“Bukan soal takut atau berani. Tetapi setiap kali kita akan kembali kepada persoalan tanda-tanda seperti yang dikatakan Gupita tadi. Kalau satu saja di antara mereka sempat membunyikan tanda-tanda itu, maka gagallah seluruh tugas kita.”
“Itu akan
tergantung kepada kemampuan kita,” sahut Wrahasta.
“Seandainya
ada di antara mereka yang sempat membunyikan atau memberikan tanda apa pun juga, itu berarti kalau kita memang tidak
mampu. Dan jika demikian jangan mengharap, bahwa kalian akan disebut pahlawan.”
Petugas itu
sama sekali tidak puas dengan jawaban Wrahasta, seperti juga Gupita. Tetapi
Wrahasta tiba-tiba sudah menjadi seorang yang keras kepala. Agaknya ia ingin
benar-benar menjadi seorang pahlawan. Ia ingin menutup kekurangan-kekurangan
yang pernah terjadi pada dirinya. Ia harus dapat merebut perhatian Pandan
Wangi, bahwa ia adalah seorang pahlawan. Bukan seorang yang sama sekali tidak
berdaya melawan anak muda yang gemuk itu. Karena itu, maka tidak ada yang lebih
baik dilakukan oleh para pengawal itu selain mematuhi perintah Wrahasta.
Sebagian segera turun ke parit di sebelah jalan itu, parit yang mengairi tanah
persawahan. Sambil terbungkuk-bungkuk mereka berjalan maju, di balik
batang-batang ilalang dan pagar jarak yang tumbuh di pinggir parit. Sedang yang
lain segera menyusup di antara batang-batang jagung di seberang jalan. Sedang
Wrahasta, seperti yang direncanakannya sendiri, berjalan dengan dada tengadah
di sepanjang jalan menuju ke mulut desa di depan. Anak muda yang bertubuh
raksasa itu berjalan dengan tegapnya. Sekali-kali ditatapnya langit yang
digayuti oleh bintang-bintang yang gemerlapan. Dipandanginya bauran bintang di
langit itu dengan seksama, seolah-olah tidak akan pernah berjumpa lagi untuk
selama-lamanya. Wrahasta menarik nafas dalam-dalam. Sekali-kali ia mendengar
gemerisik di sebelah-menyebelah jalan. Ia sadar, bahwa ia sedang berjalan
menuju ke tempat yang berbahaya. Tetapi ia sudah siap, dan dengan dada terbuka
akan menghadapinya. Sementara itu, di gardu di regol desa, beberapa orang
penjaga sedang bercakap-cakap. Untuk mengisi waktu, mereka bercakap-cakap
hilir-mudik tidak berketentuan. Dua orang di antara mereka berada di dalam
regol sambil duduk di muka perapian memanasi tubuh mereka. Dingin malam menjadi
semakin terasa menggigit tulang. Namun di antara mereka itu terdapat seorang
yang selalu siap di depan regol, menyandang pedangnya yang telah telanjang. Ia
berjalan setapak-setapak menghilangkan kejemuan dan udara dingin yang menyusup
ke dalam tubuhnya. Meskipun demikian setiap kali ia menyapu keremangan malam di
depannya dengan tatapan matanya yang tajam.
Tiba-tiba
dadanya berdesir. Beberapa langkah di hadapannya sesosok bayangan berjalan
mendekatinya. Seakan-akan begitu saja muncul dari dalam gelap. Orang itu
menggosok matanya, seolah-olah ia belum percaya kepada penglihatannya. Namun
bayangan itu semakin lama menjadi semakin jelas berjalan mendekatinya. Ketika bayangan
itu tinggal beberapa langkah saja dari padanya, penjaga itu merundukkan
pedangnya sambil bertanya,
“Siapa kau,
he?”
Tidak segera
terdengar jawaban.
“Berhenti di situ!”
penjaga itu mulai curiga.
“Siapa kau?”
Masih belum
terdengar jawaban, sedang bayangan itu masih melangkah maju.
Orang-orang
yang berada di dalam gardu mendengar sapa itu, sehingga beberapa orang meloncat
turun sambil bertanya,
“Kau berbicara
dengan siapa?”
Penjaga itu
tidak menjawab, namun orang-orang yang turun dari gardu itu pun segera melihat,
bahwa seseorang melangkah mendekati gardu mereka. Karena itu, maka serentak
mereka maju. Tangan-tangan mereka telah meraba hulu pedang di lambung
masing-masing.
“Siapa kau?”
pertanyaan itu terdengar kembali membelah sepinya malam.
Kini bayangan
itu berhenti. Bayangan seorang anak muda yang bertubuh raksasa.
“Berapa orang
kalian?” bertanya Wrahasta yang kini berdiri sambil bersilang tangan di dada.
“Siapa kau?
Jawab pertanyaanku!” bentak penjaga itu. Kini orang itulah yang melangkah
setapak maju.
Ketika jarak
kedua orang itu menjadi semakin dekat, tiba-tiba penjaga itu berdesis,
“Kau
Wrahasta?”
Mendengar
desis itu, maka kawan-kawannya pun segera maju pula. Mereka mengenal Wrahasta,
sebagai seorang pemimpin pengawal tanah perdikan yang tetap setia kepada Ki
Argapati. Karena itu, maka serentak para penjaga itu menarik senjata
masing-masing, berdiri berjajar dengan wajah-wajah yang tegang. Namun Wrahasta
masih tetap berdiri sambil bersilang tangan.
“Hem,”
Wrahasta menggeram,
“Tanda, Nala,
Dipa, dan siapa lagi yang lain? Kemarilah kalian. Kau, kau dan kau? Aku
mengenal kalian meskipun nama-nama kalian agaknya aku telah lupa, karena kalian
adalah kelinci-kelinci yang tidak patut diingat sama sekali.”
Beberapa orang
segera mendesak maju. Sejenak mereka terpukau oleh sikap Wrahasta yang begitu
tenang dan yakin akan dirinya sendiri.
“Apa kerjamu
di sini Wrahasta?” bertanya orang yang disebut Nala.
“Kau masih bertanya
juga?” jawab Wrahasta.
“Seharusnya
kau sudah tahu, bahwa aku pasti sedang mengemban tugas Kepala Tanah Perdikan
Menoreh melihat-lihat pengawalnya yang telah berkhianat.”
Nala
mengerutkan keningnya. Namun terasa darahnya mengalir semakin cepat. Katanya,
“Kau jangan
asal membuka mulutmu saja Wrahasta. Kau harus menyadari, dengan siapa kau sekarang
berhadapan. Meskipun kau pernah menjadi pemimpinku ketika aku masih ada di
dalam pasukanmu, tetapi sekarang kau adalah orang lain. Kau tidak berhak
memerintah aku lagi dengan cara apa pun
juga.”
“Aku memang
tidak akan memerintahkan kau untuk berbuat apa pun karena kau seorang
pengkhianat,” sahut Wrahasta.
“Diam!” bentak
Nala,
“Aku telah
mengenal kau. Kau bukan raksasa yang perlu ditakuti. Apakah yang telah
mendorongmu untuk datang seorang diri kemari? Apakah kau sekarang telah
mendapat seorang guru baru yang dapat membuat kulitmu kebal?”
“Jangan banyak
bicara, Nala. Kumpulkan kawan-kawanmu. Aku terpaksa membunuh kalian meskipun
kita sudah lama saling mengenal. Ini bukan persoalan kawan atau bukan kawan.
Ini adalah persoalan pokok bagi tegaknya Tanah Perdikan Menoreh.”
“Wrahasta, ada
dua kemungkinan yang terjadi atasmu sekarang. Kau sudah menjadi kebal melampaui
Ki Argapati, atau kau sudah menjadi gila. Kalau kau masih waras, kau tidak akan
berbuat demikian. Kau melihat kami di sini. Beberapa orang pengawal yang
barangkali memang pernah kau kenal, ditambah oleh beberapa orang yang melihat
kebenaran perjuangan kami yang berdiri di pihak Sidanti.”
Wrahasta
tertawa pendek.
“Berapa orang
seluruhnya.”
“Tiga belas
orang,” jawab Nala, “kau dengar? Tiga belas orang.”
Wrahasta
mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia kini terpaksa berpikir. Tiga belas orang.
Cukup banyak.
“Tetapi
orang-orangku berjumlah lebih dari tiga belas orang termasuk Gupala dan
Gupita,” berkata Wrahasta di dalam hatinya.
“Nah, kau
dengar jumlah itu,” berkata Nala kemudian.
“Apakah kau
mempunyai aji-aji Bala Srewu atau Pancasona atau Narantaka?”
Tetapi Wrahasta
justru tertawa. Jawabnya,
“Jangan
berbangga karena jumlah kalian yang banyak itu. Sebentar lagi kalian akan
segera kami bunuh. Benar-benar menurut arti kata itu, kami bunuh.”
“Persetan.
Menyerahlah.”
Wrahasta
mengerutkan keningnya. Nala telah melangkah maju dengan senjata di tangan.
“Kepung
raksasa yang sedang bingung ini.”
Beberapa orang
segera bergerak. Mereka bermaksud mengepung Wrahasta. Tetapi Wrahasta tidak
berdiri saja di tempatnya. Ia pun kemudian melangkah beberapa langkah surut. Dengan
demikian maka orang-orang yang akan mengepungnya meloncat-loncat semakin cepat
dan menebar semakin jauh, sehingga akhirnya mereka menjadi seleret garis
lengkung yang sedang memburu Wrahasta yang melangkah surut. Gupita menarik
nafas dalam-dalam menyaksikan hal itu. Semakin jauh mereka dari gardu, maka
tugas para pengawal itu pun menjadi semakin sulit, karena sebagian dari para
penjaga itu masih tetap berada di depan regol.
“Hati-hati,”
teriak Nala kemudian,
“aku belum
mengatakan kemungkinan ketiga. Justru kemungkinan yang paling dekat. Wrahasta
tidak saja menjadi kebal atau gila, tetapi ia dapat membawa sepasukan pengawal
yang dungu bersamanya.”
Mendengar
kata-kata Nala itu Wrahasta menjadi berdebar-debar. Sedang para penjaga itu
kini telah benar-benar melingkarinya. Karena itu, seperti pesannya kepada para
pengawal, begitu ia memberikan isyarat, mereka harus segera menyergap. Dan
Wrahasta yang sudah hampir terkepung rapat itu merasa, bahwa waktunya telah
tiba.
Dengan
demikian maka tiba-tiba saja terdengar suaranya menggeletar,
“Sekarang.
Hancurkan seisi regol ini.”
Suara itu
segera disambut oleh Nala,
“Benar kataku.
Hati-hati. Mereka akan segera muncul dari persembunyian.”
Para pengawal
yang memang sudah siap itu pun segera berloncatan dari balik pohon-pohon jarak
dan batang-batang jagung, langsung menyerang para peronda itu, yang telah siap
menyongsong mereka.
Kali ini para
pegawal benar-benar harus bertempur. Mereka tidak hanya sekedar menghunjamkan
senjata-senjata mereka ke dada orang-orang yang sedang tidur.
“Gila kau,
Wrahasta,” geram Nala.
Terdengar
suara tertawa Wrahasta. Kemudian jawabnya,
“Sudah aku
katakan, aku akan membunuh kalian satu demi satu.”
Pertempuran pun segera berkobar. Setiap orang mendapat
lawan masing-masing. Namun ternyata bahwa jumlah orang-orang yang dibawa oleh
Wrahasta, termasuk para petugas sandi, masih lebih banyak dari tiga belas orang
yang berada di regol itu. Apalagi yang datang bersama Wrahasta terdapat Gupita
dan Gupala. Meskipun Gupita masih tetap berusaha mengekang dirinya, namun
Gupalalah yang seakan-akan mendapat sejumlah permainan yang menyenangkan.
Karena itu, maka seperti orang yang sedang menari ia berloncatan mempermainkan
pedangnya. Dan adegan-adegan maut dari tarian anak muda yang gemuk itu
benar-benar telah mencemaskan lawan-lawannya. Para penjaga regol itu segera
merasa, bahwa mereka tidak akan dapat melawan kekuatan Wrahasta bersama
kawan-kawannya. Karena itu salah seorang dari mereka, segera merayap di dalam
kegelapan, mendekati tanda bahaya yang tergantung di emper regolnya. Dengan
tangan gemetar diraihnya pemukul kentongan yang berada di sudut regol. Wrahasta
yang melihat orang itu menjadi berdebar-debar karenanya. Dengan serta-merta ia
berteriak,
“He, orang
itu. Orang itu.”
Tetapi jarak
mereka tidak cukup dekat dengan kentongan itu. Dalam keremangan api perapian
yang masih menyala di dalam regol, tampaklah orang itu telah berhasil
menggenggam pemukul kentongan dan dengan serta-merta meloncat siap untuk
membunyikan tanda.
“Tahan orang
itu!” terak Wrahasta.
Tidak akan ada
seorang pun yang mampu meloncat sejauh
itu. Sehingga dengan demikian tidak akan ada seorang pun yang dapat menghalanginya mengangkat
tangannya untuk mengayunkan pemukul itu.
Namun
tiba-tiba orang itu menyeringai kesakitan. Pemukul itu terlepas dari tangannya
ketika terasa sesuatu menyengat lengan dan sekejap kemudian pergelangan
tangannya. Belum lagi ia mengerti apa yang terjadi, maka terasa tengkuknya
telah dikenai oleh sebongkah batu, sehingga ia terhuyung-huyung beberapa
langkah dan jatuh tertelungkup.
Sejenak
kemudian matanya menjadi semakin gelap, sehingga akhirnya ia pun jatuh pingsan.
Ternyata Gupita yang menjadi cemas pula melihat orang yang hampir berhasil
membunyikan tanda bahaya itu bertindak cepat. Diraihnya beberapa butir batu.
Dengan kecakapannya membidik yang luar biasa ia berhasil menggagalkan usaha
orang itu untuk menyentuh kentongannya. Melihat kawannya jatuh terjerembab, Nala
menggeram. Tiba-tiba saja pedangnya telah terayun ke arah lambung Wrahasta.
Namun raksasa itu cukup cepat menghindar, sehingga ujung senjata itu tidak
menyentuhnya. Dalam pada itu perkelahian pun berkobar terus semakin lama
semakin dahsyat. Para penjaga yang kemudian seakan-akan menjadi berputus asa,
telah berkelahi membabi buta. Namun satu-satu mereka jatuh di tanah untuk tidak
bangkit lagi, sehingga pada suatu saat orang yang terakhir, Nala, tidak dapat
lagi menghindarkan diri dari ujung senjata Wrahasta, disaksikan oleh para
pengawal. Nala masih sempat mendengar salah seorang pengawal yang pernah
dikenalnya berkata kepadanya,
“Hukuman yang
pantas bagi seorang pengkhianat.”
Nala
menggeliat. Dengan nanar ia mencoba menatap para pengawal, bekas kawan-kawannya
itu mengerumuninya. Namun kemudian serasa tulang-tulangnya terlepas dari
tubuhnya. Matanya pun menjadi gelap, dan
sebuah tarikan nafas yang patah telah menandai kematiannya.
Wrahasta
berdiri dekat di samping tubuh Nala yang terbujur di tanah. Ia masih sempat
tertawa sambil menimang-nimang pedangnya. Namun suara tertawanya itu terputus
ketika seorang pengawal mengangkat sesosok tubuh dan meletakkannya di muka
Wrahasta.
“He, kenapa
dia?”
“Ia terbunuh
dalam pertempuran ini.”
Wrahasta
mengerutkan keningnya,
“Jadi, ada
juga yang mati di antara kita?”
Pengawal itu
mengangguk.
“Gila, siapa
yang membunuh?”
“Salah satu
dari mayat-mayat yang bergelimpangan ini.”
“Gila.
Sungguh-sungguh gila. Beberapa gardu sudah kita lampaui tanpa korban seorang
pun. Tetapi di sini kami kehilangan seorang kawan.”
“Dan tiga
orang telah terluka.”
Wrahasta
seakan-akan membeku di tempatnya. Tangannya menggenggam pedangnya erat-erat.
Terdengar giginya gemeretak dan wajahnya menjadi semerah soga.
“Kita
berjumlah lebih banyak. Sepuluh orang, ditambah dengan para petugas sandi, aku
sendiri dan dua gembala itu. Kenapa kita harus menyerahkan korban di dalam
tugas ini?” geram Wrahasta.
Tidak
seorang pun merasa wajib untuk menjawab.
Karena itu maka para pengawal itu pun terdiam.
“Kita harus
menukar nyawa ini dengan sepuluh nyawa lawan.”
Para pengawal
itu masih belum juga menjawab. Namun di dalam kesepian yang mencekam terdengar
suara Gupala,
“Lebih dari
sepuluh.”
Wrahasta
berpaling ke arah suara itu, dan ia melihat anak yang gemuk itu berdiri sambil
meraba-raba perutnya,
“Berapa orang
yang telah kita bunuh bersama-sama? Lebih dari sepuluh, dan kita masih harus
membunuh pula. Kita akan merayap ke gardu-gardu yang lain di dalam desa ini
yang tentu akan di jaga oleh orang-orang Ki Tambak Wedi seperti gardu ini. Dan
kita harus membinasakan mereka pula, apabila kita tidak ingin diketahui oleh
lawan sebelum kita memasuki padukuhan induk itu.”
Wrahasta
mengerutkan keningnya. Kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya,
“Ya, lebih
dari sepuluh.”
“Tetapi akan
lebih baik kalau kita tidak kehilangan seorang pun.” Kemudian terdengar suara
Gupita,
“Setidak-tidaknya
kita jangan menambah korban lagi, setelah kami kehilangan seorang kawan dan
beberapa orang yang lain terluka. Kecuali korban itu menjadi terasa terlampau
mahal, kita juga kehilangan sejumlah tenaga dalam pertempuran-pertempuran yang
mendatang apabila kita menyelesaikan para penjaga di gardu-gardu.”
“Tentu. Kita
tidak akan menjadi gila dengan menyerahkan korban-korban dengan sengaja. Apa
yang terjadi adalah di luar kemampuan kita. Tidak seorang pun dapat disalahkan,” jawab Wrahasta.
“Benar. Namun
kita harus berusaha. Kita harus mengurangi hal-hal yang sama sekali tidak
perlu. Kita harus menghemat tenaga.”
“Aku tidak
mengerti maksudmu.”
“Kita tidak
perlu bersikap sebagai seorang pahlawan. Kita akan kehilangan waktu. Lebih baik
kita mempergunakan cara yang terdahulu. Terbukti dengan demikian kita tidak
kehilangan apa pun. Meskipun keadaan kita sekarang sudah berbeda. Kita menjadi
semakin sedikit, sedang lawan yang kita hadapi akan menjadi semakin banyak. Aku
yakin bahwa gardu-gardu di padesan ini, padesan yang menghadap ke padukuhan
induk, akan mendapat penjagaan yang semakin kuat. Gardu yang berada di ujung
lain dari lorong ini pasti berisi lebih dari tiga belas orang.”
Wrahasta
mengerutkan keningnya. Ia menyadari kesalahannya, bahwa ia telah terdorong oleh
suatu kebanggaan yang tidak dapat dikendalikannya. Tetapi semuanya sudah
terlanjur, sehingga karena itu ia bertanya,
“Lalu,
bagaimana sebaiknya?”
“Kita berjalan
terus. Tetapi kita harus menjadi lebih berhati-hati. Kita akan mempergunakan
cara-cara yang paling aman, dengan mengendapkan perasaan yang meledak-ledak.”
Wrahasta tidak
segera menjawab.
“Kita akan
mendekati setiap gardu dengan diam-diam.”
“Kemudian
berkelahi melawan orang-orang yang sedang tidur,” sahut Gupala.
Gupita mengerutkan
keningnya. Jawabnya,
“Memang kita
tidak perlu membunuhnya. Kita dapat membuat mereka pingsan. Mereka tidak akan
banyak berarti lagi. Sebentar lagi kita sudah akan berada di dalam gelar, dan
bertempur beradu dada. Seandainya mereka kemudian sadar, mereka tidak akan
dapat berbuat apa-apa lagi.”
“Bodoh. Terlalu
bodoh,” bantah Wrahasta.
“Aku
sependapat dengan kau tentang cara yang akan kita pakai untuk membungkam setiap
gardu di depan kita. Tetapi tidak begitu cengeng seperti yang kau maksudkan.”
Gupita tidak
menjawab. Tetapi sekali lagi ia mendengar Gupala berbisik di telinganya,
“Kau memang
aneh, Kakang.”
Gupita menarik
nafas dalam-dalam. Tidak hanya satu-dua kali adik seperguruannya itu
membisikkan kalimat-kalimat itu.
“Baiklah, kita
akan maju lagi. Semua orang ikut bersama kami. Setelah tugas kami di dalam
padesan ini selesai, barulah kita akan memberi laporan terakhir kepada pasukan
induk.”
Setelah
meletakkan mayat seorang kawannya di dalam gardu, maka pasukan kecil itu
berjalan lagi. Tiga orang yang terluka telah mendapat pertolongan sementara.
Tetapi ternyata bahwa luka itu tidak terlampau berat, sehingga mereka masih
mungkin untuk bertempur. Ketika mereka mendekati gardu kedua di dalam padesan
itu, mereka tidak lagi membiarkan Wrahasta tenggelam di dalam arus
kebanggaannya yang berlebih-lebihan. Kelompok itu pun kemudian merayap dengan
hati-hati mendekat. Seorang petugas sandi harus berusaha mengetahui dan mencoba
untuk menilai kekuatan lawan.
“Paling
sedikit mereka berjumlah lima belas orang,” seorang petugas sandi menyampaikan
hasil pengamatannya kepada Wrahasta.
Wrahasta
mengerutkan keningnya. Jumlah mereka kini sudah berkurang pula karena sudah ada
beberapa orang yang terluka.
“Tetapi tugas
ini harus kita laksanakan,” geramnya.
“Kita harus
menyergap dengan tiba-tiba,” desis Gupala,
“Kali ini kita
tidak boleh bermain-main.”
Wrahasta
mengangguk-anggukkan kepalanya,
“Marilah, kita
mendekat.”
Dengan sangat
hati-hati kelompok itu pun maju
mendekat. Sebagian dari para penjaga itu justru berada di luar regol. Mereka
duduk-duduk di atas batu yang berserakan di tikungan jalan.
“Jangan beri
kesempatan mereka mencabut senjata mereka,” desis Wrahasta.
Gupita
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kini keningnya pun telah mulai berkerut-merut.
Ia tidak akan dapat terlampau banyak berpikir lagi untuk menghindari
kemungkinan, bahwa senjatanya pun akan terhunjam di dada lawan. Apalagi kini
ternyata bahwa jumlah lawan agak lebih banyak, meskipun tidak berselisih
terlalu jauh. Sejenak kemudian Wrahasta diam dalam ketegangan. Seakan-akan
memberi kesempatan kepada orang-orangnya untuk membuat ancang-ancang. Sekali ia
menarik nafas dalam-dalam, kemudian ia mengangkat tangannya perlahan-lahan. Setiap
orang di dalam kelompok kecil itu memperhatikan tangan itu dengan seksama.
Apabila tangan itu kemudian tegak, maka setiap orang segera mempersiapkan
dirinya. Wrahasta tidak menunggu lebih lama lagi. Sebelum salah seorang penjaga
di gardu itu melihat tangannya, maka tangannya tiba-tiba telah diayunkannya. Demikian
tangan itu bergerak, maka seperti digerakkan oleh satu tenaga gaib, orang-orang
di dalam kelompok kecil itu meloncat dari persembunyian mereka. Satu-dua orang
yang tidak dapat menahan ketegangan di dalam dadanya, tanpa disadari telah
menggeram sambil menghentakkan dirinya. Orang-orang yang sedang duduk di
tikungan, yang sedang berada di dalam gardu dan yang sedang berjalan
hilir-mudik di muka regol, terkejut bukan kepalang. Namun mereka adalah
orang-orang yang terlatih seperti para pengawal itu. Bahkan ada di antara
mereka yang dahulu memang seorang pengawal, ditambah dengan orang-orang yang
cukup berpengalaman dalam petualangan bersenjata. Karena itu, maka dengan gerak
naluriah, mereka pun berloncatan sambil
mencabut senjata-senjata mereka.
Hanya Gupala
dan Gupita sajalah yang sempat mencapai lawannya sebelum lawannya menarik
senjata mereka. Gupala dengan serta-merta telah membelah dada lawannya, sedang
pedang Gupita melukai pundak kanan. Orang itu terdorong surut, namun kemudian
sebuah pukulan mengenai punggungnya. Meskipun ia menyadari bahwa lawannya hanya
bersenjata pedang, namun ia tidak merasa punggungnya menganga karenanya. Ternyata
Gupita telah memukul punggung orang yang terluka itu dengan punggung pedangnya.
Ia melihat lawannya itu terhuyung-huyung, kemudian jatuh terjerembab. Sejenak
orang itu mencoba merangkak, namun kemudian perasaan sakit yang tidak
tertahankan lagi telah menjalari tulang-tulangnya. Bintang di langit yang bertaburan
itu serasa menjadi berputaran. Dan sesaat kemudian maka ia pun terjatuh kembali. Pingsan. Barulah
sekejap kemudian kawan-kawannya menyusul. Mereka menyerbu seperti badai melanda
tebing. Tetapi lawan-lawan mereka pun bukan sebuah patung kayu. Untuk mendapat
kesempatan mencabut senjata, mereka berloncatan mundur beberapa langkah.
Kemudian dengan senjata di tangan, mereka menyongsong lawan-lawan mereka. Sejenak
kemudian terjadilah pertempuran yang seru. Gupala dan Gupita segera menempatkan
diri mereka di sekitar gardu, agar tidak seorang pun dari lawan yang sempat
memukul tanda bahaya. Pemimpin penjaga itu marah bukan buatan. Serangan yang
tiba-tiba itu benar-benar telah mengejutkan mereka. Dua orang di antara mereka
telah jatuh tanpa perlawanan sama sekali. Karena itu, maka yang masih hidup
merasa wajib untuk menuntut balas. Dengan demikian, maka tandang mereka pun menjadi garang. Bahkan ada beberapa orang
di antara mereka menjadi buas dan liar. Ternyata pekerjaan kelompok kecil itu
kini terasa terlampau berat. Mereka tidak sekedar menusuk perut dan lambung
orang yang sedang tidur dan setengah tidur. Kini mereka harus bertempur,
melawan orang-orang yang cukup kuat dan tangguh. Bahkan dalam pertempuran yang
singkat, segera tampak, bahwa ada beberapa orang pengawal yang mengalami
kesulitan melawan orang-orang yang menjadi buas dan kasar. Gupita dan Gupala
segera melihat kesulitan yang dialami oleh pasukan kecil itu. Di dalam hati
Gupala bersyukur, bahwa pasukan ini tidak lagi datang dengan cara yang baru
saja mereka pergunakan. Jika demikan, maka perlawanan ini akan menjadi
terlampau berat bagi Wrahasta dan pasukannya. Kini tidak ada pilihan lain bagi
keduanya untuk bertempur dengan sepenuh tenaga. Mereka harus mengurangi lawan
secepat-cepat dapat mereka lakukan. Jika mereka terlambat, maka korban akan
berjatuhan di pihaknya. Dengan demikian, maka mereka tidak dapat lagi
menempatkan diri mereka seperti para pengawal yang lain. Mereka harus berbuat
sejauh-jauh dapat mereka lakukan, meskipun dalam ungkapan terdapat beberapa
perbedaan antara keduanya. Gupala dengan garangnya kemudian memutar pedangnya.
Setiap sentuhan dengan pedangnya itu, berarti bahwa lawannya telah kehilangan
senjatanya. Akibat berikutnya tidak akan dapat mereka hindari lagi. Pedang
Gupala segera menembus dada. Di bagian lain dari pertempuran itu, Gupita telah
melumpuhkan lawan-lawannya. Tidak dapat lagi ia menghindari kemungkinan yang
paling parah bagi lawannya apabila pedangnya terpaksa menyentuh leher dan dada.
Pertempuran kali ini telah benar-benar menitikkan keringat dan darah. Dengan
nafas terengah-engah Wrahasta berhasil menyelesaikan lawannya. Kemudian ia
melihat orang terakhir yang mencoba melarikan dirinya telah terbunuh oleh
Gupala.
Namun ia tidak
dapat menahan kemarahan yang meluap-luap sehingga terdengar giginya gemeretak.
Setelah pertempuran itu selesai, maka segera Wrahasta mengetahui, bahwa tiga
orang kawannya telah terbunuh.
“Gila.
Benar-benar gila. Tiga orang lagi telah terbunuh, sehingga korban dari tugas
ini menjadi terlampau banyak. Empat orang mati dan sejumlah yang lain
luka-luka.”
“Dan kita
masih belum selesai,” desis Gupala.
Wrahasta
menarik nafas dalam-dalam. Kini ia tidak dapat mengingkari kenyataan. Kedua
anak-anak muda itulah yang sebenarnya telah mengambil peranan. Bukan dirinya.
Tanpa kedua anak-anak muda yang mengaku diri mereka gembala itu, Wrahasta tidak
dapat menyebutkan, apa yang telah terjadi dengan pasukan kecilnya ini.
“Jadi,” kini
Wrahastalah yang bertanya,
“apakah kita
akan melanjutkan tugas ini?”
Gupita terdiam
sejenak. Dipandanginya setiap orang di dalam kelompok itu. Tiga orang lagi kini
terbujur diam, sedang beberapa orang yang lain telah terluka. Bahkan ada yang
tidak akan mampu lagi bertempur sewajarnya.
“Tinggal tujuh
orang yang masih utuh,” desis Gupita di dalam hatinya.
Gupala yang
berdiri beberapa langkah daripadanya pun
menjadi ragu-ragu pula. Meskipun anak muda itu jarang sekali membuat
pertimbangan-pertimbangan, tetapi kali ini ia melihat suatu kenyataan bahwa
pasukan kecil ini sudah tidak memiliki kemampuan seperti yang diharapkan.
“Tetapi tanpa
perambas jalan, maka korban di induk pasukan akan berlipat-lipat,” desis Gupala
di dalam hatinya.
Sejenak
kemudian Gupita menarik nafas. Katanya,
“Terserah
pertimbanganmu Wrahasta. Kekuatan kita tinggal tujuh orang. Beberapa orang yang
terluka masih mungkin untuk sekedar membantu. Tetapi bagi mereka yang hampir
tidak lagi mampu menggerakkan tangannya, sudah tentu, sebaiknya mereka tidak
ikut bertempur, supaya mereka tidak menjadi korban di gardu berikutnya.”
Wrahasta
memandang anak buahnya dengan tajamnya. Kemudian dengan nada berat ia bertanya,
“Nah,
bagaimana pendapat kalian. Kalau kita meneruskan tugas ini, kalian harus
menyadari bahwa sebagian dari kita tidak akan keluar lagi dari pertempuran itu.
Kita tidak tahu siapakah yang akan menjadi korban berikutnya. Namun setiap
kalian masing-masing mendapat kemungkinan yang sama.”
Tidak
seorang pun yang menjawab.
“Kita
sebaiknya melanjutkan tugas ini,” desis Gupala.
Wrahasta
mengangguk.
“Ya, itu
adalah tindakan yang paling tepat. Siapa yang menyadari kemungkinan akan
dirinya, ikut aku. Aku akan berjalan terus. Siapa yang berkeberatan, lebih baik
kembali bersama induk pasukan.”
Orang-orang
itu masih mematung.
“Nah, siapakah
yang berkeberatan?”
Tidak
seorang pun yang menjawab.
“Terima
kasih,” geram Wrahasta,
“semua akan
pergi bersamaku. Meskipun demikian, mereka yang terluka aku persilahkan
menghubungi pasukan induk. Sampaikan kepada Ki Samekta semua kemungkinan. Kalau
kami gagal di gardu terakhir, mereka harus segera maju secepat-cepatnya. Kalau
kami tidak berhasil membinasakan orang-orang di dalam gardu itu, maka tanda
bahaya akan segera berbunyi. Dengan demikian berarti, bahwa pasukan Ki Tambak
Wedi masih mempunyai kesempatan untuk mempersiapkan diri, meskipun kesempatan
itu teramat pendek, karena pasukan induk kini pasti sudah menjadi semakin dekat
pula. Tetapi agaknya akan lebih baik, apabila mereka sama sekali tidak
menyadari bahwa pasukan Menoreh telah berada di dalam lingkungan mereka.”
Meskipun
demikian di antara yang terluka itu ada yang menjawab,
“Aku akan ikut
bertempur.”
Wrahasta
menarik nafas. Jawabnya,
“Terima kasih.
Tetapi yang cukup parah, aku terpaksa melarang. Kalian harus kembali ke induk
pasukan. Kalian harus memberitahukan bahwa mereka harus maju lebih cepat untuk
menjaga segala kemungkinan.”
Mereka yang
memang sudah tidak mungkin lagi untuk maju, menganggukkan kepala mereka.
Meskipun mereka telah terluka, tetapi mereka memang tidak seharusnya membunuh
diri. Karena itu, maka setelah mendapat perawatan sementara, mereka pun segera mundur ke induk pasukan. Kini
tujuh orang yang masih utuh dan dua orang yang telah terluka ringan, meneruskan
perjalanan mereka. Masih ada sebuah gardu lagi sebelum mereka sampai ke bulak
pendek di seberang padesan itu. Di bulak pendek itulah nanti, pasukan Menoreh
akan memasang gelar untuk memasuki padukuhan induk. Dan gelar itu pun akan segera berubah bentuknya, apabila
pasukan Ki Tambak Wedi tidak menyongsong mereka di luar padukuhan.
Dengan sangat
hati-hati, mereka merayap mendekati gardu terakhir. Mereka sudah menduga bahwa
gardu ini pun pasti dijaga dengan baik
oleh orang-orang Ki Tambak Wedi. Dugaan mereka ternyata tidak meleset. Seorang
petugas di antara mereka yang berhasil mendekat melaporkan kepada Wrahasta.
“Mereka
kira-kira berjumlah dua belas atau tiga belas orang.”
Wrahasta
menarik nafas dalam-dalam. Orangnya kini tinggal berjumlah sembilan orang,
termasuk dirinya sendiri. Dengan penuh kebimbangan Wrahasta memandang Gupita
dan Gupala berganti-ganti. Sejenak kemudian ia bertanya,
“Bagaimanakah
pertimbangan kalian?”
Yang menjawab
adalah Gupala,
“Kita sudah
berada di muka hidung mereka. Kenapa kau masih ragu-ragu.”
Wrahasta
mengerutkan keningnya. Ditatapnya wajah Gupala sejenak. Kemudian beralih kepada
Gupita.
“Baiklah kita
selesaikan tugas kita,” desis Gupita pula.
“Kita harus
berjuang mati-matian. Mungkin di dalam gardu itu masih ada satu dua orang yang
lepas dari pengamatan. Itu pun harus kita perhitungkan, sehingga sedikitnya
setiap orang dari kita harus menghadapi dua orang sekaligus. Karena itu kita
harus lebih berhati-hati. Kita akan merayap sedekat mungkin sehingga kita akan
dapat menerkam mereka dengan tiba-tiba tanpa memberi kesempatan sama sekali.”
Wrahasta
menganggukkan kepalanya. Demikianlah maka kesembilan orang itu segera merayap.
Kini mereka memencar menjadi tiga kelompok. Sekelompok dipimpin langsung oleh
Wrahasta, sekelompok Gupita, dan sekelompok yang lain dipimpin oleh Gupala. Kelompok-kelompok
kecil yang terdiri dari masing-masing tiga orang itu merayap semakin dekat.
Mereka memilih arah yang berbeda untuk membangkitkan kebingungan di pihak lawan
yang jumlahnya agak lebih banyak. Wrahasta dan Gupala harus mendahului
menyerang, sedang dalam kegugupan, Gupita akan memanfaatkan keadaan masing-masing
bersama kedua kawan-kawan mereka di setiap kelompok kecil itu. Semakin dekat
kelompok-kelompok kecil itu ke depan para penjaga, dada mereka menjadi semakin
berdebar-debar. Tugas ini adalah tugas yang sangat berat bagi mereka. Beberapa
langkah di hadapan gardu itu, Wrahasta dan kelompok-kelompok yang lain pun berhenti. Mereka bersembunyi di balik
gerumbu1-gerumbul liar dan tanaman-tanaman di sawah. Gupita yang menyusur
dinding batu segera membawa kedua kawannya meloncat masuk. Kini para pengawal itu
dapat melihat para penjaga yang duduk dengan tenangnya di dalam dan di sisi
gardu. Mereka tidak terkantuk-kantuk, tidak bergurau dan berbantah. Tetapi
terasa bahwa orang-orang di dalam gardu itu sedang merenungi masing-masing
dengan penuh tanggung jawab.
Setiap orang
yang berada di dalam kelompok-kelompok kecil itu menjadi berdebar-debar. Tugas
mereka benar-benar berat. Mereka harus berhadapan dengan sepasukan penjaga yang
tangguh. Bahkan jumlahnya pun agak lebih
banyak dari sembilan orang, sedang yang dua di antaranya telah terluka meskipun
tidak terlampau parah. Wrahasta mencoba mengatur pernafasannya. Dipandanginya
arah Gupala bersembunyi bersama kedua kawannya, kemudian ditatapnya mulut
lorong itu tajam-tajam. Sejenak kemudian Wrahasta itu menyiapkan dirinya.
Diberinya kedua kawan-kawannya itu isyarat, agar mereka siap untuk meloncat.
Dan sejenak kemudian terdengar suara raksasa itu membelah langit.
“Sekarang.
Binasakan mereka.”
Setiap orang
di dalam gardu itu terkejut. Dengan gerak naluriah mereka berloncatan
menghadapi ketiga orang yang tiba-tiba saja telah menyerang mereka. Tetapi
Wrahasta kini sama sekali tidak berkesempatan untuk menusukkan senjatanya
begitu saja. Seorang penjaga yang sedang bertugas benar-benar telah siap
menghadapi segala kemungkinan. Karena itu ketika dilihatnya ketiga orang yang
berloncatan itu, tombaknya segera merunduk dan menyongsongnya. Wrahasta segera
menyerang orang yang bersenjata tombak itu dengan garangnya, sedang kedua orang
kawannya yang lain dengan serta-merta menyerbu orang itu pula. Kesempatan yang
hanya sekedjap itu ternyata dapat mereka pergunakan sebaik-baiknya. Sebelum
para penjaga yang lain sempat mencapai penjaga yang sedang bertugas itu,
Wrahasta dengan kedua kawan-kawannya telah berhasil menembus lambungnya dengan
pedang. Para penjaga yang lain pun berteriak marah sekali. Dengan penuh
kemarahan mereka berlari menyerang Wrahasta dengan kedua kawannya. Tetapi tanpa
mereka duga-duga, Gupala meloncat seperti tatit menyerang salah seorang dari
mereka. Begitu tiba-tiba, sehingga kedua kawannya yang meloncat bersamanya
tertinggal beberapa langkah. Beberapa orang tertegun melihat kedatangan ketiga
orang dari arah yang lain ini. Tetapi mereka tidak mendapat kesempatan. Agaknya
dalam keadaan yang gawat, Gupala tidak lagi menggenggam pedang di tangan
kanannya. Seperti yang dikatakannya, pedang itu dipegangnya dengan tangan kiri,
dan tangan kanannya memegang senjata ciri perguruannya. Sebuah cambuk panjang.
“Orang-orang
di seberang bulak itu tidak akan mendengar suara cambuk ini asal aku tidak
meledakkannya dengan sepenuh kekuatan tanpa sasaran,” berkata Gupala di dalam
hatinya.
“Apabila
ujung-ujung cambuk ini menyentuh seseorang, maka suaranya tidak akan
mengganggu.”
Dan ternyata
serangan cambuk Gupala itu telah mengejutkan lawannya. Dengan gerakan sendal
pancing, maka pada serangan pertama Gupala telah berhasil melemparkan seorang
lawan. Namun kali ini anak yang gemuk itu tidak sempat memperhatikannya, apakah
lawannya itu dengan demikian telah terbunuh. Dengan segera Gupala telah
menyerang orang kedua yang dengan susah payah mencoba menghindarinya. Namun
bagaimanapun juga punggungnya serasa disengat oleh puluhan lebah. Terdengar ia
berdesis menahan sakit. Namun dengan demikian, matanya segera menjadi merah
karena kemarahan yang tidak ada taranya. Dalam kekisruhan itulah Gupita hadir
bersama kedua kawan-kawannya justru dari dalam regol, sehingga untuk sejenak,
para penjaga regol itu menjadi bingung. Namun karena pengalaman mereka, maka
mereka pun segera berhasil memperbaiki keadaan mereka dan mengatur diri dalam
perlawanan yang teratur.
Meskipun di
saat-saat permulaan itu, beberapa orang telah terbunuh, namun ternyata jumlah
mereka masih lebih banyak dari jumlah pasukan kecil yang tinggal sembilan orang
itu. Namun ternyata bahwa senjata Gupala yang lentur dan agak panjang itu,
sangat membantunya untuk menghadapi dua tiga orang sekaligus, meskipun setiap
sentuhan senjata itu akibatnya agak berbeda dengan akibat sentuhan ujung
pedang. Tetapi dengan demikian, maka senjata itu segera dapat mengurangi
kemampuan lawan. Gupita agaknya sependapat pula dengan adik seperguruannya.
Maka setelah mengambil ancang-ancang sejenak, ia pun segera mengurai senjatanya
yang dibelitkannya di lambung, di bawah bajunya. Dengan demikian, maka sepasang
cambuk panjang itu telah sangat membingungkan lawan-lawannya. Tanpa mereka
sangka-sangka, tiba-tiba saja leher mereka telah disengat oleh ujung cambuk
yang mampu menyayat kulit. Sejenak kemudian, maka perkelahian itu menjadi
semakin seru dan kasar. Dengan pedangnya Wrahasta mengamuk seperti harimau
luka. Kawan-kawannya pun berusaha
sekuat-kuat tenaga untuk melawan jumlah yang lebih banyak itu.
Namun agaknya
Gupita dan Gupala lah yang sangat menarik perhatian lawan-lawan mereka,
sehingga dengan demikan maka sebagian dari mereka telah berkerumun di sekitar
kedua anak-anak muda itu untuk menahan agar keduanya tidak menimbulkan korban
yang semakin banyak. Untuk menghadapi mereka, Gupita dan Gupala tidak lagi
sempat bermain-main. Kini mereka bertempur, sebenarnya bertempur.
Namun keduanya
memang memiliki banyak kelebihan dari anak-anak muda kebanyakan. Meskipun tiga
orang melawannya sekaligus, namun kedua anak-anak muda itu tdak terlampau
banyak mengalami kesulitan. Dengan mengerahkan kemampuan mereka, maka mereka
segera berhasil mengatasi lawan-lawannya. Yang harus mereka lakukan adalah
segera membinasakan lawan. Secepat-cepatnya supaya mereka masih mempunyai waktu
untuk menolong kawan-kawannya. Pertempuran kecil itu segera mencapai puncaknya.
Adalah menguntungkan sekali bahwa para penjaga itu telah memusatkan perhatian
mereka kepada Gupita dan Gupala. Dengan demikian maka kawan-kawannya yang lain
mendapat kesempatan untuk menghadapi lawan seorang dengan seorang. Meskipun
demikian ternyata bahwa penjaga itu bukan orang-orang yang dapat dengan mudah
mereka kuasai. Bahkan ada di antara mereka yang segera dapat mendesak para
pengawal. Lawan Wrahasta pun ternyata bukan seorang yang dapat diremehkan.
Raksasa itu terpaksa memeras segenap kemampuannya untuk melawan. Meskipun
mereka telah bertempur beberapa lama, namun belum ada tanda-tanda bahwa
Wrahasta segera dapat menguasainya. Yang selalu mendapat perhatian dari para
pengawal, bagaimanapun juga mereka dalam kesibukan mempertahankan diri, adalah
kemungkinan para penjaga itu membunyikan tanda-tanda. Karena itu maka para
pengawal termasuk Gupita dan Gupala selalu berusaha, agar tidak seorang pun
yang berkesempatan menyentuh kentongan atau tanda-tanda yang lain. Ternyata
Gupita dan Gupala memang anak-anak muda yang pilih tanding. Sejenak kemudian
lawan-lawan mereka sama sekali sudah tidak berdaya. Ketika ujung cambuk Gupala
menyambar leher seorang lawan, maka dengan sekuat tenaga cambuk itu
dihentakkannya, sehingga orang itu terdorong ke depan. Belum lagi ia dapat menguasai
keseimbangannya, maka pedang di tangan kiri Gupala telah membenam di perutnya.
Ketika Gupala menarik pedangnya, maka orang itu pun segera terjerambab. Mati. Kawan-kawan
orang yang mati itu tertegun sejenak. Mereka benar-benar menjadi ngeri melihat
ujung cambuk Gupala yang seolah-olah mempunyai mata. Meskipun di antara mereka
terdapat orang-orang liar, namun mereka belum pernah melihat seseorang yang
mampu berkelahi dengan cara itu. Di bagian lain, Gupita pun segera menguasai lawan-lawannya. Setiap
kali salah seorang lawannya terlempar dari gelanggang sambil menyeringai
kesakitan. Dan setiap mereka berusaha untuk bangkit dan mendekat, maka ujung
cambuk itu pun telah menyengatnya pula. Ternyata
ujung-ujung cambuk itu mempunyai kemampuan yang luar biasa. Ketika Gupita
menghentakkan cambuknya, terasa cambuk itu seperti remasan besi pada lengan
seorang lawannya. Tanpa dapat bertahan lagi, maka tangan itu menjadi lumpuh dan
senjata di dalam genggamannya pun kemudian terjatuh di tanah. Ketika cambuk itu
disentakkan, maka seakan-akan tangan itu telah ditarik oleh kekuatan yang tidak
terlawan, sehingga orang itu terpelanting dan jatuh terbanting di tanah. Sebuah
batu yang menyentuh bagian belakang kepalanya telah membuatnya terpejam untuk
waktu yang tidak dapat diperhitungkan. Kedua anak-anak muda itu telah berhasil
menjatuhkan lawannya seorang demi seorang. Dengan demikian, ketika lawan-lawan
mereka telah habis, mereka pun segera
berusaha membantu kawan-kawannya yang masih bertempur dengan gigihnya. Meskipun
tugas kelompok kecil itu menjadi semakin berat di dalam pertempuran di gardu
terakhir ini, namun karena Gupita dan Gupala telah mempergunakan hampir segenap
kekuatannya, maka tugas mereka terasa agak lebih cepat selesai.
Para penjaga
itu seorang demi seorang berjatuhan di tanah. Dan tidak seorang pun di antara mereka yang berhasil untuk
bangkit kembali. Meskipun demikian Wrahasta terpaksa menundukkan kepalanya
dalam-dalam. Dari sembilan orang yang terakhir itu telah pula jatuh tiga orang
gugur, dan hampir semuanya, selain Gupita dan Gupala, terluka. Bahkan Wrahasta
sendiri juga terluka di pahanya, ketika tombak lawannya yang mengarah ke dada
berhasil disentuh dengan pedangnya. Namun ternyata ujung tombak itu masih juga
mengenainya.
“Ternyata kita
telah menyelesaikan tugas kita dengan korban yang terlampau banyak,” desis
Wrahasta.
Gupita dan
Gupala menarik nafas dalam-dalam. Sejenak mereka merenungi ketiga orang yang
telah jatuh sebagai banten.
“Tetapi
pengorbanan mereka tidak akan sia-sia,” Wrahasta meneruskan.
“Adalah wajar
setiap orang yang memasuki pertempuran mendapat kemungkinan serupa itu. Aku pun
juga.”
Gupita dan
Gupala masih tetap berdiam diri.
“Nah, siapakah
di antara kalian yang masih sanggup untuk menghubungi pasukan induk?” bertanya
Wrahasta. Ia tidak sampai hati untuk memberikan perintah begitu saja kepada
orang-orangnya yang telah terluka itu.
Dan tiba-tiba
saja Gupita menyahut,
“Biarlah aku
pergi ke induk pasukan.”
“Bukan, bukan
kau,” jawab Wrahasta dengan serta-merta.
“Aku tidak
berwenang memerintah kau. Kau adalah orang-orang yang dengan sukarela telah
membantu kami.”
“Aku akan
pergi dengan suka rela pula”
Wrahasta
menarik nafas dalam-dalam. Dipandangnya Gupita dengan seksama. Pandangannya
terhadap anak muda itu kini berubah sama sekali. Namun dengan demikan, maka
seakan-akan ia telah kehilangan harapan untuk bersaing dengan salah seorang
dari kedua gembala yang penuh dengan teka-teki itu. Bersaing untuk mendapatkan
Pandan Wangi.
“Apakah
keberatanmu kalau aku melakukannya?” bertanya Gupita.
“Aku tidak
mempunyai keberatan apa pun. Tetapi kau sudah cukup banyak memberikan jasa
kepada kami.”
Gupita menarik
nafas dalam-dalam. Kemudian kepada Gupala ia berkata,
“Kau tetap di
sini. Aku akan menghubungi pasukan induk agar mereka mempercepat perjalanan.
Pintu sudah terbuka, dan kita akan segera memasang gelar di hadapan hidung Ki
Tambak Wedi.”
Gupala
mengangguk. Jawabnya,
“Baiklah. Aku
akan menunggu di sini.”
Gupita pun kemudian meninggalkan kelompok yang sudah
menjadi semakin kecil itu menghubungi induk pasukan untuk melaporkan apa yang
telah terjadi. Dengan tergesa-gesa ia berjalan melalui jalan yang baru saja
dilewatinya, dengan arah yang berlawanan. Ia ingin segera sampai, dengan
demikian pasukan induk itu akan maju semakin cepat. Agaknya malam telah menjadi
semakin dalam, dan kemungkinan-kemungkinan lain yang dapat timbul dengan
tiba-tiba. Namun setiap kali Gupita menjadi berdebar-debar. Apalagi apabila ia
sedang melalui gardu yang pernah dihancurkannya. Ia masih melihat beberapa
sosok mayat yang berserakan.
“Korban masih
akan berjatuhan,” desisnya,
“dan mayat pun
akan bertambah-tambah. Besok tanah perdikan ini akan meratap, karena
anak-anaknya yang terbaik telah saling membunuh di peperangan.”
Tetapi Gupita
tidak dapat mengingkari kenyataan, bahwa selama manusia masih dikendalikan oleh
nafsunya, maka benturan kepentingan di antara mereka pasti masih akan terjadi.
Betapa pendeknya nalar manusia. Apabila mereka menemui kesulitan untuk mencari
jalan penyelesaian, maka keunggulan jasmaniah akan menjadi ukuran untuk
menentukan kebenaran. Yang menang akan menjadi kebanggaan, dan yang kalah
menjadi pangewan-ewan. Hal itu dapat terjadi timbal-balik tanpa menghiraukan
tuntutan nurani kemanusiaan. Gupita menarik nafas dalam-dalam. Terbayang di
wajahnya dua orang yang kini sedang beradu kepentingan. Kalau Argapati menang,
maka ia adalah pahlawan yang telah menyelamatkan tanah perdikan ini, namun
apabila Ki Tambak Wedi menang, maka pengikutnya akan meneriakkan kidung
kemenangannya itu sebagai seorang yang telah membebaskan tamah perdikan ini dan
membawa udara pembaharuan.
“Tetapi betapa
dalamnya, namun di dasar hati mereka pasti terpercik kebenaran yang diakui oleh
peradaban manusia masa kini,” berkata Gupita di dalam hatinya.
“Mereka akan
berbicara tentang hak dan tentang keadilan.”
Gupita
mengerutkan lehernya ketika terasa angin malam yang dingin menyapu kulitnya.
Kemudian langkahnya pun menjadi semakin
cepat. Sementara itu, Gupala, Wrahasta, dan kawan-kawannya yang masih hidup
meskipun terluka, duduk di bibir gardu sekedar melepaskan ketegangan hati.
Namun dalam pada itu, Gupala pun kemudian merebahkan dirinya sambil bergumam,
“Kalau aku
tertidur, jangan tinggalkan aku di sini.”
Wrahasta
menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Bukan main
orang ini,” berkata Wrahasta di dalam hatinya.
“Perang yang
telah membayang di pelupuk, bagi anak yang gemuk itu, seolah-olah hanya sekedar
permainan kejar-kejaran saja.”
Tetapi
Wrahasta tidak mengatakannya. Dibiarkan saja Gupala terbaring diam. Sejenak
kemudian nafasnya pun menjadi teratur. Dan matanya pun segera terpejam. Tetapi
telinga Gupala memang telinga yang luar biasa. Meskipun ia tertidur tetapi ia
pun segera terbangun ketika ia mendengar derap suara kaki-kaki kuda yang
semakin lama menjadi semakin dekat. Dua ekor kuda. Dengan sigapnya Gupala
meloncat turun justru mendahului mereka yang tidak tertidur. Dengan berdiri
tegang ia memandang ke dalam kelamnya malam. Sambil menunjuk ia berdesis,
“Kuda itu
datang dari sana. Dari padukuhan induk.”
Wrahasta dan
kawan-kawannya yang kemudian menyusul turun dari gardu menjadi tegang pula.
“Ya. Suara itu
datang dari sana.”
Sementara itu
dua orang sedang berpacu di atas punggung kuda. Namun dinginnya malam agaknya
telah membuat mereka tidak begitu bernafsu untuk berpacu lebih cepat lagi.
“Barangkali
Sidanti sedang diganggu oleh mimpi buruk,” desis yang seorang.
Yang lain
tertawa. Katanya,
“Apa salahnya
kita berhati-hati. Ada dua kemungkinan, Sidanti bermimpi buruk karena
ketegangan yang mencengkam kepalanya, atau telinga kita memang sudah terganggu.”
“Kalau terjadi
sesuatu, mereka pasti akan memberikan tanda apa pun.”
“Kecuali kalau
mereka sudah berhasil menyelesaikan masalah itu sendiri.”
“Sebenarnya
kita tidak perlu pergi. Malam dinginnya bukan main. Lebih baik tidur melingkar
di gardu.”
“Tetapi
telinga Sidanti yang sedang nganglang di pinggir padukuhan induk itu agaknya
memang mendengar ledakan cambuk.”
Kawannya
tertawa dan berkata,
“Sekali lagi
aku menganggapnya, Sidanti diganggu oleh mimpi buruk.”
Keduanya
kemudian terdiam. Kuda-kuda mereka masih berlari terus menuju ke desa yang
semakin dekat, seolah-olah muncul dari dalam kabut yang hitam.
“Sepi,” desis
yang seorang.
“Tetapi di
gardu itu terdapat orang-orang yang cukup matang. Mereka tidak akan tertidur.”
Kawannya tidak
menjawab. Tetapi kepalanya terangguk-angguk. Ketika mereka telah menjadi
semakin dekat, timbullah kecurigaan di hati kedua orang itu. Mulut lorong itu
terasa terlampau sepi. Bahkan ketika mereka menjadi semakin dekat lagi, mereka
sama sekali tidak mendengar suara apa pun
dari dalam gardu itu.
“Aneh,” bisik
yang seorang.
“Marilah kita
lihat.”
Keduanya
menjadi semakin dekat. Dan tiba-tiba saja yang seorang telah menarik pedangnya
dengan serta-merta sambil bergumam, “Hati-hati.”
Yang lain pun segera bersiap. Dengan sigapnya pula
dalam sekejap pedangnya telah berada di tangan. Tenyata mereka telah melihat
mayat yang terbujur di tanah.
“Mereka telah
mati,” desis salah seorang dari mereka.
“Nah, kau
lihat bahwa Sidanti tidak sedang bermimpi buruk? Ternyata memang telinga kitalah
yang tuli.”
“Sekarang
bagaimana?”
“Kita bunyikan
tanda bahaya.”
Kawannya
menganggukkan kepalanya. Keduanya pun segera mendekati gardu dengan hati-hati.
Pedang-pedang mereka telah siap di tangan. Tetapi mereka tertegun karena di
gardu itu sama sekali tidak terdapat sebuah kentongan pun. Sejenak kedua orang
itu saling berpandangan. Kemudian tanpa berjanji mereka berusaha mencari, di
manakah kentongan yang biasanya tergantung di sudut gardu. Namun mereka sama
sekah tidak menemukannya.
“Gila,” desis
salah seorang dari mereka.
“Agaknya
orang-orang yang dengan licik menyerang gardu ini telah pergi sambil
melenyapkan semua alat dan kemungkinan untuk memberikan tanda-tanda.”
“Tetapi induk
pasukan harus segera mengetahui. Ternyata pendengaran Sidanti sangat mengagumkan.
Jika demikian maka di antara para penyerang terdapat orang-orang yang
bersenjata cambuk itu.”
“Kita harus
menemukan jejaknya.”
“Terlampau
berbahaya. Mereka pasti datang dengan kekuatan yang cukup. Lihat, seluruh isi
gardu ini terbunuh. Tidak seorang pun
yang dapat melepaskan diri, dan mereka sama sekali tidak sempat membunyikan
tanda bahaya.”
“Kalau
begitu?”
“Kita kembali.
Kita laporkan semuanya kepada Sidanti.”
“Ya.
Begitulah.”
Tetapi sebelum
kuda-kuda mereka bergerak, mereka telah di kejutkan oleh suatu suara,
“He, bukankah
kalian bernama Kirti dan Juki?”
Kedua orang
berkuda itu terkejut. Suara itu telah menyebut nama mereka dengan tepat. Tetapi
mereka sama sekali belum melihat dari manakah arah suara itu. Dalam kebingungan
mereka mendengar suara dari suatu arah,
“Kirti dan
Juki, kenapa kau menjadi bingung?”
Kedua orang
itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian Kirti menggeretakkan giginya sambil
berteriak,
“He, setan
alas! Ayo, keluar dari persembunyianmu.”
Tetapi terdengar
suara yang lain lagi,
“Jangan marah
Kirti. Kau akan menjadi terlampau cepat tua.”
Keduanya
menjadi semakin bingung. Suara itu seperti berputar-putar dari segala arah.
Tetapi keduanya bukan penakut yang segera kehilangan akal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar