“Istrinya tuan” jawab Wangsa Sepi.
“Perempuan itu
pasti ketakutan. Ia pasti menyangka bahwa orang-orang yang memukul suaminya
kemarin datang kembali.”
Widura
mengangguk-angguk. Kemudian disuruhnya Wangsa Sepi mendahului, supaya mereka tidak
menjadi semakin ketakutan.
“Masukkah Ki
Sanak” berkata Widura,
“Katakan
kepadanya, bahwa aku bukan orang-orang yang pernah datang kemari”.
Wangsa Sepi
mengangguk. Kemudian ia pun berjalan dahulu, masuk ke rumah Kriya yang bungkik.
Orang itu masih berbaring di amben. Sedang istrinya yang ketakutan berlutut di
sampingnya sambil menangis. Perempuan itu terkejut sampai berjingkat, ketika
tiba-tiba melihat seseorang begitu saja sudah berdiri di sampingnya.
“Aku Nyai”
berkata Wangsa Sepi.
“Oh” istri
Kriya itu menarik nafas, kemudian ia bertanya,
“Kakang,
siapakah orang-orang yang memasuki halaman ini. Adakah mereka orang-orang yang
memukuli kakang Kriya kemarin?”
Wangsa Sepi
memandangnya dengan iba. Seperti seorang pelindung yang baik ia berkata,
“Jangan takut
Nyai”, kemudian kepada Kriya kecil yang terbaring diamben ia berkata,
“Jangan takut
adi. Orang itu bukan kawan-kawan Alap-alap Jalatunda. Mereka ingin bertemu
dengan adi, justru untuk mencari Alap-alap Jalatunda”
Mata Kriya
yang kecil itu pun terbelalak,
“Benarkah
demikian?”
“Ya” jawab
Wangsa Sepi. “Karena itu jangan takut”.
Namun mata
Kriya masih memancarkan keragu-raguan hatinya. Ia sudah sedemikian ngerinya
mengingat peristiwa dua malam yang lewat. Beberapa orang telah memukulnya
berganti-ganti, mengancam dan menyengat-nyengat dengan ujung-ujung senjata.
Tetapi apabila benar orang-orang yang datang ini justru mencari Alap-alap
Jalatunda, maka ia dapat titip kepada orang-orang itu. Kalau ketemu, ia akan minta
mereka supaya punggung mereka pun dipatahkan seperti punggungnya.
Maka katanya
kemudian,
“Silakan
mereka masuk”.
Widura dan
Sedayu pun kemudian masuk ke gubug kecil itu. Mereka melihat penderitaan yang
dialami oleh Kriya. Beberapa luka-luka kecil dihampir seluruh tubuhnya.
Wajahnya yang biru pengab dan sakit yang amat sangat di punggungnya, sehingga
orang itu tidak dapat bangkit dari pembaringannya.
“Jangan
bangun” berkata Widura,
“Supaya
sakitmu tidak bertambah parah”.
Kata-kata yang
pertama itu telah menyejukkan hati Kriya. Ia kini pasti, orang itu bukan
kawan-kawan Alap-alap Jalatuda. Dengan menyeringai menahan sakit ia berkata,
“Silakan
tuan-tuan. Aku tidak dapat menyambut tuan-tuan dengan baik”.
“Jangan
diributkan” sahut Widura.
“Aku hanya ingin
beberapa keterangan. Dapatkah kau menceritakan, apa yang telah kau ketahui
tentang Ki Tanu Metir dan Alap-alap Jalatunda?”
Kriya yang
kecil itu menggerak-gerakkan kepalanya. Kemudian ia bercerita tentang
orang-orang yang datang mencari dua orang berkuda. Tentang Plasa Ireng dan
kemudian tentang Alap-alap Jalatunda yang pergi menyusul yang seorang lagi.
Akhirnya ia berkata,
“Mereka telah
mencoba memaksa Ki Tanu Metir untuk menunjukkan orang-orang berkuda itu. Namun
Ki Tanu Metir tidak bersedia. Akhirnya orang-orang itu pun menjadi marah.
Tetapi aku tidak tahu, apa yang terjadi seterusnya, karena tiba-tiba dadaku
terasa sesak, dan aku menjadi pingsan”.
Widura
mendengarkan semuanya itu dengan dada yang berdebar-debar. Sedang Agung Sedayu
menjadi sangat cemas. Dengan nafas yang terengah-engah ia bertanya,
“Jadi
kemanakah Ki Tanu Metir kemudian?”
“Tak seorang
pun yang tahu” jawab Kriya.
“Namun kami
menduga, bahwa Ki Tanu Metir dan orang yang disangka disembunyikan itu telah
dibawa oleh mereka, gerombolan Plasa Ireng”
Sedayu menjadi
semakin cemas. Ditatapnya wajah pamannya yang tegang. Widura mencoba untuk
menghubungkan keterangan-keterangan itu dengan apa yang dilihatnya.
“Hem” ia
menarik nafas. Mungkin sangkaan itu benar. Untara diketemukan di dalam bakul dengan
meninggalkan bekas-bekas darah itu. Tetapi kemanakah mereka dibawa?
Ruangan itu
untuk sejenak menjadi sepi. Namun dada merekalah yang menjadi riuh. Apalagi
dada Agung Sedayu. Dengan penuh kecemasan ia menunggu, apakah yang akan
dilakukan oleh pamannya.
“Ki Sanak,”
bertanya Widura kemudian,
“Apakah kau
pernah mendengar, dimanakah orang-orang Alap-alap Jalatunda itu tinggal?”
Kriya
menggeleng lemah. Jawabnya,
“Namanya itu
menunjukkan tempat. Namun aku tidak pasti”
Widura iru pun
kemudian terdiam. Tampaklah ia merenung, memandang jauh melewati lubang pintu.
Di luar, sinar matahari dengan cerahnya bermain-main di atas daun-daun di
halaman. Widura telah mengetahui dengan pasti bahwa Alap-alap Jalatunda itu
tidak berada di Jalatunda atau sekitarnya, sebab daerah itu telah lama
dibersihkan dari gerombolan-gerombolan kecil yang kehilangan pegangan itu.
Tetapi Widura sadar, bahwa orang-orang seperti Kriya kecil dan Wangsa Sepi itu
tak akan banyak memberinya petunjuk. Ketika Widura itu berpaling, maka dilihatnya
wajah Sedayu yang pucat dan tegang.
“Bagaimana
dengan kakang Untara paman?” terdengar ia bertanya dengan gemetar.
Widura
mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia mencoba memeras otaknya. Tanaman-tanaman
yang rusak di halaman Ki Tanu Metir, bukan sekedar terinjak-injak kaki, bahkan
kaki-kaki kuda sekalipun. Bekas-bekas itu adalah bekas perkelahian. Sayang
Kriya saat itu menjadi pingsan, sehingga ia tidak dapat mengatakan siapakah
yang bertempur malam itu. Ki Tanu Metir barangkali? Widura mengangguk-anggukkan
kepalanya. Apakah gerombolan Plasa Ireng telah berbuat sedemikian kasarnya
terhadap orang tua itu untuk memeras keterangannya sehingga halaman itu menjadi
rusak? Plasa Ireng tak akan memerlukan hampir separo halaman untuk keperluan
itu. Namun Widura juga tidak dapat mengambil kesimpulan bahwa Untara telah
mampu mempertahankan dirinya dan bertempur melawan Plasa Ireng. Kalau terpaksa
terjadi perkelahian di antara mereka, sedang Untara dalam keadaan parah, maka
harapan untuk dapat bertemu kembali dengan Untara adalah sangat kecil. Demikian
juga agaknya, apabila Plasa Ireng itu berhasil menemukan Untara di dalam
persembunyiannya. Karena itu maka Widura pun menjadi gelisah dan cemas.
Widura tidak
segera membuat kesimpulan yang mendebarkan jantungnya, meskipun itulah
kemungkinan yang terbesar terjadi atas Untara.
“Mudah-mudahan
Untara tidak mati muda” Widura berkata di dalam hatinya. “Namun kalau terpaksa
terjadi demikian, maka anak itu telah gugur dalam pelukan kewajibannya bersama
dengan seorang dukun tua. Bahkan Kriya yang tak mengerti ujung pangkal dari
perselisihan antara Pajang dan Jipang itu pun harus menderita karenanya”
Sedayu yang
menunggu jawaban pamannya itu masih saja berdiam diri. Mengangguk-angguk dan
menggeleng-gelengkan kepalanya tanpa berkata sepatah katapun. Karena itu ia
mendesak,
“Bagaimanakah
dengan kakang Untara itu paman?”
“Aku belum
dapat mengambil kesimpulan apa-apa Sedayu” jawab pamannya.
Sedayu menjadi
semakin cemas. Tetapi ia tidak bertanya lagi. Sejenak kemudian Widura itu pun
berkata,
“Ki Sanak, aku
tidak perlu terlalu lama di sini. Barangkali aku kelak mendengar keterangan
tentang Ki Tanu Metir. Baiklah kini aku mencoba mencari bekas-bekasnya di
sekitar padukuhan ini”.
Agung Sedayu
menjadi berdebar-debar karenanya. Kalau pamannya akan mencari kakaknya, apakah
itu tidak akan terlalu berbahaya. Karena dengan tergesa-gesa ia berkata,
“Apakah daerah
sekitar pedukuhan ini tidak berbahaya paman?”
Widura berpikir
sejenak. Kemudian jawabnya,
“Berbahaya
atau tidak, tetapi adalah menjadi kewajibanku untuk mencari keterangan tentang
Untara”.
“Tetapi,
bagaimanakah kalau tiba-tiba paman disergap oleh Alap-alap jalatunda?”,
bertanya Sedayu.
“Sedayu.
Alap-alap jalatunda itu tidak seberbahaya Macan Kepatihan. Mudah-mudahan aku
dapat mengatasinya apabila kita bertemu” jawab Widura membesarkan hati anak
itu.
“Tetapi ia
tidak sendiri. Mungkin dengan yang paman sebut Plasa Ireng atau yang lain-lain”
desak Sedayu.
“Bukankah aku
tidak sendiri?”
“Paman hanya
membawa beberapa orang. Mungkin Alap-alap Jalatunda itu berenam, sepuluh atau
bahkan satu pasukan”
“Di antara
kita ada kau, Sedayu”
“Ah” Sedayu
mengeluh.
Widura pun
mengeluh di dalam hati. Anak itu sama sekali tidak membantunya, bahkan ia dapat
merupakan tanggungan yang terlalu berat. Karena itu pula, maka Untara yang
perkasa terpaksa terluka di pundaknya.
“Untara pasti
sedang melindungi anak ini” pikir Widura.
“Kalau tidak,
apakah empat orang yang dipimpin oleh Pande Besi Sendang Gabus itu melukainya?”
Tetapi Widura
tidak akan dapat melepaskan Agung Sedayu. Ia adalah kemenakannya. Dan betapa
pun anak ini pernah berjasa bagi Sangkal Putung yang dibebankan kepadanya.
Meskipun
demikian Widura mempertimbangkan pula pendapatnya. Tanpa disengajanya, sekali
lagi ia melihat akibat kekasaran Plasa Ireng dan Alap-alap Jalatunda. Kriya
yang lemah itu kini masih berbaring dipembaringannya. Namun tiba-tiba pula ia
menjadi heran. Luka itu terlalu berat. Namun penderitaan orang itu agaknya
telah jauh berkurang. Karena itu tiba-tiba ia bertanya,
“Ki Sanak,
apakah luka-lukamu tak pernah diobati?”
“Pernah tuan”
jawab Kriya sambil menyeringai.
“Bukankah
biasanya Ki Tanu Metir lah yang memberi obat kepada orang-orang sakit? Dan
sekarang orang itu telah tidak ada di rumahnya” bertanya Widura.
“Ya” jawab
Kriya.
“Tetapi
semalam datang pula orang yang mencari Ki Tanu Metir. Orang yang sudah sangat
tua. Katanya ia adalah sahabat Ki Tanu Metir. Seorang dukun pula. Dan diberinya
aku obat”
“Oh” Widura
mengangguk-angguk.
“Siapakah
namanya?”
Kriya
menggeleng. Jawabnya,
“Ketika aku
bertanya namanya, orang itu menjadi bingung. Akhirnya ia menjawab sambil
menunjukkan kain yang dipakainya. Kiai Gringsing”
Widura
terkejut mendengar jawaban itu. Apalagi Agung Sedayu. Dengan serta merta ia
bertanya,
“Adakah Kiai
Gringsing itu bertopeng?”
Sekali lagi
Kriya menggeleng,
“Tidak”
jawabnya. “Namun wajahnya aneh juga. Berkeriput dan dipakainya pilus di dahinya.
Aku takut kalau bertemu dengan orang itu di malam hari seorang diri”.
Widura
mengerutkan keningnya. Keterangan itu sangat menarik perhatiannya. Karena itu
maka ia bertanya pula,
“Apakah yang
dilakukan oleh orang itu kemudian?”
“Tidak
apa-apa” jawab Kriya,
“Setelah
diketahuinya bahwa rumah sahabatnya kosong, dan diberinya aku obat, maka ia pun
segera pergi. Katanya, ia takut kalau-kalau orang yang mencari Ki Tanu Metir
lusa kembali dan menangkapnya pula”
“Tanu Metir
ditangkap dalam hubungannya dengan orang yang disembunyikan” sahut Widura.
“Mungkin”
jawab Kriya.
“Tetapi orang
tua itu berkata bahwa laskar kedua pihak yang sedang memerlukan dukun-dukun
untuk mengobati kawan-kawan mereka yang terluka. Mungkin Ki Tanu Metir telah
mereka bawa untuk keperluan itu”
Widura menarik
keningnya. Keterangan itu masuk akal juga. Tetapi cerita tentang Kiai Gringsing
itu mungkin ada juga gunanya, maka Widura itu pun berkata,
“Apakah kau
melihat tanda-tanda yang aneh pada orang yang menyebut dirinya Kiai Gringsing?”
“Tidak” sahut
Kriya.
“Selain bahwa
orang itu telah terlalu tua. Agak bongkok”
“Adakah kau
tanyakan rumahnya?”
“Ya. Tetapi tak
diberitahukannya. Katanya, apabila Ki Tanu Metir sudah pulang, maka ia sudah
tahu, siapakah dirinya”
Widura menarik
nafas. Tak ada yang dapat diketahui tentang Kiai Gringsing. Namun ia mendapat
suatu kesimpulan, bahwa Kiai Gringsing benar-benar orang yang tak mau dikenal.
