Setiap orang Pajang yang mencoba melepaskan Hudaya dan Citra Gati dari lawan-lawan mereka selalu mendapat lawan-lawan yang baru. Tetapi sementara itu, laskar Pajang telah berhasil mendesak laskar lawannya dari ujung-ke ujung pertempuran. Bahkan laskar Jipang yang bertempur melawan anak-anak muda Sangkal Putung itu pun akhirnya terpaksa beberapa kali menarik diri surut. Swandaru sendiri yang menyadari tenaganya yang perkasa, menghantam setiap lawan yang berdiri di sekitarnya. Apalagi anak muda itu tidak hanya melandaskan diri pada kekuatannya, namun ia tahu juga, bahwa ia harus mempergunakan otaknya.
Ketika Widura
melihat Sidanti semakin terdesak, serta setelah dilihatnya, betapa Hudaya dan
Citra Gati sama sekali tidak berhasil membantunya dengan leluasa, Widura pun
menjadi cemas. Karena itu segera ia meloncat, menyusup di antara pertempuran
itu mendekati Sidanti yang telah hampir kehabisan tenaga. Macan Kepatihan yang
marah itu, telah mengerahkan segenap kemampuannya untuk segera membinasakan
lawannya. Lawan yang bukan saja ditemuinya di garis pertempuran ini, namun
dendam gurunya kepada guru anak itu pun telah memaksanya untuk bertempur sekuat
tenaga. Tetapi Widura datang tepat pada waktunya. Pada saat Sidanti terdorong
beberapa langkah surut, serta tongkat baja itu telah terayun dengan derasnya,
sehingga Sidanti tak mungkin lagi menghindar, selain menangkis dengan
Nenggalanya, pada saat itulah Widura telah berada di sampingnya. Desisnya
sambil menyilangkan pedangnya di hadapan dadanya,
“Aku terpaksa
agak lambat menyambutmu Angger.”
“He” teriak
Tohpati dengan marahnya. Meskipun demikian ayunan tongkatnya tidak juga
ditariknya. Dilihatnya kemungkinan bahwa Nenggala yang dasyat itu kali ini tak
akan mampu melawan tenaganya, karena kedudukan Sidanti yang sulit. Namun
tiba-tiba dilihatnya bahwa pedang yang bersilang di muka dada Widura itu
terayun dengan cepatnya memukul tongkatnya dari samping, sehingga tongkat itu
berubah arah. Sidanti terhindar dari maut yang menerkamnya. Namun meskipun
demikian, tongkat baja putih itu masih menyentuh pundaknya. Dengan demikian,
maka Sidanti terdorong beberapa langkah surut. Terdengarlah anak muda itu
berdesis menahan pedih yang menyengat pundaknya itu. Terasa sentuhan itu
seperti bara api yang dilekatkan pada kulitnya, ketika tangan kirinya meraba
pundak itu, terasa darahnya meleleh dari luka.
“Setan”
desisnya dengan geram. Kemarahannya membakar seluruh urat nadinya. Namun tangan
kanannya kemudian terasa seakan-akan terlepas dari persendiannya, sehingga
tangan itu dengan lemahnya tergantung di sisinya tanpa dapat digerakkannya.
Sidanti
menggeram. Terdengar giginya gemeretak menahan marah. Tetapi kini tenaganya
telah susut lebih dari separo. Setelah ia memeras tenaganya habis-habisan, kini
pundaknya terluka pula. Karena itu, maka Sidanti merasa, bahwa ia tak akan
mampu menumpahkan kemarahannya kepada Macan Kepatihan itu. Mau tidak mau
Sidanti harus menerima kenyataan yang terluka. Macan Kepatihan itu tidak dapat
dikalahkannya, bahkan pundaknya telah dilukainya. Maka ketika ia melihat Widura
telah siap untuk melawan Tohpati itu, Sidanti menjadi agak tenang. Sebab dengan
demikian maut telah berkisar dari dirinya. Meskipun demikian, Sidanti masih
mencari sasaran untuk menumpahkan kemarahannya. Dengan senjatanya di tangan
kiri anak muda itu kemudian melawan siapa saja yang berani datang mendekatinya.
Walau pun telah terluka, namun Sidanti itu masih tetap berbahaya bagi
lawan-lawannya. Tohpati, yang kehilangan korbannya, menggeram penuh kemarahan.
Katanya,
“Paman Widura,
kau telah menggagalkan usahaku membunuh murid penghianat itu. Karena itu, kau
memberi kesempatan, atau kau sendiri yang terbunuh”
“Angger Macan
Kepatihan” sahut Widura,
“adalah sudah
sewajarnya bahwa sekali kita berhasil mengorbankan lawan kita, namun kali yang
lain kita kehilangan kemungkinan itu. Kini kau kehilangan Sidanti, namun kau
menemukan aku di sini. Nah, jangan cari yang tidak ada”
“Bagus” teriak
Tohpati,
“Memang sejak
semula aku ingin bertemu dengan paman Widura. Dan kini paman telah datang
menyambut aku”
Widura tidak
menjawab. Tetapi ia sadar bahwa ia harus berjuang sekuat kemampuan yang ada
padanya. Sebab Tohpati adalah seorang anak muda yang sakti. Meskipun demikian,
Widura kini sedang mengemban kewajibannya sebagai seorang prajurit. Karena itu
ia harus melawan, betapa pun sakti musuhnya itu. Dalam pertempuran itu, Widura
kini dapat menghadapi lawannya dengan tenang, setelah ia yakin, bahwa laskarnya
berada dalam keadaan yang lebih baik dari laskar Tohpati. Sedikit demi sedikit
laskar Widura itu dapat mendesak lawannya. Sehingga keadaan itu, mau tak mau
pasti mempengaruhi jiwa Tohpati sendiri.
Widura dan
Tohpati itu segera terlibat dalam pertempuran yang seru. Tampaklah tenaga
Tohpati yang kuat seperti raksasa itu melampaui tenaga Widura, namun Widura
adalah prajurit yang berpengalaman. Telah berpuluh bahkan beratus kali
dihadapinya lawan-lawan yang tangguh, namun untuk kesekian kalinya ia masih
tetap hidup. Karena itu maka walau pun Tohpati adalah seorang yang sakti, namun
Widura pun memiliki beberapa kesaktian pula, sehingga dengan demikian
pertempuran itu menjadi semakin seru. Tongkat baja putih Tohpati berputar
melingkar-lingkar dan bayangan warna putih seakan-akan menyelubungi dirinya,
bergulung-gulung seperti ombak yang dahsyat siap untuk menelan korbannya. Namun
pedang Widura pun memiliki kekhususannya sendiri. Pedang Widura bukanlah pedang
yang dapat dibanggakan ketajamannya. Tetapi pedang itu dapat dipakainya untuk
menghantam patah besi gligen. Namun setiap sentuhan pada ujung pedang itu, maka
pastilah kulit lawannya akan berlubang. Meskipun pedang itu tidak tajam
dipunggungnya, tetapi ujungnya runcing melampaui ujung jarum.Di sudut-sudut
pertempuran yang lain, semakin lama semakin nyata bahwa laskar Pajang semakin
berada dlam keadaan yang lebih baik. Berkali-kali mereka berhasil mendesak
lawannya dan berkali-kali pula laskar Tohpati terpaksa menarik diri surut.
Bahkan laskar Tohpati yang bertempur di tengah-tengah sawah itu pun kemudian
semakin bergeser mendekati induk pasukannya. Mereka kemudian menjadi ngeri
melihat anak-anak muda Sangkal Putung bertempur seperti orang-orang kerasukan
setan. Sedang di antara mereka terdapat pula orang-orang yang memiliki pengetahuan
tempur setidak-tidaknya menyamai laskar Jipang itu. Gabungan antara tekad yang
menyala-nyala dan otak yang berpengalaman, menjadikan rombongan anak-anak muda
Sangkal Putung itu benar-benar mengerikan. Namun, keadaan Widura tidak sebaik
keadaan pasukannya. Seperti juga Sidanti, akhirnya Widura terpaksa mengakui
bahwa Macan Kepatihan itu benar-benar perkasa di atas segala orang yang pernah
dilawannya. Tetapi Widura tak dapat mengingkari kewajibannya. Ia adalah orang
yang terakhir yang harus menahan arus kemarahan Tohpati, apa pun yang akan
terjadi pada dirinya. Karena itu, sadar akan tugasnya, maka Widura pun segera
mengerahkan segala kesaktiannya. Menurut perhitungannya, maka apabila ia
berhasil memperpanjang waktu perlawanannya, maka laskarnya pasti sudah
benar-benar dapat menguasai laskar Jipang, sehingga dengan demikian maka
keadaan itu akan segera mempengaruhi Macan Kepatihan.
Ternyata
perhitungan Widura yang berpengalaman itu pun terjadi. Setiap kali Tohpati
dipengaruhi oleh pekik kesakitan dan kadang-kadang sebuah teriakan maut dari
anak buahnya. Sedikit demi sedikit, satu demi satu anak buahnya pun rontoklah.
Betapa sakit hati Macan yang ganas itu, ketika disadarinya, bahwa keadaan
laskarnya benar-benar tidak menyenangkan. Tetapi karena itulah maka
kemarahannya menjadi semakin memuncak. Widura itu harus segera dibinasakan.
Kemudian ia harus membunuh Sidanti pula. Apabila kedua-duanya telah terbunuh,
maka ia akan dapat membantu laskarnya memusnahkan orang-orang Pajang yang
dibencinya itu. Lebih daripada itu, maka anak-anak muda Sangkal Putung bukanlah
lawan yang perlu diperhitungkan. Karena itulah maka Tohpati itu pun segera
mengamuk sejadi-jadinya. Tetapi betapa pun juga, Tohpati tak dapat membutakan
matanya serta menulikan telinganya atas peristiwa-peristiwa yang menyedihkan
yang terjadi di antara laskarnya. Ia tahu benar, bahwa Widura kini hanya
tinggal bertahan memperpanjang waktu. Dan ia pun telah berusaha melawan waktu
itu, sehingga pekerjaannya harus segera selesai. Tetapi setiap kali ia mendengar,
dan setiap kali ia melihat seorang dari anak buahnya terbanting di tanah dengan
darah menyembur dari lukanya, maka hatinya berdesir pula. Sebagai seorang
pemimpin yang baik, maka Tohpati tidak akan mengorbankan terlalu banyak anak
buahnya untuk hasil yang belum pasti. Dalam waktu yang pendek Macan yang cerdik
itu membuat perhitungan untung rugi dari pertempuran itu. Apabila ia berhasil
membunuh Widura dan Sidanti, maka apakah jumlah laskarnya masih cukup banyak
untuk melawan arus laskar Widura yang tangguh itu. Apakah orang-orang yang
cekatan seperti Hudaya, Citra Gati dan beberapa orang lain lagi tidak segera
mengambil alih pimpinan dan melawannya dalam sebuah kelompok yang besar
bersama-sama. Akhirnya Tohpati tidak dapat mempertahankan tujuan penyerangannya
kali ini. Ia harus melihat kenyataan itu. Karena itu, tiba-tiba Tohpati
mengambil suatu keputusan untuk menarik diri. Namun setidak-tidaknya ia harus
dapat mencegah Widura dan anak buahnya mengambil keuntungan dari keadaan
terakhir itu. Maka sekali lagi dengan segenap kemampuan yang ada, Tohpati
melibat Widura dalam lingkaran bayangan putih. Bayangan putih itu benar-benar
seperti asap yang mengerikan. Asap yang mengandung di dalamnya nafas maut. Widura
pun berusaha melawan dengan kemampuan terakhirnya. Tetapi semakin terasa asap
putih itu semakin membingungkannya. Ujung tongkat baja putih yang berwarna
kuning itu semakin lama terasa semakin dekat dari tubuhnya. Tetapi Widura
adalah orang yang tabah. Karena itu ia masih tetap tenang apa pun yang terjadi.
Pada saat-saat
terkhir, maka Tohpati itu pun terkejut ketika dilihatnya seseorang
mendekatinya. Sebuah pedang terayun dengan derasnya, memotong sinar putih yang
bergulung-gulung di sekitarnya. Betapa heran hati macan Kepatihan itu.Tetapi ia
tidak memperhatikannya terlalu banyak. Ayunan tongkatnya itu diperkuat untuk
menghantam pedang yang mencoba melawannya. Maka terjadilah sebuah benturan yang
sengit. Pedang itu terpental beberapa langkah dari titik benturan, dan terlepas
dari genggaman. Namun Macan kepatihan itu pun terkejut bukan kepalang. Terasa
bahwa tangan yang menggerakkan pedang itu mempunyai kekuatan yang luar biasa.
Ketika ia menatap penyerangnya, maka Tohpati melihat seorang anak muda yang
gemuk. Dengan gugupnya anak itu mencoba mengambil pedangnya yang bertangkai
gading. Namun tangan itu terasa terlalu nyeri. Dengan demikian, maka ia hanya
dapat melihat dengan penuh kecemasan ketika Macan Kepatihan itu sekali lagi
memutar tongkatnya dan menyerangnya. Ketika Widura melihat anak muda itu
hatinya berdesir. Dengan serta merta ia berteriak,
“Swandaru,
jangan gila. Pergilah”.
Tetapi
Swandaru yang sedang mengagumi kekuatan tangan Tohpati itu tidak beranjak dari
tempatnya. Untunglah bahwa Widura dapat bertindak cepat. Dengan garangnya ia
meloncat maju, dan menyerang Tohpati dengan ujung pedangnya. Tohpati terpaksa
melawan pedang yang terjulur langsung ke dadanya. Sehingga ia menarik
serangannya atas Swandaru. Sesaat kemudian kembali Tohpati merusaha sekuat-kuat
tenaganya untuk membinasakan Widura. Swandaru kini melihat pertempuran itu
dengan mulut ternganga. Ternyata bahwa kekuatan saja, betapa pun besarnya,
tidak akan bermanfaat apabila tidak disertai rangkapan ilmu yang lain, ilmu
gerak, ilmu ketangkasan dan ilmu menggerakkan senjata. Lebih dari itu adalah
ilmu pemusatan pikiran dan kekuatan pada titik-titik tertentu. Tetapi ia tidak
tahu, bahwa di samping ilmu-ilmu itu, maka Tohpati mau pun Widura telah
mempergunakan ilmu yang dapat mengungkat kekuatan-kekuatan yang tersembunyi di
dalam tubuh mereka masing-masing. Karena itu, meskipun Swandaru mempunyai
kekuatan yang luar biasa, namun pada saat ia membenturkan pedangnya untuk
melawan tongkat putih Tohpati yang sedang berputar itu, maka tenaganya itu
seakan-akan tidak berarti. Lalu bagaimanakah kira-kira kekuatan Tohpati,
seandainya orang itu dengan sengaja memukulkan tongkatnya dengan kekuatan
sepenuhnya?
Tetapi
bagaimanapun juga, perbuatan Swandaru itu telah memperpanjang waktu perlawanan
Widura. Dengan demikian korban di kedua belah pihak pun semakin bertambah-tambah.
Apalagi di pihak laskar Tohpati. Karena itu maka Tohpati pun segera mengambil
keputusan untuk menyelamatkan orang-orangnya. Ia sama sekali tidak melihat
keuntungan apa pun apabila ia memperpanjang perlawanannya. Rencana yang
disusunnya benar-benar telah hancur berantakan. Maka yang kemudian dilakukan
oleh Macan Kepatihan itu adalah meloncat surut, melepaskan diri dari ikatan
pertempuran dengan Widura. Dengan nyaringnya ia berteriak,
“Tinggalkan
pertempuran. Segera!”
Laskar Jipang
itu pun adalah laskar yang terlatih. Mereka pun tahu benar, bagaimana mereka
harus meninggalkan pertempuran. Beberapa orang pemimpin kelompok segera tampil
ke depan melindungi anak buah mereka yang berloncatan mundur. Tohpati itu pun
kemudian meloncat kian kemari, seperti burung elang yang berterbangan
menyambar-nyambar. Dengan tangkasnya ia memotong laskar Pajang yang berusaha
mengejar anak buahnya yang melarikan diri. Dari antara laskar Jipang itu
kemudian tampillah orang-orang yang bersenjata jarak jauh. Bandil, paser dan
panah. Ternyata mereka telah benar-benar bersiap menghadapi setiap kemungkinan,
sampai pada kemungkinan mengundurkan diri. Usaha Widura untuk mengikat kambali
Tohpati dalam suatu titik perkelahian tidak berhasil. Setiap kali Macan
Kepatihan itu selalu menghindar dan dengan tongkatnya ia terus-menerus berusaha
menyelamatkan anak buahnya sejauh mungkin. Laskar Widura sudah pasti tidak akan
membiarkan lawan-lawan mereka menyelamatkan diri. Dengan gairah mereka mendesak
terus. Namun laskar Tohpati itu pun tidak berlari bercerai-berai. Mereka mundur
dengan teratur. Perlawanan mereka sama sekali tidak berkurang. Sehingga dengan
demikian, pertempuran itu berlangsung terus, sambil bergeser dari satu garis ke
garis berikutnya. Sekali lagi Widura menggeleng-gelengkan kepala. Tohpati
adalah suatu contoh dari seorang pemimpin yang baik.
“Kenapa anak
muda itu masih belum menyadari keadaan” gumamnya.
“Apabila
demikian, Pajang akan segera berkembang dan sentausa”
Laskar Tohpati
itu pun kemudian mencapai sebuah desa di belakang garis perlawanan mereka.
Demikian mereka melampaui pagar yang pertama, demikian mereka pecah berpencaran
di antara pohon-pohon yang tumbuh di sana-sini. Di antara pohon-pohon liar di
halaman yang kurang terpelihara dan di antara rumpun-rumpun bambu yang lebat.
Sehingga laskar Widura itu pun segera menemui kesulitan untuk mengejar mereka
terus. Mereka harus berhati-hati, dan mencurigai setiap pohon-pohon besar yang
berada di sekitar mereka. Pohon itu akan dapat menjadi tempat-tempat persembunyian
dan apabila mereka kurang wapada, maka maut akan menerkam mereka. Dengan
demikian, maka kedua bagian laskar itu bertempur dari satu pohon ke pohon lain,
dari satu rumpun ke rumpun yang lain. Namun keadaan laskar Tohpati menjadi
bertambah baik. Mereka menyerang dan kemudian menghilang. Sedang laskar Widura
yang mengejarnya, kadang-kadang terpaksa melingkar menghindari
kemungkinan-kemungkinan serangan tiba-tiba dari balik-balik gerumbul. Widura
segera melihat keadaan itu. Karena itu, maka alangkah berbahayanya apabila
pengejaran itu dilakukan terus. Mungkin mereka akan dapat mencapai tepi desa
yang lain, dan memaksa kedua laskar itu bertempur kembali di tempat yang
terbuka, namun korban akan menjadi sangat besar. Karena itu segera Widura
berteriak memerintah,
“Hentikan
pengejaran”. Dan perintahnya itu kemudian beruntun diulangi oleh setiap
pimpinan kelompok laskarnya.
Maka laskar
Widura itu berhenti. Segera mereka menarik diri dan berkumpul kembali diluar
desa itu. Ketika mereka menengadahkan kepala mereka, mereka melihat bahwa
matahari telah berada di atas kepala mereka. Widura pun kemudian mendengarkan
laporan dari setiap pemimpin kelompoknya. Siapakah yang cedera di antara
mereka, yang terluka dan yang terpaksa gugur dalam mengemban tugas mereka. Hari
itu adalah hari berkabung bagi Sangkal Putung. Tugas laskar Widura kemudian,
beserta orang-orang Sangkal Putung adalah memelihara mereka yang terluka. Kawan
mau pun lawan. Sebab bagi perawatan perikemanusiaan, tak ada batas di antara
kawan dan lawan. Apalagi di antara mereka, laskar Widura dan laskar Tohpati,
beberapa orang dari mereka adalah kawan-kawan yang pernah berjuang bersama-sama
untuk menegakkan Demak di jaman-jaman sebelumnya. Namun kini, mereka terpaksa
bertemu dalam sebuah permainan senjata yang berbahaya. Ketika iring-iringan
laskar itu memasuki Sangkal Putung, tampaklah desa itu menjadi sepi. Ternyata
perempuan dan kanak-kanak telah berkumpul di Kademangan. Sedang beberapa
laki-laki yang meskipun sudah melampaui umur mudanya, tampak berjaga-jaga di
halaman dengan senjata apa saja di tangan mereka.
Ketika mereka
mengetahui bahwa iringan laskar Widura dan anak-anak muda mereka datang, segera
mereka membuka regol yang mereka kancing dengan palang kayu. Beberapa orang
laki-laki dengan tergesa-gesa pergi menyongsong mereka dan membantu mereka
menolong kawan-kawan yang terluka.
“Adakah
Sangkal Putung baik-baik?” bertanya Widura kepada salah seorang dari mereka.
“Baik tuan”
jawab yang ditanya,
“Tak ada
laskar mereka yang merembes kemari”
“Bagus” sahut
Widura.
“Siapakah yang
berada di kademangan?”
“Setiap
laki-laki yang tak ikut maju menyongsong lawan” jawab orang itu dengan bangga.
“Sebagian di
kademangan dan sebagian di lumbung desa”
“Bagus”
berkata Widura sambil mengangguk-angguk,
“Setiap
laki-laki di Sangkal Putung akan menjadi pahlawan”.
Orang itu
tersenyum-senyum. Lalu ia bertanya pula,
“Bagaimanakah
dengan laskar Macan Kepatihan?”
“Mereka telah
meninggalkan kita” jawab Widura.
“Setidak-tidaknya
untuk sementara bahaya tak akan datang kembali”
“Mampuslah
mereka” geram orang itu.
Widura
tersenyum, namun ia tidak menjawab.
Ketika
laskarnya memasuki halaman kademangan, maka gemparlah halaman itu. Beberapa
orang perempuan berlari-lari menyambut anak-anak mereka yang datang dengan
kebanggaan di dada mereka. Namun ada juga yang terpaksa memeras air mata,
karena anak-anak mereka jatuh menjadi banten kampung halaman.
“Alangkah
biadabnya orang-orang Jipang” keluh mereka. Dan Widura yang mendengarnya, hanya
dapat mengelus dada. Beberapa orang tetangga mereka berkerumun untuk menghibur
mereka. Tetapi mereka sama sekali tidak membayangkan, bahwa isteri-isteri dan
ibu-ibu orang Jipang yang terbunuh itu pun akan mengutuk dengan muaknya sambil
menangis,
“Alangkah
kejamnya orang-orang Pajang”. Memang sebenarnyalah peperangan tak dapat
dipisahkan dari kekejaman, tangis dan penyesalan.
Maka, di
pendapa kademangan itu, di atas helai-helai tikar pandan, berbaring
berderet-deret orang yang terluka. Sedang orang-orang lain sibuk dengan
kawan-kawan mereka yang gugur. Sedayu, yang berada di kademangan itu pula,
ketika didengarnya pamannya kembali dari peperangan, segera menyambutnya.
Dengan wajah pucat dan gemetar, ia mengikuti pamannya masuk ke pringgitan.
Terbata-bata ia bertanya,
“Bagaimanakah
dengan laskar Jipang itu paman?”
Widura
tersenyum.
“Duduklah
Sedayu” katanya mempersilakan.
Sedayu
kemudian duduk dengan gelisahnya. Sementara itu Widura berjalan ke sudut
ruangan, meraih gendi dari gelodog bambu, dan minumlah ia sepuas-puasnya. Di
tangga pendapa kademangan, Hudaya duduk sambil membelai senjatanya.
Sekali-sekali tangannya mengusap pelipisnya yang terluka. Meskipun demikian ia
masih sempat tertawa dan berkata kepada Citra Gati yang duduk di sampingnya,
“Untunglah,
bukan kumisku yang terkelupas”
“Lain kali
kepalamu” sahut Citra Gati sambil memijat-mijat tangannya yang terkilir, ketika
ia berguling-guling menghindari serangan tongkat putih Macan Kepatihan.
Tiba-tiba teringatlah olehnya betapa tengkorak kuning di ujung tongkat Tohpati
itu menyambar keningnya.
“Ngeri”,
gumamnya.
“Apa yang
ngeri?” bertanya Hudaya dengan heran.
“Tengkorak
itu” jawab Citra Gati.
Kembali Hudaya
tertawa.
“Ketika
seseorang dari orang-orang Jipang itu menyerang aku, aku menjadi gembira.
Bukankah aku telah dibebaskan dari bahaya tongkat baja putih itu?”
“Ah, gila kau”
desah Citra Gati. Dan kemudian keduanya pun terdiam. Kedua-duanya dicengkam
oleh kengerian, apabila diingatnya senjata Tohpati yang bergulung-gulung
seperti prahara.
Sidanti tidak
tampak duduk di antara mereka. Anak muda itu segera pergi ke dapur. Ditemuinya
di sana seorang gadis yang mula-mula sedang sibuk menyiapkan makan untuk
mereka. Tetapi ketika dilihatnya Sidanti datang kepadanya sambil
tersenyum-senyum maka dengan tergesa-gesa diletakkannya pekerjaannya, dan
berlari-lari menyongsong anak muda itu.
“Kau terluka?”
gadis itu bertanya dengan cemas.
Sidanti
mengangguk.
“Tidak
seberapa” jawabnya. Memang luka itu tidak begitu parah, meskipun tangan
kanannya masih belum dapat digerakkan dengan leluasa.
Sementara itu
dari dalam gandok terdengar Swandaru berteriak memanggil,
“Mirah, Sekar
Mirah”
Sidanti
tersenyum mendengar suara itu. Katanya,
“Kakakmu
memanggil”
Sekar Mirah
menyerutkan keningnya,
“Biarlah.
Kakang terlalu manja”
Dan dari
gandok itu terdengar kembali suara Swandaru,
“Mirah, he
Mirah. Dimana kain parangku?”
“Cari sendiri”
sahut adiknya berteriak tidak kalah kerasnya.
“Ayo carikan”
bentak kakaknya.
“Kalau tidak,
aku tak mau mengisi jambangan kalau kau mandi”.
Sekar Mirah
tidak menjawab, namun terdengar suara Sindanti,
“Jangan
terlalu manja Swandaru”.
Mendengar
suara Sidanti, Swandaru terdiam. Namun ia menggerutu,
“Setan,
Sidanti itu. Awas, kalau Mirah masih berkawan dengan anak muda itu. Suatu
ketika aku hajar kedua-duanya” Tetapi ia tidak berani memanggil adiknya lagi.
Ia tahu, bahwa adiknya lebih senang tinggal bersama Sindanti daripada datang
kepadanya. Karena itu dengan marah diaduk-aduknya setumpuk kain digelodog
pakaiannya. Dan akhirnya ditemukan juga kain parangnya. Ketika ia berlari-lari
keluar gandok lewat dapur, sampai dimuka pintu langkahnya terhenti. Dilihatnya
Sekar Mirah sedang membersihkan luka Sidanti dengan asyiknya, di bawah rimbun
daun kemuning.
“Gila”
geramnya perlahan-lahan. Namun ia tidak berani mengganggu. Segera ia kembali
masuk ke dapur dan berlari ke pendapa sambil menyambar sepotong paha ayam.
Di pringgitan,
Widura kini sudah duduk di muka Agung Sedayu. Dengan cermat diceritakan apa
yang terjadi di garis pertempuran. Akhirnya Widura itu berkata,
“Sebenarnya
kami harus berterima kasih kepadamu dan Untara, sebab dengan demikian kami
telah kalian bebaskan dari kehancuran mutlak”
Keduanya
kemudian berdiam diri. Namun di hati Sedayu masih belum tenang benar. Karena
itu ia bertanya,
“Tetapi,
dengan demikian, tidakkah ada kemungkinan Macan yang ditakuti itu datang kembali?”
“Mungkin”
sahut pamannya. Sebenarnya ia pun kecewa terhadap hasil yang dicapainya. Namun
kemampuan laskarnya sangat terbatas, dan hasil itulah yang sebesar-besanya
dapat dicapai.
“Lalu,
bagaimanakah kalau mereka datang kembali dengan tiba-tiba?” desak Sedayu.
“Bukankah di
sini ada Sedayu” sahut Widura sambil tertawa.
”Ah” Sedayu
mengeluh.
Widura iba
juga melihat Sedayu menunduk. Karena itu ia segera bertanya,
“Adakah kau
sempat beristirahat?”
Sedayu
menggeleng,
“Tidak”
jawabnya. Ia tidak perlu malu-malu kepada pamannya, sebab pamannya telah
mengenalnya dengan baik.
“Aku menjadi
gelisah” Sedayu meneruskan,
“Ketika aku
mendengar tanda bahaya, maka aku tak dapat duduk dengan tenang, apalagi
berbaring”
Widura pun
kemudian terdiam ketika mereka mendengar langkah masuk. Dan sesaat kemudian
duduklah di atara mereka Ki Demang Sangkal Putung. Wajahnya menjadi merah dan
debu yang melekat di wajah itu belum sempat diusapnya. Bajunya masih baju yang
dipakainya bertempur. Basah oleh keringat. Tanpa disangka-sangka orang itu,
tetua kademangan Sangkal Putung, mengulurkan tangannya dengan hidmat kepada Agung
Sedayu sambil berkata dalam,
“Angger, kau
telah membebaskan daerah kami, kampung halaman dan lumbung-lumbung kami. Apakah
yang dapat kami lakukan untuk membalas jasa anakmas ini”.
Sedayu menjadi
bingung. Namun diulurkannya juga tangannya untuk menyambut tangan Demang
Sangkal Putung. Terasa tangan Demang itu gemetar, dan tangannya sendiri pun
gemetar pula. Tetapi ta tidak dapat menjawab sepatah katapun. Bahkan ia menjadi
semakin bingung ketika Demang itu berkata,
“Ternyata
angger pun tidak sampai hati membiarkan laki-laki yang berada di kademangan ini
menjadi gelisah. Ternyata angger tidak mau beristirahat betapa pun lelahnya.
Bahkan angger telah hilir mudik di pendapa dan di halaman, sehingga dengan
demikian setiap orang yang berada di kademangan ini, baik perempuan dan
anak-anak yang mengungsikan diri, mau pun mereka yang berjaga-jaga menjadi
tenang karenanya, sebab ada di antara mereka yang sudah mendengar, siapakah angger
ini”.
Sedayu tidak
tahu, bagaimana ia harus menanggapi kata-kata Demang Sangkal Putung itu,
sehingga dengan demikian, hampir seluruh tubuhnya menjadi basah oleh keringat
dingin, melampaui keringat yang membasahi baju Ki Demang Sangkal Putung. Widura
melihat Agung Sedayu dengan menahan senyum. Dilihatnya, betapa keadaan Agung
Sedayu yang gelisah. Tetapi Demang Sangkal Putung itu mempunyai tanggapannya sendiri,
katanya di dalam hati,
“Angger Agung
Sedayu benar-benar orang yang rendah hati. Meskipun jasanya bagi kami tak
ternilai harganya, namun apabila hal itu kami sebut-sebut di hadapannya,
agaknya tak berkenan di hatinya”
Tetapi Widura
itu pun kemudian menjadi cemas. Apabila orang-orangnya dan orang-orang Sangkal
Putung terlanjur mempunyai anggapan yang keliru terhadap Agung Sedayu, maka
akibatnya akan dapat menyulitkan Agung Sedayu sendiri. Meskipun demikian,
Widura tidak dapat mencegah mereka. Ia sama sekali tidak mengatahui, cara yang
sebaik-baiknya untuk menempatkan Agung Sedayu pada tempat yang sewajarnya.
Bahkan Widura pun kemudian menjadi gelisah ketika teringat olehnya, bagaimana
sikap Sidanti kepada anak itu. Sebentar kemudian, sampailah saatnya laskar yang
lelah itu menerima makan mereka. Tidak saja mereka yang berempur di simpang
empat Pandean, tetapi semuanya yang berada di kademangan itu mendapat
bagiannya. Widura pun kemudian melihat-lihat keadaan laskarnya, melihat mereka
yang dengan lahapnya menelan segumpal demi segumpal nasi ke dalam mulutnya,
namun ia melihat juga beberapa orang yang terpaksa disuapi karena lukanya yang
parah.
“Makanlah”
bisik Widura kepada mereka yang terluka,
“Makanlah
banyak-banyak supaya lukamu lekas sembuh”
Orang-orang
yang terluka itu menjadi agak terhibur juga hatinya. Namun betapa mereka
mencoba makan sebanyak-banyaknya, namun leher mereka serasa kering dan
tersumbat.
Meskipun
menurut perhitungan Widura, laskar Tohpati itu tidak akan segera datang
kembali, namun ia tidak mau kehilangan kewaspadaan. Di tempatkannya beberapa
orang pengawas di luar kademangan Sangkal Putung, dan dinasehatkannya kepada
setiap anak buahnya, supaya tidak melepaskan senjata mereka, meskipun mereka
sedang beristirahat dan tidur di malam hari. Malam hari itu, Agung Sedayu
mendapat kehormatan untuk tidur di pringgitan bersama Widura, meskipun bagi
Sedayu tidak disediakan sebuah amben. Namun Sedayu dapat tidur dengan tenteram
di atas tikar pandan di dekat pamannya. Malam itu Sedayu benar-benar dapat
melepaskan segenap ketegangan urat syarafnya serta benar-benar dapat
beristirahat dengan puas. Meskipun kadang-kadang terbangun juga oleh mimpi yang
mengejutkan. Tetapi ia kemudian tertidur kembali setelah ia melihat pamannya
masih saja duduk di sampingnya, sambil menggosok-gosok wrangka kerisnya dengan
kelopak bunga keluwih. Memang, malam itu Widura tidak segera dapat tidur.
Ada-ada saja yang selalu mengganggu pikirannya. Laskar Tohpati, Agung Sedayu
dan Untara. Tiba-tiba Widura itu pun bergumam,
“Ah, alangkah
baiknya kalau Untara itu segera berada di tempat ini. Di sini ia dapat membantu
kami apabila Tohpati itu datang kembali, dan sekaligus Sedayu tak menggangguku
lagi”
Widura itu pun
kemudian mengangguk-angguk. Ia sudah berketetapan hati, besok Sedayu akan
dibawanya menjemput kakaknya yang luka. Mungkin di Sangkal Putung ia akan
mendapat perawatan yang lebih baik. Dan di tempat ini, keamanannya pun akan
lebih baik pula. Karena dalam keadaan terluka, adalah sangat berbahaya apabila
dengan tiba-tiba beberapa orang lawannya datang mencarinya.
Widura
mengangguk-angguk seorang diri seperti api clupak yang menempel pada tiang
pringgitan itu ditiup angin malam. Tetapi ketika ditatapnya wajah Agung Sedayu,
ia menarik nafas. Alangkah jauh bedanya. Agung Sedayu dan Untara. Kedua-duanya
adalah anak Ki Sadewa, dan kedua-duanya pula lahir dari ibu yang sama, kakak
perempuannya, istri Ki Sadewa itu.
“Aneh”
gumamnya. Dan tanpa dikehendakinya sendiri Widura itu pun hanyut kedalam masa
lampaunya. Selagi ia masih tinggal bersama-sama kakak perempuannya itu. Untara
adalah anak yang sulung. Ia lahir dan besar di dalam alam yang bebas dan penuh
gairah. Ia bermain-main bersama kawan-kawannya, berlomba dan kadang-kadang
berkelahi di antara sesama kawan-kawannya. Binten, sodoran dan sebagainya. Di
samping itu, anak itu dengan tekun mempelajari ilmu tata bela diri dari ayahnya.
Bahkan kadang-kadang dibawanya Untara berjalan jauh. Melihat daerah-daerah yang
belum pernah dikunjunginya. Ke rumah sahabat-sahabatnya. Tidak saja di daerah
Demak, namun ia pernah juga berkunjung ke daerah-daerah yang jauh. Banten,
Cirebon, Gresik dan Banyuwangi. Dari ujung sampai ke ujung yang lain dari pulau
ini. Sudah banyak yang dilihatnya, dan sudah banyak pula yang didengarnya.
Sudah tentu di perjalanan banyak pula pengalaman-pengalaman yang ditemuinya.
Berkelahi dengan penyamun-penyamun, dengan penjahat-penjahat dan bahkan
berkelahi hanya karena salah paham. Ayahnya adalah seorang sakti yang sukar
dicari bandingnya. Malahan kadang-kadang ayahnya memaksanya untuk melawan
orang-orang yang berbuat jahat kepada mereka, sedang ayahnya sendiri hanya
menontonnya seperti menonton adu ayam. Dan kadang-kadang ayahnya itu pun
terpaksa memberikan pertolongan kepada orang-orang yang sangat memerlukannya.
Karena itu, sejak kecil Untara telah banyak bermain-main dengan senjata.
Sehingga akhirnya, setelah puas dengan pengembaraan, perkelahian dan pengalaman
atas ilmu kesaktiannya, maka Ki Sadewa kemudian seakan-akan menarik diri dari
pergaulan. Ia lebih senang merendam dirinya di rumah, bermain-main dengan
anaknya yang bungsu dan bekerja dikebunnya. Mananam sayur-sayuran dan
bunga-bungaan. Sedang Sedayu mengalami masa yang jauh berbeda dengan kakaknya.
Ia lahir setelah ibunya mengalami pukulan yang berat bagi seorang ibu. Dua
anaknya laki-laki yang lain, berturut-turut telah meninggal dunia. Betapa sedih
dan cemasnya apabila hal itu akan berulang kembali. Apalagi di desak pula oleh
keinginannya mempunyai seorang anak perempuan. Namun yang lahir terakhir itu
pun laki-laki pula. Agung Sedayu.
Pada saat itu
pula, Ki Sadewa telah menempuh cara hidup yang lain. Ia sama sekali menghindari
setiap pertentangan yang timbul. Di dalam pengembaraannya, kemudian
ditemukannya suatu kesimpulan, bahwa tak akan dapat ditemuinya ketentraman
hidup di antara gemerlapnya pedang dan pekik kesakitan. Diusahakannya pula
mengembalikan hidupnya ke dalam hakekatnya. Manusia lahir karena pancaran kasih
Tuhan, bahkan Tuhan telah memberikan beberapa bagian dari sifat-sifatnya kepada
manusia pula. Namun manusia akhirnya jatuh kedalam dosa. Dan karena itulah maka
manusia dijauhkan daripada Nya. Namun karena Tuhan adalah Maha Pengasih, Maha
Pengam pun dan Maha Penyayang, maka apabila manusia bertobat, akan diampunkan
dosa-dosa itu. Bertobat lahir batin, hasrat dan perbuatan. Maka yang dilakukan
Ki Sadewa itu kemudian adalah membekali anak-anaknya dengan cinta itu. Kalau
terpaksa mereka bertempur, maka haruslah dilandasi atas dari itu. Dasar
kebaktian kepada sumber hidupnya dan pengabdian kepada sesama serta pengabdian
kepada diri sendiri. Tetapi Sedayu tidak pernah mengalami masa penempaan
seperti kakaknya. Ibunya tidak pernah melepaskannya dari sisinya. Apabila
sekali-sekali Untara mengajak adiknya bermain, dan ditemuinya sedikit lecet di lututnya,
maka Untara harus menerima akibatnya. Sedayu itu dipelihara oleh ibunya dengan
kasih yang berlebih-lebihan. Betapa ia takut kehilangan anak untuk ketiga
kalinya, dan betapa ia ingin mencium seorang anak perempuan. Hanya
kadang-kadang saja ibunya melepas Agung Sedayu bermain-main dengan ayahnya.
Namun itu pun mainan yang tidak berbahaya. Memanah, bandil, paser dan berburu.
Tetapi tidak lebih dari berburu burung. Kalau Untara dapat berbangga karena ia
berhasil menangkap hidup atau mati seekor kijang, maka Sedayu akan berbangga
apabila ia telah dapat memanah seekor burung yang paling lincah. Sikatan.
Tetapi daerah perburuan Sedayu tidak lebih dari batas pagar halamannya. Memang
Agung Sedayu memiliki kecakapan-kecakapan yang khusus pula. Ia tidak saja dapat
membunuh burung dengan panah, bahkan dengan lemparan-lemparan batu ia berhasil
menangkap beberapa ekor burung. Dan ayahnya yang memiliki pengamatan yang tajam
atas kekhususan anak-anaknya itu pun telah mencoba mengembangkannya. Meskipun
Untara, yang memandang hidup ini sebagai kancah perjuangan dalam kebaktian dan
pengabdian, kadang-kadang dengan diam-diam mengajak adiknya untuk mempelajari
ilmu-ilmu yang pernah ditekuninya. Dan Sedayu bukan anak yang berotak tumpul.
Sedikit demi sedikit dikuasainya pula beberapa persoalan tata bela diri. Namun
sangat terbatas. Meskipun demikian berkembang pula. Tetapi daerah hidupnya tak
terlalu luas. Sehingga karena itulah Aung Sedayu memandang daerah sekitarnya
sebagai daerah yang sangat berbahaya, dan memandang segala segi kehidupan
dengan penuh kecemasan dan ketakutan. Sehingga anak itu benar-benar tidak
mempunyai kepercayaan kepada dirinya sendiri.
Angan-angan
Widura tentang masa lampau itu pun terhenti ketika dilihatnya Agung Sedayu
menggeliat. Ketika anak itu membuka matanya, dan dilihatnya Widura masih duduk
di sampingnya, maka terdengar ia bertanya,
“Mengapa paman
belum tidur?”
Widura
menggeleng,
“Belum Sedayu”
“Apakah masih
ada bahaya yang mungkin datang malam ini?”
Sekali lagi
Widura menggeleng,
“Tidak, tidak
ada” jawabnya.
“Aku tidak
biasa tidur sebelum lewat tengah malam”
Sedayu tidak
bertanya lagi, sebab matanya seakan-akan telah melekat. Karena itu ia segera
tertidur kembali. Ketika Widura mendengar ayam jantan berkokok dipertengahan
malam, segera ia bangkit. Perlahan-lahan ia melangkah keluar dan dilihatnya
sekali lagi anak buahnya yang sedang beristirahat. Ditengoknya pula para
penjaga di regol depan.
“Bukankah
kalian tidak kantuk?” Widura bertanya kepada salah seorang dari mereka.
“Tidak” jawab
orang itu.
“Bagus” sahut
Widura, kemudian kepada yang lain ia berkata,
“Tugasmu
tinggal sesaat lagi. Rombongan tengah malam kedua telah siap”.
“Kami sudah
siap menunggu” jawab mereka.
Widura
tersenyum, lalu ditinggalkannya orang-orang diregol halaman itu. Di pendapa
dilihatnya beberapa orang masih sibuk melayani kawan-kawan mereka yang terluka.
Bahkan ada di antaranya yang menggeram menahan sakit. Widura datang pula kepada
mereka. Meraba dahi mereka dan berkata,
“Tenangkan
hatimu. Kau akan lekas sembuh”
Kemudian ia
berjalan di antara anak buahnya yang tertidur dengan nyenyaknya karena lelah.
Di sudut dilihatnya Sidanti dengan gelisah berbaring. Agaknya lukanya terasa
pedih. Tetapi Widura tidak menyapanya. Ia takut kalau suaranya akan mengejutkan
orang-orang yang sedang tidur. Ketika ia melangkah masuk ke pringgitan, dalam
keremangan malam ia melihat Ki Demang Sangkal Putung berjalan melintasi
halaman. Agaknya orang itu pun belum tidur juga. Baru saat kemudian Widura
meletakkan tubuhnya untuk beristirahat di pembaringannya. Malam itu serasa
berjalan dengan cepatnya. Lelah, kantuk dan penat telah menenggelamkan laskar
Widura itu ke dalam pelukan tidur yang nyenyak. Dan malam itu tak diganggu oleh
bermacam-macam ketegangan dan keributan. Sangkal Putung telah tidur dengan
nyenyaknya.
Keesokan
harinya, Widura telah bersiap membawa Agung Sedayu untuk menjemput kakaknya.
Makin cepat semakin baik. Sebab bahaya bagi Untara akan dapat datang setiap
saat. Widura pagi itu segera mempersiapkan diri. Dibawanya beberapa orang anak
buahnya serta dengan mereka. Sebab di perjalanan selalu terbuka kemungkinan
mereka akan bertemu dengan orang-orang Jipang. Mungkin Alap-alap Jalatunda dan
kawan-kawannya, mungkin orang-orang lain dari lungkungan laskar Tohpati. Setelah
memberikan beberapa pesan kepada anak buahnya serta meletakkan pimpinan di
tangan Citra Gati, maka Widura bersama Agung Sedayu beserta orang-orang yang
lain pun segera meninggalkan Sangkal Putung. Diberinya Citra Gati ancar-ancar
kemana ia akan pergi, sehingga apabila keadaan sedemikian memaksa maka Citra
Gati harus segera mengirim orang untuk menjemputnya. Kali ini Widura dan
rombongannya berjalan ke arah barat. Lewat Kali Asat. Lewat daerah itu, maka
kemungkinan yang pahit dapat dikurangi menjadi sekecil-kecilnya. Di sepanjang
perjalanan mereka hampir tidak bercakap-cakap sama sekali. Kuda mereka melaju
seperti sedang berlomba. Debu yang putih mengepul bergumpal-gumpal. Agung
Sedayu melihat jalan-jalan di bawah kaki kudanya dengan jantung yang
berdebar-debar. Becek dan berbatu-batu. Apakah jadinya seandainya pada saat ia
memacu kudanya malam lusa, terjadi sesuatu yang tak diharapkan. Seandainya
kudanya tergelincir dan terbanting jatuh? Untunglah bahwa ia sampai ke Sangkal
Putung dengan selamat, meskipun pada saat itu, ia seakan-akan berpacu sambil
memejamkan matanya. Beberapa saat kemudian mereka telah sampai di padukuhan
kecil yang tidak begitu ramai. Apalagi dalam keadaan yang penuh dengan
kericuhan itu. Meskipun matahari telah tinggi, namun padukuhan itu masih sepi.
Satu dua orang perempuan tampak berjalan menyeberangi lorong yang membelah desa
mereka. Namun kemudian sepi kembali. Apalagi ketika mereka mendengar derap kuda
memecah kesepian pagi. Maka pintu-pintu yang telah terbuka setebal tubuh itu
pun menjadi terkatub kembali. Orang-orang yang tinggal di pinggir-pinggir
jalan, berusaha mengintip, siapakah yang sedang lewat itu. Namun tak seorang
pun dari mereka yang mengenalnya. Widura melihat desa-desa yang terpencil itu
dengan sedih. Laskarnya tidak cukup banyak untuk disebarkan di
padukuhan-padukuhan yang terpencar-pencar. Sedang rakyat di desa-desa itu pun
tak akan dapat memberikan perlawanan apa pun seandainya orang-orang dalam satu
gerombolan yang kecil sekalipun datang kepada mereka, dan memaksa mereka
memberikan segala barang miliknya.
Daerah itu
dilalui dengan kesan yang khusus di hati Widura. Sebaliknya Agung Sedayu segera
melihat tikungan di hadapan mereka. Tikungan randu alas. Tetapi kini ia tidak
setakut pada malam lusa. Kali ini Sedayu berani mengamati pohon itu dengan
jelas, meskipun terasa tengkuknya meremang Kuda mereka masih berpacu terus.
Lewat tikungan randu alas, sampailah mereka di bulak yang panjang. Dan
teringatlah ia bahwa kuda yang dipakainya itu adalah milik seseorang yang
menamakan diri Kiai Gringsing. Karena itu dengan serta merta Agung Sedayu
berkata,
“Di ujung
bulak inilah aku bertemu dengan Kiai Gringsing”
“Kiai
Gringsing” Widura mengulang.
“Ya” sahut
Sedayu. Setelah ia menoleh, dan dilihatnya kawan-kawannya agak jauh di
belakang, maka diceriterakannya serba sedikit tentang orang bertopeng,
berkerudung kain gringsing dan menyebut dirinya Kiai Gringsing pula.
“Aku belum
pernah mendengar nama itu” gumam Widura.
“Apalagi
bertemu dengan orangnya”
“Orang itu
bertempur melawan Alap-alap Jalatunda seperti sedang bermain-main. Senjatanya
adalah sebuah cambuk kuda”
Widura
mengangkat alisnya. Seseorang yang bersenjata cambuk kuda pun belum pernah
didengarnya.
“Orang aneh”
desisnya.
“Sudah pasti
nama itu bukan nama sebenarnya, dan senjata itu hanyalah semacam syarat saja.
Orang yang demikian pasti akan dapat melawan musuhnya tanpa senjata apapun”
Sedayu tidak
menjawab. Dan kembali mereka terdiam. Kini mereka telah melampaui tikungan di
ujung bulak, sedang kuda mereka masih berpacu terus.
Ketika Agung
Sedayu melihat desa di hadapannya, hatinya berdebar-debar. Kalau desa itu telah
mereka lewati, maka segera mereka akan sampai kepersawahan. Dari mulut lorong
desa itu, sudah akan akan dapat mereka lihat dukuh Pakuwaon. Sebuah padukuhan
kecil yang tak banyak disebut-sebut orang. Dukuh itu akan tak berarti sama
sekali seandainya di dalamnya tidak tinggal seorang tua bernama Ki Tanu Metir. Dengan
demikian, maka hasrat Agung Sedayu untuk sampai ke padukuhan itu menjadi
semakin menyala-nyala. Ia ingin segera melihat kakaknya, dan ia ingin segera
membanggakan diri, tugasnya yang berat telah dapat dilaksanakannya. Dan paman
Widura akan dapat menjadi saksi. Karena itu kudanya dipacu semakin cepat,
sehingga Agung Sedayu beberapa langkah mendahului Widura. Akhirnya desa di
hadapan mereka itu pun telah dilampaui. Dan dengan dada yang berdebar-debar
mereka memasuki dukuh Pakuwon yang sepi. Agung Sedayu segera menuju ke rumah
yang pernah dilihatnya. Lewat lorong yang sempit, kemudian sampailah mereka di
sebuah halaman yang sejuk. Halaman rumah Ki Tanu Metir. Namun alangkah
terkejutnya Agung Sedayu, ketika kesan yang mula-mula didapatnya pada halaman
itu adalah, halaman itu kotor dan tak terurus.
“Apakah
halaman rumah ini memang sedemikian kotornya”. Daun-daun kuning yang bertebaran
dan bahkan tanaman yang patah terinjak-injak. Apalagi ketika dilihatnya rumah
Ki Tanu Metir. Pintunya menganga lebar-lebar, namun sepi.
Maka Agung
Sedayu pun menjadi cemas. Segera ia meloncat turun dan dengan lantang
memanggil,
“Ki Tanu. Ki
Tanu Metir” Namun panggilan itu tak ada jawaban. Sekali, dua kali tetapi rumah
itu tetap sepi. Ketika ia hampir saja meloncat masuk, terdengar Widura
mencegahnya,
“Sedayu,
jangan masuk”
“Kenapa?”
bertanya Agung Sedayu.
“Kau belum
tahu pasti, apa dan siapakah yang ada di dalamnya”
“Oh” dan
tiba-tiba Agung Sedayu pun meloncat dan berlari menjauh.
Hatinya
menjadi berdebar-debar, namun ia menjawab,
“Rumah ini
adalah rumah Ki Tanu Metir, paman. Dan kakang Untara ada di dalamnya”
Namun Widura
tidak menjawab. Ditebarkannya pandangannya berkeliling. Mencurigakan.
“Kau lihat
telapak-telapak kaki kuda?” bertanya Widura.
“Ya” sahut
Sedayu.
“Malam lusa
aku datang berkuda bersama-sama kakang Untara”
Widura
mengangguk-angguk. Tetapi katanya kemudian,
“Juga ke
belakang rumah?”
Agung Sedayu
menggeleng. Dan diikutinya pandangan mata Widura. Dilihatnya telapak-telapak
kaki kuda dari belakang rumah Ki Tanu. “Oh” desisnya.
“Pasti ada
orang lain yang datang ke rumah ini sesudah aku”
Widura
kemudian berpaling kepada kawan-kawannya. Katanya,
“Lihatlah ke
belakang”
Dua orang dari
mereka pun segera turun dari kuda mereka, dan berjalan berhati-hati ke belakang
rumah. Tak ada sesuatu yang mereka lihat. Di belakang rumah itu, terdapat
sebuah kandang kuda. Tetapi kandang kuda itu telah kosong. Dan apa yang
dilihatnya itu pun dilaporkannya kepada Widura. Widura mengangguk-angguk,
“Telapak
kaki-kaki kuda itu adalah kaki-kaki kuda Ki Tanu Metir sendiri” gumamnya.
“Tetapi kenapa
tanaman-tanaman ini menjadi rusak”. Kemudian kepada Agung Sedayu Widura
bertanya,
“Apakah kudamu
menginjak-injak tanaman pada saat kau datang?”
“Aku kira
tidak paman. Meskipun saat itu malam, namun aku tak merasakan bahwa kaki-kaki
kuda itu menginjak-injak tanaman” jawab Sedayu.
Widura
mengangguk-angguk. Ia pun tak melihat bekas-bekas kaki kuda di antara tanaman
yang rusak itu. Karena itu Widura pun menjadi sibuk berpikir. Perlahan-lahan ia
turun dari kudanya dan dengan hati-hati berjalan mendekati pintu rumah Ki Tanu
Metir.
“Kita lihat
rumah itu” katanya. Kepada kawan-kawannya Widura berkata,
“Awasi
keadaan”.
Dengan penuh
kewaspadaan Widura menuju ke pintu yang terbuka itu. Dengan telitinya ia
memandang kedalam. Sepi, dan telinganya pun tidak mendengar sesuatu.
“Ki Tanu” ia
memanggil perlahan-lahan namun tak ada jawaban. Sehingga tiba-tiba Widura itu
meloncat masuk dengan cepatnya, dan kemudian dengan seksama menebarkan
pandangannya berkeliling. Tetapi tak dilihatnya apa pun di dalam rumah itu.
“Hem”
geramnya, “kosong”.
Sedayu yang
selalu mengikutinya pun segera meloncat masuk pula. Yang pertama-tama
dilihatnya adalah bantal-bantal yang berserakan di amben tengah.
“Itulah”
katanya.
“Apa” Widura
terkejut.
“Bantal”
jawabnya.
“Ah” Widura
menarik nafas.
“Kenapa
bantal?”
“Di situlah
kemarin lusa kakang Untara berbaring. Tetapi bantal itu kini telah
bercerai-berai” jawab Sedayu dengan cemas.
Widura
mengangguk-angguk. Hatinya menjadi semakin gelisah. Apakah yang telah terjadi
dengan Untara? Karena itu Widura pun segera memeriksa rumah itu dengan
hati-hati. Sentong kanan dan sentong tengah. Tatapi juga tak ditemuinya sesuatu
di dalam sentong-sentong itu. Di sentong kiri Widura melihat setumpuk padi berhamburan
tak keruan. Ketika ia menengok ke dalam sebuah bakul yang besar, yang biasanya
untuk menyimpan padi, hatinya berdesir. Ia melihat noda-noda merah di dalamnya.
Darah yang kering. Dengan cepat Widura memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan
yang terjadi. Agaknya Untara telah disembunyikan di dalam bakul itu dan
ditimbuni dengan padi. Tetapi padi itu telah berhambur-hamburan dan bakul itu
telah kosong. Karena itu ia menjadi semakin cemas. Namun Widura sama sekali tak
mengatakannya kepada Sedayu, takut anak muda itu menjadi bingung dan mengganggu
pekerjaannya. Ketika Widura sudah pasti bahwa di dalam rumah itu tak ditemuinya
sesuatu, maka ia pun segera melangkah keluar dan diikuti oleh Agung Sedayu.
Sekali lagi Widura melihat halaman rumah Ki Tanu Metir. Namun tak ada sesuatu
yang dapat memberitahukan kepadanya, apakah yang kira-kira sudah terjadi. Ketika
Widura sedang sibuk berteka teki, maka dilihatnya seseorang berjalan di lorong
desa itu. Tetapi orang itu pun segera memutar diri, ketika ia melihat beberapa
orang di halaman rumah Ki Tanu Metir. Tetapi Widura tak membiarkan orang itu
pergi. Ia ingin mengajukan beberapa pertanyaan kepadanya. Mungkin orang itu
tetangga dekat Ki Tanu Metir, sehingga ia dapat memberinya beberapa pertanyaan.
Karena itu dengan bertepuk tangan Widura mencoba memanggilnya. Tetapi orang itu
sama sekali tidak mau kembali, bahkan menoleh pun tidak.
“Bawa orang
itu kemari” perintah Widura kepada orang-orangnya.
Ketika orang
yang berjalan menjauh itu mengetahui dua orang menyusulnya, maka ia pun segera
berlari. Tetapi kedua orang Widura itu berlari lebih cepat, sehingga orang itu
pun segera dapat disusulnya.
“Kenapa kau
berlari ki sanak?” bertanya salah seorang daripadanya.
Orang itu
menggigil ketakutan. Wajahnya menjadi pucat dan bibirnya gemetar. Dengan penuh
ketakutan ia menjawab,
“Aku….. aku
tidak berlari tuan”
“Jangan takut”
berkata orang-orang Widura itu.
“Kami tidak
akan berbuat sesuatu. Kami hanya ingin bertanya sedikit kepadamu. Ikutlah”
Orang itu
tidak dapat menyangkal dan menolak. Dengan lutut gemetar ia berjalan diapit
oleh kedua orang Widura. Sedemikian takutnya, sehingga sekali-sekali ia
berjalan merunduk-runduk. Di dalam benaknya telah terbayang, betapa punggungnya
menjadi patah dan giginya akan rampal habis, seperti gigi Kriya yang kecil.
Orang itu pernah mendengar, bahwa Kriya pun pernah mendapat pertanyaan dari
orang yang tak dikenalnya. Akibatnya orang itu tak dapat bangun dari
pembaringannya. Karena itu, maka demikian orang itu sampai di hadapan Widura
dan melihat pedang Widura yang besar tergantung di pinggangnya, segera ia
menjatuhkan diri, berlutut sambil merengek,
“Ampun tuan,
aku tidak akan mengganggu pekerjaan tuan”
Widura
memandang wajah orang itu dengan heran. Bahkan kemudian ia bertanya,
“Kenapa ki
sanak menjadi ketakutan?”
“Aku tidak
akan berbuat sesuatu, tuan” ulang orang itu, seakan-akan ia tidak mendengar
pertanyaan Widura.
Widura
memandang orang itu dengan seksama. Seorang setengah umur, namun rambutnya
telah memutih.
“Aneh” katanya
dalam hati. Dan tiba-tiba saja, Widura memandang daerah di sekitarnya. Sepi.
Menang jalan-jalan desa yang kecil ini tidak akan terlalu ramai dilewati orang.
Namun sejak ia memasuki desa ini, baru seorang itulah yang dilihatnya. Dengan
demikian Widura segera menghubungkan, halaman yang kotor, tanaman yang
patah-patah, kaki-kaki kuda dan kesepian yang mencekam padukuhan ini. Sedang
orang yang pertama-tama ditemuinya, bersikap aneh terhadapnya. Karena itu maka
dengan perlahan-lahan dan hati-hati Widura bertanya,
“Ki Sanak.
Kenapa kau menjadi ketakutan. Kami tidak akan berbuat apa-apa. Yang kami
inginkan hanyalah beberapa keterangan tentang rumah ini”
“Oh, ampun
tuan. Ampun. Aku tidak tahu apa-apa tentang rumah ini dan desa ini” mintanya
dengan iba.
Widura menjadi
semakin heran,
“Apakah yang
sebenarnya telah terjadi?” katanya.
Namun orang
setengah umur itu menjadi semakin ketakutan. Kriya, kemarin lusa juga mendapat
pertanyaan-pertanyaan tentang Ki Tanu Metir, tentang tamu-tamunya. Kemudian
oleh orang-orang yang bersenjata pedang seperti orang yang berdiri di hapannya
itu, giginya telah dirontokkan dan bahkan punggungnya serasa akan patah. Karena
itu orang setengah umur itu tak henti-hentinya merengek-rengek minta ampun dan
belas kasihan. Widura akhirnya menjadi jengkel. Dengan lantangnya ia membentak,
“Diam!. Jawab
pertanyaanku!”
Orang itu pun
terdiam. Tetapi tubuhnya menggigil. Kini ia tidak berlutut lagi. Kakinya
seakan-akan menjadi terlalu lemah untuk menahan berat badannya. Karena itu ia
terduduk di tanah dengan hati yang dicengkam kekawatiran.
“Siapa
namamu?” bertanya Widura.
“Wangsa, tuan.
Wangsa Sepi” jawab orang itu dengan gemetar.
Nama yang
aneh. Widura sempat bertanya,
“Kenapa Sepi?”
Orang itu
menjadi heran. Ia sendiri tidak pernah berpikir kenapa namanya Wangsa Sepi.
Karena itu, pertanyaan Widura itu sangat membingungkannya. Maka jawabnya
sekenanya,
“Aku tidak
senang ramai-ramai tuan. Aku senang pada sepi”
Widura
mengangguk-angguk. Kemudian ia bertanya pula,
“Dimana
rumahmu?”
“Di sebelah
tuan. Berantara kebon suwung itu” jawabnya.
“Dekat” guman
Widura. Karena itu ia bertanya kembali,
“Ki Sanak,
jawablah pertanyaanku dengan baik, supaya aku bersikap baik juga kepadamu”.
“Ya tuan”
jawab orang yang ketakutan itu.
Widura pun
bertanya pula. Hati-hati dan perlahan-lahan supaya orang itu tidak menjadi
semakin takut kepadanya. Katanya,
“Kau kenal
penghuni rumah ini?”
“Kenal tuan”
jawab orang itu.
“Namanya?”
bertanya Widura.
“Ki Tanu
Metir”
“Bagus” sahut
Widura.
“Nah,
katakanlah ki sanak, dimanakah orang itu sekarang? Ke sawah barangkali? Atau ke
sungai?”
Orang itu
menggeleng, jawabnya,
“Aku tidak
tahu tuan”
Widura
mengangkat alisnya. Kemudian diulangnya pertanyaannya perlahan-lahan,
“Ki Sanak, kau
akan menjawab pertanyaan-pertanyaanku bukan? Nah, apakah kau mengetahui atau
mendengar, kemana Ki Tanu Metir pergi?”
Sekali lagi
orang itu menggeleng, dan sekali terdengar ia menjawab,
“Aku tidak
tahu tuan”
Widura menjadi
gelisah. Tetapi ia masih bersabar. Dengan kedua tangannya orang itu ditariknya
berdiri. Katanya,
“Berdirilah ki
sanak. Berdirilah. Biarlah kita dapat bercakap-cakap dengan baik”.
Dengan susah
payah orang itu pun berusaha berdiri dan tegak di atas kedua kakinya. Namun
lututnya masih juga gemetar. Apalagi ketika ia sadar, bahwa di sekitarnya
berdiri beberapa orang laki-laki yang berwajah keras dengan pedang dipinggang
masing-masing. Meskipun demikian orang itu masih mendengar Widura berkata
dengan sareh,
“Ki sanak. Aku
melihat ketidakwajaran di desa ini. Aku juga melihat beberapa tanda-tanda yang
tak menyenangkan. Karena itu aku datang untuk mencoba mengetahui apa yang telah
terjadi untuk seterusnya mengambil tindakan pencegahan buat saat-saat
mendatang”.
Orang itu
menjadi heran mendengarnya, kemudian ia memberanikan diri untuk bertanya,
“Siapakah
tuan-tuan ini?”
“Kami adalah laskar
Pajang” jawab Widura.
“Oh” desis
orang itu.
“Apakah kalian
bukan kawan-kawan Alap-alap yang muda itu?”
Widura menarik
nafas. Orang itu telah menyebut nama Alalp-alap Jalatunda. Sedayu pun terkejut
pula mendengar nama itu disebutkan. Karena itu ia memotong,
“Apakah
Alap-alap Jalatunda datang kemari?”
Orang itu
menjadi ragu-ragu sejenak. Ditatapnya Widura dan Sedayu dan orang-orang lain
berganti-ganti.
“Jawablah”
minta Widura.
Orang itu
mengangguk,
“Ya” katanya.
“Kriya telah
melihatnya bersama-sama dengan beberapa orang. Di antaranya bernama Plasa”
“Plasa Ireng”
sahut Widura terkejut.
“Ya. Agaknya
demikian. Aku hanya mendengar dari Kriya ketika aku menengoknya tadi pagi”
jawab orang itu.
Widura menarik
nafas. Kemudian ia bergumam perlahan-lahan yang hanya dapat didengarnya
sendiri,
“Setan Ireng
itu sampai juga di sini”. Maka katanya seterusnya,
“Apakah yang
sudah mereka lakukan di sini?”
Wangsa Sepi
menjadi ragu-ragu sejenak. Namun setelah ia mengetahui bahwa orang-orang itu
sama sekali bukan kawan-kawan Alap-alap Jalatunda, hatinya menjadi agak tenang.
Maka jawabnya kemudian,
“Tuan.
Alap-alap Jalatunda datang bersama-sama beberapa orang kawannya. Mereka mencari
dua orang berkuda yang datang ke rumah Ki Tanu Metir”.
Widura menjadi
berdebar-debar dan dada Sedayu berguncang. Sehingga cepat-cepat ia bertanya,
“Adakah mereka
diketemukan?”
“Kami tidak
tahu pasti tuan. Menurut Kriya, orang-orang itu telah memaksa Ki Tanu Metir
untuk menunjukkan dimana salah seorang dari kedua orang itu, yang ternyata terluka,
disembunyikan” jawabnya.
Widura
mengerutkan alisnya. Sesaat ia berpikir, kemudian katanya,
“Dimanakah
rumah Kriya itu?”
“Di sudut
jalan itu tuan” jawab Wangsa Sepi.
“Antarkan kami
kesana. Apakah Kriya sudah dapat diajak berbicara?”
“Sudah tuan”
sahut Wangsa Sepi.
Maka pergilah
mereka, diantar oleh Wangsa Sepi ke rumah Kriya. Rumah kecil beratap ilalang
disiku jalan. Ketika mereka memasuki halaman rumah itu, yang dipagari dengan
pagar bata setinggi dada, mereka melihat seorang perempuan berlari-lari masuk
ke dalamnya.
“Siapakah
orang itu?” bertanya Widura.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar