Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Tetapi firasatnya terasa mengetuk hatinya, bahwa sesuatu akan terjadi atas tanah perdikan ini. Justru kebodohan yang berlebih-lebihan dari pasukan Sidanti itu membuatnya bercuriga.
Tiba-tiba
dengan serta-merta ia berkata,
“Paman, apakah
Paman sendiri tidak lengah menghadapi pasukan itu? Sampai saat ini Paman belum
membuat perintah apa-apa.”
“Oh,” peringatan
itu telah membuat dada Samekta berdesir. Ia memang belum berbuat apa-apa justru
karena ia menganggap lawannya terlampau kecil. Maka sejenak kemudian ia berkata
kepada setiap pemimpin kelompok pasukannya,
“Semua masuk
ke dalam dinding halaman. Kita biarkan pasukan itu masuk ke lorong ini,
kemudian kita sergap mereka setelah semuanya berada di dalam padukuhan. Aku
akan memberikan aba-aba yang harus disambut oleh setiap pemimpin kelompok dan
kemudian oleh setiap pengawal. Suara yang bersahut-sahutan akan membuat mereka
semakin bingung.”
Setiap
pemimpin kelompok tidak menunggu perintah itu diulangi. Segera mereka
berloncatan ke pasukan masing-masing. Dan sebelum Pandan Wangi menyadari
keadaan itu, semua pasukan telah hilang di balik dinding batu di sepanjang
jalan padukuhan. Bahkan kuda Pandan Wangi
pun sudah tidak tampak lagi di tempatnya.
Pandan Wangi
menarik nafas. Pasukan Menoreh memang terlatih baik. Mereka dapat berbuat
dengan cepat tanpa banyak menimbulkan keributan.
“Tetapi
pasukan Kakang Sidanti yang terdiri dari orang-orang Menoreh pun akan sebaik
itu pula,” gumam Pandan Wangi di dalam hatinya. Tetapi sebelum gadis itu sempat
bertanya, maka dilihatnya pasukan yang sudah menjadi terlampau dekat di hadapan
mereka itu berhenti.
“Mereka
agaknya mulai menyusun diri,” berkata Samekta kepada Pandan Wangi.
“Ternyata
mereka tidak sebodoh yang kita sangka.”
Samekta tidak
menjawab. Tetapi matanya seakan-akan hendak meloncat dari pelupuknya ketika ia
melihat pasukan itu bergeser. Ternyata mereka tidak maju lagi, tetapi mereka
berjalan memintasi pematang. Namun sejenak kemudian Samekta tersenyum,
“Biar saja
mereka memilih lawan.”
Pandan Wangi
tidak mengerti, apakah yang dimaksud oleh Samekta. Tetapi ia tidak bertanya.
Beberapa langkah ia maju meskipun ia masih tetap terlindung oleh bayangan
dedaunan yang rimbun.
“Kemana mereka
akan pergi Paman?”
“Mungkin
mereka melihat tanda-tanda, bahwa kita menunggu mereka di sini. Mungkin
beberapa orang pengawas mereka berhasil mendekat tanpa setahu kita. Karena itu
mereka merubah arah. Agaknya mereka akan berlindung untuk sementara di
pategalan itu sambil menyusun pasukan mereka menjadi pasukan yang agak pantas
untuk maju ke medan perang.”
Pandan Wangi
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia melihat kesan yang aneh di wajah
Samekta. Apalagi ketika ia bergumam,
“Kita akan
melihat, apa yang akan terjadi di pategalan itu.”
Sepercik
pertanyaan menyala di wajah Pandan Wangi, meskipun tidak terucapkan, dan
Samekta pun dapat menangkap pertanyaan
itu. Katanya,
“Marilah
Ngger, kita maju beberapa langkah lagi. Kita menunggu, apa yang akan terjadi
kemudian.”
“Paman tidak
menyiapkan sesuatu untuk menyongsong perubahan tata gelar lawan?”
“Tentu Ngger.
Aku akan berbuat sesuatu.”
Tiba-tiba
terdengarlah suara suitan pendek dari mulut Samekta, tetapi kemudian berubah
seperti suara derik angkup kering. Berturut-turut menusuk sepinya malam.
Meskipun suara itu tidak terlampau keras, tetapi cukup dapat didengar oleh
pemimpin-pemimpin kelompok pasukannya.
Sekejap
kemudian, para pemimpin kelompok itu telah berkumpul. Dan dengan singkat
Samekta memberitahukan, bahwa pasukan lawan telah menggeser arah dan pergi ke
pategalan di sebelah.
“Oh,” pemimpin
pengawal yang tertua di antara mereka bertanya, “lalu apakah yang harus kita
lakukan?”
“Kita bersiap.
Kita akan segera menyusul mereka.”
“Bagaimana
dengan sayap kiri dari pasukan ini?”
“Pada saatnya
kita panggil pemimpinnya dengan isyarat. Kemudian mereka harus bergeser dan
menempati tempat ini. Kita akan pergi ke pategalan di sebelah.”
“Apakah sayap itu
tidak akan ikut dalam pertempuran nanti.”
“Kita melihat
perkembangan. Kalau kita tidak segera dapat mengatasi lawan kita, maka sayap
itu kita bawa masuk ke dalam peperangan.”
“Apakah kita
tidak akan menyusun gelar?”
“Kita lihat
keadaan lawan. Tetapi bahwa mereka terperosok ke pategalan itu dalam
keadaannya, maka rasa-rasanya kita tidak akan menyusun gelar. Kita akan
terlibat dalam perang brubuh seperti yang sudah kita duga sebelumnya.”
“Lalu apakah
yang akan kita lakukan dahulu?”
“Bersiap
bersama pasukan masing-masing. Aku akan memberikan perintah kepada kalian,
apabila datang saatnya kalian harus pergi ke pategalan itu.”
Para pemimpin
kelompok itu pun segera kembali ke dalam kelompok masing-masing. Tetapi sejenak
kemudian, para pengawal sudah tidak lagi bersembunyi dan berlindung di balik
pagar-pagar batu. Mereka kini bahkan telah meloncat kembali kelorong padukuhan
itu.
“Aku tidak
mengerti Paman,” gumam Pandan Wangi.
“Ini adalah
pengalaman Angger yang pertama berada di medan. Angger harus mencoba menyesuaikan
diri.” Samekta berhenti sebentar, lalu,
“Tetapi
maafkan Ngger, kalau aku kau anggap menyinggung perasaaanmu. Maksudku agar kau
tidak terperosok ke dalam keadaan yang tidak kau mengerti sebelumnya.”
Sekali lagi
Samekta berhenti, ia menjadi ragu-ragu untuk meneruskannya. Namun akhirnya ia
berkata juga,
“Angger Pandan
Wangi. Aku mengharap bahwa, Angger mencoba menyesuaikan diri dengan peperangan
yang bakal terjadi. Jangan langsung terjun ke dalam hiruk-pikuk perang brubuh.
Angger akan melihat hal-hal yang mungkin belum pernah terbayangkan. Betapapun
tangkasnya kau, namun kau adalah seorang gadis. Seorang perempuan. Kau akan
sangat terpengaruh oleh penglihatanmu dalam perang semacam itu. Orang akan
mudah sekali kehilangan kepribadian karena pengaruh dentang senjata. Apalagi
orang-orang yang datang itu adalah orang-orang liar yang tidak mengenal
peradaban.”
Pandan Wangi
mengerutkan keningnya. Ia mencoba mengerti keterangan Samekta. Sebenarnyalah
bahwa ia agak tersinggung pula. Seolah-olah Samekta masih saja menganggapnya
anak-anak yang perlu selalu dilindungi. Tetapi ia tidak membiarkan perasaan itu
berbicara. Karena itu maka ia pun
bertanya,
“Apakah maksud
Paman Samekta dengan kehilangan kepribadian itu?”
“O, Ngger,”
jawab Samekta,
“mungkin kau
pernah melihat darah mengalir dari luka. Mungkin kau bahkan pernah mengalami
bertempur melawan enam orang laki-laki liar serupa itu. Tetapi kau belum pernah
berada dalam perang brubuh. Orang-orang yang terlibat di dalamnya akan
kehilangan otaknya. Yang berkuasa di dalam arena yang demikian adalah ujung
senjata. Lebih dari itu. Setiap orang akan berusaha melepaskan kemarahan,
dendam dan kebencian, sehingga tingkah lakunya jauh melampaui tingkah laku
binatang yang paling buas sekalipun.”
Dada Pandan
Wangi berdesir. Kini ia mengerti maksud Samekta. Tetapi ia sudah bertekad untuk
mengenal bentuk peperangan dari dekat. Ia ingin mendapat pengalaman, apalagi
apabila benar-benar ayahnya menganggap, bahwa ia sudah sepantasnya untuk
mengganti kedudukan ayahnya itu. Kalau ia gagal pada pengenalannya atas bentuk
peperangan yang pertama kali dan menjadi korban karenanya, maka itu adalah
akibat yang wajar dari peperangan.
Karena itu
maka katanya,
“Terima kasih
Paman. Aku akan berusaha untuk menyesuaikan diri. Tetapi aku akan tetap berada
dalam pasukan ini.”
Samekta
menarik nafas. Tetapi sebelum ia menjawab, ia mengangkat kepalanya. Lamat-lamat
ia mendengar suara isyarat. Panah sendaren.
“Kita harus
bersiap,” desisnya. Sekali lagi terdengar suara suitan dari mulut Samekta,
kemudian berubah menjadi derik angkup kering. Dan sekali lagi para pemimpin
kelompok berloncatan mendekatinya.
“Siapkan
pasukan. Kita akan pergi ke pategalan.”
Sekali lagi
Pandan Wangi melihat para pemimpin kelompok itu seolah-olah lenyap ditelan
gelap malam. Namun sekejap kemudian pasukan di padukuhan itu telah siap untuk
menyergap lawannya. Kelompok demi kelompok. Sama sekali tidak tersusun dalam
gelar yang sempurna.
Pandan Wangi
terkejut, ketika tiba-tiba ia mendengar sorak bergeletar di pategalan sebelah.
Sehingga dengan serta-merta ia bertanya,
“Siapakah yang
bersorak itu Paman?”
“Kedua pasukan
itu telah bertemu.”
Pandan Wangi
mengerutkan keningnya. Ia masih belum mengerti, pasukan siapakah yang sudah
bertemu itu. Karena itu dipandanginya Samekta dengan dahi yang berkerut merut.
Sementara itu,
Peda Sura pun terkejut bukan buatan.
Tanpa disangka-sangkanya, ketika ia merasa bahwa di hadapannya bersembunyi
pasukan Menoreh, ia mencoba untuk menariknya keluar dengan caranya. Tetapi
ternyata bahwa di dalam pategalan itu pun dijumpainya pasukan Menoreh yang
telah siap menunggunya.
Sorak yang
meledak itu membuatnya sekejab menjadi bingung. Tetapi pengalamannya segera
menempatkannya ke dalam keadaan yang mantap. Dengan lantangnya ia berteriak,
“Tarik mereka
keluar.”
Orang-orangnya
yang telah terjebak itu, segera bergeser surut. Mereka berusaha untuk bertempur
di luar pategalan yang dibayangi oleh dedaunan dan pohon-pohon buah-buahan yang
rimbun.
Ternyata
orang-orang Peda Sura adalah orang-orang yang memang cukup liar, namun cukup
mempunyai pengalaman di dalam keliarannya. Segera mereka berkelahi dengan
buasnya, sambil bergeser setapak demi setapak. Mereka pun berteriak-teriak tidak menentu, jauh
lebih keras dari suara orang-orang Menoreh yang mengejutkan mereka untuk
pertama kali. Perkelahian yang terjadi kemudian adalah perkelahian yang kisruh.
Bukan sekedar perang brubuh, tetapi benar-benar campuh seperti debu dalam
putaran angin pusaran.
Di padesan
sebelah Samekta telah menyiapkan pasukannya. Dengan isyarat pemimpin pasukan di
sayap kiri telah datang kepadanya. Samekta segera memberinya beberapa pesan,
dan memerintahkan pasukan di sayap kiri itu segera berada di tempat induk
pasukan yang akan segera bergeser ke sayap kanan.
“Kalau keadaan
memaksa, kalian akan mendapat isyarat untuk bertempur di sayap itu pula.”
“Ya,” jawab
pemimpin sayap kiri itu,
“kami akan
selalu bersiap menghadapi setiap kemungkinan.”
Samekta
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian berkata kepada setiap pemimpin
kelompok,
“Kita
berangkat. Kelompok demi kelompok. Kita akan menghadapi perang brubuh yang
tidak beraturan sama sekali.” Lalu kepada Pandan Wangi ia berkata,
“pertimbangkan kata-kataku, Ngger.”
“Terima kasih
Paman, tetapi aku ingin melihat, apa yang terjadi itu.”
Samekta
menarik nafas dalam-dalam. Dengan suara berat ia berkata pula,
“Kalau kau
berkeras hati Ngger, maka aku hanya dapat berpesan, berhati-hatilah.
Berhati-hati sekali.”
“Terima kasih,
Paman.”
Samekta pun kemudian bersiap dengan segenap
pasukannya. Pemimpin pasukan sayap kiri telah pergi mengambil pasukannya.
Sejenak kemudian, maka iring-iringan pasukan itu telah berada di tengah-tengah
bulak pendek, menyeberang ke padukuhan itu.
“Pasukan itu
telah datang. Marilah kita berangkat,” desis Samekta yang kemudian memberikan
perintah kepada pemimpin-pemimpin kelompoknya untuk segera melibatkan diri ke
dalam perang yang ribut itu.
Sejenak
kemudian maka mengalirlah pasukan Samekta itu, keluar dari padukuhan tempat
mereka berlindung. Di antara mereka terdapat Pandan Wangi yang berdebar-debar,
tetapi ia sama sekali tidak ragu-ragu. Ia memang sudah bertekad bulat untuk
pergi berperang.
Namun di
sepanjang jalan ia masih mencoba mengerti, apakah yang sedang terjadi. Ternyata
bahwa pasukan Samekta itu dibagi menjadi tiga kelompok besar.
“Paman Samekta
tidak pernah mengatakannya dengan pasti,” desisnya,
“yang kini
bertempur itu adalah sayap kanan pasukan Paman Samekta.”
Tetapi
angan-angan Pandan Wangi itu segera terputus, ketika ia melihat seseorang
berlari-lari menyongsong pasukan yang sedang bergerak itu.
“Siapakah
orang itu Paman?”
Samekta
menggeleng,
“Aku tidak
tahu. Aku kira seorang penghubung.”
Ternyata
dugaan Samekta itu benar. Orang itu adalah seorang penghubung.
Belum lagi
orang itu berkata sesuatu, Samekta telah lebih dahulu bertanya,
“Kenapa kalian
bertempur di luar pategalan?”
“Pasukan lawan
memancing kami keluar.”
“Dan kalian
mengejar mereka keluar seperti yang mereka kehendaki.”
“Mereka
mendesak kami keluar.”
“He?” Samekta
mengerutkan keningnya.
“Mereka
terlalu kuat buat sayap kanan. Mereka masuk dalam-dalam. Kami memang
menjebaknya. Dengan serta-merta kami menyerang mereka. Tetapi mereka mampu
mendesak kami. Karena itu kami segera memerlukan bantuan.”
“Ya, aku sudah
mendengar isyarat kalian dengan panah sendaren.”
“Tetapi aku
dikirim untuk langsung memberitahukan, bahwa yang memimpin pasukan lawan adalah
seorang yang bernama Peda Sura.”
“He,” Samekta
terperanjat. Ia sudah pernah mendengar nama itu. Dan ia menyadari kini, dengan
siapa ia harus berhadapan.
“Bagus,”
desisnya. Terasa dadanya menjadi sesak oleh kemarahan yang meluap-luap. Tetapi
ia tidak dapat menutup kenyataan, bahwa Peda Sura bukanlah lawannya untuk
bertempur seorang lawan seorang. Namun Samekta adalah seorang pengawal yang
cukup berpengalaman pula. Segera disusunnya satu kelompok kecil dari
orang-orang yang dipilihnya, untuk bersama-sama dengan dirinya sendiri
menghadapi Ki Peda Sura. Tanpa cara yang demikian, ia tidak akan dapat
berhasil. Kepada orang-orangnya ia berpesan berantai,
“Jangan
menghadapi lawan seorang lawan seorang. Bentuklah kelompok-kelompok kecil yang
tidak terpisahkan oleh perang yang betapa
pun kisruhnya. Meskipun kita tidak dapat mengimbangi mereka seorang
lawan seorang, tetapi jumlah kita jauh lebih banyak.”
Lalu kepada
Pandan Wangi ia berkata,
“Kau sudah
mendengar Ngger, siapa yang berada di pasukan lawan. Kau harus berada di dalam
kelompokku, untuk bersama-sama melawan Ki Peda Sura.”
Kali ini
Pandan Wangi tidak membantah. Ia menyadari, bahwa Samekta mempunyai pengalaman
yang jauh lebih banyak daripadanya. Karena itu, maka sambil menganggukkan
kepalanya ia berkata,
“Baik Paman.
Aku akan berada di kelompok itu.”
Samekta
menarik nafas panjang. Ternyata Pandan Wangi tidak terlampau membiarkan
perasaannya melambung tanpa batas. Dengan demikian ia akan dapat langsung
mengawasi gadis itu, dan sekaligus Pandan Wangi akan merupakan kekuatan yang
harus diperhitungkan oleh Ki Peda Sura. Kepada beberapa orang prajurit yang
dipilihnya, Samekta berpesan untuk melindungi kelompok kecil yang nanti akan
bertempur melawan Ki Peda Sura, supaya tidak terganggu oleh orang-orang yang
telah dipersiapkan pula oleh pemimpin pasukan lawan yang garang itu. Dari
penghubung yang datang kepadanya, Samekta sama sekali tidak mendapat keterangan
tentang Sidanti dan Argajaya. Mereka masih belum terlihat berada di pasukan
yang sedang bertempur itu, sehingga dengan demikian, maka kedua orang itu telah
menimbulkan persoalan di hati Samekta. Pandan Wangi yang belum terlampau banyak
memiliki pengalaman dan pengetahuan perang pun bertanya di dalam hatinya,
“Kenapa Kakang
Sidanti dan Paman Argajaya tidak berada di dalam pasukan itu?” Berbagai dugaan
tumbuh di dalam hati gadis Menoreh itu. Bahkan ia sampai pada suatu kesimpulan,
“Pasti ada
kekuatan lain yang dipimpin oleh Kakang Sidanti. Bahkan mungkin masih ada yang
lain pula yang dipimpin oleh Paman Argajaya.”
Tetapi Pandan
Wangi tidak menyatakan pikirannya itu. Ia menganggap, bahwa Samekta pasti telah
mempunyai perhitungan-perhitungan yang cukup baik. Dan anggapannya itu pun
ternyata kemudian ketika Samekta memanggil seorang penghubung datang kepadanya.
Pemimpin pasukan Menoreh itu ternyata menjadi gelisah pula, karena Sidanti dan
Argajaya tidak ada di dalam peperangan itu. Katanya kepada penghubungnya,
“Kau segera
kembali ke pasukan sayap kiri. Menurut pengamatan penghubung dari sayap kanan,
belum seorang pun yang melihat Sidanti
dan Argajaya berada di dalam pasukan mereka. Pasukan itu dipimpin oleh Ki Peda
Sura. Dengan demikian mereka harus lebih berhati-hati.”
Penghubung itu
menganggukkan kepalanya.
“Bawalah
seorang kawan dari sayap kiri,” berkata Samekta selanjutnya,
“hubungi
pasukan cadangan di banjar, supaya mereka mendengar hal ini pula. Kemudian
sampaikan pula kepada Wrahasta. Berita ini harus sampai pula kepada setiap
gardu peronda di mana pun juga. Pergilah segera. Berkuda. Bawalah tanda-tanda
sandi apabila diperlukan di sepanjang perjalananmu. Panah api atau panah
sendaren.”
“Baik,”sahut
penghubung itu, yang dengan segera meloncat berlari melakukan tugasnya. Ia
harus mengambil kuda di padesan yang baru saja ditinggalkan dan seorang kawan.
Samekta pun kemudian melanjutkan langkahnya, dengan
tergesa-gesa menuju ke pategalan. Di sepanjang bulak yang tidak terlampau
panjang itu ia sempat membentuk beberapa kelompok-kelompok lain. Seandainya
Sidanti ada di dalam pasukan lawan, apalagi bersama Argajaya pula, maka
mereka pun tidak akan dapat dilawan oleh
siapa pun juga dalam perang seorang
lawan seorang. Karena itu, mereka harus dihadapi oleh kelompok-kelompok
terpilih. Sejenak kemudian, mereka telah dapat melihat hiruk pikuk pertempuran
di luar pagar pategalan. Terdengar teriakan yang melengking-lengking di antara
dentang senjata, disahut oleh umpatan-umpatan kasar dan gemeretak gigi.
Ternyata orang-orang yang tidak banyak dikenal di Menoreh itu berkelahi dengan
kasarnya. Mereka berbuat apa saja tanpa kendali, sehingga kadang-kadang
menggoncangkan hati para pengawal Tanah Perdikan Menoreh. Namun anak-anak
Menoreh itu telah dibekali tekad di dalam dadanya, bahwa mereka bertempur untuk
tanah kelahiran mereka. Tanah yang selama ini telah memberinya tempat untuk
membangun suatu bebrayan yang rukun dan damai. Tanah yang telah disadapnya
setiap saat untuk makan dan minumnya. Dorongan itulah yang membuat mereka tabah
menghadapi keliaran orang-orang yang datang untuk membuat tanah perdikan ini
menjadi semakin parah. Namun orang-orang yang berkelahi dengan buasnya itu
mempunyai beberapa kelebihan. Pengalaman mereka mempergunakan senjata,
kebiasaan mereka berbuat kasar dan sewenang-wenang, bahkan tangan-tangan mereka
yang telah terlampau sering dibasahi oleh darah, menempatkan mereka pada
kesempatan yang lebih baik dari lawan-lawan mereka. Para pengawal Tanah
Perdikan Menoreh, Betapapun juga dilandasi oleh tekad yang bulat, namun
kadang-kadang mereka masih juga ragu-ragu untuk menghunjamkan pedang mereka
terlampau dalam ke tubuh lawan seandainya mereka mendapat kesempatan. Tetapi
saat-saat yang demikian itu ternyata telah menutup setiap kemungkinan
berikutnya baginya. Sebab orang-orang di pasukan lawan itu akan mempergunakan
segala kesempatan yang mereka peroleh. Tepat pada saatnya, Samekta dan
pasukannya berhasil menolong keadaan. Kelompok demi kelompok pasukan pengawal
Menoreh dari induk pasukan itu melanda perkelahian yang sedang berlangsung,
seperti arus banjir yang melanda tanggul. Kelompok demi kelompok mereka
langsung melibatkan diri dalam perkelahian yang hiruk-pikuk. Perang brubuh,
sehingga tidak ada batas lagi antara kawan dan lawan. Mereka harus mengenal
setiap kawan-kawan mereka dari bentuk, pakaian dan jenis senjata yang di
pergunakan. Seperti pesan Samekta, maka para pengawal dari Menoreh telah
mencoba untuk berkelahi dalam kelompok kecil yang terdiri dari tiga atau empat
orang tanpa terpisahkan. Apabila keadaan memaksa, maka setidak-tidaknya mereka
bertempur berpasangan. Dua-dua.
Tidak sukar
bagi Samekta untuk segera dapat menemukan Ki Peda Sura. Orang itu ternyata
telah menimbulkan terlampau banyak korban. Senjatanya, sepasang bindi yang
panjang telah melumpuhkan korban-korban di pihak para pengawal Tanah Perdikan
Menoreh. Sepasang senjata itu berputaran seperti sepasang baling-baling,
kemudian terayun-ayun mendatar, dan menyambar-nyambar seperti burung garuda.
“Itulah setan
itu,” desis Samekta,
“kita harus
menghentikannya. Semakin lama ia akan menjadi semakin gila. Bau darah akan
membuatnya semakin buas.” Lalu kepada Pandan Wangi ia berkata,
“Hati-hatilah,
Ngger. Perang brubuh adalah jenis perang yang paling tidak menyenangkan.”
Pandan Wangi
menganggukkan kepalanya. Ia sudah menggenggam sepasang pedangnya. Namun
ternyata bahwa pengenalannya yang pertama atas peperangan telah membuat hatinya
menjadi berdebar-debar. Tetapi Pandan Wangi sama sekali tidak ingin surut. Ia
benar-benar ingin melihat dan menghayati perang. Apalagi kali ini, pada saat
tanah perdikannya terancam. Namun sebenarnyalah, bahwa bukan tiba-tiba saja
Pandan Wangi ingin melibatkan dirinya di dalam peperangan. Peperangan ini
adalah penyaluran yang dapat diketemukannya untuk melepaskan masalah-masalah
yang telah membuat dadanya semakin pepat. Persoalan yang sedikit demi sedikit
tertimbun di hatinya. Sejak ia melihat kakaknya pulang dengan tabiat yang aneh.
Sejak ia berkelahi dengan Sidanti di halaman rumah Ki Sentol. Kemudian
sifat-sifat Sidanti yang sangat berubah dari sifat-sifatnya yang pernah
dikenalnya dahulu. Pertentangan pendapat antara ayahnya dan Ki Tambak Wedi,
kemudian memuncak pada saat ia mendengar ceritera ayahnya tentang Sidanti,
tentang ibunya dan tentang persoalan mereka.
Sejak saat
itulah terasa di dalam dada Pandan Wangi melonjak-lonjak suatu perasaan yang
tidak dapat dimengertinya. Ancaman terhadap tanah perdikan ini telah membuatnya
menjadi seorang yang seakan-akan menyimpan dendam di dalam dirinya. Meskipun ia
masih mencoba menemui kakaknya dan berbicara dalam suasana yang baik, tetapi
telah menyala api di dalam dirinya, yang setiap saat dapat meledak dan membakar
seluruh hati dan jantungnya.
Itulah
sebabnya, maka peperangan kali ini telah sangat menarik perhatiannya.
Seolah-olah ia menemukan tempat untuk menyalurkan dendam dan kebenciannya.
Dendam dan kebencian yang selama ini berkembang di dalam dirinya, meskipun ia
tidak akan dapat menyebutkannya kepada siapa ia mendendam dan siapakah yang
telah dibencinya. Namun selama ini ia mencoba mencari sasaran yang paling
mungkin untuk melepaskan dendam dan kebencian itu. Orang yang paling mungkin
disangkutkannya sebagai sumber bencana itu adalah Ki Tambak Wedi. Dan Pandan
Wangi mencoba memusatkan segenap kebencian dan dendamnya kepada Ki Tambak Wedi.
Tetapi Ki Tambak Wedi kini sedang berkelahi dengan ayahnya. Yang ada di
peperangan ini adalah orang-orang Ki Tambak Wedi. Kepadanyalah dendam harus
ditumpahkan. Tetapi ketika ia telah berada di tengah-tengah perang brubuh yang
liar dan buas itu, terasa betapa asingnya dunia yang ada di sekitarnya. Ia sama
sekali tidak membayangkan sebelumnya, bahwa di dalam peperangan jiwa seseorang
benar-benar tidak berharga. Ia mendengar orang yang berteriak-teriak dengan
umpatan-umpatan kasar, kemudian pekik orang kesakitan. Yang lain mengerang dan
yang lain lagi mengaduh di sela-sela terkaman-terkaman senjata yang saling
berbenturan. Ia melihat dunia yang jauh berlawanan dengan dunianya sendiri. Ia
setiap kali melihat seorang ibu mendukung bayinya. Setiap nyamuk yang menggigit
bayi itu selalu diusirnya. Setiap goresan kuku-kukunya sendiri yang memerah
pada kulitnya, selalu di lumurinya dengan minyak. Apabila bayi itu merasa
badannya kurang sehat dan menangis, merengek-rengek, betapa ibunya menjadi
bingung malam sampai sehat kembali.
Tetapi di
peperangan ini, ia melihat jiwa yang sama sekali tidak dihargai lagi. Dada yang
sobek oleh luka ujung senjata. Darah merah yang mengalir membasahi tanah.
Tangan yang patah dan lengan yang lemah terkulai tidak berdaya lagi.
“Dua dunia
yang jauh berlawanan,” desisnya di dalam hati. Di dunia yang satu, setiap
gangguan pada sesamanya, selalu mendapat pertolongan sejauh-jauh dapat
dilakukan. Betapa orang berusaha menyelamatkan setiap jiwa yang terancam. Oleh
sakit maupun kecelakaan. Betapa orang berusaha menyambung jalan atas
kemungkinan, umur yang dijamah oleh maut. Tetapi di dunia yang sekarang
diinjaknya, maka setiap orang berusaha melenyapkan jiwa sesama. Bunuh membunuh
dengan penuh nafsu dan kebanggaan. Semakin banyak jiwa yang dijemput oleh maut,
maka semakin riuhlah sorak sorai orang-orang yang masih dapat bertahan dari
dekapan kematian. Dan orang-orang yang masih hidup itu justru berusaha dengan
sepenuh kemampuannya, memperbanyak kematian-kematian berikutnya. Tetapi ia
sudah berada didunia itu. Pandan Wangi tersedar dari angan-angannya, ketika ia
melihat Samekta sudah mulai memutar pedangnya. Beberapa orang di
sekitarnya pun telah siap untuk
bertempur. Sebuah kelompok kecil berhadapan dengan seorang yang telah mendengungkan
namanya dengan nada yang hitam di dalam hiruk pikuk perang brubuh.
“Kaukah
pemimpin orang-orang Menoreh itu,” terdengar suara Ki Peda Sura yang parau
datar.
“Ya,” sahut
Samekta pendek. Tetapi pedangnya langsung menyerang lambung lawannya.
Bertubi-tubi dan sekejap kemudian setiap pedang di dalam kelompok itu pun
segera bergetar dan menyambar. Hanya sepasang pedang Pandan Wangi sajalah yang
masih bersilang di depan dadanya.
“Kenapa kau
bawa perempuan itu kemari?” getar suara Peda Sura.
Ternyata
pertanyaan itu telah menggetarkan dada Pandan Wangi. Sejenak kemudian
terungkaplah kembali segala macam kebenciannya terhadap orang-orang yang tidak
dikenal itu. Enam orang pernah berusaha untuk menangkapnya dengan maksud yang
paling keji yang dapat dilakukan oleh manusia. Kemudian dendam dan kebenciannya
kepada Ki Tambak Wedi yang telah merusak tanah perdikan, dan lebih-lebih lagi
keluarganya. Ia telah memercikkan noda yang tidak terhapus pada nama ibunya.
Tetapi ibunya sendiri telah membantu menggoreskan noda itu pula. Meskipun
demikian, Pandan Wangi masih tetap ragu-ragu. Apakah benar ia telah digerakkan
oleh dendam dan kebencian untuk memasuki dunia yang hitam kelam ini?
“Tidak,”
tiba-tiba Pandan Wangi menggeram di dalam hatinya,
“bukan dendam
dan kebencian. Seandainya hatiku hanya diwarnai oleh dendam dan kebencian aku
dapat mengambil jalan lain. Aku akan melepaskan dendam itu dengan cara yang
lain. Tetapi aku kini dibebani oleh tanggung jawabku atas tanah perdikan ini.
Kecintaanku atas tanah ini, atas keluargaku dan atas rakyat Menoreh telah memaksa
aku untuk masuk ke dalam daerah yang kelam ini.”
Pandan Wangi
terkejut, ketika seorang pengawal telah mendorongnya ke samping. Ketika ia
menyadari keadaannya, maka hatinya terasa berdesir. Seluruh pengawal yang ada
di tempat itu telah terlibat di dalam peperangan. Beberapa orang terpaksa
berada di sekitarnya untuk mencoba melindunginya.
Kini Pandan
Wangi merasa bahwa dirinya tidak boleh tenggelam dalam angan-angannya saja di
tengah-tengah peperangan yang kisruh itu. Dengan demikian ia benar-benar menjadi
beban orang lain yang harus mengawasi dan melindunginya. Apalagi ketika ia
melihat, betapa Peda Sura sudah sampai pada puncak kemampuannya.
Terdengar
gadis itu menggeram. Ia berpaling ketika ia mendengar seseorang terpekik di
sampingnya. Matanya menjadi terbelalak ketika ia melihat pengawal yang
mendorongnya dari ujung senjata lawan itu memegangi lambungnya yang terluka. Darah
yang menitik dari luka itu seolah-olah titik-titik minyak yang menyiram dadanya
yang membara. Kalau semula ia menjadi ngeri melihat darah dan luka, serta
melihat kekasaran dan keliaran lawannya, maka kini tiba-tiba ia merasa wajib,
bahwa ia harus menghentikan semuanya. Peristiwa-peristiwa yang membuat dadanya
berdebar-debar telah mendorongnya untuk segera berbuat sesuatu. Pandan Wangi
itu menggeretakkan giginya. Selangkah ia maju mendekat Peda Sura kini sedang
bertempur melawan beberapa orang yang mengelilingnya. Beberapa orang pengawal
terpilih. Namun meskipun demikian, para pengawal itu seolah-olah tidak dapat
berbuat terlampau banyak. Mereka hanya dapat menyerang berganti-ganti dari
jurusan yang berbeda-beda. Terus-menerus untuk berusaha agar Peda Sura tidak
dapat berbuat terlampau banyak. Tetapi Peda Sura bukan kanak-kanak. Segera ia
memekik tinggi sambil memutar kedua senjatanya. Seperti prahara ia maju
langsung menyerang orang yang memegang pimpinan pada pasukan pengawal Tanah
Perdikaa Menoreh.
Samekta
terkejut melihat serangan yang langsung melibatnya itu. Seakan-akan ia tidak
mendapat kesempatan untuk menghindar.
Orang-orang
lain di dalam kelompok itu pun serasa telah kehilangan kesempatan untuk
mengimbangi gerak yang terlampau cepat. Peda Sura seolah-olah sudah tidak
menghiraukan orang-orang lain kecuali Samekta. Beberapa orang masih mencoba
menahannya dan menyerangnya dari arah yang lain. Tetapi gerak Peda Sura dalam
kesempatan ini ternyata terlampau cepat. Samekta yang langsung mendapat
serangan itu sudah tentu tidak akan membiarkan dirinya binasa. Sejauh-jauh
dapat dilakukan ia harus memberikan perlawanan atau menghindar. Karena itu,
ketika serangan itu meluncur dengan cepatnya, maka ia pun segera mencoba mengambil jarak dengan
meloncat ke samping. Tetapi senjata Peda Sura seolah-olah mempunyai mata.
Serangan itu pun dengan cepatnya berkisar dan mengejarnya. Sehingga dengan
demikian, maka Samekta benar-benar tidak dapat lagi menghindarinya. Kini
diayunkannya pedangnya, untuk mendapatkan kekuatan membentur serangan lawan
itu. Sejenak kemudian, terjadilah sebuah benturan yang dahsyat. Senjata di
tangan kiri Ki Peda Sura yang diayunkannya ke pundak lawannya ternyata tertahan
oleh pedang Samekta. Meskipun Ki Peda Sura tidak menumpahkan kekuatannya pada
tangan kirinya, namun kekuatan ayunan senjatanya itu telah membuat tangan
Samekta menjadi pedih. Senjata di dalam genggamannya hampir saja terlepas dan
terlempar. Hanya dengan mengerahkan segenap kekuatan dan kemampuan yang ada
padanya, pedangnya masih tetap berada di genggaman. Namun dengan demikian, ia
terdorong beberapa langkah surut. Kesimbangannya pun hampir-hampir tidak dapat
dipertahankannya, sehingga ia terhuyung-huyung beberapa saat. Tetapi begitu ia
berhasil tegak berdiri di atas kedua kakinya, dadanya berdesir dengan
dahsyatnya. Sebuah bayangan meluncur ke arahnya dengan kecepatan yang luar
biasa. Dua buah senjata di kedua tangannya terayun-ayun mengarah ke tubuhnya. Dalam
sekejap, Samekta segera dapat mengenal, orang itu adalah Peda Sura yang kali
ini benar-benar tidak mau melepaskannya. Ki Peda Sura agaknya telah mengabaikan
beberapa orang di sekitarnya, dan memusatkan serangan-serangannya kepada
pemimpin pasukan pengawal Menoreh. Agaknya orang itu mempunyai perhitungan
tersendiri. Ia menyadari, bahwa kekuatan lawannya agak lebih besar dari
kekuatan pasukannya. Jumlahnya pun berselisih
agak besar, sehingga Ki Peda Sura harus mendapat cara yang secepat-cepatnya,
mempengaruhi tenaga perlawanan pasukan pengawal Menoreh. Kalau ia dapat
membunuh Samekta, maka keberanian dan tekad para pengawal itu pasti segera akan
surut. Karena itulah, maka serangannya kali ini benar telah diwarnai oleh
bayangan maut yang hampir mencengkamnya. Sejenak Samekta menjadi bingung.
Tetapi naluri keprajuritannya telah menggerakkan tangannya untuk menangkis
serangan itu. Loncatan Peda Sura yang secepat tatit itu agaknya telah
meyakinkannya, bahwa kali ini Samekta tidak akan dapat menghindar lagi. Kalau
serangan ini tidak langsung dapat membunuhnya, maka serangan berikutnyalah yang
pasti akan merobek dadanya. Ternyata perhitungan Peda Sura itu benar-benar
tepat. Samekta sudah tidak mempunyai kekuatan yang cukup untuk melawan serangan
yang datang bertubi-tubi seperti gelombang yang berurutan menghantam tebing. Sekali
lagi terjadi benturan antara kedua jenis senjata. Senjata Peda Sura yang
diayunkannya dengan tangan kiri untuk kedua kalinya telah membentur senjata
Samekta. Dan ternyata kali ini Samekta sudah tidak mampu lagi bertahan.
Tangannya terasa seperti tersayat dan pedangnya
pun terlepas dari genggaman. Melihat pedang lawannya terlepas, Peda Sura
tertawa. Ia masih harus menangkis satu dua serangan dari orang-orang yang
berada di dalam kelompok Samekta. Tetapi serangan-serangan itu sama sekali
tidak berarti. Yang di hadapinya sekarang adalah Samekta yang telah siap
menanti maut.
Dengan mata
yang buas, Peda Sura mengangkat senjata di tangan kanannya. Sesaat terdengar
suara tertawanya yang mengerikan, seperti suara iblis dari dalam lubang kubur. Samekta
sendiri kini sama sekali sudah tidak berdaya untuk berbuat apapun. Yang dapat
dilakukan hanyalah meloncat menghindar. Tetapi itu tidak akan banyak berguna
lagi. Karena itu, maka hidup matinya kini sangat tergantung kepada orang-orang
di dalam kelompoknya. Tetapi Peda Sura mampu memunahkan setiap serangan dengan
tangan kirinya, atau bergeser setapak-setapak surut, dan kemudian maju lagi. Samekta
yang sudah tidak bersenjata itu kini sama sekali telah kehilangan kesempatan.
Meskipun ia masih mencoba untuk melihat seseorang yang mungkin dapat memberinya
senjata, tetapi ia sudah tidak mempunyai waktu lagi.
Ki Peda Sura
kemudian telah membuat perhitungan selanjutnya. Yang pertama-tama setelah
Samekta mati, adalah meneriakkan kemenangan itu untuk mempengaruhi setiap
ketahanan di dalam diri setiap pengawal Tanah Perdikan Menoreh yang berada di
dalam peperangan itu. Tetapi tanpa disangka-sangka, Ki Peda Sura itu terkejut.
Ternyata senjatanya telah membentur suatu kekuatan yaug tidak diduganya. Ia
sama sekali tidak menaruh perhatian atas serangan yang tiba-tiba datang dari
arah samping. Seperti serangan-serangan yang lain, digerakkannya tangan kirinya
untuk menangkis serangan itu sambil berkisar, sebelum ia mengayunkan tangan
kanannya, dan mematahkan leher Samekta yang berdiri tegak seperti patung. Namun
ternyata benturan yang terjadi telah menggetarkan dadanya. Karena Ki Peda Sura
sama sekali tidak menyangka, maka senjatanyalah yang hampir-hampir terlepas
dari tangannya. Terdengar pemimpin dari pasukan yang liar itu menggeram. Ia
terpaksa meloncat beberapa langkah surut. Namun agaknya serangan yang datang
kali ini, jauh berbeda dengan serangan-serangan yang terdahulu. Sepasang pedang
seakan-akan memburunya, dan dengan kecepatan yang luar biasa kedua ujung pedang
itu mematuknya dari arah yang berbeda.
“Setan betina,”
Ki Peda Sura berteriak,
“ternyata kau
mampu juga berkelahi, he!”
Orang yang
memegang sepasang pedang itu adalah Pandan Wangi. Pada saat terakhir, ia
menggeretakkan giginya dan langsung meloncat menyerang Ki Peda Sura, ketika
Samekta benar-benar telah terancam bahaya maut. Ia dengan susah payah telah
berhasil menyingkirkan keragu-raguannya, karena ia yakin, bahwa ia harus
berbuat sesuatu. Berbuat sesuatu untuk tanah ini dan untuk rakyat yang berada
di dalam lingkungannya. Itulah sebabnya, maka sambil menggeretakkan giginya,
Pandan Wangi telah meluncurkan serangan-serangan yang sangat berbahaya bagi
lawannya. Meskipun lawannya itu adalah Ki Peda Sura. Ternyata Ki Peda Sura
harus mengerahkan tenaga dan kemampuannya untuk menghindari serangan-serangan
Pandan Wangi yang mengalir seperti banjir bandang. Bertubi-tubi. Sekali-sekali
terjadi benturan-benturan antara dua pasang senjata. Tetapi karena Ki Peda Sura
sama sekali tidak bersiap untuk melawan serangan-serangan yang demikian, maka
beberapa kali ia terpaksa jauh-jauh menghindar untuk mendapat kesempatan
memperbaiki keadaannya. Tetapi setiap kali Pandan Wangi telah berada di
hadapannya sambil menjulurkan kedua ujung pedangnya. Berganti-ganti, tetapi
kadang-kadang bersama-sama, sehingga sepasang pedang itu seolah-olah telah
berubah menjadi puluhan ujung pedang yang digerakkan oleh puluhan tangan dari
penari-penari yang menarikan sebuah tarian maut. Tetapi Ki Peda Sura bukan
anak-anak yang baru pandai menghapus ingus di hidungnya. Ia adalah seorang yang
telah menggetarkan lingkungannya dengan berbagai macam perbuatan dan
tindakannya yang nggegirisi. Ia adalah seorang yang telah mampu mencengkam
lingkungannya dengan kelebihan-kelebihannya yang meyakinkan. Itulah sebabnya, betapapun
sulitnya, akhirnya perlahan-lahan Ki Peda Sura dapat menemukan keseimbangannya
kembali. Perlahan-lahan ia dapat menempatkan dirinya, dalam perlawanan yang
wajar terhadap lawannya yang kali ini ternyata jauh melampaui segala orang di
dalam peperangan itu. Kini Ki Peda Sura telah berdiri tegak di atas kedua
kakinya. Senjatanya telah mantap di dalam genggaman. Dan matanya tajamnya
memandang lawannya dengan hampir tidak berkedip, bahkan dari sepasang mata yang
buas itu seakan-akan memancar api yang menjilat-jilat.
“Ternyata di
Menoreh ada juga setan betina macam kau,” geramnya.
Pandan Wangi
tidak menyahut. Tetapi ia menyadari sepenuhnya dengan siapa ia berhadapan.
Karena itu, maka dipusatkannya perhatiannya kepada Ki Peda Sura.
Dipercayakannya dirinya kepada para pengawal yang selalu berusaha menahan
serangan-serangan dalam hiruk pikuk perang brubuh itu, sehingga seolah-olah
kedua orang yang berhadap-hadapan itu telah dipisahkan dari lingkungan perang
yang semakin kisruh.
“Hem,” Peda
Sura menggeram,
“sayang
sekali, bahwa gadis secantik dan semuda kau, sudah harus mati di peperangan.
Mungkin kaulah yang bernama Pandan Wangi puteri Kepala Tanah Perdikan Menoreh
yang gila itu. Aku pernah mendengar namamu dan kelebihan-kelebihan yang kau
miliki.”
Pandan Wangi
tidak menjawab. Selangkah ia maju mendekati lawannya dengan penuh kewaspadaan.
Kedua pedangnya kini bersilang di muka dadanya.
“Uh,” Peda
Sura berdesah,
“bukan main.
Kau memang seorang yang luar biasa. Kau mempunyai kepercayaan yang mantap
kepada dirimu sendiri. Aku kira kau pun
pernah mendengar namaku. Tetapi agaknya kau benar-benar tidak gentar.”
Pandan Wangi
sama sekali tidak merasa perlu untuk menjawab. Karena itu ia hanya mengatupkan
mulutnya rapat-rapat. Kini jarak mereka menjadi semakin dekat, dan pandangan
mata keduanya sama sekali tidak berkisar dari senjata lawan. Sementara itu,
Samekta telah berhasil memperoleh senjatanya kembali. Meskipun tangannya masih
terasa pedih, namun ia tidak akan dapat membiarkan perkelahian antara Pandan
Wangi dan Peda Sura itu berlangsung tanpa bantuan orang lain. Meskipun Pandan
Wangi cukup mempunyai bekal dan kemampuan, namun Peda Sura menyimpan pengalaman
yang jauh lebih banyak dari gadis yang baru untuk pertama kalinya terjun di
peperangan. Apalagi perang brubuh. Karena itu, maka ia pun segera mendekat bersama beberapa orang di
dalam kelompoknya.
“Ha,” berkata
Ki Peda Sura,
“lihat,
kawanmu yang hampir menjadi bangkai itu mendekat pula. Agaknya ia benar-benar
ingin mati di peperangan ini.”
Tetapi Pandan
Wangi sama sekali tidak berpaling. Bahkan setelah Samekta berada di sampingnya.
Ia mengerti benar, bahwa Peda Sura mampu bergerak secepat tatit. Peda Sura mengumpat-umpat
di dalam hatinya. Ia melihat banyak kelebihan pada gadis itu. Keyakinan kepada
diri sendiri, penuh kewaspadaan dan otak yang terang. Dengan demikian, maka
dadanya telah diamuk oleh kecemasan. Kini ia tidak yakin, bahwa ia akan dapat
berbuat sekehendaknya atas lawan-lawannya. Kesempatan untuk membunuh Samekta
seolah-olah telah lenyap, sedang ia menyadari, bahwa jumlah pasukan Menoreh
lebih banyak dan lebih kuat dari pasukannya. Namun demikian Peda Sura masih
mempunyai harapan. Sebentar lagi pasukan Sidanti akan masuk ke induk padukuhan
Menoreh. Pada saat itulah, maka pasukan Menoreh pasti akan dapat di pecahnya.
“Tetapi
bagaimanakah seandainya Sidanti sengaja memperpanjang waktu menunggu pasukan
ini hancur?” pertanyaan itu timbul pula di dalam hatinya. Tetapi dijawabnya
sendiri,
“tentu tidak.
Tentu tidak. Ia masih memerlukan kami.”
Dan Ki Peda
Sura tidak dapat berangan-angan berkepanjangan. Pandan Wangi melangkah semakin
dekat dan pedangnya yang bersilang kini mulai bergetar.
“Betina ini
benar-benar seperti iblis,” desis Ki Peda Sura di dalam hati.
Dan ternyata
bahwa sekejap kemudian Pandan Wangi telah meloncat ke samping, menggerakkan
pedangnya dan langsung menyerang dengan sengitnya. Bukan saja Ki Peda Sura yang
menggeram, tetapi Samekta pun menggeram pula oleh keheranan yang menyesak di
dadanya. Ia sama sekali tidak menyangka, bahwa Pandan Wangi yang luruh itu
dapat berubah menjadi demikian garangnya. Samekta pun tidak mau melewatkan setiap kesempatan.
Selagi ia mendapat kesempatan, maka ia pun mendekat pula dan menyerang bersama-sama
dengan beberapa orang di dalam kelompok kecil itu. Baru kini Ki Peda Sura
merasa, bahwa ia sebenarnya lagi berperang. Dengan lincahnya ia berloncatan
sambil menggerakkan sepasang senjatanya. Tetapi kini dengan penuh kewaspadaan
dan sepenuh kemampuannya. Ia tidak lagi dapat bermain-main. Dengan demikian,
maka perkelahian itu pun menjadi semakin lama semakin seru. Tidak hanya di
dalam lingkaran yang memutari Ki Peda Sura, tetapi di seluruh daerah perang
brubuh itu. Satu-satu korban jatuh di tanah, dan darah pun mengalir dan luka, memerahi tanah dan
batu-batu padas. Erang kesakitan, dan pekik yang mengerikan membelah hiruk
pikuk dentang senjata. Pada saat yang demikian itulah, dua ekor kuda berlari
berderap memecah kesepian malam di dalam padukuhan. Mereka singgah dari gardu
ke gardu memberitahukan, bahwa Sidanti masih belum dijumpai di peperangan.
Akhirnya orang itu sampai pula di rumah Kepala Tanah Perdikan Menoreh yang
ditunggui oleh sepasukan kecil dibawah pimpinan Wrahasta.
“Hem,”
Wrahasta menggeram,
“bagaimana
dengan pasukan cadangan di banjar?”
“Pasukan itu
telah aku beritahukan pula. Mereka mengumpulkan kuda sebanyak-banyaknya dapat
mereka peroleh, supaya sebagian dari mereka dapat bergerak cepat ke mana pun juga.”
“Bagus. Dan
apakah kau telah memberitahukan semua penjaga dan semua peronda?”
“Hampir
seluruhnya. Berita ini akan berkembang dengan secara beranting, bagi
gardu-gardu di padukuhan-padukuhan yang agak jauh.”
Wrahasta
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia menjadi berdebar-debar. Kepergian
Pandan Wangi ke medan peperangan telah membuat hatinya gelisah. Dan berita yang
didengarnya itu pun telah menambah kegelisahan dan kecemasannya.
“Sekarang,
kalian akan pergi ke mana lagi?”
“Aku akan
meneruskan perjalanan ke gardu-gardu di sebelah Timur. Sokurlah kalau berita
beranting itu telah sampai, kalau belum maka mereka harus segera mendengarnya
pula.”
Wrahasta
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Hati-hatilah.
Musuh dapat berada di segala tempat.”
Sesaat
kemudian derap kaki dua ekor kuda itu kembali memecah kesenyapan malam.
Menyelusur jalan padukuhan, singgah di gardu-gardu di mulut lorong dan di
sudut-sudut desa. Namun dengan serta-merta, kedua penunggang kuda itu menarik
kekang kudanya ketika ia bertemu dengan seorang penunggang kuda yang datang
dari arah yang berlawanan. Kuda itu berpacu seperti angin. Dalam kilatan cahaya
bulan keduanya melihat bahwa orang itu membawa senjata terhunus di tangannya.
“Penghubung
yang pasti membawa berita terlampau penting.”
“Ya, ternyata
senjatanya telah berada di dalam genggaman.”
Kini keduanya
menjadi semakin berhati-hati. Namun semakin dekat, mereka segera mengenal,
bahwa penunggang kuda itu pun seorang pengawal dari Menoreh. Penunggang kuda
yang seorang itu, yang membawa senjata terhunus, telah melihat kedua orang yang
berkuda pula di hadapannya. Karena itu maka segera diperlambatlah derap
kudanya. Belum lagi mereka berpapasan, orang itu telah berkata keras-keras,
“Pasukan yang
besar datang dari arah Timur.”
Kedua orang
yang menunggunya terkejut, “Pasukan siapa?”
“Setan,”
hampir bersamaan keduanya menggeram.
“Langsung
dipimpin oleh Sidanti dan Argajaya.”
“Pasukan
cadangan telah siap.”
“Tidak cukup.
Pasukan itu terlampau kuat.”
“Lalu
maksudmu?”
“Semua yang
ada harus dikerahkan. Sebagian harus ditarik dari peperangan di medan sebelah
Barat.”
Keduanya
mengerutkan keningnya. Kini penghubung yang bersenjata itu telah berhenti pula.
Katanya,
“Kembalilah.
Salah seorang dari kalian pergi kepada Ki Samekta. Yang seorang kepada Wrahasta
dan aku akan pergi ke banjar, mengambil pasukan cadangan yang dapat segera
digerakkan.”
Mereka tidak
terlampau banyak berbincang. Keadaan akan segera memuncak. Karena itu, maka
ketiganya segera memacu kuda mereka berderap ke jurusan masing-masing. Mereka
merasa betapa berat tugas pasukan pengawal kali ini, menghadapi kawan-kawan
sendiri dan orang-orang liar yang tidak mereka kenal yang terjun di dalam
perselisihan di antara keluarga. Wrahasta yang mendengar tentang gerakan itu
menggeretakkan giginya. Hampir saja ia lupa, bahwa ia bertugas untuk menjaga
rumah Kepala Tanah Perdikan itu seisinya. Dengan kemarahan yang meluap-luap ia
menggeram,
“Seandainya
aku tidak terikat oleh tanggung jawab ini. Aku ingin tahu, apakah benar-benar
Sidanti telah melonjak terlampau jauh dari anak-anak muda sebayanya di tanah
perdikan ini.”
“Tetapi kau
tidak boleh meninggalkan halaman rumah ini,” berkata seorang pengawal yang
lain.
“Ya, dan aku
kecewa karenanya.”
“Tugasmu telah
ditentukan,” sahut penghubung yang memberitahukan gerakan Sidanti itu
kepadanya,
“aku
memberitahukan kepadamu, supaya kau berwaspada. Mungkin pasukannya dapat
meresap sampai ke halaman ini. Setiap orang harus menyiapkan diri menghadapi
kemungkinan.”
Wrahasta
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya,
“Aku akan
menyongsong setiap orang dari pasukan lawan di luar halaman. Tidak boleh
setapak kaki pun yang mengotori halaman
rumah Ki Argapati.”
Penghubung itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya,
“Baiklah, aku
kini pergi ke banjar.”
Tetapi
kata-katanya terpotong ketika mereka yang berada di halaman itu mendengar derap
kaki kuda. Bergemeretak di atas tanah berbatu-batu. Berurutan meluncur secepat
loncatan tatit di langit. Mereka adalah bagian dari pasukan cadangan yang
langsung menyongsong pasukan Sidanti. Menurut perhitungan mereka, pasukan itu
pasti sudah berbenturan dengan para peronda yang telah menarik diri dari
gardu-gardu mereka dan berkumpul untuk menahan arus pasukan Sidanti. Tetapi
jumlah mereka terlampau sedikit, sehingga pengaruhnya pun tidak akan terlampau terasa pada pasukan
lawan. Namun kedatangan para pengawal berkuda itu pasti akan segera mengganggu
laju pasukan lawan itu.
“Mereka telah
berangkat,” desis Wrahasta,
“darimana
mereka mendengar bahwa pasukan Sidanti maju di sebelah Timur?”
“Bersama aku
seorang penghubung langsung pergi ke banjar dan ke medan di sebelah Barat untuk
memberitahukan kepada Paman Samekta. Seandainya Samekta mempunyai kelebihan
kekuatan, maka kekuatan itu akan dialirkan ke medan di sebelah Timur.”
Wrahasta
mengangguk-anggukkan kepalanya. Sekali lagi ia mencoba melihat bayangan yang
meluncur berurutan di hadapannya. Tetapi yang dilihatnya tinggallah orang yang
paling belakang.
“Jumlah
pengawal berkuda itu pun tidak terlampau banyak.”
Tetapi cukup
untuk menahan pasukan Sidanti sampai pasukan cadangan yang lain datang.”
“Pasukan
cadangan itu pun tidak begitu banyak.”
Penghubung itu
tidak menyahut. Menurut pendengarannya, pasukan Sidanti yang datang dari Timur
itu cukup kuat, sehingga untuk menahannya diperlukan pasukan yang kuat pula.
Sejenak
kemudian mereka melihat pasukan cadangan dari Banjar, dengan tergesa-gesa
menuju ke Timur, lewat jalan di alun alun kecil di hadapan rumah Kepala Tanah
Perdikan Menoreh. Bahkan mereka berlari-lari kecil berloncatan, seakan-akan
tidak sabar lagi untuk segera bertemu dengun pasukan lawan. Ternyata pasukan
Sidanti yang kuat sama sekali tidak menemukan perlawanan yang berarti. Para
peronda di gardu-gardu dan para pengawal yang di tempatkan di
padukuhan-padukuhan kecil tidak terlampau bodoh untuk membunuh diri dengan
menahan arus gerakan lawan. Mereka segera menghindar, menarik diri dan mencoba
berkumpul dalam kelompok yang lebih besar. Tetapi jumlah mereka masih terlampau
sedikit untuk melakukan perlawanan, sehingga dengan demikian, mereka masih
tetap mundur dan bergabung dengan lima atau sepuluh orang di setiap
padukuhan-padukuhan kecil.
Baru ketika
jumlah mereka menjadi lebih banyak, mereka mencoba mengganggu pasukan lawan
dengan panah-panah dari jarak yang agak jauh. Mereka menyerang pasukan lawan
dari pedukuhan-pedukuhan di hadapan gerakan pasukan Sidanti, namun kemudian
hilang di dalam kegelapan dan mencoba menghindar dari benturan terbuka.
“Setan,”
Sidanti menggeram,
“mereka licik
seperti kancil. Mereka tidak berani berhadapan beradu dada.”
Argajaya tidak
menjawab. Tetapi ia mengagumi cara yang dipergunakan oleh para pengawal itu. Ia
termasuk salah seorang yang menganjurkan cara itu untuk melawan kekuatan yang
jauh melampaui kekuatan sendiri. Dan cara itu kini dipergunakan untuk
melawannya sendiri.
Para peronda
yang mengundurkan diri itu akhirnya mendengar derap kaki-kaki kuda semakin
mendekat. Dengan serta-merta, kegembiraan melonjak di hati mereka. Mereka akan
segera mendapatkan kawan yang cuku berarti untuk melawan pasukan Sidanti.
Meskipun mereka tetap ragu-ragu, apakah usaha itu akan berhasil, karena pasukan
Sidanti itu agak terlampau besar. Dengan tergesa-gesa mereka menahan para
pengawal berkuda itu, supaya mereka tidak langsung terjun ke dalam jebakan lawan.
Dengan berapa petunjuk dari para peronda itu, akhirnya mereka bersepakat, bahwa
mereka akan mempergunakan cara yang telah mereka lakukan sebelumnya. Setiap
kali menunggu pasukan lawan mendekati padukuhan. Kemudian menyerang mereka
dengan senjata-senjata jarak jauh. Kini, mereka menambah cara penyerangan
dengan para pengawal berkuda. Pada saat mereka sibuk menangkis
serangan-serangan senjata jarak jauh, maka para pengawal berkuda itu harus
menyerang mereka dengan tiba-tiba, tetapi kemudian menghilang lagi, untuk
muncul pula di saat yang lain. Demikianlah, maka mereka mencoba mempergunakan
cara itu. Pertama kali, ketika Sidanti mendengar ringkik kuda, ia terkejut.
Beberapa orang berkuda tiba-tiba saja meloncat dari dalam bayangan pepohonan,
langsung menyerang mereka dengan melontarkan tombak-tombak panjang. Kemudian
menebaskan pedang-pedang mereka. Sesaat kemudian kuda-kuda itu telah lenyap
menghilang sambil meninggalkan beberapa orang korban. Tetapi cara itu tidak
akan dapat mereka ulangi. Sidanti dan Argajaya bukanlah orang-orang yang
terlampau bodoh. Itulah sebabnya, maka para pengawal yang menyadari keadaan,
harus mempergunakan cara yang lain untuk menyergap lawan mereka. Tetapi
cara-cara yang mereka pilih tidak selalu berhasil. Kadang-kadang mereka terpaksa
mengurungkan penyerangan mereka, dan menghindar jauh-jauh. Namun pada dasarnya,
mereka selalu menghindarkan diri dari benturan-benturan terbuka, sambil
menunggu kedatangan pasukan cadangan yang menyusul mereka dengan berjalan kaki.
Tetapi pasukan Sidanti yang datang dari arah Timur ini ternyata terlampau kuat.
Para pengawal berkuda, segera dapat menilai, bahwa pasukan cadangan itu pun
tidak akan mampu untuk bertahan dari arus pasukan lawan. Karena itu, maka
segera mereka berusaha menghubungi setiap peronda, dan bahkan setiap orang yang
mungkin dapat memperkuat pasukan pengawal dari Tanah Perdikan Menoreh.
Satu dua dan
kadang-kadang lima orang atau lebih berhasil berhimpun menjadi
kelompok-kelompok kecil dan bergabung dengan pasukan pengawal, yang masih
menunggu pasukan yang lebih besar lagi untuk melakukan perlawanan terbuka.
Namun dalam pada itu, pasukan Sidanti maju terus dengan cepatnya. Semakin lama
semakin dekat dengan padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh. Setiap orang dari
para pengawal itu menjadi berdebar-debar. Ketika mereka menerima seorang
penghubung dari pasukan cadangan, mereka menjadi berbesar hati, Pasukan itu
telah berada dan menunggu lawannya di sebuah pedukunan kecil di belakang
mereka.
“Kami tahu,
bahwa pasukan Sidanti cukup besar,” berkata penghubung itu,
“karena itu,
maka kami tidak membawanya di tempat terbuka, supaya kami dapat sedikit
perlindungan dari keadaan di sekitar kami.”
“Baiklah,”jawab
seorang pengawal yang tertua di antara mereka yang telah bergabung menjadi kelompok-kelompok
kecil,
“kami akan
bergabung. Tetapi kami akan mencari jalan lain, supaya tidak segera diketahui
oleh pasukan lawan.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar