Jilid 050 Halaman 2


“Berapa orang?”
“Hanya dua orang. Seorang laki-laki setengah umur dengan seorang anaknya, seorang laki-laki muda yang malas.”
“Tidak ada perempuan?”
Kawannya menggeleng,
“Tidak ada. Isteri laki-laki itu sudah meninggal hampir tiga bulan yang lalu.”
Laki-laki setengah tua itu pun mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan tiba-tiba saja ia bertanya,
“Siapa yang akan memancing para pengawal di rumah Ki Argajaya dengan panah?”
“Tentu dua di antara kami,” jawab salah seorang dari mereka.
Orang tua itu pun kemudian menunjuk kedua orang yang dimaksud. Katanya,
“Hati-hatilah. Mendekatlah lewat jalan depan. Tetapi kalian harus segera melarikan diri kalau kalian masih belum jemu menjalani tata kehidupan yang kau tempuh selama ini.”
“Aku akan lepas dari segala akibat serangan itu,” berkata salah seorang dari keduanya yang ditunjuk itu.
“Jangan terlampau sombong,” desis kawannya yang lain. Tetapi orang itu hanya tersenyum saja. Sambil menimang busurnya ia  pun kemudian berdesis,
“Aku pergi sekarang.”
Maka dua orang dari antara mereka itu pun segera memisahkan diri. Dengan hati-hati mereka menyusup di antara rimbunnya dedaunan di kebun-kebun, mendekati halaman rumah Ki Argajaya justru dari jurusan depan. Sejenak kemudian maka mereka  pun telah siap di tempatnya. Dengan dada berdebar-debar mereka menunggu api yang akan segera menyala di sudut desa. Orang tua yang sudah siap membakar rumah itu  pun masih sempat berkata,
“Bangunkan pemilik rumah ini.”
“Kenapa?”
“Supaya mereka selamat meninggalkan rumahnya yang terbakar.”
Kawan-kawannya menjadi heran. Namun salah seorang dari mereka tertawa sambil berkata,
“He, sejak kapan kau menjadi seorang yang luhur budi? Justru kami ingin membakarnya hidup-hidup. Nyalakan lebih dahulu dinding di sekitar pintu depan dan pintu butulan, supaya orang itu tidak dapat lari.”
“Orang itu tidak tahu apa-apa. Bukankah seorang laki-laki setengah tua dan anaknya yang malas.”
“Justru karena kemalasannya itulah ia pantas dibakar hidup-hidup karena anak itu sama sekali tidak berguna.”
Orang tua itu tidak menyahut lagi. Tiba-tiba saja ia menghentakkan kakinya pada dinding rumah atap yang kecil itu sambil berkata,
“He, bangun, cepat!”
Orang yang ada di dalam rumah itu terkejut. Sayup-sayup ia mendengar suara di luar rumahnya.
“Siapa?”
Tetapi sudah tidak ada jawaban lagi. Yang didengarnya adalah gemericik api yang mulai menjilat sudut rumahnya. Orang tua yang ada di dalam rumah itu  pun terkejut bukan kepalang. Dengan serta-merta ia terloncat dari pembaringannya. Dengan tubuh gemetar ia pergi ke amben di sudut. Anaknya laki-laki masih saja tidur dengan nyenyaknya.
““He, bangun, bangun. Rumah ini terbakar.”
Anaknya masih sempat menggeliat, kemudian berkisar setapak sambil melingkarkan tubuhnya kembali.
“Bangun, bangun. Rumah kita terbakar.” Diguncang-guncangnya tubuh anaknya yang masih saja berusaha untuk meneruskan mimpinya. Akhirnya anak itu terbangun juga. Tetapi ia menjadi agak bingung. Terheran-heran ia melihat ayahnya menariknya dari pembaringannya,
“Cepat, rumah kita terbakar.”
Sebuah ledakan bambu telah mengejutkannya. Barulah ia kini sadar, bahwa rumahnya telah mulai dimakan api. Dengan tergesa-gesa ia pun bangkit. Tetapi api sudah cukup besar, sehingga tidak mungkin lagi untuk dipadamkannya. Yang dapat mereka lakukan kemudian adalah menyambar pakaian mereka yang sudah kumal di sampiran, kemudian segera berlari-lari ke luar rumah. Di emper depan orang tua itu masih melihat kentongan kecilnya bergantungan, terayun-ayun seperti sedang dibuai. Dengan serta-merta ia mencari sepotong kayu, dan dipukulnya kentongannya itu sekuat-kuat tenaganya, tiga kali berturut-turut.

Ternyata, api itu benar-benar dapat menggoncangkan kesenyapan malam. Sejenak kemudian suara kentongan itu  pun menjalar sampai ke telinga para peronda di gardu padukuhan.
“Kebakaran,” desis salah seorang dan mereka, lalu,
“lihat api sudah mulai naik.”
“Marilah kita lihat.”
“Hati-hati,” tiba-tiba pemimpinnya memperingatkan,
“pergilah dengan kelompokmu. Yang lain tetap tinggal di sini. Aku yakin bahwa ada kesengajaan untuk memancing kami sekarang.”
Para pengawal itu tertegun sejenak. Dari sorot mata mereka, terasa bahwa timbul berbagai pertanyaan di dalam dada. Sekilas mereka memandang api yang menjadi semakin besar, kemudian mereka pandangi wajah pemimpin mereka yang tegang.
“Maksudku,” berkata pemimpin itu,
“kalian harus pergi ke tempat itu dalam kesiagaan tempur, bukan seperti rombongan orang-orang ingin melihat tayub. Mengerti?”
Para pengawal itu pun mengangguk-anggukkan kepalanya. Mereka terkejut ketika justru pemimpinnya yang kemudian mendesak mereka,
“Cepat! Jangan terlampau lamban berpikir.”
Maka sekelompok pengawal pun segera bersiaga. Dengan senjata masing-masing mereka berangkat ke tempat api yang semakin lama menjadi semakin besar. Pemimpin pengawal di regol padukuhan itu sebelah-menyebelah, segera mempersiapkan diri mereka. Agaknya sesuatu memang telah terjadi, tepat pada saat Ki Argajaya siang tadi kembali ke rumahnya.
“Mungkin mereka melakukan gerakan dengan seluruh kekuatan mereka yang tersisa,” berkata pemimpin pengawal di padukuhan itu.
“Tetapi kita tidak tahu pasti apakah maksud mereka. Apakah mereka ingin mengambil Ki Argajaya untuk memperkuat kedudukan mereka, atau justru mereka ingin, melepaskan dendam karena Ki Argajaya mereka anggap berkhianat.”
Para pemimpin kelompok yang mendengarkan penjelasan itu  pun mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Cepat, hubungi para pengawal di pintu regol di ujung jalan yang lain dari padukuhan ini. Tutup semua pintu. Tidak seorang  pun boleh masuk atau keluar. Awasi segala sudut sejauh dapat dijangkau.”
Dengan demikian maka para pengawal di padukuhan itu pun menjadi sibuk. Beberapa kelompok-kelompok kecil segera memencar dengan alat-alat yang dapat memberikan tanda setiap saat di samping senjata-senjata mereka yang siap di tangan. Pada saat yang bersamaan, pengawal yang sedang bertugas berjaga-jaga di depan regol halaman Ki Argajaya  pun melihat api itu. Sejenak mereka termangu-mangu, namun sejenak kemudian mereka  pun sadar, bahwa mereka harus melaporkannya. Maka salah seorang dari mereka pun kemudian dengan tergesa-gesa menemui pemimpinnya. Ternyata api itu sudah mengejutkan seisi halaman. Para pengawal, yang segera bersiap di halaman, terpaku melihat nyala api yang semakin lama menjadi semakin besar.
“Semua bersiaga di tempat masing-masing seperti yang sudah ditentukan, apabila keadaan menjadi panas,” perintah pemimpin pengawal itu.
Perintah itu tidak perlu diulangi. Maka para pengawal itu pun segera memencar ke tempat-tempat yang memang sudah ditentukan di dalam halaman. Mereka mengerti, bahwa mereka tidak dapat keluar dari halaman itu, apa  pun yang terjadi, kecuali keadaan sudah sangat memaksa. Tugas mereka adalah di dalam halaman rumah Ki Argajaya, karena di luar halaman rumah itu sudah menjadi tanggung jawab para pengawal yang di tempatkan di padukuhan itu. Namun para pengawal itu tiba-tiba terkejut ketika, mereka mendengar anak panah berdesing tepat di atas kepala mereka. Dengan gerak naluriah, maka para pengawal  pun segera mencari perlindungan. Di balik-balik pepohonan atau di balik pagar batu, yang mengitari halaman.
“Gila,” desis pemimpin pengawal, “apakah orang-orang itu ingin membunuh dirinya?”
Agung Sedayu yang berada di dekat pemimpin pengawal itu tidak segera menyahut. Ia mengetahui tepat, dari mana arah anak panah itu. Beberapa anak panah yang lain pun segera menyusul, meluncur dari arah yang berbeda-beda, seolah-olah beberapa orang telah mengepung halaman rumah Ki Argajaya.
Pemimpin pengawal itu menjadi tegang. Terdengar ia berdesis,
“Berapa orang kira-kira yang datang menyerang halaman ini?”
Agung Sedayu tidak segera menjawab. Dicobanya mengamati dengan cermat, dari mana saja anak panah itu meluncur.
Namun akhirnya Agung Sedayu berkata,
“Tidak lebih dari dua atau tiga orang.”
“He,” pemimpin pengawal itu mengerutkan keningnya.
“Mereka berpindah-pindah tempat.”
Pemimpin pengawal itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Kita tidak dapat mengejar mereka. Nanti dapat terjadi salah paham, apabila para pengawal di regol padukuhan itu pun sudah melakukan pengejaran.”
“Ya, kita bertahan di batas halaman ini,” sahut Agung Sedayu.

Karena itu, maka para pengawal itu  pun tetap tinggal di tempat masing-masing. Di belakang pepohonan, dedaunan yang rimbun di balik dinding-dinding batu dan di belakang regol. Namun sejenak kemudian anak panah itu pun menjadi semakin jarang, dan akhirnya berhenti sama sekali.
“Mereka sudah berhenti,” desis pemimpin pengawal.
“Mungkin. Tetapi mungkin pula mereka menunggu sasaran.”
Pemimpin pengawal itu pun mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Aku akan berada di halaman,” desis Agung Sedayu.
“Jangan,” jawab pemimpin itu, “berbahaya.”
“Tidak. Aku akan membawa perisai.”
“Apa perisaimu itu.”
Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi dilepaskannya ikat kepalanya. Ujungnya dibalutkannya pada tangan kirinya. Katanya, “Tunggulah di sini.”
Pemimpin pengawal itu menjadi berdebar-debar. Dipandanginya saja Agung Sedayu berjalan dengan tenangnya ke tengah-tengah halaman rumah Ki Argajaya. Meskipun disaput oleh keremangan malam, namun bayangannya masih juga tampak dari jarak yang agak jauh. Dan ternyata bahwa orang-orang yang melontarkan anak panah itu masih belum meninggalkan halaman itu. Mereka mengerutkan kening mereka, ketika tampak seseorang yang dengan tenangnya justru menampakkan dirinya. Sejenak kedua orang yang melontarkan anak panah itu memandangi bayangan di halaman dengan herannya. Apalagi ketika bayangan itu kemudian berhenti di tengah-tengah halaman sambil menengadahkah dadanya.
“He, apakah di antara mereka ada juga orang yang membunuh diri,” pertanyaan itu melonjak di dalam dada kedua orang yang sedang bersembunyi dengan anak-panah yang siap diluncurkan.
Tetapi ternyata bayangan yang hitam di halaman itu tidak segera beranjak pergi.
Salah seorang dari kedua orang yang sudah siap dengan busur dan anak panah itu  pun mendekati kawannya. Perlahan ia berbisik,
“He, kau lihat orang aneh itu?”
“Ya,” sahut kawannya.
“Apa katamu tentang orang itu?”
“Mungkin ia sedang memancing anak panah kami, agar mereka mengetahui arah tempat kami bersembunyi.”
Kawannya mengangguk-anggukkan kepalanya. Desisnya,
“Lalu bagaimana dengan kita?”
“Kita tinggalkan tempat ini.”
Kawannya mengangguk-angguk pula. Namun katanya,
“Tetapi orang itu tampaknya sengaja menghina kami. Apakah kita tidak mencoba yang seorang itu, kemudian kita dengan segera pergi?”
Kawannya terdiam sejenak. Lalu,
“Terserah kepadamu.”
Yang tangannya menjadi gatal itu mengerutkan keningnya. Kemudian diangkatnya busurnya. Dengan cermat dibidiknya bayangan orang yang ada di tengah-tengah halaman itu.
“Aku ingin mengenai dadanya. Bidikanku tidak pernah meleset apabila sasaran itu tetap di tempatnya.”
Kawannya tidak menjawab. Dipandanginya kawannya yang telah mulai menarik tali busurnya sambil menahan nafas. Sejenak kemudian anak panah itu meluncur secepat tatit menyambar bayangan hitam di halaman. Suaranya berdesing di dalam gelapnya malam. Agung Sedayu yang sudah terlatih baik segala alat inderanya, segera mendengar desing anak panah. Meskipun malam masih tetap kelam, namun oleh ketajaman pendengaran dan tatapan matanya, Agung Sedayu segera dapat mengerti dengan pasti, dari mana dan kemana anak panah itu meluncur. Karena itu, maka segera ia mengibaskan ikat kepalanya berputaran di depan dadanya, sambil memiringkan tubuhnya. Hampir tidak masuk akal, tetapi para pengawal dan bahkan mereka yang sedang bersembunyi dengan busur dan anak-panah itu, kemudian melihat panahnya tersangkut pada ikat kepala yang sedang berputar itu.
“He,” desis salah seorang dari kedua orang yang sedang bersembunyi itu,
“apa yang kau lihat?”
“Ia mengibaskan selembar kain.”
“Dan anak panah itu?”
“Agaknya tersangkut pada kain itu.” Ia berhenti, lalu,
“Lihat ia rupa-rupanya ia sedang mencabut anak panah itu.”
“Setan alas!” geram salah seorang dari mereka. “Siapakah orang itu?”
“Kita harus segera pergi. Kalau tidak, kita akan dapat dijebaknya. Orang itu benar-benar luar biasa?”
“Apakah orang itu Ki Argajaya?”
Kawannya menggelengkan kepalanya,
“Tidak jelas. Tetapi menilik tinggi tubuhnya, agaknya bukan.”

Keduanya tidak berkata-kata lagi. Tetapi seperti berjanji mereka pun segera bergeser menjauhi tempat itu. Ketika mereka telah berada di halaman yang rimbun di rumah sebelah, salah seorang dari mereka berdesis,
“Kita harus menjauh secepatnya.”
Keduanya pun kemudian dengan tergesa-gesa merangkak di antara pepohonan menjauhi rumah Ki Argajaya. Mereka sadar, bahwa di padukuhan itu, para peronda pasti sedang berkeliaran, menilik tanda yang bergema. Bunyi kentongan, tiga-tiga ganda berturut-turut.
“Hati-hati,” desis salah seorang dari keduanya,
“jangan sampai terjebak oleh para peronda yang pasti sedang menyusuri semua jalan-jalan di seluruh padukuhan ini.”
Kawannya tidak menjawab. Tetapi ia berdesis sambil meletakkan jari-jarinya di depan bibirnya yang terkatup. Sejenak mereka membeku. Lamat-lamat mereka mendengar desir langkah semakin lama semakin dekat. Keduanya segera berlindung semakin rapat, sambil menahan nafas. Di sebuah lorong sempit di depan mereka, beberapa orang peronda berjalan perlahan-lahan. Bahkan kedua orang itu mendengar mereka berbicara,
“Kalau kita dapat menangkap salah seorang dan mereka, kita cincang saja di mulut pedukuhan, supaya yang lain menjadi jera.”
“Kita gantung pada kedua kakinya, dan kepalanya dijungkir di bawah. Sepantasnya mereka mendapat hukuman picis.”
Kedua orang yang bersembunyi itu menjadi ngeri pula karenanya, sehingga karena itu, serasa tubuh mereka berkerut semakin kecil. Mereka menarik nafas dalam-dalam, ketika para peronda itu menjadi semakin jauh, akhirnya desir langkah mereka sudah tidak terdengar lagi.
“Cepat, kita seberangi lorong itu,” Kawannya tidak menjawab, namun mereka berdua pun segera menyusup menyeberangi lorong kecil itu.
Sementara itu, perhatian para pengawal di rumah Ki Argajaya benar-benar sedang dicengkam oleh serangan anak panah di halaman depan, sehingga seperti yang diperhitungkan oleh kawan-kawan putera Ki Argajaya, mereka hampir tidak menaruh perhatian sama sekali kepada segerumbul perdu yang rimbun di samping kandang. Mereka benar-benar tidak melihat, ketika dua orang anak muda meloncati dinding batu dan bersembunyi di dalam gerambul itu. Meskipun ada beberapa orang penjaga di halaman belakang, namun mereka pun sedang dipengaruhi oleh kemungkinan serangan-serangan anak panah yang tiba-tiba saja dapat menyambar mereka seperti yang terjadi di halaman depan. Dalam saat-saat yang demikian itulah dua orang anak muda yang berada di balik gerumbul-gerumbul perdu itu berkisar selangkah demi selangkah mendekati sudut rumah. Seperti yang mereka harapkan, maka perhatian para penjaga benar-benar telah terampas oleh api dan serangan anak panah yang tidak mereka ketahui dari mana asalnya.
Agung Sedayu yang berada di halaman depan pun sama sekali tidak menyangka, bahwa di dalam pengawasan yang demikian rapatnya, masih juga ada seseorang yang berani memasuki halaman, sehingga karena itu, maka ia pun tidak menduga sama sekali, bahwa ada dua orang yang kini sedang memanjat sisi rumah di sebelah kandang. Meskipun para pengawal sama sekali tidak menjadi lengah, tetapi mereka benar-benar tidak melihat dua orang yang dengan susah payah telah berhasil naik ke atas atap. Perhatian para pengawal masih tetap tertuju kepada setiap kemungkinan yang datang dari luar dinding halaman. Yang mereka bayangkan adalah kemungkinan serangan kekuatan-kekuatan terakhir dari sisa-sisa pasukan Sidanti. Sejenak kemudian, pemimpin pengawal yang ada di halaman depan rumah Ki Argajaya melihat beberapa peronda mendatanginya. Kemudian salah seorang peronda itu bertanya,
“Bukankah halaman ini tidak mendapat gangguan?”
“Pada dasarnya tidak,” jawab pemimpin pengawal.
“Kenapa pada dasarnya?”
“Ada beberapa anak panah yang meluncur ke halaman. Tetapi kemudian terhenti.”
“Jadi ada orang-orang yang telah menyerang kalian dengan anak panah?”
“Hanya dua atau tiga orang,” sahut Agung Sedayu.
“Di mana mereka sekarang?”
“Kami tidak tahu. Aku kira mereka sudah melarikan diri.”
“Kalian membiarkan saja mereka lari?”
“Kami tidak dapat keluar dari halaman ini. Kami tidak ingin terjadi salah paham dengan kalian. Di dalam gelap kadang-kadang kita sukar membedakan, siapakah yang kita hadapi.”

Para peronda itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Kita akan mencarinya di seluruh padukuhan,” berkata peronda itu,
“tetapi jangan kalian harapkan, kami dapat menemukan mereka. Masih ada satu dua orang yang bersedia menyembunyikan orang-orang itu, atau barangkah mereka sudah meloncati dinding pedukuhan yang sekian panjangnya, yang sudah tentu tidak dapat kami awasi seluruhnya dalam waktu yang bersamaan.”
Pemimpin pengawal di halaman itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia mengerti betapa sulitnya tugas para pengawal padukuhan itu, karena pada suatu waktu ia  pun pernah bertugas di padakuhan itu pula. Ketika para peronda itu pergi, maka pemimpin pengawal itu dan Agung Sedayu duduk di tangga pendapa rumah yang sepi itu tanpa berprasangka apa pun. Apalagi menyangka, bahwa kini dua orang anak-anak muda di atas atap itu sudah merambat mendekati sebuah lubang yang memang sudah mereka buat, tepat di atas bilik yang malam itu dipergunakan oleh Sekar Mirah. Dengan hati-hati keduanya berusaha membuka lubang itu. Sekali-sekali mereka mengamati suara-suara yang masih mungkin terdengar di dalam rumah. Namun agaknya rumah itu sudah sepi.
“Apakah mereka tidak terbangun oleh suara kentongan?” bisik kawannya.
“Mungkin, kita masih harus menunggu sejenak.”
Kawannya pun mengangguk-anggukkan kepalanya. Mereka tidak dapat tergesa-gesa masuk ke dalam bilik itu. Memang kemungkinan bahwa isi rumah itu terbangun adalah besar sekali. Tetapi rumah itu agaknya benar-benar sudah dicengkam oleh kesenyapan. Lelah dan kantuk agaknya telah menguasai seluruh isinya. Apalagi mereka mempercayai para pengawal yang ada di luar rumah itu sepenuhnya, sehingga tidak seorang  pun dari isi rumah itu yang keluar meskipun mereka mendengar juga suara kentongan di kejauhan.
“Tak ada apa-apa di halaman,” perasaan itulah yang telah tumbuh di setiap dada orang-orang yang ada di dalam rumah itu.
Setelah menunggu sejenak, dan kedua anak-anak muda yang ada di atas atap itu tidak mendengar suara apa-apa sama sekali, maka mulailah mereka mencoba memasuki bilik dalam. Dalam keremangan cahaya lampu yang kemerahan, dari lubang atap, kedua anak-anak muda itu melihat seorang perempuan yang sedang tidur dengan nyenyaknya.
“Ibu masih tidur nyenyak,” desis putera Ki Argajaya.
“Hati-hati, jangan mengejutkannya. Kalau ibumu terkejut, mungkin sekali ia akan berteriak.”
Putera Ki Argajaya itu menganggukkan kepalanya. Perlahan ia mengikatkan ujung sebuah tali yang memang sudah dibawanya. Kemudian dengau hati-hati sekali ia meluncur ke bawah, tepat di sudut bilik. Dengan tangannya ia memberikan isyarat kepada kawannya, dan kawannya itu pun meluncur pula ke bawah.
Sejenak mereka saling berdiam diri. Dipandanginya saja tubuh yang sebagian terbesar ditutup oleh selimut, sebuah kain panjang. Apalagi perempuan yang sedang tidur itu membelakangi kedua anak-anak muda itu, sehingga mereka tidak segera mengenalinya.
“Apakah kita biarkan saja ibu tidur, dan kita langsung mencari ayah,” desis putera Ki Argajaya.
“Tidak. Sebaiknya ibumu kau bangunkan supaya ia tidak terkejut dan justru berteriak-teriak.”
Sejenak anak muda itu berpikir. Namun kemudian ia menganggukkan kepalanya,
“Baiklah.”
Perlahan-lahan ia maju selangkah. Tetapi langkahnya tertegun ketika ia melihat perempuan itu bergerak. Dan bahkan darahnya tersirap ketika ia mendengar suara,
“Kalian tidak usah membangunkan aku.”
Putera Ki Argajaya itu surut selangkah. Matanya terbelalak ketika ia kemudian melihat siapakah yang tidur di dalam bilik itu. Sekar Mirah yang ternyata mendengar seluruhnya apa yang telah terjadi di atas biliknya, kemudian dua orang meluncur turun itu, perlahan-lahan bangkit dan duduk di bibir pembaringan. Kedua anak muda yang memasuki bilik itu pun seakan-akan membeku di tempatnya. Sejenak mereka terpesona melihat seorang gadis cantik berada di bilik itu, bilik yang biasanya dipakai oleh ibunya.

Sekar Mirah yang duduk di pembaringan itu masih saja duduk di tempatnya. Dipandanginya kedua anak muda yang terheran-heran itu sambil tersenyum.
“Siapakah kau?” desis putera Ki Argajaya.
“Aku kira kaulah putera Ki Argajaya yang selama ini seakan-akan telah menghilang.”
“Siapa kau?” ulang putera Ki Argajaya itu, “dan kenapa kau ada di sini.”
Sekar Mirah mengerutkan keningnya. Dipandanginya saja anak muda yang berdiri termangu-mangu itu. Anak muda yang berperawakan sedang, namun dengan sorot mata yang berapi-api.
“Kalau saja anak ini sempat memelihara dirinya, ia adalah anak muda yang tampan,” desis Sekar Mirah di dalam hati.
“He, kau belum menjawab.”
“Aku,” Sekar Mirah memiringkan kepalanya, “aku adalah tamu Ki Argajaya. Apakah kau belum tahu bahwa ayahmu sudah pulang hari ini.”
Anak muda itu tidak menjawab. Hatinya menjadi semakin berdebar-debar setiap kali ia melihat gadis itu tersenyum. Tiba-tiba saja, kawannya menggamitnya sambil bertanya,
“Apakah gadis itu bukan saudaramu. Saudara yang datang dari jauh atau dari mana  pun juga?”
Putera Ki Argajaya itu menggelengkan kepalanya.
“Jadi kau belum mengenalnya dan sama sekali tidak ada hubungan apa pun?”
Sekali lagi anak muda itu menggeleng. Sekar Mirah yang masih duduk di pinggir pembaringan itu memandangnya dengan seksama. Di dalam hatinya ia berkata,
“Anak ini memang agak mirip dengan Sidanti. Sorot matanya yang berapi-api, bibirnya yang terkatup dan apanya lagi?” Sekar Mirah menarik nafas,
“Keduanya adalah saudara sepupu.”
Tetapi Sekar Mirah sama sekali tidak mengerti bahwa sebenarnya anak itu tidak mempunyai hubungan darah dengan Sidanti.
“Jadi siapa gadis ini,” kawan putera Ki Argajaya itu bertanya.
Putera Ki Argajaya itu menggeleng,
“Aku tidak tahu. Aku baru melihatnya.”
“Aku sudah mengenalmu. Bukankah kau bernama Prastawa,” tiba-tiba Sekar Mirah menyela.
“Kau tentu mendengar dari ayah atau ibu.”
Sekar Mirah tertawa Dan tiba-tiba saja ia berkata,
“Silahkan. Jangan berdiri saja di situ. Apakah kau ingin bertamu dengan ayahmu? Ia ada di ruang dalam. Tidur di amben besar itu bersama seorang tamu yang lain.”
“Siapakah tamu yang lain itu?”
“Ayahku.”’
“Kau datang bersama ayahmu?”
“Ya.”
“Siapakah kau sebenarnya?”
Sekar Mirah tertawa,
“Apakah begitu penting bagimu untuk mengetahui namaku.”
Prastawa, putera Ki Argajaya itu mengerutkan keningnya. Sikap Sekar Mirah dirasakannya sangat aneh. Gadis itu sama sekali tidak terkejut, apalagi menjadi ketakutan. Namun di luar dugaan kawan Prastawa itu pun kemudian berkata,
“Prastawa. Kalau gadis ini memang bukan sanak-kadangmu, kenapa ia berada di sini?”
“Aku tidak tahu,” jawab Prastawa.
“Kalau begitu, biarlah aku mengurusnya.”
Prastawa mengerutkan keningnya. “Maksudmu?” ia bertanya.
Kawannya tiba-tiba saja tertawa, meskipun tidak bersuara. Katanya,
“Ia terlampau cantik.”
“Lalu apa yang akan kau lakukan?” bertanya Prastawa.
Kawannya masih tertawa. Lalu,
“Apakah kita akan menemui Ki Argajaya lebih dahulu? Aku kira lebih baik kau menemuinya sendiri. Kau dapat berbicara dengan leluasa.”
“Lalu kau?”
“Aku tinggal di sini, mengawani gadis ini. Aku dapat mencegahnya kalau ia berteriak dan mengejutkan para penjaga.”
Putera Ki Argajaya itu mengerutkan keningnya. Katanya kemudian,
“Tetapi aku belum melihat Ibu.”
“Nah, carilah ibumu. Katakan maksudmu. Tetapi sebaiknya kau berbuat seperti seorang anak terhadap orang tuamu. Berbicara dengan baik dan sopan. Aku yakin, bahwa ayahmu akan mengerti, bahwa perjuangan kita masih panjang.”
“Kau terpancang pada kepentinganmu sendiri.”
“Bukankah kau sejak semula akan pergi sendiri? Tetapi pertimbangan keamanan dirimulah yang membawa aku kemari. Tetapi agaknya tidak ada seorang pengawal pun yang ada di dalam rumah ini.”
Prastawa mengerutkan keningnya. Dan ia melihat kawannya itu melangkah mendekati Sekar Mirah,
“Kau sudah terdampar ke suatu tempat yang barangkali tidak pernah kau impikan.”
“Kenapa,” bertanya Sekar Mirah tanpa beranjak dari tempatnya.
“Kau sangat diperlukan di sini. Kalau kau tetap tinggal di rumah ini, sedang di halaman rumah ini berkerumun serigala-serigala lapar, maka nasibmu tidak akan berketentuan.”
“Aku datang bersama ayah.”
“Siapa ayahmu.”
“Ya ayahku.”
“Kalau ia mencoba menghalangi mereka, ayahmulah yang akan disingkirkannya dahulu.” Anak muda itu berhenti sebentar. Sambil berpaling kepada putera Ki Argajaya ia berkata,
“Pergilah ke ayahmu. Aku akan menyelamatkan gadis ini. Kau masih terlampau muda untuk memikirkan seorang gadis cantik ini.”

Putera Ki Argajaya termenung sejenak. Dipandanginya wajah kawannya yang aneh, kemudian ditatapnya Sekar Mirah yang masih tersenyum-senyum saja.
“Apa yang kau tunggu?” bertanya kawan Prastawa itu.
“Aku tidak mengerti, kenapa gadis itu di sini.”
“Jangan hiraukan. Biarlah aku yang mengurusnya. Sekarang kau temui ibu dan kemudian ayahmu.”
Sekali lagi Prastawa memandang wajah Sekar Mirah. Ia tidak dapat mengerti, kenapa sikapnya begitu ramah menerima kedatangan orang yang belum dikenalnya, di tempat yang asing baginya.
“Jangan tunggu sampai pagi,” desis kawannya.
Prastawa menganggukkan kepalanya. Katanya,
“Baiklah. Aku akan menemui Ibu dan Ayah. Tetapi kalau aku tidak dapat berbicara dengan mulutku, maka aku akan berbicara dengan senjataku.”
“Pertimbangkan baik-baik.”
“Aku sudah mengerti.”
“Terserahlah,” ternyata kawannya itu sama sekali sudah tidak menghiraukan lagi apa yang akan dilakukan oleh putera Ki Argajaya itu. Perhatiannya seluruhnya telah ditumpahkannya kepada Sekar Mirah yang masih duduk di tempatnya.
“Hati-hatilah dengan gadis itu,” putera Ki Argajaya masih berpesan,
“jangan sampai ia dapat mengganggu acara kita.”
“Serahkan kepadaku. Tetapi kau  pun harus berhati-hati pula.”
Putera Ki Argajaya itu pun kemudian dengan sangat hati-hati menyibakkan pintu lereg di bilik itu. Ternyata ruang dalam rumah itu pun sudah sepi. Cahaya lampu minyak yang remang-remang sama sekali tidak menyentuh seorang pun yang masih terbangun.
“He, kenapa kau belum juga keluar?” kawannya berdesis.
Putera Ki Argajaya itu berpaling. Tetapi ia tidak berkata apa pun. Namun kawannya menjadi tidak sabar lagi. Kalau saja ia tidak sadar akan tugasnya, maka anak muda itu sudah dilemparkannya ke luar bilik.
“Bukankah kita sudah yakin bahwa rumah ini sepi. Aku tidak mendengar apa-apa.”
“Bukankah aku harus berhati-hati?” sahut Prastawa.
Kawannya mengangguk kecil, meskipun ia mengumpat-umpat di dalam hati. Namun ketika sekilas dipandanginya Sekar Mirah masih saja duduk tenang di tempatnya, ia menarik nafas dalam-dalam. Perlahan-lahan putera Ki Argajaya itu  pun kemudian melangkah ke luar. Dengan ragu-ragu ia memandang berkeliling. Sebuah pertanyaan terbersit di hatinya,
“Di manakah ibu tidur?”
Tetapi ketika ia melihat lampu yang kecil menyala di bilik sebelah, ia pun segera mengetahuinya, bahwa ibunya ada di dalam bilik itu.
“Aku harus menemuinya dahulu, supaya ibu tidak berteriak-teriak.”
Prastawa  pun kemudian dengan sangat hati-hati melangkah melintasi ruangan dalam menuju ke pembaringan ibunya. Perlahan-lahan pula ia menarik daun pintunya, kemudian melangkah masuk. Sementara itu, kawannya masih berdiri tegak di hadapan Sekar Mirah yang belum berkisar dari tempatnya.
“He, siapakah sebenarnya kau?” bertanya anak muda itu.
“Siapa aku itu tidak penting buatmu. Apakah yang kau kehendaki dari aku? Aku bukan orang padukuhan ini, bukan penghuni rumah ini sehingga aku tidak akan dapat memberikan banyak keterangan yang kau ingini.”
“Aku tidak memerlukan keterangan apa pun.”
“Lalu apa yang kau inginkan?”
“Kau.”
“Aku?”
“Ya. Aku ingin membawamu ke luar dari rumah ini.”
Sekar Mirah menggelengkan kepalanya,
“Tidak mungkin. Ayahku ada di rumah ini dan di halaman rumah ini bertebaran para pengawal.”
“Bodoh kau. Aku dapat masuk tanpa mereka ketahui.”
“Kau memanjat?”
“Ya. Aku memanjat atap rumah ini, kemudian turun dengan tali itu.”
“Aku tidak dapat memanjat.”
“Aku dapat mendukungmu. Lihat, tubuhku hampir sebesar tubuh gajah.”
“Akan kau bawa ke mana aku nanti?”
Anak muda itu terdiam sejenak. Ia tidak dapat menjawab pertanyaan Sekar Mirah.
“Ke mana?” Sekar Mirah mengulang.

Anak muda itu termenung sejenak. Sudah lama ia meninggalkan rumahnya. Sudah tentu ia tidak dapat pulang sambil membawa seorang gadis. Seandainya demikian, maka ia pasti akan segera ditangkap oleh para pengawal yang sekarang sudah menguasai hampir semua sudut-sudut Tanah Perdikan ini.
“Apakah kau mempunyai rumah?”
Tanpa sesadarnya anak muda itu mengangguk,
“Ya. Aku punya rumah.”
“Rumahmu sebesar ini?”
“Ya, rumahku sebesar ini.”
“Dan aku akan kau bawa ke rumahmu?
Anak muda itu menjadi kian bingung. Ia tidak mengerti, bagaimana ia harus menjawab. Sekar Mirah mengerutkan keningnya. Kemudian terdengar ia berdesah,
“Kau tidak mau mengatakan, ke mana aku akan kau bawa.”
Tiba-tiba wajah anak muda itu menjadi tegang. Katanya,
“Kau aku bawa ke tempatku sekarang.”
“Kau tentu tinggal bersama kawan-kawanmu. Dan aku akan kau ambil dari daerah serigala lapar dan kau masukkan ke dalam kandang harimau yang juga kelaparan?”
Anak muda itu menjadi semakin bingung. Memang tidak mungkin baginya untuk membawa gadis itu ke sarang persembunyiannya. Di sana terdapat banyak sekali laki-laki yang liar seperti dirinya sendiri. Kehadiran Sekar Mirah di antara mereka pasti hanya akan menimbulkan keonaran saja. Karena itu, maka untuk sejenak laki-laki yang bertubuh seperti seekor badak itu berpikir sejenak. Sekali-sekali ditatapnya wajah Sekar Mirah di bawah remang-remang sorot lampu minyak yang redup.
Dan tiba-tiba tanpa sesadarnya laki-laki muda itu bertanya,
“Lalu bagaimana sebaiknya?”
Sekar Mirah tersenyum. Katanya,
“Kaulah yang menentukan, bagaimana sebaiknya.”
Laki-laki itu menjadi ragu-ragu sejenak. Namun kemudiaan katanya,
“Kau ikut aku. Aku tidak tahu ke mana kau akan aku bawa.”
“He, kau aneh sekali.”
“Tidak. Ini bukan hal yang aneh. Aku memerlukan kau dan aku tidak mau dibingungkan oleh tempat dan segala macam.”
“Jadi bagaimana?”
Wajah anak muda itu tiba-tiba menjadi merah.
“Ayo, ikut aku.”
“Kau belum mengatakan, ke mana.”
“Jangan bertanya lagi. Kita harus segera keluar dari tempat ini.”
“Jangan tergesa-gesa. Duduklah. Bukankah kau masih menunggu putera Ki Argajaya.”
“Tidak, aku tidak menunggu lagi.”
Sekar Mirah tertawa. Katanya,
“Kau seperti anak-anak yang lapar melihat ibunya membawa makanan.”
“Jangan membuat darahku semakin menggelegak.”
“Duduklah.”
“Tidak, Kita harus segera pergi.
“Anak muda,” berkata Sekar Mirah kemudian,
“kalau kau memang tidak mempunyai tempat tinggal, kenapa kau tidak menetap di sini saja? Rumah ini terlampau besar untuk dihuni keluarga Ki Argajaya yang sudah terpecah-pecah itu. Mungkin rumah ini dahulu sangat baik dan bersih. Dihuni oleh beberapa orang sanak saudara dan pelayan-pelayan yang sanggup memelihara rumah ini.
“Jangan mengigau,” potong anak muda itu, “ayo, ikut aku. Berdirilah.”
Tetapi Sekar Mirah masih saja tersenyum di tempatnya.
“Kau aneh,” berkata Sekar Mirah,
“kau ingin membawa aku tanpa mengerti ke mana kau akan pergi. Sudah aku katakan tinggallah di sini. Atau, aku yang akan membawamu?”
“He?”
“Aku hanya mempunyai seorang saudara laki-laki. Kau dapat aku jadikan saudaraku yang kedua. Aku mempunyai kakak, dan kau akan menjadi adikku.”
“Gila. Gila kau,” tiba-tiba anak muda itu mengumpat-umpat.
“Kau sendirilah yang berteriak. Kalau seisi rumah ini bangun, itu bukan salahku.”
“Aku memerlukan kau tidak sebagai saudara. Aku memerlukan kau sebagai seorang perempuan,” laki-laki itu menjadi tegang. Lalu, “Ikut aku. Cepat!”
Agaknya ia sudah tidak sabar lagi. Selangkah ia maju menyambar lengan Sekar Mirah dan menariknya. Sekar Mirah tidak melawan. Ia pun terseret beberapa langkah. Namun kemudian tangan anak muda itu dikibaskannya, sehingga pegangannya pun terlepas.
“Kau menyakiti aku,” desis Sekar Mirah.

Namun anak muda itu menjadi heran karenanya. Ia tidak menyangka bahwa Sekar Mirah cukup kuat untuk mengibaskan tangannya, dan apalagi setelah gadis itu berdiri, matanya seakan-akan tidak berkedip lagi memandangi pakaian Sekar Mirah.
“Kenapa kau termenung?” bertanya Sekar Mirah.
“Pakaianmu.”
“Kenapa pakaianku?”
Anak muda itu tidak segera menjawab. Dipandanginya Sekar Mirah dari ujung kaki sampai ke ujung rambutnya. Dan tiba-tiba saja ia berdesis,
“Kenapa kau berpakaian seperti itu.”
“Kenapa? Ya, kenapa? Bukankah aku berpakaian biasa?”
Hati anak muda itu kini menjadi semakin berdebaran. Pakaian Sekar Mirah bukanlah pakaian gadis-gadis sewajarnya. Di atas Tanah Perdikan ini, hanya Pandan Wangi sajalah gadis yang mengenakan pakaian seperti yang dipakai oleh Sekar Mirah itu. Karena pakaian itu semula ditutupinya dengan kain panjang yang dipergunakannya sebagai selimut, maka anak muda itu tidak begitu memperhatikannya. Namun agaknya cara berpakaian gadis ini telah menunjukkan suatu ciri yang lain dari gadis-gadis kebanyakan.
“Kenapa kau termenung? Apakah kau tidak mau aku bawa pulang, dan aku jadikan adik laki-laki.”
Jantung anak muda itu kini menjadi semakin cepat berdentang. Tetapi tiba-tiba ia menggeram,
“Persetan dengan kau. Aku tidak peduli siapa kau dan kenapa kau berpakaian seperti seorang laki-laki. Tetapi aku tahu pasti, kau seorang gadis. Dengan demikian aku memerlukan kau. Mau tidak mau, kau harus aku bawa ke luar dari tempat ini. Aku dapat membuat kau pingsan, kemudian aku dukung kau ke luar dari dalam bilik ini lewat atap.”
“Aku tidak dapat membayangkan, apakah kau benar-benar dapat melakukannya. Kalau tanganmu memegangi tubuhku, bagaimana kau dapat memanjat.”
“Gila,” anak muda itu menggeram. Matanya menjadi nanar memperhatikan barang-barang yang ada di dalam bilik itu. Ia ingin mendapat alat yang dapat dipakainya untuk memanjat atap. Tetapi ia tidak melihat sesuatu kecuali sebuah geledeg bambu yang tua.
“Nah, apakah kau menemukan jalan keluar.”
“Gila,” ia menggeram, dan tiba-tiba ia menjadi liar,
“aku tidak akan membawamu ke luar.”
“Lalu?”
“Aku memerlukan kau sekarang.”
“Gila,” tiba-tiba wajah Sekar Mirah menjadi merah,
“sebaiknya kau pikirkan setiap kalimat yang kau ucapkan.”
“Persetan. Jangan banyak tingkah, supaya aku tidak menjadi kasar.”
Sekar Mirah mengerutkan keningnya, ketika ia melihat anak muda itu melangkah maju. Matanya seakan-akan telah menyala dan nafasnya menjadi terengah-engah. Sekar Mirah surut selangkah. Tetapi ia tidak dapat mundur lagi karena ia sudah berdiri melekat pinggir pembaringannya. Karena itu, ia hanya dapat berdiri dengan tegang memandangi anak muda yang seakan-akan ingin menelannya bulat-bulat itu. Sekar Mirah menjadi ngeri juga melihat sorot mata anak muda itu, sehingga kulitnya serasa meremang. Terkenang sesaat tingkah laku Alap-alap Jalatunda di Padepokan Tambak Wedi, ketika ia diambil oleh Sidanti dari Sangkal Putung. Tetapi Sekar Mirah sekarang bukanlah Sekar Mirah yang dahulu.
Anak muda itu menjadi semakin dekat kepadanya. Terdengar kemudian ia berdesis,
“Kau lebih baik tidak menolak. Aku memang tidak akan dapat membawamu ke mana saja. Tetapi sekarang kita cukup waktu. Prastawa masih harus menyelesaikan persoalannya dengan ayah dan ibunya.”
Tetapi Sekar Mirah menggelengkan kepalanya. Katanya,
“Kau jangan menjadi gila dan liar. Ingat, di sekitar rumah ini para pengawal bertebaran di segala sudut dan hampir di setiap jengkal tanah.”
“Aku tidak peduli.”
“Jangan,” desis Sekar Mirah.
Namun orang itu justru menjadi semakin liar. Matanya menjadi merah dan dadanya berdentangan tidak menentu.
“Jangan menolak.”
“Jangan.”
“Aku tidak dapat dicegah lagi.”
“Aku dapat berteriak.”
“Aku akan membungkam mulutmu.”
Sekar Mirah mengerutkan keningnya. Menilik sorot matanya, anak muda itu memang tidak akan dapat dicegah lagi.
Belum lagi Sekar Mirah berbuat apa-apa, maka tiba-tiba saja anak muda itu meloncat menerkamnya. Menurut perhitungannya. Sekar Mirah tidak akan dapat lolos lagi, karena ia sudah berdiri melekat pembaringan. Tetapi anak muda itu terkejut, ketika tanpa disangka-sangka ia merasa tangannya yang terulur itu terdorong ke samping. Demikian keras dan apalagi didorong oleh kekuatannva sendiri, sehingga anak muda itu terhuyung-huyung membentur dinding kayu.
“He,” bertanya Sekar Mirah, “kenapa kau?”
Anak muda itu menggeram. Tetapi otaknya telah menjadi gelap sehingga ia tidak segera dapat menilai apa yang telah terjadi. Karena itu, maka sekali lagi ia bersiap. Dengan tangan gemetar ia menunjuk wajah Sekar Mirah,
“Kau mau mengelak, he? Kaulah yang memulainya, sehingga kau tidak akan dapat menghentikannya sekarang sebelum aku menjadi puas.”
Sekar Mirah mengerutkan keningnya. Dengan sudut matanya ia memandang gulungan tikar di pinggir pembaringannya. Di situlah senjatanya disimpan.
“Aku belum tahu, apakah yang dapat dilakukan oleh anak ini,” katanya di dalam hati. “Tetapi agaknya ia sudah kehilangan akal, sehingga tidak akan terlampau sulit mengurusnya.”
Sebenarnyalah bahwa anak muda itu sudah kehilangan akal. Ia sudah tidak tahu lagi apa saja yang mungkin dapat terjadi.

Sementara itu, Prastawa dengan ragu-ragu berdiri di sisi pembaringan ibunya. Tampaknya ibunya tidur terlampau nyenyak. Selama ini Nyai Argajaya memang tidak pernah dapat tidur senyenyak itu. Namun agaknya kedatangan suaminya telah membuat hatinya menjadi lebih tenteram, meskipun masih juga dibayangi oleh ketidak-tentuan. Karena itulah maka malam itu ia dapat tidur dengan nyenyaknya. Sekali-sekali Prastawa menjulurkan tangannya untuk membangunkannya, namun setiap kali tangannya itu ditariknya kembali. Betapapun juga perempuan yang tidur itu adalah ibunya. Tetapi ketika teringat akan maksudnya memasuki rumah itu, maka anak muda itu  pun menggeretakkan giginya, seolah-olah ia sedang mengumpulkan kekuatan yang ada di dalam dirinya untuk mengatasi getar perasaannya sebagai seorang anak. Sejenak ia masih diam mematung. Namun sejenak kemudian ia melangkah maju. Dengan tangan gemetar akhirnya ia menyentuh kaki ibunya yang sedang tidur dengan nyenyaknya itu. Sentuhan itu agaknya telah membagunkan ibunya. Dikedip-kedipkannya matanya yang buram. Seperti bermimpi ia melihat anaknya berdiri tegak di hadapannya.
“Kau, kaukah itu?”
“Ya, Ibu.”
“O,” dengan serta-merta ibunya bangkit, lalu katanya,
“kali ini kau tidak boleh pergi lagi, Prastawa. Ayahmu telah kembali. Apakah kau sudah mengetahuinya.”
“Sudah, Ibu.”
“Kau sudah menemuinya?”
Anak muda itu menggelengkan kepalanya.
“Ayahmu ada di ruang dalam,” tiba-tiba ia mengerutkan keningnya. Sejenak kemudian ia bertanya,
“Dari mana kau masuk?”
“Dari lubang itu.”
“Dan kau turun di bilik ibu?”
“Ya, Ibu.”
“Di bilik itu ada seorang gadis yang sedang tidur. Aku lupa mengatakannya, bahwa di atas atap ada sebuah lubang yang dapat ditutup dan dibuka. O, kalau ia tahu, ia pasti akan sangat terkejut.”
“Gadis itu sudah tahu, Ibu.”
“He, dan gadis itu tidak berteriak.”
Anak muda itu mengerutkan keningnya, Tiba-tiba saja timbul pertanyaan di dalam hatinya,
“Ya, gadis itu tidak berteriak. Tampaknya gadis itu seolah-olah justru menunggu kedatangan kami. Aneh.”
“Bagaimana dengan gadis itu? Apakah kau …….” suara ibunya terputus.
“Maksud ibu, aku telah membunuhnya?”
Ibunya mengangguk lemah.
“Tidak, Ibu. Gadis itu masih ada di dalam biliknya. Ia tidak terkejut sama sekali melihat kehadiranku.”
Nyai Argajaya mengerutkan keningnya. Sejenak ia terdiam sambil menatap wajah anaknya, seakan-akan ia tidak percaya pada keterangannya.
“Aku berkata sebenarnya, Ibu,” seolah-olah anaknya itu  pun mengerti apa yang tersirat di dalam hatinya.
“Lalu apakah yang dilakukannya sekarang?”
“Ia masih ada di dalam bilik itu bersama seorang kawanku.”
“He? Jadi kau datang tidak seorang diri?”
“Tidak. Aku datang bersama kawanku. Ia ada di dalam bilik bersama gadis itu.”
“Lalu, lalu apakah yang mereka lakukan? Maksudku, apakah anak muda itu telah membunuh atau mengancam gadis itu?”
“Tetapi gadis itu bersikap baik kepada kami. Ia mengetahui kami memasuki ruangan itu. Sambil tersenyum-senyum ia mempersilahkan kami.”
“Ah,” Nyai Argajaya menjadi bingung,
“aku tidak mengerti apa yang kau katakan.”
“Sudahlah, jangan hiraukan gadis itu. Ia sudah ada yang mengawaninya. Agaknya gadis itu pun senang mendapatkan seorang kawan.”
“Tentu tidak. Aku tidak percaya bahwa ia senang mendapatkan kawan. Kawan itu adalah kawan-kawanmu. Aku mengenal mereka.” Ibunya berhenti sejenak,
“Sedang aku, orang tua ini pun ngeri melihat kawan-kawanmu dan sikapnya yang liar.”
“Ibu.”
“Tetapi, bukankah kau tidak akan pergi lagi dari rumah ini? Kalau kawanmu itu bersedia, biarlah ia tinggal di sini pula, asal ia tidak membuat keributan. Biarlah ayahmu yang menanggungnya.”
“Tidak!” tiba-tiba anak itu membentak, sehingga ibunya terkejut karenanya.
“O,” Prastawa tergagap,
“bukan maksudku mengejutkan Ibu. Tetapi kami tidak akan menetap. Kami datang untuk menjemput ayah agar ayah bersedia membantu kami.”
“Prastawa,” ibunya terkejut bukan buatan sehingga kemudian ia berdiri saja dengan mulut ternganga.
“Ibu tidak usah memikirkannya. Ini adalah persoalan laki-laki. Kami sudah terlanjur mengangkat senjata. Ayahlah yang pertama-tama telah memulainya. Tetapi kini kamilah yang mendapat kesulitan karenanya Kakang Sidanti sudah terbunuh, orang-orang lain yang memimpin perjuangan ini pun telah terbunuh pula. Apakah ayah akan sampai hati mendapat pengampunan dari Ki Argapati, lalu duduk memeluk lutut di rumah ini sementara sisa-sisa pasukannya berkeliaran dan selalu dikejar-kejar saja oleh para pengawal Menoreh?”
“Jangan. Jangan, Anakku. Baik kau maupun ayahmu, sebaiknya tidak memulainya lagi. Aku sudah cukup lama menderita karena pertengkaran antara Kakang Argapati dengan ayahmu itu.”
“Ibu adalah seorang perempuan. Ibu tidak banyak mengerti, kenapa kami berperang.”
“Apakah kau sendiri mengerti kenapa kalian berperang?”
Anak muda itu mengerutkan keningnya. Kemudian menarik nafas dalam.
“Tidak, Anakku. Kau tidak boleh terseret oleh arus yang tidak kau mengerti,” berkata ibunya.
“Aku yakin kalau ayahmu dahulu mempunyai sesuatu pamrih kenapa ia memulainya. Tetapi kini ayahmu sudah berhasil menempatkan dirinya di dalam suatu keadaan yang mau tidak mau harus diakuinya sebagai suatu kenyataan.”

Prastawa berdiri mematung. Ditatapnya nyala api yang bergetar disentuh angin malam yang bertiup menyusup dinding. Tiba-tiba ia menggeram,
“Hatiku sudah terbakar. Hati ini sudah terlanjur menyala, dan tidak akan dapat dipadamkan lagi.”
“Jangan begitu, Anakku. Jangan mengeraskan hati di jalan yang sesat.”
“Aku tidak pernah merasa sesat jalan. Ayahlah yang membawa aku memasuki ujung jalan ini. Dan sekarang, aku harus berjalan sampai ke ujung yang lain.”
“Kau keliru. Ayahmu telah melihat jalan simpang yang dapat menyelamatkan dirinya.”
“Ayah hanya sekedar mementingkan diri sendiri.”
“Tidak, justru keselamatan rakyat Menoreh yang tersisa. Yang tidak ikut menjadi abu karena api yang telah membakar Tanah Perdikan ini.”
“Itu sikap pengecut.”
Dan tiba-tiba keduanya terkejut ketika mereka mendengar suara yang serak di muka pintu,
“Jadi kau datang untuk menjemput ayahmu sebagai seorang pengecut.”
Prastawa dan ibunya serentak berpaling. Dada mereka berdesir ketika mereka melihat Ki Argajaya berdiri di muka pintu dengan wajah yang suram.
Sejenak Prastawa terdiam. Namun sejenak kemudian ia berkata,
“Ya. Ayah seorang pengecut.”
Di luar dugaannya, Ki Argajaya menganggukkan kepalanya,
“Ya, aku memang seorang pengecut. Ternyata aku tidak berani melihat Tanah ini menjadi semakin lumat setelah kini menjadi abu.”
“Bohong! Ayah hanya sekedar mementingkan diri sendiri. Keselamatan Ayah sendiri.”
“Prastawa,” suara ayahnya merendah,


Halaman 1 2 3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar