Jilid 032 Halaman 2


Kata-kata bibinya itu meledak di telinga Arya Teja seperti seribu guruh. Dadanya terguncang dahsyat sekali, sehingga rasa-rasanya seluruh tulang rusuknya terpatahkan. Sejenak pandangan matanya menjadi gelap berkunang-kunang. Tubuhnya gemetar dan nalarnya seakan-akan ditaburi oleh kekelaman yang pekat.
Sekali lagi Arya Teja terhenyak ke dinding. Tubuhnya menjadi lemah, seolah-olah tulang-tulangnya dilolosi. Hampir-hampir ia sudah tidak mampu lagi untuk berdiri. Bibinya kini telah berdiri di hadapannya. Dipandanginya wajah kemanakannya yang kadang-kadang pucat namun kemudian merah membara.
“Ingatlah akan dirimu.”
Keringat dingin telah membasahi segenap tubuh Arya Teja. Dari ubun-ubunnya sampai ke ujung kakinya. “Tidak sepantasnya kau berbuat begitu, Ngger,” berkata bibinya.
“Kau adalah laki-laki, seperti ayahmu menginginkannya, bahwa kau adalah laki-laki jantan. Kau tidak dapat membunuh perempuan itu tanpa membunuh bayi yang sama sekali tidak berdosa. Tetapi kau dapat berbuat demikian terhadap orang yang menaburkan benih di ladangmu tanpa membunuh bayi itu.”
Kata-kata bibinya itu benar-benar telah menyentakkan perasaan Arya Teja. Tubuhnya yang seolah-olah sudah tidak berdaya itu, tiba-tiba tegak bagaikan tiang baja yang kokoh kuat tidak tergoyahkan. Kini matanya benar-benar mancarkan api yang menyala di dalam dadanya. Terdengar gigi Arya Teja gemeretak. Terngiang kembali kata-kata bibinya itu,
“Tetapi kau dapat berbuat demikian terhadap orang yang menaburkan benih di ladangmu tanpa membunuh bayi itu.”
Arya Teja menggeram. Terdengar suaranya parau, “Ya, Bibi. Aku mengerti.”
Selangkah Arya Teja maju mendekati isterinya. Dengan suara gemetar ia bertanya,
“Wulan, katakan. Katakan. Siapakah yang telah berbuat itu? Aku sadar kini, bahwa itu adalah penghinaan yang sedalam-dalamnya bagi kejantananku. Orang itu ingin mencoba mengukur lebar dada Arya Teja yang sebentar lagi akan mendapat wisuda menjadi Kepala Tanah Perdikan di Menoreh. Kalau aku belum menemukan orang itu Wulan, maka aku tidak akan dapat hidup dengan tenteram. Ada dua kemungkinan yang dapat terjadi padaku. Membunuh atau dibunuh. Tetapi itu adalah sikap jantan.”

Rara Wulan yang sudah pasrah diri, yang justru seakan-akan sudah tidak lagi dibayangi oleh kecemasan, dan bahkan air matanya  pun seolah-olah sudah kering, kini digoncangkan lagi oleh kegelisahan yang dahsyat. Terbayang di wajahnya, apa yang dapat terjadi apabila dua orang laki-laki jantan telah berhadapan.
“Wulan, katakan Wulan, supaya aku tidak jatuh ke dalam dosa yang paling nista, membunuh perempuan yang tidak berdaya dan membunuh bayi di dalam kandungannya. Bayi yang tidak berdosa sama sekali.”
Pernyataan itu telah benar-benar menghentakkan dada Rara Wulan. Namun Rara Wulan itu mendengar bibi Arya Teja berkata,
“Tidak ada gunanya, Arya Teja. Sikap itu memang sikap jantan. Tetapi tidak semua persoalan harus diselesaikan dengan cara itu. Aku memperingatkan kau akan hal itu, sekedar untuk mencegah kau menjadi kehilangan akal. Sikap itu jauh lebih baik daripada kau membunuh perempuan dan bayinya yang sama sekali tidak berdosa. Tetapi sikap itu sendiri bukan sikap yang paling baik.”
Mata Arya Teja yang menyala itu membayangkan keragu-raguan setelah ia mendengar kata-kata bibinya. Namun bibinya itu berkata terus,
“Sikap yang demikian masih akan menumpahkan darah. Darah bukanlah penyelesaian yang paling baik.”
Tubuh Arya Teja menjadi gemetar. Sekali lagi terdengar suaranya yang parau,
“Lalu apakah sebaiknya yang aku lakukan, Bibi?”
“Kau harus berjiwa besar, Arya Teja. Kau harus membuat penyelesaian tanpa menitikkan darah. Kau harus bertemu dengan laki-laki itu. Kau atau orang itu yang seterusnya akan memiliki Rara Wulan. Sesudah itu, tidak ada lagi persoalan di antara kalian.”
Darah Arya Teja menghentak-hentak di jantungnya. Dan terdengar ia berkata terbata-bata,
“Itu tidak mungkin, Bibi. Itu tidak mungkin. Aku tidak mungkin melakukan kedua-duanya. Terus mengawini Rara Wulan dengan menelan pengghinaan dari seorang laki-laki tanpa berbuat sesuatu, seolah-olah aku bukan laki-laki, atau melepaskan Rara Wulan dengan menyandang hina dan malu, karena orang-orang Menoreh akan mengatakan, bahwa isteri kepala tanah perdikannya telah direbut orang tanpa berbuat sesuatu.”
Bibinya mengangguk-anggukkan kepalanya, katanya,
“Itu benar, Arya Teja. Tetapi bahwa Rara Wulan mengandung di luar perkawinannya denganmu itu sama sekali tidak diketahui orang.”
“Tetapi aku tahu, Bibi. Aku tahu, Wulan tahu dan laki-laki yang itu tahu pula.”
“Bukankah persoalan itu masih terbatas sekali? Kalau jiwamu cukup besar, Arya, kau lupakan saja apa yang telah terjadi. Tetapi laki-laki itu memang harus datang kepadamu, minta maaf dan untuk seterusnya tidak akan menyebut-nyebut anaknya yang masih dalam kandungan.”
“Hanya begitu, Bibi? Hanya cukup dengan permintaan maaf dan untuk seterusnya tidak akan mengusik anaknya?”
“Arya Teja. Peristiwa ini harus kau pandang dari segi yang lapang. Hubungan itu terjadi sebelum Rara Wulan menjadi isterimu. Kau tidak dapat mengatakan, bahwa laki-laki itu telah merampas hakmu seluruhnya, sebab pada saat itu terjadi, Rara Wulan masih belum isterimu.”
“Oh,” Arya Teja berdesah. Keringatnya menjadi semakin banyak mengalir,
“Tetapi aku telah terjebak dalam perangkap yang keji itu. Laki-laki itu ternyata pengecut. Kalau ia laki-laki jantan, maka ia akan bertanggung jawab dan tidak membiarkan Wulan menjadi isteri orang lain. Mungkin hal itu disengaja pula untuk menghindarkan diri dari keharusan bertanggung jawab. Agaknya Wulan telah bersepakat pula menjerat leherku.”
“Tetapi aku menyesal,” tiba-tiba Rara Wulan memotong,
“aku menyesal bahwa hal itu terjadi. Karena itu maka aku akan rela dibunuh. Nah, Kakang, kalau keputusanmu memang ingin membunuhku, kenapa kau akan membatalkannya?”
“Begitu, begitu yang kau maksud?” tiba-tiba darah Arya Teja meluap sekali lagi. Sehingga tanpa disadarinya ia melangkah maju dengan tangan gemetar. Kerisnya masih juga berada di dalam genggamannya.
“Jangan gila,” teriak bibinya, “kalian berdua memang gila.”
Sekali lagi Arya Teja tertegun,
“Dengar kata-kataku!” bentak bibinya. Ternyata pengaruhnya besar sekali atas Arya Teja, sehingga ia melangkah surut.
“Tidak patut kalian berbuat begitu,” berkata bibinya pula,
“kalian harus menemukan penyelesaian sebaik-baiknya, sebagaimana penyelesaian yang dituntut oleh manusia beradab.”
“Kami sama-sama laki-laki, Bibi. Itu adalah penyelesaian yang paling baik dan adil,” geram Arya Teja,
“aku tidak melihat jalan lain. Sekarang sebutkan laki-laki itu, he?”

Rara Wulan masih terduduk diam. Pertanyaan yang demikian, benar-benar telah mengguncangkan dadanya. Seandainya ia menjawab berterus terang, maka ia yakin, pasti akan terjadi pertumpahan darah dan bahkan kematian seperti yang dikatakan oleh Arya Teja. Membunuh atau dibunuh. Rara Wulan tahu pula, bahwa laki-laki yang ditanyakan oleh Arya Teja itu  pun pasti akan berkata begitu pula. Membunuh atau dibunuh. Penyesalan yang paling dalam telah menyesak di dada Rara Wulan. Sebenarnya penyesalan itu datang sejak peristiwa itu terjadi. Peristiwa yang seakan-akan berlangsung di luar sadarnya, pada saat iblis datang menghuni hatinya tanpa dapat dilawannya. Karena itu, maka tidak ada lain yang diharapkannya kini, selain mati. Mati. Bahkan telah timbul pula hasratnya untuk membunuh diri. Tetapi alangkah baiknya, apabila ia mati di tangan Arya Teja. Mungkin hal itu akan dapat memberi sedikit kepuasan kepada suaminya yang telah dikhianatinya itu.
Maka sejenak kemudian, terdengar Rara Wulan berkata,
“Kakang, aku tidak akan mengatakan, siapakah laki-laki itu. Timpakan semua kesalahan kepadaku, karena memang akulah yang paling bersalah dalam hal ini. Semuanya tidak akan terjadi, seandainya aku tidak menyurukkan diriku sendiri ke dalam lumpur yang paling hina. Bagiku penyelesaian yang paling baik adalah bunuhlah aku.”
“Perempuan celaka!” potong bibi Arya Teja.
“Kau benar-benar tidak tahu diri. Bunuhlah dirimu sendiri seandainya kau ingin. Tetapi tunggulah bayi di dalam perutmu itu lahir dan berkesempatan hidup. Tak ada hak dari siapa pun juga untuk membunuh nyawa yang sama sekali tidak bersalah itu. Semua hukuman harus ditimpakan dan ditanggung oleh mereka yang berbuat salah, tetapi tidak pada nyawa itu.”
Seperti juga Arya Teja, maka hati Rara Wulan  pun tersentuh pula. Apalagi sebagai seorang perempuan yang langsung menyimpan nyawa itu di dalam dirinya. Karena itu, maka kini kebingungan yang dahsyat telah melanda, jantungnya. Ia ingin mati, tetapi peringatan bibi Arya Teja telah membuatnya bimbang. Apabila semula ia telah pasrah tanpa ragu-ragu menghadapi saat-saat kematian yang memang sudah diharapkannya, tetapi kini ia mulai bimbang. Nyawa yang ada di dalam dirinya tidak hanya nyawanya sendiri saja. Tetapi ia  pun sedang menyimpan nyawa bayi di dalam perutnya itu. Dalam keheningan itu terasa, betapa udara bilik itu seperti dipanggang di atas api. Hening, tetapi tegang dan panas. Sejenak kemudian terdengar suara Arya Teja parau,
“Wulan. Jangan memperlambat persoalan. Katakan siapa laki-laki itu? Aku akan membuat penyelesaian.”
“Jangan dengan cara itu,” bibi Arya Teja berkata,
“kau harus mendapatkan cara yang baik. Cara yang beradab. Kalian bukan manusia-manusia liar yang hanya mengenal cara penyelesaian yang serupa itu, darah.”
Dada Arya Teja berdentangan mendengar kata-kata bibinya. Kalau semula bibinya berhasil meredakan maksudnya untuk membunuh Rara Wulan, tetapi kini nafsu Arya Teja untuk membuat perhitungan dengan laki-laki yang dianggapnya telah menghinanya itu sama sekali tidak surut. Bahkan dengan gemetar ia berkata,
“Tidak ada pilihan lain, Bibi. Bukankah Bibi sendiri berkata, bahwa aku tidak sepantasnya membunuh Rara Wulan, tetapi aku dapat berbuat begitu kepada orang yang menaburkan benih di ladangku.”
“Tetapi bukan maksudku, Arya,” berkata bibinya,
“aku hanya ingin mencegahmu membunuh Rara Wulan dan bayinya.”
“Itu adalah keputusanku,” geram Arya Teja. Lalu katanya kepada Rara Wulan,
“Wulan, sebutkan nama itu. Sebutkan.”
Dada Arya Teja berdentang ketika ia melihat Rara Wulan menggelengkan kepalanya yang tunduk,
“Aku tidak dapat mengatakannya, Kakang.”
“He,” mata Arya Teja kini seolah-olah menyala,
“sebutkan! Sebutkan! Kau hanya menyebutkan saja nama itu. Penyelesaiannya ada di tanganku.”
Air mata Rara Wulan kini menderas lagi. Dan bahkan seolah-olah ia tidak dapat lagi bernafas oleh isaknya yang menyesak di dada. Tetapi sekali lagi ia menggelengkan kepalanya.
“Wulan. Wulan. Kau tidak mau menyebutkan he?” Arya Teja tiba-tiba berteriak penuh kemarahan. Dihentakkannya kakimu di lantai. Sambil menunjuk kepala isterinya dengan ujung kerisnya ia berkata,
“Kau ternyata pengkhianat yang paling jahat. Kau sengaja menyembunyikan laki-laki di belakang pinjungmu. He, kalau aku laki-laki itu, maka alangkah malunya. Kalau aku menjadi laki-laki itu, akulah yang akan membunuh diri. Bukan sekedar bersembunyi dan bahkan mengorbankan nyawa seorang perempuan dan bayi di dalam kandungannya.”

Kata-kata itu serasa langsung menusuk jantung Rara Wulan. Bagaimanapun juga, penghinaan Arya Teja terhadap laki-laki yang pernah membuat sentuhan langsung di hatinya itu, membuatnya berdebar-debar. Tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa selain berdiam diri menutup mulutnya rapat-rapat. Perasaannya semuanya tertuang lewat air matanya.
“Wulan, apakah kau benar-benar sudah menjadi bisu he?” Arya Teja menjadi semakin marah dan berteriak-teriak.
“Arya Teja,” berkata bibinya,
“hentakan perasaan di dadamu memang terlampau berat. Sekarang, marilah tinggalkan bilik ini, Ngger. Beristirahatlah. Kau akan menemukan ketenangan. Dalam ketenangan itulah kau baru mengambil sikap. Kalau sekarang kau menentukan cara penyelesaian itu, maka kau akan salah jalan. Kau sekarang tidak dikuasai oleh pikiran dan nalar, tetapi kau sedang dikuasai oleh perasaan. Perasaanmu yang lagi gelap.”
“Tidak, Bibi. Aku harus mendengarnya sekarang. Apakah aku akan bersikap sekarang, hal itu dapat dipikirkan kemudian. Tetapi nama itu harus aku dengar sekarang. Nama laki-laki licik yang hanya berani berperisai nyawa seorang perempuan, sehingga laki-laki betina itu tidak lebih dari seorang pengecut besar.”
Ternyata kata-kata itu telah menggugah sebuah hati. Betapa seseorang menahan diri, namun penghinaan itu tidak dapat dibiarkannya. Karena itu, maka seorang laki-laki yang selama ini mendengarkan pembicaraan itu dari balik dinding di luar rumah, tidak dapat lagi menahan gejolak perasaannya pula. Sejak beberapa lama ia mendengarkan pembicaraan Arya Teja dan isterinya di dalam biliknya. Kadang-kadang ia terpaksa menahan nafasnya, namun kadang-kadang ia terpaksa menggeretakkan giginya. Ia tidak mempedulikan satu dua orang pembantu di dalam rumah itu memperhatikannya dari kejauhan. Pembantu-pembantu rumah itu memang sudah mengenalnya, karena ia sering pula datang berkunjung menemui Arya Teja sebelum kawin dengan Rara Wulan.
Pembantu-pembantu yang melihatnya  pun sama sekali tidak menegurnya. Mereka menyangka, bahwa orang itu akan berkunjung seperti biasa, tetapi ketika didengarnya Arya Teja sedang bertengkar dengan isterinya, maka ia menunggunya saja di luar. Sedang para pembantu itu tidak tahu apakah yang sebenarnya dipertengkarkan. Mereka hanya mendengar suara Arya Teja hampir berteriak. Pembantu-pembantu itu menjadi ketakutan, karena sebelum itu mereka tidak pernah melihat atau mendengar Arya Teja bersikap kasar, meskipun kadang-kadang dapat juga bersikap keras. Tetapi orang itu sebenarnya sama sekali tidak sedang menunggu sampai pertengkaran itu reda. Pertengkaran itu sendiri telah membakar jantungnya dan mendidihkan darahnya. Ia-lah yang melihat Arya Teja berjalan dengan tergesa-gesa dan kemudian mengikutinya. Terasa ada sesuatu yang tidak wajar pada muda yang baru saja kawin itu.
Ternyata apa yang disangkanya itu benar-benar terjadi. Ia mendengar pertengkaran itu. Ia mendengar Arya Teja bahkan mengancam untuk membunuh isterinya, dan kini Arya Teja sedang mendesak Rara Wulan untuk menyebut nama laki-laki yang dianggapnya telah mengkhianatinya. Dada orang itu menjadi berdebar-debar ketika ia mendengar bahwa Rara Wulan berkeras hati untuk tidak menyebut nama laki-laki itu. Tetapi darahnya segera mendidih ketika ia mendengar penghinaan Arya Teja atas laki-laki itu.
“Hem, apakah aku akan berdiam diri saja?” desisnya di dalam hati.
Sebuah pergolakan telah terjadi di dadanya. Pergolakan yang semakin lama menjadi semakin dahsyat. Sejak Arya Teja menghunus kerisnya, ia telah berdiri dalam kebimbangan. Apakah ia akan turut mencampurinya? Tetapi sebelum ia mendapat keputusan, ia melihat bahwa bibi Arya Teja dengan tergesa-gesa memasuki rumah itu, dan ternyata perempuan itu telah berhasil mencegahnya, sehingga dengan demikian, ia tidak perlu mencampurinya. Tetapi ia tidak akan dapat terus menerus berdiam diri sambil mendengarkan penghinaan yang tiada berkeputusan.
Kini sekali lagi ia mendengar suara Arya Teja,
“Kau tidak mau mengatakannya, Wulan? Baiklah. Simpanlah rahasia itu di dalam dirimu. Aku sudah tidak berkeinginan untuk membunuh lagi. Perbuatan itu hanya akan mengotori tanganku saja,” Arya Teja berhenti sejenak, lalu,
“Besok aku akan membuat pernyataan terbuka. Setiap orang akan mendengar apa yang telah terjadi atasmu, sampai saatnya seorang laki-laki berani menampilkan dirinya, dan mengaku bahwa ia telah melakukannya.”

Sebuah hentakan yang keras telah menggoncangkan dada Rara Wulan. Ancaman itu benar-benar telah membuat cemas dan ketakutan, sehingga terdengar suaranya terpatah-patah di sela tangis dan isaknya.
“Oh, kau terlampau kejam, Kakang. Kenapa kau tidak mau membunuh aku saja daripada kau membuat aku malu tiada taranya.”
“Laki-laki itulah yang bersalah,” sahut Arya Teja, “kecuali kau bersedia menyebut namanya.”
Betapa hati Rara Wulan benar-benar tersiksa saat itu. Ia sama sekali tidak menyangka, bahwa kekhilafannya yang sesaat itu benar-benar telah mematahkan hari depannya, bahkan jauh lebih mengerikan daripada mati.
“Aku beri kau waktu,” berkata Arya Teja,
“apabila sampai fajar besok kau belum juga mau mengatakannya, maka aku akan melakukannya. Aku akan membunyikan kentongan memanggil setiap orang di dalam padukuhan ini, yang sebentar lagi akan menjadi tanah perdikan yang sempurna. Aku akan sesorah dan mengatakan apa yang telah terjadi atas seorang perempuan yang bernama Rara Wulan.”
“Kakang,” Rara Wulan memekik.
Tetapi suara itu hilang ditimpa oleh suara Arya Teja yang lebih keras, “Sudah menjadi keputusanku.”
“Oh,” tangis Rara Wulan menjadi semakin keras. Kini kepalanya ditelungkupkan di lantai. Rambutnya yang hitam panjang berserakan dengan kusutnya.
Arya Teja masih berdiri tegak dengan sehelai keris di tangannya. Dadanya masih terasa membara dan sorot matanya masih memancarkan perasaannya yang bergolak. Sedang bibinya berdiri kebingungan tanpa dapat berbuat sesuatu. Arya Teja sama sekali tidak mau lagi mendengarkan nasehatnya. Sebagai seorang perempuan, ia kemudian menjadi iba melihat Rara Wulan. Tanpa disadarinya ia melangkah maju. Dibelainya kepala perempuan itu sambil berkata,
“Sudahlah, Wulan. Semuanya sudah terjadi. Tidak ada jalan untuk kembali. Tetapi jalan yang akan kau tempuh kelak, janganlah mengulangi apa yang telah terjadi, meskipun dalam bentuk yang berbeda. Kini yang terjadi hanyalah akibat dari perbuatan yang sudah terlanjur itu. Memang pasti akan terasa pahit. Tetapi kalau kau sudah maju setapak lagi dan kau atasi kepahitan ini, kau mudah-mudahan akan mendapat ampun dari Yang Maha Kuasa dan mendapat hati yang terang.”
Tetapi Rara Wulan tidak menyahut. Bahkan tangisnya menjadi semakin keras. Dalam saat yang demikian itulah, Arya Teja terperanjat. Ia mendengar langkah tergesa-gesa mendekati pintu bilik. Semakin lama semakin dekat. Sejenak kemudian dadanya berdesir tajam. Dilihatnya seorang laki-laki berdiri di ambang pintu. Seorang laki-laki yang memancarkan api kemarahan lewat matanya yang tajam, setajam mata burung hantu, seorang laki-laki yang hidungnya melengkung seperti paruh burung betet, berkumis dan beralis tebal.
Bukan Aria Teja saja yang ternyata terkejut bukan buatan. Tetapi bibinya  pun terkejut, ketika tiba-tiba saja ia melihat laki-laki itu. Ketika ia melihat mata yang seolah-olah memancarkan nyala api. Tetapi yang lebih terkejut lagi adalah Rara Wulan. Ketika ia mengangkat wajahnya, dan melihat laki-laki itu, maka darahnya serasa berhenti mengalir.
“Kau,” suara yang parau itu tersekat di kerongkongannya.
Laki-laki itu sama sekali tidak mengacuhkannya. Tetapi ia berdiri tegak seperti tiang-tiang rumah itu. Arya Teja bergeser setapak. Mereka, kedua laki-laki itu kini berdiri berhadapan. Namun belum sepatah kata  pun yang meluncur dari mulut-mulut mereka. Meskipun demikian, mata merekalah yang seakan-akan berbicara. Arya Teja seolah-olah menangkap kata-kata itu. Dan telinga hatinya segera menterjemahkannya. Seakan-akan laki-laki itu berkata,
“Akulah yang telah berbuat.”
Arya Teja menggeram. Dari sela-sela bibirnya kemudian terucapkan sepatah kata,
“Paguhan.”
Laki-laki yang berdiri di muka pintu itu masih belum menjawab. Tetapi kata-kata Arya Teja itu telah menyentuh dadanya setajam ujung keris yang masih digenggamnya.
Namun kedua laki-laki itu kemudian berpaling ketika mereka mendengar Rara Wulan berteriak,
“Pergi, pergi kau iblis yang paling jahat! Pergi, pergi!”
Tetapi laki-laki yang bernama Paguhan itu tidak beranjak dari tempatnya.
“Pergi, pergi!” perempuan itu menjadi semakin berteriak-teriak. Dipukulkannya tinjunya bertubi-tubi pada lantai yang basah oleh air matanya,
“Pergi, pergi kau!”
Paguhan masih berdiri tegak. Sejenak kemudian terdengar suaranya seakan-akan bergulung-gulung di perutnya,
“Tidak, Wulan. Aku tidak akan pergi. Aku bukan laki-laki pengecut yang bersembunyi di balik pinjungmu. Aku adalah laki-laki yang mempunyai harga diri.”
“Bagus,” Arya Teja lah yang menyahut,
“aku hormati kau karena kejantanan itu. Kita adalah laki-laki yang masing-masing mempunyai harga diri.”
“Pergi, pergi!” Rara Wulan menjadi semakin memekik mekik.
“Tidak ada jalan lain,” berkata Arya Teja, “kau atau aku yang binasa.”
“Kau atau aku,” Paguhan itu mengulang, “bukankah itu jalan yang paling adil?”
“Ya.”

Dan pembicaraan itu terputus ketika Rara Wulan menjerit tinggi,
“Pergi, pergi!” lalu tangisnya melonjak semakin keras. Dari sela-sela suara tangisnya terdengar kata-katanya,
“Aku tidak mau melihat peristiwa itu terjadi. Akulah yang bersalah. Bunuhlah aku. Bunuhlah aku.” Suara Rara Wulan menjadi semakin meninggi. Tiba-tiba ia kemudian diam. Diam, Rara Wulan jatuh pingsan.
Bibi Arya Teja kemudian menjadi sibuk. Diusap-usapnya dahi perempuan itu. Sesaat kemudian ia berlari ke belakang mencari minyak kelapa untuk menggosok telinga dan dada Rara Wulan. Arya Teja dan Paguhan masih berdiri di tempatnya. Mereka hanya mengikuti kebingungan bibi Arya Teja dengan mata mereka.
“Arya Teja,” berteriak bibinya,
“apa kau menunggu sampai isterimu ini mati. Berbuatlah sesuatu. Berbuatlah sesuatu.”
Tetapi Arya Teja tidak beranjak dari tempatnya. Ia sama sekali tidak bergerak ketika ia melihat beberapa orang pelayannya berlari-lari menolong bibinya mengangkat Rara Wulan ke atas pembaringan di bilik yang lain. Namun hati para pelayan itu bergetar ketika mereka melihat di tangan Arya Teja tergenggam sehelai keris. Tetapi para pelayan itu menjadi agak tenang, karena mereka tidak melihat setitik darah  pun di tubuh Rara Wulan.
Dalam kesibukan itu, terdengar Paguhan berkata,
“Arya Teja, aku menunggumu. Aku memang ingin membuat penyelesaian itu. Aku tunggu kau di bawah Pucang Kembar. Bulan hampir bulat di langit. Supaya kau mendapat kesempatan merawat isterimu, maka aku memberimu waktu sampai purnama penuh.”
“Aku tidak memerlukan waktu itu. Aku tidak akan merawat siapa pun. Apalagi orang yang telah mengkhianati aku.”
“Terserah kepadamu. Tetapi aku akan berada di bawah Pucang Kembar pada saat purnama naik, dua hari yang akan datang. Aku tidak dapat berbuat dalam suasana seperti ini. Aku ingin Wulan sembuh dan sehat.”
“Kalau kau mau mengurusnya, uruslah perempuan yang telah kau nodai itu. Aku tidak memerlukannya.”
“Masih belum waktunya Arya. Sesaat setelah aku membunuhmu di bawah Pucang Kembar, aku memang akan melakukannya.”
“Baik. Dua hari yang akan datang, tepat pada saat purnama naik, aku telah berada di bawah Pucang Kembar.”
Paguhan tidak menjawab. Dengan wajah yang tegang ia memandangi Rara Wulan yang terbaring di pembaringan di bilik sebelah lewat lubang pintu lereg yang tidak tertutup.
Sejenak kemudian dengan langkah tergesa-gesa ditinggalkannya rumah itu. Langkahnya panjang dan cepat. Tanpa berpaling lagi ia turun dari pendapa dan melintasi halaman rumah Arya Teja. Sejenak kemudian ia telah hilang di balik regol.

Arya Teja masih berdiri di tempatnya seakan-akan sebuah patung. Dadanya bergelora seperti sedang terbakar. Sama sekali tidak disangka-sangkanya, bahwa orang yang telah mendorongnya ke dalam kepahitan hidup itu adalah Paguhan, kawan yang terlampau dekat yang selama ini dianggapnya sebagai seorang anak muda yang baik. Tetapi ternyata yang terjadi adalah neraka yang paling terkutuk, sehingga tanpa sesadarnya ia menggeram,
“Dua hari lagi. Kalau Paguhan tidak ingkar, maka aku atau anak itu yang akan mati.”
Arya Teja tersadar ketika ia melihat bibinya masuk ke dalam bilik itu. Dilihatnya wajah yang tua itu telah basah pula oleh air matanya. Sejenak orang itu berdiri termangu-mangu, namun kemudian, ia melangkah mendekati kemanakannya sambil bertanya,
“Kau telah bersepakat untuk melakukan perang tanding?”
Arya Teja menganggukkan kepalanya,
“Ya bibi. Nanti apabila purnama penuh naik. Aku dan Paguhan akan melakukannya di bawah Pucang Kembar.”
Bibinya termenung sejenak. Lalu katanya,
“Aku tidak mengerti bahwa kau lebih senang memilih jalan itu daripada cara yang lain.”
“Aku tidak melihat cara yang lain itu,” sahut Arya Teja.
Bibinya terdiam. Langkahnya yang berat telah membawanya ke atas amben bambu. Sambil menarik nafas dalam-dalam diletakkannya dirinya duduk di atas amben itu. Sejenak mereka berdua saling berdiam diri. Arya Teja masih berdiri kaku dengan keris di tangan.
“Isterimu sudah sadar,” berkata bibinya kemudian, “tetapi ia mengalami kejutan yang luar biasa.”
Arya Teja acuh tak acuh saja mendengar keterangan bibinya tentang Rara Wulan. Seandainya perempuan itu mati sekalipun ia tidak akan berkeberatan.
“Ia menyesali segala dosanya,” berkata bibinya lebih lanjut.
Arya Teja masih berdiam diri.
“Arya,” berkata bibinya,
“aku berpendapat bahwa Rara Wulan bukanlah seorang perempuan yang jahat. Penyesalan yang paling dalam telah mendorongnya untuk berputus-asa. Ia merasa bahwa hidupnya sama sekali sudah tidak berarti lagi. Kesalahannya itu lelah menyebabkannya malu melihat sinar matahari.”
“Oh,” Arya Teja menggeram,
“sebuah permainan yang sangat baik. Ternyata Rara Wulan dapat memainkan peranannya dengan sempurna, sehingga Bibi menjadi iba kepadanya. Tetapi apakah aku harus menerima penghinaan itu?”
“Arya Teja. Kau harus tahu, apakah sebabnya hal yang serupa itu dapat terjadi? Kau tidak boleh melihat persoalan itu hanya sepotong. Sepotong yang membuatmu menjatuhkan hukuman yang paling berat atas isterimu. Kau harus melihat keseluruhan dari persoalannya. Peristiwa yang mendahuluinya dan yang kemudian mendorongnya melakukan perbuatan itu.”
“Bibi, Rara Wulan dan Paguhan dapat saja menyusun seribu macam alasan. Tetapi akibatnya sama saja buatku. Aku menerima sampah yang telah dilemparkan oleh Paguhan ke pawuhan. Bibi, aku tidak dapat. Aku tidak dapat menerimanya.”
Bibinya mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Ya, Ngger. Aku tahu dan aku dapat mengerti perasaanmu. Tetapi kau harus mempertimbangkan hal-hal yang dapat meringankan dosa isterimu. Sebagai manusia ia dapat dilibat oleh nafsu tang tidak dimengertinya sendiri. Tetapi yang terpenting kau ketahui, bahwa ia menyesali apa yang telah terjadi sampai ke pusat hatinya. Menyesal dan bertaubat.”
“Apakah artinya sesal itu baginya? Seandainya ia tidak bertaubat sekalipun, ia tidak akan dapat mengulanginya lagi. Ia tidak akan mendapatkan masa-masa gadisnya dan melakukan hal yang serupa. Bahkan seandainya itu dikehendakinya sendiri.”

Bibinya menarik nafas dalam-dalam. Sebagai seorang yang telah lanjut usia, ia dapat mengerti perasaan yang bergolak di dalam dada kemanakannya. Itulah sebabnya, ia kemudian berdiam diri sambil menebah dada. Dalam keadaan yang demikian Arya Teja pasti sulit untuk diajak berbicara.
“Aku masih mempunyai waktu dua hari lagi sebelum purnama naik. Mudah-mudahan aku dapat mengurungkan cara penyelesaian yang mengerikan itu,” berkata bibinya di dalam hati.
“Penyelesaian yang demikian tidak akan dapat memberikan ketenteraman hidup bagi yang memenangkannya. Hubungan dengan Rara Wulan tidak akan terselesaikan. Bagi Rara Wulan, penyelesaian itu adalah cara yang akan menyiksanya sepanjang hidupnya. Siapa  pun yang kalah, ia merasa kehilangan. Kalau Arya Teja yang kalah, dan mati dalam perkelahian itu, ia akan kehilangan suaminya. Tetapi, kalau Arya Teja berhasil memenangkannya, dan Paguhan terbunuh, maka bayi di dalam kandungan itu akan kehilangan bapanya.”
Tetapi bibi Arya Teja itu tidak dapat berbuat apa-apa pada saat itu. Arya Teja sama sekali tidak dapat diajaknya berbicara. Kemanakannya itu sedang dikuasai oleh gejolak perasaan yang dahsyat sekali.
Sejenak mereka saling berdiam diri. Ruangan itu menjadi sepi, tetapi terasa ketegangan telah menyesak di dada masing-masing. Lamat-lamat mereka masih mendengar isak tangis Rara Wulan di bilik sebelah ditunggui oleh pelayannya. Dalam kesepian itu terdengar suara bibi Arya Teja,
“Arya Teja, sarungkanlah kerismu. Kau tidak memerlukannya sekarang.”
Arya Teja menarik nafas. Perlahan-lahan tangannya seolah-olah telah digerakkan oleh kekuatan yang tidak dimengertinya menyarungkan kerisnya pada wrangkanya.
“Beristirahatlah dan cobalah merenungkan apa yang telah terjadi dengan tenang. Jangan diburu oleh nafsu yang bergejolak di dalam dirimu.”
“Akulah yang telah menjadi korban nafsu itu, Bibi.”
Bibinya mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Baiklah, Ngger. Meskipun demikian apakah salahnya kalau kau mencoba melihat persoalan ini dari segala segi. Segi yang memberatkan namun juga segi-segi lain, yang dapat meringankan dorongan kemarahanmu.”
“Tidak ada yang perlu aku pertimbangkan lagi. Aku sudah memutuskan. Dua hari lagi, saat purnama naik, aku akan membuat penyelesaian secara jantan.”

Mereka  pun kemudian terdiam pula. Ketika udara di dalam bilik itu terasa semakin sesak, maka Arya Teja  pun segera melangkah ke luar. Saat-saat berikutnya adalah saat yang paling menegangkan, seolah-olah waktu berjalan terlampau lamban. Arya Teja seakan-akan merasakan bahwa rumahnya telah menjadi tempat yang paling menyiksanya. Siang dan malam ia seakan dipanggang di atas bara api. Ia sama sekali tidak mau lagi masuk ke dalam ruang dalam rumahnya. Ia selalu berada di pendapa atau di pringgitan saja. Di dalam rumah itu Rara Wulan ditunggui oleh bibi Arya Teja. Perempuan tua itu tidak sampai hati untuk meninggalkannya dalam keadaan yang demikian. Selain Rara Wulan selalu dihantui oleh kesalahannya sendiri, bibi Arya Teja itu mencemaskannya pula apabila tiba-tiba saja perempuan itu membunuh dirinya. Karena itu, ia tidak mau meninggalkannya. Apabila malam kemudian tiba, Arya Teja selalu memandangi bulan yang mengapung di langit. Meskipun ujudnya telah hampir bulat, namun malam purnama masih harus ditunggunya. Dan menunggu kesempatan itu adalah pekerjaan yang paling menyakitkan hati. Di hari kedua Arya Teja benar-benar telah kehilangan kesabaran. Sebelum matahari merendah di ujung barat, anak muda itu telah mempersiapkan dirinya. Diambilnya senjatanya yang selama ini telah disimpan di atas geledegnya. Sebuah tombak pendek pemberian ayahnya sebagai sipat kandel dalam kembarnya mengabdikan dirinya kepada pimpinan kerajaan di Demak.
Arya Teja terkejut ketika ia mendengar suara bibinya memanggilnya,
“Arya Teja, apakah selama dua hari ini kau tidak menemukan cara lain yang lebih baik daripada cara-cara orang biadab itu?”
Arya Teja mengerutkan keningnya. Kemudian jawabnya dengan nada yang dalam,
“Tidak, Bibi. Aku tidak memikirkan cara yang lain yang dapat aku lakukan.”
“Sebaiknya kau mempergunakan mulutmu saja, Ngger. Tidak mempergunakan senjata itu.”
“Senjata ini lebih baik daripada mulutku, Bibi. Dengan senjata ini semuanya akan segera selesai.”
“Tidak. Persoalannya tidak dapat diselesaikan. Tetapi persoalan itu membeku karena salah satu pihak terbunuh karenanya”
“Dan dengan demikian maka tidak akan ada persoalan lagi.”
“Kau membohongi dirimu sendiri, Arya. Persoalan itu akan bergolak di dalam dadamu. Justru lebih dahsyat dan lebih sulit untuk kau selesaikan.”
Arya Teja menggelengkan kepalanya. Katanya, “Tidak, Bibi. Aku tidak memikirkan jalan lain.”
Bibi Arya Teja menjadi semakin gelisah. Dicobanya sekali lagi untuk menjelaskan keadaan Rara Wulan.
“Arya Teja. Kau harus berjiwa besar menghadapi persoalan itu. Rara Wulan adalah seorang manusia biasa yang dapat melakukan kekhilafan. Seperti kau, pasti pada suatu waktu melakukannya. Aku, ayahmu, dan ibumu. Bahkan semua orang. Kini isterimu telah benar-benar menyesali kekhilafan itu. Apakah tidak ada terbersit di dalam hatimu untuk memaafkannya? Ia telah cukup tersiksa. Kelembutan sikapmu selama ini benar-benar membuat Rara Wulan semakin merasa berdosa.” Bibinya itu berhenti sejenak, lalu,
“Apalagi apabila kau bersedia memaafkan kesalahannya, Ngger. Maka tidak ada hukuman yang lebih berat lagi bagi Rara Wulan daripada menerima maafmu.”
Arya Teja tidak menyahut. Kata-kata bibinya itu terasa menyentuh hatinya. Namun kemudian teringat olehnya janji yang telah diucapkannya,
“Pada saat purnama naik, di bawah Pucang kembar.”
“Tidak,” Arya Teja itu tiba-tiba menggeram.
“Tidak, Bibi. Aku adalah seorang laki-laki. Aku sudah mengucapkan janji untuk melakukan perang tanding. Tidak ada yang dapat mengurungkan niat itu.”
“Kau tidak mau mendengarkan nasehatku, Arya. Bagaimanakah kira-kira apabila ayah dan ibumu mendengar hal ini.”
“Ayah dan ibu pasti akan membenarkan sikapku. Aku adalah anak laki-laki yang diharapkan bersikap jantan.”
Bibinya menggelengkan kepalanya, “Aku kira tidak, Arya.”
“Seandainya tidak, aku tidak akan mengurungkan janji itu. Hari ini adalah hari yang kedua. Nanti apabila purnama naik, aku harus sudah berada di bawah Pucang Kembar.”

Bibinya mengelus dadanya. Tidak ada cara lagi untuk membujuk kemenakannya yang keras hati itu. Apabila nanti malam tiba, maka di bawah Pucang Kembar itu akan terjadi pepati. Besok, setiap orang pasti akan memperkatakannya apa yang terjadi. Apakah mereka akan menemukan mayat Paguhan atau mayat Arya Teja. Namun keduanya adalah anak-anak muda yang memiliki kelebihan dari anak-anak muda sebayanya. Perempuan tua itu kemudian menundukkan kepalanya. Arya Teja adalah anak muda yang keras hati. Ia mengenal anak itu sejak dilahirkan oleh ibunya. Keras hati, nakal namun bertanggung jawab. Harga dirinya tampak jelas sejak ia masih kanak-kanak. Pada saat ia menginjak dewasa, maka tampaklah bahwa Arya Teja akan dapat memenuhi kekudangan orang tuanya. Berbeda dengan adiknya. Adiknya pun nakal seperti Arya Teja. Tetapi adiknya kurang bertanggung jawab dan agak manja, sehingga perkembangan wataknya pun berbeda pula. Dan kini Arya Teja itu sedang mengalami badai di dalam hidupnya sebagai seorang anak muda. Selapis air tergenang di mata perempuan tua itu. Dan ia terkejut ketika ia mendengar suara Arya Teja,
“Maafkan aku, Bibi. Kali ini aku tidak dapat memenuhi permintaan Bibi.”
Bibinya tidak menjawab. Tetapi terasa sesuatu menyekat kerongkongannya. Apakah yang akan terjadi atas tanah Menoreh seandainya Arya Teja malam nanti terbunuh oleh lawannya, meskipun ia mati secara jantan?
Bibi Arya Teja itu mengangkat wajahnya ketika kemenakannya berkata,
“Bibi, matahari telah menjadi rendah, hampir sampai ke punggung pegunungan itu. Aku minta doa Bibi, semoga, aku dapat kembali ke rumah ini.”
Bibinya mengangguk, meskipun ia berkata di dalam hatinya,
“Lalu, apa yang akan kau temui di rumah ini adalah bagian dari kepedihan hati itu pula Arya.”
Tetapi, bibinya tidak menyatakannya. Disimpannya saja kata-kata itu di dalam hatinya. Ia tidak mengharap Arya Teja menjadi semakin mendendam lawannya.
“Anak itu bukan seorang yang ganas,” berkata bibinya di dalam hatinya,
“mudah-mudahan demikianlah sikapnya terhadap lawannya apabila ia berhasil menguasainya.” Namun kemudian dada, perempuan itu berdesir.
“Bagaimanakah yang akan terjadi seandainya Arya Teja kalah dalam perang tanding itu?”
Mata perempuan tua itu menjadi semakin basah.
“Sudahlah, Bibi,” terdengar suara Arya Teja berat,
“jangan hiraukan aku lagi. Apa  pun yang akan aku lakukan dan apa pun yang akan terjadi. Aku mohon maaf apabila aku telah melukai hati Bibi.”
Bibinya tidak menjawab.
“Perkenankan aku pergi sekarang. Aku harus berada di bawah Pucang Kembar itu sebelum purnama naik.”
Sebuah anggukan kecil menggerakkan kepala perempuan tua itu. Terdengar suaranya lirih seolah-olah tersangkut di kerongkongan, “Hati-hatilah, Arya.”
“Terima kasih, Bibi. Aku masih ingin melihat matahari terbit besok pagi.”

Bibinya tidak menyahut. Ditatapnya wajah kemenakannya dalam-dalam. Ketika kemenakannya itu kemudian melangkah meninggalkannya, maka perempuan itu tidak dapat menahan perasaannya lagi. Menangis. Justru karena itu, ia lupa kepada perempuan yang selama ini dijaganya. Kini ia sedang bergulat dengan perasaan sendiri. Perlahan-lahan ia pergi ke bilik kemenakannya dan meletakkannya dirinya, duduk di atas amben bambu yang dibentangi oleh sehelai tikar pandan. Arya Teja itu bukan anaknya sendiri, tetapi anak adik perempuannya. Namun anak muda itu terlampau dekat dengannya, seperti anak sendiri. Bahkan Arya Teja lebih banyak menyatakan perasaannya kepada bibinya daripada kepada ibunya. Karena itu, maka kepergian Arya Teja kali ini benar-benar menyedihkannya.
“Apakah anak itu akan kembali?” desisnya.
Perempuan tua itu menangis di dalam bilik kemenakannya Angan-angannya mengembara sampai ke dunia yang terlampau asing baginya. Tetapi ia merasa bahwa kesepian telah mengintainya dan siap untuk menerkamnya.
“Apakah aku harus memberitahukannya kepada orang tua Arya Teja?” pertanyaan itu sekali-kali menyentuh hatinya. Tetapi ia tidak berani mengambil sikap apa pun. Apakah hal itu akan menguntungkan, atau bahkan sebaliknya? Bagaimanakah apabila orang tua Arya Teja itu mengambil sikap sendiri, dan mengurungkan perkelahian itu dengan kekerasan pula terhadap Paguhan. Dengan demikian maka perasaan Arya Teja yang sedang terbakar itu akan tersinggung pula. Karena itu, maka yang dapat dilakukannya adalah menangis dalam kebimbangan dan keragu-raguan.

Sementara itu, Arya Teja berjalan dengan kepala tunduk menyusuri jalan-jalan padukuhannya. Di tangan kanannya tergenggam sebatang tombak pendek, pusaka pemberian ayahnya yang selama ini selalu menemaninya di dalam keadaan yang paling sulit. Di dalam masa pengabdiannya kepada Demak, sehingga ia mendapat anugerah Tanah Perdikan yang lebih sempurna bagi Menoreh. Beberapa orang yang menyaksikannya bertanya-tanya di dalam hati mereka,
“Kemanakah Arya Teja itu akan pergi? Langkahnya tampak tergesa-gesa sedang tangannya menjinjing senjata.”
Tetapi, tidak seorang  pun yang bertanya kepadanya. Bahkan, orang-orang yang ditemuinya di perjalanannya, bahkan hampir bersentuhan, tidak dihiraukannya. Di dalam kepalanya bergolaklah persoalan tentang dirinya dan isterinya, dalam hubungannya dengan laki-laki yang bernama Paguhan. Semakin tajam ia menyoroti persoalan itu, maka kemarahannya  pun menjadi semakin membakar jantungnya. Sehingga langkahnya menjadi semakin cepat pula. Ia ingin segera sampai ke bawah Pucang Kembar. Di sana ia telah mengikat janji untuk menyelesaikan masalahnya secara jantan. Namun sekali-sekali terngiang pula kata-kata bibinya,
“Tidak ada hukuman yang lebih berat bagi Rara Wulan daripada menerima maafmu.”
Dada Arya Teja itu terasa berdesir. Tetapi semuanya segera terusir seperti asap dihembus angin yang kencang. Kemarahannya selalu menyapu semua perasaan lain yang tumbuh di dalam hatinya. Semakin dekat Arya Teja dengan sepasang pohon pucang yang tumbuh di lereng perbukitan, hatinya menjadi semakin berdebar-debar. Langkahnya terasa terlampau lamban. Ingin ia meloncat dan langsung berdiri di bawah Pucang Kembar sambil memutar tombaknya. Ia ingin segera mendapat keputusan. Meskipun Arya Teja menjadi hampir tidak sabar lagi, namun akhirnya ia sampai juga di bawah Pucang Kembar itu. Ketika menengadahkan wajahnya ke langit, dilibatnya warna-warna merah terbentang dari ujung sampai ke ujung. Matahari telah menjadi semakin rendah bertengger di atas pegunungan.
“Hem,” desisnya,
“aku masih harus menunggu. Apa matahari itu tenggelam, maka sebentar kemudian purnama akan naik. Dan aku harus membuat perhitungan terakhir.”
Dengan gelisahnya Arya Teja berjalan mondar-mandir di tanah berumput yang membentang di bawah Pucang Kembar itu. Semakin rendah matahari di langit, Arya Teja  pun menjadi semakin kehilangan kesabarannya. Tetapi Paguhan masih juga belum menampakkan dirinya.
“Mudah-mudahan ia tidak ingkar janji,” desis Arya Teja.
“Kalau Paguhan tidak datang pada saat purnama naik, maka aku akan mencarinya kemana pun, sampai ke ujung bumi. Aku tidak mau membatalkannya lagi.”
Arya Teja mencoba menyabarkan dirinya. Matahari masih tampak tepat di punggung bukit. Perlahan-lahan sinarnya menjadi kian pudar Warna-warna merah di langit  pun menjadi semakin suram. Sedang angin senja yang lemah berhembus membelai daun sepasang pucang yang ikut terguncang-guncang dengan gelisahnya. Arya Teja berdiri tegak seperti patung di antara kedua batang Pucang Kembar itu menghadap ke Barat. Ditengadahkan wajahnya memandang matahari yang hampir tenggelam, seolah-olah dihitungnya waktu yang diperlukan oleh matahari itu untuk menyembunyikan dirinya di balik bukit. Cahaya kemerah-merahan yang semakin gelap hinggap di wajah Arya Teja. Perpaduan antara warna senja yang hampir kelam dan wajah Arya Teja sendiri yang tegang, memancarkan suasana yang mendebarkan jantung. Dengan sorot mata yang tajam, Arya Teja seolah-olah ingin mendorong agar matahari menjadi semakin cepat tenggelam. Kesabarannya kian lama sudah menjadi kian menipis.

Ketika matahari kemudian hilang di balik pegunungan, Arya Teja menarik nafas dalam-dalam. Alam di sekitarnya menjadi samar-samar. Pepohonan yang hijau tampak menjadi hitam seperti bayangan hantu yang berdiri memutari bentangan tanah berumput di bawah pohon Pucang Kembar itu. Wajah Arya Teja yang gelap menjadi semakin gelap. Tiba-tiba ia memutar tubuhnya, dan berdiri tegak menghadap ke Timur. Tatapan matanya yang tajam kini hinggap pada cakrawala di ujung langit. Di sanalah nanti pada saatnya purnama akan naik. Arya Teja menjadi hampir tidak bersabar lagi. Langit yang menjadi semakin kelam kini mulai diwarnai oleh cahaya yang ke kuning-kuningan. Cahaya purnama yang memancar seolah-olah dari bawah bumi. Purnama yang sebentar lagi akan naik dan mengapung di langit yang bersih.
“Tidak ada sepenginang lagi, purnama akan naik,” anak muda itu berdesis. Dadanya kini menengadah, seakan-akan menantang cahaya purnama yang pertama kali akan mematuknya.
“Paguhan harus sudah berada di tempat ini,” katanya di dalam hati.
Belum lagi ia sempat mengedarkan pandangan matanya, terasa dadanya berdesir. Ia mendengar langkah halus di rerumputan di sampingnya. Tetapi Arya Teja tidak berpaling. Ia masih tetap berdiri tegak dengan kaki renggang, menanti bulan yang sudah mulai terbit. Seleret warna kuning menyembul dari balik kaki langit, di sebelah Timur. Cahayanya yang kuning dengan serta-merta menguak kehitaman yang membentang menyelubungi bumi. Semakin lama menjadi semakin terang. Meskipun tidak secerah sinar matahari, namun cahaya bulan memiliki wataknya sendiri.
Arya Teja masih memandang purnama yang tepat naik. Ia mendengar telapak kaki semakin dekat kepadanya. Tanpa berpaling ia bergumam,
“Kau datang tepat pada waktunya, Paguhan.”
“Ya,” terdengar jawaban dalam nada yang berat,
“aku tidak mempunyai waktu sebanyak waktumu yang kau sia-siakan di bawah Pucang Kembar ini dalam kegelisahan. Aku datang tepat pada waktunya, dan segera akan pergi tepat pada waktu yang aku kehendaki pula.”
Dada Arya Teja berdesir mendengar jawaban itu. Tetapi ia masih menghadap ke arah bulan yang semakin terang. Dilihatnya sehelai awan yang putih mengalir ke utara, kemudian buyar ditiup angin yang kencang. Arya Teja menarik nafas dalam-dalam. Tidak terasa olehnya betapa sejuknya angin malam di daerah terbuka, karena hatinya yang membara.
Perlahan-lahan ia berpaling. Dilihatnya Paguhan berdiri tegak di sisi sebatang dari sepasang pucang itu. Dalam cahaya bulan yang kekuning-kuningan tampaklah wajahnya seolah-olah memancarkan api dari dalam dadanya.
“Kau terlampau sombong, Paguhan,” Arya Teja menggeram.
“Terserah menurut penilaianmu, Arya. Aku sebenarnya tidak ingin melakukan pembunuhan. Apalagi atas suami Rara Wulan. Tetapi kau terlampau keras hati. Karena itu, apa boleh buat.”
“Apakah kau yakin bahwa kau akan dapat membunuhku?”
“Tidak ada seorang pun yang dapat lepas dari tanganku.”
“Hem, kau memang terlampau sombong.”
“Jangankan kau, Arya, bawalah serta ayah dan kakekmu. Aku akan membunuh mereka bersama-sama.”
Terdengar Arya Teja menggeram.
“Jangan sakit hati mendengar kata-kataku,” berkata Paguhan, “sebentar lagi kau harus melihat kenyataan itu.”
“Agaknya karena kau terlampau yakin akan dirimu sendiri, kau telah melakukan perbuatan terkutuk itu.”
“Hampir tidak ada hubungannya,” sahut Paguhan.
“Kau sendiri harus mengakui kesalahanmu. Kau tinggalkan gadis bakal isterimu itu dalam waktu yang tidak terbatas. Dalam kesempatan itulah, ia mencari tempat untuk melepaskan kesepiannya. Tetapi aku bukan seorang pengecut, Arya. Kaulah pengecut itu. Seandainya kau tidak mengikatnya jauh-jauh sebelum waktunya, maka aku akan mengawininya. Tetapi pembicaraan antara orang tuamu dan orang tua Rara Wulan agaknya terlampau mengikat, sehingga terpaksa perkawinanmu itu berlangsung. Tetapi bukan salahku dan bukan salah Rara Wulan kalau kau tidak mendapatkan isterimu itu seperti yang kau kehendaki.”

Terasa darah Arya Teja mendidih di dalam jantungnya. Kata-kata Paguhan benar-benar merupakan penghinaan yang tiada taranya. Justru karena itu, maka mulutnya menjadi seolah-olah terbungkam. Meskipun bibirnya tampak bergerak-gerak, tetapi tidak sepatah kata  pun yang melontar.
“Sekarang kau menepuk dada sebagai Laki-laki jantan,” Paguhan meneruskannya.
“Arya, jangan kau sangka bahwa karena kau baru saja menerima anugerah dari Demak, yang akan menempatkan kau sebagai Kepala Tanah Perdikan Menoreh, tidak ada seorang  pun di tanah ini yang dapat mengimbangimu. Bukankah kita bersama-sama pergi berguru pada saat itu, meskipun pada orang yang berbeda? Nah, seterusnya kau tenggelamkan dirimu pada tugas-tugasmu. Tetapi aku masih selalu meningkatkan ilmuku. Sekarang, kita mendapat kesempatan untuk memperbandingkan, siapakah yang lebih baik di antara kita. Tetapi, sekali lagi kau harus melihat kenyataan, meskipun untuk saat terakhir dalam hidupmu. Sepeninggalmu, Rara Wulan adalah isteriku. Anak itu adalah anakku.”
Terdengar gigi Arya Teja gemeretak, seperti gemerasak di dalam jantungnya. Semakin lama semakin keras. Wajahnya yang membara menjadi semakin merah seperti saga. Dengan susah payah, ia mencoba menyabarkan perasaannya, supaya ia tidak kehilangan pengamatan diri dalam perkelahian yang akan terjadi. Sejenak kemudian terdengar suara Arya Teja terbata-bata,
“Apa pun menurut perasaan dan penilaianmu atas persoalan ini, Paguhan, tetapi kita telah menentukan, bagaimana kita akan menyelesaikannya. Nah, jangan banyak berbicara lagi. Marilah kita lihat, siapakah yang akan dapat keluar dari daerah ini. Siapakah yang besok masih dapat menyebut bahwa malam ini kita telah berkelahi di bawah Pucang Kembar.”
“Huh,” ujung-ujung bibir Paguhan tergerak,
“kau memang seorang pemimpi. Baiklah, semakin cepat memang semakin baik. Ayo, apakah kau telah bersiap? Besok orang-orang Menoreh akan menemukan bangkaimu di sini. Mungkin tinggal kerangkamu saja yang akan diketemukan orang, karena anjing-anjing liar itu.”
Seadainya Arya Teja tidak berhasil menahan dirinya, ia akar benar-benar jatuh ke dalam pengaruh kemarahannya, sehingga ia akan kehilangan kejernihan berpikir. Apabila demikian, maka keadaannya pasti akan sangat berbahaya, sebab ia berhadapan dengan seorang yang sebenarnya memang pilih tanding.
“Nah, apa katamu Arya Teja? Kenapa kau berdiri saja seperti patung? Apakah kau menyesal bahwa kau telah mengambil keputusan untuk melakukan penyelesaian dengan cara ini?”
Hampir saja Arya Teja meloncat menyerang Paguhan. Tetapi ia masih sempat menahan diri sekuat-kuatnya. Justru kini ia sadar, bahwa Paguhan memang sedang memancing kemarahannya. Sebab kemarahan yang meluap-luap, akan membuatnya kehilangan perhitungan. Kesadaran itulah yang justru menahan Arya Teja untuk tetap berdiri di tempatnya, meskipun dadanya seakan-akan hampir meledak. Bahkan ia masih dapat mengucapkan kata-kata,
“Ayolah Paguhan. Apakah kau hanya pandai berbicara tanpa ujung pangkal tetapi tidak pandai menggenggam senjata? Kita sudah tidak perlu berbicara lagi. Apakah besok bangkaiku atau bangkaimu yang akan menjadi makanan anjing-anjing liar, marilah kita tentukan dengan perbuatan. Tidak dengan kata-kata.”
Dada Arya Teja berdesir ketika ia mendengar Paguhan justru tertawa.
“Kau agaknya menjadi ngeri membayangkan apa yang akan terjadi atasmu. Jangan takut. Bukankah kau seorang laki-laki jantan yang telah membawa nama cemerlang di dalam pengabdianmu kepada Demak? Kau tidak perlu takut mati.”
“Apakah kau sedang mencoba membuat aku marah dan kehilangan akal?” sahut Arya Teja.
“Paguhan, aku sudah bukan anak-anak lagi yang mudah kau bakar dengan kata-kata penghinaan. Kau akan menjadi salah hitung. Sebaiknya kita berhadapan sebagai orang laki-laki, tanpa banyak usaha untuk mengalahkan lawan dengan licik seperti yang sedang kau lakukan. Kau tidak perlu membuat aku marah, karena sebenarnya aku memang sedang marah Tetapi kemarahanku bukan kemarahan anak-anak lagi.”

Dada Paguhan berdesir mendengar kata-kata Arya Teja. Hampir-hampir ia sendirilah yang jatuh ke dalam perangkapnya sendiri. Hampir-hampir ia kehilangan pengamatan diri. Tetapi sejenak kemudian ia  pun menyadari keadaannya. Sekali, lagi ia tertawa dan berkata,
“Kau selalu berprasangka jelek. Baiklah, aku tidak akan berbicara lagi tentang kemungkinan yang akan terjadi, supaya kau tidak menjadi ketakutan. Marilah kita bersiap untuk menentukan siapakah di antara kita yang akan dapat keluar dari daerah ini.”
Arya Teja sama sekali sudah tidak bernafsu lagi untuk berbicara. Namun kini ia telah menemukan kemantapan diri. Ia tidak boleh terpancing dengan cara apa  pun juga, supaya ia dapat melakukan perlawanan dengan wajar. Perlahan-lahan ia mengangkat tombaknya, dan perlahan-lahan ujung tombaknya merunduk setinggi dada. Tombak itu adalah tombak yang jarang sekali dipergunakannya. Namun kali ini ia akan berhadapan dengan seorang yang dianggapnya mempunyai beberapa kelebihan dari anak-anak muda yang lain, sehingga tombak itulah yang dibawanya untuk menemaninya melawan Paguhan yang telah berkhianat terhadap persahabatan mereka.
Paguhan yang menyadari bahwa ia tidak dapat lagi membakar hati Arya Teja, segera bersiap pula. Dari selongsong putihnya, ia mengambil sepasang senjata yang dahsyat sekali. Sepasang nenggala, yang bermata dua, di pangkal dan di ujungnya. Dada Arya Teja berdesir melihat sepasang senjata yang mengerikan itu. Senjata yang khusus dimiliki oleh Paguhan dari gurunya. Sepasang senjata di kedua tangannya itu berarti empat ujung yang tajamnya melampaui senjata-senjata biasa.
“Apakah kau heran melihat senjataku,” terdengar suara Paguhan datar.
Arya Teja menggeleng. “Tidak. Kau pernah memperlihatkan kepadaku.”
“Oh,” Paguhan mengangguk-anggukkan kepalanya,
“aku memang pernah memperlihatkan kepadamu. Tetapi kau belum pernah melihat bagaimana aku mempergunakannya.”
“Aku ingin segera melihatnya, karena itu jangan banyak berbicara.”
Sekali lagi dada Paguhan berdesir. Tetapi sekali lagi ia bertahan untuk tidak masuk ke dalam perangkapnya sendiri.
Sejenak kemudian, kedua anak muda itu telah berdiri berhadapan dengan senjata di tangan masing-masing. Paguhan dengan sepasang senjata yang khusus, sedang Arya Teja menggenggam tombak pendeknya dengan kedua tangannya. Ujung tombak itu kini menjadi semakin merendah. Setapak ia maju mendekati Paguhan. Matanya yang tajam menyambar kedua senjata itu berganti-ganti, namun kemudian ditatapnya mata Paguhan yang semakin membara.

Arya Teja sadar bahwa ia tidak akan dapat mengikuti sepasang senjata itu dengan matanya. Keduanya pasti akan bergerak dengan arah dan irama yang berbeda. Tetapi Arya Teja tidak akan dapat ditipu lagi oleh arah pandangan mata Paguhan. Pengalamannya telah cukup luas menghadapi segala macam senjata. Juga jenis-jenis senjata berpasangan. Bulan yang bulat telah memanjat langit semakin tinggi.


Halaman 1 2 3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar