Jilid 036 Halaman 2


Ia melihat Pandan Wangi itu duduk bersama seorang kawan Kerti yang tidak ikut bersamanya.
“Pandan Wangi,” Wrahasta berkata dengan serta merta,
“permainan apakah yang sedang kau lakukan? Di manakah kau selama ini?”
Pandan Wangi tidak segera menjawab. Perlahan-lahan ia berkata,
“Duduklah, Wrahasta. Dengarlah baik-baik, apakah sebenarnya maksudku dengan permainan ini.”
Wrahasta tidak menyahut. Seolah-olah di luar sadarnya ia melangkah mendekati Pandan Wangi dan duduk di hadapannya bersama kawan Kerti yang seorang lagi.
“Wrahasta,” berkata Pandan Wangi,
“aku memang sengaja bersembunyi, supaya kalian mencari aku. Aku memanjat pohon duku di halaman samping. Tidak seorang  pun yang melihatku. Aku memang sengaja membuat kesan supaya Kerti menyangka aku pergi ke Pucang Kembar menyusul Ayah.”
“Apakah maksudmu Pandan Wangi? Apakah kau tidak sadar, bahwa permainan itu adalah permainan yang sangat berbahaya. Berbahaya bagi jiwa Kerti yang menyusulmu, dan berbahaya bagi Ki Argapati?”
“Mungkin demikian Wrahasta, tetapi mungkin sebaliknya. Aku mendapat firasat, bahwa Ki Tambak Wedi kali ini tidak akan berbuat dengan jantan dan jujur. Apabila Kerti mencari aku ke sana, maka setidak-tidaknya Ayah mempunyai seorang saksi, apa yang telah dilakukan oleh Ki Tambak Wedi.”

Getar jantung Wrahasta terasa semakin cepat berdentangan di rongga dadanya. Namun kecemasan yang sangat telah menguasai perasaannya. Ia tahu benar, apakah akibat yang dapat timbul, seandainya Ki Argapati mengetahui, bahwa seseorang telah melihat perkelahian itu. Maka katanya,
“Apakah menurut pertimbanganmu saksi itu akan menguntungkan kedudukan Ki Argapati? Justru dengan hadirnya seorang saksi, maka pemusatan kemampuan Ki Argapati akan terganggu. Nah, kau dapat membayangkan, sedikit saja gangguan pada salah seorang dari mereka, maka ia akan kehilangan kesempatan untuk melakukan perang tanding itu seterusnya”
Dada Pandan Wangi menjadi berdebar-debar. Memang kemungkinan yang demikian itu pun dapat juga terjadi. Tetapi ia menjawab,
“Wrahasta. Kerti tahu benar, bahwa hal yang serupa itu dapat terjadi. Tetapi aku  pun percaya, bahwa Kerti bukan anak-anak lagi. Ia tahu apa yang harus dilakukan. Ia datang ke Pucang Kembar sama sekali tidak dengan maksud untuk menarik sebagian dari pemusatan pikiran Ayah. Ia tahu hal itu, dan karena itu ia akan berhati-hati. Tetapi lebih daripada itu, aku merasa bahwa Ayah justru sedang diintai oleh bahaya yang tersembunyi. Wrahasta, aku tidak dapat mengatakan, tetapi firasatku berkata, Ki Tambak Wedi akan berbuat curang.”
“Maksudmu, Ki Tambak Wedi tidak datang seorang diri dalam gelanggang perkelahian itu?”
Pandan Wangi menganggukkan kepalanya.
Wrahasta sejenak terdiam, sehingga suasana di dalam ruangan itu menjadi sepi. Sepi yang tegang. Masing-masing hanyut dalam arus angan-angan sendiri. Di kejauhan terdengar suara burung-burung malam menggetarkan udara. Suaranya yang ngelangut serasa mengetuk hati yang sedang gelisah.

Halaman 1 2 3
Api Di Bukit Manoreh Seri 1 Jilid 036 Halaman 2

Di dalam keheningan itu, tiba-tiba bergetar derap suara kaki-kaki kuda membelah sepinya malam. Gemeretak di atas tanah berbatu-batu. Semakin lama menjadi semakin dekat. Sejenak kemudian suara suara derap kaki-kaki kuda itu berhenti. Namun sesaat berikutnya, derap itu telah bergetar di halaman.
“Siapakah itu?” bertanya Pandan Wangi.
Wrahasta menggelengkan kepalanya,
“Mudah-mudahan bukan Kerti. Kalau kau berfirasat buruk atas Ki Tambak Wedi, sebaiknya memang Kerti akan dapat menyaksikannya. Tetapi ia seharusnya dapat membawa diri.”
“Lihatlah, siapakah orang yang baru datang.”
Wrahasta  pun kemudian berdiri dan melangkah keluar. Tetapi ketika ia membuka pintu, hampir saja ia membentur seseorang yang dengan tergesa-gesa melangkah masuk.
“Oh, kau,” desis Wrahasta ketika ia melihat seorang pengawal yang dengan nafas terengah-engah berdiri di depan pintu.
“Apakah ada sesuatu yang penting?”
“Ya. Aku akan menemui Pandan Wangi.”
“Masuklah.”
Orang itu pun segera masuk, diikuti oleh beberapa orang pemimpin tanah perdikan yang sedang duduk-duduk di pendapa. Mereka melihat gelagat yang membuat jantung mereka menjadi berdebar-debar.
Ketika mereka telah duduk melingkar di atas tikar, maka orang yang baru saja datang itu segera berkata,
“Aku mendapat tugas untuk menyampaikan berita kemari.”
“Ya,” sahut Pandan Wangi pendek.
“Beberapa orang petugas sandi telah melihat gerakan pasukan yang mendekati padukuhan induk ini”

Sederet warna merah membayang di wajah Pandan Wangi. Hampir-hampir ia tidak percaya akan pendengarannya. Seperti mimpi ia membayangkan, apakah mungkin kakaknya, Sidanti, yang bermain-main dengannya di masa-masa kecil itu benar-benar telah sampai hati menggerakkan pasukan untuk melawan ayahnya? Apakah mungkin, bahwa Sidanti yang tinggal di dalam rumah ini di masa kanak-kanaknya sebagai anak dari ibunya dan mendapat perlakuan tidak ubahnya seperti anak sendiri dari ayahnya, Ki Argapati, kini telah sampai hati melawan dengan kekerasan, dan bahkan dengan cara yang curang dan licik?
“Ki Tambak Wedi,” katanya di dalam hati,
“ini pasti pokal Ki Tambak Wedi. Aku tidak percaya bahwa Kakang Sidanti akan berbuat demikian menurut hasratnya sendiri.” Namun tiba-tiba Pandan Wangi itu menjadi kecewa ketika di dalam hatinya itu pula ia menyadari, bahwa sebenarnyalah bahwa Sidanti adalah anak Ki Tambak Wedi. Darah yang mengalir di dalam tubuh kakaknya itu selain darah ibunya seperti yang juga mengalir di dalam dirinya adalah darah dari orang tua yang licik itu, yang di dalam masa mudanya telah berhubungan terlampau rapat dengan ibunya.
“Oh,” Pandan Wangi berdesah. Hampir saja ia memekikkan perasaan pedih di dalam hatinya. Namun untunglah bahwa segera ia menyadari kedudukannya kini. Ia adalah seorang yang kini sedang mewakili ayahnya, Kepala Tanah Perdikan Menoreh, meskipun ia seorang gadis.
Karena itu, maka Pandan Wangi segera berusaha menguasai perasaannya. Dengan nada yang datar ia bertanya,
“Dari manakah gerakan itu datang?”
“Dari arah Barat. Sepasukan orang-orang yang tidak dikenal merayap mendekati padukuhan induk ini. Justru sebagian terbesar dari mereka bukan orang-orang Menoreh. Agaknya mereka akan menyerang dari arah Barat pula.”
“Apakah Paman Samekta telah mendapat laporan yang serupa?”
“Ya. Kawanku yang seorang telah menyampaikan berita ini kepada Ki Samekta.”
Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Kemudian katanya kepada Wrahasta,
“Orang ini belum tahu, apakah yang akan dilakukan oleh Paman Samekta, karena ia langsung menuju kemari. Aku harus mendengar gerakan yang akan dilakukan oleh Paman Samekta. Nah, kau dapat memerintahkan dua orang untuk menemuinya.”
“Orang yang datang bersamaku akan singgah kemari setelah bertemu dengan Ki Samekta,” potong orang itu.
“Biar sajalah. Tetapi aku minta Wrahasta mengirim orang ke sana segera.”
Wrahasta mengerutkan keningnya. Terasa kini bahwa gadis itu ternyata mempunyai pribadi yang kuat yang terpancar pada perbawanya atas dirinya.
Karena itu, maka tidak ada kesempatan lagi bagi Wrahasta untuk berbicara tentang bermacam-macam persoalan. Kata-kata Pandan Wangi tidak lebih dan tidak kurang dari suatu perintah. Perintah atas nama Kepala Tanah Perdikan Menoreh. Wrahasta  pun kemudian berdiri. Katanya sambil melangkah keluar,
“Aku akan segera melakukannya. Aku akan mengirim dua orang untuk menemui Paman Samekta.”
Sejenak kemudian, maka di halaman terdengar derap kaki dua ekor kuda yang memecah sepinya malam, meluncur menyusup keluar regol. Dua orang telah dikirim oleh Wrahasta untuk menemui Samekta. Dan sejenak berikutnya, Wrahasta telah berada kembali di dalam pringgitan.
“Apakah kira-kira yang akan dilakukan oleh Paman Samekta?” bertanya Pandan Wangi.
“Sudah tentu mengerahkan pasukan pengawal ke arah yang dikatakan itu,” sahut Wrahasta.
Tetapi Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Kemudian katanya,
“Terlampau sederhana.”
Wrahasta heran mendengar tanggapan Pandan Wangi, sehingga ia bertanya,
“Apakah maksudmu, Pandan Wangi?”
“Baiklah, kita tunggu kedua orang itu datang. Sekarang kau pun harus menyiapkan orang-orangmu di halaman ini, Wrahasta. Aku memperhitungkan, bahwa gerakan Kakang Sidanti tidak sesederhana itu. Datang dari arah Barat, kemudian menyerang dalam gelar yang sempurna di malam hari begini.”

Wrahasta mengangguk-anggukkan kepalanya di luar sadarnya. Pikiran itu memang dapat diterimanya. Justru karena itu, maka sekali lagi Wrahasta mengaguminya. Pandan Wangi adalah seorang gadis yang selama ini tidak pernah atau hampir tidak berminat untuk ikut serta di dalam kegatan-kegiatan ayahnya sebagai Kepala Tanah Perdikan. Hanya kadang-kadang ia ikut dalam pembicaraan-pembicaraan dan kadang-kadang sekali melihat para pengawal mengadakan latihan-latihan. Tetapi ternyata dalam keadaan ini, ia menunjukkan ketangkasannya berpikir.
“Pasukanmu harus kau atur sebaik-baiknya Wrahasta. Kita tidak tahu cara apa yang akan ditempuh oleh Kakang Sidanti dengan penasehatnya sekaligus gurunya yang licik itu. Mungkin ia akan mempergunakan cara yang licik pula.”
“Ya, aku mengerti, Pandan Wangi.”
“Jangan membiarkan dirimu didekap di dalam dinding halaman yang sempit ini. Tetapi kau harus berusaha agar mereka tidak dapat masuk lewat jalan mana pun juga, seandainya Kakang Sidanti membuat pasukan yang khusus menembus langsung ke jantung tanah perdikan ini.”
Wrahasta mengangguk-anggukkan kepalanya. Kini ia benar-benar berada di bawah pengaruh puteri Kepala Tanah Perdikan itu. Sekali lagi Wrahasta berdiri dan melangkah keluar untuk mengatur orang-orangnya. Dinding halaman itu dirubahnya menjadi benteng yang kuat. Setiap sudut, bahkan setiap jengkal dinding dijadikannya tempat bertahan. Bahkan Wrahasta mempersiapkan pula senjata-senjata jarak jauh, untuk melawan arus apabila lawan datang terlampau banyak. Tetapi bulan di langit betapa  pun terangnya, namun bayangan pepohonan akan menjadi tempat bersembunyi yang sebaik-baiknya bagi lawan yang akan menghindarkan diri dari bidikan anak panah. Sejenak kemudian, lamat-lamat mereka telah mendengar derap kaki-kaki kuda yang datang mendekat. Dua orang yang diperintahkan oleh Wrahasta menemui Samekta di banjar desa telah kembali.
Mereka segera dibawa masuk ke pringgitan oleh Wrahasta, agar mereka dapat langsung berbicara dengan Pandan Wangi.
“Bagaimanakah sikap Paman Samekta?”
“Akan segera dikirim pasukan untuk menyongsong sergapan itu.”
“Berapa bagian dari kekuatan Paman Samekta yang berangkat.”
“Sebagian terbesar. Ki Samekta berhasrat untuk menghancurkan sama sekali pasukan itu, supaya untuk seterusnya tidak ada lagi kekuatan untuk mengganggu ketenangan tanah perdikan ini.”
“Apakah Paman Samekta menarik semua pasukan di padesan di sekitar padukuhan induk ini?”
Sejenak orang itu terdiam. Kemudian salah seorang dari mereka menjawab,
“Tidak dikatakannya.”

Pandan Wangi tampak berpikir sejenak. Tetapi ia tidak puas dengan tindakan Samekta itu, meskipun alasan-alasannya cukup kuat. Tetapi seperti yang terjadi dengan ayahnya, kali ini pun Pandan Wangi mempunyai firasat yang lain dari perhitungan Samekta itu. Sidanti tidak akan melakukan perang terbuka dengan beradu dada. Selain sifat-sifat licik gurunya, Sidanti pun harus memperhitungkan, bahwa pasukannya tidak akan cukup kuat untuk melakukan perang dengan cara itu. Karena itu maka tiba-tiba ia berkata,
“Aku akan menemui Paman Samekta.”
“Pandan Wangi,” tiba-tiba saja Wrahasta memotong,
“kau tidak dapat meninggalkan halaman ini. Ini adalah rumah Kepala Tanah Perdikan. Dari sinilah kau harus mengatur kekuatan dan perlawananmu.”
“Paman Samekta yang mendapat tugas itu berada di banjar. Bagaimana aku dapat berbicara dengannya, apabila aku tidak pergi menemuinya, atau Paman Samekta pergi kemari? Tetapi karena tugas Paman Samekta yang berat, maka biarlah aku pergi ke banjar sekarang.”
“Pandan Wangi,” sekali lagi Wrahasta memotong,
“jangan mengabaikan pesan Ki Gede Menoreh. Aku harus melidungimu di sini. Kau tidak boleh pergi.”
“Aku adalah wakil Ayah sekarang. Aku adalah Kepala Tanah Perdikan Menoreh. Aku bukan tawananmu, Wrahasta.”
“Tetapi, tetapi,” wajah Wrahasta menjadi merah.
Tiba-tiba saja Pandan Wangi teringat akan sikap Wrahasta beberapa saat sebelum ayahnya pergi. Tersirat pula kembali di dalam hatinya, kemungkinan-kemungkinan yang dapat dilakukan oleh Wrahasta, apabila ia diterkam oleh kekecewaan. Karena itu, maka betapa pahitnya, Pandan Wangi itu kemudian berkata,
“Lepaskan aku pergi kali ini, Wrahasta. Persoalan ini adalah persoalan Tanah Perdikan Menoreh. Kita akan menempatkan setiap persoalan yang lain pada waktu dan tempatnya sendiri. Kalau kau bersitegang, maka kau tidak akan dapat mengharap apa pun daripadaku. Tetapi kalau kau menurut perintahku, maka aku akan membuat pertimbangan-pertimbangan sebaik-baiknya. Kita dapat berbicara di kali lain.”
Terasa desir yang tajam tergores di dalam dada Wrahasta. Sejenak ia membeku di tempatnya sambil memandangi Pandan Wangi tajam-tajam. Berbagai macam perasaan bergolak di dalam dirinya. Ia menyadari tanggung jawabnya atas keamanan seluruh isi halaman rumah ini, termasuk Pandan Wangi seperti yang dipesankan oleh Ki Gede Menoreh. Tetapi kalau ia tidak mau melepaskan Pandan Wangi, maka kepentingan pribadinya atas gadis itu akan tertutup sama sekali.
Dalam pada itu, orang-orang lain yang mendengar pembicaraan mereka berdua hanya dapat memandang dengan mulut ternganga-nganga. Mereka sama sekali tidak mengerti ujung dan pangkal dari pembicaraan itu, sehingga dengan demikian, tidak dapat berbicara apa-apa. Sedangkan Wrahasta sendiri, masih saja diselubungi oleh kebimbangan yang bahkan semakin memuncak. Ia melihat kepentingan yang bertentangan. Tanggung jawabnya, kepentingan pribadinya, dan kecemasannya tentang keselamatan Pandan Wangi apabila ia melepaskannya pergi.
“Bagaimana pertimbanganmu, Wrahasta,” bertanya Pandan Wangi kemudian.
Wrahasta terperanjat atas pertanyaan itu. Ia sama sekali belum siap untuk menjawabnya. Karena itu, maka dengan gelisah ia bergeser setapak. Dipandanginya Pandan Wangi dengan ragu-ragu.
“Wrahasta, sebenarnya tidak seharusnya aku minta ijin kepadamu. Yang wajib aku lakukan adalah memberitahukan, bahwa aku akan pergi ke banjar menemui Paman Samekta. Hanya itu, karena akulah kini Kepala Tanah Perdikan sampai Ayah datang.”
Dada Wrahasta semakin terguncang mendengar kata-kata itu. Tanpa dikehendakinya sendiri, diedarkannya pandangan matanya berkeliling. Dilihatnya beberapa orang-orang tua duduk dengan wajah yang tegang penuh pertanyaan. Namun kata-kata itu hampir tidak menyentuh perasaan Wrahasta. Apa  pun yang dikatakan oleh Pandan Wangi, meskipun terlampau keras sekalipun, karena Pandan Wangi masih juga dipengaruhi oleh kemudaannya. Tetapi yang paling mendebarkan adalah tantangan Pandan Wangi mengenai masalah pribadinya yang membuat pertimbangannya menjadi sangat terpengaruh.

Sejenak kemudian, ternyata Wrahasta mencoba mencari alasan-alasan di dalam dirinya unluk membenarkan sikap Pandan Wangi pergi ke banjar menemui Samekta. Dengan demikian, maka Pandan Wangi akan bersedia untuk berbicara dengan dirinya mengenai masalah-masalah pribadi.
“Tetapi bagaimana kalau terjadi sesuatu dengan anak itu,” katanya di dalam hati,
“aku akan dimarahi oleh Ki Argapati dan lebih dari pada itu aku akan kehilangan.” Wrahasta menjadi semakin ragu-ragu. Namun terngiang kembali kata-kata Pandan Wangi.
“Kalau kau bersitegang, maka kau tidak akan dapat mengharap apa pun daripadaku.”
“Hem,” Wrahasta menarik nafas dalam-dalam. Dicobanya untuk segera menemukan keputusan, apalagi setelah Pandan Wangi mendesaknya,
“Bagaimana Wrahasta. Setiap saat harus kita manfaatkan sebaik-baiknya. Kalau kita membiarkan diri kita sendiri diombang-ambingkan oleh keragu-raguan, maka kita akan segera ditelan oleh pasukan Kakang Sidanti. Di ujung-ujung padukuhan dan bahkan sebentar lagi kita di sini.”
Tergagap Wrahasta mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Ya, ya. Aku sadar Pandan Wangi. Tetapi pilihan yang kau hadapkan di mukaku sekarang ternyata terlampau sulit untuk dipecahkan. Tetapi apabila kau berkeras untuk pergi kepada Paman Samekta, dan tidak dapat aku cegah lagi, baiklah. Namun kau harus memperhitungkan setiap keadaan. Kau tidak dapat pergi tanpa pengawalan.”
“Baiklah,” sahut Pandan Wangi. Kemudian,
“Aku akan membawa dua orang pengawal yang ditinggalkan oleh Kerti di sini.”
Wrahasta mengangguk-anggukkan kepalanya, Dipandanginya kemudian orang-orang yang berada di sekitarnya. Orang-orang tua yang duduk mendengarkan pembicaraan itu dengan kepala pening.
“Bagaimana pendapat Paman-paman sekalian?” tiba-tiba Wrahasta bertanya kepada mereka.
Orang-orang tua itu tidak segera menjawab. Sejenak mereka saling berpandangan, dan sejenak kemudian salah seorang dari mereka berkata,
“Terserahlah kepada pertimbanganmu, Ngger. Di dalam keadaan serupa ini, kau pasti lebih tahu tentang keadaan dan keharusan yang berlaku di tanah yang sedang dibakar oleh api kedengkian ini.”
Wrahasta menarik nafas dalam-dalam. Ia tidak mendapatkan pertimbangan dari orang tua-tua itu. Namun ia sadar, bahwa ia harus segera bersikap. Maka katanya,
“Baiklah Pandan Wangi. Kalau kau akan menemui Paman Samekta untuk membicarakan sesuatu, sebaiknya kau segera pergi sekarang bersama kedua pengawal ini. Tetapi apabila pembicaraan itu sudah selesai kau harus segera kembali. Kau sebaiknya setiap saat dapat ditemui di dalam rumah ini untuk segala macam kepentingan. Tetapi ingat, kau hanya pergi ke banjar. Tidak ke tempat lain. Kedua pengawal akan mencegahmu apabila kau mempunyai tujuan yang lain.”
“Baiklah, aku akan segera pergi dan segera pula kembali apabila pembicaraan sudah selesai,” desis Pandan Wangi, yang sejenak kemudian segera berdiri dan berkata selanjutnya,
“Aku akan pergi berkuda.”
Beberapa orang segera menyiapkan tiga ekor kuda untuk Pandan Wangi dan dua orang pengawalnya. Dengan tergesa-gesa mereka meninggalkan halaman rumah itu, pergi ke banjar untuk menemui Samekta yang sedang mempersiapkan perlawanan. Kedatangan Pandan Wangi di banjar itu ternyata telah mengejutkan Samekta, sehingga dengan serta-merta ia bertanya,
“Kenapa kau pergi ke banjar, Pandan Wangi?”
“Aku perlu menemui, Paman, dalam saat yang meruncing serupa ini. Aku perlu bertanya dan mengetahui semua gerakan.”
“Aku akan memberikan laporan setiap saat lewat orang-orangku. Kalau kau memerlukan sekali bertemu dengan aku, Ngger, maka sebaiknya kau memanggil aku.” Samekta berhenti sejenak, kemudian gumamnya kepada diri sendiri,
“bagaimana dengan Wrahasta. Kenapa dilepaskannya Angger Pandan Wangi pergi?” Dan orang tua itu menjadi semakin heran, bahwa Wrahasta telah melepaskan Pandan Wangi pergi. Bukankah Wrahasta mempunyai kepentingan pribadi dengan gadis itu? Mustahil kalau Wrahasta melepaskannya meninggalkan daerah wewenangnya seperti yang diberikan oleh Ki Gede Menoreh. Sehingga tiba-tiba saja Samekta itu teringat sesuatu dan bertanya,
“Apakah Angger Pandan Wangi meninggalkan halaman itu tanpa setahu Wrahasta? Oh bukankah Kerti memang sedang mencarimu ke Pucang Kembar?”
Pandan Wangi tidak segera menyahut. Ditatapnya saja wajah Samekta yang keheran-heranan melihat kehadirannya. Tetapi Pandan Wangi dapat mengerti sepenuhnya perasaan orang tua itu. Kerti pasti singgah ke banjar ini sebelum ia pergi ke Pucang Kembar mencarinya.
Sejenak kemudian, barulah Pandan Wangi itu menjawab.
“Ya Paman. Paman Kerti pasti mencariku ke Pucang Kembar. Apakah ia singgah kemari sebelum ia berangkat?”
“Ya. Ia singgah kemari dalam kegelisahan karena ia kehilangan kau, Ngger. Bersama dua orang ia pergi menyusulmu.”
“Jadi, Paman Kerti pergi bertiga?”
“Ya. Sebab pamanmu mengerti, siapakah yang sedang berada di bawah Pucang Kembar. Bukan berarti bahwa pamanmu Kerti merasa cukup kuat bersama dua orang kawannya itu, tetapi apabila ada sesuatu yang penting, maka mereka dapat berbincang.” Samekta berhenti sebentar, namun dalam keheranan itu ia bertanya,
“Tetapi ternyata Angger sekarang masih berada di sini.”
Dengan singkat Pandan Wangi menceriterakan keadaannya. Kegelisahannya dan perhitungannya. Tetapi kalau tidak ditempuh cara itu, maka tidak seorang  pun yang akan bersedia pergi ke Pucang Kembar.
Samekta mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ia bergumam,
“Tetapi aneh sekali bagiku. Sebenarnya Angger tidak perlu mempergunakan cara yang aneh-aneh itu. Ternyata sekarang Angger dapat meninggalkan halaman rumah itu pula. Kalau Angger pergunakan cara ini sejak semula, bukankah Angger sendiri dapat pergi ke Pucang Kembar?”
“Sebelum Kerti pergi, sebelum ada laporan tentang gerakan Kakang Sidanti, aku pasti tidak akan dapat keluar Paman. Aku tidak ubahnya seperti seorang tawanan.”
“Bukan maksudnya Ngger. Tetapi demi kebaikan semuanya dan atas perintah ayah, Ki Argapati.”
“Ya. Aku mengerti Paman, semuanya dapat aku mengerti. Yang kini akan aku persoalkan adalah mengenai gerakan Kakang Sidanti.”
Samekta menarik nafas. Kemudian katanya,
“Duduklah. Kita berbicara tentang gerakan Sidanti itu.”

Mereka  pun kemudian duduk di pringgitan banjar tanah perdikan itu. Di tengah-tengah lingkaran para pemimpin pengawal dari Pandan Wangi beserta kedua pengawalnya, sebuah lampu minyak berada di atas sebuah ajuk-ajuk pendek.
“Bukankah kau sudah mendapat laporan tentang gerakan itu dan sudah mendengar gerakan perlawanan yang aku lakukan?” bertanya Samekta sejenak kemudian setelah mereka duduk.
“Aku ingin mendengar langsung dari Paman. Dan apakah pasukan pengwal yang Paman persiapkan sudah mulai bergerak pula menyongsong pasukan Kakang Sidanti?”
“Sudah Ngger. Mereka sudah berangkat. Petugas-petugas sandi melihat gerakan itu menuju ke Barat. Sebagian besar dari pasukan pengawal telah aku kirim, supaya aku dapat menghancurkan mereka sama sekali. Supaya mereka besok atau lusa tidak bangkit lagi dan membuat kegaduhan-kegaduhan baru.”
“Aku mengerti Paman. Tetapi soalnya tidak sedemikian sederhana. Apakah Paman yakin, bahwa yang dilihat oleh petugas sandi itu seluruh pasukan Kakang Sidanti?”
“Tentu tidak Ngger. Tentu bukan seluruh pasukan. Mungkin Angger Sidanti akan mengambil kesempatan lain, pada saat pertempuran itu terjadi. Tetapi aku masih menyimpan beberapa bagian dari pasukan cadangan.”
Pandan Wangi mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya kemudian,
“Apakah petugas sandi itu dapat mengatakan, siapa sajakah yang berada di dalam pasukan itu?”
Samekta menggelengkan kepalanya,
“Tidak Ngger. Mereka tidak dapat mengatakan siapakah yang memimpin pasukan itu.”
“Lalu apakah sikap Paman seterusnya”
“Aku sebentar lagi akan menyusul pasukanku. Berkuda. Aku akan melihat sendiri benturan yang bakal terjadi itu.”
Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Sejenak ia berdiam diri. Dipandanginya kedua pengawalnya berganti-ganti. Lalu tiba-tiba ia bergumam,
“Aku akan pergi juga bersamamu Paman.”
“He,” kata-kata itu ternyata telah mengejutkan semua orang yang mendengarnya. Beberapa pemimpin pengawal yang tinggal di banjar, Samekta sendiri dan kedua pengawalnya.
“Jangan Ngger,” sahut Samekta kemudian,
“jangan berbuat hal-hal yang dapat membahayakan dirimu.”
“Kenapa aku tidak boleh berada di medan itu? Tidak seorang pun yang melarang, seandainya Kakang Sidanti menghendaki demikian. Bahkan setiap orang akan mengatakan, bahwa itu adalah kewajibannya. Orang akan menertawakannya apabila ia justru ingkar, dan tidak mau terjun ke gelanggang.”
“O, persoalannya lain sekali Ngger. Angger Sidanti memang berkewajiban. Tetapi tidak dengan kau.”
“Karena aku seorang perempuan dan Kakang Sidanti laki-laki?”

Samekta tidak segera menjawab. Sejenak ia berdiam diri. Tetapi ditatapnya wajah Pandan Wangi dengan tajamnya.
“Begitu Paman?” desak Pandan Wangi.
Samekta mengangguk perlahan-lahan. Dengan ragu-ragu ia berkata,
“Ya Ngger. Begitulah. Meskipun itu hanya salah satu alasan saja.”
“Masih adakah alasan yang lain, yang lebih baik dan lebih dapat aku terima dengan nalar?”
“Angger belum berpengalaman.”
“Kalau aku menghindari pengalaman yang pertama, maka selamanya aku tidak akan dapat langsung menginjak pengalaman yang kedua.”
Samekta mengangguk-anggukkan kepalanya. Jawaban itu memang benar. Tetapi seandainya Pandan Wangi benar akan pergi ke gelanggang, maka ia tidak berani menanggung akibat yang dapat terjadi atasnya. Kalau anak itu mendapat cidera, maka ia harus mempertanggung-jawabkannya kepada Ki Gede Menoreh.
Karena itu, maka Samekta itu menggelengkan kepalanya,
“Jangan Ngger. Jangan mempersulit diriku. Sebaiknya Angger kembali saja pulang. Angger dapat memberikan perintah apa saja. Tetapi tidak pergi sendiri ke medan pertempuran itu.”
Dada Pandan Wangi tergetar mendengar jawaban Samekta. Meskipun ia dapat mengerti alasannya, tetapi keinginannya untuk melihat sendiri pertempuran itu seakan-akan tidak dapat lagi dibendungnya. Namun kesulitan yang di hadapi Samekta itu pun mempengaruhinya pula.
Sejenak Pandan Wangi terpaku diam di tempatnya. Di dalam dadanya terjadi benturan-benturan perasaan yang sulit mendapat pemecahan. Dalam pada itu, Samekta berkata selanjutnya,
“Angger Pandan Wangi. Menurut perhitunganku, maka perang yang bakal terjadi, pasti bukan perang di dalam gelar yang baik, meskipun aku sudah mempersiapkannya. Yang paling mungkin terjadi di dalam peperangan ini adalah perang brubuh. Menurut laporan dari beberapa pengawas yang melihat gerakan itu, maka sama sekali tidak ada persiapan untuk menyusun gelar. Tetapi kemungkinan untuk bertempur di dalam gelar yang baik masih ada. Pasukan Sidanti akan dapat menyusun dirinya, setelah berhadapan dengan lawan. Tetapi perbuatan yang demikian akan sangat berbahaya. Meskipun demikian, kemungkinan itu bisa juga terjadi apabila orang-orang yang memimpin pasukan itu kurang menguasai keadaan medan, tetapi juga mungkin karena meremehkan kekuatan lawan atau merasa dirinya terlampau kuat. Dalam kemungkinan yang pertama Ngger, yaitu perang brubuh, maka kehadiranmu di medan pertempuran akan sangat berbahaya. Tidak seorang  pun yang dapat meluangkan waktunya untuk mengawasi dan melindungi orang lain.”
“Aku menyadari Paman. Meskipun aku belum pernah menghayati perang yang sebenarnya dalam bentuk apa pun, perang gelar maupun perang brubuh, namun aku berniat untuk melihat perang itu. Aku juga tidak perlu mendapat perlindungan dari siapa pun. Aku akan mencoba melindungi diriku sendiri.”
“Ya, ya aku tahu Ngger. Tetapi, terlampau berbahaya. Itulah kata-kata yang paling tepat aku pergunakan. Terlampau berbahaya. Aku tidak dapat menjelaskannya lebih jauh.”
“Aku ingin melihat Paman, betapa  pun besarnya bahaya itu.”
“Kalau Ki Gede ada Ngger, terserahlah kepada ayahmu itu. Apa pun yang akan terjadi adalah tanggung jawab ayahmu. Tetapi sekarang Ki Gede tidak ada. Betapa mungkin aku membawamu ke medan peperangan yang masih belum dapat dibayangkan bentuknya? Menurut para pengawas dan para petugas sandi, sebagian terbesar dari mereka adalah orang-orang yang tidak dikenal. Kita masih belum dapat membayangkan kekuatan mereka dan kemampuan mereka seorang demi seorang.”
“Aku pernah menghadapi orang-orang yang tidak dikenal itu, Paman. Enam orang sekaligus. Paman datang terlambat, sehingga Paman tidak menyaksikan aku berkelahi, meskipun aku aku, bahwa aku tidak mampu melawan mereka berenam bersama-sama, tetapi aku masih menyediakan diri untuk mencoba melawan lima orang di antara mereka.”

Hati Samekta tergetar mendengar jawaban Pandan Wangi yang dikatakan itu benar-benar telah terjadi. Pandan Wangi memang pernah berkelahi melawan enam orang, dan Pandan Wangi tidak binasa oleh mereka. Karena itu, maka sejenak Samekta terdiam. Ia terdorong ke sudut yang sulit untuk mengatasi. Dengan demikian ternyata baginya dan bagi Pandan Wangi itu, meskipun tidak terkatakan, bahwa sebenarnya kemampuan Pandan Wangi itu berada jauh di atasnya. Meskipun demikian, bertempur di dalam perang brubuh terutama, yang diperlukan bukan ketrampilan perseorangan saja, tetapi juga pengalaman dan ketajaman naluri membawakan diri, di dalam hiruk pikuk ayunan senjata dan benturan-benturan kekuatan.
Karena Samekta tidak segera menjawab, maka Pandan, Wangi mendesaknya,
“Bagaimanakah pendapat Paman?”
Samekta menarik nafas dalam-dalam. Namun ia mencoba memberikan beberapa penjelasan tentang segala macam kemungkinan yang dapat terjadi.
“Aku telah mempersiapkan diri untuk menghadapi apa pun, Paman. Aku adalah salah seorang anak yang dilahirkan di atas Bumi Menoreh. Aku merasa mengemban kewajiban seperti anak-anak yang lain. Apalagi aku adalah puteri Kepala Tanah Perdikan.”
Samekta menjadi semakin bingung. Dan dalam puncak kebingungannya ia mendengar Pandan Wangi berkata,
“Paman. Sebaiknya aku memang tidak membuat Paman Samekta menjadi semakin sulit. Baiklah Paman, kini memikirkan perang yang akan terjadi itu saja. Jangan hiraukan aku. Aku akan berbuat atas hakku sendiri. Dalam keadaan yang paling jauh dari setiap kemungkinan kita sependapat, maka aku akan berdiri sebagai seorang Kepala Tanah Perdikan. Aku tidak akan minta ijin kepada siapa pun, tetapi aku akan memerintah di sini kepada siapa pun yang aku kehendaki, sepanjang orang itu masih setia kepada Bumi Menoreh dan kepada Kepala Tanah Perdikannya.”
Dada Samekta kini benar-benar bergelora. Seolah-olah akan meledak. Dia masih menyimpan banyak sekali tugas-tugas yang harus diselesaikan segera. Tiba-tiba kini ia dihadapkan kepada sikap yang keras dari Pandan Wangi. Sehingga betapa pun ia mencoba mengendalikan dirinya, namun akhirnnya ia merasa bahwa nasehat-nasehatnya sama sekali tidak mendapat perhatian. Karena itu, supaya ia tidak terpancing dalam pembicaraan itu saja ia berkata,
“Pandan Wangi, aku sudah mencoba mencegahmu. Tetapi kau sama sekali tidak menghiraukannya, bahkan kau telah mempergunakan wewenang tertinggi yang ada di tanganmu sekarang. Karena itu, maka aku tidak akan dapat berbuat apa-apa lagi. Namun setiap peristiwa yang terjadi atas dirimu, apabila aku dan pasukanku tidak mungkin bagi mencegahnya, adalah akibat dari sikapmu dan kekerasan hatimu.”
“Bagus,” tiba-tiba Pandan Wangi memotong,
“sekarang Paman jangan memikirkan aku lagi. Apakah yang akan Paman kerjakan dengan pasukan Paman, lakukanlah.”
“Aku akan menyusul pasukan yang telah berangkat lebih dahulu.”
“Aku akan pergi bersama Paman.”
Samekta menarik nafas dalam-dalam. Bagaimanapun juga, ia tidak akan dapat melepaskan diri dari tanggung jawab. Tetapi adalah di luar kemampuannya saat ini untuk mencegah Pandan Wangi.

Namun dalam pada itu, kedua pengawalnyalah yang kemudian berusaha mencegahnya. Salah seorang dari mereka berkata,
“Pandan Wangi, bukankah kau sudah berjanji, bahwa kau tidak akan pergi ke tempat lain kecuali ke banjar ini? Kau harus segera kembali sesuai dengan kata-katamu sendiri kepada Wrahasta di rumahmu.”
Terasa dada Pandan Wangi bergetar. Wrahasta memang harus mendapat perhatian khusus daripadanya. Bukan saja karena ia adalah seorang pemimpin pengawal yang mendapat kepercayaan dari ayahnya untuk mengawal rumahnya seisinya, yang menurut tafsiran Wrahasta termasuk dirinya, tetapi juga karena Wrahasta mempunyai kepentingan pribadi. Karena itu, sejenak Pandan Wangi tidak dapat menyahut. Namun Samekta dapat melihat jelas di wajah gadis itu, bahwa ia tidak akan dapat dicegah lagi.
Dan sejenak kemudian pengawal itu mendesaknya,
“Bukankah kau berjanji, Pandan Wangi? Supaya aku tidak dianggap bersalah, kau sebaiknya kembali ke rumah.”
Tetapi Pandan Wangi menggeleng. Dalam kebingungan mencari jawab, Pandan Wangi telah terdorong lagi ke dalam suatu keadaan yang lebih menyulitkan hubungannya dengan Wrahasta. Karena gadis itu tidak ingin menyakitkan hati anak muda yang bertubuh raksasa itu, maka katanya,
“Kembalilah. Kembalilah kepada Wrahasta, dan katakan kepadanya, bahwa aku pun akan kembali. Jangan digelisahkan kepergianku. Sebab aku tidak mempunyai tempat lain untuk berteduh, selain rumah itu. Biarlah ia menungguku di sana, sampai saatnya aku kembali.”
Kedua pengawalnya itu tidak dapat menangkap maksud gadis itu. Karena itu salah seorang dari mereka berkata,
“Tetapi kau harus kembali bersamaku.”
“Dengar perintahku,” tiba-tiba gadis itu menggeram, sehingga kedua pengawalnya itu terkejut,
“kalian berdua kembali atau mau ikut bersamaku. Tetapi tidak menghalang-halangi aku. Kalian hanya dapat menyebut salah satu dari kedua pilihan itu.”
Keduanya tidak segera dapat menjawab. Tetapi hati mereka menjadi berdebar-debar. Sejenak mereka saling berpandangan dan sejenak kemudian salah seorang dari mereka menjawab,
“Kalau demikian Pandan Wangi, maka aku tidak akan dapat keluar daripada ikut bersamamu. Kau harus kembali bersama kami. Kalau kau tidak mau kembali, maka aku  pun tidak akan kembali ke rumahmu.”
“Terserah kepadamu,” sahut Pandan Wangi, lalu katanya kepada Samekta,
“Kapan kau berangkat Paman? Apakah kau menunggu pertempuran itu selesai?”
Pertanyaan itu mengejutkan hati Samekta. Namun dengan demikian terasa olehnya kekerasan hati Pandan Wangi. Maka jawabnya, tidak kalah kerasnya,
“Kalau kau tidak datang kemari, Ngger, aku pasti sudah berangkat. Seandainya kini kedua pasukan itu sudah bertemu, aku pasti sudah ikut di dalam pertempuran itu.”
“Jadi Paman mencoba untuk membebankan kesalahan kepadaku seandainya terjadi sesuatu di peperangan itu.”
“Bukan maksudku, tetapi kedatanganmu dan keinginanmu untuk pergi ke medan peperangan itu menimbulkan soal baru bagiku.”
“Kalau begitu, sebaiknya aku pergi sendiri. Aku tidak usah pergi bersama Paman, atau berbicara apa pun dengan Paman.”

Debar di dada Samekta menjadi semakin tajam. Dengan tergesa-gesa ia memotong,
“Tidak Ngger. Bukan begitu. Mungkin aku telah mengucapkan kata-kata yang tidak menyenangkan hatimu,” Samekta berhenti sejenak. Ia merasa bahwa umurnya telah jauh lebih tua, sehingga ia tidak boleh hanyut dalam kekerasan sikap masing-masing.
“Kalau begitu baiklah, aku minta maaf.”
Pandan Wangi justru terbungkam mendengar kata-kata Samekta itu. Sejenak ia mematung, namun kemudian terdengar ia menarik nafas dalam-dalam.
“Tetapi Ngger,” berkata Samekta kemudian,
“kalau Angger berkeras hati akan pergi ke garis peperangan, biarlah salah seorang dari kedua orang itu kembali untuk menyampaikan keputusan itu kepada Wrahasta, supaya ia tidak menjadi terlampau gelisah menunggumu.”
Pandan Wangi mengangguk-anggukkan kepalanya, kemudian katanya kepada kedua pengawalnya,
“Salah seorang dari kalian harus kembali, dan mengatakan kepada Wrahasta seperti yang telah aku katakan.”
Sekali lagi keduanya saling berpandangan. Tetapi sebelum mereka berkata sesuatu, Pandan Wangi telah berkata lebih dahulu,
“Paman harus segera berangkat.”
“Oh,” desah Samekta, “baiklah kita akan segera berangkat.”
Samekta  pun segera menyiapkan diri. Bersama beberapa orang pengawal tanah perdikan, Pandan Wangi dan seorang pengawalnya, mereka segera berangkat menyusul pasukan yang telah berangkat lebih dahulu. Pasukan yang tinggal di banjar telah diserahkannya kepada pembantunya. Kepadanya telah diberikan pesan tentang segala kemungkinan yang dapat terjadi. Kemungkinan bahwa Sidanti akan mempergunakan setiap kesempatan untuk menyusup masuk ke dalam induk tanah perdikan ini. Tetapi satu hal yang tidak diperhitungkan oleh Samekta adalah bahwa justru induk pasukan Sidanti lah yang akan datang dari jurusan yang lain dari tanah perdikan ini. Pasukan yang telah siap untuk menghancurkan semua rintangan di sepanjang jalannya. Sejenak kemudian terdengarlah derap kaki-kaki kuda menyelusur jalan pedukuhan, menuju ke arah Barat sepasukan pengawal yang kuat yang telah lebih dahulu berangkat. Sementara itu, pasukan pengawal yang telah berangkat lebih dahulu, berjalan menurut tiga jalur lorong kecil menuju ke tempat yang ditunjukkan oleh para pengawas. Mereka akan menghadapi lawan mereka dari ketiga arah itu. Seandainya mereka harus bertempur dalam gelar yang baik, maka untuk menyusun gelar dari keadaan itu tidaklah terlampau sulit. Tetapi seandainya mereka di hadapkan pada perang brubuh, maka mereka tidak akan mudah terkurung dalam suatu lingkaran kekuatan lawan. Mereka akan menghadapi lawan mereka dalam garis yang cukup luas. Apalagi Samekta yakin, bahwa kekuatan pasukannya pasti melampaui kekuatan pasukan lawannya.

Setiap pemimpin kelompok pasukan pengawal itu telah mendapat petunjuk-petunjuk yang jelas, apa yang harus mereka lakukan untuk menghadapi setiap kemungkinan. Dalam pada itu, pasukan Sidanti yang dipimpin oleh Ki Peda Sura pun menjadi semakin dekat. Jarak antara kedua pasukan itu susut dengan cepatnya. Hal itu disadari sepenuhnya oleh kedua pemimpinnya. Mereka masing-masing mengetahui, bahwa di hadapan mereka, pada jarak yang semakin pendek, lawan telah menanti. Ki Peda Sura berhenti pada sebuah pedukuhan kecil yang dilampauinya. Di emper gardu peronda di mulut lorong yang memasuki padukuhan itu, sebuah pelita masih menyala. Di dalam gardu itu mereka masih menemukan beberapa buah mangkuk dan air hangat.
“Setan,” geram Ki Peda Sura, “iblis-iblis yang ada di dalam gardu ini sempat meloloskan diri.”
Beberapa orang mengangguk-anggukkan kepalanya. Salah seorang dari mereka berkata,
“Bukankah di padukuhan ini terdapat beberapa orang penghuni yang cukup mampu.”
“Apa yang akan kau lakukan?” bertanya Peda Sura.
“Kami ingin melepaskan perasaan geram kami, karena kami telah kehilangan buruan kami.”
“Jangan sekarang!” bentak Ki Peda Sura,
“kalian akan mendapat waktu untuk mencari harta benda di dalam rumah-rumah yang mungkin menyimpannya. Tetapi jangan dengan demikian kalian menjadi lengah. Sebentar lagi pasukan Argapati pasti akan datang menerkammu, selagi kau sibuk dengan urusanmu itu.”
“Apakah kita menunggu leher kita terpotong menjadi empat?”
“Kenapa?” bertanya Peda Sura.
“Kalau kita menunggu pasukan Argapati, kita akan kehabisan waktu. Kita akan menjadi umpan dan mati berkubur di kaki Bukit Menoreh ini.”
“Lalu apakah kepentinganmu datang kemari?” bertanya Peda Sura.
Orang itu tidak menjawab. Tetapi tampak kerut merut di keningnya menjadi semakin dalam.
“Kita datang kemari untuk membantu Sidanti berperang melawan ayahnya. Kelak kita akan mendapat imbalan dari jerih payah kita, sesuai dengan keadaan kita masing-masing. Tetapi selebihnya, kita akan mendapatkan atas usaha kita sendiri. Kita akan dilepaskan di dalam kandang domba. Kita tinggal memilih menurut selera kita masing-masing. Tetapi kita harus dapat membawa diri, supaya kita tidak saling berbenturan. Itulah sebabnya, maka kita harus mengekang diri kita sendiri, dan berusaha berbuat seadil-adilnya di antara kita.” Ki Peda Sura berhenti sejenak, lalu dengan suara lantang ia berkata,
“Tetapi tidak sekarang. Kita jangan sampai mati tanpa mengadakan perlawanan, karena kita lengah. Rumah-rumah itu, dan rumah-rumah yang lain tidak akan dapat lari dari tempatnya.”
Tidak seorang  pun yang menjawab, meskipun di antara orang-orang sewaan itu ada yang tidak sependapat. Tetapi mereka mengenal, siapakah Ki Peda Sura. Di dalam pasukan itu ia tidak berdiri sendiri. Sebagian besar anak buahnya ada bersamanya. Dan orang-orang itu mengenal pula, siapakah sebenarnya Ki Peda Sura. Seorang yang ditakuti dan disegani oleh lingkungannya.
“Marilah kita tinggalkan padukuhan ini. Jangan dibangunkan orang-orang yang sedang tidur nyenyak, supaya mereka tidak menghindar malam ini. Nanti, setelah Sidanti memasuki induk tanah perdikannya, yang dengan demikian menghisap segala kekuatan perlawanan Menoreh atas kita, maka kita akan mendapat kesempatan itu.”
Orang-orang sewaan di dalam pasukan itu masih saja berdiam diri. Meskipun wajah-wajah mereka menunjukkan kekecewaan, namun mereka tidak berani berbuat sesuatu. Mereka tidak berani menentang keputusan Ki Peda Sura, karena di dalam pasukan itu terdapat sebagian besar dari anak buahnya. Kecuali anak buah Ki Peda Sura, maka pasukan Sidanti yang ikut di dalamnya yang terdiri dari orang-orang Menoreh, mereka tidak senang melihat sikap mereka. Namun jumlah mereka tidak terlampau banyak. Yang dapat mereka lakukan hanyalah berdiam diri, namun pada saatnya hal itu pasti akan mereka sampaikan kepada Sidanti dan Argajaya. Kini yang penting bagi mereka adalah menggilas kekuatan Argapati dan pengikut-pengikutnya.

Pasukan itu pun kemudian bergerak maju menyusup padukuhan kecil itu, dan muncul kembali masuk ke dalam bulak yang tidak begilu panjang, Di hadapan mereka masih terdapat beberapa pedukuhan-pedukuhan kecil yang sepi.
“Kita harus berhati-hati,” berkata Ki Peda Sura.
“Siapa tahu, bahwa di dalam pedesan-padesan itu bersembunyi pasukan Menoreh. Kita akan disergap dari dalam kegelapan, dan kita akan kehilangan kesempatan untuk melawan.”
“Lalu, apakah kita akan menunggu di sini?”
Peda Sura menggeleng,
“Tidak. Kita akan maju. Tetapi kita tidak akan masuk ke dalam pedesan kecil itu lewat lorong ini. Kita akan melingkar melampaui sawah dan petegalan. Kita akan melihat dari sisi padesan itu, apakah di dalam padesan itu di tempatkan pasukan-pasukan Menoreh atau tidak. Kalau tidak, kita tidak akan singgah. Tetapi kalau di sana bersembunyi orang-orang Argapati, kita pancing mereka keluar. Kita akan bertempur di tempat yang terbuka. Cahaya bulan yang terang, akan banyak memberi keuntungan kepada kita. Mungkin jumlah kita lebih sedikit dari jumlah mereka, tetapi kita mempunyai kelebihan diri dalam perkelahian seorang lawan seorang. Karena itu, kita akan memilih perang tanpa gelar. Kalau kita harus memilih gelar, maka kita akan mempergunakan gelar Gelatik Neba, untuk seterusnya kita akan sampai juga kepada perang brubuh.”
Orang-orang di dalam pasukan itu mengangguk-anggukkan kepala mereka. Mereka memang tidak pernah memikirkan gelar apa  pun yang akan mereka lakukan. Mereka berkelahi dengan cara mereka, dengan kebiasaan dan selera masing-masing. Cara itu tidak dimiliki oleh para pengawal Tanah Perdikan Menoreh. Meskipun mereka mendapat latihan perlawanan seorang demi seorang, tetapi mereka bukan orang-orang yang berpengalaman berkelahi orang demi orang seperti orang-orang sewaan itu. Mereka tidak dapat berlaku kasar dan licik. Berbuat apa saja untuk memenangkan pertempuran. Meskipun demikian, namun ternyata Ki Peda Sura cukup mengenal bentuk-bentuk perlawanan dalam gelar. Ia memiliki segala macam pengalaman perang dalam segala macam bentuknya. Perang dalam susunan gelar yang sempurna, sampai pada cara perang yang paling kasar dan liar sekalipun. Demikianlah, maka pasukan Ki Peda Sura itu maju terus. Semakin lama menjadi semakin dekat dengan induk tanah perdikan. Dua buah padukuhan telah dilampauinya. Tetapi di dalam kedua padukuhan itu sama sekali tidak dijumpainya pasukan Argapati, sehingga tumbuhlah keheranan di dalam hati Peda Sura.
“Apakah orang-orang Menoreh masih belum mengetahui gerakan pasukan ini?” bertanya Ki Peda Sura di dalam hatinya, namun kemudian dijawabnya sendiri,
“Mustahil. Aku yakin bahwa petugas-petugas sandi telah melaporkan gerakan ini. Dan kami selanjutnya tinggal menunggu, di mana kami akan dijebak dan masuk perangkap.”
Meskipun demikian, Ki Peda Sura tidak menghentikan pasukannya. Tetapi ia menjadi semakin berhati-hati, ketika ia mendekati padesan berikutnya.
“Kita berhenti di sini,” desis Ki Peda Sura kemudian. Pasukannya  pun kemudian berhenti. Beberapa orang pemimpin kelompok mendekatinya sambil bertanya,
“Adakah sesuatu yang menarik perhatian?”
“Lihat,” berkata Peda Sura,
“padesan itu justru terlampau gelap. Aku mengira, bahwa di dalam desa itu bersembunyi pasukan Argapati.”
Beberapa orang mengangguk-anggukkan kepalanya. Salah seorang dari mereka bergumam,
“Kita lebih baik segera berbuat sesuatu. Adalah menjemukan sekali, berjalan saja di sepanjang malam. Aku kira malam telah menjadi terlampau malam. Bahkan mungkin kita telah sampai ke tengah malam, melihat bulan yang telah berada di atas kepala ini.”

Peda Sura mengangguk-angguk. Dipandanginya padesan di hadapannya dengan tajamnya, seolah-olah ia ingin langsung memandangi, apa saja yang tersembunyi di balik bayang-bayang dedaunan yang kelam itu.
“Kita harus segera menemukan mereka,” berkata orang yang lain, “kita terlampau disiksa oleh ketegangan tanpa ujung. Kalau benar orang-orang Menoreh bertahan di desa itu, maka marilah kita langsung masuk, menyergap ke dalamnya. Aku tidak yakin, bahwa orang-orang Menoreh mampu mempergunakan pedangnya. Mereka hanya orang-orang yang terlampau banyak tingkah dan banyak bicara.”
Namun kata-kata itu terpotong oleh sebuah jawaban,
“Kau jangan terlampau sombong. Kalau kau berbuat sedemikian gila, maka lehermu akan menjadi taruhan. Jangan menghina orang-orang dari Tanah Perdikan Menoreh.”
Orang yang berbicara pertama mengerutkan keningnya. Kemudian terdengar ia bertanya,
“Siapa yang menyahut kata-kataku itu? Apakah ia orang Menoreh juga.”
“Ya, aku adalah orang Menoreh,” dijawab orang itu.
“Nah, marilah kita lihat, apakah orang-orang dari Menoreh mampu menahan pedangku.”
“Cobalah.”
“Gila,” Ki Peda Sura hampir berteriak,
“ternyata kalian termasuk bilangan orang-orang gila. Kalau kalian tidak mampu menahan diri dalam keadaan serupa ini, marilah kita batalkan saja niat kita untuk membantu Sidanti dalam perjuangannya. Kalian adalah orang-orang yang terlampau mementingkan diri sendiri dan pamrih-pamrih pribadi. Tetapi kalian harus menyadari, bahwa aku mendapat kekuasaan untuk memimpin pasukan ini. Aku mempunyai wewenang berbuat apa pun juga. Aku dapat membunuh kalian tanpa bertanggung jawab apa  pun kepada siapa pun.”
Kedua orang yang berbantah itu pun terdiam. Mereka menyadari, bahwa mereka berhadapan dengan Ki Peda Sura. Berhadapan dengan orang yang benar-benar harus diperhitungkan sikap dan kata-katanya. Sebagian besar orang tahu, apa saja yang pernah dilakukan oleh Ki Peda Sura ini. Beberapa orang bahkan pernah melihat Ki Peda Sura itu membunuh seseorang sambil mengunyah jenang alot. Tangan kanannya memasukkan makanan itu ke dalam mulutnya, sedang dengan tangan kirinya ditusukkannya perlahan-lahan ujung pisau belati pada arah jantung seseorang yang sudah tidak berdaya tersandar pada dinding batu.
“Nah, kita akan memancing mereka,” berkata Ki Peda Sura kemudian,
“aku ingin berkelahi di tempat terbuka. Aku ingin melihat setiap kali ujung senjataku menghunjam lambung lawan.”
“Apakah yang akan kita lakukan?” bertanya salah seorang pemimpin kelompoknya.
“Kita dekati desa itu. Tetapi beberapa puluh langkah daripadanya kita bergeser ke kiri. Kita akan masuk ke dalam pategalan itu. Pategalan itu pun cukup rimbun untuk bersembunyi. Tetapi kita tidak akan bersembunyi. Kalau di dalam padesan itu ada pasukan Menoreh, mereka akan berusaha menyergap kita di dalam pategalan. Tetapi kita akan menyongsong mereka. Kita akan berkelahi di bawah terang bulan seperti yang sedang dilakukan oleh Ki Tambak Wedi di bawah Pucang Kembar.”
Beberapa orang mengerutkan keningnya. Cara itu kurang menguntungkan. Langkah yang pertama, masuk ke dalam pategalan itu dapat dipahami. Tetapi kemudian mereka tidak usah menyongsong lawan di tempat terbuka, mereka dapat menunggu orang-orang menoreh itu di bawah bayangan dedaunan di pategalan. Menyergap mereka selagi mereka melangkahkan kakinya masuk ke daerah kegelapan.
Tetapi orang lain bertanya, “Bagaimanakah seandainya mereka tidak memburu kita ke pategalan itu?”
“Kita akan maju mendekat. Kita akan menyergap mereka dari lambung, namun kemudian menarik mereka keluar dari padesan. Itulah sebabnya, maka hanya ujung pasukan kita sajalah yang akan mulai menyentuhkan senjatanya di padesan itu, kemudian kita membiarkan mereka mendesak kita. Berkelahi di dalam padesan atau pategalan sama sekali tidak menarik. Apalagi jumlah kita mungkin kalah. Pepohonan dan gerumbul-gerumbul dapat memberi banyak perlindungan bagi mereka yang licik, yang tidak berani bertempur beradu dada.”

Beberapa orang yang lain mengangguk-anggukkan kepalanya. Ternyata Ki Peda Sura terlampau berbangga atas keperkasaannya. Ia tahu benar, bahwa Ki Argapati telah terikat dalam perkelahian melawan Ki Tambak Wedi. Bahkan menurut perhitungan mereka, Ki Argapati tidak akan dapat lagi keluar dari daerah Pucang Kembar itu. Karena itu, maka di atas Tanah Perdikan Menoreh, tidak akan ada lagi orang yang dapat melawannya. Maka pasukan Ki Peda Sura itu pun merayap maju. Semakin lama menjadi semakin dekat dengan padukuhan kecil di hadapan mereka. Menurut perhitungan Ki Peda Sura, di situlah pasukan Menoreh akan bertahan. Mereka sudah pasti tidak akan bertahan di bibir padukuhan induk mereka. Sedang padukuhan di depan mereka itu, adalah padukuhan terakhir sebelum mereka memasuki induk Tanah Perdikan Menoreh. Sebuah pedukuhan yang besar dan ramai. Ternyata perhitungan Ki Peda Sura itu tidak sisip. Di dalam padukuhan itu bersembunyi pasukan Menoreh. Bahkan Samekta dan Pandan Wangi pun telah sampai ke tempat itu pula. Mereka segera menghubungi para pemimpin kelompok dan memberikan beberapa petunjuk yang mereka perlukan.
Belum lagi Samekta selesai, maka datanglah seorang pengawas kepadanya sambil berkata,
“Di depan kita berjalan sepasukan orang-orang Sidanti seperti yang telah dilaporkan lebih dahulu.”
“Apakah mereka menuju kemari?” bertanya Samekta.
“Ya, mereka menuju kemari.”
Samekta mengangguk-anggukkan kepalanya. Dengan berjalan kaki ia pergi ke ujung lorong untuk melihat pasukan yang disebutkan olen pengawas itu.
“Hem,” desis Samekta,
“pasukan itu agaknya ingin membunuh dirinya. Mereka langsung maju ke padukunan ini dalam iring-iringan seperti orang mengantar mayat ke kuburan.”
Pandan Wangi yang melihat bayangan-bayangan remang-remang di bawah sinar bulan yang cerah, mengerutkan keningnya. Pasukan itu agaknya memang tidak bersiap sama sekali. Mereka berjalan seenaknya, seolah-olah tidak melihat bahaya yang menunggu di hadapan mereka.
“Pasukan itu tidak terlampau besar,” gumam Samekta,
“aku memang sudah menyangka, bahwa pasukan Sidanti tidak terlampau besar. Tetapi jumlah yang datang itu benar-benar di luar dugaanku. Jumlah itu terlampau sedikit bagi pasukanku.”
“Paman jangan terlalu menganggap diri terlampau kuat. Bukankah Paman sudah memperhitungkan pula, bahwa mungkin Kakang Sidanti menyisakan pasukannya untuk tujuan khusus.”
“Ya. Tetapi menghancurkan pasukan yang datang itu, apalagi apabila mereka memasuki padukuhan ini dengan cara itu, adalah pekerjaan yang terlampau ringan. Separo dari pasukanku akan dapat menyelesaikannya sebelum fajar. Apalagi seluruh pasukan ini.”
“Jangan memandang mereka terlampau rendah, Paman.”
“Tidak Ngger. Aku tidak memandang mereka terlampau rendah. Tetapi aku mendasarkan pada perhitungan. Perhitungan yang telah di alasi dengan pengalaman yang bertahun-tahun.”
“Paman Argajaya adalah orang yang cukup berpengalaman pula. Sedang Kakang Sidanti adalah bekas seorang prajurit yang baik.”
Samekta tidak menjawab. Tetapi dipandanginya bayangan di dalam cahaya bulan itu yang semakin lama menjadi semakin jelas. Mereka berjalan beriringan.
Samekta tersenyum melihat pasukan yang mendekat itu. Perlahan-lahan ia bergumam,
“Aku tidak menyangka, bahwa pasukan Sidanti akan sedemikian lengah menghadapi lawan yang jauh lebih kuat.”


Halaman 1 2 3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar