Kita tidak usah mempersoalkan apakah mereka itu benar-benar anak-anak muda seperti yang mereka katakan, yang seorang pudera Ki Gede Pemanahan, yang seorang adik Ki Untara dan yang seorang putera Ki Demang Sangkal Putung. Tetapi ternyata apa yang mereka lakukan dan mereka katakan membawa nafas baru di dalam kehidupan Kademangan kita. Aku tidak akan merasa bangga atas kepercayaan yang diberikan kepadaku, juga tidak akan mempergunakan kekuasaan itu untuk berbuat menurut perasaanku. Tetapi marilah kita berjanji, bahwa Kademangan ini harus menjadi Kademangan yang baik seperti masa-masa lalu. Bukankah Kademangan Prambanan pernah menjadi Kademangan yang disegani dan dihormati karena seorang Demang yang baik dimasa lalu? Dimasa pemerintahan masih berada di Demak. Nah, kita harus kembali ke jaman itu. Jaman yang baik.”
Tak terdengar
jawaban, tetapi wajah-wajah yang tumungkul membayangkan kesadaran yang merayapi
hati masing-masing. Semua orang memang telah berbuat kesalahan. Mereka tidak
akan dapat melempar-lemparkan kesalahan satu kepada yang lain. Mereka
bersama-sama telah berbuat dalam satu keadaan yong membuat Prambanan memiliki
wajah seperti wajahnya kini. Tercoreng-moreng dan berbelang-bonteng. Kuwajiban
mereka adalah membersihkan coreng-moreng dan belang bonteng itu. Tidak ada
waktu untuk berbantah dan bertengkar mencari sebab kesalahan, sebab dengan
demikian mereka hanya akan membuang-buang waktu dan terjerumus ke dalam
kesalahan-kesalahan baru yang akan menyeret mereka ke dalam lembah perpecahan
dan kehancuran. Setiap orang yang berdiri di tepian Kah Opak itupun seakan-akan
telah berjanji di dalam hati masing-masing, bahwa mereka untuk seterusnya akan
memperbaiki kesalahan yang pernah mereka lakukan. Keadaan yang mereka hadapi
pagi itu seakan-akan cermin yang besar
yang dihadapkan kewajah-wajah mereka, untuk melihat cacat yang bertebaran. Dan
cacat itu harus mereka hilangkan.
Ketika
kemudian orang-orang Prambanan itu kembali ke Kademangan mereka dengan penuh
penyesalan atas keadaan Kademangan mereka disaat-saat lampau, sehingga hanyak
menyebabkan kemunduran di segala bidang kehidupan, maka pada saat itu
Sutawijaya, Agung Sedayu dan Swandaru telah menyusup ke dalam hutan ilalang dan
perdu. Sejenak kemudian mereka membelok ke kanan untuk mencari jalan kecil yang
menuju ke padesan di sebelah timur Hutan Tambak Baya.
Swandaru yang
tidak dapat lagi menahan hatinya tiba-tiba bertanya,
“Kakang, eh,
tuan, kenapa tuan telah membuat lelucon itu di Kademangan Prambanan, Kenapa
tuan tidak berbuat sesuatu atas Argajaya yang sombong?”
Sutawijaya
tersenyum. Jawabnya,
“Kalau aku
melukai apalagi membunuh Argajaya, maka kesan yang didapat oleh orang-orang
Prambanan akan lain sekali. Mereka menganggap kita orang-orang biasa saja yang
berbuat seperti juga Argajaya berbuat. Tetapi dengan demikian maka tindakan
kita akan berkesan di hati mereka. Mudah-mudahan mereka dapat mengerti dan
menyadari keadaan mereka sendiri.”
Swandaru
mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun kemudian ia bertanya,
“Tetapi apakah
Argajaya itu tidak berbahaya bagi tuan?”
“Mudah-mudahan
tidak. Apabila kelak ia mengetahui siapa aku, Agung Sedayu dan kau, maka ia
akan bersikap lain.”
“Tetapi tuan,”
Agung Sedayu bertanya pula,
“setelah
Argajaya itu bertemu dengan Sidanti, maka apakah justru tidak membakar dendam
masing-masing. Apa yang dialami oleh Argajaya dan apa yang dialami oleh Sidanti
pasti akan pengaruh mempengaruhi, masing-masing akan saling memperkuat dendam
di dalam hati mereka, sebab mereka masing-masing pernah berkelahi dengan tuan
dan mengalami kekalahan yang mutlak.”
Sutawijaya
terdiam sejenak. Kini ia tidak tersenyum lagi. Pertanyaan itu memang masuk
diakalnya Tetapi ia menjawab,
“Itu adalah
akibat dan pertanggungan jawab. Biarlah, apabila kelak aku harus berhadapan
dengan salah seorang dari mereka atau bahkan kedua-duanya.”
“Dan guru
Sidanrti itu?”
“Biarlah ayah
menyelesaikannya. Kalau mereka mencari kalian, biarlah gurumu menemuinya”
Agung Sedalu
dan Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi, di dalam hati mereka
berkata,
“Bagaimana
kalau kebetulan pada saat-saat seperti ini kami bertemu dengan Ki Tambak Wedi
itu”
Angan-angan itu
pun terputus oleh sebuah kejutan di belakang mereka. Terdengar seseorang
terbatuk-batuk dan ketika mereka berpaling, mereka melihat dedaunan yang
tersibak. Oleh angan-angan mereka tentang Ki Tambak Wedi, maka kejutan itu
telah melontarkan mereka selangkah surut dan dengan serta-merta tangan-tangan
mereka telah meraba hulu pedang mereka masing-masing. Ketika daun itu tersibak sepenuhnya, dan
mereka melihat siapa yang datang itu, maka darah mereka yang serasa telah
membeku terasa kembali mengalir. Bahkan serasa setetes embun menitik pada hati
mereka yang sedang dibakar oleh kegelisahan.
Orang yang
datang itu tersenyum melihat ketiga anak-anak muda itu terkejut. Sambil
tersenyum ia berkata,
“Apakah aku
mengejutkan kalian?”
Agung Sedayu
dan Swandaru Geni menarik nafas dalam-dalam, tetapi Surtawijaya masih saja
memandanginya dengan penuh pertanyaan meskipun wajahnya tidak lagi menjadi
terlampau tegang.
“Ya guru”
sahut Agung Sedayu,
“kedatangan
guru benar-benar telah mengejutkan kami, justru kami sedang berbicara tentang
Ki Tambak Wedi.“
Orang itu
adalah Ki Tanu Metir. Sambil tersenyum ia berkata,
“Aku sudah
berusaha untuk tidak mengejutkan kalian. Aku sudah lebih dahulu terbatuk-batuk”
Agung Sedayu
dan Swandaru tersenyum. Dalam pada itu Sutawijaya masih berdiri
keheran-heranan. Orang yang datang itu belum begitu dikenalnya. Serasa ia
pernah melihatnya sepintas tetapi di mana? Ataukah memang belum pernah
ditemuinya orang ini? Namun menilik sebutan yang diucapkan oleh Agung Sedayu
maka Sutawijaya pun segera dapat
mengenalinya. Orang itu pasti guru Agung Sedayu dan Swandaru. Karena itu, maka
ketika orang tua itu memandangnya Sutawijaya mengangguk hormat sambil berkata,
“Maafkan Kiai,
mungkin aku belum begitu mengenal Kiai sehingga aku tidak segera mengerti
dengan siapa aku berhadapan.”
“Ya, ya.
Angger memang belum mengenal aku dengan baik.”
“Bukankah Kiai
guru Agung Sedayu dan Swandaru?”
“Ya,
begitulah.”
Sekali lagi
Sutawijaya menganggukkan kepalanya sambil berkata, “Kiai Gringsing.”
“Demikianlah
orang yang sudi menyebut aku. Ada pula yang memanggilku Ki Tanu Metir.”
Tiba-tiba
suara Swandaru memotong pembicaraan mereka diseling suara tertawanya,
“Kiai, kalau
demikian maka aku tahu sekarang.”
Semua orang
berpaling kepadanya. Tampaklah wajah Sutawijaya menjadi berkerut-merut,
“Apa yang kau
ketahui?”
Swandaru yang
gemuk itu masih saja tertawa, sehingga tubuhnya terguncang-guncang.
“Apa yang kau
ketahui?” bertanya Kiai Gringsing pula.
“Nah, aku tahu
sekarang. Kenapa kita hampir menjadi gila pada waktu kita berada di bekas
perkemahan Tohpati. Api perapian dan lincak bambu itu, pasti Kiai yang membuat
dan memasangnya.”
Kiai
Gringsing, Sutawijaya dan Agung Sedayu
pun kemudian tertawa pula.
“Ya,” sahut
Agung Sedayu, “pasti Kiai lah yang telah membingungkan kami.”
Kiai Gringsing
tidak menjawab. Tetapi ia masih saja tertawa.
“Kami menjadi
ketakutan dan hampir mengurungkan niat kami,” berkata Sutawijaya.
Kiai Gringsing
menggelengkan kepalanya. Katanya,
“Tidak.
Ternyata kalian tidak menjadi takut, tetapi kalian menjadi marah dan mengamuk.”
Ketiga
anak-anak muda itu masih saja tertawa.
“Kalian
agaknya memang tidak mengenal takut,” berkata Kiai Gringsing pula,
“Aku melihat
apa yang terjadi di Kademangan Prambanan semalam, dan pagi tadi di pinggir Kali
Opak.”
Ketiga
anak-anak muda itu dengan tiba-tiba berhenti tertawa. Mereka menjadi heran,
bagaimana mungkin Kiai Gringsing dapat melihat apa yang terjadi pagi tadi.
Tentang semalam, kemungkinan itu memang cukup banyak, tetapi pagi tadi, hampir
setiap wajah di sekitar arena itu telah dilihatnya. Tetapi mereka sama sekali
tidak melihat wajah Kiai Gringsing itu. Agaknya Kiai Gringsing mengerti gejolak
perasaan anak-anak muda itu. Maka katanya,
“Aku melihat
apa yang terjadi di pinggir Kali Opak itu dari atas tebing. Aku berdiri di
belakang semak-semak yang tidak terlampau rimbun. Namun karena agaknya kalian
baru sibuk dengan Argajaya, maka kalian tidak melihat aku.”
Ketiga
anak-anak muda itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Jadi Kiai
melihat kami berkelahi?” bertanya Sutawijaya.
“Menurut
penglihatanku yang berkelahi hanyalah seorang saja, Anakmas Sutawijaya,” sahut
Kiai Gringsing.
Sutawijaya
tersenyum,
“Ya Kiai.
Meskipun kedua murid-murid Kiai itu pun
sudah hampir pula berkelahi.”
“Aku kagum
melihat sikap dan kesabaran Anakmas. Ternyata Anakmas berhasil menghindari
pertumpahan darah. Aku tidak mendengar apa yang kalian percakapkan. Tetapi
menilik sikap dan tingkah laku kalian dan orang-orang Prambanan, aku tahu bahwa
Anakmas berhasil mencegah perkelahian itu dengan huruf-huruf yang tertera pada
landean tombak Anakmas. Apakah pada landean itu tertulis nama Anakmas yang
sebenarnya?”
“Ah,” desah
Sutawijaya, “begitulah, Kiai.”
“Jarang-jarang
anak muda yang dapat mengendalikan perasaannya seperti Anakmas. Aku melihat
bagaimana Swandaru dan Agung Sedayu menarik tali busurnya. Aku menjadi
berdebar-debar karenanya.”
“Ah, aku hanya
menakut-nakuti mereka saja guru,” sahut Swandaru sambil tersenyum.
“Bagus,” jawab
Kiai Gringsing.
“Kalau
demikian kalian telah berbuat sebaik-baiknya. Tetapi ternyata kalian kurang
menyadari bahaya yang akan dapat timbul karenanya. Apakah kalian kini masih
juga akan pergi ke alas Mentaok?”
Sejenak
anak-anak muda itu saling berpandangan. Pertanyaan itu terdengar aneh di
telinganya. Namun yang menjawab kemudian adalah Sutawijaya,
“Ya, Kiai.
Kami akan terus ke hutan Mentaok.”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya,
“Anakmas.
Apakah tidak sebaiknya Anakmas kembali saja ke Sangkal Putung?”
“Kenapa?”
bertanya Sutawijaya.
“Jalan ke
Mentaok terlampau sulit, Ngger,” jawab Kiai Gringsing.
“Tidak apa
Kiai. Kami telah mendengar pula sebelumnya.”
Kiai Gringsing
mengangguk-angguk pula. Tetapi wajahnya sama sekali tidak sejalan dengan
anggukkan kepalanya. Katanya,
“Anakmas.
Mungkin Anakmas sudah bersedia untuk menempuh jalan yang bagaimanapun sulitnya.
Mungkin Anakmas sudah bertekad akan mengatasi segala macam bahaya yang akan
Angger jumpai di perjalanan. Tetapi bahaya sebenarnya bagi kalian bertiga tidak
terletak di perjalanan Angger bertiga.”
Sutawijaya
mengerutkan keningnya. Ia kurang dapat mengerti kata-kata Kiai Gringsing itu,
sehingga sejenak ia tidak menyahut. Karena Sutawijaya tidak segera menyahut,
maka Kiai Gringsing itu pun
meneruskannya,
“Mungkin di
perjalanan ke Mentaok itu Angger tidak akan menjumpai kesulitan apa-apa.
Mungkin satu dua Angger bertemu dengan penyamun atau perampok, tetapi mereka
sama sekali tidak berarti bagi kalian bertiga. Tetapi dengan peristiwa yang
telah terjadi di Prambanan itu, maka bahaya yang sebenarnya akan dapat terjadi
di Sangkal Putung.”
Ketiga
anak-anak muda itu pun saling
berpandangan. Keterangan Kiai Gringsing itu masih belum begitu jelas bagi
mereka, sehingga Sutawijaya pun bertanya,
“Kenapa Kiai,
kenapa Sangkal Putung terancam bahaya?”
“Angger,”
jawab Kiai Gringsing,
“Argajaya yang
telah Angger kalahkan di hadapan orang-orang Prambanan itu sudah tentu
mendendam di hatinya. Bukankah Argajaya itu seorang utusan dari Kepala Tanah
Perdikan yang bernama Argapati, dan Argapati itu ayah Sidanti? Nah. Argajaya
pasti akan bertemu dengan Sidanti. Mereka berdua menyimpan dendam di dalam hati
masing-masing kepada Angger dan juga kepada Agung Sedayu dan Swandaru. Nah,
apakah kira-kira yang akan terjadi apabila mereka masing-masing bertemu dan berbicara
tentang tiga orang anak muda Sangkal Putung seperti kalian?”
Sutawijaya pun mengangguk-anggukkan kepalanya. Agung
Sedayu dan Swandaru pun mulai mengerti,
apakah yang dimaksud oleh gurunya.
“Kiai,”
berkata Sutawijaya,
“meskipun
mereka kemudian bertemu apakah kira-kira yang dapat mereka lakukan?”
“Banyak sekali,
Ngger,” sahut Kiai Gringsing.
“Salah satu
kemungkinan yang dapat mereka lakukan adalah berusaha mencegat Angger bertiga,
kelak jika Angger kembali dari Mentaok.”
Sutawijaya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Agung Sedayu dan Swandaru sejenak saling
berpandangan. Kata-kata Kiai Gringsing itu masuk ke dalam akal mereka. Jarak
antara Prambanan dan padukuhan Ki Tambak Wedi tidak melampaui jarak Prambanan
dan alas Mentaok. Meskipun jaraknya terpaut, tetapi jalan ke alas Mentaok pasti
akan lebih sulit. Apalagi apabila satu dua kali mereka akan bertemu dengan
beberapa orang penyamun seperti yang dikatakan oleh Kiai Gringsing. Tetapi yang
menjawab kemudian adalah Sutawijaya,
“Benar Kiai,
hal itu memang dapat terjadi. Tetapi apabila kami telah memperhitungkannya,
maka kami akan mencari jalan lain kelak. Kami akan menempuh jalan yang sama
sekali tidak diduga-duga oleh Ki Tambak Wedi.”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Memang, Angger
akan dapat mencari jalan lain yang mungkin tidak diduga-duga oleh Ki Tambak
Wedi. Tetapi jangan dikira, bahwa kemungkinan mencari jalan lain itu tidak
diperhitungkan pula oleh Ki Tambak Wedi. Mungkin Ki Tambak Wedi tidak mencegat
Angger di Prambanan, di hutan Tambak Baya atau di pedukuhan-pedukuhan lain
seperti Cupu Watu atau Candi Sari, tetapi tanpa Angger duga-duga, Ki Tambak
Wedi itu justru berada di muka hidung para peronda di Sangkal Putung, di sisi
regol masuk ke dalam Kademangan itu.”
Sekali lagi Sutawijaya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Ketika ia berpaling ke arah kedua kawannya,
maka dilihatnya Agung Sedayu dan Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya pula.
“Memang,”
katanya dalam hati,
“kemungkinan
itu dapat terjadi. Tetapi aku sudah menempuh separo jalan. Sayang sekali
apabila aku terpaksa kembali sebelum aku melihat tanah Mentaok. Tanah yang
kelak akan diterima oleh ayah dari Ramanda Adipati Pajang sebagai hadiah.”
Karena itu,
maka Sutawijaya itu pun terdiam sejenak
diamuk oleh kebimbangan. Ia dapat mengerti kata-kata Kiai Gringsing dan
menyadari bahaya yang sedang mengancam. Tetapi ia tidak dapat melepaskan
keinginannya untuk melihat hutan Mentaok. Sejenak mereka saling berdiam diri.
Agung Sedayu dan Swandaru pun menjadi berbimbang hati pula. Tetapi kepentingan
mereka tentang tanah Mentaok tidak setajam Sutawijaya. Karena itu, maka mereka
pun tidak sedemikian bernafsu untuk meneruskan perjalanan. Meskipun demikian,
karena mereka telah berjanji sejak mereka berangkat untuk pergi bersama, maka Agung
Sedayu dan Swandaru menunggu, apa yang akan dikatakan oleh Sutawijaya.
Kiai Gringsing
melihat kebimbangan di dalam hati putera Panglima Wira Tamtama itu. Namun
demikian, dibiarkannya anak muda itu membuat pertimbangan sendiri.
“Kiai,” berkata
Sutawijaya itu kemudian,
“aku sudah
menempuh jarak ini. Bagaimanakah kalau aku meneruskan beberapa langkah lagi
Kiai? Aku hanya ingin melihat sejenak, bagaimanakah ujudnya alas Mentaok itu.
Tidak terlampau lama. Sekejap saja.”
Kiai Gringsing
menarik nafas dalam-dalam. Begitu besar keinginan Sutawijaya untuk melihat
tanah yang kelak akan dimilikinya. Dengan demikian maka Kiai Gringsing pun
menjadi ragu-ragu pula. Ia tidak sampai hati untuk mengecewakan putera Panglima
Wira Tamtama itu. Tetapi ia tidak pula dapat membiarkan mereka mengalami
bencana. Namun yang dicemaskan oleh Kiai Gringsing bukan saja Sutawijaya dan
kawan-kawannya, tetapi juga Sangkal Putung. Kalau Panglima Wira Tamtama hari
ini atau besok kembali ke Pajang dengan membawa orang-orang Jipang, maka sebagian
dari prajurit Pajang di Sangkal Putung pasti meninggalkan Kademangan itu untuk
mengawal orang-orang Jipang ke Pajang. Ki Tambak Wedi yang licik, apabila dapat
memperhitungkan dengan tepat keberangkatan Ki Gede Pemanahan, maka Sangkal
Putung benar-benar berada dalam bahaya. Sepeninggal Ki Gede Pemanahan, maka
Sangkal Putung hanya ditunggui oleh para prajurit di bawah Untara dan Widura.
Tidak ada orang-orang lain yang akan dapat membantunya seandainya Ki Tambak
Wedi benar-benar menyergap Kademangan itu. Sedangkan di dalam barisan Ki Tambak
Wedi akan muncul orang-orang yang tangguh seperti Sidanti, Sanakeling,
Alap-alap Jalatunda dan sudah tentu Argajaya yang menyimpan dendam pula di
hatinya. Dalam keadaan demikian maka tenaga Agung Sedayu dan Swandaru pasti
akan sangat berarti. Dengan demikian maka yang dapat terjadi adalah beberapa
kemungkinan. Ki Tambak Wedi, Argajaya dan Sidanti berusaha mencegat Sutawijaya,
atau mereka mengerahkan laskarnya untuk menghantam Sangkal Putung. Kemungkinan
yang lain, tetapi tidak terlampau mencemaskan adalah bahwa Ki Tambak Wedi nanti
akan mencegat Ki Gede Pemanahan. Apabila demikian, maka kehadiran
Sutawijaya pun pasti diperlukan. Satu
demi satu kemungkinan-kemungkinan itu
pun diberitahukannya kepada Sutawijaya dan kedua kawan-kawannya.
Ternyata mereka pun dapat mengerti arti dari bahaya itu. Meskipun demikian
Sutawijaya masih juga berkata,
“Baik Kiai,
aku akan segera kembali. Aku harap ayah menungguku di Sangkal Putung. Aku hanya
memerlukan waktu sedikit untuk mencapai alas Mentaok. Bukankah sebentar lagi
kami akan memasuki alas Tambak Baya?”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Waktu yang
Anakmas perlukan paling sedikit adalah dua hari dua malam. Sedang Argajaya
malam nanti pasti sudah akan sampai ke Padepokan Ki Tambak Wedi. Ceriteranya
pasti akan membakar kemarahan mereka sehingga seandainya mereka tidak bernafsu
untuk berbuat sesuatu, atau rencana mereka masih berjarak beberapa waktu, maka
mereka akan segera menentukan sikap. Mereka pasti segera akan mempercepat
setiap rencana.”
“Aku akan
berjalan siang dan malam, Kiai.”
“Tetapi dua
malam itu tak akan dapat Angger percepat.”
Sutawijaya
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Belum lagi
kalau Angger bertemu dengan beberapa orang penyamun. Meskipun penyamun-penyamun
di hutan Tambak Baya itu tidak berbahaya bagi Anakmas, namun setidak-tidaknya
mereka akan menghambat rencana Anakmas. Kalau Anakmas bertemu dengan gerombolan
Daruka, maka Angger akan memerlukan waktu yang cukup lama untuk menundukkannya.
Bukan karena Daruka itu seorang yang sakti tiada taranya, tetapi karena
gerombolannya terdiri dari orang-orang yang berpengalaman dan cukup banyak
jumlahnya.”
Sutawijaya
tidak menjawab. Tetapi kedip matanya menunjukkan kekecewaan hatinya. Ia pernah
juga mendengar dari beberapa orang prajurit, nama Daruka. Tetapi semula ia sama
sekali tidak memperhatikannya. Ternyata menurut Kiai Gringsing, Daruka itu akan
dapat memperlambat perjalanannya. Namun demikian Kiai Gringsing tidak sampai
hati untuk mengecewakannya. Anak itu merasa bahwa alas Mentaok sudah berada di
hadapan hidungnya. Karena itu maka katanya,
“Baiklah
Anakmas. Aku menjadi iba melihat mata Angger berkedip seperti anak-anak yang
kecewa karena ibunya tidak membawa oleh-oleh dari pasar. Nah, kalau demikian,
maka pergilah terus. Tetapi cepat. Secepat-cepatnya. Seperti yang Angger
katakan, berjalan siang dan malam.”
Swandarulah
yang kemudian mengerutkan alisnya. Desisnya,
“Siang dan
malam? Hem, kalian tidak perlu membawa tubuh sebesar tubuhku. Kalau ada salah seorang
dari kalian bersedia membantu membawa perutku, aku tidak berkeberatan berjalan
siang dan malam. Bahkan tanpa berhenti sekalipun.”
Mau tidak mau,
yang mendengar kata-katanya itu terpaksa tersenyum. Yang menjawab adalah Agung
Sedayu,
”Kau akan
menjadi langsing adi Swandaru. Kalau kau banyak berjalan, maka gembung perutmu
akan berkurang.”
“Sebuah
latihan yang baik,” berkata Ki Tanu Metir.
“Nah,
manfaatkan kesempatan ini apabila kalian benar-benar tidak ingin segera kembali
ke Sangkal Putung. Mungkin kalian akan mempergunakan waktu lebih dari dua hari
dua malam. Tetapi supaya kalian tidak memilih jalan yang salah, yang akan dapat
memperpanjang waktu, atau kalian sengaja mencari jalan lain karena kenakalan
kalian, maka biarlah aku pergi bersama kalian.”
“He,” wajah
Sutawijaya dan kedua kawannya tiba-tiba menjadi cerah,
“Kiai akan
pergi bersama kami?”
“Hanya supaya
kalian cepat kembali ke Sangkal Putung.”
“Kita tidak
cemas lagi dicegat oleh Ki Tambak Wedi, sehingga kita tidak perlu mencari jalan
lain,” berkata Swandaru.
“Akibatnya
kita segera sampai ke Sangkal Putung,” sahut Kiai Gringsing.
“Kalau begitu
kita dapat berbicara sambil berjalan,” gumam Agung Sedayu.
“Tak ada lagi
yang dibicarakan,” berkata Kiai Gringsing,
“ternyata
kalian tidak mau kembali ke Sangkal Putung. Nah, marilah kita berangkat, supaya
kita tidak terlampau lama di perjalanan.”
Maka segera
mereka pun melangkahkan kaki-kaki mereka kembali. Kali ini mereka membawa
seorang penunjuk jalan yang dapat diandalkan, Kiai Gringsing. Dengan demikian maka
perjalanan itu menjadi lebih cepat. Agaknya Kiai Gringsing telah cukup mengenal
daerah yang akan mereka jalani. Sebelum mereka memasuki hutan Tambak Baya, maka
perjalanan mereka sama sekali tidak menemui kesulitan. Candi Sari, kemudian
Cupu Watu dan ketika mereka melangkah ke barat lebih jauh lagi, maka terbentang
di hadapan mereka sebuah hutan yang lebat. Tambak Baya.
Meskipun hutan
ini tidak segarang Mentaok, tetapi Tambak Baya cukup menyeramkan. Pepohonan
yang pepat seakan-akan berserakan di setiap jengkal tanah. Pohon-pohon perdu
yang rimbun dan pepohonan yang merambat, bahkan yang berduri sekali. Sejenak
mereka berhenti di pinggir hutan itu. Ketika mereka menengadahkan wajah mereka,
maka matahari telah tampak condong di arah barat. Cahayanya yang kemerah-merahan
memencar menyoroti langit yang terbentang. Sehelai-sehelai mega yang putih
mengalir beriringan. Di belakang mereka terbentang padang rumput yang diseling
oleh tanaman-tanaman perdu. Di ujung padang itu terdapat pategalan dan kemudian
tanah persawahan yang cukup subur. Tetapi mereka sama sekali tidak melihat
seorang pun berada di tempat itu. Lengang dan terasa kesunyian mencekam dada
mereka. Sehingga, tanpa sesadarnya Swandaru berdesis,
“Alangkah
lengangnya. Apakah tak pernah ada orang yang menggarap pategalan itu?”
“Tentu ada,”
sahut Ki Tanu Metir, “Bagaimana mungkin tanaman-tanaman itu tumbuh teratur?”
“Tetapi tak
seorang pun nampak,” berkata Swandaru pula.
“Mereka
mengerjakan sawah dan ladang mereka di pagi hari. Mereka memerlukan kawan untuk
pergi ke sawah dan ladang mereka. Di sini ada semacam warung sepekan sekali
atau dua kali. Bukan saja tempat orang-orang menukarkan barang-barang keperluan
sehari-hari, tetapi kadang-kadang ada pula orang-orang yang akan menyeberangi
hutan ini memerlukan bekal di perjalanan. Bahkan di sini kadang-kadang ada
beberapa orang pengantar yang menemani dan melindungi orang-orang yang ingin
pergi ke daerah-daerah di seberang hutan ini. Mungkin ke Nglipura, mungkin ke
Mangir.”
Anak-anak muda
yang mendengarkan kata-kata itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Yang bertanya
adalah Agung Sedayu,
“Tetapi kenapa
kali ini mereka tidak ada di tempat ini Kiai. Bagaimana seandainya saat ini ada
orang yang akan menyeberangi hutan. Apakah tidak ada orang yang bersedia
mengantarkannya?”
“Ada saat-saat
tertentu bagi mereka yang akan menyeberangi hutan ini. Para pengantar hanya
bersedia di hari-hari yang sudah mereka tentukan. Misalnya di hari Manis dan
Pahing. Selain hari-hari itu mereka tidak berada di tempat ini. Mungkin mereka
sedang di dalam perjalanan kembali setelah mengantarkan beberapa orang
bersama-sama, tetapi mungkin pula mereka sedang beristirahat.”
“Bagaimana
kalau ada keperluan yang tidak mungkin tertunda?” bertanya Swandaru.
“Tergantung
kepada orang itu sendiri. Apakah mereka berani menanggung setiap kemungkinan
bertemu dengan gerombolan penyamun di dalam hutan ini. Kalau mereka itu merasa
diri mereka cukup kuat, maka mereka pun akan menyeberang tanpa pengawalan dan
perlindungan orang lain.”
Swandaru
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya pula,
“Dengan
demikian maka para pengawal itu pasti orang-orang yang cukup kuat untuk
menghadapi setiap kejahatan yang dapat terjadi di hutan ini Kiai.”
“Demikianlah.
Tetapi kadang-kadang para penjahat itu saling bantu-membantu. Kadang-kadang
mereka bekerja bersama untuk suatu kepentingan. Tetapi kadang-kadang mereka
saling bertempur di antara mereka berebut korban.”
Sutawijaya
mendengarkan ceritera itu sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ia
bergumam,
“Seperti
kehidupan binatang-binatang yang menghuni hutan ini. Begitukah kira-kira Kiai?”
Ki Tanu Metir
mengerutkan keningnya. Kemudian agak ragu ia menjawab,
“Ya. Begitulah
kira-kira. Apabila mereka sedang mempunyai kepentingan yang sama, maka
kadang-kadang kekuatan mereka benar-benar tak terlawan oleh para pengawal.
Dalam keadaan yang demikian, maka kadang-kadang iring-iringan itu benar-benar
menjadi korban para penyamun. Namun hal itu jarang terjadi. Kalau para pengawal
tidak lagi mampu bertahan, maka orang-orang itu sendiri pasti akan ikut
bertempur. Tetapi sekali dua kali, kemalangan memang dapat terjadi atas para
pengawal dan orang-orang yang dikawalnya.”
Ketiga
anak-anak muda itu mengangguk-anggukkan kepala mereka. Ketika sekali lagi
mereka menebarkan pandangan mata mereka di sekitar tempat itu, maka pinggiran
hutan itu benar-benar sepi dan lengang.
“Apakah kita
akan menyeberang sekarang?” terdengar Sutawijaya bertanya.
“Terserah
kepada Anakmas,” sahut Kiai Gringsing,
“Tetapi
apabila kita benar-benar ingin berjalan siang dan malam, maka sebaiknya kita
berjalan terus. Kita tidak perlu mencemaskan para penyamun, sebab kita tidak
membawa barang-barang yang berharga kecuali leher-leher kita sendiri.”
Sutawijaya
tersenyum, tetapi Swandaru mengerutkan dahinya.
“Apakah kalian
tidak merasa lelah?”
Swandaru
menjadi kecewa ketika Agung Sedayu menjawab,
“Tidak. Aku
tidak merasa lelah.”
“Ah,” Swandaru
bertolak pinggang sambil mendesah. Kemudian anak yang gemuk itu menggeliat,
katanya,
“Hem, baiklah.
Aku pun tidak lelah.”
Agung Sedayu,
Sutawijaya dan Kiai Gringsing tersenyum.
“Salahmu,”
berkata Agung Sedayu.
“Kenapa?”
sahut Swandaru.
“Kau terlampau
banyak makan.”
Swandaru
memberengutkan wajahnya. Tetapi sebelum ia menjawab, terdengar Kiai Gringsing
berkata,
”Marilah kita
berjalan terus. Mungkin kita terpaksa berhenti nanti sebelum kita terlampau
dalam masuk ke hutan ini.”
Sejenak
Sutawijaya, Agung Sedayu dan Swandaru saling berpandangan. Matahari telah
menjadi semakin rendah. Apabila mereka memasuki hutan itu, maka segera mereka
akan terhalang oleh gelap. Namun mereka sudah terlanjur berkata, bahwa mereka
akan berjalan siang dan malam. Sehingga karena itu maka Sutawijaya menjawab,
“Marilah Kiai.
Kalau Kiai menghendaki kami berjalan terus.”
“Ya. Kita
harus berjalan terus. Kalau tidak maka kita akan kehilangan waktu. Kira harus
memperhitungkan keadaan Sangkal Putung pula. Bukan sekedar melihat keadaan diri
kita sendiri.”
“Baiklah
Kiai,” sahut Sutawijaya kemudian.
“Bagus,” gumam
Kiai Gringsing,
“kita baru
mempergunakan waktu sebaik-baiknya.”
Maka mereka
pun segera melangkah mendekati bibir hutan yang lebat. Sejenak mereka menjadi
termangu-mangu, tetapi mereka melangkah terus.
Tiba-tiba,
langkah mereka tertegun ketika mereka melihat rimbunnya daun bergerak-gerak di
hadapan mereka. Dan mereka pun terkejut ketika tiba-tiba mereka melihat
beberapa orang muncul dari balik dedaunan. Tetapi dalam pada itu capat Kiai
Gringsing berbisik,
“Mereka adalah
orang-orang yang sering mengawal para pedagang dan orang-orang lain yang
berkepentingan menyeberangi hutan ini.”
Sutawijaya dan
kedua kawan-kawannya mengangguk-anggukkan kepala mereka. Orang-orang yang baru
muncul itu adalah orang-orang yang rata-rata bertubuh tegap kekar. Di lambung
mereka tersangkut pedang dan beberapa di antaranya membawa pula pisau atau
kapak.
Kiai Gringsing
masih juga berbisik,
“Senjata-senjata
itu kecuali berguna untuk bertempur, juga berguna untuk merambas jalan yang
pepat karena daun-daun perdu dan akar-akar yang merambat dan menutup jalan.”
Kembali ketiga
anak-anak muda itu mengangguk-anggukkan kepala mereka. Sementara itu Kiai
Gringsing masih berkata,
“Mereka masuk
hutan tiga hari yang lampau. Mungkin di hari Aditya Manis.”
“Sekarang hari
apa?” bertanya Swandaru.
“Hanggara
Jene.”
“He, Bintang
Kuning.”
“Ya, Selasa
Pon.”
Swandaru mengangguk-anggukkan
kepalanya. Sementara itu orang-orang yang muncul dari dalam hutan itu telah
berdiri beberapa langkah di hadapan mereka. Namun ketika wajah-wajah mereka
menjadi semakin jelas, nampaklah bahwa beberapa orang di antara mereka terluka.
Titik-titik darah yang kering masih jelas pada pakaian mereka. Seorang yang
berkumis lebat dan tidak berbaju melangkah mendekati mereka. Dengan nada yang
berat ia bertanya,
“Apakah Ki
Sanak anak menyeberangi hutan?”
Yang menjawab
adalah Kiai Gringsing,
“Ya Ki Sanak.
Kami akan menyeberangi hutan.”
“Kemanakah
kalian akan pergi?”
“Mentaok.”
“Mentaok? Ke
alas Mentaok? Apakah keperluan kalian ke Mentaok?”
Kiai Gringsing
berpaling ke arah Sutawijaya. Tetapi orang tua itu menjawab,
“Kami akan
pergi ke Nglipura, Ki Sanak. Ada keluargaku di sana.”
Orang yang
berkumis lebat, yang agaknya pemimpin dari para pengawal itu berkata,
“Kalian hanya
berempat?”
“Ya.”
“Menilik
persiapan dan senjata kalian, maka kalian merasa bahwa kalian cukup kuat untuk
menyeberangi hutan ini tanpa pengawalan. Ternyata pula kalian memilih hari ini,
bukan hari-hari yang telah kami tentukan. Kami tidak berkeberatan kalian
menyeberang sendiri, tetapi kami wajib memperingatkan kalian. Kali ini
gerombolan Daruka berada di hutan ini. Kami terpaksa berkelahi. Untunglah bukan
seluruh kekuatan yang kita hadapi, sehingga kami sempat melepaskan diri bersama
orang-orang yang kami antar. Tetapi di perjalanan kembali, kami terpaksa
mencari jalan lain. Kami takut kalau gerombolan itu memperkuat diri, apalagi Daruka
sendiri, akan menghadang kami pula.”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Mudah-mudahan
kalian menemukan jalan yang aman. Jangan kau telusuri jalan yang biasa kami
lalui. Mungkin untuk sebulan kami tidak akan membawa orang menyeberang, kecuali
kami mendapat tambahan kawan yang dapat kami percaya.”
Kiai Gringsing
masih mengangguk-angguk. Katanya kemudian,
“Terima kasih
Ki Sanak. Kami akan mencari jalan lain. Mudah-mudahan kami selamat.”
“Apakah
keperluan kalian tidak dapat ditunda seminggu dua minggu?”
“Kepentingan
kami sangat mendesak.”
“Hati-hatilah,”
pesan pemimpin pengawal itu.
“Terima
kasih.”
Para pengawal
itu pun kemudian meninggalkan mereka.
Tampak jelas bahwa mereka baru saja menempuh perjalanan yang berat, dan jelas
pula luka-luka silang-menyilang di tubuh mereka. Ada yang dalam, tetapi ada
pula yang dangkal. Bahkan ada salah seorang dari mereka yang terluka agak parah
di lengannya yang telah dibalut dengan sepotong kain. Ketika orang-orang itu
telah menjadi semakin jauh, berkata Kiai Gringsing,
“Itulah isi
hutan Tambak Baya. Juga hutan Mentaok mempunyai penghuni-penghuninya sendiri.
Nah, apakah kita ingin melihat pula?”
Wajah
Sutawijaya tiba-tiba menjadi tegang. Sambil menggeram ia berkata,
“Itukah isi
dari tanah yang akan diterima oleh ayah dari Ramanda Adipati Pajang?
Beruntunglah paman Penjawi mendapat tanah Pati yang sudah jauh lebih baik dari
tanah Mentaok. Kami masih harus membuka hutan yang lebat, dan mengusir
penghuni-penghuninya yang banyak itu. Untunglah bahwa aku sempat menyaksikannya
kini.”
Kiai Gringsing
dan kedua muridnya terdiam. Mereka merasakan pula, betapa anak muda putera
Panglima Wira Tamtama itu menjadi kecewa. Tanah Mentaok seakan-akan telah
dimilikinya, sehingga sudah tentu Sutawijaya sama sekali tidak senang melihat
penghuni-penghuni yang sama sekali tidak terhormat itu. Dengan kesal anak muda
itu kemudian menggeram,
“Kiai, aku
mempunyai tanggung jawab atas tanah itu meskipun belum secara resmi diserahkan
kepada ayah. Aku harus mengusir setiap orang yang mengotori hutan Mentaok.”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia menjawab,
“Berapa bulan
Angger memerlukan waktu untuk itu?”
Sutawijaya
mengerutkan keningnya, “Ya,” desisnya,
“aku
memerlukan waktu untuk melakukannya.”
“Jangan kau
lakukan kini. Apabila datang saatnya, bersama-sama dengan beberapa orang kawan,
Angger pasti dapat mengusirnya.”
Sutawijaya
mengangguk-anggukkan kepalanya
“Nah, marilah
kita lihat,” berkata Kiai Gringsing kemudian,
“Mungkin kita
dapat bertemu sebuah contoh dari isi hutan itu.”
“Marilah,”
sahut Sutawijaya.
“Mudah-mudahan
kita dapat bertemu,” Swandaru pun
bergumam pula.
Kiai Gringsing
tersenyum. Ia tahu, bahwa Swandaru hanya ingin berbuat sesuatu.
Demikianlah
mereka berjalan kembali. Kini mereka sudah memasuki hutan Tambak Baya. Namun
demikian mereka masuk, maka cahaya matahari telah menjadi semakin pudar.
Meskipun demikian mereka berjalan terus. Namun akhirnya malam yang semakin
kelam pun turunlah. Pohon-pohon raksasa yang bertebaran itu pun menjadi semakin kabur.
“Malam
terlampau gelap di hutan ini,” desis Swandaru.
“Ya, lebih
gelap dari hutan tempat orang-orang Jipang membuat perkemahan,” sahut Agung
Sedayu.
“Tentu,”
berkata Kiai Gringsing,
“Hutan ini
jauh lebih lebar. Isinya pun jauh lebih
garang. Apalagi hutan Mentaok. Selain yang dikatakan oleh para pengawal, maka
isi hutan ini adalah binatang buas.”
Ketiga
anak-anak muda itu pun
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi mereka tidak takut terhadap binatang
buas maupun orang-orang jahat seperti yang dikatakan oleh para pengawal. Tetapi
berjalan di dalam kelam serasa berjalan di daerah yang sama sekali tidak
dikenalnya. Mereka seolah-olah hampir tak melihat apa pun selain hitam pekat.
Bahkan kawan-kawan seperjalanan mereka sendiri pun hampir tidak dapat dilihatnya.
Tetapi telinga mereka adalah telinga yang cukup baik. Mereka dapat mengenal
tempat-tempat kawan seperjalanan hanya karena pendengaran mereka.
Namun meskipun
demikian, akhirnya Swandaru berkata, “Nafasku terasa sesak.”
Kiai Gringsing
tertawa. “Kenapa?” ia bertanya.
“Gelapnya
bukan main.”
“Ya, gelapnya
bukan main,” sahut Sutawijaya.
“Jadi
bagaimana?” bertanya Kiai Gringsing.
Tak
seorang pun yang menjawab.
“Apakah kita
akan berhenti dan tidak berjalan siang dan malam?”
Masih tidak
terjawab.
“Baiklah. Kita
berhenti,” berkata orang tua itu,
“tetapi kita
harus mendapatkan tempat yang baik. Kita akan membuat perapian.”
“Bagaimana
kita mendapat kayu baka?” bertanya Swandaru.
“Di bawah kaki
kita adalah setumpuk daun-daun kering. Kalau kita sudah menyalakannya, maka
kita akan melihat, apakah kita akan dapat mencari kayu atau ranting-ranting
perdu.”
Akhirnya
mereka pun mengumpulkan daun-daun kering di bawah kaki mereka. Dengan batu
titikan mereka membuat api, dan dengan agak susah, mereka pun berhasil
menyalakan dedaunan yang sudah cukup kering. Ketika api sudah menyala, maka
segera mereka melihat ranting-ranting perdu yang dapat mereka tebas dan mereka
lemparkan ke atas api. Malam itu mereka beristirahat di sekitar perapian. Tak
ada yang menarik. Meskipun Swandaru mengharap, mudah-mudahan orang-orang jahat
itu mendekati mereka, tetapi tempat itu masih belum cukup dalam, sehingga
semalam itu mereka benar-benar dapat beristirahat, meskipun bergantian mereka
tetap bangun. Pagi-pagi mereka sudah meneruskan perjalanan. Meskipun demikian,
Swandaru masih juga berkata,
“Aku sudah
mulai lapar. Apakah di hutan ini tidak ada makanan?”
“Kau akan
mendapatkannya,” berkata Kiai Gringsing,
“Kau akan
dapat mencari makan buat menambah besar perutmu.”
Ternyata yang
dikatakan Kiai Gringsing itu pun benar
pula.
Dengan
panah-panah mereka, mereka berhasil pula mendapat makan pagi mereka.
Perjalanan
mereka hari ini ternyata agak lebih berat dari hari-hari yang telah mereka
lalui. Untunglah bahwa Kiai Gringsing berjalan beserta mereka, sehingga mereka
tidak takut lagi akan tersesat. Meskipun demikian ketiga anak-anak muda itu
kadang-kadang masih juga membuat tanda-tanda pengenal pada pepohonan yang
besar, supaya apabila terpaksa mereka harus mencari jalan keluar, mereka tidak
akan menemui kesukaran. Gairah perjalanan hari itu didorong oleh perasaan
kecewa pada Sutawijaya, karena tanah yang akan diterimanya itu ternyata telah
dikotori oleh orang-orang jahat. Sedang Swandaru segera ingin bertemu dengan
orang-orang jahat itu. Agung Sedayu tidak terlampau banyak dipengaruhi oleh
gerombolan-gerombolan itu. Meskipun demikian, pengalaman-pengalaman itu pasti
akan berguna baginya. Sehingga karena itu perjalanan ini pun sangat menarik
hati. Ia akan mengenal tempat-tempat yang hampir belum pernah dijamahnya. Hutan
yang lebat pepat, binatang-binatang yang buas dan alam yang keras. Agung Sedayu
baru mengenalnya lewat ceritera-ceritera yang pernah didengarnya dari kakaknya,
Untara, di masa kanak-kanaknya. Ternyata Kiai Gringsing adalah seorang penunjuk
jalan yang terlampau baik. Tanpa kesulitan yang berarti, mereka berjalan
menembus hutan. Tetapi hutan itu sendiri telah merupakan penghalang yang banyak
memperlambat dan menelan waktu. Oyot-oyot bebondotan dan tumbuh-tumbuhan
merambat lainnya. Batang-batang kayu yang roboh yang malang-melintang dan
semak-semak yang pepat padat.
Dalam pada itu
terdengar Swandaru bertanya,
“Apakah jalan
ini pula yang sering dilalui oleh orang-orang yang menyeberangi hutan ini
diantar oleh para pengawal?”
“Ya,” jawab
Kiai Gringsing.
“Apakah tidak
ada jalan lain yang lebih baik?”
“Jalan inilah
yang paling tipis ditumbuhi oleh berbagai macam tetumbuhan. Telah beberapa kali
aku menyeberangi hutan ini, sekali-sekali bersama-sama dengan para pengawal.”
Swandaru tidak
bertanya lagi. Tetapi ia dapat membayangkan bahwa di tempat-tempat lain
tetumbuhan pasti jauh lebih lebat dari tempat ini, tempat yang paling banyak
dilalui orang. Ketika mereka masuk semakin dalam ke tengah-tengah hutan Tambak
Baya, maka berbisiklah Kiai Gringsing,
“Kita hampir
sampai.”
“Sampai di
mana?” bertanya Agung Sedayu,
“Apakah kita
sudah sampai di alas Mentaok?”
“Bukan alas
Mentaok,” sahut Kiai Gringsing. “Kita hampir sampai di tempat-tempat yang
sering dipergunakan oleh para penyamun mencegat korbannya. Di sini ada beberapa
gerombolan penyamun yang satu dengan yang lain saling bersaing. Hanya dalam
waktu-waktu yang khusus sajalah mereka dapat menyatukan diri.”
“Siapakah yang
paling kuat di antara mereka, Kiai?” bertanya Sutawijaya.
“Kekuatan
mereka hampir seimbang. Kadang-kadang mereka menunggu lawan-lawan mereka itu
lengah, dan menyerang mereka dengan tiba-tiba. Tetapi meskipun demikian, Daruka
lah yang paling disegani.”
Sutawijaya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi anak muda itu tidak menjawab.
Belum lagi
mereka maju terlampau jauh, maka mereka sampai di tempat yang agak lapang.
Tidak terlampau banyak pohon-pohon perdu yang tumbuh dan akar-akar yang
menyilang-lintang jalan. Tetapi Kiai Gringsing yang sudah penuh menyimpan
pengalaman itu pun berkata,
”Tempat ini adalah
tempat yang paling baik untuk beristirahat, tetapi juga tempat yang paling
berbahaya.”
“Kenapa?”
bertanya Swandaru meskipun ia telah menduga apa yang dimaksud oleh gurunya.
“Banyak orang
mempergunakan tempat ini untuk beristirahat. Tetapi tiba-tiba saja mereka
disergap, sehingga akhirnya para pengawal selalu menjauhi tempat ini, dan
membawa orang-orang yang dikawalnya beristirahat di tempat lain. Tetapi hampir
tak ada gunanya. Hampir setiap kali para pengawal harus berkelahi. Tetapi
apabila pengawalan cukup kuat, maka para penyamunlah yang membiarkannya lewat.
Meskipun demikian, kadang-kadang para pengawal itu menyediakan semacam pajak
bagi mereka. Ditinggalkannya beberapa macam barang, dan dengan demikian mereka
tidak di ganggu.”
Ketiga
anak-anak muda yang mendengarkannya itu mengangguk-anggukan kepalanya. Tetapi
mereka tidak menjawab. Bahkan tiba-tiba saja mereka mempertajam pendengaran
mereka, seakan-akan mereka mendengar desir di dedaunan yang kering. Kiai
Gringsing mengerutkan keningnya. Namun sejenak kemudian wajahnya telah menjadi
tenang kembali. Bahkan ia masih berkata terus,
“Para penyamun
itu datang tanpa disangka-sangka. Tiba-tiba saja mereka telah mengepung
korban-korbannya.”
Sutawijaya lah
yang kemudian bertanya,
“Bagaimanakah
kalau mereka yang tidak membawa sesuatu lewat hutan ini Kiai?”
“Biasanya
mereka adalah para pedagang yang akan pergi ke Nglipura atau Mangir atau bahkan
ada yang pergi ke Menoreh.”
“Jika
demikian, apakah Argajaya itu lewat daerah ini pula?”
“Adalah suatu
kemungkinan. Tetapi Argajaya pasti tidak akan memerlukan pengawalan.”
Mereka terdiam
sejenak. Dalam kediaman itu mereka mendengar desir yang lembut, namun semakin
jelas. Sejenak mereka saling berpandangan. Dengan isyarat, mereka segera
mengerti, bahwa mereka kini telah terkepung. Tetapi dengan demikian justru
Swandaru tampak bergembira.
Sejenak
kemudian berkatalah Kiai Gringsing itu pula,
“Tetapi para
penyamun itu pasti akan dapat membedakan. Mereka yang lewat dengan
barang-barang dagangan, dan mereka yang lewat dengan senjata di lambung.”
Tiba-tiba
terdengar suara dari balik pepohonan,
“Ya, kami
dapat membedakan. Mereka yang lewat dengan senjata di lambung atau mereka yang
pantas mendapat penghormatan karena memberi kami sekedar oleh-oleh.”
Sebenarnya
mereka sama sekali tidak terkejut mendengar suara itu, tetapi Kiai Gringsing
yang tua itu terlonjak kecil sambil berputar menghadap suara itu.
“He, siapakah
kalian?”
“Kau agaknya
mengenal tempat ini terlampau baik kakek tua?” terdengar suara itu menyahut.
“Ya, aku sudah
sering melewati tempati ini. Siapakah kau?”
“Aku sedang
menunggu para pengawal yang telah melukai bebepapa orang-orangku. Aku ingin
bertemu dengan mereka. Tetapi mereka tidak kunjung datang?”
“Tiga hari
yang lalu?”
“Dua hari yang
lalu.”
“Ya, dua hari
yang lalu. Aku telah bertemu dengan mereka. Mereka mengatakan bahwa mereka
bertempur dengan orang-orangmu. Ternyata mereka mencari jalan lain, sebab
mereka sudah menyangka bahwa pemimpin gerombolan yang dikalahkannya itu pasti
akan marah.”
“He, mereka
sudah melewati tempat ini?”
“Jalan lain.
Mereka sudah keluar dari hutan ini.”
“Gila!” teriak
suara itu. Dan tiba-tiba meloncatlah sesosok tubuh dari balik sebatang pohon
yang cukup besar.
“Kau bilang
mereka sudah keluar dari hutan ini?”
Yang meloncat
dari balik pohon itu adalah seorang yang bertubuh tinggi, kekar, berdada bidang
dan berkepala botak. Kumis serta janggutnya yang jarang-jarang tumbuh satu dua
di sekitar bibirnya yang tebal. Di tangannya tergenggam sebilah pedang yang
panjang.
Dengan
kasarnya ia membentak kembali,
“Kau bilang,
para pengawal telah keluar dari hutan ini?”
Kiai Gringsing
menganggukkan kepalanya. “Ya” sahutnya.
“Kemarin sore
aku bertemu dengan mereka.”
Terdengar
orang itu menggeram.
“Dimanakah
rumah-rumah mereka itu?” bertanya orang itu.
Kiai Gringsing
menggeleng lemah, “Aku tidak tahu.”
“Bohong, kau
pasti kawan mereka.”
Kiai Gringsing
tidak segera menjawab. Ditatapnya wajah ketiga anak-anak muda yang berjalan
bersamanya itu. Yang kemudian menjawab adalah Agung Sedayu,
“Kami sama
sekali tidak ada hubungan apa pun dengan mereka.”
“Bohong! He,
apakah orang tua ini ayahmu? Yang mengajarmu untuk berbohong?”
“Kami bertemu
di perjalanan,” sambung Sutawijaya.
“Kau pasti
mendapat tugas dari mereka untuk memata-matai kami. Kamu mungkin anak-anak
mereka, atau cucu mereka, atau kemanakan mereka.”
“Atau tetangga
mereka. Atau orang lain sama sekali,” Swandaru yang gemuk itu memotong.
Orang yang
botak itu membelalakkan matanya. Dengan pedangnya ia menuding wajah Swandaru.
“Jangan
bergurau. Aku sedang kehilangan buruan. Yang datang kini adalah kalian, maka
kalian akan menjadi sasaran kemarahan kami.”
“Kami bukan
pengawal dan kami bukan pedagang. Kami datang mencari buruan kami pula,”
berkata Swandaru.
“Siapakah
buruan kalian?”
“Apa saja.
Kijang, menjangan, bahkan kancil pun kami mau pula.”
Swandaru
terkejut sehingga kata-katanya terputus ketika orang yang botak itu meloncat
dan langsung menyerang mulut Swandaru dengan tangan kirinya. Ternyata orang itu
mampu bergerak sangat cepat. Beruntunglah bahwa Swandaru tidak terlampau
lengah. Ketika ia melihat orang itu mengerinyitkan dahinya, dan melihat jari
tangannya bergetar, maka Swandaru pun menyadari kemungkinan yang ternyatat
benar-benar terjadi. Dengan lincahnya ia meloncat ke samping menghindari
sambaran tangan orang yang botak itu sehingga serangan itu sama sekali tidak
menyentuh tubuhnya. Orang yang botak itu semakin membelalakkan matanya. Sama
sekali tidak diduganya bahwa anak yang gemuk itu mampu menghindari serangannya,
sehingga dengan demikian maka terdengar orang itu menggeram semakin keras. Swandaru
yang meloncat beberapa langkah ke samping, kini berdiri sambil membelai
pipinya. Dengan kerut-merut di wajahnya ia berkata,
“Ternyata kau
pemarah. Tetapi jangan menyerang lawan tanpa memberi kesempatan lawan itu
bersiaga.”
“Kau menghina
aku.”
“Sama sekali
tidak. Aku berkata sebenarnya.”
“Aku tidak
peduli, tetapi kalian telah membuat aku marah. Kini aku mempunyai suatu cara
untuk memeras keterangan kalian tentang para pengawal. Kalau kalian tidak
bersedia memberitahukan kepada kami dimana rumah-rumah mereka, maka kalian akan
terpaksa mengalami perlakuan yang tidak menyenangkan.”
“Kami tidak
bersangkut paut dengan para pengawal itu, Ki Sanak,” Kiai Gringsing-lah yang
kemudian menjawab.
“Kami adalah
pemburu yang hanya mengenal binatang-binatang buruan kami.”
“Omong kosong!
Tak pernah ada pemburu masuk sampai begini dalam. Mereka biasanya selalu berada
jauh di tepi-tepi hutan ini. Kau pasti orang-orang mereka. Meskipun kalian
tidak bersedia membuka mulut sampai tubuh kalian lumat, namun kami pasti akan
dapat menemukan rumah mereka. Kematian kalian itu pasti hanya akan sia-sia.”
Sutawijaya
ahirnya tidak bersabar lagi. Selangkah ia maju dan berkata,
“Jangan
mengigau, Ki Sanak. Jangan menakut-nakuti kami dan jangan mencoba memeras
keterangan kami. Sebutkan siapa namamu.”
Orang itu
terkejut bukan buatan. Belum pernah ia melihat anak muda segarang anak yang
memegang tombak pendek itu. Namun sejenak kemudian orang itu tertawa. Semakin
lama semakin keras. Di sela-sela derai tertawanya itu ia berkata,
“Tentu. Tentu
kau berani bertolak pinggang di hadapanku, sebab kau belum tahu siapa aku. Nah,
sebaiknya aku perkenalkan diriku supaya kalian menyadari, betapa kecil arti
kalian bagiku, bagi raja hutan Tambak Baya dan Mentaok ini. Namaku Daruka.”
Belum lagi
orang itu berhenti tertawa, terdengar suara tertawa yang lain, sehingga dengan
tiba-tiba suara orang itu pun justru terputus. Suara itu adalah suara tertawa
Swandaru.
“Gila!” teriak
Daruka. “Apakah kau mendengar namaku?”
“Jangan kau
sangka bahwa hanya kau yang dapat tertawa sedemikian kerasnya,” Sahut Swandaru.
“Nah,
ketahuilah, namaku Swandaru Geni. Gegedug anak-anak muda di seluruh Kademangan
Sangkal Putung. Kau pernah mendengar namaku?”
Mata Daruka
itu seakan-akan menyala dibakar oleh kemarahannya. Ternyata anak muda yang
gemuk itu sama sekali tidak takut mendengar namanya, bahkan seolah-olah
ditanggapinya nama yang menakutkan itu sambil bergurau saja. Tetapi bukan saja
anak yang gemuk itu. Ketika ia memandang berkeliling, maka anak muda yang
memegang tombak itu pun sama sekali tidak menunjukkan kesan apa pun di
wajahnya, sedang anak muda yang lain bahkan seolah-olah acuh tak acuh saja. Kembali
Daruka menggeram. Demikian kemarahannya membakar dadanya, maka terdengarlah ia
bersuit nyaring. Sutawijaya, Agung Sedayu, Swandaru, dan Kiai Gringsing pun segera menyadari, bahwa Daruka sedang
memanggil teman-temannya keluar dari persembunyiannya. Dugaan Kiai Gringsing
dan ketiga anak-anak muda dari Sangkal Putung itu ternyata benar. Sejenak
kemudian mereka melihat beberapa orang berloncatan mendekat dari balik
pepohonan. Di tangan mereka tergenggam berbagai macam senjata. Ada yang
menggenggam pedang seperti pedang pada lazimnya, ada yang memegang kelewang
yang besar, ada yang membawa canggah, bahkan ada yang membawa trisula, tombak
bercabang tiga. Tanpa perintah siapapun, maka anak-anak muda itu dengan
sendirinya merenggang dan menghadap ke segala arah. Seakan-akan mereka telah
mengatur diri menghadapi serangan dari segala penjuru. Daruka menggeram melihat
sikap anak-anak muda itu. Kini ia yakin bahwa ia berhadapan dengan anak-anak
muda yang bukan sekedar pandai berburu kijang atau menjangan atau babi hutan.
Tetapi mereka adalah anak-anak muda yang mampu menghadap bahaya seperti yang
kini sedang mengepungnya.
“Ternyata
kalian cukup menggembirakan kami,” bergumam Daruka.
“Kami tidak
kecewa lagi kehilangan buruan kami. Kalian pasti telah diminta sraya oleh para
pengawal itu. Kalian pasti mendapat upah sengaja untuk menghadapi kami.”
Yang menyahut
adalah Swandaru,
“Ya. Kami
telah mendapat upah dari mereka untuk membinasakan kalian.”
“Hus!” Agung
Sedayu memotong.
Tetapi yang
terdengar adalah suara Daruka lantang,
“Nah apa
kataku. Betapa kalian mencoba memutar balik keadaan, tetapi kami yakin, bahwa
dengan menangkap kalian dan memeras darah kalian, kami pasti akan mendapat
keterangan tentang para pengawal itu.”
Kiai Gringsing
dan Sutawijaya hanya dapat menggeleng-gelengkan kepalanya. Swandaru ternyata
hanya menuruti kesenangannya sendiri. Tetapi perbuatannya itu benar-benar telah
membakar kemarahan kepala penyamun itu. Bahkan Swandaru itu berkata tanpa
berpaling, karena kebetulan ia tidak menghadap ke arah Daruka yang berdiri berhadapan
dengan Agung Sedayu.
“Sekarang
menyerahlah, supaya hukuman kalian diperingan.”
“Setan!”
Daruka itu menggeram.
“Ternyata anak
yang gemuk itu merasa seperti jantan sendiri. Daruka hanya menyerah kepada
maut. Ayo, kalau mau menangkap kami, tangkaplah.”
Sutawijaya lah
yang kini menjawab dengan tergesa-gesa supaya tidak didahului oleh Swandaru.
“Begini Ki
Sanak. Sebenarnya kami tidak bersangkut-paut langsung dengan kalian, tetapi
kami ingin bahwa tak seorang pun
terganggu di dalam perjalanan. Baik di Hutan Tambak Baya, maupun di Hutan
Mentaok.”
“O, ternyata
kau mengigau pula. Jauh lebih sumbang dari igauan anak yang gemuk itu. Tambak
Baya adalah kerajaanku. Aku tidak akan pernah meninggalkannya selagi aku masih
hidup.”
“Dengarlah
dahulu Ki Sanak,” berkata Sutawijaya. Kini ia berputar setengah menghadap ke
arah Daruka.
“Sebentar lagi
Hutan Mentaok dan Tambak Baya akan menjadi sebuah negeri. Sebentar lagi akan
berdatangan orang-orang yang akan membuka hutan ini. Nah, apakah katamu?.”
Daruka
mengerutkan keningnya. Sejenak ia berpikir, tetapi kemudian ia berkata,
“Oh, kau
benar-benar seorang pemimpi. Aku tidak ingin mendengarkan igauanmu itu. Aku
ingin mendengar kalian menunjukkan rumah beberapa orang pengawal yang telah
melukai orang-orangku.”
“Kami adalah
wakilnya,” teriak Swandaru.
Sutawijaya
menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia mendahului Daruka yang hampir berteriak
pula.
“Dengar
kataku. Aku berkata sebenarnya. Tanah Mentaok dan Tambak Baya akan menjadi
milik Ki Gede Pemanahan, Panglima Wira Tamtama di Pajang. Nah, apakah
kekuatanmu dapat melampaui setidak-tidaknya menyamai kekuatan Wira Tamtama
Pajang.”
Sekali lagi
Daruka mengerutkan keningnya. Tetapi sekali lagi ia membentak,
“Jawab
pertanyaanku. Kalau kalian yang mewakilinya, maka nyawa kalianlah yang akan
menjadi tebusannya.”
Kali ini
Swandaru belum sempat menjawab, tetapi telah didahului oleh Sutawijaya,
“Jangan
mengancam. Kami telah siap untuk bertempur. Kami akan menghancurkan kalian
sampai orang yang terakhir. Tetapi perkelahian bukanlah tujuan kami. Kalau kau
mau mendengar, dengarkanlah. Kalian mempunyai kesempatan yang pertama di hutan
Tambak Baya ini. Mulailah dengan membuka hutan ini sebelum banyak orang lain
berdatangan. Kalian akan dapat memilih tempat yang paling baik, yang paling
subur dari segala tempat di hutan ini. Kelak, kalian pasti akan mendapat pengampunan
akan segala macam kesalahan yang pernah kau lakukan di sini.”
“Setan alas!”
potong Daruka, “macam apa kata-katamu itu?”
“Jangan
membantah dahulu. Aku adalah prajurit Wira Tamtama yang datang merintis jalan.
Apakah kau tidak percaya. Berapa orang yang datang bersamamu? Kami
seorang-seorang akan bernilai sepuluh kali orang-orangmu bahkan lebih daripada
itu. Kami bukan sekedar pengawal upahan untuk mengantar orang-orang yang akan
menyeberangi hutan Tambak Baya.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar