“marilah, duduklah di ruang dalam. Kita akan berbicara dengan baik. Aku dapat berbicara sebagai seorang ayah, dan kau sebagai seorang anak laki-laki.”
“Tidak. Itu
tidak perlu. Aku hanya menuntut agar Ayah tetap ikut di dalam perjuangan ini.
Kenapa Ayah tidak meneruskan perjuangannya sampai saat terakhir seperti Kakang
Sidanti dan Ki Tambak Wedi? Nama mereka akan tetap dikenang. Kalau kami
mendapat kemenangan, maka akan dibuat masing-masing sebuah patung dan akan
dipasang di gapura induk padukuhan Menoreh.”
Ki Argajaya
menarik nafas dalam-dalam. Sejak sekian lama anaknya berada di dalam lingkungan
itu, sehingga hatinya telah menjadi beku, terselubung oleh keputus-asaan yang
menyeretnya ke dalam keadaannya itu. Tanpa harapan dan cita-cita. Penyesalan
yang dalam telah menikam jantung Ki Argajaya. Anak itu tinggallah satu-satunya
anaknya sejak anak perempuannya meninggal dunia. Tetapi ia sendiri telah
menjerumuskannya ke dalam suatu keadaan yang hitam kelam, sehingga anak itu
sendiri tidak dapat melihat hari depannya sama sekali.
“Aku memang
salah langkah,” katanya di dalam hati.
“Maksudku
memang merintis jalan bagi anak itu. Tetapi, karena aku tidak berjalan di jalan
yang benar, akhirnya aku justru terpelanting ke dalam keadaan yang sangat
pahit.”
Ki Argajaya
terkejut ketika ia mendengar anaknya berkata,
“Bagaimana,
Ayah? Apakah Ayah sependapat dengan aku, bahwa perjuangan ini harus diteruskan?”
“Prastawa,”
suara Ki Argajaya merendah,
“marilah duduk
di sini. Bukankah kau tidak tergesa-gesa?”
“Aku
tergesa-gesa. Kawanku menunggu aku di bilik ibu.”
“He,” Ki Argajaya
mengerutkan keningnya,
“maksudmu, kau
membawa seorang kawan yang kini berada di bilik itu.”
“Ya. Biarlah
ia menunggui gadis itu. Kami tidak tahu, apakah yang dapat dilakukannya. Apakah
ia akan berteriak, atau ia memang mengharapkan kedatangan seorang laki-laki.”
Ki Argajaya
termenung sejenak. Lalu,
“Marilah, kau
dan kawanmu aku persilahkan duduk sebentar. Yang kita bicarakan adalah masalah
yang penting. Sudah tentu tidak dengan cara ini. Berdiri dengan tegang di
tengah-tengah pintu.”
Prastawa
merenung sejenak. Namun kemudian ia menggeleng sambil menghentakkan perasaan
sendiri yang mulai tersentuh-sentuh kata-kata orang tuanya,
“Tidak. Aku
tidak akan duduk. Aku tetap di sini.”
“Tetapi
kawanmu itu Prastawa. Sebaiknya kita berbicara sambil mengendapkan perasaan
sendiri yang mulai terbuka sehingga aku mengerti keadaanmu yang sebenarnya dan
kau mengerti keadaanku yang sebenarnya. Dengan demikian kita akan dapat
mengambil kesimpulan daripadanya.”
Prastawa masih
termenung.
“Marilah,”
ayahnya pun kemudian menarik tangan anak
itu. Selangkah Prastawa mengikutinya. Tetapi kemudan ia menyentakkan tangannya
sambil berkata,
“Tidak! Aku
tidak mau.”
Ki Argajaya
berdiri membeku. Ditatapnya wajah anak itu sejenak. Kemudian perlahan-lahan ia
mengangguk-anggukkan kepalanya sambil menarik nafas dalam-dalam.
“Sudah
sewajarnya ia bersikap begitu,” berkata di dalam hati. Ia memang tidak dapat
ingkar, bahwa ia telah menjerumuskan anaknya ke dalam keadaannya yang sekarang.
Tetapi Prastawa itu tidak dapat mengelak ketika ibunya mendekatinya dan
berbisik di telinganya,
“Marilah
bersama ibu, Ngger.”
Prastawa tidak
mempunyai kekuatan yang cukup untuk mengibaskan tangan ibunya. Meskipun ia
mencoba bertahan di tempatnya, ketika ibunya menariknya, namun kemudian
Prastawa pun melangkah mengikutinya. Ki
Argajaya menarik nafas dalam-dalam. Ia melangkah di belakang anaknya yang
berjalan bersama ibunya ke ruang tengah.
“O, Kiai sudah
bangun?” bertanya Nyai Argajaya.
“Apakah ada
tamu malam-malam begini?” bertanya Sumangkar yang telah duduk di pinggir amben.
“Anakku,
Kiai,” jawab Nyai Argajaya yang masih membimbing Prastawa.
“O,” Sumangkar
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Ini tamu
ayahmu, Ngger,” berkata Nyai Argajaya kepada anaknya.
“Apakah orang
ini termasuk pengawal yang mengawasi Ayah di sini?”
“Ia tamuku,
Prastawa,” sahut ayahnya. “Ia bukan orang Menoreh.”
Anak muda itu
mengerutkan keningnya. Tiba-tiba ia melangkah surut sambil berkata,
“Inikah
orang-orang asing yang ikut campur dalam persoalan Menoreh?”
Sumangkar
mengerutkan keningnya. Kemudian ia pun
tersenyum sambil berkata,
“Aku belum
lama berada di sini, Anakmas. Aku datang setelah keadaan menjadi baik kembali.
Bahkan aku tidak melihat apa yang telah terjadi di sini.”
Prastawa
mengerutkan keningnya. Katanya kemudian,
“Ha, sekarang
aku tahu. Kau dan anak perempuan itu pasti datang bersama Ayah dan para
pengawal. Tentu.”
Sumangkar mengangguk-anggukkan
kepalanya,
“Memang aku
dan anakku datang bersama Ki Argajaya. Tetapi kami tidak ikut campur tentang
keadaan di atas Tanah Perdikan ini.”
“Sudahlah,
Ngger,” berkata ibunya, “jangan hiraukan apapun juga. Duduklah. Rumah ini
adalah rumahmu, milikmu. Sekarang kau berada di rumahmu sendiri. Karena itu
jangan gelisah.”
Prastawa masih
tetap berdiri di tempatnya.
“Duduklah.
Marilah kita berbicara. Apakah kita akan menemukan persesuaian atau tidak,
terserahlah kepada keadaan nanti. Tetapi marilah kita mulai dengan hati yang
bening, niat yang baik dan harapan-harapan yang dapat memberikan ketenteraman
hati. Terutama perempuan-perempuan tua seperti aku.”
Prastawa masih
berdiri di tempatnya. Tetapi perlahan-lahan ia berdesis,
“Aku tidak datang
seorang diri.”
“Marilah kita
panggil kawanmu itu.”
“Ia ada di
dalam bilik Ibu.”
Dada Nyai
Argajaya menjadi berdebar-debar. Sekilas dipandanginya Ki Sumangkar. Tetapi
kemudian ia berkata,
“Marilah,
bersama Ibu.”
Keduanya pun kemudian berjalan ke bilik yang
dipergunakan oleh Sekar Mirah. Dalam pada itu, detak jantung Nyai Argajaya
menjadi semakin cepat. Ia tidak berani membayangkan apa yang telah terjadi di
dalam bilik itu.
“Seandainya
kawan Prastawa menjadi gila dan liar, maka malanglah nasib gadis itu.”
Tetapi Nyai
Argajaya tidak mengatakannya, meskipun semakin dekat mereka dengan daun pintu
yang tertutup hatinya menjadi semakin berdebar-debar. Sejenak kemudian mereka
sudah berdiri di depan pintu. Mereka sama sekali tidak mendengar suara apa pun dari dalam. Sepi. Putera Ki Argajaya pun menjadi termangu-mangu. Kawannya memang
bukan seorang anak muda yang jinak. Orang itu kadang-kadang dapat berbuat liar
dan bahkan dapat menjadi buas.
“Apakah yang
dilakukan oleh kawanmu itu?” bisik Nyai Argajaya.
Prastawa tidak
menyahut. Tetapi perlahan-lahan diketuknya pintu bilik yang tertutup itu. Tetapi
agaknya Nyai Argajaya tidak sabar menunggu. Dengan suara serak ia berkata,
“Buka,
bukalah.”
Seperti
didorong oleh sesuatu yang tidak dimengertinya. Prastawa pun mendorong pintu bilik itu sehingga
menganga lebar. Sejenak mereka berdua dicengkam oleh pemandangan, yang
membingungkan sehingga nafas mereka terhenti. Dengan mata terbelalak mereka
menyaksikan peristiwa yaag sama sekali tidak mereka duga.
“Bagaimana hal
ini dapat terjadi?” desis Nyai Argajaya. Prastawa pun kemudian maju selangkah.
Diamatinya sesosok tubuh yang terbaring di lantai. Pingsan.
“Apa yang
sudah kau lakukan atasnya,” putera Ki Argajaya itu bertanya.
Sejenak bilik
itu dicengkam oleh kesenyapan. Namun kemudian terdengar jawaban,
“Aku tidak
sengaja. Aku hanya menyentuh dadanya. Aku kira ia mempunyai kekuatan yang dapat
dibanggakan.”
Nyai Argajaya
masih memandanginya dengan mulut ternganga. Ternyata gadis yang menempati
biliknya itu adalah seorang gadis yang luar basa. Dengan tenangnya gadis itu
duduk di pinggir pembaringannya.
“Aku hanya
sekedar membela diri,” berkata Sekar Mirah selanjutnya.
“Ia akan
melakukan perbuatan yang terkutuk. Aku menolak tubuhnya. Tetapi ia menerkam
seperti serigala lapar. Tanpa aku sengaja, agaknya aku sudah memukul dadanya.
Hanya sekali, dan kawanmu ini menjadi pingsan.”
Prastawa
menggeram. Tiba-tiba saja ia membentak,
“Perempuan
gila. Kau sangka kau dapat menakut-nakuti aku dengan ceriteramu itu. Kau pasti
telah membujuknya sehingga ia menjadi lengah. Kemudian selagi ia lengah, kau
sudah mengkhianatinya.”
Sekar Mirah
menggeleng,
“Tidak. Bukan
begitu. Aku sama sekali tidak berbuat curang. Aku menyerangnya beradu dada.
Bahkan anak inilah yang telah menyerang aku lebih dahulu.”
“Aku tidak
percaya. Kau harus menebus dosamu itu.”
“He, kenapa
kau marah kepadaku?” berkata Sekar Mirah,
“Kenapa kau
tidak menghukum kawanmu yang bertindak tidak sepantasnya?”
“Bohong!
Bohong kau!”
Tiba-tiba saja
Prastawa meloncat maju selangkah ke depan Sekar Mirah sambil berkata,
“Jangan
ingkar. Kau tidak dapat lari lagi.”
“Prastawa,”
panggil ibunya, “kenapa kau menjadi gila? Gadis ini adalah tamuku.”
“Aku tidak
peduli. Tetapi ia sudah mengkhianati kawanku. Itu berarti mengkhianati aku
pula.”
“Tidak. Kau
belum mengetahui keadaan yang sebenarnya. Jangan terburu nafsu.”
“Aku akan
menghukumnya.”
Tiba-tiba
mereka pun tertegun. Serentak mereka
berpaling. Di muka pintu telah berdiri Ki Argajaya dan Sumangkar.
“Gadis itu
tamuku, Prastawa.”
“Aku tidak
peduli. Aku tidak peduli. Ia sudah menghina kawanku. Itu berarti aku dan
seluruh kelompokku terhina pula.”
“Kawanmulah
yang mencari perkara,” berkata Sekar Mirah.
“Kalau ia
dapat berlaku sedikit sopan, maka aku kira tidak akan terjadi sesuatu atasnya.”
Tetapi Prastawa
sudah tidak mendengarkan lagi. Sambil menggeram ia beringsut setapak,
“Aku akan
menuntut.”
“Prastawa,”
desis Ki Argajaya.
Namun mereka
menjadi heran ketika Ki Sumangkar justru berkata,
“Apakah kau
benar-benar berbuat salah, Sekar Mirah.”
“Tidak. Aku
hanya sekedar membela diri.”
“Tidak
mungkin,” potong Prastawa.
“Kawanku
adalah seorang yang mempunyai kekuatan dan kemampuan cukup. Apakah gadis ini
dapat membuatnya pingsan tanpa perlawanan apa pun? Aku sudah pasti, ia telah
merayunya, kemudian melakukan perbuatan yang menyinggung perasaan ini.”
“Jangan
berprasangka, Prastawa,” sahut Ki Argajaya.
“Aku tidak
peduli. Jangankan gadis yang tidak aku kenal. Seisi rumah ini, bahkan Ayah
sekalipun, apabila berani menghalang-halangi aku, aku tidak akan memaafkannya.”
Ketika Ki
Argajaya akan menjawab lagi, Ki Sumangkar menggamitnya sambil berkata,
“Baiklah.
Kalau anakku memang bersalah, kau dapat menghukumnya. Tetapi hukuman apa yang
akan kau berikan?”
Pertanyaan itu
telah membuat Prastawa menjadi bingung. Tanpa sesadarnya ia memandang wajah
Sekar Mirah yang sedang memandanginya pula, sehingga tatapan mata mereka
bertemu. Dengan serta-merta keduanya melemparkan pandangan matanya ke samping.
Namun untuk melepaskan desir jantungnya yang serasa menekan seisi dada, anak muda
itu berkata,
“Aku akan
membunuhnya.”
“Benarkah
begitu?” bertanya Sumangkar.
Prastawa
menjadi ragu-ragu. Dan sebelum ia sempat menjawab, ibunya berkata,
“Kau jangan
kehilangan akal anakku. Jangan berbuat sebodoh itu.”
Prastawa
mengerutkan keningnya. Ia mencoba untuk bertahan pada pendiriannya. Tetapi
sesuatu telah mengaburkannya, sehingga untuk sesaat ia hanya berdiam diri saja.
“Sudahlah.
Marilah kita rawat kawanmu itu,” berkata ibunya.
Namun justru
dengan demikian, harga diri Prastawa tumbuh kembali, bahkan mencengkam dengan
dahsyat. Katanya,
“Aku akan
menghukumnya. Benar-benar menghukumnya dengan caraku. Aku akan membawanya
kepada kawan-kawanku dan memberitahukan kepada mereka apa yang sudah terjadi.
Terserahlah kepada mereka, apa yang akan mereka lakukan atas gadis ini sebagai
hukumannya.”
Kata-kata
Prastawa itu benar-benar telah mengejutkan ibu dan ayahnya. Namun justru dengan
demikian mereka untuk sesaat terdiam mematung. Dengan mata yang hampir tidak
berkedip dipandanginya anaknya, kemudian Sekar Mirah dan Sumangkar. Namun dalam
keadaan yang demikian itu Sumangkar justru tersenyum, katanya,
“Kau
mempersulit dirimu sendiri, Anak Muda. Bagaimana kau dapat membawanya ke luar
dari ruangan ini?”
Prastawa
mengerutkan keningnya. Memang tidak mudah membawa gadis itu keluar dari
lingkungan para pengawal di halaman rumah ini.
“Sudahlah, Prastawa,”
berkata ibunya.
“Kau selalu
dibayangi oleh dendam yang tidak kunjung padam. Kini tamu yang tidak mengerti
apa pun yang terjadi di atas rumah ini, kau jadikan sasaran perasaan dendammu
itu.”
“He, apakah
gadis ini tidak berbuat apa-apa? Ia sudah merayu kawanku, kemudian
mencelakakannya?”
“Tentu tidak,”
berkata Sumangkar.
“Anakku tidak
akan berbuat demikian. Aku yakin bahwa ia tidak berbohong.”
“Aku yakin ia
berbohong. Kawanku bukan seorang anak ingusan yang begitu saja dapat dibuatnya
pingsan.”
Sumangkar
menarik nafas dalam-dalam. Sejenak ia merenung, apakah yang harus dikatakan. Namun
kemudian ia tersenyum pula,
“Bagaimana
gadis itu harus membuktikan bahwa ia berkata sebenarnya? Kalau kawanmu ini
nanti sadar, barangkali kau dapat melihatnya sendiri, bahwa anak gadisku itu
tidak berbohong.”
Tetapi
Prastawa tidak mendengarkannya. Tiba-tiba ia menarik pedangnya dan langsung
meloncat maju mendekati Sekar Mirah lebih dekat lagi. Tiba-tiba pula ujung
pedangnya sudah merunduk ke dada gadis itu.
“Nah, lihat.
Aku mempunyai cara yang menarik untuk membawanya ke luar,” berkata Prastawa.
Semuanya yang
menyaksikan hal itu terkejut bukan buatan. Sekar Mirah sendiri pun terkejut
pula. Hampir saja ia meloncat dan menangkap pergelangan tangan anak muda itu.
Tetapi sebagai isyarat Sumangkar menggeleng lemah. Sehingga dengan demikian
Sekar Mirah pun mengurungkan niatnya. Namun matanya kini tidak berkisar dari
tangan anak muda itu. Setiap gerakan yang terlontar di luar sadarnya mungkin
sekali akan merobek dada gadis itu. Karena itu Sekar Mirah menjadi tegang dan
siap untuk melakukan segala usaha untuk menyelamatkan diri apabila keadaan
memaksanya. Sejenak ia memandang Prastawa, kemudian gurunya yang
berkerut-merut. Namun tatapan matanya segera kembali ke tangan putera Ki
Argajaya.
“Prastawa,”
berkata ibunya,
“apakah kau
benar-benar sudah kehilangan akal.”
“Tidak. Aku
akan membawa gadis ini. Tidak seorang pun yang akan berani mengganggu aku, apabila
dengan ujung pedang aku menggiringnya ke luar halaman. Setiap tindakan yang
mencurigakan, akibatnya akan menimpa gadis yang malang ini.”
Sejenak mereka
termangu-mangu. Ujung senjata Prastawa telah bergetar seperti getar di dalam
jantungnya. Dengan nada yang tinggi ia berkata,
“Ayo,
tolonglah kawanku itu, supaya ia segera sadar. Aku akan segera meninggalkan
tempat terkutuk ini. Mungkin gadis ini akan berguna di persembunyianku.”
Dada Ki
Argajaya dan isteterinya menjadi berdentangan karenanya. Namun Sumangkar
tampaknya masih tetap tenang. Ia yakin bahwa Sekar Mirah tidak akan terlampau
banyak mendapat kesulitan.
“Berdirilah,”
berkata Prastawa.
Sumangkar
mengangguk kecil kepada Sekar Mirah. Ia akan mendapat lebih banyak kesempatan,
apabila Prastawa akan membawanya ke luar bilik. Sekar Mirah pun kemudian berdiri. Seperti yang diduga
oleh Sumangkar, Prastawa pun berkata,
“Keluar dari
bilik ini, supaya kawanku itu segera mendapat pertolongan.”
Sekar Mirah
tidak membantah. Ia melangkah maju mengitari tubuh yang masih terbaring di
lantai bilik itu. Dengan sudut matanya ia memandang gulungan ujung tikar di
pembaringan, tempat ia menyimpan senjatanya. Sumangkar mengerti iyarat itu, dan
ia pun menganggukkan kepalanya.
“Biarlah aku
tolong anak muda ini,” berkata Sumangkar. Ki Argajaya ragu-ragu sejenak. Tetapi
ia pun bukan orang yang terlampau bodoh menghadapi keadaan itu. Ia menyadari
keadaan Sekar Mirah, sehingga ia pun tanggap akan keadaan, bahwa Sekar Mirah
memang memiliki kemampuan untuk menjaga dirinya. Dengan berbagai cara,
Sumangkar menolong kawan Prastawa. Digosoknya telinga orang itu dengan minyak,
kemudian diangkatnya tangannya tinggi-tinggi berulang kali. Sejenak kemudian
orang itu pun menarik nafas. Perlahan-lahan ia bergerak. Ketika ia membuka
matanya, ia terkejut melihat beberapa orang berdiri di sampingnya. Mula-mula
kabur, seperti bayangan-bayangan raksasa yang berdiri dekat di sisinya. Namun
kemudian pandangan matanya menjadi semakin jelas, sehingga akhirnya ia melihat
Ki Argajaya, Nyai Argajaya, dan seorang laki-laki yang tidak dikenalnya, sedang
Sekar Mirah dan Prastawa tidak ada di dalam bilik itu. Dengan kekuatannya yang
belum pulih kembali ia mencoba berdiri. Tertatih-tatih ia berpegangan pada
tiang pintu.
“Di mana
Prastawa?” ia menggeram.
Prastawa yang
berada di luar pintu mendengar pertanyaan itu, sehingga ia pun menjawab,
“Aku di sini.
Gadis keparat itu ada di sini pula.”
“O,” kawannya
berdesis. Sejenak ia menggosok-gosok matanya, kemudian katanya,
“aku telah
lengah ketika ia memukul dadaku.”
Tidak
seorang pun yang menyahut. Ki Argajaya,
isterinya, dan Sumangkar membiarkannya ketika anak muda itu dengan langkah yang
belum tegak benar keluar dari bilik itu. Sejenak ia berdiri termangu-mangu.
kemudian sambil memandangi Sekar Mirah ia berkata,
“Bagus. Kau
berhasil menguasai gadis itu. Ia ternyata terlampau garang.”
Sekar Mirah
masih berdiri di tempatnya. Sekali-sekali ia memandang tangan Prastawa, dan
kadang-kadang dipandanginya wajah anak muda yang baru saja sadar dari pingsan
itu. Gadis itu masih saja ragu-ragu, apa yang akan dilakukannya. Dalam pada
itu, Ki Argajaya bersama isterinya dan Sumangkar pun telah keluar pula dari
dalam bilik.
“Prastawa,”
berkata ibunya,
“sekali lagi
aku mengharap, kau jangan dibayangi oleh perasaan dendammu. Duduklah, dan
berbicaralah dengan ayahmu. Di saat terakhir keadaan Tanah Perdikan ini sudah
berangsur menjadi baik, tetapi apakah tidak demikian dengan seisi rumah ini?
Apalagi kini kau membuat persoalan baru dengan tamu-tamu ayahmu.”
“Aku tidak
peduli,” jawab Prastawa.
“Sudah aku
katakan, aku tidak akan menghentikan perjuangan. Sekarang aku akan mendengar
keputusan Ayah sebelum aku pergi membawa gadis ini.”
“Keputusan
tentang apa, Prastawa?” bertanya ayahnya.
“Ayah harus
pergi bersama dengan kami meneruskan perjuangan yang masih jauh dan belum
selesai ini. Sepeninggal Kakang Sidanti dan gurunya, akulah yang mengambil alih
pimpinan sebelum Ayah dapat melakukannya.”
“O, kau masih
belum melihat kenyataan ini,” berkata ayahnya.
“Jangan keras
hati seperti Sidanti.”
“Ia seorang
yang teguh pada pendiriannya. Apakah aku harus berbuat seperti Ayah? Seperti
seorang pengecut.”
“Prastawa,”
berkata Ki Argajaya,
“dengarlah.
Kita sebaiknya berbicara dengan tenang.”
“Tidak, dan
aku tidak akan melepaskan gadis ini.”
Ki Argajaya menarik
nafas dalam-dalam. Dan tiba-tiba saja ia berkata,
“Prastawa, aku
adalah ayahmu. Kau wajib mendengar kata-kataku.” Ia berhenti sejenak, lalu,
“Aku memang
bersalah membawamu dalam kekalutan di atas Tanah Perdikan ini. Tetapi itu suatu
kekhilafan. Kini sudah tiba saatnya kita berani menilai diri kita sendiri.
Dengan demikian kita akan dapat menentukan sikap yang sebaik-baiknya.
Sebaik-baiknya bagi kita sendiri dan terutama sebaik-baiknya bagi Tanah
Perdikan Menoreh. Apakah yang dapat kau capai dengan petualangan yang tidak
kunjung selesai itu, selagi dendam masih tetap menyala di hati? Prastawa, api
yang membakar Tanah ini sudah padam. Tetapi api dendam di dadamu masih tetap
kau hembus-hembus dengan segala macam alasan.”
Prastawa
termenung sejenak. Namun kemudian ia menjawab,
“Ayah
mengajari aku memberontak terhadap Paman Argapati. Dan kini Ayah mengajari aku
mengkhianati kawan-kawanku.”
Jantung
Argajaya serasa tertusuk ujung duri. Sakit sekali. Tetapi ia menganggukkan
kepalanya sambil menjawab.
“Kalau sikapku
kau artikan demikian, kau tidak terlampau salah. Tetapi aku harus melihat
alasan dari kedua sikapku itu. Yang pertama, aku mengajarimu memberontak karena
aku dipacu oleh nafsu yang tidak terkendali. Nafsu untuk berkuasa, nafsu untuk
dihormati, dan nafsu lain-lain yang sebenarnya hanya sekedar nafsu pemanjaan
badani. Kini aku menyadari, bahwa nafsu pemanjaan badani itulah yang sebenarnya
telah menyeret aku ke dalam jurang yang kelam seperti sekarang. Dan kau yang
masih memiliki hari depan yang jauh lebih panjang dari hari-hariku sendiri,
ikut pula terjerumus ke dalam masa yang gelap.” Ki Argajaya berhenti sejenak,
lalu,
“Prastawa,
sebenarnya apa yang aku lakukan itu semata-mata karena aku ingin melihat kau
mendapat tempat yang baik di hari depanmu. Tetapi yang aku dapatkan justru
sebaliknya.”
Prastawa
merasakan suatu sentuhan di hatinya. Sebenarnya ia menyimpan juga suatu
pengakuan di dalam hatinya, bahwa ayahnya telah melakukan sesuatu yang
berbahaya untuk dirinya, untuk hari depannya. Tetapi usaha itu gagal, dan yang
didapatinya adalah sebaliknya.
“Nah, kemudian
terserah kepadamu, Prastawa. Apakah kau mau mendengar atau tidak. Menurut
pendapatku, seumurmu itu sudah cukup dewasa untuk menilai keadaan. Apakah
ayahmu benar-benar seorang pengkhianat seperti yang kau katakan, seorang
pengecut, seorang pemberontak dan apa lagi, atau kau melihat sesuatu yang lain
dari sebutan-sebutan itu.”
Prastawa tidak
menyahut. Tampak keningnya berkerut-merut. Dengan hati yang suram ia mencoba
menilai keadaan yang sedang dihadapinya.
Namun
tiba-tiba ia mendengar kawannya berkata,
“Prastawa,
jangan terpengaruh. Kau harus tetap bersikap jantan seperti Sidanti. Kalau Ki
Argajaya akan berkhianat, biarlah ia berkhianat. Tetapi kita harus tetap di
dalam garis perjuangan yang panjang. Pantang menyerah. Kita tidak segera akan
mati besok atau lusa karena dimakan oleh umur. Kita masih cukup muda. Kita
masih mempunyai banyak kesempatan. Hanya orang-orang pikun sajalah yang
menyerah begitu saja kepada keadaan.”
Bagaimana pun juga, darah Ki Argajaya berdesir
mendengar kata-kata itu. Anak muda itu bukan anaknya. Bukan sanak dan bukan
kadang. Namun demikian ia masih menahan diri. Kalau ia berbuat sesuatu atas
anak muda itu, maka ia akan menggugah kemarahan Prastawa yang agaknya sudah mulai
tersentuh oleh kata-katanya. Tetapi ucapan kawannya itu telah melemparkan
Prastawa kembali ke dalam suatu dunia yang gelap tanpa arah. Karena itu, maka
ia pun kemudian berkata,
“Benar. Aku
bukan anak-anak yang dapat dibujuk dengan cara apa pun. Aku sudah dewasa, dan
aku sudah cukup mampu menentukan sikap,” ia berhenti sejenak. Ditatapnya wajah
ayahnya dan ibunya berganti-ganti. Kemudian,
“Aku tetap
pada pendirianku. Ayah harus memilih. Ikut aku sebagai pejuang atau tinggal di
sini sebagai pengkhianat. Namun dengan demikian Ayah harus menyadari hukuman
apakah yang dapat diberikan kepada seorang pengkhianat.”
“Prastawa,”
suara ibunyalah yang melengking dengan gemetar,
“jangan
berkata begitu. Kau tidak dapat melepaskan diri dari aliran darah ayah dan ibumu
dalam tubuhmu. Kau adalah anakku dan anak ayahmu pula. Apa pun yang kami lakukan, aku dan ayahmu, tetapi
kau adalah anak kami.”
Sekali lagi
Prastawa terdiam. Ia memang tidak akan dapat lari dari kenyataan itu. Ia adalah
anak ayah dan ibunya. Bagaimana pun
juga, dan apa pun yang telah mereka
lakukan. Namun dalam kebimbangan itu ia mendengar kawannya berkata,
“Lalu, apakah
akibat dari hubungan itu di dalam perjuangan ini. Argapati telah membunuh
anaknya. Apakah Argapati tidak tahu bahwa Sidanti itu anaknya, dan apa pun yang
telah dilakukannya, ia adalah anaknya, yang dialiri oleh darahnya?”
Terasa dada
Argajaya terguncang. Meskipun ia dibebaskan oleh kakaknya dari segala tuntutan
karena pengampunan, namun hukuman ini terasa amat menyiksanya. Anaknya sendiri
sama sekali tidak menghargainya lagi. Bahkan anak itu telah mengancam untuk
membunuhnya.
“Nah, apa
katamu?” bertanya kawan Prastawa itu.
“Kakang
Argapati tidak membunuhnya,” berkata Argajaya dengan suara yang serak.
“Omong kosong!
Aku yakin, pasti Argapati sendiri yang membunuhnya karena anaknya telah
dianggapnya berkhianat kepadanya.”
“Tidak. Yang
membunuh Sidanti adalah Pandan Wangi. Itu pun tidak disengajanya. Ia tidak
dapat menghindari hentakan gerak naluriahnya saat itu ketika justru Sidanti-lah
yang akan membunuh Ki Argapati.”
“Seandainya
benar, itu adalah perbuatan jantan. Dan Prastawa pun harus berani berbuat demikian.”
Ki Argajaya
menekan dadanya dengan telapak tangannya.
“Nah, apa
katamu sekarang,” anak muda kawan Prastawa itu kini berdiri bertolak pinggang.
“Kalian tidak
akan dapat berbuat banyak. Gadis ini dapat mati tanpa arti sama sekali, kalau
kalian mencoba untuk berbuat sesuatu. Kini sekali lagi kita akan menguji
kejantanan Ki Argajaya. Apakah ia berani menghadapi pertanggungan jawab ini,
atau gadis inilah yang akan dijadikannya korban, untuk menyelamatkan dirinya.”
“Prastawa,”
suara ibunya seolah-olah tersangkut di kerongkongan,
“kau jangan
mendengarkan kata-kata iblis itu.”
Prastawa
mengerutkan keningnya.
“Kau adalah
anakku. Aku mengandungmu, kemudian melahirkan kau dengan susah payah, dibayangi
maut. Tidak ubahnya seperti orang yang sedang berperang melawan musuh yang
tidak tampak.”
“Maksud Ibu,
musuh itu adalah aku yang akan lahir?”
“Bukan. Bukan
begitu maksudku.”
“Jadi, aku sudah
menyusahkan Ibu?”
“Tidak. Juga
tidak,” jawab ibunya.
“Aku menyambut
kedatanganmu dengan harapan dan cita-cita, bahwa ada seseorang yang akan
menyambung hidup kami kelak. Sakit dan cemas itu adalah tebusan dari harapan
itu. Dan aku dengan senang hati telah menjalaninya.”
“Lalu, apa
maksud, Ibu mengatakannya?”
“Prastawa,
kemudian aku dan ayahmu mengasuhmu. Membesarkan kau dengan cinta kasih. Apakah
kau menyadari? Kalau kau sedang sakit, semalam suntuk aku mendukungmu, karena
kau tidak mau diajak oleh orang lain. Dan apakah kau sangka ayahmu dapat tidur
sekejap pun? Ayahmu adalah orang terhormat waktu itu. Ia mempunyai banyak
pelayan dan pembantu. Ayahmu hampir tidak pernah turun ke sawah kalau bukan
karena keinginannya. Tetapi menunggui kau sakit, Prastawa, ayahmu tidak dapat
menyuruh salah seorang pembantunya, atau bahkan sepuluh atau lima-puluh orang
sekalipun. Kalau aku mendukungmu di saat kau sakit, ayahmu duduk betapa pun
lelah dan kantuknya, sampai saatnya kau tertidur. Dan hal ini harus
dilakukannya sendiri, seperti yang dikehendakinya.”
Prastawa tidak
segera menjawab. Perlahan-lahan kepalanya tertunduk. Meskipun samara-samar, ia
masih dapat mengingat masa-masa kecilnya itu.
Tetapi sekali
lagi kawannya berkata,
“Itu bukan
salah Prastawa. Ia tidak minta dilahirkan. Ia tidak minta dipelihara dengan
susah payah. Bukankah salah orang tuanya pula apabila ia lahir di dunia ini?
Semua yang kalian lakukan, juga yang dilakukan oleh ayah dan ibuku atasku,
adalah tanggung jawab orang-orang tua yang telah melahirkan kami.”
“O,” ibu
Prastawa menutup mulutnya dengan kedua belah telapak tangannya, meskipun
terdengar kata-katanya,
“itukah
anggapan anak-anak muda sekarang terhadap orang tuanya?”
“Sudah tentu,”
jawab anak muda itu.
“Kalian telah
melahirkan kami, maka kalian pulalah yang harus memenuhi kebutuhan kami.
Seperti kini yang diperlukan oleh Prastawa. Hal ini tidak akan terjadi apabila
Prastawa tidak dilahirkan dan Ki Argajaya tidak menuntunnya ke jalan yang
sekarang dilaluinya.”
Dada Ki
Argajaya menjadi semakin pedih. Namun ternyata isterinya masih juga berkata,
“Terserahlah
pendapat apa yang ada di dalam kepalamu, Anak Muda, tetapi aku ingin mengajari
anakku, bahwa bukan sekedar kemauan kamilah yang telah melahirkannya. Seperti
adanya isi dunia ini, maka adanya seseorang merupakan bagian daripadanya. Kami
adalah lantaran-lantaran atas kelahiran anak-anak kami. Tetapi asal
kelahirannya sama sekali bukan dari kami. Memang kami dapat mencegah diri kami,
agar kami tidak menjadi lantaran kelahiran seseorang dengan usaha-usaha
badaniah, misalnya seseorang yang tidak kawin, tetapi kuwajiban manusia adalah
mempertahankan adanya manusia di muka bumi seperti yang dikehendaki oleh
Penciptanya. Prastawa, sebaiknya kau tidak mengikuti jalan pikiran duniawi itu.
Jalan pikiran yang sama sekali tidak mempertimbangkan sumber hidup manusia itu
sendiri. Tuhan mempercayai manusia untuk melahirkan manusia baru dengan
kuwajiban-kuwajiban yang memang dibebankan kepadanya, tetapi manusia-manusia
baru itu pun wajib menghargai lantaran
kelahirannya atas kekuasaan Tuhan dan atas kepercayaan Tuhan. Bukankah begitu?
Dan itu adalah orang tuamu. Ayah dan ibumu. Kalau kau merendahkan harga diri
ayah dan ibumu, maka kau telah merendahkan kepercayaan sumber hidupmu atas
kedua orang tuamu itu, lantaran-lantaran yang telah dipilihnya.”
Dada Prastawa
menjadi berdebar-debar. Yang mengucapkan kata-kata itu adalah ibunya. Ibu yang
melahirkannya. Namun dalam pada itu kawan Prastawa itu pun menjadi berdebar
pula. Kalau Prastawa terpengaruh oleh orang tuanya, maka ia akan mengalami
kesulitan. Ia akan tersudut dan mungkin ia akan ditangkap. Karena itu, maka ia
masih berusaha membakar hati Prastawa. Katanya,
“Itulah
pendapat orang-orang tua, Prastawa. Ia menganggap bahwa kami, anak-anak muda
adalah alat-alat untuk memuaskan diri. Orang-orang tua sama sekali tidak
berbuat apa-apa atas kita tanpa niat mementingkan dirinya sendiri. Mereka ingin
mendapat tempat bergantung. Kalau mereka berusaha agar kita menjadi manusia
yang baik, terhormat dan bahkan kaya raya, adalah karena kepentingan mereka
sendiri. Orang-orang tua itu akan mendapat pujian, dan kelak mendapat tempat di
hari tuanya. Itulah sebabnya mereka bersusah payah berusaha agar kita menjadi
manusia yang melampaui manusia lainnya. Seperti ayahmu yang menginginkan kau
menjadi Kepala Tanah Perdikan ini misalnya. Sama sekali bukan karena kau, bukan
karena kepentinganmu, tetapi karena nafsunya sendiri. Nafsu memuaskan diri
sendiri itulah.”
“O,” desis ibu
Prastawa, “bagaimana kau sampai pada pikiran itu?”
“Kenapa tidak?
Ternyata orang-orang tualah yang berusaha menentukan jalan hidup anak-anaknya.
Kalau mereka benar-benar mencintai anaknya tanpa pamrih, mereka pasti akan
mengikuti jalan pikiran anak-anak muda dan berjuang untuk mereka sesuai dengan
jalan, cara, dan cita-cita yang mereka kehendaki. Di sini anak menjadi tujuan
pengabdian, bukan alat-alat membanggakan dan memuaskan diri sendiri.”
“Jadi menurut
pikiranmu, kasih dan cinta orang tua itu akan melahirkan perbuatan-perbuatan
tanpa pertimbagan, dan asal memberikan kepuasan bagi anak-anak mereka? Tidak,
Anak Muda. Cinta bukanlah sekedar membenarkan semua perbuatan, memanjakan, dan
tanpa arah. Itu salah. Aku memang mempunyai pamrih atas anakku. Tetapi itu
untuk kepentingan anakku kelak. Bukan sekedar pamrih pribadi. Kalau aku sekedar
memanjakan pamrih pribadi, aku dapat menahan kebaikan kepada orang-orang lain,
tanpa memerlukan seorang anak pun.”
“Bohong!
Semuanya bohong!” anak muda itu memotong. Lalu,
“Sekarang,
Prastawa, sebelum iblis merasuk ke dalam hatimu. Mari, kita keluar dari rumah
ini. Sekarang kau harus bertanya, apakah Ki Argajaya bersedia pergi bersama
kita atau tidak. Gadis ini akan menjadi tanggungan.”
Kini Prastawa
telah benar-benar dicengkam oleh suatu keragu-raguan. Karena itu ia tidak
menjawab. Pedangnya sudah tidak lurus lagi mengarah ke lambung Sekar Mirah. Sekali-sekali
terbayang perjuangan yang dianggapnya masih belum selesai. Namun kemudian
terngiang kata-kata ibunya, dan bayangan-bayangan di masa kecilnya. Alangkah
sejuknya barada di dalam pelukan ayah dan ibu. Apakah kini ia harus melawan
keduanya dan menyakiti bukan saja hatinya tetapi juga tubuhnya. Kawan Prastawa
menjadi semakin cemas melihat keragu-raguan itu, melihat wajah Prastawa yang
menjadi suram dan tunduk.
“O, agaknya
racun itu telah mencengkam perasaan anak itu,” berkata kawan Prastawa di dalam
hatinya. Karena itu, maka ia pun segera mencari jalan untuk melepaskan dirinya,
seandainya Prastawa benar-benar telah terpengaruh oleh kata-kata ayah dan
ibunya. Dalam keheningan itu, tiba-tiba saja kawan Prastawa itu meloncat
merampas pedang di tangan putera Ki Argajaya yang sedang merenung itu. Dengan
wajah yang tegang diacungkannya ujung pedang itu ke lambung Sekar Mirah sambil
berkata,
“Akulah yang
kini menguasainya.”
Prastawa
sendiri terkejut. Ketika ia menyadari keadaannya, pedangnya sudah berpindah
tangan. Selangkah ia terdorong ke samping, kemudian ia tinggal dapat
menyaksikan kawannya yang kini menguasai keadaan.
“Semua orang
harus menurut perintahku. Kalau tidak, gadis ini akan menjadi korban.”
“Tunggu,”
berkata Prastawa.
“Aku tidak
yakin bahwa kau mempunyai hati yang teguh.”
Prastawa
terdiam sementara kawannya berkata pula,
“Kau Prastawa,
kau harus mengikuti aku bersama ayahmu.”
Ki Argajaya
berdiri saja membeku. Sejenak dipandanginya wajah Sekar Mirah, kemudian wajah
Sumangkar. Sedang isterinya menjadi pucat dan gemetar.
“Aku tidak
sedang bermain-main. Kalian tidak akan dapat mempengaruhi aku seperti
mempengaruhi Prastawa, karena aku bukan apa-apamu.”
“Tetapi
dengarlah,” berkata Ki Argajaya.
“Di luar rumah
ini sepasukan prajurit sedang berjaga-jaga.”
“Aku tidak
peduli. Aku menguasai gadis ini. Kalau seorang pun dari mereka tidak tunduk
kepada perintahku, maka gadis ini akan mati.”
“Kenapa aku
yang akan mati?” tiba-tiba Sekar Mirah bertanya.
“Bodoh. Diam
kau, jangan mencoba bertingkah lagi. Aku sekarang sudah siap. Kalau kau sendiri
berbuat aneh, kau pun akan mati.”
“Kalau tidak,
apakah aku akan kau bawa ke sarangmu?”
“Ya, bersama
Prastawa dan Ki Argajaya.”
“Jauh?”
“Diam kau.
Jangan banyak berbicara.”
Tetapi sebelum
anak muda itu selesai membentak, terasa pedangnya bergetar. Kekuatan yang besar
telah mendorong pedangnya ke samping. Ketika ia sadar, maka Sekar Mirah itu
telah meloncat beberapa langkah daripadanya.
“Gila, kau
sudah gila,” geram anak muda itu.
Kini setiap
orang berloncatan menepi. Nyai Argajaya yang ketakutan berdiri di belakang
suaminya yang berdiri tegak seperti tonggak. Anak muda itu kini berdiri melekat
dinding dengan pedang terjulur lurus ke depan. Dengan mata yang liar ia
berkata,
“Kalian
benar-benar telah menjadi gila, terutama gadis itu. Aku akan membunuhmu
kemudian membunuh setiap orang di dalam ruangan ini.”
“Jangan
kehilangan akal,” berkata Sekar Mirah.
“Bukankah kau
mengenal Ki Argajaya?”
Anak muda itu seakan-akan
tidak mendengar kata-kata Sekar Mirah. Setapak ia bergeser mendekati Sekar
Mirah. Tetapi Sekar Mirah pun bergeser
pula ke samping.
“Kau tidak
akan dapat lari,” geram anak muda itu. Sekar Mirah tidak menjawab kata-kata
itu, namun justru ia berkata,
“Kau
seharusnya mengenal kemampuan Ki Argajaya. Kalau Ki Argajaya kehilangan
kesabaran, maka ia akan segera bertindak atasmu.”
“Persetan.
Tetapi aku pun bukan tikus clurut. Aku adalah satu-satunya orang yang
bersenjata di ruang ini,” anak muda itu kemudian berpaling kepada Prastawa.
“Prastawa,
cepat tentukan, di pihak mana kau berdiri? Apakah kau juga akan berkhianat
kepada perjuangan kita?”
Sebelum
Prastawa menjawab, terdengar suara Ki Argajaya,
“Prastawa.
Memang benar. Kau harus segera menentukan sikap. Kalau kau memutuskan untuk
segera kembali kepada ayah dan ibumu, maka soal anak itu bukanlah soal yang
sulit, meskipun ia bersenjata. Tetapi kalau kau benar-benar menganggap aku
pengkhianat, dan seharusnya aku dibunuh, maka biarlah aku tidak akan melawan
kalau kau memang menghendaki. Tetapi aku memang tidak akan dapat berdiri di
pihak mereka yang tidak mau melihat kenyataan.”
Prastawa
berdiri membeku di tempatnya. Seakan-akan terjadi benturan yang dahsyat di
dalam dadanya.
“Cepat!” anak
muda itu membentaknya.
Wajah Prastawa
menjadi tegang. Dari keningnya menitik keringat dingin. Sejenak dipandanginya
anak muda itu kemudian ayahnya dan ibunya.
“Kaulah yang
membawa aku kemari, Prastawa. Apakah kau akan membiarkan aku dibantai di sini
karena pengkhianatanmu.”
Ruangan itu
pun kemudian serasa dibakar oleh kesenyapan vaag pengap. Dada mereka menjadi
sesak, dan darah mereka seakan-akan menjadi semakin lambat mengalir. Kini
setiap mata hinggap pada wajah Prastawa yang tegang dan basah oleh keringat. Degup
jantung anak muda yang memegang pedang itu
pun menjadi semakin cepat. Ia hampir tidak sabar lagi menunggu keputusan
Prastawa. Sedang Prastawa masih saja diamuk oleh kebimbangan.
Dalam
kesenyapan itu terdengar suara Nyai Argajaya,
“Prastawa,
jangan hanyut pada suatu perasaan sekedar untuk mempertahankan harga dirimu,
karena kau tidak mau disebut seorang pengkhianat. Kau harus dapat membedakan,
siapakah yang menyebutmu demikian. Kalau yang menyebutmu seorang pengkhianat
itu sendiri tidak mengerti tentang dirinya sendiri, apakah kau akan terpengaruh
karenanya.”
“Diam, diam
kau!” potong anak muda itu. Hampir saja ia meloncat sambil menjulurkan
pedangnya. Tetapi langkahnya tertahan karena perempuan itu berdiri di belakang
Ki Argajaya. Dan hampir setiap orang di Menoreh mengetahui, bahwa Ki Argajaya
memiliki kemampuan yang tidak dapat diabaikan.
Kedua
anak-anak muda di ruangan itu, Prastawa dan kawannya, sama-sama menjadi tegang.
Tubuh mereka telah basah oleh keringat.
“Cepat,
tentukan sikapmu,” geram anak muda itu.
Sekali lagi,
semua perhatian telah terampas oleh Prastawa. Wajah-wajah yang tegang
memandanginya dengan tajamnya, seolah-olah mereka langsung ingin melihat isi
dada anak muda itu. Ketika Prastawa menggerakkan kepalanya, seakan-akan semua
orang berhenti bernafas. Setelah melampaui perjuangan yang dahsyat di dalam
dirinya, meskipun dengan penuh keragu-raguan. Prastawa menggelengkan kepalanya
sambil berkata lambat hampir tidak terdengar,
“Aku tidak
dapat melakukannya.”
“He,” anak
muda itu terbelalak, “maksudmu?”
“Aku terikat
oleh sesuatu yang tidak aku mengerti.”
“Jadi?”
“Aku tinggal
di sini.”
“Gila. Gila
kau, Prastawa,” wajah anak muda itu menjadi merah padam, serta matanya menjadi
bertambah liar. Sejenak dipandanginya Prastawa yang berdiri di atas kakinya yang
renggang. Kemudian Ki Argajaya yang sudah bersiaga. Di belakangnya, Nyai
Argajaya yang menjadi kian berdebar-debar. Selangkah daripadanya, seorang tua yang
tidak dikenalnya yang disebut-sebut sebagai ayah gadis itu. Dan yang terakhir,
anak muda itu memandang Sekar Mirah dengan nafas terengah-engah. Sekar Mirah
berdiri tidak begitu jauh daripadanya. Meskipun semuanya tidak bersenjata,
tetapi ia harus dapat menguasai orang yang dianggapnya paling lemah. Anak muda
itu mengenal kemampuan Prastawa, kemudian Ki Argajaya. Laki-laki tua itu tidak
akan banyak artinya baginya. Dan apabila ia dapat menguasai Sekar Mirah, maka
gadis itu akan dapat dipakainya untuk perisai. Tiba-tiba saja anak muda itu
meloncat ke arah Sekar Mirah. Ia ingin mengancam gadis itu dengan ujung
pedangnya. Dengan suara yang berat ia berkata,
“Jangan
mencoba melawan.”
Tetapi
alangkah terkejutnya, ketika ternyata gadis itu mampu meloncat secepat
loncatannya. Ketika ia menjejakkan kakinya di lantai, maka Sekar Mirah telah
berada beberapa langkah daripadanya.
“Gila. Apakah
kau mencoba melarikan diri?” geramnya. Sekar Mirah mengerutkan keningnya.
Terbersit niat di dalam hatinya, untuk menghentikan permainan itu. Anak itu
tidak boleh terlampau lama mengalami ketegangan yang dapat membuatnya menjadi benar-benar
gila. Karena itu, justru selangkah ia maju. Katanya,
“Jangan
menjadi liar. Sudah aku katakan, sebaiknya kau tinggal di sini. Aku kira, kau
akan diterimanya pula, apabila kau benar-benar menghentikan segala macam
tingkah yang dapat mengganggu ketenteraman Tanah Perdikan ini.”
“Persetan!”
anak muda itu tiba-tiba berteriak. Ia tidak menghiraukan lagi para pengawal
yang mungkin mendengarnya dari halaman.
“Aku bunuh
kau. Kita akan mati bersama-sama.”
Dengan
garangnya anak muda itu meloncat maju. Kali ini ia tidak sekedar mengancam.
Tetapi ia benar-benar mengayunkan pedangnya, menyerang Sekar Mirah. Tetapi
Sekar Mirah sudah bersiaga. Ia mampu melihat gelagat, bahwa anak muda itu akan
menyerangnya apabila ia sudah kehilangan akal. Karena itu, serangan anak muda
itu tidak mengejutkannya. Meskipun ia tidak bersenjata, tetapi murid Sumangkar
yang berguru dengan tekun itu, tidak banyak mengalami kesulitan untuk mengelak,
sehingga serangan anak muda itu sama sekali tidak menyentuh apa pun. Dengan
kemarahan yang membakar dadanya, anak muda itu menggeram. Dengan menghentakkan
kakinya ia meloncat menghadapi Sekar Mirah yang menghindar ke samping. Tetapi
sama sekali tidak disangkanya, bahwa gadis itu mampu bergerak lebih cepat,
daripadanya. Ketika ia menyadari keadaannya, gadis itu telah menghantam
pergelangan tangannya sehingga ia tidak mampu lagi mempertahankan pedangnya,
sehingga pedang itu pun terpelanting jatuh.
Betapa
tangannya seolah-olah tersengat oleh bara api. Dengan serta-merta ia menarik
tangannya sambil mengerang kesakitan. Tetapi belum lagi ia sempat mengusap
pergelangan tangannya, terasa tubuhnya terdorong kuat sekali, sehingga
terhuyung-huyung ia melangkah surut.
“Gila kau,”
anak muda itu mengumpat ketika ia melihat Sekar Mirah memungut pedangnya. Tetapi
ketika ia siap melompat maju untuk mencegahnya, langkahnya terhenti, karena
tiba-tiba saja ujung pedang itu sudah mengarah ke dadanya.
“Kalau kau
meloncat maju, maka ujung pedang ini akan tertancap di dadamu,” desis Sekar
Mirah.
Anak muda itu
tegak bagaikan patung. Ditatapnya wajah Sekar Mirah yang cantik itu dengan
sorot mata yang aneh. Wajah yang cantik itu tiba-tiba saja telah berubah
menjadi wajah yang menakutkan. Seperti wajah seorang dewi maut yang sudah siap
untuk menarikan tari maut dengan sepucuk pedang. Tetapi Sekar Mirah tidak
beranjak dari tempatnya.
“Prastawa,”
desis anak muda itu,
“kau telah
mengkhianati kawan-kawanmu pula.”
Prastawa tidak
menjawab. Ia masih dicengkam oleh keraguan. Ia tidak mengerti manakah yang
sebaiknya dipilih. Seperti seseorang yang berdiri di simpang jalan yang
membujur lurus dan panjang sekali, seakan-akan sama-sama tidak berujung.
“Apakah kau
sengaja menjebak aku di rumah ini?” bertanya kawannya.
Prastawa masih
berdiri mematung. Wajah anak muda itu pun menjadi semakin nanar. Ketakutan yang
betapa pun lambatnya, kini telah mulai menyentuh jantungnya. Di hadapannya
berdiri seorang gadis yang ternyata, terlampau garang, segarang seekor harimau
betina. Itulah agaknya, maka ia tidak takut berada di kandang serigala. Di sebelah
lain Argajaya berdiri tegak dengan tatapan wajah yang menggetarkan jantung. Di
sebelahnya, orang tua yang disebut ayah gadis yang garang itu. Agaknya ia tidak
segarang anak gadisnya? Sedang di sebelah lain berdiri termangu-mangu seorang
anak yang masih terlampau muda, yang justru membawanya masuk ke dalam sarang
harimau ini. Tiba-tiba anak muda itu tidak dapat lagi mengendalikan ketakutan
yang sudah mencengkam dadanya. Ia tidak mau mati begitu saja. Ia masih akan
berusaha di dalam keputus-asaan, untuk keluar dari rumah terkutuk ini. Karena
itu, maka sejenak ia mencoba berpikir. Kemana ia harus melarikan diri,
sementara orang-orang yang berdiri di sekitarnya itu seolah-olah telah berubah
menjadi sekelompok iblis yang menakutkan, yang siap menerkamnya dan
merobek-robek tubuhnya. Ketika ia tidak lagi dapat menahan ledakan di dadanya,
tiba-tiba ia melompat. Sekilas ia teringat pada seutas tali yang masih masih
menggantung di dalam bilik dalam.
“He, apakah
kau akan lari?” bertanya Sekar Mirah.
Tetapi anak muda
itu sama sekali tidak menghiraukannya lagi. Dengan sekuat-kuat tenaganya ia
meloncat masuk ke dalam bilik itu. Sementara itu, para pengawal yang berada di
halaman, lamat-lamat mendengar keributan di dalam rumah. Agung Sedayu yang
duduk di sebelah pimpinan pengawal berdesis,
“He, kau
mendengar sesuatu di dalam?”
“Ya.”
“Apakah
mungkin terjadi keributan?”
Pemimpin
pengawal itu ragu-ragu sejenak. “Bagaimana pendapatmu?” ia bertanya.
“Kaulah yang
lebih mengenal gadis dan gurunya itu.”
“Aku kira
tidak akan ada keributan. Tetapi baiklah kita melihatnya.”
Ketika
keduannya berdiri, mereka menjadi heran. Mereka memang mendengar keributan.
Namun mereka tidak dapat dengan tergesa-gesa memasuki ruangan dalam. Sejenak
mereka berdiri di pendapa. Kalau terjadi sesuatu, maka pasti salah satu pihak
akan memanggil mereka.
Anak muda yang
berlari itu pun kemudian meloncat masuk ke dalam bilik. Semula ia mencoba untuk
menutup pintu bilik, tetapi terlambat karena Sekar Mirah telah berada beberapa
langkah saja di belakangnya. Karena itu, maka ia harus cepat mencapai tali yang
masih tergantung. Tali yang dipergunakan sebagai alat untuk turun masuk ke
dalam neraka ini. Dengan segenap kekuatan dan kemampuan yang ada, anak muda itu
pun segera menggapai ujung tali itu. Ternyata ia memang cakap memanjat. Tetapi
anak muda itu mengumpat keras-keras ketika tubuhnya terhempas dilantai. Agaknya
Sekar Mirah telah meloncat ke atas pembaringannya, kemudian sekali lagi
meloncat sambil mengayunkan pedang yang dibawanya memutuskan tali yang masih
terjuntai itu, tepat di atas tangan anak muda yang sedang memanjat itu. Namun
demikian, anak muda itu tidak berhenti sampai sekian. Sekali lagi ia meloncat
ke luar dan berlari ke arah pintu.
“Ia tidak akan
lolos. Biarlah para pengawal menangkapnya,” desis Sekar Mirah.
Argajaya yang
telah siap untuk menangkapnya, telah tertegun mendengar desis Sekar Mirah,
sejenak ia berdiri termangu melihat anak muda itu berlari ke pringgitan. Agung
Sedayu yamg berada di pendapa bersama pemimpin pengawal itu pun menjadi semakin
berdebar-debar mendengar derap orang berlari. Kini mereka tidak dapat menunggu
lagi. Meskipun tidak seorang pun yang memanggil mereka, namun keduanya tanpa
berjanji telah melangkah ke pintu. Ketika Agung Sedayu berdiri tepat di muka
pintu, ia mendengar seseorang membuka selarak dengan tergesa-gesa. Agung Sedayu
menjadi semakin curiga. Kini ia berdiri di muka pintu. Namun ia terkejut ketika
tiba-tiba saja pintu itu terbuka dan seseorang telah melanggarnya. Karena Agung
Sedayu tidak menduga sama sekali, maka ia
pun tidak menghindari benturan itu. Begitu tiba-tiba sehingga Agung
Sedayu terdorong beberapa langkah surut. Tetapi anak muda yang juga terkejut
itu pun seakan-akan telah terlempar masuk kembali ke pringgitan dan jatuh
terbanting di lantai. Dengan serta-merta ia pun bangkit. Tetapi ia tidak dapat
berbuat apa-apa lagi. Kini ia berdiri di muka Agung Sedayu dan pemimpin
pengawal yang sudah meraba hulu pedangnya.
“Siapakah anak
ini?” bertanya pemimpin pengawal itu kepada Argajaya yang berdiri termangu-mangu.
Sebelum
Argajaya menjawab, Sekar Mirah yang masih memegang pedang, maju beberapa langkah.
Sambil tersenyum ia berkata,
“Kami mendapat
dua orang tamu malam ini. Tetapi tamu yang seorang ini agaknya tidak kerasan
tinggal di sini.”
Agung Sedayu dan
pemimpin pengawal itu mengedarkan tatapan matanya berkeliling. Dilihatnya
seorang anak muda yang lain berdiri termangu-mangu dekat di depan dinding bilik
di ruang dalam. Dari lubang pintu yang memisahkan pringgitan dan ruang dalam
mereka melihat anak muda itu termangu-mangu. Namun mereka menarik nafas
dalam-dalam, ketika ia melihat Sumangkar berdiri beberapa langkah daripadanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar