“Mirah, jangan marah, meskipun aku senang melihat kau bersungut-sungut. Aku hanya ingin memberi peringatan. Jangan terlalu sering bergaul dengan anak muda yang belum kau ketahui keadaannya”
Sekar Mirah
kemudian menarik nafas. Wajahnya kini sudah tidak tegang pula. Jawabnya,
“Aku hanya
bertemu dengan Sedayu di jalan, dan aku antarkan ia ke warung di ujung desa”
Sidanti pun kemudian
melangkah pergi. Meskipun demikian ia masih curiga berkata,
“Ingat-ingatlah
Mirah. Jangan terlalu rapat bergaul dengan siapa pun juga. Aku kurang senang
melihatnya”
Kembali wajah
Sekar Mirah menjadi tegang,
“Apakah
hakmu?”
Tetapi Sidanti
tidak menjawab. Berpaling pun tidak. Ia berjalan saja ke belakang rumah dan
lenyap di balik pepohonan yang rapat.
Sekar Mirah
masih berdiri di tempatnya. Ia menjadi kesal pada anak muda itu. Tetapi
kemudian timbul juga ibanya kepada Sidanti. Pergaulan mereka telah berlangsung
lama, dan anak muda itu pun tak pernah menyakiti hatinya. Dengan wajah tunduk
Sekar Mirah masuk kedapur. Dilihatnya beberapa orang telah sibuk menyiapkan
makan pagi.
“Kami tunggu
kau, Mirah” kata ibunya.
“Oh” Mirah
sadar akan dirinya. Yang dibawanya itu adalah bumbu-bumbu masak. Karena itu
segera diserahkannya kepada ibunya.
“Nasi sudah
masak. Tetapi belum ada lauk dan sayurnya. Terlambat” desah ibunya.
“Kadang-kadang
saja” sahut Sekar Mirah.
“Bukankah
tidak setiap hari aku terlambat?”
“Aku jemu
mendengar mereka menggerutu” berkata orang yang gemuk, yang duduk di muka api.
“Ah bibi.
Jangan kau dengarkan. Bukankah sudah menjadi kebiasaan mereka menggerutu. Apa
pun tidak menyenangkan mereka”
“Tetapi mulut
orang yang jangkung dan berkumis tipis itu sangat tajam. Aku pernah
dikata-katainya karena termakan cabe rawit olehnya. Dikiranya aku sengaja
memasang untuknya. Oh, orang itu benar-benar tidak melihat punggungnya. Apa
yang dibanggakannya untuk berlagak di hadapanku”
Tetapi Sekar
Mirah menjadi tertawa karenanya. Jawabnya,
“Bibi,
siapakah yang membelikan lurik abang itu?”
“Oh, oh” orang
yang gemuk itu tersipu-sipu. Namun akhirnya ia menjawab,
“Aku tidak
pernah minta kepadanya. Ia sendiri datang kepadaku dan memberikan kain lurik
ini”
Sekar Mirah
tidak menjawab. Namun ia masih tertawa. Tetapi tawanya itu patah ketika ia
mendengar orang membentaknya,
“Kau baru
datang Mirah?”
Ketika Sekar
Mirah berpaling, dilihatnya Swandaru bertolak pinggang dipintu dapur.
“He, kau baru
datang?” desak kakaknya.
Sekar Mirah
tidak menjawab. Ia hanya mencibirkan bibirnya.
“Kenapa
terlambat?” kakaknya membentak.
Tetapi Sekar
Mirah tidak juga menjawab, sehingga kemudian Swandaru itu pun pergi dengan
sendirinya.
Dapur
kademangan itu kemudian tenggelam dalam kesibukan. Semua bekerja dengan cepat
dan tergesa-gesa. Tetapi Sekar Mirah kali ini tidak selincah biasanya.
Kadang-kadang ia duduk termenung memandangi api yang menjilat-jilat diperapian.
Sedang di tangannya masih tergenggam pisau dapur dan daging yang sedang
dipotongnya. Ia baru sadar ketika beberapa orang menegurnya. Tetapi sesaat
kemudian kembali ia termenung. Hatinya sedang dirisaukan oleh angan-angannya
tentang anak-anak muda yang dikenalnya. Ternyata pertemuannya dengan Agung
Sedayu itu pun berkesan pula di hatinya. Namun selalu diingatnya, senyum Sidanti
beberapa saat berselang.
“Mirah”
katanya, “Jangan terlampau sering bergaul dengan anak muda yang belum kau
ketahui keadaannya itu”
Akhirnya Sekar
Mirah sampai pada suatu kesimpulan bahwa Sidanti menjadi cemburu karenanya. Sekar
Mirah menarik nafas dalam-dalam. Katanya di dalam hati,
“Bukankah aku
mengagumi Agung Sedayu seperti juga orang-orang lain mengaguminya?” Tetapi
terdengar pula dari sudut hatinya, “Ah, kau dulu juga mengagumi Sidanti, karena
Sidanti adalah orang yang paling mengagumkan di Sangkal Putung. Apa katamu
kalau kelak datang Untara yang lebih sakti dari adiknya. Apakah kau akan
mengaguminya pula berlebih-lebihan dan melupakan orang-orang lain?”
“Oh” Sekar
Mirah memejamkan matanya. Dan tiba-tiba dilemparkannya pisaunya dan dengan
tergesa-gesa ia pergi ke biliknya.
“Mirah”
panggil ibunya yang terkejut melihat kelakuan anaknya itu.
“Kenapa kau?”
“Kepalaku
pening” jawabnya sambil berlari.
Ibunya menarik
nafas dalam-dalam. Diikutinya anaknya kebiliknya. Dan dirabanya keningnya.
Katanya,
“Tidak panas
Mirah”
Sekar Mirah
berbaring dipembaringannya sambil menengadahkan wajahnya. ketika ibunya meraba
keningnya, maka katanya,
“Hanya pening
sedikit bu. Mungkin semalam aku kurang tidur”
Ibunya tidak
bertanya lagi. Ditinggalkannya Sekar Mirah sendiri di dalam biliknya. Pesannya,
“Beristirahatlah
Mirah. Mungkin kau terlalu lelah”
Sekar Mirah
mengangguk. Namun ketika ibunya telah meninggalkannya, kembali angan-angannya
bergolak. Bermacam-macam persoalan hilir mudik dikepalanya. Sehingga akhirnya
ia menjadi benar-benar pening. Karena itu, maka sehari-harian Sekar Mirah
tinggal di dalam biliknya. Tak seorang pun tahu, apa yang sedang mengganggu
usia remajanya. Mula-mula ia mencoba untuk tidur, namun tidak dapat. Dengan
gelisahnya ia berbaring. Sekali miring kekiri, sekali kekanan. Kadang-kadang ia
bangkit, duduk sambil bertopang dagu, tetapi sesaat kemudian direbahkannya
dirinya kembali. Sekar Mirah keluar dari biliknya hanya apabila datang saatnya
makan. Namun ibunya menyangka tidak lebih daripada Sekar Mirah sedang pening.
Matahari di
langit merayap dengan lambatnya. Seakan-akan telah jemu akan pekerjaan yang
selalu dilakukan itu setiap hari. Ketika matahari itu kemudian tenggelam di
balik bukit-bukit, maka warna-wana yang kelam seakan-akan turun dari langit,
menyelubungi wajah bumi. Kembali Sangkal Putung terbenam dalam lelap malam.
Ketika sunyi malam menjadi semakin sunyi, maka Widura dan Agung Sedayu pun
berangkat pula berkeliling kademangan. Dan kemudian mereka berdua itu pun pergi
ke puntuk kecil yang bernama gunung Gowok. Kini Agung Sedayu semakin gairah
menghadapi latihan-latihannya. Bahkan Widura menjadi heran. Anak itu sudah
menyimpan kemampuan yang tidak diduganya. Sehingga tiba-tiba saja terloncat
pertanyaannya,
“Sedayu,
darimana kau dapatkan ilmumu itu?”
“Kakang
Untara” jawab Agung Sedayu.
Widura mengangguk-anggukkan
kepalanya.
“Hem”
gumamnya. “Kenapa kau masih takut juga kepada Alap-alap Jalatunda? Kalau kau
berani melawannya, aku kira kau sendiri mampu mengalahkannya. Setidak-tidaknya
kau akan dapat mempertahankan dirimu sendiri sehingga Untara tidak usah terluka
karenanya.”
Sedayu
menundukkan wajahnya. Memang terasa juga di hatinya, setiap kali ai melihat
perkelahian, timbul juga kata-kata di hatinya,
“Ah. Tidak
aneh. Aku juga dapat melakukannya”. Tetapi ia sediri belum pernah berbuat
seperti yang dilihatnya itu dalam peristiwa-peristiwa yang sebenarnya. Agung
Sedayu hanya berani menghadapi lawannya dalam latihan-latihan Untara dan kini
Widura.
“Besok kau
bawa senjata panjang seperti pedangku ini” berkata Widura.
“Apakah kau
pernah juga berlatih dengan pedang?”
Sedayu
mengangguk.
“Pernah”
jawabnya. “Ayah pernah memberi aku beberapa petunjuk, dan kakang Untara pun
pernah memberi aku latihan-latihan dengan pedang, perisai dan tombak”
“Aneh. Aneh”
gumam Widura.
“Apa yang aneh
paman?” bertanya Sedayu.
“Kau” jawab
pamannya. “Hampir aku kehilangan akal karena kedatanganmu Sedayu. Aku berterima
kasih karena kau telah memberitahukan kepada kami, bahaya yang akan menerkam
kami. Namun seterusnya kau menjadi beban yang hampir tak tertanggungkan”
Wajah Agung
Sedayu menjadi semakin tunduk. Ia merasakan pula, betapa sulit keadaan pamannya
karena kehadirannya. Tetapi bukankah kakaknya yang telah menjerumuskannya
keneraka ini?
“Sedayu”
berkata pamannya pula. “Baiklah aku berterus terang. Kehadiranmu ternyata
sangat menyulitkan keadaanku. Kini ternyata bahwa kau memiliki kemampuan yang
tidak kecil. Namun kau simpan di dalam dirimu, karena terbalut oleh kekerdilan
jiwamu. Cobalah, pecahkan dinding yang membatasi dirimu itu. Kau kini berada
dalam dunia ketakutan. Kalau sekali kau berani melampaui batas itu, batas
antara ketakutan yang membelengumu dan kebebasan bertindak yang dilambari oleh
keberanian, maka kau merupakan anak muda yang benar-benar mengagumkan. Sampai
saat ini ternyata kau sudah memiliki kemampuan-kemampuan yang tinggi, apabila
kemampuan-kemampuan itu kau ungkapkan, dibumbui oleh pengalaman-pengalaman,
maka kau tak akan kalah melawan Alap-alap Jalatunda. Kelak kau akan tetap
menjadi pahlawan dimata rakyat Sangkal Putung. Kau tidak akan cemas lagi
berhadapan dengan bahaya apapun”.
Kata-kata itu
bukanlah yang pertama kali didengarnya. Kakaknya pernah juga berkata demikian.
Dan hatinya sendiri pun berkata demikian pula. Namun bagaimana? Apabila bahaya
itu benar-benar datang, maka hatinya berkerut sekecil biji sawi.
“Hem” Sedayu
menarik nafas. Katanya di dalam hati,
“Kenapa
manusia didunia ini harus berkelahi satu sama lain?” Namun ia tidak dapat
mengingkari kenyataan, bahwa masih ada manusia-manusia yang ingin selalu
memaksakan kehendaknya kepada orang lain, manusia-manusia yang ingkar kepada
sumbernya yang memberi manusia kebebasan untuk melakukan pilihan. Selama
manusia tidak menghormati kebebasan yang berasal dari sumber hidupnya, maka
selama itu masih akan ada bentrokan-bentrokan di antara sesama. Kebebasan yang
setia pada sumbernya, yang pada hakekatnya merupakan kesimpang-siuran hidup
manusia seorang-seorang, namun penuh dengan keserasian dalam ujud keseluruhannya.
Yang satu sama lain tidak saling berbenturan dan bertentangan. Apabila setiap
orang menyadari keadaannya serta patuh pada hakekatnya, sumber hidupnya yaitu
kekuasan Tuhan Yang Maha Tinggi, maka manusia akan menemukan kedamaian. Lahir
dan batin. Tetapi, ternyata manusia telah memiliki arti sendiri bagi
kebebasannya. Kebebasan yang mutlak, yang tak dapat dikekang oleh dirinya
sendiri sekalipun. Yang bahkan kebebasan itu telah dipakainya untuk mengaburkan
arti dalam hidupnya. Dengan demikian maka hilanglah keserasian hidup antara
manusia. Dan timbullah pertentangan dimana-mana, peperangan dan pembunuhan.
Perkosaan terhadap peradaban manusia itu sendiri.
Demikianlah
Agung Sedayu harus melihat kenyataan itu. Apakah ia harus menelan keharusan
yang dipaksakan orang lain atasnya? Keharusan yang bertentangan dengan haknya?
Tetapi betapa ia menyadari keadaannya, namun dinding yang membatasi dunianya
itu tak mampu dipecahkannya. Dinding yang selalu menyekapnya dalam ketakutan
dan kekhawatiran. Meskipun demikian, niat untuk melakukannya kini telah semakin
besar mengetuk dadanya. Karena itu, ia pun berlatih semakin keras.
Dikerahkannya segenap tenaganya dan kemampuan-kemampuan yang tersimpan di dalam
dirinya. Sehingga dengan demikian Widura menjadi bergembira karenanya. Ia
melihat anak muda itu seakan-akan lain dari Agung Sedayu yang dikenalnya
sehari-hari. Lincah, tangkas dan kuat, bahkan kadang-kadang berhasil
membingungkannya karena kecepatannya. Tetapi apabila teringat oleh pamannya
itu, betapa kecil hati kemenakannya, maka ia pun menjadi kecewa karenanya.
Meskipun demikian, maka Widura itu bekerja sekeras-kerasnya. Diusahakannya
untuk dapat mengungkat setiap kemampuan yang ada pada kemenakannya itu.
“Suatu ketika”
katanya di dalam hati,
“Apabila ia
dihadapkan pada suatu keadaan memaksa, mudah-mudahan ia telah mampu untuk
menyelamatkan diri”
Demikianlah,
latihan itu berjalan dengan cepatnya. Semakin lama semakin cepat. Widura
berusaha untuk memeras tenaga kemenakannya, sedang Agung Sedayu pun berusaha
untuk mengimbanginya. Widura sendiri, yang ternyata memiliki ilmu yang cukup
tinggi, terpaksa bekerja keras untuk dapat mengatasi kemenakannya itu.
Sekali-sekali Agung Sedayu dapat bergerak secepat bayangan. Namun sekali-sekali
mencoba juga untuk bertahan beradu kekuatan. Ternyata kekuatan Agung
Sedayu pun mengherankan pula. Ketika
serangan Widura membentur dinding pertahanan kemenakannya itu, ia terkejut.
Terasa ia bergetar surut, meskipun Agung Sedayu terdorong beberapa langkah pula.
“Luar biasa”
desis pamannya.
“Kekuatanmu
pun luar biasa”
Agung Sedayu
tersenyum. Ia senang mendengar pujian itu. Jawabnya,
“Bukankah bibi
dahulu selalu memberiku pekerjaan itu?”
“He” pamannya
mengerutkan keningnya.
“Pekerjaan
yang mana?” ia bertanya.
“Membelah
kayu” jawab Sedayu.
“Ah” desah
Widura. “Bukan itu. Pasti ada yang lain”
“Setiap pagi
kakang Untara mengajari aku bermain-main berjalan di atas tangan dengan kaki di
atas. Kemudian bermain-main dengan pasir di tepian”
“Permainan
apakah itu?”
“Hanya
memukul-mukul saja. Pasir dan kadang-kadang batang-batang pohon dengan jari”
“Oh” Widura
terkejut. Untara telah memberikan latihan-latihan itu. Meskipun Sedayu tidak
menyadarinya, namun latihan-latihan itu merupakan latihan yang sangat berguna
baginya. Bagi tubuhnya dan bagi ilmu-ilmu yang dimilikinya. Namun sekali lagi
Widura mengeluh,
“Jiwanya.
Jiwanya yang terlalu kerdil. Sayang, ibunya terlalu takut melepaskannya.
Sehingga Sedayu tidak lebih dari seorang yang hanya mengenal dinding-dinding
batas halamannya. Kemanjaan dan perawatan yang berlebih-lebihan. Untunglah,
diam-diam Untara telah memeberinya bekal”
Tetapi latihan
mereka terpaksa berhenti ketika tiba-tiba pula hadir orang bertopeng yang
menamakan dirinya Kiai Gringsing. Yang mula-mula terdengar adalah suara
tertawanya. Tinggi dan nyaring. Namun Widura dan Agung Sedayu sudah tidak
terkejut lagi. Mereka sudah menduga bahwa orang itu akan selalu datang melihat
mereka. Bahkan kemudian Widura menyapanya,
“Selamat malam
Kiai”
“Oh” jawabnya,
“Selamat
malam. Apakah kau masih akan menangkap aku Widura?”
“Tidak Kiai”
jawab Widura. Ia berusaha pula untuk menyesuaikan diri dengan orang aneh itu.
Karena itu katanya,
“Sebenarnya
aku belum melepaskan maksudku itu. Namun aku masih belum dapat mengalahkan
Kiai. Karena itu aku berlatih terus. Guruku, Agung Sedayu, telah mencoba
mempercepat latihan-latihanku”
Orang
bertopeng itu pun tertawa. Tetapi nadanya tidak setinggi semula. Katanya
kemudian,
“Bagus. Agung
Sedayu harus menempamu lebih keras lagi. Nah, sekarang cobalah. Tangkap aku.
Mungkin latihanmu sehari ini telah menambah ilmumu”
“Bagus” sahut
Widura.
“Jangan
berlari-lari. Aku akan mencoba sekali lagi”
Dengan
serta-merta Widura menarik pedangnya, dan dengan garangnya ia langsung
menyerang.
“He” teriak
Kiai Gringsing. “Aku belum siap”
Namun Widura tidak
memperdulikannya. Ia tahu benar, bahwa Kiai Gringsing adalah seorang sakti yang
tak memerlukan senjata untuk melawannya. Karena itu, maka ia sama sekali tak
menarik serangannya. Ternyata Kiai Gringsing itu pun tak mau dadanya berlubang.
Tepat pada saat pedang Widura hampir menyentuhnya, ia memiringkan tubuhnya.
“Luar biasa”
katanya nyaring, “Seranganmu bertambah cepat”
Widura tidak
menjawab. Ketika serangannya gagal, maka cepat ia memutar tubuhnya, dan
mengalirlah serangan demi serangan melanda Kiai Gringsing.
Widura
bukanlah seorang anak-anak lagi. Pengalaman dan pengetahuannya telah cukup.
Karena itu, ia menyadari benar-benar keadaannya. Ia pasti bahwa Kiai Gringsing
itu telah memperhitungkanmya pula kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi
atasnya. Sebagai seorang pemimpin dalam satu rombongan prajurit, meskipun masih
banyak yang gelap baginya, namun firasatnya berkata,
“Kiai
Gringsing ini benar-benar seorang yang bermaksud baik terhadapnya, terhadap
Sedayu dan mungkin pula terhadap Untara dan Ki Tanu Metir”
Karena itu
Widura sampai pada suatu kesimpulan bahwa, Kiai Gringsing sengaja meningkatkan
ilmunya, sebab Sidanti pun berbuat demikian. Dengan demikian maka Widura pun melakukan perkelahian itu dengan tekad,
“Aku sedang
berlatih. Dan seorang yang sakti telah berkenan menuntunku”
Demikianlah
mereka tenggelam dalam pertempuran. Cepat dan mengagumkan. Apalagi bagi Agung
Sedayu. Dengan mulut ternganga ia menyaksikannya. Dan bahkan ia berhasil
mengingat-ingat unsur-unsur gerak yang menarik hatinya. Ternyata Kiai Gringsing
itu tidak saja bertempur, namun ia banyak berbicara pula. Disebutnya
kesalahan-kesalahan yang dilakukan Widura dan ditunjukkannya apa yang
seharusnya dilakukan. Meskipun kadang-kadang dengan nada yang aneh. Dan apa
yang terjadi di gunung Gowok itu tidaklah hanya sekali dua kali. Namun
berkali-kali. Setiap malam. Dan hampir setiap malam pula Kiai Gringsing hadir
di antara mereka. Bahkan apabila orang itu tidak tampak, maka Widura dan Agung
Sedayu menjadi kecewa karenanya. Tetapi tidak seorang pun yang tahu, apa yang
terjadi setiap malam di gunung Gowok itu. Yang dilakukan oleh anak-anak Widura
di Sangkal Putung setiap hari pun adalah latihan dan latihan. Akhirnya mereka
menjadi jemu pada latihan-latihan itu. Namun tak ada lain yang dapat mereka
lakukan. Mereka belum dapat meninggalkan Sangkal Putung pada keadaan yang masih
tak menentu itu. Tetapi Agung Sedayu tidak mengalami kejemuan karenanya. Lambat
laun perkenalannya dengan Sekar Mirah menjadi semakin rapat. Meskipun mereka
jarang-jarang bertemu, namun setiap pertemuan di antara mereka, ternyata
berkesan pula di hati masing-masing. Bahkan setiap Agung Sedayu melihat Sekar
Mirah bergolak di dadanya. Tetapi Agung Sedayu masih terlalu muda untuk
mengenal perasaannya sendiri. Ia senang bergaul dengan Sekar Mirah dan menjadi
bersedih apabila dilihatnya orang lain berada didekat gadis itu. Apalagi
Sidanti. Namun Sidanti pun selalu berusaha untuk tetap mendapat perhatian dari
gadis itu. Karena itu, pergaulan Sekar Mirah dan Sedayu sangat mengganggu
perasaannya.
“Apakah Agung
Sedayu benar-benar seorang anak muda yang kesaktiannya melampaui orang lain?”
pikir Sidanti.
“Sayang, aku
belum pernah melihatnya. Tetapi, sekali-sekali perlu juga aku mencobanya.
Terhadap Untara sekalipun, aku tak pernah merasa kagum. Alap-alap Jalatunda
bukan ukuran. Sedang kemenangan-kemenangan yang pernah dicapainya dalam setiap
pertempuran pun tergantung pada banyak persoalan. Tetapi seorang lawan seorang,
aku tak akan gentar”
Kemarahan
Sidanti itu selalu merayap-rayap di dalam dadanya. Sekali-sekali ia masih dapat
menahan arus perasaannya itu, tetapi kadang-kadang hampir-hampir ia tak mampu
lagi. Kadang-kadang dadanya terasa akan meledak apabila ia melihat Sekar Mirah
duduk di halaman bersama dengan Agung Sedayu. Lambat laun, Agung Sedayu
merasakan pula sikap yang aneh dari Sidanti. Karena itu, maka timbullah
kecemasan di dalam hatinya. Ia sama sekali tidak akan berani membayangkan,
bagaimana seandainya anak muda yang mampu melawan Tohpati itu nanti marah
kepadanya. Maka betapa pun perasaannya bergejolak, namun dibatasinya dirinya
sendiri, untuk tidak selalu menyakiti hati Sidanti. Tetapi Sekar Mirah tidak
melihat kecemasan yang mencengkam perasaan Agung Sedayu. Karena itu apabila
Agung Sedayu tidak menampakkan dirinya, maka Sekar Mirah lah yang pergi
mencarinya. Yang tidak kalah peningnya adalah Widura sendiri. Ia melihat
persoalan yang dapat meledak setiap saat. Ia melihat betapa Sidanti sama sekali
tidak menyukai Agung Sedayu. Dan ia melihat Agung Sedayu pasti akan ketakutan
apabila suatu saat Sidanti tidak dapat mengendalikan dirinya lagi. Dengan
demikian, maka Widura pun telah berusaha untuk mencagah peristiwa-peristiwa
yang hanya akan menambah bebannya.
“Sedayu”
berkata pamannya kepada kemenakannya itu,
“Kau harus dapat
memperhitungkan segenap perbuatanmu di sini. Setiap langkah akan membawa
akibat. Melangkahlah kalau kau berani menanggung setiap akibat yang terjadi.
Kalau tidak, jangan membuat persoalan-persoalan baru yang bagiku tidak kalah
sulitnya dengan laskar Tohpati yang masih saja berkeliaran di sana-sini”
Agung Sedayu
hanya dapat menundukkan kepalanya. Kadang-kadang timbul juga niatnya untuk
menjadi seorang yang berhati jantan, apa pun yag akan terjadi. Bukankah ia
mampu pula menggenggam pedang? Namun kekerdilan jiwanya telah menjeratnya dalam
sifat-sifatnya yang penakut. Sehingga yang dapat dilakukannya adalah, semakin
menyekap dirinya di pringgitan.
Tetapi suatu
ketika ia memerlukan juga untuk keluar dari pringgitan itu. Ke belakang,
kepadasan, untuk mengambil air wudlu. Dan kesempatan-kesempatan yang demikian
itulah yang dipergunakan Sekar Mirah untuk menemuinya.
“Tuan” panggil
gadis itu ketika Agung Sedayu berjalan menyusur dinding-dinding di belakang
rumah,
“Dari manakah
tuan?”
“Dari sumur
Mirah”
“Ah” jawab
gadis itu, “Tuan tak usah bersusah payah menimba air. Bukankah laskar paman
Widura itu cukup banyak. Seharusnya tuan tinggal mandi saja seperti paman tuan
itu”
“Tidak baik
Mirah. Aku di sini sama sekali bukan seorang pemimpin. Bukan sebagai laskar
paman Widura itu pun bukan. Aku di sini seorang diri”
Sekar Mirah
tertawa. Jawabnya,
“Tuan seorang
diri dan paman tuan beserta laskarnya, manakah yang lebih bernilai bagi kami,
penduduk Sangkal Putung?”
Sedayu
tersenyum. Ia selalu mendengar Sekar Mirah memujinya. Dan ia senang mendengar
pujian itu. Namun kali ini adalah sangat berlebih-lebihan. Maka jawabnya,
“Jangan
memperkecil arti paman Widura dan laskarnya. Mereka telah berhasil mengusir
laskar Tohpati.”
“Apakah tuan
tidak dapat berbuat demikian?”
“Sendiri tentu
tidak” jawab Sedayu. Namun di hatinya terdengar kata-katanya sambil meneruskan,
“Apalagi
seorang diri. Sepasukan pun tidak mungkin” namun kata-kata itu disekapnya
jauh-jauh di sudut dadanya.
Sekar Mirah
masih saja tertawa. Bahkan kemudian kata-katanya mengalir seperti banjir. Tak
habis-habisnya. Tak putus-putusnya.
“Tidakkah tuan
sekali-sekali ingin berjalan-jalan ke warung kembali?” bertanya Sekar Mirah.
Agung Sedayu
menggeleng.
“Lain kali
Mirah”
“Oh. Tetapi
tidakkah tuan ingin melihat belumbang ayah? Gurame yang dipelihara oleh kakang
Swandaru kini telah sebesar bantal. Barangkali tuan ingin menangkapnya?”
Agung Sedayu
menggeleng kembali.
“Lain kali
saja Mirah”
Sekar Mirah
menarik nafas dalam-dalam. Memang ia pun merasakan bahwa sikap Agung Sedayu
pada saat-saat terakhir menjadi semakin jauh daripadanya. Karena itu Sekar
Mirah menjadi cemas, apakah sikapnya terlalu menjemukan?
Tetapi
pertemuan itu dikejutkan oleh sebuah langkah tergesa-gesa mendekati mereka.
Ketika mereka menoleh betapa dada Agung Sedayu berguncang. Tanpa diketahuinya
sendiri, terasa lututnya menjadi gemetar. Ternyata yang datang adalah Sidanti. Tetapi
Sekar Mirah sama sekali tidak menjadi cemas. Disapanya anak muda itu sambil
tersenyum,
“Marilah
kakang Sidanti”
Namun wajah
Sidanti itu menjadi semakin tegang. Beberapa langkah dari Agung Sedayu ia
berhenti. Ditatapnya wajah anak muda itu dengan tajamnya. Kemudian kepada Sekar
Mirah ia berkata,
“Mirah, sudah
berapa kali aku memperingatkanmu. Jangan bergaul terlalu rapat dengan anak muda
itu. Aku sama sekali tidak senang melihatnya”
Sekar Mirah
mengerutkan keningnya. Kini ia berdiri tegang menghadap Sidanti. Katanya
lantang,
“Sudah berapa
kali, aku menjawab apakah hakmu?”
Sidanti tidak
senang mendengar jawaban itu. Maka matanya yang bulat itu seakan-akan
memancarkan bara kemarahan. Kepada Agung Sedayu ia berkata,
“apakah
kepadamu aku harus memberi peringatan?”
Kata-katanya
itu tergores di dada Agung Sedayu seperti goresan pisau yang setajam pisau
penukur. Namun gelora di dadanya yang gemuruh tidak juga mau berhenti, apalagi
ketika dilihatnya mata Sidanti yang menyala itu. Hatinya menjadi semakin kecut.
Namun dicobanya juga berjuang sekuat tenaga melawan ketakutannya. Dicobanya
untuk bersikap tenang walau dadanya hampir pecah oleh kecemasan dan
kekhawatiran.
“Jangan lekas
marah kakang Sidanti” suara Agung Sedayu terdengar bergetar. Namun ia berhasil
mengucapkannya.
“Hem” Sidanti
menarik nafas untuk mencoba mengendalikan perasaannya.
“Ingat, aku
tidak senang melihat pergaulan kalian”
Sedayu tidak
segera menjawab. ia masih berjuang untuk tetap menyadari keadaannya. Tetapi
Sekar Mirahlah yang menjawab lantang,
“Kau tidak
berhak berkata demikian kakang. Aku bebas berbuat apa pun di halaman rumahku
sendiri. Apa keberatanmu?”
Sidanti menggigit
bibirnya. Nyala dimatanya menjadi semakin menyala. Dan ketakutan Sedayu pun
menjadi semakin mencengkram hatinya. Dengan ketenangan yang dibuat-buatnya ia
berkata,
“Sudahlah
Mirah, biarlah ia mengatakan apa yang akan dikatakannya”
Sekar Mirah
memandang wajah Agung Sedayu dengan heran. Agung Sedayu sama sekali tidak
menunjukkan kemarahannya, meskipun Sidanti itu bersikap demikian. Karena itu
katanya,
“Jangan tuan.
Jangan biarkan Sidanti berbuat sesuka hatinya. Rumah ini rumahku. Halaman ini
halamanku”
Sidanti kini
terdengar menggeram. Kemarahannya telah sampai diubun-ubunnya. Namun ia masih
berusaha untuk tidak menyakiti hati gadis itu berlebih-lebihan. Maka karena
itulah kemarahannya ditumpahkannya ke Agung Sedayu. Katanya,
“Sedayu. Aku
dengar kau adalah seorang anak muda yang sakti. Karena itu marilah kita
bersikap jantan”
Hati Agung
Sedayu benar-benar telah berkeriput sekecil hati anak ayam melihat elang.
Tetapi di hadapan Sekar Mirah ia masih mencoba menjaga nilai-nilainya,
nilai-nilai yang pernah dikatakannya kepada gadis itu, meskipun sama sekali
hanya sebuah dongengan belaka. Karena itu masih dengan ketenangan yang
dibuat-buat ia menjawab,
“Sidanti.
Apakah keuntungan kita berbuat demikian?”
“Jangan bicara
tentang untung dan rugi” teriak Sidanti.
Sedayu menjadi
bingung. Ia tidak tahu apalagi yang akan dilakukan. Sedang Sekar Mirah pun menjadi semakin heran melihat sikap Agung
Sedayu. Kenapa Sidanti itu tidak saja dipukulnya sampai setengah mati? Suasana
kemudian tenggelam dalam ketegangan. Sidanti berdiri dengan kaki renggang, siap
untuk mlancarkan serangan atau bertahan terhadap setiap kemungkinan. Namun
Agung Sedayu masih saja berdiri dalam sikapnya. Tenang. Ketenangan yang
gelisah. Karena itu Sekar Mirah menjadi semakin tidak mengerti. Betapa pun orang
bersabar hati, namun bagi Sekar Mirah sikap Sidanti itu sudah berlebih-lebihan.
Apalagi ketika kemudian Sedayu berkata terputus-putus,
“Kakang
Sidanti. Jangan kita memberi contoh kurang baik terhadap laskar paman Widura.
Pertentangan kita sama sekali tidak menguntungkan siapa pun juga, selain laskar
Tohpati”
Sidanti
kembali menggigit bibirnya. Ia merasakan kebenaran kata-katannya Sedayu. Karena
itu maka ia berdiam diri untuk beberapa saat. Dan kembali suasana yang tegang
itu menjadi diam. Kemudian kediaman itu dipecahkan oleh sebuah suara nyaring di
sudut rumah,
“Siapa yang
ribut?”
Dan muncullah
seorang anak muda yang gemuk pendek. Swandaru. Ia berhenti ketika dilihatnya
Sidanti dalam kesiapan, Sedayu yang seakan-akan masih tenang-tenang saja dan
adiknya Sekar Mirah.
“Apa yang
terjadi Mirah?” bertanya anak itu.
“Kakang
Sidanti memaksa aku untuk menuruti kehendaknya” jawabnya. Sidanti terkejut
mendengar jawaban itu. Sedayu pun terkejut pula. Dan terdengar gadis itu
meneruskan,
“Menurut
kakang Sidanti, aku tidak boleh bergaul dengan setiap laki-laki kecuali kakang
Sidanti sendiri”
“Mirah” potong
Sidanti. Tetapi Sekar Mirah berkata terus,
“Ia
mengancamku. Nah, apakah haknya?”
Swandaru
memandang Sidanti dengan tajamnya. Telah lama tertanam bibit-bibit ketidak-senangannya
terhadap anak muda itu. Karena itu ia berkata acuh tak acuh,
“Jangan
hiraukan Mirah. Anggaplah kata-katanya seperti angin malam. Gemerisik dan
lenyap bersama embun pagi”
Sidanti adalah
anak muda yang masih berdarah panas. Kata-katanya itu benar-benar menyakitkan
hatinya. Karena itu tiba-tiba saja ia meloncat dan menampar mulut Swandaru
seperti pernah dilakukannya. Swandaru terkejut, namun ia tidak mampu untuk
menghindar. Terasa sebuah sengatan yang dahsyat dipipinya sehingga ia tersentak
mundur. Namun Swandaru itu tidak berhasil mempertahankan keseimbangan tubuhnya,
sehingga ia terbanting jatuh, bersamaan dengan pekik adiknya Sekar Mirah.
“Kakang
Swandaru!” teriaknya.
Swandaru
berguling beberapa kali. Kemudian dengan susah payah ia duduk. Dirasakannya
kepalanya pening dan ketika ia mengusap mulutnya, tampaklah tangannya menjadi
merah. Darah. Sekar Mirah memandang Sidanti seperti memandang hantu. Betapa
gadis itu menjadi marah sehingga mulutnya bergetar. Namun yang dapat
diucapkannya hanyalah,
“Kau setan,
Sidanti”
Pekik Sekar
Mirah ternyata didengar oleh beberapa orang yang sedang terkantuk-kantuk di
pendapa. Beberapa orang berlari-larian ke belakang rumah. Mereka tertegun
ketika melihat Swandaru masih duduk di tanah dan dari mulutnya mengalir darah,
di antara mereka berdiri dengan dada yang bergolak pepmimpin laskar di Sangkal
Putung itu. Widura. Dengan tajam Widura memandang satu demi satu setiap orang
yang berdiri di belakang rumah itu. Sidanti, Sedayu dan Swandaru. Katanya di
dalam hati,
“Celaka.
Swandaru terlibat pula”
Sidanti masih
berdiri seperti tonggak. Kaki-kakinya yang kokoh seakan-akan jauh menghunjam ke
dalam bumi. Dengan wajah yang tegang ia berdiri menunggu apa pun yang akan
terjadi. Namun ia sudah terlanjur mengayunkan tangannya. Dengan demikian segala
akibat yang akan imbul pasti akan dihadapinya. Dalam ketegangan itu
terdengarlah Widura menggeram,
“Apakah yang
terjadi di sini Sidanti?”
Sidanti tidak
segera menjawab. Sesaat matanya menyambar Agung Sedayu dan kemudian Sekar Mirah.
Beberapa orang
yang berdiri memagari mereka pun segera dapat menebak, apa yang sudah terjadi.
Hudaya mengangguk-anggukkan kepalanya sambil menyipitkan matanya, sedang Citra
Gati dengan penuh perhatian menatap wajah Sidanti. Ketika beberapa saat Sidanti
tidak menjawab, maka kembali Widura bertanya, kali ini kepada Agung Sedayu,
“Apa yang
terjadi Sedayu?”
Agung Sedayu
menundukkan wajahnya, mulutnya pun seperti terkunci. Karena itu Agung Sedayu
juga tidak mampu menjawab pertanyaan itu. Yang terdengar kemudian adalah
kata-katanya Swandaru,
“Yang aku
ketahui paman, mulutku berdarah dan kepalaku serasa hampir terlepas”
Widura
berpaling ke arah Swandaru yang masih terduduk di tanah,
“Berdirilah
Swandaru” berkata Widura.
Dengan susah-
payah anak muda itu berdiri. Beberapa orang berusaha untuk menolongnya dan
menghapus darah yang masih juga meleleh dari mulutnya. Ketika Swandaru telah
berdiri meskipun belum tegak benar, ia mencoba memandang setiap wajah yang ada
di sekitarnya. Namun ayahnya tidak nampak. Meskipun demikian ia berkata terus,
“Tangan kakang
Sidanti benar-benar seberat timah”
Widura
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian kembali ditatapnya mata Sidanti,
sehingga dengan nanar Sidanti terpaksa melemparkan pandangan matanya jauh-jauh.
“Kenapa kau
sakiti dia Sidanti?”
“Anak itu
mendahului kakang” sahut Sidanti
“Ah” Widura
berdesah, “Benarkah demikian?” katanya kepada Swandaru.
“Hem” Swandaru
menarik nafas. “Ada dua orang saksi di sini. Sekar Mirah dan Agung Sedayu”
Sidanti
menelan ludahnya. Terasa dadanya menjadi berdebar-debar. Dan didengarnya
kembali Widura bertanya,
“Sidanti,
apakah sebenarnya yang terjadi?”
Sidanti kini
tidak ingin bersembunyi dibalakang berbagai alasan yang berbelit-belit. Maka
jawabnya dengan dada tengadah,
“Yang terjadi
adalah persoalan antara aku dan adi Agung Sedayu. Persoalan antara anak-anak
muda. Karena itu sama sekali tidak bersangkut paut dengan kelaskaran Pajang di
Sangkal Putung”
Jawaban itu
benar-benar tak diduga oleh Widura dan oleh siapapun. Sidanti mencoba meletakkan
persoalan ini diluar campur tangan pihak-pihak lain. Karena itu maka Widura pun
menjadi berdebar-debar pula. Katanya,
“Aku adalah
pemimpin laskar Pajang di Sangkal Putung. Aku akan bertanggung jawab terhadap
setiap peristiwa yang terjadi di sini. Apalagi di antara anak buahku sendiri”
“Tetapi
apabila persoalan itu menyangkut persoalan kelaskaran” bantah Sidanti.
“Persoalanku
adalah persoalan seorang dengan seorang tanpa ada sangkut pautnya dengan
kepemimpinan kakang di sini”
Dahi Widura
pun menjadi berkerut karenanya. Perlahan-lahan ia mengangguk-anggukkan
kepalanya. Namun ia adalah seorang pemimpin. Karena itu ia harus tetap memiliki
wibawa atas anak buahnya. Sehingga kemudian ia bertanya,
“Lalu apakah
kehendakmu?”
“Biarlah kami
menyelesaikan persoalan kami sebagai laki-laki” jawabnya.
Jawaban itu
sangat mendebarkan hati. Apalagi Agung Sedayu. Dengan sudut matanya ia
memandang wajah pamannya. Namun kemudian wajahnya itu pun ditundukkannya
kembali.
Widura menarik
nafas dalam-dalam. Kemudian terdengar ia berkata,
“Ada hakku
untuk berbuat atas kalian. Terutama atas Agung Sedayu. Dia tamuku di sini, dan
kedua ia adalah keponakanku. Aku melarang dia membuat keonaran di sini”
Terasa sesuatu
berdesir di dada Agung Sedayu. Ia sadar bahwa pamannya berusaha membebaskannya
dari pertentangan ini. Karena itu tiba-tiba ia mengangkat wajahnya, namun hanya
sesaat, dan wajah itu menunduk kembali.
Beberapa orang
menjadi kecewa karenanya. Terutama Sekar Mirah sendiri. Hudaya yang berdiri di
samping Citra Gati berbisik,
“Ah, kakang
Widura terlalu memanjakan Sidanti yang sombong itu, sehingga kemenakannya
sendiri dikorbankannya. Aku ingin melihat sekali-sekali Sidanti itu dihajar
orang. Bukankah ini suatu kesempatan yang baik. Lihatlah betapa kecewa angger
Sedayu mendengar keputusan pamannya. Untunglah ia anak yang patuh, sehingga
keputusan itu betapa pun beratnya, agaknya akan diterimanya juga”
Mulut Citra
Gati berkomat-kamit. Dari matanya menancarlah perasaan muaknya melihat
kesombongan Sidanti, sehingga dengan pimpinannya pun ia telah berani membantah.
Sedang Swandaru dengan wajah yang masam memandang Widura dari ujung kaki
keujung kepalanya. Apakah mulutnya dibiarkan berdarah, dan Sidanti dibiarkannya
begitu saja. Ia memang berharap, Sedayu turun tangan karena peristiwa itu. Ia
mengharap bahwa apabila Sidanti marah, maka Agung Sedayu pun akan marah pula.
Namun tiba-tiba pamannya mengambil keputusan yang tak diharapkan. Sesaat
kemudian mereka dicengkam oleh ketegangan. Bukan saja orang-orang di sekitar
Sidanti menjadi kecewa, namun Sidanti sendiri tidak kalah kecewanya. Sebagai
seorang anak muda yang merasa dirinya mumpuni, Sidanti benar-benar ingin
memperlihatkan kemampuannya. Ia yakin, bahwa betapa pun kuatnya Agung Sedayu
namun ia pasti akan dapat bertahan. Bahkan terhadap Untara sekalipun. Karena
itu, betapa ia menyesal, namun ketika ia akan menyatakan sesalnya, didengarnya
Widura berkata,
“Aku
perintahkan kalian kembali ke pendapa”
Sidanti
memandang Widura dengan mata yang gelisah. Katanya,
“Biarlah aku
di sini”
“Kau dengar perintahku”
ulang Widura.
Sidanti masih
berdiri di tempatnya. Beberapa orang yang sudah mulai bergerak pun tiba-tiba
berhenti dan memandang anak muda itu dengan hati yang tegang.
Ketika Sidanti
tidak beranjak dari tempatnya, terdengar kembali Widura berkata,
“Sidanti, aku
perintahkan kau kembali ke pendapa”
“Aku di sini”
jawabnya.
Widura pun menjadi marah karenanya. Ia sadar bahwa
Sidanti merasa bahwa kesaktiannya telah bertambah-tambah karena kehadiran
gurunya yang menempanya. Namun Widura adalah pemimpin yang sadar akan
kedudukannya. Karena itu, selangkah ia maju sambil berkata lantang,
“Sidanti,
untuk terakhir kalinya aku memberikan peringatanku. Kalau tidak, maka aku akan
melakukan kekuasaan yang ada padaku. Tinggalkan tempat ini, dan pergi ke
pendapa”
Tubuh Sidanti
pun bergetar karena marah. Ia tahu benar bahwa Widura tidak lebih dari padanya,
sehingga apabila Widura itu menyerangnya, maka ia tidak yakin bahwa ia tidak
akan melawannya.
“Setidak-tidaknya
aku akan dapat menyamainya. Bahkan mungkin melampauinya” katanya di dalam
hatinya. Namun ketika ia melihat beberapa wajah yang keras dan kasar berdiri di
sekitarnya, Hudaya, Citra Gati, Sendawa laki-laki bertubuh raksasa bermata
satu, Sonya yang mempunyai ciri dipelipis dan dahinya, Patra bungkik dan beberapa
orang lagi. Meskipun Sidanti tidak gentar berhadapan dengan setiap orang yang
berdiri disitu, namun kalau mereka maju bersama-sama dengan Widura untuk
menangkapnya, maka ia pasti akan mengalami kesulitan. Karena itu ketika
terpandang sekali lagi mata Widura yang menyala, Sidanti pun kemudian
perlahan-lahan menggerakkan kakinya. Selangkah demi selangkah, namun perlahan
sekali, ia meninggalkan tempat itu pergi ke pendapa. Ketegangan pun kemudian
mereda. Sekali lagi Widura memandang setiap wajah yang ada di sekitarnya.
Kemudian terdengar kembali perintahnya,
“Kembali ke
pendapa”
Setiap orang
yang berada di tempat itu pun kemudian berangsur-angsur pergi. Terdengarlah
gumam yang simpang siur di antara mereka. Sedang yang tinggal kemudian adalah
Sedayu, Sekar Mirah dan swandaru. Perlahan-lahan Widura meraba pipi swandaru,
diamat-amatinya noda yang merah kebiru-biruan di pipi itu,
“Tangan anak
itu benar-benar luar biasa” katanya di dalam hati.
“Masuklah
Swandaru” berkata Widura.
“Katakanlah
kepadaku nanti apabila ayah datang. Aku akan minta maaf kepadanya”
Swandaru
tersenyum meskipun masam,
“Kenapa paman
minta maaf kepada ayah?”
“Aku menyesal
bahwa salah seorang anak buahku, yang seharusnya melindungi rakyat Sangkal
Putung, bahkan telah menyakiti hati mereka. Bukankah kau pemimpin dari
anak-anak muda di sini? Karena itu maka aku harus minta maaf kepada rakyat
Sangkal Putung lewat ayahmu” sahut Widura.
Swandaru
mengangguk-angguk. Pipinya masih terasa sakit. Dan sakit itu tidak akan sembuh
hanya oleh permintaan maaf saja. Apalagi sakit hatinya. Namun meskipun
demikian, dihargainya juga sikap Widura yang jujur itu. Swandaru dan Sekar
Mirah pun kemudian masuk ke rumahnya lewat pintu belakang dengan hati kecewa.
Bagaimanapun juga Swandaru tidak dapat melupakan hinaan yang telah dua kali
dialaminya. Karena itu tiba-tiba ia menggeram di dalam hatinya,
“Awas Sidanti,
suatu ketika aku harus membunuhmu. Swandaru bukan cacing yang lemah, tetapi
Swandaru, Swandaru Geni, adalah sorang anak jantan”
Sedayu pun
kemudian mengikuti pamannya ke pringgitan. Di pringgitan ia duduk saja sambil
menekurkan kepalanya. ketika pamannya kemudian duduk di hadapannya, hatinya
menjadi berdebar-debar.
“Sedayu”
berkata pamannya, “Nah, peristiwa itu sekarang sudah terjadi. Apa katamu?”
Agung Sedayu
hanya dapat menundukkan wajahnya. Apalagi ketika pamannya itu berkata pula,
“Bukankah aku
pernah memberimu peringatan?”
“Aku sudah
mencoba melakukannya paman” sahut Sedayu perlahan-lahan.
“Tetapi
apabila aku pergi ke sumur atau ke belakang untuk keperluan lain, kadang-kadang
aku masih berjumpa dengan gadis itu”
“Aku tidak
keberatan apa pun yang kau lakukan Sedayu, asalkan kau dapat
mempertanggung-jawabkannya. Aku berbesar hati melihat ketekunanmu berlatih
hampir setiap malam. Aku berbesar hati melihat kemajuan-kemajuan yang kau
capai. Namun hatimu yang kerdil itu masih sekerdil itu pula. Apalagi berhadapan
dengan Sidanti. Karena itu Sedayu, kali ini adalah kali terakhir aku mencampuri
persoalanmu. Seterusnya, kau sudah cukup besar untuk menjaga dirimu sendiri”
Wajah Sedayu
menjadi semakin tunduk. Hampir ia menangis mendengar kata-kata pamannya. Ia
kini telah benar-benar kehilangan pegangan. Kakaknya masih belum diketemukan,
dan pamannya seolah-olah tak mau lagi melindunginya. “Oh” Sedayu mengeluh di
dalam hati.
“Sedayu”
berkata pamannya,
“Bagaimanakah
kalau kau aku antar saja pulang ke Jati Anom?”
Agung Sedayu
menggeleng. Ia tidak berani tinggal seorang diri di sana,
“Atau ke Banyu
Asri?” kata pamannya pula.
Di Banyu
Asri pun keadaannya sama sekali tidak menyenangkan.
Orang-orang Jipang yang berpencaran dapat saja menemukannya di Banyu Asri.
Alap-alap Jalatunda yang berkeliaran itu, misalnya, sebab Alap-alap Jalatunda
itu kini sudah terlanjur mengenalnya, tidak seperti dahulu lagi, sebelum ia
pernah bertemu dengan Alap-alap Jalatunda yang mengerikan itu.
“Biarlah aku
di sini paman. Aku berjanji tidak akan keluar dari pringgitan sebelum malam”
“Oh” Widura
mengeluh. “Terlalu, terlalu” gumamnya. Ia telah benar-benar menjadi jengkel.
Dan karena itu, maka mulutnya malahan terbungkam karenanya.
Di pendapa
Sidanti masih duduk di sudut di atas tikar pembaringannya. Hatinya menyala oleh
kemarahan yang memuncak. Tanpa disadarinya, dibelainya senjatanya yang
mengerikan. Beberapa orang yang melihatnya menjadi berdebar-debar karenanya,
dan tanpa sadar pula, mereka duduk-duduk di samping senjata masing-masing. Tiba-tiba
ketika Sidanti itu melihat Widura melangkah keluar, ia berdiri pula,
diletakkannya senjatanya, dan dengan tergesa-gesa ia menyusulnya.
“Kakang” panggil
Sidanti. Widura terkejut, karena itu ia pun segera berhenti.
Tampaklah dahi
Widura itu berkerut, ketika dilihatnya Sidanti dengan tergesa-gesa pergi
mendapatkannya. Bukan saja Widura yang menjadi tegang, namun beberapa orang
yang melihatnya pun tanpa sesadar mereka, serentak berdiri tegak di tempat
masing-masing. Sidanti pun melihat semuanya itu. Karena itu maka kini dapat
diketahuinya, bagaimana sikap orang-orang dalam lingkungannya kepadanya.
Meskipun demikian Sidanti sama sekali tidak berkecil hati. Ketika Sidanti sudah
berdiri beberapa langkah di hadapannya, Widura bertanya,
“Apakah ada
sesuatu yang penting?”
“Ya kakang”
jawab Sidanti.
“Aku ingin
mengatakan sesuatu kepada kakang Widura tanpa didengar oleh seorangpun”
“Katakanlah”
sahut Widura.
Sidanti beragu
sebentar, sehingga tiba-tiba wajahnya beredar ke segala sudut halaman dan
pendapa rumah kademangan itu.
“Kalau kau
tidak berteriak-teriak maka mereka tidak akan mendengar” berkata Widura.
Sidanti
menarik alisnya tinggi-tinggi. Kemudian tampaklah ia tersenyum. Namun senyum
itu terasa aneh bagi Widura.
“Kakang”
berkata Sidanti perlahan-lahan sambil melangkah mendekati Widura.
“Aku ingin
mengatakan sesuatu. Tetapi tidak di sini.”
“Berkatalah
sekarang” sahut Widura.
Sidanti
menarik nafas. Sekali lagi ia memandang berkeliling. Ditangga pendapa ia
melihat beberapa orang berdiri berjajar-jajar, dan beberapa orang di antaranya
duduk dengan gelisah. Di regol pun dilihatnya beberapa orang penjaga dengan
tombak di tangan mereka.
“Baiklah
kakang” berkata Sidanti,
“Aku hanya
akan minta ijin kakang untuk menyelesaikan persoalanku dengan Agung Sedayu
secara jantan, supaya persoalan ini tidak berlarut-larut dan menjadi semakin
dalam menghunjam di dalam dadaku”
Widura
terkejut mendengar permintaan itu. Ternyata Sindanti sama sekali tidak dapat
menekan perasaannya. Karena itu untuk sesaat Widura tidak segera dapat
menjawab. Bahkan Sidanti sempat berkata terus,
“Aku bersedia
memenuhi syarat apa pun yang akan diberikan kepada kami berdua. Tanding tanpa
atau dengan saksi, tanpa atau dengan senjata”
Wajah Widura
tiba-tiba menjadi tegang. Terdengar ia menggeram, kemudian katanya,
“Tidak. Aku
tidak memberimu ijin. Juga Agung Sedayu tidak akan aku ijinkan”
Sidanti
menjadi kecewa. Namun ia masih berkata terus,
“Kakang, agaknya
kurang bijaksana. Apakah kakang ingin dendam kami masing-masing membakar dada
kami, sehingga kelak apabila terdapat kesempatan, maka kami akan bertempur
tanpa pengendalian diri? Kini kami masih cukup sadar, bahwa perkelahian yang
akan diadakan ini adalah perkelahian antara kita. Hanya karena persoalan
pribadi. Sehingga dengan demikian kita masih dapat membatasi diri kita sendiri
untuk tidak menghancurkan laskar kita di hadapan laskar Jipang”
Sekali lagi
Widura menggeleng, katanya tegas,
“Tidak.
Perkelahian di antara kita sama sekali tak akan menguntungkan. Apalagi bagi
Agung Sedayu. Ia adalah kemenakanku. Dan aku tidak mau melihat salah seorang
dalam aliran darahku yang berkelahi karena perempuan”
Wajah Sidanti
tiba-tiba menjadi merah membara. Kemarahannya kini menjalar kembali di dadanya.
Kata-kata Widura itu benar-benar suatu tamparan baginya. Dan tiba-tiba pula
perasaan yang tersimpan di dadanya itu kini terungkat seluruhnya. Betapa ia
memandang Widura tidak lebih daripadanya. Apalagi ia merasa benar-benar bahwa
persoalan yang kini dihadapinya sama sekali bukan persoalan kelaskaran, tetapi
persoalan pribadi. Karena itu kini Sidanti tidak dapat mengendalikan
perasaannya lagi. Meskipun demikian ia masih berkata perlahan-lahan namun penuh
dengan tekanan,
“Kakang,
apakah sebenarnya kakang sedang melindungi anak itu?”
Dada Widura
seakan-akan meledak mendengar pertanyaan itu. Ia sadar, bahwa Sidanti hanya
ingin menghina Agung Sedayu. Namun karena keadaannya memang demikian, maka
Widura hampir-hampir tak dapat menjawab pertanyaan itu. Meskipun demikian ia
berkata,
“Jangan
mengigau Sidanti. Kalau suatu ketika terjadi perkelahian di antara kalian, maka
kalian berdua akan terpaksa mengalami hukuman”
Sidanti
tersenyum. Senyum yang benar-benar menyakitkan hati. Katanya,
“Hem, kakang
Widura. Sebagai seorang bawahan aku menghormatimu. Namun sebagai seorang yang
mempunyai kebebasan diri dalam persoalanku sendiri aku tidak dapat menerimanya”
Sekali lagi
dada Widura terguncang. Wajahnya menjadi merah pula karena marah. Meskipun
demikian ia masih mencoba untuk menenangkan dirinya. Orang-orang yang melihat
percakapan itu dari kejauhan menjadi heran. Mereka melihat wajah-wajah yang
tegang. Namun kadang-kadang mereka melihat Sidanti tersenyum-senyum seperti
tidak pernah terjadi sesuatu. Karena itu mereka menebak-nebak apakah yang
mereka bicarakan. Apakah Sidanti sedang minta maaf kepada Widura? Namun mereka
tidak mendengar ketika Widura berkata,
“Aku mempunyai
kekuasaan di sini Sidanti”
Sidanti masih
tersenyum. Katanya,
“Kakang Widura
ternyata telah menyalahgunakan kekuasaan itu untuk keuntungan pribadi”
Dada Widura
benar-benar hampir pecah karenanya. Ia harus mempertahankan kewibawaannya
sebagai seorang pemimpin. Maka katanya,
“Tanpa
kekuasaan pun aku dapat memaksamu Sidanti”
Sidanti
mengerutkan keningnya. Tiba-tiba ia pun berkata,
“Kakang, aku
ingin berbicara tanpa seorang pun yang melihat”
“Bagus”
berkata Widura. Ia benar-benar telah menangkap tantangan itu. Karena itu ia
harus menerimanya apabila ia masih ingin dinamai seorang pemimpin. Maka katanya
seterusnya,
“Nanti malam
kita bisa bertemu tanpa seorang pun yang melihat pertemuan itu”
Dada Sidanti
pun bergetar semakin cepat. Ia sudah menjerumuskan diri kedalam persoalan yang
lebih berat. Namun ia yakin, bahwa ia akan dapat mengatasi semua persoalan itu.
Maka kemudian Sidanti itu pun mengangguk hormat, lalu pergi meninggalkan Widura
yang masih tegak dengan tegangnya. Dilihatnya anak muda yang terlalu yakin akan
dirinya itu, berjalan ke pendapa, kemudian naik dengan langkah yang tetap. Widura
menarik nafas dalam-dalam. Kemudian dipandanginya keadaan di sekitarnya.
Dilihatnya anak buahnya berdiri berjajar di samping pendapa, sedang di regol
halaman dilihatnya beberapa orang yang sedang bertugas tegak dengan tombak di
tangan.
“Apa pun yang terjadi”
katanya di dalam hati,
“Mereka harus
menganggap aku sebagai seorang laki-laki yang berani menghadapi setiap keadaan
di bawah kekuasaanku. Kalau aku hindari tantangan Sidanti, mereka akan
kehilangan kepercayaan, dan aku akan kehilangan kewibawaan”
“Tetapi” terdengar
pula suara yang lain,
“Bagaimanakah
kalau aku dapat dikalahkan?”
“Menang atau
kalah bukan soal” jawabnya sendiri,
“Aku harus
tetap pada keputusanku, keputusan seorang pimpinan prajurit”
Sesaat
kemudian Widura itu pun melangkah kembali keregol halaman. Kemudian kepada para
penjaga ia bertanya,
“Adalah kalian
melihat Ki Demang sudah datang?”
“Belum tuan” jawab
salah seorang dari mereka.
“Malahan
Swandaru juga keluar halaman”
“Kemana?”
“Tak dikatakan
kepada kami”
Widura menjadi
berdebar-debar karenanya. Ia ingin menyampaikan sendiri kabar tentang persoalan
antara Swandaru dan Sidanti, untuk kemudian minta maaf kepadanya. Kalau
Swandaru sendiri yang mengatakannya, maka Ki Demang akan dapat menjadi salah
paham. Apalagi kalau kemudian kawan-kawan Swandaru menjadi marah. Maka
akibatnya akan menyulitkannya. Tetapi, di samping itu tantangan Sidanti juga
menggelisahkannya. Ia tidak takut menghadapi apapun, namun sebagai seorang
pemimpin ia mempunyai tanggung jawab yang luas. Bahkan kemudian Widura itu
mengumpat di dalam hatinya.
“Alangkah
bodohnya Agung Sedayu. Ia telah membuat Sangkal Putung menjadi berantakan
setelah ia berhasil menyelamatkannya. Kalau anak itu bukan saja seorang
pengecut, maka kepalaku tidak menjadi pecah dibuatnya”
Ketika Widura
melangkah kembali ke pendapa, terasa seseorang menggamitnya. Orang itu adalah
Citra Gati. Dengan wajah yang bersungguh-sungguh ia berbisik,
“Apakah yang
dikatakan Sidanti itu kakang?”
Widura
memandangnya bersungguh-sungguh pula. Namun kemudian ia tersenyum,
“Tidak
apa-apa” jawabnya.
Citra Gati
menggeleng. Katanya,
“Aku melihat
sesuatu yang tidak wajar kakang. Jangan biarkan kami menebak-nebak, supaya kami
tidak semakin muak melihat anak Ki Tambak Wedi yang sombong itu”
“Tenaganya
kita perlukan di sini” sahut Widura.
Citra Gati
mengangguk-anggukkan kepalanya. Dirasakannya, apa yang dikatakan Widura itu
benar. Namun apakah dengan demikian anak muda itu wenang untuk berbuat sesuka hatinya?
Karena itu ia bertanya,
“Tetapi
kakang, aku melihat tingkah lakunya semakin lama semakin tidak menyenangkan”
“Aku akan
mencoba untuk mengatasinya” jawab Widura
“Mudah-mudahan
kakang berhasil” gumam Citra Gati,
“Kalau perlu,
kakang dapat minta bantuan kami. Bukankah itu juga termasuk kewajiban kami?”
Widura mengerutkan
keningnya. Katanya,
“Jangan.
Dengan demikian dendam di antara kalian akan semakin menyala. Kewajiban kita
masih banyak. Tohpati masih ada di muka hidung kita. Alap-alap Jalatunda dan
Plasa Ireng yang berkeliaran di daerah Pakuwon dan Karajan. Mungkin masih
banyak lagi orang-orang yang bersembunyi di sana-sini. Suatu ketika mereka akan
berhimpun. Dan itu adalah pekerjaan yang berat”
Citra Gati
menarik nafas dalam-dalam. Ia kagum kepada anak muda yang bernama Sidanti itu,
namun ia membencinya. Meskipun di dalam hatinya ia mengakui, bahwa seorang
lawan seorang ia tak akan dapat mengalahkan Sidanti yang hampir dapat mencapai
tataran Macan Kepatihan, namun ia tidak senang melihat anak itu dibiarkan
sesuka hatinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar