“Berapa orang?”
“Hanya dua
orang. Seorang laki-laki setengah umur dengan seorang anaknya, seorang
laki-laki muda yang malas.”
“Tidak ada
perempuan?”
Kawannya
menggeleng,
“Tidak ada.
Isteri laki-laki itu sudah meninggal hampir tiga bulan yang lalu.”
Laki-laki
setengah tua itu pun mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan tiba-tiba saja ia
bertanya,
“Siapa yang
akan memancing para pengawal di rumah Ki Argajaya dengan panah?”
“Tentu dua di
antara kami,” jawab salah seorang dari mereka.
Orang tua itu
pun kemudian menunjuk kedua orang yang dimaksud. Katanya,
“Hati-hatilah.
Mendekatlah lewat jalan depan. Tetapi kalian harus segera melarikan diri kalau kalian
masih belum jemu menjalani tata kehidupan yang kau tempuh selama ini.”
“Aku akan
lepas dari segala akibat serangan itu,” berkata salah seorang dari keduanya
yang ditunjuk itu.
“Jangan
terlampau sombong,” desis kawannya yang lain. Tetapi orang itu hanya tersenyum
saja. Sambil menimang busurnya ia pun
kemudian berdesis,
“Aku pergi
sekarang.”
Maka dua orang
dari antara mereka itu pun segera memisahkan diri. Dengan hati-hati mereka
menyusup di antara rimbunnya dedaunan di kebun-kebun, mendekati halaman rumah
Ki Argajaya justru dari jurusan depan. Sejenak kemudian maka mereka pun telah siap di tempatnya. Dengan dada
berdebar-debar mereka menunggu api yang akan segera menyala di sudut desa. Orang
tua yang sudah siap membakar rumah itu
pun masih sempat berkata,
“Bangunkan
pemilik rumah ini.”
“Kenapa?”
“Supaya mereka
selamat meninggalkan rumahnya yang terbakar.”
Kawan-kawannya
menjadi heran. Namun salah seorang dari mereka tertawa sambil berkata,
“He, sejak
kapan kau menjadi seorang yang luhur budi? Justru kami ingin membakarnya
hidup-hidup. Nyalakan lebih dahulu dinding di sekitar pintu depan dan pintu
butulan, supaya orang itu tidak dapat lari.”
“Orang itu
tidak tahu apa-apa. Bukankah seorang laki-laki setengah tua dan anaknya yang
malas.”
“Justru karena
kemalasannya itulah ia pantas dibakar hidup-hidup karena anak itu sama sekali
tidak berguna.”
Orang tua itu
tidak menyahut lagi. Tiba-tiba saja ia menghentakkan kakinya pada dinding rumah
atap yang kecil itu sambil berkata,
“He, bangun,
cepat!”
Orang yang ada
di dalam rumah itu terkejut. Sayup-sayup ia mendengar suara di luar rumahnya.
“Siapa?”
Tetapi sudah
tidak ada jawaban lagi. Yang didengarnya adalah gemericik api yang mulai
menjilat sudut rumahnya. Orang tua yang ada di dalam rumah itu pun terkejut bukan kepalang. Dengan
serta-merta ia terloncat dari pembaringannya. Dengan tubuh gemetar ia pergi ke
amben di sudut. Anaknya laki-laki masih saja tidur dengan nyenyaknya.
““He, bangun,
bangun. Rumah ini terbakar.”
Anaknya masih
sempat menggeliat, kemudian berkisar setapak sambil melingkarkan tubuhnya
kembali.
“Bangun,
bangun. Rumah kita terbakar.” Diguncang-guncangnya tubuh anaknya yang masih
saja berusaha untuk meneruskan mimpinya. Akhirnya anak itu terbangun juga.
Tetapi ia menjadi agak bingung. Terheran-heran ia melihat ayahnya menariknya
dari pembaringannya,
“Cepat, rumah
kita terbakar.”
Sebuah ledakan
bambu telah mengejutkannya. Barulah ia kini sadar, bahwa rumahnya telah mulai
dimakan api. Dengan tergesa-gesa ia pun bangkit. Tetapi api sudah cukup besar,
sehingga tidak mungkin lagi untuk dipadamkannya. Yang dapat mereka lakukan
kemudian adalah menyambar pakaian mereka yang sudah kumal di sampiran, kemudian
segera berlari-lari ke luar rumah. Di emper depan orang tua itu masih melihat
kentongan kecilnya bergantungan, terayun-ayun seperti sedang dibuai. Dengan
serta-merta ia mencari sepotong kayu, dan dipukulnya kentongannya itu
sekuat-kuat tenaganya, tiga kali berturut-turut.
Ternyata, api
itu benar-benar dapat menggoncangkan kesenyapan malam. Sejenak kemudian suara
kentongan itu pun menjalar sampai ke
telinga para peronda di gardu padukuhan.
“Kebakaran,”
desis salah seorang dan mereka, lalu,
“lihat api
sudah mulai naik.”
“Marilah kita
lihat.”
“Hati-hati,”
tiba-tiba pemimpinnya memperingatkan,
“pergilah dengan
kelompokmu. Yang lain tetap tinggal di sini. Aku yakin bahwa ada kesengajaan
untuk memancing kami sekarang.”
Para pengawal
itu tertegun sejenak. Dari sorot mata mereka, terasa bahwa timbul berbagai
pertanyaan di dalam dada. Sekilas mereka memandang api yang menjadi semakin
besar, kemudian mereka pandangi wajah pemimpin mereka yang tegang.
“Maksudku,”
berkata pemimpin itu,
“kalian harus
pergi ke tempat itu dalam kesiagaan tempur, bukan seperti rombongan orang-orang
ingin melihat tayub. Mengerti?”
Para pengawal
itu pun mengangguk-anggukkan kepalanya. Mereka terkejut ketika justru
pemimpinnya yang kemudian mendesak mereka,
“Cepat! Jangan
terlampau lamban berpikir.”
Maka
sekelompok pengawal pun segera bersiaga. Dengan senjata masing-masing mereka
berangkat ke tempat api yang semakin lama menjadi semakin besar. Pemimpin
pengawal di regol padukuhan itu sebelah-menyebelah, segera mempersiapkan diri
mereka. Agaknya sesuatu memang telah terjadi, tepat pada saat Ki Argajaya siang
tadi kembali ke rumahnya.
“Mungkin mereka
melakukan gerakan dengan seluruh kekuatan mereka yang tersisa,” berkata pemimpin
pengawal di padukuhan itu.
“Tetapi kita
tidak tahu pasti apakah maksud mereka. Apakah mereka ingin mengambil Ki
Argajaya untuk memperkuat kedudukan mereka, atau justru mereka ingin,
melepaskan dendam karena Ki Argajaya mereka anggap berkhianat.”
Para pemimpin
kelompok yang mendengarkan penjelasan itu
pun mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Cepat,
hubungi para pengawal di pintu regol di ujung jalan yang lain dari padukuhan ini.
Tutup semua pintu. Tidak seorang pun
boleh masuk atau keluar. Awasi segala sudut sejauh dapat dijangkau.”
Dengan
demikian maka para pengawal di padukuhan itu pun menjadi sibuk. Beberapa
kelompok-kelompok kecil segera memencar dengan alat-alat yang dapat memberikan
tanda setiap saat di samping senjata-senjata mereka yang siap di tangan. Pada
saat yang bersamaan, pengawal yang sedang bertugas berjaga-jaga di depan regol
halaman Ki Argajaya pun melihat api itu.
Sejenak mereka termangu-mangu, namun sejenak kemudian mereka pun sadar, bahwa mereka harus melaporkannya.
Maka salah seorang dari mereka pun kemudian dengan tergesa-gesa menemui
pemimpinnya. Ternyata api itu sudah mengejutkan seisi halaman. Para pengawal,
yang segera bersiap di halaman, terpaku melihat nyala api yang semakin lama
menjadi semakin besar.
“Semua
bersiaga di tempat masing-masing seperti yang sudah ditentukan, apabila keadaan
menjadi panas,” perintah pemimpin pengawal itu.
Perintah itu
tidak perlu diulangi. Maka para pengawal itu pun segera memencar ke
tempat-tempat yang memang sudah ditentukan di dalam halaman. Mereka mengerti,
bahwa mereka tidak dapat keluar dari halaman itu, apa pun yang terjadi, kecuali keadaan sudah
sangat memaksa. Tugas mereka adalah di dalam halaman rumah Ki Argajaya, karena
di luar halaman rumah itu sudah menjadi tanggung jawab para pengawal yang di
tempatkan di padukuhan itu. Namun para pengawal itu tiba-tiba terkejut ketika,
mereka mendengar anak panah berdesing tepat di atas kepala mereka. Dengan gerak
naluriah, maka para pengawal pun segera
mencari perlindungan. Di balik-balik pepohonan atau di balik pagar batu, yang
mengitari halaman.
“Gila,” desis
pemimpin pengawal, “apakah orang-orang itu ingin membunuh dirinya?”
Agung Sedayu
yang berada di dekat pemimpin pengawal itu tidak segera menyahut. Ia mengetahui
tepat, dari mana arah anak panah itu. Beberapa anak panah yang lain pun segera
menyusul, meluncur dari arah yang berbeda-beda, seolah-olah beberapa orang
telah mengepung halaman rumah Ki Argajaya.
Pemimpin
pengawal itu menjadi tegang. Terdengar ia berdesis,
“Berapa orang
kira-kira yang datang menyerang halaman ini?”
Agung Sedayu
tidak segera menjawab. Dicobanya mengamati dengan cermat, dari mana saja anak
panah itu meluncur.
Namun akhirnya
Agung Sedayu berkata,
“Tidak lebih
dari dua atau tiga orang.”
“He,” pemimpin
pengawal itu mengerutkan keningnya.
“Mereka
berpindah-pindah tempat.”
Pemimpin
pengawal itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Kita tidak
dapat mengejar mereka. Nanti dapat terjadi salah paham, apabila para pengawal
di regol padukuhan itu pun sudah melakukan pengejaran.”
“Ya, kita
bertahan di batas halaman ini,” sahut Agung Sedayu.
Karena itu,
maka para pengawal itu pun tetap tinggal
di tempat masing-masing. Di belakang pepohonan, dedaunan yang rimbun di balik
dinding-dinding batu dan di belakang regol. Namun sejenak kemudian anak panah
itu pun menjadi semakin jarang, dan akhirnya berhenti sama sekali.
“Mereka sudah
berhenti,” desis pemimpin pengawal.
“Mungkin.
Tetapi mungkin pula mereka menunggu sasaran.”
Pemimpin
pengawal itu pun mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Aku akan
berada di halaman,” desis Agung Sedayu.
“Jangan,”
jawab pemimpin itu, “berbahaya.”
“Tidak. Aku
akan membawa perisai.”
“Apa perisaimu
itu.”
Agung Sedayu
tidak menjawab. Tetapi dilepaskannya ikat kepalanya. Ujungnya dibalutkannya
pada tangan kirinya. Katanya, “Tunggulah di sini.”
Pemimpin
pengawal itu menjadi berdebar-debar. Dipandanginya saja Agung Sedayu berjalan
dengan tenangnya ke tengah-tengah halaman rumah Ki Argajaya. Meskipun disaput
oleh keremangan malam, namun bayangannya masih juga tampak dari jarak yang agak
jauh. Dan ternyata bahwa orang-orang yang melontarkan anak panah itu masih
belum meninggalkan halaman itu. Mereka mengerutkan kening mereka, ketika tampak
seseorang yang dengan tenangnya justru menampakkan dirinya. Sejenak kedua orang
yang melontarkan anak panah itu memandangi bayangan di halaman dengan herannya.
Apalagi ketika bayangan itu kemudian berhenti di tengah-tengah halaman sambil
menengadahkah dadanya.
“He, apakah di
antara mereka ada juga orang yang membunuh diri,” pertanyaan itu melonjak di
dalam dada kedua orang yang sedang bersembunyi dengan anak-panah yang siap
diluncurkan.
Tetapi
ternyata bayangan yang hitam di halaman itu tidak segera beranjak pergi.
Salah seorang
dari kedua orang yang sudah siap dengan busur dan anak panah itu pun mendekati kawannya. Perlahan ia berbisik,
“He, kau lihat
orang aneh itu?”
“Ya,” sahut
kawannya.
“Apa katamu
tentang orang itu?”
“Mungkin ia
sedang memancing anak panah kami, agar mereka mengetahui arah tempat kami
bersembunyi.”
Kawannya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Desisnya,
“Lalu
bagaimana dengan kita?”
“Kita
tinggalkan tempat ini.”
Kawannya
mengangguk-angguk pula. Namun katanya,
“Tetapi orang
itu tampaknya sengaja menghina kami. Apakah kita tidak mencoba yang seorang
itu, kemudian kita dengan segera pergi?”
Kawannya
terdiam sejenak. Lalu,
“Terserah
kepadamu.”
Yang tangannya
menjadi gatal itu mengerutkan keningnya. Kemudian diangkatnya busurnya. Dengan
cermat dibidiknya bayangan orang yang ada di tengah-tengah halaman itu.
“Aku ingin
mengenai dadanya. Bidikanku tidak pernah meleset apabila sasaran itu tetap di
tempatnya.”
Kawannya tidak
menjawab. Dipandanginya kawannya yang telah mulai menarik tali busurnya sambil
menahan nafas. Sejenak kemudian anak panah itu meluncur secepat tatit menyambar
bayangan hitam di halaman. Suaranya berdesing di dalam gelapnya malam. Agung
Sedayu yang sudah terlatih baik segala alat inderanya, segera mendengar desing
anak panah. Meskipun malam masih tetap kelam, namun oleh ketajaman pendengaran
dan tatapan matanya, Agung Sedayu segera dapat mengerti dengan pasti, dari mana
dan kemana anak panah itu meluncur. Karena itu, maka segera ia mengibaskan ikat
kepalanya berputaran di depan dadanya, sambil memiringkan tubuhnya. Hampir
tidak masuk akal, tetapi para pengawal dan bahkan mereka yang sedang
bersembunyi dengan busur dan anak-panah itu, kemudian melihat panahnya
tersangkut pada ikat kepala yang sedang berputar itu.
“He,” desis
salah seorang dari kedua orang yang sedang bersembunyi itu,
“apa yang kau
lihat?”
“Ia
mengibaskan selembar kain.”
“Dan anak
panah itu?”
“Agaknya
tersangkut pada kain itu.” Ia berhenti, lalu,
“Lihat ia
rupa-rupanya ia sedang mencabut anak panah itu.”
“Setan alas!”
geram salah seorang dari mereka. “Siapakah orang itu?”
“Kita harus
segera pergi. Kalau tidak, kita akan dapat dijebaknya. Orang itu benar-benar
luar biasa?”
“Apakah orang
itu Ki Argajaya?”
Kawannya
menggelengkan kepalanya,
“Tidak jelas.
Tetapi menilik tinggi tubuhnya, agaknya bukan.”
Keduanya tidak
berkata-kata lagi. Tetapi seperti berjanji mereka pun segera bergeser menjauhi
tempat itu. Ketika mereka telah berada di halaman yang rimbun di rumah sebelah,
salah seorang dari mereka berdesis,
“Kita harus
menjauh secepatnya.”
Keduanya pun
kemudian dengan tergesa-gesa merangkak di antara pepohonan menjauhi rumah Ki
Argajaya. Mereka sadar, bahwa di padukuhan itu, para peronda pasti sedang
berkeliaran, menilik tanda yang bergema. Bunyi kentongan, tiga-tiga ganda berturut-turut.
“Hati-hati,”
desis salah seorang dari keduanya,
“jangan sampai
terjebak oleh para peronda yang pasti sedang menyusuri semua jalan-jalan di
seluruh padukuhan ini.”
Kawannya tidak
menjawab. Tetapi ia berdesis sambil meletakkan jari-jarinya di depan bibirnya
yang terkatup. Sejenak mereka membeku. Lamat-lamat mereka mendengar desir
langkah semakin lama semakin dekat. Keduanya segera berlindung semakin rapat,
sambil menahan nafas. Di sebuah lorong sempit di depan mereka, beberapa orang
peronda berjalan perlahan-lahan. Bahkan kedua orang itu mendengar mereka
berbicara,
“Kalau kita
dapat menangkap salah seorang dan mereka, kita cincang saja di mulut pedukuhan,
supaya yang lain menjadi jera.”
“Kita gantung
pada kedua kakinya, dan kepalanya dijungkir di bawah. Sepantasnya mereka
mendapat hukuman picis.”
Kedua orang
yang bersembunyi itu menjadi ngeri pula karenanya, sehingga karena itu, serasa
tubuh mereka berkerut semakin kecil. Mereka menarik nafas dalam-dalam, ketika
para peronda itu menjadi semakin jauh, akhirnya desir langkah mereka sudah
tidak terdengar lagi.
“Cepat, kita
seberangi lorong itu,” Kawannya tidak menjawab, namun mereka berdua pun segera
menyusup menyeberangi lorong kecil itu.
Sementara itu,
perhatian para pengawal di rumah Ki Argajaya benar-benar sedang dicengkam oleh
serangan anak panah di halaman depan, sehingga seperti yang diperhitungkan oleh
kawan-kawan putera Ki Argajaya, mereka hampir tidak menaruh perhatian sama
sekali kepada segerumbul perdu yang rimbun di samping kandang. Mereka
benar-benar tidak melihat, ketika dua orang anak muda meloncati dinding batu
dan bersembunyi di dalam gerambul itu. Meskipun ada beberapa orang penjaga di
halaman belakang, namun mereka pun sedang dipengaruhi oleh kemungkinan
serangan-serangan anak panah yang tiba-tiba saja dapat menyambar mereka seperti
yang terjadi di halaman depan. Dalam saat-saat yang demikian itulah dua orang
anak muda yang berada di balik gerumbul-gerumbul perdu itu berkisar selangkah
demi selangkah mendekati sudut rumah. Seperti yang mereka harapkan, maka
perhatian para penjaga benar-benar telah terampas oleh api dan serangan anak
panah yang tidak mereka ketahui dari mana asalnya.
Agung Sedayu
yang berada di halaman depan pun sama sekali tidak menyangka, bahwa di dalam
pengawasan yang demikian rapatnya, masih juga ada seseorang yang berani
memasuki halaman, sehingga karena itu, maka ia pun tidak menduga sama sekali,
bahwa ada dua orang yang kini sedang memanjat sisi rumah di sebelah kandang. Meskipun
para pengawal sama sekali tidak menjadi lengah, tetapi mereka benar-benar tidak
melihat dua orang yang dengan susah payah telah berhasil naik ke atas atap. Perhatian
para pengawal masih tetap tertuju kepada setiap kemungkinan yang datang dari
luar dinding halaman. Yang mereka bayangkan adalah kemungkinan serangan
kekuatan-kekuatan terakhir dari sisa-sisa pasukan Sidanti. Sejenak kemudian,
pemimpin pengawal yang ada di halaman depan rumah Ki Argajaya melihat beberapa
peronda mendatanginya. Kemudian salah seorang peronda itu bertanya,
“Bukankah
halaman ini tidak mendapat gangguan?”
“Pada dasarnya
tidak,” jawab pemimpin pengawal.
“Kenapa pada
dasarnya?”
“Ada beberapa
anak panah yang meluncur ke halaman. Tetapi kemudian terhenti.”
“Jadi ada
orang-orang yang telah menyerang kalian dengan anak panah?”
“Hanya dua
atau tiga orang,” sahut Agung Sedayu.
“Di mana
mereka sekarang?”
“Kami tidak
tahu. Aku kira mereka sudah melarikan diri.”
“Kalian
membiarkan saja mereka lari?”
“Kami tidak
dapat keluar dari halaman ini. Kami tidak ingin terjadi salah paham dengan
kalian. Di dalam gelap kadang-kadang kita sukar membedakan, siapakah yang kita
hadapi.”
Para peronda
itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Kita akan
mencarinya di seluruh padukuhan,” berkata peronda itu,
“tetapi jangan
kalian harapkan, kami dapat menemukan mereka. Masih ada satu dua orang yang
bersedia menyembunyikan orang-orang itu, atau barangkah mereka sudah meloncati
dinding pedukuhan yang sekian panjangnya, yang sudah tentu tidak dapat kami
awasi seluruhnya dalam waktu yang bersamaan.”
Pemimpin
pengawal di halaman itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia mengerti betapa
sulitnya tugas para pengawal padukuhan itu, karena pada suatu waktu ia pun pernah bertugas di padakuhan itu pula. Ketika
para peronda itu pergi, maka pemimpin pengawal itu dan Agung Sedayu duduk di
tangga pendapa rumah yang sepi itu tanpa berprasangka apa pun. Apalagi
menyangka, bahwa kini dua orang anak-anak muda di atas atap itu sudah merambat
mendekati sebuah lubang yang memang sudah mereka buat, tepat di atas bilik yang
malam itu dipergunakan oleh Sekar Mirah. Dengan hati-hati keduanya berusaha
membuka lubang itu. Sekali-sekali mereka mengamati suara-suara yang masih
mungkin terdengar di dalam rumah. Namun agaknya rumah itu sudah sepi.
“Apakah mereka
tidak terbangun oleh suara kentongan?” bisik kawannya.
“Mungkin, kita
masih harus menunggu sejenak.”
Kawannya pun
mengangguk-anggukkan kepalanya. Mereka tidak dapat tergesa-gesa masuk ke dalam
bilik itu. Memang kemungkinan bahwa isi rumah itu terbangun adalah besar
sekali. Tetapi rumah itu agaknya benar-benar sudah dicengkam oleh kesenyapan.
Lelah dan kantuk agaknya telah menguasai seluruh isinya. Apalagi mereka
mempercayai para pengawal yang ada di luar rumah itu sepenuhnya, sehingga tidak
seorang pun dari isi rumah itu yang
keluar meskipun mereka mendengar juga suara kentongan di kejauhan.
“Tak ada
apa-apa di halaman,” perasaan itulah yang telah tumbuh di setiap dada
orang-orang yang ada di dalam rumah itu.
Setelah
menunggu sejenak, dan kedua anak-anak muda yang ada di atas atap itu tidak
mendengar suara apa-apa sama sekali, maka mulailah mereka mencoba memasuki
bilik dalam. Dalam keremangan cahaya lampu yang kemerahan, dari lubang atap,
kedua anak-anak muda itu melihat seorang perempuan yang sedang tidur dengan
nyenyaknya.
“Ibu masih
tidur nyenyak,” desis putera Ki Argajaya.
“Hati-hati,
jangan mengejutkannya. Kalau ibumu terkejut, mungkin sekali ia akan berteriak.”
Putera Ki
Argajaya itu menganggukkan kepalanya. Perlahan ia mengikatkan ujung sebuah tali
yang memang sudah dibawanya. Kemudian dengau hati-hati sekali ia meluncur ke
bawah, tepat di sudut bilik. Dengan tangannya ia memberikan isyarat kepada
kawannya, dan kawannya itu pun meluncur pula ke bawah.
Sejenak mereka
saling berdiam diri. Dipandanginya saja tubuh yang sebagian terbesar ditutup
oleh selimut, sebuah kain panjang. Apalagi perempuan yang sedang tidur itu
membelakangi kedua anak-anak muda itu, sehingga mereka tidak segera
mengenalinya.
“Apakah kita
biarkan saja ibu tidur, dan kita langsung mencari ayah,” desis putera Ki
Argajaya.
“Tidak.
Sebaiknya ibumu kau bangunkan supaya ia tidak terkejut dan justru
berteriak-teriak.”
Sejenak anak
muda itu berpikir. Namun kemudian ia menganggukkan kepalanya,
“Baiklah.”
Perlahan-lahan
ia maju selangkah. Tetapi langkahnya tertegun ketika ia melihat perempuan itu
bergerak. Dan bahkan darahnya tersirap ketika ia mendengar suara,
“Kalian tidak
usah membangunkan aku.”
Putera Ki
Argajaya itu surut selangkah. Matanya terbelalak ketika ia kemudian melihat
siapakah yang tidur di dalam bilik itu. Sekar Mirah yang ternyata mendengar
seluruhnya apa yang telah terjadi di atas biliknya, kemudian dua orang meluncur
turun itu, perlahan-lahan bangkit dan duduk di bibir pembaringan. Kedua anak
muda yang memasuki bilik itu pun seakan-akan membeku di tempatnya. Sejenak
mereka terpesona melihat seorang gadis cantik berada di bilik itu, bilik yang
biasanya dipakai oleh ibunya.
Sekar Mirah
yang duduk di pembaringan itu masih saja duduk di tempatnya. Dipandanginya
kedua anak muda yang terheran-heran itu sambil tersenyum.
“Siapakah
kau?” desis putera Ki Argajaya.
“Aku kira
kaulah putera Ki Argajaya yang selama ini seakan-akan telah menghilang.”
“Siapa kau?”
ulang putera Ki Argajaya itu, “dan kenapa kau ada di sini.”
Sekar Mirah
mengerutkan keningnya. Dipandanginya saja anak muda yang berdiri termangu-mangu
itu. Anak muda yang berperawakan sedang, namun dengan sorot mata yang berapi-api.
“Kalau saja
anak ini sempat memelihara dirinya, ia adalah anak muda yang tampan,” desis
Sekar Mirah di dalam hati.
“He, kau belum
menjawab.”
“Aku,” Sekar
Mirah memiringkan kepalanya, “aku adalah tamu Ki Argajaya. Apakah kau belum
tahu bahwa ayahmu sudah pulang hari ini.”
Anak muda itu
tidak menjawab. Hatinya menjadi semakin berdebar-debar setiap kali ia melihat
gadis itu tersenyum. Tiba-tiba saja, kawannya menggamitnya sambil bertanya,
“Apakah gadis
itu bukan saudaramu. Saudara yang datang dari jauh atau dari mana pun juga?”
Putera Ki
Argajaya itu menggelengkan kepalanya.
“Jadi kau
belum mengenalnya dan sama sekali tidak ada hubungan apa pun?”
Sekali lagi
anak muda itu menggeleng. Sekar Mirah yang masih duduk di pinggir pembaringan
itu memandangnya dengan seksama. Di dalam hatinya ia berkata,
“Anak ini
memang agak mirip dengan Sidanti. Sorot matanya yang berapi-api, bibirnya yang
terkatup dan apanya lagi?” Sekar Mirah menarik nafas,
“Keduanya
adalah saudara sepupu.”
Tetapi Sekar
Mirah sama sekali tidak mengerti bahwa sebenarnya anak itu tidak mempunyai
hubungan darah dengan Sidanti.
“Jadi siapa
gadis ini,” kawan putera Ki Argajaya itu bertanya.
Putera Ki
Argajaya itu menggeleng,
“Aku tidak
tahu. Aku baru melihatnya.”
“Aku sudah
mengenalmu. Bukankah kau bernama Prastawa,” tiba-tiba Sekar Mirah menyela.
“Kau tentu
mendengar dari ayah atau ibu.”
Sekar Mirah
tertawa Dan tiba-tiba saja ia berkata,
“Silahkan.
Jangan berdiri saja di situ. Apakah kau ingin bertamu dengan ayahmu? Ia ada di
ruang dalam. Tidur di amben besar itu bersama seorang tamu yang lain.”
“Siapakah tamu
yang lain itu?”
“Ayahku.”’
“Kau datang
bersama ayahmu?”
“Ya.”
“Siapakah kau
sebenarnya?”
Sekar Mirah
tertawa,
“Apakah begitu
penting bagimu untuk mengetahui namaku.”
Prastawa,
putera Ki Argajaya itu mengerutkan keningnya. Sikap Sekar Mirah dirasakannya
sangat aneh. Gadis itu sama sekali tidak terkejut, apalagi menjadi ketakutan. Namun
di luar dugaan kawan Prastawa itu pun kemudian berkata,
“Prastawa.
Kalau gadis ini memang bukan sanak-kadangmu, kenapa ia berada di sini?”
“Aku tidak
tahu,” jawab Prastawa.
“Kalau begitu,
biarlah aku mengurusnya.”
Prastawa
mengerutkan keningnya. “Maksudmu?” ia bertanya.
Kawannya
tiba-tiba saja tertawa, meskipun tidak bersuara. Katanya,
“Ia terlampau
cantik.”
“Lalu apa yang
akan kau lakukan?” bertanya Prastawa.
Kawannya masih
tertawa. Lalu,
“Apakah kita
akan menemui Ki Argajaya lebih dahulu? Aku kira lebih baik kau menemuinya
sendiri. Kau dapat berbicara dengan leluasa.”
“Lalu kau?”
“Aku tinggal
di sini, mengawani gadis ini. Aku dapat mencegahnya kalau ia berteriak dan
mengejutkan para penjaga.”
Putera Ki
Argajaya itu mengerutkan keningnya. Katanya kemudian,
“Tetapi aku
belum melihat Ibu.”
“Nah, carilah
ibumu. Katakan maksudmu. Tetapi sebaiknya kau berbuat seperti seorang anak
terhadap orang tuamu. Berbicara dengan baik dan sopan. Aku yakin, bahwa ayahmu
akan mengerti, bahwa perjuangan kita masih panjang.”
“Kau
terpancang pada kepentinganmu sendiri.”
“Bukankah kau
sejak semula akan pergi sendiri? Tetapi pertimbangan keamanan dirimulah yang
membawa aku kemari. Tetapi agaknya tidak ada seorang pengawal pun yang ada di
dalam rumah ini.”
Prastawa
mengerutkan keningnya. Dan ia melihat kawannya itu melangkah mendekati Sekar
Mirah,
“Kau sudah
terdampar ke suatu tempat yang barangkali tidak pernah kau impikan.”
“Kenapa,”
bertanya Sekar Mirah tanpa beranjak dari tempatnya.
“Kau sangat
diperlukan di sini. Kalau kau tetap tinggal di rumah ini, sedang di halaman
rumah ini berkerumun serigala-serigala lapar, maka nasibmu tidak akan
berketentuan.”
“Aku datang
bersama ayah.”
“Siapa
ayahmu.”
“Ya ayahku.”
“Kalau ia
mencoba menghalangi mereka, ayahmulah yang akan disingkirkannya dahulu.” Anak
muda itu berhenti sebentar. Sambil berpaling kepada putera Ki Argajaya ia
berkata,
“Pergilah ke ayahmu.
Aku akan menyelamatkan gadis ini. Kau masih terlampau muda untuk memikirkan
seorang gadis cantik ini.”
Putera Ki
Argajaya termenung sejenak. Dipandanginya wajah kawannya yang aneh, kemudian
ditatapnya Sekar Mirah yang masih tersenyum-senyum saja.
“Apa yang kau
tunggu?” bertanya kawan Prastawa itu.
“Aku tidak
mengerti, kenapa gadis itu di sini.”
“Jangan
hiraukan. Biarlah aku yang mengurusnya. Sekarang kau temui ibu dan kemudian
ayahmu.”
Sekali lagi
Prastawa memandang wajah Sekar Mirah. Ia tidak dapat mengerti, kenapa sikapnya
begitu ramah menerima kedatangan orang yang belum dikenalnya, di tempat yang
asing baginya.
“Jangan tunggu
sampai pagi,” desis kawannya.
Prastawa menganggukkan
kepalanya. Katanya,
“Baiklah. Aku
akan menemui Ibu dan Ayah. Tetapi kalau aku tidak dapat berbicara dengan
mulutku, maka aku akan berbicara dengan senjataku.”
“Pertimbangkan
baik-baik.”
“Aku sudah
mengerti.”
“Terserahlah,”
ternyata kawannya itu sama sekali sudah tidak menghiraukan lagi apa yang akan
dilakukan oleh putera Ki Argajaya itu. Perhatiannya seluruhnya telah
ditumpahkannya kepada Sekar Mirah yang masih duduk di tempatnya.
“Hati-hatilah
dengan gadis itu,” putera Ki Argajaya masih berpesan,
“jangan sampai
ia dapat mengganggu acara kita.”
“Serahkan
kepadaku. Tetapi kau pun harus
berhati-hati pula.”
Putera Ki
Argajaya itu pun kemudian dengan sangat hati-hati menyibakkan pintu lereg di
bilik itu. Ternyata ruang dalam rumah itu pun sudah sepi. Cahaya lampu minyak
yang remang-remang sama sekali tidak menyentuh seorang pun yang masih
terbangun.
“He, kenapa
kau belum juga keluar?” kawannya berdesis.
Putera Ki
Argajaya itu berpaling. Tetapi ia tidak berkata apa pun. Namun kawannya menjadi
tidak sabar lagi. Kalau saja ia tidak sadar akan tugasnya, maka anak muda itu
sudah dilemparkannya ke luar bilik.
“Bukankah kita
sudah yakin bahwa rumah ini sepi. Aku tidak mendengar apa-apa.”
“Bukankah aku
harus berhati-hati?” sahut Prastawa.
Kawannya
mengangguk kecil, meskipun ia mengumpat-umpat di dalam hati. Namun ketika
sekilas dipandanginya Sekar Mirah masih saja duduk tenang di tempatnya, ia
menarik nafas dalam-dalam. Perlahan-lahan putera Ki Argajaya itu pun kemudian melangkah ke luar. Dengan
ragu-ragu ia memandang berkeliling. Sebuah pertanyaan terbersit di hatinya,
“Di manakah
ibu tidur?”
Tetapi ketika
ia melihat lampu yang kecil menyala di bilik sebelah, ia pun segera
mengetahuinya, bahwa ibunya ada di dalam bilik itu.
“Aku harus
menemuinya dahulu, supaya ibu tidak berteriak-teriak.”
Prastawa pun kemudian dengan sangat hati-hati melangkah
melintasi ruangan dalam menuju ke pembaringan ibunya. Perlahan-lahan pula ia
menarik daun pintunya, kemudian melangkah masuk. Sementara itu, kawannya masih
berdiri tegak di hadapan Sekar Mirah yang belum berkisar dari tempatnya.
“He, siapakah
sebenarnya kau?” bertanya anak muda itu.
“Siapa aku itu
tidak penting buatmu. Apakah yang kau kehendaki dari aku? Aku bukan orang
padukuhan ini, bukan penghuni rumah ini sehingga aku tidak akan dapat
memberikan banyak keterangan yang kau ingini.”
“Aku tidak memerlukan
keterangan apa pun.”
“Lalu apa yang
kau inginkan?”
“Kau.”
“Aku?”
“Ya. Aku ingin
membawamu ke luar dari rumah ini.”
Sekar Mirah
menggelengkan kepalanya,
“Tidak
mungkin. Ayahku ada di rumah ini dan di halaman rumah ini bertebaran para
pengawal.”
“Bodoh kau.
Aku dapat masuk tanpa mereka ketahui.”
“Kau
memanjat?”
“Ya. Aku
memanjat atap rumah ini, kemudian turun dengan tali itu.”
“Aku tidak
dapat memanjat.”
“Aku dapat
mendukungmu. Lihat, tubuhku hampir sebesar tubuh gajah.”
“Akan kau bawa
ke mana aku nanti?”
Anak muda itu
terdiam sejenak. Ia tidak dapat menjawab pertanyaan Sekar Mirah.
“Ke mana?”
Sekar Mirah mengulang.
Anak muda itu
termenung sejenak. Sudah lama ia meninggalkan rumahnya. Sudah tentu ia tidak
dapat pulang sambil membawa seorang gadis. Seandainya demikian, maka ia pasti
akan segera ditangkap oleh para pengawal yang sekarang sudah menguasai hampir
semua sudut-sudut Tanah Perdikan ini.
“Apakah kau
mempunyai rumah?”
Tanpa sesadarnya
anak muda itu mengangguk,
“Ya. Aku punya
rumah.”
“Rumahmu sebesar
ini?”
“Ya, rumahku
sebesar ini.”
“Dan aku akan
kau bawa ke rumahmu?
Anak muda itu
menjadi kian bingung. Ia tidak mengerti, bagaimana ia harus menjawab. Sekar
Mirah mengerutkan keningnya. Kemudian terdengar ia berdesah,
“Kau tidak mau
mengatakan, ke mana aku akan kau bawa.”
Tiba-tiba
wajah anak muda itu menjadi tegang. Katanya,
“Kau aku bawa
ke tempatku sekarang.”
“Kau tentu
tinggal bersama kawan-kawanmu. Dan aku akan kau ambil dari daerah serigala
lapar dan kau masukkan ke dalam kandang harimau yang juga kelaparan?”
Anak muda itu
menjadi semakin bingung. Memang tidak mungkin baginya untuk membawa gadis itu
ke sarang persembunyiannya. Di sana terdapat banyak sekali laki-laki yang liar
seperti dirinya sendiri. Kehadiran Sekar Mirah di antara mereka pasti hanya
akan menimbulkan keonaran saja. Karena itu, maka untuk sejenak laki-laki yang
bertubuh seperti seekor badak itu berpikir sejenak. Sekali-sekali ditatapnya
wajah Sekar Mirah di bawah remang-remang sorot lampu minyak yang redup.
Dan tiba-tiba
tanpa sesadarnya laki-laki muda itu bertanya,
“Lalu
bagaimana sebaiknya?”
Sekar Mirah
tersenyum. Katanya,
“Kaulah yang
menentukan, bagaimana sebaiknya.”
Laki-laki itu
menjadi ragu-ragu sejenak. Namun kemudiaan katanya,
“Kau ikut aku.
Aku tidak tahu ke mana kau akan aku bawa.”
“He, kau aneh
sekali.”
“Tidak. Ini
bukan hal yang aneh. Aku memerlukan kau dan aku tidak mau dibingungkan oleh
tempat dan segala macam.”
“Jadi
bagaimana?”
Wajah anak muda
itu tiba-tiba menjadi merah.
“Ayo, ikut
aku.”
“Kau belum
mengatakan, ke mana.”
“Jangan
bertanya lagi. Kita harus segera keluar dari tempat ini.”
“Jangan
tergesa-gesa. Duduklah. Bukankah kau masih menunggu putera Ki Argajaya.”
“Tidak, aku
tidak menunggu lagi.”
Sekar Mirah
tertawa. Katanya,
“Kau seperti
anak-anak yang lapar melihat ibunya membawa makanan.”
“Jangan
membuat darahku semakin menggelegak.”
“Duduklah.”
“Tidak, Kita
harus segera pergi.
“Anak muda,”
berkata Sekar Mirah kemudian,
“kalau kau
memang tidak mempunyai tempat tinggal, kenapa kau tidak menetap di sini saja? Rumah
ini terlampau besar untuk dihuni keluarga Ki Argajaya yang sudah terpecah-pecah
itu. Mungkin rumah ini dahulu sangat baik dan bersih. Dihuni oleh beberapa
orang sanak saudara dan pelayan-pelayan yang sanggup memelihara rumah ini.
“Jangan
mengigau,” potong anak muda itu, “ayo, ikut aku. Berdirilah.”
Tetapi Sekar
Mirah masih saja tersenyum di tempatnya.
“Kau aneh,”
berkata Sekar Mirah,
“kau ingin
membawa aku tanpa mengerti ke mana kau akan pergi. Sudah aku katakan tinggallah
di sini. Atau, aku yang akan membawamu?”
“He?”
“Aku hanya
mempunyai seorang saudara laki-laki. Kau dapat aku jadikan saudaraku yang
kedua. Aku mempunyai kakak, dan kau akan menjadi adikku.”
“Gila. Gila
kau,” tiba-tiba anak muda itu mengumpat-umpat.
“Kau
sendirilah yang berteriak. Kalau seisi rumah ini bangun, itu bukan salahku.”
“Aku
memerlukan kau tidak sebagai saudara. Aku memerlukan kau sebagai seorang
perempuan,” laki-laki itu menjadi tegang. Lalu, “Ikut aku. Cepat!”
Agaknya ia
sudah tidak sabar lagi. Selangkah ia maju menyambar lengan Sekar Mirah dan
menariknya. Sekar Mirah tidak melawan. Ia pun terseret beberapa langkah. Namun
kemudian tangan anak muda itu dikibaskannya, sehingga pegangannya pun terlepas.
“Kau menyakiti
aku,” desis Sekar Mirah.
Namun anak
muda itu menjadi heran karenanya. Ia tidak menyangka bahwa Sekar Mirah cukup
kuat untuk mengibaskan tangannya, dan apalagi setelah gadis itu berdiri,
matanya seakan-akan tidak berkedip lagi memandangi pakaian Sekar Mirah.
“Kenapa kau
termenung?” bertanya Sekar Mirah.
“Pakaianmu.”
“Kenapa
pakaianku?”
Anak muda itu
tidak segera menjawab. Dipandanginya Sekar Mirah dari ujung kaki sampai ke
ujung rambutnya. Dan tiba-tiba saja ia berdesis,
“Kenapa kau
berpakaian seperti itu.”
“Kenapa? Ya,
kenapa? Bukankah aku berpakaian biasa?”
Hati anak muda
itu kini menjadi semakin berdebaran. Pakaian Sekar Mirah bukanlah pakaian
gadis-gadis sewajarnya. Di atas Tanah Perdikan ini, hanya Pandan Wangi sajalah
gadis yang mengenakan pakaian seperti yang dipakai oleh Sekar Mirah itu. Karena
pakaian itu semula ditutupinya dengan kain panjang yang dipergunakannya sebagai
selimut, maka anak muda itu tidak begitu memperhatikannya. Namun agaknya cara
berpakaian gadis ini telah menunjukkan suatu ciri yang lain dari gadis-gadis
kebanyakan.
“Kenapa kau
termenung? Apakah kau tidak mau aku bawa pulang, dan aku jadikan adik
laki-laki.”
Jantung anak
muda itu kini menjadi semakin cepat berdentang. Tetapi tiba-tiba ia menggeram,
“Persetan
dengan kau. Aku tidak peduli siapa kau dan kenapa kau berpakaian seperti
seorang laki-laki. Tetapi aku tahu pasti, kau seorang gadis. Dengan demikian
aku memerlukan kau. Mau tidak mau, kau harus aku bawa ke luar dari tempat ini.
Aku dapat membuat kau pingsan, kemudian aku dukung kau ke luar dari dalam bilik
ini lewat atap.”
“Aku tidak dapat
membayangkan, apakah kau benar-benar dapat melakukannya. Kalau tanganmu
memegangi tubuhku, bagaimana kau dapat memanjat.”
“Gila,” anak
muda itu menggeram. Matanya menjadi nanar memperhatikan barang-barang yang ada
di dalam bilik itu. Ia ingin mendapat alat yang dapat dipakainya untuk memanjat
atap. Tetapi ia tidak melihat sesuatu kecuali sebuah geledeg bambu yang tua.
“Nah, apakah
kau menemukan jalan keluar.”
“Gila,” ia
menggeram, dan tiba-tiba ia menjadi liar,
“aku tidak
akan membawamu ke luar.”
“Lalu?”
“Aku
memerlukan kau sekarang.”
“Gila,”
tiba-tiba wajah Sekar Mirah menjadi merah,
“sebaiknya kau
pikirkan setiap kalimat yang kau ucapkan.”
“Persetan.
Jangan banyak tingkah, supaya aku tidak menjadi kasar.”
Sekar Mirah
mengerutkan keningnya, ketika ia melihat anak muda itu melangkah maju. Matanya
seakan-akan telah menyala dan nafasnya menjadi terengah-engah. Sekar Mirah
surut selangkah. Tetapi ia tidak dapat mundur lagi karena ia sudah berdiri
melekat pinggir pembaringannya. Karena itu, ia hanya dapat berdiri dengan
tegang memandangi anak muda yang seakan-akan ingin menelannya bulat-bulat itu. Sekar
Mirah menjadi ngeri juga melihat sorot mata anak muda itu, sehingga kulitnya
serasa meremang. Terkenang sesaat tingkah laku Alap-alap Jalatunda di Padepokan
Tambak Wedi, ketika ia diambil oleh Sidanti dari Sangkal Putung. Tetapi Sekar
Mirah sekarang bukanlah Sekar Mirah yang dahulu.
Anak muda itu
menjadi semakin dekat kepadanya. Terdengar kemudian ia berdesis,
“Kau lebih
baik tidak menolak. Aku memang tidak akan dapat membawamu ke mana saja. Tetapi
sekarang kita cukup waktu. Prastawa masih harus menyelesaikan persoalannya
dengan ayah dan ibunya.”
Tetapi Sekar
Mirah menggelengkan kepalanya. Katanya,
“Kau jangan
menjadi gila dan liar. Ingat, di sekitar rumah ini para pengawal bertebaran di
segala sudut dan hampir di setiap jengkal tanah.”
“Aku tidak
peduli.”
“Jangan,”
desis Sekar Mirah.
Namun orang
itu justru menjadi semakin liar. Matanya menjadi merah dan dadanya berdentangan
tidak menentu.
“Jangan
menolak.”
“Jangan.”
“Aku tidak
dapat dicegah lagi.”
“Aku dapat
berteriak.”
“Aku akan
membungkam mulutmu.”
Sekar Mirah
mengerutkan keningnya. Menilik sorot matanya, anak muda itu memang tidak akan
dapat dicegah lagi.
Belum lagi
Sekar Mirah berbuat apa-apa, maka tiba-tiba saja anak muda itu meloncat
menerkamnya. Menurut perhitungannya. Sekar Mirah tidak akan dapat lolos lagi,
karena ia sudah berdiri melekat pembaringan. Tetapi anak muda itu terkejut,
ketika tanpa disangka-sangka ia merasa tangannya yang terulur itu terdorong ke
samping. Demikian keras dan apalagi didorong oleh kekuatannva sendiri, sehingga
anak muda itu terhuyung-huyung membentur dinding kayu.
“He,” bertanya
Sekar Mirah, “kenapa kau?”
Anak muda itu
menggeram. Tetapi otaknya telah menjadi gelap sehingga ia tidak segera dapat
menilai apa yang telah terjadi. Karena itu, maka sekali lagi ia bersiap. Dengan
tangan gemetar ia menunjuk wajah Sekar Mirah,
“Kau mau
mengelak, he? Kaulah yang memulainya, sehingga kau tidak akan dapat
menghentikannya sekarang sebelum aku menjadi puas.”
Sekar Mirah
mengerutkan keningnya. Dengan sudut matanya ia memandang gulungan tikar di
pinggir pembaringannya. Di situlah senjatanya disimpan.
“Aku belum
tahu, apakah yang dapat dilakukan oleh anak ini,” katanya di dalam hati.
“Tetapi agaknya ia sudah kehilangan akal, sehingga tidak akan terlampau sulit
mengurusnya.”
Sebenarnyalah
bahwa anak muda itu sudah kehilangan akal. Ia sudah tidak tahu lagi apa saja
yang mungkin dapat terjadi.
Sementara itu,
Prastawa dengan ragu-ragu berdiri di sisi pembaringan ibunya. Tampaknya ibunya
tidur terlampau nyenyak. Selama ini Nyai Argajaya memang tidak pernah dapat
tidur senyenyak itu. Namun agaknya kedatangan suaminya telah membuat hatinya
menjadi lebih tenteram, meskipun masih juga dibayangi oleh ketidak-tentuan.
Karena itulah maka malam itu ia dapat tidur dengan nyenyaknya. Sekali-sekali
Prastawa menjulurkan tangannya untuk membangunkannya, namun setiap kali
tangannya itu ditariknya kembali. Betapapun juga perempuan yang tidur itu
adalah ibunya. Tetapi ketika teringat akan maksudnya memasuki rumah itu, maka
anak muda itu pun menggeretakkan
giginya, seolah-olah ia sedang mengumpulkan kekuatan yang ada di dalam dirinya
untuk mengatasi getar perasaannya sebagai seorang anak. Sejenak ia masih diam
mematung. Namun sejenak kemudian ia melangkah maju. Dengan tangan gemetar
akhirnya ia menyentuh kaki ibunya yang sedang tidur dengan nyenyaknya itu. Sentuhan
itu agaknya telah membagunkan ibunya. Dikedip-kedipkannya matanya yang buram.
Seperti bermimpi ia melihat anaknya berdiri tegak di hadapannya.
“Kau, kaukah
itu?”
“Ya, Ibu.”
“O,” dengan
serta-merta ibunya bangkit, lalu katanya,
“kali ini kau
tidak boleh pergi lagi, Prastawa. Ayahmu telah kembali. Apakah kau sudah
mengetahuinya.”
“Sudah, Ibu.”
“Kau sudah
menemuinya?”
Anak muda itu
menggelengkan kepalanya.
“Ayahmu ada di
ruang dalam,” tiba-tiba ia mengerutkan keningnya. Sejenak kemudian ia bertanya,
“Dari mana kau
masuk?”
“Dari lubang
itu.”
“Dan kau turun
di bilik ibu?”
“Ya, Ibu.”
“Di bilik itu
ada seorang gadis yang sedang tidur. Aku lupa mengatakannya, bahwa di atas atap
ada sebuah lubang yang dapat ditutup dan dibuka. O, kalau ia tahu, ia pasti
akan sangat terkejut.”
“Gadis itu
sudah tahu, Ibu.”
“He, dan gadis
itu tidak berteriak.”
Anak muda itu
mengerutkan keningnya, Tiba-tiba saja timbul pertanyaan di dalam hatinya,
“Ya, gadis itu
tidak berteriak. Tampaknya gadis itu seolah-olah justru menunggu kedatangan
kami. Aneh.”
“Bagaimana
dengan gadis itu? Apakah kau …….” suara ibunya terputus.
“Maksud ibu,
aku telah membunuhnya?”
Ibunya
mengangguk lemah.
“Tidak, Ibu.
Gadis itu masih ada di dalam biliknya. Ia tidak terkejut sama sekali melihat
kehadiranku.”
Nyai Argajaya
mengerutkan keningnya. Sejenak ia terdiam sambil menatap wajah anaknya,
seakan-akan ia tidak percaya pada keterangannya.
“Aku berkata
sebenarnya, Ibu,” seolah-olah anaknya itu
pun mengerti apa yang tersirat di dalam hatinya.
“Lalu apakah
yang dilakukannya sekarang?”
“Ia masih ada
di dalam bilik itu bersama seorang kawanku.”
“He? Jadi kau
datang tidak seorang diri?”
“Tidak. Aku
datang bersama kawanku. Ia ada di dalam bilik bersama gadis itu.”
“Lalu, lalu
apakah yang mereka lakukan? Maksudku, apakah anak muda itu telah membunuh atau
mengancam gadis itu?”
“Tetapi gadis
itu bersikap baik kepada kami. Ia mengetahui kami memasuki ruangan itu. Sambil
tersenyum-senyum ia mempersilahkan kami.”
“Ah,” Nyai
Argajaya menjadi bingung,
“aku tidak
mengerti apa yang kau katakan.”
“Sudahlah,
jangan hiraukan gadis itu. Ia sudah ada yang mengawaninya. Agaknya gadis itu
pun senang mendapatkan seorang kawan.”
“Tentu tidak.
Aku tidak percaya bahwa ia senang mendapatkan kawan. Kawan itu adalah
kawan-kawanmu. Aku mengenal mereka.” Ibunya berhenti sejenak,
“Sedang aku,
orang tua ini pun ngeri melihat kawan-kawanmu dan sikapnya yang liar.”
“Ibu.”
“Tetapi,
bukankah kau tidak akan pergi lagi dari rumah ini? Kalau kawanmu itu bersedia,
biarlah ia tinggal di sini pula, asal ia tidak membuat keributan. Biarlah
ayahmu yang menanggungnya.”
“Tidak!”
tiba-tiba anak itu membentak, sehingga ibunya terkejut karenanya.
“O,” Prastawa
tergagap,
“bukan
maksudku mengejutkan Ibu. Tetapi kami tidak akan menetap. Kami datang untuk
menjemput ayah agar ayah bersedia membantu kami.”
“Prastawa,”
ibunya terkejut bukan buatan sehingga kemudian ia berdiri saja dengan mulut
ternganga.
“Ibu tidak
usah memikirkannya. Ini adalah persoalan laki-laki. Kami sudah terlanjur
mengangkat senjata. Ayahlah yang pertama-tama telah memulainya. Tetapi kini
kamilah yang mendapat kesulitan karenanya Kakang Sidanti sudah terbunuh,
orang-orang lain yang memimpin perjuangan ini pun telah terbunuh pula. Apakah
ayah akan sampai hati mendapat pengampunan dari Ki Argapati, lalu duduk memeluk
lutut di rumah ini sementara sisa-sisa pasukannya berkeliaran dan selalu
dikejar-kejar saja oleh para pengawal Menoreh?”
“Jangan.
Jangan, Anakku. Baik kau maupun ayahmu, sebaiknya tidak memulainya lagi. Aku
sudah cukup lama menderita karena pertengkaran antara Kakang Argapati dengan
ayahmu itu.”
“Ibu adalah
seorang perempuan. Ibu tidak banyak mengerti, kenapa kami berperang.”
“Apakah kau
sendiri mengerti kenapa kalian berperang?”
Anak muda itu
mengerutkan keningnya. Kemudian menarik nafas dalam.
“Tidak,
Anakku. Kau tidak boleh terseret oleh arus yang tidak kau mengerti,” berkata
ibunya.
“Aku yakin kalau
ayahmu dahulu mempunyai sesuatu pamrih kenapa ia memulainya. Tetapi kini ayahmu
sudah berhasil menempatkan dirinya di dalam suatu keadaan yang mau tidak mau
harus diakuinya sebagai suatu kenyataan.”
Prastawa
berdiri mematung. Ditatapnya nyala api yang bergetar disentuh angin malam yang
bertiup menyusup dinding. Tiba-tiba ia menggeram,
“Hatiku sudah
terbakar. Hati ini sudah terlanjur menyala, dan tidak akan dapat dipadamkan
lagi.”
“Jangan
begitu, Anakku. Jangan mengeraskan hati di jalan yang sesat.”
“Aku tidak
pernah merasa sesat jalan. Ayahlah yang membawa aku memasuki ujung jalan ini.
Dan sekarang, aku harus berjalan sampai ke ujung yang lain.”
“Kau keliru.
Ayahmu telah melihat jalan simpang yang dapat menyelamatkan dirinya.”
“Ayah hanya
sekedar mementingkan diri sendiri.”
“Tidak, justru
keselamatan rakyat Menoreh yang tersisa. Yang tidak ikut menjadi abu karena api
yang telah membakar Tanah Perdikan ini.”
“Itu sikap
pengecut.”
Dan tiba-tiba
keduanya terkejut ketika mereka mendengar suara yang serak di muka pintu,
“Jadi kau
datang untuk menjemput ayahmu sebagai seorang pengecut.”
Prastawa dan
ibunya serentak berpaling. Dada mereka berdesir ketika mereka melihat Ki
Argajaya berdiri di muka pintu dengan wajah yang suram.
Sejenak
Prastawa terdiam. Namun sejenak kemudian ia berkata,
“Ya. Ayah
seorang pengecut.”
Di luar
dugaannya, Ki Argajaya menganggukkan kepalanya,
“Ya, aku
memang seorang pengecut. Ternyata aku tidak berani melihat Tanah ini menjadi
semakin lumat setelah kini menjadi abu.”
“Bohong! Ayah
hanya sekedar mementingkan diri sendiri. Keselamatan Ayah sendiri.”
“Prastawa,”
suara ayahnya merendah,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar