Jilid 008 Halaman 3


Bahkan di sudut-sudut desa di kejauhan masih mungkin pula berdiri orang-orangnya yang sedang mengawasi keadaan di sekitarnya. Perlahan-lahan Swandaru meluncur turun. Dengan mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata,
“Ya, Kiai benar. Mereka sudah bersepuluh sekarang. Mungkin masih akan tambah lagi”
“Nah, karena itu, maka sebaiknya kalian tidak tergesa-gesa menentukan sikap apabila kalian menghadapi sesuatu. Cobalah membuat perhitungan-perhitungan yang cermat, baru kalian menentukan sikap. Tetapi itu tidak berarti bahwa kalian harus membuang-buang waktu untuk itu. Kalian perlu berpikir cepat dan tepat”
Agung Sedayu dan Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya mereka. Tetapi dalam pada itu Agung Sedayu bertanya pula,
“Tetapi Kiai, bukankah yang mereka katakan itu bohong belaka? Apakah benar bahwa orang-orang Pajang dan Sangkal Putung selalu berbuat sedemikian kasarnya terhadap penduduk?”
“Tentu tidak ngger”
“Tetapi orang-orang itu mengatakannya. Mereka berpura-pura menjadi orang Pajang. Dan berbuat hal-hal yang jelek atas penduduk”
Ki Tanu Metir tersenyum.
“Namun dengan demikian bukankah kita dapat mengetahuinya, salah sebuah cara yang mereka tempuh? Mereka ternyata tidak saja berperang dengan pedang dan tombak, namun mereka mempergunakan cara-cara yang licik untuk mengurangi kekuatan prajurit Pajang dan laskar Sangkal Putung dengan memisahkan mereka dari penduduk di sekitarnya. Dan pengetahuan kita atas cara itu adalah sangat penting. Angger Untara dan Angger Widura harus segera mengetahuinya pula”

Kembali Agung Sedayu dan Swandaru mengangguk-anggukkan kepala mereka. Dan sekali lagi mereka menyadari kekurangan mereka. Ternyata orang tua itu telah berbuat menurut pertimbangan yang semasak-masaknya. Dalam pada itu maka Ki Tanu Metir itu berkata pula,
“Nah ngger, untuk menghindari kemungkinan-kemungkinan yang kurang baik, maka marilah kita meninggalkan tempat ini segera. Aku tidak dapat memastikan apakah mereka akan kembali atau tidak. Namun apabila mereka kemudian berbicara di antara mereka, dan diketemukannya persoalan-persoalan yang mereka anggap kurang wajar, maka mereka pasti akan segera kembali. Karena itu, maka marilah kita segera menyingkir”
Swandaru dan Agung Sedayu mengangguk dan hampir bersamaan mereka menjawab,
“Marilah Kiai”
Ki Tanu Metir itu pun kemudian berdiri. Dan segera kembali ia meloncat dari satu batu kebatu yang lain. Namun kali ini ia berkata,
“Kalian tidak perlu menginjak batu bekas kakiku. Pilihlah sendiri batu-batu mana yang mungkin kalian loncati. Namun kalian dapat melihat, bagaimana caraku meloncat. Cara ini pun nanti akan sangat berguna bagi kalian dalam langkah-langkah unsur-unsur gerak yang akan kalian pelajari”
Swandaru menarik nafas panjang. Ia tidak perlu lagi jatuh terguling ke dalam air. Kini ia dapat memilih batu-batu yang tidak sesulit langkah Ki Tanu Metir. Namun meskipun demikian sekali-sekali ia masih juga harus terjun ke dalam air, meskipun tidak terpelanting jatuh.
Ternyata Agung Sedayu lebih lincah dari Swandaru. Kecakapannya dan bekalnya masih agak lebih banyak dari saudara seperguruannya yang gemuk bulat itu. Bahkan dalam olah senjata pun Agung Sedayu terpaut cukup jauh dari Swandaru. Dan inilah kesulitan Ki Tanu Metir. Namun ia adalah orang yang berpengalaman, sehingga kesulitan itu pun pasti akan dapat di atasinya.

Ketika mereka mendekati padukuhan Sangkal Putung, dan ketika mereka sudah sampai di sekitar tanah persawahan yang sedang digarap, maka mereka pun segera berhenti. Mereka kemudian berjalan sebagaimana biasa menyelusur tepian memasuki padukuhan Sangkal Putung. Tetapi ketika seseorang melihat mereka, maka tiba-tiba orang itu tertawa terkekeh-kekeh. Mereka segera mengenal Swandaru dan Agung Sedayu. Tetapi bahwa mereka basah kuyup adalah sangat menggelikan.
“Anakmas Swandaru, kenapa kau menjadi basah kuyup?”
Swandaru tersenyum lucu sekali. Dengan singkat ia menjawab,
“Mandi”
“Apakah kalian mandi dengan seluruh pakaian kalian? Dengan ikat kepala kaian dan kamus timang segala?”
“Ya”
“Tanpa membuka baju dan kain panjang?”
“Aku tejatuh, tahu” potong Swandaru.
“Bertiga?”
“Ya, bertiga. Kami berjatuhan ke dalam sungai”
Orang itu tertawa berkepanjangan. Namun Swandaru tidak memperdulikannya lagi. Mereka bersama berjalan tergesa-gesa lewat pinggir kali, kemudian menyusuri parit sidatan yang akan sampai di belakang rumah Swandaru Geni. Ketika mereka naik pinggiran susukan itu, maka Swandaru itu pun mengumpat-umpat. Regol belakang ternyata ditutup rapat-rapat. Dengan jengkelnya Swandaru memukul-mukul pintu regol itu. Namun tidak seorang pun yang mendengarnya.
“Gila orang-orang Sangkal Putung” desahnya.
“Marilah kita lewat jalan samping” ajak Agung Sedayu.
“Tidak mau” jawab Swandaru,
“Pakaian kita basah kuyup. Mereka, seisi halaman pasti akan mentertawakan kita”
“Lalu bagaimana?”

Swandaru berpikir sejenak. Lalu tiba-tiba ia berjalan mendekati sebatang pohon randu diluar regol halamannya. Lewat pohon itu ia memanjat ke atas. Kemudian dengan susah payah ia mencoba menggapai dinding halaman, namun ternyata ia tidak berhasil.
“Bagaimana?” bertanya Agung Sedayu.
Swandaru menggeleng, “Sulit” desahnya.
“Turunlah, biar aku mencobanya” berkata Agung Sedayu.
“Huh. Sejak kecil aku sudah pandai memanjat. Kali ini aku tidak dapat meloncati jarak ini. Apakah kau pikir kau lebih pandai daripadaku?”
“Aku hanya akan mencoba” jawab Agung Sedayu.
Swandaru itu pun kemudian meloncat turun. Kini Agung Sedayu lah yang mencobanya. Namun ia pun tidak juga berhasil. Ki Tanu Metir yang melihat mereka berdua sibuk dengan pohon randu itu tersenyum. Kemudian katanya,
“Turunlah ngger. Biarlah aku mencoba pula”
Agung Sedayu pun turun pula dari pohon itu. Namun mereka berdua, Agung Sedayu dan Swandaru menjadi heran pula di dalam hatinya, apakah Ki Tanu Metir juga cekatan memanjat. Namun ternyata orang tua itu pun masih sangat lincahnya. Dengan cepat ia melonjak naik, seperti seekor tupai. Jauh lebih cepat dari Swandaru dan Agung Sedayu. Tetapi Ki Tanu Metir itu tidak berhenti ketika ia telah mencapai ketinggian yang sejajar dengan dinding halaman. Ia masih naik lagi beberapa depa. Kemudian dengan lincahnya orang tua itu berjejak pada batang randu itu dan melenting hinggap di atas dinding halaman yang cukup tinggi itu. Sekali lagi Swandaru harus melihat bahwa kelincahan orang tua itu benar-benar mengagumkan. Bahwa tidak saja kekuatan tubuhlah yang menentukan segala-galanya. Namun kecekatan dan kelincahan akan banyak dapat membantu dalam segala persoalan jasmaniah. Ki Tanu Metir itu pun kemudian meloncat dan menghilang di belakang dinding, sedang sesaat kemudian regol dinding itu pun terbuka,
“Masuklah” berkata orang tua itu.
Swandaru dan Agung Sedayu segera melangkah masuk. Meskipun mereka tidak berkata apapun, namun di dalam kepala Swandaru semakin tajamlah pengakuannya atas seorang yang menamakan diri Ki Tanu Metir itu. Bahwa apa yang telah diperlihatkan kepadanya barulah sebagian kecil dari segenap ilmunya. Dan karena itulah maka ia menjadi semakin mantap berguru kepadanya.

Jauh dari padukuhan Sangkal Putung, Tohpati berjalan sambil menundukkan wajahnya, rombongannya semakin lama menjadi semakin banyak, sehingga akhirnya sampai pada duapuluh orang. Tidak banyak di antara mereka yang bercakap-cakap. Sekali dua kali terdengar ada yang berbisik-bisik di antara mereka. Namun kemudian kembali mereka berdiam diri. Dalam perjalanan itu, hati Tohpati selalu diganggu seja oleh pertanyaan-pertanyaan yang didengarnya dari Ki Tanu Metir,
“Ya” gumamnya di dalam hati, “Berapa tahun pertempuran ini akan berakhir?”
Tohpati itu pun kemudian berpaling. Dilihatnya beberapa wajah anak buahnya yang kosong. Kosong seperti otak mereka yang kosong pula.
“Apakah kepentingan mereka bertempur?” desis Tohpati di dalam hatinya,
“Apakah mereka tahu juga, bahwa kami sedang melepaskan dendam kami atasa gugurnya Adipati Jipang?”
Tohpati itu pun terkejut sendiri mendengar kata-kata hatinya,
“Dendam. Ya. Ternyata mereka kini tinggal mencoba untuk melepaskan dendam semata-mata. Seperti kata-kata orang tua di tengah-tengah sungai itu. Sebab mereka sudah pasti tidak akan dapat mencapai apa yang sejak semula mereka perjuangkan mati-matian. Kembalinya tahta pada garis keturunan Sekar Seda Lepen yang terbunuh sebelum sempat duduk di atas singgasana.”
Macan Kepatihan itu berdesah di dalam hatinya. Apakah sudah sewajarnya kalau ia membawa orang-orang yang tidak tahu-menahu itu ke dalam suatu peperangan yang tak akan kunjung habis. Sedang ia tahu pasti bahwa akhir dari perjuangan ini bukanlah suatu yang dapat dibangga-banggakan. Bagi dirinya sendiri, sudah pasti tidak ada jalan kembali. Namun bagi orang-orangnya yang tidak banyak mengetahui tentang Arya Penangsang dan tuntutan-tuntutannya?
Tiba-tiba Macan Kepatihan itu mengumpat,
“Setan. Orang tua itu bukan orang yang tolol”
Sanakeling terkejut. Selangkah ia menyusul maju dan bertanya,
“Kenapa?”

Macan Kepatihan menggeram dengan marahnya. Langkahnya tiba-tiba terhenti dan dengan kepala tengadah ia mengulangi kata-katanya,
“Orang tua di tengah sungai itu benar-benar bukan orang bodoh.” Sanakeling mengangkat alisnya. Kata-kata Tohpati itu mengherankannya. Apakah yang sebenarnya menarik pada orang tua itu? Tohpati telah memberi kesan kepada orang tua itu seolah-olah orang Pajang lah yang selalu datang ke padesannya dan merampas beras. Bukankah itu sudah memberikan suatu keuntungan. Kalau orang tua itu menyebarluaskan kata-kata Tohpati, maka mereka, penduduk Benda pasti akan membenci laskar Pajang dan setidak-tidaknya akan mengurangi bantuan mereka kepada orang-orang Pajang. Sehingga orang-orang Benda tidak lagi akan memberikan banyak keterangan tentang gerakan-gerakan Tohpati yang dapat mereka lihat dan mereka ketahui.
Tetapi Sanakeling itu menjadi semakin terkejut ketika Tohpati berkata,
“Ternyata kitalah yang bodoh. Bukan orang tua itu”
“Siapakah orang tua itu menurut dugaanmu?” bertanya Sanakeling.
Macan Kepatihan menggeleng,
“Aku tidak tahu. Tetapi orang itu memberikan suatu kesan yang aneh di dalam hatiku. Ia bukan tidak sengaja mengajukan berbagai pertanyaan dan pasti bukanlah kebetulan kalau mereka berada di tempat itu di siang hari begini”
Sanakeling tidak bertanya lagi. Namun ia benar-benar heran ketika ia melihat mata Tohpati kemudian menjadi suram.
“Apakah kita akan kembali lagi ke sungai itu untuk meyakinkan diri?”
Tohpati menggeleng,
“Tidak ada gunanya. Mereka pasti telah pergi. Mereka pasti bukan orang-orang Benda. Dan anak-anak muda itu pasti bukan cucunya. Aku terpengaruh melihat mereka basah kuyup, sehingga aku kehilangan kewaspadaan dalam mengamati mereka. Sekarang aku baru membayangkan kembali kedua anak muda itu. Matanya bersinar tajam. Mulutnya terkatub rapat. Namun mereka duduk dengan suatu kepastian di dalam hati mereka. Mereka duduk terlalu tenang dan mereka sama sekali tidak keheranan melihat kita. Yang bertubuh kecil agaknya seorang anak muda yang tenang dan menyimpan sesuatu di dalam tubuhnya, sedang yang gemuk rasa-rasanya aku pernah melihatnya”
“Dimana?”
Macan Kepatihan berpikir sejenak. Dicobanya untuk mengingat-ingat kapan ia melihat anak muda itu. Tetapi anak muda itu basah kuyup seluruh pakaiannya, sehingga memberikan kesan, seakan-akan anak itu benar-benar seorang anak padesan yang bodoh. Namun setelah Tohpati dengan segenap daya ingatnya mencoba mengenalnya, maka tiba-tiba Macan Kepatihan itu berteriak,
“Gila!. Kita tidak saja bodoh, tetapi kita sudah benar-benar gila, Sanakeling. Apakah kau tidak mempunyai mata lagi he?”
Sanakeling menjadi bertambah heran,
“Apa yang telah kau lihat?”
“Anak itu. Anak yang gemuk itu. Bukankah anak itu pernah turut dalam lomba memanah di lapangan dekat banjar desa Sangkal Putung? Bukankah anak itu yang menjadi pemenang di antara anak-anak muda Sangkal Putung?”
Sanakeling mengerutkan keningnya sambil menggigit bibirnya. Akhirnya ia pun tersentak sambil berkata,
“Ya, ya. Aku melihat pula waktu itu. Aku memang melihat anak yang gemuk seperti anak muda yang basah kuyup seperti tikus sawah itu tadi”
“Hem” Tohpati menggeram, namun kemudian ia berkata,
“Biarlah mereka kembali dengan suatu pengertian, bahwa Tohpati tidak saja mampu bertempur dengan senjata. Tetapi Tohpati juga berbuat hal-hal yang lain, yang dapat mempersempit gerakan orang Pajang”
“Tetapi mereka kini mengetahui cara itu. Anak itu pasti akan menyampaikannya kepada Widura atau Untara yang sekarang sudah berada di Sangkal Putung pula”
“Ya. Tetapi Untara akan melihat pula bahwa luka-luka Tohpati yang ditimbulkannya kini telah sembuh benar-benar. Tohpati telah menjadi segar kembali. Dan sebentar lagi Tohpati akan mampu menggulung Sangkal Putung”
Sanakeling mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Marilah kita kembali. Kita lihat, apakah mereka masih berada di tempat itu”
Tohpati menggeleng, katanya,
“Mereka bukan orang-orang bodoh seperti kita. Mereka pasti tahu siapa kita. Karena itu mereka pasti sudah pergi”

Sanakeling tidak menjawab. dilihatnya betapa Tohpati menjadi sangat kecewa karenanya. Tetapi Sanakeling tidak melihat bahwa hati Macan Kepatihan yang tak pernah dapat digoncangkan itu kini sedang ragu-ragu. Diragukannya kata-katanya sendiri,
“Apakah ia benar-benar mampu menggulung Sangkal Putung?”
Dan kembali beberapa pertanyaan telah menggoncangkannya pula. Pertanyaan yang menggores dinding hatinya,
“Apakah sebenarnya yang akan aku dapatkan dengan menduduki Sangkal Putung? Makan. Itu saja?”
Pertanyaan itu tak pernah mengganggunya sebelum ia bertemu dengan orang tua di tengah-tengah sungai itu. Pertanyaan itu bahkan tidak pernah ada. Namun kini pertanyaan itu sangat mengganggu ketenangannya. Bahkan kemudian pertanyaan-pertanyaan yang lain bermunculan pula di dalam benaknya. Pertanyaan-pertanyaan yang dapat menyulitkannya. Apakah ia untuk seterusnya akan dapat menduduki Sangkal Putung apabila berhasil direbutnya?,
“Tidak” pertanyaan itu dijawabnya sendiri.
“Widura dan Untara akan mengerahkan pasukan yang kuat untuk merebut Sangkal Putung. Merampas kembali kademangan itu. Meskipun aku telah mendapatkan beberapa pikul padi dan kekayaan-kekayaan yang lain tetapi beberapa bulan kemudian, maka kami akan kelaparan lagi. Dan pasukan Untara akan diperkuat pula. Sedang apabila kami tetap bertahan di kademangan itu, apakah yang akan kami lakukan kemudian? Menjadi Adipati? Mewarisi cita-cita Arya Penangsang?”
“Menjemukan” desisnya tiba-tiba. Sanakeling terkejut mendengar kata-kata itu sehingga dengan serta-merta ia bertanya,
“Apa yang menjemukan?”
Tetapi Macan Kepatihan sendiri bukan main terkejutnya mendengar kata-kata itu. Kata-katanya sendiri. Sehingga karena itu maka Macan Kepatihan itu menjadi gelisah. Apalagi ketika Sanakeling mendesaknya,
“Apakah yang menjemukan he?”
Tohpati menjawab sekenanya,
“Widura dan Untara. Mereka benar-benar menjemukan. Karena itu mereka harus segera dilenyapkan. Ayo, kita kembali. Malam ini Sangkal Putung kita bakar sampai habis. Persetan dengan segala lumbung-lumbungnya dan persetan dengan segala macam isinya”

Sanakeling mengerutkan keningnya. Dilihatnya wajah Macan Kepatihan menjadi merah membara. Namun demikian ia menjawab,
“Bagaimana mungkin. Sebagian orang-orang kita tidak ada di tempat. Mereka sedang mencoba mengambil perbekalan ke utara”
“Aku tidak peduli”
“Masih harus dipertimbangkan” sahut Sanakeling.
“Aku tidak mau membunuh diri”
“Terserah kepadamu. Aku akan pergi malam ini”
“Jangan kehilangan perhitungan”
Tohpati tersadar dari kebingungannya. Ketika dilihatnya Sanakeling penuh kebimbangan, maka berkatalah Macan Kepatihan itu kemudian,
“Kau tidak sependapat?”
“Berbahaya sekali”
“Kapan orang-orang yang pergi itu akan datang kembali?”
“Tiga empat hari. Mereka akan membawa sisa-sisa laskar kita yang betebaran di sisi utara Pajang. Kekuatan itu akan dipusatkan di sini. Bukankah begitu kehendakmu? Nanti apabila kau telah berhasil di sini, maka kau akan membawa seluruh barisan ke utara dan melepaskan beberapa kepentingan di selatan. Kalau keadaan di utara menjadi lebih baik, kau akan bertempur dan memulai perjuangan seterusnya dengan landasan daerah utara. Bukankah begitu?”
Tohpati mengangguk-anggukkan kepalanya. Dengan bimbangnya ia berkata,
“Ya. Aku pernah berkata demikian”
“Nah, karena itu, apakah kau akan menunggu orang-orang yang pergi itu?”
“Ya, aku akan menunggu dalam waktu yang pendek. Setelah itu, aku tidak akan dapat menunda lagi. Sejak kini seluruh pasukan harus disiapkan”
“Bagus. Kita harus menebus kekalahan yang pernah terjadi, bukan untuk mengulangi kesalahan itu”
“Ya, kau benar. Mari kita kembali”

Tohpati tidak menunggu jawaban Sanakeling. Dengan tergesa-gesa ia melangkah kembali kesarangnya. Sanakeling berjalan di belakangnya bersama-sama dengan Alap-alap Jalatunda. Dengan berbisik-bisik alap-alap muda itu bertanya,
“Kenapa dengan Macan Kepatihan itu?”
Sanakeling menggeleng. Entahlah. Mungkin orang tua di tengah-tengah kali yang dijumpainya tadi membiusnya. Ia tampak bingung dan hampir-hampir kehilangan keseimbangan”
“Tetapi bukankah ia masih mendengarkan nasehat kakang?”
“Untunglah demikian. Kalau tidak, maka ia akan membunuh dirinya”
Alap-alap Jalatunda tidak menjawab. Ia berjalan saja di samping Sanakeling. Di dalam hatinya ia bergumam,
“Untunglah, Tohpati mendengarkan nasehatnya. Kalau tidak, maka laskarnya akan menjadi semakin tercerai berai”
Tetapi orang-orang itu ternyata tidak tahu kalau Untara terluka. Sehingga dengan demikian maka mereka tidak mempergunakan kesempatan itu untuk menghancurkan Sangkal Putung meskipun Widura masih ada. Seandainya Tohpati tahu, maka ia akan mempergunakan saat itu sebaik. Dan bahkan Sanakeling dan Alap-alap Jalatunda pasti akan menyetujuinya. Mereka pasti tidak akan memperhitungkan hadirnya seorang dukun tua yang pasti akan menggemparkan mereka, seandainya ia mau berbuat sesuatu di dalam pertempuran yang terjadi. Karena itulah maka kini Macan Kepatihan benar-benar telah kehilangan pengertian dan gambaran tentang kekuatan yang sebenarnya ada di Sangkal Putung. Anak-anak muda yan semakin hari tekadnya semakin menyala dan berlatih dengan tak mengenal lelah. Orang-orang tua pun tidak juga mau ketinggalan. Meskipun Sidanti meninggalkan Sangkal Putung, namun Agung Sedayu telah siap menggantikannya dalam setiap persoalan. Anak muda itu ternyata tidak kalah dari Sidanti dalam segenap hal. Apabila ia telah memiliki pengalaman seperti Sidanti, maka Agung Sedayu benar-benar tidak akan mengecewakan.
Ketika Macan Kepatihan menyiapkan kembali sebuah serbuan yang akan dilancarkan atas Sangkal Putung, maka Sangkal Putung pun sedang giat menempa dirinya.

Sementara itu, Swandaru dan Agung Sedayu telah dengan tekun menuruti nasehat-nasehat Ki Tanu Metir. Mereka kini tidak lagi berlatih di sungai. Tetapi mempergunakan ruang-ruang tertutup di belakang kademangan, atau di tempat lain yang telah disediakan oleh Ki Demang Sangkal Putung. Apabila malam datang, maka pergilah mereka berjalan-jalan bersama dengan Widura dan kadang-kadang Untara ke gunung Gowok. Di tempat itulah Swandaru dan Agung Sedayu bekerja keras untuk membentuk dirinya. Namun sebagian perhatian Ki Tanu Metir dititik-beratkan pada Swandaru. Anak yang gemuk itu harus mencapai tingkatan yang tidak begitu jauh dari Agung Sedayu. Barulah mereka dapat bersama-sama menerima pimpinan dan bimbingan yang serupa. Semakin hari luka Untara pun menjadi semakin ringan. Bahkan kini luka itu telah tidak mengganggunya lagi. Karena obat-obat reramuan yang dibuat oleh Ki Tanu Metir dan diminumnya setiap hari, maka kesehatannya pun telah benar-benar pulih. Kekuatan tenaganya, ketangkasannya, sehingga Untara telah benar-benar siap untuk melakukan tugasnya kembali. Di hari-hari terakhir, Untara telah mendengar pula dari orang-orangnya bahwa kegiatan Tohpati telah ditingkatkan. Tohpati telah melakukan kegiatan yang melampaui kebiasaan. Tetapi setelah lewat tiga hari dari peristiwa di pinggir kali itu, Tohpati ternyata belum melakukan sergapannya. Namun dengan demikian, berarti kepada Tohpati telah menjadi dingin kembali, dan persiapannya akan menjadi lebih masak. Sebenarnyalah Tohpati kemudian menjadi lebih tenang. Ia tidak lagi berbuat tergesa-gesa. Bahkan dua kali ia telah menunda rencananya untuk menyerang Sangkal Putung. Sanakeling, Alap-alap Jalatunda, dan orang-orangnya semula menganggap bahwa Macan Kepatihan merasa persiapannya masih belum cukup masak. Namun setelah Macan Kepatihan menunda rencananya sampai dua kali, maka mereka terpaksa menduga-duga. Apakah yang sebenarnya telah terjadi pada pemimpin laskar Jipang yang gigih itu. Tetapi tak seorang pun yang tahu, apakah yang telah bergolak di dalam dada Tohpati. Seorang senapati yang tidak pernah ragu-ragu dalam mengambil setiap keputusan. Seorang pemimpin yang mempunyai perbawa yang kuat, dan seorang pemimpin yang berjiwa kepemimpinan. Tetapi pada saat-saat terkhir, Tohpati tampaknya selalu ragu-ragu atas segala keputusannya. Bahkan kadang-kadang tampak ia menjadi bingung tak bernafsu. Keadaan itu benar-benar mencemaskan beberapa orang pembantunya. Terutama Sanakeling dan Alap-alap Jalatunda. Namun sampai sedemikian jauh, belum ada di antara mereka yang berani menanyakannya.

Meskipun laskar Jipang kemudian telah siap melakukan segala macam perintahnya, meskipun seluruh sisa-sisa pasukan Sanakeling, Alap-alap Jalatunda dan sisa-sisa laskar Plasa Ireng beserta laskar yang tercerai berai telah berkumpul di hutan-hutan di sebelah barat Sangkal Putung, namun Tohpati tidak segera mulai dengan serangannya. Bahkan tampaklah ia menjadi murung dan ragu-ragu. Namun dalam saat-saat terakhir, Macan Kepatihan itu selalu berjalan berkeliling, dari seorang laskarnya ke orang berikutnya. Mereka bercakap-cakap dan berbincang dalam berbagai persoalan. Mereka berbicara tentang hal-hal yang sama sekali tidak bersangkut-paut dengan kelaskarannya. Beberapa orang anggota laskarnya menjadi heran dan terkejut. Pemimpinnya yang ditakuti dan disegani itu tiba-tiba telah datang kepadanya, menepuk pundaknya sambil bertanya dalam banyak persoalan. Seorang yang bertubuh tinggi kurus dan berkumis jarang-jarang hampir tak dapat menjawab ketika tiba-tiba saja Tohpati telah berdiri di sampingnya sambil bertanya,
“He, apa kerjamu?”
Orang itu memandang pemimpinnya seperti baru sekali dilihatnya, sehingga Tohpati itu mengulangi,
“Apa kerjamu?”
Terbata-bata orang itu menjawab,
“Duduk tuan, aku hanya duduk saja”
Tohpati tersenyum. Dipandanginya wajah yang kurus pucat itu. Tiba-tiba ia bertanya pula,
“Berapa umurmu?”
Delapan belas tahun, tuan”
“He?” Tohpatilah yang kemudian terkejut. Anak itu berumur delapan belas tahun. Namun wajahnya tampak jauh lebih tua dari umurnya itu. Sehingga hampir tidak percaya ia mengulangi pertanyaannya,
“Umurmu berapa?”
Laskar yang kurus itu benar-benar menjadi heran. Namun ia menjawab,
“Delapan belas tahun tuan. Benar-benar delapan belas tahun”
Tohpati mengangguk-anggukkan kepalanya. Dengan wajah yang suram ia berkata,
“Kau masih sangat muda. Apakah kau masih mempunyai ayah dan ibu?”
Anak itu menggeleng. Tiba-tiba wajah anak itu pun menjadi suram pula sesuram wajah pemimpinnya. Dengan suara parau ia menjawab,
“Ayah telah mati terbunuh beberapa bulan yang lampau”
“Kenapa? Bertanya Tohpati,
“Siapakah yang membunuhnya?”
“Ayah terbunuh ketika laskar Pajang memasuki padukuanku. Ayah mencoba ikut bertahan. Namun ujung tombak orang Pajang telah menyobek dadanya”
“Oh” Tohpati mengangguk-anggukkan kepalanya. Dengan nada yang rendah ia bertanya,
“Sekarang apakah kau ingin menuntut kematian ayahmu itu?”
“Tentu tuan. Aku harus membalas dendam yang membara di hati. Aku telah bersumpah, bahwa aku harus dapat menebus kematian ayahku dengan dua atau tiga orang Pajang. Aku tidak peduli apa yang sebenarnya terjadi antara Jipang dan Pajang”

Tohpati menarik nafas dalam-dalam. Ternyata anak ini bertempur sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan cita-cita Arya Penangsang yang dianggapnya sedang berusaha menuntut keadilan. Anak itu sama sekali tidak tahu, apakah yang dikehendaki oleh Adipati Jipang itu. Tidak tahu menahu tentang Sekar Seda Lepen. Tidak tahu menahu tentang Sunan Prawata, Ratu Kalinyamat yang bertapa hanya berkain rambutnya sendiri, karena suaminya terbunuh oleh Arya Penangsang. Tidak tahu bahwa Adipati Pajang kemudian telah berhasil membinasakan Arya Penangsang dengan tangan putra angkatnya Mas Ngabehi Loring Pasar. Tidak. Anak itu tidak tahu apa-apa. Ia hanya mendendam karena ayahnya terbunuh. Mungkin ayahnya sedang berjuang untuk satu cita-cita. Tetapi anak ini tidak. Anak ini hanya ingin melepaskan dendam di hatinya. Tetapi ia melihat semangat yang menyala dari mata anak itu. Mata yang jauh lebih besar dibandingkan dengan tubuhnya yang kurus.
Tiba-tiba terluncur dari mulut Tohpati,
“Ibumu?”
Anak itu menggeleng. Jawabnya,
“Aku tidak tahu. Ibu telah lama pergi”
“Kemana?”
Anak itu menjadi ragu-ragu. Tetapi kemudian dengan berat hati ia menjawab,
“Ibu pergi dengan laki-laki lain”
Tohpati mengerutkan keningnya. Ia menjadi semakin iba mendengar jawaban itu. Sebab dengan demikian, maka adalah suatu kemungkinan bahwa ayahnya pun bertempur bukan karena cita-cita. Tetapi sekedar melepaskan sakit hatinya. Dan pengaruh keluarga yang buruk itu kemudian telah memaksa anak itu untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang memancarkan dendam di hatinya. Tiba-tiba Tohpati mendengar kawannya yang duduk di sampingnya tertawa meringkik seperti seekor kuda. Tohpati sama sekali tidak senang mendengar suara tertawa itu, sehingga ia membentak,
“Kenapa kau tertawa?”
Orang yang tertawa itu terkejut. Ia sendiri tidak menyadari bahwa ia telah tertawa. Karena itu, maka ia menjadi ketakutan.
“Kenapa kau tertawa, he?” Tohpati mengulangi.
Sedemikian takutnya orang itu sehingga tanpa dapat berpikir ia menjawab,
“Anak itu tuan. Anak itu berbuat seperti laki-laki yang dikatakannya”
“He?” wajah Tohpati menjadi merah. Sambil menggertakkan giginya ia bertanya kepada anak muda itu,
“Apa yang telah kau lakukan?”
Anak muda itu menggigil seperti kawannya yang duduk di sampingnya.
“Tidak, tidak tuan” katanya dengan gemetar. Sekali ia memandangi kawannya itu, dan sesekali ia memandang kaki Tohpati. Ia sangat menyesal kenapa kawannya itu mengatakannya, dan kawannya itu pun bukan main terkejut mendengar kata-katanya sendiri.
“Apa yang telah kau lakukan?” bertanya Tohpati dengan nada yang berat penuh tekanan.
“Aku tidak apa-apa tuan” jawab anak muda itu terbata-bata.
“Apa yang sudah kau lakukan?” ulang Tohpati.
“Tidak ada tuan”
Sekali lagi Tohpati bertanya, kali ini perlahan-lahan,
“Apa yang sudah kau lakukan?”

Tubuh anak muda itu menjadi semakin gemetar. Hampir tak terdengar ia berkata,
“Aku hanya membalas sakit hatiku tuan. Aku membenci perempuan karena ibuku yang tidak setia”
“Apa yang telah kau lakukan terhadap perempuan?”
Laki-laki itu menjadi semakin ketakutan. Hampir-hampir ia menangis karenanya. Lamat-lamat ia menjawab,
“Tidak apa-apa tuan. Aku hanya berbuat menuruti perasaan. Aku sudah menyesal”
Tohpati berpaling pada kata-kata yang duduk di sampingnya. laki-laki itu pun menunduk dalam-dalam. Tiba-tiba ia menyambar pundaknya sambil mengguncang tubuhnya,
“Apa yang sudah dilakukannya?”
Laki-laki itu menjadi gemetar. Bibirnya bergerak-gerak namun suaranya tidak juga keluar dari mulutnya. Ketika Tohpati sama sekali mengguncang pundaknya, barulah ia berkata,
“Ia, ia membawa istri orang tuan”
Bukan main marah Tohpati mendengar jawaban itu. Itu adalah perbuatan terkutuk. Perbuatan yang tidak dapat dibenarkan. Hampir saja ia memukul laki-laki kurus dan berkumis jarang yang baru berumur delapan belas tahun itu. Namun tiba-tiba disabarkannya dirinya. Sambil menggigit bibirnya ia menggeram.
Tohpati mengangkat wajahnya. Apa yang dilakukan itu bukanlah satu-satunya kejahatan yang telah pernah terjadi di antara anak buahnya. Ia bukannya tidak mendengar bahwa anak buahnya pernah pula merampok, mencegat orang dan menyamunnya di perjalanan. Membunuh, menculik dan berbagai kejahatan-kejahatan yang lain. Tetapi Tohpati menyadari, bahwa itu adalah akibat yang tidak dapat dihindarkan dari keadaan laskarnya kini. Keadaan yang serba sulit dan tertekan. Beberapa orangnya telah menjadi berputus asa dan kehilangan pegangan, seperti anak muda yang baru berumur delapan belas tahun itu. Anak itu sama sekali tidak tahu apa yang sudah dilakukannya.
Tohpati itu menekan dadanya sambil menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya,
“Kenapa hal itu kau lakukan?”

Anak muda yang kurus pucat dan berkumis jarang itu tidak dapat menjawab. Ia tidak pernah berpikir sebelumnya, kenapa ia membawa perempuan itu. Barulah kini ia mencoba bertanya kepada dirinya, kenapa ia membawa perempuan itu. Tetapi perempuan itu tidak pernah merasa bahwa ia menyesal karena perbuatannya. Perempuan itu sampai sekarang masih juga selalu berusaha menyenangkannya dan memeliharanya. Ia terkejut pula ketika mendengar Tohpati bertanya pula,
“Kenapa kau bawa perempuan iu. Dan apakah perempuan itu tidak ketakutan tinggal bersamamu di antara kawan-kawanmu?”
Laki-laki itu menggeleng,
“Ia senang tinggal bersama kami tuan”
“Oh” Tohpati mengelus kumisnya,
“Siapakah perempuan itu?”
Laki-laki itu ragu-ragu sesaat. Kemudian jawabnya,
“Namanya Nyai Pinan”
“He?” sekali lagi Tohpati terkejut. Nyai Pinan.
“Hem” Macan Kepatihan itu menarik nafas dalam-dalam.
“Untunglah anak itu belum aku pukul kepalanya”
Tohpati itu tiba-tiba kehilangan kemarahannya. Ia menjadi kasihan kepada anak laki-laki itu. Nyai Pinan adalah seorang perempuan yang jauh lebih tua dari laki-laki itu. Perempuan yang berumur tigapuluh lima tahu, bukanlah perempuan yang perlu disesalkan apabila ia telah pergi meninggalkan suaminya. Pantaslah bahwa perempuan itu sama sekali tidak menyesal dan ketakutan tinggal di antara laskarnya, di antara laki-laki yang kasar dan keras. Macan Kepatihan itu tiba-tiba saja melangkahkan kakinya pergi meninggalkan laki-laki itu. Sekilas masih terbayang di dalam benaknya, perempuan yang bernama Nyai Pinan itu dahulu pernah dibawa oleh Plasa Ireng atau oleh orang lain di antara laskarnya.
“Gila. Kehidupan ini benar-benar kehidupan yang liar. Menjemukan, menjemukan”
Tohpati itu pun kemudian langsung pergi ke dalam gubugnya di tengah-tengah hutan. Langsung ia merebahkan dirinya di atas sebuah pembaringan bambu. Sekali-sekali terdengar ia menggeram. Dibayangkannya kehidupan seluruh laskarnya. Yang berada dekat-dekat di sekitarnya, dan yang betebaran di beberapa tempat yang lain. Laskar yang diperintahkannya untuk membuat Pajang kehilangan kesempatan membangun dirinya karena kekisruhan-kekisruhan yang terjadi.
“Apakah hasil yang telah kucapai dengan itu” desahnya.

Dibayangkannya bahwa rakyatnya justru menjadi bingung dan ketakutan. Tak ada ketenangan dan tak ada kesempatan mereka menikmati hidup setenang-tenangnya.
“Tetapi bukankah itu yang aku kehendaki?”
Kata-kata itu dijawabnya sendiri,
“Ya. Kini ternyata bahwa aku hanya sekedar mendendam di hati, melepaskan kekecewaan dan sakit hati. Aku hanya ingin Pajang tidak berhasil menenangkan dirinya dan melakukan rencana-rencananya. Itu saja.”
Macan Kepatihan itu menggeram. Dengan serta-merta ia bangkit dan menghentakkan kakinya ke tanah sambil berkata kepada dirinya sendiri,
“Gila. Kenapa aku bertemu dengan orang tua itu. Dengan orang yang mengatakan dirinya orang Benda. Alangkah bodohnya aku. Orang itu bukan orang Benda. Dan orang itu bukan orang yang bodoh. Pertanyaannya telah menggoncangkan hatiku. Tetapi aku sudah berada di tengah-tengah arus. Aku tidak dapat berjalan kembali.”
Macan Kepatihan itu tiba-tiba melangkah dan berjalan keluar. Diluar dipanggilnya seorang laskarnya. Katanya,
“Panggil Sanakeling.”
Sesaat kemudian Sanakeling telah berada di dalam gubugnya. Wajahnya tampak tegang dan sekali-sekali timbullah pertanyaan memancar dari matanya.
“Apakah kita sudah benar-benar siap” bertanya Macan Kepatihan.
Pertanyaan itu terdengar aneh di telinga Sanakeling. Macan Kepatihan telah beberapa kali melihat sendiri, bahwa laskar Jipang telah ditarik sebagian besar kedalam hutan itu untuk melakukan rencananya yang tertunda-tunda. Kalau waktu persiapan yang diperlukan terlalu lama, maka mereka akan segera kehabisan persediaan bahan makanan. Dengan demikian maka ketahanan laskarnya pun pasti akan berkurang.
Meskipun demikian, maka Sanakeling itu menjawab,
“Sudah. Sudah sejak beberapa hari yang lalu laskar Jipang telah siap melakukan perintah. Bahkan kini mereka hampir kehilangan gairah untuk bertempur karena pertempuran tertunda-tunda.”
Tohpati mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak dapat membantah kata-kata Sanakeling itu. Ia mengakui, betapa seorang prajurit akan kehilangan semangatnya apabila mereka harus menunggu dan menunggu, sedangkan mereka sudah siap untuk melakukan setiap perintah.
Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya Tohpati menjawab,
“Baik. Aku tidak akan menunda sergapan untuk kesekian kalinya. Tetapi aku harus yakin bahwa sergapan kita kali ini akan berhasil.”
“Kita telah mengukur kekuatan mereka” sahut Sanakeling,
“kita sudah tahu kekuatan-kekuatan yang ada di dalam Kademangan Sangkal Putung. Dan kita kini telah memperhitungkan kekuatan itu pula. Orang yang berhasil membunuh Plasa Ireng itu pun telah kita perhitungkan. Tiga orang itu dalam satu lingkaran pertempuran akan melampaui kekuatan Plasa Ireng. Sedangkan lawan Alap-alap Jalatunda ternyata memerlukan perhatian. Seorang dari mentaok akan mengawasi Alap-alap Jalatunda. Widura serahkan kepadaku, dan Untara adalah lawanmu. Terserah kepadamu, apakah perlu seseorang untuk membantumu, ataukah kau merasa bahwa kau akan berhasil melawannya sendiri. Sedang jumlah laskar yang kita pergunakan kini ternyata bertambah banyak. Hanya untuk mengumpulkan mereka aku memerlukan waktu sehari. Sebab untuk mengurangi kesempatan, sebagian tersebar di beberapa tempat.
“Bagus. Siapkan mereka besok. Malam nanti aku akan melihat-lihat keadaan.”
Sanakeling mengerutkan alisnya. Dengan ragu-ragu ia berkata,
“Apakah kau berkata sebenarnya?”
“Kenapa?”
“Apakah kali ini tidak akan tertunda lagi seperti hari-hari yang lalu?”
Macan Kepatihan mendengar sindiran itu. Namun ia tidak menjawab.
Sesaat mereka berdiam diri. Wajah Tohpati menjadi tegang. Kemudian terdengar ia berkata,
“Tinggalkan aku sendiri.”

Sanakeling mengangkat alisnya. Kemudian ia berdiri dan berjalan keluar ruangan itu dengan hati bimbang. Sekali ia berpaling dan dilihatnya Tohpati menekur kepalanya. Pemimpin laskar Jipang itu tampaknya tidak segarang beberapa saat yang lalu. Karena itulah Sanakeling menjadi cemas. Ia tidak mau melihat setiap kelemahan yang ada di dalam dirinya, di dalam tubuh laskarnya, apalagi dipucuk pimpinannya. Ia menghendaki semuanya berjalan keras, cepat dan dapat menimbulkan akibat yang menggoncangkan lawan-lawannya. Menimbulkan kengerian dan ketakutan. Sepeninggal Sanakeling, maka Tohpati itu pun segera memanggil seorang yang telah agak tua. Orang itu telah agak tua. Orang itu pernah menjadi penasehatnya dalam berbagai hal. Seorang yang tidak saja memiliki pengalaman yang luas. Namun ia adalah seorang yang memiliki daya pengamatan yang jauh. Orang tua itu berdebar-debar mendengar panggilan Tohpati. Telah agak lama Tohpati tidak memerlukannya. Hampir tidak pernah dapat ia menemui anak muda yang menggemparkan seluruh daerah Demak itu. Namun kini tiba-tiba Tohpati memanggilnya.
“Duduklah paman Sumangkar.”
Orang yang telah agak lanjut dan bernama Sumangkar itu duduk di samping Tohpati sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Terima Kasih, ngger.”
“Kenapa paman tidak pernah menampakkan diri akhir-akhir ini?”
Sumangkar mengerutkan alisnya yang hampir memutih. Jawabnya,
“Angger tidak pernah memanggil paman ini. Dan karena itu maka aku tidak berani mengganggu angger.” Tohpati mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya serta-merta,
“Paman, aku akan memulai dengan sebuah sergapan baru. Apakah paman sependapat?”
Sumangkar mengerutkan keningnya pula. Pertanyaan ini agak aneh baginya. Sudah beberapa kali Tohpati melakukannya tanpa minta pendapatnya. Tiba-tiba kini pemimpin yang garang itu bertanya tentang rencananya itu. Justru karena itu maka Sumangkar menjadi ragu-ragu.
“Bagaimana paman?” desak Tohpati.
Sumangkar menarik nafasnya dalam-dalam. Dikenangnya ketika Tohpati itu menjadi sangat marah, dan seterusnya hampir tak pernah ia diajaknya berbincang. Tohpati itu marah ketika ia mencoba memperingatkan bahwa segenap usaha yang akan dilakukan adalah sia-sia. Tetapi kini ia menghadapi pertanyaan itu. Pertanyaannya yang seperti pernah didengarnya dahulu.

Karena itu maka untuk sejenak Sumangkar menjadi ragu-ragu. Apakah sebabnya tiba-tiba saja Tohpati memanggilnya dan bertanya kepadanya mengenai hal itu pula? Karena Sumangkar tidak segera menjawab, maka Tohpati itu mendesaknya,
“Bagaimana paman?”
Sumangkar menarik nafas dalam-dalam. Kemudian jawabnya,
“Raden. Pertanyaan itu sangat sulit bagiku.”
“Kenapa? Bukankah paman memiliki pengetahuan dan pengalaman yang cukup dalam olah keprajuritan? Bukankah paman bekas seorang yang cukup dekat dengan paman Mantahun? Nah, bagaimanakah pendapat paman?”
“Aku adalah seorang yang telah berumur agak lanjut. Seharusnya aku harus berkata sebenarnya menurut pertimbangan di dalam kepalaku. Namun aku tidak dapat menutupi kenyataan, bahwa untuk berkata sebenarnya adalah sulit sekali. Bukankah angger pernah marah kepadaku karena aku tidak sependapat dengan angger?”
Tohpati menarik keningnya. Dipandanginya Sumangkar tajam-tajam seperti ingin dilihatnya pusat jantungnya. Dan karena itulah maka Sumangkar itu menundukkan kepalanya.
“Paman” berkata Tohpati,
“aku tahu paman adalah seorang yang pilih tanding. Seorang yang memiliki kesaktian yang sukar dicari bandingnya. Kenapa paman berpikiran terlalu pendek. Kalau paman mempunyai tekad yang agak kuat di dalam dada paman, maka paman akan dapat menyumbangkan tenaga paman dalam perjuangan ini. Tetapi selama ini paman lebih senang mendekam di dapur sambil menghangatkan tubuh. Kenapa paman tidak lagi bersedia memandi tombak atau memegang gagang pedang?”
Sumangkar mengangguk-anggukkan kepalanya, jawabnya,
“Sudah aku katakan Raden, alasan-alasan yang memaksa aku untuk berdiam diri.”
“Tetapi kenapa paman tidak pergi saja dan menyeberang ke pihak Pajang?”
Sumangkar mengangkat kepalanya sesaat. Namun kemudian ditundukkannya lagi. Pertanyaan itu amatlah sulitnya. Meskipun demikian dijawabnya pula dengan jujur,
“Raden, aku adalah hamba kepatihan Jipang sejak aku melepaskan pakaian Wira Tamtama karena umurku yang telah lanjut. Aku adalah saudara seperguruan Kakang Patih Mantahun. Aku adalah kawan berbincang, dan aku salah seorang yang ikut serta menyetujui tuntutan Arya Penansang kepada Pajang dan putra-putra Sultan Trenggana yang lain. Tetapi caraku agak berbeda dengan cara yang telah ditempuh angger Pangeran. Aku menyarankan agar angger melakukan tuntutan dan perjuangan tanpa mengorbankan saudara-saudara sepupunya dengan cara yang telah ditempuh. Dengan demikian maka kawula Demak akan segera melihat noda-noda pada dirinya. Tetapi itu telah ditempuhnya, dan aku tidak dapat menghindarkannya. Kakang Mantahun adalah seorang yang keras hati sehingga Arya Penangsang yang terlalu dilanda oleh arus perasaannya itu terbakar oleh rencananya. Dan terjadilah apa yang telah terjadi. Apakah dengan demikian masih ada kemungkinan bagiku untuk menyeberang ke Pajang?”

Tohpati mendengarkan kata demi kata dengan penuh perhatian. Ia merasakan bahwa apa yang terjadi kemudian adalah akibat dari ketergesa-gesaan para pembantu Arya Penangsang. Namun sebagai seorang prajurit yang terpercaya, maka ia tidak dapat berbuat lain daripada meneruskan perjuangan itu. Tetapi apakah yang dapat dicapainya dengan perjuangannya itu? Meskipun demikian Tohpati itu berkata tajam,
“Tetapi paman selama ini hampir tidak berbuat apa-apa. Pada saat Adipati Penangsang masih melakukan perjuangan, paman ternyata menjadi seorang yang ditakuti di garis-garis perang. Namun kemudian paman tidak lebih dari seorang juru masak yang malas. Kenapa paman tidak mau bertempur seperti masa-masa lampau itu?”
Sumangkar menarik alisnya tinggi-tinggi. Sebagai seorang yang telah berusia lanjut, maka ia dapat berpikir dengan tenang. Dan dengan enang pula ia menjawab,
“Kalau aku turut dalam peperangan yang tidak akan berarti apa-apa ini Raden, maka aku hanya akan memperpanjang penderitaan. Penderitaan rakyat Pajang dan rakyat Jipang sendiri. Sebab seperti yang pernah aku katakan, perjuangan ini tidak akan berhasil. Apa yang dapat kita lakukan hanyalah pembalasan dendam pada beberapa pihak. Melepaskan sakit hati dan membuat onar dimana-mana. Apakah kira-kira demikian juga cita-cita Arya Penangsang sendiri? Seandainya Arya Penangsang berhasil merebut tahta, apakah yang kira-kira akan dikerjakan? Memanjakan diri sendiri atau berbuat sesuatu untuk membentuk Demak menurut seleranya? Nah, bandingkanlah dengan apa yang kau lakukan ngger. Dengan anak buah angger dan dengan seluruh perbuatan laskar Jipang ini”
Tohpati mengerutkan keningnya. Terdengar ia menggeram. Kata-kata Sumangkar itu hampir seperti kata-kata orang tua yang dijumpainya di sungai beberapa hari yang lampau. Kata-kata orang tua yang telah memiliki berbagai pertimbangan. Tetapi Tohpati masih ingin meyakinkan dirinya,
“Paman, apakah dengan demikian kita tidak menjadi seorang pengecut? Seorang yang tidak berani menghadapi pahit getir perjuangan? Seorang prajurit sejati akan pantang menyerah. Pantang menyerah kepada lawan, dan pantang menyerah kepada keadaan”
“Raden benar” sahut Sumangkar,
“Jangan menyerah kepada lawan. Jangan menyerah kepada keadaan. Namun jangan membutakan diri atas kenyataan. Selama ini kita masih dihadapkan pada cita-cita, maka kita tidak akan berputus asa. Namun apabila kita menyakini kelemahan diri dan meyakini bahwa apa yang hendak kita capai itu tidak akan terpenuhi, maka sebaiknya kita menyadari keadaan. Korban telah semakin banyak dan korban itu tidak akan berarti apa-apa. Korban yang sia-sia. Korban dari nafsu pembalasan dendam dan sakit hati”

Tohpati tidak berkata apa-apa lagi. Ia kini seakan-akan melihat sebuah gambaran yang suram tentang masa depan laskarnya. Ia kini melihat betapa korban berjatuhan di kedua belah pihak tanpa dapat merubah keadaan. Korban yang menurut Sumangkar adalah korban yang sia-sia. Sesaat mereka berdiam diri. Tohpati dengan angan-angannya dan Sumangkar dengan angan-angannya pula. Namun sejenak kemudian terdengar Macan Kepatihan itu menggeram,
“Apakah paman menyayangkan korban-korban itu?”
“Ya” sahut Sumangkar pendek.
“Mati bagi prajurit adalah kemungkinan yang sudah diketahuinya. Mati bagi seorang prajurit adalah kemungkinan yang sama dengan kemungkinan untuk hidup. Sehingga mati magi seorang prajurit sama sekali bukan suatu hal yang mengejutkan”
“Angger benar. Mati bagi aku dan bagi angger adalah kemungkinan yang paling dekat terjadi. Bahkan lebih dekat dari kemungkinan untuk hidup. Tetapi apakah mati bagi mereka yang sama sekali tidak tahu menahu persoalan ini juga dapat dibenarkan? Apakah mati bagi orang-orang Sangkal Putung, dukuh Pakuwon, Benda dan orang-orang lain di sekitar Pajang dan Jipang Wanakerta, di sebelah barat Demak dan di sudut-sudut Bergota itu juga sudah wajar? Laskar Raden yang terpencar dan menyusup di daerah-daerah itu benar-benar tak terkendalikan. Rakyat di daerah itu dan laskar Pajang berusaha untuk menumpasnya. Yang mati di antara laskar angger dan laskar Pajang adalah wajar. Tetapi rakyat yang tergilas oleh arus peperangan itu?”
Tohpati mengangguk-anggukkan kepalanya. Bahkan menurut bunyi di sudut relung hatinya berkata,
“Bukan hanya mereka. Tetapi bahkan anggota-anggota laskarnya sendiri bukanlah orang-orang yang tahu akan keadaannya. Ada di antara mereka yang hanya terlanjur terdorong oleh arus yang tidak dapat dihindari tanpa keyakinan apa-apa. Tetapi ada yang dengan sengaja dan mempergunakan kesempatan untuk kepentingan-kepentingan yang kotor. Bahkan ada yang kedua-duanya, putus asa dan kesempatan berbuat di luar peraturan-peraturan. Merampas dengan dalih yang itu-itu juga, untuk kepentingan perjuangan. Membunuh dengan dalih itu-itu juga, mengkhianati perjuangan atau berpihak kepada musuh. Menculik dan merampok. Bahkan segala perbuatan yang bertentangan dengan perikemanusiaan. Apabila peperangan ini masih berlangsung terus, maka hal-hal yang serupa itu masih akan berlangsung lama.

Kembali mereka berdua terlempar dalam kesenyapan. Yang terdengar hanyalah nafas Macan Kepatihan yang semakin cepat mengalir lewat lubang-lubang hidungnya. Matanya yang tajam menerkam dinding bambu yang berlubang-lubang di hadapannya. Tetapi lubang-lubang itu kini sama sekali sudah tidak kelihatan. Ketika Tohpati berpaling menembus celah-celah tutup keyong gubugnya yang tidak rapat, maka terdengar ia berdesis,
“Sudah hampir gelap”
Sumangkar mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Ya, sudah hampir gelap”
Tiba-tiba Tohpati berdiri. Beberapa langkah ia berjalan ke sudut ruangan itu. Diraihnya tongkat baja putihnya yang tersangkut di atas pembaringannya. Sumangkar memandang senjata itu dengan wajah yang tegang. Ia tidak tahu, apakah yang akan dilakukan oleh Macan Kepatihan yang garang itu. Tetapi ketika ia melihat Tohpati memutar tubuhnya, dan dilihatnya dalam keremangan ujung malam itu kesan sikap yang wajar, maka Sumangkar pun tidak beranjak dari tempatnya. Dari lubang pintu cahaya pelita menembus masuk ke dalam ruangan. Bukan pelita, tetapi sebuah obor yang menyala-nyala di samping di mulut pintu.
“Paman, aku ingin berjalan-jalan bersama paman malam ini” suara Tohpati datar dalam nada yang rendah.
Dada Sumangkar berdesir. Tidak pernah Tohpati membawanya pergi akhir-akhir ini. Kini tiba-tiba Macan Kepatihan itu mengajaknya.
Banyak hal yang dapat terjadi kemudian. Apakah Macan Kepatihan itu marah kepadanya, apakah Macan Kepatihan itu ingin mendengar pendapat-pendapatnya lebih lanjut, adalah teka-teki yang tak dapat diketahuinya. Tetapi sudah tentu ia tidak dapat menolak. Kalau Tohpati ingin berbuat jahat kepadanya, maka sudah tentu ia tidak akan pergi berdua, sebab Sumangkar tahu pasti, bahwa Tohpati menyadari keadaannya. Sumangkar bukanlah lawannya. Sumangkar adalah takaran dua tiga kali daripadanya. Sebab Sumangkar adalah suadara seperguruan dari gurunya, Patih Mantahun. Tetapi apa yang dilakukan Sumangkar itu kemudian tidak lebih dari seorang juru masak yang baik. Bahkan sebagian besar dari laskarnya yang baru ditemukan oleh orang-orang Jipang sepanjang peperangan atau prajurit-prajurit Jipang yang tersebar dimana-mana tidak mengenal Sumangkar dengan baik. Mereka menyangka bahwa orang itu benar-benar seorang juru masak.

Ketika Sumangkar tidak segera menjawab, maka sekali lagi Tohpati berkata,
“Paman, kita pergi berdua malam ini”
“Kemana ngger?”
Tohpati menarik nafas dalam-dalam. Pertanyaan itu adalah pertanyaan yang aneh. Sumangkar pasti sudah tahu kemana mereka akan pergi dalam keadaan serupa itu. Meskipun demikian Tohpati itu menjawab,
“Paman pasti sudah tahu, kemana kita akan pergi dalam keadaan ini. Dimana laskarku sudah siap untuk menggempur Sangkal Putung”
“Oh, jadi kita melihat-lihat Sangkal Putung?”
“Ya”
Sumangkar menarik nafas dalam-dalam. Ternyata Tohpati telah memaksanya untuk melibatkan diri ke dalam peperangan yang dibencinya itu. Peperangan yang semakin lama menjadi semakin jauh dari bentuknya. Tetapi keputusan terakhir pasti ada padanya sendiri. Tohpati ternyata kemudian tidak menunggu Sumangkar menjawab, perlahan-lahan ia berjalan ke pintu dan sekali ia berpaling. Ketika dilihatnya Sumangkar telah berdiri, maka Tohpati itu pun berjalan terus. Di muka gubug Sanakeling dan orang-orangnya, Tohpati berhenti. Dipanggilnya Sanakeling yang sedang menghadapi seceting nasi dan daging menjangan.
“Apakah kakang akan pergi?” bertanya Sanakeling.
“Ya” jawab Tohpati,
“Pekerjaanmu besok mengumpulkan semua kekuatan. Malam ini aku ingin melihat Sangkal Putung bersama paman Sumangkar”
Sanakeling mengerutkan keningnya. Ia kenal siapakah Sumangkar itu. Ia kenal kebesaran namanya pada masa-masa lampau. Tetapi ia kenal juga, bahwa Sumangkar kini lebih senang menjadi seorang juru masak dengan pisau dapur di tangannya. Membelah daging binatang-binatang buruan dan membelah kayu-kayu bakar. Bagi Sanakeling, Sumangkar sekarang hampir-hampir tidak berarti sama sekali. Seandainya Sumangkar itu mati sekalipun, maka laskar Jipang tidak akan merasa kehilangan. Sebab pekerjaannya segera dapat diganti oleh orang lain.
Karena itu, maka Sanakeling itu pun bertanya,
“Apakah kau tidak memerlukan orang lain?”
“Tidak” jawab Tohpati menggelengkan kepalanya.
Sanakeling tidak bertanya-tanya lagi. Macan Kepatihan sudah cukup dewasa untuk menjaga dirinya, sehingga ia sudah cukup mempunyai perhitungan.
Ketika Tohpati itu kemudian berjalan meninggalkannya, maka segera Sanakeling masuk kembali ke dalam biliknya, menjatuhkan dirinya di sebuah bale-bale dan kembali meneruskan menikmati daging menjangan muda. Satu kakinya diangkatnya ke atas bale-bale sedang kakinya yang lain berjuntai ke bawah. Sambil mengunyah nasi, Sanakeling berkata tersendat-sendat,
“He, panggil Alap-alap kerdil di gubugnya”
Seseorang yang brediri di muka pintu berpaling. Sekali lagi Sanakeling berkata,
“Panggil Alap-alap itu”
“Baik, baik Ki Lurah” jawab orang itu sambil berlari-lari ke gubug yang lain. Tetapi kemudian langkahnya terhenti. Dilihatnya Tohpati dan Sumangkar berjalan di hadapannya menuju ke gubug Alap-alap Jalatunda pula.


Halaman 1 2 3


<<< Jilid 007                                                                                                       Jilid 009 >>>

Tidak ada komentar:

Posting Komentar