Jilid 057 Halaman 3


Ia hanya ingin melihat dan mengikuti, apa saja yang telah mereka lakukan malam ini. Ketika ia mengatakan niatnya kepada Ki Sumangkar, orang tua itupun menyetujuinya. Katanya,
“Aku juga ingin melihat, barangkali akan sangat menarik bagiku dan barangkali akan dapat menjadi oleh-oleh nanti kalau kita kembali ke Sangkal Putung.”

Keduanya pun kemudian beringsut dari tempatnya, Orang-orang didalam barak itu masih tetap berkerudung selimut-selimut mereka, sehingga dengan demikian mereka tidak menghiraukan lagi kedua orang itu. Mereka tidak melihat keduanya beringsut dan keluar dari barak. Ketika mereka mendengar derit pintu. tidak seorang pun yang berani mengangkat kepalanya, melihat siapakah yang sudah menggerakkan daun pintu itu.  Agung Sedayu dan Sumangkar pun kemudian berlari sambil merunduk melintasi halaman yang tidak seluas halaman barak yang satu. Sambil berlindung dibalik semak-semak merekapun berusaha untuk mengikuti suara gemerincing yang semakin lama menjadi semakin jauh.
“Mereka menuju ke barak yang lain” desis Agung Sedayu.
Sumangkar tidak menyahut. Ia hanya menganggukkan kepalanya saja. Semakin lama meraka pun menjadi semakin dekat dengan suara gemerincing itu. Tetapi mereka masih belum dapat melihat bentuknya sama sekali. Karena itu mereka pun menjadi semakin maju, sehingga mereka menjadi semakin mendekati barak yang ditunggui oleh Kiai Gringsing dan swandaru. Dalam pada itu, orang-orang di barak itu pun telah menjadi ketakutan. Meskipun mereka mencoba untuk menguasai nalar mereka, tetapi mereka benar-benar telah diterkam oleh ketakutan. Mereka tidak dapat melepaskan tekanan perasaan yang selama ini telah mencengkam jantung mereka, sehingga bagaimanapun juga. suara gemerincing itu masih membuat mereka gemetar. Bahkan pemimpin pengawas yang terluka itu masih juga menjadi berdebar-debar. Ia sudah tidak akan takut menghadapi apapun yang dapat dilihatnya. Mati bukan lagi suatu yang menghantuinya dan bahkan ia sudah mulai menilai hantu-hantu itu dengan pertimbangan yang lain. Meskipun demikian, ketakutan dan kecemasan yang menerkamnya untuk waktu yang lama masih juga tetap membekas. Betapapun juga ia menimbang dengan akal, namun suara gemerincing itu masih tetap mendebarkan jantungnya.
“Mereka sudah datang guru” desis Swandaru.
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Kita tidak memerlukan hantu-hantu kecil seperti itu. Mungkin jerangkong, tetekan, tuyul dan sebangsanya. Mereka tidak lebih dari orang-orang yang tinggi kekar, yang terbunuh di dapur itu atau setinggi-tingginya orang yang kekurus-kurusan itu.
“Apakah kita tidak memerlukan mereka? Mereka pasti akan dapat memberikan beberapa keterangan tentang gerakan yang telah mereka lakukan selama ini.”
“Tidak banyak yang mereka ketahui.”
“Tetapi itu akan lebih baik daripada kita tidak mendapat keterangan apapun juga guru.”
“Swandaru” berkata gurunya,
“mungkin kita mendapat beberapa penjelasan dari mereka. Tetapi akibatnya, tingkat yang lebih tinggi dari mereka akan segera mempersiapkan diri. Mungkin mereka dapat menghapus hal-hal yang diketahul oleh hantu-hantu kecil itu karena memang tidak terlampau banyak.”
“Jadi bagaimana maksud guru?”
“Aku ingin mengalami, bahwa beberapa orang dari mereka, termasuk orang-orang pentingnya datang mengunjungi kita di tempat kerja kita itu.”

Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Sementara suara gemerincing itu pun menjadi semakin dekat. Namun karena itu, orang-orang di sekitar Swandaru dan gurunya itu pun, sudah menyelimuti diri mereka rapat-rapat. Bahkan pemimpin pengawas yang duduk di sudut ruangan menjadi pucat pula, meskipun ia masih tetap bertahan ditempatnya. Kiai Gringsing dan Swandaru pun kemudian saling berdiam diri. Mereka memperhatikan suara yang semakin lama menjadi semakin dekat itu. Dan kemudian seperti biasanya, pada jarak tertentu suara itu mengitari barak beberapa kali. Namun kali ini, suara gemerincing itu tidak juga segera pergi menjauh. Suara itu justru menjadi semakin mendekat. Swandaru memandang wajah Kiai Gringsing yang menegang. Tetapi Kiai Gringsing masih tetap duduk di tempatnya.
“Aneh guru” desis swandaru,
“agak lain dari kebiasaan mereka.”
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya.
Namun kelainan itu agaknya telah menambah ketakutan di setiap dada. Orang-orang didalam barak itu menjadi semakin kecil melingkarkan dirinya. Selimut mereka menjadi semakin rapat menutun seluruh tubuh. Orang yang berbaring di samping. Swandaru, dan masih juga mendengar Swandaru berdesis, mcngumpat didalam hatinya,
“O, anak gila. Apa saja yang mereka percakapkan. Benar juga pendapat orang yang kekurus-kurusan itu. Kekerasan hatinya dapat menumbuhkan bencana.”
Tetapi Swandaru masih juga berdesis, dan orang-orang yang berbaring tidak jauh daripadanya masih mendengar, meskipun mereka tidak mengerti isinya. Dan Swandaru memang masih berkata,
“Mereka justru mendekat guru.”
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Iapun kemudian berkata,
“Kita menghadapi persoalan yang khusus. Karena itu bersiaplah.! Mungkin kita memerlukan penyelesaian yang khusus kali ini.”
Swandaru mengerutkan keningnya. Namun tiba-tiba ia tersenyum- sambil meraba seniatanya.
“Aku ingin menangkap tuyul guru.”
“Ssst” gurunya berdesis.

Keduanya menjadi tegang. Apalagi pengawas yang masih duduk ditempatnya. Lukanya rasa-rasanya menjadi semakin parah dan wajahnya pun bertambah pucat. Apalagi orang-orang yang sudah menjadi semakin ketakutan. yang berbaring semakin rapat bersembunyi dibawah selimut. Dengan demikian maka suasana didalam barak itu benar-benar dibayangi oleh ketakutan yang luar biasa. Nafas-nafas menjadi sesak, dan darah serasa berhenti diurat nadi, karena jantung telah berhenti berdenyut.
Sejenak kemudian suara gemerincing itu menjadi semakin dekat. Agaknya beberapa langkah saja dari dinding barak. Tetapi justru dinding belakang. Dan akhirnya suara gemerincing itu tidak beringsut lagi. Meskipun suaranya menurun, tetapi setiap orang didalam barak itu sadar, bahwa hantu-hantu itu masih tetap berada dibelakang barak mereka. Sejenak kemudian, jantung mereka serasa terlepas dari tangkainya ketika dari belakang barak itu terdengar suara tertawa terkekeh-kekeh, seperti suara seorang kakek yang sedang kegirangan. Atau di dalam pendengaran orang-orang yang ketakutan itu, seperti suara hantu yang mendapat sesosok mayat baru. Mengerikan sekali. Dan suara itu ternyata terdengar berkepanjangan tidak henti-hentinya. Tidak ada seorang pun yeng berani bergerak. Bahkan rasa-rasanya untuk menarik nafaspun tidak ada lagi kesempatan. Udara didalam barak itu menjadi terasa aneh, seperti udara tanah pekuburan. Pemimpin pengawas yang terluka itu masih duduk di tempatnya. Namun seakan-akan ia sudah membeku oleh suara yang mengerikan itu. Beberapa kali ia mencoba menghalaukan cengkaman perasaan itu dengan nalar dan pertimbangan-pertimbangan sehatnya. Namun setiap kali ia gagal. Dan tubuhnya pun menjadi gemetar pula karenanya. Kiai Gringsing menjadi tegang sejenak. Hantu-hantu itu dengan sengaja mendekati dan mengganggu barak itu. Bagi Kiai Gringsing itu adalah suatu pertanda, bahwa yang datang bukanlah hantu-hantu kecil seperti yang dikatakannya.
Mereka pasti sudah mengetahui apa yang terjadi sebelumnya. Hantu-hantu itu pasti sudah tahu bahwa dibarak itu ada Agung Sedayu dan Swandaru yang telah berhasil mengalahkan beberapa orang dari antara mereka yang diliputi oleh rahasia itu. Karena itu, apabila mereka dengan sengaja datang kebarak ini, mereka pasti sudah memperhitungkannya.
“Mereka ternyata mendatangi barak ini” desis Kiai Gringsing.
Swandaru menganggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak menjawab.
“Hati-hatilah” desis gurunya,
“kalau mereka berani berbuat demikian, mereka pasti sudah membuat perhitungan-perhitungan tertentu. Bahkan mungkin berdasarkan atas perhitungan mereka karena para pengawas telah menghubungi pusat Tanah Mataram.”
Swandaru masih mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia menyadari kata-kata gurunya. Hantu-hantu itu pasti sudah membuat perhitungan-perhitungan tertentu. Karena itu, ia memang harus berhati-hati.
“Kau sudah menelan sebutir obat siang tadi. Obat itu pasti masih berpengaruh atasmu. Apabila kau tersentuh racun dari hantu-hantu yang barangkali karena putus-asa atau kehabisan akal akan menyerang kita, kau masih dapat bertahan, Demikian juga Agung Sedayu. Kita di sini tidak tahu apa saja yang dikerjakannya sekarang.”
Swandaru memandang gurunya sejenak, lalu,
“Apakah kita akan menunggu mereka, atau kita akan keluar dari barak ini?”
“Kita akan melihat perkembangan keadaan.” Belum lagi Kiai Gringsing diam sama sekali, terdengar suara tertawa itu meninggi. Kemudian melengking mengerikan. Dari sela-sela suara yang masih berkepanjangan itu terdengar suara yang lain,
“He penghuni barak yang bodoh.”

Ternyata suara itu benar-benar telah mengguncang setiap hati, sehingga beberapa orang hampir menjadi pingsan karenanya. Mereka menjadi semakin ketakutan mendengar suara yang bercampur baur dibelakang barak mereka itu.
“Ada kesalahan yang besar yang telah kalian lakukan.” suara itu masih menggetar diantara suara tertawa yang tidak terputus.
“Aneh guru” Swandaru tiba-tiba berdesis.
“Apa yang aneh?” bertanya gurunya.
“Suara itu, Bagaimana mungkin seseorang dapat berbicara sambil tertawa dengan suara yang melengking-lengking itu?”
“Kau yang aneh?”
“Kenapa aku?”
“Seharusnya kau tidak bertanya demikian. Apakah ada ketentuan dari manapun, bahwa hantu-hantu tidak boleh datang berdua, bertiga atau barangkali berpuluh-puluh yang telah mengepung barak ini?”
“O” Swandaru mengangguk-anggukan kepalanya pula.
“Ya, mereka pasti datang dalam jumlah yang cukup.”
Dalam pada itu suara dari belakang barak itu berkata terus,
“Karena itu, kami menuntut agar kalian menyesali kesalahan itu.”
Suara itu seakan-akan bergema di seluruh luangan barak yang membujur panjang itu, dan singgah disetiap telinga sehingga orang-orang yang ada didalamnya menjadi semakin ketakutan. Seandainya tubuh mereka disayat pisau pun agaknya tidak akan dapat menitikkan setetes darah yang masih merah.
“Kalian telah membuat beberapa kematian justru orang-orang yang dapat mengerti tentang kami. Justru orang-orang yang paling baik diantara kalian, dan yang bersedia bersama dengan kami. Orang-orang itulah yang selama ini menjadi jembatan diantara kita. Tetapi orang-orang itu justru sudah kalian bunuh” suara itu berhenti sejenak. Dan yang terdengar kemudian bagaikan seekor harimau yang menggeram. Lalu,
“Sudah tentu kami akan menuntut balas. Mereka adalah orang-orang yang baik, sehingga karena itu nilai mereka bagi kami berbanding satu dengan sepuluh. Seorang dari orang-orang yang baik itu, akan kami tuntut ganti sepuluh orang dari antara kalian.”

Tubuh-tubuh yang terbaring didalam barak itu menjadi semakin gemetar. Tidak seorang pun yang berani bergerak sama sekali. Apalagi setelah mereka mendengar tuntutan hantu-hantu itu. Maka rasa-rasanya nyawa mereka telah berada diubun-ubun. Seorang yang tidak tahan lagi mendengar suara-suara itu ternyata telah jatuh pingsan tanpa ada yang mengetahuinya, karena selimut yang menutup seluruh tubuhnya.
“Ayo” berkata hantu itu,
“siapakah yang akan mati lebih dahulu saat ini.” suara itu berhenti sejenak seakan-akan memberi kesempatan kepada orang-orang didalam barak itu untuk berpikir. Tetapi kemudian suara itu berkata,
“Namun demikian, kami masih memberi kesempatan kepada kalian untuk minta maaf kepada kami dengan satu syarat. Menyerahkan orang-orang gila yang ada didalam barak kalian itu kepada kami. Tiga orang ayah beranak itu harus menjadi tumbal apabila kalian menghendaki keselamatan.”
Barak itu menjadi hening. Ketakutan yang sangat telah mencengkam mereka, seperti kesepian yang dipenuhi oleh suasana maut yang telah membayangi setiap perasaan. Kiai Gringsing dan Swandaru menjadi semakin tegang. Sejenak mereka saling berpandangan. Tanpa berjanji mereka hampir berbareng berpaling kepada pemimpin pengawas yang bersandar di sudut.
Orang-orang didalam barak itu kemudian mendengar hantu diluar berteriak dengan suara yang mengguncang jantung.
“Ayo. Kalau kalian tidak bersedia menyerahkan tiga orang itu, kalian akan mengalami nasib yang jelek. Sedikitnya duapuluh orang akan mati dengan cara yang sangat mengerikan buat manusia, tetapi menyenangkan buat hantu-hantu.”
Tidak ada seorang pun yang berani memberikan tanggapan.
“Kenapa kalian diam saja?” teriak hantu-hantu itu,
“apakah kalian tidak rela? Kalau begitu, bersiaplah. Dua puluh orang akan mati. O tidak, duapuluh lima. Aku memerlukan duapuluh lima orang. Mereka akan menjadi budak-budak di dunia kami. Dunia halus dengan wadag-wadag mereka supaya kami dapat menyakiti setiap saat.”
Mengerikan sekali. Mengerikan sekali. Dan hantu-hantu itu berkata selanjutnya,
“Aku memberi waktu kalian untuk berpikir sejenak.”

Suasana yang aneh telah mencekam barak itu. Beberapa orang tiba-tiba beringsut ditempatnya. Perlahan-lahan mereka menarik selimut mereka, dan dari sela-sela jari tangan, mereka mencoba mencari Kiai Gringsing dan anak-anaknya. Yang mereka lihat kemudian adalah Truna Podang itu duduk hanya dengan satu anaknya karena anaknya yang lain pergi kebarak sebelah bersama seorang tamunya. Dalam ketegangan itu ternyata telah terjadi pergolakan di setiap dada. Ketakutan yang dahsyat telah mendorong mereka untuk berpikir, apakah mereka akan menyerahkan orang tua bersama kedua anak-anaknya itu. Tanpa dikehendaki, dua orang yang menjengukkan kepalanya saling berpandangan sejenak. Namun mereka tidak segera berbuat apa-apa. Sementara itu, pemimpin pengawas yang terluka masih juga bersandar dinding. Ia mencoba dengan segenap kemampuan akalnya untuk menentang permintaan hantu-hantu itu. Perlahan-lahan ia berhasil menguasai perasaannya, sehingga akhirnya ia berketetapan bahwa permintaan itu adalah permintaan yang sangat gila. Hantu yang manapun tidak akan sempat memberikan pilihan semacam itu. Seandainya mereka mempunyai kekuasaan, maka mereka akan dapat berbuat sekehendak hati mereka tanpa pertimbangan-pertimbangan yang sangat memuakkan itu. Meskipun demikian, bayangan keragu-raguan masih mengabut di kepalanya, sehingga pemimpin pengawas itu masih belum berbuat apa-apa.
Ketegangan yang memuncak itu pun akhirnya telah mengusik setiap orang yang berbaring di dalam barak itu. Setiap orang menginginkan agar dirinya sendiri diselamatkan, meskipun karena itu, orang lain harus dikorbankan. Didalam pilihan yang demikian seseorang akan berpijak pada sifat manusiawi. Bertahan diri dengan cara apapun juga Hanya orang-orang yang merniliki kelebihan hakiki sajalah yang sanggup menyingkirkan sifat itu, dan bersedia berkorban untuk kepentingan orang lain. Perasaan yang demikian, adalah perasaan kasih yang tertinggi yang dimiliki oleh seseorang untuk sesamanya, meskipun kadang-kadang seseorang tidak tepat meletakkan dasar pertimbangan, sehingga dengan pahit terjadi pengorbanan tulus yang sia-sia. Demikianlah yang sedang bergolak di setiap hati orang-orang didalam barak itu. Mereka lebih senang mengorbankan tiga orang seperti yang diminta oleh hantu-hantu itu. Bukan karena mereka memperhitungkan bahwa tiga itu jauh lebih sedikit dari duapuluh apalagi duapuluh lima, tetapi karena yang tiga orang itu bukanlah diri mereka sendiri. Yang tiga itu adalah orang-orang yang sudah ditunjuk oleh hantu-hantu. Bahkan seandainya korban akan dituntut jauh lebih banyak dari itu, jauh lebih banyak dari duapuluh lima, tetapi yang lebih dari duapuluh lima itu bukan diri mereka sendiri, mereka pun pasti akan memilih jumlah itu. Namun suasana di dalam barak itu masih tetap sepi meskipun terasa dibakar oleh keterangan yang memuncak. Semua orang telah memandang Kiai Gringsing yang masih tetap duduk di tempatnya dari sela-sela selimut yang mereka singkapkan.
Tiba-tiba mereka terkejut karena suara diluar menyentak,
“He, apakah kalian sudah mendapat pilihan?” Tidak ada jawaban sama sekali.
“Aku masih memberi kesempatan kepada kalian. Yang harus kalian lakukan didalam pilihan ini adalah, apabila kalian memilih mengorbankan tiga orang itu, segera lakukanlah. Bunuhlah mereka. atau setidak-tidaknya usirlah mereka keluar. Kami akan menangkap dan membantu kalian membunuh mereka di dalam kegelapan. Kami tidak senang berada didalam cahaya lampu yang silau, meskipun apabila perlu kami dapat memadamkannya. Tetapi kalau kalian tidak melakukannya, maka kalian yang akan menjadi korban.”
“Duapuluh lima orang! Mungkin kau, mungkin kau, kau, kau, kau atau anak-anakmu atau saudara-saudaramu atau kalian semuanya sekeluarga.”
Dada orang-orang didalam barak itu mulai bergolak. Perasaan mereka yang kabur menjadi semakin gelap, sehingga tiba-tiba salah seorang yang ketakutan tanpa dapat dikekang berteriak,
“Kita bunuh mereka. Kita bunuh mereka.”

Kiai Gringsing menjadi berdebar-debar. Tidak mungkin melawan orang-orang bodoh yang tidak berdaya itu. Meskipun ia dapat berbuat apa saja, tetapi ia tidak akan dapat mengorbankan mereka didalam kebodohannya itu. Sehingga dengan demikian, Kiai Gringsing justru menjadi bimbang sejenak. Namun dalam pada itu, selagi Kiai Gringsing, Swandaru dan pemimpin pengawas itu dicengkam oleh keragu-raguan, terdengarlah di luar suara lain yang besar berkumandang di udara,
“He hantu-hantu kerdil, apakah kerja kalian di situ? Kalian hanya dapat menakut-nakuti tikus-tikus kecil itu. Ketahuilah, aku adalah Kiai Dandang Wesi dari Gunung Merapi,”
Suara itu ternyata telah menggetarkan hati setiap orang yang mendengarnya. Bahkan Kiai Gringsing dan Swandaru pun menjadi tegang sejenak. Ketika mereka berpaling kepada pengawas yang duduk dengan lemahnya, mereka melihat pemimpin pengawas itn beringsut dari tempatnya. Belum lagi seseorang sempat berbuat apapun, suara itu terdengar lagi,
“He hantu-hantu yang tidak tahu adat. Aku sudah mengadakan pembicaraan dengan rajamu. Sekarang kalian berbuat menurut kehendakmu sendiri.”
Malam serasa menjadi bertambah sepi dan tegang. Dan suara itu masih berkata,
“Adalah perbuatan yang terkutuk sekali apabila kau menuntut ganti orang-orang yang berpihak kepadamu itu sejumlah duapuluh lima orang, atau tiga orang ayah beranak itu. Aku adalah Kiai Dadang Wesi. Aku sudah berjanji untuk melindungi mereka dari ancaman siapapun juga. Termasuk ancaman orang-orang, eh, hantu-hantu gila seperti kalian. Sebab dengan perbuatan kalian itu, kalian telah menodai nama dan kuasa hantu-hantu yang sebenarnya. Sebagai utusan dari Gunung Merapi, aku memperingatkan, agar kalian melepaskan tuntutan kalian itu.”
Orang-orang didalam barak itupun menjadi kian membeku. Orang yang sudah terlanjur berteriak untuk membunuh ketiga ayah beranak itu pun seakan-akan telah mematung di tempatnya. Hatinya benar-benar telah terguncang. Sama sekali tidak disangkanya, bahwa diluar baraknya ada jenis hantu yang lain, yang juga pernah didengarnya. Kiai Dandang Wesi dari Gunung Merapi
“Apakah kalian tidak ingin mengurungkan tuntutan kalian itu?” masih terdengar suara dari hantu yang menyebut dirinya bernama Kiai Dandang Wesi.
Namun tidak ada jawaban sama sekali. Suara tertawa yang melengking-lengking itu pun telah lenyap seperti disapu angin malam yang bertiup dari Selatan.

Orang-orang didalam barak itu bagaikan sabut yang diguncang ombak di lautan yang luas. Perasaan mereka benar-benar telah terombang-ambing tanpa dapat mereka kendalikan lagi. Beberapa orang diantara mereka sudah tidak dapat mempergunakan nalar, sehingga meskipun mereka masih tetap sadar, tetapi mereka tidak lebih dari sesosok tubuh yang kosong sama sekali. Mereka yang masih sadar, tiba-tiba saja mendengar desis dan bisik yang lembut dibelakang gardu. Tetapi mereka tidak dapat menangkap sama sekali apa yang sedang diperbincangkan. Tetapi terbayang di dalam angan-angan mereka, beberapa sosok hantu sedang berdiri termangu-mangu, menghadapi jenis hantu yang lain, yang mempunyai kuasa yang sama dengan mereka. Perlahan-lahan pemimpin pengawas yang terluka itu beringsut mendekati Kiai Gringsing yang duduk tegang di samping Swandaru. Tetapi ketika ia sudah berada beberapa jengkal dari orang tua itu, pemimpin pengawas itu masih juga tetap terdiam.
Sejenak kemudian malam kembali disayat oleh suara yang dalam dan berat,
“Apa katamu he hantu-hantu kecil Jerangkong, tetekan, tuyul, culi dan wedon-wedon cengeng. Ayo, aku memberi kalian waktu sejenak. Kalau kalian tidak pergi dari tempat itu, aku. Kiai Dandang Wesi akan bertindak. Aku tahu, bahwa pemimpin-pemimpinmu tidak akan senang atas tindakanku ini, tetapi pemimpin-pemimpinmu yang tertinggi pasti akan berterima kasih kepadaku.”
“Persetan” tiba-tiba terdengar suara dari belakang barak. Tetapi sebelum dilanjutkannya, dikejauhan terdengar suara menyahut,
“Ya. kalian memang setan-setan.”
“Diam” suara di belakang gardu itu berteriak,
“kami bukan saja terdiri dari hantu-hantu kecil.”
“Ya, aku memang melihat diantara kalian ada genderuwo. Tetapi sudah tentu genderuwo yang bengal. Yang tidak tunduk kepada atasannya”.
“Sudahlah, jangan banyak bicara. Tinggalkan tempat itu, atau aku akan membakar kalian dengan api neraka yang paling panas. Kalian tahu, bahwa aku dapat menceburkan kau ke kawah Gunung Merapi?”
“Jangan membual. Aku tetap pada pendirianku. Aku akan membunuh tidak saja duapuluh lima orang. tetapi semua orang di dalam barak ini.”
“Kau mengundang bencana bagi seluruh Alas Mentaok. Itu berarti perang dengan Gunung Merapi dan pegunungan di sekitarnya, Merbabu dan Pegunungan Somawana, Gajah Mungkur sampai ke Hutan Kedung Pati. Dan ini sama sekali tidak dikehendaki oleh raja kalian.”

Sejenak tidak ada jawaban. Kembali terdengar suara berbisik di belakang gardu. Seakan-akan hantu-hantu itu sedang merundingkan apa yang sebaiknya dilakukannya.
“Ingat” teriak suara di kejauhan,
“kalian berdiri sendiri. Alas Tambak Baya, Ereng-ereng Kali Praga dan Daerah Gunung Sepikul pun tidak sependapat dengan cara kalian. Meskipun jumlah mereka tidak begitu banyak; namun bersama-sama dengan kami mereka akan merupakan lawan yang berat bagi Alas Mentaok. Apalagi dendam yang membara dihati mereka tidak akan dapat dipadamkan untuk waktu yang berabad-abad karena tindakan kalian selama ini. Mereka selalu terdesak dan kalian hinakan sebagai hantu-hantu yang tidak mempunyai kekuasaan halus seperti kalian.”
Ketegangan rasa-rasanya telah menghanguskan setiap jantung dari orang-orang yang tinggal didalam barak itu. Mereka tidak tahu, apakah mereka berpengharapan atau menjadi semakin ketakutan mendengar percakapan hantu-hantu itu. Hanya Kiai Gringsing dan Swandaru sajalah yang semakin lama justru menjadi semakin tenang. Bahkan Swandaru menjadi tersenyum ketika ia mendengar suara hantu dikejauhan menjadi serak, bahkan kemudian terbatuk-batuk.
“Agaknya kita sudah harus mulai” desis Kiai Gringsing.
“Apakah sebenarnya yang telah terjadi ?” bertanya pemimpin pengawas itu.
“Kalau hantu-hantu itu benar-benar akan bertempur, kita tidak akan dapat tetap tinggal diam di sini.”
Pemimpin pengawas itu memandang Kiai Gringsing Dengan heran. Ia tidak segera mengerti maksud orang yang menyebut dirinya bernama Truna Podang itu.
“Ki Sanak” berkata Kiai Gringsing itu kemudian,
“agaknya hantu-hantu itu sudah sampai pada puncak kesabarannya. Mereka memerlukan aku dan kedua anak-anakku. Tetapi seperti yang dijanjikan maka Kiai Dandang Wesi benar-benar akan melindungi kita di sini. Dan aku percaya bahwa kuasa Kiai Dandang Wesi itu tidak kalah dari hantu-hantu kerdil itu.

Pemimpin pengawas itu mengerutkan keningnya. Sedang Kiai Gringsing berkata terus, kini kepada seisi barak,
“Nah, sekarang siapakah diantara kalian yang masih ingin membunuh aku” suaranya justru menjadi lantang dan teras, seakan-akan dengan sengaja diperdengarkan kepada hantu-hantu itu,
“di sini selain hantu-hantu kerdil itu ada juga hantu-hantu lain yang lebih dekat dari manusia, yaitu Kiai Dandang Wesi. Bukan sekedar wedon cengeng atau jerangkong kurus, tetapi Kiai Dandang Wesi adalah Perayangan. Jenis hantu tertinggi yang menguasai daerah Gunung Merapi.”
“Omong kosong” tiba-tiba terdengar suara di belakang barak. Ternyata hantu-hantu yang mendengar suara Kiai Gringsing itu telah membantah langsung pernyataan orang tua itu,
“aku tetap pada pendirianku. Membunuh kalian atau tiga orang ayah beranak.”
“Bagus” berkata Kiai Gringsing,
“aku serahkan kepada isi barak Ini. Membunuh aku atau kalian terbunuh. Tetapi siapa yang membunuh aku, maka Kiai Dandang Wesi akan membalas sampai tujuh keturunan. Kalian akan di tumpas kelor dengan bayi-bayi kalian.”
Swandaru yang berada disamping Kiai Gringsing hampir tidak dapat menahan tertawanya, ia merasa seakan-akan melihat suatu pertunjukan lelucon yang sangat menarik, sehingga gurunya tidak lagi sempat meneliti kata-katanya. Bagaimana mungkin orang dapat menumpas sampai tujuh turunan. Kalau satu turunan sudah ditumpas, maka tidak akan ada keturunan kedua apalagi sampai ketujuh. Namun demikian Swandaru masih tetap berusaha untuk tidak merusak suasana. Ia tidak mau dengan tiba-tiba saja menghentakkan ketegangan yang masih mencengkam, supaya perasaan orang-orang didalam barak itu tidak tersentak-sentak. Tetapi Swandaru tahu benar, apa yang sedang terjadi diluar barak. Ia tidak dapat dikelabuhi, bahwa suara dikejauhan yang menyebut dirinya Kiai Dandang Wesi adalah suara Agung Sedayu. Agaknya Agung Sedayu yang pernah mendengar nama Kiai Dandang Wesi dari gurunya dan mendengar ceriteranya, segera mengambil alih persoalan. Agung Sedayu sadar, bahwa karena gurunya berada didalam barak itu, maka ia tidak akan dapat berbuat apa-apa untuk menghadapi hantu-hantu itu dengan cara yang serupa.
“Aku tidak tahu apa yang kau lakukan” bisik Sumangkar yang berjongkok disamping Agung Sedayu dibalik rimbunnya dedaunan.

Agung Sedayu meraba lehernya yang sakit karena ia harus berteriak-teriak dengan nada suara yang rendah dan dalam. Sambll menelan ludahnya ia memandang Sumangkar yang keheran-heranan.
“Kita sedang bermain hantu-hantuan desis Agung Sedayu kemudian” agaknya guru sudah dapat menangkap apa yang aku lakukan.”
“Tetapi bagaimana dengan hantu-hantu itu ?”
“Seperti yang kita lihat. Mereka adalah manusia-manusia biasa. Hanya ada dua diantara mereka yang memakai pakaian seperti hantu. Dua orang itulah yang apabila terpaksa harus menampakkan dirinya. Tetapi yang lain, yang bersembunyi di kegelapan itu sama sekali tidak menyerupai hantu.”
Sumangkar mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia melihat lima atau enam orang mengendap-endap di belakang barak, di tambah dengan dua sosok hantu yang tinggi dan berkepala jerangkong.
“Permainan mereka hampir habis” desis Agung Sedayu.
Sumangkar mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Nah, apalagi yang akan mereka lakukan” gumam Agung Sedayu.
Agung Sedayu dan Sumangkar pun merayap semakin dekat. Tiba-tiba saja Agung Sedayu memungut sebuah batu. Ia melihat hantu-hantu itu mulai melempari barak dengan batu-batu pula.
“Aku akan membalas” desis Agung Sedayu. Sebagai seorang yang memiliki kemampuan membidik yang tinggi Agung Sedayu pun kemudian dengan sekuat tenaga melempar hantu yang berkepala tengkorak itu. Demikian kerasnya, sehingga gemeletuk batu yang mengenai tengkorak itu telah mengejutkan sekelompok orang-orang itu. Apalagi, hantu yang berkepala tengkorak itu menjadi sedemikian terkejutnya, sehingga tanpa sesadarnya ia mengaduh.
“Ssst” desis kawannya. Namun batu yang lain telah mengenai punggung salah seorang diantaranya.
“Nah” teriak Agung Sedayu,
“marilah kita berperang dengan batu. Kalian jangan melempari barak itu. Akulah Kiai Dandang Wesi.”

Suasana menjadi hening dan kian menegang. Orang-orang di dalam barak sudah hampir menjadi pingsan seluruhnya, kecuali Kiai Gringsing, Swandaru dan pemimpin pengawas itu, ketika beberapa butir batu berjatuhan menembus atap daun ilalang apalagi ketika mereka mendengar hantu-hantu itu berkata,
“Sebentar lagi aku akan menjatuhkan batu-batu yang membara. Barak ini akan terbakar dan kalian akan terpanggang di dalamnya.
Tetapi tiba-tiba mereka mendengar suara di kejauhan, suara hantu yang menyebut dirinya Kiai Dandang Wesi. Dan suara dikejauhan itu berkumandang lagi,
“Kalau kalian menjatuhkan batu-batu yang membara, aku akan melimpahkan hujan yang deras. Batu-batumu tidak akan berguna sama sekali.”
“Aku akan mendatangkan angin prahara Barak ini akan hancur bersama isinya.”
“Aku akan menciptakan tirai yang tidak kasat mata Angin prahara itu tidak akan menyentuh selembar ilalangpun diatap barak itu.”
Suasana yang tegang menjadi semakin tegang. Bahkan Swandaru yang ada di dalam barak itupun mulai mengerutkan keningnya. Ia sadar, bahwa seterusnya ia tidak akan dapat untuk tetap berdiam diri duduk sambil mendengarkan hantu-hantu itu berbantah. Dan dengan dada yang bergejolak ia mendengar hantu-hantu dibelakang barak itu berteriak,
“Omong kosong. Kalau kau benar-benar hantu dari Gunung Merapi dan mempunyai kuasa untuk menciptakan hujan dan angin, apalagi tirai yang tidak kasat mata, ayo, segera tunjukkanlah kepada kami.”
“Kami hanya akan melakukan kalau kalian mendahului. Kami bukan sejenis tuyul yang suka menyombongkan diri tanpa alasan. Nah, mulailah dengan batu-batu yang membara. Lihat, langit sudah mulai mendung.”
“Sst” desis Sumangkar perlahan-lahan,
“bintang bertaburan di langit.”
“O” Agung Sedayu menengadahkan kepalanya. Tetapi sejenak tidak ada suara yang menyahut.
Namun demikian Agung Sedayu harus mulai menyiapkan dirinya menghadapi kemungkinan-kemungkinan lain. Hantu-hantu itu agaknya sudah mulai jemu berdebat. Mereka harus berbuat sesuatu.
“Paman Sumangkar” bisik Agung Sedayu,
“maaf kalau kedatangan paman di sini akan disambut dengan permainan yang barangkali tidak menyenangkan bagi paman. Tetapi apaboleh buat. Agaknya kami sudah tidak akan dapat menunda lagi. Siang tadi beberapa pengawas telah pergi ke pusat pemerintahan di Tanah Mataram. Agaknya hal itu sangat berpengaruh pada mereka. Mungkin mereka menemukan bahan-bahan atau persoalan-persoalan yang memaksa mereka untuk segera bertindak malam ini.”

Sumangkar mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi sebelum ia menjawab, dilihatnya bayangan hantu-hantu di dalam keremangan malam itu mulai bergerak-gerak memencar.
“Mereka sudah mulai.” desis Agung Sedayu. Sumangkar mengangguk-anggukkan kepalanya,
“Jadi apa yang akan kiya lakukan sekarang?”
“Menghadapi mereka?” bisik Agung Sedayu.
“Bertempur”
Agung Sedayu memandang Sumangkar sejenak. Ia sadar, bahwa orang tua itu masih lelah karena perjalanannya. Seharusnya ia beristirahat dan tidur nyenyak. Tetapi kini ia mau tidak mau harus melibatkan diri di dalam perkelahian yang mungkin akan terjadi.
“Maaf paman. Apakah paman masih sangat lelah?” akhirnya Agung Sedayu bertanya.
“Pertanyaanmu aneh ngger. Tetapi baiklah aku menjawab. Aku tidak lelah.”
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia berbisik pula,
“Mereka akan mengepung kami di sini.”
“Ya. Hantu yang berkepala tengkorak Itu sudah melepas kepalanya. Mungkin ia merasa terganggu apabila ia harus berkelahi sambil memegang tangkai kepalanya itu.”
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya, Kini ia benar-benar harus bersiap menghadapi segala kemungkinan. Seperti pesan gurunya bahwa ia harus berhati-hati kalau hantu-hantu itu datang lagi, berarti mereka sudah siap menghadapi orang-orang didalam barak yang sudah mereka ketahui kekuatannya. Yang telah dapat mengalahkan orang-orangnya yang ada diantara orang-orang yang tinggal didalam barak itu, bahkan yang ada diantara para pengawas. Dengan demikian, mereka pasti yakin akan dapat mengatasi kekuatan yang ada dibarak ini.

Ternyata dugaan Agung Sedayu itu benar. Hantu-hantu itu telah merayap memencar dan berusaha mengepung Agung Sedayu yang menyebut dirinya Kiai Dandang Wesi. Dari ternyata pula bahwa jumlah mereka lebih banyak dari yang disangka. Di dalam gelapnya malam Agung Sedayu dari Sumangkar tidak dapat menghitung dengan pasti, berapa jumlah mereka. Namun ketika bayangan itu mulai memisah diri dan bergeser dari tempat mereka bersembunyi, tampaklah bahwa jumlah mereka cukup banyak.
“Berapa orang paman?” bertanya Agung Sedayu.
Sumangkar menggelengkan kepalanya. Tetapi ia berbisik,
“Lebih dari sepuluh.”
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Di barak ini kini ada empat orang yang akan dapat bekerja bersama, sedang pemimpin pengawas yang terluka itu pasti masih belum dapat berbuat banyak. Tanpa berjanji maka Sumangkar dan Agung Sedayu pun merenggang dua langkah. Mereka menghadap ke arah yang berlawanan untuk dapat mengawasi seluruh keadaan disekitar mereka. Namun malam menjadi sangat gelap. Sejenak mereka tidak melihat sesuatu selain hitamnya malam dan bintang- bintang dilangit. Namun lambat laun mereka melihat dari daunan yang bergerak-gerak beberapa langkah dihadapan mereka. Telinga mereka yang tajampun mulai mendengar desir ranting-ranting yang tersibak.
“Mereka sudah mulai.” bisik Sumangkar yang mundur setapak mendekati Agung Sedayu,
“apakah yang harus aku lakukan? Menangkap atau mengusir mereka?”
“Kita ingin menangkap hantu paman. Satu atau dua diantara mereka. Kita ingin mendapat keterangan.”
“Bagaimana dengan gurumu dan Swandaru?”
“Kalau mereka tahu apa yang terjadi, mereka pasti tidak akan. tinggal diam.”
Sumangkar mengangguk-anggukkan kepalanya. “Baiklah” desisnya.
Keduanyapun kemudian saling berdiam diri. Tetapi medan di sekitar mereka tidak menguntungkan. Pepohonan perdu agak terlampau rimbun, sehingga pasti akan mengganggu. Namun mereka masih tetap menunggu di tempatnya. Mereka mengangkat wajah ketika mereka mendengar salah seorang dari hantu-hantu itu berkata,
“Menyerahlah. Kalian tidak akan dapat lari lagi.”

Sejenak Sumangkar dan Agung Sedayu saling berpandangan. Namun mereka tidak akan segera mengatakan sesuatu, apalagi menjawab ancaman hantu-hantu yang agaknya telah mengepung mereka.
“Menyerahlah” terdengar lagi suara itu.
Tetapi Agung Sedayu dan Sumangkar masih tetap berdiam diri. Bahkan mereka mencoba menahan nafas mereka agar tidak segera dapat dikenal tempat mereka bersembunyi. Dalam pada itu, didalam barak Kiai Gringsing dan Swandaru menjadi berdebar-debar menanggapi perkembangan keadaan. Dari kata-kata yang didengarnya, mereka dapat membayangkan, apakah yang kini sedang berkecamuk di belakang barak itu. Agaknya hantu-hantu itu sudah mulai mengancam dan bahkan siap untuk menyerang. Kiai Gringsing yang tidak mengetahui imbangan kekuatan mereka menjadi cemas. Karena itu, maka iapun kemudian berkata,
“Aku akan melihat apa yang sudah terjadi.”
“Tetapi……” pengawas itu menjadi ragu-ragu.
“Aku dan anakku ini tidak akan dapat tinggal diam. Kalau mereka ingin menelan kami sebagai ganti isi barak ini, kami tidak akan berkeberatan. Tetapi aku yakin, bahwa Kiai Dandang Wesi itu benar-benar akan melindungi kami di sini.”
Kiai Gringsing tidak menunggu jawaban. Ia masih sempat melihat beberapa wajah yang tersembul dari selimut mereka. Tetapi wajah-wajah itu adalah wajah-wajah yang pucat. Orang-orang di dalam barak itu sama sekali sudah tidak tahu lagi, bagaimana mereka akan menanggapi keadaan. Namun justru karena itu maka mereka tidak dapat menilai apakah sebenarnya yang sedang terjadi.
“Tinggallah di sini” berkata Kiai Gringsing kepada pemimpin pengawas itu.
“Apakah kalian benar-benar akan melihat apa yang akan terjadi di luar?”
“Ya.”
“Hati-hati1ah. Kita sama sekali tidak tabu, apakah yang sesungguhnya terjadi. Aku menjadi sangat bingung dan tidak tahu apa yang scbaiknya dilakukan.”
“Tinggallah di sini. Kau sedang terluka. Aku kira, aku tidak akan mengalami apapun.”

Kiai Gringsing tidak menunggu jawaban pemimpin pengawas itu. Iapun segera berdiri dan melangkah keluar pmtu, diikuti oleh Swandaru. Namun di serambi mereka berhenti sejenak. Kiai Gringsing mencoba menebarkan pandangan matanya ke sekeliling halaman barak itu. Tetapi ia tidak melihat sesuatu Malam semakin lama menjadi semakin gelap.
“Hati-hati1ah Swandaru” berkata Kiai Gringsing
”kita akan berusaha mendekati mereka di belakang barak.”
Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya.
Keduanyapun kemudian menuruni tangga serambi. Orang-orang yang berada di serambi itu sama sekali tidak berani menggerakkan tubuhnya sama sekali. Bahkan jarinyapun tidak. Kiai Gringsing dan Swandarupun kemudian mengendap-endap melekat dinding samping barak itu menuju ke belakang. Di sudut mereka berhenti sejenak untuk mendengarkan suara-suara yang dapat memberikan petunjuk kepada mereka. Dalam pada itu mereka mendengar suara,
“Jangan mencoba mengelak lagi. Nasibmu sudah kami tentukan.”
Agung Sedayu dan Sumangkar masih tetap berdiam diri. Tetapi mereka sudah bersiaga sepenuhnya. Apabila hantu-hantu itu mendekat, maka mereka telah siap menyerang mereka dan kemudian bertempur melawan sejumlah hantu-hantu itu.
“Ayo” terdengar hantu-hantu itu berteriak,
“kenapa kau diam saja. Apakah Kiai Dandang Wesi sudah mati, atau sudah lari kembali ke Gunung Merapi.”
Dada Agung Sedayu menjadi berdebar-debar. Tetapi sebelum ia berbuat sesuatu, tiba-tiba dikejauhan, di sudut barak yang gelap terdengar suara yang aneh. Semakin lama semakin keras. Akhirnya meledaklah suara tertawa yang berkumandang,
“He hantu-hantu bodoh. Apakah yang kau tunggui di situ? Aku sudah disini. Akulah Kiai Dandang Wesi.”

Suara itu benar-benar telah mengejutkan hantu-hantu yang sudah mengepung Agung Sedayu dan Sumangkar. Mereka tidak menyangka sama sekali bahwa suara itu telah berpindah ke sudut barak. Sehingga karena itu, mereka terdiam sejenak tanpa dapat berbuat sesuatu. Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Namun ketika Sumangkar memandanginya, ia mengangguk kecil. Agaknya kedua orang itu segera dapat mengetahui, bahwa suara itu pasti suara Kiai Gringsing atau Swandaru yang telah dapat membayangkan suasana yang telah terjadi Suasana di belakang barak itu menjadi hening sesaat. Yang terdengar kemudian adalah suara tertawa yang semakin lirih di sudut barak itu.
“Apakah kalian benar-benar berusaha melawan Kiai Dandang Wesi?” suara di sudut barak itu terdengar lagi. Kali ini melengking-lengking.
Agung Sedayu dan Sumangkar pun kemudian bersembunyi semakin rapat. Mereka berjongkok di dalam rimbunnya daun perdu. Dengan susah payah mereka mencoba mengatur jalan pernafasan mereka, supaya hantu-hantu yang mengepung mereka tidak dapat mendengarnya.
“He, apakah kalian sedang berburu jengkerik” suara di sudut barak itu terdengar pula
”kalau kalian ingin melawan Kiai Dandang Wesi, kemarilah. Mungkin satu dua diantara kalian pernah bertemu dengan Kiai Dandang Wesi.”
Sejenak kemudian disudut halaman itu tampaklah bayangan hitam yang tidak berbentuk, melenting-lenting disentuh oleh cahaya obor yang menerobos sela-sela dinding barak. Tetapi kemudian seakan-akan tenggelam kembali kedalam kegelapan di sudut. Suasana dibelakang barak itu terasa menjadi semakin tegang. Selain suara tertawa yang aneh dari Kiai Dandang Wesi, tidak ada seorangpun yang berbicara. Karena semuanya terdiam, maka sejenak kemudian Kiai Dandang Wesi itu berkata pula
”Kenapa kalian sekarang diam? Apakah hantu-hantu Alas Mentaok sudah mati, atau sudah lari bersembunyi?”

Masih belum ada jawaban. Namun sejenak kemudian Agung Sedayu dan Sumangkar mendengar gemerisik di dekat mereka. Agaknya beberapa orang sedang merangkak-rangkak saling mendekati. Keduanya semakin mengerutkan tubuh mereka. Apalagi ketika ternyata beberapa orang berhenti di dekat keduanya. Dan Agung Sedayu serta Sumangkar itupun kemudian mendengar beberapa orang saling berbisik,
“Gila. Apakah kalian percaya bahwa yang datang itu benar-benar hantu Gunung Merapi?”
Tidak ada seorangpun yang menyahut.
“Aku masih ingin membuktikannya. Mungkin orang-orang gila itu telah mencoba memancing kita. Mereka juga tidak percaya kepada hantu-hantu Alas Mentaok, sehingga mereka mempergunakan cara yang sama untuk mengatasi ketakutan orang-orang di barak itu.”
“Tetapi mereka baru saja berada di tempat ini atau disekitarnya. Tiba-tiba saja ia sudah berada di sudut barak selagi kita sedang mengepungnya.”
Sejenak mereka terdiam Namun kemudian seseorang diantara mereka berkata,
“Marilah kita buktikan. Seandainya benar kita berhadapan dengan hantu Gunung Merapi, kitapun tidak boleh menyerah.”
Maka Agung Sedayu dan Sumagkarpun menjadi semakin berdebar-debar. Ia mendengar hantu-hantu yang sedang berbincang itu bergeser dari tempatnya. Kalau saja tanpa mereka sadari mereka melanggarnya, maka semuanyapun harus segera dimulai. Tetapi mereka ternyata meninggalkan tempat itu tanpa mengetahui kehadiran Agung Sedayu dan Sumangkar. Mereka telah merayap mendekati sudut barak. Semakin lama semakin menjauhi Agung Sedayu.
“Mereka sudah jauh paman” desis Agung Sedayu.
“Bagaimana dengan kita?”
“Kitapun akan bergeser. Aku harus menyesualkan diri dengan kegemaran guru bermain-main seperti ini. Kita berpindah tempat.”

Keduanyapun kemudian berpindah tempat. Dengan hati-hati mereka bergeser mendekati barak. Tetapi mereka masih tetap berdiam diri menunggu perkembangan keadaan, sementara Kiai Dandang Wesi pun sudah diam pula. Sejenak kemudian maka terdengarlah dari kegelapan suara dari salah seorang yang mengaku hantu-hantu Alas Mentaok,
“Kiai Dandang Wesi. Cobalah tampilkan dirimu Kita akan saling memperkenalkan.diri.”
“Aku sudah mengenal rajamu” sahut suara di sudut barak.
“Tetapi kita belum berkenalan. Mau tidak mau kau harus menunjukkan kepada kami, kenyataan tentang hantu yang bernama Kiai Dandang Wesi. Kami sudah mengepungmu. Kau tidak akan dapat lari lagi.”
Sejenak mereka menunggu. Tetapi mereka tidak mendengar jawaban apapun.
“He, jawablah. Apakah kau menjadi ketakutan?” Masih belum ada jawaban.
“Kiai Dandang Wesi” panggil seseorang dari persembunyiannya,
“kenapa kau diam saja.”
Tidak terdengar suara apapun.
“He, apakah kau sudah membeku?”
Sekali lagi hantu-hantu itu dikejutkan oleh suara tertawa di tempat lain. Suara itu semakin lama semakin tinggi. Namun tiba-tiba suara itu terputus. Yang terdengar kemudian adalah. Kata-katanya,
“Aku di sini. Aku di sini. He, siapakah yang kalian cari di situ?”



Halaman 1 2 3


<<< Jilid 056                                                                                                       Jilid 058 >>>

Tidak ada komentar:

Posting Komentar