Jilid 002 Halaman 3


“Istrinya tuan” jawab Wangsa Sepi.
“Perempuan itu pasti ketakutan. Ia pasti menyangka bahwa orang-orang yang memukul suaminya kemarin datang kembali.”
Widura mengangguk-angguk. Kemudian disuruhnya Wangsa Sepi mendahului, supaya mereka tidak menjadi semakin ketakutan.
“Masukkah Ki Sanak” berkata Widura,
“Katakan kepadanya, bahwa aku bukan orang-orang yang pernah datang kemari”.

Wangsa Sepi mengangguk. Kemudian ia pun berjalan dahulu, masuk ke rumah Kriya yang bungkik. Orang itu masih berbaring di amben. Sedang istrinya yang ketakutan berlutut di sampingnya sambil menangis. Perempuan itu terkejut sampai berjingkat, ketika tiba-tiba melihat seseorang begitu saja sudah berdiri di sampingnya.
“Aku Nyai” berkata Wangsa Sepi.
“Oh” istri Kriya itu menarik nafas, kemudian ia bertanya,
“Kakang, siapakah orang-orang yang memasuki halaman ini. Adakah mereka orang-orang yang memukuli kakang Kriya kemarin?”
Wangsa Sepi memandangnya dengan iba. Seperti seorang pelindung yang baik ia berkata,
“Jangan takut Nyai”, kemudian kepada Kriya kecil yang terbaring diamben ia berkata,
“Jangan takut adi. Orang itu bukan kawan-kawan Alap-alap Jalatunda. Mereka ingin bertemu dengan adi, justru untuk mencari Alap-alap Jalatunda”
Mata Kriya yang kecil itu pun terbelalak,
“Benarkah demikian?”
“Ya” jawab Wangsa Sepi. “Karena itu jangan takut”.
Namun mata Kriya masih memancarkan keragu-raguan hatinya. Ia sudah sedemikian ngerinya mengingat peristiwa dua malam yang lewat. Beberapa orang telah memukulnya berganti-ganti, mengancam dan menyengat-nyengat dengan ujung-ujung senjata. Tetapi apabila benar orang-orang yang datang ini justru mencari Alap-alap Jalatunda, maka ia dapat titip kepada orang-orang itu. Kalau ketemu, ia akan minta mereka supaya punggung mereka pun dipatahkan seperti punggungnya.
Maka katanya kemudian,
“Silakan mereka masuk”.
Widura dan Sedayu pun kemudian masuk ke gubug kecil itu. Mereka melihat penderitaan yang dialami oleh Kriya. Beberapa luka-luka kecil dihampir seluruh tubuhnya. Wajahnya yang biru pengab dan sakit yang amat sangat di punggungnya, sehingga orang itu tidak dapat bangkit dari pembaringannya.
“Jangan bangun” berkata Widura,
“Supaya sakitmu tidak bertambah parah”.
Kata-kata yang pertama itu telah menyejukkan hati Kriya. Ia kini pasti, orang itu bukan kawan-kawan Alap-alap Jalatuda. Dengan menyeringai menahan sakit ia berkata,
“Silakan tuan-tuan. Aku tidak dapat menyambut tuan-tuan dengan baik”.
“Jangan diributkan” sahut Widura.
“Aku hanya ingin beberapa keterangan. Dapatkah kau menceritakan, apa yang telah kau ketahui tentang Ki Tanu Metir dan Alap-alap Jalatunda?”

Kriya yang kecil itu menggerak-gerakkan kepalanya. Kemudian ia bercerita tentang orang-orang yang datang mencari dua orang berkuda. Tentang Plasa Ireng dan kemudian tentang Alap-alap Jalatunda yang pergi menyusul yang seorang lagi. Akhirnya ia berkata,
“Mereka telah mencoba memaksa Ki Tanu Metir untuk menunjukkan orang-orang berkuda itu. Namun Ki Tanu Metir tidak bersedia. Akhirnya orang-orang itu pun menjadi marah. Tetapi aku tidak tahu, apa yang terjadi seterusnya, karena tiba-tiba dadaku terasa sesak, dan aku menjadi pingsan”.
Widura mendengarkan semuanya itu dengan dada yang berdebar-debar. Sedang Agung Sedayu menjadi sangat cemas. Dengan nafas yang terengah-engah ia bertanya,
“Jadi kemanakah Ki Tanu Metir kemudian?”
“Tak seorang pun yang tahu” jawab Kriya.
“Namun kami menduga, bahwa Ki Tanu Metir dan orang yang disangka disembunyikan itu telah dibawa oleh mereka, gerombolan Plasa Ireng”
Sedayu menjadi semakin cemas. Ditatapnya wajah pamannya yang tegang. Widura mencoba untuk menghubungkan keterangan-keterangan itu dengan apa yang dilihatnya.
“Hem” ia menarik nafas. Mungkin sangkaan itu benar. Untara diketemukan di dalam bakul dengan meninggalkan bekas-bekas darah itu. Tetapi kemanakah mereka dibawa?
Ruangan itu untuk sejenak menjadi sepi. Namun dada merekalah yang menjadi riuh. Apalagi dada Agung Sedayu. Dengan penuh kecemasan ia menunggu, apakah yang akan dilakukan oleh pamannya.
“Ki Sanak,” bertanya Widura kemudian,
“Apakah kau pernah mendengar, dimanakah orang-orang Alap-alap Jalatunda itu tinggal?”
Kriya menggeleng lemah. Jawabnya,
“Namanya itu menunjukkan tempat. Namun aku tidak pasti”

Widura iru pun kemudian terdiam. Tampaklah ia merenung, memandang jauh melewati lubang pintu. Di luar, sinar matahari dengan cerahnya bermain-main di atas daun-daun di halaman. Widura telah mengetahui dengan pasti bahwa Alap-alap Jalatunda itu tidak berada di Jalatunda atau sekitarnya, sebab daerah itu telah lama dibersihkan dari gerombolan-gerombolan kecil yang kehilangan pegangan itu. Tetapi Widura sadar, bahwa orang-orang seperti Kriya kecil dan Wangsa Sepi itu tak akan banyak memberinya petunjuk. Ketika Widura itu berpaling, maka dilihatnya wajah Sedayu yang pucat dan tegang.
“Bagaimana dengan kakang Untara paman?” terdengar ia bertanya dengan gemetar.
Widura mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia mencoba memeras otaknya. Tanaman-tanaman yang rusak di halaman Ki Tanu Metir, bukan sekedar terinjak-injak kaki, bahkan kaki-kaki kuda sekalipun. Bekas-bekas itu adalah bekas perkelahian. Sayang Kriya saat itu menjadi pingsan, sehingga ia tidak dapat mengatakan siapakah yang bertempur malam itu. Ki Tanu Metir barangkali? Widura mengangguk-anggukkan kepalanya. Apakah gerombolan Plasa Ireng telah berbuat sedemikian kasarnya terhadap orang tua itu untuk memeras keterangannya sehingga halaman itu menjadi rusak? Plasa Ireng tak akan memerlukan hampir separo halaman untuk keperluan itu. Namun Widura juga tidak dapat mengambil kesimpulan bahwa Untara telah mampu mempertahankan dirinya dan bertempur melawan Plasa Ireng. Kalau terpaksa terjadi perkelahian di antara mereka, sedang Untara dalam keadaan parah, maka harapan untuk dapat bertemu kembali dengan Untara adalah sangat kecil. Demikian juga agaknya, apabila Plasa Ireng itu berhasil menemukan Untara di dalam persembunyiannya. Karena itu maka Widura pun menjadi gelisah dan cemas.
Widura tidak segera membuat kesimpulan yang mendebarkan jantungnya, meskipun itulah kemungkinan yang terbesar terjadi atas Untara.
“Mudah-mudahan Untara tidak mati muda” Widura berkata di dalam hatinya. “Namun kalau terpaksa terjadi demikian, maka anak itu telah gugur dalam pelukan kewajibannya bersama dengan seorang dukun tua. Bahkan Kriya yang tak mengerti ujung pangkal dari perselisihan antara Pajang dan Jipang itu pun harus menderita karenanya”
Sedayu yang menunggu jawaban pamannya itu masih saja berdiam diri. Mengangguk-angguk dan menggeleng-gelengkan kepalanya tanpa berkata sepatah katapun. Karena itu ia mendesak,
“Bagaimanakah dengan kakang Untara itu paman?”
“Aku belum dapat mengambil kesimpulan apa-apa Sedayu” jawab pamannya.

Sedayu menjadi semakin cemas. Tetapi ia tidak bertanya lagi. Sejenak kemudian Widura itu pun berkata,
“Ki Sanak, aku tidak perlu terlalu lama di sini. Barangkali aku kelak mendengar keterangan tentang Ki Tanu Metir. Baiklah kini aku mencoba mencari bekas-bekasnya di sekitar padukuhan ini”.
Agung Sedayu menjadi berdebar-debar karenanya. Kalau pamannya akan mencari kakaknya, apakah itu tidak akan terlalu berbahaya. Karena dengan tergesa-gesa ia berkata,
“Apakah daerah sekitar pedukuhan ini tidak berbahaya paman?”
Widura berpikir sejenak. Kemudian jawabnya,
“Berbahaya atau tidak, tetapi adalah menjadi kewajibanku untuk mencari keterangan tentang Untara”.
“Tetapi, bagaimanakah kalau tiba-tiba paman disergap oleh Alap-alap jalatunda?”, bertanya Sedayu.
“Sedayu. Alap-alap jalatunda itu tidak seberbahaya Macan Kepatihan. Mudah-mudahan aku dapat mengatasinya apabila kita bertemu” jawab Widura membesarkan hati anak itu.
“Tetapi ia tidak sendiri. Mungkin dengan yang paman sebut Plasa Ireng atau yang lain-lain” desak Sedayu.
“Bukankah aku tidak sendiri?”
“Paman hanya membawa beberapa orang. Mungkin Alap-alap Jalatunda itu berenam, sepuluh atau bahkan satu pasukan”
“Di antara kita ada kau, Sedayu”
“Ah” Sedayu mengeluh.
Widura pun mengeluh di dalam hati. Anak itu sama sekali tidak membantunya, bahkan ia dapat merupakan tanggungan yang terlalu berat. Karena itu pula, maka Untara yang perkasa terpaksa terluka di pundaknya.
“Untara pasti sedang melindungi anak ini” pikir Widura.
“Kalau tidak, apakah empat orang yang dipimpin oleh Pande Besi Sendang Gabus itu melukainya?”
Tetapi Widura tidak akan dapat melepaskan Agung Sedayu. Ia adalah kemenakannya. Dan betapa pun anak ini pernah berjasa bagi Sangkal Putung yang dibebankan kepadanya.

Meskipun demikian Widura mempertimbangkan pula pendapatnya. Tanpa disengajanya, sekali lagi ia melihat akibat kekasaran Plasa Ireng dan Alap-alap Jalatunda. Kriya yang lemah itu kini masih berbaring dipembaringannya. Namun tiba-tiba pula ia menjadi heran. Luka itu terlalu berat. Namun penderitaan orang itu agaknya telah jauh berkurang. Karena itu tiba-tiba ia bertanya,
“Ki Sanak, apakah luka-lukamu tak pernah diobati?”
“Pernah tuan” jawab Kriya sambil menyeringai.
“Bukankah biasanya Ki Tanu Metir lah yang memberi obat kepada orang-orang sakit? Dan sekarang orang itu telah tidak ada di rumahnya” bertanya Widura.
“Ya” jawab Kriya.
“Tetapi semalam datang pula orang yang mencari Ki Tanu Metir. Orang yang sudah sangat tua. Katanya ia adalah sahabat Ki Tanu Metir. Seorang dukun pula. Dan diberinya aku obat”
“Oh” Widura mengangguk-angguk.
“Siapakah namanya?”
Kriya menggeleng. Jawabnya,
“Ketika aku bertanya namanya, orang itu menjadi bingung. Akhirnya ia menjawab sambil menunjukkan kain yang dipakainya. Kiai Gringsing”
Widura terkejut mendengar jawaban itu. Apalagi Agung Sedayu. Dengan serta merta ia bertanya,
“Adakah Kiai Gringsing itu bertopeng?”
Sekali lagi Kriya menggeleng,
“Tidak” jawabnya. “Namun wajahnya aneh juga. Berkeriput dan dipakainya pilus di dahinya. Aku takut kalau bertemu dengan orang itu di malam hari seorang diri”.
Widura mengerutkan keningnya. Keterangan itu sangat menarik perhatiannya. Karena itu maka ia bertanya pula,
“Apakah yang dilakukan oleh orang itu kemudian?”
“Tidak apa-apa” jawab Kriya,
“Setelah diketahuinya bahwa rumah sahabatnya kosong, dan diberinya aku obat, maka ia pun segera pergi. Katanya, ia takut kalau-kalau orang yang mencari Ki Tanu Metir lusa kembali dan menangkapnya pula”
“Tanu Metir ditangkap dalam hubungannya dengan orang yang disembunyikan” sahut Widura.
“Mungkin” jawab Kriya.
“Tetapi orang tua itu berkata bahwa laskar kedua pihak yang sedang memerlukan dukun-dukun untuk mengobati kawan-kawan mereka yang terluka. Mungkin Ki Tanu Metir telah mereka bawa untuk keperluan itu”
Widura menarik keningnya. Keterangan itu masuk akal juga. Tetapi cerita tentang Kiai Gringsing itu mungkin ada juga gunanya, maka Widura itu pun berkata,
“Apakah kau melihat tanda-tanda yang aneh pada orang yang menyebut dirinya Kiai Gringsing?”
“Tidak” sahut Kriya.
“Selain bahwa orang itu telah terlalu tua. Agak bongkok”
“Adakah kau tanyakan rumahnya?”
“Ya. Tetapi tak diberitahukannya. Katanya, apabila Ki Tanu Metir sudah pulang, maka ia sudah tahu, siapakah dirinya”

Widura menarik nafas. Tak ada yang dapat diketahui tentang Kiai Gringsing. Namun ia mendapat suatu kesimpulan, bahwa Kiai Gringsing benar-benar orang yang tak mau dikenal. Agung Sedayu pernah bertemu dengan orang yang menamakan dirinya Kiai Gringsing. Belum terlalu tua dan bertopeng atau lebih tepat hanya sebuah tutup muka dengan tiga buah lubang, diarah mata dan hidungnya. Bahkan dengan seenaknya, bersenjata cambuk kuda orang itu dapat mengalahkan Alap-alap Jalatunda. Sedang orang yang menamakan Kiai Gringsing pula, datang kepada Kriya. Orang itu telah terlalu tua, bongkok. Tetapi satu hal yang dapat ditarik persamaan dari keduanya, wajah keduanya bukanlah wajah aslinya. Yang datang kepada Kriya itu pun berwajah aneh dan menakutkan, bahkan memakai pilis di dahinya. Bukankah itu juga suatu usaha untuk menyembunyikan diri? Tetapi Widura tidak mau tenggelam dalam persoalan orang yang tak dikenalnya. Baginya, Untara lebih penting dari orang yang menamakan diri Kiai Gringsing itu. Karena itu maka sekali lagi ia minta diri, “Terima kasih atas semua keteranganmu, ki sanak” berkata Widura kepada Kriya, kemudian kepada Wangsa Sepi,
“Ki sanak, ingat-ingatlah apa yang terjadi kemudian. Mungkin aku akan datang kembali beberapa hari yang akan datang. Mungkin ada hal-hal yang dapat memberi penjelasan atas hilangnya Ki Tanu Metir”
“Baiklah tuan” jawab Wangsa Sepi sambil mengangguk.
Widura, Agung Sedayu dan kawan-kawannya yang menunggu diluar segera meninggalkan rumah Kriya Bungkik. Mereka kembali ke halaman rumah Ki Tanu Metir. Dengan hati-hati Widura meneliti bekas-bekas kaki kuda di halaman itu. Kemudian katanya,
“Kita coba mengikuti bekas-bekas kaki kuda Ki Tanu Metir. Mungkin kuda itu dipakai oleh orang-orang yang mengambilnya”
Kembali Agung Sedayu menjadi gelisah. Katanya berbisik,
“Bagaimanakah kalau kita akan sampai ke sarang Alap-alap Jalatunda itu?”
“Suatu kebetulan” sahut Widura.
“Segera kita akan tahu, bagaimanakah nasib Untara dan Ki Tanu Metir”
“Tetapi bagaimanakah dengan nasib kita sendiri?”
Widura menarik nafas, katanya,
“Lalu apakah yang sebaiknya kita lakukan? Apakah kita biarkan saja Untara hilang?”
“Tidak” jawab Sedayu.
“Kita harus mencari kakang Untara. Tetapi apakah kita tidak kembali ke Sangkal Putung dahulu, dan paman membawa laskar lebih banyak lagi?”
“Kita akan banyak kehilangan waktu Sedayu” jawab pamannya.
“Sedang laskarku pun sangat terbatas. Kalau sebagian dari mereka meninggalkan tempatnya, bagaimanakah jadinya Sangkal Putung itu, apabila Tohpati datang kembali siang ini?”

Sedayu pun terdiam. Namun hatinya tidak tentram. Di Sangkal Putung ia takut apabila Tohpati datang kembali. Mengikuti pamannya ia cemas apabila mereka bertemu dengan Alap-alap Jalatunda. Namun ia tidak dapat menentukan pilihan. Karena itu ia harus ikut saja kemana pamannya pergi. Widura kemudian seakan-akan tidak memperhatikan Agung Sedayu lagi. Dengan penuh minat ia melihat telapak-telapak kaki kuda di halaman itu. Kemudian dipanggilnya kawan-kawannya mendekat, dan terdengar ia berkata,
“Kita ikuti telapak kaki-kaki kuda ini”
Kawan-kawannya pun memperhatikan telapak itu dengan seksama. Mereka harus berusaha membedakan dengan telapak kaki yang lain. Apabila mungkin, maka mereka akan dapat mengikuti kemana kuda itu pergi.
“Mudah-mudahan kita menemukan tempatnya” gumam Widura. Sedang Agung Sedayu menjadi berdebar-debar mendengarnya.
Sejenak kemudian, mereka pun telah siap di atas punggung kuda masing-masing. Perlahan-lahan mereka berjalan menyusur jalan desa yang sempit sambil memperhatikan jalan di bawah kaki-kaki kuda mereka, supaya mereka tidak kehilangan jejak.
“Tiga ekor kuda” geram Widura.
“Ya” sahut kawannya. Selain itu mereka masih melihat telapak-telapak kaki yang lain. Namun telapak-telapak kaki itu mengarah ke arah yang berlawanan. Di antaranya telapak-telapak kaki kuda mereka sendiri pada saat mereka memasuki desa itu.
“Dua di antaranya adalah telapak kaki kuda Sedayu dan Alap-alap Jalatunda yang menyusulnya ke Sangkal Putung” gumam Widura.
“Apabila ada salah satu daripadanya memisahkan diri dari jalan ini, maka kuda itulah yang telah dipergunakan Plasa Ireng atau salah seorang daripadanya. Dan kita akan mengikuti arahnya”
Kawan-kawannya itu pun mengangguk-anggukkan kepala mereka. Meskipun di dalam hati mereka terbersit pula rasa kawatir. Apabila mereka benar-benar sampai disarang Alap-alap itu, maka pekerjaannya tidak akan kalah beratnya dengan menyongsong kehadiran laskar Tohpati di Sangkal Putung. Mungkin mereka akan menghadapi lawan yang berlipat. Namun hati mereka menjadi tenteram ketika mereka melihat kedua orang yang berkuda di depan mereka. Widura dan adik Untara.
“Mereka berdua tak akan terkalahkan” gumam mereka di dalam hati.
Karena itu mereka menjadi tenteram. Meskipun demikian sekali-sekali mereka meraba hulu-hulu pedang mereka, seakan-akan mereka sedang bersepakat dengan senjata-senjata mereka, bahwa mereka akan menempuh suatu perjuangan yang berat.

Di sepanjang jalan hampir mereka tidak bercakap-cakap. Mereka sedang sibuk memperhatikan bekas-bekas kaki kuda di bawah mereka. Hanya Agung Sedayulah yang kadang-kadang menarik nafas panjang untuk mencoba menenangkan hatinya yang bergejolak. Sebenarnya ingin juga ia segera mengetahui nasib kakaknya, namun ia cemas apabila dibayangkannya orang-orang yang kasar dan keras menghadang di tengah-tengah jalan dengan senjata-senjata di lambung. Meskipun demikian ia tidak berkata sepatah katapun. Ketika ia menoleh, dilihatnya orang-orang yang berkuda di belakangnya, sama sekali tidak menunjukkan kecemasan mereka. Bahkan ketika mereka melihat Agung Sedayu menoleh kepada mereka, hampir bersamaan mereka tersenyum dan menganggukkan kepala mereka. Agung Sedayu pun mengangguk. Tetapi ia tidak tahu, kenapa orang-orang itu mengangguk kepadanya, dan ia juga tidak tahu, kenapa ia mengangguk pula. Semakin jauh mereka dari pedukuhan Pakuwon, hati Widura menjadi semakin heran. Telapak kaki kuda itu tidak terpisah. Ketiganya menuju Sangkal Putung.
“Aneh” desis Widura.
“Apakah salah seorang dari anak buah Plasa Ireng itu pergi juga ke Sangkal Putung selain Alap-alap Jalatunda?” Namun Widura tidak dapat menjawab pertanyaan itu.
Demikianlah mereka tetap mengikuti jejak-jejak itu. Tetapi mereka tak menemukan titik perpisahan dari jejak-jejak itu. Bahkan akhirnya mereka sampai juga di Bulak Dawa. Dan jejak-jejak itu masih mengikuti jalan terus ke Sangkal Putung. Widura juga sedang mempertimbangkan setiap kemungkinan itu menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Apakah kita tidak keliru?” gumamnya.
“Apa yang keliru paman?” bertanya Agung Sedayu.
Sekali lagi Widura memandangi jejak-jejak kaki kuda yang sudah tidak begitu jelas lagi.
“Apakah ada jejak-jejak lain yang sudah terhapus?” gumamnya.
Agung Sedayu tidak menjawab. Dan ketika kawan-kawan mereka itu telah dekat benar dengan Widura, Widura pun bertanya kepada mereka,
“Adakah kalian melihat salah satu di antaranya memisahkan diri?”
Orang-orang itu menggeleng.
“Tidak” jawab salah seorang dari mereka.
“Kami telah mencoba mengawasi dengan seksama setiap simpangan. Entahlah kalau jejak-jejak itu telah tidak dapat dilihat lagi”
Widura mengangguk-angguk. Namun jalan yang sepi itu, agaknya belum banyak dilalui orang. Apalagi kuda atau gerobag. Maka katanya,
“Kita ikuti jejak itu untuk seterusnya. Kalau kita tidak menemukan sesuatu, kita kembali ke Sangkal Putung. Lain kali aku akan mencarinya”.
Ketiga orang itu pun mengangguk, dan Sedayu pun menjadi agak berlega hati. Namun meskipun demikian, ia selalu cemas akan nasib kakaknya. Satu-satunya saudaranya, yang selama ini, bahkan sejak kecil selalu menjaganya dan melindunginya dengan baik.

Pada saat-saat dirinya mengalami kesulitan yang paling kecil sekalipun maka kakaknya selalu datang menolongnya. Bahkan kakaknya itu telah banyak sekali mengorbankan kepentingannya sendiri untuknya. Kini kakaknya itu mengalami bencana. Apakah yang dapat dilakukannya? Jiwa Agung Sedayu itu pun menjadi bergolak. Ingin juga ia datang berkuda menerobos masuk ke dalam sarang orang-orang yang mungkin menculik kakaknya dengan pedang terhunus di tangan. Ingin ia menolong dan menyelamatkannya. Tetapi kemudian Agung Sedayu hanya dapat menggigit bibirnya. Tak ada keberanian untuk melakukannya. Dan disadarinya bahwa apa yang dapat dilakukan hanyalah berangan-angan. Mereka masih saja berkuda mengikuti jalan ke Sangkal Putung. Meskipun tidak sendiri, namun bulu-bulu Agung Sedayu meremang juga ketika mereka lewat dibawah randu alas yang besar ditikungan. Setiap kali ia melihat pohon randu alas itu setiap kali ia teringat cerita tentang genderuwo bermata satu. Tetapi Widura sama sekali tidak mempedulikan cerita itu. Ia masih sibuk mencoba mengurai keanehan yang dihadapinya. Telapak-telapak itu benar-benar menuju ke Sangkal Putung. Tetapi sampai sekian jauh belum juga menemukan jawaban. Apalagi ketika mereka kemudian sampai pada daerah yang berbatu-batu. Telapak-telapak kaki kuda itu seakan-akan lenyap dijilat hantu. Karena itu, Widura menjadi semakin cemas. Tetapi tak ada hal-hal yang dapat memberinya petunjuk. Maka dengan kecemasan yang mencengkam dadanya, akhirnya Widura terpaksa membawa rombongannya kembali ke Sangkal Putung. Meskipun demikian Widura itu menggeram, “Suatu ketika aku harus menemukan jawaban atas hilangnya Untara dan Ki Tanu Metir”
Agung Sedayu hanya dapat menundukkan wajahnya. Tetapi matanya menjadi panas, dan dijantungnya seperti akan pecah. Tetapi tidak lebih daripada itu. Agung Sedayu tidak dapat berbuat apa pun selain meratap dengan sedihnya.

Ketika mereka sampai di halaman kademangan, beberapa orang datang menyongsong mereka. Citra Gati, Hudaya, Sidanti, Swandaru dan beberapa orang lain. Sebelum Widura masuk ke pringgitan, berbagai-bagai pertanyaan harus dijawabnya. Dan orang-orang itu pun menjadi kecewa pula. Mereka mengharap Untara ada di antara mereka, namun ternyata orang itu telah lenyap. Hanya Sidanti lah yang sama sekali tidak menaruh minat akan hilangnya Untara.
“Biarlah anak itu hilang. Dan biarlah orang-orang di Sangkal Putung menyadari, bahwa bukan Untara lah orang yang paling sakti di antara kita. Tohpati itu tidak terpaut banyak denganku. Apabila guru datang kemari, aku akan mendapat petunjuk bagaimana harus mengalahkannya” katanya di dalam hati.
Tetapi ketika terlihat pula olehnya Sedayu, Sidanti mengangkat alisnya. Dan hatinya berkata pula,
“Apakah anak ini benar-benar dapat, setidak-tidaknya mendekati kesaktian Untara?” Sindanti menarik bibirnya ke sisi. Kemudian ia berjalan di samping pendapa dan sama sekali tak mengacuhkan lagi, apakah yang terjadi di dukuh Pakuwon.
Di samping pendapa Sidanti berhenti. Dilihatnya Sekar Mirah berjalan ke arahnya.
“Siapa yang datang?” gadis itu bertanya.
“Kakang Widura” jawab Sidanti.
“Dengan anak muda yang bernama Agung Sedayu, adik Untara?” bertanya Sekar Mirah pula.
Sidanti menarik alisnya. Katanya,
“Ya, tetapi apakah kau mempunyai kepentingan dengan anak itu?”
“Tidak. Tetapi aku ingin melihatnya. Menurut ayah, anak itulah yang telah menyelamatkan Sangkal Putung”.
“Omong kosong” sahut Sidanti.
“Apa yang telah dilakukannya? Ia hanya datang atas nama kakaknya, mengabarkan bahwa laskar Tohpati akan datang. Selebihnya tidak. Akulah yang terluka oleh senjata Tohpati itu. Aku tidak yakin, kalau Agung Sedayu dapat menyelamatkan hidupnya seandainya ia harus menghadapi Macan Kepatihan itu”
Sekar Mirah tidak menjawab. Tetapi matanya dengan nanar menyapu pendapa rumahnya. Namun yang dicarinya telah tidak tampak lagi. Widura dan Agung Sedayu telah masuk ke pringgitan. Di pringgitan, demang Sangkal Putung telah duduk menunggunya.
“Marilah adi” Ki Demang mempersilakan.
Kemudian mereka pun duduk melingkar di atas tikar pandan yang putih. Widura sekali lagi megulangi, apa yang dilihatnya di dukuh Pakuwon. Sambil menggelengkan kepalanya ia berkata,
“Aku tidak berhasil menemukannya”
Demang Sangkal Putung itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Sayang” desisnya.

Ruangan itu sejenak menjadi sepi. Masing-masing tenggelam di dalam angan-angannya. Kadang-kadang Sedayu masih mendengar, pamannya menggeram menahan perasaan kecewa yang merayapi dadanya. Kecewa atas hilangnya Untara dan Ki Tanu Metir, dan kecewa akan kemenakannya yang seorang lagi. Agung Sedayu. Banyak persoalan yang akan dihadapinya. Tohpati yang pasti tak akan melepaskan Sangkal Putung, Untara dan Ki Tanu Metir yang harus diketemukan hidup atau mati, dan Agung Sedayu dilingkungan anak buahnya. Widura yang telah banyak menghayati berbagai pengalaman, melihat, betapa Sidanti dengan tidak disangka-sangka menempatkan sebuah persoalan dengan kemenakannya itu. Tanggapannya yang kurang menyenangkan dan harga dirinya yang berlebih-lebihan. Sedang apa yang dilakukan oleh Agung Sedayu tidak lebih daripada meratap dan berangan-angan. Ia sama sekali tidak berusaha untuk melindungi dirinya sendiri. Sekar Mirah, ketika tidak berhasil melihat orang yang dicarinya, kemudian berlari ke belakang. Ketika ia masuk ke dapur dilihatnya seorang pembantunya siap mengantarkan mangkuk-mangkuk minuman ke pringgitan. Maka dengan serta merta gadis itu merebutnya sambil berkata,
“Biarlah aku yang mengantarkan.”
Pembantunya tidak dapat menolaknya. Sehingga kemudian Sekar Mirah sendirilah yang mengantarkan minuman itu. Dan dengan demikian gadis itu berhasil melihat anak muda yang bernama Agung Sedayu dengan jelas. Agung Sedayu yang selalu menundukkan wajahnya, tak menyadarinya, bahwa seseorang telah mengawasinya dengan cermat. Sekar Mirah yang kemudian meninggalkan pringgitan, masih selalu menatap wajah anak muda itu dari balik pintu.
“Nama yang baik” desis Sekat Mirah. Dan tiba-tiba gadis itu terkejut ketika seseorang menepuk pundaknya.
“Ah” desisnya,
“Kau mengejutkan aku Kakang Sidanti.”
“Apakah yang kau intip?” bertanya Sidanti.
“Ayah” jawab Sekar Mirah tergagap
“Kenapa dengan Ki Demang?” desak anak muda itu.
“Tak apa-apa. Aku hanya ingin tahu, kenapa ia mengeluh” sahut Sekar Mirah, yang kemudian ganti bertanya,
“Apa kerjamu di sini?”
“Tak apa-apa. Aku hanya ingin tahu, kenapa kau mengintip” jawab Sidanti sambil tersenyum.
“Ah” desis Sekar Mirah,
“Keluarlah. Kau mengganggu aku di sini.”
Sidanti menggeleng. Jawabnya,
“Marilah kita keluar bersama-sama.”

Sekar Mirah tidak menjawab, tetapi ia melangkah pergi ke halaman belakang. Sedang Sidanti mengikutinya di belakang.
“Apakah kau sudah melihat anak itu?” bertanya Sidanti kemudian.
“Ya” jawab Sekar Mirah,
“Baru sekarang aku melihatnya dengan jelas. Anak itu datang lewat tengah malam. Dan kemarin hampir sehari penuh aku membantu di dapur. Baru kemarin sore aku mendengar nama itu. Nama yang bagus.” Sekar Mirah berhenti sejenak ketika ia melihat dahi Sidanti mengkerut, kemudian ia meneruskan,
“Seperti namamu.”
Sidanti tersenyum. Namun senyumnya terasa hambar. Meskipun demikian ia berdiam diri, sehingga Sekar Mirah berkata terus,
“Tadi pagi aku melihatnya. Ketika hampir setiap orang menyebut namanya karena keberanian dan ketangkasannya, baru aku ingin melihat wajahnya. Dan wajahnya pun baik sebaik namanya.”
Sekali lagi Sidanti mengerutkan keningnya. Sahutnya,
“Huh, wajah itu tak akan langgeng. Lihat, hampir setiap wajah laki-laki di sini pasti ditandai goresan-goresan luka. Hudaya dikening dan pipinya. Citra Gati di belakang telinga kiri dan hidungnya. Sonya dipelipis kanan dan dahinya. Patra dibahunya. Belum lagi yang tertutup oleh pakaian-pakaian mereka. Bahkan Sendawa telah kehilangan sebelah matanya”.
Hampir segenap bulu Sekar Mirah berdiri,
“Ngeri” katanya. “Dan apakah pasti bahwa setiap wajah akan terluka. Wajahmu juga?”
“Itulah sebabnya aku berusaha untuk dapat melindungi tubuhnya dengan kesaktian. Meskipun demikian pundakku telah terluka. Untunglah tidak seberapa. Lalu, apalah kau sangka bahwa Sedayu itu mampu melindungi wajahnya yang tampan itu? Lihat, kalau sekali lagi Tohpati datang, pasti anak itu akan melawannya. Aku berani bertaruh, bahwa ia akan menjadi cacat”
Sekar Mirah mendengar kata-kata Sidanti dengan hati yang cemas. Benarlah seperti apa yang dilihatnya, hampir setiap laki-laki di pendapa rumahnya menderita cacat ditubuhnya, meskipun hanya goresan-goresan dikulitnya. Dan tanpa sesadarnya ia bertanya,
“Apakah kalau orang yang menyebut dirinya Tohpati itu datang kembali, Agung Sedayu harus melawannya?”
“Itu adalah kehendaknya sendiri. Ia ingin menunjukkan kepada kita di sini, bahwa kita di sini adalah orang-orang yang tidak berarti baginya. Ternyata, kemarin ketika aku minta untuk menghadapi Macan Kepatihan itu, maka Sedayu menjadi sakit hati”.
Kini Sekar Mirah tidak bertanya-tanya lagi. Bahkan ia berkata,
“Kembalilah kepada kawan-kawanmu. Aku akan membantu orang-orang yang bekerja didapur”.
“Sekehendakmulah” sahut Sidanti.
“Dan sekehendakkulah, apabila aku ingin tinggal di sini”
“Ini rumahku” bantah Sekar Mirah sambil bertolak pinggang. Sidanti tertawa. Katanya,
“Baiklah. Aku harap bahwa aku akan tinggal di rumah ini pula”
“Huh” jawan Sekar Mirah sambil mencibirkan bibirnya.
“Apakah hakmu”
“Tidak ada” sahut Sidanti.

Sekar Mirah tidak berkata-kata lagi. Cepat-cepat ia pergi meninggalkan Sidanti dan menuju kedapur. Sidanti mengawasi gadis itu sampai hilang di balik pintu. Tetapi tiba-tiba saja anak muda itu menarik keningnya. Sambil mengangguk-angguk ia bergumam, “Sedayu harus disingkirkan dari rumah ini. Lebih cepat lebih baik. Tetapi aku tak punya alasan untuk melakukannya. Mudah-mudahan Tohpati segera datang kembali. Aku ingin melihat, apakah aku berada dibawahnya atau setidak-tidaknya menyamainya”. Sidanti menarik nafas, dan terdengar bergumam terus,
“Sayang ia kemenakan kakang Widura. Tetapi kakang Widura itu sendiri tidak lebih daripada aku”.
Sidanti itu pun kemudian berlahan-lahan melangkah pergi. Ia berjalan melingkari gandok wetan, kemudian sampailah ia di sisi pendapa. Dilihatnya beberapa orang kawannya sedang berbaring dengan nyamannya di bawah pohon sawo. Tetapi ia tidak pergi ke sana. Anak muda itu langsung naik ke pendapa, berjalan ke sudut dan diraihnya senjatanya yang terbungkus kain putih dan tersangkut di dinding. Kemudian sambil duduk di sudut pendapa itu, Sidanti menggosok tangkai senjatanya dengan angkup keluwih. Hati-hati seperti seorang pemuda membelai rambut kekasihnya.
Demikianlah maka sejak hari itu Agung Sedayu mencoba bergaul dengan anak buah Widura. Beberapa orang bersikap sedemikian homat kepadanya, sehingga Agung Sedayu menjadi sangat canggung karenanya. Hanya Sidanti sajalah yang bersikap acuh tak acuh kepada anak muda itu. Sekali-sekali ia bertanya juga, namun kemudian lebih baik ia membelai nenggalanya, Kiai Muncar, daripada bergaul dengan Agung Sedayu. Apalagi sikap canggung Agung Sedayu benar-benar tak menyenangkannya. Sikap itu dirasakan oleh Sidanti sebagai sikap yang sombong. Sore itu ketika Agung Sedayu pergi ke perigi di belakang rumah, dijumpainya Sekar Mirah sedang menjinjing kelenting. Gadis itu terkejut dan berdebar-debar. Dengan hormatnya ia menyapa,
“Selamat sore tuan”.
Agung Sedayu mengangguk pula sambil menjawab singkat,
“Selamat sore”. Tetapi kemudian ia berjalan terus.
Sekar Mirah mengawasinya pada punggungnya. Sekali ia menarik nafas, sambil bergumam,
“Benar juga kata orang, anak muda itu sangat pendiam”.
Meskipun demikian Sekar Mirah yang baru saja melihat Sedayu itu, mempunyai kesan yang aneh. Gadis itu, sebelumnya senang bergaul dengan Sidanti, karena tidak ada orang lain yang lebih sesuai dengan dirinya dalam pergaulannya selain anak itu. Namun tak pernah ia merasakan sesuatu yang mendebarkan jantungnya. Setiap hari ia bertemu, bercakap bahkan bergurau dengan Sidanti. Bahkan pernah juga Sekar Mirah bertanya-tanya kepada dirinya, apakah Sidanti itu benar-benar menarik hatinya. Namun ia tak pernah menemukan jawaban.
“Kenapa aku ributkan anak muda itu” katanya di dalam hati.
“Biarlah ia berbuat sesuka hatinya. Pendiam, pemurung atau apa saja”. Dan Sekar Mirah kemudian mencoba melupakan kesan itu sedapat-dapatnya.

Pada malam itu, setelah kademangan Sangkal Putung menjadi sepi, maka Widura yang belum juga tertidur, membangunkan Agung Sedayu perlahan-lahan. Ada sesuatu yang akan disampaikan kepada kemenakannya. Sesuatu yang tak boleh diketahui oleh orang lain. Sikap anak buahnya kepada Agung Sedayu, sejak permulaan telah keliru. Dengan demikian kedudukan Agung Sedayu benar-benar dalam kesulitan. Mereka menganggap Agung Sedayu, adik Untara itu, setidak-tidaknya akan dapat menentramkan hati mereka, apabila Tohpati datang kembali. Karena itu, apabila benar demikian, apakah jadinya Agung Sedayu itu? Sebelum ia bertemu dengan Macan Kepatihan ia pasti sudah mati ketakutan. Ketika Agung Sedayu membuka matanya, maka dilihatnya pamannya duduk di sampingnya. Sambil menggosok matanya, Agung Sedayu bangkit duduk di muka pamannya.
“Sedayu” bisik Widura,
“Marilah ikut aku”.
“Kemana paman?” bertanya Sedayu terkejut.
“Marilah. Setiap malam aku berkeliling kademangan, melihat gardu-gardu peronda”.
“Apakah paman ingin aku ikut berkeliling?” Sedayu menjelaskan.
Widura mengangguk,
“Ya, kita berdua”.
“Berdua?” Sedayu semakin terkejut.
“Jangan takut Sedayu. Kita berada dalam lingkaran kita sendiri. Penjagaan di kademangan ini sedemikian ketatnya, sehingga seorang asing pun tak akan dapat memasuki”.
“Kalau demikian, apa gunanya paman berkeliling?”
“Melihat, apakah tugas-tugas itu dilakukan dengan baik. Kalau tidak, jangankan seorang, bahkan seluruh laskar Tohpati akan dapat masuk tanpa kita ketahui”.

Agung Sedayu menjadi berdebar-debar. Apakah sebabnya pamannya membawanya serta. Pekerjaan itu sama sekali tidak menarik hatinya. Dalam malam yanag sedemikian gelapnya, berjalan menyusuri jalan-jalan desa, jalan-jalan yang sempit dan sunyi. Apalagi setiap saat mereka akan dapat berjumpa dengan bahaya. Tetapi Agung Sedayu tidak dapat menolak ajakan itu. Dengan hati yang berat, ia menggeliat, kemudian berdiri dan membenahi pakaiannya.
“Bawalah kerismu, Sedayu” kata pamannya.
Agung Sedayu terkejut. Teringatlah ia kepada kakaknya. Pada saat mereka meninggalkan Jati Anom, kakaknya itu berkata juga kepadanya, seperti pamannya itu.
Dan tiba-tiba saja Sedayu bertanya,
“Kenapa aku harus bersenjata? Apakah kita akan bertempur?”
Pamannya tersenyum, namun hatinya mengeluh melihat kecemasan di wajah kemenakannya. Jawabnya,
“Kita adalah laki-laki. Di daerah yang gawat seperti Sangkal Putung setiap laki-laki harus bersenjata”.
Agung Sedayu tidak menjawab, hanya debar jantungnya menjadi semakin cepat. Dengan ragu-ragu diraihnya kerisnya dari pembaringan pamannya dan kemudian diselipkannya di ikat pinggangnya. Meskipun demikian, Agung Sedayu tidak tahu pasti, apakah ia akan dapat menggunakannya.
Mereka berdua pun segera melangkah keluar. Di pendapa mereka melihat beberapa orang berbaring tidur dengan nyenyaknya. Sidanti, yang tidur di sudut, sudah tidak gelisah lagi. Agaknya lukanya telah berangsur baik. Widura melihat anak muda itu sambil mengerutkan keningnya. Tenaga Sidanti benar-benar diperlukannya. Namun sifat-sifatnya agak kurang menyenangkan. Tinggi hati, bahkan agak sombong dan kurang patuh pada perintah-perintahnya. Mungkin anak itu merasa, bahwa di Sangkal Putung itu tak seorang pun yang dapat menyamai kesakitannya. Bahkan Widura sendiri agaknya tidak melebihinya. Mereka berdua kemudian melintas di halaman. Ketika mereka sampai di regol, beberapa orang penjaga menganggukkan kepalanya sambil bertanya,
“Apakah kakang Widura akan pergi berkeliling?”
“Ya” sahut Widura
“Siapakah di antara kami yang akan kakang bawa?” bertanya mereka pula.
Widura menggeleng, sahutnya,
“Tidak ada. Kami akan pergi berdua”

Agung Sedayu menjadi heran. Kenapa pamannya tidak membawa serta beberapa orang teman? Apakah itu tidak terlalu berbahaya? Tetapi ia tidak bertanya. Betapa pun Sedayu masih juga merasa malu seandainya orang-orang lain mengetahui betapa kecil jiwanya. Ketika Widura dan Agung Sedayu telah hilang tenggelam dalam malam yang gelap, terdengar salah seorang penjaga regol itu bergumam,
“Kakang Widura telah membawa kemenakannya. Itu berarti, bahwa ia telah pergi bersama lima enam orang dari antara kita. Bahkan lebih”
Kawan-kawannya mengangguk-anggukkan kepala mereka. Dan salah seorang dari mereka berkata,
“Anak muda itu sangat pendiam”
“Demikianlah agaknya” sahut yang lain.
“Orang yang yakin akan dirinya, biasanya tidak banyak ribut dan banyak bicara”
Orang diregol itu pun kemudian berdiam diri, namun mereka tidak kehilangan kewaspadaan. Widura dan Agung Sedayu berjalan menyusuri jalan-jalan desa yang disaput oleh hitamnya malam. Ketika Agung Sedayu menengadahkan wajahnya, dilihatnya awan yang gelap mentakbiri langit. Sesaat-sesaat tampak lidah api seakan-akan menjilat ujung-ujung pepohonan di kejauhan. Widura dan Agung Sedayu singgah dari satu gardu ke gardu yang lain. Mereka melihat betapa anak buah Widura dan anak-anak muda Sangkal Putung bersiaga, sebab mereka menyadari, bangkit atau tenggelam, kademangan Sangkal Putung itu berada di tangan mereka. Tetapi Agung Sedayu tidak dapat menenangkan dirinya. Setiap kali ia selalu cemas, apakah tidak mungkin seorang, dua orang atau lebih, mengendap di parit-parit atau di belakang gerumbul-gerumbul, dan dengan tiba-tiba menyergap mereka. Namun ia tidak berani bertanya kepada pamannya. Sampai di ujung desa, Widura masih berjalan terus. Mereka kini lewat di jalan di antara bentangan sawah yang luas. Meskipun jarak jangkau pandangan mata mereka tidak dapat menembus malam yang kelam, namun mereka melihat juga batang-batang padi yang rimbun. Hati Agung Sedayu semakin lama menjadi semakin cemas, sejalan dengan jarak mereka yang semakin jauh dari induk desa Sangkal Putung. Karena itu akhirnya ia tidak dapat menahan kekhawatirannya, sehingga ia terpaksa bertanya,
“Kemanakah kita ini paman?”
“Jangan takut Sedayu. Desa di depan, masih dirondai oleh kawan sendiri” jawab pamannya.
Agung Sedayu terdiam, namun detak jantungnya menjadi semakin deras. Desir angin yang menggerakkan batang-batang padi terdengar seperti suara hantu yang merintih-rintih. Agung Sedayu terkejut ketika pamannya berkata, \
“Kita belok ke kanan Sedayu, lewat pematang”
Sebelum Agung Sedayu menjawab, Widura telah meloncati parit. Karena itu tak ada yang dapat dilakukan oleh anak muda itu selain mengikutinya di belakang.

Sesaat kemudian mereka berdua sampai pada suatu bentangan tanah lapang yang sempit. Sebuah puntuk kecil yang ditimbuhi oleh batang-batang ilalang dan sebuah pohon kelapa sawit. Bulu-bulu tengkuk Agung Sedayu mulai meremang. Daerah ini tampak sepi. Terlalu sepi dan menakutkan.
“Sedayu” berkata Widura perlahan-lahan.
“Puntuk inilah yang dinamai orang Gunung Gowok”
Seluruh wajah kulit Agung Sedayu terasa seakan-akan berkeriput. Nama itu mengingatkannya kepada sebuah ceritera tentang Kiai Gowok. Kiai Gowok menurut pendengarannya adalah semacam hantu yang berparas tampan. Meskipun ia tidak suka mengganggu orang namun kadang-kadang memerlukan sekali-sekali menemui gadis-gadis cantik. Karena itu tiba-tiba ia melangkah mendekati pamannya. Pamannya melihat, betapa Agung Sedayu menjadi takut mendengar nama puntuk itu, maka katanya,
“Jangan hiraukan ceritera tetek bengek tentang puntuk itu”
Agung Sedayu tidak menjawab. Sedang pamannya berkata terus,
“Sedayu, bersiaplah. Kita mengadakan latihan untukmu”
Agung Sedayu menjadi heran. Latihan apakah yang dimaksud oleh pamannya. Apakah ia harus melatih diri, untuk tidak takut dengan cerita-cerita tentang hantu. Dan didengarnya pamannya meneruskan,
“Sedayu, kau harus menyadari keadaanmu. Hampir setiap orang di Sangkal Putung menganggapmu sebagai seorang pahlawan. Mereka menyangka bahwa kau memiliki kesaktian dan ilmu tata bela diri setidak-tidaknya mendekati kakakmu Untara. Aku tidak tahu, apakah yang akan terjadi seandainya pada suatu kali kau terpaksa terlibat dalam suatu perkelahian dengan siapapun. Apalagi kalau Tohpati itu datang kembali. Sedang orang-orang di Sangkal Putung menyangka kau pasti akan mampu melawannya. Karena itu, belajarlah berbuat, berpikir dan bersikap seperti seorang laki-laki”.
Terasa denyut nadi Agung Sedayu menjadi semakin cepat. Kata-kata pamannya itu benar-benar mendebarkan jantungnya. Tetapi ia tidak tahu, apakah yang harus dikatakannya. Ketika ia tidak segera menjawab, pamannya berkata terus,
“Apa yang akan aku lakukan, adalah mencoba menambah kepercayaanmu kepada dirimu. Marilah kita berlatih. Untuk seterusnya setiap malam kita berlatih di sini. Supaya apabila suatu ketika, kau harus berbuat seperti laki-laki sewajarnya, ada bekalmu meskipun sedikit. Seterusnya, kalah atau menang, tidak menjadi soal. Kalau kita mati dalam pertempuran nama kita akan tetap dikenang. Tatapi kalau kita lain daripadanya, maka nama kita akan senilai dengan daun-daun kering yang diterbangkan angin”

Debar di dada Agung Sedayu menjadi semakin keras. Kembali ia mengeluh. Ia merasa, bahwa kedatangannya di Sangkal Putung, benar-benar seakan-akan terjerumus ke daerah yang sama sekali tak menyenangkan.
“Kalau kakang Untara malam itu tidak menjerumuskan aku ke neraka ini” gumamnya di dalam hati,
“Kenapa kakang Untara meributkan laskar paman Widura di sini? Apakah kalau aku tidak datang kemari, Sangkal Putung ini benar-benar akan dihancurkan oleh Macan Kepatihan?”
Tetapi Agung Sedayu tidak sempat berangan-angan lebih panjang lagi. Dilihatnya pamannya menyingsingkan lengan bajunya, menarik ujung kainnya dan di sisipkannya ke belakang.
“Bersiaplah Sedayu. Aku tahu bahwa kakakmu pernah memberimu dasar-dasar latihan. Sekarang kita lihat, sampai dimana kau pernah memilikinya”
Dengan segannya, Agung Sedayu  pun mempersiapkan diri. Sebenarnya ia pernah menerima beberapa pengetahuan tata bela diri dari kakaknya. Dan kini, mau tak mau ia harus mempergunakannya. Pamannya agaknya akan mempergunakan cara yang langsung dalam latihan ini. Dan ternyata dugaan itu benar. Pamannya tidak menuntunnya, mempelajari unsur demi unsur, namun Widura itu langsung melihat Agung Sedayu dalam latihan bertempur.
“Awas Sedayu” berkata pamannya. Dalam pada itu Widura  pun telah meloncat sambil menyerang dada.
Agung Sedayu terkejut. Cepat ia mengendapkan diri. Tangan Widura itu pun melayang beberapa jengkal di atas kepalanya.
“Paman!” teriak Sedayu ”Jangan terlalu keras”
Langkah Widura terhenti. Dengan heran ia bertanya,
“Apa yang terlalu keras?”
“Paman menyerang bersungguh-sungguh” sahut Agung Sedayu
Pamannya menarik nafas, jawabnya,
“Tidak. Tetapi aku harus berbuat seakan-akan sungguh-sungguh. Sebab dalam perkelahian kau tak akan dapat dengan rendah hati mohon agar lawan-lawanmu tidak bersungguh-sungguh”
Sekali lagi debar di jantung Sedayu menjadi bertambah cepat. Tetapi ia tidak dapat berbuat lain daripada menuruti perintah pamannya itu. Karena itu kembali ia bersiap. Melakukan latihan adalah jauh lebih baik dari bertempur yang sebenarnya. Ketika pamannya menyerang sekali lagi, Agung Sedayu  pun mengelak pula, dengan satu loncatan ia membebaskan dirinya. Tetapi Widura tidak berhenti. Dengan cepat ia berputar, dan serangannya beruntun menyambar Agung Sedayu.

Gerakan itu tidak begitu sulit untuk dielakkan. Kakaknya pernah juga berbuat seperti pamannya itu. Satu kali Agung Sedayu melangkah ke samping, kemudian dengan menarik satu kakinya terbebas dari serangan tangan pamannya yang mengarah pundaknya. Ketika kemudian Widura memutar kakinya mendatar setinggi lambung, Sedayu pun mencondongkan tubuhnya ke belakang sehingga kaki pamannya itu lewat beberapa jengkal dari tubuhnya. Tetapi Widura tidak berhenti menyerang. Bahkan serangan-serangannya menjadi semakin cepat. Namun Agung Sedayu masih juga mampu mengelak. Selangkah demi selangkah ia melangkah surut untuk menghindarkan serangan-serangan pamannya. Sehingga akhirnya terdengar pamannya berkata,
“Apakah kau hanya belajar menghindar saja? Coba bagaimana kakakmu mengajarmu menyerang”
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Gerak pamannya tidak jauh berbeda dari kakaknya. Keduanya bersumber dari ilmu ayahnya. Karena itu Sedayu tidak begitu sulit melayani pamannya. Kini pamannya minta, agar sekali-sekali ia menyerangnya juga. Dan permintaan itu pun dipenuhinya. Karena itu latihan itu menjadi semakin cepat. Agung Sedayu benar-benar mengherankan pamannya. Ternyata gerakan-gerakan yang dilakukan bukanlah gerakan-gerakan yang sederhana seperti anak-anak muda yang sedang menerima dasar-dasar ilmu bela diri. Tetapi Agung Sedayu telah memilikinya agak lengkap, meskipun karena kurang penggunaannya, maka sekali-sekali tampak juga anak muda itu kurang dapat memanfaatkan beberap unsur yang bagus sekali.
“Hem” desah pamannya di dalam hati.
“Anak ini bukan anak yang bodoh. Sayang, lingkungannya pada masa kanak-kanak telah membentuknya menjadi seorang pengecut”. Tetapi angan-angan itu patah, ketika Widura mendengar suara tertawa di samping mereka. Suara yang bernada tinggi melengking, meskipun tidak terlalu keras.
Agung Sedayu terkejut bukan kepalang. Yang mulai melintas dikepalanya adalah Macan Kepatihan. Karena itu, ketika ia melihat pamannya memutar tubuhnya dengan kesiagaan penuh, segera ia meloncat berlindung di belakangnya. Ketika mereka berdua memandang ke arah suara itu, mereka melihat samar-samar seseorang bersandar pohon kelapa sawit di atas puntuk kecil yang mempunyai nama besar, Gunung Gowok.

Widura masih tegak seperti patung. Dipandanginya orang yang bersandar pohon kelapa sawit itu dengan wajah yang tegang. Meskipun demikian Widura melangkah beberapa langkah maju sambil bertanya,
“Siapakah kau?”
Agung Sedayu yang juga dengan berdebar-debar ikut pula maju beberapa langkah berbisik dengan suara gemetar,
“Apakah itu Macan Kepatihan?”
Widura tidak mendengar pertanyaan itu. Karena itu ia tidak menjawab. Namun sekejap pun ia tidak meninggalkan kewaspadaan. Orang yang bersandar itu masih juga bersandar. Widura yang melangkah mendekatinya itu sama sekali tak diperhatikannya. Suara tertawanya yang bernada tinggi itu bahkan terdengar kembali.
“Siapakah kau” Widura mengulangi pertanyaannya.
Suara tertawa itu pun kemudian menjadi semakin lirih. Dan terdengarlah orang itu berkata,
“Latihan yang bagus”
Widura menjadi semakin bercuriga. Dengan hati-hati ia melangkah maju pula. Tangannya telah melekat di hulu pedangnya. Katanya,
“Jangan mengganggu kami. Katakanlah siapakah kau supaya aku dapat mengambil sikap”
Orang itu pun kemudian berdiri tegak. Beberapa langkah ia maju mendekati Widura. Sehingga akhirnya mereka dapat saling melihat wajah masing-masing. Ketika Widura melihat wajah orang itu, mula-mula ia terkejut. Wajah itu tampak seputih mayat. Namun kemudian Widura menyadarinya, orang itu telah menutup wajah aslinya dengan sebuah topeng yang berwarna kekuning-kuningan.


Halaman 1 2 3


<<< Jilid 001                                                                                                       Jilid 003 >>>

Tidak ada komentar:

Posting Komentar