Agung Sedayu pernah bertemu dengan orang yang menamakan dirinya Kiai Gringsing.
Belum terlalu tua dan bertopeng atau lebih tepat hanya sebuah tutup muka dengan
tiga buah lubang, diarah mata dan hidungnya. Bahkan dengan seenaknya, bersenjata
cambuk kuda orang itu dapat mengalahkan Alap-alap Jalatunda. Sedang orang yang
menamakan Kiai Gringsing pula, datang kepada Kriya. Orang itu telah terlalu
tua, bongkok. Tetapi satu hal yang dapat ditarik persamaan dari keduanya, wajah
keduanya bukanlah wajah aslinya. Yang datang kepada Kriya itu pun berwajah aneh
dan menakutkan, bahkan memakai pilis di dahinya. Bukankah itu juga suatu usaha
untuk menyembunyikan diri? Tetapi Widura tidak mau tenggelam dalam persoalan
orang yang tak dikenalnya. Baginya, Untara lebih penting dari orang yang
menamakan diri Kiai Gringsing itu. Karena itu maka sekali lagi ia minta diri,
“Terima kasih atas semua keteranganmu, ki sanak” berkata Widura kepada Kriya,
kemudian kepada Wangsa Sepi,
“Ki sanak,
ingat-ingatlah apa yang terjadi kemudian. Mungkin aku akan datang kembali
beberapa hari yang akan datang. Mungkin ada hal-hal yang dapat memberi
penjelasan atas hilangnya Ki Tanu Metir”
“Baiklah tuan”
jawab Wangsa Sepi sambil mengangguk.
Widura, Agung
Sedayu dan kawan-kawannya yang menunggu diluar segera meninggalkan rumah Kriya
Bungkik. Mereka kembali ke halaman rumah Ki Tanu Metir. Dengan hati-hati Widura
meneliti bekas-bekas kaki kuda di halaman itu. Kemudian katanya,
“Kita coba
mengikuti bekas-bekas kaki kuda Ki Tanu Metir. Mungkin kuda itu dipakai oleh
orang-orang yang mengambilnya”
Kembali Agung
Sedayu menjadi gelisah. Katanya berbisik,
“Bagaimanakah
kalau kita akan sampai ke sarang Alap-alap Jalatunda itu?”
“Suatu
kebetulan” sahut Widura.
“Segera kita
akan tahu, bagaimanakah nasib Untara dan Ki Tanu Metir”
“Tetapi
bagaimanakah dengan nasib kita sendiri?”
Widura menarik
nafas, katanya,
“Lalu apakah
yang sebaiknya kita lakukan? Apakah kita biarkan saja Untara hilang?”
“Tidak” jawab
Sedayu.
“Kita harus
mencari kakang Untara. Tetapi apakah kita tidak kembali ke Sangkal Putung
dahulu, dan paman membawa laskar lebih banyak lagi?”
“Kita akan
banyak kehilangan waktu Sedayu” jawab pamannya.
“Sedang
laskarku pun sangat terbatas. Kalau sebagian dari mereka meninggalkan tempatnya,
bagaimanakah jadinya Sangkal Putung itu, apabila Tohpati datang kembali siang
ini?”
Sedayu pun
terdiam. Namun hatinya tidak tentram. Di Sangkal Putung ia takut apabila
Tohpati datang kembali. Mengikuti pamannya ia cemas apabila mereka bertemu
dengan Alap-alap Jalatunda. Namun ia tidak dapat menentukan pilihan. Karena itu
ia harus ikut saja kemana pamannya pergi. Widura kemudian seakan-akan tidak
memperhatikan Agung Sedayu lagi. Dengan penuh minat ia melihat telapak-telapak
kaki kuda di halaman itu. Kemudian dipanggilnya kawan-kawannya mendekat, dan
terdengar ia berkata,
“Kita ikuti
telapak kaki-kaki kuda ini”
Kawan-kawannya
pun memperhatikan telapak itu dengan seksama. Mereka harus berusaha membedakan
dengan telapak kaki yang lain. Apabila mungkin, maka mereka akan dapat mengikuti
kemana kuda itu pergi.
“Mudah-mudahan
kita menemukan tempatnya” gumam Widura. Sedang Agung Sedayu menjadi
berdebar-debar mendengarnya.
Sejenak
kemudian, mereka pun telah siap di atas punggung kuda masing-masing.
Perlahan-lahan mereka berjalan menyusur jalan desa yang sempit sambil
memperhatikan jalan di bawah kaki-kaki kuda mereka, supaya mereka tidak
kehilangan jejak.
“Tiga ekor
kuda” geram Widura.
“Ya” sahut
kawannya. Selain itu mereka masih melihat telapak-telapak kaki yang lain. Namun
telapak-telapak kaki itu mengarah ke arah yang berlawanan. Di antaranya
telapak-telapak kaki kuda mereka sendiri pada saat mereka memasuki desa itu.
“Dua di
antaranya adalah telapak kaki kuda Sedayu dan Alap-alap Jalatunda yang
menyusulnya ke Sangkal Putung” gumam Widura.
“Apabila ada
salah satu daripadanya memisahkan diri dari jalan ini, maka kuda itulah yang
telah dipergunakan Plasa Ireng atau salah seorang daripadanya. Dan kita akan
mengikuti arahnya”
Kawan-kawannya
itu pun mengangguk-anggukkan kepala mereka. Meskipun di dalam hati mereka
terbersit pula rasa kawatir. Apabila mereka benar-benar sampai disarang
Alap-alap itu, maka pekerjaannya tidak akan kalah beratnya dengan menyongsong
kehadiran laskar Tohpati di Sangkal Putung. Mungkin mereka akan menghadapi
lawan yang berlipat. Namun hati mereka menjadi tenteram ketika mereka melihat
kedua orang yang berkuda di depan mereka. Widura dan adik Untara.
“Mereka berdua
tak akan terkalahkan” gumam mereka di dalam hati.
Karena itu
mereka menjadi tenteram. Meskipun demikian sekali-sekali mereka meraba
hulu-hulu pedang mereka, seakan-akan mereka sedang bersepakat dengan
senjata-senjata mereka, bahwa mereka akan menempuh suatu perjuangan yang berat.
Di sepanjang
jalan hampir mereka tidak bercakap-cakap. Mereka sedang sibuk memperhatikan
bekas-bekas kaki kuda di bawah mereka. Hanya Agung Sedayulah yang kadang-kadang
menarik nafas panjang untuk mencoba menenangkan hatinya yang bergejolak.
Sebenarnya ingin juga ia segera mengetahui nasib kakaknya, namun ia cemas
apabila dibayangkannya orang-orang yang kasar dan keras menghadang di
tengah-tengah jalan dengan senjata-senjata di lambung. Meskipun demikian ia
tidak berkata sepatah katapun. Ketika ia menoleh, dilihatnya orang-orang yang
berkuda di belakangnya, sama sekali tidak menunjukkan kecemasan mereka. Bahkan
ketika mereka melihat Agung Sedayu menoleh kepada mereka, hampir bersamaan
mereka tersenyum dan menganggukkan kepala mereka. Agung Sedayu pun mengangguk.
Tetapi ia tidak tahu, kenapa orang-orang itu mengangguk kepadanya, dan ia juga
tidak tahu, kenapa ia mengangguk pula. Semakin jauh mereka dari pedukuhan
Pakuwon, hati Widura menjadi semakin heran. Telapak kaki kuda itu tidak
terpisah. Ketiganya menuju Sangkal Putung.
“Aneh” desis
Widura.
“Apakah salah
seorang dari anak buah Plasa Ireng itu pergi juga ke Sangkal Putung selain
Alap-alap Jalatunda?” Namun Widura tidak dapat menjawab pertanyaan itu.
Demikianlah
mereka tetap mengikuti jejak-jejak itu. Tetapi mereka tak menemukan titik
perpisahan dari jejak-jejak itu. Bahkan akhirnya mereka sampai juga di Bulak
Dawa. Dan jejak-jejak itu masih mengikuti jalan terus ke Sangkal Putung. Widura
juga sedang mempertimbangkan setiap kemungkinan itu menggeleng-gelengkan
kepalanya.
“Apakah kita
tidak keliru?” gumamnya.
“Apa yang
keliru paman?” bertanya Agung Sedayu.
Sekali lagi
Widura memandangi jejak-jejak kaki kuda yang sudah tidak begitu jelas lagi.
“Apakah ada
jejak-jejak lain yang sudah terhapus?” gumamnya.
Agung Sedayu
tidak menjawab. Dan ketika kawan-kawan mereka itu telah dekat benar dengan
Widura, Widura pun bertanya kepada mereka,
“Adakah kalian
melihat salah satu di antaranya memisahkan diri?”
Orang-orang
itu menggeleng.
“Tidak” jawab
salah seorang dari mereka.
“Kami telah
mencoba mengawasi dengan seksama setiap simpangan. Entahlah kalau jejak-jejak
itu telah tidak dapat dilihat lagi”
Widura
mengangguk-angguk. Namun jalan yang sepi itu, agaknya belum banyak dilalui
orang. Apalagi kuda atau gerobag. Maka katanya,
“Kita ikuti
jejak itu untuk seterusnya. Kalau kita tidak menemukan sesuatu, kita kembali ke
Sangkal Putung. Lain kali aku akan mencarinya”.
Ketiga orang
itu pun mengangguk, dan Sedayu pun menjadi agak berlega hati. Namun meskipun
demikian, ia selalu cemas akan nasib kakaknya. Satu-satunya saudaranya, yang
selama ini, bahkan sejak kecil selalu menjaganya dan melindunginya dengan baik.
Pada saat-saat
dirinya mengalami kesulitan yang paling kecil sekalipun maka kakaknya selalu
datang menolongnya. Bahkan kakaknya itu telah banyak sekali mengorbankan
kepentingannya sendiri untuknya. Kini kakaknya itu mengalami bencana. Apakah
yang dapat dilakukannya? Jiwa Agung Sedayu itu pun menjadi bergolak. Ingin juga
ia datang berkuda menerobos masuk ke dalam sarang orang-orang yang mungkin
menculik kakaknya dengan pedang terhunus di tangan. Ingin ia menolong dan
menyelamatkannya. Tetapi kemudian Agung Sedayu hanya dapat menggigit bibirnya.
Tak ada keberanian untuk melakukannya. Dan disadarinya bahwa apa yang dapat
dilakukan hanyalah berangan-angan. Mereka masih saja berkuda mengikuti jalan ke
Sangkal Putung. Meskipun tidak sendiri, namun bulu-bulu Agung Sedayu meremang
juga ketika mereka lewat dibawah randu alas yang besar ditikungan. Setiap kali
ia melihat pohon randu alas itu setiap kali ia teringat cerita tentang
genderuwo bermata satu. Tetapi Widura sama sekali tidak mempedulikan cerita
itu. Ia masih sibuk mencoba mengurai keanehan yang dihadapinya. Telapak-telapak
itu benar-benar menuju ke Sangkal Putung. Tetapi sampai sekian jauh belum juga
menemukan jawaban. Apalagi ketika mereka kemudian sampai pada daerah yang
berbatu-batu. Telapak-telapak kaki kuda itu seakan-akan lenyap dijilat hantu.
Karena itu, Widura menjadi semakin cemas. Tetapi tak ada hal-hal yang dapat
memberinya petunjuk. Maka dengan kecemasan yang mencengkam dadanya, akhirnya
Widura terpaksa membawa rombongannya kembali ke Sangkal Putung. Meskipun
demikian Widura itu menggeram, “Suatu ketika aku harus menemukan jawaban atas
hilangnya Untara dan Ki Tanu Metir”
Agung Sedayu
hanya dapat menundukkan wajahnya. Tetapi matanya menjadi panas, dan
dijantungnya seperti akan pecah. Tetapi tidak lebih daripada itu. Agung Sedayu
tidak dapat berbuat apa pun selain meratap dengan sedihnya.
Ketika mereka
sampai di halaman kademangan, beberapa orang datang menyongsong mereka. Citra
Gati, Hudaya, Sidanti, Swandaru dan beberapa orang lain. Sebelum Widura masuk
ke pringgitan, berbagai-bagai pertanyaan harus dijawabnya. Dan orang-orang itu
pun menjadi kecewa pula. Mereka mengharap Untara ada di antara mereka, namun
ternyata orang itu telah lenyap. Hanya Sidanti lah yang sama sekali tidak menaruh
minat akan hilangnya Untara.
“Biarlah anak
itu hilang. Dan biarlah orang-orang di Sangkal Putung menyadari, bahwa bukan
Untara lah orang yang paling sakti di antara kita. Tohpati itu tidak terpaut
banyak denganku. Apabila guru datang kemari, aku akan mendapat petunjuk
bagaimana harus mengalahkannya” katanya di dalam hati.
Tetapi ketika
terlihat pula olehnya Sedayu, Sidanti mengangkat alisnya. Dan hatinya berkata
pula,
“Apakah anak
ini benar-benar dapat, setidak-tidaknya mendekati kesaktian Untara?” Sindanti
menarik bibirnya ke sisi. Kemudian ia berjalan di samping pendapa dan sama
sekali tak mengacuhkan lagi, apakah yang terjadi di dukuh Pakuwon.
Di samping
pendapa Sidanti berhenti. Dilihatnya Sekar Mirah berjalan ke arahnya.
“Siapa yang
datang?” gadis itu bertanya.
“Kakang
Widura” jawab Sidanti.
“Dengan anak
muda yang bernama Agung Sedayu, adik Untara?” bertanya Sekar Mirah pula.
Sidanti
menarik alisnya. Katanya,
“Ya, tetapi
apakah kau mempunyai kepentingan dengan anak itu?”
“Tidak. Tetapi
aku ingin melihatnya. Menurut ayah, anak itulah yang telah menyelamatkan
Sangkal Putung”.
“Omong kosong”
sahut Sidanti.
“Apa yang
telah dilakukannya? Ia hanya datang atas nama kakaknya, mengabarkan bahwa
laskar Tohpati akan datang. Selebihnya tidak. Akulah yang terluka oleh senjata
Tohpati itu. Aku tidak yakin, kalau Agung Sedayu dapat menyelamatkan hidupnya
seandainya ia harus menghadapi Macan Kepatihan itu”
Sekar Mirah
tidak menjawab. Tetapi matanya dengan nanar menyapu pendapa rumahnya. Namun
yang dicarinya telah tidak tampak lagi. Widura dan Agung Sedayu telah masuk ke
pringgitan. Di pringgitan, demang Sangkal Putung telah duduk menunggunya.
“Marilah adi”
Ki Demang mempersilakan.
Kemudian
mereka pun duduk melingkar di atas tikar pandan yang putih. Widura sekali lagi
megulangi, apa yang dilihatnya di dukuh Pakuwon. Sambil menggelengkan kepalanya
ia berkata,
“Aku tidak
berhasil menemukannya”
Demang Sangkal
Putung itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Sayang”
desisnya.
Ruangan itu
sejenak menjadi sepi. Masing-masing tenggelam di dalam angan-angannya.
Kadang-kadang Sedayu masih mendengar, pamannya menggeram menahan perasaan
kecewa yang merayapi dadanya. Kecewa atas hilangnya Untara dan Ki Tanu Metir,
dan kecewa akan kemenakannya yang seorang lagi. Agung Sedayu. Banyak persoalan
yang akan dihadapinya. Tohpati yang pasti tak akan melepaskan Sangkal Putung,
Untara dan Ki Tanu Metir yang harus diketemukan hidup atau mati, dan Agung
Sedayu dilingkungan anak buahnya. Widura yang telah banyak menghayati berbagai
pengalaman, melihat, betapa Sidanti dengan tidak disangka-sangka menempatkan
sebuah persoalan dengan kemenakannya itu. Tanggapannya yang kurang menyenangkan
dan harga dirinya yang berlebih-lebihan. Sedang apa yang dilakukan oleh Agung
Sedayu tidak lebih daripada meratap dan berangan-angan. Ia sama sekali tidak
berusaha untuk melindungi dirinya sendiri. Sekar Mirah, ketika tidak berhasil
melihat orang yang dicarinya, kemudian berlari ke belakang. Ketika ia masuk ke
dapur dilihatnya seorang pembantunya siap mengantarkan mangkuk-mangkuk minuman
ke pringgitan. Maka dengan serta merta gadis itu merebutnya sambil berkata,
“Biarlah aku
yang mengantarkan.”
Pembantunya
tidak dapat menolaknya. Sehingga kemudian Sekar Mirah sendirilah yang
mengantarkan minuman itu. Dan dengan demikian gadis itu berhasil melihat anak
muda yang bernama Agung Sedayu dengan jelas. Agung Sedayu yang selalu
menundukkan wajahnya, tak menyadarinya, bahwa seseorang telah mengawasinya
dengan cermat. Sekar Mirah yang kemudian meninggalkan pringgitan, masih selalu
menatap wajah anak muda itu dari balik pintu.
“Nama yang
baik” desis Sekat Mirah. Dan tiba-tiba gadis itu terkejut ketika seseorang
menepuk pundaknya.
“Ah” desisnya,
“Kau
mengejutkan aku Kakang Sidanti.”
“Apakah yang
kau intip?” bertanya Sidanti.
“Ayah” jawab
Sekar Mirah tergagap
“Kenapa dengan
Ki Demang?” desak anak muda itu.
“Tak apa-apa.
Aku hanya ingin tahu, kenapa ia mengeluh” sahut Sekar Mirah, yang kemudian
ganti bertanya,
“Apa kerjamu
di sini?”
“Tak apa-apa.
Aku hanya ingin tahu, kenapa kau mengintip” jawab Sidanti sambil tersenyum.
“Ah” desis
Sekar Mirah,
“Keluarlah.
Kau mengganggu aku di sini.”
Sidanti
menggeleng. Jawabnya,
“Marilah kita
keluar bersama-sama.”
Sekar Mirah
tidak menjawab, tetapi ia melangkah pergi ke halaman belakang. Sedang Sidanti
mengikutinya di belakang.
“Apakah kau
sudah melihat anak itu?” bertanya Sidanti kemudian.
“Ya” jawab
Sekar Mirah,
“Baru sekarang
aku melihatnya dengan jelas. Anak itu datang lewat tengah malam. Dan kemarin
hampir sehari penuh aku membantu di dapur. Baru kemarin sore aku mendengar nama
itu. Nama yang bagus.” Sekar Mirah berhenti sejenak ketika ia melihat dahi
Sidanti mengkerut, kemudian ia meneruskan,
“Seperti
namamu.”
Sidanti
tersenyum. Namun senyumnya terasa hambar. Meskipun demikian ia berdiam diri,
sehingga Sekar Mirah berkata terus,
“Tadi pagi aku
melihatnya. Ketika hampir setiap orang menyebut namanya karena keberanian dan
ketangkasannya, baru aku ingin melihat wajahnya. Dan wajahnya pun baik sebaik
namanya.”
Sekali lagi
Sidanti mengerutkan keningnya. Sahutnya,
“Huh, wajah
itu tak akan langgeng. Lihat, hampir setiap wajah laki-laki di sini pasti
ditandai goresan-goresan luka. Hudaya dikening dan pipinya. Citra Gati di
belakang telinga kiri dan hidungnya. Sonya dipelipis kanan dan dahinya. Patra
dibahunya. Belum lagi yang tertutup oleh pakaian-pakaian mereka. Bahkan Sendawa
telah kehilangan sebelah matanya”.
Hampir segenap
bulu Sekar Mirah berdiri,
“Ngeri”
katanya. “Dan apakah pasti bahwa setiap wajah akan terluka. Wajahmu juga?”
“Itulah
sebabnya aku berusaha untuk dapat melindungi tubuhnya dengan kesaktian.
Meskipun demikian pundakku telah terluka. Untunglah tidak seberapa. Lalu,
apalah kau sangka bahwa Sedayu itu mampu melindungi wajahnya yang tampan itu?
Lihat, kalau sekali lagi Tohpati datang, pasti anak itu akan melawannya. Aku
berani bertaruh, bahwa ia akan menjadi cacat”
Sekar Mirah
mendengar kata-kata Sidanti dengan hati yang cemas. Benarlah seperti apa yang
dilihatnya, hampir setiap laki-laki di pendapa rumahnya menderita cacat
ditubuhnya, meskipun hanya goresan-goresan dikulitnya. Dan tanpa sesadarnya ia
bertanya,
“Apakah kalau
orang yang menyebut dirinya Tohpati itu datang kembali, Agung Sedayu harus
melawannya?”
“Itu adalah
kehendaknya sendiri. Ia ingin menunjukkan kepada kita di sini, bahwa kita di
sini adalah orang-orang yang tidak berarti baginya. Ternyata, kemarin ketika
aku minta untuk menghadapi Macan Kepatihan itu, maka Sedayu menjadi sakit
hati”.
Kini Sekar
Mirah tidak bertanya-tanya lagi. Bahkan ia berkata,
“Kembalilah
kepada kawan-kawanmu. Aku akan membantu orang-orang yang bekerja didapur”.
“Sekehendakmulah”
sahut Sidanti.
“Dan
sekehendakkulah, apabila aku ingin tinggal di sini”
“Ini rumahku”
bantah Sekar Mirah sambil bertolak pinggang. Sidanti tertawa. Katanya,
“Baiklah. Aku
harap bahwa aku akan tinggal di rumah ini pula”
“Huh” jawan
Sekar Mirah sambil mencibirkan bibirnya.
“Apakah hakmu”
“Tidak ada”
sahut Sidanti.
Sekar Mirah
tidak berkata-kata lagi. Cepat-cepat ia pergi meninggalkan Sidanti dan menuju
kedapur. Sidanti mengawasi gadis itu sampai hilang di balik pintu. Tetapi
tiba-tiba saja anak muda itu menarik keningnya. Sambil mengangguk-angguk ia
bergumam, “Sedayu harus disingkirkan dari rumah ini. Lebih cepat lebih baik.
Tetapi aku tak punya alasan untuk melakukannya. Mudah-mudahan Tohpati segera
datang kembali. Aku ingin melihat, apakah aku berada dibawahnya atau
setidak-tidaknya menyamainya”. Sidanti menarik nafas, dan terdengar bergumam
terus,
“Sayang ia
kemenakan kakang Widura. Tetapi kakang Widura itu sendiri tidak lebih daripada
aku”.
Sidanti itu
pun kemudian berlahan-lahan melangkah pergi. Ia berjalan melingkari gandok
wetan, kemudian sampailah ia di sisi pendapa. Dilihatnya beberapa orang
kawannya sedang berbaring dengan nyamannya di bawah pohon sawo. Tetapi ia tidak
pergi ke sana. Anak muda itu langsung naik ke pendapa, berjalan ke sudut dan
diraihnya senjatanya yang terbungkus kain putih dan tersangkut di dinding. Kemudian
sambil duduk di sudut pendapa itu, Sidanti menggosok tangkai senjatanya dengan
angkup keluwih. Hati-hati seperti seorang pemuda membelai rambut kekasihnya.
Demikianlah
maka sejak hari itu Agung Sedayu mencoba bergaul dengan anak buah Widura. Beberapa
orang bersikap sedemikian homat kepadanya, sehingga Agung Sedayu menjadi sangat
canggung karenanya. Hanya Sidanti sajalah yang bersikap acuh tak acuh kepada
anak muda itu. Sekali-sekali ia bertanya juga, namun kemudian lebih baik ia
membelai nenggalanya, Kiai Muncar, daripada bergaul dengan Agung Sedayu.
Apalagi sikap canggung Agung Sedayu benar-benar tak menyenangkannya. Sikap itu
dirasakan oleh Sidanti sebagai sikap yang sombong. Sore itu ketika Agung Sedayu
pergi ke perigi di belakang rumah, dijumpainya Sekar Mirah sedang menjinjing
kelenting. Gadis itu terkejut dan berdebar-debar. Dengan hormatnya ia menyapa,
“Selamat sore
tuan”.
Agung Sedayu
mengangguk pula sambil menjawab singkat,
“Selamat
sore”. Tetapi kemudian ia berjalan terus.
Sekar Mirah mengawasinya
pada punggungnya. Sekali ia menarik nafas, sambil bergumam,
“Benar juga
kata orang, anak muda itu sangat pendiam”.
Meskipun
demikian Sekar Mirah yang baru saja melihat Sedayu itu, mempunyai kesan yang
aneh. Gadis itu, sebelumnya senang bergaul dengan Sidanti, karena tidak ada
orang lain yang lebih sesuai dengan dirinya dalam pergaulannya selain anak itu.
Namun tak pernah ia merasakan sesuatu yang mendebarkan jantungnya. Setiap hari
ia bertemu, bercakap bahkan bergurau dengan Sidanti. Bahkan pernah juga Sekar
Mirah bertanya-tanya kepada dirinya, apakah Sidanti itu benar-benar menarik
hatinya. Namun ia tak pernah menemukan jawaban.
“Kenapa aku
ributkan anak muda itu” katanya di dalam hati.
“Biarlah ia
berbuat sesuka hatinya. Pendiam, pemurung atau apa saja”. Dan Sekar Mirah
kemudian mencoba melupakan kesan itu sedapat-dapatnya.
Pada malam
itu, setelah kademangan Sangkal Putung menjadi sepi, maka Widura yang belum
juga tertidur, membangunkan Agung Sedayu perlahan-lahan. Ada sesuatu yang akan
disampaikan kepada kemenakannya. Sesuatu yang tak boleh diketahui oleh orang
lain. Sikap anak buahnya kepada Agung Sedayu, sejak permulaan telah keliru.
Dengan demikian kedudukan Agung Sedayu benar-benar dalam kesulitan. Mereka
menganggap Agung Sedayu, adik Untara itu, setidak-tidaknya akan dapat
menentramkan hati mereka, apabila Tohpati datang kembali. Karena itu, apabila
benar demikian, apakah jadinya Agung Sedayu itu? Sebelum ia bertemu dengan
Macan Kepatihan ia pasti sudah mati ketakutan. Ketika Agung Sedayu membuka
matanya, maka dilihatnya pamannya duduk di sampingnya. Sambil menggosok
matanya, Agung Sedayu bangkit duduk di muka pamannya.
“Sedayu” bisik
Widura,
“Marilah ikut
aku”.
“Kemana
paman?” bertanya Sedayu terkejut.
“Marilah.
Setiap malam aku berkeliling kademangan, melihat gardu-gardu peronda”.
“Apakah paman
ingin aku ikut berkeliling?” Sedayu menjelaskan.
Widura
mengangguk,
“Ya, kita
berdua”.
“Berdua?”
Sedayu semakin terkejut.
“Jangan takut
Sedayu. Kita berada dalam lingkaran kita sendiri. Penjagaan di kademangan ini
sedemikian ketatnya, sehingga seorang asing pun tak akan dapat memasuki”.
“Kalau
demikian, apa gunanya paman berkeliling?”
“Melihat,
apakah tugas-tugas itu dilakukan dengan baik. Kalau tidak, jangankan seorang,
bahkan seluruh laskar Tohpati akan dapat masuk tanpa kita ketahui”.
Agung Sedayu
menjadi berdebar-debar. Apakah sebabnya pamannya membawanya serta. Pekerjaan
itu sama sekali tidak menarik hatinya. Dalam malam yanag sedemikian gelapnya,
berjalan menyusuri jalan-jalan desa, jalan-jalan yang sempit dan sunyi. Apalagi
setiap saat mereka akan dapat berjumpa dengan bahaya. Tetapi Agung Sedayu tidak
dapat menolak ajakan itu. Dengan hati yang berat, ia menggeliat, kemudian
berdiri dan membenahi pakaiannya.
“Bawalah
kerismu, Sedayu” kata pamannya.
Agung Sedayu
terkejut. Teringatlah ia kepada kakaknya. Pada saat mereka meninggalkan Jati
Anom, kakaknya itu berkata juga kepadanya, seperti pamannya itu.
Dan tiba-tiba
saja Sedayu bertanya,
“Kenapa aku
harus bersenjata? Apakah kita akan bertempur?”
Pamannya
tersenyum, namun hatinya mengeluh melihat kecemasan di wajah kemenakannya.
Jawabnya,
“Kita adalah
laki-laki. Di daerah yang gawat seperti Sangkal Putung setiap laki-laki harus
bersenjata”.
Agung Sedayu
tidak menjawab, hanya debar jantungnya menjadi semakin cepat. Dengan ragu-ragu
diraihnya kerisnya dari pembaringan pamannya dan kemudian diselipkannya di ikat
pinggangnya. Meskipun demikian, Agung Sedayu tidak tahu pasti, apakah ia akan
dapat menggunakannya.
Mereka berdua
pun segera melangkah keluar. Di pendapa mereka melihat beberapa orang berbaring
tidur dengan nyenyaknya. Sidanti, yang tidur di sudut, sudah tidak gelisah
lagi. Agaknya lukanya telah berangsur baik. Widura melihat anak muda itu sambil
mengerutkan keningnya. Tenaga Sidanti benar-benar diperlukannya. Namun
sifat-sifatnya agak kurang menyenangkan. Tinggi hati, bahkan agak sombong dan
kurang patuh pada perintah-perintahnya. Mungkin anak itu merasa, bahwa di
Sangkal Putung itu tak seorang pun yang dapat menyamai kesakitannya. Bahkan
Widura sendiri agaknya tidak melebihinya. Mereka berdua kemudian melintas di
halaman. Ketika mereka sampai di regol, beberapa orang penjaga menganggukkan
kepalanya sambil bertanya,
“Apakah kakang
Widura akan pergi berkeliling?”
“Ya” sahut
Widura
“Siapakah di
antara kami yang akan kakang bawa?” bertanya mereka pula.
Widura
menggeleng, sahutnya,
“Tidak ada.
Kami akan pergi berdua”
Agung Sedayu
menjadi heran. Kenapa pamannya tidak membawa serta beberapa orang teman? Apakah
itu tidak terlalu berbahaya? Tetapi ia tidak bertanya. Betapa pun Sedayu masih
juga merasa malu seandainya orang-orang lain mengetahui betapa kecil jiwanya. Ketika
Widura dan Agung Sedayu telah hilang tenggelam dalam malam yang gelap,
terdengar salah seorang penjaga regol itu bergumam,
“Kakang Widura
telah membawa kemenakannya. Itu berarti, bahwa ia telah pergi bersama lima enam
orang dari antara kita. Bahkan lebih”
Kawan-kawannya
mengangguk-anggukkan kepala mereka. Dan salah seorang dari mereka berkata,
“Anak muda itu
sangat pendiam”
“Demikianlah
agaknya” sahut yang lain.
“Orang yang
yakin akan dirinya, biasanya tidak banyak ribut dan banyak bicara”
Orang diregol
itu pun kemudian berdiam diri, namun mereka tidak kehilangan kewaspadaan. Widura
dan Agung Sedayu berjalan menyusuri jalan-jalan desa yang disaput oleh hitamnya
malam. Ketika Agung Sedayu menengadahkan wajahnya, dilihatnya awan yang gelap
mentakbiri langit. Sesaat-sesaat tampak lidah api seakan-akan menjilat
ujung-ujung pepohonan di kejauhan. Widura dan Agung Sedayu singgah dari satu
gardu ke gardu yang lain. Mereka melihat betapa anak buah Widura dan anak-anak
muda Sangkal Putung bersiaga, sebab mereka menyadari, bangkit atau tenggelam,
kademangan Sangkal Putung itu berada di tangan mereka. Tetapi Agung Sedayu
tidak dapat menenangkan dirinya. Setiap kali ia selalu cemas, apakah tidak
mungkin seorang, dua orang atau lebih, mengendap di parit-parit atau di
belakang gerumbul-gerumbul, dan dengan tiba-tiba menyergap mereka. Namun ia
tidak berani bertanya kepada pamannya. Sampai di ujung desa, Widura masih
berjalan terus. Mereka kini lewat di jalan di antara bentangan sawah yang luas.
Meskipun jarak jangkau pandangan mata mereka tidak dapat menembus malam yang
kelam, namun mereka melihat juga batang-batang padi yang rimbun. Hati Agung
Sedayu semakin lama menjadi semakin cemas, sejalan dengan jarak mereka yang
semakin jauh dari induk desa Sangkal Putung. Karena itu akhirnya ia tidak dapat
menahan kekhawatirannya, sehingga ia terpaksa bertanya,
“Kemanakah
kita ini paman?”
“Jangan takut
Sedayu. Desa di depan, masih dirondai oleh kawan sendiri” jawab pamannya.
Agung Sedayu
terdiam, namun detak jantungnya menjadi semakin deras. Desir angin yang
menggerakkan batang-batang padi terdengar seperti suara hantu yang
merintih-rintih. Agung Sedayu terkejut ketika pamannya berkata, \
“Kita belok ke
kanan Sedayu, lewat pematang”
Sebelum Agung
Sedayu menjawab, Widura telah meloncati parit. Karena itu tak ada yang dapat
dilakukan oleh anak muda itu selain mengikutinya di belakang.
Sesaat kemudian
mereka berdua sampai pada suatu bentangan tanah lapang yang sempit. Sebuah
puntuk kecil yang ditimbuhi oleh batang-batang ilalang dan sebuah pohon kelapa
sawit. Bulu-bulu tengkuk Agung Sedayu mulai meremang. Daerah ini tampak sepi.
Terlalu sepi dan menakutkan.
“Sedayu”
berkata Widura perlahan-lahan.
“Puntuk inilah
yang dinamai orang Gunung Gowok”
Seluruh wajah
kulit Agung Sedayu terasa seakan-akan berkeriput. Nama itu mengingatkannya
kepada sebuah ceritera tentang Kiai Gowok. Kiai Gowok menurut pendengarannya
adalah semacam hantu yang berparas tampan. Meskipun ia tidak suka mengganggu
orang namun kadang-kadang memerlukan sekali-sekali menemui gadis-gadis cantik.
Karena itu tiba-tiba ia melangkah mendekati pamannya. Pamannya melihat, betapa
Agung Sedayu menjadi takut mendengar nama puntuk itu, maka katanya,
“Jangan
hiraukan ceritera tetek bengek tentang puntuk itu”
Agung Sedayu
tidak menjawab. Sedang pamannya berkata terus,
“Sedayu,
bersiaplah. Kita mengadakan latihan untukmu”
Agung Sedayu
menjadi heran. Latihan apakah yang dimaksud oleh pamannya. Apakah ia harus
melatih diri, untuk tidak takut dengan cerita-cerita tentang hantu. Dan didengarnya
pamannya meneruskan,
“Sedayu, kau
harus menyadari keadaanmu. Hampir setiap orang di Sangkal Putung menganggapmu
sebagai seorang pahlawan. Mereka menyangka bahwa kau memiliki kesaktian dan
ilmu tata bela diri setidak-tidaknya mendekati kakakmu Untara. Aku tidak tahu,
apakah yang akan terjadi seandainya pada suatu kali kau terpaksa terlibat dalam
suatu perkelahian dengan siapapun. Apalagi kalau Tohpati itu datang kembali.
Sedang orang-orang di Sangkal Putung menyangka kau pasti akan mampu melawannya.
Karena itu, belajarlah berbuat, berpikir dan bersikap seperti seorang
laki-laki”.
Terasa denyut
nadi Agung Sedayu menjadi semakin cepat. Kata-kata pamannya itu benar-benar
mendebarkan jantungnya. Tetapi ia tidak tahu, apakah yang harus dikatakannya.
Ketika ia tidak segera menjawab, pamannya berkata terus,
“Apa yang akan
aku lakukan, adalah mencoba menambah kepercayaanmu kepada dirimu. Marilah kita
berlatih. Untuk seterusnya setiap malam kita berlatih di sini. Supaya apabila
suatu ketika, kau harus berbuat seperti laki-laki sewajarnya, ada bekalmu
meskipun sedikit. Seterusnya, kalah atau menang, tidak menjadi soal. Kalau kita
mati dalam pertempuran nama kita akan tetap dikenang. Tatapi kalau kita lain
daripadanya, maka nama kita akan senilai dengan daun-daun kering yang
diterbangkan angin”
Debar di dada
Agung Sedayu menjadi semakin keras. Kembali ia mengeluh. Ia merasa, bahwa
kedatangannya di Sangkal Putung, benar-benar seakan-akan terjerumus ke daerah
yang sama sekali tak menyenangkan.
“Kalau kakang
Untara malam itu tidak menjerumuskan aku ke neraka ini” gumamnya di dalam hati,
“Kenapa kakang
Untara meributkan laskar paman Widura di sini? Apakah kalau aku tidak datang
kemari, Sangkal Putung ini benar-benar akan dihancurkan oleh Macan Kepatihan?”
Tetapi Agung
Sedayu tidak sempat berangan-angan lebih panjang lagi. Dilihatnya pamannya
menyingsingkan lengan bajunya, menarik ujung kainnya dan di sisipkannya ke
belakang.
“Bersiaplah
Sedayu. Aku tahu bahwa kakakmu pernah memberimu dasar-dasar latihan. Sekarang
kita lihat, sampai dimana kau pernah memilikinya”
Dengan
segannya, Agung Sedayu pun mempersiapkan
diri. Sebenarnya ia pernah menerima beberapa pengetahuan tata bela diri dari
kakaknya. Dan kini, mau tak mau ia harus mempergunakannya. Pamannya agaknya
akan mempergunakan cara yang langsung dalam latihan ini. Dan ternyata dugaan
itu benar. Pamannya tidak menuntunnya, mempelajari unsur demi unsur, namun
Widura itu langsung melihat Agung Sedayu dalam latihan bertempur.
“Awas Sedayu”
berkata pamannya. Dalam pada itu Widura
pun telah meloncat sambil menyerang dada.
Agung Sedayu
terkejut. Cepat ia mengendapkan diri. Tangan Widura itu pun melayang beberapa
jengkal di atas kepalanya.
“Paman!” teriak
Sedayu ”Jangan terlalu keras”
Langkah Widura
terhenti. Dengan heran ia bertanya,
“Apa yang
terlalu keras?”
“Paman
menyerang bersungguh-sungguh” sahut Agung Sedayu
Pamannya
menarik nafas, jawabnya,
“Tidak. Tetapi
aku harus berbuat seakan-akan sungguh-sungguh. Sebab dalam perkelahian kau tak
akan dapat dengan rendah hati mohon agar lawan-lawanmu tidak
bersungguh-sungguh”
Sekali lagi
debar di jantung Sedayu menjadi bertambah cepat. Tetapi ia tidak dapat berbuat
lain daripada menuruti perintah pamannya itu. Karena itu kembali ia bersiap.
Melakukan latihan adalah jauh lebih baik dari bertempur yang sebenarnya. Ketika
pamannya menyerang sekali lagi, Agung Sedayu
pun mengelak pula, dengan satu loncatan ia membebaskan dirinya. Tetapi
Widura tidak berhenti. Dengan cepat ia berputar, dan serangannya beruntun
menyambar Agung Sedayu.
Gerakan itu
tidak begitu sulit untuk dielakkan. Kakaknya pernah juga berbuat seperti
pamannya itu. Satu kali Agung Sedayu melangkah ke samping, kemudian dengan
menarik satu kakinya terbebas dari serangan tangan pamannya yang mengarah
pundaknya. Ketika kemudian Widura memutar kakinya mendatar setinggi lambung,
Sedayu pun mencondongkan tubuhnya ke belakang sehingga kaki pamannya itu lewat
beberapa jengkal dari tubuhnya. Tetapi Widura tidak berhenti menyerang. Bahkan
serangan-serangannya menjadi semakin cepat. Namun Agung Sedayu masih juga mampu
mengelak. Selangkah demi selangkah ia melangkah surut untuk menghindarkan serangan-serangan
pamannya. Sehingga akhirnya terdengar pamannya berkata,
“Apakah kau
hanya belajar menghindar saja? Coba bagaimana kakakmu mengajarmu menyerang”
Agung Sedayu
mengerutkan keningnya. Gerak pamannya tidak jauh berbeda dari kakaknya.
Keduanya bersumber dari ilmu ayahnya. Karena itu Sedayu tidak begitu sulit
melayani pamannya. Kini pamannya minta, agar sekali-sekali ia menyerangnya
juga. Dan permintaan itu pun dipenuhinya. Karena itu latihan itu menjadi
semakin cepat. Agung Sedayu benar-benar mengherankan pamannya. Ternyata
gerakan-gerakan yang dilakukan bukanlah gerakan-gerakan yang sederhana seperti
anak-anak muda yang sedang menerima dasar-dasar ilmu bela diri. Tetapi Agung
Sedayu telah memilikinya agak lengkap, meskipun karena kurang penggunaannya,
maka sekali-sekali tampak juga anak muda itu kurang dapat memanfaatkan beberap
unsur yang bagus sekali.
“Hem” desah
pamannya di dalam hati.
“Anak ini
bukan anak yang bodoh. Sayang, lingkungannya pada masa kanak-kanak telah
membentuknya menjadi seorang pengecut”. Tetapi angan-angan itu patah, ketika
Widura mendengar suara tertawa di samping mereka. Suara yang bernada tinggi
melengking, meskipun tidak terlalu keras.
Agung Sedayu
terkejut bukan kepalang. Yang mulai melintas dikepalanya adalah Macan Kepatihan.
Karena itu, ketika ia melihat pamannya memutar tubuhnya dengan kesiagaan penuh,
segera ia meloncat berlindung di belakangnya. Ketika mereka berdua memandang ke
arah suara itu, mereka melihat samar-samar seseorang bersandar pohon kelapa
sawit di atas puntuk kecil yang mempunyai nama besar, Gunung Gowok.
Widura masih
tegak seperti patung. Dipandanginya orang yang bersandar pohon kelapa sawit itu
dengan wajah yang tegang. Meskipun demikian Widura melangkah beberapa langkah
maju sambil bertanya,
“Siapakah
kau?”
Agung Sedayu
yang juga dengan berdebar-debar ikut pula maju beberapa langkah berbisik dengan
suara gemetar,
“Apakah itu
Macan Kepatihan?”
Widura tidak
mendengar pertanyaan itu. Karena itu ia tidak menjawab. Namun sekejap pun ia
tidak meninggalkan kewaspadaan. Orang yang bersandar itu masih juga bersandar.
Widura yang melangkah mendekatinya itu sama sekali tak diperhatikannya. Suara
tertawanya yang bernada tinggi itu bahkan terdengar kembali.
“Siapakah kau”
Widura mengulangi pertanyaannya.
Suara tertawa
itu pun kemudian menjadi semakin lirih. Dan terdengarlah orang itu berkata,
“Latihan yang
bagus”
Widura menjadi
semakin bercuriga. Dengan hati-hati ia melangkah maju pula. Tangannya telah melekat
di hulu pedangnya. Katanya,
“Jangan
mengganggu kami. Katakanlah siapakah kau supaya aku dapat mengambil sikap”
Orang itu pun
kemudian berdiri tegak. Beberapa langkah ia maju mendekati Widura. Sehingga
akhirnya mereka dapat saling melihat wajah masing-masing. Ketika Widura melihat
wajah orang itu, mula-mula ia terkejut. Wajah itu tampak seputih mayat. Namun
kemudian Widura menyadarinya, orang itu telah menutup wajah aslinya dengan
sebuah topeng yang berwarna kekuning-kuningan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar