Jilid 046 Halaman 3


Bahkan beberapa orang anak buah Ki Peda Sura yang sama sekali sudah tidak dapat mengharapkan apa-apa lagi karena kekalahan yang tidak disangka-sangka itu, telah mulai bimbang.
“Buat apa kita bertempur?” desis seseorang kepada kawannya.
Kawannya menggeleng,
“Kami masih mengharap dapat bertahan. Meskipun besok kita harus lari, tetapi kita masih mendapat kesempatan untuk mencari sesuatu di induk Tanah Perdikan ini sendiri. Tetapi agaknya keadaan berkembang lain.”
“Apakah kita menunggu leher kita terputus di atas Tanah yang ternyata sangat gersang ini.”
“Sepeninggal Ki Peda Sura, kita memang sudah tidak berpengharapan lagi.”
Demikianlah sikap itu menjalar dari seorang keorang yang lain. Bahkan orang-orang yang datang ke Tanah Perdikan itu dengan maksud serupa, yang bukan anak buah Ki Peda Sura  pun telah dijangkiti oleh pendirian itu. Mereka sama sekali tidak dapat mengharap apa-apa lagi dari peperangan ini.
Bahkan satu dua di antara mereka telah meninggalkan peperangan itu dengan diam-diam. Dengan demikian maka pasukan yang tampaknya masih tetap berada di dalam gelar itu sama sekali sudah tidak mempunyai kekuatan lagi. Senapati yang tinggal satu-satunya adalah Sidanti.

Namun ternyata bahwa Sidanti tidak mampu berbuat banyak. Ia tidak dapat menguasai seluruh medan, karena ia sendiri sedang sibuk bertempur melawan Hanggapati. Apalagi disadarinya, bahwa sepasang mata selalu mengawasinya, dari antara para pengawal Tanah Perdikan Menoreh.
“Anak itu memang luar biasa,” desis orang yang masih memandanginya hampir tanpa berkedip.
“Tenaga dan kemampuannya ngedab-edabi. Sayang ia jatuh ketangan yang salah, sehingga ia pun telah tersesat jalan.”
Namun kesesatan itu tidak mengurangi kekaguman gembala tua yang sedang menunggui pertempuran yang masih saja berlangsung dengan sengitnya. Gembala tua itu mengerutkan keningnya ketika ia melibat warna-warna semburat merah membayang di langit. Tanpa sesadarnya ia mengangguk-anggukkan kepalanya sambil bergumam,
“Semalam kami telah bertempur. Mudah-mudahan setelah matahari terbit pagi nanti, semuanya akan dapat diselesaikan. Masalah-masalah yang selama ini seakan-akan mencengkam Tanah Perdikan ini, mudah-mudahan dapat diuraikan. Dan api yang selama ini berkobar akan dapat dipadamkan.”
Dan tiba-tiba orang tua itu menyadari, bahwa kini ia masih menghadapi seorang anak muda yang berhati baja. Kalau anak ini sudah dapat dikuasainya, maka pasukan lawan sama sekali sudah tidak mempunyai seorang pimpinan pun. Pasukan itu pasti akan segera terpecah.
Karena itu, maka gembala tua itu melangkah semakin dekat. Tetapi ia masih tertarik melihat cara Sidanti mempergunakan senjatanya. Dengan demikian ia masih termenung sejenak memandangi pertempuran itu. Orang tua menarik nafas dalam-dalam ketika ia mendengar beberapa meneriakkan kematian Argajaya. Seakan-akan berita itu sudah sedemikian meyakinkan, bahwa Argajaya telah mati terbunuh. Sidanti yang mendengar berita itu dari teriakan-teriakan yang seakan menjalar itu mengangkat wajahnya sejenak. Ia ingin meyakinkan pendengarannya. Dan suara yang merambat itu masih saja menggema,
“Argajaya mati! Argajaya mati!”
“Persetan!” Sidanti menggeram.
“Aku tidak memerlukan siapa  pun lagi. Ayo, siapa lagi yang akan maju ke medan ini? Kau orang tua bangka? Kenapa kau diam saja? Apakah kau takut melawan aku, he?”
Gembala tua itu menarik nafas dalam-dalam. Ketika dipandangnya Hanggapati sejenak orang itu menarik nafas dalam-dalam. Hanggapati yang kebetulan juga memandanginya, seolah-olah bertanya kepadanya seperti Sidanti,
“Kenapa kau diam saja?”
Dan pertanyaan itulah yang telah mendorongnya untuk maju lagi. Tetapi ia masih berkata,
“Kenapa kau mengeraskan niatmu serupa itu Sidanti?”
“Jangan banyak bicara. Bunuh aku atau aku membunuhmu.”
“Kau menjadi putus asa, seolah-olah hari-hari mendatang adalah hari-hari yang sangat gelap bagimu. Seharusnya kau percaya bahwa Ki Argapati akan bersikap adil. Kau adalah anaknya. Dan demikianlah seorang bapa. Betapa pun ia bersakit hati, tetapi apabila anak itu telah kembali ke pangkuannya dengan penuh penyesalan, maka ia akan dimaafkan.”
“Bohong. Kau mencoba menjebak aku. Argapati bukan ayahku.”
Sekali lagi gembala tua itu menarik nafas dalam-dalam. Bahkan tidak sesadarnya ia mengusap dada dengan sebelah tangannya,
“Kau benar-benar keras hati, Ngger.”
“Diam! Diam!”
Dan Sidanti tidak menunggu lagi. Sekali lagi ia menyerang Hanggapati yang untuk sejenak masih sempat memandang gembala tua itu dengan penuh pertanyaan di wajahnya,
“Kiai mau apa sebenarnya?”
Orang tua itu menangguk-anggukkan kepalanya. Dipandanginya peperangan yang masih berlangsung untuk sejenak. Kemudian dipandanginya arena yang kecil tempat Hanggapati berkelahi melawan Sidanti yang menjadi wuru.

Ternyata bahwa dalam keadaan yang seakan-akan tidak terkuasai lagi. Sidanti menjadi sangat berbahaya. Beberapa kali Hanggapati meloncat surut. Namun dengan demikian, perhatian Sidanti sebagian terbesar tertuju kepada lawannya, hampir tidak terbagi, selama laki-laki tua itu belum berbuat apa-apa. Namun kemudian hal itu terjadi. Darah Sidanti seakan-akan jadi membeku dengan tiba-tiba ketika ia merasa sebuah tangkapan yang tidak dapat dilawannya, pada tengkuknya. Sebuah tangan yang kuat, telah mencengkamnya, seakan-akan sebuah jepitan besi telah menghimpit lehernya. Perlahan-lahan namun tidak dapat dilawannya, tubuhnya serasa menjadi semakin lemah. Akhirnya Sidanti merasa, bahwa tangannya sama sekali tidak mampu lagi untuk digerakkannya. Pandangan matanya menjadi kabur dan nafasnya menjadi kian sesak.
“Tidurlah anak manis,” terdengar sebuah desis ditelinganya. Tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa lagi. Bahkan kemudian matanya pun menjadi semakin kabur.
Hanggapati memandanginya dengan penuh keheranan. Ia berdiri tegak di tempatnya sambil memandang Sidanti yang pingsan terbaring di tanah, sedang laki-laki tua itu telah berjongkok di sisi tubuh Sidanti yang terbaring itu.
“Aku memerlukannnya hidup-hidup,” berkata orang tua itu kepada Hanggapati.
Hanggapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak segera menjawab.
Ditatapnya Sidanti yang sama sekali sudah tidak berdaya lagi. Agaknya orang tua itu telah berhasil menekan simpul syaraf Sidanti yang langsung mempengaruhi pusat syarafnya.
“Aku akan membawanya ke belakang garis peperangan ini,” berkata laki-laki tua itu.
“Mudah-mudahan api yang membakar Tanah Perdikan ini segera akan padam.”
“Lalu, bagaimana dengan pasukan lawan?” bertanya Hanggapati.
“Usirlah mereka bersama-sama dengan Kerti, Samekta, dan para pengawal yang lain.”
“Tetapi,” orang tua itu mengerutkan keningnya,
“aku harus bertemu dengan Samekta. Ia harus menyediakan sepasukan pengawal yang segera dapat digerakkan menguasai seluruh daerah peperangan, terutama padukuhan induk.”
Hanggapati mengerutkan keningnya.
“Orang-orang yang datang dari luar Tanah Perdikan ini dan yang kemudian akan melarikan diri, pasti akan mempergunakan kesempatan sebaik-baiknya selagi padukuhan-padukuhan ini kosong.”
Hanggapati mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Sudahlah. Bantulah Kerti menyelesaikan tugasnya di sini.”
“Baik, Kiai.”
Orang tua itu pun kemudian memapah Sidanti di pundaknya dan membawanya mundur ke belakang garis peperangan. Namun ia masih sempat menemui Samekta setelah seorang penghubung memanggilnya.
“Jangan terlambat,” berkata orang tua itu mengakhiri pesannya.
“Agaknya satu dua orang telah meninggalkan peperangan ini dengan diam-diam. Jalan lari itulah mereka akan mempergunakan kesempatan.”
“Baik, Kiai,” jawab Samekta kemudian.

Maka sepeninggal gembala tua itu, Samekta menjadi semakin sibuk. Untunglah bahwa gairah perlawanan pasukan Sidanti yang telah kehilangan pemimpin-pemimpinnya itu telah menurun jauh sekali, sehingga pasukan itu terus didorong mundur oleh pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh bersama rakyat yang setia kepada pemimpinnya. Dengan cepat Samekta menunjuk beberapa orang yang dipercayanya. Mereka harus menebar ke segenap sudut padukuhan induk yang mungkin akan dilalui oleh pendatang yang dibawa Ki Peda Sura atau kawan-kawan mereka. Memang tidak mustahil bahwa sambil melarikan diri mereka akan mencari kesempatan dalam kekosongan untuk merampok dan merampas kekayaan yang tersisa. Seperti juga para pemimpin pasukan pengawal yang lain, Samekta memperhitungkan, bahwa perlawanan pasukan lawan tidak akan dapat bertahan sampai fajar. Karena itu, maka sepasukan pengawal yang telah dipilihnya segera diperintahkannya untuk mendahului. Mereka mendapat tugas untuk mengamankan padukuhan induk, sebelum pasukan pengawal seluruhnya memasuki daerah itu. Pertempuran itu kini benar-benar telah menjadi berat sebelah. Pasukan yang semula dipimpin oleh Ki Tambak Wedi, Sidanti, Argajaya, dan Ki Peda Sura itu sudah mulai pecah. Mereka menyadari bahwa tidak ada lagi yang dapat mengikat mereka di dalam kesatuan karena pemimpin-pemimpin mereka telah habis. Itulah sebabnya, maka pasukan itu sama sekali tidak lagi dapat menyesuaikan diri.
Hanya beberapa orang yang menjadi berputus asa sajalah yang masih bertempur dengan gigih, karena mereka merasa bahwa mereka tidak akan mendapat tempat lagi di hari-hari mendatang di atas Tanah Perdikan ini. Tetapi mereka sudah tidak mendapat kesempatan untuk berpikir lagi. Mereka merasa bahwa tidak akan ada gunanya menyesal, sehingga karena itu, maka lebih baik bagi mereka untuk binasa sama sekali. Sebab apabila Tanah Perdikan ini kembali dikuasai oleh Ki Argapati dan orang-orang yang setia kepadanya, maka mereka yang selama ini berpihak kepada Sidanti dan Argajaya pasti akan dianggap sebagai pengkhianat. Itulah sebabnya, maka kematian adalah jalan yang sebaik-baiknya.
Tetapi ada juga yang memilih jalan lain. Lari. Ke mana pun. Demikianlah maka seperti awan yang dihembus oleh angin, perlahan-lahan pasukan yang telah kehilangan pimpinan itu terpecah, kemudian berserakan tanpa arah. Yang mati, matilah di peperangan. Sedang yang masih hidup berlari-larian tidak menentu.
Sementara itu, seperti yang diperhitungkan oleh gembala tua, beberapa orang anak buah Ki Peda Sura dan kawan-kawan mereka memang mencoba mempergunakan kesempatan dalam kekisruhan itu. Tetapi pasukan khusus yang dikirim oleh Samekta, telah memasuki padukuhan induk itu lebih dahulu. Mereka segera memencar ke segenap sudut, sehingga mereka dapat langsung mengawasi orang-orang yang melarikan diri dan mencoba memasuki rumah-rumah yang masih berpenghuni.

Perkelahian-perkelahian kecil segera terjadi antara orang-orang liar itu melawan para pengawal. Tetapi hal itu tidak terjadi terlalu lama. Mereka yang telah menjadi gelisah dan bingung itu, segera meninggalkan padukuhan itu, berlari mencari selamat. Sambil mengumpat-umpat tidak habis-habisnya, mereka berusaha menemukan jalan untuk kembali ke sarang-sarang mereka, meskipun salah seorang pemimpin mereka yang mereka segani, Ki Peda Sura sudah terbunuh. Namun sebagian dari mereka tidak berhasil keluar dari padukuhan induk itu, karena tindakan yang cepat dari para pengawal. Korban di antara mereka masih juga berjatuhan satu-satu. Pasukan pengawal yang marah merasa mendapat kesempatan untuk melepaskan dendam yang membara di hati mereka setelah beberapa lama mereka terusir dari padukuhan induk, dari padukuhan-padukuhan lain di sekitarnya. Bahkan ada di antara mereka yang terpaksa meninggalkan halaman dan milik mereka yang mereka kumpulkan, sedikit demi sedikit. Sehingga dengan demikian, maka dengan, nafsu yang menyala-nyala pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh, berusaha mengejar lawan-lawan mereka. Tetapi sejenak kemudian beberapa penghubung telah menyebarkan perintah Samekta. Para pengawal tidak diperkenankan berlaku kasar dan menuruti perasaan masing-masing. Yang penting mereka harus memasuki padukuhan induk tanpa menghiraukan lawan yang melarikan diri terpecah belah.
“Kita harus segera menyusun diri. Menguasai seisi Tanah Perdikan ini sebaik-baiknya,” perintah Samekta.
Beberapa kelompok pengawal menjadi ragu-ragu atas perintah itu. Sekian lama mereka menahan kemarahan yang seolah-olah akan meledak di dada masing-masing. Kini mereka mendapat kesempatan itu. Apalagi di dalam pertempuran yang baru saja terjadi, apakah mereka harus melepaskan lawan itu begitu saja? Namun dalam keragu-raguan itu, mereka merasa bahwa mereka tidak dapat berbuat sekehendak hati. Mereka mempunyai pemimpin, perintahnya harus didengar. Sehingga dengan demikian maka mereka harus patuh dan melakukan perintah itu. Meskipun demikian ada juga beberapa kelompok pengawal yang tidak segera mematuhinya. Mereka masih mempergunakan kesempatan terakhir untuk melepaskan dendamnya terhadap pengikut Tambak Wedi yang menjadi sumber penderitaan seluruh rakyat Menoreh.
“Kita harus melepaskan mereka,” berkata seorang penghubung kepada seorang pemimpin kelompok yang sedang kalap.
“Persetan!” geramnya.
“Aku harus membunuh orang itu.”
Tanpa menghiraukan apa pun lagi, ia mengejar seorang yang sudah tidak terlalu jauh di hadapannya. Agaknya orang itu sudah begitu lelah, sehingga langkah kakinya sudah tidak begitu cekatan.
“Tunggu, aku bunuh kau,” teriak pemimpin kelompok itu.
Orang yang sedang berlari itu berusaha untuk mempercepat langkahnya. Tetapi tenaganya tidak memungkinkannya lagi. Bahkan ketika terantuk sebuah batu, maka ia  pun terbanting jatuh di tanah. Betapapun penghubung itu mencoba mencegah, tetapi pemimpin kelompok itu sama sekali sudah tidak menghiraukannya lagi. Ketika orang yang terjatuh itu berusaha untuk bangkit, maka ujung pedang pemimpin kelompok itu segera membenam di punggungnya. Tidak ada keluhan sama sekali yang terdengar. Orang itu terlempar dan jatuh tertelungkup, sementara langit menjadi semakin cerah. Beberapa langkah di belakang mereka, beberapa orang pengawal di dalam kelompok itu pun berdatangan. Salah seorang anak muda yang tidak dapat menahan diri segera berteriak, “Cincang saja. Pengkhianat.”
Yang lain menyahut,
“Ya, cincang pengkhianat itu.”

Pemimpin kelompok yang tidak dapat menahan hati itu pun kemudian dengan geramnya mendorong orang yang sudah terbunuh itu dengan kakinya, sehingga tubuh itu pun kemudian menelentang. Tetapi demikian pemimpin kelompok itu melihat wajah orang yang dibunuhnya, tiba-tiba ia membeku. Tangannya. Menjadi gemetar dan bibirnya bergerak-gerak. Terdengar suaranya sendat,
“Kakang. Kakang. Kaukah itu.”
Semua orang tiba-tiba saja mematung di tempatnya. Ternyata orang yang terbunuh itu adalah kakak pemimpin kelompok yang dengan tangannya sendiri telah membunuhnya.
“Kakang,” suaranya semakin lirih,
“kenapa kau berpihak kepada Sidanti? Aku menjadi gila karena aku menyangka bahwa kau justru telah terbunuh oleh mereka,” suaranya tiba-tiba merendah.
“Sejak kita terusir dari padukuhan induk, kita tidak pernah bertemu lagi. Ternyata kau terpikat oleh janji-janji mereka.”
Namun pemimpin pengawal itu tidak dapat menahan diri ketika hatinya serasa seakan-akan terpecah. Perlahan-lahan ia berjongkok di samping tubuh kakaknya yang telah membeku. Katanya perlahan-lahan sambil menyilangkan pedang di dadanya.
“Maafkan aku, Kakang. Aku sama sekali tidak menyangka, bahwa kaulah yang telah aku bunuh. Bukan maksudku sama sekali meskipun seandainya aku tahu kau berpihak kepada lawan.”
Dan kepalanya  pun menjadi semakin tertunduk ketika terbayang wajah ayah dan ibunya. Ayah dan ibunya yang meninggal beberapa tahun yang lalu. Hampir berturut-turut. Tiga tahun ia kehilangan kedua orang tuanya. Selama itu kakaknya itulah yang mengasuhnya. Memberinya tempat tinggal dan makan. Tetapi, kini ia telah membunuhnya.
Ketika pemimpin kelompok itu berpaling, dilihatnya penghubung yang selama itu mencoba mencegahnya. Dengan penuh sesal ia berkata,
“Aku bersalah. Aku tidak mentaati perintah Ki Samekta. Dan aku harus menebus kesalahan itu dengan taruhan yang terlampau mahal.”
Penghubung itu tidak menyahut. Ternyata peperangan memang begitu kejam, sehingga memaksa seorang adik membunuh kakaknya sendiri walau pun tanpa disadarinya.
“Sudahlah,” akhirnya penghubung itu berkata.
“Ki Samekta memerlukan kalian di padukuhan induk. Berkumpullah. Kalian akan mendapat petunjuk. Hal-hal serupa ini agaknya memang telah diperhitungkannya. Bukan saja pembunuhan adik atas kakaknya, tetapi juga pelepasan dendam yang berlebih-lebihan di antara kita sendiri.”
Pemimpin kelompok itu berdiri perlahan-lahan. Kepalanya masih tertunduk. Tetapi kepala yang tertunduk itu mengangguk.
“Kita akan menyelesaikan sisa-sisa persoalan ini dengan cara yang lain,” berkata penghubung itu.
“Dan Ki Samekta sudah mempertimbangkan cara yang sebaik-baiknya.”
“Ya. Aku telah terjebak oleh nafsuku sendiri,” desis pemimpin kelompok yang kalap itu.
Sejenak kemudian maka dengan kepala tunduk seluruh kelompok itu  pun segera meninggalkan tempat itu. Namun pemimpin kelompok itu masih berdesis,
“Besok aku akan minta ijin khusus untuk menguburkan mayat Kakang.”
Tidak seorang  pun yang menjawab. Sesal yang sangat telah melepaskan segala macam dendam di dalam dada pemimpin kelompok itu.
Sementara itu, di bagian lain dari medan peperangan, masih terjadi beberapa keributan kecil. Tetapi semuanya segera dapat di atasinya. Beberapa kelompok pasukan pengawal telah berada di padukuhan induk. Mereka segera mengambil tempat-tempat yang penting untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Terutama dari orang-orang pendatang yang jelas akan mempergunakan setiap kemungkinan yang terbuka dalam keadaan apa pun.

Dalam pada itu, Ki Argapati yang ditunggui oleh Pandan Wangi telah semakin menyadari keadaannya. Titik air di bibirnya membuatnya sedikit segar. Dan ketika perang itu berakhir, Ki Argapati telah dapat mengerti, apa yang telah terjadi di sekitarnya. Tetapi ia  pun menyadari bahwa keadaannya menjadi semakin lemah, karena luka-lukanya bertambah parah. Tetapi hatinya seakan-akan rontok ketika usungan yang membawanya memasuki pintu gerbang padukuhan induk yang telah sekian lama ditinggalkannya.
Dengan suara yang lemah ia berdesis,
“Wangi, apakah aku tidak bermimpi.”
“Tidak, Ayah,” jawab Pandan Wangi.
“Ayah sedang memasuki padukuhan induk.”
Ki Argapati menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia menatap langit yang terbentang, maka cahaya fajar telah menjadi semakin terang.
“Ternyata Tuhan masih memperkenankan aku memasuki padukuhan ini kembali.”
“Bukankah kita memohonnya,” sahut anaknya,
“dan permohonan kita sama sekali tidak berlebih-lebihan. Permohonan yang ternyata diperkenankan oleh Tuhan.”
“Ya. Kita wajib berterima kasih,” suara Argapati merendah di antara desah nafasnya.
“Kau tidak boleh melupakan apa yang telah terjadi hari ini, Wangi.”
Pandan Wangi menganggukkan kepalanya.
“Ternyata kita tidak berjuang sendiri. Tuhan telah mengirimkan kepada kita beberapa orang yang ternyata memegang peranan di dalam perjuangan ini.”

Pandan Wangi menundukkan kepalanya. Sekilas ia melihat pagar-pagar batu di sebelah-menyebelah jalan. Masih seperti pada saat ditinggalkannya. Kemudian terbayang sekilas di dalam ingatannya, dua orang anak-anak muda yang mengaku bernama Gupala dan Gupita. Anak-anak muda yang serasa dibayangi oleh kabut rahasia yang tak terpecahkan. Sejak permulaan peristiwa yang membakar Tanah Perdikan ini, kedua anak muda itu telah menunjukkan dirinya. Tengkuk Pandan Wangi meremang kalau terkenang olehnya, beberapa laki-laki yang kasar telah mencegatnya. Kemudian di jalan pulang bersama Samekta, ia bertemu dengan seorang gembala yang bernama Gupita. Gembala yang cakap bermain seruling. Namun sejalan dengan itu, terbayang juga di dalam kenangannya, betapa Sidanti telah berusaha melindunginya sebagai seorang kakak, ketika ia hampir-hampir menjadi berputus asa. Sidanti telah melepaskannya dari tangan orang-orang liar itu. Tanpa disadarinya Pandan Wangi menundukkan kepalanya. Kini kakaknya itu menjadi seorang tawanan, yang menurut penilaian orang-orang Menoreh adalah seorang pengkhianat bersama pamannya, Argajaya. Pamannya yang sangat baik kepadanya sejak ia masih kanak-kanak. Yang pernah mendukungnya pula bergantian dengan bibinya. Apalagi apabila ia sedang menangis karena dimarahi oleh ayah dan ibunya, jika ia nakal.
“Cup, cup Wangi,” pamannya selalu mencoba menghiburnya.
“Ibu nakal. Ayah nakal. Mari bermain dengan paman saja. Cup.” Dan ia  pun kemudian didukung ke kebun di belakang rumah, di bawah pepohonan yang rimbun, sehingga kadang-kadang ia tertidur di dalam dukungan.
Dan sekarang, seperti kakaknya, pamannya adalah seorang tawanan. Wajah Pandan Wangi menjadi semakin menunduk. Dalam waktu sekian tahun itu ternyata telah terjadi banyak sekali perubahan. Ada yang pergi dari hatinya, tetapi ada yang datang pula. Yang sebelumnya belum pernah dikenalnya, kini mereka bersama-sama justru berhadapan dengan orang-orang yang ada di sekitarnya di masa kanak-kanak. Argajaya dan Sidanti telah tersisih dari lingkaran hidupnya, dan kini hadir gembala-gembala itu dengan ayahnya yang tua. Pandan Wangi terkejut ketika ia mendengar ayahnya yang berada di usungan di sisinya bertanya lirih,
“Kita telah sampai di mana sekarang ini, Wangi?”
“Kita hampir sampai ke rumah, Ayah.”
Terdengar sebuah desah pendek. Tetapi Ki Argapati tidak bertanya lebih lanjut. Sebenarnyalah bahwa mereka telah hampir sampai di rumah Ki Argapati di padukuhan induk. Sebentar kemudian mereka telah berada di sebuah lapangan rumput di muka sebuah rumah yang berhalaman luas.
“Hem,” Argapati menarik nafas dalam-dalam.
Iring-iringan itu  pun kemudian menjadi semakin mendekati regol halaman. Sejenak mereka berhenti ketika dua orang pengawal mendahului untuk melihat keadaan. Ternyata Samekta telah berada di halaman itu bersama Kerti. Dengan tergesa-gesa mereka menyongsong Ki Argapati yang masih berada di dalam usungan.
“Marilah, Ki Gede,” berkata Samekta.
“Semuanya sudah dipersiapkan meskipun dengan tergesa-gesa. Halaman ini telah bersih dari kemungkinan-kemungkinan yang kurang menyenangkan. Para pengawal telah menebar di segala sudut. Di halaman depan, samping dan di kebun belakang. Isi rumah ini  pun telah kami periksa dengan teliti. Dan Ki Gede kemudian dapat beristirahat dengan tenang.”
Ki Gede mengerutkan keningnya. Terasa luka-lukanya menjadi kian perih. Namun ia berdesis,
“Terima kasih, Samekta.”

Ki Gede  pun kemudian diusung memasuki regol halaman. Pandan Wangi hampir-hampir tidak dapat menahan harunya, sehingga sepasang matanya  pun menjadi basah. Tetapi ia bertahan untuk tidak menitikkan air mata. Dicobanya berjalan dengan tegap di samping usungan ayahnya. Dicobanya menengadahkan wajahnya menatap tangga-tangga pendapa rumahnya. Namun ketika tampak olehnya tanaman-tanaman bunga yang dipeliharanya dengan hati-hati, pepohonan dan seluruh halaman rumahnya menjadi sangat kotor seperti hutan perdu, maka terasa kerongkongannya seakan-akan tersumbat. Rumah itu seolah-olah sudah berubah menjadi rumah hantu. Di sana-sini sarang labah-labah bergayutan. Putih kehitam-hitaman. Agaknya selama rumah ini ditinggalkannya, sama sekali tidak pernah dibersihkan. Ki Tambak Wedi, Sidanti dan orang-orangnya yang tinggal di rumah ini sama sekali tidak sempat memperhatikan sarang labah-labah dan tumbuh-tumbuhan liar di halaman. Tetapi saat itu Pandan Wangi  pun tidak sempat memperhatikannya terlalu lama. Ia selalu berada di samping ayahnya ketika usungan itu dibawa masuk ke ruang dalam. Sebuah lampu minyak yang buram masih menyala di atas ajuk-ajuk meskipun hari sudah menjadi semakin terang. Tetapi sinarnya sama sekali sudah tidak berarti. Bahkan semakin lama menjadi semakin redup karena minyak di dalamnya sudah habis sama sekali.
“Apakah bilik ayah sudah dibersihkan,” bertanya Pandan Wangi kepada Samekta.
Samekta tergagap sejenak. Ia sama sekali tidak berpikir sampai begitu jauh. Ketika ia melihat bilik itu dan menurut pendapatnya sama sekali sudah tidak ada bahaya yang tersembunyi, maka ia merasa bahwa bilik itu sudah siap dipergunakan. Tetapi tidak terkilas sama sekali di kepalanya, bahwa bilik itu memang harus dibersihkan. Hanya karena Pandan Wangi adalah seorang gadis meskipun berpedang di lambungnya sajalah, maka selain pengamatan atas bahaya yang tersembunyi, maka kebersihannya pun mendapat perhatiannya.
“Aku kira belum bukan, Paman?”
Samekta menganggukkan kepalanya,
“Memang belum. Aku tidak berpikir sampai ke sana.”
“Tungguilah ayah di sini. Aku akan membersihkannya sebentar.”
Samekta menganggukkan kepalanya, sedang Pandan Wangi segera berlari ke belakang mencari sapu serabut.
Dengan tergesa-gesa bilik yang kotor itu  pun dibersihkannya. Kemudian dicarinya tikar yang lebih bersih dari tikar yang terbentang di atas pembaringan. Pembaringan yang dahulu juga, tetapi alangkah kotornya.
Setelah semuanya dianggapnya selesai untuk sementara, maka dibaringkannya Ki Argapati di pembaringan. Pembaringan yang sudah sekian lama ditinggalkannya. Sementara Samekta dan Kerti segera mengatur para pengawal dan menyebarkannya di tempat-tempat yang dianggap perlu. Namun sementara itu, yang sama sekali kurang mendapat perhatian para pengawal adalah justru padukuhan yang baru saja mereka tinggalkan. Lebih daripada itu adalah padukuhan di sebelah, tempat orang-orang Menoreh menampung para pengungsi. Padukuhan itu hanya sekedar ditunggui oleh beberapa pengawal dan laki-laki yang menurut pertimbangan badaniah sudah tidak mampu lagi bertempur di medan yang berat. Karena itu maka kekuatan di kedua padukuhan itu hampir tidak berarti sama sekali. Adalah di luar dugaan bahwa beberapa orang liar yang datang membantu Sidanti teringat akan hal itu. Dan bahkan memusatkan perhatian mereka kepada para pengungsi itu.
“Kita singgah sebentar ke padukuhan itu,” desis salah seorang dari mereka.
“Untuk apa?” bertanya yang lain.
“Menoreh pasti telah mengerahkan semua manusia yang ada. Karena itu, maka kedua padukuhan itu pasti kosong.”
“Kenapa kita singgah di sana?”
“Kau memang bodoh. Sebagian besar isi padukuhan induk telah mengungsi ke sana. Yang dapat mereka bawa pasti barang-barang berharga saja. Karena itu, apabila kita dapat memasuki padukuhan pengungsian itu, kita tinggal mengambil saja sesuka hati kita. Apa saja pasti sudah tersedia.”
“Apakah sama sekali tidak ada seorang penjaga pun?”
“Tentu ada, tetapi pasti bukan orang-orang yang terpilih untuk ikut ke peperangan.”
Kawan-kawannya mengangguk-anggukkan kepalanya. Salah seorang yang lain berkata,
“Aku sependapat. Mari, sebelum sebagian dari mereka kembali.”

Segerombolan kecil orang liar itu  pun segera mempercepat langkah mereka. Mereka tidak mau didahului oleh sebagian dari para pengawal yang pasti akan segera dikirim oleh pimpinan pasukan Menoreh.
“Apa pun yang kita dapatkan, dapatlah sekedar menawarkan hati yang panas ini.”
Mereka mengangguk-anggukkan kepala sambil melangkah semakin cepat. Kehadiran mereka di tempat-tempat pengungsian benar-benar membuat suasana yang tenang itu menjadi kisruh. Beberapa orang pengawal yang bertugas segera mempersiapkan diri. Bahkan laki-laki yang sudah berusia lanjut pun segera menyambar senjata-senjata yang ada di dinding. Dan anak-anak tanggung yang berdarah panas  pun tidak mau ketinggalan.
“He,” pemimpin dari para pengawal itu berkata lantang di hadapan segerombolan orang yang akan memasuki padukuhan itu, ”Siapakah kalian, dan apakah maksud kalian?”
“Kami hanya sekedar akan lewat. Bukankah jalan yang melintas di tengah-tengah padukuhan ini jalan untuk umum.”
Pemimpin pengawal itu menggelengkan kepalanya,
“Tidak. Dalam keadaan serupa ini jalan ini tertutup bagi siapa pun.”
“Tetapi kami akan lewat,” teriak yang berkumis panjang.
“Minggir,” teriak yang berkepala botak.
Tetapi pemimpin pengawal itu  pun berteriak,
“Jangan memaksa. Kalian harus mencari jalan lain.”

Tiba-tiba terdengar suara tertawa berkepanjangan. Seorang yang bertubuh tinggi kekar dan berjambang lebat maju ke depan sambil mengacung-acungkan kelewangnya.
“Minggir anak-anak marmot. Jangan berbuat bodoh.”
Pemimpin pengawal itu menjadi ragu-ragu sejenak. Dipandanginya orang yang tampaknya buas dan liar itu. Namun dengan demikian ia dapat meraba, apakah yang sebenarnya akan mereka lakukan.
“Apa  pun yang akan terjadi, tetapi kalian tidak boleh lewat,” jawab pengawal itu.
Hampir serentak orang yang liar itu mendesak maju. Tetapi para pengawal yang berdiri di mulut lorong pun tidak menepi. Meskipun mereka menyadari, bahwa mereka akan berhadapan dengan orang-orang yang liar dan buas. Bahkan mereka  pun menyadari bahwa mereka tidak mampunyai cukup kekuatan untuk mempertahankan diri terhadap segerombolan orang-orang liar itu. Namun demikian mereka tidak akan dapat pula membiarkan orang-orang itu memasuki padukuhan dan merampok segala isinya. Apa  pun yang terjadi, mereka harus bertahan sejauh-jauh dapat mereka lakukan.
“He, orang-orang yang tidak tahu diri,” berteriak seseorang yang berdada bidang dan berbulu lebat,
“apakah kalian tidak mengenal kami?”
“Siapa pun kalian, kami tetap dalam pendirian kami.”
Orang-orang liar itu  pun kemudian tidak dapat tersabar lagi. Segera mereka pun memencar sambil mengacung-acungkan senjata mereka. Salah seorang dari mereka berteriak,
“Kalian tidak akan berdaya apa pun juga menghadapi kami. Jangan keras kepala.”

Para pengawal itu pun segera mempersiapkan diri. Mereka masih juga mempunyai harapan, karena jumah mereka lebih banyak. Tetapi yang banyak itu adalah sekedar orang tua-tua dan anak-anak tanggung. Meskipun demikian di antara yang tua-tua itu terdapat bekas-bekas pengawal yang pernah mengenal bagaimana mempergunakan pedang dan tombak yang ada di tangan mereka.
“Kami harus melindungi perempuan dan anak-anak,” desis seorang tua yang sudah ubanan seluruh kepalanya. Sambil membelai janggutnya yang sudah putih pula ia meneruskan,
“Kami masih cukup kuat untuk bertempur melawan berandal yang mana pun juga.”
Tetapi segerombolan orang yang datang itu benar-benar orang-orang yang buas. Mereka sama sekali tidak menghiraukan apa  pun juga, selain membayangkan bahwa di dalam padukuhan itu terdapat harta-benda yang dapat sedikit melepaskan tekanan yang menghimpit dada oleh kekalahan demi kekalahan yang pernah mereka alami selama mereka masih berada di atas Tanah Perdikan ini.
Dengan demikian, maka orang-orang itu  pun kemudian mendesak semakin maju. Beberapa langkah di hadapan mereka, para pengawal  pun segera menebar. Mereka pun telah siap menghadapi segala kemungkinan.
Seperti pesan pemimpin mereka, maka para pengawal itu bersiap menghadapi lawan-lawan mereka dalam pasangan-pasangan yang terdiri dari dua atau tiga orang. Setiap pengawal didampingi oleh orang-orang tua atau anak-anak tanggung. Dalam pasangan-pasangan itulah mereka akan berkelahi melawan orang liar yang menurut perhitungan para pengawal memiliki kemampuan yang lebih tnggi. Karena itu, para pengawal berusaha untuk memanfaatkan jumlah mereka yang lebih banyak itu sebaik-baiknya. Sesaat kemudian maka kedua pasukan kecil itu  pun segera berbenturan. Dengan teriakan-teriakan tinggi berandal-berandal itu menggempur lawan-lawannya tanpa pengekangan diri. Dengan kasar mereka mengayunkan senjata-senjata mereka dibarengi oleh umpatan-umpatan kasar pula yang dapat membakar telinga. Adalah di luar dugaan berandal-berandal itu bahwa pengawal yang berjumlah kecil bersama orang-orang tua dan anak-anak itu ternyata telah berjuang dengan gigihnya. Mereka sama sekali tidak mengenal takut menghadapi akibat yang bagaimana pun juga beratnya.
Sejenak kemudian, maka mulailah darah menitik dari luka-luka. Seorang yang telah tidak bergigi lagi ternyata tersentuh ujung pedang, tertatih-tatih ia terdorong surut, kemudian jatuh berguling di tanah. Dengan nafas terengah-engah ia mencoba bangkit. Namun lukanya terasa menjadi kian pedih.
“Minggirlah!” teriak seorang pengawal.
“Mundurlah dan bersihkan luka itu.”
Belum lagi ia beranjak dari tempatnya, seorang anak muda berumur enam belas tahun terlempar dari pertempuran. Sebuah goresan biru telah menyilang punggungnya. Agaknya sebuah bindi telah mengenainya, meskipun tidak sepenuh kekuatan lawan, sehingga ia masih mampu meloncat berdiri. Tetapi karena senjatanya terlempar dari tangannya, maka ia  pun segera meloncat mengambil senjata orang tua yang terluka,
“Pinjam senjatamu, Kek.”
Namun bagaimana  pun juga, sejenak kemudian segera terasa bahwa pasukan para pengawal itu segera terdesak. Hanya karena jumlah dan tekad mereka sajalah, mereka mampu bertahan. Pemimpin pengawal itu memang masih mengharap sesuatu akan terjadi. Mungkin sepasukan pengawal kembali, atau mungkin pasukan pengawal di padukuhan sebelah mengetahui keadaan ini. Pasukannya yang lengah, ternyata tidak mempersiapkan alat-alat apa  pun yang dapat dipergunakannya untuk memberikan isyarat kepada para pengawal di padukuhan sebelah selain kentongan. Tetapi pengawal itu pun jumlahnya sama sekali tidak memadai. Namun demikian, pemimpin pengawal itu tidak berputus asa. Ketika pasukannya benar-benar terdesak, maka diperintahkan-nya memukul titir. Kentongan. Satu-satunya alat yang masih dimilikinya

Sejenak kemudian terdengar suara titir menggema dari padukuhan kecil itu. Beberapa buah kentongan berbunyi bersama-sama, sahut-menyahut. Namun di sela-sela suara kentongan itu terdengar orang yang berbulu lebat di dadanya berkata,
“Darimana kau akan mendapatkan bantuan? Dari padukuhan sebelah yang dilingkari oleh pring ori itu? Kasihan. Mereka tidak akan mampu membantu kalian, karena jumlah mereka  pun tidak akan berarti apa-apa bagi kami.”
Pemimpin pengawal tidak menghiraukannya. Ia sendiri berkelahi seperti harimau lapar. Sedang beberapa orang pengawal terlatih yang lain  pun mengikuti jejaknya pula. Ternyata bahwa suara kentongan itu tertangkap dari padukuhan di sebelah. Karena itu maka pemimpin pengawal yang tinggal di padukuhan itu pun segera mengumpulkan pasukan kecilnya.
“Apakah yang telah terjadi?” ia bertanya.
Tetapi tidak seorang  pun yang mengetahuinya.
“Biarlah beberapa orang pergi ke sana melihat keadaan. Yang lain tetap berada di padukuhan ini,” perintah penimpin pengawal itu.
Beberapa orang  pun segera pergi meninggalkan lingkungan pring ori menuju ke padukuhan sebelah. Dengan tergesa-gesa mereka meloncat-loncat sambil menduga-duga. Apakah yamg sebenarnya telah terjadi? Akhirnya mereka  pun melihat, di pinggir desa itu telah terjadi pertempuran. Agaknya para pengawal yang ada di padukuhan itu terdesak, sehingga mereka terpaksa membunyikan tanda. Para pengawal itu  pun berlari semakin cepat. Ketika mereka sampai di arena, mereka  pun segera melibatkan diri di dalam pertempuran itu. Namun jumlah mereka tidak terlampau banyak, sehingga pengaruhnya tidak begitu terasa. Meskipun pada saat-saat permulaan, para pengawal yang mendapat tenaga baru itu berhasil menahan desakan berandal yang kehausan, tetapi sejenak kemudian mereka  pun telah terdesak kembali betapa  pun lambatnya.
“Menyerahlah,” teriak salah seorang beranda1 yang berambut panjang.
Tetapi para pengawal sudah bertekad untuk bertahan. Apalagi setelah mereka mendapat bantuan meskipun hanya beberapa orang. Namun ketahanan mereka sudah menjadi bertambah. Jumlah mereka yang lebih banyak  pun dapat membantu untuk memperpanjang waktu pertahanan mereka. Beberapa orang pengawal telah mencoba untuk memecah perhatian orang-orang yang liar itu. Mereka menyerang dari samping. Sedang jumlah yang besar meskipun sebagian dari mereka adalah orang tua-tua dan anak-anak tanggung. tetap menghadapi mereka dari depan. Tetapi bagaimana  pun juga para pengawal tidak akan dapat menguasai lawan-lawan mereka yang ganas. Dalam pada itu, sepasang mata yang tajam mengikuti pertempuran yang sedang berlangsung dengan sengitnya. Pengetahuannya yang tajam tentang pertempuran dan perkelahian segera menangkap bahwa keadaan para pengawal semakin lama menjadi semakin sulit. Meskipun hanya setapak demi setapak, namun mereka terdesak terus. Apalagi tenaga orang-orang tua itu pasti akan segera susut. Mereka akan segera menjadi lelah, dan kehilangan kemampuan untuk melakukan perlawanan. Sedang orang-orang liar itu menjadi semakin liar. Apabila mereka merasa terganggu, maka mereka dapat melakukan tindakan-tindakan di luar batas peri kemanusiaan.
Orang yang mengawasi pertempuran itu menarik nafas dalam-dalam. Sejenak kemudian ia berdesis,
“Untunglah, bahwa aku tidak langsung pergi ke padukuhan induk. Agaknya pasukan pengawal Tanah Perdikan ini seluruhnya telah dikerahkan untuk menyerang kekuatan Ki Tambak Wedi.”
Orang itu  pun mencoba mendekati medan. Di balik dedaunan dan gerumbul-gerumbul ia melindungi dirinya sambil selangkah demi selangkah maju.
“Sebentar lagi pertahanan para pengawal itu pasti akan pecah,” desis orang itu.
“Lalu bagamana dengan pertempuran di padukuhan induk? Kalau mereka tidak dapat menerobos masuk, maka para pengawal akan mengalami kekalahan mutlak di semua medan.”
Orang itu menarik nafas. Kemudian ia berdesis,
“Apakah aku akan membiarkan semua ini terjadi, sedang dua orang-orangku sudah mendahului aku berpihak kepada Ki Argapati?”
Sejenak ia termenung. Namun kemudian ia berdesis,
“Aku harus menolongnya. Seandainya tidak ada hubungan apa  pun dengan pertempuran di medan yang lain, namun kali ini persoalannya adalah persoalan perikemanusiaan. Kalau pertahanan itu pecah, maka berandal-berandal itu pasti akan mengaduk seisi padukuhan, terutama pengungsi-pengungsi. Pengungsi-pengungsi yang selalu dalam kecemasan karena bermacam-macam hal itu, masih harus mengalami bencana lagi di pengungsian.”

Karena itu, maka orang itu  pun tidak menunggu lebih lama lagi. Kini ia tidak bersembunyi. Ia  pun kemudian melangkah, melangkahi sawah yang kering dan rerumputan liar menuju ke medan pertempuran. Semula tidak seorang pun yang melihat kehadirannya. Tetapi kemudian satu dua orang melihatnya. Seorang anak muda yang berjalan dengan tegapnya, menjinjing sebatang tombak pendek.
“He, siapakah orang itu?” desis seorang pengawal sambil bertempur terus.
Kawannya yang melihat kehadiran anak muda itu pula menggelengkan kepalanya. “Aku tidak tahu.”
“Apakah orang itu salah seorang dari berandal-berandal itu?”
Kawannya menggelengkan kepalanya. Tetapi ia tidak sempat menjawab, karena ia harus menghindari serangan lawannya. Seorang yang berkumis lebat. Orang yang menjinjing tombak itu berjalan saja seenaknya, semakin lama semakin dekat. Seperti seorang anak muda yang pergi ke perhelatan perkawinan seorang sahabat karibnya. Sama sekali tidak ada kesan ketegangan di wajahnya, meskipun di hadapannya berlangsung pertempuran yang seru. Akhirnya kedua belah pihak yang bertempur pun melihat kehadirannya. Dengan tenang ia berhenti beberapa langkah dari peperangan itu. Kemudian berteriak nyaring,
“He, aku akan ikut di dalam peperangan itu. Aku akan berpihak pada para pengawal Tanah Perdikan Menoreh. Apakah kalian mendengar suaraku.”
Mereka yang sedang bertempur menjadi heran. Tiba-tiba saja orang itu menyatakan diri berpihak. Sedangkan kedua belah pihak sama sekali masih belum mengenalnya. Hampir berbareng pemimpin pengawal Tanah Perdikan Menoreh yang bertugas di padukuhan itu, dan seorang dari berandal-berandal yang menyerangnya berteriak,
“Siapakah kau?”
“Itu tidak penting. Tetapi aku muak melihat berandal-berandal yang berkeliaran di manapun. Juga di atas Tanah Perdikan ini. Selagi Tanah ini sedang kisruh, berandal-berandal itu mempergunakan kesempatan sebaik-baiknya. Aku tidak tahu, apakah kalian memang dikirim oleh Ki Tambak Wedi, atau karena maksud kalian sendiri, namun perbuatan kalian memang harus dicegah.”
“Persetan!” teriak salah seorang dari orang-orang liar itu.
“Apakah pengaruhmu seorang diri. Mari, ikutlah mati bersama para pengawal.”
“Tetapi aku tidak seorang diri. Aku akan bertempur bersama para pengawal.”
Tidak seorang  pun yang segera menyahut. Tetapi kehadirannya benar-benar menarik perhatian, meskipun ia hanya seorang diri. Meskipun demikian, orang-orang yang telah dicengkam oleh nafsu untuk memiliki harta dan benda itu sama sekali tidak berhasrat untuk mengurungkan niatnya. Sejenak kemudian salah seorang dari mereka berteriak,
“He, kedatangan segerombolan pengawal dari padukuhan sebelah sama sekali tidak berarti bagi kami. Apalagi kau hanya seorang diri, meskipun kau akan bertempur bersama-sama para pengawal.”
Orang yang baru datang itu mengerutkan keningnya, kemudian jawabnya,
“Memang, kedatangan segerombolan pengawal itu baru membuat keadaan menjadi seimbang. Nah, meskipun kemudian aku datang seorang diri, tetapi aku akan dapat merubah keseimbangan itu.”
“Omong kosong!” teriak seorang yang bertubuh tinggi, berdada bidang dan berbulu lebat. Ia adalah orang yang sama sekali tidak dapat menahan diri. Karena itu, maka katanya kemudian,
“Aku akan mencekik kelinci kecil itu. Teruskan pekerjaan kalian sampai tikus-tikus Menoreh ini menyadari kebodohannya. Aku hanya memerlukan waktu sekejap, kemudian aku akan kembali bersama-sama dengan kalian.”
Orang yang tinggi besar itu segera keluar dari pertempuran. Dengan langkah yang berat ia maju mendekati anak muda yang bersenjata tombak itu.
“Siapa kau. Aku ingin tahu namamu sebelum kau mati.”
“Sudah aku katakan, itu tidak penting.”
“Setan alas!” orang itu mengumpat. Kemudian diputarnya senjatanya. Sebuah canggah bertangkai pendek.
Anak muda yang bersenjata tombak itu masih tetap berdiri di tempatnya. Tetapi ia telah menyiapkan diri menghadapi segala kemungkinan.

Tanpa berjanji maka peperangan yang seru itu pun mengendor. Hampir setiap orang di dalam peperangan itu ingin melihat, apa yang akan terjadi atas anak muda itu. Sehingga dengan demikian maka benturan dari kedua pasukan kecil itu seakan-akan terhenti untuk sesaat, hanya karena seorang anak muda yang datang mendekati arena.
“Lihatlah untuk yang terakhir kalinya,” berkata orang yang tinggi besar itu,
“tengadahkan wajahmu ke langit, kemudian tundukkan kebumi. Kau sudah tidak akan melihatnya lagi.”
“Jangan menipu aku. Kau akan menusuk lambungku selagi aku menengadah,” jawab anak muda itu.
“Sombong! Kau kira aku tidak dapat membunuhmu tanpa berbuat licik seperti itu.”
“Yakini kata-katamu sendiri. Kau tidak dapat mengalahkan aku tanpa perbuatan licik.”
“Persetan!” orang itu menjadi sangat marah. Ia merasa benar-benar terhina, sehingga dengan serta-merta ia meloncat menyerang dengan canggahnya. Ujung yang bercabang itu langsung mengarah ke leher anak muda yang bersenjata tombak itu.
Tetapi semua mata yang melihat serangan itu terbelalak karenanya. Semula mereka menyangka bahwa serangan yang demikian cepatnya itu akan segera mengakhiri perkelahian yang baru dimulai itu. Namun ternyata mereka salah sangka. Meskipun perkelahian itu benar-benar segera berakhir, tetapi bukan canggah orang bertubuh tinggi itulah yang menyobek leher anak muda yang bersenjata tombak.
Yang terjadi adalah justru sebaliknya. Dengan sigapnya anak muda itu mengelak, dan dengan sigapnya pula ia mengangkat ujung tombaknya. Anak itu tidak perlu mempergunakan kekuatan apa  pun untuk membenamkan tombaknya di dada lawannya, karena lawannya telah melontarkan dirinya sendiri. Adalah benar-benar di luar dugaan. Anak muda itu pun kemudian mengkibaskan wiron kainnya. Kemudian disangkutkannya wiron itu diikat pinggangnya di bagian belakang, di bawah punggung.
“Lihat,” katanya, “aku terpaksa mulai.”
Tidak seorang  pun yang menyahut. Mereka melihat orang yang bertubuh tinggi gagah itu terhuyung-huyung. Dan ketika anak muda itu menarik ujung tombaknya, maka tubuh itu pun kemudian terbanting jatuh di tanah.
“Aku tidak sengaja membunuhnya,” berkata anak muda itu,
“tetapi ia telah membunuh dirinya sendiri.”
Sejenak peperangan itu menjadi sepi. Bahkan berhenti untuk sesaat. Semua mata terbelalak melihat apa yang baru saja terjadi. Orang-orang liar yang sudah terlampau biasa melihat kematian itu pun menjadi heran, apalagi para pengawal.
“Hampir seperti Ki Gede Menoreh sendiri,” desis seseorang kepada diri sendiri.
Sementara itu anak muda itu pun berkata,
“Nah. Sekarang aku akan ikut bertempur. Ayo, jangan berdiri termangu-mangu.”
Selangkah demi selangkah ia maju. Tombaknya dijinjingnya dengan sebelah tangannya.
“Itu hanya suatu kebetulan,” beberapa orang berandal berkata di dalam hati masing-masing untuk menenteramkan diri sendiri. “Nafsu yang meluap-luap memang dapat menjerumuskan diri sendiri ke dalam bencana. Karena itu, aku harus berhati-hati menghadapi anak itu.”

Sejenak kemudian maka pertempuran  pun segera berkobar kembali. Semakin lama semakin dahsyat. Dentang senjata berkumandang di udara, dan bunga api  pun memercik dari benturan senjata yang beradu. Dalam pada itu, setiap orang di dalam peperangan itu  pun segera melihat, apakah yang dapat dilakukan oleh anak muda yang bersenjata tombak pendek itu. Meskipun ia seorang diri, namun pengaruhnya jauh lebih besar dari beberapa orang yang datang dari padukuhan sebelah. Dengan demikian maka keseimbangan pertempuran itu  pun segera berubah. Para pengawal tidak lagi terdesak. Bahkan karena setiap kali anak mada itu dapat mengurangi jumlah lawannya, maka perlahan-lahan para pengawal itu  pun dapat menguasai keadaan. Sehingga sejenak kemudian, meskipun korban jatuh di kedua belah pihak, namun para pengawal Tanah Perdikan Menoreh yang sedang bertugas di padukuhan kecil itu meyakini bahwa mereka akan berhasil mempertahankan daerah pengungsian itu atas bantuan seorang anak muda yang bersenjata tombak pendek. Tetapi anak muda yang bersenjata tombak pendek itu meskipun hanya seorang diri, mempunyai kemampuan bertempur yang luar biasa. Seolah-olah para pengawal itu sedang bertempur bersama-sama Ki Argapati sendiri. Orang-orang yang semula mengharapkan dapat merampas kekayaan yang tersembunyi di padukuhan kecil bersama para pengungsi itu  pun akhirnya harus mengumpat-umpat. Beberapa orang dari mereka telah terbunuh atau terluka. Sedang sisanya sama sekali sudah tidak mempunyai harapan lagi untuk memenangkan perkelahian itu. Dengan demikian, maka setelah mereka saling berbisik, terdengarlah salah seorang dari mereka bersuit nyaring. Sejenak kemudian orang-orang itu  pun segera berloncatan, melarikan diri salang-tunjang tanpa tujuan, Mereka berlari ke mana  pun untuk menjauhi para pengawal yang masih mengejar mereka beberapa puluh langkah. Namun para pengawal itu  pun segera menghentikan pengejaran, karena mereka menyadari, bahwa kekuatan mereka tanpa anak muda itu  pun tidak akan lebih dari kekuatan lawannya. Demikianlah maka pertempuran antara dua pasukan kecil itu  pun segera berakhir. Meskipun demikian sekali lagi Menoreh harus menyerahkan korban-korbannya sebagai pupuk tanah kelahiran mereka.
Ketika para pengawal itu sudah mulai menjadi tenang, maka pemimpin pengawal itu  pun segera bertanya sekali lagi kepada anak muda itu,
“Siapakah kau sebenarnya?”
Anak muda itu tersenyum. Ia tidak menjawab pertanyaan itu, bahkan ia bertanya pula,
“Apakah pasukan Menoreh seluruhnya berangkat ke padukuhan induk?”
“Ya,” jawab pemimpin pengawal.
“Kelengahan yang berbahaya. Kalian melihat akibatnya.” Anak muda itu berhenti sejenak, lalu,
“Apakah kalian sudah mendengar kabar penyerangan itu?”
“Belum. Kami sedang menunggu.”
Anak muda itu mengerutkan keningnya. Ia menjadi ragu-ragu sejenak. Apakah ia akan pergi juga ke padukuhan induk, atau menunggu saja di tempat itu.
“Apakah di sini ada seekor kuda.”
“Ada,” jawab pemimpin pengawal,
“apakah kau akan meminjamnya?”
Sekali lagi anak muda itu termangu-mangu.


Halaman 1 2 3


<<< Jilid 045                                                                                                       Jilid 047 >>>

Tidak ada komentar:

Posting Komentar