Jilid 003 Halaman 2


“Mirah, jangan marah, meskipun aku senang melihat kau bersungut-sungut. Aku hanya ingin memberi peringatan. Jangan terlalu sering bergaul dengan anak muda yang belum kau ketahui keadaannya”
Sekar Mirah kemudian menarik nafas. Wajahnya kini sudah tidak tegang pula. Jawabnya,
“Aku hanya bertemu dengan Sedayu di jalan, dan aku antarkan ia ke warung di ujung desa”
Sidanti pun kemudian melangkah pergi. Meskipun demikian ia masih curiga berkata,
“Ingat-ingatlah Mirah. Jangan terlalu rapat bergaul dengan siapa pun juga. Aku kurang senang melihatnya”
Kembali wajah Sekar Mirah menjadi tegang,
“Apakah hakmu?”
Tetapi Sidanti tidak menjawab. Berpaling pun tidak. Ia berjalan saja ke belakang rumah dan lenyap di balik pepohonan yang rapat.

Sekar Mirah masih berdiri di tempatnya. Ia menjadi kesal pada anak muda itu. Tetapi kemudian timbul juga ibanya kepada Sidanti. Pergaulan mereka telah berlangsung lama, dan anak muda itu pun tak pernah menyakiti hatinya. Dengan wajah tunduk Sekar Mirah masuk kedapur. Dilihatnya beberapa orang telah sibuk menyiapkan makan pagi.
“Kami tunggu kau, Mirah” kata ibunya.
“Oh” Mirah sadar akan dirinya. Yang dibawanya itu adalah bumbu-bumbu masak. Karena itu segera diserahkannya kepada ibunya.
“Nasi sudah masak. Tetapi belum ada lauk dan sayurnya. Terlambat” desah ibunya.
“Kadang-kadang saja” sahut Sekar Mirah.
“Bukankah tidak setiap hari aku terlambat?”
“Aku jemu mendengar mereka menggerutu” berkata orang yang gemuk, yang duduk di muka api.
“Ah bibi. Jangan kau dengarkan. Bukankah sudah menjadi kebiasaan mereka menggerutu. Apa pun tidak menyenangkan mereka”
“Tetapi mulut orang yang jangkung dan berkumis tipis itu sangat tajam. Aku pernah dikata-katainya karena termakan cabe rawit olehnya. Dikiranya aku sengaja memasang untuknya. Oh, orang itu benar-benar tidak melihat punggungnya. Apa yang dibanggakannya untuk berlagak di hadapanku”
Tetapi Sekar Mirah menjadi tertawa karenanya. Jawabnya,
“Bibi, siapakah yang membelikan lurik abang itu?”
“Oh, oh” orang yang gemuk itu tersipu-sipu. Namun akhirnya ia menjawab,
“Aku tidak pernah minta kepadanya. Ia sendiri datang kepadaku dan memberikan kain lurik ini”
Sekar Mirah tidak menjawab. Namun ia masih tertawa. Tetapi tawanya itu patah ketika ia mendengar orang membentaknya,
“Kau baru datang Mirah?”
Ketika Sekar Mirah berpaling, dilihatnya Swandaru bertolak pinggang dipintu dapur.
“He, kau baru datang?” desak kakaknya.
Sekar Mirah tidak menjawab. Ia hanya mencibirkan bibirnya.
“Kenapa terlambat?” kakaknya membentak.
Tetapi Sekar Mirah tidak juga menjawab, sehingga kemudian Swandaru itu pun pergi dengan sendirinya.

Dapur kademangan itu kemudian tenggelam dalam kesibukan. Semua bekerja dengan cepat dan tergesa-gesa. Tetapi Sekar Mirah kali ini tidak selincah biasanya. Kadang-kadang ia duduk termenung memandangi api yang menjilat-jilat diperapian. Sedang di tangannya masih tergenggam pisau dapur dan daging yang sedang dipotongnya. Ia baru sadar ketika beberapa orang menegurnya. Tetapi sesaat kemudian kembali ia termenung. Hatinya sedang dirisaukan oleh angan-angannya tentang anak-anak muda yang dikenalnya. Ternyata pertemuannya dengan Agung Sedayu itu pun berkesan pula di hatinya. Namun selalu diingatnya, senyum Sidanti beberapa saat berselang.
“Mirah” katanya, “Jangan terlampau sering bergaul dengan anak muda yang belum kau ketahui keadaannya itu”
Akhirnya Sekar Mirah sampai pada suatu kesimpulan bahwa Sidanti menjadi cemburu karenanya. Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Katanya di dalam hati,
“Bukankah aku mengagumi Agung Sedayu seperti juga orang-orang lain mengaguminya?” Tetapi terdengar pula dari sudut hatinya, “Ah, kau dulu juga mengagumi Sidanti, karena Sidanti adalah orang yang paling mengagumkan di Sangkal Putung. Apa katamu kalau kelak datang Untara yang lebih sakti dari adiknya. Apakah kau akan mengaguminya pula berlebih-lebihan dan melupakan orang-orang lain?”
“Oh” Sekar Mirah memejamkan matanya. Dan tiba-tiba dilemparkannya pisaunya dan dengan tergesa-gesa ia pergi ke biliknya.
“Mirah” panggil ibunya yang terkejut melihat kelakuan anaknya itu.
“Kenapa kau?”
“Kepalaku pening” jawabnya sambil berlari.
Ibunya menarik nafas dalam-dalam. Diikutinya anaknya kebiliknya. Dan dirabanya keningnya. Katanya,
“Tidak panas Mirah”
Sekar Mirah berbaring dipembaringannya sambil menengadahkan wajahnya. ketika ibunya meraba keningnya, maka katanya,
“Hanya pening sedikit bu. Mungkin semalam aku kurang tidur”
Ibunya tidak bertanya lagi. Ditinggalkannya Sekar Mirah sendiri di dalam biliknya. Pesannya,
“Beristirahatlah Mirah. Mungkin kau terlalu lelah”
Sekar Mirah mengangguk. Namun ketika ibunya telah meninggalkannya, kembali angan-angannya bergolak. Bermacam-macam persoalan hilir mudik dikepalanya. Sehingga akhirnya ia menjadi benar-benar pening. Karena itu, maka sehari-harian Sekar Mirah tinggal di dalam biliknya. Tak seorang pun tahu, apa yang sedang mengganggu usia remajanya. Mula-mula ia mencoba untuk tidur, namun tidak dapat. Dengan gelisahnya ia berbaring. Sekali miring kekiri, sekali kekanan. Kadang-kadang ia bangkit, duduk sambil bertopang dagu, tetapi sesaat kemudian direbahkannya dirinya kembali. Sekar Mirah keluar dari biliknya hanya apabila datang saatnya makan. Namun ibunya menyangka tidak lebih daripada Sekar Mirah sedang pening.

Matahari di langit merayap dengan lambatnya. Seakan-akan telah jemu akan pekerjaan yang selalu dilakukan itu setiap hari. Ketika matahari itu kemudian tenggelam di balik bukit-bukit, maka warna-wana yang kelam seakan-akan turun dari langit, menyelubungi wajah bumi. Kembali Sangkal Putung terbenam dalam lelap malam. Ketika sunyi malam menjadi semakin sunyi, maka Widura dan Agung Sedayu pun berangkat pula berkeliling kademangan. Dan kemudian mereka berdua itu pun pergi ke puntuk kecil yang bernama gunung Gowok. Kini Agung Sedayu semakin gairah menghadapi latihan-latihannya. Bahkan Widura menjadi heran. Anak itu sudah menyimpan kemampuan yang tidak diduganya. Sehingga tiba-tiba saja terloncat pertanyaannya,
“Sedayu, darimana kau dapatkan ilmumu itu?”
“Kakang Untara” jawab Agung Sedayu.
Widura mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Hem” gumamnya. “Kenapa kau masih takut juga kepada Alap-alap Jalatunda? Kalau kau berani melawannya, aku kira kau sendiri mampu mengalahkannya. Setidak-tidaknya kau akan dapat mempertahankan dirimu sendiri sehingga Untara tidak usah terluka karenanya.”
Sedayu menundukkan wajahnya. Memang terasa juga di hatinya, setiap kali ai melihat perkelahian, timbul juga kata-kata di hatinya,
“Ah. Tidak aneh. Aku juga dapat melakukannya”. Tetapi ia sediri belum pernah berbuat seperti yang dilihatnya itu dalam peristiwa-peristiwa yang sebenarnya. Agung Sedayu hanya berani menghadapi lawannya dalam latihan-latihan Untara dan kini Widura.
“Besok kau bawa senjata panjang seperti pedangku ini” berkata Widura.
“Apakah kau pernah juga berlatih dengan pedang?”
Sedayu mengangguk.
“Pernah” jawabnya. “Ayah pernah memberi aku beberapa petunjuk, dan kakang Untara pun pernah memberi aku latihan-latihan dengan pedang, perisai dan tombak”
“Aneh. Aneh” gumam Widura.
“Apa yang aneh paman?” bertanya Sedayu.
“Kau” jawab pamannya. “Hampir aku kehilangan akal karena kedatanganmu Sedayu. Aku berterima kasih karena kau telah memberitahukan kepada kami, bahaya yang akan menerkam kami. Namun seterusnya kau menjadi beban yang hampir tak tertanggungkan”

Wajah Agung Sedayu menjadi semakin tunduk. Ia merasakan pula, betapa sulit keadaan pamannya karena kehadirannya. Tetapi bukankah kakaknya yang telah menjerumuskannya keneraka ini?
“Sedayu” berkata pamannya pula. “Baiklah aku berterus terang. Kehadiranmu ternyata sangat menyulitkan keadaanku. Kini ternyata bahwa kau memiliki kemampuan yang tidak kecil. Namun kau simpan di dalam dirimu, karena terbalut oleh kekerdilan jiwamu. Cobalah, pecahkan dinding yang membatasi dirimu itu. Kau kini berada dalam dunia ketakutan. Kalau sekali kau berani melampaui batas itu, batas antara ketakutan yang membelengumu dan kebebasan bertindak yang dilambari oleh keberanian, maka kau merupakan anak muda yang benar-benar mengagumkan. Sampai saat ini ternyata kau sudah memiliki kemampuan-kemampuan yang tinggi, apabila kemampuan-kemampuan itu kau ungkapkan, dibumbui oleh pengalaman-pengalaman, maka kau tak akan kalah melawan Alap-alap Jalatunda. Kelak kau akan tetap menjadi pahlawan dimata rakyat Sangkal Putung. Kau tidak akan cemas lagi berhadapan dengan bahaya apapun”.
Kata-kata itu bukanlah yang pertama kali didengarnya. Kakaknya pernah juga berkata demikian. Dan hatinya sendiri pun berkata demikian pula. Namun bagaimana? Apabila bahaya itu benar-benar datang, maka hatinya berkerut sekecil biji sawi.
“Hem” Sedayu menarik nafas. Katanya di dalam hati,
“Kenapa manusia didunia ini harus berkelahi satu sama lain?” Namun ia tidak dapat mengingkari kenyataan, bahwa masih ada manusia-manusia yang ingin selalu memaksakan kehendaknya kepada orang lain, manusia-manusia yang ingkar kepada sumbernya yang memberi manusia kebebasan untuk melakukan pilihan. Selama manusia tidak menghormati kebebasan yang berasal dari sumber hidupnya, maka selama itu masih akan ada bentrokan-bentrokan di antara sesama. Kebebasan yang setia pada sumbernya, yang pada hakekatnya merupakan kesimpang-siuran hidup manusia seorang-seorang, namun penuh dengan keserasian dalam ujud keseluruhannya. Yang satu sama lain tidak saling berbenturan dan bertentangan. Apabila setiap orang menyadari keadaannya serta patuh pada hakekatnya, sumber hidupnya yaitu kekuasan Tuhan Yang Maha Tinggi, maka manusia akan menemukan kedamaian. Lahir dan batin. Tetapi, ternyata manusia telah memiliki arti sendiri bagi kebebasannya. Kebebasan yang mutlak, yang tak dapat dikekang oleh dirinya sendiri sekalipun. Yang bahkan kebebasan itu telah dipakainya untuk mengaburkan arti dalam hidupnya. Dengan demikian maka hilanglah keserasian hidup antara manusia. Dan timbullah pertentangan dimana-mana, peperangan dan pembunuhan. Perkosaan terhadap peradaban manusia itu sendiri.

Demikianlah Agung Sedayu harus melihat kenyataan itu. Apakah ia harus menelan keharusan yang dipaksakan orang lain atasnya? Keharusan yang bertentangan dengan haknya? Tetapi betapa ia menyadari keadaannya, namun dinding yang membatasi dunianya itu tak mampu dipecahkannya. Dinding yang selalu menyekapnya dalam ketakutan dan kekhawatiran. Meskipun demikian, niat untuk melakukannya kini telah semakin besar mengetuk dadanya. Karena itu, ia pun berlatih semakin keras. Dikerahkannya segenap tenaganya dan kemampuan-kemampuan yang tersimpan di dalam dirinya. Sehingga dengan demikian Widura menjadi bergembira karenanya. Ia melihat anak muda itu seakan-akan lain dari Agung Sedayu yang dikenalnya sehari-hari. Lincah, tangkas dan kuat, bahkan kadang-kadang berhasil membingungkannya karena kecepatannya. Tetapi apabila teringat oleh pamannya itu, betapa kecil hati kemenakannya, maka ia pun menjadi kecewa karenanya. Meskipun demikian, maka Widura itu bekerja sekeras-kerasnya. Diusahakannya untuk dapat mengungkat setiap kemampuan yang ada pada kemenakannya itu.
“Suatu ketika” katanya di dalam hati,
“Apabila ia dihadapkan pada suatu keadaan memaksa, mudah-mudahan ia telah mampu untuk menyelamatkan diri”
Demikianlah, latihan itu berjalan dengan cepatnya. Semakin lama semakin cepat. Widura berusaha untuk memeras tenaga kemenakannya, sedang Agung Sedayu pun berusaha untuk mengimbanginya. Widura sendiri, yang ternyata memiliki ilmu yang cukup tinggi, terpaksa bekerja keras untuk dapat mengatasi kemenakannya itu. Sekali-sekali Agung Sedayu dapat bergerak secepat bayangan. Namun sekali-sekali mencoba juga untuk bertahan beradu kekuatan. Ternyata kekuatan Agung Sedayu  pun mengherankan pula. Ketika serangan Widura membentur dinding pertahanan kemenakannya itu, ia terkejut. Terasa ia bergetar surut, meskipun Agung Sedayu terdorong beberapa langkah pula.
“Luar biasa” desis pamannya.
“Kekuatanmu pun luar biasa”
Agung Sedayu tersenyum. Ia senang mendengar pujian itu. Jawabnya,
“Bukankah bibi dahulu selalu memberiku pekerjaan itu?”
“He” pamannya mengerutkan keningnya.
“Pekerjaan yang mana?” ia bertanya.
“Membelah kayu” jawab Sedayu.
“Ah” desah Widura. “Bukan itu. Pasti ada yang lain”
“Setiap pagi kakang Untara mengajari aku bermain-main berjalan di atas tangan dengan kaki di atas. Kemudian bermain-main dengan pasir di tepian”
“Permainan apakah itu?”
“Hanya memukul-mukul saja. Pasir dan kadang-kadang batang-batang pohon dengan jari”
“Oh” Widura terkejut. Untara telah memberikan latihan-latihan itu. Meskipun Sedayu tidak menyadarinya, namun latihan-latihan itu merupakan latihan yang sangat berguna baginya. Bagi tubuhnya dan bagi ilmu-ilmu yang dimilikinya. Namun sekali lagi Widura mengeluh,
“Jiwanya. Jiwanya yang terlalu kerdil. Sayang, ibunya terlalu takut melepaskannya. Sehingga Sedayu tidak lebih dari seorang yang hanya mengenal dinding-dinding batas halamannya. Kemanjaan dan perawatan yang berlebih-lebihan. Untunglah, diam-diam Untara telah memeberinya bekal”

Tetapi latihan mereka terpaksa berhenti ketika tiba-tiba pula hadir orang bertopeng yang menamakan dirinya Kiai Gringsing. Yang mula-mula terdengar adalah suara tertawanya. Tinggi dan nyaring. Namun Widura dan Agung Sedayu sudah tidak terkejut lagi. Mereka sudah menduga bahwa orang itu akan selalu datang melihat mereka. Bahkan kemudian Widura menyapanya,
“Selamat malam Kiai”
“Oh” jawabnya,
“Selamat malam. Apakah kau masih akan menangkap aku Widura?”
“Tidak Kiai” jawab Widura. Ia berusaha pula untuk menyesuaikan diri dengan orang aneh itu. Karena itu katanya,
“Sebenarnya aku belum melepaskan maksudku itu. Namun aku masih belum dapat mengalahkan Kiai. Karena itu aku berlatih terus. Guruku, Agung Sedayu, telah mencoba mempercepat latihan-latihanku”
Orang bertopeng itu pun tertawa. Tetapi nadanya tidak setinggi semula. Katanya kemudian,
“Bagus. Agung Sedayu harus menempamu lebih keras lagi. Nah, sekarang cobalah. Tangkap aku. Mungkin latihanmu sehari ini telah menambah ilmumu”
“Bagus” sahut Widura.
“Jangan berlari-lari. Aku akan mencoba sekali lagi”
Dengan serta-merta Widura menarik pedangnya, dan dengan garangnya ia langsung menyerang.
“He” teriak Kiai Gringsing. “Aku belum siap”
Namun Widura tidak memperdulikannya. Ia tahu benar, bahwa Kiai Gringsing adalah seorang sakti yang tak memerlukan senjata untuk melawannya. Karena itu, maka ia sama sekali tak menarik serangannya. Ternyata Kiai Gringsing itu pun tak mau dadanya berlubang. Tepat pada saat pedang Widura hampir menyentuhnya, ia memiringkan tubuhnya.
“Luar biasa” katanya nyaring, “Seranganmu bertambah cepat”
Widura tidak menjawab. Ketika serangannya gagal, maka cepat ia memutar tubuhnya, dan mengalirlah serangan demi serangan melanda Kiai Gringsing.

Widura bukanlah seorang anak-anak lagi. Pengalaman dan pengetahuannya telah cukup. Karena itu, ia menyadari benar-benar keadaannya. Ia pasti bahwa Kiai Gringsing itu telah memperhitungkanmya pula kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi atasnya. Sebagai seorang pemimpin dalam satu rombongan prajurit, meskipun masih banyak yang gelap baginya, namun firasatnya berkata,
“Kiai Gringsing ini benar-benar seorang yang bermaksud baik terhadapnya, terhadap Sedayu dan mungkin pula terhadap Untara dan Ki Tanu Metir”
Karena itu Widura sampai pada suatu kesimpulan bahwa, Kiai Gringsing sengaja meningkatkan ilmunya, sebab Sidanti pun berbuat demikian. Dengan demikian maka Widura  pun melakukan perkelahian itu dengan tekad,
“Aku sedang berlatih. Dan seorang yang sakti telah berkenan menuntunku”
Demikianlah mereka tenggelam dalam pertempuran. Cepat dan mengagumkan. Apalagi bagi Agung Sedayu. Dengan mulut ternganga ia menyaksikannya. Dan bahkan ia berhasil mengingat-ingat unsur-unsur gerak yang menarik hatinya. Ternyata Kiai Gringsing itu tidak saja bertempur, namun ia banyak berbicara pula. Disebutnya kesalahan-kesalahan yang dilakukan Widura dan ditunjukkannya apa yang seharusnya dilakukan. Meskipun kadang-kadang dengan nada yang aneh. Dan apa yang terjadi di gunung Gowok itu tidaklah hanya sekali dua kali. Namun berkali-kali. Setiap malam. Dan hampir setiap malam pula Kiai Gringsing hadir di antara mereka. Bahkan apabila orang itu tidak tampak, maka Widura dan Agung Sedayu menjadi kecewa karenanya. Tetapi tidak seorang pun yang tahu, apa yang terjadi setiap malam di gunung Gowok itu. Yang dilakukan oleh anak-anak Widura di Sangkal Putung setiap hari pun adalah latihan dan latihan. Akhirnya mereka menjadi jemu pada latihan-latihan itu. Namun tak ada lain yang dapat mereka lakukan. Mereka belum dapat meninggalkan Sangkal Putung pada keadaan yang masih tak menentu itu. Tetapi Agung Sedayu tidak mengalami kejemuan karenanya. Lambat laun perkenalannya dengan Sekar Mirah menjadi semakin rapat. Meskipun mereka jarang-jarang bertemu, namun setiap pertemuan di antara mereka, ternyata berkesan pula di hati masing-masing. Bahkan setiap Agung Sedayu melihat Sekar Mirah bergolak di dadanya. Tetapi Agung Sedayu masih terlalu muda untuk mengenal perasaannya sendiri. Ia senang bergaul dengan Sekar Mirah dan menjadi bersedih apabila dilihatnya orang lain berada didekat gadis itu. Apalagi Sidanti. Namun Sidanti pun selalu berusaha untuk tetap mendapat perhatian dari gadis itu. Karena itu, pergaulan Sekar Mirah dan Sedayu sangat mengganggu perasaannya.
“Apakah Agung Sedayu benar-benar seorang anak muda yang kesaktiannya melampaui orang lain?” pikir Sidanti.
“Sayang, aku belum pernah melihatnya. Tetapi, sekali-sekali perlu juga aku mencobanya. Terhadap Untara sekalipun, aku tak pernah merasa kagum. Alap-alap Jalatunda bukan ukuran. Sedang kemenangan-kemenangan yang pernah dicapainya dalam setiap pertempuran pun tergantung pada banyak persoalan. Tetapi seorang lawan seorang, aku tak akan gentar”

Kemarahan Sidanti itu selalu merayap-rayap di dalam dadanya. Sekali-sekali ia masih dapat menahan arus perasaannya itu, tetapi kadang-kadang hampir-hampir ia tak mampu lagi. Kadang-kadang dadanya terasa akan meledak apabila ia melihat Sekar Mirah duduk di halaman bersama dengan Agung Sedayu. Lambat laun, Agung Sedayu merasakan pula sikap yang aneh dari Sidanti. Karena itu, maka timbullah kecemasan di dalam hatinya. Ia sama sekali tidak akan berani membayangkan, bagaimana seandainya anak muda yang mampu melawan Tohpati itu nanti marah kepadanya. Maka betapa pun perasaannya bergejolak, namun dibatasinya dirinya sendiri, untuk tidak selalu menyakiti hati Sidanti. Tetapi Sekar Mirah tidak melihat kecemasan yang mencengkam perasaan Agung Sedayu. Karena itu apabila Agung Sedayu tidak menampakkan dirinya, maka Sekar Mirah lah yang pergi mencarinya. Yang tidak kalah peningnya adalah Widura sendiri. Ia melihat persoalan yang dapat meledak setiap saat. Ia melihat betapa Sidanti sama sekali tidak menyukai Agung Sedayu. Dan ia melihat Agung Sedayu pasti akan ketakutan apabila suatu saat Sidanti tidak dapat mengendalikan dirinya lagi. Dengan demikian, maka Widura pun telah berusaha untuk mencagah peristiwa-peristiwa yang hanya akan menambah bebannya.
“Sedayu” berkata pamannya kepada kemenakannya itu,
“Kau harus dapat memperhitungkan segenap perbuatanmu di sini. Setiap langkah akan membawa akibat. Melangkahlah kalau kau berani menanggung setiap akibat yang terjadi. Kalau tidak, jangan membuat persoalan-persoalan baru yang bagiku tidak kalah sulitnya dengan laskar Tohpati yang masih saja berkeliaran di sana-sini”
Agung Sedayu hanya dapat menundukkan kepalanya. Kadang-kadang timbul juga niatnya untuk menjadi seorang yang berhati jantan, apa pun yag akan terjadi. Bukankah ia mampu pula menggenggam pedang? Namun kekerdilan jiwanya telah menjeratnya dalam sifat-sifatnya yang penakut. Sehingga yang dapat dilakukannya adalah, semakin menyekap dirinya di pringgitan.
Tetapi suatu ketika ia memerlukan juga untuk keluar dari pringgitan itu. Ke belakang, kepadasan, untuk mengambil air wudlu. Dan kesempatan-kesempatan yang demikian itulah yang dipergunakan Sekar Mirah untuk menemuinya.
“Tuan” panggil gadis itu ketika Agung Sedayu berjalan menyusur dinding-dinding di belakang rumah,
“Dari manakah tuan?”
“Dari sumur Mirah”
“Ah” jawab gadis itu, “Tuan tak usah bersusah payah menimba air. Bukankah laskar paman Widura itu cukup banyak. Seharusnya tuan tinggal mandi saja seperti paman tuan itu”
“Tidak baik Mirah. Aku di sini sama sekali bukan seorang pemimpin. Bukan sebagai laskar paman Widura itu pun bukan. Aku di sini seorang diri”
Sekar Mirah tertawa. Jawabnya,
“Tuan seorang diri dan paman tuan beserta laskarnya, manakah yang lebih bernilai bagi kami, penduduk Sangkal Putung?”

Sedayu tersenyum. Ia selalu mendengar Sekar Mirah memujinya. Dan ia senang mendengar pujian itu. Namun kali ini adalah sangat berlebih-lebihan. Maka jawabnya,
“Jangan memperkecil arti paman Widura dan laskarnya. Mereka telah berhasil mengusir laskar Tohpati.”
“Apakah tuan tidak dapat berbuat demikian?”
“Sendiri tentu tidak” jawab Sedayu. Namun di hatinya terdengar kata-katanya sambil meneruskan,
“Apalagi seorang diri. Sepasukan pun tidak mungkin” namun kata-kata itu disekapnya jauh-jauh di sudut dadanya.
Sekar Mirah masih saja tertawa. Bahkan kemudian kata-katanya mengalir seperti banjir. Tak habis-habisnya. Tak putus-putusnya.
“Tidakkah tuan sekali-sekali ingin berjalan-jalan ke warung kembali?” bertanya Sekar Mirah.
Agung Sedayu menggeleng.
“Lain kali Mirah”
“Oh. Tetapi tidakkah tuan ingin melihat belumbang ayah? Gurame yang dipelihara oleh kakang Swandaru kini telah sebesar bantal. Barangkali tuan ingin menangkapnya?”
Agung Sedayu menggeleng kembali.
“Lain kali saja Mirah”
Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Memang ia pun merasakan bahwa sikap Agung Sedayu pada saat-saat terakhir menjadi semakin jauh daripadanya. Karena itu Sekar Mirah menjadi cemas, apakah sikapnya terlalu menjemukan?

Tetapi pertemuan itu dikejutkan oleh sebuah langkah tergesa-gesa mendekati mereka. Ketika mereka menoleh betapa dada Agung Sedayu berguncang. Tanpa diketahuinya sendiri, terasa lututnya menjadi gemetar. Ternyata yang datang adalah Sidanti. Tetapi Sekar Mirah sama sekali tidak menjadi cemas. Disapanya anak muda itu sambil tersenyum,
“Marilah kakang Sidanti”
Namun wajah Sidanti itu menjadi semakin tegang. Beberapa langkah dari Agung Sedayu ia berhenti. Ditatapnya wajah anak muda itu dengan tajamnya. Kemudian kepada Sekar Mirah ia berkata,
“Mirah, sudah berapa kali aku memperingatkanmu. Jangan bergaul terlalu rapat dengan anak muda itu. Aku sama sekali tidak senang melihatnya”
Sekar Mirah mengerutkan keningnya. Kini ia berdiri tegang menghadap Sidanti. Katanya lantang,
“Sudah berapa kali, aku menjawab apakah hakmu?”
Sidanti tidak senang mendengar jawaban itu. Maka matanya yang bulat itu seakan-akan memancarkan bara kemarahan. Kepada Agung Sedayu ia berkata,
“apakah kepadamu aku harus memberi peringatan?”
Kata-katanya itu tergores di dada Agung Sedayu seperti goresan pisau yang setajam pisau penukur. Namun gelora di dadanya yang gemuruh tidak juga mau berhenti, apalagi ketika dilihatnya mata Sidanti yang menyala itu. Hatinya menjadi semakin kecut. Namun dicobanya juga berjuang sekuat tenaga melawan ketakutannya. Dicobanya untuk bersikap tenang walau dadanya hampir pecah oleh kecemasan dan kekhawatiran.
“Jangan lekas marah kakang Sidanti” suara Agung Sedayu terdengar bergetar. Namun ia berhasil mengucapkannya.
“Hem” Sidanti menarik nafas untuk mencoba mengendalikan perasaannya.
“Ingat, aku tidak senang melihat pergaulan kalian”
Sedayu tidak segera menjawab. ia masih berjuang untuk tetap menyadari keadaannya. Tetapi Sekar Mirahlah yang menjawab lantang,
“Kau tidak berhak berkata demikian kakang. Aku bebas berbuat apa pun di halaman rumahku sendiri. Apa keberatanmu?”
Sidanti menggigit bibirnya. Nyala dimatanya menjadi semakin menyala. Dan ketakutan Sedayu pun menjadi semakin mencengkram hatinya. Dengan ketenangan yang dibuat-buatnya ia berkata,
“Sudahlah Mirah, biarlah ia mengatakan apa yang akan dikatakannya”
Sekar Mirah memandang wajah Agung Sedayu dengan heran. Agung Sedayu sama sekali tidak menunjukkan kemarahannya, meskipun Sidanti itu bersikap demikian. Karena itu katanya,
“Jangan tuan. Jangan biarkan Sidanti berbuat sesuka hatinya. Rumah ini rumahku. Halaman ini halamanku”

Sidanti kini terdengar menggeram. Kemarahannya telah sampai diubun-ubunnya. Namun ia masih berusaha untuk tidak menyakiti hati gadis itu berlebih-lebihan. Maka karena itulah kemarahannya ditumpahkannya ke Agung Sedayu. Katanya,
“Sedayu. Aku dengar kau adalah seorang anak muda yang sakti. Karena itu marilah kita bersikap jantan”
Hati Agung Sedayu benar-benar telah berkeriput sekecil hati anak ayam melihat elang. Tetapi di hadapan Sekar Mirah ia masih mencoba menjaga nilai-nilainya, nilai-nilai yang pernah dikatakannya kepada gadis itu, meskipun sama sekali hanya sebuah dongengan belaka. Karena itu masih dengan ketenangan yang dibuat-buat ia menjawab,
“Sidanti. Apakah keuntungan kita berbuat demikian?”
“Jangan bicara tentang untung dan rugi” teriak Sidanti.
Sedayu menjadi bingung. Ia tidak tahu apalagi yang akan dilakukan. Sedang Sekar Mirah  pun menjadi semakin heran melihat sikap Agung Sedayu. Kenapa Sidanti itu tidak saja dipukulnya sampai setengah mati? Suasana kemudian tenggelam dalam ketegangan. Sidanti berdiri dengan kaki renggang, siap untuk mlancarkan serangan atau bertahan terhadap setiap kemungkinan. Namun Agung Sedayu masih saja berdiri dalam sikapnya. Tenang. Ketenangan yang gelisah. Karena itu Sekar Mirah menjadi semakin tidak mengerti. Betapa pun orang bersabar hati, namun bagi Sekar Mirah sikap Sidanti itu sudah berlebih-lebihan. Apalagi ketika kemudian Sedayu berkata terputus-putus,
“Kakang Sidanti. Jangan kita memberi contoh kurang baik terhadap laskar paman Widura. Pertentangan kita sama sekali tidak menguntungkan siapa pun juga, selain laskar Tohpati”
Sidanti kembali menggigit bibirnya. Ia merasakan kebenaran kata-katannya Sedayu. Karena itu maka ia berdiam diri untuk beberapa saat. Dan kembali suasana yang tegang itu menjadi diam. Kemudian kediaman itu dipecahkan oleh sebuah suara nyaring di sudut rumah,
“Siapa yang ribut?”
Dan muncullah seorang anak muda yang gemuk pendek. Swandaru. Ia berhenti ketika dilihatnya Sidanti dalam kesiapan, Sedayu yang seakan-akan masih tenang-tenang saja dan adiknya Sekar Mirah.
“Apa yang terjadi Mirah?” bertanya anak itu.
“Kakang Sidanti memaksa aku untuk menuruti kehendaknya” jawabnya. Sidanti terkejut mendengar jawaban itu. Sedayu pun terkejut pula. Dan terdengar gadis itu meneruskan,
“Menurut kakang Sidanti, aku tidak boleh bergaul dengan setiap laki-laki kecuali kakang Sidanti sendiri”
“Mirah” potong Sidanti. Tetapi Sekar Mirah berkata terus,
“Ia mengancamku. Nah, apakah haknya?”

Swandaru memandang Sidanti dengan tajamnya. Telah lama tertanam bibit-bibit ketidak-senangannya terhadap anak muda itu. Karena itu ia berkata acuh tak acuh,
“Jangan hiraukan Mirah. Anggaplah kata-katanya seperti angin malam. Gemerisik dan lenyap bersama embun pagi”
Sidanti adalah anak muda yang masih berdarah panas. Kata-katanya itu benar-benar menyakitkan hatinya. Karena itu tiba-tiba saja ia meloncat dan menampar mulut Swandaru seperti pernah dilakukannya. Swandaru terkejut, namun ia tidak mampu untuk menghindar. Terasa sebuah sengatan yang dahsyat dipipinya sehingga ia tersentak mundur. Namun Swandaru itu tidak berhasil mempertahankan keseimbangan tubuhnya, sehingga ia terbanting jatuh, bersamaan dengan pekik adiknya Sekar Mirah.
“Kakang Swandaru!” teriaknya.
Swandaru berguling beberapa kali. Kemudian dengan susah payah ia duduk. Dirasakannya kepalanya pening dan ketika ia mengusap mulutnya, tampaklah tangannya menjadi merah. Darah. Sekar Mirah memandang Sidanti seperti memandang hantu. Betapa gadis itu menjadi marah sehingga mulutnya bergetar. Namun yang dapat diucapkannya hanyalah,
“Kau setan, Sidanti”
Pekik Sekar Mirah ternyata didengar oleh beberapa orang yang sedang terkantuk-kantuk di pendapa. Beberapa orang berlari-larian ke belakang rumah. Mereka tertegun ketika melihat Swandaru masih duduk di tanah dan dari mulutnya mengalir darah, di antara mereka berdiri dengan dada yang bergolak pepmimpin laskar di Sangkal Putung itu. Widura. Dengan tajam Widura memandang satu demi satu setiap orang yang berdiri di belakang rumah itu. Sidanti, Sedayu dan Swandaru. Katanya di dalam hati,
“Celaka. Swandaru terlibat pula”
Sidanti masih berdiri seperti tonggak. Kaki-kakinya yang kokoh seakan-akan jauh menghunjam ke dalam bumi. Dengan wajah yang tegang ia berdiri menunggu apa pun yang akan terjadi. Namun ia sudah terlanjur mengayunkan tangannya. Dengan demikian segala akibat yang akan imbul pasti akan dihadapinya. Dalam ketegangan itu terdengarlah Widura menggeram,
“Apakah yang terjadi di sini Sidanti?”
Sidanti tidak segera menjawab. Sesaat matanya menyambar Agung Sedayu dan kemudian Sekar Mirah.

Beberapa orang yang berdiri memagari mereka pun segera dapat menebak, apa yang sudah terjadi. Hudaya mengangguk-anggukkan kepalanya sambil menyipitkan matanya, sedang Citra Gati dengan penuh perhatian menatap wajah Sidanti. Ketika beberapa saat Sidanti tidak menjawab, maka kembali Widura bertanya, kali ini kepada Agung Sedayu,
“Apa yang terjadi Sedayu?”
Agung Sedayu menundukkan wajahnya, mulutnya pun seperti terkunci. Karena itu Agung Sedayu juga tidak mampu menjawab pertanyaan itu. Yang terdengar kemudian adalah kata-katanya Swandaru,
“Yang aku ketahui paman, mulutku berdarah dan kepalaku serasa hampir terlepas”
Widura berpaling ke arah Swandaru yang masih terduduk di tanah,
“Berdirilah Swandaru” berkata Widura.
Dengan susah- payah anak muda itu berdiri. Beberapa orang berusaha untuk menolongnya dan menghapus darah yang masih juga meleleh dari mulutnya. Ketika Swandaru telah berdiri meskipun belum tegak benar, ia mencoba memandang setiap wajah yang ada di sekitarnya. Namun ayahnya tidak nampak. Meskipun demikian ia berkata terus,
“Tangan kakang Sidanti benar-benar seberat timah”
Widura mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian kembali ditatapnya mata Sidanti, sehingga dengan nanar Sidanti terpaksa melemparkan pandangan matanya jauh-jauh.
“Kenapa kau sakiti dia Sidanti?”
“Anak itu mendahului kakang” sahut Sidanti
“Ah” Widura berdesah, “Benarkah demikian?” katanya kepada Swandaru.
“Hem” Swandaru menarik nafas. “Ada dua orang saksi di sini. Sekar Mirah dan Agung Sedayu”
Sidanti menelan ludahnya. Terasa dadanya menjadi berdebar-debar. Dan didengarnya kembali Widura bertanya,
“Sidanti, apakah sebenarnya yang terjadi?”

Sidanti kini tidak ingin bersembunyi dibalakang berbagai alasan yang berbelit-belit. Maka jawabnya dengan dada tengadah,
“Yang terjadi adalah persoalan antara aku dan adi Agung Sedayu. Persoalan antara anak-anak muda. Karena itu sama sekali tidak bersangkut paut dengan kelaskaran Pajang di Sangkal Putung”
Jawaban itu benar-benar tak diduga oleh Widura dan oleh siapapun. Sidanti mencoba meletakkan persoalan ini diluar campur tangan pihak-pihak lain. Karena itu maka Widura pun menjadi berdebar-debar pula. Katanya,
“Aku adalah pemimpin laskar Pajang di Sangkal Putung. Aku akan bertanggung jawab terhadap setiap peristiwa yang terjadi di sini. Apalagi di antara anak buahku sendiri”
“Tetapi apabila persoalan itu menyangkut persoalan kelaskaran” bantah Sidanti.
“Persoalanku adalah persoalan seorang dengan seorang tanpa ada sangkut pautnya dengan kepemimpinan kakang di sini”
Dahi Widura pun menjadi berkerut karenanya. Perlahan-lahan ia mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun ia adalah seorang pemimpin. Karena itu ia harus tetap memiliki wibawa atas anak buahnya. Sehingga kemudian ia bertanya,
“Lalu apakah kehendakmu?”
“Biarlah kami menyelesaikan persoalan kami sebagai laki-laki” jawabnya.
Jawaban itu sangat mendebarkan hati. Apalagi Agung Sedayu. Dengan sudut matanya ia memandang wajah pamannya. Namun kemudian wajahnya itu pun ditundukkannya kembali.
Widura menarik nafas dalam-dalam. Kemudian terdengar ia berkata,
“Ada hakku untuk berbuat atas kalian. Terutama atas Agung Sedayu. Dia tamuku di sini, dan kedua ia adalah keponakanku. Aku melarang dia membuat keonaran di sini”
Terasa sesuatu berdesir di dada Agung Sedayu. Ia sadar bahwa pamannya berusaha membebaskannya dari pertentangan ini. Karena itu tiba-tiba ia mengangkat wajahnya, namun hanya sesaat, dan wajah itu menunduk kembali.
Beberapa orang menjadi kecewa karenanya. Terutama Sekar Mirah sendiri. Hudaya yang berdiri di samping Citra Gati berbisik,
“Ah, kakang Widura terlalu memanjakan Sidanti yang sombong itu, sehingga kemenakannya sendiri dikorbankannya. Aku ingin melihat sekali-sekali Sidanti itu dihajar orang. Bukankah ini suatu kesempatan yang baik. Lihatlah betapa kecewa angger Sedayu mendengar keputusan pamannya. Untunglah ia anak yang patuh, sehingga keputusan itu betapa pun beratnya, agaknya akan diterimanya juga”

Mulut Citra Gati berkomat-kamit. Dari matanya menancarlah perasaan muaknya melihat kesombongan Sidanti, sehingga dengan pimpinannya pun ia telah berani membantah. Sedang Swandaru dengan wajah yang masam memandang Widura dari ujung kaki keujung kepalanya. Apakah mulutnya dibiarkan berdarah, dan Sidanti dibiarkannya begitu saja. Ia memang berharap, Sedayu turun tangan karena peristiwa itu. Ia mengharap bahwa apabila Sidanti marah, maka Agung Sedayu pun akan marah pula. Namun tiba-tiba pamannya mengambil keputusan yang tak diharapkan. Sesaat kemudian mereka dicengkam oleh ketegangan. Bukan saja orang-orang di sekitar Sidanti menjadi kecewa, namun Sidanti sendiri tidak kalah kecewanya. Sebagai seorang anak muda yang merasa dirinya mumpuni, Sidanti benar-benar ingin memperlihatkan kemampuannya. Ia yakin, bahwa betapa pun kuatnya Agung Sedayu namun ia pasti akan dapat bertahan. Bahkan terhadap Untara sekalipun. Karena itu, betapa ia menyesal, namun ketika ia akan menyatakan sesalnya, didengarnya Widura berkata,
“Aku perintahkan kalian kembali ke pendapa”
Sidanti memandang Widura dengan mata yang gelisah. Katanya,
“Biarlah aku di sini”
“Kau dengar perintahku” ulang Widura.
Sidanti masih berdiri di tempatnya. Beberapa orang yang sudah mulai bergerak pun tiba-tiba berhenti dan memandang anak muda itu dengan hati yang tegang.
Ketika Sidanti tidak beranjak dari tempatnya, terdengar kembali Widura berkata,
“Sidanti, aku perintahkan kau kembali ke pendapa”
“Aku di sini” jawabnya.
Widura  pun menjadi marah karenanya. Ia sadar bahwa Sidanti merasa bahwa kesaktiannya telah bertambah-tambah karena kehadiran gurunya yang menempanya. Namun Widura adalah pemimpin yang sadar akan kedudukannya. Karena itu, selangkah ia maju sambil berkata lantang,
“Sidanti, untuk terakhir kalinya aku memberikan peringatanku. Kalau tidak, maka aku akan melakukan kekuasaan yang ada padaku. Tinggalkan tempat ini, dan pergi ke pendapa”

Tubuh Sidanti pun bergetar karena marah. Ia tahu benar bahwa Widura tidak lebih dari padanya, sehingga apabila Widura itu menyerangnya, maka ia tidak yakin bahwa ia tidak akan melawannya.
“Setidak-tidaknya aku akan dapat menyamainya. Bahkan mungkin melampauinya” katanya di dalam hatinya. Namun ketika ia melihat beberapa wajah yang keras dan kasar berdiri di sekitarnya, Hudaya, Citra Gati, Sendawa laki-laki bertubuh raksasa bermata satu, Sonya yang mempunyai ciri dipelipis dan dahinya, Patra bungkik dan beberapa orang lagi. Meskipun Sidanti tidak gentar berhadapan dengan setiap orang yang berdiri disitu, namun kalau mereka maju bersama-sama dengan Widura untuk menangkapnya, maka ia pasti akan mengalami kesulitan. Karena itu ketika terpandang sekali lagi mata Widura yang menyala, Sidanti pun kemudian perlahan-lahan menggerakkan kakinya. Selangkah demi selangkah, namun perlahan sekali, ia meninggalkan tempat itu pergi ke pendapa. Ketegangan pun kemudian mereda. Sekali lagi Widura memandang setiap wajah yang ada di sekitarnya. Kemudian terdengar kembali perintahnya,
“Kembali ke pendapa”
Setiap orang yang berada di tempat itu pun kemudian berangsur-angsur pergi. Terdengarlah gumam yang simpang siur di antara mereka. Sedang yang tinggal kemudian adalah Sedayu, Sekar Mirah dan swandaru. Perlahan-lahan Widura meraba pipi swandaru, diamat-amatinya noda yang merah kebiru-biruan di pipi itu,
“Tangan anak itu benar-benar luar biasa” katanya di dalam hati.
“Masuklah Swandaru” berkata Widura.
“Katakanlah kepadaku nanti apabila ayah datang. Aku akan minta maaf kepadanya”
Swandaru tersenyum meskipun masam,
“Kenapa paman minta maaf kepada ayah?”
“Aku menyesal bahwa salah seorang anak buahku, yang seharusnya melindungi rakyat Sangkal Putung, bahkan telah menyakiti hati mereka. Bukankah kau pemimpin dari anak-anak muda di sini? Karena itu maka aku harus minta maaf kepada rakyat Sangkal Putung lewat ayahmu” sahut Widura.

Swandaru mengangguk-angguk. Pipinya masih terasa sakit. Dan sakit itu tidak akan sembuh hanya oleh permintaan maaf saja. Apalagi sakit hatinya. Namun meskipun demikian, dihargainya juga sikap Widura yang jujur itu. Swandaru dan Sekar Mirah pun kemudian masuk ke rumahnya lewat pintu belakang dengan hati kecewa. Bagaimanapun juga Swandaru tidak dapat melupakan hinaan yang telah dua kali dialaminya. Karena itu tiba-tiba ia menggeram di dalam hatinya,
“Awas Sidanti, suatu ketika aku harus membunuhmu. Swandaru bukan cacing yang lemah, tetapi Swandaru, Swandaru Geni, adalah sorang anak jantan”
Sedayu pun kemudian mengikuti pamannya ke pringgitan. Di pringgitan ia duduk saja sambil menekurkan kepalanya. ketika pamannya kemudian duduk di hadapannya, hatinya menjadi berdebar-debar.
“Sedayu” berkata pamannya, “Nah, peristiwa itu sekarang sudah terjadi. Apa katamu?”
Agung Sedayu hanya dapat menundukkan wajahnya. Apalagi ketika pamannya itu berkata pula,
“Bukankah aku pernah memberimu peringatan?”
“Aku sudah mencoba melakukannya paman” sahut Sedayu perlahan-lahan.
“Tetapi apabila aku pergi ke sumur atau ke belakang untuk keperluan lain, kadang-kadang aku masih berjumpa dengan gadis itu”
“Aku tidak keberatan apa pun yang kau lakukan Sedayu, asalkan kau dapat mempertanggung-jawabkannya. Aku berbesar hati melihat ketekunanmu berlatih hampir setiap malam. Aku berbesar hati melihat kemajuan-kemajuan yang kau capai. Namun hatimu yang kerdil itu masih sekerdil itu pula. Apalagi berhadapan dengan Sidanti. Karena itu Sedayu, kali ini adalah kali terakhir aku mencampuri persoalanmu. Seterusnya, kau sudah cukup besar untuk menjaga dirimu sendiri”
Wajah Sedayu menjadi semakin tunduk. Hampir ia menangis mendengar kata-kata pamannya. Ia kini telah benar-benar kehilangan pegangan. Kakaknya masih belum diketemukan, dan pamannya seolah-olah tak mau lagi melindunginya. “Oh” Sedayu mengeluh di dalam hati.
“Sedayu” berkata pamannya,
“Bagaimanakah kalau kau aku antar saja pulang ke Jati Anom?”
Agung Sedayu menggeleng. Ia tidak berani tinggal seorang diri di sana,
“Atau ke Banyu Asri?” kata pamannya pula.
Di Banyu Asri  pun keadaannya sama sekali tidak menyenangkan. Orang-orang Jipang yang berpencaran dapat saja menemukannya di Banyu Asri. Alap-alap Jalatunda yang berkeliaran itu, misalnya, sebab Alap-alap Jalatunda itu kini sudah terlanjur mengenalnya, tidak seperti dahulu lagi, sebelum ia pernah bertemu dengan Alap-alap Jalatunda yang mengerikan itu.
“Biarlah aku di sini paman. Aku berjanji tidak akan keluar dari pringgitan sebelum malam”
“Oh” Widura mengeluh. “Terlalu, terlalu” gumamnya. Ia telah benar-benar menjadi jengkel. Dan karena itu, maka mulutnya malahan terbungkam karenanya.

Di pendapa Sidanti masih duduk di sudut di atas tikar pembaringannya. Hatinya menyala oleh kemarahan yang memuncak. Tanpa disadarinya, dibelainya senjatanya yang mengerikan. Beberapa orang yang melihatnya menjadi berdebar-debar karenanya, dan tanpa sadar pula, mereka duduk-duduk di samping senjata masing-masing. Tiba-tiba ketika Sidanti itu melihat Widura melangkah keluar, ia berdiri pula, diletakkannya senjatanya, dan dengan tergesa-gesa ia menyusulnya.
“Kakang” panggil Sidanti. Widura terkejut, karena itu ia pun segera berhenti.
Tampaklah dahi Widura itu berkerut, ketika dilihatnya Sidanti dengan tergesa-gesa pergi mendapatkannya. Bukan saja Widura yang menjadi tegang, namun beberapa orang yang melihatnya pun tanpa sesadar mereka, serentak berdiri tegak di tempat masing-masing. Sidanti pun melihat semuanya itu. Karena itu maka kini dapat diketahuinya, bagaimana sikap orang-orang dalam lingkungannya kepadanya. Meskipun demikian Sidanti sama sekali tidak berkecil hati. Ketika Sidanti sudah berdiri beberapa langkah di hadapannya, Widura bertanya,
“Apakah ada sesuatu yang penting?”
“Ya kakang” jawab Sidanti.
“Aku ingin mengatakan sesuatu kepada kakang Widura tanpa didengar oleh seorangpun”
“Katakanlah” sahut Widura.
Sidanti beragu sebentar, sehingga tiba-tiba wajahnya beredar ke segala sudut halaman dan pendapa rumah kademangan itu.
“Kalau kau tidak berteriak-teriak maka mereka tidak akan mendengar” berkata Widura.
Sidanti menarik alisnya tinggi-tinggi. Kemudian tampaklah ia tersenyum. Namun senyum itu terasa aneh bagi Widura.
“Kakang” berkata Sidanti perlahan-lahan sambil melangkah mendekati Widura.
“Aku ingin mengatakan sesuatu. Tetapi tidak di sini.”
“Berkatalah sekarang” sahut Widura.
Sidanti menarik nafas. Sekali lagi ia memandang berkeliling. Ditangga pendapa ia melihat beberapa orang berdiri berjajar-jajar, dan beberapa orang di antaranya duduk dengan gelisah. Di regol pun dilihatnya beberapa orang penjaga dengan tombak di tangan mereka.
“Baiklah kakang” berkata Sidanti,
“Aku hanya akan minta ijin kakang untuk menyelesaikan persoalanku dengan Agung Sedayu secara jantan, supaya persoalan ini tidak berlarut-larut dan menjadi semakin dalam menghunjam di dalam dadaku”

Widura terkejut mendengar permintaan itu. Ternyata Sindanti sama sekali tidak dapat menekan perasaannya. Karena itu untuk sesaat Widura tidak segera dapat menjawab. Bahkan Sidanti sempat berkata terus,
“Aku bersedia memenuhi syarat apa pun yang akan diberikan kepada kami berdua. Tanding tanpa atau dengan saksi, tanpa atau dengan senjata”
Wajah Widura tiba-tiba menjadi tegang. Terdengar ia menggeram, kemudian katanya,
“Tidak. Aku tidak memberimu ijin. Juga Agung Sedayu tidak akan aku ijinkan”
Sidanti menjadi kecewa. Namun ia masih berkata terus,
“Kakang, agaknya kurang bijaksana. Apakah kakang ingin dendam kami masing-masing membakar dada kami, sehingga kelak apabila terdapat kesempatan, maka kami akan bertempur tanpa pengendalian diri? Kini kami masih cukup sadar, bahwa perkelahian yang akan diadakan ini adalah perkelahian antara kita. Hanya karena persoalan pribadi. Sehingga dengan demikian kita masih dapat membatasi diri kita sendiri untuk tidak menghancurkan laskar kita di hadapan laskar Jipang”
Sekali lagi Widura menggeleng, katanya tegas,
“Tidak. Perkelahian di antara kita sama sekali tak akan menguntungkan. Apalagi bagi Agung Sedayu. Ia adalah kemenakanku. Dan aku tidak mau melihat salah seorang dalam aliran darahku yang berkelahi karena perempuan”
Wajah Sidanti tiba-tiba menjadi merah membara. Kemarahannya kini menjalar kembali di dadanya. Kata-kata Widura itu benar-benar suatu tamparan baginya. Dan tiba-tiba pula perasaan yang tersimpan di dadanya itu kini terungkat seluruhnya. Betapa ia memandang Widura tidak lebih daripadanya. Apalagi ia merasa benar-benar bahwa persoalan yang kini dihadapinya sama sekali bukan persoalan kelaskaran, tetapi persoalan pribadi. Karena itu kini Sidanti tidak dapat mengendalikan perasaannya lagi. Meskipun demikian ia masih berkata perlahan-lahan namun penuh dengan tekanan,
“Kakang, apakah sebenarnya kakang sedang melindungi anak itu?”
Dada Widura seakan-akan meledak mendengar pertanyaan itu. Ia sadar, bahwa Sidanti hanya ingin menghina Agung Sedayu. Namun karena keadaannya memang demikian, maka Widura hampir-hampir tak dapat menjawab pertanyaan itu. Meskipun demikian ia berkata,
“Jangan mengigau Sidanti. Kalau suatu ketika terjadi perkelahian di antara kalian, maka kalian berdua akan terpaksa mengalami hukuman”
Sidanti tersenyum. Senyum yang benar-benar menyakitkan hati. Katanya,
“Hem, kakang Widura. Sebagai seorang bawahan aku menghormatimu. Namun sebagai seorang yang mempunyai kebebasan diri dalam persoalanku sendiri aku tidak dapat menerimanya”

Sekali lagi dada Widura terguncang. Wajahnya menjadi merah pula karena marah. Meskipun demikian ia masih mencoba untuk menenangkan dirinya. Orang-orang yang melihat percakapan itu dari kejauhan menjadi heran. Mereka melihat wajah-wajah yang tegang. Namun kadang-kadang mereka melihat Sidanti tersenyum-senyum seperti tidak pernah terjadi sesuatu. Karena itu mereka menebak-nebak apakah yang mereka bicarakan. Apakah Sidanti sedang minta maaf kepada Widura? Namun mereka tidak mendengar ketika Widura berkata,
“Aku mempunyai kekuasaan di sini Sidanti”
Sidanti masih tersenyum. Katanya,
“Kakang Widura ternyata telah menyalahgunakan kekuasaan itu untuk keuntungan pribadi”
Dada Widura benar-benar hampir pecah karenanya. Ia harus mempertahankan kewibawaannya sebagai seorang pemimpin. Maka katanya,
“Tanpa kekuasaan pun aku dapat memaksamu Sidanti”
Sidanti mengerutkan keningnya. Tiba-tiba ia pun berkata,
“Kakang, aku ingin berbicara tanpa seorang pun yang melihat”
“Bagus” berkata Widura. Ia benar-benar telah menangkap tantangan itu. Karena itu ia harus menerimanya apabila ia masih ingin dinamai seorang pemimpin. Maka katanya seterusnya,
“Nanti malam kita bisa bertemu tanpa seorang pun yang melihat pertemuan itu”
Dada Sidanti pun bergetar semakin cepat. Ia sudah menjerumuskan diri kedalam persoalan yang lebih berat. Namun ia yakin, bahwa ia akan dapat mengatasi semua persoalan itu. Maka kemudian Sidanti itu pun mengangguk hormat, lalu pergi meninggalkan Widura yang masih tegak dengan tegangnya. Dilihatnya anak muda yang terlalu yakin akan dirinya itu, berjalan ke pendapa, kemudian naik dengan langkah yang tetap. Widura menarik nafas dalam-dalam. Kemudian dipandanginya keadaan di sekitarnya. Dilihatnya anak buahnya berdiri berjajar di samping pendapa, sedang di regol halaman dilihatnya beberapa orang yang sedang bertugas tegak dengan tombak di tangan.
“Apa pun yang terjadi” katanya di dalam hati,
“Mereka harus menganggap aku sebagai seorang laki-laki yang berani menghadapi setiap keadaan di bawah kekuasaanku. Kalau aku hindari tantangan Sidanti, mereka akan kehilangan kepercayaan, dan aku akan kehilangan kewibawaan”
“Tetapi” terdengar pula suara yang lain,
“Bagaimanakah kalau aku dapat dikalahkan?”
“Menang atau kalah bukan soal” jawabnya sendiri,
“Aku harus tetap pada keputusanku, keputusan seorang pimpinan prajurit”

Sesaat kemudian Widura itu pun melangkah kembali keregol halaman. Kemudian kepada para penjaga ia bertanya,
“Adalah kalian melihat Ki Demang sudah datang?”
“Belum tuan” jawab salah seorang dari mereka.
“Malahan Swandaru juga keluar halaman”
“Kemana?”
“Tak dikatakan kepada kami”
Widura menjadi berdebar-debar karenanya. Ia ingin menyampaikan sendiri kabar tentang persoalan antara Swandaru dan Sidanti, untuk kemudian minta maaf kepadanya. Kalau Swandaru sendiri yang mengatakannya, maka Ki Demang akan dapat menjadi salah paham. Apalagi kalau kemudian kawan-kawan Swandaru menjadi marah. Maka akibatnya akan menyulitkannya. Tetapi, di samping itu tantangan Sidanti juga menggelisahkannya. Ia tidak takut menghadapi apapun, namun sebagai seorang pemimpin ia mempunyai tanggung jawab yang luas. Bahkan kemudian Widura itu mengumpat di dalam hatinya.
“Alangkah bodohnya Agung Sedayu. Ia telah membuat Sangkal Putung menjadi berantakan setelah ia berhasil menyelamatkannya. Kalau anak itu bukan saja seorang pengecut, maka kepalaku tidak menjadi pecah dibuatnya”
Ketika Widura melangkah kembali ke pendapa, terasa seseorang menggamitnya. Orang itu adalah Citra Gati. Dengan wajah yang bersungguh-sungguh ia berbisik,
“Apakah yang dikatakan Sidanti itu kakang?”
Widura memandangnya bersungguh-sungguh pula. Namun kemudian ia tersenyum,
“Tidak apa-apa” jawabnya.
Citra Gati menggeleng. Katanya,
“Aku melihat sesuatu yang tidak wajar kakang. Jangan biarkan kami menebak-nebak, supaya kami tidak semakin muak melihat anak Ki Tambak Wedi yang sombong itu”
“Tenaganya kita perlukan di sini” sahut Widura.
Citra Gati mengangguk-anggukkan kepalanya. Dirasakannya, apa yang dikatakan Widura itu benar. Namun apakah dengan demikian anak muda itu wenang untuk berbuat sesuka hatinya? Karena itu ia bertanya,
“Tetapi kakang, aku melihat tingkah lakunya semakin lama semakin tidak menyenangkan”
“Aku akan mencoba untuk mengatasinya” jawab Widura
“Mudah-mudahan kakang berhasil” gumam Citra Gati,
“Kalau perlu, kakang dapat minta bantuan kami. Bukankah itu juga termasuk kewajiban kami?”
Widura mengerutkan keningnya. Katanya,
“Jangan. Dengan demikian dendam di antara kalian akan semakin menyala. Kewajiban kita masih banyak. Tohpati masih ada di muka hidung kita. Alap-alap Jalatunda dan Plasa Ireng yang berkeliaran di daerah Pakuwon dan Karajan. Mungkin masih banyak lagi orang-orang yang bersembunyi di sana-sini. Suatu ketika mereka akan berhimpun. Dan itu adalah pekerjaan yang berat”
Citra Gati menarik nafas dalam-dalam. Ia kagum kepada anak muda yang bernama Sidanti itu, namun ia membencinya. Meskipun di dalam hatinya ia mengakui, bahwa seorang lawan seorang ia tak akan dapat mengalahkan Sidanti yang hampir dapat mencapai tataran Macan Kepatihan, namun ia tidak senang melihat anak itu dibiarkan sesuka hatinya.


Halaman 1 2 3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar