Ki Tambak Wedi, Sidanti, Argajaya, Ki Wasi, Ki Muni, dan Ki Peda Sura beserta beberapa orang yang lain mendengarkan laporan itu dengan darah yang bergolak. Mereka seakan-akan mendengarkan sebuah dongeng ngayawara yang tidak masuk di akal.
“Apakah semua
penjaga tertidur?” bentak Sidanti yang tidak dapat menahan hati.
“Kami sudah
berusaha untuk menahan mereka.”
“Bohong!
Kalian pasti sedang lengah. Kalau tidak, hanya orang-orang gila sajalah yang
percaya, bahwa sepasukan kecil orang-orang berkuda itu mampu memasuki regol.”
“Sebenarnyalah
demikian. Beberapa kawan-kawan kami terluka.”
“Bohong,
bohong!” Sidanti berteriak.
“Kalian pasti
tertidur di gardu-gardu, sehingga kalian terlambat memberikan isyarat. Kalau
kalian tidak terlambat, maka kalian pasti sempat memanggil pasukan pengawal
yang bertugas di sana.”
“Kami sudah
memanggil mereka. Mereka pun telah
mencoba mencegah pasukan berkuda itu. Tetapi mereka pun gagal pula.”
“Gila, gila!
Kau mau main gila ya?” kemarahan Sidanti sama sekali tidak dapat ditahankannya
lagi. Hampir saja ia meloncat menerkam peronda yang malang itu. Untunglah,
bahwa Ki Tambak Wedi sempat mencegahnya.
“Katakan
sekali lagi, apakah yang sebenarnya terjadi.”
Peronda itu
menjadi gemetar. Kemudian diulanginya, menceriterakan apa yang sebenarnya telah
terjadi.
“Di antara
mereka terdapat beberapa orang bersenjata cambuk,” suara peronda itu pun menjadi terputus-putus.
“Sejak pasukan
itu keluar untuk pertama kalinya, di dalamnya sudah terdapat beberapa orang
yang bersenjata cambuk. Tetapi di tempat-tempat yang lain, tidak ada peronda
sebodoh kalian. Benar-benar tidak masuk akal, bahwa pasukan kecil itu dapat
memasuki padukuhan induk ini.”
Peronda itu
tidak menyahut lagi. Tetapi kepalanya menjadi semakin tunduk dalam-dalam.
“Guru,”
berkata Sidanti kemudian, “aku akan mencari mereka.”
Ki Tambak Wedi
menggelengkan kepalanya.
“Tidak ada
gunanya. Mereka sudah menjadi semakin jauh. Kalau hal itu benar-benar terjadi,
maka mereka pasti hanya akan sekedar lewat, membuat keributan dan mencoba
membesarkan hati mereka sendiri. Sesudah itu mereka akan segera keluar lagi
dari padukuhan induk.”
“Lalu, apakah
kita akan membiarkan mereka berbuat sesuka hati?”
“Tentu tidak.
Tetapi mereka pun tidak akan sempat berbuat sesuka hati. Mereka hanya sekedar
memanfaatkan saat yang sekejap, selagi para penjaga terkejut dan
termangu-mangu.”
“Hanya
orang-orang gila saja yang berani berbuat demikian. Bahayanya terlampau besar,
dan hasilnya sama sekali tidak banyak berarti.”
“Ternyata
mereka adalah orang-orang gila itu.”
Sidanti
menggeram. Kemarahannya benar-benar telah membakar ubun-ubunnya. Namun ia tidak
sempat berbuat sesuatu. Pasukan berkuda itu pasti sudah menjauh. Yang dapat
dilakukannya hanyalah menggeretakkan gigi sambil menghentakkan tinjunya. Wajah
yang lain pun menjadi tegang pula
mendengar laporan itu. Mereka tidak dapat membayangkan, keberanian dari manakah
yang telah mendorong mereka melakukan pekerjaan yang terlampau berbahaya itu? Namun
ternyata, ada di antara mereka yang terpengaruh oleh peristiwa yang terjadi
itu. Seperti beberapa orang pengawal yang melihat sendiri pasukan itu lewat,
dan mendengar teriakan-teriakan mereka, maka beberapa orang pemimpin mulai
dipengaruhi oleh perasaan cemas. Dengan kehadiran pasukan itu, maka ternyata
bahwa kekuatan Argapati tidak menjadi lumpuh sama sekali seperti yang mereka
sangka. Pasukan Argapati tidak menjadi berkecil hati, dan selalu saja
berlindung di belakang pagar pring ori. Namun ternyata mereka tetap memiliki
keberanian. Bahkan keberanian yang luar biasa. Ki Wasi dan Ki Muni ternyata
tidak dapat menghindari pula sentuhan di dalam dada mereka. Seolah-olah mereka
melihat Argapati sendiri sedang nganglang mengitari tanah perdikannya bersama
sepasukan pengawal berkuda, seperti yang sering dilakukannya sebelum tanah
perdikan ini dibakar oleh api ketamakan dan kedengkian. Ki Tambak Wedi yang
mempunyai penglihatan cukup tajam itu segera menyadari, bahwa pengaruh
kedatangan pasukan berkuda itu amat dalam pada pasukannya dan bahkan beberapa
orang pemimpinnya. Karena itu, maka tiba-tiba ia berteriak,
“Siapkan
seluruh pasukan besok pagi-pagi. Kita mengadakan persiapan. Besok sore kita
hancurkan benteng pring ori itu, dan kita bakar seluruh padukuhan itu.
Sekarang, seluruh pasukan tidak boleh kehilangan kepercayaan kepada diri
sendiri. Kita harus berbagi, untuk mendatangi setiap pasukan, dan membesarkan
hati mereka. Kita harus memberitahukan kepada mereka, bahwa pasukan berkuda itu
hanya suatu perbuatan gila-gilaan yang tidak akan mempunyai akibat apa pun
juga.”
Setiap orang
di dalam pertemuan itu mengangguk-anggukkan kepala mereka. Namun ada juga di
antara mereka yang menjadi ragu-ragu di dalam hati, meskipun keragu-raguan itu
sama sekali tidak mereka ucapkan. Sejenak kemudian, maka pertemuan itu pun segera berakhir. Mereka membagi diri dan
menyebar ke segenap sudut, menemui pasukan-pasukan mereka yang tersebar di
berbagai tempat. Meskipun para pemimpin itu mencoba untuk mempertahankan gairah
dan keberanian anak buahnya, namun ketika sebagian dari mereka mendengar
langsung dari kelompok-kelompok pasukan yang mengalami sendiri, justru
merekalah yang menjadi ragu-ragu.
Tetapi betapa
kebimbangan bergetar di dalam dada mereka, namun mulut-mulut mereka pun berkata,
“Jangan
hiraukan apa yang baru saja terjadi. Mereka sama sekali bukan pengawal-pengawal
yang berani. Justru dengan demikian, kita dapat menilai, betapa liciknya
pasukan Argapati itu. Mereka sekedar memanfaatkan saat-saat kita terkejut dan
keheranan. Namun apabila kita sudah menyadari keadaan, mereka pun segera lari.”
Para pengawal
mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun di dalam hatinya mereka berceritera
tentang apa yang telah mereka lihat. Orang-orang yang bersenjata cambuk di
dalam pasukan berkuda itu, benar-benar orang-orang yang luar biasa.
Sementara itu,
pasukan berkuda yang menjelajahi padukuhan induk itu pun telah sampai ke ujung
lorong yang akan membawa mereka keluar. Pengalaman mereka kali ini benar-benar
telah menyalakan kembali tekad mereka yang selama ini telah menjadi buram.
Bahkan dada mereka serasa tidak lagi dapat menampung kebanggaan mereka, bahwa
mereka telah melakukan sesuatu yang hampir-hampir tidak dapat dipercaya. Dengan
pasukan yang kecil, menyusup di tengah-tengah sarang lawan yang telah bersiap
untuk bertempur. Bahkan ketika mereka telah hampir sampai ke regol yang akan
mereka lalui, salah seorang dari mereka berkata,
“Kita
berbelok. Kita masih belum mengitari seluruh padukuhan induk.”
Pemimpin
pasukan itu mengerutkan keningnya. Keinginan itu sama seperti keinginan yang
menyala di dalam hatinya. Tetapi ia menyadari, bahwa mereka kini berada di
sarang serigala yang sedang tidur. Apabila serigala itu terbangun, maka keadaan
mereka akan sangat menjadi gawat. Bahkan tengara dan tanda-tanda sandi telah
bergema memenuhi seluruh padukuhan induk itu. Para peronda di depan mereka
itu pun telah bersiap pula menyambut
kedatangan mereka.
“Bagaimana,
Kiai?” meskipun demikian ia masih juga bertanya.
“Jangan
menuruti perasaan saja. Kita harus memperhitungkan setiap kemungkinan. Kita
sudah tidak mendapat kesempatan lagi. Kini setiap kelompok pasukan pasti sudah
siap menunggu kita lewat di depan barak-barak mereka masing-masing.”
“Ya,” sahut
pemimpin pasukan.
“Juga di gardu
di depan kita.”
Dan tiba-tiba
Gupita yang berada di paling depan berdesis,
“Pintu regol
telah ditutup.”
“He,” gurunya
mengerutkan keningnya, “ya, pekerjaan kita menjadi agak berat.” Kemudian kepada
pemimpin pasukan ia berkata,
“Lindungilah
diri masing-masing dan kawan-kawan kalian yang terluka. Mungkin kita akan
berhenti sejenak di depan regol itu. Biarlah anak-anakku yang membukanya,
Mudah-mudahan tidak ada pasukan yang lebih kuat yang menyusul di belakang
kita.”
Pemimpin
pasukan itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Mereka kini akan menghadapi
pertempuran, karena itu mereka harus berhenti sejenak, sementara Gupita dan
Gupala harus membuka pintu gerbang itu, menerobos para penjaganya. Tetapi para
pengawal berkuda dan gembala tua beserta kedua anak-anaknya itu terkejut,
ketika tiba-tiba mereka mendengar kuda berderap di halaman sebelah, kemudian
menjauh menyusur halaman, menyusup dari regol yang satu ke regol yang lain.
“Apakah itu?”
bertanya pemimpin pasukan.
“Seorang
penghubung. Ia pasti akan memberikan laporan bahwa kita berada di sini. Karena
itu, cepat buka pintu itu,” sahut gembala tua.
Gupita dan
Gupala yang mengerti akan tugasnya, segera meloncat turun dari kudanya,
sementara yang lain pun segera mendesak
maju. Agaknya para peronda di gardu itu
pun telah siap menyambut kedatangan mereka.
“Tolong,
pegang kendali kuda-kuda kami,” desis Gupita kepada salah seorang pengawal yang
segera menangkap kendali kuda Gupita, dan seorang yang lain memegangi kendali
kuda Gupala.
“Hati-hatilah,”
pesan gembala tua itu, “aku akan melindungi kalian.”
Gupita dan
Gupala mengangguk-anggukkan kepada mereka. Dan sejenak kemudian, dengan cambuk
di tangan masing-masing, mereka pun
melangkah maju setapak demi setapak. Sementara itu, para penjaga regol itu pun telah menebar dan mengepung mereka.
Ternyata yang telah siap menyambut mereka bukan sekedar para peronda, tetapi
sekelompok pengawal yang memang di tempatkan dekat dengan gardu-gardu. Sejenak
kemudian, terdengar sebuah teriakan nyaring. Agaknya pemimpin pasukan yang
bertugas di gardu itu telah meneriakkan aba-aba untuk segera menyerbu. Sejenak
kemudian, maka mereka pun segera
mendesak maju. Tetapi lawan mereka adalah pasukan pengawal yang terlatih baik.
Mereka telah mempelajari khusus cara-cara bertempur di atas punggung kuda.
Dengan demikian, maka mereka pun segera
menyambut lawan-lawan mereka. Sejenak kemudian, kuda-kuda itu pun telah berderap hilir mudik
menyambar-nyambar di sepanjang jalan, sehingga para penjaga menjadi agak
kebingungan. Kuda-kuda itu seakan-akan berubah menjadi semakin banyak
berkeliaran tanpa putus-putusnya, sedang penunggang-penunggangnya memutar
pedang-pedang mereka tak henti-hentinya. Sementara itu, Gupala dan Gupita
melangkah maju mendekati regol yang tertutup. Mereka tidak akan dapat dengan
mudahnya mendekati, karena beberapa orang sudah siap menunggu kedatangannya.
“Apakah kita
tidak boleh melukai mereka?” desis Gupala.
Gupita tidak
menyahut. Ia tahu benar arti pertanyaan Gupala. Gupala sama sekali tidak ingin
mendengar jawabannya. Tetapi sebenarnya ia ingin mengatakan,
“Aku terpaksa
melakukannya.”
Gupita menarik
nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak akan dapat mencegah Gupala. Bahkan mungkin
ia sendiri akan melakukan hal yang serupa, apabila keadaan benar-benar memaksa.
Dan agaknya keadaan akan benar-benar memaksanya.
Sejenak
kemudian, maka Gupita dan Gupala itu pun
harus mempersiapkan diri. Beberapa orang maju bersama-sama, dan kemudian
berpencaran. Sekali Gupita berpaling. Ia masih melihat gurunya bertempur
melindungi beberapa orang yang agak terdesak oleh lawan yang lebih banyak. Tetapi
agaknya Gupala sudah tidak sempat memperhatikan apa pun lagi. Sudah terlampau
lama ia menahan ketegangan hati. Karena itu, maka tiba-tiba ia pun segera
meloncat menyerang orang-orang yang bertebaran di sekitarnya. Sekali lagi
Gupita menarik nafas dalam-dalam. Kini ia harus menyesuaikan diri, karena
perkelahian sudah dimulai. Mereka berdua
pun kemudian segera menempatkan diri. Mereka harus berkelahi sambil
bergeser mendekati regol, sehingga pada suatu ketika mereka harus membuka pintu
regol itu. Maka sesaat kemudian, kedua cambuk di tangan anak-anak muda itu pun
segera meledak-ledak. Mereka menyadari, bahwa mereka harus melakukannya
secepat-cepatnya, sebelum penghubung yang pergi berkuda itu kembali dengan
pasukan yang lebih besar. Apalagi apabila bersama-sama pasukan itu akan datang
juga para pemimpin pasukan itu, termasuk Ki Tambak Wedi sendiri, Sidanti,
Argajaya, dan siapa lagi. Dengan demikian, kedua anak-anak muda itu terpaksa
berkelahi bersungguh-sungguh. Apalagi Gupala. Setiap ledakan cambuknya selalu
menumbuhkan desah dan keluhan pada salah seorang lawannya. Sehingga dengan
demikian, maka para pengawal regol itu menjadi semakin hati-hati. Mereka pun kemudian bersama-sama menyerang dengan
senjata masing-masing, dan bahkan ada di antara mereka yang melontarkan
tombak-tombak mereka. Namun ternyata anak-anak muda yang memegang cambuk itu terlampau
tangkas. Apalagi sesaat kemudian, seekor kuda datang menyambar-nyambar seperti
seekor burung elang. Penunggangnya pun
membawa cambuk seperti kedua anak-anak muda itu. Dan cambuk itu pun setiap kali melecut-lecut
menyambar-nyambar. Bagaimanapun juga para pengawal itu bertempur mati-matian,
namun mereka tidak dapat menahan kedua anak muda itu yang semakin lama semakin
maju mendekati regol yang tertutup itu.
“Jangan
biarkan mereka membuka regol itu,” teriak pemimpin peronda.
Tidak
seorang pun yang menjawab. Tetapi mereka
tetap terdesak oleh ledakan cambuk-cambuk yang ujungnya seolah-olah bermata
itu. Meskipun hanya ada tiga buah cambuk di dalam perkelahian itu, namun
rasa-rasanya cambuk itu telah menyentuh setiap orang yang mencoba menahan kedua
anak-anak muda itu. Ujung-ujung cambuk itu seakan-akan telah berubah menjadi
segumpal kumpulan lebah yang terbang mengitari para pengawal regol itu, dan
menyengat mereka di segala tempat. Punggung, leher, bahkan kening. Apalagi
setiap sengatan pasti meninggalkan bekas yang pedih. Jalur-jalur merah, atau
luka-luka yang menitikkan darah. Terlebih-lebih lagi adalah ujung cambuk
Gupala. Kadang-kadang ia menghentakkan cambuknya sekuat-kuat tenaganya. Apabila
ujung cambuk itu menyentuh tubuh lawamnya, maka kepingan-kepingan baja yang
melingkar pada juntai cambuk itu seakan-akan telah menyobek kulit. Dengan
demikian, meskipun hanya setapak demi setapak Gupala dan Gupita berhasil maju
menyibak lawan-lawannya. Dengan sekuat tenaga mereka berusaha secepat-cepatnya
mencapai regol itu. Namun dengan demikian, mereka terlampau sulit untuk
mengendalikan diri. Tetapi apa boleh buat. Dan Gupala pun selalu bergumam,
“Apa boleh
buat. Apa boleh buat.”
Pertempuran di
sudut jalan yang lain pun menjadi semakin ribut. Para pengawal berkuda agaknya
berhasil mendesak lawan-lawannya, sehingga beberapa orang di antara mereka
terpaksa berloncatan ke atas dinding halaman. Dan apabila kuda-kuda itu masih
juga menyambar mereka, maka mereka terpaksa pula meloncat masuk ke dalam
halaman. Namun sementara, itu penghubung berkuda yang meninggalkan regol jalan
menuju ke induk pasukannya, telah memasuki regol halaman. Dengan nafas
terengah-engah ia segera meloncat turun ketika ia melihat pemimpin pasukan
induknya berdiri di halaman.
Pemimpin
pasukan itu mengerutkan keningnya. Ia telah mendengar tanda-tanda yang bergema
di seluruh padukuhan induk. Karena itu, maka kedatangan penghubung itu telah
membuat hatinya berdebar-debar.
“Apa yang
telah terjadi di tempat tugasmu?” bertanya pemimpin pasukan itu.
“Sepasukan
berkuda,” jawab penghubung itu.
“Kenapa dengan
pasukan berkuda itu?”
“Mereka akan
keluar lewat regol tempat kami bertugas. Tetapi kami telah berhasil menutup
regol itu, sehingga mereka terpaksa berhenti. Kini telah terjadi pertempuran di
antara kami dan mereka.”
“Bagus. Kami
sudah siap.”
“Kami
memerlukan bantuan, supaya mereka tidak dapat lolos.”
“Kami akan
mengirimkan sekelompok dari pasukan kami.” Pemimpin pengawal di induk pasukan
itu pun segera mempersiapkan sekelompok pengawal untuk segera pergi ke tempat
pertempuran. Sedang seorang penghubung yang lain telah di perintahkannya
menyampaikan laporan itu ke rumah Kepala Tanah Perdikan. Ke tempat Ki Tambak
Wedi dan para pemimpin yang lain sedang berbincang.
Kedatangan
penghubung itu ternyata telah membuat darah Sidanti semakin bergolak. Dengan
lantang ia berkata,
“Nah, apa
kataku. Kalau sejak tadi aku diijinkan untuk mencari mereka, maka keadaan pasti
tidak akan berlarut-larut.”
Ki Tambak Wedi
mengerutkan keningnya. Katanya,
“Aneh, bahwa
mereka masih ada di padukuhan induk ini.”
“Mereka
sebenarnya sudah akan meninggalkan padukuhan ini, Kiai,” jawab penghubung itu.
“Tetapi
seluruh pintu regol telah tertutup, sehingga mereka telah tertahan.”
“Bagus,” sahut
Ki Tambak Wedi. Kemudian kepada Sidanti ia berkata,
“Pergilah.
Lihatlah, siapa yang ada di antara mereka. Kalau mungkin tangkaplah pemimpinnya
dan orang-orang yang dikabarkan bercambuk itu hidup-hidup.”
Sidanti tidak
menunggu lebih lama lagi. Segera ia berlari keluar dan meloncat ke atas
punggung kudanya yang selalu siap di halaman.
“He. Apakah
kau akan pergi seorang diri?” bertanya Argajaya.
“Sepasukan
pengawal telah dikirim lebih dahulu,” jawab Sidanti sambil melarikan kudanya.
Argajaya yang
masih berdiri di tangga pendapa menjadi berdebar-debar. Ia tidak sampai hati
melepaskan Sidanti sendiri. Karena itu, maka ia
pun segera meloncat ke punggung kudanya pula, dan lari menyusul anak
muda itu.
Sementara itu,
perkelahian di mulut jalan itu pun
menjadi semakin seru. Gupala dan Gupita semakin mendesak maju mendekati pintu
regol. Beberapa langkah lagi ia akan mencapai selarak daun pintu yang
melintang. Betapa pun juga, para penjaga itu mencoba mencegahnya, namun mereka
sama sekali tidak berhasil. Mereka selalu harus menyibak, apabila serangan
kedua anak-anak muda itu menjadi semakin cepat dan garang. Akhirnya Gupala
menghentakkan cambuknya sekuat-kuat tenaganya. Beberapa orang yang tersentuh
ujung cambuk itu terpelanting jatuh. Dengan demikian, maka kini terbuka
kesempatan untuk meloncat mencapai pintu regol itu. Pemimpin penjaga yang
melihat hal itu menjadi sangat marah. Dilepaskannya lawannya, seorang pengawal
berkuda, dan dengan serta-merta ia meloncat untuk mencegah pintu itu dibuka. Demikian
Gupala mencapai selarak pintu itu, maka ujung pedang pemimpin penjaga itu
meluncur ke punggungnya. Tetapi ujung pedang itu tidak pernah dapat menyentuh
tubuh Gupala. Gupita yang terperanjat melihat serangan yang tiba-tiba itu,
hampir di luar sadarnya, dengan gerak naluriah, telah melecutkan cambuknya.
Ketika ujung cambuk itu melilit leher pemimpin penjaga itu, Gupita
menghentakkannya kuat-kuat, sehingga tubuh itu terputar seperti gasing.
Kemudian pemimpin penjaga itu terpelanting jatuh di tanah. Yang terdengar
kemudian adalah erang kesakitan. Sementara Gupala telah berhasil membuka
selarak pintu. Gupita yang kemudian berdiri di belakangnya, melindunginya dari
setiap serangan yang mencoba menggagalkan usaha itu. Namun sejenak kemudian
dari kejauhan terdengar teriakan-teriakan lantang. Sekelompok pengawal
berlari-lari mendekati regol yang kini telah terbuka itu.
“Jangan
lepaskan, jangan lepaskan!” teriak mereka.
Gupala dan
Gupita menjadi berdebar-debar. Sementara itu gembala tua itu pun mengerutkan keningnya. Ternyata
sekelompok pengawal dari pasukan induk itu telah datang.
“Cepat. Semua
keluar regol,” desis gembala tua itu.
“Kalau kita
terlambat, kita akan menemui kesulitan.”
Maka pemimpin
pengawal berkuda itu pun segera
memerintahkan para pengawal untuk segera keluar regol. Betapa para penjaga
menghalangi namun kuda-kuda itu pun
berhasil mendesak mereka menyibak. Sebab di punggung kuda itu terayun-ayun
senjata-senjata para pengawal, apalagi lecutan-lecutan cambuk yang memekakkan
telinga.
“Bawa kuda
kami keluar!” teriak Gupala yang masih berdiri di pintu regol sambil mencegah
para penjaga yang ingin menghalangi pasukan berkuda itu keluar.
Satu-satu
kuda-kuda itu pun kemudian menyusup
keluar regol. Beberapa orang pengawal yang lain telah dengan sengaja menyimpan
pedang mereka, dan mempergunakan cambuk-cambuk mereka menirukan gembala tua itu
beserta kedua anak-anaknya. Sehingga dengan demikian, maka seolah-olah di dalam
pasukan pengawal berkuda itu terdapat beberapa orang yang bersenjatakan cambuk.
Dalam perkelahian yang ribut, para penjaga sulit untuk menemukan perbedaan
kemampuan mereka mempergunakan senjata-senjata itu. Sementara itu sekelompok
pengawal dari pasukan induk berlari-lari semakin kencang. Di antara mereka
masih saja berteriak, “Tahankan sebentar! Jangan biarkan mereka lepas!”
Tetapi
kuda-kuda itu sudah semakin banyak berada di luar regol. Meskipun demikian,
pasukan itu datang sebelum ekor dari pasukan berkuda itu berhasil keluar dari
regol. Beberapa orang yang berada di paling belakang, terpaksa memutar
kuda-kuda mereka menghadapi sekelompok pasukan itu. Ternyata pengawal yang baru
datang itu cukup banyak, sehingga penunggang-penunggang kuda itu agak mengalami
kesulitan. Apalagi sebagian besar dari kawan-kawan mereka telah berada di luar
regol. Tetapi dalam keadaan yang demikian, maka seekor kuda telah menyusup di
dalam perkelahian itu dengan membawa gembala tua itu di punggungnya. Sambil
memutar cambuknya ia berkata,
“Keluarlah.
Kita harus segera keluar.”
Beberapa orang
penunggang kuda itu menjadi ragu-ragu. Namun sekali lagi orang itu berkata,
“Cepat. Keluarlah.”
Kuda-kuda
itu pun menjadi semakin surut. Sedang di
sisi pintu, Gupala dan Gupita masih juga berkelahi untuk menahan para penjaga
yang ingin menutup pintu itu kembali. Sejenak kemudian, maka kuda yang terakhir
selain gembala tua itu, telah keluar dari regol. Sementara itu, Gupala dan
Gupita pun telah meloncat keluar pula, sementara kuda gembala itu mundur
perlahan-lahan. Namun akhirnya kuda itu
pun berhasil keluar dari pintu. Beberapa orang yang akan mengejarnya,
terpaksa terhenti di depan pintu, karena selangkah di luar mulut regol itu,
sepasang cambuk meledak-ledak tidak henti-hentinya.
“Cepat. Ambil
kuda kalian,” desis gembala tua itu,
“seorang demi
seorang. Yang seorang lagi membantu aku menutup regol itu, supaya mereka tidak
dapat keluar.”
“Cepatlah,
Gupala,” berkata Gupita, “kemudian kau membantu guru, sementara aku mengambil
kudaku.”
Gupala pun kemudian segera meloncat berlari.
Pengawal yang memegang kudanya masih menunggunya. Dengan serta-merta ia pun segera meloncat ke punggung kuda itu, dan
membawa kudanya kembali ke mulut regol untuk melindungi Gupita yang masih akan
mengambil kudanya. Begitu Gupita meloncat ke punggung kudanya, maka ternyata
mereka sudah tidak dapat membendung arus pengawal yang berdesakan di muka pintu
itu. Bahkan ada di antara mereka yang memanjat dinding-dinding batu
sebelah-menyebelah regol dan berloncatan keluar. Dengan senjata teracu-acu
mereka pun segera menyerang para pengawal berkuda yang masih berkumpul di depan
regol.
“Tinggalkan
tempat ini,” gumam gembala tua itu, sementara pemimpin pasukan segera
meneriakkan aba-aba.
Kuda-kuda itu
berderap tepat pada saat pasukan pengawal itu menyerang mereka. Namun yang
tertinggal hanya sekedar debu yang menghambur dari kaki-kaki kuda itu. Tetapi
tepat pada saat itu, seekor kuda berlari seperti angin. Dengan lantangnya
Sidanti, penunggang kuda itu, berteriak,
“Minggir, aku
akan mengejar mereka.”
Beberapa orang
berloncatan menepi. Ketika kuda itu lewat, setiap orang hanya dapat mengangakan
mulut-mulut mereka tanpa dapat berbuat sesuatu. Belum lagi mereka sempat
menarik nafas, sekali lagi seekor kuda yang membawa Argajaya menyusulnya. Tetapi
sementara itu, pasukan berkuda itu sudah menjadi semakin jauh. Sidanti sudah
tidak dapat melihat orang yang terakhir dari pasukan berkuda itu dengan jelas.
Bahkan semakin lama menjadi semakin kabur oleh debu yang terhambur. Tetapi
Sidanti tidak menghentikan kudanya. Ia berpacu terus mengikuti pasukan pengawal
berkuda itu. Sementara Argajaya dengan cemas mencoba mengejarnya. Bagaimana pun
juga kelebihan yang ada pada anak muda itu, namun akan sangat berbahaya sekali
apabila ia harus bertempur melawan sekian banyak orang di dalam pasukan yang
sedang di kejarnya. Karena Argajaya tidak segera dapat mencapai Sidanti, karena
kuda-kuda mereka berpacu hampir sama kencangnya, maka terpaksa Argajaya itu pun
berteriak memanggil.
“Sidanti.
Sidanti.”
Tetapi Sidanti
sama sekali tidak menghiraukannya. Ia masih saja berpacu dengan kencangnya.
“Sidanti!”
teriak Argajaya kemudian, “Aku membawa pesan.”
Sidanti
mengerutkan keningnya. Sekali ia berpaling, dan ketika sekali lagi ia mendengar
Argajaya berteriak, ia mengurangi kecepatan kudanya sedikit. Dengan demikian,
maka jarak mereka menjadi semakin pendek. Dan sejenak kemudian Argajaya telah
berpacu di samping kuda Sidanti.
“Pesan dari
siapa, Paman?”
“Aku hanya
ingin memperingatkan kau Sidanti. Apakah kau akan mengejar pasukan itu? Kau
seorang diri, bagaimanapun juga kau akan mengalami kesulitan, meskipun berdua
dengan aku pun. Kita belum tahu, siapakah yeng ada di dalam pasukan itu.
Bagaimana kalau justru Kakang Argapati sendiri, meskipun ia belum sembuh benar?
Bukankah ia sudah nampak cukup kuat untuk berpacu di atas punggung kuda, karena
ia kemarin telah turun pula ke medan?”
“Jadi apakah
Paman menyangka aku gila?”
“Kenapa?”
“Bagaimana pun juga aku mempunyai perhitungan, Paman,”
desis Sidanti.
“Sudah tentu
aku tidak akan bertempur seorang diri melawan mereka. Aku akan mengikuti mereka
sampai padesan di depan kita. Mereka pasti akan tertahan oleh para pengawal di
desa kecil itu. Nah, baru aku akan ikut serta.”
Argajaya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Ternyata anak muda itu benar-benar cerdik.
Karena itu maka katanya,
“Kalau begitu,
aku ikut bersamamu.” Argajaya berhenti sejenak, lalu tiba-tiba ia bertanya,
“Tetapi
bagaimana kalau ia tidak mengikuti jalan ini?”
“Hanya ada
satu sidatan. Itu pun jalan kecil di tengah sawah. Aku kira mereka memilih
jalan besar ini. Jalan yang cukup baik bagi kuda-kuda mereka.”
Argajaya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi tiba-tiba Sidanti mengumpat
habis-habisan. Ternyata pasukan berkuda yang dikejarnya itu, tidak memilih
jalur jalan yang lapang ini. Ternyata mereka berbelok di jalan sidatan,
meskipun jalan itu jauh lebih kecil dari jalan yang sedang dilaluinya.
“Kenapa kita
mengambil jalan ini, Kiai?” bertanya pemimpin pasukan pengawal berkuda itu
kepada gembala tua itu, yang menasehatkan kepadanya untuk mengambil jalan ini.
“Tanda-tanda
bahaya itu pasti sudah di dengar oleh pengawal di desa di depan kita itu.
Mereka pasti sudah bersiap. Dan kita pasti akan mengalami hambatan seperti pada
saat kita melalui desa kecil di sebelah lain pada saat kita memasuki padukuhan
induk ini. Kalau kita terpaksa berkelahi dan tertahan, maka kita tidak dapat membayangkan
kemungkinan yang bakal terjadi atas pasukan ini. Beberapa orang kita telah
terluka, bahkan ada yang agak parah. Dan kita tidak tahu pasti, siapakah yang
berkuda mengejar kita itu. Kalau mereka berdua itu Ki Tambak Wedi dan Sidanti,
maka pekerjaan kita akan menjadi terlampau berat.”
Pemimpin
pasukan pengawal itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan ketika mereka berdua
berpaling, orang tua itu berkata,
“Nah, agaknya
kedua orang yang mengejar kita itu sudah berhenti di tikungan.”
Sebenarnya
bahwa Sidanti dan Argajaya itu pun berhenti di jalan sidatan. Sambil
mengumpat-umpat tidak habis-habisnya, Sidanti menghentak-hentakkan tangannya di
pahanya.
“Kalau guru
tidak melarang, aku pasti dapat menangkap mereka, meskipun hanya satu dua
orang. Kita akan mendapat keterangan lebih banyak tentang pasukan yang
bersembunyi di balik benteng pring ori itu.”
Argajaya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia berkata,
“Pasukan itu
benar-benar luar biasa. Keberaniannya hampir tidak masuk akal. Kita memang
tidak akan menyangka, bahwa mereka akan langsung masuk ke padukuhan induk.
Sehingga menurut dugaanku, pasukan itu dipimpin oleh Kakang Argapati sendiri.
Bukan sekedar anak-anak ingusan seperti yang biasa mereka lakukan.
Menakut-nakuti para peronda di gardu-gardu dengan cambuk-cambuk kuda yang sama
sekali tidak berarti.”
Sidanti
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ia berkata,
“Marilah kita
lihat di bekas-bekas pertempuran itu, Paman.”
Argajaya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan mereka berdua pun kemudian berpacu kembali
ke padukuhan induk. Mereka berdua berhenti ketika mereka memasuki regol.
Sidanti dan Argajaya pun segera turun
dari kuda mereka dan menemui pemimpin penjaga regol itu. Namun ternyata
pemimpin penjaga itu terluka parah di lehernya.
“Kenapa?”
bertanya Sidanti.
“Cambuk,”
jawabnya terengah-engah, “cambuk itu melilit leherku.”
Sidanti
membelalakkan matanya. Luka itu bukan sekedar selingkar jalur merah. Tetapi
leher itu seakan-akan tersobek.
“Panggil Ki
Wasi atau Ki Muni. Tugasnya cukup banyak di sini,” perintah Sidanti.
Ketika seorang
penghubung pergi memanggil dukun itu, maka Sidanti dan Argajaya dengan hati
yang bertanya-tanya menyaksikan bekas pertempuran yang agaknya cukup seru.
Beberapa orang telah terluka, dan bahkan ada yang cukup parah. Hampir tidak
masuk akal, bahwa sepasukan kecil orang-orang berkuda itu mampu membuat
keributan sedemikian dahsyatnya di gardu-gardu dan di regol-regol di ujung
jalan.
Ketika Sidanti
melihat pemimpin kelompok yang baru datang untuk memberikan bantuan ia
bertanya,
“Apakah kalian
selama ini tidur saja dan membiarkan orang-orang berkuda itu membantai kalian?”
“Mereka tidak
terlampau dahsyat seperti yang kita duga,” berkata pemimpin pengawal.
“Benar juga,
bahwa mereka hanya sekedar mempergunakan kesempatan selagi kita terkejut dan
terheran-heran. Dan itulah kesalahan kita yang terbesar, yaitu menjadi heran
dan ternganga-ganga melihat kegilaan orang-orang berkuda itu. Tetapi
sebenarnyalah bahwa kami dari pasukan induk sama sekali belum mendapat
kesempatan untuk bertempur. Kami belum tahu, apakah mereka benar-benar orang
yang dapat dibanggakan di medan-medan peperangan yang sebenarnya.”
“Jadi kalian
datang terlambat?” bertanya Argajaya.
“Ya. Agak
terlambat.”
“Apakah kalian
belum siap waktu penghubung dari regol penjagaan ini memberitahukan kedatangan
orang-orang berkuda itu. Bukankah sebelumnya tanda-tanda dan tengara sudah
bergema di seluruh padukuhan induk ini?”
“Kami sudah
siap. Demikian kami mendengar berita kedatangan pasukan berkuda itu, kami
segera berangkat.”
“Menurut
laporan yang kami dengar, pintu regol ini telah berhasil di tutup.”
“Ya, mereka
berhasil membuka pintu.”
Sidanti dan
Argajaya saling berpandangan. Pasukan kecil ini ternyata adalah pasukan yang
kuat dan terpercaya. Dalam waktu yang singkat, mereka berhasil menguasai
selarak pintu dan membukakannya. Pada saat datang bantuan dari pasukan induk,
mereka segera berhasil melarikan diri. Dan tiba-tiba saja Sidanti dan Argajaya
menjadi curiga. Di dalam pasukan yang kecil itu pasti ada kekuatan-kekuatan
yang luar biasa, yang membuat pasukan kecil itu seakan-akan menjadi terlampau
kuat.
Tanpa
sesadarnya, maka tiba-tiba Sidanti bertanya,
“Apakah
benar-benar ada orang-orang bercambuk di antara mereka?”
“Sebagian
terbesar yang menumbuhkan luka-luka pada kami adalah ujung-ujung cambuk itu,”
jawab pemimpin penjaga yang masih terengah-engah.
“Ada berapa
orang bercambuk di antara mereka?”
“Lima atau
enam orang.”
Sidanti dan
Argajaya mengerutkan keningnya. Dan tiba-tiba Sidanti mengumpat,
“Persetan!
Benar juga kata guru. Mereka adalah orang-orang licik yang ingin mempergunakan
cara-cara yang kasar untuk mempengaruhi keberanian kita. Mereka sengaja agar
kita menyangka, bahwa orang-orang bercambuk itu berada di antara mereka. Tetapi
yang paling mungkin, di antara mereka itu terdapat Argapati sendiri. Sehingga
pasukan yang kecil itu dapat menimbulkan kesan yang mengerikan.” Sidanti
berhenti sejenak. Lalu,
“Tetapi kita
di sini bukan anak-anak yang dapat dikelabuhinya. Kita dapat membuat
perhitungan-perhitungan. Sehingga kita tidak dapat diperbodohnya seperti kerbau
yang paling dungu.”
Argajaya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia sependapat dengan Sidanti. Karena itu maka
katanya kemudian,
“Tidak ada
alasan untuk berkecil hati. Kita sampaikan semuanya ini kepada Ki Tambak Wedi,
apakah Ki Tambak Wedi itu sependapat dengan kita.”
Sidanti pun mengangguk-anggukkan kepalanya pula.
“Baiklah,” katanya.
Mereka
berdua pun segera meninggalkan tempat
itu, kembali menemui Ki Tambak Wedi untuk melaporkan apa yang telah mereka
saksikan. Dan ternyata Ki Tambak Wedi
pun sependapat pula dengan mereka.
“Kita memang
tidak boleh menunda terlampau lama. Kita harus segera menghancurkan mereka.
Meskipun Ki Argapati telah kuat untuk berpacu di atas punggung kuda, namun ia
pasti masih belum akan mampu bertempur terlampau lama. Aku akan mencoba
memancingnya dalam perkelahian yang lama, sehingga lukanya itu terasa mengganggunya,”
berkata Ki Tambak Wedi.
“Karena itu
semua persiapan harus segera diselesaikan. Kita harus siap melawan
lontaran-lontaran lembing dan anak panah. Karena itu, kita harus menyiapkan
perisai-perisai itu sebaik-baiknya. Setiap kelengahan akan sangat merugikan
kita. Kalau kita benar-benar menyiapkan diri, maka kita akan dapat memastikan,
benteng pring ori itu akan menjadi karang abang. Kita akan memasukinya dan kita
akan menghancurkan semuanya. Kita jangan memberi kesempatan mereka mundur dan
menemukan tempat-tempat baru untuk bertahan.”
Para pemimpin
pasukan Ki Tambak Wedi itu pun
mengangguk-anggukkan kepala mereka. Dan sejenak kemudian mereka telah menyebar
lagi ke pasukan masing-masing.
“Beristirahatlah,
Sidanti,” berkata Ki Tambak Wedi,
“tugasmu masih
banyak.” Lalu kepada Argajaya,
“Dan apakah
kau akan tinggal di sini atau kembali ke pasukan yang berada di rumahmu itu?”
“Ya aku akan
kembali. Pasukan itu diperlukan besok, karena itu aku akan membawa pasukan yang
ada di padukuhan itu kemari.”
“Bagus,” sahut
Ki Tambak Wedi,
“aku pun akan
minta demikian. Kita dapat memanggil beberapa perjagaan di daerah-daerah yang
tersebar. Supaya kita mempunyai kekuatan yang cukup untuk menghancurkan
pertahanan Argapati itu.”
“Aku akan
meninggalkan beberapa orang secukupnya saja di padukuhan itu. Kalau kita besok
menyerang, maka Argapati pun pasti akan memusatkan segenap kekuatannya.
Pasukannya pasti tidak akan ada yang berkeliaran keluar.”
“Baiklah.
Ambillah pasukan yang ada di padukuhanmu. Pasukan di padukuhan-padukuhan kecil
yang lain pun harus ditarik besok siang. Kita himpun semua kekuatan yang ada,
supaya kita tidak perlu mengulangi serangan itu. Kita harus menyelesaikan
persoalan kita sendiri di atas Tanah ini lebih dahulu, sebelum pada suatu saat
Pajang mendengarnya dan ikut mencampuri persoalan di dalam lingkungan kita
ini.”
“Nah, aku
minta diri,” berkata Argajaya,
“aku harus
menyiapkan segala sesuatunya.”
Argajaya pun kemudian meninggalkan padukuhan induk itu
bersama sepuluh orang pengawalnya, kembali ke padukuhannya. Besok ia harus
membawa seluruh pasukan yang ada di padukuhan itu, untuk bersama-sama dengan
seluruh kekuatan yang ada berusaha menghancurkan pertahanan Ki Argapati.
Dalam pada itu
pasukan berkuda yang baru saja memasuki padukuhan induk itu semakin lama
menjadi semakin jauh. Ketika mereka yakin bahwa tidak ada lagi seorang pun,
apalagi sepasukan lawan yang mengejar, maka mereka pun mulai memperlambat
kuda-kuda mereka. Pemimpin pasukan itu mulai memperhatikan setiap orang yang
terluka di dalam pasukannya, dan bagi mereka yang memerlukan, gembala tua itu
memberikan obat yang dapat menolong untuk sementara.
“Tiga orang
yang terluka parah, Kiai,” berkata pemimpin pasukan,
“sehingga
mereka tidak lagi dapat berkuda sendiri. Meskipun ada juga yang lain yang cukup
parah, namun mereka masih sanggup untuk bertahan. Apalagi yang hanya sekedar
luka-luka karena goresan senjata di bagian anggota badan.”
“Lalu
bagaimana yang tiga orang itu?”
“Aku sudah
memerintahkan orang lain untuk melayaninya.”
Gembala tua
itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Desisnya,
“Nanti aku
akan mencoba mengobatinya. Mudah-mudahan mereka masih dapat bertahan sampai di
padukuhan kita,”
“Mudah-mudahan.”
Maka mereka
pun kemudian berusaha mempercepat kuda-kuda mereka. Kini bukan karena mereka
harus menghindari lawan yang jauh lebih kuat, tetapi mereka ingin segera sampai
ke pusat pertahanan mereka, agar yang terluka dapat segera diobati.
Namun ketika
mereka sampai di sebuah bulak yang panjang, tiba-tiba gembala tua itu berkata kepada
pemimpin pasukan,
“Dahululah
bersama seluruh pasukan. Aku dan kedua anak-anakku akan singgah sebentar ke
rumah untuk mengambil sesuatu.”
Pemimpin
pasukan itu menjadi ragu-ragu sejenak. Namun gembala tua itu tersenyum sambil
berkata,
“Jangan cemas.
Jalan di depan kita cukup rata. Dan aku
pun akan segera menyusul.”
Pemimpin pasukan
itu menganggukkan kepalanya,
“Tetapi jangan
terlampau lama, Kiai. Bukan karena kami ketakutan apabila kami bertemu dengan
lawan, tetapi kawan-kawan kami yang luka itu segera memerlukan pengobatan.”
“Ya. Aku akan
segera menyusul.”
Gembala tua
itu pun kemudian membawa kedua anaknya berbelok di satu tikungan. Mereka ingin
kembali sebentar menjenguk rumah mereka.
“Apa yang akan
kita ambil?” bertanya Gupala.
“Aku ingin
bertemu dengan Angger Sutawijaya,” desis orang tua itu.
“Aku mendapat
suatu pikiran baru. Aku mengharap, menurut perhitunganku, Argapati akan tetap
memegang pimpinan atas tanah perdikan ini. Karena itu, sebaiknya Angger
Sutawijaya sejak sekarang telah menunjukkan atau memberikan jasanya, sehingga
dengan demikian maka Argapati akan merasa dirinya lebih dekat dengan Angger
Sutawijaya daripada dengan Sultan Pajang.”
Gupala mengangguk-anggukkan
kepalanya, sedang Gupita bertanya,
“Tetapi apakah
mungkin akan ada pertentangan antara Pajang dengan Raden Ngabehi Loring Pasar
itu?”
Gurunya
menarik nafas dalam-dalam. Perlahan-lahan kepalanya di geleng-gelengkannya.
Namun agaknya ia tidak yakin atas apa yang akan terjadi.
“Banyak sekali
kemungkinan-kemungkinan itu,” desisnya.
“Mudah-mudahan
tidak terjadi benturan-benturan lahir yang hanya akan menambah korban.”
Gupala dan
Gupita kemudian tidak bertanya-tanya lagi. Mereka berpacu ke gubug mereka untuk
menemui Sutawijaya dengan kedua pengiringnya. Sutawijaya yang sedang berbaring
di dalam gubug gembala tua itu terkejut ketika didengarnya derap kuda mendekat.
Segera ia meloncat bangkit sambil menyambar tombak yang disandarkannya pada
dinding. Ketika ia berdiri di depan pintu, dilihatnya kedua pembantunya pun
telah bersiap pula menunggu perkembangan keadaan. Mereka menjadi semakin
berdebar-debar ketika ternyata derap kaki-kaki kuda itu menjadi semakin dekat.
Namun mereka kemudian menjadi tenang ketika mereka mendengar ledakan cambuk
yang memecah sepinya malam.
Sejenak
kemudian, maka gembala tua beserta kedua anak-anaknya itu pun telah turun dari kuda-kuda mereka. Sambil
mengikatkan kuda-kuda itu pada sebatang pepohonan, gembala itu berkata,
“Aku sengaja
memberikan tanda, agar Angger tidak terkejut atas kedatangan kami, karena kami
kali ini berkuda.”
“Dada kami
telah menjadi berdebar-debar,” berkata Sutawijaya.
“Aku sangka Ki
Tambak Wedi telah mencium jejak kami dan bersama-sama dengan Argajaya dan
Sidanti berusaha menangkap kami.”
Orang tua itu
tersenyum.
“Ternyata
dugaan itu meleset.” Katanya,
“Tetapi,
apabila Angger tidak berkeberatan, aku ingin menyampaikan suatu pendapat yang
barangkali baik bagi Angger.”
Sutawijaya
mengerutkan keningnya.
“Aku hanya
sebentar, Ngger. Mungkin Angger dapat segera memutuskan persoalan ini.”
Sorot mata
Sutawijaya memancarkan berbagai macam pertanyaan.
Maka dengan
singkat disampaikannya maksud gembala tua itu. Diberikannya beberapa macam
pertimbangan yang cukup meyakinkan, setidak-tidaknya agar Argapati kelak tidak
merintangi perkembangan Alas Mentaok. Sutawijaya mendengarkannya dengan penuh
minat. Namun tampaklah bahwa ia masih saja dicengkam oleh ke ragu-raguan.
“Argapati
adalah seorang yang keras hati menurut pendengaranku, Kiai,” berkata
Sutawijaya.
“Ya, ia memang
keras hati. Tetapi bukan berarti bahwa ia tidak berjantung. Kalau ia merasa,
bahwa Angger telah ikut menolongnya, maka ia pasti mempunyai
pertimbangan-pertimbangan lain.”
“Apakah
Argapati dapat diharapkan menjual kesetiaannya dengan cara itu?”
Gembala tua
itu menarik nafas dalam-dalam. Namun katanya,
“Memang
mungkin Argapati berpendirian demikian, Ngger. Tetapi apakah sampai saat ini
kita mengetahui sikap dan tanggapan Kepala Tanah Perdikan yang besar itu
terhadap Sultan Pajang? Memang, ia tidak mau menentang Pajang dan melindungi
anak serta adiknya, karena tingkah laku keduanya. Argapati pasti
mempertimbangkan juga, peranan Ki Tambak Wedi yang lebih banyak dikuasai oleh
nafsu daripada cita-cita.”
Sutawijaya
tidak segera menyahut. Tampaklah kepalanya terangguk-angguk kecil. Meskipun
demikian ia masih merenungi kata-kata gembala tua itu.
“Angger
Sutawijaya,” berkata orang tua itu seterusnya,
“pertimbangan
selanjutnya terserah kepada Angger. Tetapi menurut pertimbanganku, apakah
salahnya Angger memperkenalkan diri kepada Ki Argapati?”
Sutawijaya
masih belum menjawab. Meskipun tidak terucapkan ia mempunyai pertimbangan
tersendiri. Apabila kini ia bersusah payah menyerahkan tenaganya, membantu
dengan harapan agar Argapati kelak tidak mengganggu pertumbuhan Mentaok untuk
menjadi sebuah kota, tetapi ternyata harapannya itu meleset, maka ia akan
merasa tersinggung sekali. Tetapi untuk sama sekali tidak berbuat sesuatu dalam
keadaan serupa itu, akan dapat menimbulkan jarak pula antara dirinya dengan Ki
Argapati meskipun mereka belum saling bertemu. Kalau Ki Argapati kelak
mengetahui, bahwa pada saat tanahnya sedang kemelut dibakar oleh api
perpecahan, dan ia pada saat itu berada di Menoreh dan sama sekali tidak berbuat
apa-apa, maka Argapati pun pasti akan mengambil sikap pula.
“Apakah
Ayahanda Sultan Pajang akan berbuat sesuatu apabila Ayahanda mengetahui bahwa
di atas tanah ini terjadi benturan di antara mereka?” ia bertanya di dalam
hatinya.
“Apabila
tiba-tiba saja Sultan Pajang mengirimkan bantuan kepada Argapati, maka
kedudukanku pasti akan terdesak. Terdesak dari dua arah. Dari Timur dan dari
seberang Kali Progo.”
Dalam
kebimbangan itu terdengar gembala tua itu berkata,
“Waktuku hanya
sebentar. Sedang pertentangan ini berkembang terlampau cepat. Mungkin bahkan
malam ini Ki Tambak Wedi akan menyusul kami menyerang pemusatan pasukan
Argapati. Tetapi mungkin juga besok pagi. Apakah Angger Sutawijaya sudah dapat
mengambil keputusan?”
Sutawidiyaya
menarik nafas dalam-dalam. Ia masih saja dicengkam oleh kebimbangan. Sejenak
ditatapnya wajah gembala tua itu, kedua anak-anaknya dan kemudian kedua
pengawalnya.
“Aku
memerlukan kedua anak-anak muda itu kelak,” desisnya di dalam hati.
“Kalau mereka
bersedia membantu aku, maka aku langsung akan menguasai daerah Sangkal Putung
dan pasti juga Jati Anom. Jalur antara Mentaok, Alas Tambak Baya, Prambanan,
Benda, Sangkal Putung, Macanan langsung ke Jati Anom akan aku kuasai.”
Akhirnya
Sutawijaya itu pun mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Kiai,
baiklah. Aku akan membantu Argapati. Tetapi bukan berarti bahwa aku sendirilah
yang harus melakukannya. Biarlah kedua kawan-kawanku itu pergi bersama Kiai.”
Gembala tua
itu mengerutkan keningnya. Sejenak dipandanginya kedua pengawal Sutawijaya itu.
Sepercik keragu-raguan memencar di dalam sorot matanya.
“Kiai,” berkata
Sutawijaya sambil tersenyum,
“keduanya
adalah orang-orang kepercayaan Ayah Ki Gede Pemanahan. Mereka berdua adalah
kawan-kawanku bermain-main. Jika ada perbedaan antara keduanya dan aku sendiri
jarak itu tidak akan terlampau jauh. Meskipun keduanya masih juga belum dapat
menyamai kedua gembala-gembala muda itu. Tetapi aku percaya kepada keduanya.”
“Ah,” salah
seorang dari kedua pengawal itu berdesah,
“terima kasih
atas pujian itu. Tetapi aku harap bahwa Kiai tidak akan kecewa apabila ternyata
aku hanya dapat meloncat-loncat.”
Gembala tua
itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia mencoba mengerti alasan Sutawijaya.
Kenapa ia tidak mau langsung terjun ke medan pertentangan itu sendiri.
Namun orang
tua itu kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Terima kasih.
Hal ini pasti sudah akan membuat hubungan antara Mentaok kelak dengan Menoreh
menjadi lebih baik. Meskipun kali ini Angger Sutawijaya sendiri belum langsung
menanganinya, namun bantuan Angger ini pasti akan sangat berarti.”
Sutawijaya
menarik nafas dalam-dalam.
“Maaf, Kiai,”
jawabnya, “aku sendiri masih ingin beristirahat. Entahlah apabila nanti aku
berubah pendirian. Tetapi kedua orang kawan-kawanku itu pasti akan sama artinya
dengan aku sendiri.”
“Ya,
demikianlah.”
“Nah,” berkata
Sutawijaya kemudian kepada kedua kawannya,
“pergilah
kalian mewakili aku.” Lalu kepada orang tua itu,
“Paman
Hanggapati dan paman Dipasanga akan menempatkan dirinya di bawah perintah, Kiai.
Tetapi ingat, Kiai, keduanya aku serahkan kepada Kiai, tidak kepada orang lain,
sehingga tanggung jawab atas keduanya ada pada Kiai.”
Gembala tua
itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian katanya,
“Baiklah,
Ngger. Tetapi kehadiran keduanya akan menjadi suatu kenyataan, bahwa Angger
telah berusaha mendekatkan diri. Bahkan Angger telah mulai menjalin hubungan
yang baik antara Mentaok yang akan lahir dan Menoreh.”
“Mudah-mudahan,
Kiai. Selanjutnya aku akan tetap berada di sini. Aku akan menunggui gubug ini,
ketela pohon yang sudah mulai dapat diambil hasilnya, kambing-kambing, dan
api.”
“Kenapa api?”
“Kambing-kambing
itu memerlukan api.”
“Ah,” gembala
tua itu tersenyum.
“Baiklah.
Sekarang aku minta diri. Mudah-mudahan hubungan yang telah dirintis ini kelak
akan berguna. Berguna bagi Angger Sutawijaya dan berguna bagi Argapati.”
“Mudah-mudahan,
Kiai. Mudah-mudahan.”
“Baiklah. Kini
aku minta diri. Waktuku terlampau sempit. Orang-orang yang terluka itu
memerlukan bantuanku.”
“Silahkanlah,
Kiai. Agaknya Kiai baru saja membawa sepasukan pengawal berkeliling daerah
ini.”
“Ya, di antara
mereka ada yang terluka parah.”
Gembala tua
itu pun kemudian meninggalkan Sutawijaya
seorang diri karena kedua kawannya ikut bersamanya. Mereka terpaksa
mempergunakan setiap ekor kuda untuk dua orang. Hanggapati bersama Gupala dan
Dipasanga bersama Gupita. Dengan demikian maka laju kuda-kuda mereka tidak
dapat terlampau cepat. Namun meskipun demikian akhirya mereka sampai juga ke
mulut regol padukuhan yang dilingkari pring ori itu. Ternyata kedatangan mereka
telah mengejutkan para penjaga. Bahkan Samekta yang ada di depan regol pun
terkejut pula melihat gembala tua itu datang bersama orang baru lagi.
“Siapakah
mereka?” bertanya Samekta.
“Kalian akan
berterima kasih atas kedatangannya. Tetapi marilah kita bersama-sama menghadap
Ki Argapati. Aku mempunyai sebuah ceritera tentang kedua kawan baruku ini.”
Samekta
mengerutkan keningnya. Sebagai seorang yang bertanggung jawab atas pusat
pertahanan ini, Samekta tidak segera menerima ajakan itu.
“Apakah Ki
Samekta berkeberatan?” bertanya gembala tua itu.
“Bukan begitu,
Kiai. Tetapi aku masih belum mengerti, apakah kepentingan Ki Sanak berdua ini
untuk bertemu dengan Ki Argapati.”
“Itulah yang
akan dikatakannya nanti. Aku kira Ki Argapati pun belum mengenal keduanya.
Tetapi aku akan menjadi tanggungan, bahwa keduanya tidak akan berbuat sesuatu
yang merugikan kita bersama.”
Samekta masih
ragu-ragu. Bahkan sepercik pertanyaan membersit di dadanya,
“Apakah
orang-orang ini tidak mungkin sengaja diselundupkan oleh Sidanti?”
Karena Ki
Samekta masih ragu-ragu, maka gembala tua itu mencoba menjelaskannya,
“Kami akan
memberikan beberapa keterangan. Kalau Ki Argapati tidak menghendaki, biarlah
kedua kawan-kawanku ini meninggalkan padukuhan ini.”
Ki Samekta
menarik nafas dalam-dalam. Sekali ia berpaling. Tetapi ia tidak melihat
Wrahasta untuk dimintai pertimbangannya. Agaknya Wrahasta sedang beristirahat,
atau bahkan mungkin sedang tidur karena ialah yang sedang bertugas malam ini. Baru
setelah ia berpikir sejenak, maka berkatalah Samekta,
“Baiklah,
marilah aku antarkan kalian menghadap Ki Argapati.”
Mereka pun kemudian pergi ke pemondokan Ki Argapati.
Meskipun malam semakin mendekati akhirnya, namun Samekta mencoba juga untuk
masuk ke rumah dan menengok bilik Ki Argapati.
Derit pintu
bilik itu, agaknya telah membangunkan Ki Argapati. Perlahan-lahan ia menyapa,
“Siapa di
luar?”
“Aku, Ki Gede.
Samekta.”
“O, masuklah.”
Samekta pun kemudian melangkah masuk ke dalam bilik
Ki Argapati. Dikatakannya semuanya tentang gembala tua itu beserta kedua
kawan-kawannya yang baru. Sejenak Ki Argapati berpikir. Namun kemudian ia
berkata,
“Aku percaya
kepada gembala tua itu. Biarlah ia datang kemari.”
Kemudian
gembala tua itu pun segera
dipersilahkannya masuk bersama kedua pengawal Sutawijaya. Sedang Gupala dan
Gupita menunggu mereka di serambi depan.
“Marilah,
Kiai,” berkata Ki Argapati,
“aku sudah
mendengar laporan tentang pasukan berkuda itu. Aku sangat berterima kasih
kepadamu. Sebab perjalanan ini ternyata telah memberikan dorongan yang luar
biasa atas tekad dan gairah perjuangan anak-anak Menoreh. Bukan saja mereka
yang ikut di dalam pasukan berkuda itu, tetapi ceritera mereka tentang
perjalanan mereka ternyata mempunyai akibat yang sangat baik.”
“Terima kasih,
Ki Gede. Tetapi sayang, bahwa di antara mereka ada yang terluka parah.”
“Ya, memang
terlampau sulit untuk menghindarinya. Dalam permainan senjata kadang-kadang
kita memang akan terdorong karenanya. Itu adalah akibat yang sangat wajar.”
“Dan aku pun akan segera mengobati mereka.” berkata gembala
tua itu. Kemudian,
“Namun
sebelumnya aku ingin memperkenalkan kedua kawan-kawanku ini.”
Ki Argapati
mengerutkan keningnya.
“Siapakah
mereka itu?”
Gembala itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya,
“Apakah Ki Argapati
pernah mengenal anak muda yang bernama Sutawijaya bergelar Mas Ngabehi Loring
Pasar?”
Ki Argapati
menganggukkan kepalanya.
“Ya. Aku
pernah mendengar meskipun aku belum pernah mengenalnya dari dekat. Bukankah
anak muda itu Putera angkat Sultan Hadiwijaya?”
“Tepat. Dan
kedua orang ini adalah orang-orang kepercayaannya. Yang seorang bernama
Hanggapati dan yang lain Dipasanga.”
“O,” Ki
Argapati yang kemudian duduk di pinggir pembaringannya mengangguk-kan
kepalanya.
“Maaf. Aku
belum tahu sebelumnya.”
Kedua orang
itu pun mengangguk pula. Hanggapati
menjawab,
“Kami pun minta maaf, bahwa kami telah mengganggu
Ki Gede.”
“Tidak,” gembala
tua itulah yang memotongnya,
“kalian berdua
sama sekali tidak menggangu.” Lalu kepada Ki Gede ia menceriterakan maksud kedatangan
kedua orang itu. Meskipun ia sama sekali tidak mengatakan bahwa saat itu,
Sutawijaya pun sedang berada di Menoreh.
“Keduanya
diutus untuk melihat keadaan di Tanah Perdikan ini,” berkata gembala tua itu.
“Namun dalam
keadaan yang kalut serupa ini, keduanya diberi wewenang untuk mengambil sikap.
Sidanti dan Argajaya adalah orang-orang yang pernah secara langsung dan pribadi
mempunyai persoalan dengan Angger Sutawijaya.”
Ki Argapati
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian jawabnya,
“Aku akan
sangat berterima kasih sekali atas perhatian itu. Lalu, apakah yang akan kalian
lakukan selanjutnya?”
Hanggapati
mengangguk-anggukkan kepalanya. Jawabnya,
“Aku akan
menyerahkan tenagaku yang tidak berarti ini. Apakah yang akan dapat aku
lakukan, dan sudah tentu demikian juga Adi Dipasanga, pasti akan kami lakukan.”
“Terima kasih.
Aku akan sangat berterima kasih.” Kemudian Ki Gede berpaling kepada Samekta,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar