Ia hanya ingin melihat dan mengikuti, apa saja yang telah mereka lakukan malam ini. Ketika ia mengatakan niatnya kepada Ki Sumangkar, orang tua itupun menyetujuinya. Katanya,
“Aku juga
ingin melihat, barangkali akan sangat menarik bagiku dan barangkali akan dapat
menjadi oleh-oleh nanti kalau kita kembali ke Sangkal Putung.”
Keduanya pun
kemudian beringsut dari tempatnya, Orang-orang didalam barak itu masih tetap
berkerudung selimut-selimut mereka, sehingga dengan demikian mereka tidak
menghiraukan lagi kedua orang itu. Mereka tidak melihat keduanya beringsut dan
keluar dari barak. Ketika mereka mendengar derit pintu. tidak seorang pun yang
berani mengangkat kepalanya, melihat siapakah yang sudah menggerakkan daun
pintu itu. Agung Sedayu dan Sumangkar
pun kemudian berlari sambil merunduk melintasi halaman yang tidak seluas
halaman barak yang satu. Sambil berlindung dibalik semak-semak merekapun
berusaha untuk mengikuti suara gemerincing yang semakin lama menjadi semakin
jauh.
“Mereka menuju
ke barak yang lain” desis Agung Sedayu.
Sumangkar
tidak menyahut. Ia hanya menganggukkan kepalanya saja. Semakin lama meraka pun
menjadi semakin dekat dengan suara gemerincing itu. Tetapi mereka masih belum
dapat melihat bentuknya sama sekali. Karena itu mereka pun menjadi semakin
maju, sehingga mereka menjadi semakin mendekati barak yang ditunggui oleh Kiai
Gringsing dan swandaru. Dalam pada itu, orang-orang di barak itu pun telah
menjadi ketakutan. Meskipun mereka mencoba untuk menguasai nalar mereka, tetapi
mereka benar-benar telah diterkam oleh ketakutan. Mereka tidak dapat melepaskan
tekanan perasaan yang selama ini telah mencengkam jantung mereka, sehingga
bagaimanapun juga. suara gemerincing itu masih membuat mereka gemetar. Bahkan
pemimpin pengawas yang terluka itu masih juga menjadi berdebar-debar. Ia sudah
tidak akan takut menghadapi apapun yang dapat dilihatnya. Mati bukan lagi suatu
yang menghantuinya dan bahkan ia sudah mulai menilai hantu-hantu itu dengan
pertimbangan yang lain. Meskipun demikian, ketakutan dan kecemasan yang
menerkamnya untuk waktu yang lama masih juga tetap membekas. Betapapun juga ia
menimbang dengan akal, namun suara gemerincing itu masih tetap mendebarkan
jantungnya.
“Mereka sudah
datang guru” desis Swandaru.
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Kita tidak
memerlukan hantu-hantu kecil seperti itu. Mungkin jerangkong, tetekan, tuyul
dan sebangsanya. Mereka tidak lebih dari orang-orang yang tinggi kekar, yang
terbunuh di dapur itu atau setinggi-tingginya orang yang kekurus-kurusan itu.
“Apakah kita
tidak memerlukan mereka? Mereka pasti akan dapat memberikan beberapa keterangan
tentang gerakan yang telah mereka lakukan selama ini.”
“Tidak banyak
yang mereka ketahui.”
“Tetapi itu
akan lebih baik daripada kita tidak mendapat keterangan apapun juga guru.”
“Swandaru”
berkata gurunya,
“mungkin kita
mendapat beberapa penjelasan dari mereka. Tetapi akibatnya, tingkat yang lebih
tinggi dari mereka akan segera mempersiapkan diri. Mungkin mereka dapat
menghapus hal-hal yang diketahul oleh hantu-hantu kecil itu karena memang tidak
terlampau banyak.”
“Jadi
bagaimana maksud guru?”
“Aku ingin
mengalami, bahwa beberapa orang dari mereka, termasuk orang-orang pentingnya
datang mengunjungi kita di tempat kerja kita itu.”
Swandaru
mengangguk-anggukkan kepalanya. Sementara suara gemerincing itu pun menjadi
semakin dekat. Namun karena itu, orang-orang di sekitar Swandaru dan gurunya
itu pun, sudah menyelimuti diri mereka rapat-rapat. Bahkan pemimpin pengawas
yang duduk di sudut ruangan menjadi pucat pula, meskipun ia masih tetap
bertahan ditempatnya. Kiai Gringsing dan Swandaru pun kemudian saling berdiam
diri. Mereka memperhatikan suara yang semakin lama menjadi semakin dekat itu.
Dan kemudian seperti biasanya, pada jarak tertentu suara itu mengitari barak
beberapa kali. Namun kali ini, suara gemerincing itu tidak juga segera pergi
menjauh. Suara itu justru menjadi semakin mendekat. Swandaru memandang wajah
Kiai Gringsing yang menegang. Tetapi Kiai Gringsing masih tetap duduk di tempatnya.
“Aneh guru”
desis swandaru,
“agak lain
dari kebiasaan mereka.”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya.
Namun kelainan
itu agaknya telah menambah ketakutan di setiap dada. Orang-orang didalam barak
itu menjadi semakin kecil melingkarkan dirinya. Selimut mereka menjadi semakin
rapat menutun seluruh tubuh. Orang yang berbaring di samping. Swandaru, dan
masih juga mendengar Swandaru berdesis, mcngumpat didalam hatinya,
“O, anak gila.
Apa saja yang mereka percakapkan. Benar juga pendapat orang yang
kekurus-kurusan itu. Kekerasan hatinya dapat menumbuhkan bencana.”
Tetapi
Swandaru masih juga berdesis, dan orang-orang yang berbaring tidak jauh daripadanya
masih mendengar, meskipun mereka tidak mengerti isinya. Dan Swandaru memang
masih berkata,
“Mereka justru
mendekat guru.”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya. Iapun kemudian berkata,
“Kita
menghadapi persoalan yang khusus. Karena itu bersiaplah.! Mungkin kita
memerlukan penyelesaian yang khusus kali ini.”
Swandaru
mengerutkan keningnya. Namun tiba-tiba ia tersenyum- sambil meraba seniatanya.
“Aku ingin
menangkap tuyul guru.”
“Ssst” gurunya
berdesis.
Keduanya
menjadi tegang. Apalagi pengawas yang masih duduk ditempatnya. Lukanya
rasa-rasanya menjadi semakin parah dan wajahnya pun bertambah pucat. Apalagi
orang-orang yang sudah menjadi semakin ketakutan. yang berbaring semakin rapat
bersembunyi dibawah selimut. Dengan demikian maka suasana didalam barak itu
benar-benar dibayangi oleh ketakutan yang luar biasa. Nafas-nafas menjadi
sesak, dan darah serasa berhenti diurat nadi, karena jantung telah berhenti
berdenyut.
Sejenak
kemudian suara gemerincing itu menjadi semakin dekat. Agaknya beberapa langkah
saja dari dinding barak. Tetapi justru dinding belakang. Dan akhirnya suara
gemerincing itu tidak beringsut lagi. Meskipun suaranya menurun, tetapi setiap
orang didalam barak itu sadar, bahwa hantu-hantu itu masih tetap berada
dibelakang barak mereka. Sejenak kemudian, jantung mereka serasa terlepas dari
tangkainya ketika dari belakang barak itu terdengar suara tertawa
terkekeh-kekeh, seperti suara seorang kakek yang sedang kegirangan. Atau di dalam
pendengaran orang-orang yang ketakutan itu, seperti suara hantu yang mendapat
sesosok mayat baru. Mengerikan sekali. Dan suara itu ternyata terdengar
berkepanjangan tidak henti-hentinya. Tidak ada seorang pun yeng berani
bergerak. Bahkan rasa-rasanya untuk menarik nafaspun tidak ada lagi kesempatan.
Udara didalam barak itu menjadi terasa aneh, seperti udara tanah pekuburan. Pemimpin
pengawas yang terluka itu masih duduk di tempatnya. Namun seakan-akan ia sudah
membeku oleh suara yang mengerikan itu. Beberapa kali ia mencoba menghalaukan
cengkaman perasaan itu dengan nalar dan pertimbangan-pertimbangan sehatnya.
Namun setiap kali ia gagal. Dan tubuhnya pun menjadi gemetar pula karenanya. Kiai
Gringsing menjadi tegang sejenak. Hantu-hantu itu dengan sengaja mendekati dan
mengganggu barak itu. Bagi Kiai Gringsing itu adalah suatu pertanda, bahwa yang
datang bukanlah hantu-hantu kecil seperti yang dikatakannya.
Mereka pasti
sudah mengetahui apa yang terjadi sebelumnya. Hantu-hantu itu pasti sudah tahu
bahwa dibarak itu ada Agung Sedayu dan Swandaru yang telah berhasil mengalahkan
beberapa orang dari antara mereka yang diliputi oleh rahasia itu. Karena itu,
apabila mereka dengan sengaja datang kebarak ini, mereka pasti sudah
memperhitungkannya.
“Mereka
ternyata mendatangi barak ini” desis Kiai Gringsing.
Swandaru
menganggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak menjawab.
“Hati-hatilah”
desis gurunya,
“kalau mereka
berani berbuat demikian, mereka pasti sudah membuat perhitungan-perhitungan
tertentu. Bahkan mungkin berdasarkan atas perhitungan mereka karena para pengawas
telah menghubungi pusat Tanah Mataram.”
Swandaru masih
mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia menyadari kata-kata gurunya. Hantu-hantu itu
pasti sudah membuat perhitungan-perhitungan tertentu. Karena itu, ia memang
harus berhati-hati.
“Kau sudah
menelan sebutir obat siang tadi. Obat itu pasti masih berpengaruh atasmu.
Apabila kau tersentuh racun dari hantu-hantu yang barangkali karena putus-asa
atau kehabisan akal akan menyerang kita, kau masih dapat bertahan, Demikian
juga Agung Sedayu. Kita di sini tidak tahu apa saja yang dikerjakannya
sekarang.”
Swandaru memandang
gurunya sejenak, lalu,
“Apakah kita
akan menunggu mereka, atau kita akan keluar dari barak ini?”
“Kita akan
melihat perkembangan keadaan.” Belum lagi Kiai Gringsing diam sama sekali,
terdengar suara tertawa itu meninggi. Kemudian melengking mengerikan. Dari
sela-sela suara yang masih berkepanjangan itu terdengar suara yang lain,
“He penghuni
barak yang bodoh.”
Ternyata suara
itu benar-benar telah mengguncang setiap hati, sehingga beberapa orang hampir
menjadi pingsan karenanya. Mereka menjadi semakin ketakutan mendengar suara
yang bercampur baur dibelakang barak mereka itu.
“Ada kesalahan
yang besar yang telah kalian lakukan.” suara itu masih menggetar diantara suara
tertawa yang tidak terputus.
“Aneh guru”
Swandaru tiba-tiba berdesis.
“Apa yang
aneh?” bertanya gurunya.
“Suara itu,
Bagaimana mungkin seseorang dapat berbicara sambil tertawa dengan suara yang
melengking-lengking itu?”
“Kau yang
aneh?”
“Kenapa aku?”
“Seharusnya
kau tidak bertanya demikian. Apakah ada ketentuan dari manapun, bahwa
hantu-hantu tidak boleh datang berdua, bertiga atau barangkali berpuluh-puluh
yang telah mengepung barak ini?”
“O” Swandaru
mengangguk-anggukan kepalanya pula.
“Ya, mereka
pasti datang dalam jumlah yang cukup.”
Dalam pada itu
suara dari belakang barak itu berkata terus,
“Karena itu,
kami menuntut agar kalian menyesali kesalahan itu.”
Suara itu
seakan-akan bergema di seluruh luangan barak yang membujur panjang itu, dan
singgah disetiap telinga sehingga orang-orang yang ada didalamnya menjadi
semakin ketakutan. Seandainya tubuh mereka disayat pisau pun agaknya tidak akan
dapat menitikkan setetes darah yang masih merah.
“Kalian telah
membuat beberapa kematian justru orang-orang yang dapat mengerti tentang kami.
Justru orang-orang yang paling baik diantara kalian, dan yang bersedia bersama
dengan kami. Orang-orang itulah yang selama ini menjadi jembatan diantara kita.
Tetapi orang-orang itu justru sudah kalian bunuh” suara itu berhenti sejenak.
Dan yang terdengar kemudian bagaikan seekor harimau yang menggeram. Lalu,
“Sudah tentu
kami akan menuntut balas. Mereka adalah orang-orang yang baik, sehingga karena
itu nilai mereka bagi kami berbanding satu dengan sepuluh. Seorang dari
orang-orang yang baik itu, akan kami tuntut ganti sepuluh orang dari antara
kalian.”
Tubuh-tubuh
yang terbaring didalam barak itu menjadi semakin gemetar. Tidak seorang pun
yang berani bergerak sama sekali. Apalagi setelah mereka mendengar tuntutan
hantu-hantu itu. Maka rasa-rasanya nyawa mereka telah berada diubun-ubun.
Seorang yang tidak tahan lagi mendengar suara-suara itu ternyata telah jatuh
pingsan tanpa ada yang mengetahuinya, karena selimut yang menutup seluruh
tubuhnya.
“Ayo” berkata
hantu itu,
“siapakah yang
akan mati lebih dahulu saat ini.” suara itu berhenti sejenak seakan-akan
memberi kesempatan kepada orang-orang didalam barak itu untuk berpikir. Tetapi
kemudian suara itu berkata,
“Namun
demikian, kami masih memberi kesempatan kepada kalian untuk minta maaf kepada
kami dengan satu syarat. Menyerahkan orang-orang gila yang ada didalam barak
kalian itu kepada kami. Tiga orang ayah beranak itu harus menjadi tumbal
apabila kalian menghendaki keselamatan.”
Barak itu
menjadi hening. Ketakutan yang sangat telah mencengkam mereka, seperti kesepian
yang dipenuhi oleh suasana maut yang telah membayangi setiap perasaan. Kiai
Gringsing dan Swandaru menjadi semakin tegang. Sejenak mereka saling
berpandangan. Tanpa berjanji mereka hampir berbareng berpaling kepada pemimpin
pengawas yang bersandar di sudut.
Orang-orang
didalam barak itu kemudian mendengar hantu diluar berteriak dengan suara yang
mengguncang jantung.
“Ayo. Kalau
kalian tidak bersedia menyerahkan tiga orang itu, kalian akan mengalami nasib
yang jelek. Sedikitnya duapuluh orang akan mati dengan cara yang sangat
mengerikan buat manusia, tetapi menyenangkan buat hantu-hantu.”
Tidak ada
seorang pun yang berani memberikan tanggapan.
“Kenapa kalian
diam saja?” teriak hantu-hantu itu,
“apakah kalian
tidak rela? Kalau begitu, bersiaplah. Dua puluh orang akan mati. O tidak,
duapuluh lima. Aku memerlukan duapuluh lima orang. Mereka akan menjadi
budak-budak di dunia kami. Dunia halus dengan wadag-wadag mereka supaya kami
dapat menyakiti setiap saat.”
Mengerikan
sekali. Mengerikan sekali. Dan hantu-hantu itu berkata selanjutnya,
“Aku memberi
waktu kalian untuk berpikir sejenak.”
Suasana yang
aneh telah mencekam barak itu. Beberapa orang tiba-tiba beringsut ditempatnya.
Perlahan-lahan mereka menarik selimut mereka, dan dari sela-sela jari tangan,
mereka mencoba mencari Kiai Gringsing dan anak-anaknya. Yang mereka lihat
kemudian adalah Truna Podang itu duduk hanya dengan satu anaknya karena anaknya
yang lain pergi kebarak sebelah bersama seorang tamunya. Dalam ketegangan itu
ternyata telah terjadi pergolakan di setiap dada. Ketakutan yang dahsyat telah
mendorong mereka untuk berpikir, apakah mereka akan menyerahkan orang tua
bersama kedua anak-anaknya itu. Tanpa dikehendaki, dua orang yang menjengukkan
kepalanya saling berpandangan sejenak. Namun mereka tidak segera berbuat
apa-apa. Sementara itu, pemimpin pengawas yang terluka masih juga bersandar
dinding. Ia mencoba dengan segenap kemampuan akalnya untuk menentang permintaan
hantu-hantu itu. Perlahan-lahan ia berhasil menguasai perasaannya, sehingga
akhirnya ia berketetapan bahwa permintaan itu adalah permintaan yang sangat
gila. Hantu yang manapun tidak akan sempat memberikan pilihan semacam itu.
Seandainya mereka mempunyai kekuasaan, maka mereka akan dapat berbuat
sekehendak hati mereka tanpa pertimbangan-pertimbangan yang sangat memuakkan
itu. Meskipun demikian, bayangan keragu-raguan masih mengabut di kepalanya,
sehingga pemimpin pengawas itu masih belum berbuat apa-apa.
Ketegangan
yang memuncak itu pun akhirnya telah mengusik setiap orang yang berbaring di dalam
barak itu. Setiap orang menginginkan agar dirinya sendiri diselamatkan,
meskipun karena itu, orang lain harus dikorbankan. Didalam pilihan yang
demikian seseorang akan berpijak pada sifat manusiawi. Bertahan diri dengan
cara apapun juga Hanya orang-orang yang merniliki kelebihan hakiki sajalah yang
sanggup menyingkirkan sifat itu, dan bersedia berkorban untuk kepentingan orang
lain. Perasaan yang demikian, adalah perasaan kasih yang tertinggi yang
dimiliki oleh seseorang untuk sesamanya, meskipun kadang-kadang seseorang tidak
tepat meletakkan dasar pertimbangan, sehingga dengan pahit terjadi pengorbanan
tulus yang sia-sia. Demikianlah yang sedang bergolak di setiap hati orang-orang
didalam barak itu. Mereka lebih senang mengorbankan tiga orang seperti yang
diminta oleh hantu-hantu itu. Bukan karena mereka memperhitungkan bahwa tiga
itu jauh lebih sedikit dari duapuluh apalagi duapuluh lima, tetapi karena yang
tiga orang itu bukanlah diri mereka sendiri. Yang tiga itu adalah orang-orang
yang sudah ditunjuk oleh hantu-hantu. Bahkan seandainya korban akan dituntut
jauh lebih banyak dari itu, jauh lebih banyak dari duapuluh lima, tetapi yang
lebih dari duapuluh lima itu bukan diri mereka sendiri, mereka pun pasti akan
memilih jumlah itu. Namun suasana di dalam barak itu masih tetap sepi meskipun
terasa dibakar oleh keterangan yang memuncak. Semua orang telah memandang Kiai
Gringsing yang masih tetap duduk di tempatnya dari sela-sela selimut yang
mereka singkapkan.
Tiba-tiba
mereka terkejut karena suara diluar menyentak,
“He, apakah
kalian sudah mendapat pilihan?” Tidak ada jawaban sama sekali.
“Aku masih
memberi kesempatan kepada kalian. Yang harus kalian lakukan didalam pilihan ini
adalah, apabila kalian memilih mengorbankan tiga orang itu, segera lakukanlah.
Bunuhlah mereka. atau setidak-tidaknya usirlah mereka keluar. Kami akan
menangkap dan membantu kalian membunuh mereka di dalam kegelapan. Kami tidak
senang berada didalam cahaya lampu yang silau, meskipun apabila perlu kami
dapat memadamkannya. Tetapi kalau kalian tidak melakukannya, maka kalian yang
akan menjadi korban.”
“Duapuluh lima
orang! Mungkin kau, mungkin kau, kau, kau, kau atau anak-anakmu atau
saudara-saudaramu atau kalian semuanya sekeluarga.”
Dada
orang-orang didalam barak itu mulai bergolak. Perasaan mereka yang kabur
menjadi semakin gelap, sehingga tiba-tiba salah seorang yang ketakutan tanpa
dapat dikekang berteriak,
“Kita bunuh
mereka. Kita bunuh mereka.”
Kiai Gringsing
menjadi berdebar-debar. Tidak mungkin melawan orang-orang bodoh yang tidak
berdaya itu. Meskipun ia dapat berbuat apa saja, tetapi ia tidak akan dapat
mengorbankan mereka didalam kebodohannya itu. Sehingga dengan demikian, Kiai
Gringsing justru menjadi bimbang sejenak. Namun dalam pada itu, selagi Kiai Gringsing,
Swandaru dan pemimpin pengawas itu dicengkam oleh keragu-raguan, terdengarlah
di luar suara lain yang besar berkumandang di udara,
“He
hantu-hantu kerdil, apakah kerja kalian di situ? Kalian hanya dapat
menakut-nakuti tikus-tikus kecil itu. Ketahuilah, aku adalah Kiai Dandang Wesi
dari Gunung Merapi,”
Suara itu
ternyata telah menggetarkan hati setiap orang yang mendengarnya. Bahkan Kiai
Gringsing dan Swandaru pun menjadi tegang sejenak. Ketika mereka berpaling
kepada pengawas yang duduk dengan lemahnya, mereka melihat pemimpin pengawas
itn beringsut dari tempatnya. Belum lagi seseorang sempat berbuat apapun, suara
itu terdengar lagi,
“He
hantu-hantu yang tidak tahu adat. Aku sudah mengadakan pembicaraan dengan
rajamu. Sekarang kalian berbuat menurut kehendakmu sendiri.”
Malam serasa
menjadi bertambah sepi dan tegang. Dan suara itu masih berkata,
“Adalah
perbuatan yang terkutuk sekali apabila kau menuntut ganti orang-orang yang
berpihak kepadamu itu sejumlah duapuluh lima orang, atau tiga orang ayah beranak
itu. Aku adalah Kiai Dadang Wesi. Aku sudah berjanji untuk melindungi mereka
dari ancaman siapapun juga. Termasuk ancaman orang-orang, eh, hantu-hantu gila
seperti kalian. Sebab dengan perbuatan kalian itu, kalian telah menodai nama
dan kuasa hantu-hantu yang sebenarnya. Sebagai utusan dari Gunung Merapi, aku
memperingatkan, agar kalian melepaskan tuntutan kalian itu.”
Orang-orang
didalam barak itupun menjadi kian membeku. Orang yang sudah terlanjur berteriak
untuk membunuh ketiga ayah beranak itu pun seakan-akan telah mematung di
tempatnya. Hatinya benar-benar telah terguncang. Sama sekali tidak disangkanya,
bahwa diluar baraknya ada jenis hantu yang lain, yang juga pernah didengarnya.
Kiai Dandang Wesi dari Gunung Merapi
“Apakah kalian
tidak ingin mengurungkan tuntutan kalian itu?” masih terdengar suara dari hantu
yang menyebut dirinya bernama Kiai Dandang Wesi.
Namun tidak
ada jawaban sama sekali. Suara tertawa yang melengking-lengking itu pun telah
lenyap seperti disapu angin malam yang bertiup dari Selatan.
Orang-orang
didalam barak itu bagaikan sabut yang diguncang ombak di lautan yang luas.
Perasaan mereka benar-benar telah terombang-ambing tanpa dapat mereka
kendalikan lagi. Beberapa orang diantara mereka sudah tidak dapat mempergunakan
nalar, sehingga meskipun mereka masih tetap sadar, tetapi mereka tidak lebih
dari sesosok tubuh yang kosong sama sekali. Mereka yang masih sadar, tiba-tiba
saja mendengar desis dan bisik yang lembut dibelakang gardu. Tetapi mereka
tidak dapat menangkap sama sekali apa yang sedang diperbincangkan. Tetapi
terbayang di dalam angan-angan mereka, beberapa sosok hantu sedang berdiri
termangu-mangu, menghadapi jenis hantu yang lain, yang mempunyai kuasa yang
sama dengan mereka. Perlahan-lahan pemimpin pengawas yang terluka itu beringsut
mendekati Kiai Gringsing yang duduk tegang di samping Swandaru. Tetapi ketika
ia sudah berada beberapa jengkal dari orang tua itu, pemimpin pengawas itu
masih juga tetap terdiam.
Sejenak
kemudian malam kembali disayat oleh suara yang dalam dan berat,
“Apa katamu he
hantu-hantu kecil Jerangkong, tetekan, tuyul, culi dan wedon-wedon cengeng.
Ayo, aku memberi kalian waktu sejenak. Kalau kalian tidak pergi dari tempat
itu, aku. Kiai Dandang Wesi akan bertindak. Aku tahu, bahwa pemimpin-pemimpinmu
tidak akan senang atas tindakanku ini, tetapi pemimpin-pemimpinmu yang
tertinggi pasti akan berterima kasih kepadaku.”
“Persetan”
tiba-tiba terdengar suara dari belakang barak. Tetapi sebelum dilanjutkannya,
dikejauhan terdengar suara menyahut,
“Ya. kalian
memang setan-setan.”
“Diam” suara di
belakang gardu itu berteriak,
“kami bukan
saja terdiri dari hantu-hantu kecil.”
“Ya, aku
memang melihat diantara kalian ada genderuwo. Tetapi sudah tentu genderuwo yang
bengal. Yang tidak tunduk kepada atasannya”.
“Sudahlah,
jangan banyak bicara. Tinggalkan tempat itu, atau aku akan membakar kalian
dengan api neraka yang paling panas. Kalian tahu, bahwa aku dapat menceburkan
kau ke kawah Gunung Merapi?”
“Jangan
membual. Aku tetap pada pendirianku. Aku akan membunuh tidak saja duapuluh lima
orang. tetapi semua orang di dalam barak ini.”
“Kau
mengundang bencana bagi seluruh Alas Mentaok. Itu berarti perang dengan Gunung
Merapi dan pegunungan di sekitarnya, Merbabu dan Pegunungan Somawana, Gajah
Mungkur sampai ke Hutan Kedung Pati. Dan ini sama sekali tidak dikehendaki oleh
raja kalian.”
Sejenak tidak
ada jawaban. Kembali terdengar suara berbisik di belakang gardu. Seakan-akan
hantu-hantu itu sedang merundingkan apa yang sebaiknya dilakukannya.
“Ingat” teriak
suara di kejauhan,
“kalian
berdiri sendiri. Alas Tambak Baya, Ereng-ereng Kali Praga dan Daerah Gunung
Sepikul pun tidak sependapat dengan cara kalian. Meskipun jumlah mereka tidak
begitu banyak; namun bersama-sama dengan kami mereka akan merupakan lawan yang
berat bagi Alas Mentaok. Apalagi dendam yang membara dihati mereka tidak akan
dapat dipadamkan untuk waktu yang berabad-abad karena tindakan kalian selama
ini. Mereka selalu terdesak dan kalian hinakan sebagai hantu-hantu yang tidak
mempunyai kekuasaan halus seperti kalian.”
Ketegangan
rasa-rasanya telah menghanguskan setiap jantung dari orang-orang yang tinggal
didalam barak itu. Mereka tidak tahu, apakah mereka berpengharapan atau menjadi
semakin ketakutan mendengar percakapan hantu-hantu itu. Hanya Kiai Gringsing
dan Swandaru sajalah yang semakin lama justru menjadi semakin tenang. Bahkan
Swandaru menjadi tersenyum ketika ia mendengar suara hantu dikejauhan menjadi
serak, bahkan kemudian terbatuk-batuk.
“Agaknya kita
sudah harus mulai” desis Kiai Gringsing.
“Apakah
sebenarnya yang telah terjadi ?” bertanya pemimpin pengawas itu.
“Kalau
hantu-hantu itu benar-benar akan bertempur, kita tidak akan dapat tetap tinggal
diam di sini.”
Pemimpin
pengawas itu memandang Kiai Gringsing Dengan heran. Ia tidak segera mengerti
maksud orang yang menyebut dirinya bernama Truna Podang itu.
“Ki Sanak”
berkata Kiai Gringsing itu kemudian,
“agaknya
hantu-hantu itu sudah sampai pada puncak kesabarannya. Mereka memerlukan aku
dan kedua anak-anakku. Tetapi seperti yang dijanjikan maka Kiai Dandang Wesi
benar-benar akan melindungi kita di sini. Dan aku percaya bahwa kuasa Kiai
Dandang Wesi itu tidak kalah dari hantu-hantu kerdil itu.
Pemimpin
pengawas itu mengerutkan keningnya. Sedang Kiai Gringsing berkata terus, kini
kepada seisi barak,
“Nah, sekarang
siapakah diantara kalian yang masih ingin membunuh aku” suaranya justru menjadi
lantang dan teras, seakan-akan dengan sengaja diperdengarkan kepada hantu-hantu
itu,
“di sini
selain hantu-hantu kerdil itu ada juga hantu-hantu lain yang lebih dekat dari
manusia, yaitu Kiai Dandang Wesi. Bukan sekedar wedon cengeng atau jerangkong
kurus, tetapi Kiai Dandang Wesi adalah Perayangan. Jenis hantu tertinggi yang
menguasai daerah Gunung Merapi.”
“Omong kosong”
tiba-tiba terdengar suara di belakang barak. Ternyata hantu-hantu yang
mendengar suara Kiai Gringsing itu telah membantah langsung pernyataan orang
tua itu,
“aku tetap
pada pendirianku. Membunuh kalian atau tiga orang ayah beranak.”
“Bagus”
berkata Kiai Gringsing,
“aku serahkan
kepada isi barak Ini. Membunuh aku atau kalian terbunuh. Tetapi siapa yang
membunuh aku, maka Kiai Dandang Wesi akan membalas sampai tujuh keturunan.
Kalian akan di tumpas kelor dengan bayi-bayi kalian.”
Swandaru yang
berada disamping Kiai Gringsing hampir tidak dapat menahan tertawanya, ia
merasa seakan-akan melihat suatu pertunjukan lelucon yang sangat menarik,
sehingga gurunya tidak lagi sempat meneliti kata-katanya. Bagaimana mungkin
orang dapat menumpas sampai tujuh turunan. Kalau satu turunan sudah ditumpas,
maka tidak akan ada keturunan kedua apalagi sampai ketujuh. Namun demikian
Swandaru masih tetap berusaha untuk tidak merusak suasana. Ia tidak mau dengan
tiba-tiba saja menghentakkan ketegangan yang masih mencengkam, supaya perasaan
orang-orang didalam barak itu tidak tersentak-sentak. Tetapi Swandaru tahu
benar, apa yang sedang terjadi diluar barak. Ia tidak dapat dikelabuhi, bahwa
suara dikejauhan yang menyebut dirinya Kiai Dandang Wesi adalah suara Agung
Sedayu. Agaknya Agung Sedayu yang pernah mendengar nama Kiai Dandang Wesi dari
gurunya dan mendengar ceriteranya, segera mengambil alih persoalan. Agung
Sedayu sadar, bahwa karena gurunya berada didalam barak itu, maka ia tidak akan
dapat berbuat apa-apa untuk menghadapi hantu-hantu itu dengan cara yang serupa.
“Aku tidak
tahu apa yang kau lakukan” bisik Sumangkar yang berjongkok disamping Agung
Sedayu dibalik rimbunnya dedaunan.
Agung Sedayu
meraba lehernya yang sakit karena ia harus berteriak-teriak dengan nada suara
yang rendah dan dalam. Sambll menelan ludahnya ia memandang Sumangkar yang
keheran-heranan.
“Kita sedang
bermain hantu-hantuan desis Agung Sedayu kemudian” agaknya guru sudah dapat
menangkap apa yang aku lakukan.”
“Tetapi
bagaimana dengan hantu-hantu itu ?”
“Seperti yang
kita lihat. Mereka adalah manusia-manusia biasa. Hanya ada dua diantara mereka
yang memakai pakaian seperti hantu. Dua orang itulah yang apabila terpaksa
harus menampakkan dirinya. Tetapi yang lain, yang bersembunyi di kegelapan itu
sama sekali tidak menyerupai hantu.”
Sumangkar mengangguk-anggukkan
kepalanya. Ia melihat lima atau enam orang mengendap-endap di belakang barak,
di tambah dengan dua sosok hantu yang tinggi dan berkepala jerangkong.
“Permainan
mereka hampir habis” desis Agung Sedayu.
Sumangkar
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Nah, apalagi
yang akan mereka lakukan” gumam Agung Sedayu.
Agung Sedayu
dan Sumangkar pun merayap semakin dekat. Tiba-tiba saja Agung Sedayu memungut
sebuah batu. Ia melihat hantu-hantu itu mulai melempari barak dengan batu-batu
pula.
“Aku akan membalas”
desis Agung Sedayu. Sebagai seorang yang memiliki kemampuan membidik yang
tinggi Agung Sedayu pun kemudian dengan sekuat tenaga melempar hantu yang
berkepala tengkorak itu. Demikian kerasnya, sehingga gemeletuk batu yang
mengenai tengkorak itu telah mengejutkan sekelompok orang-orang itu. Apalagi,
hantu yang berkepala tengkorak itu menjadi sedemikian terkejutnya, sehingga
tanpa sesadarnya ia mengaduh.
“Ssst” desis
kawannya. Namun batu yang lain telah mengenai punggung salah seorang
diantaranya.
“Nah” teriak
Agung Sedayu,
“marilah kita
berperang dengan batu. Kalian jangan melempari barak itu. Akulah Kiai Dandang
Wesi.”
Suasana
menjadi hening dan kian menegang. Orang-orang di dalam barak sudah hampir
menjadi pingsan seluruhnya, kecuali Kiai Gringsing, Swandaru dan pemimpin
pengawas itu, ketika beberapa butir batu berjatuhan menembus atap daun ilalang
apalagi ketika mereka mendengar hantu-hantu itu berkata,
“Sebentar lagi
aku akan menjatuhkan batu-batu yang membara. Barak ini akan terbakar dan kalian
akan terpanggang di dalamnya.
Tetapi
tiba-tiba mereka mendengar suara di kejauhan, suara hantu yang menyebut dirinya
Kiai Dandang Wesi. Dan suara dikejauhan itu berkumandang lagi,
“Kalau kalian
menjatuhkan batu-batu yang membara, aku akan melimpahkan hujan yang deras.
Batu-batumu tidak akan berguna sama sekali.”
“Aku akan
mendatangkan angin prahara Barak ini akan hancur bersama isinya.”
“Aku akan
menciptakan tirai yang tidak kasat mata Angin prahara itu tidak akan menyentuh
selembar ilalangpun diatap barak itu.”
Suasana yang
tegang menjadi semakin tegang. Bahkan Swandaru yang ada di dalam barak itupun
mulai mengerutkan keningnya. Ia sadar, bahwa seterusnya ia tidak akan dapat
untuk tetap berdiam diri duduk sambil mendengarkan hantu-hantu itu berbantah. Dan
dengan dada yang bergejolak ia mendengar hantu-hantu dibelakang barak itu
berteriak,
“Omong kosong.
Kalau kau benar-benar hantu dari Gunung Merapi dan mempunyai kuasa untuk
menciptakan hujan dan angin, apalagi tirai yang tidak kasat mata, ayo, segera
tunjukkanlah kepada kami.”
“Kami hanya
akan melakukan kalau kalian mendahului. Kami bukan sejenis tuyul yang suka
menyombongkan diri tanpa alasan. Nah, mulailah dengan batu-batu yang membara.
Lihat, langit sudah mulai mendung.”
“Sst” desis
Sumangkar perlahan-lahan,
“bintang
bertaburan di langit.”
“O” Agung
Sedayu menengadahkan kepalanya. Tetapi sejenak tidak ada suara yang menyahut.
Namun demikian
Agung Sedayu harus mulai menyiapkan dirinya menghadapi kemungkinan-kemungkinan
lain. Hantu-hantu itu agaknya sudah mulai jemu berdebat. Mereka harus berbuat
sesuatu.
“Paman
Sumangkar” bisik Agung Sedayu,
“maaf kalau
kedatangan paman di sini akan disambut dengan permainan yang barangkali tidak
menyenangkan bagi paman. Tetapi apaboleh buat. Agaknya kami sudah tidak akan
dapat menunda lagi. Siang tadi beberapa pengawas telah pergi ke pusat pemerintahan
di Tanah Mataram. Agaknya hal itu sangat berpengaruh pada mereka. Mungkin
mereka menemukan bahan-bahan atau persoalan-persoalan yang memaksa mereka untuk
segera bertindak malam ini.”
Sumangkar
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi sebelum ia menjawab, dilihatnya bayangan
hantu-hantu di dalam keremangan malam itu mulai bergerak-gerak memencar.
“Mereka sudah
mulai.” desis Agung Sedayu. Sumangkar mengangguk-anggukkan kepalanya,
“Jadi apa yang
akan kiya lakukan sekarang?”
“Menghadapi
mereka?” bisik Agung Sedayu.
“Bertempur”
Agung Sedayu
memandang Sumangkar sejenak. Ia sadar, bahwa orang tua itu masih lelah karena
perjalanannya. Seharusnya ia beristirahat dan tidur nyenyak. Tetapi kini ia mau
tidak mau harus melibatkan diri di dalam perkelahian yang mungkin akan terjadi.
“Maaf paman.
Apakah paman masih sangat lelah?” akhirnya Agung Sedayu bertanya.
“Pertanyaanmu
aneh ngger. Tetapi baiklah aku menjawab. Aku tidak lelah.”
Agung Sedayu
mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia berbisik pula,
“Mereka akan
mengepung kami di sini.”
“Ya. Hantu
yang berkepala tengkorak Itu sudah melepas kepalanya. Mungkin ia merasa
terganggu apabila ia harus berkelahi sambil memegang tangkai kepalanya itu.”
Agung Sedayu
mengangguk-anggukkan kepalanya, Kini ia benar-benar harus bersiap menghadapi
segala kemungkinan. Seperti pesan gurunya bahwa ia harus berhati-hati kalau
hantu-hantu itu datang lagi, berarti mereka sudah siap menghadapi orang-orang
didalam barak yang sudah mereka ketahui kekuatannya. Yang telah dapat
mengalahkan orang-orangnya yang ada diantara orang-orang yang tinggal didalam
barak itu, bahkan yang ada diantara para pengawas. Dengan demikian, mereka
pasti yakin akan dapat mengatasi kekuatan yang ada dibarak ini.
Ternyata
dugaan Agung Sedayu itu benar. Hantu-hantu itu telah merayap memencar dan
berusaha mengepung Agung Sedayu yang menyebut dirinya Kiai Dandang Wesi. Dari
ternyata pula bahwa jumlah mereka lebih banyak dari yang disangka. Di dalam gelapnya
malam Agung Sedayu dari Sumangkar tidak dapat menghitung dengan pasti, berapa
jumlah mereka. Namun ketika bayangan itu mulai memisah diri dan bergeser dari
tempat mereka bersembunyi, tampaklah bahwa jumlah mereka cukup banyak.
“Berapa orang
paman?” bertanya Agung Sedayu.
Sumangkar
menggelengkan kepalanya. Tetapi ia berbisik,
“Lebih dari
sepuluh.”
Agung Sedayu
mengerutkan keningnya. Di barak ini kini ada empat orang yang akan dapat
bekerja bersama, sedang pemimpin pengawas yang terluka itu pasti masih belum
dapat berbuat banyak. Tanpa berjanji maka Sumangkar dan Agung Sedayu pun
merenggang dua langkah. Mereka menghadap ke arah yang berlawanan untuk dapat
mengawasi seluruh keadaan disekitar mereka. Namun malam menjadi sangat gelap.
Sejenak mereka tidak melihat sesuatu selain hitamnya malam dan bintang- bintang
dilangit. Namun lambat laun mereka melihat dari daunan yang bergerak-gerak
beberapa langkah dihadapan mereka. Telinga mereka yang tajampun mulai mendengar
desir ranting-ranting yang tersibak.
“Mereka sudah
mulai.” bisik Sumangkar yang mundur setapak mendekati Agung Sedayu,
“apakah yang
harus aku lakukan? Menangkap atau mengusir mereka?”
“Kita ingin
menangkap hantu paman. Satu atau dua diantara mereka. Kita ingin mendapat
keterangan.”
“Bagaimana dengan
gurumu dan Swandaru?”
“Kalau mereka
tahu apa yang terjadi, mereka pasti tidak akan. tinggal diam.”
Sumangkar
mengangguk-anggukkan kepalanya. “Baiklah” desisnya.
Keduanyapun
kemudian saling berdiam diri. Tetapi medan di sekitar mereka tidak menguntungkan.
Pepohonan perdu agak terlampau rimbun, sehingga pasti akan mengganggu. Namun
mereka masih tetap menunggu di tempatnya. Mereka mengangkat wajah ketika mereka
mendengar salah seorang dari hantu-hantu itu berkata,
“Menyerahlah.
Kalian tidak akan dapat lari lagi.”
Sejenak
Sumangkar dan Agung Sedayu saling berpandangan. Namun mereka tidak akan segera
mengatakan sesuatu, apalagi menjawab ancaman hantu-hantu yang agaknya telah
mengepung mereka.
“Menyerahlah”
terdengar lagi suara itu.
Tetapi Agung
Sedayu dan Sumangkar masih tetap berdiam diri. Bahkan mereka mencoba menahan
nafas mereka agar tidak segera dapat dikenal tempat mereka bersembunyi. Dalam
pada itu, didalam barak Kiai Gringsing dan Swandaru menjadi berdebar-debar
menanggapi perkembangan keadaan. Dari kata-kata yang didengarnya, mereka dapat
membayangkan, apakah yang kini sedang berkecamuk di belakang barak itu. Agaknya
hantu-hantu itu sudah mulai mengancam dan bahkan siap untuk menyerang. Kiai
Gringsing yang tidak mengetahui imbangan kekuatan mereka menjadi cemas. Karena
itu, maka iapun kemudian berkata,
“Aku akan
melihat apa yang sudah terjadi.”
“Tetapi……”
pengawas itu menjadi ragu-ragu.
“Aku dan
anakku ini tidak akan dapat tinggal diam. Kalau mereka ingin menelan kami
sebagai ganti isi barak ini, kami tidak akan berkeberatan. Tetapi aku yakin,
bahwa Kiai Dandang Wesi itu benar-benar akan melindungi kami di sini.”
Kiai Gringsing
tidak menunggu jawaban. Ia masih sempat melihat beberapa wajah yang tersembul
dari selimut mereka. Tetapi wajah-wajah itu adalah wajah-wajah yang pucat. Orang-orang
di dalam barak itu sama sekali sudah tidak tahu lagi, bagaimana mereka akan
menanggapi keadaan. Namun justru karena itu maka mereka tidak dapat menilai
apakah sebenarnya yang sedang terjadi.
“Tinggallah di
sini” berkata Kiai Gringsing kepada pemimpin pengawas itu.
“Apakah kalian
benar-benar akan melihat apa yang akan terjadi di luar?”
“Ya.”
“Hati-hati1ah.
Kita sama sekali tidak tabu, apakah yang sesungguhnya terjadi. Aku menjadi
sangat bingung dan tidak tahu apa yang scbaiknya dilakukan.”
“Tinggallah di
sini. Kau sedang terluka. Aku kira, aku tidak akan mengalami apapun.”
Kiai Gringsing
tidak menunggu jawaban pemimpin pengawas itu. Iapun segera berdiri dan
melangkah keluar pmtu, diikuti oleh Swandaru. Namun di serambi mereka berhenti
sejenak. Kiai Gringsing mencoba menebarkan pandangan matanya ke sekeliling
halaman barak itu. Tetapi ia tidak melihat sesuatu Malam semakin lama menjadi
semakin gelap.
“Hati-hati1ah
Swandaru” berkata Kiai Gringsing
”kita akan
berusaha mendekati mereka di belakang barak.”
Swandaru
mengangguk-anggukkan kepalanya.
Keduanyapun
kemudian menuruni tangga serambi. Orang-orang yang berada di serambi itu sama
sekali tidak berani menggerakkan tubuhnya sama sekali. Bahkan jarinyapun tidak.
Kiai Gringsing dan Swandarupun kemudian mengendap-endap melekat dinding samping
barak itu menuju ke belakang. Di sudut mereka berhenti sejenak untuk
mendengarkan suara-suara yang dapat memberikan petunjuk kepada mereka. Dalam pada
itu mereka mendengar suara,
“Jangan
mencoba mengelak lagi. Nasibmu sudah kami tentukan.”
Agung Sedayu
dan Sumangkar masih tetap berdiam diri. Tetapi mereka sudah bersiaga
sepenuhnya. Apabila hantu-hantu itu mendekat, maka mereka telah siap menyerang
mereka dan kemudian bertempur melawan sejumlah hantu-hantu itu.
“Ayo” terdengar
hantu-hantu itu berteriak,
“kenapa kau
diam saja. Apakah Kiai Dandang Wesi sudah mati, atau sudah lari kembali ke
Gunung Merapi.”
Dada Agung
Sedayu menjadi berdebar-debar. Tetapi sebelum ia berbuat sesuatu, tiba-tiba
dikejauhan, di sudut barak yang gelap terdengar suara yang aneh. Semakin lama
semakin keras. Akhirnya meledaklah suara tertawa yang berkumandang,
“He
hantu-hantu bodoh. Apakah yang kau tunggui di situ? Aku sudah disini. Akulah
Kiai Dandang Wesi.”
Suara itu
benar-benar telah mengejutkan hantu-hantu yang sudah mengepung Agung Sedayu dan
Sumangkar. Mereka tidak menyangka sama sekali bahwa suara itu telah berpindah
ke sudut barak. Sehingga karena itu, mereka terdiam sejenak tanpa dapat berbuat
sesuatu. Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Namun ketika Sumangkar
memandanginya, ia mengangguk kecil. Agaknya kedua orang itu segera dapat
mengetahui, bahwa suara itu pasti suara Kiai Gringsing atau Swandaru yang telah
dapat membayangkan suasana yang telah terjadi Suasana di belakang barak itu
menjadi hening sesaat. Yang terdengar kemudian adalah suara tertawa yang
semakin lirih di sudut barak itu.
“Apakah kalian
benar-benar berusaha melawan Kiai Dandang Wesi?” suara di sudut barak itu
terdengar lagi. Kali ini melengking-lengking.
Agung Sedayu
dan Sumangkar pun kemudian bersembunyi semakin rapat. Mereka berjongkok di dalam
rimbunnya daun perdu. Dengan susah payah mereka mencoba mengatur jalan
pernafasan mereka, supaya hantu-hantu yang mengepung mereka tidak dapat mendengarnya.
“He, apakah
kalian sedang berburu jengkerik” suara di sudut barak itu terdengar pula
”kalau kalian
ingin melawan Kiai Dandang Wesi, kemarilah. Mungkin satu dua diantara kalian
pernah bertemu dengan Kiai Dandang Wesi.”
Sejenak
kemudian disudut halaman itu tampaklah bayangan hitam yang tidak berbentuk,
melenting-lenting disentuh oleh cahaya obor yang menerobos sela-sela dinding
barak. Tetapi kemudian seakan-akan tenggelam kembali kedalam kegelapan di sudut.
Suasana dibelakang barak itu terasa menjadi semakin tegang. Selain suara
tertawa yang aneh dari Kiai Dandang Wesi, tidak ada seorangpun yang berbicara. Karena
semuanya terdiam, maka sejenak kemudian Kiai Dandang Wesi itu berkata pula
”Kenapa kalian
sekarang diam? Apakah hantu-hantu Alas Mentaok sudah mati, atau sudah lari
bersembunyi?”
Masih belum
ada jawaban. Namun sejenak kemudian Agung Sedayu dan Sumangkar mendengar
gemerisik di dekat mereka. Agaknya beberapa orang sedang merangkak-rangkak
saling mendekati. Keduanya semakin mengerutkan tubuh mereka. Apalagi ketika
ternyata beberapa orang berhenti di dekat keduanya. Dan Agung Sedayu serta
Sumangkar itupun kemudian mendengar beberapa orang saling berbisik,
“Gila. Apakah
kalian percaya bahwa yang datang itu benar-benar hantu Gunung Merapi?”
Tidak ada
seorangpun yang menyahut.
“Aku masih
ingin membuktikannya. Mungkin orang-orang gila itu telah mencoba memancing
kita. Mereka juga tidak percaya kepada hantu-hantu Alas Mentaok, sehingga
mereka mempergunakan cara yang sama untuk mengatasi ketakutan orang-orang di barak
itu.”
“Tetapi mereka
baru saja berada di tempat ini atau disekitarnya. Tiba-tiba saja ia sudah
berada di sudut barak selagi kita sedang mengepungnya.”
Sejenak mereka
terdiam Namun kemudian seseorang diantara mereka berkata,
“Marilah kita
buktikan. Seandainya benar kita berhadapan dengan hantu Gunung Merapi, kitapun
tidak boleh menyerah.”
Maka Agung
Sedayu dan Sumagkarpun menjadi semakin berdebar-debar. Ia mendengar hantu-hantu
yang sedang berbincang itu bergeser dari tempatnya. Kalau saja tanpa mereka
sadari mereka melanggarnya, maka semuanyapun harus segera dimulai. Tetapi
mereka ternyata meninggalkan tempat itu tanpa mengetahui kehadiran Agung Sedayu
dan Sumangkar. Mereka telah merayap mendekati sudut barak. Semakin lama semakin
menjauhi Agung Sedayu.
“Mereka sudah
jauh paman” desis Agung Sedayu.
“Bagaimana
dengan kita?”
“Kitapun akan
bergeser. Aku harus menyesualkan diri dengan kegemaran guru bermain-main
seperti ini. Kita berpindah tempat.”
Keduanyapun
kemudian berpindah tempat. Dengan hati-hati mereka bergeser mendekati barak.
Tetapi mereka masih tetap berdiam diri menunggu perkembangan keadaan, sementara
Kiai Dandang Wesi pun sudah diam pula. Sejenak kemudian maka terdengarlah dari
kegelapan suara dari salah seorang yang mengaku hantu-hantu Alas Mentaok,
“Kiai Dandang
Wesi. Cobalah tampilkan dirimu Kita akan saling memperkenalkan.diri.”
“Aku sudah
mengenal rajamu” sahut suara di sudut barak.
“Tetapi kita
belum berkenalan. Mau tidak mau kau harus menunjukkan kepada kami, kenyataan tentang
hantu yang bernama Kiai Dandang Wesi. Kami sudah mengepungmu. Kau tidak akan
dapat lari lagi.”
Sejenak mereka
menunggu. Tetapi mereka tidak mendengar jawaban apapun.
“He, jawablah.
Apakah kau menjadi ketakutan?” Masih belum ada jawaban.
“Kiai Dandang
Wesi” panggil seseorang dari persembunyiannya,
“kenapa kau
diam saja.”
Tidak
terdengar suara apapun.
“He, apakah
kau sudah membeku?”
Sekali lagi
hantu-hantu itu dikejutkan oleh suara tertawa di tempat lain. Suara itu semakin
lama semakin tinggi. Namun tiba-tiba suara itu terputus. Yang terdengar
kemudian adalah. Kata-katanya,
“Aku di sini.
Aku di sini. He, siapakah yang kalian cari di situ?”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar