“ternyata daerah Mataram menyimpan banyak rahasia yang tidak kita ketahui. Kita yang merasa telah mengenal hutan ini sebaik-baiknya, namun ternyata perhitungan kita masih keliru juga. Semalam aku telah gagal lagi. Ternyata orang-orang tua yang ada di dalam barak itu bukan orang-orang kebanyakan. Kau harus membuat perhitungan yang cermat untuk menentukan sikap di sini.”
“Aku akan
menghadap guru,” berkata orang berjambang itu.
Kiai Damar mengerutkan
keningnya. Katanya,
“Itu akan
lebih baik daripada kita bertindak sendiri. Aku tidak dapat mengimbangi salah
seorang dari dua orang tua-tua yang ada di barak itu. Dan barangkali kau masih
harus menyediakan tenaga sepenuhnya untuk melawan anak-anaknya.”
Orang itu
menggeram. Katanya,
“Karena itu
aku akan menghadap guru. Tidak ada seorang manusia pun yang akan dapat
melawannya. Bahkan seandainya Ki Gede Pemanahan sendiri akan turun ke
gelanggang, maka itu akan berarti rencananya semakin cepat musnah. Ia tidak
akan berhasil menyelesaikan kerja ini.”
Kiai Damar
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Mudah-mudahan
orang tua itu tidak berkeberatan.”
“Tentu tidak?
Bukankah guru juga yang menganjurkan kita melakukan ini semua? Dan Paman
menyetujuinya?”
“Ya,” Kiai
Damar mengangguk-anggukkan kepalanya,
“tetapi
menghancurkan mereka bukan penyelesaian yang tuntas. Seandainya Ki Gede
Pemanahan terusir dari Mentaok sekali pun, bahkan terbunuh, maka kau masih akan
menghadapi soal-soal lain.”
“Itu sudah aku
perhitungkan, Paman. Maksud Paman, bahwa kekuasaan Sultan Pajang masih tetap
mencakup hutan Mentaok.”
“Ya.”
“Sultan Pajang
akan berterima kasih kalau usaha Pemanahan gagal. Bukankah dengan berat hati
Sultan Pajang menyerahkan Mataram kepada Pemanahan? Kalau Sultan tidak
mengingat putera angkatnya itu anak Pemanahan, maka aku kira Pemanahan justru
sudah digantungnya di alun-alun.”
“Mungkin
begitulah kalau kau yang kebetulan menjadi Sultan Pajang. Seorang Raja tidak
akan berbuat demikian. Ia telah berjanji untuk menyerahkan Pati dan Alas
Mentaok kepada mereka yang dapat membunuh Arya Penangsang. Penjawi sudah
mendapatkan Pati, dan wajar sekali kalau Pemanahan menuntut Bumi Mentaok.”
“Tetapi Sultan
juga tahu, bahwa yang membunuh sebenarnya bukan Pemanahan dan Penjawi, tetapi
putera angkatnya itu.”
“Tentu. Tetapi
laporan yang diterimanya menyebut bahwa yang melakukan adalah Penjawi dan
Pemanahan. Ia tidak akan dapat ingkar akan janjinya. Siapa pun yang
melakukannya, tetapi keduanya yang menyatakan dirinya tanpa ada orang lain yang
mengemukakan keberatannya.”
“Nah, karena
itulah maka kegagalan Pemanahan akan menyenangkan hatinya. Karena ia memberikan
Mataram tidak dengan ikhlas hati.”
“Lalu
bagaimana dengan Pati?”
Orang berjambang
itu mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak menyahut.
“Sultan Pajang
tidak pernah mempersoalkan Pati. Kenapa ia berkeberatan atas Mentaok?” bertanya
Kiai Damar.
“Mentaok
terlampau dekat dengan pusat pemerintahan Pajang.”
“Bukan itu.
Tetapi bagi Sultan Pajang, menyerahkan Mentaok secara resmi tidak ada gunanya,
karena akhirnya ia akan memberikan juga kedudukan kepada anak Pemanahan. Buat
apa Pemanahan harus menuntut haknya apabila kelak akan temurun juga kepada
Sutawijaya. Tentu Sultan Pajang menilai juga hal itu. Tetapi ia pasti tidak
akan berkeberatan apabila pada suatu saat Mentaok dapat menjadi ramai. Bukankah
kelak Sutawijaya juga yang akan menjadi penguasa daerah ini? Apakah kelak ia
akan menguasai Mataram sebagai seorang putera raja yang mewakili kekuasaan
ayahnya, atau sebagai seorang adipati, seperti Sultan Pajang dahulu atau
sebagai kepala suatu daerah yang mendapat hak sebagai tanah perdikan, itu masih
belum jelas.”
“Tetapi
seperti yang Paman katakan sendiri, Sultan agaknya memang mencurigai niat
Pemanahan. Inilah yang harus dimanfaatkan.”
Kiai Damar
merenung sejenak. Keningnya masih juga berkerut-merut. Tetapi kini
iring-iringan yang dipimpin Raden Sutawijaya sudah menjadi semakin jauh dan
hilang di balik rimbunnya dedaunan.
“Bagaimana kau
dapat memanfaatkan kecurigaan Sultan Pajang kepada Ki Gede Pemanahan atau
justru kepada putera angkatnya itu?”
“Serahkan
kepadaku. Sultan pasti akan segera menggerakkan senapati muda yang dikuasakan
di daerah Selatan ini. Apakah kau kenal dengan Untara?”
“Orangnya
belum. Tetapi namanya sudah. Hampir setiap orang di daerah Selatan mengenalnya.
Menurut pendengaranku, Untara-lah yang menyelesaikan masalah orang-orang Jipang
yang kehilangan pegangan sesudah Arya Penangsang gugur.”
“Ya. Ia telah
berhasil membunuh Tohpati, Macan Kepatihan.”
“Apakah yang
dapat dilakukan oleh Untara?”
“Untara adalah
seorang senapati. Ia akan menjalankan tugas yang diperintahkan oleh Sultan
Pajang. Ia adalah seorang yang setia. Ia ikut berjuang menegakkan Pajang.”
Kiai Damar
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Mudah-mudahan
Untara benar-benar seorang senapati yang baik.”
“Tentu.”
“Tetapi,”
berkata Kiai Damar,
“apa
hubungannya dengan usaha kita sekarang?”
“Kita akan
mendesak Sutawijaya. Kita akan melontarkannya ke luar dari dalam hutan. Dan
kita berharap bahwa kita dapat berbuat sesuatu di istana untuk memancing Untara
mendekati pusat pemerintahan tanah yang baru di-buka ini, sehingga Sutawijaya
akan menghadapi kesulitan. Ia harus mengatasi perlawanan dari dalam hutan ini,
yang meskipun agaknya cara kita yang pertama sudah gagal karena kehadiran
orang-orang gila yang menyebut dirinya gembala itu, tetapi kita akan mencari
cara lain, bahkan kalau perlu seperti yang sudah kita lakukan. Beradu dada.
Kita menyerang di setiap saat, kemudian kita akan menarik diri. Selain itu,
Sutawijaya harus selalu berhati-hati menghadapi pasukan Untara yang mendekati
pusat pemerintahan tanah Mataram.”
Kiai Damar
mengerutkan keningnya. Ia berpikir sejenak untuk mencoba mencernakan kata-kata
orang berkumis itu. Tetapi kemudian ia berkata,
“Aku kurang
mengerti jalan pikiranmu.”
“Paman,”
berkata orang itu,
“katakanlah
bahwa Sultan Pajang tidak banyak mempunyai tuntutan atas tanah Mataram. Ia
sudah memberikan. Tetapi ia tidak dapat melepaskan kecurigaan itu, kecurigaan
atas Ki Gede Pemanahan, sehingga ia berada di simpang jalan. Ia melepaskan
Mataram dengan harapan agar putera angkatnya dapat mempergunakannya
sebaik-baiknya, tetapi juga ia curiga kalau Mataram kelak justru menjadi besar
di bawah Ki Gede Pemanahan.”
Kiai Damar
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia masih juga berkata,
“Ada beberapa
perbedaan tangkapan. Tetapi pada dasarnya kau telah mencoba mengerti pikiranku.
Aku juga mengerti jalan pikiranmu. Kau akan menempuh dua jalan apa pun yang ada
di dalam hati Sultan Pajang. Kita harus dapat meraba-raba. Tetapi kalau kau
berhasil, mungkin kau akan mendapat tempat yang baik. Aku setuju. Tetapi kau
harus berhati-hati agar kau tidak terjerumus ke dalam kesalahan yang dapat
membawamu ke tiang gantungan.”
Orang
berjambang itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Aku akan
selalu minta nasehat guru.”
“Aku tahu,
gurumu jugalah yang mempunyai pikiran itu.”
“Ya.”
“Ia adalah
orang yang paling benci terhadap Pemanahan justru karena Pemanahan membuka
hutan ini. Mudah-mudahan orang Mangir dapat bekerja bersama dengan kita di
sini.”
Orang
berjambang itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan Kiai Damar berkata,
“Tetapi apakah
kau akan segera pergi ke Pajang?”
“Aku akan
menunggu sejenak. Kemudian aku akan pergi ke Pajang lewat Jati Anom. Kalau
mungkin aku akan melihat kesiagaan Untara meskipun aku tidak akan menemuinya.
Kalau pada suatu saat aku datang ke Jati Anom, aku akan membawa perintah dari
Pajang kepada, Untara untuk memagari Mataram dengan pasukan.”
Kiai Damar mengangguk-anggukkan
kepalanya.
“Aku percaya
bahwa kau akan dapat melakukannya. Tetapi kau harus menyesuaikan dirimu setiap
saat ada perubahan tanggapan atas sikap dan pendapat Sultan Pajang.”
Orang itu
mengangguk.
“Marilah, kita
kembali. Kita melakukan persiapan baru menghadapi perkembangan keadaan. Kita
menyusun rencana dari dalam hutan ini, sebelum kau berhasil menggiring Untara
datang ke pinggir Alas Mentaok.”
Orang-orang
itu pun kemudian meninggalkan tempat persembunyiannya. Kuda-kuda yang mereka intip
pun sudah menjadi sangat jauh. Dalam pada itu Sutawijaya dan pasukannya pun
yang kecil itu maju terus mendekati barak yang telah menarik perhatian itu.
Semakin lama semakin dekat. Ternyata mereka tidak menemui kesulitan apa pun di
perjalanan mereka yang melelahkan. Derap kaki-kaki kuda yang mendekati barak
itu pun segera didengar oleh orang-orang yang sedang duduk-duduk di sekitar
barak mereka. Agung Sedayu dan Swandaru pun segera bangkit dan turun ke
halaman. Banyak kemungkinan dapat terjadi dengan derap kaki-kaki kuda itu.
Karena itu, ia pun harus berhati-hati. Kiai Gringsing dan Sumangkar pun telah
berdiri pula di tangga serambi, sedang beberapa orang yang terluka itu menjadi
berdebar-debar pula. Mereka tahu benar bahwa dua orang kawannya yang terbunuh
itu justru mati oleh kawan mereka sendiri. Itulah sebabnya mereka menjadi
sangat cemas, siapa pun yang datang. Ia cemas kalau yang datang itu para
pengawal dari Mataram, karena mereka akan segera diserahkan untuk mendapatkan
hukuman. Tetapi mereka juga cemas apabila yang datang itu kawan-kawan mereka
sendiri. Sejenak kemudian kuda-kuda itu telah memasuki halaman barak di pinggir
hutan. Dibayangi oleh sebuah senyum di bibirnya, Sutawijaya memandang Agung
Sedayu dan Swandaru yang datang menyongsongnya.
“Aku sudah
menduga,” kata-kata itulah yang pertama-tama diucapkan oleh Sutawijaya.
Tetapi anak
muda yang masih di atas punggung kuda itu mengerutkan keningnya ketika ia
melihat Agung Sedayu dan Swandaru membungkukkan badannya dalam-dalam sambil
berkata,
“Kami di sini
semuanya mengucapkan selamat datang. Meskipun kami belum mengetahui siapakah
Tuan, tetapi kami pasti, bahwa Tuan adalah salah seorang pemimpin dari Tanah
Mataram yang sedang dibuka ini.”
Pengawal yang
berkuda di paling depan sudah meloncat dari kudanya. Ia tidak sempat
memikirkan, kenapa Sutawijaya berkata, bahwa ia ‘sudah menduga’.
“Yang datang
adalah puteranya Ki Gede Pemanahan, Raden Sutawijaya yang bergelar Mas Ngabehi
Loring Pasar,” berkata pengawas itu kepada Agung Sedayu dan Swandaru.
“Hormat kami
berdua bagi Raden Sutawijaya,” berkata Agung Sedayu dan Swandaru hampir
berbareng.
Sutawijaya
menarik nafas dalam-dalam. Di dalam hati ia menggerutu,
“Anak-anak ini
sudah kejangkitan penyakit gurunya.”
Tetapi
Sutawijaya hanya mengangguk-anggukkan kepalanya saja. Bahkan tiba-tiba ia
bertanya,
“Di mana
ayahmu?”
Agung Sedayu
mengerutkan keningnya. Namun ia tersenyum kecil. Ternyata Sutawijaya mengerti
bahwa ia tidak ingin segera menyebut nama Agung Sedayu.
“Itulah,
Tuan,” jawab Agung Sedayu sambil menunjuk kepada seorang tua yang berdiri di
tangga, di samping Sumangkar.
Sutawijaya
mengerutkan keningnya. Dan tiba-tiba pula ia berdesis,
“Paman
Sumangkar ada di sini pula?”
Agung Sedayu
tidak menyahut.
Tetapi
Sutawijaya pun kemudian tersenyum. Sambil turun dari kudanya ia berkata,
“Kaliankah
yang disebut orang-orang yang bersenjata cambuk?”
Agung Sedayu
mengangguk,
“Memang kami
adalah keturunan gembala yang selalu membawa cambuk.”
Sutawijaya
menepuk bahu Agung Sedayu sambil berbisik,
“Macam kau.
Kenapa kau masih saja suka bermain-main.”
“Kami
menghadapi hantu-hantu,” desis Agung Sedayu.
Sutawijaya
menarik nafas dalam-dalam. Para pengiringnya pun kemudian telah turun pula dari
kuda mereka, dan menambatkannya di halaman. Perlahan-lahan mereka melangkah maju
mendekati barak. Pemimpin pengawas yang terluka dengan susah payah, dibimbing
oleh Kiai Gringsing berusaha untuk menyongsong kedatangan Sutawijaya.
“Kaukah yang
terluka?”
“Ya, Tuan,”
jawab pemimpin pengawas itu.
“Dan kau
gembala tua yang bersenjata cambuk dan berkain Gringsing itu?”
Kiai Gringsing
mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia menjawab sambil tersenyum pula,
“Sampai begitu
teliti laporan itu sampai kepada Tuan. Apakah pengawas itu menyebut bahwa
berkain gringsing yang sudah lusuh?”
Sutawijaya tertawa.
Tetapi pengawas yang berdiri di belakangnya, yang membawa laporan kepada putera
Pemanahan itu menjadi terheran-heran. Ia sama sekali tidak menyebutkan pakaian
orang tua itu, apalagi menyebutkan berkain gringsing. Ia hanya mengatakan bahwa
gembala itu bersama dua anaknya bersenjata cambuk.
“Inilah tempat
yang ada,” berkata pemimpin pengawas yang terluka itu.
“Kami tidak
dapat mempersilahkan pada tempat yang lebih baik.”
Sutawijaya
memandang pemimpin pengawas itu sejenak, lalu,
“Agaknya
lukamu cukup parah. Beristirahatlah. Jangan kau risaukan tempat untuk rombongan
kami. Kami adalah sama-sama prajurit dan pengawal Tanah yang baru dibuka ini.
Kami harus menyesuaikan diri di dalam segala keadaan.”
Pemimpin
pengawas itu menganggukkan kepalanya
“Aku ingin
mendengar berita tentang daerah ini. Biarlah kawanmu yang kemarin datang ke
Mataram berceritera tentang perjalanannya yang sangat berat, sehingga salah
seorang dari mereka telah menjadi korban.”
“He?” pemimpin
pengawas itu terkejut. Sutawijaya berpaling kepada pengawas yang datang
kepadanya sambil berkata,
“Nanti kau
ceriterakan perjalananmu dan Wanakerti kepadanya. Sekarang aku ingin mendengar
laporannya tentang daerah ini.”
Pemimpin
pengawas itu termangu-mangu sejenak. Lalu,
“Tetapi kami
ingin mempersilahkan Tuan duduk sejenak.”
Sutawijaya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia pun kemudian berjalan ke serambi barak
bersama pemimpin pengawas itu, Kiai Gringsing, Agung Sedayu, Swandaru, dan
Sumangkar.
“Apakah kau
juga seorang gembala?” bertanya Sutawijaya kepada Sumangkar sambil tertawa.
“Jika kau juga
seorang gembala tunjukkan cambukmu kepadaku.”
Sumangkar
tersenyum. Sambil membungkukkan badannya ia berkata,
“Yang aku
gembalakan bukan domba, Tuan. Tetapi diriku sendiri.”
Sutawijaya pun
tertawa pula. Ternyata sikap Sutawijaya kepada keempat orang itu membuat
pemimpin pengawas dan para pengawas yang lain menjadi heran. Bahkan orang-orang
yang kemudian berkerumun di bawah tangga serambi pun menjadi heran pula. Tetapi
mereka tidak bertanya apa pun tentang mereka. Tetapi ketika mata Sutawijaya
menyentuh orang-orang yang terbaring di ujung serambi itu pun ia mengerutkan
keningnya. Dan sebelum ia berkata sesuatu, pemimpin pengawas itu sudah
mendahuluinya,
“Itulah yang
akan aku laporkan kepada Tuan.”
Sutawijaya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia pun kemudian duduk di serambi itu di atas
tikar yang sudah kumal, sedang para pengiringnya tetap berada di halaman. Sejenak
Sutawijaya masih memandangi orang-orang yang terbaring di ujung serambi itu.
Sedang orang-orang yang terluka itu pun menjadi semakin cemas karenanya. Yang
datang ternyata adalah pemimpin tertinggi dari Mataram. Beberapa di antara
mereka yang sudah dapat duduk bersandar dinding, tiba-tiba telah membaringkan
dirinya pula di samping kawan-kawannya.
“Itulah hantu-hantu
Alas Mentaok yang kamanungsan,” berkata Kiai Gringsing.
Sutawijaya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Hantu-hantu
yang malang. Apakah mereka kehilangan kesaktian mereka untuk melenyapkan diri?”
“Hantu-hantu
yang sudah terlanjur tersentuh tangan manusia tidak akan dapat melenyapkan
dirinya lagi. Itulah sebabnya aku katakan kepada Tuan, mereka adalah hantu yang
kamanungsan. Apalagi sesudah matahari terbit, mereka tidak akan berdaya sama
sekali.”
Sutawijaya
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Apakah mereka
sudah dapat diajak berbicara dengan bahasa manusia.”
“Tentu, Tuan,
tetapi luka-luka mereka kadang-kadang masih mengganggu. Mungkin Tuan harus
menunggu beberapa saat. Kalau keadaan mereka menjadi baik, maka mereka akan
segera dapat menjawab pertanyaan yang diberikan kepada mereka.”
Sutawijaya
masih mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu ia bertanya,
“Darimana
kalian dapat menangkap hantu-hantu itu?”
“Mereka datang
sendiri kemari. Semalam,” jawab Kiai Gringsing.
“Menyenangkan
sekali,” desis Sutawijaya. Orang-orang yang terluka itu mendengarkan percakapan
Sutawijaya dan gembala tua yang bersenjata cambuk itu dengan hati yang terasa
menjadi semakin panas. Tetapi mereka tidak dapat berbuat apa-apa. Apalagi
sekarang, di hadapan pemimpin tertinggi Mataram yang membawa beberapa orang
pengawal.
Kiai Gringsing
pun kemudian berkata kepada pemimpin pengawas itu,
“Kaulah yang
berkewajiban untuk menyampaikan laporan tentang keadaan di daerah ini.”
“Ya. Akulah
yang berkuwajiban,” tetapi ia kemudian berkata kepada Sutawijaya,
“Tetapi maaf
Tuan. Ternyata Ki Truna Podang lebih banyak mengetahui keadaan di daerah ini
daripada aku. Apalagi setelah aku terluka. Karena itu, apabila Tuan tidak
berkeberatan, biarlah Ki Truna Podang sajalah yang memberikan laporan tentang
daerah ini atas namaku.”
“O, jadi orang
inilah yang bernama Truna Podang.”
Pemimpin
pengawas itu justru menjadi termangu-mangu, sedang pengawas yang membawa
laporan ke Mataram pun, yang mendengar juga dari bawah tangga, menjadi heran.
Ia memang menyebut nama orang tua itu Truna Podang, gembala yang bersenjata
cambuk. Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian,
“Baiklah.
Mungkin aku dianggap orang yang banyak berbicara, sehingga akulah yang paling
pantas untuk menyampaikan laporan ini.”
“Ah,” pemimpin
pengawas itu berdesah. Tetapi ia tidak mengatakan apa-apa. Ia tidak menyatakan
keheranannya, bahwa di hadapan Raden Sutawijaya, gembala tua itu seakan-akan
berbicara sesuka hatinya. Dan agaknya Sutawijaya sendiri bersikap aneh pula
terhadap gembala itu beserta anak-anak dan tamunya.
Kiai Gringsing
pun kemudian menceriterakan kepada Sutawijaya apa yang sudah terjadi di sekitar
barak itu. Diberinya sedikit pengantar tentang apa yang terjadi beberapa saat
sebelumnya. Pertentangan-pertentangan yang timbul, sikap yang kasar dan
mencurigakan. Kemudian perselisihan di antara mereka sendiri. Akhirnya
terjadilah peristiwa semalam. Dan Kiai Gringsing tidak lupa pula mengatakan,
bahwa mereka telah membunuh kawan-kawan mereka yang tidak mereka perlukan lagi.
Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Samar-samar ia dapat membayangkan
apa yang sudah terjadi. Bahkan ia berkata di dalam hatinya,
“Apakah
jadinya kalau Kiai Gringsing tidak datang ke tempat ini.”
Namun dengan
demikian Sutawijaya segera dapat mengambil kesimpulan pula, bahwa di
tempat-tempat lain yang selalu diganggu oleh hantu-hantu itu pun pasti terjadi
persoalan yang serupa. Yang mengganggu itu pasti sama sekali bukan hantu,
seperti yang terjadi di tempat ini.
“Jika
demikian, mereka pasti mempunyai kekuatan yang cukup dan jumlah orang yang
memadai. Mereka ternyata menguasai daerah yang luas di sekitar Alas Mentaok.
Hampir setiap daerah pembukaan hutan, hantu-hantu itu selalu mengganggu mereka
dan berusaha mendesak mereka keluar dari tlatah hutan Mentaok.”
“Kita sudah
dapat menduga, apakah maksud mereka. Tetapi maksud yang lebih dalam lagi, kita
masih harus meraba-raba.”
“Ya. Mula-mula
mereka akan menggagalkan pembukaan hutan ini. Selanjutnya, kita belum tahu.”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya,
“Kita
mempunyai beberapa orang tawanan. Kita akan segera dapat bertanya kepada mereka
apabila keadaan mereka berangsur baik.”
“Ya. Tetapi
apakah peristiwa ini tidak akan mempengaruhi sikap mereka di daerah-daerah yang
lain?”
“Memang
mungkin. Tetapi aku kira mereka sedang memusatkan perhatian mereka di tempat
ini. Di tempat yang mereka anggap tidak menguntungkan dan berbahaya.”
Sutawijaya
mengerutkan keningnya. Sebagai seorang pemimpin ia tidak membatasi sudut
pandangannya sekedar daerah yang sedang dihadapinya. Tetapi Sutawijaya mulai
membuat gambaran apa yang dapat terjadi di daerah-daerah lain. Mungkin
pembalasan dendam, mungkin pelepasan sakit hati atau semacam itu. Bahkan di
beberapa tempat yang masih belum mendengar peristiwa ini, pasti masih selalu
dibayangi oleh ketakutan karena hantu-hantu Alas Mentaok. Tetapi agaknya
hantu-hantu itu kini memang justru sedang menyoroti daerah yang mereka anggap
sebagai pintu gerbang dari kegagalan mereka. Meskipun mereka dapat berbuat banyak
di daerah lain, namun dari daerah ini pasti akan tersebar berita tentang
peristiwa yang telah terjadi di sini. Sementara itu Sutawijaya masih merenungi
daerah yang sedang dibinanya. Mataram. Daerah yang sedang dikembangkannya
menjadi suatu negeri yang ramai. Namun kini ia harus menghadapi rintangan yang
cukup berat baginya.
Sejenak
kemudian maka Sutawijaya itu pun berkata,
“Aku mempunyai
perhitungan, bahwa mereka, maksudku orang-orang yang tidak kita kenal itu,
pasti sedang menyiapkan orang-orangnya yang terpencar. Mereka pasti menyiapkan
diri untuk suatu tindakan yang cermat atas daerah ini. Mereka harus dapat
menyembunyikan kekalahan mereka serapat-rapatnya, supaya mereka masih mempunyai
lapangan yang luas untuk membuat rencana-rencana baru bagi daerah-daerah yang
lain.”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Ya,” jawab
orang tua itu, “Beberapa dari orang-orang mereka itu tertawan di sini. Mereka
pasti mempunyai rencana untuk itu. Mengambil mereka, atau membinasakan mereka
sama sekali.” Kiai Gringsing berhenti sejenak, lalu,
“Bahkan
mungkin ia akan berbuat lebih jauh lagi di sini.”
Sutawijaya
mengerutkan keningnya. Dipandanginya halaman yang terhampar di depan barak itu.
Kemudian pepohonan yang jarang, dikelilingi oleh pagar yang lemah. Di muka
barak itu sebuah jalan menghubungkan regol halaman ini dengan gardu pengawas
yang kosong. Sedang ujung lain adalah barak yang sebuah lagi.
“Untuk
sementara kita hanya dapat bertahan,” berkata Sutawijaya.
“Aku tidak
memperhitungkan sampai sejauh ini ketika aku belum melihat keadaan terakhir.
Sedang para pengawas yang datang ke Mataram itu pun masih belum dapat
mengatakannya, karena hal itu terjadi setelah mereka meninggalkan tempat ini.”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Apakah ada di
antara mereka yang sudah dapat diajak berbicara?” bertanya Sutawijaya.
Kiai Gringsing
mengangguk.
“Ada dua atau
tiga orang yang meskipun tidak terlalu banyak, dapat dimintakan keterangan
kepada mereka.
“Aku ingin
berbicara dengan mereka. Sedikit saja.”
“Silahkan.”
Sementara
orang-orang di dalam barak itu menyediakan minuman panas untuk Sutawijaya dan
pengiringnya, Sutawijaya sendiri bangkit berdiri diikuti oleh Kiai Gringsing
mendekati orang-orang yang terluka.
“Orang yang
berdahi lebar itulah yang agaknya dapat dibawa berbicara meskipun tidak
terlampau banyak. Lukanya tidak begitu parah. Bahkan ia sudah dapat duduk
bersandar dinding.”
Sutawijaya
memandang orang yang berdahi lebar itu. Katanya kemudian,
“Apanya yang
terluka?”
“Pundak dan
lambungnya. Darahnya kadang-kadang masih mengalir apabila ia terlalu banyak
bergerak. Orang ini agak keras kepala. Kadang-kadang ia menggeliat atau bangkit
dengan tiba-tiba.”
“Tetapi masih
ada tempat untuk mencekiknya atau menikam dengan keris pusaka ini.”
Kiai Gringsing
mengerutkan keningnya mendengar jawaban Sutawijaya itu. Apalagi ketika
Sutawijaya kemudian berdiri setapak di samping orang itu.
“Siapa
namamu?” bertanya Sutawijaya.
Orang itu
tidak menyahut.
“Siapa
namamu?”
Orang itu
masih diam saja.
“Kau tidak mau
menjawab? Baiklah. Sekarang aku bertanya tentang yang lain. Siapakah pemimpin
yang tertinggi yang kau kenal di dalam gerombolanmu. Katakanlah, hantu yang
paling tinggi derajatnya. Apakah kau kenal?”
Orang itu
tidak menyahut.
“Dan berapa
orang yang ada di dalam lingkunganmu seluruhnya yang tersebar di hutan ini?”
Orang itu sama
sekali tidak menjawab.
Tetapi orang
yang berdahi lebar itu, bahkan kawannya yang berbaring di sekitarnya, terkejut
ketika tiba-tiba saja Sutawijaya tertawa,
“Bagus. Memang
seharusnya kau tidak menjawab. Kau adalah laki-laki yang sudah berjanji untuk
terjun ke dalam dunia yang hitam. Karena itu, kau harus tetap bertekad di dalam
keadaan apa pun juga untuk bersatu di dalam ikatan batin dengan kawan-kawanmu,
meskipun kadang-kadang pemimpinmu sendiri kurang mempercayaimu. Terbukti ada di
antara kawan-kawanmu yang mati terbunuh oleh pemimpin-pemimpinmu sendiri,
pemimpin-pemimpin kecil.” Sutawijaya berhenti sejenak, lalu,
“Nah, sebelum
kau dibunuh oleh kawan-kawanmu sendiri, kau harus menunjukku bahwa kau adalah
seorang laki-laki. Ketahuilah, bahwa pada suatu saat, kalian akan kami
tempatkan di halaman ini sambil mengikat kalian pada tiang-tiang. Kalian akan
menjadi sasaran latihan memanah yang baik sekali bagi kawan-kawan kalian yang
bersembunyi di balik gerumbul-gerumbul liar di sekitar banjar ini. Kalau mereka
tidak pandai memanah, maka mereka akan merayap dengan diam-diam mendekati
kalian di malam hari, dan menikam dada kalian dengan keris, atau dengan tombak.
Apakah kalian mengerti?”
Orang itu
masih membeku. Tetapi wajahnya menjadi tegang. Bahkan kawan-kawannya yang lain,
yang terluka parah pun menjadi semakin kecut.
“Tetapi
sebelum itu, kami akan berusaha memeras keterangan dari kalian dengan segala
cara. Kami tahu, bahwa kalian adalah orang-orang jantan, yang tidak akan
membuka mulut kalian. Karena itulah maka kami akan memperlakukan kalian sebagai
laki-laki jantan. Kami akan menyiksa kalian dengan cara yang paling kejam yang
pernah disebut oleh manusia beradab.”
Kata-kata
Sutawijaya itu benar-benar telah mengejutkan orang-orang yang mendengarnya.
Bukan saja orang-orang yang sedang terluka, yang terbaring sebagai tawanan,
tetapi juga orang-orang di barak itu. Bahkan Kiai Gringsing dan kedua muridnya
serta Sumangkar pun menjadi heran pula.
“Apakah kemarahan
Raden Sutawijaya benar-benar telah sampai ke puncak ubun-ubunnya, sehingga ia
akan memperlakukan orang-orang yang sudah tidak berdaya itu sedemikian
kejamnya,” pertanyaan itu timbul di setiap dada.
Namun
demikian, ada juga orang-orang yang berkata di dalam hati.
“Nah, ternyata
putera Ki Gede Pemanahan pun memperlakukan demikian. Kenapa orang tua dan kedua
anak-anaknya itu telah mencegah kami? Seandainya Raden Sutawijaya itu ada di
sini, aku kira kita akan dapat melakukannya, meskipun harus membiarkan dua atau
tiga di antaranya tetap hidup untuk memberikan keterangan-keterangan yang
diperlukan.”
Tetapi kini
tawanan-tawanan itu sudah berada di tangan Sutawijaya. Orang-orang yang masih
dibakar oleh dendam itu hanya dapat menunggu. Mungkin mereka akan mendapat
giliran pula untuk melepaskan sakit hati mereka.
“Bersiaplah,”
berkata Sutawijaya,
“kau, orang
yang berdahi lebar yang tidak mau menyebut namanya dan tidak mau menjawab semua
pertanyaanku itulah yang harus mengalaminya pertama-tama. Kau tidak berkeberatan?”
Wajah orang
itu menjadi pucat.
“He, kenapa
kau menjadi pucat seperti orang yang ketakutan? Bukankah kau seorang laki yang
sudah menentukan sikap? Jangan menjadi pengecut. Jangan membuat lingkungan yang
kau pilih menjadi malu. Kau harus menengadahkan wajah dan dadamu sambil
berkata, “Inilah aku. Salah seorang dari segerombolan orang-orang yang telah
menghimpun diri dengan rahasia. Kami terdiri dari laki-laki jantan yang tidak
gentar menghadapi setiap kemungkinan’ Bukankah begitu? Dengan demikian kau
masih dapat berbangga di saat-saat terakhir.”
Orang berdahi
lebar itu tidak menjawab. Tetapi wajahnya menjadi semakin pucat.
“Bawalah orang
ini,” perintah Sutawijaya sambil berpaling kepada pengiringnya,
“bawalah orang
ini ke belakang barak ini. Aku ingin melihat, sampai di mana ia mempertahankan
kejantanannya. Sediakan sepotong dahan cangkring yang berduri rapat dan
semangkuk air garam.”
“Jangan,
jangan,” tiba-tiba orang berdahi lebar itu berteriak.
“Kenapa kau
berteriak seperti seorang pengecut? Kau adalah seorang laki-laki. Sebelum
dadamu remuk dan kulitmu terluka arang kranjang, kau tidak boleh menjawab
setiap pertanyaanku. Dengan demikian kau akan menodai kejantanan kalian.” Lalu
sekali lagi Sutawijaya memerintahkan kepada pengiringnya,
“Bawa orang
ini ke belakang barak.”
Ketika
beberapa orang naik ke serambi, orang itu tiba-tiba bangkit berdiri. Dengan
sisa tenaganya ia ingin meloncat dan berlari. Tetapi ternyata Sutawijaya
benar-benar tangkas. Dengan cepatnya ia menangkap lengan orang itu dan menariknya,
“Kau mau
lari?”
“Ampun,”
teriaknya. Lukanya tiba-tiba terasa menjadi demikian sakitnya disertai dengan
perasaan takut yang luar biasa.
“Jangan
meronta-ronta seperti kanak-kanak,” berkata Sutawijaya,
“lukamu akan
berdarah lagi.”
“Jangan,
jangan,” orang itu masih tetap meronta ketika dua orang pengawal memegang
lengannya dan membawanya turun dari serambi.
“Jagalah
luka-lukamu. Kenapa kau tiba-tiba saja menjadi seorang pengecut.”
Orang itu
tidak sempat menjawab. Ia masih saja berteriak dan meronta-ronta. Tetapi kedua
pengawal itu membawanya langsung ke belakang serambi.
“Seorang pun
tidak boleh melihat caraku memeriksa orang itu,” berkata Sutawijaya sambil
mengedarkan pandangan matanya.
“Para
pengawalku akan menjaga. Siapa yang memaksa ingin melihat, akan mengalami nasib
yang serupa dengan orang itu. Aku tidak ingin kalian tidak dapat tidur
sepanjang hidup kalian karena kalian melihat, bagaimana aku menyiksa orang yang
tidak mau menjawab pertanyaanku. Hanya orang-orang yang aku tunjuk sajalah yang
boleh mengikuti aku.”
Tidak ada
seorang pun yang menjawab.
“Aku minta
perintah ini ditaati,” berkata Sutawijaya kemudian. Dan diperintahkannya para
pengawalnya untuk mengawasi orang-orang di barak itu. Katanya kemudian,
“Para tawanan
ini pun harus diawasi baik-baik. Siapa yang mencoba melarikan diri, ia pasti
akan menyesal, karena ia akan mengalami perlakuan yang lebih mengerikan.”
Barak itu
telah dicengkam oleh kengerian yang memuncak. Dada mereka menjadi tegang dan
darah mereka serasa menjadi semakin lambat mengalir. Sutawijaya kemudian
meninggalkan serambi itu, pergi ke belakang barak. Yang dibawanya adalah Truna
Podang beserta kedua anaknya dan Sumangkar. Seorang pengawal dan pemimpin
pengawas yang terluka itu.
“Kalau kau
ingin membalas, kau akan mendapat kesempatan,” berkata Sutawijaya. Tetapi
pemimpin pengawas itu tidak menjawab. Ia sama sekali tidak mengira, bahwa
demikianlah yang akan dijumpainya, justru setelah Sutawijaya sendiri datang.
Orang yang
berdahi lebar itu masih saja meronta-ronta. Apalagi ketika ia melihat kehadiran
Sutawijaya. Tiba-tiba saja ia berteriak,
“Jangan,
jangan, jangan Tuan. Aku minta ampun. Aku minta ampun.”
Sutawijaya
mengerutkan keningnya. Dilihatnya orang itu menjadi sangat ketakutan. Wajahnya
menjadi seputih kapas dan matanya meratap minta belas kasihan. Kiai Gringsing,
Sumangkar, Agung Sedayu, dan Swandaru serta pemimpin pengawas yang terluka itu
masih berdiri termangu-mangu. Namun terasa dada mereka terguncang-guncang oleh
keheranan akan sikap Sutawijaya. Apalagi pemimpin pengawas yang terluka itu,
yang masih belum dapat berdiri tegak sendiri, sehingga ia masih memerlukan
pertolongan Agung Sedayu. Tetapi orang-orang itu menjadi semakin heran, bahwa
Sutawijaya sama sekali tidak berbuat sesuatu. Ia masih berdiri saja sambil
memandang orang yang berteriak-teriak itu,
“Ampun, aku
minta ampun.”
Ketika
Sutawijaya perlahan-lahan melangkah maju, maka nyawa orang itu serasa sudah
melekat di ubun-ubun. Karena itu ia berteriak semakin keras. Kawan-kawannya
yang masih ada di serambi, mendengar teriakan itu meskipun tidak begitu jelas.
Namun setiap kali dada mereka berdesir. Terbayang di rongga mata mereka,
kawannya yang berdahi lebar itu sedang mengalami siksaan yang tiada taranya,
sehingga orang itu berteriak-teriak tidak menentu.
“Jangan, jangan,”
teriak orang berdahi lebar itu.
Sutawijaya
masih berdiri memandanginya dengan tajamnya. Perlahan-lahan ia mengangkat
tangannya. Dengan ujung jarinya ia menyentuh lambung orang yang berdahi lebar
itu. Oleh ketakutan yang dahsyat, maka sentuhan itu terasa bagaikan duri-duri
cangkring yang tajam tergores dikulitnya. Karena itu ia berteriak semakin
keras.
“He,”desis
Sutawijaya,
“kenapa kau
berteriak-teriak? Apakah aku sudah berbuat sesuatu?”
Pertanyaan itu
telah menghentikan teriakan-akan yang seakan-akan mengumandang memenuhi pinggir
hutan yang sedang dibuka itu.
“Kenapa kau
berteriak-teriak?” ulang Sutawijaya,
“Coba katakan,
apakah aku sudah berbuat sesuatu? Aku memang akan menyiksamu dengan cara yang
paling kejam seperti sudah aku katakan. Aku ingin memeras semua keteranganmu
tentang dirimu sendiri dan tentang gerombolanmu yang selama ini berkedok
sebagai hantu-hantu di Alas Mentaok. Kalau kau tidak mau berbicara, maka aku
akan mempergunakan segala macam cara tanpa menghiraukan perikemanusiaan. Tanpa menghiraukan
belas kasihan dan peradaban manusia.”
“Jangan,
jangan,” orang itu memohon. Suaranya merintih seperti ujung nyawanya sudah
mulai lepas dari tubuhnya.
“Kenapa kau
melarang? Itu terserah kepadaku. Selain Ayahanda Pemanahan, tidak ada orang
yang lebih berkuasa dari aku di sini. Aku dapat berbuat apa saja. Aku dapat
membunuh siapa saja tanpa dapat dituntut oleh seorang pun. Aku tidak takut oleh
dendam siapa pun juga.”
Tubuh orang
itu kini menggigil seperti sedang kedinginan.
“Lepaskan,”
perintah Sutawijaya kepada kedua pengawalnya yang memegangi orang itu.
Pengawalnya
menjadi ragu-ragu sejenak. Tetapi Sutawijaya mengulangi,
“Lepaskan.
Sediakan saja tali yang cukup panjang. Apabila ia mencoba lari, ikatlah kedua
tangannya dengan tali yang direntang pada dua batang pohon. Setiap orang akan
lewat di sampingnya dan melakukan hukuman picis.”
“Tidak.
Tidak,” orang itu berteriak lagi.
Perlahan-lahan
kedua pengawal itu melepaskan pegangannya. Namun orang yang ketakutan itu
hampir tidak dapat berdiri sendiri. Bukan saja karena lukanya, tetapi karena ia
benar-benar dicengkam oleh kengerian mendengar ancaman-ancaman Sutawijaya. Tetapi,
Sutawijaya kemudian justru tersenyum. Dengan terus terang ia berkata,
“Aku kecewa
melihat sikapmu. Kau pasti bukan orang yang dapat dibanggakan oleh
gerombolanmu. Sebelum kau tersentuh apa pun, kau sudah ketakutan setengah mati.
Ayo, bersiaplah menerima siksaan yang paling berat.”
“Jangan,
jangan, Tuan.”
Sutawijaya
menarik nafas dalam-dalam. Tiba-tiba saja ia membentak,
“Siapa namamu?”
“Sura Mudal,”
orang itu membentak pula diluar sadarnya.
“Kau menbentak
aku he?”
“Tidak, tidak,
Tuan. Aku tidak sengaja.”
“Nah, sekarang
kau dapat memilih. Kau menjawab setiap pertanyaanku, atau aku benar-benar harus
melakukan seperti yang aku katakan?”
Kiai
Gringsing, Sumangkar, Agung Sedayu, Swandaru, dan pemimpin pengawas yang
terluka itu menarik nafas dalam-dalam. Kini mereka sadar bahwa Sutawijaya telah
melakukan suatu permainan yang berhasil. Bahkan Kiai Gringsing mengusap
keningnya yang basah sambil berkata kepada diri sendiri,
“Ternyata
putera Pemanahan ini pandai juga berkelakar, meskipun orang lain hampir menjadi
pingsan karenanya.”
“Apakah kau
dapat memilih?” bertanya Sutawijaya.
“Ya, ya. Aku
dapat memilih.”
“Yang manakah
yang kau pilih? Tubuhmu dilecut dengan ranting pohon cangkring yang berduri
rapat kemudian disiram dengan air garam?”
“Tidak, tidak,
Tuan. Jangan itu.”
“Jadi?”
“Aku, aku akan
menjawab pertanyaan Tuan.”
Sutawijaya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Ternyata kau
cukup bijaksana. Karena itu, duduklah. Kita berbicara dengan baik.”
Orang itu
menjadi bingung melihat sikap Sutawijaya. Kini Sutawijaya tiba-tiba menjadi
ramah dan baik.
“Duduklah,”
berkata Sutawijaya. Ia sendiri mendahului duduk di bebatur barak bersandar dinding,
diikuti oleh orang-orang lain yang menunggui pemeriksaan itu. Tetapi orang yang
menyebut dirinya Sura Mudal itu masih berdiri dengan gemetar. Ia tidak mengerti
apa yang harus dilakukan karena kecemasan dan ketakutan yang mencengkam
jantung.
“Duduklah,”
sekali lagi Sutawijaya mempersilahkannnya dengan ramah,
“jangan takut.
Kalau kau dapat menempuh kebijaksanaan ini aku sangat hormat kepadamu.
Sebenarnya memang tidak ada gunanya menyakiti diri sendiri. Tidak menjawab
pertanyaan yang diajukan kepadamu, adalah suatu perbuatan yang sia-sia. Kau
akan mengalami penderitaan. Sedang yang kau simpan itu pun akhirnya akan
terloncat pula dari bibirmu karena segala macam cara. Mungkin cara yang belum
pernah kau bayangkan.”
Orang itu
masih berdiri kebingungan.
“Nah, kau
sudah menjawab siapa namamu,” berkata Sutawijaya,
“sekarang
duduklah di sini. Di sampingku.”
Dengan
ragu-ragu orang itu melangkah maju. Sekali-sekali ia masih menyeringai karena
luka-lukanya yang terasa sakit.
“Kau bernama
Sura Mudal bukan?” berkata Sutawijaya kemudian.
“Nah, sekarang
katakan, siapakah pemimpinmu?”
“Kiai Damar,”
jawab orang itu.
“Apakah Kiai
Damar itu pemimpin tertinggi di dalam lingkunganmu?”
“Tidak. Masih
ada orang lain yang tidak aku ketahui.”
“Darimana kau
tahu bahwa masih ada orang lain.”
“Aku sering
melihat seseorang yang datang ke gubug Kiai Damar. Orang yang tinggi dan
berjambang lebat.”
“Siapakah
namanya?”
Orang itu
menggelengkan kepalanya.
“Siapa
namanya?” desak Sutawijaya.
“Benar, aku
tidak tahu, Tuan. Aku tidak tahu.”
Sutawijaya
mengangguk-angguk. Ia percaya bahwa orang itu tidak mengetahuinya.
“Coba
sebutkan, berapa orang jumlah kawan-kawanmu seluruhnya?”
“Aku tidak
tahu, Tuan.”
“He, kau tidak
tahu? Kau tidak tahu jumlah orang-orang di dalam gerombolanmu.”
“Ya, ya, Tuan.
Eh, maksudku aku tidak tahu. Tetapi yang ada bersama-sama dengan Kiai Damar,
aku dapat mengetahuinya.”
“Berapa orang
yang diserahkan kepada Kiai Damar?”
“Lima belas
orang, ditambah dua orang penghubung.”
“Dua orang
penghubung? Di mana yang dua orang itu?”
“Yang seorang
tidak bersama kami sekarang. Yang seorang semalam ikut di dalam serangan ini.
Tetapi mungkin ia mati terbunuh.”
“Salah seorang
dari dua orang yang mati itu?”
“Agaknya
benar, Tuan. Sebab ia tidak ada di antara kami yang tertangkap.”
“Ada dua orang
yang mati. Tetapi dibunuh oleh Kiai Damar sendiri. Seorang dapat melarikan diri
bersama Kiai Damar dan sisanya adalah kalian.”
Orang berdahi
lebar itu mengangguk-angguk.
“Nah, yang
manakah yang kau maksud dengan penghubung itu? Yang terbunuh atau yang
melarikan diri?”
Orang itu
menggeleng. Jawabnya,
“Aku tidak
melihat keduanya. Juga yang melarikan diri aku tidak tahu pasti. Tetapi satu di
antara tiga orang yang tidak ada di antara kami itulah penghubung itu.”
Sutawijaya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Penghubung itu pasti mengetahui agak banyak
tentang kelompok rahasia yang selama ini mengganggu usahanya membuka Alas
Mentaok.
“Sekarang,
ceriterakan, apa saja yang pernah kau lakukan selama kau berperan sebagai
hantu-hantu kecil di Alas Mentaok ini,” berkata Sutawijaya kemudian.
Orang itu
menjadi ragu-ragu sejenak. Namun ketika Sutawijaya meraba lengannya, ia
berkata,
“Ya, ya. Aku
akan berceritera tentang Alas Mentaok.”
“Bukan tentang
Alas Mentaok. Tetapi tentang dirimu sendiri. Apakah kau tahu maksudku?”
“Ya, ya. Aku
tahu.”
“Nah, apa saja
yang sudah kau lakukan sebagai hantu Alas Mentaok.”
Orang itu
masih dicengkam oleh keragu-raguan. Namun sekali lagi Sutawijaya meraba
tangannya sambil berkata,
“Kulitmu
memang liat sekali.”
“Tidak.
Tidak.” Dan orang itu pun mulai berceritera. Hampir tidak ada yang
dilampauinya, apa yang diketahuinya diceriterakannya kepada Sutawijaya.
Kiai
Gringsing, Agung Sedayu, dan Swandaru yang mendengar ceritera itu pula,
mengangguk-anggukkan kepala mereka. Kini menjadi semakin jelas, apa saja yang
selama ini mereka hadapi. Kini ternyata pula orang yang pernah dengan ketakutan
mendekap Swandaru di tempat kerjanya, adalah orang-orang Kiai Damar pula.
Kemudian ular dan bahkan api itu.
“Jadi, kau
hanya mengenal Kiai Damar sebagai pemimpinmu?”
“Ya, Tuan,
Kiai Damar yang sekarang.”
“Yang
sekarang? Apakah ada Kiai Damar yang dahulu.”
Orang itu
tidak segera menjawab.
“Katakanlah,”
Sutawijaya bergeser setapak mendekati orang itu.
“Ya, ya. Kiai
Damar memang pernah berganti. Tetapi kedua orang itu memang mirip sekali.”
“Ah, apakah
kau sedang bermimpi? Mungkin orangnya memang sama. Tetapi supaya menimbulkan
kesan yang lain, dibuatnya ceritera yang aneh-aneh itu.”
Orang itu
mengerutkan keningnya. Lalu,
“Bukan, memang
bukan orang lain. Tetapi Kiai Damar yang dahulu sudah mati. Tetapi ia hidup
lagi. Orang itu adalah Kiai Damar yang sekarang. Tetapi ada beberapa hal yang
dahulu sudah tidak diingatnya lagi.”
Sutawijaya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Sejenak ia berpaling memandang Kiai Gringsing
yang termangu-mangu. Untuk beberapa lama orang-orang yang duduk di belakang
barak itu saling berdiam diri. Mereka sedang merenungi angan-angan
masing-masing yang mengambang dari waktu ke waktu. Mereka seakan-akan melihat
apa yang telah terjadi selama ini di daerah yang sedang dibuka itu. Semula
orang-orang itu datang dengan membawa harapan untuk mendapat tanah yang lebih
baik dari daerah yang mereka tinggalkan. Mereka membawa harapan untuk hidup di
dalam suatu negeri yang makmur, adil, dan harapan untuk mendapat kesempatan
yang baik karena mereka termasuk orang-orang yang membuka tanah. Mereka
termasuk perintis-perintis jalan untuk masuk ke Alas Mentaok lebih dalam lagi.
Namun kemudian mereka telah dicengkam oleh ketakutan. Beberapa orang menjadi
putus asa dan meninggalkan daerah yang sudah mulai mereka buka. Sebagian masih
bertahan karena mereka sudah tidak mempunyai tempat untuk kembali. Namun setiap
hari mereka selalu dibayangi oleh ketakutan dan kecemasan. Hari depan mereka
menjadi suram, dan harapan-harapan yang sudah mereka susun pada saat mereka
berangkat itu satu-satu menjadi pecah berserakan seperti kepingan mangkuk yang
jatuh di atas batu hitam. Apalagi di saat-saat terakhir. Mereka hampir menjadi
gila karenanya. Mereka kehilangan segala macam harapan dan gairah bagi masa
depan mereka. Mereka bahkan merasa bahwa maut setiap saat telah membelai kepala
mereka.
Tetapi mereka
tiba-tiba saja telah dikejutkan oleh peristiwa semalam. Orang yang menyebut
dirinya Truna Podang, dan yang selama ini mereka anggap sebagai seorang yang
aneh, sombong dan tidak mengenal takut itu, bersama anak-anaknya telah berhasil
menangkap hantu-hantu yang selama ini menakut-nakuti mereka. Peristiwa ini
adalah merupakan suatu tingkatan baru di dalam perjalanan hidup mereka. Harapan
yang telah musnah itu, selapis demi selapis telah mereka susun kembali di dalam
hati. Tetapi semuanya masih belum mantap. Persoalan hantu-hantu itu masih belum
selesai Mungkin masih akan ada akibat-akibat yang menimpa orang-orang yang
diombang-ambingkan oleh keadaan itu. Orang-orang yang terluka, yang terbaring
di serambi depan menjadi semakin cemas dan berdebar-debar. Kawannya yang dibawa
ke belakang barak itu sudah tidak terdengar suaranya lagi. Mereka menyangka
bahwa orang berdahi lebar itu, telah terbaring di tanah tanpa dapat berbuat
sesuatu. Mungkin tubuhnya telah hancur disayat oleh duri-duri cangkring yang
tajam. Darah bercampur keringat telah membasahi seburuh tubuhnya yang tidak
berbentuk lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar