Jilid 028 Halaman 3



“Oh,” Widura mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ia bergumam,
“Apakah Kiai beranggapan bahwa Sidanti telah mulai dengan perjalanan itu sekarang?”
“Belum,” sahut Ki Tanu Metir,
“tetapi apabila Ki Tambak Wedi mengetahui bahwa aku dan Adi Sumangkar berada di sini, ia pasti segera akan pergi.”
“Baru kemarin dulu aku masih kehilangan dua orang peronda dekat sekali dari induk kademangan.”

Ki Tanu Metir mengangguk-anggukkan kepalanya pula. Ketika ia berpaling ke arah Ki Sumangkar, maka orang itu segera berkata,
“Aku belum dapat berbuat apa-apa. Aku belum mulai, dan wilayah Sangkal Putung terlampau luas. Ki Tambak Wedi dapat berada di segala arah. Itulah yang masih harus aku usahakan, agar aku dapat menjumpainya.”
“Ya, ya aku tahu,” sahut Ki Tanu Metir. Kemudian kepada Widura ia berkata,
“Kita harus mencoba bertemu dengan orang-orang itu. Sebelum aku pergi, aku akan berusaha bersama Adi Sumangkar. Tetapi apabila usaha itu tidak membawa hasil apa pun, aku akan segera pergi ke Prambanan. Ada dua keuntungan. Bagi Prambanan dan bagi murid-muridku. Agaknya kami tidak akan berhenti di Prambanan untuk seterusnya, tetapi kami akan langsung menuju ke barat, melintasi Hutan Mentaok, dan memasuki daerah Menoreh.”
Wajah Widura menjadi semakin menegang.
“Kami ingin tahu langsung, apakah yang akan dilakukan oleh Sidanti di daerahnya sendiri. Apakah ia akan menyusun kekuatan dan dibawanya ke Sangkal Putung atau Tambak Wedi, atau bahkan langsung menusuk jantung Pajang, atau rencana-rencana yang lain yang mungkin akan lebih berbahaya.”
“Kiai,” berkata Widura kemudian,
“apakah hal itu tidak akan sangat berbahaya bagi Kiai dan kedua anak-anak itu?”
“Mereka memerlukan pengalaman, Ngger. Sebelum aku berangkat, aku masih akan membuat kedua anak-anak itu semakin banyak mempunyai bekal di dalam diri masing-masing. Setiap malam kami berada di Gunung Gowok. Apakah Angger akan ikut serta? Menyenangkan sekali apabila tiba-tiba Ki Tambak Wedi muncul pula untuk ikut berlatih. Dengan demikian aku tidak perlu lagi menempuh jalan yang terlampau panjang. Tidak perlu lagi melintas Hutan Mentaok mendaki Pegunungan Menoreh.”
Widura menarik nafas dalam-dalam. Perjalanan itu adalah perjalanan yang cukup berbahaya. Memang Agung Sedayu dan Swandaru memerlukan pengalaman buat hari depannya, tetapi untuk langsung masuk ke daerah Menoreh akan mengandung kemungkinan yang sangat pahit. Meskipun demikian, maka ia harus mempercayai Ki Tanu Metir yang memiliki ilmu dan pengalaman jauh lebih banyak daripada Widura itu sendiri.
“Angger Widura,” berkata Ki Tanu Metir,
“sekarang perkenankan aku beristirahat pula. Nanti Angger akan mendengar pesan Angger Untara lewat perwira utusannya itu, yang aku kira juga berkisar pada Angger Agung Sedayu. Mungkin Angger Widura harus mengawasinya atau bahkan Angger Untara akan menitipkannya kepada Angger di sini.”
Widura mengangguk-anggukkan kepalanya. Jawabnya,
“Mudah-mudahan aku dapat memenuhi keinginan Untara tanpa menyinggung perasaan Agung Sedayu. Bukankah Untara telah memperkendor keinginan-keinginannya tentang Agung Sedayu?”
“Ya. Beberapa hal telah dilepaskannya. Tetapi akulah yang harus mempertanggung-jawabkannya.”
Widura masih mengangguk-angguk. Sahutnya,
“Aku mengharap semuanya dapat teratasi.”
“Baiklah,” berkata Ki Tanu Metir sambil mengangkat dadanya dan menarik nafas dalam-dalam,
“aku minta diri.” Kemudian kepada Sumangkar ia berkata,
“Kita masih mempunyai banyak kesempatan untuk bercerita. Marilah sekarang kita beristirahat. Aku ingin tidur.”
“Silahkan, Kakang. Aku agaknya terlampau banyak tidur semalam, sehingga aku tidak juga berhasil menemukan Ki Tambak Wedi.”
Kiai Gringsing tersenyum. Kemudian ditinggalkannya ruangan itu. Untuknya telah disediakan tempat di gandok kulon di kademangan, sehingga orang tua itu tidak usah pergi ke banjar kademangan.

Ternyata pada malam harinya Widura benar-benar mendapat pesan yang berkisar pada Agung Sedayu dari perwira utusan Untara. Sebenarnya bahwa Untara minta tolong kepada Widura untuk mengawasi adiknya yang dianggapnya kurang dapat menyesuaikan diri pada masa perkembangannya. Sementara itu, Swandaru, Agung Sedayu, dan Ki Tanu Metir telah berada di Gunung Gowok. Orang tua itu berusaha mempergunakan setiap waktu yang terluang untuk menambah ilmu kedua murid-muridnya.
“Sebentar lagi kita akan mulai dengan sebuah perjalanan yang barangkali kurang menyenangkan. Karena itu, berbuatlah sejauh mungkin dapat kita lakukan di sini. Berlatihlah sebaik-baiknya. Aku akan memberikan beberapa petunjuk-petunjuk baru.”
Kedua anak-anak muda itu pun dengan patuh melakukannya. Kiai Gringsing ingin memberikan ciri perguruannya lebih banyak lagi kepada kedua muridnya. Itulah sebabnya untuk seterusnya, maka keduanya di samping memperdalam ilmu pedang, mereka juga mulai memperdalam ilmu senjata lemas dan lentur. Kadang-kadang mereka mempergunakan cambuk, namun di lain kesempatan mereka mempergunakan cemeti yang lentur. Bahkan kadang-kadang mereka belajar mempergunakan pasangan daripadanya. Pedang dan cambuk di tangan kiri, atau sebaliknya. Sepeninggal rombongan kecil prajurit dari Jati Anom di hari berikutnya, maka Sangkal Putung semakin memperketat setiap pengawasan. Ketika Widura melepaskan para prajurit dari Jati Anom untuk kembali ke induk pasukannya, terasa juga kecemasan merambati hatinya. Bagaimanakah seandainya pasukan yang kecil itu bertemu dengan Ki Tambak Wedi di perjalanan.
“Kami sudah siap untuk menghadapinya, Kakang,” berkata perwira itu.
“Yang mengawani aku kali ini adalah prajurit-prajurit pilihan. Aku kira kita bersama-sama akan berhasil, setidak-tidaknya menyelamatkan diri kami dari tangan iblis-iblis itu.”
“Mudah-mudahan,” sahut Widura. Tetapi tawarannya untuk memberikan beberapa orang prajurit pilihan telah pula ditolak oleh perwira itu.
“Kalau aku terpaksa diantar kembali ke Jati Anom, maka besok Ki Untara memerintahkan untuk mengantar prajurit-prajurit dari Sangkal Putung dan demikian pula sebaliknya, maka jalan antara Sangkal Putung dan Jati Anom akan menjadi sangat licin.”
Keduanya tersenyum. Ki Tanu Metir, Sumangkar, dan beberapa orang lain yang mendengar jawaban itu  pun tersenyum pula. Ternyata di hari-hari berikutnya, tidak terjadi persoalan-persoalan yang dapat menambah kegelisahan orang-orang Sangkal Putung. Para peronda yang diperkuat, selalu kembali ke gardu masing-masing dengan selamat.
“Mungkin orang-orang itu telah pergi,” gumam salah seorang prajurit.
“Belum pasti,” tiba-tiba terdengar jawaban di belakangnya. Ternyata Sumangkar lah yang berdiri di situ sambil tersenyum. Katanya seterusnya,
“Jangan lengah. Setiap saat bahaya dapat menerkam kalian.”
Prajurit-prajurit itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Mereka menyadari betapa liciknya Ki Tambak Wedi dan Sidanti. Ketika malam turun perlahan-lahan di atas Kademangan Sangkal Putung, maka tiga buah bayangan telah mulai berloncat-loncatan di pinggir Gunung Gowok. Tak ada waktu terluang bagi Agung Sedayu dan Swandaru. Kali ini bukan saja mereka bertiga yang berada di gumuk kecil itu, tetapi seseorang yang lain duduk dengan tenangnya melihat anak-anak muda yang sedang berlatih itu. Orang itu adalah Sumangkar.

Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia menyaksikan kemajuan yang pesat dari murid-murid Kiai Gringsing. Mau tidak mau maka orang tua itu harus mengaguminya. Kelincahan Agung Sedayu, kecepatannya bergerak dan betapa tenaga Swandaru yang luar biasa kuatnya. Namun tiba-tiba orang tua yang duduk di atas sebuah puntuk itu memiringkan kepalanya. Lalu diangkatnya wajahnya. Perlahan-lahan ia berdesis,
“Aku mendengar suara panah sendaren.”
Dan belum lagi ia sempat mengulangi kata-katanya, maka terdengarlah desing panah sendaren untuk yang kedua kalinya.
“Aku harus pergi,” orang tua itu berkata lantang. Sebelum Kiai Gringsing menjawab, maka Sumangkar telah meloncat ke atas punggung kudanya dan hilang ditelan gelapnya malam.
Latihan yang berat itu  pun terpaksa terhenti. Kiai Gringsing yang juga telah mendengar suara panah sendaren itu bergumam,
“Agaknya para peronda bertemu dengan iblis dari lereng Merapi itu.”
Swandaru dan Agung Sedayu  pun kemudian sempat mendengar suara panah sendaren itu pula. Bahkan kemudian sekali lagi lamat-lamat terdengar suara desing panah sendaren yang ketiga.
“Guru,” berkata Swandaru,
“apakah kita akan pergi juga ke sana?”
Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. “Kami tidak membawa kuda.”
“Kita dapat berlari.”
Sejenak Kiai Gringsing berpikir. Tetapi tentu ia tidak dapat berdiam diri seandainya yang datang itu benar-benar Ki Tambak Wedi, Sidanti, dan Argajaya,
“Marilah, Kita melihat apa yang terjadi. Mudah-mudahan kita tidak terlambat.”
Mereka bertiga  pun segera pergi meninggalkan gunung Gowok. Tetapi mereka tidak berada dalam kesiagaan sepenuh Ki Sumangkar yang merasa mempunyai tanggung jawab sepenuhnya atas Ki Tambak Wedi, sehingga setiap saat ia seakan-akan tidak pernah terpisah dari kudanya. Dengan tergesa-gesa mereka menuju langsung ke induk kademangan untuk mencari arah suara panah sendaren itu. Menurut pengamatan Ki Tanu Metir, maka suara itu bersumber dari sebelah Utara, tidak terlampau jauh dari induk kademangan.
“Mereka memang berani,” gumamnya di dalam hati.
“Mereka berani melakukan perbuatannya itu dekat sekali dengan induk kademangan. Mungkin mereka sengaja memancing beberapa orang peronda dan kemudian membunuhnya. Tetapi mereka tidak tahu bahwa di sini telah hadir Adi Sumangkar yang akan dapat mengimbangi ketangguhan Ki Tambak Wedi.”

Ketika mereka kemudian memasuki induk kademangan, maka mereka melihat prajurit-prajurit Pajang dan anak-anak muda Sangkal Putung telah berada di gardu masing-masing, serta yang lain telah menuntun, kuda-kuda mereka. Setiap saat mereka akan dapat melakukan apa saja, untuk kepentingan kademangan itu.
“Di manakah Angger Widura?” bertanya Ki Tanu Metir kepada salah seorang prajurit pengawal kademangan.
“Ki Widura sudah berangkat, Kiai. Berkuda bersama beberapa orang prajurit. Kami telah mendapat perintah untuk bersiap. Setiap saat para prajurit berkuda itu harus berangkat membantunya apabila diperlukan.”
“Kita mengambil kuda-kuda kita,” berkata Swandaru kemudian sambil berlari ke belakang rumahnya, ke kandang kuda.
Agung Sedayu dan Ki Tanu Metir pun kemudian menyusulnya. Secepat-cepatnya mereka mempersiapkan kuda-kuda yang masih berada di kandang. Kuda Ki Demang Sangkal Putung. Tetapi kuda itu hanya dua ekor, sehingga Swandaru sendiri akhirnya mencari seekor kuda yang lain. Ketika di halaman kademangan ia melihat segerombol anak-anak muda Sangkal Putung, dan ada satu dua di antaranya yang menuntun kuda-kuda mereka, maka segera kuda itu dipinjamnya.
“Aku sangat memerlukan segera,” katanya.
Swandaru itu terkejut ketika ia mendengar seseorang bertanya,
“Kau akan pergi ke mana Swandaru?”
Suara itu adalah suara ayahnya, Ki Demang Sangkal Putung.
“Aku harus pergi juga ayah. Mungkin aku dapat bertemu dengan Sidanti.”
“Sendiri?”
“Tidak, bersama Kakang Agung Sedayu dan Kiai Gringsing.”
Ki Demang Sangkal Putung memandang ke arah yang ditunjuk oleh Swandaru di sisi regol kademangan. Remang-remang dilihatnya dua orang yang memegangi kendali dua ekor kuda telah siap menanti.
“Kuda-kuda itu kuda kita?” bertanya ayahnya.
“Ya, tetapi hanya ada dua ekor. Aku sendiri terpaksa meminjam kuda ini.”
“Hati-hatilah,” berkata ayahnya,
“kau belum mengenal tabiat kuda ini. Tetapi yang lebih berbahaya lagi adalah Ki Tambak Wedi dan kedua orang kawannya itu.”
“Aku bersama guru,” sahut Swandaru. Ki Demang Sangkal Putung mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia melangkah di belakang Swandaru ketika Swandaru pergi mendapatkan gurunya.
“Ki Sumangkar belum ada di sini,” berkata Ki Demang itu.
“Angger Widura berangkat tanpa orang tua itu. Hanya beberapa orang prajurit pilihan yang memang telah disiapkannya saja yang pergi bersamanya.
“Adi Sumangkar telah pergi langsung mendapatkan tamunya,” sahut Kiai Gringsing.
“Oh, syukurlah,” gumam Ki Demang itu seakan-akan kepada diri sendiri.
“Baiklah, kami segera minta diri,” berkata Kiai Gringsing kemudian.
Maka mereka bertiga itu  pun segera meninggalkan halaman kademangan. Ketika mereka telah berada di jalan yang membelah induk Kademangan Sangkal Putung, maka segera mereka memacu kuda-kuda mereka. Semakin lama semakin cepat.
“Kita kemana guru?” bertanya Swandaru.
“Apakah kita menyusur jalan ini lalu berbelok ke Utara?”
“Ya. Kita telusuri jalan ini. Sebelum kita sampai ke ujung kademangan, kita berbelok ke utara. Mungkin Angger Widura mengambil jalan lain. Tetapi itu tidak penting. Setelah kita berada di bulak, maka kita akan segera mengetahui, di mana terjadi perkelahian itu.”
Swandaru tidak menjawab. Dan kuda-kuda mereka  pun berpacu semakin cepat.
Angin malam yang sejuk mengusap wajah-wajah yang tegang itu. Semakin cepat kuda-kuda mereka berpacu, maka dingin malam semakin tajam, maka dingin malam semakin menyengat kulit. Tetapi karena ketegangan hati yang semakin tajam, maka dingin itu  pun tidak begitu terasa lagi.
Dalam berpacu kuda terdengar Kiai Gringsing berkata,
“Aku tidak mendengar tanda-tanda berikutnya.”
“Ya,” sahut Agung Sedayu,
“mungkin Paman Widura atau Ki Sumangkar telah berada di antara mereka. Atau bahkan keduanya.”
“Mudah-mudahan tidak demikian,” berkata Kiai Gringsing.
“Sumangkar cukup cepat bertindak. Agaknya Angger Widura  pun tidak akan terlambat pula.”
Kedua anak-anak muda itu  pun kemudian terdiam. Mereka berusaha memacu kuda mereka semakin cepat.

Sementara itu Sumangkar  pun sedang memacu kudanya, lewat jalan sempit di antara tanaman-tanaman pategalan yang sedang menghijau. Ia tahu tepat dari manakah arah suara panah sendaren itu. Karena itu, maka ia langsung dapat menuju ke tempat itu. Di bulak yang tidak terlampau luas, di samping sebuah tegalan yang agak rimbun.
“Setan-setan itu pandai memilih tempat untuk mencegat para peronda,” desis Sumangkar di dalam hatinya.
“Mereka pasti bersembunyi di pategalan itu, lalu dengan tiba-tiba menyergap para peronda. Untunglah bahwa salah seorang di antara mereka masih sempat memberikan tanda sampai tiga kali berturut-turut.”
Orang tua itu sama sekali tidak menghiraukan lagi titik-titik embun di dedaunan yang tersentuh bajunya. Betapa dingin malam itu, namun baju Sumangkar menjadi basah. Basah oleh keringat dan basah oleh embun. Ternyata perhitungan Sumangkar sama sekali tidak salah. Di ujung pategalan yang rimbun di seberang bulak, lima orang peronda telah bertemu dengan Ki Tambak Wedi, Sidanti, dan Argajaya yang masih saja berkeliaran membawa dendam yang membara di hatinya, seperti hantu yang setiap kali bangkit dari kuburnya untuk menghisap darah orang-orang yang masih hidup. Pertemuan itu begitu tiba-tiba, sehingga hampir-hampir para peronda tidak sempat memberikan tanda-tanda itu. Untunglah bahwa salah seorang dari padanya dengan cepat mampu menjauhkan dirinya di atas punggung kudanya. Dengan kemungkinan yang ada ia sempat melepaskan tiga buah anak panah sendaren. Selebihnya, ia harus berkelahi dengan pedangnya. Tetapi lawan mereka sama sekali tidak seimbang. Sidanti dan Argajaya. Meskipun demikian, kuda-kuda mereka sekedar dapat membantu mereka. Kecepatan kaki-kaki kuda mereka sajalah yang mampu menyelamatkan mereka dari tangan Sidanti dan Argajaya. Agaknya Ki Tambak Wedi masih terlampau malas untuk berbuat sesuatu. Bahkan sambil berdiri bersandar sebatang pohon nangka ia berkata lantang,
“Sidanti, jangan segera kau bunuh kelinci-kelinci itu. Biarlah kita pergunakan mereka sebagai umpan. Aku ingin kawan-kawan mereka segera datang membunuh dirinya di sini. Aku mengharap Widura sendirilah yang datang. Aku ingin melihat bagaimana Untara menangisi mayat pamannya itu. Ia pasti akan diberitahu seandainya pamannya itu benar-benar terbunuh.”
Sidanti dan Argajaya tidak menjawab. Tetapi mereka senang mendengar rencana Ki Tambak Wedi. Bahkan orang yang melepaskan panah sendaren itu pun seolah-olah diberinya kesempatan sebelum ia melibatkan diri dalam perkelahian itu pula. Ki Tambak Wedi melihat Sidanti berkelahi melawan tiga orang lawannya, sedang Argajaya melawan dua orang. Betapa kelima prajurit itu mengerahkan segenap kecakapan dan kemampuan yang ada padanya, namun mereka sama sekali tidak mampu berbuat sesuatu. Meskipun kuda-kuda mereka menyambar berganti-ganti, tetapi mereka masih mendengar Sidanti tertawa dan berkata,
“He, hati-hati. Kudamu dapat terperosok ke dalam parit.”
Prajurit-prajurit itu menggeram, tetapi mereka menyadari, dengan siapa mereka sedang berkelahi, dan mereka masih juga mendengar Sidanti berteriak,
“Jangan mati dulu karena pokalmu sendiri. Kami ingin menjadikan kalian umpan untuk mengundang kawan-kawanmu yang kami ingini.”

Sama sekali tidak terdengar jawaban. Prajurit-prajurit itu berkelahi semakin sengit. Tetapi lawan mereka terlampau lincah. Bahkan apa yang dikatakan Sidanti benar-benar terjadi, Salah seekor dari kuda-kuda itu terperosok ke dalam parit, sehingga penunggangnya  pun terpelanting jatuh.
“He, apakah kau sudah berputus asa dan mencoba membunuh dirimu?” bertanya Sidanti.
Prajurit itu tidak menjawab. Tetapi ia menyeringai menahan sakit di punggungnya.
Ki Tambak Wedi masih berdiri saja bersandar pohon nangka. Ia mengharap Widura datang sendiri ke arena perkelahian itu, sehingga ia akan dapat membunuhnya.
“Aku sudah jemu membunuh kelinci-kelinci yang tidak berarti itu,” gumamnya.
“Aku ingin membunuh orang-orang yang dianggap penting di Sangkal Putung, Widura dan Demang itu pula.”
Ki Tambak Wedi berhenti sejenak. Diangkatnya kepalanya. Katanya kemudian,
“Nah, aku mendengar derap beberapa ekor kuda, Mudah-mudahan Widura ada di antara mereka.”
Dalam keremangan malam, akhirnya Ki Tambak Wedi lihat iring-iringan kuda mendekatinya.
“Hem,” desisnya,
“mereka terlampau sombong. Mereka datang dalam jumlah yang terlampau kecil. Tidak sampai sepuluh orang.”
Sidanti dan Argajaya pun sempat melihat kuda-kuda yang menjadi semakin dekat. Memang yang datang itu tidak sampai berjumlah sepuluh orang.
“Mereka memang terlampau sombong,” sahut Sidanti.
“Ada kemungkinan bahwa mereka tidak tahu, bahwa kitalah yang berada di sini,” berkata Argajaya.
“Mungkin. Mungkin mereka menyangka bahwa yang di sekitar Sangkal Putung hanyalah beberapa orang perampok atau pencuri ayam,” sahut Ki Tambak Wedi kemudian.
Orang tua itu  pun kemudian melangkah maju. Dilihatnya Sidanti dan Argajaya yang masih saja berkelahi melawan prajurit peronda itu.
“Guru,” bertanya Sidanti,
“apakah aku harus mengakhiri perkelahian. Bukankah mereka telah melihat dan mengetahui bahwa kawan-kawannya berada di sini?”
Ki Tambak Wedi merenung sejenak. Kuda-kuda yang mendatangi itu menjadi semakin dekat. Ki Tambak Wedi berpaling ketika ia mendengar seekor lagi jatuh terperosok. Dan seorang prajurit lagi terpelanting jatuh di seberang parit dan terlempar ke dalam pategalan yang ditumbuhi oleh bermacam-macam tanaman itu. Tetapi belum lagi orang itu sempat berdiri, maka kuda yang ketiga telah jatuh pula. Kali ini tidak tergelincir ke dalam parit, tetapi kaki depannya ternyata telah disentuh oleh tombak Argajaya. Tiba-tiba terdengar suara Ki Tambak Wedi lantang,
“Selesaikan mereka.”

Sementara itu kuda-kuda yang lain telah menjadi terlampau dekat. Ki Tambak Wedi membiarkan kuda-kuda itu memencar. Sebagian meloncati parit dan berada di tengah-tengah sawah yang becek. Yang lain berputar dari arah seberang menyeberang. Ki Tambak Wedi berdiri tegak, di tengah-tengah jalan di ujung pategalan yang rimbun. Dalam keremangan malam, ia melihat seseorang yang memimpin prajurit-prajurit Pajang itu. Orang itu adalah Widura.
“Kau, Widura,” desis Ki Tambak Wedi.
Widura mengerutkan keningnya. Katanya lantang,
“Menyerahlah Tambak Wedi. Lepaskan perkelahian antara muridmu dengan prajurit-prajuritku itu.”
“Jangan mimpi. Sidanti harus membunuhnya segera.”
“Tidak terlampau mudah. Mereka adalah prajurit pilihan.”
“Oh, itukah prajurit-prajurit Pajang pilihan? Tiga ekor kuda mereka telah tidak dapat dipergunakan lagi. Yang dua jatuh di parit, agaknya kaki-kakinya terkilir. Meskipun kuda-kuda itu sempat bangun, tetapi kuda-kuda itu tidak akan dapat dipergunakan lagi. Yang seekor sebentar lagi akan mati di tengah jalan itu.”
Widura tidak segera menjawab. Tetapi ia mencoba melihat keadaan. Namun malam yang gelap tidak memberinya kesempatan untuk memperhatikan perkelahian itu dengan seksama. Apalagi ia harus selalu waspada, bahwa setiap saat Ki Tambak Wedi dapat saja melepaskan gelang-gelangnya. Mungkin ke arahnya, tetapi mungkin juga ke arah prajurit-prajuritnya.
Widura mengangkat dahinya ketika ia mendengar Ki Tambak Wedi berkata,
“Mungkin kau tidak dapat melihat perkelahian itu dengan jelas Widura, sebab kami berada di tempat yang agak gelap. Tetapi kami dapat melihat kau dan orang-orangmu lebih jelas karena kau berada di tempat yang terbuka.”
Widura menggeram, dan sekali lagi ia berkata lantang,
“Hentikan perkelahian dan menyerahlah.”
“Jangan sombong,” sahut Ki Tambak Wedi. Sebentar lagi orang-orangmu akan mati, kau  pun akan mati pula. Aku ingin melihat Untara yang perkasa itu menangisi mayatmu. Dan aku ingin melihat apa yang akan dilakukan oleh Kiai Gringsing apabila ia datang pula kemari bersama Untara dari Jati Anom.”
Widura terdiam sejenak. Ternyata berita kedatangan Kiai Gringsing masih belum didengar oleh Ki Tambak Wedi yang berada di dalam persembunyiannya.
“Ayo Widura,” berkata Ki Tambak Wedi itu kemudian.
“Kenapa kau masih diam saja. Sudah aku katakan, aku tidak akan menyerah. Aku ingin membunuhmu dan menggantungmu di ujung Kademangan Sangkal Putung. Aku ingin memperlihatkan bahwa inilah seorang yang diserahi pimpinan tertinggi prajurit Pajang di Sangkal Putung.”

Widura masih berdiam diri. Tetapi ia menjadi heran. Panah sendaren yang berdesing tiga kali berturut-turut dirasanya cukup dapat didengar dari seluruh induk kademangan. Tetapi ia masih belum melihat Ki Sumangkar hadir di tempat itu. Menurut perhitungannya, dimana pun Sumangkar berada, maka ia pasti sudah sampai di tempat itu dan berbuat sesuatu. Karena itu ia hanya membawa sepuluh orang prajurit pilihan. Sejenak timbul kecurigaannya kepada orang tua, adik perguruan Patih Mantahun dari Jipang itu. Apakah sebenarnya ia dapat dipercaya? Apakah sengaja ia memperlambat kedatangannya dengan perhitungan-perhitungan tertentu? Kalau ia telah hadir, maka pasti sudah melibatkan dirinya melawan Ki Tambak Wedi, tetapi ternyata Ki Tambak Wedi masih berdiri bebas.
Namun bagaimanapun juga ia harus bertindak. Ia tidak boleh membiarkan orang-orang itu berbuat sekehendak hatinya. Apalagi ia masih melihat orang-orangnya yang terdahulu melakukan perlawanan yang gigih. Bahkan terlampau gigih meskipun Widura tidak dapat melihat dengan jelas. Dua di antara mereka masih berada di atas punggung kuda, sedang yang lain berkelahi di atas tanah.
“Aku tidak boleh menunggu mereka binasa,” pikir Widura, karena itu maka hadir atau tidak hadirnya Sumangkar, ia harus bertindak. Namun ia harus memberi isyarat kepada prajurit penghubungnya untuk melepaskan tanda setiap saat, apabila Sumangkar benar-benar tidak hadir. Bahkan Widura itu mengharap, Kiai Gringsing, Swandaru, dan Agung Sedayu dapat menangkap isyarat panah sendaren itu pula, sehingga apabila demikian, maka kemungkinan terbesar iblis-iblis itu tidak akan dapat lolos lagi.
Tetapi ia memerlukan waktu untuk itu. Sekarang, pada saat-saat yang genting itu, ia harus sudah dapat mengambil sikap untuk menghadapi Ki Tambak Wedi, Sidanti, dan Argajaya. Sesaat Widura memandang ke arah prajurit-prajuritnya yang bertebaran di segala arah. Ia harus segera memberikan aba-aba, dan prajurit-prajuritnya segera akan berbuat sesuatu, sementara itu salah seorang dari mereka harus melepaskan panah-panah sendaren. Ketika Widura hampir meneriakkan aba-aba, tiba-tiba ia mendengar Ki Tambak Wedi berkata,
“He, Sidanti. Kenapa kau tidak segera menyelesaikan yang lima orang itu bersama Angger Argajaya. Di sini telah hadir permainan-permainan yang baru, yang akan lebih mengasyikkan dari yang lima itu.”
Tetapi Sidanti tidak segera menjawab. Bahkan nafasnyalah yang mengalir semakin cepat dari lubang-lubang hidungnya.
“Sidanti,” teriak Ki Tambak Wedi kemudian,
“bunuh saja mereka itu.”
Masih belum terdengar jawaban. Dalam kegelapan mereka masih saja bertempur berputaran. Bahkan sekali-sekali mereka menyusup ke dalam pategalan yang rimbun, kemudian terjadi perkelahian di antara tanaman-tanaman yang berjajar sebagai pagar pategalan itu. Sejenak kemudian mereka muncul lagi. Dua orang prajurit yang masih berada di punggung kudanya bahkan merasa canggung. Kuda-kuda mereka selalu terhalang oleh pepohonan.
“Setan benar kedua orang itu,” berkata mereka di dalam hati.
“Mereka berusaha menyeret perkelahian ke dalam pategalan, sehingga kuda-kuda ini tidak bisa bergerak lagi.”
Karena itu, maka tanpa berjanji mereka  pun segera berloncatan dari kuda-kuda mereka, dan langsung melibatkan diri dalam perkelahian yang berputar-putar itu.
“Sidanti,” terdengar Ki Tambak Wedi berkata,
“apa kau sudah menjadi gila, he?”
Tetapi Sidanti tidak menjawab. Bahkan kemudian Ki Tambak Wedi melihat Sidanti itu terdesak beberapa langkah surut. Namun sesaat kemudian Argajaya lah yang terpaksa meloncat-loncat.
“Kenapa kau, he?” berteriak Ki Tambak Wedi pula.
“Guru,” sahut Sidanti, “ada yang tidak wajar di sini.

Ki Tambak Wedi tidak menunggu lebih lama lagi. Segera ia meloncat mendekati Sidanti yang hampir-hampir saja kehilangan kesempatan untuk melawan serangan lawannya. Dan inilah yang tidak masuk ke dalam akalnya. Lawannya tiba-tiba menjadi sangat garang. Salah seorang dari mereka mampu berloncatan seperti burung sikatan. Sekali-kali menyerangnya, dan tiba-tiba saja orang itu telah menyelamatkan prajurit-prajurit yang hampir mati karena tombak Argajaya. Bahkan seandainya orang itu berkelahi seorang diri, mungkin Sidanti dan Argajaya justru tidak dapat melawannya lagi. Karena orang itu masih berhasrat ingin menyelamatkan kawan-kawannya, maka Sidanti dan Argajaya masih sempat memberikan perlawanan serba sedikit. Namun mereka benar-benar berada di dalam kesulitan. Dan kesulitan itu kemudian dapat dilihat oleh Ki Tambak Wedi. Tambak Wedi yang mempunyai pengamatan yang jauh lebih tajam dari murid-muridnya dan Argajaya segera melihat ketidak wajaran itu. Meskipun di dalam gelap karena bayangan rimbunnya dedaunan, namun ia segera dapat melihat, siapakah yang berdiri di hadapannya dengan ikat kepala yang menutup sampai di kening. Karena itu maka segera ia berteriak lantang,
“Minggir Sidanti, apakah kau sudah buta. Untung kau belum mati. Biar aku selesaikan orang ini. Bunuh saja yang lain secepat kau mampu melakukan.”
Namun pada saat itu, Widura ternyata mencoba mengambil kesempatan. Ia tidak mau terlambat. Karena itu maka segera kudanya melangkah maju. Tetapi sulitlah baginya untuk berkelahi di antara pagar pategalan itu dengan kudanya. Karena itu maka segera ia  pun meloncat turun diikuti oleh beberapa prajuritnya.
“Sidanti,” panggil Widura, “kau masih ingin melakukan perang tanding?”
Sidanti menggeram. Tetapi ia terdiam ketika ia mendengar gurunya berkata,
“Apa kerjamu he bunglon busuk?”
Yang terdengar adalah suara tertawa yang bernada tinggi.
“Tutup mulutmu!” teriak Ki Tambak Wedi. Tetapi suara tertawa itu masih terdengar, dan di antara suara itu terdengar kata-kata,
“Aku di sini, Angger Widura.”
“Oh,” Widura menarik nafas dalam-dalam. Suara itu adalah suara Sumangkar.
“Aku juga baru saja tiba di tempat ini,” terdengar suara itu pula. Aku mencoba mengambil kesempatan ketika aku melihat salah seorang prajurit Pajang terbaring di pategalan ini. Agaknya ia pingsan ketika ia terlempar dari kudanya.”
“Apakah Kiai tidak berkuda?” Widura sempat bertanya. Dalam pada itu, ia melihat Ki Tambak Wedi telah menyerang Sumangkar dengan garangnya. Di dalam kegelapan ia melihat bayangan orang-orang tua itu berloncatan dengan cepatnya.
Dan Sumangkar masih memerlukan menjawab,
“Aku tinggalkan kudaku di sebelah pategalan ini. Aku ingin mengintai lebih dahulu. Tetapi ternyata aku hampir terlambat.”

Widura tidak bertanya lagi. Bukan waktunya untuk bercakap-cakap. Kini ia melihat Sidanti berdiri tegak dan telah bersiap untuk melawannya. Sedang Argajaya masih terlampau sibuk berkelahi. Tetapi, kini lawannya justru bertambah ringan, meskipun jumlahnya bertambah banyak. Karena seorang di antaranya, yang telah menumbuhkan keheranannya, kini sudah mendapat lawan sendiri. Sumangkar yang sudah harus bertempur melawan Ki Tambak Wedi. Karena itulah, maka kini ia mampu menghadapi lawan-lawannya sendiri dan lawan-lawan Sidanti sekaligus. Empat orang. Sedang Sidanti harus berhadapan dengan Widura. Tetapi ternyata Widura itu tidak sendiri. Ia datang bersama beberapa orang prajurit, justru prajurit-prajurit pilihan. Namun, Widura masih saja berdiri dengan tegangnya di tepi jalan di ujung pategalan itu. Dalam keremangan malam dilihatnya Sidanti sudah siap untuk menghadapinya. Meskipun demikian Widura berusaha apabila mungkin untuk menangkap mereka tanpa perkelahian dan korban meskipun harapan itu sangat tipis baginya. Karena itu, maka sekali lagi ia berkata lantang,
“Kau tidak akan dapat berbuat apa-apa lagi. Gurumu sudah terikat oleh sebuah perkelahian yang seimbang dengan Ki Sumangkar. Kawanmu yang seorang itu, yang menurut pendengaranku adalah pamanmu, Argajaya, harus berkelahi mati-matian pula melawan keempat orang prajurit itu. Sekarang kau harus berhadapan dengan aku. Tetapi aku datang bersama sepuluh orang prajurit pilihan. Apakah kau tidak lebih baik menyerah saja sebelum kami mendapat kesan yang lebih buruk lagi tentang kau dan guru serta pamanmu? Dengan demikian tanggung jawabmu atas segala perbuatanmu itu akan menjadi lebih ringan.”
Yang terdengar kemudian adalah anak muda itu menggeram. Dengan darah yang mendidih sampai ke ubun-ubunnya ia menjawab kasar,
“Jangan banyak berbicara saja. Ayo Widura, berbuatlah sesuatu. Kalau kau ingin menangkap Sidanti dengan cara yang licik itu, segera lakukanlah. Aku sudah menyangka bahwa kau tidak akan berani berbuat secara jantan. Kau tidak dapat mengalahkan aku dalam perang tanding. Sekarang kau datang beramai-ramai dengan pengawalmu itu. Tetapi aku tidak akan dapat kau takut-takuti seperti perempuan cengeng.”
“Kau terlalu diburu oleh nafsu yang tidak terkendali Sidanti.”
“Jangan banyak bicara. Ayo, aku sudah siap.”
Widura mengerutkan keningnya. Ia sudah mengira bahwa anak itu benar-benar keras kepala seperti gurunya.
“Kau keras kepala.”
“Majulah bersama. Jangan hanya sepuluh orang. Seluruh kekuatan yang ada di Sangkal Putung, prajurit-prajurit Pajang dan anak-anak mudanya yang bengal. Aku tidak akan gentar.”
“Apakah itu sudah menjadi keputusanmu?”
“Ya. Aku bukan Widura yang licik dan pengecut. Aku ingin berbuat jantan. Kalau kau hanya berani berkelahi dengan cara itu, ayo lekas lakukanlah.”

Widura mengerutkan keningnya. Wajahnya menjadi kian tegang. Ia merasa kata-kata Sidanti sengaja diucapkan untuk memanaskan hatinya sehingga ia mendapat kesempatan untuk melawannya seorang lawan seorang. Tetapi kali ini Widura tidak ingin terbakar oleh kata-kata lawannya. Maka jawabnya,
“Aku adalah seorang pemimpin prajurit dalam suatu kesatuan yang bulat. Tugasku adalah tugas anak buahku dan sebaliknya. Maka tugas kami bersama-sama pulalah untuk menyelesaikan pengkhianatanmu. Masalah ini bukan masalah pribadi yang harus diselesaikan secara pribadi.”
“Setan!” geram Sidanti.
“Kenapa kau hanya berbicara saja? Aku menjadi muak mendengarnya. Apakah perwira Wira Tamtama Pajang hanya mampu berbicara dan berkelahi beramai-ramai?”
“Baiklah Sidanti,” jawab Widura dalam nada yang berat. Dugaannya sama sekali tidak salah, bahwa Sidanti tidak akan dapat dijinakkannya.”
Dengan demikian, maka Widura itu  pun melangkah maju semakin dekat. Dengan tangannya maka diberinya prajurit-prajuritnya isyarat. Sebagai prajurit-prajurit pilihan, di bawah pimpinan Widura langsung, maka mereka hanya memerlukan waktu yang sangat pendek untuk segera menebar dan menutup kemungkinan perlawanan yang berarti bagi Sidanti. Sidanti yang melihat kilatan ujung senjata dari segala pihak segera menempatkan dirinya dalam kewaspadaan tertinggi. Ia mengharap bahwa pepohonan dan pagar pategalan itu dapat membantunya. Ketika ia memandang dengan sudut matanya, maka dilihatnya Argajaya telah berhasil mendesak keempat lawannya sehingga keempatnya harus berjuang sekuat tenaga mereka untuk bertahan dan menghindari sambaran ujung tombak pendek orang kedua dari Menoreh itu. Sedang di tempat lain, gurunya bertempur mati-matian melawan Sumangkar. Namun, dalam sekilas, Sidanti tidak dapat melihat, siapakah yang berada dalam keadaan lebih baik dari mereka berdua itu.
“Kau tidak akan mendapat bantuan dari siapa pun,” geram Widura.
“Persetan!” teriak Sidanti.
“Aku memberi kesempatan terakhir.”
Sidanti tidak menjawab. Tetapi matanya seolah-olah menyala karena kemarahannya.
Widura yang melihat keempat prajuritnya terdesak melawan ketangkasan Argajaya, maka segera dilepaskannya dua orangnya untuk membantu keempat kawannya. Sedang sisanya segera bergerak mendekati Sidanti dari arah yang berbeda-beda. Tetapi, bagi Sidanti tidak ada seleret pikiran pun untuk menyerahkan diri. Kalau Widura berhasil menangkapnya, maka ia hanya akan menangkap mayatnya. Dengan demikian, maka Sidanti itu  pun menjadi seolah-olah wuru. Tidak ada pertimbangan lain soal itu kecuali mati. Tetapi, agaknya gurunya, Ki Tambak Wedi mempunyai perhitungan tersendiri. Sambil bertempur ia melihat apa yang telah dihadapi oleh Argajaya dan Sidanti. Ia melihat bahwa keadaan Argajaya tidak begitu membahayakan. Meskipun demikian dua orang baru yang di tempatkan Widura untuk melawan orang itu, agaknya akan segera mengganggu keseimbangan. Tetapi yang membuat ia cemas adalah Sidanti. Orang tua itu menyadari, bahwa untuk melawan Widura seorang diri, Sidanti belum pasti akan dapat memenangkannya meskipun ilmu Sidanti bertambah maju. Apalagi kini ia harus menghadapi Widura itu bersama delapan orang prajurit pilihan. Suatu kekuatan jauh di luar kemampuan Sidanti untuk mengimbanginya.

Sedang Ki Tambak Wedi sendiri telah terikat dalam pertempuran melawan Sumangkar, yang sama sekali tidak diduga-duganya akan berada di Sangkal Putung. Itulah sebabnya, maka Ki Tambak Wedi berusaha untuk memecahkan persoalan yang dihadapinya dengan secepat-cepatnya. Sambil berkelahi ia masih sempat melihat apa yang dilakukan oleh Argajaya dan Sidanti. Ia melihat Widura telah siap untuk berbuat sesuatu atas Sidanti. Meskipun tampaknya Sidanti tidak ingin mundur karena kekerasan hatinya, tetapi bagi Ki Tambak Wedi perbuatan itu sama sekali tidak akan berarti apa-apa. Seandainya Sidanti terbunuh, maka kematiannya benar-benar kematian yang sia-sia. Karena itu, sebelum Sidanti terlibat dalam perkelahian yang sangat berbahaya baginya, Ki Tambak Wedi harus mengambil suatu sikap. Dan sikap itu ternyata kemudian, ketika di pategalan itu terdengar suitan nyaring. Itu adalah aba-aba yang diberikan oleh Ki Tambak Wedi. Sidanti sendiri terkejut mendengar aba-aba itu. Terasa untuk sejenak jantungnya meronta. Sebagai seorang laki-laki yang keras hati, tanda-tanda itu telah memperkecil arti kejantanannya. Namun sejenak kemudian terasa suatu sikap baru di dalam dirinya. Sikap yang hampir-hampir tidak dipikirkan sebelumnya. Yaitu menghindar untuk sementara.
“Menghindar bukan berarti mengaku kalah,” kata Sidanti di dalam hatinya.
Ketika sekali lagi ia mendengar suara gurunya bersuit nyaring, maka ia telah memutuskan untuk menerima keadaan itu, betapa pedih terasa di dadanya. Tetapi anak muda itu bertekad untuk suatu saat dapat berbuat sesuatu. Ia ingin menebus segala kegagalan yang pernah dialaminya dalam petualangannya di sekitar Gunung Merapi ini. Tetapi Widura ternyata dapat menangkap isyarat yang diberikan oleh Ki Tambak Wedi. Widura mengerti bahwa Ki Tambak Wedi ingin melepaskan dirinya. Karena itulah maka ketika terdengar suitan Ki Tambak Wedi untuk kedua kalinya, maka suitan itu seolah-olah aba-aba yang diberikannya kepada Widura untuk mulai menyerang Sidanti. Sidanti yang sudah siap untuk menyingkir, masih sempat melihat para prajurit Pajang berloncatan dari beberapa arah. Tetapi untunglah bahwa Sidanti telah memperhitungkan keadaan pategalan itu sejak lama, Karena itu, maka segera ia menyelinap di antara pepohonan dan rimbunnya daun-daun perdu di dalam pategalan itu. Anak muda itu menyelinap di antara gerumbul-gerumbul salak yang tumbuh liar, di samping batang-batang melandingan dan pohon buah-buahan.

Melihat sikap itu, Widura mengumpat di dalam hatinya. Tetapi dengan prajurit-prajuritnya ia berusaha untuk mengejarnya. Bukan saja Sidanti, tetapi juga Argajaya dan Ki Tambak Wedi sendiri. Namun mengejar orang-orang yang cukup berilmu itu di dalam pategalan yang rimbun dan cukup pepat oleh tumbuh-tumbuhan perdu dan pohon buah-buahan, di malam yang gelap adalah pekerjaan yang cukup sulit. Itulah sebabnya, maka baik Widura sendiri, Sumangkar, maupun para prajurit Pajang terpaksa mengumpat di dalam hati masing-masing. Setelah sekian lama mereka berkejaran, namun mereka tidak berhasil menangkap ketiga orang ini. Sesaat kemudian, mereka masih mendengar suara suitan Ki Tambak Wedi di kejauhan. Widura, Sumangkar, dan para prajurit dapat mengerti, bahwa suitan itu adalah tanda-tanda yang diberikan oleh Ki Tambak Wedi. Namun demikian tanda-tanda itu tidak segera dapat dipecahkan oleh Widura maupun oleh Sumangkar. Mereka hanya dapat mengerti maksudnya, tetapi mereka tidak dapat mengerti arti yang sebenarnya.
Akhirnya, Widura terpaksa menghentikan pengejarannya. Widura menyadari bahaya yang dapat timbul, apabila pengejaran itu dilakukan terus. Widura mencemaskan para prajuritnya, apabila tiba-tiba saja satu demi satu mereka akan ditemui oleh Ki Tambak Wedi. Dalam kejar-mengejar hal yang demikian itu akan mungkin terjadi. Apalagi Ki Tambak Wedi mampu membunuh orang dari kejauhan dengan gelang-gelang besinya. Seandainya kali ini  pun Ki Tambak Wedi membawa banyak gelang-gelang besi itu, maka akibatnya akan sangat berbahaya. Seandainya ia kehabisan gelang-gelang besinya, maka kecakapannya membidik itu akan dapat juga dipergunakan dengan benda yang ditemuinya di sembarang tempat. Batu-batu misalnya atau apa saja. Sejenak kemudian Sumangkar, Widura, dan para prajuritnya telah berkumpul kembali. Meskipun tidak ada yang terbunuh, namun peronda yang pingsan karena terlempar dari punggung kudanya, ternyata mengalami luka yang cukup parah. Punggungnya terantuk segumpal padas yang tajam. Seorang lainnya yang bertempur melawan Argajaya terluka di pelipis dan yang seorang lagi di lengannya. Untunglah bahwa luka-luka itu bukan luka yang parah. Meskipun demikian, mereka harus segera mendapat perawatan. Sumangkar segera memberi mereka obat yang dapat menawarkan mereka dari gigitan warangan yang mungkin diberikan pada ujung tombak Argajaya.
“Tubuhku terasa panas sekali,” prajurit-prajurit yang terluka itu mengeluh.
Sumangkar mengerutkan keningnya. Katanya kemudian,
“Nah, aku memang menyangka, bahwa ada racun warangan betapapun lemahnya di ujung tombak Argajaya. Untunglah bahwa racun itu belum mencengkeram jantungmu, sehingga berhenti berdenyut.”
Prajurit-prajurit yang terluka itu tidak menyahut. Dengan susah payah mereka diangkat oleh kawan-kawan mereka untuk dibawa ke kademangan.
“Selama ini kita tidak melihat Kiai Gringsing,” gumam Widura di sepanjang jalan menuju ke halaman Kademangan Sangkal Putung.
Sumangkar mengangguk-anggukkan kepalanya. Sebenarnya ia  pun mengharap Ki Tanu Metir untuk segera datang sebelum mereka kehilangan ketiga orang buruan itu. Tetapi agaknya Ki Tanu Metir memerlukan waktu untuk menyusulnya.
“Aku sebenarnya mengharapkannya,” berkata Widura kemudian.
“Aku juga,” sahut Sumangkar.
“Apabila Kiai Gringsing hadir dalam pertempuran ini, maka aku kira Ki Tambak Wedi akan dapat ditangkap, mati atau hidup.”
“Ya, itulah sebabnya aku mengharapkannya. Tetapi ternyata ia tidak datang. Kehadirannya bersama Swandaru dan Agung Sedayu akan sangat berarti dalam pertempuran ini.”
“Ya,” Sumangkar menyahut, “aku kira ketiganya akan datang juga. Tetapi mereka memerlukan waktu.”
“Waktu telah cukup panjang.”
“Belum cukup bagi mereka,” Sumangkar berhenti sejenak, lalu katanya kemudian,
“Aku bersama mereka di Gunung Gowok ketika para peronda melemparkan panah sendaren.”
“Oh.”
“Aku segera meninggalkan mereka dengan kudaku. Tetapi mereka tidak membawa seekor kuda pun.”
Widura mengangguk-anggukkan kepalanya,
“Apakah kalau mereka berjalan cepat-cepat, masih juga belum sampai di tempat perkelahian itu?”
“Belum Ngger. Mereka masih harus melintasi bulak dan pategalan. Jarak antara Gunung Gowok sampai ke ujung pategalan tempat perkelahian itu cukup panjang.”
“Mungkin mereka dapat singgah di kademangan untuk mengambil beberapa ekor kuda.”
“Itu pun memerlukan waktu. Mereka harus menyiapkan kuda-kuda mereka, kemudian menyusul kita kemari.”
“Apabila demikian kita harus bertemu mereka di jalan kembali ini.”
“Juga belum pasti. Kiai Gringsing dapat mengambil jalan yang lain karena mereka tidak tahu, jalan manakah yang kita lalui.”
Widura terdiam. Memang hal-hal yang serupa itu dapat terjadi. Ia menyesali bahwa ia tidak berhasil menahan ketiga orang itu agak lama untuk memberi kesempatan Kiai Gringsing hadir di tempat itu. Dengan demikian maka kemungkinan yang terbesar adalah Ki Tambak Wedi akan dapat ditangkap, hidup atau mati. Tetapi, kini mereka telah berhasil melepaskan dirinya. Dan semua perbuatan-perbuatannya masih akan dapat diulangi. Dengan merucutnya Ki Tambak Wedi, maka bahaya masih saja setiap saat menerkam kademangan ini dan seperti yang dikatakan oleh Ki Tambak Wedi, kademangan-kademangan lainnya akan dapat menjadi pelepasan kesal dan dendam orang-orang yang licik itu. Terutama yang telah membuat hubungan kurang baik dengan salah seorang dari mereka adalah Prambanan.

Dalam pada itu, Ki Tambak Wedi, Sidanti, dan Argajaya berdiri di pategalan itu di ujung yang lain. Dengan wajah yang seolah-olah menyalakan kemarahannya, setiap kali terdengar Ki Tambak Wedi menggeram.
“Kenapa kita tidak tahu bahwa Sumangkar, bunglon gila itu berada di sini?” desis Ki Tambak Wedi.
Sidanti dan Argajaya tidak menjawab. Seharusnya merekalah yang melontarkan pertanyaan itu kepada Ki Tambak Wedi. Namun bagi keduanya, hal itu sudah bukan merupakan pertanyaan lagi. Setiap hari mereka hanya berusaha menyembunyikan diri saja. Mereka tidak ingin dikenal sebagai Ki Tambak Wedi, Sidanti dan Argajaya. Sebab apabila demikian, maka Sangkal Putung akan meningkatkan kewaspadaan mereka semakin tinggi. Para peronda akan memperlengkapi diri dengan syarat-syarat perlawanan yang cukup bagi mereka. Itulah sebabnya, maka hubungan mereka hampir terputus sama sekali dengan orang-orang di sekitar tempat mereka bersembunyi. Hanya sekali-sekali mereka mendatangi satu dua rumah dengan menutup muka mereka agar tidak seorang  pun yang dapat mengenal. Mereka hanya memerlukan makan dan sekedar bekal untuk segera menghilang lagi ke dalam hutan-hutan yang tidak terlampau lebat di sekitar Kademangan Sangkal Putung, untuk setiap saat muncul dan mencegat para peronda. Dengan tidak segan-segan mereka membunuh prajurit-prajurit yang tentu tidak akan mampu melawan mereka bertiga, meskipun seandainya jumlah prajurit itu berlipat tiga dari jumlah mereka. Apalagi hanya dua sampai lima orang.
“Sekali lagi tercoreng arang di wajah kita,” gumam Ki Tambak Wedi dengan nada yang terlampau dalam.
“Sumangkar telah turut serta menghalang-halangi kesenangan kita.”
“Ya,” sahut Sidanti. “Apakah kita akan tinggal diam untuk seterusnya.”
Ki Tambak Wedi mengerutkan keningnya.
“Kita harus menebus semua kekalahan ini,” geram Sidanti.
“Sidanti,” berkata Argajaya kemudian,
“kau masih memiliki kemungkinan itu. Bukankah kau putera Kakang Argapati. Kepala Tanah Perdikan Menoreh?”
“Ya, aku adalah putera dari Menoreh,” sahut Sidanti. “Bukankah begitu guru?”
Ki Tambak Wedi menganggukkan kepalanya. Tetapi tampaklah ia agak ragu.
“Bukankah guru sendiri sering mengatakan demikian?”
“Ya,” sahut Ki Tambak Wedi.
“Kita harus menebus segala kekalahan,” sekali lagi Sidanti menggeram.
Tetapi Ki Tambak Wedi tidak segera menanggapi angan-angan Sidanti tentang tanah perdikannya. Tampaklah orang tua itu kini dicengkeram kebimbangan.
“Apakah kita akan membiarkan diri kita dihinakan begini jauh guru?”
Ki Tambak Wedi masih berdiam diri. Matanya memandang jauh menembus gelapnya malam, seolah-olah ia ingin melihat apakah yang tersimpan di balik layar yang hitam pekat.
“Bagaimana guru?” bertanya Sidanti. “Bagaimanakah pertimbangan guru tentang hal ini?”

Ki Tambak Wedi menarik nafas dalam-dalam. Dihirupnya udara malam yang dingin sebanyak-banyaknya, seakan-akan orang tua itu ingin mendinginkan dadanya yang sedang membara.
“Ya, Kiai,” terdengar Argajaya menyambung.
“Sidanti adalah putera Kakang Argapati. Aku pun tidak rela melihat putera Kakang Argapati itu dihinakan orang di lereng Merapi ini.”
Perlahan-lahan Sidanti dan Argajaya melihat Ki Tambak Wedi mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ternyata jawabannya masih melontarkan keragu-raguannya,
“Mungkin demikian, Ngger.”
“Kenapa Kiai ragu-ragu,” bertanya Argajaya.
“Apakah Kiai ingin berbuat lain, atau mempunyai perhitungan lain?”
Ki Tambak Wedi belum menjawab.
“Kiai,” berkata Argajaya,
“Sidanti adalah putera seorang yang bukan saja mempunyai wewenang tertinggi di daerahnya, tetapi ayah Sidanti adalah seorang yang pilih tanding. Aku tidak tahu, siapakah yang lebih tua di dalam umur dan ilmu dengan Ki Tambak Wedi sendiri, tetapi setidak-tidaknya Kakang Argapati akan menjadi seorang yang dapat dihadapkan baik melawan Sumangkar maupun Ki Tanu Metir seandainya mereka bersama-sama berada di daerah ini. Jati Anom atau Sangkal Putung. Kakang Argapati akan dapat bersama-sama dengan Kiai, berhadapan dengan siapa  pun di sekitar lereng Merapi ini.”
Ki Tambak Wedi sekali lagi mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Bukankah begitu?” bertanya Argajaya.
“Ya, Ngger,” jawab Ki Tambak Wedi pendek.
“Tetapi kenapa Kiai menjadi ragu-ragu?”
“Sebenarnyalah bahwa aku ragu-ragu,” desis Ki Tambak Wedi.
“Kenapa?”
“Apakah Argapati dapat mengerti, apa yang sebenarnya terjadi atas puteranya?”
“Kenapa tidak?” sahut Argajaya.
“Aku akan menjadi saksi. Aku melihat sendiri, betapa perlakuan orang-orang Pajang sangat menyakitkan hati.”


Halaman 1 2 3


<<< Jilid 027                                                                                                       Jilid 029 >>>

Tidak ada komentar:

Posting Komentar