“Gila!” terdengar suaranya parau.
“Gila kau Arya
Teja.” Dan ketika ia melihat Pandan Wangi tiba-tiba suaranya meninggi, “Wulan,
Wulan, kemarilah Wulan.”
Tidak
seorang pun yang menyahut.
“Wulan.
Wulan,” Ki Tambak Wedi berusaha untuk bergeser. Dengan tangan yang gemetar
seakan-akan ia ingin meraih Pandan Wangi yang berjongkok di samping ayahnya.
“Wulan, apakah
kau tidak mendengar?” suara Ki Tambak Wedi menjadi parau dan lambat.
“Anakmu,
anakmu itu.” Suaranya seolah-olah tertelan,
“Anakmu
laki-laki itu kini menjadi burung rajawali yang perkasa. Anak itu tidak akan
mendapat perlindungan dari Arya Teja. Akulah yang harus berbuat sesuatu untuknya,
karena anak itu adalah anakku.”
“O,” Pandan
Wangi menutup wajahnya dengan kedua belah telapak tangannya. Sementara gembala
tua beserta kedua muridnya saling berpandangan sesaat.
Bulu-bulu
mereka meremang ketika mereka mendengar Ki Tambak Wedi itu tertawa. Dan suara
tertawanya seakan-akan bergulung-gulung di dalam perutnya, seperti suara iblis
diliang pekuburan,
“Wulan, anakku
dan anakmu itulah yang akan melepaskan dendamku. Ialah yang akan membunuh Arya
Teja.”
Pandan Wangi
yang menjadi semakin ngeri membenamkan kepalanya semakin dalam di antara kedua
belah tangannya. Hampir saja ia melonjak dan berlari ketika ia melihat dari
sela-sela jari-jarinya, Ki Tambak Wedi merangkak mendekatinya. Tetapi tenaga
orang tua itu sama sekali sudah tidak mampu membawanya maju. Sejenak kemudian
ia jatuh terjerembab. Sekali lagi ia berusaha mengangkat wajahnya memandang
Pandan Wangi. Terdengar suaranya terlampau lemah,
“Sidanti.”
Suara itu
lepas dari tenggorokannya bersama tarikan nafasnya yang terakhir. Ki Tambak
Wedi, iblis yang selama ini menghantui Tanah Perdikan Menoreh, tiba-tiba
terkulai di tanah, mati. Darahnya telah menyiram Tanah yang hampir saja
ditelannya. Gembala tua bersama kedua muridnya menarik nafas dalam-dalam.
Perlahan-lahan mereka berjongkok di sampingnya, menarik tombak Ki Argapati dan
menyilangkan tangannya di dadanya. Sedang senjatanya masih tetap berada di
dalam genggamannya. Ketiganya tersadar ketika mereka mendengar isak Pandan
Wangi yaug merenungi Ki Argapati yang masih terbaring diam. Agaknya Kepala
Tanah Perdikan Menoreh itu pun mengalami cidera pada tubuhnya. Dengan hati-hati
gembala tua itu pun kemudian mengamatinya dengan seksama. Ternyata selain
lukanya yang lama yang telah mengalirkan darah kembali, di pundaknya terdapat
sebuah luka yang baru. Sehingga karena itulah, maka Ki Argapati telah
terpelanting dan menjadi pingsan setelah memaksa dirinya mengerahkan segenap
sisa-sisa kemampuannya.
“Bagaimana
Kiai?” terdengar suara Pandan Wangi di sela-sela tangisnya yang ditahankannya
sekuat-kuat tenaganya, justru karena ia menyadari bahwa kini ia berada di
peperangan.
Gembala tua
itu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak sampai hati untuk mengatakan,
bahwa luka Ki Argapati justru menjadi semakin parah. Selain luka-lukanya yang
lama, maka luka di pundaknya itu pun cukup dalam dan berbahaya.
“Aku akan
mencoba menolongnya untuk sementara,” desis gembala tua itu sambil mengeluarkan
sebuah bumbung dari kantong ikat pinggangnya. Dari dalam bumbung itu diambilnya
serbuk yang halus, yang kemudian ditaburkannya di atas luka-luka Ki Argapati.
“Aku mencoba
memampatkan darahnya. Setelah perang ini nanti berakhir, aku akan mencoba
mengobatinya lebih saksama lagi,” desis gembala tua itu.
“Tetapi,
tetapi, apakah luka ayah berbahaya?” Pandan Wangi menjadi semakin cemas.
Gembala tua
itu menjadi termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia menjawab,
“Kita harus
mencoba. Tetapi kita pun harus berdoa
kepada Sumber dari semua kehidupan.”
Jawaban itu
serasa menghentakkan dada Pandan Wangi. Hampir saja ia tidak dapat menahan
dirinya, dan berteriak keras-keras untuk melepaskan pepat di dadanya.
“Tetapi kita
tidak boleh berputus asa,” berkata gembala tua itu,
“dan demikian
pulalah hendaknya dengan Ki Argapati ini. Aku masih berpengharapan, bahwa ia
akan tertolong.”
Dengan sekuat
tenaga Pandan Wangi berusaha menahan diri agar ia tidak menjerit dan
menelungkup memekik ayahnya yang terbaring diam itu. Namun dengan demikian
terasa dadanya seakan-akan menjadi retak di dalam.
Sejenak kemudian
gembala tua itu berkata,
“Marilah. Kita
baringkan Ki Argapati di tempat yang mapan, aku mengharap bahwa peperangan akan
dapat segera selesai. Pasukan lawan telah kehilangan dua orang senapati mereka
yang tertinggi, Ki Peda Sura dan kini Ki Tambak Wedi. Kalau kita segera dapat
mengakhiri peperangan, maka kita akan segera membawa Ki Argapati. ke Padukuhan
induk dan membawanya memasuki rumahnya yang sudah beberapa lama
ditinggalkannya.”
Pandan Wangi
tidak menjawab. Hanya kepalanya saja yang terangguk kecil. Sementara beberapa
orang berusaha mengangkat Ki Argapati menepi, maka Gupala dengan hormatnya
menganggukkan kepalanya di hadapan Pandan Wangi sambil berkata,
“Ini
pedangmu.”
Pandan Wangi
mengerutkan keningnya. Ditatapnya anak muda yang gemuk itu sejenak. Namun
kemudian diterimanya sepasang pedangnya dengan wajah yang tunduk. Terasa tangan
gadis itu bergetar ketika ia menerima pedang itu. Sedang Gupala sekali lagi
menunduk sambil melangkah surut.
“Tungguilah
ayahmu Pandan Wangi,” desis gembala tua itu.
“Aku dan kedua
anak-anakku akan melanjutkan pertempuran. Kita bersama-sama mengharap agar
pertempuran ini segera dapat diakhiri. Meskipun lawan telah kehilangan,
senapati-senapatinya, tetapi agaknya jumlah mereka agak lebih banyak dari
pasukan Menoreh, sehingga dengan demikian kita memerlukan pengerahan semua
tenaga yang ada.”
Sekali lagi
Pandan Wangi mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Jagalah
ayahmu baik-baik.”
Pandan Wangi
masih tetap diam. Tetapi sekali lagi kepalanya terangguk-angguk. Gembala tua
bersama kedua anak-anaknya itu pun kemudian melangkah meninggalkan Ki Argapati
yang masih terbaring diam, ditunggui oleh puterinya dan beberapa orang pengawal
yang terpercaya. Namun langkah mereka segera terhenti ketika mereka melihat
seseorang yang dipapah oleh dua orang dan dikawal oleh dua orang lainnya mendekati
mereka.
“Siapa yang
terluka?” desis gembala tua itu.
Tetapi kedua
murid-muridnya tidak menjawab. Mereka menunggu dengan berdebar-debar rombongan
kecil itu mendekat.
“Siapa?”
bertanya Gupala tidak sabar.
Mereka yang
memapah orang yang terluka itu tidak segera menjawab. Tetapi mereka berjalan
semakin dekat, sehingga akhirnya mereka dapat mengenal orang yang sedang
dipapah oleh kawan-kawannya itu.
“Wrahasta,”
desis Gupita.
Dengan
tergesa-gesa gembala tua itu mendekatinya.
“Baringkan ia
di sini, di atas jerami ini,” desisnya.
Maka Wrahasta
yang terluka itu pun kemudian
perlahan-lahan dan berhati-hati dibaringkan di atas setumpuk jerami.
Sementara itu
gembala tua itu pun segera berjongkok di
sampingnya dan memeriksa luka-lukanya. Tanpa sesadarnya ia menarik nafas
dalam-dalam. Namun tidak terucapkan kata-kata di dalam hatinya,
“Lukanya
terlampau parah.”
Meskipun
demikian masih terdengar Wrahasta itu berdesis,
“Aku telah
menunaikan kuwajibanku.”
“Ya, ya,
Ngger. Kau sudah menunaikan kewajibanmu dengan baik.”
“Ya,” ia
melanjutkan dengan suara patah-patah,
“sejak aku
masih kanak-kanak aku bercita-cita untuk mengabdikan diriku kepada Tanah ini.”
“Ya, Ngger.”
Nafas Wrahasta
semakin berkejaran di rongga dadanya. Dan tiba-tiba saja ia membuka matanya,
“Siapa kau?”
“Aku, Ngger,
gembala tua.”
“O, kau dukun
yang pandai mengobati itu?”
“Begitulah,
Ngger, dan aku akan mencoba mengobati luka-lukamu.”
Perlahan-lahan
Wrahasta mencoba mengangkat kepalanya. Tetapi kepala itu terkulai lagi dengan
lemahnya.
“Jangan bergerak,”
berkata gembala itu, “darahmu akan semakin banyak mengalir.”
Wrahasta
terdiam. Dibiarkannya gembala tua itu menaburkan serbuk obat di atas
luka-lukanya. Tetapi gembala tua itu sendiri menjadi semakin cemas. Darah
Wrahasta terlampau banyak mengalir dari luka di dadanya, di lambungnya dan di
bahu kanannya, selain luka di pahanya.
Semua orang
yang berjongkok mengelilinginya berpaling ketika mereka mendengar desah lembut,
“Wrahasta,
kaukah itu?”
Wrahasta
membuka matanya. Dilihatnya sebuah bayangan yang kabur berjongkok di antara
bayangan-bayangan hitam yang tidak dapat dilihatnya lagi dengan jelas. Meskipun
demikian telinganya masih dapat menangkap suara itu, suara Pandan Wangi.
“Wangi,” suara
Wrahasta kian lambat. Di luar dugaan semua orang yang mengitarinya Wrahasta
berkata lambat sekali,
“kau belum
menjawab pertanyaanku.”
Terasa dada
Pandan Wangi bergetar dahsyat sekali. Ia tidak menyangka sama sekali, bahwa
dalam keadaan seperti itu, Wrahasta masih berusaha bertanya kepadanya tentang
persoalan pribadi mereka.
“Pandan Wangi,”
suara Wrahasta terputus,
“aku ingin
mendengar. Bukankah aku telah mengabdikan diriku hampir sepanjang umurku?
Jawablah Wangi.”
Air mata
Pandan Wangi yang memang belum kering, kini menitik semakin deras. Pergolakan
yang dahsyat telah membentur dinding jantungnya. Namun ketika ia melihat
keadaan Wrahasta, ia tidak sampai hati untuk menyakiti hatinya, selagi tubuhnya
pasti sedang sakit tiada taranya.
Dan tiba-tiba
kepala gadis itu terangguk kecil. Terdengar jawabnya ragu-ragu,
“Baiklah, Wrahasta.
Aku menerimamu.”
“Wangi,”
tiba-tiba saja Wrahasta berusaha bangkit. Tetapi ia sama sekali sudah tidak
mampu. Meskipun demikian tampak bibirnya tersenyum. Senyum untuk yang terakhir
kalinya. Karena sesaat kemudian anak muda yang bertubuh raksasa itu telah
menarik nafasnya yang penghabisan.
Pandan Wangi
yang berjongkok di sampingnya menjadi semakin tunduk. Namun sesaat kemudian ia
pun berdiri dan berjalan perlahan-lahan meninggalkan anak muda bertubuh raksasa
yang sudah terbaring diam itu. Dengan kepala yang masih menunduk dalam-dalam
Pandan Wangi berjalan mendekati ayahnya yang masih juga terbaring diam. Ketika
ia kemudian berjongkok lagi di antara para pengawal ayahnya, maka ia sudah
tidak dapat bertahan lagi. Tangisnya seakan-akan meledak dari dalam dadanya
yang bengkak. Tangis seorang gadis yang dilanda gejolak perasaan tiada
tertahankan lagi.
Sejenak
gembala tua dan kedua murid-muridnya saling berpandangan. Namun kemudian orang
tua itu berdiri dan berjalan mendekati Pandan Wangi. Setelah duduk bersimpuh di
belakangnya, orang tua itu berdesis,
“Sudahlah,
Ngger. Agaknya demikianlah yang dikehendaki oleh Tuhan Yang Maha Adil. Tetapi
pasti hal yang terjadi ini bukan tanpa maksud. Marilah kita belajar untuk
mengerti, apakah sebenarnya yang terjadi ini. Kepada-Nya kita mohon
ketenteraman hati. Sebenarnyalah bahwa semua isi dan gerak alam ini berada di
tangan-Nya. Tetapi tangan itu adalah tangan Yang Maha Pengasih.”
Pandan Wangi
masih terisak.
“Tidak ada
kekuasaan yang lebih mapan, bahkan yang sekedar mendekati kekuasaan Yang Maha
Kuasa itu. Kekuasaan yang tidak pernah sisip. Kekuasaan yang tidak ditrapkan
untuk sesuatu pamrih yang tidak adil dan benar. Tetapi apa yang terjadi adalah
mutlak ada dan benar,” gembala tua ini berhenti sejenak lalu. “Angger, kita
dapat menentang kekuasaan duniawi, kekuasaan seseorang, karena kekuasaan itu
kadang-kadang justru menumbuhkan ketidak-adilan, didorong oleh pamrih. Tetapi
kepada kekuasaan-Nya, kekuasaan Yang Maha Kuasa kita harus pasrah dengan
ikhlas.”
Perlahan-lahan
kepala gadis itu terangguk-angguk. Namun tanpa sesadarnya terpandanglah wajah
ayahnya yang terbaring diam itu tiba-tiba bergerak. Perlahan-lahan matanya
terbuka meskipun yang tampak oleh Ki Argapati yang pertama-tama adalah
kehitaman malam.
“Ayah,” Pandan
Wangi terpekik.
Gembala tua
itu pun kemudian melihat Ki Argapati
membuka matanya. Perlahan-lahan ia berdesis,
“Aku memang
sudah menyangka, bahwa ia akan segera sadar.” Kemudian kepada salah seorang yang
ada di sampingnya ia berkata,
“Kalau mungkin
carilah air yang bersih. Air dari sumur.”
Pengawal itu
memandangnya sejenak. Dan gembala tua itu berkata kepada Pandan Wangi,
“Berikanlah
titik air di bibirnya. Ingat setitik saja. Kalau terlampau banyak meskipun
diminta, itu akan berbahaya bagi ayahmu. Mungkin justru pernafasannya akan
tersumbat oleh air yang tidak dapat mengalir dengan lancar di tenggorokannya.”
Pandan Wangi
mengangguk-anggukkan kepalanya, dan pengawal itu pun kemudian menggamit seorang
kawannya untuk pergi mencari air berdua. Di peperangan segala sesuatu memang
dapat terjadi meskipun sama sekali bukan karena ketakutan.
Sepeninggal
kedua pengawal itu, gembala tua itu pun
berkata kepada Pandan Wangi,
“Sudahlah,
Ngger, yang penting cobalah kau melayani ayahmu yang sudah mulai menyadari
keadaannya. Tetapi ingat, jagalah supaya ia tetap terbaring diam. Bagaimana pun
juga terasa haus, namun kau hanya dapat memberikan air itu setitik demi
setitik. Jangan terlampau banyak.”
Sambil
mengangguk-angguk Pandan Wangi menjawab, “Baik, Kiai.”
“Aku tidak
dapat menungguinya sekarang. Peperangan yang masih berkecamuk itu harus segera
selesai, supaya korban tidak berjatuhan tanpa arti. Aku akan segera kembali dan
membawa Ki Argapati memasuki rumah yang sudah ditinggalkannya itu.”
“Baiklah,
Kiai.”
Maka setelah
meraba-raba tangan Ki Argapati dan mendengarkan detak jantung di dadanya,
gembala tua itu pun kemudian berdiri dan dengan tergesa-gesa meninggalkan Ki
Argapati yang dengan perlahan-lahan mulai menyadari dirinya ditunggui oleh
puterinya beserta beberapa orang pengawal. Bersama kedua murid-muridnya,
gembala tua itu pun kemudian menuju ke medan peperangan yang masih berlangsung
dengan serunya. Desak mendesak silih berganti.
Sorak-sorai
dari kedua belah pihak telah jauh menurun, karena kini mereka lebih mementingkan
memusatkan perhatian atas lawan-lawan mereka karena setelah seluruh tubuh
masing-masing dibasahi oleh keringat, nafsu yang menyala di dada pun seakan-akan menjadi semakin panas. Meskipun
kekosongan senapati terasa pula oleh setiap orang di dalam induk pasukan,
tetapi karena tidak ada kekuatan yang melampaui kekuatan mereka masing-masing,
maka pertempuran berlangsung terus dengan sengitnya. Namun pasukan pengawal
Tanah Perdikan Menoreh masih mempunyai seorang yang dapat mengikat mereka dalam
suatu tata pertempuran yang lebih teratur. Samekta. Meskipun ia tidak jauh
lebih baik dari setiap orang yang sedang bertempur, namun ia telah berhasil
mengikat induk pasukannya dalam gelar yang baik dan terarah. Sejenak kemudian
gembala tua bersama kedua anak-anaknya itu
pun sudah menjadi semakin dekat dengan hiruk-pikuknya peperangan.
Sejenak gembala tua itu berhenti. Kemudian katanya,
“Kita membagi
pekerjaan agar cepat selesai. Kita harus melumpuhkan senapati-senapatinya lebih
dahulu, agar lawan kehilangan pegangan.”
“Bagus,” sahut
Gupala serta-merta.
“Kau keliru,”
potong gurunya,
“aku tahu
maksudmu. Kau akan membinasakan setiap senapati termasuk Sidanti dan Argajaya.”
“Bukankah itu
yang harus kita lakukan?”
Gembala tua
itu menggelengkan kepalanya.
“Tidak. Kalian
harus menangkap mereka hidup-hidup. Aku akan membantu Angger Hanggapati
menangkap Sidanti dan kau berdua harus berusaha menangkap Argajaya
hidup-hidup.”
Gupala menarik
nafas dalam-dalam. Tampak kekecewaan membersit di wajahnya. Namun sambil
mengngguk-anggukkan kepalanya Gupita menjawab,
“Baik, Guru.
Kami akan berusaha menangkap mereka hidup-hidup.”
“Mustahil,”
tiba-tiba Gupala bergumam seakan-akan kepada diri sendiri.
Gupita
mengerutkan keningnya mendengar gumam Gupala itu, sedang gurunya sejenak
menjadi termangu-mangu. Ditatapnya wajah muridnya yang gemuk itu. Kemudian
terlontar pertanyaannya,
”Kenapa
mustahil?”
“Bukankah
Kakang Gupita dan Guru pernah melihat, bagaimana Argajaya berkelahi melawan
Raden Sutawijaya di pinggir kali opak itu?”
Gupita
mengingat-ingat sejenak. Namun kemudian tanpa sesadarnya ia
mengangguk-anggukkan kepalanya. Terbayang di rongga matanya, betapa keras hati
adik Kepada Tanah Perdikan Menoreh itu. Meskipun ujung senjata Sutawijaya telah
melekat di dadanya, namun Argajaya sama sekali tidak ingin menundukkan
kepalanya. Baginya lebih baik mati daripada harus mengakui kemenangan lawannya
yang masih sangat muda itu. Apalagi kini ia berada di atas Tanah Perdikan ini,
dan dengan sengaja telah melawan kakaknya sendiri.
“Ia memang
keras kepala,” desis gurunya.
“Jadi,
bagaimana pertimbangan Guru?” bertanya Gupala.
“Aku tetap
berpendapat, bahwa sebaiknya ia tertangkap hidup-hidup. Biarlah Ki Argapati
yang mengambil keputusan, hukuman apa yang harus diterimanya.”
“Ia tidak akan
menyerah. Ia akan melawan sampai mati.”
“Jangan
terlalu bodoh. Kalian dapat berbuat sesuatu, sehingga Argajaya akan kehilangan
tenaga untuk melawan,” sahut gurunya, “karena aku yakin, Sidanti pun akan berbuat demikian.”
Gupita
mengangguk-anggukkan kepalanya. Desisnya,
“Baik, Guru,
aku akan mencobanya.”
“Apakah kami
harus membuatnya tidak mampu membunuh diri sekalipun?”
Gurunya
menganggukkan kepalanya, “Ya. Begitulah.”
“Itulah yang
sulit. Batas antara kemungkinan itu dan selangkah lagi, mati, adalah sulit
sekali. Dalam perkelahian kita kadang-kadang sulit untuk mengekang diri.”
“Yang sulit
itulah yang harus kau coba,” desis gurunya.
Gurunya
menarik nafas dalam-dalam.
“Nah, jangan
terlampau lama. Kita harus cepat melakukannya.”
Gupala dan
Gupita mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian mereka pun berpisah dengan gurunya. Gembala tua itu
mencari Sidanti sedang kedua murid-muridnya mencari Argajaya. Adalah suatu
kesengajaan bahwa bukan kedua murid-muridnyalah yang harus melawan Sidanti. Dendam
yang tersimpan di dada kedua belah pihak tidak akan dapat reda untuk sepanjang
umur mereka. Karena itu, apabila mereka bertemu di peperangan, maka kedua belah
pihak tidak akan dapat mengekang diri masing-masing. Meskipun Argajaya pun merupakan lawan yang tangguh, didahului
oleh pertentangan yang telah lama tergores di dalam hati masing-masing tetapi
sebenarnya mereka tidak mempunyai persoalan yang langsung seperti persoalan
mereka dengan Sidanti. Maka masing-masing
pun kemudian memasuki kembali hiruk-pikuknya peperangan. Gembala tua itu
masih sempat menemui Samekta dan mengatakan apa yang telah terjadi. Ki Tambak
Wedi telah mati. Dan tiba-tiba saja, tanpa dapat ditahan-tahan lagi, meledaklah
sorak yang selama ini sudah mereda. Kematian Ki Tambak Wedi telah menggelorakan
kembali dada para pengawal Tanah Perdikan Menoreh, sehingga mereka pun kemudian meneriakkan kematian itu sambil
memutar senjata-senjata mereka lebih cepat lagi.
“Ki Tambak
Wedi telah mati! Ki Tambak Wedi telah mati!”
Sorak-sorai
yang gemuruh, yang seolah-olah hendak memecahkan langit itu, telah
menggoncangkan setiap dada anak buah iblis yang sudah terbunuh itu. Kematian Ki
Peda Sura telah membuat mereka berdebar-debar. Dan kini orang yang paling
mereka bangga-banggakan telah mati pula.
Tetapi
sebagian dari mereka sama sekali tidak percaya sehingga mereka pun berteriak-teriak tidak kalah kerasnya,
“Bohong! Akal
licik! Ki Tambak Wedi tidak akan dapat mati oleh siapa pun.”
Dan yang lain
berteriak pula, “Jangan percaya! Jangan percaya!”
Sorak yang
membahana itu pun akhimya dapat didengar oleh Sidanti dan Argajaya. Dada mereka
serasa dihentakkan oleh suatu tenaga yang kemudian menyelusur ke segenap urat
nadi. Hampir saja mereka kehilangan akal, dan tidak tahu apa yang harus mereka
lakukan.
Tetapi
lamat-lamat mereka pun mendengar
teriakan,
“Bohong! Akal
licik!”
Darah Sidanti
dan Argajaya yang rasa-rasanya hampir berhenti mengalir itu pun segera bergejolak kembali. Bahkan api
yang menyala di dalam dada serasa tersiram minyak oleh berita yang hampir saja
melumpuhkan mereka.
“Akal licik,”
Sidanti menggeram.
“Aku tidak
percaya bahwa Guru terbunuh. Tidak ada orang yang akan dapat membunuhnya.”
Dengan
demikian maka Sidanti pun kemudian justru menjadi semakin bernafsu. Senjatanya
menggelepar menyambar-nyambar dengan dahsyatnya, sehingga setiap kali
Hanggapati masih tetap harus menghindari sambil melangkah surut berputar-putar.
Apalagi ketika Sidanti menjadi seakan-akan terbius oleh kemarahan mendengar
berita yang dianggapnya licik.
“Orang-orangmu
sudah mulai berputus asa,” ia menggeram,
“sehingga
mereka terpaksa mengarang ceritera yang sangat licik dan memalukan itu.”
“Apakah kau
yakin bahwa berita itu tidak benar?” berkata Hanggapati sambil melawan
sekuat-kuat tenaganya.
“Aku yakin. Ki
Tambak Wedi tidak akan dapat terbunuh oleh siapa pun di dalam peperangan serupa
ini. Argapati pun tidak akan mampu menyentuhnya.”
Namun sebelum
Hanggapati menjawab, terdengarlah suara seseorang yang seakan-akan meledakkan
jantung Sidanti. Dalam kisruhnya peperangan, muncullah gembala tua itu sambil
berkata,
“Sebenarnyalah
bahwa Ki Tambak Wedi telah terbunuh. Tombak Ki Argapati-lah yang telah menembus
dadanya, sebagai akibat dari ketamakannya. Apa boleh buat. Kematiannya akan
mengakhiri semuanya. Api yang membakar Tanah Perdikan ini pun pasti akan segera
padam.”
Kehadiran
orang tua yang tidak disangka-sangka itu serasa membuat darah Sidanti membeku.
Mungkin ia dapat mengelabuhi dirinya sendiri dengan tidak mempercayai
teriakan-teriakan yang bergema di peperangan tentang Ki Tambak Wedi. Tetapi
keterangan orang tua itu serasa jatuhnya suatu kepastian, bahwa Ki Tambak Wedi
memang sudah terbunuh. Dengan demikian, sejenak Sidanti seakan-akan membeku di
tempatnya. Ditatapnya gembala tua itu dan Ki Hanggapati yang tegak di
tempatnya, berganti-ganti.
“Sidanti,” berkata
orang tua itu,
“tidak ada
kesempatan untuk menyesal bagi Ki Tambak Wedi. Akhir hidupnya adalah keputusan
yang tidak dapat diganggu gugat. Apa yang telah dilakukan semasa hidupmya telah
mendapatkan penilaian terakhir. Dengan demikian ia tinggal menjalani akibat
perbuatan-perbuatan yang dilakukan semasa hidupnya.”
Sidanti
memandang wajah gembala tua itu dengan tajamnya. Sejenak ia mencoba mencernakan
kata-kata itu.
“Tetapi kau
belum Sidanti,” berkata gembala tua itu selanjutnya,
“kau masih
tetap hidup. Kau masih mempunyai kesempatan untuk mengakhiri petualangan yang
tidak akan bermanfaat bagi siapa pun
juga itu. Apalagi bagi dirimu sendiri. Semasa hidupmu dan juga di masa
langgeng.”
Sidanti masih
berdiri tegak. Pedangnya masih tergenggam erat di tangannya. Namun tiba-tiba
hiruk-pikuk peperangan telah membangunkannya. Dentang senjata telah mencairkan
kembali darahnya yang serasa membeku. Ketika ia mendengar pekik kesakitan
disusul oleh keluhan yang terputus, anak muda itu berteriak,
“Aku bukan
pengecut. Ayo, kalau kalian memang mampu, bunuh Sidanti.”
Gembala tua
itu memang sudah memperhitungkan, bahwa demikianlah sikap Sidanti. Ia pasti
tidak akan menyerah hidup-hidup. Ia pasti akan berusaha melawan sampai mati.
“Tetapi kalau
ia sudah terlepas dari peperangan, mungkin ia akan bersikap lain,” berkata
gembala tua itu di dalam hatinya.
“Di sini ia
dikitari oleh kekerasan dan ujung senjata. Maka hatinya pun akan seruncing ujung pedangnya. Tetapi
kalau ia tidak lagi melihat kilatan pedang dan mendengar rintih kesakitan,
mungkin hatinya akan luluh juga.”
Dengan
demikian gembala tua itu masih mencoba berkata,
“Sidanti,
apakah kau tidak juga mau melihat kenyataan? Mungkin di saat-saat seperti ini
kau tidak dapat melihat dengan terang karena peperangan ini. Tetapi apabila kau
mempunyai kesempatan, melihat ke dalam dirimu sendiri dan membuat kesimpulan
dari apa yang telah terjadi ini dengan hati yang bening, maka aku kira kau akan
menarik suatu kesimpulan yang lain.”
“Diam!” tiba-tiba
saja Sidanti berteriak.
“Jangan kau
sangka hatiku miyur seperti daun ilalang. Aku akan tetap tegak kemana pun angin
bertiup. Aku adalah batu karang yang tidak goyah oleh prahara yang betapa pun
dahsyatnya. Dan kematian guruku pun tidak akan dapat merubah pendirianku. Tanah
Perdikan Menoreh harus jatuh ke tanganku. Apa pun yang akan terjadi.”
“Bukankah
sudah seharusnya demikian?” bertanya gembala tua yang tiba-tiba saja teringat
kepada sikap Ki Tambak Wedi sesaat sebelum ia menghembuskan nafasnya yang
penghabisan.
“Omong
kosong,” sahut Sidanti.
“Bukankah
sudah seharusnya, bahwa jabatan Ki Argapati sebagai Kepala Tanah Perdikan akan
temurun kepada anaknya, apalagi anak laki-laki?”
Ternyata dalam
keadaan itu, Sidanti sudah tidak sempat lagi membuat pertimbangan yang wajar.
Karena itu, seolah-olah tanpa disadarinya ia berteriak,
“Aku bukan
anak Argapati.”
Gembala tua
itu menarik nafas dalam-dalam. Ia tidak segera dapat mengambil kesimpulan,
siapakah sebenamya Sidanti itu. Namun yang lebih dahulu dilakukan adalah
menangkapnya, dan apabila Ki Argapati nanti dapat disembuhkannya, anak ini
harus dihadapkannya. Kalau Sidanti putera Ki Argapati maka orang tua itu pasti
akan dapat mengambil kebijaksanaan, seperti terhadap adiknya juga.
“Nafsu yang
menyala-nyala di dalam dadanya telah mendorongnya untuk membenci ayahnya
sedemikian jauh,” berkata gembala tua itu di dalam hatinya.
“Atau mungkin
Ki Tambak Wedi telah meracuninya dengan pengertian yang lain?”
Tetapi gembala
tua itu tidak dapat menemukan jawabnya. Kini yang harus dilakukan adalah
berbuat sesuatu sehingga ia dapat melumpuhkan Sidanti dan menangkapnya
hidup-hidup.
Sementara itu
Gupita dan Gupala telah menemukan pula lingkaran pertempuran Argajaya melawan
Dipasanga. Ternyata bahwa kemampuan mereka hampir tidak berselisih. Desak
mendesak. Kadang-kadang Argajaya terpaksa beringsut surut beberapa langkah,
namun kemudian ia berhasil mendesak lawannya beberapa langkah maju.
Senjata-senjata mereka menyambar-nyambar tidak henti-hentinya. Tombak pendek
Argajaya berputar dan mematuk dari segenap penjuru, mengitari tubuh lawannya.
Namun agaknya Dipasanga pun tidak segera
bingung menghadapinya, meskipun kadang-kadang ia harus meloncat beberapa
langkah untuk mengambil jarak. Namun agaknya sorak-sorai tentang matinya Ki
Tambak Wedi, justru agak lebih berpengaruh pada Argajaya. Tanpa Tambak Wedi
perjuangan mereka tidak akan berhasil. Apabila benar Ki Tambak Wedi terbunuh,
maka api peperangan yang sudah terlanjur berkobar di atas Tanah Perdikan ini
tidak akan ada artinya apa-apa, selain pembunuhan dan kekerasan yang bengis. Tetapi
seperti Sidanti, Argajaya pun berusaha
untuk tidak mempercayainya. Setiap kali ia berkata di dalam hati,
“Ki Tambak
Wedi adalah seorang tua yang pilih tanding. Melawan Kakang Argapati selagi ia
saras sekalipun, Ki Tambak Wedi tidak akan dapat dikalahkannya, dan apalagi
terbunuh. Justru kini Kakang Argapati sedang terluka parah. Maka yang paling
mungkin terjadi adalah sebaliknya. Justru Ki Tambak Wedi-lah yang membunuh Ki
Argapati apabila ia terjun ke peperangan.”
Dengan
demikian maka Ki Argajaya pun mencoba
untuk mengerahkan sisa-sisa tenaganya. Ia ingin dapat menguasai lawannya
segera. Apabila Dipasanga dapat dilumpuhkannya, maka sayap ini akan sepera
dikuasai. Kerti dan bahkan Samekta tidak akan banyak berarti.
“Mudah-mudahan
Sidanti pun dapat membunuh lawannya pula,” katanya di dalam hati.
Namun, belum
lagi Argajaya berhasil mendesak Dipasanga, tiba-tiba ia dikejutkan oleh
kehadiran dua orang anak-anak muda di arena peperangan.
Sejenak
Argajaya terpaku diam di tempatnya memandangi Gupita dan Gupala yang muncul
hampir berbareng dengan cambuk di tangan masing-masing.
“Jadi ………,”
Argajaya berdesis,
“orang
bercambuk yang selama ini dibayangkan ternyata adalah kalian. Bukan orang-orang
yang kau pergunakan untuk sekedar mengelabui kami.”
“Ya. kami
memang berada di peperangan selama ini,” jawab Gupala.
“Persetan!
Kenapa kalian selalu bersembunyi, dan baru sekarang menampakkan diri?”
“Kami tidak
pernah bersembunyi.”
“Tetapi kalian
tidak pernah menyatakan diri kalian dengan jujur. Kalian selalu curang dan
licik.”
“Apakah kami
tidak jujur? Aku tidak tahu maksudmu. Aku bertempur di peperangan ini. Dan aku
bersama kakakku telah berhasil membunuh Ki Peda Sura, sementara Guru telah
mengantarkan Ki Tambak Wedi ke ujung tombak Ki Argapati. Kenapa kami tidak
jujur? Mungkin karena kami baru sekarang bertemu dengan kau. Dan itu bukan
berarti bahwa kami bersembunyi. Di peperangan lawan tersebar dari ujung sampai
ke ujung gelar. Kami tidak perlu memilih. Tidak ada keharusan pada kami untuk
bertempur melawan Ki Argajaya, bukan yang lain.”
Argajaya
menggeram. Ditatapnya wajah kedua anak-anak muda itu berganti-ganti. Kemudian
berpindah kepada Dipasanga yang berdiri tegak dengan wajah yang tegang. Dalam
pada itu terdengar Gupala berkata kepada Dipasanga,
“Ki Dipasanga,
kami mendapat perintah untuk menangkap Ki Argajaya hidup-hidup.”
“Persetan!”
teriak Argajaya. “Tidak seorang pun
dapat menyentuh kulitku selagi aku masih bernafas.”
Gupala
mengerutkan keningnya, sedang Gupita menarik nafas dalam-dalam. Adiknya memang
selalu menuruti perasaannya saja. Pernyataannya itu sudah tentu telah membakar
hati Argajaya yang memang sudah sekeras batu-batu padas di perbukitan. Dipasanga pun mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi
sesaat ia tidak menjawab. Karena tidak seorang
pun yang menyahut, maka Gupala berkata seterusnya. Kali ini kepada
Argajaya,
“Nah, bukankah
kau bersedia membantu kami? Bukan untuk kepentingan kami, tetapi untuk
kepentingan Tanah Perdikan Menoreh. Tanah Perdikan yang kini sedang kisruh oleh
pokal Ki Tambak Wedi. Sekarang Ki Tambak Wedi sudah mati.”
Tubuh Argajaya
telah menjadi gemetar menahan kemarahan yang menyesak dadanya, sehingga
jawabnya kasar,
“Bunuh aku,
baru aku akan menyerah.”
“Bukan
begitu,” sahut Gupita.
“Maksud kami,
apakah kau tidak mempertimbangkan kemungkanan lain daripada menghancurkan Tanah
Perdikan ini. Kalau peperangan ini berlangsung terus, maka korban akan menjadi
semakin banyak. Hal itu tidak akan menguntungkan kedua belah pihak. Sedang
kedua belah pihak yang kini berhadapan adalah dari pecahan keluarga sendiri
selain Ki Tambak Wedi. Dan Ki Tambak Wedi yang menurut dugaanku telah
menyalakan api peperangan ini, sekarang telah terbunuh.”
“Tidak. Aku
bukan kepompong yang paling bodoh,” Argajaya berteriak.
“Apakah kau
sangka bahwa aku tidak mempunyai otak untuk berpikir dan bersikap, sehingga kau
menganggap aku sekedar sebagai peraga yang digerakkan oleh Ki Tambak Wedi?
Tidak. Aku mempunyai kepentingan dengan peperangan ini. Aku mempunyai suatu
cita-cita. Tanah ini tidak boleh menjadi Tanah yang banci, yang tidak mempunyai
jangka sama sekali. Tanah yang sekedar harus menundukkan kepala kepada Kakang
Argapati apa pun yang diinginkannya.”
Gupala
tiba-tiba memotong,
“He, bukankah
kau adik Ki Argapati itu? Kalau ada kekurangan di dalam pemerintahannya, kau
dapat menyampaikannya langsung kepadanya. Kenapa kau harus menempuh jalan ini?
Apakah kau sendiri sebenarnya ingin menjadi Kepala Tanah Perdikan? Tetapi
dengan demikian kau harus berkelahi melawan Sidanti.”
“Diam!” terak
Argajaya yang menjadi semakin marah. Anak muda yang gemuk itu berbicara
sekehendaknya sendiri tanpa menghiraukan apa
pun juga.
“Apa pun yang akan aku lakukan. Aku tidak akan
menyerah sebelum aku mati. Nah, bunuhlah aku sekarang. Itu akan lebih baik.
Kenapa kau tidak membawa kawanmu yang seorang itu, anak Pemanahan yang
sombong.”
“Apakah kau
akan bertemu? Ia ada di sini pula sekarang.”
Wajah Argajaya
menjadi semakin membara. Sejenak ditatapnya wajah Gupala yang tersenyum-senyum.
Bahkan ia melanjutkan,
“Kalau kau mau
ikut aku, mari, aku bawa kau kepadanya.”
“Persetan!”
dada Argajaya serasa akan meledak karenanya.
Dan anak yang
gemuk itu masih saja tersenyum. Bahkan kemudian ia berkata kepada Ki Dipasanga,
“Ki Dipasanga,
marilah aku dan Kakang Gupita mendapat perintah untuk membantu Ki Dipasanga
menangkap Ki Argajaya. Hidup-hidup. Sebab ia adalah adik Kepala Tanah Perdikan
Menoreh.”
Tetapi Argajaya telah tidak dapat lagi menahan
dirinya. Dengan garangnya ia meloncat sambil berteriak,
“Kubunuh kau
lebih dahulu.”
Tetapi Gupala
pun telah menyiapkan dirinya. Segera ia bergeser menghindari serangan Argajaya
yang sekedar didorong oleh kemarahan yang meluap-luap sehingga sasarannya tidak
dapat dicapainya. Dengan demikian, maka pertempuran pun segera dimulai kembali.
Bukan saja Gupala, tetapi Gupita dan Dipasanga pun harus ikut pula. Menangkap
Argajaya hidup-hidup bukanlah pekerjaan yang mudah meskipun mereka adalah
Gupita, Gupala dan Dipasanga yang masing-masing memiliki kemampuan yang
seimbang dengan Argajaya, bahkan mungkin melampauinya meskipun hanya selapis. Argajaya
yang merasa dirinya terkepung, sama sekali tidak berpikir lagi untuk
mempertahankan hidupnya, karena ia tahu bahwa ia tidak akan dapat mengalahkan
ketiga lawannya yang sudah dikenalnya. Argajaya dapat mengerti, betapa
ketiganya mempunyai ilmu yang memungkinkan untuk menangkapnya. Namun untuk mati
tidaklah terlampau sukar daripada bertahan untuk hidup. Karena itu, dibayangi
oleh perasaan putus asa ia mengamuk sejadi-jadinya. Tombaknya menyambar-nyambar
tidak henti-hentinya ke segenap arah untuk melindungi dirinya. Bukan karena ia
tidak mau mati oleh senjata lawannya, tetapi ia ingin membawa salah seorang
dari mereka atau lebih, untuk mati bersama-sama.
Gupala
sekali-sekali menarik nafas dalam-dalam. Sambil mengumpat ia berbisik kepada Gupita,
“Kenapa kita
harus menangkapnya hidup-hidup. Apakah salahnya kalau ia terbunuh di
peperangan?”
“Hus, jangan
kehilangan akal. Kita harus berusaha menangkapnya hidup-hidup. Betapa
sulitnya.”
Gupala
mengecutkan dahinya. Tangannya seakan-akan menjadi gatal. Membunuh Argajaya
dalam keadaan itu sebenarnya tidak terlampau sulit. Tetapi membujuknya untuk
menyerah adalah pekerjaan yang justru terlampau sulit.
“Kita harus
merebut senjatanya,” desis Gupita.
“Aku sudah
terluka,” geram Gupala,
“kalau kita
tidak berhasil maka lukaku akan bertambah, dan barangkali aku akan mati untuk
menangkap Argajaya hidup. Aku dan barangkali juga kau dan Ki Dipasanga,
sementara Argajaya tidak akan tertangkap.”
“Kita akan
mencoba.”
Gupala
mengangguk-anggukkan kepalanya. Betapa
pun dadanya serasa akan bengkah. Tetapi ia harus tunduk seperti yang
dipesankan oleh gurunya. Dengan demikian maka sekali lagi mereka mencoba,
menangkap Argajaya yang mengamuk seperti serigala lapar. Ia sama sekali sudah
kehilangan tujuan perkelahiannya, selain mati bersama lawan sebanyak-banyaknya
dapat dilakukan. Tetapi Gupita sama sekali tidak kehilangan akal. Meskipun
Dipasanga kadang-kadang mengalami kesulitan dengan sikap Argajaya itu, namun
ternyata ia cukup dewasa menghadapi lawannya. Ki Dipasanga lebih baik meloncat
surut menghindari benturan-benturan yang berbahaya daripada kemungkinan
senjatanya menembus dada lawannya yang putus asa itu. Gupala lah yang berkelahi
tidak dengan sepenuh kemauan. Kadang-kadang saja ia menyerang, kemudian
bertolak pinggang sambil memegangi tangkai cambuknya sementara Gupita dan
Dipasanga bertempur terus. Bahkan Gupala masih juga sempat melepaskan
ketegangan di dadanya dengan menyerang orang-orang Sidanti yang bertempur di
sekitarnya dengan ujung cambuknya.
Gupita yang
kadang-kadang melihat tingkah laku Gupala itu hanya dapat menarik nafas. Ia
tahu, betapa anak muda yang gemuk itu menahan diri sekuat-kuatnya agar
tangannya tidak terlanjur menyerang lawannya di tempat-tempat yang berbahaya. Sementara
itu Gupita sendiri berusaha sekuat-kuat tenaganya untuk melumpuhkan Argajaya.
Kalau ia mampu melepaskan senjatanya, maka kemungkinan untuk menangkapnya akan
menjadi semakin luas.
“Buat apa
membiarkannya hidup-hidup?” Gupala masih saja bertanya.
Gupita
mengerutkan keningnya. Jawabnya hampir berbisik,
“Kita hanya
sekedar melakukan perintah Guru.”
Gupala tidak
bertanya lagi. Dipandanginya Argajaya dengan tajamnya. Namun tiba-tiba ia
berbalik dan menyerang seorang dari pasukan lawan dengan cambuknya. Ketika
cambuk itu menggeletar, terdengarlah pekik kesakitan. Hanya sejenak, kemudian
seseorang jatuh tersungkur.
“Jangan gila,”
desis Gupita. Tetapi Gupala sama sekali tidak mengacuhkannya.
Dengan susah
payah Gupita dan Dipasanga berhasil memeras tenaga Argajaya yang terbatas.
Perlahan-lahan namun pasti, tenaga Argajaya menjadi semakin susut. Keringatnya
seakan-akan terperas dari segenap permukaan kulitnya, dan bahkan nafasnya pun menjadi semakin dalam di rongga dadanya. Tetapi
Argajaya benar-benar berhati batu. Ia sama sekali tidak berpikir dan tidak
mempertimbangkan, untuk merubah pendiriannya. Apa pun yang terjadi, ia akan
berkelahi terus sampai mati.
“Lihat,” bisik
Gupita, “tenaganya sudah jauh susut.”
“Tidak ada
gunanya. Ia akan mati dengan sendirinya. Nafasnya akan terputus oleh kelelahan.
Kita hanya akan kehilangan waktu. Kalau sejak sekarang kita bunuh saja orang
itu, kita sendiri tidak akan kehabisan nafas.”
“Aku tidak
berani melanggar perintah Guru. Bahkan Ki Dipasanga sama sekali tidak berhasrat
melanggarnya.”
Gupala menarik
dahinya tinggi-tinggi, sehingga kerut-merut yang dalam tergores dari ujung
sampai ke ujung.
Ternyata
Gupala pun kemudian melihat betapa Argajaya hampir kehilangan seluruh
kekuatannya. Kini ia berdiri terhuyung-huyung, meskipun senjatanya masih tetap
tergenggam erat-erat. Bahkan oleh dorongan nafsu yang melonjak-lonjak di dalam
dadanya, ia masih mampu menyerang dengan dahsyatnya, meskipun kemudian ia
hampir-hampir kehilangan keseimbangan. Kini Gupita sampai pada rencananya yang
terakhir. Ia harus merebut tombak pendek itu. Kemudian melumpuhkan lawannya dan
menangkapnya. Kalau perlu membuatnya kehilangan tenaga untuk berbuat apa pun. Dengan
isyarat kedipan mata, Gupita mengajak Ki Dipasanga untuk mencoba mengakhiri
perkelahian itu. Kemudian ia berbisik kepada Gupala,
“Kesempatan
sudah terbuka Gupala, bantulah melakukan perintah Guru. Menangkap Argajaya
hidup-hidup. Bagaimana pun juga ia adalah adik Ki Argapati. Agaknya Guru tidak
mau membuat Ki Argapati merasa kehilangan.”
Gupala
mengerutkan keningnya. Sejenak ia memandang Argajaya yang benar-benar sudah
kehabisan nafas. Sebenarnya membunuh orang itu sama mudahnya dengan memijat
ujung dahi sendiri. Orang yang sudah tidak mampu berdiri tegak itu, berdiri
terhuyung-huyung bertelekan tangkai tombaknya. Namun demikian Argajaya masih
berkata lantang di sela-sela desah nafasnya yaug memburu,
“Ayo, siapakah
di antara kalian yang jantan? Apakah kalian pengecut yang tidak berani melihat
darah. Ini dadaku. Ayo, bunuh aku dengan segala macam senjata yang ada padamu.”
Gupita menarik
nafas dalam-dalam. Terbayang olehnya, Argajaya itu berdiri tegak di atas pasir
tepian Kali Opak. Meskipun waktu itu senjatanya sudah terlepas dari tangannya,
namun ia masih menengadahkan dadanya sambil berkata,
“Ayo, kalau
kau jantan bunuh aku.”
Dan kini sikap
itu diulanginya. Apalagi senjatanya kini masih tetap di dalam genggaman.
“Jangan
menunggu terlampau lama, Gupala,” desis Gupita.
Gupala pun kemudian melangkah maju. Mereka bertiga
mengambil arah yang berbeda-beda. Sementara Argajaya masih menggeram. Tatapan
matanya menjadi liar, dan wajahnya seakan-akan menyala. Sementara itu Gupala
berdesis,
“Tidak mungkin
menangkapnya tanpa melukainya. Kalau luka itu kemudian membunuhnya, itu sama
sekali bukan salah mereka yang melukainya.”
Namun Gupala
terkejut ketika ia mendengar suara cambuk meledak. Agaknya Gupita sudah mulai
dengan usahanya melepaskan senjata Argajaya dari tangannya. Ledakan itu telah
mendorong Argajaya beberapa langkah. Terhuyung-huyung ia mencoba menghindar.
Meskipun Gupita sama sekali tidak ingin melukainya, tetapi cambuk itu meledak
beberapa cengkang saja di depan wajahnya.
“Ayo anak
iblis, kaulah yang akan mati pertama-tama,” desis Argajaya di sela-sela desah
nafasnya.
Gupita tidak
menjawab. Tetapi ia melangkah maju, sehingga Argajaya terpaksa mundur setapak.
Tetapi Argajaya itu terlonjak ketika tiba-tiba saja kakinya serasa disengat
oleh panasnya bara api, disertai sebuah ledakan yang memekakkan telinga.
Ternyata bahwa Gupala telah menyerang mata kaki Argajaya dengan ujung
cambuknya. Gupita menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak dapat mencegah
adik seperguruannya, agar anak yang gemuk itu tidak justru menjadi semakin
nekat untuk melepaskan sesak di dadanya. Tetapi Dipasanga pun ternyata
mengambil kesempatan itu. Senjatanya segera terjulur mengarah ke dada Argajaya.
Dengan susah payah Argajaya menangkis senjata Dipasanga. Namun dengan cepatnya
Dipasanga menarik senjatanya dan mengurungkan serangannya. Argajaya yang
semakin lemah itu justru terhuyung-huyung oleh tarikan tenaganya sendiri.
Beberapa langkah ia terseret ke samping. Dengan susah payah ia bertahan
sehingga ia tidak terjatuh. Tetapi Gupala benar-benar tidak dapat menahan diri.
Dalam keadaan yang demikian sekali lagi cambuknya meledak. Dan sekali lagi
Argajaya terloncat karena ujung cambuk Gupala mematuk kakinya. Tetapi keadaan
sama sekali tidak menguntungkan. Keseimbangannya benar-benar tidak dapat
dikuasainya lagi, sehingga tanpa dapat ditolong lagi. Argajaya terhuyung-huyung
jatuh tertelentang. Ia masih mencoba bertahan pada sebelah tangannya. Tetapi
ketika sekali lagi cambuk Gupita menyambar tangan itu, maka Argajaya
benar-benar terguling di tanah yang berdebu. Sejenak Gupita terpaku di
tempatnya. Tetapi tiba-tiba ia melihat sebuah kesempatan. Selagi Argajaya
mencoba berguling menjauh, maka kali ini ujung cambuk Gupita lah yang
mengejarnya. Sebuah sengatan telah mengenai pergelangan tangan kanannya yang
masih menggenggam tombaknya erat-erat. Terdengar sebuah keluhan tertahan, namun
tombak itu tidak terlepas dari tangannya. Gupita mengerutkan keningnya. Orang
ini benar-benar bukan saja berhati batu, tetapi berhati baja. Karena itu,
sekali lagi Gupita melecutkan cambuknya. Kali ini ujung cambuknya membelit
tangkai tombak Argajaya. Dengan sepenuh tenaga Gupita menghentakkan cambuknya
untuk memaksa tombak Argajaya terlepas dari tangannya. Gupala yang melihat
usaha itu segera membantu dengan caranya. Selagi Argajaya bertahan, agar
tombaknya tidak, terlepas maka Gupala segera menyambar tangan Argajaya dengan
cambuknya. Bertubi-tubi, sehingga karah-karah besi pada juntai cambuknya itu
seakan-akan telah mengelupaskan seluruh kulit di pergelangan tangan Argajaya.
Betapa
sakitnya tangan Argajaya yang telah melelehkan darah itu. Tetapi ia sama sekali
tidak membuka genggaman tangannya. Bahkan kemudian sambil berbaring di tanah
kedua tangannya menggenggam senjatanya itu erat-erat. Gupala hampir saja
menjadi waringuten. Hampir saja ia kehilangan kesabaran dengan menyerang
Argajaya di bagian yang berbahaya. Untunglah bahwa Dipasanga berbuat lebih
cepat. Dilepaskannya senjatanya, kemudian dengan tangkasnya ia meloncat menimpa
Argajaya yang sudah kelelahan itu. Dengan sekuat tenaganya ia mencoba mendekap
tangan Argajaya dari belakang. Sejenak keduanya berguling-guling. Tetapi kemudian
Gupita dan Gupala pun ikut serta membantu. Dengan demikian maka Argajaya telah
dipaksa untuk melepaskan tombaknya, karena Gupita dengan sekuat tenaganya
merebut tombak itu dari tangannya, sedang Dipasanga memeganginya dari belakang.
Tetapi usaha itu ternyata tidak segera berhasil. Sejenak mereka tarik menarik,
seperti kanak-kanak berebut barang mainan. Sekali lagi Gupala kehilangan
kesebaran. Tiba-tiba saja tangannya yang berat itu terayun. Sebuah pukulan sisi
telapak tangan telah menyentuh tengkuk Argajaya, sehingga dengan tiba-tiba
seluruh kekuatannya seakan-akan lenyap dari tubuhnya. Perlawanannya pun tiba-tiba berhenti, sehingga justru
Gupita yang menarik tombaknya terdorong beberapa langkah sehingga hampir saja
jatuh tertelentang. Ketika Gupita kemudian berhasil menguasai keseimbangannya
dan berdiri tegak dengan kaki renggang, maka dilihatnya Argajaya telah terkulai
dengan lemahnya, menelungkup di tanah. Sejenak Gupita terpaku diam. Ditatapnya
wajah Gupala yang tegang dengan tajamnya.
“Aku hanya
menyentuhnya,” desis Gupala.
“Mudah-mudahan
kau tidak membunuhnya,” suara Gupita tertahan-tahan.
Dipasanga lah
yang kemudian berjongkok di sampingnya. Perlahan-lahan ia mengangkat tubuh
Argajaya yang lemah itu. Namun dengan serta-merta ia berkata,
“Ia masih
tetap hidup.”
Kemudian tubuh
itu pun dibaringkannya di tanah. Dengan
pengetahuan yang ada, Gupita mencoba memijit-mijit bagian di bawah telinganya.
Kemudian menggerakkan tangannya perlahan-lahan. Nafas Ki Argajaya
perlahan-lahan mulai mengalir lewat lubang-lubang hidungnya. Satu-satu, namun
kemudian semakin lama menjadi semakin lancar.
“Kelelahan,”
berkata Dipasanga.
“Sentuhan
tangan Gupala tidak menentukan.”
“Nah, bukankah
kau hanya mendorongnya? Meskipun seandainya aku tidak memukul tengkuknya betapa
pun lambatnya, ia akan pingsan karena nafasnya yang hampir terputus.”
Gupita
mengangguk-anggukkan kepalanya, “Ya. Ia terlampau banyak mencurahkan
tenaganya.”
“Tentu. Ia
tidak mau tertangkap hidup-hidup. Kalau ia sadar, maka ia akan melakukan
perlawanan lagi.”
Kita harus
membawanya ke belakang garis peperangan.”
Gupita pun kemudian memanggil beberapa orang
pengawal untuk menggantikan tempatnya, maka Dipasanga dan Gupala-lah yang
mendapat kesempatan.
“Tetapi kau
sedang berhadapan dengan manusia-manusia meskipun ia lawanmu,” berkata Gupita.
“Tentu. Justru
aku berhadapan dengan manusia-manusialah aku benar-benar harus mempertahankan
hidupku. Karena mereka sedang berusaha untuk membunuhku.”
“Kau dapat
mempertahankan hidupmu. Tetapi perlakuanmu terhadap lawan-lawanmu adalah
perlakuan seorang prajurit jantan, dengan mengindahkan segala sopan-santun
peperangan.”
“Maksud
Kakang?”
“Jangan
bertindak berlebih-lebihan. Banyak contoh telah kau lihat, bahwa kelakuan yang
demikian tidak memberikan apa-apa kepada kita.”
Gupala
mengangguk. Tetapi ia mengumpat di dalam hati,
“Persetan.
Bagaimana aku dapat berbuat sopan terhadap manusia-manusia yang buas dan liar
itu?” Meskipun kemudian terdengar suara di dasar hatinya, seolah-olah suara
gurunya,
“Apakah kau
juga harus menjadi buas dan liar?”
Gupala menarik
nafas dalam-dalam. Ia melihat Dipasanga telah mulai melibatkan diri di
peperangan, sedang para pengawal telah mengangkat tubuh Argajaya dan membawanya
ke belakang garis perang bersama Gupita. Tetapi untuk sejenak Gupala masih
tetap berdiri tegak di tempatnya. Ia memandangi saja bagaimana Dipasanga
mengayunkan senjatanya. Meskipun orang itu bertempur di antara orang-orang yang
kasar, namun ia tetap dapat menguasai dirinya, meskipun ia tidak kurang tangkas
dan cepat. Sekilas terbayang di rongga matanya, prajurit Pajang yang berada di
Sangkal Putung, selagi mereka bertempur melawan pasukan Tohpati dan Ki Tambak
Wedi di padukuhan Tambak Wedi. Tanpa mengurangi nilai-nilai peperangan dan
ketahanan mempertahankan diri, Gupala dapat melihat perbedaan cara yang
dipergunakan oleh orang-orang Ki Tambak Wedi yang bercampur-baur dengan
orang-orang Ki Peda Sura, dengan cara yang dipergunakan oleh Ki Dipasanga. Gupala
menarik nafas dalam-dalam. Namun keningnya menjadi berkerut-merut apabila ia
melihat bahwa para pengawal Tanah Perdikan Menoreh pun sebagian terbesar sama sekali tidak mampu
menahan diri, sehingga mereka berkelahi tidak ubahnya seperti cara-cara yang
dipergunakan oleh lawan-lawan mereka. Tiba-tiba Gupala menggeleng,
“Aku tidak boleh
mempergunakan cara itu.” Dan tanpa sesadarnya ia berkata kepada diri sendiri,
“Benar juga
pesan Kakang Gupita.”
Dan sesaat
kemudian Gupala pun telah menerjunkan
dirinya di dalam peperangan dengan cambuknya yang panjang. Sekali-sekali
terdengar sebuah teriakan nyaring, kemudian pekik kesakitan. Tetapi Gupala
selalu mencoba mengekang dirinya untuk tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang
tercela di peperangan. Ia menghindari perlakuan yang dapat menumbuhkan kesan
kekejaman tanpa batas, meskipun kadang-kadang cambuknya tanpa dikekendakinya
sendiri, telah mengelupas kulit-kulit wajah lawannya. Ternyata bahwa garis
peperangan telah bergeser semakin mendekati padukuhan induk. Pasukan Sidanti
sudah tidak lagi dapat dibimbing oleh pemimpin-pemimpin kelompoknya. Bahkan
pemimpin-pemimpin kelompok yang ada pun
sama sekali sudah tidak berpengharapan lagi. Berita tentang Argajaya pun segera merayap dari ujung ke ujung
pasukan. Bahkan orang-orang yang tidak dapat melihat dengan pasti, apakah yang
telah terjadi dengan Argajaya segera meneriakkan kematiannya. Sehingga dengan
demikian maka gairah perlawanan orang-orang Sidanti itu sama sekali telah
lenyap.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar