“Baiklah,” sahut prajurit yang datang dari Sangkal Putung.
“Kami telah
kehilangan beberapa orang peronda.”
“He,” perwira
itu terkejut. Ki Tanu Metir pun mengerutkan keningnya, sedang wajah Agung
Sedayu dan Swandaru menjadi tegang karenanya.
Para prajurit
yang datang dari Jati Anom pun segera
mengerumuni ketiga orang prajurit itu sambil bertanya-tanya di dalam hati,
apakah yang sudah terjadi di Sangkal Putung.
Dalam pada itu
salah seorang prajurit yang datang dari Sangkal Putung itu berkata,
“Marilah, aku
ceriterakan sambil berjalan ke Sangkal Putung. Kedua kawan-kawanku yang
menunggu itu supaya tidak menjadi salah paham, dan dengan serta-merta
meluncurkan panah sendaren.”
Perwira Pajang
itu mengangguk-anggukkan kepalanya sambil berkata,
“Baiklah,
marilah kita teruskan perjalanan ini.” Kepada Ki Tanu Metir ia berkata pula,
“Marilah,
Kiai.”
Ki Tanu Metir
mengangguk-anggukkan kepalanya pula sambil menyahut,
“Marilah.”
Iring-iringan
itu kemudian meneruskan perjalanan mereka ke Sangkal Putung bersama ketiga
prajurit Pajang yang sedang meronda itu. Perwira yang datang dari Jati Anom itu
kemudian bertanya,
“Kesiap-siagaan
kalian ternyata cukup tinggi, sehingga kedua kawan-kawanmu itu perlu
mempergunakan panah sendaren.”
“Ya, bahaya
yang mengancam kami pun cukup berat.”
“Katakan, apa
yang telah terjadi.”
Prajurit-prajurit
itu menjadi termangu-mangu sejenak. Namun kemudian salah seorang dari mereka berkata,
“Sejak empat
lima hari ini kami menjadi gelisah. Beberapa orang peronda kami hilang di luar
induk kademangan.”
“Bagaimana
mereka dapat hilang?”
“Itu yang
tidak dapat kami ketahui. Beberapa dari mereka dapat kami ketemukan mayatnya.
Tetapi ada juga yang belum.”
Perwira itu
mengerutkan keningnya. Sekali ia berpaling memandangi wajah Ki Tanu Metir yang
kini berkuda di belakangnya.
“Bagaimana
pendapat, Kiai?” bertanya perwira itu.
“Apakah ini
ada hubungannya dengan jatuhnya Tambak Wedi dan lenyapnya para pemimpinnya?”
Ki Tanu Metir
mengangguk-anggukkan kepalanya. Jawabnya,
“Tidak dapat
disangsikan lagi, Ngger.”
“Memang Kakang
Widura masih belum tahu tentang peristiwa di Tambak Wedi,” gumam perwira itu.
Lalu kepada Ki Tanu Metir ia berkata pula,
“Kiai, selain
mengantarkan Kiai dan anak-anak muda ini, aku pun mendapat tugas khusus dari
Kakang Untara.”
“Tugas apa
itu, Ngger?”
“Menyampaikan
pesan Kakang Untara tentang Tambak Wedi.”
“Aku memang
sudah menyangka, tetapi aku tidak bertanya kepadamu. Apabila nanti Angger
Widura telah mendengar laporanmu, maka ia pasti akan mampu memperhitungkan
keadaan. Kita pun telah dapat menduga, siapa yang melakukan hal itu.”
Tiba-tiba
Swandaru memotong,
“Tambak Wedi.
Pasti Ki Tambak Wedi, Sidanti, dan Argajaya.”
Hampir semua orang
berpaling kepadanya. Dan hampir semua orang menganggukkan kepalanya. Hanya para
prajurit dari Sangkal Putung sajalah yang saling berpandangan. Mereka tidak
tahu alasan dari dugaan Swandaru yang tampaknya disetujui oleh semua orang
dalam iring-iringan itu.
“Kenapa Tambak
Wedi, Sidanti, dan Argajaya?” bertanya salah seorang prajurit itu.
“Tak ada orang
lain. Hal ini pula yang harus aku sampaikan kepada Ki Widura nanti,” sahut
perwira itu. Lalu ia bertanya pula, “Berapa orang yang telah hilang dan terbunuh?”
“Delapan
orang,” sahut salah seorang dari mereka.
“Delapan
orang?” perwira itu mengulangi hampir bersamaan dengan Swandaru dan Agung
Sedayu. Berkata perwira itu lebih lanjut, “Sudah terlampau banyak. Jumlah itu
harus dihentikan.”
“Itulah
sebabnya kami kini meronda dengan cara ini supaya korban tidak
bertambah-tambah.”
“Lima orang
prajurit tidak akan dapat melawan Ki Tambak Wedi bertiga,” berkata perwira yang
datang dari Jati Anom itu.
“Itulah
sebabnya kami harus memberitahukan kepada pasukan peronda induk di mulut
kademangan itu, dengan panah sendaren. Peronda berkuda pasti akan segera
datang.”
“Berapa
orang?” bertanya perwira itu.
“Sepuluh
orang. Kalau perlu dapat ditambah lagi.”
“Sepuluh orang
itu pun hanya akan menambah jumlah kematian. Duapuluh lima orang, barulah
memadai buat ketiga iblis yang sedang putus asa itu,” geram perwira itu pula.
Prajurit-prajurit
dari Sangkal Putung itu tidak menyahut. Mereka masih belum tahu pasti apa yang
sudah terjadi.
Sementara itu
kedua kawannya yang menunggu di kejauhan menjadi termangu-mangu. Ketika mereka
melihat ketiga kawannya dikerumuni oleh orang-orang yang ditemui, maka hati
mereka menjadi berdebar-debar. Mereka telah menyiapkan busur-busur mereka untuk
setiap saat dapat melepaskan panah-panah sendaren sebelum mereka datang
membantu ketiga kawan-kawannya itu. Tetapi kemudian mereka melihat
iring-iringan itu meneruskan perjalanan dan tidak ada sesuatu yang terjadi.
Meskipun demikian mereka masih tetap ragu-ragu. Busur mereka masih tetap berada
di tangan, bahkan kemudian anak panah sendaren mereka telah mereka pasang pula,
siap untuk meluncur di udara. Baru ketika mereka dapat melihat dengan jelas,
siapa yang datang bersama dengan ketiga kawan-kawannya itulah, maka mereka
menjadi berlega hati. Hampir bersamaan mereka menarik nafas dalam-dalam untuk
melepaskan ketegangan yang baru saja mencengkam mereka.
“Ki Tanu
Metir,” desis yang seorang.
“Ya,” sahut
yang lain. “Bukankah gadis itu Sekar Mirah?”
Prajurit yang
lain mengerutkan dahinya,
“Ya, itulah
Sekar Mirah yang hilang itu. Tetapi justru ia menjadi bertambah cantik.”
Kawannya
mengerutkan dahinya, tetapi ia tidak segera menyahut. Diamatinya iring-iringan
yang semakin dekat itu. Dan dilihatnya iring-iringan yang semakin dekat itu.
Dan dilihatnya pula kemudian Agung Sedayu, Swandaru, dan beberapa orang
prajurit Pajang di bawah pimpinan seorang perwiranya.
“Hem, mereka
cukup hati-hati,” desis salah seorang dari kedua prajurit itu.
“Agaknya
mereka mengetahui keadaan di sini sehingga iring-iringan itu cukup kuat apabila
mereka menghadapi bahaya di sepanjang perjalanan.”
Kawannya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi yang dikatakannya,
“Memang gadis
itu agak kurus meskipun hanya beberapa hari saja ia meninggalkan rumahnya.”
“Hus,” desis
yang lain,
“apakah kau
sudah bersedia berperang tanding dengan Sidanti? Bukankah gadis itu hilang
diambil Sidanti?”
“Kenapa aku
harus perang tanding?”
“Bukankah
Sidanti menginginkan Sekar Mirah itu pula.”
“Biar sajalah
Sidanti menginginkannya. Tetapi aku tidak.”
“Kenapa kau
selalu memujinya?”
“Aku hanya
memuji. Aku senang melihat sesuatu yang baik, yang cantik, yang tampan. Apakah
kau tidak?”
Kawannya menarik
nafas dalam-dalam. Katanya,
“Ya, aku juga
tertarik kepada semua yang baik.”
“Nah, bukankah
kalau kau melihat sesuatu yang indah kau akan memujinya? Melihat Gunung Merapi
yang biru kemerah-merahan di ujungnya itu, atau melihat air terjun yang tinggi,
atau melihat padi yang menguning menggelombang dibuai angin yang silir, atau
taman bunga yang sedang berkembang, atau ……..”
“Cukup. Contoh
yang kau ucapkan sudah terlampau panjang.”
“Belum. Masih
kurang satu, seorang gadis yang secantik Sekar Mirah?”
“Ya.”
“Apakah kau
lebih senang melihat titah yang gemuk bulat dan selalu memberengut itu?”
“Tentu tidak.”
“Nah, itulah
sebabnya aku memujinya. Gadis itu memang cantik.”
“Kau memang
cukup cakap.”
“Untuk menjadi
seorang pemimpin yang baik.”
Prajurit yang
seorang mengerutkan keningnya. Tetapi kemudian ia pun tersenyum. Ia sebenarnya masih ingin
berbicara banyak, tetapi iring-iringan itu sudah terlampau dekat. Karena itu
mereka pun menepi untuk memberi
kesempatan mereka lewat. Ketika iring-iringan itu berjalan di depan kedua
prajurit itu, mereka pun menganggukkan
kepala mereka, memberi hormat kepada mereka yang lewat, terutama kepada perwira
prajurit Pajang yang ada di dalam iring-iringan itu pula. Ketika iring-iringan
ini sudah melampaui mereka, maka mereka
pun menempatkan diri mereka di ujung belakang. Sejenak mereka terdiam
diri, tetapi yang seorang segera mulai berbicara lagi. Katanya,
“Nah, apakah
kau masih juga tidak percaya bahwa gadis itu memang cantik. Lihatlah
punggungnya, lehernya, rambutnya yang meskipun agak kusut.”
Kawannya
berpaling. Alisnya tampak berkerut. Katanya sambil mengangkat panah
sendarennya,
“Lihat,
mulutmu ternyata tidak berbeda dengan sendaren ini. Kalau sudah mulai mengiang,
maka ia tidak akan berhenti sebelum jatuh di tanah.”
Sekali lagi
prajurit yang satu itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia pun tersenyum pula.
“Ah,” katanya,
“sebaiknya panah dan busur-busur ini disingkirkan saja. Bukankah sudah pasti
tidak akan terpakai lagi.”
“Apakah akan
kau buang saja.”
Yang lain
menggelengkan kepalanya. Tetapi ia tidak menyahut.
Meskipun
demikian, mulut lorong Kademangan Sangkal Putung sudah menjadi semakin jelas,
seperti mulut goa yang selalu menganga. Namun dengan demikian hati Sekar Mirah
menjadi semakin berdebar-debar. Terasa seolah-olah kudanya berjalan semakin
lambat. Tetapi ia tidak berani mempercepat, karena ia belum terlampau biasa
berkuda. Kini iring-iringan itu pun
akhimya memasuki mulut lorong itu pula. Satu-satu berurutan seperti ditelan
oleh mulut seekor ular raksasa. Sejenak kemudian maka mereka itu pun telah hilang ke dalam induk Kademangan
Sangkal Putung.
Sekar Mirah
yang gelisah menjadi hampir tidak sabar menunggu kudanya memasuki halaman
rumahnya. Setiap kali ia lihat orang-orang berlari-larian ke luar dari rumahnya
sambil menyebut namanya. Gadis-gadis kawannya bermain berteriak-teriak
memanggil namanya, sedang anak-anak muda saling berbisik di antara mereka,
“Itu Sekar
Mirah. Ternyata adik Untara telah berhasil membebaskannya.”
Sekar Mirah
sendiri hampir tidak dapat menahan perasaan harunya. Tetapi ia tidak mau
berhenti di antara kawan-kawan gadisnya. Ia ingin segera pulang. Ia ingin
segera menyatakan diri kepada ibunya, bahwa ia masih Sekar Mirah yang dulu.
Sekar Mirah seperti saat meninggalkan Sangkal Putung. Kabar tentang Sekar Mirah
itu segera sampai ke kademangan mendahului Sekar Mirah sendiri. Beberapa orang
berlari-larian meloncat pagar-pagar batu menyampaikan kabar kedatangan Sekar
itu kepada ayah ibunya. Sesaat kademangan itu dicengkam oleh perasaan haru dan
tegang. Widura yang berada di kademangan itu menjadi berdebar-debar pula. Namun
tiba-tiba mereka terpaksa menyusul ibu Sekar Mirah yang tidak dapat menahan
hati, berlari-larian turun tangga pendapa menyongsong anak gadisnya yang
kembali pulang. Meskipun Ki Demang memanggilnya untuk menunggu saja di halaman,
namun Nyai Demang sama sekali sudah tidak menghiraukannya. Dengan mata yang
basah dan rambut terurai Nyai Demang berlari melintasi halaman. Beberapa orang
prajurit yang melihatnya berdiri saja termangu-mangu, tanpa dapat berbuat apa
pun, meskipun mereka tahu, bahwa Ki Demang sedang memanggil-manggil isterinya
itu. Tetapi ternyata Nyai Demang tidak perlu berlari-larian terlampau jauh.
Tiba-tiba, ia melihat iring-iringan muncul di regol halaman. Ketika dilihatnya
Sekar Mirah yang kemudian berada di paling depan bersama kakaknya Swandaru,
maka tiba-tiba perempuan itu pun
menjerit tinggi menyebut nama anaknya yang pernah hilang itu. Sekar Mirah pun segera melihat ibunya berlari-larian
menyongsongnya. Ia kini tidak lagi dapat menahan hatinya. Dengan serta-merta ia
meloncat turun dari kudanya. Tetapi karena terlampau tergesa-gesa dan kurang
dapat membawakan diri, maka gadis itu terjatuh di tanah.
“Mirah,”
Swandaru mencoba mencegahnya. Tetapi terlambat. Gadis itu telah jatuh
menelungkup.
Hampir
bersamaan Swandaru dan Agung Sedayu meloncat dari punggung kudanya pula,
disusul oleh Ki Tanu Metir dan para prajurit. Dengan cekatan Swandaru menolong
adiknya, mengangkat dan memapahnya berdiri.
“Mirah,”
sekali lagi terdengar pekik ibunya.
Ternyata Sekar
Mirah tidak dapat merasakan sakit pada tubuhnya sendiri. Tiba-tiba ia pun
meronta dan melepaskan diri dari tangan kakaknya, langsung berlari kepada
ibunya. Keduanya pun kemudian berpelukan. Keduanya melepaskan tekanan-tekanan
perasaan yang berdesakan di dalam dada masing-masing, sehingga meledaklah
tangis yang mengharukan. Swandaru, Agung Sedayu, Ki Tanu Metir, Widura, dan Ki
Demang sendiri dan orang-orang lain yang menyaksikan, berdiri saja
termangu-mangu. Dibiarkannya kedua perempuan ibu dan anak itu melepaskan
perasaannya. Sejenak halaman kademangan itu seolah-olah dicengkam oleh suasana
yang tegang. Yang terdengar hanyalah suara tangis Nyai Demang Sangkal Putung
dan anaknya Sekar Mirah. Sesaat kemudian, ketika tangis mereka sudah menurun,
maka berkatalah Ki Demang Sangkal Putung dengan nada yang dalam,
“Nyai, bawalah
anakmu itu masuk.”
Keduanya tidak
menyahut. Keduanya tidak mengucapkan kata-kata sepatah kata pun, kecuali tangis
mereka. Tetapi titik-titik air mata mereka telah menyatakan perasaan mereka
sampai tuntas. Melampaui kata-kata yang beribu-ribu jumlahnya.
“Nyai,” sekali
lagi terdengar suara Ki Demang Sangkal Putung,
“bawalah
anakmu masuk. Mungkin ia lelah, dan mungkin ia lapar.”
Nyai Demang
menganggukkan kepalanya. Kemudian dibimbingnya Sekar Mirah masuk ke dalam
rumah, melintasi pendapa, kemudian pringgitan dan langsung dibawanya ke ruang
dalam.
Ketika Sekar
Mirah telah dibimbing masuk, maka barulah orang-orang yang berada di halaman
itu mulai bergerak. Mereka mulai berbisik-bisik dan bercakap-cakap di antara
mereka. Beberapa orang prajurit sedang mempercakapkan kawan-kawan mereka yang
datang dari Jati Anom bersama dengan Ki Tanu Metir, Agung Sedayu, dan Swandaru
dipimpin oleh seorang perwira. Ki Tanu Metir, Agung Sedayu, dan Swandaru mulai
mengangkat kepala mereka, memandang berkeliling. Dipandanginya wajah-wajah yang
sudah lama ditinggalkannya. Beberapa orang yang akrab dengan mereka segera
mendekatinya dan bercakap-cakap dengan asyiknya. Hudaya, Sonya, dan beberapa
orang lain. Jagabaya Sangkal Putung dan anak-anak muda yang lain. Tetapi Ki
Tanu Metir, Agung. Sedayu, dan Swandaru itu
pun terkejut ketika kemudian seorang laki-laki berdiri di hadapan mereka
sambil tersenyum. Rambutnya yang telah mulai memutih serta kerut-merut di
dahinya menyatakan bahwa sudah melampaui setengah abad ia menghuni dunia ini.
“Kau, Adi,”
desis Ki Tanu Metir itu.
“Ya, Kakang
Tanu Metir. Aku. sekarang berada di kademangan ini.”
Ki Tanu Metir
mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan sejenak kemudian ia berkata,
“Syukurlah.
Apakah kau sudah dibebaskan dari setiap persoalan?”
“Aku tidak
tahu, Kakang. Tetapi aku mendapat kesempatan dan kepercayaan membantu Angger
Widura di sini.”
Ki Tanu Metir
masih mengangguk-anggukan kepalanya, Ketika ia berpaling dan memandangi wajah
Widura, maka Widura itu pun
menganggukkan kepalanya pula.
“Sudah berapa
lama kau berada di tempat ini?” bertanya Ki Tanu Metir.
Tetapi sebelum
ia menjawab, maka berkatalah Widura,
“Marilah. Aku
persilahkan Kiai masuk.”
“Marilah,”
sambung Ki Demang.
“Ah, maafkan.
Aku hampir kehilangan akal ketika aku melihat gadisku kembali.”
Mereka pun segera masuk ke pringgitan. Ki Tanu Metir
dengan kawannya berbicara, Agung Sedayu, Swandaru. Ki Demang Sangkal Putung,
Widura, dan perwira yang datang dari Jati Anom, beserta beberapa orang lain. Ketika
mereka duduk di dalam pringgitan itu, mereka masih mendengar isak Nyai Demang
dan Sekar Mirah. Mereka mendengar pula beberapa perempuan bertanya-tanya tidak
henti-hentinya, seperti berpuluh-puluh burung sedang berkicau bersama-sama. Setelah
saling menanyakan keselamatan masing-masing, maka Ki Demang pun kemudian berkata,
“Tidak ada
kesenangan melampaui kesenanganku hari ini, Ngger. Ternyata anakku itu dapat
aku ketemukan kembali.”
Tak ada yang
menyahut, tetapi hampir semuanya menganggukkan kepala mereka.
“Aku harus
mengadakan keramaian untuk menyambut anakku itu,” berkata Ki Demang kemudian.
Tetapi Widura yang duduk di sampingnya agaknya mempunyai pendapat lain. Sebagai
seorang perwira yang memimpin prajurit-prajurit Pajang di Sangkal Putung ia
mempunyai pertimbangan-pertimbangan tentang keamanan dan keselamatan daerahnya.
Keramaian dalam keadaan ini agaknya masih belum dapat disetujui oleh
Widura.Meskipun demikian Widura tidak segera memotong kata-kata Ki Demang yang
dilanjutkannya,
“Aku akan
memotong kerbau dan sapi berapa saja diperlukan untuk menjamu seluruh penduduk
Kademangan Sangkal Putung dan para prajurit yang berada di sini. Kegembiraan
ini bukan saja kegembiraan buat keluargaku, tetapi juga kegembiraan seluruh
rakyat Sangkal Putung. Meskipun kita tidak dapat menangani pembebasan Sekar
Mirah itu sendiri, tetapi dengan demikian Sangkal Putung telah terlepas dari
aib yang akan dapat menodai sepanjang umur kita, bahkan akan selalu dikenang
oleh anak cucu kita bahwa kita pernah kehilangan seorang gadis tanpa berbuat
sesuatu. Tetapi sekarang, atas bantuan beberapa pihak, Sekar Mirah telah
terbebaskan. Aku harus menyatakan kegembiraan itu. Sebagai pernyataan terima
kasihku, terutama kepada Yang Maha Kuasa, yang telah memperkenankan semuanya
itu terjadi.”
Dibiarkannya
Ki Demang melimpahkan segala perasaannya. Widura mengerti, bahwa perasaan yang
demikian itu tidak akan dapat ditahan-tahankannya. Apabila pelepasan
perasaannya itu terdapat dikendalikan. Tetapi agaknya Ki Demang telah merasa
puas melepaskan kata-kata yang menyesak di dadanya. Orang tua itu pun kemudian terdiam. Sejenak ruangan itu
menjadi sepi, seperti sedang dijamah hantu. Masing-masing duduk sambil
mengangguk-anggukkan kepalanya. Sedang di ruang dalam masih terdengar isak
tangis Nyai Demang dan Sekar Mirah. Bahkan beberapa perempuan yang lain dan
pelayan Sekar Mirah yang gemuk itu pun
menangis pula. Lebih keras dari Sekar Mirah sendiri.
“Untung, bukan
aku yang diambilnya,” tangis pelayan yang gemuk itu.
“Seandainya
aku maka aku pasti telah mati membeku.”
“Siapa yang
mengambilmu itu?” bertanya suara yang lain.
“Seandainya,
ya, seandainya saja yang diambil Sidanti itu aku, maka aku pasti akan mati di
tengah jalan, selama aku dibawa ke sarang hantu itu.”
“Buat apa
Sidanti mengambilmu?” terdengar suara lain pula.
Tiba-tiba
perempuan yang gemuk itu. Menyadari dirinya. Sekar Mirah diambil karena
kecantikannya. Karena itu maka jawabnya,
“Tidak.
Sidanti tidak akan mengambil aku. Tetapi seandainya orang lain pun yang
mengambil, aku akan mati pula.”
“Tidak ada
orang yang berpikir begitu gila untuk mengambilmu,” teriak Swandaru jengkel
dari pringgitan.
“Orang itu
harus membawa gerobak untuk mengangkutmu.”
Pelayan yang
gemuk itu terkejut. Ia tidak menyangka bahwa suaranya itu didengar oleh
orang-orang yang duduk di pringgitan. Dengan demikian maka mulutnya pun segera terkatup. Bukan saja ia tidak
berani berbicara lagi, tetapi tangisnya
pun tiba-tiba terdiam pula. Dan sejenak kemudian barulah Widura berkata,
“Ki Demang.
Aku akan senang sekali ikut menyelenggarakan keramaian itu. Para prajurit pun
pasti akan senang sekali menerima rangsum yang jauh lebih baik dari rangsumnya
sehari-hari. Apalagi apabila Ki Demang menyelenggarakan wayang beber semalam
suntuk. Alangkah senangnya. Tetapi Ki Demang, aku kira kita harus
mempertimbangkan waktu. Kapan saja keramaian itu dapat diadakan, sesudah kita
pasti bahwa keramaian itu tidak akan terganggu.”
Wajah Ki
Demang tiba-tiba menjadi berkerut-merut, Perlahan-lahan ia bergumam,
“Ya, ya.
Benar. Aku melupakan keadaan terakhir di kademangan ini. Setelah beberapa saat
kami bebas dari ketakutan dan kegelisahan, tiba-tiba suasana yang demikian itu
kini dimulai lagi.”
Widura
mengangguk-anggukkan kepalanya, katanya,
“Ya. Itu harus
dipertimbangkan. Tamu-tamu kita ini pun
harus tahu keadaan kita di sini.”
“Aku sudah
mendengar,” sahut perwira yang datang dari Jati Anom.
“Dari siapa
kau mendengarnya?”
“Dari para
peronda yang aku temui di luar induk kademangan.”
“Begitulah
keadaan kami di sini,” berkata Widura.
“Aku sudah
berusaha untuk mencari sebab dari kematian dan hilangnya beberapa orang
peronda. Tetapi aku belum menemukannya.”
“Kau akan
segera mengerti,” sahut perwira itu.
“Aku ingin
mendapat kesempatan untuk menyampaikan pesan Ki Untara kepadamu, Kakang
Widura.”
Widura
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Tidak ada
orang lain di sini. Katakanlah.”
Perwira itu
menebarkan pandangan matanya berkeliling. Seolah-olah ingin mengenal setiap
orang yang ada di dalam pringgitan itu. Kemudian dipandanginya pintu yang
terbuka, yang menghubungkan ruangan itu dengan ruangan dalam.
“Apakah
perempuan-perempuan itu tidak boleh mendengarnya?” bertanya Ki Demang Sangkal
Putung.
Perwira itu mengerutkan
keningnya. Jawabnya,
“Sebenarnya
tidak ada keberatannya, tetapi apakah berita ini dapat membuat mereka gelisah
dan orang-orang di seluruh kademangan ini menjadi gelisah, itulah soalnya.”
“Tutuplah
pintu itu, Swandaru,” berkata Ki Demang.
“Kalau Angger
berbicara tidak terlampau keras mereka tidak akan mendengar.”
Perwira itu mengangguk-anggukkan
kepalanya.
“Sama sekali
bukan rahasia,” katanya. Tetapi ia terdiam lagi. Memandanginya seorang yang
rambutnya sudah memutih yang duduk di samping Ki Tanu Metir.
Rasa-rasanya
ia pernah melihat orang itu, tetapi perwira itu tidak dapat lagi mengingatnya,
kapan dan di mana. Sejak ia datang ke Sangkal Putung untuk menggabungkan diri
pada Untara, maka ia tidak melihat orang itu.
“Apakah ia
orang kademangan ini yang pada saat aku singgah di sini sebelum aku berangkat
ke Jati Anom kebetulan tidak ikut menemui prajurit-prajurit Pajang di sini?”
pertanyaan itu timbul di dalam hatinya. Tetapi kemudian dibantahnya sendiri,
“Bukan, pasti
bukan. Ia bukan sekedar orang kademangan. ini. Sorot matanya adalah sorot mata
yang terlampau tajam dan dalam.”
Agaknya Widura
melihat keragu-raguan perwira itu, sehingga dengan demikian maka ia perlu bertanya
kepada perwira itu,
“Apakah kau
belum pernah melihatnya?”
Perwira itu
mengerutkan keningnya. Dan dijawabnya dengan jujur,
“Aku merasa
pernah mengenalnya, tetapi di mana dan kapan aku tidak ingat lagi.”
“Aku kira kau
memang pernah melihatnya. Di Jipang barangkali?”
Perwira itu
mencoba mengingat-ingat. Sebelum pecah perang yang sama-sama tidak dikehendaki
itu, antara Pajang dan Jipang, ia memang pernah pergi ke Kadipaten Jipang,
menjadi salah seorang pengawal Ki Gede Pemanahan.
“Apakah orang
ini orang Jipang, dan kenapa ia berada di sini?” pertanyaan itu tumbuh pula di
dalam hatinya.
“Sayang aku
tidak sempat melihat orang-orang Jipang yang menyerah sebelum aku bertugas di
sini itu. Mungkin orang ini salah seorang daripadanya.”
Orang tua yang
sedang dipercakapkan itu sendiri hanya tersenyum-senyum saja. Sekali ia
menengadahkan wajahnya dan sekali-sekali kepalanya ditundukkannya.
“Kau masih.
belum ingat?” bertanya Widura.
Perwira itu
menggelengkan kepalanya, “Belum.”
“Nah, Kiai.
Cobalah memperkenalkan dirimu kepada utusan Untara ini. Sebab kelak Untara-lah
yang akan menerima Kiai di sini secara resmi.”
Orang tua itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya dalam nada yang datar,
“Ya, Ngger.
Aku memang termasuk salah seorang dari Kadipaten Jipang. Mungkin Angger memang
pernah melihat aku.”
Perwira itu
mengangguk-angguk pula.
“Seperti
barangkali Angger pernah juga melihat Ki Tambak Wedi di Kepatihan Jipang,
karena Ki Tambak Wedi pun termasuk salah
seorang kawan dari Ki Patih Mantahun.”
Perwira itu
mengerutkan keningnya. Dari keterangan itu ia dapat mengambil kesimpulan bahwa
orang tua ini pun adalah salah seorang kawan Ki Patih Mantahun. Patih yang
hampir-hampir tidak ada lawannya itu. Untunglah bahwa Pajang juga memiliki
orang-orang yang mampu mengimbangi kekuatan dan kesaktian ki Patih Mantahun.
Dengan
demikian maka orang ini pun pasti seorang yang memiliki kekuatan ilmu seperti
Ki Patih Mantahun dan Ki Tambak Wedi.
“Tetapi apa
kerjanya di sini?” ia bertanya pula kepada dirinya sendiri.
Orang tua itu
melihat berbagai pertanyaan bergelut di dalam pandangan mata perwira yang
selalu memandanginya dengan saksama. Maka katanya kemudian,
“Angger pasti
tidak akan terkejut mendengar namaku. Bahkan mungkin belum pernah mendengarnya
sama sekali, karena aku hanya seorang abdi saja di Kepatihan Jipang. Namaku
adalah Sumangkar.”
“He,” perwira
itu terperanjat. Nama itu telah pernah didengarnya dan bahkan cukup
menggetarkan jantungnya.
“Sumangkar,”
ia mengulanginya.
“Ya, Ngger,
aku adalah Sumangkar. Seorang abdi Kepatihan Jipang, yang hanya karena
kebetulan saja aku menjadi saudara seperguruan Ki Patih Mantahun.”
Perwira itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ditatapnya wajah Widura, seolah-olah
ia ingin mendapat keterangan, kenapa Sumangkar itu berada di Sangkal Putung. Pertanyaan
itu sebenarnya tidak saja bergolak di dalam dada perwira itu saja, tetapi di
dalam dada Swandaru, Agung Sedayu, dan bahkan Ki Tanu Metir. Widura dapat
menangkap siratan sorot mata perwira itu dan mereka yaag baru saja datang dari
Jati Anom. Karena itu maka ia pun
berkata,
“Mungkin
kehadiran Paman Sumangkar di sini dapat menumbuhkan berbagai macam pertanyaan.
Pertanyaan yang sebenarnya tumbuh pula di dalam dadaku. Tetapi aku kira Paman
Sumangkar dapat pula menjelaskannya.”
Orang tua yang
rambutnya telah menjadi keputih-putihan itu berkata,
“Ya. Jangankan
pada diri Angger sekalian, dan pada Kakang Tanu Metir yang sering menyebut
dirinya Kiai Gringsing ini. Aku sendiri pun semula terkejut menerima keputusan
Ki Gede Pemanahan, bahwa aku harus pergi ke Sangkal Putung.”
“Apa katanya?”
potong Ki Tanu Metir.
“Aku
diperbantukan kepada Angger Untara dan Angger Widura. Menurut perhitungan Ki
Gede Pemanahan, Ki Tambak Wedi pasti akan menumbuhkan bahaya yang akan dapat
lebih besar dari bahaya yang pernah ditimbulkan oleh Tohpati di daerah ini. Ki
Gede Pemanahan menilai Tohpati masih lebih baik dari Ki Tambak Wedi. Tohpati,
meskipun masih cukup muda, tetapi ia memiliki kematangan sikap. Ia bukan
seorang yang membiarkan dirinya diombang-ambingkan oleh nafsu saja. Tohpati
telah memilih sasaran yang dianggapnya perlu, dan ia tidak akan berbuat lain
daripada menuju kepada sasaran yang telah ditentukannya, meskipun ada juga satu
dua orang bawahannya yang sering berbuat lain. Tetapi, Tambak Wedi adalah
seorang yang licik. Seorang yang jauh lebih berbahaya dari Tohpati. Justru
karena ilmunya yang tinggi dan kelicikannya itulah.”
Ki Tanu Metir
dan orang-orang lain yang mendengar keterangan Sumangkar itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Mereka dapat mengerti alasan Ki Gede Pemanahan
untuk mengirimkan seseorang yang cukup kuat menghadapi Ki Tambak Wedi. Tetapi
kenapa yang dikirim justru Sumangkar?
Meskipun
pertanyaan itu tidak terucapkan, namun agaknya orang tua itu dapat menangkap
dari sorot mata, beberapa orang yang duduk di pendapa itu. Maka katanya,
“Aku tidak
tahu kenapa pilihan itu jatuh kepadaku. Aku tidak tahu kenapa Ki Gede Pemanahan
tidak menunjuk orang lain. Tetapi dengan demikian aku mengucapkan diperbanyak
terima kasih atas kesempatan ini. Mungkin aku dianggap tidak berbahaya lagi
bagi Pajang, atau barangkali dosaku tidak dianggap terlampau besar sehingga
cukup alasan untuk menggantung aku di alun-alun. Aku tidak tahu.”
Ki Tanu Metir
masih mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Dosamu memang
tidak terlampau besar. Di saat-saat terakhir kau menunjukkan sikap yang dapat
menolong dirimu sendiri.”
“Penyerahan
itu?” bertanya Sumangkar.
Ki Tanu Metir mengangguk-anggukkan
kepalanya,
“Ya.
Penyerahan itu. Kita dapat membedakan sikap yang didasari oleh alasan yang
berbeda untuk menyerah. Dan kau ternyata menyerah karena di dalam dirimu telah
tumbuh kesadaran, bahwa perlawananmu tidak akan berguna. Bukan karena
keringkihan pasukanmu, tetapi secara lahir maupun batin, perbuatan maupun
tujuan, kau menganggap bahwa perlawanan itu tidak akan ada gunanya buat
kepentingan apa pun.”
Sumangkar
mengangguk-anggukkan kepalanya. Mungkin alasan itu pulalah yang dipakai oleh Ki
Gede Pemanahan atas persetujuan Adiwijaya.
“Satu-satunya
yang dapat dimengerti adalah alasan itu.”
“Ternyata bukan
aku saja yang mendapat pengampunan. Setelah dipertimbangkan, maka sebagian
kecil dari para prajurit Jipang telah dipekerjakan pula oleh Ki Gede Pemanahan
untuk membantu pasukan-pasukan Pajang yang sedang bertugas. Selebihnya masih
dalam pengawasan.”
“Ya, perlakuan
atasmu dan orang-orangmu yang menyerah akan berbeda sekali dengan orang-orang
Jipang yang menyerah di Tambak Wedi,” sahut Ki Tanu Metir.
“Bagaimana
dengan mereka?” bertanya Sumangkar. Ki Tanu Metir tidak menjawab. Dipandanginya
perwira yang memimpin serombongan kecil prajurit yang datang bersamanya.
Agaknya prajurit itu mengerti maksud Kiai Gringsing, bahwa kewajibannyalah
untuk menyampaikan persoalan prajurit-prajurit Pajang yang telah menduduki
Tambak Wedi.
Perwira itu
menarik nafas da1am-dalam. Kemudian katanya,
“Inilah yang
akan aku sampaikan kepada Kakang Widura. Dengan demikian Kakang Widura akan
mendapat gambaran yang lengkap tentang keadaan di Jati Anom dan di padepokan
Tambak Wedi.”
Widura
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Ya, aku
memerlukan keterangan itu selengkap-lengkapnya supaya aku dapat memperhitungkan
keadaanku di sini.”
Sekali lagi
perwira itu memandangi Sumangkar yang duduk di samping Kiai Gringsing. Orang
itu adalah orang yang penting bagi Jipang. Namanya telah dikenalnya dengan baik
tetapi orangnya baru sekali dua kali dilihatnya, sehingga ketika ia melihat
kali ini untuk pertama kali, ia sama sekali tidak menyangka bahwa orang itulah
yang bernama Sumangkar. Tetapi Ki Gede Pemanahan telah mengirimkannya kepada
Widura pasti dengan bukti-bukti yang dapat meyakinkan Widura, sehingga Widura
dapat menerimanya dengan tanpa ragu-ragu. Widura yang segera ingin mendengar
keterangan perwira itu tentang Tambak Wedi, melihat bahwa perwira itu masih
disaput oleh keragu-raguan Betapapun tipisnya. Karena itu, maka ia berkata,
“Kedatangan Ki
Sumangkar kemari disertai oleh dua prajurit yang membawa penjelasan dari Ki
Gede Pemanahan di atas rontal.”
Perwira itu
mengerutkan keningnya. Tetapi kemudian ia pun tersenyum, seperti juga Sumangkar
yang tersenyum pula mendengar penjelasan Widura itu.
“Baiklah,”
berkata perwira itu,
“aku akan
bercerita tentang Tambak Wedi kecuali pesan-pesan yang khusus hanya dapat aku
sampaikan kepada Kakang Widura di sini.”
“Ya,” sahut
Widura.
Maka perwira
itu pun kemudian menceritakan apa yang
telah terjadi di Padepokan Tambak Wedi. Semuanya. Tidak ada yang dilampauinya.
Sejak Ki Tanu Metir sampai di Jati Anom dan berhubungan dengan anak muda yang
bernama Wuranta. Kemudian permainan Wuranta yang berbahaya. Hubungan Wuranta
dengan Alap-alap Jalatunda dan kemudian keretakan hubungan antara Alap-alap
Jalatunda dan Sidanti.
Orang-orang
yang berada di ruangan itu mendengarkan keterangan perwira itu dengan saksama.
Swandaru, Agung Sedayu, dan Ki Tanu Metir yang mengalami peristiwa-peristiwa
itu sendiri pun, mendengarkannya dengan penuh minat. Kadang-kadang terasa
betapa berbahaya permainan yang telah mereka lakukan dan dilakukan oleh
Wuranta. Tetapi pada saat-saat mereka melakukannya, maka bahaya itu seolah-olah
tidak mereka lihat.
Urung-urung di
Padepokan Tambak Wedi itu pun telah direnanginya. Swandaru masih teringat,
bahwa kepalanya telah membentur langit-langit urung-urung itu. Seandainya
benturan itu terjadi cukup keras, dan ia pingsan selagi masih berada di bawah urung-urung
itu, maka ia pasti tidak akan, dapat menyelesaikan tugasnya dan bertemu kembali
dengan adiknya. Tetapi betapapun berbahayanya, namun usaha harus dilakukan.
Widura
seolah-olah terpaku mendengar ceritera itu. Terbayang peristiwa-peristiwa itu
terjadi di depan matanya. Ternyata menghadapi Tambak Wedi tidak lebih ringan
dari menghadapi Tohpati.
Hanya karena
keadaan yang khusus sajalah, maka Untara dapat menyelesaikan tugasnya dengan
cepat. Keadaan yang memberinya kesempatan. Ternyata Sekar Mirah yang diambil
oleh Sidanti dari Sangkal Putung hanya mempercepat keruntuhan Tambak Wedi itu
saja.
Sambil
mengangguk-anggukkan kepalanya Widura itu berkata,
“Jadi kini
Padepokan Tambak Wedi itu telah pecah?”
“Ya,” jawab
perwira yang ditugaskan oleh Untara itu.
“Dan Ki Tambak
Wedi sendiri beserta Sidanti dan Argajaya mampu melepaskan diri?”
“Ya.”
“Dengan
demikian kita dapat menilai keadaan,” gumam Widura seolah-olah kepada diri
sendiri.
“Kehilangan
yang kami alami di sini pasti ada sangkut pautnya yang erat dengan ketiga orang
yang berhasil lolos itu.”
“Itu sudah
pasti.”
Widura menarik
nafas panjang. Tanpa dikehendakinya maka ia berpaling kepada Ki Sumangkar.
Katanya,
“Agaknya
perhitungan Ki Gede Pemanahan cukup tajam. Meskipun tidak tepat benar, tetapi
kelicikan Ki Tambak Wedi benar-benar telah dibuktikannya tanpa malu-malu. Aku
di sini telah kehilangan beberapa orang peronda. Agaknya orang-orang itu ingin
melepaskan dendamnya.”
Sumangkar
mengangguk-anggukkan kepalanya pula. Jawabnya,
“Ya, orang tua
itu benar-benar tidak tahu diri.”
“Kemudian
adalah kewajibanmu, Adi,” sahut Ki Tanu Metir.
“Kau, harus
menyelesaikan Tambak Wedi bersama kedua orang yang mengikutinya itu.”
Sumangkar
tersenyum. Ditatapnya wajah Ki Tanu Metir. Kemudian katanya,
“Perhitungan
Ki Gede Pemanahan yang lain juga cukup mengenai sasaran. Menurut Ki Gede
Pemanahan, meskipun di Sangkal Putung ada seorang yang bernama Kiai Gringsing,
tetapi orang itu tidak dapat diikat oleh suatu kuwajiban, karena ia bukan
seorang prajurit. Begitu?”
“Ah,” Ki Tanu
Metir berdesah.
“Ki Gede
Pemanahan belum dapat mengerti dengan tepat, siapakah Ki Tanu Metir itu. Ia
hanya menduga dari keterangan yang didengarnya. Dari puteranda Mas Ngabehi
Loring Pasar, dan dari orang-orang yang pernah bergaul rapat dengan Kakang.
Akhirnya Ki Gede Pemanahan berkata, “Orang itu adalah orang yang mempunyai
perhitungan-perhitungan tersendiri. Karena itu, maka harus ada orang lain yang
pasti dapat dihadapkan kepada Ki Tambak Wedi yang dapat saja berbuat aneh.” Dan
orang itu adalah aku.”
Ki Tanu Metir
mengerutkan keningnya. Kemudian bertanya,
“Apa kata Ki
Gede tentang aku?”
Sumangkar
Tersenyum.
“Tidak
apa-apa. Hanya begitulah. Ki Gede hanya dapat menduga-duga, siapakah Ki Tanu
Metir itu.”
“Kenapa harus
menduga-duga. Bukankah setiap orang di sini tahu, bahwa orang inilah, dukun
inilah yang bernama Ki Tanu Metir.”
“Salahmu
sendiri,” sahut Sumangkar.
“Kenapa pula
salahku?”
“Kakang Tanu
Metir tidak pernah berdiri berhadapan langsung dengan Ki Gede Pemanahan
agaknya. Kalau Kiai Gringsing tidak selalu menghindar ketika Ki Gede datang
kemari, maka Ki Gede akan dapat berkata dengan tegas. O, Ki Tanu Metir itu
adalah orang ini, dukun yang aneh dari Dukuh Pakuwon.”
“Ki Gede
Pemanahan memang belum pernah mengenal aku.”
“Ya, memang
belum pernah mengenal Ki Tanu Metir atau Kiai Gringsing. Tetapi dalam
bentuk-bentuknya yang lain?”
“Ah, sudahlah.
Kau dan Ki Gede Pemanahan bersama-sama sedang memimpikan hal-hal yang tidak
pernah ada,” potong Kiai Gringsing. Kemudian kepada Widura ia berkata,
“Maaf Angger, agaknya
percakapan ini agak berkisar kepada persoalan yang tidak bermanfaat bagi Angger
di sini.”
Tetapi Kiai
Gringsing justru melihat Widura mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Aku menemukan
Kiai Gringsing dalam keadaan yang khusus. Kemudian aku menyangka bahwa aku
adalah orang yang akhirnya dapat mengenalnya setelah Kiai tidak lagi
bermain-main dengan topeng. Ternyata topeng Kiai berangkap tujuh.”
“Ah, ada-ada
saja. Kalian sudah dijalari penyakit mimpi. Sudahlah. Sekarang bagaimana dengan
Tambak Wedi, Sidanti, dan Argajaya? Kalian hanya membuat anak-anakku menjadi
semakin bingung. Untunglah Angger Agung Sedayu pernah mendatangi aku di
rumahku, sehingga baginya tidak ada lagi persoalan tentang Ki Tanu Metir.”
Agung Sedayu
tidak menyahut. Tetapi sebenarnya pertanyaan yang demikian itu sudah lama pula
bersarang di dalam dirinya. Pertama sekali ia melihat orang tua itu sebagai
seorang dukun. Hanya seorang dukun yang selalu mencoba mengobati orang-orang
yang sakit dengan berbagai macam dedaunan. Hanya itu, tidak lebih. Namun adalah
mengejutkan sekali bahwa Ki Tanu Metir itu mampu melindungi kakaknya. Bahkan
kemudian mengambil peranan yang pasti di dalam penyelesaian masalah orang-orang
Jipang dan kemudian di Padepokan Tambak Wedi. Tetapi beberapa orang lain di
dalam ruangan itu benar-benar duduk terpaku tanpa dapat mengerti arah
pembicaraan itu. Meskipun demikian mereka membiarkan saja persoalan itu
berlangsung. Tetapi ternyata Ki Tanu Metir sendirilah yang mengakhirinya, dan
menggeser pembicaraan itu kembali kepada persoalan Ki Tambak Wedi.
“Ternyata Ki
Gede Pemanahan telah berbuat tepat, bahkan seandainya Tambak Wedi belum pecah,”
berkata Ki Tanu Metir kemudian. “Kedatangan adi pasti akan sangat berarti.”
“Mudah-mudahan,”
sahut Sumangkar.
“Lalu
bagaimana menurut pertimbanganmu, Angger Widura,” bertanya Ki Tanu Metir itu
kemudian.
Widura tidak
segera menjawab. Perlahan-lahan ia mengangguk-anggukkan kepalanya sambil
mempertimbangkan segala pembicaraan itu di dalam hatinya. Ia kini mendapat
gambaran yang semakin jelas tentang peronda-perondanya yang hilang. Tidak ada
orang lain yang melakukan pembunuhan terhadap prajurit-prajurit itu selain Ki
Tambak Wedi, Sidanti, dan Argajaya untuk sekedar memuaskan hatinya. Mereka
sudah pasti tidak akan dapat lagi mengharap untuk merebut Sangkal Putung hanya
bertiga saja atau mungkin satu dua orang yang dapat mereka temui di perjalanan
mereka karena kebetulan mereka tidak berada di Padepokan Tambak Wedi pada saat
padepokan itu pecah. Betapapun saktinya hantu lereng Merapi itu, tetapi mereka
tidak akan dapat menghadapi pasukan Widura dan anak-anak muda Sangkal Putung
segelar-sepapan. Karena itu, maka yang dapat mereka lakukan adalah membuat
kegelisahan dan kecemasan dengan cara yang sangat licik dan kejam. Tetapi,
persoalan itu kini sudah jelas bagi Widura. Ia sudah dapat membayangkan apa
yang terjadi, sehingga dengan demikian ia akan dapat menghadapinya. Tidak cukup
dengan menambah jumlah para peronda menjadi lima orang. Tetapi harus
dilipatkan. Sejenak kemudian barulah ia menjawab pertanyaan Ki Tanu Metir.
“Kita harus
lebih hati-hati Kiai. Iblis itu seo1ah-olah dapat berada di segala tempat pada
setiap saat dan kemudian dapat melenyapkan diri dengan tiba-tiba.”
Tetapi Ki Tanu
Metir menggeleng,
“Tidak
terlampau sulit, Ngger. Setiap kali mereka bertemu dengan para peronda, maka
peronda-peronda itu lalu mereka bunuh. Mereka tidak perlu dengan tergesa-gesa
pergi. Bukankah sebelum peristiwa-peristiwa ini terjadi, setiap peronda tidak
lebih dari dua orang bersama-sama.”
Widura menganggukkan
kepalanya. “Ya Kiai.”
“Nah, sekarang
Angger harus berbuat lain.”
“Ya.”
“Tetapi di
Sangkal Putung kini telah tinggal seorang yang dapat dihadapkan langsung kepada
Ki Tambak Wedi, Adi Sumangkar ini,” berkata Ki Tanu Metir kemudian.
“Dan Kiai
Gringsing,” sambung Sumangkar.
Keduanya
tersenyum. Namun tampaklah bahwa masih ada persoalan yang membayang pada Ki
Tanu Metir. Meskipun ia masih juga tersenyum, namun tampaklah ia
mengangguk-angguk perlahan.
“Adi,” berkata
Ki Tanu Metir itu kemudian, keningnya tampak berkerut.
“Ada daerah
lain yang dapat mengalami nasib seperti daerah ini. Bahkan lebih parah, karena
di sana tidak ada kekuatan seperti di Sangkal Putung.”
Sumangkar
mengerutkan keningnya dan bahkan Widura segera bertanya,
“Jati Anom?”
Ki Tanu Metir
menggelengkan kepalanya.
“Di Jati Anom
ada Angger Untara dan pasukannya yang cukup kuat. Apalagi hanya menghadapi tiga
orang itu.”
Widura
mengerutkan keningnya. Dan Sumangkar bertanya,
“Lalu manakah
yang Kiai cemaskan?”
“Argajaya
pernah mempunyai persoalan dengan prajurit-prajurit Pajang di Prambanan. Ia
pernah dikalahkan dalam perang tanding oleh Angger Sutawijaya di ujung Gunung
Baka. Mungkin dendamnya yang semakin bertimbun-timbun itu akan dapat
menumbuhkan keinginan yang tidak terkekang seperti apa yang pernah dilakukan di
daerah ini.”
Tanpa berjanji
maka mereka yang mendengarkan penjelasan Ki Tanu Metir itu mengangguk-anggukkan
kepalanya. Mereka pernah mendengar serba sedikit apa yang pernah terjadi di
Prambanan.
Dalam pada itu,
terdengar Swandaru berkata,
“Kiai pada
saat itu bukankah orang-orang Prambanan, terutama beberapa orang prajurit
berpihak kepadanya?”
“Tetapi ia
tahu dengan pasti, siapakah yang tidak menyenanginya. Apalagi apabila ia
sengaja singgah di tempat itu, dan ditemuinya tanggapan yang berbeda dengan
tanggapan yang pernah didapatinya sebelum ia pergi ke Tambak Wedi. Kekecewaan
yang bertimbun-timbun ditambah dengan sifat-sifatnya yang keras dan sifat-sifat
Sidanti akan sangat berbahaya bagi Kademangan itu.”
“Sumangkar
mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia dapat mengerti apa yang terjadi dan
kira-kira dapat terjadi di waktu yang akan datang.
“Ya,
kademangan itu memerlukan perlindungan,” desisnya.
“Apakah tidak
ada perlindungan dari prajurit-prajurit Pajang yang berada di sana seperti
terhadap Sangkal Putung dan Jati Anom,” bertanya Ki Demang Sangkal Putung.
“Daerah itu
dianggap oleh pimpinan prajurit Pajang, sebagai daerah yang tidak berbahaya
karena sisa-sisa prajurit Jipang hampir tidak tertarik sama sekali kepada
daerah itu, karena mereka terikat kepada keinginan mereka untuk menduduki
lumbung di daerah ini. Tetapi pimpinan Wira Tamtama tidak akan segera melihat
kepentingan yang lain dari Argajaya, seorang tamu dari seberang hutan Mentaok,
dan keadaan di Prambanan sendiri, karena sikap para prajurit yang berada di
sana. Kehadiran Angger Sutawijaya agaknya mempunyai akibat yang baik, tetapi
juga mencemaskan apabila Argajaya datang kembali ke daerah itu, apalagi bersama
dengan Ki Tambak Wedi dan Sidanti.” Ki Tanu Metir berhenti sejenak, lalu,
“Hanya ada
beberapa saja prajurit yang di tempatkan di Prambanan. Semuanya itu akan tidak
berarti sama sekali bagi Ki Tambak Wedi, seandainya mereka yang sakit hati,
akan dengan mudahnya jatuh dalam pengaruh Argajaya yang keras kepala itu.”
Yang
mendengarkan kata-kata Kiai Gringsing itu dapat membayangkan bahwa Prambanan
memang berada dalam keadaan yang mencemaskan apabila ketiga orang itu
benar-benar akan singgah di sana. Apalagi mereka yang telah berada di Prambanan
dan melihat dari dekat apa yang telah terjadi sebelumnya. Agung Sedayu dan
Swandaru pun kemudian menjadi sangat cemas pula. Anak-anak muda Prambanan yang
berdiri berseberangan, akan dapat menjadi kambuh kembali. Keadaan yang demikian
akan sangat mudah dimanfaatkan oleh Argajaya, Sidanti, dan Ki Tambak Wedi untuk
membuat kekisruhan, meskipun sudah pasti bahwa Ki Tambak Wedi tidak akan dapat
membuat Prambanan menjadi pancadan untuk melakukan perlawanan terhadap Pajang,
karena Prambanan tidak memiliki syarat-syarat yang cukup untuk itu. Dengan
demikian yang dapat mereka lakukan hanyalah perbuatan-perbuatan yang dapat
menimbulkan kesan bahwa sejak Pajang berdiri telah tumbuh keributan di
mana-mana. Masalah pesisir Utara masih belum selesai seluruhnya, Sangkal Putung
masih belum aman benar, kemudian Tambak Wedi di lereng Merapi. Sebelum daerah
itu bersih sama sekali maka kembali Sangkal Putung dan kemudian ditimbulkan
pula di Prambanan. Belum terhitung keributan-keributan kecil, perampokan oleh
orang-orang yang putus asa, kejadian-kejadian yang lain di seluruh wilayah
Pajang.
Tetapi, yang
mencemaskan Ki Tanu Metir sebenarnya, bukanlah Ki Tambak Wedi, Sidanti, dan
Argajaya di dalam perjalanan mereka pulang ke Menoreh, tetapi bagaimana sesudah
itu. Bagaimanakah sikap Ki Argapati setelah ia melihat dan mendengar, Sidanti
pulang dengan luka di hati. Meskipun demikian, bukan berarti bahwa Prambanan
harus dibiarkan saja. Bukan berarti bahwa Ki Tambak Wedi, Sidanti, dan Argajaya
akan mendapat kesempatan untuk melakukan apa saja sekehendak hati mereka.
Tetapi Prambanan
dalam keadaannya seperti pada saat mereka tinggalkan, pasti tidak akan dapat
berbuat apa-apa, selain membiarkan ketiga orang itu berbuat apa saja yang
mereka kehendaki. Dalam pada itu terdengar Widura bergumam,
“Lalu apa yang
sebaiknya dilakukan untuk Prambanan?”
Ki Tanu Metir
menarik nafas dalam-dalam, jawabnya,
“Angger dapat
menyampaikan laporan ini kepada Angger Untara. Mungkin Angger Untara dapat
berbuat sesuatu. Bukankah Prambanan masih termasuk di dalam lingkungan
kekuasaannya?”
Widura
mengangguk-anggukkan kepalanya. “Ya,” desisnya di dalam hati, “atasanku adalah
Untara.”
Hadirnya
seorang perwira dari Jati Anom merupakan kesempatan yang baik bagi Widura.
Pesan itu langsung diserahkannya kepada perwira yang besok pagi akan segera
kembali ke Jati Anom.
“Daerah itu
perlu segera mendapat perhatian.” berkata Widura.
“Kedudukan
prajurit-prajurit Pajang di sana sangat lemah, sedangkan mereka tidak dapat
berbuat banyak atas anak-anak mudanya karena kesalahan-kesalahan yang mereka
lakukan sendiri.”
Perwira itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia sendiri dapat mengerti, bahwa seharusnya
Untara tidak berdiam diri atas persoalan itu. Meskipun tidak dikatakannya,
tetapi perwira itu dapat menghubungkan dengan rencana Untara untuk mengirim
beberapa orang langsung ke daerah-daerah terpencil, yang setiap saat harus
menyampaikan laporan kepadanya. Untara memang akan segera mengirimkan
pengawasan ke daerah Prambanan, dan beberapa daerah yang mungkin dilalui oleh
Sidanti apabila karena hatinya yang panas benar-benar akan datang dengan
membawa pasukan dari Menoreh. Meskipun daerah Menoreh itu agak terpisah, tetapi
keadaan alamnya ternyata telah membuat orang-orangnya menjadi kuat dan keras
hati, seperti Sidanti dan Argajaya. Tetapi, baik Untara, Ki Tanu Metir, maupun
Widura sebenarnya masih mempunyai harapan, bahwa Argapati tidak segera terbakar
mendengar laporan anak dan adiknya. Argapati meskipun seorang yang keras hati
pula, tetapi ia mampu membuat pertimbangan-pertimbangan yang masak menghadapi
setiap persoalan. Namun Argapati bagi orang-orang Pajang, bukanlah nama yang
seharusnya sangat dicurigai. Tetapi bagaimana dan sampai seberapa jauh pengaruh
Ki Tambak Wedi atasnya, itulah yang tidak dimengerti. Pertemuan itu pun kemudian diakhiri setelah beberapa orang
pelayan menghidangkan makan bagi mereka. Betapa sederhananya, namun terasa
bahwa makanan yang mereka suapkan ke dalam mulut mereka adalah makanan yang
selezat-lezatnya.
Setelah mereka
selesai, maka Ki Demang pun segera
meninggalkan ruangan itu. Ia ingin bertemu dengan puterinya yang telah sekian
lama terpisah. Swandaru dan Agung Sedayu beserta beberapa orang yang lain
meninggalkan ruangan itu pula.
“Silahkan kau
beristirahat, Adi,” berkata Widura kepada perwira yang datang dari Jati Anom.
“Baik, Kakang,
tetapi aku memerlukan kesempatan untuk berbicara. Aku ingin menyampaikan pesan
Ki Untara, yang harus langsung aku sampaikan kepadamu.”
Widura
mengerutkan keningnya. “Baiklah,” katanya, “apakah soalnya?”
“Pesan
pribadi,” sahut perwira itu.
Kening Widura
masih berkerut. Tetapi kemudian ia mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Baiklah. Kau
akan mendapat cukup kesempatan. Sekarang, silahkanlah beristirahat.”
Perwira
itu pun kemudian meninggalkan ruangan
itu pula. Di pendapa ia melihat orang-orangnya sedang makan pula. Sambil
tersenyum ia berkata,
“Makanlah, aku
sudah cukup kenyang.”
Kemudian
ditemuinya beberapa orang kawan-kawannya yang berada di Sangkal Putung bersama
dengan Widura. Mereka saling berceritera tentang diri masing-masing. Dalam pada
itu, Ki Tanu Metir dan Sumangkar masih tinggal bersama-sama dengan Widura.
Ketika di dalam ruangan itu sudah tidak ada orang lain, maka Ki Tanu Metir pun
berkata,
“Aku pun membawa pesan pribadi untukmu, Ngger.”
Widura
mengerutkan keningnya. Dipandanginya Ki Tanu Metir dan Sumangkar
berganti-ganti, seolah-olah ia ingin bertanya, apakah pesan itu dapat didengar
oleh Sumangkar.
Tetapi sebelum
ia bertanya, Ki Tanu Metir berkata,
“Pesan pribadi
Angger Untara agaknya berhubungan dengan pesan yang dibawa oleh perwira
bawahannya itu pula.”
Widura
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian bertanya,
“Apakah Untara
berpesan kepadanya dan kepada Kiai bersama-sama?”
“Tidak,” sahut
Ki Tanu Metir.
“Pesan yang
aku bawa agak berbeda segi pandangannya dengan pesan yang dibawa oleh perwira
itu.”
Kening Widura menjadi
semakin berkerut-merut.
“Bagaimana
dapat terjadi demikian?”
Ki Tanu Metir
tersenyum. Ketika ia melihat Widura sekali lagi memandang Sumangkar, maka
berkatalah Ki Tanu Metir,
“Tidak
apa-apa. Biarlah Adi Sumangkar mendengarnya.”
Widura menarik
nafas dalam-dalam.
“Pesan itu
menyangkut kemanakan Angger, Agung Sedayu,” berkata Ki Tanu Metir kemudian.
“Pendapat
Angger Untara ternyata agak berbeda dengan pendapatku. Agaknya Angger Untara
tidak begitu senang dengan keinginanku untuk membawa Angger Agung Sedayu
menempuh jalan yang diingininya.” Kemudian dengan agak berbisik Ki Tanu Metir
berkata,
“Ada sangkut
pautnya dengan Angger Sekar Mirah. Agaknya Angger Untara ingin melihat adiknya
tumbuh tanpa terganggu, apalagi oleh seorang wanita.”
Widura
mengangguk-anggukkan kepalanya. Perlahan-lahan ia bergumam,
“Aku
mempercayainya, Kiai. Demikianlah agaknya sifat Untara, seorang anak muda yang
berada dalam jabatannya sekarang. Semua segi pandangan hidupnya terlampau
dipengaruhi oleh tugasnya itu.”
Ki Tanu Metir
mengangguk-anggukkan kepalanya pula. Lalu diceriterakan sikap sebenarnya dari
Untara terhadap adiknya. Dikatakannya pula bagaimana ia mencari penyelesaian
yang sebaik-baiknya dengan tidak terlampau menyinggung perasaan keduanya,
apalagi membenturkan sikap kakak beradik itu.
“Aku
sependapat dengan Kiai,” berkata Widura kemudian.
“Memang Untara
bersikap terlampau keras apabila demikian. Ia seorang senapati yang menganggap
semua persoalan dapat di atasinya dengan sikap seorang senapati perang. Aku
akan mencobanya sebagai seorang paman, bukan sebagai seorang perwira
bawahannya.”
“Mudah-mudahan,”
desis Ki Tanu Metir.
“Tetapi untuk
sementara aku telah mendapat jalan. Membawa Angger Agung Sedayu pergi. Kemana
saja untuk mendapatkan pengalaman yang akan berguna bagi masa depannya.”
“Kemana?”
bertanya Widura.
Ki Tanu Metir
mengerutkan dahinya yang telah dilukisi oleh garis-garis usianya yang semakin
tua.
“Angger
Widura,” Berkata orang tua itu,
“seperti yang
telah aku katakan, jalan ke Menoreh kini berada dalam bahaya. Apabila Ki Tambak
Wedi membiarkan Sidanti dan Argajaya melepaskan dendamnya di sepanjang jalan,
maka keadaan daerah-daerah yang dilaluinya cukup mencemaskan, apalagi
Prambanan.”
“Lalu?” wajah
Widura menjadi menegang.
“Kami,
maksudku aku, Agung Sedayu, dan Swandaru akan menyusur jalan itu pula.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar