Jilid 010 Halaman 2


Untara mengerutkan keningnya. Ia melihat Swandaru mempunyai keinginan yang besar untuk mendapat tanggung-jawab yang cukup dalam pertempuran itu. Tetapi pertempuran kali ini bukanlah semacam sebuah permainan yang menggembirakan. Laskar Jipang pasti akan menempatkan orang-orangnya yang paling terpilih di antara mereka. Sedang Swandaru masih terlalu muda dalam pengalaman dan dalam kematangan berpikir. Untara lebih condong untuk memilih Agung Sedayu meskipun anak itu ternyata dalam bertindak terlalu banyak pertimbangan-pertimbangan. Namun bekal yang dimiliki Agung Sedayu ternyata lebih banyak dari Swandaru. Namun sudah tentu Untara tidak akan mengecewakan anak muda itu. Karena itu maka jawabnya,
“Swandaru, kita harus memperhitungkan siapakah kira-kira yang akan menjadi senapati pengapit Macan Kepatihan. Seandainya mereka mempergunakan gelar Dirada Meta, maka sudah dapat dibayangkan, bahwa Sanakeling adalah salah seorang senapati pengapitnya. Salah seorang yang akan di tempatkan di ujung gading gajah raksasa yang akan mengamuk itu. Sedang di ujung yang lain, mungkin Macan Kepatihan akan menempatkan Alap-alap Jalatunda atau orang lain yang lebih baik daripada orang itu”
Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Ditebarkannya pandangan matanya berkeliling pringgitan. Dilihatnya di antara mereka, Widura dan Agung Sedayu di samping dirinya sendiri. Karena itu maka katanya dalam hati,
“Apakah kakang Untara tidak mau memberi aku kesempatan?”

Dan terdengarlah Untara berkata,
“Swandaru, aku ingin menempatkan paman Widura untuk melawan Sanakeling. Tak ada orang lain yang mampu melakukannya. Aku mempunyai perhitungan, bahwa Sanakeling akan menjadi pengapit kanan Macan Kepatihan, sehingga aku akan minta paman Widura mempimpin sayap kiri pasukan Sangkal Putung”
“Satu-satunya kemungkinan” sesis Swandaru,
“Lalu siapakah yang harus melawan Alap-alap Jalatunda?”
Untara mengerutkan keningnya. Apalagi ketika ia melihat sekali dua kali Swandaru memandang ke arah Agung Sedayu, seolah-olah ia sedang membandingkan dirinya sendiri dengan Agung Sedayu itu. Karena itu maka kembali Untara berada dalam kesulitan. Apakah ia akan dapat memilih salah seorang dari mereka? Kalau ia menunjuk Swandaru, Agung Sedayu pasti tidak akan menjadi kecewa. Tetapi Swandaru sama sekali kurang pengalaman dalam perang yang memasang gelar-gelar sempurna. Namun akhirnya, Untara menemukan jawabnya. Ditebarkannya pandangannya berkeliling dan akhirnya berhenti pada seseorang yang duduk agak di belakangnya. Katanya,
“Disayap yang lain aku pasang Citra Gati”
Swandaru sekali lagi mengerutkan keningnya. Kini ia benar-benar salah tebak. Ia menyangka bahwa Untara akan memilih satu di antara mereka berdua, Agung Sedayu atau dirinya sendiri. Namun sebelum ia menyatakan pendiriannya, terdengar Untara memberi penjelasan,
“Aku harus menempatkan seorang prajurit Pajang dalam gelar yang sempurna ini, supaya garis perintahku dapat tersalur dengan baik. Sebenarnya aku ingin menempatkan Agung Sedayu atau kau Swandaru. Tetapi ada yang belum kalian ketahui, saluran-saluran perintah dalam gelar perang yang sempurna. Nah, karena itu aku tempatkan saja Citra Gati itu disayap kanan. Meskipun demikian, Swandaru, kau dan Agung Sedayu akan merupakan ujung-ujung kuku dalam gelar Garuda Nglayang yang mungkin akan kita pergunakan”
Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Keputusan Untara adalah keputusan yang bijaksana. Bukan Agung Sedayu dan bukan Swandaru yang kedua-duanya bukan prajurit Pajang. Tetapi kemudian Widura memotong pembicaraan itu,
“Bagaimana dengan Sumangkar? Siapakah yang akan menghadapinya bila Sumangkar itu ikut turun pula dalam laskar Jipang yang akan segera menyerbu itu?”

Semua yang hadir dalam pertemuan itu menjadi berdebar-debar karenanya. Mereka sadar akan kemampuan Sumangkar yang terkenal dengan adik seperguruan Patih Mantahun, yang memiliki nyawa rangkap di dalam tubuhnya. Kesaktiannya sudah terbukti dapat mengimbangi Ki Tambak Wedi, hantu lereng gunung Merapi itu. Tidak ada di antara mereka yang akan mampu mengimbangi Sumangkar itu, dan mereka semua menyadarinya. Tetapi harus ada orang yang terpilih di antara mereka. Padahal mereka masing-masing sudah terikat pada lawan-lawan yang tidak dapat mereka abaikan pula. Untara melawan Macan Kepatihan, Widura berhadapan dengan Sanakeling dan Citra Gati harus melawan Alap-alap Jalatunda. Apakah Agung Sedayu dan Swandaru yang akan dipersiapkan melawan Sumangkar itu? Ketika mereka baru berteka-teki, terdengarlah Untara menjelaskan perhitungannya,
“Tak ada seorang pun di antara kita yang sanggup melawan Sumangkar. Namun meskipun demikian, kita akan mendapat seorang yang akan sanggup untuk mengimbanginya, Kiai Gringsing”
Para pemimpin laskar Pajang itu mengangkat wajah-wajah mereka. Terdengar mereka bergumam di antara mereka. Berulang kali terdengar mereka menyebut nama Kiai Gringsing itu. Namun belum seorang pun dari mereka yang tahu pasti siapakah Kiai Gringsing itu. Karena itu terdengar Sendawa meyakinkan dirinya,
“Siapakah Kiai Gringsing itu?”
Untara menarik alisnya. Agaknya orang-orangnya belum mengenal siapakah Kiai Gringsing itu. Beberapa orang sudah dapat meraba-raba, namun yang lain sama sekali belum mengenalnya. Tetapi kini Untara tidak berahasia lagi. Untuk menentramkan orang-orangnya ia berkata,
“Orang yang kalian kenal setiap hari sebagai dukun yang baik itulah orangnya. Yang hampir setiap malam pergi berjalan-jalan dengan Swandaru dan Agung Sedayu. Yang hampir setiap hari berada di antara orang-orang yang sakit. Namanya Ki Tanu Metir”
Kembali terdengar mereka bergumam. Beberapa orang yang sudah menduganya tersenyum bangga atas ketepatan tebaknya. Tetapi kini mereka belum melihat, dimanakah orang itu. Karena itu maka Citra Gati berkata,
“Dimanakah Ki Tanu Metir itu sekarang?”
Untara mengangkat wajahnya. kemudian kepada Agung Sedayu ia berkata,
“Panggilah Kiai Gringsing”

Agung Sedayu segera berdiri dan melangkah keluar pringgitan. Dicobanya untuk mencari Kiai Gringsing di pendapa, namun orang itu tidak kelihatan. Dengan segan Agung Sedayu turun kehalaman yang sudah menjadi semakin kelam. Dicarinya gurunya di antara para penjaga gerbang. Orang tua itu kadang-kadang berkelakar di gardu penjagaan bersama-sama mereka yang bertugas.
“Aku tidak melihat Ki Tanu Metir sepanjang sore ini” berkata salah seorang penjaga.
“Apakah Ki Tanu Metir pergi keluar?”
“Aku tidak melihatnya” sahut penjaga itu,
“Entahlah sebelum aku bertugas di sini”
“Siapakah yang bertugas sebelum kalian?”
“Di antaranya kakang Santa”
Agung Sedayu pun bergegas-gegas mencari Santa di pendapa. Namun ternyata orang itu juga tidak melihat Ki Tanu Metir. Katanya,
“Aku tidak melihatnya”
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Apakah Ki Tanu Metir sedang berada di belakang? Agung Sedayu pun kemudian mencoba mencarinya keperigi. Tetapi di perigi itu pun Ki Tanu Metir tidak ditemukannya. Satu-satunya kemungkinan tinggallah di banjar desa. Masih ada satu dua orang yang dirawat di sana. Mungkin Ki Tanu Metir ada di antara mereka. Karena itu maka Agung Sedayu segera pergi ke pringgitan, memberitahukan kepada kakaknya, bahwa ia akan mencoba mencari Ki Tanu Metir ke banjar desa.
“Aku pergi bersamamu” sela Swandaru sebelum Untara menjawab.
Agung Sedayu mengangguk, “Marilah” jawabnya.
Dan Untara pun kemudian bertanya,
“Apakah kau sudah mencari di seluruh halaman ini?”
“Sudah kakang,”
“Tidak seorang pun yang melihatnya?”
“Tidak kakang, para penjaga regol pun tidak melihat bahwa Ki Tanu Metir meninggalkan halaman”
Untara mengangguk-anggukkan kepalanya. Apabila dikehendakinya sudah tentu ia dapat pergi tanpa seorang pun yang mengetahuinya. Meloncat dinding halaman belakang atau lewat manapun. Tetapi mungkin juga, hanya karena para penjaga tidak begitu memperhatikannya.
“Sore tadi aku masih bercakap-cakap dengan Ki Tanu Metir” Agung Sedayu menjelaskan.
“Kalau demikian” berkata Untara,
“Cobalah kau cari Ki Tanu Metir di banjar desa”

Agung Sedayu dan Swandaru segera pergi meninggalkan kademangan. Malam sudah semakin kelam dan langit pun tampak gelap kelabu dilapis oleh mendung yang rata. Sekali-sekali menengadahkan wajahnya dan dilihatnya kesempatan lidah api berloncatan. Bintang-bintang jauh bersembunyi di balik tabir yang hitam. Agung Sedayu itu pun segera terkenang pada waktu kakaknya Untara, membawanya pergi meninggalkan padukuhannya Jati Anom. Pada saat kakaknya itu mendapat berita bahwa Tohpati akan melanda Sangkal Putung untuk yang pertama kalinya. Alangkah jauh bedanya, perasaannya pada waktu itu dan perasaannya pada saat ini. Pada saat itu perasaannya diliputi oleh ketakutan dan kecemasan. Betapa ia menjadi gemetar. Namun ketika pundaknya telah terluka dan memancarkan darah, dan dirasakannya luka itu, serta desakan-desakan keadaan yang tidak dapat dihindarinya, maka pecahlah belenggu yang mengungkungnya selama ini. Ditemukannya nilai-nilai baru pada dirinya. Dan karena itulah maka kini Agung Sedayu sama sekali tidak lagi dicengkam oleh ketakutan, meskipun beberapa segi sifat-sifatnya masih juga melekat pada dirinya, sehingga Untara menganggapnya sebagai seorang anak yang terlalu banyak mempunyai pertimbangan. Akibatnya adalah, ragu-ragu, meskipun ragu-ragu ini bukanlah ungkapan dari bentuk ketakutan dan kecemasan. Agung Sedayu dan Swandaru berjalan tergesa-gesa ke banjar desa. Mereka takut kalau hujan segera akan jatuh. Dengan demikian maka mereka akan menjadi basah kuyup.
“Alangkah sepi malam ini” desis Agung Sedayu.
“Mungkin beberapa orang mendapat firasat buruk. Mungkin beberapa orang telah menyangka bahwa bahaya besok pagi akan mengancam kademangan ini” sahut Swandaru,
“Tetapi mungkin karena mendung yang tebal”
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Besok pagi-pagi buta mereka pasti sudah mengungsi kekademangan dan ke banjar desa. Hati Agung Sedayu berdesir ketika ia mendengar tangis bayi memecah kesepian malam. Tangis itu terdengar betapa rawannya di antara bunyi guruh yang menggelegar di langit.
“Kenapa anak itu menangis?” desisnya.
Swandaru heran mendengar desis itu. Ketika ia berpaling, dilihatnya Agung Sedayu masih memandangi rumah yang memancarkan tangis bayi itu.
“Bayi-bayi menangis di malam hari” sahut Swandaru,
“Mungkin kakinya digigit nyamuk, mungkin terkejut mendengar tikus melonjak-lonjak di atap rumahnya”

Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi hatinya selalu tersentuh-sentuh oleh tangis itu. Besok pagi-pagi bayi-bayi di Sangkal Putung akan dibangunkan oleh ibu-ibunya. Digendongnya dan dibawanya berlari-lari kekademangan sambil menggandeng anak-anaknya yang lebih besar. Anak-anak itu berlari-larian dengan hati yang cemas, secemas hatinya dahulu, pada saat ia harus pergi mengikuti kakaknya dari Jati Anom. Alangkah pahitnya perasaannya waktu itu. Ia pernah mengalaminya. Ketakutan. Dan besok perempuan dan anak-anak di Sangkal Putung akan mengalaminya pula, ketakutan. Agung Sedayu dan Swandaru terkejut ketika guruh meledak dengan kerasnya, seakan-akan menggetarkan seluruh bumi. Cahaya yang terang benderang menjilat langit. Hanya sesaat, kemudian gelap kembali.
Keduanya berjalan semakin cepat. Banjar desa tidak terlalu jauh. Sekali mereka melampaui gardu perondan. Beberapa orang duduk dengan malasnya dibawah cahaya pelita. Tetapi beberapa orang yang lain berdiri dan berjalan hilir mudik di muka gardu itu. Ketika mereka melihat dua sosok bayangan dalam gelapnya malam, segera mereka menundukkan tombak mereka sambil bertanya, “Siapa?”
“Aku” sahut Swandaru, “Swandaru Geni.”
“Oh” gumam penjaga itu, yang segera mengenal suara Swandaru,
“Akan kemanakah adi berdua?” bertanya penjaga itu.
“Banjar desa” sahut Swandaru pendek.
Penjaga itu tidak bertanya lagi. Tetapi kemudian Agung Sedayu lah yang bertanya,
“Apakah kalian melihat Ki Tanu Metir lewat jalan ini menuju ke banjar desa?”
Penjaga itu mengerutkan keningnya. Kemudian jawabna,
“Tak seorang pun lewat sejak senja”
“Sore tadi?” desak Sedayu.
“Agaknya juga tidak”
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya,
“Baiklah aku melihatnya di banjar desa”
“Silakan. Tetapi hati-hatilah. Jalan tampaknya terlalu sepi”
“Kalian terpengaruh oleh suasana” sahut Swandaru,
“Mendung yang telbal, guruh dan kilat yang memancar di langit menjadikan malam ini sangat sepi”
Peronda itu mengangkat alisnya. Sekali ditatapnya langit yang gelap pekat. Kemudian gumamnya seolah-olah kepada diri sendiri,
“Ya, mungkin adalah Swandaru benar”

Swandaru dan Agung Sedayu tidak menjawab lagi. Dengan tergesa-gesa mereka meninggalkan gardu perondan itu langsung menuju banjar desa. Sangkal Putung. Jarak mereka sudah tidak terlalu jauh lagi. Namun karena angin yang basah dan kilat yang bersambung di langit maka Agung Sedayu dan Swandaru itu seakan-akan berlari supaya mereka tidak kehujanan.
“Perintah paman Widura belum sampai kepada para perondan itu bukan?” bertanya Swandaru.
“Aku kira belum” sahut Agung Sedayu.
“Namun seakan-akan mereka sudah tahu bahwa mereka sudah dihadapkan pada bahaya”
“Firasat seorang prajurit” jawab Agung Sedayu.
Mereka sama sekali tidak memerlukan waktu terlalu lama. Segera mereka sampai keregol banjar desa di samping sebuah lapangan. Ketika mereka dengan tergesa-gesa menyusup regol itu, maka sekali lagi mereka terhenti ketika dua ujung tombak menghalangi mereka,
“Siapa?”
“Swandaru Geni” sahut Swandaru.
“Oh” desis penjaga itu,
“Kalian mengejutkan kami. Tidak pernah kalian datang di malam hari begini”
“Kau yang tidak pernah melihat kedatangan kami” sahut Agung Sedayu,
“Hampir setiap malam kami datang kemari, meskipun hanya lewat di samping regol ini”
Penjaga itu mengerutkan keningnya,
“Aku tidak pernah melihatnya”
Agung Sedayu tersenyum,
“Mungkin. Mungkin kau sedang tidur. Mungkin orang lain yang bertugas di sini, dan mungkin memang aku berjalan terlalu jauh sehingga kau tidak akan dapat melihatnya di malam hari”
“Oh” kembali penjaga itu berdesis,
“Tetapi kau sekarang singgah di banjar ini. Adalah sesuatu yang penting?”
“Tidak” jawab Agung Sedayu,
“Kami hanya ingin mencari Ki Tanu Metir”
“Tidak ada di sini” sahut penjaga itu.
“Jangan main-main” sela Swandaru Geni.
“Ada yang penting bagi dukun tua itu”
“Ya, bapak dukun itu tidak ada di sini”
“Bukankah di sini masih ada orang yang perlu perawatannya?”
“Siang tadi ia datang, tetapi tidak terlalu lama. Sesudah itu ia pergi, dan ia tidak kembali lagi”
“Tadi sore aku masih bercakap-cakap di kademangan” gumam Agung Sedayu.
Penjaga itu menggeleng,
“Entahlah”

Meskipun demikian, namun agaknya Agung Sedayu dan Swandaru masih belum puas, sehingga hampir bersamaan keduanya berkata,
“Kami akan mencoba melihatnya”
Penjaga itu tersenyum,
“Kami tidak akan menyembunyikan dukun tua itu. Apakah ada orang sakit di kademangan?”
“Seluruh Kademangan Sangkal Putung sedang sakit” sahut Swandaru.
Penjaga itu tidak tahu maksud Swandaru. Tetapi ia menjawab,
“Kalau demikian silakan. Mungkin aku tidak melihatnya memasuki regol, apabila dukun tua itu mempunyai aji panglimunan sehingga dapat melenyapkan diri dari pandangan mata”
Swandaru dan Agung Sedayu segera melangkah masuk. Di banjar desa mereka melihat beberapa orang prajurit yang bertempat tinggal di banjar desa itu, berbaring-baring dengan tenangnya. Bahkan ada pula di antara mereka yang duduk menghadapi pelita sambil bermain macanan. Ketika mereka melihat Swandaru dan Agung Sedayu memasuki pendapa bajar desa itu, maka beberapa orang yang sedang berbaring segera bangun dan yang bermain macanan itu pun berhenti.
“Siapa pemimpin kelompok di sini?” bertanya Agung Sedayu.
Orang yang sedang menghadapi permainan macanan menjawab,
“Kakang Sendawa. Kini sedang dipanggil ke kademangan”
“Oh” desis Swandaru,
“Aku melihatnya tadi. Tetapi apakah Ki Tanu Metir tidak ada di sini sekarang?”
“Tidak” jawab mereka serempak.
Agung Sedayu menarik nafas. “Aneh” sesahnya.
“Biasanya guru selalu mengatakan, kemana ia pergi” bisik Swandaru.

Sesaat mereka berdiri saja seperti patung di pendapa banjar desa itu. Mereka mencoba mengingat-ingat kemanakah kira-kira Ki Tanu Metir itu pergi. Tetapi mereka sama sekali tidak dapat menemukan jawabnya.
“Justru pada saat yang penting” kembali Agung Sedayu berdesah.
Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya,
“Marilah kita laporkan kepada paman Widura dan kakang Untara”
Agung Sedayu mengangguk. Kepada orang yang duduk di samping pelita, Agung Sedayu berkata,
“Baiklah aku kembali ke kademangan. Sebentar lagi kakang Sendawa akan datang membawa berita penting untuk kalian. Sejak kini jangan lepaskan senjata kalian dari tangan”
Yang mendengar kata-kata Agung Sedayu itu menjadi berdebar-debar. Namun mereka adalah prajurit-prajurit, sehingga isyarat itu sudah cukup bagi mereka sebagai isyarat bahwa keadaan menjadi semakin berbahaya.
Meskipun demikian ada yang bertanya,
“Apakah yang kira-kira akan terjadi? Tohpati akan datang malam ini?”
“Tunggulah kakang Sendawa” jawab Agung Sedayu.
“Ia akan memberikan perintah kepada kalian. Segera ia akan kembali meskipun seandainya hujan segera tercurah dari langit. Karena itu bersiaplah menghadapi setiap kemungkinan”
Sejenak para prajurit di banjar desa itu saling berpandangan. Namun apa yang dikatakan Agung Sedayu dan Swandaru telah cukup banyak bagi mereka sebagai suatu perintah untuk bersiap sepenuhnya. Karena itu maka selah seorang dari mereka berkata,
“Jadi kami harus berada dalam kesiap-siagaan tertinggi?”
“Ya” sahut Agung Sedayu.
Mereka, laskar Pajang di banjar desa itu pun mengangguk-anggukkan kepala mereka. Kesiap-siagaan tertinggi adalah pertanda bahwa sebentar lagi mereka harus menghadapi peperangan. Atau tanda-tanda peperangan itu telah semakin dekat.
“Sudahlah” Agung Sedayu kemudian minta diri,
“Kami akan mencari dukun tua itu”
“Silakan” jawab beberapa orang serempak.
Sepeninggal Agung Sedayu dan Swandaru di antara mereka terdengar salah seorang berkata,
“Seperti hari-hari yang lalu, Tohpati mencoba membuat kita tidak bisa tidur, sedang mereka sendiri tidur mendengkur di kandangnya”
“Jangan kehilangan kewaspadaan” sahut kawannya sambil berdiri,
“Mungkin kali ini mereka benar-benar datang untuk memenggal lehermu. Karena itu lebih baik kau sediakan pedangmu. Apakah Tohpati itu tidak membawa senjata, maka pedangmu akan berguna bagimu. Ingat, senjata Tohpati hanyalah sepotong tongkat yang berkepala tengkorak. Bukan alat yang baik untuk memotong kepala. Ia akan berterima kasih kalau kau sediakan pedang untuknya”
Orang yang pertama meraba lehernya yang pajang. Jawabnya,
“Sayang sekali. Leher ini adalah leher yang jenjang. Dulu istriku jatuh cinta kepadaku karena leher ini. Sekarang, ketika anakku telah genap sepuluh, maka leher ini tidak pernah lagi dikagumi oleh istriku itu. Meskipun demikian, aku tidak akan menyerahkannya kepada siapapun”
Kawannya tertawa. Tetapi ia tidak menjawab. perlahan-lahan ia berjalan kesudut pendapa banjar itu mengambil sebuah tombak pendek, sambil bergumam kepada diri sendiri dibelainya senjatanya itu,
“Malam sangat dingin. Marilah, tidur bersama ayah”
Kawan-kawannya memandanginya sambil tertawa. Namun satu demi satu mereka pun berdiri, berjalan ke tempat senjata masing-masing dan mengambilnya. Ketika mereka berbaring lagi, maka mereka telah memeluk setiap senjata mereka dengan eratnya.
“Tidur” berkata salah seorang dengan lantangnya,
“Tidurlah sepuas-puasnya supaya besok menjelang fajar, kita telah segar kembali. Mungkin Sangkal Putung akan menerima tamu”
“Atau bahkan sebelum kau sempat tidur kau harus sudah bangun lagi”

Tak ada yang menyahut. Pendapa banjar desa itu tiba-tiba menjadi sangat sepi. Masing-masing kini telah terbaring diam. Tidak ada lagi yang bermain macanan. Angan-angan mereka dicengkam oleh gambaran yang beraneka. Masing-masing memandang persoalannya menurut kepentingan dan kegairahan masing-masing. Namun mereka semuanya menunggu seseorang, Sendawa. Sementara itu Agung Sedayu dan Swandaru telah berdiri di jalan kembali kek kademangan. Sejenak mereka termangu-mangu. Apakah mereka cukup melaporkannya kepada Untara bahwa Ki Tanu Metir tidak mereka temukan, atau mereka masih akan mencari ke tempat yang lain?
“Bagaimana?” bertanya Swandaru Geni.
Agung Sedayu terdiam sejenak. Ketika ia mengangkat wajahnya, maka dilihatnya mendung menjadi semakin tebal dan kilat semakin banyak berkeliaran di langit. Angin yang lembab mengalir semakin kencang, menggoyang-goyangkan ujung-ujung pepohonan dengan suara yang riuh.
“Kakang Untara harus cepat mengambil kesimpulan. Kalau tidak, maka kita tidak cukup waktu untuk menyiapkan diri malam ini” berkata Agung Sedayu.
“Ya, aku juga masih harus menyiapkan anak-anak muda Sangkal Putung. Agaknya mereka malam ini betebaran di gardu-gardu. Di banjar ini aku tidak melihat mereka” sahut Swandaru Geni, namun ia meneruskan,
“Tetapi mungkin pula mereka berkumpul di rumah Tima yang sedang memperingati selapan kelahiran anaknya yang pertama”
“Kalau mereka berkumpul di sana, maka tugasmu akan berkurang” berkata Agung Sedayu pula,
“Kau akan menemukan mereka bersama-sama sekaligus”
“Ya” sahut Swandaru, “tetapi sekarang bagaimana?”
“Kita kembali” jawab Agung Sedayu,
“Nanti kalau kakang Untara telah menjatuhkan perintah terakhir, biarlah kita mencarinya lagi”
Swandaru mengangguk-anggut, desisnya,
“Marilah”
Keduanya pun kemudian berjalan tergesa-gesa kembali kekademangan. Sekali-sekali mereka melihat lidah api memancar menyilaukan. Namun sekejap, mereka telah berada dalam kelam kembali. Ketika mereka sampai di muka gardu perondan, maka berkata Agung Sedayu kepada mereka,
“Tingkatkan kesiagaan”
Para penjaga itu mengangkat wajah-wajah mereka. Terdengar salah seorang bertanya,
“Apakah Kiai Dukun itu kalian ketemukan?”
“Tidak. Kami masih harus mencarinya. Tetapi tingkatkan kewaspadaan” sahut Agung Sedayu.
“Apakah ada bahaya di sekitar Sangkal Putung?”
“Kalian akan segera mendapat perintah itu”
“Terima kasih” sahut di antara mereka. Dan Agung Sedayu pun kemudian melihat beberapa orang yang duduk terkantuk-kantuk di atas gardu berloncatan turun setelah meraih senjata masing-masing.
“Biarlah kita mengadakan ronda keliling di wilayah perondaan kami”
“Silakan” sahut Agung Sedayu, “Kami akan segera kembali sebelum hujan”

Agung Sedayu dan Swandaru kini berjalan semakin cepat. Bersamaan dengan guruh yang menggelegar di langit, mereka merasa beberapa tetes air menyentuh tubuh mereka. Ketika Swandaru menengadahkan telapak tangannya terdengar dikejauhan suara gemerasak semakin lama menjadi semakin keras dan semakin dekat.
“Hujan yang lebat itu telah datang” desis Swandaru.
“Ya” sahut Agung Sedayu.
Langkah-langkah mereka pun menjadi semakin cepat pula. Regol kademangan kini sudah berada beberapa puluh langkah saja daripada mereka. Ketika bunyi hujan yang lebat itu seolah-olah jatuh menimpa mereka, maka mereka telah meloncat masuk kedalam regol halaman kademangan. Dibawah atap regol itu Swandaru menarik nafas sambil berdesah,
“Hem, tepat. Demikian hujan tercurah dari langit, kita telah sampai di sini”
Agung Sedayu pun mengibas-ngibaskan bajunya. Beberapa titik air telah membasahinya. Ketika ia memandang kehalaman, tampaklah halaman itu tersaput oleh air hujan yang benar-benar seperti tertumpah dari udara. Sinar pelita yang tergantung ditiang regol halaman memancarkan cahayanya yang redup kemerah-merahan menembus butir-butir air hujan yang pepat padat.
“Kita harus menyeberangi halaman itu” desis Agung Sedayu.
Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Sahutnya,
“Hujan lebat bukan main. Kita akan basah kuyup meskipun jarak pendapa itu tidak lebih dari limabelas duapuluh langkah’
Swandaru memandang berkeliling, kemudian gumamnya,
“Adakah di sini payung belarak?”
Salah seorang penjaga di regol itu menggeleng,
“Sayang tidak ada”
Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Para penjaga di regol, Agung Sedayu dan Swandaru terkejut ketika mereka mendengar petir meledak dekat sekali di atas regol halaman itu, bahkan seakan-akan meledak di dalam kepala mereka masing-masing.
“Gila” umpat Swandaru sambil menyumbat lubang kupingnya. Tetapi ledakan itu telah lewat. Dan suara ledakan itu telah terlanjur masuk kedalam lubang kupingnya.
Hujan semakin lama menjadi semakin lebat. Butiran-butiran air yang berjatuhan menjadi semakin padat, sehingga bayangan yang keputih-putihan membusa di halaman kademangan iu. Sinar lampu yang menyala kemerah-merahan hanya mampu menerangi tetesan-tetesan air diteritisan regol halaman itu. Dan air yang tergenang di halaman semakin lama menjadi semakin banyak, sehingga kemudian air itu pun merambat naik kelantai regol dan dengan derasnya mengerutkan keningnya mengalir keluar dibawah kaki-kaki mereka yang berada di dalam regol halaman. Beberapa orang penjaga meloncat naik keamben yang tinggi. Namun dua orang lain terpaksa harus tetap berada di tempat mereka sambil memegangi tombak-tombak mereka. Mereka itulah yang sedang mendapat giliran berjaga-jaga. Mereka berdiri di tempatnya meskipun kaki-kaki mereka terbenam di dalam genangan air yang melimpah dari halaman mengalir ke jalanan.

Dalam hiruk pikuk air hujan yang jatuh dari langit itu, terdengar Agung Sedayu bertanya,
“Apakah kalian sudah melihat Ki Tanu Metir datang?”
Hampir serentak para penjaga di regol itu menjawab,
“Belum”
Agung Sedayu dan Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Hampir bersamaan mereka berdesah,
“Aneh”
“Kita harus segera memberitahukan kepada kakang Untara” berkata Agung Sedayu.
Swandaru ragu-ragu sejenak. Ditatapnya air hujan yang lebat di antara suara angin yang kencang. Ketika kilat memancar sekali di langit, maka mereka melihat ujung-ujung pepohonan seperti menggeliat diputar angin.
“Hujan dan angin” desis salah seorang penjaga.
Agung Sedayu berpaling. Kemudian ia bergumam seperti kepada diri sendiri,
“Tetapi besok pagi kita akan mengalami prahara yang lebih berbahaya”
“He?” bertanya penjaga itu.
Agung Sedayu menggeleng,
“Tunggulah perintah itu. Kau akan tahu, kenapa aku bingung mencari Ki Tanu Metir”
Para penjaga itu mengerutkan keningnya. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya mereka berguman,
“Itukah sebabnya para pemimpin kelompok kami berkumpul di pringgitan?”
“Ya” sahut Agung Sedayu.
Mereka kemudian terdiam. Meskipun mereka tidak gentar menghadapi setiap kemungkinan yang bakal datang, namun terasa juga dada mereka berdebar-debar.
“Ah, biarlah kami berlari saja menyeberangi halaman itu”
“Kalian akan basah kuyup”
“Tidak apa-apa. Hanya basah karena air” sahut Agung Sedayu.
“Bukan basah karena darah” sambung Swandaru sambil tertawa. Para penjaga pun tertawa.

Agung Sedayu dan Swandaru pun kemudian melipat kain mereka dan membelitkannya pada bagian belakang ikat pinggang mereka. Sambil mengawasi air hujan yang pekat itu mereka berdiri diteritisan regol halaman. Pelita di pendapa yang menyala-nyala hampir-hampir tidak dapat mereka lihat, meskipun jaraknya tidak begitu jauh.
“Ayolah, hujan ini selebat pada saat aku pergi dari Jati Anom bersama kakang Untara”
“Mari” sahut Swandaru.
Dan keduanya pun kemudian terjun kedalam air yang tergenang di halaman dan berlari menembus kepekatan air hujan yang seperti tertumpah dari langit yang retak. Demikian mereka naik ke pendapa, maka pakaian mereka benar-benar telah basah kuyup. Tak setitik noda kering pun yang melekat pada pakaian mereka. Ikat kepala, baju, kain dan celana mereka. Beberapa orang yang duduk-duduk di pendapa terperanjat melihat dua orang berlari-lari meloncat ke tangga pendapa.
“Siapa?” teriak salah seorang dari mereka.
Agung Sedayu dan Swandaru tidak menjawab. Namun terdengar Swandaru menyumpah,
“Setan. Basah kuyup juga pakaianku meskipun jarak itu hanya sejangkau tangan kidal”
Karena Agung Sedayu dan Swandaru tidak menjawab, maka beberapa orang segera mendekatinya. Namun kemudian terdengar mereka tertawa. Salah seorang dari mereka berkata,
“He, seperti tikus terjerumus dalam parit”
Swandaru bersungut-sungut. Segera ia berlari lewat pintu gandok masuk kedalam rumah mencari ganti pakaian. Sedang Agung Sedayu masih berdiri termangu-mangu di pendapa. Pakaian yang diberikan kepadanya oleh pamannya, berada di pringgitan.

Tetapi, terasa dingin air hujan itu sampai menggigit tulang. Sehingga karenanya maka Agung Sedayu tidak tahan lagi. Dengan pakaiannya yang basah kuyup ia masuk ke pringgitan. Beberapa orang yang duduk di pringgitan segera berpaling. Ketika Untara dan Widura melihatnya, maka mereka pun tertawa pula.
“Gantilah Sedayu, lalu katakan apakah kau temukan orang yang kau cari itu”
Agung Sedayu segera bersembunyi di belakang sehelai warana untuk mengganti pakaiannya yang basah kuyup itu. Sesaat kemudian Agung Sedayu dan Swandaru telah duduk kembali di dalam lingkaran para pemimpin kelompok laskar Pajang.
“Bagaimana dengan Kiai Dukun tua itu?” bertanya Untara
Agung Sedayu menggeleng-gelengkan kepala, jawabnya,
“Tidak ketemu kakang. Aku telah mencarinya ke banjar desa”
“Ya, aku melihat kalian basah kuyup”
“Ketika hujan turun aku sudah sampai di regol halaman ini” sahut Swandaru,
“Kami basah kuyup dalam jarak yang hanya beberapa langkah itu saja. Dari regol sampai ke pendapa”
“Alangkah derasnya hujan” desis Widura.
“Dan orang tua itu tidak dapat kau ketemukan” Untara menyambung.
“Ya” jawab Agung Sedayu
“Aneh” gumam Untara, “Dalam keadaan yang gawat ini, Ki Tanu Metir menghilang dari antara kami. Aku tidak tahu, apakah orang tua itu benar-benar tidak mengerti, bahwa hari ini adalah hari yang akan menentukan kedudukan Sangkal Putung, ataukah karena orang tua itu menghindarkan diri dari kemungkinan untuk turut bertempur?”
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Kemudian katanya,
“Aku kira Ki Tanu Metir tidak akan menghindari tugas yang akan dibebankan kepadanya. Tugas dalam lingkaran kewajiban kita bersama. Bukankah dengan mempertahankan Sangkal Putung kita telah memberikan setitik perjuangan untuk menegakkan Pajang? Katakan seandainya Ki Tanu Metir berada di luar lingkaran pertentangan antara Jipang dan Pajang, mempertahankan Sangkal Putung adalah tugas kemanusiaan. Ki Tanu Metir pasti dapat membayangkan, apabila Sangkal Putung benar-benar hanyut dilanda arus kekuatan Macan Kepatihan, maka di sini akan terjadi perkosaan atas sendi-sendi kemanusiaan. Perampasan hak rakyat Sangkal Putung atas tanah dan kekayaan mereka”

Untara mengangguk-anggukkan kepalanya. Sedayu parti tidak akan membenarkan pendapat bahwa Ki Tanu Metir melarikan diri dari kemungkinan untuk bersama-sama laskar Pajang bertempur melawan laskar Jipang. Bukankah Ki Tanu Metir sendiri yang telah memberitahukan bahwa di dalam lingkungan laskar Jipang itu terdapat seorang yang bernama Sumangkar? Tetapi kenapa justru pada saat yang genting ini orang tua itu tidak menampakkan diri? Untara menjadi cemas, apakah Ki Tanu Metir tidak tahu, bahwa besok pagi-pagi terang tanah, Sangkal Putung telah dilanda oleh arus laskar Jipang yang kuat, yang telah memutuskan bertempur dalam gelar yang sempurna? Tetapi Untara tidak boleh tenggelam dalam teka-teki itu. Sebagai seorang senapati ia harus segera menentukan sikap melawan musuh dengan kekuatan yang ada. Ia tidak boleh mencari-cari sebab untuk membenarkan kelemahan-kelemahan yang ada pada laskarnya. Untuk mengurangi kesalahan sebagai seorang senapati, dengan menuduhkan sebab-sebab dari kelemahan itu kepada orang lain. Demikian juga agaknya dengan Widura. Wajahnya yang suram, tiba-tiba menjadi tegang. Dengan dahi yang berkerut, ia berkata,
“Untara, kita harus segera menentukan sikap”
Untara mengangguk-anggukkan kepalanya. Jawabnya,
“Ya paman. Aku sedang berpikir, apakah sebaiknya yang harus kita lakukan”
“Kita anggap bahwa Ki Tanu Metir tidak ada di antara kita”
Sekali lagi Untara mengangguk,
“Ya” jawabnya,
“Kita perhitungkan kekuatan yang ada pada kita”
Semua yang duduk di pringgitan itu tiba-tiba menjadi tegang. Pembicaraan itu telah menunjukkan kepada mereka, bahwa kekuatan lawan kali ini benar-benar telah mendebarkan dada para pemimpin laskar Pajang di Sangkal Putung.
“Kita tidak sempat untuk mengirim orang ke Pajang, mengundang salah seorang senapati tertinggi dari Wiratamtama” desis Widura.
Untara menggeleng, katanya,
“Tidak paman. Mungkin Ki Gede Pemanahan atau Ki Penjawi dapat menempatkan diri langsung menghadapi orang-orang sekuat Sumangkar. Namun kesempatan tidak mengijinkan lagi. Nah, karena itu siapakah yang kita persiapkan untuk melawan hantu dari Kedung Jati itu? Hantu yang sering dikatakan orang dapat membawa nyawa rangkapan di dalam tubuhnya? Tetapi cerita itu ternyata sama sekali tidak benar. Patih Mantahun terbunuh mati. Dan ia tidak dapat hidup kembali”

Sesaat pringgitan itu menjadi sepi. Pertanyaan Untara benar-benar memusingkan kepala mereka. Siapakah yang akan mampu menghadapi murid kedua dari Kedung Jati itu? Yang terdengar kemudian adalah suara hujan yang gemerasak di atas atap rumah kademangan. Di sana-sini tetesan-tetasan air menembus atap yang tiris. Angin yang kencang, telah mengguncang-guncang daun pintu pringgitan, sehingga beberapa kali terdengar daun pintu terbanting. Di pendapa nyala pelita terayun-ayun dibuai angin yang kencang, sehingga sekali-sekali nyalanya menjadi redup hampir padam. Seseorang kemudian telah menutupnya dengan sehelai daun, untuk melindungi api pelita itu supaya tidak terlanjur padam. Tak seorang pun yang duduk di pringgitan segera dapat memecahkan teka teki itu. Sumangkar adalah seorang yang pilih tanding. Melampaui Macan Kepatihan sendiri yang selama ini menjadi hantu yang menegakkan bulu tengkuk.
“Kita harus segera mengambil keputusan” terdengar Untara menggeram.
Hampir serentak semua orang di pringgitan itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Marilah aku mencoba menentukan orang itu” berkata Untara lebih lanjut. “Semua orang terpenting telah mendapat tugasnya masing-masing. Macan Kepatihan itu pun tidak mungkin aku lepaskan. Sedang paman Widura harus menghadapi Sanakeling. Disayap yang lain Citra Gati harus dapat menahan Alap-alap Jalatunda. Dan kini kita mencari lawan untuk Sumangkar itu. Sudah tentu untuk melawan orang itu harus kita persiapkan beberapa orang dalam satu kelompok. Orang-orang itu antara lain adalah Agung Sedayu, Swandaru Geni, Hudaya, Sonya serta orang-orang terpilih dari kelompoknya. Sisanya serahkan pimpinannya pada Sendawa. Kalian harus berada di ujung barisan, sebagai inti kekuatan yang akan menghadapi seorang yang luar biasa itu”

Agung Sedayu dan Swandaru mengangkat wajahnya. Sesaat mereka saling memandang, kemudian dipandanginya wajah Hudaya dan Sonya. Mereka tidak segera dapat menjawab, namun di dalam dada mereka terasa sebuah gelombang yang menghempas dinding jantung. Sumangkar adalah seorang yang sakti. Sesakti guru mereka Kiai Gringsing. Tetapi mereka tidak dapat menolak perintah itu. Dan bukankah mereka tidak harus menghadapinya sendiri? Karena itu betapa beratnya tugas itu, namun tugas itu harus mereka lakukan dengan sepenuh kemungkinan yang ada pada diri mereka. Hudaya dan Sonya tidak begitu terpengaruh oleh perintah itu. Mereka belum dapat membayangkan, sampai dimana kesaktian orang yang bernama Sumangkar itu. Mungkin setingkat Macan Kepatihan atau melampauinya sedikit. Sehingga empat orang termasuk Agung Sedayu sebenarnya bagi Hudaya dan Sonya telah cukup menentramkan hatinya. Tetapi Agung Sedayu dan Swandaru pernah melihat orang yang bernama Sumangkar itu bertempur melawan Ki Tambak Wedi. Karena itu maka mau tidak mau, mereka harus mempertimbangkan setiap kemungkinan yang dapat terjadi. Dalam pada itu terdengar Untara bertanya,
“Bagaimana Sedayu dan Swandaru?”
Kembali Swandaru dan Agung Sedayu saling memandang. Namun kemudian serentak mereka menganggukan kepala sambil menjawab hampir bersamaan,
“Kami junjung kewajiban itu”
“Bagus” sahut Untara,
“Di samping kalian berdua, Hudaya, Sonya dan beberapa orang terpilih harus bekerja mati-matian menahan orang tua itu”
Hudaya dan Sonya pun mengangguk-anggukkan kepala mereka. Tanpa disadarinya Hudaya meraba-raba janggutnya yang lebat. Wajahnya yang keras dan hampir tertutup oleh rambut itu tampak berkerut-kerut.

Sejenak kemudian pembicaraan mereka telah selesai. Perintah Untara dan Widura telah mereka dengar seluruhnya. Apa yang harus mereka lakukan untuk menghadapi sergapan laskar Jipang yang akan datang dalam gelar yang sempurna. Karena itu maka segera Untara memutuskan apakah yang harus dilakukan oleh mereka masing-masing segera. Barulah kemudian Untara berkata kepada Widura,
“Nah, sekarang bagaimana dengan rakyat Sangkal Putung paman?”
Widura mengerutkan keningnya. Sekali ia berpaling kepada Ki Demang Sangkal Putung, kemudian katanya,
“Kakang Demang. Agaknya tekanan kali ini akan terasa cukup berat. Bagaimanakah sebaiknya dengan rakyat Sangkal Putung? Dengan perempuan dan anak-anak?”
Ki Demang termenung sesaat. Terbayang di wajahnya, perasaan cemas yang dalam. Sebagai seorang yang selama ini bekerja untuk kademangan dan rakyat di kademangan ini, maka semua bahaya itu benar-benar telah menegangkan urat syarafnya. Tetapi seperti juga Untara dan Widura, ia tidak boleh tenggelam dalam kecemasannya itu. Karena itu maka setelah berpikir sejenak, maka katanya,
“Perempuan dan anak-anak harus kita singkirkan”
Untara dan Widura mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi apakah dalam keadaan seperti sekarang ini mereka dapat meninggalkan rumah-rumah mereka dengan bayi-bayi mereka? Hujan yang lebat seperti tertumpah dari langit. Guntur meledak-ledak tak henti-hentinya mengguncang-guncang Sangkal Putung. Tetapi bagaimanapun juga, kira-kira harus berkumpul dan mendapat pengawalan yang cukup. Setiap saat yang diperlukan mereka harus dapat di selamatkan dari keganasan laskar Jipang. Meskipun sama sekali tidak mereka kehendaki, tetapi seandainya laskar Jipang berhasil masuk kedaerah kademangan ini maka mereka harus dijauhkan dari orang-orang Jipang yang sedang haus itu. Haus kemenangan, haus akan benda-benda berharga dan apabila mereka melihat gadis-gadis Sangkal Putung. Ki Demang itu pun kemudian berkata pula,
“Adalah menjadi kewajiban setiap laki-laki di Sangkal Putung untuk menyingkirkan keluarga mereka. Mula-mula mereka harus dibawa kemari, sedang dalam keadaan yang gawat, mereka akan kita selamatkan pula. Melihat kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi kemudian. Tetapi sementara dapat dipersiapkan desa di ujung timur kademangan ini”
Untara dan Widura mengangguk-angguk. Dan terdengar Widura berkata,
“Kalau demikian, maka pembicaraan kita sudah selesai. Segenap perintah dapat dilakukan segera. Sedang pengungsian perempuan dan anak-anak dapat dimulai lewat tengah malam. Biarlah mereka menikmati ketenangan di tengah malam pertama. Biarlah anak-anak tidur meskipun hanya sebentar, sehingga mereka tidak akan terjaga semalam penuh karena kegelisahan”

Pertemuan itu pun kemudian diakhiri. Para pemimpin kelompok segera kembali kekelompok masing-masing. Menyampaikan berita terakhir yang telah mereka dengar. Setelah cukup lama mereka tidak maju kegaris perang, maka besok mereka akan berada di dalam gelar yang sempurna. Karena itu maka seakan-akan mereka kini merasakan kembali nafas keprajuritan mereka. Selama ini mereka merasa tidak lebih dari sekelompok laskar yang dihadapkan pada gerombolan perampok dan penyamun. Tetapi besok kedua pasukan akan berhadapan, sebagai pasukan dari Jipang dan pasukan dari Pajang yang selama ini belum menemukan penyelesaian, meskipun Adipati Jipang telah terbunuh di medan peperangan. Untunglah bahwa selama ini laskar Pajang di Sangkal Putung sempat memberikan bimbingan kepada anak-anak muda Sangkal Putung untuk mengenal cara-cara bertempur dalam gelar yang sempurna. Mereka telah berlatih dengan tekun untuk melakukan pertempuran dalam cara ini. Berbagai gelar telah mereka pelajari. Meskipun mereka belum setangkas prajurit yang sebenarnya, namun ketangkasan mereka telah cukup mereka pergunakan sebagai bekal untuk mempertahankan kampung halaman mereka besok. Para prajurit yang memang belum lelap tertidur segera bangkit kembali dan berkerumun disekeliling pemimpin-pemimpin kelompok mereka untuk mendapat petunjuk-petunjuk yang penting. Beberapa orang mendapat tugas khusus untuk memimpin anak-anak muda Sangkal Putung bersama Swandaru Geni, Ki Demang sendiri, Jagabaya dan beberapa orang bekas prajurit Demak yang kemudian menetap di Sangkal Putung. Sedang beberapa orang di antara mereka adalah petugas-petugas yang harus siap di atas punggung kuda masing-masing, yang apabila setiap saat diperlukan, mereka harus segera mencapai tempat-tempat yang dikehendaki. Sendawa pun segera kembali ke banjar desa. Betapa hujan seperti tercurah dari langit, namun orang itu beserta seorang pembantunya berlari kencang-kencang menembus lebatnya titik-titik air yang berjatuhan dari langit,
“Alangkah lebatnya hujan ini” desis Sendawa sambil mengusap wajahnya dengan telapak tangannya.
“Ya” sahut kawannya,
“Hampir aku tidak dapat bernafas”
Dan keduanya pun berlari semakin kencang, agar mereka tidak membeku dibawah hukan yang seakan-akan menjadi semakin lebat.

Swandaru Geni dan Agung Sedayu sesaat kemudian berdiri termangu-mangu di pendapa kademangan. Mereka harus segera berbuat sesuatu atas anak-anak muda Sangkal Putung. Tidaklah sebaiknya Ki Demang yang tua itulah yang berjalan hilir mudik di dalam hujan yang lebat. Karena itu maka Swandaru kemudian berkata,
“Aku akan ganti pakaian kembali”
“Kenapa?” bertanya Agung Sedayu.
“Aku akan kenakan pakaianku yang basah. Bukankah aku harus menari-nari di dalam hujan itu kembali?”
Agung Sedayu termenung sejenak. Lalu jawabnya,
“Aku juga. Sayang pakaian kering ini. Kalau pakaian ini basah pula, aku tidak lagi punya ganti besok”
“Apakah kita besok masih perlu berganti pakaian?”
“Kenapa?” bertanya Agung Sedayu.
Swandaru tertawa lucu sekali. Katanya,
“Bagaimana kalau Sumangkar besok pagi-pagi memelukmu?”
Agung Sedayu tertawa. Tetapi ia tidak menjawab pertanyaan itu, bahkan ia berkata,
“Cepat, gantilah. Aku juga mau berganti pakaian kembali. Waktu kita tidak terlalu panjang. Sebentar lagi kita akan sampai ke tengah malam. Pekerjaan kita akan bertambah banyak. Menyelenggarakan pengungsian orang-orang perempuan dan anak-anak”
“Biarlah orang lain mengurusnya” sahut Swandaru,
“Aku akan tidur. Besok menjelang fajar kita harus sudah berada dalam gelar perang. Jangan membuang tenaga terlalu banyak”
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan sesaat kemudian keduanya pun telah berganti pakaian dengan pakaian-pakaian mereka yang basah. Bahkan mereka berdua sama sekali tidak mengenakan baju dan ikat kepala. Dengan meloncat-loncat mereka menuruni halaman dan berlari keregol halaman. Suasana para penjaga di regol halaman telah berubah. Mereka telah mendengar perintah, apa yang harus mereka lakukan. Karena itu maka sebagian besar dari mereka harus mempergunakan waktu sebaik-baiknya untuk beristirahat, supaya tenaga mereka besok sepenuhnya dapat mereka manfaatkan.

Swandaru dan Agung Sedayu segera berlari meninggalkan regol halaman. Semakin lama menjadi semakin cepat untuk mengurangi perasaan dingin yang seperti menusuk-nusuk kulit. Yang pertama-tama mereka datangi adalah Jagabaya Sangkal Putung untuk memberitahukan kepadanya tugas yang harus dilakukannya sejak malam ini. Jagabaya itu harus menyelenggarakan pengungsian dan besok memimpin sebagian dari laki-laki Sangkal Putung yang masih mungkin menggenggam senjata, melakukan pengawalan di kademangan.
“Apakah perlu kita bunyikan tanda bahaya?” bertanya Jagabaya.
“Jangan” cegah Swandaru,
“Tidak banyak manfaatnya. Hanya akan menimbulkan kecemasan dan kekacauan. Rakyat akan berbuat tanpa dapat dikendalikan”
“Jadi apakah aku harus mendatangi setiap rumah di seluruh kademangan?”
“Apakah begitu juga yang pernah kau kerjakan?” bertanya Swandaru.
“Tidak” sahut Jagabaya itu,
“Aku hanya membangunkan beberapa orang, dan berita itu telah menjalar sendiri”
“Nah, lakukanlah. Tetapi beri mereka ketenangan, bahwa di kademangan akan di tempatkan pengawalan yang kuat. Para peronda di segenap mulut lorong telah mendapat perintah apabila ada di antara rakyat yang menjadi bingung dan ingin mengungsi keluar dari kademangan ini, mereka harus dicegah, dan membawa mereka ke kademangan supaya tidak timbul kekacauan yang merugikan. Aku akan mempergunakan tenaga-tenaga anak-anak muda untuk keperluan serupa, membantu pengungsian ini. Namun sebagian dari mereka harus beristirahat menjelang fajar besok”
Jagabaya itu mengangguk-angguk. Katanya kemudian,
“baik. Kewajiban itu akan aku lakukan sebaik-baiknya”
Sesaat kemudian Agung Sedayu dan Swandaru telah berada kembali dibawah lebatnya hujan. Mereka meninggalkan rumah Ki Jagabaya, akan memanggil beberapa orang pemuda untuk mengawani Ki Jagabaya itu. Sedang anak-anak muda yang lain supaya segera bersiap dalam susunan kelompok-kelompok yang telah ditentukan.
“Kemana kita pergi sekarang?” bertanya Agung Sedayu kepada Swandaru.
“Memanggil anak-anak” sahut Swandaru.
“Ya, tetapi kemana? Di rumahnya masing-masing atau kegardu mana yang kita tuju pertama-tama?”
“Ke rumah Tima. Mungkin anak-anak berada di sana”
Agung Sedayu tidak menjawab. Segera mereka berdua berlari ke rumah Tima yang sedang merayakan selapan bayinya.

Sampai di rumah Tima, Swandaru langsung meloncat menyusup regol masuk kedalam halaman. Dengan tubuh dan pakaian yang basah kuyup mereka menaiki tangga pendapa yang terang benderang karena cahaya lampu-lampu minyak yang betebaran tergantung hampir disetiap tiang-tiangnya. Beberapa orang terkejut melihat dua orang berlari-lari meloncat naik tangga pendapa rumah itu. Namun kemudian hampir serentak setiap mulut bergumam,
“Swandaru dan Agung Sedayu”
Tima yang melihat kehadiran mereka berdua segera menyongsongnya sambil bertanya dengan serta-merta,
“Oh, marilah, marilah tuan berdua. Akh, aku tidak sempat menyongsong ke rumah. Hujan lebatnya bukan main. Apakah kalian basah?”
“Tidak” sahut Swandaru,
“Aku memiliki aji pengabaran. Tidak basah oleh hujan dan tidak panas terjilat api”. Namun suaranya terdengar gemetar karena giginya gemeretak kedinginan.
Yang mendengar jawaban Swandaru itu tertawa geli. Tetapi mereka menjadi iba melihat bibir Swandaru itu bergetaran.
“Mari, mari silakan naik” Tima mempersilakan.
“Sebenarnya sejak senja aku ingin datang kemari” berkata Swandaru kemudian,
“Tetapi aku belum sempat. Hujan telah tercurah dari langit. Meskipun demikian, aku paksa juga untuk mengunjungi selapanan bayimu. Nasi megana, telur bulat, sambal goreng yang pedas. Hem, alangkah nikmatnya”
“Karena itu marilah naik” sekali lagi Tima mempersilakan.
“Tetapi sayang, kami berdua basah kuyup”
“Tidak apa, silakan”
“Kami bisa membeku kedinginan”
Tima menjadi bingung. Apakah maksud Swandaru itu sebetulnya. Dan tiba-tiba berkata,
“Apakah kalian memerlukan pakaian kering supaya tidak kedinginan?”
“Terima kasih” sahut Swandaru,
“Aku kira tidak perlu pakaian kering, bahkan pakaian kalianlah yang akan menjadi basah kuyup”
Tima menjadi bingung. Namun kemudian terdengar Swandaru berkata,
“Sebelum nasi meganamu siap Tima, aku lebih dahulu ingin bertemu dengan beberapa pemimpin kelompok anak-anak muda Sangkal Putung yang kebetulan berada di rumah ini”

Tima mengerutkan keningnya. Terasa dadanya berdebar-debar. Beberapa anak muda yang mendengarnya, dengan serta-merta bangkit dan berdiri mengelilingi Swandaru dan Agung Sedayu.
“Duduklah” minta Swandaru,
“Aku tidak ingin mengganggu pertemuan ini. Nanti aku juga ingin turut menikmati suguhan-suguhan yang telah terlanjur siap”
Tetapi anak-anak muda di pendapa itu justru semakin banyak yang berdiri melingkarinya, sehingga kemudian Swandaru terpaksa memperingatkan mereka sekali lagi,
“Duduklah. Kalau kalian berebutan berdiri, nanti suguhan-suguhan itu akan terinjak-injak”
Namun kali ini suara Swandaru itu pun seakan-akan tidak mereka dengar. Berebutan mereka mendekati Swandaru dan Agung Sedayu. Swandaru akhirnya menjadi jengkel. Tiba-tiba ia meloncat turun kehalaman, kedalam hujan yang masih tercurah dari langit. Dalam keriuhan air hujan terdengar suara Swandaru di sela-sela derai tertawanya,
“Nah, marilah, siapa yang akan mengerumuni aku lagi”
Beberapa anak-anak muda mengumpat-umpat di dalam hatinya. Namun beberapa orang yang kebetulan pemimpin-pemimpin kelompok anak-anak muda Sangkal Putung melihat, bahwa ada sesuatu yang penting yang akan disampaikan oleh Swandaru kepada mereka, sehingga karena itu, maka ada di antara mereka yang benar-benar meloncat pula ke halaman, dibawah curahan hujan yang lebat.
“He, kau gila” teriak Swandaru.
“Tunggulah, aku akan naik lagi ke pendapa”
Namun anak-anak muda itu tersenyum, jawabnya,
“Pasti ada yang penting terjadi. Kalau tidak, maka aku kira kakang Swandaru tidak akan datang ke tempat ini dengan pakaian basah kuyup dan tanpa baju”
“Anak setan kau” umpat Swandaru sambil tertawa,
“Baiklah, marilah, ikuti aku ke teritis gandok”

Kemudian Swandaru dan Agung Sedayu diikuti oleh lima orang anak muda berlari menuju keteritis gandok. Ketika mereka sudah berada di tempat yang teduh, maka segera Swandaru memberitahukan kepada mereka, apa yang harus mereka lakukan.


Halaman 1 2 3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar