Dalam kebimbangan, Pandan Wangi dan Gupita kemudian mengikat kuda-kuda mereka pada sebatang pohon perdu di halaman. Sejenak mereka saling berpandangan dan sejenak kemudian, mereka mengedarkan tatapan mata mereka ke seluruh sudut. Tetapi mereka tidak melihat sesuatu.
“Marilah kita
naik ke pendapa?” ajak Pandan Wangi.
Gupita tidak
menjawab, tetapi kepalanya terangguk ragu.
Keduanya pun kemudian
naik ke pendapa dengan hati-hati. Mereka memandang daun pintu yang tertutup itu
dengan tajamnya, seolah-olah ingin melihat apa yang tersembunyi di dalamnya. Memang
mungkin sekali terjadi, apabila pintu itu dengan tiba-tiba terbuka, ujung
senjata terjulur lurus-lurus ke dada mereka. Mungkin hanya sepucuk, tetapi
mungkin tiga atau empat atau bahkan sepuluh pucuk senjata. Tetapi pintu itu
tidak juga terbuka, bahkan ketika mereka telah berdiri terlampau dekat. Pandan
Wangi menjadi ragu-ragu sejenak. Namun kemudian ia berdesis,
“Aku akan
mengetuk pintu ini.”
Gupita
mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia pun maju selangkah dan berdiri hampir
merapat dinding, di sebelah pintu itu. Pandan Wangi mengangguk-angguk kecil.
Ternyata Gupita cukup berhati-hati meskipun sama sekali tidak terdengar sesuatu
di balik pintu itu Perlahan-lahan Pandan Wangi mengetuk pintu pringgitan yang
tertutup rapat. Namun terasa bahwa jari-jari tangannya agak gemetar.
Ia sudah
mengenal rumah itu seperti ia mengenal rumahnya sendiri. Ia sudah terlampau
sering datang sejak ia masih kanak-kanak, bermain-main dengan paman dan
bibinya. Pohon jambu di sudut halaman, pohon kanci yang besar dan pohon sawo
kecik di muka pendapa itu pun sudah
dikenalnya baik-baik. Ia sudah terlampau sering makan buah jambu dan sawo kecik
di halaman itu. Namun kini semuanya terasa sangat asing.
Ternyata
ketukan pintu tidak segera terjawab, sehingga Pandan Wangi mengulanginya sekali
lagi agak lebih keras. Dengan dada yang berdebar mereka pun kemudian mendengar langkah seseorang
mendekat pintu. Kemudian terdengar pula seseorang bertanya,
“Siapa di
luar?”
Pandan Wangi
segera mengenal, bahwa suara itu adalah suara bibinya. Karena itu maka ia pun menjawab,
“Aku, aku,
Bibi.”
Sejenak tidak
terdengar sesuatu di dalam rumah itu. Namun kemudian langkah itu pun mendekat
lagi. Kini mereka mendengar daun pintu itu berderit. Sejenak kemudian pintu itu
pun terbuka. Seorang perempun berdiri tegak di muka pintu. Seorang perempuan
dengan pakaian dan rambut yang kusut, muka yang pucat dan mata kemerah-merahan
oleh tangis. Perempuan itu terbelalak ketika ia melihat Pandan Wangi berdiri di
luar pintu. Sejenak ia berdiri tegak dengan dada yang berdebar-debar.
“Bibi, aku
datang Bibi?”
Tetapi
alangkah terperanjat Pandan Wangi ketika tiba-tiba ia melihat perempuan itu
menudingnya sambil berkata lantang hampir berteriak,
“He, betina
tidak tahu diri! Kenapa kau kemari, he? Apakah kau masih belum puas? Ayahmu
sudah mencelakakan suamiku, adiknya sendiri, adik kandungnya. Sekarang kau
datang membawa pedang dan seorang pengkhianat. Apakah kau ingin membunuh aku,
he? Ayo, bunuhlah aku sama sekali. Bunuh aku.”
Perempuan itu
kemudian berdiri bertolak pinggang. Matanya seakan-akan memancarkan api yang
menyala di dadanya. Bahkan kemudian ia melangkah maju sehingga Pandan Wangi
surut selangkah.
“Bibi,” desis
Pandan Wangi.
“Kau tdak usah
memanggil aku bibi. Kau tidak usah berpura-pura. Sekarang tarik pedangmu dan
tusukkan di dada ini.”
Pandan Wangi
justru berdiri mematung. Ia sama sekali tidak menyangka bahwa demikianlah
sambutan yang diterimanya dari bibinya, yang dikenalnya sebagai seorang yang
ramah dan baik. Seorang yang terlampau dekat dengan dirinya dan seluruh
keluarganya. Karena itu maka Pandan Wangi masih saja berdiri mematung. Ia tidak
segera dapat menyesuaikan dirinya dengan keadaan yang sama sekali tidak
diduganya lebih dahulu. Sedang bibinya masih saja menunjuk wajahnya sambil
berkata,
“Kenapa kau
diam saja? Ayo bunuh aku. Rumah ini bagiku tidak lebih dari neraka yang paling
jahanam. Suamiku telah difitnah orang, anakku laki-laki hilang sampai saat ini.
Setiap kali rumah ini dibongkar oleh berandal-berandal yang tidak tahu diri
itu. Dan sekarang kau lah yang datang ke rumah ini. Apakah kau mau membongkar
rumahku pula? Dan merampok sisa-sisa milikku yang masih ada?”
Pandan Wangi
tidak segera dapat menjawab. Bibinya sudah benar-benar menjadi orang lain.
“Ayo cepat,
lakukan yang kau ingini? Bukankah kau disuruh oleh ayahmu membunuh aku?”
Pandan Wangi
menarik nafas dalam-dalam. Dicobanya untuk mengatur perasaannya. Sekilas
dipandangnya Gupita yang berdiri termangu-mangu.
“Bibi,”
berkata Pandan Wangi kemudian,
“tidak ada
seorang pun yang menyuruh aku kemari.”
“Jadi, kau
datang kemari atas kehendakmu sendiri? Kalau demikian kau akan membunuh aku
atas keinginanmu?”
“Tidak, Bibi.
Aku sama sekali tidak ingin berbuat demikian.”
“Bohong! Ayo
cepat lakukan. Aku memang sudah jemu mengalami keadaan yang paling menyakitkan
hati. Orang yang sebelumnya setiap hari datang minta sesuap nasi kepadaku untuk
dirinya sendiri, untuk anak-anaknya, dan untuk seluruh keluarganya, orang yang
setiap kali datang meminjam segala macam kebutuhan hidup, orang yang
menggantungkan hidup keluarganya pada pekerjaan yang kuberikan, tiba-tiba saja
sudah memfitnah suamiku. Kini suamiku menjadi korban bersama-sama dengan
kemanakannya, Sidanti, dan anaknya sendiri. Anakku. Ternyata aku kini hidup
dalam sarang serigala yang liar dan buas. Yang tidak lagi mengenal kebaikan
hati dan peradaban.”
Pandan Wangi
menggelengkan kepalanya. Kini nafasnya sudah menjadi semakin teratur dan
perasaannya tidak lagi bergejolak tidak menentu. Ia sudah semakin mapan
menanggapi sikap bibinya. Karena itu, maka katanya,
“Bibi, kita
semua menyesal atas apa yang sudah terjadi. Kini ayah sedang terluka parah.
Bahkan bangun pun ayah sama sekali tidak mampu.”
“Itu adalah
karena salahnya sendiri.”
“Mungkin,
Bibi. Mungkin ayah sudah bersalah. Tetapi yang melukai ayah itu adalah orang
yang pernah melukai hatinya beberapa puluh tahun yang lampau.”
“Omong kosong!
Seandainya benar demikian, dendamnya, sudah membakar Tanah Perdikan ini.
Adiknya, anaknya, kemanakannya dan semua orang di atas Tanah Perdikan ini harus
mengalami akibat yang paling pahit.”
“Bibi,” jawab
Pandan Wangi,
“tidak seorang
pun yang menghendaki hal itu terjadi. Ayah, paman, Kakang Sidanti, aku, dan
juga Bibi. Tetapi tanpa dapat dicegah lagi, api sudah menjalar di seluruh Tanah
Perdikan ini.”
“Ayahmulah
sumber dari bencana ini.”
“Mungkin orang
lain menganggapnya demikian, Bibi. Tetapi, ayah adalah orang yang paling
menyesalkan kejadian ini. Ia adalah Kepala Tanah Perdikan ini. Berapa puluh
tahun ayah merintis Tanah ini sehingga menjadi sebuah Tanah Perdikan yang baik.
Sudah tentu, bukan maksud ayah untuk menghancurkau Tanah ini seperti apa yeng
terjadi sekarang. Kalau ayah dianggap bersalah, kesalahan ayah adalah
menyerahkan Kakang Sidanti kepada Ki Tambak Wedi. Apakah Bibi mengetahui
siapakah Ki Tambak Wedi itu?”
Nyai Argajaya
mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia berkata,
“Aku tidak
peduli siapakah orang yang bernama Ki TambaK Wedi. Aku tidak peduli siapa pun.
Tetapi keluargaku kini sudah hancur. Hancur sama sekali. Karena itu, kalau kau
akan membunuh aku, bunuhlah.”
Pandan Wangi
menjadi agak bingung kembali menanggapi sikap bibinya. Bibinya seolah-olah
sudah tidak mau mendengar apa pun lagi.
Ia menjadi demikian berputus asa sehingga hari-hari mendatang adalah hari-hari
yang gelap baginya. Dalam pada itu, tiba-tiba Pandan Wangi mengangguk-anggukkan
kepalanya. Kemudian katanya,
“Bibi. Aku mengharap
bibi dapat mendengarkan kata-kataku. Aku datang kemari karena aku diutus oleh
Paman Argajaya.”
“He?” mata
bibinya seakan-akan menjadi terbelalak karenanya. Namun kemudian,
“Omong kosong!
Kau juga sudah pandai berbohong. Aku tidak mau kau bohongi lagi.”
“Tidak, Bibi,
aku tidak berbohong,” jawab Pandan Wangi.
“Paman kini
berada di rumahku, Bibi.”
“Aku sudah
tahu, Kakang Argajaya sekarang sudah ditangkap dan sebentar lagi ia harus
digantung.” Perempuan itu berhenti sejenak, lalu suaranya tiba-tiba meninggi,
“Katakan!
Katakan kepada ayahmu, bahwa aku harus digantungnya pula bersama Ki Argajaya.
Mengerti?”
Tetapi Pandan
Wangi mnggelengkan kepalanya.
“Paman tidak
akan dihukum apa pun, karena ayah tahu, apa yang terjadi bukan semata-mata
kesalahan paman.”
Nyai Argajaya
mengerutkan keningnya.
“Paman
Argajaya adalah satu-satunya saudara sekandung ayah,” berkata Pandan Wangi
kemudian, lalu,
“dan sekarang
aku telah diutus oleh paman melihat-lihat keadaan rumah ini. Terutama putera
paman.”
Nyai Argajaya
tidak segera menjawab.
“Bibi jangan
terlampau berprasangka. Kalau ayah ingin melakukan tindakan kekerasan, bukan
akulah yang akan datang kemari. Aku adalah manusia yang mempunyai kenangan dan
cita-cita. Apakah aku dapat berbuat sesuatu atas Bibi yang begitu baik
terhadapku sebelum terjadi sesuatu? Di rumah ini aku merasa seperti di rumah
sendiri. Sepeninggal ibu, Bibi adalah ibuku.”
Nyai Argajaya
masih tetap berdiam diri. Ditatapnya wajah Pandan Wangi dengan sorot mata yang
aneh. Kadang-kadang dari sepasang mata perempuan itu memancar kebencian yang
tidak ada taranya. Namun mata itu kemudian redup seolah-olah padam sama sekali.
“Bibi,” desis
Pandan Wangi,
“apakah Bibi
dapat mengerti? Apakah Bibi masih dapat mengenal aku sebagai Pandan Wangi yang
sering benar berada di rumah ini sebelum terjadi kekisruhan di atas Tanah
Perdikan ini?”
Nyai Argajaya
masih tetap berdiam diri.
“Bibi, ayah
sama sekali tidak bermaksud jelek. Terhadap Bibi maupun terhadap paman. Ayah
masih memerlukan setiap tenaga yang ada untuk membangun Tanah yang sekarang
sudah menjadi abu ini. Anggaplah bahwa yang sudah terjadi itu akibat dari
kesalahan kita bersama.”
Tidak sepatah
kata pun yang terucapkan. Nyai Argajaya
kini berdiri sambil merenung. Kadang-kadang dipandanginya wajah Pandan Wangi,
namun kadang-kadang tatapan matanya terlontar jauh menerawang ke dunia
angan-angan dan kenangan.
“Bibi,” desis
Pandan Wangi kemudian,
“percayalah.
Aku masih Pandan Wangi yang dahulu. Aku datang mengunjungi Bibi seperti dahulu
aku bermain di rumah ini.”
Pandan Wangi
kemudian melihat mata Nyai Argajaya menjadi basah. Sekali-sekali perempuan itu
berpaling memandang Gupita yang berdiri termangu-mangu. Kemudian dipandanginya
sepasang pedang di lambung Pandan Wangi. Pandan Wangi yang mengikuti tatapan
mata bibinya seolah-olah dapat mengerti apa yang tersirat di dalam hati
perempuan itu. Karena itu maka katanya,
“Adalah karena
keadaan yang tidak menentu di sepanjang jalan maka aku membawa senjata ini,
Bibi. Aku memang pernah mendapat pengalaman pahit pada saat permulaan Tanah ini
mulai kemelut. Pada saat aku ingin berkunjung kemari, aku telah dicegat oleh
beberapa orang laki-laki tidak dikenal. Untunglah bahwa saat itu Paman Argajaya
menolong aku. Kalau tidak maka aku tidak akan dapat membayangkan aya yang
terjadi atasku.”
Tiba-tiba Nyai
Argajaya mengangkat wajahnya dan bertanya,
“Pamanmu yang
telah menolongmu?”
“Ya, Bibi.”
“Siapakah
laki-laki itu?”
“Aku tidak
tahu, Bibi. Mereka adalah laki-laki yang tidak dikenal di Tanah Perdikan ini.”
Nyai Argajaya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun kemudian ternyata bahwa air matanya
menjadi semakin banyak mengambang di matanya. Perlahan-lahan terdengar ia
berdesis,
“Aku memang
sudah mencoba untuk mencegahnya. Tetapi aku tidak berhasil.”
Pandan Wangi
mengerutkan keningnya. Dengan serta-merta ia bertanya,
“Apakah yang
pernah Bibi cegah?”
“Aku pernah
mencegah pamanmu menghubungi orang-orang yang tidak mengenal peradaban itu.
Kehadiran Ki Tambak Wedi di rumah ini memang menumbuhkan kecemasan di dalam
hatiku.”
Pandan Wangi
mengerutkan keningnya. Agaknya ia telah berhasil mengungkap perasaan bibinya
yang sebenarnya. Sehingga karena itu maka katanya,
“Ya, Bibi. Aku
mengerti, bahwa Bibi adalah Bibi yang aku kenal itu. Bibi yang mengerti banyak
masalah yang dapat tumbuh di atas Tanah Perdikan ini. Bukankah Bibi juga yang
pernah berceritera kepadaku, tentang lidi dan sapu lidi? Bukankah Bibi juga
yang berceritera kepadaku bahwa jari-jari tangan ini satu demi satu tidak
banyak berarti, tetapi apabila lima bersama-sama, maka artinya akan besar
sekali?”
Nyai Argajaya
terdiam sejenak.
“Bibi,” Pandan
Wangi kini maju selangkah,
“aku itulah
yang kini datang kepada Bibi.”
Sejenak Nyai
Argajaya berdiri mematung. Ditatapnya mata Pandan Wangi tajam-tajam. Namun
sejenak kemudian ia meloncat memeluk gadis itu. Meledaklah perasaannya yang
selama ini tertekan di dalam dadanya, sehingga rasa-rasanya dada itu akan
pecah. Tidak ada seorang pun yang dapat
dibawanya berbincang di dalam rumah ini, apalagi sekali-sekali jiwanya yang
risau itu masih juga digoncang-goncang oleh ketakutan dan kecemasan karena para
pengawal yang memeriksa seisi rumahnya, mencari orang-orang yang mereka sangka
bersembunyi di dalam rumah itu.
“Pandan
Wangi,” terdengar suara perempuan itu di sela-sela tangisnya,
“kau tidak
disuruh oleh ayahmu membunuh aku?”
Mata Pandan
Wangi pun menjadi basah pula. Meski pun tenggorokannya terasa tersumbat, namun ia
menjawab,
“Tentu tidak,
Bibi. Aku sengaja menengok Bibi sekaligus aku diutus oleb paman Argajaya
melihat apakah putera Bibi itu ada di rumah.”
Tangis Nyai
Argajaya menjadi semakin keras.
“Sudahlah,
Bibi,” Pandan Wangi mencoba menenteramkan hati bibinya,
“tidak ada
yang perlu ditangiskan. Semuanya memang harus terjadi demikian. Yang penting
kini, bagaimana masa-masa yang mendatang.”
“Masa yang mendatang
itu terlampau gelap bagiku, Pandan Wangi. Aku menyadari betapa besar kesalahan
pamanmu dan adikmu. Sebenarnya aku tidak dapat ingkar. Sejak kehadiran Ki
Tambak Wedi di rumah ini bersama Sidanti, maka aku sudah membayangkan bahwa
rumah tangga kecilku ini dan rumah tangga besar Tanah Perdikan Menoreh akan
guncang. Itulah sebabnya aku sudah mencoba mencegah pamanmu. Tetapi seperti kau
ketahui, Wangi, pamanmu adalah seorang yang keras hati. Ia tidak segera dapat
menerima pikiran orang lain, sehingga akhirnya ia sendiri terperosok ke dalam
keadaan seperti sekarang.”
Pandan Wangi
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian, ia berbisik,
“Bibi, apakah
tidak mempersilahkan aku dan kawanku masuk ke dalam?”
“O, tentu
Wangi. Tentu,” jawab Nyai Argajaya sambil melepaskan pelukannya. Namun titik
air di matanya masih juga melelah di pipinya. Dengan pandangan ragu, Nyai
Argajaya menatap wajah Gupita yang termanu-mangu.
Pandan Wangi
menangkap keragu-raguan yang tumbuh di dalam hati bibinya. Agaknya bibinya
memang belum pernah melihat anak muda itu. Karena itu maka Pandan Wangi
berkata,
“Anak muda itu
namanya Gupita, Bibi. Ia adalah seorang gembala menurut pengakuannya.”
“Kenapa
menurut pengakuannya?” bertanya Nyai Argajaya.
Pandan Wangi
mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia menjawab,
“Ya, ia memang
seorang gembala. Tetapi ia mendapat kepercayaan ayah. Karena itu, maka kali ini
ia harus mengantarkan aku menghadap Bibi, justru karena keadaan yang masih
belum tenang benar.”
Nyai Argajaya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian, “Silahkan masuk.”
Keduanya pun kemudian masuk ke dalam pringgitan yang
agak luas. Tetapi pringgitan itu hampir tidak terpelihara lagi. Dahulu, apabila
Pandan Wangi datang ke rumah itu, ia selalu merasakan tangan-tangan bibinya
yang mengatur setiap sudut rumah ini dengan tertib. Tetapi sekarang yang
dilihatnya adalah sarang laba-laba yang tersangkut pada dinding dan
langit-langit.
“Aku tidak
sempat lagi melakukan apa pun juga,” desis bibinya, seolah-olah ia tahu apa
yang terpercik di dalam hati Pandan Wangi.
“Bukan karena
aku tidak mempunyai waktu, tetapi hatiku sudah seolah-olah patah. Semuanya
lepas dari rumah ini. Dan aku tidak memerlukan apa-apa lagi.”
“Tidak, Bibi,”
jawab Pandan Wangi. “Semuanya masih dapat diharap.”
“Adikmu hilang
bersama-sama pasukan pamanmu yang tercerai-berai. Pamanmu tertangkap, sedang
orang-orang yang mendukungnya telah lenyap. Sidanti pun tidak lagi dapat
berbuat apa-apa, sepeninggal gurunya itu.”
“Kesalahpahaman
ini akan segera berakhir.”
“Apakah kau
berkata sebenarnya, Wangi.”
“Tentu, Bibi.
Aku berkata sebenarnya. Sejak Kakang Sidanti meninggalkan ayah, maka akulah
yang selalu dibawanya berbicara. Aku adalah orang yang paling dekat, sehingga
aku mengenal benar-benar jalan pikiran ayah. Itulah sebabnya aku mengetahui,
bahwa sebenarnya ayah tidak menaruh dendam. Seseorang yang menyesali
kesalahannya sampai ke dasar hatinya, dan berjanji untuk tidak mengulangi
kesalahan itu, memang wajib diberi kesempatan.”
Nyai Argajaya mengangguk-anggukkan
kepalanya.
“Ayahmu memang
orang baik, Wangi. Menilik sifat-sifatnya, mungkin ia berkata sebenarnya.”
“Aku yakin,
Bibi.”
“Tetapi
kadang-kadang aku menjadi putus asa. Pamanmulah, yang terlampau keras hati.”
Kepala perempuan itu tiba-tiba menunduk. “Ayahmu juga keras hati.”
“Kadang-kadang,
Bibi, tetapi untuk mempertahankan keyakinan dan kepentingan harga dirinya
pribadi. Tetapi sebagai Kepala Tanah Perdikan, ayah dapat menimbang-nimbang.
Apalagi kini ayah mendapat banyak kesempatan untuk menilai semua masalah yang
dihadapi. Karena luka-lukanya, sehingga ayah mempergunakan seluruh waktunya
untuk berbaring. Dengan demikian ayah tidak sekedar dikejar oleh kekecewaan
semata-mata karena Tanah yang selama ini dibinanya, telah menjadi abu. Tetapi
ayah sempat memikirkan, bagaimana masa depan dari Tanah Perdikan Menoreh ini.”
Nyai Argajaya
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Karena itu,
Bibi, maka aku telah datang kemari untuk mengunjungi Bibi dan membawa putera
Bibi menghadap ayah. Ayah tidak akan menghukumnya. Dan terlebih-lebih lagi
paman memang memerlukannya.”
Pandan Wangi
mengerutkan keningnya ketika ia melihat mata bibinya menjadi berkaca-kaca
kembali.
“Adikmu tidak
ada di rumah, Wangi. Sejak pertempuran di malam itu, ia seakan-akan hilang dari
padaku. Malam itu ia hanya singgah sejenak, mengambil beberapa potong pakaian.
Kemudian ia pergi lagi bersama beberapa orang yang sebagian dari mereka tidak
aku kenal.”
“Apakah anak
itu tidak mengatakan, kemana ia akan pergi?”
Bibinya
menjadi ragu-ragu. Tetapi kemudian ia menggeleng.
“Tidak,
Wangi.”
Pandan Wangi
menarik nafas dalam-dalam. Katanya,
“Aku
benar-benar telah diutus oleh paman, Bibi. Paman tentu akan sangat bersenang
hati apabila aku dapat membawanya.”
Nyai Argajaya
tidak segera menjawab. Namun dada Gupita lah yang menjadi berdebar-debar. Ia
sependapat dengan Pandan Wangi, seperti gurunya pernah berkata, bahwa Ki
Argajaya telah minta agar puteranya mendapat pengampunan, dan Ki Argapati sama
sekali tidak berkeberatan. Tetapi kalau anak itu dapat dibawanya bersama-sama
saat ini, maka ia akan kehilangan waktu.
“Hem,” Gupita
berkata di dalam hatinya,
“ternyata aku
telah dicengkam oleh masalah itu. Aku tidak sempat lagi memikirkan persoalan
lain lagi, kecuali persoalan Gupala.”
“Apakah bibi
masih ragu-ragu?” desak Pandan Wangi.
Tetapi Nyai
Argajaya menggeleng.
“Tidak, Wangi.
Aku tidak ragu-ragu. Tetapi aku benar-benar tidak tahu kemanakah adikmu itu
sekarang.”
Pandan Wangi
menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, “Kadang-kadang aku, ayah dan
apalagi paman, menjadi cemas. Sangat cemas, bahwa anak itu akan terseret arus
yang tidak dikenalnya itu semakin lama semakin jauh. Kalau arus itu berbenturan
dengan kekuatan Menoreh yang tidak mengerti sama sekali tentang hubungan lain
daripada hubungan antara lawan, maka keadaannya akan menjadi semakin sulit.”
Pandan Wangi berhenti sejenak, lalu, “Bibi, ayah sudah mengumumkan pengampunan
umum. Siapa pun yang menyesali perbuatannya
dan menyerah, akan mendapat pengampunan, meskipun mereka masih akan tetap
mendapat pengawasan. Apalagi paman, dan orang-orang yang masih ada sangkut
pautnya dalam hubungan darah seperti anak itu.”
Tetapi yang
dilihat oleh Pandan Wangi adalah titik air mata dari mata bibinya. Suaranya menjadi
parau,
“Menyesal
sekali, Wangi. Anak itu seakan-akan telah hilang dari padaku.”
Pandan Wangi
menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya wajah bibinya tajam-tajam. Agaknya ia
masih ragu-ragu, apakah bibinya berkata sebenarnya, atau oleh kecurigaan, anak
itu dilindunginya, agar tidak diketahui di mana ia bersembunyi. Namun oleh air
mata bibinya yang semakin deras, serta kepalanya yang semakin menunduk, Pandan
Wangi kemudian mempercayainya bahwa bibinya berkata dengan jujur, bahwa ia
benar-benar tidak tahu di mana anak laki-lakinya bersembunyi. Dengan demikian
maka sikap Pandan Wangi pun kini
berubah. Ia tidak berusaha membujuk bibinya lagi, agar ia menunjukkan di mana
anaknya berada, tetapi kini Pandan Wangi mencoba membujuk bibinya agar menjadi
tenang.
“Aku memang
tidak berpengharapan lagi,” berkata bibinya.
“Apalagi
setiap kali rumah ini digeledah. Mereka juga mencari adikmu seperti kau. Bahkan
mereka menyangka rumah inii menjadi tempat persembunyian orang-orang yang
berpihak pada pamanmu dalam peperangan yang baru lalu.”
Pandan Wangi
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Aku akan
berkata kepada mereka, Bibi, bahwa rumah ini sama sekali tidak dipergunakan
oleh orang-orang yang melawan ayah waktu itu.”
“Hidupku sama
sekali tidak tenang, Wangi. Setiap kali aku selalu diguncang oleh kegelisahan.”
“Sejak
sekarang Bibi dapat menenangkan diri. Aku akan tetap membantu ayah dan paman
untuk menemukan anak nakal itu. Mudah-mudahan ia tidak mengalami sesuatu.”
Nyai Argajaya
tidak segera menjawab.
“Sudah tentu
bahwa aku akan mencarinya sebagai seorang kakaknya, Bibi.”
Perlahan-lahn
Nyai Argajaya mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Terima kasih,
Wangi. Sejak peperangan itu, baru sekarang aku dapat mempercayai seseorang. Aku
mengenalmu baik-baik. Aku percaya bahwa kau masih Pandan Wangi yang dulu.”
“Tentu, Bibi,”
sahut Pandan Wangi yang sejenak kemudian menatap wajah Gupita sambil mengangguk
kecil.
“Kita
kembali.”
Gupita pun mengangguk pula.
Pandan Wangi
dan Gupita pun segera minta diri setelah
ia berjanj untuk mencegah para pengawal mengguncang-guncang lagi hati perempuan
yang malang itu. Begitu Pandan Wangi dan Gupita keluar dari regol halaman,
mereka segera melihat beberapa sosok tubuh di sela-sela gerumbul-gerumbul liar
yang tumbuh di sana-sini. Sadarlah mereka bahwa para pengawal yang mencemaskan
nasib mereka, telah mengadakan pengawasan sebaik-baiknya. Mereka siap bertindak
apabila keadaan menjadi semakin gawat.
Pandan Wangi
dan Gupita berpandangan sejenak. Kemudian terdengar Gupita berbisik,
“Mereka adalah
pengawal-pengawal yang baik.”
“Terlau baik,”
sahut Pandan Wangi. Gupita terdiam. Tetapi kepalanya terangguk-angguk.
Keduanya pun kemudian meloncat ke
punggung kuda masing-masing dan perlahan-lahan berjalan ke gardu di mulut
lorong.
Para pengawal
yang mengawasinya pun kemudian mengikuti
mereka pula, untuk mendengar apa yang telah mereka lihat di dalam rumah yang
penuh dengan teka-teki itu. Di gardu, Pandan Wangi dan Gupita pun turun sejenak
dari kuda-kuda mereka, untuk berbicara dengan para pengawal di gardu itu.
“Aku tidak
melihat apa pun yang mencurigakan di rumah itu,” berkata Pandan Wangi.
“Kami juga
tidak melihat,” berkata pemimpin pengawal.
“Karena itulah
kami menganggap bahwa ada tempat-tempat rahasia yang tidak kami ketahui.”
“Kau salah,”
jawab Pandan Wangi kemudian.
“Tidak ada
tempat rahasia dan tidak ada orang-orang yang bersembunyi di dalam rumah itu.”
Pengawal itu
mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia berkata,
“Sepintas lalu
kita memang tidak melihat apa pun. Agaknya sudah dua kali atau lebih aku
memasuki rumah itu. Dan aku memang tidak menemukan apa-apa. Tetapi setiap kali,
sisa-sisa pasukan Tambak Wedi masih berkeliaran di sekitar padukuhan itu.
Bahkan seperti yang sudah pernah aku katakan, satu-dua orang dari kami telah
hilang. Apakah artinya ini?”
“Aku mengerti,”
berkata Pandan Wangi,
“aku tidak
menyangkal bahwa masih ada orang-orang yang berputus asa dan berbuat apa pun tanpa tujuan, termasuk membunuh dan
merampok. Tetapi mereka tidak bersembunyi di rumah bibi. Aku sudah bertemu
dengan bibi. Dan aku percaya bahwa bibi berkata sebenarnya.”
Para pengawal
itu saling berpandangan. Tetapi agaknya mereka tidak segera dapat mempercayai
keterangan Pandan Wangi. Sehingga Pandan Wangi menjelaskan,
“Putra Paman Argajaya
itu pun sudah lama tidak pulang. Bibi hidup dalam ketakutan dan kecemasan.
Setiap saat ia selalu diganggu oleh perasaannya sendiri dan oleh
peristiwa-peristiwa yang sangat menyakiti hatinya.” Pandan Wangi terdiam
sejenak, kemudian,
“Dengarlah.
Bukan aku tidak mempercayai kalian. Tetapi renungkan. Perhatian kalian hanya
tertuju kepada rumah itu. Setiap kali kalian menyangka bahwa orang-orang itu
bersembunyi di tempat yang rahasia di halaman rumah itu. Setiap ada seorang
pengawal hilang, mau tidak mau, menurut perhitungan kalian, orang-orang yang
menyergapnya bersembunyi di sana. Itu sudah titik tolak yang dapat mengaburkan
usaha kalian, karena kalian sama sekali tidak menaruh perhatian pada
tempat-tempat yang lain. Pada saat dengan marah kalian menggeledah rumah itu,
maka orang-orang yang telah melakukan perbuatan jahat itu dengan enaknya tidur
di tempat lain yang sudah pasti sama sekali tidak mendapat perhatian kalian,
karena kalian sudah beranggapan mutlak, bahwa rumah itulah satu-satunya tempat
mereka bersembunyi.”
“Tetapi,”
pemimpin pengawal itu masih tidak puas,
“salah seorang
dari kami pernah melihat seseorang meloncat masuk ke dalam rumah itu.”
“Itulah
kecakapan mereka. Mereka memang membuat kesan seolah-olah rumah itu adalah
tempat persembunyian yang paling baik bagi mereka.”
Para pengawal
yang ada di sekitar gardu dan di regol itu
pun mencoba merenungkan kata-kata Pandan Wangi. Satu-dua orang mulai
mengangguk-anggukkan kepalanya. Bahkan kemudian pemimpin mereka pun berkata,
“Masuk akal
juga. Selama ini kami memang hanya mengawasi rumah itu sehingga kami kurang
memperhatikan kemungkinan-kemungkinan lain.”
“Nah, sejak
sekarang bertindaklah lebih cermat,” berkata Pandan Wangi.
“Awasi
orang-orang yang masih berkeras hati itu dengan saksama.”
“Baik,” jawab
pemmpin rombonaan itu.
“Aku akan
segera kembali,” berkata Pandan Wangi kemudian.
“Apakah kalian
memerlukan beberapa orang untuk mengawani perjalanan kalian,” bertanya pemimpin
pengawal.
Pandan Wangi
mengerutkan keningnya. Tidak sesadarnya dipandanginya bulak yang terbentang di
hadapannya. Namun sebelum Pandan Wangi menjawab, Gupita sudah mendahului,
“Kami tidak
akan menyulitkan kalian.”
“Itu tugas
kami,” jawab pemimpin pengawal itu.
“Dalam
perjalanan kembali mungkin kalian akan berpapasan dengan mereka dalam jumlah
yang tidak seimbang. Apalagi kalian berdua.”
“Kami
mempergunakan kuda-kuda kami, sehingga apabila orang-orang itu tidak berkuda,
kesempatan untuk membebaskan diri cukup besar,” Gupita berhenti sejenak, dan
Pandan Wangi menyahut,
“Sudah tentu
orang-orang itu tidak mempergunakan kuda. Bukankah begitu?”
“Ya, mereka
memang tidak berkuda.”
“Karena itu,
biarlah kami pergi berdua”
Para pengawal
itu pun mengangguk-anggukkan kepala
mereka, dan pemimpin mereka berkata,
“Baiklah.”
Pandan Wangi
dan Gupita pun kemudian minta diri
meninggalkan padukuhan yang masih belum terkuasai seluruh segi-segi
kehidupannya itu. Namun demikian, kekerasan-kekerasan yang berpengaruh sudah
tidak lagi pernah terjadi. Pandan Wangi dan Gupita itu pun segera meninggalkan padakuhan
itu, melalui jalan di tengah-tengah sawah yang luas. Matahari sudah menjadi
kian tinggi sehingga panasnya sudah mulai mengusik kulit. Sepanjang jalan, dada
Gupita selalu berdebar-debar. Semakin lama bulak yang dilaluinya menjadi
seakan-akan semakin pendek. Kalau mereka melampaui padesan dan pategalan yang
terletak beberapa puluh langkah dari jalan ini, kemudian sampai di lengkungan
jalan di sebelah susukan, maka kesempatannya menjadi eemakin sempit. Karena
itu, meskipun dadanya serasa akan retak, namun dipaksakannya juga untuk mencoba
menyampaikan pesan Gupala itu kepada Pandan Wangi, meskipun dengan
ancang-ancang yang panjang. Hampir segenap tubuh Gupita menjadi basah oleh
keringat. Bukan saja karena panas matahari yang semakin tinggi, tetapi juga
karena gejolak di dalam dadanya.
“Persetan,”
Gupita menggeram di dalam hatinya,
“bukan untuk
kepentinganku sendiri. Apa pun akibatnya, bukan menjadi tanggung jawabku. Aku
hanya akan menyampaikan hasilnya saja kepada Gupala.”
Dengan
demikian, maka akhirnya Gupita telah memaksa dirinya sendiri dengan mengerahkan
segenap kemanpuan yang ada padanya.
“Pandan
Wangi,” suaranya gemetar,
“kenapa kau
begitu tergesa-gesa?”
Pandan Wangi
berpaling. Ia melihat kegelisahan di wajah Gupita.
“Apakah aku
tergesa-gesa?” ia bertanya.
“Kita berkuda
terlampau kencang,” jawab Gupita.
Pandan Wangi mengerutkan
keningnya. Katanya,
“Kita berada
di daerah yang belum kita ketahui keadaan yang sebenarnya.”
“Tetapi daerah
ini sudah aman.”
Pandan Wangi
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Mungkin.
Tetapi bukankah menurut keterangan para pengawal masih juga ada satu-dua orang
yang sering mengganggu di daerah ini?”
“Ya,” jawab
Gupita, “tetapi, tetapi, perlambatlah kudamu.”
Pandan Wangi
menjadi heran. Namun tanpa sesadarnya ia
pun menarik kendali kudanya dan dengan demikian maka perjalanan
mereka pun menjadi semakin lambat.
“Pandan
Wangi,” suara Gupita menjadi semakin gemetar, sehingga Pandan Wangi pun menjadi semakin berdebar-debar.
Hampir meledak
Gupita kemudian berkata, “Ada sesuatu yang ingin aku katakan, Wangi.”
Kini dada
Pandan Wangi benar-benar berdesir tajam. Dipandanginya wajah Gupita sesaat,
kemudian kepalanya tertunduk dalam-dalam. Tetapi Gupita menyadari keadaan
dirinya. Betapa pun kegelisahan melanda
jantungnya, namun ia masih berusaha untuk tidak menumbuhkan salah paham,
sehingga dengan suara gemetar ia berkata,
“Bukankah
sudah aku katakan, bahwa Gupala sekarang menjadi semakin dewasa?”
Pandan Wangi
tiba-tiba mengangkat wajahnya. Kerut-merut di keningnya membayangkan seribu satu
macam pertanyaan.
“Pandan Wangi,”
berkata Gupita tergagap,
“apakah kau
mau kita berhenti sebentar, supaya aku tidak salah mengucapkan kata-kata?”
Pandan Wangi
tidak menjawab. Dadanya menjadi semakin berdebar-debar. Tetapi ia menganggukkan
kepalanya.
Maka sejenak
kemudian mereka pun telah menghentikan
kudanya. Gupita yang meloncat turun lebih dahulu dari kudanya berkata,
“Turunlah.
Bukankah kau masih mempunyai sedikit waktu.”
Kini tiba-tiba
saja tubuh Pandan Wangi pun menjadi
gemetar. Perlahan-lahan ia turun dari kudanya. Sebagai seorang gadis yang
dewasa, maka ia sudah dapat menduga apa yang akan dikatakan oleh Gupita. Namun
justru karena itu, maka Pandan Wangi menjadi semakin berdebar-debar. Gupita
yang sudah basah kuyup oleh keringatnya itu mencoba untuk menenangkan hatinya.
Disekanya keringat di keningnya. Lalu katanya,
“Pandan Wangi,
aku tidak tahu bagaimana aku akan mengatakannya. Tetapi aku sebenarnya membawa
pesan dari Gupala. Itulah sebenarnya, mengapa aku memaksamu untuk pergi
berdua.”
Sepercik warna
merah membayang di wajahnya, sedang kepalanya
pun mejadi semakin tunduk karenanya. Namun demikian, terjadi juga
kejutan yang menghentak di dada Pandan Wangi. Gupita sekedar membawa pesan
Gupala. Apa yang akan dikatakan oleh Gupita adalah ungkapan perasaan Gupala.
“Kenapa?”
sebuah pertanyaan telah menyentuh hatinya.
“Kenapa Gupita
tidak mengatakan tentang dirinya sendiri?”
Meskipun
demikian sebuah keragu-raguan telah mengisruhkan perasaannya pula. Gupala
memang mempunyai kesan yang tersendiri. Seorang periang dengan hati terbuka.
“Tetapi kenapa
ia tidak mengatakannya sendiri?”
Dalam kebimbangan
itu terdengar Gupita berkata,
“Pandan Wangi,
bukankah kau bersedia mendengarkannya. Sebagai seorang saudara tua aku memang
wajib menolongnya, memecahkan kesulitan yang selalu mengganggunya siang dan
malam.”
Pandan Wangi
tidak menjawab. Tetapi kepalanya kini menjadi semakin menunduk. Gadis yang
membawa sepasang pedang itu pun kemudian
perlahan-lahan duduk di bawah sebuah gerumbul perdu. Setitik air matanya jatuh di
pangkuannya. Dengan jari-jarinya gadis itu mengusap sudut matanya yang
membasah. Gupita menjadi semakin gelisah. Ia memang tidak biasa menghadapi
seorang gadis yang sedang menangis. Karena itu, maka ia pun berjalan
hilir-mudik di belakang Pandan Wangi. Keduanya sama sekali sudah tdak ingat
lagi kepada sisa-sisa pasukan Ki Tambak Wedi. Keduanya sudah tidak ingat lagi
bahwa kadang-kadang masih saja ada satu-dua orang yang hilang di dalam
perjalanan dari padukuhan yang baru ditinggalkannya ke padukuhan di seberang
bulak yang panjang itu. Pandan Wangi yang duduk di bawah gerumbul perdu itu
tidak segera dapat menjawab. Terasa hatinya menjadi kacau. Sebenarnya kerisauan
itu sudah lama membayanginya. Kedua anak-anak muda itu memang mempunyai
kelebihannya masing-masing. Namun bagi Pandan Wangi, Gupita pernah dikenalnya
lebih dahulu, sehingga pahatan yang ada di dinding jantungnya, agak lebih dalam
dari adiknya yang menyusul kemudian. Sekilas bahkan terbayang seorang anak muda
yang bertubuh raksasa, Wrahasta. Anak muda yang malang itu sama sekali tidak
berhasil menggetarkan hatinya, meskipun di saat terakhir ia terpaksa
menganggukkan kepalanya, Pandan Wangi sama sekali tidak menyangka, bahwa
anggukan kepela itu, anggukan yang hanya dilakukannya sekali, telah membekas
pula di dalam hatinya.
“Seandainya
saat itu Wrahasta dapat ditolong,” pertanyaan itu pun selalu mengejarnya,
“apakah yang
akan aku lakukan.”
Kini ia
dihadapkan pula pada persimpangan jalan.
“Tetapi
kedua-duanya adalah kakak-beradik, meskipun menurut dugaanku hanya sekedar
kakak-beradik seperguruan,” desis Pandan Wangi di dalam hatinya.
Namun demikian
sudah barang tentu, Pandan Wangi tidak akan dapat mempertentangkan keduanya.
Kini Gupita datang kepadanya, menyatakan perasaan yang tersimpan di dalam hati,
tapi hati adiknya. Gupala. Pandan Wangi memang menjadi bingung. Ia tidak tahu,
manakah yang lebih menggembirakan hatinya. Apakah Gupita menyatakan perasaannya
sendiri, atau seperti yang dilakukannra kini. Gupita pun menjadi semakin gelisah karenanya. Bahkan
kadang-kadang jantungnya serasa berhenti mengalir. Ketika Pandan Wangi duduk
tertunduk, tanpa sesadarnya, dipandanginya gadis itu. Dalam sekilas,
kenangannya langsung melontar ke Sangkal Putung. Tanpa dikehendakinya sendiri,
Gupita pun mulai membandingkan kedua
gadis itu.
“Pandan Wangi
mempunyai banyak kelebihan,” terdengar kata-kata itu terlonjak di dasar
hatinya.
“Anak ini
mampu bermain pedang,” kata-kata itu terdengar terus,
“tetapi ia
sama sekali bukan seorang anak yang manja dan tinggi hati. Ia tahu benar
kuwajibannya. Baik sebagai seseorang yang berpedang, maupun sebagai seorang
gadis. Sambil menyandang pedang, Pandan Wangi berjongkok di muka api menanak
nasi dan merebus air.”
Tetapi Gupita
tergagap ketika tiba-tiba saja Pandan Wangi mengangkat wajahnya dan berpaling.
Benturan pandangan mata mereka, membuat keduanya menjadi gemetar. Untuk
mengusir kesan yang tersirat di wajahnya, Gupita berkata dengan gugup,
“Bagaimana,
Wangi. Aku sudah mengatakan apa yang harus aku katakan. Sekedar pesan Gupala.”
Pandan Wangi
masih belum menjawab. Tatapan matanya yang membentur pandangan Gupita itu pun segera dilemparkannya jauh-jauh ke
tengah-tengah sawah yang tidak terpelihara itu. Namun demikian serasa
jantungnya berdenyut semakin cepat, sehingga dadanya seakan-akan menjadi pepat.
Gupita masih saja berdiri tegak di belakang Pandan Wangi. Tetapi kini ia tidak
berani menatap rambut yang hitam yang bergerak-gerak dibelai angin. Apabila
sekali lagi Pandan Wangi berpaling dan menatap matanya, mungkin ia akan terbungkam
untuk selanjutnya.
“Kau belum
menjawab, Pandan Wangi,” desak Gupita yang gelisah.
Pandan Wangi
menarik nafas dalam-dalam. Dicobanya untuk menenangkan hatinya yang bergolak.
Karena ia tidak segera menemukan jawaban, maka tiba-tiba saja ia bertanya,
“Siapakah
kalian sebenarnya?”
Pertanyaan itu
benar-benar mengejutkan Gupita, sehingga kini ia lah yang tidak segera dapat
menjawab.
“Aku akan
menjawab pertanyaanmu apabila aku tahu pasti, siapakah sebenarnya kalian.
Siapakah kau, siapakah Gupala, dan siapakah gembala tua itu.”
Gupita masih
tetap berdiam diri. Kegelisahannya menjadi semakin meningkat. Sementara itu
Pandan Wangi masih saja duduk memandang ke kaki langit di kejauhan.
Sejenak mereka
berdua saling berdiam diri. Hanya desah nafas dan detak jantung masing-masing
sajalah yang terdengar di sela-sela desir angin. Namun tiba-tiba mereka
dikejutkan oleh gamerisik di seberang jalan di belakang mereka, sehingga dengan
gerak naluriah mereka meloncat berdiri dan siap menghadapi segala kemungkinan. Yang
telah mereka lupakan itu tiba-tiba kini berada di hadapan mereka. Enam orang
dengan senjata telanjang di tangan masing-masing. Salah seorang dari mereka
adalah seorang anak yang masih sangat muda. Namun dengan tangkasnya ia
merundukkan pedangnya sambil berkata lantang,
“Tak ada
gunanya kalian melawan.”
Pandan Wangi
terkejut bukan kepalang. Tanpa sesadarnya ia memekik,
“Prastawa.
Kaukah itu?”
Anak yang
masih terlampau muda itu menganggukkan kepalanya. Jawabnya,
“Ya, aku,
Kenapa?”
“Aku baru saja
datang mengunjungi bibi. Kau sangat ditunggu oleh bibi, dan bahkan oleh paman.”
Tiba-tiba saja
anak itu tertawa. Suara tertawanya meninggi dan menyakitkan hati. Pandan Wangi
mengerutkan keningnya. Ia melihat perubahan yang tajam pada adik sepupunya itu.
“Apakah ini
putera Ki Argajaya?” Gupita berbisik.
Pandan Wangi
menganggukkan kepalanya. Gupita tidak bertanya lagi. Tetapi ia harus mempunyai
cara yang disesuaikan dengan lawan yang dihadapinya.
“Aku sekarang
tidak dapat mempercayai siapa pun. Kau juga tidak,” berkata anak muda itu
lantang.
“Aku hanya
percaya kepada diriku sendiri.”
Pandan Wangi
tidak segera menyahut. Tetapi ia mencoba mengenal kawan-kawan adik sepupunya
itu seorang demi seorang.
“Semula aku
tidak menyangka bahwa kaulah yang lewat berdua di jalan ini. Aku kira kau
berdua adalah sebangsa cucurut penjilat yang memuakkan, sehingga aku memutuskan
untuk membunuh saja kalian berdua dan kubawa kepalamu sebagai pangewan-ewan ke
padepokan. Tetapi aku tertegun ketika aku mengenal kau. Aku menjadi ragu,
apakah aku akan membunuhmu atau tidak. Namun agaknya keadaanmu yang memuakkan
pula itu telah mendorong aku untuk meneruskan rencana ini. Kau sudah bercumbu
dengan orang asing ini. Tanpa malu-malu kau sudah melakukan perbuatan tercela
di tengah jalan meskipun kau yakin bahwa jalan ini terlampau sepi. Seandainya
yang menemukan kau bukan aku, tetapi para perondamu sendiri pun, kau akan
dicela dan ditandai dengan noda hitam di keningmu. Apalagi kau puteri Kepala
Tanah Perdikan Menoreh yang hampir mati itu.”
“Prastawa,”
suara Pandan Wangi menyentak,
“jangan salah
sangka. Seharusnya kau bertanya, apa yang sedang aku lakukan.”
“Kenapa aku
harus bertanya? Aku sudah melihat apa yang terjadi. Kau menyesali dirimu
sendiri, sehingga kau menangis. O, kau sudah menodai nama baik Tanah Perdikan
ini. Karena itu, kalian berdua harus mati.”
“Apa yang
harus aku sesali?” bertanya Pandan Wangi lantang.
“Tentu tentang
dirimu sendiri. Tetapi yang sudah teranjur itu tidak akan dapat kau perbaiki.
Apakah aku harus mengatakan? Apakah aku harus menunjuk percikan lumpur di
wajahmu. He, apa yang kalian kerjakan di semak-semak perdu itu? Lalu kenapa kau
menangis? Jelas?”
“Prastawa!”
Pandan Wangi hampir menjerit.
“Kau sudah
kehilangan nalar.”
Tetapi anak
muda itu tertawa berkepanjangan. Katanya kemudian,
“Sebagai
seorang adik, aku malu sekali mempunyai kakak perempuan seperti kau. Sebagai
orang Menoreh, aku merasa tersinggung, bahwa kau sudah menyerahkan dirimu pada
orang asing, dan sebagai putera ayah, Ki Argajaya, aku memang harus membalas
dendam.”
Tiba-tiba
tubuh Pandan Wangi menjadi gemetar. Tuduhan yang terlampau keji itu telah
menddihkan darahnya, sehingga hampir saja ia kehilangan pengamatan diri.
Sebagai seorang gadis, ia tersinggung sekali oleh kata-kata adik sepupunya.
Apalagi semuanya itu tidak benar sama sekali.
“Prastawa,”
berkata Pandan Wangi dengan suara gemetar,
“kau jangan
asal berbicara saja. Kau salah sama sekali. Tidak terjadi apa pun di sini.”
Tetapi suara
tertawa anak itu benar-benar menyakitkan hati. Dalam pada itu, Gupita agak
lebih mengendalikan perasannya daripada Pandan Wangi, karena Gupita bukan
seorang gadis. Kini justru ia berhasil mengatur detak jantungnya yang semula
berdentangan di dadanya.
“Ki Sanak,” ia
mencoba berkata sareh,
“Pandan Wangi
memang menitikkan air mata. Tetapi sama sekali tidak seperti yang kau duga.
Kami berdua baru saja datang mengunjungi ibumu dengan maksud yang
sebaik-baiknya. Semula ibumu tidak dapat menerima kami, namun perlahan-lahan ia
dapat menyadari keadaannya.”
“Omong
kosong!”
“Tunggu, aku
belum selesai,” potong Gupita.
“Namun sebuah
penyesalan yang dalam telah mengganggu perasaan Pandan Wangi, karena usahanya
untuk membawamu menghadap Ki Argajaya gagal.”
“O,” anak muda
itu berteriak,
“jangan kalian
sangka aku anak kecil yang masih ingusan. Sekarang jangan banyak bicara.
Tindakan kalian telah menodai Tanah Pendikan Menoreh. Kalian telah membuat
tanah di sekitar tempat ini menjadi sangar dan gersang. Karena itu, tebusannya
adalah darah kalian. Kalau darah kalian berhasil menyiram tanah ini, maka tanah
ini akan menjadi subur kembali. Dosa kalian sudah kalian tebus dengan darah
merah kalian.”
Gupita menarik
nafas dalam-dalam. Anak ini agaknya sudah tidak dapat diajak berbicara lagi.
“Ayo kawan-kawan,”
berkata anak muda itu,
“kita
selesaikan saja orang-orang ini.”
“Tunggu,”
berkata Gupita,
“aku tidak
menyangka bahwa kau dapat berbuat demikian. Ketika kami melukai Ki Peda Sura,
kau agaknya masih dapat berpkir bening. Kau waktu itu bersikap sebagai seorang
adik yang baik. Tetapi kenapa tiba-tiba saja kau sudah berubah?”
Anak muda itu
mengerutkan keningnya. Sejenak ia berdiam dan merenungkan kata-kata Gupita itu.
Namun dalam pada itu seorang yang bertubuh tinggi kurus berdesis,
“Jangan
hiraukan. Mereka sekedar ingin dihidupi.”
Anak yang
masih sangat muda itu berpaling. Ditatapnya wajah orang yang tinggi kurus itu
sejenak. Dan orang yang tinggi kurus itu masih berkata terus,
“Bukankah
setiap orang Menoreh akan berkata demikian apabila maut telah menyentuhnya? Itu
semua hanya omong kosong. Kalau kesempatan itu datang, maka kaulah yang akan
dibunuhnya.”
Anak muda itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Bahkan sejenak kemudian terdengar suara
tertawanya mengejutkan. Katanya lantang,
“Ya. ya. Kau
benar. Hampir saja aku tertipu oleh orang ini.”
Tetapi Gupita
masih tetap berhasil menguasai perasaannya. Katanya,
“Apakah setiap
orang akan berkata kepadamu bahwa kau pernah mempertahankan namanya di hadapan
pasukanmu sendiri? Tetapi itu benar-benar kau lakukan atas kakakmu Pandan
Wangi. Bukankah kau saat itu tampak bertengkar dengan pimpinan pasukanmu karena
pemimpinmu itu menghina Pandan Wangi justru karena Pandan Watutgi berhasil
melukai Ki Peda Sura?”
Sekali lagi
anak yang masih terlampau muda itu berkerut-merut. Tetapi sekali lagi orang
yang tinggi kurus itu berkata,
“Kau sudah
dipengaruhinya. Kau sudah mulai menyentuh getah yang akan dapat menjeratmu.
Berusahalah untuk melepaskan diri. Buat apa kita berbicara terlampau banyak?
Kalau keduanya sudah mati maka kau akan berkesempatan mempertimbangkan
kebenaran kata-kataku. Apalagi keduanya telah membuat Tanah ini menjadi sangar
dan gersang karena tindakannya yang tidak tahu malu.”
“Ya, ya. Aku
mengerti. Kau memang benar. Orang-orang ini harus dibunuh.”
“Apakah kau
meyakini kata-kata orang kurus yang sedang berputus asa itu,” tiba-tiba Gupita
menyela.
“Jangan
hiraukan. Bunuh saja,” teriak yang kurus.
“Dengar.
Kata-katanya tidak menentu,” sahut Gupita.
“Kalau ia
tidak sedang berputus asa, ia pasti mau mendengarkan kata-kataku.”
“Omong kosong!
Kau sedang dipengaruhi. Kedua orang itulah yang sedang berputus asa.”
“Tentu tidak,”
berkata Gupita.
“Bukan kami
yang berputus asa. Kami yakin akan kemampuan kami. Ki Peda Sura dapat kami
kalahkan. Siapa lagi?”
“Tetapi kami
bukan Ki Peda Sura. Ki Peda Sura pun tidak akan mampu melawan kami berenam,”
berkata orang yang kurus itu.
“Sekarang
jangan berbicara lagi. Berdoalah, supaya arwahmu tidak tersesat ke api neraka.”
Gupita menarik
nafas dalam-dalam. Agaknya orang yang tinggi kurus ini sangat berpengaruh atas
putera Ki Argajaya, sehingga anak muda itu hampir tidak berkesempatan untuk
merenungkan dirinya sendiri. Karena itu maka ia berkeputusan, apabila keadaan
terpaksa, maka orang yang tinggi kurus ini harus di pisahkan dari putera Ki
Angajaya itu. Sebenarnyalah bahwa Gupita memang tidak sempat untuk berbicara
lagi. Orang-orang itu sudah siap untuk menyergap mereka dengan senjata
masing-masing.
“Tidak ada
jalan lain,” bisik Gupita,
“kita memang
harus membela diri.”
Pandan Wangi mengangguk-anggukkan
kepalanya.
“Sayang anak
itu.”
“Ia masih mempunyai
harapan. Orang yang tinggi kurus itu harus dipisahkan daripadanya.”
“He,” teriak
orang yang tinggi kurus ini, “apa yang kau katakan?”
“Kami sedang
membicarakan kau. Dan kami berkeputusan untuk memisahkan kau dari putera Ki
Argajaya. Hari depannya masih panjang dan penuh harapan. Agaknya kau memang
sudah meracuninya perlahan-lahan, sehingga anak itu tidak mau kembali kepada
ibu dan ayahnya.”
“O, jangan
mengigau,” orang yang tinggi kurus itu tiba-tiba saja sudah menyerang. Ternyata
ia tangkas juga menggerakkan pedangnya. Yang pertama-tama menjadi sasarannya
adalah Gupita. Dengan demikian maka kawan-kawannya yang lain pun segera
berloncatan menyerang pula. Beberapa orang bergeser mengambil arah yang yang
lain. Tetapi Pandan Wangi pun tidak tinggal diam. Segera ia meloncat menjauhi
Gupita, sedang sepasang pedangnya pun telah berada di dalann genggaman.
Seperti yang
sudah mereka duga, bahwa mereka masing-masing akan berhadapan dengan tiga
orang. Ternyata putera Ki Argajaya itu memilih Gupita sebagai lawannya. Ada
sesuatu yang menahannya untuk bertempur melawan kakak sepupunya itu. Gupita pun
harus menarik senjatanya pula. Anak muda itu cukup lincah. Pedangnya berputaran
di antara kedua senjata kawan-kawannya. Sejenak kemudian menggeletarlah suara
cambuk Gupita memenuhi udara. Suaranya serasa tidak segera mau lenyap dari
pendengaran. Suara itu seakan-akan berdesing-desing seperti lebah yang terbang
di sekitar lubang telinga. Tetapi lawan-lawannya ternyata orang-orang yang
keras hati. Dengan sepenuh kemampuan mereka menyerang Gupita dari segala arah. Namun
bagi Gupita sendiri, orang yang kurus itulah yang menjadi sasaran utamanya. Ia
harus dipisahkan dari putera Ki Argajaya. Dengan demikan, maka ujung cambuk
Gupita seolah-olah selalu mengejarnya. Kemana ia meloncat, terasa ujung cambak
itu selalu mengikutinya.
“Setan alas!”
ia menggeram. Tetapi ia tidak berdaya. Ujung cambuk itu benar-benar selalu
mengejar.
Orang yang
tinggi kurus itu sudah berusaha untuk menebas ujung cambuk Gupita dengan
pedangnya. Tetapi ia sama sekali tidak berhasil. Menyentuh pun terlampau sulit
baginya, karena ujung cambuk itu menyambar kemudian meledak dan seolah-olah
meloncat menjauh dengan kecepatan yang tidak dapat diperhitungkan. Secepat
kilat yang berloncatan di langit. Semakin lama orang yang tinggi kurus itu
merasa, bahwa ia benar-benar terancam. Terhadap lawan-lawannya yang lain Gupita
seakan-akan hanya sekedar membela dirinya. Ia hanya sekedar menghindar dan
kadang-kadang menghalau mereka menjauh. Tetapi terhadap yang tinggi kekurus-kurusan
ini senjatanya benar-benar menyerang. Ketika ujung cambuknya berhasil menyentuh
kulit orang yang kekurus-kurusan itu, maka terdengarlah keluhan yang tertahan.
Bukan saja lengan bajunya yang sobek karenanya, tetapi ternyata kulitnya pun
terkelupas pula sehingga darahnya segena mengalir memerahi pakaiannya.
“Setan alas!”
ia mengumpat pula.
Namun ujung
cambuk Gupita tidak juga berpindah daripadanya. Apalagi putera Ki Argajaya yang
masih sangat muda itu. Meskipun ia tidak kalah lincah dan berbahaya dari
kawan-kawannya, namun Gupita seakan-akan tidak pernah bersungguh-sungguh
menyerangnya. Tiba-tiba orang yang tinggi kurus itu merasa, bahwa Gupita
benar-benar ingin membinasakannya, seperti yang sudah dikata-katanya,
memisahkannya dari putera Ki Argajaya. Karena itu, maka ia merasa terancam
untuk tetap berkelahi melawan Gupita. Dengan demikian maka tiba-tiba ia
meloncat surut dan berpindah ke lingkaran perkelahian yang lain sambil menyuruh
seorang kawannya menggantikan tempatnya.
“Huh, kalian
tidak segera berbasil menyelesaikan perempuan ini,” katanya.
“Tahanlah
dahulu anak dungu itu. Aku akan menyelesaikannya. Kemudian kita bantai
bersama-sama kawan laki-lakinya itu.”
Kawannya sama
sekali tidak berprasangka apa pun. Ia
pun segera meninggalkan Pandan Wangi dan bergabung dalam lingkaran
perkelahian yang lain, bersama putera Ki Argajaya. Melihat kehadiran orang yang
tinggi kurus itu Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Tiba-tiba ia teringat
kata-kata Gupita, bahwa orang inilah agaknya yang telah meracuni jiwa adiknya. Terngiang
di telinganya suara Gupita,
“Ia masih
mempunyai harapan. Orang yang tinggi kurus itu harus dipisahkan daripadanya.”
Tiba-tiba
Pandan Wangi menggeretakkan giginya. Agaknya memang orang inilah yang selama
ini telah menghasut adik sepupunya, sehingga adiknya itu seakan-akan menjadi
liar. Sejenak kemudian maka kedua ujung pedang Pandan Wangi pun seakan-akan
selalu mengitari tubuh orang itu. Pandan Wangi tidak lagi menaruh minat kepada
kedua lawannya yang lain. Seperti Gupita ia hanya sekedar menghindar dan
menangkis serangan kedua lawan-lawannya yang lain, tetapi serangan-serangannya
dipusatkannya kepada orang yang tinggi kurus itu. Sesaat setelah orang yang tinggi
kurus itu bergabung dalam lingkaran pertempuran yang baru, ia belum merasakan
tekanan ujung pedang Pandan Wangi. Tetapi sejenak kemudian, orang itu terpaksa
mengumpat-umpat lagi. Di dalam hatinya ia berkata,
“Setan betina
ini pun agaknya memusatkan serangannya kepadaku.”
Semula orang
yang tinggi itu bertanya-tanya kepada dirinya sendiri, kenapa serangan-serangan
lawannya dipusatkannya kepadanya. Tidak kepada orang lain, dan tidak kepada
putera Ki Argajaya. Namun akhirnya ia menyadari dirinya. Kedua orang itu memang
menganggap dirinya sebagai penghasut atas putera Ki Argajaya, sehingga anak itu
benar-benar berniat ingin membunuh mereka. Dengan demikian maka kedua orang itu
pasti mendendamnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar