Dalam keremangan cahaya obor yang lemah, tampaklah wajah Sumangkar sekan-akan menjadi terang. Perlahan-lahan ketegangan di wajahnya terurai, dan perlahan-lahan pula tampak bibirnya tersenyum. Katanya,
“Selamat malam
Kiai Gringsing. Aku tidak menyangka bahwa Kiai akan datang secepat ini. Tetapi
senjata di tanganmu benar-benar mengejutkan kami. Dalam gelap kami tidak segera
mengenal Kiai, tetapi suara Kiai tidak dapat mengelabui kami lagi.”
Kiai Gringsing
tertawa. Orang itu sebenarnya adalah Kiai Gringsing. Namun Ki Tambak Wedi lah
yang mengumpat,
“Setan tua.
Kenapa kau coba menandingi jenis senjata Tambak Wedi. Betapa saktinya Kiai
Gringsing, namun senjata ciri perguruan Tambak Wedi jauh lebih berpengalaman
mempergunakannya dan jenis senjatanya pun akan jauh lebih bernilai dari
senjata-senjata serupa di seluruh kulit bumi.”
Kiai Gringsing
masih tertawa, dijawabnya,
“Apakah kau
sudah tidak dapat mengenali jenis-jenis senjata perguruanmu sendiri Kiai?
Senjata ini pun adalah senjata ciri kebesaran perguruan Tambak Wedi. Bukan
sekedar senjata buatan pandai besi, apalagi buatan almarhum pande besi Sendang
Gabus. Sama sekali bukan. Apakah kau tidak segera mengenal pamor ujung senjata
ini? Sungguh dahsyat menurut penilaianku sebab senjata Lereng Merapi memang
dahsyat, sedahsyat orangnya.”
“Gila!” seru
Ki Tambak Wedi sekeras petir.
“Jangan
membual. Ayo katakan, kenapa kau di sini?”
“Jangan marah
Kiai” sahut Kiai Gringsing.
“Apakah kau
tidak ingin tahu dari mana aku mendapatkan senjata ini?”
“Tidak,” jawab
Ki Tambak Wedi.
“Aku sudah
tahu, itu pasti senjata Sidanti yang tertinggal di Sangkal Putung.”
Kiai Gringsing
tertawa semakin keras. Kemudian katanya,
“Nah tepat.
Kau belum melupakan senjata ini. Tetapi adalah aneh sekali bahwa senjata ciri
kebesaran suatu perguruan sampai tertinggal di suatu tampat, kenapa Kiai?”
“Jangan banyak
bicara, ayo katakan, apa maumu?”
“Kenapa yang
bertanya kepadaku bukan Adi Sumangkar, atau Angger Sanakeling? Kenapa yang
bertanya justru Ki Tambak Wedi dari perguruan Lereng Merapi? Menurut hematku,
tempat ini adalah perkemahan prajurit Jipang, bukan perkemahan laskar Tambak
Wedi dan Sidanti yang telah memberontak terhadap pimpinannya itu?”
“Tutup
mulutmu!”
“Sulit Kiai.
Aku memang senang berkicau seperti burung yang bebas di dahan-dahan. Tak seorang
pun mampu melarang. Kau juga tidak.”
Tambak Wedi
yang sedang marah itu pun menjadi bertambah marah. Wajahnya yang membara itu
pun bertambah merah. Tetapi Kiai Gringsing berkata terus,
“Ki Tambak
Wedi, bukankah kau sedang sibuk mencari kawan untuk melawan Untara? Di sini kau
menemukan beberapa orang yang dapat kau peralat untuk keperluan itu. Itulah
sebabnya aku datang. Aku adalah utusan Angger Untara, langsung untuk
menyaksikan sendiri siapakah di antara orang-orang Jipang yang menyadari
keadaannya, menyadari masa depannya dan masa depan Demak. Aku adalah utusan
senopati yang mendapat kekuasaan langsung dari Panglima Wira Tamtama di Pajang.
Karena itu maka kata-kata yang aku ucapkan adalah kata-kata Panglima Wira
Tamtama itu sendiri Ki Gede Pemanahan, bahwa Pajang yang akan membuat penilaian
yang seadil-adilnya bagi mereka yang menyadari keadaannya sesuai dengan pesan
terakhir Angger Macan Kepatihan, senopati besar yang selama ini kau banggakan.”
Ki Tambak Wedi
tidak dapat menahan dirinya lagi. Tiba-tiba tangan kanannya bergetar, dan dari
tangan itu meluncurlah sebuah benda langsung mengarah ke dada Kiai Gringsing.
Sepotong besi yang dibentuk seperti sebuah gelang yang besar. Tetapi Kiai
Gringsing itu pun tidak sedang berbicara sambil bermimpi. Ia sudah menduga
bahwa Ki Tambak Wedi akan langsung menyerangnya dengan jenis senjatanya itu.
Karena itu, dengan lincahnya ia merendahkan dirinya menghindari sambaran
gelang-gelang besi itu. Betapa bulu-bulu kuduk orang-orang Jipang itu kemudian
menjadi tegak ketika mereka mendengar bunyi gemerasak dari gelang-gelang besi
yang tidak mengenai sasarannya, tetapi langsung memukul dahan-dahan dan
ranting-ranting kayu. Suaranya seperti arus prahara yang mematahkan
cabang-cabang pepohonan hutan. Tetapi suara gemeresak yang dahsyat sedahsyat
suara prahara itu bagi Ki Tambak Wedi, seolah-olah mengamuk di dalam dadanya
sendiri. Kemarahannya yang meluap-luap serasa telah menghanguskan jantungnya.
Namun ia tidak segera dapat berbuat apa-apa. Bahkan dilihatnya Kiai Gringsing
tertawa sambil berkata,
“Huh,
hampi-hampir dadaku pecah karenanya. Kalau aku memegang senjata ciri perguruan
Kiai Gringsing, maka aku akan menggenggam senjata perguruan Ki Tambak Wedi
sendiri. Aku tidak yakin apakah senjata ini cukup kuat untuk menangkis. Adi Sumangkar
berani melakukannya karena ia yakin akan kekuatan senjatanya. Sebab senjata itu
adalah senjatanya sendiri.”
“Jangan banyak
cakap,” potong Ki Tambak Wedi.
“Aku kira kita
sudah sampai waktunya untuk menyelesaikan persoalan kita yang selama ini terperam
di dalam hati.”
“Aku tidak
berkeberatan,” sahut Kiai Gringsing dengan tenang.
“Adalah
menjadi kewajibanku untuk melayanimu. Memang sebaiknya kau mengurus persoalanmu
sendiri, persoalanmu dengan Kiai Gringsing misalnya, daripada kamu mengurus
soal orang lain. Biarkan Adi Sumangkar dan Angger Sanakeling menyelesaikan
persoalan mereka, sementara itu, marilah kita tinggalkan tempat ini, kita
selesaikan persoalan kita sendiri.”
Keringat
dingin telah mengalir membasahi seluruh tubuh Ki Tambak Wedi yang garang itu.
Betapa ia mengumpat di dalam hatinya. Ternyata sekali lagi Kiai Gringsing telah
menghalang-halanginya. Dengan suara parau penuh kemarahan ia berkata,
“Kiai
Gringsing. Kalau kau ingin membuat perhitungan dengan Ki Tambak Wedi, tunggulah
aku di sisi hutan ini. Setelah aku menyelesaikan urusanku di sini, maka aku
akan segera datang.”
“Apakah
kepentinganmu di sini itu? Kau adalah orang asing di sini, seperti aku. Kalau
kau berhak turut campur di sini, maka aku akan turut campur pula.”
“Setan!” geram
Ki Tambak Wedi,
“Kau selalu
menggangguku.”
“Kau juga
selalu mengganggu orang lain.”
“Sekarang
menjadi jelas bagiku,” berkata Tambak Wedi itu keras-keras,
“Ternyata
Sumangkar dan Kiai Gringsing telah sependapat untuk bersama-sama menjerumuskan
Jipang ke dalam bencana.”
“Jangan
mengigau. Kalau kami, Pajang, benar-benar ingin menghancurkan laskar Jipang,
sekarang adalah saatnya. Aku bisa membawa seluruh kekuatan Pajang itu kemari.
Mengepung kalian dan menumpas kalian habis-habisan.”
Darah
Sanakeling tersirap mendengar kata-kata itu. Benar-benar suatu penghinaan bagi
pasukan Jipang. Bukan saja Sanakeling, tetapi terasa sesuatu berdesir pula di
dalam dada Sumangkar. Namun Kiai Gringsing itu berkata terus,
“Tetapi
penjelasan yang demikian adalah penjelasan yang kurang bijaksana. Korban dari
pihak Pajang pun pasti tidak akan
terhitung lagi, bahkan mungkin separo dari kami tidak akan pernah dapat
meninggalkan hutan ini. Dalam penjelasan yang demikian itu, maka dendam akan
tertanam dalam-dalam di hati kita masing-masing, sehingga setiap saat akan
terungkapkan kembali. Tetapi Ki Gede Pemanahan akan mencoba mencari jalan yang
lebih baik. Kecuali bagi mereka yang membangkang. Mereka akan benar-benar
dihancurkan, hancur dalam arti lahir dan batinnya.”
Tiba-tiba
kata-kata terpotong oleh ledakan hati Sanakeling yang sudah tak tertahankan
lagi. Katanya berteriak,
“Jangan
berkicau seperti orang gila. Jangan kau sangka, kami orang-orang Jipang adalah
kelinci-kelinci yang tidak berdaya. Ayo, kerahkan seluruh prajurit Wira Tamtama
Pajang. Datangkan orang yang bernama Ki Gede Pemanahan, Ki Penjawi, Juru
Martani, Ngabehi Loring Pasar, bahkan Karebet itu sendiri.”
“Tidak Ngger,”
sahut Kiai Gringsing. Nada suaranya masih setenang semula.
“Itu hanyalah
sekedar gambaran yang dahsyat dan mengerikan. Sebaiknya semuanya itu tidak usah
terjadi. Aku hormati pendirian Angger Raden Tohpati dan Adi Sumangkar.”
Yang terdengar
kemudian adalah gemeretak gigi Sanakeling dan geram Ki Tambak Wedi. Namun
mereka berdua masih tegak di tempatnya. Dalam keadaan yang demikian itulah maka
ketegangan menjadi semakin memuncak. Perdebatan itu seolah-olah justru
memperkuat pendirian setiap orang di dalam pasukan yang terbagi itu. Karena itu
maka mereka menjadi semakin kukuh atas pilihan masing-masing. Dalam pada itu
Sumangkar sempat membuat penilaian atas keadaan itu. Seandainya saat ini ia
mulai, maka keadaan Sanakeling sudah sedemikian lemahnya. Ki Tambak Wedi pasti
sudah tidak akan membantu Sanakeling lagi, karena kehadiran Kiai Gringsing.
Namun ketika orang tua itu berpaling, melihat orang-orang Jipang di halaman
gubug itu berdiri dengan tegangnya, maka hatinya berdesir. Ia tidak akan sampai
hati melihat mereka saling berkelahi, saling membunuh setelah mereka sehari
penuh berperang bersama-sama di bawah kibaran satu panji-panji. Karena itu
Sumangkar kini masih saja berdiri dalam keragu-raguan. Tak seorang pun yang
segera dapat mengambil keputusan, apakah yang sebaiknya dilakukan.
Sanakeling pun tidak. Ia adalah seorang
prajurit yang biasa membuat penilaian atas kawan dan lawan. Kali ini pun
demikian pula. Ia menyadari bahwa dengan kehadiran Kiai Gringsing, maka ia
tidak akan segera berhasil menangkap apalagi membinasakan Sumangkar. Dalam pada
itu, Sumangkar ternyata jauh lebih mengendap dari Sanakeling. Mencoba membuat
pemecahan sementara atas persoalan yang dihadapinya. Karena ia tidak sampai
hati melihat benturan di antara mereka yang selama ini telah bersama-sama hidup
dalam satu lingkungan, maka katanya, “Angger Sanakeling. Kalau pendirian kita
sudah tidak dapat bertemu, maka baiklah kita memilih jalan kita masing-masing.
Dengan demikian, kita akan menghindari pertumpahan darah di antara kita.
Seterusnya, biarlah kita serahkan pada perkembangan keadaan. Sanakeling
menggeram mendengar kata-kata Sumangkar itu. Ia mengerti benar maksudnya.
Meskipun dengan demikian ia tidak harus bertempur melawan orang tua itu, namun
hatinya sakit bukan kepalang. Sebenarnya ia ingin menangkap Sumangkar,
menyumbat mulutnya dengan tangkai pedang, dan memukul kepalanya dengan tongkatnya
itu sendiri. Tetapi ia menyadarinya, bahwa hal itu tak akan dapat dilakukannya.
Apalagi setelah setan tua yang menamakan dirinya Kiai Gringsing yang menurut
pengamatan Sanakeling, sikap dan tanggapan Ki Tambak Wedi dan Sumangkar telah
meyakinkannya tentang orang itu, hadir pula di tempat itu.
Karena itu,
sesaat Sanakeling menjadi ragu-ragu. Ki Tambak Wedi pun tidak berkata sesuatu. Hantu Lereng
Merapi itu pun sedang sibuk mempertimbangkan keadaan. Namun kehadiran Kiai
Gringsing benar-benar telah merusak rencananya. Maka satu-satunya kemungkinan
yang saat itu paling baik adalah menerima tawaran Sumangkar. Meskipun hal itu
berarti kekuatan orang-orang Jipang itu kira-kira tinggal separo, namun yang
separo itu masih tetap utuh. Kalau mereka bertempur pada saat itu, maka yang
separo itu pun telah jauh berkurang lagi. Sanakeling yang saat itu merasa
memegang pimpinan atas orang-orang Jipang itu segera berkata lantang memecah
kesenyapan.
“He
orang-orang Jipang yang setia. Kali ini aku terpaksa tidak dapat menangkap dan
membunuh pengkhianat ini. Aku akan memberinya waktu beberapa minggu. Kalau ia
beserta beberapa pengikutnya tidak segera menyadari keadaannya, maka dosanya
akan kami persamakam dengan orang-orang Pajang. Setiap kali kita bertemu, di
mana dan kapan saja, maka mereka pasti akan kami penggal kepala mereka itu.”
Sumangkar
menarik nafas dalam-dalam. Ia menyadari bahwa di samping dendam yang telah ada,
maka Sanakeling pasti akan menyebarkan bibit-bibit dendam yang baru. Dan
bibit-bibit yang demikian itu pasti akan cepat tumbuh dan berkembang. Jauh
lebih cepat dari setiap bibit kebaikan dan kebajikan. Seperti bibit
alang-alang, maka bibit dendam itu segera menjadi rimbun, sedang bibit
kebajikan akan tumbuh dan berkembang sangat lambat seperti pohon anggrek. Namun
apabila keduanya kelak berbunga, maka alangkah indahnya bunga anggrek itu dan
alangkah tidak berharga bunga rumput alang-alang. Setiap orang akan
menghindarinya dan apabila tak ada jalan lain, maka bunga rumput alang-alang
akan terinjak-injak kaki. Tetapi ia tidak mencegah saat itu. Kalau ia
mempergunakan kekerasan maka korbannya akan terlampau banyak. Ia mengharap
bahwa orang-orang yang berpihak kepada Sanakeling pun kelak akan menyadari dirinya, dan datang
kepadanya dengan penyesalan dan kesadaran. Sumangkar kemudian melihat
Sanakeling melangkah dan membungkuk mengambil pedangnya. Sesaat kemudian
dipandanginya para pemimpin Jipang yang lain. Sesaat mereka menjadi ragu-ragu,
namun kemudian terdengar Sanakeling berkata kepada mereka,
“Akulah kini pemimpinmu.
Siapa yang setia pada sumpahnya sebagai seorang prajurit, ikutlah aku. Aku
perintahkan kepadamu sekalian, ikuti aku dan para prajurit yang sadar akan
harga dirinya.”
Sumangkar sama
sekali tidak memotong kata-kata Sanakeling. Dibiarkannya para pemimpin itu
memilih pihak. Namun sesaat mereka masih tetap berdiri di tempat mereka
masing-masing. Sanakeling menggeretakkan giginya melihat keragu-raguan itu.
Dengan kerasnya ia berteriak,
“Ikuti aku!”
Tiba-tiba dari
antara para pemimpin itu terdengar Alap-alap Jalatunda bertanya,
“Ke mana?”
Sanakeling
terdiam sesaat. Ia menjadi bingung ke mana? Ya, kemana ia akan pergi? Tetapi
menurut perhitungannya, memang seharusnya mereka meninggalkan tempat itu.
Tempat itu telah diketahui oleh Kiai Gringsing yang nyata-nyata memihak kepada
Pajang bahkan utusan senapati muda yang bernama Untara. Tampat itu telah
dikenal baik-baik segala sudut-sudutnya oleh Sumangkar yang menurut penilaian
Sanakeling telah berkhianat. Tetapi ke mana? Dalam kebimbangan itu terdengar Ki
Tambak Wedi berkata dengan suara parau penuh kebencian.
“Mari Ngger.
Kita pergi bersama-sama. Padepokan Tambak Wedi akan cukup luas menampung
kalian. Jangan cemas, bahwa kekuatan kalian benkurang. Kekuatan kalian segera
akan pulih kembali setelah Tambak Wedi dan Sidanti berbuat sesuatu.”
Kata-kata
Tambak Wedi yang diucapkan pada saat Sanakeling sedang diliputi oleh
kebimbangan itu, merupakan satu-satunya kemungkinan baginya. Karena itu tanpa
berpikir panjang segera ia menyahut,
“Baik. Aku
akan pergi bersama Kiai.” kemudian kepada para pemimpin Jipang ia berkata,
“Tinggallah
bersama pengkhianat ini siapa yang akan berkhianat.”
Sanakeling itu
kemudian tidak berkata sepatah kata pun lagi. Segera ia melampui tlundak pintu
dan berjalan ke arah Ki Tambak Wedi di antara kedua laskarnya yang terbelah.
Dengan langkah yang tetap ia berjalan seperti seorang senapati yang berangkat
ke medan perang. Ki Tambak Wedi pun
kemudian berjalan pula di samping Sanakeling itu. Sekali-sekali ia berpaling
melihat orang-orang yang akan pergi mengikutinya.
Sesaat para
prajurit itu tidak ada yang bergerak dari tempatnya. Masing-masing dicengkam
oleh perasaan yang sangat aneh. Tiba-tiba terasa betapa beratnya berpisah di
antara mereka setelah bertahun-tahun mereka berada dalam satu lingkungan, dan
setelah sekian lama mereka mengalami nasib yang bersama pula. Ketika mereka
meninggalkan Jipang, masuk ke dalam hutan belukar dan berjalan dari satu tempat
ke tempat yang lain, bertempur, merampok, dan bahkan berbuat seribu macam
kejahatan, mereka seolah-olah merasa bahwa tak akan ada kekuatan satu pun yang
memisahkan mereka kecuali maut. Namun perpisahan itu kini terjadi. Pendirian
mereka ternyata pecah di jalan. Yang pertama-tama bergerak adalah Alap-alap
Jalatunda. Betapa keragu-raguan mencengkam dadanya, namun ia tidak dapat datang
ke Sangkal Putung dan menyerahkan dirinya kepada Agung Sedayu. Meskipun secara
pribadi ia belum pernah mengenal anak muda itu, tetapi pertemuannya yang
pertama di Macanan di sekitar tikungan Randu Alas dan kemudian dalam
pertempuran di sebelah barat Sangkal Putung, telah membentuk dendam yang dalam
di dalam hati Alap-alap yang masih muda, semuda Agung Sedayu itu sendiri.
Kekeliruannya menilai Agung Sedayu telah rmembakar dadanya, sehingga
seakan-akan ia berjanji kepada dirinya sendiri, bahwa pada suatu ketika ia
harus menemukan kekuatan yang akan dapat melampaui kekuatan Agung Sedayu. Tetapi
kepada Sidanti, Alap-alap Jalatunda pun
sama sekali tidak menaruh hormat. Bahkan betapa kebencian menyala di dalam
dadanya, sejak ia mendengar cara Sidanti membunuh Plasa Ireng. Bagaimanapun
juga, terasa kebuasan Sidanti atas Plasa Ireng saat itu seolah-olah telah
menggores kulitnya sendiri. Kini ia harus datang kepada anak muda yang telah
dengan kejamnya membunuh salah seorang kepercayaan prajurit Jipang. Tetapi ia
tidak punya pilihan lain. Kedua-duanya tidak menyenangkan. Kedua-duanya bagi
Alap-alap Jalatunda mempunyai keberatannya masing-masing. Tetapi Sidanti masih
lebih asing lagi baginya. Karena itu, maka dipilihnya berpihak kepada
Sanakeling yang akan membawanya ke padepokan Tambak Wedi. Menurut tangkapan
perasaannya, di sana para prajurit Jipang ini akan bergabung dengan orang-orang
Ki Tambak Wedi, atau semacam laskar yang akan dibentuknya. Tetapi apabila kedua
pasukan itu kemudian digabungkan, siapakah pemimpin tertinggi dari pasukan itu?
Sanakeling atau Sidanti? Menurut penilaian Alap-alap Jalatunda, Sidanti dan
Sanakeling memiliki kekuatan yang seimbang. Keduanya setingkat di bawah Macan
Kepatihan dan hanya sedikit sekali di atas Plasa Ireng. Namun di dalam
lingkungan yang baru itu kemudian ada Ki Tambak Wedi yang langsung turut campur
ke dalam lingkungan kelaskaran. Bukan sekedar seorang juru masak seperti
Sumangkar. Dalam keragu-raguan itu Alap-alap Jalatunda berjalan terus. Namun
langkahnya tidak setetap Sanakeling. Sekali-sekali Alap-alap Jalatunda itu
menundukkan wajahnya, dan sekali-sekali terbayang masa-masa yang pernah
dialaminya, selama ia menjadi prajurit Jipang. Belum lama ia diterima sebagai
wira tamtama khusus dari Jipang. Tiba-tiba Jipang pecah, dan ia harus ikut
serta bersama pasukannya menghilang dari kota, masuk-keluar hutan dan
desa-desa, turun-naik jurang dan lereng-lereng pegunungan. Kini ia akan
terdampar ke lereng Gunung Merapi, ke padepokan Ki Tambak Wedi yang masih asing
baginya. Bekerja bersama dengan seorang anak muda yang bernama Sidanti.
“Hem,”
Alap-alap Jalatunda menarik nafas.
Namun ketika
orang-orang yang masih berdiri termangu-mangu melihat Alap-alap itu berjalan
mengikuti Sanakeling maka mereka yang sejak semula berketetapan hati untuk
tetap dalam petualangan sambil berbangga diri sekedar karena mereka
mempertahankan harga diri menurut penilaian yang sempit, segera mengikutinya.
Beberapa orang pemimpin segera berloncatan sambil berpaling, memandang dengan
penuh kebencian kepada kawan-kawan mereka yang masih tegak di tempatnya. Para
prajurit pun segera melangkah pula di
belakang pemimpin-pemimpin mereka. Beberapa orang prajurit yang mempunyai
simpanan-simpanan berharga di dalam kemah-kemah mereka, segera berloncatan
singgah ke dalam kemah, mengambil yang mereka rasa perlu untuk dibawa. Tetapi
sebagian dari mereka sama sekali tidak lagi menghiraukan beberapa lembar kain
yang tertinggal di dalam kemah-kemah mereka, asal senjata-senjata mereka telah
di tangan. Lembaran-lembaran kain dan baju akan mereka dapatkan di sepanjang
jalan yang akan mereka lalui. Setiap rumah pasti akan membuka pintu lebar-lebar
bagi mereka. Setiap rumah akan menyediakan apa yang mereka perlukan. Makan,
minum bahkan pakaian. Tetapi apa yang mereka sediakan itu sama sekali bukan
karena mereka pendukung-pendukung yang setia dari orang-orang Jipang itu, bukan
mereka serahkan dengan ikhlas, namun karena di hadapan hidung mereka
berkilat-kilat ujung-ujung pedang dan tombak. Tetapi bagi orang-orang yang
sedang berpetualang itu, sama sekali tak ada bedanya. Apakah semunya itu
diserahkan dengan ikhlas, atau tidak, namun apa yang mereka terima akan dapat
mereka pergunakan sebaik-baiknya. Maka sesaat kemudian, orang-orang Jipang itu
seolah-olah mengalir meninggalkan halaman yang kotor dari gubug pimpinan
perkemahan itu. Semakin lama semakin panjang. Di ujung barisan berjalan
Sanakeling dan Ki Tambak Wedi seperti sepasang pahlawan yang sedang diarak
menuju ke medan perang. Kemudian di belakangnya berjalan Alap-alap Jalatunda
yang dikejar-kejar oleh kebimbangan. Kemudian beberapa pemimpin yang lain dan
para prajurit yang merasa dirinya seolah-olah pejuang-pejuang yang segan
berkhianat atas perjuangannya. Tetapi mereka sama sekali tidak berpijak pada
dunia kenyataan yang sedang mereka hadapi serta perkembangan keadaan di sekitar
tempat mereka bersembunyi.
Akhirnya
orang-orang Jipang itu semakin lama menjadi semakin sedikit. Separo dari mereka
telah meninggalkan mereka di tengah-tengah hutan yang gelap pekat. Yang tampak
kemudian hanyalah sinar-sinar obor di kejauhan di antara kepadatan pohon-pohon
raksasa dan gerumbul-gerumbul perdu. Ketika obor-obor itu telah hilang di balik
dedaunan, serta debar jantung setiap orang yang tinggal di tempat itu telah
merada, maka berkatalah Sumangkar kepada orang-orang Jipang yang masih tinggal,
“Tenangkan
hati kalian. Aku dapat merasakan, peristiwa merupakan suatu goncangan yang
dahsyat di dalam setiap dada kalian masing-masing. Baik yang pergi maupun yang
ditinggalkan. Tetapi penilaian kita jelas telah bersimpangan. Karena itu adalah
baik kita berpisah jalan daripada kemudian kita akan menemui
kesulitan-kesulitan yang terus-menerus.”
Sumangkar
terdiam sesaat. Ketika diawasinya setiap wajah para pemimpin yang masih
tinggal, Sumangkar masih melihat keragu-raguan membayang di wajah-wajah
mereka.Tetapi keragu-raguan di dalam setiap dada para pemimpin Jipang itu
adalah wajar. Baru saja mereka terlibat dalam perang gelar yang dahsyat, dengan
korban yang cukup banyak di kedua belah pihak. Apakah mereka akan segera dapat
menghilangkan segala kesan dari permusuhan mereka itu? Apakah benar orang-orang
Pajang tidak mendedamnya dan kemudian mengikat mereka di belakang kereta yang
dipacu secepat angin? Benarkah mereka akan dihadapkan pada suatu penilaian yang
tidak dipengaruhi oleh demdam dan benci? Dalam pada itu terdengar Sumangkar
berkata,
“Marilah kita
mencoba menenteramkan hati kita. Marilah kita tidak berprasangka. Aku mendengar
berita pengampunan itu dari Angger Untara sendiri pada saat Angger Macan
Kepatihan menghembuskan nafas terakhir. Aku harap Kiai Gringsing menjadi saksi
atas kata-kata yang keluar dari mulut senapati Pajang yang dipercaya oleh Ki
Gede Pemanahan, yang justru pesan itu datang dari ki Gede Pemanahan sendiri.”
Namun
Sumangkar masih melihat wajah-wajah yang penuh kebimbangan. Bagaimanapun juga
mereka adalah prajurit-prajurit yang senjata-senjata mereka telah pernah
dibasahi oleh darah orang-orang Pajang. Bagaimanapun juga hati mereka sendiri
selalu berkata kepada mereka, bahwa permusuhan itu pernah terjadi dengan
dahsyatnya. Sumangkar yang merasa tidak segera dapat memberi keyakinan yang
pasti kepada para pemimpin Jipang itu kemudian berkata,
“Malam ini aku
akan pergi ke Sangkal Putung bersama Kiai Gringsing untuk mendapatkan jaminan,
bahwa segala sesuatu akan berlangsung dengan baik.”
Para pemimpin
Jipang dan pada prajurit itu mengangguk-anggukkan kepala mereka. Mereka
sependapat dengan Sumangkar bahwa salah seorang dari mereka harus menemukan jalan
yang datar sebelum semuanya berlangsung, supaya mereka tidak menyesal kelak
apabila ada persoalan-persoalan yang tumbuh tanpa mereka kehendaki.
“Apakah kalian
sependapat?” bertanya Sumangkar.
“Baik Kiai,” sahut
salah seorang dari mereka.
“Kami sependapat,
bahwa Kiai akan mencari jalan yang sebaik-baiknya bagi kami semuanya. Kami
percaya kepada Kiai.”
“Terima
kasih,” berkata Sumangkar dengan dada berdebar-debar. Ia terharu bahwa dalam
saat yang pendek ia berhasil mendapatkan kepercayaan dari orang-orang Jipang
itu. Selama ini sebagian besar dari mereka mengenal Sumangkar tidak lebih dari
seorang juru masak yang tua yang hampir-hampir tidak mampu lagi melakukan
tugasnya, bahkan ada yang menyangkanya sebagai seorang juru masak yang malas.
Namun sebelum
Sumangkar itu berangkat meninggalkan perkemahan itu, maka ia berpesan,
“Tetapi
meskipun kalian mengharap bahwa kalian akan meninggalkan petualangan yang
dipenuhi dengan noda-noda darah dan air mata di antara rakyat yang tidak
berdosa, namun kalian masih berhak untuk mempertahankan diri kalian dalam
saat-saat yang pendek ini. Kalian masih akan menghadapi kemungkinan yang tidak
kalian duga-duga. Sepeninggalku jangan lengah. Isilah setiap gardu-gardu
peronda. Kalian harus mampu menyelamatkan diri menghadapi setiap bahaya.
Apabila bahaya itu sangat besar dan jauh dari kemampuan daya tahan kalian, maka
kalian dapat menyelamatkan diri kalian di antara gelapnya malam. Aku pasti
sudah kembali sebelum fajar.”
Para pemimpin
Jipang yang tinggal itu mengangguk-anggukkan kepala mereka. Mereka merasa bahwa
malam ini justru bahaya dapat datang dari setiap penjuru. Apabila Untara ingkar
janji, apalagi bahwa pernyataannya itu hanya sekedar pancingan saja, maka malam
itu juga, selambat-lambatnya besok pagi-pagi, mereka pasti akan dilanda oleh
arus yang dahsyat dari laskar Pajang. Untara pasti tidak akan menunggu mereka
datang menyerahkan diri, supaya ia mendapat alasan untuk berbuat menurut
seleranya. Tak ada seorang pun yang akan mencoba mencari jawab, atas
sebab-sebab dari kematian seseorang yang sedang berperang. Orang-orang Pajang
dapat membunuh lawannya seperti menebas hutan alang-alang. Tetapi apabila
orang-orang Jipang itu datang menyerah, maka persoalannya akan berbeda. Tanpa
janji pengampunanpun, maka perlakuan atas orang-orang yang sudah menyerah akan
berbeda dari mereka yang ditemukan dalam medan, selagi pedang masih terhunus
dan tali busur masih merentang. Sedang dari sisi lain, mereka masih harus
memperhatikan kemarahan Sanakeling atas mereka. Sanakeling adalah seorang prajurit
yang seakan-akan tidak bekerja dengan otaknya. Ia kurang mampu berpikir dan
memperhitungkan masalah-masalah di luar masalah-masalah keprajuritan. Itulah
sebabnya ia tidak dapat diajak untuk berbicara dalam masalah-masalah yang lain.
Kemungkinan-kemungkinan yang dapat ditempuh. Penyelesaian yang tidak usah
mempergunakan tajam senjata. Persoalan manusia dan kemanusiaan. Ia tidak dapat
mendengar tangis seorang isteri yang kehilangan suaminya di medan peperangan.
Baginya adalah hina bagi seorang prajurit yang tertegun hanya karena tangis
seorang bayi yang terlepas dari pelukan ibunya yang ketakutan mendengar dentang
senjata beradu. Tetapi para prajurit Jipang yang tinggal itu percaya kepada
Sumangkar. Percaya kepada harapan yang dijanjikan. Karena itu, maka mereka akan
melakukan segala perintahnya. Sebelum Sumangkar itu meninggalkan mereka, maka
ia masih memerlukan berpesan kepada orang-orang Jipang itu,
“Peliharalah
jenazah Angger Tohpati sebaik-baiknya. Besok apabila aku telah kembali di
antara kalian, maka akan kita selenggarakan pemakamannya.”
“Baik Kiai,”
jawab salah seorang dari mereka.
“Terima
kasih,” sekali lagi Sumangkar menjadi terharu.
Apabila
kemudian malam bertambah malam, maka Sumangkar dan Kiai Gringsing berjalan
dengan tergesa-gesa meninggalkan perkemahan itu menuju ke Sangkal Putung.
Mereka mengharap bahwa mereka akan segera menemukan cara yang sebaik-baiknya
untuk menyelesaikan masalah orang-orang Jipang yang ingin meninggalkan cara
bidup yang selama ini ditempuhnya.
Pada saat-saat
orang-orang Jipang disibukkan oleh pertentangan pendirian, maka pada saat itu
orang-orang Pajang disibukkan oleh mereka yang terluka di medan pertempuran.
Orang yang terluka itu baik kawan maupun lawan, telah diangkut ke Banjar Desa
Sangkal Putung. Pengawasan atas orang-orang yang luka itu dilakukan oleh Untara
dan Widura sendiri. Mereka melihat wajah-wajah yang dendam pada anak buah
mereka sendiri. Mereka yang kehilangan saudaranya, yang berada bersama-sama
dalam lingkungan keprajuritan Pajang, dan mereka yang merasa, betapa korban
berjatuhan di kalangan sendiri. Orang-orang yang demikian kadang-kadang sering
kehilangan kesabaran dan pengamatan diri, sehingga terhadap lawan yang terluka,
maka mereka akan dapat melakukan hal-hal di luar dugaan para pemimpin laskar
Pajang. Bahkan Hudaya, orang yang sudah cukup mengendap itu pun seakan-akan
telah kehilangan kesadaran diri, menghadapi orang-orang Jipang. Karena itu,
dengan bijaksana Untara telah membawa orang-orang yang demikian itu dahulu ke
Sangkal Putung untuk beristirahat. Tewasnya Citra Gati telah membuat suatu
goncangan yang dahsyat di dalam hati sahabatnya itu, sehingga dendam di dalam
hatinya seakan-akan menyala membakar seluruh nadinya. Bagi Hudaja yang terluka
dan kehilangan sahabat yang paling dekat itu, tidak ada angan-angan lain di
dalam benaknya kecuali membinasakan semua orang Jipang. Karena itulah maka kali
ini Untara dan Widura menjadi sangat prihatin melihat suasana di dalam
pasukannya. Pada pertempuran-pertempuran yang lalu, korban di pihaknya tidak
terlampau berat seperti apa yang baru saja terjadi, sehingga hati anak buahnya
tidak sepanas pada saat itu. Pertempuran gelar yang sempurna dan tata
peperangan yang masing-masing dikendalikan oleh senapati-senapati yang matang,
telah menjadikan pertempuran kali ini menjadi suatu pertempuran yang tak akan
pernah mereka lupakan. Baik oleh orang-orang Jipang, maupun orang-orang Pajang.
Untara dan Widura sendirilah yang kemudian menunggui orang-orang yang terluka
di banjar desa. Di satu gandok tampak orang-orang Pajang terbaring dengan darah
yang memerahi tubuh dan pakaian mereka, sedang di gandok yang lain terbaring
orang-orang Jipang yang masin mungkin ditolong hidupnya, merintih menahan pedih
yang membakar dirinya. Namun terhadap para juru penolong, Untara dan Widura
tidak dapat berbuat banyak. Betapa mereka bekerja demi perikemanusiaan. Namun
menghadapi pihak-pihak yang terluka itu, mereka lebih dahulu memerlukan
menolong kawan mereka sendiri, orang-orang Pajang. Baru kemudian mereka
menjamah tubuh-tubuh yang terbaring sambil menahan pedih dari pihak lawan.
Orang-orang Jipang.
Beberapa
prajurit yang bertugas berjaga-jaga di halaman pendapa memandangi orang-orang
Jipang itu dengan benci. Bahkan ada di antara mereka yang tidak dapat mengerti,
buat apa mereka mencoba mengobati luka-luka orang-orang Jipang itu? Mungkin
salah seorang dari mereka, atau bahkan mungkin semuanya dari mereka itu, telah
membunuh atau melukai orang-orang Pajang. Mungkin mereka itu pulalah yang telah
menembus tubuh-tubuh orang Pajang yang kini terbaring di sisi yang lain itu,
dengan senjata-senjata mereka. Tetapi pemimpin mereka, beserta beberapa orang
yang masih dapat menguasai perasaan mereka, di antara orang-orang Pajang dan
orang-orang Sangkal Putung, masih mencoba berbuat dalam batas-batas
perikemanusiaan. Perang itu sendiri, sebagai suatu cara terakhir untuk
menyelesaikan perbedaan pendirian, tidak boleh terperosok dalam
perbuatan-perbuatan yang menodai perikemanusiaan dalam kemungkinan yang
sejauh-jauhnya dapat dilakukan. Bahkan apabila mungkin perang itu sendiri harus
dihindarkan. Sebab betapa orang yang berhati bening mencoba berbuat
sebaik-baiknya di dalam perang, namun perang sendiri hampir sama artinya dengan
maut, kekerasan dan kebencian serta menaburkan benih dendam di mana-mana. Ketika
mereka, orang-orang Pajang itu sedang sibuk di pendapa banjar desa, maka para
penjaga dikejutkan oleh sebuah bayangan yang berjalan tertatih-tatih mendekati
halaman. Para penjaga di regol halaman yang melihat bayangan itu segera
menyapanya,
“He, siapa?”
“Aku,”
terdengar sebuah jawaban.
Bayangan itu
semakin lama semakin dekat menyusur pinggiran alun-alun di muka banjar desa.
Dan semakin dekat, semakin jelas pulalah bagi para penjaga itu, bahwa bayangan
itu bukanlah bayangan seorang saja, tetapi bayangan itu adalah bayangan seorang
yang sedang memapah orang lain di sisinya.
Sekali lagi terdengar
sapa dari para penjaga,
“Siapa?”
“Agung
Sedayu,” jawab bayangan itu.
“O,” guman
penjaga itu. Namun tiba-tiba ia bertanya pula,
“Siapa yang
terluka?”
Agung Sedayu,
yang datang dengan seorang yang ditemuinya di dalam hutan, tidak dapat
menjawab. Orang yang dipapahnya itu setelah mendapat seteguk air, meskipun air
dari sebuah parit, menjadi agak segar dan mampu berjalan sambil bergantung
pundak Agung Sedayu. Dan orang itu belum dikenal siapa namanya. Karena itu maka
Agung Sedayu menjawab,
“Aku belum
mengenal namanya.”
“He?” penjaga
itu terkejut, “Kenapa belum kau kenal namanya?”
Agung Sedayu
tidak segera menjawab. Perlahan-lahan ia berjalan terus sambil membantu orang
yang terluka itu.
“Panggil aku
Supa,” desis orang itu, perlahan-lahan.
“O,” gumam
Agung Sedayu.
Namun kemudian
ia berkata,
“Nama apa pun
yang akan aku sebutkan, kesannya bagi mereka akan sama saja. Mereka pasti belum
mengenal nama itu.”
Orang yang
terluka menjadi berdebar-debar. Apakah orang-orang Pajang akan menerima
kehadirannya di antara mereka?
Tetapi orang
Jipang itu tidak menyatakan kecemasannnya. Bahkan kemudian ia menjadi pasrah.
Kalau ia mati, maka kematian itu adalah wajar. Seandainya salah seorang
prajurit Pajang kemudian menyambutnya dengan tusukan tombak di lambungnya, maka
ia tidak akan merasa kehilangan lagi. Nyawanya yang sekarang seakan-akan bukan
miliknya, tetapi milik Agung Sedayu. Seandainya Agung Sedayu tidak membawanya,
maka ia pun akan mati oleh anjing-anjing liar sebelum ia menghembuskan nafasnya
yang terakhir. Bulu kuduk orang Jipang itu terasa berdiri. Alangkah mengerikan.
Selagi ia masih hidup, beberapa ekor anjing hutan berpesta dengan dagingnya.
Tetapi kalau ia mati dengan tombak menghujam di dadanya, maka ia akan mati
sebagai seorang prajurit.
Agung Sedayu
yang kini berdiri beberapa langkah saja dari para penjaga itu berhenti. Salah
seorang dari penjaga itu bertanya,
“Benarkah kau
Adi Sedayu?”
“Lihatlah
dengan seksama,” sahut Agung Sedayu.
“Yang terluka
itu?”
Agung Sedayu
tidak mau menjawab dengan berbelit-belit. Maka katanya,
“Namanya Supa,
orang Jipang.”
Orang di regol
halaman itu serentak mengulangi kata-kata Agung Sedayu,
“Orang
Jipang?”
“Ya, aku
temukan orang ini terluka di dalam hutan. Untunglah aku masih sempat
menolongnya dan memberinya air, sehingga kemungkinan untuk hidup baginya
menjadi semakin besar.”
Para prajurit
Pajang dan beberapa anak muda Sangkal Putung justru terdiam. Mereka dicekam
oleh perasaan heran tiada taranya. Mereka melihat, betapa Agung Sedayu masih
sempat memapah orang Jipang dari hutan sampai ke halaman ini. Bukankah itu
suatu pekerjaan sulit?
Tiba-tiba dari
antara beberapa orang yang berjaga-jaga di regol halaman itu terdengar salah
seorang berkata,
“Hem, Kakang
Sedayu, buat apa kau bawa monyet itu ke mari?”
Agung Sedayu
mengerutkan keningnya. Suara itu dikenalnya benar. Apalagi ketika ia melihat
seorang yang bertubuh gemuk bulat melangkah maju dari antara orang-orang yang
kemudian berkerumun di depan regol. Namun betapa kecewa hati Agung Sedayu
mendengar pertanyaannya. Ia tidak akan menyesal, bahkan sama sekali tidak
mempengaruhi perasaannya apabila pertanyaan itu meluncur dari orang lain. Bukan
anak muda yang gemuk bulat dan bernama Swandaru Geni itu.
“Kakang,”
berkata Swandaru seterusnya,
“buat apa kau
bawa orang sakit-sakitan itu. Lihat, di sini telah terkapar berpuluh-puluh
orang semacam itu. Seandainya bukan Paman Widura dan Kakang Untara yang
menunggui mereka langsung, maka mereka itu sama sekali tak akan berguna bagi
kami. Apalagi bagi rakyat Sangkal Putung. Coba, siapakah yang memberi mereka
makan? Beras siapakah? Sedang mereka telah mencoba menghancurkan Sangkal Putung
ini?”
Agung Sedayu
menarik napas. Swandaru adalah pemimpin dari segenap anak-anak muda Sangkal
Putung. Kalau ia tetap pada pendiriannya, bahwa tidak pantas untuk membawa
orang Jipang yang terluka itu, maka akan sulitlah baginya untuk menghadapinya.
Semua anak-anak muda pasti akan sependirian dengan Swandaru, dan menolak orang
Jipang itu. Bahkan mungkin mereka akan melakukan perbuatan-perbuatan di luar
kehendak mereka sendiri.
Karena itu,
Agung Sedayu harus segera menemukan jalan, sehingga Swandaru dapat di atasinya.
Maka dengan serta merta Agung Sedayu menjawab,
“Adi Swandaru,
apa yang aku lakukan ini adalah atas perintah guru kita, Kiai Gringsing.”
Kini
Swandaru-lah yang mengerutkan keningnya. Tampaklah wajahnya menjadi tegang.
Cahaya obor di kejauhan membuat wajah itu menjadi merah, semerah bara. Tapi
Swandaru tidak dapat berbuat lain kecuali menghempaskan nafasnya. Betapa
hatinya menggelegak, namun jawaban Agung Sedayu telah menutup setiap
kemungkinan baginya untuk berbuat sesuatu. Sebab apa yang dilakukan oleh Agung
Sedayu adalah karena perintah gurunya.
“Hem,” desah anak
muda yang gemuk bulat itu. Tetapi ia tidak berkata sepatah katapun. Bahkan
kemudian ia segera menyelinap kembali ke dalam kerumunan orang-orang di regol,
seakan-akan ingin membenamkan kemarahannya ke dalam linkungan orang banyak. Tetapi
demikian Swandaru menghilang, maka tampaklah seseorang dengan tergesa-gesa
menyibak orang-orang yang berdiri di regol itu sambil berkata,
“Mana orang
Jipang itu?”
Agung Sedayu
terkejut mendengar kata-kata itu. Dari antara orang yang berdiri itu sekali
lagi ia melihat seseorang melangkah maju.
“Hem,”
katanya, “rupa-rupanya kau membawa oleh-oleh buat kami.”
Agung Sedayu
sekali lagi mengerutkan keningnya. Sebelum ia sempat menjawab orang itu berkata
pula,
“Di dalam
banjar desa banyak juga orang-orang Jipang yang bergelimpangan menunggu maut
mencekik mereka. Tetapi orang-orang itu ditunggui langsung oleh Untara dan
Widura. Nah, sekarang ada orang lain yang kau bawa kemari. Jangan kau bawa
masuk ke pendapa. Serahkan orang itu kepadaku. Aku ingin mendapat ganti Kakang
Citra Gati yang gugur di pertempuran.”
“Akan kau
apakan orang ini Paman Hudaya?” bertanya Agung Sedayu.
“Aku ingin
mencincangnya,” sahut Hudaya.
Agung Sedayu
merasa orang yang menggantung di pundaknya itu menggeliat perlahan-lahan,
tetapi ia segera menggamitnya.
“Paman,”
berkata Agung Sedayu, “aku membawa orang ini atas perintah Kiai Gringsing.”
“Persetan
dengan Kiai Gringsing! Aku tidak berkepentingan dengan Kiai Gringsing,” berkata
Hudaya tegas.
“Aku inginkan
orang itu.”
Agung Sedayu
tidak segera dapat menjawab kata-kata Hudaya itu. Terasa bahwa keadaan Hudaya
yang terluka itu tidak wajar. Ia sedang diliputi oleh suasana tegang, hilangnya
sahabatnya Citra Gati serta dirinya sendiri yang terluka. Karena itu maka hati
Hudaya itu pun sedang dibalut oleh dendam yang pekat. Tetapi sama sekali tidak
terlintas di dalam otak Sgung Sedayu untuk menyerahkan orang yang dibawanya
itu. Ia membawanya dengan harapan untuk menolong jiwanya, apalagi kemudian
telah diperkuat oleh perintah gurunya. Sedangkan apabila orang itu sampai ke
tangan kakaknya atau pamannya, maka masih mungkin orang itu di selamatkan dari
kemarahan para prajurit Pajang.
Ketika Agung
Sedayu sedang berpikir terdengar kembali suara Hudaya, “Ayo, serahkan kepada
kami.”
“Paman,” berkata
Agung Sedayu hati-hati.
“Aku memang
akan menyerahkan orang ini, tetapi setelah Paman Widura mengetahuinya. Bukankah
pimpinan pasukan Pajang di sini adalah paman Widura.”
Hudaya menggeram.
Namun kemudian ia menjawab,
“Kakang Widura
adalah pimpinan prajurit Pajang dalam hubungan resmi. Tetapi aku kehendaki
orang itu justru sebelum diketahui oleh Kakang Widura, sehingga orang itu belum
menjadi seorang tawanan.”
Agung Sedayu
menjadi ragu-ragu. Apakah yang harus dilakukannya supaya orang itu dapat
dilihat oleh pamannya? Apakah ia akan memaksa berjalan terus memasuki halaman
banjar desa? Apakah ia harus berteriak-teriak memanggil?
Belum lagi ia
menemukan jawabnya, Hudaya telah melangkah maju. Terdengar suara tertawanya
yang mengerikan. Suara itu seolah-olah bukan suara Hudaya yang selama ini
dikenalnya. Ya, tiba-tiba Agung Sedayu ingat, apa yang telah pernah dilakukan
oleh Sidanti. Ia mendengar dari beberapa orang yang menyaksikan, bahkan
Hudaya pun pernah berkata kepadanya,
bagaimana Sidanti membunuh Plasa Ireng. Menikamnya bertubi-tubi, membelah
punggungnya dengan goresan-goresan yang dalam, berdiri di atas mayat itu sambil
menepuk dada. Bulu-bulu Agung Sedayu serentak berdiri. Mengerikan. Kini ia
melihat seolah-olah Sidanti itu datang kembali sambil tertawa.
“Serahkan
kepadaku supaya aku tidak mendendammu pula,” berkata Hudaya. Tetapi nada
suaranya benar-benar mengerikan seperti suara hantu dari dalam kubur.
Namun
tiba-tiba bersama dengan itu, merayap pulalah perasaan benci Agung Sedayu
kepada Sidanti, kepada sikapnya, kepada perbuatannya. Kini ia melihat Hudaya
itu bersikap dan berbuat seperti apa yang pernah dilakukan oleh Sidanti. Karena
itu tiba-tiba Agung Sedayu melangkah surut selangkah. Terdengar ia berkata
tegas,
“Paman Hudaya,
Aku tidak akan menyerahkan orang ini kepada siapa pun juga. Tidak kepada paman
Hudaya dan tidak kepada orang lain. Aku hanya akan menyerahkan kepada Paman
Widura. Kalau Paman Widura akan membunuhnya itu adalah haknya, apabila ternyata
menurut Paman Widura, tindakan itu adalah tindakan yang seadil-adilnya. Tetapi
pasti tidak dalam keadaan yang serupa ini. Tidak dalam keadaan tidak berdaya.”
Hudaya pun kemudian tertawa pula. Jawabnya,
“Kau bukan
seorang prajurit. Kau tidak tau apakah yang sebaik-baiknya dilakukan oleh
seorang prajurit. Sebelum orang ini sampai pada orang yang berwenang menentukan
hukuman atasnya, maka yang berlaku adalah hukuman perang. Setiap prajurit
berhak melakukannya. Aku pun berhak. Orang ini dapat aku perlakukan menurut
kehendakku. Tempat ini dapat dianggap sebagai medan. Prajurit yang terbunuh di
medan perang, nasibnya tidak dipersoalkan lagi.”
“Tidak paman,”
sahut Agung Sedayu.
“Kita tidak
berada di dalam medan lagi. Kita sudah di belakang garis perang.”
“Jangan
membantah,” bentak Hudaya yang sudah bermata gelap. Selangkah ia maju lagi sambil
berkata,
“Kau tahu
tentang peperangan. Aku adalah orang tertua sepeninggal Citra Gati. Kalau tidak
ada Widura, maka akulah yang berhak memegang atas prajurit Pajang di sini.”
“Tetapi Paman
Widura sekarang ada di sini.”
“Ia berada di
dalam halaman, sedang kita berada di luar halaman banjar desa. Jangan menjawab
lagi, supaya kau tidak aku cincang pula seperti orang Jipang itu.”
“Terdengar
Agung Sedayu menggeram. Namun hatinya menjadi semakin keras ketika ia mendengar
orang Jipang itu berbisik,
“Serahkan
saja. Biarlah aku dibunuhnya, supaya kau selamat.”
“Tidak,” geram
Agung Sedayu. Kemudian kepada Hudaya ia berkata,
“Paman Hudaya,
ternyata Paman Hudaya sekarang tidak seperti Paman Hudaya yang aku kenal
pertama-tama aku datang. Bahkan tidak seperti Paman Hudaya lusa. Paman Hudaya
sekarang ini adalah seorang yang sama sekali berbeda.”
“Tutut
mulutmu,” potong Hudaya.
“Lepaskan
orang itu. Biarkan ia terbaring di tanah. Aku ingin mencincangnya. Kau dengar?”
“Aku dengar,”
sahut Agung Sedayu,
“Tetapi aku
tidak akan melakukannya.”
“He,” mata
Hudaya terbelalak. Sinar obor yang lemah seakan-akan telah membakar mata, sehingga
memancar kemerah-merahan.
“Kau berani
membantah perintahku?”
“Kau tidak
berhak memberikan perintah itu.”
“Kalau tidak
ada Widura, Hudaya adalah orang tertua kau dengar.”
“Aku bukan
prajurit Pajang. Aku tidak terkena keharusan untuk mematuhi perintah siapa pun
di sini. Kalau aku patuh terhadap Paman Widura, ia adalah pamanku. Dan kalau
aku menurut perintah Kakang Untara, karena ia adalah kakakku. Kau bukan pamanku
dan bukan ayahku. Kau tidak berhak memberikan perintah itu. Sedangkan orang
lain yang berhak memberikan perintah kepadaku adalah Kiai Gringsing, guruku.
Dan perintah itu berbunyi,
“Selamatkan
orang ini.”
Mata Hudaya
menyala mendengar jawaban Agung Sedayu. Apalagi ketika Agung Sedayu menegaskan,
“Bukankah
begitu Paman. Bukankah Paman sendiri tadi mengatakan bahwa aku bukan seorang
prajurit.”
Terdengar gigi
Hudaya gemeretak. Tiba-tiba Hudaya yang telah menjadi sangat marah itu berkata
pula,
“Di medan
perang kekuasaan berada di tangan prajurit. Setiap orang harus tunduk pada
perintah. Kau pun harus tunduk meskipun kau bukan seorang prajurit.”
Agung Sedayu
benar-benar menjadi gelisah. Ia tidak akan menyerahkan orang ini, tetapi ia
juga tidak ingin berbenturan di antara kawan sendiri. Karena itu Agung Sedayu
mencoba untuk mencari cara yang sebaik-baiknya untuk ia yakin, bahwa apabila
terpaksa ia harus menarik pedangnya, ia akan dapat membiarkan Hudaya terjatuh
sendiri karena kepayahan. Ia dapat membiarkan dirinya diserang tanpa membalas
dengan serangan. Kemampuannya akan memungkinkan berbuat demikian sampai Hudaya
berhenti sendiri karena kehabisan nafas. Apalagi orang ini telah terluka. Namun
dengan demikian akan tertanam bibit kebencian dan dendam di antara sesama
mereka. Tetapi terasa juga betapa hatinya meronta. Perbuatan itu adalah
perbuatan anak-anak. Tetapi ia harus menemukan cara. Ketika sekali lagi ia
memandangi wajah Hudaya, terasa hatinya berdesir. Wajahnya memang wajah yang
gelap dan keras sejak ia melihatnya yang pertama. Tetapi wajah itu tidak pernah
tampak seliar kali ini. Tiba-tiba kembali Agung Sedayu teringat kepada Sindati.
Kekerasan dan keliaran yang menyala di wajahnya, bahkan setiap saat. Anak muda
itu benar-benar anak muda yang kasar dan liar. Hudaya bukanlah orang yang
demikian. Kali ini ia menjadi kasar dan liar karena sebuah kejutan perasaan
yang telah menggoncangkan hatinya.
Namun dengan
kenangannya atas Sidanti, Agung Sedayu menemukan suatu cara untuk menahan arus
kemarahan Hudaya. Ketika ia melihat Hudaya maju selangkah, Agung Sedayu
kemudian berkata,
“Paman Hudaya,
apakah Paman benar-benar tidak dapat mencegah diri?”
“Diam!”
bentaknya. “Serahkan orang itu!”
“Apakah Paman
akan mencincangnya?”
“Ya, aku akan
mencincangnya.”
“Baiklah,”
sahut Sedayu.
Terasa orang
yang menggantung di pundaknya berdesis, perlahan-lahan ia berbisik ke telinga
Agung Sedayu.
“Tolong, bunuh
aku dahulu. Kau dapat menusuk lambungku dengan pedangmu, supaya aku segera
terbunuh sebelum aku merasakan siksaan yang mengerikan.”
“Mudah-mudahan
itu tidak terjadi,” sahut Agung Sedayu.
“Apa yang kau
katakan?” bertanya Hudaya.
Agung Sedayu
menarik nafas dalam-dalam. Tiba-tiba ia menyahut,
“Orang yang
bernama Supa ini bertanya, apakah orang inikah yang bernama Sidanti?”
“Setan. Apakah
aku akan kau samakan dengan iblis kecil itu? Aku bernama Hudaya. Sama sekali
bukan Sidanti. Apakah persamaannya antara Hudaya dan Sidanti, he? Jangan
membuat aku bertambah marah.”
“Maaf Paman,
ia hanya bertanya.”
“Kenapa kau
yang memintakan maaf untuk orang Jipang itu?”
“Maaf Paman,
maksudku, pertanyaan itu tidak terlampau salah.”
Sekali lagi
mata Hudaya terbelalak. Sekali lagi ia membentak,
“Kenapa? Aku
bukan Sidanti, tahu!”
“Maksudku,”
sahut Agung Sedayu,
“Pertanyaan
orang ini masuk akal. Sidanti pernah mencincang Plasa Ireng di medan perang
setelah ia berhasil membunuh dengan pedangnya. Sekarang orang ini mendengar
keinginan yang sama dengan apa yang pernah dilakukan oleh Sidanti itu.
Mencincang lawannya. Namun Sidanti mencincang lawan yang telah dibunuhnya
sendiri dengan pedangnya di medan perang dan orang itu pada saat hidupnya
adalah senopati pengapit di sayap kiri lawan, sedang orang ini adalah seorang
prajurit kecil yang tak berarti. Juga tidak terbunuh di medan perang oleh tangan
Paman Hudaya sendiri.”
“Cukup!”
terdengar suara Hudaya melengking memecah sepi malam, menggeletar memenuhi
lapangan dan halaman banjar desa. Betapa suara itu telah mengejutkan hampir
setiap orang yang berdiri di regol halaman, maupun di dalam halaman.
Namun Agung
Sedayu tidak terkejut. Ia memang mengharap Hudaya marah dan berteriak. Ia
mengharap orang-orang yang berada di dalam banjar akan mendengar teriakan itu.
Kecuali itu Agung Sedayu masih mempunyai harapan lain. Mudah-mudahan Hudaya
menyadari keadaannya. Ternyata harapan Agung Sedayu kedua-duanya berhasil.
Teriakan Hudaya itu telah didengar oleh Untara dan Widura, sehingga dengan
tergesa-gesa keduanya turun ke halaman. Tetapi yang lebih penting bagi Agung
Sedayu adalah ketika kemudian ia melihat Hudaya itu menundukkan wajahnya.
Setelah ia melepaskan tekanan yang menghimpit dadanya dengan sebuah teriakan
yang menggelegar, tiba-tiba seakan-akan dadanya menjadi jernih. Tiba-tiba ia
teringat pula apa yang pernah dilakukan oleh Sidanti. Alangkah mengerikan. Ia
pernah mengutuk habis-habisan di dalam hatinya ketika ia melihat Sidanti
membelah punggung Plasa Ireng, kemudian berdiri di atas mayatnya sambil
sesumbar. Ia merasa ngeri sendiri. Alangkah buasnya anak itu. Seakan-akan ia
telah kehilangan segenap kemanusiaannya. Tiba-tiba dalam kegelapan pikiran
hampir-hampir saja ia melakukannya pula. Hampir-hampir saja ia mencincang orang
seperti apa yang dilakukan oleh Sidanti itu. Terasa suatu desir yang tajam
menggores jantung Hudaya. Hatinya pun menjadi pedih karenanya, melampaui
pedihnya lukanya yang ditimbulkan oleh senjata Sanakeling. Supa, orang Jipang
yang menggantung di pundak Agung Sedayu melihat pula perubahan sikap Hudaya.
Bahkan ia melihat Hudaya itu kemudian melangkah mundur. Tetapi Supa itu sama
sekali tidak tahu apakah yang bergolak di dalam hati Hudaya. Ketika Untara dan
Widura hadir di tempat itu, Hudaya telah mundur beberapa langkah lagi. Bahkan
ia kini telah berdiri di antara para penjaga yang merubungnya.
“Siapakah yang
berteriak?”
Agung Sedayu
menjadi ragu-ragu untuk menjawab. Apabila ia menyebut nama Hudaya, apakah hati
orang itu tidak tersinggung kerenanya? Namun ternyata Hudaya tidak mengingkari
keadaannya. Maka katanya,
“Aku yang
berteriak.”
“Kenapa?”
bertanya Widura.
Hudaya menarik
nafas. Kemudian jawabnya,
“Hampir aku
khilaf. Aku akan membunuh orang Jipang yang datang bersama Angger Agung Sedayu.
Untunglah Angger Agung Sedayu tidak memberikannya.”
Widura
mengangguk-anggukkan kepalanya. Peristiwa itu sendiri ternyata segera dapat di
atasi. Tetapi bagaimana dengan janji Untara yang pernah diucapkan pada saat
Tohpati meninggal. Untara, atas nama Panglima Wira Tamtama menjanjikan
pengampunan bagi mereka yang menyerah. Tanggapan itu sama sekali kurang
menyenangkan bagi prajurit. Seperti sikap Hudaya itu adalah suatu gambaran
perasaan para prajurit Pajang. Amatlah sulit untuk melenyapkan permusuhan dalam
waktu yang pendek. Apalagi pada saat-saat terakhir, korban telah berjatuhan
dari kedua belah pihak, sehingga peristiwa itu seakan-akan telah membakar
dendam di hati mereka. Ternyata bukan saja Widura yang menjadi berdebar-debar
karenanya. Jawaban Hudaya langsung menyentuh hati Untara pula. Hudaya adalah
seorang yang telah cukup mengendap. Seorang yang memiliki pandangan yang cukup
luas dan jauh. Tetapi menghadapi orang-orang Jipang dadanya seakan-akan meluap.
Apalagi orang-orang lain. Meskipun demikian Untara masih tetap dalam
pendiriannya. Pendirian itu adalah pendirian Panglima Wira Tamtama. Karena itu
ia mengharap bahwa ia akan dapat memenuhinya. Namun haruslah diketemukan cara
yang sebaik-baiknya, sehingga tidak terjadi peristiwa yang tidak dikehendaki.
Orang-orang yang sesat itu datang kembali, namun kawan-kawan sendiri menjadi
sakit hati karenanya. Apalagi ada di antara mereka yang hatinya menjadi patah
dan kehilangan gairah perjuangan. Selagi Widura dan Untara masih berdiam diri
karena angan-angan mereka, terdengar Hudaya berkata,
“Maafkan aku
Kakang Widura. Mudah-mudahan aku untuk seterusnya dapat mengekang diri
sendiri.”
Widura
mengangguk. Jawabnya,
“Kau ternyata
sedang mengalami goncangan perasaan Hudaya. Beristirahatlah. Mudah-mudahan kau
akan mendapat ketentraman hati. Juga agar lukamu tidak menjadi semakin parah
karenanya.”
Hudaya
mengangguk dalam-dalam. Kemudian sambil melangkah surut ia menjawab,
“Baiklah.
Mudah-mudahan lukaku segera dapat sembuh. Tetapi sejak tadi aku belum melihat
Ki Tanu Metir yang biasanya dapat mengobati luka-luka dengan baik.”
“Ia akan
segera kembali, Paman.” sahut Untara.
Hudaya tidak
menjawab. Sejenak kemudian ia telah menghilang di antara beberapa penjaga yang
berdiri berjejalan dengan beberapa orang prajurit dan anak-anak Sangkal Putung
yang ingin melihat peristiwa itu. Hudaya yang kemudian masuk ke dalam halaman
banjar desa langsung pergi ke gandok kanan. Di antara beberapa orang yang
terluka ia membaringkan dirinya. Namun angan-angannya terbang jauh menelusuri
awan di langit yang tinggi. Beberapa perasaan hilir mudik di kepalanya. Sekali
ia bersyukur bahwa ia telah dibebaskan dari suatu perbuatan yang buas dan liar.
Namun sekali-sekali timbulah sesalnya. Kenapa orang Jipang tadi tidak saja
ditikamnya sampai mati tanpa minta ijin lebih dahulu dari Agung Sedayu. Kenapa
ia tidak berusaha melepaskan dendamnya atas kematian orang-orang Pajang, bahkan
sahabatnya terdekat Citra Gati? Apakah orang-orang Jipang itu juga mengenal
cara yang serupa atas orang-orang Pajang yang terluka? Tidak. Orang-orang
Pajang yang terluka tidak pernah mengalami perawatan apapun. Apalagi perawatan,
bahkan mereka sama sekali tidak dipedulikannya. Apalagi ada kesempatan, orang
Jipang pasti akan berebut tidak untuk menolongnya, tetapi untuk mencincangnya. Namun
setiap kali, ia sadar atas kekhilafannya. Setiap kali ia teringat kepada
Sidanti, setiap kali ia berterima kasih kepada Agung Sedayu.
Sepeninggal
Hudaya, sejenak di luar regol halaman banjar desa itu menjadi senyap.
Masing-masing mencoba melihat keadaan menurut pengamatan masing-masing.
Beberapa orang prajurit benar-benar menyesal, kenapa mereka tidak mendapat
kesempatan untuk ikut serta mencincang orang Jipang itu. Namun beberapa orang
lain menyadari keadaan mereka yang sesaat tumbuh di dalam dada Hudaya. Sejenak
kemudian terdengarlah Untara bertanya,
“Siapa orang
yang kau bawa itu Sedayu?”
“Supa, orang
Jipang,” sahut Agung Sedayu.
“Kenapa orang
itu kau bawa kemari?” bertanya Untara pula.
Agung Sedayu
heran mendengar pertanyaan kakaknya. Tetapi ia menjawab pula,
“Aku
menemukannya terluka di dalam hutan ketika aku sedang mencoba mencari jejak
Paman Sumangkar.”
Untara
mengerutkan keningnya. Tiba-tiba ia berkata,
“Kau tidak
menjalankan perintahku. Kau harus mengikuti jejak Paman Sumangkar sampai kau
menemukan tempat orang-orang Jipang berkemah. Sekarang kau kembali membawa
orang yang terluka itu. Bukankah dengan demikian berarti kau melanggar perintahku?”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar