Jilid 042 Halaman 2


Ki Tambak Wedi, Sidanti, Argajaya, Ki Wasi, Ki Muni, dan Ki Peda Sura beserta beberapa orang yang lain mendengarkan laporan itu dengan darah yang bergolak. Mereka seakan-akan mendengarkan sebuah dongeng ngayawara yang tidak masuk di akal.
“Apakah semua penjaga tertidur?” bentak Sidanti yang tidak dapat menahan hati.
“Kami sudah berusaha untuk menahan mereka.”
“Bohong! Kalian pasti sedang lengah. Kalau tidak, hanya orang-orang gila sajalah yang percaya, bahwa sepasukan kecil orang-orang berkuda itu mampu memasuki regol.”
“Sebenarnyalah demikian. Beberapa kawan-kawan kami terluka.”
“Bohong, bohong!” Sidanti berteriak.
“Kalian pasti tertidur di gardu-gardu, sehingga kalian terlambat memberikan isyarat. Kalau kalian tidak terlambat, maka kalian pasti sempat memanggil pasukan pengawal yang bertugas di sana.”
“Kami sudah memanggil mereka. Mereka  pun telah mencoba mencegah pasukan berkuda itu. Tetapi mereka pun gagal pula.”
“Gila, gila! Kau mau main gila ya?” kemarahan Sidanti sama sekali tidak dapat ditahankannya lagi. Hampir saja ia meloncat menerkam peronda yang malang itu. Untunglah, bahwa Ki Tambak Wedi sempat mencegahnya.
“Katakan sekali lagi, apakah yang sebenarnya terjadi.”
Peronda itu menjadi gemetar. Kemudian diulanginya, menceriterakan apa yang sebenarnya telah terjadi.
“Di antara mereka terdapat beberapa orang bersenjata cambuk,” suara peronda itu  pun menjadi terputus-putus.
“Sejak pasukan itu keluar untuk pertama kalinya, di dalamnya sudah terdapat beberapa orang yang bersenjata cambuk. Tetapi di tempat-tempat yang lain, tidak ada peronda sebodoh kalian. Benar-benar tidak masuk akal, bahwa pasukan kecil itu dapat memasuki padukuhan induk ini.”
Peronda itu tidak menyahut lagi. Tetapi kepalanya menjadi semakin tunduk dalam-dalam.
“Guru,” berkata Sidanti kemudian, “aku akan mencari mereka.”
Ki Tambak Wedi menggelengkan kepalanya.
“Tidak ada gunanya. Mereka sudah menjadi semakin jauh. Kalau hal itu benar-benar terjadi, maka mereka pasti hanya akan sekedar lewat, membuat keributan dan mencoba membesarkan hati mereka sendiri. Sesudah itu mereka akan segera keluar lagi dari padukuhan induk.”
“Lalu, apakah kita akan membiarkan mereka berbuat sesuka hati?”
“Tentu tidak. Tetapi mereka pun tidak akan sempat berbuat sesuka hati. Mereka hanya sekedar memanfaatkan saat yang sekejap, selagi para penjaga terkejut dan termangu-mangu.”
“Hanya orang-orang gila saja yang berani berbuat demikian. Bahayanya terlampau besar, dan hasilnya sama sekali tidak banyak berarti.”
“Ternyata mereka adalah orang-orang gila itu.”

Sidanti menggeram. Kemarahannya benar-benar telah membakar ubun-ubunnya. Namun ia tidak sempat berbuat sesuatu. Pasukan berkuda itu pasti sudah menjauh. Yang dapat dilakukannya hanyalah menggeretakkan gigi sambil menghentakkan tinjunya. Wajah yang lain  pun menjadi tegang pula mendengar laporan itu. Mereka tidak dapat membayangkan, keberanian dari manakah yang telah mendorong mereka melakukan pekerjaan yang terlampau berbahaya itu? Namun ternyata, ada di antara mereka yang terpengaruh oleh peristiwa yang terjadi itu. Seperti beberapa orang pengawal yang melihat sendiri pasukan itu lewat, dan mendengar teriakan-teriakan mereka, maka beberapa orang pemimpin mulai dipengaruhi oleh perasaan cemas. Dengan kehadiran pasukan itu, maka ternyata bahwa kekuatan Argapati tidak menjadi lumpuh sama sekali seperti yang mereka sangka. Pasukan Argapati tidak menjadi berkecil hati, dan selalu saja berlindung di belakang pagar pring ori. Namun ternyata mereka tetap memiliki keberanian. Bahkan keberanian yang luar biasa. Ki Wasi dan Ki Muni ternyata tidak dapat menghindari pula sentuhan di dalam dada mereka. Seolah-olah mereka melihat Argapati sendiri sedang nganglang mengitari tanah perdikannya bersama sepasukan pengawal berkuda, seperti yang sering dilakukannya sebelum tanah perdikan ini dibakar oleh api ketamakan dan kedengkian. Ki Tambak Wedi yang mempunyai penglihatan cukup tajam itu segera menyadari, bahwa pengaruh kedatangan pasukan berkuda itu amat dalam pada pasukannya dan bahkan beberapa orang pemimpinnya. Karena itu, maka tiba-tiba ia berteriak,
“Siapkan seluruh pasukan besok pagi-pagi. Kita mengadakan persiapan. Besok sore kita hancurkan benteng pring ori itu, dan kita bakar seluruh padukuhan itu. Sekarang, seluruh pasukan tidak boleh kehilangan kepercayaan kepada diri sendiri. Kita harus berbagi, untuk mendatangi setiap pasukan, dan membesarkan hati mereka. Kita harus memberitahukan kepada mereka, bahwa pasukan berkuda itu hanya suatu perbuatan gila-gilaan yang tidak akan mempunyai akibat apa pun juga.”
Setiap orang di dalam pertemuan itu mengangguk-anggukkan kepala mereka. Namun ada juga di antara mereka yang menjadi ragu-ragu di dalam hati, meskipun keragu-raguan itu sama sekali tidak mereka ucapkan. Sejenak kemudian, maka pertemuan itu  pun segera berakhir. Mereka membagi diri dan menyebar ke segenap sudut, menemui pasukan-pasukan mereka yang tersebar di berbagai tempat. Meskipun para pemimpin itu mencoba untuk mempertahankan gairah dan keberanian anak buahnya, namun ketika sebagian dari mereka mendengar langsung dari kelompok-kelompok pasukan yang mengalami sendiri, justru merekalah yang menjadi ragu-ragu.
Tetapi betapa kebimbangan bergetar di dalam dada mereka, namun mulut-mulut mereka  pun berkata,
“Jangan hiraukan apa yang baru saja terjadi. Mereka sama sekali bukan pengawal-pengawal yang berani. Justru dengan demikian, kita dapat menilai, betapa liciknya pasukan Argapati itu. Mereka sekedar memanfaatkan saat-saat kita terkejut dan keheranan. Namun apabila kita sudah menyadari keadaan, mereka  pun segera lari.”
Para pengawal mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun di dalam hatinya mereka berceritera tentang apa yang telah mereka lihat. Orang-orang yang bersenjata cambuk di dalam pasukan berkuda itu, benar-benar orang-orang yang luar biasa.

Sementara itu, pasukan berkuda yang menjelajahi padukuhan induk itu pun telah sampai ke ujung lorong yang akan membawa mereka keluar. Pengalaman mereka kali ini benar-benar telah menyalakan kembali tekad mereka yang selama ini telah menjadi buram. Bahkan dada mereka serasa tidak lagi dapat menampung kebanggaan mereka, bahwa mereka telah melakukan sesuatu yang hampir-hampir tidak dapat dipercaya. Dengan pasukan yang kecil, menyusup di tengah-tengah sarang lawan yang telah bersiap untuk bertempur. Bahkan ketika mereka telah hampir sampai ke regol yang akan mereka lalui, salah seorang dari mereka berkata,
“Kita berbelok. Kita masih belum mengitari seluruh padukuhan induk.”
Pemimpin pasukan itu mengerutkan keningnya. Keinginan itu sama seperti keinginan yang menyala di dalam hatinya. Tetapi ia menyadari, bahwa mereka kini berada di sarang serigala yang sedang tidur. Apabila serigala itu terbangun, maka keadaan mereka akan sangat menjadi gawat. Bahkan tengara dan tanda-tanda sandi telah bergema memenuhi seluruh padukuhan induk itu. Para peronda di depan mereka itu  pun telah bersiap pula menyambut kedatangan mereka.
“Bagaimana, Kiai?” meskipun demikian ia masih juga bertanya.
“Jangan menuruti perasaan saja. Kita harus memperhitungkan setiap kemungkinan. Kita sudah tidak mendapat kesempatan lagi. Kini setiap kelompok pasukan pasti sudah siap menunggu kita lewat di depan barak-barak mereka masing-masing.”
“Ya,” sahut pemimpin pasukan.
“Juga di gardu di depan kita.”
Dan tiba-tiba Gupita yang berada di paling depan berdesis,
“Pintu regol telah ditutup.”
“He,” gurunya mengerutkan keningnya, “ya, pekerjaan kita menjadi agak berat.” Kemudian kepada pemimpin pasukan ia berkata,
“Lindungilah diri masing-masing dan kawan-kawan kalian yang terluka. Mungkin kita akan berhenti sejenak di depan regol itu. Biarlah anak-anakku yang membukanya, Mudah-mudahan tidak ada pasukan yang lebih kuat yang menyusul di belakang kita.”
Pemimpin pasukan itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Mereka kini akan menghadapi pertempuran, karena itu mereka harus berhenti sejenak, sementara Gupita dan Gupala harus membuka pintu gerbang itu, menerobos para penjaganya. Tetapi para pengawal berkuda dan gembala tua beserta kedua anak-anaknya itu terkejut, ketika tiba-tiba mereka mendengar kuda berderap di halaman sebelah, kemudian menjauh menyusur halaman, menyusup dari regol yang satu ke regol yang lain.
“Apakah itu?” bertanya pemimpin pasukan.
“Seorang penghubung. Ia pasti akan memberikan laporan bahwa kita berada di sini. Karena itu, cepat buka pintu itu,” sahut gembala tua.
Gupita dan Gupala yang mengerti akan tugasnya, segera meloncat turun dari kudanya, sementara yang lain  pun segera mendesak maju. Agaknya para peronda di gardu itu  pun telah siap menyambut kedatangan mereka.
“Tolong, pegang kendali kuda-kuda kami,” desis Gupita kepada salah seorang pengawal yang segera menangkap kendali kuda Gupita, dan seorang yang lain memegangi kendali kuda Gupala.
“Hati-hatilah,” pesan gembala tua itu, “aku akan melindungi kalian.”
Gupita dan Gupala mengangguk-anggukkan kepada mereka. Dan sejenak kemudian, dengan cambuk di tangan masing-masing, mereka  pun melangkah maju setapak demi setapak. Sementara itu, para penjaga regol itu  pun telah menebar dan mengepung mereka. Ternyata yang telah siap menyambut mereka bukan sekedar para peronda, tetapi sekelompok pengawal yang memang di tempatkan dekat dengan gardu-gardu. Sejenak kemudian, terdengar sebuah teriakan nyaring. Agaknya pemimpin pasukan yang bertugas di gardu itu telah meneriakkan aba-aba untuk segera menyerbu. Sejenak kemudian, maka mereka  pun segera mendesak maju. Tetapi lawan mereka adalah pasukan pengawal yang terlatih baik. Mereka telah mempelajari khusus cara-cara bertempur di atas punggung kuda. Dengan demikian, maka mereka  pun segera menyambut lawan-lawan mereka. Sejenak kemudian, kuda-kuda itu  pun telah berderap hilir mudik menyambar-nyambar di sepanjang jalan, sehingga para penjaga menjadi agak kebingungan. Kuda-kuda itu seakan-akan berubah menjadi semakin banyak berkeliaran tanpa putus-putusnya, sedang penunggang-penunggangnya memutar pedang-pedang mereka tak henti-hentinya. Sementara itu, Gupala dan Gupita melangkah maju mendekati regol yang tertutup. Mereka tidak akan dapat dengan mudahnya mendekati, karena beberapa orang sudah siap menunggu kedatangannya.
“Apakah kita tidak boleh melukai mereka?” desis Gupala.
Gupita tidak menyahut. Ia tahu benar arti pertanyaan Gupala. Gupala sama sekali tidak ingin mendengar jawabannya. Tetapi sebenarnya ia ingin mengatakan,
“Aku terpaksa melakukannya.”
Gupita menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak akan dapat mencegah Gupala. Bahkan mungkin ia sendiri akan melakukan hal yang serupa, apabila keadaan benar-benar memaksa. Dan agaknya keadaan akan benar-benar memaksanya.
Sejenak kemudian, maka Gupita dan Gupala itu  pun harus mempersiapkan diri. Beberapa orang maju bersama-sama, dan kemudian berpencaran. Sekali Gupita berpaling. Ia masih melihat gurunya bertempur melindungi beberapa orang yang agak terdesak oleh lawan yang lebih banyak. Tetapi agaknya Gupala sudah tidak sempat memperhatikan apa pun lagi. Sudah terlampau lama ia menahan ketegangan hati. Karena itu, maka tiba-tiba ia pun segera meloncat menyerang orang-orang yang bertebaran di sekitarnya. Sekali lagi Gupita menarik nafas dalam-dalam. Kini ia harus menyesuaikan diri, karena perkelahian sudah dimulai. Mereka berdua  pun kemudian segera menempatkan diri. Mereka harus berkelahi sambil bergeser mendekati regol, sehingga pada suatu ketika mereka harus membuka pintu regol itu. Maka sesaat kemudian, kedua cambuk di tangan anak-anak muda itu pun segera meledak-ledak. Mereka menyadari, bahwa mereka harus melakukannya secepat-cepatnya, sebelum penghubung yang pergi berkuda itu kembali dengan pasukan yang lebih besar. Apalagi apabila bersama-sama pasukan itu akan datang juga para pemimpin pasukan itu, termasuk Ki Tambak Wedi sendiri, Sidanti, Argajaya, dan siapa lagi. Dengan demikian, kedua anak-anak muda itu terpaksa berkelahi bersungguh-sungguh. Apalagi Gupala. Setiap ledakan cambuknya selalu menumbuhkan desah dan keluhan pada salah seorang lawannya. Sehingga dengan demikian, maka para pengawal regol itu menjadi semakin hati-hati. Mereka  pun kemudian bersama-sama menyerang dengan senjata masing-masing, dan bahkan ada di antara mereka yang melontarkan tombak-tombak mereka. Namun ternyata anak-anak muda yang memegang cambuk itu terlampau tangkas. Apalagi sesaat kemudian, seekor kuda datang menyambar-nyambar seperti seekor burung elang. Penunggangnya  pun membawa cambuk seperti kedua anak-anak muda itu. Dan cambuk itu  pun setiap kali melecut-lecut menyambar-nyambar. Bagaimanapun juga para pengawal itu bertempur mati-matian, namun mereka tidak dapat menahan kedua anak muda itu yang semakin lama semakin maju mendekati regol yang tertutup itu.
“Jangan biarkan mereka membuka regol itu,” teriak pemimpin peronda.

Tidak seorang  pun yang menjawab. Tetapi mereka tetap terdesak oleh ledakan cambuk-cambuk yang ujungnya seolah-olah bermata itu. Meskipun hanya ada tiga buah cambuk di dalam perkelahian itu, namun rasa-rasanya cambuk itu telah menyentuh setiap orang yang mencoba menahan kedua anak-anak muda itu. Ujung-ujung cambuk itu seakan-akan telah berubah menjadi segumpal kumpulan lebah yang terbang mengitari para pengawal regol itu, dan menyengat mereka di segala tempat. Punggung, leher, bahkan kening. Apalagi setiap sengatan pasti meninggalkan bekas yang pedih. Jalur-jalur merah, atau luka-luka yang menitikkan darah. Terlebih-lebih lagi adalah ujung cambuk Gupala. Kadang-kadang ia menghentakkan cambuknya sekuat-kuat tenaganya. Apabila ujung cambuk itu menyentuh tubuh lawamnya, maka kepingan-kepingan baja yang melingkar pada juntai cambuk itu seakan-akan telah menyobek kulit. Dengan demikian, meskipun hanya setapak demi setapak Gupala dan Gupita berhasil maju menyibak lawan-lawannya. Dengan sekuat tenaga mereka berusaha secepat-cepatnya mencapai regol itu. Namun dengan demikian, mereka terlampau sulit untuk mengendalikan diri. Tetapi apa boleh buat. Dan Gupala  pun selalu bergumam,
“Apa boleh buat. Apa boleh buat.”
Pertempuran di sudut jalan yang lain pun menjadi semakin ribut. Para pengawal berkuda agaknya berhasil mendesak lawan-lawannya, sehingga beberapa orang di antara mereka terpaksa berloncatan ke atas dinding halaman. Dan apabila kuda-kuda itu masih juga menyambar mereka, maka mereka terpaksa pula meloncat masuk ke dalam halaman. Namun sementara, itu penghubung berkuda yang meninggalkan regol jalan menuju ke induk pasukannya, telah memasuki regol halaman. Dengan nafas terengah-engah ia segera meloncat turun ketika ia melihat pemimpin pasukan induknya berdiri di halaman.
Pemimpin pasukan itu mengerutkan keningnya. Ia telah mendengar tanda-tanda yang bergema di seluruh padukuhan induk. Karena itu, maka kedatangan penghubung itu telah membuat hatinya berdebar-debar.
“Apa yang telah terjadi di tempat tugasmu?” bertanya pemimpin pasukan itu.
“Sepasukan berkuda,” jawab penghubung itu.
“Kenapa dengan pasukan berkuda itu?”
“Mereka akan keluar lewat regol tempat kami bertugas. Tetapi kami telah berhasil menutup regol itu, sehingga mereka terpaksa berhenti. Kini telah terjadi pertempuran di antara kami dan mereka.”
“Bagus. Kami sudah siap.”
“Kami memerlukan bantuan, supaya mereka tidak dapat lolos.”
“Kami akan mengirimkan sekelompok dari pasukan kami.” Pemimpin pengawal di induk pasukan itu pun segera mempersiapkan sekelompok pengawal untuk segera pergi ke tempat pertempuran. Sedang seorang penghubung yang lain telah di perintahkannya menyampaikan laporan itu ke rumah Kepala Tanah Perdikan. Ke tempat Ki Tambak Wedi dan para pemimpin yang lain sedang berbincang.
Kedatangan penghubung itu ternyata telah membuat darah Sidanti semakin bergolak. Dengan lantang ia berkata,
“Nah, apa kataku. Kalau sejak tadi aku diijinkan untuk mencari mereka, maka keadaan pasti tidak akan berlarut-larut.”
Ki Tambak Wedi mengerutkan keningnya. Katanya,
“Aneh, bahwa mereka masih ada di padukuhan induk ini.”
“Mereka sebenarnya sudah akan meninggalkan padukuhan ini, Kiai,” jawab penghubung itu.
“Tetapi seluruh pintu regol telah tertutup, sehingga mereka telah tertahan.”
“Bagus,” sahut Ki Tambak Wedi. Kemudian kepada Sidanti ia berkata,
“Pergilah. Lihatlah, siapa yang ada di antara mereka. Kalau mungkin tangkaplah pemimpinnya dan orang-orang yang dikabarkan bercambuk itu hidup-hidup.”
Sidanti tidak menunggu lebih lama lagi. Segera ia berlari keluar dan meloncat ke atas punggung kudanya yang selalu siap di halaman.
“He. Apakah kau akan pergi seorang diri?” bertanya Argajaya.
“Sepasukan pengawal telah dikirim lebih dahulu,” jawab Sidanti sambil melarikan kudanya.
Argajaya yang masih berdiri di tangga pendapa menjadi berdebar-debar. Ia tidak sampai hati melepaskan Sidanti sendiri. Karena itu, maka ia  pun segera meloncat ke punggung kudanya pula, dan lari menyusul anak muda itu.

Sementara itu, perkelahian di mulut jalan itu  pun menjadi semakin seru. Gupala dan Gupita semakin mendesak maju mendekati pintu regol. Beberapa langkah lagi ia akan mencapai selarak daun pintu yang melintang. Betapa pun juga, para penjaga itu mencoba mencegahnya, namun mereka sama sekali tidak berhasil. Mereka selalu harus menyibak, apabila serangan kedua anak-anak muda itu menjadi semakin cepat dan garang. Akhirnya Gupala menghentakkan cambuknya sekuat-kuat tenaganya. Beberapa orang yang tersentuh ujung cambuk itu terpelanting jatuh. Dengan demikian, maka kini terbuka kesempatan untuk meloncat mencapai pintu regol itu. Pemimpin penjaga yang melihat hal itu menjadi sangat marah. Dilepaskannya lawannya, seorang pengawal berkuda, dan dengan serta-merta ia meloncat untuk mencegah pintu itu dibuka. Demikian Gupala mencapai selarak pintu itu, maka ujung pedang pemimpin penjaga itu meluncur ke punggungnya. Tetapi ujung pedang itu tidak pernah dapat menyentuh tubuh Gupala. Gupita yang terperanjat melihat serangan yang tiba-tiba itu, hampir di luar sadarnya, dengan gerak naluriah, telah melecutkan cambuknya. Ketika ujung cambuk itu melilit leher pemimpin penjaga itu, Gupita menghentakkannya kuat-kuat, sehingga tubuh itu terputar seperti gasing. Kemudian pemimpin penjaga itu terpelanting jatuh di tanah. Yang terdengar kemudian adalah erang kesakitan. Sementara Gupala telah berhasil membuka selarak pintu. Gupita yang kemudian berdiri di belakangnya, melindunginya dari setiap serangan yang mencoba menggagalkan usaha itu. Namun sejenak kemudian dari kejauhan terdengar teriakan-teriakan lantang. Sekelompok pengawal berlari-lari mendekati regol yang kini telah terbuka itu.
“Jangan lepaskan, jangan lepaskan!” teriak mereka.
Gupala dan Gupita menjadi berdebar-debar. Sementara itu gembala tua itu  pun mengerutkan keningnya. Ternyata sekelompok pengawal dari pasukan induk itu telah datang.
“Cepat. Semua keluar regol,” desis gembala tua itu.
“Kalau kita terlambat, kita akan menemui kesulitan.”
Maka pemimpin pengawal berkuda itu  pun segera memerintahkan para pengawal untuk segera keluar regol. Betapa para penjaga menghalangi namun kuda-kuda itu  pun berhasil mendesak mereka menyibak. Sebab di punggung kuda itu terayun-ayun senjata-senjata para pengawal, apalagi lecutan-lecutan cambuk yang memekakkan telinga.
“Bawa kuda kami keluar!” teriak Gupala yang masih berdiri di pintu regol sambil mencegah para penjaga yang ingin menghalangi pasukan berkuda itu keluar.
Satu-satu kuda-kuda itu  pun kemudian menyusup keluar regol. Beberapa orang pengawal yang lain telah dengan sengaja menyimpan pedang mereka, dan mempergunakan cambuk-cambuk mereka menirukan gembala tua itu beserta kedua anak-anaknya. Sehingga dengan demikian, maka seolah-olah di dalam pasukan pengawal berkuda itu terdapat beberapa orang yang bersenjatakan cambuk. Dalam perkelahian yang ribut, para penjaga sulit untuk menemukan perbedaan kemampuan mereka mempergunakan senjata-senjata itu. Sementara itu sekelompok pengawal dari pasukan induk berlari-lari semakin kencang. Di antara mereka masih saja berteriak, “Tahankan sebentar! Jangan biarkan mereka lepas!”

Tetapi kuda-kuda itu sudah semakin banyak berada di luar regol. Meskipun demikian, pasukan itu datang sebelum ekor dari pasukan berkuda itu berhasil keluar dari regol. Beberapa orang yang berada di paling belakang, terpaksa memutar kuda-kuda mereka menghadapi sekelompok pasukan itu. Ternyata pengawal yang baru datang itu cukup banyak, sehingga penunggang-penunggang kuda itu agak mengalami kesulitan. Apalagi sebagian besar dari kawan-kawan mereka telah berada di luar regol. Tetapi dalam keadaan yang demikian, maka seekor kuda telah menyusup di dalam perkelahian itu dengan membawa gembala tua itu di punggungnya. Sambil memutar cambuknya ia berkata,
“Keluarlah. Kita harus segera keluar.”
Beberapa orang penunggang kuda itu menjadi ragu-ragu. Namun sekali lagi orang itu berkata,
“Cepat. Keluarlah.”
Kuda-kuda itu  pun menjadi semakin surut. Sedang di sisi pintu, Gupala dan Gupita masih juga berkelahi untuk menahan para penjaga yang ingin menutup pintu itu kembali. Sejenak kemudian, maka kuda yang terakhir selain gembala tua itu, telah keluar dari regol. Sementara itu, Gupala dan Gupita pun telah meloncat keluar pula, sementara kuda gembala itu mundur perlahan-lahan. Namun akhirnya kuda itu  pun berhasil keluar dari pintu. Beberapa orang yang akan mengejarnya, terpaksa terhenti di depan pintu, karena selangkah di luar mulut regol itu, sepasang cambuk meledak-ledak tidak henti-hentinya.
“Cepat. Ambil kuda kalian,” desis gembala tua itu,
“seorang demi seorang. Yang seorang lagi membantu aku menutup regol itu, supaya mereka tidak dapat keluar.”
“Cepatlah, Gupala,” berkata Gupita, “kemudian kau membantu guru, sementara aku mengambil kudaku.”
Gupala  pun kemudian segera meloncat berlari. Pengawal yang memegang kudanya masih menunggunya. Dengan serta-merta ia  pun segera meloncat ke punggung kuda itu, dan membawa kudanya kembali ke mulut regol untuk melindungi Gupita yang masih akan mengambil kudanya. Begitu Gupita meloncat ke punggung kudanya, maka ternyata mereka sudah tidak dapat membendung arus pengawal yang berdesakan di muka pintu itu. Bahkan ada di antara mereka yang memanjat dinding-dinding batu sebelah-menyebelah regol dan berloncatan keluar. Dengan senjata teracu-acu mereka pun segera menyerang para pengawal berkuda yang masih berkumpul di depan regol.
“Tinggalkan tempat ini,” gumam gembala tua itu, sementara pemimpin pasukan segera meneriakkan aba-aba.
Kuda-kuda itu berderap tepat pada saat pasukan pengawal itu menyerang mereka. Namun yang tertinggal hanya sekedar debu yang menghambur dari kaki-kaki kuda itu. Tetapi tepat pada saat itu, seekor kuda berlari seperti angin. Dengan lantangnya Sidanti, penunggang kuda itu, berteriak,
“Minggir, aku akan mengejar mereka.”
Beberapa orang berloncatan menepi. Ketika kuda itu lewat, setiap orang hanya dapat mengangakan mulut-mulut mereka tanpa dapat berbuat sesuatu. Belum lagi mereka sempat menarik nafas, sekali lagi seekor kuda yang membawa Argajaya menyusulnya. Tetapi sementara itu, pasukan berkuda itu sudah menjadi semakin jauh. Sidanti sudah tidak dapat melihat orang yang terakhir dari pasukan berkuda itu dengan jelas. Bahkan semakin lama menjadi semakin kabur oleh debu yang terhambur. Tetapi Sidanti tidak menghentikan kudanya. Ia berpacu terus mengikuti pasukan pengawal berkuda itu. Sementara Argajaya dengan cemas mencoba mengejarnya. Bagaimana pun juga kelebihan yang ada pada anak muda itu, namun akan sangat berbahaya sekali apabila ia harus bertempur melawan sekian banyak orang di dalam pasukan yang sedang di kejarnya. Karena Argajaya tidak segera dapat mencapai Sidanti, karena kuda-kuda mereka berpacu hampir sama kencangnya, maka terpaksa Argajaya itu pun berteriak memanggil.
“Sidanti. Sidanti.”
Tetapi Sidanti sama sekali tidak menghiraukannya. Ia masih saja berpacu dengan kencangnya.
“Sidanti!” teriak Argajaya kemudian, “Aku membawa pesan.”
Sidanti mengerutkan keningnya. Sekali ia berpaling, dan ketika sekali lagi ia mendengar Argajaya berteriak, ia mengurangi kecepatan kudanya sedikit. Dengan demikian, maka jarak mereka menjadi semakin pendek. Dan sejenak kemudian Argajaya telah berpacu di samping kuda Sidanti.
“Pesan dari siapa, Paman?”
“Aku hanya ingin memperingatkan kau Sidanti. Apakah kau akan mengejar pasukan itu? Kau seorang diri, bagaimanapun juga kau akan mengalami kesulitan, meskipun berdua dengan aku pun. Kita belum tahu, siapakah yeng ada di dalam pasukan itu. Bagaimana kalau justru Kakang Argapati sendiri, meskipun ia belum sembuh benar? Bukankah ia sudah nampak cukup kuat untuk berpacu di atas punggung kuda, karena ia kemarin telah turun pula ke medan?”
“Jadi apakah Paman menyangka aku gila?”
“Kenapa?”
“Bagaimana  pun juga aku mempunyai perhitungan, Paman,” desis Sidanti.
“Sudah tentu aku tidak akan bertempur seorang diri melawan mereka. Aku akan mengikuti mereka sampai padesan di depan kita. Mereka pasti akan tertahan oleh para pengawal di desa kecil itu. Nah, baru aku akan ikut serta.”
Argajaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Ternyata anak muda itu benar-benar cerdik. Karena itu maka katanya,
“Kalau begitu, aku ikut bersamamu.” Argajaya berhenti sejenak, lalu tiba-tiba ia bertanya,
“Tetapi bagaimana kalau ia tidak mengikuti jalan ini?”
“Hanya ada satu sidatan. Itu pun jalan kecil di tengah sawah. Aku kira mereka memilih jalan besar ini. Jalan yang cukup baik bagi kuda-kuda mereka.”
Argajaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi tiba-tiba Sidanti mengumpat habis-habisan. Ternyata pasukan berkuda yang dikejarnya itu, tidak memilih jalur jalan yang lapang ini. Ternyata mereka berbelok di jalan sidatan, meskipun jalan itu jauh lebih kecil dari jalan yang sedang dilaluinya.

“Kenapa kita mengambil jalan ini, Kiai?” bertanya pemimpin pasukan pengawal berkuda itu kepada gembala tua itu, yang menasehatkan kepadanya untuk mengambil jalan ini.
“Tanda-tanda bahaya itu pasti sudah di dengar oleh pengawal di desa di depan kita itu. Mereka pasti sudah bersiap. Dan kita pasti akan mengalami hambatan seperti pada saat kita melalui desa kecil di sebelah lain pada saat kita memasuki padukuhan induk ini. Kalau kita terpaksa berkelahi dan tertahan, maka kita tidak dapat membayangkan kemungkinan yang bakal terjadi atas pasukan ini. Beberapa orang kita telah terluka, bahkan ada yang agak parah. Dan kita tidak tahu pasti, siapakah yang berkuda mengejar kita itu. Kalau mereka berdua itu Ki Tambak Wedi dan Sidanti, maka pekerjaan kita akan menjadi terlampau berat.”
Pemimpin pasukan pengawal itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan ketika mereka berdua berpaling, orang tua itu berkata,
“Nah, agaknya kedua orang yang mengejar kita itu sudah berhenti di tikungan.”
Sebenarnya bahwa Sidanti dan Argajaya itu pun berhenti di jalan sidatan. Sambil mengumpat-umpat tidak habis-habisnya, Sidanti menghentak-hentakkan tangannya di pahanya.
“Kalau guru tidak melarang, aku pasti dapat menangkap mereka, meskipun hanya satu dua orang. Kita akan mendapat keterangan lebih banyak tentang pasukan yang bersembunyi di balik benteng pring ori itu.”
Argajaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia berkata,
“Pasukan itu benar-benar luar biasa. Keberaniannya hampir tidak masuk akal. Kita memang tidak akan menyangka, bahwa mereka akan langsung masuk ke padukuhan induk. Sehingga menurut dugaanku, pasukan itu dipimpin oleh Kakang Argapati sendiri. Bukan sekedar anak-anak ingusan seperti yang biasa mereka lakukan. Menakut-nakuti para peronda di gardu-gardu dengan cambuk-cambuk kuda yang sama sekali tidak berarti.”
Sidanti mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ia berkata,
“Marilah kita lihat di bekas-bekas pertempuran itu, Paman.”
Argajaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan mereka berdua pun kemudian berpacu kembali ke padukuhan induk. Mereka berdua berhenti ketika mereka memasuki regol. Sidanti dan Argajaya  pun segera turun dari kuda mereka dan menemui pemimpin penjaga regol itu. Namun ternyata pemimpin penjaga itu terluka parah di lehernya.
“Kenapa?” bertanya Sidanti.
“Cambuk,” jawabnya terengah-engah, “cambuk itu melilit leherku.”
Sidanti membelalakkan matanya. Luka itu bukan sekedar selingkar jalur merah. Tetapi leher itu seakan-akan tersobek.
“Panggil Ki Wasi atau Ki Muni. Tugasnya cukup banyak di sini,” perintah Sidanti.
Ketika seorang penghubung pergi memanggil dukun itu, maka Sidanti dan Argajaya dengan hati yang bertanya-tanya menyaksikan bekas pertempuran yang agaknya cukup seru. Beberapa orang telah terluka, dan bahkan ada yang cukup parah. Hampir tidak masuk akal, bahwa sepasukan kecil orang-orang berkuda itu mampu membuat keributan sedemikian dahsyatnya di gardu-gardu dan di regol-regol di ujung jalan.
Ketika Sidanti melihat pemimpin kelompok yang baru datang untuk memberikan bantuan ia bertanya,
“Apakah kalian selama ini tidur saja dan membiarkan orang-orang berkuda itu membantai kalian?”
“Mereka tidak terlampau dahsyat seperti yang kita duga,” berkata pemimpin pengawal.
“Benar juga, bahwa mereka hanya sekedar mempergunakan kesempatan selagi kita terkejut dan terheran-heran. Dan itulah kesalahan kita yang terbesar, yaitu menjadi heran dan ternganga-ganga melihat kegilaan orang-orang berkuda itu. Tetapi sebenarnyalah bahwa kami dari pasukan induk sama sekali belum mendapat kesempatan untuk bertempur. Kami belum tahu, apakah mereka benar-benar orang yang dapat dibanggakan di medan-medan peperangan yang sebenarnya.”
“Jadi kalian datang terlambat?” bertanya Argajaya.
“Ya. Agak terlambat.”
“Apakah kalian belum siap waktu penghubung dari regol penjagaan ini memberitahukan kedatangan orang-orang berkuda itu. Bukankah sebelumnya tanda-tanda dan tengara sudah bergema di seluruh padukuhan induk ini?”
“Kami sudah siap. Demikian kami mendengar berita kedatangan pasukan berkuda itu, kami segera berangkat.”
“Menurut laporan yang kami dengar, pintu regol ini telah berhasil di tutup.”
“Ya, mereka berhasil membuka pintu.”

Sidanti dan Argajaya saling berpandangan. Pasukan kecil ini ternyata adalah pasukan yang kuat dan terpercaya. Dalam waktu yang singkat, mereka berhasil menguasai selarak pintu dan membukakannya. Pada saat datang bantuan dari pasukan induk, mereka segera berhasil melarikan diri. Dan tiba-tiba saja Sidanti dan Argajaya menjadi curiga. Di dalam pasukan yang kecil itu pasti ada kekuatan-kekuatan yang luar biasa, yang membuat pasukan kecil itu seakan-akan menjadi terlampau kuat.
Tanpa sesadarnya, maka tiba-tiba Sidanti bertanya,
“Apakah benar-benar ada orang-orang bercambuk di antara mereka?”
“Sebagian terbesar yang menumbuhkan luka-luka pada kami adalah ujung-ujung cambuk itu,” jawab pemimpin penjaga yang masih terengah-engah.
“Ada berapa orang bercambuk di antara mereka?”
“Lima atau enam orang.”
Sidanti dan Argajaya mengerutkan keningnya. Dan tiba-tiba Sidanti mengumpat,
“Persetan! Benar juga kata guru. Mereka adalah orang-orang licik yang ingin mempergunakan cara-cara yang kasar untuk mempengaruhi keberanian kita. Mereka sengaja agar kita menyangka, bahwa orang-orang bercambuk itu berada di antara mereka. Tetapi yang paling mungkin, di antara mereka itu terdapat Argapati sendiri. Sehingga pasukan yang kecil itu dapat menimbulkan kesan yang mengerikan.” Sidanti berhenti sejenak. Lalu,
“Tetapi kita di sini bukan anak-anak yang dapat dikelabuhinya. Kita dapat membuat perhitungan-perhitungan. Sehingga kita tidak dapat diperbodohnya seperti kerbau yang paling dungu.”
Argajaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia sependapat dengan Sidanti. Karena itu maka katanya kemudian,
“Tidak ada alasan untuk berkecil hati. Kita sampaikan semuanya ini kepada Ki Tambak Wedi, apakah Ki Tambak Wedi itu sependapat dengan kita.”
Sidanti  pun mengangguk-anggukkan kepalanya pula. “Baiklah,” katanya.
Mereka berdua  pun segera meninggalkan tempat itu, kembali menemui Ki Tambak Wedi untuk melaporkan apa yang telah mereka saksikan. Dan ternyata Ki Tambak Wedi  pun sependapat pula dengan mereka.
“Kita memang tidak boleh menunda terlampau lama. Kita harus segera menghancurkan mereka. Meskipun Ki Argapati telah kuat untuk berpacu di atas punggung kuda, namun ia pasti masih belum akan mampu bertempur terlampau lama. Aku akan mencoba memancingnya dalam perkelahian yang lama, sehingga lukanya itu terasa mengganggunya,” berkata Ki Tambak Wedi.
“Karena itu semua persiapan harus segera diselesaikan. Kita harus siap melawan lontaran-lontaran lembing dan anak panah. Karena itu, kita harus menyiapkan perisai-perisai itu sebaik-baiknya. Setiap kelengahan akan sangat merugikan kita. Kalau kita benar-benar menyiapkan diri, maka kita akan dapat memastikan, benteng pring ori itu akan menjadi karang abang. Kita akan memasukinya dan kita akan menghancurkan semuanya. Kita jangan memberi kesempatan mereka mundur dan menemukan tempat-tempat baru untuk bertahan.”
Para pemimpin pasukan Ki Tambak Wedi itu  pun mengangguk-anggukkan kepala mereka. Dan sejenak kemudian mereka telah menyebar lagi ke pasukan masing-masing.
“Beristirahatlah, Sidanti,” berkata Ki Tambak Wedi,
“tugasmu masih banyak.” Lalu kepada Argajaya,
“Dan apakah kau akan tinggal di sini atau kembali ke pasukan yang berada di rumahmu itu?”
“Ya aku akan kembali. Pasukan itu diperlukan besok, karena itu aku akan membawa pasukan yang ada di padukuhan itu kemari.”
“Bagus,” sahut Ki Tambak Wedi,
“aku pun akan minta demikian. Kita dapat memanggil beberapa perjagaan di daerah-daerah yang tersebar. Supaya kita mempunyai kekuatan yang cukup untuk menghancurkan pertahanan Argapati itu.”
“Aku akan meninggalkan beberapa orang secukupnya saja di padukuhan itu. Kalau kita besok menyerang, maka Argapati pun pasti akan memusatkan segenap kekuatannya. Pasukannya pasti tidak akan ada yang berkeliaran keluar.”
“Baiklah. Ambillah pasukan yang ada di padukuhanmu. Pasukan di padukuhan-padukuhan kecil yang lain pun harus ditarik besok siang. Kita himpun semua kekuatan yang ada, supaya kita tidak perlu mengulangi serangan itu. Kita harus menyelesaikan persoalan kita sendiri di atas Tanah ini lebih dahulu, sebelum pada suatu saat Pajang mendengarnya dan ikut mencampuri persoalan di dalam lingkungan kita ini.”
“Nah, aku minta diri,” berkata Argajaya,
“aku harus menyiapkan segala sesuatunya.”
Argajaya  pun kemudian meninggalkan padukuhan induk itu bersama sepuluh orang pengawalnya, kembali ke padukuhannya. Besok ia harus membawa seluruh pasukan yang ada di padukuhan itu, untuk bersama-sama dengan seluruh kekuatan yang ada berusaha menghancurkan pertahanan Ki Argapati.

Dalam pada itu pasukan berkuda yang baru saja memasuki padukuhan induk itu semakin lama menjadi semakin jauh. Ketika mereka yakin bahwa tidak ada lagi seorang pun, apalagi sepasukan lawan yang mengejar, maka mereka pun mulai memperlambat kuda-kuda mereka. Pemimpin pasukan itu mulai memperhatikan setiap orang yang terluka di dalam pasukannya, dan bagi mereka yang memerlukan, gembala tua itu memberikan obat yang dapat menolong untuk sementara.
“Tiga orang yang terluka parah, Kiai,” berkata pemimpin pasukan,
“sehingga mereka tidak lagi dapat berkuda sendiri. Meskipun ada juga yang lain yang cukup parah, namun mereka masih sanggup untuk bertahan. Apalagi yang hanya sekedar luka-luka karena goresan senjata di bagian anggota badan.”
“Lalu bagaimana yang tiga orang itu?”
“Aku sudah memerintahkan orang lain untuk melayaninya.”
Gembala tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Desisnya,
“Nanti aku akan mencoba mengobatinya. Mudah-mudahan mereka masih dapat bertahan sampai di padukuhan kita,”
“Mudah-mudahan.”
Maka mereka pun kemudian berusaha mempercepat kuda-kuda mereka. Kini bukan karena mereka harus menghindari lawan yang jauh lebih kuat, tetapi mereka ingin segera sampai ke pusat pertahanan mereka, agar yang terluka dapat segera diobati.
Namun ketika mereka sampai di sebuah bulak yang panjang, tiba-tiba gembala tua itu berkata kepada pemimpin pasukan,
“Dahululah bersama seluruh pasukan. Aku dan kedua anak-anakku akan singgah sebentar ke rumah untuk mengambil sesuatu.”
Pemimpin pasukan itu menjadi ragu-ragu sejenak. Namun gembala tua itu tersenyum sambil berkata,
“Jangan cemas. Jalan di depan kita cukup rata. Dan aku  pun akan segera menyusul.”
Pemimpin pasukan itu menganggukkan kepalanya,
“Tetapi jangan terlampau lama, Kiai. Bukan karena kami ketakutan apabila kami bertemu dengan lawan, tetapi kawan-kawan kami yang luka itu segera memerlukan pengobatan.”
“Ya. Aku akan segera menyusul.”
Gembala tua itu pun kemudian membawa kedua anaknya berbelok di satu tikungan. Mereka ingin kembali sebentar menjenguk rumah mereka.
“Apa yang akan kita ambil?” bertanya Gupala.
“Aku ingin bertemu dengan Angger Sutawijaya,” desis orang tua itu.
“Aku mendapat suatu pikiran baru. Aku mengharap, menurut perhitunganku, Argapati akan tetap memegang pimpinan atas tanah perdikan ini. Karena itu, sebaiknya Angger Sutawijaya sejak sekarang telah menunjukkan atau memberikan jasanya, sehingga dengan demikian maka Argapati akan merasa dirinya lebih dekat dengan Angger Sutawijaya daripada dengan Sultan Pajang.”
Gupala mengangguk-anggukkan kepalanya, sedang Gupita bertanya,
“Tetapi apakah mungkin akan ada pertentangan antara Pajang dengan Raden Ngabehi Loring Pasar itu?”
Gurunya menarik nafas dalam-dalam. Perlahan-lahan kepalanya di geleng-gelengkannya. Namun agaknya ia tidak yakin atas apa yang akan terjadi.
“Banyak sekali kemungkinan-kemungkinan itu,” desisnya.
“Mudah-mudahan tidak terjadi benturan-benturan lahir yang hanya akan menambah korban.”
Gupala dan Gupita kemudian tidak bertanya-tanya lagi. Mereka berpacu ke gubug mereka untuk menemui Sutawijaya dengan kedua pengiringnya. Sutawijaya yang sedang berbaring di dalam gubug gembala tua itu terkejut ketika didengarnya derap kuda mendekat. Segera ia meloncat bangkit sambil menyambar tombak yang disandarkannya pada dinding. Ketika ia berdiri di depan pintu, dilihatnya kedua pembantunya pun telah bersiap pula menunggu perkembangan keadaan. Mereka menjadi semakin berdebar-debar ketika ternyata derap kaki-kaki kuda itu menjadi semakin dekat. Namun mereka kemudian menjadi tenang ketika mereka mendengar ledakan cambuk yang memecah sepinya malam.
Sejenak kemudian, maka gembala tua beserta kedua anak-anaknya itu  pun telah turun dari kuda-kuda mereka. Sambil mengikatkan kuda-kuda itu pada sebatang pepohonan, gembala itu berkata,
“Aku sengaja memberikan tanda, agar Angger tidak terkejut atas kedatangan kami, karena kami kali ini berkuda.”
“Dada kami telah menjadi berdebar-debar,” berkata Sutawijaya.
“Aku sangka Ki Tambak Wedi telah mencium jejak kami dan bersama-sama dengan Argajaya dan Sidanti berusaha menangkap kami.”
Orang tua itu tersenyum.
“Ternyata dugaan itu meleset.” Katanya,
“Tetapi, apabila Angger tidak berkeberatan, aku ingin menyampaikan suatu pendapat yang barangkali baik bagi Angger.”
Sutawijaya mengerutkan keningnya.
“Aku hanya sebentar, Ngger. Mungkin Angger dapat segera memutuskan persoalan ini.”
Sorot mata Sutawijaya memancarkan berbagai macam pertanyaan.

Maka dengan singkat disampaikannya maksud gembala tua itu. Diberikannya beberapa macam pertimbangan yang cukup meyakinkan, setidak-tidaknya agar Argapati kelak tidak merintangi perkembangan Alas Mentaok. Sutawijaya mendengarkannya dengan penuh minat. Namun tampaklah bahwa ia masih saja dicengkam oleh ke ragu-raguan.
“Argapati adalah seorang yang keras hati menurut pendengaranku, Kiai,” berkata Sutawijaya.
“Ya, ia memang keras hati. Tetapi bukan berarti bahwa ia tidak berjantung. Kalau ia merasa, bahwa Angger telah ikut menolongnya, maka ia pasti mempunyai pertimbangan-pertimbangan lain.”
“Apakah Argapati dapat diharapkan menjual kesetiaannya dengan cara itu?”
Gembala tua itu menarik nafas dalam-dalam. Namun katanya,
“Memang mungkin Argapati berpendirian demikian, Ngger. Tetapi apakah sampai saat ini kita mengetahui sikap dan tanggapan Kepala Tanah Perdikan yang besar itu terhadap Sultan Pajang? Memang, ia tidak mau menentang Pajang dan melindungi anak serta adiknya, karena tingkah laku keduanya. Argapati pasti mempertimbangkan juga, peranan Ki Tambak Wedi yang lebih banyak dikuasai oleh nafsu daripada cita-cita.”
Sutawijaya tidak segera menyahut. Tampaklah kepalanya terangguk-angguk kecil. Meskipun demikian ia masih merenungi kata-kata gembala tua itu.
“Angger Sutawijaya,” berkata orang tua itu seterusnya,
“pertimbangan selanjutnya terserah kepada Angger. Tetapi menurut pertimbanganku, apakah salahnya Angger memperkenalkan diri kepada Ki Argapati?”
Sutawijaya masih belum menjawab. Meskipun tidak terucapkan ia mempunyai pertimbangan tersendiri. Apabila kini ia bersusah payah menyerahkan tenaganya, membantu dengan harapan agar Argapati kelak tidak mengganggu pertumbuhan Mentaok untuk menjadi sebuah kota, tetapi ternyata harapannya itu meleset, maka ia akan merasa tersinggung sekali. Tetapi untuk sama sekali tidak berbuat sesuatu dalam keadaan serupa itu, akan dapat menimbulkan jarak pula antara dirinya dengan Ki Argapati meskipun mereka belum saling bertemu. Kalau Ki Argapati kelak mengetahui, bahwa pada saat tanahnya sedang kemelut dibakar oleh api perpecahan, dan ia pada saat itu berada di Menoreh dan sama sekali tidak berbuat apa-apa, maka Argapati pun pasti akan mengambil sikap pula.
“Apakah Ayahanda Sultan Pajang akan berbuat sesuatu apabila Ayahanda mengetahui bahwa di atas tanah ini terjadi benturan di antara mereka?” ia bertanya di dalam hatinya.
“Apabila tiba-tiba saja Sultan Pajang mengirimkan bantuan kepada Argapati, maka kedudukanku pasti akan terdesak. Terdesak dari dua arah. Dari Timur dan dari seberang Kali Progo.”
Dalam kebimbangan itu terdengar gembala tua itu berkata,
“Waktuku hanya sebentar. Sedang pertentangan ini berkembang terlampau cepat. Mungkin bahkan malam ini Ki Tambak Wedi akan menyusul kami menyerang pemusatan pasukan Argapati. Tetapi mungkin juga besok pagi. Apakah Angger Sutawijaya sudah dapat mengambil keputusan?”

Sutawidiyaya menarik nafas dalam-dalam. Ia masih saja dicengkam oleh kebimbangan. Sejenak ditatapnya wajah gembala tua itu, kedua anak-anaknya dan kemudian kedua pengawalnya.
“Aku memerlukan kedua anak-anak muda itu kelak,” desisnya di dalam hati.
“Kalau mereka bersedia membantu aku, maka aku langsung akan menguasai daerah Sangkal Putung dan pasti juga Jati Anom. Jalur antara Mentaok, Alas Tambak Baya, Prambanan, Benda, Sangkal Putung, Macanan langsung ke Jati Anom akan aku kuasai.”
Akhirnya Sutawijaya itu pun mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Kiai, baiklah. Aku akan membantu Argapati. Tetapi bukan berarti bahwa aku sendirilah yang harus melakukannya. Biarlah kedua kawan-kawanku itu pergi bersama Kiai.”
Gembala tua itu mengerutkan keningnya. Sejenak dipandanginya kedua pengawal Sutawijaya itu. Sepercik keragu-raguan memencar di dalam sorot matanya.
“Kiai,” berkata Sutawijaya sambil tersenyum,
“keduanya adalah orang-orang kepercayaan Ayah Ki Gede Pemanahan. Mereka berdua adalah kawan-kawanku bermain-main. Jika ada perbedaan antara keduanya dan aku sendiri jarak itu tidak akan terlampau jauh. Meskipun keduanya masih juga belum dapat menyamai kedua gembala-gembala muda itu. Tetapi aku percaya kepada keduanya.”
“Ah,” salah seorang dari kedua pengawal itu berdesah,
“terima kasih atas pujian itu. Tetapi aku harap bahwa Kiai tidak akan kecewa apabila ternyata aku hanya dapat meloncat-loncat.”
Gembala tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia mencoba mengerti alasan Sutawijaya. Kenapa ia tidak mau langsung terjun ke medan pertentangan itu sendiri.
Namun orang tua itu kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Terima kasih. Hal ini pasti sudah akan membuat hubungan antara Mentaok kelak dengan Menoreh menjadi lebih baik. Meskipun kali ini Angger Sutawijaya sendiri belum langsung menanganinya, namun bantuan Angger ini pasti akan sangat berarti.”
Sutawijaya menarik nafas dalam-dalam.
“Maaf, Kiai,” jawabnya, “aku sendiri masih ingin beristirahat. Entahlah apabila nanti aku berubah pendirian. Tetapi kedua orang kawan-kawanku itu pasti akan sama artinya dengan aku sendiri.”
“Ya, demikianlah.”
“Nah,” berkata Sutawijaya kemudian kepada kedua kawannya,
“pergilah kalian mewakili aku.” Lalu kepada orang tua itu,
“Paman Hanggapati dan paman Dipasanga akan menempatkan dirinya di bawah perintah, Kiai. Tetapi ingat, Kiai, keduanya aku serahkan kepada Kiai, tidak kepada orang lain, sehingga tanggung jawab atas keduanya ada pada Kiai.”
Gembala tua itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian katanya,
“Baiklah, Ngger. Tetapi kehadiran keduanya akan menjadi suatu kenyataan, bahwa Angger telah berusaha mendekatkan diri. Bahkan Angger telah mulai menjalin hubungan yang baik antara Mentaok yang akan lahir dan Menoreh.”
“Mudah-mudahan, Kiai. Selanjutnya aku akan tetap berada di sini. Aku akan menunggui gubug ini, ketela pohon yang sudah mulai dapat diambil hasilnya, kambing-kambing, dan api.”
“Kenapa api?”
“Kambing-kambing itu memerlukan api.”
“Ah,” gembala tua itu tersenyum.
“Baiklah. Sekarang aku minta diri. Mudah-mudahan hubungan yang telah dirintis ini kelak akan berguna. Berguna bagi Angger Sutawijaya dan berguna bagi Argapati.”
“Mudah-mudahan, Kiai. Mudah-mudahan.”
“Baiklah. Kini aku minta diri. Waktuku terlampau sempit. Orang-orang yang terluka itu memerlukan bantuanku.”
“Silahkanlah, Kiai. Agaknya Kiai baru saja membawa sepasukan pengawal berkeliling daerah ini.”
“Ya, di antara mereka ada yang terluka parah.”

Gembala tua itu  pun kemudian meninggalkan Sutawijaya seorang diri karena kedua kawannya ikut bersamanya. Mereka terpaksa mempergunakan setiap ekor kuda untuk dua orang. Hanggapati bersama Gupala dan Dipasanga bersama Gupita. Dengan demikian maka laju kuda-kuda mereka tidak dapat terlampau cepat. Namun meskipun demikian akhirya mereka sampai juga ke mulut regol padukuhan yang dilingkari pring ori itu. Ternyata kedatangan mereka telah mengejutkan para penjaga. Bahkan Samekta yang ada di depan regol pun terkejut pula melihat gembala tua itu datang bersama orang baru lagi.
“Siapakah mereka?” bertanya Samekta.
“Kalian akan berterima kasih atas kedatangannya. Tetapi marilah kita bersama-sama menghadap Ki Argapati. Aku mempunyai sebuah ceritera tentang kedua kawan baruku ini.”
Samekta mengerutkan keningnya. Sebagai seorang yang bertanggung jawab atas pusat pertahanan ini, Samekta tidak segera menerima ajakan itu.
“Apakah Ki Samekta berkeberatan?” bertanya gembala tua itu.
“Bukan begitu, Kiai. Tetapi aku masih belum mengerti, apakah kepentingan Ki Sanak berdua ini untuk bertemu dengan Ki Argapati.”
“Itulah yang akan dikatakannya nanti. Aku kira Ki Argapati pun belum mengenal keduanya. Tetapi aku akan menjadi tanggungan, bahwa keduanya tidak akan berbuat sesuatu yang merugikan kita bersama.”
Samekta masih ragu-ragu. Bahkan sepercik pertanyaan membersit di dadanya,
“Apakah orang-orang ini tidak mungkin sengaja diselundupkan oleh Sidanti?”
Karena Ki Samekta masih ragu-ragu, maka gembala tua itu mencoba menjelaskannya,
“Kami akan memberikan beberapa keterangan. Kalau Ki Argapati tidak menghendaki, biarlah kedua kawan-kawanku ini meninggalkan padukuhan ini.”
Ki Samekta menarik nafas dalam-dalam. Sekali ia berpaling. Tetapi ia tidak melihat Wrahasta untuk dimintai pertimbangannya. Agaknya Wrahasta sedang beristirahat, atau bahkan mungkin sedang tidur karena ialah yang sedang bertugas malam ini. Baru setelah ia berpikir sejenak, maka berkatalah Samekta,
“Baiklah, marilah aku antarkan kalian menghadap Ki Argapati.”
Mereka  pun kemudian pergi ke pemondokan Ki Argapati. Meskipun malam semakin mendekati akhirnya, namun Samekta mencoba juga untuk masuk ke rumah dan menengok bilik Ki Argapati.
Derit pintu bilik itu, agaknya telah membangunkan Ki Argapati. Perlahan-lahan ia menyapa,
“Siapa di luar?”
“Aku, Ki Gede. Samekta.”
“O, masuklah.”
Samekta  pun kemudian melangkah masuk ke dalam bilik Ki Argapati. Dikatakannya semuanya tentang gembala tua itu beserta kedua kawan-kawannya yang baru. Sejenak Ki Argapati berpikir. Namun kemudian ia berkata,
“Aku percaya kepada gembala tua itu. Biarlah ia datang kemari.”
Kemudian gembala tua itu  pun segera dipersilahkannya masuk bersama kedua pengawal Sutawijaya. Sedang Gupala dan Gupita menunggu mereka di serambi depan.
“Marilah, Kiai,” berkata Ki Argapati,
“aku sudah mendengar laporan tentang pasukan berkuda itu. Aku sangat berterima kasih kepadamu. Sebab perjalanan ini ternyata telah memberikan dorongan yang luar biasa atas tekad dan gairah perjuangan anak-anak Menoreh. Bukan saja mereka yang ikut di dalam pasukan berkuda itu, tetapi ceritera mereka tentang perjalanan mereka ternyata mempunyai akibat yang sangat baik.”
“Terima kasih, Ki Gede. Tetapi sayang, bahwa di antara mereka ada yang terluka parah.”
“Ya, memang terlampau sulit untuk menghindarinya. Dalam permainan senjata kadang-kadang kita memang akan terdorong karenanya. Itu adalah akibat yang sangat wajar.”
“Dan aku  pun akan segera mengobati mereka.” berkata gembala tua itu. Kemudian,
“Namun sebelumnya aku ingin memperkenalkan kedua kawan-kawanku ini.”
Ki Argapati mengerutkan keningnya.
“Siapakah mereka itu?”
Gembala itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya,
“Apakah Ki Argapati pernah mengenal anak muda yang bernama Sutawijaya bergelar Mas Ngabehi Loring Pasar?”
Ki Argapati menganggukkan kepalanya.
“Ya. Aku pernah mendengar meskipun aku belum pernah mengenalnya dari dekat. Bukankah anak muda itu Putera angkat Sultan Hadiwijaya?”
“Tepat. Dan kedua orang ini adalah orang-orang kepercayaannya. Yang seorang bernama Hanggapati dan yang lain Dipasanga.”
“O,” Ki Argapati yang kemudian duduk di pinggir pembaringannya mengangguk-kan kepalanya.
“Maaf. Aku belum tahu sebelumnya.”
Kedua orang itu  pun mengangguk pula. Hanggapati menjawab,
“Kami  pun minta maaf, bahwa kami telah mengganggu Ki Gede.”
“Tidak,” gembala tua itulah yang memotongnya,
“kalian berdua sama sekali tidak menggangu.” Lalu kepada Ki Gede ia menceriterakan maksud kedatangan kedua orang itu. Meskipun ia sama sekali tidak mengatakan bahwa saat itu, Sutawijaya pun sedang berada di Menoreh.
“Keduanya diutus untuk melihat keadaan di Tanah Perdikan ini,” berkata gembala tua itu.
“Namun dalam keadaan yang kalut serupa ini, keduanya diberi wewenang untuk mengambil sikap. Sidanti dan Argajaya adalah orang-orang yang pernah secara langsung dan pribadi mempunyai persoalan dengan Angger Sutawijaya.”
Ki Argapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian jawabnya,
“Aku akan sangat berterima kasih sekali atas perhatian itu. Lalu, apakah yang akan kalian lakukan selanjutnya?”
Hanggapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Jawabnya,
“Aku akan menyerahkan tenagaku yang tidak berarti ini. Apakah yang akan dapat aku lakukan, dan sudah tentu demikian juga Adi Dipasanga, pasti akan kami lakukan.”
“Terima kasih. Aku akan sangat berterima kasih.” Kemudian Ki Gede berpaling kepada Samekta,


Halaman 1 2 3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar