“Oh,” Widura
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ia bergumam,
“Apakah Kiai
beranggapan bahwa Sidanti telah mulai dengan perjalanan itu sekarang?”
“Belum,” sahut
Ki Tanu Metir,
“tetapi
apabila Ki Tambak Wedi mengetahui bahwa aku dan Adi Sumangkar berada di sini,
ia pasti segera akan pergi.”
“Baru kemarin
dulu aku masih kehilangan dua orang peronda dekat sekali dari induk
kademangan.”
Ki Tanu Metir
mengangguk-anggukkan kepalanya pula. Ketika ia berpaling ke arah Ki Sumangkar,
maka orang itu segera berkata,
“Aku belum
dapat berbuat apa-apa. Aku belum mulai, dan wilayah Sangkal Putung terlampau
luas. Ki Tambak Wedi dapat berada di segala arah. Itulah yang masih harus aku
usahakan, agar aku dapat menjumpainya.”
“Ya, ya aku
tahu,” sahut Ki Tanu Metir. Kemudian kepada Widura ia berkata,
“Kita harus
mencoba bertemu dengan orang-orang itu. Sebelum aku pergi, aku akan berusaha
bersama Adi Sumangkar. Tetapi apabila usaha itu tidak membawa hasil apa pun,
aku akan segera pergi ke Prambanan. Ada dua keuntungan. Bagi Prambanan dan bagi
murid-muridku. Agaknya kami tidak akan berhenti di Prambanan untuk seterusnya,
tetapi kami akan langsung menuju ke barat, melintasi Hutan Mentaok, dan
memasuki daerah Menoreh.”
Wajah Widura
menjadi semakin menegang.
“Kami ingin
tahu langsung, apakah yang akan dilakukan oleh Sidanti di daerahnya sendiri.
Apakah ia akan menyusun kekuatan dan dibawanya ke Sangkal Putung atau Tambak
Wedi, atau bahkan langsung menusuk jantung Pajang, atau rencana-rencana yang
lain yang mungkin akan lebih berbahaya.”
“Kiai,”
berkata Widura kemudian,
“apakah hal
itu tidak akan sangat berbahaya bagi Kiai dan kedua anak-anak itu?”
“Mereka
memerlukan pengalaman, Ngger. Sebelum aku berangkat, aku masih akan membuat
kedua anak-anak itu semakin banyak mempunyai bekal di dalam diri masing-masing.
Setiap malam kami berada di Gunung Gowok. Apakah Angger akan ikut serta?
Menyenangkan sekali apabila tiba-tiba Ki Tambak Wedi muncul pula untuk ikut
berlatih. Dengan demikian aku tidak perlu lagi menempuh jalan yang terlampau
panjang. Tidak perlu lagi melintas Hutan Mentaok mendaki Pegunungan Menoreh.”
Widura menarik
nafas dalam-dalam. Perjalanan itu adalah perjalanan yang cukup berbahaya.
Memang Agung Sedayu dan Swandaru memerlukan pengalaman buat hari depannya,
tetapi untuk langsung masuk ke daerah Menoreh akan mengandung kemungkinan yang
sangat pahit. Meskipun demikian, maka ia harus mempercayai Ki Tanu Metir yang
memiliki ilmu dan pengalaman jauh lebih banyak daripada Widura itu sendiri.
“Angger Widura,”
berkata Ki Tanu Metir,
“sekarang
perkenankan aku beristirahat pula. Nanti Angger akan mendengar pesan Angger
Untara lewat perwira utusannya itu, yang aku kira juga berkisar pada Angger
Agung Sedayu. Mungkin Angger Widura harus mengawasinya atau bahkan Angger
Untara akan menitipkannya kepada Angger di sini.”
Widura
mengangguk-anggukkan kepalanya. Jawabnya,
“Mudah-mudahan
aku dapat memenuhi keinginan Untara tanpa menyinggung perasaan Agung Sedayu.
Bukankah Untara telah memperkendor keinginan-keinginannya tentang Agung
Sedayu?”
“Ya. Beberapa
hal telah dilepaskannya. Tetapi akulah yang harus mempertanggung-jawabkannya.”
Widura masih
mengangguk-angguk. Sahutnya,
“Aku mengharap
semuanya dapat teratasi.”
“Baiklah,”
berkata Ki Tanu Metir sambil mengangkat dadanya dan menarik nafas dalam-dalam,
“aku minta
diri.” Kemudian kepada Sumangkar ia berkata,
“Kita masih
mempunyai banyak kesempatan untuk bercerita. Marilah sekarang kita
beristirahat. Aku ingin tidur.”
“Silahkan,
Kakang. Aku agaknya terlampau banyak tidur semalam, sehingga aku tidak juga
berhasil menemukan Ki Tambak Wedi.”
Kiai Gringsing
tersenyum. Kemudian ditinggalkannya ruangan itu. Untuknya telah disediakan
tempat di gandok kulon di kademangan, sehingga orang tua itu tidak usah pergi
ke banjar kademangan.
Ternyata pada
malam harinya Widura benar-benar mendapat pesan yang berkisar pada Agung Sedayu
dari perwira utusan Untara. Sebenarnya bahwa Untara minta tolong kepada Widura
untuk mengawasi adiknya yang dianggapnya kurang dapat menyesuaikan diri pada
masa perkembangannya. Sementara itu, Swandaru, Agung Sedayu, dan Ki Tanu Metir
telah berada di Gunung Gowok. Orang tua itu berusaha mempergunakan setiap waktu
yang terluang untuk menambah ilmu kedua murid-muridnya.
“Sebentar lagi
kita akan mulai dengan sebuah perjalanan yang barangkali kurang menyenangkan.
Karena itu, berbuatlah sejauh mungkin dapat kita lakukan di sini. Berlatihlah
sebaik-baiknya. Aku akan memberikan beberapa petunjuk-petunjuk baru.”
Kedua
anak-anak muda itu pun dengan patuh melakukannya. Kiai Gringsing ingin
memberikan ciri perguruannya lebih banyak lagi kepada kedua muridnya. Itulah
sebabnya untuk seterusnya, maka keduanya di samping memperdalam ilmu pedang,
mereka juga mulai memperdalam ilmu senjata lemas dan lentur. Kadang-kadang
mereka mempergunakan cambuk, namun di lain kesempatan mereka mempergunakan
cemeti yang lentur. Bahkan kadang-kadang mereka belajar mempergunakan pasangan
daripadanya. Pedang dan cambuk di tangan kiri, atau sebaliknya. Sepeninggal
rombongan kecil prajurit dari Jati Anom di hari berikutnya, maka Sangkal Putung
semakin memperketat setiap pengawasan. Ketika Widura melepaskan para prajurit
dari Jati Anom untuk kembali ke induk pasukannya, terasa juga kecemasan
merambati hatinya. Bagaimanakah seandainya pasukan yang kecil itu bertemu
dengan Ki Tambak Wedi di perjalanan.
“Kami sudah
siap untuk menghadapinya, Kakang,” berkata perwira itu.
“Yang
mengawani aku kali ini adalah prajurit-prajurit pilihan. Aku kira kita
bersama-sama akan berhasil, setidak-tidaknya menyelamatkan diri kami dari
tangan iblis-iblis itu.”
“Mudah-mudahan,”
sahut Widura. Tetapi tawarannya untuk memberikan beberapa orang prajurit
pilihan telah pula ditolak oleh perwira itu.
“Kalau aku
terpaksa diantar kembali ke Jati Anom, maka besok Ki Untara memerintahkan untuk
mengantar prajurit-prajurit dari Sangkal Putung dan demikian pula sebaliknya,
maka jalan antara Sangkal Putung dan Jati Anom akan menjadi sangat licin.”
Keduanya
tersenyum. Ki Tanu Metir, Sumangkar, dan beberapa orang lain yang mendengar
jawaban itu pun tersenyum pula. Ternyata
di hari-hari berikutnya, tidak terjadi persoalan-persoalan yang dapat menambah
kegelisahan orang-orang Sangkal Putung. Para peronda yang diperkuat, selalu
kembali ke gardu masing-masing dengan selamat.
“Mungkin
orang-orang itu telah pergi,” gumam salah seorang prajurit.
“Belum pasti,”
tiba-tiba terdengar jawaban di belakangnya. Ternyata Sumangkar lah yang berdiri
di situ sambil tersenyum. Katanya seterusnya,
“Jangan
lengah. Setiap saat bahaya dapat menerkam kalian.”
Prajurit-prajurit
itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Mereka menyadari betapa liciknya Ki Tambak
Wedi dan Sidanti. Ketika malam turun perlahan-lahan di atas Kademangan Sangkal
Putung, maka tiga buah bayangan telah mulai berloncat-loncatan di pinggir
Gunung Gowok. Tak ada waktu terluang bagi Agung Sedayu dan Swandaru. Kali ini
bukan saja mereka bertiga yang berada di gumuk kecil itu, tetapi seseorang yang
lain duduk dengan tenangnya melihat anak-anak muda yang sedang berlatih itu.
Orang itu adalah Sumangkar.
Sambil
mengangguk-anggukkan kepalanya ia menyaksikan kemajuan yang pesat dari
murid-murid Kiai Gringsing. Mau tidak mau maka orang tua itu harus
mengaguminya. Kelincahan Agung Sedayu, kecepatannya bergerak dan betapa tenaga
Swandaru yang luar biasa kuatnya. Namun tiba-tiba orang tua yang duduk di atas
sebuah puntuk itu memiringkan kepalanya. Lalu diangkatnya wajahnya.
Perlahan-lahan ia berdesis,
“Aku mendengar
suara panah sendaren.”
Dan belum lagi
ia sempat mengulangi kata-katanya, maka terdengarlah desing panah sendaren
untuk yang kedua kalinya.
“Aku harus
pergi,” orang tua itu berkata lantang. Sebelum Kiai Gringsing menjawab, maka
Sumangkar telah meloncat ke atas punggung kudanya dan hilang ditelan gelapnya
malam.
Latihan yang
berat itu pun terpaksa terhenti. Kiai
Gringsing yang juga telah mendengar suara panah sendaren itu bergumam,
“Agaknya para
peronda bertemu dengan iblis dari lereng Merapi itu.”
Swandaru dan
Agung Sedayu pun kemudian sempat
mendengar suara panah sendaren itu pula. Bahkan kemudian sekali lagi
lamat-lamat terdengar suara desing panah sendaren yang ketiga.
“Guru,”
berkata Swandaru,
“apakah kita
akan pergi juga ke sana?”
Kiai Gringsing
mengerutkan keningnya. “Kami tidak membawa kuda.”
“Kita dapat
berlari.”
Sejenak Kiai
Gringsing berpikir. Tetapi tentu ia tidak dapat berdiam diri seandainya yang
datang itu benar-benar Ki Tambak Wedi, Sidanti, dan Argajaya,
“Marilah, Kita
melihat apa yang terjadi. Mudah-mudahan kita tidak terlambat.”
Mereka
bertiga pun segera pergi meninggalkan
gunung Gowok. Tetapi mereka tidak berada dalam kesiagaan sepenuh Ki Sumangkar
yang merasa mempunyai tanggung jawab sepenuhnya atas Ki Tambak Wedi, sehingga
setiap saat ia seakan-akan tidak pernah terpisah dari kudanya. Dengan
tergesa-gesa mereka menuju langsung ke induk kademangan untuk mencari arah
suara panah sendaren itu. Menurut pengamatan Ki Tanu Metir, maka suara itu
bersumber dari sebelah Utara, tidak terlampau jauh dari induk kademangan.
“Mereka memang
berani,” gumamnya di dalam hati.
“Mereka berani
melakukan perbuatannya itu dekat sekali dengan induk kademangan. Mungkin mereka
sengaja memancing beberapa orang peronda dan kemudian membunuhnya. Tetapi
mereka tidak tahu bahwa di sini telah hadir Adi Sumangkar yang akan dapat
mengimbangi ketangguhan Ki Tambak Wedi.”
Ketika mereka
kemudian memasuki induk kademangan, maka mereka melihat prajurit-prajurit
Pajang dan anak-anak muda Sangkal Putung telah berada di gardu masing-masing, serta
yang lain telah menuntun, kuda-kuda mereka. Setiap saat mereka akan dapat
melakukan apa saja, untuk kepentingan kademangan itu.
“Di manakah
Angger Widura?” bertanya Ki Tanu Metir kepada salah seorang prajurit pengawal
kademangan.
“Ki Widura
sudah berangkat, Kiai. Berkuda bersama beberapa orang prajurit. Kami telah
mendapat perintah untuk bersiap. Setiap saat para prajurit berkuda itu harus
berangkat membantunya apabila diperlukan.”
“Kita
mengambil kuda-kuda kita,” berkata Swandaru kemudian sambil berlari ke belakang
rumahnya, ke kandang kuda.
Agung Sedayu
dan Ki Tanu Metir pun kemudian menyusulnya. Secepat-cepatnya mereka
mempersiapkan kuda-kuda yang masih berada di kandang. Kuda Ki Demang Sangkal
Putung. Tetapi kuda itu hanya dua ekor, sehingga Swandaru sendiri akhirnya
mencari seekor kuda yang lain. Ketika di halaman kademangan ia melihat
segerombol anak-anak muda Sangkal Putung, dan ada satu dua di antaranya yang
menuntun kuda-kuda mereka, maka segera kuda itu dipinjamnya.
“Aku sangat
memerlukan segera,” katanya.
Swandaru itu
terkejut ketika ia mendengar seseorang bertanya,
“Kau akan
pergi ke mana Swandaru?”
Suara itu
adalah suara ayahnya, Ki Demang Sangkal Putung.
“Aku harus
pergi juga ayah. Mungkin aku dapat bertemu dengan Sidanti.”
“Sendiri?”
“Tidak,
bersama Kakang Agung Sedayu dan Kiai Gringsing.”
Ki Demang
Sangkal Putung memandang ke arah yang ditunjuk oleh Swandaru di sisi regol
kademangan. Remang-remang dilihatnya dua orang yang memegangi kendali dua ekor
kuda telah siap menanti.
“Kuda-kuda itu
kuda kita?” bertanya ayahnya.
“Ya, tetapi
hanya ada dua ekor. Aku sendiri terpaksa meminjam kuda ini.”
“Hati-hatilah,”
berkata ayahnya,
“kau belum
mengenal tabiat kuda ini. Tetapi yang lebih berbahaya lagi adalah Ki Tambak
Wedi dan kedua orang kawannya itu.”
“Aku bersama
guru,” sahut Swandaru. Ki Demang Sangkal Putung mengangguk-anggukkan kepalanya.
Ia melangkah di belakang Swandaru ketika Swandaru pergi mendapatkan gurunya.
“Ki Sumangkar
belum ada di sini,” berkata Ki Demang itu.
“Angger Widura
berangkat tanpa orang tua itu. Hanya beberapa orang prajurit pilihan yang
memang telah disiapkannya saja yang pergi bersamanya.
“Adi Sumangkar
telah pergi langsung mendapatkan tamunya,” sahut Kiai Gringsing.
“Oh,
syukurlah,” gumam Ki Demang itu seakan-akan kepada diri sendiri.
“Baiklah, kami
segera minta diri,” berkata Kiai Gringsing kemudian.
Maka mereka
bertiga itu pun segera meninggalkan
halaman kademangan. Ketika mereka telah berada di jalan yang membelah induk
Kademangan Sangkal Putung, maka segera mereka memacu kuda-kuda mereka. Semakin
lama semakin cepat.
“Kita kemana
guru?” bertanya Swandaru.
“Apakah kita
menyusur jalan ini lalu berbelok ke Utara?”
“Ya. Kita
telusuri jalan ini. Sebelum kita sampai ke ujung kademangan, kita berbelok ke
utara. Mungkin Angger Widura mengambil jalan lain. Tetapi itu tidak penting.
Setelah kita berada di bulak, maka kita akan segera mengetahui, di mana terjadi
perkelahian itu.”
Swandaru tidak
menjawab. Dan kuda-kuda mereka pun
berpacu semakin cepat.
Angin malam
yang sejuk mengusap wajah-wajah yang tegang itu. Semakin cepat kuda-kuda mereka
berpacu, maka dingin malam semakin tajam, maka dingin malam semakin menyengat
kulit. Tetapi karena ketegangan hati yang semakin tajam, maka dingin itu pun tidak begitu terasa lagi.
Dalam berpacu
kuda terdengar Kiai Gringsing berkata,
“Aku tidak
mendengar tanda-tanda berikutnya.”
“Ya,” sahut
Agung Sedayu,
“mungkin Paman
Widura atau Ki Sumangkar telah berada di antara mereka. Atau bahkan keduanya.”
“Mudah-mudahan
tidak demikian,” berkata Kiai Gringsing.
“Sumangkar
cukup cepat bertindak. Agaknya Angger Widura
pun tidak akan terlambat pula.”
Kedua
anak-anak muda itu pun kemudian terdiam.
Mereka berusaha memacu kuda mereka semakin cepat.
Sementara itu
Sumangkar pun sedang memacu kudanya,
lewat jalan sempit di antara tanaman-tanaman pategalan yang sedang menghijau.
Ia tahu tepat dari manakah arah suara panah sendaren itu. Karena itu, maka ia
langsung dapat menuju ke tempat itu. Di bulak yang tidak terlampau luas, di
samping sebuah tegalan yang agak rimbun.
“Setan-setan
itu pandai memilih tempat untuk mencegat para peronda,” desis Sumangkar di
dalam hatinya.
“Mereka pasti
bersembunyi di pategalan itu, lalu dengan tiba-tiba menyergap para peronda.
Untunglah bahwa salah seorang di antara mereka masih sempat memberikan tanda
sampai tiga kali berturut-turut.”
Orang tua itu
sama sekali tidak menghiraukan lagi titik-titik embun di dedaunan yang
tersentuh bajunya. Betapa dingin malam itu, namun baju Sumangkar menjadi basah.
Basah oleh keringat dan basah oleh embun. Ternyata perhitungan Sumangkar sama
sekali tidak salah. Di ujung pategalan yang rimbun di seberang bulak, lima
orang peronda telah bertemu dengan Ki Tambak Wedi, Sidanti, dan Argajaya yang
masih saja berkeliaran membawa dendam yang membara di hatinya, seperti hantu
yang setiap kali bangkit dari kuburnya untuk menghisap darah orang-orang yang
masih hidup. Pertemuan itu begitu tiba-tiba, sehingga hampir-hampir para
peronda tidak sempat memberikan tanda-tanda itu. Untunglah bahwa salah seorang
dari padanya dengan cepat mampu menjauhkan dirinya di atas punggung kudanya.
Dengan kemungkinan yang ada ia sempat melepaskan tiga buah anak panah sendaren.
Selebihnya, ia harus berkelahi dengan pedangnya. Tetapi lawan mereka sama
sekali tidak seimbang. Sidanti dan Argajaya. Meskipun demikian, kuda-kuda
mereka sekedar dapat membantu mereka. Kecepatan kaki-kaki kuda mereka sajalah
yang mampu menyelamatkan mereka dari tangan Sidanti dan Argajaya. Agaknya Ki
Tambak Wedi masih terlampau malas untuk berbuat sesuatu. Bahkan sambil berdiri
bersandar sebatang pohon nangka ia berkata lantang,
“Sidanti,
jangan segera kau bunuh kelinci-kelinci itu. Biarlah kita pergunakan mereka
sebagai umpan. Aku ingin kawan-kawan mereka segera datang membunuh dirinya di
sini. Aku mengharap Widura sendirilah yang datang. Aku ingin melihat bagaimana
Untara menangisi mayat pamannya itu. Ia pasti akan diberitahu seandainya
pamannya itu benar-benar terbunuh.”
Sidanti dan
Argajaya tidak menjawab. Tetapi mereka senang mendengar rencana Ki Tambak Wedi.
Bahkan orang yang melepaskan panah sendaren itu pun seolah-olah diberinya
kesempatan sebelum ia melibatkan diri dalam perkelahian itu pula. Ki Tambak
Wedi melihat Sidanti berkelahi melawan tiga orang lawannya, sedang Argajaya
melawan dua orang. Betapa kelima prajurit itu mengerahkan segenap kecakapan dan
kemampuan yang ada padanya, namun mereka sama sekali tidak mampu berbuat
sesuatu. Meskipun kuda-kuda mereka menyambar berganti-ganti, tetapi mereka
masih mendengar Sidanti tertawa dan berkata,
“He, hati-hati.
Kudamu dapat terperosok ke dalam parit.”
Prajurit-prajurit
itu menggeram, tetapi mereka menyadari, dengan siapa mereka sedang berkelahi,
dan mereka masih juga mendengar Sidanti berteriak,
“Jangan mati
dulu karena pokalmu sendiri. Kami ingin menjadikan kalian umpan untuk
mengundang kawan-kawanmu yang kami ingini.”
Sama sekali
tidak terdengar jawaban. Prajurit-prajurit itu berkelahi semakin sengit. Tetapi
lawan mereka terlampau lincah. Bahkan apa yang dikatakan Sidanti benar-benar
terjadi, Salah seekor dari kuda-kuda itu terperosok ke dalam parit, sehingga
penunggangnya pun terpelanting jatuh.
“He, apakah
kau sudah berputus asa dan mencoba membunuh dirimu?” bertanya Sidanti.
Prajurit itu
tidak menjawab. Tetapi ia menyeringai menahan sakit di punggungnya.
Ki Tambak Wedi
masih berdiri saja bersandar pohon nangka. Ia mengharap Widura datang sendiri
ke arena perkelahian itu, sehingga ia akan dapat membunuhnya.
“Aku sudah
jemu membunuh kelinci-kelinci yang tidak berarti itu,” gumamnya.
“Aku ingin
membunuh orang-orang yang dianggap penting di Sangkal Putung, Widura dan Demang
itu pula.”
Ki Tambak Wedi
berhenti sejenak. Diangkatnya kepalanya. Katanya kemudian,
“Nah, aku
mendengar derap beberapa ekor kuda, Mudah-mudahan Widura ada di antara mereka.”
Dalam keremangan
malam, akhirnya Ki Tambak Wedi lihat iring-iringan kuda mendekatinya.
“Hem,”
desisnya,
“mereka
terlampau sombong. Mereka datang dalam jumlah yang terlampau kecil. Tidak
sampai sepuluh orang.”
Sidanti dan
Argajaya pun sempat melihat kuda-kuda yang menjadi semakin dekat. Memang yang
datang itu tidak sampai berjumlah sepuluh orang.
“Mereka memang
terlampau sombong,” sahut Sidanti.
“Ada
kemungkinan bahwa mereka tidak tahu, bahwa kitalah yang berada di sini,”
berkata Argajaya.
“Mungkin.
Mungkin mereka menyangka bahwa yang di sekitar Sangkal Putung hanyalah beberapa
orang perampok atau pencuri ayam,” sahut Ki Tambak Wedi kemudian.
Orang tua
itu pun kemudian melangkah maju.
Dilihatnya Sidanti dan Argajaya yang masih saja berkelahi melawan prajurit
peronda itu.
“Guru,”
bertanya Sidanti,
“apakah aku
harus mengakhiri perkelahian. Bukankah mereka telah melihat dan mengetahui
bahwa kawan-kawannya berada di sini?”
Ki Tambak Wedi
merenung sejenak. Kuda-kuda yang mendatangi itu menjadi semakin dekat. Ki
Tambak Wedi berpaling ketika ia mendengar seekor lagi jatuh terperosok. Dan
seorang prajurit lagi terpelanting jatuh di seberang parit dan terlempar ke
dalam pategalan yang ditumbuhi oleh bermacam-macam tanaman itu. Tetapi belum
lagi orang itu sempat berdiri, maka kuda yang ketiga telah jatuh pula. Kali ini
tidak tergelincir ke dalam parit, tetapi kaki depannya ternyata telah disentuh
oleh tombak Argajaya. Tiba-tiba terdengar suara Ki Tambak Wedi lantang,
“Selesaikan
mereka.”
Sementara itu
kuda-kuda yang lain telah menjadi terlampau dekat. Ki Tambak Wedi membiarkan
kuda-kuda itu memencar. Sebagian meloncati parit dan berada di tengah-tengah
sawah yang becek. Yang lain berputar dari arah seberang menyeberang. Ki Tambak
Wedi berdiri tegak, di tengah-tengah jalan di ujung pategalan yang rimbun.
Dalam keremangan malam, ia melihat seseorang yang memimpin prajurit-prajurit
Pajang itu. Orang itu adalah Widura.
“Kau, Widura,”
desis Ki Tambak Wedi.
Widura
mengerutkan keningnya. Katanya lantang,
“Menyerahlah
Tambak Wedi. Lepaskan perkelahian antara muridmu dengan prajurit-prajuritku
itu.”
“Jangan mimpi.
Sidanti harus membunuhnya segera.”
“Tidak
terlampau mudah. Mereka adalah prajurit pilihan.”
“Oh, itukah
prajurit-prajurit Pajang pilihan? Tiga ekor kuda mereka telah tidak dapat
dipergunakan lagi. Yang dua jatuh di parit, agaknya kaki-kakinya terkilir.
Meskipun kuda-kuda itu sempat bangun, tetapi kuda-kuda itu tidak akan dapat
dipergunakan lagi. Yang seekor sebentar lagi akan mati di tengah jalan itu.”
Widura tidak
segera menjawab. Tetapi ia mencoba melihat keadaan. Namun malam yang gelap
tidak memberinya kesempatan untuk memperhatikan perkelahian itu dengan seksama.
Apalagi ia harus selalu waspada, bahwa setiap saat Ki Tambak Wedi dapat saja
melepaskan gelang-gelangnya. Mungkin ke arahnya, tetapi mungkin juga ke arah
prajurit-prajuritnya.
Widura
mengangkat dahinya ketika ia mendengar Ki Tambak Wedi berkata,
“Mungkin kau
tidak dapat melihat perkelahian itu dengan jelas Widura, sebab kami berada di
tempat yang agak gelap. Tetapi kami dapat melihat kau dan orang-orangmu lebih
jelas karena kau berada di tempat yang terbuka.”
Widura
menggeram, dan sekali lagi ia berkata lantang,
“Hentikan
perkelahian dan menyerahlah.”
“Jangan
sombong,” sahut Ki Tambak Wedi. Sebentar lagi orang-orangmu akan mati, kau pun akan mati pula. Aku ingin melihat Untara
yang perkasa itu menangisi mayatmu. Dan aku ingin melihat apa yang akan
dilakukan oleh Kiai Gringsing apabila ia datang pula kemari bersama Untara dari
Jati Anom.”
Widura terdiam
sejenak. Ternyata berita kedatangan Kiai Gringsing masih belum didengar oleh Ki
Tambak Wedi yang berada di dalam persembunyiannya.
“Ayo Widura,”
berkata Ki Tambak Wedi itu kemudian.
“Kenapa kau
masih diam saja. Sudah aku katakan, aku tidak akan menyerah. Aku ingin membunuhmu
dan menggantungmu di ujung Kademangan Sangkal Putung. Aku ingin memperlihatkan
bahwa inilah seorang yang diserahi pimpinan tertinggi prajurit Pajang di
Sangkal Putung.”
Widura masih
berdiam diri. Tetapi ia menjadi heran. Panah sendaren yang berdesing tiga kali
berturut-turut dirasanya cukup dapat didengar dari seluruh induk kademangan.
Tetapi ia masih belum melihat Ki Sumangkar hadir di tempat itu. Menurut
perhitungannya, dimana pun Sumangkar berada, maka ia pasti sudah sampai di
tempat itu dan berbuat sesuatu. Karena itu ia hanya membawa sepuluh orang
prajurit pilihan. Sejenak timbul kecurigaannya kepada orang tua, adik perguruan
Patih Mantahun dari Jipang itu. Apakah sebenarnya ia dapat dipercaya? Apakah
sengaja ia memperlambat kedatangannya dengan perhitungan-perhitungan tertentu?
Kalau ia telah hadir, maka pasti sudah melibatkan dirinya melawan Ki Tambak
Wedi, tetapi ternyata Ki Tambak Wedi masih berdiri bebas.
Namun
bagaimanapun juga ia harus bertindak. Ia tidak boleh membiarkan orang-orang itu
berbuat sekehendak hatinya. Apalagi ia masih melihat orang-orangnya yang
terdahulu melakukan perlawanan yang gigih. Bahkan terlampau gigih meskipun
Widura tidak dapat melihat dengan jelas. Dua di antara mereka masih berada di
atas punggung kuda, sedang yang lain berkelahi di atas tanah.
“Aku tidak
boleh menunggu mereka binasa,” pikir Widura, karena itu maka hadir atau tidak
hadirnya Sumangkar, ia harus bertindak. Namun ia harus memberi isyarat kepada
prajurit penghubungnya untuk melepaskan tanda setiap saat, apabila Sumangkar
benar-benar tidak hadir. Bahkan Widura itu mengharap, Kiai Gringsing, Swandaru,
dan Agung Sedayu dapat menangkap isyarat panah sendaren itu pula, sehingga
apabila demikian, maka kemungkinan terbesar iblis-iblis itu tidak akan dapat lolos
lagi.
Tetapi ia
memerlukan waktu untuk itu. Sekarang, pada saat-saat yang genting itu, ia harus
sudah dapat mengambil sikap untuk menghadapi Ki Tambak Wedi, Sidanti, dan
Argajaya. Sesaat Widura memandang ke arah prajurit-prajuritnya yang bertebaran
di segala arah. Ia harus segera memberikan aba-aba, dan prajurit-prajuritnya
segera akan berbuat sesuatu, sementara itu salah seorang dari mereka harus
melepaskan panah-panah sendaren. Ketika Widura hampir meneriakkan aba-aba,
tiba-tiba ia mendengar Ki Tambak Wedi berkata,
“He, Sidanti.
Kenapa kau tidak segera menyelesaikan yang lima orang itu bersama Angger
Argajaya. Di sini telah hadir permainan-permainan yang baru, yang akan lebih
mengasyikkan dari yang lima itu.”
Tetapi Sidanti
tidak segera menjawab. Bahkan nafasnyalah yang mengalir semakin cepat dari
lubang-lubang hidungnya.
“Sidanti,” teriak
Ki Tambak Wedi kemudian,
“bunuh saja
mereka itu.”
Masih belum
terdengar jawaban. Dalam kegelapan mereka masih saja bertempur berputaran.
Bahkan sekali-sekali mereka menyusup ke dalam pategalan yang rimbun, kemudian
terjadi perkelahian di antara tanaman-tanaman yang berjajar sebagai pagar
pategalan itu. Sejenak kemudian mereka muncul lagi. Dua orang prajurit yang
masih berada di punggung kudanya bahkan merasa canggung. Kuda-kuda mereka
selalu terhalang oleh pepohonan.
“Setan benar
kedua orang itu,” berkata mereka di dalam hati.
“Mereka
berusaha menyeret perkelahian ke dalam pategalan, sehingga kuda-kuda ini tidak
bisa bergerak lagi.”
Karena itu,
maka tanpa berjanji mereka pun segera
berloncatan dari kuda-kuda mereka, dan langsung melibatkan diri dalam
perkelahian yang berputar-putar itu.
“Sidanti,”
terdengar Ki Tambak Wedi berkata,
“apa kau sudah
menjadi gila, he?”
Tetapi Sidanti
tidak menjawab. Bahkan kemudian Ki Tambak Wedi melihat Sidanti itu terdesak
beberapa langkah surut. Namun sesaat kemudian Argajaya lah yang terpaksa
meloncat-loncat.
“Kenapa kau,
he?” berteriak Ki Tambak Wedi pula.
“Guru,” sahut
Sidanti, “ada yang tidak wajar di sini.
Ki Tambak Wedi
tidak menunggu lebih lama lagi. Segera ia meloncat mendekati Sidanti yang
hampir-hampir saja kehilangan kesempatan untuk melawan serangan lawannya. Dan
inilah yang tidak masuk ke dalam akalnya. Lawannya tiba-tiba menjadi sangat
garang. Salah seorang dari mereka mampu berloncatan seperti burung sikatan.
Sekali-kali menyerangnya, dan tiba-tiba saja orang itu telah menyelamatkan
prajurit-prajurit yang hampir mati karena tombak Argajaya. Bahkan seandainya
orang itu berkelahi seorang diri, mungkin Sidanti dan Argajaya justru tidak
dapat melawannya lagi. Karena orang itu masih berhasrat ingin menyelamatkan
kawan-kawannya, maka Sidanti dan Argajaya masih sempat memberikan perlawanan
serba sedikit. Namun mereka benar-benar berada di dalam kesulitan. Dan
kesulitan itu kemudian dapat dilihat oleh Ki Tambak Wedi. Tambak Wedi yang
mempunyai pengamatan yang jauh lebih tajam dari murid-muridnya dan Argajaya
segera melihat ketidak wajaran itu. Meskipun di dalam gelap karena bayangan
rimbunnya dedaunan, namun ia segera dapat melihat, siapakah yang berdiri di
hadapannya dengan ikat kepala yang menutup sampai di kening. Karena itu maka
segera ia berteriak lantang,
“Minggir
Sidanti, apakah kau sudah buta. Untung kau belum mati. Biar aku selesaikan
orang ini. Bunuh saja yang lain secepat kau mampu melakukan.”
Namun pada
saat itu, Widura ternyata mencoba mengambil kesempatan. Ia tidak mau terlambat.
Karena itu maka segera kudanya melangkah maju. Tetapi sulitlah baginya untuk
berkelahi di antara pagar pategalan itu dengan kudanya. Karena itu maka segera
ia pun meloncat turun diikuti oleh
beberapa prajuritnya.
“Sidanti,”
panggil Widura, “kau masih ingin melakukan perang tanding?”
Sidanti
menggeram. Tetapi ia terdiam ketika ia mendengar gurunya berkata,
“Apa kerjamu
he bunglon busuk?”
Yang terdengar
adalah suara tertawa yang bernada tinggi.
“Tutup
mulutmu!” teriak Ki Tambak Wedi. Tetapi suara tertawa itu masih terdengar, dan
di antara suara itu terdengar kata-kata,
“Aku di sini,
Angger Widura.”
“Oh,” Widura
menarik nafas dalam-dalam. Suara itu adalah suara Sumangkar.
“Aku juga baru
saja tiba di tempat ini,” terdengar suara itu pula. Aku mencoba mengambil
kesempatan ketika aku melihat salah seorang prajurit Pajang terbaring di
pategalan ini. Agaknya ia pingsan ketika ia terlempar dari kudanya.”
“Apakah Kiai
tidak berkuda?” Widura sempat bertanya. Dalam pada itu, ia melihat Ki Tambak
Wedi telah menyerang Sumangkar dengan garangnya. Di dalam kegelapan ia melihat
bayangan orang-orang tua itu berloncatan dengan cepatnya.
Dan Sumangkar
masih memerlukan menjawab,
“Aku
tinggalkan kudaku di sebelah pategalan ini. Aku ingin mengintai lebih dahulu.
Tetapi ternyata aku hampir terlambat.”
Widura tidak
bertanya lagi. Bukan waktunya untuk bercakap-cakap. Kini ia melihat Sidanti
berdiri tegak dan telah bersiap untuk melawannya. Sedang Argajaya masih
terlampau sibuk berkelahi. Tetapi, kini lawannya justru bertambah ringan,
meskipun jumlahnya bertambah banyak. Karena seorang di antaranya, yang telah
menumbuhkan keheranannya, kini sudah mendapat lawan sendiri. Sumangkar yang
sudah harus bertempur melawan Ki Tambak Wedi. Karena itulah, maka kini ia mampu
menghadapi lawan-lawannya sendiri dan lawan-lawan Sidanti sekaligus. Empat
orang. Sedang Sidanti harus berhadapan dengan Widura. Tetapi ternyata Widura
itu tidak sendiri. Ia datang bersama beberapa orang prajurit, justru
prajurit-prajurit pilihan. Namun, Widura masih saja berdiri dengan tegangnya di
tepi jalan di ujung pategalan itu. Dalam keremangan malam dilihatnya Sidanti
sudah siap untuk menghadapinya. Meskipun demikian Widura berusaha apabila
mungkin untuk menangkap mereka tanpa perkelahian dan korban meskipun harapan
itu sangat tipis baginya. Karena itu, maka sekali lagi ia berkata lantang,
“Kau tidak
akan dapat berbuat apa-apa lagi. Gurumu sudah terikat oleh sebuah perkelahian
yang seimbang dengan Ki Sumangkar. Kawanmu yang seorang itu, yang menurut
pendengaranku adalah pamanmu, Argajaya, harus berkelahi mati-matian pula
melawan keempat orang prajurit itu. Sekarang kau harus berhadapan dengan aku.
Tetapi aku datang bersama sepuluh orang prajurit pilihan. Apakah kau tidak
lebih baik menyerah saja sebelum kami mendapat kesan yang lebih buruk lagi
tentang kau dan guru serta pamanmu? Dengan demikian tanggung jawabmu atas
segala perbuatanmu itu akan menjadi lebih ringan.”
Yang terdengar
kemudian adalah anak muda itu menggeram. Dengan darah yang mendidih sampai ke
ubun-ubunnya ia menjawab kasar,
“Jangan banyak
berbicara saja. Ayo Widura, berbuatlah sesuatu. Kalau kau ingin menangkap
Sidanti dengan cara yang licik itu, segera lakukanlah. Aku sudah menyangka
bahwa kau tidak akan berani berbuat secara jantan. Kau tidak dapat mengalahkan
aku dalam perang tanding. Sekarang kau datang beramai-ramai dengan pengawalmu
itu. Tetapi aku tidak akan dapat kau takut-takuti seperti perempuan cengeng.”
“Kau terlalu
diburu oleh nafsu yang tidak terkendali Sidanti.”
“Jangan banyak
bicara. Ayo, aku sudah siap.”
Widura
mengerutkan keningnya. Ia sudah mengira bahwa anak itu benar-benar keras kepala
seperti gurunya.
“Kau keras
kepala.”
“Majulah bersama.
Jangan hanya sepuluh orang. Seluruh kekuatan yang ada di Sangkal Putung,
prajurit-prajurit Pajang dan anak-anak mudanya yang bengal. Aku tidak akan
gentar.”
“Apakah itu
sudah menjadi keputusanmu?”
“Ya. Aku bukan
Widura yang licik dan pengecut. Aku ingin berbuat jantan. Kalau kau hanya
berani berkelahi dengan cara itu, ayo lekas lakukanlah.”
Widura
mengerutkan keningnya. Wajahnya menjadi kian tegang. Ia merasa kata-kata
Sidanti sengaja diucapkan untuk memanaskan hatinya sehingga ia mendapat kesempatan
untuk melawannya seorang lawan seorang. Tetapi kali ini Widura tidak ingin
terbakar oleh kata-kata lawannya. Maka jawabnya,
“Aku adalah
seorang pemimpin prajurit dalam suatu kesatuan yang bulat. Tugasku adalah tugas
anak buahku dan sebaliknya. Maka tugas kami bersama-sama pulalah untuk
menyelesaikan pengkhianatanmu. Masalah ini bukan masalah pribadi yang harus
diselesaikan secara pribadi.”
“Setan!” geram
Sidanti.
“Kenapa kau
hanya berbicara saja? Aku menjadi muak mendengarnya. Apakah perwira Wira Tamtama
Pajang hanya mampu berbicara dan berkelahi beramai-ramai?”
“Baiklah
Sidanti,” jawab Widura dalam nada yang berat. Dugaannya sama sekali tidak
salah, bahwa Sidanti tidak akan dapat dijinakkannya.”
Dengan
demikian, maka Widura itu pun melangkah
maju semakin dekat. Dengan tangannya maka diberinya prajurit-prajuritnya
isyarat. Sebagai prajurit-prajurit pilihan, di bawah pimpinan Widura langsung,
maka mereka hanya memerlukan waktu yang sangat pendek untuk segera menebar dan
menutup kemungkinan perlawanan yang berarti bagi Sidanti. Sidanti yang melihat
kilatan ujung senjata dari segala pihak segera menempatkan dirinya dalam
kewaspadaan tertinggi. Ia mengharap bahwa pepohonan dan pagar pategalan itu
dapat membantunya. Ketika ia memandang dengan sudut matanya, maka dilihatnya
Argajaya telah berhasil mendesak keempat lawannya sehingga keempatnya harus
berjuang sekuat tenaga mereka untuk bertahan dan menghindari sambaran ujung
tombak pendek orang kedua dari Menoreh itu. Sedang di tempat lain, gurunya
bertempur mati-matian melawan Sumangkar. Namun, dalam sekilas, Sidanti tidak
dapat melihat, siapakah yang berada dalam keadaan lebih baik dari mereka berdua
itu.
“Kau tidak
akan mendapat bantuan dari siapa pun,” geram Widura.
“Persetan!”
teriak Sidanti.
“Aku memberi kesempatan
terakhir.”
Sidanti tidak
menjawab. Tetapi matanya seolah-olah menyala karena kemarahannya.
Widura yang
melihat keempat prajuritnya terdesak melawan ketangkasan Argajaya, maka segera
dilepaskannya dua orangnya untuk membantu keempat kawannya. Sedang sisanya
segera bergerak mendekati Sidanti dari arah yang berbeda-beda. Tetapi, bagi
Sidanti tidak ada seleret pikiran pun untuk menyerahkan diri. Kalau Widura
berhasil menangkapnya, maka ia hanya akan menangkap mayatnya. Dengan demikian,
maka Sidanti itu pun menjadi seolah-olah
wuru. Tidak ada pertimbangan lain soal itu kecuali mati. Tetapi, agaknya
gurunya, Ki Tambak Wedi mempunyai perhitungan tersendiri. Sambil bertempur ia
melihat apa yang telah dihadapi oleh Argajaya dan Sidanti. Ia melihat bahwa keadaan
Argajaya tidak begitu membahayakan. Meskipun demikian dua orang baru yang di
tempatkan Widura untuk melawan orang itu, agaknya akan segera mengganggu
keseimbangan. Tetapi yang membuat ia cemas adalah Sidanti. Orang tua itu
menyadari, bahwa untuk melawan Widura seorang diri, Sidanti belum pasti akan
dapat memenangkannya meskipun ilmu Sidanti bertambah maju. Apalagi kini ia
harus menghadapi Widura itu bersama delapan orang prajurit pilihan. Suatu
kekuatan jauh di luar kemampuan Sidanti untuk mengimbanginya.
Sedang Ki
Tambak Wedi sendiri telah terikat dalam pertempuran melawan Sumangkar, yang
sama sekali tidak diduga-duganya akan berada di Sangkal Putung. Itulah
sebabnya, maka Ki Tambak Wedi berusaha untuk memecahkan persoalan yang
dihadapinya dengan secepat-cepatnya. Sambil berkelahi ia masih sempat melihat
apa yang dilakukan oleh Argajaya dan Sidanti. Ia melihat Widura telah siap
untuk berbuat sesuatu atas Sidanti. Meskipun tampaknya Sidanti tidak ingin
mundur karena kekerasan hatinya, tetapi bagi Ki Tambak Wedi perbuatan itu sama
sekali tidak akan berarti apa-apa. Seandainya Sidanti terbunuh, maka
kematiannya benar-benar kematian yang sia-sia. Karena itu, sebelum Sidanti
terlibat dalam perkelahian yang sangat berbahaya baginya, Ki Tambak Wedi harus
mengambil suatu sikap. Dan sikap itu ternyata kemudian, ketika di pategalan itu
terdengar suitan nyaring. Itu adalah aba-aba yang diberikan oleh Ki Tambak
Wedi. Sidanti sendiri terkejut mendengar aba-aba itu. Terasa untuk sejenak
jantungnya meronta. Sebagai seorang laki-laki yang keras hati, tanda-tanda itu
telah memperkecil arti kejantanannya. Namun sejenak kemudian terasa suatu sikap
baru di dalam dirinya. Sikap yang hampir-hampir tidak dipikirkan sebelumnya.
Yaitu menghindar untuk sementara.
“Menghindar
bukan berarti mengaku kalah,” kata Sidanti di dalam hatinya.
Ketika sekali
lagi ia mendengar suara gurunya bersuit nyaring, maka ia telah memutuskan untuk
menerima keadaan itu, betapa pedih terasa di dadanya. Tetapi anak muda itu
bertekad untuk suatu saat dapat berbuat sesuatu. Ia ingin menebus segala
kegagalan yang pernah dialaminya dalam petualangannya di sekitar Gunung Merapi
ini. Tetapi Widura ternyata dapat menangkap isyarat yang diberikan oleh Ki
Tambak Wedi. Widura mengerti bahwa Ki Tambak Wedi ingin melepaskan dirinya.
Karena itulah maka ketika terdengar suitan Ki Tambak Wedi untuk kedua kalinya,
maka suitan itu seolah-olah aba-aba yang diberikannya kepada Widura untuk mulai
menyerang Sidanti. Sidanti yang sudah siap untuk menyingkir, masih sempat
melihat para prajurit Pajang berloncatan dari beberapa arah. Tetapi untunglah
bahwa Sidanti telah memperhitungkan keadaan pategalan itu sejak lama, Karena
itu, maka segera ia menyelinap di antara pepohonan dan rimbunnya daun-daun
perdu di dalam pategalan itu. Anak muda itu menyelinap di antara
gerumbul-gerumbul salak yang tumbuh liar, di samping batang-batang melandingan
dan pohon buah-buahan.
Melihat sikap
itu, Widura mengumpat di dalam hatinya. Tetapi dengan prajurit-prajuritnya ia
berusaha untuk mengejarnya. Bukan saja Sidanti, tetapi juga Argajaya dan Ki
Tambak Wedi sendiri. Namun mengejar orang-orang yang cukup berilmu itu di dalam
pategalan yang rimbun dan cukup pepat oleh tumbuh-tumbuhan perdu dan pohon
buah-buahan, di malam yang gelap adalah pekerjaan yang cukup sulit. Itulah
sebabnya, maka baik Widura sendiri, Sumangkar, maupun para prajurit Pajang
terpaksa mengumpat di dalam hati masing-masing. Setelah sekian lama mereka
berkejaran, namun mereka tidak berhasil menangkap ketiga orang ini. Sesaat
kemudian, mereka masih mendengar suara suitan Ki Tambak Wedi di kejauhan.
Widura, Sumangkar, dan para prajurit dapat mengerti, bahwa suitan itu adalah
tanda-tanda yang diberikan oleh Ki Tambak Wedi. Namun demikian tanda-tanda itu
tidak segera dapat dipecahkan oleh Widura maupun oleh Sumangkar. Mereka hanya
dapat mengerti maksudnya, tetapi mereka tidak dapat mengerti arti yang
sebenarnya.
Akhirnya,
Widura terpaksa menghentikan pengejarannya. Widura menyadari bahaya yang dapat
timbul, apabila pengejaran itu dilakukan terus. Widura mencemaskan para
prajuritnya, apabila tiba-tiba saja satu demi satu mereka akan ditemui oleh Ki
Tambak Wedi. Dalam kejar-mengejar hal yang demikian itu akan mungkin terjadi.
Apalagi Ki Tambak Wedi mampu membunuh orang dari kejauhan dengan gelang-gelang
besinya. Seandainya kali ini pun Ki
Tambak Wedi membawa banyak gelang-gelang besi itu, maka akibatnya akan sangat
berbahaya. Seandainya ia kehabisan gelang-gelang besinya, maka kecakapannya
membidik itu akan dapat juga dipergunakan dengan benda yang ditemuinya di
sembarang tempat. Batu-batu misalnya atau apa saja. Sejenak kemudian Sumangkar,
Widura, dan para prajuritnya telah berkumpul kembali. Meskipun tidak ada yang
terbunuh, namun peronda yang pingsan karena terlempar dari punggung kudanya, ternyata
mengalami luka yang cukup parah. Punggungnya terantuk segumpal padas yang
tajam. Seorang lainnya yang bertempur melawan Argajaya terluka di pelipis dan
yang seorang lagi di lengannya. Untunglah bahwa luka-luka itu bukan luka yang
parah. Meskipun demikian, mereka harus segera mendapat perawatan. Sumangkar
segera memberi mereka obat yang dapat menawarkan mereka dari gigitan warangan
yang mungkin diberikan pada ujung tombak Argajaya.
“Tubuhku
terasa panas sekali,” prajurit-prajurit yang terluka itu mengeluh.
Sumangkar
mengerutkan keningnya. Katanya kemudian,
“Nah, aku
memang menyangka, bahwa ada racun warangan betapapun lemahnya di ujung tombak
Argajaya. Untunglah bahwa racun itu belum mencengkeram jantungmu, sehingga
berhenti berdenyut.”
Prajurit-prajurit
yang terluka itu tidak menyahut. Dengan susah payah mereka diangkat oleh
kawan-kawan mereka untuk dibawa ke kademangan.
“Selama ini
kita tidak melihat Kiai Gringsing,” gumam Widura di sepanjang jalan menuju ke
halaman Kademangan Sangkal Putung.
Sumangkar
mengangguk-anggukkan kepalanya. Sebenarnya ia
pun mengharap Ki Tanu Metir untuk segera datang sebelum mereka
kehilangan ketiga orang buruan itu. Tetapi agaknya Ki Tanu Metir memerlukan
waktu untuk menyusulnya.
“Aku
sebenarnya mengharapkannya,” berkata Widura kemudian.
“Aku juga,”
sahut Sumangkar.
“Apabila Kiai
Gringsing hadir dalam pertempuran ini, maka aku kira Ki Tambak Wedi akan dapat
ditangkap, mati atau hidup.”
“Ya, itulah
sebabnya aku mengharapkannya. Tetapi ternyata ia tidak datang. Kehadirannya bersama
Swandaru dan Agung Sedayu akan sangat berarti dalam pertempuran ini.”
“Ya,”
Sumangkar menyahut, “aku kira ketiganya akan datang juga. Tetapi mereka
memerlukan waktu.”
“Waktu telah
cukup panjang.”
“Belum cukup
bagi mereka,” Sumangkar berhenti sejenak, lalu katanya kemudian,
“Aku bersama
mereka di Gunung Gowok ketika para peronda melemparkan panah sendaren.”
“Oh.”
“Aku segera
meninggalkan mereka dengan kudaku. Tetapi mereka tidak membawa seekor kuda
pun.”
Widura mengangguk-anggukkan
kepalanya,
“Apakah kalau
mereka berjalan cepat-cepat, masih juga belum sampai di tempat perkelahian
itu?”
“Belum Ngger.
Mereka masih harus melintasi bulak dan pategalan. Jarak antara Gunung Gowok
sampai ke ujung pategalan tempat perkelahian itu cukup panjang.”
“Mungkin mereka
dapat singgah di kademangan untuk mengambil beberapa ekor kuda.”
“Itu pun
memerlukan waktu. Mereka harus menyiapkan kuda-kuda mereka, kemudian menyusul
kita kemari.”
“Apabila
demikian kita harus bertemu mereka di jalan kembali ini.”
“Juga belum
pasti. Kiai Gringsing dapat mengambil jalan yang lain karena mereka tidak tahu,
jalan manakah yang kita lalui.”
Widura
terdiam. Memang hal-hal yang serupa itu dapat terjadi. Ia menyesali bahwa ia
tidak berhasil menahan ketiga orang itu agak lama untuk memberi kesempatan Kiai
Gringsing hadir di tempat itu. Dengan demikian maka kemungkinan yang terbesar
adalah Ki Tambak Wedi akan dapat ditangkap, hidup atau mati. Tetapi, kini
mereka telah berhasil melepaskan dirinya. Dan semua perbuatan-perbuatannya
masih akan dapat diulangi. Dengan merucutnya Ki Tambak Wedi, maka bahaya masih
saja setiap saat menerkam kademangan ini dan seperti yang dikatakan oleh Ki
Tambak Wedi, kademangan-kademangan lainnya akan dapat menjadi pelepasan kesal
dan dendam orang-orang yang licik itu. Terutama yang telah membuat hubungan
kurang baik dengan salah seorang dari mereka adalah Prambanan.
Dalam pada
itu, Ki Tambak Wedi, Sidanti, dan Argajaya berdiri di pategalan itu di ujung
yang lain. Dengan wajah yang seolah-olah menyalakan kemarahannya, setiap kali
terdengar Ki Tambak Wedi menggeram.
“Kenapa kita
tidak tahu bahwa Sumangkar, bunglon gila itu berada di sini?” desis Ki Tambak
Wedi.
Sidanti dan
Argajaya tidak menjawab. Seharusnya merekalah yang melontarkan pertanyaan itu
kepada Ki Tambak Wedi. Namun bagi keduanya, hal itu sudah bukan merupakan
pertanyaan lagi. Setiap hari mereka hanya berusaha menyembunyikan diri saja.
Mereka tidak ingin dikenal sebagai Ki Tambak Wedi, Sidanti dan Argajaya. Sebab
apabila demikian, maka Sangkal Putung akan meningkatkan kewaspadaan mereka
semakin tinggi. Para peronda akan memperlengkapi diri dengan syarat-syarat
perlawanan yang cukup bagi mereka. Itulah sebabnya, maka hubungan mereka hampir
terputus sama sekali dengan orang-orang di sekitar tempat mereka bersembunyi.
Hanya sekali-sekali mereka mendatangi satu dua rumah dengan menutup muka mereka
agar tidak seorang pun yang dapat
mengenal. Mereka hanya memerlukan makan dan sekedar bekal untuk segera
menghilang lagi ke dalam hutan-hutan yang tidak terlampau lebat di sekitar
Kademangan Sangkal Putung, untuk setiap saat muncul dan mencegat para peronda.
Dengan tidak segan-segan mereka membunuh prajurit-prajurit yang tentu tidak
akan mampu melawan mereka bertiga, meskipun seandainya jumlah prajurit itu
berlipat tiga dari jumlah mereka. Apalagi hanya dua sampai lima orang.
“Sekali lagi
tercoreng arang di wajah kita,” gumam Ki Tambak Wedi dengan nada yang terlampau
dalam.
“Sumangkar
telah turut serta menghalang-halangi kesenangan kita.”
“Ya,” sahut
Sidanti. “Apakah kita akan tinggal diam untuk seterusnya.”
Ki Tambak Wedi
mengerutkan keningnya.
“Kita harus
menebus semua kekalahan ini,” geram Sidanti.
“Sidanti,”
berkata Argajaya kemudian,
“kau masih
memiliki kemungkinan itu. Bukankah kau putera Kakang Argapati. Kepala Tanah Perdikan
Menoreh?”
“Ya, aku
adalah putera dari Menoreh,” sahut Sidanti. “Bukankah begitu guru?”
Ki Tambak Wedi
menganggukkan kepalanya. Tetapi tampaklah ia agak ragu.
“Bukankah guru
sendiri sering mengatakan demikian?”
“Ya,” sahut Ki
Tambak Wedi.
“Kita harus
menebus segala kekalahan,” sekali lagi Sidanti menggeram.
Tetapi Ki
Tambak Wedi tidak segera menanggapi angan-angan Sidanti tentang tanah
perdikannya. Tampaklah orang tua itu kini dicengkeram kebimbangan.
“Apakah kita
akan membiarkan diri kita dihinakan begini jauh guru?”
Ki Tambak Wedi
masih berdiam diri. Matanya memandang jauh menembus gelapnya malam, seolah-olah
ia ingin melihat apakah yang tersimpan di balik layar yang hitam pekat.
“Bagaimana
guru?” bertanya Sidanti. “Bagaimanakah pertimbangan guru tentang hal ini?”
Ki Tambak Wedi
menarik nafas dalam-dalam. Dihirupnya udara malam yang dingin
sebanyak-banyaknya, seakan-akan orang tua itu ingin mendinginkan dadanya yang
sedang membara.
“Ya, Kiai,”
terdengar Argajaya menyambung.
“Sidanti
adalah putera Kakang Argapati. Aku pun tidak rela melihat putera Kakang
Argapati itu dihinakan orang di lereng Merapi ini.”
Perlahan-lahan
Sidanti dan Argajaya melihat Ki Tambak Wedi mengangguk-anggukkan kepalanya.
Tetapi ternyata jawabannya masih melontarkan keragu-raguannya,
“Mungkin
demikian, Ngger.”
“Kenapa Kiai
ragu-ragu,” bertanya Argajaya.
“Apakah Kiai
ingin berbuat lain, atau mempunyai perhitungan lain?”
Ki Tambak Wedi
belum menjawab.
“Kiai,”
berkata Argajaya,
“Sidanti
adalah putera seorang yang bukan saja mempunyai wewenang tertinggi di
daerahnya, tetapi ayah Sidanti adalah seorang yang pilih tanding. Aku tidak
tahu, siapakah yang lebih tua di dalam umur dan ilmu dengan Ki Tambak Wedi
sendiri, tetapi setidak-tidaknya Kakang Argapati akan menjadi seorang yang dapat
dihadapkan baik melawan Sumangkar maupun Ki Tanu Metir seandainya mereka
bersama-sama berada di daerah ini. Jati Anom atau Sangkal Putung. Kakang
Argapati akan dapat bersama-sama dengan Kiai, berhadapan dengan siapa pun di sekitar lereng Merapi ini.”
Ki Tambak Wedi
sekali lagi mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Bukankah
begitu?” bertanya Argajaya.
“Ya, Ngger,”
jawab Ki Tambak Wedi pendek.
“Tetapi kenapa
Kiai menjadi ragu-ragu?”
“Sebenarnyalah
bahwa aku ragu-ragu,” desis Ki Tambak Wedi.
“Kenapa?”
“Apakah Argapati
dapat mengerti, apa yang sebenarnya terjadi atas puteranya?”
“Kenapa
tidak?” sahut Argajaya.
“Aku akan
menjadi saksi. Aku melihat sendiri, betapa perlakuan orang-orang Pajang sangat
menyakitkan hati.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar