Pengalaman Agung Sedayu yang sedikit, tidak dapat membuka banyak kemungkinan baginya. Ia tidak dapat perpikir untuk lari tidak ke Sangkal Putung. Lari entah ke mana. Mungkin ke daerah Pesisir Utara. Mungkin ke pantai Selatan, menyusur Pegunungan Kidul ke Barat atau ke Timur. Agung Sedayu tidak tahu betapa luasnya bumi. Karena itu, maka tidak ada angan-angannya untuk pergi ke Blambangan di ujung Timur atau ke Banten di ujung Barat. Yang ada di kepalanya Jati Anom dan Sangkal Putung. Kademangan Sangkal Putung, tempat tinggal Sekar Mirah dan Kakaknya Swandaru Geni. Kadang-kadang tumbuh juga angan-angannya untuk pergi sejauh-jauhnya. Ke Mentaok atau ke daerah-daerah yang pernah disebut-sebut oleh Sutawijaja dan Kiai Gringsing. Mangir misalnya. Tetapi di sana Agung Sedayu tidak akan dapat bertemu dengan Sekar Mirah. Dan selama ia pergi, maka akan banyak sekali peristiwa yang dapat terjadi. Mungkin suatu ketika Wuranta akan pergi ke Sangkal Putung dan membuat hubungan pula dengan Sekar Mirah. Mungkin juga suatu ketika Sidanti akan dapat menculiknya lagi. Karena itu, maka tidak ada pikiran lain yang ada padanya kemudian, selain pergi mengantarkan Sekar Mirah ke Sangkal Putung. Ia akan mengatakan persoalannya kepada pamannya Widura. Tidak sebagai seorang prajurit di bawah perintah kakaknya Untara, tetapi sebagai seorang paman. Ia mengharap, bahwa pengaruh pamannya akan dapat membantunya.
“Kalau perlu
aku harus membuat tekanan terhadap Kakang Untara. Swandaru adalah pemimpin
anak-anak muda Sangkal Putung. Sikapnya pasti akan berpengaruh terhadap
kekuatan Pajang. Aku tidak peduli, apakah dengan demikian aku akan dianggap
bersalah oleh Kakang Untara,” desisnya di dalam hatinya.
Tetapi Agung
Sedayu itu terperanjat ketika Swandaru berkata,
“Aku dan Sekar
Mirah ingin penjelasan Kakang. Seandainya memang kehadiran kami di sini tidak
dikehendaki, maka kami bersedia untuk meninggalkan tempat ini. Tidak usah
menunggu besok. Tetapi malam ini. Aku dan Sekar Mirah tidak perlu takut
terhadap Sidanti, bahkan Ki Tambak Wedi. Untuk pergi ke Sangkal Putung ada
seribu jalan. Dan Ki Tambak Wedi, Sidanti, dan Argajaya tidak berada di seribu
tempat. Kalau memang seharusnya kami berdua mati di tangan mereka, maka itu
adalah akibat yang wajar yang tidak perlu disesali dalam keadaan serupa ini.
Adalah kesalahan ayah dan ibu pula, bahwa mereka tidak mengirimkan sepasukan
anak-anak muda untuk menjemput kami. Karena kami yakin, bahwa Sangkal Putung
dapat membangun kekuatan pengawal-pengawal kademangan segelar sepapan. Dan
sudah tentu kami berharap, bahwa kademangan kami akan dapat mempertahankan
dirinya tanpa seorang prajurit Pajang pun di daerah kami kelak.”
“Kau salah
paham, Adi,” sahut Agung Sedayu dengan serta-merta. Tetapi ia tidak segera
menemukan kalimat-kalimat yang dapat meyakinkan Swandaru dan Sekar Mirah.
“Kalau
demikian, maka apakah yang sebenarnya terjadi?”
Agung Sedayu
menjadi semakin bingung. Akhirnya ia tidak dapat menemukan jawaban yang
dianggapnya cukup baik dan beralasan, selain daripada dirinya sendiri. Maka
katanja,
“Ada
perselisihan antara aku dan Kakang Untara.”
Swandaru
mengerutkan alisnya, sedang Sekar Mirah menjadi semakin bertanya-tanya di dalam
hatinya.
“Apakah
soalnya?” bertanya Swandaru.
Agung Sedayu
menarik nafas dalam-dalam. Terasa hatinya menjadi semakin tegang. Swandaru dan
Sekar Mirah pun menjadi tidak kalah
tegangnya. Mereka menunggu apakah yang akan dikatakan oleh Agung Sedayu. Kenapa
kakak beradik itu tiba-tiba saja berselisih. Karena Agung Sedayu tidak segera
menjawab, dan karena desakan perasaan ingin tahu yang tidak dapat ditahankannya,
maka Swandaru mendesaknya,
“Apakah yang
menyebabkan kalian berselisih?”
Agung Sedayu
tidak dapat untuk terus menerus berdiam diri tanpa menjawab
pertanyaan-pertanyaan itu. Karena itu, maka ketika ia tidak dapat mengelak
lagi, maka dijawabnya saja sekenanya,
“Kakang Untara
ingin aku menjadi seorang prajurit seperti dirinya.”
“He,” Swandaru
mengerutkan keningnya. Dan tiba-tiba ia menarik nafas dalam-dalam.
“Suatu
kesempatan yang sangat baik bagimu, Kakang.”
Kini Agung
Sedayu-lah yang terkejut. Ia tidak menyangka, bahwa demikian tanggapan Swandaru
tentang tawaran kakaknya padanya untuk menjadi seorang prajurit.
“Tetapi kenapa
Kakang menjadi tampak cemas dan gelisah? Bahkan sampai berlari-lari?”
Pertanyaan itu
memang terlampau sulit untuk dijawab. Tetapi Agung Sedayu tidak dapat berdiam
diri lagi. Ia harus memberi penjelasan supaya tidak terjadi salah paham. Dan penjelasan
itu harus disusunnya, dikarangkannya lebih dahulu. Sorot mata Swandaru
memancarkan ketidak-sabaran hatinya. Seolah-olah mata itu telah mendesaknya
untuk mengatakan sesuatu.
Terdengar
Agung Sedayu berdesah. Perlahan-lahan dan penuh kebimbangan ia menjawab,
“Adi Swandaru.
Ternyata aku berbeda pendirian dengan Kakang Untara. Aku tidak ingin menjadi
seorang prajurit.”
“Ah,” dengan
serta merta Swandaru menyahut,
“mustahil.
Mustahil seorang laki-laki yang mempunyai bekal yang cukup menolak kesempatan
untuk menjadi Wira Tamtama. Kakang, kelak aku
pun ingin menjadi seorang Wira Tamtama.”
Agung Sedayu
mencoba menganggukkan kepalanya. Katanya,
“Mungkin.
Mungkin pada suatu ketika aku pun ingin
untuk menjadi seorang prajurit Wira Tamtama. Tetapi tidak sekarang.”
Swandaru
mengerutkan keningnya. Dari sela-sela bibirnya meluncur pertanyaanya,
“Sekarang?”
“Ya. Kakang
Untara ingin memaksaku untuk pergi ke Pajang dan langsung menghadap Ki Gede
Pemanahan. Aku harus menunggu perintahnya untuk berbuat sesuatu, supaya aku
mendapat kepercayaan dan langsung menjadi seorang prajurit Wira Tamtama yang
terpandang.”
“Oh,
kesempatan yang luar biasa,” tiba-tiba mata Swandaru menjadi berseri-seri.
Kalau saja kesempatan itu ada juga buatnya maka ia akan menjadi sangat
bergembira. Maka katanya,
“Kakang,
tolong katakan kepada Kakang Untara, bahwa aku
pun ingin mendapat kesempatan yang serupa. Aku tidak harus mulai dari
tataran yang paling rendah. Untuk itu, aku tidak terlampau berkeberatan,
seandainya aku harus menjadi seorang prajurit yang paling bawah dalam keadaan
yang wajar. Tetapi biasanya kesempatan untuk dapat merambat ke tingkat yang
lebih tinggi terlampau sulit. Tetapi justru syarat-syarat itu tidak pernah
diperhatikan, yang diperhatikan adalah masalah-masalah lain. Hanya orang-orang
yang terdekat dengan lurah-lurah Wira Tamtama sajalah yang mendapat perhatian
mengenai kemampuan dan keprigelannya.”
Agung Sedayu
menjadi semakin bingung mendengar jawaban Swandaru itu. Ternyata Swandaru
justru tertarik kepada ceriteranya yang dengan susah payah disusunnya untuk
melepaskan diri dari kebingungan. Tetapi ia kini terperosok ke dalam
kebingungan yang baru.
“Nah,
bagaimana Kakang?”
Tiba-tiba
Agung Sedayu menengadahkan dadanya. Ia menemukan jawaban yang untuk sementara
dapat membebaskannya dari ketegangan ini. Katanya,
“Justru itulah
yang aku tidak mau, Adi Swandaru.”
Swandaru
mengerutkan keningnya. Wajahnya yang bulat menjadi berkerut merut.
“Kenapa?”
dengan ragu-ragu ia bertanya.
“Aku menyadari
bahwa kesempatan yang diberikan oleh Kakang Untara itu adalah kesempatan
seperti yang kau katakan. Aku diterima menjadi seorang Wira Tamtama, bahkan
mungkin seorang yang langsung mendapat kedudukan yang baik, bukan karena
jasa-jasaku sebagai seorang prajurit. Hal itu dapat terjadi karena aku adalah
adik Kakang Untara. Aku tidak mau. Aku tidak mau. Itulah sebabnya aku harus
menghindarkan diri dari padepokan ini sebelum Kakang Untara memaksaku. Bagiku
Adi Swandaru, lebih baik menjadi seorang prajurit yang memanjat tataran demi
tataran, tetapi karena hasil keringatku sendiri daripada aku langsung mendapat
kedudukan yang baik, tetapi hanya karena aku seorang adik dari Kakang Untara.
Dari seorang senapati yang telah berjasa dapat menyelesaikan sisa-sisa
orang-orang Jipang di bagian Selatan ini. Tetapi yang berjasa adalah Kakang
Untara. Bukan aku. Seandainya mendapat wisuda seharusnya juga Kakang Untara,
bukan aku.”
“Oh,” Swandaru
mengangguk-anggukkan kepalanya. Dari mulutnya terdengar ia berdesis,
“itukah
sebabnya kau ingin meninggalkan padepokan ini?”
“Ya,” jawab
Agung Sedayu,
“aku tidak
mau. Aku akan pergi ke Sangkal Putung. Mungkin kelak aku ingin menjadi seorang
prajurit di sana. Pada pasukan Paman Widura.”
“Tetapi Paman
Widura adalah pamanmu pula Kakang. Kalau ternyata kau mendapat kesempatan, maka
kau akan menyangka, bahwa kesempatan itu kau terima justru kau kemanakannya.”
Agung Sedayu
terdiam. Pertanyaan ini tidak segera dapat dijawabnya. Sekali lagi ia mencoba
memutar nalarnya untuk membebaskan diri dari pertanyaan-pertanyaan yang membuat
kepalanya menjadi pening. Sekali lagi ruangan itu terdampar ke dalam kesenyapan
yang tegang. Tubuh Agung Sedayu telah menjadi basah oleh keringat dingin yang
seolah-olah diperas dari tubuhnya. Sekali-sekali ia menarik nafas dalam-dalam
untuk mencoba menenteramkan hatinya.
Baru sejenak kemudian
Agung Sedayu menjawab,
“Mungkin aku
mempunyai perasaan yang demikian pula, Adi Swandaru, tetapi pasti tidak akan
terlampau tajam seperti saat ini. Apabila aku harus memenuhi perintah Kakang
Untara dan menghadap Ki Gede Pemanahan, maka segera aku akan terlempar ke atas.
Itu pasti tidak akan dapat memberi ketenteraman di hatiku. Apalagi aku tahu,
bahwa prajurit-prajurit yang kemudian berada di bawahku adalah orang-orang yang
telah berjuang cukup lama dan mempunyai jasa yang cukup besar buat Pajang.
Kemampuan dan pengalaman ada pula yang melampaui aku. Nah, aku tidak akan dapat
melakukan tugas yang demikian.”
Agung Sedayu
memandangi Swandaru Geni untuk mencoba menangkap kesan kata-katanya di hati
adik seperguruannya itu. Dan ia melihat Swandaru mengangguk-anggukkan
kepalanya. Karena itu, maka hati Agung Sedayu menjadi agak tenteram. Ia
mengharap Swandaru dapat mempercayainya. Dan dengan tiba-tiba saja Swandaru
bertanya,
“Jadi
bagaimanakah maksudmu, Kakang? Apakah kau akan segera berangkat?”
Dada Agung
Sedayu kini dihentak oleh kebimbangannya. Justru karena
pertimbangan-pertimbangan yang kemudian tumbuh di dalam hatinya. Justru karena
pertanyaan Sekar Mirah tentang Ki Tambak Wedi yang mungkin mereka temui di
jalan.
“Kalau aku ingin
lari dari persoalan ini, maka akulah yang seharusnya menjumpai akibat yang betapapun
beratnya. Tidak sewajarnya aku menyeret kedua kakak beradik itu ke dalam
bencana,” desis Agung Sedayu di dalam hatinya. Tetapi hati itu seakan-akan
diliputi oleh kegelapan. Itulah sebabnya maka pertimbangan-pertimbangannya
menjadi kabur dan ragu-ragu.
“Kakang,”
terdengar Swandaru meneruskan kata-katanya,
“apabila
kakang menghendaki kami ikut dengan Kakang berangkat saat ini juga, maka kami
pasti tidak akan keberatan. Kami tahu bahwa kau sedang diamuk oleh kebimbangan
dan keragu-raguan. Mungkin aku dan Sekar Mirah kurang dapat memahami caramu
berpikir dan mempertimbangkan persoalanmu, tetapi aku tidak peduli. Aku tidak
ingin membingungkan diriku sendiri dan menambah kau menjadi bingung. Sekarang
bagaimana pertimbanganmu? Berangkat sekarang atau tidak? Kami akan mengikuti
kau. Sebab tanpa kau di sini, maka kami akan menjadi orang asing. Ternyata
prajurit-prajurit Pajang yang di sini, sebagian terbesar bukan prajurit-prajurit
Pajang yang berada di Sangkal Putung. Hanya satu dua orang sajalah yang
mengenal aku dan Sekar Mirah. Selainnya adalah orang asing bagiku, seperti aku
juga orang asing bagi mereka. Karena itu, katakanlah keputusanmu. Aku dan Sekar
Mirah tidak akan menolak. Kau bagi kami adalah orang terdekat di sini, selain
Guru.”
Tetapi
ternyata kata-kata Swandaru itu membuat Agung Sedayu semakin bingung. Ia kini
benar-benar tidak tahu apa yang harus dilakukan dan apa yang harus dikatakan.
Keringatnya menjadi semakin deras mengalir di punggung dan tengkuknya. Ia sudah
terperosok semakin jauh ke dalam persoalan dan ceritera yang disusunnya, namun
yang semakin membingungkannya sendiri. Karena itu, maka ia pun sekali lagi terbungkam. Sekali-sekali
tangannya meraba keningnya mengusap titik keringat yang menetes. Swandaru
melihat wajah Agung Sedayu yang pucat itu. Ia pun tiba-tiba menjadi bingung
sendiri. Tetapi untuk mengurangi dan meredakan ketegangan perasaan Agung
Sedayu, maka Swandaru tidak bertanya lagi.
Sekar Mirah yang
duduk di dekat Swandaru pun menjadi tidak kalah bingungnya. Ia tidak mengerti
pendirian Agung Sedayu, tetapi ia merasakan bahwa ada sesuatu yang telah
disembunyikan oleh anak muda itu. Dan yang disembunyikan itu menurut dugaan
Sekar Mirah, pasti menyangkut dirinya dan kakaknya Swandaru. Namun Sekar Mirah
pun tidak bertanya sesuatu. Seperti Swandaru, ia tidak ingin membuat Agung
Sedayu bertambah bingung. Tetapi keheningan dalam ruangan itu terasa semakin
lama semakin tegang. Keringat di punggung, tengkuk, dan kening Agung Sedayu
menjadi semakin deras mengalir. Dalam ketegangan itu tiba-tiba mereka serentak
mengangkat wajah-wajah mereka. Terdengar langkah-langkah kaki dekat sekali di
luar dinding ruangan itu. Kemudian terdengar suara gemerisik mendekati pintu di
sepanjang dinding rumah. Agung Sedayu dan Swandaru tanpa berjanji segera
meloncat berdiri. Tangan-tangan mereka melekat di hulu pedang, sedang Sekar
Mirah pun telah berdiri pula di belakang
Swandaru.
“Ah,”
tiba-tiba mereka mendengar suara berdesah,
“daerah ini
kini adalah daerah yang aman. Kenapa kalian menjadi gelisah dan mudah sekali
menjadi terkejut?”
Ketiga
anak-anak muda itu menarik nafas dalam-dalam. Suara itu sudah amat mereka
kenal. Suara Ki Tanu Metir.
Tergopoh-gopoh
Swandaru melangkah ke pintu dan menarik selaraknya. Ketika pintu itu terbuka,
mereka melihat Ki Tanu Metir berdiri sambil tersenyum, katanya,
“Hanya
kegelisahan di hati kalianlah yang telah membuat kalian menjadi cemas
menanggapi setiap persoalan. Kalian menjadi terlampau mudah terkejut dan
kadang-kadang bingung.”
Agung Sedayu
dan Swandaru menundukkan kepalanya. Kata-kata gurunya terasa tepat menyentuh
jantung mereka yang berdentangan.
“Duduklah.
Sebaiknya kita bersikap wajar. Kenapa kalian menjadi gelisah, cemas dan bahkan
pucat seperti melihat hantu?”
Agung Sedayu
dan Swandaru menjadi semakin tunduk. Perlahan-lahan mereka melangkah dan duduk
kembali di atas amben bambu, sementara Ki Tanu Metir sendirilah yang menutup
pintu. Ketika pintu sudah tertutup rapat, maka Ki Tanu Metir itu pun kemudian melangkah ke amben itu pula dan
duduk di antara mereka. Di antara ketiga anak-anak muda yang sedang dicengkam
oleh persoalan yang tidak begitu jelas.
Demikian Ki
Tanu Metir duduk, ia bergumam,
“Pintu itu
tidak usah di selarak. Tidak akan ada orang yang masuk untuk kepentingan apa
pun di malam begini. Di sini, dalam keadaan ini, pasti tidak ada pencuri, dan
tidak akan ada orang-orang Jipang atau orang-orang Tambak Wedi yang akan
datang.”
Ketiga
anak-anak muda itu tidak menjawab. Sedang Swandaru dan Agung Sedayu menjadi
semakin tunduk. Ia tahu benar maksud kata-kata gurunya.
“Di luar
dinginnya bukan main,” desah gurunya itu. Tetapi tiba-tiba nada suaranya
meninggi.
“Tetapi kenapa
kalian? Aku lihat baju kalian menjadi basah oleh keringat. Apakah udara di
dalam rumah ini sangat panas?”
Masih belum
ada yang menjawab.
“Aku kira di
dalam ini pun cukup sejuk, meskipun
tidak sedingin di luar,” Ki Tanu Metir berhenti sebentar.
“He, apakah
rumah ini beratap ijuk atau daun lalang? Memang kedua-duanya dapat menahan
dingin. Apabila udara dingin, maka ruangan di sini tidak akan terlampau dingin.
Tetapi apabila udara panas, ruangan ini akan menjadi cukup sejuk, tidak seperti
dipanggang di atas bara.”
Belum ada
jawaban.
“Aku tidak
begitu memperhatikan. Apakah kalian melihatnya siang tadi?”
Swandaru dan
Agung Sedayu mengangkat wajah-wajah mereka sejenak, tetapi wajah-wajah itu
tertunduk kembali.
“Hem,” Ki Tanu
Metir menarik nafas dalam-dalam.
“Kalau begitu
kalian seolah-olah mandi keringat bukan karena panasnya udara. Mungkin kalian
sedang ketakutan. Begitu?”
Kini seperti
berjanji keduanya menjawab, “Tidak, Guru.”
Ki Tanu Metir
mengangguk-anggukkan kepalanya,
“Ya, ya,
mungkin kalian tidak sedang ketakutan. Tidak pula sedang kepanasan. Tetapi
kenapa kalian gelisah? Ketika kalian mendengar suara kakiku berdesir di samping
dinding rumah ini, kalian terkejut. Aku mendengar gerak kalian. Kalian segera
berloncatan seperti ada seorang musuh yang mengintip. Aku pun kemudian
mengintip. Dan aku melihat tangan kalian telah melekat di hulu pedang sebelum
pintu itu terbuka. Nah, apakah yang sudah terjadi atas kalian sehingga kalian
menjadi gelisah, dan bahkan seolah-olah ketakutan? Apakah ada persoalan yang
membuat kalian cemas? Ancaman dari seseorang misalnya, atau tantangan dari
orang yang kalian anggap jauh lebih tinggi ilmu tata beladirinya daripada
kalian?”
Sejenak Agung
Sedayu dan Swandaru berdiam diri. Namun kemudian hampir bersamaan mereka
menggelengkan kepala mereka,
“Tidak, Guru.”
“Kalau begitu,
apakah yang telah merisaukan hati kalian?”
Sekali lagi
anak-anak muda itu terbungkam.
“Nah, aku tahu
sekarang,” berkata Ki Tanu Metir sambil tersenyum,
“yang
merisaukan itu pasti kalian sendiri.”
Agung Sedayu
menarik nafas dalam-dalam, sedang Swandaru mengerutkan keningnya. Mereka masih
saja berdiam diri. Tetapi yang menjawab justru Sekar Mirah,
“Ya, Kiai.
Yang merisaukan kami adalah hati kami sendiri.”
Ki Tanu Metir
tertawa perlahan,
“Begitulah.
Karena itu jangan kau turuti perasaan hati. Setiap persoalan pertimbangkan
masak-masak dengan nalar, jangan semata-mata dengan perasaan. Dengan demikian
kalian tidak akan dicemaskan oleh hal-hal yang sama sekali tidak perlu.”
Terdengar
nafas Agung Sedayu semakin cepat mengalir lewat lubang-lubang hidungnya.
Terengah-engah, seolah-olah baru saja bergulat dengan hantu. Apalagi ketika
gurunya berpaling kepadanya dan langsung bertanya,
“Apakah yang
membuat kau menjadi cemas?”
Agung Sedayu
tidak segera menjawab.
“Bukankah kau
baru datang dari banjar padepokan menghadap kakakmu?”
“Ya, Guru. Aku
memang baru saja menghadap Kakang Untara di banjar.”
“Hem,” Ki Tanu
Metir mengangguk-anggukkan kepalanya,
“kalau begitu,
pasti ada pembicaraan yang membuat kau bingung atau risau. Membuat kau
kehilangan ketenangan dan pertimbangan. Begitu?”
Sejenak Agung Sedayu
tidak dapat mengucapkan sepatah kata pun. Meskipun bibirnya bergerak-gerak
tetapi tidak terdengar jawaban dari mulutnya.
“Baiklah,
mungkin pertanyaanku membuat kau semakin bingung,” berkata Ki Tanu Metir
kemudian,
“karena itu,
sekarang tenangkanlah hatimu. Sebaiknya kau pergi tidur. Angger Swandaru dan
Angger Sekar Mirah pun sebaiknya pergi
tidur pula.”
Tetapi justru
hal itu telah membuat hati Agung Sedayu semakin kisruh. Apabila ia harus pergi
tidur, dan besok pagi-pagi ia masih berada di padepokan itu, maka ia akan
mengalami kesulitan yang lebih besar. Ia harus meninggalkan pondokan itu. Ia
harus bersama dengan kakaknya. Apakah yang akan dikatakannya kepada Swandaru
dan Sekar Mirah? Tetapi yang lebih menggelisahkan lagi adalah, bahwa ia tidak
boleh berhubungan dengan gadis itu. Ia tidak boleh pergi ke Sangkal Putung dan
seterusnya ia harus menjadi seorang prajurit. Sebenarnya menjadi seorang
prajurit itu sendiri sama sekali tidak menakut-nakuti hati Agung Sedayu. Yang
paling menggelisahkannya adalah kemungkinan, bahwa ia harus berpisah dengan
Sekar Mirah. Agung Sedayu yang masih muda itu tidak tahu pasti, ikatan apakah
yang ada di dalam hatinya. Ia tidak menyadari, apakah yang telah membuatnya
seperti kehilangan akal karena kemungkinan perpisahan itu. Dengan demikian,
maka Agung Sedayu tidak segera dapat menjawab kata-kata gurunya, tetapi ia juga
tidak beranjak dari tempatnya untuk pergi tidur di sudut amben itu juga. Bukan
saja Agung Sedayu, tetapi Swandaru dan Sekar Mirah pun sama sekali tidak berkisar. Ki Tanu Metir
itu pun kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia tahu, bahwa perasaan Agung
Sedayu benar-benar sedang kacau. Ia tidak dapat lagi berpikir bening, dan ia
tidak tahu apa yang sebaiknya dilakukan. Usianya memang masih cukup muda dan
pengalamannya pun masih belum cukup banyak. Karena itu, maka Ki Tanu Metir
tidak lagi sampai hati untuk membiarkan muridnya kehilangan akal. Meskipun agak
sulit juga, namun ia berusaha untuk menolong melepaskannya dari kebingungan.
Maka katanya,
“Swandaru,
tungguilah adikmu itu beristirahat. Biarlah aku bawa kakakmu Agung Sedayu
berjalan-jalan sebentar. Mungkin dengan demikian, ia akan menjadi agak tenang.”
Swandaru yang
telah dibingungkan oleh keadaan itu pula, begitu saja menganggukkan kepalanya
dan menjawab,
“Silahkan,
Guru.”
“Baiklah.
Kalau dapat, tidurlah kalian berdua. Tidak akan ada apa-apa lagi di sini.
Percayalah.”
“Ya, Guru,”
jawab Swandaru. Meskipun demikian, ia tetap tidak mengerti akan persoalan yang
dihadapinya.
Ki Tanu Metir
pun kemudian membawa Agung Sedayu keluar lagi dari rumah itu. Oleh Swandaru,
pintunya pun segera ditutup kembali. Ia
menyuruh Sekar Mirah untuk mencoba berbaring dan apabila mungkin untuk tidur,
supaya badannya menjadi agak segar.
“Apakah kau
juga akan tidur, Kakang?”
“Tentu, aku
juga akan tidur.”
Tetapi
Swandaru tidak melepas pedangnya. Dicobanya juga berbaring di amben yang besar
itu pula. Tetapi ternyata keduanya sama sekali tidak memejamkan matanya. Sementara
itu, Ki Tanu Metir dan Agung Sedayu telah keluar dari halaman rumah itu. Mereka
terhenti ketika mereka berpapasan dengan dua orang prajurit peronda.
“Siapa?” salah
seorang dari prajurit itu menyapa
Ki Tanu Metir
terbatuk-batuk sedikit, kemudian jawabnya,
“Aku Ngger,
Tanu Metir.”
“O,” prajurit
itu mengangguk-anggukkan kepalanya, “malam-malam, Kiai?”
“Berjalan-jalan,
Ngger. Aku tidak dapat tidur.”
“Silahkan,
Kiai,” sahut salah seorang prajurit itu, yang kemudian meninggalkan Ki Tanu
Metir dan Agung Sedayu.
Maka
keduanya pun segera melangkahkan kaki
mereka. Mereka berjalan menyusur jalan padepokan, kemudian berbelok ke
jalan-jalan sempit yang sepi.
Tetapi Ki Tanu
Metir dan Agung Sedayu masih saja berdiam diri. Ki Tanu Metir belum bertanya
sesuatu, dan Agung Sedayu tidak dapat mulai dengan sebuah percakapan apa pun. Yang
terdengar kemudian hanyalah desir kaki-kaki mereka di atas tanah yang keras.
Sekali-sekali angin lereng yang dingin bertiup menggugurkan daun-daun kering
dan menebarkannya di sepanjang jalan. Di kejauhan terdengar lamat-lamat suara
burung kedasih yang sedih. Baru sejenak kemudian terdengar Ki Tanu Metir
berkata,
“Aku mendengar
percakapan kalian seluruhnya di pondok, Ngger.”
Dada Agung
Sedayu berdesir mendengar kata-kata gurunya. Tetapi ia tidak segera dapat
menyahut.
“Aku dapat
mengerti, bahwa kau sedang dalam kebingungan. Tetapi aku menyangka, bahwa kau
tidak berkata sebenarnya terhadap Angger Swandaru dan Sekar Mirah. Ada sesuatu
yang kau sembunyikan atau bahkan apa yang kau katakan seluruhnya tidak benar.”
Agung Sedayu
menarik nafas dalam-dalam. Setelah sekian lama ia menahan kegelisahan di dalam
dadanya, tiba-tiba ia merasa mendapat tempat untuk menumpahkannya. Ia hampir
lupa, bahwa ia mempunyai seorang guru yang akan dapat memberinya nasehat, dan
sekaligus tempat untuk meringankan beban yang menyesak di dadanya. Karena itu,
sebelum Ki Tanu Metir mengulangi pertanyaannya, Agung Sedayu segera menjawab,
“Ya, Kiai. Aku
telah berdusta. Aku tidak dapat mengatakan yang sebenarnya.”
“Ya, kau tidak
dapat berkata sebenarnya. Apakah soalnya?”
Agung Sedayu
pun segera menceriterakan pertemuannya dengan kakaknya dan Wuranta.
Dikatakannya semua dari awal sampai akhir, sehingga ia menjadi terlampau
bingung dan ingin meninggalkan padepokan malam ini juga.
Ki Tanu Metir
menarik nafas dalam-dalam. Di dalam hatinya ia bergumam,
“Aku sudah
menyangka, bahwa suatu ketika Angger Untara akan sampai kepada keputusan itu.
Beberapa kali telah disinggungnya, seakan-akan hubungan antara Angger Agung
Sedayu dan Angger Sekar Mirah hanya akan menghambat kemajuan Angger Sedayu dan
hanya akan menumbuhkan perselisihan saja. Tetapi Angger Untara ternyata kurang
bijaksana menanggapi persoalan-persoalan yang demikian.”
Dan malam
ternyata telah menjadi terlampau jauh, sehingga tiba-tiba saja mereka telah
mendengar ayam jantan berkokok bersahutan. Seperti hantu yang takut
kamanungsan, tiba-tiba Agung Sedayu menjadi semakin gelisah dan tanpa sesadarnya
ia berkata,
“Kiai, aku
harus pergi sebelum pagi. Aku tidak dapat melakukan semua perintah Kakang
Untara.”
“Yang mana
yang tidak dapat kau lakukan, Ngger?”
Agung Sedayu
tiba-tiba terdiam. Pertanyaan itu telah memaksanya untuk bertanya pula kepada
diri sendiri,
“Yang manakah
yang tidak dapat dilakukannya?”
“Apakah kau
memang tidak ingin menjadi seorang prajurit, atau ada persoalan lain yang lebih
mengikat dari pada itu?”
Agung Sedayu
tidak menjawab, tetapi kepalanya kini tertunduk dalam-dalam. Ia tidak dapat
ingkar ketika di dalam dadanya bergolak pengakuan, bahwa yang paling memberati
dadanya adalah perpisahan dengan Sekar Mirah itu. Tetapi ia tidak dapat
mengatakan kepada Ki Tanu Metir dengan terbuka. Sejenak keduanya terdiam. Angin
yang berhembus terasa seolah-olah menjadi semakin dingin membelai tubuh mereka.
Kokok ayam jantan pun menjadi semakin
riuh pula. Ketika tanpa mereka sadari, mereka menengadahkan wajah mereka, maka
tampaklah warna kemerah merahan di langit. Karena Agung Sedayu tidak segera
menjawab, maka Ki Tanu Metir-lah yang kemudian berkata,
“Angger
Sedayu, aku kira Angger Agung Sedayu kini telah benar-benar menjadi seorang
laki-laki. Itulah sebabnya aku menduga, bahwa Angger tidak akan takut untuk
menjadi seorang prajurit. Sebelum Angger menjadi prajurit, Angger telah berani
terjun di medan-medan perang yang paling dahsyat. Angger telah ikut serta dalam
peperangan di Sangkal Putung dan di padepokan ini. Tetapi, agaknya yang paling
berat bagi Angger adalah keinginan Angger Untara, bahwa Angger harus memutuskan
hubungan dengan Angger Sekar Mirah. Adakah begitu?”
Betapa
dinginnya malam, namun baju Agung Sedayu telah dijalari oleh keringat yang
mengalir dari punggungnya. Terbata-bata ia menjawab,
“Ya, Kiai.”
“Hem,” Ki Tanu
Metir menarik nafas dalam-dalam,
“apakah Angger
tidak dapat melakukannya untuk sementara? Bukankah di saat-saat mendatang
kesempatan masih luas bagi Angger untuk dapat bertemu dan berhubungan dengan
Angger Sekar Mirah?”
Pertanyaan itu
tidak dapat segera dijawab oleh Agung Sedayu, perpisahan dengan Sekar Mirah
terasa terlampau berat baginya. Apalagi kalau hal itu dilakukan oleh Untara
hanya karena sekedar menyenangkan hati Wuranta. Maka hati Agung Sedayu menjadi
semakin tidak rela. Meskipun ia tahu peranan apa yang telah dilakukan oleh
Wuranta, seolah-olah kunci kemenangan peperangan di padepokan ini adalah di
tangan anak muda Jati Anom itu, namun ia tidak akan dapat melepaskan segala
macam unsur kemenangan yang lain. Itulah sebabnya, maka apabila kakaknya
terlampau memberatkan keputusannya kepada Wuranta, adalah tidak adil baginya. Karena
Agung Sedayu tidak segera menjawab, maka Ki Tanu Metir itu pun melanjutkan,
“Nah, aku kira
kau berkeberatan bukan?”
Tanpa
sesadarnya Agung Sedayu pun mengangguk. Ki
Tanu Metir yang tua itu dapat menangkap perasaan yang bergolak di dalam dada
muridnya. Betapa sakit dan pedih. Justru dalam umurnya yang masih terlampau
muda. Tiba-tiba Agung Sedayu mendengar gurunya bergumam,
“Angger
Sedayu, biarlah aku mencoba menolongmu. Aku akan berusaha supaya kau dapat
pergi ke Sangkal Putung bersama dengan Angger Swandaru dan Angger Sekar Mirah.”
“Kiai,” hanya
itulah yang terloncat dari mulutnya.
“Ya, aku akan
mencoba. Tetapi aku tidak tahu apakah usahaku akan berhasil. Meskipun dengan
demikian, Angger Untara pasti akan membuat penilaian atas diriku dan dirimu,
tetapi baiklah aku mencobanya. Tetapi untuk seterusnya, kau harus dapat membawa
dirimu. Sebagian dari keinginan kakakmu harus dapat kau penuhi. Kau sebaiknya
memang menjadi seorang prajurit.”
“Ya, Guru. Aku
sama sekali tidak berkeberatan menjadi seorang prajurit. Tetapi tidak segera.
Aku masih ingin mengantar Sekar Mirah kembali kepada ayah dan ibunya seperti
yang pernah aku janjikan.”
“Baiklah.
Sekarang Angger kembali saja ke pondok Angger. Aku akan pergi ke banjar untuk
berbicara dengan Angger Untara. Aku akan berbicara dengan caraku. Mudah-mudahan
Angger Untara dapat mengerti. Jangan cemas, bahwa kau akan terpaksa membunuh,
karena dicegat oleh orang-orang yang keras kepala itu.”
“Terima kasih,
Guru,” sahut Agung Sedayu.
“Nah, kalau
begitu, kita berpisah sampai di sini. Aku akan pergi ke banjar. Kalau Angger
Untara dapat mengerti, maka setidak-tidaknya perasaanmu menjadi agak tenang
karenanya.”
Maka
keduanya pun segera berpisah. Ki Tanu
Metir pergi ke banjar dan Agung Sedayu kembali ke pondoknya. Ketika ia sampai
ke pintu rumah, maka ia masih mendengar Swandaru dan Sekar Mirah
bercakap-cakap. Agaknya semalam suntuk mereka sama sekali tidak dapat tidur.
Pada saat yang
hampir bersamaan, Ki Tanu Metir pun
telah sampai pula di banjar padepokan. Tetapi banjar itu masih terlampau sepi.
Hanya para penjaganya sajalah yang masih tegak mondar-mandir di halaman, sedang
sebagian yang lain duduk mengelilingi sebuah pelita di atas ajug-ajug yang
tinggi di gardu peronda. Ketika Ki Tanu Metir sampai di halaman, maka langit di
ujung Timur telah menjadi semakin merah. Bayangan orang-orang yang sedang
bertugas itu pun telah menjadi semakin
jelas.
“Ah, Kiai,”
desah salah seorang dari mereka,
“masih
terlampau pagi, Kiai sudah datang kemari.”
Ki Tanu Metir
tersenyum. Jawabnya, “Aku takut kesiangan. Apakah Angger Untara ada?”
“Ada, Kiai,
tetapi agaknya Ki Untara masih tidur. Semalam adiknya berada di sini sampai
jauh malam, sehingga baru saja Ki Untara sempat beristirahat.”
Ki Tanu Metir
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Aku akan
menunggunya. Kalau begitu lebih baik aku duduk di gardu ini. Agaknya kalian
baru saja mendapat minuman hangat.”
Para peronda
itu tertawa,
“Marilah,
Kiai. Air sere dan jahe. Untuk mengusir dingin.”
Ki Tanu
Metir pun kemudian duduk di antara
mereka. Berbicara dengan para peronda itu. Bersenda-gurau dan berkelakar. Namun
setiap kali teringat oleh orang tua itu, muridnya yang sedang bingung karena
sikap kakaknya yang keras. Sikap seorang prajurit. Tetapi agaknya Untara sendiri
belum pernah merasakan, betapa sulitnya untuk mengurai ikatan yang telah
terlanjur membelit hati dari pertautan kasih antara dua orang remaja. Adalah
berbahaya sekali untuk mengurainya dengan paksa dan kekerasan. Itulah sebabnya,
ia harus menemui senapati muda yang hidupnya dicengkam oleh kepatuhan yang
keras akan tugas-tugasnya.
Dengan tidak
terasa, maka langit pun menjadi semakin
lama semakin terang. Bintang gemintang satu-satu lenyap dari wajah yang biru
membentang dari ujung ke ujung cakrawala. Ki Tanu Metir yang tubuhnya telah
dihangatkan oleh semangkuk air jahe, menggeliat. Dibenahinya kain gringsingnya.
Kemudian perlahan-lahan turun dari gardu.
“Ke mana,
Kiai?” bertanya salah seorang penjaga.
“Mungkin
Angger Untara telah bangun,” jawab Ki Tanu Metir.
“Aku belum
melihatnya. Biasanya, Ki Untara apabila bangun terus pergi ke sumur untuk
membersihkan diri.”
“Tetapi hari
telah pagi.”
“Agaknya ia
terlambat bangun. Tidak seorang pun yang
membangunkannya, karena setiap orang tahu, bahwa semalam ia hampir tidak
tertidur.”
Sekali lagi Ki
Tanu Metir menggeliat. Katanya, “Biarlah, aku akan menunggunya di pringgitan.”
“Kalau begitu,
silahkanlah, Kiai.”
Ki Tanu Metir
itu pun kemudian berjalan melintasi
halaman. Naik ke pendapa, kemudian masuk ke pringgitan. Untara yang baru saja
terbangun dari tidurnya terkejut melihai kehadiran Ki Tanu Metir begitu pagi.
“O, apakah
Kiai semalam tidur di banjar ini?” bertanya Untara.
“Tidak, Ngger,
semalam aku berjalan saja mengelilingi padepokan ini,”
“Dan sesudah
itu Kiai langsung datang kemari?”
Ki Tanu Metir
menggeleng, “Tidak, Ngger, aku sudah bertemu dengan Angger Agung Sedayu.”
Kening Untara
segera berkerut. Anak muda yang berotak tajam itu segera dapat mengerti, bahwa
kedatangan Ki Tanu Metir ini pasti berhubungan dengan adiknya, Agung Sedayu.
Karena itu, maka hatinya pun menjadi
berdebar-debar. Ternyata Agung Sedayu masih saja menjadi persoalan baginya.
Agaknya anak itu telah menyampaikan persoalannya kepada gurunya, dan gurunya
kini datang kepadanya untuk berusaha merubah sikapnya.
“Tidak,”
katanya di dalam hati,
“keputusanku
tentang Agung Sedayu telah tetap. Ia harus menjadi seseorang yang cukup
mempunyai pegangan. Ia harus mempunyai kedudukan yang baik sebelum ia tenggelam
dalam hubungan dengan perempuan. Sekar Mirah tidak akan dapat menjadikannya
seorang laki-laki yang baik. Hubungan itu hanya akan menghambat
kemajuan-kemajuan yang seharusnya dapat dicapainya. Ia memiliki bekal yang
cukup untuk memanjat ke tempat yang setinggi-tingginya. Ia kawan baik pula dari
Adi Sutawijaya, yang pasti akan berpengaruh bagi kedudukannya.”
Untara itu
tersadar ketika ia mendengar Ki Tanu Metir bertanya,
“Apakah Angger
akan membersihkan diri dahulu?”
“Oh,” Untara
segera bangkit, “agaknya aku agak kesiangan.”
“Belum,” sahut
Ki Tanu Metir.
Untara pun kemudian segera bangkit dan berjalan
keluar untuk sesuci diri, bersama Ki Tanu Metir dan Wuranta. Sejenak kemudian
maka mereka pun telah duduk berhadapan
di atas bentangan tikar pandan. Wuranta yang telah selesai pula segera duduk di
antara mereka.
“Kiai datang
terlampau pagi,” bertanya Untara,
“dan aku
menjadi berdebar-debar karenanya. Mungkin ada sesuatu hal yang cukup penting
yang akan Kiai katakan.”
“Ya,” jawab Ki
Tanu Metir pendek.
Jawaban itu
telah mengejutkan Untara dan bahkan Wuranta. Mereka tidak menyangka, bahwa
jawaban Ki Tanu Metir akan terlampau pendek dan langsung. Apalagi ketika Ki
Tanu Metir kemudian berkata,
“Aku telah
mendengar semuanya dari Angger Agung Sedayu tentang keputusan Angger Untara
mengenai dirinya.”
Untara mengerutkan
keningnya. Perlahan-lahan ia mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi hatinya
masih juga berdebar-debar. Sudah dapat diduga sebelumnya, bahwa guru Agung
Sedayu pasti akan selalu mencampuri urusannya dengan adiknya itu, seperti juga
Ki Tanu Metir mencampuri urusan keprajuritan. Tetapi Untara tidak dapat
menolak. Ki Tanu Metir telah terlampau banyak memberikan jasa-jasanya
kepadanya, sejak peperangan-peperangan yang terjadi di Sangkal Putung. Bahkan
sebelum itu. Ketika ia hampir mati di jalan ke Sangkal Putung dari Jati Anom,
di dekat Macanan ia telah bertemu dengan Pande-besi Sendang Gabus, Alap-alap
Jalatunda dan kawan-kawannya.
Seandainya Ki
Tanu Metir tidak melindunginya saat itu, ia pasti sudah mati dicincang oleh
Plasa Ireng, dan adiknya telah lumat oleh Alap-alap Jalatunda.
“Tetapi
sebaiknya Ki Tanu Metir tidak mencampuri terlampau banyak persoalan
keluargaku,” desisnya di dalam hati.
Karena Untara
tidak segera menjawab, maka Ki Tanu Metir itu berkata pula,
“Dan adikmu,
Angger Agung Sedayu, kini menjadi sangat bingung.”
Untara menarik
nafas dalam-dalam. Sejenak kemudian ia bertanya,
“Apakah yang
dibingungkannya?”
“Perintahmu,
Ngger.”
“Seharusnya
Agung Sedayu tidak usah menjadi bingung. Semuanya telah jelas. Dan ketika aku
bertanya kepadanya, ia mengiakannya. Semuanya telah dimengertinya.”
“Seharusnya
Angger dapat mengerti, bahwa hal itu dilakukannya, karena ia begitu takut dan
hormat kepada Angger sebagai seorang saudara tua pengganti ibu bapa. Tetapi
perintah Angger telah menyudutkannya dalam suatu pertentangan perasaan yang
hampir-hampir tidak dapat dipecahkanya.”
Dahi Untara
menjadi berkerut-merut, karena debar di dadanya seolah-olah mengguncang
jantungnya. Dan demikian derasnya getar di dadanya itu, sehingga ia bertanya,
“Apakah Kiai
tidak sependapat dengan perintahku kepada adikku itu.”
Ki Tanu Metir
yang juga menyebut dirinya Kiai Gringsing itu tidak segera menjawab. Tetapi
ditatapnya wajah Untara tajam-tajam. Seolah-olah ingin membaca apa yang
tersirat di wajah anak muda Senapati Wira Tamtama, yang mendapat kekuasaan
untuk menyelesaikan masalah orang-orang Jipang di daerah Selatan di sekitar
Gunung Merapi. Betapa besarnya nama Untara, dan betapa tangguhnya ia di
medan-medan perang menghadapi lawannya, tetapi tatapan mata Ki Tanu Metir itu
terasa terlampau tajam baginya, sehingga sesaat kemudian Senapati muda itu
menggeser sudut pandangnya. Tetapi jawaban Ki Tanu Metir telah mengejutkannya.
Perlahan ia mendengar Ki Tanu Metir itu menjawab,
“Aku
sependapat dengan kau, Ngger.”
Sejenak Untara
justru terbungkam. Ia tidak segera dapat mengucapkan kata-kata. Dan didengarnya
Ki Tanu Metir itu berkata selanjutnya,
“Tetapi, cara
yang Angger tempuh, bagiku terlampau tajam, sehingga Angger sama sekali tidak
memberi kesempatan kepada Angger Agung Sedayu mencari jalan yang agak lapang
bagi perasaannya.”
Untara menarik
nafas dalam-dalam. Ketika debar jantungnya telah menjadi agak tenang, maka
ia pun bertanya,
“Jadi,
bagaimanakah yang sebaiknya aku lakukan?”
Ki Tanu Metir
mengangguk-anggukkan kepalanya. Ditatapnya wajah Untara berganti-ganti dengan
wajah Wuranta yang tegang pula. Sesaat kemudian ia berkata,
“Angger adalah
seorang prajurit di medan perang. Angger terlampau biasa menjatuhkan perintah
yang langsung tanpa aling-aling. Tetapi masalah Angger Agung Sedayu, agak
berbeda dengan keadaan yang sering Angger hadapi. Seandainya Angger Agung
Sedayu melakukan juga perintah Angger Untara, namun hatinya pasti akan terluka.
Dan luka yang demikian itu akan sangat berbahaya, justru usianya yang masih
terlampau muda.”
Untara mengerutkan
keningnya. Katanya,
“Apakah yang
Kiai maksud? Apakah aku harus memutar balikkan kata-kataku sehingga malahan
Agung Sedayu tidak tahu maksudnya.”
“Bukan begitu,
Ngger,” jawab Ki Tanu Metir,
“tetapi Angger
memerlukan kebijaksanaan. Maksud Angger tercapai, tetapi hati adik Angger itu
tidak terluka karenanya. Luka yang akan dapat menjadi cacat sepanjang
hidupnya.”
“Ah, itu
terlampau cengeng, Kiai,” sahut Untara,
“apabila Agung
Sedayu benar-benar seorang jantan, maka hal itu pasti tidak akan terjadi
atasnya. Seorang yang berpikir cukup jauh, mempertimbangkan
kepentingan-kepentingan yang jauh lebih besar dari yang terlampau kecil.
Bukankah Kiai mencemaskan Agung Sedayu akan menjadi patah hati? Mungkin itu
akan terjadi. Tetapi itu tidak akan lama. Ia seharusnya dapat mengatasinya. Ia
harus bangkit dan melupakan hubungan itu. Dan ia harus menyadari bahwa hubungan
itu hanya akan menghambat kemajuannya. Lahir dan batin. Dan ia akan berhenti
sampai keadaannya yang sekarang. Kemudian, ia akan kehilangan masa depannya. Ia
akan terhenti dan segera akan kawin. Menjadi seorang ayah, dan waktu-waktunya
akan hilang di sawah dan ladang. Maka, apakah artinya masa mudanya itu baginya
nanti? Mungkin ia akan dapat menjadi seorang Jagabaya. Setinggi-tingginya
seorang Demang apabila beruntung. Tetapi tidak lebih dari itu.”
Kata-kata
Untara terputus ketika tiba-tiba dilihatnya wajah Ki Tanu Metir berubah. Wajah
yang telah dilukisi oleh kerut-merut ketuaannya itu tiba-tiba menjadi tegang.
Tetapi hanya sesaat. Orang tua itu berusaha sekuat-kuatnya untuk menahan
perasaannya. Dan sejenak kemudian orang tua itu tersenyum.
“Ternyata
Angger memandang dunia ini hanya dari satu sudut,” berkata orang tua itu
kemudian.
Untara
mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak segera menjawab. Dibiarkannya orang tua
itu meneruskannya,
“Angger
memandangnya dari sudut Angger sendiri.” Sekali lagi orang tua itu terhenti,
lalu dilanjutkannya.
“Aku pun hanya
seorang dukun tua yang tidak berarti apa-apa, Ngger. Bahkan mungkin jauh di
bawah arti seorang Jagabaya apalagi seorang Demang.”
“Ah,” Untara
berdesah,
“bukan
maksudku, Kiai. Tetapi Kiai adalah seorang yang mumpuni di dalam bidang yang
telah Kiai pilih. Kiai agaknya tidak menyia-nyiakan hari-hari Kiai di masa muda
yang sangat berharga itu, sehingga Kiai mendapatkan kemampuan Kiai seperti
sekarang. Tidak hanya di bidang pengobatan, tetapi ternyata Kiai adalah seorang
yang berilmu hampir sempurna.”
“Hem,” Ki Tanu
Metir menarik nafas dalam-dalam. Seleret dikenangnya masa-masa mudanya. Tetapi
sekali lagi ia mencoba mengekang perasaannya. Masa muda itu tidak begitu cerah
baginya. Masa yang ingin sekali dapat dilupakannya. Tetapi kadang-kadang
kenangan atas masa-masa itu membersit di hatinya.
“Masa-masa
yang kelam,” desisnya.
“Mudah-mudahan
orang lain tidak akan mengalaminya.”
Tetapi
ternyata kenangannya di masa muda yang seolah-olah selalu disembunyikannya itu,
telah mendorongnya untuk lebih banyak berbuat untuk menyelamatkan perasaan
muridnya, sehingga ia kemudian berkata,
“Sudahlah,
Ngger. Mungkin pendirian Angger itu pun dapat dibenarkan. Dengan demikian maka
kesempatan Angger Agung Sedayu akan lebih luas terbuka. Tetapi apabila ia mampu
mengatasi hambatan yang tumbuh di dalam dirinya sendiri. Karena itu, Ngger, aku
ingin maksud Angger itu tercapai dengan tidak usah menyakiti hatinya.”
“Maksud Kiai?”
“Angger tidak
usah dengan tergesa-gesa melarangnya berhubungan dengan Angger Sekar Mirah.”
“Ah,” Untara
berdesah,
“itu adalah
hambatan yang paling besar baginya.”
“Seandainya
Angger mengingininya, tetapi jangan dilakukan dengan paksa. Angger harus
mencari jalan sebaik-baiknya untuk melakukannya. Aku mengerti maksud Angger,
tetapi aku tidak dapat sependapat dengan cara yang Angger tempuh.”
Dahi Untara
menjadi berkerut-merut mendengar kata-kata Ki Tanu Metir itu. Seandainya yang
berkata itu bukan Kiai Gringsing, yang telah banyak berjasa, tidak saja
kepadanya, tetapi juga kepada pasukan Pajang di Sangkal Putung. Dengan demikian
maka dada Untara itu serasa menjadi pepat. Ia tidak segera dapat memilih jalan
yang sebaik-baiknya untuk menentukan sikap. Sejenak pringgitan banjar padepokan
Tambak Wedi itu menjadi sepi. Yang terdengar hanyalah desah nafas mereka yang
sedang ditegangkan oleh persoalan yang mereka bicarakan.
Baru sejenak
kemudian terdengar Untara bertanya,
“Lalu cara
yang manakah yang Kiai anggap sebaik-baiknya.”
“Aku mengharap
agar Angger melakukannya dengan perlahan,” jawab Ki Tanu Metir.
“Mustahil
dapat terjadi,” bantah Untara,
“bahkan
hubungan mereka akan menjadi semakin erat dan mendalam. Sesudah itu tidak ada
jalan lagi untuk memisahkannya. Agung Sedayu tidak lagi dapat berpikir wajar.
Seluruh hidupnya akan diikat oleh wanita itu. Badannya dan nyawanya. Kebanggaan
baginya adalah mempertahankan perempuan itu. Dan anak itu tidak akan ingat lagi
bahwa perjuangan masih jauh untuk mewujudkan Pajang yang besar dan kuat.”
“Aku akan
melakukannya,” jawab Ki Tanu Metir tenang, namun cukup mengejutkan hati Untara,
“aku akan
mencoba membuat Angger Agung Sedayu menjadi seorang yang baik, yang berguna bagi
negara dan tanah kelahiran. Aku tidak mempedulikannya, apakah ia masih akan
tetap berhubungan dengan Sekar Mirah atau tidak. Seandainya ia terpisah dari
padanya pun, maka adalah menjadi kodrat seorang laki-laki untuk memilih seorang
perempuan menjadi kawan hidupnya. Tetapi apabila keinginan Angger Untara untuk
membuat Angger Agung Sedayu seorang yang kuat dalam kedudukan dan kanuragan,
maka serahkanlah kepadaku. Maksudku, Sekar Mirah tidak akan merintanginya atau
menjadi penghalangnya, meskipun mereka masih tetap berhubungan. Seharusnya
Angger dapat membaca tabiat dan sifat Angger Sekar Mirah. Kalau yang Angger
Untara bicarakan adalah mengenai kedudukan, pangkat, jabatan dan apa lagi, maka
Angger Sekar Mirah akan dapat menjadi pendorong yang baik. Tetapi kalau soalnya
lain, maka harus diutarakan agar hal itu dapat terjadi perlahan-lahan tanpa
melukai hatinya seperti yang telah aku katakan.”
Wajah Untara
menjadi semakin tegang mendengar kata-kata Kiai Gringsing itu, dan Kiai Gringsing
ternyata masih melanjutkan.
“Seandainya
Angger ingin melihat Angger Agung Sedayu tidak lagi berhubungan dengan Angger
Sekar Mirah pun, aku akan mencoba mengusahakannya pula, tetapi tidak dengan
tiba-tiba.”
Ketegangan di
dada Untara telah memuncak. Sehingga sejenak ia kehilangan penguasaan diri.
Dengan gemetar ia berkata,
“Kiai, biarlah
aku mengatur jalan hidup Agung Sedayu. Aku adalah kakaknya, pengganti ibu
bapa.”
Seleret
membersitlah dari sepasang mata orang tua yang bening itu, sorot yang tajam,
yang seolah-olah langsung menghunjam ke jantung Untara. Tetapi sesaat kemudian
sepasang mata itu telah menjadi lunak kembali. Bahkan orang tua itu tersenyum
sambil menjawab,
“Maaf, Ngger.
Kau adalah kakak Angger Agung Sedayu, kau adalah satu-satunya keluarganya yang
tinggal. Tetapi sebaiknya Angger ingat bahwa aku adalah gurunya.”
Dada Untara
berdesir mendengar jawaban Ki Tanu Metir itu.
“Ya, orang tua
itu adalah gurunya.”
Untara menarik
nafas dalam-dalam. Ia mencoba untuk menguasainya dirinya yang seolah-olah telah
terbakar oleh perasaan kecewanya terhadap sikap Ki Tanu Metir yang terlampau
banyak mencampuri urusannya. Tetapi orang tua itu adalah gurunya. Wewenang
seorang guru kadang-kadang melampaui wewenang orang tua sendiri terhadap
seseorang. Seseorang kadang-kadang lebih taat mematuhi perintah gurunya dari
pada orang tuanya. Dan Ki Tanu Metir itu adalah guru Agung Sedayu.
“Tetapi,”
suatu pergolakan telah terjadi di dalam dada Untara,
“aku mempunyai
seribu pertimbangan untuk memisahkan Sekar Mirah dari Agung Sedayu. Kecuali
untuk kepentingan Agung Sedayu sendiri, maka persoalannya dengan Wuranta pasti
tidak akan dapat selesai dengan baik. Padahal keduanya adalah anak-anak Jati
Anom. Perselisihan itu mau tidak mau pasti akan menyentuh namaku pula, apalagi
apabila keduanya menjadi lupa diri. Sedang keduanya sama sekali tidak seimbang
dalam olah kanuragan. Kalau Agung Sedayu kehilangan pengendalian diri, maka
akibatnya akan memalukan sekali. Aku pun
pasti akan terpercik pula karenanya.”
Tetapi Untara
tidak dapat segera mengatakannya. Betapa hatinya bergolak, tetapi ia masih
tetap menyadari, bahwa yang duduk itu adalah Ki Tanu Metir. Orang yang telah
menyelamatkan jiwanya, dan jiwa adiknya, Agung Sedayu. Itulah sebabnya, maka
dada Untara itu seolah-olah akan meledak. Ia dihadapkan pada suatu persoalan
yang baginya jauh lebih rumit dari persoalan Tohpati di Sangkal Putung. Bahkan
ia mengeluh di dalam hatinya,
“Seandainya
tidak ada Sekar Mirah. Seandainya gadis itu tidak terlibat dalam persoalan
antara Pajang dan sisa-sisa orang Jipang.”
Sekali lagi
pringgitan itu dicengkam oleh kesepian. Tetapi betapa dada mereka dibakar oleh
debar jantung masing-masing yang bergolak seperti kawah gunung Merapi. Titik-titik
keringat telah membasahi dahi mereka. Dan punggung mereka pun telah menjadi basah, seakan-akan mereka
baru saja menyelesaikan pekerjaan yang terlampau berat. Tetapi ternyata dari
kening Wuranta titik-titik keringat itu telah menetes satu-satu di atas tikar
pandan yang telah menjadi kekuning-kuningan. Bibirnya tampak bergetar, secepat
getar di dalam dadanya. Ada sesuatu yang ingin dikatakannya, tetapi serasa
tersangkut di kerongkongan, sehingga dengan demikian, maka wajahnya pun menjadi semakin tegang.
Kiai Gringsing
yang telah cukup banyak menyimpan pengalaman di dalam dadanya, dapat membaca
betapa dada anak muda itu hampir retak karena tekanan perasaan yang tidak dapat
dilimpahkannya keluar. Karena itu, maka sambil tersenyum ia berkata,
“Angger
Wuranta, agaknya Angger ingin mengatakan sesuatu. Tetapi Angger merasa
terlampau berat untuk melepaskannya. Katakanlah, Ngger, supaya dadamu tidak
menjadi pepat, dan kepalamu menjadi pening. Apakah yang kau katakan itu dapat
kami mengerti atau tidak, itu adalah soal yang lain. Namun dengan demikian,
dadamu pasti akan menjadi agak lapang karenanya.”
Wuranta
menelan ludahnya yang seolah-olah menyumbat kerongkongannya. Sekali
dipandanginya dukun tua itu, dan sekali senapati muda yang bernama Untara itu.
Namun tatapan mata mereka terlampau tajam baginya, sehingga anak muda Jati Anom
itu menundukkan kepalanya. Tetapi terdengar suara lirih terputus-putus,
“Ya, Kiai. Aku
memang ingin mengatakan sesuatu.”
“Nah,
katakanlah. Mungkin Angger dapat membantu melepaskan keruwetan ini,” sahut Ki
Tanu Metir.
Tetapi dahi
Untara menjadi semakin berkerut-merut. Apabila Wuranta menuntut supaya ia
melaksanakan keputusannya, maka perasaannya pasti akan menjadi semakin kisruh.
Ternyata Ki Tanu Metir mempunyai rencananya sendiri atas muridnya yang tidak
sesuai dengan rencananya. Persoalan itu adalah persoalan yang paling rumit yang
membebani pikirannya. Persoalan Agung Sedayu dan Wuranta, yang berkisar di
seputar gadis Sangkal Putung yang bernama Sekar Mirah, yang langsung atau tidak
langsung telah menghancurkan Tambak Wedi karena pertentangan yang tumbuh di
dalam tubuh padepokan ini karena gadis itu pula. Sehingga Sidanti dan Alap-alap
Jalatunda telah berkelahi, dan yang masing-masing telah menyeret orang-orangnya
ke dalam perkelahian yang dahsyat itu.
“Pertentangan
yang demikian itu masih akan terulang?” desisnya di dalam hati,
“Apakah Agung
Sedayu dan Wuranta akan menyeret pihak masing-masing pula untuk saling
bertentangan?”
Untara menahan
nafasnya ketika ia mendengar Ki Tanu Metir berkata,
“Silahkan
Ngger, silahkan. Katakanlah.”
Wuranta
menggigit bibirnya. Keringatnya semakin deras mengalir di keningnya. Dan
bajunya pun menjadi semakin kuyup pula.
“Kiai,” terdengar
suaranya lambat sekali,
“aku minta
maaf.”
Kiai Gringsing
dan Untara menarik kening mereka. Kata-kata itu telah membuat mereka keheranan.
Dan terdengarlah Kiai Gringsing bertanya,
“Kenapa Angger
minta maaf? Bukankah sudah seharusnya dalam suatu pembicaraan masing-masing
pihak mengemukakan pendiriannya?”
Tetapi nafas
Wuranta menjadi semakin deras mengalir. Sekali lagi ia berkata,
“Aku minta
maaf. Aku sama sekali tidak bermaksud membuat kekisruhan ini.”
Ki Tanu Metir
dan Untara menjadi semakin heran. Sejenak mereka justru terdiam memandangi
wajah Wuranta yang telah dibasahi oleh keringatnya. Tetapi sejenak kemudian, Ki
Tanu Metir menarik nafas panjang. Perlahan-lahan ia mengangguk-anggukkan
kepalanya. Sareh ia berkata,
“Tenanglah,
Ngger. Coba katakanlah, apakah yang sebenarnya tersimpan di hati Angger
sejelas-jelasnya. Jangan ragu-ragu, dan jangan mencemaskan apa pun akibat dari
kata-katamu.”
Wuranta masih
menundukkan kepalanya. Bahkan tubuhnya menjadi gemetar oleh getaran di dalam
dadanya.
“Untara,”
katanya perlahan-lahan,
“aku merasa
bersalah, bahwa aku telah mengganggu ketenanganmu. Selama aku mendengar
pembicaraanmu dengan Ki Tanu Metir, aku merasa bahwa aku telah berbuat
kesalahan yang besar terhadap Agung Sedayu. Karena itu, maka jangan kau
hiraukan aku lagi. Aku menyadari, bahwa tidak seharusnya aku melibatkan diri
dalam hidupnya. Aku memang terlampau jauh tenggelam ke dalam suatu dunia mimpi
yang memabukkan, sehingga aku telah melupakan tata pergaulan di antara kawan
sendiri. Untara, seharusnya aku menjadi malu sekali bahwa hal ini telah
terjadi. Karena itu, hanya kepadamu dan kepada Ki Tanu Metir aku mengaku.
Pembicaraanmu yang terakhir ternyata telah membuka hatiku. Aku tidak berhak
untuk mengganggu hubungan Agung Sedayu dengan Sekar Mirah. Aku telah merasakan
betapa pahitnya kehilangan tanpa memilikinya. Apalagi Agung Sedayu. Agaknya
hati mereka memang telah terpaut. Karena itu, lupakan saja aku. Jangan kau
hiraukan aku lagi.”
“Wuranta,”
terdengar suara Untara pun tiba-tiba menjadi bergetar. Tetapi Untara tidak
meneruskan kata-katanya.
Sekali lagi
pringgitan itu menjadi sepi. Sekali lagi nafas-nafas mereka terdengar memenuhi
ruangan itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar