Jilid 037 Halaman 3


Apalagi kini mereka bergabung menjadi suatu kekuatan yang melandanya seperti ombak di lautan didorong badai yang dahsyat. Segera Ki Peda Sura terdesak mundur. Beberapa kali ia terpaksa meloncat menjauh. Namun setiap kali kedua anak-anak muda itu memburunya tanpa memberinya kesempatan. Dalam keadaan yang demikian, maka Ki Peda Sura merasa perlu untuk membuat keseimbangan. Tidak terlampau jauh dari arena itu, orang-orangnya sedang mengejar orang-orang Menoreh, sehingga satu dua orang di antara mereka pasti akan segera dapat ditarik untuk membantunya menghadapi kedua anak-anak muda yang mengagumkan ini. Sejenak kemudian, maka Ki Peda Sura tidak merasa segan lagi untuk berbuat demikian. Segera terdengarlah suitan nyaring yang keras sekali memanjang membelah sepinya malam. Itu adalah pertanda, bahwa Ki Peda Sura yang tua dan garang itu memerlukan bantuan untuk keselamatannya. Ternyata suitan itu telah menggetarkan dada Gupita dan Pandan Wangi. Mereka segera menyadari arti dari panggilan itu bagi diri mereka. Tetapi mereka tidak lagi dapat surut. Perkelahian itu sudah berlangsung dengan sengitnya. Baik Pandan Wangi maupun Gupita telah bertekad untuk menyelesaikan pertempuran itu. Namun bagaimanakah nasib mereka, apabila orang-orang Ki Peda Sura itu kemudian berlari-larian datang membantunya? Yang terpikir oleh Gupita kemudian adalah menyelesaikan pertempuran itu secepat-cepatnya, lalu secepat-cepatnya pula menyingkir. Karena itu, maka begitu suitan Peda Sura lenyap dari udara, serangannya pun kian menggila. Cambuknya meledak tidak putus-putusnya. Diperasnya segenap kemampuan yang ada padanya. Kelincahan, ketangkasan dan terutama kesegaran tenaganya. Ia ingin berkelahi untuk waktu yang singkat sehingga ia tidak perlu lagi menghemat tenaganya. Agaknya Pandan Wangi pun memaklumi sikap itu. Maka dilimpahkannya semua sisa tenaganya dengan mempercepat setiap gerakan. Kedua ujung pedangnya menjadi semakin cepat meluncur mematuk dari segala arah. Serangan-serangan yang demikian agaknya kurang diperhitungkan oleh Ki Peda Sura. Ia tidak bersiap untuk menerima pengerahan segenap kemampuan kedua anak-anak muda itu bersama-sama. Ledakan-ledakan cambuk yang menjadi semakin dahsyat dan gerakan kedua ujung pedang itu membuatnya agak gugup. Kesempatan itulah yang ditunggu-tunggu oleh Gupita. Sebelum Ki Peda Sura yang menyimpan berbagai pengalaman di dalam dirinya itu menyadari keadaannya dan mencoba memperbaiki kedudukannya, maka Gupita telah memperketat serangannya dengan memeras kemungkinan yang ada padanya. Ujung cambuknya tiba-tiba berhasil menyambar pundak orang tua itu, sehingga terdengar sebuah keluhan tertahan. Ternyata ujung cambuk itu bukan sekedar ujung dari janget rangkap tiga berganda. Tetapi ujung cambuk itu ternyata dilingkar oleh kepingan-kepingan baja yang tipis, sehingga sentuhan itu benar-benar telah mengelupas kulit Ki Peda Sura.
“Anak setan,” ia mengumpat. Kalau sentuhan-sentuhan yang terdahulu hanya menyentuh pakaiannya. dan tidak menumbuhkan persoalan apapun, maka kini terasa pundaknya sangat pedih.
Dengan demikian, maka kemarahan Ki Peda Sura menjadi semakin menyala di dalam dadanya. Tetapi ternyata ia tidak kehilangan akal. Ia masih tetap berkelahi dengan hati-hati. Dan ia masih tetap sadar, bahwa ia berada dalam bahaya. Dengan demikian, maka sekali lagi terdengar mulutnya bersuit keras sekali memanjang, menyelusur dinginnya malam yang terasa bagi mereka terlampau panas. Gupita menggeretakkan giginya. Ia pun menyadari keadaannya dan keadaan Pandan Wangi. Arti suitan itu bagi mereka, adalah serupa dengan tanda bahaya yang untuk kedua kalinya memberi peringatan kepada mereka. Dengan demikian, Gupita menjadi semakin cepat bergerak. Ia mencoba mengisi kekosongan pada setiap serangan Pandan Wangi. Ketika Peda Sura sedang menghindari ujung pedang yang menyentuh lengannya, maka sekali lagi ia terpekik. Kali ini lebih keras. Ternyata ujung cambuk Gupita sekali lagi mengenainya. Justru kali ini menyentuh keningnya. Sebuah goresan yang merah telah menyobek kulit di kening orang itu. Darah yang merah segera meleleh di pipinya, yang telah basah oleh keringat. Sekali lagi orang itu mengumpat lebih kasar lagi. Dengan tergesa-gesa ia meloncat jauh-jauh surut. Dengan lengan bajunya ia mengusap darah yang menitik di wajahnya itu sambil sekali lagi bersuit nyaring. Namun kali ini kecepatan bergerak Pandan Wangi tidak mampu lagi dihindarinya. Dalam keadaan yang sulit itu, terasa sesuatu menyengat lengannya. Ketika sekali lagi ia meloncat jauh-jauh, maka dari lengannya itu pun mengalir darah. Agaknya Pandan Wangi telah berhasil menyobek kulitnya dengan ujung pedangnya.

Ki Peda Sura menjadi kian sulit karenanya. Gerakan kedua lawannya yang masih muda-muda itu ternyata terlampau berat untuk diimbangi. Namun sampai begitu jauh, ia masih tidak kehilangan akal. Ia masih dapat membuat pertimbangan-pertimbangan yang mampu menyelamatkannya. Ternyata Ki Peda Sura kemudian tidak berusaha untuk melawan kedua anak muda itu lagi. Tetapi segera ia meloncat meninggalkan mereka dan berusaha bergeser ke arah orang-orangnya yang sedang mengejar pasukan Menoreh. Semula Pandan Wangi dan Gupita masih ingin mengejarnya. Tetapi tiba-tiba mata Gupita yang tajam melihat di dalam cerahnya cahaya bulan, beberapa buah bayangan bergerak-gerak dari padesan di hadapan mereka. Segera ia menyadari keadaan yang menjadi semakin gawat. Yang datang itu pastilah orang-orang Ki Peda Sura yang mendengar suitan sampai merambah tiga kali.
“Berhentilah Pandan Wangi,” desis Gupita kemudian,
“lihat, beberapa orang mendatangi. Kita harus segera pergi.”
Pandan Wangi  pun akhirnya melihat mereka pula. Karena itu, maka dadanya menjadi berdebar-debar. Tanpa sesadarnya ia bertanya, “Lalu apakah yang harus kita kerjakan?”
“Lari,” jawab Gupita.
Jawaban itu terdengar aneh ditelinga Pandan Wangi. Lalu apakah ia harus lari dari arena? Namun yang diucapkannya adalah suatu pertanyaan, “Apakah kita biarkan Peda Sura menyelamatkan dirinya?”
“Kita tidak perlu membunuh. Kalau kita dicengkam oleh nafsu membunuh, maka kita akan kehilangan perhitungan. Kita sudah melumpuhkannya. Itulah yang penting. Bukan membunuh. Sekarang kita harus lari, eh, kalau kau tidak mau mempergunakan istilah itu, kita harus menyingkir. Cepat.”
Karena Pandan Wangi masih ragu-ragu, tiba-tiba tangan Gupita menyambar pergelangan tangannya yang masih menggenggam pedang dan menariknya berlari meninggalkan arena itu.
“Cepat, mereka telah melihat kita.”
Pandan Wangi tidak dapat berbuat lain. Ia  pun kemudian berlari kencang-kencang sedapat dilakukan, ditarik oleh Gupita sambil berkata, “Kita harus menghindar.”
“Ya,” jawab Pandan Wangi tanpa sesadarnya. Tetapi ia masih berusaha berpaling melihat apa yang terjadi kemudian dengan Ki Peda Sura.
Dan apa yang dilihatnya benar telah mendebarkan jantungnya sehingga langkahnya  pun menjadi agak tertahan. Bahkan tanpa sesadarnya ia menarik tangannya sambil berkata,
“Lihat.”
Gupita kemudian berpaling. Tetapi tangan Pandan Wangi tidak dilepaskannya. Seperti Pandan Wangi, jantungnya  pun berdebar-debar pula ketika ia melihat Ki Peda Sura terhuyung-huyung. Kemudian orang tua itu terjatuh di tanah. Orang-orang yang berlari-larian dari padesan di sebelah, segera mengerumuninya. Beberapa orang di antara mereka akan berusaha untuk berlari terus mengejar Gupita dan Pandan Wangi. Namun dengan keheran-heranan Pandan Wangi dan Gupita melihat mereka terhenti dan kembali mengitari Ki Peda Sura yang terbaring. Pandan Wangi dan Gupita tidak mendengar apa yang mereka percakapkan, sehingga karena itu, maka sejenak kemudian mereka  pun dengan tergesa-gesa meneruskan langkah mereka.
“Marilah, sebelum terlambat,” ajak Gupita sambil menarik tangan Pandan Wangi.
Pandan Wangi tidak menolak. Tertatih-tatih ia berlari di atas sawah yang becek. Berkali-kali mereka meloncati pematang dan parit yang mengalirkan air yang jernih bening.
“Mereka tidak mengejar kita lagi,” desis Pandan Wangi.
“Belum tentu. Mungkin mereka sedang menerima pesan-pesan dari Ki Peda Sura. Kita harus menjauh sejauh-jauhnya. Kau harus segera sampai kepada pasukanmu, supaya kau dapat berlindung kepada mereka.”
“Akulah yang harus melindungi mereka,” jawab Pandan Wangi sambil terengah-engah.
“Timbal balik. Jangan kau ulangi sikapmu yang berbahaya. Kau tidak perlu berbuat demikian. Kau dapat mundur bersama-sama dengan pasukanmu tanpa mengorbankan dirimu.”
“Tidak mungkin. Kau tidak melihat medan waktu itu, sehingga kau dapat berkata begitu.”
Gupita tidak menjawab, tetapi ia masih saja menarik tangan Pandan Wangi,
“Cepatlah sedikit.”
Pandan Wangi berusaha untuk mempercepat langkahnya. Ketika ia berpaling, maka bayangan orang-orang yang mengerumuni Ki Peda Sura sudah tidak begitu jelas lagi.
“Kita sudah jauh,” berkata Pandan Wangi.
“Kita masih berada di daerah berbahaya. Kita harus menyelusur parit di depan kita, kemudian menyilang jalan. Kita masih harus melintasi bulak kecil itu lagi untuk mencapai padesan.”
“Kita justru menjauhi padesan itu,” sahut Pandan Wangi.
“Kita berjalan melingkar, supaya arah kita tidak segera terpotong.”
“Orang-orang itu mungkin akan memotong arah kita.”
“Karena itu kita harus cepat.”

Mereka mencoba mempercepat langkah mereka. Tetapi Pandan Wangi agaknya sudah mulai lelah setelah ia bertempur memeras tenaganya melawan Ki Peda Sura. Karena itu, maka langkahnya  pun menjadi semakin lambat,
“Aku lelah sekali,” desisnya.
“Jangan,” sahut Gupita,
“kau bagi Tanah Perdikan Menoreh adalah seorang prajurit. Kini kau berada di medan kewajibanmu. Atasilah perasaan lelahmu. Kau harus melatih mengatur pernafasan dan melepaskan tenagamu sesuai dengas kebutuhan.”
“Aku tahu. Tetapi tenagaku terbatas. Suatu saat kita akan sampai ke puncak kemampuan. Dan aku sudah lelah.”
Gupita tidak dapat memaksa Pandan Wangi berlari terus. Kini mereka memperlambat langkah mereka. Meskipun demikian, mereka masih juga berloncat-loncatan di atas pematang. Namun hati mereka menjadi agak tenang, ketika sekali lagi mereka berpaling dan tidak seorang  pun yang mengejar. Sebenarnya, bahwa orang-orang yang akan mencoba mengejar kedua anak-anak muda itu telah ditahan oleh Ki Peda Sura yang terbaring di tanah karena luka-lukanya yang ternyata cukup parah. Perlawanan yang demikian sama sekali tidak disangka-sangkanya. Kedua anak-anak muda itu ternyata memiliki kemampuan yang luar biasa.
“Kalau mereka kelak berhasil menguasai ilmu mereka dengan baik, maka mereka akan menjadi orang-orang yang luar biasa. Mereka akan mampu menyamai Ki Argapati dan Ki Tambak Wedi,” berkata Ki Peda Sura kepada orang-orangnya,
“karena itu, jangan kau kejar mereka, kalau jumlah kalian tidak mencapai sepuluh orang.”
“Kami tidak tahu kalau kami harus berhadapan dengan orang-orang semacam mereka. Sebaiknya kita panggil beberapa kawan lagi. Pertempuran di padesan itu sudah hampir selesai. Orang-orang Menoreh terus menerus menarik dirinya, dan mungkin mereka akan melarikan diri keluar padesan itu bergabung dengan kawan-kawan mereka yang lain.”
“Jangan dikejar juga mereka. Kalian akan terjebak.”
“Ya. Kami sudah menyadari. Kami tidak akan mengejar mereka keluar padukuhan kecil itu.”
“Kita selesai sampai di sini.”
“Lalu, bagaimana dengan Kiai?” bertanya salah seorang anak buahnya.
“Anak-anak setan itu berhasil melukaiku. Aku terlampau letih oleh darah yang keluar dari tubuhku. Bawalah aku menyingkir. Di kantong ikat pinggangku ada semacam obat yang dapat menahan arus darah. Taburkan itu di lukaku. Mudah-mudahan dapat mengurangi keparahan luka itu.”
Beberapa orang berusaha untuk menolong Ki Peda Sura. Yang lain mengambil obat di kantong ikat pinggangnya dan menaburkan di atas luka yang masih mengalirkan darah. Namun agaknya obat itu pun bermanfaat pula. Arus darah dari luka itu pun berangsur berkurang.
“Kalau Sidanti sudah selesai, ia pasti akan mengirimkan beberapa orang kemari. Tetapi di sini  pun kita sudah selesai,” gumam Peda Sura kemudian.
“Bagaimana dengan kedua orang yang melarikan diri itu?”
“Mereka kita lepaskan kali ini. Kini mereka pasti sudah terlampau jauh.”

Saat itu, Pandan Wangi dan Gupita memang sudah agak jauh dari mereka. Tetapi keduanya masih belum bergabung dengan pasukan Menoreh yang sedang menarik diri. Pandan Wangi yang kelelahan, agaknya benar-benar sudah segan untuk berlari. Satu-satu ia melangkah dengan nafas terengah-engah. Apalagi ketika ia menyadari, bahwa tidak seorang pun lagi yang mengejarnya. Bahkan Ki Peda Sura agaknya sudah tidak berdaya lagi.
“Aku tidak dapat berlari lagi,” desisnya.
“Tetapi kau belum berada di tengah-tengah pasukanmu,” sahut Gupita.
“Bahaya sudah tidak terlampau besar lagi kini.”
“Memang bagi kita. Tetapi bagaimana dengan pasukanmu?”
Pertanyaan itu menyentuh dada Pandan Wangi. Pasukan Menoreh itu berada di bawah tanggung jawabnya. Karena itu, maka tiba-tiba ia menggeram,
“Ya, aku harus segera berada di antara mereka. Bukan untuk berlindung, tetapi aku harus bertanggung jawab atas semua persoalan yang terjadi.”
Gupita tidak menjawab. Tetapi ia melihat nafas Pandan Wangi seakan-akan hampir putus di kerongkongannya. Maka tanpa sesadarnya ia berkata,
“Tetapi kalau kau memang terlampau lelah, beristirahatlah sejenak.”
Pandan Wangi mengangguk.
“Pasukanmu pasti dapat menyelamatkan diri. Orang-orang Peda Sura sudah tidak bernafsu lagi untuk mengejar, sebab mereka pun pasti akan ragu-ragu, bahwa suatu ketika mereka akan terjebak ke dalam perangkap yang dapat menghancurkan mereka.”
Pandan Wangi mengangguk.
“Nah, duduklah. Dan sarungkan pedangmu.”
Seperti digerakkan oleh tenaga yang ajaib, Pandan Wangi menyarungkan sepasang pedangnya. Kemudian duduk beristirahat di atas pematang yang ditumbuhi rumput liar.
“Kau dapat sekedar melepaskan lelahmu. Kita memang sudah terlepas dari bahaya yang mengerikan. Tetapi belum berarti bahwa kita boleh berlengah-lengah di sini.”
“Aku menyadari,” jawab Pandan Wangi,
“aku hanya akan sekedar menenangkan diri supaya nafasku tidak terputus di tengah jalan.”
Gupita mengangguk-anggukkan kepalanya. Tanpa dikehendakinya sendiri ia duduk di samping Pandan Wangi, bersandar pada sepasang tangannya. Serulingnya terselip pada ikat pinggangnya dan cambuknya melingkar di lehernya. Angin malam yang segar telah berhembus mengusap tubuh mereka. Terasa seolah-olah nafas mereka dijalari oleh getaran-getaran yang sejuk. Perlahan-lahan dada mereka menjadi tenang, dan nafas mereka tidak lagi berkejaran lewat lubang hidung mereka. Terutama Pandan Wangi yang kelelahan itu.

Kedua anak muda itu sejenak saling berdiam diri. Mereka masing-masing terbenam di dalam angan-angan sendiri. Bayangan yang bermacam-macam bentuk dan corak telah hilir mudik di rongga mata mereka. Pertempuran yang baru saja terjadi dan kemungkinan-kemungkinan yang dapat menyeret mereka ke dalam keadaan yang tidak terduga-duga. Terasa bulu-bulu tengkuk Pandan Wangi meremang, jika dibayangkannya apa yang dapat terjadi atas dirinya, apabila ia tertangkap oleh Ki Peda Sura dan orang-orangnya yang buas dan liar itu. Ketika perasaan lelahnya sudah berkurang, tiba-tiba Pandan Wangi menyadari, bahwa sebenarnya anak muda yang duduk di sampingnya itu masih terlampau asing baginya, sehingga tiba-tiba saja ia bertanya,
“Siapakah sebenarnya kau?”
Gupita terkejut mendengar pertanyaan itu. Kini ia duduk tegak sambil memandangi Pandan Wangi dengan sorot mata yang keheran-heranan,
“Kenapa kau bertanya demikian? Bukankah kau sudah mengenal aku, bahwa aku adalah seorang gembala yang bernama Gupita?”
Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Sambil menarik nafas dalam-dalam ia menyahut,
“Aku merasa aneh, bahwa di Menoreh ada seorang gembala yang bernama Gupita, dan mampu mengimbangi seorang yang bernama Ki Peda Sura.”
“Apa salahnya? Bukankah lebih aneh lagi, bahwa ada seorang gadis yang membawa pedang rangkap di lambungnya?”
“Tetapi aku tidak menyembunyikan diriku dengan segala macam rahasia dan teka-teki. Aku adalah Pandan Wangi, puteri Kepala Tanah Perdikan Menoreh. Dalam keadaan apapun, aku adalah Pandan Wangi.”
“Lalu apa sangkamu tentang aku?” bertanya Gupita,
“aku adalah seorang gembala. Dalam segala keadaan. Tetapi sudah tentu di dalam peperangan aku tidak menggembalakan kambing-kambingku. Namaku Gupita, juga dalam segala keadaan. Kalau kau tidak percaya, marilah datang ke rumahku. Kau akan berkenalan dengan ayah dan adikku. Adikku juga seorang gembala. Kau akan tertawa melihatnya. Tubuhnya gemuk bulat. Namun ia seorang periang yang paling banyak tertawa di dunia ini.”

Pandan Wangi ragu-ragu mendengar pengakuan Gupita itu. Dengan penuh pertanyaan dipandanginya wajah Gupita. Wajah yang memiliki daya yang aneh terpancar dari sepasang matanya. Dalam keremangan cahaya bulan, Pandan Wangi melihat sesuatu yang lain di wajah itu. Jauh berbeda dari wajah seorang gembala. Tetapi tiba-tiba Pandan Wangi menyadari dirinya, ia adalah seorang gadis. Meskipun kini ia membawa sepasang pedang di lambungnya, tetapi ia tetap seorang gadis dan anak muda yang ada di sampingnya itu adalah orang yang belum terlampau banyak diketahuinya. Karena itu, maka ketika anak muda itu pun memandanginya, dan pandangan mereka berbenturan, terasa seolah-olah jantungnya terbanting di atas batu pualam. Pecah berkeping-keping. Pandan Wangi segera menundukkan kepalanya. Keringat yang dingin mengalir memenuhi pakaiannya yang memang sudah basah oleh keringat. Terasa tangannya menjadi dingin dan wajahnya dirambati oleh arus darahnya yang hangat.

Untuk beberapa saat, Pandan Wangi tertunduk diam. Dengan jari-jarinya yang lentik, ia bermain-main ujung rerumputan yang telah basah oleh embun yang turun dari langit. Gupita melihat perubahan sikap Pandan Wangi. Justru karena itu, maka tumbuhlah sifat dan watak yang sudah terpateri di dalam dirinya. Tiba-tiba saja ia pun menjadi bingung dan tidak mengerti apa yang harus dilakukannya. Seolah-olah ia terlempar ke dalam dunianya sendiri. Bukan lagi seorang gembala yang bernama Gupita. Muncullah watak dan kediriannya, seorang anak muda pemalu dan dibayangi oleh keragu-raguan. Beberapa saat sebelumnya ia telah membuat dirinya menjadi seorang gembala periang, yang agak sombong. Seorang yang menganggap setiap persoalan itu bukan masalah yang harus ditekuni. Ia telah mencoba belajar dan melakukannya seperti yang dilihatnya pada adik seperguruannya. Terhadap Ki Peda Sura, Pandan Wangi sebagai seorang anak Kepala Tanah Perdikan, kepada Samekta dan orang-orang yang baru itu, agaknya ia berhasil menirukan sikap dan tabiat adik seperguruannya, tetapi ketika tiba-tiba ia di hadapkan pada Pandan Wangi sebagai seorang gadis, maka tiba-tiba jantungnya serasa membeku. Dengan demikian, maka sejenak mereka saling berdiam diri. Desir angin malam seolah-olah berbisik di telinga mereka. Tetapi gejolak di dalam diri mereka telah menenggelamkan segala perhatian terhadap keadaan di sekeliling mereka. Namun tiba-tiba, Gupita yang ingin mengurangi ketegangan di dalam dadanya itu, mengangkat wajahnya. Serasa darahnya berhenti mengalir, ketika ia melihat iring-iringan yang berjalan ke arah mereka.
“Tidak ada kesempatan untuk lari lagi,” desisnya.
Pandan Wangi yang mendengar desis itu pun segera mengangkat wajahnya meraba hutu pedangnya.
“Mereka pergi kemari.”
Tetapi Gupita menggeleng,
“Tidak. Mereka tidak menuju kemari. Mereka adalah pasukan Ki Peda Sura yang ingin mengundurkan dirinya masuk kepadukuhan induk setelah mereka melepaskan pasukanmu.”

Pandan Wangi tidak menyahut. Tetapi ia membenarkan kata-kata Gupita itu, karena beberapa puluh langkah di samping iring-iringan itu, terdapat iring-iringan yang lain pula. Agaknya mereka terbagi menjadi dua kelompok untuk menghindarkan diri dari kemungkinan-kemungkinan yang berbahaya bagi mereka. Tetapi sekelempok di antara mereka berjalan ke arah kedua anak-anak muda yang sedang duduk di pematang itu. Semakin lama semakin dekat, sehingga mereka tidak akan dapat tinggal diam duduk di pematang itu.
“Apa yang harus kita lakukan?” bertanya Pandan Wangi.
“Bersembunyi.”
“Kenapa bersembunyi?”
“Lalu, kau mau apa?”
“Kita melawan sambil menghindar.”
Gupita tidak menjawab lagi. Iring-iringan itu semakin dekat. Kalau mereka masih saja berbantah, maka salah seorang dari mereka pasti akan segera melihat. Karena itu maka tiba-tiba saja ia mendorong tubuh Pandan Wangi sehingga gadis itu terguling di atas tanah yang becek.
“Jangan berbicara lagi,” bisik Gupita,
“kita bersembunyi di sela-sela tanaman di sawah ini. Kau harus diam dan mencoba menguasai pernafasanmu.”
Pandan Wangi masih akan menjawab, tetapi Gupita yang telah berguling di sampingnya segera mendorongnya,
“Masuk lebih dalam lagi.”
Pandan Wangi tidak membantah lagi. Ia pun kemudian merangkak masuk ke dalam rimbunnya tanaman di sawah yang becek. Di belakangnya Gupita pun merangkak dengan hati-hati sambil sekali-sekali mengangkat kepalanya untuk melihat iring-iringan yang semakin lama menjadi semakin dekat.
Tetapi ternyata mereka tidak tepat mengambil arah tempat kedua anak-anak muda itu bersembunyi. Mereka akan lewat beberapa langkah daripadanya. Dalam keremangan cahaya bulan, Gupita dapat melihat, bahwa beberapa orang di antara mereka sedang mengangkat sesosok tubuh di atas pundak mereka.
“Ki Peda Sura,” gumam Gupita perlahan-lahan.
Pandan Wangi yang mendengarnya, dari sela-sela ujung daun-daun yang rimbun. Ia  pun melihat pula, bahwa agaknya Ki Peda Sura tidak mampu untuk berjalan sendiri, sehingga harus diangkat oleh orang-orangnya.

Tetapi belum lagi debar di dalam dada kedua anak-anak muda itu reda, mereka melihat iring-iringan dari arah yang lain. Dengan dada yang berdebar-debar mereka melihat kedua iring-iringan dari arah yang berlawanan itu semakin mendekat. Namun agaknya mereka telah memiliki tanda-tanda yang khusus, sehingga mereka segera mengetahui, bahwa yang mereka jumpai sama sekali bukan lawan mereka. Gupita dan Pandan Wangi terpaksa menahan nafas mereka, supaya desahnya tidak terdengar. Tidak terlampau jauh dari kedua anak-anak muda itu, kedua pasukan yang datang dari arah yang berlawanan itu bertemu.
“Kenapa kalian tidak menunggu kami?” bertanya pemimpin pasukan yang baru datang.
“Pekerjaan kami telah selesai,” jawab salah seorang dari pasukan Ki Peda Sura.
“Apakah kalian berhasil membinasakan orang-orang Menoreh yang bodoh itu?”
“Sebagian, yang lain melarikan diri.”
Pimpinan pasukan yang baru datang itu berdiam diri sejenak. Namun dari antara mereka, seorang anak yang masih terlampau muda, mendesak maju sambil bertanya,
“Bagaimana dengan Kakak Pandan Wangi?”
Sejenak tidak terdengar jawaban. Namun kemudian terdengar desis yang lambat,
“Pandan Wangi adalah seorang gadis yang perkasa. Ia selamat.”
Semua orang berpaling ke arah suara itu. Pemimpin pasukan yang baru datang itu pun bertanya,
“Siapa yang terluka itu?”
“Ki Peda Sura.”
“He. Ki Peda Sura terluka?”
“Ya.”
“Siapa yang melukainya?”
Yang terdengar adalah suara Ki Peda Sura lambat, hampir tidak terdengar, apalagi dari tempat Gupita dan Pandan Wangi bersembunyi,
“Pandan Wangi. Pandan Wangi lah yang telah melukai aku.”
“Terkutuklah anak itu,” terdengar pemimpin pasukan yang baru datang itu menggeram. Tetapi tanpa disangka-sangka, anak muda yang berada di antara mereka menyahut,
“Adalah wajar sekali, bahwa di dalam pertempuran seorang melukai orang yang lain, yang berada di pihak yang berlawanan.”
“Persetan,” pemimpin pasukan itu menggeram,
“tetapi Pandan Wangi telah berbuat kesalahan besar. Ia terlampau menyombongkan dirinya, sehingga ia berani melukai Ki Peda Sura.”
Pandan Wangi dan Gupita mendengarkan percakapan itu dengan hati yang berdebar-debar. Kalau pemimpin pasukan yang baru itu tidak dapat mengendalikan dirinya, dan beberapa orang dan pasukan Ki Peda Sura menunjukkan arah larinya, maka tidak mustahil mereka akan mencoba mencarinya. Tetapi tidak terduga-duga, anak muda yang berada di dalam pasukan itu menyahut,
“Itu bukan suatu kesombongan, tetapi suatu kebanggaan. Apakah kau juga menyombongkan dirimu setiap kali membunuh atau melukai lawan?”
“Tetapi tidak seorang yang memiliki ilmu setinggi Ki Peda Sura.”
“Itu adalah salah Ki Peda Sura, kenapa ia memberi kesempatan kepada lawannya sehingga melukainya. Kalau ia memang berilmu tinggi, dan mempunyai kelebihan dari lawannya, namun ia dapat juga dilukai oleh lawannya yang sekedar menyombongkan dirinya, itu adalah salahnya.”
Agaknya pemimpin pasukan itu menjadi marah. Dengan garang ia berkata,
“Aku akan mencari Pandan Wangi sampai ketemu. Aku sendiri akan membunuhnya.”
“Huh,” anak yang masih terlampau muda itu memotong,
“kaulah yang terlampau sombong. Kakak Pandan Wangi dapat melukai Ki Peda Sura. Apalagi kau. Kepalamulah yang lebih dahulu dipenggalnya.”
“Persetan,” kemarahannya tiba-tiba memuncak, “kau mencoba mencegah aku, he?”
“Aku tidak mencegahmu, tetapi aku mengatakan kemungkinan yang paling dekat padamu.”
“Gila! Ternyata kau merupakan duri di dalam pasukan ini. Apakah kau yang lebih dahulu harus dibungkam.”
“Apa kau bilang!” tiba-tiba anak yang masih terlampau muda itu meloncat sambil menarik pedang di lambungnya,
“ayo, lakukanlah!”

Dalam ketegangan itu tiba-tiba terdengar suara Ki Peda Sura,
“Anak itu benar. Jangan mencoba mencari Pandan Wangi. Ia terlampau perkasa. Biarlah ia pergi ke pasukannya. Mungkin akan datang suatu kesempatan bagimu, lusa atau kapan saja untuk menemuinya dan mencoba ketajaman sepasang pedangnya.”
Pemimpin pasukan itu menggeram sekali lagi. Dihentakkannya kakinya ke tanah. Katanya,
“Lalu, apa yang akan kita lakukan?”
“Kembali ke induk pasukan,” desis Ki Peda Sura.
“Beberapa orang pengawas dapat kalian tinggalkan di sini. Pengawas yang kuat dan cukup banyak. Seperti Argapati, kalian harus melengkapi pengawas-pengawas itu dengan tanda-tanda sandi dan beberapa ekor kuda.”
“Aku kecewa, bahwa aku tidak dapat bertemu dengan Pandan Wangi,” pemimpin pasukan yang baru itu masih saja bergumam.
“Tidak perlu sekarang,” suara Ki Peda Sura lambat,
“sekarang kita kembali ke induk pasukan. Bukankah Sidanti telah berhasil menduduki padukuhan induk?”
Pemimpin pasukan itu terdiam sejenak. Dengan sudut matanya dipandanginya ujung pedang di tangan anak muda yang berdiri beberapa langkah di hadapannya. Kemudian katanya,
“Baik. Kita akan kembali ke induk pasukan. Aku akan meninggalkan satu kelompok orang-orangku di sini.”
“Bagus,” desis Ki Peda Sura, “marilah, kita pergi.”
Pemimpin pasukan itu terdiam sejenak. Namun kemudian sambil menunjuk pedang anak muda di hadapannya ia berkata,
“Kau jangan main-main dengan pedang anak manis. Kalau ayahmu mendengar perbuatanmu, kau akan dijantur di atas pohon sawo di halaman rumahmu.”
“Ayah akan membenarkan sikapku. Kalau kita tidak sependapat, maka pasti Ayah lah yang bersalah dalam hal ini.”
Pemimpin pasukan itu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian,
“Ayo, kita kembali. Jangan hiraukan anak gila itu.”
Pemimpin pasukan itu segera memerintahkan orang-orangnya kembali. Namun di antara mereka, sekelompok besar ditinggalkannya di padukuhan di hadapan mereka untuk mengawasi keadaan. Mereka telah meyakini, bahwa pasukan Menoreh telah mundur jauh-jauh, sehingga untuk waktu yang pendek tidak mungkin lagi akan kembali. Sejenak kemudian pasukan-pasukan itu pun telah bergerak meninggalkan tempat itu kembali ke padukuhan induk yang ternyata telah diduduki oleh Sidanti dan pasukannya.

Ketika mereka telah menjadi semakin jauh, maka Gupita  pun menarik nafas dalam-dalam. Perlahan-lahan mereka berdiri sambil menggeliat.
“Hem, keadaan telah menjadi semakin parah,” gumam Gupita,
“tetapi siapakah anak muda itu. Anak muda yang mencarimu, dan membelamu di hadapan pemimpinnya?”
“Namanya Prastawa,” jawab Pandan Wangi,
“ia adik sepupuku. Salah seorang putera Paman Argajaya.”
“Oh,” Gupita mengangguk-angguk, “sifat ayahnya yang keras kepala tampak pula padanya.”
Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Tiba-tiba ia bertanya,
“Apakah kau sudah mengenal Paman Argajaya secara pribadi?”
Pertanyaan itu telah membuat dada Gupita berdesir. Tetapi segera ia menemukan jawabnya,
“Siapakah orang Menoreh yang tidak mengenai Ki Argajaya, meskipun tidak secara pribadi. Siapakah yang tidak mengenal tabiat, sifat, dan wataknya? Apalagi kini, setelah dengan jelas ia berpihak kepada Sidanti.”
Pandan Wangi mengangguk-anggukkan kepalanya. Di antara sadar dan tidak ia bergumam,
“ia berpihak kepada orang lain daripada saudara sendiri.”
Kini Gupita-lah yang bertanya dengan serta merta,
“Siapakah yang kau maksud dengan orang lain?”
“Oh,” Pandan Wangi tergagap,
“maksudku, maksudku, Paman telah berpihak kepada Ki Tambak Wedi. Bukankah Ki Tambak Wedi itu orang lain bagi Paman.”
“Tetapi Sidanti adalah kemenakannya.”
Dengan perasaan yang aneh Pandan Wangi mengangguk,
“ya, Kakang Sidanti adalah kemenakan Paman Argajaya.”
Namun dalam pada itu, sebuah goresan yang tajam telah menggorek luka di hati gadis itu. Terasa betapa pahitnya persoalan yang kini terjadi di Menoreh. Teringat olehnya ceritera ayahnya, bahwa ibunya pada saat mengandung Sidanti, berkata kepada ayahnya,
“Kalau tidak kau bunuh kami, maka anak di dalam kandungan ini, akan membawa persoalan sepanjang hidupnya.”

Tiba-tiba kepala Pandan Wangi seolah-olah terkulai, menunduk dalam-dalam. Beberapa titik air matanya membasah di pelupuknya. Peristiwa itu ternyata benar-benar tidak terhenti sejak perang tanding antara Arya Teja dan Puguhan selesai. Tidak juga setelah ayahnya mengambil perempuan yang telah mengandung itu menjadi istrinya untuk seterusnya. Bahkan tidak juga selesai setelah ia lahir.
“Betapa anehnya, bahwa aku sempat juga lahir,” katanya di dalam hati,
“ayah dan ibu menyimpan persoalan yang berakar di dalam hati mereka. Dengan demikian, maka kedamaian yang aku dapati di rumah itu, adalah kedamaian yang lamis. Cinta ayah dan ibu kemudian kelahiranku inipun, sebenarnya adalah akibat sikap berpura-pura dari mereka berdua.”
Hampir saja Pandan Wangi meledakkan tangisnya. Tetapi tanpa disengajanya, tangannya menyentuh hulu pedangnya. Dengan demikian, maka segera ia teringat, bahwa ia kini sedang berada di medan perang. Apalagi ketika terdengar suara Gupita,
“Pandan Wangi, apakah yang sedang kau renungkan? Kita harus segera berbuat sesuatu, sebab masih banyak sekali kemungkinan yang akan terjadi. Daerah ini masih akan mengalami seribu satu macam perubahan. Dan perubahan-perubahan itu dapat terjadi dengan cepatnya.”
Pandan Wangi mengusap matanya dengan ujung bajunya. Namun ia masih tertunduk, untuk menyembunyikan wajahnya dari cahaya bulan yang kuning.
“Baiklah,” katanya kemudian dalam nada yang datar, “apakah sebaiknya yang harus kita lakukan?”
“Kembalilah kepasukanmu.”
“Baiklah,” Pandan Wangi tidak mempersoalkannya lagi. Tiba-tiba saja ia melangkahkan kakinya sambil menunduk.
“He, ke mana kau akan pergi?” bertanya Gupita.
“Bukankah aku harus pergi kepasukanku?”
Gupita merasakan sesuatu yang aneh pada gadis itu. Pandan Wangi seakan-akan kehilangan gairah untuk memikirkan peperangan ini. Bahkan sikapnya agaknya menjadi acuh tidak acuh saja.
“Pandan Wangi,” berkata Gupita kemudian,
“di sekitar kita masih mungkin bersembunyi berbagai macam bahaya yang tidak kita kenal. Itulah sebabnya kau harus berhati-hati. Jangan berjalan begitu saja seperti kau pergi ke sendang. Kau tidak tahu, apakah yang bersembunyi di balik sehelai ilalang di hadapanmu.”

Terasa dada gadis itu berdesir. Seolah-olah ia kini baru tersadar dari tidurnya yang dicengkam oleh mimpi yang mengerikan. Tanpa sesadarnya, maka kedua tangannya telah meraba hulu sepasang pedangnya. Kemudian ditariknya nafas dalam-dalam. Diedarkannya pandangan matanya ke sekelilingnya. Tanaman di sawah. Padesan dan pepohonan pategalan di arah lain. Warna kuning yang terpencar dari bulan bulat di langit, terpercik di setiap wajah dedaunan.
Pandan Wangi mengangguk-anggukkan kepalanya. Perlahan-lahan ia berdesis,
“Ya, aku memang harus berhati-hati.”
“Nah, jangan merenung. Kau tidak mempunyai kesempatan untuk melakukannya di medan perang. Kalau kau hati-hati dan berhasil mencapai pasukannya, maka kau akan mempunyai banyak kesempatan untuk merenung.”
“Ah,” Pandan Wangi berdesah, tetapi ia tidak menjawab.
“Kau harus menghindari padesan itu agak jauh.”
Pandan Wangi mengangguk kosong,
“Baikah,” jawabnya, “aku akan berangkat sekarang.” Dan tanpa sesadarnya ia bertanya,
“Apakah kau akan pergi ke sana juga?”
Gupita menggelengkan kepalanya. Tetapi tiba-tiba ia menjadi ragu-ragu untuk menjawab. Meskipun demikian, ia berkata juga, “Tidak.”
Tampaklah di wajahnya gadis itu menjadi kecewa. Sejenak in berdiri mematung. Namun kemudian terdengar suaranya dalam,
“Kalau begitu, kita berpisah sampai di sini. Mudah-mudahan aku selamat sampai kepasukanku.”
Kini Gupita-lah yang menjadi ragu-ragu. Dengan dada yang berdebar-debar ia melihat Pandan Wangi bergeser. Kemudian memutar tubuhnya dan melangkah lambat meninggalkannya. Tetapi beberapa langkah kemudian gadis itu berhenti sambil berpaling. Gupita masih berdiri di tempatnya. Ketika mata gadis itu membentur tatapan matanya yang tajam, maka dengan tergesa-gesa Pandan Wangi melemparkan pandangannya jauh menembus cerahnya sinar bulan purnama. Sedang debar jantung di dadanya terasa menjadi semakin cepat menghentak-hentak. Sehingga untuk sesaat ia berdiri saja kebingungan. Baru kemudian ketika getar diarus darahnya telah mereda, ia meneruskan langkahnya dengan kaki gemetar. Tetapi langkahnya kemudian tertegun. Ia mendengar suara lunak memanggilnya.
“Tunggu Pandan Wangi.”
Sekali lagi Pandan Wangi berpaling. Dilihatnya Gupita melangkah mendekatinya sambil berkata,
“Marilah, aku antarkan kau sampai ke pasukanmu.”
Secercah kegembiraan meloncat ke wajah Pandan. Wangi. Hampir saja ia berteriak kegirangan seperti anak-anak mendapat mainan. Namun dengan sepenuh kesadarannya sebagai seorang gadis, ditahankannya perasaannya. Bahkan kemudian tumbuhlah kesenangan di dalam hatinya, bercampur baur dengan harga diri dan rasa malu. Dalam kebingungan, maka meloncatlah hiruk pikuk di dalam hatinya itu. Lewat bibirnya,
“Aku tidak perlu pengantar. Aku cukup mengenal daerah ini, karena aku dilahirkan di tanah ini.”
Gupita terkejut mendengar jawaban yang tidak terduga-duga itu sehingga sejenak ia terbungkam. Sebagai seorang anak muda yang selalu dibayangi oleh keragu-raguan dan kebimbangan, Betapapun ia berusaha memulas dirinya menjadi seorang gembala yang membiarkan perasaannya meloncat-loncat, namun ia tidak dapat melepaskan diri dari kediriannya. Karena itu, maka wajahnya menjadi semburat merah oleh hentakan yang tiba-tiba itu. Untunglah bahwa bayangan wajahnya sendiri telah menyaput perasaannya yang terpancar di wajah itu.

Dengan susah payah Gupita mencoba menguasai dirinya dicobanya menempatkan dirinya pada keadaannya kini. Seorang gembala yang seolah-olah hidup bebas tanpa kekangan apapun. Katanya,
“Ha, jangan dikuasai oleh peraaan saja. Meskipun kau seorang gadis, tetapi kau telah berada di medan perang. Karena itu, maka kau harus mempergunakan perhitungan seorang prajurit, bukan perasaan seorang gadis.”
Kata-kata itu memang dapat menyentuh perasaan Pandan Wangi. Tetapi ia tidak segera dapat melepaskan perasaannya. Karena itu, maka dengan serta merta ia menjawab,
“Itulah sebabnya. Karena aku adalah seseorang yang telah menerjunkan diri di dalam peperangan, maka aku tidak ingin diperlakukan sebagai seorang gadis cengeng, yang hanya berani pulang apabila diantar oleh seseorang yang dianggapnya akan dapat melindunginya. Tetapi sepasang pedangku ini adalah pelindungku yang sebaik-baiknya.”
“Tetapi perhitungan itu tidak tepat. Perhitungan itu bukan perhitungan seorang prajurit. Itu adalah perhitungan seorang gadis yang mempunyai harga diri dan membawa sepasang pedang di lambung. Tetapi perhitungan seorang prajurit adalah lain. Seandainya kau bukan seorang gadis sekalipun, maka kau memerlukan kawan dalam keadaan yang gawat serupa ini. Bukan karena takut, tetapi setiap kemungkinan dapat terjadi. Mungkin kau akan bertemu dengan sekelompok peronda, atau bertemu dengan seorang yang memiliki kemampuan yang melampaui kemampuanmu.”
Gupita melihat Pandan Wangi akan memotongnya, tetap segera ia berkata,
“Nanti dulu, jangan memotong kata-kataku. Maksudku, bukan karena kau tidak berkemampuan untuk mempertahankan diri. Tetapi kita tidak boleh terlepas dari kenyataan bahwa kita bukan seorang yang paling mumpuni di atas bumi. Nah, dalam keadaan yang demikian itulah, kau memerlukan seorang kawan. Mungkin untuk melawan bersama-sama, mungkin untuk kepentingan yang lain. Untuk menjadi saksi pada setiap keadaan, sampai keadaan yang paling parah sekalipun. Seorang kawan akan dapat memberitahukan kepada orang lain, apakah yang sudah terjadi atas diri kita masing-masing.”
Pandan Wangi terdiam sejenak. Ia dapat menangkap kebenaran kata-kata Gupita. Tetapi sulitlah baginya untuk melepaskan diri dari perasaannya sebagai seorang gadis yang dengan sadar berdiri di atas kegadisannya yang berhadapan dengan seorang anak muda yang belum terlampau dikenalnya di tengah-tengah medan.
Tetapi tiba-tiba terloncatlah perkataan dari mulutnya yang gemetar,
“Gupita. Itu adalah tanggapan seorang gembala yang panik. Tetapi tidak bagi seorang prajurit. Aku akan melangkahi setiap jarak di atas tanah ini dengan dada tengadah. Ini adalah tanahku. Apa pun yang akan terjadi atasku.”
Dada Gupita berdesir mendengar jawaban itu. Sekali lagi melonjaklah kediriannya. Tiba-tiba saja Gupita dicengkam oleh kepribadiannya sendiri, tanpa dapat mengelakkannya. Dengan nada rendah ia berkata,
“Baiklah Pandan Wangi. Aku memang sekedar seorang gembala yang kecil. Maafkan aku. Kau adalah seorang puteri Kepala Tanah Perdikan yang besar. Kau benar, bahwa tanggapanku adalah tanggapan seorang gembala. Bukan tanggapan seorang prajurit. Karena itu, sekali lagi aku minta maaf kepadamu.”

Jawaban itu benar-benar tidak diduga-duga oleh Pandan Wangi. Ia tidak menyangka, bahwa gembala yang lepas bebas, yang setiap langkahnya diwarnai oleh kebebasan jiwanya, seperti suara serulingnya yang lepas di udara yang jernih itu, tiba-tiba merajuk seperti seorang gadis cengeng yang hatinya tersinggung oleh kata-kata kekasihnya. Karena itu, justru sejenak Pandan Wangi berdiri tegak seperti patung yang membeku. Namun sejenak kemudian disadarinya, bahwa agaknya kata-katanya benar-benar telah menyinggung perasaan gembala itu. Sehingga lambat sekali dipaksakannya mulutnya berkata,
“Maafkan aku Gupita. Aku tidak ingin menghinamu. Mungkin kata-kataku terdorong oleh perasaanku yang melonjak-lonjak.”
Gupita ternyata terperanjat mendengar permintaan maaf itu. Segera disadarinya, bahwa hampir-hampir saja ia hanyut di dalam kediriannya. Hampir-hampir ia lupa akan peranannya dalam permainan itu. Karena itu, tiba-tiba ia tertawa, meskipun betapa hambarnya,
“Tidak Pandan Wangi. Aku sama sekali tidak bermaksud demikian. Aku hanya sekedar bergurau. Sekarang terserah kepadamu, apakah kau akan berkenan untuk menerima aku sebagai kawan perjalananmu.”
Sekali lagi Pandan Wangi terperanjat melihat perubahan sikap itu. Ia benar-benar tidak mengerti, dengan siapa sebenarnya ia berhadapan. Dalam keadaan yang serba membingungkan itu, terdengar ia berkata sambil menganggukkan kepalanya,
“Baiklah. Marilah.”
“Nah,” berkata Gupita sambil tertawa pendek. Tiba-tiba saja kakinya telah meloncat berlari sambil berkata, “Marilah.”
Namun sebenarnya Gupita sedang menghentakkan segenap kekuatannya untuk melawan perasaan sendiri. Hampir saja ia mutung dan meninggalkan Pandan Wangi di tengah-tengah sawah itu. Untunglah, bahwa segera ia menyadari dirinya, bahwa bukan demikianlah peran yang harus dibawakannya. Tetapi justru dalam keadaan yang terlampau sulit itulah, maka sikapnya menjadi berlebih-lebihan. Usahanya untuk mengatasi kekecilan hatinya, melonjak tanpa dapat dibatasinya. Dengan lincahnya, Gupita melangkahkan kakinya. Kemudian disambarnya tangan Pandan Wangi sambil berkata,
“Marilah kita berpacu.”
Pandan Wangi terkejut dalam keadaan yang khusus, ia sama sekali tidak menyadari, bahwa Gupita telah menuntunnya berlari-lari dan bahkan telah mendorongnya sehingga ia terguling-guling di atas tanah yang becek di tengah-tengah sawah ini. Namun kini tiba-tiba nak muda itu menyambar tangannya dan menariknya berlari. Hampir saja Pandan Wangi menolaknya, tetapi ia mengurungkan niatnya. Teringatlah ia. bahwa ia masih berada di tengah-tengah daerah berbahaya. Maka sejenak kemudian, di dalam bayangan cahaya bulan yang bulat, sepasang anak muda itu berlari-larian meloncati pematang dan menyelusur parit seperti sepasang kijang yang sedang berkejaran.
“Kita harus segera sampai ke induk pasukanmu Pandan Wangi,” berkata Gupita,
“mereka pasti sudah berkumpul di tempat yang telah ditentukan. Pasukanmu pun pasti telah berada di sana pula.”
Pandan Wangi tidak menyahut. Tetapi pegangan tangan gembala itu serasa mengalirkan getaran-getaran yang tidak dikenalnya. Itulah sebabnya, maka ia tidak segera menjawab. Yang terasa olehnya adalah debar jantungnya yang semakin cepat.

Sementara itu, ketika perkembangan pertempuran pasukan Pandan Wangi menjadi semakin nyata, bahwa mereka akan menarik diri dari peperangan, maka di bawah Pucang Kembar, Ki Tambak Wedi telah dicengkam oleh kegelisahan yang semakin memuncak. Ternyata orang-orang yang diharapkan untuk membantunya membunuh Argapati, masih juga belum datang meskipun ia sudah memberikan tanda beberapa kali. Sedang Argapati sendiri, meskipun dadanya telah terluka, namun tandangnya masih saja seperti banteng ketaton.
“Apakah mereka mampus dicekik hantu?” geram Ki Tambak Wedi di dalam hatinya.
Meskipun ia yakin, bahwa tanpa bantuan seorang pun pada kedua belah pihak, ia pasti akan memenangkan perkelahian itu, kerena Argapati telah terluka, namun ia tidak dapat menduga, berapa lama ia memerlukan waktu. Sedang kawan-kawannya benar-benar telah terdesak. Yang masih dapat melawan ketiga pengawal Menoreh sebaik-baiknya adalah seorang saja dari antara keduanya, karena seorang yang terluka menjadi semakin lama semakin bertambah lemah. Dengan hati yang dipenuhi oleh kecemasan dan teka-teki, sekali lagi dari mulut Ki Tambak Wedi terdengar suitan nyaring. Namun suitan ini pun menggeletar tanpa arti. Tidak sehelai daun  pun yang tergetar karenanya. Apalagi tubuh-tubuh yang berloncatan dengan pedang di tangan.
“Suaramu benar-benar mirip tangis seekor kelinci,” berkata Argapati dalam nada yang berat,
“atau makian hantu yang kehilangan kubur.”
“Persetan,” Ki Tambak Wedi menggeram. Tandangnya menjadi semakin sengit. Senjata melingkar-lingkar di seputar tubuh lawannya.
Namun disadarinya, bahwa apabila keadaan berlangsung demikian, maka kedua kawannya akan segera binasa, dan ketiga orang pengawal dari Menoreh itu akan bersama-sama dengan Argapati menyerangnya. Lemparan pisau salah seorang daripadanya cukup berbahaya, sedang kedua orang yang lain akan dapat mengganggunya, sementara Argapati menghunjamkan tombaknya di dadanya.
“Setan alas,” ia mengumpat di dalam hatinya. Namun orang-orangnya yang sudah dipersiapkan masih juga belum datang.
Dalam kegelapan hati, maka Ki Tambak Wedi  pun semakin memeras tenaganya. Tetapi ia tidak kehilangan akal, sehingga perlawanannya justru menjadi semakin seru dan berbahaya. Dalam keadaan yang demikian itulah, maka telah terjadi sesuatu yang menggetarkan dada setiap orang yang berada di bawah Pucang Kembar. Tiba-tiba dari dalam kegelapan bayangan dedaunan muncullah sesosok tubuh yang tertatih-tatih. Bukan sesosok tubuh yang tegap meloncat dengan senjata di genggaman. Yang paling terkejut di antara mereka adalah Ki Tambak Wedi. Orang yang ternyata terluka itu berusaha untuk mendekatinya. Perlahan-lahan dari mulutnya terdengar sebuah desis yang lambat. Tetapi tidak seorang  pun dapat mengerti apa yang dikatakan.
“He, kenapa kau?” teriak Ki Tambak Wedi.
Orang itu memang ingin menjawab. Namun sejenak kemudian jatuh tersungkur. Yang terdengar hanyalah sebuah keluhan pendek. Seterusnya diam.
“Siapakah orang itu Paguhan?” terdengar suara Argapati berat.
“Persetan dengan orang itu,” jawabnya. Namun terasa nada kecemasan mewarnai kata-katanya.

Sebenarnyalah, bahwa Paguhan yang bergelar Ki Tambak Wedi itu telah dicengkam oleh kecemasan yang sangat. Orang itu adalah salah seorang dari pasukan kecilnya yang harus datang pada saat ia bersuit memanggilnya. Orang-orang itulah yang harus membantunya, membunuh Argapati. Tetapi ternyata yang datang di antara mereka hanya seorang. Itu pun hanya sekedar menyatakan dirinya, bahwa ia telah terluka parah. Berbagai pertanyaan telah menggelepar di dalam dada Ki Tambak Wedi. Yang terjadi itu benar-benar di luar dugaannya. Pasukannya adalah sepasukan kecil yang cukup kuat. Untuk melawan seorang yang mumpuni seperti Ki Argapati. Namun agaknya pasukan kecil itu telah menjadi terpecah belah. Bahkan mungkin orang yang datang itu adalah satu-satunya orang yang sempat keluar dari suatu keadaan yang tidak dapat dibayangkannya.
“Apakah yang telah terjadi dengan mereka?” pertanyaan itu telah mengejarnya di setiap langkahnya.
Sementara itu, kedua kawannya menjadi semakin terdesak. Mereka bergeser semakin jauh. Meskipun kedua orang itu adalah orang-orang terpilih, namun menghadapi tiga orang pengawal terpilih pula, mereka terdesak tanpa dapat dapat berbuat terlalu banyak. Apalagi yang seorang daripadanya telah terluka.
“Apakah ada seseorang yang dengan rahasia telah membantu Argapati?” pertanyaan itu pun telah mengganggunya pula.
Maka sejenak sambil bertempur, Ki Tambak Wedi membuat pertimbangan-pertimbangan. Kalau ia terlampau lama berkelahi melawan Argapati, maka kemungkinan yang paling buruk dapat terjadi atasnya. Mungkin memang seseorang telah berusaha membantu Argapati dengan rahasia. Apabila orang itu berhasil membinasakan pasukan kecilnya, kemudian membantu Argapati pula dalam perang tanding ini, keadaannya akan sangat berbahaya. Seandainya bukan seseorang, tetapi juga sepasukan pengawal Menoreh yang kuat, itu pun akan berakibat serupa baginya.
“Pekerjaanku belum selesai,” ia bergumam di dalam dirinya,
“aku masih harus berbuat terlampau banyak untuk kepentingan Sidanti. Selagi Sidanti belum mapan benar, aku tidak akan dapat melepaskannya seorang diri. Apalagi aku masih belum percaya sepenuhnya kepada Argajaya. Mungkin ia akan mempergunakan setiap kesempatan untuk kepentingan sendiri.”
Namun dalam pada itu, nafsunya untuk membunuh Argapati semakin berkobar di dalam dadanya. Tetapi adalah suatu kenyataan, bahwa ia telah kehilangan kesempatan yang sudah dipersiapkan.
“Satu-satunya cara adalah, membuat Argapati semakin memeras tenaganya, supaya darahnya menjadi semakin banyak mengalir. Ia tidak akan dapat bertahan sampai bulan bulat itu tenggelam di balik bukit. Sebelum fajar, ia pasti sudah kehabisan tenaga, dan jatuh tersungkur di bawah ujung kakiku.


Halaman 1 2 3


<<< Jilid 036                                                                                                       Jilid 038 >>>

Tidak ada komentar:

Posting Komentar