Jilid 043 Halaman 3


Namun ternyata orang-orang Ki Peda Sura berbuat terlalu cepat. Sebelum orang tua itu menyadari keadaannya, ia sudah terkepung rapat sekali. Tidak hanya satu sap, tetapi dua sap.
“Bukan main,” ia bergumam, “begitu taatnya mereka terhadap pemimpinnya.”

Namun dengan demikian, orang tua itu menyadari, bahwa ia memerlukan waktu untuk memecah kepungan itu. Dan waktu itu agaknya akan dipergunakan oleh Ki Peda Sura untuk melepaskan dirinya dari tangannya. Orang itu sama sekali tidak akan merasa bertanggung jawab atas akibat dari perbuatannya itu. Ia tidak akan mempedulikan lagi, apakah yang akan terjadi dengan peperangan ini. Apabila Ki Peda Sura sendiri telah berhasil melepaskan dirinya, maka orang-orangnya  pun pasti akan segera berusaha lari sejauh-jauh mungkin dapat mereka lakukan. Karena itu, maka gembala tua itu  pun hanya dapat menggeram. Kini ia harus berusaha secepat-cepatnya memecahkan kepungan itu. Namun harapan untuk tetap menguasai Ki Peda Sura menjadi semakin kecil.
Yang didengarnya hanyalah suara tertawa Ki Peda Sura. Berkepanjangan di antara dentang senjata beradu. Tetapi tiba-tiba suara tertawa itu terputus. Sambil meloncat menghindar Ki Peda Sura mengumpat. Ketika diperhatikannya, maka seorang anak muda yang tiba-tiba menyerangnya, adalah seorang anak muda yang gemuk.
“He, siapa kau? Apakah kau sudah jemu hidup he?”
“Mau lari kemana kau, Kiai?” bertanya anak yang gemuk itu.
Sebelum Ki Peda Sura menjawab, terdengar gembala tua di tengah-tengah kepungan orang-orang Ki Peda Sura bertanya,
“He, kenapa kau berada di situ?”
Anak yang gemuk itu belum sempat menjawab. Serangan Ki Peda Sura tiba-tiba datang membadai.
“Bukan main,” desahnya di dalam hati. “Serangan ini berbau maut,” berkata anak yang gemuk itu di dalam hatinya.
Namun ia segera menarik nafas dalam-dalam, ketika seorang anak muda yang lain datang membantunya,
“Hati-hatilah menghadapi iblis berbindi rangkap ini.”
“Persetan iblis-iblis kecil,” geram Ki Peda Sura.
Kini Ki Peda Sura harus bertempur melawan Gupala dan Gupita sekaligus. Sementara itu guru mereka yang masih sedang berusaha memecahkan kepungan yang rapat itu mengulangi pertanyaannya,
“Gupala, kenapa kau berada di situ?”
“Aku kehilangan lawanku,” teriak Gupala.
“Kemana?”
“Ke neraka.”
“He,” orang tua itu mengerutkan keningnya. Namun pedangnya masih saja berputar melindungi dirinya,
“apakah Ki Muni sudah terbunuh?”
“Ya.”
“Siapa yang membunuhnya?”
“Aku. Aku telah membunuhnya dengan pedang ini setelah ia melukai aku.”
“He, kau terluka.”
“Ya, meskipun hanya sedikit.”
Dan tiba-tiba terdengar Ki Peda Sura memotong,
“Bohong! Kalian agaknya sedang berusaha mengecilkan hati kami dengan ceritera-ceritera semacam itu.”
“Aku sudah menduga bahwa kau tidak akan percaya,” jawab Gupala sambil bertempur.
“Sebenarnya aku ingin membawa kepalanya, agar kau dapat melihatnya sendiri. Tetapi niat itu aku batalkan, karena aku masih berperikemanusiaan.”
“Persetan!” Ki Peda Sura menjadi semakin garang, dan kedua anak-anak muda itu  pun bertempur semakin dahsyat pula.
“Kita bertukar lawan,” mereka terperanjat, ketika mereka mendengar suara itu selangkah di belakangnya. Ternyata gurunya telah berhasil memecah kepungan lawan-lawannya, dan kini telah siap menghadapi Ki Peda Sura. Katanya kemudian,
“Tahanlah orang-orang itu supaya aku mendapat kesempatan melanjutkan permainanku dengan Ki Peda Sura.” Lalu katanya kepada Ki Peda Sura,
“Ayo, Kiai. Jangan bubar. Aku masih belum jemu dengan permainan yang mengasyikkan ini.”

Wajah Ki Peda Sura menjadi merah membara. Ia tahu arti dari kata-kata gembala tua itu. Agaknya orang itu sama sekali tidak ingin melepaskannya, sehingga bagaimanapun juga, ia akan selalu mengejarnya. Kemarahan Ki Peda Sura sudah sampai di puncak kepalanya. Tetapi ia bukannya orang yang tidak melihat kenyataan, bahwa lawannya sama sekali tidak akan dapat dilawannya. Tetapi ia belum menemukan jalan apa  pun untuk menghindarinya. Sejenak kemudian, maka Ki Peda Sura harus bertempur lagi melawan gembala tua itu. Beberapa orang kepercayaannya segera membantunya pula, sedang beberapa orang lagi di antara mereka masih harus melawan Gupala dan Gupita, sementara para pengawal Menoreh  pun telah mencoba mengurangi jumlah lawan mereka. Tetapi betapa liciknya Ki Peda Sura. Dengan cara yang sama, mengorbankan orang-orangnya, ia masih berusaha untuk melarikan dirinya. Beberapa orang kepercayaannya dengan membabi buta telah menyerang gembala tua dan yang lain kedua murid-muridnya. Sementara itu Ki Peda Sura mempergunakan kesempatan untuk melenyapkan dirinya di dalam hiruk-pikuk peperangan. Namun kali ini ia tidak berani mengangkat dadanya sambil melepaskan suara tertawanya.
“Licik,” geram gembala tua itu. Ki Peda Sura adalah seorang yang memiliki ilmu cukup tinggi. Tidak jauh di bawahi gembala tua itu. Tidak jauh pada dari Ki Tambak Wedi sendiri. Karena itu, ketika ia berusaha melarikan diri, menyusup di dalam hiruk-pikuknya peperangan, ia tidak terlampau banyak mengalami kesulitan.
Betapapun gembala tua itu menahan hatinya, tetapi pada suatu saat kemarahannya  pun terungkat pula. Ia sudah berada di peperangan setelah terlalu lama ia tidak mengalaminya. Dan di dalam peperangan yang bersungguh-sungguh ini, ia telah kehilangan lawannya. Karena itu, maka dengan terpaksa sekali, ia berusaha menyingkirkan orang-orang yang telah mengurung dengan rapatnya. Ketika satu dua orang dari mereka terlempar sambil mengaduh, bahkan ada yang tidak sempat mengeluh, karena pedang orang tua itu langsung menembus jantung, terdengar orang tua itu bergumam,
“Bukan maksudku. Bukan maksudku membunuh orang-orang yang tidak ikut menentukan sikap itu.”
Namun orang tua itu tidak dapat menghindarinya, karena mereka berkelahi seperti orang kesurupan iblis. Sedang di bagian yang lain, Gupita dan Gupala  pun mengalami persoalan yang serupa. Ketika orang tua itu sudah berada di luar kepungan, karena tidak ada seorang  pun lagi yang dapat melakukannya, maka Ki Peda Sura seakan-akan telah hilang ditelan oleh api pertempuran yang semakin seru itu.
“Aku kehilangan lawan,” desis orang tua itu.
“Adalah terlampau sukar untuk mencari seseorang yang sengaja bersembunyi di antara ributnya peperangan itu. Pada permulaan peperangan ini, mencari Ki Peda Sura tidak akan terlalu sulit. Ia pasti berada di salah satu ujung bagian dari seluruh gelar. Selain daripada itu, ia pasti menjadi pusat dari sekelompok lawan, karena ia mempunyai banyak kelebihan. Tetapi untuk mencari Ki Peda Sura yang berlindung pada sekian keributan memang tidak akan mudah.”

Meskipun demikian, gembala tua itu tidak berputus asa. Sekilas ia melihat dua orang muridnya bertempur. Tetapi ia tidak mencemaskan nasib keduanya. Karena itu maka katanya,
“Tinggallah di sini, aku akan mencari iblis yang licik itu.”
“Tetapi aku berjanji untuk kembali ke tempatku semula,” jawab Gupita.
“Kembalilah. Di sini dan di tempatmu itu tidak akan banyak bedanya sekarang. Lawanmu telah menjadi patah kemauan. Mereka tinggal mendorongnya pergi dari tempat ini.”
“Bohong!” teriak salah seorang dari mereka.
“Aku akan membunuh kalian.”
Tetapi kata-katanya terputus ketika Gupala meloncat sambil berkata lantang,
“Tutup mulutmu. Jangan membual.”
Orang itu terkejut bukan buatan. Tetapi terlambat. Ia tidak mampu menghindari pedang Gupala yang menjulur lurus ke dadanya. Sehingga yang terdengar kemudian adalah keluhan tertahan. Namun orang yang hampir sampai di batas ajalnya itu tiba-tiba berteriak,
“Aku bunuh kalian. Aku bunuh kalian.”
Begitu suaranya hilang di dalam hiruk-pikuknya dentang senjata, tubuhnya pun jatuh terbanting di tanah. Gembala tua itu melihat sambil menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia berpaling ke arah Gupita, dilihatnya muridnya yang tua itu menggigit bibirnya.
“Anak itu harus diajar untuk sedikit menahan diri,” berkata gembala tua itu di dalam hatinya.
“Adalah wajar membunuh di peperangan. Tetapi nafsunyalah yang terlampau membakar dadanya. Membunuh, meskipun di peperangan, bukanlah permainan yang dapat dilakukan sekehendak hati.”
Namun ketika tiba-tiba teringat olehnya Ki Peda Sura, maka gembala tua itu  pun sekali lagi berkata,
“Berhati-hatilah. Aku akan pergi.”
“Silahkan, Guru,” jawab Gupita.
“Aku pun akan bergeser ke tempatku pula.”

Sejenak kemudian gembala tua itu  pun segera meloncat di antara hiruk-pikuknya ujung senjata. Sekali-sekali langkahnya tertahan, namun kemudian dengan tergesa-gesa ia  pun melanjutkannya. Sementara itu, Gupita pun sedang berusaha menghindarkan diri dari kekisruhan di tempatnya. Beberapa orang pengawal Tanah Perdikan Menoreh telah berada di sekitarnya pula. Betapa kekaguman mereka melihat bagaimana gembala itu menyelesaikan lawan-lawannya. Bagaimana ia menggerakkan pedangnya, dan bagaimana ia berloncatan seperti burung sikatan. Bahkan gembala yang gemuk itu pun mampu bergerak dengan lincahnya tanpa dibebani oleh dagingnya yang seolah-olah berlebihan.
“Gupala,” berkata Gupita,
“aku akan kembali ke tempatku. Apakah kau akan tinggal di sini?”
“Aku sudah tidak mempunyai lawan.”
“Aku  pun tidak. Tetapi aku sudah berjanji.”
Gupala tidak segera menjawab. Tetapi senjatanyalah yang sedang berbicara. Dan Gupita hanya dapat mengangkat bahunya ketika ia melihat darah menyembur dari luka di lambung lawan Gupala itu.
Sejenak ia masih melihat Gupala bertempur. Kemudian ditinggalkannya anak muda yang gemuk itu, yang kini berada di antara para Pengawal Tanah Perdikan Menoreh. Bagi para pengawal, Gupala terasa lebih menarik dan mengagumkan dari anak muda yang seorang lagi, karena Gupala terasa lebih banyak berjasa di dalam peperangan ini.
Gupita  pun kemudian kembali ke tempatnya semula. Ke tempat Ki Wasi terbunuh oleh kawan-kawannya sendiri. Ternyata, bahwa para pengawal tanah perdikan masih belum dapat menguasai keadaan sepenuhnya. Meskipun Ki Wasi sudah tidak ada lagi, namun mereka masih harus bekerja keras untuk menahan arus lawan. Seorang yang berbadan pendek, berdada lebar, agaknya telah berusaha memimpin kelompok itu. Orang itu agaknya memiliki kemampuan yang lebih baik dari kawannya. Namun ia tidak terpaut terlampau banyak, sehingga orang yang pendek itu pun tidak dapat banyak berbuat. Kedatangan Gupita segera dapat merubah keseimbangan. Meskipun ia tidak segarang Gupala, namun orang yang pendek itu pun segera dapat dilumpuhkannya. Dengan demikian, maka orang-orang Ki Tambak Wedi itu pun kemudian berperang tanpa ikatan. Sebagian mereka, yang justru terdiri dari orang-orang yang berasal dari luar Menoreh, yang dibawa oleh Ki Peda Sura dan oleh beberapa orang yang sekedar ingin mengail di air yang keruh, ternyata telah biasa bertempur tanpa pimpinan. Mereka justru menjadi bertambah liar dan buas.

Di ujung peperangan, Ki Tambak Wedi masih harus memeras tenaganya melawan Ki Argapati dan puterinya Pandan Wangi. Ki Argapati yang masih belum sembuh benar itu, agaknya telah terpaksa memeras tenaganya. Bahkan ia telah berbuat melampaui batas-batas yang dapat mengganggu dadanya yang terluka. Tetapi melawan Ki Tambak Wedi, ia tidak dapat membatasi diri, kalau ia tidak ingin luka di dadanya itu bertambah lagi dengan sebuah tusukan nenggala. Karena itu, maka ia telah memeras segenap kemampuannya untuk melawan iblis yang mengerikan itu. Namun Betapapun juga luka di dadanya itu telah membatasi kemampuannya. Ia tidak dapat sampai ke puncak ilmunya. Untunglah, bahwa di sampingnya ada puterinya, Pandan Wangi, yang dapat mengisi setiap kekurangan, sehingga Ki Tambak Wedi pun tidak segera berhasil membinasakan lawannya. Tetapi sebenarnya kehadiran Pandan Wangi itu telah membuat Ki Argapati selalu berdebar-debar pula. Ia sama sekali tidak mencemaskan nasibnya sendiri. Adalah wajar baginya sebagai seorang kepala tanah perdikan, seandainya ia harus mengorbankan apa pun yang dimilikinya. Bahkan nyawanya. Tetapi ia sama sekali tidak rela, apabila Pandan Wangi  pun akan mati terbunuh pula. Pandan Wangi adalah satu-satunya anaknya yang akan dapat menyambung keturunan. Trah Argapati. Kalau Pandan Wangi terbunuh pula, maka Sidanti lah yang akan menyebut dirinya trah Argapati, dan berhak mewarisi pimpinan tanah perdikan ini, tanpa ada orang yang mengganggu gugat. Karena itulah, maka betapa lukanya menganggunya, tetapi Argapati telah memeras segenap tenaga dan kemampuannya. Ia harus bertahan. Apa  pun yang akan terjadi. Meskipun demikian, namun tenaganya memang menjadi terbatas. Apalagi ketika tangannya meraba pembalut luka itu. Terasa sesuatu menghangati tangannya. Darah. Darah yang telah merembes dari lukanya yang belum sembuh benar. Dalam pemusatan tenaga, agaknya luka itu telah menitikkan darah. Gerak yang terlampau banyak dan geseran-geseran pembalutnya, telah memperderas tetesan darah itu. Dengan demikian, maka Ki Gede Menoreh itu  pun menjadi semakin berdebar-debar. Telah berapa puluh kali ia harus berhadapan dengan lawan. Seorang lawan seorang, atau di peperangan. Tetapi ia belum pernah mengalami kegelisahan seperti kali ini. Kegelisahan yang terbesar justru karena ia memikirkan nasib puterinya. Namun karena itulah, maka Argapati sama sekali tidak menghiraukan dirinya sendiri. Dengan kemampuan yang ada padanya, ia bertempur mati-matian. Tombak pendeknya menyambar-nyambar dengan dahsyatnya, seakan-akan ia tidak sedang diganggu oleh luka di dadanya. Tetapi Ki Tambak Wedi yang pernah bertempur melawan Ki Argapati merasakan, bahwa tenaga Ki Argapati tidak sepenuh kemampuannya, apabila ia tidak diganggu oleh luka itu. Itulah sebabnya maka ia berpengharapan, pada saatnya Ki Argapati akan kehabisan tenaga dan dengan mudah menyelesaikanya. Tanpa Ki Argapati, Pandan Wangi sama sekali bukan apa-apa lagi baginya. Ki Tambak Wedi yang licik itu tersenyum di dalam hati. Hampir pasti, bahwa kali ini Ki Argapati tidak akan dapat menghindari ujung senjatanya. Dua kali ia berkelahi melawan Ki Argapati dalam perang tanding. Seorang lawan seorang, ia telah gagal mengalahkanya. Kemudian dengan akal yang licik dan curang  pun ia tidak berhasil. Kini agaknya kesempatan telah terbuka baginya.
“Tanpa Ki Argapati, pasukan pengawal Menoreh ini akan segera dapat disapu seperti asap dihembus angin,” katanya di dalam hati.
“Apalagi tidak seorang  pun yang akan mampu memimpin pasukan pengawal ini. Yang paling bernilai dari setiap orang di tanah perdikan ini adalah Pandan Wangi. Dan betapa mudahnya menyelesaikan anak ini. Kalau aku tidak sampai hati untuk melakukannya, karena wajahnya yang mirip dengan wajah ibunya itu, biarlah Peda Sura menangkapnya, hidup atau mati. Terserah, apakah yang akan dilakukannya. Kalau Sidanti dan Argajaya berkeberatan, maka lebih baik anak itu dibunuh saja, seperti yang sudah diputuskan.”
Dengan demikian, maka tandang Ki Tambak Wedi pun menjadi semakin garang. Ia melihat setiap kali Argapati terpaksa melontar surut, menahan dadanya dan barulah ia mengerahkan kemampuannya untuk menyerang kembali. Bahkan Ki Tambak Wedi itu tidak dapat lagi menahan perasaannya, sehingga terdengar ia berdesis,
“Apakah lukamu kambuh lagi, Argapati?”

Dada Ki Argapati berdesir mendengar pertanyaan itu. Agaknya Ki Tambak Wedi telah melihat kelemahannya, sehingga dengan demikian, Ki Tambak Wedi akan dapat memperhitungkan dengan tepat apa yang bakal terjadi dalam peperangan ini. Namun meskipun demikian, Ki Argapati masih juga tersenyum,
“Nah, bukankah kau hanya sekedar menunggu? Kau tidak dapat mengambil peranan apa-apa dalam perkelahian ini Ki Tambak Wedi, sehingga dengan demikian, kau hanya dapat mengharap mudah-mudahan aku terganggu oleh bekas lukaku.”
“Persetan,” Ki Tambak Wedi menggeram. Kemarahannya telah benar-benar membakar seluruh isi dadanya.
“Kau harus segera selesai Argapati. Kemudian memusnahkan seluruh anak buahmu termasuk anak gadismu itu.”
Ki Argapati tidak menjawab. Tetapi ia tidak dapat mengingkari kenyataan, bahwa kekuatannya pasti terbatas. Darah yang mengalir semakin deras itu, pasti akan segera mempengaruhi daya tahannya. Di bagian-bagian yang lain, tidak ada kekhususan yang menarik dari peperangan itu. Ternyata Sidanti dan Argajaya mendapat lawan yang tangguh. Mereka tidak menyangka, bahwa tiba-tiba saja di atas Bukit Menoreh itu hadir orang-orang yang dapat mengimbangi kemampuannya, meskipun masih harus mendapat bantuan dari orang-orang di sekitarnya. Tetapi akhirnya, kedua orang pengawal Sutawijaya itu tidak dapat bertahan terlampau lama dengan senjata cambuknya. Senjata yang tidak biasa dipergunakannya. Karena itu, maka akhirnya mereka telah memindahkan cambuk-cambuk itu ke tangan kiri. Dan mereka  pun segera bertempur dengan pedangnya. Dengan demikian keadaan mereka menjadi semakin mantap. Yang paling mencemaskan di seluruh medan adalah justru Ki Argapati sendiri. Tekanan Ki Tambak Wedi semakin lama menjadi semakin berat, sehingga Ki Argapati telah mulai terdesak beberapa kali. Sekali-sekali tangan kirinya ditelekankan ke dadanya yang terasa mulai pedih.
“Ha,” Ki Tambak Wedi tertawa,
“nyawamu telah berada di mulut lukamu itu. Sebentar lagi kau akan menjadi lemas, dan tanpa kau kehendaki kau akan terbaring di tanah. Betapa mudahnya membunuhmu saat itu.”
“Tutup mulutmu,” Pandan Wangi membentak sambil menyerang sejadi-jadi, sehingga terdengar ayahnya menahannya,
“Wangi.”
Tetapi Pandan Wangi tidak menghiraukannya. Tiba-tiba gadis itu telah dibakar oleh kemarahan yang meluap-luap, sehingga ia tidak lagi dapat mengendalikan dirinya. Ia tidak memperhitungkan lagi, dengan siapa ia berhadapan.
“He, apakah kau gila anak manis,” teriak Ki Tambak Wedi.
Pandan Wangi tidak menjawab. Penglihatannya tentang keadaan ayahnya hampir membuatnya berputus asa. Karena itu, sebelum ia melihat ayahnya dikalahkan oleh Ki Tambak Wedi, maka lebih baik ia menentukan akhir dari perkelahiannya. Kalau ia berhasil bersama ayahnya mengalahkan Ki Tambak Wedi, biarlah itu segera terjadi, sebelum ayahnya kehabisan darah. Tetapi kalau ia harus mati, biarlah ia mendahului ayahnya.
“Pandan Wangi,” sekali lagi ia mendengar suara ayahnya.
Tetapi Pandan Wangi tidak menghiraukannya. Sepasang pedangnya berputaran seperti sepasang angin pusaran yang libat-melibat. Namun demikian, untuk dapat mengalahkan Ki Tambak Wedi dalam keadaan serupa itu, meskipun ia bersama ayahnya, adalah sama dengan menunggu tumbuhnya jamur di musim kemarau. Ayahnya telah menjadi semakin lemah, dan dirinya sendiri pasti tidak cukup kekuatan untuk melawan iblis yang telah menodai nama ibunya.
“Pandan Wangi,” teriak Ki Tambak Wedi, “jangan gila.”
Tetapi Pandan Wangi sudah tidak menghiraukan lagi. Kelembutan di wajahnya telah lenyap disaput gelapnya hati. Rambutnya tiba-tiba telah terurai dan matanya  pun telah menyorotkan sinar keputus asaan.
“Wangi, Wangi,” ayahnya masih mencoba mencegahnya.
Tetapi ia seakan-akan sudah tidak mendengar apa pun lagi. Namun ternyata, betapa hitamnya hati Ki Tambak Wedi, ia masih juga dapat dipengaruhi oleh perasaannya. Pandan Wangi yang berurai rambut, sorot mata keputus-asaan, dan gemeretak gigi itu, sekali lagi telah membayangkan kenangan yang ingin dilupakan oleh Ki Tambak Wedi. Kini seolah-olah ia melihat Rara Wulan yang menyusulnya ke Pucang Kembar pada saat ia sedang berkelahi dengan Arya Teja. Pandan Wangi yang putus asa itu seolah-olah berteriak kepadanya,
“Inilah dadaku. Di sinilah kau menghunjamkan senjatamu itu.”

Ki Argapati menjadi heran melihat Ki Tambak Wedi beberapa kali meloncat surut. Namun dengan tiba-tiba telah menyerangnya dengan garangnya. Tetapi seolah-olah orang itu selalu menghindari benturan dengan senjata Pandan Wangi. Ki Argapati tidak mengerti apa yang tersirat di dalam hati lawannya. Karena itu ia masih selalu dicemaskan oleh sikap puterinya itu. Meskipun kadang-kadang ia masih mampu melindunginya, namun gerak Pandan Wangi yang tidak terkendali itu kadang-kadang telah menempatkannya pada jarak yang terlampau jauh dari padanya.
“Pandan Wangi,” desis Ki Tambak Wedi,
“kau jangan berbuat gila. Lebih baik kau pergi dari arena ini.”
“Itu akan lebih gila lagi,” sahut Pandan Wangi.
“Aku akan membunuhmu atau kau membunuhku.”
“Anak setan,” geram Ki Tambak Wedi, “aku ingin membunuh ayahmu.”
“Dan setiap orang di sini,” sambung Pandan Wangi. “Nah, kalau begitu bunuh aku lebih dahulu.”
“Wangi,” potong ayahnya, “jangan kehilangan akal. Pakai otakmu di dalam setiap peperangan.”
Tetapi Pandan Wangi seakan-akan tidak mendengar lagi kata-kata ayahnya. Dengan demikian, maka ia masih saja berkelahi tanpa terkendali. Dengan sepasang pedang yang terayun-ayun dengan cepatnya ia berloncatan menyerang Ki Tambak Wedi. Ki Argapati yang merasa semakin lemah, terpaksa menyesuaikan dirinya dengan tata gerak anaknya, supaya Pandan Wangi tidak terlepas sama sekali dari perlindungannya apabila keadaan sangat mendesak. Karena itu, maka ia sama sekali tidak mendapat kesempatan untuk menghemat tenaganya. Namun dengan demikian, Ki Tambak Wedi  pun menjadi sibuk untuk melayani ayah beranak itu.
“Anak setan,” ia menggeram di dalam hatinya. Dicobanya untuk menemukan kekuatan, agar ia tidak selalu dibayangi oleh perasaannya.
Dan ketika ia terdesak beberapa langkah, maka ia menggeretakkan giginya sambil berkata,
“Aku tidak peduli. Aku tidak peduli siapa dia.”
Maka terdengar orang tua itu menggeram. Dan tiba-tiba saja ia berteriak nyaring,
“Persetan kalian berdua. Kalian harus segera mati. Dan padukuhan ini harus menjadi abu sebelum fajar.”
Ketika Ki Tambak Wedi kemudian melepaskan segala macam keragu-raguannya, maka tenaga Ki Argapati pun menjadi semakin terperas karenanya. Dan ia sendiri menyadari, bahwa ia tidak akan dapat bertahan sampai fajar.

Para pengawal yang mampu melihat keseimbangan yang sedang condong dengan perlahan-lahan itu  pun mencoba untuk mendapatkan kesempatan membantu kepala tanah perdikannya, agar Ki Argapati mendapat kesempatan untuk menahan diri. Samekta  pun kemudian melihat kelemahan kepala tanah perdikannya, sehingga hatinya menjadi berdebar-debar. Ia tahu benar, bahwa luka di dada Ki Argapati pasti telah mengganggunya. Tetapi apa yang dapat dilakukan adalah tidak terlampau banyak berarti. Namun bersama dengan setiap orang yang ada di sekitar pertarungan itu, Samekta berusaha untuk memperpanjang daya perlawanan Ki Argapati dan Pandan Wangi. Namun setiap kali Samekta selalu digelisahkan oleh kemungkinan yang dapat terjadi di tempat-tempat lain. Ia masih belum mendapat gambaran dari seluruh peperangan. Pada saat terakhir ia memang sedang menunggu beberapa orang yang dikirimkannya ke beberapa bagian dari gelarnya untuk melihat keadaan. Dengan tergesa-gesa ia berusaha menemui penghubungnya yang pertama-tama datang mendekatinya,
“Bagaimana?” ia bertanya.
“Ki Muni telah terbunuh,” desis penghubung itu.
“He.”
“Ki Muni.”
“Benar begitu?”
“Ya.”
“Lalu bagaimana keadaan medan di tempat itu.”
“Anak yang gemuk itu telah meninggalkan arena, masuk ke daerah peperangan yang lebih dalam.”
“Apakah yang dilakukannya?”
“Aku mencoba mencari hubungan. Ternyata Ki Peda Sura sudah melarikan diri. Tetapi gembala tua itu pun tidak ada di tempatnya. Yang ada justru anak yang gemuk itu. Ketika aku berhasil mendekatinya, ia mengatakan bahwa ayahnya sedang mencari Peda Sura.”
Samekta menarik nafas dalam-dalam. Harapannya yang menjadi pudar ketika ia melihat Ki Argapati selalu terdesak, kini menjadi cerah kembali. Dengan demikian, maka keadaan pasukan di kedua belah pihak  pun pasti akan terpengaruh oleh keadaan itu. Apalagi ketika kemudian ia mendengar dari penghubungnya yang lain, bahwa Ki Wasi telah mati, dibunuh oleh anak buahnya sendiri.
“Kenapa?” bertanya Samekta.
Penghubung itu menggelengkan kepalanya,
“Entahlah.”
Memang hal itu agak kurang penting bagi keadaan seluruh peperangan ini.
“Dimana anak gembala yang bernama Gupita itu?”
“Ia masih berada di tempatnya. Kehadirannya di tempat itu ternyata mempunyai pengaruh yang sangat besar, apalagi sepeninggal Ki Wasi.”

Samekta mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia dapat membuat perhitungan dalam sekilas, bahwa pengaruh dari keadaan itu, pasti akan terasa sampai ke induk pasukan ini. Beberapa orang anggauta pasukan di induk ini pasti akan terpaksa mengalir, membantu ke tempat-tempat yang akan menjadi semakin lemah.
“Beberapa orang akan mendapat kesempatan membantu Ki Argapati,” desisnya, namun kemudian.
“Tetapi untuk melawan Ki Tambak Wedi, apakah akan banyak dapat membantu?”
Pertanyaan serupa itulah yang selalu mengganggunya. Dan kini ia melihat Ki Argapati menjadi semakin lemah. Bahkan Pandan Wangi  pun menjadi semakin mencemaskannya. Kadang-kadang ujung senjata Ki Tambak Wedi hampir saja berhasil menyentuh tubuhnya. Dalam keadaan yang demikian, Ki Argapati telah memaksa dirinya untuk meloncat melindunginya, betapa ia memeras tenaganya yang terasa menghentak-hentak lukanya. Samekta memang tidak dapat menunggu dan membiarkan terlampau lama. Kemudian beberapa orang yang dianggapnya mempunyai beberapa kelebihan dari kawan-kawannya, telah ditariknya untuk mencoba mengganggu Ki Tambak Wedi. Cara itu telah membuat darah Ki Tambak Wedi semakin mendidih, sehingga ia sudah tidak menghiraukan apa pun lagi. Senjatanya segera berputaran, dan setiap kali ia melemparkan seorang lawannya dari arena. Iblis dari lereng Merapi itu benar-benar telah bertempur dengan dahsyatnya. Senjatanya menjadi semakin mengerikan, dan patrapnya  pun telah membuat setiap tengkuk meremang. Ki Argapati yang melihat lawannya menjadi semakin buas menjadi gemetar menahan marahnya. Tetapi ia tidak dapat ingkar dari kenyataan, bahwa lukanya sangat mengganggunya. Namun Ki Argapati kini berdiri di dalam keadaan tanpa pilihan. Satu-satunya yang harus dilakukan adalah bertempur tanpa memikirkan bagaimana akhir dari pertempuran itu bagi diri sendiri, meskipun hal itu telah dapat diperhitungkannya. Tetapi usaha Samekta dengan beberapa orang anggauta pengawal pilihan ternyata berpengaruh juga. Setiap kali Ki Tambak Wedi harus mengumpat-umpat sambil menghindarkan diri dari patukan senjata-senjata yang seolah-olah mengerumuninya. Di bagian belakang dari gelar Gajah Meta yang sudah menjadi semakin lebar itu, ternyata telah terjadi perubahan keseimbangan. Tempat-tempat yang ditinggalkan oleh Ki Wasi dan Ki Muni, telah berubah sama sekali. Para pengawal Tanah Perdikan Menoreh telah hampir-hampir dapat menguasai seluruh keadaan. Apalagi setelah Ki Peda Sura meninggalkan arena tanpa memberikan pesan dan petunjuk apa  pun kepada anak buahnya. Kemunduran pasukan Ki Tambak Wedi di tempat-tempat itu ternyata sangat mempengaruhi keadaan di sekitarnya. Beberapa orang di dalam kelompok-kelompok yang lain, terpaksa harus bergeser membantu tempat-tempat yang menjadi semakin lemah. Beberapa orang yang berada di dalam pimpinan Sidanti dan di bagian lain dipimpin oleh Argapati, tidak dapat membiarkan gelar yang bulat itu akan terpecah. Sehingga sejenak kemudian, di belahan belakang dari gelar Gajah Meta yang harus menghadapi kepungan para pengawal Tanah Perdikan Menoreh yang semakin mendesak itu, menjadi semakin berbahaya. Apalagi karena Gupala hampir-hampir tidak mau mengekang dirinya, sehingga lingkaran arena di seputarnya menjadi semakin ribut. Lawan-lawannya harus menghadapi dalam kelompok-kelompok kecil, meskipun mereka tidak dapat menahan putaran pedangnya yang seakan-akan melanda pasukan Ki Tambak Wedi yang sudah menjadi semakin kisruh. Apalagi para pengawal yang ada di sekitarnnya, memanfaatkan pula keadaan itu dan bertempur sejauh-jauh kemampuan mereka.

Sidanti dan Argajaya yang kemudian mendengar dari seorang penghubung tentang keadaan itu menggeram seperti seekor harimau lapar. Tetapi mereka tidak dapat berbuat terlampau banyak, karena mereka ternyata menemukan lawan yang pilih tanding. Wrahasta dan Kerti di tempat masing-masing cukup memberikan pengaruh pula pada pertempuran di sekitar lingkaran perkelahian yang dahsyat antara Sidanti, Argajaya dan lawan-lawannya. Setelah lawan-lawan Sidanti dan Argajaya bertempur dengan senjata mereka sendiri, maka segera tampak, bahwa Dipasanga dan Hanggapati adalah seorang prajurit. Meskipun pada dasarnya mereka memiliki ilmu masing-masing, namun pengaruh lingkungan keprajuritan segera tampak. Apalagi prajurit-prajurit yang telah mengalami berbagai macam persoalan seperti keduanya. Karena itulah, maka Sidanti dan Argajaya menjadi berdebar-debar. Apakah persoalan Tanah Perdikan Menoreh telah menjadi persoalan di dalam istana, sekaligus untuk mencari jejaknya dan gurunya. Dengan demikian, maka Sidanti dan Argajaya menjadi semakin lama semakin gelisah. Namun mereka tidak dapat segera mengambil sikap. Mereka hanya dapat menunggu, apa yang akan diperintahkan oleh Ki Tambak Wedi. Di arena pertempuran yang lain, Ki Tambak Wedi masih belum terlampau merasakan tekanan-tekanan di bagian-bagian gelarnya. Ia masih memusatkan segenap perhatiannya untuk menyelesaikan Argapati yang semakin lama menjadi semakin lemah. Pandan Wangi yang berusaha bertempur sekuat tenaganya dan justru hampir-hampir menjadi putus asa itu, menjadi semakin cemas melihat keadaan ayahnya. Namun agaknya beberapa orang yang berusaha membantu Ki Argapati dan Pandan Wangi, dapat memperingan tekanan-tekanan yang diberikan oleh Ki Tambak Wedi. Betapa Ki Tambak Wedi mengumpat-umpat di dalam hati, setiap kali ia harus menghindari ujung tombak yang dilontarkan ke arahnya, kemudian ayunan pedang yang menyambar dari belakang. Sebuah pisau yang menyambar dari arah yang tidak terduga-duga dari antara sekian banyak lawan-lawannya.
“Setan,” ia mengumpat, dan iblis tua itu menjadi semakin marah. Bukan saja kepada lawan-lawannya, tetapi juga kepada orang-orangnya sendiri. Mereka sama sekali tidak berhasil menghalau para pengawal yang seakan-akan mengepungnya dalam suatu lingkaran yang terpisah dari seluruh peperangan.
“Kemana orang-orang gila ini?” ia menggeram. Setiap kali ia berusaha melihat pasukannya. Dan setiap kali ia melihat kesibukan yang luar biasa. Agaknya pertempuran di sekitarnya pun menjadi semakin dahsyat pula.
“Meskipun demikian,” ia berkata d idalam hatinya,
“adalah terlampau bodoh untuk membiarkan tikus-tikus ini mengerumuni aku, sehingga usahaku menjadi selalu terganggu.”
Akhirnya Ki Tambak Wedi menjadi tidak sabar lagi. Terdengar ia bersuit nyaring, dua kali ganda.
Setiap orang di dalam pasukannya mengetahuinya, bahwa dengan demikian, Ki Tambak Wedi memerlukan beberapa orang untuk membantunya. Melihat keadaan medan di sekitamya, maka Ki Tambak Wedi pasti memerlukan orang-orang untuk menghalau para pengawal yang mengitarinya.
Tetapi betapa sulitnya untuk menghindarkan diri dari lawan masing-masing yang terasa semakin lama menjadi semakin banyak. Bahkan seolah-olah setiap orang harus melawan bukan saja seorang lawan saja, tetapi di dalam hiruk-pikuk peperangan, lawan-lawan mereka serasa selalu bergeser, dari yang seorang ke orang yang lain. Mereka menjadi terkejut, ketika tiba-tiba di hadapan mereka telah berdiri seorang tua yang berkumis lebat, menyambar senjata mereka sehingga senjata itu terpelanting, kemudian meloncat dan hilang di dalam peperangan itu, untuk muncul di tempat lain, dan berbuat serupa pula. Dalam keadaan yang demikian, maka orang-orang di dalam pasukan Ki Tambak Wedi menjadi bingung dan kadang-kadang ada di antara mereka yang kehilangan akal, karena tiba-tiba senjatanya telah terlepas. Tanpa senjata di peperangan yang seru terasa benar-benar mengerikan.
Tetapi orang tua berkumis itu sendiri. Seakan-akan tidak mempedulikan lagi lawan-lawannya yang telah kehilangan senjata. Ia pergi tanpa berbuat sesuatu. Namun meskipun demikian, para pengawal Tanah Perdikan Menoreh-lah yang selalu mempergunakan kesempatan, selagi orang-orang yang kehilangan senjata itu masih belum berhasil memungut senjatanya itu kembali. Dengan demikian, maka keadaan hampir di seluruh medan segera berubah. Meskipun tidak seganas Gupala, namun Gupita telah mulai dijauhi pula oleh lawan-lawannya. Sidanti dan Argajaya seakan-akan terikat oleh lawan masing-masing, meskipun lawan-lawan mereka tidak lebih unggul dari mereka masing-masing. Namun kesempatan yang ada pada Wrahasta dan Kerti telah dipergunakan sebaik-baiknya.

Ki Tambak Wedi pun kemudian menyadari keganjilan yang ada di dalam pasukannya dan pasukan lawan. Ternyata perhitungannya telah meleset dari kenyataan yang di hadapinya. Ia sama sekali tidak menyangka, bahwa selain Argapati dan Pandan Wangi, di dalam lingkungan dinding pring ori itu terdapat orang-orang yang dapat mengimbangi pemimpin di dalam pasukannya, entah darimana mereka datang. Betapa kemarahan telah membakar dadanya, tetapi ia harus menghadapi kenyataan yang ada di medan yang seru itu. Iblis itu  pun menyadari, bahwa pasti ada suatu sebab, bahwa orang-orangnya tidak dapat memenuhi panggilannya, atau hanya sebagian saja dari mereka yang dapat mendekatinya dan membantunya mengusir para pengawal yang mengerumuninya. Meskipun demikian, ia masih belum leluasa untuk melakukan tekanan atas Argapati dan Pandan Wangi. Betapa lemahnya Argapati, namun ia masih jauh berada di atas kemampuan orang-orangnya dan bahkan masih mampu membuatnya berdebar-debar dengan ujung tombak pendeknya. Ki Tambak Wedi yang marah itu menggeram. Terasa dadanya seakan-akan meledak. Harapannya untuk membuat padukuhan ini menjadi karang abang sebelum fajar, agaknya sama sekali tidak akan dapat dilakukan. Dengan susah payah, seorang penghubungnya telah berhasil mendekatinya, dan memberitahukan apa yang telah terjadi di medan. Dengan demikian, maka serasa jantung Ki Tambak Wedi itu terbakar di dalam dadanya. Tetapi Ki Tambak Wedi masih cukup sadar, bahwa ia tidak dapat membiarkan dirinya hanyut dalam arus perasaannya. Ia harus mampu mencari kemungkinan yang paling baik di saat-saat mendatang.
Dengan demikian, maka tekanan ia terhadap Ki Argapati yang semakin lemah dan atas Pandan Wangi pun mengendor pula. Senjata-senjata yang berterbangan menyambarnya serasa semakin banyak. Pisau-pisau belati dan bahkan tombak-tombak pendek. Ia sama sekali tidak mendapat kesempatan untuk melihat, siapakah yang telah melontar-lontarkan senjata-senjata itu, sehingga setiap kali ia harus berloncatan menghindarinya. Yang dapat dilihatnya adalah orang-orang Menoreh yang memandanginya dengan sorot mata yang menyala. Sekilas dilihatnya seorang berkumis yang kemudian seakan-akan lenyap ditelan oleh para pengawal yang lain. Tetapi orang-orang itu satu-persatu tidak menarik perhatiannya sama sekali. Yang menjadi pusat perhatiannya adalah keadaan keseluruhan dari peperangan ini.
Sejenak kemudian, Ki Tambak Wedi berada di dalam kebimbangan. Apakah ia dapat meneruskan pertempuran? Ketika terkilas di matanya Argapati yang semakin lemah. Pandan Wangi yang kini sudah hampir kehilangan akal, maka tumbuhlah keinginannya untuk menyelesaikan saja sama sekali keduanya. Tetapi bagaimana dengan orang-orangnya yang lain? Apakah mereka tidak menjadi semakin berkecil hati dan kehilangan keberanian untuk bertindak di saat lain? Apalagi apabila disadarinya, bahwa para pengawal Tanah Perdikan Menoreh yang mengerumuninya menjadi semakin lama semakin banyak. Agaknya mereka telah mendapat kesempatan untuk meninggalkan medan mereka masing-masing untuk membantu Kepala Tanah Perdikannya. Lemparan-lemparan senjata ke arahnya menjadi semakin deras, dan bahkan kadang-kadang terasa berbahaya. Karena itu, Ki Tambak Wedi yang gelisah itu harus segera mengambil suatu keputusan. Melangkah maju untuk membinasakan Argapati dan Pandan Wangi, tetapi membiarkan anak buahnya menjadi semakin kalang kabut, atau menarik diri, dan mencoba menghimpun kekuatan untuk melakukan serangan yang lebih baik di saat lain. Tetapi agaknya Ki Tambak Wedi tidak banyak mendapat kesempatan. Setiap kali ia mendengar sorak sorai yang seakan-akan membelah langit yang justru telah menjadi semburat merah.
“Hem,” iblis itu menggeram,
“aku tidak dapat membiarkan keadaan ini sampai pagi. Kalau kemudian matahari terbit dan medan ini menjadi terang, maka pasukanku pasti akan menjadi semakin parah.”
Karena itu, Betapapun beratnya, akhirnya Ki Tambak Wedi mengambil keputusan, selagi kekuatannya masih cukup besar, ia harus menarik diri. Betapa pahitnya. Tetapi tidak ada jalan lain untuk menyelamatkan kekuatannya.
“Lain kali aku masih akan dapat menghubungi orang-orang di luar tanah perdikan ini. Aku mengharap Ki Peda Sura masih ada di dalam barisan, meskipun ia bersembunyi. Ia akan dapat menjadi penghubung yang baik dengan kekuatan-kekuatan di luar tanah ini,” Ki Tambak Wedi berkata di dalam hatinya, namun kemudian ia menggeram,
“Setan Argapati itu masih juga mampu bertahan sampai menjelang fajar. Meskipun tampaknya nafasnya telah hampir putus, dan darahnya telah membasahi lagi di dadanya, ia masih juga dapat menggerakkan pedangnya dengan sempurna.”

Akhirnya, memang tidak ada jalan lain bagi Ki Tambak Wedi. Dengan hati yang tersayat, ia memberikan isyarat, agar pasukannya mulai menyusun diri dalam garis surut. Sidanti dan Argajaya terkejut mendengar isyarat itu. Meskipun ia tidak dapat segera menguasai kedua lawannya, namun mereka tidak berada di bawah kedua prajurit Pajang itu. Nafsu mereka yang meluap-luap di dada mereka, telah membatasi pengamatan mereka atas seluruh medan. Karena itu, isyarat Ki Tambak Wedi itu sama sekali tidak mereka sangka-sangka. Namun di bagian-bagian lain, isyarat itu merupakan harapan bagi orang-orang Ki Tambak Wedi untuk tetap hidup. Karena itu, ketika isyarat yang dibawa oleh arus angin dan kemudian mengalir dari seorang pemimpin kelompok ke pemimpin kelompok yang lain, segera menumbuhkan gejolak di setiap dada. Memang bagi mereka mundur saat itu adalah satu-satunya cara untuk menyelamatkan sisa-sisa pasukan yang ada. Mereka yang mengalami tekanan-tekanan yang luar biasa segera mengerti, bahwa Ki Tambak Wedi ingin menyelamatkan sisa pasukan ini. Dan mereka  pun mengerti, bahwa di saat-saat mendatang, mereka masih harus menyusun diri lebih baik lagi untuk merebut padukuhan ini dari tangan Argapati dan membinasakannya sama sekali. Beberapa orang dari mereka  pun masih juga bertanya-tanya di dalam hati, bagaimana akhir dari peperangan antara Ki Tambak Wedi dan Argapati yang sedang terluka itu.
“Tetapi di dalam pasukan Argapati terdapat kekuatan-kekuatan yang sama sekali tidak terduga-duga,” desis mereka.
Dengan demikian, maka para pemimpin kelompok-kelompok kecil di dalam pasukan Tambak Wedi itu segera menyusun diri untuk melakukan gerakan surut. Ternyata untuk menarik diri dari peperangan yang seru ini  pun sama sekali bukan pekerjaan yang mudah. Selangkah demi selangkah Ki Tambak Wedi membawa orang-orangnya mundur. Sambil bertempur ia memberikan isyarat-isyarat terus-menerus kepada penghubung-penghubung yang harus menyampaikan isyarat-isyarat ke seluruh pasukan dengan tanda-tanda bunyi, dan gerak. Ki Argapati yang sudah menjadi semakin lemah, melihat gerakan yang dilakukan oleh Ki Tambak Wedi. Sejenak ia merenungi keadaan itu, keadaannya sendiri, dan seluruh pasukannya. Betapa besar nafsunya untuk tetap mengejar Ki Tambak Wedi dan tidak membiarkannya terlepas dari tangannya. Tetapi luka di dadanya terasa semakin lama menjadi semakin pedih. Ketika ia memaksa diri, maju mengejar Ki Tambak Wedi yang mencoba melindungi orang-orangnya, terasa dadanya seakan-akan menjadi pecah, sehingga langkahnya pun tertegun karenanya.
Kini ia tidak dapat ingkar lagi. Tenaganya benar-benar telah habis terperas. Dan ia mengucapkan sukur di dalam hatinya kepada Tuhan, yang masih menyelamatkannya tepat pada saatnya. Tepat pada saat ia kehilangan segala kemampuannya.
Tiba-tiba pertempuran itu serasa berputar. Pandangan matanya semakin lama menjadi semakin gelap. Api yang masih menyala di beberapa tempat  pun tampaknya menjadi semakin suram. Ki Argapati masih melihat Ki Tambak Wedi yang menjadi semakin jauh. Ketika Pandan Wangi meloncat ingin mengejarnya, terdengar Ki Argapati menghentakkan kekuatannya yang terakhir, memanggil puterinya,
“Pandan Wangi ………”
Pandan Wangi terkejut. Ketika ia berpaling dilihatnya ayahnya terhuyung-huyung bertelekan pada landaian tombaknya.
“Ayah,” dengan tangkasnya Pandan Wangi meloncat mendekati ayahnya. Hampir saja ayahnya terjatuh kalau ia tidak segera ditolong oleh Pandan Wangi. Demikian tergesa-gesa, sehingga ia tidak sempat menyarungkan pedangnya dan begitu saja dilelakkannya di tanah. Pedang yang seolah-olah tidak pernah terpisah dari dirinya itu, seakan-akan dilupakannya ketika ia melihat keadaan ayahnya yang parah. Sejenak kemudian, Samekta  pun telah berdiri di sampingnya. Dengan tangan gemetar, ia  pun mencoba menahan tubuh Ki Argapati. Tetapi ternyata tubuh itu telah menjadi sedemikian lemahnya, sehingga Samekta terpaksa membaringkannya di tanah.
“Ayah, Ayah,” pekik Pandan Wangi. Meskipun ia mampu bertempur di peperangan, namun ketika ia melihat keadaan ayahnya, maka sifat-sifat kegadisannya tidak lagi dapat disimpannya.
“Tenanglah, Pandan Wangi,” desis Samekta.
“Ki Argapati telah pingsan.”
“Ayah, Ayah,” Pandan Wangi tidak dapat menahan titik-titik air matanya yang membasahi pipinya. Apalagi ketika ia melihat darah yang memerahi pembalut luka Ki Argapati.
Ki Tambak Wedi yang menjadi semakin jauh melihat bagaimana Argapati kehilangan kesadaran dirinya. Karena itu ia mengumpat di dalam hatinya,
“Kalau aku bertahan beberapa kejap lagi.”

Meskipun demikian, masih tumbuhlah keragu-raguannya, apakah ia akan berlari beberapa langkah maju dan membunuh Argapati itu sama sekali, atau ia harus tetap melindungi orang-orangnya yang sedang bergerak mundur. Sejenak Ki Tambak Wedi memeras pikirannya. Tetapi pengawal Tanah Perdikan Menoreh menyerang orang-orangnya yang sedang mundur itu seperti air bah. Dengan demikian, maka Ki Tambak Wedi tidak dapat membiarkan orang-orangnya itu binasa dan korban akan berjatuhan terlampau banyak.
“Sayang,” desis Ki Tambak Wedi,
“aku kehilangan waktu yang sekejap ini. Tetapi biarlah. Besok atau lusa apabila aku kembali, maka tidak seorang pun yang dapat memimpin pasukan Argapati, karena Argapati sendiri pasti memerlukan waktu beberapa hari untuk dapat sembuh, atau bahkan mungkin ia akan mati karena luka-luka itu. Seandainya ia tidak mati, maka untuk maju ke medan perang, ia harus membuat banyak sekali pertimbangan-pertimbangan.”
Dengan demikian, maka Ki Tambak Wedi terus berusaha menarik diri dengan hati-hati. Para pemimpin pengawal tanah perdikan, sebagian telah terpaku di samping Ki Argapati. Demikian juga seorang gembala tua yang kemudian telah melepaskan kumisnya.
“Tolonglah Kiai, tolonglah,” tangis Pandan Wangi.
Gembala tua itu mengerutkan keningnya. Dirabanya pergelangan tangan Ki Argapati. Ternyata pemimpin tertinggi Tanah Perdikan Menoreh itu telah terlampau banyak mengeluarkan tenaga selagi lukanya masih sangat mengganggunya. Akhirnya ia benar-benar kehilangan kekuatannya sama sekali.
“Untunglah ia mampu bertahan tepat sampai Tambak Wedi menarik diri,” desis Samekta.
“Ia telah memeras segenap kekuatan yang tersisa, agar ia tetap berdiri tegak, selagi Ki Tambak Wedi masih berada di hadapannya,” jawab gembala tua itu.
Semua orang yang mengitarinya menundukkan kepalanya. Samekta, Pandan Wangi, dan gembala itu kini berlutut di sampingnya. Dengan cemas mereka melihat Ki Argapati yang pucat seperti kapas. Ternyata keadaan itu telah menarik banyak perhatian para pemimpin Menoreh yang lain. Mereka tidak dapat melepaskan diri tanpa menghiraukan kepala tanah perdikan mereka, sehingga keadaan itu telah sangat mempengaruhi seluruh medan. Peluang itulah yang agaknya memberi banyak kesempatan kepada Ki Tambak Wedi untuk menarik pasukannya.
“Ki Samekta,” desis gembala itu,
“awasilah pasukanmu. Serahkan Ki Argapati kepadaku. Mungkin di dalam gerakan yang terakhir Ki Tambak Wedi membuat perangkap-perangkap yang berbahaya.”
Samekta seperti terbangun dari tidurnya yang diganggu oleh mimpi yang buruk. Tiba-tiba ia menyadari, bahwa keadaan pasukannya masih belum terlepas sama sekali dari bahaya yang dapat dengan mendadak menjeratnya. Karena itu, maka ia pun segera berdiri sambil berkata,
“Baiklah. Biarlah aku pergi ke pasukan yang sedang mencoba mendesak pasukan lawan.”
“Tahanlah mereka, agar mereka tidak dikendalikan oleh perasaan. Ki Tambak Wedi bukan sekedar seorang pemimpin yang mumpuni. Tetapi ia dapat mempergunakan segala cara untuk melakukan rencananya. Sebaiknya pasukanmu tidak keluar dari lingkungan ini. Kita masih belum tahu tepat, apa yang berada di padang rerumputan di luar, meskipun kita mempunyai kesempatan yang baik kali ini.”
“Aku sependapat Kiai. Terserahlah, aku percayakan Ki Argapati kepadamu.”
Samekta  pun kemudian berlari-lari bersama dua orang pengawal yang lain mendekati garis surut pasukan Ki Tambak Wedi. Setelah berhasil menghubungi beberapa orang penghubung, Samekta segera memerintahkan, supaya pasukannya tidak mengejar lawan sampai ke luar lingkungan pring ori.
“Kenapa?” bertanya penghubung itu.
“Beberapa orang di antara kita yang mampu mengendalikan orang-orang terpenting di pasukan lawan sedang sibuk dengan Ki Argapati. Perhitungkan hal itu. Ki Tambak Wedi bukan sahabat yang dapat diajak bergurau.”
Penghubung-penghubung itu  pun mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian menghilang di dalam hiruk-pikuknya kedua pasukan yang sedang bergeser itu.

Namun memang ternyata, betapa Ki Tambak Wedi mencoba melindungi pasukannya. Ia benar-benar seperti iblis yang menyebar maut di antara mereka yang berani mendekatinya. Dengan demikian, maka usaha pasukannya menarik diri, semakin lama menjadi semakin lancar. Gupala dan Gupita masih selalu mengingat-ingat pesan gurunya, bahwa mereka masih belum saatnya memperlihatkan diri kepada Sidanti, Argajaya, atau Ki Tambak Wedi sendiri. Sehingga dengan demikian, maka gerak mereka pun menjadi sangat terbatas. Ketika ia mendengar pesan Samekta, bahwa mereka tidak sebaiknya mengejar sampai ke luar regol, mereka  pun segera dapat mengerti. Apalagi ketika penghubung itu mengatakan tentang keadaan Ki Argapati.
“Guru pasti sedang menolong Ki Argapati,” berkata mereka di dalam hati,
“sehingga Ki tambak Wedi yang kehilangan lawan itu akan menjadi burung elang di kandang ayam.”
Ternyata betapa gejolak membakar dada setiap pengawal Tanah Petdikan Menoreh yang sedang mendapat kesempatan baik itu, namun mereka dengan penuh pengertian, mematuhi perintah pemimpin mereka. Karena sebenarnya mereka pun ngeri melihat tandang Ki Tambak Wedi. Setiap sentuhan senjatanya akan berarti maut. Ketika orang-orang di dalam pasukan Ki Tambak Wedi itu telah berhasil keluar dari regol padesan itu, maka dengan susah payah para pengawal telah menahan dirinya untuk tidak terseret oleh arus perasaannya. Mereka memang tidak dapat melihat, apa saja yang ada di balik setiap helai daun ilalang di dalam gelap. Meskipun langit telah menjadi semburat merah, namun padang ilalang liar di hadapan padesan itu masih tetap dibayangi oleh gelapnya malam. Di luar regol, Ki Tambak Wedi masih saja sibuk mengatur pasukannya. Namun ia melihat, bahwa orang-orang Menoreh tidak mengejarnya terus. Karena itu, maka ia dapat menarik nafas sejenak, melepaskan kepepatan di dalam dadanya. Belum lagi Ki Tambak Wedi mengusap keringatnya yang membasahi keningnya, dengan tergopoh-gopoh Sidanti datang kepadanya sambil bergumam,
“Kenapa kita harus menarik diri?”
Ki Tambak Wedi berpaling. Dipandanginya Sidanti sejenak. Kemudian ditengadahkannya wajahnya, memandangi langit yang sudah menjadi semakin merah.
“Sebentar lagi fajar akan menyingsing.”
“Dan kita akan melihat orang-orang itu binasa.”
“Kau salah hitung, Sidanti. Di belakang pring ori itu ternyata terdapat banyak orang-orang yang tidak pernah kita perhitungkan, entah mereka datang dari mana. Tetapi adalah suatu kenyataan, bahwa kau dan Argajaya mendapat lawan-lawan yang tidak kau duga-duga sebelumnya. Ki Muni dan Ki Wasi telah terbunuh, Ki Peda Sura terdesak dan terpaksa menyembunyikan diri di dalam medan.”
“Dan Guru tidak berhasil membunuh Argapati?”
Ki Tambak Wedi menggeleng,
“Kali ini tidak. Karena itu, kita harus menyusun diri. Lebih baik dari yang sudah. Kita sudah tahu kekuatan yang sebenarnya ada di belakang pring ori itu.”
Sidanti menggeretakkan giginya, sementara mereka menjadi semakin lama semakin jauh dari regol yang mereka tinggalkan.
“Tetapi aku masih berhasil melihat Argapati roboh,” berkata Ki Tambak Wedi seterusnya.
“Mati?”
“Aku tidak tahu. Tetapi lukanya menjadi bertambah parah. Ia terpaksa memeras seluruh tenaganya dalam peperangan ini. Argapati bertempur berpasangan dengan Pandan Wangi. Dan aku masih saja dipengaruhi oleh perasaan itu.”
“Perasaan apa Guru?”
Ki Tambak Wedi tergagap mendengar pertanyaan Sidanti. Sejenak ia terdiam, namun sejenak kemudian ia menjawab,
“Tidak. Tidak apa-apa. Tetapi aku tidak berhasil membunuhnya. Beberapa orang pengawal kepercayaan Argapati selalu mengganggu aku. Sedang orang-orangku sendiri tidak membantu aku, mengusir orang-orang itu.”
“Kenapa?”
“Aku tidak tahu, tetapi agaknya tekanan pasukan pengawal Menoreh memang terlampau ketat, sehingga mereka kehilangan waktu dan kesempatan. Hal inilah yang harus aku ketahui nanti. Pengalaman ini harus diperhitungkan di saat-saat mendatang.” Ki Tambak Wedi berhenti sejenak, lalu,
“Lemparan-lemparan senjata para pengawal itu benar-benar terasa mengganggu setiap usahaku untuk membunuh ayah beranak itu. Setiap kali aku tertegun dan menghindar.” Tetapi Ki Tambak Wedi tidak tahu, bahwa di antara para pengawal kepercayaan Argapati itu terdapat seorang tua yang mengenakan kumis palsu. Meskipun sepintas Ki Tambak Wedi melihatnya juga, tetapi ia sama sekali tidak sempat memperhatikannya, karena ia sama sekali tidak menyangka, bahwa seseorang telah memasang kumis palsu itu orang yang ikut menentukan jalannya peperangan.

Dalam pada itu, gembala tua yang telah melepas kumisnya itu berjongkok di samping Ki Argapati, dengan wajah yang tegang. Ia adalah seorang dukun yang berpengalaman, yang setiap saat selalu bersedia mengobati siapa  pun juga. Namun kali ini dadanya berdebar-debar melihat keadaan Ki Argapati. Agaknya luka yang dideritanya itu benar-benar berbahaya bagi keselamatannya.
“Bagaimana Kiai? Bagaimana?” bertanya Pandan Wangi dengan cemasnya.
“Aku akan berusaha, Ngger,” jawab gembala tua itu.
“Sebaiknya, biarlah Ki Argapati ini dibawa ke pondok dahulu.”
“Tetapi kenapa Kiai belum berbuat sesuatu? Jarak itu terlampau jauh, Kiai.”
“Aku telah memperhitungkan. Kini aku akan menaburkan obat yang dapat mengurangi arus darahnya lebih dahulu.”
Orang-orang di sekitar Ki Argapati berbaring itu terdiam sambil menahan nafasnya, ketika mereka melihat dukun tua itu melepas pembalut Ki Argapati. Jantung mereka serasa tergores pula, ketika mereka melihat luka yang berdarah itu. Di peperangan mereka sudah terlampau biasa melihat luka. Tetapi luka itu luka yang sudah agak lama dan kambuh kembali, sehingga pengaruhnya  pun agak berbeda.
Apalagi ketika mereka melihat darah yang sudah menjadi kehitam-hitaman. Perlahan-lahan gembala itu menaburkan reramuan obat di atas luka itu. Kemudian sejenak ia menungguinya sambil menghembus-hembusnya.


Halaman 1 2 3


<<< Jilid 042                                                                                                       Jilid 044 >>>

Tidak ada komentar:

Posting Komentar