“Inilah pimpinan yang aku serahi tanggung jawab atas pasukan Menoreh. Nah, bantuan kalian berdua akan diterimanya dengan kedua belah tangan.”
Samekta pun
kemudian menganggukkan kepalanya. Katanya,
“Di dalam
pergolakan seperti ini, maka setiap kekuatan akan sangat berarti bagi kami. Dan
kami akan mengucapkan terima kasih.”
Kedua orang
itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Meskipun demikian, mereka mencoba untuk
mengerti dan menyesuaikan dirinya. Sebenarnya keduanya tidak terlampau banyak
mengerti, persoalan-persoalan apa yang telah terjadi di Tanah Perdikan Menoreh,
dan persoalan-persoalan apa yang pernah timbul antara mereka, para penghuni
Tanah Perdikan ini dengan Sutawijaya. Tetapi karena perintah anak muda itulah,
maka ia berada di tengah-tengah pergolakan yang sedang membakar Tanah Perdikan
ini.
“Untuk
seterusnya,” berkata Hanggapati kemudian,
“kami
memerlukan petunjuk-petunjuk dan perintah-perintah, apakah yang harus kami
lakukan, karena kami belum banyak mengerti tentang persoalan yang sedang di
hadapi oleh Ki Gede Menoreh.”
Ki Argapati
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Tentu kami
akan berusaha untuk menunjukkan arah perjuangan kami untuk menegakkan kesatuan
kembali setelah beberapa saat Tanah ini dipecah oleh nafsu yang tidak
terkendalikan dari seorang yang menyebut dirinya Ki Tambak Wedi. Tetapi, bukan
maksud kami untuk memberikan perintah kepada Ki Sanak berdua, namun kami ingin
menempatkan Ki Sanak berdua bersama dengan Kiai Dukun atau gembala tua itu,
atau apa pun namanya, dalam satu
pertukaran pikiran menghadapi keadaan yang semakin memuncak.”
Gembala tua
itu tersenyum. Katanya,
“Kenapa Ki
Gede kebingungan menyebut jabatanku?”
Ki Gede pun tersenyum pula. Katanya kemudian,
“Nah, sekarang
kalian kami persilahkan untuk beristirahat sejenak. Pasukan berkuda itu pasti
membuat Ki Tambak Wedi menjadi marah. Sehingga dengan demikian perkembangan
keadaan akan dapat dipercepat.”
“Ya,
kemungkinan itu memang ada,” jawab gembala tua itu.
“Karena itu,
aku akan minta kalian nanti, apabila kalian telah beristirahat meskipun
sejenak, untuk membicarakan masalah yang menjadi semakin memuncak ini.”
“Baiklah,”
jawab gembala tua itu,
“sekarang aku
minta diri. Orang-orang yang terluka memerlukan segera mendapat pertolongan.
Pertolongan darurat itu hanya dapat menolong dalam waktu yang sangat terbatas.”
“Silahkan,
Kiai.”
Sejenak
kemudian gembala tua beserta kedua orang kepercayaan Sutawijaya itu pun meninggalkan ruangan itu. Bersama dengan
Gupala dan Gupita mereka diantar ke tempat yang telah disediakan untuk mereka.
Tetapi gembala tua itu kemudian meninggalkan kedua orang kepercayaan Sutawijaya
itu beserta Gupala dan Gupita. Ia sendiri pergi untuk mengobati orang-orang
yang terluka pada saat mereka memasuki padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh.
Sedang Samekta, setelah berbicara beberapa lama dengan Ki Argapati, kemudian
pergi ke regol padukuhan untuk memimpin langsung pengawasan terhadap setiap
kemungkinan.
Wrahasta yang
kemudian mendengar dari Samekta, bahwa telah datang dua orang kepercayaan
Sutawijaya yang bergelar Mas Ngabehi Loring Pasar, menjadi ragu-ragu pula. Katanya,
“Apakah kau
yakin tentang kedua orang itu?”
“Meskipun
mereka berpakaian sederhana seperti kita, tetapi menilik sikapnya, mereka
adalah prajurit-prajurit dari istana Pajang. Atau setidak-tidaknya mereka
adalah orang-orang istana,” jawab Samekta.
Wrahasta
mengerutkan keningnya. Gumamnya, “Mudah-mudahan.”
Dalam pada
itu, Samekta pun telah meningkatkan
kewaspadaannya pula. Mereka menyadari bahwa akibat pasukan berkuda yang
menyusup ke padukuhan induk itu, pasti akan mempercepat tindakan Ki Tambak
Wedi. Karena itu, maka setiap jengkal tanah kini tidak terlepas dari pengawasan
dan pertahanan. Ketika matahari kemudian mendaki langit di ujung Timur, maka Ki
Argapati pun telah memanggil beberapa
orang yang pantas untuk dibawa membicarakan masalah yang dihadapi oleh Tanah
Perdikan Menoreh. Di antara mereka adalah Samekta, Wrahasta, gembala tua yang
cakap mengobati itu, dan kedua orang kepercayaan Sutawijaya, Hanggapati dan
Dipasanga. Sedang Gupala dan Gupita harus tinggal saja di luar sambil menunggu
perkembangan pembicaraan itu. Sementara itu, ketika keduanya sedang duduk di
halaman sambil berbicara tentang apa saja, tentang juntai yang berwarna
kekuning-kuningan yang kini dililitkan di leher baju Gupala, sampai kepada
kambing-kambing yang mereka tinggalkan, dari balik daun pintu samping sepasang
mata sedang mengawasi mereka. Sepasang mata seorang gadis yang membawa pedang
rangkap di kedua belah lambungnya.
Gadis itu,
Pandan Wangi melihat kedua anak-anak muda itu dengan kesan yang aneh. Gupita
adalah seorang anak muda yang mengagumkan. Tenang dan memiliki kemampuan yang
tinggi. Tingkah lakunya kadang-kadang menimbulkan berbagai macam pertanyaan.
Ada beberapa pertentangan sifat yang dilihatnya pada anak muda itu. Anak muda
itu kadang-kadang bersikap acuh tak acuh dan bahkan kekanak-kanakan. Namun
kadang-kadang menjadi bersungguh-sungguh dan seakan-akan seorang perasa. Sedang
yang seorang lagi yang diakuinya sebagai saudaranya adalah seorang anak muda
yang gemuk, yang memiliki kekhususan pula. Wajahnya terlampau cerah, dan
bibirnya selalu dihiasi dengan senyum dan tawa. Anak muda yang gemuk itu
seakan-akan tidak pernah menyimpan persoalan yang bersungguh-sungguh di dalam
hatinya. Wajahnya yang bersih dan bulat itu menimbulkan kesan tersendiri di
hati Pandan Wangi. Pandan Wangi terkejut ketika ia mendengar suara perempuan
tua penghuni rumah itu memanggilnya. Dengan tergesa-gesa ia pergi
mendapatkannya,
“Ada apa,
Bibi?”
“Air panas itu
telah tersedia bersama beberapa potong makanan.”
“Oh,” Pandan
Wangi yang meskipun membawa sepasang pedang rangkap itu pun segera mengetahui
tugasnya. Dicarinya sebuah nampan kayu untuk membawa minuman dan makanan itu ke
dalam bilik Ayahnya, tempat orang-orang terpenting sedang berbicara tentang
nasib Tanah Perdikan ini.
Ketika Pandan
Wangi masuk ke dalam bilik ayahnya, agaknya pembicaraan telah menjadi terlampau
jauh, sehingga apa yang didengarnya tidak dapat dimengertinya. Ia hanya
mendengar kata-kata ayahnya, bahwa lukanya telah jauh berkurang.
“Aku telah
mampu turun ke medan apabila setiap saat Ki Tambak Wedi menghendaki.”
Pandan Wangi
tertegun sejenak. Ia menjadi berdebar-debar. Apakah ayahnya benar-benar akan
langsung memimpin peperangan dalam keadaannya itu. Ketika ia berpaling
memandangi wajah ayahnya, ia melihat ayahnya itu tersenyum kepadanya.
“Aku
benar-benar sudah menjadi baik, Pandan Wangi. Mungkin aku belum pulih kembali
seperti sediakala. Tetapi tenagaku agaknya sudah cukup memadai.”
“Tetapi,”
Pandan Wangi menjadi ragu.
“Kau
meragukan?”
“Ya, Ayah.”
“Itu adalah
wajar sekali, Wangi. Tetapi ternyata obat yang diberikannya kepadaku
akhir-akhir ini adalah obat yang tiada taranya. Lukaku telah hampir menjadi
sembuh sama sekali.”
Pandan Wangi
menarik nafas dalam-dalam. Disambarnya sekilas dengan sudut matanya, Samekta,
Wrahasta, kemudian dua orang yang baru saja hadir di padukuhan itu. Namun
Pandan Wangi tidak berkata apa-apa lagi. Perlahan-lahan ia melangkah keluar
sambil menjinjing nampan kayu. Sepeninggal Pandan Wangi, maka mereka pun melanjutkan pembicaraan mereka sehingga
akhirnya mereka menemukan suatu kesimpulan.
“Nah,
begitulah,” berkata Ki Argapati, “aku tidak dapat berbuat lain daripada
menerima saran itu.”
“Tetapi itu
berbahaya sekali, Ki Gede,” berkata Wrahasta.
Ki Argapati mengangguk-anggukkan
kepalanya.
“Memang cara
ini dapat menimbulkan akibat yang besar bagi pertahanan kita. Tetapi apabila
berhasil, maka jalan selanjutnya pasti sudah terbuka.”
Wrahasta
mengerutkan keningnya. Bahkan kemudian ia menggeram,
“Sejak semula
aku ingin menyandarkan segala persoalan atas kekuatan dan perhitungan imbangan
kekuataan di antara kita sendiri. Kita akan meyakini segala persoalan tanpa
ragu-ragu.”
“Aku
sependapat dengan kau, Wrahasta,” berkata Ki Argapati,
“tetapi kita
tidak dapat mengingkari kenyataan yang kita hadapi. Dan apakah keberatan kita
atas segala kebaikan hati dari mereka yang memang mempunyai persoalan dengan Ki
Tambak Wedi, Sidanti, dan Argajaya?”
Wrahasta tidak
segera menyahut.
“Aku dapat
meyakinkan kau, Wrahasta, bahwa tidak ada pamrih apa pun pada mereka. Apalagi
kedua orang kepercayaan putera Sultan Pajang. Adalah hak mereka untuk berbuat
sesuatu terhadap orang-orang yang mempunyai persoalan dengan mereka. Dan adalah
kebetulan sekali bahwa kita bersama-sama mempunyai persoalan yang dapat di
ambil arah sejalan. Tetapi jangan takut, bahwa aku telah mengorbankan
kepentingan tanah perdikan ini. Bahwa aku telah menjual beberapa kepentingan
karena aku ingin mempertahankan kedudukanku sebagai kepala tanah perdikan.”
Ki Argapati
terdiam sejenak. Lalu,
“Bukankah kau
mendengarkan pembicaraan ini dari mula sampai akhir, sehingga kau tidak
menemukan bentuk-bentuk perjanjian atau imbalan apa pun atas mereka itu? Kita
secara kebetulan mempunyai kepentingan yang sama, yang dapat saling membantu.
Itulah masalah yang sedang kita hadapi sekarang. Jadi, bentuk kerja sama ini
agak berbeda dari Ki Peda Sura dan orang-orangnya, bahkan orang-orang lain lagi
yang datang atas permintaan Ki Tambak Wedi, Argajaya, dan Sidanti. Kepada
setiap bantuan yang aku terima sama sekali bukan karena aku menawarkan apa pun juga sebagai imbalannya.”
Wrahasta
mengangguk-anggukkan kepalanya perlahan-lahan.
“Nah, apakah
kau dapat mengerti?”
“Aku mengerti,
Ki Gede,” jawabnya.
“Tetapi tidak
semua orang tidak berpamrih seperti mereka yang ada di dalam ruangan ini. Meskipun
mereka tidak menginginkan imbalan yang berupa harta benda atau kedudukan,
tetapi masih mungkin ada pamrih-pamrih lain yang mendorong mereka untuk
berkorban apa saja.”
Ki Argapati
mengerutkan keningnya.
“Apakah kau
dapat menyebutkan, Wrahasta?”
Wrahasta
menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak mengucapkannya, meskipun serasa
menyesak di dalam dadanya.
“Katakanlah,
Wrahasta,” desak Ki Argapati.
“Jangan
ragu-ragu. Semua ini untuk kebaikan kita bersama?”
Tetapi Wrahasta
menggelengkan kepalanya.
“Tidak, Ki
Gede. Aku hanya sekedar berprasangka.”
Ki Argapati
memandang wajah Wrahasta dengan tajamnya. Tetapi wajah anak muda yang bertubuh
raksasa itu menunduk.
Namun Ki
Argapati itu kemudian berkata,
“Baiklah. Kita
akan melihat perkembangan keadaan. Memang kita masing-masing pasti mempunyai
pamrih. Tetapi tidak sekedar pamrih pribadi.”
Hampir saja
Wrahasta menyahut. Justru pamrih pribadilah yang mendorong anak gembala itu
menyediakan dirinya, bahkan dengan seluruh keluarganya untuk membantu Ki
Argapati. Tetapi untunglah bahwa ia masih mampu menahan perasaannya itu.
Sehingga apa yang telah hampir terucapkan itu seolah-olah ditelannya kembali. Dengan
demikian, maka ruangan itu di sambut oleh kesepian sejenak. Kemudian terdengar
Ki Argapati berkata,
“Apakah masih
ada persoalan yang akan kita bicarakan?”
Tidak
seorang pun yang menjawab.
“Baiklah.
Kalau tidak, aku akan mengambil keputusan. Semua dilaksanakan seperti rencana
tersebut. Apabila terdapat kesulitan, kita akan melihat perkembangan suasana.”
Kemudian kepada Samekta ia berkata,
“Aturlah semua
persiapan, Samekta. Sampaikan semua keputusan ini kepada pemimpin-pemimpin yang
terpercaya. Kerti dapat kau panggil dan kau tempatkan di pedukuhan ini pula.”
“Ya, Ki Gede.”
“Jagalah
baik-baik, bahwa masalah-masalah terpenting hanya boleh kita ketahui bersama.”
“Ya, Ki Gede,”
jawab Samekta sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Sekarang,
mulailah dengan segala macam persiapan. Aku akan mencoba memantapkan diriku
sendiri, sehingga apabila setiap saat aku harus turun ke medan perang, seperti
yang direncanakan, aku tidak akan mengecewakan.”
“Silahkan, Ki
Gede. Kami minta diri.”
“Aku sangat
berterima kasih kepada kesediaan kalian, baik dari keluarga Tanah ini maupun
yang menaruh perhatian terhadap keadaannya. Mudah-mudahan kita berhasil.”
Orang-orang
yang berada di dalam bilik Ki Gede itu
pun kemudian bersama-sama meninggalkannya. Masing-masing pergi ke
tempatnya. Gembala tua dan kedua orang kepercayaan Sutawijaya itu kemudian
kembali ke tempat yang sudah disediakan untuk mereka bersama-sama dengan Gupala
dan Gupita. Seperti orang-orang Menoreh, mereka
pun harus mempersiapkan diri mereka apabila setiap saat mereka harus
turun ke medan.
Gupala dan
Gupita pun kemudian mendapat petunjuk-petunjuk dari gurunya. Apa yang harus mereka
kerjakan apabila waktunya telah datang.
“Apakah Ki
Argapati tahu dengan pasti, kapan Ki Tambak Wedi akan menyerang?” bertanya
Gupita.
Gurunya
menggelengkan kepalanya, “Belum. Namun kita harus memperhitungkan bahwa setiap
saat hal itu dapat terjadi, sehingga kita harus dapat melakukannya setiap saat
pula. Gupita mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun kemudian Gupala bertanya,
“Tetapi apakah
Pandan Wangi dapat dipercaya untuk melakukan tugasnya itu?”
“Menurut Ki
Argapati, ia percaya bahwa Pandan Wangi akan dapat melakukannya.”
“Pekerjaan itu
memang terlalu berat untuknya. Tetapi mudah-mudahan ia berhasil,” gumam Gupita.
Gurunya tidak
menyahut. Tetapi tatapan matanya jauh menembus cahaya matahari yang bermain di
halaman, hinggap pada bayangan dedaunan yang bergerak-gerak dihembus angin yang
lemah. Ruangan itu pun kemudian sejenak disambar oleh kesenyapan. Namun
kemudian Gupala dan Gupita minta diri untuk berada di halaman, karena udara
yang terlampau panas. Dengan dada yang berdebar-debar mereka menyaksikan
kesibukan para pengawal. Persiapan-persiapan yang semakin memuncak karena
perkembangan keadaan yang memuncak pula. Apalagi setelah beberapa orang petugas
sandi sempat melaporkan, bahwa mereka
pun melihat persiapan yang matang pada pasukan Ki Tambak Wedi.
“Tidak akan
lebih dari malam nanti,” desis Gupita.
“Ya. Aku kira
malam nanti Ki Tambak Wedi akan datang,” jawab Gupala.
“Namun cara
yang akan kita pergunakan cukup menarik.”
“Tetapi juga
sangat berbahaya bagi Ki Argapati dan Pandan Wangi itu sendiri,” gumam Gupita.
“Tetapi kita
tidak dapat berbuat banyak.”
“Kalau aku
diperkenankan, aku akan bertempur bersamanya,” desis Gupala.
Gupita
mengerutkan keningnya. Ketika ia berpaling ke arah anak muda yang gemuk itu,
tiba-tiba Gupala tertawa sambil berdiri. Namun ia masih juga berkata,
“Mudah-mudahan
aku mendapat kesempatan.”
“Dalam
hiruk-pikuk serupa ini, kau masih sempat juga mimpi.”
“Mimpi yang
paling mengasyikkan justru apabila kita tidak sedang tidur nyenyak. Bukankah
begitu? Dalam hiruk-pikuk yang beginilah kadang-kadang kita menemukan suatu
perkembangan jalan hidup kita tanpa kita duga-duga. Bukankah dalam hiruk-pikuk
juga kau bertemu dengan seorang gadis, justru pada suatu saat yang menentukan
buat Sangkal Putung?”
“Ah,” Gupita
berdesah. Dan Gupala masih juga tertawa berkepanjangan sambil meninggalkan
Gupita yang masih duduk di tempatnya seorang diri.
Sejenak
bayangan seorang gadis yang manja dan keras hati melintas di dalam kepalanya.
Kemudian disusul oleh sebuah bayangan yang lain. Seorang gadis yang dalam
keadaan terakhir selalu membawa sepasang pedang rangkap di lambungnya.
Gupita
kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya sambil berdesis,
“Ah, lebih
baik aku membuat pertimbangan-pertimbangan tentang setiap kemungkinan yang
dapat terjadi di padukuhan ini.”
Namun
tiba-tiba ia berpaling ketika ia melihat seseorang mendatanginya. Seorang anak
muda yang bertubuh raksasa. Dada Gupita menjadi berdebar-debar melihat wajah
Wrahasta yang tampak bersungguh-sungguh. Beberapa langkah daripadanya Wrahasta
berhenti. Diedarkannya pandangan matanya ke seluruh halaman, tetapi ketika
tidak ada seorang pun yang dilihatnya,
maka ia pun segera melangkah beberapa
langkah lagi.
“Gupita,” suaranya
bernada berat,
“aku masih
tetap pada pendirianku. Aku tidak menghendaki kau hadir di sini. Tetapi agaknya
ayahmu mendapat tempat di hati Ki Argapati. Karena itu, aku perlu
memperingatkan kau sekali lagi, bahwa kau tidak disukai di padukuhan ini.”
Gupita menarik
nafas dalam-dalam. Ia tidak senang selalu mendapat pringatan semacam itu. Meskipun
demikian ia masih harus tetap menjaga dirinya. Namun meskipun demikian ia
menjawab,
“Wrahasta. Aku
tidak akan bersitegang untuk tinggal di padukuhanmu. Pada suatu ketika apabila
pekerjaanku sudah selesai, maka aku pun
akan segera pergi. Disukai atau tidak disukai, namun aku harus melakukan tugas
yang dibebankan kepadaku. Baik oleh ayah maupun oleh Ki Argapati.”
“Aku mengharap
kau memegang janjimu. Kalau tidak, maka setelah semua persoalan di atas tanah
perdikan ini selesai, kau akan menyesal. Kalau kau tidak menepatinya, maka kita
harus membuat perhitungan tersendiri.”
Dada Gupita
berdesir. Tetapi ia tidak menjawab. Dibiarkannya Wrahasta berbalik dan
melangkah meninggalkannya. Hampir tanpa berkedip Gupita memandang langkah itu.
Langkah yang tegap penuh keyakinan pada diri sendiri. Tetapi kemudian Gupita
menjadi kecewa, bahkan menaruh belas kasihan kepada raksasa itu. Meskipun
demikian. Gupita masih selalu berusaha untuk menguasai diri. Apalagi keadaan
sudah menjadi sedemikian panasnya. Keadaan yang tidak dikehendaki akan segera
dapat meletus setiap saat. Mungkin sebentar lagi. Mungkin di saat senja mulai
turun, atau mungkin pada saat matahari tepat meluncur ke balik perbukitan.
Tetapi mungkin juga setelah malam menjadi kelam atau mungkin juga tidak sama
sekali di hari-hari yang dekat ini. Meskipun demikian, Gupita menyadari bahwa
kekuatan seutuhnya sedang diperlukan untuk menanggapi keadaan yang telah
memuncak ini. Matahari pun semakin lama
menjadi semakin tergeser ke Barat. Di saat-saat cahayanya menjadi
kemerah-merahan, maka para pengawal menjadi kian sibuk. Hari itu ternyata telah
mereka lampaui tanpa ada sesuatu peristiwa apa pun. Namun dengan demikian, maka
mereka menjadi semakin berhati-hati. Mereka mempunyai dugaan kuat, bahwa Ki
Tambak Wedi akan mengambil kesempatan di malam hari. Karena itu, maka segala
macam persiapan pun dilakukan. Alat-alat
pelontar dan berbagai macam senjata jarak jauh. Senjata yang paling sederhana,
pelontar batu, sampai pada panah-panah yang hampir tidak terhitung jumlahnya. Pada
saat yang demikian, Gupala, Gupita, dan gurunya telah siap pula untuk melakukan
rencana yang telah disetujui bersama. Bersama sepasukan pengawal mereka harus
meninggalkan padukuhan itu. Mereka harus bersiap dan berada di luar, seandainya
padukuhan itu akan dikepung rapat-rapat. Mereka harus memperhitungkan pula
suatu kemungkinan, bahwa Ki Tambak Wedi akan mengambil suatu cara, untuk
menutup padukuhan itu sama sekali dalam waktu yang tidak terbatas, sehingga
mereka akan kehilangan kemungkinan berhubungan dengan daerah-daerah dan
perdukuhan-perdukuhan lain. Terutama dalam soal persediaan makan.
Sejenak
kemudian, sebelum regol pedukuhan itu tertutup oleh ujung senjata pasukan Ki
Tambak Wedi, gembala tua bersama kedua anak-anaknya telah meninggalkan padukuhan
itu untuk bersembunyi di pategalan yang tidak terlampau jauh. Mereka mendapat
tugas yang khusus, tugas yang tidak dapat dilakukan oleh pasukan yang berada di
dalam padukuhan. Mereka harus dapat bergerak cepat ke segenap penjuru. Juga
apabila ada kemungkinan Ki Tambak Wedi tidak menyerang lewat gerbang induk. Argapati
yang sudah menjadi semakin baik, melepas mereka sampai ke pintu gerbang.
Kemudian sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia bergumam,
“Aku percaya
kepada mereka.”
Pandan Wangi
yang berdiri di sampingnya berpaling. Tanpa sesadarnya ia bertanya,
“Apa, Ayah?”
Ki Argapati
terkejut. Namun kemudian sambil tersenyum ia berkata,
“Aku percaya
kepada mereka. Dan aku percaya bahwa aku pernah mengenal orang tua itu sebelum
ini. Bepapa pun ia mengingkari dirinya sendiri. Aku tidak tahu, apakah
alasannya, sehingga ia lebih senang bermain-main dengan segala macam nama dan
keadaan.”
“Siapakah
sebenarnya orang-orang itu, Ayah?” bertanya Pandan Wangi dengan serta-merta.
Tetapi ayahnya
masih saja tersenyum dan menjawab, “Entahlah.”
“Tetapi Ayah
sudah menyebutnya?”
Ki Argapati
menggelengkan kepalanya.
“Aku hanya
menduga-duga. Tetapi lebih baik aku tidak mengatakan apa pun tentang mereka
daripada aku akan keliru.”
Pandan Wangi
tidak bertanya lagi. Ia pun kini
memandangi pasukan yang menjadi semakin jauh. Bahkan kadang-kadang seolah-olah
hilang ditelan oleh rumput-rumput liar dan batang-batang ilalang yang menjadi
semakin tinggi.
Namun masih
juga terbayang di angan-angan gadis itu, dua orang anak-anak muda yang
seakan-akan dibayangi oleh kabut rahasia yang tidak tertembus oleh
penglihatannya. Pandan Wangi itu tersedar ketika ia mendengar ayahnya berkata,
“Marilah kita
beristirahat sambil menunggu, apa yang akan terjadi malam ini.”
“O,” Pandan
Wangi tergagap, “mari, Ayah.”
“Kita tidak
akan kembali ke pondok kita. Kita akan tinggal di pusat pimpinan pasukan
Menoreh bersama dengan Wrahasta, Samekta, dan Kerti. Setiap saat kita pasti
akan diperlukan.”
Pandan Wangi
menganggukkan kepalanya. Kemudian diiringi oleh para pemimpin pasukan pengawal,
Ki Argapati pun pergi ke rumah yang dipergunakan sebagai pusat pimpinan
pasukan. Di situlah Samekta, Wrahasta dan kadang-kadang Kerti selalu
membicarakan dan merencanakan segala sesuatu. Kini jumlah mereka pun bertambah lagi dengan dua orang dari
Pajang. Hanggapati dan Dipasanga. Meskipun mereka duduk dalam satu tingkatan,
di atas sehelai tikar pandan, namun hampir tidak seorang pun dari mereka yang berbicara. Mereka sedang
sibuk dengan angan-angan masing-masing. Bayangan-bayangan dan gambaran tentang
apa saja yang akan terjadi di atas tanah perdikan ini.
Sementara itu,
Ki Tambak Wedi pun sedang sibuk mengatur
barisannya. Ia tidak ingin menunda lagi sampai besok dan apalagi lusa. Ia sudah
berketetapan hati, seperti tekad yang menyala di dalam dada Sidanti, Argajaya,
dan para pemimpin yang lain. Malam ini pertahanan Argapati harus dipecah.
Benteng pring ori itu harus menjadi karang abang. Dan pasukan pengawal Menoreh
harus di hancur-lumatkan supaya mereka tidak membuat persoalan-persoalan baru
di hari-hari mendatang.
“Tidak seorang
pun akan mendapat perlakuan khusus!” teriak Ki Tambak Wedi.
Sidanti dan
Argajaya mengangkat senjata masing-masing sambil menyambut ucapan-ucapan itu.
“Semua harus
dimusnahkan.”
Namun ketika
setiap mulut meneriakkan semangat yang serupa, Sidanti menundukkan wajahnya.
Terbayang di dalam angan-angannya, seorang gadis kecil yang berlari-lari sambil
menangis. Kemudian memeluknya dan membasahi dadanya dengan air mata.
“Kakang,
Kakang, anak itu nakal, Kakang,” tangis gadis kecil itu.
Setiap kali ia
menjadi marah. Dan setiap kali ia berkata,
“Ayo, jangan
hanya berani dengan anak perempuan. Lawan aku.”
Dada Sidanti
menjadi berdebar-debar. Ia tidak pernah berhasil melupakan masa kecil yang
baginya kini tinggal gambaran-gambaran dari sebuah mimpi yang menyenangkan.
Sama sekali tidak pernah terbayang, bahwa kini, ia dan Pandan Wangi, akan
berdiri berseberangan sebagai lawan. Dan ia sendiri telah meneriakkan,
“Semua harus
dimusnahkan!”
“Apakah yang
akan terjadi atas Pandan Wangi nanti?” pertanyaan itu tidak pernah dapat
terhapus dari hatinya. Hati seorang kakak, meskipun suatu kenyataan telah
dihadapkan kepadanya, bahwa mereka ternyata tidak seayah.
Tetapi apakah
yang dapat dilakukan selagi kedua belah pihak sudah berhadapan dengan
menggenggam senjata-senjata telanjang di tangan? Apakah Pandan Wangi juga
selalu dibimbangkan oleh hubungan keluarga di antara mereka.
“Persetan!”
Sidanti mencoba untuk memperteguh hatinya apabila ia nanti berangkat ke
peperangan.
“Kalau aku dapat
menghindar, aku akan menghindar. Aku akan mencari korban-korban lain.
Terserahlah kepada keadaan, apakah Pandan Wangi dapat menyelamatkan dirinya
atau tidak. Tetapi kalau aku harus berhadapan?” Sidanti menarik nafas
dalam-dalam.
Sidanti
terkejut ketika ia mendengar Argajaya bertanya dengan ragu-ragu,
“Apakah yang
kau renungkan?”
Sidanti
menggelengkan kepalanya,
“Tidak. Aku
tidak sedang merenungkan apa-apa.”
Namun temyata
Ki Tambak Wedi pun melihat keragu-raguan
yang mewarnai wajah Sidanti. Sehingga orang tua itu langsung menebaknya,
“Kau
mengenangkan adikmu perempuan itu?”
Sidanti tidak
menyahut.
“Sudah aku
katakan. Semuanya harus dimusnahkan. Juga Pandan Wangi. Kalau ia dibiarkan
hidup, ia akan menjadi benih yang baik untuk tumbuh kelak menjadi sebuah pohon
berduri.”
Sidanti tidak
mengucapkan sepatah kata pun.
“Bagimu,
Sidanti, adik perempuanmu itu akan menjadi tawur, menjadi rabuk yang akan
membuat Tanahmu ini menjadi tanah yang subur seperti yang kau harapkan.”
Sidanti masih
tetap berdiam diri. Bahkan terbayang di rongga matanya perlakuan orang-orang
liar yang ada di dalam pasukannya. Hampir saja Pandan Wangi menjadi korban
mereka, seandainya Pandan Wangi bukan seorang yang memang cukup mampu membela
dirinya. Namun kenangan itu tiba-tiba telah mendorong Sidanti untuk berteriak,
“Ya, Pandan
Wangi juga harus dimusnahkan.”
Ki Tambak Wedi
dan Argajaya tertegun sejenak melihat Sidanti tiba-tiba saja meneriakkan
kata-kata itu. Terasa bahwa anak muda itu telah berjuang sekuat tenaga,
sehingga ia terpaksa meledakkan dadanya yang serasa pepat. Tetapi sebenarnya
Sidanti telah benar-benar berkeputusan demikian. Agaknya hal itu akan menjadi
lebih baik bagi adiknya. Kalau ia tertangkap hidup-hidup, maka kemungkinan yang
paling pahit akan dapat terjadi. Apabila Pandan Wangi jatuh ke tangan-tangan
serigala yang kelaparan itu, maka sudah terbayang di dalam kepalanya, bahwa ia
harus bertindak. Mungkin ia terpaksa melakukan kekerasan, sehingga perkelahian
tidak akan dapat dihindarinya lagi. Sejenak kemudian pasukan Tambak Wedi itu
pun telah siap untuk melakukan tugasnya. Untuk melawan lontaran-lontaran
senjata jarak jauh, sebagian dari pasukan Ki Tambak Wedi itu diperlengkapi
dengan perisai. Karena perisai-perisai yang terbuat dari kepingan baja tidak
mencukupi, maka sebagian telah membuat perisai-perisai dari kayu. Tetapi
perisai-perisai yang demikian, tidak kalah manfaatnya dari perisai-perisai
besi. Bukan baja untuk melawan senjata-senjata jarak jauh, tetapi dalam perang
beradu dada, perisai yang demikian pun
dapat sangat berguna. Ujung senjata lawan yang tertancap pada perisai-perisai
kayu, apabila perisai itu disentakkan, maka senjata lawan tersebut akan dapat
terenggut. Demikinlah, pada saatnya, ketika matahari telah tenggelam di balik
perbukitan, serta malam telah mulai turun menyelubungi Tanah Perdikan Menoreh,
maka mulailah pasukan Ki Tambak Wedi itu merayap ke luar dari padukuhan induk
untuk menuju ke padukuhan Karang Sari, tempat pertahanan yang di susun dengan
tergesa-gesa oleh pasukan pengawal Menoreh pada saat mereka meninggalkan
padukuhan induk. Namun adalah suatu keuntungan, bahwa padukuhan itu dilingkari
oleh rumpun-rumpun pring ori yang rapat, sehingga merupakan benteng yang sangat
bermanfaat bagi pertahanan mereka. Ki Tambak Wedi yang memegang langsung pimpinan
pasukan itu, berjalan di paling depan bersama Sidanti dan Argajaya. Kemudian di
belakang mereka berjalan Ki Peda Sura yang telah sembuh dari luka-lukanya,
bersama Ki Wasi dan Ki Muni.
Setiap dada
dari mereka yang berada dalam barisan itu serasa bergejolak semakin keras.
Namun hampir setiap orang memastikan, bahwa mereka akan dapat memecah
pertahanan Ki Argapati. Menurut perhitungan mereka, kekuatan Ki Argapati sangat
terbatas. Meskipun mungkin mereka mempunyai jumlah orang yang seimbang, namun tidak
ada orang lain yang dapat di percaya oleh Ki Argapati selain Pandan Wangi
seorang diri. Apalagi Ki Argapati pasti belum sembuh benar dari luka-lukanya. Meskipun
perhitungan Ki Muni meleset, dan ternyata Ki Argapati tidak mati, tetapi dalam
keadaannya, maka Ki Argapati tidak akan dapat lagi berada dalam puncak
kemampuannya. Sehingga bagaimana pun
juga, maka untuk melawan Ki Tambak Wedi, agaknya tidak mungkin lagi dapat
dilakukan. Kalau ia dapat bertahan untuk beberapa lama, namun pada saatnya ia
pasti akan kehabisan tenaga. Dan saat terakhir dari Kepala Tanah Perdikan
itu pun akan segera datang. Di
perjalanan Ki Tambak Wedi masih sempat memberikan beberapa petunjuk kepada
Sidanti dan Argajaya. Bahkan juga kepada Ki Peda Sura, Ki Wasi dan Ki Muni.
Menurut penilaian Ki Tambak Wedi, maka para pengawal tanah perdikan akan
mengambil cara seperti yang pernah dilakukannya. Mereka akan membentuk
kelompok-kelompok kecil dari mereka yang terpilih untuk melawan para pemimpin
pasukan lawan. Kalau mereka tidak mempunyai orang-orang yang mampu dihadapkan
seorang lawan seorang, maka kelompok-kelompok itulah yang akan mereka pasang,
untuk melawan pimpinan lawan. Untuk menghadapi kelompok-kelompok itulah maka
setiap pemimpin pasukannya pun harus
membuat kelompok-kelompok yang serupa. Sehingga pada saatnya orang-orang yang
diperlukan dapat berdiri bebas dan dapat melakukan apa saja yang penting bagi
mereka. Dalam hal ini, mencari korban sebanyak-banyaknya, karena mereka telah
bertekad untuk menghancurkan dan memusnahkan lawan mereka tanpa seorang pun yang akan mendapat perlakuan khusus. Mereka
yang mendapat petunjuk itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Terbayang di kepala
mereka, apa yang dapat mereka lakukan. Sebentar lagi senjata-senjata mereka
akan menari-nari dalam bujana yang menggairahkan. Dan mereka telah mulai
menghitung-hitung korban yang akan dapat mereka binasakan. Semakin dekat
iring-iringan itu menjadi semakin bernafsu. Bahkan ada di antara mereka yang
seolah-olah tidak dapat menahan diri lagi. Sambil meraba-raba hulu senjatanya
seseorang berdesis,
“Kenapa kita
berjalan terlampau lamban.”
Kawan yang
berjalan di sampingnya berpaling. Tetapi ia tidak menjawab.
“Kenapa?”
orang yang pertama mendesak. Tetapi orang yang kedua masih tetap berdiam diri.
“Aku sudah
tidak sabar lagi untuk menumpas orang-orang bodoh yang tidak tahu diri itu,”
geram orang yang pertama.
Orang yang
kedua menarik nafas dalam-dalam. Kemudian dengan nada yang dalam ia berkata,
“Apakah kau
mau menolongku?”
“Kenapa?
Apakah kau dalam kesulitan?”
“Tidak. Tetapi
aku ingin minta kau diam. Hanya itu.”
Orang yang
pertama mengerutkan keningnya. Wajahnya menjadi merah sesaat. Namun kemudian ia
bergeramang tidak menentu. Keduanya kemudian diam. Tetapi sebenarnyalah bahwa
orang yang kedua sedang dirisaukan oleh keadaan yang bakal dihadapinya. Seperti
Sidanti, ia mempunyai seorang saudara, bahkan seayah dan seibu yang berada di
dalam lingkungan pasukan pengawal tanah perdikan yang setia kepada Argapati.
“Kakang memang
orang bodoh,” ia berdesis di dalam hatinya,
“ia tidak mau
mendengar nasehatku. Sekarang ia menghadapi kehancuran. Hem,” orang itu
menggigit bibirnya.
“Sepeninggal
ayah, aku seolah-olah telah menjadi bebannya. Ia mengurus aku lebih dari ayah
semasa hidupnya. Sekarang aku akan berdiri berhadapan.”
Orang itu
menundukkan kepalanya. Tetapi bukan hanya orang itu saja. Bukan hanya Sidanti,
Argajaya yang akan berhadapan dengan kakak kandungnya sendiri, tetapi banyak di
antara mereka yang akan mengalami keadaan serupa. Namun sebanyak-banyak jumlah
orang, ada di antara yang justru menjadi bangga. Dengan menepuk dada ia
berkata,
“Aku akan
menghunjamkan pedangku ini di dada ayahku sendiri karena ayah telah
mengkhianati cita-cita rakyat Tanah Perdikan Menoreh. Sidanti sendiri telah
berperang melawan ayahnya. Kenapa aku tidak sanggup?” Kemudian ia tertawa
sambil memilin janggutnya. Kalau sekilas hati nuraninya tersentuh oleh bayangan
ibunya, keluarganya, saudara-saudaranya, maka ia berusaha untuk menindasnya
dengan kejam. Ternyata dirinya sendirilah yang pertama-pertama mengalami
perlakuan yang paling kejam daripadanya. Ditumpasnya setiap percikan perasaan
yang kembang dari hati nurani itu. Tanpa belas kasian. Semakin lama maka
iring-iringan itu menjadi semakin dekat dan semakin dekat. Iring-iringan yang
dinafasi oleh kebencian. Kalau setiap orang menunduk dengan haru di dalam
iring-iringan pengantar mayat ke kubur, maka setiap orang di dalam
iring-iringan ini justru menengadahkan wajah-wajah mereka sambil menggeretakkan
gigi, mencari mayat-mayat yang akan mereka bawa ke kubur. Berbeda dengan
hari-hari yang lewat, pasukan Ki Tambak Wedi kali ini justru tidak membawa
sebuah obor pun. Mereka berjalan di dalam gelapnya malam, menyusur jalan yang
berdebu menuju ke pertahanan pasukan Argapati.
Sementara itu
para pengawal di pusat pertahanan pasukan Argapati pun telah siap menyambut
kedatangan lawan mereka. Apalagi ketika mereka melihat di kejauhan beberapa
pucuk panah api melontar ke udara. Ternyata para petugas sandi yang telah di
tempatkan dan bersembunyi di beberapa tempat telah melihat kedatangan pasukan
Ki Tambak Wedi. Pertahanan Argapati pun
menjadi sibuk. Samekta telah mengatur setiap kelompok pasukan di tempat yang
sebaik-baiknya. Mereka harus dapat menanggapi keadaan yang bagaimana pun juga.
Argapati
sendiri masih duduk bersama puterinya. Ia masih memberi beberapa petunjuk
kepada gadis itu. Dalam tingkat ilmunya, sebenarnya Pandan Wangi sudah berada
pada tataran tertinggi. Namun ia masih memerlukan pengalaman dan penghayatan
yang cukup, agar ilmunya dapat dicernakannya di dalam dirinya, kemudian
mengalir seperti air dari sumbernya.
“Seperti yang
telah kita setujui bersama, Pandan Wangi,” berkata Ayahnya,
“kali ini kau
harus membantu aku menghadapi Ki Tambak Wedi. Sebenarnya aku sendiri sudah
bersiap untuk melawannya meskipun lukaku belum sembuh benar. Tetapi keadaanku
telah cukup baik. Obat yang diberikannya kepadaku itu benar-benar bekerja di
luar dugaan. Namun keadaanku masih meragukan. Beberapa orang menasehatkan agar
aku tidak menghadapinya sendiri. Maka kaulah yang aku pilih untuk bertempur
bersamaku.”
Pandan Wangi
tidak menyahut. Tetapi kepalanya tertunduk dalam-dalam.
“Ilmumu adalah
ilmu yang kau terima daripadaku. Kau akan melihat pancaran ilmu itu dan
mudah-mudahan kau segera dapat menyesuaikan dirimu. Namun hati-hatilah. Yang
kita lawan bersama-sama adalah Ki Tambak Wedi. Iblis yang tiada taranya di
dunia ini.”
Pandan Wangi
menganggukkan kepalanya.
“Baiklah.
Persiapkan dirimu lahir dan batin. Agaknya kita akan segera mulai.”
Dalam pada
itu, Samekta pun telah melaporkan, bahwa
para petugas telah melihat kedatangan pasukan, Ki Tambak Wedi. Tanda-tanda
telah mereka berikan.
“Apakah kau
yakin bahwa mereka akan benar-benar menyerang, atau hanya sekedar
menakut-nakuti seperti biasanya?” bertanya Ki Argapati.
Samekta
menggelengkan kepalanya,
“Kami di sini
belum tahu, Ki Gede. Tetapi kami sudah siap menghadapi segala kemungkinan.”
“Baiklah. Kau
harus memberikan laporan setiap ada perkembangan baru.”
“Ya, Ki Gede.
Wrahasta selalu berada di atas pelanggrangan di samping regol.”
“Kerti?”
“Ia berada di
antara para pengawal regol itu. Sepasukan kecil di tempat pengungsian kali ini
dipimpin oleh orang lain.”
“Tempatkan
diri masing-masing dalam keadaan yang baik, di tempat-tempat seperti yang telah
kita bicarakan.”
“Baik, Ki
Gede.”
Sepeninggal
Samekta, Ki Gede pun segera membenahi
pakaiannya. Sebuah bayangan yang kelam melintas di kepalanya. Hari depan Tanah
ini. Tanpa sesadarnya Ki Gede berdesah.
“Kenapa tanah
perdikan yang dibinanya ini harus mengalami benturan di antara kadang sendiri,
sehingga mengguncang seluruh tata kehidupan yang ada di dalamnya?”
“Aku tidak
dapat selalu menyalahkan orang lain,” berkata Ki Gede itu di dalam hatinya,
“kalau aku
mampu mengikat setiap hati dari rakyat Menoreh, betapa pun mereka dibujuk dan dihasut, mereka tidak
akan berpihak kepada orang lain. Tetapi ternyata bahwa sebagian dari rakyat
Menoreh tidak dapat bertahan di tempatnya. Mereka telah berpaling kepada
janji-janji yang diberikan oleh orang lain. Dan itu pertanda, bahwa perbawa dan
pengaruhku sebagai pengikat Tanah ini masih jauh daripada sempurna.”
Sekilas Pandan
Wangi menatap wajah ayahnya yang suram, ia tahu bahwa ayahnya sedang diliputi
oleh kabut penyesalan. Karena itu, Pandan Wangi tidak mengganggunya. Bahkan ia
sendiri dengan bersusah payah, sedang berusaha mengatasi gejolak di dalam
dadanya.
“Apakah pada
suatu saat aku akan berhadapan dengan Kakang Sidanti? Atau dengan Paman
Argajaya?”
Pandan Wangi
menarik nafas dalam-dalam. Tetapi menurut ketentuan, yang telah disetujui
bersama, ia tidak akan berhadapan dengan keduanya. Ia harus mendampingi ayahnya
melawan Ki Tambak Wedi. Dada Pandan Wangi menjadi berdebar-debar. Ia mengerti
benar, siapakah Ki Tambak Wedi. Dan sebentar lagi ia harus bertempur
melawannya, meskipun di samping ayahnya. Sekali-kali dipandanginya kedua orang
yang duduk diam sambil menimang cambuk. Yang seorang kadang-kadang
tersenyum-senyum sendiri, sedang yang lain mengangguk-anggukkan kepalanya.
Agaknya mereka sedang merenungi jenis senjata yang berada di tangan mereka.
“Apakah Ki
Hanggapati dan Ki Dipasanga dapat memenuhi harapan kita bersama?” pertanyaan
itu selalu mengganggu perasaan Pandan Wangi.
“Tetapi
keduanya adalah prajurit-prajurit Pajang. Mudah-mudahan mereka dapat
menempatkan dirinya. Tetapi lawan yang dihadapinya kali ini adalah orang-orang
yang tangguh.”
Dalam pada
itu, di pategalan tidak terlampau jauh dari padukuhan itu, sepasukan pengawal
Tanah Perdikan Menoreh yang lain sedang menunggu pula perkembangan keadaan.
Mereka pun telah melihat tanda yang melontar di udara. Dan mereka pun hampir menjadi yakin, bahwa malam ini
mereka harus bertempur mati-matian. Di antara mereka, gembala tua dan kedua
anak-anaknya duduk sambil berbicara tentang berbagai kemungkinan bersama para
pemimpin kelompok pasukan Menoreh. Namun mereka menjadi tercengang-cengang
ketika gembala tua itu mengambil sesuatu dari kantongnya kemudian melekatkannya
di bawah hidungnya.
“He. Apakah itu,
Kiai?” bertanya seseorang.
“Apakah kumis
Kiai sendiri tidak dapat tumbuh?”
Gembala itu
tersenyum. Jawabnya,
“Aku mengharap
dengan kumis setebal ini, aku menjadi lebih garang, sehingga apabila aku
bertemu dengan lawanku nanti, sebelum aku mulai bertempur mereka telah lari
terbirit-birit.”
Betapa dada
mereka dicengkam oleh ketegangan, namun beberapa di antara mereka sempat juga
tertawa berkepanjangan. Salah seorang dari mereka berkata,
“Begitu
mudahnya, Kiai? Bagaimana kalau kita semua memakai kumis palsu sebesar itu?
Apakah musuh kita nanti akan segera menarik diri sebelum bertempur?”
Kawan-kawannya
serentak tertawa pula. Gembala tua itu pun tertawa.
“Apakah akan
kita coba?” bertanya gembala itu. Mereka pun tertawa semakin keras, sementara
orang tua itu telah melekatkan kumisnya dengan perekat yang dibawanya di dalam
kantong ikat pinggangnya.
“Apakah kumis
itu nanti tidak akan rontok?” bertanya yang lain.
“Kalau terjadi
demikian, maka musuh yang telah lari itu akan segera datang kembali.”
Gembala tua itu
masih saja tertawa. Jawabnya,
“Perekatku
adalah sebangsa getah yang sangat baik. Kalau tidak dihapus dengan minyak, aku
kira sampai tiga hari masih akan melekat juga.” Orang tua itu berhenti sejenak.
Lalu,
“Siapakah yang
akan mencoba?”
“Ah, lebih baik
tidak,” jawab yang lain lagi.
“Kalau
kawan-kawanku tidak mengenal aku lagi, maka jangan-angan leherku akan
dicekiknya sendiri.”
Gembala tua
itu tertawa. Kemudian diberikannya sepasang jambang kepada Gupala,
“Kau pakai
jambang ini. Wajahmu terlampau kekanak-kanakan. Dengan jambang ini, kau
bertambah dewasa dan mempunyai kesan seorang pengawal.”
Gupala tidak
menyahut. Diterimanya saja sepasang jambang itu. Kemudian dilekatkannya di
kedua pipinya.
“Kau mirip
seorang pemimpin perompak,” desis Gupita.
Gupala
mengerutkan keningnya. Tetapi kemudian ia
pun tertawa. Katanya,
“Apakah yang
harus dipakai oleh Kakang Gupita, supaya wajahnya tidak sesayu itu.”
“Janggut. Kau
pakai janggut bercabang ini. Kesannya akan sangat menakutkan?”
Gupita
mengangguk-angguk. Meskipun ia tidak begitu senang, tetapi dipakainya juga
janggut itu. Ia mengerti benar maksud gurunya. Kenapa mereka harus memakai
bermacam-macam samaran itu. Dalam hiruk-pikuk pertempuran, maka samaran yang
sepintas sudah akan mengaburkan bentuknya yang sebenarnya.
Orang-orang
yang melihat mereka bertiga itu pun tidak dapat menahan tertawa mereka. Bahkan
salah seorang berkata,
“Apakah kalian
tidak yakin kepada kemampuan kalian sendiri, sehingga kalian memerlukan segala
macam permainan itu? Kenapa kalian tidak memakai topeng raksasa atau topeng jin
sama sekali?”
Ketiganya
tersenyum. Tetapi mereka tidak menyahut. Mereka asyik membetulkan letak samaran
di wajah-wajah mereka.
“Nah,” berkata
gembala tua itu,
“sekarang aku
adalah seorang yang pasti akan menggetarkan lawan-lawanku.” Lalu kepada kedua
anak-anaknya ia berkata,
“Kalian pun
kini menjadi semakin meyakinkan untuk turun di medan peperangan.”
Gupala dan
Gupita tersenyum, betapa kecut senyumnya.
Mereka harus
menyesuaikan dari dengan sifat gurunya, sehingga karena itu, maka mereka pun tidak dapat berbuat lain daripada
mengotori wajah-wajah mereka dengan sebangsa ijuk yang lembut itu, dan
membiarkan orang yang melihatnya tertawa berkepanjangan. Namun suara tertawa
mereka itu pun segera terputus ketika pengawas yang ada di luar pategalan
berkata lantang,
“He. Lihat.
Panah api tiga kali berturut-turut. Pengawas terakhir di depan pertahanan kita
telah melihat pasukan lawan. Agaknya pasukan Ki Tambak Wedi sudah dekat.”
Gembala tua
itu segera berdiri dan berjalan ke luar pategalan. Tetapi ia sudah tidak
melihat panah api tiga kali berturut-turut itu.
“Kali ini
agaknya Ki Tambak Wedi mempergunakan gelar yang lain dari yang dipakainya sehari-hari,”
gumam gembala tua itu.
“Kali ini
mereka sama sekali tidak membawa obor.”
Gupita dan
Gupala yang berdiri di sampingnya mengangguk-anggukkan kepala mereka.
“Ya,” hampir
bersamaan keduanya menyahut.
“Kalau begitu
kita harus segera bersiap. Mungkin kita harus segera berbuat sesuatu.”
Pemimpin
pasukan kecil itu pun segera
mempersiapkan diri mereka. Agaknya pasukan Ki Tambak Wedi telah menjadi semakin
dekat. Setiap saat akan dilihatnya tanda-tanda dari padukuhan itu, bahwa mereka
harus mulai bergerak. Gupala dan Gupita pun telah mempersiapkan diri mereka.
Tetapi kali ini mereka tidak bersenjata cambuk, meskipun cambuknya tidak lepas
dari lambungnya. Namun di peperangan nanti mereka harus bersenjata pedang.
“Sudah agak
lama aku tidak berpedang lagi,” desis Gupala sambil menimang-nimang pedangnya.
“Apalagi
pedang ini terlampau kecil.”
“Tidak, bukan
pedang itu yang terlampau kecil. Tetapi pedangmu yang bertangkai gading itulah
yang bukan pedang biasa.”
Gupala
mengerutkan keningnya. Ia lalu menarik pedangnya, dan mempermainkan sejenak.
Diputar-putarnya pedang di tangannya sambil berdesis,
“Mudah-mudahan
aku masih mampu menggerakkan pedang.” Tetapi kemudian ia pun tersenyum ketika ia melihat gurunya
mengawasinya.
“Tanganku
menjadi kaku,” desisnya.
“Hanya
sebentar. Nanti akan segera biasa kembali setelah kau menggerakkannya beberapa
lama,” jawab gurunya.
“Asal saat
yang sebentar itu bukan berarti kesempatan bagi lawan untuk membelah dada ini,”
desis Gupala.
Gurunya mengerutkan
keningnya. Jawabnya,
“Tanpa
senjata pun kau harus siap maju ke medan
perang.”
Gupala menarik
nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak menyahut lagi. Dilontarkannya pandangan
matanya ke dalam gelapnya malam. Sambil menyarungkan pedangnya ia berdesis,
“Di sana nanti
akan meloncat panah-panah api yang akan memberikan tanda-tanda kepada kita.”
Gurunya pun kemudian memandang ke dalam kegelapan itu
pula. Namun sejenak kemudian ia melangkah masuk lagi ke dalam pategalan.
“Aku akan menunggu
sambil duduk. Waktu yang kita nantikan tidak terbatas. Mungkin sampai tengah
malam Ki Tambak Wedi baru mulai bergerak, bahkan mungkin tidak sama sekali.”
Gupita dan
Gupala pun mengikutinya pula. Sejenak Gupita masih menggerakkan pedangnya,
namun sejenak kemudian pedang itu disarungkannya pula.
Tanda yang
terakhir itu ternyata telah dilihat pula oleh Wrahasta di atas pelanggerangan
di samping regol darurat. Karena itu, maka setiap orang di dalam lingkungan
pertahanannya harus segera mempersiapkan dirinya. Semua peralatan telah
diperiksa, dan semua dada telah menjadi berdebar-debar. Ki Argapati yang telah
mendengar laporan tentang tanda itu pun
menjadi berdebar-debar pula. Sekali-sekali dipandanginya wajah puterinya yang
menunduk, kemudian wajah-wajah pemimpin-pemimpin pasukannya. Akhirnya,
ditatapnya kedua wajah orang-orang baru yang tenang dan meyakinkan. Hanggapati
dan Dipasanga. Meskipun kemampuan orang-orang itu masih belum dapat dipercaya
sepenuhnya, namun kehadirannya telah memperingan tugasnya. Dan ia berterima
kasih kepada Sutawijaya yang bergelar Mas Ngabehi Loring Pasar, yang telah
mengirimnya kemari. Samekta pun kemudian
telah berada di depan regol pula. Dipandanginya kegelapan malam yang terhampar
di hadapannya. Tetapi ia tidak melihat sesuatu. Ternyata Ki Tambak Wedi
benar-benar ingin merayap mendekati pertahanan itu tanpa diketahui oleh
lawan-lawannya. Karena itu, maka Samekta pun segera memerintahkan untuk
memadamkan semua obor dan lampu di sekitar regol. Dengan demikian, maka keadaan
akan menjadi seimbang. Ki Tambak Wedi juga tidak akan segera dapat melihat
pertahanannya dengan jelas, bahkan mereka
pun harus memperhatikan arah dengan baik untuk dapat mencapai pintu
regol dengan tepat. Namun betapa pun gelapnya, mata yang tajam masih juga dapat
melihat bayangan-bayangan yang bergerak di tempat terbuka. Tetapi jarak
jangkaunya menjadi sangat terbatas. Demikian juga Samekta, Wrahasta dan juga Ki
Tambak Wedi sendiri. Tetapi sebagai seorang yang memiliki banyak kelebihan dari
orang lain, meskipun lampu-lampu di regol padukuhan itu dipadamkan, namun Ki
Tambak Wedi tidak kehilangan arah.
“Kita langsung
pergi ke depan regol itu,” perintahnya. Pasukannya pun merayap semakin dekat.
Meskipun mereka tidak kehilangan arah, namun Ki Tambak Wedi mengumpat pula,
“Licik. Mereka
sama sekali tidak memasang lampu sehingga kami tidak mempunyai ancar-ancar sama
sekali.”
Argajaya yang
dekat di sampingnya, tidak menjawab. Tetapi ia berkata di dalam hatinya,
“Mereka pun
mengharap kita membawa obor sebanyak-banyaknya, supaya mereka dapat membidik
setiap dahi dengan tepat.”
Pasukan Ki
Tambak Wedi itu semakin lama menjadi semakin dekat. Namun betapa pun juga mereka merayap dengan hati-hati,
tetapi akhirnya batang ilalang yang bergerak-gerak itu dapat juga dilihat oleh
Wrahasta dan Samekta. Samekta terkejut, ketika tiba-tiba saja pasukan Tambak
Wedi itu telah berada beberapa puluh langkah daripadanya. Karena itu, maka
dengan tergesa-gesa ia segera masuk ke dalam regol dan menutupnya kuat-kuat. Sejenak
kemudian telah tersebar kepada setiap pemimpin kelompok Pasukan Pengawal Tanah
Perdikan Menoreh bahwa musuh telah berada di depan hidung mereka. Karena itu,
maka semua orang telah bersiap di tempatnya masing-masing dengan kelengkapan
masing-masing pula.
“Awasi mereka
Wrahasta,” berkata Samekta kepada Wrahasta yang masih berada di tempatnya.
“Aku akan
menemui Ki Gede.”
“Baik,” jawab
Wrahasta, “aku akan memberitahukan apabila ada perkembangan yang cepat.”
Samekta
kemudian pergi sendiri menemui Ki Gede Menoreh, dan melaporkan apa yang
dilihatnya. Meskipun tidak begitu jelas, tetapi agaknya Ki Tambak Wedi telah
benar-benar mengerahkan segala kekuatan yang ada padanya. Pasukan segelar
sepapan kini telah berada di hadapan regol induk.
Ki Argapati
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kini benar akan terjadi benturan di antara
mereka. Siapa pun yang akan menang, maka
artinya tidak akan jauh berbeda. Kekuatan Menoreh akan jauh menjadi susut.
Meskipun demikian Ki Argapati tidak dapat melepaskan kekuasaannya begitu saja,
justru untuk kepentingan hari depan Tanah Perdikan ini.
“Apakah akan
jadinya apabila Tanah ini dikemudikan oleh orang-orang seperti Ki Tambak Wedi
itu?” katanya di dalam hati. Dan justru karena itulah maka ia bertahan
mati-matian. Bukan untuk kepentingan pribadinya, tetapi untuk tanah perdikan
ini sendiri.
Ki Argapati
pun kemudian mempersiapkan dirinya. Diperiksanya sekali lagi kain pembalut
lukanya yang dipasang oleh gembala tua itu. Kemudian obat yang diberikannya,
untuk mengatasi keadaan yang parah meskipun hanya berlaku untuk sementara.
“Rasa-rasanya
aku sudah sembuh benar-benar,” desisnya.
“Tetapi Ayah
masih belum sembuh dan belum pulih seperti sediakala,” Pandan Wangi
memperingatkan.
“Karena itulah
aku masih mempergunakan pembalut ini, dan aku masih selalu membawa obat yang
diberikan orang tua itu. Tetapi aku merasa bahwa aku sudah siap mengatasi
segala keadaan.” Kemudian kepada Samekta ia berkata,
“Marilah, aku
akan melihat pasukan Tambak Wedi.”
Ki
Argapati pun kemudian mempersilahkan Ki
Hanggapati dan Ki Dipasanga, bersama mereka ke regol padukuhan itu untuk
menyongsong lawan yang sebentar lagi akan datang.
Hanggapati dan
Dipasanga pun kemudian mengikutinya. Namun di halaman Hanggapati berbisik,
“Aneh-aneh
saja orang tua yang menyebut dirinya gembala itu. Kenapa aku harus bertempur
dengan senjata semacam ini? Aku tidak biasa mempergunakan senjata lentur,
meskipun aku diwajibkan dapat mempergunakan segala macam senjata.”
Dipasanga
tersenyum. Sambil menimang cambuknya ia berkata,
“Apabila
terpaksa, apa boleh buat. Cambuk ini akan aku letakkan, dan aku akan bertempur
dengan pedangku ini.”
Hanggapati pun tersenyum pula.
“Ya, itu
adalah cara yang paling baik. Bukankah maksud gembala tua itu hanya sekedar
menarik perhatian, bahwa ternyata yang memegang cambuk kali ini orang lain?
Karena gembala tua itu sendiri justru bersenjata bentuk lain.”
Dipasanga mengangguk-anggukkan
kepalanya.
“Orang tua itu
memang orang yang aneh. Seperti kata Angger Sutawijaya, ia senang mempergunakan
seribu nama dan seribu keadaan.”
Hanggapati
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak berbicara lagi. Mereka kini
telah berada beberapa langkah dari regol induk. Ternyata pasukan pengawal
Menoreh telah benar-benar siap menghadapi setiap kemungkinan. Mereka bukan saja
menyediakan segala macam senjata, tetapi mereka juga menyediakan air dan pasir.
Tidak mustahil bahwa orang-orang Ki Tambak Wedi akan mempergunakan panah-panah
api untuk berusaha membakar pertahanan pasukan pengawal. Namun Pasukan Pengawal
Menoreh itu pun telah menyediakan
panah-panah api pula yang akan mereka sebarkan ke barisan lawan, apabila mereka
telah sampai pada batas yang telah ditentukan. Ternyata di hadapan regol,
pasukan Menoreh telah menebarkan jerami-jerami kering dan bumbung-bumbung
minyak yang akan segera tumpah apabila disentuh kaki.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar