Satu hal yang tidak diduganya, bahwa kedua orang itu mempunyai kemampuan yang luar biasa, sehingga masing-masing mampu bertahan atas tiga orang sekaligus.
“Tetapi
sebentar lagi tenaga mereka pasti akan segera susut,” orang yang tinggi kurus
itu mencoba menenteramkan hatinya yang sudah mulai gelisah.
Tetapi dugaan
itu ternyata keliru. Meskipun masing-masing harus berkelahi melawan tiga orang,
namun ternyata mereka berdua memang mempunyai kemampuan yang tidak dapat
diperkirakan sebelumnya.
Sepeninggal
orang yang tinggi kurus itu Gupita merasa seakan-akan kehilangan sasaran.
Karena itu, maka seolah-olah ia tidak berkelahi bersungguh-sungguh. Ia hanya
sekedar berusaha menyelamatkan dirinya dari ujung-ujung senjata lawannya.
Tetapi ia sama sekali tidak berusaha untuk mengurangi jumlah lawannya itu
dengan kematian apalagi putera Ki Argajaya. Ia memang ingin membuat kesan bahwa
apa yang dikatakan itu memang benar-benar bermaksud baik. Namun dalam pada itu,
orang yang tinggi kurus itu sudah mandi keringat di seluruh tubuhnya. Bukan
saja ia menjadi semakin gelisah, tetapi ternyata ia benar-benar telah hampir
kehilangan akal. Ujung-ujung pedang Pandan Wangi seakan-akan mempunyai mata
yaag tajam, yang dapat melihat ke mana
pun ia menghindar. Ia terlontar surut sambil menyeringai ketika segores
luka telah menyobek pundaknya. Sambil mengumpat-umpat ia meraba-raba pundaknya
yang terluka itu. Ketika terpandang olehnya jari-jarinya sendiri hatinya
berdesir tajam. Warna merah yang tajam telah membasahi tangannya.
“Setan alas!
Apakah hanya aku yang mereka anggap lawan,” pertanyaan itu selalu
mengganggunya.
Sejenak ia
dihinggapi oleh penyesalan, bahwa ia telah dengan terus terang menghasut putera
Ki Argajaya, sehingga orang-orang itu langsung dapat menilai dirinya.
“Tetapi aku
tidak menyangka bahwa mereka dapat bertahan,” katanya di dalam hati.
Kini, mau
tidak mau ia harus bertempur. Tetapi ia terdesak dalam keadaan sekedar membela
diri. Dalam pada itu, selagi mereka bertempur dengan serunya, dua pasang mata
mengawasi pertempuran itu dengan tajamnya. Yang seorang dengan wajah yang
tegang dan merah padam oleh kemarahan yang serasa menyesakkan dadanya.
“Guru, bukankah
kita mendengar apa yang dikatakan oleh anak yang masih sangat muda itu, bahwa
keduanya telah melakukan pelanggaran yang memalukan?”
“Jangan
percaya,” jawab yang lain.
“Kenapa?”
“Kita dapat
menemui mereka, dan bertanya sebaik-baiknya.”
Sejenak mereka
terdiam, seolah-olah terpukau oleh pertempuran yang menjadi semakin seru.
Sambil menahan nafas mereka menyaksikan senjata baradu dan gemeletarnya cambuk
Gupita. Di dalam hati keduanya mengakui bahwa Gupita memang seorang yang pilih
tanding. Tetapi gadis kawannya bertempur itu pun mempunyai banyak kelebihan
dari lawan-awannya. Ia mampu melawan tiga orang tanpa menemui kesulitan apa
pun. Bahkan ia masih juga dapat melukai orang yang tinggi kekurus-kurusan itu.
“Aku tidak
sabar lagi,” desis yang seorang.
“Dengarlah
kata-kataku,” sahut yang lain, gurunya,
“kau tidak
perlu berbuat sesuatu. Kita dapat menunggu sampai perkelahian itu berakhir.”
“Aku tidak
sabar lagi, Guru.”
“Kau
diombang-ambingkan oleh perasaanmu. Pergunakanlah nalarnmu.”
Orang itu
menggeram. Tetapi wajahnya justru menjadi semakin tegang.
“Aku mengharap
kedua orang itu berhasil mengalahkan lawan-lawannya,” gumamnya.
“Tentu,
menilik perhitunganku, mereka akan menang.”
“Dan aku
mendapat kesempatan untuk berperang tanding.”
“Kau harus
mencoba mengendalikan diri.”
Muridnya tidak
menjawab. Tetapi sorot matanya. masih saja menyala seperti api yang tersiram
minyak.
Pertempuran
itu sendiri memang berlangsung semakin seru. Gupita dan Pandan Wangi berhasil
menekan lawan-lawan mereka, sehingga keenam orang itu sama sekali sudah tidak
mampu untuk besbuat apa-apa. Apalagi orang yang tinggi kekurus-kurusan itu.
Lukanya semakin lama menjadi semakin banyak.
“Kau adalah
sumber malapetaka yang menimpa adikku,” desis Pandan Wangi.
“Aku kira akan
lebih baginya kalau kau tidak mengganggunya lagi untuk seterusnya.”
Orang itu pun
menggeram pula. Tetap ia benar-benar sudah tidak berpengharapan. Meskipun
demikian ia masih juga melawan bersama-sama dengan kawan-kawannya. Putera Ki
Argajaya pun kemudian harus melihat kenyataan yang dihadapinya. Kawannya yang
tinggi kekurus-kurusan itu sudah terluka. Sedang kawan-kawannya yang lain sama
sekali tidak berdaya melindunginya. Dengan demikian ia pun mulai ragu-ragu.
Kalau ia bersama kawan-kawannya meneruskan perlawanan, maka hampir tidak dapat
diharapkan bahwa mereka akan dapat mempertahankan diri. Kalau mereka gagal, dan
apalagi berhasil ditangkap, maka nasibnya akan menjadi terlampau jelek. Bukan
karena takut digantung di alun-alun, tetapi untuk menjadi tontonan adalah sama
sekali tidak menarik. Karena itu maka putera Ki Argajaya itu pun segera membuat
pertimbangan-pertimbangan. Ia memang melihat beberapa keanehan di dalam
pertempuran itu. Lawannya agaknya sama sekali tidak bernafsu untuk menyerangnya
atau sama sekali membinasakannya. Orang yang bersenjata cambuk itu seperti
orang yang hanya sekedar membela dirinya saja, betapapun beratnya. Hanya
kadang-kadang saja ia berusaha menyerang lawan-lawannya, untuk mengurangi
tekanan-tekanan ketiga ujung senjata yang kadang-kadang berbareng mematuknya. Apalagi
apabila dilihatnya kawan-kawannya pun sama sekali sudah tidak banyak berdaya.
Karena itu
akhirnya, dengan pahit anak muda itu harus mengakui keunggulan lawannya kali
ini. Biasanya dengan penuh kebanggaan mereka membinasakan siapa pun yang dapat mereka jumpai di tegah-tengah
bulak yang panjang itu. Namun kali ini keadaan menjadi sangat berbeda. Dua
orang lawannya itu, dengan mudahnya mampu mendesak enam orang kawan-kawannya
yang terpilih.
“Tidak ada
jalan lain,” katanya di dalam hati,
“lari adalah
jalan yang jauh lebih baik dari digantung di alun-alun.”
Akhirnya
keputusan itu jatuhlah. Putera Ki Argajaya itu tidak sempat minta pertimbangan
kepada kawannya yang tinggi kekurus-kurusan, karena ia sendiri masih terlampau
sibuk dengan ujung cambuk Gupita, sedang kawan-kawannya selalu saja digantungi
oleh nasib mereka masing-masing. Apalagi kawannya yang tinggi kurus itu. Dengan
demikian, maka anak muda itu pun segera memberikan isyarat sehingga
kawan-kawannya segera mengerti, mereka harus melarikan diri. Tidak seorang pun
yang merasa berkeberatan untuk melakukan perintah iu. Dengan demikian, maka
sekejap kemudian, mereka pun telah
berloncatan meninggalkan arena.
Tetapi baik
Gupita mau pun Pandan Wangi merasa berkeberatan apabila orang yang tinggi kurus
itu meninggalkan arena pula bersama kawan-kawannya. Karena itu, hampir
berbareng keduanya memburu. Mereka hampir tidak menghiraukan lagi kelima orang
yang lain, juga putera Ki Argajaya. Di dalam hati keduanya, baik Pandan Wangi
maupun Gupita, berpendapat bahwa apabila orang yang tinggi kurus ini tidak lagi
berada bersama-sama dengan anak yang masih terlampau muda itu, maka ia akan
mendapat kesempatan untuk menilai segala perbuatannya. Mungkin ia akan segera
teringat kepada ibunya atau sanak saudaranya. Dengan demikian maka menjinakkan
anak itu akan menjadi jauh lebih mudah daripada sekarang. Untuk menangkapnya
dengan kekerasan agaknya baik Pandan Wangi maupun Gupita masih belum sampai
hati. Mereka sadar, bahwa apabila anak muda itu diperlakukan demikian, maka
hatinya pasti akan benar-benar patah, dan tidak akan dapat disambungkannya
lagi. Seperti ayahnya, anak muda itu agaknya keras hati dan harga dirinya sama
sekali tidak mau tersentuh sama sekali.
Dengan
demikian, maka tanpa berjanji lebih dahulu, Pandan Wangi dan Gupita telah
bersama-sama berusaha untuk menghentikan orang yang tinggi kurus itu. Dengan
sekuat-kuat tenaganya, orang itu mencoba untuk melepaskan dirinya. Ia merasa,
bahwa pusat perhatian lawan-lawannya ditujukan kepadanya. Karena itu, maka ia
harus mencoba untuk lari sekuat-kuatnya. Tetapi agaknya langkah Gupita cukup
cepat untuk menyusulnya. Tiba-tiba saja terasa kaki orang yang tinggi kurus itu
seperti terkait sesuatu, sehingga ia kehilangan keseimbangannya. Tiba-tiba saja
ia telah terlempar dan jatuh terjerambab. Ternyata ujung cambuk Gupita telah
membelit pergelangan kakinya.
Baik Gupita
maupun Pandan Wangi memang berusaha untuk menangkapnya. Tetapi sama sekali
tidak untuk membunuhnya. Menurut perhitungan mereka, orang yang tinggi kurus
itu akan dapat menjadi sumber keterangan, di mana dan sampai seberapa jauh
orang-orang yang keras kepala itu mengadakan pemusatan-pemusatan kekuatan. Tetapi
nasib yang malang sama sekali tidak dapat ditolak. Ketika orang yang tinggi
kurus itu terlempar dan jatuh menelungkup, maka ujung senjatanya sendiri telah
terhunjam ke dalam perutnya. Sejenak ia masih menggeliat, namun sejenak
kemudian orang itu telah terdiam untuk selama-lamanya. Pandan Wangi dan Gupita
saling berpandangan sejenak. Mereka hampir-hampir telah terlupa kepada
orang-orang lain yang berlari semakin lama semakin jauh.
“Aku tidak
sengaja,” desis Gupita.
Pandan Wangi
mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia percaya bahwa Gupita memang tidak sengaja.
Karena itu katanya,
“Agaknya
memang sudah menjadi batas hidupnya. Orang itu harus mengakhiri hidupnya dengan
senjatanya sendiri.”
“Meskipun
caranya agak berbeda dengan Arya Penangsang,” desis Gupita.
Pandan Wangi
masih mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Kita tidak
berhasil kali ini,” desis Pandan Wangi sambil menyarungkan senjatanya,
“tetapi aku
mengharap bahwa anak itu akan mendapat kesempatan untuk menilai dirinya
sendiri.
“Sayang orang
ini terbunuh,” berkata Gupita kemudian.
“Kalau tidak,
kita akan banyak mendapat keterangan.”
“Sudahlah.
Bukan salah kita. Kita akan memberitahukan kepada para peronda untuk merawat
mayat itu.”
“Tetapi mereka
harus berhati-hati.”
“Ya, mereka
harus datang dalam jumlah yang cukup.”
Gupita menarik
nafas dalam-dalam. Kemudian ia berdesis,
“Sekarang kita
akan kembali.”
Pandan Wangi
menganggukkan kepalanya. Tetapi ketika tampak olehnya wajah Gupita yang
ragu-ragu, maka ia pun segera
menundukkan kepalanya. Keduanya pun
kemudian melangkah perlahan-lahan mendekati kuda-kuda mereka. Tetapi mereka
tidak saling berbicara apa pun. Gupita yang merasa bahwa ia belum menyampaikan
pesan Gupala seluruhnya menjadi kecewa. Tetapi suasananya sudah menjadi rusak
sama sekali karena kehadiran orang-orang yang berputus asa dan berbuat tanpa
tujuan itu.
“Tetapi aku
sudah mengatakan sebagian,” katanya di dalam hati,
“sehingga lain
kali aku hanya tinggal menanyakan jawabnya.”
Gupita menarik
nafas dalam-dalam. Ia mencoba mengingat-ingat apa yang sudah dikatakannya.
Namun tiba-tiba ia mengerutkan keningnya,
“Aku belum
memintanya untuk Gupala. Aku belum mengatakan pokok persoalannya.” Ia berkata
pula di dalam hatinya,
“Tetapi Pandan
Wangi sudah dapat menangkap maksudku. Dan ia sudah mengerti.”
Gupita
terperanjat ketika ia mendengar Pandan Wangi bertanya,
“Apakah kita
terus pulang ke rumah?”
Gupita heran
mendengar pertanyaan itu. Dengan ragu-ragu ia menjawab,
“Ya. Kita
pulang. Tetapi persoalan kita, maksudku persoalan yang dititipkan Gupala
kepadaku masih belum selesai.”
Pandan Wangi
tidak menyahut, tetapi kepalanya menjadi semakin tunduk. Adalah di luar dugaan
sama sekali, bahwa tiba-tiba keduanya mendengar pula gemerisik dedaunan di
belakang mereka. Serentak mereka berbalik dan siap menghadapi kemungkinan
apa pun yang bakal datang.
Tetapi darah
Gupita tiba-tiba saja serasa berhenti mengalir ketika ia melihat seseorang
berdiri di hadapannya. Seeorang yang berpakaian seperti seorang laki-laki.
Tetapi dalam sekilas Gupita langsung dapat mengenalnya, bahwa ia bukan seorang
laki-laki.
Apalagi ketika
ia melihat di tangan orang itu tergenggam sebatang tongkat baja putih, dengan
sebuah tengkorak kecil yang berwarna kekuning-kuningan pada pangkalnya.
“Inikah Agung
Sedayu yang pernah aku kenal dahulu?” terdengar orang itu berdesis.
Sejenak Gupita
membeku diam di tempatnya. Ditatapnya orang itu dari ujung kepala sampai ke
ujung kakinya.
“Apakah kau
melihat sesuatu yang lain padaku?” ia bertanya.
Gupita masih
tetap membisu.
“Inikah puteri
kepala Tanah Perdikan Menoreh yang perkasa itu, dan bernama Pandan Wangi?”
Gupita masih
tetap berdiam diri, sedang Pandan Wangi menjadi terheran-heran melihat orang
itu. Seperti Gupita ia pun segera mengenal bahwa orang itu sama sekali bukan
seorang laki-laki.
“Adalah pantas
sekali bahwa puteri Kepala Tanah Perdikan Menoreh telah menggemparkan seluruh
tlatah Pajang. Kini aku melihat sendiri, betapa ia mampu melawan tiga orang
laki-laki sekaligus.”
Pandan Wangi
menjadi semakin heran. Ia sama sekali tidak merasa bahwa namanya pernah dikenal
orang sampai di luar tlatah Menoreh. Namun ia merasa, kata-kata itu sekedar
suatu kata-kata sindiran yang mengungkat kemarahannya.
“Namun
sayang,” berkata orang bertongkat itu, “kebesaran namanya sama sekali tidak
diimbanginya dengan keluhuran trapsila seorang wanita.”
Pandan Wangi
menjadi semakin tidak mengerti, apakah yang dimakud oleh orang itu. Sekilas ia
teringat kepada orang-orang yang baru saja melarikan diri. Apakah orang ini
termasuk salah seorang dari mereka?
“He, kenapa
kalian membeku seperti patung?” orang itu hampir berteriak.
“Kenapa? Dan
inikah hasil perjalananmu, Agung Sedayu?”
Gupita menarik
nafas dalam-dalam. Kini ia yakin siapakah yang dihadapinya, meskipun tongkat
baja putih itu semula telah membingungkannya. Tetapi tidak salah lagi, sehingga
karena itu ia berdesis,
“Sekar Mirah.”
“Nah, kau
masih ingat aku? Aku adalah Sekar Mirah.”
“Tetapi kenapa
kau tiba-tiba mengucapkan kata-kata yang dapat menyakitkan hati Pandan Wangi?”
Gupita masih agak ragu.
“O, kau
membelanya? Aku memang sudah yakin, bahwa kau pasti akan membelanya.”
“Tunggu, Sekar
Mirah. Biarlah aku berbicara.”
“Tdak ada yang
dibicarakan, dan aku pun tidak akan
berbicara apa pun. Aku hanya akan sekedar menyatakan sakit hati yang hampir
tidak tertahankan. Merendahkan derajat wanita adalah perbuatan yang paling
terkutuk.”
Pandan Wangi
yang mendengar tuduhan-tuduhan itu tidak dapat menahan hatinya lagi, sehingga
karena itu ia menggeram,
“Apa maksudmu?
Dan siapakah kau?”
“Kau sudah
meadengar namaku disebut. Aku Sekar Mirah. Tetapi kau tidak perlu tahu lebih
banyak tentang aku. Kau bukan seorang gadis yang pantas untuk dibawa bersahabat.”
“Diam!” Pandan
Wangi benar-benar tidak dapat menahan perasaannya lagi. Selangkah ia maju,
“Apakah kau
termasuk salah seorang upahan dari gerombolan yang keras kepala, yang baru saja
kami usir dari tempat ini?”
“Tunggu.
Tunggu!” Gupita berteriak sekeras-kerasnya. Pertemuan yang aneh dan tiba-tiba
ini sudah membuat kepalanya menjadi pening. Katanya kemudian,
“Kalian salah
paham. Dengarlah aku akan memberikan penjelasan.”
“Tidak ada
yang harus aku dengar. Aku hanya sekedar ingin mengatakan sesuatu yang menyekat
dadaku. Sekarang dadaku terasa sudah lapang, dan aku akan pergi.”
“Nanti dulu.”
“Jangan
menahanku.”
“Tidak!” Pandan
Wangi-lah yang berteriak.
“Kau menghina
aku. Aku harus mendapat penjelasan, apa yang telah kau lakukan itu. Aku bukan
seseorang yang begitu saja membiarkan diriku direndahkan, meskipun
kadang-kadang aku dapat juga menahan diri. Tetapi tuduhanmu terlampau
menyakitkan hati.”
“Aku memang
ingin membuat kau sakit hati, seperti hatiku yang pedih saat ini. Aku tidak
dapat membiarkan aku tersiksa sendiri, sedang kau sambil tertawa-tawa menikmati
kesegaran tindakanmu yang memalukan itu.”
“Apa yang
sudah aku lakukan? Apa?”
“Persetan!
Sekarang aku akan pergi. Aku tidak peduli lagi kepada kalian.”
“Tidak!” sahut
Pandan Wangi yang meloncat semakin maju.
“Kau tidak
dapat pergi sebelum kau memberi penjelasan. Kau sudah menghina aku. Dan aku
tidak akan membiarkan diriku kau hinakan tanpa mengetahui persoalannya. Kalau
aku memang bersalah, mungkin aku dapat mengerti dan tidak akan bersakit hati. Tetapi
dalam keadaan serupa ini, aku tidak mau.”
Sekar Mirah
tidak segera menjawab. Tetapi suara tertawanya meninggi dan berkepanjangan.
Benar-benar menyakitkan hati. Namun justru Pandan Wangi mengangguk-anggukkan
kepalanya sambil hergumam,
“Sekarang aku sudah
mendapat gambaran, dengan siapa aku berhadapan.”
Suara tertawa
Sekar Mirah tiba-tiba terputus. Dengan serta-merta ia bertanya,
“Dengan siapa
kau berhadapan?”
“Seorang
perempuan yang paling tidak tahu diri yang pernah aku temui. Suara tertawamu
mirip dengan suara tertawa Ki Peda Sura, atau barangkali kau muridnya?”
Sekar Mirah
mengerutkan keningnya.
“Kalian
ternyata telah menjadi semakin jauh terlibat ke dalam kesalahpahaman. Aku akan
menjelaskan, siapakah kalian masing-masing,” potong Gupita.
Tetapi Sekar
Mirah menggeleng.
“Tidak perlu.
Kau hanya akau menambah hatiku menjadi semakin parah.”
“Tidak. Tetapi
kau tidak mengerti.”
“Gupita,”
berkata Pandan Wangi,
“kau kenal
perempuan binal ini? Biarlah ia di sini. Aku ingin mengenalnya lebih banyak
lagi.”
“Kau keliru,
Pandan Wangi.”
“Tidak.
Seperti perempuan ini yakin tentang diriku sebelum ia mengenalku, aku pun yakin
tentang dirinya sebelum aku mengenalnya.”
“Kalian adalah
gadis-gadis yang paling bodoh yang pernah aku temui,” akhirnya Gupita pun menjadi jengkel.
“Kalian telah
dibakar oleh perasaan kalian tanpa nalar. Kalau kalian mempunyai telinga,
dengarkan aku akan berbicara.”
“Tidak perlu,”
hampir berbareng Pandan Wangi dan Sekar Mirah menjawab. Namun keduanya menjadi
terkejut oleh jawaban itu.
“Kalau kalian
tidak mau mendengar keterangan, apa yang akan kalian lakukan?”
“Aku hanya
ingin mengenalnya lebih banyak,” sahut Pandan Wangi.
“Kebinalan dan
keliarannya memberi gambaran yang semakin jelas padaku.”
“Tutup mulutmu
perempuan yang tidak tahu diri,” Sekar Mirah memotong.
Tetapi Pandan
Wangi menyahut lebih keras,
“Ini derahku.
Aku dapat berbuat apa saja di sini. Aku dapat mengusir kau, dan menangkap kau
dan dapat memperlakukan kau menurut kehendakku. Aku adalah puteri Kepala Tanah
Perdikan.”
“Itu kalau kau
mampu menangkap aku.”
“Aku akan
mencoba dan membawamu kepada ayah. Aku mendapat sebuah permainan yang
mengasyikkan. Barangkali kau dapat menjadi tontonan di halaman rumahku.”
Ketika Pandan
Wangi melihat wajah Sekar Mirah menjadi merah, maka ia menjadi semakin mantap.
Pandan Wangi sadar, bahwa Sekar Mirah pun sedang membuatnya marah. Karena itu,
supaya ia tidak kehilangan keseimbangan, maka ia pun melakukan perbuatan yang serupa. Akibatnya
memang sudah dibayangkan oleh Gupita. Kedua gadis itu menjadi marah bukan
buatan. Masing-masing masih saja berusaha mengungkat kemarahan dan sengaja
menyinggung perasaan. Tetapi akhirnya keduanya sama-sama tidak dapat
mengendalikan diri lagi. Ketika tongkat Sekar Marah bergetar di tangannya, maka
Pandan Wangi pun telah menggenggam sepasang pedangnya.
“He, kalian
telah gila!” Gupita berteriak.
Tetapi
keduanya seolah-olah sudah tidak mendengar lagi. Sekejap kemudian keduanya
sudah terlibat dalam perkelahian. Sekar Mirah bersenjata tongkat baja putih
berkepala sebuah tengkorak yang berwarna kekuning-kuningan, sedang Pandan Wangi
mempergunakan sepasang pedangnya yang selama berkecamuknya api peperangan di
atas Tanah Perdikan Menoreh seakan-akan tidak pernah terpisah dari tubuhnya.
Gupita yang
tidak herhasil melerai keduanya, akhirnya hanya dapat melihat perkelahian itu
dengan dada berdebar-debar. Namun di sudut hatinya memang tumbuh pula
keinginannya untuk melihat, apakah yang sudah dapat dilakukan oleh Sekar Mirah
dengan tongkat baja putihnya. Meski pun demikian Gupita tidak berani menjauhi
arena. Kalau keadaan memaksa ia barus cepat bertindak. Ia tidak ingin salah
seorang dari keduanya benar-benar tersentuh ujung senjata. Ternyata Sekar Mirah
benar-benar membuat Gupita tercengang. Dalam waktu yang singkat ia telah berhasil
menyerap ilmu cabang perguruan tongkat baja putih itu.
“Satu-satunya
kemungkinan adalah Paman Sumangkar,” desisnya di dalam hati.
Perkelahian
itu pun semakin lama menjadi semakin seru. Gupita yang berdiri tidak begitu
jauh dari arena perkelahian itu segera melihat benturan ilmu yang luar biasa.
Ilmu yang diturunkan lewat Ki Argapati dan yang lain bersumber dari Ki
Sumangkar.
Ketika tangan
kedua gadis itu telah menjadi basah oleh keringat, maka mereka pun menjadi
semakin bernafsu. Senjata-senjata mereka menjadi semakin cepat berputar. Sinar
matahari yang semakin panas, memantul dari batang tongkat dan sepasang pedang
Pandan Wangi. Berkilat-kilat seperti pancaran sinar yang berlompatan dari
senjata-senjata itu. Dengan dada berdebar-debar Gupita mengikuti perkelahian
itu. Semakin lama terasa semakin tegang. Setiap kali ia menahan nafasnya, dan
bahkan setiap kali ia melangkah maju. Kalau ia melihat serangan-serangan yang
berbahaya, maka ia tidak dapat berdiri saja di tempatnya. Ia selalu berusaha
berdiri di tempat yang memungkinkan ujung cambuknya mencapai kedua gadis yang
sedang bertempur itu.
Agaknya kedua
gadis itu menjadi semakin bersungguh-sungguh. Dengan kemarahan yang semakin
membara di dada masing-masing, mereka telah mengerahkan segenap kemampuan yang
ada. Namun dengan demikian maka keadaan mereka menjadi semakin berbahaya,
karena ujung-ujung senjata mereka semakin lama menjadi semakin mendekati
tubuh-tubuh lawan. Kecuali Gupita, masih ada sepasang mata yang mengikuti
perkelahian itu. Dari balik gerumbul yang rapat, orang itu berjongkok sambil
mengintai dari celah-celah dedaunan.
Sekali-sekali
ia menarik nafas dalam-dalam. Sekali wajahnya menjadi tegang, namun kemudian ia
mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun ia masih saja tetap berada di tempatnya. Kadang-kadang
ia memandang wajah Gupita yang semakin tegang pula. Dengan dada yang
berdebar-debar ia melihat ujung cambuk di tangan Gupita yang setiap saat dapat
meledak di antara dentang senjata yang beradu.
“Mudah-mudahan
anak muda itu tidak berpihak,” berkata orang itu di dalam hatinya.
Sebenarnyalah
bahwa Gupita memang tidak ingin berpihak. Dengan susah payah ia menunggu
kesempatan untuk melerai perkelahian itu. Namun setiap kali ia kehilangan
kesempatan karena keduanya mampu bergerak begitu cepat dan lincah. Sejenak
Gupita teringat kepada cara Tohpati berkelahi. Selain tangkas, ayunan tongkat
itu memang benar-benar berbahaya. Kalau Pandan Wangi lengah, maka benturan
senjata mereka akan dapat mematahkan pedang tipisnya. Namun untunglah bahwa
Pandan Wangi menyadari akan hal itu. Itulah sebabnya, maka ia tidak pernah
membentur senjata lawannya dengan langsung. Dengan kecakapannya mempergunakan
pedangnya. Pandan Wangi selalu dapat menggeser arah senjata lawannya dengan
sentuhan sisi, sehingga pedangnya tidak menjadi cacat karenanya. Apalagi patah.
Perkelahian
itu menjadi semakin seru. Dalam puncak kemampuan masing-masing, kemudian dapat
diketahui, baik oleh Gupita maupun oleh sepasang mata yang berada di balik
dedaunan, bahwa Pandan Wangi memiliki pengalaman lebih banyak dari lawannya.
Agaknya Pandan Wangi telah lebih matang menyerap ilmu Ki Argapati, sehingga
semakin lama ia justru menjadi semakin mapan. Berbeda dengan Sekar Mirah. Ia
masih belum mampu mengungkapkan ilmu Ki Sumangkar sebaik-baiknya. Ketika gerak
sepasang pedang Pandan Wangi menjadi semakin cepat, maka Sekar Mirah yang belum
cukup lama mempelajari ilmunya, tampak agak menjadi bingung.
“Keseimbangan
telah bergoncang,” desis Gupita di dalam hatinya,
“perkelahian
itu harus dihentikan sebelum salah seorang dari mereka merasa menang atau
kalah. Jika demikian maka perkelahian ini akan mungkin membangkitkan dendam
pada salah seorang dari mereka, atau bahkan kedua-duanya.” Gupita mengerutkan
keningnya,
“Tetapi
bagaimana.”
Dalam pada itu
perkelahian itu masih berlangsung terus. Namun semakin lama menjadi semakin
nyata, bahwa Pandan Wangi memang lebih banyak mempunyai pengalaman sehingga
Sekar Mirah menjadi semakin sulit menghadapinya.
“Tidak dapat
ditunda-tunda lagi,” pikir Gupita. Karena itu maka ia meloncat semakin dekat.
Sementara itu cambuknya meledak dahsyat sekali beberapa jengkal saja dari
keduanya. Baik Pandan Wangi maupun Sekar Mirah terkejut karenanya. Ketika
cambuk itu meledak untuk kedua kalinya, tepat di antara keduanya, maka mereka
berloncatan surut selangkah.
“Berhentilah
berkelahi!” Gupita berteriak.
“Jangan gaaggu
kami,” sahut Sekar Mirah.
“Kami belum
selesai,” Pandan Wangi hampir berteriak.
“Kalian sudah
menjadi gila. Kalau kalian hanya dapat berbicara dengan senjata, maka aku pun akan berbicara dengan senjata.”
“Bagus,” jawab
Sekar Mirah, “aku bersedia.”
“Kau bermaksud
agar aku mempergunakan senjataku terhadapmu juga?” bertanya Pandan Wangi.
Ternyata sikap
kedua gadis itu membuat Gupita menjadi bingung. Namun, dalam pada itu,
seseorang muncul dari balik gerumbul sambil berkata sareh,
“Sudahlah,
Ngger. Aku sudah mengatakan, bahwa cara yang kau pilih agaknya kurang
menguntungkan.
“Biarlah,
Guru,” jawab Sekar Mirah.
Gupita yang
berpaling juga mendengar suara itu, terperanjat pula. Dengan serta-merta ia
berdesis,
“Paman
Sumangkar.”
“Ya, Anakmas.
Akulah yang telah membawa Angger Sekar Mirah ke tlatah Menoreh.”
“Tetapi kenapa
Paman biarkan perkelahian ini terjadi?“
“Aku tidak
dapat mencegahnya. Tetapi aku tahu bahwa Angger ada di dekat arena, sehingga
aku percaya bahwa tidak akan terjadi sesuatu yang mengkhawatirkan.”
Gupita
mengerutkan keningnya. Kemudian jawabnya,
“Tetapi aku
menemui kesulitan untuk melerainya, Paman.”
“Angger Sekar
Mirah akan menghentikan perkelahian.”
“Tidak,”
tiba-tiba Sekar Mirah memotong, “aku akan berkelahi terus.”
“Jangan,
Ngger. Sebaiknya kau berhenti.”
“Aku tidak
akan berhenti. Gadis itu harus berlutut di bawah kakiku.”
“Bagus,” sahut
Pandan Wangi,
“marilah kita
teruskan. Aku atau kau yang akan mencium telapak kaki.”
“Tidak!” suara
Sumangkar meninggi.
“Aku
perintahkan Angger Sekar Mirah menghentikan perkelahian.”
Dada Sekar
Mirah berdesir. Tetapi ia tidak dapat membantah lagi. Ia sadar, bahwa gurunya
benar-benar menghendaki perkelahian berhenti. Dan tiba-tiba saja Pandan Wangi
bertanya kepada Sumangkar,
“Siapakah
Kiai? Apakah perempuan ini murid Kiai?”
“Ya, Ngger,”
jawab Sunvingkar,
“gadis ini
adalah muridku.”
“Kenapa
tiba-tiba saja ia menyerangku? Baik dengan kata-kata maupun dengan tongkat
itu?”
Sumangkar
menarik nafas dalam-dalam.
“Maafkan,
Ngger. Aku kira hal ini hanya terjadi karena kesalahpahaman.”
“Tidak, bukan
sekedar salah paham,” sahut Pandan Wangi.
“Kami belum
berkenalan, belum berbicara tentang apa pun. Apa yang dapat menimbulkan salah
paham?”
Sumangkar mengangguk-anggukkan
kepalanya.
“Kau benar,
Ngger. Tetapi pembicaraan Angger dengan orang-orang yang menyerang Angger
berdua sebelum inilah yang dapat menumbuhkan salah paham.”
Gupita menarik
nafas.
“Itukah
sebabnya, Paman? Dan Paman tidak mencegahnya?”
“Aku sudah
mencoba, Ngger.”
“Maksud Guru,
akulah yang telah berkeras hati untuk berkelahi melawan gadis ini?” bertanya
Sekar Mirah.
“Apakah yang
harus aku katakan, Ngger?” Sumangkar ganti bertanya.
“Tetapi aku
memang tidak mencegahnya dengan keras. Ada keinginanku untuk melihat sampai di
mana Anger Sekar Mirah mampu mengungkapkan ilmunya menghadapi ilmu dari
perguruan lain. Kali ini ilmu yang diturunkan oleh Ki Argapati, bukankah
begitu?”
“Apakah Kiai
mengenal ayah?” bertanya Pandan Wangi.
“Berkenalan
secara pribadi belum. Tetapi sudah tentu aku mengenal namanya.”
“Siapakah Kiai
sebenarnya?”
“Sumangkar.
Namaku Sumangkar.”
Dan Gupita
melanjutkannya,
“Salah seorang
bekas Senapati Jipang.”
“Bukan
senapati,” Sumangkar membetulkan,
“seorang juru
masak.”
Gupita menarik
nafas sekali lagi.
“Tetapi,”
tiba-tiba Sekar Mirah berkata lantang,
“apakah aku
akan berdiam diri menghadapi kenyataan ini?”
“Kenyataan
yang mana?” bertanya Gupita.
“Aku mendengar
apa yang dikatakan oleh keenam orang itu tentang kalian. Keenam orang yang
berhasil kalian kalahkan. Yang seorang di antaranya terbunuh itu.”
“Jangan kau
dengarkan igauan mereka,” sahut Gupita.
“Kau akan
mendengar langsung tentang Pandan Wangi daripadanya, atau dari Gupala.”
“Siapa itu
Gupala?” bertanya Sekar Mirah.
Gupita mengerenyitkan
alisnya. “Namaku Gupita dan adikku bemama Gupala.”
“Gila, aku
tidak mengenal nama-nama itu,” desis Sekar Mirah.
Pandan Wangi
pun menjadi bingung. Dan tiba-tiba ia bertanya, “Siapakah sebenarnya gembala
ini?”
Sumangkar
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kini ia mengetahuinya, bahwa agaknya guru anak
muda itu telah merubah nama murid-muridnya seperti apa yang sering ia lakukan
atas dirinya sendiri. Agaknya nama Agung Sedayu telah dirubahnya menjadi Gupita
dan Gupala pastilah Swandaru Geni. Kareaa itu, maka sambil tersenyum ia
berkata,
“Angger
Gupita. Di manakah gurumu dan siapakah namanya kini?”
Gupita menarik
nafas dalam-dalam. Dan Pandan Wangi pun bertanya pula,
“He, siapakah
sebenarnya gembala ini?”
Gupita
berpikir sejenak, kemudian ia menyahut,
“Marilah kita
ke rumaH. Sebaiknya kalian bertemu dengan Gupala.”
“Aku tidak
kenal Gupala,” Sekar Mirah berteriak.
“Dan aku tidak
mau kembali ke tempat yang sama sekali tidak aku kenal.”
“Sekar Mirah,”
berkata Gupita,
“aku dapat
mengerti, kenapa salah paham ini dapat terjadi. Tetapi kita jangan memperbesar
salah paham ini. Kita harus berusaha menyelesaikannya. Kalau kau sudah bertemu
dengan Gupala, eh, maksudku Swandaru, maka semuanya akan menjadi jelas.”
“Siapakah
Swandaru itu?” Pandan Wangi lah yang memotong.
“Dan apakah
hubungan gadis ini dengan Swandaru dan dengan kau Gupita?”
“Nah, agaknya
ia tidak mengatakannya,” sahut Sekar Mirah.
“Memang,
menilik namanya yang sekarang, Gupita, ia ingin melupakan hidupnya yang lama,
ketika ia bernama Agung Sedayu.”
“Itulah yang
aku maksudkan dengan salah paham. Karena itu semakin cepat kita bertemu dengan
Swandaru akan menjadi semakin baik. Salah paham ini akan segera hilang.”
“Apakah
hubungannya semua ini dengan Kakang Swandaru?” bertanya Sekar Mirah.
Gupita menarik
nafas dalam-dalam. Kemudian ia menjawab ragu,
“Sekar Mirah.
Swandaru akan dapat menjelaskan kepadamu.” Lalu kepada Pandan Wangi Gupita
berkata,
“Pandan Wangi,
gadis yang bernama Sekar Mirah ini adalah adik Gupala. Yang nama sebenarnya
adalah Swandaru Geni.”
“He?” Pandan
Wangi mengerutkan keningnya. Tiba-tiba wajahnya menjadi tegang. Sekilas
teringat olehnya pesan Gupala yang telah disampaikan kepadanya oleh Gupita.
Kalau ia menerima pesan itu, maka Sekar Mirah akan menjadi saudara
perempuannya.
Dalam keragu-raguan
itu ia mendengar Sekar Mirah bertanya,
“Apakah
hubunganmu dan Kakang Swandaru dan dengan gadis ini.”
“Tidak ada
hubungan apa-apa antara aku dan Pandan Wangi, selain dalam usaha bersama
mempertahankan hak di atas Tanah Perdikan ini. Hubungan yang lain agaknya sudah
mulai dijalin antara Pandan Wangi dengan Adi Swandaru. Aku kini adalah seorang
utusan Adi Swandaru. Tetapi sayang, bahwa pembicaraan kami belum selesai,
orang-orang itu sudah mengganggu kami. Apalagi tuduhan mereka yang keji telah
membuat kami marah dan kehilangan kesabaran.”
Sebuah getaran
yang aneh telah menyentuh dada Sekar Mirah. Meski pun tidak jelas benar, tetapi
ia melihat remang-remang hubungan antara gadis yang bernama Pandan Wangi itu
dengan kakaknya dan dengan Agung Sedayu. Karena itu, maka dadanya pun menjadi
berdebar-debar seperti dada Pandan Wangi pula. Dalam pada itu, Sumangkar yang
mendengarkan penjelasan Gupita itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia lebih
cepat dapat menangkap maksudnya. Bahkan sesaat kemudian ia telah mulai
mempunyai gambaran, hubungan antara mereka. Tanpa maksud apa pun Sumangkar
kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya sambl berkata,
“Begitulah
kiranya. Angger Sekar Mirah memang terlampau cepat dibakar oleh perasaan
cemburu.”
“Guru,” Sekar
Mirah hampir berteriak. Tetapi suaranya terputus.
Sumangkar
hanya tersenyum. Dipandanginya wajah muridnya dan wajah Gupita yang juga
bernama Agung Sedayu yang kemerah-merahan itu.
Sementara itu
dada Pandan Wangi berdesir tajam. Ditatapnya wajah Sekar Mirah sejenak. Kini ia
sempat menilai gadis itu. Meskipun ia tidak sedang berhias, namun Sekar Mirah
adalah seorang gadis yang cantik. Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam.
Inilah agaknya kunci dari pertanyaan yang selama ini tersimpan di hatinya.
Kenapa Gupita bertanya tentang hatinya, tidak atas namanya sendiri, tetapi atas
nama Gupala? Agaknya Gupita telah meninggalkan seorang gadis di kampung
halamannya, atau di suatu tempat yang lain, yang kini mencarinya. Dengan
gambaran yang meskipun masih samar-samar tetapi kedua gadis itu kini telah
mengerti, bahwa sebenarnyalah mereka telah terikat dalam suatu salah paham. Tetapi
yang paling menyesal adalah Sekar Mirah. Ia telah melontarkan tuduhan-tuduhan
yang paling menyakitkan hati. Samar-samar ia dapat menangkap maksud Gupita, yang
katanya,
“Aku kini
adalah seorang utusan Adi Swandaru. Tetapi sayang, bahwa pembicaraan kami belum
selesai, orang-orang itu sudah mengganggu kami.”
Meskipun
demikian Sekar Mirah masih saja berdiam diri mematung di tempatnya.
“Angger Sekar
Mirah,” berkata Sumangkar yang melihat penyesalan di wajah muridnya,
“apakah
salahnya, kalau kau memberanikan dirimu minta maaf kepada Angger Pandan Wangi?”
Sekar Mirah
menundukkan wajahnya.
“Itu pasti
akan lebih baik bagi hubunganmu selanjutnya. Meskipun belum begitu jelas,
tetapi aku melihat kaitan hubungan di antara kalian semuanya.”
Sekar Mirah
masih menundukkan kepalanya. Sementara Pandan Wangi menjadi ragu-ragu
menanggapi keadaan.
“Kalian adalah
gadis-gadis yang berjiwa besar,” berkata Sumangkar kemudian.
“Aku percaya,
bahwa kalian akan dapat saling memaafkan dan melupakan apa yang baru saja
terjadi.”
Kedua gadis
itu kini semakin menunduk. Sedang di dada Pandan Wangi masih juga terjadi
gejolak yang kadang-kadang hampir menyesakkan nafasnya. Masih juga terkenang olehnya,
gembala muda itu bermain dengan serulingnya, kemudian lari bersama-sama
menghindari anak buah Ki Peda Sura. Anak muda yang bernama Agung Sedayu itu
seolah-olah menyeretnya saja di sepanjang pematang sswah yang tidak digarap. Tetap
saat itu ia sama sekali belum mengenal anak muda yang bernama Gupala, yang juga
disebut bernama Swamdaru Geni. Ia belum melihat anak muda periang yang gemuk
itu. Kini ia harus melihat kenyataan. Meski pun tidak jelas, namun ia mengerti
seperti yang dikatakan oleh orang tua yang bernama Sumangkar itu, bahwa Sekar
Mirah diamuk oleh perasaan cemburu.
“Inilah
kenyataan yang aku hadapi,” desisnya di dalam hati. Tetapi kini selain Gupita
ia telah mengenal pula Gupala.
Menurut
penglihatannya keduanya mempunyai kelebihan sendiri-sendiri. Mempunyai daya
tariknya masing-masing. Gupala yang juga bernama Swandaru-lah yang telah
menyatakan perasaannya kepadanya lewat Gupita. Dan kini, seorang gadis telah
datang pula mencari Gupita yang juga bernama Agung Sedayu itu.
Dengan
demikian maka Pandan Wangi masih juga merenung untuk sesaat. Ia sadar dari
angan-angannya ketika ia mendengar Sumangkar berkata kepada Sekar Mirah,
“Sekar Mirah.
Seharusnya kau minta maaf kepadanya. Selanjutnya kalian berdua harus melupakan
apa yang pernah terjadi ini. Memang pahit agaknya untuk mengakui kesalahan.
Tetapi itu adalah sikap yang paling baik.”
Betapa pun
beratnya, dan betapa pun tinggi hatinya, namun Sekar Mirah akhirnya berkata,
“Pandan Wangi.
Aku minta maaf atas keterlanjuranku.”
Kepala Pandan
Wangi pun tampaknya terlampau kaku untuk mengangguk. Namun akhirnya kepala itu
tergerak juga sambil berkata,
“Baiklah kita
lupakan semua peristiwa yang baru saja terjadi.”
“Nah,” sahut
Sumangkar,
“aku memang
sudah menyangka, bahwa kalian memang berjiwa besar. Angger Agung Sedayu,”
katanya kemudian kepada Agung Sedayu yang juga menyebut dirinya Gupita,
“kita menjadi
saksi, bahwa seterusnya peristiwa ini tidak akan disebut-sebut lagi.”
“Ya,” jawab
Gupita,
“kita semua
melupakannya.” Gupita berhenti sejenak, lalu,
“Sekarang,
marilah kita kembali ke padukuhan induk. Kita akan bertemu dengan Gupala, eh,
maksudku Swandaru, dengan guru dan sudah tentu apabila keadaan mengijinkan
dengan Ki Argapati.”
Sumangkar
mengangguk-anggukkan kepalanya. Jawabnya,
“Kami senang
sekali apabila kami dapat bertemu dengan Ki Argapati.”
“Sudah tentu,”
jawab Pandan Wangi,
“ayah sudah
menjadi berangsur baik. Ayah akan senang sekali dapat menerima kalian.”
“Marilah,”
berata Agung Sedayu.
“Kita dapat
membicarakannya sambil berjalan. Agung Sedayu merenung sejenak, kemudian,
“Apakah kalian hanya berjalan kaki?”
“Ya, kami
memang hanya berjalan kaki.”
“Kalau begitu,
kami akan berjalan pula. Atau kami akan naik berdua di atas seekor kuda?”
Pandan Wangi
mengerutkan keningnya. Namun sebelum ia menjawab, Sumangkar telah berdesis,
“Aku melihat
debu yang mengepul ke udara.”
Serentak
semuanya berpaling ke arah pandangan mata Sumangkar. Dan mereka pun melihat pula, debu yang mengepul itu.
“Serombongan
orang-orang berkuda,” desis Pandan Wangi.
Semuanya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Lamat-lamat mereka sudah mendengar derap kaki
kuda-kuda itu. Semakin lama semakin dekat.
“Siapakah
mereka?” bertanya Sekar Mirah.
“Aku belum
tahu,” jawab Pandan Wangi.
“Marilah kita
lihat,” bertanya Agung Sedayu.
“Bagaimana
kalau mereka adalah sisa-sisa pasukan yang telah memberontak itu?” bertanya
Sekar Mirah.
“Apabila
mereka mengancam keselamatan kami, apa boleh buat,” jawab Pandan Wangi.
Mereka
berempat pun kemudian justru melangkah ke pinggir jalan yang akan dilalui oleh
beberapa orang berkuda itu. Semakin lama semakin dekat. Namun Pandan Wangi
kemudian menarik nafas dalam-dalam.
“Mereka adalah
para pengawal.”
“Apakah mereka
sedang meronda?” bertanya Gupita
“Mungkin.
Mungkin mereka sedang mengawasi daerah ini.”
Orang-orang
berkuda yang berpacu di sepanjang jalan itu
pun menjadi semakin lambat pula ketika mereka melihat Pandan Wangi telah
berdiri di pinggir jalan bersama Gupita dan dua orang yang tidak mereka kenal.
“O, kau sudah
mencemaskan seluruh penjagaan,” berkata salah seorang dari para pengawal itu
sambil menghentikan kudanya dan meloncat turun. Yang lain pun kemudian berloncatan pula seorang demi
seorang.
“Kenapa?”
bertanya Pandan Wangi.
“Kami menunggu
terlampau lama dan kalian masih juga belum kembali. Kami menyangka bahwa
terjadi sesuatu atas kalian berdua.” Orang itu berhenti sejenak.
“Tetapi kini
kalian justru berempat.”
“Apakah kalian
mencari aku?”
“Begitulah.
Karena kami menjadi cemas, maka kami terpaksa melihat apakah yang terjadi atas
kalian. Sokurlah bila tidak ada sesuatu yang terjadi.”
“Memang ada
yang terjadi. Kalian akan mendapat pekerjaan karenanya.”
“Apa?”
“Sebelah
gerumbul itu ada sesosok mayat. Bawalah ke padukuhan dan kuburlah baik-baik.”
Para pengawal
itu mengerutkan keningnya.
“Masih ada
lagi. Aku meminjam dua ekor kuda kalian. Kemudian empat orang dari kalian naik
di atas dua ekor kuda yang lain. Sementara orang kelima membawa mayat itu di
atas punggung kudanya pula.”
Sejenak mereka
saling berpandangan. Tetapi Pandan Wangi sudah berkata pula,
“Jangan
merenung. Nanti di gardu kalian, aku akan menceriterakan apa yang sudah terjadi
di sini.”
Para pengawal
itu mengangguk-anggukkan kepala mereka. Dua di antara mereka menyerahkan dua
ekor kuda, kemudian yang lain meloncat ke balik gerumbul mencari mayat yang
disebut Pandan Wangi. Tetapi sampai di gardu perondan pun Pandan Wangi tidak
sempat menceriterakan apa yang terjadi seluruhnya. Ia hanya mengatakan bahwa ia
memang bertemu dengan beberapa orang yang keras kepala, dan mencoba
menyerangnya. Tetapi mereka dapat diusirnya bersama dengan Gupita.
“Salah seorang
daripadanya terbunuh,” berkata Pandan Wangi. “Kuburlah mayat itu baik-baik.”
Pandan Wangi
pun kemudian membawa Sekar Mirah bersama gurunya ke induk padukuhan. Namun di
sepanjang jalan, pikirannya serasa menjadi kalut menghadapi persoalannya
sendiri. Persoalan pribadinya. Tetapi Pandan Wangi tidak dapat ingkar pula,
bahwa pada suatu saat ia pasti akan menghadapi masalah serupa ini. Masalahnya
bukan sebagai puteri Kepala Tanah Perdikan yang berhadapan dengan
persoalan-persoalan Tanah Perdikan Menoreh, tetapi masalahnya sebagai seorang
gadis yang meningkat dewasa. Bahkan sebelum kedatangan Gupita dan Gupala,
persoalan itu pun pernah membingungkannya ketika Wrahasta dalam saat-saat yang
memuncak, mencoba untuk mengetahui pendiriannya. Dengan demikian, maka hampir
tidak seorang pun yang berbicara di perjalanan. Mereka membiarkan angan-angan
masing-masing terbang menerawang ke ujung langit. Semakin dekat dengan
rumahnya, Pandan Wangi menjadi semakin berdebar-debar. Ia tidak mengerti,
kesimpulan apakah yang ditangkap oleh Gupita atas sikapnya. Ia belum sampai
mengatakan apa pun kepadanya. Tetapi
bukan saja Pandan Wangi yang berdebar-debar, namun juga Sekar Mirah. Ia akan
bertemu dengan Swandaru dan yang lebih mendebarkan jantungnya adalah nama yang
selama ini selalu menghantuinya, Sidanti.
“Apakah yang
akan aku lakukan atasnya?” desisnya. Karena Sekar Mirah telah mendengar dari
orang-orang Menoreh di sepanjang perjalanannya bahwa Sidanti dan Argajaya kini
ditahan di rumah Kepala Tanah Perdikan Menoreh.
Namun
dendamnya kepada anak muda itu telah melonjak sampai ke ujung ubun-ubun. Di
sepanjang jalan, diam-diam Pandan Wangi teringat pula ceritera kakaknya tentang
seorang gadis yang bernama Sekar Mirah. Seorang gadis yang menurut kakaknya
telah melukai hatinya, dan berbuat tidak sewajarnya. Tetapi setelah ia
mengetahui sifat-sifat kakaknya, maka ia sudah tidak begitu mempercayai lagi
ceriteranya. Apalagi setelah ia melihat sendiri gadis yang bernama Sekar Mirah
itu.
Ketika mereka
mendekati halaman rumah Kepala Tanah Perdikan, dari kejauhan mereka sudah
melihat para peronda di muka regol. Namun kemudian mereka pun melihat, bahwa di
antara peronda yang berdiri sebelah-menyebelah jalan itu terdapat Gupala.
Agaknya ia hampir tidak sabar lagi menunggu, sehingga setelah menyerahkan
pengawasan Ki Argajaya kepada beberapa orang pengawal, ia sendiri menunggu
dengan gelisah kedatangan Gupita dan Pandan Wangi. Tetapi kini ia melihat empat
orang datang bersama-sama. Di antaranya Pandan Wangi dan Gupita.
“Siapakah yang
dua?” ia bertanya di dalam hatinya. Semakin dekat, Gupala menjadi semakin jelas
melihat kedua orang kawan Pandan Wangi dan Gupita itu. Tetapi seperti orang
bermimpi ia memperhatikan mereka, Seorang gadis dengan tongkat baja putih
dengan pangkal sebuah tengkorak kecil yang berwarna kekuningan.
Tongkat serupa
itu pulalah senjata Tohpati. Tetapi menurut dugaannya tongkat itu pasti sudah
dibawa oleh Untara ke Pajang.
“Sumangkar,”
ia berdesis.
Gupala menjadi
berdebar-debar. Ia tidak mengerti bagaimana hal itu dapat terjadi. Tetapi ia
tidak dapat mengingkari kenyataan itu. Yang datang bersama Pandan Wangi dan
Gupita adalah Sekar Mirah dan Sumangkar. Tiba-tiba Gupala tidak dapat
mengendalikan dirinya. Dengan dada yang berdebar-debar ia meloncat berlari
menyongsong orang-orang berkuda itu. Belum lagi mereka mendekat, Gupala sudah
berteriak,
“He, kau itu
Mirah?”
Sekar Mirah
tersenyum. Sudah lama ia tidak melihat kakaknya. Perasaan rindu yang melonjak
di dadanya ditahankannya. Ketika Swandaru berdiri di samping kudanya ia masih
tetap duduk saja di atas pungguag kuda itu.
“Mirah.”
Sekar Mirah
tidak beranjak dari tempatnya.
“Mirah. Apakah
kau kesurupan?” tiba-tiba tangan Swandaru yang juga bernama Gupala itu menarik
tangan Sekar Mirah sehingga gadis itu hampir saja jatuh terpelanting dari
kudanya. Tetapi dengan tangkasnya ia justru meloncat dan atas bantuan Gupala
Sekar Mirah berhasil tegak di atas tanah. Gupala heran sejenak melihat sikap
adiknya. Namun kemudian diterkamnya pundak gadis itu dan diguncang-guncangnya.
“He, kenapa
kau kemari, Mirah. Bagaimana dengan ayah dan ibu?”
“Sakit,” desis
adiknya. “Lepaskan dahulu.”
“Bagaimana kau
sampai kemari?” Lalu,
“He, Paman
Sumangkar. Apakah Kiai yang membawa Mirah kemari dan memberinya mainan serupa
ini?”
“Ya, Ngger.
Akulah yang memberinya.”
“Apakah kau
dapat juga mempergunakan?” Gupala bertanya kepada adiknya, kemudian,
“Tetapi
bagaimana dengan ayah dan ibu?”
“Ayah dan ibu
siapa?” Sekar Mirah bertanya.
Gupala
mengerutkan keningnya mendengar pertanyaan itu.
“Ayah dan
ibuku” ia menjawab.
Sekar Mirah
menggelengkan kepalanya.
“Aku belum
mengenal ayah dan ibu seorang anak muda gemuk yang bernama Gupala.”
“Hus,” Gupala
berdesis,
“jangan
main-main. Aku bertanya sebenarnya. Bagaimanakah ayah dan ibu?”
Sekar Mirah
memandamg Gupala dengan tajamnya. Dan sekali lagi ia berkata sambil
menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Aku tidak
kenal dengan seorang yang bernama Gupala. Bagaimana aku dapat mengatakan
sesuatu tentang ayah dan ibunya.”
“Kemayu kau,” desis
Gupala.
“Kalau kau
tidak kenal Gupala, maka kau tidak akan mengenal Gupita. Kenapa kau
mengikutinya kemari?”
“Siapa yang
mengikutinya?”
“Paman
Sumangkar. Dan kau mengikuti Paman Sumangkar, begitu?”
“Aku tidak
mengikuti siapa pun.”
“Omong kosong.
Sekarang jawab, bagaimana dengan ayah dan ibu? Apakah mereka selamat?”
Sekar Mirah
akhirnya tidak dapat mengganggunya terus. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya
ia menjawab,
“Ya. Ayah dan
ibu selamat.”
“Syukurlah.”
“Dan kau sudah
terlampau lama pergi. Ayah dan ibu menunggu siang dan malam. Apalagi ibu.
Karena itu, aku diijinkannya mencarimu kemari, asal diantar oleh Paman
Sumangkar.”
“Ya, ya. Aku
memang sudah terlampau lama pergi.” Gupala mengerutkan keningnya, lalu,
“Marilah.
Marilah, Paman Sumangkar,” tetapi tiba-tiba ia menutup mulutnya dengan kedua
tangannya.
“Maaf. Bukan
akulah tuan rumah. Tetapi di sini ada Puteri Kepala Tanah Perdikan Menoreh.”
Lalu ia bertanya kepada Pandan Wangi,
“Apakah kau
akan mempersilahkan mereka?”
Tiba-tiba saja
sikap Pandan Wangi menjadi sangat kaku. Ia tidak dapat mengesampingkan masalah
dirinya sendiri. Sehingga karena itu ia tidak segera menjawab. Tetapi ketika
terpandang olehnya mata Swandaru, kepalanya justru tertunduk.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar