Jilid 002 Halaman 2


Setiap orang Pajang yang mencoba melepaskan Hudaya dan Citra Gati dari lawan-lawan mereka selalu mendapat lawan-lawan yang baru. Tetapi sementara itu, laskar Pajang telah berhasil mendesak laskar lawannya dari ujung-ke ujung pertempuran. Bahkan laskar Jipang yang bertempur melawan anak-anak muda Sangkal Putung itu pun akhirnya terpaksa beberapa kali menarik diri surut. Swandaru sendiri yang menyadari tenaganya yang perkasa, menghantam setiap lawan yang berdiri di sekitarnya. Apalagi anak muda itu tidak hanya melandaskan diri pada kekuatannya, namun ia tahu juga, bahwa ia harus mempergunakan otaknya.

Ketika Widura melihat Sidanti semakin terdesak, serta setelah dilihatnya, betapa Hudaya dan Citra Gati sama sekali tidak berhasil membantunya dengan leluasa, Widura pun menjadi cemas. Karena itu segera ia meloncat, menyusup di antara pertempuran itu mendekati Sidanti yang telah hampir kehabisan tenaga. Macan Kepatihan yang marah itu, telah mengerahkan segenap kemampuannya untuk segera membinasakan lawannya. Lawan yang bukan saja ditemuinya di garis pertempuran ini, namun dendam gurunya kepada guru anak itu pun telah memaksanya untuk bertempur sekuat tenaga. Tetapi Widura datang tepat pada waktunya. Pada saat Sidanti terdorong beberapa langkah surut, serta tongkat baja itu telah terayun dengan derasnya, sehingga Sidanti tak mungkin lagi menghindar, selain menangkis dengan Nenggalanya, pada saat itulah Widura telah berada di sampingnya. Desisnya sambil menyilangkan pedangnya di hadapan dadanya,
“Aku terpaksa agak lambat menyambutmu Angger.”
“He” teriak Tohpati dengan marahnya. Meskipun demikian ayunan tongkatnya tidak juga ditariknya. Dilihatnya kemungkinan bahwa Nenggala yang dasyat itu kali ini tak akan mampu melawan tenaganya, karena kedudukan Sidanti yang sulit. Namun tiba-tiba dilihatnya bahwa pedang yang bersilang di muka dada Widura itu terayun dengan cepatnya memukul tongkatnya dari samping, sehingga tongkat itu berubah arah. Sidanti terhindar dari maut yang menerkamnya. Namun meskipun demikian, tongkat baja putih itu masih menyentuh pundaknya. Dengan demikian, maka Sidanti terdorong beberapa langkah surut. Terdengarlah anak muda itu berdesis menahan pedih yang menyengat pundaknya itu. Terasa sentuhan itu seperti bara api yang dilekatkan pada kulitnya, ketika tangan kirinya meraba pundak itu, terasa darahnya meleleh dari luka.
“Setan” desisnya dengan geram. Kemarahannya membakar seluruh urat nadinya. Namun tangan kanannya kemudian terasa seakan-akan terlepas dari persendiannya, sehingga tangan itu dengan lemahnya tergantung di sisinya tanpa dapat digerakkannya.

Sidanti menggeram. Terdengar giginya gemeretak menahan marah. Tetapi kini tenaganya telah susut lebih dari separo. Setelah ia memeras tenaganya habis-habisan, kini pundaknya terluka pula. Karena itu, maka Sidanti merasa, bahwa ia tak akan mampu menumpahkan kemarahannya kepada Macan Kepatihan itu. Mau tidak mau Sidanti harus menerima kenyataan yang terluka. Macan Kepatihan itu tidak dapat dikalahkannya, bahkan pundaknya telah dilukainya. Maka ketika ia melihat Widura telah siap untuk melawan Tohpati itu, Sidanti menjadi agak tenang. Sebab dengan demikian maut telah berkisar dari dirinya. Meskipun demikian, Sidanti masih mencari sasaran untuk menumpahkan kemarahannya. Dengan senjatanya di tangan kiri anak muda itu kemudian melawan siapa saja yang berani datang mendekatinya. Walau pun telah terluka, namun Sidanti itu masih tetap berbahaya bagi lawan-lawannya. Tohpati, yang kehilangan korbannya, menggeram penuh kemarahan. Katanya,
“Paman Widura, kau telah menggagalkan usahaku membunuh murid penghianat itu. Karena itu, kau memberi kesempatan, atau kau sendiri yang terbunuh”
“Angger Macan Kepatihan” sahut Widura,
“adalah sudah sewajarnya bahwa sekali kita berhasil mengorbankan lawan kita, namun kali yang lain kita kehilangan kemungkinan itu. Kini kau kehilangan Sidanti, namun kau menemukan aku di sini. Nah, jangan cari yang tidak ada”
“Bagus” teriak Tohpati,
“Memang sejak semula aku ingin bertemu dengan paman Widura. Dan kini paman telah datang menyambut aku”
Widura tidak menjawab. Tetapi ia sadar bahwa ia harus berjuang sekuat kemampuan yang ada padanya. Sebab Tohpati adalah seorang anak muda yang sakti. Meskipun demikian, Widura kini sedang mengemban kewajibannya sebagai seorang prajurit. Karena itu ia harus melawan, betapa pun sakti musuhnya itu. Dalam pertempuran itu, Widura kini dapat menghadapi lawannya dengan tenang, setelah ia yakin, bahwa laskarnya berada dalam keadaan yang lebih baik dari laskar Tohpati. Sedikit demi sedikit laskar Widura itu dapat mendesak lawannya. Sehingga keadaan itu, mau tak mau pasti mempengaruhi jiwa Tohpati sendiri.

Widura dan Tohpati itu segera terlibat dalam pertempuran yang seru. Tampaklah tenaga Tohpati yang kuat seperti raksasa itu melampaui tenaga Widura, namun Widura adalah prajurit yang berpengalaman. Telah berpuluh bahkan beratus kali dihadapinya lawan-lawan yang tangguh, namun untuk kesekian kalinya ia masih tetap hidup. Karena itu maka walau pun Tohpati adalah seorang yang sakti, namun Widura pun memiliki beberapa kesaktian pula, sehingga dengan demikian pertempuran itu menjadi semakin seru. Tongkat baja putih Tohpati berputar melingkar-lingkar dan bayangan warna putih seakan-akan menyelubungi dirinya, bergulung-gulung seperti ombak yang dahsyat siap untuk menelan korbannya. Namun pedang Widura pun memiliki kekhususannya sendiri. Pedang Widura bukanlah pedang yang dapat dibanggakan ketajamannya. Tetapi pedang itu dapat dipakainya untuk menghantam patah besi gligen. Namun setiap sentuhan pada ujung pedang itu, maka pastilah kulit lawannya akan berlubang. Meskipun pedang itu tidak tajam dipunggungnya, tetapi ujungnya runcing melampaui ujung jarum.Di sudut-sudut pertempuran yang lain, semakin lama semakin nyata bahwa laskar Pajang semakin berada dlam keadaan yang lebih baik. Berkali-kali mereka berhasil mendesak lawannya dan berkali-kali pula laskar Tohpati terpaksa menarik diri surut. Bahkan laskar Tohpati yang bertempur di tengah-tengah sawah itu pun kemudian semakin bergeser mendekati induk pasukannya. Mereka kemudian menjadi ngeri melihat anak-anak muda Sangkal Putung bertempur seperti orang-orang kerasukan setan. Sedang di antara mereka terdapat pula orang-orang yang memiliki pengetahuan tempur setidak-tidaknya menyamai laskar Jipang itu. Gabungan antara tekad yang menyala-nyala dan otak yang berpengalaman, menjadikan rombongan anak-anak muda Sangkal Putung itu benar-benar mengerikan. Namun, keadaan Widura tidak sebaik keadaan pasukannya. Seperti juga Sidanti, akhirnya Widura terpaksa mengakui bahwa Macan Kepatihan itu benar-benar perkasa di atas segala orang yang pernah dilawannya. Tetapi Widura tak dapat mengingkari kewajibannya. Ia adalah orang yang terakhir yang harus menahan arus kemarahan Tohpati, apa pun yang akan terjadi pada dirinya. Karena itu, sadar akan tugasnya, maka Widura pun segera mengerahkan segala kesaktiannya. Menurut perhitungannya, maka apabila ia berhasil memperpanjang waktu perlawanannya, maka laskarnya pasti sudah benar-benar dapat menguasai laskar Jipang, sehingga dengan demikian maka keadaan itu akan segera mempengaruhi Macan Kepatihan.

Ternyata perhitungan Widura yang berpengalaman itu pun terjadi. Setiap kali Tohpati dipengaruhi oleh pekik kesakitan dan kadang-kadang sebuah teriakan maut dari anak buahnya. Sedikit demi sedikit, satu demi satu anak buahnya pun rontoklah. Betapa sakit hati Macan yang ganas itu, ketika disadarinya, bahwa keadaan laskarnya benar-benar tidak menyenangkan. Tetapi karena itulah maka kemarahannya menjadi semakin memuncak. Widura itu harus segera dibinasakan. Kemudian ia harus membunuh Sidanti pula. Apabila kedua-duanya telah terbunuh, maka ia akan dapat membantu laskarnya memusnahkan orang-orang Pajang yang dibencinya itu. Lebih daripada itu, maka anak-anak muda Sangkal Putung bukanlah lawan yang perlu diperhitungkan. Karena itulah maka Tohpati itu pun segera mengamuk sejadi-jadinya. Tetapi betapa pun juga, Tohpati tak dapat membutakan matanya serta menulikan telinganya atas peristiwa-peristiwa yang menyedihkan yang terjadi di antara laskarnya. Ia tahu benar, bahwa Widura kini hanya tinggal bertahan memperpanjang waktu. Dan ia pun telah berusaha melawan waktu itu, sehingga pekerjaannya harus segera selesai. Tetapi setiap kali ia mendengar, dan setiap kali ia melihat seorang dari anak buahnya terbanting di tanah dengan darah menyembur dari lukanya, maka hatinya berdesir pula. Sebagai seorang pemimpin yang baik, maka Tohpati tidak akan mengorbankan terlalu banyak anak buahnya untuk hasil yang belum pasti. Dalam waktu yang pendek Macan yang cerdik itu membuat perhitungan untung rugi dari pertempuran itu. Apabila ia berhasil membunuh Widura dan Sidanti, maka apakah jumlah laskarnya masih cukup banyak untuk melawan arus laskar Widura yang tangguh itu. Apakah orang-orang yang cekatan seperti Hudaya, Citra Gati dan beberapa orang lain lagi tidak segera mengambil alih pimpinan dan melawannya dalam sebuah kelompok yang besar bersama-sama. Akhirnya Tohpati tidak dapat mempertahankan tujuan penyerangannya kali ini. Ia harus melihat kenyataan itu. Karena itu, tiba-tiba Tohpati mengambil suatu keputusan untuk menarik diri. Namun setidak-tidaknya ia harus dapat mencegah Widura dan anak buahnya mengambil keuntungan dari keadaan terakhir itu. Maka sekali lagi dengan segenap kemampuan yang ada, Tohpati melibat Widura dalam lingkaran bayangan putih. Bayangan putih itu benar-benar seperti asap yang mengerikan. Asap yang mengandung di dalamnya nafas maut. Widura pun berusaha melawan dengan kemampuan terakhirnya. Tetapi semakin terasa asap putih itu semakin membingungkannya. Ujung tongkat baja putih yang berwarna kuning itu semakin lama terasa semakin dekat dari tubuhnya. Tetapi Widura adalah orang yang tabah. Karena itu ia masih tetap tenang apa pun yang terjadi.

Pada saat-saat terkhir, maka Tohpati itu pun terkejut ketika dilihatnya seseorang mendekatinya. Sebuah pedang terayun dengan derasnya, memotong sinar putih yang bergulung-gulung di sekitarnya. Betapa heran hati macan Kepatihan itu.Tetapi ia tidak memperhatikannya terlalu banyak. Ayunan tongkatnya itu diperkuat untuk menghantam pedang yang mencoba melawannya. Maka terjadilah sebuah benturan yang sengit. Pedang itu terpental beberapa langkah dari titik benturan, dan terlepas dari genggaman. Namun Macan kepatihan itu pun terkejut bukan kepalang. Terasa bahwa tangan yang menggerakkan pedang itu mempunyai kekuatan yang luar biasa. Ketika ia menatap penyerangnya, maka Tohpati melihat seorang anak muda yang gemuk. Dengan gugupnya anak itu mencoba mengambil pedangnya yang bertangkai gading. Namun tangan itu terasa terlalu nyeri. Dengan demikian, maka ia hanya dapat melihat dengan penuh kecemasan ketika Macan Kepatihan itu sekali lagi memutar tongkatnya dan menyerangnya. Ketika Widura melihat anak muda itu hatinya berdesir. Dengan serta merta ia berteriak,
“Swandaru, jangan gila. Pergilah”.
Tetapi Swandaru yang sedang mengagumi kekuatan tangan Tohpati itu tidak beranjak dari tempatnya. Untunglah bahwa Widura dapat bertindak cepat. Dengan garangnya ia meloncat maju, dan menyerang Tohpati dengan ujung pedangnya. Tohpati terpaksa melawan pedang yang terjulur langsung ke dadanya. Sehingga ia menarik serangannya atas Swandaru. Sesaat kemudian kembali Tohpati merusaha sekuat-kuat tenaganya untuk membinasakan Widura. Swandaru kini melihat pertempuran itu dengan mulut ternganga. Ternyata bahwa kekuatan saja, betapa pun besarnya, tidak akan bermanfaat apabila tidak disertai rangkapan ilmu yang lain, ilmu gerak, ilmu ketangkasan dan ilmu menggerakkan senjata. Lebih dari itu adalah ilmu pemusatan pikiran dan kekuatan pada titik-titik tertentu. Tetapi ia tidak tahu, bahwa di samping ilmu-ilmu itu, maka Tohpati mau pun Widura telah mempergunakan ilmu yang dapat mengungkat kekuatan-kekuatan yang tersembunyi di dalam tubuh mereka masing-masing. Karena itu, meskipun Swandaru mempunyai kekuatan yang luar biasa, namun pada saat ia membenturkan pedangnya untuk melawan tongkat putih Tohpati yang sedang berputar itu, maka tenaganya itu seakan-akan tidak berarti. Lalu bagaimanakah kira-kira kekuatan Tohpati, seandainya orang itu dengan sengaja memukulkan tongkatnya dengan kekuatan sepenuhnya?

Tetapi bagaimanapun juga, perbuatan Swandaru itu telah memperpanjang waktu perlawanan Widura. Dengan demikian korban di kedua belah pihak pun semakin bertambah-tambah. Apalagi di pihak laskar Tohpati. Karena itu maka Tohpati pun segera mengambil keputusan untuk menyelamatkan orang-orangnya. Ia sama sekali tidak melihat keuntungan apa pun apabila ia memperpanjang perlawanannya. Rencana yang disusunnya benar-benar telah hancur berantakan. Maka yang kemudian dilakukan oleh Macan Kepatihan itu adalah meloncat surut, melepaskan diri dari ikatan pertempuran dengan Widura. Dengan nyaringnya ia berteriak,
“Tinggalkan pertempuran. Segera!”
Laskar Jipang itu pun adalah laskar yang terlatih. Mereka pun tahu benar, bagaimana mereka harus meninggalkan pertempuran. Beberapa orang pemimpin kelompok segera tampil ke depan melindungi anak buah mereka yang berloncatan mundur. Tohpati itu pun kemudian meloncat kian kemari, seperti burung elang yang berterbangan menyambar-nyambar. Dengan tangkasnya ia memotong laskar Pajang yang berusaha mengejar anak buahnya yang melarikan diri. Dari antara laskar Jipang itu kemudian tampillah orang-orang yang bersenjata jarak jauh. Bandil, paser dan panah. Ternyata mereka telah benar-benar bersiap menghadapi setiap kemungkinan, sampai pada kemungkinan mengundurkan diri. Usaha Widura untuk mengikat kambali Tohpati dalam suatu titik perkelahian tidak berhasil. Setiap kali Macan Kepatihan itu selalu menghindar dan dengan tongkatnya ia terus-menerus berusaha menyelamatkan anak buahnya sejauh mungkin. Laskar Widura sudah pasti tidak akan membiarkan lawan-lawan mereka menyelamatkan diri. Dengan gairah mereka mendesak terus. Namun laskar Tohpati itu pun tidak berlari bercerai-berai. Mereka mundur dengan teratur. Perlawanan mereka sama sekali tidak berkurang. Sehingga dengan demikian, pertempuran itu berlangsung terus, sambil bergeser dari satu garis ke garis berikutnya. Sekali lagi Widura menggeleng-gelengkan kepala. Tohpati adalah suatu contoh dari seorang pemimpin yang baik.
“Kenapa anak muda itu masih belum menyadari keadaan” gumamnya.
“Apabila demikian, Pajang akan segera berkembang dan sentausa”

Laskar Tohpati itu pun kemudian mencapai sebuah desa di belakang garis perlawanan mereka. Demikian mereka melampaui pagar yang pertama, demikian mereka pecah berpencaran di antara pohon-pohon yang tumbuh di sana-sini. Di antara pohon-pohon liar di halaman yang kurang terpelihara dan di antara rumpun-rumpun bambu yang lebat. Sehingga laskar Widura itu pun segera menemui kesulitan untuk mengejar mereka terus. Mereka harus berhati-hati, dan mencurigai setiap pohon-pohon besar yang berada di sekitar mereka. Pohon itu akan dapat menjadi tempat-tempat persembunyian dan apabila mereka kurang wapada, maka maut akan menerkam mereka. Dengan demikian, maka kedua bagian laskar itu bertempur dari satu pohon ke pohon lain, dari satu rumpun ke rumpun yang lain. Namun keadaan laskar Tohpati menjadi bertambah baik. Mereka menyerang dan kemudian menghilang. Sedang laskar Widura yang mengejarnya, kadang-kadang terpaksa melingkar menghindari kemungkinan-kemungkinan serangan tiba-tiba dari balik-balik gerumbul. Widura segera melihat keadaan itu. Karena itu, maka alangkah berbahayanya apabila pengejaran itu dilakukan terus. Mungkin mereka akan dapat mencapai tepi desa yang lain, dan memaksa kedua laskar itu bertempur kembali di tempat yang terbuka, namun korban akan menjadi sangat besar. Karena itu segera Widura berteriak memerintah,
“Hentikan pengejaran”. Dan perintahnya itu kemudian beruntun diulangi oleh setiap pimpinan kelompok laskarnya.
Maka laskar Widura itu berhenti. Segera mereka menarik diri dan berkumpul kembali diluar desa itu. Ketika mereka menengadahkan kepala mereka, mereka melihat bahwa matahari telah berada di atas kepala mereka. Widura pun kemudian mendengarkan laporan dari setiap pemimpin kelompoknya. Siapakah yang cedera di antara mereka, yang terluka dan yang terpaksa gugur dalam mengemban tugas mereka. Hari itu adalah hari berkabung bagi Sangkal Putung. Tugas laskar Widura kemudian, beserta orang-orang Sangkal Putung adalah memelihara mereka yang terluka. Kawan mau pun lawan. Sebab bagi perawatan perikemanusiaan, tak ada batas di antara kawan dan lawan. Apalagi di antara mereka, laskar Widura dan laskar Tohpati, beberapa orang dari mereka adalah kawan-kawan yang pernah berjuang bersama-sama untuk menegakkan Demak di jaman-jaman sebelumnya. Namun kini, mereka terpaksa bertemu dalam sebuah permainan senjata yang berbahaya. Ketika iring-iringan laskar itu memasuki Sangkal Putung, tampaklah desa itu menjadi sepi. Ternyata perempuan dan kanak-kanak telah berkumpul di Kademangan. Sedang beberapa laki-laki yang meskipun sudah melampaui umur mudanya, tampak berjaga-jaga di halaman dengan senjata apa saja di tangan mereka.

Ketika mereka mengetahui bahwa iringan laskar Widura dan anak-anak muda mereka datang, segera mereka membuka regol yang mereka kancing dengan palang kayu. Beberapa orang laki-laki dengan tergesa-gesa pergi menyongsong mereka dan membantu mereka menolong kawan-kawan yang terluka.
“Adakah Sangkal Putung baik-baik?” bertanya Widura kepada salah seorang dari mereka.
“Baik tuan” jawab yang ditanya,
“Tak ada laskar mereka yang merembes kemari”
“Bagus” sahut Widura.
“Siapakah yang berada di kademangan?”
“Setiap laki-laki yang tak ikut maju menyongsong lawan” jawab orang itu dengan bangga.
“Sebagian di kademangan dan sebagian di lumbung desa”
“Bagus” berkata Widura sambil mengangguk-angguk,
“Setiap laki-laki di Sangkal Putung akan menjadi pahlawan”.
Orang itu tersenyum-senyum. Lalu ia bertanya pula,
“Bagaimanakah dengan laskar Macan Kepatihan?”
“Mereka telah meninggalkan kita” jawab Widura.
“Setidak-tidaknya untuk sementara bahaya tak akan datang kembali”
“Mampuslah mereka” geram orang itu.
Widura tersenyum, namun ia tidak menjawab.

Ketika laskarnya memasuki halaman kademangan, maka gemparlah halaman itu. Beberapa orang perempuan berlari-lari menyambut anak-anak mereka yang datang dengan kebanggaan di dada mereka. Namun ada juga yang terpaksa memeras air mata, karena anak-anak mereka jatuh menjadi banten kampung halaman.
“Alangkah biadabnya orang-orang Jipang” keluh mereka. Dan Widura yang mendengarnya, hanya dapat mengelus dada. Beberapa orang tetangga mereka berkerumun untuk menghibur mereka. Tetapi mereka sama sekali tidak membayangkan, bahwa isteri-isteri dan ibu-ibu orang Jipang yang terbunuh itu pun akan mengutuk dengan muaknya sambil menangis,
“Alangkah kejamnya orang-orang Pajang”. Memang sebenarnyalah peperangan tak dapat dipisahkan dari kekejaman, tangis dan penyesalan.
Maka, di pendapa kademangan itu, di atas helai-helai tikar pandan, berbaring berderet-deret orang yang terluka. Sedang orang-orang lain sibuk dengan kawan-kawan mereka yang gugur. Sedayu, yang berada di kademangan itu pula, ketika didengarnya pamannya kembali dari peperangan, segera menyambutnya. Dengan wajah pucat dan gemetar, ia mengikuti pamannya masuk ke pringgitan. Terbata-bata ia bertanya,
“Bagaimanakah dengan laskar Jipang itu paman?”
Widura tersenyum.
“Duduklah Sedayu” katanya mempersilakan.
Sedayu kemudian duduk dengan gelisahnya. Sementara itu Widura berjalan ke sudut ruangan, meraih gendi dari gelodog bambu, dan minumlah ia sepuas-puasnya. Di tangga pendapa kademangan, Hudaya duduk sambil membelai senjatanya. Sekali-sekali tangannya mengusap pelipisnya yang terluka. Meskipun demikian ia masih sempat tertawa dan berkata kepada Citra Gati yang duduk di sampingnya,
“Untunglah, bukan kumisku yang terkelupas”
“Lain kali kepalamu” sahut Citra Gati sambil memijat-mijat tangannya yang terkilir, ketika ia berguling-guling menghindari serangan tongkat putih Macan Kepatihan. Tiba-tiba teringatlah olehnya betapa tengkorak kuning di ujung tongkat Tohpati itu menyambar keningnya.
“Ngeri”, gumamnya.
“Apa yang ngeri?” bertanya Hudaya dengan heran.
“Tengkorak itu” jawab Citra Gati.
Kembali Hudaya tertawa.
“Ketika seseorang dari orang-orang Jipang itu menyerang aku, aku menjadi gembira. Bukankah aku telah dibebaskan dari bahaya tongkat baja putih itu?”
“Ah, gila kau” desah Citra Gati. Dan kemudian keduanya pun terdiam. Kedua-duanya dicengkam oleh kengerian, apabila diingatnya senjata Tohpati yang bergulung-gulung seperti prahara.

Sidanti tidak tampak duduk di antara mereka. Anak muda itu segera pergi ke dapur. Ditemuinya di sana seorang gadis yang mula-mula sedang sibuk menyiapkan makan untuk mereka. Tetapi ketika dilihatnya Sidanti datang kepadanya sambil tersenyum-senyum maka dengan tergesa-gesa diletakkannya pekerjaannya, dan berlari-lari menyongsong anak muda itu.
“Kau terluka?” gadis itu bertanya dengan cemas.
Sidanti mengangguk.
“Tidak seberapa” jawabnya. Memang luka itu tidak begitu parah, meskipun tangan kanannya masih belum dapat digerakkan dengan leluasa.
Sementara itu dari dalam gandok terdengar Swandaru berteriak memanggil,
“Mirah, Sekar Mirah”
Sidanti tersenyum mendengar suara itu. Katanya,
“Kakakmu memanggil”
Sekar Mirah menyerutkan keningnya,
“Biarlah. Kakang terlalu manja”
Dan dari gandok itu terdengar kembali suara Swandaru,
“Mirah, he Mirah. Dimana kain parangku?”
“Cari sendiri” sahut adiknya berteriak tidak kalah kerasnya.
“Ayo carikan” bentak kakaknya.
“Kalau tidak, aku tak mau mengisi jambangan kalau kau mandi”.
Sekar Mirah tidak menjawab, namun terdengar suara Sindanti,
“Jangan terlalu manja Swandaru”.
Mendengar suara Sidanti, Swandaru terdiam. Namun ia menggerutu,
“Setan, Sidanti itu. Awas, kalau Mirah masih berkawan dengan anak muda itu. Suatu ketika aku hajar kedua-duanya” Tetapi ia tidak berani memanggil adiknya lagi. Ia tahu, bahwa adiknya lebih senang tinggal bersama Sindanti daripada datang kepadanya. Karena itu dengan marah diaduk-aduknya setumpuk kain digelodog pakaiannya. Dan akhirnya ditemukan juga kain parangnya. Ketika ia berlari-lari keluar gandok lewat dapur, sampai dimuka pintu langkahnya terhenti. Dilihatnya Sekar Mirah sedang membersihkan luka Sidanti dengan asyiknya, di bawah rimbun daun kemuning.
“Gila” geramnya perlahan-lahan. Namun ia tidak berani mengganggu. Segera ia kembali masuk ke dapur dan berlari ke pendapa sambil menyambar sepotong paha ayam.

Di pringgitan, Widura kini sudah duduk di muka Agung Sedayu. Dengan cermat diceritakan apa yang terjadi di garis pertempuran. Akhirnya Widura itu berkata,
“Sebenarnya kami harus berterima kasih kepadamu dan Untara, sebab dengan demikian kami telah kalian bebaskan dari kehancuran mutlak”
Keduanya kemudian berdiam diri. Namun di hati Sedayu masih belum tenang benar. Karena itu ia bertanya,
“Tetapi, dengan demikian, tidakkah ada kemungkinan Macan yang ditakuti itu datang kembali?”
“Mungkin” sahut pamannya. Sebenarnya ia pun kecewa terhadap hasil yang dicapainya. Namun kemampuan laskarnya sangat terbatas, dan hasil itulah yang sebesar-besanya dapat dicapai.
“Lalu, bagaimanakah kalau mereka datang kembali dengan tiba-tiba?” desak Sedayu.
“Bukankah di sini ada Sedayu” sahut Widura sambil tertawa.
”Ah” Sedayu mengeluh.
Widura iba juga melihat Sedayu menunduk. Karena itu ia segera bertanya,
“Adakah kau sempat beristirahat?”
Sedayu menggeleng,
“Tidak” jawabnya. Ia tidak perlu malu-malu kepada pamannya, sebab pamannya telah mengenalnya dengan baik.
“Aku menjadi gelisah” Sedayu meneruskan,
“Ketika aku mendengar tanda bahaya, maka aku tak dapat duduk dengan tenang, apalagi berbaring”
Widura pun kemudian terdiam ketika mereka mendengar langkah masuk. Dan sesaat kemudian duduklah di atara mereka Ki Demang Sangkal Putung. Wajahnya menjadi merah dan debu yang melekat di wajah itu belum sempat diusapnya. Bajunya masih baju yang dipakainya bertempur. Basah oleh keringat. Tanpa disangka-sangka orang itu, tetua kademangan Sangkal Putung, mengulurkan tangannya dengan hidmat kepada Agung Sedayu sambil berkata dalam,
“Angger, kau telah membebaskan daerah kami, kampung halaman dan lumbung-lumbung kami. Apakah yang dapat kami lakukan untuk membalas jasa anakmas ini”.
Sedayu menjadi bingung. Namun diulurkannya juga tangannya untuk menyambut tangan Demang Sangkal Putung. Terasa tangan Demang itu gemetar, dan tangannya sendiri pun gemetar pula. Tetapi ta tidak dapat menjawab sepatah katapun. Bahkan ia menjadi semakin bingung ketika Demang itu berkata,
“Ternyata angger pun tidak sampai hati membiarkan laki-laki yang berada di kademangan ini menjadi gelisah. Ternyata angger tidak mau beristirahat betapa pun lelahnya. Bahkan angger telah hilir mudik di pendapa dan di halaman, sehingga dengan demikian setiap orang yang berada di kademangan ini, baik perempuan dan anak-anak yang mengungsikan diri, mau pun mereka yang berjaga-jaga menjadi tenang karenanya, sebab ada di antara mereka yang sudah mendengar, siapakah angger ini”.

Sedayu tidak tahu, bagaimana ia harus menanggapi kata-kata Demang Sangkal Putung itu, sehingga dengan demikian, hampir seluruh tubuhnya menjadi basah oleh keringat dingin, melampaui keringat yang membasahi baju Ki Demang Sangkal Putung. Widura melihat Agung Sedayu dengan menahan senyum. Dilihatnya, betapa keadaan Agung Sedayu yang gelisah. Tetapi Demang Sangkal Putung itu mempunyai tanggapannya sendiri, katanya di dalam hati,
“Angger Agung Sedayu benar-benar orang yang rendah hati. Meskipun jasanya bagi kami tak ternilai harganya, namun apabila hal itu kami sebut-sebut di hadapannya, agaknya tak berkenan di hatinya”
Tetapi Widura itu pun kemudian menjadi cemas. Apabila orang-orangnya dan orang-orang Sangkal Putung terlanjur mempunyai anggapan yang keliru terhadap Agung Sedayu, maka akibatnya akan dapat menyulitkan Agung Sedayu sendiri. Meskipun demikian, Widura tidak dapat mencegah mereka. Ia sama sekali tidak mengatahui, cara yang sebaik-baiknya untuk menempatkan Agung Sedayu pada tempat yang sewajarnya. Bahkan Widura pun kemudian menjadi gelisah ketika teringat olehnya, bagaimana sikap Sidanti kepada anak itu. Sebentar kemudian, sampailah saatnya laskar yang lelah itu menerima makan mereka. Tidak saja mereka yang berempur di simpang empat Pandean, tetapi semuanya yang berada di kademangan itu mendapat bagiannya. Widura pun kemudian melihat-lihat keadaan laskarnya, melihat mereka yang dengan lahapnya menelan segumpal demi segumpal nasi ke dalam mulutnya, namun ia melihat juga beberapa orang yang terpaksa disuapi karena lukanya yang parah.
“Makanlah” bisik Widura kepada mereka yang terluka,
“Makanlah banyak-banyak supaya lukamu lekas sembuh”
Orang-orang yang terluka itu menjadi agak terhibur juga hatinya. Namun betapa mereka mencoba makan sebanyak-banyaknya, namun leher mereka serasa kering dan tersumbat.

Meskipun menurut perhitungan Widura, laskar Tohpati itu tidak akan segera datang kembali, namun ia tidak mau kehilangan kewaspadaan. Di tempatkannya beberapa orang pengawas di luar kademangan Sangkal Putung, dan dinasehatkannya kepada setiap anak buahnya, supaya tidak melepaskan senjata mereka, meskipun mereka sedang beristirahat dan tidur di malam hari. Malam hari itu, Agung Sedayu mendapat kehormatan untuk tidur di pringgitan bersama Widura, meskipun bagi Sedayu tidak disediakan sebuah amben. Namun Sedayu dapat tidur dengan tenteram di atas tikar pandan di dekat pamannya. Malam itu Sedayu benar-benar dapat melepaskan segenap ketegangan urat syarafnya serta benar-benar dapat beristirahat dengan puas. Meskipun kadang-kadang terbangun juga oleh mimpi yang mengejutkan. Tetapi ia kemudian tertidur kembali setelah ia melihat pamannya masih saja duduk di sampingnya, sambil menggosok-gosok wrangka kerisnya dengan kelopak bunga keluwih. Memang, malam itu Widura tidak segera dapat tidur. Ada-ada saja yang selalu mengganggu pikirannya. Laskar Tohpati, Agung Sedayu dan Untara. Tiba-tiba Widura itu pun bergumam,
“Ah, alangkah baiknya kalau Untara itu segera berada di tempat ini. Di sini ia dapat membantu kami apabila Tohpati itu datang kembali, dan sekaligus Sedayu tak menggangguku lagi”
Widura itu pun kemudian mengangguk-angguk. Ia sudah berketetapan hati, besok Sedayu akan dibawanya menjemput kakaknya yang luka. Mungkin di Sangkal Putung ia akan mendapat perawatan yang lebih baik. Dan di tempat ini, keamanannya pun akan lebih baik pula. Karena dalam keadaan terluka, adalah sangat berbahaya apabila dengan tiba-tiba beberapa orang lawannya datang mencarinya.

Widura mengangguk-angguk seorang diri seperti api clupak yang menempel pada tiang pringgitan itu ditiup angin malam. Tetapi ketika ditatapnya wajah Agung Sedayu, ia menarik nafas. Alangkah jauh bedanya. Agung Sedayu dan Untara. Kedua-duanya adalah anak Ki Sadewa, dan kedua-duanya pula lahir dari ibu yang sama, kakak perempuannya, istri Ki Sadewa itu.
“Aneh” gumamnya. Dan tanpa dikehendakinya sendiri Widura itu pun hanyut kedalam masa lampaunya. Selagi ia masih tinggal bersama-sama kakak perempuannya itu. Untara adalah anak yang sulung. Ia lahir dan besar di dalam alam yang bebas dan penuh gairah. Ia bermain-main bersama kawan-kawannya, berlomba dan kadang-kadang berkelahi di antara sesama kawan-kawannya. Binten, sodoran dan sebagainya. Di samping itu, anak itu dengan tekun mempelajari ilmu tata bela diri dari ayahnya. Bahkan kadang-kadang dibawanya Untara berjalan jauh. Melihat daerah-daerah yang belum pernah dikunjunginya. Ke rumah sahabat-sahabatnya. Tidak saja di daerah Demak, namun ia pernah juga berkunjung ke daerah-daerah yang jauh. Banten, Cirebon, Gresik dan Banyuwangi. Dari ujung sampai ke ujung yang lain dari pulau ini. Sudah banyak yang dilihatnya, dan sudah banyak pula yang didengarnya. Sudah tentu di perjalanan banyak pula pengalaman-pengalaman yang ditemuinya. Berkelahi dengan penyamun-penyamun, dengan penjahat-penjahat dan bahkan berkelahi hanya karena salah paham. Ayahnya adalah seorang sakti yang sukar dicari bandingnya. Malahan kadang-kadang ayahnya memaksanya untuk melawan orang-orang yang berbuat jahat kepada mereka, sedang ayahnya sendiri hanya menontonnya seperti menonton adu ayam. Dan kadang-kadang ayahnya itu pun terpaksa memberikan pertolongan kepada orang-orang yang sangat memerlukannya. Karena itu, sejak kecil Untara telah banyak bermain-main dengan senjata. Sehingga akhirnya, setelah puas dengan pengembaraan, perkelahian dan pengalaman atas ilmu kesaktiannya, maka Ki Sadewa kemudian seakan-akan menarik diri dari pergaulan. Ia lebih senang merendam dirinya di rumah, bermain-main dengan anaknya yang bungsu dan bekerja dikebunnya. Mananam sayur-sayuran dan bunga-bungaan. Sedang Sedayu mengalami masa yang jauh berbeda dengan kakaknya. Ia lahir setelah ibunya mengalami pukulan yang berat bagi seorang ibu. Dua anaknya laki-laki yang lain, berturut-turut telah meninggal dunia. Betapa sedih dan cemasnya apabila hal itu akan berulang kembali. Apalagi di desak pula oleh keinginannya mempunyai seorang anak perempuan. Namun yang lahir terakhir itu pun laki-laki pula. Agung Sedayu.

Pada saat itu pula, Ki Sadewa telah menempuh cara hidup yang lain. Ia sama sekali menghindari setiap pertentangan yang timbul. Di dalam pengembaraannya, kemudian ditemukannya suatu kesimpulan, bahwa tak akan dapat ditemuinya ketentraman hidup di antara gemerlapnya pedang dan pekik kesakitan. Diusahakannya pula mengembalikan hidupnya ke dalam hakekatnya. Manusia lahir karena pancaran kasih Tuhan, bahkan Tuhan telah memberikan beberapa bagian dari sifat-sifatnya kepada manusia pula. Namun manusia akhirnya jatuh kedalam dosa. Dan karena itulah maka manusia dijauhkan daripada Nya. Namun karena Tuhan adalah Maha Pengasih, Maha Pengam pun dan Maha Penyayang, maka apabila manusia bertobat, akan diampunkan dosa-dosa itu. Bertobat lahir batin, hasrat dan perbuatan. Maka yang dilakukan Ki Sadewa itu kemudian adalah membekali anak-anaknya dengan cinta itu. Kalau terpaksa mereka bertempur, maka haruslah dilandasi atas dari itu. Dasar kebaktian kepada sumber hidupnya dan pengabdian kepada sesama serta pengabdian kepada diri sendiri. Tetapi Sedayu tidak pernah mengalami masa penempaan seperti kakaknya. Ibunya tidak pernah melepaskannya dari sisinya. Apabila sekali-sekali Untara mengajak adiknya bermain, dan ditemuinya sedikit lecet di lututnya, maka Untara harus menerima akibatnya. Sedayu itu dipelihara oleh ibunya dengan kasih yang berlebih-lebihan. Betapa ia takut kehilangan anak untuk ketiga kalinya, dan betapa ia ingin mencium seorang anak perempuan. Hanya kadang-kadang saja ibunya melepas Agung Sedayu bermain-main dengan ayahnya. Namun itu pun mainan yang tidak berbahaya. Memanah, bandil, paser dan berburu. Tetapi tidak lebih dari berburu burung. Kalau Untara dapat berbangga karena ia berhasil menangkap hidup atau mati seekor kijang, maka Sedayu akan berbangga apabila ia telah dapat memanah seekor burung yang paling lincah. Sikatan. Tetapi daerah perburuan Sedayu tidak lebih dari batas pagar halamannya. Memang Agung Sedayu memiliki kecakapan-kecakapan yang khusus pula. Ia tidak saja dapat membunuh burung dengan panah, bahkan dengan lemparan-lemparan batu ia berhasil menangkap beberapa ekor burung. Dan ayahnya yang memiliki pengamatan yang tajam atas kekhususan anak-anaknya itu pun telah mencoba mengembangkannya. Meskipun Untara, yang memandang hidup ini sebagai kancah perjuangan dalam kebaktian dan pengabdian, kadang-kadang dengan diam-diam mengajak adiknya untuk mempelajari ilmu-ilmu yang pernah ditekuninya. Dan Sedayu bukan anak yang berotak tumpul. Sedikit demi sedikit dikuasainya pula beberapa persoalan tata bela diri. Namun sangat terbatas. Meskipun demikian berkembang pula. Tetapi daerah hidupnya tak terlalu luas. Sehingga karena itulah Aung Sedayu memandang daerah sekitarnya sebagai daerah yang sangat berbahaya, dan memandang segala segi kehidupan dengan penuh kecemasan dan ketakutan. Sehingga anak itu benar-benar tidak mempunyai kepercayaan kepada dirinya sendiri.

Angan-angan Widura tentang masa lampau itu pun terhenti ketika dilihatnya Agung Sedayu menggeliat. Ketika anak itu membuka matanya, dan dilihatnya Widura masih duduk di sampingnya, maka terdengar ia bertanya,
“Mengapa paman belum tidur?”
Widura menggeleng,
“Belum Sedayu”
“Apakah masih ada bahaya yang mungkin datang malam ini?”
Sekali lagi Widura menggeleng,
“Tidak, tidak ada” jawabnya.
“Aku tidak biasa tidur sebelum lewat tengah malam”
Sedayu tidak bertanya lagi, sebab matanya seakan-akan telah melekat. Karena itu ia segera tertidur kembali. Ketika Widura mendengar ayam jantan berkokok dipertengahan malam, segera ia bangkit. Perlahan-lahan ia melangkah keluar dan dilihatnya sekali lagi anak buahnya yang sedang beristirahat. Ditengoknya pula para penjaga di regol depan.
“Bukankah kalian tidak kantuk?” Widura bertanya kepada salah seorang dari mereka.
“Tidak” jawab orang itu.
“Bagus” sahut Widura, kemudian kepada yang lain ia berkata,
“Tugasmu tinggal sesaat lagi. Rombongan tengah malam kedua telah siap”.
“Kami sudah siap menunggu” jawab mereka.
Widura tersenyum, lalu ditinggalkannya orang-orang diregol halaman itu. Di pendapa dilihatnya beberapa orang masih sibuk melayani kawan-kawan mereka yang terluka. Bahkan ada di antaranya yang menggeram menahan sakit. Widura datang pula kepada mereka. Meraba dahi mereka dan berkata,
“Tenangkan hatimu. Kau akan lekas sembuh”
Kemudian ia berjalan di antara anak buahnya yang tertidur dengan nyenyaknya karena lelah. Di sudut dilihatnya Sidanti dengan gelisah berbaring. Agaknya lukanya terasa pedih. Tetapi Widura tidak menyapanya. Ia takut kalau suaranya akan mengejutkan orang-orang yang sedang tidur. Ketika ia melangkah masuk ke pringgitan, dalam keremangan malam ia melihat Ki Demang Sangkal Putung berjalan melintasi halaman. Agaknya orang itu pun belum tidur juga. Baru saat kemudian Widura meletakkan tubuhnya untuk beristirahat di pembaringannya. Malam itu serasa berjalan dengan cepatnya. Lelah, kantuk dan penat telah menenggelamkan laskar Widura itu ke dalam pelukan tidur yang nyenyak. Dan malam itu tak diganggu oleh bermacam-macam ketegangan dan keributan. Sangkal Putung telah tidur dengan nyenyaknya.

Keesokan harinya, Widura telah bersiap membawa Agung Sedayu untuk menjemput kakaknya. Makin cepat semakin baik. Sebab bahaya bagi Untara akan dapat datang setiap saat. Widura pagi itu segera mempersiapkan diri. Dibawanya beberapa orang anak buahnya serta dengan mereka. Sebab di perjalanan selalu terbuka kemungkinan mereka akan bertemu dengan orang-orang Jipang. Mungkin Alap-alap Jalatunda dan kawan-kawannya, mungkin orang-orang lain dari lungkungan laskar Tohpati. Setelah memberikan beberapa pesan kepada anak buahnya serta meletakkan pimpinan di tangan Citra Gati, maka Widura bersama Agung Sedayu beserta orang-orang yang lain pun segera meninggalkan Sangkal Putung. Diberinya Citra Gati ancar-ancar kemana ia akan pergi, sehingga apabila keadaan sedemikian memaksa maka Citra Gati harus segera mengirim orang untuk menjemputnya. Kali ini Widura dan rombongannya berjalan ke arah barat. Lewat Kali Asat. Lewat daerah itu, maka kemungkinan yang pahit dapat dikurangi menjadi sekecil-kecilnya. Di sepanjang perjalanan mereka hampir tidak bercakap-cakap sama sekali. Kuda mereka melaju seperti sedang berlomba. Debu yang putih mengepul bergumpal-gumpal. Agung Sedayu melihat jalan-jalan di bawah kaki kudanya dengan jantung yang berdebar-debar. Becek dan berbatu-batu. Apakah jadinya seandainya pada saat ia memacu kudanya malam lusa, terjadi sesuatu yang tak diharapkan. Seandainya kudanya tergelincir dan terbanting jatuh? Untunglah bahwa ia sampai ke Sangkal Putung dengan selamat, meskipun pada saat itu, ia seakan-akan berpacu sambil memejamkan matanya. Beberapa saat kemudian mereka telah sampai di padukuhan kecil yang tidak begitu ramai. Apalagi dalam keadaan yang penuh dengan kericuhan itu. Meskipun matahari telah tinggi, namun padukuhan itu masih sepi. Satu dua orang perempuan tampak berjalan menyeberangi lorong yang membelah desa mereka. Namun kemudian sepi kembali. Apalagi ketika mereka mendengar derap kuda memecah kesepian pagi. Maka pintu-pintu yang telah terbuka setebal tubuh itu pun menjadi terkatub kembali. Orang-orang yang tinggal di pinggir-pinggir jalan, berusaha mengintip, siapakah yang sedang lewat itu. Namun tak seorang pun dari mereka yang mengenalnya. Widura melihat desa-desa yang terpencil itu dengan sedih. Laskarnya tidak cukup banyak untuk disebarkan di padukuhan-padukuhan yang terpencar-pencar. Sedang rakyat di desa-desa itu pun tak akan dapat memberikan perlawanan apa pun seandainya orang-orang dalam satu gerombolan yang kecil sekalipun datang kepada mereka, dan memaksa mereka memberikan segala barang miliknya.

Daerah itu dilalui dengan kesan yang khusus di hati Widura. Sebaliknya Agung Sedayu segera melihat tikungan di hadapan mereka. Tikungan randu alas. Tetapi kini ia tidak setakut pada malam lusa. Kali ini Sedayu berani mengamati pohon itu dengan jelas, meskipun terasa tengkuknya meremang Kuda mereka masih berpacu terus. Lewat tikungan randu alas, sampailah mereka di bulak yang panjang. Dan teringatlah ia bahwa kuda yang dipakainya itu adalah milik seseorang yang menamakan diri Kiai Gringsing. Karena itu dengan serta merta Agung Sedayu berkata,
“Di ujung bulak inilah aku bertemu dengan Kiai Gringsing”
“Kiai Gringsing” Widura mengulang.
“Ya” sahut Sedayu. Setelah ia menoleh, dan dilihatnya kawan-kawannya agak jauh di belakang, maka diceriterakannya serba sedikit tentang orang bertopeng, berkerudung kain gringsing dan menyebut dirinya Kiai Gringsing pula.
“Aku belum pernah mendengar nama itu” gumam Widura.
“Apalagi bertemu dengan orangnya”
“Orang itu bertempur melawan Alap-alap Jalatunda seperti sedang bermain-main. Senjatanya adalah sebuah cambuk kuda”
Widura mengangkat alisnya. Seseorang yang bersenjata cambuk kuda pun belum pernah didengarnya.
“Orang aneh” desisnya.
“Sudah pasti nama itu bukan nama sebenarnya, dan senjata itu hanyalah semacam syarat saja. Orang yang demikian pasti akan dapat melawan musuhnya tanpa senjata apapun”
Sedayu tidak menjawab. Dan kembali mereka terdiam. Kini mereka telah melampaui tikungan di ujung bulak, sedang kuda mereka masih berpacu terus.

Ketika Agung Sedayu melihat desa di hadapannya, hatinya berdebar-debar. Kalau desa itu telah mereka lewati, maka segera mereka akan sampai kepersawahan. Dari mulut lorong desa itu, sudah akan akan dapat mereka lihat dukuh Pakuwaon. Sebuah padukuhan kecil yang tak banyak disebut-sebut orang. Dukuh itu akan tak berarti sama sekali seandainya di dalamnya tidak tinggal seorang tua bernama Ki Tanu Metir. Dengan demikian, maka hasrat Agung Sedayu untuk sampai ke padukuhan itu menjadi semakin menyala-nyala. Ia ingin segera melihat kakaknya, dan ia ingin segera membanggakan diri, tugasnya yang berat telah dapat dilaksanakannya. Dan paman Widura akan dapat menjadi saksi. Karena itu kudanya dipacu semakin cepat, sehingga Agung Sedayu beberapa langkah mendahului Widura. Akhirnya desa di hadapan mereka itu pun telah dilampaui. Dan dengan dada yang berdebar-debar mereka memasuki dukuh Pakuwon yang sepi. Agung Sedayu segera menuju ke rumah yang pernah dilihatnya. Lewat lorong yang sempit, kemudian sampailah mereka di sebuah halaman yang sejuk. Halaman rumah Ki Tanu Metir. Namun alangkah terkejutnya Agung Sedayu, ketika kesan yang mula-mula didapatnya pada halaman itu adalah, halaman itu kotor dan tak terurus.
“Apakah halaman rumah ini memang sedemikian kotornya”. Daun-daun kuning yang bertebaran dan bahkan tanaman yang patah terinjak-injak. Apalagi ketika dilihatnya rumah Ki Tanu Metir. Pintunya menganga lebar-lebar, namun sepi.
Maka Agung Sedayu pun menjadi cemas. Segera ia meloncat turun dan dengan lantang memanggil,
“Ki Tanu. Ki Tanu Metir” Namun panggilan itu tak ada jawaban. Sekali, dua kali tetapi rumah itu tetap sepi. Ketika ia hampir saja meloncat masuk, terdengar Widura mencegahnya,
“Sedayu, jangan masuk”
“Kenapa?” bertanya Agung Sedayu.
“Kau belum tahu pasti, apa dan siapakah yang ada di dalamnya”
“Oh” dan tiba-tiba Agung Sedayu pun meloncat dan berlari menjauh.
Hatinya menjadi berdebar-debar, namun ia menjawab,
“Rumah ini adalah rumah Ki Tanu Metir, paman. Dan kakang Untara ada di dalamnya”
Namun Widura tidak menjawab. Ditebarkannya pandangannya berkeliling. Mencurigakan.
“Kau lihat telapak-telapak kaki kuda?” bertanya Widura.
“Ya” sahut Sedayu.
“Malam lusa aku datang berkuda bersama-sama kakang Untara”
Widura mengangguk-angguk. Tetapi katanya kemudian,
“Juga ke belakang rumah?”
Agung Sedayu menggeleng. Dan diikutinya pandangan mata Widura. Dilihatnya telapak-telapak kaki kuda dari belakang rumah Ki Tanu. “Oh” desisnya.
“Pasti ada orang lain yang datang ke rumah ini sesudah aku”
Widura kemudian berpaling kepada kawan-kawannya. Katanya,
“Lihatlah ke belakang”

Dua orang dari mereka pun segera turun dari kuda mereka, dan berjalan berhati-hati ke belakang rumah. Tak ada sesuatu yang mereka lihat. Di belakang rumah itu, terdapat sebuah kandang kuda. Tetapi kandang kuda itu telah kosong. Dan apa yang dilihatnya itu pun dilaporkannya kepada Widura. Widura mengangguk-angguk,
“Telapak kaki-kaki kuda itu adalah kaki-kaki kuda Ki Tanu Metir sendiri” gumamnya.
“Tetapi kenapa tanaman-tanaman ini menjadi rusak”. Kemudian kepada Agung Sedayu Widura bertanya,
“Apakah kudamu menginjak-injak tanaman pada saat kau datang?”
“Aku kira tidak paman. Meskipun saat itu malam, namun aku tak merasakan bahwa kaki-kaki kuda itu menginjak-injak tanaman” jawab Sedayu.
Widura mengangguk-angguk. Ia pun tak melihat bekas-bekas kaki kuda di antara tanaman yang rusak itu. Karena itu Widura pun menjadi sibuk berpikir. Perlahan-lahan ia turun dari kudanya dan dengan hati-hati berjalan mendekati pintu rumah Ki Tanu Metir.
“Kita lihat rumah itu” katanya. Kepada kawan-kawannya Widura berkata,
“Awasi keadaan”.
Dengan penuh kewaspadaan Widura menuju ke pintu yang terbuka itu. Dengan telitinya ia memandang kedalam. Sepi, dan telinganya pun tidak mendengar sesuatu.
“Ki Tanu” ia memanggil perlahan-lahan namun tak ada jawaban. Sehingga tiba-tiba Widura itu meloncat masuk dengan cepatnya, dan kemudian dengan seksama menebarkan pandangannya berkeliling. Tetapi tak dilihatnya apa pun di dalam rumah itu.
“Hem” geramnya, “kosong”.
Sedayu yang selalu mengikutinya pun segera meloncat masuk pula. Yang pertama-tama dilihatnya adalah bantal-bantal yang berserakan di amben tengah.
“Itulah” katanya.
“Apa” Widura terkejut.
“Bantal” jawabnya.
“Ah” Widura menarik nafas.
“Kenapa bantal?”
“Di situlah kemarin lusa kakang Untara berbaring. Tetapi bantal itu kini telah bercerai-berai” jawab Sedayu dengan cemas.

Widura mengangguk-angguk. Hatinya menjadi semakin gelisah. Apakah yang telah terjadi dengan Untara? Karena itu Widura pun segera memeriksa rumah itu dengan hati-hati. Sentong kanan dan sentong tengah. Tatapi juga tak ditemuinya sesuatu di dalam sentong-sentong itu. Di sentong kiri Widura melihat setumpuk padi berhamburan tak keruan. Ketika ia menengok ke dalam sebuah bakul yang besar, yang biasanya untuk menyimpan padi, hatinya berdesir. Ia melihat noda-noda merah di dalamnya. Darah yang kering. Dengan cepat Widura memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi. Agaknya Untara telah disembunyikan di dalam bakul itu dan ditimbuni dengan padi. Tetapi padi itu telah berhambur-hamburan dan bakul itu telah kosong. Karena itu ia menjadi semakin cemas. Namun Widura sama sekali tak mengatakannya kepada Sedayu, takut anak muda itu menjadi bingung dan mengganggu pekerjaannya. Ketika Widura sudah pasti bahwa di dalam rumah itu tak ditemuinya sesuatu, maka ia pun segera melangkah keluar dan diikuti oleh Agung Sedayu. Sekali lagi Widura melihat halaman rumah Ki Tanu Metir. Namun tak ada sesuatu yang dapat memberitahukan kepadanya, apakah yang kira-kira sudah terjadi. Ketika Widura sedang sibuk berteka teki, maka dilihatnya seseorang berjalan di lorong desa itu. Tetapi orang itu pun segera memutar diri, ketika ia melihat beberapa orang di halaman rumah Ki Tanu Metir. Tetapi Widura tak membiarkan orang itu pergi. Ia ingin mengajukan beberapa pertanyaan kepadanya. Mungkin orang itu tetangga dekat Ki Tanu Metir, sehingga ia dapat memberinya beberapa pertanyaan. Karena itu dengan bertepuk tangan Widura mencoba memanggilnya. Tetapi orang itu sama sekali tidak mau kembali, bahkan menoleh pun tidak.
“Bawa orang itu kemari” perintah Widura kepada orang-orangnya.
Ketika orang yang berjalan menjauh itu mengetahui dua orang menyusulnya, maka ia pun segera berlari. Tetapi kedua orang Widura itu berlari lebih cepat, sehingga orang itu pun segera dapat disusulnya.
“Kenapa kau berlari ki sanak?” bertanya salah seorang daripadanya.
Orang itu menggigil ketakutan. Wajahnya menjadi pucat dan bibirnya gemetar. Dengan penuh ketakutan ia menjawab,
“Aku….. aku tidak berlari tuan”
“Jangan takut” berkata orang-orang Widura itu.
“Kami tidak akan berbuat sesuatu. Kami hanya ingin bertanya sedikit kepadamu. Ikutlah”

Orang itu tidak dapat menyangkal dan menolak. Dengan lutut gemetar ia berjalan diapit oleh kedua orang Widura. Sedemikian takutnya, sehingga sekali-sekali ia berjalan merunduk-runduk. Di dalam benaknya telah terbayang, betapa punggungnya menjadi patah dan giginya akan rampal habis, seperti gigi Kriya yang kecil. Orang itu pernah mendengar, bahwa Kriya pun pernah mendapat pertanyaan dari orang yang tak dikenalnya. Akibatnya orang itu tak dapat bangun dari pembaringannya. Karena itu, maka demikian orang itu sampai di hadapan Widura dan melihat pedang Widura yang besar tergantung di pinggangnya, segera ia menjatuhkan diri, berlutut sambil merengek,
“Ampun tuan, aku tidak akan mengganggu pekerjaan tuan”
Widura memandang wajah orang itu dengan heran. Bahkan kemudian ia bertanya,
“Kenapa ki sanak menjadi ketakutan?”
“Aku tidak akan berbuat sesuatu, tuan” ulang orang itu, seakan-akan ia tidak mendengar pertanyaan Widura.
Widura memandang orang itu dengan seksama. Seorang setengah umur, namun rambutnya telah memutih.
“Aneh” katanya dalam hati. Dan tiba-tiba saja, Widura memandang daerah di sekitarnya. Sepi. Menang jalan-jalan desa yang kecil ini tidak akan terlalu ramai dilewati orang. Namun sejak ia memasuki desa ini, baru seorang itulah yang dilihatnya. Dengan demikian Widura segera menghubungkan, halaman yang kotor, tanaman yang patah-patah, kaki-kaki kuda dan kesepian yang mencekam padukuhan ini. Sedang orang yang pertama-tama ditemuinya, bersikap aneh terhadapnya. Karena itu maka dengan perlahan-lahan dan hati-hati Widura bertanya,
“Ki Sanak. Kenapa kau menjadi ketakutan. Kami tidak akan berbuat apa-apa. Yang kami inginkan hanyalah beberapa keterangan tentang rumah ini”
“Oh, ampun tuan. Ampun. Aku tidak tahu apa-apa tentang rumah ini dan desa ini” mintanya dengan iba.
Widura menjadi semakin heran,
“Apakah yang sebenarnya telah terjadi?” katanya.
Namun orang setengah umur itu menjadi semakin ketakutan. Kriya, kemarin lusa juga mendapat pertanyaan-pertanyaan tentang Ki Tanu Metir, tentang tamu-tamunya. Kemudian oleh orang-orang yang bersenjata pedang seperti orang yang berdiri di hapannya itu, giginya telah dirontokkan dan bahkan punggungnya serasa akan patah. Karena itu orang setengah umur itu tak henti-hentinya merengek-rengek minta ampun dan belas kasihan. Widura akhirnya menjadi jengkel. Dengan lantangnya ia membentak,
“Diam!. Jawab pertanyaanku!”

Orang itu pun terdiam. Tetapi tubuhnya menggigil. Kini ia tidak berlutut lagi. Kakinya seakan-akan menjadi terlalu lemah untuk menahan berat badannya. Karena itu ia terduduk di tanah dengan hati yang dicengkam kekawatiran.
“Siapa namamu?” bertanya Widura.
“Wangsa, tuan. Wangsa Sepi” jawab orang itu dengan gemetar.
Nama yang aneh. Widura sempat bertanya,
“Kenapa Sepi?”
Orang itu menjadi heran. Ia sendiri tidak pernah berpikir kenapa namanya Wangsa Sepi. Karena itu, pertanyaan Widura itu sangat membingungkannya. Maka jawabnya sekenanya,
“Aku tidak senang ramai-ramai tuan. Aku senang pada sepi”
Widura mengangguk-angguk. Kemudian ia bertanya pula,
“Dimana rumahmu?”
“Di sebelah tuan. Berantara kebon suwung itu” jawabnya.
“Dekat” guman Widura. Karena itu ia bertanya kembali,
“Ki Sanak, jawablah pertanyaanku dengan baik, supaya aku bersikap baik juga kepadamu”.
“Ya tuan” jawab orang yang ketakutan itu.
Widura pun bertanya pula. Hati-hati dan perlahan-lahan supaya orang itu tidak menjadi semakin takut kepadanya. Katanya,
“Kau kenal penghuni rumah ini?”
“Kenal tuan” jawab orang itu.
“Namanya?” bertanya Widura.
“Ki Tanu Metir”
“Bagus” sahut Widura.
“Nah, katakanlah ki sanak, dimanakah orang itu sekarang? Ke sawah barangkali? Atau ke sungai?”
Orang itu menggeleng, jawabnya,
“Aku tidak tahu tuan”
Widura mengangkat alisnya. Kemudian diulangnya pertanyaannya perlahan-lahan,
“Ki Sanak, kau akan menjawab pertanyaan-pertanyaanku bukan? Nah, apakah kau mengetahui atau mendengar, kemana Ki Tanu Metir pergi?”
Sekali lagi orang itu menggeleng, dan sekali terdengar ia menjawab,
“Aku tidak tahu tuan”
Widura menjadi gelisah. Tetapi ia masih bersabar. Dengan kedua tangannya orang itu ditariknya berdiri. Katanya,
“Berdirilah ki sanak. Berdirilah. Biarlah kita dapat bercakap-cakap dengan baik”.

Dengan susah payah orang itu pun berusaha berdiri dan tegak di atas kedua kakinya. Namun lututnya masih juga gemetar. Apalagi ketika ia sadar, bahwa di sekitarnya berdiri beberapa orang laki-laki yang berwajah keras dengan pedang dipinggang masing-masing. Meskipun demikian orang itu masih mendengar Widura berkata dengan sareh,
“Ki sanak. Aku melihat ketidakwajaran di desa ini. Aku juga melihat beberapa tanda-tanda yang tak menyenangkan. Karena itu aku datang untuk mencoba mengetahui apa yang telah terjadi untuk seterusnya mengambil tindakan pencegahan buat saat-saat mendatang”.
Orang itu menjadi heran mendengarnya, kemudian ia memberanikan diri untuk bertanya,
“Siapakah tuan-tuan ini?”
“Kami adalah laskar Pajang” jawab Widura.
“Oh” desis orang itu.
“Apakah kalian bukan kawan-kawan Alap-alap yang muda itu?”
Widura menarik nafas. Orang itu telah menyebut nama Alalp-alap Jalatunda. Sedayu pun terkejut pula mendengar nama itu disebutkan. Karena itu ia memotong,
“Apakah Alap-alap Jalatunda datang kemari?”
Orang itu menjadi ragu-ragu sejenak. Ditatapnya Widura dan Sedayu dan orang-orang lain berganti-ganti.
“Jawablah” minta Widura.
Orang itu mengangguk,
“Ya” katanya.
“Kriya telah melihatnya bersama-sama dengan beberapa orang. Di antaranya bernama Plasa”
“Plasa Ireng” sahut Widura terkejut.
“Ya. Agaknya demikian. Aku hanya mendengar dari Kriya ketika aku menengoknya tadi pagi” jawab orang itu.
Widura menarik nafas. Kemudian ia bergumam perlahan-lahan yang hanya dapat didengarnya sendiri,
“Setan Ireng itu sampai juga di sini”. Maka katanya seterusnya,
“Apakah yang sudah mereka lakukan di sini?”

Wangsa Sepi menjadi ragu-ragu sejenak. Namun setelah ia mengetahui bahwa orang-orang itu sama sekali bukan kawan-kawan Alap-alap Jalatunda, hatinya menjadi agak tenang. Maka jawabnya kemudian,
“Tuan. Alap-alap Jalatunda datang bersama-sama beberapa orang kawannya. Mereka mencari dua orang berkuda yang datang ke rumah Ki Tanu Metir”.
Widura menjadi berdebar-debar dan dada Sedayu berguncang. Sehingga cepat-cepat ia bertanya,
“Adakah mereka diketemukan?”
“Kami tidak tahu pasti tuan. Menurut Kriya, orang-orang itu telah memaksa Ki Tanu Metir untuk menunjukkan dimana salah seorang dari kedua orang itu, yang ternyata terluka, disembunyikan” jawabnya.
Widura mengerutkan alisnya. Sesaat ia berpikir, kemudian katanya,
“Dimanakah rumah Kriya itu?”
“Di sudut jalan itu tuan” jawab Wangsa Sepi.
“Antarkan kami kesana. Apakah Kriya sudah dapat diajak berbicara?”
“Sudah tuan” sahut Wangsa Sepi.
Maka pergilah mereka, diantar oleh Wangsa Sepi ke rumah Kriya. Rumah kecil beratap ilalang disiku jalan. Ketika mereka memasuki halaman rumah itu, yang dipagari dengan pagar bata setinggi dada, mereka melihat seorang perempuan berlari-lari masuk ke dalamnya.
“Siapakah orang itu?” bertanya Widura.


Halaman 1 2 3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar