Jilid 048 Halaman 2


Dalam kebimbangan, Pandan Wangi dan Gupita kemudian mengikat kuda-kuda mereka pada sebatang pohon perdu di halaman. Sejenak mereka saling berpandangan dan sejenak kemudian, mereka mengedarkan tatapan mata mereka ke seluruh sudut. Tetapi mereka tidak melihat sesuatu.
“Marilah kita naik ke pendapa?” ajak Pandan Wangi.
Gupita tidak menjawab, tetapi kepalanya terangguk ragu.
Keduanya pun kemudian naik ke pendapa dengan hati-hati. Mereka memandang daun pintu yang tertutup itu dengan tajamnya, seolah-olah ingin melihat apa yang tersembunyi di dalamnya. Memang mungkin sekali terjadi, apabila pintu itu dengan tiba-tiba terbuka, ujung senjata terjulur lurus-lurus ke dada mereka. Mungkin hanya sepucuk, tetapi mungkin tiga atau empat atau bahkan sepuluh pucuk senjata. Tetapi pintu itu tidak juga terbuka, bahkan ketika mereka telah berdiri terlampau dekat. Pandan Wangi menjadi ragu-ragu sejenak. Namun kemudian ia berdesis,
“Aku akan mengetuk pintu ini.”
Gupita mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia pun maju selangkah dan berdiri hampir merapat dinding, di sebelah pintu itu. Pandan Wangi mengangguk-angguk kecil. Ternyata Gupita cukup berhati-hati meskipun sama sekali tidak terdengar sesuatu di balik pintu itu Perlahan-lahan Pandan Wangi mengetuk pintu pringgitan yang tertutup rapat. Namun terasa bahwa jari-jari tangannya agak gemetar.
Ia sudah mengenal rumah itu seperti ia mengenal rumahnya sendiri. Ia sudah terlampau sering datang sejak ia masih kanak-kanak, bermain-main dengan paman dan bibinya. Pohon jambu di sudut halaman, pohon kanci yang besar dan pohon sawo kecik di muka pendapa itu  pun sudah dikenalnya baik-baik. Ia sudah terlampau sering makan buah jambu dan sawo kecik di halaman itu. Namun kini semuanya terasa sangat asing.
Ternyata ketukan pintu tidak segera terjawab, sehingga Pandan Wangi mengulanginya sekali lagi agak lebih keras. Dengan dada yang berdebar mereka  pun kemudian mendengar langkah seseorang mendekat pintu. Kemudian terdengar pula seseorang bertanya,
“Siapa di luar?”
Pandan Wangi segera mengenal, bahwa suara itu adalah suara bibinya. Karena itu maka ia  pun menjawab,
“Aku, aku, Bibi.”
Sejenak tidak terdengar sesuatu di dalam rumah itu. Namun kemudian langkah itu pun mendekat lagi. Kini mereka mendengar daun pintu itu berderit. Sejenak kemudian pintu itu pun terbuka. Seorang perempun berdiri tegak di muka pintu. Seorang perempuan dengan pakaian dan rambut yang kusut, muka yang pucat dan mata kemerah-merahan oleh tangis. Perempuan itu terbelalak ketika ia melihat Pandan Wangi berdiri di luar pintu. Sejenak ia berdiri tegak dengan dada yang berdebar-debar.
“Bibi, aku datang Bibi?”
Tetapi alangkah terperanjat Pandan Wangi ketika tiba-tiba ia melihat perempuan itu menudingnya sambil berkata lantang hampir berteriak,
“He, betina tidak tahu diri! Kenapa kau kemari, he? Apakah kau masih belum puas? Ayahmu sudah mencelakakan suamiku, adiknya sendiri, adik kandungnya. Sekarang kau datang membawa pedang dan seorang pengkhianat. Apakah kau ingin membunuh aku, he? Ayo, bunuhlah aku sama sekali. Bunuh aku.”
Perempuan itu kemudian berdiri bertolak pinggang. Matanya seakan-akan memancarkan api yang menyala di dadanya. Bahkan kemudian ia melangkah maju sehingga Pandan Wangi surut selangkah.
“Bibi,” desis Pandan Wangi.
“Kau tdak usah memanggil aku bibi. Kau tidak usah berpura-pura. Sekarang tarik pedangmu dan tusukkan di dada ini.”

Pandan Wangi justru berdiri mematung. Ia sama sekali tidak menyangka bahwa demikianlah sambutan yang diterimanya dari bibinya, yang dikenalnya sebagai seorang yang ramah dan baik. Seorang yang terlampau dekat dengan dirinya dan seluruh keluarganya. Karena itu maka Pandan Wangi masih saja berdiri mematung. Ia tidak segera dapat menyesuaikan dirinya dengan keadaan yang sama sekali tidak diduganya lebih dahulu. Sedang bibinya masih saja menunjuk wajahnya sambil berkata,
“Kenapa kau diam saja? Ayo bunuh aku. Rumah ini bagiku tidak lebih dari neraka yang paling jahanam. Suamiku telah difitnah orang, anakku laki-laki hilang sampai saat ini. Setiap kali rumah ini dibongkar oleh berandal-berandal yang tidak tahu diri itu. Dan sekarang kau lah yang datang ke rumah ini. Apakah kau mau membongkar rumahku pula? Dan merampok sisa-sisa milikku yang masih ada?”
Pandan Wangi tidak segera dapat menjawab. Bibinya sudah benar-benar menjadi orang lain.
“Ayo cepat, lakukan yang kau ingini? Bukankah kau disuruh oleh ayahmu membunuh aku?”
Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Dicobanya untuk mengatur perasaannya. Sekilas dipandangnya Gupita yang berdiri termangu-mangu.
“Bibi,” berkata Pandan Wangi kemudian,
“tidak ada seorang  pun yang menyuruh aku kemari.”
“Jadi, kau datang kemari atas kehendakmu sendiri? Kalau demikian kau akan membunuh aku atas keinginanmu?”
“Tidak, Bibi. Aku sama sekali tidak ingin berbuat demikian.”
“Bohong! Ayo cepat lakukan. Aku memang sudah jemu mengalami keadaan yang paling menyakitkan hati. Orang yang sebelumnya setiap hari datang minta sesuap nasi kepadaku untuk dirinya sendiri, untuk anak-anaknya, dan untuk seluruh keluarganya, orang yang setiap kali datang meminjam segala macam kebutuhan hidup, orang yang menggantungkan hidup keluarganya pada pekerjaan yang kuberikan, tiba-tiba saja sudah memfitnah suamiku. Kini suamiku menjadi korban bersama-sama dengan kemanakannya, Sidanti, dan anaknya sendiri. Anakku. Ternyata aku kini hidup dalam sarang serigala yang liar dan buas. Yang tidak lagi mengenal kebaikan hati dan peradaban.”
Pandan Wangi menggelengkan kepalanya. Kini nafasnya sudah menjadi semakin teratur dan perasaannya tidak lagi bergejolak tidak menentu. Ia sudah semakin mapan menanggapi sikap bibinya. Karena itu, maka katanya,
“Bibi, kita semua menyesal atas apa yang sudah terjadi. Kini ayah sedang terluka parah. Bahkan bangun pun ayah sama sekali tidak mampu.”
“Itu adalah karena salahnya sendiri.”
“Mungkin, Bibi. Mungkin ayah sudah bersalah. Tetapi yang melukai ayah itu adalah orang yang pernah melukai hatinya beberapa puluh tahun yang lampau.”
“Omong kosong! Seandainya benar demikian, dendamnya, sudah membakar Tanah Perdikan ini. Adiknya, anaknya, kemanakannya dan semua orang di atas Tanah Perdikan ini harus mengalami akibat yang paling pahit.”
“Bibi,” jawab Pandan Wangi,
“tidak seorang pun yang menghendaki hal itu terjadi. Ayah, paman, Kakang Sidanti, aku, dan juga Bibi. Tetapi tanpa dapat dicegah lagi, api sudah menjalar di seluruh Tanah Perdikan ini.”
“Ayahmulah sumber dari bencana ini.”
“Mungkin orang lain menganggapnya demikian, Bibi. Tetapi, ayah adalah orang yang paling menyesalkan kejadian ini. Ia adalah Kepala Tanah Perdikan ini. Berapa puluh tahun ayah merintis Tanah ini sehingga menjadi sebuah Tanah Perdikan yang baik. Sudah tentu, bukan maksud ayah untuk menghancurkau Tanah ini seperti apa yeng terjadi sekarang. Kalau ayah dianggap bersalah, kesalahan ayah adalah menyerahkan Kakang Sidanti kepada Ki Tambak Wedi. Apakah Bibi mengetahui siapakah Ki Tambak Wedi itu?”
Nyai Argajaya mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia berkata,
“Aku tidak peduli siapakah orang yang bernama Ki TambaK Wedi. Aku tidak peduli siapa pun. Tetapi keluargaku kini sudah hancur. Hancur sama sekali. Karena itu, kalau kau akan membunuh aku, bunuhlah.”

Pandan Wangi menjadi agak bingung kembali menanggapi sikap bibinya. Bibinya seolah-olah sudah tidak mau mendengar apa  pun lagi. Ia menjadi demikian berputus asa sehingga hari-hari mendatang adalah hari-hari yang gelap baginya. Dalam pada itu, tiba-tiba Pandan Wangi mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya,
“Bibi. Aku mengharap bibi dapat mendengarkan kata-kataku. Aku datang kemari karena aku diutus oleh Paman Argajaya.”
“He?” mata bibinya seakan-akan menjadi terbelalak karenanya. Namun kemudian,
“Omong kosong! Kau juga sudah pandai berbohong. Aku tidak mau kau bohongi lagi.”
“Tidak, Bibi, aku tidak berbohong,” jawab Pandan Wangi.
“Paman kini berada di rumahku, Bibi.”
“Aku sudah tahu, Kakang Argajaya sekarang sudah ditangkap dan sebentar lagi ia harus digantung.” Perempuan itu berhenti sejenak, lalu suaranya tiba-tiba meninggi,
“Katakan! Katakan kepada ayahmu, bahwa aku harus digantungnya pula bersama Ki Argajaya. Mengerti?”
Tetapi Pandan Wangi mnggelengkan kepalanya.
“Paman tidak akan dihukum apa pun, karena ayah tahu, apa yang terjadi bukan semata-mata kesalahan paman.”
Nyai Argajaya mengerutkan keningnya.
“Paman Argajaya adalah satu-satunya saudara sekandung ayah,” berkata Pandan Wangi kemudian, lalu,
“dan sekarang aku telah diutus oleh paman melihat-lihat keadaan rumah ini. Terutama putera paman.”
Nyai Argajaya tidak segera menjawab.
“Bibi jangan terlampau berprasangka. Kalau ayah ingin melakukan tindakan kekerasan, bukan akulah yang akan datang kemari. Aku adalah manusia yang mempunyai kenangan dan cita-cita. Apakah aku dapat berbuat sesuatu atas Bibi yang begitu baik terhadapku sebelum terjadi sesuatu? Di rumah ini aku merasa seperti di rumah sendiri. Sepeninggal ibu, Bibi adalah ibuku.”
Nyai Argajaya masih tetap berdiam diri. Ditatapnya wajah Pandan Wangi dengan sorot mata yang aneh. Kadang-kadang dari sepasang mata perempuan itu memancar kebencian yang tidak ada taranya. Namun mata itu kemudian redup seolah-olah padam sama sekali.
“Bibi,” desis Pandan Wangi,
“apakah Bibi dapat mengerti? Apakah Bibi masih dapat mengenal aku sebagai Pandan Wangi yang sering benar berada di rumah ini sebelum terjadi kekisruhan di atas Tanah Perdikan ini?”
Nyai Argajaya masih tetap berdiam diri.
“Bibi, ayah sama sekali tidak bermaksud jelek. Terhadap Bibi maupun terhadap paman. Ayah masih memerlukan setiap tenaga yang ada untuk membangun Tanah yang sekarang sudah menjadi abu ini. Anggaplah bahwa yang sudah terjadi itu akibat dari kesalahan kita bersama.”
Tidak sepatah kata  pun yang terucapkan. Nyai Argajaya kini berdiri sambil merenung. Kadang-kadang dipandanginya wajah Pandan Wangi, namun kadang-kadang tatapan matanya terlontar jauh menerawang ke dunia angan-angan dan kenangan.
“Bibi,” desis Pandan Wangi kemudian,
“percayalah. Aku masih Pandan Wangi yang dahulu. Aku datang mengunjungi Bibi seperti dahulu aku bermain di rumah ini.”

Pandan Wangi kemudian melihat mata Nyai Argajaya menjadi basah. Sekali-sekali perempuan itu berpaling memandang Gupita yang berdiri termangu-mangu. Kemudian dipandanginya sepasang pedang di lambung Pandan Wangi. Pandan Wangi yang mengikuti tatapan mata bibinya seolah-olah dapat mengerti apa yang tersirat di dalam hati perempuan itu. Karena itu maka katanya,
“Adalah karena keadaan yang tidak menentu di sepanjang jalan maka aku membawa senjata ini, Bibi. Aku memang pernah mendapat pengalaman pahit pada saat permulaan Tanah ini mulai kemelut. Pada saat aku ingin berkunjung kemari, aku telah dicegat oleh beberapa orang laki-laki tidak dikenal. Untunglah bahwa saat itu Paman Argajaya menolong aku. Kalau tidak maka aku tidak akan dapat membayangkan aya yang terjadi atasku.”
Tiba-tiba Nyai Argajaya mengangkat wajahnya dan bertanya,
“Pamanmu yang telah menolongmu?”
“Ya, Bibi.”
“Siapakah laki-laki itu?”
“Aku tidak tahu, Bibi. Mereka adalah laki-laki yang tidak dikenal di Tanah Perdikan ini.”
Nyai Argajaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun kemudian ternyata bahwa air matanya menjadi semakin banyak mengambang di matanya. Perlahan-lahan terdengar ia berdesis,
“Aku memang sudah mencoba untuk mencegahnya. Tetapi aku tidak berhasil.”
Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Dengan serta-merta ia bertanya,
“Apakah yang pernah Bibi cegah?”
“Aku pernah mencegah pamanmu menghubungi orang-orang yang tidak mengenal peradaban itu. Kehadiran Ki Tambak Wedi di rumah ini memang menumbuhkan kecemasan di dalam hatiku.”
Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Agaknya ia telah berhasil mengungkap perasaan bibinya yang sebenarnya. Sehingga karena itu maka katanya,
“Ya, Bibi. Aku mengerti, bahwa Bibi adalah Bibi yang aku kenal itu. Bibi yang mengerti banyak masalah yang dapat tumbuh di atas Tanah Perdikan ini. Bukankah Bibi juga yang pernah berceritera kepadaku, tentang lidi dan sapu lidi? Bukankah Bibi juga yang berceritera kepadaku bahwa jari-jari tangan ini satu demi satu tidak banyak berarti, tetapi apabila lima bersama-sama, maka artinya akan besar sekali?”
Nyai Argajaya terdiam sejenak.
“Bibi,” Pandan Wangi kini maju selangkah,
“aku itulah yang kini datang kepada Bibi.”
Sejenak Nyai Argajaya berdiri mematung. Ditatapnya mata Pandan Wangi tajam-tajam. Namun sejenak kemudian ia meloncat memeluk gadis itu. Meledaklah perasaannya yang selama ini tertekan di dalam dadanya, sehingga rasa-rasanya dada itu akan pecah. Tidak ada seorang  pun yang dapat dibawanya berbincang di dalam rumah ini, apalagi sekali-sekali jiwanya yang risau itu masih juga digoncang-goncang oleh ketakutan dan kecemasan karena para pengawal yang memeriksa seisi rumahnya, mencari orang-orang yang mereka sangka bersembunyi di dalam rumah itu.
“Pandan Wangi,” terdengar suara perempuan itu di sela-sela tangisnya,
“kau tidak disuruh oleh ayahmu membunuh aku?”
Mata Pandan Wangi  pun menjadi basah pula. Meski  pun tenggorokannya terasa tersumbat, namun ia menjawab,
“Tentu tidak, Bibi. Aku sengaja menengok Bibi sekaligus aku diutus oleb paman Argajaya melihat apakah putera Bibi itu ada di rumah.”
Tangis Nyai Argajaya menjadi semakin keras.
“Sudahlah, Bibi,” Pandan Wangi mencoba menenteramkan hati bibinya,
“tidak ada yang perlu ditangiskan. Semuanya memang harus terjadi demikian. Yang penting kini, bagaimana masa-masa yang mendatang.”
“Masa yang mendatang itu terlampau gelap bagiku, Pandan Wangi. Aku menyadari betapa besar kesalahan pamanmu dan adikmu. Sebenarnya aku tidak dapat ingkar. Sejak kehadiran Ki Tambak Wedi di rumah ini bersama Sidanti, maka aku sudah membayangkan bahwa rumah tangga kecilku ini dan rumah tangga besar Tanah Perdikan Menoreh akan guncang. Itulah sebabnya aku sudah mencoba mencegah pamanmu. Tetapi seperti kau ketahui, Wangi, pamanmu adalah seorang yang keras hati. Ia tidak segera dapat menerima pikiran orang lain, sehingga akhirnya ia sendiri terperosok ke dalam keadaan seperti sekarang.”
Pandan Wangi mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian, ia berbisik,
“Bibi, apakah tidak mempersilahkan aku dan kawanku masuk ke dalam?”
“O, tentu Wangi. Tentu,” jawab Nyai Argajaya sambil melepaskan pelukannya. Namun titik air di matanya masih juga melelah di pipinya. Dengan pandangan ragu, Nyai Argajaya menatap wajah Gupita yang termanu-mangu.

Pandan Wangi menangkap keragu-raguan yang tumbuh di dalam hati bibinya. Agaknya bibinya memang belum pernah melihat anak muda itu. Karena itu maka Pandan Wangi berkata,
“Anak muda itu namanya Gupita, Bibi. Ia adalah seorang gembala menurut pengakuannya.”
“Kenapa menurut pengakuannya?” bertanya Nyai Argajaya.
Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia menjawab,
“Ya, ia memang seorang gembala. Tetapi ia mendapat kepercayaan ayah. Karena itu, maka kali ini ia harus mengantarkan aku menghadap Bibi, justru karena keadaan yang masih belum tenang benar.”
Nyai Argajaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian, “Silahkan masuk.”
Keduanya  pun kemudian masuk ke dalam pringgitan yang agak luas. Tetapi pringgitan itu hampir tidak terpelihara lagi. Dahulu, apabila Pandan Wangi datang ke rumah itu, ia selalu merasakan tangan-tangan bibinya yang mengatur setiap sudut rumah ini dengan tertib. Tetapi sekarang yang dilihatnya adalah sarang laba-laba yang tersangkut pada dinding dan langit-langit.
“Aku tidak sempat lagi melakukan apa pun juga,” desis bibinya, seolah-olah ia tahu apa yang terpercik di dalam hati Pandan Wangi.
“Bukan karena aku tidak mempunyai waktu, tetapi hatiku sudah seolah-olah patah. Semuanya lepas dari rumah ini. Dan aku tidak memerlukan apa-apa lagi.”
“Tidak, Bibi,” jawab Pandan Wangi. “Semuanya masih dapat diharap.”
“Adikmu hilang bersama-sama pasukan pamanmu yang tercerai-berai. Pamanmu tertangkap, sedang orang-orang yang mendukungnya telah lenyap. Sidanti pun tidak lagi dapat berbuat apa-apa, sepeninggal gurunya itu.”
“Kesalahpahaman ini akan segera berakhir.”
“Apakah kau berkata sebenarnya, Wangi.”
“Tentu, Bibi. Aku berkata sebenarnya. Sejak Kakang Sidanti meninggalkan ayah, maka akulah yang selalu dibawanya berbicara. Aku adalah orang yang paling dekat, sehingga aku mengenal benar-benar jalan pikiran ayah. Itulah sebabnya aku mengetahui, bahwa sebenarnya ayah tidak menaruh dendam. Seseorang yang menyesali kesalahannya sampai ke dasar hatinya, dan berjanji untuk tidak mengulangi kesalahan itu, memang wajib diberi kesempatan.”
Nyai Argajaya mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Ayahmu memang orang baik, Wangi. Menilik sifat-sifatnya, mungkin ia berkata sebenarnya.”
“Aku yakin, Bibi.”
“Tetapi kadang-kadang aku menjadi putus asa. Pamanmulah, yang terlampau keras hati.” Kepala perempuan itu tiba-tiba menunduk. “Ayahmu juga keras hati.”
“Kadang-kadang, Bibi, tetapi untuk mempertahankan keyakinan dan kepentingan harga dirinya pribadi. Tetapi sebagai Kepala Tanah Perdikan, ayah dapat menimbang-nimbang. Apalagi kini ayah mendapat banyak kesempatan untuk menilai semua masalah yang dihadapi. Karena luka-lukanya, sehingga ayah mempergunakan seluruh waktunya untuk berbaring. Dengan demikian ayah tidak sekedar dikejar oleh kekecewaan semata-mata karena Tanah yang selama ini dibinanya, telah menjadi abu. Tetapi ayah sempat memikirkan, bagaimana masa depan dari Tanah Perdikan Menoreh ini.”
Nyai Argajaya mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Karena itu, Bibi, maka aku telah datang kemari untuk mengunjungi Bibi dan membawa putera Bibi menghadap ayah. Ayah tidak akan menghukumnya. Dan terlebih-lebih lagi paman memang memerlukannya.”
Pandan Wangi mengerutkan keningnya ketika ia melihat mata bibinya menjadi berkaca-kaca kembali.
“Adikmu tidak ada di rumah, Wangi. Sejak pertempuran di malam itu, ia seakan-akan hilang dari padaku. Malam itu ia hanya singgah sejenak, mengambil beberapa potong pakaian. Kemudian ia pergi lagi bersama beberapa orang yang sebagian dari mereka tidak aku kenal.”
“Apakah anak itu tidak mengatakan, kemana ia akan pergi?”
Bibinya menjadi ragu-ragu. Tetapi kemudian ia menggeleng.
“Tidak, Wangi.”
Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Katanya,
“Aku benar-benar telah diutus oleh paman, Bibi. Paman tentu akan sangat bersenang hati apabila aku dapat membawanya.”

Nyai Argajaya tidak segera menjawab. Namun dada Gupita lah yang menjadi berdebar-debar. Ia sependapat dengan Pandan Wangi, seperti gurunya pernah berkata, bahwa Ki Argajaya telah minta agar puteranya mendapat pengampunan, dan Ki Argapati sama sekali tidak berkeberatan. Tetapi kalau anak itu dapat dibawanya bersama-sama saat ini, maka ia akan kehilangan waktu.
“Hem,” Gupita berkata di dalam hatinya,
“ternyata aku telah dicengkam oleh masalah itu. Aku tidak sempat lagi memikirkan persoalan lain lagi, kecuali persoalan Gupala.”
“Apakah bibi masih ragu-ragu?” desak Pandan Wangi.
Tetapi Nyai Argajaya menggeleng.
“Tidak, Wangi. Aku tidak ragu-ragu. Tetapi aku benar-benar tidak tahu kemanakah adikmu itu sekarang.”
Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, “Kadang-kadang aku, ayah dan apalagi paman, menjadi cemas. Sangat cemas, bahwa anak itu akan terseret arus yang tidak dikenalnya itu semakin lama semakin jauh. Kalau arus itu berbenturan dengan kekuatan Menoreh yang tidak mengerti sama sekali tentang hubungan lain daripada hubungan antara lawan, maka keadaannya akan menjadi semakin sulit.” Pandan Wangi berhenti sejenak, lalu, “Bibi, ayah sudah mengumumkan pengampunan umum. Siapa  pun yang menyesali perbuatannya dan menyerah, akan mendapat pengampunan, meskipun mereka masih akan tetap mendapat pengawasan. Apalagi paman, dan orang-orang yang masih ada sangkut pautnya dalam hubungan darah seperti anak itu.”
Tetapi yang dilihat oleh Pandan Wangi adalah titik air mata dari mata bibinya. Suaranya menjadi parau,
“Menyesal sekali, Wangi. Anak itu seakan-akan telah hilang dari padaku.”
Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya wajah bibinya tajam-tajam. Agaknya ia masih ragu-ragu, apakah bibinya berkata sebenarnya, atau oleh kecurigaan, anak itu dilindunginya, agar tidak diketahui di mana ia bersembunyi. Namun oleh air mata bibinya yang semakin deras, serta kepalanya yang semakin menunduk, Pandan Wangi kemudian mempercayainya bahwa bibinya berkata dengan jujur, bahwa ia benar-benar tidak tahu di mana anak laki-lakinya bersembunyi. Dengan demikian maka sikap Pandan Wangi  pun kini berubah. Ia tidak berusaha membujuk bibinya lagi, agar ia menunjukkan di mana anaknya berada, tetapi kini Pandan Wangi mencoba membujuk bibinya agar menjadi tenang.
“Aku memang tidak berpengharapan lagi,” berkata bibinya.
“Apalagi setiap kali rumah ini digeledah. Mereka juga mencari adikmu seperti kau. Bahkan mereka menyangka rumah inii menjadi tempat persembunyian orang-orang yang berpihak pada pamanmu dalam peperangan yang baru lalu.”
Pandan Wangi mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Aku akan berkata kepada mereka, Bibi, bahwa rumah ini sama sekali tidak dipergunakan oleh orang-orang yang melawan ayah waktu itu.”
“Hidupku sama sekali tidak tenang, Wangi. Setiap kali aku selalu diguncang oleh kegelisahan.”
“Sejak sekarang Bibi dapat menenangkan diri. Aku akan tetap membantu ayah dan paman untuk menemukan anak nakal itu. Mudah-mudahan ia tidak mengalami sesuatu.”
Nyai Argajaya tidak segera menjawab.
“Sudah tentu bahwa aku akan mencarinya sebagai seorang kakaknya, Bibi.”
Perlahan-lahn Nyai Argajaya mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Terima kasih, Wangi. Sejak peperangan itu, baru sekarang aku dapat mempercayai seseorang. Aku mengenalmu baik-baik. Aku percaya bahwa kau masih Pandan Wangi yang dulu.”
“Tentu, Bibi,” sahut Pandan Wangi yang sejenak kemudian menatap wajah Gupita sambil mengangguk kecil.
“Kita kembali.”
Gupita  pun mengangguk pula.

Pandan Wangi dan Gupita  pun segera minta diri setelah ia berjanj untuk mencegah para pengawal mengguncang-guncang lagi hati perempuan yang malang itu. Begitu Pandan Wangi dan Gupita keluar dari regol halaman, mereka segera melihat beberapa sosok tubuh di sela-sela gerumbul-gerumbul liar yang tumbuh di sana-sini. Sadarlah mereka bahwa para pengawal yang mencemaskan nasib mereka, telah mengadakan pengawasan sebaik-baiknya. Mereka siap bertindak apabila keadaan menjadi semakin gawat.
Pandan Wangi dan Gupita berpandangan sejenak. Kemudian terdengar Gupita berbisik,
“Mereka adalah pengawal-pengawal yang baik.”
“Terlau baik,” sahut Pandan Wangi. Gupita terdiam. Tetapi kepalanya terangguk-angguk. Keduanya  pun kemudian meloncat ke punggung kuda masing-masing dan perlahan-lahan berjalan ke gardu di mulut lorong.
Para pengawal yang mengawasinya  pun kemudian mengikuti mereka pula, untuk mendengar apa yang telah mereka lihat di dalam rumah yang penuh dengan teka-teki itu. Di gardu, Pandan Wangi dan Gupita pun turun sejenak dari kuda-kuda mereka, untuk berbicara dengan para pengawal di gardu itu.
“Aku tidak melihat apa pun yang mencurigakan di rumah itu,” berkata Pandan Wangi.
“Kami juga tidak melihat,” berkata pemimpin pengawal.
“Karena itulah kami menganggap bahwa ada tempat-tempat rahasia yang tidak kami ketahui.”
“Kau salah,” jawab Pandan Wangi kemudian.
“Tidak ada tempat rahasia dan tidak ada orang-orang yang bersembunyi di dalam rumah itu.”
Pengawal itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia berkata,
“Sepintas lalu kita memang tidak melihat apa pun. Agaknya sudah dua kali atau lebih aku memasuki rumah itu. Dan aku memang tidak menemukan apa-apa. Tetapi setiap kali, sisa-sisa pasukan Tambak Wedi masih berkeliaran di sekitar padukuhan itu. Bahkan seperti yang sudah pernah aku katakan, satu-dua orang dari kami telah hilang. Apakah artinya ini?”
“Aku mengerti,” berkata Pandan Wangi,
“aku tidak menyangkal bahwa masih ada orang-orang yang berputus asa dan berbuat apa  pun tanpa tujuan, termasuk membunuh dan merampok. Tetapi mereka tidak bersembunyi di rumah bibi. Aku sudah bertemu dengan bibi. Dan aku percaya bahwa bibi berkata sebenarnya.”
Para pengawal itu saling berpandangan. Tetapi agaknya mereka tidak segera dapat mempercayai keterangan Pandan Wangi. Sehingga Pandan Wangi menjelaskan,
“Putra Paman Argajaya itu pun sudah lama tidak pulang. Bibi hidup dalam ketakutan dan kecemasan. Setiap saat ia selalu diganggu oleh perasaannya sendiri dan oleh peristiwa-peristiwa yang sangat menyakiti hatinya.” Pandan Wangi terdiam sejenak, kemudian,
“Dengarlah. Bukan aku tidak mempercayai kalian. Tetapi renungkan. Perhatian kalian hanya tertuju kepada rumah itu. Setiap kali kalian menyangka bahwa orang-orang itu bersembunyi di tempat yang rahasia di halaman rumah itu. Setiap ada seorang pengawal hilang, mau tidak mau, menurut perhitungan kalian, orang-orang yang menyergapnya bersembunyi di sana. Itu sudah titik tolak yang dapat mengaburkan usaha kalian, karena kalian sama sekali tidak menaruh perhatian pada tempat-tempat yang lain. Pada saat dengan marah kalian menggeledah rumah itu, maka orang-orang yang telah melakukan perbuatan jahat itu dengan enaknya tidur di tempat lain yang sudah pasti sama sekali tidak mendapat perhatian kalian, karena kalian sudah beranggapan mutlak, bahwa rumah itulah satu-satunya tempat mereka bersembunyi.”
“Tetapi,” pemimpin pengawal itu masih tidak puas,
“salah seorang dari kami pernah melihat seseorang meloncat masuk ke dalam rumah itu.”
“Itulah kecakapan mereka. Mereka memang membuat kesan seolah-olah rumah itu adalah tempat persembunyian yang paling baik bagi mereka.”

Para pengawal yang ada di sekitar gardu dan di regol itu  pun mencoba merenungkan kata-kata Pandan Wangi. Satu-dua orang mulai mengangguk-anggukkan kepalanya. Bahkan kemudian pemimpin mereka  pun berkata,
“Masuk akal juga. Selama ini kami memang hanya mengawasi rumah itu sehingga kami kurang memperhatikan kemungkinan-kemungkinan lain.”
“Nah, sejak sekarang bertindaklah lebih cermat,” berkata Pandan Wangi.
“Awasi orang-orang yang masih berkeras hati itu dengan saksama.”
“Baik,” jawab pemmpin rombonaan itu.
“Aku akan segera kembali,” berkata Pandan Wangi kemudian.
“Apakah kalian memerlukan beberapa orang untuk mengawani perjalanan kalian,” bertanya pemimpin pengawal.
Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Tidak sesadarnya dipandanginya bulak yang terbentang di hadapannya. Namun sebelum Pandan Wangi menjawab, Gupita sudah mendahului,
“Kami tidak akan menyulitkan kalian.”
“Itu tugas kami,” jawab pemimpin pengawal itu.
“Dalam perjalanan kembali mungkin kalian akan berpapasan dengan mereka dalam jumlah yang tidak seimbang. Apalagi kalian berdua.”
“Kami mempergunakan kuda-kuda kami, sehingga apabila orang-orang itu tidak berkuda, kesempatan untuk membebaskan diri cukup besar,” Gupita berhenti sejenak, dan Pandan Wangi menyahut,
“Sudah tentu orang-orang itu tidak mempergunakan kuda. Bukankah begitu?”
“Ya, mereka memang tidak berkuda.”
“Karena itu, biarlah kami pergi berdua”
Para pengawal itu  pun mengangguk-anggukkan kepala mereka, dan pemimpin mereka berkata,
“Baiklah.”
Pandan Wangi dan Gupita  pun kemudian minta diri meninggalkan padukuhan yang masih belum terkuasai seluruh segi-segi kehidupannya itu. Namun demikian, kekerasan-kekerasan yang berpengaruh sudah tidak lagi pernah terjadi. Pandan Wangi dan Gupita itu pun segera meninggalkan padakuhan itu, melalui jalan di tengah-tengah sawah yang luas. Matahari sudah menjadi kian tinggi sehingga panasnya sudah mulai mengusik kulit. Sepanjang jalan, dada Gupita selalu berdebar-debar. Semakin lama bulak yang dilaluinya menjadi seakan-akan semakin pendek. Kalau mereka melampaui padesan dan pategalan yang terletak beberapa puluh langkah dari jalan ini, kemudian sampai di lengkungan jalan di sebelah susukan, maka kesempatannya menjadi eemakin sempit. Karena itu, meskipun dadanya serasa akan retak, namun dipaksakannya juga untuk mencoba menyampaikan pesan Gupala itu kepada Pandan Wangi, meskipun dengan ancang-ancang yang panjang. Hampir segenap tubuh Gupita menjadi basah oleh keringat. Bukan saja karena panas matahari yang semakin tinggi, tetapi juga karena gejolak di dalam dadanya.
“Persetan,” Gupita menggeram di dalam hatinya,
“bukan untuk kepentinganku sendiri. Apa pun akibatnya, bukan menjadi tanggung jawabku. Aku hanya akan menyampaikan hasilnya saja kepada Gupala.”
Dengan demikian, maka akhirnya Gupita telah memaksa dirinya sendiri dengan mengerahkan segenap kemanpuan yang ada padanya.
“Pandan Wangi,” suaranya gemetar,
“kenapa kau begitu tergesa-gesa?”
Pandan Wangi berpaling. Ia melihat kegelisahan di wajah Gupita.
“Apakah aku tergesa-gesa?” ia bertanya.
“Kita berkuda terlampau kencang,” jawab Gupita.
Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Katanya,
“Kita berada di daerah yang belum kita ketahui keadaan yang sebenarnya.”
“Tetapi daerah ini sudah aman.”
Pandan Wangi mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Mungkin. Tetapi bukankah menurut keterangan para pengawal masih juga ada satu-dua orang yang sering mengganggu di daerah ini?”
“Ya,” jawab Gupita, “tetapi, tetapi, perlambatlah kudamu.”
Pandan Wangi menjadi heran. Namun tanpa sesadarnya ia  pun menarik kendali kudanya dan dengan demikian maka perjalanan mereka  pun menjadi semakin lambat.
“Pandan Wangi,” suara Gupita menjadi semakin gemetar, sehingga Pandan Wangi  pun menjadi semakin berdebar-debar.
Hampir meledak Gupita kemudian berkata, “Ada sesuatu yang ingin aku katakan, Wangi.”
Kini dada Pandan Wangi benar-benar berdesir tajam. Dipandanginya wajah Gupita sesaat, kemudian kepalanya tertunduk dalam-dalam. Tetapi Gupita menyadari keadaan dirinya. Betapa  pun kegelisahan melanda jantungnya, namun ia masih berusaha untuk tidak menumbuhkan salah paham, sehingga dengan suara gemetar ia berkata,
“Bukankah sudah aku katakan, bahwa Gupala sekarang menjadi semakin dewasa?”
Pandan Wangi tiba-tiba mengangkat wajahnya. Kerut-merut di keningnya membayangkan seribu satu macam pertanyaan.
“Pandan Wangi,” berkata Gupita tergagap,
“apakah kau mau kita berhenti sebentar, supaya aku tidak salah mengucapkan kata-kata?”
Pandan Wangi tidak menjawab. Dadanya menjadi semakin berdebar-debar. Tetapi ia menganggukkan kepalanya.

Maka sejenak kemudian mereka  pun telah menghentikan kudanya. Gupita yang meloncat turun lebih dahulu dari kudanya berkata,
“Turunlah. Bukankah kau masih mempunyai sedikit waktu.”
Kini tiba-tiba saja tubuh Pandan Wangi  pun menjadi gemetar. Perlahan-lahan ia turun dari kudanya. Sebagai seorang gadis yang dewasa, maka ia sudah dapat menduga apa yang akan dikatakan oleh Gupita. Namun justru karena itu, maka Pandan Wangi menjadi semakin berdebar-debar. Gupita yang sudah basah kuyup oleh keringatnya itu mencoba untuk menenangkan hatinya. Disekanya keringat di keningnya. Lalu katanya,
“Pandan Wangi, aku tidak tahu bagaimana aku akan mengatakannya. Tetapi aku sebenarnya membawa pesan dari Gupala. Itulah sebenarnya, mengapa aku memaksamu untuk pergi berdua.”
Sepercik warna merah membayang di wajahnya, sedang kepalanya  pun mejadi semakin tunduk karenanya. Namun demikian, terjadi juga kejutan yang menghentak di dada Pandan Wangi. Gupita sekedar membawa pesan Gupala. Apa yang akan dikatakan oleh Gupita adalah ungkapan perasaan Gupala.
“Kenapa?” sebuah pertanyaan telah menyentuh hatinya.
“Kenapa Gupita tidak mengatakan tentang dirinya sendiri?”
Meskipun demikian sebuah keragu-raguan telah mengisruhkan perasaannya pula. Gupala memang mempunyai kesan yang tersendiri. Seorang periang dengan hati terbuka.
“Tetapi kenapa ia tidak mengatakannya sendiri?”
Dalam kebimbangan itu terdengar Gupita berkata,
“Pandan Wangi, bukankah kau bersedia mendengarkannya. Sebagai seorang saudara tua aku memang wajib menolongnya, memecahkan kesulitan yang selalu mengganggunya siang dan malam.”
Pandan Wangi tidak menjawab. Tetapi kepalanya kini menjadi semakin menunduk. Gadis yang membawa sepasang pedang itu  pun kemudian perlahan-lahan duduk di bawah sebuah gerumbul perdu. Setitik air matanya jatuh di pangkuannya. Dengan jari-jarinya gadis itu mengusap sudut matanya yang membasah. Gupita menjadi semakin gelisah. Ia memang tidak biasa menghadapi seorang gadis yang sedang menangis. Karena itu, maka ia pun berjalan hilir-mudik di belakang Pandan Wangi. Keduanya sama sekali sudah tdak ingat lagi kepada sisa-sisa pasukan Ki Tambak Wedi. Keduanya sudah tidak ingat lagi bahwa kadang-kadang masih saja ada satu-dua orang yang hilang di dalam perjalanan dari padukuhan yang baru ditinggalkannya ke padukuhan di seberang bulak yang panjang itu. Pandan Wangi yang duduk di bawah gerumbul perdu itu tidak segera dapat menjawab. Terasa hatinya menjadi kacau. Sebenarnya kerisauan itu sudah lama membayanginya. Kedua anak-anak muda itu memang mempunyai kelebihannya masing-masing. Namun bagi Pandan Wangi, Gupita pernah dikenalnya lebih dahulu, sehingga pahatan yang ada di dinding jantungnya, agak lebih dalam dari adiknya yang menyusul kemudian. Sekilas bahkan terbayang seorang anak muda yang bertubuh raksasa, Wrahasta. Anak muda yang malang itu sama sekali tidak berhasil menggetarkan hatinya, meskipun di saat terakhir ia terpaksa menganggukkan kepalanya, Pandan Wangi sama sekali tidak menyangka, bahwa anggukan kepela itu, anggukan yang hanya dilakukannya sekali, telah membekas pula di dalam hatinya.
“Seandainya saat itu Wrahasta dapat ditolong,” pertanyaan itu  pun selalu mengejarnya,
“apakah yang akan aku lakukan.”
Kini ia dihadapkan pula pada persimpangan jalan.
“Tetapi kedua-duanya adalah kakak-beradik, meskipun menurut dugaanku hanya sekedar kakak-beradik seperguruan,” desis Pandan Wangi di dalam hatinya.

Namun demikian sudah barang tentu, Pandan Wangi tidak akan dapat mempertentangkan keduanya. Kini Gupita datang kepadanya, menyatakan perasaan yang tersimpan di dalam hati, tapi hati adiknya. Gupala. Pandan Wangi memang menjadi bingung. Ia tidak tahu, manakah yang lebih menggembirakan hatinya. Apakah Gupita menyatakan perasaannya sendiri, atau seperti yang dilakukannra kini. Gupita  pun menjadi semakin gelisah karenanya. Bahkan kadang-kadang jantungnya serasa berhenti mengalir. Ketika Pandan Wangi duduk tertunduk, tanpa sesadarnya, dipandanginya gadis itu. Dalam sekilas, kenangannya langsung melontar ke Sangkal Putung. Tanpa dikehendakinya sendiri, Gupita  pun mulai membandingkan kedua gadis itu.
“Pandan Wangi mempunyai banyak kelebihan,” terdengar kata-kata itu terlonjak di dasar hatinya.
“Anak ini mampu bermain pedang,” kata-kata itu terdengar terus,
“tetapi ia sama sekali bukan seorang anak yang manja dan tinggi hati. Ia tahu benar kuwajibannya. Baik sebagai seseorang yang berpedang, maupun sebagai seorang gadis. Sambil menyandang pedang, Pandan Wangi berjongkok di muka api menanak nasi dan merebus air.”
Tetapi Gupita tergagap ketika tiba-tiba saja Pandan Wangi mengangkat wajahnya dan berpaling. Benturan pandangan mata mereka, membuat keduanya menjadi gemetar. Untuk mengusir kesan yang tersirat di wajahnya, Gupita berkata dengan gugup,
“Bagaimana, Wangi. Aku sudah mengatakan apa yang harus aku katakan. Sekedar pesan Gupala.”
Pandan Wangi masih belum menjawab. Tatapan matanya yang membentur pandangan Gupita itu  pun segera dilemparkannya jauh-jauh ke tengah-tengah sawah yang tidak terpelihara itu. Namun demikian serasa jantungnya berdenyut semakin cepat, sehingga dadanya seakan-akan menjadi pepat. Gupita masih saja berdiri tegak di belakang Pandan Wangi. Tetapi kini ia tidak berani menatap rambut yang hitam yang bergerak-gerak dibelai angin. Apabila sekali lagi Pandan Wangi berpaling dan menatap matanya, mungkin ia akan terbungkam untuk selanjutnya.
“Kau belum menjawab, Pandan Wangi,” desak Gupita yang gelisah.
Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Dicobanya untuk menenangkan hatinya yang bergolak. Karena ia tidak segera menemukan jawaban, maka tiba-tiba saja ia bertanya,
“Siapakah kalian sebenarnya?”
Pertanyaan itu benar-benar mengejutkan Gupita, sehingga kini ia lah yang tidak segera dapat menjawab.
“Aku akan menjawab pertanyaanmu apabila aku tahu pasti, siapakah sebenarnya kalian. Siapakah kau, siapakah Gupala, dan siapakah gembala tua itu.”
Gupita masih tetap berdiam diri. Kegelisahannya menjadi semakin meningkat. Sementara itu Pandan Wangi masih saja duduk memandang ke kaki langit di kejauhan.

Sejenak mereka berdua saling berdiam diri. Hanya desah nafas dan detak jantung masing-masing sajalah yang terdengar di sela-sela desir angin. Namun tiba-tiba mereka dikejutkan oleh gamerisik di seberang jalan di belakang mereka, sehingga dengan gerak naluriah mereka meloncat berdiri dan siap menghadapi segala kemungkinan. Yang telah mereka lupakan itu tiba-tiba kini berada di hadapan mereka. Enam orang dengan senjata telanjang di tangan masing-masing. Salah seorang dari mereka adalah seorang anak yang masih sangat muda. Namun dengan tangkasnya ia merundukkan pedangnya sambil berkata lantang,
“Tak ada gunanya kalian melawan.”
Pandan Wangi terkejut bukan kepalang. Tanpa sesadarnya ia memekik,
“Prastawa. Kaukah itu?”
Anak yang masih terlampau muda itu menganggukkan kepalanya. Jawabnya,
“Ya, aku, Kenapa?”
“Aku baru saja datang mengunjungi bibi. Kau sangat ditunggu oleh bibi, dan bahkan oleh paman.”
Tiba-tiba saja anak itu tertawa. Suara tertawanya meninggi dan menyakitkan hati. Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Ia melihat perubahan yang tajam pada adik sepupunya itu.
“Apakah ini putera Ki Argajaya?” Gupita berbisik.
Pandan Wangi menganggukkan kepalanya. Gupita tidak bertanya lagi. Tetapi ia harus mempunyai cara yang disesuaikan dengan lawan yang dihadapinya.
“Aku sekarang tidak dapat mempercayai siapa pun. Kau juga tidak,” berkata anak muda itu lantang.
“Aku hanya percaya kepada diriku sendiri.”
Pandan Wangi tidak segera menyahut. Tetapi ia mencoba mengenal kawan-kawan adik sepupunya itu seorang demi seorang.
“Semula aku tidak menyangka bahwa kaulah yang lewat berdua di jalan ini. Aku kira kau berdua adalah sebangsa cucurut penjilat yang memuakkan, sehingga aku memutuskan untuk membunuh saja kalian berdua dan kubawa kepalamu sebagai pangewan-ewan ke padepokan. Tetapi aku tertegun ketika aku mengenal kau. Aku menjadi ragu, apakah aku akan membunuhmu atau tidak. Namun agaknya keadaanmu yang memuakkan pula itu telah mendorong aku untuk meneruskan rencana ini. Kau sudah bercumbu dengan orang asing ini. Tanpa malu-malu kau sudah melakukan perbuatan tercela di tengah jalan meskipun kau yakin bahwa jalan ini terlampau sepi. Seandainya yang menemukan kau bukan aku, tetapi para perondamu sendiri pun, kau akan dicela dan ditandai dengan noda hitam di keningmu. Apalagi kau puteri Kepala Tanah Perdikan Menoreh yang hampir mati itu.”
“Prastawa,” suara Pandan Wangi menyentak,
“jangan salah sangka. Seharusnya kau bertanya, apa yang sedang aku lakukan.”
“Kenapa aku harus bertanya? Aku sudah melihat apa yang terjadi. Kau menyesali dirimu sendiri, sehingga kau menangis. O, kau sudah menodai nama baik Tanah Perdikan ini. Karena itu, kalian berdua harus mati.”
“Apa yang harus aku sesali?” bertanya Pandan Wangi lantang.
“Tentu tentang dirimu sendiri. Tetapi yang sudah teranjur itu tidak akan dapat kau perbaiki. Apakah aku harus mengatakan? Apakah aku harus menunjuk percikan lumpur di wajahmu. He, apa yang kalian kerjakan di semak-semak perdu itu? Lalu kenapa kau menangis? Jelas?”
“Prastawa!” Pandan Wangi hampir menjerit.
“Kau sudah kehilangan nalar.”
Tetapi anak muda itu tertawa berkepanjangan. Katanya kemudian,
“Sebagai seorang adik, aku malu sekali mempunyai kakak perempuan seperti kau. Sebagai orang Menoreh, aku merasa tersinggung, bahwa kau sudah menyerahkan dirimu pada orang asing, dan sebagai putera ayah, Ki Argajaya, aku memang harus membalas dendam.”

Tiba-tiba tubuh Pandan Wangi menjadi gemetar. Tuduhan yang terlampau keji itu telah menddihkan darahnya, sehingga hampir saja ia kehilangan pengamatan diri. Sebagai seorang gadis, ia tersinggung sekali oleh kata-kata adik sepupunya. Apalagi semuanya itu tidak benar sama sekali.
“Prastawa,” berkata Pandan Wangi dengan suara gemetar,
“kau jangan asal berbicara saja. Kau salah sama sekali. Tidak terjadi apa pun di sini.”
Tetapi suara tertawa anak itu benar-benar menyakitkan hati. Dalam pada itu, Gupita agak lebih mengendalikan perasannya daripada Pandan Wangi, karena Gupita bukan seorang gadis. Kini justru ia berhasil mengatur detak jantungnya yang semula berdentangan di dadanya.
“Ki Sanak,” ia mencoba berkata sareh,
“Pandan Wangi memang menitikkan air mata. Tetapi sama sekali tidak seperti yang kau duga. Kami berdua baru saja datang mengunjungi ibumu dengan maksud yang sebaik-baiknya. Semula ibumu tidak dapat menerima kami, namun perlahan-lahan ia dapat menyadari keadaannya.”
“Omong kosong!”
“Tunggu, aku belum selesai,” potong Gupita.
“Namun sebuah penyesalan yang dalam telah mengganggu perasaan Pandan Wangi, karena usahanya untuk membawamu menghadap Ki Argajaya gagal.”
“O,” anak muda itu berteriak,
“jangan kalian sangka aku anak kecil yang masih ingusan. Sekarang jangan banyak bicara. Tindakan kalian telah menodai Tanah Pendikan Menoreh. Kalian telah membuat tanah di sekitar tempat ini menjadi sangar dan gersang. Karena itu, tebusannya adalah darah kalian. Kalau darah kalian berhasil menyiram tanah ini, maka tanah ini akan menjadi subur kembali. Dosa kalian sudah kalian tebus dengan darah merah kalian.”
Gupita menarik nafas dalam-dalam. Anak ini agaknya sudah tidak dapat diajak berbicara lagi.
“Ayo kawan-kawan,” berkata anak muda itu,
“kita selesaikan saja orang-orang ini.”
“Tunggu,” berkata Gupita,
“aku tidak menyangka bahwa kau dapat berbuat demikian. Ketika kami melukai Ki Peda Sura, kau agaknya masih dapat berpkir bening. Kau waktu itu bersikap sebagai seorang adik yang baik. Tetapi kenapa tiba-tiba saja kau sudah berubah?”
Anak muda itu mengerutkan keningnya. Sejenak ia berdiam dan merenungkan kata-kata Gupita itu. Namun dalam pada itu seorang yang bertubuh tinggi kurus berdesis,
“Jangan hiraukan. Mereka sekedar ingin dihidupi.”

Anak yang masih sangat muda itu berpaling. Ditatapnya wajah orang yang tinggi kurus itu sejenak. Dan orang yang tinggi kurus itu masih berkata terus,
“Bukankah setiap orang Menoreh akan berkata demikian apabila maut telah menyentuhnya? Itu semua hanya omong kosong. Kalau kesempatan itu datang, maka kaulah yang akan dibunuhnya.”
Anak muda itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Bahkan sejenak kemudian terdengar suara tertawanya mengejutkan. Katanya lantang,
“Ya. ya. Kau benar. Hampir saja aku tertipu oleh orang ini.”
Tetapi Gupita masih tetap berhasil menguasai perasaannya. Katanya,
“Apakah setiap orang akan berkata kepadamu bahwa kau pernah mempertahankan namanya di hadapan pasukanmu sendiri? Tetapi itu benar-benar kau lakukan atas kakakmu Pandan Wangi. Bukankah kau saat itu tampak bertengkar dengan pimpinan pasukanmu karena pemimpinmu itu menghina Pandan Wangi justru karena Pandan Watutgi berhasil melukai Ki Peda Sura?”
Sekali lagi anak yang masih terlampau muda itu berkerut-merut. Tetapi sekali lagi orang yang tinggi kurus itu berkata,
“Kau sudah dipengaruhinya. Kau sudah mulai menyentuh getah yang akan dapat menjeratmu. Berusahalah untuk melepaskan diri. Buat apa kita berbicara terlampau banyak? Kalau keduanya sudah mati maka kau akan berkesempatan mempertimbangkan kebenaran kata-kataku. Apalagi keduanya telah membuat Tanah ini menjadi sangar dan gersang karena tindakannya yang tidak tahu malu.”
“Ya, ya. Aku mengerti. Kau memang benar. Orang-orang ini harus dibunuh.”
“Apakah kau meyakini kata-kata orang kurus yang sedang berputus asa itu,” tiba-tiba Gupita menyela.
“Jangan hiraukan. Bunuh saja,” teriak yang kurus.
“Dengar. Kata-katanya tidak menentu,” sahut Gupita.
“Kalau ia tidak sedang berputus asa, ia pasti mau mendengarkan kata-kataku.”
“Omong kosong! Kau sedang dipengaruhi. Kedua orang itulah yang sedang berputus asa.”
“Tentu tidak,” berkata Gupita.
“Bukan kami yang berputus asa. Kami yakin akan kemampuan kami. Ki Peda Sura dapat kami kalahkan. Siapa lagi?”
“Tetapi kami bukan Ki Peda Sura. Ki Peda Sura pun tidak akan mampu melawan kami berenam,” berkata orang yang kurus itu.
“Sekarang jangan berbicara lagi. Berdoalah, supaya arwahmu tidak tersesat ke api neraka.”
Gupita menarik nafas dalam-dalam. Agaknya orang yang tinggi kurus ini sangat berpengaruh atas putera Ki Argajaya, sehingga anak muda itu hampir tidak berkesempatan untuk merenungkan dirinya sendiri. Karena itu maka ia berkeputusan, apabila keadaan terpaksa, maka orang yang tinggi kurus ini harus di pisahkan dari putera Ki Angajaya itu. Sebenarnyalah bahwa Gupita memang tidak sempat untuk berbicara lagi. Orang-orang itu sudah siap untuk menyergap mereka dengan senjata masing-masing.
“Tidak ada jalan lain,” bisik Gupita,
“kita memang harus membela diri.”
Pandan Wangi mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Sayang anak itu.”
“Ia masih mempunyai harapan. Orang yang tinggi kurus itu harus dipisahkan daripadanya.”
“He,” teriak orang yang tinggi kurus ini, “apa yang kau katakan?”
“Kami sedang membicarakan kau. Dan kami berkeputusan untuk memisahkan kau dari putera Ki Argajaya. Hari depannya masih panjang dan penuh harapan. Agaknya kau memang sudah meracuninya perlahan-lahan, sehingga anak itu tidak mau kembali kepada ibu dan ayahnya.”
“O, jangan mengigau,” orang yang tinggi kurus itu tiba-tiba saja sudah menyerang. Ternyata ia tangkas juga menggerakkan pedangnya. Yang pertama-tama menjadi sasarannya adalah Gupita. Dengan demikian maka kawan-kawannya yang lain pun segera berloncatan menyerang pula. Beberapa orang bergeser mengambil arah yang yang lain. Tetapi Pandan Wangi pun tidak tinggal diam. Segera ia meloncat menjauhi Gupita, sedang sepasang pedangnya pun telah berada di dalann genggaman.
Seperti yang sudah mereka duga, bahwa mereka masing-masing akan berhadapan dengan tiga orang. Ternyata putera Ki Argajaya itu memilih Gupita sebagai lawannya. Ada sesuatu yang menahannya untuk bertempur melawan kakak sepupunya itu. Gupita pun harus menarik senjatanya pula. Anak muda itu cukup lincah. Pedangnya berputaran di antara kedua senjata kawan-kawannya. Sejenak kemudian menggeletarlah suara cambuk Gupita memenuhi udara. Suaranya serasa tidak segera mau lenyap dari pendengaran. Suara itu seakan-akan berdesing-desing seperti lebah yang terbang di sekitar lubang telinga. Tetapi lawan-lawannya ternyata orang-orang yang keras hati. Dengan sepenuh kemampuan mereka menyerang Gupita dari segala arah. Namun bagi Gupita sendiri, orang yang kurus itulah yang menjadi sasaran utamanya. Ia harus dipisahkan dari putera Ki Argajaya. Dengan demikan, maka ujung cambuk Gupita seolah-olah selalu mengejarnya. Kemana ia meloncat, terasa ujung cambak itu selalu mengikutinya.
“Setan alas!” ia menggeram. Tetapi ia tidak berdaya. Ujung cambuk itu benar-benar selalu mengejar.

Orang yang tinggi kurus itu sudah berusaha untuk menebas ujung cambuk Gupita dengan pedangnya. Tetapi ia sama sekali tidak berhasil. Menyentuh pun terlampau sulit baginya, karena ujung cambuk itu menyambar kemudian meledak dan seolah-olah meloncat menjauh dengan kecepatan yang tidak dapat diperhitungkan. Secepat kilat yang berloncatan di langit. Semakin lama orang yang tinggi kurus itu merasa, bahwa ia benar-benar terancam. Terhadap lawan-lawannya yang lain Gupita seakan-akan hanya sekedar membela dirinya. Ia hanya sekedar menghindar dan kadang-kadang menghalau mereka menjauh. Tetapi terhadap yang tinggi kekurus-kurusan ini senjatanya benar-benar menyerang. Ketika ujung cambuknya berhasil menyentuh kulit orang yang kekurus-kurusan itu, maka terdengarlah keluhan yang tertahan. Bukan saja lengan bajunya yang sobek karenanya, tetapi ternyata kulitnya pun terkelupas pula sehingga darahnya segena mengalir memerahi pakaiannya.
“Setan alas!” ia mengumpat pula.
Namun ujung cambuk Gupita tidak juga berpindah daripadanya. Apalagi putera Ki Argajaya yang masih sangat muda itu. Meskipun ia tidak kalah lincah dan berbahaya dari kawan-kawannya, namun Gupita seakan-akan tidak pernah bersungguh-sungguh menyerangnya. Tiba-tiba orang yang tinggi kurus itu merasa, bahwa Gupita benar-benar ingin membinasakannya, seperti yang sudah dikata-katanya, memisahkannya dari putera Ki Argajaya. Karena itu, maka ia merasa terancam untuk tetap berkelahi melawan Gupita. Dengan demikian maka tiba-tiba ia meloncat surut dan berpindah ke lingkaran perkelahian yang lain sambil menyuruh seorang kawannya menggantikan tempatnya.
“Huh, kalian tidak segera berbasil menyelesaikan perempuan ini,” katanya.
“Tahanlah dahulu anak dungu itu. Aku akan menyelesaikannya. Kemudian kita bantai bersama-sama kawan laki-lakinya itu.”
Kawannya sama sekali tidak berprasangka apa pun. Ia  pun segera meninggalkan Pandan Wangi dan bergabung dalam lingkaran perkelahian yang lain, bersama putera Ki Argajaya. Melihat kehadiran orang yang tinggi kurus itu Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Tiba-tiba ia teringat kata-kata Gupita, bahwa orang inilah agaknya yang telah meracuni jiwa adiknya. Terngiang di telinganya suara Gupita,
“Ia masih mempunyai harapan. Orang yang tinggi kurus itu harus dipisahkan daripadanya.”
Tiba-tiba Pandan Wangi menggeretakkan giginya. Agaknya memang orang inilah yang selama ini telah menghasut adik sepupunya, sehingga adiknya itu seakan-akan menjadi liar. Sejenak kemudian maka kedua ujung pedang Pandan Wangi pun seakan-akan selalu mengitari tubuh orang itu. Pandan Wangi tidak lagi menaruh minat kepada kedua lawannya yang lain. Seperti Gupita ia hanya sekedar menghindar dan menangkis serangan kedua lawan-lawannya yang lain, tetapi serangan-serangannya dipusatkannya kepada orang yang tinggi kurus itu. Sesaat setelah orang yang tinggi kurus itu bergabung dalam lingkaran pertempuran yang baru, ia belum merasakan tekanan ujung pedang Pandan Wangi. Tetapi sejenak kemudian, orang itu terpaksa mengumpat-umpat lagi. Di dalam hatinya ia berkata,
“Setan betina ini pun agaknya memusatkan serangannya kepadaku.”
Semula orang yang tinggi itu bertanya-tanya kepada dirinya sendiri, kenapa serangan-serangan lawannya dipusatkannya kepadanya. Tidak kepada orang lain, dan tidak kepada putera Ki Argajaya. Namun akhirnya ia menyadari dirinya. Kedua orang itu memang menganggap dirinya sebagai penghasut atas putera Ki Argajaya, sehingga anak itu benar-benar berniat ingin membunuh mereka. Dengan demikian maka kedua orang itu pasti mendendamnya.


Halaman 1 2 3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar