“Ya. Agaknya kita memang tidak akan bekerja hari ini. Tetapi kerja yang satu itu pun agaknya telah menimbulkan kesibukan yang menarik di hari ini.”
Kiai Gringsing
pun mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Kita akan
segera pergi ke tempat itu, apabila matahari sudah naik setinggi ujung
pepohonan.”
Demikianlah,
ketika matahari menjadi semakin tinggi, Kiai Gringsing telah memanggil kedua muridnya
yang akan dibawanya pergi melihat mayat pengawas berkumis itu. Beberapa orang
yang sedikit mempunyai keberanian, serta para pengawas yang tidak terluka, ikut
serta bersama Kiai Gringsing pergi ke tempat mayat itu.
“Yang lain,
kami harap melakukan tugas kalian dengan baik seperti biasanya,” berkata Kiai
Gringsing.
“Yang bekerja
di dapur diharap menyiapkan makan seperti biasa, sedang yang lain dipersilahkan
ikut membantu.”
Demikianlah,
maka Kiai Gringsing pun kemudian pergi melihat mayat yang kemarin mereka
tinggalkan. Para pengawas dan beberapa orang pergi mengiringkannya sambil
membawa alat untuk menguburkan mayat itu.
Tetapi langkah
Kiai Gringsing pun tertegun. Wajahnya menjadi tegang. Dan ia pun kemudian
berhenti sambil menebarkan pandangan matanya berkeliling.
“Apa, Guru?”
bertanya Agung Sedayu perlahan-lahan.
“Bukankah
mayat itu kemarin terletak di sini?” Agung Sedayu mengerutkan keningnya.
Kemudian ia mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Ya. Kemarin
mayat itu ada di sini. Bukan begitu?” ia pun bertanya pula kepada Swandaru.
“Ya. Di sini.
Betul di sini,” desis Swandaru. Sebelum mereka membicarakan hal itu lebih
lanjut.
Wanakerti
telah menggamit Truna Podang sambil bertanya,
“He, apakah
aku keliru? Bukankah kemarin mayat itu tergolek di samping batang perdu yang
kering itu?”
“Ya,” jawab
Kiai Gringsing,
”batang perdu
itu kering oleh serbuk racun yang barangkali tertabur sampai ke akarnya. Dan
mayat itu memang tergolek beberapa langkah di dekatnya.”
“Mayat itu
hilang,” desis Wanakerti.
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi wajahnya masih tetap menegang.
Tangan Kiai
Gringsing segera menangkap lengan Swandaru ketika anak muda itu hampir saja
melangkah mendekati bekas tempat mayat itu. Swandaru tertegun karenanya.
Dipandanginya wajah gurunya yang tampak bersungguh-sungguh. Sambil menarik tangan
Swandaru gurunya berkata,
“Jangan
tergesa-gesa, Swandaru. Aku masih belum yakin, apakah racun yang bertaburan di
sekitar tempat itu sudah tidak berbahaya lagi.”
Swandaru
mengerutkan keningnya. Namun ia pun kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya
sambil berkata,
“Ya. Hampir
aku tidak teringat lagi. Tetapi, karena mayat itu sudah tidak ada lagi, aku
kira pasti sudah ada seseorang yang merabanya.”
Kiai Gringsing
tidak segera menjawab. Diamatinya tempat itu dengan saksama. Dan tiba-tiba saja
ia melangkah maju sambil berdesis,
“Mudah-mudahan
aku berhasil. Lihat, seekor kadal.”
“Kenapa dengan
kadal itu?” bertanya kedua murid-nya hampir berbareng.
“Ia masih
tetap hidup meskipun ia berada di dalam daerah yang berbahaya. Aku kira,
usahaku untuk mempercepat lenyapnya bisa racun itu berhasil, meskipun
seandainya tidak seluruhnya.”
Kedua muridnya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Wanakerti dan para pengawas pun telah berdiri
di samping mereka sambil memperhatikan percakapan itu pula.
“Tetapi,”
bertanya Wanakerti,
“sudah barang
tentu, mayat itu di ambil semalam. Apakah yang mengambil mayat itu sama sekali
tidak akan terpengaruh oleh racun, meskipun seandainya binatang buas?”
“Tentu racun
itu masih ada pengaruhnya, meskipun seandainya binatang buas yang mengambilnya.
Tetapi…..” kata-kata Kiai Gringsing terhenti.
Wanakerti,
para pengawas dan orang-orang yang mendengar kata-kata Kiai Gringsing yang
tidak selesai itu tiba-tiba mengerutkan kening mereka, beberapa orang tergetar
hatinya. Apalagi ketika mereka mendengar Wanakerti menegaskan,
”Tetapi kau
maksud bukan manusia dan bukan pula binatang buas?”
“Ah,” Kiai
Gringsing menyahut dengan serta-merta,
“hantu,
begitu?”
Wanakerti
memandang wajah Kiai Gringsing dengan sorot mata yang aneh, sedang Kiai
Gringsing berkata selanjutnya,
“Sama sekali
tidak. Hantu-hantu tidak memerlukannya.”
“Jadi siapakah
maksudmu?”
“Kawan-kawannya.”
“Kawan-kawan
orang berkumis itu?”
“Ya. Mereka
yang terdiri dari satu lingkungan dengan orang berkumis itu. Dengan orang yang
tinggi kekar yang meninggal di barak dan orang yang kekurus-kurusan.”
“Jadi,
siapakah yang mengambil? Orang yang kekurus-kurusan itu?”
Kiai Gringsing
menggeleng,
“Bukan. Tetapi
bukankah semalam kita mendengar derap kaki kuda?”
“Ah,” hampir
bersamaan beberapa orang berdesah.
“Jadi kalian
tetap menyangka bahwa mereka itu hantu yang naik kuda semberani?”
Tidak seorang
pun yang menyahut.
“Kita dapat
mencurigainya,” berkata Kiai Gringsing kemudian.
“Memang
mungkin sekali orang berkuda semalam.”
Para pengawas
itu masih tetap berdiam diri.
“Baiklah, aku
akan melihat, kemana kira-kira mayat itu pergi,” berkata Kiai Gringsing
kemudian.
“Tunggulah
kalian di sini. Aku akan mendekat.”
Kedua muridnya
menjadi tegang sesaat. Tetapi kemudian mereka dapat menenangkan hati mereka,
karena mereka percaya bahwa gurunya pasti sudah membuat perhitungan yang
sebaik-baiknya. Para pengawal dan orang-orang yang ikut serta ke tempat itu pun
menjadi berdebar-debar melihat Kiai Gringsing berjalan dengan hati-hati
mendekati bekas tempat mayat itu terbaring. Dengan seksama ia memperhatikan
tempat itu. Sejenak kemudian ia mengangguk-anggukkan kepalanya. Seolah-olah ia
menemukan sesuatu. Bahkan kemudian Kiai Gringsing itu mengikuti beberapa
langkah menjauhi tempat itu. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya, Kiai
Gringsing mengamati rerumputan di sekitarnya. Ketika ia sudah berada di luar
daerah yang disangkanya masih mempunyai pengaruh karena racun, ia pun memanggil
kedua muridnya dan para pengawas.
“Lihatlah,”
berkata Kiai Gringsing kepada mereka,
“kalian dapat
melihat bekas kaki kuda.”
Kedua muridnya
dan para pengawas itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Dan yang di
sini adalah bekas sesuatu yang diseret begitu saja. Bekas rerumputan dan
batang-batang perdu yang roboh menunjukkan, bahwa benda yang diseret itu cukup
berat.”
“Maksud Guru,
mayat itu?” bertanya Agung Sedayu.
“Demikianlah
agaknya. Mereka mengerti bahwa racun pada tubuh mayat itu berbahaya. Karena itu
mereka tidak membawanya, tetapi mereka menjeratnya, kemudian menyeretnya.”
Bulu-bulu
kuduk mereka yang mendengar keterangan itu meremang. Ternyata orang-orang yang
termasuk di dalam kelompok itu adalah orang-orang yang hampir tidak
berperasaan.
“Kenapa mereka
memerlukan mayat itu?” bertanya Agung Sedayu pula.
Kiai Gringsing
merenung sejenak. Kemudian jawabnya,
“Aku tidak
tahu pasti. Tetapi agaknya mereka akan menyelidiki hasil pekerjaan racun-racun
pada tubuh seseorang. Tetapi apabila mereka kurang teliti, maka mereka tidak
akan memperhitungkan cairan yang sudah aku berikan itu.
Para pengawas
itu mengangguk-anggukkan kepalanya pula. Dan mereka mendengar Kiai Gringsing
berkata,
“Nah, apakah
kalian masih menyangka bahwa suara gemerincing itu suara hantu?”
Para pengawas
itu masih ragu-ragu. Meskipun menurut pertimbangan nalar mereka, mereka
memastikan bahwa mereka tidak berhadapan dengan hantu, namun mereka masih juga
tetap ragu-ragu.
“Apa pun yang
kita hadapi,” berkata Kiai Gringsing kemudian,
“adalah
kekuatan yang tidak dapat dianggap ringan.”
Para pengawas
dan murid-murid Kiai Gringsing tidak menyahut. Mereka dapat membayangkan apa
yang dikatakan oleh Kiai Gringsing itu. Sekelompok orang yang berani, tangguh
dan dapat melakukan tindakan apa pun juga, meskipun bertentangan dengan
perikemanusiaan. Karena itu, maka mereka pun harus sangat berhati-hati.
“Tidak ada
yang dapat kita lakukan di sini sekarang,” berkata Kiai Gringsing kemudian,
“marilah kita
kembali ke barak.”
“Tetapi
bagaimana dengan orang itu?” bertanya Wanakerti.
“Siapa?”
“Yang mayatnya
hilang itu.”
“Ia sudah
berada di antara kawan-kawannya. Biarlah, kita tidak akan dapat berbuat
apa-apa.”
Para pengawas
itu pun kemudian hanya dapat mengangguk-anggukkan kepala mereka. Berbagai macam
persoalan telah bergulat di dalam hati. Mereka harus berdiri di antara
kebimbangan perasaan dan tugas-tugas mereka sebagai seorang pengawas.
“Kita akan
membicarakannya nanti,” berkata Kiai Gringsing kemudian.
Mereka,
orang-orang yang ada di tempat itu, yang berniat untuk mengubur orang berkumis
itu, segera diikuti Kiai Gringsing dan para pengawas kembali ke barak.
“Laporan itu
harus segera sampai,” berkata Kiai Gringsing kemudian.
“Ya,”
Wanakerti menyahut,
“Ki Gede
Pemanahan harus segera tahu, apakah yang sebenarnya telah terjadi.”
“Hanya ada
satu jalan,” berkata pemimpin pengawas yang terluka,
“kita
mengirimkan orang untuk menghadap.”
Sejenak mereka
berdiam diri. Bagaimanapun juga, di dalam hati para pengawas masih juga
berkecamuk bayangan-bayangan yang mengerikan. Kadang-kadang masih juga tumbuh
pertanyaan,
“Kalau kita
tidak berhadapan dengan hantu-hantu, lalu siapakah atau apakah yang pernah
tampak sebagai jerangkong yang mengerikan naik seekor kuda yang bercahaya itu?”
Tetapi para
pengawas itu tidak mengucapkan pertanyaan itu.
Namun ternyata
pertanyaan yang serupa bergolak di setiap dada orang-orang yang ada di dalam
barak. Bagi mereka, hantu hampir merupakan suatu keyakinan yang tidak dapat
dibantah lagi. Karena itu, mereka masih selalu dibayangi oleh gambaran-gambaran
jerangkong, kemamang, dan hantu-hantu yang wujudnya mengerikan. Tetapi hampir
merupakan keyakinan pula bagi mereka, bahwa di belakang mereka adalah
hantu-hantu yang bermartabat tinggi, gendruwo dan prayangan, didampingi oleh
peri yang cantik-cantik.
“Ki Sanak,”
berkata Kiai Gringsing kemudian,
“aku memang
merasa wajib untuk membantu para pekerja, segera mendapatkan ketenangan. Karena
itu, biarlah kami akan mencobanya.”
“Apa yang akan
kalian lakukan?”
“Kalau kalian
bersedia melakukannya, kalian memang harus pergi menemui Ki Gede Pemanahan atau
puteranya. Laporkan apa yang terjadi di sini. Seluruhnya, jangan ada yang
terlampaui. Sementara aku akan menyingkir, tetapi apabila perlu kami akan
segera datang.”
“Kemana?”
bertanya pemimpin pengawas itu.
“Agaknya aku
dan kedua anak-anakkulah yang menjadi pusat perhatian mereka. Pada saat kami
menempati rumah yang kosong itu, mereka sudah mulai menyerang kami. Mereka
telah memasukkan ular-ular berbisa ke dalam rumah itu, kemudian mereka
membakarnya ketika mereka sadar, bahwa ular-ular itu tidak berhasil
membinasakan kami.”
Para pengawas
itu menjadi tegang.
“Bagi kami
sebenarnya sudah jelas, bahwa kami tidak melawan hantu. Yang belum jelas,
siapakah lawan kami sebenarnya dan maksud mereka mengganggu kita di sini?”
Para pengawas
masih belum menjawab.
“Nah, apakah
kalian sependapat?”
“Lalu
bagaimanakah dengan orang-orang di dalam barak ini?”
“Biarlah,
untuk sementara, biarlah mereka berada di dalam keadaan itu. Supaya mereka
tidak menjadi sasaran pula seperti kami bertiga, dan mungkin sebentar lagi
kalian, para pengawas.”
Pemimpin
pengawas itu mengerutkan keningnya. Tiba-tiba ia berkata,
“Itu adalah
tugas kami. Besok para pengawas akan pergi ke Mataram, menghadap Raden
Sutawijaya. Biarlah aku di sini mengawani orang-orang di dalam barak ini. Dan
kalian bertiga dapat membuat rencana yang kalian anggap baik. Aku percaya
kepada kalian.”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Adalah aneh
sekali, bahwa selama ini kami seolah-olah telah terbius. Kami tidak pernah
gentar dan takut mati menghadapi perampok yang betapapun garangnya. Tetapi
kenapa tiba-tiba kami menjadi ketakutan apabila kami mendengar gemerincing di
malam hari atau derap kaki kuda dan jerangkong yang berkeliaran di pinggir
hutan?”
“Mudah-mudahan
kalian menemukan pribadi kalian kembali sebagai pengawas.”
“Baik, baik.
Kami akan mencoba. Sudah cukup lama kami dibayangi oleh perasaan yang tidak
dapat kami pahami sendiri. Ternyata orang berkumis yang ada di antara kami itu
telah berhasil melumpuhkan kami tanpa merampas senjata-senjata kami.”
“Nah, agaknya
kita akan dapat bekerja bersama,” berkata Kiai Gringsing kemudian.
“kami akan
berada di tempat kerja kami. Kami harap orang-orang di dalam barak ini
beristirahat dahulu sampai persoalan ini menjadi semakin jelas, atau menunggu
keputusan Raden Sutawijaya, agar tidak jatuh korban yang tidak berarti.”
Para pengawas
menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian,
“Tetapi
bagaimana kalian sendiri? Apakah kalian sanggup mengatasi setiap kesulitan
hanya bertiga?”
“Mudah-mudahan”
“Aku percaya
kepada kalian. Truna Podang sekarang bukan Truna Podang pada saat ia datang.
Kalau anak-anakmu yang kadang-kadang lupa memanggilmu guru itu mampu berbuat
demikian, maka aku yakin, ayahnya pun dapat berbuat lebih banyak lagi.”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia mengharap bahwa ia akan segera berhasil
membangunkan para pengawas yang seolah-olah sedang terbius oleh perasaan takut
dan cemas, meskipun mereka bukan penakut. Tetapi, mereka merasa bahwa mereka
tidak akan berdaya sama sekali untuk melawan hantu-hantu. Itulah sebabnya maka
lambat laun, mereka hanya dapat menyembunyikan diri mereka, apabila mereka
mendengar suara-suara aneh di sekitar mereka, atau bentuk-bentuk yang agak
membingungkan tanpa menyelidikinya lebih teliti lagi.
Demikianlah,
maka Kiai Gringsing dan pemimpin pengawas itu kemudian berpendapat, bahwa
mereka harus segera melakukan sesuatu. Para pengawas yang lain pun tidak merasa
berkeberatan apabila mereka harus segera pergi ke Mataram menghadap Raden
Sutawijaya.
“Kami sudah
sehat kembali,” berkata Wanakerti.
“Kami akan
pergi besok,” sahut yang lain.
“Bagus,” jawab
pemimpinnya,
“kalian adalah
pengawal Tanah Mataram yang baru dibuka. Jangan takut menghadapi bahaya apa pun
juga.”
“Kami akan
melakukannya. Dan kami menyadari setiap kemungkinan yang dapat terjadi. Di siang
hari kami tidak akan bertemu dengan hantu-hantu, tetapi kami sadar bahwa di
balik pepohonan itu memang banyak sekali terdapat rahasia yang belum dapat kami
pecahkan. Namun demikian, itu adalah kemungkinan-kemungkinan yang memang harus
kami atasi.”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya. Hampir di luar sadarnya ia berkata,
“Kalian telah
berada di tempat kalian kembali, setelah kalian sekian lamanya hanyut di dalam
arus yang tidak menentu.”
“Ya. Kami
mengucapkan terima kasih. Kehadiran kalian di sini banyak memberikan manfaat
kepada kami dan kepada tanah ini. Mudah-mudahan Ki Gede Pemanahan dan puteranya
akan dapat mengerti, apa yang telah kalian lakukan di sini.”
Kiai Gringsing
tersenyum.
“Itu tidak
perlu.”
Dalam pada
itu, maka baik Kiai Gringsing maupun para pengawas berusaha untuk membiarkan
orang-orang yang ada di dalam barak itu di dalam keadaannya untuk sementara.
Untuk sedikit memberikan ketenangan kepada mereka, maka mereka harus
menjalankan tugas mereka sehari-hari, kecuali pergi ke hutan, menebang, dan
membuka hutan. Di pagi hari berikutnya, orang-orang di barak itu menjadi heran
melihat Kiai Gringsing dan kedua anak-anaknya mempersiapkan alat-alat mereka,
sehingga salah seorang dari mereka bertanya.
”Kemanakah kau
sepagi ini?”
“Aku akan mulai
bekerja lagi. Sudah cukup agaknya aku dan anak-anakku beristirahat.”
“Tetapi,
bagaimana dengan kami?”
Pemimpin
pengawas yang mendengar percakapan itu menyahut,
“Biarlah
kalian beristirahat dahulu. Orang itu tidak dapat dicegah lagi. Semua akan
menjadi tanggung jawabnya sendiri.”
Orang di barak
itu saling berpandangan sejenak. Namun kemudian mereka pun mengangguk-anggukkan
kepala mereka. Beberapa orang pun bergumam,
“Orang itu
adalah orang yang aneh. Tetapi mereka seakan-akan tidak dapat diatur.”
Tetapi mereka
tidak mengatakannya kepada para pengawas. Mereka merasa tidak berhak untuk ikut
mencampurinya apabila para pengawas memang sudah mengijinkannya. Demikianlah,
maka Kiai Gringsing dan kedua muridnya pun segera meninggalkan barak itu menuju
ke tempat kerja mereka. Kiai Gringsing memang sadar sepenuhnya, bahwa bahaya
agaknya telah menunggunya bersama kedua anaknya itu. Tetapi ia harus
melakukannya apabila ia ingin mengetahui latar belakang dari semua yang pernah
terjadi itu.
“Mudah-mudahan
para pengawas akan sampai ke hadapan Ki Gede Pemanahan atau puteranya, Raden
Sutawijaya. Mudah-mudahan mereka tidak terhenti di jalan dan menjadi korban
pula dari keganasan orang-orang yang masih menjadi rahasia itu.
Di tengah
perjalanannya menuju ke tempat kerjanya, Kiai Gringsing masih juga
mempersiapkan kedua muridnya untuk menghadapi setiap kemungkinan. Apalagi
apabila mereka harus berhadapan dengan racun seperti yang pernah terjadi dengan
Swandaru. Karena itu, maka diberinya kedua muridnya itu masing-masing sebutir
obat reramuan yang akan dapat sedikit memberi perlindungan kepada tubuh mereka.
“Makanlah,”
berkata Kiai Gringsing,
“mudah-mudahan
kalian akan dapat bertahan apabila kalian terkena racun. Setidak-tidaknya akan
membantu daya tahan tubuh kalian sendiri. Obat itu akan langsung berpengaruh
atas darah kalian. Tetapi kalian jangan terkejut, bahwa untuk beberapa lama
tubuh kalian akan merasa panas, dan barangkali sedikit pening. Tetapi itu tidak
berbahaya. Perasaan-perasaan itu akan hilang kemudian dan obat dari sejenis
racun itu pula akan dapat sedikit memberikan perlindungan kepada kalian untuk
beberapa lama, apabila kalian benar-benar harus bergulat melawan racun. Menurut
penyelidikanku, racun yang dipergunakan di sini pada umumnya adalah racun
ular.”
Agung Sedayu
dan Swandaru mengangguk-anggukkan kepala mereka. Mereka pun kemudian menelan
obat yang diberikan oleh gurunya itu.
“Kita tidak
tahu, apakah orang-orang itu akan bertindak cepat seperti yang mereka lakukan
kemarin malam. Kita sama sekali tidak menyangka, bahwa malam itu juga, mereka
sudah sempat membuat suara gemerincing itu sambil mengambil mayat
kawan-kawannya sekaligus. Agaknya mereka memang tidak ingin menunda-nunda waktu
lagi. Dengan demikian, maka persoalan kita pun agaknya tidak akan tertunda pula.”
Swandaru mengangguk-angguk
sambil berkata,
“Kenapa kita
tidak melawan mereka dengan racun pula, Guru. Misalnya, kita membuat ujung
senjata kita beracun, sehingga tiap sentuhan akan dapat membunuh mereka.”
Gurunya tidak
segera menjawab. Dipandanginya wajah Swandaru sejenak dengan tatapan mata yang
suram. Pertanyaan itu agaknya telah menggetarkan dadanya. Namun sejenak
kemudian ia menjawab,
“Swandaru.
Bukahkah pada suatu ketika, kita ingin mengalahkan lawan kita tanpa
membunuhnya, meskipun untuk melumpuhkannya kita harus melukainya? Kalau senjata
kita beracun, kemungkinan itu hampir tidak ada sama sekali. Kalau kita sudah
mencabut senjata, itu berarti kita akan melakukan permusuhan, berhasil atau
tidak berhasil, tetapi niat itu sudah ada.” Kiai Gringsing berhenti sejenak,
lalu,
“Apalagi jenis
senjata kita bukanlah jenis senjata yang mempunyai wrangka. Kalau senjata kita
beracun maka senjata itu akan berbahaya bagi diri kita sendiri.”
Swandaru
menjadi berdebar-debar mendengar jawaban itu. Ia merasa bahwa pertanyaannya
tidak begitu menyenangkan gurunya. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia
kemudian berkata,
“Aku mengerti,
Guru.”
Mereka pun
kemudian tidak berbicara lagi sampai ke tempat tujuan. Mereka melihat
batang-batang pohon masih silang melintang seperti saat terakhir mereka datang
beberapa hari yang lalu. Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya tanpa
sesadarnya. Dan ia masih berbisik sekali lagi,
“Hati-hatilah.”
Kedua muridnya
tidak menjawab. Tetapi mereka telah menyiapkan diri mereka untuk menghadapi
setiap kemungkinan.
“Marilah kita
mulai,” berkata gurunya kemudian.
Ketiga orang
itu pun kemudian mengambil beberapa jenis alat-alat mereka yang mereka simpan
di bawah sebatang pohon. Alat-alat yang berat, yang tidak setiap hari mereka
bawa kembali ke barak. Sebentar kemudian maka ketiganya telah mulai dengan
kerja mereka. Memotong pepohonan yang sudah ditebang oleh pendatang sebelumnya,
tetapi yang tidak sempat menyelesaikan kerja itu, karena mereka terusir oleh
perasaan takut. Ketika matahari menjadi semakin tinggi di langit, maka mereka
pun segera menjadi basah oleh keringat yang seakan-akan mengembun dari seluruh
wajah kulit mereka. Sesekali mereka berhenti sejenak untuk mengusap keringat
yang mengalir di kening. Tetapi setelah sekian lama mereka terlibat dalam
persoalan yang memusingkan, kini terasa, betapa segarnya bekerja di alam
terbuka, di bawah sinar matahari yang belum terlampau panas, dan angin yang
berhembus dari Selatan. Dikejauhan terdengar burung-burung liar berkicau,
seakan-akan ikut memuji langit yang cerah dibayangi oleh mega putih yang
bergerak didorong oleh angin yang lembut. Agung Sedayu mengerutkan keningnya
ketika ia melihat gurunya bekerja dengan tekunnya, seakan-akan pekerjaan itu
harus selesai sehari ini. Sedang Swandaru yang gemuk itu sesekali menggeliat
sambil menekan lambungnya.
Tetapi
tiba-tiba saja, hampir berbareng mereka mengangkat kepala ketika dari dalam
hutan yang lebat, terdengar suara burung kedasih. Kiai Gringsing menarik nafas
dalam-dalam. Tanpa berpaling kepada murid-muridnya ia berkata,
“Seperti yang
kita duga, mereka bekerja cepat dan tidak mensia-siakan waktu.”
Swandaru
menyahut,
“Baik sekali,
Guru. Pekerjaan kita pun akan segera selesai.” Ia terdiam sejenak, lalu
“Aku akan
berteriak. Bukankah suara burung kedasih yang menjemukan itu akan terdiam
apabila ia terkejut.”
“Biar sajalah.
Kalau ia lelah, ia akan terdiam dengan sendirinya. Tetapi kita tidak boleh
mengabaikan isyarat itu. Aku kira ia mengisyaratkan bahwa hari ini kita telah
berada di lapangan kerja kita ini.”
Swandaru
menggeliat sambil menepuk punggungnya sendiri. Katanya,
“Aku lebih
senang berkelahi daripada terbungkuk-bungkuk memotong kayu. Punggungku menjadi
sakit.”
“Kau terlampau
gemuk,” desis Agung Sedayu. Lalu,
“Tetapi
bukankah kerja ini masih lebih baik dari mencangkul di sawah? Di sawah kita
harus lebih dalam membungkukkan badan kita.”
Swandaru
mengangguk-angguk.
“Ya. Tetapi di
sawah aku tidak diganggu oleh suara burung kedasih yang menjemukan itu.”
“Bekerjalah,”
potong Kiai Gringsing.
“Kita pura-pura
tidak tahu tentang suara burung itu.”
Ketiganya pun
kemudian melanjutkan kerja mereka, memotong pepohonan yang silang melintang.
Dalam pada
itu, tiga ekor kuda sedang berlari dengan kencangnya di jalan setapak di
tengah-tengah hutan. Mereka adalah Wanakerti dan kawan-kawannya. Ketika mereka
merasa bahwa tubuh mereka telah menjadi baik dan pulih kembali, mereka merasa
wajib untuk segera melaporkan semua peristiwa yang terjadi di daerah pengawasan
mereka kepada Ki Gede Pemanahan atau puteranya, Raden Sutawijaya. Dengan pedang
di lambung mereka berpacu secepat-cepatnya. Bagaimanapun juga, namun hati
mereka tergetar ketika mereka menjadi semakin dalam menyusup ke dalam hutan,
lewat jalan yang sempit dan kotor, karena jarang sekali dilalui orang. Sesekali
kuda-kuda mereka harus meloncati pepohonan yang roboh melintang di jalan,
kemudian menyusup di bawah cabang-cabang dan sulur kayu yang terjuntai di atas
lorong sempit itu. Tetapi para pengawas itu pun telah bertekad, apa pun yang
akan terjadi, mereka harus melakukan tugas mereka sebaik-baiknya. Demikianlah
maka derap kaki-kaki kuda itu pun bergema di antara kekayuan. Gemeretak di atas
tanah berbatu padas.
Wanakerti
mengerutkan keningnya ketika ia mendengar derap kaki kuda yang lain. Bukan gema
dari kaki-kaki kuda mereka sendiri, kepada kawannya yang berpacu di belakangnya
ia bertanya,
“Apakah kau
mendengar derap kaki kuda yang lain, bukan gema suara kaki-kaki kuda kita
sendiri?”
Orang itu
mencoba mempertajam pendengarannya Dan ia pun kemudian menjawab,
“Ya, aku
mendengar.”
Sejenak
kemudian mereka pun saling berdiam diri. Tetapi mereka mencoba untuk mengetahui
dengan pasti, dari arah manakah suara derap kaki-kaki kuda itu.
“Di belakang
kita,” desis orang yang paling belakang.
Wanakerti
menganggukkan kepalanya.
“Ya, di
belakang kita. Agaknya memang ada orang yang mengejar kita.”
Kedua kawannva
tidak segera menyahut. Mereka hanya mengangguk-anggukkan kepala mereka. Tetapi
ketika mereka berpaling, rimbunnya dedaunan masih saja menghalangi pandangan
mata mereka sehingga mereka tidak melihat lagi jalur jalan yang baru saja
mereka lalui.
“Apakah kita
akan berhenti ?” bertanya salah seorang dari kawan Wanakarti itu.
“Kenapa?”
“Kita melihat
siapakah yang mengejar kita itu.”
Wanakerti
tidak segera menjawab. Tanpa sesadarnya ia meraba senjatanya. Namun kemudian ia
berkata,
“Kita berjalan
terus. Kalau mereka berhasil mengejar dan mengganggu kita, kita akan melawan.
Tetapi kalau tidak, lebih baik kita berjalan terus. Bukan karena kita takut
menghadapi siapa pun, tetapi lebih baik bagi kita apabila kita dapat mencapai
Mataram dan melaporkan keadaan di daerah pengawasan kita.”
Kawan-kawannya
tidak menyahut lagi. Mereka justru memacu kuda mereka semakin cepat. Tanpa
menghiraukan apa pun lagi, mereka berusaha secepat-cepatnya dapat menyampaikan
laporan mereka tentang daerah pengawasan mereka. Derap kuda yang mengejar
mereka pun menjadi semakin cepat pula. Agaknya mereka berusaha untuk dapat
menyusul ketiga pengawas yang mendahului itu.
“Banyak
sekali,” tiba-tiba Wanakerti bergumam seperti kepada diri sendiri,
”lebih dari
lima ekor kuda.”
“Ya. Lebih
dari lima ekor kuda.”
“Pasti bukan
kawan-kawan kita. Ternyata mereka juga mempunyai persiapan yang baik sekali.”
Tidak ada yang
menjawab. Mereka kini berpacu pada jalur jalan yang agak lurus dan panjang.
Karena itu, ketika mereka berpaling, mereka dapat melihat dari sela-sela
dedaunan yang mencuat ke tengah lorong sempit itu, beberapa ekor kuda berpacu
di belakang mereka.
“Orang-oang
yang tidak kita kenal,” berkata pengawas yang paling belakang.
“Memang lebih
dari lima orang.”
“Kita tidak
melayaninya. Kalau kita gagal sampai ke tujuan, maka Ki Gede Pemanahan tidak
akan segera mengetahui apa yang sudah terjadi.
Demikianiah
maka Wanakerti dan kedua kawannya berusaha mempercepat derap kuda mereka.
Mereka benar-benar tidak ingin bertempur melawan orang-orang yang tidak dikenal
yang mengejar di belakang mereka. Tetapi mereka merasa wajib untuk segera
menghadap para pemimpin tertinggi dari Tanah Mataram yang sedang dibuka ini. Tetapi
agaknya orang-orang yang mengejar mereka itu pun tidak ingin melepaskan ketiga
pengawas itu. Mereka pun berusaha untuk dapat mengejar buruan mereka. Karena
itu, mereka pun telah melecut kuda mereka agar berlari lebih cepat lagi. Ternyata
bahwa orang-orang yang tidak dikenal itu lebih berpengalaman. Kuda-kuda mereka
pun agaknya lebih mengenal jalan-jalan yang sempit dan sulit itu. Karena itu,
maka jarak mereka pun semakin lama menjadi semakin dekat. Meskipun demikian
Wanakerti dan kawan-kawannya masih tetap berusaha. Jarak yang ada itu harus
dimanfaatkan sebaik-baiknya.
“Mereka akan
mengejar kita sebelum kita keluar dari hutan ini,” desis seorang kawannya. Lalu,
“Pergi dahulu.
Aku, akan mencoba menghambat mereka.”
“Jangan gila,”
sahut Wanakerti.
“Ya. Kami
berdua,” berkata yang lain.
“Salah seorang
dari kita harus sampai ke tempat tujuan.”
“Kalian akan
membunuh diri. Mereka tidak memerlukan waktu yang lama untuk membunuh kalian,
kemudian mengejar aku pula. Kalian akan dilempar dengan pisau beracun. Kemudian
mereka sama sekali tidak perlu berhenti menunggui mayat kalian.”
“Tentu tidak
semudah itu. Kami akan mencoba menahan mereka meskipun hanya beberapa saat
saja. Kau akan mendapat kesempatan itu.”
“Tidak. Aku
tidak sependapat. Kita berpacu terus. Kedua kawannya tidak menyahut lagi. Yang
paling belakang menyadari sepenuhnya, bahwa jarak mereka menjadi semakin
pendek. Tetapi kalau kuda mereka tidak terganggu, untuk menutup jarak yang
pendek itu memang memerlukan waktu.
Dengan
demikian maka kedua kelompok itu masih saja berpacu beriringan. Orang-orang
yang mengejar para pengawas itu pun kemudian berteriak-teriak seperti anak-anak
yang sedang mengejar tupai. Mereka mengharap agar dengan demikian, perasaan
para pengawas itu terpengaruh karenanya. Tetapi Wanakerti berkata kepada kedua
kawan-kawannya.
“Jangan
hiraukan. Kita akan dapat mencapai gardu peronda yang pertama.
“Berapa orang
peronda yang ada di sana?”
“Aku tidak
tahu. Tetapi jumlah kita akan bertambah. Aku dapat ikut menahan mereka, sedang
salah seorang dari kita akan meneruskan perjalanan.”
Kedua kawannya
mengangguk-anggukkan kepala mereka. Karena itu, mereka pun berpacu semakin
cepat. Beberapa saat kemudian, maka lorong yang sempit itu nampaknya menjadi
semakin lapang. Dedaunan dan sulur-sulur kayu tidak lagi banyak yang bergayutan
di atas jalan itu. Dengan demikian, para pengawas itu merasa, bahwa sebentar
lagi mereka akan segera keluar dari dalam hutan. Tetapi mereka masih harus
melintasi sebuah hutan perdu dan lapangan rumput yang agak luas di pinggir
hutan yang tebal ini. Demikianlah, maka kuda-kuda itu pun berpacu semakin
cepat, karena jalan yang menjadi semakin lapang. Sejenak kemudian, hutan
menjadi semakin tipis, sehingga di hadapan mereka kini terbentang sebuah hutan
rindang. Padang perdu yang liar berserakan di antara batang-batang ilalang
setinggi dada.
“Sebentar lagi
kita akan sampai ke gardu pengawas yang pertama di daerah yang baru
dipersiapkan untuk dibuka itu,” desis Wanakerti.
“Mudah-mudahan
di sana terdapat cukup banyak orang untuk melawan orang-orang yang mengejar
kita itu.”
Kawan-kawannya
tidak menyahut. Mereka hanya mengangguk-anggukkan kepala mereka sambil melecut
kuda-kuda mereka. Ternyata orang-orang yang tidak dikenal, yang berusaha
mengejar mereka pun berpacu semakin cepat pula. Mereka masih saja
berteriak-teriak seperti sedang mengejar tupai. Bahkan ada di antara mereka
yang sudah mengacu-acukan senjata mereka. Pedang yang mengkilap. Namun dengan
demikian justru Wanakerti menjadi agak tenang. Katanya di dalam hati ketika ia
melihat kilatan pedang itu,
“Agaknya
pedang itu tidak beracun.”
Beberapa saat
kemudian, mereka pun telah melintasi padang perdu yang seakan-akan ditaburi
oleh gerumbul-gerumbul liar. Dan kini mereka justru berpacu di padang ilalang
yang lebat. Sedang di hadapan mereka terdapat hutan rindang lagi. Hutan yang
tidak begitu lebat, yang kini sedang dipersiapkan untuk dibuka pula. Dengan
hati yang berdebar-debar mereka berpacu terus. Di ujung lorong yang memasuki
hutan yang rindang itu terdapat sebuah gardu pengawas.
Agaknya
orang-orang yang mengejar mereka mengetahui juga bahwa para pengawas itu ingin
mencapai gardu di pinggir padang rumput itu. Sehingga karena itu, mereka pun
berusaha semakin keras untuk mengejar buruannya. Tetapi agaknya para pengawas
itu pun memiliki kemampuan yang cukup untuk menguasai kuda-kuda mereka. Karena
itu, maka mereka pun tidak segera dapat disusul oleh orang-orang yang tidak
dikenal, yang mengejar mereka sambil mengacu-acukan senjata.
“Di depan kita
itulah gardu pengawas itu,” teriak Wanakerti tanpa sesadarnya.
“Ya” sahut
kawan-kawannya hampir berbareng.
“Mereka pasti
sudah mendengar derap kaki kuda kita,“ desis Wanakerti.
Kedua kawannya
tidak menjawab.
Tetapi
Wanakerti menjadi berdebar-debar. Kalau mereka sudah mendengar derap kaki-kaki
kuda itu, maka mereka pasti akan turun ke lorong ini. Tetapi Wanakerti dan
kawannya tidak melihat seorang pun di hadapan mereka.
“Kenapa gardu
itu sepi?” desis salah seorang.
Wanakerti
tidak menyahut. Tetapi ia berpacu semakin cepat, secepat dapat dilakukan oleh
kudanya. Sejenak kemudian mereka sudah menjadi semakin dekat. Sekejap lagi
mereka akan sampai ke depan gardu itu. Mereka sudah melihat sebuah kentongan
yang tergantung di depan. Tetapi mereka sama sekali belum melihat seorang pun. Dengan
demikian maka Wanakerti menjadi semakin berdebar-debar. Tetapi ia tidak sempat
menduga-duga karena sejenak kemudian mereka sudah berada di depan gardu itu. Tetapi
alangkah kecewa hati para pengawas itu. Ternyata gardu itu memang kosong. Sama
sekali kosong. Menilik sarang laba-laba yang bergayutan di sana-sini, maka
gardu itu pasti sudah beberapa hari tidak dipergunakan.
“Gardu ini
kosong,” teriak salah seorang dari ketiga pengawas itu.
Wajah
Wanakerti pun tiba-tiba menjadi tegang. Penunggang kuda yang mengejar mereka
menjadi semakin dekat pula. Karena itu ia harus segera mengambil suatu sikap.
“Kita berlari
terus,” perintahnya kepada kedua kawan-kawannya.
”Jangan
membantah dahulu. Kita berpikir sambil berjalan.”
Ketiganya pun
kemudian berpacu pula. Tetapi jarak mereka kini menjadi semakin dekat dari
pengejarannya.
“Kau, salah
seorang dari kalian, ambil jalan simpang. Hati-hati. Kami berdua akan memancing
mereka terus,” berkata Wanakerti.
“Kaulah yang
mengambil jalan simpang. Kau yang mengetahui semua persoalan dengan gamblang.
Biarlah kami berdua yang melawan mereka.”
“Jalankan
perintahku. Aku mendapat kekuasaan dari pemimpin kita untuk memimpin perjalanan
ini. Cepat.”
Keduanya
saling berpandangan. Tetapi Wanakerti berteriak sambil menunjuk orang yang
bermata tajam,
”Kaulah yang
mengambil jalan simpang. Di depan kita ada tikungan. Lakukan perintah ini.”
Orang yang
bermata tajam itu tidak dapat membantah lagi. Karena itu, maka ia pun segera
mempersiapkan diri untuk mengambil simpangan di sebelah tikungan. Ketika
kuda-kuda itu berbelok, maka sekali lagi Wanakerti berkata,
“Sekarang.
Lakukan. Hati-hatilah.”
Orang yang
bermata tajam itu pun kemudian menarik kendali kudanya kekanan, sehingga dengan
serta-merta kudanya pun berbelok pula kekanan, menyusup gerumbul-gerumbul yang
rimbun di pinggir hutan yang rindang itu. Tetapi orang itu tidak berpacu terus.
Untuk tidak menarik perhatian, maka ia pun segera menghentikan kudanya dan
bersembunyi di balik gerumbul yang lebat. Ternyata perhatian orang-orang yang
mengejar mereka itu, tetap terpancang pada Wanakerti dan seorang kawannya yang
berpacu terus. Mereka tidak segera memperhatikan bahwa salah seorang dari
ketiganya telah berbelok dan bersembunyi di balik gerumbul-gerumbul yang lebat.
Demikian orang-orang yang mengejarnya itu lewat, maka orang bermata tajam itu
segera memacu kudanya pula, justru menyeberangi lorong sempit itu beberapa
langkah dari tempatnya berbelok meninggalkan lorong itu. Ternyata beberapa saat
kemudian, orang-orang yang mengejar Wanakerti pun menyadari, bahwa seorang dari
buruannya telah hilang. Sejenak kemudian mereka masih mencoba meyakinkan apakah
yang berpacu di depan mereka itu tinggal dua orang. Namun sejenak kemudian
seseorang yang agaknya menjadi pemimpin mereka berteriak,
“Yang dua di
antara kalian kembali. Cari yang seorang. Ia pasti hilang di tikungan. Jangan
sampai lolos dari tanganmu berdua.”
Dua orang yang
berkuda di paling belakang segera menarik kendali kuda mereka. Dengan
tergesa-gesa mereka pun kemudian berbalik ke tikungan, sedang tiga orang yang lain
mengejar Wanakerti dan seorang kawannya. Ketika dua orang yang berbalik itu
sampai di tikungan, mereka menjadi termangu-mangu sejenak. Mereka tidak segera
menemukan jejak. Kemanakah yang seorang itu berlari?
“Pasti belum
terlampau jauh.”
“Ya. Tetapi ke
mana?”
Keduanya pun
kemudian meloncat turun. Dengan teliti mereka mencoba mengamati bekas-bekas
telapak kaki kuda yang bertebaran di lorong sempit itu. Tiba-tiba saja seorang
dari mereka menemukan bekas kaki kuda yang berbelok masuk ke gerumbul di antara
batang-batang ilalang. Dengan serta-merta ia berkata
“Lihat. Bekas
kaki kuda ini.”
Yang seorang
pun segera mendekatinva. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata,
“Ya, ia
berbelok kemari.”
“Keduanya pun
segera berlari kekuda masing-masing. Dengan tergesa-gesa mereka berlompatan
naik. dan sejenak kemudian merekapun mencoba mengikuti bekas kaki kuda yang
masuk ke dalam rimbunnya batang ilalang yang liar, sehingga mereka tidak begitu
sulit untuk menemukan jejak itu selanjutnya.
Tetapi mereka
terhenti sejenak karena bekas-bekas kaki itu menjadi kabur ketika jejak itu
masuk ke dalam gerumbul. Mereka memerlukan waktu sejenak untuk menemukan, dari
mana bekas kaki itu keluar lagi.
“Cepat, kita
ikuti. Kita jangan kehilangan lagi.” Sambil mengumpat-umpat mereka berhasil
mengikuti jejak itu, melingkari beberapa buah rumpun perdu, kemudian justru
menyilang kembali jalan sempit yang sudah dilaluinya.
“Cerdik
sekali,” desis yang seorang dari mereka,
“ia mencoba
menghilangkan jejak.”
“Tetapi kita
bukan anak kecil yang dapat dikelabuinya. Kalau ia berhasil menghapus jejaknya,
maka barulah kita akan kehilangan pengamatan.”
Yang lain
tidak menyahut. Tetapi mereka kini berpacu di antara batang ilalang. Mereka
tidak lagi melalui jalan sempit yang sering dilalui orang meskipun jarang
sekali. Tetapi kini mereka benar-benar melintas padang yang liar.
“Jurusan ini
sama sekali tidak menguntungkannya,” berkata salah seorang dari mereka.
”Orang itu
akan terjerumus kedalam rawa-rawa.”
“Itu akan
mempermudah pekerjaan kita. Kita tinggal membenamkannya saja. Kita ikat sebuah
batu di lehernya. Kemudian kita lemparkan orang itu ke dalam lumpur. Ia akan
terbenam perlahan-lahan.”
“Tidak pada
lehernya. Pada kakinya. Mungkin akan lebih menyenangkan baginya. Akan
diperlukan waktu dua hari sebelum kepalanya terbenam sama sekali.
Kawannya tidak
menyahut. Tetapi mereka berpacu semakin cepat. Mereka sama sekali tidak
kehilangan jejak yang diikutinya Seperti sengaja memberikan petunjuk bagi orang
yang mengejarnya, bekas-bekas kaki kuda dan rerumputan yang tersibak, telah
menuntun kedua orang itu semakin lama menjadi semakin mendekati buruannya. Dalam
pada itu, Wanakerti masih berpacu secepat-cepatnya. Tetapi ia menyadari bahwa
ia tidak akan dapat lepas dari orang-orang yang mengejarnya. Gardu pengawas
berikutnya masih agak jauh, sedang orang-orang yang mengejarnya menjadi semakin
dekat.
“Agaknya kita
akan bertempur,” berkata Wanakerti kepada kawannya yang tinggal seorang.
“Ya. Tetapi
mereka pun tinggal tiga orang, Yang lain telah kembali berusaha mengejar kawan
kita yang berbelok di tikungan.”
“Mudah-mudahan
ia dapat lolos dan menyampaikan laporan kepada para pemimpin di Mataram tentang
daerah kerja kita.”
Kawannya tidak
menyahut. Dilecutnya kudanya, dan kuda itu pun seakan-akan telah melonjak dan terbang
di atas jalan yang sempit.
Tetapi seperti
yang diperhitungkan oleh Wanakerti, jarak yang sudah dekat itu pun menjadi
semakin dekat. Yang tiga orang itu pun masih juga berteriak-teriak sambil
mengacungkan pedangnya.
“Pedang itu
agaknya tidak beracun,” desis Wanakerti.
“Darimana kau
tahu?”
“Senjata
beracun biasanya tidak mengkilap, tetapi buram dan hitam kemerah-merahanan
seperti karat.”
“Mudah-mudahan,”
desis kawannya. Lalu,
“Apakah kita
tidak sebaiknya berhenti saja?”
“Kita harus
berusaha sampai sejauh-jauh dapat kita lakukan. Semakin dekat dengan gardu
pengawas yang kedua akan menjadi semakin baik. Apalagi kalau kita dapat
mencapai gardu itu.”
“Terlampau
sulit. Kuda-kuda kita kalah berpengalaman.”
“Apa boleh
buat,” desis Wanakerti pula.
Namun demikian
mereka masih berpacu terus, sehingga pada suatu saat, kuda-kuda yang mengejar
mereka itu menjadi semakin dekat.
“Kita mencari
tempat yang agak lapang desis Wanakerti.
“Kita akan
bertempur sekarang?”
“Tidak ada
jalan lain. Kita akan bertempur di atas punggung kuda.”
“Aku bekas
pasukan berkuda dari Demak,” sahut kawannya.
“Kau lupa
akulah juara watangan bagi para pengawal tanah ini, kecuali para pemimpin.”
Kedua orang
itu pun kemudian memencar ke daerah yang agak luas. Di atas batang ilalang
setinggi dada, mereka mempersiapkan diri, menyongsong lawan mereka yang
mengejarnya.
“He, kalian
akan menyerah?” teriak salah seorang dari mereka yang mengejarnya.
Wanakerti
tidak menjawab. Tetapi ia mencabut pedangnya. Kudanya kini sudah berputar
menghadap ke arah ketiga penunggang kuda yang sudah semakin dekat. Dengan
isyarat Wanakerti pun kemudian memerintahkan kepada kawannya untuk menyerang
bersama-sama dari jurusan yang berbeda selagi ketiga penunggang kuda itu masih
belum mapan. Sejenak kemudian maka kedua ekor kuda itu bagaikan melompat dan
menyerang. Ternyata Wanakerti dan kawannya benar-benar mempunyai pengalaman
yang baik untuk bertempur di atas punggung kuda. Tetapi ternyata pula bahwa
lawan mereka pun cukup mampu untuk mengelakkan serangan itu. Bahkan sambil
mengumpat-umpat pemimpin mereka berteriak,
“Bunuh saja
tikus-tikus sombong itu. Kalau kalian menyerah, kalian akan selamat.”
Wanakerti
seolah-olah sudah tidak sempat lagi untuk mengucapkan sepatah kata pun. Ia sama
sekali tidak menghiraukan apa saja yang dikatakan oleh lawannya. Namun
pedangnya sajalah yang berputar seperti baling-baling. Sejenak kemudian maka
Wanakerti dan kawannya telah terlibat dalam perkelahian sengit. Meskipun
Wanakerti dan kawannya mempunyai pengalaman yang cukup, tetapi mereka harus
melayani tiga orang. Karena itu, Wanakerti tidak membiarkan salah seorang dari
mereka dikerubut dua. Dengan demikian maka perkelahian itu akan segera selesai.
Yang dikerubut itu pasti akan segera dapat dikalahkan, sehingga kesempatan
untuk mengalahkan yang lain pun menjadi semakin besar. Karena itu, maka
Wanakerti bertempur seperti sepasang elang yang menyambar silang-menyilang.
Sejenak ia melayani seorang lawannya. Namun kemudian kudanya melonjak dan
menyambar lawannya yang lain. Demikian pula kawannya, bekas seorang prajurit
berkuda. Dengan garangnya ia menyerang sambil memutar pedangnya. Kemudian
berputar menjauh. Meskipun demikian, mereka harus mengakui, bahwa ketiga
lawannya adalah orang-orang yang tangguh. Orang-orang yang berpengalaman
bertempur di atas punggung kuda pula. Sekilas Wanakerti teringat kepada seorang
kawannya yang telah terbunuh oleh racunnya sendiri. Orang berkumis yang
sebenarnya sekedar menyusupkan diri di dalam lingkungan para pengawas itu.
Ternyata orang itu mampu melawan tiga orang pengawas sekaligus.
“Waktu itu,
hatiku telah dibakar oleh kekecilan arti diri sendiri,” berkata Wanakerti
kepada dirinya.
“Tetapi
sekarang aku tidak.”
Meskipun
demikian, ternyata Wanakerti dan kawannya segera merasa, bahwa untuk melawan
ketiga orang itu adalah pekerjaan yang terlampau berat bagi mereka. Tetapi
Wanakerti dan kawannya sama sekali tidak berputus asa. Dengan sekuat-kuat
tenaga mereka bertempur. Bahkan bagi Wanakerti, pertempuran itu hanya sekedar
berarti mengikat ketiga orang itu. Kalau kemudian ia dan kawannya itu gugur,
itu adalah kemungkinan yang sudah diperhitungkan sejak ia memasuki lingkungan
pengawal Tanah Mataram yang baru dibuka ini. Di dalam menjalankan tugas,
kemungkinan itu pasti ada.
Yang
diharapkan olehnya satu-satunya adalah, agar kawannya yang seorang lagi mampu
melepaskan dirinya dan berhasil menghadap para pemimpin di Mataram. Sukurlah
kalau dapat langsung menghadap Mas Ngabehi Loring Pasar. Dengan demikian maka
Wanakerti dan kawannya itu pun justru menjadi tenang. Bencana yang tertinggi,
mati, sama sekali tidak menakutkan lagi bagi mereka berdua. Sehingga dengan
demikian keduanya mampu bertempur sambil berpikir. Mereka tidak saja
menumpahkan segenap kemampuan, tetapi juga mereka mempergunakan otak mereka,
bagaimana mereka dapat bertahan sejauh-jauh dapat mereka lakukan. Maka, semakin
lama perkelahian itu pun menjadi semakin seru. Wanakerti dan kawannya ternyata
dapat bekerja bersama sebaik-baiknya. Mereka seolah-olah menjelajahi padang
ilalang itu dengan kuda mereka yang berlari-lari melingkari menyilang dan
kadang-kadang mereka bertempur beradu punggung.
“Selan alas!“
pemimpin orang-orang yang mengejar Wanakerti itu mengumpat.
“Kalian
ternyata sangat licik. Kalian tidak bertempur secara jantan.”
“Apakah ukuran
kejantanan itu?” bertanya Wanakerti.
“Berkelahi
beradu dada. Tidak berlari-lari dan berputar-putar.”
“Bertempur
beradu dada seorang lawan seorang, atau berapa saja jumlah yang ada ?”
“Persetan. Aku
tidak peduli.”
“Kalian atau
kamilah yang tidak jantan?”
“Kalian memang
harus mampus.”
“Kenapa?”
bertanya kawan Wanakerti sambil menyambar dengan pedangnya. Ketika lawannya
mengelakkan pedang itu, terdengar kedua senjata itu beradu.
“Kalian, para
pengawas memang harus mati.”
“Apa salah
kami?”
Mereka tidak
menjawab lagi. Tetapi mereka menekan kedua pengawas itu semakin berat.
Kadang-kadang mereka memang mencoba memisahkan Wanakerti dari kawannya. Mereka
akan membinasakan keduanya seorang demi seorang. Tetapi hal itu disadari oleh
kedua pengawas itu, sehingga mereka selalu berusaha, agar perkelahian itu tidak
dapat diurai menjadi dua lingkaran pertempuran. Namun, terasa tenaga kedua
pengawas itu menjadi semakin susut setelah mereka mengerahkan segenap kemampuan
mereka untuk tetap bertahan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar