Damar itu pemimpin tertinggi di dalam lingkunganmu?”
“Tidak. Masih ada orang lain yang tidak aku ketahui.”
“Darimana kau tahu bahwa masih ada orang lain.”
“Aku sering melihat seseorang yang datang ke gubug Kiai Damar. Orang yang tinggi dan berjambang lebat.”
“Siapakah namanya?”
Orang itu menggelengkan kepalanya.
“Siapa namanya?” desak Sutawijaya.
“Benar, aku tidak tahu, Tuan. Aku tidak tahu.”

Sutawijaya mengangguk-angguk. Ia percaya bahwa orang itu tidak mengetahuinya.
“Coba sebutkan, berapa orang jumlah kawan-kawanmu seluruhnya?”
“Aku tidak tahu, Tuan.”
“He, kau tidak tahu? Kau tidak tahu jumlah orang-orang di dalam gerombolanmu.”
“Ya, ya, Tuan. Eh, maksudku aku tidak tahu. Tetapi yang ada bersama-sama dengan Kiai Damar, aku dapat mengetahuinya.”
“Berapa orang yang diserahkan kepada Kiai Damar?”
“Lima belas orang, ditambah dua orang penghubung.”
“Dua orang penghubung? Di mana yang dua orang itu?”
“Yang seorang tidak bersama kami sekarang. Yang seorang semalam ikut di dalam serangan ini. Tetapi mungkin ia mati terbunuh.”
“Salah seorang dari dua orang yang mati itu?”
“Agaknya benar, Tuan. Sebab ia tidak ada di antara kami yang tertangkap.”
“Ada dua orang yang mati. Tetapi dibunuh oleh Kiai Damar sendiri. Seorang dapat melarikan diri bersama Kiai Damar dan sisanya adalah kalian.”
Orang berdahi lebar itu mengangguk-angguk.
“Nah, yang manakah yang kau maksud dengan penghubung itu? Yang terbunuh atau yang melarikan diri?”
Orang itu menggeleng. Jawabnya,
“Aku tidak melihat keduanya. Juga yang melarikan diri aku tidak tahu pasti. Tetapi satu di antara tiga orang yang tidak ada di antara kami itulah penghubung itu.”
Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Penghubung itu pasti mengetahui agak banyak tentang kelompok rahasia yang selama ini mengganggu usahanya membuka Alas Mentaok.
“Sekarang, ceriterakan, apa saja yang pernah kau lakukan selama kau berperan sebagai hantu-hantu kecil di Alas Mentaok ini,” berkata Sutawijaya kemudian.
Orang itu menjadi ragu-ragu sejenak. Namun ketika Sutawijaya meraba lengannya, ia berkata,
“Ya, ya. Aku akan berceritera tentang Alas Mentaok.”
“Bukan tentang Alas Mentaok. Tetapi tentang dirimu sendiri. Apakah kau tahu maksudku?”
“Ya, ya. Aku tahu.”
“Nah, apa saja yang sudah kau lakukan sebagai hantu Alas Mentaok.”
Orang itu masih dicengkam oleh keragu-raguan. Namun sekali lagi Sutawijaya meraba tangannya sambil berkata,
“Kulitmu memang liat sekali.”
“Tidak. Tidak.” Dan orang itu pun mulai berceritera. Hampir tidak ada yang dilampauinya, apa yang diketahuinya diceriterakannya kepada Sutawijaya.

Kiai Gringsing, Agung Sedayu, dan Swandaru yang mendengar ceritera itu pula, mengangguk-anggukkan kepala mereka. Kini menjadi semakin jelas, apa saja yang selama ini mereka hadapi. Kini ternyata pula orang yang pernah dengan ketakutan mendekap Swandaru di tempat kerjanya, adalah orang-orang Kiai Damar pula. Kemudian ular dan bahkan api itu.
“Jadi, kau hanya mengenal Kiai Damar sebagai pemimpinmu?”
“Ya, Tuan, Kiai Damar yang sekarang.”
“Yang sekarang? Apakah ada Kiai Damar yang dahulu.”
Orang itu tidak segera menjawab.
“Katakanlah,” Sutawijaya bergeser setapak mendekati orang itu.
“Ya, ya. Kiai Damar memang pernah berganti. Tetapi kedua orang itu memang mirip sekali.”
“Ah, apakah kau sedang bermimpi? Mungkin orangnya memang sama. Tetapi supaya menimbulkan kesan yang lain, dibuatnya ceritera yang aneh-aneh itu.”
Orang itu mengerutkan keningnya. Lalu,
“Bukan, memang bukan orang lain. Tetapi Kiai Damar yang dahulu sudah mati. Tetapi ia hidup lagi. Orang itu adalah Kiai Damar yang sekarang. Tetapi ada beberapa hal yang dahulu sudah tidak diingatnya lagi.”
Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Sejenak ia berpaling memandang Kiai Gringsing yang termangu-mangu. Untuk beberapa lama orang-orang yang duduk di belakang barak itu saling berdiam diri. Mereka sedang merenungi angan-angan masing-masing yang mengambang dari waktu ke waktu. Mereka seakan-akan melihat apa yang telah terjadi selama ini di daerah yang sedang dibuka itu. Semula orang-orang itu datang dengan membawa harapan untuk mendapat tanah yang lebih baik dari daerah yang mereka tinggalkan. Mereka membawa harapan untuk hidup di dalam suatu negeri yang makmur, adil, dan harapan untuk mendapat kesempatan yang baik karena mereka termasuk orang-orang yang membuka tanah. Mereka termasuk perintis-perintis jalan untuk masuk ke Alas Mentaok lebih dalam lagi. Namun kemudian mereka telah dicengkam oleh ketakutan. Beberapa orang menjadi putus asa dan meninggalkan daerah yang sudah mulai mereka buka. Sebagian masih bertahan karena mereka sudah tidak mempunyai tempat untuk kembali. Namun setiap hari mereka selalu dibayangi oleh ketakutan dan kecemasan. Hari depan mereka menjadi suram, dan harapan-harapan yang sudah mereka susun pada saat mereka berangkat itu satu-satu menjadi pecah berserakan seperti kepingan mangkuk yang jatuh di atas batu hitam. Apalagi di saat-saat terakhir. Mereka hampir menjadi gila karenanya. Mereka kehilangan segala macam harapan dan gairah bagi masa depan mereka. Mereka bahkan merasa bahwa maut setiap saat telah membelai kepala mereka.

Tetapi mereka tiba-tiba saja telah dikejutkan oleh peristiwa semalam. Orang yang menyebut dirinya Truna Podang, dan yang selama ini mereka anggap sebagai seorang yang aneh, sombong dan tidak mengenal takut itu, bersama anak-anaknya telah berhasil menangkap hantu-hantu yang selama ini menakut-nakuti mereka. Peristiwa ini adalah merupakan suatu tingkatan baru di dalam perjalanan hidup mereka. Harapan yang telah musnah itu, selapis demi selapis telah mereka susun kembali di dalam hati. Tetapi semuanya masih belum mantap. Persoalan hantu-hantu itu masih belum selesai Mungkin masih akan ada akibat-akibat yang menimpa orang-orang yang diombang-ambingkan oleh keadaan itu. Orang-orang yang terluka, yang terbaring di serambi depan menjadi semakin cemas dan berdebar-debar. Kawannya yang dibawa ke belakang barak itu sudah tidak terdengar suaranya lagi. Mereka menyangka bahwa orang berdahi lebar itu, telah terbaring di tanah tanpa dapat berbuat sesuatu. Mungkin tubuhnya telah hancur disayat oleh duri-duri cangkring yang tajam. Darah bercampur keringat telah membasahi seburuh tubuhnya yang tidak berbentuk lagi.


Halaman 1 2 3


<<< Jilid 057                                                                                                       Jilid 059 >>>

Tidak ada komentar:

Posting Komentar