Nafasnya mulai mengganggunya, dan ketuaannya agaknya berpengaruh juga atas kelincahannya, meskipun sebenarnya ia tidak perlu berjalan tertatih-tatih dan tersuruk-suruk. Orang tua yang merasa dirinya terdesak itu segera mengerahkan tenaganya. Dicobanya untuk mengimbangi kemampuan lawannya. Tetapi ternyata bahwa lawannya pun berusaha sekuat tenaganya untuk segera mengakhiri perkelahian itu. Dalam keadaan serupa itu, maka tidak ada jalan lain bagi orang tua itu daripada melarikan diri. Ia merasa bahwa ia mempunyai kecakapan yang melebihi orang-oran kebanyakan. Ia mampu berlari cepat sekali. Namun sebelum ia mulai melepaskan langkah pertamanya, tiba-tiba sekali lagi mereka dikejutkan oleh gemerisik dedaunan di sekitar mereka. Pengawal Tanah Perdikan Menoreh itu meloncat surut ketika ia melihat bahwa orang yang datang itu adalah orang Sidanti.
“Hem, aku
sudah menyangka,” desis orang itu.
“Apa?”
bertanya orang tua yang hampir kehabisan nafas sambil bertolak pinggang.
“Aku menyangka
bahwa perjalananmu terganggu.” Kemudian ia berpaling kepada petugas sandi yang
baru saja berkelahi itu,
“Kau dapat
menemukannya, bahwa ia adalah seorang petugas kami?”
Pengawal Tanah
Perdikan Menoreh itu menjawab,
“Kita adalah
orang-orang Menoreh. Sudah tentu kita sudah pernah saling bertemu dan saling
mengenal meskipun belum begitu rapat. Aku juga pernah mengenal kau sebagai
bekas pengawal tanah perdikan ini. Kau
pun pasti sudah mengenal aku pula.”
“Bukan aku
yang bekas pengawal tanah perdikan ini, tetapi kau.”
Pengawal itu
mengerutkan keningnya. Ditatapnya kedua orang pengikut Sidanti itu
berganti-ganti.
“Jangan
menyesal, karena kau mengikuti aku,” berkata orang tua itu.
“Memang sudah
lazimya terjadi di daerah peperangan. Kalau seseorang gagal membinasakan
lawannya, maka ia sendirilah yang mungkin akan menjadi binasa. Bukankah
begitu?”
Pengawal itu
menganggukkan kepalanya.
“Ya, itu sudah
aku sadari sebelumnya.”
Jawaban itu
membuat kedua orang pengikut Sidanti terdiam sejenak. Mereka saling
berpandangan. Mau tidak mau mereka harus mengagumi lawannya, yang menempatkan
dirinya di atas landasan yang mantap. Dan sejenak kemudian pengawal itu berkata
pula,
“Nah, sekarang
bagaimana? Aku tetap dalam pendirianku. Kau, Kek, harus kembali. Bahkan kalau
mungkin kau yang baru saja menyusul, akan aku tangkap pula.”
Orang tua,
yang ternyata petugas sandi itu, menarik nafas dalam-dalam. Katanya,
“Kau terlampau
dibutakan oleh kesetiaanmu yang tidak akan ada artinya, sehingga kau tidak
dapat melihat yang terbentang di hadapan hidungmu. Kau berdiri berhadapan
dengan kami berdua. Melawan aku sendiri kau tidak segera dapat menang. Sehingga
menurut takaran yang wajar, kau tidak akan menang melawan kami berdua
bersama-sama. Tetapi kau masih juga berkata akan membawa aku kembali dan
menangkap kawanku ini.”
“Apa pun yang akan terjadi atasku.”
Lawannya, yang
datang kemudian, tertawa pendek. Katanya,
“Orang-orang
yang sampai saat ini masih juga menjadi pengikut Argapati memang tergolong
orang-orang gila serupa ini.”
“Terserahlah
menurut penilaianmu. Sebab aku yakin, bahwa kau sendiri sebenarnya dapat
menimbang, menilai dan membuat perbandingan-perbandingan, antara Ki Argapati
dan Sidanti. Siapakah yang salah dan siapakah yang benar.”
“Aku sudah
menyangka, bahwa kau akan berpendirian serupa itu. Orang-orang semacam kau ini
memang dapat berbuat membabi buta sampai sisa nyawamu yang terakhir. Karena
itu, kami memang tidak dapat berbicara dengan kau. Yang dapat kami lakukan
adalah memaksa kau dengan kekerasan untuk melihat ke-nyataan, bahwa mayatmu
akan terkapar di pategalan ini. Dengan demikian maka kedatanganku di sini tidak
akan sia-sia. Sebab sesuai dengan perhitungan Sidanti, memang mungkin sekali
seseorang akan mengikuti kakek ini keluar. Ternyata perhitungan itu benar.
Sedang kalau aku tidak juga segera kembali, maka tidak mustahil Sidanti akan
mengirimkan lagi lebih dari satu orang untuk menjemput aku. Jika demikian, maka
kami berharap dapat menangkap kau hidup-hidup. Keterangammu tentang Ki Argapati
dan daerah pertahanannya yang terakhir pasti akan sangat kami butuhkan.
Betapa pun juga kau bersumpah setia,
namun kami akan berusaha memeras segala macam keterangan dari mulutmu. Selama
kulitmu masih belum sekeras baja, dan dagingmu belum menjadi batu.”
Pengawal Tanah
Perdikan Menoreh itu mengerutkan keningnya. Debar di dalam dadanya menjadi
semakin cepat. Apa yang dikatakan oleh kedua orang itu memang tidak mustahil
akan terjadi atas dirinya apabila ia berhasil ditangkap hidup-hidup.
“Aku masih
belum terlampau jauh dari regol desa. Kalau aku berbasil membawa mereka keluar
dari pategalan ini, meloncati tikungan, maka pasti akan ada seorang yang dapat
melihat kami,” berkata orang itu di dalam hatinya. Maka dengan demikian ia
bertekad untuk dengan segala cara menyelesaikan tugasnya sebaik-baiknya. Tetapi
ia pun menyadari akibat yang paling
parah dapat terjadi atasnya pula.
Orang itu
mengangkat wajahnya ketika ia mendengar orang itu, petugas sandi Sidanti itu
berkata, “Bagaimana? Apa sudah kau pertimbangkan? Mati atau ikut kami. Ada dua
kemungkinan dapat terjadi atasmu apabila kau berada di antara kami. Kalau kau
menyerah dengan suka rela dan memberikan keterangan dengan sejujur-jujurnya,
kau akan mendapat tempat yang baik. Tetapi kalau kau terpaksa kami tangkap
dengan kekerasan, akibatnya akan lain.”
“Kemungkinan-kemungkinan
itu semuanya tidak aku kehendaki,” jawab pengawal itu.
“Aku sudah
menduga, karena itu, kami terpaksa melumpuhkan kau. Kalau mungkin menangkap kau
hidup-hidup. Kalau tidak membunuhmu dan membiarkan bangkaimu dimakan anjing
liar di pategalan ini.”
Pengawal itu
tidak menjawab. Tetapi ia telah bersiaga sepenuhnya. Kedua pisaunya yang telah
siap di tangannya digengggamnya erat-erat.
Kedua petugas
dari pihak Sidanti itu pun segera
bersiap pula. Keduanya saling berpencar dan mencari sudut-sudut serangan dari
arah yang berbeda. Kakek tua dengan keris kecilnya seolah-olah mendapat tenaga
baru di dalam dirinya, sedang orang yang baru datang itu, benar-benar masih
cukup segar. Selain dari kesegaran tubuhnya, maka di tangannya tergenggam
sehelai senjata panjang. Pedang.
Tetapi
Pengawal yang hanya seorang diri itu tidak akan menyerah. Ia dapat berusaha
sedikit demi sedikit berkisar dari tempatnya, dan muncul di tempat yang
terbuka, dengan harapan orang-orang yang berada di regol padesan tempat
pemusatan pasukan Menoreh dapat melihatnya, meskipun tidak terlampau jelas.
Tetapi titik-titik yang bergerak-gerak pasti akan menarik perhatian mereka. Kedua
pihak kini tidak lagi saling berbicara. Mereka telah berada dalam kesiagaan
yang tertinggi. Seperti mendung yang hitam tebal tergantung di langit. Demikianlah
maka sejenak kemudian mereka telah terlibat dalam perkelahian yang seru.
Seorang berhadapan dengan dua orang. Dengan segala kemampuan yang ada padanya,
pengawal Tanah Perdikan Menoreh itu bertahan. Sesuai dengan rencananya, maka
ia pun segera bergeser dari satu titik
ke titik yang lain. Supaya lawan-lawannya tidak segera menyadari caranya, maka
arah yang pertama-tama ditempuh justru masuk semakin dalam ke dalam pategalarn.
Namun kemudian melingkar-lingkar dan bergeser perlahan-lahan menepi. Tetapi
ternyata kedua lawannya bukan orang-orang yang berotak terlampau tumpul. Sesaat
kemudian dada pengawal itu menjadi berdebar-debar ketika ia mendengar salah
seorang lawannya berkata,
“Ha, kau akan
memancing kami keluar dari pategalan ini. Dengan demikian kau akan mengharap,
kawan-kawanmu di regol padesan sebelah dapat melihat kita yang sedang
berkelahi.”
Pengawal itu
menggeram. Sejenak kemudian dikerahkannya segenap kemampuannya sambil
menggeretakkan giginya. Tetapi betapapun juga, menghadapi dua orang lawan yang
mempunyai kemampuan yang cukup, adalah pekerjaan yang terlampau berat baginya.
Sedangkan ia sadar kalau ia tidak berhasil, maka rahasia tentang Ki Gede yang
parah itu akan segera sampai ke telinga Ki Tambak Wedi.
Kalau Ki
Tambak Wedi kemudian dapat mendengar tentang keadaan Ki Argapati maka tidak
mustahil, bahwa ia akan memanfaatkan keadaan. Ki Tambak Wedi dapat mengambil
kesempatan selagi Ki Argapati masih belum dapat bangkit dari pembaringannya dan
memimpin perlawanan.
“Tidak ada
orang lain yang dapat melawan Ki Tambak Wedi selain Ki Argapati,” berkata
pengawal itu di dalam hatinya. Tetapi dalam pada itu ia pun harus mengakui kenyataan, bahwa ia tidak
akan dapat mengalahkan kedua lawannya itu, Betapapun juga caranya. Apalagi
kedua lawannya itu mengerti, bahwa ia akan membawa mereka ke luar dari
pategalan supaya para pengawal yang bertugas di regol desa dapat melihat mereka
yang sedang berkelahi.
Tetapi agaknya
kedua orang itu tidak mau dipancingnya untuk hal itu.
“Jangan banyak
tingkah,” berkata salah seorang dari kedua orang yang berpihak kepada Sidanti,
“Kau hanya
dapat memilih, menyerah atau terbunuh.”
Pengawal itu
tidak menyahut, tetapi terdengar ia menggeram. Tandangnya menjadi semakin
garang. Sepasang pisau belatinya menyambar-nyambar dengan dahsyatnya. Namun
untuk mengatasi kedua lawannya memang terlampau sulit.
Semakin lama
maka semakin ternyata, bahwa ia menjadi kian terdesak. Tidak ada lagi usaha
yang dapat dilakukan. Seandainya ia berkeras hati untuk bertempur terus, maka
sudah dapat dipastikan bahwa ia akan mati. Kematiannya tidak akan banyak
memberikan arti bagi Menoreh. Sebab mayatnya akan berkubur tanpa diketahui oleh
siapa pun juga. Tidak ada orang yang
tahu, apakah yang sudah terjadi atasnya dan tidak akan ada orang yang tahu
bahwa seseorang akan menyampaikan berita, keadaan Ki Gede kepada Ki Tambak
Wedi.
“Aku harus
mencobanya,” berkata pengawal itu.
Maka sekali
lagi ia mencobakan caranya. Memancing kedua lawannya menepi. Tetapi setiap kali
lawannya itu tertawa sambil berkata,
“Ha, kami
bukan anak-anak yang dapat kau jerat dengan permainanmu.”
“Persetan!”
teriak pengawal itu.
“Aku pun tidak mau mati di tangan kalian berdua.”
“Mau tidak
mau, kami akan membunuhmu.”
Tetapi setiap
kali pengawal itu selalu menghindar dan berloncatan menjauh.
“Pengecut!”
teriak orang-orang Sidanti,
“Kau ternyata
tidak cukup jantan untuk melakukan tugas sandimu.”
“He,” orang
itu tertawa pendek,
“seorang
petugas sandi kadang-kadang memang memerlukan sikap yang licik. Bahkan kadang
kadang curang. Katakan, apakah kalian cukup jantan juga berkelahi berpasangan
melawan aku seorang diri?”
“Tetapi kau
sudah terjun ke arena. Prajurit hanya dapat dihentikan oleh maut apabila ia
bertempur.”
“Hanya
prajurit-prajurit yang tidak mempunyai otaklah yang berpendirian demikian.
Kakek ini pun tidak berbuat demikian. Setelah ia terjun dalam perang tanding
melawan aku, maka ia telah mengingkari kejantanannya dengan membiarkan kau ikut
bersamanya, bersama-sama mengeroyok aku.”
“Persetan!”
sahut kakek tua.
“Apa pun yang sudah kita lakukan maka aku
berkeputusan, kau harus dibinasakan.”
Pengawal Tanah
Perdikan Menoreh itu tidak sempat untuk menjawab. Kedua lawannya mendesaknya
semakin sengit. Tetapi ia telah bertekad untuk menghindarinya apabila keadaan
memang terlampau sulit baginya. Sebab hal itu akan lebih baik bagi pasukannya.
Mereka dapat mengerti dan mempersiapkan diri sebelumnya.
Tetapi ia
harus menyesal, bahwa ia terpaksa melepaskan orang yang hampir-hampir dapat
ditangkapnya itu. Orang itu pasti membawa berita tentang Ki Argapati sampai ke
telinga lawan-lawannya.
“Apa boleh
buat,” katanya di dalam hati, “Aku tidak mampu mengatasinya.”
Dengan
demikian maka ia berusaha untuk menghindarkan diri dari perkelahian itu. Kedua
orang lawannya pun tidak berani mengejarnya terus, sebab dengan demikian,
mereka akan keluar dari pategalan dan pasti akan menumbuhkan kecurigaan kepada
orang-orang Menoreh di padesaan sebelah.
“Hem, kau
benar-benar akan lari,” berkata kakek tua itu,
“baiklah.
Bukan aku yang menyusul kau, tetapi kaulah yang menyusul aku. Aku tahu
maksudmu, supaya aku tidak dapat menyampaikan berita sakitnya Ki Argapati
kepadi Sidanti. Tetapi kau tidak berhasil. Kau terpaksa membiarkan kami pergi.
Kami akan segera menyampaikan berita itu, dan kau dapat membayangkan akibatnya.
Tanpa Argapati, prajurit Menoreh akan menjadi lumpuh. Dengarlah bahwa di pihak
Sidanti ada nama-nama Ki Tambak Wedi, Sidanti sendiri, Ki Argajaya, Ki Peda
Sura, dan masih banyak lagi. Siapakah yang berada di pihakmu? Pandan Wangi?
Cobalah renungkan. Dari mana kalian akan memenangkan peperangan ini? Seandainya
kekuatan prajurit di kedua belah pihak seimbang, maka senapati-senapatinyalah
yang akan menentukan kemenangan.”
“Ada kelebihan
di pihak kami yang tidak kalian miliki,” jawab pengawal itu,
“yaitu
pengabdian yang tulus. Kau tidak. Kau juga tidak. Orang-orang di pihakmu
berkelahi karena pamrih-pamrih pribadi.”
“Pamrih-pamrih
itulah yang telah mendorong kami untuk bertekad memenangkan peperangan ini.
Pamrih-pamrih yang kami sadari. Bukan kesetiaan yang buta seperti kalian. Sebab
orang-orang seperti kalian tidak lebih dari pancadan-pancadan yang hidup tetapi
tidak mampu untuk berpikir. Kalian akan menjadi alat tempat orang-orang besar
di pihakmu itu berdiri.”
“Itulah tekad
kami. Sebab kami percaya bahwa orang-orang yang akan berdiri di atas kami
adalah orang-orang yang benar berwenang dan benar-benar orang yang akan
berpikir tentang kami dan Tanah kami.”
Hampir
bersamaan kedua orang itu tertawa. Salah seorang daripada mereka itu berkata,
“Jadilah
seperti yang kau ingini. Tetapi bagaimana sekarang? Mati, atau menyerah atau membiarkan
kami membawa berita tentang keadaan Ki Gede Menoreh?”
Pengawal itu
tidak menjawab. Ia benar-benar tersudut dalam keadaan tanpa dapat memilih.
Karena itu, maka kini ia berdiri tegak dengan sepasang senjata di tangannya,
namun ia tidak berbuat sesuatu ketika kedua lawannya itu melangkah surut,
“Biarlah kami ampuni kau sekali ini. Kau akan tetap hidup. Sebab aku tidak mau
kau seret ke luar pategalan ini.”
Pengawal itu
tidak menjawab. Kenyataan itu harus dihadapinya. Ia memang tidak mampu untuk
melawan kedua pengikut Sidanti itu, betapa
pun juga ia memeras tenaganya. Tetapi ia
pun tidak mau mati sebelum menyampaikan kabar tentang petugas sandi itu
kepada pimpinannya.
Karena itu,
dengan hati yang bergolak ia terpaksa membiarkan kedua orang itu beringsut
semakin jauh. Apalagi ketika ia mendengar salah seorang dari mereka tertawa
sambil berkata,
“Selamat
tinggal. Berita tentang Ki Gede Menoreh akan segera tersebar. Tetapi
mudah-mudahan Argapati sendiri tidak sempat mendengarnya karena lukanya yang
parah itu. Aku tidak yakin kalau ia akan dapat disembuhkan oleh dukun yang
betapa pun pandainya.”
Yang terdengar
adalah gemeretak gigi pengawal itu. Perasaannya menjadi terlampau pahit
mengalami peristiwa yang mengecewakan itu. Ia terpaksa membiarkan lawan-lawannya
pergi sambil mentertawakannya. Sedang suatu berita yang sangat penting akan
mereka bawa kepada lawan. Sejenak kemudian kedua orang itu pun lenyap di balik dedaunan yang rimbun,
seperti lenyapnya harapan petugas sandi dari pengawal Tanah Perdikan Menoreh
itu untuk mempertahankan rahasia tentang sakitnya Ki Argapati.
“Peronda-peronda
di gardu itu terlampau malas,” ia menggeram.
“Tidak
seorang pun yang melihat, apa yang
telah, terjadi di sini.”
Dengan penuh
penyesalan ia melangkahkan kakinya kembali kepada pemimpinnya untuk segera
melaporkan peristiwa itu. Di dalam kepalanya telah terbayang berbagai
kemungkinan yang pahit bagi pasukan Menoreh. Ki Tambak Wedi pasti akan segera
mempergunakan kesempatan untuk menghantam pasukan induk yang masih belum berhasil
menghimpun diri sebaik-baiknya itu. Apalagi Ki Argapati sedang terluka parah
dan Pandan Wangi sedang dibebani oleh perasaan duka seorang gadis yang sedang
nenunggui ayahnya yang sudah mulai dibelai oleh tangan-tangan maut.
Dalam pada
itu, tanpa setahu pengawal itu, sepasang mata selalu mengikutinya dari balik
rimbunnya dedaunan. Dengan ragu-ragu seseorang melihat segala peristiwa yang
terjadi. Hampir-hampir ia tidak dapat menahan diri lagi, dan menerjunkan diri
dalam arena perkelahian itu. Tetapi ia selalu memegang pesan seseorang yang
diseganinya. Dan pesan itu berbunyi,
“Jangan
langsung mencampuri persoalan Tanah Perdikan Menoreh. Kita harus menunggu,
apabila saat itu telah datang, barulah kita menyatakan diri dalam sikap yang
pasti. Kini kita akan berbuat dalam kesempatan-kesempatan yang sangat terbatas.
Kita mengharap bahwa orang-orang yang sedang bertengkar itu menemukan
penyelesaian yang tidak terlampau parah.”
Orang itu
menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya pengawal yang dengan tergesa-gesa
meninggalkan petegalan itu.
“Keadaan sudah
terlampau parah,” desisnya.
“Aku kira
tidak akan ada jalan untuk kembali dan menghindari benturan-benturan yang lebih
dahsyat lagi. Tetapi baiklah, aku menunggu. Mungkin satu dua hari akan segera
ternyata, sikap apa yang akan kami ambil.”
Sambil
mengangguk-anggukkan kepalanya ia pun
segera meninggalkan pategalan itu sambil bergumam,
“Aku harus
melaporkannya. Kalau Ki Tambak Wedi mengetahui keadaan Ki Argapati, maka
keadaan memang dapat menjadi semakin panas.”
Maka dengan
sigapnya orang itu segera meloncat menyusup di antara rimbunnya pepohonan,
sambil mengikatkan sebuah cambuk yang berjuntai panjang di bawah bajunya.
Sementara itu,
pengawal yang baru saja berkelahi dengan orang-orang Sidanti berjalan semakin
lama semakin cepat, bahkan berlari-lari kecil. Dengan nafas terengah-engah ia
mendekati regol. Belum lagi ia mendekat terdengar ia mengumpat,
“Kalian adalah
orang-orang gila yang malas.”
Pemimpin
pengawal yang sedang bertugas mengerutkan keningnya, “Kenapa?”
“Kalian telah
berbuat suatu kesalahan, sehingga orang tua yang berjalan tersuruk-suruk itu lolos
dari tanganku.”
“Kenapa justru
aku yang bersalah,” bertanya pemimpin itu.
“Aku tidak
mampu melawan mereka berdua.”
“Berdua?”
“Ya. Dan kau
tidak mengirimkan seorang pun untuk
melihat apa yang telah terjadi. Kalau aku mati di pategalan itu, maka tidak
seorang pun yang tahu, apa yang telah terjadi dan bahwa berita tentang sakitnya
Ki Gede yang parah itu telah sampai ke telinga Tambak Wedi.”
“He, apakah
kau sedang bermimpi. Cobalah, katakan apa yang sebenarnya terjadi. Orang tua
yang tersuruk-suruk hampir mati itu dapat lolos dari tanganmu?”
“Kalian bukan
petugas sandi. Tetapi kalian harus dapat memperhitungkan bahwa gila sekali
apabila Sidanti benar-benar mengirimkan orang yang sudah tidak tegak lagi
berjalan.”
Mereka saling
berpandangan. Dan mereka mendengar petugas sandi itu menceriterakan serba
singkat, apa yang telah terjadi.”
“Sidanti
mengirimkan orangnya untuk melihat apa yang terjadi atas petugas sandinya, ketika
menurut perhitungannya jarak yang ditetapkannya terlampau jauh.”
“Jarak yang
mana?”
“Antara panah
sendaren dan kedatangan orang yang mengirimkannya.”
Pemimpin
pengawal itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia merasa bahwa ia tidak cukup
cepat menanggapi keadaan. Tetapi ia masih juga berkata,
“Tetapi aku
tidak dapat memperhitungkan waktu serupa itu. Aku melepaskan kau mengikuti
orang tua itu. Aku tidak tahu batas waktu yang kau perlukan. Aku kira kau
sedang mengikutinya sampai ke pinggir sungai untuk kemudian membenamkan orang
tua itu ke dalamnya.”
Petugas sandi
itu tidak menjawab. Tetapi ia bergumam,
“Aku harus
segera melaporkannya.”
Pemimpin
peronda itu pun bergumam,
“Kita meningkatkan
kewaspadaan. Keadaan akan cepat meningkat.”
“Nah, bukankah
hal itu kau sadari,” sahut pengawal yang baru saja bertempur melawan
orang-orang Sidanti itu.
“Kami, seisi
padesan ini, dan bahkan seluruh pasukan Menoreh akan menyadarinya. Sekarang,
sampaikan laporan itu, supaya kami mendapat perintah secara resmi, apa yang
harus kami lakukan di sini dan mungkin di seluruh daerah yang masih setia
kepada Ki Argapati.”
Petugas sandi
itu pun mengangguk-anggukkan kepalanya.
Kemudian ditinggalkannya regol desa itu, dan dengan tergesa-gesa pergi menemui
pimpinan tertinggi pengawal Tanah Perdikan Menoreh, Samekta yang sedang
menunggui Ki Argapati yang sedang sakit.
Sementara itu,
Ki Argapati yang sedang terbaring, masih juga memejamkan matanya. Sekali-sekali
ia menarik nafas dalam-dalam, dan sekali-sekali ujung ibu jari kakinya
bergerak-gerak. Namun kemudian diam kembali, seolah-olah sedang membeku. Pandan
Wangi mengerti, bahwa ayahnya sedang memusatkan segenap kemampuannya, untuk
menenangkan dirinya. Ayahnya sedang mengatasi kesulitan yang terjadi di dalam
tubuhnya akibat benturan racun dari senjata Ki Tambak Wedi dan obat yang
ditaburkan di atas luka itu. Namun dalam kegelisahan ia sekali lagi bertanya
perlahan-lahan kepada Kerti,
“Paman,
manakah orang itu? Apakah ia akan menunggu sampai terlambat?”
“Tidak,
Ngger,” bisik Kerti, “tentu tidak. Sebentar lagi ia akan datang.”
Namun dalam
pada itu, Kerti telah dicengkam oleh. kegelisahannya yang baru. Sebab ia tahu
benar, bahwa tidak seorang pun lagi yang
pergi mencari seorang dukun. Tetapi ia tidak sampai hati untuk mengatakannya
kepada Pandan Wangi yang kecemasan itu.
Samekta yang
mendengar pertanyaan Pandan Wangi itu pun menjadi gelisah pula. Dukun manakah
yang akan dapat mengobati keadaan Ki Gede yang sudah menjadi kian parah itu? Namun
bagaimana pun juga, mereka masih mempunyai tempat untuk menggantungkan harapan.
Mereka yakin akan kekuasan Yang Maha Besar, sehingga segala sesuatu akan sangat
tergantung di tangan-Nya.
Dalam
ketegangan itu, seseorang masuk ke dalam ruangannya langsung menemui Samekta.
Mereka berbisik sejenak, kemudian Samekta bergeser dari tempatnya.
“Seseorang
telah terlibat dalam perkelahian melawan orang-orang Sidanti. Salah seorang
dari mereka keluar dari desa ini. Karena orang itu mencurigakan, maka seorang
petugas sandi mengikutinya. Tetapi kawannya sempat menolongnya, sehingga mereka
lolos.”
Samekta mengerutkan
keningnya. Desisnya,
“Kenapa ia
dapat keluar dari daerah ini tanpa pengawasan?”
“Perhitungan
kami yang salah,” pemimpin pengawal itu menceriterakan dengan singkat apa yang
telah terjadi dengan seorang kakek-kakek dari seorang petugas sandinya.
Samekta
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ketegangan semakin membayangi wajahnya.
Ia sadar, sepertinya pengawal menyadari, bahwa apabila berita itu sampai kepada
Ki Tambak Wedi, dan Ki Tambak Wedi meyakini akan kebenarannya karena mendengar
langsung dari mulut petugasnya, bukan sekedar berita dari mulut ke mulut bahwa
Ki Argapati dalam keadaan parah, maka keadaan akan cepat meningkat.
Karena itu,
maka katanya,
“Kita harus
segera mempersiapkan diri. Untuk sementara semua pasukan supaya ditarik untuk
melindungi desa ini dan desa pengungsian para keluarga. Tempat tempat lain
terpaksa kita lepaskan untuk sementara. Kita tidak boleh terpotong-potong
menjadi sayatan-sayatan kecil yang akan digulung sedikit demi sedikit.”
Pemimpin
pengawal itu menganggukkan kepalanya.
“Tetapi apakah
kau yakin bahwa orang itu orang Sidanti.”
“Menurut
laporannya, agaknya cukup meyakinkan.”
“Di mana orang
itu?”
“Ia menunggu
di luar.”
Samekta segera
melangkah keluar. Ditemuinya petugas sandi yang langsung berkelahi melawan
orang-orang Sidanti. Dan ia pun segera
mengulangi ceriteranya, seperti ceritera pemimpin pengawal itu. Sekali lagi
Samekta mengangguk-anggukkan kepalanya. Kepada pemimpin pengawal itu ia
berkata,
“Hubungi semua
pemimpin. Pasukan berkuda supaya dipersiapkan. Mereka harus dapat mengimbangi
dengan cepat gerakan pasukan Sidanti. Kalau Sidanti datang menyerang, maka
pasukan itu harus meninggalkan tempat ini, menyerang kedudukan-kedudukan
Sidanti yang lemah untuk memecahkan perhatian mereka. Kalau perlu, mereka
terpaksa mengorbankan satu dua rumah yang kelak akan kita perhitungkan untuk
menimbulkan api.”
Pemimpin
pengawal itu menganggukkan kepalanya. Ia menyadari sepenuhnya perintah itu.
“Itulah yang
harus kalian kerjakan untuk sementara. Aku akan membicarakannya nanti, dan
mungkin akan datang perintah berikutnya bagi kalian.”
“Baik,” sahut
pemimpin pengawal itu, yang segera minta diri untuk mempersiapkan semua
kekuatan yang ada di pihak Ki Argapati. Mereka kini tidak akan dapat mundur
lagi. Mereka harus bertahan sampai kesempatan yang terakhir apabila Sidanti
benar-benar menyerang. Dan mereka harus mempersiapkan benar-benar pasukan
berkuda yang akan terbang ke segenap penjuru Tanah Perdikan ini. Cepat
bergerak, dan cepat menghilang apabila keadaan memaksa. Ternyata berita itu
telah membuat Samekta menjadi semakin pening. Tetapi ia tidak akan segera
memberitahukannya kepada Pandan Wangi. Biarlah gadis itu melepaskan diri untuk
sementara dari persoalan perang. Biarlah ia menunggui ayahnya yang sedang
sakit, sebagai seorang gadis yang meletakkan harapannya, bahwa orang yang
sedang sakit itu kini merupakan satu-satunya orang tempat bergantung. Ia
tinggal satu-satunya orang yang akan dapat melindunginya.
Karena itu,
maka diam-diam digamitnya Wrahasta dan Kerti. Mereka bergeser beberapa langkah,
dan dengan perlahan-lahan sekali mereka membicarakan apa yang sebaiknya mereka
lakukan.
“Marilah kita
bicarakan dengan tenang,” minta Wrahasta.
“Tidak
sekarang. Kalian dapat memikirkannya, apakah yang sebaiknya kita lakukan. Kita
tidak akan dapat meninggalkan Ki Gede dalam keadaannya. Aku sudah memberikan
perintah sementara untuk mempersiapkan semua kekuatan di tempat pengungsian dan
desa ini. Tidak terpecah belah, di samping satu kekuatan berkuda yang akan
selalu mengimbangi gerakan Sidanti. Pasukan itu harus dapat bergerak cepat,
mencapai segala penjuru dengan tiba-tiba dan melepaskan diri dengan tiba-tiba.
Kalau perlu mereka harus membuat gerakan di sekitar padukuhan induk untuk
mengelabuhi Sidanti dan Ki Tambak Wedi.”
Wrahasta dan
Kerti mengangguk-anggukkan kepala mereka. Tanpa sesadarnya, mereka berpaling
dan memandang Ki Gede yang sedang terbaring. Sedang Pandan Wangi dengan penuh
kecemasan berdiri di sisinya. Sekali Pandan Wangi meraba tubuh ayahnya.
Tiba-tiba saja ia hampir terpekik. Ketika ia tidak melihat Kerti berdiri di
sampingnya, maka segera ia berpaling mencarinya.
“Paman,” desis
Pandan Wangi ketika tampak olehnya Kerti berdiri bersama Samekta dengan
Wrahasta,
“Tubuh ayah
sudah tidak panas lagi.”
Hampir
terloncat Samekta, Wrahasta, dan Kerti mendekat dengan tergesa-gesa. Hampir
bersamaan pula mereka meraba kaki Ki Gede. Dan benarlah kata Pandan Wangi, kaki
itu sudah tidak panas lagi. Tetapi justru dengan demikian Kerti menjadi berdebar-debar.
Karena apabila panas bagian kepala dan kaki tidak seimbang, maka keadaan yang
demikian akan sangat berbahaya bagi Ki Gede. Karena itu, maka perlahan-lahan
Kerti beringsut maju. Perlahan-lahan pula dirabanya tangan Ki Gede. Tangan
itu pun kini sudah tidak panas pula.
Kemudian dengan tangan gemetar Kerti mencoba meraba leher Ki Argapati. Secercah
warna yang cerah membayang di wajahnya. Leher itu pun telah menjadi sejuk seperti tubuhnya
sendiri.
Dengan penuh
pengharapan Kerti berkata perlahan-lahan,
“Ya. Tubuh Ki
Gede sudah tidak panas lagi.”
“Pernafasannya
pun telah berjalan wajar,” sahut Wrahasta.
“Kita akan
berdoa terus,” gumam Samekta.
Kerti dan
Pandan Wangi mengangguk-anggukkan kepala mereka. Mereka memang selalu berdoa di
dalam hati. Ternyata doa mereka telah didengar-Nya. Dengan penuh pegharapan
kini mereka menunggui Ki Gede yang sedang terbaring. Wajah-wajah mereka tidak
lagi dilukisi kecemasan dan kebingungan. Tetapi wajah-wajah itu tampak diwarnai
oleh kesegaran nafas Ki Argapati yang semakin lancar.
“Ayah,” Pandan
Wangi berdesis ketika ia melihat ayahnya membuka matanya.
Ki Argapati
menarik nafas dalam-dalam. Dalam sekali. Seolah-olah ia menjadi terlampau haus
menghirup kesegaran udara Tanah Perdikan Menoreh.
“Ayah,” Pandan
Wangi mengulangi.
Yang
pertama-tama dipandang oleh Ki Argapati adalah wajah puterinya. Kemudian
orang-orang di sekitarnya. Samekta, Wrahasta, Kerti, dan orang-orang lain. Sekali
lagi Ki Argapati menarik nafas dalam-dalam. Kemudian perlahan-lahan berkata,
“Mudah-mudahan
aku dapat mengatasi kesulitan di dalam diriku.”
Tubuh Ki Gede
telah menjadi sejuk. Agaknya darah Ki Gede pun mengalir dengan wajar. Kepala Ki
Argapati bergerak-gerak. Ia mengangguk kecil sambil berkata lirih,
“Obat yang
kita terima dari anak yang gemuk itu ternyata terlampau baik.”
“Bagaimana
ayah?” potong Pandan Wangi. “Apakah itu suatu bentuk pengkhianatan.”
“O, kau salah
terima Wangi,” jawab Ki Argapati.
“Kita harus
berterima kasih kepadanya. Tak ada obat semujarab obat yang diberikan kepadaku.
Seandainya aku tidak mendapat obat daripadanya, maka keadaan ini akan sangat
jauh berbeda, Wangi. Berterima kasih pulalah kita kepada Yang Maha Bijaksana,
yang telah mempertemukan aku dengan orang bercambuk itu.”
Pandan Wangi
mengerutkan keningnya. Perlahan-lahan ia bertanya,
“Orang
bercambuk, Ayah?”
“Ya.”
Wajah Pandan
Wangi menegang. Tetapi ia tidak segera mengucapkan kata-kata. Teringatlah
olehnya, seorang anak muda yang menyebut dirinya sebagai seorang gembala.
Seorang anak muda yang mempersenjatai dirinya dengan cambuk.
“Kenapa Wangi?
Apakah kau heran mendengar sebutan orang bercambuk itu?”
Pandan Wangi
beringsut setapak. Perlahan-lahan ia mengangguk sambil menjawab,
“Ya, Ayah.
Siapakah orang bercambuk itu?”
“Aku tidak
begitu jelas, Wangi. Tetapi aku yakin, bahwa ia bermaksud baik.”
“Di manakah
ayah mengenalnya sebelum ini?”
“Ketika ayah
masih muda, di dalam lingkungan istana Demak.”
Pandan Wangi
terkejut mendengar jawaban itu. Dengan kening yang berkerut-merut ia bertanya,
“Berapa
kira-kira umur orang bercambuk itu ayah?”
“Seumur ayah.”
“Tidak,” tiba-tiba
Pandan Wangi membantah.
“Ia masih
muda. Bahkan lebih muda dari Kakang Sidanti.”
Kini Ki
Argapati lah yang mengerutkan keningnya. Kemudian perlahan-lahan ia menarik
nafas dalam-dalam. Digerakkannya tangannya sedikit, kemudian kakinya.
“Pandan Wangi,”
orang tua itu bergumam,
“aku
mengenalnya ketika kami masih sama-sama muda. Tidak mungkin ia kini nampak
lebih muda dari Sidanti.” Ki Argapati berhenti sejenak, lalu tiba-tiba terbayang
sebuah senyum dibibirnya,
“O, barangkali
kau pernah melihat orang yang bersenjatakan sebuah cambuk? Seorang anak muda
yang gemuk hampir bulat?”
Pandan Wangi
menggelengkan kepalanya. Namun tiba-tiba ia berkata,
“Jangan
bangun, Ayah. Lebih baik Ayah berbaring sejenak, sampai keadaan Ayah menjadi
cukup baik.”
Ki Argapati
yang ingin mencoba untuk bangkit meletakkan kepalanya kembali. Kerti dan
Samekta pun mencegahnya pula.
“Luka itu akan
berdarah lagi Ki Gede,” berkata Kerti.
“Ya, sebaiknya
Ki Gede beristirahat secukupnya,” sambung Samekta.
“Aku sudah
merasa cukup baik.”
Pandan Wangi
menggeleng, “Belum, Ayah. Ayah masih perlu beristirahat.”
Ki Argapati
menganguk-anggukkan kepalanya. Namun kemudian ia kembali kepada persoalan orang
bercambuk. Katanya,
“Bukankah yang
kau lihat anak muda yang gemuk bulat? Anak itulah yang memberi aku obat yang
sangat baik ini.”
Pandan Wangi
mengerutkan keningnya. Tetapi ia sudah tidak dicengkam oleh kecemasan yang
hampir tidak tertahankan. Wajah ayahnya, meskipun masih pucat, tetapi sudah
tidak lagi seputih kapas. Dengan ragu-ragu ia menjawab pertanyaan ayahnya,
“Aku tidak
mengenal seorang anak muda yang gemuk bulat ayah?”
Argapati
menarik nafas dalam-dalam. Sejengkal ia beringsut. Kemudian,
“Lalu siapakah
yang kau maksud dengan seorang yang masih lebih muda dengan Sidanti itu?”
Pandan Wangi
tidak segera menyahut. Ditatapnya wajah Kerti, Samekta, Wrahasta, dan
orang-orang lain di sekitarnya. Baru sejenak kemudian ia berkata,
“Beberapa
orang pengawal pernah juga melihatnya. Seorang gembala yang sering menggembalakan
kambingnya di sekitar daerah perbatasan sebelum kami menarik diri.”
“Oh,” Argapati
tersenyum,
“sudah tentu
bukan seorang gembala yang aku maksudkan. Yang aku maksudkan dengan seorang
bercambuk adalah seseorang yang mempergunakan cambuk sebagai ciri pribadinya
atau lebih tepat, sebagai senjatanya.”
“Ya, begitulah
gembala itu ayah. Seorang gembala yang masih muda semuda Kakang Sidanti, bahkan
masih lebih muda lagi.”
Argapati
mengerutkan dahinya. Sekali lagi menarik nafas dalam-dalam. Ditelekankannya
tangannya pada dadanya di bawah lukanya. Kemudian ia bergeser sedikit sambil
bergumam,
“Apakah ada
orang lain yang mempunyai ciri yang serupa. Tetapi bagaimanakah dengan anak
muda yang kau katakan itu? Apakah ia berbuat baik terhadap kau atau sebaliknya?”
“Ia seorang
gembala, Ayah.”
“Hanya sekedar
seorang gembala? Di sini ada berpuluh-puluh gembala yang membawa cambuk. Tetapi
agaknya yang seorang ini agak lain. Apakah tanggapanmu memang demikian?”
Pandan Wangi
tidak segera menyahut. Tanpa sesadarnya ia memandang wajah Wrahasta dengan
sudut matanya. Tetapi orang yang bertubuh raksasa itu sedang menekurkan
kepalanya.
“Ia mempunyai
beberapa kelebihan dari gembala-gembala yang lain, Ayah.”
Argapati
mengerutkan keningnya. Sekilas ia melihat Wrahasta yang tiba-tiba mengangkat
wajahnya.
“Apakah
kelebihan itu?”
“Ia mampu
berkelahi seperti seorang pengawal.”
“Ah,” desah
Argapati,
“hampir setiap
anak muda di daerah ini dapat sekedar membela dirinya.”
“Bukan sekedar
membela dirinya,” sahut Pandan Wangi. Tetapi sejenak ia terdiam dalam
keragu-raguan.
Argapati tidak
segera mendesaknya. Bahkan ia berkata,
“Orang lain
yang mempunyai ciri serupa itu, sebuah cambuk, adalah seorang anak muda yang
bertubuh gemuk. Ia menyebut dirinya sebagai anak orang bercambuk yang tidak menampakkan
diri. Mungkin orang itulah yang pernah kau lihat dan mengaku sebagai seorang
gembala, tetapi mempunyai beberapa kelebihan dari anak-anak muda yang lain.”
“Tetapi anak
muda itu tidak gemuk, Ayah.”
“Apakah kau
kenal namanya?”
Sekali lagi
Pandan Wangi menjadi ragu-ragu. Dan sekali lagi tanpa sesadarnya ia memandangi
wajah Wrahasta. Tetapi Wrahasta tidak sedang memandangnya, justru ia sedang
memandangi wajah Ki Gede yang menunggu jawaban anaknya.
Namun akhirnya
Pandan Wangi menyebutnya juga,
“Namanya
Gupita, Ayah.”
“He?” Argapati
mengingat-ingat. Sambil memandang wajah Kerti ia berkata,
“Anak yang
gemuk itu menyebut dirinya bernama Gupala.”
“O,” dengan
serta-merta Pandan Wangi menyahut,
“kalau begitu,
kedua anak muda itu memang bersaudara. Menurut Gupita, ia mempunyai seorang
saudara laki-laki dan seorang ayah. Mereka adalah gembala-gembala yang tinggal
di tlatah Menoreh.”
Kini Ki
Argapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Perlahan-lahan ia bergumam,
“Hem, sekarang
aku mempunyai sedikit bayangan tentang mereka. Jadi ada dua anak muda yang
mengaku dirinya anak orang bercambuk itu.”
“Yang satu
bernama Gupala dan yang lain bernama Gupita,” Kerti menyahut.
“Ya, begitulah
menurut pengakuan mereka.” Argapati berhenti sejenak, lalu kepada Pandan Wangi
ia bertanya,
“Wangi, apakah
kelebihan gembala yang kau maksudkan itu? Apakah ia sudah berbuat sesuatu yang
menyatakan dirinya, sehingga kau mengambil kesimpulan demikian tentang anak itu
?”
Pandan Wangi
mengangguk perlahan-lahan. Kini, ketika sekali lagi ia berpaling ke arah
Wrahasta, pandangan mereka pun beradu.
Cepat Pandan Wangi menundukkan kepalanya. Betapa pun juga ia adalah seorang gadis. Hatinya
berdebar ketika ia melihat sorot yang aneh terpancar dari sepasang mata
Wrahasta. Sejenak Pandan Wangi berdiam diri. Tanpa sesadarnya ia meraba-raba
kaki ayahnya. Tetapi Argapati tidak tahu, apakah yang sebenarnya bergetar di
dalam dada puterinya. Ia tidak tahu, bahwa Wrahasta menaruh hati kepada gadis
itu, dan bahwa gembala yang memiliki cambuk yang aneh itu telah menumbuhkan
suatu perasaan yang aneh pada puterinya.
Karena itu,
maka Ki Gede itu mendesaknya,
“Apakah
kelebihan yang kau maksud pada gembala itu Wangi?”
Pandan Wangi
tidak dapat mengelak lagi sehingga dengan demikian betapa pun beratnya ia harus menjawab,
“Ayah,
bukankah Ayah sudah mendengar bahwa aku terpaksa bertempur melawan Ki Peda Sura
karena aku terpisah dari pasukanku?”
Ki Argapati
mengangguk.
“Dan bukankah
Ayah tahu, bahwa aku tidak akan mungkin mengalahkan Ki Peda Sura dalam
keadaanku sekarang?”
Sekali lagi
Argapati mengangguk sambil berkata,
“Tetapi
kemampuanmu tidak terpaut banyak menurut penilaianku, Wangi.”
“Ya, namun aku
tidak akan dapat melepaskan diriku dari padanya. Ia sudah bertekad untuk
menangkap aku hidup-hidup. Tanpa melukai kulitku dan apalagi membunuhku.”
Ki Argapati
mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia menyadari, bahwa keadaan itu benar-benar
merupakan keadaan yang sangat berbahaya bagi puterinya. Ki Peda Sura yang
menyimpan pengalaman cukup di dalam dirinya merupakan lawan yang pasti tidak
akan dapat diimbangi oleh Pandan Wangi.
Tetapi
ternyata bahwa Pandan Wangi berhasil melepaskan dirinya dengan selamat,
sehingga karena itu Ki Argapati bertanya,
“Tetapi kau
selamat sampai saat ini, Wangi. Bahkan ketika aku memasuki padesan ini dengan
mata berkunang-kunang dan pikiran yang kusut karena aku merasa kehilangan kau,
kau sempat beristirahat dengan tenangnya.”
Pandan Wangi
menundukkan kepalanya. Tetapi ia bergumam,
“Ya, Ayah. Aku
sempat melarikan diri dari tangan Ki Peda Sura dan pasukannya.”
“He, Ki Peda
Sura dan pasukannya?” Ki Argapati menjadi heran,
“Jangan
sombong, Anakku. Ki Peda Sura sendiri pun pasti akan mampu menangkapmu kalau ia
mau.”
“Benar, Ayah.
Kami melepaskan diri daripadanya. Bahkan kami sempat melukai Ki Peda Sura yang
kemudian dipapah oleh orang-orangnya meninggalkan medan, tepat pada saat
pasukan Kakang Sidanti datang membantu.”
“O,” Ki
Argapati mengerutkan keningnya,
“aku menjadi
pening. Bagaimana mungkin kau dapat berbuat demikian? Tetapi siapakah yang kau
maksud dengan kami?”
Pandan Wangi
menjadi ragu-ragu sejenak. Sekali lagi ditatapnya wajah-wajah yang ada di
seputar ayahnya berbaring. Dan ketika tatapan matanya berbenturan dengan mata
Wrahasta maka sekali lagi Pandan Wangi tertunduk dalam-dalam.
“Ayah,” suara
Pandan Wangi menjadi terlampau dalam. Adalah terlampau sulit baginya untuk
berceritera tentang anak muda yang menyebut dirinya Gupita itu. Meskipun mereka
bertemu di medan perang, namun Betapapun juga, Pandan Wangi adalah seorang
gadis. Meskipun demikian dipaksakannya ia berceritera.
“Itulah
sebabnya aku mengatakan bahwa gembala itu mempunyai kelebihan dari
gembala-gembala yang lain. Ketika aku sudah hampir kehilangan akal dalam
perlawananku atas Ki Peda Sura yang memang ingin menangkap aku hidup-hidup aku
sudah memutuskan untuk lebih baik mati daripada tertangkap. Aku dapat
membayangkau apa yang akan terjadi atas diriku, seandainya Peda Sura
benar-benar dapat membawa aku hidup-hidup.” Pandan Wangi berhenti sejenak.
Tampaklah wajahnya menjadi semburat merah. Suaranya menjadi semakin dalam dan
hampir-hampir tidak terdengar. Lalu sambungnya,
“Dalam saat
seperti itu. datanglah gembala yang menyebut dirinya bernama Gupita. Ia mencoba
melepaskan aku dari tangan Ki Peda Sura, sehingga ketika kami melawan bersama-sama,
Ki Peda Sura itu terluka.”
Ki Argapati
mendengar ceritera itu dengan dada berdebar-debar. Ia menjadi semakin yakin,
bahwa orang bercambuk itu mempunyai kepentingan dengan daerah ini. Meskipun ia
tidak tahu, kepentingan apa saja yang mengikatnya, namun kehadirannya dalam
keadaan seperti ini membuat Ki Argapati berharap-harap cemas. Berbeda dengan
tanggapan orang-orang lain yang berada di ruangan itu yang menganggap bahwa
kehadiran anak muda yang menyebut dirinya Gupita sebagai suatu kurnia, maka
Wrahasta yang bertubuh raksasa itu menangkapnya dari sudut yang berbeda. Ketika
dengan sudut matanya Pandan Wangi mencoba melihat kesan di wajah Wrahasta, maka
terasa sebuah desir yang lembut menyentuh jantungnya. Wajah anak muda yang
bertubuh raksasa itu mejadi tegang. Dan sejenak kemudian dengan suara gemetar
ia berkata,
“Apakah Ki
Gede dapat mempercayainya?”
Ki Gede
menggerakkan kepalanya. Ia mengerutkan keningnya ketika tampak olehnya wajah
Wrahasta yang menegang.
“Maksudmu,
ceritera Pandan Wangi?” bertanya Ki Gede.
“Bukan,” jawab
Wrahasta.
“Mungkin
Pandan Wangi mengatakan sebenarnya apa yang dialaminya. Tetapi anak yang
menamakan dirinya Gupita itu.”
Ki Gede tidak
segera menjawab. Tapi tampaklah keheranan terpancar di pandangan matanya.
“Kita sama
sekali belum mengenalnya dengan baik. Kita tidak tahu, apakah maksudnya
menolong Pandan Wangi,” sambung Wrahasta. “Apakah itu bukan sekedar suatu
permainan yang sudah diatur olehnya dengan Sidanti dan Peda Sura?”
Pandan Wangi
terkejut mendengarnya. Maka tanpa sesadarnya ia menyahut,
“Ki Peda Sura
sendiri terluka pada saat itu.”
Tiba-tiba saja
Wrahasta tertawa pendek. Dengan wajahnya yang aneh ia menjawab,
“Itu mungkin
sekali. Dengan demikian ia akan berhasil mengelabuhi tanggapanmu atasnya.
Gembala itu akan mendapat kepercayaan daripadamu dan terlebih-lebih lagi dari
Ki Gede. Dalam suatu kesempatan ia akan menikam kita dari belakang.” Wrahasta
berhenti sejenak. Suara tertawanya telah lenyap. Dan dengan bersungguh-sungguh
ia berkata,
“Tetapi
seandainya tidak demikian, seandainya ia tidak mempunyai hubungan dengan
Sidanti maka ia pasti akan memanfaatkan keadaan di Tanah Perdikan ini. Ia
mungkin sekali akan mengail di air keruh untuk kepentingan pribadinya.”
Sekali lagi
wajah Pandan Wangi menjadi semburat merah, bibirnya menjadi gemetar, tetapi
tidak sepatah kata pun yang meloncat.
Sementara itu Samekta dan Kerti menarik nafas dalam-dalam. Tanpa mereka sengaja
mereka berpaling dan saling memandang. Dari loncatan sorot mata mereka, mereka
telah saling berbicara. Mereka segera dapat menangkap isi hati masing-masing.
Dan mereka seolah-olah berbicara satu sama lain,
“Wrahasta
merasa tersinggung, kenapa bukan ia sendirilah yang menolong Pandan Wangi.
Lebih daripada itu ia merasa kuwatir, bahwa anak muda yang bernama Gupita itu dapat
mengganggu hubungan yang sedang dirintisnya dengan Pandan Wangi.” Namun
orang-orang tua itu tidak segara ikut serta menanggapi persoalan itu secara
langsung. Mereka harus berhati-hati. Dalam keadaan serupa ini, setiap percikan
kekecewaan akan dapat mengganggu keadaan yang semakin lama menjadi semakin
gawat.
Ki Gede yang
tidak mengerti persoalan yang sebenarnya tidak segera menjawab. Tetapi
keheranannya masih membayang di wajahnya. Kenapa tanggapan Wrahasta terlampau
miring. Padahal orang-orang yang menyatakan ciri pribadi mereka dengan cambuk
itu, telah menunjukkan maksud baik mereka. Tetapi Ki Gede tidak segera
menyahut. Dicobanya untuk mengerti tanggapan Wrahasta. Betapa pun buramnya, namun Ki Gede melihat juga arah
yang dapat dipakai sebagai dasar pikiran Wrahasta.
“Wrahasta
terlampau hati-hati,” berkata Ki Gede di dalam hatinya.
“Ia sendiri
belum pernah mengenal orang-orang bercambuk itu, sehingga kecurigaannya itu pun
beralasan.”
Dengan
demikian maka ruangan itu menjadi sepi sejenak. Namun di dalam kesenyapan itu,
dada Pandan Wangi telah digelisahkan oleh gemuruhnya perasaannya. Ia mengerti,
apakah sebabnya Wrahasta bersikap demikian. Sebagai seorang gadis ia merasakan
getaran yang memancar dari hati anak muda yang bertubuh raksasa itu. Tetapi sebagai
seorang gadis ia pun merasakan getar di
dalam dadanya sendiri, apabila ia mengenang, atau berbicara apalagi menyebut
nama anak muda yang menyebut dirinya sebagai seorang gembala itu.
Dalam
keheningan itu terdengar Ki Argapati bertanya,
“Pandan Wangi,
aku ingin mendengar, apakah yang sebenarnya telah terjadi atasmu pada saat kau
bertempur melawan Ki Peda Sura. Aku ingin kau berceritera dari awal sampai
akhir, berurutan seperti apa yang telah terjadi sebenarnya.”
Terasa dada
Pandan Wangi berdentangan. Sebenarnya ia memang ingin menceriterakan, sehingga
bagian-bagian yang paling kecil sekalipun. Ia ingin berceritera bahwa anak muda
itu telah menolongnya sehingga mereka jatuh berguling di atas tanah yang kotor.
Ia ingin berceritera bahwa anak muda yang menyebut dirinya bernama Gupita itu
menarik tangannya berlari-lari di atas pematang dan tanah yang becek berlumpur.
Di atas genangan air yang memantulkan cahaya bulan yang penuh, yang bergayutan
di langit yang biru bersih.
Tiba-tiba
Pandan Wangi itu mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Ia menggeram di dalam
hatinya,
“Tidak. Aku
adalah seorang dari sekian banyak pengawal Tanah Perdikan ini. Yang menarik
perhatianku seharusnya bukan pantulan cahaya bulan yang bulat. Bukan birunya
langit yang digantungi oleh bintang gemintang. Bukan selembar awan putih yang
hanyut dalam hembusan angin dari samodra. Bukan. Bukan. Yang penting bagiku,
Peda Sura telah kami lukai. Aku telah berhasil melepaskan diri dari tangannya
dan pasukanku telah berhasil mengundurkan diri dengan korban yang
sekecil-kecilnya.”
Namun justru
dengan demikian, tidak sepatah kata pun
yang meloncat dari bibirnya.
Samekta dan
Kerti pun menjadi berdebar-debar pula.
Ia tahu betapa sulitnya Pandan Wangi mengatakan apa yang telah dialaminya
menilik ceriteranya yang baru dikatakannya sepotong-sepotong. Apalagi ketika
mereka melihat, wajah Wrahasta yang menjadi tegang. Apabila Pandan Wangi
menceriterakan sekali lagi, bahkan lebih banyak lagi tentang anak muda yang
mengaku sebagai seorang gembala itu, maka mereka menjadi cemas bahwa perasaan
Wrahasta akan benar-benar terluka. Karena itu, maka sebelum Pandan Wangi dapat
mengatasi kebimbangannya, terdengar Samekta berkata,
“Ki Gede, ada
banyak soal yang harus kita bicarakan. Sebenarnya Ki Gede masih harus banyak beristirahat.
Karena itu, sebaiknya ceritera-ceritera itu dapat ditunda untuk lain kali.
Sekarang kami mengharap Ki Gede menenteramkan hati, dan apabila mungkin tidur
meskipun hanya sekejap.”
Ki Gede
mengerutkan keningnya. Tetapi kemudian ia berkata sambil tersenyum,
“Kau benar
Samekta. Aku memang harus beristirahat. Tetapi mendengarkan ceritera Pandan
Wangi bagiku merupakan suatu kesegaran baru di dalam diri yang tegang selama
ini. Aku akan berbangga dan bahkan mengagumi anak ini. Dengan demikian, segala
kepahitan atas kekalahan yang aku alami ini akan terhibur karenanya.”
“Tetapi
bukankah Ki Gede tidak kalah?” potong Kerti,
“Semua yang
terjadi, sehingga Ki Gede menderita luka, bukanlah suatu kekalahan. Tetapi itu
adalah suatu kecurangan. Ki Gede tidak akan terluka apabila Ki Tambak Wedi
sanggup bertempur beradu dada.”
Ki Gede tidak
segera menjawab. Namun tiba-tiba saja Pandan Wangi menyahut,
“Apakah Tambak
Wedi berbuat curang sehingga Ayah terluka parah di dadanya?”
Kerti
mengangguk. Jawabnya,
“Akalmu telah membawa
aku menyaksikan apa yang terjadi. Karena kami menyangka bahwa kau lari lagi
dari halaman dan pergi ke Pucang Kembar, maka aku pun telah pergi ke sana pula. Agaknya kau
memang bermaksud demikian.”
Pandan Wangi
tidak menyahut, tetapi kepalanya ditundukkannya dalam-dalam, seolah-olah ia
sedang mencoba menyembunyikan perasaan yang mengambang di wajahnya.
“Hem,”
tiba-tiba Samekta menarik nafas dalam-dalam,
“Kita telah
terlibat lagi dalam suatu pembicaraan. Biarlah Ki Gede beristirahat sejenak,
agar lukanya menjadi semakin baik. Apalagi apabila Ki Gede dapat tidur. Karena
itu, maka marilah kita tinggalkan ruangan ini.”
Mereka yang
berdiri di seputar pembaringan Ki Gede itu saling berpandangan sejenak. Kemudian
terdengar suara Kerti,
“Baiklah.
Sekarang marilah kita tinggalkan ruangan ini. Ki Gede memang perlu
beristirahat.”
Ketika Kerti
dan Samekta berpaling ke arah Wrahasta, maka dilihatnya wajah anak muda itu
masih juga tetap tegang.
“Marilah,
Wrahasta,” berkata Kerti sareh.
Wrahasta masih
ragu-ragu sejenak. Namun kemudian ia bergumam, “Marilah.”
Kerti
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya kepada Ki Gede,
“Kami minta
diri sejenak, Ki Gede. Kami masih menyimpan banyak persoalan. Nanti apabila Ki
Gede sudah beristirahat, kami akan menyampaikan persoalan-persoalan itu.”
Ki Gede
mengerutkan keningnya. Ia menjadi ragu-ragu untuk sejenak. Terasa sesuatu yang
kurang wajar terjadi di antara orang-orangnya itu. Tetapi ia tidak dapat
meraba, apakah yang kurang itu. Meskipun demikian ia mengangguk sambil berkata,
“Silahkan.
Silahkan. Aku memang ingin beristirahat. Tetapi aku minta Pandan Wangi tetap
berada di sini menungguiku. Mungkin aku haus atau lapar atau memerlukan apa
pun.”
“Tentu, Ayah,”
sahut Pandan Wangi dengan serta-merta sebelum orang lain menyahut. Ia tidak mau
apabila ia harus menyingkir pula dari samping ayahnya. Ia ingin menungguinya,
dan lebih daripada itu, serasa dadanya dipenuhi oleh ceritera yang harus
ditumpahkannya kepada ayahnya. Hanya kepada ayahnya.
Samekta dan
Kerti saling berpandangan sejenak. Tanpa mereka sadari keduanya memandang
Wrahasta dengan sudut mata mereka. Untunglah bahwa Wrahasta tidak memperhatikan
sikap itu sehingga tidak menimbulkan persoalan apa pun di dalam dirinya. Sambil mengangguk-anggukkan
kepalanya Kerti berkata,
“Wangi, ayahmu
minta kau tetap menungguinya. Layanilah. Kami akan minta diri sejenak.”
“Silahkanlah,
Paman,” sahut Pandan Wangi.
Sejenak
kemudian maka ruangan itu pun telah
menjadi lengang. Yang tinggal di dalamnya adalah Ki Argapati yang berbaring di
pembaringan bambu dan Pandan Wangi, yang menungguinya duduk di pembaringan itu
pula. Sementara itu Samekta, Kerti, Wrahasta, dan para pemimpin yang lain pergi
ke tempat yang mereka pergunakan sebagai pusat pimpinan sementara pasukan
pengawal Tanah Perdikan Menoreh.
Supaya
persoalan mereka, terutama Wrahasta, terbatas pada masalah Tanah Perdikan,
tidak langsung menyentuh soal pribadi, maka Samekta segera membawa mereka ke
dalam suatu pembicaraan mengenai laporan yang didengarnya, bahwa seseorang dari
desa ini telah lolos untuk melaporkan keadaan Ki Gede yang senyatanya kepada Ki
Tambak Wedi.
“Laporan itu
berbahaya bagi kita di sini,” berkata Samekta,
“sebab apabila
Ki Tambak Wedi yakin akan keadaan Ki Argapati, maka ia akan segera mengambil
keputusan.”
Kerti dan
Wrahasta mengangguk-anggukkan kepala mereka. Bahaya itu memang terbayang di
dalam kepala mereka. Apabila dalam saat yang pendek Sidanti membawa seluruh
pasukannya ke desa ini, maka keadaan akan menjadi sangat gawat. Meskipun
seluruh pasukan pengawal yang tersebar di segala tempat ditarik, maka untuk
mempertahankan diri, pasti akan terlampau sulit.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar