Jilid 027 Halaman 2


Pengalaman Agung Sedayu yang sedikit, tidak dapat membuka banyak kemungkinan baginya. Ia tidak dapat perpikir untuk lari tidak ke Sangkal Putung. Lari entah ke mana. Mungkin ke daerah Pesisir Utara. Mungkin ke pantai Selatan, menyusur Pegunungan Kidul ke Barat atau ke Timur. Agung Sedayu tidak tahu betapa luasnya bumi. Karena itu, maka tidak ada angan-angannya untuk pergi ke Blambangan di ujung Timur atau ke Banten di ujung Barat. Yang ada di kepalanya Jati Anom dan Sangkal Putung. Kademangan Sangkal Putung, tempat tinggal Sekar Mirah dan Kakaknya Swandaru Geni. Kadang-kadang tumbuh juga angan-angannya untuk pergi sejauh-jauhnya. Ke Mentaok atau ke daerah-daerah yang pernah disebut-sebut oleh Sutawijaja dan Kiai Gringsing. Mangir misalnya. Tetapi di sana Agung Sedayu tidak akan dapat bertemu dengan Sekar Mirah. Dan selama ia pergi, maka akan banyak sekali peristiwa yang dapat terjadi. Mungkin suatu ketika Wuranta akan pergi ke Sangkal Putung dan membuat hubungan pula dengan Sekar Mirah. Mungkin juga suatu ketika Sidanti akan dapat menculiknya lagi. Karena itu, maka tidak ada pikiran lain yang ada padanya kemudian, selain pergi mengantarkan Sekar Mirah ke Sangkal Putung. Ia akan mengatakan persoalannya kepada pamannya Widura. Tidak sebagai seorang prajurit di bawah perintah kakaknya Untara, tetapi sebagai seorang paman. Ia mengharap, bahwa pengaruh pamannya akan dapat membantunya.
“Kalau perlu aku harus membuat tekanan terhadap Kakang Untara. Swandaru adalah pemimpin anak-anak muda Sangkal Putung. Sikapnya pasti akan berpengaruh terhadap kekuatan Pajang. Aku tidak peduli, apakah dengan demikian aku akan dianggap bersalah oleh Kakang Untara,” desisnya di dalam hatinya.
Tetapi Agung Sedayu itu terperanjat ketika Swandaru berkata,
“Aku dan Sekar Mirah ingin penjelasan Kakang. Seandainya memang kehadiran kami di sini tidak dikehendaki, maka kami bersedia untuk meninggalkan tempat ini. Tidak usah menunggu besok. Tetapi malam ini. Aku dan Sekar Mirah tidak perlu takut terhadap Sidanti, bahkan Ki Tambak Wedi. Untuk pergi ke Sangkal Putung ada seribu jalan. Dan Ki Tambak Wedi, Sidanti, dan Argajaya tidak berada di seribu tempat. Kalau memang seharusnya kami berdua mati di tangan mereka, maka itu adalah akibat yang wajar yang tidak perlu disesali dalam keadaan serupa ini. Adalah kesalahan ayah dan ibu pula, bahwa mereka tidak mengirimkan sepasukan anak-anak muda untuk menjemput kami. Karena kami yakin, bahwa Sangkal Putung dapat membangun kekuatan pengawal-pengawal kademangan segelar sepapan. Dan sudah tentu kami berharap, bahwa kademangan kami akan dapat mempertahankan dirinya tanpa seorang prajurit Pajang pun di daerah kami kelak.”
“Kau salah paham, Adi,” sahut Agung Sedayu dengan serta-merta. Tetapi ia tidak segera menemukan kalimat-kalimat yang dapat meyakinkan Swandaru dan Sekar Mirah.
“Kalau demikian, maka apakah yang sebenarnya terjadi?”
Agung Sedayu menjadi semakin bingung. Akhirnya ia tidak dapat menemukan jawaban yang dianggapnya cukup baik dan beralasan, selain daripada dirinya sendiri. Maka katanja,
“Ada perselisihan antara aku dan Kakang Untara.”
Swandaru mengerutkan alisnya, sedang Sekar Mirah menjadi semakin bertanya-tanya di dalam hatinya.
“Apakah soalnya?” bertanya Swandaru.

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Terasa hatinya menjadi semakin tegang. Swandaru dan Sekar Mirah  pun menjadi tidak kalah tegangnya. Mereka menunggu apakah yang akan dikatakan oleh Agung Sedayu. Kenapa kakak beradik itu tiba-tiba saja berselisih. Karena Agung Sedayu tidak segera menjawab, dan karena desakan perasaan ingin tahu yang tidak dapat ditahankannya, maka Swandaru mendesaknya,
“Apakah yang menyebabkan kalian berselisih?”
Agung Sedayu tidak dapat untuk terus menerus berdiam diri tanpa menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Karena itu, maka ketika ia tidak dapat mengelak lagi, maka dijawabnya saja sekenanya,
“Kakang Untara ingin aku menjadi seorang prajurit seperti dirinya.”
“He,” Swandaru mengerutkan keningnya. Dan tiba-tiba ia menarik nafas dalam-dalam.
“Suatu kesempatan yang sangat baik bagimu, Kakang.”
Kini Agung Sedayu-lah yang terkejut. Ia tidak menyangka, bahwa demikian tanggapan Swandaru tentang tawaran kakaknya padanya untuk menjadi seorang prajurit.
“Tetapi kenapa Kakang menjadi tampak cemas dan gelisah? Bahkan sampai berlari-lari?”
Pertanyaan itu memang terlampau sulit untuk dijawab. Tetapi Agung Sedayu tidak dapat berdiam diri lagi. Ia harus memberi penjelasan supaya tidak terjadi salah paham. Dan penjelasan itu harus disusunnya, dikarangkannya lebih dahulu. Sorot mata Swandaru memancarkan ketidak-sabaran hatinya. Seolah-olah mata itu telah mendesaknya untuk mengatakan sesuatu.
Terdengar Agung Sedayu berdesah. Perlahan-lahan dan penuh kebimbangan ia menjawab,
“Adi Swandaru. Ternyata aku berbeda pendirian dengan Kakang Untara. Aku tidak ingin menjadi seorang prajurit.”
“Ah,” dengan serta merta Swandaru menyahut,
“mustahil. Mustahil seorang laki-laki yang mempunyai bekal yang cukup menolak kesempatan untuk menjadi Wira Tamtama. Kakang, kelak aku  pun ingin menjadi seorang Wira Tamtama.”
Agung Sedayu mencoba menganggukkan kepalanya. Katanya,
“Mungkin. Mungkin pada suatu ketika aku  pun ingin untuk menjadi seorang prajurit Wira Tamtama. Tetapi tidak sekarang.”
Swandaru mengerutkan keningnya. Dari sela-sela bibirnya meluncur pertanyaanya, “Sekarang?”
“Ya. Kakang Untara ingin memaksaku untuk pergi ke Pajang dan langsung menghadap Ki Gede Pemanahan. Aku harus menunggu perintahnya untuk berbuat sesuatu, supaya aku mendapat kepercayaan dan langsung menjadi seorang prajurit Wira Tamtama yang terpandang.”
“Oh, kesempatan yang luar biasa,” tiba-tiba mata Swandaru menjadi berseri-seri. Kalau saja kesempatan itu ada juga buatnya maka ia akan menjadi sangat bergembira. Maka katanya,
“Kakang, tolong katakan kepada Kakang Untara, bahwa aku  pun ingin mendapat kesempatan yang serupa. Aku tidak harus mulai dari tataran yang paling rendah. Untuk itu, aku tidak terlampau berkeberatan, seandainya aku harus menjadi seorang prajurit yang paling bawah dalam keadaan yang wajar. Tetapi biasanya kesempatan untuk dapat merambat ke tingkat yang lebih tinggi terlampau sulit. Tetapi justru syarat-syarat itu tidak pernah diperhatikan, yang diperhatikan adalah masalah-masalah lain. Hanya orang-orang yang terdekat dengan lurah-lurah Wira Tamtama sajalah yang mendapat perhatian mengenai kemampuan dan keprigelannya.”

Agung Sedayu menjadi semakin bingung mendengar jawaban Swandaru itu. Ternyata Swandaru justru tertarik kepada ceriteranya yang dengan susah payah disusunnya untuk melepaskan diri dari kebingungan. Tetapi ia kini terperosok ke dalam kebingungan yang baru.
“Nah, bagaimana Kakang?”
Tiba-tiba Agung Sedayu menengadahkan dadanya. Ia menemukan jawaban yang untuk sementara dapat membebaskannya dari ketegangan ini. Katanya,
“Justru itulah yang aku tidak mau, Adi Swandaru.”
Swandaru mengerutkan keningnya. Wajahnya yang bulat menjadi berkerut merut.
“Kenapa?” dengan ragu-ragu ia bertanya.
“Aku menyadari bahwa kesempatan yang diberikan oleh Kakang Untara itu adalah kesempatan seperti yang kau katakan. Aku diterima menjadi seorang Wira Tamtama, bahkan mungkin seorang yang langsung mendapat kedudukan yang baik, bukan karena jasa-jasaku sebagai seorang prajurit. Hal itu dapat terjadi karena aku adalah adik Kakang Untara. Aku tidak mau. Aku tidak mau. Itulah sebabnya aku harus menghindarkan diri dari padepokan ini sebelum Kakang Untara memaksaku. Bagiku Adi Swandaru, lebih baik menjadi seorang prajurit yang memanjat tataran demi tataran, tetapi karena hasil keringatku sendiri daripada aku langsung mendapat kedudukan yang baik, tetapi hanya karena aku seorang adik dari Kakang Untara. Dari seorang senapati yang telah berjasa dapat menyelesaikan sisa-sisa orang-orang Jipang di bagian Selatan ini. Tetapi yang berjasa adalah Kakang Untara. Bukan aku. Seandainya mendapat wisuda seharusnya juga Kakang Untara, bukan aku.”
“Oh,” Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Dari mulutnya terdengar ia berdesis,
“itukah sebabnya kau ingin meninggalkan padepokan ini?”
“Ya,” jawab Agung Sedayu,
“aku tidak mau. Aku akan pergi ke Sangkal Putung. Mungkin kelak aku ingin menjadi seorang prajurit di sana. Pada pasukan Paman Widura.”
“Tetapi Paman Widura adalah pamanmu pula Kakang. Kalau ternyata kau mendapat kesempatan, maka kau akan menyangka, bahwa kesempatan itu kau terima justru kau kemanakannya.”
Agung Sedayu terdiam. Pertanyaan ini tidak segera dapat dijawabnya. Sekali lagi ia mencoba memutar nalarnya untuk membebaskan diri dari pertanyaan-pertanyaan yang membuat kepalanya menjadi pening. Sekali lagi ruangan itu terdampar ke dalam kesenyapan yang tegang. Tubuh Agung Sedayu telah menjadi basah oleh keringat dingin yang seolah-olah diperas dari tubuhnya. Sekali-sekali ia menarik nafas dalam-dalam untuk mencoba menenteramkan hatinya.
Baru sejenak kemudian Agung Sedayu menjawab,
“Mungkin aku mempunyai perasaan yang demikian pula, Adi Swandaru, tetapi pasti tidak akan terlampau tajam seperti saat ini. Apabila aku harus memenuhi perintah Kakang Untara dan menghadap Ki Gede Pemanahan, maka segera aku akan terlempar ke atas. Itu pasti tidak akan dapat memberi ketenteraman di hatiku. Apalagi aku tahu, bahwa prajurit-prajurit yang kemudian berada di bawahku adalah orang-orang yang telah berjuang cukup lama dan mempunyai jasa yang cukup besar buat Pajang. Kemampuan dan pengalaman ada pula yang melampaui aku. Nah, aku tidak akan dapat melakukan tugas yang demikian.”
Agung Sedayu memandangi Swandaru Geni untuk mencoba menangkap kesan kata-katanya di hati adik seperguruannya itu. Dan ia melihat Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Karena itu, maka hati Agung Sedayu menjadi agak tenteram. Ia mengharap Swandaru dapat mempercayainya. Dan dengan tiba-tiba saja Swandaru bertanya,
“Jadi bagaimanakah maksudmu, Kakang? Apakah kau akan segera berangkat?”
Dada Agung Sedayu kini dihentak oleh kebimbangannya. Justru karena pertimbangan-pertimbangan yang kemudian tumbuh di dalam hatinya. Justru karena pertanyaan Sekar Mirah tentang Ki Tambak Wedi yang mungkin mereka temui di jalan.
“Kalau aku ingin lari dari persoalan ini, maka akulah yang seharusnya menjumpai akibat yang betapapun beratnya. Tidak sewajarnya aku menyeret kedua kakak beradik itu ke dalam bencana,” desis Agung Sedayu di dalam hatinya. Tetapi hati itu seakan-akan diliputi oleh kegelapan. Itulah sebabnya maka pertimbangan-pertimbangannya menjadi kabur dan ragu-ragu.
“Kakang,” terdengar Swandaru meneruskan kata-katanya,
“apabila kakang menghendaki kami ikut dengan Kakang berangkat saat ini juga, maka kami pasti tidak akan keberatan. Kami tahu bahwa kau sedang diamuk oleh kebimbangan dan keragu-raguan. Mungkin aku dan Sekar Mirah kurang dapat memahami caramu berpikir dan mempertimbangkan persoalanmu, tetapi aku tidak peduli. Aku tidak ingin membingungkan diriku sendiri dan menambah kau menjadi bingung. Sekarang bagaimana pertimbanganmu? Berangkat sekarang atau tidak? Kami akan mengikuti kau. Sebab tanpa kau di sini, maka kami akan menjadi orang asing. Ternyata prajurit-prajurit Pajang yang di sini, sebagian terbesar bukan prajurit-prajurit Pajang yang berada di Sangkal Putung. Hanya satu dua orang sajalah yang mengenal aku dan Sekar Mirah. Selainnya adalah orang asing bagiku, seperti aku juga orang asing bagi mereka. Karena itu, katakanlah keputusanmu. Aku dan Sekar Mirah tidak akan menolak. Kau bagi kami adalah orang terdekat di sini, selain Guru.”

Tetapi ternyata kata-kata Swandaru itu membuat Agung Sedayu semakin bingung. Ia kini benar-benar tidak tahu apa yang harus dilakukan dan apa yang harus dikatakan. Keringatnya menjadi semakin deras mengalir di punggung dan tengkuknya. Ia sudah terperosok semakin jauh ke dalam persoalan dan ceritera yang disusunnya, namun yang semakin membingungkannya sendiri. Karena itu, maka ia  pun sekali lagi terbungkam. Sekali-sekali tangannya meraba keningnya mengusap titik keringat yang menetes. Swandaru melihat wajah Agung Sedayu yang pucat itu. Ia pun tiba-tiba menjadi bingung sendiri. Tetapi untuk mengurangi dan meredakan ketegangan perasaan Agung Sedayu, maka Swandaru tidak bertanya lagi.
Sekar Mirah yang duduk di dekat Swandaru pun menjadi tidak kalah bingungnya. Ia tidak mengerti pendirian Agung Sedayu, tetapi ia merasakan bahwa ada sesuatu yang telah disembunyikan oleh anak muda itu. Dan yang disembunyikan itu menurut dugaan Sekar Mirah, pasti menyangkut dirinya dan kakaknya Swandaru. Namun Sekar Mirah pun tidak bertanya sesuatu. Seperti Swandaru, ia tidak ingin membuat Agung Sedayu bertambah bingung. Tetapi keheningan dalam ruangan itu terasa semakin lama semakin tegang. Keringat di punggung, tengkuk, dan kening Agung Sedayu menjadi semakin deras mengalir. Dalam ketegangan itu tiba-tiba mereka serentak mengangkat wajah-wajah mereka. Terdengar langkah-langkah kaki dekat sekali di luar dinding ruangan itu. Kemudian terdengar suara gemerisik mendekati pintu di sepanjang dinding rumah. Agung Sedayu dan Swandaru tanpa berjanji segera meloncat berdiri. Tangan-tangan mereka melekat di hulu pedang, sedang Sekar Mirah  pun telah berdiri pula di belakang Swandaru.
“Ah,” tiba-tiba mereka mendengar suara berdesah,
“daerah ini kini adalah daerah yang aman. Kenapa kalian menjadi gelisah dan mudah sekali menjadi terkejut?”
Ketiga anak-anak muda itu menarik nafas dalam-dalam. Suara itu sudah amat mereka kenal. Suara Ki Tanu Metir.
Tergopoh-gopoh Swandaru melangkah ke pintu dan menarik selaraknya. Ketika pintu itu terbuka, mereka melihat Ki Tanu Metir berdiri sambil tersenyum, katanya,
“Hanya kegelisahan di hati kalianlah yang telah membuat kalian menjadi cemas menanggapi setiap persoalan. Kalian menjadi terlampau mudah terkejut dan kadang-kadang bingung.”
Agung Sedayu dan Swandaru menundukkan kepalanya. Kata-kata gurunya terasa tepat menyentuh jantung mereka yang berdentangan.
“Duduklah. Sebaiknya kita bersikap wajar. Kenapa kalian menjadi gelisah, cemas dan bahkan pucat seperti melihat hantu?”
Agung Sedayu dan Swandaru menjadi semakin tunduk. Perlahan-lahan mereka melangkah dan duduk kembali di atas amben bambu, sementara Ki Tanu Metir sendirilah yang menutup pintu. Ketika pintu sudah tertutup rapat, maka Ki Tanu Metir itu  pun kemudian melangkah ke amben itu pula dan duduk di antara mereka. Di antara ketiga anak-anak muda yang sedang dicengkam oleh persoalan yang tidak begitu jelas.
Demikian Ki Tanu Metir duduk, ia bergumam,
“Pintu itu tidak usah di selarak. Tidak akan ada orang yang masuk untuk kepentingan apa pun di malam begini. Di sini, dalam keadaan ini, pasti tidak ada pencuri, dan tidak akan ada orang-orang Jipang atau orang-orang Tambak Wedi yang akan datang.”
Ketiga anak-anak muda itu tidak menjawab. Sedang Swandaru dan Agung Sedayu menjadi semakin tunduk. Ia tahu benar maksud kata-kata gurunya.
“Di luar dinginnya bukan main,” desah gurunya itu. Tetapi tiba-tiba nada suaranya meninggi.
“Tetapi kenapa kalian? Aku lihat baju kalian menjadi basah oleh keringat. Apakah udara di dalam rumah ini sangat panas?”
Masih belum ada yang menjawab.
“Aku kira di dalam ini  pun cukup sejuk, meskipun tidak sedingin di luar,” Ki Tanu Metir berhenti sebentar.
“He, apakah rumah ini beratap ijuk atau daun lalang? Memang kedua-duanya dapat menahan dingin. Apabila udara dingin, maka ruangan di sini tidak akan terlampau dingin. Tetapi apabila udara panas, ruangan ini akan menjadi cukup sejuk, tidak seperti dipanggang di atas bara.”
Belum ada jawaban.
“Aku tidak begitu memperhatikan. Apakah kalian melihatnya siang tadi?”

Swandaru dan Agung Sedayu mengangkat wajah-wajah mereka sejenak, tetapi wajah-wajah itu tertunduk kembali.
“Hem,” Ki Tanu Metir menarik nafas dalam-dalam.
“Kalau begitu kalian seolah-olah mandi keringat bukan karena panasnya udara. Mungkin kalian sedang ketakutan. Begitu?”
Kini seperti berjanji keduanya menjawab, “Tidak, Guru.”
Ki Tanu Metir mengangguk-anggukkan kepalanya,
“Ya, ya, mungkin kalian tidak sedang ketakutan. Tidak pula sedang kepanasan. Tetapi kenapa kalian gelisah? Ketika kalian mendengar suara kakiku berdesir di samping dinding rumah ini, kalian terkejut. Aku mendengar gerak kalian. Kalian segera berloncatan seperti ada seorang musuh yang mengintip. Aku pun kemudian mengintip. Dan aku melihat tangan kalian telah melekat di hulu pedang sebelum pintu itu terbuka. Nah, apakah yang sudah terjadi atas kalian sehingga kalian menjadi gelisah, dan bahkan seolah-olah ketakutan? Apakah ada persoalan yang membuat kalian cemas? Ancaman dari seseorang misalnya, atau tantangan dari orang yang kalian anggap jauh lebih tinggi ilmu tata beladirinya daripada kalian?”
Sejenak Agung Sedayu dan Swandaru berdiam diri. Namun kemudian hampir bersamaan mereka menggelengkan kepala mereka,
“Tidak, Guru.”
“Kalau begitu, apakah yang telah merisaukan hati kalian?”
Sekali lagi anak-anak muda itu terbungkam.
“Nah, aku tahu sekarang,” berkata Ki Tanu Metir sambil tersenyum,
“yang merisaukan itu pasti kalian sendiri.”
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam, sedang Swandaru mengerutkan keningnya. Mereka masih saja berdiam diri. Tetapi yang menjawab justru Sekar Mirah,
“Ya, Kiai. Yang merisaukan kami adalah hati kami sendiri.”
Ki Tanu Metir tertawa perlahan,
“Begitulah. Karena itu jangan kau turuti perasaan hati. Setiap persoalan pertimbangkan masak-masak dengan nalar, jangan semata-mata dengan perasaan. Dengan demikian kalian tidak akan dicemaskan oleh hal-hal yang sama sekali tidak perlu.”
Terdengar nafas Agung Sedayu semakin cepat mengalir lewat lubang-lubang hidungnya. Terengah-engah, seolah-olah baru saja bergulat dengan hantu. Apalagi ketika gurunya berpaling kepadanya dan langsung bertanya,
“Apakah yang membuat kau menjadi cemas?”
Agung Sedayu tidak segera menjawab.
“Bukankah kau baru datang dari banjar padepokan menghadap kakakmu?”
“Ya, Guru. Aku memang baru saja menghadap Kakang Untara di banjar.”
“Hem,” Ki Tanu Metir mengangguk-anggukkan kepalanya,
“kalau begitu, pasti ada pembicaraan yang membuat kau bingung atau risau. Membuat kau kehilangan ketenangan dan pertimbangan. Begitu?”
Sejenak Agung Sedayu tidak dapat mengucapkan sepatah kata pun. Meskipun bibirnya bergerak-gerak tetapi tidak terdengar jawaban dari mulutnya.
“Baiklah, mungkin pertanyaanku membuat kau semakin bingung,” berkata Ki Tanu Metir kemudian,
“karena itu, sekarang tenangkanlah hatimu. Sebaiknya kau pergi tidur. Angger Swandaru dan Angger Sekar Mirah  pun sebaiknya pergi tidur pula.”

Tetapi justru hal itu telah membuat hati Agung Sedayu semakin kisruh. Apabila ia harus pergi tidur, dan besok pagi-pagi ia masih berada di padepokan itu, maka ia akan mengalami kesulitan yang lebih besar. Ia harus meninggalkan pondokan itu. Ia harus bersama dengan kakaknya. Apakah yang akan dikatakannya kepada Swandaru dan Sekar Mirah? Tetapi yang lebih menggelisahkan lagi adalah, bahwa ia tidak boleh berhubungan dengan gadis itu. Ia tidak boleh pergi ke Sangkal Putung dan seterusnya ia harus menjadi seorang prajurit. Sebenarnya menjadi seorang prajurit itu sendiri sama sekali tidak menakut-nakuti hati Agung Sedayu. Yang paling menggelisahkannya adalah kemungkinan, bahwa ia harus berpisah dengan Sekar Mirah. Agung Sedayu yang masih muda itu tidak tahu pasti, ikatan apakah yang ada di dalam hatinya. Ia tidak menyadari, apakah yang telah membuatnya seperti kehilangan akal karena kemungkinan perpisahan itu. Dengan demikian, maka Agung Sedayu tidak segera dapat menjawab kata-kata gurunya, tetapi ia juga tidak beranjak dari tempatnya untuk pergi tidur di sudut amben itu juga. Bukan saja Agung Sedayu, tetapi Swandaru dan Sekar Mirah  pun sama sekali tidak berkisar. Ki Tanu Metir itu pun kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia tahu, bahwa perasaan Agung Sedayu benar-benar sedang kacau. Ia tidak dapat lagi berpikir bening, dan ia tidak tahu apa yang sebaiknya dilakukan. Usianya memang masih cukup muda dan pengalamannya pun masih belum cukup banyak. Karena itu, maka Ki Tanu Metir tidak lagi sampai hati untuk membiarkan muridnya kehilangan akal. Meskipun agak sulit juga, namun ia berusaha untuk menolong melepaskannya dari kebingungan. Maka katanya,
“Swandaru, tungguilah adikmu itu beristirahat. Biarlah aku bawa kakakmu Agung Sedayu berjalan-jalan sebentar. Mungkin dengan demikian, ia akan menjadi agak tenang.”
Swandaru yang telah dibingungkan oleh keadaan itu pula, begitu saja menganggukkan kepalanya dan menjawab,
“Silahkan, Guru.”
“Baiklah. Kalau dapat, tidurlah kalian berdua. Tidak akan ada apa-apa lagi di sini. Percayalah.”
“Ya, Guru,” jawab Swandaru. Meskipun demikian, ia tetap tidak mengerti akan persoalan yang dihadapinya.
Ki Tanu Metir pun kemudian membawa Agung Sedayu keluar lagi dari rumah itu. Oleh Swandaru, pintunya  pun segera ditutup kembali. Ia menyuruh Sekar Mirah untuk mencoba berbaring dan apabila mungkin untuk tidur, supaya badannya menjadi agak segar.
“Apakah kau juga akan tidur, Kakang?”
“Tentu, aku juga akan tidur.”
Tetapi Swandaru tidak melepas pedangnya. Dicobanya juga berbaring di amben yang besar itu pula. Tetapi ternyata keduanya sama sekali tidak memejamkan matanya. Sementara itu, Ki Tanu Metir dan Agung Sedayu telah keluar dari halaman rumah itu. Mereka terhenti ketika mereka berpapasan dengan dua orang prajurit peronda.
“Siapa?” salah seorang dari prajurit itu menyapa
Ki Tanu Metir terbatuk-batuk sedikit, kemudian jawabnya,
“Aku Ngger, Tanu Metir.”
“O,” prajurit itu mengangguk-anggukkan kepalanya, “malam-malam, Kiai?”
“Berjalan-jalan, Ngger. Aku tidak dapat tidur.”
“Silahkan, Kiai,” sahut salah seorang prajurit itu, yang kemudian meninggalkan Ki Tanu Metir dan Agung Sedayu.
Maka keduanya  pun segera melangkahkan kaki mereka. Mereka berjalan menyusur jalan padepokan, kemudian berbelok ke jalan-jalan sempit yang sepi.

Tetapi Ki Tanu Metir dan Agung Sedayu masih saja berdiam diri. Ki Tanu Metir belum bertanya sesuatu, dan Agung Sedayu tidak dapat mulai dengan sebuah percakapan apa pun. Yang terdengar kemudian hanyalah desir kaki-kaki mereka di atas tanah yang keras. Sekali-sekali angin lereng yang dingin bertiup menggugurkan daun-daun kering dan menebarkannya di sepanjang jalan. Di kejauhan terdengar lamat-lamat suara burung kedasih yang sedih. Baru sejenak kemudian terdengar Ki Tanu Metir berkata,
“Aku mendengar percakapan kalian seluruhnya di pondok, Ngger.”
Dada Agung Sedayu berdesir mendengar kata-kata gurunya. Tetapi ia tidak segera dapat menyahut.
“Aku dapat mengerti, bahwa kau sedang dalam kebingungan. Tetapi aku menyangka, bahwa kau tidak berkata sebenarnya terhadap Angger Swandaru dan Sekar Mirah. Ada sesuatu yang kau sembunyikan atau bahkan apa yang kau katakan seluruhnya tidak benar.”
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Setelah sekian lama ia menahan kegelisahan di dalam dadanya, tiba-tiba ia merasa mendapat tempat untuk menumpahkannya. Ia hampir lupa, bahwa ia mempunyai seorang guru yang akan dapat memberinya nasehat, dan sekaligus tempat untuk meringankan beban yang menyesak di dadanya. Karena itu, sebelum Ki Tanu Metir mengulangi pertanyaannya, Agung Sedayu segera menjawab,
“Ya, Kiai. Aku telah berdusta. Aku tidak dapat mengatakan yang sebenarnya.”
“Ya, kau tidak dapat berkata sebenarnya. Apakah soalnya?”
Agung Sedayu pun segera menceriterakan pertemuannya dengan kakaknya dan Wuranta. Dikatakannya semua dari awal sampai akhir, sehingga ia menjadi terlampau bingung dan ingin meninggalkan padepokan malam ini juga.
Ki Tanu Metir menarik nafas dalam-dalam. Di dalam hatinya ia bergumam,
“Aku sudah menyangka, bahwa suatu ketika Angger Untara akan sampai kepada keputusan itu. Beberapa kali telah disinggungnya, seakan-akan hubungan antara Angger Agung Sedayu dan Angger Sekar Mirah hanya akan menghambat kemajuan Angger Sedayu dan hanya akan menumbuhkan perselisihan saja. Tetapi Angger Untara ternyata kurang bijaksana menanggapi persoalan-persoalan yang demikian.”
Dan malam ternyata telah menjadi terlampau jauh, sehingga tiba-tiba saja mereka telah mendengar ayam jantan berkokok bersahutan. Seperti hantu yang takut kamanungsan, tiba-tiba Agung Sedayu menjadi semakin gelisah dan tanpa sesadarnya ia berkata,
“Kiai, aku harus pergi sebelum pagi. Aku tidak dapat melakukan semua perintah Kakang Untara.”
“Yang mana yang tidak dapat kau lakukan, Ngger?”
Agung Sedayu tiba-tiba terdiam. Pertanyaan itu telah memaksanya untuk bertanya pula kepada diri sendiri,
“Yang manakah yang tidak dapat dilakukannya?”
“Apakah kau memang tidak ingin menjadi seorang prajurit, atau ada persoalan lain yang lebih mengikat dari pada itu?”

Agung Sedayu tidak menjawab, tetapi kepalanya kini tertunduk dalam-dalam. Ia tidak dapat ingkar ketika di dalam dadanya bergolak pengakuan, bahwa yang paling memberati dadanya adalah perpisahan dengan Sekar Mirah itu. Tetapi ia tidak dapat mengatakan kepada Ki Tanu Metir dengan terbuka. Sejenak keduanya terdiam. Angin yang berhembus terasa seolah-olah menjadi semakin dingin membelai tubuh mereka. Kokok ayam jantan  pun menjadi semakin riuh pula. Ketika tanpa mereka sadari, mereka menengadahkan wajah mereka, maka tampaklah warna kemerah merahan di langit. Karena Agung Sedayu tidak segera menjawab, maka Ki Tanu Metir-lah yang kemudian berkata,
“Angger Sedayu, aku kira Angger Agung Sedayu kini telah benar-benar menjadi seorang laki-laki. Itulah sebabnya aku menduga, bahwa Angger tidak akan takut untuk menjadi seorang prajurit. Sebelum Angger menjadi prajurit, Angger telah berani terjun di medan-medan perang yang paling dahsyat. Angger telah ikut serta dalam peperangan di Sangkal Putung dan di padepokan ini. Tetapi, agaknya yang paling berat bagi Angger adalah keinginan Angger Untara, bahwa Angger harus memutuskan hubungan dengan Angger Sekar Mirah. Adakah begitu?”
Betapa dinginnya malam, namun baju Agung Sedayu telah dijalari oleh keringat yang mengalir dari punggungnya. Terbata-bata ia menjawab,
“Ya, Kiai.”
“Hem,” Ki Tanu Metir menarik nafas dalam-dalam,
“apakah Angger tidak dapat melakukannya untuk sementara? Bukankah di saat-saat mendatang kesempatan masih luas bagi Angger untuk dapat bertemu dan berhubungan dengan Angger Sekar Mirah?”
Pertanyaan itu tidak dapat segera dijawab oleh Agung Sedayu, perpisahan dengan Sekar Mirah terasa terlampau berat baginya. Apalagi kalau hal itu dilakukan oleh Untara hanya karena sekedar menyenangkan hati Wuranta. Maka hati Agung Sedayu menjadi semakin tidak rela. Meskipun ia tahu peranan apa yang telah dilakukan oleh Wuranta, seolah-olah kunci kemenangan peperangan di padepokan ini adalah di tangan anak muda Jati Anom itu, namun ia tidak akan dapat melepaskan segala macam unsur kemenangan yang lain. Itulah sebabnya, maka apabila kakaknya terlampau memberatkan keputusannya kepada Wuranta, adalah tidak adil baginya. Karena Agung Sedayu tidak segera menjawab, maka Ki Tanu Metir itu  pun melanjutkan,
“Nah, aku kira kau berkeberatan bukan?”
Tanpa sesadarnya Agung Sedayu  pun mengangguk. Ki Tanu Metir yang tua itu dapat menangkap perasaan yang bergolak di dalam dada muridnya. Betapa sakit dan pedih. Justru dalam umurnya yang masih terlampau muda. Tiba-tiba Agung Sedayu mendengar gurunya bergumam,
“Angger Sedayu, biarlah aku mencoba menolongmu. Aku akan berusaha supaya kau dapat pergi ke Sangkal Putung bersama dengan Angger Swandaru dan Angger Sekar Mirah.”
“Kiai,” hanya itulah yang terloncat dari mulutnya.
“Ya, aku akan mencoba. Tetapi aku tidak tahu apakah usahaku akan berhasil. Meskipun dengan demikian, Angger Untara pasti akan membuat penilaian atas diriku dan dirimu, tetapi baiklah aku mencobanya. Tetapi untuk seterusnya, kau harus dapat membawa dirimu. Sebagian dari keinginan kakakmu harus dapat kau penuhi. Kau sebaiknya memang menjadi seorang prajurit.”
“Ya, Guru. Aku sama sekali tidak berkeberatan menjadi seorang prajurit. Tetapi tidak segera. Aku masih ingin mengantar Sekar Mirah kembali kepada ayah dan ibunya seperti yang pernah aku janjikan.”
“Baiklah. Sekarang Angger kembali saja ke pondok Angger. Aku akan pergi ke banjar untuk berbicara dengan Angger Untara. Aku akan berbicara dengan caraku. Mudah-mudahan Angger Untara dapat mengerti. Jangan cemas, bahwa kau akan terpaksa membunuh, karena dicegat oleh orang-orang yang keras kepala itu.”
“Terima kasih, Guru,” sahut Agung Sedayu.
“Nah, kalau begitu, kita berpisah sampai di sini. Aku akan pergi ke banjar. Kalau Angger Untara dapat mengerti, maka setidak-tidaknya perasaanmu menjadi agak tenang karenanya.”
Maka keduanya  pun segera berpisah. Ki Tanu Metir pergi ke banjar dan Agung Sedayu kembali ke pondoknya. Ketika ia sampai ke pintu rumah, maka ia masih mendengar Swandaru dan Sekar Mirah bercakap-cakap. Agaknya semalam suntuk mereka sama sekali tidak dapat tidur.

Pada saat yang hampir bersamaan, Ki Tanu Metir  pun telah sampai pula di banjar padepokan. Tetapi banjar itu masih terlampau sepi. Hanya para penjaganya sajalah yang masih tegak mondar-mandir di halaman, sedang sebagian yang lain duduk mengelilingi sebuah pelita di atas ajug-ajug yang tinggi di gardu peronda. Ketika Ki Tanu Metir sampai di halaman, maka langit di ujung Timur telah menjadi semakin merah. Bayangan orang-orang yang sedang bertugas itu  pun telah menjadi semakin jelas.
“Ah, Kiai,” desah salah seorang dari mereka,
“masih terlampau pagi, Kiai sudah datang kemari.”
Ki Tanu Metir tersenyum. Jawabnya, “Aku takut kesiangan. Apakah Angger Untara ada?”
“Ada, Kiai, tetapi agaknya Ki Untara masih tidur. Semalam adiknya berada di sini sampai jauh malam, sehingga baru saja Ki Untara sempat beristirahat.”
Ki Tanu Metir mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Aku akan menunggunya. Kalau begitu lebih baik aku duduk di gardu ini. Agaknya kalian baru saja mendapat minuman hangat.”
Para peronda itu tertawa,
“Marilah, Kiai. Air sere dan jahe. Untuk mengusir dingin.”
Ki Tanu Metir  pun kemudian duduk di antara mereka. Berbicara dengan para peronda itu. Bersenda-gurau dan berkelakar. Namun setiap kali teringat oleh orang tua itu, muridnya yang sedang bingung karena sikap kakaknya yang keras. Sikap seorang prajurit. Tetapi agaknya Untara sendiri belum pernah merasakan, betapa sulitnya untuk mengurai ikatan yang telah terlanjur membelit hati dari pertautan kasih antara dua orang remaja. Adalah berbahaya sekali untuk mengurainya dengan paksa dan kekerasan. Itulah sebabnya, ia harus menemui senapati muda yang hidupnya dicengkam oleh kepatuhan yang keras akan tugas-tugasnya.
Dengan tidak terasa, maka langit  pun menjadi semakin lama semakin terang. Bintang gemintang satu-satu lenyap dari wajah yang biru membentang dari ujung ke ujung cakrawala. Ki Tanu Metir yang tubuhnya telah dihangatkan oleh semangkuk air jahe, menggeliat. Dibenahinya kain gringsingnya. Kemudian perlahan-lahan turun dari gardu.
“Ke mana, Kiai?” bertanya salah seorang penjaga.
“Mungkin Angger Untara telah bangun,” jawab Ki Tanu Metir.
“Aku belum melihatnya. Biasanya, Ki Untara apabila bangun terus pergi ke sumur untuk membersihkan diri.”
“Tetapi hari telah pagi.”
“Agaknya ia terlambat bangun. Tidak seorang  pun yang membangunkannya, karena setiap orang tahu, bahwa semalam ia hampir tidak tertidur.”
Sekali lagi Ki Tanu Metir menggeliat. Katanya, “Biarlah, aku akan menunggunya di pringgitan.”
“Kalau begitu, silahkanlah, Kiai.”
Ki Tanu Metir itu  pun kemudian berjalan melintasi halaman. Naik ke pendapa, kemudian masuk ke pringgitan. Untara yang baru saja terbangun dari tidurnya terkejut melihai kehadiran Ki Tanu Metir begitu pagi.
“O, apakah Kiai semalam tidur di banjar ini?” bertanya Untara.
“Tidak, Ngger, semalam aku berjalan saja mengelilingi padepokan ini,”
“Dan sesudah itu Kiai langsung datang kemari?”
Ki Tanu Metir menggeleng, “Tidak, Ngger, aku sudah bertemu dengan Angger Agung Sedayu.”

Kening Untara segera berkerut. Anak muda yang berotak tajam itu segera dapat mengerti, bahwa kedatangan Ki Tanu Metir ini pasti berhubungan dengan adiknya, Agung Sedayu. Karena itu, maka hatinya  pun menjadi berdebar-debar. Ternyata Agung Sedayu masih saja menjadi persoalan baginya. Agaknya anak itu telah menyampaikan persoalannya kepada gurunya, dan gurunya kini datang kepadanya untuk berusaha merubah sikapnya.
“Tidak,” katanya di dalam hati,
“keputusanku tentang Agung Sedayu telah tetap. Ia harus menjadi seseorang yang cukup mempunyai pegangan. Ia harus mempunyai kedudukan yang baik sebelum ia tenggelam dalam hubungan dengan perempuan. Sekar Mirah tidak akan dapat menjadikannya seorang laki-laki yang baik. Hubungan itu hanya akan menghambat kemajuan-kemajuan yang seharusnya dapat dicapainya. Ia memiliki bekal yang cukup untuk memanjat ke tempat yang setinggi-tingginya. Ia kawan baik pula dari Adi Sutawijaya, yang pasti akan berpengaruh bagi kedudukannya.”
Untara itu tersadar ketika ia mendengar Ki Tanu Metir bertanya,
“Apakah Angger akan membersihkan diri dahulu?”
“Oh,” Untara segera bangkit, “agaknya aku agak kesiangan.”
“Belum,” sahut Ki Tanu Metir.
Untara  pun kemudian segera bangkit dan berjalan keluar untuk sesuci diri, bersama Ki Tanu Metir dan Wuranta. Sejenak kemudian maka mereka  pun telah duduk berhadapan di atas bentangan tikar pandan. Wuranta yang telah selesai pula segera duduk di antara mereka.
“Kiai datang terlampau pagi,” bertanya Untara,
“dan aku menjadi berdebar-debar karenanya. Mungkin ada sesuatu hal yang cukup penting yang akan Kiai katakan.”
“Ya,” jawab Ki Tanu Metir pendek.
Jawaban itu telah mengejutkan Untara dan bahkan Wuranta. Mereka tidak menyangka, bahwa jawaban Ki Tanu Metir akan terlampau pendek dan langsung. Apalagi ketika Ki Tanu Metir kemudian berkata,
“Aku telah mendengar semuanya dari Angger Agung Sedayu tentang keputusan Angger Untara mengenai dirinya.”
Untara mengerutkan keningnya. Perlahan-lahan ia mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi hatinya masih juga berdebar-debar. Sudah dapat diduga sebelumnya, bahwa guru Agung Sedayu pasti akan selalu mencampuri urusannya dengan adiknya itu, seperti juga Ki Tanu Metir mencampuri urusan keprajuritan. Tetapi Untara tidak dapat menolak. Ki Tanu Metir telah terlampau banyak memberikan jasa-jasanya kepadanya, sejak peperangan-peperangan yang terjadi di Sangkal Putung. Bahkan sebelum itu. Ketika ia hampir mati di jalan ke Sangkal Putung dari Jati Anom, di dekat Macanan ia telah bertemu dengan Pande-besi Sendang Gabus, Alap-alap Jalatunda dan kawan-kawannya.
Seandainya Ki Tanu Metir tidak melindunginya saat itu, ia pasti sudah mati dicincang oleh Plasa Ireng, dan adiknya telah lumat oleh Alap-alap Jalatunda.
“Tetapi sebaiknya Ki Tanu Metir tidak mencampuri terlampau banyak persoalan keluargaku,” desisnya di dalam hati.
Karena Untara tidak segera menjawab, maka Ki Tanu Metir itu berkata pula,
“Dan adikmu, Angger Agung Sedayu, kini menjadi sangat bingung.”
Untara menarik nafas dalam-dalam. Sejenak kemudian ia bertanya,
“Apakah yang dibingungkannya?”
“Perintahmu, Ngger.”
“Seharusnya Agung Sedayu tidak usah menjadi bingung. Semuanya telah jelas. Dan ketika aku bertanya kepadanya, ia mengiakannya. Semuanya telah dimengertinya.”
“Seharusnya Angger dapat mengerti, bahwa hal itu dilakukannya, karena ia begitu takut dan hormat kepada Angger sebagai seorang saudara tua pengganti ibu bapa. Tetapi perintah Angger telah menyudutkannya dalam suatu pertentangan perasaan yang hampir-hampir tidak dapat dipecahkanya.”

Dahi Untara menjadi berkerut-merut, karena debar di dadanya seolah-olah mengguncang jantungnya. Dan demikian derasnya getar di dadanya itu, sehingga ia bertanya,
“Apakah Kiai tidak sependapat dengan perintahku kepada adikku itu.”
Ki Tanu Metir yang juga menyebut dirinya Kiai Gringsing itu tidak segera menjawab. Tetapi ditatapnya wajah Untara tajam-tajam. Seolah-olah ingin membaca apa yang tersirat di wajah anak muda Senapati Wira Tamtama, yang mendapat kekuasaan untuk menyelesaikan masalah orang-orang Jipang di daerah Selatan di sekitar Gunung Merapi. Betapa besarnya nama Untara, dan betapa tangguhnya ia di medan-medan perang menghadapi lawannya, tetapi tatapan mata Ki Tanu Metir itu terasa terlampau tajam baginya, sehingga sesaat kemudian Senapati muda itu menggeser sudut pandangnya. Tetapi jawaban Ki Tanu Metir telah mengejutkannya. Perlahan ia mendengar Ki Tanu Metir itu menjawab,
“Aku sependapat dengan kau, Ngger.”
Sejenak Untara justru terbungkam. Ia tidak segera dapat mengucapkan kata-kata. Dan didengarnya Ki Tanu Metir itu berkata selanjutnya,
“Tetapi, cara yang Angger tempuh, bagiku terlampau tajam, sehingga Angger sama sekali tidak memberi kesempatan kepada Angger Agung Sedayu mencari jalan yang agak lapang bagi perasaannya.”
Untara menarik nafas dalam-dalam. Ketika debar jantungnya telah menjadi agak tenang, maka ia  pun bertanya,
“Jadi, bagaimanakah yang sebaiknya aku lakukan?”
Ki Tanu Metir mengangguk-anggukkan kepalanya. Ditatapnya wajah Untara berganti-ganti dengan wajah Wuranta yang tegang pula. Sesaat kemudian ia berkata,
“Angger adalah seorang prajurit di medan perang. Angger terlampau biasa menjatuhkan perintah yang langsung tanpa aling-aling. Tetapi masalah Angger Agung Sedayu, agak berbeda dengan keadaan yang sering Angger hadapi. Seandainya Angger Agung Sedayu melakukan juga perintah Angger Untara, namun hatinya pasti akan terluka. Dan luka yang demikian itu akan sangat berbahaya, justru usianya yang masih terlampau muda.”
Untara mengerutkan keningnya. Katanya,
“Apakah yang Kiai maksud? Apakah aku harus memutar balikkan kata-kataku sehingga malahan Agung Sedayu tidak tahu maksudnya.”
“Bukan begitu, Ngger,” jawab Ki Tanu Metir,
“tetapi Angger memerlukan kebijaksanaan. Maksud Angger tercapai, tetapi hati adik Angger itu tidak terluka karenanya. Luka yang akan dapat menjadi cacat sepanjang hidupnya.”
“Ah, itu terlampau cengeng, Kiai,” sahut Untara,
“apabila Agung Sedayu benar-benar seorang jantan, maka hal itu pasti tidak akan terjadi atasnya. Seorang yang berpikir cukup jauh, mempertimbangkan kepentingan-kepentingan yang jauh lebih besar dari yang terlampau kecil. Bukankah Kiai mencemaskan Agung Sedayu akan menjadi patah hati? Mungkin itu akan terjadi. Tetapi itu tidak akan lama. Ia seharusnya dapat mengatasinya. Ia harus bangkit dan melupakan hubungan itu. Dan ia harus menyadari bahwa hubungan itu hanya akan menghambat kemajuannya. Lahir dan batin. Dan ia akan berhenti sampai keadaannya yang sekarang. Kemudian, ia akan kehilangan masa depannya. Ia akan terhenti dan segera akan kawin. Menjadi seorang ayah, dan waktu-waktunya akan hilang di sawah dan ladang. Maka, apakah artinya masa mudanya itu baginya nanti? Mungkin ia akan dapat menjadi seorang Jagabaya. Setinggi-tingginya seorang Demang apabila beruntung. Tetapi tidak lebih dari itu.”

Kata-kata Untara terputus ketika tiba-tiba dilihatnya wajah Ki Tanu Metir berubah. Wajah yang telah dilukisi oleh kerut-merut ketuaannya itu tiba-tiba menjadi tegang. Tetapi hanya sesaat. Orang tua itu berusaha sekuat-kuatnya untuk menahan perasaannya. Dan sejenak kemudian orang tua itu tersenyum.
“Ternyata Angger memandang dunia ini hanya dari satu sudut,” berkata orang tua itu kemudian.
Untara mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak segera menjawab. Dibiarkannya orang tua itu meneruskannya,
“Angger memandangnya dari sudut Angger sendiri.” Sekali lagi orang tua itu terhenti, lalu dilanjutkannya.
“Aku pun hanya seorang dukun tua yang tidak berarti apa-apa, Ngger. Bahkan mungkin jauh di bawah arti seorang Jagabaya apalagi seorang Demang.”
“Ah,” Untara berdesah,
“bukan maksudku, Kiai. Tetapi Kiai adalah seorang yang mumpuni di dalam bidang yang telah Kiai pilih. Kiai agaknya tidak menyia-nyiakan hari-hari Kiai di masa muda yang sangat berharga itu, sehingga Kiai mendapatkan kemampuan Kiai seperti sekarang. Tidak hanya di bidang pengobatan, tetapi ternyata Kiai adalah seorang yang berilmu hampir sempurna.”
“Hem,” Ki Tanu Metir menarik nafas dalam-dalam. Seleret dikenangnya masa-masa mudanya. Tetapi sekali lagi ia mencoba mengekang perasaannya. Masa muda itu tidak begitu cerah baginya. Masa yang ingin sekali dapat dilupakannya. Tetapi kadang-kadang kenangan atas masa-masa itu membersit di hatinya.
“Masa-masa yang kelam,” desisnya.
“Mudah-mudahan orang lain tidak akan mengalaminya.”
Tetapi ternyata kenangannya di masa muda yang seolah-olah selalu disembunyikannya itu, telah mendorongnya untuk lebih banyak berbuat untuk menyelamatkan perasaan muridnya, sehingga ia kemudian berkata,
“Sudahlah, Ngger. Mungkin pendirian Angger itu pun dapat dibenarkan. Dengan demikian maka kesempatan Angger Agung Sedayu akan lebih luas terbuka. Tetapi apabila ia mampu mengatasi hambatan yang tumbuh di dalam dirinya sendiri. Karena itu, Ngger, aku ingin maksud Angger itu tercapai dengan tidak usah menyakiti hatinya.”
“Maksud Kiai?”
“Angger tidak usah dengan tergesa-gesa melarangnya berhubungan dengan Angger Sekar Mirah.”
“Ah,” Untara berdesah,
“itu adalah hambatan yang paling besar baginya.”
“Seandainya Angger mengingininya, tetapi jangan dilakukan dengan paksa. Angger harus mencari jalan sebaik-baiknya untuk melakukannya. Aku mengerti maksud Angger, tetapi aku tidak dapat sependapat dengan cara yang Angger tempuh.”

Dahi Untara menjadi berkerut-merut mendengar kata-kata Ki Tanu Metir itu. Seandainya yang berkata itu bukan Kiai Gringsing, yang telah banyak berjasa, tidak saja kepadanya, tetapi juga kepada pasukan Pajang di Sangkal Putung. Dengan demikian maka dada Untara itu serasa menjadi pepat. Ia tidak segera dapat memilih jalan yang sebaik-baiknya untuk menentukan sikap. Sejenak pringgitan banjar padepokan Tambak Wedi itu menjadi sepi. Yang terdengar hanyalah desah nafas mereka yang sedang ditegangkan oleh persoalan yang mereka bicarakan.
Baru sejenak kemudian terdengar Untara bertanya,
“Lalu cara yang manakah yang Kiai anggap sebaik-baiknya.”
“Aku mengharap agar Angger melakukannya dengan perlahan,” jawab Ki Tanu Metir.
“Mustahil dapat terjadi,” bantah Untara,
“bahkan hubungan mereka akan menjadi semakin erat dan mendalam. Sesudah itu tidak ada jalan lagi untuk memisahkannya. Agung Sedayu tidak lagi dapat berpikir wajar. Seluruh hidupnya akan diikat oleh wanita itu. Badannya dan nyawanya. Kebanggaan baginya adalah mempertahankan perempuan itu. Dan anak itu tidak akan ingat lagi bahwa perjuangan masih jauh untuk mewujudkan Pajang yang besar dan kuat.”
“Aku akan melakukannya,” jawab Ki Tanu Metir tenang, namun cukup mengejutkan hati Untara,
“aku akan mencoba membuat Angger Agung Sedayu menjadi seorang yang baik, yang berguna bagi negara dan tanah kelahiran. Aku tidak mempedulikannya, apakah ia masih akan tetap berhubungan dengan Sekar Mirah atau tidak. Seandainya ia terpisah dari padanya pun, maka adalah menjadi kodrat seorang laki-laki untuk memilih seorang perempuan menjadi kawan hidupnya. Tetapi apabila keinginan Angger Untara untuk membuat Angger Agung Sedayu seorang yang kuat dalam kedudukan dan kanuragan, maka serahkanlah kepadaku. Maksudku, Sekar Mirah tidak akan merintanginya atau menjadi penghalangnya, meskipun mereka masih tetap berhubungan. Seharusnya Angger dapat membaca tabiat dan sifat Angger Sekar Mirah. Kalau yang Angger Untara bicarakan adalah mengenai kedudukan, pangkat, jabatan dan apa lagi, maka Angger Sekar Mirah akan dapat menjadi pendorong yang baik. Tetapi kalau soalnya lain, maka harus diutarakan agar hal itu dapat terjadi perlahan-lahan tanpa melukai hatinya seperti yang telah aku katakan.”
Wajah Untara menjadi semakin tegang mendengar kata-kata Kiai Gringsing itu, dan Kiai Gringsing ternyata masih melanjutkan.
“Seandainya Angger ingin melihat Angger Agung Sedayu tidak lagi berhubungan dengan Angger Sekar Mirah pun, aku akan mencoba mengusahakannya pula, tetapi tidak dengan tiba-tiba.”
Ketegangan di dada Untara telah memuncak. Sehingga sejenak ia kehilangan penguasaan diri. Dengan gemetar ia berkata,
“Kiai, biarlah aku mengatur jalan hidup Agung Sedayu. Aku adalah kakaknya, pengganti ibu bapa.”

Seleret membersitlah dari sepasang mata orang tua yang bening itu, sorot yang tajam, yang seolah-olah langsung menghunjam ke jantung Untara. Tetapi sesaat kemudian sepasang mata itu telah menjadi lunak kembali. Bahkan orang tua itu tersenyum sambil menjawab,
“Maaf, Ngger. Kau adalah kakak Angger Agung Sedayu, kau adalah satu-satunya keluarganya yang tinggal. Tetapi sebaiknya Angger ingat bahwa aku adalah gurunya.”
Dada Untara berdesir mendengar jawaban Ki Tanu Metir itu.
“Ya, orang tua itu adalah gurunya.”
Untara menarik nafas dalam-dalam. Ia mencoba untuk menguasainya dirinya yang seolah-olah telah terbakar oleh perasaan kecewanya terhadap sikap Ki Tanu Metir yang terlampau banyak mencampuri urusannya. Tetapi orang tua itu adalah gurunya. Wewenang seorang guru kadang-kadang melampaui wewenang orang tua sendiri terhadap seseorang. Seseorang kadang-kadang lebih taat mematuhi perintah gurunya dari pada orang tuanya. Dan Ki Tanu Metir itu adalah guru Agung Sedayu.
“Tetapi,” suatu pergolakan telah terjadi di dalam dada Untara,
“aku mempunyai seribu pertimbangan untuk memisahkan Sekar Mirah dari Agung Sedayu. Kecuali untuk kepentingan Agung Sedayu sendiri, maka persoalannya dengan Wuranta pasti tidak akan dapat selesai dengan baik. Padahal keduanya adalah anak-anak Jati Anom. Perselisihan itu mau tidak mau pasti akan menyentuh namaku pula, apalagi apabila keduanya menjadi lupa diri. Sedang keduanya sama sekali tidak seimbang dalam olah kanuragan. Kalau Agung Sedayu kehilangan pengendalian diri, maka akibatnya akan memalukan sekali. Aku  pun pasti akan terpercik pula karenanya.”
Tetapi Untara tidak dapat segera mengatakannya. Betapa hatinya bergolak, tetapi ia masih tetap menyadari, bahwa yang duduk itu adalah Ki Tanu Metir. Orang yang telah menyelamatkan jiwanya, dan jiwa adiknya, Agung Sedayu. Itulah sebabnya, maka dada Untara itu seolah-olah akan meledak. Ia dihadapkan pada suatu persoalan yang baginya jauh lebih rumit dari persoalan Tohpati di Sangkal Putung. Bahkan ia mengeluh di dalam hatinya,
“Seandainya tidak ada Sekar Mirah. Seandainya gadis itu tidak terlibat dalam persoalan antara Pajang dan sisa-sisa orang Jipang.”
Sekali lagi pringgitan itu dicengkam oleh kesepian. Tetapi betapa dada mereka dibakar oleh debar jantung masing-masing yang bergolak seperti kawah gunung Merapi. Titik-titik keringat telah membasahi dahi mereka. Dan punggung mereka  pun telah menjadi basah, seakan-akan mereka baru saja menyelesaikan pekerjaan yang terlampau berat. Tetapi ternyata dari kening Wuranta titik-titik keringat itu telah menetes satu-satu di atas tikar pandan yang telah menjadi kekuning-kuningan. Bibirnya tampak bergetar, secepat getar di dalam dadanya. Ada sesuatu yang ingin dikatakannya, tetapi serasa tersangkut di kerongkongan, sehingga dengan demikian, maka wajahnya  pun menjadi semakin tegang.

Kiai Gringsing yang telah cukup banyak menyimpan pengalaman di dalam dadanya, dapat membaca betapa dada anak muda itu hampir retak karena tekanan perasaan yang tidak dapat dilimpahkannya keluar. Karena itu, maka sambil tersenyum ia berkata,
“Angger Wuranta, agaknya Angger ingin mengatakan sesuatu. Tetapi Angger merasa terlampau berat untuk melepaskannya. Katakanlah, Ngger, supaya dadamu tidak menjadi pepat, dan kepalamu menjadi pening. Apakah yang kau katakan itu dapat kami mengerti atau tidak, itu adalah soal yang lain. Namun dengan demikian, dadamu pasti akan menjadi agak lapang karenanya.”
Wuranta menelan ludahnya yang seolah-olah menyumbat kerongkongannya. Sekali dipandanginya dukun tua itu, dan sekali senapati muda yang bernama Untara itu. Namun tatapan mata mereka terlampau tajam baginya, sehingga anak muda Jati Anom itu menundukkan kepalanya. Tetapi terdengar suara lirih terputus-putus,
“Ya, Kiai. Aku memang ingin mengatakan sesuatu.”
“Nah, katakanlah. Mungkin Angger dapat membantu melepaskan keruwetan ini,” sahut Ki Tanu Metir.
Tetapi dahi Untara menjadi semakin berkerut-merut. Apabila Wuranta menuntut supaya ia melaksanakan keputusannya, maka perasaannya pasti akan menjadi semakin kisruh. Ternyata Ki Tanu Metir mempunyai rencananya sendiri atas muridnya yang tidak sesuai dengan rencananya. Persoalan itu adalah persoalan yang paling rumit yang membebani pikirannya. Persoalan Agung Sedayu dan Wuranta, yang berkisar di seputar gadis Sangkal Putung yang bernama Sekar Mirah, yang langsung atau tidak langsung telah menghancurkan Tambak Wedi karena pertentangan yang tumbuh di dalam tubuh padepokan ini karena gadis itu pula. Sehingga Sidanti dan Alap-alap Jalatunda telah berkelahi, dan yang masing-masing telah menyeret orang-orangnya ke dalam perkelahian yang dahsyat itu.
“Pertentangan yang demikian itu masih akan terulang?” desisnya di dalam hati,
“Apakah Agung Sedayu dan Wuranta akan menyeret pihak masing-masing pula untuk saling bertentangan?”
Untara menahan nafasnya ketika ia mendengar Ki Tanu Metir berkata,
“Silahkan Ngger, silahkan. Katakanlah.”
Wuranta menggigit bibirnya. Keringatnya semakin deras mengalir di keningnya. Dan bajunya  pun menjadi semakin kuyup pula.
“Kiai,” terdengar suaranya lambat sekali,
“aku minta maaf.”
Kiai Gringsing dan Untara menarik kening mereka. Kata-kata itu telah membuat mereka keheranan. Dan terdengarlah Kiai Gringsing bertanya,
“Kenapa Angger minta maaf? Bukankah sudah seharusnya dalam suatu pembicaraan masing-masing pihak mengemukakan pendiriannya?”
Tetapi nafas Wuranta menjadi semakin deras mengalir. Sekali lagi ia berkata,
“Aku minta maaf. Aku sama sekali tidak bermaksud membuat kekisruhan ini.”
Ki Tanu Metir dan Untara menjadi semakin heran. Sejenak mereka justru terdiam memandangi wajah Wuranta yang telah dibasahi oleh keringatnya. Tetapi sejenak kemudian, Ki Tanu Metir menarik nafas panjang. Perlahan-lahan ia mengangguk-anggukkan kepalanya. Sareh ia berkata,
“Tenanglah, Ngger. Coba katakanlah, apakah yang sebenarnya tersimpan di hati Angger sejelas-jelasnya. Jangan ragu-ragu, dan jangan mencemaskan apa pun akibat dari kata-katamu.”
Wuranta masih menundukkan kepalanya. Bahkan tubuhnya menjadi gemetar oleh getaran di dalam dadanya.
“Untara,” katanya perlahan-lahan,
“aku merasa bersalah, bahwa aku telah mengganggu ketenanganmu. Selama aku mendengar pembicaraanmu dengan Ki Tanu Metir, aku merasa bahwa aku telah berbuat kesalahan yang besar terhadap Agung Sedayu. Karena itu, maka jangan kau hiraukan aku lagi. Aku menyadari, bahwa tidak seharusnya aku melibatkan diri dalam hidupnya. Aku memang terlampau jauh tenggelam ke dalam suatu dunia mimpi yang memabukkan, sehingga aku telah melupakan tata pergaulan di antara kawan sendiri. Untara, seharusnya aku menjadi malu sekali bahwa hal ini telah terjadi. Karena itu, hanya kepadamu dan kepada Ki Tanu Metir aku mengaku. Pembicaraanmu yang terakhir ternyata telah membuka hatiku. Aku tidak berhak untuk mengganggu hubungan Agung Sedayu dengan Sekar Mirah. Aku telah merasakan betapa pahitnya kehilangan tanpa memilikinya. Apalagi Agung Sedayu. Agaknya hati mereka memang telah terpaut. Karena itu, lupakan saja aku. Jangan kau hiraukan aku lagi.”
“Wuranta,” terdengar suara Untara pun tiba-tiba menjadi bergetar. Tetapi Untara tidak meneruskan kata-katanya.
Sekali lagi pringgitan itu menjadi sepi. Sekali lagi nafas-nafas mereka terdengar memenuhi ruangan itu.


Halaman 1 2 3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar