“Memang pada suatu saat, seseorang lebih merasa dirinya aman hidup di tempat yang terasing dari manusia lainnya, meskipun ada kemungkinan ia harus berhadapan dengan seekor binatang buas. Pada suatu saat, memang manusia menjadi mahluk yang lebih menakutkan bagi manusia lainnya dari segala jenis makhluk yang lain, termasuk binatang yang paling buas sekalipun. Demikian juga agaknya bagi orang yang kekurus-kurusan itu. Manusia saat ini adalah mahluk yang paling ditakutinya. Apalagi manusia-manusia tertentu yang memang ingin menangkapnya.”
Kiai Gringsing
pun kemudian tertegun sejenak, ketika ia telah sampai di tempat yang mulai
rimbun. Beberapa batang pohon yang dikelilingi oleh semak-semak yang dapat
bertebaran di sana-sini, di antara batang-batang ilalang setinggi dada. Dengan
demikian Kiai Gringsing menjadi semakin berhati-hati. Setiap saat ia
memperhatikan keadaan di sekelilingnya. Bukan saja binatang buas, tetapi
mungkin bahaya-bahaya yang lain telah mengancamnya pula. Sampai di tempat yang
mulai rimbun itu, Kiai Gringsing masih belum kehilangan jejak. Ia masih melihat
bekas kaki yang menuju langsung masuk ke dalam hutan yang lebat. Bahkan di
beberapa tempat, ia melihat orang yang diikutinya itu beristirahat. Bekas-bekas
rerumputan yang berpatahan menimbulkan dugaan padanya, bahwa orang yang
kekurus-kurusan itu telah benar-benar kelelahan dan duduk di atas rerumputan
liar, atau bahkan berbaring sama sekali. Sehingga dengan demikian, Kiai
Gringsing memperhitungkan bahwa orang itu masih belum terlampau jauh di
hadapannya. Bahkan, mungkin ia telah hampir dapat menyusulnya. Dengan demikian,
Kiai Gringsing menjadi semakin berhati-hati. Banyak kemungkinan yang
dihadapinya di balik rimbunnya dedaunan dan lebatnya pepohonan. Langkah Kiai
Gringsing pun menjadi semakin perlahan-lahan. Ia mencoba mempergunakan segenap
inderanya untuk memperhatikan setiap bunyi apapun. Desir dedaunan yang disentuh
angin, atau derik ranting-ranting yang patah. Dada Kiai Gringsing berdesir
ketika tiba-tiba saja ia mendengar suara burung kedasih di kejauhan. Suara
burung kedasih seperti yang pernah didengarnya di tempat kerjanya. Di tempat
Kiai Gringsing dan kedua muridnya membuka hutan. Tetapi kali ini Kiai Gringsing
menangkap irama yang berbeda dari suara burung kedasih yang pernah didengarnya.
Kali ini suara burung itu terdengar semakin lamban dan tidak terus seperti yang
pernah didengarnya. Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Kini ia
mengerti bahwa suara burung itu, bukanlah suara burung yang sewajarnya. Ia
mencoba menarik hubungan antara suara burung yang yang sering didengarnya
dengan suara burung yang kini sedang melengking hampir tidak putus-putusnya
dalam irama yang berbeda.
Perlahan-lahan
Kiai Gringsing itu melangkah terus. Ia kini ingin melihat, siapa atau apakah
yang telah menimbulkan bunyi itu. Apakah benar-benar seekor burung kedasih,
atau sama sekali bukan seekor burung. Dengan dada yang berdebar-debar Kiai
Gringsing berusaha untuk tidak mengejutkan sumber bunyi itu. Ia harus menjaga
langkahnya baik-baik. Bukan saja langkahnya, tetapi juga pernafasannya. Sekali
lagi Kiai Gringsing tertegun. Di kejauhan ia mendengar pula suara burung
kedasih. Mirip dengan suara yang masih saja bergema di antara pepohonan hutan.
Bahkan seolah-olah suara burung itu menjadi saling sahut-menyahut.
“Akhirnya menjadi
semakin jelas,” desisnya,
“usaha membuka
hutan ini memang menghadapi tantangan yang berat. Ternyata ada suatu kekuatan
yang tersusun rapi dan luas, yang membayangi usaha perluasan Tanah Mataram.”
Namun Kiai
Gringsing tidak dapat membayangkan apakah usaha untuk merintangi perluasan
Tanah Mataram ini hanya terbatas di daerah ini saja, atau tersebar di seluruh
medan kerja dari rencana pembukaan hutan Mentaok ini?
Dalam pada
itu, Kiai Gringsing pun menjadi semakin dekat dengan sumber bunyi yang
menyerupai suara burung kedasih itu, sehingga suara itu menjadi semakin jelas
karenanya. Sedang di kejauhan masih juga terdengar bunyi yang lain, yang
seolah-olah sedang menjawab keluhan yang memelas dari suara burung yang semakin
dekat ini.
“Suatu cara
yang baik,” berkata Kiai Gringsing di dalam hatinya,
“isyarat yang
tidak mudah diketahui oleh orang lain.”
Dengan demikian
Kiai Gringsing kini mempunyai dua petunjuk untuk melangkah maju. Bekas-bekas
kaki yang menjadi semakin samar karena semak-semak yang menjadi rimbun dan
pepohonan kian lebat, dan suara burung kedasih itu. Tetapi Kiai Gringsing masih
juga belum yakin, bahwa ada hubungan yang erat antara suara burung itu dengan
orang yang kekurus-kurusan yang telah melarikan diri setelah membunuh kawannya,
orang yang tinggi kekar, yang sedang diikat oleh Agung Sedayu.
Karena itu,
maka Kiai Gringsing masih harus melihat dan membuktikan apakah sebenarnya yang
sedang dihadapinya. Demikianlah, perlahan-lahan ia bergerak maju. Semakin lama
semakin dekat. Suara burung kedasih itu kini seakan-akan sudah berada di depan
hidungnya. Dalam pada itu suara burung kedasih yang lain pun, rasa-rasanya
menjadi semakin dekat pula. Seakan-akan kedua bunyi itu sedang berusaha saling
mendekati. Dengan menahan nafasnya, Kiai Gringsing menyusup ke dalam
semak-semak. Kini ia sudah berada di dalam hutan yang semakin lebat. Suara itu
sudah terlampau dekat daripadanya. Kiai Gringsing tertegun sejenak. Dadanya
berdesir ketika ia menyibakkan dedaunan yang rimbun. Kini ia melihat dengan
sepasang matanya, bahwa suara burung kedasih itu sama sekali bukan suara seekor
burung. Di balik sebatang kayu yang besar, ia melihat dengan jelas seseorang
bersandar dengan lemahnya. Dengan nafas yang terengah-engah ia tengah menirukan
suara burung kedasih yang seakan-akan sedang mengeluh. Dan orang itu adalah
orang yang kekurus-kurusan yang badannya dipenuhi oleh luka-luka bekas ujung
cambuk Swandaru. Kiai Gringsing menggeleng-gelengkan kepalanya. Ternyata orang
itu bukannya orang yang dengan mudah menyerah pada keadaan. Meskipun tubuhnya
sudah terlampau lelah, namun ia masih juga berusaha untuk melarikan diri dan
menghubungi kawan-kawannya. Dengan demikian maka Kiai Gringsing tidak segera
bertindak sesuatu. Ia justru berusaha bersembunyi. Ia ingin melihat apa yang
akan segera terjadi. Ia mengharap seseorang, yang menyambut dengan suara burung
kedasih itu pula, akan datang ke tempat itu, untuk menolong kawannya yang
terluka ini. Karena itu, maka Kiai Gringsing pun dengan hati-hati sekali
berusaha pula untuk mendapat tempat yang mapan, yang dengan agak mudah dapat
mengintip orang yang kini sedang bersandar dengan lemahnya pada sebatang pohon
besar. Dengan dada yang berdebar-debar, Kiai Gringsing pun menunggu. Seperti
orang yang kekurus-kurusan itu, maka terasa waktu berjalan dengan lambatnya.
Dengan gelisah, setiap kali orang itu menirukan suara burung kedasih, yang
selalu disahut oleh suara yang lain, yang terdengar semakin lama menjadi
semakin dekat.
“Mudah-mudahan
aku dapat menemukan mereka,” berkata Kiai Gringsing di dalam hatinya.
“Kalau
seseorang datang, aku berharap bahwa orang itu akan mampu memberikan banyak
keterangan tentang ligkungannya, yang merupakan rahasia bagi orang-orang yang
sedang membuka hutan ini. Tetapi aku sama sekali masih belum dapat menilai,
berapa banyak dan berapa tinggi kemampuan mereka.”
Kiai Gringsing
menjadi semakin berhati-hati, ketika ia mendengar suara burung kedasih itu
semakin dekat. Semakin lama semakin dekat. Bahkan Kiai Gringsing kemudian
hampir tidak dapat menarik nafas lagi ketika tiba-tiba saja ia melihat
seseorang muncul dari balik semak-semak. Kiai Gringsing terkejut melihat orang
itu. Orang itu adalah dukun yang pernah didatanginya. Dukun yang mengaku
dirinya mampu berhubungan dengan hantu-hantu di Alas Mentaok. Sejenak Kiai
Gringsing terpesona. Agaknya memang ada suatu kumpulan orang-orang yang telah
menyusun dirinya dalam suatu ikatan yang rapi. Masih mempunyai tugasnya sendiri
di tempat yang sudah mereka bagi sebaik-baiknya. Di lingkungan pengawas, di
lingkungan pendatang dan bahkan dukun itu yang menampung persoalan-persoalan
yang tidak dapat dipecahkan oleh orang-orang di dalam lingkungan masing-masing.
Dengan penuh minat Kiai Gringsing memperhatikan, apa yang akan terjadi di
hadapannya. Karena itu, maka ia pun berusaha untuk tidak menumbuhkan bunyi apa
pun yang akan dapat mengganggu pertemuan itu.
“Hem,” dukun
itu menarik nafas dalam-dalam,
“ternyata kau
tidak mampu menyelesaikan tugasmu dengan baik.”
Orang yang
kekurus-kurusan itu menyahut,
“Maaf. Bukan
aku tidak mampu. Tetapi kali ini kita berhadapan dengan orang-orang gila yang
harus diperhitungkan.”
“Kenapa kau?”
bertanya dukun itu.
“Aku tidak
dapat melawan senjata anak muda yang gemuk itu. Anak Truna Podang.”
“Anak yang
menurut keterangan, bernama Sangkan itu?”
“Ya. Tetapi
aku kemudian pasti, bahwa itu bukan namanya. Seperti Truna Podang itu pun pasti
bukan namanya pula.”
Dukun itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Apakah kau
sudah berusaha sebaik-baiknya?”
“Tentu. Bahkan
semua orang di antara kami sudah bergerak saat itu.”
“Dan kalian
tetap tidak berhasil?” Orang yang terluka itu menggelengkan kepalanya,
“Aku lemah
sekali.”
“Di mana
kawan-kawanmu sekarang?”
“Semuanya
sudah terbunuh.”
“Semuanya?
Juga pengawas itu?”
“Ya.”
“Gila!
Bukankah kalian mempunyai jenis senjata yang tidak dimiliki oleh orang lain?
Bukankah kalian telah dibekali dengan senjata-senjata beracun?”
“Ya. Tetapi
kami tidak mampu melawannya. Dan ternyata racun itu bukan tidak terlawan. Kami
sudah mempergunakan segala macam cara. Tetapi kami tidak berhasil melawan Truna
Podang beserta kedua anak-anaknya.”
Dukun itu
mengerutkan keningnya. Dipandanginya orang yang kekurus-kurusan itu dengan
saksama seolah-olah ia ingin menyakinkan apakah kata-kata yang diucapkannya itu
benar. Sejenak kemudian, ia mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia melihat luka
yang silang-melintang di tubuh orang yang kekurus-kurusan itu.
“Untunglah
bahwa kau masih hidup,” desis dukun yang bernama Ki Damar itu.
“Apakah semua
kawan-kawanmu sudah mati.”
“Ya. Semua
sudah mati.”
Dukun itu
menggeram.,
“Dan kau pun
luka-luka parah. Agaknya kau pun hampir mati pula.”
“Ya. Kalau aku
dibiarkan begini untuk tiga hari, barangkali aku memang akan mati. Tetapi kalau
kau mengobati aku, aku akan berusaha untuk bertahan.”
Kiai Damar mengangguk-anggukkan
kepalanya,
“Baiklah. Aku
akan mengobatimu. Mungkin kita masih mempunyai kesempatan untuk berbuat sesuatu.”
“Aku masih
melihat kemungkinan itu. Terutama apabila Truna Podang dan kedua anaknya dapat
disingkirkan.”
Kiai Damar
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Baiklah. Aku
sendiri akan menemuinya. Aku sendiri akan membunuhnya dengan cara apa pun. Tetapi
aku kira, kia tidak perlu lagi mempergunakan cara yang berbelit-belit. Kalau
pada suatu saat ia bekerja di tanah garapannya, kita temui saja orang itu. Kita
langsung membunuhnya. Menusuk perutnya dengan pedang. Begitu?”
“Tetapi tidak
semudah itu. Ia mampu berkelahi. Kedua anak-anaknya adalah anak-anak muda yang
berbahaya. Aku tidak tahu, apakah ayahnya juga berbahaya.”
“Aku tidak
akan sendiri. Aku akan datang dengan dua atau tiga orang, sehingga aku yakin
bahwa aku akan dapat membunuhnya.”
“Terserahlah.
Sekarang, aku memerlukan pertolongan.”
“Baiklah aku
akan membawamu ke gubugku.”
“Tetapi, aku
sudah tidak mampu lagi berjalan sendiri.”
“Apakah aku
harus mendukungmu?”
“Tidak perlu.
Tetapi kau harus membantu aku berjalan.”
“Baiklah,
beruntunglah kau bahwa aku tidak memutuskan untuk membunuhmu saja daripada kau
menambah tugas tanpa arti.”
“Jangan
menganggap aku tidak berarti lagi. Aku dapat banyak memberikan bahan kepadamu,
tentang Truna Podang dan kedua anak-anaknya.”
“Baiklah.
Marilah, aku akan memapahmu.” Demikianlah, maka Kiai Damar pun segera berusaha
menolong orang yang kekurus-kurusan itu dan memapahnya berjalan perlahan-lahan.
Dalam pada itu
Kiai Gringsing yang menunggui keduanya menjadi termangu-mangu. Ia tidak segera
dapat menentukan apakah yang sebaiknya dilakukannya. Namun kemudian ia
memutuskan untuk membiarkan saja keduanya pergi. Ia masih memerlukannya, untuk
mengetahui hubungan yang lebih luas lagi dari mereka itu. Kiai Gringsing
memperhitungkan, bahwa Kiai Damar pasti akan menghubungi kawan-kawannya yang
lain. Dengan demikian, Kiai Gringsing mengharap bahwa ia pada suatu saat akan
dapat menemukan sebagian besar dari anggauta kelompok dari orang-orang yang
selama ini selalu membayangi kerja orang-orang yang sedang membuka hutan itu. Dengan
demikian maka Kiai Gringsing masih saja tetap di dalam persembunyiannya. Bahkan
ia masih juga mencoba menahan desah nafasnya agar tidak didengar oleh kedua
orang itu. Dari tempatnya Kiai Gringsing melihat keduanya berjalan
tertatih-tatih menembus gerumbul-gerumbul yang lebat, menyusup di antara
pepohonan dan semak-semak berduri.
Namun Kiai
Gringsing itu pun berkata di dalam hatinya,
“Tetapi apakah
mereka pasti pergi ke rumah Kiai Damar yang dahulu? Yang pernah aku datangi?”
Karena itu,
maka timbullah keinginan Kiai Gringsing untuk melihat dan mengikuti ke mana
mereka itu pergi. Demikianlah maka dengan hati-hati Kiai Gringsing mencoba
untuk mengikutinya. Dari jarak yang agak jauh Kiai Gringsing dengan hati-hati
menyusup pula di antara pepohonan dan meloncat dari sebatang pohon yang besar
ke batang yang lain, mengikuti kedua orang yang berjalan perlahan-lahan.
“Orang itu
termasuk orang yang kuat,” berkata Kiai Gringsing di dalam hatinya. Ia memang
pernah menjajagi kekuatan Kiai Damar di satu malam, selagi ia datang kepadanya
untuk mendapatkan obat untuk Swandaru, yang bahkan bersamaan dengan beberapa
orang pengawal Tanah Mataram. Dalam keadaan yang tidak menentu dan penuh dengan
keragu-raguan Kiai Damar sama sekali tidak dapat berbuat banyak. Tetapi apabila
mereka harus bertempur dalam kesiagaan penuh dan beradu dada, maka Kiai Damar
pasti akan dapat berbuat lebih banyak lagi. Beberapa saat lamanya, Kiai
Gringsing mengikuti keduanya. Dan akhirnya ia mengangguk-anggukkan kepalanya.
Keduanya memang pergi ke gubug Kiai Damar. Gubug yang terpencil di pinggir
hutan yang lebat, di antara batu-batu besar yang berserakan.
“Orang itu
pasti mempunyai suatu cita-cita,” berkata Kiai Gringsing di dalam hatinya.
“Kalau tidak,
ia pasti tidak akan mau menyepikan diri di tempat ini. Di tempat yang terasing
dan bahkan berbahaya. Sewaktu-waktu ia akan berhadapan dengan binatang buas
yang tersesat sampai ke gubugnya.”
Setelah Kiai
Gringsing yakin bahwa kedua orang itu benar-benar berada di dalam gubug itu,
maka iapun segera beringsut menjauh.
“Rumah ini
pasti akan menjadi pusat pertemuan,” katanya di dalam hati.
“Orang-orang
lain dari lingkungan mereka, apabila masih ada, pasti akan datang.
Setidak-tidaknya malam nanti aku harus melihat, apa yang sedang mereka
bicarakan. Tetapi untuk bertindak terlampau tergesa-gesa agaknya memang sangat
berbahaya sekali. Karena itu aku harus membuat perhitungan-perhitungan yang
sebaik-baiknya menghadapi keadaan ini.”
Kadang-kadang
memang timbul niat di hati Kiai Gringsing untuk berusaha menangkap keduanya
sama sekali. Tetapi niat itu dapat dicegahnya sendiri oleh
perhitungan-perhitungan yang lebih masak.
“Aku tidak
perlu bersusah payah setiap kali datang mengintip rumah ini,” katanya di dalam
hati.
“Mereka akan
mencari aku di tempat kerjaku.”
Namun dengan
demikian Kiai Gringsing harus menjadi lebih berhati-bati. Setiap saat ia dapat
diserang oleh Kiai Damar bersama pembantu-pembantunya, yang disebutnya dua atau
tiga orang, sedang orang yang kekurus-kurusan itu telah dapat memberikan
gambaran kekuatan Swandaru dan Agung Sedayu. Orang yang kekurus-kurusan itu
tentu dapat mengatakan bahwa Swandaru telah dapat mengalahkan orang yang tinggi
kekar, yang justru kini terbunuh di dalam bilik sempit itu, setelah ia menolong
orang yang kekurus-kurusan itu, dan orang yang kekurus-kurusan itu sendiri.
Kemudian Agung Sedayu telah berhasil mengalahkan pula pengawas berkumis yang
ternyata adalah anggauta dari kumpulan mereka pula. Tanpa sesadarnya Kiai
Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya, sementara ia sudah menjadi semakin
jauh dari gubug Kiai Damar. Dengan demikian maka langkahnya pun menjadi semakin
cepat pula, menyusup di antara gerumbul-gerumbul liar. Ia telah memilih jalan
di antara pepohonan dan perdu seperti pada saat ia datang. Ketika ia sampai di
dapur, ternyata orang-orang di dapur telah selesai dengan kerja mereka. Mereka
telah membagikan rangsum menurut jumlah yang biasa mereka buat. Agung
Sedayu-lah yang mengawal mereka, yang mengirimkan rangsum ke barak yang lain,
dan ke gardu pengawas.
Ketika ia melihat
gurunya datang, segera ia mendapatkannya.
“Bagaimana,
Guru?” bisiknya.
Kiai Gringsing
mengerutkan keningnya. Katanya,
“Orang itu,
orang yang mati di bilik sebelah, harus segera kita kuburkan.”
“Bagaimana
dengan orang yang kekurus-kurusan itu?”
“Kita menghadapi
suatu lingkungan yang sama sekali tidak mengenal belas perikemanusiaan. Mereka
yang tidak dapat dipergunakan lagi, biasanya memang dibunuhnya, seperti orang
yang tinggi kekar itu, meskipun orang itu pula yang menolong orang yang
kekurus-kurusan itu berjalan.”
“Kenapa tidak
sebaliknya? Kenapa bukan orang yang tinggi kekar itulah yang membunuh orang
yang kekurus-kurusan selagi ia tidak berdaya?”
“Agaknya orang
yang kekurus-kurusan itu mempunyai kedudukan yang lebih tinggi. Bukankah kau
melihat sikapnya terhadap orang yang tinggi kekar itu?”
Agung Sedayu
menganggukkan kepalanya.
“Nantilah aku
ceriterakan. Sekarang, masuklah ke dalam bilik itu lewat belakang. Lepaskan
talinya dan kita akan mengatakan bahwa ia mati karena luka-lukanya, sedang
kawannya yang lain telah pergi. Aku mengharap bahwa hal itu tidak menimbulkan
persoalan baru bagi orang di barak ini.”
Meskipun
demikian, agaknya hal itu telah menimbulkan kejutan pula bagi orang-orang di
barak itu. Mereka untuk beberapa saat telah dicengkam kembali oleh ketakutan
dan kecemasan. Tetapi Kiai Gringsing telah berhasil mengatasinya dengan
berbagai macam cara.
“Sebaiknya
orang itu memang pergi saja. Ia sudah tidak dapat menempatkan diri di antara
kita,” berkata Kiai Gringsing kepada mereka.
“Kalau orang
yang kekurus-kurusan itu masih ada di sini, maka ia masih saja dapat
menumbuhkan persoalan-persoalan yang tidak kita inginkan.”
Orang-orang di
barak itu mengangguk-angguk.
“Karena itu,”
berkata Kiai Gringsing,
“lupakan saja
orang itu.”
“Apakah ia
tidak mendendam?” bertanya salah seorang dari orang-orang di dalam barak itu.
“Tetapi ia
tidak akan dapat berbuat apa-apa. Ia hanya seorang diri. Kita di sini terdiri
dari banyak orang. Kenapa kita mesti mencemaskannya? Selama ini kita memang
tidak pernah berbuat apa-apa selain ketakutan. Bukankah begitu?”
Orang-orang di
barak itu mengangguk-anggukkan kepalanya pula. Kemudian, beberapa orang
laki-laki yang masih ada di tempat itu, bersama Agung Sedayu dan Kiai Gringsing
telah menguburkan mayat itu agak jauh dari barak mereka.
Ketika malam
kemudian datang, barak-barak di pinggir hutan itu agaknya telah dicengkam oleh
ketakutan yang sangat. Meskipun Kiai Gringsing telah berusaha untuk
menjelaskan, bahwa malam itu pasti tidak akan terjadi sesuatu. Namun, hati yang
telah dicengkam oleh ketakutan dan kecemasan itu, sama sekali tidak berdaya
untuk menghalaukannya. Karena itu, maka Kiai Gringsing berusaha untuk tinggal
bersama dengan orang-orang yang ketakutan itu, agar mereka menjadi agak tenang.
Bahkan para pengawaslah yang dibawanya ke dalam barak, bersama-sama menjadi
suatu kelompok yang sedikit dapat memberikan ketenangan. Sedang Agung Sedayu
dan Swandaru berada di barak yang lain, bersama perempuan dan anak-anak. Namun
Kiai Gringsing telah sempat memberitahukan apa yang didengarnya dari Kiai Damar
kepada kedua muridnya, bahwa mereka memang sedang terancam. Terutama apabila
mereka sedang berada di lapangan kerja mereka.
“Kami akan
menunggu,” desis Swandaru.
“Besok kita
akan pergi ke tempat kerja itu.”
“Kita harus
berhati-hati, Swandaru,” berkata gurunya. Lalu,
“Biarlah besok
kita perbincangkan. Malam ini kita akan beristirakat sebaik-baiknya.”
Kedua
anak-anaknya mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi hal itu tetap menjadi beban
pikiran mereka hampir semalam suntuk. Dan Swandaru masih juga sempat berkata
kepada Agung Sedayu,
“Sudah cukup
lama kita berada di sini. Sebaiknya kita segera menyelesaikan masalah ini.
Memang kalau perlu dengan kekerasan dan tidak usah dengan segala macam tirai
yang membosankan ini.”
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan
kepalanya. Sebenarnya ia pun telah jemu pula dengan permainan yang mereka
lakukan di tempat sepi yang terpencil ini. Baginya sebenarnya akan lebih senang
tinggal di Kademangan Sangkal Putung. Daerah itu pasti menjadi bertambah ramai setelah
keadaan bertambah baik. Namun tiba-tiba dadanya berdesir tajam. Sekilas
terbayang kakaknya, Untara, bersama pasukannya yang bersiaga penuh berada di
Jati Anom justru menghadap ke Mataram, tanah yang sedang dibuka ini.
“Apakah salah
paham antara Pajang dan Mataram akan semakin berlarut-larut?” pertanyaan itu
tumbuh di dalam hatinya.
“Apakah
orang-orang yang berjiwa besar seperti Ki Gede Pemanahan dan Sultan Pajang itu
tidak dapat menemukan jalan keluar dari kesalah-pahaman ini?”
Tetapi Agung
Sedayu sama sekali tidak dapat menjawab pertanyaan itu. Betapapun besarnya jiwa
seseorang, apabila kepentingan-kepentingan puncak masing-masing sudah saling
berbenturan, maka mereka akan kembali kepada sifat manusiawi yang berpijak pada
kepentingan sendiri.
“Apa yang kau
renungkan?” bertanya Swandaru tiba-tiba.
Agung Sedayu
terkejut. Diangguk-anggukkannya kepalanya. Tetapi ia tidak segera menjawab.
“Kau melamun?”
“Aku
mengantuk.”
“Aku tidak
percaya. Matamu masih bening, dan tatapan matamu melambung ke dunia yang lain.”
Agung Sedayu
tersenyum. Katanya,
“Kita harus
tidur sekarang.”
“Kau belum
menjawab. Bagaimana pendapatmu tentang keadaan ini? Apakah kita akan
berlarut-larut menghadapi masalah yang menjemukan ini? Kalau aku menjadi guru,
aku akan datang ke rumah orang yang menyebut dirinya bernama Kiai Damar itu.
Aku tangkap saja orang itu dan aku bawa menghadap Ki Gede Pemanahan. Terserah
apa yang akan dilakukan olehnya atas Kiai Damar, dan kita akan segera dapat
kembali ke Sangkal Putung supaya ayah dan ibu segera dapat berbuat sesuatu.”
“Berbuat apa?”
bertanya Agung Sedayu. Swandaru mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia
menjawab,
“Tidak. Tidak
berbuat apa-apa.”
Agung Sedayu
tersenyum. Katanya,
“Bukankah kau
ingin ayah dan ibumu segera pergi ke Menoreh?” Swandaru tidak menjawab.
“Kenapa kau
diam saja? Atau barangkali tidak begitu?”
“Ah kau,”
desis Swandaru kemudian,
“agaknya
memang lebih baik kalau kita tidur. Bukankah kau sudah mengantuk?”
Agung Sedayu
menggeleng,
“Tidak. Mataku
masih bening dan tatapan mataku melambung ke dunia yang lain.
“Ah kau,”
sahut Swandaru. Tetapi ia pun kemudian menjatuhkan dirinya dan tidur melingkar
di bawah kain panjangnya.
Agung Sedayu tersenyum.
Ia masih juga berkata
“Sst, apakah
kau sedang menyiapkan sebuah mimpi?”
“Aku tidak
mendengar.”
“Apa yang
tidak kau dengar.”
“Pertanyaanmu.”
“Tetapi kau
dapat menjawab dengan tepat.”
Swandaru tidak
menyahut lagi. Ia menutup kupingnya dengan ujung jari telunjuknya.
Agung Sedayu
pun kemudian terdiam pula. Dipandanginya ruangan yang luas di barak itu. Semua
orang sudah berbaring diam di tempatnya masing-masing, meskipun ada juga di
antara mereka yang tidak dapat tidur sama sekali karena ketakutan. Anak-anak
kecil dipeluk oleh ibunya dengan dada yang berdebar-debar. Bahkan ada seorang
ibu yang menitikkan air mata di kening anaknya.
“Kenapa aku
membawamu ke neraka ini,” katanya di dalam hati. Tetapi ia tidak mempunyai
pilihan lain. Suaminya sama sekali tidak mempunyai harapan apa pun di tempatnya
yang lama. Kini mereka mencoba mengadu nasib, ikut serta membuka hutan untuk
mendapatkan lapangan pekerjaan baru sebagai seorang petani.
Agung Sedayu
mengerutkan keningnya ketika ia mendengar suara ayam jantan berkokok
bersahutan. Tengah malam telah lewat. Dan ia sama sekali tidak dapat memejamkan
matanya, sementara ayam-ayam jantan yang dipelihara oleh orang-orang yang
membuka hutan itu masih saja berkokok tidak henti-hentinya. Ketika malam
menjadi semakin hening, pikiran Agung Sedayu merantau semakin jauh. Dicobanya
membayangkan apa yang dapat terjadi di daerah ini dan apa yang bakal terjadi
atas dirinya sendiri.
Agung Sedayu
menarik nafas dalam-dalam ketika ia melihat Swandaru melingkar diam di
tempatnya. Tetapi ternyata menurut tarikan nafasnya anak yang gemuk itu masih
juga belum tidur, sehingga Agung Sedayu tersenyum melihatnya. Katanya
perlahan-lahan,
“Kau akan
menjadi pening, justru karena kau berpura-pura tidur.”
Swandaru sama
sekali tidak menyahut. Dan Agung Sedayu pun kemudian tertawa lirih,
“Perutmu akan
menjadi semakin besar, kalau kau tidur dengan cara itu.”
Swandaru masih
diam. Ia sama sekali tidak bergerak. Bahkan ia memejamkan matanya semakin
rapat. Agung Sedayu masih juga duduk di sisinya. Sekali lagi ia menyapu ruangan
itu dengan tatapan matanya. Dan ruangan itu menjadi kian hening karenanya.
Namun
tiba-tiba Agung Sedayu itu terkejut. Lamat-lamat ia mendengar derap kaki kuda.
Semakin lama semakin dekat, sehingga hatinya pun menjadi berdebar-debar
karenanya. Agaknya Swandaru pun mendengarnya pula. Perlahan-lahan ia
menelentang dan mendengarkan bunyi telapak kaki kuda itu dengan saksama.
“Derap kaki
kuda,” desisnya.
Agung Sedayu
menganggukkan kepalanya. Ketika Swandaru bangkit, maka Agung Sedayu pun
memberikan isyarat kepadanya, agar ia tidak mengejutkan orang-orang yang sedang
tidur nyenyak.
“Siapakah
mereka itu?” bisik Swandaru. Agung Sedayu menggelengkan kepalanya. Jawabnya,
“Aku tidak
mengerti.”
Swandaru pun
kemudian terdiam. Dengan dada yang berdebar-debar ia mendengarkan derap yang
semakin lama semakin dekat itu. Ternyata bahwa bunyi derap kaki-kaki kuda itu
telah membangunkan beberapa orang di dalam barak itu. Dengan wajah ketakutan
mereka bangkit perlahan-lahan dan duduk dengan tubuh gemetar. Agung Sedayu dan
Swandaru masih belum beranjak dari tempatnya. Derap kaki kuda itu memang
mendebarkan jantung. Tetapi kedua anak muda itu tidak segera dapat berbuat
apa-apa. Ia melihat ketakutan yang mencekap barak ini.
“Bagaimana
dengan kita?” bertanya Swandaru berbisik.
“Maksudmu?”
“Apakah kita
akan melihat, siapakah yang berkuda itu?”
“Kita menunggu
di sini. Lihat, orang-orang itu menjadi ketakutan. Kalau kita pergi, mereka
akan kehilangan ketenangan sama sekali. Apalagi kita masih belum tahu, siapakah
yang datang itu? Kita harus berhati-hati di daerah yang asing ini.”
“Kau memang
terlampau berhati-hati, Kakang.”
“Bukankah guru
berpesan begitu?”
Swandaru tidak
menyahut. Tetapi dirabanya senjatanya yang melilit di lambungnya. Kakinya sudah
gatal-gatal untuk meloncat, melihat siapakah yang berkuda jauh lewat tengah
malam itu? Sejenak mereka mendengar derap kuda itu berhenti. Namun sejenak
kemudian mereka telah mendengarnya lagi. Bukan saja derap kaki-kaki kuda,
tetapi kini mereka telah mendengar suara gemerincing yang menyentuh bulu-bulu
roma mereka.
“Suara itu,”
desis Swandaru.
Agung Sedayu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Suara itu adalah suara yang telah mereka kenal,
suara hantu.
“Aku akan
melihat,” desis Swandaru.
“Jangan,”
sahut Agung Sedayu.
“Biarlah guru
mengambil sikap menanggapi keadaan ini.”
“Kau selalu
ragu-ragu, Kakang.”
“Kita harus
mempunyai perhitungan. Bukan sekedar menuruti perasaan. Aku pun ingin untuk
segera melihat. Tetapi kita tidak tahu, apakah yang sebenarnya kita hadapi.
Apalagi kita tidak akan dapat begitu saja meninggalkan orang-orang di dalam
barak ini menjadi semakin ketakutan.”
Swandaru
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia menggerutu di dalam hatinya. Meskipun
demikian ia tetap duduk di tempatnya. Suara derap kaki kuda dan suara
gemerincing itu semakin lama menjadi semakin jelas. Dengan demikian maka
orang-orang di dalam barak itu hampir semuanya terbangun karenanya, kecuali
anak-anak. Mereka menjadi cemas dan ketakutan. Tubuh mereka menggigil seperti
kedinginan. Sesekali Swandaru berpaling memandang kakak seperguruannya.
Seolah-olah ia ingin bertanya, apakah mereka akan tetap diam saja?
Agaknya Agung
Sedayu dapat merasakan gejolak hati Swandaru. Sehingga ia pun berbisik,
“Kita tetap di
sini. Kalau ada sesuatu yang langsung mengganggu barak ini, kita harus berbuat
sesuatu. Tetapi kita tidak terjun ke medan yang tidak kita kenal, kecuali
apabila tidak ada jalan lain.”
Swandaru tidak
menyahut. Tetapi ia justru bersandar dinding sambil memejamkan matanya.
Seolah-olah ia tidak mengacuhkan lagi suara gemerincing yang semakin dekat. Setelah
mengelilingi barak itu dua kali, maka suara gemerincing itu pun kemudian
menjauh. Semakin lama semakin jauh. Beberapa orang menarik nafas dalam-dalam
sambil mengusap dada mereka. Seorang perempuan muda menitikkan air matanya
sambil memeluk anaknya. Tetapi Swandaru menggeretakkan giginya sambil menggeram,
“Kalau kita
tidak berbuat apa-apa, maka hal ini akan terjadi terus menerus untuk
selanjutnya. Kita akan kehilangan kesempatan untuk mencari penyelesaian.”
“Kita harus
yakin dan mengetahui dengan pasti, apa yang sedang kita hadapi.”
“Dengan duduk
diam di sini?”
Agung Sedayu
menarik nafas. Katanya,
“Bukan begitu.
Tetapi kita dapat berbicara dahulu dengan guru.”
Swandaru tidak
menyahut. Dipandanginya nyala api pelita yang bergetar disentuh angin.
“Kemana suara
itu pergi?” desis Swandaru.
“Aku kira kuda
yang bergemerincing itu pergi ke barak sebelah.”
“Guru pasti
akan mendengar juga.”
“Ya, guru dan
para pengawas yang ada di sana akan mengambil kesimpulan.”
Swandaru
mengangguk-anggukkan kepalanya, meskipun ia sama sekali kecewa bahwa ia tidak
dapat berbuat apa-apa.
Dalam pada
itu, benarlah dugaan Agung Sedayu. Derap kaki-kaki kuda yang diikuti oleh suara
gemerincing itu memang menuju ke barak yang lain. Semakin lama semakin dekat
dan kemudian mengelilinginya pula seperti di barak yang ditunggui oleh Agung
Sedayu dan Swandaru. Kiai Gringsing yang ternyata masih juga belum tidur,
terkejut pula mendengar suara itu. Sejenak ia mengangkat wajahnya dengan
tatapan mata yang tegang. Namun kemudian ia mengangguk-angguk sambil berkata di
dalam hati,
“Suatu kumpulan
dari orang-orang yang keras kepala dan teratur baik. Mereka bergerak demikian
cepatnya, sehingga malam ini mereka sudah dapat berbuat sesuatu.”
Seperti
orang-orang perempuan dan anak-anak serta orang-orang yang ada di barak
sebelah, maka barak itu pun segera dicengkam pula oleh ketakutan yang sangat,
setelah orang-orang di barak itu terbangun. Sejenak mereka saling memandang.
Kemudian mereka menjadi pucat dan gemetar. Bahkan para pengawas yang ada di
dalam barak itu pun menjadi gelisah pula. Terlebih-lebih orang-orang yang hanya
mendapat tempat di serambi yang terbuka. Mereka sama sekali tidak berani
mengangkat kepala mereka. Mereka justru menutupi diri mereka dengan selimut. Kiai
Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Keadaan itu memang harus dirubah. Orang
itu tidak boleh terlampau mudah dicengkam oleh ketakutan. Tetapi suasana itu
sudah berlangsung untuk waktu yang lama. Setiap saat mereka selalu dibayangi
oleh ketakutan dan kecemasan, sehingga tanpa mereka sadari, bayangan serupa itu
lambat laun seakan-akan telah terpahat di dalam dada mereka. Dan kini, selagi
mereka baru saja dicengkam oleh ketakutan sepanjang hari, mereka telah
mendengar suara itu kembali. Suara yang selama ini telah membuat orang-orang di
dalam barak itu kehilangan akal.
Kiai Gringsing
masih saja berada di tempatnya. Diperhatikannya saja suara itu dengan saksama.
Semakin lama semakin dekat.
“Tentu bukan
orang kebanyakan,” berkata Kiai Gringsing di dalam hatinya.
“Orang yang
kekurus-kurusan itu pasti sudah memberitahukan tingkat kemampuan Swandaru dan
Agung Sedayu. Kini mereka masih juga berani mendekati tempat ini. Mereka pasti
yakin, setidak-tidaknya mereka dapat melawan Agung Sedayu dan Swandaru
bersama-sama.”
Kiai Gringsing
menjadi berdebar-debar karenanya. Kalau Swandaru dan Agung Sedayu tidak dapat
menahan dirinya, maka pasti akan terjadi sesuatu yang tidak dinginkannya.
Apalagi apabila teringat oleh Kiai Gringsing, bahwa orang-orang itu adalah
orang-orang yang bermain-main dengan racun. Racun yang tajam sekalipun mereka
pergunakan. Bahkan berupa serbuk seperti yang telah mengenai diri sendiri.
“Kami di sini
harus mempersiapkan diri untuk menghadapi perang yang mengerikan melawan
orang-orang itu. Melawan racun yang kejam, di tangan orang-orang yang kejam,”
berkata Kiai Gringsing di dalam hatinya.
Dalam
kegelisahannya itu tiba-tiba ia bergeser dan berdesis,
“Aku akan
melihatnya.”
“Jangan gila,”
sahut pemimpin penjaga yang terluka di punggungnya.
“Kenapa?”
“Kita sedang
menghadapi suatu lingkungan kelompok orang-orang gila yang sengaja membuat
keributan. Sekarang kau akan menyeret hantu-hantu ke dalam persoalan kita di
sini.”
“Kau
menganggap bahwa orang-orang yang membuat onar itu tidak ada bubungannya dengan
suara gemerincing itu?”
“Tentu tidak,”
jawab pemimpin pengawas itu.
“Aku tidak ingin
melibatkan hantu-hantu itu di dalam keadaan yang sulit ini.”
“Kita harus
membatasi diri,” berkata Wanakerti kemudian.
“Jadi, kalian
menganggap bahwa kita sedang berada di hadapan dua lingkungan yang berbeda?
Orang-orang yang bermain-main dengan racun itu dan yang lain, hantu-hantu?”
Para pengawas
itu tidak segera menyahut. Tetapi dada mereka menjadi semakin berdebar-debar
karena suara gemerincing yang semakin dekat.
“Dengarlah, Ki
Wanakerti,” desis Kiai Gringsing,
“kita jangan
terlampau tergoncang pada kepercayaan kita selama ini. Kepercayaan yang membuat
kita selalu dibayangi oleh ketakutan. Kalau benar hantu-hantu itu memusuhi kita
atau lebih jelas lagi, kalau memang ada hantu-hantu itu, maka mereka pasti
sudah berbuat lebih banyak dari hanya sekedar menakut-nakuti kita dengan suara
gemerincing di kejauhan. Apalagi apabila kuda-kuda semberani itu benar-benar
kuda hantu-hantu yang berkuasa di Alas Mentaok, kita pasti tidak akan mendengar
derap kakinya, karena kuda-kuda itu pasti tidak menyentuh tanah. Tetapi apakah
kita pernah mendengar gemerincing itu di atas atap barak kita?”
“Kami pernah
mendengar suara berdesing di atas barak kita di saat-saat tertentu.”
“Suara apa?”
“Kami tidak
tahu. Suara berdesing yang melingkar-lingkar.”
Kiai Gringsing
menarik nafas dalam-dalam. Memang ia harus bersabar dan perlahan-lahan.
Ketakutan yang sudah terlampau lama mencengkam mereka, tidak akan segera dapat
dihapus begitu saja.
“Marilah kita
besok membuatnya,” berkata Kiai Gringsing.
“Membuat apa?”
“Suara
berdesing yang melingkar-lingkar itu.”
Wajah para
pengawas itu menjadi tegang. Dan Kiai Gringsing meneruskan,
“Sudahlah. Aku
akan keluar sebentar. Aku tidak akan mengganggu hantu-hantu itu. Tetapi aku
akan melihat anak-anakku. Mereka adalah anak-anak bengal, justru aku ingin agar
anak-anakku tidak mengganggu hantu-hantu itu.”
Para pengawas
itu saling berpandangan sejenak. Dan Kiai Gringsing berkata pula,
“Aku tidak mau
membiarkan anak-anakku kesiku atau kena kutuk. Apakah kalian, tidak
berkeberatan?”
Sejenak mereka
saling berpandangan. Kiai Gringsing membiarkan mereka bepikir sejenak. Namun ia
melihat keragu-raguan yang memancar di hati para pengawas itu. Agaknya mereka
sama sekali belum dapat melepaskan diri dari ketakutan yang selama ini
mencengkam daerah yang sedang dibuka ini.
“Aku tidak
dapat membiarkan anak-anakku itu,” desak Kiai Gringsing.
Akhirnya
pemimpin pengawas itu mengangguk. Katanya,
“Terserahlah
kepadamu. Kau termasuk orang baru di sini. Kami adalah orang-orang yang sudah
sekian lama dan mengalami banyak masalah yang kadang-kadang tidak masuk akal.”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya,
“Ya, aku
mengerti,” katanya.
“Aku hanya
sekedar menengok anak-anakku.”
Para pengawas
kemudian hanya memandangi saja ketika Kiai Gringsing keluar dari pintu barak, masuk
kegelapan malam. Orang-orang yang ada di dalam barak menahan nafas mereka
ketika mereka melihat orang tua yang mereka kenal bernama Truna Podang itu
meninggalkan barak. Sedang orang-orang yang ada di serambi sama sekali sudah
tidak melihatnya lagi, karena mereka sama sekali tidak berani mengangkat
wajah-wajah mereka.
Ketika Kiai
Gringsing menjejakkan kakinya di halaman barak itu, ia mengerutkan keningnya.
Ternyata suara derap kaki kuda itu sudah menjauh. Sambil menarik nafas
dalam-dalam ia berkata,
“Aku terlambat
kali ini. Tetapi aku berharap, mereka akan segera datang lagi.”
Namun Kiai
Gringsing meneruskan langkahnya pergi ke barak sebelah. Ia benar-benar ingin
melihat apakah Agung Sedayu dan Swandaru masih tetap berada di tempatnya. Ketika
ia sampai ke pintu barak, dilihatnya suasana di barak itu pun tidak ada bedanya
dengan barak yang ditinggalkannya. Tetapi di barak ini, pintunya tidak terbuka
selebar pintu baraknya, dan di serambi luar tidak terlampau banyak orang-orang
yang sedang tidur. Hanya laki-laki yang sudah kurang kuat bekerja di lapangan,
yang mendapat tugas membantu mengurus dapurlah yang berada di serambi. Mereka
berbaring sambil menutup seluruh tubuh mereka yang menggigil dengan kain
panjang. Agaknya mereka pun telah dicengkam oleh ketakutan pula.
“Di manakah
anak-anak itu?” desis Kiai Gringsing. Perlahan-lahan ia mendorong pintu lereg
ke samping. Hati-hati sekali, agar tidak mengejutkan orang-orang yang sedang
ketakutan itu.
Tetapi suara
berderit yang lambat itu justru telah mendebarkan hati Agung Sedayu dan
Swandaru yang ada di dalam barak itu. Tanpa berjanji mereka serentak berdiri.
Perlahan-lahan mereka bergeser mendekati pintu itu sambil meraba hulu senjata
masing-masing. Tetapi langkah mereka segera terhenti ketika mereka mendengar suara
berdesis,
“Agung Sedayu,
Swandaru, apakah kalian ada di dalam?”
Swandaru menarik
nafas dalam-dalam. Desisnya,
“Jantungku
sudah berdetak semakin cepat. Aku kira aku akan mendapat kesempatan malam ini.”
“Ah kau,”
desis Agung Sedayu.
Sejenak
kemudian mereka melihat gurunya menjengukkan kepalanya. Ketika dilihatnya Agung
Sedayu dan Swandaru masih berdiri melekat dinding, Kiai Gringsing segera
bertanya kepada mereka,
“Kenapa
kalian?”
“Aku kira
hantu itu datang kemari. Aku sudah ingin sekali berkenalan.”
“Kau tidak
mengejarnya?”
Swandaru
mengerutkan keningnya. Dipandanginya wajah kakak seperguruannya sejenak. Lalu,
“Kakang Agung
Sedayu mencegahnya. Kalau tidak, aku memang sudah akan mengejarnya.”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Marilah kita
duduk. Aku akan berbicara sedikit.”
Mereka pun
kemudian duduk di serambi, di sisi pintu. Beberapa orang yang ada di dalam dan
di luar barak, mencoba mengintip ketiga orang itu dari sela-sela kain
selimutnya. Tetapi karena ketiga orang itu tampaknya duduk dengan tenang, maka
mereka mulai berani menarik selimut mereka dan perlahan-lahan mengangkat
kepala. Seolah-olah mereka ingin membuktikan, apakah yang mereka lihat itu
benar-benar Truna Podang bersama dua anaknya atau hanya sekedar bayangan hantu
saja? Kiai Gringsing yang duduk bersama Agung Sedayu dan Swandaru menyadari
akan hal itu. Tetapi mereka seolah-olah tidak memperhatikannya sama sekali.
Mereka memang sengaja membuat kesan, bahwa mereka dapat berbicara dengan tenang
meskipun hantu-hantu itu baru saja lewat.
“Jadi kau
memang ingin mengejar hantu itu?” bertanya Kiai Gringsing.
“Ya. Aku
berkeyakinan bahwa yang naik kuda dengan suara gemerincing itu sama sekali
bukan hantu. Tetapi mereka adalah orang-orang yang dengan sengaja ingin membuat
suasana di daerah ini menjadi buram.”
“Ya. Tetapi
kita harus masih membuktikan.”
“Karena itu
aku ingin menangkap satu atau dua hantu.”
Kiai Gringsing
tersenyum. Katanya,
”Hal serupa
inilah yang memang harus aku peringatkan. Jadilah pengalaman Swandaru, supaya
kau tidak terlibat dalam kesulitan.”
Swandaru
mengerutkan keningnya,
“Aku tidak
mengerti maksud, Guru. Apakah Guru membenarkan sikapku untuk menangkap atau
justru sebaliknya?”
Gurunya masih
tersenyum. Jawabnya,
“Jangan
berkecil hati. Tetapi aku ingin memberimu peringatan. Lain kali, pikirkanlah
setiap tindakan lebih masak lagi. Untunglah bahwa di sini ada kakakmu, sehingga
ia dapat mencegahmu.”
“O,” Swandaru berpaling
ke arah Agung Sedayu,
“jadinya aku
yang salah. Aku kira, Guru membenarkan sikapku. Hampir saja aku menunjuk hidung
Kakang Agung Sedayu sambil mencibir.”
Kiai Gringsing
tertawa karenanya. Katanya,
“Begitulah
kira-kira.”
“Jadi
bagaimana seharusnya yang kami lakukan, Guru?” bertanya Swandaru kemudian.
“Dengarlah.
Sekarang aku berkata sebenarnya. Orang-orang yang kita hadapi adalah
orang-orang yang memiliki kemampuan bermain-main dengan racun. Kalau benar
dugaan kita, bahwa yang kita sangka hantu itu sama sekali bukan hantu, tetapi
sebagian dari mereka, maka kita akan berhadapan dengan segala jenis senjata
racun itu. Padahal kita sama sekali belum siap melakukannya sekarang. Apakah
kau mengerti?”
Swandaru
mengerutkan keningnya semakin tinggi. Namun kemudian ia mengangguk-angguk.
Sedang gurunya berkata terus,
“Karena itu
kita harus segera mempersiapkan diri kita, karena memang mereka ingin membunuh
kita apabila kita sudah ada di lapangan kerja itu.”
Kedua murid
Kiai Gringsing itu pun mengangguk-anggukkan kepala mereka. Kini mereka
menyadari, betapa berbahayanya bertindak tergesa-gesa terhadap orang-orang yang
tidak begitu mereka kenal, tetapi sudah mereka ketahui, bahwa orang-orang itu
telah mempergunakan racun untuk membinasakan lawan.
“Nah,
sudahlah,” berkata Kiai Gringsing kemudian,
“hari sudah
hampir pagi. Kalau kalian masih sempat, ada waktu sedikit buat beristirahat.
Aku kira kalian memang perlu beristirahat.”
Tanpa
disadari, kedua murid Kiai Gringsing itu pun memandang warna kehitaman di
halaman yang sudah mulai dibayangi oleh warna merah.
“Aku akan
kembali,” berkata Kiai Gringsing kemudian.
“Baiklah,
Guru,” berkata Agung Sedayu,
“kami
menyadari kedudukan kami sekarang.”
“Ya.
Perhitungkan setiap tindakan. Kau mengerti, Swandaru?”
“Ya, Guru.”
“Sudahlah,
beristirahatlah. Waktu tinggal sempit sekali, sebelum fajar menyingsing. Aku
kira di hari yang akan datang ini, tidak akan ada seorang pun yang akan pergi
bekerja.”
“Tetapi
bagaimana dengan mayat pengawas itu, Guru?”
“Nanti akan
kita lihat.”
Kiai Gringsing
pun kemudian meninggalkan barak itu. Sementara Agung Sedayu dan Swandaru
kemudian mencoba membaringkan dirinya di atas anyaman daun kelapa, di serambi
barak itu. Agaknya Swandaru masih dapat mempergunakan kesempatan itu, sehingga
sekilas ia masih dapat tertidur. Sedang Agung Sedayu hanyalah sekedar lupa diri
untuk sesaat. Tetapi hampir setiap bunyi masih tetap didengarnya. Demikian pula
bunyi ayam jantan di ujung pagi. Orang-orang di kedua barak itu, masih
ragu-ragu untuk keluar dari barak masing-masing oleh ketakutan yang telah
mencengkam hati mereka. Tetapi Agung Sedayu dan Swandaru di barak yang satu dan
Kiai Gringsing di barak yang lain, mendahului mereka pergi ke pakiwan dan
membersihkan dirinya. Karena itu, maka mereka pun ragu-ragu, satu dua di antara
mereka pun segera mengikutinya, meskipun mereka menunggu hari menjadi terang. Ternyata
dugaan Kiai Gringsing tepat, bahwa tidak ada seorang pun yang mempunyai minat
untuk pergi bekerja pada hari itu. Bahkan para pengawas pun masih tetap
ragu-ragu. Wanakerti dan kedua kawannya sudah menjadi semakin sehat. Bahkan
pemimpin mereka yang terluka itu pun sudah menjadi berangsur baik.
“Kenapa
tiba-tiba kalian telah diterkam oleh ketakutan itu kembali?” bertanya Kiai
Gringsing kepada mereka.
“Bukankah
kalian mengerti, bahwa orang yang berkumis itu telah berhasil menggelitik hati
kalian, para pengawas? Tetapi ketika terdengar lagi suara gemerincing itu,
kalian benar-benar kehabisan akal.”
Para pengawas
itu mengangguk-anggukkan kepala mereka. Di siang hari mereka merasa,
seakan-akan mereka benar-benar telah menyadari kekeliruan mereka, bahwa mereka
telah terjerumus ke dalam ketakutan yang tidak pada tempatnya. Tetapi apabila
malam tiba, terasa bulu tengkuk mereka masih juga berdiri. Mereka justru masih
mempercayai bahwa suara gemerincing itu adalah suara hantu.
“Agaknya kita
tidak akan bekerja hari ini,” berkata Kiai Gringsing,
“tetapi aku
masih mempunyai kerja khusus yang harus aku lakukan.”
“Apa?”
“Mengubur
mayat itu, apabila sudah memungkinkan. Para pengawas itu mengangguk-anggukkan
kepala mereka.
Wanakerti
menyahut,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar