Keadaannya sendiri memang telah semakin meningkat pula, meskipun tidak menimbulkan benturan-benturan seperti yang terjadi di Menoreh kini.
“Angger Sutawijaya,”
berkata gembala tua itu,
“kenapa
Argapati itu akan dapat menyulitkan kedudukan Angger? Seharusnya Angger
berterima kasih kepadanya, bahwa ia telah meletakkan tugas di atas
segala-galanya, bahkan di atas kepentingan anaknya sendiri.”
Sutawijaya
tidak segera menjawab. Sekilas dipandanginya kedua kawan-kawannya yang duduk
tepekur memandangi api di perapian yang sudah menjadi semakin pudar pula.
Dan tiba-tiba
saja Sutawijaya berdesis,
“Aku memang
mempunyai persoalan dengan Pajang,” anak muda itu berhenti sebentar karena
hampir bersamaan Hanggapati dan Dipasanga mengangkat wajahnya.
“Mereka adalah
kawan-kawan baikku, Paman,” berkata Sutawijaya kepada kedua kawannya itu.
“Aku tidak
perlu bercuriga kepada mereka, meskipun seandainya pendirian mereka tidak
sejalan dengan pendirianku. Mereka adalah orang-orang jantan dan tidak dengan
mudah dapat berkhianat.”
Gembala tua
itu menarik nafas dalam-dalam, sedang kedua muridnya pun saling berpandangan sejenak.
“Maaf,”
berkata Sutawijaya kemudian kepada ketiga guru dan murid itu,
“demikianlah
pendirianku. Dan aku lebih senang berkata terus terang daripada menyimpan-nya
di dalam dada.”
“Itu suatu
sikap yang terpuji,” sahut gembala tua itu.
“Terima kasih.
Suatu kehormatan bagiku. Kiai ingin mendengar persoalanku?”
Gembala tua
itu menarik nafas dalam-dalam. Tiba-tiba ia merasa canggung menghadapi
Sutawijaya kali ini, tidak seperti beberapa waktu yang lampau. Namun ia
menjawab,
“Apabila
Angger tidak berkeberatan.”
“Baiklah,”
Sutawijaya berhenti sejenak mengamati kedua murid gembala tua itu. Lalu,
“Ayahanda
telah meninggalkan istana Pajang.”
“He?”
ketiganya terperanjat.
“Siapa yang
Angger maksud?” bertanya gembala tua itu.
“Bukan
Ayahanda Hadiwijaya yang sekarang telah bergelar Sultan.
Tetapi
Ayahanda Ki Gede Pemanahan.”
Tiba-tiba
wajah gembala tua itu menjadi tegang. Hampir tidak percaya ia kepada
pendengarannya sendiri. Tanpa sesadarnya ditatapnya wajah kedua kawan
Sutawijaya itu berganti-ganti.
“Benarkah
begitu?” ia berdesis.
Berbareng
keduanya mengangguk.
“Dimana
sekarang Ayahanda Ki Gede Pemanahan?” bertanya gembala tua itu.
“Ayahanda
telah kembali ke Sela, setelah meletakkan semua jabatan Istana.”
“Aneh, Ngger.
Itu aneh sekali. Bagaimana mungkin hal itu dapat terjadi? Aku rasa-rasanya
seperti orang bermimpi. Atau aku berhadapan dengan orang lain?”
“Tidak, Kiai.
Kiai tidak bermimpi dan Kiai benar-benar berhadapan dengan Sutawijaya. Namun
aku tidak tahu lagi, apakah gelarku sudah dicabut oleh Ayahanda Sultan Pajang,
karena aku mengikuti ayah kembali ke Sela.”
Gembala tua
itu tidak segera menyahut. Tetapi wajahnya yang tegang menjadi semakin tegang.
Sekali dipandanginya wajah-wajah muridnya. Dan murid-muridnya itu pun terheran-heran pula mendengar keterangan
Sutawijaya. Ternyata, keadaan memang berkembang terlampau cerpat di mana-mana.
Tidak saja di Tanah Perdikan Menoreh, tetapi juga di Pajang. Berita tentang
lolosnya Ki Gede Pemanahan dari Pajang, belum terdengar dari atas Tanah
perbukitan ini. Tetapi sebentar lagi Ki Tambak Wedi pasti akan mendengarnya
pula. Orang-orangnya sebagian adalah orang-orang liar yang berkeliaran di mana
saja. Mungkin di antara mereka ada yang mempunyai kawan-kawannya di Pajang atau
di daerah-daerah lain yang berdekatan dengan Pajang. Betapa Pajang berusaha
menyimpan rahasia ini, seandainya kepergian Ki Gede Pemanahan dianggap sebagai
suatu rahasia, namun seluruh negeri pada saatnya pasti akan mendengarnya juga.
Dan sejenak
kemudian dengan nada datar gembala tua itu bertanya,
“Kenapa
Ayahanda Ki Gede Pemanahan meninggalkan istana, Ngger? Apakah Ki Gede Pemanahan
merasa bahwa segala tugasnya sudah selesai untuk kemudian menarik diri dan
menyepi di Sela, ataukah ada sebab-sebab lain?”
“Kira-kira
begitulah Kiai. Ayah merasa menjadi semakin tua. Tetapi ada juga sebab-sebab
lain yang mendorongnya untuk semakin cepat meninggalkan Ayahanda Sultan
Hadiwijaya.”
Gembala tua
itu tidak menjawab. Ditatapnya mata Sutawijaya tajam-tajam. Namun sorot matanya
itulah yang memancarkan seribu pertanyaan di dalam dadanya.
“Kiai,”
berkata Sutawijaya,
“kenapa Kiai
tidak bertanya, apakah sebab-sebab yang mendorong Ayahanda Ki Gede Pemanahan
untuk meletakkan jabatannya sebagai Panglima Wira Tamtama?”
“Angger sudah
tahu, bahwa pertanyaan itu ada di dalam dadaku.”
Sutawijaya mengangguk-anggukkan
kepalanya.
“Ya, aku sudah
tahu. Sebab-sebab itu mungkin akan mentertawakan sekali.” Ia berhenti sebentar,
lalu,
“Begini Kiai.
Mungkin Kiai sudah mendengar bahwa mereka yang berhasil membunuh Arya
Penangsang adalah Ki Gede Pemanahan dan Ki Penjawi.”
“Bukankah
Angger Sutawijaya yang melakukannya?”
“Aku hanya
sekedar alat. Tetapi boleh juga dikatakan demikian. Namun secara resmi
dilaporkan, bahwa yang telah membunuh Arya Penangsang adalah Ki Gede Pemanahan
dan Ki Penjawi.”
“Juga suatu
cara untuk mendapatkan kedua bagian Tanah yang disanggupkan. Pati dan Alas
Mentaok.”
“Dugaan Kiai
tepat. Sebab kalau aku yang membunuh Arya Penangsang, semua hadiah akan
dibatalkan. Karena aku adalah putera angkat Sultan Hadiwijaya sendiri.”
“Ya.”
“Nah, ternyata
bumi Pati sudah lama diserahkan. Begitu Arya Penangsang gugur, begitu bumi Pati
diserahkan.”
Gembala tua
itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Sekali-sekali dengan sudut matanya ia
mencoba melihat wajah kedua muridnya. Dan gembala tua itu melihat wajah-wajah
itu menjadi tegang.
“Tetapi,”
Sutawijaya meneruskan,
“tidak
demikian halnya dengan Alas Mentaok. Pati yang sudah terbuka dan sudah menjadi
semakin ramai segera dapat mulai digarap, tetapi Mentaok yang masih berupa
hutan belukar, masih harus menunggu. Menunggu tanpa batas. Dengan demikian maka
Mentaok pasti akan menjadi semakin jauh ketinggalan dari Pati.”
Sejenak Gupala
dan Gupita saling berpandangan. Sedang gurunya yang tua itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Meskipun ketiganya tidak mengucapkan sepatah
kata pun, namun Sutawijaya seakan-akan tanggap atas perasaan ketiganya,
sehingga ia meneruskannya,
“Memang,
tampaknya tidak lebih dari perasaan iri hati. Bukankah begitu, Kiai?”
Gembala tua
itu menarik nafas dalam-dalam. Dengan hati-hati ia berkata,
“Angger
Sutawijaya. Memang tanggapan yang demikian itu mungkin sekali. Tetapi apakah
masih ada alasan lain yang mendorong Ki Gede Pemanahan meninggalkan Pajang?
Sebab menurut hematku, kalau hanya sekedar Tanah Mentaok maka Ki Gede Pemanahan
pasti tidak akan mengambil keputusan itu.”
“Kiai,”
berkata Sutawijaya,
“ayahanda
memandang soal itu bukan sekedar dari persoalan Tanah Mentaok itu sendiri.
Tetapi dengan demikian Sultan Hadiwijaya telah ingkar. Ingkar janji. Sebagai
seorang Raja, maka ingkar janji adalah pantangan yang harus dijauhi.”
Gembala tua
itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia masih bertanya,
“Angger.
Apakah tidak mungkin, bahwa Sultan Hadiwijaya menganggap bahwa bukan saja Tanah
Mentaok yang kelak akan jatuh ke tangan Angger, meskipun lewat Ki Gede
Pemanahan, karena tidak ada orang lain yang pasti akan menerimanya. Tetapi
bahkan seluruh Pajang akan jatuh ke tangan Angger Sutawijaya.”
“Apakah aku
harus menutup mata dari suatu kenyataan bahwa di istana ada Adimas Pangeran
Benawa?”
“Apakah ada
tanda-tanda bahwa tahta kelak akan diwarisi oleh Pangeran itu?”
“Pertanyaan
Kiai agak aneh.”
Orang tua itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Sejenak ia berdiam diri. Sehingga dengan
demikian keadaan menjadi hening. Hanya desah nafas mereka sajalah yang
terdengar di sela-sela desir angin malam. Gupala dan Gupita menundukkan kepala
mereka memandangi api yang hampir padam. Sekali-sekali Gupita
mengangguk-anggukkan kepalanya. Sebenarnya ia tidak dapat mengerti, kenapa Ki
Gede Pemanahan meninggalkan Pajang, apabila masalahnya hanya sekedar masalah
Tanah Mentaok. Meskipun ia mencoba meyakinkan kata-kata Sutawijaya, bahwa
masalahnya bukan Tanah Mentaok itu sendiri, tetapi bahwa sultan telah ingkar
itulah yang telah membuat Ki Gede Pemanahan menjadi kecewa.
Dalam
keheningan itu terdengar Sutawijaya bertanya,
“Bagaimanakah
tanggapan Kiai mengenai masalah ini?”
Gembala tua itu
mengangguk-angguk.
“Aku
memerlukan waktu, Ngger. Aku kira Angger Sutawijaya juga tidak tergesa-gesa.
Mungkin aku akan terpaksa menyelesaikan masalah tanah perdikan ini dahulu, baru
aku dapat mencoba memberikan pertimbanganku.”
Sutawijaya
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Ya. Agaknya
Kiai sudah terlanjur terlibat di dalam persoalan ini. Tetapi persoalan Tanah
ini mau tidak mau harus menjadi perhitunganku juga. Alas Mentaok akan berada di
tengah-tengah, di antara Pajang dengan Untara di Jati Anom di sebelah Timur,
dan kesetiaan Argapati di sebelah Barat.”
“Ah,” gembala
tua itu berdesah,
“Angger
terlampau cepat mengambil kesimpulan itu. Aku kira Ki Gede Pemanahan sendiri
pun tidak akan dengan tergesa-gesa mengambil kesimpulan yang demikian.”
“Tetapi
bukankah sudah jelas.”
“Lalu, apakah
maksud Angger, Tanah ini harus jatuh ke tangan orang-orang yang menentang
kekuasaan Pajang? Sidanti dan Argajaya misalnya?”
Sutawijaya
tidak segera menjawab.
“Kalau
demikian, maka Angger sudah terdorong ke dalam suatu sikap yang mementingkan
diri sendiri. Angger tidak melihat apa yang telah terjadi di atas Tanah ini.”
Sutawijaya mengerutkan
keningnya. Katanya,
“Bukan
maksudku demikian, Kiai. Aku tahu sifat-sifat Sidanti, Argajaya, dan gurunya Ki
Tambak Wedi. Mereka sama sekali tidak dapat dibawa berbincang dan bertindak
untuk kepentingan bersama karena justru mereka mementingkan diri mereka
sendiri. Namun sudah tentu bahwa aku juga tidak dapat berdiam diri, apabila
Tanah ini terlampau setia berpihak kepada Pajang dan menghalang-halangi
perkembangan Tanah Mentaok kelak apabila sudah diserahkan kepada Ayahanda Ki
Gede Pemanahan?”
Tiba-tiba gembala
tua itu tersenyum. Katanya,
“Ternyata kau
masih terlampau muda, Ngger. Apakah demikian juga pendirian Ayahanda Ki Gede
Pemanahan?”
Sutawijaya
menggelengkan kepalanya.
“Aku tidak
tahu benar, Kiai. Tetapi kepergian ayah ke Sela bukan berarti bahwa ayah telah
melepaskan tuntutannya atas Tanah Mentaok. Kepergian ayah adalah suatu usaha
untuk mempercepat penyerahan itu.”
“Ya. Kemudian
Ayahanda Ki Gede Pemanahan akan membuka Mentaok untuk menjadi suatu pedukuhan.
Tentu saja dengan harapan bahwa kelak akan menjadi sebuah kota yang ramai.
Melampaui Tanah Perdikan Menoreh dan melampaui Mangir. Bukankah begitu?”
Sutawijaya
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Baiklah,
Ngger. Aku akan mencoba memberikan pendapatku lain kali. Tetapi bagiku adalah
merupakan suatu keharusan untuk membantu Argapati melepaskan diri dari
kesulitan ini. Sidanti bukanlah seorang yang pantas untuk menjadi besar. Ia
dalam sikapnya tidak sekedar menentang Sultan Hadiwijaya. Tetapi ia menentang
kekuasaan yang lebih tinggi dari kekuasaannya, justru karena ia sendiri ingin
berkuasa.”
“Terserahlah,
Kiai. Tetapi setidak-tidaknya Menoreh tidak mempersulit kedudukanku kelak.”
“Aku akan
mencoba menyampaikannya kepada Argapati. Tetapi, apakah terbayang di dalam
angan-angan Angger Sutawijaya bahwa suatu ketika akan timbul masalah antara
Mentaok dan Pajang?”
Sutawijaya
tidak segera dapat menjawab. Pertanyaan itu membuatnya berdebar-debar. Sehingga
dengan demikian untuk sejenak ia berdiam diri.
Kembali
kesepian mencengkam suasana. Angin yang sejuk mengusap dahi-dahi yang dibasahi
oleh keringat, Betapapun dinginnya malam. Api perapian di hadapan mereka telah
menjadi semakin pudar. Bayangan merah yang samar-samar memulas wajah-wajah yang
tegang. Dengan sebuah tongkat kecil Gupala mengais abu yang masih membara.
Tetapi ia tidak bergeser dari tempatnya. Sekilas dipandanginya wajah Gupita
yang menahan senyum. Ternyata ubi yang dibenamkannya di dalam abu itu telah
menjadi arang.
“Kiai,” kemudian
terdengar suara Sutawijaya,
“aku tidak
mengharapkan pertentangan antara Mentaok dan Pajang kelak. Sama sekali tidak.
Ayahanda Ki Gede Pemanahan maupun Ayahanda Sultan Hadiwijaya pun pasti tidak.”
Gembala tua
itu mengangguk-anggukkan kepalanya. “Sokurlah.”
“Pertentangan
itu tidak ada gunanya. Kecuali …………”
“Kecuali, kecuali apa, Kiai?”
“Ah,” gembala
tua itu berdesah. “Tidak. Tidak ada kecualinya. Pertentangan dalam bentuk apa
pun tidak menguntungkan.”
Sutawijaya
menggigit bibirnya. Tetapi ia tidak dapat memaksa gembala tua itu untuk
berbicara. Karena itu, maka anak muda itu hanya sekedar mengangguk-anggukkan
kepalanya saja.
Yang mula-mula
berbicara adalah gembala tua itu,
“Demikianlah,
Ngger. Angger telah mengetahui apa yang kira-kira akan aku kerjakan. Sesudah
Menoreh ini selesai, maka aku akan mencoba bertemu dengan Ayahanda Ki Gede
Pemanahan.”
“Tentu ayah
akan menjadi senang sekali. Beberapa kali ayah bertanya tentang Kiai. Setiap
kali ayah bertanya tentang bentuk dan gambaran tubuh Kiai. Dan setiap kali ayah
selalu mengangguk-anggukkan kepalanya.”
“Apakah
Ayahanda tidak berkata apa pun tentang aku?”
Sutawijaya
menggeleng.
“Tidak terucapkan.
Tetapi aku melihat ayah berbicara di dalam hatinya tentang seorang dukun tua,
seorang senapati, seorang pengembara dan seorang gembala.”
Gembala tua
itu tersenyum. Di angguk-anggukkannya kepalanya. Tetapi ia tidak segera
menyahut.
Sementara itu,
di langit telah membayang warna-warna merah. Satu-satu bintang yang bergayutan
tenggelam dalam kebiruan wajahnya. Gupita dan Gupala yang telah merasa
terlampau lelah, selama mereka duduk saja mendengarkan pembicaraan gurunya,
melihat fajar yang sebentar lagi akan pecah.
“Kiai,”
berkata Sutawijaya kemudian,
“baiklah aku
kembali sebelum terang. Aku harus mencari jalan yang sepi, supaya kehadiranku
di sini tidak diketahui orang, atau justru menambah persoalan.”
“Kemana Angger
akan kembali?”
“Aku membuat
sebuah gubug di pinggir hutan di ujung Tanah Perdikan ini.”
“Tinggallah di
sini, Ngger. Kita bersama-sama adalah orang-orang yang tidak mempunyai tempat
tinggal di tanah perdikan ini.”
Sutawijaya
tidak segera menyahut. Dipandanginya wajah kedua kawan-kawannya. Tetapi kedua
kawannya itu pun tidak memberikan tanggapan apapun.
“Apakah Angger
meninggalkan sesuatu di gubug Angger itu?”
Sutawijaya
menggelengkan kepalanya. “Tidak Kiai.”
“Kalau begitu
tinggallah di sini. Di sini ada beberapa ekor kambing yang dapat mengawani
Angger. Apabila nanti matahari naik, maka kami bertiga akan segera meninggalkan
tempat ini. Yang paling memberati hati kami adalah kambing-kambing itu. Nah,
apabila Angger bersedia memeliharanya, tinggallah di sini untuk beberapa hari.”
“Akan
kemanakah Kiai bertiga?”
“Kami akan
menemui Ki Argapati. Kami sudah tidak dapat menunda-nunda waktu lagi. Menurut
perhitunganku, Ki Tambak Wedi pasti akan segera kembali setelah ia menjajagi
kekuatan lawannya.”
“Ya. Dan Kiai
akan ikut serta secara langsung?”
“Ya.”
Sutawijaya
menarik nafas dalam-dalam. Meskipun tidak terucapkan, namun terbaca di
wajahnya, bahwa ia kurang sependapat dengan sikap itu.
“Anak muda ini
sedang dibakar oleh suatu cita-cita,” berkata gembala tua itu di dalam hatinya.
“Ia ingin
melihat Alas Mentaok menjadi suatu kota yang besar. Tetapi ia tidak mengerti
apa yang telah terjadi sebenarnya di atas tanah perdikan ini. Agaknya Angger
Sutawijaya lebih senang melihat keduanya menjadi lemah agar seterusnya tidak
mengganggu perkembangan Mentaok di masa-masa mendatang. Tetapi aku mengharap
pendirian itu akan segera berubah. Keinginannya melihat sebuah kota yang baru
yang dapat menyamai Pajang dan melampaui Pati, terlampau membakar darah
mudanya. Mudah-mudahan keinginan itu akan segera mengendap sehingga ia dapat
melihat masa depannya dengan wajar. Meskipun Sultan Hadiwijaya bukanlah
seseorang yang pantas dianggap mampu mengendalikan suatu pemerintahan negara
yang besar.”
Gembala tua
itu menarik nafas dalam-dalam. Namun tanpa sesadarnya telah melintas di dalam
angan-angannya kenangan tentang dirinya sendiri. Dirinya sendiri bukan sebagai
seorang dukun miskin di dukuh Pakuwon, bukan sebagai seorang pengembara yang
menyusuri jalan-jalan sempit, bukan sebagai seorang guru yang berusaha keras
menurunkan ilmunya sebagai suatu peninggalan dari perguruannya terhadap kedua
muridnya, bukan pula sebagai seorang gembala di atas tanah perdikan yang sedang
dibakar oleh kemelutnya api perselisihan di antara mereka sendiri. Tetapi
dirinya di masa mudanya.
“Hem,” orang
tua itu berdesah. Lamat-lamat ia mendengar suara jauh di dasar hatinya,
“Memang Sultan
Hadiwijaya tidak akan dapat dipertahankan untuk seterusnya. Tetapi tidak pantas
apabila aku tampil lagi di gelanggang pemerintahan dalam keadaan seperti ini.
Aku sudah memutuskan semua jalur-jalur yang menuju ke arah itu, dan aku telah
menempatkan diriku pada tempat yang sekarang ini.”
Gembala tua
itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan tiba-tiba saja ia menengadahkan
wajahnya sambil berkata,
“Hampir pagi.”
Tanpa
sesadarnya kedua orang muridnya pun
mengangkat kepalanya memandangi cahaya yang memerah di Timur. Kemudian
dipandanginya wajah gurunya yang suram. Namun mereka berdua sama sekali tidak
mengucapkan sepatah kata pun.
“Angger Sutawijaya,”
berkata gembala tua itu,
“silahkan
tinggal di sini. Daerah ini cukup sepi dan hampir tidak pernah diinjak orang.
Dekat tempat ini mengalir sebuah sungai yang meskipun kecil, tetapi airnya
bening dan mencukupi kebutuhan.”
Sutawijaya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Baiklah,
Kiai, aku akan tinggal di sini. Aku akan memelihara kambing-kambing itu, karena
aku pun dapat menggembala dan menyabit
rumput. Tetapi sebaiknya Kiai tidak usah menghitung, berapa ekor kambing yang
Kiai tinggalkan, sebab apabila Kiai kembali kelak, jumlah itu pasti sudah
berkurang.”
“Kenapa?”
“Kadang-kadang
kami disentuh pula oleh keinginan untuk memanggangnya,” jawab Sutawijaya sambil
tersenyum.
“Silahkan,
Ngger. Aku tidak berkeberatan.”
“Kebetulan
sekali,” gumam Sutawijaya, yang kemudian berkata kepada kedua kawan-kawannya,
“kita tinggal di sini.”
Sementara itu,
gembala tua itu pun segera minta diri
untuk pergi ke sungai lebih dahulu. Sebelum berangkat ia harus mempersiapkan
dirinya. Gembala tua itu bersama dua orang muridnya, tidak akan dapat
mengirakan berapa lama ia akan tinggal bersama pasukan Argapati. Di sepanjang
jalan ke sungai, gembala tua itu selalu digelisahkan oleh perasaan sendiri.
Apakah yang sebaiknya dikatakan kepada Argapati tentang dirinya. Apakah ia
harus berterus-terang ataukah ia masih harus berselimut sejauh-jauh mungkin.
“Kedua
murid-muridnya itu tidak mengenal aku,” desisnya,
“tetapi
mungkin Argapati dapat menebak, siapakah aku ini. Argapati pasti sudah mengenal
guru, seorang yang bersenjata cambuk. Dan Argapati mungkin akan dapat mengingat
hari-hari itu, semasa aku masih muda. Namun ia pasti belum mengerti, siapakah
aku sebenarnya.”
Keragu-raguan
itu selalu membayanginya selama ia berendam diri di dalam sungai, kemudian
setelah ia berpakaian, menyelesaikan kewajibannya dan kemudian melangkah
kembali ke gubugnya. Di jalan setapak dari sungai itu ia bertemu dengan Gupala
yang dengan bersungut-sungut berkata kepadanya,
“Ubiku menjadi
arang.”
Gembala itu
tersenyum. Jawabnya,
“Masih ada ubi
yang lain.”
“Semuanya
telah aku masukkan ke dalam api.”
“Masih
melekat, pada batangnya. Bukankah kau dapat mencabut lagi?”
Gupala
tertawa. Kemudian ia berlari menghambur ke sungai. Beberapa langkah lagi orang
tua itu bertemu dengan Gupita. Agaknya perhatiannya lain dari adik
seperguruannya. Dengan sungguh-sungguh ia bertanya,
“Sikap
Sutawijaya agak aneh, Guru. Apakah ia ingin melihat Pajang runtuh?”
“Tidak. Tidak
begitu, Gupita. Yang menjadi tujuan Angger Sutawijaya bukan itu. Yang penting
baginya adalah, Mentaok menjadi besar. Kalau Mentaok justru akan menjadi besar
karena Pajang, maka pasti tidak akan ada pertentangan antara Pajang dan
Mentaok.”
Gupita
menundukkan wajahnya. Tampak sesuatu bergolak di dalam hatinya, sehingga
seakan-akan di luar sadamya ia bergumam,
“Akhirnya kita
sampai pada sifat manusia itu sendiri, Guru.”
“Bagaimana?”
bertanya gurunya.
“Mereka selalu
memburu kepentingan diri sendiri. Mereka menempatkan kepentingan sendiri di
atas kepentingan yang lain. Seperti apa yang dilakukan oleh Sultan Hadiwijaya
dengan menyingkirkan Arya Penangsang. Arya Penangsang sendiri dan sekarang
Sutawijaya. Sebelum kemelut api yang membakar tanah ini padam, kita sudah
melihat sepercik api di hutan Mentaok. Di sini telah terjadi geseran
kepentingan, dan kelak di Mentaok akan terjadi pula.”
“Kita belum pantas
untuk mencemaskannya sekarang. Mudah-mudahan hal itu tidak terjadi.”
“Mudah-mudahan,
Guru,” jawab Gupita.
“Tetapi
seperti yang pernah Guru ceriterakan, bahwa api yang membakar seluruh Pajang
dan Jipang sebenarnya adalah percikan api yang menyala di dalam dada
orang-orang yang mementingkan diri sendiri. Kenapa Sultan Hadiwijaya dengan
tergesa-gesa mengambil keputusan untuk menghancurkan Jipang?”
Orang tua itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. “Ya, pamrih pribadi.”
“Bukankah Guru
pernah berceritera tentang dua orang gadis di Gunung Danaraja, yang melayani
Kangjeng Ratu Kalinyamat yang bertapa telanjang dan bertirai rambutnya sendiri
saja.”
“Kau dapat
melihat Gupita, bahwa pergulatan pamrih pribadi dari orang-orang yang kebetulan
memegang kekuasaan, akan berakibat jauh sekali. Yang terlibat bukan sekedar
orang-orang itu sendiri, tetapi mereka akan menyeret setiap orang di dalam
lingkungan kekuasaannya.”
“Seperti yang
kita lihat di Menoreh kini, Guru, bukankah begitu?”
“Ya.”
“Dan kita akan
terseret pula di dalamnya.”
Orang tua itu mengangguk-anggukkan
kepalanya.
“Ya. Kita akan
terjun ke dalamnya. Sudah tentu dengan kepentingan kita juga. Gupala mempunyai
kepentingan atas Tanahnya sendiri, supaya tidak selalu terancam oleh bahaya
yang dapat datang dari Barat, apabila Tanah ini dikuasai Sidanti dan berhasrat
untuk maju ke Timur, melawan Pajang. Dan kau?”
“Aku tidak
mempunyai kepentingan apa-apa.”
Gurunya
mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia tersenyum.
“Gadis itu?
Bukankah kau menjadi hampir gila ketika gadis itu dibawa Sidanti ke Tambak
Wedi? Bukankah kau ingin hidup tenteram tanpa dibayangi lagi oleh hantu yang
setiap saat dapat mengganggu ketenteraman hidup itu kelak sesudah kalian
berkeluarga?”
Gupita
menundukkan kepalanya.
“Aku pun mempunyai pamrih. Meskipun tidak sejelas
Angger Sutawijaya, Sultan Hadiwijaya, dan yang lain lagi. Aku berkepentingan
agar Argapati tidak melepaskan haknya.”
Gupita masih
menundukkan kepalanya.
“Sudahlah.
Pergilah ke sungai dan bersiaplah. Kita akan pergi ke pusat pertahanan Argapati.
Kita akan langsung melibatkan diri kita masing-masing.”
Gupita tidak
menjawab, tetapi ia hanya mengangguk-anggukkan kepalanya saja. Ketika gurunya
kemudian meneruskan langkahnya kembali ke gubugnya, maka Gupita pun berjalan pula ke sungai. Namun kepalanya
masih juga tertunduk dalam-dalam.
Kedua
anak-anak muda itu, setelah selesai bersiap dan berkemas, segera kembali duduk
bersama-sama dengan gurunya, Sutawijaya dan kawan-kawannya. Agaknya gurunya
telah minta diri kepada Sutawijaya untuk segera pergi menemui Argapati seperti
yang telah dijanjikan.
“Aku mengharap
bahwa api di atas bukit ini segera padam, Ngger,” berkata orang tua itu.
“Apabila
mungkin tanpa korban yang berarti. Tetapi menilik sikap-sikap yang mutlak di
kedua belah pihak, agaknya salah satu memang harus menjadi korban.”
“Sudah tentu,
Kiai tidak ingin bahwa tempat Kiai berpihaklah yang akan menjadi korban itu,”
berkata Sutawijaya.
“Sudah tentu,
Ngger. Kalau aku melepaskannya untuk dikorbankan aku tidak akan berpihak
kepadanya. Setidak-tidaknya aku tidak akan mencampurinya. Tetapi aku sudah
berkeputusan. Tanah perdikan ini akan lebih berarti apabila Argapati sendirilah
yang memegangnya. Tentu saja tidak sempurna. Namun adalah jauh lebih baik
daripada apabila Sidanti yang menguasainya. Lebih baik bagi rakyat tanah
perdikan ini sendiri. Lebih baik bagi daerah-daerah tetangganya dan sudah tentu
akan lebih baik bagi Mentaok yang baru akan berkembang.”
Sutawijaya
mengerutkan keningnya.
“Sudah tentu
Mentaok kelak tidak akan sekedar menjadi tanah perdikan. Aku tidak tahu apakah
rencana Sultan Hadiwijaya tentang tahta, karena memang ada Pangeran Benawa di
istana Pajang sekarang. Tetapi seandainya Pajang akan temurun kepada Pangeran
yang lemah hati itu, Angger akan melihat Mentaok menjadi sebuah kadipaten yang
besar.”
Sutawijaya
tidak menyahut. Tetapi ia merenungkan kata-kata orang tua itu. Agaknya ia dapat
mengerti jalan pikirannya, sehingga tanpa sesadarnya ia mengangguk-anggukkan
kepalanya. Sementara itu matahari telah meloncat ke punggung bukit. Sinarnya
yang masih kemerah-merahan terserak-serak di atas pepohonan di hutan-hutan
rindang.
“Aku masih
mempunyai beberapa ontong jagung, Ngger,” berkata gembala tua itu.
“Aku sendiri
dan kedua anak-anak ini tidak biasa makan terlampau pagi. Apabila nanti Angger
memerlukannya, kami persilahkan untuk mempergunakannya. Di belakang dan di
samping rumah ini Angger dapat menemukan batang-batang ubi kayu yang telah
cukup besar meskipun belum masanya. Tetapi satu dua, Angger akan dapat memetik
ubinya.”
“Baiklah, Kiai.
Aku akan tinggal di rumah ini. Selebihnya aku akan mencoba menilai semua
keterangan Kiai. Mudah-mudahain dapat menumbuhkan harapan bagiku dan bagi
Mentaok. Dan mudah-mudahan pula Mentaok benar-benar akan diserahkan.”
Orang tua itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya,
“Kami akan
minta diri, Ngger. Baik-baiklah di tempat ini. Aku menitipkan semua yang ada di
halaman ini.”
“Yang ada
hanya beberapa ekor kambing itu,” Gupala memotong.
“Ya, beberapa
ekor kambing itu,” sambung gembala tua itu.
Sutawijaya mengangguk-anggukkan
kepalanya.
“Baiklah. Aku
usahakan menjaga dan menggembalakannya seperti kalian menggembala. Tetapi
sekali lagi aku minta, jangan kalian hitung jumlah kambing-kambing itu.”
Orang tua itu
tersenyum.
“Aku tidak
pernah mengerti dengan pasti jumlah kambing-kambingku.”
“Sokurlah,”
desis Sutawijaya.
Sejenak
kemudian, maka gembala tua itu pun
segera meninggalkan gubugnya diikuti oleh kedua muridnya. Namun sebelum mereka
berangkat, Gupala sempat mendekati Sutawijaya sambil berkata,
“Juntai kuning
itu sama sekali tidak berarti bagi tuan. Sebaiknya tuan berikan saja kepadaku.”
“He,” jawab
Sutawijaya, “bukankah kau pernah menerimanya dari padaku?”
“Tertinggal di
hulu pedangku.”
“Kalian tidak
membawa senjata?”
“Bukan
pedang.”
“Lalu buat apa
tali ini bagimu?”
“Kalung.”
Sutawijaya
tersenyum. Tetapi dilepasnya juga tali kekuning-kuningan yang berjuntai di
tangkai tombak pendeknya. Sambil menyerahkannya ia berkata,
“Kalau kelak
aku membawanya lagi, aku sudah tidak akan memberikannya kepadamu.”
Gupala
tersenyum. Katanya, “Terima kasih.” Dan di lingkarkannya tali yang berwarna
kuning keemasan itu di lehernya, berjuntai sampai ke lambungnya. Kemudian
ujungnya dikaitkannya pada ikat pinggangnya.
“Kalau aku
Bima, aku akan memakai kalung seekor ulat welang sebesar betis.”
“Kau selalu
mengada-ngada,” desis Gupita.
Gupala
tersenyum, kemudian ia minta diri sambil berkata,
“Tinggallah
Tuan di sini. Kalau suatu hari Tuan menyembelih kambing, jangan yang berwarna
putih mulus.”
Ketika
matahari merambat semakin tinggi, ketiganya telah berada di perjalanan
menyusuri pinggir hutan yang tipis. Mereka harus mencari jalan, agar mereka
tidak menjumpai rintangan apa pun di
perjalanan. Mereka harus menghindari pula kemungkinan, petugas-petugas sandi
yang disebar oleh Sidanti dapat menemuinya, sehingga keadaan akan berkembang ke
arah yang lain dari yang telah mereka perhitungkan. Namun yang masih menjadi
masalah bagi gembala tua itu adalah dirinya sendiri. Sambil menarik nafas
dalam-dalam ia berkata di dalam hatinya,
“Aku akan
berusaha sejauh-jauhnya untuk menyatakan diriku seperti sekarang ini. Entahlah,
apa saja tanggapan Argapati terhadapku nanti. Tetapi Tanah ini harus di
selamatkan. Mudah-mudahan kehadiran kami akan dapat membantu Ki Argapati.”
Dengan
hati-hati mereka melangkah terus. Menyusup dari antara pepohonan yang satu ke
yang lain, menyusur pinggir hutan, dan kemudian lewat di tengah-tengah
pategalan yang tidak digarap. Semakin dekat ketiganya ke pusat pertahanan
Argapati, hati mereka menjadi semakin berdebar-debar. Apalagi Gupita. Ia
merasa, bahwa persoalan yang timbul antara dirinya dan Wrahasta tanpa diketahui
sebab-sebabnya, agaknya akan berkepanjangan.
“Anak muda
yang bertubuh raksasa itu telah mengancam aku,” katanya di dalam hati,
“aku tidak
boleh kembali ke padukuhan itu.” Gupita menarik nafas. Namun kemudian ia
berkata seterusnya di dalam hatinya itu.
“Tetapi aku
tidak dapat tinggal di luar. Aku harus ikut masuk bersama guru dan Adi Gupala.”
Akhirnya
Gupita itu pun membulatkan tekadnya. Apa
pun yang akan terjadi atas dirinya. “Aku sama sekali tidak mempunyai
maksud-maksud yang tidak baik,” katanya pula di dalam hatinya.
“Meskipun
mungkin benar kata guru, bahwa apa yang kita lakukan ini terdorong oleh
pamrih-pamrih pribadi, namun aku tidak akan membuat orang lain mengalami
kesulitan. Justru dalam kepentingan yang bersamaan pula kita bekerja
bersama-sama.”
Yang sama
sekali seakan-akan tidak mempunyai persoalan adalah justru Gupala. Ia melangkah
dengan mantap dan ketetapan di dalam hati. Sidanti harus dihancurkan. Selama
Sidanti masih ada, ia pasti akan selalu mengancam ketenteraman kademangannya.
Dan bahkan mungkin akan mengancam ketenteraman hidup keluarganya. Sekilas-kilas
diingatnya kata-katanya kepada adiknya pada saat ia akan berangkat,
“Aku akan membunuhnya.”
Dan diingatnya pula kata-katanya selagi ia menenteramkan hati adiknya,
“Laki-laki itu
terlampau rendah hati. Ia tidak akan berkata, ‘Aku akan kembali dengan membawa
kepala Sidanti.’ Tidak. Tetapi ia hanya sekedar berkata, ‘Mudah-mudahan aku
akan kembali dengan selamat.’”
Gupala
tersenyum sendiri. Sekarang mereka telah berada dekat sekali dengan medan
pertempuran itu. Apabila Ki Argapati tidak berkeberatan, maka ia akan segera
ikut terjun di dalam peperangan. Anak yang gemuk itu mengangguk-anggukkan
kepalanya. Rasa-rasanya telah rindu melihat dan mengalami benturan senjata.
“Hem, aku
tidak membawa pedang berhulu gading itu,” desahnya di dalam hati,
“aku harus
berkelahi dengan cambuk. Tetapi cambuk ini tidak dapat langsung menyobek dada
lawan dan menumpahkan darahnya. Cambuk ini hanya dapat menumbuhkan luka-luka
kecil dan membuat lawan-lawanku menyeringai menahan sakit. Sejauh-jauh yang
dapat aku lakukan adalah mematahkan tulang lawan, tetapi bagiku sebenarnya
lebih mantap mengayunkan pedang daripada sekedar cambuk kuda.” Gupala
mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun kemudian ia menarik nafas dalam-dalam,
“Itulah ciri
guru. Ia tidak senang membunuh lawannya sekaligus apabila tidak terlampau
mendesak. Dan demikian pulalah watak jenis senjatanya.”
Ketika
matahari telah merambat semakin tinggi, sampai ke ujung pepohonan, maka gembala
tua bersama kedua muridnya sudah menjadi semakin dekat. Kini mereka berada
beberapa puluh langkah saja dari bekas regol yang telah terbakar. Mereka
berjalan membungkuk-bungkuk di antara batang-batang ilalang. Semakin lama
semakin dekat. Dari kejauhan mereka melihat beberapa orang sedang sibuk membuat
regol darurat. Mereka menanam lurus melandingan sebesar betis setinggi regol
yang telah terbakar. Ujungnya diruncingkan dan diikat berjajar tiga lapis.
Kemudian di tengah-tengah diberinya sebuah pintu lereg yang besar dan kuat,
sekuat pintu regol mereka yang telah terbakar.
“Regol darurat
itu tidak akan mudah terbakar semudah regol yang lama,” desis Gupala.
“Ya,
kayu-kayunya kayu basah dan regol itu tidak memakai atap dan dinding papan yang
kering,” sahut Gupita.
Sementara itu
gurunya masih saja merenung memandangi orang-orang yang sedang bekerja dengan
sepenuh hati.
“Apakah kita
akan memasuki padesan itu sekarang?” bertanya Gupala.
Gurunya
berpaling ke arah Gupita, seolah-olah ia minta pertimbangan dari anak muda itu.
Gupita mengangguk-anggukkan kepalanya sambil berdesis,
“Aku tidak
menyebut waktu. Pagi atau siang atau sore.”
“Marilah kita
masuk,” berkata gurunya,
“aku ingin segera
melihat luka Ki Argapati yang sebenarnya.”
Gupita
mengangguk pula.
“Marilah. Aku
kira tidak akan ada kesulitan lagi bagi Guru dan Adi Gupala.”
Gupala
mengerutkan keningnya. “Lalu bagaimana dengan kau sendiri?”
“Mudah-mudahan
anak muda yang bertubuh raksasa itu tidak membuat persoalan lagi.”
Gupala
mengangguk-anggukkan kepalanya, tetapi ia tidak berbicara lagi. Mereka
bertiga pun kemudian berjalan
perlahan-lahan namun dengan penuh kewaspadaan mendekati regol darurat yang
sedang dibuat itu. Semakin lama semakin dekat.
“Mereka telah
melihat kita,” desis gembala tua itu.
“Ya,” sahut
Gupita, “mudah-mudahan bukan Wrahasta yang memimpin pekerjaan itu.”
Sejenak
kemudian mereka melihat lima orang keluar dari regol yang sedang mereka buat,
berjalan menyongsong ketiga orang gembala itu.
“Siapakah
kalian?” bertanya salah seorang dari kelima orang itu ketika mereka menjadi
semakin dekat.
Gupita-lah
yang melangkah maju sambil menjawab,
“Aku Gupita.
Aku yang kemarin telah datang ke padukuhan ini.”
“Oh,” sahut
orang itu,
“kaukah yang
berusaha mengobati Ki Argapati?”
“Ya, ayahku
inilah.”
Pengawal itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Diamat-amatinya ketiga orang gembala itu
berganti-ganti. Kemudian kepada salah seorang dari mereka ia berkata,
“Sampaikan
kepada Ki Samekta, bahwa dukun itu telah datang.”
Ketika orang
itu melangkah ke regol yang sedang mereka buat itu, orang yang pertama berkata,
“Kita menunggu
di sini.”
Gembala tua
itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia mengerti, kenapa para pengawal menjadi
sangat berhati-hati. Bagi para pengawal Tanah Perdikan Menoreh, keadaan memang
terasa terlampau gawat, sehingga setiap persoalan harus ditanggapinya dengan
sangat berhati-hati. Sejenak kemudian, mereka melihat seseorang keluar dari
padukuhan itu diantar oleh pengawal yang tadi memberitahukan kehadiran gembala
tua itu beserta kedua anak-anak muridnya. Orang itu ternyata adalah Samekta.
“Itulah, Ki
Samekta telah datang.”
Gembala tua
itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun masih saja digelisahkan tentang
dirinya sendiri apabila nanti ia harus bertemu dengan Argapati.
“Kalau tidak
hari ini, juga besok atau lusa aku akan bertemu. Sudah tentu aku tidak akan
menunggunya sampai Argapati mati, baik oleh lukanya maupun di dalam
peperangan,” berkata gembala tua itu di dalam hatinya.
Samekta yang
menjadi semakin dekat itu pun
menganggukkan kepalanya. Sementara itu gembala tua itu pun mengangguk hormat.
“Ternyata Kiai
benar-benar datang hari ini,” berkata Samekta.
“Kami memang
mengharap sekali kedatanganmu. Sebelum kau melihat lukanya, kau telah mampu
mengobatinya, apalagi apabila kau melihat sendiri luka itu.”
“Mudah-mudahan,”
jawab gembala tua itu sambil membungkukkan punggungnya,
“aku akan
sekedar berusaha. Mudah-mudahan usaha itu dapat berhasil.”
“Marilah,
Kiai. Aku kira Ki Argapati pun telah menunggu pula.”
“Terima
kasih.”
“Anakmu yang
seorang itu telah aku kenal. Karena itu, kedatanganmu tidak perlu melampaui
pemeriksaan yang sulit.”
“Terima kasih.
Adalah menjadi pekerjaanku untuk mengobati setiap luka. Luka siapa pun juga
oleh apa pun juga.”
Samekta
mengerutkan keningnya. Namun kemudian dianggukkannya kepalanya sambil berkata,
“Ya. Ya.
Adalah menjadi kewajiban seorang dukun untuk mengobati orang-orang yang
terluka. Marilah.”
Gembala tua
itu pun kemudian melangkah mengikuti Samekta.
Di belakang, kedua anaknya berjalan dengan kepala menunduk. Di belakang
keduanya, para pengawal melangkah dengan tegapnya, mengikuti iring-iringan
kecil itu. Ketika mereka menjadi semakin dekat dengan regol yang sedang
dikerjakan itu, hati Gupita menjadi berdebar-debar. Seorang anak muda yang
bertubuh raksasa berdiri di tengah jalan sambil bertolak pinggang.
“Orang itukah
dukun yang dikatakan akan mencoba mengobati luka Ki Argapati?” bertanya anak
muda yang bertubuh raksasa itu.
Samekta
menganggukkan kepalanya, “Ya. Inilah orangnya.”
Wrahasta
mengerutkan keningnya. Tetapi sorot matanya serasa membakar jantung Gupita. Ia
merasa bahwa anak muda yang bertubuh raksasa itu selalu mengawasinya.
“Kami akan
membawanya langsung menghadap Ki Gede Menoreh.”
“Apakah kau
sudah yakin Paman Samekta?”
Samekta heran
mendengar pertanyaan itu, justru di hadapan orang yang berkepentingan. Namun
demikian ia menjawab,
“Ya, aku sudah
yakin.”
“Baiklah.
Mudah-mudahan ia berhasil,” gumam Wrahasta.
Samekta
berhenti sejenak. Dipandanginya wajah Wrahasta yang agaknya menjadi acuh tidak
acuh. Namun sejenak kemudian, Samekta
pun meneruskan langkahnya diikuti oleh gembala tua itu, dan kemudian di
belakangnya adalah kedua murid-muridnya.
Ketika Gupita
melangkah tepat di depan Wrahasta, terdengar anak yang bertubuh raksasa itu
menggeram,
“Kau akan
menyesal bahwa kau telah mengabaikan pesanku. Kehadiranmu di sini sama sekali
tidak kami kehendaki.”
Gupita
mengerutkan dahinya. Namun ia tidak menjawab sepatah kata pun. Diayunkannya kakinya
melangkah mengikuti gurunya dan adik seperguruannya. Meskipun demikian,
kata-kata Wrahasta itu terasa sebagai sebuah ancaman baginya.
Gembala tua
itu diantar oleh Samekta langsung menuju ke tempat Ki Argapati. Semakin dekat
dengan rumah yang di tempatinya, hati gembala tua itu menjadi semakin
berdebar-debar. Sejenak kemudian mereka telah memasuki halaman. Sebelum mereka
masuk ke rumah, maka Samekta-lah yang mendahuluinya, menyampaikan berita itu
kepada Ki Gede, bahwa dukun tua beserta anak-anaknya itu telah datang.
Namun ketika
Samekta itu keluar dari rumah itu, ia berkata,
“Sayang, Ki
Argapati sedang tidur. Apakah aku harus membangunkannya?”
“O jangan.
Biarlah Ki Argapati tidur sebanyak-banyaknya. Itu akan sangat bermanfaat bagi
luka-lukanya yang parah.”
“Kalau begitu,
silahkan kalian menunggu di pendapa.”
Ketiga orang
itu pun kemudian dibawa naik ke pendapa.
Bersama Samekta mereka duduk di atas sehelai tikar pandan yang putih. Sambil
menunggu Ki Argapati, maka gembala tua itu bercakap-cakap tentang luka itu
dengan Ki Samekta. Sementara itu pintu yang memisahkan pendapa dan pringgitan
berderit. Kemudian muncullah seorang gadis dengan sepasang pedang di
lambungnya. Tetapi kali ini ia tidak menggenggam hulu pedangnya, atau kendali
seekor kuda yang tegar, atau sebuah busur dan anak panah. Yang kali ini
dipegangnya adalah beberapa buah mangkuk di dalam nampan kayu.
Ternyata gadis
itu tidak hanya sigap mempemainkan sepasang pedangnya, namun ia pandai juga
melayani tamu dengan menghidangkan minum dan makanan.
Gupala yang
berpaling ketika ia mendengar pintu bergerit, memandang gadis itu dengan tanpa
berkedip. Bahkan dengan mulut ternganga ia mengikuti segala gerak-geriknya.
Langkahnya, kemudian dengan hati-hati berjongkok untuk meletakkan mangkuk itu
satu demi satu. Kemudian surut selangkah, berdiri perlahan-lahan dan akhirnya
hilang kembali di balik pintu. Demikian gadis itu hilang ditelan pintu, maka
Gupala pun menarik nafas dalam-dalam.
Gadis itu sangat berkesan di hatinya. Langkahnya lembut sebagai seorang gadis
dengan nampan kayu di tangan. Tetapi agaknya cukup meyakinkan di medan
peperangan. Tanpa sesadarnya Gupala berpaling memandang wajah Gupita. Anak muda
yang gemuk itu mengumpat-umpat di dalam hatinya ketika ia melihat Gupita
tersenyum kepadanya.
Ketika
kemudian Samekta sedang asyik bercakap-cakap dengan gurunya, Gupala bergeser
mendekati Gupita. Dengan berbisik-bisik ia bertanya,
“He, itukah
gadis yang kau katakan bertempur melawan Ki Peda Sura?”
Gupita
menggeleng. “Bukan.”
Gupala
mengerutkan keningnya. Kemudian katanya perlahan-lahan hampir berdesis,
“Bukankah
gadis itu puteri Kepala Tanah Perdikan Menoreh yang bernama Pandan Wangi?”
Sekali lagi
Gupita menggelengkan kepalanya. “Bukan.”
Gupala menarik
nafas dalam-dalam. Dan tiba-tiba ia berkata,
“Gadis itu
membawa sepasang pedang.”
“Ada beberapa
puluh gadis di Tanah Perdikan ini yang membawa sepasang pedang, karena Pandan
Wangi memang membuat sepasukan pengawal yang terdiri dari gadis-gadis dan
perempuan-perempuan muda. Semuanya membawa pedang rangkap.”
Gupala
menggigit bibirnya. Tetapi ia tidak berbicara lagi. Meskipun demikian, berbagai
pertanyaan bergelut di hatinya. Namun ketika terlihat olehnya Gupita
tersenyum-senyum, maka ia berbisik,
“Apakah kau
berkata sebenarnya?”
“Tentu, aku
berkata sebenarnya. Kalau kau ingin melihat, nanti aku bawa kau kepada pasukan
berpedang rangkap itu.”
Sekali lagi
Gupala terdiam. Dengan dada yang berdebar-debar ia berharap agar gadis yang
berpedang rangkap itu keluar lagi dari pringgitan. Tetapi daun pintu itu sama
sekali tidak bergerak.
Akhirnya
Gupala menjadi jemu menunggu. Perhatiannya kini ditujukan kepada percakapan
antara gurunya dan Ki Samekta yang agaknya sangat menarik.
“Semalam
agaknya luka itu kambuh kembali,” berkata Samekta.
“Seharusnya Ki
Gede banyak beristirahat,”
“Ya, Ki Gede
menyadarinya. Tetapi keadaan sangat mendesak. Seandainya Ki Gede tidak muncul
malam itu, aku tidak tahu, apa saja yang akan dilakukan oleh Ki Tambak Wedi.”
Gembala tua
itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Nah, kalau
kau mampu menolongnya, tolonglah. Kalau Ki Gede dapat segera sembuh, maka kami
akan tetap berpengharapan untuk dapat merebut tanah ini. Tanpa Ki Gede, kami di
sini tidak akan berarti apa-apa bagi Ki Tambak Wedi, Sidanti, Argajaya, dan Ki
Peda Sura yang pasti akan segera sembuh pula.” Ki Samekta tiba-tiba berhenti
sejenak, lalu tiba-tiba,
“He, bukankah
anakmu itu mampu bertempur melawan Ki Peda Sura bersama Angger Pandan Wangi?”
Gembala tua
itu mengangguk.
“Ya, ia hanya
sekedar membantu. Agaknya Angger Pandan Wangi memang seorang gadis pilih
tanding.”
Samekta
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Angger Pandan
Wangi sudah menceriterakan semuanya. Kita memang tidak dapat menyangsikannya.
Dalam bentrokan karena salah paham antara anakmu yang bernama Gupita itu
melawan Angger Wrahasta, ternyata anakmu cukup berjiwa besar dan menunjukkan
kemampuan yang luar biasa.”
Gembala tua
itu tidak segera menyahut. Dipandanginya wajah Gupita sejenak, kemudian
mengangguk-anggukkan kepalanya sambil berkata,
“Hanya suatu
kebetulan,”
“Tidak. Bukan
suatu kebetulan. Karena anakmu sudah mulai, maka aku akan minta ijin kepadamu,
agar anakmu kau perbolehkan ikut serta di dalam peperangan yang tengah membakar
Tanah Perdikan ini. Hanya satu orang yang dapat kami banggakan di dalam
lingkungan kami. Hanya Angger Pandan Wangi. Lalu siapakah yang harus bertempur
melawan Angger Sidanti, Argajaya dan Ki Peda Sura?”
“Jangan
dinilai terlampau tinggi. Mereka hanya sekedar gembala-gembala yang tidak
berarti. Namun bukan berarti bahwa kami tidak bersedia untuk ikut melibatkan
diri kami, meskipun kami tidak berkepentingan secara langsung.”
Samekta
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Ya, kalian
sama sekali memang tidak berkepentingan, karena aku yakin bahwa kalian memang
bukan orang-orang Menoreh.”
Gembala tua
itu mengerutkan keningnya. Dan ia mendengar Samekta berkata seterusnya,
“Kalau kalian
memang orang-orang Menoreh, maka kalian pasti merasa bahwa kalian akan
berkepentingan langsung untuk ikut serta menyelesaikan masalah ini.”
Sambil
menganggukkan kepalanya orang tua itu berkata,
“Demikianlah.
Namun kami memang sudah terlanjur terlibat di dalamnya.”
Samekta
mengangguk-anggukkan kepalanya pula. Tetapi ia tidak segera berkata sesuatu.
Dilemparkannya tatapan matanya jauh ke seberang halaman, menyentuh panasnya
matahari yang menari-nari di dedaunan. Sejenak kemudian, maka Samekta itu pun berkata,
“Cobalah aku
akan melihat, apakah Ki Gede sudah bangun.”
Sepeninggal
Samekta, gembala tua itu menarik nafas. Kini sudah pasti baginya, bahwa ia dan
kedua muridnya harus terjun di arena. Namun bagaimanakah bentuknya? Apakah
memang sudah sampai saatnya Ki Tambak Wedi mengetahui kehadirannya? Ketiganya
berpaling ketika mereka mendengar pintu berderit. Sesaat kemudian Samekta telah
berdiri di muka pintu itu sambil berkata,
“Ki Gede telah
bangun. Kalian ditunggu di dalam bilik.”
Gembala tua
itu menganggukkan kepalanya.
“Baiklah, kami
akan segera datang.”
Ketiganya
kemudian berdiri dan melangkahkan kakinya meskipun ragu-ragu. Mereka berjalan
di belakang Samekta, memasuki pringgitan, kemudian langsung ke dalam.
“Marilah,
masuklah,” ajak Samekta.
Maka
mereka pun kemudian masuk ke dalam
sebuah bilik. Di dalam bilik itu Ki Argapati berbaring di atas pembaringannya
ditunggui oleh anak gadisnya, Pandan Wangi. Begitu mereka masuk, maka tiba-tiba
tangan Gupala mencengkam lengan Gupita. Meskipun tidak menimbulkan kesan apa
pun, tetapi Gupita berdesis,
“He, sakit.”
“Ayo,
tunjukkanlah kepadaku, di manakah pasukan gadis-gadis berpedang rangkap itu.”
Tetapi Gupita
tidak menjawab. Ia hanya berdesis saja sambil mengibaskan lengannya yang
dicengkam oleh Gupala. Namun Gupala tidak melepaskannya.
“Bukankah kau
bilang bahwa gadis itu bukan Pandan Wangi? Bukankah kau berjanji untuk melihat
pasukan gadis-gadis berpedang rangkap?”
“Ssst,” Gupita
berbisik, “jangan ribut.”
“Tetapi kau
belum menjawab.”
“Baiklah, aku
mengatakan yang sebenarnya. Gadis itulah yang bernama Pandan Wangi.”
Gupala menarik
nafas. Kemudian dilepaskannya tangan Gupita sambil berkata perlahan-lahan,
“Sejak aku
melihat aku sudah pasti, bahwa gadis itulah yang bernama Pandan Wangi.”
“He, jangan
ribut. Lihat, gadis itu selalu memandangmu. Dan lihat, agaknya Ki Argapati akan
berusaha bangkit.”
Gupala
mengerutkan keningnya. Ia melihat Ki Argapati berusaha untuk bangkit dan
bertahan dengan kedua belah tangannya.
“Jangan, Ki
Gede,” gembala tua itu mencoba mencegah.
“Silahkan Ki
Gede berbaring saja.”
“Oh,” Ki Gede
berdesah.
“Maaf. Aku
menerima kalian dengan cara yang barangkali kurang sopan.”
“Tetapi Ki
Gede memang memerlukan berbaring.”
“Ya, sejak
tadi malam lukaku terasa kambuh kembali.”
“Karena itu,
Ki Gede harus banyak beristirahat.”
Ki Argapati
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ia mencoba memiringkan tubuhnya.
Dengan tajamnya diamatinya gembala tua yang masih saja berdiri di samping
Samekta.
“Kaukah ayah
kedua anak-anak muda ini?”
“Ya, Ki Gede.
Akulah.”
“Jadi, Kiai
pulalah yang telah memberi aku obat sampai beberapa kali?”
“Dua kali,”
“Terima kasih,
Kiai. Kedatangan Kiai memang aku harapkan sekali. Mudah-mudahan Kiai bersedia menolong
aku.”
“Aku akan
berusaha. Adalah kuwajibanku untuk menolong siapa saja.”
Ki Argapati
mengangguk-anggukkan kepalanya. Sejenak ia terdiam, namun tampak di wajahnya
bahwa ada sesuatu yang menyangkut di hatinya. Dipandanginya berganti-ganti
gembala tua itu dan kedua murid-muridnya. Katanya kemudian,
“Aku pernah
melihat yang seorang itu di padukuhan ini, sedang yang lain di bawah Pucang
Kembar. Bukankah mereka itu yang kau suruh memberikan obat kepadaku?”
“Ya, Ki Gede.”
Ki Gede
menarik nafas dalam-dalam. Agaknya ia memang menahan sesuatu di dalam dadanya.
Namun akhirnya ia berkata,
“Samekta,
bawalah kedua anak-anak muda itu ke pendapa. Aku ingin berbicara dengan orang
tua ini,”
Samekta
mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak dapat membantah, sehingga karena itu ia
menjawab,
“Baiklah, Ki
Gede.” Kemudian kepada Gupala dan Gupita ia berkata,
“Marilah
Anak-Anak Muda, kita kembali ke pendapa.”
Gupita
menganggukkan kepalanya sambil menjawab,
“Baik, Tuan.”
Kepada Gupala ia berkata, “Marilah.”
Gupala menjadi
kecewa. Ia lebih senang berada di dalam ruang itu meskipun ia harus berdiri
saja sehari penuh. Tetapi ia pun harus
melakukannya, mengikuti Samekta keluar dari ruangan itu.
Sepeninggal
Samekta dan kedua anak-anak muda itu, maka Ki Argapati pun kemudian mempersilahkan gembala tua itu
untuk duduk pada sebuah dingklik kayu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar