Jilid 014 Halaman 2


“Angger Untara. Aku tidak berkeberatan Sangkal Putung menjadi tempat menerima orang-orang Jipang itu, tetapi tidak di induk Kademangan. Aku tidak dapat membayangkan, apakah rakyatku akan dapat menahan luapan perasaannya melihat orang-orang Jipang yang mereka anggap sumber dari segala macam bencana. Karena itu, aku minta agar Angger menerima orang-orang Jipang itu tidak di induk Kademangan ini. Aku menyediakan sabuah desa kecil. Benda, yang barangkali tepat untuk melakukan penerimaan orang-orang Jipang itu.”
Untara mengangguk-anggukkan kepalanya. Sekali ia mengheIa nafas dalam-dalam. Namun ia pun dapat mengerti keberatan Ki Demang Sangkal Putung. Bagaimanapun juga, Ki Demang masih dibayangi oleh kecemasannya menghadapi orang-orang Jipang. Mungkin Ki Demng masih mencemaskannya, apabila orang-orang Jipang itu tiba-tiba mengamuk di induk Kademangan. Karena itu maka segera Untara menjawab,
“Terima kasih Paman Demang. Di mana pun juga, maka pelaksanaan itu dapat dilakukan. Namun aku masih ingin mengajukan parmintaan lain. Aku ingin meminjam satu atau dua buah rumah untuk menampung orang-orang Jipang itu sebelum mereka dibawa ke Pajang.”
Ki Demang mengerutkan keningnya. Kemudian jawabnya,
“Baiklah Ngger. Aku akan menyediakan. Di Benda hanya ada beberapa rumah yang agak besar. Dalam saat-saat penyerahan itu, penduduk Benda akan aku singkirkan ke Kademangan ini lebih dahulu.”
Kembali Untara mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Terima kasih Ki Demang. Kita tinggal menunggu pelaksanaan dari hari penyerahan itu. Mudah-mudahan dapat berjalan dengan lancar dan orang-orang Jipang itu menyadari keadaannya dengan jujur.”

Sejak hari itu maka berita tentang penyerahan orang-orang Jipang itu segera tersebar di seluruh Kademangan. Sebagian besar dari orang-orang Sangkal Putung kecewa mendengar sikap Untara yang menerima orang-orang Jipang itu. Kenapa Untara tidak mengerahkan saja segenap kekuatan di Sangkal Putung untuk menghancur-lumatkan mereka di sarang mereka? Tetapi tidak seorang  pun yang berani mempersoalkannya dengan terang-terangan. Mereka hanya memperbincangkannya di gardu-gardu dan di perempatan-perempatan jalan apabila mereka duduk di sore hari menjelang senja. Apalagi ketika mereka mendengar, bahwa Demng mereka, dan pimpinan laskar Sangkal Putung, Swandaru Geni, telah menyetujuinya pula. Demikianlah dari hari ke hari, rakyat Sangkal Putung menjadi semakin tegang. Mereka masih belum dapat melupakan, bagaimana Sanakeling mendekati induk Kademangan meraka, dan bagaimana orang-orang Jipang itu setiap hari membuat hati mereka menjadi cemas. Sehingga tanpa disengaja, semakin dekat dengan hari penyerahan itu maka setiap anak muda di Sangkal Putung telah mempersiapkan dirinya pula, seperti apabila mereka harus menghadapi sergapan Macan Kepatihan beberapa waktu yang lalu. Hampir setiap anak muda tidak melepaskan pedang dari lambung mereka. Hampir setiap malam gardu-gardu menjadi kian penuh. Dan lima hari itu adalah hari-hari yang tegang. Dalam pada itu Kiai Gringsing telah mendatangi Sumangkar di dalam sarangnya sebagai utusan Untara untuk menjelaskan pelaksanaan daripada penyerahan itu. Sementara itu utusan Untara ke Pajang  pun telah kembali pula ke Sangkal Putung.
“Bagaimana dengan pesanku?” bertanya Untara.
“Telah diterima langsung oleh Ki Ageng Pemanahan,” sahut utusannya.
“Apa perintahnya?”
“Tak ada perintah. Beliau sependapat dengan pesan Ki Untara.”
“Bagus.”
Di malam menjelang hari penyerahan, Sangkal Putung benar-benar menjadi tegang. Untara juga tidak melengahkan diri. Ia masih juga menyiapkan pasukannya di sisi yang berhadapan dengan desa Benda. Bahkan beberapa gardu di ujung desa kecil itu pun telah diisi dengan beberapa prajurit pilihan dan penghubung-penghubung berkuda. Bahkan tanda-tanda bahaya pun telah siap pula, apabila terjadi sesuatu yang tidak diharapkan. Namun anak-anak muda Sangkal Putung-lah yang membuat persiapan yang luar hiasa. Mereka berada di sisi prajurit Pajang yang berada pada garis yang berhadapan dengan desa Benda. Malam itu Untara tampak sibuk pula mengawasi keadaan dibantu oleh Widura, Agung Sedayu, dan beberapa orang lainnya. Hudaya yang masih belum sembuh dari lukanya, tampaknya kurang gairah menghadapi keadaan. Tetapi ia adalah seorang prajurit yang patuh sehingga setelah kejutan perasaannya mereda, maka apa pun yang diperintahkan kepadanya, dilakukannya dengan sebaik-baiknya.
“Jadi kau sengaja menunggu sampai besok?” bertanya Widura kepada Untara.
“Ya. Aku tidak memberitahukannya kepada siapa pun juga kecuali kepada Paman. Kiai Gringsing  pun tidak, apalagi Ki Demang Sangkal Putung dan Agung Sedayu.”
Widura mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ia tersenyum sambil berkata,
“Kau akan membuat sebuah lelucon yang baik Untara.”

Malam menjelang hari yang ditentukan semuanya telah dipersiapkan dengan baik. Besok orang-orang Jipang di bawah pimpinan Sumangkar akan memasuki desa Benda tanpa bersenjata. Mereka akan meletakkan senjata mereka di luar desa itu. dan prajurit Pajang lah kemudian yang akan mengambil senjata-senjata itu. Besok pada tengah hari, tepat ketika matahari mencapai puncaknya, maka beberapa orang dari prajurit Pajang akan memungut senjata-senjata itu dan Untara beserta Widura diikuti oleh beberapa orang prajurit yang lain akan memasuki Benda pula, menerima orang-orang Jipang itu. Seterusnya, orang-orang Jipang akan di tempatkan di rumah-rumah yang telah disediakan di bawah pengawasan yang kuat dari para prajurit Pajang. Mengawasi supaya orang-orang Jipang itu tidak ingkar, tetapi juga mengawasi agar keamanan mereka tidak terganggu. Seterusnya maka orang-orang Jipang itu akan dibawa ke Pajang sebagai tawanan yang akan diadili oleh para penjabat di Pajang. Ternyata malam itu, bukan saja Sangkal Putung yang mengalami ketegangan. Perkemahan Sumangkar  pun dicengkam oleh ketegangan yang memuncak. Beberapa orang menjadi ragu-ragu kembali. Apakah besok, setelah mereka menyerahkan senjata mereka, orang-orang Pajang tidak akan mencincang mereka satu demi satu? Apakah besok benar-benar orang Pajang memegang janjinya, membawa mereka ke Pajang dan mengadili mereka dengan baik menurut ketentuan yang seharusnya berlaku? Apakah mereka kemudian tanpa persoalan tidak saja digantung, di sepanjang jalan-jalan kota dan dipertontonkan kepada rakyat Pajang, sebagai orang-orang yang telah berkhianat terhadap Demak, terhadap keturunan Sultan Trenggana. Dengan sareh dan telaten Sumangkar mencoba memberi mereka beberapa petunjuk hal-hal yang dapat meringankan beban perasaan mereka.
“Kalian harus menyadari, bahwa apa yang telah kalian lakukan selama ini sama sekali tidak akan berarti. Kalian hanyalah merupakan orang-orang yang berputus asa, karena kalian telah kehilangan kemungkinan yang paling lemah sekalipun untuk mendapatkan kemenangan. Kemenangan dalam arti mencapai tujuan. Bukan kemenangan-kemenangan kecil, merampas harta kekayaan di pedesan, mengusir beberapa orang yang mencoba menentang kalian atau perbuatan-perbuatan tak berarti lainnya. Namun yang paling penting, kalian harus menyadari, bahwa apa yang telah kalian lakukan sejak semula adalah salah. Kalian mencoba menentang kekuasaan Demak. Ini tidak benar. Dan ini adalah sumber bencana yang menimpa kalian.”
Beberapa orana menjadi semakin yakin akan kebenaran sikap mereka. Namun beberapa orang masih juga ragu-ragu.
“Ingat,” berkata Sumangkar,
“kalian tidak boleh menyesal atau menyerah karena kalian telah merasa gagal. Maka itu, seterusnya kalian masih tetap merasa bahwa pendirian kalian itu benar. Tidak! Yang harus kalian sadari adalah apa yang kalian lakukan, apa yang kalian cita-citakan, itulah yang salah. Sehingga apabila kalian mendapatkan kemenangan dalam peperangan ini, maka kalian tidak berada di dalam kebenaran dan kalian pun masih harus tetap menyadari, bahwa kalian bersalah. Apalagi dalam keadaan kalian sekarang ini. Apabila kalian menang, maka yang kalian anggap kebenaran adalah kekuasaan kalian. Kekuasaan yang kalian dapatkan dari kemenangan itu. Bukan hakekat dari kebenaran. Sebab kalian telah menumbangkan kekuasaan Demak yang tersalur menurut ketentuan kepada Pajang, sepeninggal saudara-saudaranya.”

Beberapa orang mengangguk-anggukkan kepalanya. Mereka bertambah yakin dan mantap akan keputusan mereka. Setelah sekian lama mereka terjerumus dalam pertentangan yang panjang karena ketamakan mereka akan kekuasaan. Maka seakan-akan kini mereka menemukan jalan kembali, meskipun akibat dari kesalahan itu masih harus dipertanggungjawabkan. Namun mereka akan mendapatkan batas waktu yang tertentu. Mungkin mereka harus melakukan kerja paksa yang keras beberapa tahun lamanya, mungkin mereka akan di sisihkan ke tempat-tempat yang masih harus dibuka. Tetapi keluarga mereka tidak lagi merupakan keluarga buruan yang disirik oleh masyrakat karena suaminya melakukan perlawanan terhadap pemerintahan. Namun masih terasa di dalam perkemahan itu, ketegangan yang seakan-akan hampir meledak. Beberapa orang benar-benar menjadi bimbang. Mereka menyesal, kenapa mereka tidak ikut saja bersama-sama dengan Sanakeling dan Ki Tambak Wedi. Apalagi ketika mereka menyadari bahwa Sumangkar hanyalah seorang juru masak yang malas. Satu dua kali Sumangkar membuat mereka menjadi heran, orang tua itu mampu menangkis serangan gelang-gelang Ki Tambak Wedi. Tetapi apakah itu bukan hanya sekedar kebetulan? Dan apakah cerita tentang Sumangkar yang berhasil mengusir Tambak Wedi tidak hanya sekedar cerita di dalam mimpi Tundun dan Bajang, yang sengaja dibuat-buat untuk meyakinkan mereka. Dalam keragu-raguan itu, tiba-tiba timbullah keinginan mereka untuk membuktikannya. Apakah benar-benar Sumangkar dapat mempertanggungjawabkan mereka nanti, apakah Sumangkar itu hanya sekedar seorang yang hanya mampu membual, atau bahkan Sumangkar adalah orang yang sengaja dipasang oleh orang Pajang di dalam lingkungan mereka. Tiba-tiba dua orang di antara mereka segera memasuki gubug pimpinan yang kini di tempati oleh Sumangkar. Dengan wajah yang bengis salah seorang dari kedua orang itu membentak,
“Sumangkar, sebelum terjadi penyembelihan besar-besaran besok, maka beruntunglah hahwa aku menyadari kesalahan yang kau lakukan. Kau besok akan membawa kami ke dalam neraka yang paling mengerikan. Dan kau pasti akan puas melihat mayat-mayat kami tergantung di pohon-pohon atau bahkan di jalan-jalan dalam kota Pajang. Nah, sekarang kau sebagai sumber dari bencana ini harus bertanggung jawab. Kau harus mengurungkan penyerahan yang akan terjadi besok. Kau harus minta maaf di hadapan kami semua, dan kau pula yang harus mempersatukan kami kembali dengam Kakang Sanakeling, Alap-alap Jalatunda dan bahkan dengan Ki Tambak Wedi.”
Sumangkar memandangi kedua orang itu dengan wajah yang muram. Seperti wajah seora ayah yang melihat kabengalan anak-anaknya. Dengan sareh ia berkata,
“Jangan salah mengerti. Kalau besok terjadi penyembelihan besar-besaran di antara kita, maka akulah orang yang pertama-tama akan disembelih.”
Orang yang lain tertawa terbahak-bahak mendengar jawaban itu. Katanya,
“Sekarang kalimat itu dapat kau ucapkan. Tetapi besok ketika kami telah diikat dan meninggalkan senjata kami, maka kau akan memberi perintah kepada kami satu demi satu untuk maju ke tiang gantungan. Atau untuk menundukkan kepala-kepala kami di atas landasan sepotong kayu atau tunggak pepohonan. Kapak-kapak orang Pajang atau pedang-pedang mereka besok akan menebas leher kami sehingga kepala kami akan terpotong dari tubuh kami.”
“Sebuah gambaran yang mengerikan,” desis Sumangkar.
“Bukankah demikian yang selalu dilakukan oleh orang-orang Pajang? Apakah kau balum pernah mendengar, bagaimana tubuh Plasa Ireng pada saat matinya? Tubuh itu tergores pedang lintang melintang. Hampir tak ada bedanya dengan tubuh yang dicincang-cincang. Dan bukankah kau sendiri yang membawa tubuh Raden Tohpati yang terluka arang kranjang?”
“Kau tahu siapakah yang mencincang Plasa Ireng?”
“Pasti,” sahut salah seorang daripadanya. “Orang Pajang.”
“Namanya?” Bertanya Sumangkar pula.
“Sidanti.”
“Kau tahu, siapakah Sidanti itu?”
Tiba-tiba kedua orang itu terdiam.
“Nah, apakah kalian ingin bersama-sama dengan Sanakeling bergabung dengan Sidanti, supaya kalian menjadi semakin pandai mencincang?”
Kedua orang itu masih terdiam.
“Pertimbangkanlah baik-baik,” berkata Sumangkar,
“kalau kau percaya kepadaku. Aku melihat dengan mata kepala sendiri, orang-orang Pajang memelihara baik-baik orang-orang kita yang terluka di peperangan. Apakah kita sendiri sempat berbuat demikian terhadap kawan-kawan sendiri, apalagi lawan kita?”

Kedua orang itu semakin terdiam. Tetapi mereka masih belum melepaskan keragu-raguan mereka. Namun dengan penuh kesabaran Sumangkar mencoba menjelaskan kalimat demi kalimat. Gambaran demi gambaran, sehingga kedua orang itu pun kemudian menundukkan kepala-kepala mereka sambil bergumam,
“Aku dapat mengerti Kiai, tetapi aku masih tetap dicengkam oleh keraguan itu.”
“Mudah-mudahan aku akan dapat menjadi jaminan. Kalau besok orang-orang Pajang mengingkari janjinya, maka aku akan berbuat apa saja yang dapat aku lakukan.”
Wajah kedua orang itu masih tetap memancarkan keragu-raguannya. Sehingga Sumangkar berkata,
“Mungkin kau curiga kepadaku. Mungkin kau menyangka aku adalah orang Pajang yang menyusup ke dalam Laskar Jipang. Kalau demikian, aku tidak perlu ribut-ribut menyelenggarakan penyerahan. Aku dapat membunuh kalian malam tadi, atau malam nanti dengan memberi kesempatan prajunit Pajang menyergap perkemahan ini. Tetapi itu tidak terjadi.”
Kedua orang Jipang itu masih saja terbungkam. Dan Sumangkar  pun berkata terus seperti orang ayah menasehati anak-anaknya.
“Memang permusuhan selalu menumbuhkan prasangka di kedua belah pihak. Meskipun kedua belah pihak ingin menghentikannya dengan jujur, namun pertimbangan-pertimbangan yang timbul kemudian kadang-kadang amat meragukan. Masing-masing mencurigai pihak yang lain. Malam ini aku kira bukan saja kalian berdua yang menjadi ragu-ragu. Aku kira beberapa orang Pajang  pun menjadi ragu-ragu. Pasti ada di antara mereka yang menyangka bahwa apa yang kita lakukan tidak lebih dari suatu cara untuk memasuki Sangkal Putung dengan cara yang licik. Kita besok pasti akan dijemput dengan pasukan segelar sepapan lengkap dengan segala macam bentuk senjata. Apabila demikian, kalian jangan terkejut. Itu bukanlah sikap yang bermusuhan. Namun itu adalah suatu sikap curiga. Permusuhan yang telah tumbuh ini, tidak akan segera hilang tanpa bekas. Setiap persoalan yang kecil yang timbul di antara kalian dan orang Pajang kelak, pasti segera akan mengungkat kembali permusuhan ini. Kalau ada salah seorang saja dari orang-orang Jipang yang berbuat curang, maka segera kebencian orang Pajang yang akan bertambah. Sebaliknya kalau ada seorang Pajang yang berbuat sewenang-wenang atas kalian, maka kalian pasti akan berkata bahwa orang Pajang telah mengingkari janjinya dan berbuat sewenang-wenang. Sehingga dengan demikian, keinginan-keinginan yang jujur akan tenggelam dalam noda-noda yang kelam. Namun yakinlah, yakinlah pada tujuan yang baik. Yakinlah bahwa kalian telah kembali, bukan saja dalam bentuk duniawi, bukan saja dalam bentuk jasmaniah, tetapi yang penting adalah nilai-nilai rohaniah. Apa pun yang kalian alami secara badaniah, maka apabila kalian hayati dengan kesadaran atas nilai-nilai rohaniah, maka kalian akan menemukan ketenteraman, kalian akan menemukan hiburan dari nilai-nilai rohaniah itu. Sebenarnyalah bahwa dalam bertaubat, kalian akan mendapat pengampunan. Meskipun tangan kalian telah berlumuran darah tetapi pintu pengampunan tertingi tidak pernah akan ditutup apabila kita bersungguh-sungguh mohon kepada Tuhan untuk mendapatkannya. Bersungguh-sungguh, tekad dan perbuatan.”

Kedua prajurit itu semakin tertunduk. Kata-kata itu menyusup ke dalam hati mereka, sehingga mereka menjadi yakin atas tujuan penyerahan mereka besok. Salah seorang dari kedua prajurit itu mengangguk-anggukkan kepalanya sambil bergumam,
“Terima kasih Kiai.” Dan di dalam hatinya ia berkata,
“Alangkah benarnya kata-kata Kiai Sumangkar. Apa yang akan aku alami secara badaniah pasti tidak akan banyak berarti dibandingkan dengan nilai-nilai rohaniahnya.”
Ketika kedua orang itu kemudian kembali ke gubugnya, gubug yang hanya tinggal semalam itu didiami, mereka segera tidur mendekur. Mereka sudah tidak menjadi gelisah lagi, karena keragu-raguan mereka, sebab mereka telah menemukan hakekat dari penyerahan mereka kepada orang-orang Pajang. Bukan secara badaniah, tetapi secara rohaniah, mereka menyongsong suatu kehidupan baru. Hati mereka yang pepat kelam, kini seakan-akan telah terbuka. Dari celah-celahnya seakan-akan mereka berdua dapat melihat, apa yang telah pernah terjadi dan apa yang akan dilakukannya. Sumangkar sendiri kemudian mencoba berbaring di pembaringannya. Tetapi tidak seperti kedua orang Jipang yang baru datang kepadanya, yang segera dapat tidur mendekur karena perasaannya telah tidak terganggu lagi oleh berbagai kegelisahan. Tetapi Sumangkar adalah orang yang bertangguhg jawab akan terselenggaranya penyerahan besok. Meskipun demikian, apa yang dikatakannya kepada kedua peajurit itu telah sedikit menenteramkan hatinya sendiri pula. Kata-kata dan nasehat itu sebagian telah menjernihkan kesadarannya, sehingga Sumangkar sendiri menjadi semakin yakin akan kebenaran sikapnya. Ketika angin malam manembus lubang-lubang dinding gubugnya, terdengar di kejauhan jerit anjing-anjing liar berebut mangsa. Tiba-tiba tanpa disengaja, kenangannya meluncur kepada Sanakeling, Alap-alap Jalatunda dan kawan-kawannya. Sumangkar menarik nafas dalam-dalam sambil bergumam lirih,
“Kasihan Sanakeling. Seperti anjing-anjing liar itu, mereka bersama-sama berangkat dari satu sarang, bersama-sama mengejar mangsanya, bersama-sama menyerang dan membinasakan. Tetapi kemudian mereka saling membunuh di antara sesama apabila mereka sudah berebut hasil buruannya itu.”
Dan suara anjing-anjing liar itu semakin lama menjadi semakin riuh, sehingga Sumangkar menjadi semakin tidak mungkin lagi dapat memejamkan matanya. Orang tua itu pun kemudian bangkit dari pembaringannya, berjalan ke luar dan mengitari halaman. Ia masih melihat beberapa orang prajurit berjaga-jaga untuk yang terakhir kalinya di sudut-sudut perkemahan.
Sekali-sekali Sumangkar mendekati mereka sambil berkata,
“Besok kau akan bebas dari pekerjaan semacam ini.”
Orang itu menganggukkan kepalanya. Perlahan-lahan mereka menjawab,
“Kiai, rasa-rasanya kami akan memasuki sebuah goa yang maha gelap.”
“Kenapa?” bertanya Sumangkar.
“Kami tidak tahu, apa yang berada di dalamnya. Apakah kami akan sampai ke dalam istana yang indah ataukah kami akan terjerumus ke dalam neraka yang paling laknat.”

Sumangkar mengangguk-angukkan kepalanya. Ia dapat mengerti sepenuhnya kata-kata itu. Bahkan secara jujur hatinya sendiri kadang-kadang berkata demikian juga. Tetapi ia percaya kepada Untara, percaya kepada Kiai Gringsing dan percaya kepada kewibawaan Widura atas anak buahnya, sehingga besok tidak akan terjadi hal-hal yang dapat mengganggu pelaksanaan penyerahan yang menjadi tanggung jawabnya. Sebaliknya ia mengharap bahwa orang-orang Jipang sendiri akan dapat membantu terlaksananya penyerahan itu dengan sebaik-baiknya. Akhirnya Sumangkar itu pun menjawab,
“Jangan ragu-ragu Ngger. Mudah-mudahan pilihan kita ini benar. Telah sekian lama kita terjerumus dalam kesalahan.”
“Tetapi ketika kita sedang mulai, bukankah Kiai turut pula beserta kita?”
“Karena itulah, maka marilah kita mengucap sukur Ngger. Mengucap sukur bahwa akal kita dapat berkembang. Seperti anak-anak yang dengan serta merta menggenggam bara, maka kemudian anak-anak itu dapat mengerti bahwa ternyata ia telah berbuat suatu kesalahan. Demikian pula aku Ngger. Mudah-mudahan demikian pula kalian menemukannya seperti aku menemukan kesadaran itu.”
Para penjaga itu pun mengangguk-angukkan kepala mereka. Dan Sumangkar  pun kemudian berjalan meninggalkan orang itu, berjalan dari satu sudut ke sudut yang lain, sehingga kemudian ia menjadi penat. Akhirnya ia berbaring tidak di dalam gubugnya, tetapi di samping gardu di ujung halaman perkemahannya. Sesaat kemudian angin yang silir telah membelainya, seperti tangan seorang ibu membelai anaknya tersayang. Sumangkar yang tua itu kemudian tertidur dengan nyenyaknya. Besok ia akan melakukan kewajiban yang berat dan berbahaya.

Ketika ayam jantan berkokok di pagi-pagi buta, orang-orang di Sangkal Putung telah menjadi sibuk. Beberapa orang bergegas-gegas pergi ke kademangan. Seakan-akan pergi mengungsi. Mereka cemas mendengar banyak desas-desus yang bersimpang-siur, seolah-olah orang-orang Jipang yang ingin menyerahkan diri itu hanya sekedar suatu cara untuk mengelabuhi kesiap-siagaan orang-orang Sangkal Putung. Anak-anak muda Sangkal Putung telah siap menyandang senjata masing-masing, sedang para prajurit Pajang  pun telah bersiaga sepenuhnya. Hari ini adalah hari yang sangat tegang bagi Sangkal Putung. Seperti hari-hari di mana Tohpati akan datang menyergap kampung halaman mereka.
“Seandainya orang-orang Jipang itu benar-benar menyerah sekalipun, siapa yang harus memberi mereka makan? Kami juga, orang-orang Sangkal Putung,” gerutu salah seorang anak muda Sangkal Putung.
Tetapi ia terkejut ketika didengarnya jawaban sareh.
“Memberi makan mereka adalah jauh lebih baik daripada kampung halaman ini dijarah-rayah. Lumbung-lumbung padi dibakar dan rumah-rumah dijadikan karang abang. Bukankah begitu?”
Ketika anak-anak muda itu berpaling dilihatnya Agung Sedayu berdiri di belakang mereka. Dengan serta merta mereka segera mengangguk sambil membetulkan kata-katanya.
“Ya. Ya Tuan. Memang lebih baik demikian. Lumbung-lumbung padi kami agaknya masih cukup sampai musim menuai yang akan datang.”
Agung Sedayu tersenyum. Katanya,
“Bukankah dengan penyelesaian yang bagaimanapun bentuknya asal tidak mengorbankan hak-hak sendiri, jauh lebih baik daripada harus bertempur dan berjaga-jaga setiap hari? Sawah-sawah yang bera selama ini karena gangguan keamanan segera dapat ditanami. Saluran-saluran air dapat segera diperbaiki. Bukan begitu?”
“Ya, ya tentu Tuan. Tentu,” sahut mereka tergagap.
Sekali lagi Agung Sedayu tersenyum sambil berjalan ke dalam halaman banjar desa. Namun sepeninggal Agung Sedayu anak-anak muda sangkal putung itu memberengut sambil berkata,
“Anak itu bukan anak Sangkal Putung.”
“Aku membenarkan kata-katanya.”
Tetapi seorang yang lebih dewasa daripada anak-anak itu berkata,
“Aku membenarkan kata-katanya.”
Anak-anak muda itu memandangi kawannya sambil bertanya,
“Kenapa kau membenarkannya?”
“Apakah kau tahu yang dikatakan oleh Agung Sedayu?” bertanya kawannya yang yang lebih dewasa berpikir itu.
“Tentu.”
“Coba katakan maksud kata-katanya.”
“Bukankah ia mengatakan bahwa lumbung-lumbung kami masih penuh dengan padi dan sawah-sawah kami masih dapat ditanami? Tetapi apakah kami tidak memerlukannya sendiri? Berapa banyak beras yang sudah kami berikan kepada orang-orang Pajang yang berada di sini, sekarang ditambah lagi dengan orang-orang Jipang yang selama ini membuat bencana di kampung halaman kami.”
Kawannya itu tertawa. Katanya,
“Ternyata kau tidak mendengarkannya, tetapi kau sudah tergesa-gesa mengangguk dalam-dalam sambil membenarkan kata-kata Agung Sedayu itu.”
“Kenapa?” bertanya anak muda itu sambil tersipu-sipu.
“Dengarkan, aku akan mencoba mengulangi,” berkata kawannya.
“Agung Sedayu itu berkata bahwa lebih baik memberi makan orang-orang Jipang itu daripada tidak sempat menanami sawah dan ladang. Bukankah sawah-sawah dan ladang kita banyak yang bera tidak dapat ditanami karena kita ketakutan? Sawah-sawah kita yang jauh dari induk desa ini dan ladang-ladang kita di ujung-ujung desa terpencil? Saluran-saluran air menjadi kering, karena kita tidak sempat memperbaikinya. Nah, kalau kita sudah tidak berkelahi lagi, maka semua itu akan dapat kita lakukan dengan baik. Hasilnya, dibandingkan dengan beras yang akan kita berikan untuk memberi orang-orang Jipang itu makan, masih cukup banyak. Bukankah begitu?”
Anak muda itu merenung. Sekali-sekali mengangguk-angguk, namun kemudian ia tidak mau kalah.
“Tetapi berapa nilai dari kawan-kawan kami yang terbunuh di peperangan?”
“Itu adalah banten. Tawur bagi kesejahteraan kampung halaman.”

Anak muda itu terdiam. Kawan-kawannya yang lain pun terdiam pula. Ada sedikit pengertian di otaknya, namun hatinya tetap meronta. Sehingga sulitlah bagi anak muda itu untuk mendamaikan hati dan otaknya sendiri. Tetapi mereka tidak bercakap-cakap lagi. Semakin pagi semakin banyak anak-anak muda yang berdatangan di banjar desa. Mereka telah bersiaga sepenuhnya menghadapi setiap kemungkinan. Prajurit-prajurit Pajang  pun telah bersiaga pula. Mereka benar-benar dalam kesiap-siagaan tertinggi. Bahkan Widura telah memerintahkan untuk menyiapkan rontek di Banjar desa. Umbul-umbul dan panji-panji  pun dipersiapkannya pula. Pusat pimpinan prajurit Pajang kini dengan serta merta telah berpindah dari kademangan ke banjar desa. Ki Demang sendiri tidak mengerti kenapa demikian. Kenapa tiba-tiba rontek dan segala macam tanda kebesaran telah dipasang di banjar desa. Bahkan kemudian Widura memberikan perintah kepada prajuritnya untuk bersiap di alun-alun di hadapan banjar desa itu, tidak di halaman banjar desa. Beberapa orang menjadi heran. Kenapa halaman banjar desa itu sengaja dikosongkan? Juga anak-anak muda Sangkal Putung diminta untuk berkumpul di luar halaman Banjar desa.
“Kenapa kita harus keluar dari banjar desa?” bertanya salah seorang kepada sesama mereka.
Kawannya menggelengkan kepalanya.
“Entahlah.”
“Bukankah banjar desa itu kita punya?”
“Ya. Tetapi Ki Demang sendiri tidak berbuat apa-apa. Swandaru  pun berdiam diri saja.”
Mereka pun terdiam pula. Tetapi pertanyaan itu melingkar-lingkar di kepalanya.
Apalagi ketika kemudian mereka melihat beberapa prajurit Pajang berkuda, berpacu sepanjang jalan kademangan mereka seperti mengejar hantu. Anak-anak muda itu menjadi semakin heran. Ketika matahari telah menjenguk dari punggung bukit, maka Kademangan Sangkal Putung itu pun menjadi cerah. Ujung-ujung rontek, umbul-umbul dan panji-panji seakan-akan menjadi kian cemerlang dipanasi oleh sinar matahari pagi. Dalam belaian angin yang lembut panji-panji dan umbul-umbul itu bergetar perlahan-lahan, seperti anak-anak yang melambaikan tangannya menyambut kedatangan ibunya. Banjar Desa Sangkal Putung, pagi itu benar-benar memancarkan kesegaran dan kebesaran meskipun terbatas dalam kademangan yang kecil namun subur dan makmur itu. Bahkan kemudian beberapa orang bertanya-tanya,
“Apakah di sini nanti Untara akan menerima orang-orang Jipang di Benda tengah hari nanti?”
“Tidak,” jawab yang lain.
“Ki Demang telah menentukan, bahwa Untara akan menerima orang-orang Jipang di Benda, tengah hari nanti.”
“Lalu untuk apa banjar desa di rengga-rengga dengan segala macam rontek dan umbul-umbul?”
Kawannya mengeleng. Perlahan-lahan ia menggeser mendekati seorang prajurit Pajang yang berdiri di alun-alun itu pula.
“Untuk apa rontek dan umbul-umbul bahkan panji-panji itu?”
Prajurit Pajang itu menggelengkan kepalanya sambil menjawab,
“Aku tidak tahu.”
“Apakah itu suatu kehormatan bagi orang-orang Jipang?”
Mata prajurit itu terbelalak, katanya,
“Pasti tidak. Kami sendiri tidak pernah mendapat sambutan dengan tanda-tanda kebesaran itu. Apalagi orang-orang Jipang yang sudah sekarat.”
Anak muda itu menganguk-anggukkan kepalanya. Katanya di dalam hati,
“Prajurit Pajang sendiri agaknya tidak senang melihat penyerahan orang-orang Jipang itu. Mungkin mereka lebih senang membinasakannya di medan-medan peperangan.”

Tetapi ternyata kemudian Untara sendiri tidak dapat merahasiakan teka-teki itu kepada para pemimpin kelompoknya. Beberapa orang dipanggilnya, dan diberitahukan kepada mereka apa yang harus dilakukan. Beberapa orang di antaranya menarik nafas dalam-dalam.
“Oh,” katanya di dalam hati. “Aku sudah berdebar-debar.”
Untara tersenyum melihat sikap beberapa orang pembantu-pembantu Widura itu. Katanya,
“Kalian tidak usah berdebar-debar. Aku ingin mengejutkan Ki Demang Sangkal Putung.”
“Bukan saja Ki Demang,” sahut Hudaya.
“Aku juga terkejut. Tetapi apakah maksud Angger Untara hanya supaya Ki Demang terkejut?”
“Ya.”
“Tidak ada maksud lain?”
“Maksud lain tidak terkandung dalam persoalan yang kau dengar ini.”
Hudaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ia bertanya kembali,
“Ya. Dalam hal tidak diberitahukan, mungkin Angger Untara hanya akan membuatnya terkejut. Tetapi maksud kedatangannya kemari?”
“Tentu,” jawab Untara, “kau telah dapat merabanya sendiri.”
Hudaya menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak berkata apa  pun lagi.
“Beberapa orang telah aku perintahkan untuk menyongsongnya dan membawanya ke banjar desa ini,” berkata Untara pula.
“Menurut ketentuan mereka akan datang pagi-pagi.”
“Mereka berangkat tengah malam,” sela Widura.
“Ya, mereka berangkat tengah malam,” sahut Untara.

Sesaat mereka kemudian terdiam. Beberapa orang masih juga mengangguk-anggukkan kepala mereka. Hari ini akan menjadi hari yang penting bagi Sangkal Putung. Bahkan hari yang tak akan dapat dilupakan oleh anak-anak mudanya. Peristiwa demi peristiwa akan berpuncak di hari ini. Namun apa yang terjadi masih juga menjadi pertanyaan bagi anak-anak muda Sangkal Putung dan bahkan para prajurit Pajang sendiri. Dalam pada itu, lima orang penghubung telah mendapat perintah khusus dari Untara dan Widura untuk menjemput tamu yang akan datang. Tamu yang akan mendapat penyambutan yang khusus, yang akan mengejutkan hati setiap orang di Sangkal Putung dan prajurit-prajurit Pajang di Sangkal Putung pula. Tetapi yang tidak mereka perhitungkan, bahwa pada saat ini, hantu lereng Merapi yang mereka takuti, ternyata membuat perhitungan tersendiri. Ternyata Ki Tambak Wedi mendengar pula bahwa hari ini, Untara akan menerima Sumangkar dengan orang-orangnya yang menyerahkan diri. Sesaat setelah ia mendengar berita itu, beberapa hari yang lalu, orang tua itu tersenyum di dalam hatinya. Dipanggilnya Sidanti dan Sanakeling. Sambil memilin-milin kumisnya ia berkata,
“Nah, apa rencana kalian menghadapi hari yang ditentukan itu?”
Dengan serta-merta Sanakeling menjawab,
“Kita hancurkan Sumangkar dan orang-orangnya.”
Ki Tambak Wedi tertawa. Katanya,
“Jangan terlampau bernafsu hendak memusnahkan kawan-kawan itu sendiri dengan tanganmu. Belum lagi dapat dipastikan kita akan dapat memenangkan pertempuran itu, meskipun sebagian besar dari para pemimpin Jipang berada di sini. Tetapi Sumangkar dan mungkin Kiai Gringsing akan dapat mengganggu rencana ini.”
Sanakeling mengerutkan keningnya. Kemudian dengan tenangnya ia berkata,
“Lalu apa yang sebaiknya kita kerjakan Kiai?”
Ki Tambak Wedi tersenyum. Hidungnya yang melengkung tampak bergerak-gerak. Dijawabnya,
“Kita hancurkan mereka dengan meminjam tangan orang lain.”
Sanakeling mengerutkan keningnya. Gumamnya,
“Bagaimana mungkin?”
Orang tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Dipandanginya muridnya yang bernama Sidanti sambil bertanya,
“Apa rencanamu?”
Sidanti menggeleng,
“Aku belum memikirkannya guru.”
“Alangkah bodohnya kalian,” berkata orang tua itu.
“Kita akan mendapat kesempatan yang baik sekali menghadapi saat penyerahan itu. Penyerahan itu akan terjadi di tengah hari. Kita harus mengingat-ingat saat itu.”
“Ya. Tengah hari. Tetapi bagaimana dengan meminjam tangan orang lain itu?” desak Sanakeling.
Tambak Wedi terdiam sesaat. Kemudian katanya,
“Percayalah bahwa tidak semua orang Pajang sendiri ikhlas menerima penyerahan itu. Sebagian dari mereka pasti masih mendendamnya dan ingin menghancurkan orang-orang Jipang di medan-medan perang tanpa ada persoalan lagi. Mereka pasti ingin melihat orang-orang Jipang itu musnah. Nah, marilah kita pergunakan keadaan itu.”
Sanakeling dan Sidanti mendengarkan setiap kata Ki Tambak Wedi dengan penuh minat.
“Menjelang saat penyerahan itu, kita pengaruhi perasaan yang tersimpan di dalam dada orang-orang Pajang yang mendendam mereka.”
“Bagaimana?” Sanakeling menjadi tidak bersabar.
“Kita membawa beberapa orang prajurit pilihan,” berkata Ki Tambak Wedi lebih lanjut.
“Pada saat orang-orang Pajang dan orang-orang Sangkal Putung menerima orang-orang Jipang yang menyerah, kita menyelusup masuk ke kademangan itu. Kita bakar beberapa rumah penduduk dan beberapa lumbung padi. Kita jarah saja isinya dan kita binasakan setiap orang yang kita jumpai. Nah, bagaimanakah kira-kira sikap orang-orang Pajang dan orang-orang Sangkal Putung terhadap orang-orang Jipang yang menyerah itu yang justru sudah tidak bersenjata?”

Mata Sidanti tiba-tiba menjadi berkilat-kilat. Rencana itu terdengar amat manis di telinganya. Tetapi Sanakeling tidak segera menanggapinya, bahkan tampak kerut-kerut dahinya.
“Bagaimana Sanakeling?” Bertanya Ki Tambak Wedi.
“Dengan demikian,” sahut Sanakeling,
“orang-orang Pajang akan menjadi sangat marah. Kemarahan yang memang telah terpendam di dadanya pasti segera akan meluap, seperti minyak tersentuh api. Mereka tidak akan sempat berpikir, kepada orang-orang Jipang yang mana mereka akan melepaskan kemarahan itu. Dan orang-orang Jipang yang menyerah itulah yang akan memikul akibat dari perbuatan kita.”
“Bukankah sudah aku katakan, bahwa kita telah meminjam tangan orang lain untuk membinasakan para pengkhianat itu.”
Sanakeling menarik nafas dalam-dalam. Orang-orang Jipang itu adalah kawan sepenanggungan pada saat-saat yang lampau. Karena itu meskipun ia sendiri bernafsu untuk menghancurkannya, namun keadaan yang dibayangkan oleh Ki Tambak Wedi benar-benar tidak adil. Orang-orang Jipang yang tidak bersenjata itu akan menjadi lembu bantaian tanpa perlawanan.
Karena Sanakeling tidak segera menjawab, maka kembali Ki Tambak Wedi mengulangi,
“Bagaimana Sanakeling, bukankah dengan demikian kita dapat memusnahkan orang-orang Jipang itu tanpa mengotori tangan kita dengan darahnya.”
Sanakeling menggeleng lemah. Jawabnya sama sekali tidak disangka-sangka oleh Ki Tambak Wedi. Katanya,
“Aku kurang sependapat Kiai.”
Tambak Wedi mengerutkan keningnya, perlahan-lahan ia bertanya,
“Kenapa? Apakah kau belum juga bersedia melepaskan mereka yang jelas telah memusuhinya?”
Sanakeling terdiam kembali. Sesaat ia berpikir. Baru kemudian ia menjawab,
“Betapa dendam membakar jantungku Kiai, tetapi aku tidak dapat melihat bekas kawan-kawanku itu mati disembelih tanpa dapat berbuat sesuatu.”
Wajah Ki Tambak Wedi menjadi semakin berkerut-kerut. Katanya,
“Lalu apa maksudmu sebenarnya?”
“Kiai,” berkata Sanakeling kemudian. Tiba-tiba wajahnya  pun menjadi tegang. Ia telah menemukan suatu cara yang baik untuk membuat keributan di Sangkal Putung. Katanya,
“Kalau kita berbuat sesuatu sesudah penyerahan itu berlangsung, maka kemungkinan yang lain daripada pembantaian besar-besaran adalah sikap yang tenang dan otak yang dingin dari pimpinan orang-orang Pajang itu. Untara dan Widura pasti mampu membuat perhitungan berdasarkan laporan Kiai Gringsing, bahwa apa yang terjadi adalah benar-benar karena sikap pihak lain dari orang-orang Jipang. Sehingga apabila demikian, maka orang-orang Pajang dan Sangkal Putung tidak akan sempat berbuat sesuatu. Tetapi bagaimana kalau keributan itu kita lakukan sebelum penyerahan itu berlangsung?”
“Untara dan Widura akan dapat menilai seperti itu pula Sanakeling,” sahut Ki Tambak Wedi.
“Tetapi orang-orang Jipang belum berkumpul dalam satu penampungan yang langsung ditunggui oleh Untara dan Widura yang mempunyai pengaruh yang cukup besar pada para prajurit Pajang. Kalau prajurit Jipang itu masih belum berada di Sangkal Putung dan apabila kemudian mereka masih menyandang senjata mereka, maka tanggapan orang-orang Pajang dan Sangkal Putung pasti akan berbeda. Mereka tidak melihat kambing-kambing yang sudah tertutup di dalam kandang, tetapi mereka melihat serigala yang buas di luar rumah mereka. Aku mengharap bahwa orang-orang Pajang dan orang-orang Sangkal Putung akan bersikap lain. Kemarahan yang timbul di dalam dada mereka pun akan terungkapkan dalam bentuk yang berbeda. Mudah-mudahan mereka menganggap bahwa apa yang telah dilihat oleh Kiai Gringsing itu hanyalah sebuah tipuan yang licik.”
“Lebih daripada itu Kiai, kau lebih senang melihat kedua belah pihak bertempur di dalam arena. Orang-orang Jipang akan terbunuh sebagai prajurit di medan perang, sedang orang-orang Pajang  pun pasti akan berkurang. Orang-orang yang merasa diingkari itu akan mengamuk dalam keputus-asaan mereka.”

Ki Tambak Wedi menjadi tegang sesaat, tetapi kemudian meledaklah suara tertawanya. Seperti suara hantu yang melihat mayat baru terbujur di pekuburan.
“Bagus. Bagus,” katanya di antara derai tertawanya.
Demikian keras suara tertawa Ki Tambak Wedi sehingga tubuhnya terguncnag-guncang. Sambil menepuk bahu Sanakeling maka orang tua itu berkata,
“Sidanti, kau dapat berguru kepada Sanakeling tentang kelicikan dan akal.”
Sidanti  pun tertawa pula. Ia menjadi semakin bergembira mendengar rencana itu. Maka katanya,
“Keduanya akan bertempur sehingga keduanya akan hancur. Kita akan datang nanti pada saatnya, mendapatkan Sangkal Putung tanpa kesulitan.”
“Kita pasti akan menjumpai kesulitan baru Sidanti,” berkata Ki Tambak Wedi.
“Kesulitan apa Kiai?”
“Mengubur orang-orang Jipang yang berkhianat itu dan dan orang-orang Pajang.”
Kembali mereka bertiga tertawa. Rencana itu benar-benar dapat menggembirakan hati mereka.
“Nah Sanakeling,” bertanya Ki Tambak Wedi kemudian,
“bagaimana rencana selanjutnya?”
“Aku belum berpikir sampai pada pelaksanaannya,” sahut Sanakeling.
Ki Tambak Wedi mengangguk-anggukkan kepalanya. Sejenak ia berpikir dan kemudian berkata,
“Kita harus menemukan saat yang tepat. Kita harus mulai menyerang Sangkal Putung dari arah yang berbeda dengan arah kedatangan para pengkhianat itu. Selagi mereka dalam perjalanan, kita akan membuat keributan. Kita mengharap para prajurit Pajang dan Sangkal Putung marah dan menyangka bahwa penyerahan itu hanyalah sekedar akal licik. Nah, kedatangan orang-orang Jipang yang berkhianat itu akan disambut hangat oleh orang-orang Pajang. Dalam keadaan yang demikian seandainya Untara dan Widura dapat membuat perhitungan yang tepat terhadap keadaan yang sebenarnya, namun akan sangat sulitlah baginya menguasai luapan perasaan anak buahnya.”
“Demikianlah,” sahut Sanakeling.
“Sedang orang-orang Jipang yang akan menyerah itu masih menggenggam senjata mereka masing-masing.”
Kembali mereka tertawa sepuas-puas mereka. Seakan-akan rencana mereka itu telah berlangsung dengan baiknya. Seakan-akan mereka telah melihat mayat orang Jipang dan orang-orang Pajang berserak-serakan tindih menindih di hadapan mereka.
“Kita harus sudah siap sejak pagi-pagi benar di arah yang berlawanan,” berkata Ki Tambak kemudian.
“Tidak usah terlampau banyak. Kita harus dapat menyusup masuk meskipun hanya ke desa-desa kecil, bukan desa induknya. Kalau matahari telah naik seperempat hari, maka kita harus segera mulai.”
“Apakah kita tidak datang dengan seluruh kekuatan guru?” bertanya Sidanti.
“Tidak Sidanti,” sahut Ki Tambak Wedi.
“Kita hanya sekedar membuat kesan bahwa ada serangan dari arah lain sehingga kita pun harus segera dapat menghilang. Kalau tidak, maka akan timbul peperangan segi tiga. Dalam keadaan yang demikian maka Pajang dan Sangkal Putung-lah yang terkuat.
Mendengar penjelasan itu, alis Sidanti berkerut. Sejenak ia diam berpikir. Kemudian katanya dalam nada datar,
“Masih pula terjadi orang-orang Jipang yang berpendirian lain itu menyadari kekeliruannya, tetapi dapat pula terjadi bahwa orang-orang Jipang itu menggabungkan dirinya dengan orang-orang Pajang.”
Ki Tambak Wedi mengerutkan keningnya, tetapi kemudian ia tertawa.
“Kau benar Sidanti. Memang perhitungan ini dapat meleset. Karena itu, kita mengambil jalan yang sebaik-baiknya. Yang kemungkin-kemungkinannya tidak terlampau jelek bagi kita. Seandainya usaha kita itu tidak dihiraukan sekalipun kita tidak akan mengalami kerugian apapun.”
Sanakeling tiba-tiba memotong,
“Mudah-mudahan usaha kita berhasil. Kita mempengaruhi perasaan orang-orang Pajang, kemarahan yang memang masih tersimpan di dalam dada mereka. Kesan yang harus kita buat adalah bahwa Sumangkar ternyata tidak jujur. Ia bersedia menyerahkan diri hanya sebagai suatu usaha untuk membuat orang-orang Pajang lengah.”
“Bagus,” sahut Tambak Wedi.
“Ambil orangmu lima puluh saja. Namun yang paling baik dari semuanya. Pagi-pagi benar kita harus sudah berada di sebelah Timur Sangkal Putung. Mungkin kita harus menyusup seorang demi seorang. Sekelompok dari orang-orangmu, mungkin kau pimpin sendiri Sanakeling, harus menguasai salah sebuah gardu peronda. Kemudian kau harus segera membunyikan tanda bahaya seperti orang-orang Pajang membunyikannya. Sementara itu, kita yang lain, membakar satu dua rumah atau lumbung. Apabila orang-orang Pajang kemudian berdatangan. Secepatnya kita harus melarikan diri. Ke Utara, menerobos sawah yang sempit dan masuk ke dalam desa-desa yang terpencar. Di belakang desa-desa itu kita akan menemukan sebuah tegalan. Jangan sampai terkepung di dalamnya. Kita harus mencapai semak-semak bambu liar di sebelah Utara tegalan itu. Kemudian kita akan bebas dari kejaran mereka.”

Ki Tambak Wedi kini sekali lagi tertawa terbahak-bahak. Sanakeling dan Sindati  pun mengangguk-anggukkan kepala mereka. Rencana itu adalah rencana yang baik, sedang bahayanya tidak terlampau besar. Sementara orang-orang Pajang mengejar mereka, dari arah Barat, Sumangkar membawa orang-orangnya mendekati Pajang. Mudah-mudahan beberapa penjaga dan pengawal dari orang-orang Pajang melihat mereka, kemudian membuat laporan kepada Untara dan Widura, bahwa induk pasukan Jipang datang dari barat. Sanakeling dan Sindati itu pun kemudian tersenyum. Terbayang di dalam rongga mata mereka, pasukan Pajang dan Sangkal Putung yang marah menyongsong orang-orang Jipang itu dengan pedang terhunus, sedang orang-oran Jipang itu pasti akan terkejut dan menyangka orang-orang Pajang mengingkari janji, menerima penyerahan mereka. Namun yang mereka lihat adalah pedang ligan dan ujung-ujung tombak telanjang. Pada malam menjelang hari yang ditentukan, Sanakeling, Sidanti, dan orang-orang Jipang pilihan sebanyak lima puluh orang telah siap untuk melakukan tugas mereka. Tugas yang cukup berat namun yang menurut penilaian mereka tidak begitu berbahaya meskipun seandainya mereka gagal. Orang-orang Jipang itu menjadi semakin berbesar hati ketika Ki Tambak Wedi telah menyatakan diri untuk pergi bersama ke lima puluh orang itu.
“Aku ingin melihat apa yang terjadi,” berkata Tambak Wedi.
“Dan aku harus mengamat-amati kalian apabila kalian bertemu dengan orang yang bernama Kiai Gringsing.”
Sanakeling yang mendengar nama itu disebut-sebut tiba-tiba berkata,
“Kiai, apakah Kiai Gringsing yang melihat perpecahan di antara kita tidak akan menggagalkan rencana ini.”
“Tidak ada waktu baginya untuk membuat penilaian atas peristiwa ini. Meskipun ia mungkin telah menceritakannya kepada Untara dan Widura, namun gambaran mereka pasti tidak akan terlampau jelas menghadapi peristiwa yang tiba-tiba ini.”
Sanakeling tidak bertanya lagi. Namun debar jantungnya terasa menjadi semakin cepat. Waktu yang ditunggu-tunggunya seakan-akan merambat terlampau malas. Sebelum malam terlampau dalam, mereka telah meninggalkan padepokan Ki Tambak Wedi. Berjalan memintas sekelompok demi sekelompok menuju ke Sangkal Putung. Jarak yang mereka tempuh kini tidak sekedar beberapa bulak, tetapi perjalanan mereka memerlukan waktu lebih dari setengah malam. Mereka menuruni lereng Merapi dan secepatnja menuju Sangkal Putung lalu melingkar dari arah Timur. Mereka mengharap, bahwa mereka akan sampai ke tempat tujuan tidak terlampau jauh lewat tengah malam. Setelah beristirahat sejenak, mereka harus mulai menyiapkan diri. Apabila fajar nanti pecah, mereka harus sudah menyusup ke dalam lingkungan Kademangan Sangkal Putung yang kaya raya. Satu dua rumah yang tidak berarti serta lumbung-lumbung kecil telah cukup untuk meluapkan kemarahan orang-orang Pajang dan Sangkal Putung.

Di sepanjang jalan, mereka hampir tidak mempercakapkan sesuatu. Paling depan berjalan Ki Tambak Wedi dengan menengadahkan kapalanya, seakan-akan sibuk menghitung bintang yang bergayutan di langit. Di belakangnya berjalan Sidanti dengan senjata ciri perguruan Tambak Wedi di tangannya. Senjata yang baru diterimanya dari gurunya, sebagai ganti senjatanya yang tertinggal di Sangkal Putung. Meskipun demikian, karena selama ini ia selalu mempergunakan pedang, maka di lambungnya  pun tergantung sebilah pedang panjang. Kini Sidanti telah membiasakan diri bertempur dengan senjata rangkap. Di tangan kanannya sebilah pedang dan tangan kirinya senjata yang mengerikan. Di samping Sidanti, Sanakeling berjalan sambil menundukkan kepalanya. Ia masih mereka-reka apa yang sebaiknya dilakukan apabila orang-orang Jipang yang dianggapnya berkhianat itu telah musnah. Setelah beberapa lama ia tinggal di padepokan Ki Tambak Wedi, terasa bahwa kekuasaan Ki Tambak Wedi atas dirinya, dan atas anak buahnya justru melampaui kekuasaan Tohpati. Apa yang dikatakan harus terjadi, meskipun kadang-kadang orang tua itu mau juga mempertimbangkan pendapatnya, apabila terasa manfaatnya. Tetapi banyak hal-hal yang harus ditelannya saja tanpa mendengar pertimbangannya tentang bermacam-macam persoalan meskipun sampai kini masih terbatas pada persoalan-persoalan kecil. Seakan-akan bagi Ki Tambak Wedi, sudah seharusnya dan sudah semestinya memperlakukan Sanakeling seperti Sidanti. Bahkan dalam beberapa hal Sidanti masih dianggapnya lebih penting dari padanya. Sanakeling menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia masih ingin bertahan dalam keadaannya kini, sampai ia yakin benar-benar apa yang sebaiknya dilakukan. Di belakang Sanakeling berjalan Alap-alap Jalatunda. Alap-alap yang masih terlampau muda untuk kehilangan masa depannya. Masa depan yang masih cukup panjang baginya. Namun masa depan itu seakan-akan telah tertutup rapat oleh kabut yang hitam kelam. Sejak ia terperosok dalam kehidupan petualangan itu, ia sendiri seolah-olah sudah tidak mempunyai gairah untuk hidup dalam keadaan yang lebih baik. Seolah-olah ia sudah mantap hidup dalam dunianya yang kotor seperti sekarang. Namun hal itu disebabkan karena ia sendiri tidak pernah mendengar berita, pemberitahuan atau semacam itu tentang dunia yang lebih baik baginya. Tentang kemungkinan-kemungkinan yang dapat ditempuhnya. Ketika sekali ia mendengar beberapa hal yang cukup menarik perhatiannya, ia tidak sempat mencernakannya. Pertentangan kata-kata antara Sanakeling dan Sumangkar, kemudian kehadiran Ki Tambak Wedi dan Kiai Gringsing, sebenarnya menyentuh hatinya. Tetapi kesempatan yang kecil itu telah dikaburkan oleh perasaan harga diri, kejantanan dan keinginan untuk lepas bebas tanpa ikatan seperti burung alap-alap di udara. Namun seandainya, ya seandainya berita tentang keselamatan rohaniah itu didengarnya berulang kali, maka ia akan dapat menemukannya.

Kini, mereka dalam kelompok-kelompok kecil dari lima sampai sepuluh orang berjalan dalam jarak yang tidak begitu jauh. Mereka semua yang berjumlah lima puluh orang itu berjalan seperti hantu yang menyebarkan bala dan bencana. Mereka mengharap untuk segera bersiap di sebelah Timur Sangkal Putung. Setelah beristirahat sejenak, selagi masih cukup waktu, mereka segera akan memasuki padesan-padesan kecil di bagian Timur kademangan itu. Mereka sudah tentu tidak akan melewati jalan-jalan induk, supaya mereka tidak segera diketahui oleh para peronda. Namun Sanakeling sendiri harus dapat menguasai salah sebuah gardu, untuk kemudian setelah mereka memasuki desa itu, membunyikan tanda bahaya justru sebagai tanda bagi orang-orangnya untuk mulai dengan tugas mereka. Membakar dan membinasakan apa saja yang mereka jumpai. Tugas itu seolah-olah terpateri di dalam setiap kepala orang-orang Jipang itu. Sekali-kali mereka tersenyum sendiri. Mereka sudah membayangkan peristiwa yang mengerikan akan terjadi berikutnya. Tetapi ada pula yang menjadi ragu-ragu. Satu dua di antara mereka, merasa kurang mapan apabila kawan-kawannya yang berbeda pendirian itu akan terbinasakan. Namun mereka tidak dapat berbuat apa-apa. Perjalanan itu sendiri berlangsung tanpa gangguan apapun. Lewat sedikit tengah malam mereka benar-benar telah sampai di sebelah Timur Sangkal Putung dan segera mereka bertebaran di tegalan sambil duduk beristirahat, menunggui saat-saat yang sebaik-baiknya untuk melakukan gerakan. Mereka tidak boleh terlambat, tetapi mereka tidak boleh pula terlampau cepat, agar orang-orang Pajang dan Sangkal Putung tidak sempat dan tidak punya waktu untuk mengurai peristiwa itu dan menemukan jawaban yang tepat tentang keadaan sebenarnya. Di tegalan itu sebagian dari mereka masih juga sempat bertiduran di atas rumput-rumput kering. Mereka sama sekali tidak menghiraukan embun yang membasahi pakaian mereka. Setelah berjalan sekian lama, mereka benar-benar ingin beristirahat. Sisa-sisa malam itu pun merayap perlahan-lahan. Bintang-bintang di langit berkisar dari tempatnya lambat sekali, seperti anak-anak yang malas berjongkok pagi-pagi di halaman. Segan untuk bangkit dan berjalan. Tetapi betapapun lambatnya, akhirnya mereka mendengar di kejauhan ayam jantan berkokok bersahutan. Di ujung Timur segera membayang semburat warna-warna merah.

Ki Tambak Wedi bangkit dan berdiri tegak, bertolak pinggang. Perlahan-lahan ia berkata kepada Sanakeling,
“Hari ini adalah permulaan dari sebuah perjuangan yang berat. Kalau orang-orang Jipang yang berkhianat itu berhasil dihancurkan, maka kita akan langsung berhadapan dengan Pajang untuk seterusnya. Nah, kita harus memperkuat diri. Sidanti sedang menghimpun orang-orang di sekitar padepokan Tambak Wedi. Sebab Tambak Wedi memiliki pengaruh melampaui pengaruh Pajang sendiri di lereng Gunung Merapi.”
Sanakeling tidak menjawab. Tetapi ia pun berdiri pula. Ditatapnya wajah langit di sebelah timur. Kemudian ditebarkan pandangan matanya berkeliling, beredar di antara orang-orangnya yang bertebaran. Timbul pertanyaan di dalam hatinya,
“Manakah yang lebih penting dalam pekerjaan ini. Ki Tambak Wedi berdua dengan Sidanti atau Sanakeling dengan anak buahnya?”
Tetapi dibiarkannya pertanyaan itu tidak berjawab. Ketika warna-warna merah di langit menjadi semakin terang, maka berkatalah Ki Tambak Wedi kepada Sanakeling,
“Saatnya hampir tiba Sanakeling. Siapkan orang-orangmu.”
Sanakeling mengangguk. Kemudian ia berjalan di antara anak buahnya sambil berkata,
“Kita segera melakukan pekerjaan kita. Bersiaplah.”
Dengan malasnya orang-orangnya bangkit. Satu dua segera berdiri sambil membenahi pakaiannya. Menguatkan ikat pinggang mereka, tempat pedang-pedang mereka bergayutan. Namun ada juga satu dua yang masih saja duduk sambil menguap.
“Kembali dalam kelompok-kelompok yang sudah ditentukan,” perintah Sanakeling.
Orang-orang Jipang itu pun segera berkumpul di antara mereka menurut ketentuan yang telah mereka buat. Kelompok-kelompok kecil yang akan segera menyusup ke Sangkal Putung. Tetapi tiba-tiba mereka terkejut ketika di kejauhan terdengar derap beberapa ekor kuda laju seperti anak panah. Semakin lama menjadi semakin dekat. Namun karena sisa-sisa gelap malam. mereka tidak segera melihat siapakah yang berkuda di pagi-pagi buta itu.
Ki tambak Wedi, Sanakeling dan Sidanti serentak menengadahkan wajah mereka. Dengan penuh perhatian mereka mendengarkan derap kuda yang semakin lama menjadi semakin dekat.
“Tidak terlampau banyak,” gumam Ki Tambak Wedi.
“Ya,” sahut Sidanti. “Tidak sampai sepuluh ekor.”
“Lima atau enam,” desis Sanakeling.
Ki tambak Wedi mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Dugaan Sanakeling mendekati kebenaran. Aku menyangka seperti hitungan Sanakeling itu pula.”
Sesaat mereka terdiam. Suara derap itu semakin dekat.
“Siapakah mereka guru?” Bertanya Sidanti.


Halaman 1 2 3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar