Jilid 019 Halaman 2


Kita tidak usah mempersoalkan apakah mereka itu benar-benar anak-anak muda seperti yang mereka katakan, yang seorang pudera Ki Gede Pemanahan, yang seorang adik Ki Untara dan yang seorang putera Ki Demang Sangkal Putung. Tetapi ternyata apa yang mereka lakukan dan mereka katakan membawa nafas baru di dalam kehidupan Kademangan kita. Aku tidak akan merasa bangga atas kepercayaan yang diberikan kepadaku, juga tidak akan mempergunakan kekuasaan itu untuk berbuat menurut perasaanku. Tetapi marilah kita berjanji, bahwa Kademangan ini harus menjadi Kademangan yang baik seperti masa-masa lalu. Bukankah Kademangan Prambanan pernah menjadi Kademangan yang disegani dan dihormati karena seorang Demang yang baik dimasa lalu? Dimasa pemerintahan masih berada di Demak. Nah, kita harus kembali ke jaman itu. Jaman yang baik.”
Tak terdengar jawaban, tetapi wajah-wajah yang tumungkul membayangkan kesadaran yang merayapi hati masing-masing. Semua orang memang telah berbuat kesalahan. Mereka tidak akan dapat melempar-lemparkan kesalahan satu kepada yang lain. Mereka bersama-sama telah berbuat dalam satu keadaan yong membuat Prambanan memiliki wajah seperti wajahnya kini. Tercoreng-moreng dan ­berbelang-bonteng. Kuwajiban mereka adalah membersihkan coreng­-moreng dan belang bonteng itu. Tidak ada waktu untuk berbantah dan bertengkar mencari sebab kesalahan, sebab dengan demikian mereka hanya akan membuang-buang waktu dan terjerumus ke dalam kesalahan-kesalahan baru yang akan menyeret mereka ke dalam lembah per­pecahan dan kehancuran. Setiap orang yang berdiri di tepian Kah Opak itupun seakan-akan telah berjanji di dalam hati masing-masing, bahwa mereka untuk seterusnya akan memperbaiki kesalahan yang pernah mereka lakukan. Keadaan yang mereka hadapi pagi itu  seakan-akan cermin yang besar yang dihadapkan kewajah-wajah mereka, untuk melihat cacat yang bertebaran. Dan cacat itu harus mereka hilangkan.

Ketika kemudian orang-orang Prambanan itu kembali ke Kademangan mereka dengan penuh penyesalan atas keadaan Kademangan mereka disaat-saat lampau, sehingga hanyak menyebabkan kemunduran di segala bidang kehidupan, maka pada saat itu Sutawijaya, Agung Sedayu dan Swandaru telah menyusup ke dalam hutan ilalang dan perdu. Sejenak kemudian mereka membelok ke kanan untuk mencari jalan kecil yang menuju ke padesan di sebelah timur Hutan Tambak Baya.
Swandaru yang tidak dapat lagi menahan hatinya tiba-tiba ber­tanya,
“Kakang, eh, tuan, kenapa tuan telah membuat lelucon itu di Kademangan Prambanan, Kenapa tuan tidak berbuat sesuatu atas Argajaya yang sombong?”
Sutawijaya tersenyum. Jawabnya,
“Kalau aku melukai apalagi membunuh Argajaya, maka kesan yang didapat oleh orang-orang Prambanan akan lain sekali. Mereka menganggap kita orang-orang biasa saja yang berbuat seperti juga Argajaya berbuat. Tetapi dengan demikian maka tindakan kita akan berkesan di hati mereka. Mudah-mudahan mereka dapat mengerti dan menyadari keadaan mereka sendiri.”
Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun kemudian ia bertanya,
“Tetapi apakah Argajaya itu tidak berbahaya bagi tuan?”
“Mudah-mudahan tidak. Apabila kelak ia mengetahui siapa aku, Agung Sedayu dan kau, maka ia akan bersikap lain.”
“Tetapi tuan,” Agung Sedayu bertanya pula,
“setelah Argajaya itu bertemu dengan Sidanti, maka apakah justru tidak membakar dendam masing-masing. Apa yang dialami oleh Argajaya dan apa yang dialami oleh Sidanti pasti akan pengaruh mempengaruhi, masing-masing akan saling memperkuat dendam di dalam hati mereka, sebab mereka masing-masing pernah berkelahi dengan tuan dan mengalami kekalahan yang mutlak.”
Sutawijaya terdiam sejenak. Kini ia tidak tersenyum lagi. Pertanyaan itu memang masuk diakalnya Tetapi ia menjawab,
“Itu adalah akibat dan pertanggungan jawab. Biarlah, apabila kelak aku harus berhadapan dengan salah seorang dari mereka atau bahkan kedua-duanya.”
“Dan guru Sidanrti itu?”
“Biarlah ayah menyelesaikannya. Kalau mereka mencari kalian, biarlah gurumu menemuinya”

Agung Sedalu dan Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi, di dalam hati mereka berkata,
“Bagaimana kalau kebetulan pada saat-saat seperti ini kami bertemu dengan Ki Tambak Wedi itu”
Angan-angan itu pun terputus oleh sebuah kejutan di belakang mereka. Terdengar seseorang terbatuk-batuk dan ketika mereka berpaling, mereka melihat dedaunan yang tersibak. Oleh angan-angan mereka tentang Ki Tambak Wedi, maka kejutan itu telah melontarkan mereka selangkah surut dan dengan serta-merta tangan-tangan mereka telah meraba hulu pedang mereka masing-masing.  Ketika daun itu tersibak sepenuhnya, dan mereka melihat siapa yang datang itu, maka darah mereka yang serasa telah membeku terasa kembali mengalir. Bahkan serasa setetes embun menitik pada hati mereka yang sedang dibakar oleh kegelisahan.
Orang yang datang itu tersenyum melihat ketiga anak-anak muda itu terkejut. Sambil tersenyum ia berkata,
“Apakah aku menge­jutkan kalian?”
Agung Sedayu dan Swandaru Geni menarik nafas dalam-dalam, tetapi Surtawijaya masih saja memandanginya dengan penuh pertanyaan meskipun wajahnya tidak lagi menjadi terlampau tegang.
“Ya guru” sahut Agung Sedayu,
“kedatangan guru benar-benar telah mengejutkan kami, justru kami sedang berbicara tentang Ki Tambak Wedi.“
Orang itu adalah Ki Tanu Metir. Sambil tersenyum ia berkata,
“Aku sudah berusaha untuk tidak mengejutkan kalian. Aku sudah lebih dahulu terbatuk-batuk”
Agung Sedayu dan Swandaru tersenyum. Dalam pada itu Sutawijaya masih berdiri keheran-heranan. Orang yang datang itu belum begitu dikenalnya. Serasa ia pernah melihatnya sepintas tetapi di mana? Ataukah memang belum pernah ditemuinya orang ini? Namun menilik sebutan yang diucapkan oleh Agung Sedayu maka Sutawijaya  pun segera dapat mengenalinya. Orang itu pasti guru Agung Sedayu dan Swandaru. Karena itu, maka ketika orang tua itu memandangnya Sutawijaya mengangguk hormat sambil berkata,
“Maafkan Kiai, mungkin aku belum begitu mengenal Kiai sehingga aku tidak segera mengerti dengan siapa aku berhadapan.”
“Ya, ya. Angger memang belum mengenal aku dengan baik.”
“Bukankah Kiai guru Agung Sedayu dan Swandaru?”
“Ya, begitulah.”
Sekali lagi Sutawijaya menganggukkan kepalanya sambil berkata, “Kiai Gringsing.”
“Demikianlah orang yang sudi menyebut aku. Ada pula yang memanggilku Ki Tanu Metir.”
Tiba-tiba suara Swandaru memotong pembicaraan mereka diseling suara tertawanya,
“Kiai, kalau demikian maka aku tahu sekarang.”
Semua orang berpaling kepadanya. Tampaklah wajah Sutawijaya menjadi berkerut-merut,
“Apa yang kau ketahui?”
Swandaru yang gemuk itu masih saja tertawa, sehingga tubuhnya terguncang-guncang.
“Apa yang kau ketahui?” bertanya Kiai Gringsing pula.
“Nah, aku tahu sekarang. Kenapa kita hampir menjadi gila pada waktu kita berada di bekas perkemahan Tohpati. Api perapian dan lincak bambu itu, pasti Kiai yang membuat dan memasangnya.”
Kiai Gringsing, Sutawijaya dan Agung Sedayu  pun kemudian tertawa pula.
“Ya,” sahut Agung Sedayu, “pasti Kiai lah yang telah membingungkan kami.”
Kiai Gringsing tidak menjawab. Tetapi ia masih saja tertawa.
“Kami menjadi ketakutan dan hampir mengurungkan niat kami,” berkata Sutawijaya.
Kiai Gringsing menggelengkan kepalanya. Katanya,
“Tidak. Ternyata kalian tidak menjadi takut, tetapi kalian menjadi marah dan mengamuk.”
Ketiga anak-anak muda itu masih saja tertawa.
“Kalian agaknya memang tidak mengenal takut,” berkata Kiai Gringsing pula,
“Aku melihat apa yang terjadi di Kademangan Prambanan semalam, dan pagi tadi di pinggir Kali Opak.”

Ketiga anak-anak muda itu dengan tiba-tiba berhenti tertawa. Mereka menjadi heran, bagaimana mungkin Kiai Gringsing dapat melihat apa yang terjadi pagi tadi. Tentang semalam, kemungkinan itu memang cukup banyak, tetapi pagi tadi, hampir setiap wajah di sekitar arena itu telah dilihatnya. Tetapi mereka sama sekali tidak melihat wajah Kiai Gringsing itu. Agaknya Kiai Gringsing mengerti gejolak perasaan anak-anak muda itu. Maka katanya,
“Aku melihat apa yang terjadi di pinggir Kali Opak itu dari atas tebing. Aku berdiri di belakang semak-semak yang tidak terlampau rimbun. Namun karena agaknya kalian baru sibuk dengan Argajaya, maka kalian tidak melihat aku.”
Ketiga anak-anak muda itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Jadi Kiai melihat kami berkelahi?” bertanya Sutawijaya.
“Menurut penglihatanku yang berkelahi hanyalah seorang saja, Anakmas Sutawijaya,” sahut Kiai Gringsing.
Sutawijaya tersenyum,
“Ya Kiai. Meskipun kedua murid-murid Kiai itu  pun sudah hampir pula berkelahi.”
“Aku kagum melihat sikap dan kesabaran Anakmas. Ternyata Anakmas berhasil menghindari pertumpahan darah. Aku tidak mendengar apa yang kalian percakapkan. Tetapi menilik sikap dan tingkah laku kalian dan orang-orang Prambanan, aku tahu bahwa Anakmas berhasil mencegah perkelahian itu dengan huruf-huruf yang tertera pada landean tombak Anakmas. Apakah pada landean itu tertulis nama Anakmas yang sebenarnya?”
“Ah,” desah Sutawijaya, “begitulah, Kiai.”
“Jarang-jarang anak muda yang dapat mengendalikan perasaannya seperti Anakmas. Aku melihat bagaimana Swandaru dan Agung Sedayu menarik tali busurnya. Aku menjadi berdebar-debar karenanya.”
“Ah, aku hanya menakut-nakuti mereka saja guru,” sahut Swandaru sambil tersenyum.
“Bagus,” jawab Kiai Gringsing.
“Kalau demikian kalian telah berbuat sebaik-baiknya. Tetapi ternyata kalian kurang menyadari bahaya yang akan dapat timbul karenanya. Apakah kalian kini masih juga akan pergi ke alas Mentaok?”
Sejenak anak-anak muda itu saling berpandangan. Pertanyaan itu terdengar aneh di telinganya. Namun yang menjawab kemudian adalah Sutawijaya,
“Ya, Kiai. Kami akan terus ke hutan Mentaok.”
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya,
“Anakmas. Apakah tidak sebaiknya Anakmas kembali saja ke Sangkal Putung?”
“Kenapa?” bertanya Sutawijaya.
“Jalan ke Mentaok terlampau sulit, Ngger,” jawab Kiai Gringsing.
“Tidak apa Kiai. Kami telah mendengar pula sebelumnya.”

Kiai Gringsing mengangguk-angguk pula. Tetapi wajahnya sama sekali tidak sejalan dengan anggukkan kepalanya. Katanya,
“Anakmas. Mungkin Anakmas sudah bersedia untuk menempuh jalan yang bagaimanapun sulitnya. Mungkin Anakmas sudah bertekad akan mengatasi segala macam bahaya yang akan Angger jumpai di perjalanan. Tetapi bahaya sebenarnya bagi kalian bertiga tidak terletak di perjalanan Angger bertiga.”
Sutawijaya mengerutkan keningnya. Ia kurang dapat mengerti kata-kata Kiai Gringsing itu, sehingga sejenak ia tidak menyahut. Karena Sutawijaya tidak segera menyahut, maka Kiai Gringsing itu  pun meneruskannya,
“Mungkin di perjalanan ke Mentaok itu Angger tidak akan menjumpai kesulitan apa-apa. Mungkin satu dua Angger bertemu dengan penyamun atau perampok, tetapi mereka sama sekali tidak berarti bagi kalian bertiga. Tetapi dengan peristiwa yang telah terjadi di Prambanan itu, maka bahaya yang sebenarnya akan dapat terjadi di Sangkal Putung.”
Ketiga anak-anak muda itu  pun saling berpandangan. Keterangan Kiai Gringsing itu masih belum begitu jelas bagi mereka, sehingga Sutawijaya pun bertanya,
“Kenapa Kiai, kenapa Sangkal Putung terancam bahaya?”
“Angger,” jawab Kiai Gringsing,
“Argajaya yang telah Angger kalahkan di hadapan orang-orang Prambanan itu sudah tentu mendendam di hatinya. Bukankah Argajaya itu seorang utusan dari Kepala Tanah Perdikan yang bernama Argapati, dan Argapati itu ayah Sidanti? Nah. Argajaya pasti akan bertemu dengan Sidanti. Mereka berdua menyimpan dendam di dalam hati masing-masing kepada Angger dan juga kepada Agung Sedayu dan Swandaru. Nah, apakah kira-kira yang akan terjadi apabila mereka masing-masing bertemu dan berbicara tentang tiga orang anak muda Sangkal Putung seperti kalian?”
Sutawijaya  pun mengangguk-anggukkan kepalanya. Agung Sedayu dan Swandaru  pun mulai mengerti, apakah yang dimaksud oleh gurunya.
“Kiai,” berkata Sutawijaya,
“meskipun mereka kemudian bertemu apakah kira-kira yang dapat mereka lakukan?”
“Banyak sekali, Ngger,” sahut Kiai Gringsing.
“Salah satu kemungkinan yang dapat mereka lakukan adalah berusaha mencegat Angger bertiga, kelak jika Angger kembali dari Mentaok.”

Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Agung Sedayu dan Swandaru sejenak saling berpandangan. Kata-kata Kiai Gringsing itu masuk ke dalam akal mereka. Jarak antara Prambanan dan padukuhan Ki Tambak Wedi tidak melampaui jarak Prambanan dan alas Mentaok. Meskipun jaraknya terpaut, tetapi jalan ke alas Mentaok pasti akan lebih sulit. Apalagi apabila satu dua kali mereka akan bertemu dengan beberapa orang penyamun seperti yang dikatakan oleh Kiai Gringsing. Tetapi yang menjawab kemudian adalah Sutawijaya,
“Benar Kiai, hal itu memang dapat terjadi. Tetapi apabila kami telah memperhitungkannya, maka kami akan mencari jalan lain kelak. Kami akan menempuh jalan yang sama sekali tidak diduga-duga oleh Ki Tambak Wedi.”
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Memang, Angger akan dapat mencari jalan lain yang mungkin tidak diduga-duga oleh Ki Tambak Wedi. Tetapi jangan dikira, bahwa kemungkinan mencari jalan lain itu tidak diperhitungkan pula oleh Ki Tambak Wedi. Mungkin Ki Tambak Wedi tidak mencegat Angger di Prambanan, di hutan Tambak Baya atau di pedukuhan-pedukuhan lain seperti Cupu Watu atau Candi Sari, tetapi tanpa Angger duga-duga, Ki Tambak Wedi itu justru berada di muka hidung para peronda di Sangkal Putung, di sisi regol masuk ke dalam Kademangan itu.”
Sekali lagi Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Ketika ia berpaling ke arah kedua kawannya, maka dilihatnya Agung Sedayu dan Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya pula.
“Memang,” katanya dalam hati,
“kemungkinan itu dapat terjadi. Tetapi aku sudah menempuh separo jalan. Sayang sekali apabila aku terpaksa kembali sebelum aku melihat tanah Mentaok. Tanah yang kelak akan diterima oleh ayah dari Ramanda Adipati Pajang sebagai hadiah.”
Karena itu, maka Sutawijaya itu  pun terdiam sejenak diamuk oleh kebimbangan. Ia dapat mengerti kata-kata Kiai Gringsing dan menyadari bahaya yang sedang mengancam. Tetapi ia tidak dapat melepaskan keinginannya untuk melihat hutan Mentaok. Sejenak mereka saling berdiam diri. Agung Sedayu dan Swandaru pun menjadi berbimbang hati pula. Tetapi kepentingan mereka tentang tanah Mentaok tidak setajam Sutawijaya. Karena itu, maka mereka pun tidak sedemikian bernafsu untuk meneruskan perjalanan. Meskipun demikian, karena mereka telah berjanji sejak mereka berangkat untuk pergi bersama, maka Agung Sedayu dan Swandaru menunggu, apa yang akan dikatakan oleh Sutawijaya.

Kiai Gringsing melihat kebimbangan di dalam hati putera Panglima Wira Tamtama itu. Namun demikian, dibiarkannya anak muda itu membuat pertimbangan sendiri.
“Kiai,” berkata Sutawijaya itu kemudian,
“aku sudah menempuh jarak ini. Bagaimanakah kalau aku meneruskan beberapa langkah lagi Kiai? Aku hanya ingin melihat sejenak, bagaimanakah ujudnya alas Mentaok itu. Tidak terlampau lama. Sekejap saja.”
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Begitu besar keinginan Sutawijaya untuk melihat tanah yang kelak akan dimilikinya. Dengan demikian maka Kiai Gringsing pun menjadi ragu-ragu pula. Ia tidak sampai hati untuk mengecewakan putera Panglima Wira Tamtama itu. Tetapi ia tidak pula dapat membiarkan mereka mengalami bencana. Namun yang dicemaskan oleh Kiai Gringsing bukan saja Sutawijaya dan kawan-kawannya, tetapi juga Sangkal Putung. Kalau Panglima Wira Tamtama hari ini atau besok kembali ke Pajang dengan membawa orang-orang Jipang, maka sebagian dari prajurit Pajang di Sangkal Putung pasti meninggalkan Kademangan itu untuk mengawal orang-orang Jipang ke Pajang. Ki Tambak Wedi yang licik, apabila dapat memperhitungkan dengan tepat keberangkatan Ki Gede Pemanahan, maka Sangkal Putung benar-benar berada dalam bahaya. Sepeninggal Ki Gede Pemanahan, maka Sangkal Putung hanya ditunggui oleh para prajurit di bawah Untara dan Widura. Tidak ada orang-orang lain yang akan dapat membantunya seandainya Ki Tambak Wedi benar-benar menyergap Kademangan itu. Sedangkan di dalam barisan Ki Tambak Wedi akan muncul orang-orang yang tangguh seperti Sidanti, Sanakeling, Alap-alap Jalatunda dan sudah tentu Argajaya yang menyimpan dendam pula di hatinya. Dalam keadaan demikian maka tenaga Agung Sedayu dan Swandaru pasti akan sangat berarti. Dengan demikian maka yang dapat terjadi adalah beberapa kemungkinan. Ki Tambak Wedi, Argajaya dan Sidanti berusaha mencegat Sutawijaya, atau mereka mengerahkan laskarnya untuk menghantam Sangkal Putung. Kemungkinan yang lain, tetapi tidak terlampau mencemaskan adalah bahwa Ki Tambak Wedi nanti akan mencegat Ki Gede Pemanahan. Apabila demikian, maka kehadiran Sutawijaya  pun pasti diperlukan. Satu demi satu kemungkinan-kemungkinan itu  pun diberitahukannya kepada Sutawijaya dan kedua kawan-kawannya. Ternyata mereka pun dapat mengerti arti dari bahaya itu. Meskipun demikian Sutawijaya masih juga berkata,
“Baik Kiai, aku akan segera kembali. Aku harap ayah menungguku di Sangkal Putung. Aku hanya memerlukan waktu sedikit untuk mencapai alas Mentaok. Bukankah sebentar lagi kami akan memasuki alas Tambak Baya?”
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Waktu yang Anakmas perlukan paling sedikit adalah dua hari dua malam. Sedang Argajaya malam nanti pasti sudah akan sampai ke Padepokan Ki Tambak Wedi. Ceriteranya pasti akan membakar kemarahan mereka sehingga seandainya mereka tidak bernafsu untuk berbuat sesuatu, atau rencana mereka masih berjarak beberapa waktu, maka mereka akan segera menentukan sikap. Mereka pasti segera akan mempercepat setiap rencana.”
“Aku akan berjalan siang dan malam, Kiai.”
“Tetapi dua malam itu tak akan dapat Angger percepat.”
Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Belum lagi kalau Angger bertemu dengan beberapa orang penyamun. Meskipun penyamun-penyamun di hutan Tambak Baya itu tidak berbahaya bagi Anakmas, namun setidak-tidaknya mereka akan menghambat rencana Anakmas. Kalau Anakmas bertemu dengan gerombolan Daruka, maka Angger akan memerlukan waktu yang cukup lama untuk menundukkannya. Bukan karena Daruka itu seorang yang sakti tiada taranya, tetapi karena gerombolannya terdiri dari orang-orang yang berpengalaman dan cukup banyak jumlahnya.”

Sutawijaya tidak menjawab. Tetapi kedip matanya menunjukkan kekecewaan hatinya. Ia pernah juga mendengar dari beberapa orang prajurit, nama Daruka. Tetapi semula ia sama sekali tidak memperhatikannya. Ternyata menurut Kiai Gringsing, Daruka itu akan dapat memperlambat perjalanannya. Namun demikian Kiai Gringsing tidak sampai hati untuk mengecewakannya. Anak itu merasa bahwa alas Mentaok sudah berada di hadapan hidungnya. Karena itu maka katanya,
“Baiklah Anakmas. Aku menjadi iba melihat mata Angger berkedip seperti anak-anak yang kecewa karena ibunya tidak membawa oleh-oleh dari pasar. Nah, kalau demikian, maka pergilah terus. Tetapi cepat. Secepat-cepatnya. Seperti yang Angger katakan, berjalan siang dan malam.”
Swandarulah yang kemudian mengerutkan alisnya. Desisnya,
“Siang dan malam? Hem, kalian tidak perlu membawa tubuh sebesar tubuhku. Kalau ada salah seorang dari kalian bersedia membantu membawa perutku, aku tidak berkeberatan berjalan siang dan malam. Bahkan tanpa berhenti sekalipun.”
Mau tidak mau, yang mendengar kata-katanya itu terpaksa tersenyum. Yang menjawab adalah Agung Sedayu,
”Kau akan menjadi langsing adi Swandaru. Kalau kau banyak berjalan, maka gembung perutmu akan berkurang.”
“Sebuah latihan yang baik,” berkata Ki Tanu Metir.
“Nah, manfaatkan kesempatan ini apabila kalian benar-benar tidak ingin segera kembali ke Sangkal Putung. Mungkin kalian akan mempergunakan waktu lebih dari dua hari dua malam. Tetapi supaya kalian tidak memilih jalan yang salah, yang akan dapat memperpanjang waktu, atau kalian sengaja mencari jalan lain karena kenakalan kalian, maka biarlah aku pergi bersama kalian.”
“He,” wajah Sutawijaya dan kedua kawannya tiba-tiba menjadi cerah,
“Kiai akan pergi bersama kami?”
“Hanya supaya kalian cepat kembali ke Sangkal Putung.”
“Kita tidak cemas lagi dicegat oleh Ki Tambak Wedi, sehingga kita tidak perlu mencari jalan lain,” berkata Swandaru.
“Akibatnya kita segera sampai ke Sangkal Putung,” sahut Kiai Gringsing.
“Kalau begitu kita dapat berbicara sambil berjalan,” gumam Agung Sedayu.
“Tak ada lagi yang dibicarakan,” berkata Kiai Gringsing,
“ternyata kalian tidak mau kembali ke Sangkal Putung. Nah, marilah kita berangkat, supaya kita tidak terlampau lama di perjalanan.”
Maka segera mereka pun melangkahkan kaki-kaki mereka kembali. Kali ini mereka membawa seorang penunjuk jalan yang dapat diandalkan, Kiai Gringsing. Dengan demikian maka perjalanan itu menjadi lebih cepat. Agaknya Kiai Gringsing telah cukup mengenal daerah yang akan mereka jalani. Sebelum mereka memasuki hutan Tambak Baya, maka perjalanan mereka sama sekali tidak menemui kesulitan. Candi Sari, kemudian Cupu Watu dan ketika mereka melangkah ke barat lebih jauh lagi, maka terbentang di hadapan mereka sebuah hutan yang lebat. Tambak Baya.

Meskipun hutan ini tidak segarang Mentaok, tetapi Tambak Baya cukup menyeramkan. Pepohonan yang pepat seakan-akan berserakan di setiap jengkal tanah. Pohon-pohon perdu yang rimbun dan pepohonan yang merambat, bahkan yang berduri sekali. Sejenak mereka berhenti di pinggir hutan itu. Ketika mereka menengadahkan wajah mereka, maka matahari telah tampak condong di arah barat. Cahayanya yang kemerah-merahan memencar menyoroti langit yang terbentang. Sehelai-sehelai mega yang putih mengalir beriringan. Di belakang mereka terbentang padang rumput yang diseling oleh tanaman-tanaman perdu. Di ujung padang itu terdapat pategalan dan kemudian tanah persawahan yang cukup subur. Tetapi mereka sama sekali tidak melihat seorang pun berada di tempat itu. Lengang dan terasa kesunyian mencekam dada mereka. Sehingga, tanpa sesadarnya Swandaru berdesis,
“Alangkah lengangnya. Apakah tak pernah ada orang yang menggarap pategalan itu?”
“Tentu ada,” sahut Ki Tanu Metir, “Bagaimana mungkin tanaman-tanaman itu tumbuh teratur?”
“Tetapi tak seorang pun nampak,” berkata Swandaru pula.
“Mereka mengerjakan sawah dan ladang mereka di pagi hari. Mereka memerlukan kawan untuk pergi ke sawah dan ladang mereka. Di sini ada semacam warung sepekan sekali atau dua kali. Bukan saja tempat orang-orang menukarkan barang-barang keperluan sehari-hari, tetapi kadang-kadang ada pula orang-orang yang akan menyeberangi hutan ini memerlukan bekal di perjalanan. Bahkan di sini kadang-kadang ada beberapa orang pengantar yang menemani dan melindungi orang-orang yang ingin pergi ke daerah-daerah di seberang hutan ini. Mungkin ke Nglipura, mungkin ke Mangir.”
Anak-anak muda yang mendengarkan kata-kata itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Yang bertanya adalah Agung Sedayu,
“Tetapi kenapa kali ini mereka tidak ada di tempat ini Kiai. Bagaimana seandainya saat ini ada orang yang akan menyeberangi hutan. Apakah tidak ada orang yang bersedia mengantarkannya?”
“Ada saat-saat tertentu bagi mereka yang akan menyeberangi hutan ini. Para pengantar hanya bersedia di hari-hari yang sudah mereka tentukan. Misalnya di hari Manis dan Pahing. Selain hari-hari itu mereka tidak berada di tempat ini. Mungkin mereka sedang di dalam perjalanan kembali setelah mengantarkan beberapa orang bersama-sama, tetapi mungkin pula mereka sedang beristirahat.”
“Bagaimana kalau ada keperluan yang tidak mungkin tertunda?” bertanya Swandaru.
“Tergantung kepada orang itu sendiri. Apakah mereka berani menanggung setiap kemungkinan bertemu dengan gerombolan penyamun di dalam hutan ini. Kalau mereka itu merasa diri mereka cukup kuat, maka mereka pun akan menyeberang tanpa pengawalan dan perlindungan orang lain.”
Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya pula,
“Dengan demikian maka para pengawal itu pasti orang-orang yang cukup kuat untuk menghadapi setiap kejahatan yang dapat terjadi di hutan ini Kiai.”
“Demikianlah. Tetapi kadang-kadang para penjahat itu saling bantu-membantu. Kadang-kadang mereka bekerja bersama untuk suatu kepentingan. Tetapi kadang-kadang mereka saling bertempur di antara mereka berebut korban.”
Sutawijaya mendengarkan ceritera itu sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ia bergumam,
“Seperti kehidupan binatang-binatang yang menghuni hutan ini. Begitukah kira-kira Kiai?”
Ki Tanu Metir mengerutkan keningnya. Kemudian agak ragu ia menjawab,
“Ya. Begitulah kira-kira. Apabila mereka sedang mempunyai kepentingan yang sama, maka kadang-kadang kekuatan mereka benar-benar tak terlawan oleh para pengawal. Dalam keadaan yang demikian, maka kadang-kadang iring-iringan itu benar-benar menjadi korban para penyamun. Namun hal itu jarang terjadi. Kalau para pengawal tidak lagi mampu bertahan, maka orang-orang itu sendiri pasti akan ikut bertempur. Tetapi sekali dua kali, kemalangan memang dapat terjadi atas para pengawal dan orang-orang yang dikawalnya.”

Ketiga anak-anak muda itu mengangguk-anggukkan kepala mereka. Ketika sekali lagi mereka menebarkan pandangan mata mereka di sekitar tempat itu, maka pinggiran hutan itu benar-benar sepi dan lengang.
“Apakah kita akan menyeberang sekarang?” terdengar Sutawijaya bertanya.
“Terserah kepada Anakmas,” sahut Kiai Gringsing,
“Tetapi apabila kita benar-benar ingin berjalan siang dan malam, maka sebaiknya kita berjalan terus. Kita tidak perlu mencemaskan para penyamun, sebab kita tidak membawa barang-barang yang berharga kecuali leher-leher kita sendiri.”
Sutawijaya tersenyum, tetapi Swandaru mengerutkan dahinya.
“Apakah kalian tidak merasa lelah?”
Swandaru menjadi kecewa ketika Agung Sedayu menjawab,
“Tidak. Aku tidak merasa lelah.”
“Ah,” Swandaru bertolak pinggang sambil mendesah. Kemudian anak yang gemuk itu menggeliat, katanya,
“Hem, baiklah. Aku pun tidak lelah.”
Agung Sedayu, Sutawijaya dan Kiai Gringsing tersenyum.
“Salahmu,” berkata Agung Sedayu.
“Kenapa?” sahut Swandaru.
“Kau terlampau banyak makan.”
Swandaru memberengutkan wajahnya. Tetapi sebelum ia menjawab, terdengar Kiai Gringsing berkata,
”Marilah kita berjalan terus. Mungkin kita terpaksa berhenti nanti sebelum kita terlampau dalam masuk ke hutan ini.”
Sejenak Sutawijaya, Agung Sedayu dan Swandaru saling berpandangan. Matahari telah menjadi semakin rendah. Apabila mereka memasuki hutan itu, maka segera mereka akan terhalang oleh gelap. Namun mereka sudah terlanjur berkata, bahwa mereka akan berjalan siang dan malam. Sehingga karena itu maka Sutawijaya menjawab,
“Marilah Kiai. Kalau Kiai menghendaki kami berjalan terus.”
“Ya. Kita harus berjalan terus. Kalau tidak maka kita akan kehilangan waktu. Kira harus memperhitungkan keadaan Sangkal Putung pula. Bukan sekedar melihat keadaan diri kita sendiri.”
“Baiklah Kiai,” sahut Sutawijaya kemudian.
“Bagus,” gumam Kiai Gringsing,
“kita baru mempergunakan waktu sebaik-baiknya.”
Maka mereka pun segera melangkah mendekati bibir hutan yang lebat. Sejenak mereka menjadi termangu-mangu, tetapi mereka melangkah terus.

Tiba-tiba, langkah mereka tertegun ketika mereka melihat rimbunnya daun bergerak-gerak di hadapan mereka. Dan mereka pun terkejut ketika tiba-tiba mereka melihat beberapa orang muncul dari balik dedaunan. Tetapi dalam pada itu capat Kiai Gringsing berbisik,
“Mereka adalah orang-orang yang sering mengawal para pedagang dan orang-orang lain yang berkepentingan menyeberangi hutan ini.”
Sutawijaya dan kedua kawan-kawannya mengangguk-anggukkan kepala mereka. Orang-orang yang baru muncul itu adalah orang-orang yang rata-rata bertubuh tegap kekar. Di lambung mereka tersangkut pedang dan beberapa di antaranya membawa pula pisau atau kapak.
Kiai Gringsing masih juga berbisik,
“Senjata-senjata itu kecuali berguna untuk bertempur, juga berguna untuk merambas jalan yang pepat karena daun-daun perdu dan akar-akar yang merambat dan menutup jalan.”
Kembali ketiga anak-anak muda itu mengangguk-anggukkan kepala mereka. Sementara itu Kiai Gringsing masih berkata,
“Mereka masuk hutan tiga hari yang lampau. Mungkin di hari Aditya Manis.”
“Sekarang hari apa?” bertanya Swandaru.
“Hanggara Jene.”
“He, Bintang Kuning.”
“Ya, Selasa Pon.”
Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Sementara itu orang-orang yang muncul dari dalam hutan itu telah berdiri beberapa langkah di hadapan mereka. Namun ketika wajah-wajah mereka menjadi semakin jelas, nampaklah bahwa beberapa orang di antara mereka terluka. Titik-titik darah yang kering masih jelas pada pakaian mereka. Seorang yang berkumis lebat dan tidak berbaju melangkah mendekati mereka. Dengan nada yang berat ia bertanya,
“Apakah Ki Sanak anak menyeberangi hutan?”
Yang menjawab adalah Kiai Gringsing,
“Ya Ki Sanak. Kami akan menyeberangi hutan.”
“Kemanakah kalian akan pergi?”
“Mentaok.”
“Mentaok? Ke alas Mentaok? Apakah keperluan kalian ke Mentaok?”
Kiai Gringsing berpaling ke arah Sutawijaya. Tetapi orang tua itu menjawab,
“Kami akan pergi ke Nglipura, Ki Sanak. Ada keluargaku di sana.”
Orang yang berkumis lebat, yang agaknya pemimpin dari para pengawal itu berkata,
“Kalian hanya berempat?”
“Ya.”
“Menilik persiapan dan senjata kalian, maka kalian merasa bahwa kalian cukup kuat untuk menyeberangi hutan ini tanpa pengawalan. Ternyata pula kalian memilih hari ini, bukan hari-hari yang telah kami tentukan. Kami tidak berkeberatan kalian menyeberang sendiri, tetapi kami wajib memperingatkan kalian. Kali ini gerombolan Daruka berada di hutan ini. Kami terpaksa berkelahi. Untunglah bukan seluruh kekuatan yang kita hadapi, sehingga kami sempat melepaskan diri bersama orang-orang yang kami antar. Tetapi di perjalanan kembali, kami terpaksa mencari jalan lain. Kami takut kalau gerombolan itu memperkuat diri, apalagi Daruka sendiri, akan menghadang kami pula.”
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Mudah-mudahan kalian menemukan jalan yang aman. Jangan kau telusuri jalan yang biasa kami lalui. Mungkin untuk sebulan kami tidak akan membawa orang menyeberang, kecuali kami mendapat tambahan kawan yang dapat kami percaya.”
Kiai Gringsing masih mengangguk-angguk. Katanya kemudian,
“Terima kasih Ki Sanak. Kami akan mencari jalan lain. Mudah-mudahan kami selamat.”
“Apakah keperluan kalian tidak dapat ditunda seminggu dua minggu?”
“Kepentingan kami sangat mendesak.”
“Hati-hatilah,” pesan pemimpin pengawal itu.
“Terima kasih.”

Para pengawal itu  pun kemudian meninggalkan mereka. Tampak jelas bahwa mereka baru saja menempuh perjalanan yang berat, dan jelas pula luka-luka silang-menyilang di tubuh mereka. Ada yang dalam, tetapi ada pula yang dangkal. Bahkan ada salah seorang dari mereka yang terluka agak parah di lengannya yang telah dibalut dengan sepotong kain. Ketika orang-orang itu telah menjadi semakin jauh, berkata Kiai Gringsing,
“Itulah isi hutan Tambak Baya. Juga hutan Mentaok mempunyai penghuni-penghuninya sendiri. Nah, apakah kita ingin melihat pula?”
Wajah Sutawijaya tiba-tiba menjadi tegang. Sambil menggeram ia berkata,
“Itukah isi dari tanah yang akan diterima oleh ayah dari Ramanda Adipati Pajang? Beruntunglah paman Penjawi mendapat tanah Pati yang sudah jauh lebih baik dari tanah Mentaok. Kami masih harus membuka hutan yang lebat, dan mengusir penghuni-penghuninya yang banyak itu. Untunglah bahwa aku sempat menyaksikannya kini.”
Kiai Gringsing dan kedua muridnya terdiam. Mereka merasakan pula, betapa anak muda putera Panglima Wira Tamtama itu menjadi kecewa. Tanah Mentaok seakan-akan telah dimilikinya, sehingga sudah tentu Sutawijaya sama sekali tidak senang melihat penghuni-penghuni yang sama sekali tidak terhormat itu. Dengan kesal anak muda itu kemudian menggeram,
“Kiai, aku mempunyai tanggung jawab atas tanah itu meskipun belum secara resmi diserahkan kepada ayah. Aku harus mengusir setiap orang yang mengotori hutan Mentaok.”
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia menjawab,
“Berapa bulan Angger memerlukan waktu untuk itu?”
Sutawijaya mengerutkan keningnya, “Ya,” desisnya,
“aku memerlukan waktu untuk melakukannya.”
“Jangan kau lakukan kini. Apabila datang saatnya, bersama-sama dengan beberapa orang kawan, Angger pasti dapat mengusirnya.”
Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya
“Nah, marilah kita lihat,” berkata Kiai Gringsing kemudian,
“Mungkin kita dapat bertemu sebuah contoh dari isi hutan itu.”
“Marilah,” sahut Sutawijaya.
“Mudah-mudahan kita dapat bertemu,” Swandaru  pun bergumam pula.
Kiai Gringsing tersenyum. Ia tahu, bahwa Swandaru hanya ingin berbuat sesuatu.

Demikianlah mereka berjalan kembali. Kini mereka sudah memasuki hutan Tambak Baya. Namun demikian mereka masuk, maka cahaya matahari telah menjadi semakin pudar. Meskipun demikian mereka berjalan terus. Namun akhirnya malam yang semakin kelam pun turunlah. Pohon-pohon raksasa yang bertebaran itu  pun menjadi semakin kabur.
“Malam terlampau gelap di hutan ini,” desis Swandaru.
“Ya, lebih gelap dari hutan tempat orang-orang Jipang membuat perkemahan,” sahut Agung Sedayu.
“Tentu,” berkata Kiai Gringsing,
“Hutan ini jauh lebih lebar. Isinya  pun jauh lebih garang. Apalagi hutan Mentaok. Selain yang dikatakan oleh para pengawal, maka isi hutan ini adalah binatang buas.”
Ketiga anak-anak muda itu  pun mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi mereka tidak takut terhadap binatang buas maupun orang-orang jahat seperti yang dikatakan oleh para pengawal. Tetapi berjalan di dalam kelam serasa berjalan di daerah yang sama sekali tidak dikenalnya. Mereka seolah-olah hampir tak melihat apa pun selain hitam pekat. Bahkan kawan-kawan seperjalanan mereka sendiri pun hampir tidak dapat dilihatnya. Tetapi telinga mereka adalah telinga yang cukup baik. Mereka dapat mengenal tempat-tempat kawan seperjalanan hanya karena pendengaran mereka.
Namun meskipun demikian, akhirnya Swandaru berkata, “Nafasku terasa sesak.”
Kiai Gringsing tertawa. “Kenapa?” ia bertanya.
“Gelapnya bukan main.”
“Ya, gelapnya bukan main,” sahut Sutawijaya.
“Jadi bagaimana?” bertanya Kiai Gringsing.
Tak seorang  pun yang menjawab.
“Apakah kita akan berhenti dan tidak berjalan siang dan malam?”
Masih tidak terjawab.
“Baiklah. Kita berhenti,” berkata orang tua itu,
“tetapi kita harus mendapatkan tempat yang baik. Kita akan membuat perapian.”
“Bagaimana kita mendapat kayu baka?” bertanya Swandaru.
“Di bawah kaki kita adalah setumpuk daun-daun kering. Kalau kita sudah menyalakannya, maka kita akan melihat, apakah kita akan dapat mencari kayu atau ranting-ranting perdu.”

Akhirnya mereka pun mengumpulkan daun-daun kering di bawah kaki mereka. Dengan batu titikan mereka membuat api, dan dengan agak susah, mereka pun berhasil menyalakan dedaunan yang sudah cukup kering. Ketika api sudah menyala, maka segera mereka melihat ranting-ranting perdu yang dapat mereka tebas dan mereka lemparkan ke atas api. Malam itu mereka beristirahat di sekitar perapian. Tak ada yang menarik. Meskipun Swandaru mengharap, mudah-mudahan orang-orang jahat itu mendekati mereka, tetapi tempat itu masih belum cukup dalam, sehingga semalam itu mereka benar-benar dapat beristirahat, meskipun bergantian mereka tetap bangun. Pagi-pagi mereka sudah meneruskan perjalanan. Meskipun demikian, Swandaru masih juga berkata,
“Aku sudah mulai lapar. Apakah di hutan ini tidak ada makanan?”
“Kau akan mendapatkannya,” berkata Kiai Gringsing,
“Kau akan dapat mencari makan buat menambah besar perutmu.”
Ternyata yang dikatakan Kiai Gringsing itu  pun benar pula.
Dengan panah-panah mereka, mereka berhasil pula mendapat makan pagi mereka.
Perjalanan mereka hari ini ternyata agak lebih berat dari hari-hari yang telah mereka lalui. Untunglah bahwa Kiai Gringsing berjalan beserta mereka, sehingga mereka tidak takut lagi akan tersesat. Meskipun demikian ketiga anak-anak muda itu kadang-kadang masih juga membuat tanda-tanda pengenal pada pepohonan yang besar, supaya apabila terpaksa mereka harus mencari jalan keluar, mereka tidak akan menemui kesukaran. Gairah perjalanan hari itu didorong oleh perasaan kecewa pada Sutawijaya, karena tanah yang akan diterimanya itu ternyata telah dikotori oleh orang-orang jahat. Sedang Swandaru segera ingin bertemu dengan orang-orang jahat itu. Agung Sedayu tidak terlampau banyak dipengaruhi oleh gerombolan-gerombolan itu. Meskipun demikian, pengalaman-pengalaman itu pasti akan berguna baginya. Sehingga karena itu perjalanan ini pun sangat menarik hati. Ia akan mengenal tempat-tempat yang hampir belum pernah dijamahnya. Hutan yang lebat pepat, binatang-binatang yang buas dan alam yang keras. Agung Sedayu baru mengenalnya lewat ceritera-ceritera yang pernah didengarnya dari kakaknya, Untara, di masa kanak-kanaknya. Ternyata Kiai Gringsing adalah seorang penunjuk jalan yang terlampau baik. Tanpa kesulitan yang berarti, mereka berjalan menembus hutan. Tetapi hutan itu sendiri telah merupakan penghalang yang banyak memperlambat dan menelan waktu. Oyot-oyot bebondotan dan tumbuh-tumbuhan merambat lainnya. Batang-batang kayu yang roboh yang malang-melintang dan semak-semak yang pepat padat.
Dalam pada itu terdengar Swandaru bertanya,
“Apakah jalan ini pula yang sering dilalui oleh orang-orang yang menyeberangi hutan ini diantar oleh para pengawal?”
“Ya,” jawab Kiai Gringsing.
“Apakah tidak ada jalan lain yang lebih baik?”
“Jalan inilah yang paling tipis ditumbuhi oleh berbagai macam tetumbuhan. Telah beberapa kali aku menyeberangi hutan ini, sekali-sekali bersama-sama dengan para pengawal.”
Swandaru tidak bertanya lagi. Tetapi ia dapat membayangkan bahwa di tempat-tempat lain tetumbuhan pasti jauh lebih lebat dari tempat ini, tempat yang paling banyak dilalui orang. Ketika mereka masuk semakin dalam ke tengah-tengah hutan Tambak Baya, maka berbisiklah Kiai Gringsing,
“Kita hampir sampai.”
“Sampai di mana?” bertanya Agung Sedayu,
“Apakah kita sudah sampai di alas Mentaok?”
“Bukan alas Mentaok,” sahut Kiai Gringsing. “Kita hampir sampai di tempat-tempat yang sering dipergunakan oleh para penyamun mencegat korbannya. Di sini ada beberapa gerombolan penyamun yang satu dengan yang lain saling bersaing. Hanya dalam waktu-waktu yang khusus sajalah mereka dapat menyatukan diri.”
“Siapakah yang paling kuat di antara mereka, Kiai?” bertanya Sutawijaya.
“Kekuatan mereka hampir seimbang. Kadang-kadang mereka menunggu lawan-lawan mereka itu lengah, dan menyerang mereka dengan tiba-tiba. Tetapi meskipun demikian, Daruka lah yang paling disegani.”
Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi anak muda itu tidak menjawab.

Belum lagi mereka maju terlampau jauh, maka mereka sampai di tempat yang agak lapang. Tidak terlampau banyak pohon-pohon perdu yang tumbuh dan akar-akar yang menyilang-lintang jalan. Tetapi Kiai Gringsing yang sudah penuh menyimpan pengalaman itu  pun berkata,
”Tempat ini adalah tempat yang paling baik untuk beristirahat, tetapi juga tempat yang paling berbahaya.”
“Kenapa?” bertanya Swandaru meskipun ia telah menduga apa yang dimaksud oleh gurunya.
“Banyak orang mempergunakan tempat ini untuk beristirahat. Tetapi tiba-tiba saja mereka disergap, sehingga akhirnya para pengawal selalu menjauhi tempat ini, dan membawa orang-orang yang dikawalnya beristirahat di tempat lain. Tetapi hampir tak ada gunanya. Hampir setiap kali para pengawal harus berkelahi. Tetapi apabila pengawalan cukup kuat, maka para penyamunlah yang membiarkannya lewat. Meskipun demikian, kadang-kadang para pengawal itu menyediakan semacam pajak bagi mereka. Ditinggalkannya beberapa macam barang, dan dengan demikian mereka tidak di ganggu.”
Ketiga anak-anak muda yang mendengarkannya itu mengangguk-anggukan kepalanya. Tetapi mereka tidak menjawab. Bahkan tiba-tiba saja mereka mempertajam pendengaran mereka, seakan-akan mereka mendengar desir di dedaunan yang kering. Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Namun sejenak kemudian wajahnya telah menjadi tenang kembali. Bahkan ia masih berkata terus,
“Para penyamun itu datang tanpa disangka-sangka. Tiba-tiba saja mereka telah mengepung korban-korbannya.”
Sutawijaya lah yang kemudian bertanya,
“Bagaimanakah kalau mereka yang tidak membawa sesuatu lewat hutan ini Kiai?”
“Biasanya mereka adalah para pedagang yang akan pergi ke Nglipura atau Mangir atau bahkan ada yang pergi ke Menoreh.”
“Jika demikian, apakah Argajaya itu lewat daerah ini pula?”
“Adalah suatu kemungkinan. Tetapi Argajaya pasti tidak akan memerlukan pengawalan.”
Mereka terdiam sejenak. Dalam kediaman itu mereka mendengar desir yang lembut, namun semakin jelas. Sejenak mereka saling berpandangan. Dengan isyarat, mereka segera mengerti, bahwa mereka kini telah terkepung. Tetapi dengan demikian justru Swandaru tampak bergembira.
Sejenak kemudian berkatalah Kiai Gringsing itu pula,
“Tetapi para penyamun itu pasti akan dapat membedakan. Mereka yang lewat dengan barang-barang dagangan, dan mereka yang lewat dengan senjata di lambung.”
Tiba-tiba terdengar suara dari balik pepohonan,
“Ya, kami dapat membedakan. Mereka yang lewat dengan senjata di lambung atau mereka yang pantas mendapat penghormatan karena memberi kami sekedar oleh-oleh.”

Sebenarnya mereka sama sekali tidak terkejut mendengar suara itu, tetapi Kiai Gringsing yang tua itu terlonjak kecil sambil berputar menghadap suara itu.
“He, siapakah kalian?”
“Kau agaknya mengenal tempat ini terlampau baik kakek tua?” terdengar suara itu menyahut.
“Ya, aku sudah sering melewati tempati ini. Siapakah kau?”
“Aku sedang menunggu para pengawal yang telah melukai bebepapa orang-orangku. Aku ingin bertemu dengan mereka. Tetapi mereka tidak kunjung datang?”
“Tiga hari yang lalu?”
“Dua hari yang lalu.”
“Ya, dua hari yang lalu. Aku telah bertemu dengan mereka. Mereka mengatakan bahwa mereka bertempur dengan orang-orangmu. Ternyata mereka mencari jalan lain, sebab mereka sudah menyangka bahwa pemimpin gerombolan yang dikalahkannya itu pasti akan marah.”
“He, mereka sudah melewati tempat ini?”
“Jalan lain. Mereka sudah keluar dari hutan ini.”
“Gila!” teriak suara itu. Dan tiba-tiba meloncatlah sesosok tubuh dari balik sebatang pohon yang cukup besar.
“Kau bilang mereka sudah keluar dari hutan ini?”
Yang meloncat dari balik pohon itu adalah seorang yang bertubuh tinggi, kekar, berdada bidang dan berkepala botak. Kumis serta janggutnya yang jarang-jarang tumbuh satu dua di sekitar bibirnya yang tebal. Di tangannya tergenggam sebilah pedang yang panjang.
Dengan kasarnya ia membentak kembali,
“Kau bilang, para pengawal telah keluar dari hutan ini?”
Kiai Gringsing menganggukkan kepalanya. “Ya” sahutnya.
“Kemarin sore aku bertemu dengan mereka.”
Terdengar orang itu menggeram.
“Dimanakah rumah-rumah mereka itu?” bertanya orang itu.
Kiai Gringsing menggeleng lemah, “Aku tidak tahu.”
“Bohong, kau pasti kawan mereka.”

Kiai Gringsing tidak segera menjawab. Ditatapnya wajah ketiga anak-anak muda yang berjalan bersamanya itu. Yang kemudian menjawab adalah Agung Sedayu,
“Kami sama sekali tidak ada hubungan apa pun dengan mereka.”
“Bohong! He, apakah orang tua ini ayahmu? Yang mengajarmu untuk berbohong?”
“Kami bertemu di perjalanan,” sambung Sutawijaya.
“Kau pasti mendapat tugas dari mereka untuk memata-matai kami. Kamu mungkin anak-anak mereka, atau cucu mereka, atau kemanakan mereka.”
“Atau tetangga mereka. Atau orang lain sama sekali,” Swandaru yang gemuk itu memotong.
Orang yang botak itu membelalakkan matanya. Dengan pedangnya ia menuding wajah Swandaru.
“Jangan bergurau. Aku sedang kehilangan buruan. Yang datang kini adalah kalian, maka kalian akan menjadi sasaran kemarahan kami.”
“Kami bukan pengawal dan kami bukan pedagang. Kami datang mencari buruan kami pula,” berkata Swandaru.
“Siapakah buruan kalian?”
“Apa saja. Kijang, menjangan, bahkan kancil pun kami mau pula.”
Swandaru terkejut sehingga kata-katanya terputus ketika orang yang botak itu meloncat dan langsung menyerang mulut Swandaru dengan tangan kirinya. Ternyata orang itu mampu bergerak sangat cepat. Beruntunglah bahwa Swandaru tidak terlampau lengah. Ketika ia melihat orang itu mengerinyitkan dahinya, dan melihat jari tangannya bergetar, maka Swandaru pun menyadari kemungkinan yang ternyatat benar-benar terjadi. Dengan lincahnya ia meloncat ke samping menghindari sambaran tangan orang yang botak itu sehingga serangan itu sama sekali tidak menyentuh tubuhnya. Orang yang botak itu semakin membelalakkan matanya. Sama sekali tidak diduganya bahwa anak yang gemuk itu mampu menghindari serangannya, sehingga dengan demikian maka terdengar orang itu menggeram semakin keras. Swandaru yang meloncat beberapa langkah ke samping, kini berdiri sambil membelai pipinya. Dengan kerut-merut di wajahnya ia berkata,
“Ternyata kau pemarah. Tetapi jangan menyerang lawan tanpa memberi kesempatan lawan itu bersiaga.”
“Kau menghina aku.”
“Sama sekali tidak. Aku berkata sebenarnya.”
“Aku tidak peduli, tetapi kalian telah membuat aku marah. Kini aku mempunyai suatu cara untuk memeras keterangan kalian tentang para pengawal. Kalau kalian tidak bersedia memberitahukan kepada kami dimana rumah-rumah mereka, maka kalian akan terpaksa mengalami perlakuan yang tidak menyenangkan.”
“Kami tidak bersangkut paut dengan para pengawal itu, Ki Sanak,” Kiai Gringsing-lah yang kemudian menjawab.
“Kami adalah pemburu yang hanya mengenal binatang-binatang buruan kami.”
“Omong kosong! Tak pernah ada pemburu masuk sampai begini dalam. Mereka biasanya selalu berada jauh di tepi-tepi hutan ini. Kau pasti orang-orang mereka. Meskipun kalian tidak bersedia membuka mulut sampai tubuh kalian lumat, namun kami pasti akan dapat menemukan rumah mereka. Kematian kalian itu pasti hanya akan sia-sia.”
Sutawijaya ahirnya tidak bersabar lagi. Selangkah ia maju dan berkata,
“Jangan mengigau, Ki Sanak. Jangan menakut-nakuti kami dan jangan mencoba memeras keterangan kami. Sebutkan siapa namamu.”

Orang itu terkejut bukan buatan. Belum pernah ia melihat anak muda segarang anak yang memegang tombak pendek itu. Namun sejenak kemudian orang itu tertawa. Semakin lama semakin keras. Di sela-sela derai tertawanya itu ia berkata,
“Tentu. Tentu kau berani bertolak pinggang di hadapanku, sebab kau belum tahu siapa aku. Nah, sebaiknya aku perkenalkan diriku supaya kalian menyadari, betapa kecil arti kalian bagiku, bagi raja hutan Tambak Baya dan Mentaok ini. Namaku Daruka.”
Belum lagi orang itu berhenti tertawa, terdengar suara tertawa yang lain, sehingga dengan tiba-tiba suara orang itu pun justru terputus. Suara itu adalah suara tertawa Swandaru.
“Gila!” teriak Daruka. “Apakah kau mendengar namaku?”
“Jangan kau sangka bahwa hanya kau yang dapat tertawa sedemikian kerasnya,” Sahut Swandaru.
“Nah, ketahuilah, namaku Swandaru Geni. Gegedug anak-anak muda di seluruh Kademangan Sangkal Putung. Kau pernah mendengar namaku?”
Mata Daruka itu seakan-akan menyala dibakar oleh kemarahannya. Ternyata anak muda yang gemuk itu sama sekali tidak takut mendengar namanya, bahkan seolah-olah ditanggapinya nama yang menakutkan itu sambil bergurau saja. Tetapi bukan saja anak yang gemuk itu. Ketika ia memandang berkeliling, maka anak muda yang memegang tombak itu pun sama sekali tidak menunjukkan kesan apa pun di wajahnya, sedang anak muda yang lain bahkan seolah-olah acuh tak acuh saja. Kembali Daruka menggeram. Demikian kemarahannya membakar dadanya, maka terdengarlah ia bersuit nyaring. Sutawijaya, Agung Sedayu, Swandaru, dan Kiai Gringsing  pun segera menyadari, bahwa Daruka sedang memanggil teman-temannya keluar dari persembunyiannya. Dugaan Kiai Gringsing dan ketiga anak-anak muda dari Sangkal Putung itu ternyata benar. Sejenak kemudian mereka melihat beberapa orang berloncatan mendekat dari balik pepohonan. Di tangan mereka tergenggam berbagai macam senjata. Ada yang menggenggam pedang seperti pedang pada lazimnya, ada yang memegang kelewang yang besar, ada yang membawa canggah, bahkan ada yang membawa trisula, tombak bercabang tiga. Tanpa perintah siapapun, maka anak-anak muda itu dengan sendirinya merenggang dan menghadap ke segala arah. Seakan-akan mereka telah mengatur diri menghadapi serangan dari segala penjuru. Daruka menggeram melihat sikap anak-anak muda itu. Kini ia yakin bahwa ia berhadapan dengan anak-anak muda yang bukan sekedar pandai berburu kijang atau menjangan atau babi hutan. Tetapi mereka adalah anak-anak muda yang mampu menghadap bahaya seperti yang kini sedang mengepungnya.
“Ternyata kalian cukup menggembirakan kami,” bergumam Daruka.
“Kami tidak kecewa lagi kehilangan buruan kami. Kalian pasti telah diminta sraya oleh para pengawal itu. Kalian pasti mendapat upah sengaja untuk menghadapi kami.”
Yang menyahut adalah Swandaru,
“Ya. Kami telah mendapat upah dari mereka untuk membinasakan kalian.”
“Hus!” Agung Sedayu memotong.
Tetapi yang terdengar adalah suara Daruka lantang,
“Nah apa kataku. Betapa kalian mencoba memutar balik keadaan, tetapi kami yakin, bahwa dengan menangkap kalian dan memeras darah kalian, kami pasti akan mendapat keterangan tentang para pengawal itu.”

Kiai Gringsing dan Sutawijaya hanya dapat menggeleng-gelengkan kepalanya. Swandaru ternyata hanya menuruti kesenangannya sendiri. Tetapi perbuatannya itu benar-benar telah membakar kemarahan kepala penyamun itu. Bahkan Swandaru itu berkata tanpa berpaling, karena kebetulan ia tidak menghadap ke arah Daruka yang berdiri berhadapan dengan Agung Sedayu.
“Sekarang menyerahlah, supaya hukuman kalian diperingan.”
“Setan!” Daruka itu menggeram.
“Ternyata anak yang gemuk itu merasa seperti jantan sendiri. Daruka hanya menyerah kepada maut. Ayo, kalau mau menangkap kami, tangkaplah.”
Sutawijaya lah yang kini menjawab dengan tergesa-gesa supaya tidak didahului oleh Swandaru.
“Begini Ki Sanak. Sebenarnya kami tidak bersangkut-paut langsung dengan kalian, tetapi kami ingin bahwa tak seorang  pun terganggu di dalam perjalanan. Baik di Hutan Tambak Baya, maupun di Hutan Mentaok.”
“O, ternyata kau mengigau pula. Jauh lebih sumbang dari igauan anak yang gemuk itu. Tambak Baya adalah kerajaanku. Aku tidak akan pernah meninggalkannya selagi aku masih hidup.”
“Dengarlah dahulu Ki Sanak,” berkata Sutawijaya. Kini ia berputar setengah menghadap ke arah Daruka.
“Sebentar lagi Hutan Mentaok dan Tambak Baya akan menjadi sebuah negeri. Sebentar lagi akan berdatangan orang-orang yang akan membuka hutan ini. Nah, apakah katamu?.”
Daruka mengerutkan keningnya. Sejenak ia berpikir, tetapi kemudian ia berkata,
“Oh, kau benar-benar seorang pemimpi. Aku tidak ingin mendengarkan igauanmu itu. Aku ingin mendengar kalian menunjukkan rumah beberapa orang pengawal yang telah melukai orang-orangku.”
“Kami adalah wakilnya,” teriak Swandaru.
Sutawijaya menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia mendahului Daruka yang hampir berteriak pula.
“Dengar kataku. Aku berkata sebenarnya. Tanah Mentaok dan Tambak Baya akan menjadi milik Ki Gede Pemanahan, Panglima Wira Tamtama di Pajang. Nah, apakah kekuatanmu dapat melampaui setidak-tidaknya menyamai kekuatan Wira Tamtama Pajang.”
Sekali lagi Daruka mengerutkan keningnya. Tetapi sekali lagi ia membentak,
“Jawab pertanyaanku. Kalau kalian yang mewakilinya, maka nyawa kalianlah yang akan menjadi tebusannya.”

Kali ini Swandaru belum sempat menjawab, tetapi telah didahului oleh Sutawijaya,
“Jangan mengancam. Kami telah siap untuk bertempur. Kami akan menghancurkan kalian sampai orang yang terakhir. Tetapi perkelahian bukanlah tujuan kami. Kalau kau mau mendengar, dengarkanlah. Kalian mempunyai kesempatan yang pertama di hutan Tambak Baya ini. Mulailah dengan membuka hutan ini sebelum banyak orang lain berdatangan. Kalian akan dapat memilih tempat yang paling baik, yang paling subur dari segala tempat di hutan ini. Kelak, kalian pasti akan mendapat pengampunan akan segala macam kesalahan yang pernah kau lakukan di sini.”
“Setan alas!” potong Daruka, “macam apa kata-katamu itu?”
“Jangan membantah dahulu. Aku adalah prajurit Wira Tamtama yang datang merintis jalan. Apakah kau tidak percaya. Berapa orang yang datang bersamamu? Kami seorang-seorang akan bernilai sepuluh kali orang-orangmu bahkan lebih daripada itu. Kami bukan sekedar pengawal upahan untuk mengantar orang-orang yang akan menyeberangi hutan Tambak Baya.”


Halaman 1 2 3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar