Bahkan di sudut-sudut desa di kejauhan masih mungkin pula berdiri orang-orangnya yang sedang mengawasi keadaan di sekitarnya. Perlahan-lahan Swandaru meluncur turun. Dengan mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata,
“Ya, Kiai
benar. Mereka sudah bersepuluh sekarang. Mungkin masih akan tambah lagi”
“Nah, karena
itu, maka sebaiknya kalian tidak tergesa-gesa menentukan sikap apabila kalian
menghadapi sesuatu. Cobalah membuat perhitungan-perhitungan yang cermat, baru
kalian menentukan sikap. Tetapi itu tidak berarti bahwa kalian harus
membuang-buang waktu untuk itu. Kalian perlu berpikir cepat dan tepat”
Agung Sedayu
dan Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya mereka. Tetapi dalam pada itu Agung
Sedayu bertanya pula,
“Tetapi Kiai,
bukankah yang mereka katakan itu bohong belaka? Apakah benar bahwa orang-orang
Pajang dan Sangkal Putung selalu berbuat sedemikian kasarnya terhadap
penduduk?”
“Tentu tidak
ngger”
“Tetapi
orang-orang itu mengatakannya. Mereka berpura-pura menjadi orang Pajang. Dan
berbuat hal-hal yang jelek atas penduduk”
Ki Tanu Metir
tersenyum.
“Namun dengan
demikian bukankah kita dapat mengetahuinya, salah sebuah cara yang mereka
tempuh? Mereka ternyata tidak saja berperang dengan pedang dan tombak, namun
mereka mempergunakan cara-cara yang licik untuk mengurangi kekuatan prajurit
Pajang dan laskar Sangkal Putung dengan memisahkan mereka dari penduduk di
sekitarnya. Dan pengetahuan kita atas cara itu adalah sangat penting. Angger
Untara dan Angger Widura harus segera mengetahuinya pula”
Kembali Agung
Sedayu dan Swandaru mengangguk-anggukkan kepala mereka. Dan sekali lagi mereka
menyadari kekurangan mereka. Ternyata orang tua itu telah berbuat menurut
pertimbangan yang semasak-masaknya. Dalam pada itu maka Ki Tanu Metir itu
berkata pula,
“Nah ngger,
untuk menghindari kemungkinan-kemungkinan yang kurang baik, maka marilah kita
meninggalkan tempat ini segera. Aku tidak dapat memastikan apakah mereka akan
kembali atau tidak. Namun apabila mereka kemudian berbicara di antara mereka,
dan diketemukannya persoalan-persoalan yang mereka anggap kurang wajar, maka
mereka pasti akan segera kembali. Karena itu, maka marilah kita segera
menyingkir”
Swandaru dan
Agung Sedayu mengangguk dan hampir bersamaan mereka menjawab,
“Marilah Kiai”
Ki Tanu Metir
itu pun kemudian berdiri. Dan segera kembali ia meloncat dari satu batu kebatu
yang lain. Namun kali ini ia berkata,
“Kalian tidak
perlu menginjak batu bekas kakiku. Pilihlah sendiri batu-batu mana yang mungkin
kalian loncati. Namun kalian dapat melihat, bagaimana caraku meloncat. Cara ini
pun nanti akan sangat berguna bagi kalian dalam langkah-langkah unsur-unsur
gerak yang akan kalian pelajari”
Swandaru
menarik nafas panjang. Ia tidak perlu lagi jatuh terguling ke dalam air. Kini
ia dapat memilih batu-batu yang tidak sesulit langkah Ki Tanu Metir. Namun
meskipun demikian sekali-sekali ia masih juga harus terjun ke dalam air,
meskipun tidak terpelanting jatuh.
Ternyata Agung
Sedayu lebih lincah dari Swandaru. Kecakapannya dan bekalnya masih agak lebih
banyak dari saudara seperguruannya yang gemuk bulat itu. Bahkan dalam olah
senjata pun Agung Sedayu terpaut cukup jauh dari Swandaru. Dan inilah kesulitan
Ki Tanu Metir. Namun ia adalah orang yang berpengalaman, sehingga kesulitan itu
pun pasti akan dapat di atasinya.
Ketika mereka
mendekati padukuhan Sangkal Putung, dan ketika mereka sudah sampai di sekitar
tanah persawahan yang sedang digarap, maka mereka pun segera berhenti. Mereka
kemudian berjalan sebagaimana biasa menyelusur tepian memasuki padukuhan
Sangkal Putung. Tetapi ketika seseorang melihat mereka, maka tiba-tiba orang
itu tertawa terkekeh-kekeh. Mereka segera mengenal Swandaru dan Agung Sedayu.
Tetapi bahwa mereka basah kuyup adalah sangat menggelikan.
“Anakmas
Swandaru, kenapa kau menjadi basah kuyup?”
Swandaru
tersenyum lucu sekali. Dengan singkat ia menjawab,
“Mandi”
“Apakah kalian
mandi dengan seluruh pakaian kalian? Dengan ikat kepala kaian dan kamus timang
segala?”
“Ya”
“Tanpa membuka
baju dan kain panjang?”
“Aku tejatuh,
tahu” potong Swandaru.
“Bertiga?”
“Ya, bertiga.
Kami berjatuhan ke dalam sungai”
Orang itu
tertawa berkepanjangan. Namun Swandaru tidak memperdulikannya lagi. Mereka
bersama berjalan tergesa-gesa lewat pinggir kali, kemudian menyusuri parit
sidatan yang akan sampai di belakang rumah Swandaru Geni. Ketika mereka naik
pinggiran susukan itu, maka Swandaru itu pun mengumpat-umpat. Regol belakang
ternyata ditutup rapat-rapat. Dengan jengkelnya Swandaru memukul-mukul pintu
regol itu. Namun tidak seorang pun yang mendengarnya.
“Gila
orang-orang Sangkal Putung” desahnya.
“Marilah kita
lewat jalan samping” ajak Agung Sedayu.
“Tidak mau”
jawab Swandaru,
“Pakaian kita
basah kuyup. Mereka, seisi halaman pasti akan mentertawakan kita”
“Lalu
bagaimana?”
Swandaru
berpikir sejenak. Lalu tiba-tiba ia berjalan mendekati sebatang pohon randu
diluar regol halamannya. Lewat pohon itu ia memanjat ke atas. Kemudian dengan
susah payah ia mencoba menggapai dinding halaman, namun ternyata ia tidak
berhasil.
“Bagaimana?”
bertanya Agung Sedayu.
Swandaru
menggeleng, “Sulit” desahnya.
“Turunlah,
biar aku mencobanya” berkata Agung Sedayu.
“Huh. Sejak
kecil aku sudah pandai memanjat. Kali ini aku tidak dapat meloncati jarak ini.
Apakah kau pikir kau lebih pandai daripadaku?”
“Aku hanya
akan mencoba” jawab Agung Sedayu.
Swandaru itu
pun kemudian meloncat turun. Kini Agung Sedayu lah yang mencobanya. Namun ia
pun tidak juga berhasil. Ki Tanu Metir yang melihat mereka berdua sibuk dengan
pohon randu itu tersenyum. Kemudian katanya,
“Turunlah
ngger. Biarlah aku mencoba pula”
Agung Sedayu
pun turun pula dari pohon itu. Namun mereka berdua, Agung Sedayu dan Swandaru
menjadi heran pula di dalam hatinya, apakah Ki Tanu Metir juga cekatan memanjat.
Namun ternyata orang tua itu pun masih sangat lincahnya. Dengan cepat ia
melonjak naik, seperti seekor tupai. Jauh lebih cepat dari Swandaru dan Agung
Sedayu. Tetapi Ki Tanu Metir itu tidak berhenti ketika ia telah mencapai
ketinggian yang sejajar dengan dinding halaman. Ia masih naik lagi beberapa
depa. Kemudian dengan lincahnya orang tua itu berjejak pada batang randu itu
dan melenting hinggap di atas dinding halaman yang cukup tinggi itu. Sekali
lagi Swandaru harus melihat bahwa kelincahan orang tua itu benar-benar
mengagumkan. Bahwa tidak saja kekuatan tubuhlah yang menentukan segala-galanya.
Namun kecekatan dan kelincahan akan banyak dapat membantu dalam segala
persoalan jasmaniah. Ki Tanu Metir itu pun kemudian meloncat dan menghilang di
belakang dinding, sedang sesaat kemudian regol dinding itu pun terbuka,
“Masuklah”
berkata orang tua itu.
Swandaru dan
Agung Sedayu segera melangkah masuk. Meskipun mereka tidak berkata apapun,
namun di dalam kepala Swandaru semakin tajamlah pengakuannya atas seorang yang
menamakan diri Ki Tanu Metir itu. Bahwa apa yang telah diperlihatkan kepadanya
barulah sebagian kecil dari segenap ilmunya. Dan karena itulah maka ia menjadi
semakin mantap berguru kepadanya.
Jauh dari
padukuhan Sangkal Putung, Tohpati berjalan sambil menundukkan wajahnya,
rombongannya semakin lama menjadi semakin banyak, sehingga akhirnya sampai pada
duapuluh orang. Tidak banyak di antara mereka yang bercakap-cakap. Sekali dua
kali terdengar ada yang berbisik-bisik di antara mereka. Namun kemudian kembali
mereka berdiam diri. Dalam perjalanan itu, hati Tohpati selalu diganggu seja
oleh pertanyaan-pertanyaan yang didengarnya dari Ki Tanu Metir,
“Ya” gumamnya
di dalam hati, “Berapa tahun pertempuran ini akan berakhir?”
Tohpati itu
pun kemudian berpaling. Dilihatnya beberapa wajah anak buahnya yang kosong.
Kosong seperti otak mereka yang kosong pula.
“Apakah
kepentingan mereka bertempur?” desis Tohpati di dalam hatinya,
“Apakah mereka
tahu juga, bahwa kami sedang melepaskan dendam kami atasa gugurnya Adipati
Jipang?”
Tohpati itu
pun terkejut sendiri mendengar kata-kata hatinya,
“Dendam. Ya.
Ternyata mereka kini tinggal mencoba untuk melepaskan dendam semata-mata.
Seperti kata-kata orang tua di tengah-tengah sungai itu. Sebab mereka sudah
pasti tidak akan dapat mencapai apa yang sejak semula mereka perjuangkan
mati-matian. Kembalinya tahta pada garis keturunan Sekar Seda Lepen yang
terbunuh sebelum sempat duduk di atas singgasana.”
Macan
Kepatihan itu berdesah di dalam hatinya. Apakah sudah sewajarnya kalau ia
membawa orang-orang yang tidak tahu-menahu itu ke dalam suatu peperangan yang
tak akan kunjung habis. Sedang ia tahu pasti bahwa akhir dari perjuangan ini
bukanlah suatu yang dapat dibangga-banggakan. Bagi dirinya sendiri, sudah pasti
tidak ada jalan kembali. Namun bagi orang-orangnya yang tidak banyak mengetahui
tentang Arya Penangsang dan tuntutan-tuntutannya?
Tiba-tiba
Macan Kepatihan itu mengumpat,
“Setan. Orang
tua itu bukan orang yang tolol”
Sanakeling
terkejut. Selangkah ia menyusul maju dan bertanya,
“Kenapa?”
Macan
Kepatihan menggeram dengan marahnya. Langkahnya tiba-tiba terhenti dan dengan
kepala tengadah ia mengulangi kata-katanya,
“Orang tua di
tengah sungai itu benar-benar bukan orang bodoh.” Sanakeling mengangkat
alisnya. Kata-kata Tohpati itu mengherankannya. Apakah yang sebenarnya menarik
pada orang tua itu? Tohpati telah memberi kesan kepada orang tua itu
seolah-olah orang Pajang lah yang selalu datang ke padesannya dan merampas
beras. Bukankah itu sudah memberikan suatu keuntungan. Kalau orang tua itu
menyebarluaskan kata-kata Tohpati, maka mereka, penduduk Benda pasti akan
membenci laskar Pajang dan setidak-tidaknya akan mengurangi bantuan mereka
kepada orang-orang Pajang. Sehingga orang-orang Benda tidak lagi akan
memberikan banyak keterangan tentang gerakan-gerakan Tohpati yang dapat mereka
lihat dan mereka ketahui.
Tetapi
Sanakeling itu menjadi semakin terkejut ketika Tohpati berkata,
“Ternyata
kitalah yang bodoh. Bukan orang tua itu”
“Siapakah
orang tua itu menurut dugaanmu?” bertanya Sanakeling.
Macan
Kepatihan menggeleng,
“Aku tidak
tahu. Tetapi orang itu memberikan suatu kesan yang aneh di dalam hatiku. Ia
bukan tidak sengaja mengajukan berbagai pertanyaan dan pasti bukanlah kebetulan
kalau mereka berada di tempat itu di siang hari begini”
Sanakeling
tidak bertanya lagi. Namun ia benar-benar heran ketika ia melihat mata Tohpati kemudian
menjadi suram.
“Apakah kita
akan kembali lagi ke sungai itu untuk meyakinkan diri?”
Tohpati
menggeleng,
“Tidak ada
gunanya. Mereka pasti telah pergi. Mereka pasti bukan orang-orang Benda. Dan
anak-anak muda itu pasti bukan cucunya. Aku terpengaruh melihat mereka basah
kuyup, sehingga aku kehilangan kewaspadaan dalam mengamati mereka. Sekarang aku
baru membayangkan kembali kedua anak muda itu. Matanya bersinar tajam. Mulutnya
terkatub rapat. Namun mereka duduk dengan suatu kepastian di dalam hati mereka.
Mereka duduk terlalu tenang dan mereka sama sekali tidak keheranan melihat
kita. Yang bertubuh kecil agaknya seorang anak muda yang tenang dan menyimpan
sesuatu di dalam tubuhnya, sedang yang gemuk rasa-rasanya aku pernah
melihatnya”
“Dimana?”
Macan Kepatihan
berpikir sejenak. Dicobanya untuk mengingat-ingat kapan ia melihat anak muda
itu. Tetapi anak muda itu basah kuyup seluruh pakaiannya, sehingga memberikan
kesan, seakan-akan anak itu benar-benar seorang anak padesan yang bodoh. Namun
setelah Tohpati dengan segenap daya ingatnya mencoba mengenalnya, maka
tiba-tiba Macan Kepatihan itu berteriak,
“Gila!. Kita
tidak saja bodoh, tetapi kita sudah benar-benar gila, Sanakeling. Apakah kau
tidak mempunyai mata lagi he?”
Sanakeling
menjadi bertambah heran,
“Apa yang
telah kau lihat?”
“Anak itu.
Anak yang gemuk itu. Bukankah anak itu pernah turut dalam lomba memanah di
lapangan dekat banjar desa Sangkal Putung? Bukankah anak itu yang menjadi
pemenang di antara anak-anak muda Sangkal Putung?”
Sanakeling
mengerutkan keningnya sambil menggigit bibirnya. Akhirnya ia pun tersentak
sambil berkata,
“Ya, ya. Aku
melihat pula waktu itu. Aku memang melihat anak yang gemuk seperti anak muda
yang basah kuyup seperti tikus sawah itu tadi”
“Hem” Tohpati
menggeram, namun kemudian ia berkata,
“Biarlah
mereka kembali dengan suatu pengertian, bahwa Tohpati tidak saja mampu
bertempur dengan senjata. Tetapi Tohpati juga berbuat hal-hal yang lain, yang
dapat mempersempit gerakan orang Pajang”
“Tetapi mereka
kini mengetahui cara itu. Anak itu pasti akan menyampaikannya kepada Widura
atau Untara yang sekarang sudah berada di Sangkal Putung pula”
“Ya. Tetapi
Untara akan melihat pula bahwa luka-luka Tohpati yang ditimbulkannya kini telah
sembuh benar-benar. Tohpati telah menjadi segar kembali. Dan sebentar lagi
Tohpati akan mampu menggulung Sangkal Putung”
Sanakeling
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Marilah kita
kembali. Kita lihat, apakah mereka masih berada di tempat itu”
Tohpati
menggeleng, katanya,
“Mereka bukan
orang-orang bodoh seperti kita. Mereka pasti tahu siapa kita. Karena itu mereka
pasti sudah pergi”
Sanakeling
tidak menjawab. dilihatnya betapa Tohpati menjadi sangat kecewa karenanya.
Tetapi Sanakeling tidak melihat bahwa hati Macan Kepatihan yang tak pernah
dapat digoncangkan itu kini sedang ragu-ragu. Diragukannya kata-katanya
sendiri,
“Apakah ia
benar-benar mampu menggulung Sangkal Putung?”
Dan kembali
beberapa pertanyaan telah menggoncangkannya pula. Pertanyaan yang menggores
dinding hatinya,
“Apakah sebenarnya
yang akan aku dapatkan dengan menduduki Sangkal Putung? Makan. Itu saja?”
Pertanyaan itu
tak pernah mengganggunya sebelum ia bertemu dengan orang tua di tengah-tengah
sungai itu. Pertanyaan itu bahkan tidak pernah ada. Namun kini pertanyaan itu
sangat mengganggu ketenangannya. Bahkan kemudian pertanyaan-pertanyaan yang
lain bermunculan pula di dalam benaknya. Pertanyaan-pertanyaan yang dapat
menyulitkannya. Apakah ia untuk seterusnya akan dapat menduduki Sangkal Putung apabila
berhasil direbutnya?,
“Tidak” pertanyaan
itu dijawabnya sendiri.
“Widura dan
Untara akan mengerahkan pasukan yang kuat untuk merebut Sangkal Putung.
Merampas kembali kademangan itu. Meskipun aku telah mendapatkan beberapa pikul
padi dan kekayaan-kekayaan yang lain tetapi beberapa bulan kemudian, maka kami
akan kelaparan lagi. Dan pasukan Untara akan diperkuat pula. Sedang apabila
kami tetap bertahan di kademangan itu, apakah yang akan kami lakukan kemudian?
Menjadi Adipati? Mewarisi cita-cita Arya Penangsang?”
“Menjemukan”
desisnya tiba-tiba. Sanakeling terkejut mendengar kata-kata itu sehingga dengan
serta-merta ia bertanya,
“Apa yang
menjemukan?”
Tetapi Macan
Kepatihan sendiri bukan main terkejutnya mendengar kata-kata itu. Kata-katanya
sendiri. Sehingga karena itu maka Macan Kepatihan itu menjadi gelisah. Apalagi
ketika Sanakeling mendesaknya,
“Apakah yang menjemukan
he?”
Tohpati
menjawab sekenanya,
“Widura dan
Untara. Mereka benar-benar menjemukan. Karena itu mereka harus segera
dilenyapkan. Ayo, kita kembali. Malam ini Sangkal Putung kita bakar sampai
habis. Persetan dengan segala lumbung-lumbungnya dan persetan dengan segala
macam isinya”
Sanakeling
mengerutkan keningnya. Dilihatnya wajah Macan Kepatihan menjadi merah membara.
Namun demikian ia menjawab,
“Bagaimana
mungkin. Sebagian orang-orang kita tidak ada di tempat. Mereka sedang mencoba
mengambil perbekalan ke utara”
“Aku tidak
peduli”
“Masih harus
dipertimbangkan” sahut Sanakeling.
“Aku tidak mau
membunuh diri”
“Terserah
kepadamu. Aku akan pergi malam ini”
“Jangan
kehilangan perhitungan”
Tohpati
tersadar dari kebingungannya. Ketika dilihatnya Sanakeling penuh kebimbangan,
maka berkatalah Macan Kepatihan itu kemudian,
“Kau tidak
sependapat?”
“Berbahaya
sekali”
“Kapan
orang-orang yang pergi itu akan datang kembali?”
“Tiga empat
hari. Mereka akan membawa sisa-sisa laskar kita yang betebaran di sisi utara
Pajang. Kekuatan itu akan dipusatkan di sini. Bukankah begitu kehendakmu? Nanti
apabila kau telah berhasil di sini, maka kau akan membawa seluruh barisan ke
utara dan melepaskan beberapa kepentingan di selatan. Kalau keadaan di utara
menjadi lebih baik, kau akan bertempur dan memulai perjuangan seterusnya dengan
landasan daerah utara. Bukankah begitu?”
Tohpati
mengangguk-anggukkan kepalanya. Dengan bimbangnya ia berkata,
“Ya. Aku
pernah berkata demikian”
“Nah, karena
itu, apakah kau akan menunggu orang-orang yang pergi itu?”
“Ya, aku akan
menunggu dalam waktu yang pendek. Setelah itu, aku tidak akan dapat menunda
lagi. Sejak kini seluruh pasukan harus disiapkan”
“Bagus. Kita
harus menebus kekalahan yang pernah terjadi, bukan untuk mengulangi kesalahan
itu”
“Ya, kau
benar. Mari kita kembali”
Tohpati tidak
menunggu jawaban Sanakeling. Dengan tergesa-gesa ia melangkah kembali
kesarangnya. Sanakeling berjalan di belakangnya bersama-sama dengan Alap-alap
Jalatunda. Dengan berbisik-bisik alap-alap muda itu bertanya,
“Kenapa dengan
Macan Kepatihan itu?”
Sanakeling
menggeleng. Entahlah. Mungkin orang tua di tengah-tengah kali yang dijumpainya
tadi membiusnya. Ia tampak bingung dan hampir-hampir kehilangan keseimbangan”
“Tetapi
bukankah ia masih mendengarkan nasehat kakang?”
“Untunglah
demikian. Kalau tidak, maka ia akan membunuh dirinya”
Alap-alap
Jalatunda tidak menjawab. Ia berjalan saja di samping Sanakeling. Di dalam
hatinya ia bergumam,
“Untunglah,
Tohpati mendengarkan nasehatnya. Kalau tidak, maka laskarnya akan menjadi
semakin tercerai berai”
Tetapi
orang-orang itu ternyata tidak tahu kalau Untara terluka. Sehingga dengan
demikian maka mereka tidak mempergunakan kesempatan itu untuk menghancurkan
Sangkal Putung meskipun Widura masih ada. Seandainya Tohpati tahu, maka ia akan
mempergunakan saat itu sebaik. Dan bahkan Sanakeling dan Alap-alap Jalatunda
pasti akan menyetujuinya. Mereka pasti tidak akan memperhitungkan hadirnya
seorang dukun tua yang pasti akan menggemparkan mereka, seandainya ia mau
berbuat sesuatu di dalam pertempuran yang terjadi. Karena itulah maka kini
Macan Kepatihan benar-benar telah kehilangan pengertian dan gambaran tentang
kekuatan yang sebenarnya ada di Sangkal Putung. Anak-anak muda yan semakin hari
tekadnya semakin menyala dan berlatih dengan tak mengenal lelah. Orang-orang
tua pun tidak juga mau ketinggalan. Meskipun Sidanti meninggalkan Sangkal
Putung, namun Agung Sedayu telah siap menggantikannya dalam setiap persoalan.
Anak muda itu ternyata tidak kalah dari Sidanti dalam segenap hal. Apabila ia
telah memiliki pengalaman seperti Sidanti, maka Agung Sedayu benar-benar tidak
akan mengecewakan.
Ketika Macan
Kepatihan menyiapkan kembali sebuah serbuan yang akan dilancarkan atas Sangkal
Putung, maka Sangkal Putung pun sedang giat menempa dirinya.
Sementara itu,
Swandaru dan Agung Sedayu telah dengan tekun menuruti nasehat-nasehat Ki Tanu
Metir. Mereka kini tidak lagi berlatih di sungai. Tetapi mempergunakan
ruang-ruang tertutup di belakang kademangan, atau di tempat lain yang telah disediakan
oleh Ki Demang Sangkal Putung. Apabila malam datang, maka pergilah mereka
berjalan-jalan bersama dengan Widura dan kadang-kadang Untara ke gunung Gowok.
Di tempat itulah Swandaru dan Agung Sedayu bekerja keras untuk membentuk
dirinya. Namun sebagian perhatian Ki Tanu Metir dititik-beratkan pada Swandaru.
Anak yang gemuk itu harus mencapai tingkatan yang tidak begitu jauh dari Agung
Sedayu. Barulah mereka dapat bersama-sama menerima pimpinan dan bimbingan yang
serupa. Semakin hari luka Untara pun menjadi semakin ringan. Bahkan kini luka
itu telah tidak mengganggunya lagi. Karena obat-obat reramuan yang dibuat oleh
Ki Tanu Metir dan diminumnya setiap hari, maka kesehatannya pun telah
benar-benar pulih. Kekuatan tenaganya, ketangkasannya, sehingga Untara telah
benar-benar siap untuk melakukan tugasnya kembali. Di hari-hari terakhir,
Untara telah mendengar pula dari orang-orangnya bahwa kegiatan Tohpati telah
ditingkatkan. Tohpati telah melakukan kegiatan yang melampaui kebiasaan. Tetapi
setelah lewat tiga hari dari peristiwa di pinggir kali itu, Tohpati ternyata
belum melakukan sergapannya. Namun dengan demikian, berarti kepada Tohpati
telah menjadi dingin kembali, dan persiapannya akan menjadi lebih masak. Sebenarnyalah
Tohpati kemudian menjadi lebih tenang. Ia tidak lagi berbuat tergesa-gesa.
Bahkan dua kali ia telah menunda rencananya untuk menyerang Sangkal Putung. Sanakeling,
Alap-alap Jalatunda, dan orang-orangnya semula menganggap bahwa Macan Kepatihan
merasa persiapannya masih belum cukup masak. Namun setelah Macan Kepatihan
menunda rencananya sampai dua kali, maka mereka terpaksa menduga-duga. Apakah
yang sebenarnya telah terjadi pada pemimpin laskar Jipang yang gigih itu. Tetapi
tak seorang pun yang tahu, apakah yang telah bergolak di dalam dada Tohpati.
Seorang senapati yang tidak pernah ragu-ragu dalam mengambil setiap keputusan.
Seorang pemimpin yang mempunyai perbawa yang kuat, dan seorang pemimpin yang
berjiwa kepemimpinan. Tetapi pada saat-saat terkhir, Tohpati tampaknya selalu
ragu-ragu atas segala keputusannya. Bahkan kadang-kadang tampak ia menjadi
bingung tak bernafsu. Keadaan itu benar-benar mencemaskan beberapa orang
pembantunya. Terutama Sanakeling dan Alap-alap Jalatunda. Namun sampai
sedemikian jauh, belum ada di antara mereka yang berani menanyakannya.
Meskipun
laskar Jipang kemudian telah siap melakukan segala macam perintahnya, meskipun
seluruh sisa-sisa pasukan Sanakeling, Alap-alap Jalatunda dan sisa-sisa laskar
Plasa Ireng beserta laskar yang tercerai berai telah berkumpul di hutan-hutan
di sebelah barat Sangkal Putung, namun Tohpati tidak segera mulai dengan
serangannya. Bahkan tampaklah ia menjadi murung dan ragu-ragu. Namun dalam
saat-saat terakhir, Macan Kepatihan itu selalu berjalan berkeliling, dari
seorang laskarnya ke orang berikutnya. Mereka bercakap-cakap dan berbincang
dalam berbagai persoalan. Mereka berbicara tentang hal-hal yang sama sekali
tidak bersangkut-paut dengan kelaskarannya. Beberapa orang anggota laskarnya
menjadi heran dan terkejut. Pemimpinnya yang ditakuti dan disegani itu
tiba-tiba telah datang kepadanya, menepuk pundaknya sambil bertanya dalam
banyak persoalan. Seorang yang bertubuh tinggi kurus dan berkumis jarang-jarang
hampir tak dapat menjawab ketika tiba-tiba saja Tohpati telah berdiri di
sampingnya sambil bertanya,
“He, apa
kerjamu?”
Orang itu
memandang pemimpinnya seperti baru sekali dilihatnya, sehingga Tohpati itu
mengulangi,
“Apa kerjamu?”
Terbata-bata
orang itu menjawab,
“Duduk tuan,
aku hanya duduk saja”
Tohpati
tersenyum. Dipandanginya wajah yang kurus pucat itu. Tiba-tiba ia bertanya
pula,
“Berapa
umurmu?”
Delapan belas
tahun, tuan”
“He?”
Tohpatilah yang kemudian terkejut. Anak itu berumur delapan belas tahun. Namun
wajahnya tampak jauh lebih tua dari umurnya itu. Sehingga hampir tidak percaya
ia mengulangi pertanyaannya,
“Umurmu
berapa?”
Laskar yang
kurus itu benar-benar menjadi heran. Namun ia menjawab,
“Delapan belas
tahun tuan. Benar-benar delapan belas tahun”
Tohpati
mengangguk-anggukkan kepalanya. Dengan wajah yang suram ia berkata,
“Kau masih
sangat muda. Apakah kau masih mempunyai ayah dan ibu?”
Anak itu
menggeleng. Tiba-tiba wajah anak itu pun menjadi suram pula sesuram wajah
pemimpinnya. Dengan suara parau ia menjawab,
“Ayah telah
mati terbunuh beberapa bulan yang lampau”
“Kenapa?
Bertanya Tohpati,
“Siapakah yang
membunuhnya?”
“Ayah terbunuh
ketika laskar Pajang memasuki padukuanku. Ayah mencoba ikut bertahan. Namun
ujung tombak orang Pajang telah menyobek dadanya”
“Oh” Tohpati
mengangguk-anggukkan kepalanya. Dengan nada yang rendah ia bertanya,
“Sekarang
apakah kau ingin menuntut kematian ayahmu itu?”
“Tentu tuan.
Aku harus membalas dendam yang membara di hati. Aku telah bersumpah, bahwa aku
harus dapat menebus kematian ayahku dengan dua atau tiga orang Pajang. Aku
tidak peduli apa yang sebenarnya terjadi antara Jipang dan Pajang”
Tohpati
menarik nafas dalam-dalam. Ternyata anak ini bertempur sama sekali tidak ada
sangkut pautnya dengan cita-cita Arya Penangsang yang dianggapnya sedang
berusaha menuntut keadilan. Anak itu sama sekali tidak tahu, apakah yang
dikehendaki oleh Adipati Jipang itu. Tidak tahu menahu tentang Sekar Seda
Lepen. Tidak tahu menahu tentang Sunan Prawata, Ratu Kalinyamat yang bertapa
hanya berkain rambutnya sendiri, karena suaminya terbunuh oleh Arya Penangsang.
Tidak tahu bahwa Adipati Pajang kemudian telah berhasil membinasakan Arya
Penangsang dengan tangan putra angkatnya Mas Ngabehi Loring Pasar. Tidak. Anak
itu tidak tahu apa-apa. Ia hanya mendendam karena ayahnya terbunuh. Mungkin
ayahnya sedang berjuang untuk satu cita-cita. Tetapi anak ini tidak. Anak ini
hanya ingin melepaskan dendam di hatinya. Tetapi ia melihat semangat yang
menyala dari mata anak itu. Mata yang jauh lebih besar dibandingkan dengan
tubuhnya yang kurus.
Tiba-tiba
terluncur dari mulut Tohpati,
“Ibumu?”
Anak itu
menggeleng. Jawabnya,
“Aku tidak
tahu. Ibu telah lama pergi”
“Kemana?”
Anak itu
menjadi ragu-ragu. Tetapi kemudian dengan berat hati ia menjawab,
“Ibu pergi
dengan laki-laki lain”
Tohpati
mengerutkan keningnya. Ia menjadi semakin iba mendengar jawaban itu. Sebab
dengan demikian, maka adalah suatu kemungkinan bahwa ayahnya pun bertempur
bukan karena cita-cita. Tetapi sekedar melepaskan sakit hatinya. Dan pengaruh
keluarga yang buruk itu kemudian telah memaksa anak itu untuk melakukan
perbuatan-perbuatan yang memancarkan dendam di hatinya. Tiba-tiba Tohpati
mendengar kawannya yang duduk di sampingnya tertawa meringkik seperti seekor
kuda. Tohpati sama sekali tidak senang mendengar suara tertawa itu, sehingga ia
membentak,
“Kenapa kau
tertawa?”
Orang yang
tertawa itu terkejut. Ia sendiri tidak menyadari bahwa ia telah tertawa. Karena
itu, maka ia menjadi ketakutan.
“Kenapa kau
tertawa, he?” Tohpati mengulangi.
Sedemikian
takutnya orang itu sehingga tanpa dapat berpikir ia menjawab,
“Anak itu
tuan. Anak itu berbuat seperti laki-laki yang dikatakannya”
“He?” wajah
Tohpati menjadi merah. Sambil menggertakkan giginya ia bertanya kepada anak
muda itu,
“Apa yang
telah kau lakukan?”
Anak muda itu
menggigil seperti kawannya yang duduk di sampingnya.
“Tidak, tidak
tuan” katanya dengan gemetar. Sekali ia memandangi kawannya itu, dan sesekali
ia memandang kaki Tohpati. Ia sangat menyesal kenapa kawannya itu
mengatakannya, dan kawannya itu pun bukan main terkejut mendengar kata-katanya
sendiri.
“Apa yang
telah kau lakukan?” bertanya Tohpati dengan nada yang berat penuh tekanan.
“Aku tidak
apa-apa tuan” jawab anak muda itu terbata-bata.
“Apa yang
sudah kau lakukan?” ulang Tohpati.
“Tidak ada
tuan”
Sekali lagi
Tohpati bertanya, kali ini perlahan-lahan,
“Apa yang
sudah kau lakukan?”
Tubuh anak
muda itu menjadi semakin gemetar. Hampir tak terdengar ia berkata,
“Aku hanya
membalas sakit hatiku tuan. Aku membenci perempuan karena ibuku yang tidak
setia”
“Apa yang
telah kau lakukan terhadap perempuan?”
Laki-laki itu
menjadi semakin ketakutan. Hampir-hampir ia menangis karenanya. Lamat-lamat ia
menjawab,
“Tidak apa-apa
tuan. Aku hanya berbuat menuruti perasaan. Aku sudah menyesal”
Tohpati
berpaling pada kata-kata yang duduk di sampingnya. laki-laki itu pun menunduk
dalam-dalam. Tiba-tiba ia menyambar pundaknya sambil mengguncang tubuhnya,
“Apa yang
sudah dilakukannya?”
Laki-laki itu
menjadi gemetar. Bibirnya bergerak-gerak namun suaranya tidak juga keluar dari
mulutnya. Ketika Tohpati sama sekali mengguncang pundaknya, barulah ia berkata,
“Ia, ia
membawa istri orang tuan”
Bukan main
marah Tohpati mendengar jawaban itu. Itu adalah perbuatan terkutuk. Perbuatan
yang tidak dapat dibenarkan. Hampir saja ia memukul laki-laki kurus dan
berkumis jarang yang baru berumur delapan belas tahun itu. Namun tiba-tiba
disabarkannya dirinya. Sambil menggigit bibirnya ia menggeram.
Tohpati
mengangkat wajahnya. Apa yang dilakukan itu bukanlah satu-satunya kejahatan
yang telah pernah terjadi di antara anak buahnya. Ia bukannya tidak mendengar
bahwa anak buahnya pernah pula merampok, mencegat orang dan menyamunnya di
perjalanan. Membunuh, menculik dan berbagai kejahatan-kejahatan yang lain.
Tetapi Tohpati menyadari, bahwa itu adalah akibat yang tidak dapat dihindarkan
dari keadaan laskarnya kini. Keadaan yang serba sulit dan tertekan. Beberapa
orangnya telah menjadi berputus asa dan kehilangan pegangan, seperti anak muda
yang baru berumur delapan belas tahun itu. Anak itu sama sekali tidak tahu apa
yang sudah dilakukannya.
Tohpati itu
menekan dadanya sambil menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya,
“Kenapa hal
itu kau lakukan?”
Anak muda yang
kurus pucat dan berkumis jarang itu tidak dapat menjawab. Ia tidak pernah
berpikir sebelumnya, kenapa ia membawa perempuan itu. Barulah kini ia mencoba
bertanya kepada dirinya, kenapa ia membawa perempuan itu. Tetapi perempuan itu
tidak pernah merasa bahwa ia menyesal karena perbuatannya. Perempuan itu sampai
sekarang masih juga selalu berusaha menyenangkannya dan memeliharanya. Ia terkejut
pula ketika mendengar Tohpati bertanya pula,
“Kenapa kau
bawa perempuan iu. Dan apakah perempuan itu tidak ketakutan tinggal bersamamu
di antara kawan-kawanmu?”
Laki-laki itu
menggeleng,
“Ia senang
tinggal bersama kami tuan”
“Oh” Tohpati
mengelus kumisnya,
“Siapakah
perempuan itu?”
Laki-laki itu
ragu-ragu sesaat. Kemudian jawabnya,
“Namanya Nyai
Pinan”
“He?” sekali
lagi Tohpati terkejut. Nyai Pinan.
“Hem” Macan
Kepatihan itu menarik nafas dalam-dalam.
“Untunglah
anak itu belum aku pukul kepalanya”
Tohpati itu
tiba-tiba kehilangan kemarahannya. Ia menjadi kasihan kepada anak laki-laki
itu. Nyai Pinan adalah seorang perempuan yang jauh lebih tua dari laki-laki
itu. Perempuan yang berumur tigapuluh lima tahu, bukanlah perempuan yang perlu
disesalkan apabila ia telah pergi meninggalkan suaminya. Pantaslah bahwa
perempuan itu sama sekali tidak menyesal dan ketakutan tinggal di antara
laskarnya, di antara laki-laki yang kasar dan keras. Macan Kepatihan itu
tiba-tiba saja melangkahkan kakinya pergi meninggalkan laki-laki itu. Sekilas
masih terbayang di dalam benaknya, perempuan yang bernama Nyai Pinan itu dahulu
pernah dibawa oleh Plasa Ireng atau oleh orang lain di antara laskarnya.
“Gila.
Kehidupan ini benar-benar kehidupan yang liar. Menjemukan, menjemukan”
Tohpati itu
pun kemudian langsung pergi ke dalam gubugnya di tengah-tengah hutan. Langsung
ia merebahkan dirinya di atas sebuah pembaringan bambu. Sekali-sekali terdengar
ia menggeram. Dibayangkannya kehidupan seluruh laskarnya. Yang berada
dekat-dekat di sekitarnya, dan yang betebaran di beberapa tempat yang lain.
Laskar yang diperintahkannya untuk membuat Pajang kehilangan kesempatan
membangun dirinya karena kekisruhan-kekisruhan yang terjadi.
“Apakah hasil
yang telah kucapai dengan itu” desahnya.
Dibayangkannya
bahwa rakyatnya justru menjadi bingung dan ketakutan. Tak ada ketenangan dan
tak ada kesempatan mereka menikmati hidup setenang-tenangnya.
“Tetapi
bukankah itu yang aku kehendaki?”
Kata-kata itu
dijawabnya sendiri,
“Ya. Kini
ternyata bahwa aku hanya sekedar mendendam di hati, melepaskan kekecewaan dan
sakit hati. Aku hanya ingin Pajang tidak berhasil menenangkan dirinya dan
melakukan rencana-rencananya. Itu saja.”
Macan
Kepatihan itu menggeram. Dengan serta-merta ia bangkit dan menghentakkan kakinya
ke tanah sambil berkata kepada dirinya sendiri,
“Gila. Kenapa
aku bertemu dengan orang tua itu. Dengan orang yang mengatakan dirinya orang
Benda. Alangkah bodohnya aku. Orang itu bukan orang Benda. Dan orang itu bukan
orang yang bodoh. Pertanyaannya telah menggoncangkan hatiku. Tetapi aku sudah
berada di tengah-tengah arus. Aku tidak dapat berjalan kembali.”
Macan
Kepatihan itu tiba-tiba melangkah dan berjalan keluar. Diluar dipanggilnya
seorang laskarnya. Katanya,
“Panggil
Sanakeling.”
Sesaat
kemudian Sanakeling telah berada di dalam gubugnya. Wajahnya tampak tegang dan
sekali-sekali timbullah pertanyaan memancar dari matanya.
“Apakah kita
sudah benar-benar siap” bertanya Macan Kepatihan.
Pertanyaan itu
terdengar aneh di telinga Sanakeling. Macan Kepatihan telah beberapa kali
melihat sendiri, bahwa laskar Jipang telah ditarik sebagian besar kedalam hutan
itu untuk melakukan rencananya yang tertunda-tunda. Kalau waktu persiapan yang
diperlukan terlalu lama, maka mereka akan segera kehabisan persediaan bahan
makanan. Dengan demikian maka ketahanan laskarnya pun pasti akan berkurang.
Meskipun
demikian, maka Sanakeling itu menjawab,
“Sudah. Sudah
sejak beberapa hari yang lalu laskar Jipang telah siap melakukan perintah.
Bahkan kini mereka hampir kehilangan gairah untuk bertempur karena pertempuran
tertunda-tunda.”
Tohpati
mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak dapat membantah kata-kata Sanakeling
itu. Ia mengakui, betapa seorang prajurit akan kehilangan semangatnya apabila
mereka harus menunggu dan menunggu, sedangkan mereka sudah siap untuk melakukan
setiap perintah.
Sambil
mengangguk-anggukkan kepalanya Tohpati menjawab,
“Baik. Aku
tidak akan menunda sergapan untuk kesekian kalinya. Tetapi aku harus yakin
bahwa sergapan kita kali ini akan berhasil.”
“Kita telah
mengukur kekuatan mereka” sahut Sanakeling,
“kita sudah
tahu kekuatan-kekuatan yang ada di dalam Kademangan Sangkal Putung. Dan kita
kini telah memperhitungkan kekuatan itu pula. Orang yang berhasil membunuh
Plasa Ireng itu pun telah kita perhitungkan. Tiga orang itu dalam satu
lingkaran pertempuran akan melampaui kekuatan Plasa Ireng. Sedangkan lawan
Alap-alap Jalatunda ternyata memerlukan perhatian. Seorang dari mentaok akan
mengawasi Alap-alap Jalatunda. Widura serahkan kepadaku, dan Untara adalah lawanmu.
Terserah kepadamu, apakah perlu seseorang untuk membantumu, ataukah kau merasa
bahwa kau akan berhasil melawannya sendiri. Sedang jumlah laskar yang kita
pergunakan kini ternyata bertambah banyak. Hanya untuk mengumpulkan mereka aku
memerlukan waktu sehari. Sebab untuk mengurangi kesempatan, sebagian tersebar
di beberapa tempat.
“Bagus.
Siapkan mereka besok. Malam nanti aku akan melihat-lihat keadaan.”
Sanakeling
mengerutkan alisnya. Dengan ragu-ragu ia berkata,
“Apakah kau
berkata sebenarnya?”
“Kenapa?”
“Apakah kali
ini tidak akan tertunda lagi seperti hari-hari yang lalu?”
Macan
Kepatihan mendengar sindiran itu. Namun ia tidak menjawab.
Sesaat mereka
berdiam diri. Wajah Tohpati menjadi tegang. Kemudian terdengar ia berkata,
“Tinggalkan
aku sendiri.”
Sanakeling
mengangkat alisnya. Kemudian ia berdiri dan berjalan keluar ruangan itu dengan
hati bimbang. Sekali ia berpaling dan dilihatnya Tohpati menekur kepalanya.
Pemimpin laskar Jipang itu tampaknya tidak segarang beberapa saat yang lalu.
Karena itulah Sanakeling menjadi cemas. Ia tidak mau melihat setiap kelemahan
yang ada di dalam dirinya, di dalam tubuh laskarnya, apalagi dipucuk
pimpinannya. Ia menghendaki semuanya berjalan keras, cepat dan dapat
menimbulkan akibat yang menggoncangkan lawan-lawannya. Menimbulkan kengerian
dan ketakutan. Sepeninggal Sanakeling, maka Tohpati itu pun segera memanggil
seorang yang telah agak tua. Orang itu telah agak tua. Orang itu pernah menjadi
penasehatnya dalam berbagai hal. Seorang yang tidak saja memiliki pengalaman
yang luas. Namun ia adalah seorang yang memiliki daya pengamatan yang jauh. Orang
tua itu berdebar-debar mendengar panggilan Tohpati. Telah agak lama Tohpati
tidak memerlukannya. Hampir tidak pernah dapat ia menemui anak muda yang
menggemparkan seluruh daerah Demak itu. Namun kini tiba-tiba Tohpati
memanggilnya.
“Duduklah
paman Sumangkar.”
Orang yang
telah agak lanjut dan bernama Sumangkar itu duduk di samping Tohpati sambil
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Terima Kasih,
ngger.”
“Kenapa paman
tidak pernah menampakkan diri akhir-akhir ini?”
Sumangkar
mengerutkan alisnya yang hampir memutih. Jawabnya,
“Angger tidak
pernah memanggil paman ini. Dan karena itu maka aku tidak berani mengganggu
angger.” Tohpati mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya serta-merta,
“Paman, aku
akan memulai dengan sebuah sergapan baru. Apakah paman sependapat?”
Sumangkar
mengerutkan keningnya pula. Pertanyaan ini agak aneh baginya. Sudah beberapa
kali Tohpati melakukannya tanpa minta pendapatnya. Tiba-tiba kini pemimpin yang
garang itu bertanya tentang rencananya itu. Justru karena itu maka Sumangkar
menjadi ragu-ragu.
“Bagaimana
paman?” desak Tohpati.
Sumangkar
menarik nafasnya dalam-dalam. Dikenangnya ketika Tohpati itu menjadi sangat
marah, dan seterusnya hampir tak pernah ia diajaknya berbincang. Tohpati itu
marah ketika ia mencoba memperingatkan bahwa segenap usaha yang akan dilakukan
adalah sia-sia. Tetapi kini ia menghadapi pertanyaan itu. Pertanyaannya yang
seperti pernah didengarnya dahulu.
Karena itu
maka untuk sejenak Sumangkar menjadi ragu-ragu. Apakah sebabnya tiba-tiba saja
Tohpati memanggilnya dan bertanya kepadanya mengenai hal itu pula? Karena
Sumangkar tidak segera menjawab, maka Tohpati itu mendesaknya,
“Bagaimana
paman?”
Sumangkar
menarik nafas dalam-dalam. Kemudian jawabnya,
“Raden.
Pertanyaan itu sangat sulit bagiku.”
“Kenapa?
Bukankah paman memiliki pengetahuan dan pengalaman yang cukup dalam olah
keprajuritan? Bukankah paman bekas seorang yang cukup dekat dengan paman
Mantahun? Nah, bagaimanakah pendapat paman?”
“Aku adalah
seorang yang telah berumur agak lanjut. Seharusnya aku harus berkata sebenarnya
menurut pertimbangan di dalam kepalaku. Namun aku tidak dapat menutupi
kenyataan, bahwa untuk berkata sebenarnya adalah sulit sekali. Bukankah angger
pernah marah kepadaku karena aku tidak sependapat dengan angger?”
Tohpati
menarik keningnya. Dipandanginya Sumangkar tajam-tajam seperti ingin dilihatnya
pusat jantungnya. Dan karena itulah maka Sumangkar itu menundukkan kepalanya.
“Paman”
berkata Tohpati,
“aku tahu
paman adalah seorang yang pilih tanding. Seorang yang memiliki kesaktian yang
sukar dicari bandingnya. Kenapa paman berpikiran terlalu pendek. Kalau paman
mempunyai tekad yang agak kuat di dalam dada paman, maka paman akan dapat
menyumbangkan tenaga paman dalam perjuangan ini. Tetapi selama ini paman lebih
senang mendekam di dapur sambil menghangatkan tubuh. Kenapa paman tidak lagi
bersedia memandi tombak atau memegang gagang pedang?”
Sumangkar
mengangguk-anggukkan kepalanya, jawabnya,
“Sudah aku katakan
Raden, alasan-alasan yang memaksa aku untuk berdiam diri.”
“Tetapi kenapa
paman tidak pergi saja dan menyeberang ke pihak Pajang?”
Sumangkar
mengangkat kepalanya sesaat. Namun kemudian ditundukkannya lagi. Pertanyaan itu
amatlah sulitnya. Meskipun demikian dijawabnya pula dengan jujur,
“Raden, aku
adalah hamba kepatihan Jipang sejak aku melepaskan pakaian Wira Tamtama karena
umurku yang telah lanjut. Aku adalah saudara seperguruan Kakang Patih Mantahun.
Aku adalah kawan berbincang, dan aku salah seorang yang ikut serta menyetujui
tuntutan Arya Penansang kepada Pajang dan putra-putra Sultan Trenggana yang
lain. Tetapi caraku agak berbeda dengan cara yang telah ditempuh angger
Pangeran. Aku menyarankan agar angger melakukan tuntutan dan perjuangan tanpa
mengorbankan saudara-saudara sepupunya dengan cara yang telah ditempuh. Dengan
demikian maka kawula Demak akan segera melihat noda-noda pada dirinya. Tetapi
itu telah ditempuhnya, dan aku tidak dapat menghindarkannya. Kakang Mantahun
adalah seorang yang keras hati sehingga Arya Penangsang yang terlalu dilanda
oleh arus perasaannya itu terbakar oleh rencananya. Dan terjadilah apa yang
telah terjadi. Apakah dengan demikian masih ada kemungkinan bagiku untuk
menyeberang ke Pajang?”
Tohpati
mendengarkan kata demi kata dengan penuh perhatian. Ia merasakan bahwa apa yang
terjadi kemudian adalah akibat dari ketergesa-gesaan para pembantu Arya
Penangsang. Namun sebagai seorang prajurit yang terpercaya, maka ia tidak dapat
berbuat lain daripada meneruskan perjuangan itu. Tetapi apakah yang dapat
dicapainya dengan perjuangannya itu? Meskipun demikian Tohpati itu berkata
tajam,
“Tetapi paman
selama ini hampir tidak berbuat apa-apa. Pada saat Adipati Penangsang masih
melakukan perjuangan, paman ternyata menjadi seorang yang ditakuti di
garis-garis perang. Namun kemudian paman tidak lebih dari seorang juru masak
yang malas. Kenapa paman tidak mau bertempur seperti masa-masa lampau itu?”
Sumangkar
menarik alisnya tinggi-tinggi. Sebagai seorang yang telah berusia lanjut, maka
ia dapat berpikir dengan tenang. Dan dengan enang pula ia menjawab,
“Kalau aku
turut dalam peperangan yang tidak akan berarti apa-apa ini Raden, maka aku
hanya akan memperpanjang penderitaan. Penderitaan rakyat Pajang dan rakyat
Jipang sendiri. Sebab seperti yang pernah aku katakan, perjuangan ini tidak
akan berhasil. Apa yang dapat kita lakukan hanyalah pembalasan dendam pada
beberapa pihak. Melepaskan sakit hati dan membuat onar dimana-mana. Apakah
kira-kira demikian juga cita-cita Arya Penangsang sendiri? Seandainya Arya
Penangsang berhasil merebut tahta, apakah yang kira-kira akan dikerjakan?
Memanjakan diri sendiri atau berbuat sesuatu untuk membentuk Demak menurut
seleranya? Nah, bandingkanlah dengan apa yang kau lakukan ngger. Dengan anak
buah angger dan dengan seluruh perbuatan laskar Jipang ini”
Tohpati
mengerutkan keningnya. Terdengar ia menggeram. Kata-kata Sumangkar itu hampir
seperti kata-kata orang tua yang dijumpainya di sungai beberapa hari yang
lampau. Kata-kata orang tua yang telah memiliki berbagai pertimbangan. Tetapi
Tohpati masih ingin meyakinkan dirinya,
“Paman, apakah
dengan demikian kita tidak menjadi seorang pengecut? Seorang yang tidak berani
menghadapi pahit getir perjuangan? Seorang prajurit sejati akan pantang
menyerah. Pantang menyerah kepada lawan, dan pantang menyerah kepada keadaan”
“Raden benar”
sahut Sumangkar,
“Jangan
menyerah kepada lawan. Jangan menyerah kepada keadaan. Namun jangan membutakan
diri atas kenyataan. Selama ini kita masih dihadapkan pada cita-cita, maka kita
tidak akan berputus asa. Namun apabila kita menyakini kelemahan diri dan
meyakini bahwa apa yang hendak kita capai itu tidak akan terpenuhi, maka
sebaiknya kita menyadari keadaan. Korban telah semakin banyak dan korban itu
tidak akan berarti apa-apa. Korban yang sia-sia. Korban dari nafsu pembalasan
dendam dan sakit hati”
Tohpati tidak
berkata apa-apa lagi. Ia kini seakan-akan melihat sebuah gambaran yang suram
tentang masa depan laskarnya. Ia kini melihat betapa korban berjatuhan di kedua
belah pihak tanpa dapat merubah keadaan. Korban yang menurut Sumangkar adalah
korban yang sia-sia. Sesaat mereka berdiam diri. Tohpati dengan angan-angannya
dan Sumangkar dengan angan-angannya pula. Namun sejenak kemudian terdengar
Macan Kepatihan itu menggeram,
“Apakah paman
menyayangkan korban-korban itu?”
“Ya” sahut
Sumangkar pendek.
“Mati bagi
prajurit adalah kemungkinan yang sudah diketahuinya. Mati bagi seorang prajurit
adalah kemungkinan yang sama dengan kemungkinan untuk hidup. Sehingga mati magi
seorang prajurit sama sekali bukan suatu hal yang mengejutkan”
“Angger benar.
Mati bagi aku dan bagi angger adalah kemungkinan yang paling dekat terjadi.
Bahkan lebih dekat dari kemungkinan untuk hidup. Tetapi apakah mati bagi mereka
yang sama sekali tidak tahu menahu persoalan ini juga dapat dibenarkan? Apakah
mati bagi orang-orang Sangkal Putung, dukuh Pakuwon, Benda dan orang-orang lain
di sekitar Pajang dan Jipang Wanakerta, di sebelah barat Demak dan di
sudut-sudut Bergota itu juga sudah wajar? Laskar Raden yang terpencar dan
menyusup di daerah-daerah itu benar-benar tak terkendalikan. Rakyat di daerah
itu dan laskar Pajang berusaha untuk menumpasnya. Yang mati di antara laskar
angger dan laskar Pajang adalah wajar. Tetapi rakyat yang tergilas oleh arus
peperangan itu?”
Tohpati
mengangguk-anggukkan kepalanya. Bahkan menurut bunyi di sudut relung hatinya
berkata,
“Bukan hanya
mereka. Tetapi bahkan anggota-anggota laskarnya sendiri bukanlah orang-orang
yang tahu akan keadaannya. Ada di antara mereka yang hanya terlanjur terdorong
oleh arus yang tidak dapat dihindari tanpa keyakinan apa-apa. Tetapi ada yang
dengan sengaja dan mempergunakan kesempatan untuk kepentingan-kepentingan yang
kotor. Bahkan ada yang kedua-duanya, putus asa dan kesempatan berbuat di luar
peraturan-peraturan. Merampas dengan dalih yang itu-itu juga, untuk kepentingan
perjuangan. Membunuh dengan dalih itu-itu juga, mengkhianati perjuangan atau
berpihak kepada musuh. Menculik dan merampok. Bahkan segala perbuatan yang
bertentangan dengan perikemanusiaan. Apabila peperangan ini masih berlangsung
terus, maka hal-hal yang serupa itu masih akan berlangsung lama.
Kembali mereka
berdua terlempar dalam kesenyapan. Yang terdengar hanyalah nafas Macan
Kepatihan yang semakin cepat mengalir lewat lubang-lubang hidungnya. Matanya
yang tajam menerkam dinding bambu yang berlubang-lubang di hadapannya. Tetapi
lubang-lubang itu kini sama sekali sudah tidak kelihatan. Ketika Tohpati
berpaling menembus celah-celah tutup keyong gubugnya yang tidak rapat, maka
terdengar ia berdesis,
“Sudah hampir
gelap”
Sumangkar mengangguk-anggukkan
kepalanya.
“Ya, sudah
hampir gelap”
Tiba-tiba
Tohpati berdiri. Beberapa langkah ia berjalan ke sudut ruangan itu. Diraihnya
tongkat baja putihnya yang tersangkut di atas pembaringannya. Sumangkar
memandang senjata itu dengan wajah yang tegang. Ia tidak tahu, apakah yang akan
dilakukan oleh Macan Kepatihan yang garang itu. Tetapi ketika ia melihat
Tohpati memutar tubuhnya, dan dilihatnya dalam keremangan ujung malam itu kesan
sikap yang wajar, maka Sumangkar pun tidak beranjak dari tempatnya. Dari lubang
pintu cahaya pelita menembus masuk ke dalam ruangan. Bukan pelita, tetapi
sebuah obor yang menyala-nyala di samping di mulut pintu.
“Paman, aku
ingin berjalan-jalan bersama paman malam ini” suara Tohpati datar dalam nada
yang rendah.
Dada Sumangkar
berdesir. Tidak pernah Tohpati membawanya pergi akhir-akhir ini. Kini tiba-tiba
Macan Kepatihan itu mengajaknya.
Banyak hal
yang dapat terjadi kemudian. Apakah Macan Kepatihan itu marah kepadanya, apakah
Macan Kepatihan itu ingin mendengar pendapat-pendapatnya lebih lanjut, adalah
teka-teki yang tak dapat diketahuinya. Tetapi sudah tentu ia tidak dapat
menolak. Kalau Tohpati ingin berbuat jahat kepadanya, maka sudah tentu ia tidak
akan pergi berdua, sebab Sumangkar tahu pasti, bahwa Tohpati menyadari
keadaannya. Sumangkar bukanlah lawannya. Sumangkar adalah takaran dua tiga kali
daripadanya. Sebab Sumangkar adalah suadara seperguruan dari gurunya, Patih
Mantahun. Tetapi apa yang dilakukan Sumangkar itu kemudian tidak lebih dari
seorang juru masak yang baik. Bahkan sebagian besar dari laskarnya yang baru
ditemukan oleh orang-orang Jipang sepanjang peperangan atau prajurit-prajurit
Jipang yang tersebar dimana-mana tidak mengenal Sumangkar dengan baik. Mereka
menyangka bahwa orang itu benar-benar seorang juru masak.
Ketika
Sumangkar tidak segera menjawab, maka sekali lagi Tohpati berkata,
“Paman, kita
pergi berdua malam ini”
“Kemana
ngger?”
Tohpati
menarik nafas dalam-dalam. Pertanyaan itu adalah pertanyaan yang aneh.
Sumangkar pasti sudah tahu kemana mereka akan pergi dalam keadaan serupa itu.
Meskipun demikian Tohpati itu menjawab,
“Paman pasti
sudah tahu, kemana kita akan pergi dalam keadaan ini. Dimana laskarku sudah
siap untuk menggempur Sangkal Putung”
“Oh, jadi kita
melihat-lihat Sangkal Putung?”
“Ya”
Sumangkar
menarik nafas dalam-dalam. Ternyata Tohpati telah memaksanya untuk melibatkan
diri ke dalam peperangan yang dibencinya itu. Peperangan yang semakin lama
menjadi semakin jauh dari bentuknya. Tetapi keputusan terakhir pasti ada
padanya sendiri. Tohpati ternyata kemudian tidak menunggu Sumangkar menjawab,
perlahan-lahan ia berjalan ke pintu dan sekali ia berpaling. Ketika dilihatnya
Sumangkar telah berdiri, maka Tohpati itu pun berjalan terus. Di muka gubug
Sanakeling dan orang-orangnya, Tohpati berhenti. Dipanggilnya Sanakeling yang
sedang menghadapi seceting nasi dan daging menjangan.
“Apakah kakang
akan pergi?” bertanya Sanakeling.
“Ya” jawab
Tohpati,
“Pekerjaanmu
besok mengumpulkan semua kekuatan. Malam ini aku ingin melihat Sangkal Putung
bersama paman Sumangkar”
Sanakeling
mengerutkan keningnya. Ia kenal siapakah Sumangkar itu. Ia kenal kebesaran
namanya pada masa-masa lampau. Tetapi ia kenal juga, bahwa Sumangkar kini lebih
senang menjadi seorang juru masak dengan pisau dapur di tangannya. Membelah
daging binatang-binatang buruan dan membelah kayu-kayu bakar. Bagi Sanakeling,
Sumangkar sekarang hampir-hampir tidak berarti sama sekali. Seandainya
Sumangkar itu mati sekalipun, maka laskar Jipang tidak akan merasa kehilangan.
Sebab pekerjaannya segera dapat diganti oleh orang lain.
Karena itu, maka
Sanakeling itu pun bertanya,
“Apakah kau
tidak memerlukan orang lain?”
“Tidak” jawab
Tohpati menggelengkan kepalanya.
Sanakeling
tidak bertanya-tanya lagi. Macan Kepatihan sudah cukup dewasa untuk menjaga
dirinya, sehingga ia sudah cukup mempunyai perhitungan.
Ketika Tohpati
itu kemudian berjalan meninggalkannya, maka segera Sanakeling masuk kembali ke dalam
biliknya, menjatuhkan dirinya di sebuah bale-bale dan kembali meneruskan
menikmati daging menjangan muda. Satu kakinya diangkatnya ke atas bale-bale
sedang kakinya yang lain berjuntai ke bawah. Sambil mengunyah nasi, Sanakeling
berkata tersendat-sendat,
“He, panggil
Alap-alap kerdil di gubugnya”
Seseorang yang
brediri di muka pintu berpaling. Sekali lagi Sanakeling berkata,
“Panggil
Alap-alap itu”
“Baik, baik Ki
Lurah” jawab orang itu sambil berlari-lari ke gubug yang lain. Tetapi kemudian
langkahnya terhenti. Dilihatnya Tohpati dan Sumangkar berjalan di hadapannya
menuju ke gubug Alap-alap Jalatunda pula.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar