“He, jangan membual!” bentak salah seorang petugas yang tidak senang mendengar kelakar orang tua itu. Tetapi petugas yang lain tertawa sambil berkata,
“Memang
sebaiknya kau kawin lagi. Mungkin masih ada nenek-nenek yang mau menjadi
isterimu sebelum masuk ke liang kuburnya.”
Kiai Gringsing
tertawa dengan nada yang tinggi melengking.
“He, kau
tertawa seperti kuda meringkik,” berkata salah seorang dari petugas-petugas
itu.
“Agaknya suara
tertawanya itulah yang menyebabkan kau disebut Truna Podang.”
“Mungkin,
Tuan. Memang mungkin sekali.”
“Jangan diajak
berbicara,” sela yang lain, “orang ini akan mengigau terus-menerus.” Kemudian
kepada Kiai Gringsing petugas itu bertanya,
“Di mana
alat-alatmu?”
“Alat-alat
apa, Tuan?” bertanya Kiai Gringsing.
“Kau datang
kemari mau apa?” bertanya petugas itu.
“Ikut membuka
Alas Mentaok.”
“Kenapa kau
tidak membawa alat-alat untuk menebangi pepohonan?”
“Barangkali
ada tanah yang sudah bersih, Tuan.”
“Tutup
mulutmu,” petugas yang satu itu agaknya terlampau keras.
“Bicaralah
sungguh-sungguh kalau kau tidak mau aku tampar mulutmu.”
Kiai Gringsing
mengerutkan keningnya. Dipandanginya beberapa petugas yang lain, yang masih
tersenyum-senyum saja. Bahkan kemudian salah seorang dari mereka berkata,
“Kita perlu
memelihara orang-orang macam ini. Yang tua ini pandai berkicau, anak-anaknya
pun tentu pandai menciap-ciap.”
“Lempar saja
ia ke tengah-tengah hutan yang lebat. Biarlah ia dimakan hantu yang berkeliaran
itu.”
“Tetapi,
tetapi kami ingin ikut serta Tuan-Tuan, jangan disangka kami tidak
bersungguh-sungguh. Meskipun kami tidak membawa alat-alat untuk itu. Kami
menyangka bahwa alat-alat untuk itu telah disediakan di sini.”
“Kau memang
bodoh. Apakah kami harus menyediakan alat-alat itu untuk ratusan orang? Setiap
hari, masih saja mengalir orang-orang baru yang ingin ikut membuka hutan ini.”
Kiai Gringsing
mengerutkan keningnya. Sejenak ia berpaling kepada kedua anak-anaknya. Tetapi
baik Agung Sedayu maupun Swandaru, tidak dapat memberikan pertimbangan apa pun.
“Jadi
bagaimana?” bertanya petugas itu.
“Tetapi,
bukankah hal yang demikian itulah yang dikehendaki? Semakin banyak orang yang
datang ke tlatah ini, daerah baru ini akan menjadi semakin cepat ramai.”
“Tetapi mereka
harus membawa alat-alatnya masing-masing. Kita tidak akan menyediakan apa pun
juga di sini.”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun kemudian katanya, “Bagaimana kalau kami
meminjam?”
“Dari siapa
kau meminjam?”
“Dari para
petugas di sini. Apakah di sini tidak ada kapak, parang dan sebagainya?”
Petugas itu
menggelengkan kepalanya. Bahkan kemudian ia membentak,
“Jangan
mengganggu tugas kami. Pergilah kamu. Kalian memang tidak menyiapkan diri untuk
ikut membuka hutan ini.”
Sejenak Kiai
Gringsing merenung. Ia hampir kehabisan akal untuk menyatakan dirinya ikut
serta di dalam perluasan tanah garapan di daerah yang baru ini.
“Apakah aku
harus langsung ke pusat daerah ini, daerah yang pasti sudah menjadi ramai?”
bertanya Kiai Gringsing kepada diri sendiri,
“Tetapi
menilik pembicaraan Raden Sutawijaya, maka hantu-hantu itu berkeliaran terutama
di daerah-daerah yang baru dibuka ini.”
“Menyingkirlah!
Jangan berdiri mematung di situ,” bentak seorang petugas.
Dalam
kebingungan itu, tiba-tiba seorang petugas yang lain menghampirinya sambil
bertanya,
“Kau
benar-benar tidak mempunyai alat-alat?”
“Tidak, Tuan.
Kami tidak mempunyai apa pun di rumah kami. Itulah sebabnya kami mencoba
mengadu untung ke daerah baru ini. Tetapi ternyata tanpa modal alat-alat yang
tidak kami miliki itu, kami tidak dapat berbuat apa-apa di sini.”
“Apakah kau
seorang petani?”
Kiai Gringsing
mengangguk.
“Ya, Tuan.
Kami adalah petani-petani miskin. Bahkan yang paling miskin di daerah kami.”
“Kalau kau
tidak mempunyai alat-alat, dengan apa kau bertani?”
“Kami
mempunyai beberapa macam alat pertanian. Tetapi tidak ada harganya sama sekali.
Cangkul yang geropok, parang yang sudah patah dan sedikit buntung. Tetapi
alat-alat itu sudah tidak pantas kami bawa kemari.”
Petugas itu
merenungi Kiai Gringsing dan kedua anak-anaknya berganti-ganti. Tersirat
keheranan di sorot matanya, melihat tubuh Agung Sedayu yang kuat dan Swandaru
yang gemuk.
“Bukankah
sayang sekali, tuan?” berkata Kiai Gringsing.
“Aku mempunyai
anak-anak yang masih muda dan kuat. Kalau tenaganya tidak dipergunakan
sebanyak-banyaknya, maka ia akan menjadi beban yang sangat berat bagiku.
Padahal keduanya sedang menginjak musim makan sebanyak-banyaknya.
“Apakah mereka
tidak mau membantu ayahnya?”
“Tentu mereka
mau membantu aku. Tetapi alat-alat kamilah yang tidak mencukupi, sehingga kami
harus bekerja bergantian.”
Petugas itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi tiba-tiba kawannya membentak,
“Biarlah
mereka pergi. Mereka pasti hanya akan mengganggu saja di sini.”
“Tunggu,”
jawab kawannya, lalu katanya kepada Kiai Gringsing,
“Podang. Eh,
bukankah namamu, Truna Podang?”
Kiai Gringsing
mengangguk. “Ya.”
“Mungkin kau
berguna di sini. Kau pasti pandai berceritera. Meskipun ceritera-ceritera khayal
sekalipun. Karena itu, aku menjadi kasihan kepadamu. Kalau kau memang berniat
untuk ikut menebangi pepohonan dan membuka hutan, aku akan meminjamkan
alat-alat kepadamu.”
“He? Tentu
kami akan sangat berterima kasih, Tuan.”
“Biasanya di
sini orang-orang baru bekerja di dalam kelompok-kelompok. Mereka bersama-sama
membuka suatu daerah yang kami tunjukkan kepada mereka, menurut rencana yang
sudah disusun. Tetapi karena kalian hanya bertiga, maka kami akan memberikan
daerah yang barangkali tidak terlampau sulit dikerjakan.”
“Terima kasih,
terima kasih.”
Sebelum
petugas itu berkata terus, kawannya telah menyahut,
“Buat apa kau
pelihara orang-orang malas itu?”
“Aku akan
melihat, apakah mereka dapat bekerja atau tidak,” jawab kawannya. Dan kepada
Kiai Gringsing ia berkata,
“Aku beri kau
daerah yang berada di pinggir patok yang sudah kami pasang. Agak di tengah.
Apakah kalian sanggup mengerjakannya? Tetapi daerah itu tidak terlalu banyak
pohon-pohonnya yang besar.”
Kiai Gringsing
mengerutkan keningnya. “Di mana?” ia bertanya.
“Di bagian
Utara. Di bagian ini hutan terlampau lebat untuk kalian bertiga. Tetapi kau
perlu mengetahui, bahwa daerah itu tidak akan dapat sesubur daerah yang lebat
ini.”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Baiklah,
Tuan. Meskipun daerah ini subur, tetapi kami tidak akan mampu membukanya,
karena kami hanya bertiga.”
“Baiklah.
Marilah, kita ambil alat-alat itu. Alat-alat itu bukan milikku sendiri. Tetapi
aku mendapat titipan dari mereka yang tidak kerasan tinggal di sini.”
Kiai Gringsing
mengerutkan keningnya. Dan di luar sadarnya ia bertanya,
“Kenapa ada
yang tidak kerasan sebelum mereka berhasil menyelesaikan pekerjaan mereka?”
“Satu dua
orang yang berhati kecil, kini sedang menghindari daerah ini.”
“Apa pedulimu?”
sahut petugas yang lain. Sedang petugas yang bersedia meminjamkan alat-alatnya
itu hanya mengerutkan keningnya saja.
Terlintas di
kepala Kiai Gringsing pembicaraan Sutawijaya dengan para pengawalnya. Memang
ada satu dua orang yang menjadi ketakutan dan meninggalkan daerah-daerah yang
masih sedang dibuka, masuk ke tempat yang sudah mulai ramai.
“Marilah.
Ikuti aku ke gubukku,” ajak petugas itu.
Kiai Gringsing
pun menganggukkan kepalanya. Kemudian diikutinya petugas yang bersedia
meminjamkan alat-alat kepadanya dan kepada anak-anaknya. Sedang petugas yang
lain, masih bersungut-sungut,
“Kau mencari
kesulitan. Orang-orang macam itu tidak akan bermanfaat. Ia tidak akan berhasil
membuka tanah yang bagaimanapun baiknya.”
Tetapi petugas
yang membawa Kiai Gringsing itu tidak mengacuhkannya. Dibawanya Kiai Gringsing
langsung ke sebuah gubuk kecil di antara beberapa gubuk yang lain.
“Inilah
rumahku selama aku bertugas di pinggir hutan ini,” berkata petugas itu.
Kiai Gringsing
dan kedua murid-muridnya mengangguk-anggukkan kepalanya. Ditebarkannya
pandangan matanya berkeliling. Dilihatnya beberapa buah gubuk-gubuk kecil untuk
para petugas. Kemudian gubuk-gubuk yang lebih besar dengan sebuah barak yang
panjang.
“Sementara
hutan belum dapat dipergunakan oleh mereka yang membuka tanah, mereka kami
tampung di sini,” berkata petugas itu.
“Berapa ratus
orang yang ada di barak itu?” bertanya Kiai Gringsing.
“Tidak banyak.
Yang tinggal di barak itu selalu bergiliran. Mereka yang sudah berhasil membuka
sebidang tanah garapan dan halaman, mereka akan segera mendirikan gubuk-gubuk
mereka sendiri. Dan mereka akan tinggal di rumah-rumah mereka yang baru.” Orang
itu berhenti sejenak, tetapi suaranya menjadi lambat,
“Namun
akhir-akhir ini barak-barak itu menjadi semakin penuh kembali.”
“Begitu banyak
orang-orang yang datang?”
“Tidak.
Sekarang sudah tidak banyak lagi di bagian ini. Tetapi di bagian Selatan-lah
yang menjadi semakin ramai.”
“Kenapa?”
“Tetapi aku
kira di segala bagian dari hutan yang dibuka ini, nafsu para pembuka hutan
menjadi susut.”
“Kenapa?”
“Mereka
menjadi ketakutan tinggal di rumah-rumah yang telah mereka bangun sendiri,
sehingga mereka kini berhimpit-himpitan di barak itu bersama-sama beberapa
keluarga sekaligus. Di siang hari mereka menggarap tanah mereka, tetapi di
malam hari mereka berkumpul di sini. Yang tidak mendapat tempat di dalam barak,
mereka lebih baik tidur di emper-emper gubuk ini, daripada kembali ke
rumah-rumah mereka yang baru selesai mereka bangun.”
“Kenapa?”
desak Kiai Gringsing.
“Hantu-hantu penghuni
hutan ini, tiba-tiba saja menjadi marah karena penebangan-penebangan ini.”
“Maksud Tuan,
hantu-hantu itu sebenarnya hantu atau perampok-perampok dan penyamun-penyamun
yang merasa terganggu dengan pembukaan hutan ini?”
“Hantu,
sebenarnya hantu,” orang itu berhenti sejenak sambil memandang sudut-sudut
gubuknya.
“Sebaiknya aku
tidak mengatakannya.”
“Kenapa Tuan?
Aku ingin mendengarnya.”
“Tetapi,
hantu-hantu itu pasti mendengar apa yang aku percakapkan sekarang.”
“Kita tidak
berniat jahat. Kita akan mengatakan apa yang benar-benar telah terjadi.”
Petugas itu
masih ragu-ragu sejenak.
“Bukankah kita
tidak bermaksud apa-apa?”
“Tetapi kau
bertanggung jawab?” bertanya petugas itu.
“Aku
bertanggung jawab.”
“Kau terlampau
berani. Tetapi itu karena kau belum melihat hantu itu.” Ia berhenti sejenak,
lalu,
“Sebaiknya aku
berterus terang. Daerah yang aku tunjukkan kepadamu, adalah daerah yang
termasuk baik. Daerah yang sudah mulai ditebang, sehingga pohon-pohonan yang
besar sudah tidak banyak lagi. Tanahnya pun cukup subur, tidak seperti yang
sudah aku katakan kepadamu. Tetapi daerah itu sering dilewati hantu-hantu,
bahkan hantu-hantu berkuda semberani.”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Apakah kau
berani meneruskan kerja yang terbengkelai itu?”
“Aku akan
mencoba. Sudah aku katakan, bahwa maksud kita baik. Kita sama sekali tidak akan
mengganggu mereka, dan sudah tentu kita mengharap mereka tidak mengganggu kita
pula.”
Petugas itu nampak
menjadi gelisah. Katanya,
“Baiklah, aku
pun akan mengatakan apa yang terjadi tanpa maksud jelek.” Ia berhenti sejenak.
Lalu,
“Beberapa
orang dari sekelompok pendatang yang menebang pepohonan, di daerah yang aku
katakan kepadamu itu, jatuh sakit.”
“Sakit apa,
Tuan?” bertanya Kiai Gringsing.
“Panastis.
Kemudian mengigau,” orang itu berhenti berbicara. Wajahnya menjadi tegang dan
keringatnya mengaliri seluruh tubuhnya.
“Rasa-rasanya
badanku pun menjadi panas.”
Kiai Gringsing
mengerutkan keningnya. Tetapi ia menggeleng. “Tidak, Tuan. Memang udara terasa
panas sekali. Bukankah aku pun basah oleh keringat?”
“O, jadi kau
pun merasa panas?”
“Ya. Panas
sekali. Hampir aku tidak betah tinggal di dalam gubuk yang terlalu rendah ini.
Ya, gubuk ini memang terlalu rendah, sehingga udara di bawah atap ilalang ini
terasa amat panas.”
Orang itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi Swandaru dan Agung Sedayu saling
berpandangan sejenak. Mereka sama sekali tidak merasakan udara yang panas.
Bahkan angin bertiup lewat lubang pintu dari daerah hutan yang hijau lebat itu
terasa betapa sejuknya.
“Apakah ada
yang meninggal karenanya?”
“Tidak. Tetapi
mereka tidak berani lagi meneruskan kerja mereka. Bahkan mereka telah pergi
meninggalkan tempat ini. Barang-barangnyalah yang dititipkan kepadaku.” Sekali
lagi ia berhenti untuk menarik nafas dalam-dalam.
“Namun
ternyata bahwa orang-orang lain pun melihat hantu itu pula. Kini hantu-hantu
itu telah menempuh jalan yang lebih dekat lagi dari gubuk-gubuk ini.”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Bagaimana?”
bertanya petugas itu, “Apakah kau berani?”
“Apakah tidak
ada bagian lain yang dapat dibuka?” bertanya Kiai Gringsing.
“Kalau ada,
apakah kami diperkenankan memilih tempat itu?”
Petugas itu
terdiam sejenak. Namun kemudian sambil mengerutkan keningnya, ia menggelengkan
kepalanya. Dipandanginya Kiai Gringsing dan kedua murid-muridnya
berganti-ganti. Sesaat kemudian ia berkata,
“Sayang. Kalau
aku memberikan bagian-bagian yang lain, kalian bertiga pasti tidak akan sanggup
melakukannya. Apakah kalian bertiga mampu menebas hutan selebat itu hanya bertiga?”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Kami memang
tidak akan mungkin melakukannya. Tetapi bagaimana dengan hantu-hantu itu?”
“Tergantung
sekali kepadamu dan kepada anak-anakmu.”
Kiai
Gringsing, yang menyebut dirinya Truna Podang itu berpikir sejenak. Kemudian
jawabnya,
“Apa boleh
buat. Aku akan mencoba meneruskan kerja yang terhenti itu. Aku mempunyai
pendirian, bahwa apabila kita tidak berniat jelek, maka kita pasti tidak akan
diganggu.”
“Terserahlah
kepadamu. Semua itu akan menjadi tanggung jawabmu bertiga.”
“Baiklah,
Tuan. Kami menerima pekerjaan itu.”
“Aku tidak
memberimu pekerjaan. Aku memberi kau tanah.”
“Ya, ya.
Maksudku, tanah itu aku terima dengan senang hati dan berterima kasih.”
Petugas itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya kemudian,
“Kalau begitu
kau dapat mempergunakan alat-alat itu. Kalau kau menemui kesulitan, hubungilah
aku. Namaku Wanakerti.”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Wanakerti.
Ya, aku akan menghubungi Tuan, Ki Wanakerti.”
Petugas itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ia pun berdiri dan mengambil alat-alat
yang dititipkan kepadanya.
“Bawalah apa
yang kau butuhkan.”
“Kami hanya
memerlukan tiga buah kapak, parang dan beberapa gulung tampar.”
“Ambillah.”
Kiai Gringsing
beserta kedua muridnya pun, kemudian memilih beberapa macam alat yang
dipergunakan. Sambil memisahkan alat-alat itu, Kiai Gringsing berkata,
“Kami merasa
sangat beruntung atas kebaikan hati Tuan, sehingga kami tidak perlu kembali ke
tempat kami semula. Tempat yang sama sekali tidak memberikan harapan apa pun
kepada kami sekeluarga.”
“Kalau kalian
memang bersedia meneruskan kerja itu, marilah aku tunjukkan letak tanah itu.
Bawalah alat-alat yang kau perlukan itu sama sekali.”
“Marilah,
Tuan. Aku akan melihat, apakah kami akan mampu melakukan kerja itu.”
Sambil
menjinjing alat-alat untuk membuka hutan beserta bungkusan pakaian
masing-masing, maka Kiai Gringsing bersama kedua muridnya itu pun mengikuti
petugas yang bernama Wanakerti itu. Sampai di tempat para petugas yang lain
menunggui gardu pengawas bagi mereka yang sedang membuka hutan itu, maka
seorang petugas berkata,
“He, kau bawa
ke mana orang-orang itu?”
“Mereka akan
meneruskan kerja yang terbengkalai itu.”
“Jangan
pedulikan mereka. Suruh mereka pergi orang-orang malas itu, tidak akan
berguna,” teriak petugas yang selalu marah-marah saja.
“Mereka akan
mencoba,” jawab Wanakerti.
“Tidak ada
gunanya. Suruh mereka pergi.”
Tetapi
Wanakerti hanya tersenyum saja.
“Kau bawa juga
mereka ke sana?” petugas itu mendesak.
Wanakerti menganggukkan
kepalanya. Jawabnya,
“Ya. Mereka
akan melihat daerah itu.”
“Gila!” Tetapi
kemudian ia menggeram,
“Persetan
dengan orang-orang malas itu.”
Wanakerti
tidak menjawab lagi. Ia berjalan terus diikuti oleh Kiai Gringsing dan kedua
muridnya.
“Kenapa ia
selalu marah-marah saja?” bertanya Kiai Gringsing.
“Orang itu
tidak marah-marah,” jawab petugas yang bernama Wanakerti itu.
“Tetapi, ia
membentak-bentak.”
“Memang
suaranya terdengar seolah-olah ia membentak-bentak. Apalagi bagi yang belum
mengenalnya. Tetapi ia orang baik. Sebenarnya ia merasa sayang bahwa kalian
akan terjerumus ke bagian yang mulai dijauhi orang.”
Kiai Gringsing
mengerutkan keningnya. Kemudian ia mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Tetapi kenapa
tuan menempatkan aku dan kedua anak-anakku di sana?”
Wanakerti
tidak segera menjawab. Agaknya ia sedang menyusun jawaban yang tepat atas
pertanyaan yang sulit itu. Namun kemudian ia berkata,
“Aku sendiri
tidak tahu. Tetapi aku melihat kelainan pada kalian bertiga. Tetapi kalau kau bertanya,
kelainan yang mana tampak olehku, itu pun aku tidak akan dapat menjawab.”
Terasa debar
yang keras menyentuh dinding jantung Kiai Gringsing. Agaknya daya tangkap mata
hati orang yang bernama Wanakerti ini pun agak lebih baik dari kawan-kawannya.
“Aku kira
tidak ada bedanya, Tuan.”
“Ternyata ada.
Aku sudah pernah bertanya kepada lebih dari sepuluh orang, apakah mereka
bersedia meneruskan kerja yang terhenti itu. Tetapi tidak seorang pun yang
berani.”
“Tetapi apakah
maksud Tuan, dengan keinginan Tuan agar tanah itu tetap dibuka?”
“Sebenarnya
aku hanya ingin meyakinkan, apakah yang sudah terjadi itu memang sebenarnya
telah terjadi.” Tetapi tiba-tiba suaranya meninggi,
“Maksudku,
bukan aku tidak percaya, atau aku kurang meyakininya. Aku percaya dan aku memang
tidak akan berbuat apa-apa.”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kini ia mengerti bahwa Ki Wanakerti sedang di
ombang-ambingkan oleh perasaannya sendiri. Di antara percaya, bahkan dengan
dibayangi oleh ketakutan, dan keinginannya untuk meyakinkan, apakah hantu-hantu
itu benar-benar seperti apa yang pernah didengarnya? Namun ia tidak mempunyai
cukup keberanian untuk membuktikannya sendiri. Sejenak kemudian, mereka pun
berjalan sambil berdiam diri. Kiai Gringsing dan kedua muridnya kini dapat
menyaksikan beberapa kelompok orang-orang yang sedang membuka hutan. Sebagian
telah menjadi tanah garapan, pategalan, dan halaman. Semakin jauh mereka dari
gardu pengawas, maka mereka pun menjadi semakin berdebar-debar. Di bagian lain
masih tampak kelompok-kelompok yang menebang pepohonan yang besar dan tinggi.
Kadang-kadang mereka dikejutkan oleh gemerasak seperti suara prahara, apabila
sebatang pohon yang besar rebah menimpa pepohonan di sekitarnya.
“Bukankah
mereka masih juga meneruskan kerja mereka?” bertanya Kiai Gringsing kepada
petugas yang bernama Wanakerti.
“Ya, di sini.
Tetapi, di sebelah daerah ini adalah daerah yang semakin lama menjadi semakin
sepi. Hanya orang-orang yang tabah sajalah yang berani tetap mengerjakan
tanahnya, meskipun mereka harus berkelompok-kelompok di malam hari.”
“Apakah mereka
masih harus tidur di barak-barak itu?”
“Mereka sudah
membuat rumah sendiri. Bukankah kau lihat tanah yang sudah dibuka dan sudah
mulai digarap, dan gubuk-gubuk kecil di atasnya? Yang mereka kerjakan itu
menurut rencana kami, akan dijadikan tanah persawahan di sebelah padukuhan yang
mulai terisi itu.”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Tanah yang
akan aku berikan kepadamu, menurut rencana kami adalah padukuhan berikutnya. Di
seberang daerah persawahan yang sedang dibuka ini,”
“Jadi, apabila
tanah ini telah terbuka, bagian itu akan terletak di seberang bulak?” bertanya
Kiai Gringsing.
“Ya.”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan kemudian ia bertanya pula,
“Masih ada
berapa kelompok yang ada di bagian itu?”
“Sudah aku
katakan. Tidak seorang pun yang berani memulainya lagi.”
“He?” Kiai
Gringsing mengerutkan keningnya.
“Aku sudah
mengatakannya.”
“Tetapi
bukankah Tuan mengatakan bahwa daerah itu menjadi semakin sepi, sehingga
menurut tangkapanku masih juga ada orang yang bekerja meskipun semakin
sedikit.”
“Bukan daerah
yang akan aku berikan kepadamu. Tetapi yang mereka kerjakan adalah sambungan
dari bulak yang panjang ini.”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kini ia menyadari, bahwa mereka bertiga bersama
murid-muridnya benar-benar akan bekerja tanpa orang lain, di tempat yang
terasing.
Sebenarnyalah,
bahwa semakin jauh mereka berjalan, tampaknya menjadi semakin sepi, meskipun
masih juga ada sekelompok dua kelompok orang-orang yang bekerja. Tetapi seperti
apa yang dikatakan oleh petugas itu, mereka akan berkumpul di tempat yang lebih
ramai di malam hari, di sekitar gubuk dan barak yang sudah disediakan.
“Di malam
hari, kau dapat juga berkumpul bersama kami,” berkata petugas itu.
Kiai Gringsing
menganggukkan kepalanya.
“Selama tanah
garapanmu belum menghasilkan apa-apa, kau dan kedua anak-anakmu akan mendapat
rangsum makan dari kami. Tetapi sudah tentu makan yang sederhana.”
“O, kami akan
sangat berterima kasih, Tuan. Di rumah kami, makan sederhana pun jarang-jarang
kami peroleh dengan teratur.”
“Tetapi anakmu
yang seorang itu gemuk sekali.”
Kiai Gringsing
berpaling. Dipandanginya Swandaru yang berjalan beberapa langkah di
belakangnya.
“Keduanya
senang sekali berburu, Tuan. Agaknya daging buruannya itulah yang membuat
mereka gemuk, terutama yang muda.”
“O. Jadi
kalian senang berburu juga?”
“Anak-anakku.”
“Hutan ini
penuh dengan binatang buruan. Bahkan binatang-binatang buas. Tetapi di antara
para pendatang, tidak banyak yang berani berburu.”
“Kenapa?
Apakah mereka takut kepada binatang-binatang buas atau kepada hantu-hantu, yang
barangkali dianggap oleh mereka sebagai pemilik binatang-binatang di hutan
ini.”
Petugas itu
mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak menjawab. Kiai Gringsing menarik nafas
dalam-dalam. Namun ia pun tidak bertanya pula. Kini mereka menyusup di antara
pepohonan hutan yang masih rimbun. Kiai Gringsing sudah tidak melihat lagi
kelompok-kelompok yang menebang hutan di daerah ini. Namun nampaknya bahwa
hutan ini pun pernah digarap oleh manusia. Di sana-sini pohon-pohon yang roboh
masih terbujur lintang.
“Inilah tanah
yang harus kalian kerjakan. Sebagian besar dari pepohonan yang tinggi dan besar
sudah dirobohkan. Kalian tinggal meneruskan.”
“Apakah kami
bertiga harus membuka seluruh padukuhan yang direncanakan?”
“Kalian dapat
memiliki tanah seluas dapat kalian kerjakan. Kalau kalian mampu menyelesaikan
sisa pekerjaan untuk seluruh padukuhan yang direncanakan, kami akan mengesahkan
bahwa padukuhan ini milik kalian. Orang-orang yang telah memulainya lebih
dahulu, kami anggap telah melepaskan haknya sama sekali.”
“Kalau kami
hanya dapat membuka sebagian kecil?”
“Hak kalian
juga hanya yang sebagian kecil itu.”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kini mereka berempat berdiri termangu-mangu
memandang hutan yang masih tampak liar, meskipun sebagian dari pepohonannya
sudah ditundukkan. Sejenak Kiai Gringsing berpaling kepada kedua murid-muridnya
yang sedang melihat-lihat daerah yang akan menjadi tanah garapan mereka.
“Berapa puluh
tahun aku harus tinggal di neraka ini?” Swandaru mengumpat-umpat di dalam
hatinya.
“Guru selalu
saja mencari pekerjaan. Apakah dari tempat yang sesepi kuburan ini, aku dapat
melihat daerah baru ini? Dipandang dari segi kepentingan Sangkal Putung dan
Menoreh?”
Setelah mereka
melihat-lihat daerah yang sepi itu sejenak, maka petugas yang menunjukkan
tempat itu pun kemudian membawa Kiai Gringsing beserta anak-anaknya kembali.
“Besok kalian
dapat mulai bekerja. Tinggalkan saja alat-alat kalian di sini. Tidak akan ada
yang mengambilnya. Kalau ada binatang buas yang berkeliaran sampai ke tempat
ini malam nanti, mereka tidak akan menelan kapak dan parang kalian itu,”
berkata petugas itu.
Demikianlah,
setelah bermalam satu malam bersama-sama para pendatang yang sedang membuka
hutan itu, Kiai Gringsing sudah mendapat sedikit gambaran tentang daerah baru
yang dihadapinya.
“Ki Gede
Pemanahan menyebut daerah ini, Mataram,” berkata salah seorang dari mereka.
“Mataram yang
akan berdiri di atas alas Mentaok,” desis Kiai Gringsing. Sekilas lewat di
kepalanya ceritera tentang kerajaan Mataram Lama.
“Apakah Ki
Gede Pemanahan menghubungkan daerah baru ini dalam suatu garis perkembangan
kerajaan yang bernama Mataram itu?” bertanya Kiai Gringsing di dalam hatinya.
Namun ia tidak mengucapkan pertanyaan itu kepada siapa pun juga.
Agung Sedayu
dan Swandaru yang berbicara dengan anak-anak muda sebayanya pun mendengar,
bahwa daerah yang sudah mulai digarap, di seberang bulak yang direncanakan itu
memang sudah ditinggalkan.
“Aku dahulu
ikut di dalam kelompok yang mulai menebangi pepohonan di tempat itu,” berkata
seorang anak muda,
“tetapi
kelompok kami memutuskan untuk menghentikan pekerjaan kami. Sebagian telah
bergeser ke tempat lain, dan sebagian kembali ke padukuhan mereka semula.”
“Apakah mereka
diganggu oleh hantu-hantu itu?”
“Ya,” jawab
anak muda itu,
“kami telah
melihat sendiri. Beberapa orang di antara kami menjadi sakit.”
Agung Sedayu
dan Swandaru hanya mengangguk-anggukkan kepalanya saja. Sementara itu, seorang
yang sudah berjanggut putih berkata kepada Kiai Gringsing,
“Jangan
meneruskan kerja yang telah kami tinggalkan. Bekerjalah bersama dengan kami,
membuka tanah persawahan itu. Selain kalian akan selamat, tanah itu pun akan
segera menghasilkan.”
Kiai Gringsing
hanya tersenyum saja. Namun justru di dalam hati, orang tua itu semakin
bernafsu untuk melihat, apa yang sebenarnya sudah terjadi di daerah yang
menakutkan itu.
Di pagi
harinya, Kiai Gringsing dan kedua anak-anaknya telah berangkat pada saat fajar
menyingsing, ke tanah garapan yang diperuntukkan bagi mereka. Beberapa orang
yang mengetahui, bahwa orang tua itu bersama kedua anak-anaknya akan
melanjutkan kerja yang terhenti itu, memandangnya dengan takjub. Seorang yang
bertubuh kurus berkata,
“Kasihan. Mereka
akan kecewa. Tidak lebih dari sebulan mereka pasti sudah jera meneruskan kerja
itu.”
Sedang orang
yang bertubuh tinggi kekar menyahut,
“Salah
sendiri. Mereka adalah orang-orang yang bodoh, tetapi sombong. Bukankah dengan
demikian banyak orang akan mengaguminya? Tetapi mereka tidak akan dapat berbuat
apa-apa. Pada saatnya mereka pasti akan lari terbirit-birit. Belum lagi mereka
menghasilkan apa pun juga, mereka pasti sudah pergi. Mungkin mereka tidak akan
melaporkan kepergian mereka kepada para petugas, karena malu.”
Tidak ada
orang lain yang membantah. Tetapi seorang petugas yang mendengarnya menyahut,
“Tetapi ia
akan tetap tidur di barak ini di malam hari. Mereka akan kerja di siang hari
saja. Dengan demikian diharap bahwa mereka akan dapat melakukan pekerjaan
mereka tanpa ketakutan.”
“Meskipun
mereka hanya bekerja di siang hari, mereka pasti akan diganggu. Mereka akan
jatuh sakit, dan apabila mereka terlampau sombong, mungkin mereka akan mati.”
Petugas itu
pun terdiam. Namun ia menjadi ragu-ragu pula di dalam hati. Wanakerti sendiri
akhirnya menjadi ragu-ragu. Bahkan di dalam hati ia berkata,
“Apakah aku
tidak menjerumuskan orang tua dan kedua anak-anaknya itu ke dalam kesulitan?”
Namun sambil
menarik nafas dalam-dalam ia berkata pula,
“Aku melihat sesuatu
yang lain pada ketiga orang itu. Mudah-mudahan aku tidak membuat kesulitan bagi
mereka, dan bagiku sendiri.”
Sejenak
kemudian, ketika matahari mulai memanjat langit, maka setiap orang di dalam
barak itu pun telah siap dengan alat-alat masing-masing. Kelompok demi
kelompok, mereka berangkat ke tempat kerja. Sedang mereka yang telah membuat
rumahnya masing-masing dan terletak tidak jauh dari gardu pengawas itu pun
meninggalkan rumah mereka pula untuk meneruskan kerja, membuka hutan untuk membuat
tanah persawahan. Namun rumah-rumah yang meskipun sudah berdiri dan dirapati
dengan dinding-dinding kayu, namun yang letaknya agak berjauhan, ternyata masih
juga tetap dikosongkan. Kiai Gringsing dan kedua muridnya yang telah sampai di
daerah kerja mereka, tidak segera mulai. Sejenak mereka mengamati keadaan di
sekitarnya. Kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi dan usaha-usaha yang
akan dapat mereka lakukan di atas tanah yang dianggap angker dan menakutkan
itu.
“Aku tidak
melihat sesuatu,” berkata Swandaru.
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan
kepalanya.
“Ya. Aku pun
tidak melihat sesuatu yang memberikan tanda-tanda adanya suatu kelainan atau
kemungkinan yang dapat menumbuhkan dugaan-dugaan tentang hantu-hantu itu.”
Kiai Gringsing
tidak menyahut. Seperti kedua muridnya ia pun tidak melihat sesuatu. Karena itu
maka katanya,
“Baiklah, kita
mulai dengan kerja kita.”
“Tetapi,”
bertanya Swandaru,
“apakah kita
benar-benar akan membuka daerah ini dan membuatnya menjadi padukuhan?”
Kiai Gringsing
menggeleng-gelengkan kepalanya,
“Bukan itu
maksud kita. Sudah tentu kau tidak akan betah tinggal di sini terlampau lama,
seperti tinggal di Tanah Perdikan Menoreh.”
“Ah,” Swandaru
berdesah.
“Kakang Sedayu
pun ingin segera pergi ke Sangkal Putung, menyusul Ki Sumangkar.”
Agung Sedayu
mengerutkan keningnya. Namun kemudian, ia pun tersenyum. Katanya,
“Ya. Aku pasti
akan segera menyusul Paman Sumangkar.”
“Tentu,” jawab
Kiai Gringsing,
“apalagi kalau
Kiai Sumangkar pergi seorang diri.”
Swandaru
tertawa sejenak. Tetapi, kemudian ia bertanya,
“Jadi sampai
kapan kita akan tinggal di sini, Guru?”
“Tergantung
pada keadaan.”
Swandaru
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Nah. Marilah,
alat-alat itu menunggu kita. Selama kita masih berada di sini, kita akan
membuka tanah ini sampai saatnya kita pergi.”
Kedua
murid-muridnya itu pun kemudian segera mengambil alat-alat yang mereka pinjam.
Kapak dan parang. Maka mereka pun segera mulai menebangi pepohonan. Karena
pohon-pohon yang besar telah rebah, mereka pun tidak begitu banyak lagi mendapatkan
kesukaran dengan pohon-pohon yang agak lebih kecil. Ternyata bahwa keduanya
dapat bekerja sebagai pembuka hutan yang baik. Swandaru yang memiliki kekuatan
yang besar itu, mengayunkan kapaknya dengan derasnya. Beberapa kali tebas, maka
pohon-pohon yang tidak begitu besar itu pun segera roboh.
“Kita sisihkan
kayu-kayu yang malang melintang ini,” berkata Kiai Gringsing,
“sehingga
tanah ini pun akan segera lebih bersih dan lapang.”
Swandaru
menganggukkan kepalanya. Tetapi kemudian keningnya berkerut,
“Apakah
pohon-pohon sebesar ini dapat kita angkat hanya bertiga?”
“Ah, kau,”
desis gurunya,
“sudah tentu
kita harus mempergunakan alat-alat kita. Kita potong dan kita pecah. Dengan
mudahnya kita akan menyingkirkannya.”
Swandaru
mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia tersenyum sendiri atas kebodohannya. Demikianlah
maka dengan tidak mereka sadari matahari pun menjadi semakin rendah di Barat.
Sebentar lagi langit menjadi kemerah-merahan. Dan angin pun menjadi semakin
sejuk.
“Apakah kita
akan kembali ke perkemahan?” bertanya Swandaru.
“Malam ini
kita masih akan kembali ke sana,” jawab Gurunya.
“Bagaimana
mungkin kita dapat mengetahui serba sedikit tentang hantu itu, apabila kita
berada di tengah-tengah mereka, Guru?” bertanya Agung Sedayu.
“Besok malam
saja kita akan tinggal di sini, supaya mereka tidak melihat kelainan yang
sangat besar pada kita dan orang-orang lain itu,” jawab Gurunya.
Agung Sedayu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia mengerti maksud gurunya, sehingga dengan
demikian tidak segera menumbuhkan kecurigaan, seakan-akan mereka bukannya
orang-orang kebanyakan. Ketika senja mendatang, ketiganya pun kembali ke barak
yang sebenarnya sudah terisi penuh. Tetapi karena mereka hanya bertiga dan
tidak membawa apa pun selain sebungkus pakaian mereka, maka meskipun hanya
sekedar di sudut, mereka masih mendapat tempat untuk membentangkan tikar pandan
yang kasar, yang mereka terima dari para petugas. Setelah mereka selesai makan
rangsum yang mereka terima dari para petugas, seperti orang-orang yang lain,
yang masih belum dapat memetik hasil jerih payah mereka, maka beberapa orang
telah mengerumuni tiga orang itu sambil bertanya-tanya.
“Apakah kalian
mengalami sesuatu?” bertanya seseorang yang tinggi kurus.
Kiai Gringsing
menggelengkan kepalanya,
“Kami tidak
mengalami sesuatu yang aneh menurut penglihatan kami.”
“Angin yang
tiba-tiba saja datang dan berputaran?” bertanya yang lain.
“Angin pusaran
maksudmu?”
“Ya, tetapi
angin pusaran tidak akan dapat memutar pepohonan hutan,” jawab orang itu.
Kiai Gringsing
menggeleng,
“Tidak. Kami
tidak melihat angin semacam itu.”
“Gelundung
pringis misalnya?” bertanya yang lain lagi.
“Juga tidak.”
“Hati-hatilah,”
desis orang yang tinggi besar, yang melihat keberangkatan ketiga orang itu
dengan curiga.
“Jangan
terlampau sombong. Kalau kepala salah seorang dari kalian telah terpenggal dan
tergantung di ujung pohon yang paling tinggi, yang tidak mungkin dipanjat oleh
manusia, barulah kalian akan menyesal. Apalagi kalau kemudian kepala itu dapat
membara di malam hari dan masih mampu mengeluh kesakitan meskipun tubuhnya
sudah dikubur.”
“Mengerikan
sekali,” berkata Kiai Gringsing. “Apakah hal itu pernah terjadi?”
“Tentu,” jawab
orang yang tinggi kekar itu.
“Kapan dan
dimana? Petugas yang mengantarkan aku tidak mengatakan demikian. Memang ada
beberapa orang yang jatuh sakit. Tetapi tidak sampai meninggal dunia.”
“Hampir,
hampir saja hal itu terjadi. Tetapi kami pernah melihat kepala orang, maksudku
tengkorak yang membara di malam hari selagi kami masih memberanikan diri tidur
di tempat kerja kami itu.”
Kiai Gringsing
menarik nafas dalam-dalam.
“Demi
keselamatan kalian,” berkata orang yang tinggi kekar itu,
“sebaiknya
kalian urungkan niat kalian. Kau sudah terlampau tua, sedang kedua anak-anak
itu masih terlampau muda mengalami hal-hal yang tidak kalian harapkan.”
Kiai Gringsing
masih terdiam.
“Apakah kalian
memang sudah berputus asa? Karena kalian tidak mendapatkan kemungkinan lain
lagi bagi hidup kalian, sehingga kalian memilih mati dimakan hantu?”
Kiai Gringsing
belum menyahut sepatah kata pun.
“Aku nasehati
kalian bertiga,” orang yang kekar itu berkata terus,
“urungkan niat
itu. Kau dengar, he, Truna Podang?”
Kiai Gringsing
menarik nafas dalam-dalam.
“Kami akan
mempertimbangkannya,” jawabnya.
Tetapi orang
yang tinggi kekar itu agaknya tidak puas mendengar jawaban Kiai Gringsing.
Meskipun ia tidak berkata apa pun lagi, tetapi nampak di wajahnya, bahwa
sesuatu masih tersimpan di hatinya.
Setelah Kiai
Gringsing bercakap-cakap sejenak, maka ia bersama kedua muridnya pun kemudian
berjalan-jalan di antara mereka yang berada di sekitar barak itu. Tidak begitu
jauh, terletak gardu pengawas yang dijaga oleh beberapa orang petugas
bersenjata. Sedang di sebelah-menyebelah lorong yang menusuk ke daerah yang
sedang dibuka, beberapa buah rumah sudah dihuni oleh beberapa orang keluarga. Lampu
minyak yang bercahaya kemerah-merahan menyusup di antara dinding yang belum
rapat benar, mencuat di kegelapan malam. Ternyata bahwa bukan sekedar di
sebelah-menyebelah lorong itu saja berserakan rumah-rumah yang sudah dihuni. Tetapi
di arah yang lain, rumah-rumah pun sudah mulai ditempati oleh beberapa keluarga
sekaligus, sehubungan dengan berita yang telah mengecilkan hati mereka. Sedang
meskipun agak ke tengah rumah-rumah sudah siap pula, namun rumah-rumah itu kini
menjadi kosong kembali, karena penghuninya tidak berani tinggal hanya
sekeluarga saja. Itulah sebabnya maka pada umumnya rumah-rumah tempat tinggal
itu berisi dua atau tiga keluarga sekaligus.
“Suasana sepi
sekali,” desis Swandaru.
“Mereka
benar-benar di dalam ketakutan,” sahut Agung Sedayu.
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Marilah kita
pergi ke gardu pengawas. Apa saja yang dikerjakan oleh para petugas itu di
malam hari?”
Ketika Kiai
Gringsing melangkah mendekati gardu pengawas, dilihatnya beberapa orang
bersama-sama berdiri sambil menggenggam senjata masing-masing.
“Kami, Tuan.
Truna Podang.”
“Gila kau,”
geram seorang di antara para pengawas itu.
“Kami tidak
begitu dapat melihat kalian, di kegelapan. Tetapi agaknya kalian dapat melihat
kami dengan jelas.”
“Ya, Tuan.”
“Kenapa kalian
kemari? Apakah kalian tidak lelah setelah sehari bekerja? Atau kalian hanya
sekedar duduk-duduk saja di tanah garapanmu?”
“Tidak, Tuan.
Kami bekerja keras. Yang mula-mula kami kerjakan adalah menyingkirkan kayu-kayu
yang malang-melintang. Kemudian, kami akan segera menyelesaikan penebangan
pohon-pohon yang lebih kecil.”
Petugas itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Salah seorang dari mereka bertanya,
“Lalu apa
kerjamu sekarang?”
“Kami tidak
biasa tidur di sore hari, Tuan. Karena itu, kami hanya sekedar berjalan-jalan
saja.”
Para petugas
itu menarik nafas dalam-dalam. Wanakerti yang ada di antara mereka bertanya,
“Apakah kau
akan duduk-duduk di sini sebelum kalian akan tidur?”
“Terima kasih,
Tuan. Kami memang ingin kawan bercakap-cakap. Kawan-kawan yang lain
rupa-rupanya sudah malas untuk berbicara. Mereka sudah berbaring di tempat
masing-masing.”
“Begitulah
kebiasaan mereka. Kalau senja menjadi gelap, mereka pun segera tidur. Seperti
ayam saja agaknya. Dan gubuk-gubuk yang berserakan itu pun pasti sudah tertutup
rapat. Pintu-pintu pasti telah diselarak. Kalau kau mengetuk salah satu dari
pintu-pintu itu, sebelum mereka pasti siapa yang berada di luar, kau tidak akan
mendapat kesempatan apa pun. Pintu pasti tidak akan terbuka.”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya. Demikianlah ketakutan sudah mencengkam semua
daerah.
“Kalau keadaan
ini dibiarkan terus-menerus, maka nafsu para pembuka hutan itu pun pasti
menjadi semakin susut,” berkata Kiai Gringsing di dalam hatinya.
“Masuklah,”
Wanakerti pun kemudian mempersilahkan Kiai Gringsing dan kedua anaknya.
Setelah mereka
duduk di dalam gardu yang cukup besar dan kemudian mendapat hidangan air panas,
maka mereka pun segera berbicara tentang daerah yang sepi itu.
“He,” bertanya
Wanakerti tiba-tiba,
“bagaimana kau
nanti kembali ke barak itu?”
“Kenapa?”
“Apakah kalian
tidak takut?”
“Takut?” Kiai
Gringsing menjadi heran.
“Bukankah
jarak ini tidak terlampau panjang?”
Wanakerti
mengangguk.
“Tetapi
biasanya tidak seorang pun yang berani berjalan di luar di malam hari, meskipun
jaraknya tidak terlampau jauh.”
“Tetapi ada di
antara mereka yang tidur di luar, di serambi-serambi yang terbuka.”
“Mereka tidur
berhimpitan sambil menyelubungi diri mereka dengan kain panjang. Itu karena
mereka tidak mendapat tempat di dalam barak. Dan di serambi itu agaknya lebih
baik bagi mereka, karena mereka tinggal bersama-sama beberapa keluarga
sekaligus, daripada mereka tinggal di gubuk-gubuk yang sudah mereka buat,
tetapi berpencaran.”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya. Sejenak ia merenungi keadaan tempat itu, sedang
Swandaru menyuapi mulutnya dengan jenang alot yang dihidangkan oleh Wanakerti
kepada mereka. Namun tiba-tiba, setiap orang di dalam gardu itu mengangkat
kepala mereka. Lamat-lamat mereka mendengar suara gemerincing. Semakin lama
semakin dekat, dibarengi oleh derap kaki kuda di atas jalan yang menuju ke
perkemahan itu.
“Nah,” desis
salah seorang petugas, “kalian dengar?”
Kiai Gringsing
menganggukkan kepalanya. Sedang Agung Sedayu bertanya,
“Suara apakah
itu? “
Tidak seorang
pun yang berani menjawab. Mereka saling berpandangan sambil memegang senjata
masing-masing semakin erat. Tetapi ternyata bahwa tangan mereka menjadi
gemetar.
“Suara apakah
itu?” Agung Sedayu mengulangi. Wanakerti menggelengkan kepalanya. Tetapi ia
tidak menjawab.
Orang-orang di
dalam gardu itu benar-benar seakan-akan tercekik. Tidak seorang pun yang berani
mengucapkan sepatah kata pun. Bahkan senjata-senjata di tangan mereka pun
menjadi bergetar oleh gemetar tangan yang menggenggamnya. Swandaru yang duduk
tidak begitu jauh dari pintu segera melangkah untuk menjenguk keluar. Namun
Wanakerti segera meloncat menariknya.
“Jangan gila.”
“Aku ingin
melihat,” desis Swandaru.
“Jangan gila,”
Wanakerti mengulangi.
Sejenak
Swandaru berdiri termangu-mangu. Dipandanginya wajah Agung Sedayu yang tegang,
kemudian wajah gurunya yang termangu-mangu.
“Aku pemimpin
para petugas di sini,” berkata seorang yang berkumis tebal,
“kalian jangan
membuat ribut. Kalian tidak boleh keluar dari tempat ini.”
Swandaru yang
benar-benar bernafsu untuk melangkah ke luar gardu terpaksa mengurungkan
niatnya karena gurunya menggelengkan kepalanya, dan segera duduk kembali di
tempatnya. Sejenak kemudian suara gemerincing itu menjadi semakin nyata, seperti
suara derap kuda itu pula.
“Dua ekor
kuda,” Agung Sedayu berdesis.
“Sst,”
pemimpin pengawas itu menempelkan jarinya di bibirnya. Agung Sedayu menarik
nafas. Namun ia mencoba mendengar suara apakah itu sebenarnya. Dalam keheningan
itulah ia mendengar suara itu berputar-putar sejenak mengelilingi gardu
pengawas. Kemudian suara itu agak menjauh. Namun tidak seorang pun yang
berhasil melihat apakah yang telah berbunyi seperti gemerincingnya genta-genta
kecil itu. Di luar gelap malam menjadi semakin pekat, sedang di dalam gardu itu
remang-remang cahaya pelita bergerak-gerak ditiup angin yang lemah. Kini suara
gemerincing itu bergerak di sekitar barak, kemudian menjauh dan berpindah di
antara rumah-rumah yang sudah tertutup rapat. Suara itu seolah-olah
mengelilingi setiap rumah yang berpenghuni, yang berserakan sebelah-menyebelah
lorong kecil dan di sepanjang daerah yang sudah dapat dihuni.
Suara itu
berputaran beberapa saat lamanya. Sedang para petugas yang ada di dalam gardu
itu pun duduk membeku di tempat masing-masing. Keringat yang dingin menitik
dari kening mereka yang basah. Baru setelah beberapa lama, suara itu terdengar
menjadi semakin jauh, semakin jauh dan akhirnya hilang. Ketika malam kembali
menjadi senyap, dan tidak lagi terdengar suara apa pun, para petugas itu
menarik nafas dalam-dalam.
“Hem,”
pemimpin petugas itu berdesah,
“belum lagi
sampai tengah malam, mereka sudah mulai berkeliaran.”
“Apakah yang
lewat itu hantu-hantu yang menjadi pembicaraan?”
Pemimpin
pengawas itu menganggukkan kepalanya,
“Ya. Itulah
sebabnya kami melarang kalian keluar.”
“Apakah mereka
akan menyerang?”
“Kami tidak
tahu. Tetapi seandainya mereka hanya menerkam orang-orang yang dilihatnya, kami
tidak akan berkeberatan.”
“Lalu, kenapa
Tuan menahan aku?” bertanya Swandaru.
“Aku masih
sayang akan nyawamu. Kau orang baru di sini.”
“Apakah
benar-benar sudah ada yang mati diterkamnya?“
“Mati belum.
Tetapi seorang yang mencoba memberanikan diri melihat hantu itu, di pagi
harinya ia mendadak menjadi sakit keras. Ia mengigau tidak berketentuan. Dan
bahwa hantu yang dilihatnya itu sudah merasuk ke dalam tubuhnya. Dengan nada
yang marah, hantu yang merasuk itu mengancam, bahwa siapa yang berani melihat
hantu-hantu itu sekali lagi, maka tidak akan ada ampun. Nyawanya lah yang akan
diambilnya.”
Kiai Gringsing
dan kedua muridnya mengangguk-anggukkan kepalanya. Perlahan-lahan orang tua itu
berdesis,
“Aku
mengucapkan terima kasih, bahwa Tuan telah mencegah anakku yang gemuk itu.”
“Tetapi
hati-hatilah. Anak-anakmu agaknya anak-anak yang bengal. Jangan kau biarkan
semuanya itu terjadi atas anak-anakmu itu.”
“Terima kasih,
Tuan,” jawab Kiai Gringsing. Lalu,
“Tetapi kini
perkenankanlah kami minta diri. Kami akan segera kembali ke barak.”
“Kalian masih
juga berani keluar?”
“Bukankah
hantu itu sudah pergi?”
“Kalian memang
orang-orang berani,” desis Wanakerti,
“tetapi
biarlah kalian tidur di sini. Kalian dapat tidur di atas tikar di sudut itu.
Kami para pengawas harus bergantian tidur.”
Kiai Gringsing
mengerutkan keningnya. Di dalam hatinya ia bertanya,
“Apakah
sebenarnya yang mereka awasi?”
Tetapi yang
diucapkannya adalah,
“Kami akan
memenuhi tempat yang sebenarnya dapat Tuan pakai di sini. Biarlah kami akan
berjalan cepat-cepat ke barak itu.”
Pemimpin
pengawas itu memandangi Kiai Gringsing dengan sorot mata keheranan. Namun
kemudian ia berdesis,
“Memang
orang-orang baru biasanya masih belum mengenal takut. Baiklah. Tetapi kalau
kalian mengalami sesuatu, cepat-cepat kembalilah kemari dan tidurlah di sini,
di antara para pengawas.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar