Jilid 038 Halaman 3


Nafasnya mulai mengganggunya, dan ketuaannya agaknya berpengaruh juga atas kelincahannya, meskipun sebenarnya ia tidak perlu berjalan tertatih-tatih dan tersuruk-suruk. Orang tua yang merasa dirinya terdesak itu segera mengerahkan tenaganya. Dicobanya untuk mengimbangi kemampuan lawannya. Tetapi ternyata bahwa lawannya  pun berusaha sekuat tenaganya untuk segera mengakhiri perkelahian itu. Dalam keadaan serupa itu, maka tidak ada jalan lain bagi orang tua itu daripada melarikan diri. Ia merasa bahwa ia mempunyai kecakapan yang melebihi orang-oran kebanyakan. Ia mampu berlari cepat sekali. Namun sebelum ia mulai melepaskan langkah pertamanya, tiba-tiba sekali lagi mereka dikejutkan oleh gemerisik dedaunan di sekitar mereka. Pengawal Tanah Perdikan Menoreh itu meloncat surut ketika ia melihat bahwa orang yang datang itu adalah orang Sidanti.
“Hem, aku sudah menyangka,” desis orang itu.
“Apa?” bertanya orang tua yang hampir kehabisan nafas sambil bertolak pinggang.
“Aku menyangka bahwa perjalananmu terganggu.” Kemudian ia berpaling kepada petugas sandi yang baru saja berkelahi itu,
“Kau dapat menemukannya, bahwa ia adalah seorang petugas kami?”
Pengawal Tanah Perdikan Menoreh itu menjawab,
“Kita adalah orang-orang Menoreh. Sudah tentu kita sudah pernah saling bertemu dan saling mengenal meskipun belum begitu rapat. Aku juga pernah mengenal kau sebagai bekas pengawal tanah perdikan ini. Kau  pun pasti sudah mengenal aku pula.”
“Bukan aku yang bekas pengawal tanah perdikan ini, tetapi kau.”
Pengawal itu mengerutkan keningnya. Ditatapnya kedua orang pengikut Sidanti itu berganti-ganti.
“Jangan menyesal, karena kau mengikuti aku,” berkata orang tua itu.
“Memang sudah lazimya terjadi di daerah peperangan. Kalau seseorang gagal membinasakan lawannya, maka ia sendirilah yang mungkin akan menjadi binasa. Bukankah begitu?”
Pengawal itu menganggukkan kepalanya.
“Ya, itu sudah aku sadari sebelumnya.”
Jawaban itu membuat kedua orang pengikut Sidanti terdiam sejenak. Mereka saling berpandangan. Mau tidak mau mereka harus mengagumi lawannya, yang menempatkan dirinya di atas landasan yang mantap. Dan sejenak kemudian pengawal itu berkata pula,
“Nah, sekarang bagaimana? Aku tetap dalam pendirianku. Kau, Kek, harus kembali. Bahkan kalau mungkin kau yang baru saja menyusul, akan aku tangkap pula.”

Orang tua, yang ternyata petugas sandi itu, menarik nafas dalam-dalam. Katanya,
“Kau terlampau dibutakan oleh kesetiaanmu yang tidak akan ada artinya, sehingga kau tidak dapat melihat yang terbentang di hadapan hidungmu. Kau berdiri berhadapan dengan kami berdua. Melawan aku sendiri kau tidak segera dapat menang. Sehingga menurut takaran yang wajar, kau tidak akan menang melawan kami berdua bersama-sama. Tetapi kau masih juga berkata akan membawa aku kembali dan menangkap kawanku ini.”
“Apa  pun yang akan terjadi atasku.”
Lawannya, yang datang kemudian, tertawa pendek. Katanya,
“Orang-orang yang sampai saat ini masih juga menjadi pengikut Argapati memang tergolong orang-orang gila serupa ini.”
“Terserahlah menurut penilaianmu. Sebab aku yakin, bahwa kau sendiri sebenarnya dapat menimbang, menilai dan membuat perbandingan-perbandingan, antara Ki Argapati dan Sidanti. Siapakah yang salah dan siapakah yang benar.”
“Aku sudah menyangka, bahwa kau akan berpendirian serupa itu. Orang-orang semacam kau ini memang dapat berbuat membabi buta sampai sisa nyawamu yang terakhir. Karena itu, kami memang tidak dapat berbicara dengan kau. Yang dapat kami lakukan adalah memaksa kau dengan kekerasan untuk melihat ke-nyataan, bahwa mayatmu akan terkapar di pategalan ini. Dengan demikian maka kedatanganku di sini tidak akan sia-sia. Sebab sesuai dengan perhitungan Sidanti, memang mungkin sekali seseorang akan mengikuti kakek ini keluar. Ternyata perhitungan itu benar. Sedang kalau aku tidak juga segera kembali, maka tidak mustahil Sidanti akan mengirimkan lagi lebih dari satu orang untuk menjemput aku. Jika demikian, maka kami berharap dapat menangkap kau hidup-hidup. Keterangammu tentang Ki Argapati dan daerah pertahanannya yang terakhir pasti akan sangat kami butuhkan. Betapa  pun juga kau bersumpah setia, namun kami akan berusaha memeras segala macam keterangan dari mulutmu. Selama kulitmu masih belum sekeras baja, dan dagingmu belum menjadi batu.”
Pengawal Tanah Perdikan Menoreh itu mengerutkan keningnya. Debar di dalam dadanya menjadi semakin cepat. Apa yang dikatakan oleh kedua orang itu memang tidak mustahil akan terjadi atas dirinya apabila ia berhasil ditangkap hidup-hidup.
“Aku masih belum terlampau jauh dari regol desa. Kalau aku berbasil membawa mereka keluar dari pategalan ini, meloncati tikungan, maka pasti akan ada seorang yang dapat melihat kami,” berkata orang itu di dalam hatinya. Maka dengan demikian ia bertekad untuk dengan segala cara menyelesaikan tugasnya sebaik-baiknya. Tetapi ia  pun menyadari akibat yang paling parah dapat terjadi atasnya pula.
Orang itu mengangkat wajahnya ketika ia mendengar orang itu, petugas sandi Sidanti itu berkata, “Bagaimana? Apa sudah kau pertimbangkan? Mati atau ikut kami. Ada dua kemungkinan dapat terjadi atasmu apabila kau berada di antara kami. Kalau kau menyerah dengan suka rela dan memberikan keterangan dengan sejujur-jujurnya, kau akan mendapat tempat yang baik. Tetapi kalau kau terpaksa kami tangkap dengan kekerasan, akibatnya akan lain.”
“Kemungkinan-kemungkinan itu semuanya tidak aku kehendaki,” jawab pengawal itu.
“Aku sudah menduga, karena itu, kami terpaksa melumpuhkan kau. Kalau mungkin menangkap kau hidup-hidup. Kalau tidak membunuhmu dan membiarkan bangkaimu dimakan anjing liar di pategalan ini.”
Pengawal itu tidak menjawab. Tetapi ia telah bersiaga sepenuhnya. Kedua pisaunya yang telah siap di tangannya digengggamnya erat-erat.
Kedua petugas dari pihak Sidanti itu  pun segera bersiap pula. Keduanya saling berpencar dan mencari sudut-sudut serangan dari arah yang berbeda. Kakek tua dengan keris kecilnya seolah-olah mendapat tenaga baru di dalam dirinya, sedang orang yang baru datang itu, benar-benar masih cukup segar. Selain dari kesegaran tubuhnya, maka di tangannya tergenggam sehelai senjata panjang. Pedang.

Tetapi Pengawal yang hanya seorang diri itu tidak akan menyerah. Ia dapat berusaha sedikit demi sedikit berkisar dari tempatnya, dan muncul di tempat yang terbuka, dengan harapan orang-orang yang berada di regol padesan tempat pemusatan pasukan Menoreh dapat melihatnya, meskipun tidak terlampau jelas. Tetapi titik-titik yang bergerak-gerak pasti akan menarik perhatian mereka. Kedua pihak kini tidak lagi saling berbicara. Mereka telah berada dalam kesiagaan yang tertinggi. Seperti mendung yang hitam tebal tergantung di langit. Demikianlah maka sejenak kemudian mereka telah terlibat dalam perkelahian yang seru. Seorang berhadapan dengan dua orang. Dengan segala kemampuan yang ada padanya, pengawal Tanah Perdikan Menoreh itu bertahan. Sesuai dengan rencananya, maka ia  pun segera bergeser dari satu titik ke titik yang lain. Supaya lawan-lawannya tidak segera menyadari caranya, maka arah yang pertama-tama ditempuh justru masuk semakin dalam ke dalam pategalarn. Namun kemudian melingkar-lingkar dan bergeser perlahan-lahan menepi. Tetapi ternyata kedua lawannya bukan orang-orang yang berotak terlampau tumpul. Sesaat kemudian dada pengawal itu menjadi berdebar-debar ketika ia mendengar salah seorang lawannya berkata,
“Ha, kau akan memancing kami keluar dari pategalan ini. Dengan demikian kau akan mengharap, kawan-kawanmu di regol padesan sebelah dapat melihat kita yang sedang berkelahi.”
Pengawal itu menggeram. Sejenak kemudian dikerahkannya segenap kemampuannya sambil menggeretakkan giginya. Tetapi betapapun juga, menghadapi dua orang lawan yang mempunyai kemampuan yang cukup, adalah pekerjaan yang terlampau berat baginya. Sedangkan ia sadar kalau ia tidak berhasil, maka rahasia tentang Ki Gede yang parah itu akan segera sampai ke telinga Ki Tambak Wedi.
Kalau Ki Tambak Wedi kemudian dapat mendengar tentang keadaan Ki Argapati maka tidak mustahil, bahwa ia akan memanfaatkan keadaan. Ki Tambak Wedi dapat mengambil kesempatan selagi Ki Argapati masih belum dapat bangkit dari pembaringannya dan memimpin perlawanan.
“Tidak ada orang lain yang dapat melawan Ki Tambak Wedi selain Ki Argapati,” berkata pengawal itu di dalam hatinya. Tetapi dalam pada itu ia  pun harus mengakui kenyataan, bahwa ia tidak akan dapat mengalahkan kedua lawannya itu, Betapapun juga caranya. Apalagi kedua lawannya itu mengerti, bahwa ia akan membawa mereka ke luar dari pategalan supaya para pengawal yang bertugas di regol desa dapat melihat mereka yang sedang berkelahi.
Tetapi agaknya kedua orang itu tidak mau dipancingnya untuk hal itu.
“Jangan banyak tingkah,” berkata salah seorang dari kedua orang yang berpihak kepada Sidanti,
“Kau hanya dapat memilih, menyerah atau terbunuh.”
Pengawal itu tidak menyahut, tetapi terdengar ia menggeram. Tandangnya menjadi semakin garang. Sepasang pisau belatinya menyambar-nyambar dengan dahsyatnya. Namun untuk mengatasi kedua lawannya memang terlampau sulit.

Semakin lama maka semakin ternyata, bahwa ia menjadi kian terdesak. Tidak ada lagi usaha yang dapat dilakukan. Seandainya ia berkeras hati untuk bertempur terus, maka sudah dapat dipastikan bahwa ia akan mati. Kematiannya tidak akan banyak memberikan arti bagi Menoreh. Sebab mayatnya akan berkubur tanpa diketahui oleh siapa  pun juga. Tidak ada orang yang tahu, apakah yang sudah terjadi atasnya dan tidak akan ada orang yang tahu bahwa seseorang akan menyampaikan berita, keadaan Ki Gede kepada Ki Tambak Wedi.
“Aku harus mencobanya,” berkata pengawal itu.
Maka sekali lagi ia mencobakan caranya. Memancing kedua lawannya menepi. Tetapi setiap kali lawannya itu tertawa sambil berkata,
“Ha, kami bukan anak-anak yang dapat kau jerat dengan permainanmu.”
“Persetan!” teriak pengawal itu.
“Aku  pun tidak mau mati di tangan kalian berdua.”
“Mau tidak mau, kami akan membunuhmu.”
Tetapi setiap kali pengawal itu selalu menghindar dan berloncatan menjauh.
“Pengecut!” teriak orang-orang Sidanti,
“Kau ternyata tidak cukup jantan untuk melakukan tugas sandimu.”
“He,” orang itu tertawa pendek,
“seorang petugas sandi kadang-kadang memang memerlukan sikap yang licik. Bahkan kadang kadang curang. Katakan, apakah kalian cukup jantan juga berkelahi berpasangan melawan aku seorang diri?”
“Tetapi kau sudah terjun ke arena. Prajurit hanya dapat dihentikan oleh maut apabila ia bertempur.”
“Hanya prajurit-prajurit yang tidak mempunyai otaklah yang berpendirian demikian. Kakek ini pun tidak berbuat demikian. Setelah ia terjun dalam perang tanding melawan aku, maka ia telah mengingkari kejantanannya dengan membiarkan kau ikut bersamanya, bersama-sama mengeroyok aku.”
“Persetan!” sahut kakek tua.
“Apa  pun yang sudah kita lakukan maka aku berkeputusan, kau harus dibinasakan.”
Pengawal Tanah Perdikan Menoreh itu tidak sempat untuk menjawab. Kedua lawannya mendesaknya semakin sengit. Tetapi ia telah bertekad untuk menghindarinya apabila keadaan memang terlampau sulit baginya. Sebab hal itu akan lebih baik bagi pasukannya. Mereka dapat mengerti dan mempersiapkan diri sebelumnya.
Tetapi ia harus menyesal, bahwa ia terpaksa melepaskan orang yang hampir-hampir dapat ditangkapnya itu. Orang itu pasti membawa berita tentang Ki Argapati sampai ke telinga lawan-lawannya.
“Apa boleh buat,” katanya di dalam hati, “Aku tidak mampu mengatasinya.”

Dengan demikian maka ia berusaha untuk menghindarkan diri dari perkelahian itu. Kedua orang lawannya pun tidak berani mengejarnya terus, sebab dengan demikian, mereka akan keluar dari pategalan dan pasti akan menumbuhkan kecurigaan kepada orang-orang Menoreh di padesaan sebelah.
“Hem, kau benar-benar akan lari,” berkata kakek tua itu,
“baiklah. Bukan aku yang menyusul kau, tetapi kaulah yang menyusul aku. Aku tahu maksudmu, supaya aku tidak dapat menyampaikan berita sakitnya Ki Argapati kepadi Sidanti. Tetapi kau tidak berhasil. Kau terpaksa membiarkan kami pergi. Kami akan segera menyampaikan berita itu, dan kau dapat membayangkan akibatnya. Tanpa Argapati, prajurit Menoreh akan menjadi lumpuh. Dengarlah bahwa di pihak Sidanti ada nama-nama Ki Tambak Wedi, Sidanti sendiri, Ki Argajaya, Ki Peda Sura, dan masih banyak lagi. Siapakah yang berada di pihakmu? Pandan Wangi? Cobalah renungkan. Dari mana kalian akan memenangkan peperangan ini? Seandainya kekuatan prajurit di kedua belah pihak seimbang, maka senapati-senapatinyalah yang akan menentukan kemenangan.”
“Ada kelebihan di pihak kami yang tidak kalian miliki,” jawab pengawal itu,
“yaitu pengabdian yang tulus. Kau tidak. Kau juga tidak. Orang-orang di pihakmu berkelahi karena pamrih-pamrih pribadi.”
“Pamrih-pamrih itulah yang telah mendorong kami untuk bertekad memenangkan peperangan ini. Pamrih-pamrih yang kami sadari. Bukan kesetiaan yang buta seperti kalian. Sebab orang-orang seperti kalian tidak lebih dari pancadan-pancadan yang hidup tetapi tidak mampu untuk berpikir. Kalian akan menjadi alat tempat orang-orang besar di pihakmu itu berdiri.”
“Itulah tekad kami. Sebab kami percaya bahwa orang-orang yang akan berdiri di atas kami adalah orang-orang yang benar berwenang dan benar-benar orang yang akan berpikir tentang kami dan Tanah kami.”
Hampir bersamaan kedua orang itu tertawa. Salah seorang daripada mereka itu berkata,
“Jadilah seperti yang kau ingini. Tetapi bagaimana sekarang? Mati, atau menyerah atau membiarkan kami membawa berita tentang keadaan Ki Gede Menoreh?”
Pengawal itu tidak menjawab. Ia benar-benar tersudut dalam keadaan tanpa dapat memilih. Karena itu, maka kini ia berdiri tegak dengan sepasang senjata di tangannya, namun ia tidak berbuat sesuatu ketika kedua lawannya itu melangkah surut, “Biarlah kami ampuni kau sekali ini. Kau akan tetap hidup. Sebab aku tidak mau kau seret ke luar pategalan ini.”
Pengawal itu tidak menjawab. Kenyataan itu harus dihadapinya. Ia memang tidak mampu untuk melawan kedua pengikut Sidanti itu, betapa  pun juga ia memeras tenaganya. Tetapi ia  pun tidak mau mati sebelum menyampaikan kabar tentang petugas sandi itu kepada pimpinannya.

Karena itu, dengan hati yang bergolak ia terpaksa membiarkan kedua orang itu beringsut semakin jauh. Apalagi ketika ia mendengar salah seorang dari mereka tertawa sambil berkata,
“Selamat tinggal. Berita tentang Ki Gede Menoreh akan segera tersebar. Tetapi mudah-mudahan Argapati sendiri tidak sempat mendengarnya karena lukanya yang parah itu. Aku tidak yakin kalau ia akan dapat disembuhkan oleh dukun yang betapa pun pandainya.”
Yang terdengar adalah gemeretak gigi pengawal itu. Perasaannya menjadi terlampau pahit mengalami peristiwa yang mengecewakan itu. Ia terpaksa membiarkan lawan-lawannya pergi sambil mentertawakannya. Sedang suatu berita yang sangat penting akan mereka bawa kepada lawan. Sejenak kemudian kedua orang itu  pun lenyap di balik dedaunan yang rimbun, seperti lenyapnya harapan petugas sandi dari pengawal Tanah Perdikan Menoreh itu untuk mempertahankan rahasia tentang sakitnya Ki Argapati.
“Peronda-peronda di gardu itu terlampau malas,” ia menggeram.
“Tidak seorang  pun yang melihat, apa yang telah, terjadi di sini.”
Dengan penuh penyesalan ia melangkahkan kakinya kembali kepada pemimpinnya untuk segera melaporkan peristiwa itu. Di dalam kepalanya telah terbayang berbagai kemungkinan yang pahit bagi pasukan Menoreh. Ki Tambak Wedi pasti akan segera mempergunakan kesempatan untuk menghantam pasukan induk yang masih belum berhasil menghimpun diri sebaik-baiknya itu. Apalagi Ki Argapati sedang terluka parah dan Pandan Wangi sedang dibebani oleh perasaan duka seorang gadis yang sedang nenunggui ayahnya yang sudah mulai dibelai oleh tangan-tangan maut.
Dalam pada itu, tanpa setahu pengawal itu, sepasang mata selalu mengikutinya dari balik rimbunnya dedaunan. Dengan ragu-ragu seseorang melihat segala peristiwa yang terjadi. Hampir-hampir ia tidak dapat menahan diri lagi, dan menerjunkan diri dalam arena perkelahian itu. Tetapi ia selalu memegang pesan seseorang yang diseganinya. Dan pesan itu berbunyi,
“Jangan langsung mencampuri persoalan Tanah Perdikan Menoreh. Kita harus menunggu, apabila saat itu telah datang, barulah kita menyatakan diri dalam sikap yang pasti. Kini kita akan berbuat dalam kesempatan-kesempatan yang sangat terbatas. Kita mengharap bahwa orang-orang yang sedang bertengkar itu menemukan penyelesaian yang tidak terlampau parah.”
Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya pengawal yang dengan tergesa-gesa meninggalkan petegalan itu.
“Keadaan sudah terlampau parah,” desisnya.
“Aku kira tidak akan ada jalan untuk kembali dan menghindari benturan-benturan yang lebih dahsyat lagi. Tetapi baiklah, aku menunggu. Mungkin satu dua hari akan segera ternyata, sikap apa yang akan kami ambil.”
Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia  pun segera meninggalkan pategalan itu sambil bergumam,
“Aku harus melaporkannya. Kalau Ki Tambak Wedi mengetahui keadaan Ki Argapati, maka keadaan memang dapat menjadi semakin panas.”
Maka dengan sigapnya orang itu segera meloncat menyusup di antara rimbunnya pepohonan, sambil mengikatkan sebuah cambuk yang berjuntai panjang di bawah bajunya.

Sementara itu, pengawal yang baru saja berkelahi dengan orang-orang Sidanti berjalan semakin lama semakin cepat, bahkan berlari-lari kecil. Dengan nafas terengah-engah ia mendekati regol. Belum lagi ia mendekat terdengar ia mengumpat,
“Kalian adalah orang-orang gila yang malas.”
Pemimpin pengawal yang sedang bertugas mengerutkan keningnya, “Kenapa?”
“Kalian telah berbuat suatu kesalahan, sehingga orang tua yang berjalan tersuruk-suruk itu lolos dari tanganku.”
“Kenapa justru aku yang bersalah,” bertanya pemimpin itu.
“Aku tidak mampu melawan mereka berdua.”
“Berdua?”
“Ya. Dan kau tidak mengirimkan seorang  pun untuk melihat apa yang telah terjadi. Kalau aku mati di pategalan itu, maka tidak seorang pun yang tahu, apa yang telah terjadi dan bahwa berita tentang sakitnya Ki Gede yang parah itu telah sampai ke telinga Tambak Wedi.”
“He, apakah kau sedang bermimpi. Cobalah, katakan apa yang sebenarnya terjadi. Orang tua yang tersuruk-suruk hampir mati itu dapat lolos dari tanganmu?”
“Kalian bukan petugas sandi. Tetapi kalian harus dapat memperhitungkan bahwa gila sekali apabila Sidanti benar-benar mengirimkan orang yang sudah tidak tegak lagi berjalan.”
Mereka saling berpandangan. Dan mereka mendengar petugas sandi itu menceriterakan serba singkat, apa yang telah terjadi.”
“Sidanti mengirimkan orangnya untuk melihat apa yang terjadi atas petugas sandinya, ketika menurut perhitungannya jarak yang ditetapkannya terlampau jauh.”
“Jarak yang mana?”
“Antara panah sendaren dan kedatangan orang yang mengirimkannya.”
Pemimpin pengawal itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia merasa bahwa ia tidak cukup cepat menanggapi keadaan. Tetapi ia masih juga berkata,
“Tetapi aku tidak dapat memperhitungkan waktu serupa itu. Aku melepaskan kau mengikuti orang tua itu. Aku tidak tahu batas waktu yang kau perlukan. Aku kira kau sedang mengikutinya sampai ke pinggir sungai untuk kemudian membenamkan orang tua itu ke dalamnya.”
Petugas sandi itu tidak menjawab. Tetapi ia bergumam,
“Aku harus segera melaporkannya.”
Pemimpin peronda itu  pun bergumam,
“Kita meningkatkan kewaspadaan. Keadaan akan cepat meningkat.”
“Nah, bukankah hal itu kau sadari,” sahut pengawal yang baru saja bertempur melawan orang-orang Sidanti itu.
“Kami, seisi padesan ini, dan bahkan seluruh pasukan Menoreh akan menyadarinya. Sekarang, sampaikan laporan itu, supaya kami mendapat perintah secara resmi, apa yang harus kami lakukan di sini dan mungkin di seluruh daerah yang masih setia kepada Ki Argapati.”
Petugas sandi itu  pun mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ditinggalkannya regol desa itu, dan dengan tergesa-gesa pergi menemui pimpinan tertinggi pengawal Tanah Perdikan Menoreh, Samekta yang sedang menunggui Ki Argapati yang sedang sakit.

Sementara itu, Ki Argapati yang sedang terbaring, masih juga memejamkan matanya. Sekali-sekali ia menarik nafas dalam-dalam, dan sekali-sekali ujung ibu jari kakinya bergerak-gerak. Namun kemudian diam kembali, seolah-olah sedang membeku. Pandan Wangi mengerti, bahwa ayahnya sedang memusatkan segenap kemampuannya, untuk menenangkan dirinya. Ayahnya sedang mengatasi kesulitan yang terjadi di dalam tubuhnya akibat benturan racun dari senjata Ki Tambak Wedi dan obat yang ditaburkan di atas luka itu. Namun dalam kegelisahan ia sekali lagi bertanya perlahan-lahan kepada Kerti,
“Paman, manakah orang itu? Apakah ia akan menunggu sampai terlambat?”
“Tidak, Ngger,” bisik Kerti, “tentu tidak. Sebentar lagi ia akan datang.”
Namun dalam pada itu, Kerti telah dicengkam oleh. kegelisahannya yang baru. Sebab ia tahu benar, bahwa tidak seorang  pun lagi yang pergi mencari seorang dukun. Tetapi ia tidak sampai hati untuk mengatakannya kepada Pandan Wangi yang kecemasan itu.
Samekta yang mendengar pertanyaan Pandan Wangi itu pun menjadi gelisah pula. Dukun manakah yang akan dapat mengobati keadaan Ki Gede yang sudah menjadi kian parah itu? Namun bagaimana pun juga, mereka masih mempunyai tempat untuk menggantungkan harapan. Mereka yakin akan kekuasan Yang Maha Besar, sehingga segala sesuatu akan sangat tergantung di tangan-Nya.
Dalam ketegangan itu, seseorang masuk ke dalam ruangannya langsung menemui Samekta. Mereka berbisik sejenak, kemudian Samekta bergeser dari tempatnya.
“Seseorang telah terlibat dalam perkelahian melawan orang-orang Sidanti. Salah seorang dari mereka keluar dari desa ini. Karena orang itu mencurigakan, maka seorang petugas sandi mengikutinya. Tetapi kawannya sempat menolongnya, sehingga mereka lolos.”
Samekta mengerutkan keningnya. Desisnya,
“Kenapa ia dapat keluar dari daerah ini tanpa pengawasan?”
“Perhitungan kami yang salah,” pemimpin pengawal itu menceriterakan dengan singkat apa yang telah terjadi dengan seorang kakek-kakek dari seorang petugas sandinya.
Samekta mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ketegangan semakin membayangi wajahnya. Ia sadar, sepertinya pengawal menyadari, bahwa apabila berita itu sampai kepada Ki Tambak Wedi, dan Ki Tambak Wedi meyakini akan kebenarannya karena mendengar langsung dari mulut petugasnya, bukan sekedar berita dari mulut ke mulut bahwa Ki Argapati dalam keadaan parah, maka keadaan akan cepat meningkat.
Karena itu, maka katanya,
“Kita harus segera mempersiapkan diri. Untuk sementara semua pasukan supaya ditarik untuk melindungi desa ini dan desa pengungsian para keluarga. Tempat tempat lain terpaksa kita lepaskan untuk sementara. Kita tidak boleh terpotong-potong menjadi sayatan-sayatan kecil yang akan digulung sedikit demi sedikit.”
Pemimpin pengawal itu menganggukkan kepalanya.
“Tetapi apakah kau yakin bahwa orang itu orang Sidanti.”
“Menurut laporannya, agaknya cukup meyakinkan.”
“Di mana orang itu?”
“Ia menunggu di luar.”

Samekta segera melangkah keluar. Ditemuinya petugas sandi yang langsung berkelahi melawan orang-orang Sidanti. Dan ia  pun segera mengulangi ceriteranya, seperti ceritera pemimpin pengawal itu. Sekali lagi Samekta mengangguk-anggukkan kepalanya. Kepada pemimpin pengawal itu ia berkata,
“Hubungi semua pemimpin. Pasukan berkuda supaya dipersiapkan. Mereka harus dapat mengimbangi dengan cepat gerakan pasukan Sidanti. Kalau Sidanti datang menyerang, maka pasukan itu harus meninggalkan tempat ini, menyerang kedudukan-kedudukan Sidanti yang lemah untuk memecahkan perhatian mereka. Kalau perlu, mereka terpaksa mengorbankan satu dua rumah yang kelak akan kita perhitungkan untuk menimbulkan api.”
Pemimpin pengawal itu menganggukkan kepalanya. Ia menyadari sepenuhnya perintah itu.
“Itulah yang harus kalian kerjakan untuk sementara. Aku akan membicarakannya nanti, dan mungkin akan datang perintah berikutnya bagi kalian.”
“Baik,” sahut pemimpin pengawal itu, yang segera minta diri untuk mempersiapkan semua kekuatan yang ada di pihak Ki Argapati. Mereka kini tidak akan dapat mundur lagi. Mereka harus bertahan sampai kesempatan yang terakhir apabila Sidanti benar-benar menyerang. Dan mereka harus mempersiapkan benar-benar pasukan berkuda yang akan terbang ke segenap penjuru Tanah Perdikan ini. Cepat bergerak, dan cepat menghilang apabila keadaan memaksa. Ternyata berita itu telah membuat Samekta menjadi semakin pening. Tetapi ia tidak akan segera memberitahukannya kepada Pandan Wangi. Biarlah gadis itu melepaskan diri untuk sementara dari persoalan perang. Biarlah ia menunggui ayahnya yang sedang sakit, sebagai seorang gadis yang meletakkan harapannya, bahwa orang yang sedang sakit itu kini merupakan satu-satunya orang tempat bergantung. Ia tinggal satu-satunya orang yang akan dapat melindunginya.
Karena itu, maka diam-diam digamitnya Wrahasta dan Kerti. Mereka bergeser beberapa langkah, dan dengan perlahan-lahan sekali mereka membicarakan apa yang sebaiknya mereka lakukan.
“Marilah kita bicarakan dengan tenang,” minta Wrahasta.
“Tidak sekarang. Kalian dapat memikirkannya, apakah yang sebaiknya kita lakukan. Kita tidak akan dapat meninggalkan Ki Gede dalam keadaannya. Aku sudah memberikan perintah sementara untuk mempersiapkan semua kekuatan di tempat pengungsian dan desa ini. Tidak terpecah belah, di samping satu kekuatan berkuda yang akan selalu mengimbangi gerakan Sidanti. Pasukan itu harus dapat bergerak cepat, mencapai segala penjuru dengan tiba-tiba dan melepaskan diri dengan tiba-tiba. Kalau perlu mereka harus membuat gerakan di sekitar padukuhan induk untuk mengelabuhi Sidanti dan Ki Tambak Wedi.”

Wrahasta dan Kerti mengangguk-anggukkan kepala mereka. Tanpa sesadarnya, mereka berpaling dan memandang Ki Gede yang sedang terbaring. Sedang Pandan Wangi dengan penuh kecemasan berdiri di sisinya. Sekali Pandan Wangi meraba tubuh ayahnya. Tiba-tiba saja ia hampir terpekik. Ketika ia tidak melihat Kerti berdiri di sampingnya, maka segera ia berpaling mencarinya.
“Paman,” desis Pandan Wangi ketika tampak olehnya Kerti berdiri bersama Samekta dengan Wrahasta,
“Tubuh ayah sudah tidak panas lagi.”
Hampir terloncat Samekta, Wrahasta, dan Kerti mendekat dengan tergesa-gesa. Hampir bersamaan pula mereka meraba kaki Ki Gede. Dan benarlah kata Pandan Wangi, kaki itu sudah tidak panas lagi. Tetapi justru dengan demikian Kerti menjadi berdebar-debar. Karena apabila panas bagian kepala dan kaki tidak seimbang, maka keadaan yang demikian akan sangat berbahaya bagi Ki Gede. Karena itu, maka perlahan-lahan Kerti beringsut maju. Perlahan-lahan pula dirabanya tangan Ki Gede. Tangan itu  pun kini sudah tidak panas pula. Kemudian dengan tangan gemetar Kerti mencoba meraba leher Ki Argapati. Secercah warna yang cerah membayang di wajahnya. Leher itu  pun telah menjadi sejuk seperti tubuhnya sendiri.
Dengan penuh pengharapan Kerti berkata perlahan-lahan,
“Ya. Tubuh Ki Gede sudah tidak panas lagi.”
“Pernafasannya pun telah berjalan wajar,” sahut Wrahasta.
“Kita akan berdoa terus,” gumam Samekta.
Kerti dan Pandan Wangi mengangguk-anggukkan kepala mereka. Mereka memang selalu berdoa di dalam hati. Ternyata doa mereka telah didengar-Nya. Dengan penuh pegharapan kini mereka menunggui Ki Gede yang sedang terbaring. Wajah-wajah mereka tidak lagi dilukisi kecemasan dan kebingungan. Tetapi wajah-wajah itu tampak diwarnai oleh kesegaran nafas Ki Argapati yang semakin lancar.
“Ayah,” Pandan Wangi berdesis ketika ia melihat ayahnya membuka matanya.
Ki Argapati menarik nafas dalam-dalam. Dalam sekali. Seolah-olah ia menjadi terlampau haus menghirup kesegaran udara Tanah Perdikan Menoreh.
“Ayah,” Pandan Wangi mengulangi.
Yang pertama-tama dipandang oleh Ki Argapati adalah wajah puterinya. Kemudian orang-orang di sekitarnya. Samekta, Wrahasta, Kerti, dan orang-orang lain. Sekali lagi Ki Argapati menarik nafas dalam-dalam. Kemudian perlahan-lahan berkata,
“Mudah-mudahan aku dapat mengatasi kesulitan di dalam diriku.”
Tubuh Ki Gede telah menjadi sejuk. Agaknya darah Ki Gede pun mengalir dengan wajar. Kepala Ki Argapati bergerak-gerak. Ia mengangguk kecil sambil berkata lirih,
“Obat yang kita terima dari anak yang gemuk itu ternyata terlampau baik.”
“Bagaimana ayah?” potong Pandan Wangi. “Apakah itu suatu bentuk pengkhianatan.”
“O, kau salah terima Wangi,” jawab Ki Argapati.
“Kita harus berterima kasih kepadanya. Tak ada obat semujarab obat yang diberikan kepadaku. Seandainya aku tidak mendapat obat daripadanya, maka keadaan ini akan sangat jauh berbeda, Wangi. Berterima kasih pulalah kita kepada Yang Maha Bijaksana, yang telah mempertemukan aku dengan orang bercambuk itu.”
Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Perlahan-lahan ia bertanya,
“Orang bercambuk, Ayah?”
“Ya.”
Wajah Pandan Wangi menegang. Tetapi ia tidak segera mengucapkan kata-kata. Teringatlah olehnya, seorang anak muda yang menyebut dirinya sebagai seorang gembala. Seorang anak muda yang mempersenjatai dirinya dengan cambuk.
“Kenapa Wangi? Apakah kau heran mendengar sebutan orang bercambuk itu?”
Pandan Wangi beringsut setapak. Perlahan-lahan ia mengangguk sambil menjawab,
“Ya, Ayah. Siapakah orang bercambuk itu?”
“Aku tidak begitu jelas, Wangi. Tetapi aku yakin, bahwa ia bermaksud baik.”
“Di manakah ayah mengenalnya sebelum ini?”
“Ketika ayah masih muda, di dalam lingkungan istana Demak.”

Pandan Wangi terkejut mendengar jawaban itu. Dengan kening yang berkerut-merut ia bertanya,
“Berapa kira-kira umur orang bercambuk itu ayah?”
“Seumur ayah.”
“Tidak,” tiba-tiba Pandan Wangi membantah.
“Ia masih muda. Bahkan lebih muda dari Kakang Sidanti.”
Kini Ki Argapati lah yang mengerutkan keningnya. Kemudian perlahan-lahan ia menarik nafas dalam-dalam. Digerakkannya tangannya sedikit, kemudian kakinya.
“Pandan Wangi,” orang tua itu bergumam,
“aku mengenalnya ketika kami masih sama-sama muda. Tidak mungkin ia kini nampak lebih muda dari Sidanti.” Ki Argapati berhenti sejenak, lalu tiba-tiba terbayang sebuah senyum dibibirnya,
“O, barangkali kau pernah melihat orang yang bersenjatakan sebuah cambuk? Seorang anak muda yang gemuk hampir bulat?”
Pandan Wangi menggelengkan kepalanya. Namun tiba-tiba ia berkata,
“Jangan bangun, Ayah. Lebih baik Ayah berbaring sejenak, sampai keadaan Ayah menjadi cukup baik.”
Ki Argapati yang ingin mencoba untuk bangkit meletakkan kepalanya kembali. Kerti dan Samekta  pun mencegahnya pula.
“Luka itu akan berdarah lagi Ki Gede,” berkata Kerti.
“Ya, sebaiknya Ki Gede beristirahat secukupnya,” sambung Samekta.
“Aku sudah merasa cukup baik.”
Pandan Wangi menggeleng, “Belum, Ayah. Ayah masih perlu beristirahat.”
Ki Argapati menganguk-anggukkan kepalanya. Namun kemudian ia kembali kepada persoalan orang bercambuk. Katanya,
“Bukankah yang kau lihat anak muda yang gemuk bulat? Anak itulah yang memberi aku obat yang sangat baik ini.”

Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Tetapi ia sudah tidak dicengkam oleh kecemasan yang hampir tidak tertahankan. Wajah ayahnya, meskipun masih pucat, tetapi sudah tidak lagi seputih kapas. Dengan ragu-ragu ia menjawab pertanyaan ayahnya,
“Aku tidak mengenal seorang anak muda yang gemuk bulat ayah?”
Argapati menarik nafas dalam-dalam. Sejengkal ia beringsut. Kemudian,
“Lalu siapakah yang kau maksud dengan seorang yang masih lebih muda dengan Sidanti itu?”
Pandan Wangi tidak segera menyahut. Ditatapnya wajah Kerti, Samekta, Wrahasta, dan orang-orang lain di sekitarnya. Baru sejenak kemudian ia berkata,
“Beberapa orang pengawal pernah juga melihatnya. Seorang gembala yang sering menggembalakan kambingnya di sekitar daerah perbatasan sebelum kami menarik diri.”
“Oh,” Argapati tersenyum,
“sudah tentu bukan seorang gembala yang aku maksudkan. Yang aku maksudkan dengan seorang bercambuk adalah seseorang yang mempergunakan cambuk sebagai ciri pribadinya atau lebih tepat, sebagai senjatanya.”
“Ya, begitulah gembala itu ayah. Seorang gembala yang masih muda semuda Kakang Sidanti, bahkan masih lebih muda lagi.”
Argapati mengerutkan dahinya. Sekali lagi menarik nafas dalam-dalam. Ditelekankannya tangannya pada dadanya di bawah lukanya. Kemudian ia bergeser sedikit sambil bergumam,
“Apakah ada orang lain yang mempunyai ciri yang serupa. Tetapi bagaimanakah dengan anak muda yang kau katakan itu? Apakah ia berbuat baik terhadap kau atau sebaliknya?”
“Ia seorang gembala, Ayah.”
“Hanya sekedar seorang gembala? Di sini ada berpuluh-puluh gembala yang membawa cambuk. Tetapi agaknya yang seorang ini agak lain. Apakah tanggapanmu memang demikian?”
Pandan Wangi tidak segera menyahut. Tanpa sesadarnya ia memandang wajah Wrahasta dengan sudut matanya. Tetapi orang yang bertubuh raksasa itu sedang menekurkan kepalanya.
“Ia mempunyai beberapa kelebihan dari gembala-gembala yang lain, Ayah.”
Argapati mengerutkan keningnya. Sekilas ia melihat Wrahasta yang tiba-tiba mengangkat wajahnya.
“Apakah kelebihan itu?”
“Ia mampu berkelahi seperti seorang pengawal.”
“Ah,” desah Argapati,
“hampir setiap anak muda di daerah ini dapat sekedar membela dirinya.”
“Bukan sekedar membela dirinya,” sahut Pandan Wangi. Tetapi sejenak ia terdiam dalam keragu-raguan.
Argapati tidak segera mendesaknya. Bahkan ia berkata,
“Orang lain yang mempunyai ciri serupa itu, sebuah cambuk, adalah seorang anak muda yang bertubuh gemuk. Ia menyebut dirinya sebagai anak orang bercambuk yang tidak menampakkan diri. Mungkin orang itulah yang pernah kau lihat dan mengaku sebagai seorang gembala, tetapi mempunyai beberapa kelebihan dari anak-anak muda yang lain.”
“Tetapi anak muda itu tidak gemuk, Ayah.”
“Apakah kau kenal namanya?”
Sekali lagi Pandan Wangi menjadi ragu-ragu. Dan sekali lagi tanpa sesadarnya ia memandangi wajah Wrahasta. Tetapi Wrahasta tidak sedang memandangnya, justru ia sedang memandangi wajah Ki Gede yang menunggu jawaban anaknya.
Namun akhirnya Pandan Wangi menyebutnya juga,
“Namanya Gupita, Ayah.”
“He?” Argapati mengingat-ingat. Sambil memandang wajah Kerti ia berkata,
“Anak yang gemuk itu menyebut dirinya bernama Gupala.”
“O,” dengan serta-merta Pandan Wangi menyahut,
“kalau begitu, kedua anak muda itu memang bersaudara. Menurut Gupita, ia mempunyai seorang saudara laki-laki dan seorang ayah. Mereka adalah gembala-gembala yang tinggal di tlatah Menoreh.”
Kini Ki Argapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Perlahan-lahan ia bergumam,
“Hem, sekarang aku mempunyai sedikit bayangan tentang mereka. Jadi ada dua anak muda yang mengaku dirinya anak orang bercambuk itu.”
“Yang satu bernama Gupala dan yang lain bernama Gupita,” Kerti menyahut.
“Ya, begitulah menurut pengakuan mereka.” Argapati berhenti sejenak, lalu kepada Pandan Wangi ia bertanya,
“Wangi, apakah kelebihan gembala yang kau maksudkan itu? Apakah ia sudah berbuat sesuatu yang menyatakan dirinya, sehingga kau mengambil kesimpulan demikian tentang anak itu ?”

Pandan Wangi mengangguk perlahan-lahan. Kini, ketika sekali lagi ia berpaling ke arah Wrahasta, pandangan mereka  pun beradu. Cepat Pandan Wangi menundukkan kepalanya. Betapa  pun juga ia adalah seorang gadis. Hatinya berdebar ketika ia melihat sorot yang aneh terpancar dari sepasang mata Wrahasta. Sejenak Pandan Wangi berdiam diri. Tanpa sesadarnya ia meraba-raba kaki ayahnya. Tetapi Argapati tidak tahu, apakah yang sebenarnya bergetar di dalam dada puterinya. Ia tidak tahu, bahwa Wrahasta menaruh hati kepada gadis itu, dan bahwa gembala yang memiliki cambuk yang aneh itu telah menumbuhkan suatu perasaan yang aneh pada puterinya.
Karena itu, maka Ki Gede itu mendesaknya,
“Apakah kelebihan yang kau maksud pada gembala itu Wangi?”
Pandan Wangi tidak dapat mengelak lagi sehingga dengan demikian betapa  pun beratnya ia harus menjawab,
“Ayah, bukankah Ayah sudah mendengar bahwa aku terpaksa bertempur melawan Ki Peda Sura karena aku terpisah dari pasukanku?”
Ki Argapati mengangguk.
“Dan bukankah Ayah tahu, bahwa aku tidak akan mungkin mengalahkan Ki Peda Sura dalam keadaanku sekarang?”
Sekali lagi Argapati mengangguk sambil berkata,
“Tetapi kemampuanmu tidak terpaut banyak menurut penilaianku, Wangi.”
“Ya, namun aku tidak akan dapat melepaskan diriku dari padanya. Ia sudah bertekad untuk menangkap aku hidup-hidup. Tanpa melukai kulitku dan apalagi membunuhku.”
Ki Argapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia menyadari, bahwa keadaan itu benar-benar merupakan keadaan yang sangat berbahaya bagi puterinya. Ki Peda Sura yang menyimpan pengalaman cukup di dalam dirinya merupakan lawan yang pasti tidak akan dapat diimbangi oleh Pandan Wangi.
Tetapi ternyata bahwa Pandan Wangi berhasil melepaskan dirinya dengan selamat, sehingga karena itu Ki Argapati bertanya,
“Tetapi kau selamat sampai saat ini, Wangi. Bahkan ketika aku memasuki padesan ini dengan mata berkunang-kunang dan pikiran yang kusut karena aku merasa kehilangan kau, kau sempat beristirahat dengan tenangnya.”
Pandan Wangi menundukkan kepalanya. Tetapi ia bergumam,
“Ya, Ayah. Aku sempat melarikan diri dari tangan Ki Peda Sura dan pasukannya.”
“He, Ki Peda Sura dan pasukannya?” Ki Argapati menjadi heran,
“Jangan sombong, Anakku. Ki Peda Sura sendiri pun pasti akan mampu menangkapmu kalau ia mau.”
“Benar, Ayah. Kami melepaskan diri daripadanya. Bahkan kami sempat melukai Ki Peda Sura yang kemudian dipapah oleh orang-orangnya meninggalkan medan, tepat pada saat pasukan Kakang Sidanti datang membantu.”
“O,” Ki Argapati mengerutkan keningnya,
“aku menjadi pening. Bagaimana mungkin kau dapat berbuat demikian? Tetapi siapakah yang kau maksud dengan kami?”
Pandan Wangi menjadi ragu-ragu sejenak. Sekali lagi ditatapnya wajah-wajah yang ada di seputar ayahnya berbaring. Dan ketika tatapan matanya berbenturan dengan mata Wrahasta maka sekali lagi Pandan Wangi tertunduk dalam-dalam.
“Ayah,” suara Pandan Wangi menjadi terlampau dalam. Adalah terlampau sulit baginya untuk berceritera tentang anak muda yang menyebut dirinya Gupita itu. Meskipun mereka bertemu di medan perang, namun Betapapun juga, Pandan Wangi adalah seorang gadis. Meskipun demikian dipaksakannya ia berceritera.
“Itulah sebabnya aku mengatakan bahwa gembala itu mempunyai kelebihan dari gembala-gembala yang lain. Ketika aku sudah hampir kehilangan akal dalam perlawananku atas Ki Peda Sura yang memang ingin menangkap aku hidup-hidup aku sudah memutuskan untuk lebih baik mati daripada tertangkap. Aku dapat membayangkau apa yang akan terjadi atas diriku, seandainya Peda Sura benar-benar dapat membawa aku hidup-hidup.” Pandan Wangi berhenti sejenak. Tampaklah wajahnya menjadi semburat merah. Suaranya menjadi semakin dalam dan hampir-hampir tidak terdengar. Lalu sambungnya,
“Dalam saat seperti itu. datanglah gembala yang menyebut dirinya bernama Gupita. Ia mencoba melepaskan aku dari tangan Ki Peda Sura, sehingga ketika kami melawan bersama-sama, Ki Peda Sura itu terluka.”

Ki Argapati mendengar ceritera itu dengan dada berdebar-debar. Ia menjadi semakin yakin, bahwa orang bercambuk itu mempunyai kepentingan dengan daerah ini. Meskipun ia tidak tahu, kepentingan apa saja yang mengikatnya, namun kehadirannya dalam keadaan seperti ini membuat Ki Argapati berharap-harap cemas. Berbeda dengan tanggapan orang-orang lain yang berada di ruangan itu yang menganggap bahwa kehadiran anak muda yang menyebut dirinya Gupita sebagai suatu kurnia, maka Wrahasta yang bertubuh raksasa itu menangkapnya dari sudut yang berbeda. Ketika dengan sudut matanya Pandan Wangi mencoba melihat kesan di wajah Wrahasta, maka terasa sebuah desir yang lembut menyentuh jantungnya. Wajah anak muda yang bertubuh raksasa itu mejadi tegang. Dan sejenak kemudian dengan suara gemetar ia berkata,
“Apakah Ki Gede dapat mempercayainya?”
Ki Gede menggerakkan kepalanya. Ia mengerutkan keningnya ketika tampak olehnya wajah Wrahasta yang menegang.
“Maksudmu, ceritera Pandan Wangi?” bertanya Ki Gede.
“Bukan,” jawab Wrahasta.
“Mungkin Pandan Wangi mengatakan sebenarnya apa yang dialaminya. Tetapi anak yang menamakan dirinya Gupita itu.”
Ki Gede tidak segera menjawab. Tapi tampaklah keheranan terpancar di pandangan matanya.
“Kita sama sekali belum mengenalnya dengan baik. Kita tidak tahu, apakah maksudnya menolong Pandan Wangi,” sambung Wrahasta. “Apakah itu bukan sekedar suatu permainan yang sudah diatur olehnya dengan Sidanti dan Peda Sura?”
Pandan Wangi terkejut mendengarnya. Maka tanpa sesadarnya ia menyahut,
“Ki Peda Sura sendiri terluka pada saat itu.”
Tiba-tiba saja Wrahasta tertawa pendek. Dengan wajahnya yang aneh ia menjawab,
“Itu mungkin sekali. Dengan demikian ia akan berhasil mengelabuhi tanggapanmu atasnya. Gembala itu akan mendapat kepercayaan daripadamu dan terlebih-lebih lagi dari Ki Gede. Dalam suatu kesempatan ia akan menikam kita dari belakang.” Wrahasta berhenti sejenak. Suara tertawanya telah lenyap. Dan dengan bersungguh-sungguh ia berkata,
“Tetapi seandainya tidak demikian, seandainya ia tidak mempunyai hubungan dengan Sidanti maka ia pasti akan memanfaatkan keadaan di Tanah Perdikan ini. Ia mungkin sekali akan mengail di air keruh untuk kepentingan pribadinya.”
Sekali lagi wajah Pandan Wangi menjadi semburat merah, bibirnya menjadi gemetar, tetapi tidak sepatah kata  pun yang meloncat. Sementara itu Samekta dan Kerti menarik nafas dalam-dalam. Tanpa mereka sengaja mereka berpaling dan saling memandang. Dari loncatan sorot mata mereka, mereka telah saling berbicara. Mereka segera dapat menangkap isi hati masing-masing. Dan mereka seolah-olah berbicara satu sama lain,
“Wrahasta merasa tersinggung, kenapa bukan ia sendirilah yang menolong Pandan Wangi. Lebih daripada itu ia merasa kuwatir, bahwa anak muda yang bernama Gupita itu dapat mengganggu hubungan yang sedang dirintisnya dengan Pandan Wangi.” Namun orang-orang tua itu tidak segara ikut serta menanggapi persoalan itu secara langsung. Mereka harus berhati-hati. Dalam keadaan serupa ini, setiap percikan kekecewaan akan dapat mengganggu keadaan yang semakin lama menjadi semakin gawat.

Ki Gede yang tidak mengerti persoalan yang sebenarnya tidak segera menjawab. Tetapi keheranannya masih membayang di wajahnya. Kenapa tanggapan Wrahasta terlampau miring. Padahal orang-orang yang menyatakan ciri pribadi mereka dengan cambuk itu, telah menunjukkan maksud baik mereka. Tetapi Ki Gede tidak segera menyahut. Dicobanya untuk mengerti tanggapan Wrahasta. Betapa  pun buramnya, namun Ki Gede melihat juga arah yang dapat dipakai sebagai dasar pikiran Wrahasta.
“Wrahasta terlampau hati-hati,” berkata Ki Gede di dalam hatinya.
“Ia sendiri belum pernah mengenal orang-orang bercambuk itu, sehingga kecurigaannya itu pun beralasan.”
Dengan demikian maka ruangan itu menjadi sepi sejenak. Namun di dalam kesenyapan itu, dada Pandan Wangi telah digelisahkan oleh gemuruhnya perasaannya. Ia mengerti, apakah sebabnya Wrahasta bersikap demikian. Sebagai seorang gadis ia merasakan getaran yang memancar dari hati anak muda yang bertubuh raksasa itu. Tetapi sebagai seorang gadis ia  pun merasakan getar di dalam dadanya sendiri, apabila ia mengenang, atau berbicara apalagi menyebut nama anak muda yang menyebut dirinya sebagai seorang gembala itu.
Dalam keheningan itu terdengar Ki Argapati bertanya,
“Pandan Wangi, aku ingin mendengar, apakah yang sebenarnya telah terjadi atasmu pada saat kau bertempur melawan Ki Peda Sura. Aku ingin kau berceritera dari awal sampai akhir, berurutan seperti apa yang telah terjadi sebenarnya.”
Terasa dada Pandan Wangi berdentangan. Sebenarnya ia memang ingin menceriterakan, sehingga bagian-bagian yang paling kecil sekalipun. Ia ingin berceritera bahwa anak muda itu telah menolongnya sehingga mereka jatuh berguling di atas tanah yang kotor. Ia ingin berceritera bahwa anak muda yang menyebut dirinya bernama Gupita itu menarik tangannya berlari-lari di atas pematang dan tanah yang becek berlumpur. Di atas genangan air yang memantulkan cahaya bulan yang penuh, yang bergayutan di langit yang biru bersih.
Tiba-tiba Pandan Wangi itu mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Ia menggeram di dalam hatinya,
“Tidak. Aku adalah seorang dari sekian banyak pengawal Tanah Perdikan ini. Yang menarik perhatianku seharusnya bukan pantulan cahaya bulan yang bulat. Bukan birunya langit yang digantungi oleh bintang gemintang. Bukan selembar awan putih yang hanyut dalam hembusan angin dari samodra. Bukan. Bukan. Yang penting bagiku, Peda Sura telah kami lukai. Aku telah berhasil melepaskan diri dari tangannya dan pasukanku telah berhasil mengundurkan diri dengan korban yang sekecil-kecilnya.”
Namun justru dengan demikian, tidak sepatah kata  pun yang meloncat dari bibirnya.
Samekta dan Kerti  pun menjadi berdebar-debar pula. Ia tahu betapa sulitnya Pandan Wangi mengatakan apa yang telah dialaminya menilik ceriteranya yang baru dikatakannya sepotong-sepotong. Apalagi ketika mereka melihat, wajah Wrahasta yang menjadi tegang. Apabila Pandan Wangi menceriterakan sekali lagi, bahkan lebih banyak lagi tentang anak muda yang mengaku sebagai seorang gembala itu, maka mereka menjadi cemas bahwa perasaan Wrahasta akan benar-benar terluka. Karena itu, maka sebelum Pandan Wangi dapat mengatasi kebimbangannya, terdengar Samekta berkata,
“Ki Gede, ada banyak soal yang harus kita bicarakan. Sebenarnya Ki Gede masih harus banyak beristirahat. Karena itu, sebaiknya ceritera-ceritera itu dapat ditunda untuk lain kali. Sekarang kami mengharap Ki Gede menenteramkan hati, dan apabila mungkin tidur meskipun hanya sekejap.”
Ki Gede mengerutkan keningnya. Tetapi kemudian ia berkata sambil tersenyum,
“Kau benar Samekta. Aku memang harus beristirahat. Tetapi mendengarkan ceritera Pandan Wangi bagiku merupakan suatu kesegaran baru di dalam diri yang tegang selama ini. Aku akan berbangga dan bahkan mengagumi anak ini. Dengan demikian, segala kepahitan atas kekalahan yang aku alami ini akan terhibur karenanya.”
“Tetapi bukankah Ki Gede tidak kalah?” potong Kerti,
“Semua yang terjadi, sehingga Ki Gede menderita luka, bukanlah suatu kekalahan. Tetapi itu adalah suatu kecurangan. Ki Gede tidak akan terluka apabila Ki Tambak Wedi sanggup bertempur beradu dada.”

Ki Gede tidak segera menjawab. Namun tiba-tiba saja Pandan Wangi menyahut,
“Apakah Tambak Wedi berbuat curang sehingga Ayah terluka parah di dadanya?”
Kerti mengangguk. Jawabnya,
“Akalmu telah membawa aku menyaksikan apa yang terjadi. Karena kami menyangka bahwa kau lari lagi dari halaman dan pergi ke Pucang Kembar, maka aku  pun telah pergi ke sana pula. Agaknya kau memang bermaksud demikian.”
Pandan Wangi tidak menyahut, tetapi kepalanya ditundukkannya dalam-dalam, seolah-olah ia sedang mencoba menyembunyikan perasaan yang mengambang di wajahnya.
“Hem,” tiba-tiba Samekta menarik nafas dalam-dalam,
“Kita telah terlibat lagi dalam suatu pembicaraan. Biarlah Ki Gede beristirahat sejenak, agar lukanya menjadi semakin baik. Apalagi apabila Ki Gede dapat tidur. Karena itu, maka marilah kita tinggalkan ruangan ini.”
Mereka yang berdiri di seputar pembaringan Ki Gede itu saling berpandangan sejenak. Kemudian terdengar suara Kerti,
“Baiklah. Sekarang marilah kita tinggalkan ruangan ini. Ki Gede memang perlu beristirahat.”
Ketika Kerti dan Samekta berpaling ke arah Wrahasta, maka dilihatnya wajah anak muda itu masih juga tetap tegang.
“Marilah, Wrahasta,” berkata Kerti sareh.
Wrahasta masih ragu-ragu sejenak. Namun kemudian ia bergumam, “Marilah.”
Kerti mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya kepada Ki Gede,
“Kami minta diri sejenak, Ki Gede. Kami masih menyimpan banyak persoalan. Nanti apabila Ki Gede sudah beristirahat, kami akan menyampaikan persoalan-persoalan itu.”
Ki Gede mengerutkan keningnya. Ia menjadi ragu-ragu untuk sejenak. Terasa sesuatu yang kurang wajar terjadi di antara orang-orangnya itu. Tetapi ia tidak dapat meraba, apakah yang kurang itu. Meskipun demikian ia mengangguk sambil berkata,
“Silahkan. Silahkan. Aku memang ingin beristirahat. Tetapi aku minta Pandan Wangi tetap berada di sini menungguiku. Mungkin aku haus atau lapar atau memerlukan apa pun.”
“Tentu, Ayah,” sahut Pandan Wangi dengan serta-merta sebelum orang lain menyahut. Ia tidak mau apabila ia harus menyingkir pula dari samping ayahnya. Ia ingin menungguinya, dan lebih daripada itu, serasa dadanya dipenuhi oleh ceritera yang harus ditumpahkannya kepada ayahnya. Hanya kepada ayahnya.

Samekta dan Kerti saling berpandangan sejenak. Tanpa mereka sadari keduanya memandang Wrahasta dengan sudut mata mereka. Untunglah bahwa Wrahasta tidak memperhatikan sikap itu sehingga tidak menimbulkan persoalan apa  pun di dalam dirinya. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya Kerti berkata,
“Wangi, ayahmu minta kau tetap menungguinya. Layanilah. Kami akan minta diri sejenak.”
“Silahkanlah, Paman,” sahut Pandan Wangi.
Sejenak kemudian maka ruangan itu  pun telah menjadi lengang. Yang tinggal di dalamnya adalah Ki Argapati yang berbaring di pembaringan bambu dan Pandan Wangi, yang menungguinya duduk di pembaringan itu pula. Sementara itu Samekta, Kerti, Wrahasta, dan para pemimpin yang lain pergi ke tempat yang mereka pergunakan sebagai pusat pimpinan sementara pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh.
Supaya persoalan mereka, terutama Wrahasta, terbatas pada masalah Tanah Perdikan, tidak langsung menyentuh soal pribadi, maka Samekta segera membawa mereka ke dalam suatu pembicaraan mengenai laporan yang didengarnya, bahwa seseorang dari desa ini telah lolos untuk melaporkan keadaan Ki Gede yang senyatanya kepada Ki Tambak Wedi.
“Laporan itu berbahaya bagi kita di sini,” berkata Samekta,
“sebab apabila Ki Tambak Wedi yakin akan keadaan Ki Argapati, maka ia akan segera mengambil keputusan.”
Kerti dan Wrahasta mengangguk-anggukkan kepala mereka. Bahaya itu memang terbayang di dalam kepala mereka. Apabila dalam saat yang pendek Sidanti membawa seluruh pasukannya ke desa ini, maka keadaan akan menjadi sangat gawat. Meskipun seluruh pasukan pengawal yang tersebar di segala tempat ditarik, maka untuk mempertahankan diri, pasti akan terlampau sulit.


Halaman 1 2 3


<<< Jilid 037                                                                                                       Jilid 039 >>>

Tidak ada komentar:

Posting Komentar