Jilid 056 Halaman 3


“Ya. Agaknya kita memang tidak akan bekerja hari ini. Tetapi kerja yang satu itu pun agaknya telah menimbulkan kesibukan yang menarik di hari ini.”
Kiai Gringsing pun mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Kita akan segera pergi ke tempat itu, apabila matahari sudah naik setinggi ujung pepohonan.”
Demikianlah, ketika matahari menjadi semakin tinggi, Kiai Gringsing telah memanggil kedua muridnya yang akan dibawanya pergi melihat mayat pengawas berkumis itu. Beberapa orang yang sedikit mempunyai keberanian, serta para pengawas yang tidak terluka, ikut serta bersama Kiai Gringsing pergi ke tempat mayat itu.
“Yang lain, kami harap melakukan tugas kalian dengan baik seperti biasanya,” berkata Kiai Gringsing.
“Yang bekerja di dapur diharap menyiapkan makan seperti biasa, sedang yang lain dipersilahkan ikut membantu.”
Demikianlah, maka Kiai Gringsing pun kemudian pergi melihat mayat yang kemarin mereka tinggalkan. Para pengawas dan beberapa orang pergi mengiringkannya sambil membawa alat untuk menguburkan mayat itu.
Tetapi langkah Kiai Gringsing pun tertegun. Wajahnya menjadi tegang. Dan ia pun kemudian berhenti sambil menebarkan pandangan matanya berkeliling.
“Apa, Guru?” bertanya Agung Sedayu perlahan-lahan.
“Bukankah mayat itu kemarin terletak di sini?” Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Kemudian ia mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Ya. Kemarin mayat itu ada di sini. Bukan begitu?” ia pun bertanya pula kepada Swandaru.
“Ya. Di sini. Betul di sini,” desis Swandaru. Sebelum mereka membicarakan hal itu lebih lanjut.
Wanakerti telah menggamit Truna Podang sambil bertanya,
“He, apakah aku keliru? Bukankah kemarin mayat itu tergolek di samping batang perdu yang kering itu?”
“Ya,” jawab Kiai Gringsing,
”batang perdu itu kering oleh serbuk racun yang barangkali tertabur sampai ke akarnya. Dan mayat itu memang tergolek beberapa langkah di dekatnya.”
“Mayat itu hilang,” desis Wanakerti.
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi wajahnya masih tetap menegang.

Tangan Kiai Gringsing segera menangkap lengan Swandaru ketika anak muda itu hampir saja melangkah mendekati bekas tempat mayat itu. Swandaru tertegun karenanya. Dipandanginya wajah gurunya yang tampak bersungguh-sungguh. Sambil menarik tangan Swandaru gurunya berkata,
“Jangan tergesa-gesa, Swandaru. Aku masih belum yakin, apakah racun yang bertaburan di sekitar tempat itu sudah tidak berbahaya lagi.”
Swandaru mengerutkan keningnya. Namun ia pun kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya sambil berkata,
“Ya. Hampir aku tidak teringat lagi. Tetapi, karena mayat itu sudah tidak ada lagi, aku kira pasti sudah ada seseorang yang merabanya.”
Kiai Gringsing tidak segera menjawab. Diamatinya tempat itu dengan saksama. Dan tiba-tiba saja ia melangkah maju sambil berdesis,
“Mudah-mudahan aku berhasil. Lihat, seekor kadal.”
“Kenapa dengan kadal itu?” bertanya kedua murid-nya hampir berbareng.
“Ia masih tetap hidup meskipun ia berada di dalam daerah yang berbahaya. Aku kira, usahaku untuk mempercepat lenyapnya bisa racun itu berhasil, meskipun seandainya tidak seluruhnya.”
Kedua muridnya mengangguk-anggukkan kepalanya. Wanakerti dan para pengawas pun telah berdiri di samping mereka sambil memperhatikan percakapan itu pula.
“Tetapi,” bertanya Wanakerti,
“sudah barang tentu, mayat itu di ambil semalam. Apakah yang mengambil mayat itu sama sekali tidak akan terpengaruh oleh racun, meskipun seandainya binatang buas?”
“Tentu racun itu masih ada pengaruhnya, meskipun seandainya binatang buas yang mengambilnya. Tetapi…..” kata-kata Kiai Gringsing terhenti.
Wanakerti, para pengawas dan orang-orang yang mendengar kata-kata Kiai Gringsing yang tidak selesai itu tiba-tiba mengerutkan kening mereka, beberapa orang tergetar hatinya. Apalagi ketika mereka mendengar Wanakerti menegaskan,
”Tetapi kau maksud bukan manusia dan bukan pula binatang buas?”
“Ah,” Kiai Gringsing menyahut dengan serta-merta,
“hantu, begitu?”
Wanakerti memandang wajah Kiai Gringsing dengan sorot mata yang aneh, sedang Kiai Gringsing berkata selanjutnya,
“Sama sekali tidak. Hantu-hantu tidak memerlukannya.”
“Jadi siapakah maksudmu?”
“Kawan-kawannya.”
“Kawan-kawan orang berkumis itu?”
“Ya. Mereka yang terdiri dari satu lingkungan dengan orang berkumis itu. Dengan orang yang tinggi kekar yang meninggal di barak dan orang yang kekurus-kurusan.”
“Jadi, siapakah yang mengambil? Orang yang kekurus-kurusan itu?”
Kiai Gringsing menggeleng,
“Bukan. Tetapi bukankah semalam kita mendengar derap kaki kuda?”
“Ah,” hampir bersamaan beberapa orang berdesah.
“Jadi kalian tetap menyangka bahwa mereka itu hantu yang naik kuda semberani?”
Tidak seorang pun yang menyahut.
“Kita dapat mencurigainya,” berkata Kiai Gringsing kemudian.
“Memang mungkin sekali orang berkuda semalam.”
Para pengawas itu masih tetap berdiam diri.
“Baiklah, aku akan melihat, kemana kira-kira mayat itu pergi,” berkata Kiai Gringsing kemudian.
“Tunggulah kalian di sini. Aku akan mendekat.”

Kedua muridnya menjadi tegang sesaat. Tetapi kemudian mereka dapat menenangkan hati mereka, karena mereka percaya bahwa gurunya pasti sudah membuat perhitungan yang sebaik-baiknya. Para pengawal dan orang-orang yang ikut serta ke tempat itu pun menjadi berdebar-debar melihat Kiai Gringsing berjalan dengan hati-hati mendekati bekas tempat mayat itu terbaring. Dengan seksama ia memperhatikan tempat itu. Sejenak kemudian ia mengangguk-anggukkan kepalanya. Seolah-olah ia menemukan sesuatu. Bahkan kemudian Kiai Gringsing itu mengikuti beberapa langkah menjauhi tempat itu. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya, Kiai Gringsing mengamati rerumputan di sekitarnya. Ketika ia sudah berada di luar daerah yang disangkanya masih mempunyai pengaruh karena racun, ia pun memanggil kedua muridnya dan para pengawas.
“Lihatlah,” berkata Kiai Gringsing kepada mereka,
“kalian dapat melihat bekas kaki kuda.”
Kedua muridnya dan para pengawas itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Dan yang di sini adalah bekas sesuatu yang diseret begitu saja. Bekas rerumputan dan batang-batang perdu yang roboh menunjukkan, bahwa benda yang diseret itu cukup berat.”
“Maksud Guru, mayat itu?” bertanya Agung Sedayu.
“Demikianlah agaknya. Mereka mengerti bahwa racun pada tubuh mayat itu berbahaya. Karena itu mereka tidak membawanya, tetapi mereka menjeratnya, kemudian menyeretnya.”
Bulu-bulu kuduk mereka yang mendengar keterangan itu meremang. Ternyata orang-orang yang termasuk di dalam kelompok itu adalah orang-orang yang hampir tidak berperasaan.
“Kenapa mereka memerlukan mayat itu?” bertanya Agung Sedayu pula.
Kiai Gringsing merenung sejenak. Kemudian jawabnya,
“Aku tidak tahu pasti. Tetapi agaknya mereka akan menyelidiki hasil pekerjaan racun-racun pada tubuh seseorang. Tetapi apabila mereka kurang teliti, maka mereka tidak akan memperhitungkan cairan yang sudah aku berikan itu.
Para pengawas itu mengangguk-anggukkan kepalanya pula. Dan mereka mendengar Kiai Gringsing berkata,
“Nah, apakah kalian masih menyangka bahwa suara gemerincing itu suara hantu?”
Para pengawas itu masih ragu-ragu. Meskipun menurut pertimbangan nalar mereka, mereka memastikan bahwa mereka tidak berhadapan dengan hantu, namun mereka masih juga tetap ragu-ragu.
“Apa pun yang kita hadapi,” berkata Kiai Gringsing kemudian,
“adalah kekuatan yang tidak dapat dianggap ringan.”

Para pengawas dan murid-murid Kiai Gringsing tidak menyahut. Mereka dapat membayangkan apa yang dikatakan oleh Kiai Gringsing itu. Sekelompok orang yang berani, tangguh dan dapat melakukan tindakan apa pun juga, meskipun bertentangan dengan perikemanusiaan. Karena itu, maka mereka pun harus sangat berhati-hati.
“Tidak ada yang dapat kita lakukan di sini sekarang,” berkata Kiai Gringsing kemudian,
“marilah kita kembali ke barak.”
“Tetapi bagaimana dengan orang itu?” bertanya Wanakerti.
“Siapa?”
“Yang mayatnya hilang itu.”
“Ia sudah berada di antara kawan-kawannya. Biarlah, kita tidak akan dapat berbuat apa-apa.”
Para pengawas itu pun kemudian hanya dapat mengangguk-anggukkan kepala mereka. Berbagai macam persoalan telah bergulat di dalam hati. Mereka harus berdiri di antara kebimbangan perasaan dan tugas-tugas mereka sebagai seorang pengawas.
“Kita akan membicarakannya nanti,” berkata Kiai Gringsing kemudian.
Mereka, orang-orang yang ada di tempat itu, yang berniat untuk mengubur orang berkumis itu, segera diikuti Kiai Gringsing dan para pengawas kembali ke barak.
“Laporan itu harus segera sampai,” berkata Kiai Gringsing kemudian.
“Ya,” Wanakerti menyahut,
“Ki Gede Pemanahan harus segera tahu, apakah yang sebenarnya telah terjadi.”
“Hanya ada satu jalan,” berkata pemimpin pengawas yang terluka,
“kita mengirimkan orang untuk menghadap.”
Sejenak mereka berdiam diri. Bagaimanapun juga, di dalam hati para pengawas masih juga berkecamuk bayangan-bayangan yang mengerikan. Kadang-kadang masih juga tumbuh pertanyaan,
“Kalau kita tidak berhadapan dengan hantu-hantu, lalu siapakah atau apakah yang pernah tampak sebagai jerangkong yang mengerikan naik seekor kuda yang bercahaya itu?”
Tetapi para pengawas itu tidak mengucapkan pertanyaan itu.
Namun ternyata pertanyaan yang serupa bergolak di setiap dada orang-orang yang ada di dalam barak. Bagi mereka, hantu hampir merupakan suatu keyakinan yang tidak dapat dibantah lagi. Karena itu, mereka masih selalu dibayangi oleh gambaran-gambaran jerangkong, kemamang, dan hantu-hantu yang wujudnya mengerikan. Tetapi hampir merupakan keyakinan pula bagi mereka, bahwa di belakang mereka adalah hantu-hantu yang bermartabat tinggi, gendruwo dan prayangan, didampingi oleh peri yang cantik-cantik.
“Ki Sanak,” berkata Kiai Gringsing kemudian,
“aku memang merasa wajib untuk membantu para pekerja, segera mendapatkan ketenangan. Karena itu, biarlah kami akan mencobanya.”
“Apa yang akan kalian lakukan?”
“Kalau kalian bersedia melakukannya, kalian memang harus pergi menemui Ki Gede Pemanahan atau puteranya. Laporkan apa yang terjadi di sini. Seluruhnya, jangan ada yang terlampaui. Sementara aku akan menyingkir, tetapi apabila perlu kami akan segera datang.”
“Kemana?” bertanya pemimpin pengawas itu.
“Agaknya aku dan kedua anak-anakkulah yang menjadi pusat perhatian mereka. Pada saat kami menempati rumah yang kosong itu, mereka sudah mulai menyerang kami. Mereka telah memasukkan ular-ular berbisa ke dalam rumah itu, kemudian mereka membakarnya ketika mereka sadar, bahwa ular-ular itu tidak berhasil membinasakan kami.”
Para pengawas itu menjadi tegang.
“Bagi kami sebenarnya sudah jelas, bahwa kami tidak melawan hantu. Yang belum jelas, siapakah lawan kami sebenarnya dan maksud mereka mengganggu kita di sini?”
Para pengawas masih belum menjawab.
“Nah, apakah kalian sependapat?”
“Lalu bagaimanakah dengan orang-orang di dalam barak ini?”
“Biarlah, untuk sementara, biarlah mereka berada di dalam keadaan itu. Supaya mereka tidak menjadi sasaran pula seperti kami bertiga, dan mungkin sebentar lagi kalian, para pengawas.”

Pemimpin pengawas itu mengerutkan keningnya. Tiba-tiba ia berkata,
“Itu adalah tugas kami. Besok para pengawas akan pergi ke Mataram, menghadap Raden Sutawijaya. Biarlah aku di sini mengawani orang-orang di dalam barak ini. Dan kalian bertiga dapat membuat rencana yang kalian anggap baik. Aku percaya kepada kalian.”
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Adalah aneh sekali, bahwa selama ini kami seolah-olah telah terbius. Kami tidak pernah gentar dan takut mati menghadapi perampok yang betapapun garangnya. Tetapi kenapa tiba-tiba kami menjadi ketakutan apabila kami mendengar gemerincing di malam hari atau derap kaki kuda dan jerangkong yang berkeliaran di pinggir hutan?”
“Mudah-mudahan kalian menemukan pribadi kalian kembali sebagai pengawas.”
“Baik, baik. Kami akan mencoba. Sudah cukup lama kami dibayangi oleh perasaan yang tidak dapat kami pahami sendiri. Ternyata orang berkumis yang ada di antara kami itu telah berhasil melumpuhkan kami tanpa merampas senjata-senjata kami.”
“Nah, agaknya kita akan dapat bekerja bersama,” berkata Kiai Gringsing kemudian.
“kami akan berada di tempat kerja kami. Kami harap orang-orang di dalam barak ini beristirahat dahulu sampai persoalan ini menjadi semakin jelas, atau menunggu keputusan Raden Sutawijaya, agar tidak jatuh korban yang tidak berarti.”
Para pengawas menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian,
“Tetapi bagaimana kalian sendiri? Apakah kalian sanggup mengatasi setiap kesulitan hanya bertiga?”
“Mudah-mudahan”
“Aku percaya kepada kalian. Truna Podang sekarang bukan Truna Podang pada saat ia datang. Kalau anak-anakmu yang kadang-kadang lupa memanggilmu guru itu mampu berbuat demikian, maka aku yakin, ayahnya pun dapat berbuat lebih banyak lagi.”
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia mengharap bahwa ia akan segera berhasil membangunkan para pengawas yang seolah-olah sedang terbius oleh perasaan takut dan cemas, meskipun mereka bukan penakut. Tetapi, mereka merasa bahwa mereka tidak akan berdaya sama sekali untuk melawan hantu-hantu. Itulah sebabnya maka lambat laun, mereka hanya dapat menyembunyikan diri mereka, apabila mereka mendengar suara-suara aneh di sekitar mereka, atau bentuk-bentuk yang agak membingungkan tanpa menyelidikinya lebih teliti lagi.
Demikianlah, maka Kiai Gringsing dan pemimpin pengawas itu kemudian berpendapat, bahwa mereka harus segera melakukan sesuatu. Para pengawas yang lain pun tidak merasa berkeberatan apabila mereka harus segera pergi ke Mataram menghadap Raden Sutawijaya.
“Kami sudah sehat kembali,” berkata Wanakerti.
“Kami akan pergi besok,” sahut yang lain.
“Bagus,” jawab pemimpinnya,
“kalian adalah pengawal Tanah Mataram yang baru dibuka. Jangan takut menghadapi bahaya apa pun juga.”
“Kami akan melakukannya. Dan kami menyadari setiap kemungkinan yang dapat terjadi. Di siang hari kami tidak akan bertemu dengan hantu-hantu, tetapi kami sadar bahwa di balik pepohonan itu memang banyak sekali terdapat rahasia yang belum dapat kami pecahkan. Namun demikian, itu adalah kemungkinan-kemungkinan yang memang harus kami atasi.”
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Hampir di luar sadarnya ia berkata,
“Kalian telah berada di tempat kalian kembali, setelah kalian sekian lamanya hanyut di dalam arus yang tidak menentu.”
“Ya. Kami mengucapkan terima kasih. Kehadiran kalian di sini banyak memberikan manfaat kepada kami dan kepada tanah ini. Mudah-mudahan Ki Gede Pemanahan dan puteranya akan dapat mengerti, apa yang telah kalian lakukan di sini.”
Kiai Gringsing tersenyum.
“Itu tidak perlu.”

Dalam pada itu, maka baik Kiai Gringsing maupun para pengawas berusaha untuk membiarkan orang-orang yang ada di dalam barak itu di dalam keadaannya untuk sementara. Untuk sedikit memberikan ketenangan kepada mereka, maka mereka harus menjalankan tugas mereka sehari-hari, kecuali pergi ke hutan, menebang, dan membuka hutan. Di pagi hari berikutnya, orang-orang di barak itu menjadi heran melihat Kiai Gringsing dan kedua anak-anaknya mempersiapkan alat-alat mereka, sehingga salah seorang dari mereka bertanya.
”Kemanakah kau sepagi ini?”
“Aku akan mulai bekerja lagi. Sudah cukup agaknya aku dan anak-anakku beristirahat.”
“Tetapi, bagaimana dengan kami?”
Pemimpin pengawas yang mendengar percakapan itu menyahut,
“Biarlah kalian beristirahat dahulu. Orang itu tidak dapat dicegah lagi. Semua akan menjadi tanggung jawabnya sendiri.”
Orang di barak itu saling berpandangan sejenak. Namun kemudian mereka pun mengangguk-anggukkan kepala mereka. Beberapa orang pun bergumam,
“Orang itu adalah orang yang aneh. Tetapi mereka seakan-akan tidak dapat diatur.”
Tetapi mereka tidak mengatakannya kepada para pengawas. Mereka merasa tidak berhak untuk ikut mencampurinya apabila para pengawas memang sudah mengijinkannya. Demikianlah, maka Kiai Gringsing dan kedua muridnya pun segera meninggalkan barak itu menuju ke tempat kerja mereka. Kiai Gringsing memang sadar sepenuhnya, bahwa bahaya agaknya telah menunggunya bersama kedua anaknya itu. Tetapi ia harus melakukannya apabila ia ingin mengetahui latar belakang dari semua yang pernah terjadi itu.
“Mudah-mudahan para pengawas akan sampai ke hadapan Ki Gede Pemanahan atau puteranya, Raden Sutawijaya. Mudah-mudahan mereka tidak terhenti di jalan dan menjadi korban pula dari keganasan orang-orang yang masih menjadi rahasia itu.
Di tengah perjalanannya menuju ke tempat kerjanya, Kiai Gringsing masih juga mempersiapkan kedua muridnya untuk menghadapi setiap kemungkinan. Apalagi apabila mereka harus berhadapan dengan racun seperti yang pernah terjadi dengan Swandaru. Karena itu, maka diberinya kedua muridnya itu masing-masing sebutir obat reramuan yang akan dapat sedikit memberi perlindungan kepada tubuh mereka.
“Makanlah,” berkata Kiai Gringsing,
“mudah-mudahan kalian akan dapat bertahan apabila kalian terkena racun. Setidak-tidaknya akan membantu daya tahan tubuh kalian sendiri. Obat itu akan langsung berpengaruh atas darah kalian. Tetapi kalian jangan terkejut, bahwa untuk beberapa lama tubuh kalian akan merasa panas, dan barangkali sedikit pening. Tetapi itu tidak berbahaya. Perasaan-perasaan itu akan hilang kemudian dan obat dari sejenis racun itu pula akan dapat sedikit memberikan perlindungan kepada kalian untuk beberapa lama, apabila kalian benar-benar harus bergulat melawan racun. Menurut penyelidikanku, racun yang dipergunakan di sini pada umumnya adalah racun ular.”
Agung Sedayu dan Swandaru mengangguk-anggukkan kepala mereka. Mereka pun kemudian menelan obat yang diberikan oleh gurunya itu.
“Kita tidak tahu, apakah orang-orang itu akan bertindak cepat seperti yang mereka lakukan kemarin malam. Kita sama sekali tidak menyangka, bahwa malam itu juga, mereka sudah sempat membuat suara gemerincing itu sambil mengambil mayat kawan-kawannya sekaligus. Agaknya mereka memang tidak ingin menunda-nunda waktu lagi. Dengan demikian, maka persoalan kita pun agaknya tidak akan tertunda pula.”
Swandaru mengangguk-angguk sambil berkata,
“Kenapa kita tidak melawan mereka dengan racun pula, Guru. Misalnya, kita membuat ujung senjata kita beracun, sehingga tiap sentuhan akan dapat membunuh mereka.”

Gurunya tidak segera menjawab. Dipandanginya wajah Swandaru sejenak dengan tatapan mata yang suram. Pertanyaan itu agaknya telah menggetarkan dadanya. Namun sejenak kemudian ia menjawab,
“Swandaru. Bukahkah pada suatu ketika, kita ingin mengalahkan lawan kita tanpa membunuhnya, meskipun untuk melumpuhkannya kita harus melukainya? Kalau senjata kita beracun, kemungkinan itu hampir tidak ada sama sekali. Kalau kita sudah mencabut senjata, itu berarti kita akan melakukan permusuhan, berhasil atau tidak berhasil, tetapi niat itu sudah ada.” Kiai Gringsing berhenti sejenak, lalu,
“Apalagi jenis senjata kita bukanlah jenis senjata yang mempunyai wrangka. Kalau senjata kita beracun maka senjata itu akan berbahaya bagi diri kita sendiri.”
Swandaru menjadi berdebar-debar mendengar jawaban itu. Ia merasa bahwa pertanyaannya tidak begitu menyenangkan gurunya. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia kemudian berkata,
“Aku mengerti, Guru.”
Mereka pun kemudian tidak berbicara lagi sampai ke tempat tujuan. Mereka melihat batang-batang pohon masih silang melintang seperti saat terakhir mereka datang beberapa hari yang lalu. Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya tanpa sesadarnya. Dan ia masih berbisik sekali lagi,
“Hati-hatilah.”
Kedua muridnya tidak menjawab. Tetapi mereka telah menyiapkan diri mereka untuk menghadapi setiap kemungkinan.
“Marilah kita mulai,” berkata gurunya kemudian.
Ketiga orang itu pun kemudian mengambil beberapa jenis alat-alat mereka yang mereka simpan di bawah sebatang pohon. Alat-alat yang berat, yang tidak setiap hari mereka bawa kembali ke barak. Sebentar kemudian maka ketiganya telah mulai dengan kerja mereka. Memotong pepohonan yang sudah ditebang oleh pendatang sebelumnya, tetapi yang tidak sempat menyelesaikan kerja itu, karena mereka terusir oleh perasaan takut. Ketika matahari menjadi semakin tinggi di langit, maka mereka pun segera menjadi basah oleh keringat yang seakan-akan mengembun dari seluruh wajah kulit mereka. Sesekali mereka berhenti sejenak untuk mengusap keringat yang mengalir di kening. Tetapi setelah sekian lama mereka terlibat dalam persoalan yang memusingkan, kini terasa, betapa segarnya bekerja di alam terbuka, di bawah sinar matahari yang belum terlampau panas, dan angin yang berhembus dari Selatan. Dikejauhan terdengar burung-burung liar berkicau, seakan-akan ikut memuji langit yang cerah dibayangi oleh mega putih yang bergerak didorong oleh angin yang lembut. Agung Sedayu mengerutkan keningnya ketika ia melihat gurunya bekerja dengan tekunnya, seakan-akan pekerjaan itu harus selesai sehari ini. Sedang Swandaru yang gemuk itu sesekali menggeliat sambil menekan lambungnya.

Tetapi tiba-tiba saja, hampir berbareng mereka mengangkat kepala ketika dari dalam hutan yang lebat, terdengar suara burung kedasih. Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Tanpa berpaling kepada murid-muridnya ia berkata,
“Seperti yang kita duga, mereka bekerja cepat dan tidak mensia-siakan waktu.”
Swandaru menyahut,
“Baik sekali, Guru. Pekerjaan kita pun akan segera selesai.” Ia terdiam sejenak, lalu
“Aku akan berteriak. Bukankah suara burung kedasih yang menjemukan itu akan terdiam apabila ia terkejut.”
“Biar sajalah. Kalau ia lelah, ia akan terdiam dengan sendirinya. Tetapi kita tidak boleh mengabaikan isyarat itu. Aku kira ia mengisyaratkan bahwa hari ini kita telah berada di lapangan kerja kita ini.”
Swandaru menggeliat sambil menepuk punggungnya sendiri. Katanya,
“Aku lebih senang berkelahi daripada terbungkuk-bungkuk memotong kayu. Punggungku menjadi sakit.”
“Kau terlampau gemuk,” desis Agung Sedayu. Lalu,
“Tetapi bukankah kerja ini masih lebih baik dari mencangkul di sawah? Di sawah kita harus lebih dalam membungkukkan badan kita.”
Swandaru mengangguk-angguk.
“Ya. Tetapi di sawah aku tidak diganggu oleh suara burung kedasih yang menjemukan itu.”
“Bekerjalah,” potong Kiai Gringsing.
“Kita pura-pura tidak tahu tentang suara burung itu.”
Ketiganya pun kemudian melanjutkan kerja mereka, memotong pepohonan yang silang melintang.

Dalam pada itu, tiga ekor kuda sedang berlari dengan kencangnya di jalan setapak di tengah-tengah hutan. Mereka adalah Wanakerti dan kawan-kawannya. Ketika mereka merasa bahwa tubuh mereka telah menjadi baik dan pulih kembali, mereka merasa wajib untuk segera melaporkan semua peristiwa yang terjadi di daerah pengawasan mereka kepada Ki Gede Pemanahan atau puteranya, Raden Sutawijaya. Dengan pedang di lambung mereka berpacu secepat-cepatnya. Bagaimanapun juga, namun hati mereka tergetar ketika mereka menjadi semakin dalam menyusup ke dalam hutan, lewat jalan yang sempit dan kotor, karena jarang sekali dilalui orang. Sesekali kuda-kuda mereka harus meloncati pepohonan yang roboh melintang di jalan, kemudian menyusup di bawah cabang-cabang dan sulur kayu yang terjuntai di atas lorong sempit itu. Tetapi para pengawas itu pun telah bertekad, apa pun yang akan terjadi, mereka harus melakukan tugas mereka sebaik-baiknya. Demikianlah maka derap kaki-kaki kuda itu pun bergema di antara kekayuan. Gemeretak di atas tanah berbatu padas.
Wanakerti mengerutkan keningnya ketika ia mendengar derap kaki kuda yang lain. Bukan gema dari kaki-kaki kuda mereka sendiri, kepada kawannya yang berpacu di belakangnya ia bertanya,
“Apakah kau mendengar derap kaki kuda yang lain, bukan gema suara kaki-kaki kuda kita sendiri?”
Orang itu mencoba mempertajam pendengarannya Dan ia pun kemudian menjawab,
“Ya, aku mendengar.”
Sejenak kemudian mereka pun saling berdiam diri. Tetapi mereka mencoba untuk mengetahui dengan pasti, dari arah manakah suara derap kaki-kaki kuda itu.
“Di belakang kita,” desis orang yang paling belakang.
Wanakerti menganggukkan kepalanya.
“Ya, di belakang kita. Agaknya memang ada orang yang mengejar kita.”
Kedua kawannva tidak segera menyahut. Mereka hanya mengangguk-anggukkan kepala mereka. Tetapi ketika mereka berpaling, rimbunnya dedaunan masih saja menghalangi pandangan mata mereka sehingga mereka tidak melihat lagi jalur jalan yang baru saja mereka lalui.
“Apakah kita akan berhenti ?” bertanya salah seorang dari kawan Wanakarti itu.
“Kenapa?”
“Kita melihat siapakah yang mengejar kita itu.”
Wanakerti tidak segera menjawab. Tanpa sesadarnya ia meraba senjatanya. Namun kemudian ia berkata,
“Kita berjalan terus. Kalau mereka berhasil mengejar dan mengganggu kita, kita akan melawan. Tetapi kalau tidak, lebih baik kita berjalan terus. Bukan karena kita takut menghadapi siapa pun, tetapi lebih baik bagi kita apabila kita dapat mencapai Mataram dan melaporkan keadaan di daerah pengawasan kita.”

Kawan-kawannya tidak menyahut lagi. Mereka justru memacu kuda mereka semakin cepat. Tanpa menghiraukan apa pun lagi, mereka berusaha secepat-cepatnya dapat menyampaikan laporan mereka tentang daerah pengawasan mereka. Derap kuda yang mengejar mereka pun menjadi semakin cepat pula. Agaknya mereka berusaha untuk dapat menyusul ketiga pengawas yang mendahului itu.
“Banyak sekali,” tiba-tiba Wanakerti bergumam seperti kepada diri sendiri,
”lebih dari lima ekor kuda.”
“Ya. Lebih dari lima ekor kuda.”
“Pasti bukan kawan-kawan kita. Ternyata mereka juga mempunyai persiapan yang baik sekali.”
Tidak ada yang menjawab. Mereka kini berpacu pada jalur jalan yang agak lurus dan panjang. Karena itu, ketika mereka berpaling, mereka dapat melihat dari sela-sela dedaunan yang mencuat ke tengah lorong sempit itu, beberapa ekor kuda berpacu di belakang mereka.
“Orang-oang yang tidak kita kenal,” berkata pengawas yang paling belakang.
“Memang lebih dari lima orang.”
“Kita tidak melayaninya. Kalau kita gagal sampai ke tujuan, maka Ki Gede Pemanahan tidak akan segera mengetahui apa yang sudah terjadi.
Demikianiah maka Wanakerti dan kedua kawannya berusaha mempercepat derap kuda mereka. Mereka benar-benar tidak ingin bertempur melawan orang-orang yang tidak dikenal yang mengejar di belakang mereka. Tetapi mereka merasa wajib untuk segera menghadap para pemimpin tertinggi dari Tanah Mataram yang sedang dibuka ini. Tetapi agaknya orang-orang yang mengejar mereka itu pun tidak ingin melepaskan ketiga pengawas itu. Mereka pun berusaha untuk dapat mengejar buruan mereka. Karena itu, mereka pun telah melecut kuda mereka agar berlari lebih cepat lagi. Ternyata bahwa orang-orang yang tidak dikenal itu lebih berpengalaman. Kuda-kuda mereka pun agaknya lebih mengenal jalan-jalan yang sempit dan sulit itu. Karena itu, maka jarak mereka pun semakin lama menjadi semakin dekat. Meskipun demikian Wanakerti dan kawan-kawannya masih tetap berusaha. Jarak yang ada itu harus dimanfaatkan sebaik-baiknya.
“Mereka akan mengejar kita sebelum kita keluar dari hutan ini,” desis seorang kawannya. Lalu,
“Pergi dahulu. Aku, akan mencoba menghambat mereka.”
“Jangan gila,” sahut Wanakerti.
“Ya. Kami berdua,” berkata yang lain.
“Salah seorang dari kita harus sampai ke tempat tujuan.”
“Kalian akan membunuh diri. Mereka tidak memerlukan waktu yang lama untuk membunuh kalian, kemudian mengejar aku pula. Kalian akan dilempar dengan pisau beracun. Kemudian mereka sama sekali tidak perlu berhenti menunggui mayat kalian.”
“Tentu tidak semudah itu. Kami akan mencoba menahan mereka meskipun hanya beberapa saat saja. Kau akan mendapat kesempatan itu.”
“Tidak. Aku tidak sependapat. Kita berpacu terus. Kedua kawannya tidak menyahut lagi. Yang paling belakang menyadari sepenuhnya, bahwa jarak mereka menjadi semakin pendek. Tetapi kalau kuda mereka tidak terganggu, untuk menutup jarak yang pendek itu memang memerlukan waktu.

Dengan demikian maka kedua kelompok itu masih saja berpacu beriringan. Orang-orang yang mengejar para pengawas itu pun kemudian berteriak-teriak seperti anak-anak yang sedang mengejar tupai. Mereka mengharap agar dengan demikian, perasaan para pengawas itu terpengaruh karenanya. Tetapi Wanakerti berkata kepada kedua kawan-kawannya.
“Jangan hiraukan. Kita akan dapat mencapai gardu peronda yang pertama.
“Berapa orang peronda yang ada di sana?”
“Aku tidak tahu. Tetapi jumlah kita akan bertambah. Aku dapat ikut menahan mereka, sedang salah seorang dari kita akan meneruskan perjalanan.”
Kedua kawannya mengangguk-anggukkan kepala mereka. Karena itu, mereka pun berpacu semakin cepat. Beberapa saat kemudian, maka lorong yang sempit itu nampaknya menjadi semakin lapang. Dedaunan dan sulur-sulur kayu tidak lagi banyak yang bergayutan di atas jalan itu. Dengan demikian, para pengawas itu merasa, bahwa sebentar lagi mereka akan segera keluar dari dalam hutan. Tetapi mereka masih harus melintasi sebuah hutan perdu dan lapangan rumput yang agak luas di pinggir hutan yang tebal ini. Demikianlah, maka kuda-kuda itu pun berpacu semakin cepat, karena jalan yang menjadi semakin lapang. Sejenak kemudian, hutan menjadi semakin tipis, sehingga di hadapan mereka kini terbentang sebuah hutan rindang. Padang perdu yang liar berserakan di antara batang-batang ilalang setinggi dada.
“Sebentar lagi kita akan sampai ke gardu pengawas yang pertama di daerah yang baru dipersiapkan untuk dibuka itu,” desis Wanakerti.
“Mudah-mudahan di sana terdapat cukup banyak orang untuk melawan orang-orang yang mengejar kita itu.”
Kawan-kawannya tidak menyahut. Mereka hanya mengangguk-anggukkan kepala mereka sambil melecut kuda-kuda mereka. Ternyata orang-orang yang tidak dikenal, yang berusaha mengejar mereka pun berpacu semakin cepat pula. Mereka masih saja berteriak-teriak seperti sedang mengejar tupai. Bahkan ada di antara mereka yang sudah mengacu-acukan senjata mereka. Pedang yang mengkilap. Namun dengan demikian justru Wanakerti menjadi agak tenang. Katanya di dalam hati ketika ia melihat kilatan pedang itu,
“Agaknya pedang itu tidak beracun.”
Beberapa saat kemudian, mereka pun telah melintasi padang perdu yang seakan-akan ditaburi oleh gerumbul-gerumbul liar. Dan kini mereka justru berpacu di padang ilalang yang lebat. Sedang di hadapan mereka terdapat hutan rindang lagi. Hutan yang tidak begitu lebat, yang kini sedang dipersiapkan untuk dibuka pula. Dengan hati yang berdebar-debar mereka berpacu terus. Di ujung lorong yang memasuki hutan yang rindang itu terdapat sebuah gardu pengawas.

Agaknya orang-orang yang mengejar mereka mengetahui juga bahwa para pengawas itu ingin mencapai gardu di pinggir padang rumput itu. Sehingga karena itu, mereka pun berusaha semakin keras untuk mengejar buruannya. Tetapi agaknya para pengawas itu pun memiliki kemampuan yang cukup untuk menguasai kuda-kuda mereka. Karena itu, maka mereka pun tidak segera dapat disusul oleh orang-orang yang tidak dikenal, yang mengejar mereka sambil mengacu-acukan senjata.
“Di depan kita itulah gardu pengawas itu,” teriak Wanakerti tanpa sesadarnya.
“Ya” sahut kawan-kawannya hampir berbareng.
“Mereka pasti sudah mendengar derap kaki kuda kita,“ desis Wanakerti.
Kedua kawannya tidak menjawab.
Tetapi Wanakerti menjadi berdebar-debar. Kalau mereka sudah mendengar derap kaki-kaki kuda itu, maka mereka pasti akan turun ke lorong ini. Tetapi Wanakerti dan kawannya tidak melihat seorang pun di hadapan mereka.
“Kenapa gardu itu sepi?” desis salah seorang.
Wanakerti tidak menyahut. Tetapi ia berpacu semakin cepat, secepat dapat dilakukan oleh kudanya. Sejenak kemudian mereka sudah menjadi semakin dekat. Sekejap lagi mereka akan sampai ke depan gardu itu. Mereka sudah melihat sebuah kentongan yang tergantung di depan. Tetapi mereka sama sekali belum melihat seorang pun. Dengan demikian maka Wanakerti menjadi semakin berdebar-debar. Tetapi ia tidak sempat menduga-duga karena sejenak kemudian mereka sudah berada di depan gardu itu. Tetapi alangkah kecewa hati para pengawas itu. Ternyata gardu itu memang kosong. Sama sekali kosong. Menilik sarang laba-laba yang bergayutan di sana-sini, maka gardu itu pasti sudah beberapa hari tidak dipergunakan.
“Gardu ini kosong,” teriak salah seorang dari ketiga pengawas itu.
Wajah Wanakerti pun tiba-tiba menjadi tegang. Penunggang kuda yang mengejar mereka menjadi semakin dekat pula. Karena itu ia harus segera mengambil suatu sikap.
“Kita berlari terus,” perintahnya kepada kedua kawan-kawannya.
”Jangan membantah dahulu. Kita berpikir sambil berjalan.”
Ketiganya pun kemudian berpacu pula. Tetapi jarak mereka kini menjadi semakin dekat dari pengejarannya.
“Kau, salah seorang dari kalian, ambil jalan simpang. Hati-hati. Kami berdua akan memancing mereka terus,” berkata Wanakerti.
“Kaulah yang mengambil jalan simpang. Kau yang mengetahui semua persoalan dengan gamblang. Biarlah kami berdua yang melawan mereka.”
“Jalankan perintahku. Aku mendapat kekuasaan dari pemimpin kita untuk memimpin perjalanan ini. Cepat.”
Keduanya saling berpandangan. Tetapi Wanakerti berteriak sambil menunjuk orang yang bermata tajam,
”Kaulah yang mengambil jalan simpang. Di depan kita ada tikungan. Lakukan perintah ini.”

Orang yang bermata tajam itu tidak dapat membantah lagi. Karena itu, maka ia pun segera mempersiapkan diri untuk mengambil simpangan di sebelah tikungan. Ketika kuda-kuda itu berbelok, maka sekali lagi Wanakerti berkata,
“Sekarang. Lakukan. Hati-hatilah.”
Orang yang bermata tajam itu pun kemudian menarik kendali kudanya kekanan, sehingga dengan serta-merta kudanya pun berbelok pula kekanan, menyusup gerumbul-gerumbul yang rimbun di pinggir hutan yang rindang itu. Tetapi orang itu tidak berpacu terus. Untuk tidak menarik perhatian, maka ia pun segera menghentikan kudanya dan bersembunyi di balik gerumbul yang lebat. Ternyata perhatian orang-orang yang mengejar mereka itu, tetap terpancang pada Wanakerti dan seorang kawannya yang berpacu terus. Mereka tidak segera memperhatikan bahwa salah seorang dari ketiganya telah berbelok dan bersembunyi di balik gerumbul-gerumbul yang lebat. Demikian orang-orang yang mengejarnya itu lewat, maka orang bermata tajam itu segera memacu kudanya pula, justru menyeberangi lorong sempit itu beberapa langkah dari tempatnya berbelok meninggalkan lorong itu. Ternyata beberapa saat kemudian, orang-orang yang mengejar Wanakerti pun menyadari, bahwa seorang dari buruannya telah hilang. Sejenak kemudian mereka masih mencoba meyakinkan apakah yang berpacu di depan mereka itu tinggal dua orang. Namun sejenak kemudian seseorang yang agaknya menjadi pemimpin mereka berteriak,
“Yang dua di antara kalian kembali. Cari yang seorang. Ia pasti hilang di tikungan. Jangan sampai lolos dari tanganmu berdua.”
Dua orang yang berkuda di paling belakang segera menarik kendali kuda mereka. Dengan tergesa-gesa mereka pun kemudian berbalik ke tikungan, sedang tiga orang yang lain mengejar Wanakerti dan seorang kawannya. Ketika dua orang yang berbalik itu sampai di tikungan, mereka menjadi termangu-mangu sejenak. Mereka tidak segera menemukan jejak. Kemanakah yang seorang itu berlari?
“Pasti belum terlampau jauh.”
“Ya. Tetapi ke mana?”
Keduanya pun kemudian meloncat turun. Dengan teliti mereka mencoba mengamati bekas-bekas telapak kaki kuda yang bertebaran di lorong sempit itu. Tiba-tiba saja seorang dari mereka menemukan bekas kaki kuda yang berbelok masuk ke gerumbul di antara batang-batang ilalang. Dengan serta-merta ia berkata
“Lihat. Bekas kaki kuda ini.”
Yang seorang pun segera mendekatinva. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata,
“Ya, ia berbelok kemari.”
“Keduanya pun segera berlari kekuda masing-masing. Dengan tergesa-gesa mereka berlompatan naik. dan sejenak kemudian merekapun mencoba mengikuti bekas kaki kuda yang masuk ke dalam rimbunnya batang ilalang yang liar, sehingga mereka tidak begitu sulit untuk menemukan jejak itu selanjutnya.

Tetapi mereka terhenti sejenak karena bekas-bekas kaki itu menjadi kabur ketika jejak itu masuk ke dalam gerumbul. Mereka memerlukan waktu sejenak untuk menemukan, dari mana bekas kaki itu keluar lagi.
“Cepat, kita ikuti. Kita jangan kehilangan lagi.” Sambil mengumpat-umpat mereka berhasil mengikuti jejak itu, melingkari beberapa buah rumpun perdu, kemudian justru menyilang kembali jalan sempit yang sudah dilaluinya.
“Cerdik sekali,” desis yang seorang dari mereka,
“ia mencoba menghilangkan jejak.”
“Tetapi kita bukan anak kecil yang dapat dikelabuinya. Kalau ia berhasil menghapus jejaknya, maka barulah kita akan kehilangan pengamatan.”
Yang lain tidak menyahut. Tetapi mereka kini berpacu di antara batang ilalang. Mereka tidak lagi melalui jalan sempit yang sering dilalui orang meskipun jarang sekali. Tetapi kini mereka benar-benar melintas padang yang liar.
“Jurusan ini sama sekali tidak menguntungkannya,” berkata salah seorang dari mereka.
”Orang itu akan terjerumus kedalam rawa-rawa.”
“Itu akan mempermudah pekerjaan kita. Kita tinggal membenamkannya saja. Kita ikat sebuah batu di lehernya. Kemudian kita lemparkan orang itu ke dalam lumpur. Ia akan terbenam perlahan-lahan.”
“Tidak pada lehernya. Pada kakinya. Mungkin akan lebih menyenangkan baginya. Akan diperlukan waktu dua hari sebelum kepalanya terbenam sama sekali.
Kawannya tidak menyahut. Tetapi mereka berpacu semakin cepat. Mereka sama sekali tidak kehilangan jejak yang diikutinya Seperti sengaja memberikan petunjuk bagi orang yang mengejarnya, bekas-bekas kaki kuda dan rerumputan yang tersibak, telah menuntun kedua orang itu semakin lama menjadi semakin mendekati buruannya. Dalam pada itu, Wanakerti masih berpacu secepat-cepatnya. Tetapi ia menyadari bahwa ia tidak akan dapat lepas dari orang-orang yang mengejarnya. Gardu pengawas berikutnya masih agak jauh, sedang orang-orang yang mengejarnya menjadi semakin dekat.
“Agaknya kita akan bertempur,” berkata Wanakerti kepada kawannya yang tinggal seorang.
“Ya. Tetapi mereka pun tinggal tiga orang, Yang lain telah kembali berusaha mengejar kawan kita yang berbelok di tikungan.”
“Mudah-mudahan ia dapat lolos dan menyampaikan laporan kepada para pemimpin di Mataram tentang daerah kerja kita.”
Kawannya tidak menyahut. Dilecutnya kudanya, dan kuda itu pun seakan-akan telah melonjak dan terbang di atas jalan yang sempit.
Tetapi seperti yang diperhitungkan oleh Wanakerti, jarak yang sudah dekat itu pun menjadi semakin dekat. Yang tiga orang itu pun masih juga berteriak-teriak sambil mengacungkan pedangnya.
“Pedang itu agaknya tidak beracun,” desis Wanakerti.
“Darimana kau tahu?”
“Senjata beracun biasanya tidak mengkilap, tetapi buram dan hitam kemerah-merahanan seperti karat.”
“Mudah-mudahan,” desis kawannya. Lalu,
“Apakah kita tidak sebaiknya berhenti saja?”
“Kita harus berusaha sampai sejauh-jauh dapat kita lakukan. Semakin dekat dengan gardu pengawas yang kedua akan menjadi semakin baik. Apalagi kalau kita dapat mencapai gardu itu.”
“Terlampau sulit. Kuda-kuda kita kalah berpengalaman.”
“Apa boleh buat,” desis Wanakerti pula.
Namun demikian mereka masih berpacu terus, sehingga pada suatu saat, kuda-kuda yang mengejar mereka itu menjadi semakin dekat.
“Kita mencari tempat yang agak lapang desis Wanakerti.
“Kita akan bertempur sekarang?”
“Tidak ada jalan lain. Kita akan bertempur di atas punggung kuda.”
“Aku bekas pasukan berkuda dari Demak,” sahut kawannya.
“Kau lupa akulah juara watangan bagi para pengawal tanah ini, kecuali para pemimpin.”

Kedua orang itu pun kemudian memencar ke daerah yang agak luas. Di atas batang ilalang setinggi dada, mereka mempersiapkan diri, menyongsong lawan mereka yang mengejarnya.
“He, kalian akan menyerah?” teriak salah seorang dari mereka yang mengejarnya.
Wanakerti tidak menjawab. Tetapi ia mencabut pedangnya. Kudanya kini sudah berputar menghadap ke arah ketiga penunggang kuda yang sudah semakin dekat. Dengan isyarat Wanakerti pun kemudian memerintahkan kepada kawannya untuk menyerang bersama-sama dari jurusan yang berbeda selagi ketiga penunggang kuda itu masih belum mapan. Sejenak kemudian maka kedua ekor kuda itu bagaikan melompat dan menyerang. Ternyata Wanakerti dan kawannya benar-benar mempunyai pengalaman yang baik untuk bertempur di atas punggung kuda. Tetapi ternyata pula bahwa lawan mereka pun cukup mampu untuk mengelakkan serangan itu. Bahkan sambil mengumpat-umpat pemimpin mereka berteriak,
“Bunuh saja tikus-tikus sombong itu. Kalau kalian menyerah, kalian akan selamat.”
Wanakerti seolah-olah sudah tidak sempat lagi untuk mengucapkan sepatah kata pun. Ia sama sekali tidak menghiraukan apa saja yang dikatakan oleh lawannya. Namun pedangnya sajalah yang berputar seperti baling-baling. Sejenak kemudian maka Wanakerti dan kawannya telah terlibat dalam perkelahian sengit. Meskipun Wanakerti dan kawannya mempunyai pengalaman yang cukup, tetapi mereka harus melayani tiga orang. Karena itu, Wanakerti tidak membiarkan salah seorang dari mereka dikerubut dua. Dengan demikian maka perkelahian itu akan segera selesai. Yang dikerubut itu pasti akan segera dapat dikalahkan, sehingga kesempatan untuk mengalahkan yang lain pun menjadi semakin besar. Karena itu, maka Wanakerti bertempur seperti sepasang elang yang menyambar silang-menyilang. Sejenak ia melayani seorang lawannya. Namun kemudian kudanya melonjak dan menyambar lawannya yang lain. Demikian pula kawannya, bekas seorang prajurit berkuda. Dengan garangnya ia menyerang sambil memutar pedangnya. Kemudian berputar menjauh. Meskipun demikian, mereka harus mengakui, bahwa ketiga lawannya adalah orang-orang yang tangguh. Orang-orang yang berpengalaman bertempur di atas punggung kuda pula. Sekilas Wanakerti teringat kepada seorang kawannya yang telah terbunuh oleh racunnya sendiri. Orang berkumis yang sebenarnya sekedar menyusupkan diri di dalam lingkungan para pengawas itu. Ternyata orang itu mampu melawan tiga orang pengawas sekaligus.
“Waktu itu, hatiku telah dibakar oleh kekecilan arti diri sendiri,” berkata Wanakerti kepada dirinya.
“Tetapi sekarang aku tidak.”
Meskipun demikian, ternyata Wanakerti dan kawannya segera merasa, bahwa untuk melawan ketiga orang itu adalah pekerjaan yang terlampau berat bagi mereka. Tetapi Wanakerti dan kawannya sama sekali tidak berputus asa. Dengan sekuat-kuat tenaga mereka bertempur. Bahkan bagi Wanakerti, pertempuran itu hanya sekedar berarti mengikat ketiga orang itu. Kalau kemudian ia dan kawannya itu gugur, itu adalah kemungkinan yang sudah diperhitungkan sejak ia memasuki lingkungan pengawal Tanah Mataram yang baru dibuka ini. Di dalam menjalankan tugas, kemungkinan itu pasti ada.

Yang diharapkan olehnya satu-satunya adalah, agar kawannya yang seorang lagi mampu melepaskan dirinya dan berhasil menghadap para pemimpin di Mataram. Sukurlah kalau dapat langsung menghadap Mas Ngabehi Loring Pasar. Dengan demikian maka Wanakerti dan kawannya itu pun justru menjadi tenang. Bencana yang tertinggi, mati, sama sekali tidak menakutkan lagi bagi mereka berdua. Sehingga dengan demikian keduanya mampu bertempur sambil berpikir. Mereka tidak saja menumpahkan segenap kemampuan, tetapi juga mereka mempergunakan otak mereka, bagaimana mereka dapat bertahan sejauh-jauh dapat mereka lakukan. Maka, semakin lama perkelahian itu pun menjadi semakin seru. Wanakerti dan kawannya ternyata dapat bekerja bersama sebaik-baiknya. Mereka seolah-olah menjelajahi padang ilalang itu dengan kuda mereka yang berlari-lari melingkari menyilang dan kadang-kadang mereka bertempur beradu punggung.
“Selan alas!“ pemimpin orang-orang yang mengejar Wanakerti itu mengumpat.
“Kalian ternyata sangat licik. Kalian tidak bertempur secara jantan.”
“Apakah ukuran kejantanan itu?” bertanya Wanakerti.
“Berkelahi beradu dada. Tidak berlari-lari dan berputar-putar.”
“Bertempur beradu dada seorang lawan seorang, atau berapa saja jumlah yang ada ?”
“Persetan. Aku tidak peduli.”
“Kalian atau kamilah yang tidak jantan?”
“Kalian memang harus mampus.”
“Kenapa?” bertanya kawan Wanakerti sambil menyambar dengan pedangnya. Ketika lawannya mengelakkan pedang itu, terdengar kedua senjata itu beradu.
“Kalian, para pengawas memang harus mati.”
“Apa salah kami?”
Mereka tidak menjawab lagi. Tetapi mereka menekan kedua pengawas itu semakin berat. Kadang-kadang mereka memang mencoba memisahkan Wanakerti dari kawannya. Mereka akan membinasakan keduanya seorang demi seorang. Tetapi hal itu disadari oleh kedua pengawas itu, sehingga mereka selalu berusaha, agar perkelahian itu tidak dapat diurai menjadi dua lingkaran pertempuran. Namun, terasa tenaga kedua pengawas itu menjadi semakin susut setelah mereka mengerahkan segenap kemampuan mereka untuk tetap bertahan.


Halaman 1 2 3


<<< Jilid 055                                                                                                       Jilid 057 >>>

Tidak ada komentar:

Posting Komentar