Jilid 046 Halaman 2


“Gila!” terdengar suaranya parau.
“Gila kau Arya Teja.” Dan ketika ia melihat Pandan Wangi tiba-tiba suaranya meninggi, “Wulan, Wulan, kemarilah Wulan.”
Tidak seorang  pun yang menyahut.
“Wulan. Wulan,” Ki Tambak Wedi berusaha untuk bergeser. Dengan tangan yang gemetar seakan-akan ia ingin meraih Pandan Wangi yang berjongkok di samping ayahnya.
“Wulan, apakah kau tidak mendengar?” suara Ki Tambak Wedi menjadi parau dan lambat.
“Anakmu, anakmu itu.” Suaranya seolah-olah tertelan,
“Anakmu laki-laki itu kini menjadi burung rajawali yang perkasa. Anak itu tidak akan mendapat perlindungan dari Arya Teja. Akulah yang harus berbuat sesuatu untuknya, karena anak itu adalah anakku.”
“O,” Pandan Wangi menutup wajahnya dengan kedua belah telapak tangannya. Sementara gembala tua beserta kedua muridnya saling berpandangan sesaat.

Bulu-bulu mereka meremang ketika mereka mendengar Ki Tambak Wedi itu tertawa. Dan suara tertawanya seakan-akan bergulung-gulung di dalam perutnya, seperti suara iblis diliang pekuburan,
“Wulan, anakku dan anakmu itulah yang akan melepaskan dendamku. Ialah yang akan membunuh Arya Teja.”
Pandan Wangi yang menjadi semakin ngeri membenamkan kepalanya semakin dalam di antara kedua belah tangannya. Hampir saja ia melonjak dan berlari ketika ia melihat dari sela-sela jari-jarinya, Ki Tambak Wedi merangkak mendekatinya. Tetapi tenaga orang tua itu sama sekali sudah tidak mampu membawanya maju. Sejenak kemudian ia jatuh terjerembab. Sekali lagi ia berusaha mengangkat wajahnya memandang Pandan Wangi. Terdengar suaranya terlampau lemah,
“Sidanti.”
Suara itu lepas dari tenggorokannya bersama tarikan nafasnya yang terakhir. Ki Tambak Wedi, iblis yang selama ini menghantui Tanah Perdikan Menoreh, tiba-tiba terkulai di tanah, mati. Darahnya telah menyiram Tanah yang hampir saja ditelannya. Gembala tua bersama kedua muridnya menarik nafas dalam-dalam. Perlahan-lahan mereka berjongkok di sampingnya, menarik tombak Ki Argapati dan menyilangkan tangannya di dadanya. Sedang senjatanya masih tetap berada di dalam genggamannya. Ketiganya tersadar ketika mereka mendengar isak Pandan Wangi yaug merenungi Ki Argapati yang masih terbaring diam. Agaknya Kepala Tanah Perdikan Menoreh itu pun mengalami cidera pada tubuhnya. Dengan hati-hati gembala tua itu pun kemudian mengamatinya dengan seksama. Ternyata selain lukanya yang lama yang telah mengalirkan darah kembali, di pundaknya terdapat sebuah luka yang baru. Sehingga karena itulah, maka Ki Argapati telah terpelanting dan menjadi pingsan setelah memaksa dirinya mengerahkan segenap sisa-sisa kemampuannya.
“Bagaimana Kiai?” terdengar suara Pandan Wangi di sela-sela tangisnya yang ditahankannya sekuat-kuat tenaganya, justru karena ia menyadari bahwa kini ia berada di peperangan.
Gembala tua itu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak sampai hati untuk mengatakan, bahwa luka Ki Argapati justru menjadi semakin parah. Selain luka-lukanya yang lama, maka luka di pundaknya itu pun cukup dalam dan berbahaya.
“Aku akan mencoba menolongnya untuk sementara,” desis gembala tua itu sambil mengeluarkan sebuah bumbung dari kantong ikat pinggangnya. Dari dalam bumbung itu diambilnya serbuk yang halus, yang kemudian ditaburkannya di atas luka-luka Ki Argapati.
“Aku mencoba memampatkan darahnya. Setelah perang ini nanti berakhir, aku akan mencoba mengobatinya lebih saksama lagi,” desis gembala tua itu.
“Tetapi, tetapi, apakah luka ayah berbahaya?” Pandan Wangi menjadi semakin cemas.
Gembala tua itu menjadi termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia menjawab,
“Kita harus mencoba. Tetapi kita  pun harus berdoa kepada Sumber dari semua kehidupan.”
Jawaban itu serasa menghentakkan dada Pandan Wangi. Hampir saja ia tidak dapat menahan dirinya, dan berteriak keras-keras untuk melepaskan pepat di dadanya.
“Tetapi kita tidak boleh berputus asa,” berkata gembala tua itu,
“dan demikian pulalah hendaknya dengan Ki Argapati ini. Aku masih berpengharapan, bahwa ia akan tertolong.”
Dengan sekuat tenaga Pandan Wangi berusaha menahan diri agar ia tidak menjerit dan menelungkup memekik ayahnya yang terbaring diam itu. Namun dengan demikian terasa dadanya seakan-akan menjadi retak di dalam.
Sejenak kemudian gembala tua itu berkata,
“Marilah. Kita baringkan Ki Argapati di tempat yang mapan, aku mengharap bahwa peperangan akan dapat segera selesai. Pasukan lawan telah kehilangan dua orang senapati mereka yang tertinggi, Ki Peda Sura dan kini Ki Tambak Wedi. Kalau kita segera dapat mengakhiri peperangan, maka kita akan segera membawa Ki Argapati. ke Padukuhan induk dan membawanya memasuki rumahnya yang sudah beberapa lama ditinggalkannya.”
Pandan Wangi tidak menjawab. Hanya kepalanya saja yang terangguk kecil. Sementara beberapa orang berusaha mengangkat Ki Argapati menepi, maka Gupala dengan hormatnya menganggukkan kepalanya di hadapan Pandan Wangi sambil berkata,
“Ini pedangmu.”

Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Ditatapnya anak muda yang gemuk itu sejenak. Namun kemudian diterimanya sepasang pedangnya dengan wajah yang tunduk. Terasa tangan gadis itu bergetar ketika ia menerima pedang itu. Sedang Gupala sekali lagi menunduk sambil melangkah surut.
“Tungguilah ayahmu Pandan Wangi,” desis gembala tua itu.
“Aku dan kedua anak-anakku akan melanjutkan pertempuran. Kita bersama-sama mengharap agar pertempuran ini segera dapat diakhiri. Meskipun lawan telah kehilangan, senapati-senapatinya, tetapi agaknya jumlah mereka agak lebih banyak dari pasukan Menoreh, sehingga dengan demikian kita memerlukan pengerahan semua tenaga yang ada.”
Sekali lagi Pandan Wangi mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Jagalah ayahmu baik-baik.”
Pandan Wangi masih tetap diam. Tetapi sekali lagi kepalanya terangguk-angguk. Gembala tua bersama kedua anak-anaknya itu pun kemudian melangkah meninggalkan Ki Argapati yang masih terbaring diam, ditunggui oleh puterinya dan beberapa orang pengawal yang terpercaya. Namun langkah mereka segera terhenti ketika mereka melihat seseorang yang dipapah oleh dua orang dan dikawal oleh dua orang lainnya mendekati mereka.
“Siapa yang terluka?” desis gembala tua itu.
Tetapi kedua murid-muridnya tidak menjawab. Mereka menunggu dengan berdebar-debar rombongan kecil itu mendekat.
“Siapa?” bertanya Gupala tidak sabar.
Mereka yang memapah orang yang terluka itu tidak segera menjawab. Tetapi mereka berjalan semakin dekat, sehingga akhirnya mereka dapat mengenal orang yang sedang dipapah oleh kawan-kawannya itu.
“Wrahasta,” desis Gupita.
Dengan tergesa-gesa gembala tua itu mendekatinya.
“Baringkan ia di sini, di atas jerami ini,” desisnya.
Maka Wrahasta yang terluka itu  pun kemudian perlahan-lahan dan berhati-hati dibaringkan di atas setumpuk jerami.
Sementara itu gembala tua itu  pun segera berjongkok di sampingnya dan memeriksa luka-lukanya. Tanpa sesadarnya ia menarik nafas dalam-dalam. Namun tidak terucapkan kata-kata di dalam hatinya,
“Lukanya terlampau parah.”
Meskipun demikian masih terdengar Wrahasta itu berdesis,
“Aku telah menunaikan kuwajibanku.”
“Ya, ya, Ngger. Kau sudah menunaikan kewajibanmu dengan baik.”
“Ya,” ia melanjutkan dengan suara patah-patah,
“sejak aku masih kanak-kanak aku bercita-cita untuk mengabdikan diriku kepada Tanah ini.”
“Ya, Ngger.”
Nafas Wrahasta semakin berkejaran di rongga dadanya. Dan tiba-tiba saja ia membuka matanya,
“Siapa kau?”
“Aku, Ngger, gembala tua.”
“O, kau dukun yang pandai mengobati itu?”
“Begitulah, Ngger, dan aku akan mencoba mengobati luka-lukamu.”
Perlahan-lahan Wrahasta mencoba mengangkat kepalanya. Tetapi kepala itu terkulai lagi dengan lemahnya.
“Jangan bergerak,” berkata gembala itu, “darahmu akan semakin banyak mengalir.”
Wrahasta terdiam. Dibiarkannya gembala tua itu menaburkan serbuk obat di atas luka-lukanya. Tetapi gembala tua itu sendiri menjadi semakin cemas. Darah Wrahasta terlampau banyak mengalir dari luka di dadanya, di lambungnya dan di bahu kanannya, selain luka di pahanya.
Semua orang yang berjongkok mengelilinginya berpaling ketika mereka mendengar desah lembut,
“Wrahasta, kaukah itu?”

Wrahasta membuka matanya. Dilihatnya sebuah bayangan yang kabur berjongkok di antara bayangan-bayangan hitam yang tidak dapat dilihatnya lagi dengan jelas. Meskipun demikian telinganya masih dapat menangkap suara itu, suara Pandan Wangi.
“Wangi,” suara Wrahasta kian lambat. Di luar dugaan semua orang yang mengitarinya Wrahasta berkata lambat sekali,
“kau belum menjawab pertanyaanku.”
Terasa dada Pandan Wangi bergetar dahsyat sekali. Ia tidak menyangka sama sekali, bahwa dalam keadaan seperti itu, Wrahasta masih berusaha bertanya kepadanya tentang persoalan pribadi mereka.
“Pandan Wangi,” suara Wrahasta terputus,
“aku ingin mendengar. Bukankah aku telah mengabdikan diriku hampir sepanjang umurku? Jawablah Wangi.”
Air mata Pandan Wangi yang memang belum kering, kini menitik semakin deras. Pergolakan yang dahsyat telah membentur dinding jantungnya. Namun ketika ia melihat keadaan Wrahasta, ia tidak sampai hati untuk menyakiti hatinya, selagi tubuhnya pasti sedang sakit tiada taranya.
Dan tiba-tiba kepala gadis itu terangguk kecil. Terdengar jawabnya ragu-ragu,
“Baiklah, Wrahasta. Aku menerimamu.”
“Wangi,” tiba-tiba saja Wrahasta berusaha bangkit. Tetapi ia sama sekali sudah tidak mampu. Meskipun demikian tampak bibirnya tersenyum. Senyum untuk yang terakhir kalinya. Karena sesaat kemudian anak muda yang bertubuh raksasa itu telah menarik nafasnya yang penghabisan.
Pandan Wangi yang berjongkok di sampingnya menjadi semakin tunduk. Namun sesaat kemudian ia pun berdiri dan berjalan perlahan-lahan meninggalkan anak muda bertubuh raksasa yang sudah terbaring diam itu. Dengan kepala yang masih menunduk dalam-dalam Pandan Wangi berjalan mendekati ayahnya yang masih juga terbaring diam. Ketika ia kemudian berjongkok lagi di antara para pengawal ayahnya, maka ia sudah tidak dapat bertahan lagi. Tangisnya seakan-akan meledak dari dalam dadanya yang bengkak. Tangis seorang gadis yang dilanda gejolak perasaan tiada tertahankan lagi.
Sejenak gembala tua dan kedua murid-muridnya saling berpandangan. Namun kemudian orang tua itu berdiri dan berjalan mendekati Pandan Wangi. Setelah duduk bersimpuh di belakangnya, orang tua itu berdesis,
“Sudahlah, Ngger. Agaknya demikianlah yang dikehendaki oleh Tuhan Yang Maha Adil. Tetapi pasti hal yang terjadi ini bukan tanpa maksud. Marilah kita belajar untuk mengerti, apakah sebenarnya yang terjadi ini. Kepada-Nya kita mohon ketenteraman hati. Sebenarnyalah bahwa semua isi dan gerak alam ini berada di tangan-Nya. Tetapi tangan itu adalah tangan Yang Maha Pengasih.”
Pandan Wangi masih terisak.
“Tidak ada kekuasaan yang lebih mapan, bahkan yang sekedar mendekati kekuasaan Yang Maha Kuasa itu. Kekuasaan yang tidak pernah sisip. Kekuasaan yang tidak ditrapkan untuk sesuatu pamrih yang tidak adil dan benar. Tetapi apa yang terjadi adalah mutlak ada dan benar,” gembala tua ini berhenti sejenak lalu. “Angger, kita dapat menentang kekuasaan duniawi, kekuasaan seseorang, karena kekuasaan itu kadang-kadang justru menumbuhkan ketidak-adilan, didorong oleh pamrih. Tetapi kepada kekuasaan-Nya, kekuasaan Yang Maha Kuasa kita harus pasrah dengan ikhlas.”

Perlahan-lahan kepala gadis itu terangguk-angguk. Namun tanpa sesadarnya terpandanglah wajah ayahnya yang terbaring diam itu tiba-tiba bergerak. Perlahan-lahan matanya terbuka meskipun yang tampak oleh Ki Argapati yang pertama-tama adalah kehitaman malam.
“Ayah,” Pandan Wangi terpekik.
Gembala tua itu  pun kemudian melihat Ki Argapati membuka matanya. Perlahan-lahan ia berdesis,
“Aku memang sudah menyangka, bahwa ia akan segera sadar.” Kemudian kepada salah seorang yang ada di sampingnya ia berkata,
“Kalau mungkin carilah air yang bersih. Air dari sumur.”
Pengawal itu memandangnya sejenak. Dan gembala tua itu berkata kepada Pandan Wangi,
“Berikanlah titik air di bibirnya. Ingat setitik saja. Kalau terlampau banyak meskipun diminta, itu akan berbahaya bagi ayahmu. Mungkin justru pernafasannya akan tersumbat oleh air yang tidak dapat mengalir dengan lancar di tenggorokannya.”
Pandan Wangi mengangguk-anggukkan kepalanya, dan pengawal itu pun kemudian menggamit seorang kawannya untuk pergi mencari air berdua. Di peperangan segala sesuatu memang dapat terjadi meskipun sama sekali bukan karena ketakutan.
Sepeninggal kedua pengawal itu, gembala tua itu  pun berkata kepada Pandan Wangi,
“Sudahlah, Ngger, yang penting cobalah kau melayani ayahmu yang sudah mulai menyadari keadaannya. Tetapi ingat, jagalah supaya ia tetap terbaring diam. Bagaimana pun juga terasa haus, namun kau hanya dapat memberikan air itu setitik demi setitik. Jangan terlampau banyak.”
Sambil mengangguk-angguk Pandan Wangi menjawab, “Baik, Kiai.”
“Aku tidak dapat menungguinya sekarang. Peperangan yang masih berkecamuk itu harus segera selesai, supaya korban tidak berjatuhan tanpa arti. Aku akan segera kembali dan membawa Ki Argapati memasuki rumah yang sudah ditinggalkannya itu.”
“Baiklah, Kiai.”
Maka setelah meraba-raba tangan Ki Argapati dan mendengarkan detak jantung di dadanya, gembala tua itu pun kemudian berdiri dan dengan tergesa-gesa meninggalkan Ki Argapati yang dengan perlahan-lahan mulai menyadari dirinya ditunggui oleh puterinya beserta beberapa orang pengawal. Bersama kedua murid-muridnya, gembala tua itu pun kemudian menuju ke medan peperangan yang masih berlangsung dengan serunya. Desak mendesak silih berganti.

Sorak-sorai dari kedua belah pihak telah jauh menurun, karena kini mereka lebih mementingkan memusatkan perhatian atas lawan-lawan mereka karena setelah seluruh tubuh masing-masing dibasahi oleh keringat, nafsu yang menyala di dada  pun seakan-akan menjadi semakin panas. Meskipun kekosongan senapati terasa pula oleh setiap orang di dalam induk pasukan, tetapi karena tidak ada kekuatan yang melampaui kekuatan mereka masing-masing, maka pertempuran berlangsung terus dengan sengitnya. Namun pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh masih mempunyai seorang yang dapat mengikat mereka dalam suatu tata pertempuran yang lebih teratur. Samekta. Meskipun ia tidak jauh lebih baik dari setiap orang yang sedang bertempur, namun ia telah berhasil mengikat induk pasukannya dalam gelar yang baik dan terarah. Sejenak kemudian gembala tua bersama kedua anak-anaknya itu  pun sudah menjadi semakin dekat dengan hiruk-pikuknya peperangan. Sejenak gembala tua itu berhenti. Kemudian katanya,
“Kita membagi pekerjaan agar cepat selesai. Kita harus melumpuhkan senapati-senapatinya lebih dahulu, agar lawan kehilangan pegangan.”
“Bagus,” sahut Gupala serta-merta.
“Kau keliru,” potong gurunya,
“aku tahu maksudmu. Kau akan membinasakan setiap senapati termasuk Sidanti dan Argajaya.”
“Bukankah itu yang harus kita lakukan?”
Gembala tua itu menggelengkan kepalanya.
“Tidak. Kalian harus menangkap mereka hidup-hidup. Aku akan membantu Angger Hanggapati menangkap Sidanti dan kau berdua harus berusaha menangkap Argajaya hidup-hidup.”
Gupala menarik nafas dalam-dalam. Tampak kekecewaan membersit di wajahnya. Namun sambil mengngguk-anggukkan kepalanya Gupita menjawab,
“Baik, Guru. Kami akan berusaha menangkap mereka hidup-hidup.”
“Mustahil,” tiba-tiba Gupala bergumam seakan-akan kepada diri sendiri.
Gupita mengerutkan keningnya mendengar gumam Gupala itu, sedang gurunya sejenak menjadi termangu-mangu. Ditatapnya wajah muridnya yang gemuk itu. Kemudian terlontar pertanyaannya,
”Kenapa mustahil?”
“Bukankah Kakang Gupita dan Guru pernah melihat, bagaimana Argajaya berkelahi melawan Raden Sutawijaya di pinggir kali opak itu?”
Gupita mengingat-ingat sejenak. Namun kemudian tanpa sesadarnya ia mengangguk-anggukkan kepalanya. Terbayang di rongga matanya, betapa keras hati adik Kepada Tanah Perdikan Menoreh itu. Meskipun ujung senjata Sutawijaya telah melekat di dadanya, namun Argajaya sama sekali tidak ingin menundukkan kepalanya. Baginya lebih baik mati daripada harus mengakui kemenangan lawannya yang masih sangat muda itu. Apalagi kini ia berada di atas Tanah Perdikan ini, dan dengan sengaja telah melawan kakaknya sendiri.
“Ia memang keras kepala,” desis gurunya.
“Jadi, bagaimana pertimbangan Guru?” bertanya Gupala.
“Aku tetap berpendapat, bahwa sebaiknya ia tertangkap hidup-hidup. Biarlah Ki Argapati yang mengambil keputusan, hukuman apa yang harus diterimanya.”
“Ia tidak akan menyerah. Ia akan melawan sampai mati.”
“Jangan terlalu bodoh. Kalian dapat berbuat sesuatu, sehingga Argajaya akan kehilangan tenaga untuk melawan,” sahut gurunya, “karena aku yakin, Sidanti  pun akan berbuat demikian.”
Gupita mengangguk-anggukkan kepalanya. Desisnya,
“Baik, Guru, aku akan mencobanya.”
“Apakah kami harus membuatnya tidak mampu membunuh diri sekalipun?”
Gurunya menganggukkan kepalanya, “Ya. Begitulah.”
“Itulah yang sulit. Batas antara kemungkinan itu dan selangkah lagi, mati, adalah sulit sekali. Dalam perkelahian kita kadang-kadang sulit untuk mengekang diri.”
“Yang sulit itulah yang harus kau coba,” desis gurunya.
Gurunya menarik nafas dalam-dalam.
“Nah, jangan terlampau lama. Kita harus cepat melakukannya.”

Gupala dan Gupita mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian mereka  pun berpisah dengan gurunya. Gembala tua itu mencari Sidanti sedang kedua murid-muridnya mencari Argajaya. Adalah suatu kesengajaan bahwa bukan kedua murid-muridnyalah yang harus melawan Sidanti. Dendam yang tersimpan di dada kedua belah pihak tidak akan dapat reda untuk sepanjang umur mereka. Karena itu, apabila mereka bertemu di peperangan, maka kedua belah pihak tidak akan dapat mengekang diri masing-masing. Meskipun Argajaya  pun merupakan lawan yang tangguh, didahului oleh pertentangan yang telah lama tergores di dalam hati masing-masing tetapi sebenarnya mereka tidak mempunyai persoalan yang langsung seperti persoalan mereka dengan Sidanti. Maka masing-masing  pun kemudian memasuki kembali hiruk-pikuknya peperangan. Gembala tua itu masih sempat menemui Samekta dan mengatakan apa yang telah terjadi. Ki Tambak Wedi telah mati. Dan tiba-tiba saja, tanpa dapat ditahan-tahan lagi, meledaklah sorak yang selama ini sudah mereda. Kematian Ki Tambak Wedi telah menggelorakan kembali dada para pengawal Tanah Perdikan Menoreh, sehingga mereka  pun kemudian meneriakkan kematian itu sambil memutar senjata-senjata mereka lebih cepat lagi.
“Ki Tambak Wedi telah mati! Ki Tambak Wedi telah mati!”
Sorak-sorai yang gemuruh, yang seolah-olah hendak memecahkan langit itu, telah menggoncangkan setiap dada anak buah iblis yang sudah terbunuh itu. Kematian Ki Peda Sura telah membuat mereka berdebar-debar. Dan kini orang yang paling mereka bangga-banggakan telah mati pula.
Tetapi sebagian dari mereka sama sekali tidak percaya sehingga mereka  pun berteriak-teriak tidak kalah kerasnya,
“Bohong! Akal licik! Ki Tambak Wedi tidak akan dapat mati oleh siapa pun.”
Dan yang lain berteriak pula, “Jangan percaya! Jangan percaya!”
Sorak yang membahana itu pun akhimya dapat didengar oleh Sidanti dan Argajaya. Dada mereka serasa dihentakkan oleh suatu tenaga yang kemudian menyelusur ke segenap urat nadi. Hampir saja mereka kehilangan akal, dan tidak tahu apa yang harus mereka lakukan.
Tetapi lamat-lamat mereka  pun mendengar teriakan,
“Bohong! Akal licik!”
Darah Sidanti dan Argajaya yang rasa-rasanya hampir berhenti mengalir itu  pun segera bergejolak kembali. Bahkan api yang menyala di dalam dada serasa tersiram minyak oleh berita yang hampir saja melumpuhkan mereka.
“Akal licik,” Sidanti menggeram.
“Aku tidak percaya bahwa Guru terbunuh. Tidak ada orang yang akan dapat membunuhnya.”
Dengan demikian maka Sidanti pun kemudian justru menjadi semakin bernafsu. Senjatanya menggelepar menyambar-nyambar dengan dahsyatnya, sehingga setiap kali Hanggapati masih tetap harus menghindari sambil melangkah surut berputar-putar. Apalagi ketika Sidanti menjadi seakan-akan terbius oleh kemarahan mendengar berita yang dianggapnya licik.
“Orang-orangmu sudah mulai berputus asa,” ia menggeram,
“sehingga mereka terpaksa mengarang ceritera yang sangat licik dan memalukan itu.”
“Apakah kau yakin bahwa berita itu tidak benar?” berkata Hanggapati sambil melawan sekuat-kuat tenaganya.
“Aku yakin. Ki Tambak Wedi tidak akan dapat terbunuh oleh siapa pun di dalam peperangan serupa ini. Argapati pun tidak akan mampu menyentuhnya.”

Namun sebelum Hanggapati menjawab, terdengarlah suara seseorang yang seakan-akan meledakkan jantung Sidanti. Dalam kisruhnya peperangan, muncullah gembala tua itu sambil berkata,
“Sebenarnyalah bahwa Ki Tambak Wedi telah terbunuh. Tombak Ki Argapati-lah yang telah menembus dadanya, sebagai akibat dari ketamakannya. Apa boleh buat. Kematiannya akan mengakhiri semuanya. Api yang membakar Tanah Perdikan ini pun pasti akan segera padam.”
Kehadiran orang tua yang tidak disangka-sangka itu serasa membuat darah Sidanti membeku. Mungkin ia dapat mengelabuhi dirinya sendiri dengan tidak mempercayai teriakan-teriakan yang bergema di peperangan tentang Ki Tambak Wedi. Tetapi keterangan orang tua itu serasa jatuhnya suatu kepastian, bahwa Ki Tambak Wedi memang sudah terbunuh. Dengan demikian, sejenak Sidanti seakan-akan membeku di tempatnya. Ditatapnya gembala tua itu dan Ki Hanggapati yang tegak di tempatnya, berganti-ganti.
“Sidanti,” berkata orang tua itu,
“tidak ada kesempatan untuk menyesal bagi Ki Tambak Wedi. Akhir hidupnya adalah keputusan yang tidak dapat diganggu gugat. Apa yang telah dilakukan semasa hidupmya telah mendapatkan penilaian terakhir. Dengan demikian ia tinggal menjalani akibat perbuatan-perbuatan yang dilakukan semasa hidupnya.”
Sidanti memandang wajah gembala tua itu dengan tajamnya. Sejenak ia mencoba mencernakan kata-kata itu.
“Tetapi kau belum Sidanti,” berkata gembala tua itu selanjutnya,
“kau masih tetap hidup. Kau masih mempunyai kesempatan untuk mengakhiri petualangan yang tidak akan bermanfaat bagi siapa  pun juga itu. Apalagi bagi dirimu sendiri. Semasa hidupmu dan juga di masa langgeng.”
Sidanti masih berdiri tegak. Pedangnya masih tergenggam erat di tangannya. Namun tiba-tiba hiruk-pikuk peperangan telah membangunkannya. Dentang senjata telah mencairkan kembali darahnya yang serasa membeku. Ketika ia mendengar pekik kesakitan disusul oleh keluhan yang terputus, anak muda itu berteriak,
“Aku bukan pengecut. Ayo, kalau kalian memang mampu, bunuh Sidanti.”
Gembala tua itu memang sudah memperhitungkan, bahwa demikianlah sikap Sidanti. Ia pasti tidak akan menyerah hidup-hidup. Ia pasti akan berusaha melawan sampai mati.
“Tetapi kalau ia sudah terlepas dari peperangan, mungkin ia akan bersikap lain,” berkata gembala tua itu di dalam hatinya.
“Di sini ia dikitari oleh kekerasan dan ujung senjata. Maka hatinya  pun akan seruncing ujung pedangnya. Tetapi kalau ia tidak lagi melihat kilatan pedang dan mendengar rintih kesakitan, mungkin hatinya akan luluh juga.”
Dengan demikian gembala tua itu masih mencoba berkata,
“Sidanti, apakah kau tidak juga mau melihat kenyataan? Mungkin di saat-saat seperti ini kau tidak dapat melihat dengan terang karena peperangan ini. Tetapi apabila kau mempunyai kesempatan, melihat ke dalam dirimu sendiri dan membuat kesimpulan dari apa yang telah terjadi ini dengan hati yang bening, maka aku kira kau akan menarik suatu kesimpulan yang lain.”
“Diam!” tiba-tiba saja Sidanti berteriak.
“Jangan kau sangka hatiku miyur seperti daun ilalang. Aku akan tetap tegak kemana pun angin bertiup. Aku adalah batu karang yang tidak goyah oleh prahara yang betapa pun dahsyatnya. Dan kematian guruku pun tidak akan dapat merubah pendirianku. Tanah Perdikan Menoreh harus jatuh ke tanganku. Apa pun yang akan terjadi.”
“Bukankah sudah seharusnya demikian?” bertanya gembala tua yang tiba-tiba saja teringat kepada sikap Ki Tambak Wedi sesaat sebelum ia menghembuskan nafasnya yang penghabisan.
“Omong kosong,” sahut Sidanti.
“Bukankah sudah seharusnya, bahwa jabatan Ki Argapati sebagai Kepala Tanah Perdikan akan temurun kepada anaknya, apalagi anak laki-laki?”
Ternyata dalam keadaan itu, Sidanti sudah tidak sempat lagi membuat pertimbangan yang wajar. Karena itu, seolah-olah tanpa disadarinya ia berteriak,
“Aku bukan anak Argapati.”

Gembala tua itu menarik nafas dalam-dalam. Ia tidak segera dapat mengambil kesimpulan, siapakah sebenamya Sidanti itu. Namun yang lebih dahulu dilakukan adalah menangkapnya, dan apabila Ki Argapati nanti dapat disembuhkannya, anak ini harus dihadapkannya. Kalau Sidanti putera Ki Argapati maka orang tua itu pasti akan dapat mengambil kebijaksanaan, seperti terhadap adiknya juga.
“Nafsu yang menyala-nyala di dalam dadanya telah mendorongnya untuk membenci ayahnya sedemikian jauh,” berkata gembala tua itu di dalam hatinya.
“Atau mungkin Ki Tambak Wedi telah meracuninya dengan pengertian yang lain?”
Tetapi gembala tua itu tidak dapat menemukan jawabnya. Kini yang harus dilakukan adalah berbuat sesuatu sehingga ia dapat melumpuhkan Sidanti dan menangkapnya hidup-hidup.

Sementara itu Gupita dan Gupala telah menemukan pula lingkaran pertempuran Argajaya melawan Dipasanga. Ternyata bahwa kemampuan mereka hampir tidak berselisih. Desak mendesak. Kadang-kadang Argajaya terpaksa beringsut surut beberapa langkah, namun kemudian ia berhasil mendesak lawannya beberapa langkah maju. Senjata-senjata mereka menyambar-nyambar tidak henti-hentinya. Tombak pendek Argajaya berputar dan mematuk dari segenap penjuru, mengitari tubuh lawannya. Namun agaknya Dipasanga  pun tidak segera bingung menghadapinya, meskipun kadang-kadang ia harus meloncat beberapa langkah untuk mengambil jarak. Namun agaknya sorak-sorai tentang matinya Ki Tambak Wedi, justru agak lebih berpengaruh pada Argajaya. Tanpa Tambak Wedi perjuangan mereka tidak akan berhasil. Apabila benar Ki Tambak Wedi terbunuh, maka api peperangan yang sudah terlanjur berkobar di atas Tanah Perdikan ini tidak akan ada artinya apa-apa, selain pembunuhan dan kekerasan yang bengis. Tetapi seperti Sidanti, Argajaya  pun berusaha untuk tidak mempercayainya. Setiap kali ia berkata di dalam hati,
“Ki Tambak Wedi adalah seorang tua yang pilih tanding. Melawan Kakang Argapati selagi ia saras sekalipun, Ki Tambak Wedi tidak akan dapat dikalahkannya, dan apalagi terbunuh. Justru kini Kakang Argapati sedang terluka parah. Maka yang paling mungkin terjadi adalah sebaliknya. Justru Ki Tambak Wedi-lah yang membunuh Ki Argapati apabila ia terjun ke peperangan.”
Dengan demikian maka Ki Argajaya  pun mencoba untuk mengerahkan sisa-sisa tenaganya. Ia ingin dapat menguasai lawannya segera. Apabila Dipasanga dapat dilumpuhkannya, maka sayap ini akan sepera dikuasai. Kerti dan bahkan Samekta tidak akan banyak berarti.
“Mudah-mudahan Sidanti pun dapat membunuh lawannya pula,” katanya di dalam hati.
Namun, belum lagi Argajaya berhasil mendesak Dipasanga, tiba-tiba ia dikejutkan oleh kehadiran dua orang anak-anak muda di arena peperangan.
Sejenak Argajaya terpaku diam di tempatnya memandangi Gupita dan Gupala yang muncul hampir berbareng dengan cambuk di tangan masing-masing.
“Jadi ………,” Argajaya berdesis,
“orang bercambuk yang selama ini dibayangkan ternyata adalah kalian. Bukan orang-orang yang kau pergunakan untuk sekedar mengelabui kami.”
“Ya. kami memang berada di peperangan selama ini,” jawab Gupala.
“Persetan! Kenapa kalian selalu bersembunyi, dan baru sekarang menampakkan diri?”
“Kami tidak pernah bersembunyi.”
“Tetapi kalian tidak pernah menyatakan diri kalian dengan jujur. Kalian selalu curang dan licik.”
“Apakah kami tidak jujur? Aku tidak tahu maksudmu. Aku bertempur di peperangan ini. Dan aku bersama kakakku telah berhasil membunuh Ki Peda Sura, sementara Guru telah mengantarkan Ki Tambak Wedi ke ujung tombak Ki Argapati. Kenapa kami tidak jujur? Mungkin karena kami baru sekarang bertemu dengan kau. Dan itu bukan berarti bahwa kami bersembunyi. Di peperangan lawan tersebar dari ujung sampai ke ujung gelar. Kami tidak perlu memilih. Tidak ada keharusan pada kami untuk bertempur melawan Ki Argajaya, bukan yang lain.”

Argajaya menggeram. Ditatapnya wajah kedua anak-anak muda itu berganti-ganti. Kemudian berpindah kepada Dipasanga yang berdiri tegak dengan wajah yang tegang. Dalam pada itu terdengar Gupala berkata kepada Dipasanga,
“Ki Dipasanga, kami mendapat perintah untuk menangkap Ki Argajaya hidup-hidup.”
“Persetan!” teriak Argajaya. “Tidak seorang  pun dapat menyentuh kulitku selagi aku masih bernafas.”
Gupala mengerutkan keningnya, sedang Gupita menarik nafas dalam-dalam. Adiknya memang selalu menuruti perasaannya saja. Pernyataannya itu sudah tentu telah membakar hati Argajaya yang memang sudah sekeras batu-batu padas di perbukitan. Dipasanga  pun mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi sesaat ia tidak menjawab. Karena tidak seorang  pun yang menyahut, maka Gupala berkata seterusnya. Kali ini kepada Argajaya,
“Nah, bukankah kau bersedia membantu kami? Bukan untuk kepentingan kami, tetapi untuk kepentingan Tanah Perdikan Menoreh. Tanah Perdikan yang kini sedang kisruh oleh pokal Ki Tambak Wedi. Sekarang Ki Tambak Wedi sudah mati.”
Tubuh Argajaya telah menjadi gemetar menahan kemarahan yang menyesak dadanya, sehingga jawabnya kasar,
“Bunuh aku, baru aku akan menyerah.”
“Bukan begitu,” sahut Gupita.
“Maksud kami, apakah kau tidak mempertimbangkan kemungkanan lain daripada menghancurkan Tanah Perdikan ini. Kalau peperangan ini berlangsung terus, maka korban akan menjadi semakin banyak. Hal itu tidak akan menguntungkan kedua belah pihak. Sedang kedua belah pihak yang kini berhadapan adalah dari pecahan keluarga sendiri selain Ki Tambak Wedi. Dan Ki Tambak Wedi yang menurut dugaanku telah menyalakan api peperangan ini, sekarang telah terbunuh.”
“Tidak. Aku bukan kepompong yang paling bodoh,” Argajaya berteriak.
“Apakah kau sangka bahwa aku tidak mempunyai otak untuk berpikir dan bersikap, sehingga kau menganggap aku sekedar sebagai peraga yang digerakkan oleh Ki Tambak Wedi? Tidak. Aku mempunyai kepentingan dengan peperangan ini. Aku mempunyai suatu cita-cita. Tanah ini tidak boleh menjadi Tanah yang banci, yang tidak mempunyai jangka sama sekali. Tanah yang sekedar harus menundukkan kepala kepada Kakang Argapati apa pun yang diinginkannya.”
Gupala tiba-tiba memotong,
“He, bukankah kau adik Ki Argapati itu? Kalau ada kekurangan di dalam pemerintahannya, kau dapat menyampaikannya langsung kepadanya. Kenapa kau harus menempuh jalan ini? Apakah kau sendiri sebenarnya ingin menjadi Kepala Tanah Perdikan? Tetapi dengan demikian kau harus berkelahi melawan Sidanti.”
“Diam!” terak Argajaya yang menjadi semakin marah. Anak muda yang gemuk itu berbicara sekehendaknya sendiri tanpa menghiraukan apa  pun juga.
“Apa  pun yang akan aku lakukan. Aku tidak akan menyerah sebelum aku mati. Nah, bunuhlah aku sekarang. Itu akan lebih baik. Kenapa kau tidak membawa kawanmu yang seorang itu, anak Pemanahan yang sombong.”
“Apakah kau akan bertemu? Ia ada di sini pula sekarang.”
Wajah Argajaya menjadi semakin membara. Sejenak ditatapnya wajah Gupala yang tersenyum-senyum. Bahkan ia melanjutkan,
“Kalau kau mau ikut aku, mari, aku bawa kau kepadanya.”
“Persetan!” dada Argajaya serasa akan meledak karenanya.

Dan anak yang gemuk itu masih saja tersenyum. Bahkan kemudian ia berkata kepada Ki Dipasanga,
“Ki Dipasanga, marilah aku dan Kakang Gupita mendapat perintah untuk membantu Ki Dipasanga menangkap Ki Argajaya. Hidup-hidup. Sebab ia adalah adik Kepala Tanah Perdikan Menoreh.”
Tetapi  Argajaya telah tidak dapat lagi menahan dirinya. Dengan garangnya ia meloncat sambil berteriak,
“Kubunuh kau lebih dahulu.”
Tetapi Gupala pun telah menyiapkan dirinya. Segera ia bergeser menghindari serangan Argajaya yang sekedar didorong oleh kemarahan yang meluap-luap sehingga sasarannya tidak dapat dicapainya. Dengan demikian, maka pertempuran pun segera dimulai kembali. Bukan saja Gupala, tetapi Gupita dan Dipasanga pun harus ikut pula. Menangkap Argajaya hidup-hidup bukanlah pekerjaan yang mudah meskipun mereka adalah Gupita, Gupala dan Dipasanga yang masing-masing memiliki kemampuan yang seimbang dengan Argajaya, bahkan mungkin melampauinya meskipun hanya selapis. Argajaya yang merasa dirinya terkepung, sama sekali tidak berpikir lagi untuk mempertahankan hidupnya, karena ia tahu bahwa ia tidak akan dapat mengalahkan ketiga lawannya yang sudah dikenalnya. Argajaya dapat mengerti, betapa ketiganya mempunyai ilmu yang memungkinkan untuk menangkapnya. Namun untuk mati tidaklah terlampau sukar daripada bertahan untuk hidup. Karena itu, dibayangi oleh perasaan putus asa ia mengamuk sejadi-jadinya. Tombaknya menyambar-nyambar tidak henti-hentinya ke segenap arah untuk melindungi dirinya. Bukan karena ia tidak mau mati oleh senjata lawannya, tetapi ia ingin membawa salah seorang dari mereka atau lebih, untuk mati bersama-sama.
Gupala sekali-sekali menarik nafas dalam-dalam. Sambil mengumpat ia berbisik kepada Gupita,
“Kenapa kita harus menangkapnya hidup-hidup. Apakah salahnya kalau ia terbunuh di peperangan?”
“Hus, jangan kehilangan akal. Kita harus berusaha menangkapnya hidup-hidup. Betapa sulitnya.”
Gupala mengecutkan dahinya. Tangannya seakan-akan menjadi gatal. Membunuh Argajaya dalam keadaan itu sebenarnya tidak terlampau sulit. Tetapi membujuknya untuk menyerah adalah pekerjaan yang justru terlampau sulit.
“Kita harus merebut senjatanya,” desis Gupita.
“Aku sudah terluka,” geram Gupala,
“kalau kita tidak berhasil maka lukaku akan bertambah, dan barangkali aku akan mati untuk menangkap Argajaya hidup. Aku dan barangkali juga kau dan Ki Dipasanga, sementara Argajaya tidak akan tertangkap.”
“Kita akan mencoba.”
Gupala mengangguk-anggukkan kepalanya. Betapa  pun dadanya serasa akan bengkah. Tetapi ia harus tunduk seperti yang dipesankan oleh gurunya. Dengan demikian maka sekali lagi mereka mencoba, menangkap Argajaya yang mengamuk seperti serigala lapar. Ia sama sekali sudah kehilangan tujuan perkelahiannya, selain mati bersama lawan sebanyak-banyaknya dapat dilakukan. Tetapi Gupita sama sekali tidak kehilangan akal. Meskipun Dipasanga kadang-kadang mengalami kesulitan dengan sikap Argajaya itu, namun ternyata ia cukup dewasa menghadapi lawannya. Ki Dipasanga lebih baik meloncat surut menghindari benturan-benturan yang berbahaya daripada kemungkinan senjatanya menembus dada lawannya yang putus asa itu. Gupala lah yang berkelahi tidak dengan sepenuh kemauan. Kadang-kadang saja ia menyerang, kemudian bertolak pinggang sambil memegangi tangkai cambuknya sementara Gupita dan Dipasanga bertempur terus. Bahkan Gupala masih juga sempat melepaskan ketegangan di dadanya dengan menyerang orang-orang Sidanti yang bertempur di sekitarnya dengan ujung cambuknya.
Gupita yang kadang-kadang melihat tingkah laku Gupala itu hanya dapat menarik nafas. Ia tahu, betapa anak muda yang gemuk itu menahan diri sekuat-kuatnya agar tangannya tidak terlanjur menyerang lawannya di tempat-tempat yang berbahaya. Sementara itu Gupita sendiri berusaha sekuat-kuat tenaganya untuk melumpuhkan Argajaya. Kalau ia mampu melepaskan senjatanya, maka kemungkinan untuk menangkapnya akan menjadi semakin luas.
“Buat apa membiarkannya hidup-hidup?” Gupala masih saja bertanya.
Gupita mengerutkan keningnya. Jawabnya hampir berbisik,
“Kita hanya sekedar melakukan perintah Guru.”
Gupala tidak bertanya lagi. Dipandanginya Argajaya dengan tajamnya. Namun tiba-tiba ia berbalik dan menyerang seorang dari pasukan lawan dengan cambuknya. Ketika cambuk itu menggeletar, terdengarlah pekik kesakitan. Hanya sejenak, kemudian seseorang jatuh tersungkur.
“Jangan gila,” desis Gupita. Tetapi Gupala sama sekali tidak mengacuhkannya.
Dengan susah payah Gupita dan Dipasanga berhasil memeras tenaga Argajaya yang terbatas. Perlahan-lahan namun pasti, tenaga Argajaya menjadi semakin susut. Keringatnya seakan-akan terperas dari segenap permukaan kulitnya, dan bahkan nafasnya  pun menjadi semakin dalam di rongga dadanya. Tetapi Argajaya benar-benar berhati batu. Ia sama sekali tidak berpikir dan tidak mempertimbangkan, untuk merubah pendiriannya. Apa pun yang terjadi, ia akan berkelahi terus sampai mati.
“Lihat,” bisik Gupita, “tenaganya sudah jauh susut.”
“Tidak ada gunanya. Ia akan mati dengan sendirinya. Nafasnya akan terputus oleh kelelahan. Kita hanya akan kehilangan waktu. Kalau sejak sekarang kita bunuh saja orang itu, kita sendiri tidak akan kehabisan nafas.”
“Aku tidak berani melanggar perintah Guru. Bahkan Ki Dipasanga sama sekali tidak berhasrat melanggarnya.”
Gupala menarik dahinya tinggi-tinggi, sehingga kerut-merut yang dalam tergores dari ujung sampai ke ujung.

Ternyata Gupala pun kemudian melihat betapa Argajaya hampir kehilangan seluruh kekuatannya. Kini ia berdiri terhuyung-huyung, meskipun senjatanya masih tetap tergenggam erat-erat. Bahkan oleh dorongan nafsu yang melonjak-lonjak di dalam dadanya, ia masih mampu menyerang dengan dahsyatnya, meskipun kemudian ia hampir-hampir kehilangan keseimbangan. Kini Gupita sampai pada rencananya yang terakhir. Ia harus merebut tombak pendek itu. Kemudian melumpuhkan lawannya dan menangkapnya. Kalau perlu membuatnya kehilangan tenaga untuk berbuat apa pun. Dengan isyarat kedipan mata, Gupita mengajak Ki Dipasanga untuk mencoba mengakhiri perkelahian itu. Kemudian ia berbisik kepada Gupala,
“Kesempatan sudah terbuka Gupala, bantulah melakukan perintah Guru. Menangkap Argajaya hidup-hidup. Bagaimana pun juga ia adalah adik Ki Argapati. Agaknya Guru tidak mau membuat Ki Argapati merasa kehilangan.”
Gupala mengerutkan keningnya. Sejenak ia memandang Argajaya yang benar-benar sudah kehabisan nafas. Sebenarnya membunuh orang itu sama mudahnya dengan memijat ujung dahi sendiri. Orang yang sudah tidak mampu berdiri tegak itu, berdiri terhuyung-huyung bertelekan tangkai tombaknya. Namun demikian Argajaya masih berkata lantang di sela-sela desah nafasnya yaug memburu,
“Ayo, siapakah di antara kalian yang jantan? Apakah kalian pengecut yang tidak berani melihat darah. Ini dadaku. Ayo, bunuh aku dengan segala macam senjata yang ada padamu.”
Gupita menarik nafas dalam-dalam. Terbayang olehnya, Argajaya itu berdiri tegak di atas pasir tepian Kali Opak. Meskipun waktu itu senjatanya sudah terlepas dari tangannya, namun ia masih menengadahkan dadanya sambil berkata,
“Ayo, kalau kau jantan bunuh aku.”
Dan kini sikap itu diulanginya. Apalagi senjatanya kini masih tetap di dalam genggaman.
“Jangan menunggu terlampau lama, Gupala,” desis Gupita.
Gupala  pun kemudian melangkah maju. Mereka bertiga mengambil arah yang berbeda-beda. Sementara Argajaya masih menggeram. Tatapan matanya menjadi liar, dan wajahnya seakan-akan menyala. Sementara itu Gupala berdesis,
“Tidak mungkin menangkapnya tanpa melukainya. Kalau luka itu kemudian membunuhnya, itu sama sekali bukan salah mereka yang melukainya.”
Namun Gupala terkejut ketika ia mendengar suara cambuk meledak. Agaknya Gupita sudah mulai dengan usahanya melepaskan senjata Argajaya dari tangannya. Ledakan itu telah mendorong Argajaya beberapa langkah. Terhuyung-huyung ia mencoba menghindar. Meskipun Gupita sama sekali tidak ingin melukainya, tetapi cambuk itu meledak beberapa cengkang saja di depan wajahnya.
“Ayo anak iblis, kaulah yang akan mati pertama-tama,” desis Argajaya di sela-sela desah nafasnya.
Gupita tidak menjawab. Tetapi ia melangkah maju, sehingga Argajaya terpaksa mundur setapak. Tetapi Argajaya itu terlonjak ketika tiba-tiba saja kakinya serasa disengat oleh panasnya bara api, disertai sebuah ledakan yang memekakkan telinga. Ternyata bahwa Gupala telah menyerang mata kaki Argajaya dengan ujung cambuknya. Gupita menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak dapat mencegah adik seperguruannya, agar anak yang gemuk itu tidak justru menjadi semakin nekat untuk melepaskan sesak di dadanya. Tetapi Dipasanga pun ternyata mengambil kesempatan itu. Senjatanya segera terjulur mengarah ke dada Argajaya. Dengan susah payah Argajaya menangkis senjata Dipasanga. Namun dengan cepatnya Dipasanga menarik senjatanya dan mengurungkan serangannya. Argajaya yang semakin lemah itu justru terhuyung-huyung oleh tarikan tenaganya sendiri. Beberapa langkah ia terseret ke samping. Dengan susah payah ia bertahan sehingga ia tidak terjatuh. Tetapi Gupala benar-benar tidak dapat menahan diri. Dalam keadaan yang demikian sekali lagi cambuknya meledak. Dan sekali lagi Argajaya terloncat karena ujung cambuk Gupala mematuk kakinya. Tetapi keadaan sama sekali tidak menguntungkan. Keseimbangannya benar-benar tidak dapat dikuasainya lagi, sehingga tanpa dapat ditolong lagi. Argajaya terhuyung-huyung jatuh tertelentang. Ia masih mencoba bertahan pada sebelah tangannya. Tetapi ketika sekali lagi cambuk Gupita menyambar tangan itu, maka Argajaya benar-benar terguling di tanah yang berdebu. Sejenak Gupita terpaku di tempatnya. Tetapi tiba-tiba ia melihat sebuah kesempatan. Selagi Argajaya mencoba berguling menjauh, maka kali ini ujung cambuk Gupita lah yang mengejarnya. Sebuah sengatan telah mengenai pergelangan tangan kanannya yang masih menggenggam tombaknya erat-erat. Terdengar sebuah keluhan tertahan, namun tombak itu tidak terlepas dari tangannya. Gupita mengerutkan keningnya. Orang ini benar-benar bukan saja berhati batu, tetapi berhati baja. Karena itu, sekali lagi Gupita melecutkan cambuknya. Kali ini ujung cambuknya membelit tangkai tombak Argajaya. Dengan sepenuh tenaga Gupita menghentakkan cambuknya untuk memaksa tombak Argajaya terlepas dari tangannya. Gupala yang melihat usaha itu segera membantu dengan caranya. Selagi Argajaya bertahan, agar tombaknya tidak, terlepas maka Gupala segera menyambar tangan Argajaya dengan cambuknya. Bertubi-tubi, sehingga karah-karah besi pada juntai cambuknya itu seakan-akan telah mengelupaskan seluruh kulit di pergelangan tangan Argajaya.

Betapa sakitnya tangan Argajaya yang telah melelehkan darah itu. Tetapi ia sama sekali tidak membuka genggaman tangannya. Bahkan kemudian sambil berbaring di tanah kedua tangannya menggenggam senjatanya itu erat-erat. Gupala hampir saja menjadi waringuten. Hampir saja ia kehilangan kesabaran dengan menyerang Argajaya di bagian yang berbahaya. Untunglah bahwa Dipasanga berbuat lebih cepat. Dilepaskannya senjatanya, kemudian dengan tangkasnya ia meloncat menimpa Argajaya yang sudah kelelahan itu. Dengan sekuat tenaganya ia mencoba mendekap tangan Argajaya dari belakang. Sejenak keduanya berguling-guling. Tetapi kemudian Gupita dan Gupala pun ikut serta membantu. Dengan demikian maka Argajaya telah dipaksa untuk melepaskan tombaknya, karena Gupita dengan sekuat tenaganya merebut tombak itu dari tangannya, sedang Dipasanga memeganginya dari belakang. Tetapi usaha itu ternyata tidak segera berhasil. Sejenak mereka tarik menarik, seperti kanak-kanak berebut barang mainan. Sekali lagi Gupala kehilangan kesebaran. Tiba-tiba saja tangannya yang berat itu terayun. Sebuah pukulan sisi telapak tangan telah menyentuh tengkuk Argajaya, sehingga dengan tiba-tiba seluruh kekuatannya seakan-akan lenyap dari tubuhnya. Perlawanannya  pun tiba-tiba berhenti, sehingga justru Gupita yang menarik tombaknya terdorong beberapa langkah sehingga hampir saja jatuh tertelentang. Ketika Gupita kemudian berhasil menguasai keseimbangannya dan berdiri tegak dengan kaki renggang, maka dilihatnya Argajaya telah terkulai dengan lemahnya, menelungkup di tanah. Sejenak Gupita terpaku diam. Ditatapnya wajah Gupala yang tegang dengan tajamnya.
“Aku hanya menyentuhnya,” desis Gupala.
“Mudah-mudahan kau tidak membunuhnya,” suara Gupita tertahan-tahan.
Dipasanga lah yang kemudian berjongkok di sampingnya. Perlahan-lahan ia mengangkat tubuh Argajaya yang lemah itu. Namun dengan serta-merta ia berkata,
“Ia masih tetap hidup.”
Kemudian tubuh itu  pun dibaringkannya di tanah. Dengan pengetahuan yang ada, Gupita mencoba memijit-mijit bagian di bawah telinganya. Kemudian menggerakkan tangannya perlahan-lahan. Nafas Ki Argajaya perlahan-lahan mulai mengalir lewat lubang-lubang hidungnya. Satu-satu, namun kemudian semakin lama menjadi semakin lancar.
“Kelelahan,” berkata Dipasanga.
“Sentuhan tangan Gupala tidak menentukan.”
“Nah, bukankah kau hanya mendorongnya? Meskipun seandainya aku tidak memukul tengkuknya betapa pun lambatnya, ia akan pingsan karena nafasnya yang hampir terputus.”
Gupita mengangguk-anggukkan kepalanya, “Ya. Ia terlampau banyak mencurahkan tenaganya.”
“Tentu. Ia tidak mau tertangkap hidup-hidup. Kalau ia sadar, maka ia akan melakukan perlawanan lagi.”
Kita harus membawanya ke belakang garis peperangan.”
Gupita  pun kemudian memanggil beberapa orang pengawal untuk menggantikan tempatnya, maka Dipasanga dan Gupala-lah yang mendapat kesempatan.
“Tetapi kau sedang berhadapan dengan manusia-manusia meskipun ia lawanmu,” berkata Gupita.
“Tentu. Justru aku berhadapan dengan manusia-manusialah aku benar-benar harus mempertahankan hidupku. Karena mereka sedang berusaha untuk membunuhku.”
“Kau dapat mempertahankan hidupmu. Tetapi perlakuanmu terhadap lawan-lawanmu adalah perlakuan seorang prajurit jantan, dengan mengindahkan segala sopan-santun peperangan.”
“Maksud Kakang?”
“Jangan bertindak berlebih-lebihan. Banyak contoh telah kau lihat, bahwa kelakuan yang demikian tidak memberikan apa-apa kepada kita.”
Gupala mengangguk. Tetapi ia mengumpat di dalam hati,
“Persetan. Bagaimana aku dapat berbuat sopan terhadap manusia-manusia yang buas dan liar itu?” Meskipun kemudian terdengar suara di dasar hatinya, seolah-olah suara gurunya,
“Apakah kau juga harus menjadi buas dan liar?”

Gupala menarik nafas dalam-dalam. Ia melihat Dipasanga telah mulai melibatkan diri di peperangan, sedang para pengawal telah mengangkat tubuh Argajaya dan membawanya ke belakang garis perang bersama Gupita. Tetapi untuk sejenak Gupala masih tetap berdiri tegak di tempatnya. Ia memandangi saja bagaimana Dipasanga mengayunkan senjatanya. Meskipun orang itu bertempur di antara orang-orang yang kasar, namun ia tetap dapat menguasai dirinya, meskipun ia tidak kurang tangkas dan cepat. Sekilas terbayang di rongga matanya, prajurit Pajang yang berada di Sangkal Putung, selagi mereka bertempur melawan pasukan Tohpati dan Ki Tambak Wedi di padukuhan Tambak Wedi. Tanpa mengurangi nilai-nilai peperangan dan ketahanan mempertahankan diri, Gupala dapat melihat perbedaan cara yang dipergunakan oleh orang-orang Ki Tambak Wedi yang bercampur-baur dengan orang-orang Ki Peda Sura, dengan cara yang dipergunakan oleh Ki Dipasanga. Gupala menarik nafas dalam-dalam. Namun keningnya menjadi berkerut-merut apabila ia melihat bahwa para pengawal Tanah Perdikan Menoreh  pun sebagian terbesar sama sekali tidak mampu menahan diri, sehingga mereka berkelahi tidak ubahnya seperti cara-cara yang dipergunakan oleh lawan-lawan mereka. Tiba-tiba Gupala menggeleng,
“Aku tidak boleh mempergunakan cara itu.” Dan tanpa sesadarnya ia berkata kepada diri sendiri,
“Benar juga pesan Kakang Gupita.”
Dan sesaat kemudian Gupala  pun telah menerjunkan dirinya di dalam peperangan dengan cambuknya yang panjang. Sekali-sekali terdengar sebuah teriakan nyaring, kemudian pekik kesakitan. Tetapi Gupala selalu mencoba mengekang dirinya untuk tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang tercela di peperangan. Ia menghindari perlakuan yang dapat menumbuhkan kesan kekejaman tanpa batas, meskipun kadang-kadang cambuknya tanpa dikekendakinya sendiri, telah mengelupas kulit-kulit wajah lawannya. Ternyata bahwa garis peperangan telah bergeser semakin mendekati padukuhan induk. Pasukan Sidanti sudah tidak lagi dapat dibimbing oleh pemimpin-pemimpin kelompoknya. Bahkan pemimpin-pemimpin kelompok yang ada  pun sama sekali sudah tidak berpengharapan lagi. Berita tentang Argajaya  pun segera merayap dari ujung ke ujung pasukan. Bahkan orang-orang yang tidak dapat melihat dengan pasti, apakah yang telah terjadi dengan Argajaya segera meneriakkan kematiannya. Sehingga dengan demikian maka gairah perlawanan orang-orang Sidanti itu sama sekali telah lenyap.


Halaman 1 2 3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar