Bahkan beberapa orang anak buah Ki Peda Sura yang sama sekali sudah tidak dapat mengharapkan apa-apa lagi karena kekalahan yang tidak disangka-sangka itu, telah mulai bimbang.
“Buat apa kita
bertempur?” desis seseorang kepada kawannya.
Kawannya
menggeleng,
“Kami masih
mengharap dapat bertahan. Meskipun besok kita harus lari, tetapi kita masih
mendapat kesempatan untuk mencari sesuatu di induk Tanah Perdikan ini sendiri.
Tetapi agaknya keadaan berkembang lain.”
“Apakah kita
menunggu leher kita terputus di atas Tanah yang ternyata sangat gersang ini.”
“Sepeninggal
Ki Peda Sura, kita memang sudah tidak berpengharapan lagi.”
Demikianlah
sikap itu menjalar dari seorang keorang yang lain. Bahkan orang-orang yang
datang ke Tanah Perdikan itu dengan maksud serupa, yang bukan anak buah Ki Peda
Sura pun telah dijangkiti oleh pendirian
itu. Mereka sama sekali tidak dapat mengharap apa-apa lagi dari peperangan ini.
Bahkan satu
dua di antara mereka telah meninggalkan peperangan itu dengan diam-diam. Dengan
demikian maka pasukan yang tampaknya masih tetap berada di dalam gelar itu sama
sekali sudah tidak mempunyai kekuatan lagi. Senapati yang tinggal satu-satunya
adalah Sidanti.
Namun ternyata
bahwa Sidanti tidak mampu berbuat banyak. Ia tidak dapat menguasai seluruh
medan, karena ia sendiri sedang sibuk bertempur melawan Hanggapati. Apalagi
disadarinya, bahwa sepasang mata selalu mengawasinya, dari antara para pengawal
Tanah Perdikan Menoreh.
“Anak itu
memang luar biasa,” desis orang yang masih memandanginya hampir tanpa berkedip.
“Tenaga dan
kemampuannya ngedab-edabi. Sayang ia jatuh ketangan yang salah, sehingga ia pun
telah tersesat jalan.”
Namun kesesatan
itu tidak mengurangi kekaguman gembala tua yang sedang menunggui pertempuran
yang masih saja berlangsung dengan sengitnya. Gembala tua itu mengerutkan
keningnya ketika ia melibat warna-warna semburat merah membayang di langit.
Tanpa sesadarnya ia mengangguk-anggukkan kepalanya sambil bergumam,
“Semalam kami
telah bertempur. Mudah-mudahan setelah matahari terbit pagi nanti, semuanya
akan dapat diselesaikan. Masalah-masalah yang selama ini seakan-akan mencengkam
Tanah Perdikan ini, mudah-mudahan dapat diuraikan. Dan api yang selama ini
berkobar akan dapat dipadamkan.”
Dan tiba-tiba
orang tua itu menyadari, bahwa kini ia masih menghadapi seorang anak muda yang
berhati baja. Kalau anak ini sudah dapat dikuasainya, maka pasukan lawan sama
sekali sudah tidak mempunyai seorang pimpinan pun. Pasukan itu pasti akan
segera terpecah.
Karena itu,
maka gembala tua itu melangkah semakin dekat. Tetapi ia masih tertarik melihat
cara Sidanti mempergunakan senjatanya. Dengan demikian ia masih termenung
sejenak memandangi pertempuran itu. Orang tua menarik nafas dalam-dalam ketika
ia mendengar beberapa meneriakkan kematian Argajaya. Seakan-akan berita itu
sudah sedemikian meyakinkan, bahwa Argajaya telah mati terbunuh. Sidanti yang
mendengar berita itu dari teriakan-teriakan yang seakan menjalar itu mengangkat
wajahnya sejenak. Ia ingin meyakinkan pendengarannya. Dan suara yang merambat
itu masih saja menggema,
“Argajaya
mati! Argajaya mati!”
“Persetan!”
Sidanti menggeram.
“Aku tidak
memerlukan siapa pun lagi. Ayo, siapa lagi
yang akan maju ke medan ini? Kau orang tua bangka? Kenapa kau diam saja? Apakah
kau takut melawan aku, he?”
Gembala tua
itu menarik nafas dalam-dalam. Ketika dipandangnya Hanggapati sejenak orang itu
menarik nafas dalam-dalam. Hanggapati yang kebetulan juga memandanginya,
seolah-olah bertanya kepadanya seperti Sidanti,
“Kenapa kau
diam saja?”
Dan pertanyaan
itulah yang telah mendorongnya untuk maju lagi. Tetapi ia masih berkata,
“Kenapa kau
mengeraskan niatmu serupa itu Sidanti?”
“Jangan banyak
bicara. Bunuh aku atau aku membunuhmu.”
“Kau menjadi
putus asa, seolah-olah hari-hari mendatang adalah hari-hari yang sangat gelap
bagimu. Seharusnya kau percaya bahwa Ki Argapati akan bersikap adil. Kau adalah
anaknya. Dan demikianlah seorang bapa. Betapa pun ia bersakit hati, tetapi
apabila anak itu telah kembali ke pangkuannya dengan penuh penyesalan, maka ia
akan dimaafkan.”
“Bohong. Kau
mencoba menjebak aku. Argapati bukan ayahku.”
Sekali lagi
gembala tua itu menarik nafas dalam-dalam. Bahkan tidak sesadarnya ia mengusap
dada dengan sebelah tangannya,
“Kau
benar-benar keras hati, Ngger.”
“Diam! Diam!”
Dan Sidanti
tidak menunggu lagi. Sekali lagi ia menyerang Hanggapati yang untuk sejenak
masih sempat memandang gembala tua itu dengan penuh pertanyaan di wajahnya,
“Kiai mau apa
sebenarnya?”
Orang tua itu
menangguk-anggukkan kepalanya. Dipandanginya peperangan yang masih berlangsung
untuk sejenak. Kemudian dipandanginya arena yang kecil tempat Hanggapati
berkelahi melawan Sidanti yang menjadi wuru.
Ternyata bahwa
dalam keadaan yang seakan-akan tidak terkuasai lagi. Sidanti menjadi sangat
berbahaya. Beberapa kali Hanggapati meloncat surut. Namun dengan demikian,
perhatian Sidanti sebagian terbesar tertuju kepada lawannya, hampir tidak
terbagi, selama laki-laki tua itu belum berbuat apa-apa. Namun kemudian hal itu
terjadi. Darah Sidanti seakan-akan jadi membeku dengan tiba-tiba ketika ia
merasa sebuah tangkapan yang tidak dapat dilawannya, pada tengkuknya. Sebuah
tangan yang kuat, telah mencengkamnya, seakan-akan sebuah jepitan besi telah
menghimpit lehernya. Perlahan-lahan namun tidak dapat dilawannya, tubuhnya
serasa menjadi semakin lemah. Akhirnya Sidanti merasa, bahwa tangannya sama
sekali tidak mampu lagi untuk digerakkannya. Pandangan matanya menjadi kabur
dan nafasnya menjadi kian sesak.
“Tidurlah anak
manis,” terdengar sebuah desis ditelinganya. Tetapi ia tidak dapat berbuat
apa-apa lagi. Bahkan kemudian matanya pun menjadi semakin kabur.
Hanggapati
memandanginya dengan penuh keheranan. Ia berdiri tegak di tempatnya sambil
memandang Sidanti yang pingsan terbaring di tanah, sedang laki-laki tua itu
telah berjongkok di sisi tubuh Sidanti yang terbaring itu.
“Aku
memerlukannnya hidup-hidup,” berkata orang tua itu kepada Hanggapati.
Hanggapati
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak segera menjawab.
Ditatapnya
Sidanti yang sama sekali sudah tidak berdaya lagi. Agaknya orang tua itu telah
berhasil menekan simpul syaraf Sidanti yang langsung mempengaruhi pusat
syarafnya.
“Aku akan
membawanya ke belakang garis peperangan ini,” berkata laki-laki tua itu.
“Mudah-mudahan
api yang membakar Tanah Perdikan ini segera akan padam.”
“Lalu,
bagaimana dengan pasukan lawan?” bertanya Hanggapati.
“Usirlah
mereka bersama-sama dengan Kerti, Samekta, dan para pengawal yang lain.”
“Tetapi,”
orang tua itu mengerutkan keningnya,
“aku harus
bertemu dengan Samekta. Ia harus menyediakan sepasukan pengawal yang segera
dapat digerakkan menguasai seluruh daerah peperangan, terutama padukuhan
induk.”
Hanggapati
mengerutkan keningnya.
“Orang-orang
yang datang dari luar Tanah Perdikan ini dan yang kemudian akan melarikan diri,
pasti akan mempergunakan kesempatan sebaik-baiknya selagi padukuhan-padukuhan
ini kosong.”
Hanggapati
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Sudahlah.
Bantulah Kerti menyelesaikan tugasnya di sini.”
“Baik, Kiai.”
Orang tua itu
pun kemudian memapah Sidanti di pundaknya dan membawanya mundur ke belakang
garis peperangan. Namun ia masih sempat menemui Samekta setelah seorang
penghubung memanggilnya.
“Jangan
terlambat,” berkata orang tua itu mengakhiri pesannya.
“Agaknya satu
dua orang telah meninggalkan peperangan ini dengan diam-diam. Jalan lari itulah
mereka akan mempergunakan kesempatan.”
“Baik, Kiai,”
jawab Samekta kemudian.
Maka
sepeninggal gembala tua itu, Samekta menjadi semakin sibuk. Untunglah bahwa
gairah perlawanan pasukan Sidanti yang telah kehilangan pemimpin-pemimpinnya
itu telah menurun jauh sekali, sehingga pasukan itu terus didorong mundur oleh
pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh bersama rakyat yang setia kepada
pemimpinnya. Dengan cepat Samekta menunjuk beberapa orang yang dipercayanya.
Mereka harus menebar ke segenap sudut padukuhan induk yang mungkin akan dilalui
oleh pendatang yang dibawa Ki Peda Sura atau kawan-kawan mereka. Memang tidak
mustahil bahwa sambil melarikan diri mereka akan mencari kesempatan dalam
kekosongan untuk merampok dan merampas kekayaan yang tersisa. Seperti juga para
pemimpin pasukan pengawal yang lain, Samekta memperhitungkan, bahwa perlawanan
pasukan lawan tidak akan dapat bertahan sampai fajar. Karena itu, maka
sepasukan pengawal yang telah dipilihnya segera diperintahkannya untuk
mendahului. Mereka mendapat tugas untuk mengamankan padukuhan induk, sebelum
pasukan pengawal seluruhnya memasuki daerah itu. Pertempuran itu kini benar-benar
telah menjadi berat sebelah. Pasukan yang semula dipimpin oleh Ki Tambak Wedi,
Sidanti, Argajaya, dan Ki Peda Sura itu sudah mulai pecah. Mereka menyadari
bahwa tidak ada lagi yang dapat mengikat mereka di dalam kesatuan karena
pemimpin-pemimpin mereka telah habis. Itulah sebabnya, maka pasukan itu sama
sekali tidak lagi dapat menyesuaikan diri.
Hanya beberapa
orang yang menjadi berputus asa sajalah yang masih bertempur dengan gigih,
karena mereka merasa bahwa mereka tidak akan mendapat tempat lagi di hari-hari
mendatang di atas Tanah Perdikan ini. Tetapi mereka sudah tidak mendapat
kesempatan untuk berpikir lagi. Mereka merasa bahwa tidak akan ada gunanya
menyesal, sehingga karena itu, maka lebih baik bagi mereka untuk binasa sama
sekali. Sebab apabila Tanah Perdikan ini kembali dikuasai oleh Ki Argapati dan
orang-orang yang setia kepadanya, maka mereka yang selama ini berpihak kepada
Sidanti dan Argajaya pasti akan dianggap sebagai pengkhianat. Itulah sebabnya,
maka kematian adalah jalan yang sebaik-baiknya.
Tetapi ada
juga yang memilih jalan lain. Lari. Ke mana pun. Demikianlah maka seperti awan
yang dihembus oleh angin, perlahan-lahan pasukan yang telah kehilangan pimpinan
itu terpecah, kemudian berserakan tanpa arah. Yang mati, matilah di peperangan.
Sedang yang masih hidup berlari-larian tidak menentu.
Sementara itu,
seperti yang diperhitungkan oleh gembala tua, beberapa orang anak buah Ki Peda
Sura dan kawan-kawan mereka memang mencoba mempergunakan kesempatan dalam
kekisruhan itu. Tetapi pasukan khusus yang dikirim oleh Samekta, telah memasuki
padukuhan induk itu lebih dahulu. Mereka segera memencar ke segenap sudut,
sehingga mereka dapat langsung mengawasi orang-orang yang melarikan diri dan
mencoba memasuki rumah-rumah yang masih berpenghuni.
Perkelahian-perkelahian
kecil segera terjadi antara orang-orang liar itu melawan para pengawal. Tetapi
hal itu tidak terjadi terlalu lama. Mereka yang telah menjadi gelisah dan
bingung itu, segera meninggalkan padukuhan itu, berlari mencari selamat. Sambil
mengumpat-umpat tidak habis-habisnya, mereka berusaha menemukan jalan untuk
kembali ke sarang-sarang mereka, meskipun salah seorang pemimpin mereka yang
mereka segani, Ki Peda Sura sudah terbunuh. Namun sebagian dari mereka tidak
berhasil keluar dari padukuhan induk itu, karena tindakan yang cepat dari para
pengawal. Korban di antara mereka masih juga berjatuhan satu-satu. Pasukan
pengawal yang marah merasa mendapat kesempatan untuk melepaskan dendam yang
membara di hati mereka setelah beberapa lama mereka terusir dari padukuhan
induk, dari padukuhan-padukuhan lain di sekitarnya. Bahkan ada di antara mereka
yang terpaksa meninggalkan halaman dan milik mereka yang mereka kumpulkan,
sedikit demi sedikit. Sehingga dengan demikian, maka dengan, nafsu yang menyala-nyala
pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh, berusaha mengejar lawan-lawan mereka. Tetapi
sejenak kemudian beberapa penghubung telah menyebarkan perintah Samekta. Para
pengawal tidak diperkenankan berlaku kasar dan menuruti perasaan masing-masing.
Yang penting mereka harus memasuki padukuhan induk tanpa menghiraukan lawan
yang melarikan diri terpecah belah.
“Kita harus
segera menyusun diri. Menguasai seisi Tanah Perdikan ini sebaik-baiknya,”
perintah Samekta.
Beberapa
kelompok pengawal menjadi ragu-ragu atas perintah itu. Sekian lama mereka
menahan kemarahan yang seolah-olah akan meledak di dada masing-masing. Kini
mereka mendapat kesempatan itu. Apalagi di dalam pertempuran yang baru saja
terjadi, apakah mereka harus melepaskan lawan itu begitu saja? Namun dalam
keragu-raguan itu, mereka merasa bahwa mereka tidak dapat berbuat sekehendak
hati. Mereka mempunyai pemimpin, perintahnya harus didengar. Sehingga dengan
demikian maka mereka harus patuh dan melakukan perintah itu. Meskipun demikian
ada juga beberapa kelompok pengawal yang tidak segera mematuhinya. Mereka masih
mempergunakan kesempatan terakhir untuk melepaskan dendamnya terhadap pengikut
Tambak Wedi yang menjadi sumber penderitaan seluruh rakyat Menoreh.
“Kita harus
melepaskan mereka,” berkata seorang penghubung kepada seorang pemimpin kelompok
yang sedang kalap.
“Persetan!”
geramnya.
“Aku harus
membunuh orang itu.”
Tanpa
menghiraukan apa pun lagi, ia mengejar seorang yang sudah tidak terlalu jauh di
hadapannya. Agaknya orang itu sudah begitu lelah, sehingga langkah kakinya
sudah tidak begitu cekatan.
“Tunggu, aku
bunuh kau,” teriak pemimpin kelompok itu.
Orang yang
sedang berlari itu berusaha untuk mempercepat langkahnya. Tetapi tenaganya
tidak memungkinkannya lagi. Bahkan ketika terantuk sebuah batu, maka ia pun terbanting jatuh di tanah. Betapapun
penghubung itu mencoba mencegah, tetapi pemimpin kelompok itu sama sekali sudah
tidak menghiraukannya lagi. Ketika orang yang terjatuh itu berusaha untuk
bangkit, maka ujung pedang pemimpin kelompok itu segera membenam di
punggungnya. Tidak ada keluhan sama sekali yang terdengar. Orang itu terlempar
dan jatuh tertelungkup, sementara langit menjadi semakin cerah. Beberapa
langkah di belakang mereka, beberapa orang pengawal di dalam kelompok itu pun berdatangan.
Salah seorang anak muda yang tidak dapat menahan diri segera berteriak,
“Cincang saja. Pengkhianat.”
Yang lain
menyahut,
“Ya, cincang
pengkhianat itu.”
Pemimpin
kelompok yang tidak dapat menahan hati itu pun kemudian dengan geramnya
mendorong orang yang sudah terbunuh itu dengan kakinya, sehingga tubuh itu pun
kemudian menelentang. Tetapi demikian pemimpin kelompok itu melihat wajah orang
yang dibunuhnya, tiba-tiba ia membeku. Tangannya. Menjadi gemetar dan bibirnya
bergerak-gerak. Terdengar suaranya sendat,
“Kakang.
Kakang. Kaukah itu.”
Semua orang
tiba-tiba saja mematung di tempatnya. Ternyata orang yang terbunuh itu adalah
kakak pemimpin kelompok yang dengan tangannya sendiri telah membunuhnya.
“Kakang,”
suaranya semakin lirih,
“kenapa kau
berpihak kepada Sidanti? Aku menjadi gila karena aku menyangka bahwa kau justru
telah terbunuh oleh mereka,” suaranya tiba-tiba merendah.
“Sejak kita
terusir dari padukuhan induk, kita tidak pernah bertemu lagi. Ternyata kau
terpikat oleh janji-janji mereka.”
Namun pemimpin
pengawal itu tidak dapat menahan diri ketika hatinya serasa seakan-akan
terpecah. Perlahan-lahan ia berjongkok di samping tubuh kakaknya yang telah
membeku. Katanya perlahan-lahan sambil menyilangkan pedang di dadanya.
“Maafkan aku,
Kakang. Aku sama sekali tidak menyangka, bahwa kaulah yang telah aku bunuh.
Bukan maksudku sama sekali meskipun seandainya aku tahu kau berpihak kepada
lawan.”
Dan
kepalanya pun menjadi semakin tertunduk
ketika terbayang wajah ayah dan ibunya. Ayah dan ibunya yang meninggal beberapa
tahun yang lalu. Hampir berturut-turut. Tiga tahun ia kehilangan kedua orang
tuanya. Selama itu kakaknya itulah yang mengasuhnya. Memberinya tempat tinggal
dan makan. Tetapi, kini ia telah membunuhnya.
Ketika
pemimpin kelompok itu berpaling, dilihatnya penghubung yang selama itu mencoba
mencegahnya. Dengan penuh sesal ia berkata,
“Aku bersalah.
Aku tidak mentaati perintah Ki Samekta. Dan aku harus menebus kesalahan itu
dengan taruhan yang terlampau mahal.”
Penghubung itu
tidak menyahut. Ternyata peperangan memang begitu kejam, sehingga memaksa
seorang adik membunuh kakaknya sendiri walau pun tanpa disadarinya.
“Sudahlah,” akhirnya
penghubung itu berkata.
“Ki Samekta
memerlukan kalian di padukuhan induk. Berkumpullah. Kalian akan mendapat
petunjuk. Hal-hal serupa ini agaknya memang telah diperhitungkannya. Bukan saja
pembunuhan adik atas kakaknya, tetapi juga pelepasan dendam yang
berlebih-lebihan di antara kita sendiri.”
Pemimpin
kelompok itu berdiri perlahan-lahan. Kepalanya masih tertunduk. Tetapi kepala
yang tertunduk itu mengangguk.
“Kita akan
menyelesaikan sisa-sisa persoalan ini dengan cara yang lain,” berkata
penghubung itu.
“Dan Ki
Samekta sudah mempertimbangkan cara yang sebaik-baiknya.”
“Ya. Aku telah
terjebak oleh nafsuku sendiri,” desis pemimpin kelompok yang kalap itu.
Sejenak
kemudian maka dengan kepala tunduk seluruh kelompok itu pun segera meninggalkan tempat itu. Namun
pemimpin kelompok itu masih berdesis,
“Besok aku
akan minta ijin khusus untuk menguburkan mayat Kakang.”
Tidak
seorang pun yang menjawab. Sesal yang
sangat telah melepaskan segala macam dendam di dalam dada pemimpin kelompok
itu.
Sementara itu,
di bagian lain dari medan peperangan, masih terjadi beberapa keributan kecil.
Tetapi semuanya segera dapat di atasinya. Beberapa kelompok pasukan pengawal
telah berada di padukuhan induk. Mereka segera mengambil tempat-tempat yang
penting untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Terutama dari
orang-orang pendatang yang jelas akan mempergunakan setiap kemungkinan yang
terbuka dalam keadaan apa pun.
Dalam pada
itu, Ki Argapati yang ditunggui oleh Pandan Wangi telah semakin menyadari
keadaannya. Titik air di bibirnya membuatnya sedikit segar. Dan ketika perang
itu berakhir, Ki Argapati telah dapat mengerti, apa yang telah terjadi di
sekitarnya. Tetapi ia pun menyadari
bahwa keadaannya menjadi semakin lemah, karena luka-lukanya bertambah parah. Tetapi
hatinya seakan-akan rontok ketika usungan yang membawanya memasuki pintu
gerbang padukuhan induk yang telah sekian lama ditinggalkannya.
Dengan suara
yang lemah ia berdesis,
“Wangi, apakah
aku tidak bermimpi.”
“Tidak, Ayah,”
jawab Pandan Wangi.
“Ayah sedang
memasuki padukuhan induk.”
Ki Argapati
menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia menatap langit yang terbentang, maka
cahaya fajar telah menjadi semakin terang.
“Ternyata
Tuhan masih memperkenankan aku memasuki padukuhan ini kembali.”
“Bukankah kita
memohonnya,” sahut anaknya,
“dan
permohonan kita sama sekali tidak berlebih-lebihan. Permohonan yang ternyata
diperkenankan oleh Tuhan.”
“Ya. Kita
wajib berterima kasih,” suara Argapati merendah di antara desah nafasnya.
“Kau tidak
boleh melupakan apa yang telah terjadi hari ini, Wangi.”
Pandan Wangi
menganggukkan kepalanya.
“Ternyata kita
tidak berjuang sendiri. Tuhan telah mengirimkan kepada kita beberapa orang yang
ternyata memegang peranan di dalam perjuangan ini.”
Pandan Wangi
menundukkan kepalanya. Sekilas ia melihat pagar-pagar batu di
sebelah-menyebelah jalan. Masih seperti pada saat ditinggalkannya. Kemudian
terbayang sekilas di dalam ingatannya, dua orang anak-anak muda yang mengaku
bernama Gupala dan Gupita. Anak-anak muda yang serasa dibayangi oleh kabut
rahasia yang tak terpecahkan. Sejak permulaan peristiwa yang membakar Tanah
Perdikan ini, kedua anak muda itu telah menunjukkan dirinya. Tengkuk Pandan
Wangi meremang kalau terkenang olehnya, beberapa laki-laki yang kasar telah
mencegatnya. Kemudian di jalan pulang bersama Samekta, ia bertemu dengan
seorang gembala yang bernama Gupita. Gembala yang cakap bermain seruling. Namun
sejalan dengan itu, terbayang juga di dalam kenangannya, betapa Sidanti telah
berusaha melindunginya sebagai seorang kakak, ketika ia hampir-hampir menjadi
berputus asa. Sidanti telah melepaskannya dari tangan orang-orang liar itu. Tanpa
disadarinya Pandan Wangi menundukkan kepalanya. Kini kakaknya itu menjadi
seorang tawanan, yang menurut penilaian orang-orang Menoreh adalah seorang
pengkhianat bersama pamannya, Argajaya. Pamannya yang sangat baik kepadanya
sejak ia masih kanak-kanak. Yang pernah mendukungnya pula bergantian dengan
bibinya. Apalagi apabila ia sedang menangis karena dimarahi oleh ayah dan
ibunya, jika ia nakal.
“Cup, cup
Wangi,” pamannya selalu mencoba menghiburnya.
“Ibu nakal.
Ayah nakal. Mari bermain dengan paman saja. Cup.” Dan ia pun kemudian didukung ke kebun di belakang
rumah, di bawah pepohonan yang rimbun, sehingga kadang-kadang ia tertidur di
dalam dukungan.
Dan sekarang,
seperti kakaknya, pamannya adalah seorang tawanan. Wajah Pandan Wangi menjadi semakin
menunduk. Dalam waktu sekian tahun itu ternyata telah terjadi banyak sekali
perubahan. Ada yang pergi dari hatinya, tetapi ada yang datang pula. Yang
sebelumnya belum pernah dikenalnya, kini mereka bersama-sama justru berhadapan
dengan orang-orang yang ada di sekitarnya di masa kanak-kanak. Argajaya dan
Sidanti telah tersisih dari lingkaran hidupnya, dan kini hadir gembala-gembala
itu dengan ayahnya yang tua. Pandan Wangi terkejut ketika ia mendengar ayahnya
yang berada di usungan di sisinya bertanya lirih,
“Kita telah
sampai di mana sekarang ini, Wangi?”
“Kita hampir
sampai ke rumah, Ayah.”
Terdengar
sebuah desah pendek. Tetapi Ki Argapati tidak bertanya lebih lanjut. Sebenarnyalah
bahwa mereka telah hampir sampai di rumah Ki Argapati di padukuhan induk.
Sebentar kemudian mereka telah berada di sebuah lapangan rumput di muka sebuah
rumah yang berhalaman luas.
“Hem,”
Argapati menarik nafas dalam-dalam.
Iring-iringan
itu pun kemudian menjadi semakin
mendekati regol halaman. Sejenak mereka berhenti ketika dua orang pengawal
mendahului untuk melihat keadaan. Ternyata Samekta telah berada di halaman itu
bersama Kerti. Dengan tergesa-gesa mereka menyongsong Ki Argapati yang masih
berada di dalam usungan.
“Marilah, Ki
Gede,” berkata Samekta.
“Semuanya
sudah dipersiapkan meskipun dengan tergesa-gesa. Halaman ini telah bersih dari
kemungkinan-kemungkinan yang kurang menyenangkan. Para pengawal telah menebar
di segala sudut. Di halaman depan, samping dan di kebun belakang. Isi rumah ini pun telah kami periksa dengan teliti. Dan Ki
Gede kemudian dapat beristirahat dengan tenang.”
Ki Gede
mengerutkan keningnya. Terasa luka-lukanya menjadi kian perih. Namun ia berdesis,
“Terima kasih,
Samekta.”
Ki Gede pun kemudian diusung memasuki regol halaman.
Pandan Wangi hampir-hampir tidak dapat menahan harunya, sehingga sepasang
matanya pun menjadi basah. Tetapi ia
bertahan untuk tidak menitikkan air mata. Dicobanya berjalan dengan tegap di
samping usungan ayahnya. Dicobanya menengadahkan wajahnya menatap tangga-tangga
pendapa rumahnya. Namun ketika tampak olehnya tanaman-tanaman bunga yang
dipeliharanya dengan hati-hati, pepohonan dan seluruh halaman rumahnya menjadi
sangat kotor seperti hutan perdu, maka terasa kerongkongannya seakan-akan
tersumbat. Rumah itu seolah-olah sudah berubah menjadi rumah hantu. Di
sana-sini sarang labah-labah bergayutan. Putih kehitam-hitaman. Agaknya selama
rumah ini ditinggalkannya, sama sekali tidak pernah dibersihkan. Ki Tambak
Wedi, Sidanti dan orang-orangnya yang tinggal di rumah ini sama sekali tidak
sempat memperhatikan sarang labah-labah dan tumbuh-tumbuhan liar di halaman. Tetapi
saat itu Pandan Wangi pun tidak sempat
memperhatikannya terlalu lama. Ia selalu berada di samping ayahnya ketika
usungan itu dibawa masuk ke ruang dalam. Sebuah lampu minyak yang buram masih
menyala di atas ajuk-ajuk meskipun hari sudah menjadi semakin terang. Tetapi
sinarnya sama sekali sudah tidak berarti. Bahkan semakin lama menjadi semakin
redup karena minyak di dalamnya sudah habis sama sekali.
“Apakah bilik
ayah sudah dibersihkan,” bertanya Pandan Wangi kepada Samekta.
Samekta
tergagap sejenak. Ia sama sekali tidak berpikir sampai begitu jauh. Ketika ia
melihat bilik itu dan menurut pendapatnya sama sekali sudah tidak ada bahaya
yang tersembunyi, maka ia merasa bahwa bilik itu sudah siap dipergunakan.
Tetapi tidak terkilas sama sekali di kepalanya, bahwa bilik itu memang harus
dibersihkan. Hanya karena Pandan Wangi adalah seorang gadis meskipun berpedang
di lambungnya sajalah, maka selain pengamatan atas bahaya yang tersembunyi,
maka kebersihannya pun mendapat perhatiannya.
“Aku kira
belum bukan, Paman?”
Samekta
menganggukkan kepalanya,
“Memang belum.
Aku tidak berpikir sampai ke sana.”
“Tungguilah
ayah di sini. Aku akan membersihkannya sebentar.”
Samekta menganggukkan
kepalanya, sedang Pandan Wangi segera berlari ke belakang mencari sapu serabut.
Dengan
tergesa-gesa bilik yang kotor itu pun
dibersihkannya. Kemudian dicarinya tikar yang lebih bersih dari tikar yang
terbentang di atas pembaringan. Pembaringan yang dahulu juga, tetapi alangkah
kotornya.
Setelah
semuanya dianggapnya selesai untuk sementara, maka dibaringkannya Ki Argapati
di pembaringan. Pembaringan yang sudah sekian lama ditinggalkannya. Sementara
Samekta dan Kerti segera mengatur para pengawal dan menyebarkannya di
tempat-tempat yang dianggap perlu. Namun sementara itu, yang sama sekali kurang
mendapat perhatian para pengawal adalah justru padukuhan yang baru saja mereka
tinggalkan. Lebih daripada itu adalah padukuhan di sebelah, tempat orang-orang
Menoreh menampung para pengungsi. Padukuhan itu hanya sekedar ditunggui oleh
beberapa pengawal dan laki-laki yang menurut pertimbangan badaniah sudah tidak
mampu lagi bertempur di medan yang berat. Karena itu maka kekuatan di kedua
padukuhan itu hampir tidak berarti sama sekali. Adalah di luar dugaan bahwa
beberapa orang liar yang datang membantu Sidanti teringat akan hal itu. Dan
bahkan memusatkan perhatian mereka kepada para pengungsi itu.
“Kita singgah
sebentar ke padukuhan itu,” desis salah seorang dari mereka.
“Untuk apa?”
bertanya yang lain.
“Menoreh pasti
telah mengerahkan semua manusia yang ada. Karena itu, maka kedua padukuhan itu
pasti kosong.”
“Kenapa kita
singgah di sana?”
“Kau memang
bodoh. Sebagian besar isi padukuhan induk telah mengungsi ke sana. Yang dapat
mereka bawa pasti barang-barang berharga saja. Karena itu, apabila kita dapat
memasuki padukuhan pengungsian itu, kita tinggal mengambil saja sesuka hati
kita. Apa saja pasti sudah tersedia.”
“Apakah sama
sekali tidak ada seorang penjaga pun?”
“Tentu ada,
tetapi pasti bukan orang-orang yang terpilih untuk ikut ke peperangan.”
Kawan-kawannya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Salah seorang yang lain berkata,
“Aku
sependapat. Mari, sebelum sebagian dari mereka kembali.”
Segerombolan
kecil orang liar itu pun segera
mempercepat langkah mereka. Mereka tidak mau didahului oleh sebagian dari para
pengawal yang pasti akan segera dikirim oleh pimpinan pasukan Menoreh.
“Apa pun yang
kita dapatkan, dapatlah sekedar menawarkan hati yang panas ini.”
Mereka
mengangguk-anggukkan kepala sambil melangkah semakin cepat. Kehadiran mereka di
tempat-tempat pengungsian benar-benar membuat suasana yang tenang itu menjadi
kisruh. Beberapa orang pengawal yang bertugas segera mempersiapkan diri. Bahkan
laki-laki yang sudah berusia lanjut pun segera menyambar senjata-senjata yang
ada di dinding. Dan anak-anak tanggung yang berdarah panas pun tidak mau ketinggalan.
“He,” pemimpin
dari para pengawal itu berkata lantang di hadapan segerombolan orang yang akan
memasuki padukuhan itu, ”Siapakah kalian, dan apakah maksud kalian?”
“Kami hanya
sekedar akan lewat. Bukankah jalan yang melintas di tengah-tengah padukuhan ini
jalan untuk umum.”
Pemimpin
pengawal itu menggelengkan kepalanya,
“Tidak. Dalam
keadaan serupa ini jalan ini tertutup bagi siapa pun.”
“Tetapi kami
akan lewat,” teriak yang berkumis panjang.
“Minggir,”
teriak yang berkepala botak.
Tetapi pemimpin
pengawal itu pun berteriak,
“Jangan
memaksa. Kalian harus mencari jalan lain.”
Tiba-tiba
terdengar suara tertawa berkepanjangan. Seorang yang bertubuh tinggi kekar dan
berjambang lebat maju ke depan sambil mengacung-acungkan kelewangnya.
“Minggir
anak-anak marmot. Jangan berbuat bodoh.”
Pemimpin
pengawal itu menjadi ragu-ragu sejenak. Dipandanginya orang yang tampaknya buas
dan liar itu. Namun dengan demikian ia dapat meraba, apakah yang sebenarnya
akan mereka lakukan.
“Apa pun yang akan terjadi, tetapi kalian tidak
boleh lewat,” jawab pengawal itu.
Hampir
serentak orang yang liar itu mendesak maju. Tetapi para pengawal yang berdiri
di mulut lorong pun tidak menepi. Meskipun mereka menyadari, bahwa mereka akan
berhadapan dengan orang-orang yang liar dan buas. Bahkan mereka pun menyadari bahwa mereka tidak mampunyai
cukup kekuatan untuk mempertahankan diri terhadap segerombolan orang-orang liar
itu. Namun demikian mereka tidak akan dapat pula membiarkan orang-orang itu
memasuki padukuhan dan merampok segala isinya. Apa pun yang terjadi, mereka harus bertahan
sejauh-jauh dapat mereka lakukan.
“He,
orang-orang yang tidak tahu diri,” berteriak seseorang yang berdada bidang dan
berbulu lebat,
“apakah kalian
tidak mengenal kami?”
“Siapa pun
kalian, kami tetap dalam pendirian kami.”
Orang-orang
liar itu pun kemudian tidak dapat
tersabar lagi. Segera mereka pun memencar sambil mengacung-acungkan senjata
mereka. Salah seorang dari mereka berteriak,
“Kalian tidak
akan berdaya apa pun juga menghadapi kami. Jangan keras kepala.”
Para pengawal
itu pun segera mempersiapkan diri. Mereka masih juga mempunyai harapan, karena
jumah mereka lebih banyak. Tetapi yang banyak itu adalah sekedar orang tua-tua
dan anak-anak tanggung. Meskipun demikian di antara yang tua-tua itu terdapat
bekas-bekas pengawal yang pernah mengenal bagaimana mempergunakan pedang dan
tombak yang ada di tangan mereka.
“Kami harus
melindungi perempuan dan anak-anak,” desis seorang tua yang sudah ubanan
seluruh kepalanya. Sambil membelai janggutnya yang sudah putih pula ia
meneruskan,
“Kami masih
cukup kuat untuk bertempur melawan berandal yang mana pun juga.”
Tetapi
segerombolan orang yang datang itu benar-benar orang-orang yang buas. Mereka
sama sekali tidak menghiraukan apa pun
juga, selain membayangkan bahwa di dalam padukuhan itu terdapat harta-benda
yang dapat sedikit melepaskan tekanan yang menghimpit dada oleh kekalahan demi
kekalahan yang pernah mereka alami selama mereka masih berada di atas Tanah
Perdikan ini.
Dengan
demikian, maka orang-orang itu pun
kemudian mendesak semakin maju. Beberapa langkah di hadapan mereka, para
pengawal pun segera menebar. Mereka pun
telah siap menghadapi segala kemungkinan.
Seperti pesan
pemimpin mereka, maka para pengawal itu bersiap menghadapi lawan-lawan mereka
dalam pasangan-pasangan yang terdiri dari dua atau tiga orang. Setiap pengawal
didampingi oleh orang-orang tua atau anak-anak tanggung. Dalam
pasangan-pasangan itulah mereka akan berkelahi melawan orang liar yang menurut
perhitungan para pengawal memiliki kemampuan yang lebih tnggi. Karena itu, para
pengawal berusaha untuk memanfaatkan jumlah mereka yang lebih banyak itu
sebaik-baiknya. Sesaat kemudian maka kedua pasukan kecil itu pun segera berbenturan. Dengan
teriakan-teriakan tinggi berandal-berandal itu menggempur lawan-lawannya tanpa
pengekangan diri. Dengan kasar mereka mengayunkan senjata-senjata mereka
dibarengi oleh umpatan-umpatan kasar pula yang dapat membakar telinga. Adalah
di luar dugaan berandal-berandal itu bahwa pengawal yang berjumlah kecil
bersama orang-orang tua dan anak-anak itu ternyata telah berjuang dengan
gigihnya. Mereka sama sekali tidak mengenal takut menghadapi akibat yang
bagaimana pun juga beratnya.
Sejenak
kemudian, maka mulailah darah menitik dari luka-luka. Seorang yang telah tidak
bergigi lagi ternyata tersentuh ujung pedang, tertatih-tatih ia terdorong
surut, kemudian jatuh berguling di tanah. Dengan nafas terengah-engah ia
mencoba bangkit. Namun lukanya terasa menjadi kian pedih.
“Minggirlah!”
teriak seorang pengawal.
“Mundurlah dan
bersihkan luka itu.”
Belum lagi ia
beranjak dari tempatnya, seorang anak muda berumur enam belas tahun terlempar
dari pertempuran. Sebuah goresan biru telah menyilang punggungnya. Agaknya
sebuah bindi telah mengenainya, meskipun tidak sepenuh kekuatan lawan, sehingga
ia masih mampu meloncat berdiri. Tetapi karena senjatanya terlempar dari
tangannya, maka ia pun segera meloncat
mengambil senjata orang tua yang terluka,
“Pinjam
senjatamu, Kek.”
Namun
bagaimana pun juga, sejenak kemudian
segera terasa bahwa pasukan para pengawal itu segera terdesak. Hanya karena
jumlah dan tekad mereka sajalah, mereka mampu bertahan. Pemimpin pengawal itu
memang masih mengharap sesuatu akan terjadi. Mungkin sepasukan pengawal
kembali, atau mungkin pasukan pengawal di padukuhan sebelah mengetahui keadaan
ini. Pasukannya yang lengah, ternyata tidak mempersiapkan alat-alat apa pun yang dapat dipergunakannya untuk
memberikan isyarat kepada para pengawal di padukuhan sebelah selain kentongan.
Tetapi pengawal itu pun jumlahnya sama sekali tidak memadai. Namun demikian,
pemimpin pengawal itu tidak berputus asa. Ketika pasukannya benar-benar
terdesak, maka diperintahkan-nya memukul titir. Kentongan. Satu-satunya alat
yang masih dimilikinya
Sejenak
kemudian terdengar suara titir menggema dari padukuhan kecil itu. Beberapa buah
kentongan berbunyi bersama-sama, sahut-menyahut. Namun di sela-sela suara
kentongan itu terdengar orang yang berbulu lebat di dadanya berkata,
“Darimana kau
akan mendapatkan bantuan? Dari padukuhan sebelah yang dilingkari oleh pring ori
itu? Kasihan. Mereka tidak akan mampu membantu kalian, karena jumlah mereka pun tidak akan berarti apa-apa bagi kami.”
Pemimpin
pengawal tidak menghiraukannya. Ia sendiri berkelahi seperti harimau lapar.
Sedang beberapa orang pengawal terlatih yang lain pun mengikuti jejaknya pula. Ternyata bahwa
suara kentongan itu tertangkap dari padukuhan di sebelah. Karena itu maka
pemimpin pengawal yang tinggal di padukuhan itu pun segera mengumpulkan pasukan
kecilnya.
“Apakah yang
telah terjadi?” ia bertanya.
Tetapi tidak
seorang pun yang mengetahuinya.
“Biarlah
beberapa orang pergi ke sana melihat keadaan. Yang lain tetap berada di
padukuhan ini,” perintah penimpin pengawal itu.
Beberapa
orang pun segera pergi meninggalkan
lingkungan pring ori menuju ke padukuhan sebelah. Dengan tergesa-gesa mereka
meloncat-loncat sambil menduga-duga. Apakah yamg sebenarnya telah terjadi? Akhirnya
mereka pun melihat, di pinggir desa itu
telah terjadi pertempuran. Agaknya para pengawal yang ada di padukuhan itu
terdesak, sehingga mereka terpaksa membunyikan tanda. Para pengawal itu pun berlari semakin cepat. Ketika mereka
sampai di arena, mereka pun segera
melibatkan diri di dalam pertempuran itu. Namun jumlah mereka tidak terlampau
banyak, sehingga pengaruhnya tidak begitu terasa. Meskipun pada saat-saat
permulaan, para pengawal yang mendapat tenaga baru itu berhasil menahan desakan
berandal yang kehausan, tetapi sejenak kemudian mereka pun telah terdesak kembali betapa pun lambatnya.
“Menyerahlah,”
teriak salah seorang beranda1 yang berambut panjang.
Tetapi para
pengawal sudah bertekad untuk bertahan. Apalagi setelah mereka mendapat bantuan
meskipun hanya beberapa orang. Namun ketahanan mereka sudah menjadi bertambah.
Jumlah mereka yang lebih banyak pun
dapat membantu untuk memperpanjang waktu pertahanan mereka. Beberapa orang
pengawal telah mencoba untuk memecah perhatian orang-orang yang liar itu.
Mereka menyerang dari samping. Sedang jumlah yang besar meskipun sebagian dari
mereka adalah orang tua-tua dan anak-anak tanggung. tetap menghadapi mereka
dari depan. Tetapi bagaimana pun juga
para pengawal tidak akan dapat menguasai lawan-lawan mereka yang ganas. Dalam
pada itu, sepasang mata yang tajam mengikuti pertempuran yang sedang
berlangsung dengan sengitnya. Pengetahuannya yang tajam tentang pertempuran dan
perkelahian segera menangkap bahwa keadaan para pengawal semakin lama menjadi
semakin sulit. Meskipun hanya setapak demi setapak, namun mereka terdesak
terus. Apalagi tenaga orang-orang tua itu pasti akan segera susut. Mereka akan
segera menjadi lelah, dan kehilangan kemampuan untuk melakukan perlawanan.
Sedang orang-orang liar itu menjadi semakin liar. Apabila mereka merasa
terganggu, maka mereka dapat melakukan tindakan-tindakan di luar batas peri
kemanusiaan.
Orang yang
mengawasi pertempuran itu menarik nafas dalam-dalam. Sejenak kemudian ia
berdesis,
“Untunglah,
bahwa aku tidak langsung pergi ke padukuhan induk. Agaknya pasukan pengawal
Tanah Perdikan ini seluruhnya telah dikerahkan untuk menyerang kekuatan Ki
Tambak Wedi.”
Orang itu pun mencoba mendekati medan. Di balik dedaunan
dan gerumbul-gerumbul ia melindungi dirinya sambil selangkah demi selangkah
maju.
“Sebentar lagi
pertahanan para pengawal itu pasti akan pecah,” desis orang itu.
“Lalu bagamana
dengan pertempuran di padukuhan induk? Kalau mereka tidak dapat menerobos masuk,
maka para pengawal akan mengalami kekalahan mutlak di semua medan.”
Orang itu
menarik nafas. Kemudian ia berdesis,
“Apakah aku
akan membiarkan semua ini terjadi, sedang dua orang-orangku sudah mendahului
aku berpihak kepada Ki Argapati?”
Sejenak ia termenung.
Namun kemudian ia berdesis,
“Aku harus
menolongnya. Seandainya tidak ada hubungan apa
pun dengan pertempuran di medan yang lain, namun kali ini persoalannya
adalah persoalan perikemanusiaan. Kalau pertahanan itu pecah, maka
berandal-berandal itu pasti akan mengaduk seisi padukuhan, terutama
pengungsi-pengungsi. Pengungsi-pengungsi yang selalu dalam kecemasan karena
bermacam-macam hal itu, masih harus mengalami bencana lagi di pengungsian.”
Karena itu,
maka orang itu pun tidak menunggu lebih
lama lagi. Kini ia tidak bersembunyi. Ia
pun kemudian melangkah, melangkahi sawah yang kering dan rerumputan liar
menuju ke medan pertempuran. Semula tidak seorang pun yang melihat
kehadirannya. Tetapi kemudian satu dua orang melihatnya. Seorang anak muda yang
berjalan dengan tegapnya, menjinjing sebatang tombak pendek.
“He, siapakah
orang itu?” desis seorang pengawal sambil bertempur terus.
Kawannya yang
melihat kehadiran anak muda itu pula menggelengkan kepalanya. “Aku tidak tahu.”
“Apakah orang
itu salah seorang dari berandal-berandal itu?”
Kawannya
menggelengkan kepalanya. Tetapi ia tidak sempat menjawab, karena ia harus
menghindari serangan lawannya. Seorang yang berkumis lebat. Orang yang
menjinjing tombak itu berjalan saja seenaknya, semakin lama semakin dekat.
Seperti seorang anak muda yang pergi ke perhelatan perkawinan seorang sahabat
karibnya. Sama sekali tidak ada kesan ketegangan di wajahnya, meskipun di
hadapannya berlangsung pertempuran yang seru. Akhirnya kedua belah pihak yang
bertempur pun melihat kehadirannya. Dengan tenang ia berhenti beberapa langkah
dari peperangan itu. Kemudian berteriak nyaring,
“He, aku akan
ikut di dalam peperangan itu. Aku akan berpihak pada para pengawal Tanah
Perdikan Menoreh. Apakah kalian mendengar suaraku.”
Mereka yang
sedang bertempur menjadi heran. Tiba-tiba saja orang itu menyatakan diri
berpihak. Sedangkan kedua belah pihak sama sekali masih belum mengenalnya.
Hampir berbareng pemimpin pengawal Tanah Perdikan Menoreh yang bertugas di
padukuhan itu, dan seorang dari berandal-berandal yang menyerangnya berteriak,
“Siapakah
kau?”
“Itu tidak
penting. Tetapi aku muak melihat berandal-berandal yang berkeliaran di manapun.
Juga di atas Tanah Perdikan ini. Selagi Tanah ini sedang kisruh,
berandal-berandal itu mempergunakan kesempatan sebaik-baiknya. Aku tidak tahu,
apakah kalian memang dikirim oleh Ki Tambak Wedi, atau karena maksud kalian
sendiri, namun perbuatan kalian memang harus dicegah.”
“Persetan!”
teriak salah seorang dari orang-orang liar itu.
“Apakah
pengaruhmu seorang diri. Mari, ikutlah mati bersama para pengawal.”
“Tetapi aku
tidak seorang diri. Aku akan bertempur bersama para pengawal.”
Tidak
seorang pun yang segera menyahut. Tetapi
kehadirannya benar-benar menarik perhatian, meskipun ia hanya seorang diri. Meskipun
demikian, orang-orang yang telah dicengkam oleh nafsu untuk memiliki harta dan
benda itu sama sekali tidak berhasrat untuk mengurungkan niatnya. Sejenak
kemudian salah seorang dari mereka berteriak,
“He,
kedatangan segerombolan pengawal dari padukuhan sebelah sama sekali tidak
berarti bagi kami. Apalagi kau hanya seorang diri, meskipun kau akan bertempur
bersama-sama para pengawal.”
Orang yang
baru datang itu mengerutkan keningnya, kemudian jawabnya,
“Memang,
kedatangan segerombolan pengawal itu baru membuat keadaan menjadi seimbang.
Nah, meskipun kemudian aku datang seorang diri, tetapi aku akan dapat merubah
keseimbangan itu.”
“Omong
kosong!” teriak seorang yang bertubuh tinggi, berdada bidang dan berbulu lebat.
Ia adalah orang yang sama sekali tidak dapat menahan diri. Karena itu, maka
katanya kemudian,
“Aku akan
mencekik kelinci kecil itu. Teruskan pekerjaan kalian sampai tikus-tikus
Menoreh ini menyadari kebodohannya. Aku hanya memerlukan waktu sekejap,
kemudian aku akan kembali bersama-sama dengan kalian.”
Orang yang
tinggi besar itu segera keluar dari pertempuran. Dengan langkah yang berat ia
maju mendekati anak muda yang bersenjata tombak itu.
“Siapa kau.
Aku ingin tahu namamu sebelum kau mati.”
“Sudah aku
katakan, itu tidak penting.”
“Setan alas!”
orang itu mengumpat. Kemudian diputarnya senjatanya. Sebuah canggah bertangkai
pendek.
Anak muda yang
bersenjata tombak itu masih tetap berdiri di tempatnya. Tetapi ia telah
menyiapkan diri menghadapi segala kemungkinan.
Tanpa berjanji
maka peperangan yang seru itu pun mengendor. Hampir setiap orang di dalam
peperangan itu ingin melihat, apa yang akan terjadi atas anak muda itu.
Sehingga dengan demikian maka benturan dari kedua pasukan kecil itu seakan-akan
terhenti untuk sesaat, hanya karena seorang anak muda yang datang mendekati
arena.
“Lihatlah
untuk yang terakhir kalinya,” berkata orang yang tinggi besar itu,
“tengadahkan
wajahmu ke langit, kemudian tundukkan kebumi. Kau sudah tidak akan melihatnya
lagi.”
“Jangan menipu
aku. Kau akan menusuk lambungku selagi aku menengadah,” jawab anak muda itu.
“Sombong! Kau
kira aku tidak dapat membunuhmu tanpa berbuat licik seperti itu.”
“Yakini
kata-katamu sendiri. Kau tidak dapat mengalahkan aku tanpa perbuatan licik.”
“Persetan!”
orang itu menjadi sangat marah. Ia merasa benar-benar terhina, sehingga dengan
serta-merta ia meloncat menyerang dengan canggahnya. Ujung yang bercabang itu
langsung mengarah ke leher anak muda yang bersenjata tombak itu.
Tetapi semua
mata yang melihat serangan itu terbelalak karenanya. Semula mereka menyangka
bahwa serangan yang demikian cepatnya itu akan segera mengakhiri perkelahian
yang baru dimulai itu. Namun ternyata mereka salah sangka. Meskipun perkelahian
itu benar-benar segera berakhir, tetapi bukan canggah orang bertubuh tinggi
itulah yang menyobek leher anak muda yang bersenjata tombak.
Yang terjadi
adalah justru sebaliknya. Dengan sigapnya anak muda itu mengelak, dan dengan
sigapnya pula ia mengangkat ujung tombaknya. Anak itu tidak perlu mempergunakan
kekuatan apa pun untuk membenamkan
tombaknya di dada lawannya, karena lawannya telah melontarkan dirinya sendiri. Adalah
benar-benar di luar dugaan. Anak muda itu pun kemudian mengkibaskan wiron
kainnya. Kemudian disangkutkannya wiron itu diikat pinggangnya di bagian belakang,
di bawah punggung.
“Lihat,”
katanya, “aku terpaksa mulai.”
Tidak
seorang pun yang menyahut. Mereka
melihat orang yang bertubuh tinggi gagah itu terhuyung-huyung. Dan ketika anak
muda itu menarik ujung tombaknya, maka tubuh itu pun kemudian terbanting jatuh
di tanah.
“Aku tidak
sengaja membunuhnya,” berkata anak muda itu,
“tetapi ia
telah membunuh dirinya sendiri.”
Sejenak
peperangan itu menjadi sepi. Bahkan berhenti untuk sesaat. Semua mata
terbelalak melihat apa yang baru saja terjadi. Orang-orang liar yang sudah
terlampau biasa melihat kematian itu pun menjadi heran, apalagi para pengawal.
“Hampir
seperti Ki Gede Menoreh sendiri,” desis seseorang kepada diri sendiri.
Sementara itu
anak muda itu pun berkata,
“Nah. Sekarang
aku akan ikut bertempur. Ayo, jangan berdiri termangu-mangu.”
Selangkah demi
selangkah ia maju. Tombaknya dijinjingnya dengan sebelah tangannya.
“Itu hanya
suatu kebetulan,” beberapa orang berandal berkata di dalam hati masing-masing
untuk menenteramkan diri sendiri. “Nafsu yang meluap-luap memang dapat
menjerumuskan diri sendiri ke dalam bencana. Karena itu, aku harus berhati-hati
menghadapi anak itu.”
Sejenak
kemudian maka pertempuran pun segera
berkobar kembali. Semakin lama semakin dahsyat. Dentang senjata berkumandang di
udara, dan bunga api pun memercik dari
benturan senjata yang beradu. Dalam pada itu, setiap orang di dalam peperangan
itu pun segera melihat, apakah yang
dapat dilakukan oleh anak muda yang bersenjata tombak pendek itu. Meskipun ia
seorang diri, namun pengaruhnya jauh lebih besar dari beberapa orang yang
datang dari padukuhan sebelah. Dengan demikian maka keseimbangan pertempuran
itu pun segera berubah. Para pengawal
tidak lagi terdesak. Bahkan karena setiap kali anak mada itu dapat mengurangi
jumlah lawannya, maka perlahan-lahan para pengawal itu pun dapat menguasai keadaan. Sehingga sejenak
kemudian, meskipun korban jatuh di kedua belah pihak, namun para pengawal Tanah
Perdikan Menoreh yang sedang bertugas di padukuhan kecil itu meyakini bahwa
mereka akan berhasil mempertahankan daerah pengungsian itu atas bantuan seorang
anak muda yang bersenjata tombak pendek. Tetapi anak muda yang bersenjata
tombak pendek itu meskipun hanya seorang diri, mempunyai kemampuan bertempur
yang luar biasa. Seolah-olah para pengawal itu sedang bertempur bersama-sama Ki
Argapati sendiri. Orang-orang yang semula mengharapkan dapat merampas kekayaan
yang tersembunyi di padukuhan kecil bersama para pengungsi itu pun akhirnya harus mengumpat-umpat. Beberapa
orang dari mereka telah terbunuh atau terluka. Sedang sisanya sama sekali sudah
tidak mempunyai harapan lagi untuk memenangkan perkelahian itu. Dengan
demikian, maka setelah mereka saling berbisik, terdengarlah salah seorang dari
mereka bersuit nyaring. Sejenak kemudian orang-orang itu pun segera berloncatan, melarikan diri
salang-tunjang tanpa tujuan, Mereka berlari ke mana pun untuk menjauhi para pengawal yang masih
mengejar mereka beberapa puluh langkah. Namun para pengawal itu pun segera menghentikan pengejaran, karena
mereka menyadari, bahwa kekuatan mereka tanpa anak muda itu pun tidak akan lebih dari kekuatan lawannya. Demikianlah
maka pertempuran antara dua pasukan kecil itu
pun segera berakhir. Meskipun demikian sekali lagi Menoreh harus
menyerahkan korban-korbannya sebagai pupuk tanah kelahiran mereka.
Ketika para
pengawal itu sudah mulai menjadi tenang, maka pemimpin pengawal itu pun segera bertanya sekali lagi kepada anak
muda itu,
“Siapakah kau
sebenarnya?”
Anak muda itu
tersenyum. Ia tidak menjawab pertanyaan itu, bahkan ia bertanya pula,
“Apakah
pasukan Menoreh seluruhnya berangkat ke padukuhan induk?”
“Ya,” jawab
pemimpin pengawal.
“Kelengahan
yang berbahaya. Kalian melihat akibatnya.” Anak muda itu berhenti sejenak,
lalu,
“Apakah kalian
sudah mendengar kabar penyerangan itu?”
“Belum. Kami
sedang menunggu.”
Anak muda itu
mengerutkan keningnya. Ia menjadi ragu-ragu sejenak. Apakah ia akan pergi juga
ke padukuhan induk, atau menunggu saja di tempat itu.
“Apakah di
sini ada seekor kuda.”
“Ada,” jawab
pemimpin pengawal,
“apakah kau
akan meminjamnya?”
Sekali lagi
anak muda itu termangu-mangu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar