“Diam,” bentak Ki Tambak Wedi, “ternyata kau pun harus dibunuh dengan cara apapun.”
“Aku sudah
siap,” Kerti menjawab dengan beraninya, “tetapi lakukanlah dahulu perang
tanding itu.”
“Tidak Kerti,”
Ki Argapati-lah yang berbicara, “pergilah. Tinggalkan aku di sini dalam
keputusanku.”
“Aku memang
akan pergi Ki Gede, tetapi kedua orang kawan Ki Tambak Wedi ini akan aku bawa
serta.”
“Persetan,”
geram salah seorang dari kawan Ki Tambak Wedi, “jangan banyak berbicara saja.
Ayo, Ki Tambak Wedi. Sebaiknya mereka kita hancurkan segera. Aku sudah muak
mendengar perdebatan yang tidak berujung pangkal ini.”
Tambak Wedi
memang tidak melihat cara lain. Karena itu, maka dengan serta merta ia meloncat
maju sambil memutar senjatanya. Katanya,
“Aku
selesaikan Argapati yang telah terluka itu. Adalah tugas kalian berdua untuk
membinasakan kelinci-kelinci yang tidak tahu diri itu.”
Kedua kawan Ki
Tambak Wedi tidak menunggu lebih lama lagi. Segera mereka menyerang Kerti dan
kedua kawannya, sedang Ki Tambak Wedi
pun telah menyerang Argapati pula. Terulanglah perkelahian yang sengit
yang terjadi di bawah Pucang Kembar itu. Namun perkelahian yang demikian akan
segera berubah bentuknya, karena Ki Tambak Wedi telah memutuskan untuk
memanggil orang-orangnya yang lain, yang jumlahnya cukup banyak untuk
membinasakan lawan-lawan mereka. Namun sementara itu, sementara Ki Tambak Wedi
masih belum memberikan tanda-tanda untuk memanggil orang-orangnya, Kerti dan
kedua kawannya masih mendapat kesempatan untuk mendesak kedua lawannya.
Meskipun mereka masing-masing memiliki kemampuan yang lebih besar dari
orang-orang Menoreh itu, tetapi yang seorang dari mereka telah terluka. Ternyata
luka itu sangat mengganggunya. Sebagian besar dari tenaganya seolah-olah telah
terhisap oleh ujung senjata lawan yang telah menggoreskan luka di tubuhnya itu.
Ki Tambak Wedi melihat keadaan kedua kawannya. Sedang Argapati yang sudah
terluka itu justru menjadi semakin garang, meskipun darahnya masih saja meleleh
dari lukanya.
Ki Tambak Wedi
mengerti dan yakin, kalau ia bertahan saja untuk waktu yang cukup lama, maka
Argapati pasti aka kehabisan tenaga karena darah yang menitik dari lukanya itu.
Tetapi ia tidak dapat mengerti, kapan saat yang demikian itu akan datang. Ia
tahu benar, betapa besarnya daya tahan tubuh Argapati. Sehingga kemampuannya
untuk bertempur terus dalam keadaan serupa itupun, pasti masih panjang. Sedang
kedua kawannya yang harus berkelahi melayani Kerti dan kawan-kawannya, sudah
selalu terdesak terus, karena yang seorang dari mereka telah terluka. Sehingga
seolah-olah hanya seorang saja dari mereka yang bertempur melawan ketiga
pengawal-pengawal pilihan dari Menoreh itu. Karena itu, maka Ki Tambak Wedi
tidak dapat menunggu lebih lama lagi. Sejenak kemudian terdengar suitan Ki
Tambak Wedi itu sekali lagi. Kali ini panjang sekali. Malam yang hening
seakan-akan telah bergetar karena suara suitan itu. Terlebih-lebih lagi dada
Argapati yang telah terluka itu dan ketiga pengawal Tanah Perdikan Menoreh.
Segera mereka menangkap isyarat itu, bahwa Ki Tambak Wedi ternyata telah
benar-benar menyiapkan sebuah perangkap yang mengerikan.
Sikap hantu
dari Tambak Wedi itu benar-benar mengecewakan Argapati. Bukan karena ia menjadi
ketakutan dan kecemasan menghadapi bahaya apa pun juga, tetapi ia menjadi
kecewa, karena Ki Tambak Wedi telah menodai janji mereka untuk mengadakan
perang tanding sebagai pelepasan persoalan yang telah bertahun-tahun mereka simpan
di dalam dada masing-masing. Kini Argapati dipaksa untuk menghadapi cara yang
sama sekali tidak jujur. Cara yang licik dan curang. Seandainya dalam keadaan
serupa ini terjadi sesuatu atas dirinya, dan bahkan kemudian atas ketiga
orang-orangnya, maka itu akan berarti bahwa mereka telah terperosok ke dalam
suatu perangkap yang keji. Seolah-olah kematian yang demikian adalah kematian
yang terlampau bodoh.
“Tidak,” Argapati
menggeram di dalam dadanya,
“aku akan mati
sebagai Kepala Tanah Perdikan Menoreh, meskipun aku datang ke bawah Pucang
Kembar ini karena persoalan pribadi. Tetapi keadaan yang berkembang adalah
persoalan Menoreh. Persoalan antara aku dan Sidanti yang telah berkembang tanpa
terkendalikan lagi. Peperangan ini akan menjadi bagian dari seluruh peperangan
yang telah membakar tanah perdikan ini.”
Dengan
demikian, maka Argapati menjadi semakin mantap menggenggam senjatanya. Ia
menggeram beberapa kali, dan tandangnya
pun menjadi semakin lama semakin garang. Kepala Tanah Perdikan Menoreh
itu tidak dapat mengerti, apakah yang telah terjadi di padukuhan-padukuhan di
seluruh tanah perdikannya, terutama di padukuhan induk. Memang terbayang di
dalam kepalanya, bahwa pasukan Sidanti yang kuat merayap semakin lama semakin
dekat. Namun ia mengharap, bahwa Samekta akan dapat mengatasi kesulitan. Tetapi
bagaimanapun juga, sepercik kecemasan mewarnai jantungnya. Ia sadar, bahwa
pasukan yang telah melawannya itu, dipimpin oleh seorang Sidanti dan seorang
Argajaya. Sedang pasukannya sekedar di bawah pimpinan Samekta, Wrahasta, dan
mungkin Pandan Wangi sendiri. Tetapi kenapa Kerti mencari Pandan Wangi sampai
ke bawah Pucang Kembar ini?
Sejenak
kemudian, Argapati menggeretakkan giginya. Ia tidak mau hanyut di dalam
angan-angannya itu. Ia harus menghadapi apa yang ada kini. Ki Tambak Wedi dan
sebentar lagi sekelompok kecil orang-orang yang telah dipersiapkan oleh Tambak
Wedi untuk mengeroyok dan kemudian membunuhnya. Mungkin ia akan dicincang atau
dibunuh dengan cara yang sudah dipersiapkan oleh Tambak Wedi. Tetapi dengan
demikian, ia akan mati dengan senjata di dalam genggaman. Mati sebagai seorang
laki-laki, sebagai Kepala Tanah Perdikan Menoreh. Namun sampai sejenak
kemudian, orang-orang yang dikatakan oleh Ki Tambak Wedi telah dipersiapkan
untuk membunuh Argapati itu masih juga belum tampak seorang pun juga.
Perkelahian yang terjadi semakin lama menjadi semakin tegang. Bukan saja karena
ujung-ujung senjata yang saling beradu, tetapi juga ditegangkan oleh
kemungkinan yang mendatang. Munculnya beberapa orang dari balik
gerumbul-gerumbul liar di sekitar sepasang Pucang itu. Ternyata Ki Tambak Wedi
pun menjadi gelisah pula. Sekali lagi ia bersuit panjang. Lebih keras. Namun ia
masih harus menunggu.
“Aku telah
mendengar suara burung kedasih itu di kejauhan,” berkata Tambak Wedi di dalam
hatinya,
“Tetapi
agaknya mereka menunggu terlampau jauh, sehingga mereka tidak segera mendengar
suara suitanku.”
Sekali lagi Ki
Tambak Wedi bersuit. Panjang dan lebih keras. Suaranya menggelepar di dalam
sepinya malam, menelusuri dedaunan dan ranting-ranting pepohonan.
Namun suara
suitan itu pun seolah-olah hilang lenyap tanpa bekas, seperti hilangnya gema
yang terpantul dari pegunungan. Tidak berbekas. Karena tidak seorang pun yang dengan tergesa-gesa sambil
menggenggam senjata muncul dari balik dedaunan.
“Di manakah
setan-setan itu?” Ki Tambak Wedi menggeram di dalam hatinya,
“Apakah mereka
sengaja berkhianat? Tidak. Aku tidak mempergunakan orang-orang Menoreh, yang
setiap saat dapat berubah pendiriannya, apalagi setelah ia melihat Argapati.
Orang-orang itu adalah orang-orang yang tidak mengenal Argapati sama sekali,
sehingga kemungkinan untuk berkhianat itu pun terlampau kecil. Tetapi kenapa
mereka tidak segera datang setelah aku memberikan tanda beberapa kali?”
Semakin lama
kegelisahan Ki Tambak Wedi pun menjadi
semakin memuncak. Seharusnya sejak ia memberikan tanda untuk yang pertama kali,
orang-orangnya tidak menunggu tanda berikutnya. Mereka harus segera datang dan
melakukan tugasnya.
“Apakah mereka
terasa terlampau lama menunggu dan kemudian merasa tidak diperlukannya lagi?
Tetapi itu tidak mungkin. Aku sudah berpesan supaya mereka menunggu sampai
selesai. Diperlukan atau tidak diperlukan,” desah Ki Tambak Wedi di dalam
hatinya.
Dengan dada
yang terguncang, maka sekali lagi terdengar ia bersuit semakin keras dan
semakin panjang.
“Ha,” berkata
Argapati,
“bukankah
suara suitanmu itulah yang terdengar seperti tangis bayi yang ketakutan?”
“Persetan,”
geram Ki Tambak Wedi,
“untuk
memanggil mereka, aku harus bersuit tiga kali. Sebelum itu, mereka baru sekedar
mempersiapkan diri. Apabila kemudian ada perubahan sikapmu, mungkin kau
menyerah, atau kami sudah berhasil membunuhmu, maka aku tidak perlu bersuit
untuk yang ketiga kalinya.”
“Kau sudah
terlampau pikun,” desis Argapati,
“kau sudah
memekik lebih dari tiga kali.”
Dada Tambak
Wedi berdesir. Tetapi kemudian ia menggeram keras sekali sambil menyerang
sejadi-jadinya. Namun meskipun dada Argapati telah terluka, tetapi ia masih
cukup segar untuk melawannya. Di lingkaran yang lain, kawan Tambak Wedi semakin
terdesak oleh ketiga pemimpin pengawal Menoreh yang dipimpin oleh Kerti.
Seorang yang telah terluka, menjadi semakin lama semakin lemah. Ia tidak
memiliki ketahanan tubuh seperti Ki Argapati, sehingga luka ditubuhnya itu
terasa sangat mengganggunya.
Dalam pada
itu, Pandan Wangi yang bertempur di medan sebelah Barat padukuhan induk,
terpaksa bekerja sekuat-kuat tenaganya. Ternyata lawannya adalah orang yang
luar biasa. Ganas, kasar dan garang. Dengan liarnya ia berkelahi, bahkan mirip
dengan seekor binatang yang paling buas. Sekali-sekali ia berhasil mengenai
lawannya dengan senjatanya. Kemudian dengan sengaja dipertunjukkannyalah
kebuasannya di hadapan Pandan Wangi. Betapapun tabahnya hati Pandan Wangi,
namun melihat keganasan itu terasa juga hatinya menjadi ngeri. Terasa kulitnya
merinding seperti diraba hantu. Tetapi ia tidak mau dadanya sendiri yang
terluka kemudian darahnya dihisap oleh hantu yang bernama Ki Peda Sura itu.
Dengan sepenuh kemampuannya, ia tetap bertempur bersama beberapa orang di dalam
sebuah kelompok kecil. Ternyata yang berkelahi sebuas dan seliar itu bukan
hanya seorang yang bernama Ki Peda Sura itu. Sebagian terbesar dari mereka,
mempergunakan cara yang bersamaan. Dengan sengaja mereka mempertunjukkan
cara-cara yang paling mengerikan. Cara itu ternyata benar-benar dapat
mempengaruhi daya perlawanan para pengawal Menoreh. Mereka menjadi ngeri dan
muak. Beberapa orang yang cukup dapat bertahan, segera bertempur dengan
garangnya. Bahkan beberapa orang yang memiliki tabiat yang pada dasarnya kasar,
segera dijalari oleh cara-cara lawannya. Mereka pun segera tanpa sesadarnya,
berbuat dengan kasar dan buas. Senjata mereka tidak tanggung-tanggung membelah
dada, kemudian menggores punggung silang-menyilang. Mereka berusaha untuk melenyapkan
kengerian di hati masing-masing dengan cara itu. Dengan berbuat seperti
lawan-lawan mereka.
Tetapi
bukanlah kebiasaan mereka berbuat seperti itu. Pergaulan mereka di dalam
kehidupan yang beradab, telah membentuk mereka menjadi manusia yang dipengaruhi
oleh adat tata kehidupan yang beradab pula. Mereka telah terbiasa menghargai
manusia dan perikemanusiaan. Karena itu, betapa mereka berusaha, tetapi mereka
tidak cukup kuat untuk berkelahi dalam keadaan yang liar dan buas serupa itu,
sehingga daya tahan mereka pun
terpengaruh pula. Apalagi suara titir yang melengking-lengking di kejauhan
seperti jerit tangis kanak-kanak yang kehilangan ayah di medan peperangan. Hati
para pengawal Tanah Perdikan Menoreh terpengaruh karenanya. Benar-benar
terpengaruh. Dengan demikian, daya perlawanan mereka pun menjadi semakin lama semakin susut.
Pandan Wangi
yang ngeri melihat darah dan mayat bergelimpangan, mencoba memaksa dirinya
untuk tetap dapat melawan. Kalau ia lengah, maka dirinya pasti akan menjadi
korban. Kalau senjata lawannya itu memecahkan dadanya, dan membunuhnya
sekaligus, maka ia tidak akan tahu apa yang terjadi seterusnya atas dirinya.
Tetapi kalau orang-orang yang buas dan liar itu berusaha untuk menangkapnya
hidup-hidup, atau melukainya sehingga ia tidak mampu lagi untuk melawan dan
kehilangan kesempatan untuk membunuh diri, maka ia pasti akan terjerumus ke
dalam neraka yang paling jahanam. Karena itulah, maka betapapun juga ia harus
bertempur terus sebaik-baiknya. Ia harus memeras segenap kemampuan yang ada
padanya untuk tetap bertahan.
Namun
tiba-tiba Pandan Wangi dikejutkan oleh kehadiran seorang penghubung yang
mendekatinya dengan nafas terengah-engah. Pundaknya telah terluka, dan dari
luka itu mengalir darah yang merah segar.
“Pandan
Wangi,” orang itu berbisik sambil terengah-engah,
“aku
menyampaikan pesan kepadamu.”
“Dari?”
bertanya Pandan Wangi sambil bertempur.
“Lepaskan
lawanmu sejenak.”
Pandan Wangi
segera memerintahkan orang-orangnya untuk bertempur. Ia memerlukan menemui
penghubung itu.
“Cepat
katakan, sebelum orang-orang itu dihabiskan oleh Peda Sura.”
“Samekta dan
Wrahasta bersama-sama memberikan pesan. Pasukan ini sebaiknya ditarik ke
padukuhan yang telah ditentukan, apabila keadaan memaksa. Pasukan Samekta dan
Wrahasta bersama-sama telah terdesak mundur.”
Berita itu
menyambar telinga Pandan Wangi seperti petir yang meledak di langit. Sejenak ia
berdiri termangu-mangu. Seolah-olah ia tidak percaya kepada telinganya. Namun
pesan itu telah mengiang dan melingkar di telinganya,
“Pasukan ini supaya
ditarik. Pasukan ini supaya ditarik.”
Pertempuran
yang terjadi di sekitar Pandan Wangi itu pun menjadi semakin hiruk pikuk.
Teriakan yang menghentak dan pekik kesakitan sahut menyahut dengan geram dan
gemeretak gigi. Semakin lama tandang mereka yang sedang bertempur itu pun
menjadi semakin kasar, liar dan buas, seolah-olah mereka telah kehilangan diri
mereka masing-masing. Mereka seolah-olah telah melupakan pribadi masing-masing
sebagai mahluk yang berbudi. Di dalam perang brubuh yang demikian, sukarlah
untuk dibedakan, antara manusia yang biadab dan beradab. Karena untuk bertahan
diri dari kebiadaban, mereka telah melakukan hal-hal yang serupa pula. Dalam
kediamannya, Pandan Wangi melihat penghubung yang datang kepadanya, dalam
keremangan cahaya purnama di langit, menyeringai menahan sakit lukanya
Dan orang itu
berdesis perlahan, “Apakah kau dapat menyetujuinya?”
Pandan Wangi
menahan nafasnya. Dengan dada yang berdebar-debar ia bertanya,
“Apakah yang
terjadi di padukuhan induk?”
“Pasukan
Sidanti dan Argajaya telah masuk. Samekta yang mundur ke pasukan induk dan
bergabung dengan Wrahasta, masih juga tidak dapat menahan arus lawan yang kuat
yang datang dari arah Timur.”
Pandan Wangi
adalah seorang gadis yang lembut. Seorang gadis yang kadang-kadang masih juga
dapat meruntuhkan air mata. Tetapi ketika ia mendengar berita tentang jatuhnya
padukuhan induk, wajahnya menjadi tegang dan merah padam. Yang terlukis di
wajahnya yang cantik itu, seakan-akan wajah seorang iblis betina yang sedang
marah. Terdengar giginya gemeretak dan nafasnya terengah-engah.
“Aku akan
pergi ke padukuhan induk,” ia menggeram.
“Aku mendapat
pesan untukmu mawanti-wanti,” potong penghubung yang sudah terluka itu,
“Samekta dan
Wrahasta telah menduga, bahwa kau akan berpendirian demikian. Tetapi kau harus
menyesuaikan siasat peperangan ini dengan seluruh pasukan. Kau tidak dapat
berbuat demikian.”
“Kenapa tidak?
Aku akan membawa pasukan ini ke padukuhan induk. Aku akan mengusir mereka dari
halaman rumahku dan dari seluruh tanah ini.”
“Kau tidak
dapat melakukannya sendiri. Menurut perhitungan Samekta dan Wrahasta, Sidanti
akan segera mengirimkan orang-orangnya sebagian kemari. Kau akan segera
mendapat kesulitan, dan korban pun akan
semakin banyak berjatuhan.”
“Tetapi aku
tidak dapat membiarkan mereka berada di halaman rumahku dan di atas tanah ini.”
“Aku pun telah mendapat pesan, bahwa di dalam
keadaan serupa ini, kita tidak dapat membiarkan perasaan kita berbicara. Tetapi
kita harus menemukan keseimbangan dan berbicara dengan nalar. Kita masih
mempunyai banyak sekali tugas dan kewajiban. Kita masih harus merebut kembali
tanah ini. Dengan demikian, kita tidak boleh kehilangan akal yang akan
menyebabkan kematian yang semakin parah. Kalau kemudian korban berjatuhan lagi,
itu berarti bahwa kitalah yang bersalah. Kitalah yang telah membunuh mereka
tanpa arti sama sekali, karena akhirnya kita akan terusir juga dari medan yang
sekarang. Tetapi perang ini tidak akan berakhir sehari atau semalam ini. Kita
masih akan menghadapi hari-hari yang semakin sulit dan berat. Dan kita harus
tidak kehilangan akal.”
“Pengecut,” tiba-tiba
Pandan Wangi menggeram,
“kalian ingin
memaksa aku lari dari peperangan ini? Tidak. Aku harus mengusir mereka. Mereka
harus pergi dari tanah ini.”
“Ya, mereka
harus pergi. Tetapi tidak dengan cara yang salah. Kita tidak akan berhasil
mengusir mereka, namun justru kitalah yang akan dibantai oleh mereka, Dan kita
akan kehilangan segala-galanya.”
“Pengecut.”
“Bukan, Pandan
Wangi. Ini adalah suatu siasat. Kita mundur untuk kemudian meloncat maju.
Sekarang keadaan kita terlampau sulit. Tetapi kalau kita berhimpun, dan kita
mendapat kesempatan menghimpun pula semua kekuatan yang tersebar, kita mungkin
akan berhasil.”
“Itukah
alasanmu? Setiap kali kau berkata, bahwa itu sekedar siasat. Siasat. Kalau kau
tidak berani berbuat sesuatu, kau pakai alasan itu. Alasan seorang pengecut,
Tidak. Aku tidak akan mundur setapak pun, meskipun aku harus mati.”
“Ya,” jawab
penghubung yang mulai kebingungan itu. Namun dengan demikian ia tidak merasakan
lagi luka yang mengalirkan darah semakin deras di pundaknya.
“Samekta dan
Wrahasta menduga kalau kau akan bersikap demikian. Tetapi peperangan ini di
dalam keseluruhan memerlukan cara. Cara untuk memenangkannya. Cara yang serasi
dari para pemimpin. Pandan Wangi, kalau kita membuat perhitungan, jangan
dianggap bahwa kita adalah pengecut-pengecut, tetapi kita harus menghadapi
lawan dengan sepenuh kesadaran dan perhitungan. Kau selama ini selalu dicengkam
oleh perasaanmu. Tetapi lihatlah. Sebentar lagi pasukan Sidanti akan datang,
meskipun hanya sebagian. Pasukanmu akan tergulung habis. Mati, meskipun
sebenarnya kau dapat menghindari. Mungkin kau bukan seorang pengecut dan
seluruh pengawal di dalam pasukan ini pun bukan pengecut. Tetapi apa kata orang
setelah peperangan ini selesai dan kita ditumpas habis? Mereka akan menyalahkan
para pemimpinnya. Mereka menganggap, bahwa kita terlampau bodoh untuk membunuh
diri di medan peperangan. Kita mati dan tanah ini tidak akan dapat kita ambil
kembali. Kecuali apabila kita memang sudah tidak berpengharapan sama sekali
untuk dapat berbuat demikian, untuk merebutnya lagi. Maka aku pun sependapat, bahwa kita akan bersama
berkubur di atas tanah yang kita cintai ini.”
Pandan Wangi
tidak segera menjawab. Terasa sebuah sentuhan di hatinya. Sejenak ia mematung
dan sejenak kemudian dilihatnya penghubung itu menyeringai lagi. Agaknya terasa
lukanya menjadi terlampau sakit, sedang darah masih saja mengalir semakin
banyak.
“Pandan
Wangi,” tiba-tiba suara penghubung itu merendah,
“aku terluka
ketika aku mencari hubungan dengan kau di dalam perang brubuh yang buas ini.
Aku tidak akan kembali atau berhenti sebelum aku bertemu dengan kau, meskipun
aku telah terluka, karena aku bukan seorang pengecut. Luka itu agaknya kini
menjadi semakin parah, karena darah yang semakin banyak mengalir.” Ia berhenti
sejenak. Nafasnya menjadi semakin terengah-engah.
“Aku minta
kepadamu, Pandan Wangi, jangan kau biarkan perasaanmu berkata. Hargailah nyawa
orang-orangmu. Mereka masih mempunyai tugas terlampau banyak. Mereka masih
harus merebut tanah ini kembali.”
Pandan Wangi
masih berdiri tegak seperti patung. Kedua tangannya menggenggam sepasang
pedangnya erat-erat. Sekali-sekali terdengar ia menggeram, namun kemudian
sebuah tarikan nafas yang panjang. Ketika ia memandang penghubung yang terluka
itu dengan saksama, ia melihat orang itu menjadi semakin pucat dan gemetar. Dan
tiba-tiba saja orang itu terhuyung-huyung.
“Pandan
Wangi,” katanya, “aku sudah tidak mampu lagi untuk berdiri.”
Sebelum Pandan
Wangi menjawab, maka orang itu pun telah terduduk di tanah. Sekali terdengar ia
berdesah. Kemudian lambat sekali ia berkata,
“Kau mau
mendengar kata-kataku, Pandan Wangi. Itu bukan nasehatku sendiri. Aku adalah
seorang penghubung yang menyampaikan pesan itu kepadamu.”
Tanpa
sesadarnya Pandan Wangi berjongkok di sampingnya. Dengan dada yang berdebaran
ia berkata,
“Kuatkan
hatimu. Aku akan memerintahkan beberapa orang untuk membawamu kepada Paman
Samekta, agar luka-lukamu itu terawat.”
Orang itu menggelengkan
kepalanya. Katanya,
“Bukan luka
ini yang sebenarnya akan membunuh aku. Tetapi aku telah kehabisan darah. Darah
semakin banyak mengalir, dan aku menjadi terlampau lemah karenanya.”
“Kita harus
berusaha.”
“Usaha yang
terpenting bagimu, Pandan Wangi, usahakan agar orang-orangmu kali ini
terselamatkan, untuk besok, atau lusa melakukan tugasnya yang lebih penting
lagi.”
Sekali lagi
Pandan Wangi menggeretakkan giginya. Ia merasa betapa berat pesan itu. Ketika
ia mengangkat wajahnya, ia melihat pertempuran menjadi semakin buas. Beberapa
orang berusaha untuk melindunginya dari perang yang gila itu, sedang beberapa
orang yang lain sedang bertempur melawan Peda Sura. Sekali-sekali Pandan Wangi
mendengar pekik kesakitan dan teriakan kemenangan yang terlampau buas, seperti
raung seekor harimau yang berhasil menerkam dan membunuh lawannya.
“Dengarlah
kata-kataku, Pandan Wangi,” penghubung yang terluka itu berkata lirih,
“dengan
demikian, matiku akan mempunyai arti. Jangan lagi menyebut aku sebagai pengecut
yang hanya mempergunakan siasat sebagai alasan. Tidak. Aku mati karena aku
ingin menyampaikan pesan itu kepadamu, pesan tentang siasat yang kau anggap
hanya sekedar sebagai alasan. Aku menjadi korban untuk mengurangi korban-korban
yang lain. Tetapi kalau kau tetap menganggap aku sebagai pengecut, Samekta dan
Wrahasta juga pengecut, maka sia-sialah kematianku.”
“Tidak. Tidak,
kau tidak akan mati.”
“Itu pun
terlampau sulit. Perasaan kita jangan kita biarkan menguasai keadaan tanpa
perhitungan yang matang. Nah, berkatalah, bahwa kau bersedia menarik mundur
pasukanmu. Kita besok akan kembali dan merebut tanah ini.”
Pandan Wangi
menjadi ragu-ragu. Tetapi ia menyadari kebenaran kata-kata penghubung itu,
bahwa ia sama sekali bukan seorang pengecut. Ia telah membelah perang brubuh
ini untuk mencari dan menghubunginya. Ia tidak lari, meskipun ia telah terluka.
Ia bersedia mati untuk hidup orang lain. Terasa hentakan yang sangat di dalam
dada gadis itu. Penghubung yang terluka itu semakin lama menjadi semakin lemah.
Suaranya pun menjadi semakin lirih,
“Pandan Wangi,
aku ingin mendengar keputusanmu.”
Pandan Wangi
tidak dapat berbuat lain. Di hadapan penghubung yang sudah terlampau letih, ia
menganggukkan kepalanya. Namun ia masih bertanya,
“Kenapa Paman
Samekta dan Wrahasta tidak membawa pasukannya kemari, dan bersama-sama melawan,
apabila pasukan Sidanti itu datang kemari pula.”
“Ada banyak
pertimbangan, Pandan Wangi. Yang pertama-tama, keteguhan hati kita telah
terpukul oleh kekalahan-kekalahan yang berturut-turut. Mungkin hal itu tidak
begitu terasa di sini. Tetapi di medan yang lain, hati kita sudah menjadi
sekecil menir. Kita perlu menemukan keseimbangan baru untuk memulainya.”
Penghubung yang menjadi semakin lemah itu berhenti sejenak, lalu, “aku sudah
tidak punya waktu.”
Pandan Wangi
menjadi semakin berdebar-debar. Dan tiba-tiba ia berdiri sambil berdesis,
“Akan aku
penuhi permintaan Paman Samekta. Tetapi bukan karena kami di sini telah
kehilangan keberanian dan berkecil hati. Aku akan mencoba mempergunakan cara
yang akan ditempuh oleh Paman Samekta, untuk besok, atau lusa kembali merebut
tanah ini kembali.”
“Oh,”
penghubung itu menarik nafas panjang sekali. “Pandan Wangi,” katanya,
“mengundurkan
diri bukanlah pekerjaan yang terlampau mudah. Kau harus bijaksana. Kau harus
didampingi oleh seorang yang telah berpengalaman menyampaikan perintah-perintah
pengunduran diri itu.”
Pandan Wangi
mengangguk. Tiba-tiba ia meloncat masuk ke dalam hiruk pikuk perang brubuh
sambil memberikan pesan kepada pengawal yang melindunginya,
“Lindungi
orang yang terluka itu. Bawa ia keluar dari perang yang gila ini. Kami akan
menarik diri.”
Penghubung itu
masih akan berbicara, tetapi Pandan Wangi telah hilang di dalam hiruk pikuknya
perang brubuh yang buas itu. Yang datang kepadanya kemudian adalah beberapa
orang pengawal.
“Hampir tak
ada gunanya kalian menyelamatkan aku,” berkata pengawal itu,
“darahku sudah
terlampau banyak mengalir. Lakukanlah tugasmu yang lain, yang barangkali lebih
penting.”
Tetapi para
pengawal itu tidak menghiraukannya. Beberapa dari mereka telah mencoba
melindunginya dan berusaha menemukan jalan keluar dari peperangan. Sementara
itu, Pandan Wangi telah berhasil menemui tetua kelompok kecilnya, yang oleh
Samekta diperbantukan kepadanya. Kepada orang itu Pandan Wangi menyerahkan
pimpinan pengunduran diri.
“Marilah,”
berkata orang tua itu, “kau lebih dahulu, Pandan Wangi. Kami akan
melindungimu.”
“Bodoh sekali.
Tariklah pasukan ini. Aku harus melindungi mereka. Terutama Peda Sura yang gila
ini.”
Pengawal tua
itu merasa aneh. Tetapi Pandan Wangi mendesaknya,
“Cepat,
sebelum Sidanti datang membawa pasukan yang lebih besar lagi. Kita harus pergi
sekarang.”
Orang tua itu
masih ragu-ragu. Tetapi Pandan Wangi telah terlibat dalam pertempuran kembali.
Langsung melawan Peda Sura yang menjadi semakin gila. Perkelahian pun semakin lama menjadi semakin menggila
pula. Masing-masing seolah-olah telah kehilangan diri mereka sendiri. Yang ada
di arena itu adalah sekumpulan binatang yang paling buas dan paling berbahaya
sedang berkelahi berebut mangsa. Pandan Wangi
pun tandangnya menjadi semakin garang pula. Sepasang senjatanya
berputaran dan menyambar-nyambar, berkilat-kilat di bawah cahaya bulan bulat di
langit. Sementara itu, pengawal tua yang mendapat perintah dari Pandan Wangi
untuk menarik pasukannya, masih berdiri termangu-mangu. Ia mengerti apa yang
harus dilakukannya. Ia mengerti ke mana pasukan itu harus dibawa, karena ia
telah mendengar semua rencana itu. Tetapi ia tidak dapat membiarkan Pandan
Wangi bertempur terus selama ia menarik pasukan itu.
“He, kenapa
kau diam membeku,” teriak Pandan Wangi. Suaranya bergeletar di antara dentang
senjata, sehingga pengawal tua itu terkejut.
“He,”
jawabnya, “lakukanlah lebih dahulu.”
“Pergi,
pergilah secepatnya.”
Orang tua itu
menjadi semakin bingung. Ia tidak tahu apa yang sebaiknya dilakukan, meskipun
ia mengerti maksud Pandan Wangi. Gadis itu memerintahkan kepadanya untuk
mengundurkan diri, selama itu ia mencoba untuk melindungi pasukannya dari orang
yang paling berbahaya, Peda Sura. Tetapi apakah ia sampai hati untuk berbuat
demikian. Dalam keragu-raguan itu, ia melihat Peda Sura berkelahi seperti
seekor harimau lapar. Senjatanya menerkam ke segenap arah dengan garangnya.
Meskipun Pandan Wangi tidak bertempur sendiri, tetapi lingkaran kecil di
seputar Peda Sura itu tidak terlampau banyak dapat menahannya. Setiap kali Peda
Sura dapat melepaskan diri, dan menyerang orang-orang di sekitarnya. Baru
sejenak kemudian, ia menempatkan dirinya untuk melawan serangan-serangan Pandan
Wangi yang berbahaya.
“Apakah yang
sebaiknya aku lakukan?” pertanyaan itu selalu menghentak-hentak di dalam dada
pengawal tua itu. Dan sekali lagi ia mendengar Pandan Wangi berteriak,
“Cepat, cepat.
Jangan berbuat terlampau bodoh.”
Tak ada yang
dapat dilakukan, selain memenuhi perintah itu. Tetapi sudah tentu ia sendiri
tidak dapat membiarkan Pandan Wangi dalam keadaannya. Karena itu, maka
diperintahkannya isyarat pengunduran diri itu kepada seorang penghubung. Maka
sejenak kemudian, isyarat itu telah sampai kepada hampir setiap telinga di
dalam pertempuran itu. Tetapi bukan saja telinga para pengawal Tanah Perdikan
Menoreh, namun juga telinga lawan-lawan mereka, sehingga sesaat kemudian
terdengar mereka berteriak-teriak,
“Jangan
lepaskan kelinci-kelinci itu untuk melarikan diri.”
Tetapi
kekuatan mereka sebenarnya tetap seimbang. Sebenarnya pasukan Menoreh tidak
berada dalam keadaan yang terlampau sulit. Namun apabila sebentar lagi pasukan
Sidanti datang, maka keadaan pasti akan segera berubah. Karena itu, sesaat
kemudian medan pertempuran itu pun segera bergeser. Orang-orang Menoreh mencoba
menarik diri mereka ke dalam kedudukan mereka yang baru. Setiap kali mereka
mundur beberapa langkah, mereka harus berhenti untuk meneruskan perang brubuh
yang dahsyat itu. Setiap kali mereka masih juga harus membalas setiap serangan
yang ganas dengan perlawanan dan serangan-serangan yang kasar pula. Pandan
Wangi sendiri mencoba mengikat Peda Sura dalam perkelahian, supaya orang itu
tidak berkeliaran. Selama pasukannya mengundurkan diri, Peda Sura akan dapat
menjadi seorang pembantai yang mengerikan, apabila tidak seorang pun yang mengikatnya dalam pertempuran yang
tersendiri. Setiap kali ia memang berusaha untuk menahan arus para pengawal
Menoreh yang menempatkan diri mereka pada keadaan yang mapan. Tetapi Betapapun
Pandan Wangi berusaha, namun Peda Sura pada dasarnya memang mempunyai beberapa
kelebihan daripadanya, sehingga setiap kali Pandan Wangi selalu terdesak.
Untunglah, bahwa kelompok kecil yang dibuatnya masih tetap tidak terpecahkan,
meskipun beberapa orang daripadanya telah terluka dan bahkan menjadi korban.
Namun mereka masih tetap mampu untuk melawan Peda Sura bersama-sama. Namun Peda
Sura bukanlah seorang yang begitu saja membiarkan dirinya berada dalam suatu
keadaan yang tidak diinginkannya sendiri. Ketika arena itu telah bergeser
semakin jauh, maka tiba-tiba ia meloncat sambil memekik, menyerang Pandan Wangi
dengan kecepatan yang tidak terduga-duga. Pandan Wangi yang terkejut mengalami
serangan itu, dengan serta merta meloncat jauh-jauh untuk menghindarkan
dirinya. Namun kesempatan berikutnya telah dipergunakan oleh Peda Sura.
Tiba-tiba ia meloncat ke arah yang lain, memecah kepungan kecil yang
memagarinya langsung masuk ke dalam perang brubuh yang hiruk pikuk. Pandan
Wangi terkejut melihat sikap itu. Sudah tentu ia tidak akan dapat
membiarkannya. Orang itu terlampau berbahaya. Dengan ilmunya, ia akan dapat
membuat korban yang tidak terhitung di antara orang-orang Menoreh, seolah-olah
tidak seorang pun yang akan dapat
menahannya. Karena itu, maka Pandan Wangi
pun segera mengejarnya, masuk ke dalam peperangan yang semakin menggila
itu. Tetapi dengan demikian, Pandan Wangi telah meninggalkan kelompoknya. Ia
seakan-akan telah menyerahkan dirinya untuk bertempur seorang melawan seorang
dengan Ki Peda Sura. Dan itulah yang memang diharapkan oleh pemimpin pasukan
Sidanti yang buas itu. Dengan demikian, ia akan mendapat kesempatan untuk
menjatuhkan Pandan Wangi dan membinasakannya.
“Tidak,”
berkata Peda Sura itu di dalam hatinya,
“sayang kalau
anak manis itu terbunuh. Aku harus memancingnya dan melumpuhkannya. Aku ingin
menangkapnya hidup-hidup.”
Ternyata bahwa
Pandan Wangi telah benar-benar lupa diri. Ia ingin pasukannya segera
terbebaskan dari perang brubuh ini dan berhasil menghindarkan diri. Menurut
pengamatannya, pasukan lawan yang telah kelelahan ini pun pasti tidak akan
mengejarnya terus. Apa lagi kekuatan mereka masih tetap seimbang. Asal Ki Peda
Sura dapat ditahan untuk tidak mengacaukan penarikan pasukan Menoreh, maka
kemungkinan untuk melepaskan diri dari peperangan ini cukup besar. Tetapi pada
suatu saat, Pandan Wangi itu harus menyadari, bahwa tiba-tiba saja ia telah
berhadapan dengan Ki Peda Sura seorang diri. Di sekitarnya orang-orang Menoreh
sedang sibuk menghadapi lawan masing-masing.
Ki Peda Sura
yang telah berhasil memisahkan Pandan Wangi dari kelompoknya itu, kini berdiri
tegak sambil tertawa. Suara tertawanya benar-benar sangat menyakitkan hati.
Sepasang matanya yang liar kemerah-merahan seakan-akan memancarkan api yang
aneh dari dalam hatinya.
“Nah, ternyata
kau selalu mencariku, ke mana aku pergi,” desis orang itu.
Pandan Wangi
tidak menjawab. Tetapi ia harus mengatur dirinya, supaya ia tidak tenggelam
dalam perasaan ngeri menghadapi orang yang terlampau buas ini. Sedang kekasaran
dan kekerasan yang telah terjadi di sekitarnya, masih berlangsung terus.
“Menyerahlah
anak manis,” terdengar suara Peda Sura di antara suara tertawanya.
Terasa
bulu-bulu di tengkuk Pandan Wangi meremang. Ia sebenarnya tidak takut
menghadapi senjata Peda Sura yang mengerikan itu. Sampai mati pun ia tidak akan ingkar, karena ia memang
merasa bertanggung jawab. Sebagai seorang anak kepala tanab perdikan, maka
adalah tugasnya untuk ikut serta mempertahankan tanah ini. Tetapi melihat sikap
Peda Sura itu, Pandan Wangi benar-benar dijalari oleh perasaan ngeri yang
dahsyat. Karena itu, maka ketika suara tertawa Peda Sura meninggi, tiba-tiba
saja Pandan Wangi meloncat dan menyerangnya, seperti angin prahara. Peda Sura
terkejut mengalami serangan itu. Serangan Pandan Wangi benar-benar berbahaya.
Jauh lebih berbahaya dari tiga empat orang pengawal Tanah Perdikan Menoreh yang
lain. Sehingga karena itu, maka suara tertawanya terputus dengan tiba-tiba.
Dengan dada yang berdebar-debar ia meloncat menghindarkan dirinya. Namun
agaknya Pandan Wangi tidak memberinya banyak kesempatan. Serangan berikutnya
telah melandanya, bertubi-tubi susul menyusul. Tetapi Ki Peda Sura adalah orang
yang jauh lebih banyak menyimpan pengalaman di dalam dirinya. Itulah sebabnya,
akhirnya ia mampu pula untuk mengelakkan serangan-serangan Pandan Wangi, dan
menemukan kesempatan untuk menghadapinya. Sehingga sejenak kemudian, mereka
telah terlibat di dalam perang yang sengit, seakan-akan mereka tengah berjanji
untuk melakukan perang tanding di tengah-tengah hiruk pikuknya perang brubuh
itu.
Namun sekali
lagi Pandan Wangi harus mengakui, bahwa kemampuan Ki Peda Sura memang berada di
atas kemampuannya, meskipun tidak terlampau jauh. Dengan demikian, maka sejenak
kemudian Pandan Wangi sudah harus memeras segenap kemampuan yang ada padanya,
untuk bertahan dari serangan-serangan Peda Sura yang melandanya seperti banjir
bandang. Apalagi sikap Peda sura benar-benar memuakkannya, sehingga sebagai
seorang gadis, maka mau tidak mau perasaannya ikut serta menentukan akhir dari
perkelahian itu.
“Kau memang
garang anak manis,” suara Peda Sura terasa menggores hati setajam ujung tombak,
“menyerahlah.
Aku tidak akan membunuhmu. Kau akan mendapat banyak kesempatan untuk hidup dan
menikmati kehidupan.”
Pandan Wangi
menggeram. Ia mencoba mengerahkan segenap kemampuannya. Ilmu yang telah
diterimanya dari ayahnya, telah dituangkannya dalam perkelahian itu, tetapi
ternyata bahwa ia masih terlampau hijau. Ia masih mempergunakan setiap unsur
gerak dari perguruan Menoreh dengan las-lasan. Ia masih belum menemukan
kemantapan dalam hubungan setiap unsur yang ada, sehingga orang-orang yang
telah dipenuhi oleh berbagai macam pengalaman di medan-medan perang, dalam
benturan seorang melawan seorang, seperti Ki Peda Sura itu, segera saja dapat
menemukan segi-segi kelemahannya. Dengan demikian, maka semakin lama menjadi
semakin jelas, bahwa Pandan Wangi tidak akan dapat lagi melepaskan dirinya dari
malapetaka. Ia tidak dapat mengharapkan bantuan dari siapa pun. Orang-orang di
dalam kelompok kecilnya, yang telah disusun untuk melawan Peda Sura, tidak
segera dapat menemukannya di dalam perang brubuh itu, karena setiap saat mereka
akan menemukan lawan-lawannya sendiri. Namun dalam pada itu, rencana pasukan
Menoreh untuk mengundurkan diri itu pun agaknya semakin lama menjadi semakin
lancar. Usaha-usaha mereka untuk melepaskan setiap hambatan agaknya akan segera
berhasil. Di saat-saat terakhir mereka harus menarik diri masuk ke dalam
padukuhan kecil yang semula mereka pergunakan untuk menunggu pasukan Peda Sura.
Mereka mengharap, bahwa mereka akan segera mendapat kesempatan berikutnya,
meninggalkan padukuhan kecil itu, dan bergabung dengan pasukan yang lain yang
telah lebih dahulu mengundurkan diri.
Ki Peda Sura
yang melihat arena semakin bergeser menjauh, menjadi ragu-ragu. Apakah ia harus
mengejarnya terus atau membiarkan mereka meninggalkan arena. Semula timbul
niatnya untuk mencari korban sebanyak-banyaknya di saat-saat orang-orang
Menoreh menarik dirinya. Tetapi dengan demikian, maka Pandan Wangi pun akan
mampu berbuat serupa di antara anak buahnya. Karena itu, maka akhirnya ia
memutuskan untuk membiarkan saja lawannya mengundurkan diri. Pasukannya sendiri
sudah terlampau lelah pula. Sehingga kemudian katanya di dalam hatinya,
“Aku hanya
bertugas menarik perhatian pasukan Menoreh. Kini agaknya Sidanti telah berhasil
menduduki padukuhan induk, meskipun ia tidak melakukan pengejaran. Karena itu,
maka tugasku kali ini sudah selesai, biar sajalah orang-orang itu melarikan
diri. Dengan mengejar mereka, maka korban
pun akan menjadi semakin banyak jatuh di pihakku, bagiku agaknya lebih
baik menangkap anak rajawali ini saja untuk mainan.”
Dengan demikian,
maka Peda Sura itu sama sekali tidak peduli lagi kepada pasukan Menoreh yang
semakin lama semakin surut. Namun dengan demikian, maka Pandan Wangi itu pun
terpisah semakin jauh dari orang-orangnya. Beberapa orang yang merasa ikut
bertanggung jawab atas pasukan Menoreh telah bekerja mati-matian untuk
menyelamatkan pasukannya. Tetapi beberapa orang yang lain, dengan hati
berdebar-debar mencoba untuk menemukan Pandan Wangi yang lagi bertempur melawan
Ki Peda Sura. Tetapi usaha yang demikian bukanlah usaha yang mudah.
Sementara itu,
Pandan Wangi sendiri sudah terlampau sulit untuk mencoba melepaskan diri dan
mundur bersama-sama pasukannya. Peda Sura agaknya benar-benar berusaha untuk
menahannya, supaya ia terpisah dari seluruh anak buahnya. Dengan demikian, maka
Pandan Wangi itu akan segera dapat ditangkapnya. Karena itu, justru Peda Sura
mengharap agar orang-orang Menoreh yang masih ada di sekitarnya segera
meninggalkan arena. Sebenarnyalah keadaan Pandan Wangi semakin lama menjadi
semakin sulit. Semakin lancar usaha pasukan Menoreh mengundurkan diri, maka
keadannya pun menjadi semakin berbahaya. Ia sadar sepenuhnya, apa yang akan
terjadi atas dirinya, apabila ia tertangkap hidup-hidup. Ia sadar bahwa mati
akan lebih baik baginya, daripada ia dapat ditangkap oleh Ki Peda Sura. Perang
brubuh itu pun semakin lama semakin jauh bergeser. Tetapi Peda Sura tetap
berusaha menahan Pandan Wangi.
“Gadis ini
akan kelelahan,” desis Peda Sura di dalam hati.
Dan usaha itu
agaknya tidak sia-sia. Semakin lama tenaga Pandan Wangi yang belum menemukan
saluran sewajarnya itu menjadi kian surut. Perlawanannya pun menjadi semakin lemah. Tetapi ia sudah
bertekad untuk mengakhiri perkelahian itu dengan melepaskan nyawanya. Sejenak
kemudian terdengar Peda Sura tertawa. Suaranya meringkik seperti suara hantu di
pekuburan. Mengerikan sekali.
Namun
tiba-tiba suara tertawanya itu terputus. Sesaat udara malam digetarkan oleh
suara seruling yang melengking. Pendek. Namun pengaruhnya terlampau dalam
menggores di dinding hati Pandan Wangi. Ia tidak tahu, kenapa di luar sadarnya
tumbuhlah suatu pengharapan. Pengharapan yang tidak dapat dimengertinya.
Sekilas angan-angannya segera hinggap pada seorang gembala yang selalu
bermain-main dengan serulingnya.
Tetapi sesaat
kemudian dadanya yang berdebar-debar menjadi semakin berdebar-debar. Diingatnya
kembali apa yang baru saja di lakukan oleh gembala itu. Sebelum terjadi
peperangan ini, maka gembala itu telah berkeliaran di daerah-daerah terlarang.
Sehingga tidak mustahil, bahwa gembala itu adalah salah seorang petugas sandi
dari orang-orang liar yang tidak dikenal ini.
“Sikapnya sama
sekali berbeda dengan orang-orang ini,” ia mencoba membedakan sifat-sifat pada
gembala itu. Namun kemudian dijawabnya sendiri,
“Seorang
petugas sandi harus mampu berbuat apa saja. Mencala putra, mencala putri.”
Dengan
demikian, maka Pandan Wangi yakin, bahwa gembala itu datang untuk membantu Peda
Sura menangkapnya.
“Aku akan mati
di peperangan ini,” berkata Pandan Wangi di dalam hatinya,
“itu akan jauh
lebih baik daripada tertangkap hidup-hidup.”
Tetapi ia
heran melihat sikap Peda Sura. Ternyata orang itu pun menjadi heran mendengar
suara seruling yang melengking pendek, sehingga karena itu, maka pertempuran
itu pun terhenti karenanya. Sejenak kemudian, di bawah cahaya bulan bulat di
langit, seseorang meloncat dari balik pematang langsung berlari-lari kecil
menuju ke arena pertempuran antara Pandan Wangi dan Peda Sura. Di tangan
kirinya ia menjinjing sebatang seruling kecil, seruling yang hampir tidak
pernah terpisah daripadanya.
“Perkelahian
yang dahsyat,” desisnya ketika orang itu sudah berada beberapa langkah saja
dari Peda Sura dan Pandan Wangi. Kemudian ia
pun berhenti dan berdiri tegak seperti patung.
“Siapakah
kau?” terdengar Peda Sura menggeram. Pandan Wangi yang hampir saja bertanya
tentang gembala yang menggenggam seruling itu telah mengurungkan niatnya.
Semula ia ingin langsung menuduhnya, sebagai petugas sandi Sidanti. Tetapi
menilik pertanyaan Peda Sura, maka ada kemungkinan lain yang tidak
dimengertinya. Karena itu, maka ia pun
berdiam diri sambil menunggu jawaban orang berseruling itu.
Karena orang
itu tidak segera menjawab, maka Peda Sura mengulanginya,
“Siapa kau
he?”
“Gupita,
seorang penggembala,” jawab orang itu.
“Apa maksudmu
datang kemari, dan menghentikan perkelahian ini?”
“Aku ingin
memberitahukan kepada Pandan Wangi, agar ia segera meninggalkan arena ini.
Lihat, sebentar lagi pasukannya akan segera hilang di dalam padukuhan itu.
Kalau ia masih saja bertempur, maka sebentar lagi ia akan terjebak. Orang-orangmu
pasti tidak akan terus menerus mengejar orang-orang Menoreh. Pada suatu ketika
mereka akan kembali kemari dan bersamamu beramai-ramai menangkap Pandan Wangi.
Bukankah begitu?”
“Persetan,” Ki
Peda Sura menggeram, “apa pedulimu?”
“Tidak
sepantasnya Pandan Wangi jatuh ke tangan orang-orang gila semacam kau, Ki Peda
Sura.”
“Lalu, apa
maumu?”
“Aku ingin
menasehatkan, agar Pandan Wangi meninggalkan arena ini.”
Dada Ki Peda
Sura bergetar mendengar jawaban itu, sehingga dengan serta merta ia berkata,
“Begitu
mudahnya?”
“Apakah
kesulitannya? Pandan Wangi dapat menelusur pematang ini, dan di ujung parit
yang menyilang jalan, ia berbelok lewat jalan sempit di pinggir parit di
seberang jalan. Nah, bukankah ia akan sampai di sisi padukuhan kecil itu dan
dengan loncatan-loncatan kecil ia dapat masuk ke dalam padukuhan, kemudian
bergabung dengan pasukannya yang sedang mundur?”
“Apa kau kira
aku akan tertidur di sini dan membiarkannya lari?”
Gupita
tertawa. Jawabnya,
“Kau akan
bermain-main dengan kami berdua. Kalau kami tidak dapat mengalahkanmu, maka
Pandan Wangi akan lari, sedang kau tinggal di sini bersamaku. Tetapi kalau kami
mampu, maka kau akan menyesal, bahwa kau telah terpisah dari anak buahmu.”
Jawaban itu
benar-benar telah membuat telinga Ki Peda Sura menjadi merah. Terdengar giginya
gemeretak dan senjatanya terayun-ayun di tangannya.
“He Gupita,
apakah kau sudah menjadi gila?” suaranya berat dalam nada yang datar,
“Apakah kau
belum pernah mendengar nama Ki Peda Sura?”
“Sudah. Aku
sudah pernah mendengar. Tetapi ternyata namamu jauh lebih besar dari
kemampuanmu. Aku memang tidak akan dapat melawanmu. Tetapi selama aku melihat
kau bertempur melawan Pandan Wangi, maka kelebihan yang kau miliki ternyata
tidak seberapa. Dengan demikian, maka tenagaku yang lemah, akan segera merubah
keseimbangan. Kau akan mengalami kesulitan dan mungkin kau harus mengalami
nasib yang menyedihkan.”
Sekali lagi
Peda Sura menggeram. Matanya yang buas menjadi semakin buas. Sementara itu
Pandan Wangi berdiri termangu-mangu. Kata-kata gembala yang menamakan dirinya
Gupita itu, seakan-akan meluncur begitu saja seperti air terjun. Seolah-olah ia
menganggap persoalan yang sedang di hadapi itu sebagai persoalan yang dapat
diselesaikan sambil tertawa dan bergurau saja. Sedang yang berdiri di hadapannya
itu adalah seorang iblis yang bernama Ki Peda Sura.
Dalam
kebimbangan itu, Pandan Wangi mendengar Gupita berkata kepadanya,
“Marilah, kita
selesaikan saja persoalan ini sampai di sini. Kami harus menyadari keadaanmu.
Kau harus segera meninggalkan tempat ini.”
Tiba-tiba
terdengar jawaban Pandan Wangi gemetar, “Aku bukan pengecut.”
“Memang
bukan,” sahut Gupita,
“tetapi kau
harus mempunyai penilaian yang tepat atas keadaan yang kau hadapi. Kau tidak
perlu mengorbankan dirimu. Pasukanmu sudah menemukan jalan yang lapang untuk
membebaskan dirinya kali ini. Itu pun bukan suatu sifat pengecut. Tetapi kau
harus mempunyai perhitungan jangka jauh untuk memenangkan pertempuran ini.
Kalah atau menang dalam suatu peperangan tidak ditentukan oleh medan-medan kecil
serupa ini. Tetapi bagaimana akhir dari semuanya.”
Pandan Wangi
menjadi ragu-ragu. Ia tidak tahu, siapakah sebenarnya gembala yang menyebut
dirinya bernama Gupita itu. Tetapi tiba-tiba saja telah tumbuh kepercayaan
kepada gembala itu di dalam hatinya. Sehingga karena itu, maka semua
kata-katanya itu dipertimbangkannya.
Sementara itu,
hati di dada Ki Peda Sura rasa-rasanya telah terbakar. Ia sudah tidak mampu
lagi untuk menahan geram yang mencengkam jantungnya. Gembala itu terlampau
meremehkannya. Karena itu, maka ia tidak mau membiarkan keadaan menjadi
berlarut-larut. Sebelum Pandan Wangi sempat menjawab, maka tiba-tiba Peda Sura
sudah meloncat menyerang. Kali ini sasarannya adalah gembala yang menyebut
dirinya bernama Gupita itu. Sebenarnya Gupita terkejut juga melihat serangan
yang tiba-tiba dan datang terlampau cepat. Untunglah bahwa ia sudah
mempersiapkan dirinya untuk menghadapi serangan yang demikian. Karena itu, maka
segera ia meloncat menghindar sambil berkata,
“Pandan Wangi.
Permainan ini sudah dimulai. Cepat, hindarkan dirimu sebelum orang-orang yang
liar dan buas itu datang, setelah mereka berhasil mendesak pasukanmu. Kau harus
tetap selamat. Kau tahu, bahaya yang paling parah dapat kau alami apabila kau
tertangkap.”
Dada Pandan
Wangi menjadi berdebar-debar. Di tangannya masih tergenggam sepasang
senjatanya. Dengan penuh kebimbangan, ia melihai pertempuran yang segera
terjadi antara Ki Peda Sura melawan Gupita. Tiba-tiba tanpa sesadarnya, Pandan
Wangi bertanya,
“Apakah kau
tidak bersenjata? Marilah, pakailah satu pedangku.”
“Terima
kasih,” sahut Gupita,
“aku sudah
membawa senjata. Aku baru saja menyimpan kambing-kambingku di kandang. Cambukku
masih aku bawa sampai saat ini. Kalau perlu aku dapat mempergunakannya untuk
melawan senjata Ki Peda Sura yang mengerikan ini.”
Telinga Peda
Sura serasa terbakar mendengar jawaban Gupita itu. Anak itu benar-benar
menghinanya, sehingga dengan demikian, maka serangannya menjadi semakin garang.
Namun Gupita memang mengharap Ki Peda Sura menjadi marah kepadanya. Dengan
demikian, maka perhatiannya terhadap Pandan Wangi akan berkurang. Kecuali itu,
kalau ia berhasil membakar hatinya, maka Ki Peda Sura akan dikuasai oleh
kemarahannya, sehingga akalnya menjadi tersaput oleh perasaannya. Dengan
demikian ia mengharap, bahwa di dalam olah senjata pun Peda Sura akan menjadi terlampau terburu
oleh nafsunya. Tetapi ternyata Peda Sura tidak berbuat demikian. Meskipun ia
dibakar oleh kemarahan yang hampir tidak tertahankan, namun ia tidak mau
kehilangan akal. Ia masih tetap dalam keadaannya. Senjatanya masih tetap
berbahaya. Menyambar-nyambar seperti sepasang burung elang di udara.
“Pergilah,”
desis Gupita, “cepat. Sebentar lagi pasukan Sidanti juga akan datang.”
Tetapi Pandan
Wangi masih berdiri di tempatnya. Ia tidak sampai hati untuk meninggalkan
Gupita bertempur seorang diri. Apalagi gembala itu masih belum mempergunakan
senjata apapun. Ia masih saja berloncat-loncatan menghindari serangan Peda Sura
yang semakin lama menjadi semakin dahsyat. Akhirnya Gupita pun harus mengakui, bahwa Ki Peda Sura adalah
salah seorang yang tidak dapat diremehkan. Ilmunya cukup tinggi, ditambah
dengan pengalamannya yang cukup tersimpan di perbendaharaan hatinya. Dengan
tajamnya ia mengamati kelemahan-kelemahan Gupita yang masih saja mencoba menghindari
serangan-serangan yang semakin lama menjadi sedahsyat badai mangsa kesanga. Namun
tiba-tiba Gupita mengambil sesuatu dari bawah bajunya. Seolah-olah ia sedang
mengurai ikat pinggangnya. Tetapi kemudian ternyata bahwa ia sedang mengurai
senjatanya. Sebuah cambuk yang berjuntai panjang dan bertangkai pendek.
“Hem,” Peda
Sura menggeram, “itukah senjatamu?”
“Ya. Sudah aku
katakan. Aku baru saja menggembalakan kambingku.”
Serangan Peda
Sura semakin lama menjadi semakin dahsyat Namun kini di antara suara
teriakannya yang melengking-lengking, terdengar ledakan cambuk Gupita. Ternyata
bahwa cambuk itu mampu melawannya dengan dahsyatnya pula, sedahsyat senjatanya
yang mengerikan.
“Setan,” Peda
Sura mengumpat. Ia sama sekali tidak menyangka, bahwa di medan pertempuran ini
akan muncul seorang gembala yang memiliki kemampuan sedemikian tingginya.
Meskipun Peda Sura masih mempercayai dirinya sendiri, bahwa Gupita tidak akan
dapat mengalahkannya, namun untuk memenangkannya pun bukan suatu pekerjaan yang dapat segera
diselesaikan. Bahkan dengan ragu-ragu ia bertanya kepada diri sendiri,
“Setan manakah
yang dengan tiba-tiba saja mengganggu rencanaku ini? Dan apakah aku akan dapat
menguasainya dalam waktu yang singkat?”
Yang terjadi
kemudian memang membuat Ki Peda Sura semakin cemas. Ternyata bahwa gembala itu
semakin lama menjadi semakin tangkas. Cambuknya meledak-ledak memekakkan
telinga, dan bahkan ujungnya sekali-sekali telah menyentuh pakaiannya. Tanpa
disengaja, Peda Sura mencoba memandangi orang-orang yang sedang bertempur di
kejauhan. Semakin lama semakin kabur. Bahkan sebagian dari mereka telah
menghilang masuk ke dalam padukuhan kecil yang kehitam-hitaman. Serangan Gupita
semakin lama menjadi semakin sengit. Tenaganya yang masih segar telah
membantunya. Ki Peda Sura yang baru saja bertempur di dalam perang brubuh,
kemudian berkelahi seorang lawan seorang dengan Pandan Wangi, telah memeras
sebagian dari tenaganya. Ia merasa terlampau tegang, karena ia ingin
mengalahkan Pandan Wangi tanpa melukainya. Dan kini ketegangan itu memuncak,
karena tiba-tiba ia telah di hadapkan kepada seorang lawan yang tidak
disangka-sangka. Tetapi pengalamannya segera menempatkannya ke dalam keadaan
yang semakin baik. Lambat laun ia dapat melihat cara lawannya bertempur. Lambat
laun ia berhasil mengerti, di manakah kelemahan-kelamahan Gupita yang garang
itu, sehingga dengan demikian, maka ia masih tetap mampu menguasai
keseimbangan.
Gupita pun
akhirnya menyadari, bahwa ia tidak akan dapat menguasai lawannya betapapun ia
berusaha. Yang dapat dilakukan adalah mempergunakan kesegarannya untuk memeras
tenaga orang tua itu. Tetapi sementara itu, Pandan Wangi harus di selamatkan.
Maka sekali lagi berteriak,
“Pandan Wangi.
Kenapa kau berdiri saja mematung. Kau harus segera meninggalkan tempat ini.
Lihat, kedua pasukan itu telah menghilang di balik dedaunan di padesan sebelah.
Sebentar lagi pasukan Menoreh akan lolos, dan orang-orang yang liar itu akan
kembali kemari. Kau akan kehilangan kesempatan lagi untuk kedua kalinya.”
Pandan Wangi
seolah-olah tersadar dari sebuah mimpi yang buruk. Tanpa sengaja ia berpaling
memandang ke arah pasukan Menoreh yang menyelinap ke dalam padesan. Dan
sebenarnyalah, bahwa mereka sudah tidak tampak lagi. Dalam keremangan cahaya
bulan bulat di langit, Pandan Wangi masih sempat melihat beberapa buah bayangan
yang lamat-lamat menghilang ke dalam hijaunya dedaunan padesan, yang di malam
hari tampak menjadi kehitam-hitaman.
“Nah, cepat.
Lakukanlah,” teriak Gupita.
Pandan Wangi
masih tetap ragu-ragu. Tetapi ia menyadari kini, betapa bahaya akan
mengancamnya lagi, apabila orang-orang itu nanti kembali. Namun apakah ia akan
meninggalkan Gupita itu bertempur seorang diri? Padahal Pandan Wangi yang sudah
memiliki ketajaman penglihatan untuk menilai perkelahian itu, menganggap bahwa
Gupita tidak berada di atas kemampuan Ki Peda Sura? Dengan demikian Pandan
Wangi masih juga ragu-ragu. Dan ia mendengar suara Gupita,
“Cepat Pandan
Wangi. Cepatlah sedikit.”
Yang terdengar
adalah geram dan gemeretak gigi Peda Sura, ia tidak dapat menganggap lawannya
kali ini sebagai kawan berkejar-kejaran. Serangan cambuk Gupita ternyata
terlampau berbahaya, meskipun tidak berhasil menguasainya. Pandan Wangi masih
juga ragu-ragu. Ia sadar, bahwa ia harus pergi. Tetapi ia mengetahui, bahwa
Gupita tidak akan dapat memenangkan perkelahian itu. Karena itu, maka ia tidak
segera dapat mengambil keputusan. Dalam pada itu Ki Peda Sura yang sedang
dibakar oleh kemarahan yang semakin memuncak, segera mengerahkan segenap
kemampuan yang ada padanya. Ia tidak ragu-ragu seperti pada saat ia bertempur
melawan Pandan Wangi. Kali ini ia tidak sayang sama sekali, apabila kulit
Gupita tersentuh senjata dan tulang-tulangnya dipecahkannya. Dengan demikian
maka serangan-serangannya pun semakin
lama menjadi semakin garang. Untunglah, bahwa Gupita masih cukup segar untuk
melayaninya. Tenaganya masih utuh, sehingga kelincahannya masih mampu
mengimbangi serangan-serangan lawannya yang dahsyat, sedahsyat banjir bandang. Namun
dalam pada itu, semakin nyata bagi Pandan Wangi, bahwa Gupita pun tidak akan mampu mengalahkan orang tua
itu. Dengan demikian tiba-tiba Pandan Wangi mengambil suatu keputusan lain.
Tiba-tiba ia melangkah kembali mendekati lingkaran pertempuran. Pedangnya
kemudian disilangkannya di dadanya. Sambil melangkah semakin dekat ia berkata,
“Aku berkelahi
di pihakmu Gupita.”
“Jangan,”
sahut Gupita, “tinggalkan saja tempat ini.”
“Kau dalam
kesulitan. Aku tahu, dan kau jangan mengorbankan dirimu.”
“Persetan,”
yang terdengai adalah suara Ki Peda Sura, “kalian adalah anak-anak yang paling
bodoh.”
Pandan Wangi
tidak menyahut. Tiba-tiba pedangnya bergetar. Kedua ujungnya kini telah
merunduk setinggi dada, meskipun masih tetap bersilang. Ki Peda Sura melihat
sikap itu dengan hati yang berdebar-debar. Ia tahu benar, bahwa seorang-seorang,
anak-anak itu tidak akan dapat mengalahkannya. Tetapi kalau mereka berkelahi
bersama-sama, maka akibatnya akan berbeda. Gupita yang melihat sikap itu pun
menjadi cemas. Terbata-bata ia bertanya,
“Pandan Wangi,
apa yang akan kau kerjakan?”
Pandan Wangi
tidak menjawab. Tetapi ia menarik sebelah kakinya sambil merendahkan lututnya.
Kini satu tangannya terentang dan yang lain bersilang di dadanya, menggenggam
pedangnya tegak lurus di muka wajahnya. Dada Gupita menjadi berdebar-debar.
Sikap itu benar-benar meyakinkan, dan dengan demikian maka Gupita pun menjadi
semakin mengaguminya. Gadis ini memang luar biasa. Kalau kelak ia menemukan
kematangan bagi ilmunya itu, maka ia akan menjadi seorang gadis yang pilih
tanding. Seorang gadis yang tidak memerlukannya lagi untuk membantu melawan Ki
Peda Sura.
Peda Sura yang
melihat sikap itu pun menjadi semakin berdebar-debar. Namun dengan demikian,
kemarahannya menjadi semakin mencengkam kepalanya. Serangan-serangannya menjadi
semakin dahsyat dan buas. Sebuas harimau kelaparan melihat mangsanya. Sejenak
kemudian terdengar desis tajam. Bersamaan dengan itu, pedang Pandan Wangi pun
bergetar. Dengan lincahnya ia meloncat semakin dekat, dan langsung menyerang Ki
Peda Sura dengan sepasang pedangnya. Segera Ki Peda Sura merasakan kesulitan
untuk melawan keduanya. Karena Pandan Wangi benar-benar tidak bersedia
meninggalkan perkelahian itu, dan bahkan sudah memulainya, maka Gupita harus
segera menyesuaikan diri. Perkelahian itu harus segera selesai, supaya Pandan
Wangi mendapat kesempatan untuk menyingkir. Agaknya Pandan Wangi pun mempunyai
perhitungan yang serupa. Karena itulah, maka serangan kedua anak-anak muda itu
segera membadai. Sepasang pedang Pandan Wangi menari-nari mengitari tubuh Ki
Peda Sura dari segala arah, mematuk-matuk seperti sepasang paruh garuda. Sedang
cambuk Gupita menyambar-nyambar seperti petir di langit. Meledak-ledak
memekakkan telinga. Ki Peda Sura segera merasakan, bahwa tenaganya yang telah
mulai lelah itu tidak akan mampu melawan keduanya dalam gabungan kekuatan.
Gupita sendiri pun tidak segera dapat dikalahkan, sedang Pandan Wangi seorang
diri cukup berbahaya baginya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar