Jilid 041 Halaman 2


“Aku akan berkelahi di samping Ayah,” jawab Pandan Wangi.
Ki Argapati mengangguk-anggukkan kepalanya,
“Baik, Wangi. Tetapi sekedar dengan kau, kita masih belum akan dapat mengatasinya.”
“Kita buat sekelompok kecil pengawal pilihan buat melawannya, Ayah.”
“Kita harus segera mempersiapkan. Aku melihat Ki Wasi dan Ki Muni di barisan lawan. Adalah tugasmu Samekta dan Wrahasta, meskipun aku perlu memperingatkan, bahwa kalian masing-masing tidak akan dapat melawan seorang lawan seorang.”
“Ya, Ki Gede,” sahut keduanya hampir bersamaan.
“Mudah-mudahan mereka tidak akan memasuki desa ini. Aku melihat gelar mereka kurang lengkap untuk melawan alat-alat pelontar yang telah siap di depan regol itu.”
“Mudah-mudahan, Ki Gede.”
“Baiklah, aku akan turun bersama Pandan Wangi. Awasi keadaan dan kaulah yang akan memberikan perintah-perintah berikutnya. Aku telah cukup berusaha. Ki Tambak Wedi harus membuat pertimbangan-pertimbangan baru setelah ia melihat aku. Demikian juga orang-orangnya. Aku berusaha sejauh-jauh dapat aku lakukan, membuat kesan bahwa lukaku sudah tidak berbahaya lagi.”
“Silahkan, Ki Gede,” sahut Wrahasta, “kami akan berusaha sejauh mungkin.”
Ki Argapati dan Pandan Wangi pun segera turun dari tempatnya. Mereka mengambil tempat di pinggir jalan beberapa puluh langkah dari regol, di belakang para pengawal yang telah siap dengan alat-alat pelontar dan busur-busur.

Sejenak kemudian pasukan Ki Tambak Wedi  pun menjadi semakin dekat. Obor-obor mereka menjadi semakin jelas menerangi wajah-wajah yang tegang. Ketika kemudian Ki Tambak Wedi memberikan isyarat dengan tangannya dan disambut oleh setiap pemimpin di dalam pasukannya, maka kemudian terdengar mereka bersorak gegap gempita. Langkah mereka menjadi semakin cepat dan obor mereka  pun terangkat tinggi-tinggi sambil mengacung-acungkan senjata pula. Mereka yang berperisai segera mengambil tempat di depan untuk melindungi lontaran-lontaran senjata jarak jauh. Kemudian diikuti oleh mereka yang bersenjatakan pedang dan tombak. Samekta menjadi berdebar-debar melihat arus pasukan Ki Tambak Wedi. Pasukan itu memusatkan serangannya pada regol desa, dan sedikit menebar sebelah-menyebelah sebagai sayap pasukannya. Agaknya mereka merasa bahwa mereka tidak akan dapat menerobos masuk lewat pagar pering ori. Satu-satunya jalan bagi mereka adalah regol-regol desa. Ketika pasukan itu telah berada dalam jarak jangkau alat-alat pelontar lembing, maka Samekta segera melepaskan perintah. Sejenak kemudian, maka dari sela-sela carang-carang ori itu meluncurlah berpuluh-puluh lembing menghujani pasukan Ki Tambak Wedi. Ki Tambak Wedi memang sudah menduga, bahwa mereka pada saatnya harus melawan senjata-senjata itu. Karena itu, maka mereka yang membawa perisai segera mengambil tempat dan berusaha menangkis serangan-serangan itu. Tetapi lembing itu meluncur terlampau keras, sehingga kadang-kadang beberapa orang yang kurang kuat, tergetar dan terdorong surut beberapa langkah ketika perisai-perisai mereka membentur lembing yang meluncur dengan derasnya. Tetapi arus pasukan itu ternyata cukup deras. Meskipun satu-satu korban berjatuhan, namun mereka sama sekali tidak dapat ditahan lagi. Apalagi ketika pasukan panah Ki Tambak Wedi telah mengambil tempatnya dan membalas serangan-serangan itu dengan anak-anak panah mereka. Meskipun para pengawal berperisai carang ori yang rimbun, namun satu dua di antara anak-anak panah itu berhasil menembus dan melukai para pengawal.
“Pecah pintu itu,” teriak Ki Tambak Wedi yang memimpin langsung pasukannya.
Beberapa orang kemudian berlari-lari semakin dekat ke arah pintu regol. Bersama-sama mereka berusaha memecah pintu itu. Mereka mendorong sekuat-kuat tenaga mereka bersama-sama. Sementara kawan-kawan mereka melindungi mereka dengan serangan anak-anak panah kepada para pengawal. Tetapi pintu regol itu adalah pintu yang sangat kuat, sehingga usaha itu  pun tidak segera dapat berhasil.
“Cepat, pecahkan pintu,” perintah Ki Tambak Wedi.
Ki Wasi dan Ki Muni yang telah berdiri di muka pintu, itu menggelengkan kepalanya,
“Terlampau sulit,” katanya, “pintu ini terlampau kuat.”

Ki Tambak Wedi mengerutkan keningnya. Sementara itu anak-anak panah meluncur terus dari kedua belah pihak. Bahkan kemudian beberapa orang telah mulai melontarkan obor mereka ke dalam pagar rum pun bambu ori.
“Bakar regol itu,” teriak Ki Tambak Wedi kemudian.
Ki Wasi mengerutkan keningnya. Namun perintah itu telah menjalar dari setiap mulut, “Bakar, bakar.”
Beberapa orang yang berusaha memecahkan pintu itu  pun segera meloncat surut. Yang kemudian melangkah maju adalah mereka yang membawa obor di tangan mereka. Sambil berteriak-teriak mereka melemparkan obor-obor mereka ke pintu regol. Minyak yang ada di dalam obor-obor itu  pun kemudian tumpah dan mengalir membasahi tlundak pintu. Sedang obor-obor itu  pun saling membakar satu sama lain.
Dengan cepatnya maka api  pun segera berkobar. Yang mula-mula terbakar adalah bumbung-bumbung bambu tangkai obor yang telah basah oleh minyak. Namun kemudian tlundak pintu yang sudah diperciki oleh minyak itu  pun mulai terbakar pula. Sedikit demi sedikit, api merambat tanpa dicegah sama sekali. Para pengawal yang melihat api mulai menjilat regol mereka segera bergerak. Tetapi Ki Gede Menoreh mencegah mereka sambil berkata, “Jangan mendekat. Kalian akan terpancing. Kalau kalian berusaha memadamkan api itu, maka kalian tidak akan dapat melihat api itu padam, karena leher kalian akan terpenggal.”
Para pengawal pun segera mengurungkan niatnya. Sekali-sekali mereka memandang Samekta dan Wrahasta di tempatnya. Tetapi agaknya mereka pun sependapat dengan Ki Gede Menoreh meskipun mereka belum membicarakannya. Ternyata bahwa Samekta pun sama sekali tidak memberikan perintah apa pun. Sejenak kemudian maka api  pun segera berkobar semakin tinggi. Pintu regol itu sedikit demi sedikit termakan oleh api yang melonjak sampai ke bubungan. Dan sejenak kemudian maka regol desa itu telah menjadi seonggok api yang berkobar-kobar seolah-olah akan menjilat langit. Cahaya merah yang seram telah memancar ke sekitar. Onggokan api itu menyentuh wajah-wajah yang tegang di dalam dan di luar regol. Pasukan kedua belah pihak seolah-olah membatu di tempat masing-masing. Namun Samekta dan Wrahasta beserta beberapa orang pengawal yang bertengger di atas anjang-anjang dengan alat-alat pelontar mereka, sebelah-menyebelah regol itu, tidak dapat menahan panas api itu lagi. Mereka terpaksa beringsut dan menjauh.
“Panggil Samekta,” perintah Ki Gede.
Seorang pengawal  pun kemudian menemui Samekta yang basah oleh keringatnya yang seakan-akan terperas dari dalam tubuhnya. Dengan tergesa-gesa ia pergi menghadap Ki Argapati.
“Pimpinan pasukanmu dari tempat ini. Aku akan mendampingimu,” berkata Ki Argapati.
“Tetapi apakah Ki Gede tidak beristirahat saja dahulu.”
Ki Argapati menggeleng. Justru nyala api itu seakan-akan telah menyingkirkan segala perasaan sakitnya. Bagaimanapun juga, maka ia harus menyiapkan diri, dalam keadaannya itu, untuk mempertahankan pemusatan pasukannya.

Samekta dan Wrahasta  pun kemudian berdiri sebelah menyebelah Ki Argapati dan Pandan Wangi. Di tangan mereka telah tergenggam senjata masing-masing yang telanjang.

Sekilas Samekta melihat para pengawal yang kepanasan berdiri berlindung di balik pagar-pagar batu. Namun mereka tetap berada di tempat. Mereka tidak mau meninggalkan alat-alat pelontar lembing dan busur besar mereka. Apabila api itu nanti mereda, dan pasukan lawan akan menerobos masuk, maka adalah menjadi kuwajiban mereka untuk menahan arus itu. Apabila mereka gagal mengurangi derasnya arus lawan, maka para pengawal yang telah siap menunggu, setengah lingkaran di dalam regol itu  pun pasti akan pecah, seperti pecahnya bendungan oleh banjir bandang. Karena itu, maka mereka merasa bertanggung jawab untuk menahan mereka sekuat-kuat tenaga. Selama api itu masih berkobar, maka tidak akan ada seorang  pun yang dapat melampauinya. Baik memasuki maupun keluar dari desa ini. Karena itu, selama api masih berkobar, mereka di kedua pihak hanya dapat menunggu. Sekali-sekali masih juga ada lontaran-lontaran lembing dari para pengawal di sebelah-menyebelah regol, namun jarak mereka menjadi terlampau jauh karena mereka tidak tahan lagi terhadap panasnya api.
“Jangan terpancing keluar,” desis Ki Argapati.
“Aku sudah mengeluarkan perintah itu,” sahut Samekta.
“Bagus. Apabila kita terpancing keluar dan menghalangi setiap alat pelontar itu, maka kita akan dibinasakan.”
“Ya,” Samekta mengangguk. Tetapi tatapan matanya tidak berkisar dari api yang seolah-olah menari-nari dalam buaian angin yang silir.
Sejenak kemudian, api  pun mulai mereda. Karena itu, maka setiap orang di dalam regol segera mempersiapkan diri. Mereka harus mempergunakan setiap kekuatan untuk menahan arus pasukan Tambak Wedi. Mereka harus mengurangi jumlah mereka sebanyak-banyaknya. Namun baik Ki Argapati, maupun Samekta dan para pemimpin yang lain tidak mengerti, bahwa Ki Tambak Wedi  pun telah mengeluarkan perintah agar pasukannya pun jangan melampaui regol yang sedang terbakar itu.
“Terlampau berbahaya. Kita akan terlampau banyak memberikan korban, karena kita tidak mempersiapkan peralatan untuk itu.”
Ki Muni mengerutkan dahinya. Tetapi ia tidak membantah. Dalam keadaan serupa itu, Ki Tambak Wedi pasti tidak akan dapat diajaknya untuk bergurau. Orang tua itu pasti akan segera menjadi muak mendengar ia membual.
Tetapi meskipun demikian, ia bertanya,
“Lalu apakah yang akan kita lakukan sesudah api itu padam?”
“Kita mengharap Argapati membawa pasukannya keluar.”
Ki Muni mengerutkan keningnya. Tetapi ia terdiam sambil mengawasi api yang semakin susut.

Ketika mereka telah dapat memandang melangkahi nyala api yang sudah menjadi semakin kecil, maka dalam keremangan cahaya kemerah-merahan, dalam jarak beberapa puluh langkah di luar dan di dalam regol, kedua pasukan itu saling dapat melihat, siapakah yang berdiri memegang pimpinan. Ki Tambak Wedi menggeram ketika ia melihat samar-samar Ki Argapati berdiri tegak di samping puterinya yang telah menggenggam sepasang pedangnya. Kemudian pemimpin pasukan pengawal, Samekta dan Wrahasta.
“Tidak seorang pun yang dapat dibanggakan di dalam pasukan Argapati itu selain ia sendiri,” tanpa sesadarnya Ki Tambak Wedi menggeram.
“Nah, kenapa kita tidak akan memasuki regol?”
Ki Tambak Wedi mengerutkan keningnya. Kemudian dengan agak keras ia menyahut,
“Kita bukan orang-orang yang paling bodoh di medan peperangan. Sudah aku katakan, korban akan terlampau banyak. Aku yakin bahwa aku akan dapat hidup, tetapi belum tentu dengan kau.”
Wajah Ki Muni yang kemerah-merahan karena sentuhan sinar api, menjadi semakin merah membara. Seandainya yang berkata demikian itu bukan Ki Tambak Wedi, maka ia pasti tidak akan membiarkan dirinya terhina. Tetapi terhadap Ki Tambak Wedi ia harus berpikir untuk kesekian kalinya sebelum ia berbuat sesuatu. Karena itu, maka yang terdengar adalah gemeretak giginya. Namun ia tidak menjawab lagi. Kini matanya yang tajam memandang api yang semakin lama semakin surut, dan lamat-lamat dilihatnya pula Argapati berdiri tegak dengan tombok pendeknya di samping puterinya yang cantik Pandan Wangi. Namun Pandan Wangi itu seakan-akan sama sekali bukan seorang gadis lagi. Dengan sepasang pedang di tangannya, Pandan Wangi itu bagaikan bunga pandan yang dikitari oleh seonggok duri-duri yang tajam. Di samping ayah beranak itu, berdirilah para pemimpin pasukan pengawal Tanah Perdikan. Hampir semuanya sudah dikenal oleh Ki Muni, Samekta, Wrahasta, dan yang lain lagi. Mereka bukannya orang-orang yang berhati seringkih batang ilalang. Tetapi mereka adalah orang-orang yang berpendirian teguh.
Ki Argapati yang berdiri di dalam regol pun melihat, siapa yang berada di pasukan lawan. Ia melihat pula betapa Ki Tambak Wedi dengan tegang memandang api yang semakin surut. Di sebelah-menyebelah berdiri kedua orang yang dikenalnya dengan baik pula, Ki Wasi dan Ki Muni. Sebagai seorang yang memiliki pengamatan yang tajam, maka Ki Argapati melihat, bahwa agaknya Ki Tambak Wedi sama sekali tidak berhasrat untuk memasuki pedesan itu setelah api mereda. Karena itu, maka ia menjadi ragu-ragu di dalam hati, apakah sebenarnya yang akan dilakukan oleh iblis dari lereng Gunung Merapi itu. Meskipun demikian Ki Argapati tidak dapat lengah. Ia harus tetap berada dalam kesiagaan yang tertinggi. Mungkin Ki Tambak Wedi sengaja membuat gelar yang meragukan lawannya, tetapi kemudian dengan tiba-tiba memukul tanpa ampun. Bahwa Sidanti dan Argajaya tidak tampak di dalam pasukan itu  pun membuatnya agak bercuriga. Sehingga perlahan-lahan ia bertanya kepada Samekta,
“Bagaimana dengan regol-regol samping yang lain.”
“Aku telah menempatkan pengawasan yang cukup Ki Gede. Kalau terjadi sesuatu di sana, mereka pasti akan memberikan isyarat.”
Ki Gede mengangguk-anggukkan kepalanya. Desisnya,
“Aku tidak melihat Sidanti dan Argajaya di ujung barisan mereka.”
“Mungkin mereka masing-masing memimpin sayap pasukan itu.”
Ki Argapati mengangguk-angukkan kepalanya. Tetapi terasa hatinya menjadi terlampau pedih. Jauh lebih pedih dari luka badaniah di dadanya. Adiknya sendiri ternyata telah melawannya pula. Bahkan anak yang sejak kecil dipeliharanya, Betapapun ia menghadapi kenyataan yang paling pahit. Kini, seperti memelihara anak-anak harimau, ia harus berhadapan sebagai lawan, setelah harimau itu menjadi besar dan kuat. Sementara itu, agak jauh dari nyala api regol yang telah susut, tiga orang berdiri termangu-mangu di tempatnya. Seakan-akan tanpa berkedip mereka memandangi keadaan yang sedang berkembang di sebelah menyebelah regol yang sedang dimakan api itu.

Dengan tiba-tiba saja salah seorang dari mereka berkata,
“Apalagi yang kita tunggu?”
Seorang tua yang ada di antara mereka berpaling. Dengan ragu-ragu ia bertanya,
“Apa yang akan kau lakukan?”
“Guru,” sahut orang yang pertama, seorang anak muda yang gemuk,
“buat apa Guru memanggil aku dan berlari-lari kemari? Aku kira lebih baik berbaring di gubug itu daripada berdiri di sini tanpa berbuat sesuatu.”
Gurunya menarik nafas dalam-dalam. Kemudian jawabnya,
“Kita melihat keadaan. Kalau kita tergesa-gesa berbuat sesuatu, mungkin kita akan melakukan kesalahan. Karena itu, kita harus memperhitungkan setiap kemungkinan yang dapat terjadi. Apakah tindakan kita itu menguntungkan atau justru sebaliknya.”
“Tetapi sebentar lagi api itu akan padam. Pasukan Tambak Wedi akan segera menghambur masuk ke dalam desa itu dan memecahkan pertahanan Argapati. Betapapun juga Ki Argapati masih dalam keadaan luka. Sudah tentu ia tidak akan dapat berhadapan dengan Ki Tambak Wedi.”
“Tambak Wedi bukan iblis Gupala,” jawab orang tua itu,
“ia adalah manusia biasa seperti kita. Ujung lembing yang dilontarkan dari alat-alat pelontar itu, apabila mengenainya, akan menyobek kulitnya pula. Meskipun ia mempunyai beberapa kelebihan dari orang kebanyakan karena ia mesu diri, namun pada suatu batas tertentu, ia  pun akan dapat dilumpuhkan.”
“Meskipun demikian, Guru,” sahut Gupala,
“ia mempunyai pasukan pula. Pasukannyalah yang akan dijadikannya perisai dari serangan-serangan lembing dan anak panah.”
“Kau benar. Tetapi aku kira Tambak Wedi bukan seorang yang terlampau bodoh untuk mengorbankan terlampau banyak orang-orangnya. Aku tidak melihat persiapan yang cukup untuk memasuki regol itu.” Orang tua itu berhenti sejenak, lalu,
“Seandainya demikian, Tambak Wedi masih memerlukan waktu. Seandainya api itu padam, maka Tambak Wedi masih harus menunggu lagi. Orang-orangnya tidak akan dapat berjalan di atas bara sementara alat-alat pelontar dari dalam regol menyerang mereka seperti hujan. Kalau memang itu yang dikehendakinya aku tidak tahu.”

Gupala menarik keningnya. Ia tidak berani membantah lagi. Betapapun hatinya bergolak, namun ia berdiri saja dengan gelisahnya. Sekali-sekali dirabanya cambuknya yang melingkar di lambung. Namun kemudian ditimang-timangnya sehelai pedang yang didapatkannya dari lawannya.
“Seandainya Ki Tambak Wedi memang merencanakan untuk masuk ke dalam lingkungan bambu ori itu, maka pasukannya pasti dilengkapi dengan perisai jauh lebih banyak dari yang ada sekarang.”
Gupala mengangguk-anggukkan kepalanya. Sedang anak muda yang seorang lagi berdiri saja seolah-olah membeku. Namun hatinya dicengkam oleh kecemasan dan kegelisahan. Meskipun ia tidak berkata sepatah kata pun, namun sebenarnya perasaannya tidak jauh berbeda dengan adik seperguruannya. Tetapi ia masih dapat menahan diri tanpa menyatakan perasaannya itu. Sejenak mereka bertiga terdiam sambil menahan nafas. Api yang menelan regol desa itu sudah menjadi semakin surut. Namun belum ada tanda-tanda, bahwa Ki Tambak Wedi akan menyerang memasuki pusat pertahanan para pengawal Tanah Perdikan Menoreh itu.
“Aku hampir pasti bahwa Ki Tambak Wedi tidak akan memasuki regol,” berkata orang tua itu tiba-tiba.
Kedua anak-anak muda yang berdiri di sisinya menganggukkan kepala mereka. Mereka pun tidak melihat tanda-tanda itu. Namun mereka tidak menyahut. Dalam pada itu, baik orang-orang di dalam pasukan Ki Tambak Wedi maupun Ki Argapati, dengan susah payah menahan diri masing-masing untuk tidak terdorong oleh perasaan mereka. Tangan-tangan mereka telah gemetar dan dada mereka  pun telah bergelora. Tetapi masing-masing tidak akan dapat melanggar perintah dari pemimpin tertinggi mereka, bahwa masing-masing tidak boleh melangkahi regol yang kini telah menjadi bara. Kedua belah pihak berdiri termangu-mangu menunggu perkembangan keadaan. Ki Tambak Wedi mengharap para pengawal itu terpancing keluar. Apabila demikian, maka mereka akan dapat dibinasakan, karena kekuatan Ki Tambak Wedi tidak akan berkurang karena serangan-serangan alat-alat pelontar yang cukup berbahaya itu. Sedangkan Ki Argapati mengharap pasukan Ki Tambak Wedi itu memasuki pertahanannya. Selama mereka meloncat-loncat menghindari bara yang akan menyengat kaki mereka, maka alat-alat pelontar lembing, busur-busur dan bahkan bandil-bandil besar akan dapat mengurangi kekuatan lawan. Tetapi hingga api menjadi semakin surut, dan bahkan hampir padam kedua belah pihak sama sekali tidak bergerak. Mereka berdiri di tempat masing-masing dalam kesiagaan penuh.

Sekali-kali terdengar beberapa dari mereka menggeram. Tangan-tangan mereka menjadi gemetar dan kaki-kaki mereka seakan-akan tidak dapat mereka tahankan lagi untuk meloncat menyergap lawan yang telah berada di depan hidung mereka.
“Argapati,” tiba-tiba terdengar suara Ki Tambak Wedi melengking.
“Kenapa kau tidak berbuat sesuatu pada saat kami membakar regol pertahananmu? Apakah regol itu memang sudah tidak kau perlukan lagi atau kau sama sekali tidak mempunyai kemampuan untuk mencegahnya?”
Yang terdengar adalah geram Wrahasta dan para pengawal yang lain. Namun Ki Argapati sendiri tersenyum sambil menjawab keras-keras,
“Masuklah Ki Tambak Wedi. Pintu kami telah terbuka. Apa yang kau tunggu lagi? Bukankah kau ingin merebut kedudukan kami yang terakhir ini? Ayolah, jangan segan-segan kalau kau memang merasa cukup mampu.”
“Persetan!” jawab Ki Tambak Wedi.
“Kau sangka aku tidak dapat merebutnya dalam sekejap?”
“Kenapa tidak kau lakukan? Apakah kau belum mempersiapkan perisai yang cukup untuk menerobos pasukan pelontar lembing kami? Atau kau merasa bahwa sampai orangmu yang terakhir pasti akan terhenti di regol yang telah menjadi abu itu?”
Ki Tambak Wedi menggeram. Kemudian terdengar ia berteriak,
“He. Apakah lukamu masih belum sembuh benar?”
“Kenapa kau bertanya tentang lukaku? Ki Tambak Wedi, aku sudah siap menyambutmu. Marilah, aku persilahkan kalian masuk.”
Ki Tambak Wedi tidak segera menyahut. Namun dicobanya untuk melihat wajah-wajah di sekitar Ki Argapati pada sisa-sisa cahaya api yang telah memusnahkan regol desa itu. Tetapi ia tidak menemukan orang yang dicarinya. Karena itu, setelah ia yakin, bahwa yang dicarinya tidak ada, maka ia tidak merasa perlu untuk berada di tempat itu terlampau lama. Ia telah memberikan kejutan yang pasti akan berpengaruh pada para pengawal. Karena itu, maka orang tua itu pun kemudian berkata lantang, “Tidak Argapati. Kali ini aku tidak akan singgah di desa yang sunyi dan mati ini. Aku hanya ingin menunjukkan kepadamu bahwa kami adalah orang-orang yang mempunyai rasa perikemanusiaan yang tebal. Kami datang sekedar memberi kau peringatan. Tetapi kalau kau masih juga berlaku bodoh, maka aku tidak akan memaafkanmu lagi. Karena itu, dengarlah Argapati. Malam ini aku merasa perlu untuk mengasihani kau dan orang-orangmu yang tidak tahu-menahu alasan apakah yang kau pegang sampai saat ini, sehingga kau masih tetap berkepala batu. Tetapi aku tidak akan berbuat demikian untuk seterusnya. Aku akan mengepung tempat ini rapat-rapat dalam dua hari dua malam. Kalau kau tidak berubah pendirianmu, maka pada hari yang ketiga, bukan saja regolmu yang kami bakar, tetapi kami akan membakar seluruh rumpun pering ori ini. Memang sulit untuk membakar rumpun bambu yang masih berdiri. Tetapi kami yakin bahwa kami mampu melakukannya. Seterusnya, desa yang sunyi dan mati ini akan menjadi kuburan yang luas bagi kalian yang dungu.”

Wrahasta, yang darahnya masih terlampau cepat mendidih, tidak dapat bersikap terlampau tenang seperti Ki Argapati. Tetapi ketika ia bergerak maju, tangan Ki Argapati menggamitnya. Dengan wajah yang tegang Wrahasta memandang Ki Argapati yang masih saja tersenyum. Ia tidak mengerti kenapa hinaan itu ditanggapinya acuh tak acuh saja.
“Tenanglah,” desis Ki Argapati. Kemudian kepada Ki Tambak Wedi ia berkata,
“Apa pun yang kau katakan, Ki Tambak Wedi. Tetapi kami tahu apakah yang sebenarnya telah menahanmu. Meskipun demikian, terserahlah kepadamu. Kalau kau ingin kembali dahulu, mempersiapkan dirimu, silahkanlah. Aku akan menunggu. Sehari, dua hari, atau hari yang ketiga seperti yang kau katakan.”
Ki Tambak Wedi menggeram. Tetapi ia mempunyai cukup pengalaman, sehingga ia tidak mudah lagi dibakar oleh perasaannya, seperti juga Ki Argapati. Karena itu, maka jawabnya,
“Baiklah. Aku akan kembali. Di hari ketiga, aku akan datang. Mudah-mudahan kau sudah sembuh. Sehingga kau tidak akan mengecewakan aku.”
Ki Argapati tidak menjawab. Dengan tajamnya diawasinya segala macam gerak gerik iblis dari lereng Gunung Merapi itu. Namun agaknya Ki Tambak Wedi benar-benar menarik pasukannya. Selangkah demi selangkah mereka mundur. Semakin lama semakin jauh dari mulut lorong yang sudah tidak beregol lagi. Sementara itu Ki Muni mendekatinya sambil berkata,
“Kenapa kita harus menunggu tiga hari lagi? Itu sikap yang sangat bodoh.”
Ki Tambak Wedi tidak segera menjawab. Justru kepalanya tertunduk seolah-olah sedang menghitung langkah kakinya. Namun agaknya ia sedang berpikir tentang pasukannya dan pasukan Argapati. Dengan cermat ia mencoba menilai keseimbangan kedua pasukan itu.
“Ki Tambak Wedi,” Ki Muni yang masih mengikutinya bertanya lagi,
“kenapa kita menunggu tiga hari lagi? Telah di dayung jaring dilepaskan. Belum tentu kalau kelak akan menetas.”
Ki Tambak Wedi berpaling, tetapi ia tidak segera menjawab.
“Bukankah semudah meremas ranti?” berkata Ki Muni pula.
“Sekarang kita melepaskannya dan memberitahukan untuk datang lagi pada hari yang ketiga. O, alangkah bodohnya. Kita sendirilah yang meminta kepada mereka untuk menggali lubang kubur kita.”
“Cukup!” tiba-tiba Ki Tambak Wedi menggeram.
“Aku kira kau mampu berpikir Ki Muni, ternyata kau lebih bodoh dari orang-orang Menoreh itu. Apa kau sangka aku sudah gila, dengan melakukan kebodohan itu? Aku tidak akan menunggu sampai tiga hari seperti yang aku katakan. Hanya kerbaulah yang menyerahkan hidungnya untuk dicocok,”
“Jadi?”
“Aku akan segera mempersiapkan pasukan. Begitu aku siap, aku akan kembali. Besok atau selambat-lambatnya lusa. Tetapi sebelum hari ketiga. Aku harap Argapati benar-benar bodoh sehingga menunggu sampai hari yang aku katakan.”
Ki Muni mengerutkan keningnya. Tiba-tiba ia mengangguk-anggukkan kepalanya sambil bergumam,
“O, akulah yang bodoh.”
“Tetapi,” tiba-tiba Ki Wasi memotong,
“itu bukan kebodohan. Ki Argapati adalah seorang laki-laki yang jujur. Ia tidak pernah bertindak licik. Karena itu, maka orang seperti Ki Argapati terlampau mudah ditipu dan dijebak.”
Ki Tambak Wedi tertegun sejenak, sementara Ki Wasi melanjutkan,
“Seperti saat-saat yang telah ditentukan di bawah Pucang Kembar.”
“Itu bukan suatu kelicikan,” bantah Ki Tambak Wedi,
“dalam peperangan kita dapat bersiasat. Kita tidak harus bertempur seorang lawan seorang sampai orang yang terakhir. Itu terlampau bodoh. Dalam peperangan kita dapat saja membunuh siapa saja dalam barisan lawan. Mungkin aku akan membunuh seorang pengawal yang tidak berarti, atau Pandan Wangi harus berkelahi perpasangan melawan Ki Peda Sura. Apakah itu licik? Pengecut dan tidak jantan? Soal pribadi adalah lain dengan soal peperangan. Di peperangan tidak ada pantangan untuk membuat siasat dengan cara apa pun.”

Ki Wasi tidak menyahut. Ia takut kalau kemudian dapat menimbulkan salah paham. Karena itu, maka ia  pun berdiam diri sambil melangkah menjauhi regol yang kini telah menjadi abu. Beberapa langkah kemudian, Sidanti dan Argajaya telah menunggu. Tanpa ditanya lagi Sidanti segera berkata,
“Aku tidak melihat seorang  pun mendekati medan.”
Ki Tambak Wedi mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Aku kira semua itu adalah sekedar permainan Ki Argapati saja dengan membuat beberapa orang bercambuk untuk mengecilkan hati kami. Kini aku yakin, tidak ada orang bercambuk di tlatah Menoreh. Orang yang menghentikan pasukan berkuda dan yang berhasil menghindari gelang-gelang besiku pasti Ki Argapati yang menyamar menjadi orang yang tidak dikenal.”
Sidanti tidak menyahut. Tanpa sesadarnya ia berpaling ke arah Ki Argajaya. Tetapi Ki Argajaya  pun tidak mengucapkan sepatah kata pun.
“Nah, kalau begitu,” berkata Ki Tambak Wedi,
“kita sudah pasti. Kita akan menghancurkan mereka di dalam sarangnya. Begitu kita sampai di induk kademangan, kita harus segera menyiapkan diri. Kita akan segera kembali dengan kelengkapan yang matang untuk memasuki pertahanan mereka, menembus jaring-jaring alat-alat pelontar yang mereka pasang di sebelah-menyebelah pintu masuk.”
Sidanti mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak menyahut.
“Sekarang kita kembali. Tidak ada waktu untuk beristirahat lagi. Sejak malam ini kita harus mempersiapkan semua alat-alat yang pasti akan kita perlukan. Kalau mungkin besok malam kita pergi, atau selambat-lambatnya lusa. Kita akan memilih saat yang sebaik-baiknya.”
Tidak ada seorang  pun lagi yang menjawab. Semua berjalan dengan kepala tunduk sambil menahan kecewa di hati masing-masing. Apalagi beberapa yang sudah membayangkan, kemungkinan memecah pertahanan itu, dan menemukan harta benda yang tidak ternilai harganya, yang dikumpulkan oleh orang-orang Menoreh yang sedang mengungsi.

Sementara itu, Gupala, Gupita, dan gurunya masih berdiri saja di tempatnya. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya gurunya berkata,
“Bukankah dugaan kita tepat. Ki Tambak Wedi tidak akan memasuki regol itu malam ini. Tetapi dengan demikian ia sudah mendapat gambaran tentang kekuatan kedua belah pihak. Menurut perhitungan Ki Tambak Wedi. Ki Argapati sudah mengerahkan semua kekuatannya di hadapan regol yang terbakar itu. Agaknya usahanya itu berhasil, dan dengan demikian, Ki Tambak Wedi tinggal menghitung orang-orangnya, apakah ia merasa mampu untuk memecah pertahanan lawannya itu.”
Gupala dan Gupita mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Tetapi kita tidak tahu, kapan Tambak Wedi akan kembali,” gumam Gupita kemudian.
“Pasti secepatnya,” jawab gurunya.
“Tetapi kita memang tidak tahu, kapankah secepatnya itu.”
Gupala yang sejak tadi berdiam diri saja sambil mengawasi bara yang sudah hampir padam, tiba-tiba menguap. Katanya,
“Aku benar-benar sudah mengantuk. Perang gagal itu membuat aku serasa sakit dada. Untunglah aku tidak ada di antara mereka. Kalau aku ada di antara mereka mungkin aku sudah pingsan.”
“Nah, bukankah kau sudah mengaku sendiri?” sahut gurunya.
“Itulah sebabnya, aku kurang memberimu kesempatan. Kau mudah sekali menjadi pingsan. Apalagi kalau kau melihat bukan sekedar perang gagal.”
“Apa itu guru?” bertanya Gupala.
“Yang lain. Tentu yang bukan sejenis peperangan. Puteri Kepala Tanah Perdikan itu barangkali.”
Sekali lagi Gupala menguap. Diusap-usapnya keningnya sambil berkata,
“Gadis itu pasti dipingit.”
Gurunya tidak menyahut, tetapi ia tersenyum. Dipandanginya wajah muridnya yang gemuk itu. Namun agaknya Gupala tidak banyak menaruh perhatian.
“Gadis itu membawa sepasang pedang,” desis Gupita.
Gupala berpaling.
“Kenapa dengan sepasang pedang?”
“Kalau gadis itu dipingit di dalam bilik buat apa kira-kira sepasang pedang itu?”
Gupala mengerinyitkan alisnya. Namun kemudian ia tersenyum sambil menjawab,
“Ya. Gadis itu tentu tidak dipingit.”
Gupita  pun tertawa pula. Sekilas terbayang wajah gadis itu.
“Lalu, apakah yang akan kita kerjakan sekarang?” tiba-tiba saja Gupala bertanya.
“Kembali,” jawab gurunya.
Gupala menggeleng-gelengkan kepalanya. Katanya,
“Lebih baik tidur di rumah daripada digigit nyamuk di sini.”
“Tetapi di rumah kita tidak dapat melihat regol desa itu terbakar,” sahut Gupita.
“Aku juga dapat membakar regol,” jawab Gupala.
Gupita tidak menjawab lagi. Gurunya ternyata telah melangkah meninggalkan tempat itu, kembali ke gubug mereka. Kedua muridnya itu  pun kemudian mengikutinya pula.

Sementara itu, yang berada di dalam lingkaran pering ori, ternyata dicengkam oleh kekecewaan pula. Mereka mengharap Ki Tambak Wedi memasuki desanya, kemudian pasukannya akan dihujani dengan alat-alat pelontar lembing dan busur-busur besar yang telah mereka persiapkan. Tetapi ternyata pasukan Ki Tambak Wedi itu ditarik mundur. Tetapi dalam pada itu, ketika Ki Tambak Wedi dan pasukannya telah hilang di dalam kegelapan, terasa dada Ki Argapati seakan-akan retak. Terasa pedih dan nyeri menyayat sampai ke pusat jantung, sehingga sejenak ia memejamkan matanya sambil berdesis. Kedua tangannya memegang dadanya yang sakit itu setelah menyerahkan tombaknya kepada puterinya.
“Ayah, kenapa Ayah?”
“Dadaku,” sahut Ayahnya perlahan-lahan sekali. Dengan sekuat tenaga Ki Argapati bertahan supaya tidak menimbulkan kesan yang kurang baik pada orang-orangnya.
“Bagaimana dengan luka Ayah.”
Ki Argapati menggeleng. Katanya,
“Aku akan beristirahat supaya pada saatnya aku dapat menghadapi Tambak Wedi.”
Dengan gelisah Pandan Wangi kemudian mengikuti ayahnya yang berjalan lambat sekali kembali ke rumah tempat ia menumpang. Tetapi Ki Argapati tidak mau menimbulkan kesan, bahwa ia tidak mampu untuk berjalan sendiri sampai ke rumah itu. Apabila demikian, maka anak buahnya pasti akan bertanya,
“Lalu, apakah ia dapat bertempur melawan Ki Tambak Wedi?”
Betapapun dadanya dihentak oleh pedih dan nyeri, namun ia berusaha berjalan sendiri, meskipun perlahan-lahan. Tetapi Ki Argapati itu terkejut ketika tangannya terasa menjadi hangat. Ketika ia memandangi telapak tangannya, maka jantungnya berdesir. Ia melihat sepercik warna merah di telapak tangannya itu.
“Hem,” ia menarik nafas dalam-dalam, “agaknya luka ini berdarah lagi.”
Namun meskipun demikian, Ki Argapati tidak mengatakannya kepada siapa  pun juga. Dengan sekuat tenaganya ia bertahan untuk tetap berjalan sendiri sampai ke dalam biliknya.
Wrahasta dan Samekta yang mengikutinya, masuk pula ke dalam bilik itu. Tetapi belum lagi mereka duduk, Ki Argapati telah berkata,
“Awasilah orang-orangmu. Jangan kau tinggalkan mereka sekejap pun. Salah seorang dari kalian harus ada di antara mereka.” Ki Argapati itu diam sejenak. Kemudian tiba-tiba saja ia bertanya,
“Dimana Kerti sekarang?”
“Ia berada bersama pasukan yang melindungi para pengungsi.”
Ki Argapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak berkata apa pun lagi.
“Ki Gede,” berkata Samekta,
“aku minta diri. Kalau Ki Gede memerlukan sesuatu, aku harap Ki Gede memanggil.”
“Baik,” jawab Ki Gede singkat.
Maka sejenak kemudian Samekta dan Wrahasta  pun minta diri, kembali ke tempat para pemimpin pasukannya berkumpul.
Sepeninggal Samekta, Wrahasta dan para pemimpin yang mengikutinya, Ki Argapati segera merebahkan dirinya di pembaringannya. Sambil menyeringai ia berkata,
“Pandan Wangi. Tolonglah, ambilkan semangkuk air panas. Aku akan melihat lukaku. Mungkin luka ini akan kambuh lagi. Karena itu, sebelumnya aku akan membersihkannya dan memberinya obat yang baru.

Pandan Wangi pun segera berlari ke belakang. Meskipun ia membawa sepasang pedang, namun ia sama sekali tidak canggung melakukan perintah ayahnya. Sejenak kemudian, maka gadis itu  pun telah membantu ayahnya membuka baju dan kemudian membersihkan luka-lukanya yang ternyata memang mulai berdarah lagi meskipun tidak terlampau banyak. Dengan hati-hati Ki Argapati membersihkan luka itu, kemudian menaburinya dengan obat yang baru. Sejenak, luka itu justru terasa seolah-olah terbakar. Namun kemudian perasaan itu  pun semakin susut. Akhirnya, ia merasa bahwa luka-lukanya akan menjadi segera baik kembali. Meskipun demikian Ki Argapati tidak mau bangkit lagi dari pembaringannya.
Pandan Wangi lah yang kemudian menjadi penghubung antara ayahnya dan Samekta apabila diperlukan. Tetapi sebagian terbesar waktunya, dipergunakannya untuk menunggui ayahnya. Melayaninya dan membantunya apabila diperlukan. Demikianlah setiap pihak mempunyai persoalannya sendiri-sendiri. Ki Tambak Wedi dengan persiapannya untuk merebut pemusatan pasukan Argapati. Gembala tua dengan dua orang muridnya yang menghitung-hitung waktu, kapan mereka harus mulai turun di medan terbuka. Sedang Ki Argapati masih sibuk dengan luka-lukanya, meskipun ia sama sekali tidak mengabaikan pertahanannya. Namun di samping pihak-pihak itu, tanpa diketahui oleh mereka, seorang anak muda bersama dua orang yang lain telah memasuki tlatah Menoreh dengan diam-diam.
Dengan ragu-ragu mereka berjalan melalui desa-desa kecil dan pedukuhan yang agak besar di daerah Tanah Perdikan Menoreh.
Namun suasananya telah membuat mereka menjadi ragu-ragu. Desa demi desa yang telah mereka lalui, membayangkan suasana yang suram. Kecemasan dan ketakutan mewarnai kehidupan penghuni-penghuninya, sehingga sangat sulit bagi mereka untuk mendapatkan keterangan tentang Tanah Perdikan yang besar ini.
“Paman,” berkata anak muda itu, “aku tidak mengerti, kenapa suasana daerah ini menjadi sangat asing?”
Kedua pengikutnya mengangguk-anggukkan kepalanya. “Ya, Ngger,” jawab salah seorang dari mereka. “Aku bercuriga.”
“Agaknya kedatangan Ki Tambak Wedi, Sidanti, dan Argajaya ke tanah ini telah membuat suasana menjadi tegang,”
“Apakah Tanah Perdikan ini sedang mengadakan persiapan untuk suatu tindakan balasan terhadap Pajang?”
Anak muda itu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya,
“Kita akan terjerumus ke dalam suatu pusaran yang tidak menentu. Apabila benar Argapati akan membela anaknya dan berhadapan dengan Pajang, maka kita akan berdiri di atas persimpangan jalan yang sulit. Kita tidak akan dapat berpihak kepada Pajang, tetapi juga tidak kepada Menoreh,”
Kedua pengikutnya itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Tetapi aku ingin bertemu lebih dahulu dengan Kiai Gringsing dan kedua muridnya.”
“Apakah Angger pasti bahwa mereka ada di sini?”
“Hampir pasti.”
Kedua pengikutnya mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu salah seorang dari mereka berkata,
“Tetapi, kemana kita harus mencari mereka di Tanah seluas ini?”
“Aku ingin tahu, apakah yang sudah terjadi di atas Tanah ini.”
“Ya, seharusnya kita tahu, di mana kita berada dan dalam keadaan bagaimana.”

Anak muda itu tidak menjawab. Namun kemudian mereka  pun meneruskan perjalanan mereka, dan berusaha mendengar apa yang telah terjadi. Betapapun sulitnya, namun akhirnya mereka mengetahui, apakah yang sebenarnya terjadi di atas Tanah Perdikan ini, bahwa anak laki-laki Ki Argapati telah melawan ayahnya sendiri.
“Hampir tidak masuk akal,” desis anak muda itu,
“agaknya Argapati begitu setianya terhadap Pajang, sehingga ia bersedia mengorbankan anak laki-lakinya sendiri.”
Kedua pengikutnya tidak menjawab, tetapi mereka mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Aku tidak mengerti, apakah yang telah mendorong Argapati untuk mengambil sikap itu.”
“Mungkin Argapati tidak ingin melihat Tanahnya berbenturan dengan Pajang. Menurut perhitungannya, maka Menoreh pasti akan hancur betapapun besarnya tanah perdikan ini. Argapati tidak akan berani melihat mayat yang akan berhamburan di segala sudut tanah perdikannya yang kaya ini.”
Anak muda itu mengangguk-anggukkan kepalanya, tetapi kemudian ia bergumam,
“Atau karena Argapati tidak berani melihat, ia sendiri akan tergeser dari kedudukannya. Kalau ia melawan Pajang, maka atas wewenang yang ada sekarang, Pajang dapat mencabut hak yang telah diterima oleh Argapati dari raja-raja sebelumnya, atau hak yang diberikan oleh Pajang sendiri.”
Kedua pengikutnya tidak menjawab.
“Aku harus mendapat lebih banyak keterangan mengenai tanah ini. Tetapi aku harus bertemu dengan Kiai Gringsing, Agung Sedayu, dan Swandaru.”
“Kita harus mencari mereka. Kita harus menjelajahi Tanah ini dari ujung sampai ke ujung.”
Anak muda itu tersenyum. Katanya, “Kau agaknya sama sekali tidak berminat.”
“Bukan, bukan begitu maksudku, Ngger. Tetapi aku sekedar memperingatkan, bahwa pekerjaan ini bukanlah pekerjaan yang ringan.”
Anak muda itu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya,
“Aku akan menghindarkan diri dari kemungkinan terlibat dalam persoalan di tanah perdikan ini untuk sementara, sampai aku dapat meyakinkan diri bahwa ada perlunya aku mencampurinya. Karena itu, maka kita harus mempersiapkan diri untuk tinggal di Tanah ini sebagai apa pun juga. Kita akan mencari tempat yang tersendiri, membuat tempat tinggal yang sederhana dan sambil menunggu keadaan di tanah ini menjadi tenang, aku akan mencari Kiai Gringsing.”
Kedua pengikutnya mengangguk-anggukkan kepalanya. Mereka sudah mengenal betul anak muda itu, sehingga mereka tidak dapat berbuat lain daripada mengiakannya.

Dengan demikian, maka ketiganya  pun segera mencari tempat yang baik untuk membuat gubug, sekedar melindungkan diri dari panas dan embun. Namun mereka juga tidak mau tinggal di tempat yang terlalu dekat dengan padesan, yang dapat menumbuhkan banyak persoalan pada diri mereka. Mereka lebih senang tinggal di pinggir hutan yang tidak terlampau lebat. Mereka sadar, bahwa setiap saat seekor binatang yang buas akan lewat di dekat gubug mereka. Tetapi mereka, apalagi bersama-sama, seorang demi seorang  pun sama sekali tidak akan gentar. Mereka dengan senjata masing-masing akan dapat melawan harimau atau jenis binatang yang lain. Sedang seandainya ada sekawanan anjing hutan yang berjumlah ratusan sehingga mereka tidak akan mampu mengusirnya, maka mereka akan dapat memanjat batang-batang pohon dengan tangkasnya. Dari tempat itulah, mereka akan mencari seseorang yang mereka sebut bernama Kiai Gringsing, Agung Sedayu, dan Swandaru Geni, yang menurut pendengaran mereka berada di tlatah Menoreh.
Sementara itu di sebuah gubug yang lain, seorang gembala tua duduk melingkari perapian bersama dua orang murid-muridnya. Mereka hampir tidak sabar menunggu ujung malam yang terasa terlampau panjang.
“Tidurlah kalian,” berkata orang tua itu. Tetapi kedua muridnya menggeleng. Anak yang gemuk sambil mengusap matanya berkata,
“Sebentar lagi, Guru.”
Karena itu, maka mereka bertiga tidak beranjak dari tempatnya. Mereka duduk sambil memeluk lututnya. Sekali-sekali anak muda yang gemuk itu masih saja menguap sambil mengusap-usap matanya. Tetapi ia masih juga duduk di tempatnya.
“Tidurlah, Gupala,” berkata gurunya sekali lagi.
Gupala menggelengkan kepalanya. Tetapi ia bangkit berdiri. Dengan malasnya ia berjalan ke kebun di samping gubugnya. Di cabutnya beberapa batang pohon ketela. Meskipun masih belum cukup besar, namun ubinya dibawa juga dan dimasukkannya ke dalam bara api perapiannya.
“Tiba-tiba saja aku menjadi lapar,” desisnya.
Anak muda yang seorang lagi, menggeleng-gelengkan kepalanya sambil berkata,
“Kau masih juga sempat merasakan lapar.”
Gupala tidak menyahut, namun tangannya sibuk dengan menimbuni ubinya dengan abu yang panas.
Dengan demikian maka mereka pun terlempar dalam kesenyapan, Gupita duduk diam sambil memandangi api yang masih menyala di beberapa bagian. Kemudian dipandanginya abu yang teronggok di atas bara, tempat timbunan ubi Gupala.

Namun kedua anak-anak muda itu terkejut ketika mereka melihat guru mereka memiringkan kepalanya. Kemudaan menundukkan wajahnya. Tetapi dengan demikian kedua muridnya mengerti, bahwa gurunya sedang memperhatikan sesuatu. Kedua anak-anak muda itu pun kemudian memusatkan pendengaran mereka seperti yang dilakukan oleh gurunya. Dan sebenarnyalah mereka mendengar desir langkah kaki semakin lama semakin mendekat. Dengan isyarat gurunya memberitahukan kepada kedua muridnya supaya bersiaga. Mungkin mereka akan menghadapi kemungkinan yang tidak terduga-duga sebelumnya. Ternyata langkah kaki itu  pun semakin lama menjadi semakin dekat. Namun, gembala tua itu seakan-akan sama sekali tidak mengacuhkannya. Kedua muridnya  pun masih duduk di tempatnya. Tetapi di bawah kain panjang, tangan-tangan mereka meraba-raba senjata yang melingkar di bawah baju mereka, meskipun mereka menancapkan golok di samping tempat duduk masing-masing. Golok yang mereka dapatkan dari lawan-lawan mereka yang menjadi pingsan ketika mereka berkelahi. Langkah kaki itu menjadi semakin dekat. Dekat sekali. Ternyata bahwa langkah kaki itu sudah cukup memberitahukan, bahwa yang datang itu pun bukan orang kebanyakan. Seperti yang telah mereka perhitungkan, maka tiba-tiba sesosok bayangan muncul dari dalam gerumbul-gerumbul liar di halaman itu. Dengan sebuah tombak pendek tertunduk seorang anak muda berjalan mendekati mereka sambil berkata,
“Jangan berbuat sesuatu. Aku tidak bermaksud jahat.”
Dalam keremangan api yang kemerah-merahan ketiganya serentak berpaling. Mereka melihat seorang anak muda yang berdiri di paling depan, kemudian dua orang lain di belakangnya.
Laki-laki tua di samping perapian itu mengerutkan keningnya. Meskipun hanya lamat-lamat, namun ia dapat melihat wajah anak muda itu, sehingga dengan serta-merta ia terloncat berdiri sambil berdesis,
“Angger Mas Ngabehi Loring Pasar. Benarkah?”
Anak muda itu tertegun. Cahaya api yang suram itu telah menjadi semakin suram, sehingga untuk sejenak ia berdiri saja termangu-mangu. Namun sejenak kemudian anak muda itu berkata,
“Kiai, kaukah itu, Kiai?”
Orang tua itu tidak segera menjawab. Kedua muridnya pun kini telah berdiri pula dengan tegangnya. Bahkan anak muda yang gemuk, yang sedang menunggui ubinya, telah menyambar tangkai golok di sampingnya. Namun mereka  pun kemudian berdiri dengan tegangnya memandangi anak muda yang bersenjatakan sebuah tombak pendek. Pada tangkai tombak itu berjuntai seutas tali yang berwarna kuning keemasan.
“He,” tiba-tiba Gupala berteriak,
“jadi Tuan telah mendapatkan tali semacam itu lagi?”
Gurunya berpaling sambil mengerutkan alisnya. Ternyata perhatian Gupala pertama justru kepada tali yang berwarna keemasan itu.
“Terlalu kau,” gumam Gupita,
Tapi Gupala tidak memperhatikannya. Beberapa langkah ia maju. Dengan wajah berseri-seri ia berkata,
“Tuan agaknya sengaja menyusul kami. Taliku yang berwarna emas itu ketinggalan pada tangkai pedangku yang terbuat dari gading. Sekarang Tuan akan memberikannya lagi kepadaku bukan?”
Wajah anak muda yang bersenjata tombak itu  pun menjadi berseri-seri pula. Dengan nada yang tinggi ia berkata,
“He, ternyata aku menemukan kalian di sini.”
“Marilah,” berkata gembala tua itu,
“kami persilahkan kalian duduk di sini saja. Gubug kami tidak akan dapat memuat kita bersama-sama.”
“Terima kasih. Aku lebih senang duduk menghangatkan badan di samping perapian itu.”
“Marilah,” sahut orang tua itu.

Anak muda itu memberi isyarat kepada kedua kawannya untuk mendekat. Mereka  pun kemudian bersama-sama duduk, melingkar di tepi perapian yang justru telah hampir padam. Namun Gupita kemudian menaburkan seonggok ranting-ranting kecil ke atasnya, sehingga api  pun segera berkobar kembali.
“He,” teriak Gupala, “ubiku akan menjadi abu.”
Gupita tidak menyahut. Tetapi ia  pun duduk di dekat perapian itu juga, sementara Gupala sibuk menyingkirkan ubi bakarnya.
“Kenapa Angger berada di tempat ini?” bertanya gembala tua itu kemudian kepada Mas Ngabehi Loring Pasar.
“Aku sengaja mencari kalian.”
“Dari manakah Angger tahu, bahwa kami berada di sini?”
“Aku telah singgah ke Sangkal Putung.”
“Maksudku, dari mana angger tahu, bahwa aku tinggal di halaman ini bersama kedua anak-anak yang bengal ini,”
“O, itu hanya suatu kebetulan, Kiai. Hampir semalam suntuk aku berjalan mengitari Tanah Perdikan ini setelah aku melihat kedua pasukan ayah dan anak itu saling berhadapan di muka regol pertahanan Argapati. Karena pertempuran itu urung, maka aku telah berjalan kemana saja tanpa tujuan, sampai aku melihat perapian ini.”
Gembala tua itu mengerutkan keningnya. Sesaat dipandanginya wajah kawan-kawan Mas Ngabehi Loring Pasar. Dua orang yang agaknya cukup dapat dipercaya untuk mengawasi anak muda itu melawat ke daerah yang sedang kemelut dibakar oleh api pertentangan di antara lingkungan sendiri.
Gembala tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya ketika Mas Ngabehi Loring Pasar dan yang juga bernama Sutawijaya itu memperkenalkan,
“Kiai, yang tinggi berkumis tipis itu adalah Paman Hanggapati, sedang yang agak pendek itu Paman Dipasanga.”
“Kami memperkenalkan diri kami, Ngger,” berkata gembala tua itu kemudian,
“kedua anak-anak ini adalah anak-anak angkatku, Gupala dan Gupita.”
“He?” Sutawijaya yang bergelar Mas Ngabehi Loring Pasar itu mengerutkan keningnya.
“Permainan apa lagi yang sedang Kiai lakukan?”
“Kenapa?” bertanya orang tua itu.
“Bagaimana dengan nama-nama itu?”
“Demikianlah nama-nama yang kami pergunakan di atas Tanah Menoreh ini.”
Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Sambil tersenyum ia berkata,
“Jadi Kiai mengajari murid Kiai berdua ini untuk bermain sembunyi-sembunyian seperti yang sering Kiai lakukan sendiri?”
“Ah,” gembala tua itu berdesah, namun kemudian ia tersenyum sambil menunjuk ke arah kandang di samping gubugnya.
“Kami adalah peternak yang miskin. Atau lebih tepat kami adalah gembala-gembala kambing itu.”
“Ya, ya. Aku percaya. Suatu ketika Kiai adalah seorang gembala, lain kali seorang dukun dan kemudian seorang senapati di peperangan. Lalu apa lagi di hari-hari mendatang, Kiai?”
Gembala tua itu tertawa. Bahkan kedua muridnya  pun tertawa pula. Apalagi ketika mereka mendengar Sutawijaya berkata,
“Agaknya kedua murid-murid Kiai itu pun berbakat.”
“Tuan juga,” tiba-tiba Gupala menyahut,
“siapakah yang pernah mempergunakan nama Sutajiya di Prambanan?”
Sutawijaya mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia tertawa sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Kalian masih ingat?” bertanya Sutawijaya.
“Argajaya ada di sini,” sahut Gupita, “dan ia berpihak kepada Sidanti.”
“Aku sudah mendengar,” jawab Sutawijaya.
“Peristiwa di Tanah ini telah membuat aku menjadi agak bingung. Karena itu aku mencari Kiai yang menurut pendengaranku berada di Menoreh pula. Agaknya Kiai telah berada di sini lebih lama daripadaku, sehingga Kiai akan dapat memberikan lebih banyak petunjuk kepadaku.”
“Tidak terlampau banyak, Ngger. Aku hanya tahu, Argapati tidak dapat memenuhi keinginan anaknya untuk melawan Pajang. Agaknya Argajaya yang sudah terlibat dalam persoalan Sidanti, merasa terjepit. Namun akhirnya ia memutuskan untuk berpihak kepada Sidanti yang bersama-sama telah langsung menentang kekuasaan Pajang di Tambak Wedi. Mereka sudah tidak dapat ingkar lagi karena mereka dengan sengaja telah melawan Angger Untara, sebagai seorang Senapati dari Pajang.”
“Ya, ya. Aku sudah mendengar.”
“Nah, begitulah menurut pendengaran kami, apa yang terjadi di atas tanah perdikan ini.”
Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Lalu, apakah yang telah Kiai lakukan di sini?”
Yang menjawab adalah Gupala,
“Menggembala kambing. Berlari-lari untuk bersembunyi dan mengintip perselisihan ini dari kejauhan.”
“Ah,” gurunya berdesah. Tetapi kemudian mereka tersenyum bersama-sama.
“Ya, itulah yang telah kami kerjakan di sini, Ngger.”
Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Sejenak kemudian tampaklah keningnya berkerut-merut. Kemudian ia bertanya,
“Apakah Kiai akan berpihak?”

Orang tua itu menarik nafas dalam-dalam. Ditatapnya wajah Sutawijaya yang menjadi bersungguh-sungguh. Karena itu, orang tua itu  pun menyadari bahwa Sutawijaya benar-benar ingin tahu pendiriannya. Sehingga dengan demikian maka gembala tua itu  pun menjawab,
“Ya, Ngger. Kami sudah memutuskan untuk berpihak.”
Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Aku sudah menduga, kepada siapa Kiai akan berpihak.”
“Memang tidak sukar untuk menebak. Kami juga tidak dapat melihat kekasaran dan ketamakan menguasai Tanah ini. Lebih daripada itu aku dapat mengerti pendirian Argapati. Itulah soalnya.”
“Agaknya Argapati lebih sayang kepada jabatannya dari pada anak laki-laki tunggalnya.”
Gembala tua itu mengerutkan keningnya. “Maksud Angger?”
“Menurut perhitungan wajar, apa  pun yang akan terjadi, Argapati pasti akan melindungi anak laki-lakinya dan adiknya. Tetapi Argapati berbuat sebaliknya. Justru ia bertempur melawan keduanya.”
Gembala tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Ya, begitulah keadaannya. Tetapi aku kira keadaan ini tidak dimulai dari persoalan Sidanti dan Argajaya.” Orang tua itu berhenti sejenak. Lalu,
“Apakah pada saat ada perang tanding di bawah Pucang Kembar, Angger sudah berada di Tanah ini?”
Sutawijaya mengerutkan keningnya.
“Perang tanding yang mana yang Kiai maksud?”
“Antara Argapati dan Ki Tambak Wedi?”
Sutawijaya menggelengkan kepalanya.
“Tidak. Aku tidak tahu. Memang mungkin aku belum ada di Tanah ini.”
“Perang tanding itu telah menimbulkan persoalan bagi kami. Sudah tentu sebabnya bukan sekedar apakah Argapati akan berpihak kepada Sidanti atau bukan, karena agaknya soal itu adalah soal lama bagi keduanya.”
Sutawijaya yang bergelar Mas Ngabehi Loring Pasar itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Hampir di luar sadarnya ia berdesis,
“Kesetiaan Argapati yang berlebih-lebihan kepada Pajang akan menyulitkan kedudukanku.”
“He?” hampir bersamaan gembala tua dan murid-muridnya bergeser maju.
Sutawijaya mengerutkan keningnya. Ia menyadari bahwa ia telah terdorong untuk mengucapkannya. Tetapi ia tidak menyesal.


Halaman 1 2 3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar