“Aku akan berkelahi di samping Ayah,” jawab Pandan Wangi.
Ki Argapati mengangguk-anggukkan
kepalanya,
“Baik, Wangi.
Tetapi sekedar dengan kau, kita masih belum akan dapat mengatasinya.”
“Kita buat
sekelompok kecil pengawal pilihan buat melawannya, Ayah.”
“Kita harus
segera mempersiapkan. Aku melihat Ki Wasi dan Ki Muni di barisan lawan. Adalah
tugasmu Samekta dan Wrahasta, meskipun aku perlu memperingatkan, bahwa kalian
masing-masing tidak akan dapat melawan seorang lawan seorang.”
“Ya, Ki Gede,”
sahut keduanya hampir bersamaan.
“Mudah-mudahan
mereka tidak akan memasuki desa ini. Aku melihat gelar mereka kurang lengkap
untuk melawan alat-alat pelontar yang telah siap di depan regol itu.”
“Mudah-mudahan,
Ki Gede.”
“Baiklah, aku
akan turun bersama Pandan Wangi. Awasi keadaan dan kaulah yang akan memberikan
perintah-perintah berikutnya. Aku telah cukup berusaha. Ki Tambak Wedi harus
membuat pertimbangan-pertimbangan baru setelah ia melihat aku. Demikian juga
orang-orangnya. Aku berusaha sejauh-jauh dapat aku lakukan, membuat kesan bahwa
lukaku sudah tidak berbahaya lagi.”
“Silahkan, Ki
Gede,” sahut Wrahasta, “kami akan berusaha sejauh mungkin.”
Ki Argapati
dan Pandan Wangi pun segera turun dari tempatnya. Mereka mengambil tempat di
pinggir jalan beberapa puluh langkah dari regol, di belakang para pengawal yang
telah siap dengan alat-alat pelontar dan busur-busur.
Sejenak
kemudian pasukan Ki Tambak Wedi pun
menjadi semakin dekat. Obor-obor mereka menjadi semakin jelas menerangi
wajah-wajah yang tegang. Ketika kemudian Ki Tambak Wedi memberikan isyarat
dengan tangannya dan disambut oleh setiap pemimpin di dalam pasukannya, maka
kemudian terdengar mereka bersorak gegap gempita. Langkah mereka menjadi
semakin cepat dan obor mereka pun
terangkat tinggi-tinggi sambil mengacung-acungkan senjata pula. Mereka yang
berperisai segera mengambil tempat di depan untuk melindungi lontaran-lontaran
senjata jarak jauh. Kemudian diikuti oleh mereka yang bersenjatakan pedang dan
tombak. Samekta menjadi berdebar-debar melihat arus pasukan Ki Tambak Wedi.
Pasukan itu memusatkan serangannya pada regol desa, dan sedikit menebar
sebelah-menyebelah sebagai sayap pasukannya. Agaknya mereka merasa bahwa mereka
tidak akan dapat menerobos masuk lewat pagar pering ori. Satu-satunya jalan
bagi mereka adalah regol-regol desa. Ketika pasukan itu telah berada dalam
jarak jangkau alat-alat pelontar lembing, maka Samekta segera melepaskan
perintah. Sejenak kemudian, maka dari sela-sela carang-carang ori itu
meluncurlah berpuluh-puluh lembing menghujani pasukan Ki Tambak Wedi. Ki Tambak
Wedi memang sudah menduga, bahwa mereka pada saatnya harus melawan
senjata-senjata itu. Karena itu, maka mereka yang membawa perisai segera
mengambil tempat dan berusaha menangkis serangan-serangan itu. Tetapi lembing
itu meluncur terlampau keras, sehingga kadang-kadang beberapa orang yang kurang
kuat, tergetar dan terdorong surut beberapa langkah ketika perisai-perisai
mereka membentur lembing yang meluncur dengan derasnya. Tetapi arus pasukan itu
ternyata cukup deras. Meskipun satu-satu korban berjatuhan, namun mereka sama
sekali tidak dapat ditahan lagi. Apalagi ketika pasukan panah Ki Tambak Wedi
telah mengambil tempatnya dan membalas serangan-serangan itu dengan anak-anak
panah mereka. Meskipun para pengawal berperisai carang ori yang rimbun, namun
satu dua di antara anak-anak panah itu berhasil menembus dan melukai para
pengawal.
“Pecah pintu itu,”
teriak Ki Tambak Wedi yang memimpin langsung pasukannya.
Beberapa orang
kemudian berlari-lari semakin dekat ke arah pintu regol. Bersama-sama mereka
berusaha memecah pintu itu. Mereka mendorong sekuat-kuat tenaga mereka
bersama-sama. Sementara kawan-kawan mereka melindungi mereka dengan serangan
anak-anak panah kepada para pengawal. Tetapi pintu regol itu adalah pintu yang
sangat kuat, sehingga usaha itu pun
tidak segera dapat berhasil.
“Cepat,
pecahkan pintu,” perintah Ki Tambak Wedi.
Ki Wasi dan Ki
Muni yang telah berdiri di muka pintu, itu menggelengkan kepalanya,
“Terlampau
sulit,” katanya, “pintu ini terlampau kuat.”
Ki Tambak Wedi
mengerutkan keningnya. Sementara itu anak-anak panah meluncur terus dari kedua
belah pihak. Bahkan kemudian beberapa orang telah mulai melontarkan obor mereka
ke dalam pagar rum pun bambu ori.
“Bakar regol
itu,” teriak Ki Tambak Wedi kemudian.
Ki Wasi
mengerutkan keningnya. Namun perintah itu telah menjalar dari setiap mulut,
“Bakar, bakar.”
Beberapa orang
yang berusaha memecahkan pintu itu pun
segera meloncat surut. Yang kemudian melangkah maju adalah mereka yang membawa
obor di tangan mereka. Sambil berteriak-teriak mereka melemparkan obor-obor
mereka ke pintu regol. Minyak yang ada di dalam obor-obor itu pun kemudian tumpah dan mengalir membasahi
tlundak pintu. Sedang obor-obor itu pun
saling membakar satu sama lain.
Dengan
cepatnya maka api pun segera berkobar.
Yang mula-mula terbakar adalah bumbung-bumbung bambu tangkai obor yang telah
basah oleh minyak. Namun kemudian tlundak pintu yang sudah diperciki oleh
minyak itu pun mulai terbakar pula.
Sedikit demi sedikit, api merambat tanpa dicegah sama sekali. Para pengawal
yang melihat api mulai menjilat regol mereka segera bergerak. Tetapi Ki Gede
Menoreh mencegah mereka sambil berkata, “Jangan mendekat. Kalian akan
terpancing. Kalau kalian berusaha memadamkan api itu, maka kalian tidak akan
dapat melihat api itu padam, karena leher kalian akan terpenggal.”
Para pengawal
pun segera mengurungkan niatnya. Sekali-sekali mereka memandang Samekta dan
Wrahasta di tempatnya. Tetapi agaknya mereka pun sependapat dengan Ki Gede
Menoreh meskipun mereka belum membicarakannya. Ternyata bahwa Samekta pun sama
sekali tidak memberikan perintah apa pun. Sejenak kemudian maka api pun segera berkobar semakin tinggi. Pintu
regol itu sedikit demi sedikit termakan oleh api yang melonjak sampai ke
bubungan. Dan sejenak kemudian maka regol desa itu telah menjadi seonggok api
yang berkobar-kobar seolah-olah akan menjilat langit. Cahaya merah yang seram
telah memancar ke sekitar. Onggokan api itu menyentuh wajah-wajah yang tegang
di dalam dan di luar regol. Pasukan kedua belah pihak seolah-olah membatu di
tempat masing-masing. Namun Samekta dan Wrahasta beserta beberapa orang
pengawal yang bertengger di atas anjang-anjang dengan alat-alat pelontar
mereka, sebelah-menyebelah regol itu, tidak dapat menahan panas api itu lagi.
Mereka terpaksa beringsut dan menjauh.
“Panggil
Samekta,” perintah Ki Gede.
Seorang
pengawal pun kemudian menemui Samekta yang
basah oleh keringatnya yang seakan-akan terperas dari dalam tubuhnya. Dengan
tergesa-gesa ia pergi menghadap Ki Argapati.
“Pimpinan
pasukanmu dari tempat ini. Aku akan mendampingimu,” berkata Ki Argapati.
“Tetapi apakah
Ki Gede tidak beristirahat saja dahulu.”
Ki Argapati
menggeleng. Justru nyala api itu seakan-akan telah menyingkirkan segala
perasaan sakitnya. Bagaimanapun juga, maka ia harus menyiapkan diri, dalam
keadaannya itu, untuk mempertahankan pemusatan pasukannya.
Samekta dan
Wrahasta pun kemudian berdiri sebelah
menyebelah Ki Argapati dan Pandan Wangi. Di tangan mereka telah tergenggam
senjata masing-masing yang telanjang.
Sekilas
Samekta melihat para pengawal yang kepanasan berdiri berlindung di balik
pagar-pagar batu. Namun mereka tetap berada di tempat. Mereka tidak mau
meninggalkan alat-alat pelontar lembing dan busur besar mereka. Apabila api itu
nanti mereda, dan pasukan lawan akan menerobos masuk, maka adalah menjadi
kuwajiban mereka untuk menahan arus itu. Apabila mereka gagal mengurangi
derasnya arus lawan, maka para pengawal yang telah siap menunggu, setengah
lingkaran di dalam regol itu pun pasti
akan pecah, seperti pecahnya bendungan oleh banjir bandang. Karena itu, maka
mereka merasa bertanggung jawab untuk menahan mereka sekuat-kuat tenaga. Selama
api itu masih berkobar, maka tidak akan ada seorang pun yang dapat melampauinya. Baik memasuki
maupun keluar dari desa ini. Karena itu, selama api masih berkobar, mereka di
kedua pihak hanya dapat menunggu. Sekali-sekali masih juga ada
lontaran-lontaran lembing dari para pengawal di sebelah-menyebelah regol, namun
jarak mereka menjadi terlampau jauh karena mereka tidak tahan lagi terhadap
panasnya api.
“Jangan
terpancing keluar,” desis Ki Argapati.
“Aku sudah
mengeluarkan perintah itu,” sahut Samekta.
“Bagus.
Apabila kita terpancing keluar dan menghalangi setiap alat pelontar itu, maka
kita akan dibinasakan.”
“Ya,” Samekta
mengangguk. Tetapi tatapan matanya tidak berkisar dari api yang seolah-olah
menari-nari dalam buaian angin yang silir.
Sejenak
kemudian, api pun mulai mereda. Karena
itu, maka setiap orang di dalam regol segera mempersiapkan diri. Mereka harus
mempergunakan setiap kekuatan untuk menahan arus pasukan Tambak Wedi. Mereka
harus mengurangi jumlah mereka sebanyak-banyaknya. Namun baik Ki Argapati,
maupun Samekta dan para pemimpin yang lain tidak mengerti, bahwa Ki Tambak
Wedi pun telah mengeluarkan perintah
agar pasukannya pun jangan melampaui regol yang sedang terbakar itu.
“Terlampau
berbahaya. Kita akan terlampau banyak memberikan korban, karena kita tidak
mempersiapkan peralatan untuk itu.”
Ki Muni
mengerutkan dahinya. Tetapi ia tidak membantah. Dalam keadaan serupa itu, Ki
Tambak Wedi pasti tidak akan dapat diajaknya untuk bergurau. Orang tua itu
pasti akan segera menjadi muak mendengar ia membual.
Tetapi meskipun
demikian, ia bertanya,
“Lalu apakah
yang akan kita lakukan sesudah api itu padam?”
“Kita
mengharap Argapati membawa pasukannya keluar.”
Ki Muni
mengerutkan keningnya. Tetapi ia terdiam sambil mengawasi api yang semakin
susut.
Ketika mereka
telah dapat memandang melangkahi nyala api yang sudah menjadi semakin kecil,
maka dalam keremangan cahaya kemerah-merahan, dalam jarak beberapa puluh
langkah di luar dan di dalam regol, kedua pasukan itu saling dapat melihat,
siapakah yang berdiri memegang pimpinan. Ki Tambak Wedi menggeram ketika ia
melihat samar-samar Ki Argapati berdiri tegak di samping puterinya yang telah
menggenggam sepasang pedangnya. Kemudian pemimpin pasukan pengawal, Samekta dan
Wrahasta.
“Tidak seorang
pun yang dapat dibanggakan di dalam pasukan Argapati itu selain ia sendiri,”
tanpa sesadarnya Ki Tambak Wedi menggeram.
“Nah, kenapa
kita tidak akan memasuki regol?”
Ki Tambak Wedi
mengerutkan keningnya. Kemudian dengan agak keras ia menyahut,
“Kita bukan
orang-orang yang paling bodoh di medan peperangan. Sudah aku katakan, korban
akan terlampau banyak. Aku yakin bahwa aku akan dapat hidup, tetapi belum tentu
dengan kau.”
Wajah Ki Muni
yang kemerah-merahan karena sentuhan sinar api, menjadi semakin merah membara.
Seandainya yang berkata demikian itu bukan Ki Tambak Wedi, maka ia pasti tidak
akan membiarkan dirinya terhina. Tetapi terhadap Ki Tambak Wedi ia harus
berpikir untuk kesekian kalinya sebelum ia berbuat sesuatu. Karena itu, maka
yang terdengar adalah gemeretak giginya. Namun ia tidak menjawab lagi. Kini
matanya yang tajam memandang api yang semakin lama semakin surut, dan
lamat-lamat dilihatnya pula Argapati berdiri tegak dengan tombok pendeknya di
samping puterinya yang cantik Pandan Wangi. Namun Pandan Wangi itu seakan-akan
sama sekali bukan seorang gadis lagi. Dengan sepasang pedang di tangannya,
Pandan Wangi itu bagaikan bunga pandan yang dikitari oleh seonggok duri-duri
yang tajam. Di samping ayah beranak itu, berdirilah para pemimpin pasukan
pengawal Tanah Perdikan. Hampir semuanya sudah dikenal oleh Ki Muni, Samekta,
Wrahasta, dan yang lain lagi. Mereka bukannya orang-orang yang berhati
seringkih batang ilalang. Tetapi mereka adalah orang-orang yang berpendirian
teguh.
Ki Argapati yang
berdiri di dalam regol pun melihat, siapa yang berada di pasukan lawan. Ia
melihat pula betapa Ki Tambak Wedi dengan tegang memandang api yang semakin
surut. Di sebelah-menyebelah berdiri kedua orang yang dikenalnya dengan baik
pula, Ki Wasi dan Ki Muni. Sebagai seorang yang memiliki pengamatan yang tajam,
maka Ki Argapati melihat, bahwa agaknya Ki Tambak Wedi sama sekali tidak
berhasrat untuk memasuki pedesan itu setelah api mereda. Karena itu, maka ia
menjadi ragu-ragu di dalam hati, apakah sebenarnya yang akan dilakukan oleh
iblis dari lereng Gunung Merapi itu. Meskipun demikian Ki Argapati tidak dapat
lengah. Ia harus tetap berada dalam kesiagaan yang tertinggi. Mungkin Ki Tambak
Wedi sengaja membuat gelar yang meragukan lawannya, tetapi kemudian dengan
tiba-tiba memukul tanpa ampun. Bahwa Sidanti dan Argajaya tidak tampak di dalam
pasukan itu pun membuatnya agak
bercuriga. Sehingga perlahan-lahan ia bertanya kepada Samekta,
“Bagaimana
dengan regol-regol samping yang lain.”
“Aku telah
menempatkan pengawasan yang cukup Ki Gede. Kalau terjadi sesuatu di sana,
mereka pasti akan memberikan isyarat.”
Ki Gede
mengangguk-anggukkan kepalanya. Desisnya,
“Aku tidak
melihat Sidanti dan Argajaya di ujung barisan mereka.”
“Mungkin
mereka masing-masing memimpin sayap pasukan itu.”
Ki Argapati
mengangguk-angukkan kepalanya. Tetapi terasa hatinya menjadi terlampau pedih.
Jauh lebih pedih dari luka badaniah di dadanya. Adiknya sendiri ternyata telah
melawannya pula. Bahkan anak yang sejak kecil dipeliharanya, Betapapun ia
menghadapi kenyataan yang paling pahit. Kini, seperti memelihara anak-anak
harimau, ia harus berhadapan sebagai lawan, setelah harimau itu menjadi besar
dan kuat. Sementara itu, agak jauh dari nyala api regol yang telah susut, tiga
orang berdiri termangu-mangu di tempatnya. Seakan-akan tanpa berkedip mereka
memandangi keadaan yang sedang berkembang di sebelah menyebelah regol yang
sedang dimakan api itu.
Dengan
tiba-tiba saja salah seorang dari mereka berkata,
“Apalagi yang
kita tunggu?”
Seorang tua
yang ada di antara mereka berpaling. Dengan ragu-ragu ia bertanya,
“Apa yang akan
kau lakukan?”
“Guru,” sahut
orang yang pertama, seorang anak muda yang gemuk,
“buat apa Guru
memanggil aku dan berlari-lari kemari? Aku kira lebih baik berbaring di gubug
itu daripada berdiri di sini tanpa berbuat sesuatu.”
Gurunya
menarik nafas dalam-dalam. Kemudian jawabnya,
“Kita melihat
keadaan. Kalau kita tergesa-gesa berbuat sesuatu, mungkin kita akan melakukan
kesalahan. Karena itu, kita harus memperhitungkan setiap kemungkinan yang dapat
terjadi. Apakah tindakan kita itu menguntungkan atau justru sebaliknya.”
“Tetapi
sebentar lagi api itu akan padam. Pasukan Tambak Wedi akan segera menghambur
masuk ke dalam desa itu dan memecahkan pertahanan Argapati. Betapapun juga Ki
Argapati masih dalam keadaan luka. Sudah tentu ia tidak akan dapat berhadapan
dengan Ki Tambak Wedi.”
“Tambak Wedi
bukan iblis Gupala,” jawab orang tua itu,
“ia adalah
manusia biasa seperti kita. Ujung lembing yang dilontarkan dari alat-alat
pelontar itu, apabila mengenainya, akan menyobek kulitnya pula. Meskipun ia
mempunyai beberapa kelebihan dari orang kebanyakan karena ia mesu diri, namun
pada suatu batas tertentu, ia pun akan
dapat dilumpuhkan.”
“Meskipun
demikian, Guru,” sahut Gupala,
“ia mempunyai
pasukan pula. Pasukannyalah yang akan dijadikannya perisai dari
serangan-serangan lembing dan anak panah.”
“Kau benar.
Tetapi aku kira Tambak Wedi bukan seorang yang terlampau bodoh untuk
mengorbankan terlampau banyak orang-orangnya. Aku tidak melihat persiapan yang
cukup untuk memasuki regol itu.” Orang tua itu berhenti sejenak, lalu,
“Seandainya
demikian, Tambak Wedi masih memerlukan waktu. Seandainya api itu padam, maka
Tambak Wedi masih harus menunggu lagi. Orang-orangnya tidak akan dapat berjalan
di atas bara sementara alat-alat pelontar dari dalam regol menyerang mereka
seperti hujan. Kalau memang itu yang dikehendakinya aku tidak tahu.”
Gupala menarik
keningnya. Ia tidak berani membantah lagi. Betapapun hatinya bergolak, namun ia
berdiri saja dengan gelisahnya. Sekali-sekali dirabanya cambuknya yang
melingkar di lambung. Namun kemudian ditimang-timangnya sehelai pedang yang
didapatkannya dari lawannya.
“Seandainya Ki
Tambak Wedi memang merencanakan untuk masuk ke dalam lingkungan bambu ori itu,
maka pasukannya pasti dilengkapi dengan perisai jauh lebih banyak dari yang ada
sekarang.”
Gupala
mengangguk-anggukkan kepalanya. Sedang anak muda yang seorang lagi berdiri saja
seolah-olah membeku. Namun hatinya dicengkam oleh kecemasan dan kegelisahan.
Meskipun ia tidak berkata sepatah kata pun, namun sebenarnya perasaannya tidak
jauh berbeda dengan adik seperguruannya. Tetapi ia masih dapat menahan diri
tanpa menyatakan perasaannya itu. Sejenak mereka bertiga terdiam sambil menahan
nafas. Api yang menelan regol desa itu sudah menjadi semakin surut. Namun belum
ada tanda-tanda, bahwa Ki Tambak Wedi akan menyerang memasuki pusat pertahanan
para pengawal Tanah Perdikan Menoreh itu.
“Aku hampir
pasti bahwa Ki Tambak Wedi tidak akan memasuki regol,” berkata orang tua itu
tiba-tiba.
Kedua
anak-anak muda yang berdiri di sisinya menganggukkan kepala mereka. Mereka pun
tidak melihat tanda-tanda itu. Namun mereka tidak menyahut. Dalam pada itu,
baik orang-orang di dalam pasukan Ki Tambak Wedi maupun Ki Argapati, dengan
susah payah menahan diri masing-masing untuk tidak terdorong oleh perasaan
mereka. Tangan-tangan mereka telah gemetar dan dada mereka pun telah bergelora. Tetapi masing-masing
tidak akan dapat melanggar perintah dari pemimpin tertinggi mereka, bahwa
masing-masing tidak boleh melangkahi regol yang kini telah menjadi bara. Kedua
belah pihak berdiri termangu-mangu menunggu perkembangan keadaan. Ki Tambak
Wedi mengharap para pengawal itu terpancing keluar. Apabila demikian, maka
mereka akan dapat dibinasakan, karena kekuatan Ki Tambak Wedi tidak akan
berkurang karena serangan-serangan alat-alat pelontar yang cukup berbahaya itu.
Sedangkan Ki Argapati mengharap pasukan Ki Tambak Wedi itu memasuki
pertahanannya. Selama mereka meloncat-loncat menghindari bara yang akan
menyengat kaki mereka, maka alat-alat pelontar lembing, busur-busur dan bahkan
bandil-bandil besar akan dapat mengurangi kekuatan lawan. Tetapi hingga api
menjadi semakin surut, dan bahkan hampir padam kedua belah pihak sama sekali
tidak bergerak. Mereka berdiri di tempat masing-masing dalam kesiagaan penuh.
Sekali-kali
terdengar beberapa dari mereka menggeram. Tangan-tangan mereka menjadi gemetar
dan kaki-kaki mereka seakan-akan tidak dapat mereka tahankan lagi untuk
meloncat menyergap lawan yang telah berada di depan hidung mereka.
“Argapati,”
tiba-tiba terdengar suara Ki Tambak Wedi melengking.
“Kenapa kau
tidak berbuat sesuatu pada saat kami membakar regol pertahananmu? Apakah regol
itu memang sudah tidak kau perlukan lagi atau kau sama sekali tidak mempunyai
kemampuan untuk mencegahnya?”
Yang terdengar
adalah geram Wrahasta dan para pengawal yang lain. Namun Ki Argapati sendiri
tersenyum sambil menjawab keras-keras,
“Masuklah Ki
Tambak Wedi. Pintu kami telah terbuka. Apa yang kau tunggu lagi? Bukankah kau
ingin merebut kedudukan kami yang terakhir ini? Ayolah, jangan segan-segan
kalau kau memang merasa cukup mampu.”
“Persetan!”
jawab Ki Tambak Wedi.
“Kau sangka
aku tidak dapat merebutnya dalam sekejap?”
“Kenapa tidak
kau lakukan? Apakah kau belum mempersiapkan perisai yang cukup untuk menerobos
pasukan pelontar lembing kami? Atau kau merasa bahwa sampai orangmu yang
terakhir pasti akan terhenti di regol yang telah menjadi abu itu?”
Ki Tambak Wedi
menggeram. Kemudian terdengar ia berteriak,
“He. Apakah
lukamu masih belum sembuh benar?”
“Kenapa kau
bertanya tentang lukaku? Ki Tambak Wedi, aku sudah siap menyambutmu. Marilah,
aku persilahkan kalian masuk.”
Ki Tambak Wedi
tidak segera menyahut. Namun dicobanya untuk melihat wajah-wajah di sekitar Ki
Argapati pada sisa-sisa cahaya api yang telah memusnahkan regol desa itu.
Tetapi ia tidak menemukan orang yang dicarinya. Karena itu, setelah ia yakin,
bahwa yang dicarinya tidak ada, maka ia tidak merasa perlu untuk berada di
tempat itu terlampau lama. Ia telah memberikan kejutan yang pasti akan
berpengaruh pada para pengawal. Karena itu, maka orang tua itu pun kemudian
berkata lantang, “Tidak Argapati. Kali ini aku tidak akan singgah di desa yang
sunyi dan mati ini. Aku hanya ingin menunjukkan kepadamu bahwa kami adalah
orang-orang yang mempunyai rasa perikemanusiaan yang tebal. Kami datang sekedar
memberi kau peringatan. Tetapi kalau kau masih juga berlaku bodoh, maka aku
tidak akan memaafkanmu lagi. Karena itu, dengarlah Argapati. Malam ini aku
merasa perlu untuk mengasihani kau dan orang-orangmu yang tidak tahu-menahu
alasan apakah yang kau pegang sampai saat ini, sehingga kau masih tetap
berkepala batu. Tetapi aku tidak akan berbuat demikian untuk seterusnya. Aku
akan mengepung tempat ini rapat-rapat dalam dua hari dua malam. Kalau kau tidak
berubah pendirianmu, maka pada hari yang ketiga, bukan saja regolmu yang kami
bakar, tetapi kami akan membakar seluruh rumpun pering ori ini. Memang sulit
untuk membakar rumpun bambu yang masih berdiri. Tetapi kami yakin bahwa kami
mampu melakukannya. Seterusnya, desa yang sunyi dan mati ini akan menjadi
kuburan yang luas bagi kalian yang dungu.”
Wrahasta, yang
darahnya masih terlampau cepat mendidih, tidak dapat bersikap terlampau tenang
seperti Ki Argapati. Tetapi ketika ia bergerak maju, tangan Ki Argapati
menggamitnya. Dengan wajah yang tegang Wrahasta memandang Ki Argapati yang
masih saja tersenyum. Ia tidak mengerti kenapa hinaan itu ditanggapinya acuh
tak acuh saja.
“Tenanglah,”
desis Ki Argapati. Kemudian kepada Ki Tambak Wedi ia berkata,
“Apa pun yang
kau katakan, Ki Tambak Wedi. Tetapi kami tahu apakah yang sebenarnya telah
menahanmu. Meskipun demikian, terserahlah kepadamu. Kalau kau ingin kembali
dahulu, mempersiapkan dirimu, silahkanlah. Aku akan menunggu. Sehari, dua hari,
atau hari yang ketiga seperti yang kau katakan.”
Ki Tambak Wedi
menggeram. Tetapi ia mempunyai cukup pengalaman, sehingga ia tidak mudah lagi
dibakar oleh perasaannya, seperti juga Ki Argapati. Karena itu, maka jawabnya,
“Baiklah. Aku
akan kembali. Di hari ketiga, aku akan datang. Mudah-mudahan kau sudah sembuh.
Sehingga kau tidak akan mengecewakan aku.”
Ki Argapati
tidak menjawab. Dengan tajamnya diawasinya segala macam gerak gerik iblis dari
lereng Gunung Merapi itu. Namun agaknya Ki Tambak Wedi benar-benar menarik
pasukannya. Selangkah demi selangkah mereka mundur. Semakin lama semakin jauh
dari mulut lorong yang sudah tidak beregol lagi. Sementara itu Ki Muni
mendekatinya sambil berkata,
“Kenapa kita
harus menunggu tiga hari lagi? Itu sikap yang sangat bodoh.”
Ki Tambak Wedi
tidak segera menjawab. Justru kepalanya tertunduk seolah-olah sedang menghitung
langkah kakinya. Namun agaknya ia sedang berpikir tentang pasukannya dan
pasukan Argapati. Dengan cermat ia mencoba menilai keseimbangan kedua pasukan
itu.
“Ki Tambak
Wedi,” Ki Muni yang masih mengikutinya bertanya lagi,
“kenapa kita
menunggu tiga hari lagi? Telah di dayung jaring dilepaskan. Belum tentu kalau
kelak akan menetas.”
Ki Tambak Wedi
berpaling, tetapi ia tidak segera menjawab.
“Bukankah
semudah meremas ranti?” berkata Ki Muni pula.
“Sekarang kita
melepaskannya dan memberitahukan untuk datang lagi pada hari yang ketiga. O,
alangkah bodohnya. Kita sendirilah yang meminta kepada mereka untuk menggali
lubang kubur kita.”
“Cukup!” tiba-tiba
Ki Tambak Wedi menggeram.
“Aku kira kau
mampu berpikir Ki Muni, ternyata kau lebih bodoh dari orang-orang Menoreh itu.
Apa kau sangka aku sudah gila, dengan melakukan kebodohan itu? Aku tidak akan
menunggu sampai tiga hari seperti yang aku katakan. Hanya kerbaulah yang
menyerahkan hidungnya untuk dicocok,”
“Jadi?”
“Aku akan
segera mempersiapkan pasukan. Begitu aku siap, aku akan kembali. Besok atau
selambat-lambatnya lusa. Tetapi sebelum hari ketiga. Aku harap Argapati
benar-benar bodoh sehingga menunggu sampai hari yang aku katakan.”
Ki Muni
mengerutkan keningnya. Tiba-tiba ia mengangguk-anggukkan kepalanya sambil
bergumam,
“O, akulah
yang bodoh.”
“Tetapi,”
tiba-tiba Ki Wasi memotong,
“itu bukan
kebodohan. Ki Argapati adalah seorang laki-laki yang jujur. Ia tidak pernah
bertindak licik. Karena itu, maka orang seperti Ki Argapati terlampau mudah
ditipu dan dijebak.”
Ki Tambak Wedi
tertegun sejenak, sementara Ki Wasi melanjutkan,
“Seperti
saat-saat yang telah ditentukan di bawah Pucang Kembar.”
“Itu bukan
suatu kelicikan,” bantah Ki Tambak Wedi,
“dalam
peperangan kita dapat bersiasat. Kita tidak harus bertempur seorang lawan
seorang sampai orang yang terakhir. Itu terlampau bodoh. Dalam peperangan kita
dapat saja membunuh siapa saja dalam barisan lawan. Mungkin aku akan membunuh
seorang pengawal yang tidak berarti, atau Pandan Wangi harus berkelahi perpasangan
melawan Ki Peda Sura. Apakah itu licik? Pengecut dan tidak jantan? Soal pribadi
adalah lain dengan soal peperangan. Di peperangan tidak ada pantangan untuk
membuat siasat dengan cara apa pun.”
Ki Wasi tidak
menyahut. Ia takut kalau kemudian dapat menimbulkan salah paham. Karena itu,
maka ia pun berdiam diri sambil
melangkah menjauhi regol yang kini telah menjadi abu. Beberapa langkah
kemudian, Sidanti dan Argajaya telah menunggu. Tanpa ditanya lagi Sidanti
segera berkata,
“Aku tidak
melihat seorang pun mendekati medan.”
Ki Tambak Wedi
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Aku kira
semua itu adalah sekedar permainan Ki Argapati saja dengan membuat beberapa
orang bercambuk untuk mengecilkan hati kami. Kini aku yakin, tidak ada orang
bercambuk di tlatah Menoreh. Orang yang menghentikan pasukan berkuda dan yang
berhasil menghindari gelang-gelang besiku pasti Ki Argapati yang menyamar
menjadi orang yang tidak dikenal.”
Sidanti tidak
menyahut. Tanpa sesadarnya ia berpaling ke arah Ki Argajaya. Tetapi Ki Argajaya pun tidak mengucapkan sepatah kata pun.
“Nah, kalau begitu,”
berkata Ki Tambak Wedi,
“kita sudah
pasti. Kita akan menghancurkan mereka di dalam sarangnya. Begitu kita sampai di
induk kademangan, kita harus segera menyiapkan diri. Kita akan segera kembali
dengan kelengkapan yang matang untuk memasuki pertahanan mereka, menembus
jaring-jaring alat-alat pelontar yang mereka pasang di sebelah-menyebelah pintu
masuk.”
Sidanti
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak menyahut.
“Sekarang kita
kembali. Tidak ada waktu untuk beristirahat lagi. Sejak malam ini kita harus
mempersiapkan semua alat-alat yang pasti akan kita perlukan. Kalau mungkin
besok malam kita pergi, atau selambat-lambatnya lusa. Kita akan memilih saat
yang sebaik-baiknya.”
Tidak ada
seorang pun lagi yang menjawab. Semua
berjalan dengan kepala tunduk sambil menahan kecewa di hati masing-masing.
Apalagi beberapa yang sudah membayangkan, kemungkinan memecah pertahanan itu,
dan menemukan harta benda yang tidak ternilai harganya, yang dikumpulkan oleh
orang-orang Menoreh yang sedang mengungsi.
Sementara itu,
Gupala, Gupita, dan gurunya masih berdiri saja di tempatnya. Sambil
mengangguk-anggukkan kepalanya gurunya berkata,
“Bukankah
dugaan kita tepat. Ki Tambak Wedi tidak akan memasuki regol itu malam ini.
Tetapi dengan demikian ia sudah mendapat gambaran tentang kekuatan kedua belah
pihak. Menurut perhitungan Ki Tambak Wedi. Ki Argapati sudah mengerahkan semua
kekuatannya di hadapan regol yang terbakar itu. Agaknya usahanya itu berhasil,
dan dengan demikian, Ki Tambak Wedi tinggal menghitung orang-orangnya, apakah
ia merasa mampu untuk memecah pertahanan lawannya itu.”
Gupala dan
Gupita mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Tetapi kita
tidak tahu, kapan Tambak Wedi akan kembali,” gumam Gupita kemudian.
“Pasti
secepatnya,” jawab gurunya.
“Tetapi kita
memang tidak tahu, kapankah secepatnya itu.”
Gupala yang
sejak tadi berdiam diri saja sambil mengawasi bara yang sudah hampir padam,
tiba-tiba menguap. Katanya,
“Aku
benar-benar sudah mengantuk. Perang gagal itu membuat aku serasa sakit dada.
Untunglah aku tidak ada di antara mereka. Kalau aku ada di antara mereka
mungkin aku sudah pingsan.”
“Nah, bukankah
kau sudah mengaku sendiri?” sahut gurunya.
“Itulah
sebabnya, aku kurang memberimu kesempatan. Kau mudah sekali menjadi pingsan.
Apalagi kalau kau melihat bukan sekedar perang gagal.”
“Apa itu
guru?” bertanya Gupala.
“Yang lain.
Tentu yang bukan sejenis peperangan. Puteri Kepala Tanah Perdikan itu
barangkali.”
Sekali lagi
Gupala menguap. Diusap-usapnya keningnya sambil berkata,
“Gadis itu
pasti dipingit.”
Gurunya tidak
menyahut, tetapi ia tersenyum. Dipandanginya wajah muridnya yang gemuk itu.
Namun agaknya Gupala tidak banyak menaruh perhatian.
“Gadis itu
membawa sepasang pedang,” desis Gupita.
Gupala
berpaling.
“Kenapa dengan
sepasang pedang?”
“Kalau gadis
itu dipingit di dalam bilik buat apa kira-kira sepasang pedang itu?”
Gupala
mengerinyitkan alisnya. Namun kemudian ia tersenyum sambil menjawab,
“Ya. Gadis itu
tentu tidak dipingit.”
Gupita pun tertawa pula. Sekilas terbayang wajah
gadis itu.
“Lalu, apakah
yang akan kita kerjakan sekarang?” tiba-tiba saja Gupala bertanya.
“Kembali,”
jawab gurunya.
Gupala
menggeleng-gelengkan kepalanya. Katanya,
“Lebih baik
tidur di rumah daripada digigit nyamuk di sini.”
“Tetapi di
rumah kita tidak dapat melihat regol desa itu terbakar,” sahut Gupita.
“Aku juga
dapat membakar regol,” jawab Gupala.
Gupita tidak
menjawab lagi. Gurunya ternyata telah melangkah meninggalkan tempat itu,
kembali ke gubug mereka. Kedua muridnya itu
pun kemudian mengikutinya pula.
Sementara itu,
yang berada di dalam lingkaran pering ori, ternyata dicengkam oleh kekecewaan
pula. Mereka mengharap Ki Tambak Wedi memasuki desanya, kemudian pasukannya
akan dihujani dengan alat-alat pelontar lembing dan busur-busur besar yang
telah mereka persiapkan. Tetapi ternyata pasukan Ki Tambak Wedi itu ditarik
mundur. Tetapi dalam pada itu, ketika Ki Tambak Wedi dan pasukannya telah
hilang di dalam kegelapan, terasa dada Ki Argapati seakan-akan retak. Terasa
pedih dan nyeri menyayat sampai ke pusat jantung, sehingga sejenak ia
memejamkan matanya sambil berdesis. Kedua tangannya memegang dadanya yang sakit
itu setelah menyerahkan tombaknya kepada puterinya.
“Ayah, kenapa
Ayah?”
“Dadaku,”
sahut Ayahnya perlahan-lahan sekali. Dengan sekuat tenaga Ki Argapati bertahan
supaya tidak menimbulkan kesan yang kurang baik pada orang-orangnya.
“Bagaimana
dengan luka Ayah.”
Ki Argapati
menggeleng. Katanya,
“Aku akan
beristirahat supaya pada saatnya aku dapat menghadapi Tambak Wedi.”
Dengan gelisah
Pandan Wangi kemudian mengikuti ayahnya yang berjalan lambat sekali kembali ke
rumah tempat ia menumpang. Tetapi Ki Argapati tidak mau menimbulkan kesan,
bahwa ia tidak mampu untuk berjalan sendiri sampai ke rumah itu. Apabila
demikian, maka anak buahnya pasti akan bertanya,
“Lalu, apakah
ia dapat bertempur melawan Ki Tambak Wedi?”
Betapapun
dadanya dihentak oleh pedih dan nyeri, namun ia berusaha berjalan sendiri,
meskipun perlahan-lahan. Tetapi Ki Argapati itu terkejut ketika tangannya
terasa menjadi hangat. Ketika ia memandangi telapak tangannya, maka jantungnya
berdesir. Ia melihat sepercik warna merah di telapak tangannya itu.
“Hem,” ia
menarik nafas dalam-dalam, “agaknya luka ini berdarah lagi.”
Namun meskipun
demikian, Ki Argapati tidak mengatakannya kepada siapa pun juga. Dengan sekuat tenaganya ia bertahan
untuk tetap berjalan sendiri sampai ke dalam biliknya.
Wrahasta dan
Samekta yang mengikutinya, masuk pula ke dalam bilik itu. Tetapi belum lagi
mereka duduk, Ki Argapati telah berkata,
“Awasilah
orang-orangmu. Jangan kau tinggalkan mereka sekejap pun. Salah seorang dari
kalian harus ada di antara mereka.” Ki Argapati itu diam sejenak. Kemudian
tiba-tiba saja ia bertanya,
“Dimana Kerti
sekarang?”
“Ia berada
bersama pasukan yang melindungi para pengungsi.”
Ki Argapati
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak berkata apa pun lagi.
“Ki Gede,”
berkata Samekta,
“aku minta
diri. Kalau Ki Gede memerlukan sesuatu, aku harap Ki Gede memanggil.”
“Baik,” jawab
Ki Gede singkat.
Maka sejenak
kemudian Samekta dan Wrahasta pun minta
diri, kembali ke tempat para pemimpin pasukannya berkumpul.
Sepeninggal
Samekta, Wrahasta dan para pemimpin yang mengikutinya, Ki Argapati segera
merebahkan dirinya di pembaringannya. Sambil menyeringai ia berkata,
“Pandan Wangi.
Tolonglah, ambilkan semangkuk air panas. Aku akan melihat lukaku. Mungkin luka
ini akan kambuh lagi. Karena itu, sebelumnya aku akan membersihkannya dan
memberinya obat yang baru.
Pandan Wangi
pun segera berlari ke belakang. Meskipun ia membawa sepasang pedang, namun ia
sama sekali tidak canggung melakukan perintah ayahnya. Sejenak kemudian, maka
gadis itu pun telah membantu ayahnya
membuka baju dan kemudian membersihkan luka-lukanya yang ternyata memang mulai
berdarah lagi meskipun tidak terlampau banyak. Dengan hati-hati Ki Argapati
membersihkan luka itu, kemudian menaburinya dengan obat yang baru. Sejenak,
luka itu justru terasa seolah-olah terbakar. Namun kemudian perasaan itu pun semakin susut. Akhirnya, ia merasa bahwa
luka-lukanya akan menjadi segera baik kembali. Meskipun demikian Ki Argapati
tidak mau bangkit lagi dari pembaringannya.
Pandan Wangi
lah yang kemudian menjadi penghubung antara ayahnya dan Samekta apabila
diperlukan. Tetapi sebagian terbesar waktunya, dipergunakannya untuk menunggui
ayahnya. Melayaninya dan membantunya apabila diperlukan. Demikianlah setiap
pihak mempunyai persoalannya sendiri-sendiri. Ki Tambak Wedi dengan
persiapannya untuk merebut pemusatan pasukan Argapati. Gembala tua dengan dua
orang muridnya yang menghitung-hitung waktu, kapan mereka harus mulai turun di
medan terbuka. Sedang Ki Argapati masih sibuk dengan luka-lukanya, meskipun ia
sama sekali tidak mengabaikan pertahanannya. Namun di samping pihak-pihak itu,
tanpa diketahui oleh mereka, seorang anak muda bersama dua orang yang lain
telah memasuki tlatah Menoreh dengan diam-diam.
Dengan
ragu-ragu mereka berjalan melalui desa-desa kecil dan pedukuhan yang agak besar
di daerah Tanah Perdikan Menoreh.
Namun
suasananya telah membuat mereka menjadi ragu-ragu. Desa demi desa yang telah
mereka lalui, membayangkan suasana yang suram. Kecemasan dan ketakutan mewarnai
kehidupan penghuni-penghuninya, sehingga sangat sulit bagi mereka untuk
mendapatkan keterangan tentang Tanah Perdikan yang besar ini.
“Paman,”
berkata anak muda itu, “aku tidak mengerti, kenapa suasana daerah ini menjadi
sangat asing?”
Kedua
pengikutnya mengangguk-anggukkan kepalanya. “Ya, Ngger,” jawab salah seorang
dari mereka. “Aku bercuriga.”
“Agaknya
kedatangan Ki Tambak Wedi, Sidanti, dan Argajaya ke tanah ini telah membuat
suasana menjadi tegang,”
“Apakah Tanah
Perdikan ini sedang mengadakan persiapan untuk suatu tindakan balasan terhadap
Pajang?”
Anak muda itu
menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya,
“Kita akan terjerumus
ke dalam suatu pusaran yang tidak menentu. Apabila benar Argapati akan membela
anaknya dan berhadapan dengan Pajang, maka kita akan berdiri di atas
persimpangan jalan yang sulit. Kita tidak akan dapat berpihak kepada Pajang,
tetapi juga tidak kepada Menoreh,”
Kedua
pengikutnya itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Tetapi aku
ingin bertemu lebih dahulu dengan Kiai Gringsing dan kedua muridnya.”
“Apakah Angger
pasti bahwa mereka ada di sini?”
“Hampir
pasti.”
Kedua
pengikutnya mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu salah seorang dari mereka
berkata,
“Tetapi,
kemana kita harus mencari mereka di Tanah seluas ini?”
“Aku ingin
tahu, apakah yang sudah terjadi di atas Tanah ini.”
“Ya,
seharusnya kita tahu, di mana kita berada dan dalam keadaan bagaimana.”
Anak muda itu
tidak menjawab. Namun kemudian mereka
pun meneruskan perjalanan mereka, dan berusaha mendengar apa yang telah
terjadi. Betapapun sulitnya, namun akhirnya mereka mengetahui, apakah yang
sebenarnya terjadi di atas Tanah Perdikan ini, bahwa anak laki-laki Ki Argapati
telah melawan ayahnya sendiri.
“Hampir tidak
masuk akal,” desis anak muda itu,
“agaknya
Argapati begitu setianya terhadap Pajang, sehingga ia bersedia mengorbankan
anak laki-lakinya sendiri.”
Kedua
pengikutnya tidak menjawab, tetapi mereka mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Aku tidak
mengerti, apakah yang telah mendorong Argapati untuk mengambil sikap itu.”
“Mungkin
Argapati tidak ingin melihat Tanahnya berbenturan dengan Pajang. Menurut
perhitungannya, maka Menoreh pasti akan hancur betapapun besarnya tanah
perdikan ini. Argapati tidak akan berani melihat mayat yang akan berhamburan di
segala sudut tanah perdikannya yang kaya ini.”
Anak muda itu
mengangguk-anggukkan kepalanya, tetapi kemudian ia bergumam,
“Atau karena
Argapati tidak berani melihat, ia sendiri akan tergeser dari kedudukannya.
Kalau ia melawan Pajang, maka atas wewenang yang ada sekarang, Pajang dapat
mencabut hak yang telah diterima oleh Argapati dari raja-raja sebelumnya, atau
hak yang diberikan oleh Pajang sendiri.”
Kedua
pengikutnya tidak menjawab.
“Aku harus
mendapat lebih banyak keterangan mengenai tanah ini. Tetapi aku harus bertemu
dengan Kiai Gringsing, Agung Sedayu, dan Swandaru.”
“Kita harus
mencari mereka. Kita harus menjelajahi Tanah ini dari ujung sampai ke ujung.”
Anak muda itu
tersenyum. Katanya, “Kau agaknya sama sekali tidak berminat.”
“Bukan, bukan
begitu maksudku, Ngger. Tetapi aku sekedar memperingatkan, bahwa pekerjaan ini
bukanlah pekerjaan yang ringan.”
Anak muda itu
menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya,
“Aku akan
menghindarkan diri dari kemungkinan terlibat dalam persoalan di tanah perdikan
ini untuk sementara, sampai aku dapat meyakinkan diri bahwa ada perlunya aku
mencampurinya. Karena itu, maka kita harus mempersiapkan diri untuk tinggal di
Tanah ini sebagai apa pun juga. Kita akan mencari tempat yang tersendiri,
membuat tempat tinggal yang sederhana dan sambil menunggu keadaan di tanah ini
menjadi tenang, aku akan mencari Kiai Gringsing.”
Kedua
pengikutnya mengangguk-anggukkan kepalanya. Mereka sudah mengenal betul anak
muda itu, sehingga mereka tidak dapat berbuat lain daripada mengiakannya.
Dengan
demikian, maka ketiganya pun segera
mencari tempat yang baik untuk membuat gubug, sekedar melindungkan diri dari
panas dan embun. Namun mereka juga tidak mau tinggal di tempat yang terlalu
dekat dengan padesan, yang dapat menumbuhkan banyak persoalan pada diri mereka.
Mereka lebih senang tinggal di pinggir hutan yang tidak terlampau lebat. Mereka
sadar, bahwa setiap saat seekor binatang yang buas akan lewat di dekat gubug
mereka. Tetapi mereka, apalagi bersama-sama, seorang demi seorang pun sama sekali tidak akan gentar. Mereka
dengan senjata masing-masing akan dapat melawan harimau atau jenis binatang yang
lain. Sedang seandainya ada sekawanan anjing hutan yang berjumlah ratusan
sehingga mereka tidak akan mampu mengusirnya, maka mereka akan dapat memanjat
batang-batang pohon dengan tangkasnya. Dari tempat itulah, mereka akan mencari
seseorang yang mereka sebut bernama Kiai Gringsing, Agung Sedayu, dan Swandaru
Geni, yang menurut pendengaran mereka berada di tlatah Menoreh.
Sementara itu
di sebuah gubug yang lain, seorang gembala tua duduk melingkari perapian bersama
dua orang murid-muridnya. Mereka hampir tidak sabar menunggu ujung malam yang
terasa terlampau panjang.
“Tidurlah
kalian,” berkata orang tua itu. Tetapi kedua muridnya menggeleng. Anak yang
gemuk sambil mengusap matanya berkata,
“Sebentar
lagi, Guru.”
Karena itu,
maka mereka bertiga tidak beranjak dari tempatnya. Mereka duduk sambil memeluk
lututnya. Sekali-sekali anak muda yang gemuk itu masih saja menguap sambil
mengusap-usap matanya. Tetapi ia masih juga duduk di tempatnya.
“Tidurlah,
Gupala,” berkata gurunya sekali lagi.
Gupala
menggelengkan kepalanya. Tetapi ia bangkit berdiri. Dengan malasnya ia berjalan
ke kebun di samping gubugnya. Di cabutnya beberapa batang pohon ketela.
Meskipun masih belum cukup besar, namun ubinya dibawa juga dan dimasukkannya ke
dalam bara api perapiannya.
“Tiba-tiba
saja aku menjadi lapar,” desisnya.
Anak muda yang
seorang lagi, menggeleng-gelengkan kepalanya sambil berkata,
“Kau masih
juga sempat merasakan lapar.”
Gupala tidak
menyahut, namun tangannya sibuk dengan menimbuni ubinya dengan abu yang panas.
Dengan
demikian maka mereka pun terlempar dalam kesenyapan, Gupita duduk diam sambil
memandangi api yang masih menyala di beberapa bagian. Kemudian dipandanginya
abu yang teronggok di atas bara, tempat timbunan ubi Gupala.
Namun kedua
anak-anak muda itu terkejut ketika mereka melihat guru mereka memiringkan
kepalanya. Kemudaan menundukkan wajahnya. Tetapi dengan demikian kedua muridnya
mengerti, bahwa gurunya sedang memperhatikan sesuatu. Kedua anak-anak muda itu
pun kemudian memusatkan pendengaran mereka seperti yang dilakukan oleh gurunya.
Dan sebenarnyalah mereka mendengar desir langkah kaki semakin lama semakin
mendekat. Dengan isyarat gurunya memberitahukan kepada kedua muridnya supaya
bersiaga. Mungkin mereka akan menghadapi kemungkinan yang tidak terduga-duga
sebelumnya. Ternyata langkah kaki itu pun
semakin lama menjadi semakin dekat. Namun, gembala tua itu seakan-akan sama
sekali tidak mengacuhkannya. Kedua muridnya
pun masih duduk di tempatnya. Tetapi di bawah kain panjang,
tangan-tangan mereka meraba-raba senjata yang melingkar di bawah baju mereka,
meskipun mereka menancapkan golok di samping tempat duduk masing-masing. Golok
yang mereka dapatkan dari lawan-lawan mereka yang menjadi pingsan ketika mereka
berkelahi. Langkah kaki itu menjadi semakin dekat. Dekat sekali. Ternyata bahwa
langkah kaki itu sudah cukup memberitahukan, bahwa yang datang itu pun bukan
orang kebanyakan. Seperti yang telah mereka perhitungkan, maka tiba-tiba
sesosok bayangan muncul dari dalam gerumbul-gerumbul liar di halaman itu.
Dengan sebuah tombak pendek tertunduk seorang anak muda berjalan mendekati
mereka sambil berkata,
“Jangan
berbuat sesuatu. Aku tidak bermaksud jahat.”
Dalam
keremangan api yang kemerah-merahan ketiganya serentak berpaling. Mereka
melihat seorang anak muda yang berdiri di paling depan, kemudian dua orang lain
di belakangnya.
Laki-laki tua
di samping perapian itu mengerutkan keningnya. Meskipun hanya lamat-lamat,
namun ia dapat melihat wajah anak muda itu, sehingga dengan serta-merta ia terloncat
berdiri sambil berdesis,
“Angger Mas
Ngabehi Loring Pasar. Benarkah?”
Anak muda itu
tertegun. Cahaya api yang suram itu telah menjadi semakin suram, sehingga untuk
sejenak ia berdiri saja termangu-mangu. Namun sejenak kemudian anak muda itu
berkata,
“Kiai, kaukah
itu, Kiai?”
Orang tua itu
tidak segera menjawab. Kedua muridnya pun kini telah berdiri pula dengan
tegangnya. Bahkan anak muda yang gemuk, yang sedang menunggui ubinya, telah
menyambar tangkai golok di sampingnya. Namun mereka pun kemudian berdiri dengan tegangnya memandangi
anak muda yang bersenjatakan sebuah tombak pendek. Pada tangkai tombak itu
berjuntai seutas tali yang berwarna kuning keemasan.
“He,”
tiba-tiba Gupala berteriak,
“jadi Tuan
telah mendapatkan tali semacam itu lagi?”
Gurunya
berpaling sambil mengerutkan alisnya. Ternyata perhatian Gupala pertama justru
kepada tali yang berwarna keemasan itu.
“Terlalu kau,”
gumam Gupita,
Tapi Gupala
tidak memperhatikannya. Beberapa langkah ia maju. Dengan wajah berseri-seri ia
berkata,
“Tuan agaknya
sengaja menyusul kami. Taliku yang berwarna emas itu ketinggalan pada tangkai
pedangku yang terbuat dari gading. Sekarang Tuan akan memberikannya lagi
kepadaku bukan?”
Wajah anak
muda yang bersenjata tombak itu pun
menjadi berseri-seri pula. Dengan nada yang tinggi ia berkata,
“He, ternyata
aku menemukan kalian di sini.”
“Marilah,”
berkata gembala tua itu,
“kami
persilahkan kalian duduk di sini saja. Gubug kami tidak akan dapat memuat kita
bersama-sama.”
“Terima kasih.
Aku lebih senang duduk menghangatkan badan di samping perapian itu.”
“Marilah,”
sahut orang tua itu.
Anak muda itu
memberi isyarat kepada kedua kawannya untuk mendekat. Mereka pun kemudian bersama-sama duduk, melingkar di
tepi perapian yang justru telah hampir padam. Namun Gupita kemudian menaburkan
seonggok ranting-ranting kecil ke atasnya, sehingga api pun segera berkobar kembali.
“He,” teriak
Gupala, “ubiku akan menjadi abu.”
Gupita tidak
menyahut. Tetapi ia pun duduk di dekat
perapian itu juga, sementara Gupala sibuk menyingkirkan ubi bakarnya.
“Kenapa Angger
berada di tempat ini?” bertanya gembala tua itu kemudian kepada Mas Ngabehi
Loring Pasar.
“Aku sengaja
mencari kalian.”
“Dari manakah
Angger tahu, bahwa kami berada di sini?”
“Aku telah
singgah ke Sangkal Putung.”
“Maksudku,
dari mana angger tahu, bahwa aku tinggal di halaman ini bersama kedua anak-anak
yang bengal ini,”
“O, itu hanya
suatu kebetulan, Kiai. Hampir semalam suntuk aku berjalan mengitari Tanah
Perdikan ini setelah aku melihat kedua pasukan ayah dan anak itu saling
berhadapan di muka regol pertahanan Argapati. Karena pertempuran itu urung,
maka aku telah berjalan kemana saja tanpa tujuan, sampai aku melihat perapian
ini.”
Gembala tua
itu mengerutkan keningnya. Sesaat dipandanginya wajah kawan-kawan Mas Ngabehi
Loring Pasar. Dua orang yang agaknya cukup dapat dipercaya untuk mengawasi anak
muda itu melawat ke daerah yang sedang kemelut dibakar oleh api pertentangan di
antara lingkungan sendiri.
Gembala tua
itu mengangguk-anggukkan kepalanya ketika Mas Ngabehi Loring Pasar dan yang
juga bernama Sutawijaya itu memperkenalkan,
“Kiai, yang
tinggi berkumis tipis itu adalah Paman Hanggapati, sedang yang agak pendek itu
Paman Dipasanga.”
“Kami
memperkenalkan diri kami, Ngger,” berkata gembala tua itu kemudian,
“kedua
anak-anak ini adalah anak-anak angkatku, Gupala dan Gupita.”
“He?”
Sutawijaya yang bergelar Mas Ngabehi Loring Pasar itu mengerutkan keningnya.
“Permainan apa
lagi yang sedang Kiai lakukan?”
“Kenapa?”
bertanya orang tua itu.
“Bagaimana
dengan nama-nama itu?”
“Demikianlah
nama-nama yang kami pergunakan di atas Tanah Menoreh ini.”
Sutawijaya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Sambil tersenyum ia berkata,
“Jadi Kiai
mengajari murid Kiai berdua ini untuk bermain sembunyi-sembunyian seperti yang
sering Kiai lakukan sendiri?”
“Ah,” gembala
tua itu berdesah, namun kemudian ia tersenyum sambil menunjuk ke arah kandang
di samping gubugnya.
“Kami adalah
peternak yang miskin. Atau lebih tepat kami adalah gembala-gembala kambing
itu.”
“Ya, ya. Aku
percaya. Suatu ketika Kiai adalah seorang gembala, lain kali seorang dukun dan
kemudian seorang senapati di peperangan. Lalu apa lagi di hari-hari mendatang,
Kiai?”
Gembala tua
itu tertawa. Bahkan kedua muridnya pun
tertawa pula. Apalagi ketika mereka mendengar Sutawijaya berkata,
“Agaknya kedua
murid-murid Kiai itu pun berbakat.”
“Tuan juga,”
tiba-tiba Gupala menyahut,
“siapakah yang
pernah mempergunakan nama Sutajiya di Prambanan?”
Sutawijaya
mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia tertawa sambil mengangguk-anggukkan
kepalanya.
“Kalian masih
ingat?” bertanya Sutawijaya.
“Argajaya ada
di sini,” sahut Gupita, “dan ia berpihak kepada Sidanti.”
“Aku sudah
mendengar,” jawab Sutawijaya.
“Peristiwa di
Tanah ini telah membuat aku menjadi agak bingung. Karena itu aku mencari Kiai
yang menurut pendengaranku berada di Menoreh pula. Agaknya Kiai telah berada di
sini lebih lama daripadaku, sehingga Kiai akan dapat memberikan lebih banyak
petunjuk kepadaku.”
“Tidak
terlampau banyak, Ngger. Aku hanya tahu, Argapati tidak dapat memenuhi
keinginan anaknya untuk melawan Pajang. Agaknya Argajaya yang sudah terlibat
dalam persoalan Sidanti, merasa terjepit. Namun akhirnya ia memutuskan untuk
berpihak kepada Sidanti yang bersama-sama telah langsung menentang kekuasaan
Pajang di Tambak Wedi. Mereka sudah tidak dapat ingkar lagi karena mereka
dengan sengaja telah melawan Angger Untara, sebagai seorang Senapati dari
Pajang.”
“Ya, ya. Aku
sudah mendengar.”
“Nah,
begitulah menurut pendengaran kami, apa yang terjadi di atas tanah perdikan
ini.”
Sutawijaya mengangguk-anggukkan
kepalanya.
“Lalu, apakah
yang telah Kiai lakukan di sini?”
Yang menjawab
adalah Gupala,
“Menggembala
kambing. Berlari-lari untuk bersembunyi dan mengintip perselisihan ini dari
kejauhan.”
“Ah,” gurunya
berdesah. Tetapi kemudian mereka tersenyum bersama-sama.
“Ya, itulah
yang telah kami kerjakan di sini, Ngger.”
Sutawijaya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Sejenak kemudian tampaklah keningnya berkerut-merut.
Kemudian ia bertanya,
“Apakah Kiai
akan berpihak?”
Orang tua itu
menarik nafas dalam-dalam. Ditatapnya wajah Sutawijaya yang menjadi
bersungguh-sungguh. Karena itu, orang tua itu
pun menyadari bahwa Sutawijaya benar-benar ingin tahu pendiriannya.
Sehingga dengan demikian maka gembala tua itu
pun menjawab,
“Ya, Ngger.
Kami sudah memutuskan untuk berpihak.”
Sutawijaya mengangguk-anggukkan
kepalanya.
“Aku sudah
menduga, kepada siapa Kiai akan berpihak.”
“Memang tidak
sukar untuk menebak. Kami juga tidak dapat melihat kekasaran dan ketamakan
menguasai Tanah ini. Lebih daripada itu aku dapat mengerti pendirian Argapati.
Itulah soalnya.”
“Agaknya
Argapati lebih sayang kepada jabatannya dari pada anak laki-laki tunggalnya.”
Gembala tua
itu mengerutkan keningnya. “Maksud Angger?”
“Menurut
perhitungan wajar, apa pun yang akan
terjadi, Argapati pasti akan melindungi anak laki-lakinya dan adiknya. Tetapi
Argapati berbuat sebaliknya. Justru ia bertempur melawan keduanya.”
Gembala tua
itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Ya, begitulah
keadaannya. Tetapi aku kira keadaan ini tidak dimulai dari persoalan Sidanti
dan Argajaya.” Orang tua itu berhenti sejenak. Lalu,
“Apakah pada
saat ada perang tanding di bawah Pucang Kembar, Angger sudah berada di Tanah
ini?”
Sutawijaya
mengerutkan keningnya.
“Perang
tanding yang mana yang Kiai maksud?”
“Antara
Argapati dan Ki Tambak Wedi?”
Sutawijaya
menggelengkan kepalanya.
“Tidak. Aku
tidak tahu. Memang mungkin aku belum ada di Tanah ini.”
“Perang
tanding itu telah menimbulkan persoalan bagi kami. Sudah tentu sebabnya bukan
sekedar apakah Argapati akan berpihak kepada Sidanti atau bukan, karena agaknya
soal itu adalah soal lama bagi keduanya.”
Sutawijaya
yang bergelar Mas Ngabehi Loring Pasar itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
Hampir di luar sadarnya ia berdesis,
“Kesetiaan
Argapati yang berlebih-lebihan kepada Pajang akan menyulitkan kedudukanku.”
“He?” hampir
bersamaan gembala tua dan murid-muridnya bergeser maju.
Sutawijaya
mengerutkan keningnya. Ia menyadari bahwa ia telah terdorong untuk
mengucapkannya. Tetapi ia tidak menyesal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar