Jilid 050 Halaman 3


“marilah, duduklah di ruang dalam. Kita akan berbicara dengan baik. Aku dapat berbicara sebagai seorang ayah, dan kau sebagai seorang anak laki-laki.”
“Tidak. Itu tidak perlu. Aku hanya menuntut agar Ayah tetap ikut di dalam perjuangan ini. Kenapa Ayah tidak meneruskan perjuangannya sampai saat terakhir seperti Kakang Sidanti dan Ki Tambak Wedi? Nama mereka akan tetap dikenang. Kalau kami mendapat kemenangan, maka akan dibuat masing-masing sebuah patung dan akan dipasang di gapura induk padukuhan Menoreh.”
Ki Argajaya menarik nafas dalam-dalam. Sejak sekian lama anaknya berada di dalam lingkungan itu, sehingga hatinya telah menjadi beku, terselubung oleh keputus-asaan yang menyeretnya ke dalam keadaannya itu. Tanpa harapan dan cita-cita. Penyesalan yang dalam telah menikam jantung Ki Argajaya. Anak itu tinggallah satu-satunya anaknya sejak anak perempuannya meninggal dunia. Tetapi ia sendiri telah menjerumuskannya ke dalam suatu keadaan yang hitam kelam, sehingga anak itu sendiri tidak dapat melihat hari depannya sama sekali.
“Aku memang salah langkah,” katanya di dalam hati.
“Maksudku memang merintis jalan bagi anak itu. Tetapi, karena aku tidak berjalan di jalan yang benar, akhirnya aku justru terpelanting ke dalam keadaan yang sangat pahit.”
Ki Argajaya terkejut ketika ia mendengar anaknya berkata,
“Bagaimana, Ayah? Apakah Ayah sependapat dengan aku, bahwa perjuangan ini harus diteruskan?”
“Prastawa,” suara Ki Argajaya merendah,
“marilah duduk di sini. Bukankah kau tidak tergesa-gesa?”
“Aku tergesa-gesa. Kawanku menunggu aku di bilik ibu.”
“He,” Ki Argajaya mengerutkan keningnya,
“maksudmu, kau membawa seorang kawan yang kini berada di bilik itu.”
“Ya. Biarlah ia menunggui gadis itu. Kami tidak tahu, apakah yang dapat dilakukannya. Apakah ia akan berteriak, atau ia memang mengharapkan kedatangan seorang laki-laki.”
Ki Argajaya termenung sejenak. Lalu,
“Marilah, kau dan kawanmu aku persilahkan duduk sebentar. Yang kita bicarakan adalah masalah yang penting. Sudah tentu tidak dengan cara ini. Berdiri dengan tegang di tengah-tengah pintu.”
Prastawa merenung sejenak. Namun kemudian ia menggeleng sambil menghentakkan perasaan sendiri yang mulai tersentuh-sentuh kata-kata orang tuanya,
“Tidak. Aku tidak akan duduk. Aku tetap di sini.”
“Tetapi kawanmu itu Prastawa. Sebaiknya kita berbicara sambil mengendapkan perasaan sendiri yang mulai terbuka sehingga aku mengerti keadaanmu yang sebenarnya dan kau mengerti keadaanku yang sebenarnya. Dengan demikian kita akan dapat mengambil kesimpulan daripadanya.”
Prastawa masih termenung.
“Marilah,” ayahnya  pun kemudian menarik tangan anak itu. Selangkah Prastawa mengikutinya. Tetapi kemudan ia menyentakkan tangannya sambil berkata,
“Tidak! Aku tidak mau.”
Ki Argajaya berdiri membeku. Ditatapnya wajah anak itu sejenak. Kemudian perlahan-lahan ia mengangguk-anggukkan kepalanya sambil menarik nafas dalam-dalam.
“Sudah sewajarnya ia bersikap begitu,” berkata di dalam hati. Ia memang tidak dapat ingkar, bahwa ia telah menjerumuskan anaknya ke dalam keadaannya yang sekarang. Tetapi Prastawa itu tidak dapat mengelak ketika ibunya mendekatinya dan berbisik di telinganya,
“Marilah bersama ibu, Ngger.”

Prastawa tidak mempunyai kekuatan yang cukup untuk mengibaskan tangan ibunya. Meskipun ia mencoba bertahan di tempatnya, ketika ibunya menariknya, namun kemudian Prastawa  pun melangkah mengikutinya. Ki Argajaya menarik nafas dalam-dalam. Ia melangkah di belakang anaknya yang berjalan bersama ibunya ke ruang tengah.
“O, Kiai sudah bangun?” bertanya Nyai Argajaya.
“Apakah ada tamu malam-malam begini?” bertanya Sumangkar yang telah duduk di pinggir amben.
“Anakku, Kiai,” jawab Nyai Argajaya yang masih membimbing Prastawa.
“O,” Sumangkar mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Ini tamu ayahmu, Ngger,” berkata Nyai Argajaya kepada anaknya.
“Apakah orang ini termasuk pengawal yang mengawasi Ayah di sini?”
“Ia tamuku, Prastawa,” sahut ayahnya. “Ia bukan orang Menoreh.”
Anak muda itu mengerutkan keningnya. Tiba-tiba ia melangkah surut sambil berkata,
“Inikah orang-orang asing yang ikut campur dalam persoalan Menoreh?”
Sumangkar mengerutkan keningnya. Kemudian ia  pun tersenyum sambil berkata,
“Aku belum lama berada di sini, Anakmas. Aku datang setelah keadaan menjadi baik kembali. Bahkan aku tidak melihat apa yang telah terjadi di sini.”
Prastawa mengerutkan keningnya. Katanya kemudian,
“Ha, sekarang aku tahu. Kau dan anak perempuan itu pasti datang bersama Ayah dan para pengawal. Tentu.”
Sumangkar mengangguk-anggukkan kepalanya,
“Memang aku dan anakku datang bersama Ki Argajaya. Tetapi kami tidak ikut campur tentang keadaan di atas Tanah Perdikan ini.”
“Sudahlah, Ngger,” berkata ibunya, “jangan hiraukan apapun juga. Duduklah. Rumah ini adalah rumahmu, milikmu. Sekarang kau berada di rumahmu sendiri. Karena itu jangan gelisah.”
Prastawa masih tetap berdiri di tempatnya.
“Duduklah. Marilah kita berbicara. Apakah kita akan menemukan persesuaian atau tidak, terserahlah kepada keadaan nanti. Tetapi marilah kita mulai dengan hati yang bening, niat yang baik dan harapan-harapan yang dapat memberikan ketenteraman hati. Terutama perempuan-perempuan tua seperti aku.”
Prastawa masih berdiri di tempatnya. Tetapi perlahan-lahan ia berdesis,
“Aku tidak datang seorang diri.”
“Marilah kita panggil kawanmu itu.”
“Ia ada di dalam bilik Ibu.”
Dada Nyai Argajaya menjadi berdebar-debar. Sekilas dipandanginya Ki Sumangkar. Tetapi kemudian ia berkata,
“Marilah, bersama Ibu.”
Keduanya  pun kemudian berjalan ke bilik yang dipergunakan oleh Sekar Mirah. Dalam pada itu, detak jantung Nyai Argajaya menjadi semakin cepat. Ia tidak berani membayangkan apa yang telah terjadi di dalam bilik itu.
“Seandainya kawan Prastawa menjadi gila dan liar, maka malanglah nasib gadis itu.”
Tetapi Nyai Argajaya tidak mengatakannya, meskipun semakin dekat mereka dengan daun pintu yang tertutup hatinya menjadi semakin berdebar-debar. Sejenak kemudian mereka sudah berdiri di depan pintu. Mereka sama sekali tidak mendengar suara apa  pun dari dalam. Sepi. Putera Ki Argajaya  pun menjadi termangu-mangu. Kawannya memang bukan seorang anak muda yang jinak. Orang itu kadang-kadang dapat berbuat liar dan bahkan dapat menjadi buas.
“Apakah yang dilakukan oleh kawanmu itu?” bisik Nyai Argajaya.
Prastawa tidak menyahut. Tetapi perlahan-lahan diketuknya pintu bilik yang tertutup itu. Tetapi agaknya Nyai Argajaya tidak sabar menunggu. Dengan suara serak ia berkata,
“Buka, bukalah.”

Seperti didorong oleh sesuatu yang tidak dimengertinya. Prastawa  pun mendorong pintu bilik itu sehingga menganga lebar. Sejenak mereka berdua dicengkam oleh pemandangan, yang membingungkan sehingga nafas mereka terhenti. Dengan mata terbelalak mereka menyaksikan peristiwa yaag sama sekali tidak mereka duga.
“Bagaimana hal ini dapat terjadi?” desis Nyai Argajaya. Prastawa pun kemudian maju selangkah. Diamatinya sesosok tubuh yang terbaring di lantai. Pingsan.
“Apa yang sudah kau lakukan atasnya,” putera Ki Argajaya itu bertanya.
Sejenak bilik itu dicengkam oleh kesenyapan. Namun kemudian terdengar jawaban,
“Aku tidak sengaja. Aku hanya menyentuh dadanya. Aku kira ia mempunyai kekuatan yang dapat dibanggakan.”
Nyai Argajaya masih memandanginya dengan mulut ternganga. Ternyata gadis yang menempati biliknya itu adalah seorang gadis yang luar basa. Dengan tenangnya gadis itu duduk di pinggir pembaringannya.
“Aku hanya sekedar membela diri,” berkata Sekar Mirah selanjutnya.
“Ia akan melakukan perbuatan yang terkutuk. Aku menolak tubuhnya. Tetapi ia menerkam seperti serigala lapar. Tanpa aku sengaja, agaknya aku sudah memukul dadanya. Hanya sekali, dan kawanmu ini menjadi pingsan.”
Prastawa menggeram. Tiba-tiba saja ia membentak,
“Perempuan gila. Kau sangka kau dapat menakut-nakuti aku dengan ceriteramu itu. Kau pasti telah membujuknya sehingga ia menjadi lengah. Kemudian selagi ia lengah, kau sudah mengkhianatinya.”
Sekar Mirah menggeleng,
“Tidak. Bukan begitu. Aku sama sekali tidak berbuat curang. Aku menyerangnya beradu dada. Bahkan anak inilah yang telah menyerang aku lebih dahulu.”
“Aku tidak percaya. Kau harus menebus dosamu itu.”
“He, kenapa kau marah kepadaku?” berkata Sekar Mirah,
“Kenapa kau tidak menghukum kawanmu yang bertindak tidak sepantasnya?”
“Bohong! Bohong kau!”
Tiba-tiba saja Prastawa meloncat maju selangkah ke depan Sekar Mirah sambil berkata,
“Jangan ingkar. Kau tidak dapat lari lagi.”
“Prastawa,” panggil ibunya, “kenapa kau menjadi gila? Gadis ini adalah tamuku.”
“Aku tidak peduli. Tetapi ia sudah mengkhianati kawanku. Itu berarti mengkhianati aku pula.”
“Tidak. Kau belum mengetahui keadaan yang sebenarnya. Jangan terburu nafsu.”
“Aku akan menghukumnya.”
Tiba-tiba mereka  pun tertegun. Serentak mereka berpaling. Di muka pintu telah berdiri Ki Argajaya dan Sumangkar.
“Gadis itu tamuku, Prastawa.”
“Aku tidak peduli. Aku tidak peduli. Ia sudah menghina kawanku. Itu berarti aku dan seluruh kelompokku terhina pula.”
“Kawanmulah yang mencari perkara,” berkata Sekar Mirah.
“Kalau ia dapat berlaku sedikit sopan, maka aku kira tidak akan terjadi sesuatu atasnya.”
Tetapi Prastawa sudah tidak mendengarkan lagi. Sambil menggeram ia beringsut setapak,
“Aku akan menuntut.”
“Prastawa,” desis Ki Argajaya.
Namun mereka menjadi heran ketika Ki Sumangkar justru berkata,
“Apakah kau benar-benar berbuat salah, Sekar Mirah.”
“Tidak. Aku hanya sekedar membela diri.”
“Tidak mungkin,” potong Prastawa.
“Kawanku adalah seorang yang mempunyai kekuatan dan kemampuan cukup. Apakah gadis ini dapat membuatnya pingsan tanpa perlawanan apa pun? Aku sudah pasti, ia telah merayunya, kemudian melakukan perbuatan yang menyinggung perasaan ini.”
“Jangan berprasangka, Prastawa,” sahut Ki Argajaya.
“Aku tidak peduli. Jangankan gadis yang tidak aku kenal. Seisi rumah ini, bahkan Ayah sekalipun, apabila berani menghalang-halangi aku, aku tidak akan memaafkannya.”
Ketika Ki Argajaya akan menjawab lagi, Ki Sumangkar menggamitnya sambil berkata,
“Baiklah. Kalau anakku memang bersalah, kau dapat menghukumnya. Tetapi hukuman apa yang akan kau berikan?”

Pertanyaan itu telah membuat Prastawa menjadi bingung. Tanpa sesadarnya ia memandang wajah Sekar Mirah yang sedang memandanginya pula, sehingga tatapan mata mereka bertemu. Dengan serta-merta keduanya melemparkan pandangan matanya ke samping. Namun untuk melepaskan desir jantungnya yang serasa menekan seisi dada, anak muda itu berkata,
“Aku akan membunuhnya.”
“Benarkah begitu?” bertanya Sumangkar.
Prastawa menjadi ragu-ragu. Dan sebelum ia sempat menjawab, ibunya berkata,
“Kau jangan kehilangan akal anakku. Jangan berbuat sebodoh itu.”
Prastawa mengerutkan keningnya. Ia mencoba untuk bertahan pada pendiriannya. Tetapi sesuatu telah mengaburkannya, sehingga untuk sesaat ia hanya berdiam diri saja.
“Sudahlah. Marilah kita rawat kawanmu itu,” berkata ibunya.
Namun justru dengan demikian, harga diri Prastawa tumbuh kembali, bahkan mencengkam dengan dahsyat. Katanya,
“Aku akan menghukumnya. Benar-benar menghukumnya dengan caraku. Aku akan membawanya kepada kawan-kawanku dan memberitahukan kepada mereka apa yang sudah terjadi. Terserahlah kepada mereka, apa yang akan mereka lakukan atas gadis ini sebagai hukumannya.”
Kata-kata Prastawa itu benar-benar telah mengejutkan ibu dan ayahnya. Namun justru dengan demikian mereka untuk sesaat terdiam mematung. Dengan mata yang hampir tidak berkedip dipandanginya anaknya, kemudian Sekar Mirah dan Sumangkar. Namun dalam keadaan yang demikian itu Sumangkar justru tersenyum, katanya,
“Kau mempersulit dirimu sendiri, Anak Muda. Bagaimana kau dapat membawanya ke luar dari ruangan ini?”
Prastawa mengerutkan keningnya. Memang tidak mudah membawa gadis itu keluar dari lingkungan para pengawal di halaman rumah ini.
“Sudahlah, Prastawa,” berkata ibunya.
“Kau selalu dibayangi oleh dendam yang tidak kunjung padam. Kini tamu yang tidak mengerti apa pun yang terjadi di atas rumah ini, kau jadikan sasaran perasaan dendammu itu.”
“He, apakah gadis ini tidak berbuat apa-apa? Ia sudah merayu kawanku, kemudian mencelakakannya?”
“Tentu tidak,” berkata Sumangkar.
“Anakku tidak akan berbuat demikian. Aku yakin bahwa ia tidak berbohong.”
“Aku yakin ia berbohong. Kawanku bukan seorang anak ingusan yang begitu saja dapat dibuatnya pingsan.”
Sumangkar menarik nafas dalam-dalam. Sejenak ia merenung, apakah yang harus dikatakan. Namun kemudian ia tersenyum pula,
“Bagaimana gadis itu harus membuktikan bahwa ia berkata sebenarnya? Kalau kawanmu ini nanti sadar, barangkali kau dapat melihatnya sendiri, bahwa anak gadisku itu tidak berbohong.”
Tetapi Prastawa tidak mendengarkannya. Tiba-tiba ia menarik pedangnya dan langsung meloncat maju mendekati Sekar Mirah lebih dekat lagi. Tiba-tiba pula ujung pedangnya sudah merunduk ke dada gadis itu.
“Nah, lihat. Aku mempunyai cara yang menarik untuk membawanya ke luar,” berkata Prastawa.

Semuanya yang menyaksikan hal itu terkejut bukan buatan. Sekar Mirah sendiri pun terkejut pula. Hampir saja ia meloncat dan menangkap pergelangan tangan anak muda itu. Tetapi sebagai isyarat Sumangkar menggeleng lemah. Sehingga dengan demikian Sekar Mirah pun mengurungkan niatnya. Namun matanya kini tidak berkisar dari tangan anak muda itu. Setiap gerakan yang terlontar di luar sadarnya mungkin sekali akan merobek dada gadis itu. Karena itu Sekar Mirah menjadi tegang dan siap untuk melakukan segala usaha untuk menyelamatkan diri apabila keadaan memaksanya. Sejenak ia memandang Prastawa, kemudian gurunya yang berkerut-merut. Namun tatapan matanya segera kembali ke tangan putera Ki Argajaya.
“Prastawa,” berkata ibunya,
“apakah kau benar-benar sudah kehilangan akal.”
“Tidak. Aku akan membawa gadis ini. Tidak seorang pun yang akan berani mengganggu aku, apabila dengan ujung pedang aku menggiringnya ke luar halaman. Setiap tindakan yang mencurigakan, akibatnya akan menimpa gadis yang malang ini.”
Sejenak mereka termangu-mangu. Ujung senjata Prastawa telah bergetar seperti getar di dalam jantungnya. Dengan nada yang tinggi ia berkata,
“Ayo, tolonglah kawanku itu, supaya ia segera sadar. Aku akan segera meninggalkan tempat terkutuk ini. Mungkin gadis ini akan berguna di persembunyianku.”
Dada Ki Argajaya dan isteterinya menjadi berdentangan karenanya. Namun Sumangkar tampaknya masih tetap tenang. Ia yakin bahwa Sekar Mirah tidak akan terlampau banyak mendapat kesulitan.
“Berdirilah,” berkata Prastawa.
Sumangkar mengangguk kecil kepada Sekar Mirah. Ia akan mendapat lebih banyak kesempatan, apabila Prastawa akan membawanya ke luar bilik. Sekar Mirah  pun kemudian berdiri. Seperti yang diduga oleh Sumangkar, Prastawa pun berkata,
“Keluar dari bilik ini, supaya kawanku itu segera mendapat pertolongan.”
Sekar Mirah tidak membantah. Ia melangkah maju mengitari tubuh yang masih terbaring di lantai bilik itu. Dengan sudut matanya ia memandang gulungan ujung tikar di pembaringan, tempat ia menyimpan senjatanya. Sumangkar mengerti iyarat itu, dan ia pun menganggukkan kepalanya.
“Biarlah aku tolong anak muda ini,” berkata Sumangkar. Ki Argajaya ragu-ragu sejenak. Tetapi ia pun bukan orang yang terlampau bodoh menghadapi keadaan itu. Ia menyadari keadaan Sekar Mirah, sehingga ia pun tanggap akan keadaan, bahwa Sekar Mirah memang memiliki kemampuan untuk menjaga dirinya. Dengan berbagai cara, Sumangkar menolong kawan Prastawa. Digosoknya telinga orang itu dengan minyak, kemudian diangkatnya tangannya tinggi-tinggi berulang kali. Sejenak kemudian orang itu pun menarik nafas. Perlahan-lahan ia bergerak. Ketika ia membuka matanya, ia terkejut melihat beberapa orang berdiri di sampingnya. Mula-mula kabur, seperti bayangan-bayangan raksasa yang berdiri dekat di sisinya. Namun kemudian pandangan matanya menjadi semakin jelas, sehingga akhirnya ia melihat Ki Argajaya, Nyai Argajaya, dan seorang laki-laki yang tidak dikenalnya, sedang Sekar Mirah dan Prastawa tidak ada di dalam bilik itu. Dengan kekuatannya yang belum pulih kembali ia mencoba berdiri. Tertatih-tatih ia berpegangan pada tiang pintu.
“Di mana Prastawa?” ia menggeram.
Prastawa yang berada di luar pintu mendengar pertanyaan itu, sehingga ia  pun menjawab,
“Aku di sini. Gadis keparat itu ada di sini pula.”
“O,” kawannya berdesis. Sejenak ia menggosok-gosok matanya, kemudian katanya,
“aku telah lengah ketika ia memukul dadaku.”
Tidak seorang  pun yang menyahut. Ki Argajaya, isterinya, dan Sumangkar membiarkannya ketika anak muda itu dengan langkah yang belum tegak benar keluar dari bilik itu. Sejenak ia berdiri termangu-mangu. kemudian sambil memandangi Sekar Mirah ia berkata,
“Bagus. Kau berhasil menguasai gadis itu. Ia ternyata terlampau garang.”

Sekar Mirah masih berdiri di tempatnya. Sekali-sekali ia memandang tangan Prastawa, dan kadang-kadang dipandanginya wajah anak muda yang baru saja sadar dari pingsan itu. Gadis itu masih saja ragu-ragu, apa yang akan dilakukannya. Dalam pada itu, Ki Argajaya bersama isterinya dan Sumangkar pun telah keluar pula dari dalam bilik.
“Prastawa,” berkata ibunya,
“sekali lagi aku mengharap, kau jangan dibayangi oleh perasaan dendammu. Duduklah, dan berbicaralah dengan ayahmu. Di saat terakhir keadaan Tanah Perdikan ini sudah berangsur menjadi baik, tetapi apakah tidak demikian dengan seisi rumah ini? Apalagi kini kau membuat persoalan baru dengan tamu-tamu ayahmu.”
“Aku tidak peduli,” jawab Prastawa.
“Sudah aku katakan, aku tidak akan menghentikan perjuangan. Sekarang aku akan mendengar keputusan Ayah sebelum aku pergi membawa gadis ini.”
“Keputusan tentang apa, Prastawa?” bertanya ayahnya.
“Ayah harus pergi bersama dengan kami meneruskan perjuangan yang masih jauh dan belum selesai ini. Sepeninggal Kakang Sidanti dan gurunya, akulah yang mengambil alih pimpinan sebelum Ayah dapat melakukannya.”
“O, kau masih belum melihat kenyataan ini,” berkata ayahnya.
“Jangan keras hati seperti Sidanti.”
“Ia seorang yang teguh pada pendiriannya. Apakah aku harus berbuat seperti Ayah? Seperti seorang pengecut.”
“Prastawa,” berkata Ki Argajaya,
“dengarlah. Kita sebaiknya berbicara dengan tenang.”
“Tidak, dan aku tidak akan melepaskan gadis ini.”
Ki Argajaya menarik nafas dalam-dalam. Dan tiba-tiba saja ia berkata,
“Prastawa, aku adalah ayahmu. Kau wajib mendengar kata-kataku.” Ia berhenti sejenak, lalu,
“Aku memang bersalah membawamu dalam kekalutan di atas Tanah Perdikan ini. Tetapi itu suatu kekhilafan. Kini sudah tiba saatnya kita berani menilai diri kita sendiri. Dengan demikian kita akan dapat menentukan sikap yang sebaik-baiknya. Sebaik-baiknya bagi kita sendiri dan terutama sebaik-baiknya bagi Tanah Perdikan Menoreh. Apakah yang dapat kau capai dengan petualangan yang tidak kunjung selesai itu, selagi dendam masih tetap menyala di hati? Prastawa, api yang membakar Tanah ini sudah padam. Tetapi api dendam di dadamu masih tetap kau hembus-hembus dengan segala macam alasan.”
Prastawa termenung sejenak. Namun kemudian ia menjawab,
“Ayah mengajari aku memberontak terhadap Paman Argapati. Dan kini Ayah mengajari aku mengkhianati kawan-kawanku.”
Jantung Argajaya serasa tertusuk ujung duri. Sakit sekali. Tetapi ia menganggukkan kepalanya sambil menjawab.
“Kalau sikapku kau artikan demikian, kau tidak terlampau salah. Tetapi aku harus melihat alasan dari kedua sikapku itu. Yang pertama, aku mengajarimu memberontak karena aku dipacu oleh nafsu yang tidak terkendali. Nafsu untuk berkuasa, nafsu untuk dihormati, dan nafsu lain-lain yang sebenarnya hanya sekedar nafsu pemanjaan badani. Kini aku menyadari, bahwa nafsu pemanjaan badani itulah yang sebenarnya telah menyeret aku ke dalam jurang yang kelam seperti sekarang. Dan kau yang masih memiliki hari depan yang jauh lebih panjang dari hari-hariku sendiri, ikut pula terjerumus ke dalam masa yang gelap.” Ki Argajaya berhenti sejenak, lalu,
“Prastawa, sebenarnya apa yang aku lakukan itu semata-mata karena aku ingin melihat kau mendapat tempat yang baik di hari depanmu. Tetapi yang aku dapatkan justru sebaliknya.”
Prastawa merasakan suatu sentuhan di hatinya. Sebenarnya ia menyimpan juga suatu pengakuan di dalam hatinya, bahwa ayahnya telah melakukan sesuatu yang berbahaya untuk dirinya, untuk hari depannya. Tetapi usaha itu gagal, dan yang didapatinya adalah sebaliknya.
“Nah, kemudian terserah kepadamu, Prastawa. Apakah kau mau mendengar atau tidak. Menurut pendapatku, seumurmu itu sudah cukup dewasa untuk menilai keadaan. Apakah ayahmu benar-benar seorang pengkhianat seperti yang kau katakan, seorang pengecut, seorang pemberontak dan apa lagi, atau kau melihat sesuatu yang lain dari sebutan-sebutan itu.”
Prastawa tidak menyahut. Tampak keningnya berkerut-merut. Dengan hati yang suram ia mencoba menilai keadaan yang sedang dihadapinya.
Namun tiba-tiba ia mendengar kawannya berkata,
“Prastawa, jangan terpengaruh. Kau harus tetap bersikap jantan seperti Sidanti. Kalau Ki Argajaya akan berkhianat, biarlah ia berkhianat. Tetapi kita harus tetap di dalam garis perjuangan yang panjang. Pantang menyerah. Kita tidak segera akan mati besok atau lusa karena dimakan oleh umur. Kita masih cukup muda. Kita masih mempunyai banyak kesempatan. Hanya orang-orang pikun sajalah yang menyerah begitu saja kepada keadaan.”

Bagaimana  pun juga, darah Ki Argajaya berdesir mendengar kata-kata itu. Anak muda itu bukan anaknya. Bukan sanak dan bukan kadang. Namun demikian ia masih menahan diri. Kalau ia berbuat sesuatu atas anak muda itu, maka ia akan menggugah kemarahan Prastawa yang agaknya sudah mulai tersentuh oleh kata-katanya. Tetapi ucapan kawannya itu telah melemparkan Prastawa kembali ke dalam suatu dunia yang gelap tanpa arah. Karena itu, maka ia  pun kemudian berkata,
“Benar. Aku bukan anak-anak yang dapat dibujuk dengan cara apa pun. Aku sudah dewasa, dan aku sudah cukup mampu menentukan sikap,” ia berhenti sejenak. Ditatapnya wajah ayahnya dan ibunya berganti-ganti. Kemudian,
“Aku tetap pada pendirianku. Ayah harus memilih. Ikut aku sebagai pejuang atau tinggal di sini sebagai pengkhianat. Namun dengan demikian Ayah harus menyadari hukuman apakah yang dapat diberikan kepada seorang pengkhianat.”
“Prastawa,” suara ibunyalah yang melengking dengan gemetar,
“jangan berkata begitu. Kau tidak dapat melepaskan diri dari aliran darah ayah dan ibumu dalam tubuhmu. Kau adalah anakku dan anak ayahmu pula. Apa  pun yang kami lakukan, aku dan ayahmu, tetapi kau adalah anak kami.”
Sekali lagi Prastawa terdiam. Ia memang tidak akan dapat lari dari kenyataan itu. Ia adalah anak ayah dan ibunya. Bagaimana  pun juga, dan apa  pun yang telah mereka lakukan. Namun dalam kebimbangan itu ia mendengar kawannya berkata,
“Lalu, apakah akibat dari hubungan itu di dalam perjuangan ini. Argapati telah membunuh anaknya. Apakah Argapati tidak tahu bahwa Sidanti itu anaknya, dan apa pun yang telah dilakukannya, ia adalah anaknya, yang dialiri oleh darahnya?”
Terasa dada Argajaya terguncang. Meskipun ia dibebaskan oleh kakaknya dari segala tuntutan karena pengampunan, namun hukuman ini terasa amat menyiksanya. Anaknya sendiri sama sekali tidak menghargainya lagi. Bahkan anak itu telah mengancam untuk membunuhnya.
“Nah, apa katamu?” bertanya kawan Prastawa itu.
“Kakang Argapati tidak membunuhnya,” berkata Argajaya dengan suara yang serak.
“Omong kosong! Aku yakin, pasti Argapati sendiri yang membunuhnya karena anaknya telah dianggapnya berkhianat kepadanya.”
“Tidak. Yang membunuh Sidanti adalah Pandan Wangi. Itu pun tidak disengajanya. Ia tidak dapat menghindari hentakan gerak naluriahnya saat itu ketika justru Sidanti-lah yang akan membunuh Ki Argapati.”
“Seandainya benar, itu adalah perbuatan jantan. Dan Prastawa  pun harus berani berbuat demikian.”
Ki Argajaya menekan dadanya dengan telapak tangannya.
“Nah, apa katamu sekarang,” anak muda kawan Prastawa itu kini berdiri bertolak pinggang.
“Kalian tidak akan dapat berbuat banyak. Gadis ini dapat mati tanpa arti sama sekali, kalau kalian mencoba untuk berbuat sesuatu. Kini sekali lagi kita akan menguji kejantanan Ki Argajaya. Apakah ia berani menghadapi pertanggungan jawab ini, atau gadis inilah yang akan dijadikannya korban, untuk menyelamatkan dirinya.”
“Prastawa,” suara ibunya seolah-olah tersangkut di kerongkongan,
“kau jangan mendengarkan kata-kata iblis itu.”
Prastawa mengerutkan keningnya.
“Kau adalah anakku. Aku mengandungmu, kemudian melahirkan kau dengan susah payah, dibayangi maut. Tidak ubahnya seperti orang yang sedang berperang melawan musuh yang tidak tampak.”
“Maksud Ibu, musuh itu adalah aku yang akan lahir?”
“Bukan. Bukan begitu maksudku.”
“Jadi, aku sudah menyusahkan Ibu?”
“Tidak. Juga tidak,” jawab ibunya.
“Aku menyambut kedatanganmu dengan harapan dan cita-cita, bahwa ada seseorang yang akan menyambung hidup kami kelak. Sakit dan cemas itu adalah tebusan dari harapan itu. Dan aku dengan senang hati telah menjalaninya.”
“Lalu, apa maksud, Ibu mengatakannya?”
“Prastawa, kemudian aku dan ayahmu mengasuhmu. Membesarkan kau dengan cinta kasih. Apakah kau menyadari? Kalau kau sedang sakit, semalam suntuk aku mendukungmu, karena kau tidak mau diajak oleh orang lain. Dan apakah kau sangka ayahmu dapat tidur sekejap pun? Ayahmu adalah orang terhormat waktu itu. Ia mempunyai banyak pelayan dan pembantu. Ayahmu hampir tidak pernah turun ke sawah kalau bukan karena keinginannya. Tetapi menunggui kau sakit, Prastawa, ayahmu tidak dapat menyuruh salah seorang pembantunya, atau bahkan sepuluh atau lima-puluh orang sekalipun. Kalau aku mendukungmu di saat kau sakit, ayahmu duduk betapa pun lelah dan kantuknya, sampai saatnya kau tertidur. Dan hal ini harus dilakukannya sendiri, seperti yang dikehendakinya.”
Prastawa tidak segera menjawab. Perlahan-lahan kepalanya tertunduk. Meskipun samara-samar, ia masih dapat mengingat masa-masa kecilnya itu.
Tetapi sekali lagi kawannya berkata,
“Itu bukan salah Prastawa. Ia tidak minta dilahirkan. Ia tidak minta dipelihara dengan susah payah. Bukankah salah orang tuanya pula apabila ia lahir di dunia ini? Semua yang kalian lakukan, juga yang dilakukan oleh ayah dan ibuku atasku, adalah tanggung jawab orang-orang tua yang telah melahirkan kami.”
“O,” ibu Prastawa menutup mulutnya dengan kedua belah telapak tangannya, meskipun terdengar kata-katanya,
“itukah anggapan anak-anak muda sekarang terhadap orang tuanya?”
“Sudah tentu,” jawab anak muda itu.
“Kalian telah melahirkan kami, maka kalian pulalah yang harus memenuhi kebutuhan kami. Seperti kini yang diperlukan oleh Prastawa. Hal ini tidak akan terjadi apabila Prastawa tidak dilahirkan dan Ki Argajaya tidak menuntunnya ke jalan yang sekarang dilaluinya.”

Dada Ki Argajaya menjadi semakin pedih. Namun ternyata isterinya masih juga berkata,
“Terserahlah pendapat apa yang ada di dalam kepalamu, Anak Muda, tetapi aku ingin mengajari anakku, bahwa bukan sekedar kemauan kamilah yang telah melahirkannya. Seperti adanya isi dunia ini, maka adanya seseorang merupakan bagian daripadanya. Kami adalah lantaran-lantaran atas kelahiran anak-anak kami. Tetapi asal kelahirannya sama sekali bukan dari kami. Memang kami dapat mencegah diri kami, agar kami tidak menjadi lantaran kelahiran seseorang dengan usaha-usaha badaniah, misalnya seseorang yang tidak kawin, tetapi kuwajiban manusia adalah mempertahankan adanya manusia di muka bumi seperti yang dikehendaki oleh Penciptanya. Prastawa, sebaiknya kau tidak mengikuti jalan pikiran duniawi itu. Jalan pikiran yang sama sekali tidak mempertimbangkan sumber hidup manusia itu sendiri. Tuhan mempercayai manusia untuk melahirkan manusia baru dengan kuwajiban-kuwajiban yang memang dibebankan kepadanya, tetapi manusia-manusia baru itu  pun wajib menghargai lantaran kelahirannya atas kekuasaan Tuhan dan atas kepercayaan Tuhan. Bukankah begitu? Dan itu adalah orang tuamu. Ayah dan ibumu. Kalau kau merendahkan harga diri ayah dan ibumu, maka kau telah merendahkan kepercayaan sumber hidupmu atas kedua orang tuamu itu, lantaran-lantaran yang telah dipilihnya.”
Dada Prastawa menjadi berdebar-debar. Yang mengucapkan kata-kata itu adalah ibunya. Ibu yang melahirkannya. Namun dalam pada itu kawan Prastawa itu pun menjadi berdebar pula. Kalau Prastawa terpengaruh oleh orang tuanya, maka ia akan mengalami kesulitan. Ia akan tersudut dan mungkin ia akan ditangkap. Karena itu, maka ia masih berusaha membakar hati Prastawa. Katanya,
“Itulah pendapat orang-orang tua, Prastawa. Ia menganggap bahwa kami, anak-anak muda adalah alat-alat untuk memuaskan diri. Orang-orang tua sama sekali tidak berbuat apa-apa atas kita tanpa niat mementingkan dirinya sendiri. Mereka ingin mendapat tempat bergantung. Kalau mereka berusaha agar kita menjadi manusia yang baik, terhormat dan bahkan kaya raya, adalah karena kepentingan mereka sendiri. Orang-orang tua itu akan mendapat pujian, dan kelak mendapat tempat di hari tuanya. Itulah sebabnya mereka bersusah payah berusaha agar kita menjadi manusia yang melampaui manusia lainnya. Seperti ayahmu yang menginginkan kau menjadi Kepala Tanah Perdikan ini misalnya. Sama sekali bukan karena kau, bukan karena kepentinganmu, tetapi karena nafsunya sendiri. Nafsu memuaskan diri sendiri itulah.”
“O,” desis ibu Prastawa, “bagaimana kau sampai pada pikiran itu?”
“Kenapa tidak? Ternyata orang-orang tualah yang berusaha menentukan jalan hidup anak-anaknya. Kalau mereka benar-benar mencintai anaknya tanpa pamrih, mereka pasti akan mengikuti jalan pikiran anak-anak muda dan berjuang untuk mereka sesuai dengan jalan, cara, dan cita-cita yang mereka kehendaki. Di sini anak menjadi tujuan pengabdian, bukan alat-alat membanggakan dan memuaskan diri sendiri.”
“Jadi menurut pikiranmu, kasih dan cinta orang tua itu akan melahirkan perbuatan-perbuatan tanpa pertimbagan, dan asal memberikan kepuasan bagi anak-anak mereka? Tidak, Anak Muda. Cinta bukanlah sekedar membenarkan semua perbuatan, memanjakan, dan tanpa arah. Itu salah. Aku memang mempunyai pamrih atas anakku. Tetapi itu untuk kepentingan anakku kelak. Bukan sekedar pamrih pribadi. Kalau aku sekedar memanjakan pamrih pribadi, aku dapat menahan kebaikan kepada orang-orang lain, tanpa memerlukan seorang anak pun.”
“Bohong! Semuanya bohong!” anak muda itu memotong. Lalu,
“Sekarang, Prastawa, sebelum iblis merasuk ke dalam hatimu. Mari, kita keluar dari rumah ini. Sekarang kau harus bertanya, apakah Ki Argajaya bersedia pergi bersama kita atau tidak. Gadis ini akan menjadi tanggungan.”
Kini Prastawa telah benar-benar dicengkam oleh suatu keragu-raguan. Karena itu ia tidak menjawab. Pedangnya sudah tidak lurus lagi mengarah ke lambung Sekar Mirah. Sekali-sekali terbayang perjuangan yang dianggapnya masih belum selesai. Namun kemudian terngiang kata-kata ibunya, dan bayangan-bayangan di masa kecilnya. Alangkah sejuknya barada di dalam pelukan ayah dan ibu. Apakah kini ia harus melawan keduanya dan menyakiti bukan saja hatinya tetapi juga tubuhnya. Kawan Prastawa menjadi semakin cemas melihat keragu-raguan itu, melihat wajah Prastawa yang menjadi suram dan tunduk.
“O, agaknya racun itu telah mencengkam perasaan anak itu,” berkata kawan Prastawa di dalam hatinya. Karena itu, maka ia pun segera mencari jalan untuk melepaskan dirinya, seandainya Prastawa benar-benar telah terpengaruh oleh kata-kata ayah dan ibunya. Dalam keheningan itu, tiba-tiba saja kawan Prastawa itu meloncat merampas pedang di tangan putera Ki Argajaya yang sedang merenung itu. Dengan wajah yang tegang diacungkannya ujung pedang itu ke lambung Sekar Mirah sambil berkata,
“Akulah yang kini menguasainya.”

Prastawa sendiri terkejut. Ketika ia menyadari keadaannya, pedangnya sudah berpindah tangan. Selangkah ia terdorong ke samping, kemudian ia tinggal dapat menyaksikan kawannya yang kini menguasai keadaan.
“Semua orang harus menurut perintahku. Kalau tidak, gadis ini akan menjadi korban.”
“Tunggu,” berkata Prastawa.
“Aku tidak yakin bahwa kau mempunyai hati yang teguh.”
Prastawa terdiam sementara kawannya berkata pula,
“Kau Prastawa, kau harus mengikuti aku bersama ayahmu.”
Ki Argajaya berdiri saja membeku. Sejenak dipandanginya wajah Sekar Mirah, kemudian wajah Sumangkar. Sedang isterinya menjadi pucat dan gemetar.
“Aku tidak sedang bermain-main. Kalian tidak akan dapat mempengaruhi aku seperti mempengaruhi Prastawa, karena aku bukan apa-apamu.”
“Tetapi dengarlah,” berkata Ki Argajaya.
“Di luar rumah ini sepasukan prajurit sedang berjaga-jaga.”
“Aku tidak peduli. Aku menguasai gadis ini. Kalau seorang pun dari mereka tidak tunduk kepada perintahku, maka gadis ini akan mati.”
“Kenapa aku yang akan mati?” tiba-tiba Sekar Mirah bertanya.
“Bodoh. Diam kau, jangan mencoba bertingkah lagi. Aku sekarang sudah siap. Kalau kau sendiri berbuat aneh, kau pun akan mati.”
“Kalau tidak, apakah aku akan kau bawa ke sarangmu?”
“Ya, bersama Prastawa dan Ki Argajaya.”
“Jauh?”
“Diam kau. Jangan banyak berbicara.”
Tetapi sebelum anak muda itu selesai membentak, terasa pedangnya bergetar. Kekuatan yang besar telah mendorong pedangnya ke samping. Ketika ia sadar, maka Sekar Mirah itu telah meloncat beberapa langkah daripadanya.
“Gila, kau sudah gila,” geram anak muda itu.
Kini setiap orang berloncatan menepi. Nyai Argajaya yang ketakutan berdiri di belakang suaminya yang berdiri tegak seperti tonggak. Anak muda itu kini berdiri melekat dinding dengan pedang terjulur lurus ke depan. Dengan mata yang liar ia berkata,
“Kalian benar-benar telah menjadi gila, terutama gadis itu. Aku akan membunuhmu kemudian membunuh setiap orang di dalam ruangan ini.”
“Jangan kehilangan akal,” berkata Sekar Mirah.
“Bukankah kau mengenal Ki Argajaya?”
Anak muda itu seakan-akan tidak mendengar kata-kata Sekar Mirah. Setapak ia bergeser mendekati Sekar Mirah. Tetapi Sekar Mirah  pun bergeser pula ke samping.
“Kau tidak akan dapat lari,” geram anak muda itu. Sekar Mirah tidak menjawab kata-kata itu, namun justru ia berkata,
“Kau seharusnya mengenal kemampuan Ki Argajaya. Kalau Ki Argajaya kehilangan kesabaran, maka ia akan segera bertindak atasmu.”
“Persetan. Tetapi aku pun bukan tikus clurut. Aku adalah satu-satunya orang yang bersenjata di ruang ini,” anak muda itu kemudian berpaling kepada Prastawa.
“Prastawa, cepat tentukan, di pihak mana kau berdiri? Apakah kau juga akan berkhianat kepada perjuangan kita?”
Sebelum Prastawa menjawab, terdengar suara Ki Argajaya,
“Prastawa. Memang benar. Kau harus segera menentukan sikap. Kalau kau memutuskan untuk segera kembali kepada ayah dan ibumu, maka soal anak itu bukanlah soal yang sulit, meskipun ia bersenjata. Tetapi kalau kau benar-benar menganggap aku pengkhianat, dan seharusnya aku dibunuh, maka biarlah aku tidak akan melawan kalau kau memang menghendaki. Tetapi aku memang tidak akan dapat berdiri di pihak mereka yang tidak mau melihat kenyataan.”
Prastawa berdiri membeku di tempatnya. Seakan-akan terjadi benturan yang dahsyat di dalam dadanya.
“Cepat!” anak muda itu membentaknya.
Wajah Prastawa menjadi tegang. Dari keningnya menitik keringat dingin. Sejenak dipandanginya anak muda itu kemudian ayahnya dan ibunya.
“Kaulah yang membawa aku kemari, Prastawa. Apakah kau akan membiarkan aku dibantai di sini karena pengkhianatanmu.”
Ruangan itu pun kemudian serasa dibakar oleh kesenyapan vaag pengap. Dada mereka menjadi sesak, dan darah mereka seakan-akan menjadi semakin lambat mengalir. Kini setiap mata hinggap pada wajah Prastawa yang tegang dan basah oleh keringat. Degup jantung anak muda yang memegang pedang itu  pun menjadi semakin cepat. Ia hampir tidak sabar lagi menunggu keputusan Prastawa. Sedang Prastawa masih saja diamuk oleh kebimbangan.
Dalam kesenyapan itu terdengar suara Nyai Argajaya,
“Prastawa, jangan hanyut pada suatu perasaan sekedar untuk mempertahankan harga dirimu, karena kau tidak mau disebut seorang pengkhianat. Kau harus dapat membedakan, siapakah yang menyebutmu demikian. Kalau yang menyebutmu seorang pengkhianat itu sendiri tidak mengerti tentang dirinya sendiri, apakah kau akan terpengaruh karenanya.”
“Diam, diam kau!” potong anak muda itu. Hampir saja ia meloncat sambil menjulurkan pedangnya. Tetapi langkahnya tertahan karena perempuan itu berdiri di belakang Ki Argajaya. Dan hampir setiap orang di Menoreh mengetahui, bahwa Ki Argajaya memiliki kemampuan yang tidak dapat diabaikan.
Kedua anak-anak muda di ruangan itu, Prastawa dan kawannya, sama-sama menjadi tegang. Tubuh mereka telah basah oleh keringat.
“Cepat, tentukan sikapmu,” geram anak muda itu.

Sekali lagi, semua perhatian telah terampas oleh Prastawa. Wajah-wajah yang tegang memandanginya dengan tajamnya, seolah-olah mereka langsung ingin melihat isi dada anak muda itu. Ketika Prastawa menggerakkan kepalanya, seakan-akan semua orang berhenti bernafas. Setelah melampaui perjuangan yang dahsyat di dalam dirinya, meskipun dengan penuh keragu-raguan. Prastawa menggelengkan kepalanya sambil berkata lambat hampir tidak terdengar,
“Aku tidak dapat melakukannya.”
“He,” anak muda itu terbelalak, “maksudmu?”
“Aku terikat oleh sesuatu yang tidak aku mengerti.”
“Jadi?”
“Aku tinggal di sini.”
“Gila. Gila kau, Prastawa,” wajah anak muda itu menjadi merah padam, serta matanya menjadi bertambah liar. Sejenak dipandanginya Prastawa yang berdiri di atas kakinya yang renggang. Kemudian Ki Argajaya yang sudah bersiaga. Di belakangnya, Nyai Argajaya yang menjadi kian berdebar-debar. Selangkah daripadanya, seorang tua yang tidak dikenalnya yang disebut-sebut sebagai ayah gadis itu. Dan yang terakhir, anak muda itu memandang Sekar Mirah dengan nafas terengah-engah. Sekar Mirah berdiri tidak begitu jauh daripadanya. Meskipun semuanya tidak bersenjata, tetapi ia harus dapat menguasai orang yang dianggapnya paling lemah. Anak muda itu mengenal kemampuan Prastawa, kemudian Ki Argajaya. Laki-laki tua itu tidak akan banyak artinya baginya. Dan apabila ia dapat menguasai Sekar Mirah, maka gadis itu akan dapat dipakainya untuk perisai. Tiba-tiba saja anak muda itu meloncat ke arah Sekar Mirah. Ia ingin mengancam gadis itu dengan ujung pedangnya. Dengan suara yang berat ia berkata,
“Jangan mencoba melawan.”
Tetapi alangkah terkejutnya, ketika ternyata gadis itu mampu meloncat secepat loncatannya. Ketika ia menjejakkan kakinya di lantai, maka Sekar Mirah telah berada beberapa langkah daripadanya.
“Gila. Apakah kau mencoba melarikan diri?” geramnya. Sekar Mirah mengerutkan keningnya. Terbersit niat di dalam hatinya, untuk menghentikan permainan itu. Anak itu tidak boleh terlampau lama mengalami ketegangan yang dapat membuatnya menjadi benar-benar gila. Karena itu, justru selangkah ia maju. Katanya,
“Jangan menjadi liar. Sudah aku katakan, sebaiknya kau tinggal di sini. Aku kira, kau akan diterimanya pula, apabila kau benar-benar menghentikan segala macam tingkah yang dapat mengganggu ketenteraman Tanah Perdikan ini.”
“Persetan!” anak muda itu tiba-tiba berteriak. Ia tidak menghiraukan lagi para pengawal yang mungkin mendengarnya dari halaman.
“Aku bunuh kau. Kita akan mati bersama-sama.”
Dengan garangnya anak muda itu meloncat maju. Kali ini ia tidak sekedar mengancam. Tetapi ia benar-benar mengayunkan pedangnya, menyerang Sekar Mirah. Tetapi Sekar Mirah sudah bersiaga. Ia mampu melihat gelagat, bahwa anak muda itu akan menyerangnya apabila ia sudah kehilangan akal. Karena itu, serangan anak muda itu tidak mengejutkannya. Meskipun ia tidak bersenjata, tetapi murid Sumangkar yang berguru dengan tekun itu, tidak banyak mengalami kesulitan untuk mengelak, sehingga serangan anak muda itu sama sekali tidak menyentuh apa pun. Dengan kemarahan yang membakar dadanya, anak muda itu menggeram. Dengan menghentakkan kakinya ia meloncat menghadapi Sekar Mirah yang menghindar ke samping. Tetapi sama sekali tidak disangkanya, bahwa gadis itu mampu bergerak lebih cepat, daripadanya. Ketika ia menyadari keadaannya, gadis itu telah menghantam pergelangan tangannya sehingga ia tidak mampu lagi mempertahankan pedangnya, sehingga pedang itu pun terpelanting jatuh.

Betapa tangannya seolah-olah tersengat oleh bara api. Dengan serta-merta ia menarik tangannya sambil mengerang kesakitan. Tetapi belum lagi ia sempat mengusap pergelangan tangannya, terasa tubuhnya terdorong kuat sekali, sehingga terhuyung-huyung ia melangkah surut.
“Gila kau,” anak muda itu mengumpat ketika ia melihat Sekar Mirah memungut pedangnya. Tetapi ketika ia siap melompat maju untuk mencegahnya, langkahnya terhenti, karena tiba-tiba saja ujung pedang itu sudah mengarah ke dadanya.
“Kalau kau meloncat maju, maka ujung pedang ini akan tertancap di dadamu,” desis Sekar Mirah.
Anak muda itu tegak bagaikan patung. Ditatapnya wajah Sekar Mirah yang cantik itu dengan sorot mata yang aneh. Wajah yang cantik itu tiba-tiba saja telah berubah menjadi wajah yang menakutkan. Seperti wajah seorang dewi maut yang sudah siap untuk menarikan tari maut dengan sepucuk pedang. Tetapi Sekar Mirah tidak beranjak dari tempatnya.
“Prastawa,” desis anak muda itu,
“kau telah mengkhianati kawan-kawanmu pula.”
Prastawa tidak menjawab. Ia masih dicengkam oleh keraguan. Ia tidak mengerti manakah yang sebaiknya dipilih. Seperti seseorang yang berdiri di simpang jalan yang membujur lurus dan panjang sekali, seakan-akan sama-sama tidak berujung.
“Apakah kau sengaja menjebak aku di rumah ini?” bertanya kawannya.
Prastawa masih berdiri mematung. Wajah anak muda itu pun menjadi semakin nanar. Ketakutan yang betapa pun lambatnya, kini telah mulai menyentuh jantungnya. Di hadapannya berdiri seorang gadis yang ternyata, terlampau garang, segarang seekor harimau betina. Itulah agaknya, maka ia tidak takut berada di kandang serigala. Di sebelah lain Argajaya berdiri tegak dengan tatapan wajah yang menggetarkan jantung. Di sebelahnya, orang tua yang disebut ayah gadis yang garang itu. Agaknya ia tidak segarang anak gadisnya? Sedang di sebelah lain berdiri termangu-mangu seorang anak yang masih terlampau muda, yang justru membawanya masuk ke dalam sarang harimau ini. Tiba-tiba anak muda itu tidak dapat lagi mengendalikan ketakutan yang sudah mencengkam dadanya. Ia tidak mau mati begitu saja. Ia masih akan berusaha di dalam keputus-asaan, untuk keluar dari rumah terkutuk ini. Karena itu, maka sejenak ia mencoba berpikir. Kemana ia harus melarikan diri, sementara orang-orang yang berdiri di sekitarnya itu seolah-olah telah berubah menjadi sekelompok iblis yang menakutkan, yang siap menerkamnya dan merobek-robek tubuhnya. Ketika ia tidak lagi dapat menahan ledakan di dadanya, tiba-tiba ia melompat. Sekilas ia teringat pada seutas tali yang masih masih menggantung di dalam bilik dalam.
“He, apakah kau akan lari?” bertanya Sekar Mirah.
Tetapi anak muda itu sama sekali tidak menghiraukannya lagi. Dengan sekuat-kuat tenaganya ia meloncat masuk ke dalam bilik itu. Sementara itu, para pengawal yang berada di halaman, lamat-lamat mendengar keributan di dalam rumah. Agung Sedayu yang duduk di sebelah pimpinan pengawal berdesis,
“He, kau mendengar sesuatu di dalam?”
“Ya.”
“Apakah mungkin terjadi keributan?”
Pemimpin pengawal itu ragu-ragu sejenak. “Bagaimana pendapatmu?” ia bertanya.
“Kaulah yang lebih mengenal gadis dan gurunya itu.”
“Aku kira tidak akan ada keributan. Tetapi baiklah kita melihatnya.”
Ketika keduannya berdiri, mereka menjadi heran. Mereka memang mendengar keributan. Namun mereka tidak dapat dengan tergesa-gesa memasuki ruangan dalam. Sejenak mereka berdiri di pendapa. Kalau terjadi sesuatu, maka pasti salah satu pihak akan memanggil mereka.

Anak muda yang berlari itu pun kemudian meloncat masuk ke dalam bilik. Semula ia mencoba untuk menutup pintu bilik, tetapi terlambat karena Sekar Mirah telah berada beberapa langkah saja di belakangnya. Karena itu, maka ia harus cepat mencapai tali yang masih tergantung. Tali yang dipergunakan sebagai alat untuk turun masuk ke dalam neraka ini. Dengan segenap kekuatan dan kemampuan yang ada, anak muda itu pun segera menggapai ujung tali itu. Ternyata ia memang cakap memanjat. Tetapi anak muda itu mengumpat keras-keras ketika tubuhnya terhempas dilantai. Agaknya Sekar Mirah telah meloncat ke atas pembaringannya, kemudian sekali lagi meloncat sambil mengayunkan pedang yang dibawanya memutuskan tali yang masih terjuntai itu, tepat di atas tangan anak muda yang sedang memanjat itu. Namun demikian, anak muda itu tidak berhenti sampai sekian. Sekali lagi ia meloncat ke luar dan berlari ke arah pintu.
“Ia tidak akan lolos. Biarlah para pengawal menangkapnya,” desis Sekar Mirah.
Argajaya yang telah siap untuk menangkapnya, telah tertegun mendengar desis Sekar Mirah, sejenak ia berdiri termangu melihat anak muda itu berlari ke pringgitan. Agung Sedayu yamg berada di pendapa bersama pemimpin pengawal itu pun menjadi semakin berdebar-debar mendengar derap orang berlari. Kini mereka tidak dapat menunggu lagi. Meskipun tidak seorang pun yang memanggil mereka, namun keduanya tanpa berjanji telah melangkah ke pintu. Ketika Agung Sedayu berdiri tepat di muka pintu, ia mendengar seseorang membuka selarak dengan tergesa-gesa. Agung Sedayu menjadi semakin curiga. Kini ia berdiri di muka pintu. Namun ia terkejut ketika tiba-tiba saja pintu itu terbuka dan seseorang telah melanggarnya. Karena Agung Sedayu tidak menduga sama sekali, maka ia  pun tidak menghindari benturan itu. Begitu tiba-tiba sehingga Agung Sedayu terdorong beberapa langkah surut. Tetapi anak muda yang juga terkejut itu pun seakan-akan telah terlempar masuk kembali ke pringgitan dan jatuh terbanting di lantai. Dengan serta-merta ia pun bangkit. Tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa lagi. Kini ia berdiri di muka Agung Sedayu dan pemimpin pengawal yang sudah meraba hulu pedangnya.
“Siapakah anak ini?” bertanya pemimpin pengawal itu kepada Argajaya yang berdiri termangu-mangu.
Sebelum Argajaya menjawab, Sekar Mirah yang masih memegang pedang, maju beberapa langkah. Sambil tersenyum ia berkata,
“Kami mendapat dua orang tamu malam ini. Tetapi tamu yang seorang ini agaknya tidak kerasan tinggal di sini.”
Agung Sedayu dan pemimpin pengawal itu mengedarkan tatapan matanya berkeliling. Dilihatnya seorang anak muda yang lain berdiri termangu-mangu dekat di depan dinding bilik di ruang dalam. Dari lubang pintu yang memisahkan pringgitan dan ruang dalam mereka melihat anak muda itu termangu-mangu. Namun mereka menarik nafas dalam-dalam, ketika ia melihat Sumangkar berdiri beberapa langkah daripadanya.


Halaman 1 2 3


<<< Jilid 049                                                                                                       Jilid 051 >>>

Tidak ada komentar:

Posting Komentar