Jilid 036 Halaman 3


Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Tetapi firasatnya terasa mengetuk hatinya, bahwa sesuatu akan terjadi atas tanah perdikan ini. Justru kebodohan yang berlebih-lebihan dari pasukan Sidanti itu membuatnya bercuriga.
Tiba-tiba dengan serta-merta ia berkata,
“Paman, apakah Paman sendiri tidak lengah menghadapi pasukan itu? Sampai saat ini Paman belum membuat perintah apa-apa.”
“Oh,” peringatan itu telah membuat dada Samekta berdesir. Ia memang belum berbuat apa-apa justru karena ia menganggap lawannya terlampau kecil. Maka sejenak kemudian ia berkata kepada setiap pemimpin kelompok pasukannya,
“Semua masuk ke dalam dinding halaman. Kita biarkan pasukan itu masuk ke lorong ini, kemudian kita sergap mereka setelah semuanya berada di dalam padukuhan. Aku akan memberikan aba-aba yang harus disambut oleh setiap pemimpin kelompok dan kemudian oleh setiap pengawal. Suara yang bersahut-sahutan akan membuat mereka semakin bingung.”
Setiap pemimpin kelompok tidak menunggu perintah itu diulangi. Segera mereka berloncatan ke pasukan masing-masing. Dan sebelum Pandan Wangi menyadari keadaan itu, semua pasukan telah hilang di balik dinding batu di sepanjang jalan padukuhan. Bahkan kuda Pandan Wangi  pun sudah tidak tampak lagi di tempatnya.
Pandan Wangi menarik nafas. Pasukan Menoreh memang terlatih baik. Mereka dapat berbuat dengan cepat tanpa banyak menimbulkan keributan.
“Tetapi pasukan Kakang Sidanti yang terdiri dari orang-orang Menoreh pun akan sebaik itu pula,” gumam Pandan Wangi di dalam hatinya. Tetapi sebelum gadis itu sempat bertanya, maka dilihatnya pasukan yang sudah menjadi terlampau dekat di hadapan mereka itu berhenti.
“Mereka agaknya mulai menyusun diri,” berkata Samekta kepada Pandan Wangi.
“Ternyata mereka tidak sebodoh yang kita sangka.”

Samekta tidak menjawab. Tetapi matanya seakan-akan hendak meloncat dari pelupuknya ketika ia melihat pasukan itu bergeser. Ternyata mereka tidak maju lagi, tetapi mereka berjalan memintasi pematang. Namun sejenak kemudian Samekta tersenyum,
“Biar saja mereka memilih lawan.”
Pandan Wangi tidak mengerti, apakah yang dimaksud oleh Samekta. Tetapi ia tidak bertanya. Beberapa langkah ia maju meskipun ia masih tetap terlindung oleh bayangan dedaunan yang rimbun.
“Kemana mereka akan pergi Paman?”
“Mungkin mereka melihat tanda-tanda, bahwa kita menunggu mereka di sini. Mungkin beberapa orang pengawas mereka berhasil mendekat tanpa setahu kita. Karena itu mereka merubah arah. Agaknya mereka akan berlindung untuk sementara di pategalan itu sambil menyusun pasukan mereka menjadi pasukan yang agak pantas untuk maju ke medan perang.”
Pandan Wangi mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia melihat kesan yang aneh di wajah Samekta. Apalagi ketika ia bergumam,
“Kita akan melihat, apa yang akan terjadi di pategalan itu.”
Sepercik pertanyaan menyala di wajah Pandan Wangi, meskipun tidak terucapkan, dan Samekta  pun dapat menangkap pertanyaan itu. Katanya,
“Marilah Ngger, kita maju beberapa langkah lagi. Kita menunggu, apa yang akan terjadi kemudian.”
“Paman tidak menyiapkan sesuatu untuk menyongsong perubahan tata gelar lawan?”
“Tentu Ngger. Aku akan berbuat sesuatu.”
Tiba-tiba terdengarlah suara suitan pendek dari mulut Samekta, tetapi kemudian berubah seperti suara derik angkup kering. Berturut-turut menusuk sepinya malam. Meskipun suara itu tidak terlampau keras, tetapi cukup dapat didengar oleh pemimpin-pemimpin kelompok pasukannya.
Sekejap kemudian, para pemimpin kelompok itu telah berkumpul. Dan dengan singkat Samekta memberitahukan, bahwa pasukan lawan telah menggeser arah dan pergi ke pategalan di sebelah.
“Oh,” pemimpin pengawal yang tertua di antara mereka bertanya, “lalu apakah yang harus kita lakukan?”
“Kita bersiap. Kita akan segera menyusul mereka.”
“Bagaimana dengan sayap kiri dari pasukan ini?”
“Pada saatnya kita panggil pemimpinnya dengan isyarat. Kemudian mereka harus bergeser dan menempati tempat ini. Kita akan pergi ke pategalan di sebelah.”
“Apakah sayap itu tidak akan ikut dalam pertempuran nanti.”
“Kita melihat perkembangan. Kalau kita tidak segera dapat mengatasi lawan kita, maka sayap itu kita bawa masuk ke dalam peperangan.”
“Apakah kita tidak akan menyusun gelar?”
“Kita lihat keadaan lawan. Tetapi bahwa mereka terperosok ke pategalan itu dalam keadaannya, maka rasa-rasanya kita tidak akan menyusun gelar. Kita akan terlibat dalam perang brubuh seperti yang sudah kita duga sebelumnya.”
“Lalu apakah yang akan kita lakukan dahulu?”
“Bersiap bersama pasukan masing-masing. Aku akan memberikan perintah kepada kalian, apabila datang saatnya kalian harus pergi ke pategalan itu.”

Para pemimpin kelompok itu pun segera kembali ke dalam kelompok masing-masing. Tetapi sejenak kemudian, para pengawal sudah tidak lagi bersembunyi dan berlindung di balik pagar-pagar batu. Mereka kini bahkan telah meloncat kembali kelorong padukuhan itu.
“Aku tidak mengerti Paman,” gumam Pandan Wangi.
“Ini adalah pengalaman Angger yang pertama berada di medan. Angger harus mencoba menyesuaikan diri.” Samekta berhenti sebentar, lalu,
“Tetapi maafkan Ngger, kalau aku kau anggap menyinggung perasaaanmu. Maksudku agar kau tidak terperosok ke dalam keadaan yang tidak kau mengerti sebelumnya.”
Sekali lagi Samekta berhenti, ia menjadi ragu-ragu untuk meneruskannya. Namun akhirnya ia berkata juga,
“Angger Pandan Wangi. Aku mengharap bahwa, Angger mencoba menyesuaikan diri dengan peperangan yang bakal terjadi. Jangan langsung terjun ke dalam hiruk-pikuk perang brubuh. Angger akan melihat hal-hal yang mungkin belum pernah terbayangkan. Betapapun tangkasnya kau, namun kau adalah seorang gadis. Seorang perempuan. Kau akan sangat terpengaruh oleh penglihatanmu dalam perang semacam itu. Orang akan mudah sekali kehilangan kepribadian karena pengaruh dentang senjata. Apalagi orang-orang yang datang itu adalah orang-orang liar yang tidak mengenal peradaban.”
Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Ia mencoba mengerti keterangan Samekta. Sebenarnyalah bahwa ia agak tersinggung pula. Seolah-olah Samekta masih saja menganggapnya anak-anak yang perlu selalu dilindungi. Tetapi ia tidak membiarkan perasaan itu berbicara. Karena itu maka ia  pun bertanya,

“Apakah maksud Paman Samekta dengan kehilangan kepribadian itu?”
“O, Ngger,” jawab Samekta,
“mungkin kau pernah melihat darah mengalir dari luka. Mungkin kau bahkan pernah mengalami bertempur melawan enam orang laki-laki liar serupa itu. Tetapi kau belum pernah berada dalam perang brubuh. Orang-orang yang terlibat di dalamnya akan kehilangan otaknya. Yang berkuasa di dalam arena yang demikian adalah ujung senjata. Lebih dari itu. Setiap orang akan berusaha melepaskan kemarahan, dendam dan kebencian, sehingga tingkah lakunya jauh melampaui tingkah laku binatang yang paling buas sekalipun.”
Dada Pandan Wangi berdesir. Kini ia mengerti maksud Samekta. Tetapi ia sudah bertekad untuk mengenal bentuk peperangan dari dekat. Ia ingin mendapat pengalaman, apalagi apabila benar-benar ayahnya menganggap, bahwa ia sudah sepantasnya untuk mengganti kedudukan ayahnya itu. Kalau ia gagal pada pengenalannya atas bentuk peperangan yang pertama kali dan menjadi korban karenanya, maka itu adalah akibat yang wajar dari peperangan.
Karena itu maka katanya,
“Terima kasih Paman. Aku akan berusaha untuk menyesuaikan diri. Tetapi aku akan tetap berada dalam pasukan ini.”
Samekta menarik nafas. Tetapi sebelum ia menjawab, ia mengangkat kepalanya. Lamat-lamat ia mendengar suara isyarat. Panah sendaren.
“Kita harus bersiap,” desisnya. Sekali lagi terdengar suara suitan dari mulut Samekta, kemudian berubah menjadi derik angkup kering. Dan sekali lagi para pemimpin kelompok berloncatan mendekatinya.
“Siapkan pasukan. Kita akan pergi ke pategalan.”
Sekali lagi Pandan Wangi melihat para pemimpin kelompok itu seolah-olah lenyap ditelan gelap malam. Namun sekejap kemudian pasukan di padukuhan itu telah siap untuk menyergap lawannya. Kelompok demi kelompok. Sama sekali tidak tersusun dalam gelar yang sempurna.
Pandan Wangi terkejut, ketika tiba-tiba ia mendengar sorak bergeletar di pategalan sebelah. Sehingga dengan serta-merta ia bertanya,
“Siapakah yang bersorak itu Paman?”
“Kedua pasukan itu telah bertemu.”
Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Ia masih belum mengerti, pasukan siapakah yang sudah bertemu itu. Karena itu dipandanginya Samekta dengan dahi yang berkerut merut.
Sementara itu, Peda Sura  pun terkejut bukan buatan. Tanpa disangka-sangkanya, ketika ia merasa bahwa di hadapannya bersembunyi pasukan Menoreh, ia mencoba untuk menariknya keluar dengan caranya. Tetapi ternyata bahwa di dalam pategalan itu pun dijumpainya pasukan Menoreh yang telah siap menunggunya.
Sorak yang meledak itu membuatnya sekejab menjadi bingung. Tetapi pengalamannya segera menempatkannya ke dalam keadaan yang mantap. Dengan lantangnya ia berteriak,
“Tarik mereka keluar.”
Orang-orangnya yang telah terjebak itu, segera bergeser surut. Mereka berusaha untuk bertempur di luar pategalan yang dibayangi oleh dedaunan dan pohon-pohon buah-buahan yang rimbun.

Ternyata orang-orang Peda Sura adalah orang-orang yang memang cukup liar, namun cukup mempunyai pengalaman di dalam keliarannya. Segera mereka berkelahi dengan buasnya, sambil bergeser setapak demi setapak. Mereka  pun berteriak-teriak tidak menentu, jauh lebih keras dari suara orang-orang Menoreh yang mengejutkan mereka untuk pertama kali. Perkelahian yang terjadi kemudian adalah perkelahian yang kisruh. Bukan sekedar perang brubuh, tetapi benar-benar campuh seperti debu dalam putaran angin pusaran.
Di padesan sebelah Samekta telah menyiapkan pasukannya. Dengan isyarat pemimpin pasukan di sayap kiri telah datang kepadanya. Samekta segera memberinya beberapa pesan, dan memerintahkan pasukan di sayap kiri itu segera berada di tempat induk pasukan yang akan segera bergeser ke sayap kanan.
“Kalau keadaan memaksa, kalian akan mendapat isyarat untuk bertempur di sayap itu pula.”
“Ya,” jawab pemimpin sayap kiri itu,
“kami akan selalu bersiap menghadapi setiap kemungkinan.”
Samekta mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian berkata kepada setiap pemimpin kelompok,
“Kita berangkat. Kelompok demi kelompok. Kita akan menghadapi perang brubuh yang tidak beraturan sama sekali.” Lalu kepada Pandan Wangi ia berkata, “pertimbangkan kata-kataku, Ngger.”
“Terima kasih Paman, tetapi aku ingin melihat, apa yang terjadi itu.”
Samekta menarik nafas dalam-dalam. Dengan suara berat ia berkata pula,
“Kalau kau berkeras hati Ngger, maka aku hanya dapat berpesan, berhati-hatilah. Berhati-hati sekali.”
“Terima kasih, Paman.”
Samekta  pun kemudian bersiap dengan segenap pasukannya. Pemimpin pasukan sayap kiri telah pergi mengambil pasukannya. Sejenak kemudian, maka iring-iringan pasukan itu telah berada di tengah-tengah bulak pendek, menyeberang ke padukuhan itu.
“Pasukan itu telah datang. Marilah kita berangkat,” desis Samekta yang kemudian memberikan perintah kepada pemimpin-pemimpin kelompoknya untuk segera melibatkan diri ke dalam perang yang ribut itu.
Sejenak kemudian maka mengalirlah pasukan Samekta itu, keluar dari padukuhan tempat mereka berlindung. Di antara mereka terdapat Pandan Wangi yang berdebar-debar, tetapi ia sama sekali tidak ragu-ragu. Ia memang sudah bertekad bulat untuk pergi berperang.
Namun di sepanjang jalan ia masih mencoba mengerti, apakah yang sedang terjadi. Ternyata bahwa pasukan Samekta itu dibagi menjadi tiga kelompok besar.
“Paman Samekta tidak pernah mengatakannya dengan pasti,” desisnya,
“yang kini bertempur itu adalah sayap kanan pasukan Paman Samekta.”
Tetapi angan-angan Pandan Wangi itu segera terputus, ketika ia melihat seseorang berlari-lari menyongsong pasukan yang sedang bergerak itu.
“Siapakah orang itu Paman?”
Samekta menggeleng,
“Aku tidak tahu. Aku kira seorang penghubung.”
Ternyata dugaan Samekta itu benar. Orang itu adalah seorang penghubung.
Belum lagi orang itu berkata sesuatu, Samekta telah lebih dahulu bertanya,
“Kenapa kalian bertempur di luar pategalan?”
“Pasukan lawan memancing kami keluar.”
“Dan kalian mengejar mereka keluar seperti yang mereka kehendaki.”
“Mereka mendesak kami keluar.”
“He?” Samekta mengerutkan keningnya.
“Mereka terlalu kuat buat sayap kanan. Mereka masuk dalam-dalam. Kami memang menjebaknya. Dengan serta-merta kami menyerang mereka. Tetapi mereka mampu mendesak kami. Karena itu kami segera memerlukan bantuan.”
“Ya, aku sudah mendengar isyarat kalian dengan panah sendaren.”
“Tetapi aku dikirim untuk langsung memberitahukan, bahwa yang memimpin pasukan lawan adalah seorang yang bernama Peda Sura.”
“He,” Samekta terperanjat. Ia sudah pernah mendengar nama itu. Dan ia menyadari kini, dengan siapa ia harus berhadapan.
“Bagus,” desisnya. Terasa dadanya menjadi sesak oleh kemarahan yang meluap-luap. Tetapi ia tidak dapat menutup kenyataan, bahwa Peda Sura bukanlah lawannya untuk bertempur seorang lawan seorang. Namun Samekta adalah seorang pengawal yang cukup berpengalaman pula. Segera disusunnya satu kelompok kecil dari orang-orang yang dipilihnya, untuk bersama-sama dengan dirinya sendiri menghadapi Ki Peda Sura. Tanpa cara yang demikian, ia tidak akan dapat berhasil. Kepada orang-orangnya ia berpesan berantai,
“Jangan menghadapi lawan seorang lawan seorang. Bentuklah kelompok-kelompok kecil yang tidak terpisahkan oleh perang yang betapa  pun kisruhnya. Meskipun kita tidak dapat mengimbangi mereka seorang lawan seorang, tetapi jumlah kita jauh lebih banyak.”
Lalu kepada Pandan Wangi ia berkata,
“Kau sudah mendengar Ngger, siapa yang berada di pasukan lawan. Kau harus berada di dalam kelompokku, untuk bersama-sama melawan Ki Peda Sura.”
Kali ini Pandan Wangi tidak membantah. Ia menyadari, bahwa Samekta mempunyai pengalaman yang jauh lebih banyak daripadanya. Karena itu, maka sambil menganggukkan kepalanya ia berkata,
“Baik Paman. Aku akan berada di kelompok itu.”

Samekta menarik nafas panjang. Ternyata Pandan Wangi tidak terlampau membiarkan perasaannya melambung tanpa batas. Dengan demikian ia akan dapat langsung mengawasi gadis itu, dan sekaligus Pandan Wangi akan merupakan kekuatan yang harus diperhitungkan oleh Ki Peda Sura. Kepada beberapa orang prajurit yang dipilihnya, Samekta berpesan untuk melindungi kelompok kecil yang nanti akan bertempur melawan Ki Peda Sura, supaya tidak terganggu oleh orang-orang yang telah dipersiapkan pula oleh pemimpin pasukan lawan yang garang itu. Dari penghubung yang datang kepadanya, Samekta sama sekali tidak mendapat keterangan tentang Sidanti dan Argajaya. Mereka masih belum terlihat berada di pasukan yang sedang bertempur itu, sehingga dengan demikian, maka kedua orang itu telah menimbulkan persoalan di hati Samekta. Pandan Wangi yang belum terlampau banyak memiliki pengalaman dan pengetahuan perang  pun bertanya di dalam hatinya,
“Kenapa Kakang Sidanti dan Paman Argajaya tidak berada di dalam pasukan itu?” Berbagai dugaan tumbuh di dalam hati gadis Menoreh itu. Bahkan ia sampai pada suatu kesimpulan,
“Pasti ada kekuatan lain yang dipimpin oleh Kakang Sidanti. Bahkan mungkin masih ada yang lain pula yang dipimpin oleh Paman Argajaya.”
Tetapi Pandan Wangi tidak menyatakan pikirannya itu. Ia menganggap, bahwa Samekta pasti telah mempunyai perhitungan-perhitungan yang cukup baik. Dan anggapannya itu pun ternyata kemudian ketika Samekta memanggil seorang penghubung datang kepadanya. Pemimpin pasukan Menoreh itu ternyata menjadi gelisah pula, karena Sidanti dan Argajaya tidak ada di dalam peperangan itu. Katanya kepada penghubungnya,
“Kau segera kembali ke pasukan sayap kiri. Menurut pengamatan penghubung dari sayap kanan, belum seorang  pun yang melihat Sidanti dan Argajaya berada di dalam pasukan mereka. Pasukan itu dipimpin oleh Ki Peda Sura. Dengan demikian mereka harus lebih berhati-hati.”
Penghubung itu menganggukkan kepalanya.
“Bawalah seorang kawan dari sayap kiri,” berkata Samekta selanjutnya,
“hubungi pasukan cadangan di banjar, supaya mereka mendengar hal ini pula. Kemudian sampaikan pula kepada Wrahasta. Berita ini harus sampai pula kepada setiap gardu peronda di mana pun juga. Pergilah segera. Berkuda. Bawalah tanda-tanda sandi apabila diperlukan di sepanjang perjalananmu. Panah api atau panah sendaren.”
“Baik,”sahut penghubung itu, yang dengan segera meloncat berlari melakukan tugasnya. Ia harus mengambil kuda di padesan yang baru saja ditinggalkan dan seorang kawan.
Samekta  pun kemudian melanjutkan langkahnya, dengan tergesa-gesa menuju ke pategalan. Di sepanjang bulak yang tidak terlampau panjang itu ia sempat membentuk beberapa kelompok-kelompok lain. Seandainya Sidanti ada di dalam pasukan lawan, apalagi bersama Argajaya pula, maka mereka  pun tidak akan dapat dilawan oleh siapa  pun juga dalam perang seorang lawan seorang. Karena itu, mereka harus dihadapi oleh kelompok-kelompok terpilih. Sejenak kemudian, mereka telah dapat melihat hiruk pikuk pertempuran di luar pagar pategalan. Terdengar teriakan yang melengking-lengking di antara dentang senjata, disahut oleh umpatan-umpatan kasar dan gemeretak gigi. Ternyata orang-orang yang tidak banyak dikenal di Menoreh itu berkelahi dengan kasarnya. Mereka berbuat apa saja tanpa kendali, sehingga kadang-kadang menggoncangkan hati para pengawal Tanah Perdikan Menoreh. Namun anak-anak Menoreh itu telah dibekali tekad di dalam dadanya, bahwa mereka bertempur untuk tanah kelahiran mereka. Tanah yang selama ini telah memberinya tempat untuk membangun suatu bebrayan yang rukun dan damai. Tanah yang telah disadapnya setiap saat untuk makan dan minumnya. Dorongan itulah yang membuat mereka tabah menghadapi keliaran orang-orang yang datang untuk membuat tanah perdikan ini menjadi semakin parah. Namun orang-orang yang berkelahi dengan buasnya itu mempunyai beberapa kelebihan. Pengalaman mereka mempergunakan senjata, kebiasaan mereka berbuat kasar dan sewenang-wenang, bahkan tangan-tangan mereka yang telah terlampau sering dibasahi oleh darah, menempatkan mereka pada kesempatan yang lebih baik dari lawan-lawan mereka. Para pengawal Tanah Perdikan Menoreh, Betapapun juga dilandasi oleh tekad yang bulat, namun kadang-kadang mereka masih juga ragu-ragu untuk menghunjamkan pedang mereka terlampau dalam ke tubuh lawan seandainya mereka mendapat kesempatan. Tetapi saat-saat yang demikian itu ternyata telah menutup setiap kemungkinan berikutnya baginya. Sebab orang-orang di pasukan lawan itu akan mempergunakan segala kesempatan yang mereka peroleh. Tepat pada saatnya, Samekta dan pasukannya berhasil menolong keadaan. Kelompok demi kelompok pasukan pengawal Menoreh dari induk pasukan itu melanda perkelahian yang sedang berlangsung, seperti arus banjir yang melanda tanggul. Kelompok demi kelompok mereka langsung melibatkan diri dalam perkelahian yang hiruk-pikuk. Perang brubuh, sehingga tidak ada batas lagi antara kawan dan lawan. Mereka harus mengenal setiap kawan-kawan mereka dari bentuk, pakaian dan jenis senjata yang di pergunakan. Seperti pesan Samekta, maka para pengawal dari Menoreh telah mencoba untuk berkelahi dalam kelompok kecil yang terdiri dari tiga atau empat orang tanpa terpisahkan. Apabila keadaan memaksa, maka setidak-tidaknya mereka bertempur berpasangan. Dua-dua.

Tidak sukar bagi Samekta untuk segera dapat menemukan Ki Peda Sura. Orang itu ternyata telah menimbulkan terlampau banyak korban. Senjatanya, sepasang bindi yang panjang telah melumpuhkan korban-korban di pihak para pengawal Tanah Perdikan Menoreh. Sepasang senjata itu berputaran seperti sepasang baling-baling, kemudian terayun-ayun mendatar, dan menyambar-nyambar seperti burung garuda.
“Itulah setan itu,” desis Samekta,
“kita harus menghentikannya. Semakin lama ia akan menjadi semakin gila. Bau darah akan membuatnya semakin buas.” Lalu kepada Pandan Wangi ia berkata,
“Hati-hatilah, Ngger. Perang brubuh adalah jenis perang yang paling tidak menyenangkan.”
Pandan Wangi menganggukkan kepalanya. Ia sudah menggenggam sepasang pedangnya. Namun ternyata bahwa pengenalannya yang pertama atas peperangan telah membuat hatinya menjadi berdebar-debar. Tetapi Pandan Wangi sama sekali tidak ingin surut. Ia benar-benar ingin melihat dan menghayati perang. Apalagi kali ini, pada saat tanah perdikannya terancam. Namun sebenarnyalah, bahwa bukan tiba-tiba saja Pandan Wangi ingin melibatkan dirinya di dalam peperangan. Peperangan ini adalah penyaluran yang dapat diketemukannya untuk melepaskan masalah-masalah yang telah membuat dadanya semakin pepat. Persoalan yang sedikit demi sedikit tertimbun di hatinya. Sejak ia melihat kakaknya pulang dengan tabiat yang aneh. Sejak ia berkelahi dengan Sidanti di halaman rumah Ki Sentol. Kemudian sifat-sifat Sidanti yang sangat berubah dari sifat-sifatnya yang pernah dikenalnya dahulu. Pertentangan pendapat antara ayahnya dan Ki Tambak Wedi, kemudian memuncak pada saat ia mendengar ceritera ayahnya tentang Sidanti, tentang ibunya dan tentang persoalan mereka.
Sejak saat itulah terasa di dalam dada Pandan Wangi melonjak-lonjak suatu perasaan yang tidak dapat dimengertinya. Ancaman terhadap tanah perdikan ini telah membuatnya menjadi seorang yang seakan-akan menyimpan dendam di dalam dirinya. Meskipun ia masih mencoba menemui kakaknya dan berbicara dalam suasana yang baik, tetapi telah menyala api di dalam dirinya, yang setiap saat dapat meledak dan membakar seluruh hati dan jantungnya.
Itulah sebabnya, maka peperangan kali ini telah sangat menarik perhatiannya. Seolah-olah ia menemukan tempat untuk menyalurkan dendam dan kebenciannya. Dendam dan kebencian yang selama ini berkembang di dalam dirinya, meskipun ia tidak akan dapat menyebutkannya kepada siapa ia mendendam dan siapakah yang telah dibencinya. Namun selama ini ia mencoba mencari sasaran yang paling mungkin untuk melepaskan dendam dan kebencian itu. Orang yang paling mungkin disangkutkannya sebagai sumber bencana itu adalah Ki Tambak Wedi. Dan Pandan Wangi mencoba memusatkan segenap kebencian dan dendamnya kepada Ki Tambak Wedi. Tetapi Ki Tambak Wedi kini sedang berkelahi dengan ayahnya. Yang ada di peperangan ini adalah orang-orang Ki Tambak Wedi. Kepadanyalah dendam harus ditumpahkan. Tetapi ketika ia telah berada di tengah-tengah perang brubuh yang liar dan buas itu, terasa betapa asingnya dunia yang ada di sekitarnya. Ia sama sekali tidak membayangkan sebelumnya, bahwa di dalam peperangan jiwa seseorang benar-benar tidak berharga. Ia mendengar orang yang berteriak-teriak dengan umpatan-umpatan kasar, kemudian pekik orang kesakitan. Yang lain mengerang dan yang lain lagi mengaduh di sela-sela terkaman-terkaman senjata yang saling berbenturan. Ia melihat dunia yang jauh berlawanan dengan dunianya sendiri. Ia setiap kali melihat seorang ibu mendukung bayinya. Setiap nyamuk yang menggigit bayi itu selalu diusirnya. Setiap goresan kuku-kukunya sendiri yang memerah pada kulitnya, selalu di lumurinya dengan minyak. Apabila bayi itu merasa badannya kurang sehat dan menangis, merengek-rengek, betapa ibunya menjadi bingung malam sampai sehat kembali.

Tetapi di peperangan ini, ia melihat jiwa yang sama sekali tidak dihargai lagi. Dada yang sobek oleh luka ujung senjata. Darah merah yang mengalir membasahi tanah. Tangan yang patah dan lengan yang lemah terkulai tidak berdaya lagi.
“Dua dunia yang jauh berlawanan,” desisnya di dalam hati. Di dunia yang satu, setiap gangguan pada sesamanya, selalu mendapat pertolongan sejauh-jauh dapat dilakukan. Betapa orang berusaha menyelamatkan setiap jiwa yang terancam. Oleh sakit maupun kecelakaan. Betapa orang berusaha menyambung jalan atas kemungkinan, umur yang dijamah oleh maut. Tetapi di dunia yang sekarang diinjaknya, maka setiap orang berusaha melenyapkan jiwa sesama. Bunuh membunuh dengan penuh nafsu dan kebanggaan. Semakin banyak jiwa yang dijemput oleh maut, maka semakin riuhlah sorak sorai orang-orang yang masih dapat bertahan dari dekapan kematian. Dan orang-orang yang masih hidup itu justru berusaha dengan sepenuh kemampuannya, memperbanyak kematian-kematian berikutnya. Tetapi ia sudah berada didunia itu. Pandan Wangi tersedar dari angan-angannya, ketika ia melihat Samekta sudah mulai memutar pedangnya. Beberapa orang di sekitarnya  pun telah siap untuk bertempur. Sebuah kelompok kecil berhadapan dengan seorang yang telah mendengungkan namanya dengan nada yang hitam di dalam hiruk pikuk perang brubuh.
“Kaukah pemimpin orang-orang Menoreh itu,” terdengar suara Ki Peda Sura yang parau datar.
“Ya,” sahut Samekta pendek. Tetapi pedangnya langsung menyerang lambung lawannya. Bertubi-tubi dan sekejap kemudian setiap pedang di dalam kelompok itu pun segera bergetar dan menyambar. Hanya sepasang pedang Pandan Wangi sajalah yang masih bersilang di depan dadanya.
“Kenapa kau bawa perempuan itu kemari?” getar suara Peda Sura.
Ternyata pertanyaan itu telah menggetarkan dada Pandan Wangi. Sejenak kemudian terungkaplah kembali segala macam kebenciannya terhadap orang-orang yang tidak dikenal itu. Enam orang pernah berusaha untuk menangkapnya dengan maksud yang paling keji yang dapat dilakukan oleh manusia. Kemudian dendam dan kebenciannya kepada Ki Tambak Wedi yang telah merusak tanah perdikan, dan lebih-lebih lagi keluarganya. Ia telah memercikkan noda yang tidak terhapus pada nama ibunya. Tetapi ibunya sendiri telah membantu menggoreskan noda itu pula. Meskipun demikian, Pandan Wangi masih tetap ragu-ragu. Apakah benar ia telah digerakkan oleh dendam dan kebencian untuk memasuki dunia yang hitam kelam ini?
“Tidak,” tiba-tiba Pandan Wangi menggeram di dalam hatinya,
“bukan dendam dan kebencian. Seandainya hatiku hanya diwarnai oleh dendam dan kebencian aku dapat mengambil jalan lain. Aku akan melepaskan dendam itu dengan cara yang lain. Tetapi aku kini dibebani oleh tanggung jawabku atas tanah perdikan ini. Kecintaanku atas tanah ini, atas keluargaku dan atas rakyat Menoreh telah memaksa aku untuk masuk ke dalam daerah yang kelam ini.”
Pandan Wangi terkejut, ketika seorang pengawal telah mendorongnya ke samping. Ketika ia menyadari keadaannya, maka hatinya terasa berdesir. Seluruh pengawal yang ada di tempat itu telah terlibat di dalam peperangan. Beberapa orang terpaksa berada di sekitarnya untuk mencoba melindunginya.
Kini Pandan Wangi merasa bahwa dirinya tidak boleh tenggelam dalam angan-angannya saja di tengah-tengah peperangan yang kisruh itu. Dengan demikian ia benar-benar menjadi beban orang lain yang harus mengawasi dan melindunginya. Apalagi ketika ia melihat, betapa Peda Sura sudah sampai pada puncak kemampuannya.
Terdengar gadis itu menggeram. Ia berpaling ketika ia mendengar seseorang terpekik di sampingnya. Matanya menjadi terbelalak ketika ia melihat pengawal yang mendorongnya dari ujung senjata lawan itu memegangi lambungnya yang terluka. Darah yang menitik dari luka itu seolah-olah titik-titik minyak yang menyiram dadanya yang membara. Kalau semula ia menjadi ngeri melihat darah dan luka, serta melihat kekasaran dan keliaran lawannya, maka kini tiba-tiba ia merasa wajib, bahwa ia harus menghentikan semuanya. Peristiwa-peristiwa yang membuat dadanya berdebar-debar telah mendorongnya untuk segera berbuat sesuatu. Pandan Wangi itu menggeretakkan giginya. Selangkah ia maju mendekat Peda Sura kini sedang bertempur melawan beberapa orang yang mengelilingnya. Beberapa orang pengawal terpilih. Namun meskipun demikian, para pengawal itu seolah-olah tidak dapat berbuat terlampau banyak. Mereka hanya dapat menyerang berganti-ganti dari jurusan yang berbeda-beda. Terus-menerus untuk berusaha agar Peda Sura tidak dapat berbuat terlampau banyak. Tetapi Peda Sura bukan kanak-kanak. Segera ia memekik tinggi sambil memutar kedua senjatanya. Seperti prahara ia maju langsung menyerang orang yang memegang pimpinan pada pasukan pengawal Tanah Perdikaa Menoreh.

Samekta terkejut melihat serangan yang langsung melibatnya itu. Seakan-akan ia tidak mendapat kesempatan untuk menghindar.

Orang-orang lain di dalam kelompok itu pun serasa telah kehilangan kesempatan untuk mengimbangi gerak yang terlampau cepat. Peda Sura seolah-olah sudah tidak menghiraukan orang-orang lain kecuali Samekta. Beberapa orang masih mencoba menahannya dan menyerangnya dari arah yang lain. Tetapi gerak Peda Sura dalam kesempatan ini ternyata terlampau cepat. Samekta yang langsung mendapat serangan itu sudah tentu tidak akan membiarkan dirinya binasa. Sejauh-jauh dapat dilakukan ia harus memberikan perlawanan atau menghindar. Karena itu, ketika serangan itu meluncur dengan cepatnya, maka ia  pun segera mencoba mengambil jarak dengan meloncat ke samping. Tetapi senjata Peda Sura seolah-olah mempunyai mata. Serangan itu pun dengan cepatnya berkisar dan mengejarnya. Sehingga dengan demikian, maka Samekta benar-benar tidak dapat lagi menghindarinya. Kini diayunkannya pedangnya, untuk mendapatkan kekuatan membentur serangan lawan itu. Sejenak kemudian, terjadilah sebuah benturan yang dahsyat. Senjata di tangan kiri Ki Peda Sura yang diayunkannya ke pundak lawannya ternyata tertahan oleh pedang Samekta. Meskipun Ki Peda Sura tidak menumpahkan kekuatannya pada tangan kirinya, namun kekuatan ayunan senjatanya itu telah membuat tangan Samekta menjadi pedih. Senjata di dalam genggamannya hampir saja terlepas dan terlempar. Hanya dengan mengerahkan segenap kekuatan dan kemampuan yang ada padanya, pedangnya masih tetap berada di genggaman. Namun dengan demikian, ia terdorong beberapa langkah surut. Kesimbangannya  pun hampir-hampir tidak dapat dipertahankannya, sehingga ia terhuyung-huyung beberapa saat. Tetapi begitu ia berhasil tegak berdiri di atas kedua kakinya, dadanya berdesir dengan dahsyatnya. Sebuah bayangan meluncur ke arahnya dengan kecepatan yang luar biasa. Dua buah senjata di kedua tangannya terayun-ayun mengarah ke tubuhnya. Dalam sekejap, Samekta segera dapat mengenal, orang itu adalah Peda Sura yang kali ini benar-benar tidak mau melepaskannya. Ki Peda Sura agaknya telah mengabaikan beberapa orang di sekitarnya, dan memusatkan serangan-serangannya kepada pemimpin pasukan pengawal Menoreh. Agaknya orang itu mempunyai perhitungan tersendiri. Ia menyadari, bahwa kekuatan lawannya agak lebih besar dari kekuatan pasukannya. Jumlahnya  pun berselisih agak besar, sehingga Ki Peda Sura harus mendapat cara yang secepat-cepatnya, mempengaruhi tenaga perlawanan pasukan pengawal Menoreh. Kalau ia dapat membunuh Samekta, maka keberanian dan tekad para pengawal itu pasti segera akan surut. Karena itulah, maka serangannya kali ini benar telah diwarnai oleh bayangan maut yang hampir mencengkamnya. Sejenak Samekta menjadi bingung. Tetapi naluri keprajuritannya telah menggerakkan tangannya untuk menangkis serangan itu. Loncatan Peda Sura yang secepat tatit itu agaknya telah meyakinkannya, bahwa kali ini Samekta tidak akan dapat menghindar lagi. Kalau serangan ini tidak langsung dapat membunuhnya, maka serangan berikutnyalah yang pasti akan merobek dadanya. Ternyata perhitungan Peda Sura itu benar-benar tepat. Samekta sudah tidak mempunyai kekuatan yang cukup untuk melawan serangan yang datang bertubi-tubi seperti gelombang yang berurutan menghantam tebing. Sekali lagi terjadi benturan antara kedua jenis senjata. Senjata Peda Sura yang diayunkannya dengan tangan kiri untuk kedua kalinya telah membentur senjata Samekta. Dan ternyata kali ini Samekta sudah tidak mampu lagi bertahan. Tangannya terasa seperti tersayat dan pedangnya  pun terlepas dari genggaman. Melihat pedang lawannya terlepas, Peda Sura tertawa. Ia masih harus menangkis satu dua serangan dari orang-orang yang berada di dalam kelompok Samekta. Tetapi serangan-serangan itu sama sekali tidak berarti. Yang di hadapinya sekarang adalah Samekta yang telah siap menanti maut.
Dengan mata yang buas, Peda Sura mengangkat senjata di tangan kanannya. Sesaat terdengar suara tertawanya yang mengerikan, seperti suara iblis dari dalam lubang kubur. Samekta sendiri kini sama sekali sudah tidak berdaya untuk berbuat apapun. Yang dapat dilakukan hanyalah meloncat menghindar. Tetapi itu tidak akan banyak berguna lagi. Karena itu, maka hidup matinya kini sangat tergantung kepada orang-orang di dalam kelompoknya. Tetapi Peda Sura mampu memunahkan setiap serangan dengan tangan kirinya, atau bergeser setapak-setapak surut, dan kemudian maju lagi. Samekta yang sudah tidak bersenjata itu kini sama sekali telah kehilangan kesempatan. Meskipun ia masih mencoba untuk melihat seseorang yang mungkin dapat memberinya senjata, tetapi ia sudah tidak mempunyai waktu lagi.

Ki Peda Sura kemudian telah membuat perhitungan selanjutnya. Yang pertama-tama setelah Samekta mati, adalah meneriakkan kemenangan itu untuk mempengaruhi setiap ketahanan di dalam diri setiap pengawal Tanah Perdikan Menoreh yang berada di dalam peperangan itu. Tetapi tanpa disangka-sangka, Ki Peda Sura itu terkejut. Ternyata senjatanya telah membentur suatu kekuatan yaug tidak diduganya. Ia sama sekali tidak menaruh perhatian atas serangan yang tiba-tiba datang dari arah samping. Seperti serangan-serangan yang lain, digerakkannya tangan kirinya untuk menangkis serangan itu sambil berkisar, sebelum ia mengayunkan tangan kanannya, dan mematahkan leher Samekta yang berdiri tegak seperti patung. Namun ternyata benturan yang terjadi telah menggetarkan dadanya. Karena Ki Peda Sura sama sekali tidak menyangka, maka senjatanyalah yang hampir-hampir terlepas dari tangannya. Terdengar pemimpin dari pasukan yang liar itu menggeram. Ia terpaksa meloncat beberapa langkah surut. Namun agaknya serangan yang datang kali ini, jauh berbeda dengan serangan-serangan yang terdahulu. Sepasang pedang seakan-akan memburunya, dan dengan kecepatan yang luar biasa kedua ujung pedang itu mematuknya dari arah yang berbeda.
“Setan betina,” Ki Peda Sura berteriak,
“ternyata kau mampu juga berkelahi, he!”
Orang yang memegang sepasang pedang itu adalah Pandan Wangi. Pada saat terakhir, ia menggeretakkan giginya dan langsung meloncat menyerang Ki Peda Sura, ketika Samekta benar-benar telah terancam bahaya maut. Ia dengan susah payah telah berhasil menyingkirkan keragu-raguannya, karena ia yakin, bahwa ia harus berbuat sesuatu. Berbuat sesuatu untuk tanah ini dan untuk rakyat yang berada di dalam lingkungannya. Itulah sebabnya, maka sambil menggeretakkan giginya, Pandan Wangi telah meluncurkan serangan-serangan yang sangat berbahaya bagi lawannya. Meskipun lawannya itu adalah Ki Peda Sura. Ternyata Ki Peda Sura harus mengerahkan tenaga dan kemampuannya untuk menghindari serangan-serangan Pandan Wangi yang mengalir seperti banjir bandang. Bertubi-tubi. Sekali-sekali terjadi benturan-benturan antara dua pasang senjata. Tetapi karena Ki Peda Sura sama sekali tidak bersiap untuk melawan serangan-serangan yang demikian, maka beberapa kali ia terpaksa jauh-jauh menghindar untuk mendapat kesempatan memperbaiki keadaannya. Tetapi setiap kali Pandan Wangi telah berada di hadapannya sambil menjulurkan kedua ujung pedangnya. Berganti-ganti, tetapi kadang-kadang bersama-sama, sehingga sepasang pedang itu seolah-olah telah berubah menjadi puluhan ujung pedang yang digerakkan oleh puluhan tangan dari penari-penari yang menarikan sebuah tarian maut. Tetapi Ki Peda Sura bukan anak-anak yang baru pandai menghapus ingus di hidungnya. Ia adalah seorang yang telah menggetarkan lingkungannya dengan berbagai macam perbuatan dan tindakannya yang nggegirisi. Ia adalah seorang yang telah mampu mencengkam lingkungannya dengan kelebihan-kelebihannya yang meyakinkan. Itulah sebabnya, betapapun sulitnya, akhirnya perlahan-lahan Ki Peda Sura dapat menemukan keseimbangannya kembali. Perlahan-lahan ia dapat menempatkan dirinya, dalam perlawanan yang wajar terhadap lawannya yang kali ini ternyata jauh melampaui segala orang di dalam peperangan itu. Kini Ki Peda Sura telah berdiri tegak di atas kedua kakinya. Senjatanya telah mantap di dalam genggaman. Dan matanya tajamnya memandang lawannya dengan hampir tidak berkedip, bahkan dari sepasang mata yang buas itu seakan-akan memancar api yang menjilat-jilat.
“Ternyata di Menoreh ada juga setan betina macam kau,” geramnya.
Pandan Wangi tidak menyahut. Tetapi ia menyadari sepenuhnya dengan siapa ia berhadapan. Karena itu, maka dipusatkannya perhatiannya kepada Ki Peda Sura. Dipercayakannya dirinya kepada para pengawal yang selalu berusaha menahan serangan-serangan dalam hiruk pikuk perang brubuh itu, sehingga seolah-olah kedua orang yang berhadap-hadapan itu telah dipisahkan dari lingkungan perang yang semakin kisruh.
“Hem,” Peda Sura menggeram,
“sayang sekali, bahwa gadis secantik dan semuda kau, sudah harus mati di peperangan. Mungkin kaulah yang bernama Pandan Wangi puteri Kepala Tanah Perdikan Menoreh yang gila itu. Aku pernah mendengar namamu dan kelebihan-kelebihan yang kau miliki.”
Pandan Wangi tidak menjawab. Selangkah ia maju mendekati lawannya dengan penuh kewaspadaan. Kedua pedangnya kini bersilang di muka dadanya.
“Uh,” Peda Sura berdesah,
“bukan main. Kau memang seorang yang luar biasa. Kau mempunyai kepercayaan yang mantap kepada dirimu sendiri. Aku kira kau  pun pernah mendengar namaku. Tetapi agaknya kau benar-benar tidak gentar.”

Pandan Wangi sama sekali tidak merasa perlu untuk menjawab. Karena itu ia hanya mengatupkan mulutnya rapat-rapat. Kini jarak mereka menjadi semakin dekat, dan pandangan mata keduanya sama sekali tidak berkisar dari senjata lawan. Sementara itu, Samekta telah berhasil memperoleh senjatanya kembali. Meskipun tangannya masih terasa pedih, namun ia tidak akan dapat membiarkan perkelahian antara Pandan Wangi dan Peda Sura itu berlangsung tanpa bantuan orang lain. Meskipun Pandan Wangi cukup mempunyai bekal dan kemampuan, namun Peda Sura menyimpan pengalaman yang jauh lebih banyak dari gadis yang baru untuk pertama kalinya terjun di peperangan. Apalagi perang brubuh. Karena itu, maka ia  pun segera mendekat bersama beberapa orang di dalam kelompoknya.
“Ha,” berkata Ki Peda Sura,
“lihat, kawanmu yang hampir menjadi bangkai itu mendekat pula. Agaknya ia benar-benar ingin mati di peperangan ini.”
Tetapi Pandan Wangi sama sekali tidak berpaling. Bahkan setelah Samekta berada di sampingnya. Ia mengerti benar, bahwa Peda Sura mampu bergerak secepat tatit. Peda Sura mengumpat-umpat di dalam hatinya. Ia melihat banyak kelebihan pada gadis itu. Keyakinan kepada diri sendiri, penuh kewaspadaan dan otak yang terang. Dengan demikian, maka dadanya telah diamuk oleh kecemasan. Kini ia tidak yakin, bahwa ia akan dapat berbuat sekehendaknya atas lawan-lawannya. Kesempatan untuk membunuh Samekta seolah-olah telah lenyap, sedang ia menyadari, bahwa jumlah pasukan Menoreh lebih banyak dan lebih kuat dari pasukannya. Namun demikian Peda Sura masih mempunyai harapan. Sebentar lagi pasukan Sidanti akan masuk ke induk padukuhan Menoreh. Pada saat itulah, maka pasukan Menoreh pasti akan dapat di pecahnya.
“Tetapi bagaimanakah seandainya Sidanti sengaja memperpanjang waktu menunggu pasukan ini hancur?” pertanyaan itu timbul pula di dalam hatinya. Tetapi dijawabnya sendiri,
“tentu tidak. Tentu tidak. Ia masih memerlukan kami.”
Dan Ki Peda Sura tidak dapat berangan-angan berkepanjangan. Pandan Wangi melangkah semakin dekat dan pedangnya yang bersilang kini mulai bergetar.
“Betina ini benar-benar seperti iblis,” desis Ki Peda Sura di dalam hati.
Dan ternyata bahwa sekejap kemudian Pandan Wangi telah meloncat ke samping, menggerakkan pedangnya dan langsung menyerang dengan sengitnya. Bukan saja Ki Peda Sura yang menggeram, tetapi Samekta pun menggeram pula oleh keheranan yang menyesak di dadanya. Ia sama sekali tidak menyangka, bahwa Pandan Wangi yang luruh itu dapat berubah menjadi demikian garangnya. Samekta  pun tidak mau melewatkan setiap kesempatan. Selagi ia mendapat kesempatan, maka ia  pun mendekat pula dan menyerang bersama-sama dengan beberapa orang di dalam kelompok kecil itu. Baru kini Ki Peda Sura merasa, bahwa ia sebenarnya lagi berperang. Dengan lincahnya ia berloncatan sambil menggerakkan sepasang senjatanya. Tetapi kini dengan penuh kewaspadaan dan sepenuh kemampuannya. Ia tidak lagi dapat bermain-main. Dengan demikian, maka perkelahian itu pun menjadi semakin lama semakin seru. Tidak hanya di dalam lingkaran yang memutari Ki Peda Sura, tetapi di seluruh daerah perang brubuh itu. Satu-satu korban jatuh di tanah, dan darah  pun mengalir dan luka, memerahi tanah dan batu-batu padas. Erang kesakitan, dan pekik yang mengerikan membelah hiruk pikuk dentang senjata. Pada saat yang demikian itulah, dua ekor kuda berlari berderap memecah kesepian malam di dalam padukuhan. Mereka singgah dari gardu ke gardu memberitahukan, bahwa Sidanti masih belum dijumpai di peperangan. Akhirnya orang itu sampai pula di rumah Kepala Tanah Perdikan Menoreh yang ditunggui oleh sepasukan kecil dibawah pimpinan Wrahasta.
“Hem,” Wrahasta menggeram,
“bagaimana dengan pasukan cadangan di banjar?”
“Pasukan itu telah aku beritahukan pula. Mereka mengumpulkan kuda sebanyak-banyaknya dapat mereka peroleh, supaya sebagian dari mereka dapat bergerak cepat ke mana pun juga.”
“Bagus. Dan apakah kau telah memberitahukan semua penjaga dan semua peronda?”
“Hampir seluruhnya. Berita ini akan berkembang dengan secara beranting, bagi gardu-gardu di padukuhan-padukuhan yang agak jauh.”
Wrahasta mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia menjadi berdebar-debar. Kepergian Pandan Wangi ke medan peperangan telah membuat hatinya gelisah. Dan berita yang didengarnya itu pun telah menambah kegelisahan dan kecemasannya.
“Sekarang, kalian akan pergi ke mana lagi?”
“Aku akan meneruskan perjalanan ke gardu-gardu di sebelah Timur. Sokurlah kalau berita beranting itu telah sampai, kalau belum maka mereka harus segera mendengarnya pula.”
Wrahasta mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Hati-hatilah. Musuh dapat berada di segala tempat.”

Sesaat kemudian derap kaki dua ekor kuda itu kembali memecah kesenyapan malam. Menyelusur jalan padukuhan, singgah di gardu-gardu di mulut lorong dan di sudut-sudut desa. Namun dengan serta-merta, kedua penunggang kuda itu menarik kekang kudanya ketika ia bertemu dengan seorang penunggang kuda yang datang dari arah yang berlawanan. Kuda itu berpacu seperti angin. Dalam kilatan cahaya bulan keduanya melihat bahwa orang itu membawa senjata terhunus di tangannya.
“Penghubung yang pasti membawa berita terlampau penting.”
“Ya, ternyata senjatanya telah berada di dalam genggaman.”
Kini keduanya menjadi semakin berhati-hati. Namun semakin dekat, mereka segera mengenal, bahwa penunggang kuda itu pun seorang pengawal dari Menoreh. Penunggang kuda yang seorang itu, yang membawa senjata terhunus, telah melihat kedua orang yang berkuda pula di hadapannya. Karena itu maka segera diperlambatlah derap kudanya. Belum lagi mereka berpapasan, orang itu telah berkata keras-keras,
“Pasukan yang besar datang dari arah Timur.”
Kedua orang yang menunggunya terkejut, “Pasukan siapa?”
“Setan,” hampir bersamaan keduanya menggeram.
“Langsung dipimpin oleh Sidanti dan Argajaya.”
“Pasukan cadangan telah siap.”
“Tidak cukup. Pasukan itu terlampau kuat.”
“Lalu maksudmu?”
“Semua yang ada harus dikerahkan. Sebagian harus ditarik dari peperangan di medan sebelah Barat.”
Keduanya mengerutkan keningnya. Kini penghubung yang bersenjata itu telah berhenti pula. Katanya,
“Kembalilah. Salah seorang dari kalian pergi kepada Ki Samekta. Yang seorang kepada Wrahasta dan aku akan pergi ke banjar, mengambil pasukan cadangan yang dapat segera digerakkan.”
Mereka tidak terlampau banyak berbincang. Keadaan akan segera memuncak. Karena itu, maka ketiganya segera memacu kuda mereka berderap ke jurusan masing-masing. Mereka merasa betapa berat tugas pasukan pengawal kali ini, menghadapi kawan-kawan sendiri dan orang-orang liar yang tidak mereka kenal yang terjun di dalam perselisihan di antara keluarga. Wrahasta yang mendengar tentang gerakan itu menggeretakkan giginya. Hampir saja ia lupa, bahwa ia bertugas untuk menjaga rumah Kepala Tanah Perdikan itu seisinya. Dengan kemarahan yang meluap-luap ia menggeram,
“Seandainya aku tidak terikat oleh tanggung jawab ini. Aku ingin tahu, apakah benar-benar Sidanti telah melonjak terlampau jauh dari anak-anak muda sebayanya di tanah perdikan ini.”
“Tetapi kau tidak boleh meninggalkan halaman rumah ini,” berkata seorang pengawal yang lain.
“Ya, dan aku kecewa karenanya.”
“Tugasmu telah ditentukan,” sahut penghubung yang memberitahukan gerakan Sidanti itu kepadanya,
“aku memberitahukan kepadamu, supaya kau berwaspada. Mungkin pasukannya dapat meresap sampai ke halaman ini. Setiap orang harus menyiapkan diri menghadapi kemungkinan.”
Wrahasta mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya,
“Aku akan menyongsong setiap orang dari pasukan lawan di luar halaman. Tidak boleh setapak kaki  pun yang mengotori halaman rumah Ki Argapati.”
Penghubung itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya,
“Baiklah, aku kini pergi ke banjar.”

Tetapi kata-katanya terpotong ketika mereka yang berada di halaman itu mendengar derap kaki kuda. Bergemeretak di atas tanah berbatu-batu. Berurutan meluncur secepat loncatan tatit di langit. Mereka adalah bagian dari pasukan cadangan yang langsung menyongsong pasukan Sidanti. Menurut perhitungan mereka, pasukan itu pasti sudah berbenturan dengan para peronda yang telah menarik diri dari gardu-gardu mereka dan berkumpul untuk menahan arus pasukan Sidanti. Tetapi jumlah mereka terlampau sedikit, sehingga pengaruhnya  pun tidak akan terlampau terasa pada pasukan lawan. Namun kedatangan para pengawal berkuda itu pasti akan segera mengganggu laju pasukan lawan itu.
“Mereka telah berangkat,” desis Wrahasta,
“darimana mereka mendengar bahwa pasukan Sidanti maju di sebelah Timur?”
“Bersama aku seorang penghubung langsung pergi ke banjar dan ke medan di sebelah Barat untuk memberitahukan kepada Paman Samekta. Seandainya Samekta mempunyai kelebihan kekuatan, maka kekuatan itu akan dialirkan ke medan di sebelah Timur.”
Wrahasta mengangguk-anggukkan kepalanya. Sekali lagi ia mencoba melihat bayangan yang meluncur berurutan di hadapannya. Tetapi yang dilihatnya tinggallah orang yang paling belakang.
“Jumlah pengawal berkuda itu pun tidak terlampau banyak.”
Tetapi cukup untuk menahan pasukan Sidanti sampai pasukan cadangan yang lain datang.”
“Pasukan cadangan itu pun tidak begitu banyak.”
Penghubung itu tidak menyahut. Menurut pendengarannya, pasukan Sidanti yang datang dari Timur itu cukup kuat, sehingga untuk menahannya diperlukan pasukan yang kuat pula.
Sejenak kemudian mereka melihat pasukan cadangan dari Banjar, dengan tergesa-gesa menuju ke Timur, lewat jalan di alun alun kecil di hadapan rumah Kepala Tanah Perdikan Menoreh. Bahkan mereka berlari-lari kecil berloncatan, seakan-akan tidak sabar lagi untuk segera bertemu dengun pasukan lawan. Ternyata pasukan Sidanti yang kuat sama sekali tidak menemukan perlawanan yang berarti. Para peronda di gardu-gardu dan para pengawal yang di tempatkan di padukuhan-padukuhan kecil tidak terlampau bodoh untuk membunuh diri dengan menahan arus gerakan lawan. Mereka segera menghindar, menarik diri dan mencoba berkumpul dalam kelompok yang lebih besar. Tetapi jumlah mereka masih terlampau sedikit untuk melakukan perlawanan, sehingga dengan demikian, mereka masih tetap mundur dan bergabung dengan lima atau sepuluh orang di setiap padukuhan-padukuhan kecil.
Baru ketika jumlah mereka menjadi lebih banyak, mereka mencoba mengganggu pasukan lawan dengan panah-panah dari jarak yang agak jauh. Mereka menyerang pasukan lawan dari pedukuhan-pedukuhan di hadapan gerakan pasukan Sidanti, namun kemudian hilang di dalam kegelapan dan mencoba menghindar dari benturan terbuka.
“Setan,” Sidanti menggeram,
“mereka licik seperti kancil. Mereka tidak berani berhadapan beradu dada.”
Argajaya tidak menjawab. Tetapi ia mengagumi cara yang dipergunakan oleh para pengawal itu. Ia termasuk salah seorang yang menganjurkan cara itu untuk melawan kekuatan yang jauh melampaui kekuatan sendiri. Dan cara itu kini dipergunakan untuk melawannya sendiri.

Para peronda yang mengundurkan diri itu akhirnya mendengar derap kaki-kaki kuda semakin mendekat. Dengan serta-merta, kegembiraan melonjak di hati mereka. Mereka akan segera mendapatkan kawan yang cuku berarti untuk melawan pasukan Sidanti. Meskipun mereka tetap ragu-ragu, apakah usaha itu akan berhasil, karena pasukan Sidanti itu agak terlampau besar. Dengan tergesa-gesa mereka menahan para pengawal berkuda itu, supaya mereka tidak langsung terjun ke dalam jebakan lawan. Dengan berapa petunjuk dari para peronda itu, akhirnya mereka bersepakat, bahwa mereka akan mempergunakan cara yang telah mereka lakukan sebelumnya. Setiap kali menunggu pasukan lawan mendekati padukuhan. Kemudian menyerang mereka dengan senjata-senjata jarak jauh. Kini, mereka menambah cara penyerangan dengan para pengawal berkuda. Pada saat mereka sibuk menangkis serangan-serangan senjata jarak jauh, maka para pengawal berkuda itu harus menyerang mereka dengan tiba-tiba, tetapi kemudian menghilang lagi, untuk muncul pula di saat yang lain. Demikianlah, maka mereka mencoba mempergunakan cara itu. Pertama kali, ketika Sidanti mendengar ringkik kuda, ia terkejut. Beberapa orang berkuda tiba-tiba saja meloncat dari dalam bayangan pepohonan, langsung menyerang mereka dengan melontarkan tombak-tombak panjang. Kemudian menebaskan pedang-pedang mereka. Sesaat kemudian kuda-kuda itu telah lenyap menghilang sambil meninggalkan beberapa orang korban. Tetapi cara itu tidak akan dapat mereka ulangi. Sidanti dan Argajaya bukanlah orang-orang yang terlampau bodoh. Itulah sebabnya, maka para pengawal yang menyadari keadaan, harus mempergunakan cara yang lain untuk menyergap lawan mereka. Tetapi cara-cara yang mereka pilih tidak selalu berhasil. Kadang-kadang mereka terpaksa mengurungkan penyerangan mereka, dan menghindar jauh-jauh. Namun pada dasarnya, mereka selalu menghindarkan diri dari benturan-benturan terbuka, sambil menunggu kedatangan pasukan cadangan yang menyusul mereka dengan berjalan kaki. Tetapi pasukan Sidanti yang datang dari arah Timur ini ternyata terlampau kuat. Para pengawal berkuda, segera dapat menilai, bahwa pasukan cadangan itu pun tidak akan mampu untuk bertahan dari arus pasukan lawan. Karena itu, maka segera mereka berusaha menghubungi setiap peronda, dan bahkan setiap orang yang mungkin dapat memperkuat pasukan pengawal dari Tanah Perdikan Menoreh.
Satu dua dan kadang-kadang lima orang atau lebih berhasil berhimpun menjadi kelompok-kelompok kecil dan bergabung dengan pasukan pengawal, yang masih menunggu pasukan yang lebih besar lagi untuk melakukan perlawanan terbuka. Namun dalam pada itu, pasukan Sidanti maju terus dengan cepatnya. Semakin lama semakin dekat dengan padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh. Setiap orang dari para pengawal itu menjadi berdebar-debar. Ketika mereka menerima seorang penghubung dari pasukan cadangan, mereka menjadi berbesar hati, Pasukan itu telah berada dan menunggu lawannya di sebuah pedukunan kecil di belakang mereka.
“Kami tahu, bahwa pasukan Sidanti cukup besar,” berkata penghubung itu,
“karena itu, maka kami tidak membawanya di tempat terbuka, supaya kami dapat sedikit perlindungan dari keadaan di sekitar kami.”
“Baiklah,”jawab seorang pengawal yang tertua di antara mereka yang telah bergabung menjadi kelompok-kelompok kecil,
“kami akan bergabung. Tetapi kami akan mencari jalan lain, supaya tidak segera diketahui oleh pasukan lawan.”


Halaman 1 2 3


<<< Jilid 035                                                                                                       Jilid 037 >>>

Tidak ada komentar:

Posting Komentar