Jilid 056 Halaman 2


“Memang pada suatu saat, seseorang lebih merasa dirinya aman hidup di tempat yang terasing dari manusia lainnya, meskipun ada kemungkinan ia harus berhadapan dengan seekor binatang buas. Pada suatu saat, memang manusia menjadi mahluk yang lebih menakutkan bagi manusia lainnya dari segala jenis makhluk yang lain, termasuk binatang yang paling buas sekalipun. Demikian juga agaknya bagi orang yang kekurus-kurusan itu. Manusia saat ini adalah mahluk yang paling ditakutinya. Apalagi manusia-manusia tertentu yang memang ingin menangkapnya.”

Kiai Gringsing pun kemudian tertegun sejenak, ketika ia telah sampai di tempat yang mulai rimbun. Beberapa batang pohon yang dikelilingi oleh semak-semak yang dapat bertebaran di sana-sini, di antara batang-batang ilalang setinggi dada. Dengan demikian Kiai Gringsing menjadi semakin berhati-hati. Setiap saat ia memperhatikan keadaan di sekelilingnya. Bukan saja binatang buas, tetapi mungkin bahaya-bahaya yang lain telah mengancamnya pula. Sampai di tempat yang mulai rimbun itu, Kiai Gringsing masih belum kehilangan jejak. Ia masih melihat bekas kaki yang menuju langsung masuk ke dalam hutan yang lebat. Bahkan di beberapa tempat, ia melihat orang yang diikutinya itu beristirahat. Bekas-bekas rerumputan yang berpatahan menimbulkan dugaan padanya, bahwa orang yang kekurus-kurusan itu telah benar-benar kelelahan dan duduk di atas rerumputan liar, atau bahkan berbaring sama sekali. Sehingga dengan demikian, Kiai Gringsing memperhitungkan bahwa orang itu masih belum terlampau jauh di hadapannya. Bahkan, mungkin ia telah hampir dapat menyusulnya. Dengan demikian, Kiai Gringsing menjadi semakin berhati-hati. Banyak kemungkinan yang dihadapinya di balik rimbunnya dedaunan dan lebatnya pepohonan. Langkah Kiai Gringsing pun menjadi semakin perlahan-lahan. Ia mencoba mempergunakan segenap inderanya untuk memperhatikan setiap bunyi apapun. Desir dedaunan yang disentuh angin, atau derik ranting-ranting yang patah. Dada Kiai Gringsing berdesir ketika tiba-tiba saja ia mendengar suara burung kedasih di kejauhan. Suara burung kedasih seperti yang pernah didengarnya di tempat kerjanya. Di tempat Kiai Gringsing dan kedua muridnya membuka hutan. Tetapi kali ini Kiai Gringsing menangkap irama yang berbeda dari suara burung kedasih yang pernah didengarnya. Kali ini suara burung itu terdengar semakin lamban dan tidak terus seperti yang pernah didengarnya. Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Kini ia mengerti bahwa suara burung itu, bukanlah suara burung yang sewajarnya. Ia mencoba menarik hubungan antara suara burung yang yang sering didengarnya dengan suara burung yang kini sedang melengking hampir tidak putus-putusnya dalam irama yang berbeda.

Perlahan-lahan Kiai Gringsing itu melangkah terus. Ia kini ingin melihat, siapa atau apakah yang telah menimbulkan bunyi itu. Apakah benar-benar seekor burung kedasih, atau sama sekali bukan seekor burung. Dengan dada yang berdebar-debar Kiai Gringsing berusaha untuk tidak mengejutkan sumber bunyi itu. Ia harus menjaga langkahnya baik-baik. Bukan saja langkahnya, tetapi juga pernafasannya. Sekali lagi Kiai Gringsing tertegun. Di kejauhan ia mendengar pula suara burung kedasih. Mirip dengan suara yang masih saja bergema di antara pepohonan hutan. Bahkan seolah-olah suara burung itu menjadi saling sahut-menyahut.
“Akhirnya menjadi semakin jelas,” desisnya,
“usaha membuka hutan ini memang menghadapi tantangan yang berat. Ternyata ada suatu kekuatan yang tersusun rapi dan luas, yang membayangi usaha perluasan Tanah Mataram.”
Namun Kiai Gringsing tidak dapat membayangkan apakah usaha untuk merintangi perluasan Tanah Mataram ini hanya terbatas di daerah ini saja, atau tersebar di seluruh medan kerja dari rencana pembukaan hutan Mentaok ini?

Dalam pada itu, Kiai Gringsing pun menjadi semakin dekat dengan sumber bunyi yang menyerupai suara burung kedasih itu, sehingga suara itu menjadi semakin jelas karenanya. Sedang di kejauhan masih juga terdengar bunyi yang lain, yang seolah-olah sedang menjawab keluhan yang memelas dari suara burung yang semakin dekat ini.
“Suatu cara yang baik,” berkata Kiai Gringsing di dalam hatinya,
“isyarat yang tidak mudah diketahui oleh orang lain.”
Dengan demikian Kiai Gringsing kini mempunyai dua petunjuk untuk melangkah maju. Bekas-bekas kaki yang menjadi semakin samar karena semak-semak yang menjadi rimbun dan pepohonan kian lebat, dan suara burung kedasih itu. Tetapi Kiai Gringsing masih juga belum yakin, bahwa ada hubungan yang erat antara suara burung itu dengan orang yang kekurus-kurusan yang telah melarikan diri setelah membunuh kawannya, orang yang tinggi kekar, yang sedang diikat oleh Agung Sedayu.
Karena itu, maka Kiai Gringsing masih harus melihat dan membuktikan apakah sebenarnya yang sedang dihadapinya. Demikianlah, perlahan-lahan ia bergerak maju. Semakin lama semakin dekat. Suara burung kedasih itu kini seakan-akan sudah berada di depan hidungnya. Dalam pada itu suara burung kedasih yang lain pun, rasa-rasanya menjadi semakin dekat pula. Seakan-akan kedua bunyi itu sedang berusaha saling mendekati. Dengan menahan nafasnya, Kiai Gringsing menyusup ke dalam semak-semak. Kini ia sudah berada di dalam hutan yang semakin lebat. Suara itu sudah terlampau dekat daripadanya. Kiai Gringsing tertegun sejenak. Dadanya berdesir ketika ia menyibakkan dedaunan yang rimbun. Kini ia melihat dengan sepasang matanya, bahwa suara burung kedasih itu sama sekali bukan suara seekor burung. Di balik sebatang kayu yang besar, ia melihat dengan jelas seseorang bersandar dengan lemahnya. Dengan nafas yang terengah-engah ia tengah menirukan suara burung kedasih yang seakan-akan sedang mengeluh. Dan orang itu adalah orang yang kekurus-kurusan yang badannya dipenuhi oleh luka-luka bekas ujung cambuk Swandaru. Kiai Gringsing menggeleng-gelengkan kepalanya. Ternyata orang itu bukannya orang yang dengan mudah menyerah pada keadaan. Meskipun tubuhnya sudah terlampau lelah, namun ia masih juga berusaha untuk melarikan diri dan menghubungi kawan-kawannya. Dengan demikian maka Kiai Gringsing tidak segera bertindak sesuatu. Ia justru berusaha bersembunyi. Ia ingin melihat apa yang akan segera terjadi. Ia mengharap seseorang, yang menyambut dengan suara burung kedasih itu pula, akan datang ke tempat itu, untuk menolong kawannya yang terluka ini. Karena itu, maka Kiai Gringsing pun dengan hati-hati sekali berusaha pula untuk mendapat tempat yang mapan, yang dengan agak mudah dapat mengintip orang yang kini sedang bersandar dengan lemahnya pada sebatang pohon besar. Dengan dada yang berdebar-debar, Kiai Gringsing pun menunggu. Seperti orang yang kekurus-kurusan itu, maka terasa waktu berjalan dengan lambatnya. Dengan gelisah, setiap kali orang itu menirukan suara burung kedasih, yang selalu disahut oleh suara yang lain, yang terdengar semakin lama menjadi semakin dekat.
“Mudah-mudahan aku dapat menemukan mereka,” berkata Kiai Gringsing di dalam hatinya.
“Kalau seseorang datang, aku berharap bahwa orang itu akan mampu memberikan banyak keterangan tentang ligkungannya, yang merupakan rahasia bagi orang-orang yang sedang membuka hutan ini. Tetapi aku sama sekali masih belum dapat menilai, berapa banyak dan berapa tinggi kemampuan mereka.”

Kiai Gringsing menjadi semakin berhati-hati, ketika ia mendengar suara burung kedasih itu semakin dekat. Semakin lama semakin dekat. Bahkan Kiai Gringsing kemudian hampir tidak dapat menarik nafas lagi ketika tiba-tiba saja ia melihat seseorang muncul dari balik semak-semak. Kiai Gringsing terkejut melihat orang itu. Orang itu adalah dukun yang pernah didatanginya. Dukun yang mengaku dirinya mampu berhubungan dengan hantu-hantu di Alas Mentaok. Sejenak Kiai Gringsing terpesona. Agaknya memang ada suatu kumpulan orang-orang yang telah menyusun dirinya dalam suatu ikatan yang rapi. Masih mempunyai tugasnya sendiri di tempat yang sudah mereka bagi sebaik-baiknya. Di lingkungan pengawas, di lingkungan pendatang dan bahkan dukun itu yang menampung persoalan-persoalan yang tidak dapat dipecahkan oleh orang-orang di dalam lingkungan masing-masing. Dengan penuh minat Kiai Gringsing memperhatikan, apa yang akan terjadi di hadapannya. Karena itu, maka ia pun berusaha untuk tidak menumbuhkan bunyi apa pun yang akan dapat mengganggu pertemuan itu.
“Hem,” dukun itu menarik nafas dalam-dalam,
“ternyata kau tidak mampu menyelesaikan tugasmu dengan baik.”
Orang yang kekurus-kurusan itu menyahut,
“Maaf. Bukan aku tidak mampu. Tetapi kali ini kita berhadapan dengan orang-orang gila yang harus diperhitungkan.”
“Kenapa kau?” bertanya dukun itu.
“Aku tidak dapat melawan senjata anak muda yang gemuk itu. Anak Truna Podang.”
“Anak yang menurut keterangan, bernama Sangkan itu?”
“Ya. Tetapi aku kemudian pasti, bahwa itu bukan namanya. Seperti Truna Podang itu pun pasti bukan namanya pula.”
Dukun itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Apakah kau sudah berusaha sebaik-baiknya?”
“Tentu. Bahkan semua orang di antara kami sudah bergerak saat itu.”
“Dan kalian tetap tidak berhasil?” Orang yang terluka itu menggelengkan kepalanya,
“Aku lemah sekali.”
“Di mana kawan-kawanmu sekarang?”
“Semuanya sudah terbunuh.”
“Semuanya? Juga pengawas itu?”
“Ya.”
“Gila! Bukankah kalian mempunyai jenis senjata yang tidak dimiliki oleh orang lain? Bukankah kalian telah dibekali dengan senjata-senjata beracun?”
“Ya. Tetapi kami tidak mampu melawannya. Dan ternyata racun itu bukan tidak terlawan. Kami sudah mempergunakan segala macam cara. Tetapi kami tidak berhasil melawan Truna Podang beserta kedua anak-anaknya.”
Dukun itu mengerutkan keningnya. Dipandanginya orang yang kekurus-kurusan itu dengan saksama seolah-olah ia ingin menyakinkan apakah kata-kata yang diucapkannya itu benar. Sejenak kemudian, ia mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia melihat luka yang silang-melintang di tubuh orang yang kekurus-kurusan itu.
“Untunglah bahwa kau masih hidup,” desis dukun yang bernama Ki Damar itu.
“Apakah semua kawan-kawanmu sudah mati.”
“Ya. Semua sudah mati.”
Dukun itu menggeram.,
“Dan kau pun luka-luka parah. Agaknya kau pun hampir mati pula.”
“Ya. Kalau aku dibiarkan begini untuk tiga hari, barangkali aku memang akan mati. Tetapi kalau kau mengobati aku, aku akan berusaha untuk bertahan.”
Kiai Damar mengangguk-anggukkan kepalanya,
“Baiklah. Aku akan mengobatimu. Mungkin kita masih mempunyai kesempatan untuk berbuat sesuatu.”
“Aku masih melihat kemungkinan itu. Terutama apabila Truna Podang dan kedua anaknya dapat disingkirkan.”
Kiai Damar mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Baiklah. Aku sendiri akan menemuinya. Aku sendiri akan membunuhnya dengan cara apa pun. Tetapi aku kira, kia tidak perlu lagi mempergunakan cara yang berbelit-belit. Kalau pada suatu saat ia bekerja di tanah garapannya, kita temui saja orang itu. Kita langsung membunuhnya. Menusuk perutnya dengan pedang. Begitu?”
“Tetapi tidak semudah itu. Ia mampu berkelahi. Kedua anak-anaknya adalah anak-anak muda yang berbahaya. Aku tidak tahu, apakah ayahnya juga berbahaya.”
“Aku tidak akan sendiri. Aku akan datang dengan dua atau tiga orang, sehingga aku yakin bahwa aku akan dapat membunuhnya.”
“Terserahlah. Sekarang, aku memerlukan pertolongan.”
“Baiklah aku akan membawamu ke gubugku.”
“Tetapi, aku sudah tidak mampu lagi berjalan sendiri.”
“Apakah aku harus mendukungmu?”
“Tidak perlu. Tetapi kau harus membantu aku berjalan.”
“Baiklah, beruntunglah kau bahwa aku tidak memutuskan untuk membunuhmu saja daripada kau menambah tugas tanpa arti.”
“Jangan menganggap aku tidak berarti lagi. Aku dapat banyak memberikan bahan kepadamu, tentang Truna Podang dan kedua anak-anaknya.”
“Baiklah. Marilah, aku akan memapahmu.” Demikianlah, maka Kiai Damar pun segera berusaha menolong orang yang kekurus-kurusan itu dan memapahnya berjalan perlahan-lahan.

Dalam pada itu Kiai Gringsing yang menunggui keduanya menjadi termangu-mangu. Ia tidak segera dapat menentukan apakah yang sebaiknya dilakukannya. Namun kemudian ia memutuskan untuk membiarkan saja keduanya pergi. Ia masih memerlukannya, untuk mengetahui hubungan yang lebih luas lagi dari mereka itu. Kiai Gringsing memperhitungkan, bahwa Kiai Damar pasti akan menghubungi kawan-kawannya yang lain. Dengan demikian, Kiai Gringsing mengharap bahwa ia pada suatu saat akan dapat menemukan sebagian besar dari anggauta kelompok dari orang-orang yang selama ini selalu membayangi kerja orang-orang yang sedang membuka hutan itu. Dengan demikian maka Kiai Gringsing masih saja tetap di dalam persembunyiannya. Bahkan ia masih juga mencoba menahan desah nafasnya agar tidak didengar oleh kedua orang itu. Dari tempatnya Kiai Gringsing melihat keduanya berjalan tertatih-tatih menembus gerumbul-gerumbul yang lebat, menyusup di antara pepohonan dan semak-semak berduri.
Namun Kiai Gringsing itu pun berkata di dalam hatinya,
“Tetapi apakah mereka pasti pergi ke rumah Kiai Damar yang dahulu? Yang pernah aku datangi?”
Karena itu, maka timbullah keinginan Kiai Gringsing untuk melihat dan mengikuti ke mana mereka itu pergi. Demikianlah maka dengan hati-hati Kiai Gringsing mencoba untuk mengikutinya. Dari jarak yang agak jauh Kiai Gringsing dengan hati-hati menyusup pula di antara pepohonan dan meloncat dari sebatang pohon yang besar ke batang yang lain, mengikuti kedua orang yang berjalan perlahan-lahan.
“Orang itu termasuk orang yang kuat,” berkata Kiai Gringsing di dalam hatinya. Ia memang pernah menjajagi kekuatan Kiai Damar di satu malam, selagi ia datang kepadanya untuk mendapatkan obat untuk Swandaru, yang bahkan bersamaan dengan beberapa orang pengawal Tanah Mataram. Dalam keadaan yang tidak menentu dan penuh dengan keragu-raguan Kiai Damar sama sekali tidak dapat berbuat banyak. Tetapi apabila mereka harus bertempur dalam kesiagaan penuh dan beradu dada, maka Kiai Damar pasti akan dapat berbuat lebih banyak lagi. Beberapa saat lamanya, Kiai Gringsing mengikuti keduanya. Dan akhirnya ia mengangguk-anggukkan kepalanya. Keduanya memang pergi ke gubug Kiai Damar. Gubug yang terpencil di pinggir hutan yang lebat, di antara batu-batu besar yang berserakan.
“Orang itu pasti mempunyai suatu cita-cita,” berkata Kiai Gringsing di dalam hatinya.
“Kalau tidak, ia pasti tidak akan mau menyepikan diri di tempat ini. Di tempat yang terasing dan bahkan berbahaya. Sewaktu-waktu ia akan berhadapan dengan binatang buas yang tersesat sampai ke gubugnya.”
Setelah Kiai Gringsing yakin bahwa kedua orang itu benar-benar berada di dalam gubug itu, maka iapun segera beringsut menjauh.
“Rumah ini pasti akan menjadi pusat pertemuan,” katanya di dalam hati.
“Orang-orang lain dari lingkungan mereka, apabila masih ada, pasti akan datang. Setidak-tidaknya malam nanti aku harus melihat, apa yang sedang mereka bicarakan. Tetapi untuk bertindak terlampau tergesa-gesa agaknya memang sangat berbahaya sekali. Karena itu aku harus membuat perhitungan-perhitungan yang sebaik-baiknya menghadapi keadaan ini.”

Kadang-kadang memang timbul niat di hati Kiai Gringsing untuk berusaha menangkap keduanya sama sekali. Tetapi niat itu dapat dicegahnya sendiri oleh perhitungan-perhitungan yang lebih masak.
“Aku tidak perlu bersusah payah setiap kali datang mengintip rumah ini,” katanya di dalam hati.
“Mereka akan mencari aku di tempat kerjaku.”
Namun dengan demikian Kiai Gringsing harus menjadi lebih berhati-bati. Setiap saat ia dapat diserang oleh Kiai Damar bersama pembantu-pembantunya, yang disebutnya dua atau tiga orang, sedang orang yang kekurus-kurusan itu telah dapat memberikan gambaran kekuatan Swandaru dan Agung Sedayu. Orang yang kekurus-kurusan itu tentu dapat mengatakan bahwa Swandaru telah dapat mengalahkan orang yang tinggi kekar, yang justru kini terbunuh di dalam bilik sempit itu, setelah ia menolong orang yang kekurus-kurusan itu, dan orang yang kekurus-kurusan itu sendiri. Kemudian Agung Sedayu telah berhasil mengalahkan pula pengawas berkumis yang ternyata adalah anggauta dari kumpulan mereka pula. Tanpa sesadarnya Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya, sementara ia sudah menjadi semakin jauh dari gubug Kiai Damar. Dengan demikian maka langkahnya pun menjadi semakin cepat pula, menyusup di antara gerumbul-gerumbul liar. Ia telah memilih jalan di antara pepohonan dan perdu seperti pada saat ia datang. Ketika ia sampai di dapur, ternyata orang-orang di dapur telah selesai dengan kerja mereka. Mereka telah membagikan rangsum menurut jumlah yang biasa mereka buat. Agung Sedayu-lah yang mengawal mereka, yang mengirimkan rangsum ke barak yang lain, dan ke gardu pengawas.
Ketika ia melihat gurunya datang, segera ia mendapatkannya.
“Bagaimana, Guru?” bisiknya.
Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Katanya,
“Orang itu, orang yang mati di bilik sebelah, harus segera kita kuburkan.”
“Bagaimana dengan orang yang kekurus-kurusan itu?”
“Kita menghadapi suatu lingkungan yang sama sekali tidak mengenal belas perikemanusiaan. Mereka yang tidak dapat dipergunakan lagi, biasanya memang dibunuhnya, seperti orang yang tinggi kekar itu, meskipun orang itu pula yang menolong orang yang kekurus-kurusan itu berjalan.”
“Kenapa tidak sebaliknya? Kenapa bukan orang yang tinggi kekar itulah yang membunuh orang yang kekurus-kurusan selagi ia tidak berdaya?”
“Agaknya orang yang kekurus-kurusan itu mempunyai kedudukan yang lebih tinggi. Bukankah kau melihat sikapnya terhadap orang yang tinggi kekar itu?”
Agung Sedayu menganggukkan kepalanya.
“Nantilah aku ceriterakan. Sekarang, masuklah ke dalam bilik itu lewat belakang. Lepaskan talinya dan kita akan mengatakan bahwa ia mati karena luka-lukanya, sedang kawannya yang lain telah pergi. Aku mengharap bahwa hal itu tidak menimbulkan persoalan baru bagi orang di barak ini.”
Meskipun demikian, agaknya hal itu telah menimbulkan kejutan pula bagi orang-orang di barak itu. Mereka untuk beberapa saat telah dicengkam kembali oleh ketakutan dan kecemasan. Tetapi Kiai Gringsing telah berhasil mengatasinya dengan berbagai macam cara.
“Sebaiknya orang itu memang pergi saja. Ia sudah tidak dapat menempatkan diri di antara kita,” berkata Kiai Gringsing kepada mereka.
“Kalau orang yang kekurus-kurusan itu masih ada di sini, maka ia masih saja dapat menumbuhkan persoalan-persoalan yang tidak kita inginkan.”
Orang-orang di barak itu mengangguk-angguk.
“Karena itu,” berkata Kiai Gringsing,
“lupakan saja orang itu.”
“Apakah ia tidak mendendam?” bertanya salah seorang dari orang-orang di dalam barak itu.
“Tetapi ia tidak akan dapat berbuat apa-apa. Ia hanya seorang diri. Kita di sini terdiri dari banyak orang. Kenapa kita mesti mencemaskannya? Selama ini kita memang tidak pernah berbuat apa-apa selain ketakutan. Bukankah begitu?”
Orang-orang di barak itu mengangguk-anggukkan kepalanya pula. Kemudian, beberapa orang laki-laki yang masih ada di tempat itu, bersama Agung Sedayu dan Kiai Gringsing telah menguburkan mayat itu agak jauh dari barak mereka.

Ketika malam kemudian datang, barak-barak di pinggir hutan itu agaknya telah dicengkam oleh ketakutan yang sangat. Meskipun Kiai Gringsing telah berusaha untuk menjelaskan, bahwa malam itu pasti tidak akan terjadi sesuatu. Namun, hati yang telah dicengkam oleh ketakutan dan kecemasan itu, sama sekali tidak berdaya untuk menghalaukannya. Karena itu, maka Kiai Gringsing berusaha untuk tinggal bersama dengan orang-orang yang ketakutan itu, agar mereka menjadi agak tenang. Bahkan para pengawaslah yang dibawanya ke dalam barak, bersama-sama menjadi suatu kelompok yang sedikit dapat memberikan ketenangan. Sedang Agung Sedayu dan Swandaru berada di barak yang lain, bersama perempuan dan anak-anak. Namun Kiai Gringsing telah sempat memberitahukan apa yang didengarnya dari Kiai Damar kepada kedua muridnya, bahwa mereka memang sedang terancam. Terutama apabila mereka sedang berada di lapangan kerja mereka.
“Kami akan menunggu,” desis Swandaru.
“Besok kita akan pergi ke tempat kerja itu.”
“Kita harus berhati-hati, Swandaru,” berkata gurunya. Lalu,
“Biarlah besok kita perbincangkan. Malam ini kita akan beristirakat sebaik-baiknya.”
Kedua anak-anaknya mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi hal itu tetap menjadi beban pikiran mereka hampir semalam suntuk. Dan Swandaru masih juga sempat berkata kepada Agung Sedayu,
“Sudah cukup lama kita berada di sini. Sebaiknya kita segera menyelesaikan masalah ini. Memang kalau perlu dengan kekerasan dan tidak usah dengan segala macam tirai yang membosankan ini.”
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Sebenarnya ia pun telah jemu pula dengan permainan yang mereka lakukan di tempat sepi yang terpencil ini. Baginya sebenarnya akan lebih senang tinggal di Kademangan Sangkal Putung. Daerah itu pasti menjadi bertambah ramai setelah keadaan bertambah baik. Namun tiba-tiba dadanya berdesir tajam. Sekilas terbayang kakaknya, Untara, bersama pasukannya yang bersiaga penuh berada di Jati Anom justru menghadap ke Mataram, tanah yang sedang dibuka ini.
“Apakah salah paham antara Pajang dan Mataram akan semakin berlarut-larut?” pertanyaan itu tumbuh di dalam hatinya.
“Apakah orang-orang yang berjiwa besar seperti Ki Gede Pemanahan dan Sultan Pajang itu tidak dapat menemukan jalan keluar dari kesalah-pahaman ini?”
Tetapi Agung Sedayu sama sekali tidak dapat menjawab pertanyaan itu. Betapapun besarnya jiwa seseorang, apabila kepentingan-kepentingan puncak masing-masing sudah saling berbenturan, maka mereka akan kembali kepada sifat manusiawi yang berpijak pada kepentingan sendiri.
“Apa yang kau renungkan?” bertanya Swandaru tiba-tiba.
Agung Sedayu terkejut. Diangguk-anggukkannya kepalanya. Tetapi ia tidak segera menjawab.
“Kau melamun?”
“Aku mengantuk.”
“Aku tidak percaya. Matamu masih bening, dan tatapan matamu melambung ke dunia yang lain.”
Agung Sedayu tersenyum. Katanya,
“Kita harus tidur sekarang.”
“Kau belum menjawab. Bagaimana pendapatmu tentang keadaan ini? Apakah kita akan berlarut-larut menghadapi masalah yang menjemukan ini? Kalau aku menjadi guru, aku akan datang ke rumah orang yang menyebut dirinya bernama Kiai Damar itu. Aku tangkap saja orang itu dan aku bawa menghadap Ki Gede Pemanahan. Terserah apa yang akan dilakukan olehnya atas Kiai Damar, dan kita akan segera dapat kembali ke Sangkal Putung supaya ayah dan ibu segera dapat berbuat sesuatu.”
“Berbuat apa?” bertanya Agung Sedayu. Swandaru mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia menjawab,
“Tidak. Tidak berbuat apa-apa.”
Agung Sedayu tersenyum. Katanya,
“Bukankah kau ingin ayah dan ibumu segera pergi ke Menoreh?” Swandaru tidak menjawab.
“Kenapa kau diam saja? Atau barangkali tidak begitu?”
“Ah kau,” desis Swandaru kemudian,
“agaknya memang lebih baik kalau kita tidur. Bukankah kau sudah mengantuk?”
Agung Sedayu menggeleng,
“Tidak. Mataku masih bening dan tatapan mataku melambung ke dunia yang lain.
“Ah kau,” sahut Swandaru. Tetapi ia pun kemudian menjatuhkan dirinya dan tidur melingkar di bawah kain panjangnya.
Agung Sedayu tersenyum. Ia masih juga berkata
“Sst, apakah kau sedang menyiapkan sebuah mimpi?”
“Aku tidak mendengar.”
“Apa yang tidak kau dengar.”
“Pertanyaanmu.”
“Tetapi kau dapat menjawab dengan tepat.”
Swandaru tidak menyahut lagi. Ia menutup kupingnya dengan ujung jari telunjuknya.

Agung Sedayu pun kemudian terdiam pula. Dipandanginya ruangan yang luas di barak itu. Semua orang sudah berbaring diam di tempatnya masing-masing, meskipun ada juga di antara mereka yang tidak dapat tidur sama sekali karena ketakutan. Anak-anak kecil dipeluk oleh ibunya dengan dada yang berdebar-debar. Bahkan ada seorang ibu yang menitikkan air mata di kening anaknya.
“Kenapa aku membawamu ke neraka ini,” katanya di dalam hati. Tetapi ia tidak mempunyai pilihan lain. Suaminya sama sekali tidak mempunyai harapan apa pun di tempatnya yang lama. Kini mereka mencoba mengadu nasib, ikut serta membuka hutan untuk mendapatkan lapangan pekerjaan baru sebagai seorang petani.
Agung Sedayu mengerutkan keningnya ketika ia mendengar suara ayam jantan berkokok bersahutan. Tengah malam telah lewat. Dan ia sama sekali tidak dapat memejamkan matanya, sementara ayam-ayam jantan yang dipelihara oleh orang-orang yang membuka hutan itu masih saja berkokok tidak henti-hentinya. Ketika malam menjadi semakin hening, pikiran Agung Sedayu merantau semakin jauh. Dicobanya membayangkan apa yang dapat terjadi di daerah ini dan apa yang bakal terjadi atas dirinya sendiri.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam ketika ia melihat Swandaru melingkar diam di tempatnya. Tetapi ternyata menurut tarikan nafasnya anak yang gemuk itu masih juga belum tidur, sehingga Agung Sedayu tersenyum melihatnya. Katanya perlahan-lahan,
“Kau akan menjadi pening, justru karena kau berpura-pura tidur.”
Swandaru sama sekali tidak menyahut. Dan Agung Sedayu pun kemudian tertawa lirih,
“Perutmu akan menjadi semakin besar, kalau kau tidur dengan cara itu.”
Swandaru masih diam. Ia sama sekali tidak bergerak. Bahkan ia memejamkan matanya semakin rapat. Agung Sedayu masih juga duduk di sisinya. Sekali lagi ia menyapu ruangan itu dengan tatapan matanya. Dan ruangan itu menjadi kian hening karenanya.
Namun tiba-tiba Agung Sedayu itu terkejut. Lamat-lamat ia mendengar derap kaki kuda. Semakin lama semakin dekat, sehingga hatinya pun menjadi berdebar-debar karenanya. Agaknya Swandaru pun mendengarnya pula. Perlahan-lahan ia menelentang dan mendengarkan bunyi telapak kaki kuda itu dengan saksama.
“Derap kaki kuda,” desisnya.
Agung Sedayu menganggukkan kepalanya. Ketika Swandaru bangkit, maka Agung Sedayu pun memberikan isyarat kepadanya, agar ia tidak mengejutkan orang-orang yang sedang tidur nyenyak.
“Siapakah mereka itu?” bisik Swandaru. Agung Sedayu menggelengkan kepalanya. Jawabnya,
“Aku tidak mengerti.”
Swandaru pun kemudian terdiam. Dengan dada yang berdebar-debar ia mendengarkan derap yang semakin lama semakin dekat itu. Ternyata bahwa bunyi derap kaki-kaki kuda itu telah membangunkan beberapa orang di dalam barak itu. Dengan wajah ketakutan mereka bangkit perlahan-lahan dan duduk dengan tubuh gemetar. Agung Sedayu dan Swandaru masih belum beranjak dari tempatnya. Derap kaki kuda itu memang mendebarkan jantung. Tetapi kedua anak muda itu tidak segera dapat berbuat apa-apa. Ia melihat ketakutan yang mencekap barak ini.
“Bagaimana dengan kita?” bertanya Swandaru berbisik.
“Maksudmu?”
“Apakah kita akan melihat, siapakah yang berkuda itu?”
“Kita menunggu di sini. Lihat, orang-orang itu menjadi ketakutan. Kalau kita pergi, mereka akan kehilangan ketenangan sama sekali. Apalagi kita masih belum tahu, siapakah yang datang itu? Kita harus berhati-hati di daerah yang asing ini.”
“Kau memang terlampau berhati-hati, Kakang.”
“Bukankah guru berpesan begitu?”

Swandaru tidak menyahut. Tetapi dirabanya senjatanya yang melilit di lambungnya. Kakinya sudah gatal-gatal untuk meloncat, melihat siapakah yang berkuda jauh lewat tengah malam itu? Sejenak mereka mendengar derap kuda itu berhenti. Namun sejenak kemudian mereka telah mendengarnya lagi. Bukan saja derap kaki-kaki kuda, tetapi kini mereka telah mendengar suara gemerincing yang menyentuh bulu-bulu roma mereka.
“Suara itu,” desis Swandaru.
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Suara itu adalah suara yang telah mereka kenal, suara hantu.
“Aku akan melihat,” desis Swandaru.
“Jangan,” sahut Agung Sedayu.
“Biarlah guru mengambil sikap menanggapi keadaan ini.”
“Kau selalu ragu-ragu, Kakang.”
“Kita harus mempunyai perhitungan. Bukan sekedar menuruti perasaan. Aku pun ingin untuk segera melihat. Tetapi kita tidak tahu, apakah yang sebenarnya kita hadapi. Apalagi kita tidak akan dapat begitu saja meninggalkan orang-orang di dalam barak ini menjadi semakin ketakutan.”
Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia menggerutu di dalam hatinya. Meskipun demikian ia tetap duduk di tempatnya. Suara derap kaki kuda dan suara gemerincing itu semakin lama menjadi semakin jelas. Dengan demikian maka orang-orang di dalam barak itu hampir semuanya terbangun karenanya, kecuali anak-anak. Mereka menjadi cemas dan ketakutan. Tubuh mereka menggigil seperti kedinginan. Sesekali Swandaru berpaling memandang kakak seperguruannya. Seolah-olah ia ingin bertanya, apakah mereka akan tetap diam saja?
Agaknya Agung Sedayu dapat merasakan gejolak hati Swandaru. Sehingga ia pun berbisik,
“Kita tetap di sini. Kalau ada sesuatu yang langsung mengganggu barak ini, kita harus berbuat sesuatu. Tetapi kita tidak terjun ke medan yang tidak kita kenal, kecuali apabila tidak ada jalan lain.”
Swandaru tidak menyahut. Tetapi ia justru bersandar dinding sambil memejamkan matanya. Seolah-olah ia tidak mengacuhkan lagi suara gemerincing yang semakin dekat. Setelah mengelilingi barak itu dua kali, maka suara gemerincing itu pun kemudian menjauh. Semakin lama semakin jauh. Beberapa orang menarik nafas dalam-dalam sambil mengusap dada mereka. Seorang perempuan muda menitikkan air matanya sambil memeluk anaknya. Tetapi Swandaru menggeretakkan giginya sambil menggeram,
“Kalau kita tidak berbuat apa-apa, maka hal ini akan terjadi terus menerus untuk selanjutnya. Kita akan kehilangan kesempatan untuk mencari penyelesaian.”
“Kita harus yakin dan mengetahui dengan pasti, apa yang sedang kita hadapi.”
“Dengan duduk diam di sini?”
Agung Sedayu menarik nafas. Katanya,
“Bukan begitu. Tetapi kita dapat berbicara dahulu dengan guru.”
Swandaru tidak menyahut. Dipandanginya nyala api pelita yang bergetar disentuh angin.
“Kemana suara itu pergi?” desis Swandaru.
“Aku kira kuda yang bergemerincing itu pergi ke barak sebelah.”
“Guru pasti akan mendengar juga.”
“Ya, guru dan para pengawas yang ada di sana akan mengambil kesimpulan.”
Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya, meskipun ia sama sekali kecewa bahwa ia tidak dapat berbuat apa-apa.

Dalam pada itu, benarlah dugaan Agung Sedayu. Derap kaki-kaki kuda yang diikuti oleh suara gemerincing itu memang menuju ke barak yang lain. Semakin lama semakin dekat dan kemudian mengelilinginya pula seperti di barak yang ditunggui oleh Agung Sedayu dan Swandaru. Kiai Gringsing yang ternyata masih juga belum tidur, terkejut pula mendengar suara itu. Sejenak ia mengangkat wajahnya dengan tatapan mata yang tegang. Namun kemudian ia mengangguk-angguk sambil berkata di dalam hati,
“Suatu kumpulan dari orang-orang yang keras kepala dan teratur baik. Mereka bergerak demikian cepatnya, sehingga malam ini mereka sudah dapat berbuat sesuatu.”
Seperti orang-orang perempuan dan anak-anak serta orang-orang yang ada di barak sebelah, maka barak itu pun segera dicengkam pula oleh ketakutan yang sangat, setelah orang-orang di barak itu terbangun. Sejenak mereka saling memandang. Kemudian mereka menjadi pucat dan gemetar. Bahkan para pengawas yang ada di dalam barak itu pun menjadi gelisah pula. Terlebih-lebih orang-orang yang hanya mendapat tempat di serambi yang terbuka. Mereka sama sekali tidak berani mengangkat kepala mereka. Mereka justru menutupi diri mereka dengan selimut. Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Keadaan itu memang harus dirubah. Orang itu tidak boleh terlampau mudah dicengkam oleh ketakutan. Tetapi suasana itu sudah berlangsung untuk waktu yang lama. Setiap saat mereka selalu dibayangi oleh ketakutan dan kecemasan, sehingga tanpa mereka sadari, bayangan serupa itu lambat laun seakan-akan telah terpahat di dalam dada mereka. Dan kini, selagi mereka baru saja dicengkam oleh ketakutan sepanjang hari, mereka telah mendengar suara itu kembali. Suara yang selama ini telah membuat orang-orang di dalam barak itu kehilangan akal.
Kiai Gringsing masih saja berada di tempatnya. Diperhatikannya saja suara itu dengan saksama. Semakin lama semakin dekat.
“Tentu bukan orang kebanyakan,” berkata Kiai Gringsing di dalam hatinya.
“Orang yang kekurus-kurusan itu pasti sudah memberitahukan tingkat kemampuan Swandaru dan Agung Sedayu. Kini mereka masih juga berani mendekati tempat ini. Mereka pasti yakin, setidak-tidaknya mereka dapat melawan Agung Sedayu dan Swandaru bersama-sama.”

Kiai Gringsing menjadi berdebar-debar karenanya. Kalau Swandaru dan Agung Sedayu tidak dapat menahan dirinya, maka pasti akan terjadi sesuatu yang tidak dinginkannya. Apalagi apabila teringat oleh Kiai Gringsing, bahwa orang-orang itu adalah orang-orang yang bermain-main dengan racun. Racun yang tajam sekalipun mereka pergunakan. Bahkan berupa serbuk seperti yang telah mengenai diri sendiri.
“Kami di sini harus mempersiapkan diri untuk menghadapi perang yang mengerikan melawan orang-orang itu. Melawan racun yang kejam, di tangan orang-orang yang kejam,” berkata Kiai Gringsing di dalam hatinya.
Dalam kegelisahannya itu tiba-tiba ia bergeser dan berdesis,
“Aku akan melihatnya.”
“Jangan gila,” sahut pemimpin penjaga yang terluka di punggungnya.
“Kenapa?”
“Kita sedang menghadapi suatu lingkungan kelompok orang-orang gila yang sengaja membuat keributan. Sekarang kau akan menyeret hantu-hantu ke dalam persoalan kita di sini.”
“Kau menganggap bahwa orang-orang yang membuat onar itu tidak ada bubungannya dengan suara gemerincing itu?”
“Tentu tidak,” jawab pemimpin pengawas itu.
“Aku tidak ingin melibatkan hantu-hantu itu di dalam keadaan yang sulit ini.”
“Kita harus membatasi diri,” berkata Wanakerti kemudian.
“Jadi, kalian menganggap bahwa kita sedang berada di hadapan dua lingkungan yang berbeda? Orang-orang yang bermain-main dengan racun itu dan yang lain, hantu-hantu?”
Para pengawas itu tidak segera menyahut. Tetapi dada mereka menjadi semakin berdebar-debar karena suara gemerincing yang semakin dekat.
“Dengarlah, Ki Wanakerti,” desis Kiai Gringsing,
“kita jangan terlampau tergoncang pada kepercayaan kita selama ini. Kepercayaan yang membuat kita selalu dibayangi oleh ketakutan. Kalau benar hantu-hantu itu memusuhi kita atau lebih jelas lagi, kalau memang ada hantu-hantu itu, maka mereka pasti sudah berbuat lebih banyak dari hanya sekedar menakut-nakuti kita dengan suara gemerincing di kejauhan. Apalagi apabila kuda-kuda semberani itu benar-benar kuda hantu-hantu yang berkuasa di Alas Mentaok, kita pasti tidak akan mendengar derap kakinya, karena kuda-kuda itu pasti tidak menyentuh tanah. Tetapi apakah kita pernah mendengar gemerincing itu di atas atap barak kita?”
“Kami pernah mendengar suara berdesing di atas barak kita di saat-saat tertentu.”
“Suara apa?”
“Kami tidak tahu. Suara berdesing yang melingkar-lingkar.”

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Memang ia harus bersabar dan perlahan-lahan. Ketakutan yang sudah terlampau lama mencengkam mereka, tidak akan segera dapat dihapus begitu saja.
“Marilah kita besok membuatnya,” berkata Kiai Gringsing.
“Membuat apa?”
“Suara berdesing yang melingkar-lingkar itu.”
Wajah para pengawas itu menjadi tegang. Dan Kiai Gringsing meneruskan,
“Sudahlah. Aku akan keluar sebentar. Aku tidak akan mengganggu hantu-hantu itu. Tetapi aku akan melihat anak-anakku. Mereka adalah anak-anak bengal, justru aku ingin agar anak-anakku tidak mengganggu hantu-hantu itu.”
Para pengawas itu saling berpandangan sejenak. Dan Kiai Gringsing berkata pula,
“Aku tidak mau membiarkan anak-anakku kesiku atau kena kutuk. Apakah kalian, tidak berkeberatan?”
Sejenak mereka saling berpandangan. Kiai Gringsing membiarkan mereka bepikir sejenak. Namun ia melihat keragu-raguan yang memancar di hati para pengawas itu. Agaknya mereka sama sekali belum dapat melepaskan diri dari ketakutan yang selama ini mencengkam daerah yang sedang dibuka ini.
“Aku tidak dapat membiarkan anak-anakku itu,” desak Kiai Gringsing.
Akhirnya pemimpin pengawas itu mengangguk. Katanya,
“Terserahlah kepadamu. Kau termasuk orang baru di sini. Kami adalah orang-orang yang sudah sekian lama dan mengalami banyak masalah yang kadang-kadang tidak masuk akal.”
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya,
“Ya, aku mengerti,” katanya.
“Aku hanya sekedar menengok anak-anakku.”
Para pengawas kemudian hanya memandangi saja ketika Kiai Gringsing keluar dari pintu barak, masuk kegelapan malam. Orang-orang yang ada di dalam barak menahan nafas mereka ketika mereka melihat orang tua yang mereka kenal bernama Truna Podang itu meninggalkan barak. Sedang orang-orang yang ada di serambi sama sekali sudah tidak melihatnya lagi, karena mereka sama sekali tidak berani mengangkat wajah-wajah mereka.
Ketika Kiai Gringsing menjejakkan kakinya di halaman barak itu, ia mengerutkan keningnya. Ternyata suara derap kaki kuda itu sudah menjauh. Sambil menarik nafas dalam-dalam ia berkata,
“Aku terlambat kali ini. Tetapi aku berharap, mereka akan segera datang lagi.”
Namun Kiai Gringsing meneruskan langkahnya pergi ke barak sebelah. Ia benar-benar ingin melihat apakah Agung Sedayu dan Swandaru masih tetap berada di tempatnya. Ketika ia sampai ke pintu barak, dilihatnya suasana di barak itu pun tidak ada bedanya dengan barak yang ditinggalkannya. Tetapi di barak ini, pintunya tidak terbuka selebar pintu baraknya, dan di serambi luar tidak terlampau banyak orang-orang yang sedang tidur. Hanya laki-laki yang sudah kurang kuat bekerja di lapangan, yang mendapat tugas membantu mengurus dapurlah yang berada di serambi. Mereka berbaring sambil menutup seluruh tubuh mereka yang menggigil dengan kain panjang. Agaknya mereka pun telah dicengkam oleh ketakutan pula.
“Di manakah anak-anak itu?” desis Kiai Gringsing. Perlahan-lahan ia mendorong pintu lereg ke samping. Hati-hati sekali, agar tidak mengejutkan orang-orang yang sedang ketakutan itu.

Tetapi suara berderit yang lambat itu justru telah mendebarkan hati Agung Sedayu dan Swandaru yang ada di dalam barak itu. Tanpa berjanji mereka serentak berdiri. Perlahan-lahan mereka bergeser mendekati pintu itu sambil meraba hulu senjata masing-masing. Tetapi langkah mereka segera terhenti ketika mereka mendengar suara berdesis,
“Agung Sedayu, Swandaru, apakah kalian ada di dalam?”
Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Desisnya,
“Jantungku sudah berdetak semakin cepat. Aku kira aku akan mendapat kesempatan malam ini.”
“Ah kau,” desis Agung Sedayu.
Sejenak kemudian mereka melihat gurunya menjengukkan kepalanya. Ketika dilihatnya Agung Sedayu dan Swandaru masih berdiri melekat dinding, Kiai Gringsing segera bertanya kepada mereka,
“Kenapa kalian?”
“Aku kira hantu itu datang kemari. Aku sudah ingin sekali berkenalan.”
“Kau tidak mengejarnya?”
Swandaru mengerutkan keningnya. Dipandanginya wajah kakak seperguruannya sejenak. Lalu,
“Kakang Agung Sedayu mencegahnya. Kalau tidak, aku memang sudah akan mengejarnya.”
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Marilah kita duduk. Aku akan berbicara sedikit.”
Mereka pun kemudian duduk di serambi, di sisi pintu. Beberapa orang yang ada di dalam dan di luar barak, mencoba mengintip ketiga orang itu dari sela-sela kain selimutnya. Tetapi karena ketiga orang itu tampaknya duduk dengan tenang, maka mereka mulai berani menarik selimut mereka dan perlahan-lahan mengangkat kepala. Seolah-olah mereka ingin membuktikan, apakah yang mereka lihat itu benar-benar Truna Podang bersama dua anaknya atau hanya sekedar bayangan hantu saja? Kiai Gringsing yang duduk bersama Agung Sedayu dan Swandaru menyadari akan hal itu. Tetapi mereka seolah-olah tidak memperhatikannya sama sekali. Mereka memang sengaja membuat kesan, bahwa mereka dapat berbicara dengan tenang meskipun hantu-hantu itu baru saja lewat.
“Jadi kau memang ingin mengejar hantu itu?” bertanya Kiai Gringsing.
“Ya. Aku berkeyakinan bahwa yang naik kuda dengan suara gemerincing itu sama sekali bukan hantu. Tetapi mereka adalah orang-orang yang dengan sengaja ingin membuat suasana di daerah ini menjadi buram.”
“Ya. Tetapi kita harus masih membuktikan.”
“Karena itu aku ingin menangkap satu atau dua hantu.”
Kiai Gringsing tersenyum. Katanya,
”Hal serupa inilah yang memang harus aku peringatkan. Jadilah pengalaman Swandaru, supaya kau tidak terlibat dalam kesulitan.”
Swandaru mengerutkan keningnya,
“Aku tidak mengerti maksud, Guru. Apakah Guru membenarkan sikapku untuk menangkap atau justru sebaliknya?”
Gurunya masih tersenyum. Jawabnya,
“Jangan berkecil hati. Tetapi aku ingin memberimu peringatan. Lain kali, pikirkanlah setiap tindakan lebih masak lagi. Untunglah bahwa di sini ada kakakmu, sehingga ia dapat mencegahmu.”
“O,” Swandaru berpaling ke arah Agung Sedayu,
“jadinya aku yang salah. Aku kira, Guru membenarkan sikapku. Hampir saja aku menunjuk hidung Kakang Agung Sedayu sambil mencibir.”
Kiai Gringsing tertawa karenanya. Katanya,
“Begitulah kira-kira.”
“Jadi bagaimana seharusnya yang kami lakukan, Guru?” bertanya Swandaru kemudian.
“Dengarlah. Sekarang aku berkata sebenarnya. Orang-orang yang kita hadapi adalah orang-orang yang memiliki kemampuan bermain-main dengan racun. Kalau benar dugaan kita, bahwa yang kita sangka hantu itu sama sekali bukan hantu, tetapi sebagian dari mereka, maka kita akan berhadapan dengan segala jenis senjata racun itu. Padahal kita sama sekali belum siap melakukannya sekarang. Apakah kau mengerti?”
Swandaru mengerutkan keningnya semakin tinggi. Namun kemudian ia mengangguk-angguk. Sedang gurunya berkata terus,
“Karena itu kita harus segera mempersiapkan diri kita, karena memang mereka ingin membunuh kita apabila kita sudah ada di lapangan kerja itu.”

Kedua murid Kiai Gringsing itu pun mengangguk-anggukkan kepala mereka. Kini mereka menyadari, betapa berbahayanya bertindak tergesa-gesa terhadap orang-orang yang tidak begitu mereka kenal, tetapi sudah mereka ketahui, bahwa orang-orang itu telah mempergunakan racun untuk membinasakan lawan.
“Nah, sudahlah,” berkata Kiai Gringsing kemudian,
“hari sudah hampir pagi. Kalau kalian masih sempat, ada waktu sedikit buat beristirahat. Aku kira kalian memang perlu beristirahat.”
Tanpa disadari, kedua murid Kiai Gringsing itu pun memandang warna kehitaman di halaman yang sudah mulai dibayangi oleh warna merah.
“Aku akan kembali,” berkata Kiai Gringsing kemudian.
“Baiklah, Guru,” berkata Agung Sedayu,
“kami menyadari kedudukan kami sekarang.”
“Ya. Perhitungkan setiap tindakan. Kau mengerti, Swandaru?”
“Ya, Guru.”
“Sudahlah, beristirahatlah. Waktu tinggal sempit sekali, sebelum fajar menyingsing. Aku kira di hari yang akan datang ini, tidak akan ada seorang pun yang akan pergi bekerja.”
“Tetapi bagaimana dengan mayat pengawas itu, Guru?”
“Nanti akan kita lihat.”
Kiai Gringsing pun kemudian meninggalkan barak itu. Sementara Agung Sedayu dan Swandaru kemudian mencoba membaringkan dirinya di atas anyaman daun kelapa, di serambi barak itu. Agaknya Swandaru masih dapat mempergunakan kesempatan itu, sehingga sekilas ia masih dapat tertidur. Sedang Agung Sedayu hanyalah sekedar lupa diri untuk sesaat. Tetapi hampir setiap bunyi masih tetap didengarnya. Demikian pula bunyi ayam jantan di ujung pagi. Orang-orang di kedua barak itu, masih ragu-ragu untuk keluar dari barak masing-masing oleh ketakutan yang telah mencengkam hati mereka. Tetapi Agung Sedayu dan Swandaru di barak yang satu dan Kiai Gringsing di barak yang lain, mendahului mereka pergi ke pakiwan dan membersihkan dirinya. Karena itu, maka mereka pun ragu-ragu, satu dua di antara mereka pun segera mengikutinya, meskipun mereka menunggu hari menjadi terang. Ternyata dugaan Kiai Gringsing tepat, bahwa tidak ada seorang pun yang mempunyai minat untuk pergi bekerja pada hari itu. Bahkan para pengawas pun masih tetap ragu-ragu. Wanakerti dan kedua kawannya sudah menjadi semakin sehat. Bahkan pemimpin mereka yang terluka itu pun sudah menjadi berangsur baik.
“Kenapa tiba-tiba kalian telah diterkam oleh ketakutan itu kembali?” bertanya Kiai Gringsing kepada mereka.
“Bukankah kalian mengerti, bahwa orang yang berkumis itu telah berhasil menggelitik hati kalian, para pengawas? Tetapi ketika terdengar lagi suara gemerincing itu, kalian benar-benar kehabisan akal.”

Para pengawas itu mengangguk-anggukkan kepala mereka. Di siang hari mereka merasa, seakan-akan mereka benar-benar telah menyadari kekeliruan mereka, bahwa mereka telah terjerumus ke dalam ketakutan yang tidak pada tempatnya. Tetapi apabila malam tiba, terasa bulu tengkuk mereka masih juga berdiri. Mereka justru masih mempercayai bahwa suara gemerincing itu adalah suara hantu.
“Agaknya kita tidak akan bekerja hari ini,” berkata Kiai Gringsing,
“tetapi aku masih mempunyai kerja khusus yang harus aku lakukan.”
“Apa?”
“Mengubur mayat itu, apabila sudah memungkinkan. Para pengawas itu mengangguk-anggukkan kepala mereka.
Wanakerti menyahut,


Halaman 1 2 3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar