Apalagi kini mereka bergabung menjadi suatu kekuatan yang melandanya seperti ombak di lautan didorong badai yang dahsyat. Segera Ki Peda Sura terdesak mundur. Beberapa kali ia terpaksa meloncat menjauh. Namun setiap kali kedua anak-anak muda itu memburunya tanpa memberinya kesempatan. Dalam keadaan yang demikian, maka Ki Peda Sura merasa perlu untuk membuat keseimbangan. Tidak terlampau jauh dari arena itu, orang-orangnya sedang mengejar orang-orang Menoreh, sehingga satu dua orang di antara mereka pasti akan segera dapat ditarik untuk membantunya menghadapi kedua anak-anak muda yang mengagumkan ini. Sejenak kemudian, maka Ki Peda Sura tidak merasa segan lagi untuk berbuat demikian. Segera terdengarlah suitan nyaring yang keras sekali memanjang membelah sepinya malam. Itu adalah pertanda, bahwa Ki Peda Sura yang tua dan garang itu memerlukan bantuan untuk keselamatannya. Ternyata suitan itu telah menggetarkan dada Gupita dan Pandan Wangi. Mereka segera menyadari arti dari panggilan itu bagi diri mereka. Tetapi mereka tidak lagi dapat surut. Perkelahian itu sudah berlangsung dengan sengitnya. Baik Pandan Wangi maupun Gupita telah bertekad untuk menyelesaikan pertempuran itu. Namun bagaimanakah nasib mereka, apabila orang-orang Ki Peda Sura itu kemudian berlari-larian datang membantunya? Yang terpikir oleh Gupita kemudian adalah menyelesaikan pertempuran itu secepat-cepatnya, lalu secepat-cepatnya pula menyingkir. Karena itu, maka begitu suitan Peda Sura lenyap dari udara, serangannya pun kian menggila. Cambuknya meledak tidak putus-putusnya. Diperasnya segenap kemampuan yang ada padanya. Kelincahan, ketangkasan dan terutama kesegaran tenaganya. Ia ingin berkelahi untuk waktu yang singkat sehingga ia tidak perlu lagi menghemat tenaganya. Agaknya Pandan Wangi pun memaklumi sikap itu. Maka dilimpahkannya semua sisa tenaganya dengan mempercepat setiap gerakan. Kedua ujung pedangnya menjadi semakin cepat meluncur mematuk dari segala arah. Serangan-serangan yang demikian agaknya kurang diperhitungkan oleh Ki Peda Sura. Ia tidak bersiap untuk menerima pengerahan segenap kemampuan kedua anak-anak muda itu bersama-sama. Ledakan-ledakan cambuk yang menjadi semakin dahsyat dan gerakan kedua ujung pedang itu membuatnya agak gugup. Kesempatan itulah yang ditunggu-tunggu oleh Gupita. Sebelum Ki Peda Sura yang menyimpan berbagai pengalaman di dalam dirinya itu menyadari keadaannya dan mencoba memperbaiki kedudukannya, maka Gupita telah memperketat serangannya dengan memeras kemungkinan yang ada padanya. Ujung cambuknya tiba-tiba berhasil menyambar pundak orang tua itu, sehingga terdengar sebuah keluhan tertahan. Ternyata ujung cambuk itu bukan sekedar ujung dari janget rangkap tiga berganda. Tetapi ujung cambuk itu ternyata dilingkar oleh kepingan-kepingan baja yang tipis, sehingga sentuhan itu benar-benar telah mengelupas kulit Ki Peda Sura.
“Anak setan,”
ia mengumpat. Kalau sentuhan-sentuhan yang terdahulu hanya menyentuh
pakaiannya. dan tidak menumbuhkan persoalan apapun, maka kini terasa pundaknya
sangat pedih.
Dengan
demikian, maka kemarahan Ki Peda Sura menjadi semakin menyala di dalam dadanya.
Tetapi ternyata ia tidak kehilangan akal. Ia masih tetap berkelahi dengan
hati-hati. Dan ia masih tetap sadar, bahwa ia berada dalam bahaya. Dengan
demikian, maka sekali lagi terdengar mulutnya bersuit keras sekali memanjang,
menyelusur dinginnya malam yang terasa bagi mereka terlampau panas. Gupita
menggeretakkan giginya. Ia pun menyadari keadaannya dan keadaan Pandan Wangi.
Arti suitan itu bagi mereka, adalah serupa dengan tanda bahaya yang untuk kedua
kalinya memberi peringatan kepada mereka. Dengan demikian, Gupita menjadi
semakin cepat bergerak. Ia mencoba mengisi kekosongan pada setiap serangan
Pandan Wangi. Ketika Peda Sura sedang menghindari ujung pedang yang menyentuh
lengannya, maka sekali lagi ia terpekik. Kali ini lebih keras. Ternyata ujung
cambuk Gupita sekali lagi mengenainya. Justru kali ini menyentuh keningnya. Sebuah
goresan yang merah telah menyobek kulit di kening orang itu. Darah yang merah
segera meleleh di pipinya, yang telah basah oleh keringat. Sekali lagi orang
itu mengumpat lebih kasar lagi. Dengan tergesa-gesa ia meloncat jauh-jauh
surut. Dengan lengan bajunya ia mengusap darah yang menitik di wajahnya itu
sambil sekali lagi bersuit nyaring. Namun kali ini kecepatan bergerak Pandan
Wangi tidak mampu lagi dihindarinya. Dalam keadaan yang sulit itu, terasa
sesuatu menyengat lengannya. Ketika sekali lagi ia meloncat jauh-jauh, maka
dari lengannya itu pun mengalir darah. Agaknya Pandan Wangi telah berhasil
menyobek kulitnya dengan ujung pedangnya.
Ki Peda Sura
menjadi kian sulit karenanya. Gerakan kedua lawannya yang masih muda-muda itu
ternyata terlampau berat untuk diimbangi. Namun sampai begitu jauh, ia masih
tidak kehilangan akal. Ia masih dapat membuat pertimbangan-pertimbangan yang
mampu menyelamatkannya. Ternyata Ki Peda Sura kemudian tidak berusaha untuk
melawan kedua anak muda itu lagi. Tetapi segera ia meloncat meninggalkan mereka
dan berusaha bergeser ke arah orang-orangnya yang sedang mengejar pasukan
Menoreh. Semula Pandan Wangi dan Gupita masih ingin mengejarnya. Tetapi
tiba-tiba mata Gupita yang tajam melihat di dalam cerahnya cahaya bulan,
beberapa buah bayangan bergerak-gerak dari padesan di hadapan mereka. Segera ia
menyadari keadaan yang menjadi semakin gawat. Yang datang itu pastilah
orang-orang Ki Peda Sura yang mendengar suitan sampai merambah tiga kali.
“Berhentilah
Pandan Wangi,” desis Gupita kemudian,
“lihat,
beberapa orang mendatangi. Kita harus segera pergi.”
Pandan
Wangi pun akhirnya melihat mereka pula.
Karena itu, maka dadanya menjadi berdebar-debar. Tanpa sesadarnya ia bertanya,
“Lalu apakah yang harus kita kerjakan?”
“Lari,” jawab
Gupita.
Jawaban itu
terdengar aneh ditelinga Pandan Wangi. Lalu apakah ia harus lari dari arena?
Namun yang diucapkannya adalah suatu pertanyaan, “Apakah kita biarkan Peda Sura
menyelamatkan dirinya?”
“Kita tidak
perlu membunuh. Kalau kita dicengkam oleh nafsu membunuh, maka kita akan
kehilangan perhitungan. Kita sudah melumpuhkannya. Itulah yang penting. Bukan
membunuh. Sekarang kita harus lari, eh, kalau kau tidak mau mempergunakan
istilah itu, kita harus menyingkir. Cepat.”
Karena Pandan
Wangi masih ragu-ragu, tiba-tiba tangan Gupita menyambar pergelangan tangannya
yang masih menggenggam pedang dan menariknya berlari meninggalkan arena itu.
“Cepat, mereka
telah melihat kita.”
Pandan Wangi
tidak dapat berbuat lain. Ia pun
kemudian berlari kencang-kencang sedapat dilakukan, ditarik oleh Gupita sambil
berkata, “Kita harus menghindar.”
“Ya,” jawab
Pandan Wangi tanpa sesadarnya. Tetapi ia masih berusaha berpaling melihat apa
yang terjadi kemudian dengan Ki Peda Sura.
Dan apa yang
dilihatnya benar telah mendebarkan jantungnya sehingga langkahnya pun menjadi agak tertahan. Bahkan tanpa
sesadarnya ia menarik tangannya sambil berkata,
“Lihat.”
Gupita
kemudian berpaling. Tetapi tangan Pandan Wangi tidak dilepaskannya. Seperti
Pandan Wangi, jantungnya pun berdebar-debar
pula ketika ia melihat Ki Peda Sura terhuyung-huyung. Kemudian orang tua itu
terjatuh di tanah. Orang-orang yang berlari-larian dari padesan di sebelah,
segera mengerumuninya. Beberapa orang di antara mereka akan berusaha untuk
berlari terus mengejar Gupita dan Pandan Wangi. Namun dengan keheran-heranan
Pandan Wangi dan Gupita melihat mereka terhenti dan kembali mengitari Ki Peda
Sura yang terbaring. Pandan Wangi dan Gupita tidak mendengar apa yang mereka
percakapkan, sehingga karena itu, maka sejenak kemudian mereka pun dengan tergesa-gesa meneruskan langkah
mereka.
“Marilah,
sebelum terlambat,” ajak Gupita sambil menarik tangan Pandan Wangi.
Pandan Wangi
tidak menolak. Tertatih-tatih ia berlari di atas sawah yang becek. Berkali-kali
mereka meloncati pematang dan parit yang mengalirkan air yang jernih bening.
“Mereka tidak
mengejar kita lagi,” desis Pandan Wangi.
“Belum tentu.
Mungkin mereka sedang menerima pesan-pesan dari Ki Peda Sura. Kita harus
menjauh sejauh-jauhnya. Kau harus segera sampai kepada pasukanmu, supaya kau
dapat berlindung kepada mereka.”
“Akulah yang
harus melindungi mereka,” jawab Pandan Wangi sambil terengah-engah.
“Timbal balik.
Jangan kau ulangi sikapmu yang berbahaya. Kau tidak perlu berbuat demikian. Kau
dapat mundur bersama-sama dengan pasukanmu tanpa mengorbankan dirimu.”
“Tidak
mungkin. Kau tidak melihat medan waktu itu, sehingga kau dapat berkata begitu.”
Gupita tidak
menjawab, tetapi ia masih saja menarik tangan Pandan Wangi,
“Cepatlah
sedikit.”
Pandan Wangi
berusaha untuk mempercepat langkahnya. Ketika ia berpaling, maka bayangan
orang-orang yang mengerumuni Ki Peda Sura sudah tidak begitu jelas lagi.
“Kita sudah
jauh,” berkata Pandan Wangi.
“Kita masih
berada di daerah berbahaya. Kita harus menyelusur parit di depan kita, kemudian
menyilang jalan. Kita masih harus melintasi bulak kecil itu lagi untuk mencapai
padesan.”
“Kita justru
menjauhi padesan itu,” sahut Pandan Wangi.
“Kita berjalan
melingkar, supaya arah kita tidak segera terpotong.”
“Orang-orang
itu mungkin akan memotong arah kita.”
“Karena itu
kita harus cepat.”
Mereka mencoba
mempercepat langkah mereka. Tetapi Pandan Wangi agaknya sudah mulai lelah
setelah ia bertempur memeras tenaganya melawan Ki Peda Sura. Karena itu, maka
langkahnya pun menjadi semakin lambat,
“Aku lelah
sekali,” desisnya.
“Jangan,”
sahut Gupita,
“kau bagi
Tanah Perdikan Menoreh adalah seorang prajurit. Kini kau berada di medan
kewajibanmu. Atasilah perasaan lelahmu. Kau harus melatih mengatur pernafasan
dan melepaskan tenagamu sesuai dengas kebutuhan.”
“Aku tahu.
Tetapi tenagaku terbatas. Suatu saat kita akan sampai ke puncak kemampuan. Dan
aku sudah lelah.”
Gupita tidak
dapat memaksa Pandan Wangi berlari terus. Kini mereka memperlambat langkah
mereka. Meskipun demikian, mereka masih juga berloncat-loncatan di atas
pematang. Namun hati mereka menjadi agak tenang, ketika sekali lagi mereka
berpaling dan tidak seorang pun yang
mengejar. Sebenarnya, bahwa orang-orang yang akan mencoba mengejar kedua
anak-anak muda itu telah ditahan oleh Ki Peda Sura yang terbaring di tanah
karena luka-lukanya yang ternyata cukup parah. Perlawanan yang demikian sama
sekali tidak disangka-sangkanya. Kedua anak-anak muda itu ternyata memiliki
kemampuan yang luar biasa.
“Kalau mereka
kelak berhasil menguasai ilmu mereka dengan baik, maka mereka akan menjadi
orang-orang yang luar biasa. Mereka akan mampu menyamai Ki Argapati dan Ki
Tambak Wedi,” berkata Ki Peda Sura kepada orang-orangnya,
“karena itu,
jangan kau kejar mereka, kalau jumlah kalian tidak mencapai sepuluh orang.”
“Kami tidak
tahu kalau kami harus berhadapan dengan orang-orang semacam mereka. Sebaiknya
kita panggil beberapa kawan lagi. Pertempuran di padesan itu sudah hampir
selesai. Orang-orang Menoreh terus menerus menarik dirinya, dan mungkin mereka
akan melarikan diri keluar padesan itu bergabung dengan kawan-kawan mereka yang
lain.”
“Jangan
dikejar juga mereka. Kalian akan terjebak.”
“Ya. Kami
sudah menyadari. Kami tidak akan mengejar mereka keluar padukuhan kecil itu.”
“Kita selesai
sampai di sini.”
“Lalu,
bagaimana dengan Kiai?” bertanya salah seorang anak buahnya.
“Anak-anak
setan itu berhasil melukaiku. Aku terlampau letih oleh darah yang keluar dari
tubuhku. Bawalah aku menyingkir. Di kantong ikat pinggangku ada semacam obat
yang dapat menahan arus darah. Taburkan itu di lukaku. Mudah-mudahan dapat
mengurangi keparahan luka itu.”
Beberapa orang
berusaha untuk menolong Ki Peda Sura. Yang lain mengambil obat di kantong ikat
pinggangnya dan menaburkan di atas luka yang masih mengalirkan darah. Namun
agaknya obat itu pun bermanfaat pula. Arus darah dari luka itu pun berangsur
berkurang.
“Kalau Sidanti
sudah selesai, ia pasti akan mengirimkan beberapa orang kemari. Tetapi di
sini pun kita sudah selesai,” gumam Peda
Sura kemudian.
“Bagaimana
dengan kedua orang yang melarikan diri itu?”
“Mereka kita
lepaskan kali ini. Kini mereka pasti sudah terlampau jauh.”
Saat itu,
Pandan Wangi dan Gupita memang sudah agak jauh dari mereka. Tetapi keduanya
masih belum bergabung dengan pasukan Menoreh yang sedang menarik diri. Pandan
Wangi yang kelelahan, agaknya benar-benar sudah segan untuk berlari. Satu-satu
ia melangkah dengan nafas terengah-engah. Apalagi ketika ia menyadari, bahwa
tidak seorang pun lagi yang mengejarnya. Bahkan Ki Peda Sura agaknya sudah tidak
berdaya lagi.
“Aku tidak
dapat berlari lagi,” desisnya.
“Tetapi kau
belum berada di tengah-tengah pasukanmu,” sahut Gupita.
“Bahaya sudah
tidak terlampau besar lagi kini.”
“Memang bagi
kita. Tetapi bagaimana dengan pasukanmu?”
Pertanyaan itu
menyentuh dada Pandan Wangi. Pasukan Menoreh itu berada di bawah tanggung
jawabnya. Karena itu, maka tiba-tiba ia menggeram,
“Ya, aku harus
segera berada di antara mereka. Bukan untuk berlindung, tetapi aku harus
bertanggung jawab atas semua persoalan yang terjadi.”
Gupita tidak
menjawab. Tetapi ia melihat nafas Pandan Wangi seakan-akan hampir putus di
kerongkongannya. Maka tanpa sesadarnya ia berkata,
“Tetapi kalau
kau memang terlampau lelah, beristirahatlah sejenak.”
Pandan Wangi
mengangguk.
“Pasukanmu
pasti dapat menyelamatkan diri. Orang-orang Peda Sura sudah tidak bernafsu lagi
untuk mengejar, sebab mereka pun pasti akan ragu-ragu, bahwa suatu ketika
mereka akan terjebak ke dalam perangkap yang dapat menghancurkan mereka.”
Pandan Wangi
mengangguk.
“Nah,
duduklah. Dan sarungkan pedangmu.”
Seperti
digerakkan oleh tenaga yang ajaib, Pandan Wangi menyarungkan sepasang
pedangnya. Kemudian duduk beristirahat di atas pematang yang ditumbuhi rumput
liar.
“Kau dapat
sekedar melepaskan lelahmu. Kita memang sudah terlepas dari bahaya yang
mengerikan. Tetapi belum berarti bahwa kita boleh berlengah-lengah di sini.”
“Aku
menyadari,” jawab Pandan Wangi,
“aku hanya
akan sekedar menenangkan diri supaya nafasku tidak terputus di tengah jalan.”
Gupita
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tanpa dikehendakinya sendiri ia duduk di
samping Pandan Wangi, bersandar pada sepasang tangannya. Serulingnya terselip
pada ikat pinggangnya dan cambuknya melingkar di lehernya. Angin malam yang
segar telah berhembus mengusap tubuh mereka. Terasa seolah-olah nafas mereka
dijalari oleh getaran-getaran yang sejuk. Perlahan-lahan dada mereka menjadi
tenang, dan nafas mereka tidak lagi berkejaran lewat lubang hidung mereka.
Terutama Pandan Wangi yang kelelahan itu.
Kedua anak
muda itu sejenak saling berdiam diri. Mereka masing-masing terbenam di dalam
angan-angan sendiri. Bayangan yang bermacam-macam bentuk dan corak telah hilir
mudik di rongga mata mereka. Pertempuran yang baru saja terjadi dan
kemungkinan-kemungkinan yang dapat menyeret mereka ke dalam keadaan yang tidak
terduga-duga. Terasa bulu-bulu tengkuk Pandan Wangi meremang, jika
dibayangkannya apa yang dapat terjadi atas dirinya, apabila ia tertangkap oleh
Ki Peda Sura dan orang-orangnya yang buas dan liar itu. Ketika perasaan
lelahnya sudah berkurang, tiba-tiba Pandan Wangi menyadari, bahwa sebenarnya
anak muda yang duduk di sampingnya itu masih terlampau asing baginya, sehingga
tiba-tiba saja ia bertanya,
“Siapakah
sebenarnya kau?”
Gupita
terkejut mendengar pertanyaan itu. Kini ia duduk tegak sambil memandangi Pandan
Wangi dengan sorot mata yang keheran-heranan,
“Kenapa kau
bertanya demikian? Bukankah kau sudah mengenal aku, bahwa aku adalah seorang
gembala yang bernama Gupita?”
Pandan Wangi
mengerutkan keningnya. Sambil menarik nafas dalam-dalam ia menyahut,
“Aku merasa
aneh, bahwa di Menoreh ada seorang gembala yang bernama Gupita, dan mampu
mengimbangi seorang yang bernama Ki Peda Sura.”
“Apa salahnya?
Bukankah lebih aneh lagi, bahwa ada seorang gadis yang membawa pedang rangkap
di lambungnya?”
“Tetapi aku
tidak menyembunyikan diriku dengan segala macam rahasia dan teka-teki. Aku
adalah Pandan Wangi, puteri Kepala Tanah Perdikan Menoreh. Dalam keadaan
apapun, aku adalah Pandan Wangi.”
“Lalu apa
sangkamu tentang aku?” bertanya Gupita,
“aku adalah
seorang gembala. Dalam segala keadaan. Tetapi sudah tentu di dalam peperangan
aku tidak menggembalakan kambing-kambingku. Namaku Gupita, juga dalam segala
keadaan. Kalau kau tidak percaya, marilah datang ke rumahku. Kau akan
berkenalan dengan ayah dan adikku. Adikku juga seorang gembala. Kau akan
tertawa melihatnya. Tubuhnya gemuk bulat. Namun ia seorang periang yang paling
banyak tertawa di dunia ini.”
Pandan Wangi
ragu-ragu mendengar pengakuan Gupita itu. Dengan penuh pertanyaan dipandanginya
wajah Gupita. Wajah yang memiliki daya yang aneh terpancar dari sepasang
matanya. Dalam keremangan cahaya bulan, Pandan Wangi melihat sesuatu yang lain
di wajah itu. Jauh berbeda dari wajah seorang gembala. Tetapi tiba-tiba Pandan
Wangi menyadari dirinya, ia adalah seorang gadis. Meskipun kini ia membawa
sepasang pedang di lambungnya, tetapi ia tetap seorang gadis dan anak muda yang
ada di sampingnya itu adalah orang yang belum terlampau banyak diketahuinya.
Karena itu, maka ketika anak muda itu pun memandanginya, dan pandangan mereka
berbenturan, terasa seolah-olah jantungnya terbanting di atas batu pualam.
Pecah berkeping-keping. Pandan Wangi segera menundukkan kepalanya. Keringat
yang dingin mengalir memenuhi pakaiannya yang memang sudah basah oleh keringat.
Terasa tangannya menjadi dingin dan wajahnya dirambati oleh arus darahnya yang
hangat.
Untuk beberapa
saat, Pandan Wangi tertunduk diam. Dengan jari-jarinya yang lentik, ia
bermain-main ujung rerumputan yang telah basah oleh embun yang turun dari
langit. Gupita melihat perubahan sikap Pandan Wangi. Justru karena itu, maka
tumbuhlah sifat dan watak yang sudah terpateri di dalam dirinya. Tiba-tiba saja
ia pun menjadi bingung dan tidak mengerti apa yang harus dilakukannya.
Seolah-olah ia terlempar ke dalam dunianya sendiri. Bukan lagi seorang gembala
yang bernama Gupita. Muncullah watak dan kediriannya, seorang anak muda pemalu
dan dibayangi oleh keragu-raguan. Beberapa saat sebelumnya ia telah membuat
dirinya menjadi seorang gembala periang, yang agak sombong. Seorang yang
menganggap setiap persoalan itu bukan masalah yang harus ditekuni. Ia telah
mencoba belajar dan melakukannya seperti yang dilihatnya pada adik
seperguruannya. Terhadap Ki Peda Sura, Pandan Wangi sebagai seorang anak Kepala
Tanah Perdikan, kepada Samekta dan orang-orang yang baru itu, agaknya ia
berhasil menirukan sikap dan tabiat adik seperguruannya, tetapi ketika
tiba-tiba ia di hadapkan pada Pandan Wangi sebagai seorang gadis, maka
tiba-tiba jantungnya serasa membeku. Dengan demikian, maka sejenak mereka
saling berdiam diri. Desir angin malam seolah-olah berbisik di telinga mereka.
Tetapi gejolak di dalam diri mereka telah menenggelamkan segala perhatian
terhadap keadaan di sekeliling mereka. Namun tiba-tiba, Gupita yang ingin
mengurangi ketegangan di dalam dadanya itu, mengangkat wajahnya. Serasa
darahnya berhenti mengalir, ketika ia melihat iring-iringan yang berjalan ke
arah mereka.
“Tidak ada
kesempatan untuk lari lagi,” desisnya.
Pandan Wangi
yang mendengar desis itu pun segera mengangkat wajahnya meraba hutu pedangnya.
“Mereka pergi
kemari.”
Tetapi Gupita
menggeleng,
“Tidak. Mereka
tidak menuju kemari. Mereka adalah pasukan Ki Peda Sura yang ingin mengundurkan
dirinya masuk kepadukuhan induk setelah mereka melepaskan pasukanmu.”
Pandan Wangi
tidak menyahut. Tetapi ia membenarkan kata-kata Gupita itu, karena beberapa
puluh langkah di samping iring-iringan itu, terdapat iring-iringan yang lain
pula. Agaknya mereka terbagi menjadi dua kelompok untuk menghindarkan diri dari
kemungkinan-kemungkinan yang berbahaya bagi mereka. Tetapi sekelempok di antara
mereka berjalan ke arah kedua anak-anak muda yang sedang duduk di pematang itu.
Semakin lama semakin dekat, sehingga mereka tidak akan dapat tinggal diam duduk
di pematang itu.
“Apa yang
harus kita lakukan?” bertanya Pandan Wangi.
“Bersembunyi.”
“Kenapa
bersembunyi?”
“Lalu, kau mau
apa?”
“Kita melawan
sambil menghindar.”
Gupita tidak
menjawab lagi. Iring-iringan itu semakin dekat. Kalau mereka masih saja
berbantah, maka salah seorang dari mereka pasti akan segera melihat. Karena itu
maka tiba-tiba saja ia mendorong tubuh Pandan Wangi sehingga gadis itu
terguling di atas tanah yang becek.
“Jangan
berbicara lagi,” bisik Gupita,
“kita
bersembunyi di sela-sela tanaman di sawah ini. Kau harus diam dan mencoba menguasai
pernafasanmu.”
Pandan Wangi
masih akan menjawab, tetapi Gupita yang telah berguling di sampingnya segera
mendorongnya,
“Masuk lebih
dalam lagi.”
Pandan Wangi
tidak membantah lagi. Ia pun kemudian merangkak masuk ke dalam rimbunnya
tanaman di sawah yang becek. Di belakangnya Gupita pun merangkak dengan
hati-hati sambil sekali-sekali mengangkat kepalanya untuk melihat iring-iringan
yang semakin lama menjadi semakin dekat.
Tetapi
ternyata mereka tidak tepat mengambil arah tempat kedua anak-anak muda itu
bersembunyi. Mereka akan lewat beberapa langkah daripadanya. Dalam keremangan
cahaya bulan, Gupita dapat melihat, bahwa beberapa orang di antara mereka
sedang mengangkat sesosok tubuh di atas pundak mereka.
“Ki Peda
Sura,” gumam Gupita perlahan-lahan.
Pandan Wangi
yang mendengarnya, dari sela-sela ujung daun-daun yang rimbun. Ia pun melihat pula, bahwa agaknya Ki Peda Sura
tidak mampu untuk berjalan sendiri, sehingga harus diangkat oleh
orang-orangnya.
Tetapi belum
lagi debar di dalam dada kedua anak-anak muda itu reda, mereka melihat
iring-iringan dari arah yang lain. Dengan dada yang berdebar-debar mereka
melihat kedua iring-iringan dari arah yang berlawanan itu semakin mendekat.
Namun agaknya mereka telah memiliki tanda-tanda yang khusus, sehingga mereka
segera mengetahui, bahwa yang mereka jumpai sama sekali bukan lawan mereka. Gupita
dan Pandan Wangi terpaksa menahan nafas mereka, supaya desahnya tidak
terdengar. Tidak terlampau jauh dari kedua anak-anak muda itu, kedua pasukan
yang datang dari arah yang berlawanan itu bertemu.
“Kenapa kalian
tidak menunggu kami?” bertanya pemimpin pasukan yang baru datang.
“Pekerjaan
kami telah selesai,” jawab salah seorang dari pasukan Ki Peda Sura.
“Apakah kalian
berhasil membinasakan orang-orang Menoreh yang bodoh itu?”
“Sebagian,
yang lain melarikan diri.”
Pimpinan
pasukan yang baru datang itu berdiam diri sejenak. Namun dari antara mereka,
seorang anak yang masih terlampau muda, mendesak maju sambil bertanya,
“Bagaimana
dengan Kakak Pandan Wangi?”
Sejenak tidak
terdengar jawaban. Namun kemudian terdengar desis yang lambat,
“Pandan Wangi
adalah seorang gadis yang perkasa. Ia selamat.”
Semua orang
berpaling ke arah suara itu. Pemimpin pasukan yang baru datang itu pun
bertanya,
“Siapa yang
terluka itu?”
“Ki Peda Sura.”
“He. Ki Peda
Sura terluka?”
“Ya.”
“Siapa yang
melukainya?”
Yang terdengar
adalah suara Ki Peda Sura lambat, hampir tidak terdengar, apalagi dari tempat
Gupita dan Pandan Wangi bersembunyi,
“Pandan Wangi.
Pandan Wangi lah yang telah melukai aku.”
“Terkutuklah
anak itu,” terdengar pemimpin pasukan yang baru datang itu menggeram. Tetapi
tanpa disangka-sangka, anak muda yang berada di antara mereka menyahut,
“Adalah wajar
sekali, bahwa di dalam pertempuran seorang melukai orang yang lain, yang berada
di pihak yang berlawanan.”
“Persetan,” pemimpin
pasukan itu menggeram,
“tetapi Pandan
Wangi telah berbuat kesalahan besar. Ia terlampau menyombongkan dirinya,
sehingga ia berani melukai Ki Peda Sura.”
Pandan Wangi
dan Gupita mendengarkan percakapan itu dengan hati yang berdebar-debar. Kalau
pemimpin pasukan yang baru itu tidak dapat mengendalikan dirinya, dan beberapa
orang dan pasukan Ki Peda Sura menunjukkan arah larinya, maka tidak mustahil
mereka akan mencoba mencarinya. Tetapi tidak terduga-duga, anak muda yang
berada di dalam pasukan itu menyahut,
“Itu bukan
suatu kesombongan, tetapi suatu kebanggaan. Apakah kau juga menyombongkan
dirimu setiap kali membunuh atau melukai lawan?”
“Tetapi tidak
seorang yang memiliki ilmu setinggi Ki Peda Sura.”
“Itu adalah salah
Ki Peda Sura, kenapa ia memberi kesempatan kepada lawannya sehingga melukainya.
Kalau ia memang berilmu tinggi, dan mempunyai kelebihan dari lawannya, namun ia
dapat juga dilukai oleh lawannya yang sekedar menyombongkan dirinya, itu adalah
salahnya.”
Agaknya
pemimpin pasukan itu menjadi marah. Dengan garang ia berkata,
“Aku akan
mencari Pandan Wangi sampai ketemu. Aku sendiri akan membunuhnya.”
“Huh,” anak
yang masih terlampau muda itu memotong,
“kaulah yang
terlampau sombong. Kakak Pandan Wangi dapat melukai Ki Peda Sura. Apalagi kau.
Kepalamulah yang lebih dahulu dipenggalnya.”
“Persetan,”
kemarahannya tiba-tiba memuncak, “kau mencoba mencegah aku, he?”
“Aku tidak
mencegahmu, tetapi aku mengatakan kemungkinan yang paling dekat padamu.”
“Gila! Ternyata
kau merupakan duri di dalam pasukan ini. Apakah kau yang lebih dahulu harus
dibungkam.”
“Apa kau
bilang!” tiba-tiba anak yang masih terlampau muda itu meloncat sambil menarik
pedang di lambungnya,
“ayo,
lakukanlah!”
Dalam
ketegangan itu tiba-tiba terdengar suara Ki Peda Sura,
“Anak itu
benar. Jangan mencoba mencari Pandan Wangi. Ia terlampau perkasa. Biarlah ia
pergi ke pasukannya. Mungkin akan datang suatu kesempatan bagimu, lusa atau
kapan saja untuk menemuinya dan mencoba ketajaman sepasang pedangnya.”
Pemimpin
pasukan itu menggeram sekali lagi. Dihentakkannya kakinya ke tanah. Katanya,
“Lalu, apa
yang akan kita lakukan?”
“Kembali ke
induk pasukan,” desis Ki Peda Sura.
“Beberapa
orang pengawas dapat kalian tinggalkan di sini. Pengawas yang kuat dan cukup
banyak. Seperti Argapati, kalian harus melengkapi pengawas-pengawas itu dengan
tanda-tanda sandi dan beberapa ekor kuda.”
“Aku kecewa,
bahwa aku tidak dapat bertemu dengan Pandan Wangi,” pemimpin pasukan yang baru
itu masih saja bergumam.
“Tidak perlu sekarang,”
suara Ki Peda Sura lambat,
“sekarang kita
kembali ke induk pasukan. Bukankah Sidanti telah berhasil menduduki padukuhan
induk?”
Pemimpin
pasukan itu terdiam sejenak. Dengan sudut matanya dipandanginya ujung pedang di
tangan anak muda yang berdiri beberapa langkah di hadapannya. Kemudian katanya,
“Baik. Kita
akan kembali ke induk pasukan. Aku akan meninggalkan satu kelompok
orang-orangku di sini.”
“Bagus,” desis
Ki Peda Sura, “marilah, kita pergi.”
Pemimpin
pasukan itu terdiam sejenak. Namun kemudian sambil menunjuk pedang anak muda di
hadapannya ia berkata,
“Kau jangan
main-main dengan pedang anak manis. Kalau ayahmu mendengar perbuatanmu, kau
akan dijantur di atas pohon sawo di halaman rumahmu.”
“Ayah akan
membenarkan sikapku. Kalau kita tidak sependapat, maka pasti Ayah lah yang
bersalah dalam hal ini.”
Pemimpin
pasukan itu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian,
“Ayo, kita
kembali. Jangan hiraukan anak gila itu.”
Pemimpin
pasukan itu segera memerintahkan orang-orangnya kembali. Namun di antara mereka,
sekelompok besar ditinggalkannya di padukuhan di hadapan mereka untuk mengawasi
keadaan. Mereka telah meyakini, bahwa pasukan Menoreh telah mundur jauh-jauh,
sehingga untuk waktu yang pendek tidak mungkin lagi akan kembali. Sejenak
kemudian pasukan-pasukan itu pun telah bergerak meninggalkan tempat itu kembali
ke padukuhan induk yang ternyata telah diduduki oleh Sidanti dan pasukannya.
Ketika mereka
telah menjadi semakin jauh, maka Gupita
pun menarik nafas dalam-dalam. Perlahan-lahan mereka berdiri sambil
menggeliat.
“Hem, keadaan
telah menjadi semakin parah,” gumam Gupita,
“tetapi
siapakah anak muda itu. Anak muda yang mencarimu, dan membelamu di hadapan
pemimpinnya?”
“Namanya
Prastawa,” jawab Pandan Wangi,
“ia adik
sepupuku. Salah seorang putera Paman Argajaya.”
“Oh,” Gupita
mengangguk-angguk, “sifat ayahnya yang keras kepala tampak pula padanya.”
Pandan Wangi
mengerutkan keningnya. Tiba-tiba ia bertanya,
“Apakah kau
sudah mengenal Paman Argajaya secara pribadi?”
Pertanyaan itu
telah membuat dada Gupita berdesir. Tetapi segera ia menemukan jawabnya,
“Siapakah
orang Menoreh yang tidak mengenai Ki Argajaya, meskipun tidak secara pribadi.
Siapakah yang tidak mengenal tabiat, sifat, dan wataknya? Apalagi kini, setelah
dengan jelas ia berpihak kepada Sidanti.”
Pandan Wangi
mengangguk-anggukkan kepalanya. Di antara sadar dan tidak ia bergumam,
“ia berpihak
kepada orang lain daripada saudara sendiri.”
Kini
Gupita-lah yang bertanya dengan serta merta,
“Siapakah yang
kau maksud dengan orang lain?”
“Oh,” Pandan
Wangi tergagap,
“maksudku,
maksudku, Paman telah berpihak kepada Ki Tambak Wedi. Bukankah Ki Tambak Wedi
itu orang lain bagi Paman.”
“Tetapi
Sidanti adalah kemenakannya.”
Dengan
perasaan yang aneh Pandan Wangi mengangguk,
“ya, Kakang
Sidanti adalah kemenakan Paman Argajaya.”
Namun dalam
pada itu, sebuah goresan yang tajam telah menggorek luka di hati gadis itu.
Terasa betapa pahitnya persoalan yang kini terjadi di Menoreh. Teringat olehnya
ceritera ayahnya, bahwa ibunya pada saat mengandung Sidanti, berkata kepada
ayahnya,
“Kalau tidak
kau bunuh kami, maka anak di dalam kandungan ini, akan membawa persoalan
sepanjang hidupnya.”
Tiba-tiba
kepala Pandan Wangi seolah-olah terkulai, menunduk dalam-dalam. Beberapa titik
air matanya membasah di pelupuknya. Peristiwa itu ternyata benar-benar tidak
terhenti sejak perang tanding antara Arya Teja dan Puguhan selesai. Tidak juga
setelah ayahnya mengambil perempuan yang telah mengandung itu menjadi istrinya
untuk seterusnya. Bahkan tidak juga selesai setelah ia lahir.
“Betapa
anehnya, bahwa aku sempat juga lahir,” katanya di dalam hati,
“ayah dan ibu
menyimpan persoalan yang berakar di dalam hati mereka. Dengan demikian, maka
kedamaian yang aku dapati di rumah itu, adalah kedamaian yang lamis. Cinta ayah
dan ibu kemudian kelahiranku inipun, sebenarnya adalah akibat sikap
berpura-pura dari mereka berdua.”
Hampir saja
Pandan Wangi meledakkan tangisnya. Tetapi tanpa disengajanya, tangannya
menyentuh hulu pedangnya. Dengan demikian, maka segera ia teringat, bahwa ia
kini sedang berada di medan perang. Apalagi ketika terdengar suara Gupita,
“Pandan Wangi,
apakah yang sedang kau renungkan? Kita harus segera berbuat sesuatu, sebab
masih banyak sekali kemungkinan yang akan terjadi. Daerah ini masih akan
mengalami seribu satu macam perubahan. Dan perubahan-perubahan itu dapat
terjadi dengan cepatnya.”
Pandan Wangi
mengusap matanya dengan ujung bajunya. Namun ia masih tertunduk, untuk
menyembunyikan wajahnya dari cahaya bulan yang kuning.
“Baiklah,”
katanya kemudian dalam nada yang datar, “apakah sebaiknya yang harus kita
lakukan?”
“Kembalilah
kepasukanmu.”
“Baiklah,”
Pandan Wangi tidak mempersoalkannya lagi. Tiba-tiba saja ia melangkahkan
kakinya sambil menunduk.
“He, ke mana
kau akan pergi?” bertanya Gupita.
“Bukankah aku
harus pergi kepasukanku?”
Gupita
merasakan sesuatu yang aneh pada gadis itu. Pandan Wangi seakan-akan kehilangan
gairah untuk memikirkan peperangan ini. Bahkan sikapnya agaknya menjadi acuh
tidak acuh saja.
“Pandan Wangi,”
berkata Gupita kemudian,
“di sekitar kita
masih mungkin bersembunyi berbagai macam bahaya yang tidak kita kenal. Itulah
sebabnya kau harus berhati-hati. Jangan berjalan begitu saja seperti kau pergi
ke sendang. Kau tidak tahu, apakah yang bersembunyi di balik sehelai ilalang di
hadapanmu.”
Terasa dada
gadis itu berdesir. Seolah-olah ia kini baru tersadar dari tidurnya yang
dicengkam oleh mimpi yang mengerikan. Tanpa sesadarnya, maka kedua tangannya
telah meraba hulu sepasang pedangnya. Kemudian ditariknya nafas dalam-dalam.
Diedarkannya pandangan matanya ke sekelilingnya. Tanaman di sawah. Padesan dan
pepohonan pategalan di arah lain. Warna kuning yang terpencar dari bulan bulat
di langit, terpercik di setiap wajah dedaunan.
Pandan Wangi
mengangguk-anggukkan kepalanya. Perlahan-lahan ia berdesis,
“Ya, aku
memang harus berhati-hati.”
“Nah, jangan
merenung. Kau tidak mempunyai kesempatan untuk melakukannya di medan perang.
Kalau kau hati-hati dan berhasil mencapai pasukannya, maka kau akan mempunyai
banyak kesempatan untuk merenung.”
“Ah,” Pandan
Wangi berdesah, tetapi ia tidak menjawab.
“Kau harus
menghindari padesan itu agak jauh.”
Pandan Wangi
mengangguk kosong,
“Baikah,”
jawabnya, “aku akan berangkat sekarang.” Dan tanpa sesadarnya ia bertanya,
“Apakah kau
akan pergi ke sana juga?”
Gupita menggelengkan
kepalanya. Tetapi tiba-tiba ia menjadi ragu-ragu untuk menjawab. Meskipun
demikian, ia berkata juga, “Tidak.”
Tampaklah di
wajahnya gadis itu menjadi kecewa. Sejenak in berdiri mematung. Namun kemudian
terdengar suaranya dalam,
“Kalau begitu,
kita berpisah sampai di sini. Mudah-mudahan aku selamat sampai kepasukanku.”
Kini
Gupita-lah yang menjadi ragu-ragu. Dengan dada yang berdebar-debar ia melihat
Pandan Wangi bergeser. Kemudian memutar tubuhnya dan melangkah lambat
meninggalkannya. Tetapi beberapa langkah kemudian gadis itu berhenti sambil
berpaling. Gupita masih berdiri di tempatnya. Ketika mata gadis itu membentur
tatapan matanya yang tajam, maka dengan tergesa-gesa Pandan Wangi melemparkan
pandangannya jauh menembus cerahnya sinar bulan purnama. Sedang debar jantung
di dadanya terasa menjadi semakin cepat menghentak-hentak. Sehingga untuk
sesaat ia berdiri saja kebingungan. Baru kemudian ketika getar diarus darahnya
telah mereda, ia meneruskan langkahnya dengan kaki gemetar. Tetapi langkahnya kemudian
tertegun. Ia mendengar suara lunak memanggilnya.
“Tunggu Pandan
Wangi.”
Sekali lagi
Pandan Wangi berpaling. Dilihatnya Gupita melangkah mendekatinya sambil
berkata,
“Marilah, aku
antarkan kau sampai ke pasukanmu.”
Secercah
kegembiraan meloncat ke wajah Pandan. Wangi. Hampir saja ia berteriak
kegirangan seperti anak-anak mendapat mainan. Namun dengan sepenuh kesadarannya
sebagai seorang gadis, ditahankannya perasaannya. Bahkan kemudian tumbuhlah
kesenangan di dalam hatinya, bercampur baur dengan harga diri dan rasa malu.
Dalam kebingungan, maka meloncatlah hiruk pikuk di dalam hatinya itu. Lewat
bibirnya,
“Aku tidak
perlu pengantar. Aku cukup mengenal daerah ini, karena aku dilahirkan di tanah
ini.”
Gupita
terkejut mendengar jawaban yang tidak terduga-duga itu sehingga sejenak ia
terbungkam. Sebagai seorang anak muda yang selalu dibayangi oleh keragu-raguan
dan kebimbangan, Betapapun ia berusaha memulas dirinya menjadi seorang gembala
yang membiarkan perasaannya meloncat-loncat, namun ia tidak dapat melepaskan
diri dari kediriannya. Karena itu, maka wajahnya menjadi semburat merah oleh
hentakan yang tiba-tiba itu. Untunglah bahwa bayangan wajahnya sendiri telah
menyaput perasaannya yang terpancar di wajah itu.
Dengan susah
payah Gupita mencoba menguasai dirinya dicobanya menempatkan dirinya pada
keadaannya kini. Seorang gembala yang seolah-olah hidup bebas tanpa kekangan
apapun. Katanya,
“Ha, jangan
dikuasai oleh peraaan saja. Meskipun kau seorang gadis, tetapi kau telah berada
di medan perang. Karena itu, maka kau harus mempergunakan perhitungan seorang
prajurit, bukan perasaan seorang gadis.”
Kata-kata itu
memang dapat menyentuh perasaan Pandan Wangi. Tetapi ia tidak segera dapat
melepaskan perasaannya. Karena itu, maka dengan serta merta ia menjawab,
“Itulah
sebabnya. Karena aku adalah seseorang yang telah menerjunkan diri di dalam
peperangan, maka aku tidak ingin diperlakukan sebagai seorang gadis cengeng,
yang hanya berani pulang apabila diantar oleh seseorang yang dianggapnya akan
dapat melindunginya. Tetapi sepasang pedangku ini adalah pelindungku yang
sebaik-baiknya.”
“Tetapi
perhitungan itu tidak tepat. Perhitungan itu bukan perhitungan seorang
prajurit. Itu adalah perhitungan seorang gadis yang mempunyai harga diri dan
membawa sepasang pedang di lambung. Tetapi perhitungan seorang prajurit adalah
lain. Seandainya kau bukan seorang gadis sekalipun, maka kau memerlukan kawan
dalam keadaan yang gawat serupa ini. Bukan karena takut, tetapi setiap
kemungkinan dapat terjadi. Mungkin kau akan bertemu dengan sekelompok peronda,
atau bertemu dengan seorang yang memiliki kemampuan yang melampaui
kemampuanmu.”
Gupita melihat
Pandan Wangi akan memotongnya, tetap segera ia berkata,
“Nanti dulu,
jangan memotong kata-kataku. Maksudku, bukan karena kau tidak berkemampuan
untuk mempertahankan diri. Tetapi kita tidak boleh terlepas dari kenyataan
bahwa kita bukan seorang yang paling mumpuni di atas bumi. Nah, dalam keadaan
yang demikian itulah, kau memerlukan seorang kawan. Mungkin untuk melawan
bersama-sama, mungkin untuk kepentingan yang lain. Untuk menjadi saksi pada
setiap keadaan, sampai keadaan yang paling parah sekalipun. Seorang kawan akan
dapat memberitahukan kepada orang lain, apakah yang sudah terjadi atas diri
kita masing-masing.”
Pandan Wangi
terdiam sejenak. Ia dapat menangkap kebenaran kata-kata Gupita. Tetapi sulitlah
baginya untuk melepaskan diri dari perasaannya sebagai seorang gadis yang
dengan sadar berdiri di atas kegadisannya yang berhadapan dengan seorang anak
muda yang belum terlampau dikenalnya di tengah-tengah medan.
Tetapi
tiba-tiba terloncatlah perkataan dari mulutnya yang gemetar,
“Gupita. Itu
adalah tanggapan seorang gembala yang panik. Tetapi tidak bagi seorang
prajurit. Aku akan melangkahi setiap jarak di atas tanah ini dengan dada tengadah.
Ini adalah tanahku. Apa pun yang akan terjadi atasku.”
Dada Gupita
berdesir mendengar jawaban itu. Sekali lagi melonjaklah kediriannya. Tiba-tiba
saja Gupita dicengkam oleh kepribadiannya sendiri, tanpa dapat mengelakkannya.
Dengan nada rendah ia berkata,
“Baiklah
Pandan Wangi. Aku memang sekedar seorang gembala yang kecil. Maafkan aku. Kau
adalah seorang puteri Kepala Tanah Perdikan yang besar. Kau benar, bahwa
tanggapanku adalah tanggapan seorang gembala. Bukan tanggapan seorang prajurit.
Karena itu, sekali lagi aku minta maaf kepadamu.”
Jawaban itu
benar-benar tidak diduga-duga oleh Pandan Wangi. Ia tidak menyangka, bahwa
gembala yang lepas bebas, yang setiap langkahnya diwarnai oleh kebebasan
jiwanya, seperti suara serulingnya yang lepas di udara yang jernih itu,
tiba-tiba merajuk seperti seorang gadis cengeng yang hatinya tersinggung oleh
kata-kata kekasihnya. Karena itu, justru sejenak Pandan Wangi berdiri tegak
seperti patung yang membeku. Namun sejenak kemudian disadarinya, bahwa agaknya
kata-katanya benar-benar telah menyinggung perasaan gembala itu. Sehingga
lambat sekali dipaksakannya mulutnya berkata,
“Maafkan aku
Gupita. Aku tidak ingin menghinamu. Mungkin kata-kataku terdorong oleh
perasaanku yang melonjak-lonjak.”
Gupita
ternyata terperanjat mendengar permintaan maaf itu. Segera disadarinya, bahwa
hampir-hampir saja ia hanyut di dalam kediriannya. Hampir-hampir ia lupa akan
peranannya dalam permainan itu. Karena itu, tiba-tiba ia tertawa, meskipun
betapa hambarnya,
“Tidak Pandan
Wangi. Aku sama sekali tidak bermaksud demikian. Aku hanya sekedar bergurau.
Sekarang terserah kepadamu, apakah kau akan berkenan untuk menerima aku sebagai
kawan perjalananmu.”
Sekali lagi
Pandan Wangi terperanjat melihat perubahan sikap itu. Ia benar-benar tidak
mengerti, dengan siapa sebenarnya ia berhadapan. Dalam keadaan yang serba
membingungkan itu, terdengar ia berkata sambil menganggukkan kepalanya,
“Baiklah.
Marilah.”
“Nah,” berkata
Gupita sambil tertawa pendek. Tiba-tiba saja kakinya telah meloncat berlari
sambil berkata, “Marilah.”
Namun
sebenarnya Gupita sedang menghentakkan segenap kekuatannya untuk melawan
perasaan sendiri. Hampir saja ia mutung dan meninggalkan Pandan Wangi di
tengah-tengah sawah itu. Untunglah, bahwa segera ia menyadari dirinya, bahwa
bukan demikianlah peran yang harus dibawakannya. Tetapi justru dalam keadaan
yang terlampau sulit itulah, maka sikapnya menjadi berlebih-lebihan. Usahanya
untuk mengatasi kekecilan hatinya, melonjak tanpa dapat dibatasinya. Dengan
lincahnya, Gupita melangkahkan kakinya. Kemudian disambarnya tangan Pandan
Wangi sambil berkata,
“Marilah kita
berpacu.”
Pandan Wangi
terkejut dalam keadaan yang khusus, ia sama sekali tidak menyadari, bahwa
Gupita telah menuntunnya berlari-lari dan bahkan telah mendorongnya sehingga ia
terguling-guling di atas tanah yang becek di tengah-tengah sawah ini. Namun
kini tiba-tiba nak muda itu menyambar tangannya dan menariknya berlari. Hampir
saja Pandan Wangi menolaknya, tetapi ia mengurungkan niatnya. Teringatlah ia.
bahwa ia masih berada di tengah-tengah daerah berbahaya. Maka sejenak kemudian,
di dalam bayangan cahaya bulan yang bulat, sepasang anak muda itu
berlari-larian meloncati pematang dan menyelusur parit seperti sepasang kijang
yang sedang berkejaran.
“Kita harus
segera sampai ke induk pasukanmu Pandan Wangi,” berkata Gupita,
“mereka pasti
sudah berkumpul di tempat yang telah ditentukan. Pasukanmu pun pasti telah
berada di sana pula.”
Pandan Wangi
tidak menyahut. Tetapi pegangan tangan gembala itu serasa mengalirkan getaran-getaran
yang tidak dikenalnya. Itulah sebabnya, maka ia tidak segera menjawab. Yang
terasa olehnya adalah debar jantungnya yang semakin cepat.
Sementara itu,
ketika perkembangan pertempuran pasukan Pandan Wangi menjadi semakin nyata,
bahwa mereka akan menarik diri dari peperangan, maka di bawah Pucang Kembar, Ki
Tambak Wedi telah dicengkam oleh kegelisahan yang semakin memuncak. Ternyata
orang-orang yang diharapkan untuk membantunya membunuh Argapati, masih juga
belum datang meskipun ia sudah memberikan tanda beberapa kali. Sedang Argapati
sendiri, meskipun dadanya telah terluka, namun tandangnya masih saja seperti
banteng ketaton.
“Apakah mereka
mampus dicekik hantu?” geram Ki Tambak Wedi di dalam hatinya.
Meskipun ia
yakin, bahwa tanpa bantuan seorang pun pada kedua belah pihak, ia pasti akan
memenangkan perkelahian itu, kerena Argapati telah terluka, namun ia tidak
dapat menduga, berapa lama ia memerlukan waktu. Sedang kawan-kawannya
benar-benar telah terdesak. Yang masih dapat melawan ketiga pengawal Menoreh
sebaik-baiknya adalah seorang saja dari antara keduanya, karena seorang yang
terluka menjadi semakin lama semakin bertambah lemah. Dengan hati yang dipenuhi
oleh kecemasan dan teka-teki, sekali lagi dari mulut Ki Tambak Wedi terdengar
suitan nyaring. Namun suitan ini pun menggeletar tanpa arti. Tidak sehelai
daun pun yang tergetar karenanya.
Apalagi tubuh-tubuh yang berloncatan dengan pedang di tangan.
“Suaramu
benar-benar mirip tangis seekor kelinci,” berkata Argapati dalam nada yang
berat,
“atau makian
hantu yang kehilangan kubur.”
“Persetan,” Ki
Tambak Wedi menggeram. Tandangnya menjadi semakin sengit. Senjata
melingkar-lingkar di seputar tubuh lawannya.
Namun
disadarinya, bahwa apabila keadaan berlangsung demikian, maka kedua kawannya
akan segera binasa, dan ketiga orang pengawal dari Menoreh itu akan
bersama-sama dengan Argapati menyerangnya. Lemparan pisau salah seorang
daripadanya cukup berbahaya, sedang kedua orang yang lain akan dapat
mengganggunya, sementara Argapati menghunjamkan tombaknya di dadanya.
“Setan alas,”
ia mengumpat di dalam hatinya. Namun orang-orangnya yang sudah dipersiapkan
masih juga belum datang.
Dalam
kegelapan hati, maka Ki Tambak Wedi pun
semakin memeras tenaganya. Tetapi ia tidak kehilangan akal, sehingga
perlawanannya justru menjadi semakin seru dan berbahaya. Dalam keadaan yang
demikian itulah, maka telah terjadi sesuatu yang menggetarkan dada setiap orang
yang berada di bawah Pucang Kembar. Tiba-tiba dari dalam kegelapan bayangan
dedaunan muncullah sesosok tubuh yang tertatih-tatih. Bukan sesosok tubuh yang
tegap meloncat dengan senjata di genggaman. Yang paling terkejut di antara
mereka adalah Ki Tambak Wedi. Orang yang ternyata terluka itu berusaha untuk
mendekatinya. Perlahan-lahan dari mulutnya terdengar sebuah desis yang lambat.
Tetapi tidak seorang pun dapat mengerti
apa yang dikatakan.
“He, kenapa
kau?” teriak Ki Tambak Wedi.
Orang itu
memang ingin menjawab. Namun sejenak kemudian jatuh tersungkur. Yang terdengar
hanyalah sebuah keluhan pendek. Seterusnya diam.
“Siapakah
orang itu Paguhan?” terdengar suara Argapati berat.
“Persetan
dengan orang itu,” jawabnya. Namun terasa nada kecemasan mewarnai kata-katanya.
Sebenarnyalah,
bahwa Paguhan yang bergelar Ki Tambak Wedi itu telah dicengkam oleh kecemasan
yang sangat. Orang itu adalah salah seorang dari pasukan kecilnya yang harus
datang pada saat ia bersuit memanggilnya. Orang-orang itulah yang harus
membantunya, membunuh Argapati. Tetapi ternyata yang datang di antara mereka
hanya seorang. Itu pun hanya sekedar menyatakan dirinya, bahwa ia telah terluka
parah. Berbagai pertanyaan telah menggelepar di dalam dada Ki Tambak Wedi. Yang
terjadi itu benar-benar di luar dugaannya. Pasukannya adalah sepasukan kecil
yang cukup kuat. Untuk melawan seorang yang mumpuni seperti Ki Argapati. Namun
agaknya pasukan kecil itu telah menjadi terpecah belah. Bahkan mungkin orang
yang datang itu adalah satu-satunya orang yang sempat keluar dari suatu keadaan
yang tidak dapat dibayangkannya.
“Apakah yang
telah terjadi dengan mereka?” pertanyaan itu telah mengejarnya di setiap
langkahnya.
Sementara itu,
kedua kawannya menjadi semakin terdesak. Mereka bergeser semakin jauh. Meskipun
kedua orang itu adalah orang-orang terpilih, namun menghadapi tiga orang
pengawal terpilih pula, mereka terdesak tanpa dapat dapat berbuat terlalu
banyak. Apalagi yang seorang daripadanya telah terluka.
“Apakah ada
seseorang yang dengan rahasia telah membantu Argapati?” pertanyaan itu pun
telah mengganggunya pula.
Maka sejenak
sambil bertempur, Ki Tambak Wedi membuat pertimbangan-pertimbangan. Kalau ia
terlampau lama berkelahi melawan Argapati, maka kemungkinan yang paling buruk
dapat terjadi atasnya. Mungkin memang seseorang telah berusaha membantu
Argapati dengan rahasia. Apabila orang itu berhasil membinasakan pasukan
kecilnya, kemudian membantu Argapati pula dalam perang tanding ini, keadaannya
akan sangat berbahaya. Seandainya bukan seseorang, tetapi juga sepasukan
pengawal Menoreh yang kuat, itu pun akan berakibat serupa baginya.
“Pekerjaanku
belum selesai,” ia bergumam di dalam dirinya,
“aku masih
harus berbuat terlampau banyak untuk kepentingan Sidanti. Selagi Sidanti belum
mapan benar, aku tidak akan dapat melepaskannya seorang diri. Apalagi aku masih
belum percaya sepenuhnya kepada Argajaya. Mungkin ia akan mempergunakan setiap
kesempatan untuk kepentingan sendiri.”
Namun dalam
pada itu, nafsunya untuk membunuh Argapati semakin berkobar di dalam dadanya.
Tetapi adalah suatu kenyataan, bahwa ia telah kehilangan kesempatan yang sudah
dipersiapkan.
“Satu-satunya
cara adalah, membuat Argapati semakin memeras tenaganya, supaya darahnya
menjadi semakin banyak mengalir. Ia tidak akan dapat bertahan sampai bulan
bulat itu tenggelam di balik bukit. Sebelum fajar, ia pasti sudah kehabisan
tenaga, dan jatuh tersungkur di bawah ujung kakiku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar