Kata-kata Sumangkar itu mencengkam setiap hati. Namun kata-kata Sanakeling telah membakar setiap jantung dan mendidihkan darah yang mengalir di dalam jaringan-jaringan urat darah. Keduanya beralasan dan keduanya dapat mereka mengerti. Karena itulah maka setiap orang menjadi semakin bimbang, siapakah di antara mereka yang harus mereka turuti. Mendengar penjelasan Sumangkar, Sanakeling menggeram marah. Kemudian kepada prajurit-prajurit Jipang ia berteriak,
“Akulah
pemimpin kalian sepeninggal Macan Kepatihan. Semua perintahku sama nilainya
dengan perintah Kakang Tohpati.”
Semua mata
kemudian berpaling ke arahnya. Sanakeling itu pun kini telah berdiri di ambang
pintu di samping Sumangkar. Wajahnya yang keras dan penuh ditandai oleh dendam
dan kebencian telah menyala seperti nyala api neraka. Tetapi Sumangkar masih
tetap tenang. Ia tidak menyahut dan memotong kata-kata Sanakeling. Dibiarkannya
Sanakeling berbicara pula,
“Kita telah
kehilangan pemimpin kita. Sekarang orang tua ini menganjurkan kita merangkak di
bawah kaki Untara. Tidak! Dengar perintahku, Kobarkan dendam di segala penjuru.
Setiap orang Jipang harus mendengar bahwa Macan Kepatihan mati dengan luka
arang kranjang karena kebiadaban orang-orang Pajang seperti pada saat Plasa
Ireng terbunuh dengan dada dan punggung terbelah. Macan Kepatihan itu sama
nilainya dengan seribu orang Pajang dan setiap nyawa di antara kita bernilai
seratus orang Pajang. Timbulkan kengerian di mana-mana. Setiap orang Pajang
bertanggung jawab atas kematian Macan Kepatihan, sehingga kepada mereka dendam
kita dapat kita tumpahkan.”
Bulu-bulu
kuduk Sumangkar meremang mendengar perintah itu. Perintah itu telah diduganya
akan terjadi seandainya orang-orang Jipang itu tidak mendapat keseimbangan.
Perintah itu berarti pembunuhan yang semena-mena atas semua orang yang akan
ditemui oleh Sanakeling. Semua orang Pajang diperlakukan sama. Karena itu maka
segera ia berkata,
“Bagus.
Apabila Angger Sanakeling bertekad demikian. Aku tidak akan menghalang-halangi,
sebab aku tidak mempunyai pendirian tersendiri.”
Sanakeling
yang segera akan memotong kata-kata Sumangkar tertegun mendengarnya. Karena itu
niatnya diurungkan. Terasa bahwa Sumangkar telah mundur setapak dari
pendiriannya. Dan terdengar kata-kata Sumangkar itu,
“Apa yang aku
katakan hanyalah sekedar pesan. Pesan Angger Tohpati yang telah terbunuh karena
melindungi nyawa kita. Seandainya Macan Kepatihan itu tidak mengorbankan
nyawanya, maka kitalah yang akan mati terlebih dahulu. Dan kitalah yang akan
mengucapkan pesan-pesan itu kepada orang terakhir yang kita temui. Dan dalam
pesan-pesan yang terakhir itulah sebenarnya kita akan menunjukkan nilai dan
kebesaran jiwa kita. Namun apabila kini dikehendaki lain oleh seseorang yang
berwenang, aku akan menundukkan kepala. Memenuhi perintah yang akan dijatuhkan.
Tetapi kita pun akan segera mendengar perintah yang serupa keluar dari mulut
Untara. Bahkan mungkin dari mulut Ki Gede Pemanahan atau Adiwijaya sendiri.
Perintah itu akan berbunyi serupa, ’Bunuhlah setiap orang Jipang siapa pun sebab
mereka semuanya turut bertanggung jawab atas kerusuhan-kerusuhan yang terjadi’.
Dan orang-orang Pajang akan melakukan perintah itu sebaik-baiknya. Apalagi
mereka, yang sanak kadangnya akan menjadi korban perintah Angger Sanakeling.
Malah mereka akan dapat mengamuk seperti orang mabuk. Anak-anak kita, isteri,
ayah bunda dan saudara-saudara kita yang sekarang selalu berada di dalam
kegelisahan karena mereka menunggu kita pulang ke rumah. Namun yang sampai
sekarang mereka masih dibiarkan hidup dan menetap di rumah-rumah mereka
sendiri. Tetapi apabila kita melakukan perintah Angger Sanakeling itu, akan
dapat berarti menekan mereka ke dalam lembah kehancuran. Bukan orang-orang
Pajang saja, tetapi orang-orang Jipang. Semua akan musnah. Dan rakyat Demak
akan menjadi punah. Hancur lebur. Bunuh membunuh tiada habis-habisnya. Demak
akan lenyap dibakar oleh dendam yang tiada akan dapat dipadamkan lagi.”
Terdengar gigi
Sanakeling menggeretak mendengar kata-kata itu. Tetapi ia tidak segera dapat
menyahut. Kata-kata itu meresap ke dalam dadanya seperti meresapnya
berpuluh-puluh bahkan beratus-ratus ujung jarum ke dalam jantungnya. Tetapi ia
dapat mengerti dan mengakui bahwa hal yang sedemikian itu mungkin terjadi. Kembali
gubuk dan sekitarnya itu ditelan oleh kesenyapan. Dalam keheningan itu maka
orang-orang Jipang sempat berpikir. Menimbang yang baik dan yang buruk. Menilai
makna dari setiap kata kedua orang pemimpin yang telah membingungkan hati
mereka. Kembali mereka berdiri di persimpangan jalan. Mereka dapat mengerti sepenuhnya
kata-kata Sumangkar, namun mereka sependapat pula dengan Sanakeling bahwa
mereka harus mempertahankan harga diri mereka sebagai seorang prajurit. Tetapi
mereka pun menjadi ngeri ketika mereka mendengar uraian Sumangkar yang terakhir
setelah darah mereka dibakar oleh perintah Sanakeling. Semula perintah itu
telah menggelegak di dalam dada mereka. Semua orang Pajang harus dimusnahkan.
Tetapi bagaimana kalau berlaku pula perintah yang serupa yang dikatakan
Sumangkar. Bagaimana dengan anak-anak, isteri, dan sanak kadang mereka yang
tidak tahu-menahu tentang perbuatan mereka? Perlahan-lahan maka setiap orang
telah terdorong dalam satu pilihan di antara keduanya. Tetapi sayang, bahwa
tidak semua dada berisi jantung dan hati yang serupa. Tanpa diketahui, maka
pendirian orang-orang Jipang itu terbelah seperti pendirian pemimpinnya.
Sebagian dari mereka terdorong ke dalam pendirian Sumangkar, dan sebagian lagi
terseret oleh api kemarahan Sanakeling. Namun dalam pada itu, ketika mereka
sedang dilanda oleh arus kebimbangan, terdengarlah suara tertawa di belakang
mereka, di belakang orang-orang Jipang itu. Suara tertawa yang tinggi
melengking menyakitkan telinga mereka yang mendengarnya. Seperti digerakkan
oleh tenaga ajaib, serentak mereka semuanya yang berada di tempat itu
berpaling. Mereka serentak mencari sumber suara itu. Namun mereka tidak segera
dapat melihat. Tabir yang hitam pekat seakan-akan telah menyekat pandangan mata
mereka. Sementara itu, suara tertawa itu masih terdengar. Bahkan semakin lama
semakin keras.
Sanakeling
yang mendengar pula suara tertawa itu mengerutkan keningnya. Tiba-tiba ia
menjadi muak, dan tiba-tiba pula ia berteriak keras-keras,
“Cukup! Jangan
membuat jantungku pecah. Siapakah yang tertawa itu?”
Suara tertawa
itu masih terdengar. Namun kini menjadi semakin perlahan-lahan. Di antara derai
tertawa itu terdengar jawaban, “Aku angger Sanakeling.”
“Aku siapa?”
teriak Sanakeling.
“Setiap orang
menyebut dirinya dengan sebutan serupa. Aku.”
Suara tertawa
itu kemudian berhenti. Tetapi mereka tidak segera mendengar jawaban. Sejenak
mereka menunggu, dan terasa malam yang sepi menjadi semakin sepi.
“Siapa kau,
he?” sapa Sanakeling semakin keras.
“Siapa yang
telah berani memasuki perkemahan prajurit Jipang? Apakah sudah jemu melihat
matahari besok pagi?”
“Jangan lekas
marah,” jawaban itu semakin mengejutkn. Terdengar Suara itu kini sudah menjadi
semakin dekat. Namun gelap malam masih melindunginya, sehingga belum seorang
pun yang dapat melihatnya. Tetapi orang-orang Jipang itu merasa, Sanakeling dan
Sumangkar merasa, bahwa orang itu pasti dapat melihat mereka dengan jelas
karena cahaya-cahaya obor di dekat mereka.
Tetapi orang
itu tidak, berusaha bersembunyi terlalu lama.
Sesaat
kemudian orang-orang Jipang itu menjadi tegang ketika mereka melihat bayangan
yang bergerak-gerak di bawah pepohonan. Bayangan yang semakin lama menjadi
semakin jelas. Ketika kemudian cahaya obor yang lemah dapat mencapainya, maka
terbersitlah hati setiap orang yang melihatnya. Orang itu adalah seorang tua,
bermata tajam dan berhidung lengkung seperti paruh burung hantu. Beberapa orang
yang telah mengenalnya mendjadi berdebar-debar karenanya. Sementara itu
terdengar Sumangkar berdesis,
“Ki Tambak
Wedi.”
Orang yang
datang itu adalah Ki Tambak Wedi. Ketika ia telah bendiri beberapa langkah dari
para prajurit Jipang yang berkerumun itu, kembali orang tua itu tertawa. Tetapi
suara tertawanya kini tidak lagi terlalu keras. Sanakeling yang mendengar
Sumangkar menyebut namanya mengerutkan keningnya. Inikah orang yang bernama Ki
Tambak Wedi, guru Sidanti? Tiba-tiba dada Sanakeling itu bergolak. Tanpa
dikehendakinya sendiri terdengar Sanakeling itu berteriak,
“He, adakah
kau yang disebut orang Ki Tambak Wedi dari lereng Gunung Merapi?”
Orang itu
menganggukkan kepalanya sambil menjawab,
“Ya. Mereka
yang sudi menyebut namaku, demikianlah.”
Sanakeling
mengerutkan keningnya. Tiba-tiba wajahnya menjadi semakin tegang dan kembali
tanpa dikehendakinya sendiri tangannya meraba hulu pedangnya.
“Apakah
maksudmu datang kemari?” bertanya Sanakeling itu pula.
Ki Tambak Wedi
tersenyum. Wajahnya yang keras itu menjadi kemerah-merahan oleh sinar obor yang
mengusapnya. Jawabnya,
“Aku tidak
akan berbuat apa-apa Ngger. Jangan berprasangka. Aku hanya ingin sekedar
mendengarkan, apakah yang akan dikatakan oleh pepunden para prajurit Jipang.”
Sanakeling
mengerutkan keningnya. “Pepunden?” ulangnya.
“Ya. Bukankah
Adi Sumangkar itu seorang pepunden bagi para prajurit Jipang?”
“Siapa yang
mengatakannya?”
“Adi Sumangkar
sendiri.”
“Bohong!”
teriak Sanakeling.
Sumangkar
menarik nafas dalam-dalam. Kini ia tidak saja berhadapan dengan Sanakeling yang
ternyata berbeda pendirian dengan dirinya. Namun tiba-tiba datang Ki Tambak
Wedi yang licik itu. Dengan sebutannya yang pertama-tama diucapkan, segera
Sumangkar tahu maksud kedatangan hantu lereng Merapi itu. Dan lebih celaka lagi
tanggapan yang pertama-tama diucapkan oleh Sanakeling adalah sangat
menguntungkan hantu itu. Meskipun demikian Sumangkar tidak segera menyahut.
Dicobanya untuk menilai keadaan dengan seksama. Namun ia belum menemukan
pertimbangan yang tepat, sebab ia belum tahu tanggapan para prajurit Jipang
itu, atas pendiriannya dan pendirian Sanakeling.
Mendengar
teriakan Sanakeling yang serta merta itu, Ki Tambak Wedi tersenyum. Kemudian
katanya lebih lanjut,
“Ah. Jangan
menyia-nyiakan orang tua itu Angger. Bukankah Ki Sumangkar itu adik seperguruan
Patih Mantahun. Bukankah Adi Sumangkar itu paman guru dari pemimpinmu yang kau
segani, Macan Kepatihan?”
“Aku hormati
Patih Mantahun yang sakti itu. Aku hormati Kakang Raden Tohpati yang perkasa.
Tetapi Paman Sumangkar dalam kedudukannya adalah seorang juru masak. Tidak
lebih dan tidak kurang.”
Terasa dada
Sumangkar berdesir. Apalagi ketika ia mendengar jawaban Ki Tambak Wedi,
“Tetapi ia
mendapat pesan langsung dari Angger Tohpati. Angger Tohpati yang perkasa itu
berpesan kepada Adi Sumangkar agar membawa segenap anak buahnya untuk
menyerahkan dirinya, tanpa syarat.”
“Bohong!
Bohong!” teriak Sanakeling. “Aku didak percaya.”
“Kenapa kau tidak
percaya? Bukankah Adi Sumangkar adalah satu-satunya orang dari antara kalian
yang menunggui saat-saat terakhir dari Raden Tohpati, selain Untara, Widura,
dan orang-orang Pajang. Sudah tentu Adi Sumangkar berkata dengan jujur. Pasti
bukan karena bujukan Untara atau janji-janji daripadanya untuk Adi Sumangkar
pribadi.”
Sekali lagi
dada Sumangkar berdesir. Kali ini lebih keras. Kata-kata Ki Tambak Wedi yang
seakan-akan memihaknya itu adalah suatu pancingan yang berbahaya. Berbahaya
baginya dan berbahaya bagi pesan Tohpati itu sendiri.
Ternyata
kecemasannya itu beralasan. Dengan serta merta Sanakeling menegakkan lehernya.
Ia mencoba memandangi Ki Tambak Wedi dengan saksama. Namun kemudian Sanakeling
itu pun berpaling kepada Sumangkar.
Matanya kini seakan-akan menyala memancarkan kemarahan hatinya. Dengan suara
yang keras parau ia berkata,
“He, Paman
Sumangkar, kenapa kau sempat menunggui saat-sat terakhir Kakang Macan
Kepatihan?”
Sumangkar
tidak segera menjawab. Ditatapnya mata Sanakeling yang menyala itu, langsung ke
pusatnya. Seakan-akan Sumangkar ingin menjajagi betapa panasnya nyala yang
memancar dari padanya. Tiba-tiba Sanakeling itu melemparkan pandangan matanya.
Terasa betapa dalam perbawa orang itu. Juru masak yang malas. Namun ketika
disadarinya, bahwa matanya yang menghujam ke wajah Sumangkar itu tergeser,
timbullah kegelisahan yang sangat di dalam dadanya. Sehingga untuk menutupinya
maka Sanakeling itu berteriak keras-keras, kepada orang-orang Jipang,
“He,
orang-orang Jipang, apakah kau percaya bahwa Paman Sumangkar mendapat pesan itu
dari Kakang Tohpati? Apakah bukan karena Paman Sumangkar sebenarnya berpihak
kepada Pajang dan ditanam dalam perkemahan kita?”
Kembali suana
menjadi sepi. Sepi sesepi kuburan. Namun di dalam setiap dada bergolak berbagai
macam tanggapan. Untuk memuaskan hatinya maka Sanakeling berkata terus,
“Itulah,
sebabnya, maka setiap serangan yang kita lancarkan pasti sudah diketahui oleh
orang-orang Sangkal Putung. Bahkan tidak mustahil bahwa orang tua inilah yang
telah, memperlemah tekad perjuangan yang menyala di dalam setiap dada anak-anak
Jipang.” Kemudian kepada Sumangkar ia berkata,
“Nah Paman
Sumangkar, katakanlah kepadaku kenapa kau dapat mendekati Kakang Macan
Kepatihan pada saat-saat terakhirnya? Kenapa kau tidak dikeroyok seperti
rampogan macan di alun-alun, sehingga betapa saktinya kau, maka kau pun pasti
akan terbunuh pula dengan luka arang kranjang. Tetapi kau malahan dapat membawa
mayat Kakang Tohpati itu kemari dan mempergunakannya untuk mempengaruhi tekad
anak-anak Jipang yang telah membaja di dalam dada mereka? He?”
Pertanyaan itu
memang sulit untuk dijawab. Pertanyaan itu memang memerlukan pembuktian. Tetapi
tak ada seorang saksi pun yang melihat,
bahwa apa yang dikatakan itu bukanlah suatu ceritera yang telah dikarangnya
sendiri. Bukan suatu mimpi yang didapatnya pada saat-saat ia tertidur di siang
hari. Tetapi semuanya adalah sebenarnya demikian. Karena Sumangkar tidak segera
dapat menjawab, maka terdengar Ki Tambak Wedi berkata,
“Bagaimana Adi
Sumangkar? Angger Sanakeling telah mengajukan beberapa pertanyaan. Kenapa tidak
segera dapat kau jawab? Apakah pertanyaan itu tepat seperti yang terjadi
sebenarnya?”
Sumangkar
menggeretakkan giginya. Pertanyaan Ki Tambak Wedi itu lebih mendorongnya ke
sudut yang sangat sulit. Namun Sumangkar masih berdiri tegak dengan tenangnya.
Betapa hatinya bergelora namun ia sama sekali tidak goreh di tempatnya,
seolah-olah sepasang kakinya telah jauh menghunjam seperti akar yang kukuh
berpegangan pada batu karang yang teguh. Dan sikapnya itulah yang telah
menyelamatkan wibawanya atas orang-orang Jipang. Namun yang terdengar kemudian
adalah suara Sanakeling yang gelisah,
“He, bagaimana
Paman Sumangkar? Apakah kau masih akan ingkar lagi?”
Tiba-tiba
Sanakeling itu menggeram ketika ia melihat Sumangkar tersenyum. Orang tua itu
seakan-akan sama sekali tidak menjadi cemas dan takut. Bahkan ia masih sempat
tersenyum. Di antara senyumnya terdengar Sumangkar berkata,
“Baiklah aku
mencoba menjelaskan apa yang telah terjadi.” Sumangkar berhenti sesaat.
Dicarinya kata-kata yang sebaik-baiknya. Karena ia tidak segera menemukan, maka
yang pertama-tama dikatakan adalah, “Namun sebelumnya, biarlah aku mengucapkan
selamat datang kepada Kakang Tambak Wedi yang bijaksana.”
Tambak Wedi
mengerutkan keningnya. Tetapi hatinya mengumpat melihat ketenangan Sumangkar.
Kemudian berkata Sumangkar,
“Aku akan
menolak segala tuduhan bahwa seolah-olah aku adalah orang yang diselipkan di
antara kalian orang-orang Jipang oleh Pajang. Sayang, bahwa tidak banyak yang
mengenal siapakah Sumangkar? Sebenarnya Angger Sanakeling pun tidak. Sebab kami, aku dan Angger
Sanakeling selalu berada di medan yang berbeda. Tetapi kalau ada yang telah
mengenal Sumangkar baik-baik, bertanyalah kepada mereka siapakah yang telah
menyelamatkan tanda-tanda kebesaran Jipang? Rontek, tunggul, dan umbul-umbul
bahkan panji-panji kebesaran? Semuanya itu telah kalian bawa hari ini ke medan
peperangan. Kalian telah menjadi berbesar hati dan bertambah berani, karena di
atas gelar perang berkibar segala macam tanda-tanda kebesaran itu. Nah,
katakanlah siapakah yang paling banyak berbuat untuk Jipang pada saat Jipang
runtuh. Pada saat Arya Jipang terbunuh dan kemudian Patih Mantahun? Semuanya
pada saat itu hanya dapat bercerai berai, semuanya hanya dapat mengungsikan
diri sendiri. Nah, Angger Sanakeling, apakah yang dapat kau lakukan saat itu?
Timbanglah apa yang dilakukan oleh Sumangkar yang tua ini.”
Kembali mereka
terlempar ke dalam cengkaman kesenyapan. Kembali orang-orang Jipang terseret ke
dalam pertentangan tanggapan atas pemimpin mereka. Kini Sanakeling-lah yang
terbungkam. Semuanya itu memang benar telah terjadi. Namun di antara kesepian,
itu menyelusuplah suara tertawa Ki Tambak Wedi. Katanya,
“Ini adalah
suatu ceritera yang telah terjadi atas seorang Sumangkar. Betapa besar
jasa-jasanya atas Jipang, namun akhirnya dikhianatinya para prajurit yang telah
mengorbankan hampir segala miliknya itu.”
Dada Sumangkar
seolah-olah tertimpa Gunung Merapi yang runtuh saat itu. Terasa betapa licik
dan licin lidah iblis yang bernama Tambak Wedi. Namun betapa jantungnya menjadi
gemetar, tetapi Sumangkar tidak mau kehilangan kejernihan pikiran. Ia
berhadapan tidak saja dengan seorang yang sakti, tetapi juga seorang yang
lidahnya mengandung bisa. Kata-kata Tambak Wedi itu ternyata telah menolong
Sanakeling untuk menjawab pertanyaan Sumangkar. Katanya,
“Nah, Paman
Sumangkar. Apa yang terjadi terdahulu bukanlah ukuran dari apa yang terjadi
sekarang. Suatu saat Sumangkar adalah seorang pahlawan, namun di saat ini Sumangkar
adalah seorang pengkhianat.”
Alangkah panas
hati Sanakeling ketika ia masih melihat Sumangkar tersenyum.
“Benar Ngger,”
sahut Sumangkar. Namun jantungnya serasa akan meledak. Hanya karena hatinya
yang mengendap, maka ia masih dapat bertahan dalam ketenangan.
“Kau Benar.
Apa yang terjadi terdahulu bukanlah ukuran dari apa yang terjadi sekarang.
Kalau dahulu setiap hidung dari para prajurit Jipang menghormati Macan
Kepatihan, sekarang Macan Kepatihan tidak lebih dari sesosok mayat. Kalau
dahulu Sanakeling berjuang untuk suatu tujuan, kini Sanakeling tidak lebih dari
seorang prajurit yang dalam keputus-asaannya berbuat di luar batas
perikemanusiaan. Betapapun kabur dan sempitnya tujuan perjuangan itu dahulu,
namun masih juga ada kemungkinan untuk mencapainya. Tetapi sekarang yang
terjadi, tidak lebih dari menjajakan dendam di mana-mana.”
“Cukup!”
teriak Sanakeling penuh kemarahan. Wajahnya yang merah menjadi semakin marah.
Matanya yang liar menjadi semakin liar. Hampir saja ia meloncat dan menerkam
wajah Sumangkar. Tetapi ketika kemudian terpandang olehnya sebatang tongkat
baja putih berkepala tengkorak kekuning-kuningan, maka ia tertegun diam. Hanya
giginya sajalah yang terdengar gemeretak.
Dalam pada itu
Sumangkar masih saja tersenyum dan berkata, kali ini kepada orang-orang Jipang,
“Nah,
timbanglah di hatimu. Kalian telah mendengar apa yang aku katakan dan apa yang
dikatakan oleh Sanakeling. Aku tidak menyalahkannya, pendiriannya adalah
pendirian seorang prajurit yang tertempa dalam perjuangan yang berat. Tetapi
pendirian itu bukanlah satu-satunya pendirian yang terbentang di hadapan kita.
Taraf perjuangan kalian kini telah sampai pada suatu titik yang berbeda dengan
pada saat kalian baru mulai.”
Tetapi
kata-kata Sumangkar terputus oleh kata-kata Ki Tambak Wedi di antara derai
tertawanya.
“Bagus. Kau
memang benar-benar licik Adi. Kau mampu, memutar balikkan keadaan dan, memutar
balikkan penilaian atas sesuatu persoalan. Aku bukan orang Jipang. Aku sejak
semula adalah penghuni lereng Merapi. Sejak Demak berkuasa, aku seakan-akan
terlepas dari kekuasaan itu. Apalagi sekarang. Namun aku menaruh hormat pada
perjuangan Angger Sanakeling. Aku kecewa melihat seorang Sumangkar dengan
mudahnya mengingkari dan mengkhianati perjuangan yang telah dirintis, bahkan dikorbani
dengan nyawa dari orang-orang sebesar Adipati Jipang sendiri, Patih Mantahun,
dan yang terakhir adalah Angger Macan Kepatihan.”
Ki Tambak Wedi
belum selesai dengan kata-katanya. Namun Sumangkar kini yang memotongnya.
“Ki Tambak
Wedi adalah penghuni lereng Merapi sejak semula. Karena itu Ki Tambak Wedi
tidak banyak mengetahui apa yang terjadi di Jipang, di Pajang dan di perkemahan
ini. Karena itu, apa yang dikatakan adalah semata-mata suatu cara untuk
melumpuhkan kita. Dengar, apakah kata-katanya bukan sekedar usaha untuk memecah
pendirian kita? Antara aku dan Angger Sanakeling. Ternyata usahanya hampir
terjadi seperti pada saat ia membakar hati Tundun dan kawan-kawannya di
perkemahan ini siang tadi. Usaha itu pun hampir berhasil. Untunglah Sumangkar masih
mampu mengusirnya. Sekarang kau kembali lagi dengan bisa di mulutmu. Sayang Ki
Tambak Wedi.”
Kata-kata
Sumagkar benar-benar menikam jantung Tambak Wedi. Kini ialah yang dibakar oleh
kata-kata itu sehingga darahnya tersirap sampai ke kepala. Dengan serta merta
ia menyawab lantang,
“Kau benar-benar
licik. Tetapi kau di sini berdiri seorang diri. Kalau Angger Sanakeling
bersedia aku ingin berdiri di pihaknya. Mungkin tak seorang pun dari kalian
yang mampu melawan Sumangkar. Tetapi bagi Tambak Wedi, Sumangkar bukan seorang
yang menyilaukan.”
Sanakeling
yang hatinya telah terbakar lebih dahulu tidak dapat menimbang lagi mana yang
buruk, mana yang baik. Hatinya telah dibutakan oleh ketamakannya atas pimpinan
sepeninggal Macan Kepatihan, atas harga dirinya sebagai seorang prajurit
pilihan, atas dendam yang membara di dadanya. Itulah sebabnya tiba-tiba ia
berteriak,
“Jangan banyak
bicara setan tua. Ayo, selama darah prajurit masih mengalir di dalam dada
kalian, kalian akan tetap dalam pendirian kalian yang telah kalian letakkan
sejak semula. Kini apabila kalian masih tetap dalam sumpah kalian sebagai
prajurit Jipang, dengar perintahku. Tangkap orangg tua ini!”
Teriakan
Sanakeling itu menggelegar menembus gelap pekatnya hutan, memukul pepohonan dan
bergema berulang-ulang. Susul menyusul seperti gelombang yang menghentak-hentak
pantai. Sumangkar yang mendengar perintah itu tiba-tiba mundur selangkah. Tanpa
sesadarnya ia membelai tongkat baja putihnya. Bahkan tiba-tiba pula ia berkata
lantang,
“Ayo! Inilah
Sumangkar. Siapa yang ingin menangkap Sumangkar, tangkaplah! Aku sudah tua.
Sudah banyak yang aku alami dan sudah banyak yang aku lakukan. Tetapi kalau
masih ada sepercik sinar di dalam hatimu, hati seorang manusia yang berdiri di
atas kemanusiaannya, dengarlah kata-kataku. Mungkin kata-kataku terakhir. Kalau
aku tidak sempat melakukan, kuburkanlah mayat Angger Macan Kepatihan baik-baik.
Ia adalah seorang yang berhati jantan, tetapi ia adalah seorang yang berhati
lembut, selembut hati seorang ibu. Pada saat terakhirnya, ia berkorban untuk
kalian, namun ia juga memikirkan hari-hari depan kalian. Hari-hari yang masih
panjang, buat anak cucu kalian dan hari yang masih panjang buat Demak. Ayo!
Sekarang aku sudah bersiap. Siapa yang pertama-tama? Sanakeling atau Tambak Wedi?”
Suara
Sumangkar yang tua itu pun terasa seakan-akan menusuk langsung ke setiap dada.
Orang-orang Jipang yang mendengar suaranya seakan-akan darahnya menyadi beku.
Mereka melihat orang tua itu menggenggam tongkatnya erat-erat, siap untuk
terayun dengan derasnya. Tetapi bukan hanya suara Sumangkar itu yang
mempengaruhi hati setiap orang Jipang, makna dari kata-kata itu pun telah
menyentuh hati sebagian mereka pula. Namun Sanakeling telah bena-benar bermata
gelap. Dengan serta merta ia menarik pedangnya. Dan sekali lagi suaranya
menggelegar memenuhi hutan.
“Ayo, tangkap
orang tua ini. Orang tua yang telah mengkhianati perjuangan kalian. Bahkan
sampai hati untuk merendahkan diri mencium kaki orang-orang Pajang.”
Tiba-tiba
orang-orang Jipang yang berdiri di muka gubug itu pun seakan-akan bergetar.
Beberapa orang menjadi saling berdesakan. Dan beberapa di antara mereka pun
tiba-tiba menarik pedangnya pula sambil berteriak menyambut perintah
Sanakeling.
“Kita telah
siap Ki Lurah. Kita siap menangkap orang tua itu.”
Sumangkar
memandang orang-orang Jipang itu dengan sudut matanya. Ia melihat beberapa
orang bena-benar telah mengacungkan pedang-pedang mereka. Dan karena itulah
maka hatinya benar-benar menyadi gelisah. Bukan karena ia takut mati. Tetapi
apakah ia sampai hati urtuk menebaskan tongkatnya kepada orang-orang yang tidak
menyadari apa yang akan dilakukannya itu? Karena itu ketika ia melihat beberapa
orang di antara mereka berdesakan maju, maka kegelisahannya menyadi semakin
menyekat hati. Apalagi ketika di kejauhan terdengar suara Tambak Wedi,
“Bagus. Kalian
telah bertindak tepat. Kalau tidak ada di antara kalian yang dapat
melakukannya, maka aku bersedia menolong kalian menangkap orang tua itu.”
Sumangkar
berdesis. Kemarahannya kini telah memuncak pula. Tetapi kepada Ki Tambak Wedi.
Bukan kepada orang-orang Jipang itu. Sehingga ketika ia melihat Sanakeling maju
selangkah maka Sumangkar itu mundur setapak.
“Jangan
mencoba lagi!” bentak Sanakeling.
Sumangkar
menggeram. Namun tiba-tiba, sekali lagi ia terkejut. Kini ia melihat
orang-orang Jipang itu seakan-akan terbagi. Beberapa orang yang telah menarik
senjata mereka, seakan telah berkumpul di bagian depan dari orang-orang Jipang
yang berkerumun itu. Tetapi sebagian yang lain masih tetap berdiri tegak di
tempat mereka. Bahkan kemudian terjadilah suatu hal yang tidak terduga-duga.
Tiba-tiba di antara mereka yang masih berdiri di tempatnya itu terdengar sebuah
teriakan nyaring.
“Jangan sentuh
orang tua itu. Kami berdiri di pihaknya.”
Setiap orang
berpaling ke arah suara itu. Sanakeling dan Sumangkar pun berpaling pula. Sebelum mereka melihat
siapa yang berteriak itu, terdengar orang lain menyambut,
“Kami berada
di pihak Ki Sumangkar.”
Tanpa
disangka-sangka pula, suara itu segera menjalar ke segala arah. Dengan suara
yang melengking-lengking terdengar orang-orang Jipang itu berteriak-teriak,
“Kami berada
di pihak Ki Sumangkar.”
Setiap darah
akan tersirap ketika mereka kemudian melihat senjata berkilauan. Kini bukan
saja orang-orang yang berdiri di pihak Sanakeling menarik senjata-senjata
mereka. Namun orang-orang yang berdiri di pihak Sumangkar pun telah menggenggam senjata-senjata mereka
yang telanjang. Yang paling nyaring dari antara mereka adalah suara Tundun,
yang pada siang harinya hampir berusaha membunuh Sumangkar. Kini dengan sepenuh
hati ia berteriak meskipun tangannya masih agak sakit.
“Ki Sumangkar
telah menyelamatkan kami siang tadi dari keganasan Ki Tambak Wedi. Aku telah
dihidupinya meskipun aku berusaha untuk membunuhnya. Ternyata Ki Sumangkar
adalah orang yang sebaik-baiknya dan sesakti-saktinya dalam perkemahan ini.”
“Tutup
mulutmu!” bentak seorang yang lain, yang berdiri di pihak Sanakeling.
“Kalau kau
ingin mati bersamanya, ayo, matilah kau lebih dahulu.”
“Bagus,”
teriak Tundun. “Siapa kau?”
Tundun melihat
seseorang meloncat dari antara orang-orang Jipang yang memihak Sanakeling.
Tetapi Tundun pun segera meloncat
menyongsongnya. Bahkan bukan saja Tundun. Tetapi seorang yang bertubuh kecil
dan bernama Bajang datang pula mendekatinya. Meskipun lukanya belum sembuh
benar.
“Hem,” Bajang
itu menggeram,
“serahkan
orang ini kepadaku. Aku setiap hari hanya mendapat pekerjaan memotong leher
binatang-binatang. Kini aku akan mencoba memotong leher orang.”
Namun
kawan-kawan orang itu pun segera berloncatan pula. Mereka tidak akan melepaskan
orang itu bertempur seorang diri. Dengan demikian maka kedua belah pihak telah
berhadapan dalam kelompok dan pihak masing-masing.
Melihat
peristiwa itu, alangkah sakitnya hati Sumangkar. Alangkah pedihnya. Karena itu
ketika kedua belah pihak telah siap untuk bertempur, terdengarlah Sumangkar itu
berteriak,
“Berhenti!
Berhenti! Apakah kalian, sudah menjadi gila? Bukankah kalian sedang berhadapan
dengan kawan sendiri, yang selama ini telah bersama-sama menanggung segala
macam derita dan kesulitan? Bukankah kalian selama ini telah terumbang-ambing
dalam biduk yang sama. Tenggelam bersama dan mengambang bersama. Bila badai
menempuh biduk itu, kalian bersama-sama dibuai dengan dahsyatnya, namun bila
angin silir, kalian bersama-sama dibelai oleh kesegaran. Kini kalian telah siap
berhadapan dengan senjata telanjang. Apakah kalian benar-benar telah menjadi
gila?”
Orang-orang
Jipang itu pun tertegun diam. Masing-masing seakan-akan telah dipukau oleh
suatu pesona mendengar kata-kata itu. Bahkan Sanakeling pun hanya berdiri saja mematung untuk sesaat.
Tetapi ketika kemudian Sanakeling menyadari, bahwa sebagian dari orang-orang
Jipang itu tidak mematuhi perintahnya, maka kembali darahnya bergelora dibakar
oleh kemarahan yang meluap-luap. Sanakeling merasa bahwa sebagian dari laskar
Jipang itu telah terpengaruh oleh Sumangkar untuk berkhianat kepadanya. Ya.
Kepadanya. Kepada Sanakeling. Sehingga dengan nyaringnya ia berkata,
“He. Siapa
yang berpihak kepada Sumangkar adalah pengkhianat. Orang-orang itu harus
dibinasakan pula bersama Sumangkar.”
Tetapi
Sumangkar menyahut,
“Dengarlah
olehmu sekalian. Apa pun yang kau dengar, baik dari mulutku, maupun dari mulut
Angger Sanakeling adalah demi keselamatan kalian. Pesan Angger Tohpati berisi
petunjuk supaya kalian dapat menemukan kedamaian hati dan kemungkinan yang
terang di hari depan. Sedang perintah Angger Sanakeling mengandung makna,
supaya kalian tetap dalam kejantanan jiwa seorang prajurit. Kalau kalian
kemudian bertempur satu sama lain, maka kedua pesan itu sama sekali tak
berarti. Kalian akan musnah, bukan sebagai prajurit-prajurit yang sedang
mempertahankan harga diri seperti yang dimaksud oleh Angger Sanakeling. Bukan
dalam kebesaran jiwa Jipang yang berjuang sampai tetes darah terakhir. Tetapi
sebagai prajurit yang saling bunuh-membunuh berebut kebenaran, yang tidak
berpangkal dan berujung. Juga kalian tidak akan dapat memenuhi pesan Angger
Tohpati yang kalian segani, sebab kalian tidak akan sempat menemukan kedamaian
hati dan hari depan yang baik. Kalian akan mati karena pedang kawan sendiri,
dan kalian akan mati tertimbun bangkai sesama.”
Kembali
orang-orang Jipang itu mematung. Sanakeling yang sudah meluap itu pun kembali
mematung pula. Namun sayang, bahwa di antara mereka, berdiri seorang Tambak
Wedi yang selalu meniup-niupkan bisa dari mulutnya. Ketika ia melihat
keragu-raguan di antara mereka, kembali ia tertawa dan berkata,
“Alangkah
liciknya cara Sumangkar yang perkasa itu menyelamatkan diri. Bagi seorang
prajurit, kebenaran adalah mutlak. Tidak pandang siapakah yang berdiri di
hadapannya. Jangankan kawan seperjuangan. Bahkan sanak kadang, ayah kandung
sendiri, kalau ia berkhianat, maka pedang kita akan menusuk ulu hatinya. Lebih
baik berkawan sepuluh duapuluh orang yang setia daripada seratus dua ratus
pengkhianat. Itulah pilihan Angger Sanakeling.”
“Tepat,”
teriak Sanakeling,
“tepat seperti
kata-kata Ki Tambak Wedi. Ayo jangan ragu-ragu. Pedang kalian telah tertarik
dari sarungnya.”
“Yang kalian
anggap pengkhianat adalah Sumangkar,” teriak Sumangkar.
“Kalau ada
yang berpihak kepadaku adalah karena mereka terpengaruh kata-kataku. Nah, ayo.
Kalau kalian ingin bertindak, bertindaklah terhadap Sumangkar. Kepada para
prajurit Jipang yang mendengarkan pesan-pesan Tohpati lewat mulutku, aku minta
kalian tidak perlu membela Sumangkar. Biarlah Sumangkar mati memeluk kewajiban
yang dibebankan oleh pemimpinnya pada saat-saat terakhir, menyampaikan pesan
itu kepada kalian. Lepaskan Sumangkar dan kalian dapat meninggalkan tempat ini
menempuh jalan yang kalian kehendaki itu. Sekarang ayo, siapa yang akan
membunuh Sumangkar?”
Sanakeling
menggeram. Namun ia masih belum beranjak dari tempatnya. Ia tahu benar siapakah
Sumangkar itu. Ia mengharap semua prajurit Jipang bersama-sama menangkapnya.
Betapapun saktinya Sumangkar, namun ia pasti tidak akan dapat melawan semua
orang yang berada di tempat itu. Tetapi tiba-tiba orang-orang Jipang itu
terbelah. Hampir terbelah dua, yang masing-masing akan dapat bertempur dengan
pemimpin saja mampu menangkap Sumangkar. Ketika ia berpaling dilihatnya
Alap-alap Jalatunda. Anak muda itu berdiri dengan tegangnya. Namun wajahnya
tidak meyakinkan Sanakeling, kepada siapa ia akan berpihak. Sedang beberapa
orang yang lain pun sangat meragukannya. Demikianlah maka setiap wajah kini
dicengkam oleh keragu-raguan. Meskipun pedang Sanakeling telah bergetar namun
kakinya sama sekali belum bergerak.
Dalam
keragu-raguan itu terdengar kembali suara Ki Tambak Wedi,
“Kenapa kau
ragu-ragu Angger Sanakeling? Setidak-tidaknya yang sependapat dengan
pendirianmu adalah separo. Serahkan mereka menyelesaikan pendirian masing-masing.
Jangan hiraukan alasan-alasan cengeng yang keluar dan mulut Sumangkar. Sekarang
Angger Sanakeling dapat menangkap dan sekaligus menghukum mati Sumangkar itu.
Kalau Angger tidak sanggup karena kesaktian Sumangkar, biarlah Tambak Wedi
membantumu.”
Mata
Sanakeling yang liar menjadi bertambah liar. Tawaran itu menggembirakannya,
sehingga ia menjawab,
“Terima kasih
Ki Tambak Wedi. Orang ini memang perlu mendapat sedikit peringatan. Peringatan
atas kelicikannya membawa sebagian dari kita untuk berkhianat.”
“Tambak Wedi,”
potong Sumangkar.
“Kau bukanlah
seorang dari antara kami. Tetapi mulutmu yang berbisa itu seakan-akan
menentukan apa yang harus kita lakukan. Kau telah berhasil menghancurkan
pasukan Jipang tanpa membawa seorang prajuritpun. Sehingga dengan demikian kau
berhak mengenakan tanda jasa yang setingi-tingginya dari Pajang.”
Sekali lagi
Tambak Wedi menggeram. Sumangkar masih mampu menangkis usahanya yang terakhir.
Sesaat ia kehilangan kesempatan untuk mendororong Sanakeling bertindak lebih
jauh. Apalagi ketika kemudian ia melihat Sanakeling menjadi ragu-ragu. Karena
itu maka ia langsung sampai pada tujuannnya, katanya,
“Hem. Sekali
lagi kau menunjukkan kelicikanmu Sumangkar. Baiklah aku berterus terang.
Muridku telah di sisihkan oleh Untara setelah ia gagal berusaha membunuh
senapati Pajang yang sombong itu. Ia hanya berhasil melukainya dengan parah.
Tetapi Untara itu dapat sembuh dari sakitnya. Kini muridku datang untuk
menawarkan diri kepada Angger Sanakeling. Bekerja bersama. Mungkin kita belum
menemukan titik persamaan pendirian. Namun hal itu dapat dibicarakan kemudian.”
Darah
Sanakeling tersirap mendengar tawaran itu. Alangkah baiknya. Selagi ia kehilangan
seorang pemimpin yang kuat, tiba-tiba ia akan mendapat kawan dalam meneruskan
perjuangan, meskipun perjuangan itu tidak lebih dari menyebarkan dendam di
mana-mana. Maka dalam kegelapan pikiran, tawaran Ki Tambak Wedi itu bagi
Sanakeling bagaikan sepercik sinar yang langsung menyorot hatinya. Apalagi pada
saat itu Sanakeling tidak sempat untuk banyak membuat pertimbangan. Yang
menyumbat otaknya adalah pengkhianatan Sumangkar dan beberapa orang prajurit
kepadanya. Karena itu maka teriaknya,
“Bagus! Tawaran
itu bagus sekali Kiai. Mungkin kita dapat menemukan titik-titik persamaan yang
dapat kita pakai sebagai dasar perjuangan bersama untuk membinasakan Untara.
Nah, sekarang orang tua inilah yang harus kita binasakan lebih dahulu.”
Ki Tambak Wedi
tertawa. Katanya,
“Namun dalam
beberapa hal aku sependapat dengan Adi Sumangkar. Para prajurit Jipang ini
tidak perlu saling membunuh. Mereka kini hanya diwajibkan untuk menonton
pertunjukan yang pasti akan mengasyikkan kalian.”
Para prajurit
Jipang itu masih tegak dengan senjata di tangan masing-masing. Wajah-wajah
mereka masih dicengkam oleh ketegangan dan ujung senjata-senjata mereka masih
bergetaran.
“Nah, Adi
Sumangkar. Apakah kau sudah bersedia untuk mati?”
Sumangkar
mengerutkan keningnya. Betapa umurnya yang telah melampaui pertengahan abad
itu, telah membantunya untuk melihat jauh ke dalam hati orang-orang yang berada
di sekitarnya. Sanakeling, Tambak Wedi, dan para prajurit yang kebingungan itu.
Juga kata-kata Tambak Wedi itu baginya sama sekali tidak diucapkan dengan jujur.
Karena itu maka jawabnya,
“Kakang Tambak
Wedi, Sumangkar sudah siap sejak semula. Namun sekali lagi aku ingin berpesan.
Bagi mereka yang ingin memenuhi pesan Angger Tohpati lewat mulutku. Janganlah
nonton seperti nonton adu ayam. Kalian berada dalam bahaya. Selama aku masih
hidup, mungkin Ki Tambak Wedi dan beberapa orang terpenting dari pasukan ini
masih memerlukan menangkap dan membunuhku. Tetapi sepeninggalku, maka akan
datang giliran buat kalian. Apa yang akan dapat kalian lakukan apabila
Sanakeling dan Tambak Wedi ikut serta dalam barisan yang ingin membinasakan
kalian? Nah, karena itu, sebelum aku binasa, aku masih akan dapat mengikat
perhatian Tambak Wedi dan Sanakeling. Karena itu, berusahalah meninggalkan
tempat ini. Pergilah langsung ke Sangkal Putung. Katakan apa yang kalian lihat
di sini. Katakan bahwa kalian mendengar pesan Tohpati dari mulut Sumangkar,
yang barangkali pada saat-saat itu telah terbunuh di sini. Jangan ragu-ragu.
Pesan itu telah didengar pula oleh Untara dan Untara telah mengucapkan jaminan
untuk kalian. Sebagai seorang senapati yang berhati jantan, pasti ia tidak akan
ingkar. Aku mengharap orang yang bernama Kiai Gringsing akan membantu kalian
apabila Angger Untara melupakan janjinya. Aku percaya kepada orang itu. Aku
percaya kepada muridnya yang bernama Agung Sedayu, adik Untara. Mereka adalah
manusia-manusia yang baik bagi kemanusiaan. Jangan mencoba bertempur di sini.
Tak akan ada gunanya. Nah, apakah kalian dengar?”
“Sebuah
jebakan yang manis,” teriak Ki Tambak Wedi.
“Kalian
benar-benar akan menjadi seperti ikan masuk ke dalam wuwu. Kalian, akan masuk
Sangkal Putung dengan mudahnya. Tetapi demikian senjata-senjata kalian
dikumpulkan, maka tangan kalian akan segera terikat. Kalian, akan menjadi
bandan seumur hidup kalian atau bahkan akan diseret sepanjang jalan dalam
hukuman picis. Betapa nyamannya kulit kalian akan disobek segores demi segores,
dan dipercikan air asam pada luka-luka itu.”
Namun Sumangkar
sempat menyahut,
“Adalah suatu
khayalan yang mengerikan. Kalau aku hanya sekedar ingin membunuh kalian, para
prajurit Jipang, aku tidak akan bersusah payah mempertahankan pendirian ini
dengan berperisai nyawa. Aku akan dapat berbuat dengan mudahnya, meneteskan
beberapa tetes getah racun ke dalam masakanku, maka kalian akan binasa
bersama-sama. Tetapi aku tidak berbuat demikian. Kalian bukan anak-anak yang
bodoh. Kalian kini sudah cukup dewasa untuk berpikir dan berbuat. Nah,
silahkanlah. Jangan terlalu lama.” Kemudian kepada Ki Tambak Wedi, Sumangkar
berkata,
“Ayo. Kau
sudah mulai menjemukan bagiku. Berbuatlah sesuatu. Jangan selalu berbicara saja
dengan mulutmu yang berbisa. Memang mungkin mulutmu itu lebih tajam dari
senjatamu. Tetapi tongkat baja putih, ciri perguruan Kedung Jati ini akan dapat
menutup mulutmu itu untuk selama-lamanya.”
Tambak Wedi
menggeram, Kemarahannya telah benar-benar membakar dadanya. Tiba-tiba di atas
kepala orang-orang Jipang itu terdengar suara berdesing. Seperti desing anak
panah raksasa yang meluncur dengan cepatnya. Orang-orang Jipang itu terkejut.
Serentak mereka menengadahkan wajah-wajah mereka. Tetapi mereka tidak melihat
sesuatu. Namun Sumangkar adalah lain dari mereka. Sumangkar mempunyai beberapa
kelebihan dari para prajurit itu. Betapa lemahnya cahaya obor di sekitarnya, namun
matanya yang tajam masih dapat menangkap seleret benda yang berlari kencang,
sekencang tatit, menyambarnya. Tetapi Sumangkar adalah murid kedua dari
perguruan Kedung Jati. Itulah sebabnya, maka ia mampu bergerak menyamai
kecepatan benda yang meluncur itu. Dengan lincahnya ia bergeser surut setapak,
dan dalam pada itu tongkatnya menyambar sebuah benda yang meluncur ke arah
kepalanya. Sesaat kemudian terdengarlah sebuah benturan yang dahsyat. Kedua
benda itu beradu. Demikian dahsyatnya sehingga suaranya berdentang memekakkan
telinga, sedang dari benturan itu memercik bunga-bunga api yang gemerlapan. Tetapi
Sumangkar tidak sekedar memukul benda itu. Demikian tangkas gerak tongkatnya,
sehingga benda itu terpukul ke samping. Untunglah Sanakeling bukan sekedar
patung batu. Orang itu mampu menangkap keadaan. Ketika ia melihat Sumangkar
memukul benda itu ke arahnya, ia telah menyiapkan pedangnya. Tetapi demikian
pedangnya berhasil menangkis benda yang terpantul ke arahnya itu, maka
tergetarlah tangannya dan pedangnya pun terlontar jatuh. Sanakeling itu sesaat
terpaku diam di tempatnya. Terasa tangannya menjadi pedih, tetapi terasa
dadanya seakan-akan menyala dibakar oleh kemarahannya yang meluap-luap. Ketegangan
dan kesenyapan memuncak di sekitar gubug itu. Semua orang seperti terbungkam
mulutnya oleh tangan-tangan iblis yang mengerikan. Darah mereka bahkan terasa
seolah-olah berhenti mengalir.
Namun, selain
Sanakeling yang dadanya seolah-olah menyala maka Ki Tambak Wedi yang ternyata
kini telah berdiri di atas sebongkah batu padas itu pun mengumpat
sejadi-jadinya. Sumangkar, juru masak yang malas itu telah berhasil
menghindarkan serangan pertamanya. Dengan serangan yang dilontarkannya dari
dalam gelap, ia ingin sekaligus membunuh Sumangkar dengan gelang-gelang besinya.
Tetapi ternyata murid kedua dari perguruan Kedung Jati itu benar-benar tangkas.
Dan ternyata pula tongkat baja putih itu pun bukan sekedar senjata biasa.
Tongkat itu mampu menahan arus yang dahsyat dan kekuatan Ki Tambak Wedi lewat
gelang-gelang besinya. Bahkan serangan itu hampir saja mengenai Sanakeling
pula. Meskipun kemudian Sanakeling berhasil pula menangkis pantulan besi itu,
namun senjatanya terlepas dari tangannya. Dengan demikian dapat diduga, betapa
dahsyatnya kekuatan Ki Tambak Wedi, dan betapa dahsyatnya kekuatan Sumangkar
serta tongkat baja putihnya. Semua yang terjadi itu hampir tak masuk di akal
para prajurit Jipang yang melihat peristiwa itu dengan mata yang terbelalak.
Mereka selama ini sepeninggal Adipati Jipang dan Patih Mantahun, tidak mengenal
orang sakti selain Macan Kepatihan. Bahkan mereka menyangka bahwa tak ada
seorang pun yang akan mengalahkan pemimpinnya itu.Tetapi ternyata Raden Tohpati
itu terbunuh. Selama ini mereka menyangka, bahwa apabila tidak dikirim Ki Gede
Pemanahan, atau Mas Ngabehi Loring Pasar, maka Tohpati tidak akan dapat
dibinasakan. Tetapi mereka terpaksa melihat kenyataan, bahwa Untara telah
berhasil membunuhnya. Dan kini di antara mereka sendiri, mereka dapat melihat
kemampuan dan kesaktian yang melampaui kemampuan dan kesaktian Macan Kepatihan.
Juru masak yang malas itu ternyata adalah seorang yang telah memukau jantung
mereka. Peristiwa ini sekaligus telah mengetok hati para prajurit Jipang itu,
bahwa kesaktian itu tersimpan di mana-mana. Kadang-kadang di tempat-tempat yang
sama sekali tak terduga-duga. Yang dikagumi masih ada yang melampauinya, dan
yang melampaui itu pun bukanlah seorang yang tak terkalahkan. Beberapa orang
yang berotak cair segera dapat mengambil pelajaran dari peristiwa ini. Tak
seorang pun yang dapat menyebut dirinya tak terkalahkan. Tak seorang pun yang
akan dapat dianggap sebagai seorang yang maha sakti. Seperti apa yang telah
terjadi atas Jipang yang merasa diri mereka tak terkalahkan, setidak-tidaknya
mereka menganggap bahwa pemimpin-pemimpin mereka adalah orang-orang yang tak
terkalahkan, maka akhirnya Jipang terpaksa jatuh tersungkur, terbenam dalam
kehancuran yang dahsyat, sehingga sulitlah untuk dapat bangkit kembali. Arya
Jipang yang disangka tak akan dapat terbunuh kalau tidak oleh senjata pusakanya
sendiri itu pun akhirnya terbunuh juga, hanya oleh seorang anak muda yang sama
sekali tak pernah disebut namanya. Apalagi dalam deretan nama para sakti.
Anak muda yang
bernama Mas Ngabehi Loring Pasar yang juga disebut Sutawijaya itu ternyata
mendapat cara untuk menggoreskan keris Arya Penangsang sendiri, yang disebutnya
Setan Kober, pada ususnya yang telah mencuat keluar dari luka di lambungnya.
Luka karena tusukan tombak Kiai Plered di dalam genggaman anak muda yang
bernama Sutawijaya itu. Bagi mereka yang berotak cair, melihat semua peristiwa
itu dengan debar di dalam dadanya. Mereka seolah-olah melihat semuanya itu
terjadi kembali. Juga tidak masuk di akalnya. Namun semua peristiwa itu telah
menuntun mereka untuk mengenangkan, bahwa ada kekuasaan di luar kekuasaan
manusia. Kalau kekuasaan itu akan berlaku, berlakulah. Di mana dan kapan saja.
Semua yang tidak mungkin, akan terjadi pula. Bahkan yang tak masuk akal
sekalipun. Kekuasaan itu adalah kekuasaan yang akan menggilas semua ketamakan,
kesombongan, dan kebanggaan manusia atas dirinya sendiri. Tetapi tidak semua
orang melihat sinar yang betapapun terangnya. Seseorang yang berdiri di dalam
gelap sekalipun. Kadang-kadang mereka lebih senang tenggelam dalam dunianya
yang gelap, yang akan dapat melindunginya untuk berbuat apa saja sekehendak
hatinya. Prajurit-prajurit Jipang itu pun tetap terbagi dalam pendirian yang
berbeda. Mereka masih tetap berpijak pada sikap masing-masing. Sebagian dari mereka
berkata di dalam hatinya,
“Alangkah dahsyatnya
Ki Sumangkar. Ia mampu melawan serangan yang datang dengan tiba-tiba, serangan
yang licik itu.” Namun orang-orang yang lain berkata di dalam hatinya,
“Alangkah
dahsyatnya lontaran tangan Ki Tambak Wedi. Dengan bermain-main gelang itu,
hampir-hampir Sumangkar dapat dibunuhnya. Apalagi kalau ia nanti
bersungguh-sungguh menyerang Sumangkar untuk membunuhnya.”
Di antara
mereka, yang tak beringsut dari pendiriannya, dan bahkan menjadi semakin
berkobar di dalam dadanya adalah Sanakeling. Bahwa pedangnya lepas dari
tangannya, adalah suatu peristiwa yang sangat memalukan. Sumangkar dapat
menahan gelang-gelang yang langsung meluncur dari tangan Ki Tambak Wedi, sedang
pedangnya terloncat dari genggamannya hanya karena pantulan benda itu.
Sejenak
kemudian kesenyapan itu dipecahkan oleh suara Ki Tambak Wedi,
“Gila kau
Sumangkar. Tetapi jangan kau sangka bahwa kau akan dapat melepaskan diri dari
tangan Ki Tambak Wedi.” Kemudian kepada Sanakeling ia berkata,
“Biarkan para
prajurit Jipang membuat keputusan sendiri di antara mereka. Namun marilah,
sumber dari pengkhianatan itu kita lenyapkan.”
Sumangkar sama
sekali tidak menyahut. Perlahan-lahan tangannya membelai senjatanya,
seolah-olah ia berkata,
“Marilah kita
berbuat sesuatu untuk yang terakhir kalinya.”
Tetapi
ternyata Sumangkar tidak berdiri sendiri. Ketika Para prajurit yang berpihak
kepadanya melihat, bahwa Sumangkar telah bersiap untuk menyongsong segala
kemungkinan, maka orang-orang Jipang yang berpihak kepadanya pun bersiap pula. Ki
Tambak Wedi yang seakan-akan dadanya meledak karena goncangan kemarahannya,
kemudian berteriak nyaring untuk menekan keberanian orang-orang Jipang yang
berpihak kepada Sumangkar.
“He Sumangkar,
di tanganmu tergenggam ciri perguruan Kedung Jati. Sebuah tongkat baja putih
yang terkenal. Tetapi perguruan di kaki Gunung Merapi mempunyai cirinya
sendiri. Bukan sekedar gelang-gelang permainan kanak-kanak, tetapi kau sudah
cukup mengenal ciri itu. Marilah kita lihat, manakah yang lebih sempurna, ciri
Kedung Jati dan ciri Lereng Merapi.”
Semua orang
berpaling ke arah Ki Tambak Wedi berdiri. Dan semua orang melihat orang tua itu
berdiri di atas segumpal batu padas dengan sebuah senjata yang dahsyat di
tangan. Sebuah Nenggala yang runcing pada ujung dan pangkalnya. Sebuah Nenggala
yang berbentuk dua ekor ular yang saling mem belit berlawanan arah. Lidah-lidah
ular itu terjulur dalam bentuk tempaan ujung tombak. Mengerikan. Itu adalah
tanda dan senjata yang terpercaya dari perguruan Tambak Wedi. Dan senjata itu
kini telah ditarik dari selubung dan wrangkanya. Sumangkar pun melihat senjata itu pula dalam keremangan
cahaya obor yang kemerah-merahan. Terasa debar jantungnya bertambah cepat.
Tambak Wedi memang terkenal sebagai seorang yang sangat sakti seakan-akan mampu
menangkap angin. Namun perguruan Kedung Jati pernah pula terkenal, seolah-olah
mampu menyimpan nyawa rangkap di dalam tubuhnya. Kini mereka berha-dapan dengan
ciri kebesaran perguruan masing-masing. Ciri yang tersimpan rapat-rapat dan
jarang-jarang dipergunakan apabila keadaan tidak sangat gawat bagi mereka
masing-masing. Namun Sumangkar benar-benar sudah pasrah diri. Ia tidak melihat
kemungkinan lain daripada mati. Melawan Ki Tambak Wedi seorang diri, ia pasti
tidak akan dapat mengalahkannya. Apalagi Ki Tambak Wedi masih juga bergabung
dengan orang-orang seperti Sanakeling dan mungkin para pemimpin Jipang yang
lain. Meskipun mereka agaknya ragu-ragu, namun apabila Sanakeling telah
bertindak bersama-sama Tambak Wedi, maka sebagian dari mereka pun akan berbuat
pula serupa. Sumangkar menggeram perlahan-lahan. Ia pernah bertempur melawan
Tambak Wedi. Tetapi waktu itu ia tidak mempergunakan senjatanya, dan Tambak
Wedi pun hanya sekedar mempergunakan
gelang-gelang untuk melindungi tangannya. Tetapi kini, keduanya telah bersiap
dengan senjata masing-masing.
Sanakeling
yang masih berdiri di hadapan Sumangkar hampir-hampir tak dapat lagi menahan
dirinya. Kemarahannya telah membakar darahnya sampai ke ubun-ubun. Tetapi ia
tidak segera berbuat sesuatu. Ia tidak dapat melangkah mengambil senjatanya
sebab dengan demikian Sumangkar dapat menyerangnya dengan tiba-tiba dan memukul
tengkuknya dengan tongkat baja itu. Karena itu maka satu-satunya kemungkinan
baginya adalah menunggu Tambak Wedi bertindak lebih dabulu. Sumangkar pun tidak mau memulai perkelahian itu.
Apabila setapak ia maju mendekati Sanakeling dan mengabaikan Tambak Wedi, maka
pasti akan terbang lagi gelang-gelang serupa menyambarnya. Karena itu maka
perhatiannya justru sebagian besar tertuju ke arah Ki Tambak Wedi daripada
Sanakeling yang berdiri beberapa langkah saja daripadanya. Beberapa orang lain,
menurut pertimbangan Sumangkar tidak akan memulai pula. Mereka masih berdiri
dalam keragu-raguan. Sebagian dari mereka pasti hanya akan menunggu
perkembangan keadaan. Siapa yang menang itulah yang akan menentukan, kepada
siapa ia akan berpihak. Tetapi agaknya Tambak Wedi lah yang akan memulai
memecahkan sikap-sikap itu. Ternyata dengan tangannya ia meloncat turun dan
berjalan menyibak orang-orang Jipang ke arah Sumangkar berdiri. Ternyata Tambak
Wedi itu pun memperhitungkan semua kemungkinan yang dihadapinya. Ia menjinjing
senjatanya di tangan kiri, dan menggenggam gelang-gelang di tangan kanan siap
dilontarkan apabila pada saat ia berjalan mendekat itu Sumangkar mulai
menyerang Sanakeling yang tidak bersenjata. Setiap langkah Ki Tambak Wedi
terasa seakan-akan derap seorang raksasa yang berjalan di dalam dada setiap
orang yang menyaksikannya. Setiap langkah telah meningkatkan ketegangan menjadi
semakin memuncak, seakan-akan sebuah tanggul yang telah penuh dengan air.
Setiap saat akan pecah. Setiap saat banjir akan dapat melanda dengan
dahsyatnya. Sumangkar memandang langkah Tambak Wedi itu tanpa berkedip. Semakin
dekat hantu Lereng Gunung Merapi itu, semakin erat ia menggenggam tongkat baja putihnya.
Sekali-sekali dipandanginya beberapa orang Jipang yang berdiri saling
berhadapan seperti dua gelar perang yang siap berbenturan. Sesaat hatinya
menjadi sedih. Ia dapat membayangkan bahwa apabila perkelahian itu terjadi,
maka akan tumpaslah segenap pasukan itu. Sumangkar dapat menduga bahwa para
prajurit itu seakan-akan benar-benar terbelah di tengah. Masing-masing pihak
yang semula tercampur-baur itu, kini benar-benar telah bersibak menurut pilihan
masing-masing. Dan Tambak Wedi, yang garang itu berjalan di tengah-tengah, di
garis pemisah antara kedua pihak yang berselisih pendapat itu. Namun dada
setiap orang yang berdiri di tempat itu benar-benar akan pecah oleh peristiwa
yang menyongsong kemudian. Peristiwa yang benar-benar telah meledak tanpa dapat
mereka mengerti. Ketika semua orang sedang dipukau oleh ketegangan langkah Ki
Tambak Wedi, tiba-tiba mereka mendengar suara tertawa pula. Tidak sekeras suara
Ki Tambak Wedi. Namun suara itu telah menarik segenap perhatian dari semua
orang yang berada di tempat itu. Termasuk Ki Tambak Wedi sendiri. Dan yang
lebih menggemparkan dada mereka adalah pada saat semua orang melihat sebuah
bayangan berdiri di atas sebongkah batu padas, tempat Ki Tambak Wedi tadi
berdiri, dengan sebuah Nenggala di tangannya. Nenggala ciri kebesaran perguruan
Tambak Wedi yang telah ditarik dari selubung dan wrangkanya.
Betapa
terkejut orang-orang yang melihat bayangan itu, tidak seorang pun yang menyamai
Ki Tambak Wedi sendiri. Dalam kegelapan ia melihat seolah-olah seseorang dari
perguruan Tambak Wedi berdiri di atas sebongkah batu padas dengan gagahnya.
Bahkan seperti ia melihat sendiri berdiri di situ, seperti pada saat ia
melemparkan gelang-gelang besinya ke arah Sumangkar. Selain Tambak Wedi,
Sumangkar pun terkejut bukan buatan. Ia
tidak dapat melihat dengan jelas siapakah yang berdiri agak jauh di belakang
orang-orang Jipang yang sudah siap saling membunuh sesama mereka. Ia tidak
dapat mengatakan, bahwa Ki Tambak Wedi yang baru saja melontarkan gelang
besinya meloncat kembali ke atas batu padas itu, sebab Ki Tambak Wedi kini
masih tegak berdiri di antara kedua belah pihak orang-orang Jipang yang berbeda
pendapat. Namun menilik senjata yang dibawanya, berujung runcing di pangkal dan
ujungnya, ternyata pula dari cara orang itu memegang tangkainya, tepat di
tengah-tengah, maka orang itu mirip benar dengan Ki Tambak Wedi sendiri. Terdengar
kemudian Ki Tambak Wedi menggeram. Dengan lantang ia berkata,
“He, setan
manakah kau ini? Dari mana mendapat senjata yang mirip dengan senjata Tambak
Wedi?”
Ketika orang
itu menjawab, maka dada Sumangkar dan Ki Tambak Wedi berdesir seperti tersentuh
ujung senjata itu sendiri. Berkata orang itu,
“Kenapa kau
heran Ki Tambak Wedi. Apakah hanya Tambak Wedi yang memiliki jenis senjata
macam ini?”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar