Kata-kata bibinya itu meledak di telinga Arya Teja seperti seribu guruh. Dadanya terguncang dahsyat sekali, sehingga rasa-rasanya seluruh tulang rusuknya terpatahkan. Sejenak pandangan matanya menjadi gelap berkunang-kunang. Tubuhnya gemetar dan nalarnya seakan-akan ditaburi oleh kekelaman yang pekat.
Sekali lagi
Arya Teja terhenyak ke dinding. Tubuhnya menjadi lemah, seolah-olah tulang-tulangnya
dilolosi. Hampir-hampir ia sudah tidak mampu lagi untuk berdiri. Bibinya kini
telah berdiri di hadapannya. Dipandanginya wajah kemanakannya yang
kadang-kadang pucat namun kemudian merah membara.
“Ingatlah akan
dirimu.”
Keringat
dingin telah membasahi segenap tubuh Arya Teja. Dari ubun-ubunnya sampai ke
ujung kakinya. “Tidak sepantasnya kau berbuat begitu, Ngger,” berkata bibinya.
“Kau adalah
laki-laki, seperti ayahmu menginginkannya, bahwa kau adalah laki-laki jantan.
Kau tidak dapat membunuh perempuan itu tanpa membunuh bayi yang sama sekali
tidak berdosa. Tetapi kau dapat berbuat demikian terhadap orang yang menaburkan
benih di ladangmu tanpa membunuh bayi itu.”
Kata-kata
bibinya itu benar-benar telah menyentakkan perasaan Arya Teja. Tubuhnya yang
seolah-olah sudah tidak berdaya itu, tiba-tiba tegak bagaikan tiang baja yang
kokoh kuat tidak tergoyahkan. Kini matanya benar-benar mancarkan api yang
menyala di dalam dadanya. Terdengar gigi Arya Teja gemeretak. Terngiang kembali
kata-kata bibinya itu,
“Tetapi kau
dapat berbuat demikian terhadap orang yang menaburkan benih di ladangmu tanpa
membunuh bayi itu.”
Arya Teja
menggeram. Terdengar suaranya parau, “Ya, Bibi. Aku mengerti.”
Selangkah Arya
Teja maju mendekati isterinya. Dengan suara gemetar ia bertanya,
“Wulan,
katakan. Katakan. Siapakah yang telah berbuat itu? Aku sadar kini, bahwa itu
adalah penghinaan yang sedalam-dalamnya bagi kejantananku. Orang itu ingin
mencoba mengukur lebar dada Arya Teja yang sebentar lagi akan mendapat wisuda
menjadi Kepala Tanah Perdikan di Menoreh. Kalau aku belum menemukan orang itu
Wulan, maka aku tidak akan dapat hidup dengan tenteram. Ada dua kemungkinan
yang dapat terjadi padaku. Membunuh atau dibunuh. Tetapi itu adalah sikap
jantan.”
Rara Wulan
yang sudah pasrah diri, yang justru seakan-akan sudah tidak lagi dibayangi oleh
kecemasan, dan bahkan air matanya pun
seolah-olah sudah kering, kini digoncangkan lagi oleh kegelisahan yang dahsyat.
Terbayang di wajahnya, apa yang dapat terjadi apabila dua orang laki-laki
jantan telah berhadapan.
“Wulan,
katakan Wulan, supaya aku tidak jatuh ke dalam dosa yang paling nista, membunuh
perempuan yang tidak berdaya dan membunuh bayi di dalam kandungannya. Bayi yang
tidak berdosa sama sekali.”
Pernyataan itu
telah benar-benar menghentakkan dada Rara Wulan. Namun Rara Wulan itu mendengar
bibi Arya Teja berkata,
“Tidak ada
gunanya, Arya Teja. Sikap itu memang sikap jantan. Tetapi tidak semua persoalan
harus diselesaikan dengan cara itu. Aku memperingatkan kau akan hal itu, sekedar
untuk mencegah kau menjadi kehilangan akal. Sikap itu jauh lebih baik daripada
kau membunuh perempuan dan bayinya yang sama sekali tidak berdosa. Tetapi sikap
itu sendiri bukan sikap yang paling baik.”
Mata Arya Teja
yang menyala itu membayangkan keragu-raguan setelah ia mendengar kata-kata
bibinya. Namun bibinya itu berkata terus,
“Sikap yang
demikian masih akan menumpahkan darah. Darah bukanlah penyelesaian yang paling
baik.”
Tubuh Arya
Teja menjadi gemetar. Sekali lagi terdengar suaranya yang parau,
“Lalu apakah
sebaiknya yang aku lakukan, Bibi?”
“Kau harus
berjiwa besar, Arya Teja. Kau harus membuat penyelesaian tanpa menitikkan
darah. Kau harus bertemu dengan laki-laki itu. Kau atau orang itu yang
seterusnya akan memiliki Rara Wulan. Sesudah itu, tidak ada lagi persoalan di
antara kalian.”
Darah Arya
Teja menghentak-hentak di jantungnya. Dan terdengar ia berkata terbata-bata,
“Itu tidak
mungkin, Bibi. Itu tidak mungkin. Aku tidak mungkin melakukan kedua-duanya.
Terus mengawini Rara Wulan dengan menelan pengghinaan dari seorang laki-laki
tanpa berbuat sesuatu, seolah-olah aku bukan laki-laki, atau melepaskan Rara
Wulan dengan menyandang hina dan malu, karena orang-orang Menoreh akan
mengatakan, bahwa isteri kepala tanah perdikannya telah direbut orang tanpa
berbuat sesuatu.”
Bibinya
mengangguk-anggukkan kepalanya, katanya,
“Itu benar,
Arya Teja. Tetapi bahwa Rara Wulan mengandung di luar perkawinannya denganmu
itu sama sekali tidak diketahui orang.”
“Tetapi aku
tahu, Bibi. Aku tahu, Wulan tahu dan laki-laki yang itu tahu pula.”
“Bukankah
persoalan itu masih terbatas sekali? Kalau jiwamu cukup besar, Arya, kau
lupakan saja apa yang telah terjadi. Tetapi laki-laki itu memang harus datang
kepadamu, minta maaf dan untuk seterusnya tidak akan menyebut-nyebut anaknya
yang masih dalam kandungan.”
“Hanya begitu,
Bibi? Hanya cukup dengan permintaan maaf dan untuk seterusnya tidak akan
mengusik anaknya?”
“Arya Teja.
Peristiwa ini harus kau pandang dari segi yang lapang. Hubungan itu terjadi
sebelum Rara Wulan menjadi isterimu. Kau tidak dapat mengatakan, bahwa
laki-laki itu telah merampas hakmu seluruhnya, sebab pada saat itu terjadi,
Rara Wulan masih belum isterimu.”
“Oh,” Arya
Teja berdesah. Keringatnya menjadi semakin banyak mengalir,
“Tetapi aku
telah terjebak dalam perangkap yang keji itu. Laki-laki itu ternyata pengecut.
Kalau ia laki-laki jantan, maka ia akan bertanggung jawab dan tidak membiarkan
Wulan menjadi isteri orang lain. Mungkin hal itu disengaja pula untuk
menghindarkan diri dari keharusan bertanggung jawab. Agaknya Wulan telah
bersepakat pula menjerat leherku.”
“Tetapi aku
menyesal,” tiba-tiba Rara Wulan memotong,
“aku menyesal
bahwa hal itu terjadi. Karena itu maka aku akan rela dibunuh. Nah, Kakang,
kalau keputusanmu memang ingin membunuhku, kenapa kau akan membatalkannya?”
“Begitu,
begitu yang kau maksud?” tiba-tiba darah Arya Teja meluap sekali lagi. Sehingga
tanpa disadarinya ia melangkah maju dengan tangan gemetar. Kerisnya masih juga
berada di dalam genggamannya.
“Jangan gila,”
teriak bibinya, “kalian berdua memang gila.”
Sekali lagi
Arya Teja tertegun,
“Dengar
kata-kataku!” bentak bibinya. Ternyata pengaruhnya besar sekali atas Arya Teja,
sehingga ia melangkah surut.
“Tidak patut
kalian berbuat begitu,” berkata bibinya pula,
“kalian harus
menemukan penyelesaian sebaik-baiknya, sebagaimana penyelesaian yang dituntut
oleh manusia beradab.”
“Kami
sama-sama laki-laki, Bibi. Itu adalah penyelesaian yang paling baik dan adil,”
geram Arya Teja,
“aku tidak
melihat jalan lain. Sekarang sebutkan laki-laki itu, he?”
Rara Wulan
masih terduduk diam. Pertanyaan yang demikian, benar-benar telah mengguncangkan
dadanya. Seandainya ia menjawab berterus terang, maka ia yakin, pasti akan
terjadi pertumpahan darah dan bahkan kematian seperti yang dikatakan oleh Arya
Teja. Membunuh atau dibunuh. Rara Wulan tahu pula, bahwa laki-laki yang
ditanyakan oleh Arya Teja itu pun pasti
akan berkata begitu pula. Membunuh atau dibunuh. Penyesalan yang paling dalam
telah menyesak di dada Rara Wulan. Sebenarnya penyesalan itu datang sejak
peristiwa itu terjadi. Peristiwa yang seakan-akan berlangsung di luar sadarnya,
pada saat iblis datang menghuni hatinya tanpa dapat dilawannya. Karena itu,
maka tidak ada lain yang diharapkannya kini, selain mati. Mati. Bahkan telah
timbul pula hasratnya untuk membunuh diri. Tetapi alangkah baiknya, apabila ia
mati di tangan Arya Teja. Mungkin hal itu akan dapat memberi sedikit kepuasan
kepada suaminya yang telah dikhianatinya itu.
Maka sejenak
kemudian, terdengar Rara Wulan berkata,
“Kakang, aku tidak
akan mengatakan, siapakah laki-laki itu. Timpakan semua kesalahan kepadaku,
karena memang akulah yang paling bersalah dalam hal ini. Semuanya tidak akan
terjadi, seandainya aku tidak menyurukkan diriku sendiri ke dalam lumpur yang
paling hina. Bagiku penyelesaian yang paling baik adalah bunuhlah aku.”
“Perempuan celaka!”
potong bibi Arya Teja.
“Kau
benar-benar tidak tahu diri. Bunuhlah dirimu sendiri seandainya kau ingin.
Tetapi tunggulah bayi di dalam perutmu itu lahir dan berkesempatan hidup. Tak ada
hak dari siapa pun juga untuk membunuh nyawa yang sama sekali tidak bersalah
itu. Semua hukuman harus ditimpakan dan ditanggung oleh mereka yang berbuat
salah, tetapi tidak pada nyawa itu.”
Seperti juga
Arya Teja, maka hati Rara Wulan pun
tersentuh pula. Apalagi sebagai seorang perempuan yang langsung menyimpan nyawa
itu di dalam dirinya. Karena itu, maka kini kebingungan yang dahsyat telah
melanda, jantungnya. Ia ingin mati, tetapi peringatan bibi Arya Teja telah
membuatnya bimbang. Apabila semula ia telah pasrah tanpa ragu-ragu menghadapi
saat-saat kematian yang memang sudah diharapkannya, tetapi kini ia mulai
bimbang. Nyawa yang ada di dalam dirinya tidak hanya nyawanya sendiri saja.
Tetapi ia pun sedang menyimpan nyawa
bayi di dalam perutnya itu. Dalam keheningan itu terasa, betapa udara bilik itu
seperti dipanggang di atas api. Hening, tetapi tegang dan panas. Sejenak
kemudian terdengar suara Arya Teja parau,
“Wulan. Jangan
memperlambat persoalan. Katakan siapa laki-laki itu? Aku akan membuat penyelesaian.”
“Jangan dengan
cara itu,” bibi Arya Teja berkata,
“kau harus
mendapatkan cara yang baik. Cara yang beradab. Kalian bukan manusia-manusia
liar yang hanya mengenal cara penyelesaian yang serupa itu, darah.”
Dada Arya Teja
berdentangan mendengar kata-kata bibinya. Kalau semula bibinya berhasil
meredakan maksudnya untuk membunuh Rara Wulan, tetapi kini nafsu Arya Teja
untuk membuat perhitungan dengan laki-laki yang dianggapnya telah menghinanya
itu sama sekali tidak surut. Bahkan dengan gemetar ia berkata,
“Tidak ada
pilihan lain, Bibi. Bukankah Bibi sendiri berkata, bahwa aku tidak sepantasnya
membunuh Rara Wulan, tetapi aku dapat berbuat begitu kepada orang yang
menaburkan benih di ladangku.”
“Tetapi bukan
maksudku, Arya,” berkata bibinya,
“aku hanya
ingin mencegahmu membunuh Rara Wulan dan bayinya.”
“Itu adalah
keputusanku,” geram Arya Teja. Lalu katanya kepada Rara Wulan,
“Wulan,
sebutkan nama itu. Sebutkan.”
Dada Arya Teja
berdentang ketika ia melihat Rara Wulan menggelengkan kepalanya yang tunduk,
“Aku tidak
dapat mengatakannya, Kakang.”
“He,” mata
Arya Teja kini seolah-olah menyala,
“sebutkan!
Sebutkan! Kau hanya menyebutkan saja nama itu. Penyelesaiannya ada di
tanganku.”
Air mata Rara
Wulan kini menderas lagi. Dan bahkan seolah-olah ia tidak dapat lagi bernafas
oleh isaknya yang menyesak di dada. Tetapi sekali lagi ia menggelengkan
kepalanya.
“Wulan. Wulan.
Kau tidak mau menyebutkan he?” Arya Teja tiba-tiba berteriak penuh kemarahan.
Dihentakkannya kakimu di lantai. Sambil menunjuk kepala isterinya dengan ujung
kerisnya ia berkata,
“Kau ternyata
pengkhianat yang paling jahat. Kau sengaja menyembunyikan laki-laki di belakang
pinjungmu. He, kalau aku laki-laki itu, maka alangkah malunya. Kalau aku
menjadi laki-laki itu, akulah yang akan membunuh diri. Bukan sekedar
bersembunyi dan bahkan mengorbankan nyawa seorang perempuan dan bayi di dalam
kandungannya.”
Kata-kata itu
serasa langsung menusuk jantung Rara Wulan. Bagaimanapun juga, penghinaan Arya
Teja terhadap laki-laki yang pernah membuat sentuhan langsung di hatinya itu,
membuatnya berdebar-debar. Tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa selain berdiam
diri menutup mulutnya rapat-rapat. Perasaannya semuanya tertuang lewat air
matanya.
“Wulan, apakah
kau benar-benar sudah menjadi bisu he?” Arya Teja menjadi semakin marah dan
berteriak-teriak.
“Arya Teja,”
berkata bibinya,
“hentakan
perasaan di dadamu memang terlampau berat. Sekarang, marilah tinggalkan bilik
ini, Ngger. Beristirahatlah. Kau akan menemukan ketenangan. Dalam ketenangan
itulah kau baru mengambil sikap. Kalau sekarang kau menentukan cara
penyelesaian itu, maka kau akan salah jalan. Kau sekarang tidak dikuasai oleh
pikiran dan nalar, tetapi kau sedang dikuasai oleh perasaan. Perasaanmu yang
lagi gelap.”
“Tidak, Bibi.
Aku harus mendengarnya sekarang. Apakah aku akan bersikap sekarang, hal itu
dapat dipikirkan kemudian. Tetapi nama itu harus aku dengar sekarang. Nama
laki-laki licik yang hanya berani berperisai nyawa seorang perempuan, sehingga
laki-laki betina itu tidak lebih dari seorang pengecut besar.”
Ternyata
kata-kata itu telah menggugah sebuah hati. Betapa seseorang menahan diri, namun
penghinaan itu tidak dapat dibiarkannya. Karena itu, maka seorang laki-laki
yang selama ini mendengarkan pembicaraan itu dari balik dinding di luar rumah,
tidak dapat lagi menahan gejolak perasaannya pula. Sejak beberapa lama ia
mendengarkan pembicaraan Arya Teja dan isterinya di dalam biliknya.
Kadang-kadang ia terpaksa menahan nafasnya, namun kadang-kadang ia terpaksa
menggeretakkan giginya. Ia tidak mempedulikan satu dua orang pembantu di dalam
rumah itu memperhatikannya dari kejauhan. Pembantu-pembantu rumah itu memang
sudah mengenalnya, karena ia sering pula datang berkunjung menemui Arya Teja
sebelum kawin dengan Rara Wulan.
Pembantu-pembantu
yang melihatnya pun sama sekali tidak
menegurnya. Mereka menyangka, bahwa orang itu akan berkunjung seperti biasa,
tetapi ketika didengarnya Arya Teja sedang bertengkar dengan isterinya, maka ia
menunggunya saja di luar. Sedang para pembantu itu tidak tahu apakah yang
sebenarnya dipertengkarkan. Mereka hanya mendengar suara Arya Teja hampir
berteriak. Pembantu-pembantu itu menjadi ketakutan, karena sebelum itu mereka
tidak pernah melihat atau mendengar Arya Teja bersikap kasar, meskipun
kadang-kadang dapat juga bersikap keras. Tetapi orang itu sebenarnya sama
sekali tidak sedang menunggu sampai pertengkaran itu reda. Pertengkaran itu
sendiri telah membakar jantungnya dan mendidihkan darahnya. Ia-lah yang melihat
Arya Teja berjalan dengan tergesa-gesa dan kemudian mengikutinya. Terasa ada
sesuatu yang tidak wajar pada muda yang baru saja kawin itu.
Ternyata apa
yang disangkanya itu benar-benar terjadi. Ia mendengar pertengkaran itu. Ia
mendengar Arya Teja bahkan mengancam untuk membunuh isterinya, dan kini Arya
Teja sedang mendesak Rara Wulan untuk menyebut nama laki-laki yang dianggapnya
telah mengkhianatinya. Dada orang itu menjadi berdebar-debar ketika ia
mendengar bahwa Rara Wulan berkeras hati untuk tidak menyebut nama laki-laki
itu. Tetapi darahnya segera mendidih ketika ia mendengar penghinaan Arya Teja
atas laki-laki itu.
“Hem, apakah
aku akan berdiam diri saja?” desisnya di dalam hati.
Sebuah
pergolakan telah terjadi di dadanya. Pergolakan yang semakin lama menjadi
semakin dahsyat. Sejak Arya Teja menghunus kerisnya, ia telah berdiri dalam
kebimbangan. Apakah ia akan turut mencampurinya? Tetapi sebelum ia mendapat
keputusan, ia melihat bahwa bibi Arya Teja dengan tergesa-gesa memasuki rumah
itu, dan ternyata perempuan itu telah berhasil mencegahnya, sehingga dengan
demikian, ia tidak perlu mencampurinya. Tetapi ia tidak akan dapat terus
menerus berdiam diri sambil mendengarkan penghinaan yang tiada berkeputusan.
Kini sekali
lagi ia mendengar suara Arya Teja,
“Kau tidak mau
mengatakannya, Wulan? Baiklah. Simpanlah rahasia itu di dalam dirimu. Aku sudah
tidak berkeinginan untuk membunuh lagi. Perbuatan itu hanya akan mengotori
tanganku saja,” Arya Teja berhenti sejenak, lalu,
“Besok aku
akan membuat pernyataan terbuka. Setiap orang akan mendengar apa yang telah terjadi
atasmu, sampai saatnya seorang laki-laki berani menampilkan dirinya, dan
mengaku bahwa ia telah melakukannya.”
Sebuah
hentakan yang keras telah menggoncangkan dada Rara Wulan. Ancaman itu
benar-benar telah membuat cemas dan ketakutan, sehingga terdengar suaranya
terpatah-patah di sela tangis dan isaknya.
“Oh, kau
terlampau kejam, Kakang. Kenapa kau tidak mau membunuh aku saja daripada kau
membuat aku malu tiada taranya.”
“Laki-laki
itulah yang bersalah,” sahut Arya Teja, “kecuali kau bersedia menyebut
namanya.”
Betapa hati
Rara Wulan benar-benar tersiksa saat itu. Ia sama sekali tidak menyangka, bahwa
kekhilafannya yang sesaat itu benar-benar telah mematahkan hari depannya,
bahkan jauh lebih mengerikan daripada mati.
“Aku beri kau
waktu,” berkata Arya Teja,
“apabila
sampai fajar besok kau belum juga mau mengatakannya, maka aku akan
melakukannya. Aku akan membunyikan kentongan memanggil setiap orang di dalam
padukuhan ini, yang sebentar lagi akan menjadi tanah perdikan yang sempurna.
Aku akan sesorah dan mengatakan apa yang telah terjadi atas seorang perempuan
yang bernama Rara Wulan.”
“Kakang,” Rara
Wulan memekik.
Tetapi suara
itu hilang ditimpa oleh suara Arya Teja yang lebih keras, “Sudah menjadi
keputusanku.”
“Oh,” tangis
Rara Wulan menjadi semakin keras. Kini kepalanya ditelungkupkan di lantai.
Rambutnya yang hitam panjang berserakan dengan kusutnya.
Arya Teja
masih berdiri tegak dengan sehelai keris di tangannya. Dadanya masih terasa
membara dan sorot matanya masih memancarkan perasaannya yang bergolak. Sedang
bibinya berdiri kebingungan tanpa dapat berbuat sesuatu. Arya Teja sama sekali
tidak mau lagi mendengarkan nasehatnya. Sebagai seorang perempuan, ia kemudian
menjadi iba melihat Rara Wulan. Tanpa disadarinya ia melangkah maju. Dibelainya
kepala perempuan itu sambil berkata,
“Sudahlah,
Wulan. Semuanya sudah terjadi. Tidak ada jalan untuk kembali. Tetapi jalan yang
akan kau tempuh kelak, janganlah mengulangi apa yang telah terjadi, meskipun
dalam bentuk yang berbeda. Kini yang terjadi hanyalah akibat dari perbuatan
yang sudah terlanjur itu. Memang pasti akan terasa pahit. Tetapi kalau kau
sudah maju setapak lagi dan kau atasi kepahitan ini, kau mudah-mudahan akan
mendapat ampun dari Yang Maha Kuasa dan mendapat hati yang terang.”
Tetapi Rara
Wulan tidak menyahut. Bahkan tangisnya menjadi semakin keras. Dalam saat yang
demikian itulah, Arya Teja terperanjat. Ia mendengar langkah tergesa-gesa
mendekati pintu bilik. Semakin lama semakin dekat. Sejenak kemudian dadanya
berdesir tajam. Dilihatnya seorang laki-laki berdiri di ambang pintu. Seorang
laki-laki yang memancarkan api kemarahan lewat matanya yang tajam, setajam mata
burung hantu, seorang laki-laki yang hidungnya melengkung seperti paruh burung
betet, berkumis dan beralis tebal.
Bukan Aria
Teja saja yang ternyata terkejut bukan buatan. Tetapi bibinya pun terkejut, ketika tiba-tiba saja ia
melihat laki-laki itu. Ketika ia melihat mata yang seolah-olah memancarkan
nyala api. Tetapi yang lebih terkejut lagi adalah Rara Wulan. Ketika ia
mengangkat wajahnya, dan melihat laki-laki itu, maka darahnya serasa berhenti
mengalir.
“Kau,” suara
yang parau itu tersekat di kerongkongannya.
Laki-laki itu
sama sekali tidak mengacuhkannya. Tetapi ia berdiri tegak seperti tiang-tiang
rumah itu. Arya Teja bergeser setapak. Mereka, kedua laki-laki itu kini berdiri
berhadapan. Namun belum sepatah kata pun
yang meluncur dari mulut-mulut mereka. Meskipun demikian, mata merekalah yang
seakan-akan berbicara. Arya Teja seolah-olah menangkap kata-kata itu. Dan
telinga hatinya segera menterjemahkannya. Seakan-akan laki-laki itu berkata,
“Akulah yang
telah berbuat.”
Arya Teja
menggeram. Dari sela-sela bibirnya kemudian terucapkan sepatah kata,
“Paguhan.”
Laki-laki yang
berdiri di muka pintu itu masih belum menjawab. Tetapi kata-kata Arya Teja itu
telah menyentuh dadanya setajam ujung keris yang masih digenggamnya.
Namun kedua
laki-laki itu kemudian berpaling ketika mereka mendengar Rara Wulan berteriak,
“Pergi, pergi
kau iblis yang paling jahat! Pergi, pergi!”
Tetapi laki-laki
yang bernama Paguhan itu tidak beranjak dari tempatnya.
“Pergi,
pergi!” perempuan itu menjadi semakin berteriak-teriak. Dipukulkannya tinjunya
bertubi-tubi pada lantai yang basah oleh air matanya,
“Pergi, pergi
kau!”
Paguhan masih
berdiri tegak. Sejenak kemudian terdengar suaranya seakan-akan bergulung-gulung
di perutnya,
“Tidak, Wulan.
Aku tidak akan pergi. Aku bukan laki-laki pengecut yang bersembunyi di balik
pinjungmu. Aku adalah laki-laki yang mempunyai harga diri.”
“Bagus,” Arya
Teja lah yang menyahut,
“aku hormati
kau karena kejantanan itu. Kita adalah laki-laki yang masing-masing mempunyai
harga diri.”
“Pergi,
pergi!” Rara Wulan menjadi semakin memekik mekik.
“Tidak ada
jalan lain,” berkata Arya Teja, “kau atau aku yang binasa.”
“Kau atau
aku,” Paguhan itu mengulang, “bukankah itu jalan yang paling adil?”
“Ya.”
Dan
pembicaraan itu terputus ketika Rara Wulan menjerit tinggi,
“Pergi,
pergi!” lalu tangisnya melonjak semakin keras. Dari sela-sela suara tangisnya
terdengar kata-katanya,
“Aku tidak mau
melihat peristiwa itu terjadi. Akulah yang bersalah. Bunuhlah aku. Bunuhlah
aku.” Suara Rara Wulan menjadi semakin meninggi. Tiba-tiba ia kemudian diam.
Diam, Rara Wulan jatuh pingsan.
Bibi Arya Teja
kemudian menjadi sibuk. Diusap-usapnya dahi perempuan itu. Sesaat kemudian ia
berlari ke belakang mencari minyak kelapa untuk menggosok telinga dan dada Rara
Wulan. Arya Teja dan Paguhan masih berdiri di tempatnya. Mereka hanya mengikuti
kebingungan bibi Arya Teja dengan mata mereka.
“Arya Teja,”
berteriak bibinya,
“apa kau
menunggu sampai isterimu ini mati. Berbuatlah sesuatu. Berbuatlah sesuatu.”
Tetapi Arya
Teja tidak beranjak dari tempatnya. Ia sama sekali tidak bergerak ketika ia
melihat beberapa orang pelayannya berlari-lari menolong bibinya mengangkat Rara
Wulan ke atas pembaringan di bilik yang lain. Namun hati para pelayan itu
bergetar ketika mereka melihat di tangan Arya Teja tergenggam sehelai keris. Tetapi
para pelayan itu menjadi agak tenang, karena mereka tidak melihat setitik
darah pun di tubuh Rara Wulan.
Dalam
kesibukan itu, terdengar Paguhan berkata,
“Arya Teja,
aku menunggumu. Aku memang ingin membuat penyelesaian itu. Aku tunggu kau di
bawah Pucang Kembar. Bulan hampir bulat di langit. Supaya kau mendapat
kesempatan merawat isterimu, maka aku memberimu waktu sampai purnama penuh.”
“Aku tidak
memerlukan waktu itu. Aku tidak akan merawat siapa pun. Apalagi orang yang
telah mengkhianati aku.”
“Terserah
kepadamu. Tetapi aku akan berada di bawah Pucang Kembar pada saat purnama naik,
dua hari yang akan datang. Aku tidak dapat berbuat dalam suasana seperti ini.
Aku ingin Wulan sembuh dan sehat.”
“Kalau kau mau
mengurusnya, uruslah perempuan yang telah kau nodai itu. Aku tidak
memerlukannya.”
“Masih belum
waktunya Arya. Sesaat setelah aku membunuhmu di bawah Pucang Kembar, aku memang
akan melakukannya.”
“Baik. Dua
hari yang akan datang, tepat pada saat purnama naik, aku telah berada di bawah
Pucang Kembar.”
Paguhan tidak
menjawab. Dengan wajah yang tegang ia memandangi Rara Wulan yang terbaring di
pembaringan di bilik sebelah lewat lubang pintu lereg yang tidak tertutup.
Sejenak
kemudian dengan langkah tergesa-gesa ditinggalkannya rumah itu. Langkahnya
panjang dan cepat. Tanpa berpaling lagi ia turun dari pendapa dan melintasi
halaman rumah Arya Teja. Sejenak kemudian ia telah hilang di balik regol.
Arya Teja
masih berdiri di tempatnya seakan-akan sebuah patung. Dadanya bergelora seperti
sedang terbakar. Sama sekali tidak disangka-sangkanya, bahwa orang yang telah
mendorongnya ke dalam kepahitan hidup itu adalah Paguhan, kawan yang terlampau
dekat yang selama ini dianggapnya sebagai seorang anak muda yang baik. Tetapi
ternyata yang terjadi adalah neraka yang paling terkutuk, sehingga tanpa
sesadarnya ia menggeram,
“Dua hari
lagi. Kalau Paguhan tidak ingkar, maka aku atau anak itu yang akan mati.”
Arya Teja
tersadar ketika ia melihat bibinya masuk ke dalam bilik itu. Dilihatnya wajah
yang tua itu telah basah pula oleh air matanya. Sejenak orang itu berdiri
termangu-mangu, namun kemudian, ia melangkah mendekati kemanakannya sambil
bertanya,
“Kau telah
bersepakat untuk melakukan perang tanding?”
Arya Teja
menganggukkan kepalanya,
“Ya bibi.
Nanti apabila purnama penuh naik. Aku dan Paguhan akan melakukannya di bawah
Pucang Kembar.”
Bibinya termenung
sejenak. Lalu katanya,
“Aku tidak
mengerti bahwa kau lebih senang memilih jalan itu daripada cara yang lain.”
“Aku tidak
melihat cara yang lain itu,” sahut Arya Teja.
Bibinya
terdiam. Langkahnya yang berat telah membawanya ke atas amben bambu. Sambil
menarik nafas dalam-dalam diletakkannya dirinya duduk di atas amben itu. Sejenak
mereka berdua saling berdiam diri. Arya Teja masih berdiri kaku dengan keris di
tangan.
“Isterimu
sudah sadar,” berkata bibinya kemudian, “tetapi ia mengalami kejutan yang luar
biasa.”
Arya Teja acuh
tak acuh saja mendengar keterangan bibinya tentang Rara Wulan. Seandainya
perempuan itu mati sekalipun ia tidak akan berkeberatan.
“Ia menyesali
segala dosanya,” berkata bibinya lebih lanjut.
Arya Teja
masih berdiam diri.
“Arya,”
berkata bibinya,
“aku
berpendapat bahwa Rara Wulan bukanlah seorang perempuan yang jahat. Penyesalan
yang paling dalam telah mendorongnya untuk berputus-asa. Ia merasa bahwa
hidupnya sama sekali sudah tidak berarti lagi. Kesalahannya itu lelah
menyebabkannya malu melihat sinar matahari.”
“Oh,” Arya
Teja menggeram,
“sebuah
permainan yang sangat baik. Ternyata Rara Wulan dapat memainkan peranannya
dengan sempurna, sehingga Bibi menjadi iba kepadanya. Tetapi apakah aku harus
menerima penghinaan itu?”
“Arya Teja.
Kau harus tahu, apakah sebabnya hal yang serupa itu dapat terjadi? Kau tidak
boleh melihat persoalan itu hanya sepotong. Sepotong yang membuatmu menjatuhkan
hukuman yang paling berat atas isterimu. Kau harus melihat keseluruhan dari
persoalannya. Peristiwa yang mendahuluinya dan yang kemudian mendorongnya
melakukan perbuatan itu.”
“Bibi, Rara
Wulan dan Paguhan dapat saja menyusun seribu macam alasan. Tetapi akibatnya
sama saja buatku. Aku menerima sampah yang telah dilemparkan oleh Paguhan ke
pawuhan. Bibi, aku tidak dapat. Aku tidak dapat menerimanya.”
Bibinya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Ya, Ngger.
Aku tahu dan aku dapat mengerti perasaanmu. Tetapi kau harus mempertimbangkan
hal-hal yang dapat meringankan dosa isterimu. Sebagai manusia ia dapat dilibat
oleh nafsu tang tidak dimengertinya sendiri. Tetapi yang terpenting kau
ketahui, bahwa ia menyesali apa yang telah terjadi sampai ke pusat hatinya.
Menyesal dan bertaubat.”
“Apakah
artinya sesal itu baginya? Seandainya ia tidak bertaubat sekalipun, ia tidak
akan dapat mengulanginya lagi. Ia tidak akan mendapatkan masa-masa gadisnya dan
melakukan hal yang serupa. Bahkan seandainya itu dikehendakinya sendiri.”
Bibinya
menarik nafas dalam-dalam. Sebagai seorang yang telah lanjut usia, ia dapat
mengerti perasaan yang bergolak di dalam dada kemanakannya. Itulah sebabnya, ia
kemudian berdiam diri sambil menebah dada. Dalam keadaan yang demikian Arya
Teja pasti sulit untuk diajak berbicara.
“Aku masih
mempunyai waktu dua hari lagi sebelum purnama naik. Mudah-mudahan aku dapat
mengurungkan cara penyelesaian yang mengerikan itu,” berkata bibinya di dalam
hati.
“Penyelesaian
yang demikian tidak akan dapat memberikan ketenteraman hidup bagi yang
memenangkannya. Hubungan dengan Rara Wulan tidak akan terselesaikan. Bagi Rara
Wulan, penyelesaian itu adalah cara yang akan menyiksanya sepanjang hidupnya.
Siapa pun yang kalah, ia merasa
kehilangan. Kalau Arya Teja yang kalah, dan mati dalam perkelahian itu, ia akan
kehilangan suaminya. Tetapi, kalau Arya Teja berhasil memenangkannya, dan
Paguhan terbunuh, maka bayi di dalam kandungan itu akan kehilangan bapanya.”
Tetapi bibi
Arya Teja itu tidak dapat berbuat apa-apa pada saat itu. Arya Teja sama sekali
tidak dapat diajaknya berbicara. Kemanakannya itu sedang dikuasai oleh gejolak
perasaan yang dahsyat sekali.
Sejenak mereka
saling berdiam diri. Ruangan itu menjadi sepi, tetapi terasa ketegangan telah
menyesak di dada masing-masing. Lamat-lamat mereka masih mendengar isak tangis
Rara Wulan di bilik sebelah ditunggui oleh pelayannya. Dalam kesepian itu terdengar
suara bibi Arya Teja,
“Arya Teja,
sarungkanlah kerismu. Kau tidak memerlukannya sekarang.”
Arya Teja
menarik nafas. Perlahan-lahan tangannya seolah-olah telah digerakkan oleh
kekuatan yang tidak dimengertinya menyarungkan kerisnya pada wrangkanya.
“Beristirahatlah
dan cobalah merenungkan apa yang telah terjadi dengan tenang. Jangan diburu
oleh nafsu yang bergejolak di dalam dirimu.”
“Akulah yang
telah menjadi korban nafsu itu, Bibi.”
Bibinya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Baiklah,
Ngger. Meskipun demikian apakah salahnya kalau kau mencoba melihat persoalan
ini dari segala segi. Segi yang memberatkan namun juga segi-segi lain, yang
dapat meringankan dorongan kemarahanmu.”
“Tidak ada
yang perlu aku pertimbangkan lagi. Aku sudah memutuskan. Dua hari lagi, saat
purnama naik, aku akan membuat penyelesaian secara jantan.”
Mereka pun kemudian terdiam pula. Ketika udara di
dalam bilik itu terasa semakin sesak, maka Arya Teja pun segera melangkah ke luar. Saat-saat
berikutnya adalah saat yang paling menegangkan, seolah-olah waktu berjalan
terlampau lamban. Arya Teja seakan-akan merasakan bahwa rumahnya telah menjadi
tempat yang paling menyiksanya. Siang dan malam ia seakan dipanggang di atas
bara api. Ia sama sekali tidak mau lagi masuk ke dalam ruang dalam rumahnya. Ia
selalu berada di pendapa atau di pringgitan saja. Di dalam rumah itu Rara Wulan
ditunggui oleh bibi Arya Teja. Perempuan tua itu tidak sampai hati untuk
meninggalkannya dalam keadaan yang demikian. Selain Rara Wulan selalu dihantui
oleh kesalahannya sendiri, bibi Arya Teja itu mencemaskannya pula apabila
tiba-tiba saja perempuan itu membunuh dirinya. Karena itu, ia tidak mau
meninggalkannya. Apabila malam kemudian tiba, Arya Teja selalu memandangi bulan
yang mengapung di langit. Meskipun ujudnya telah hampir bulat, namun malam
purnama masih harus ditunggunya. Dan menunggu kesempatan itu adalah pekerjaan
yang paling menyakitkan hati. Di hari kedua Arya Teja benar-benar telah
kehilangan kesabaran. Sebelum matahari merendah di ujung barat, anak muda itu
telah mempersiapkan dirinya. Diambilnya senjatanya yang selama ini telah
disimpan di atas geledegnya. Sebuah tombak pendek pemberian ayahnya sebagai
sipat kandel dalam kembarnya mengabdikan dirinya kepada pimpinan kerajaan di
Demak.
Arya Teja
terkejut ketika ia mendengar suara bibinya memanggilnya,
“Arya Teja,
apakah selama dua hari ini kau tidak menemukan cara lain yang lebih baik
daripada cara-cara orang biadab itu?”
Arya Teja
mengerutkan keningnya. Kemudian jawabnya dengan nada yang dalam,
“Tidak, Bibi.
Aku tidak memikirkan cara yang lain yang dapat aku lakukan.”
“Sebaiknya kau
mempergunakan mulutmu saja, Ngger. Tidak mempergunakan senjata itu.”
“Senjata ini
lebih baik daripada mulutku, Bibi. Dengan senjata ini semuanya akan segera
selesai.”
“Tidak.
Persoalannya tidak dapat diselesaikan. Tetapi persoalan itu membeku karena
salah satu pihak terbunuh karenanya”
“Dan dengan
demikian maka tidak akan ada persoalan lagi.”
“Kau
membohongi dirimu sendiri, Arya. Persoalan itu akan bergolak di dalam dadamu.
Justru lebih dahsyat dan lebih sulit untuk kau selesaikan.”
Arya Teja
menggelengkan kepalanya. Katanya, “Tidak, Bibi. Aku tidak memikirkan jalan
lain.”
Bibi Arya Teja
menjadi semakin gelisah. Dicobanya sekali lagi untuk menjelaskan keadaan Rara
Wulan.
“Arya Teja.
Kau harus berjiwa besar menghadapi persoalan itu. Rara Wulan adalah seorang
manusia biasa yang dapat melakukan kekhilafan. Seperti kau, pasti pada suatu
waktu melakukannya. Aku, ayahmu, dan ibumu. Bahkan semua orang. Kini isterimu
telah benar-benar menyesali kekhilafan itu. Apakah tidak ada terbersit di dalam
hatimu untuk memaafkannya? Ia telah cukup tersiksa. Kelembutan sikapmu selama
ini benar-benar membuat Rara Wulan semakin merasa berdosa.” Bibinya itu
berhenti sejenak, lalu,
“Apalagi
apabila kau bersedia memaafkan kesalahannya, Ngger. Maka tidak ada hukuman yang
lebih berat lagi bagi Rara Wulan daripada menerima maafmu.”
Arya Teja
tidak menyahut. Kata-kata bibinya itu terasa menyentuh hatinya. Namun kemudian
teringat olehnya janji yang telah diucapkannya,
“Pada saat
purnama naik, di bawah Pucang kembar.”
“Tidak,” Arya
Teja itu tiba-tiba menggeram.
“Tidak, Bibi.
Aku adalah seorang laki-laki. Aku sudah mengucapkan janji untuk melakukan
perang tanding. Tidak ada yang dapat mengurungkan niat itu.”
“Kau tidak mau
mendengarkan nasehatku, Arya. Bagaimanakah kira-kira apabila ayah dan ibumu
mendengar hal ini.”
“Ayah dan ibu
pasti akan membenarkan sikapku. Aku adalah anak laki-laki yang diharapkan
bersikap jantan.”
Bibinya
menggelengkan kepalanya, “Aku kira tidak, Arya.”
“Seandainya
tidak, aku tidak akan mengurungkan janji itu. Hari ini adalah hari yang kedua.
Nanti apabila purnama naik, aku harus sudah berada di bawah Pucang Kembar.”
Bibinya
mengelus dadanya. Tidak ada cara lagi untuk membujuk kemenakannya yang keras
hati itu. Apabila nanti malam tiba, maka di bawah Pucang Kembar itu akan
terjadi pepati. Besok, setiap orang pasti akan memperkatakannya apa yang
terjadi. Apakah mereka akan menemukan mayat Paguhan atau mayat Arya Teja. Namun
keduanya adalah anak-anak muda yang memiliki kelebihan dari anak-anak muda
sebayanya. Perempuan tua itu kemudian menundukkan kepalanya. Arya Teja adalah
anak muda yang keras hati. Ia mengenal anak itu sejak dilahirkan oleh ibunya.
Keras hati, nakal namun bertanggung jawab. Harga dirinya tampak jelas sejak ia
masih kanak-kanak. Pada saat ia menginjak dewasa, maka tampaklah bahwa Arya
Teja akan dapat memenuhi kekudangan orang tuanya. Berbeda dengan adiknya.
Adiknya pun nakal seperti Arya Teja. Tetapi adiknya kurang bertanggung jawab
dan agak manja, sehingga perkembangan wataknya pun berbeda pula. Dan kini Arya
Teja itu sedang mengalami badai di dalam hidupnya sebagai seorang anak muda. Selapis
air tergenang di mata perempuan tua itu. Dan ia terkejut ketika ia mendengar
suara Arya Teja,
“Maafkan aku,
Bibi. Kali ini aku tidak dapat memenuhi permintaan Bibi.”
Bibinya tidak
menjawab. Tetapi terasa sesuatu menyekat kerongkongannya. Apakah yang akan
terjadi atas tanah Menoreh seandainya Arya Teja malam nanti terbunuh oleh
lawannya, meskipun ia mati secara jantan?
Bibi Arya Teja
itu mengangkat wajahnya ketika kemenakannya berkata,
“Bibi,
matahari telah menjadi rendah, hampir sampai ke punggung pegunungan itu. Aku
minta doa Bibi, semoga, aku dapat kembali ke rumah ini.”
Bibinya
mengangguk, meskipun ia berkata di dalam hatinya,
“Lalu, apa
yang akan kau temui di rumah ini adalah bagian dari kepedihan hati itu pula
Arya.”
Tetapi,
bibinya tidak menyatakannya. Disimpannya saja kata-kata itu di dalam hatinya.
Ia tidak mengharap Arya Teja menjadi semakin mendendam lawannya.
“Anak itu
bukan seorang yang ganas,” berkata bibinya di dalam hatinya,
“mudah-mudahan
demikianlah sikapnya terhadap lawannya apabila ia berhasil menguasainya.” Namun
kemudian dada, perempuan itu berdesir.
“Bagaimanakah
yang akan terjadi seandainya Arya Teja kalah dalam perang tanding itu?”
Mata perempuan
tua itu menjadi semakin basah.
“Sudahlah,
Bibi,” terdengar suara Arya Teja berat,
“jangan
hiraukan aku lagi. Apa pun yang akan aku
lakukan dan apa pun yang akan terjadi. Aku mohon maaf apabila aku telah melukai
hati Bibi.”
Bibinya tidak
menjawab.
“Perkenankan
aku pergi sekarang. Aku harus berada di bawah Pucang Kembar itu sebelum purnama
naik.”
Sebuah
anggukan kecil menggerakkan kepala perempuan tua itu. Terdengar suaranya lirih
seolah-olah tersangkut di kerongkongan, “Hati-hatilah, Arya.”
“Terima kasih,
Bibi. Aku masih ingin melihat matahari terbit besok pagi.”
Bibinya tidak
menyahut. Ditatapnya wajah kemenakannya dalam-dalam. Ketika kemenakannya itu
kemudian melangkah meninggalkannya, maka perempuan itu tidak dapat menahan
perasaannya lagi. Menangis. Justru karena itu, ia lupa kepada perempuan yang
selama ini dijaganya. Kini ia sedang bergulat dengan perasaan sendiri. Perlahan-lahan
ia pergi ke bilik kemenakannya dan meletakkannya dirinya, duduk di atas amben
bambu yang dibentangi oleh sehelai tikar pandan. Arya Teja itu bukan anaknya
sendiri, tetapi anak adik perempuannya. Namun anak muda itu terlampau dekat
dengannya, seperti anak sendiri. Bahkan Arya Teja lebih banyak menyatakan
perasaannya kepada bibinya daripada kepada ibunya. Karena itu, maka kepergian
Arya Teja kali ini benar-benar menyedihkannya.
“Apakah anak
itu akan kembali?” desisnya.
Perempuan tua
itu menangis di dalam bilik kemenakannya Angan-angannya mengembara sampai ke
dunia yang terlampau asing baginya. Tetapi ia merasa bahwa kesepian telah
mengintainya dan siap untuk menerkamnya.
“Apakah aku
harus memberitahukannya kepada orang tua Arya Teja?” pertanyaan itu sekali-kali
menyentuh hatinya. Tetapi ia tidak berani mengambil sikap apa pun. Apakah hal
itu akan menguntungkan, atau bahkan sebaliknya? Bagaimanakah apabila orang tua
Arya Teja itu mengambil sikap sendiri, dan mengurungkan perkelahian itu dengan
kekerasan pula terhadap Paguhan. Dengan demikian maka perasaan Arya Teja yang
sedang terbakar itu akan tersinggung pula. Karena itu, maka yang dapat
dilakukannya adalah menangis dalam kebimbangan dan keragu-raguan.
Sementara itu,
Arya Teja berjalan dengan kepala tunduk menyusuri jalan-jalan padukuhannya. Di
tangan kanannya tergenggam sebatang tombak pendek, pusaka pemberian ayahnya
yang selama ini selalu menemaninya di dalam keadaan yang paling sulit. Di dalam
masa pengabdiannya kepada Demak, sehingga ia mendapat anugerah Tanah Perdikan
yang lebih sempurna bagi Menoreh. Beberapa orang yang menyaksikannya
bertanya-tanya di dalam hati mereka,
“Kemanakah
Arya Teja itu akan pergi? Langkahnya tampak tergesa-gesa sedang tangannya
menjinjing senjata.”
Tetapi, tidak seorang pun yang bertanya kepadanya. Bahkan,
orang-orang yang ditemuinya di perjalanannya, bahkan hampir bersentuhan, tidak
dihiraukannya. Di dalam kepalanya bergolaklah persoalan tentang dirinya dan
isterinya, dalam hubungannya dengan laki-laki yang bernama Paguhan. Semakin
tajam ia menyoroti persoalan itu, maka kemarahannya pun menjadi semakin membakar jantungnya.
Sehingga langkahnya menjadi semakin cepat pula. Ia ingin segera sampai ke bawah
Pucang Kembar. Di sana ia telah mengikat janji untuk menyelesaikan masalahnya
secara jantan. Namun sekali-sekali terngiang pula kata-kata bibinya,
“Tidak ada
hukuman yang lebih berat bagi Rara Wulan daripada menerima maafmu.”
Dada Arya Teja
itu terasa berdesir. Tetapi semuanya segera terusir seperti asap dihembus angin
yang kencang. Kemarahannya selalu menyapu semua perasaan lain yang tumbuh di
dalam hatinya. Semakin dekat Arya Teja dengan sepasang pohon pucang yang tumbuh
di lereng perbukitan, hatinya menjadi semakin berdebar-debar. Langkahnya terasa
terlampau lamban. Ingin ia meloncat dan langsung berdiri di bawah Pucang Kembar
sambil memutar tombaknya. Ia ingin segera mendapat keputusan. Meskipun Arya
Teja menjadi hampir tidak sabar lagi, namun akhirnya ia sampai juga di bawah
Pucang Kembar itu. Ketika menengadahkan wajahnya ke langit, dilibatnya
warna-warna merah terbentang dari ujung sampai ke ujung. Matahari telah menjadi
semakin rendah bertengger di atas pegunungan.
“Hem,”
desisnya,
“aku masih
harus menunggu. Apa matahari itu tenggelam, maka sebentar kemudian purnama akan
naik. Dan aku harus membuat perhitungan terakhir.”
Dengan
gelisahnya Arya Teja berjalan mondar-mandir di tanah berumput yang membentang
di bawah Pucang Kembar itu. Semakin rendah matahari di langit, Arya Teja pun menjadi semakin kehilangan kesabarannya. Tetapi
Paguhan masih juga belum menampakkan dirinya.
“Mudah-mudahan
ia tidak ingkar janji,” desis Arya Teja.
“Kalau Paguhan
tidak datang pada saat purnama naik, maka aku akan mencarinya kemana pun,
sampai ke ujung bumi. Aku tidak mau membatalkannya lagi.”
Arya Teja
mencoba menyabarkan dirinya. Matahari masih tampak tepat di punggung bukit.
Perlahan-lahan sinarnya menjadi kian pudar Warna-warna merah di langit pun menjadi semakin suram. Sedang angin senja
yang lemah berhembus membelai daun sepasang pucang yang ikut terguncang-guncang
dengan gelisahnya. Arya Teja berdiri tegak seperti patung di antara kedua
batang Pucang Kembar itu menghadap ke Barat. Ditengadahkan wajahnya memandang
matahari yang hampir tenggelam, seolah-olah dihitungnya waktu yang diperlukan
oleh matahari itu untuk menyembunyikan dirinya di balik bukit. Cahaya
kemerah-merahan yang semakin gelap hinggap di wajah Arya Teja. Perpaduan antara
warna senja yang hampir kelam dan wajah Arya Teja sendiri yang tegang,
memancarkan suasana yang mendebarkan jantung. Dengan sorot mata yang tajam,
Arya Teja seolah-olah ingin mendorong agar matahari menjadi semakin cepat
tenggelam. Kesabarannya kian lama sudah menjadi kian menipis.
Ketika
matahari kemudian hilang di balik pegunungan, Arya Teja menarik nafas
dalam-dalam. Alam di sekitarnya menjadi samar-samar. Pepohonan yang hijau
tampak menjadi hitam seperti bayangan hantu yang berdiri memutari bentangan
tanah berumput di bawah pohon Pucang Kembar itu. Wajah Arya Teja yang gelap
menjadi semakin gelap. Tiba-tiba ia memutar tubuhnya, dan berdiri tegak
menghadap ke Timur. Tatapan matanya yang tajam kini hinggap pada cakrawala di
ujung langit. Di sanalah nanti pada saatnya purnama akan naik. Arya Teja
menjadi hampir tidak bersabar lagi. Langit yang menjadi semakin kelam kini
mulai diwarnai oleh cahaya yang ke kuning-kuningan. Cahaya purnama yang
memancar seolah-olah dari bawah bumi. Purnama yang sebentar lagi akan naik dan
mengapung di langit yang bersih.
“Tidak ada
sepenginang lagi, purnama akan naik,” anak muda itu berdesis. Dadanya kini
menengadah, seakan-akan menantang cahaya purnama yang pertama kali akan
mematuknya.
“Paguhan harus
sudah berada di tempat ini,” katanya di dalam hati.
Belum lagi ia
sempat mengedarkan pandangan matanya, terasa dadanya berdesir. Ia mendengar
langkah halus di rerumputan di sampingnya. Tetapi Arya Teja tidak berpaling. Ia
masih tetap berdiri tegak dengan kaki renggang, menanti bulan yang sudah mulai
terbit. Seleret warna kuning menyembul dari balik kaki langit, di sebelah
Timur. Cahayanya yang kuning dengan serta-merta menguak kehitaman yang
membentang menyelubungi bumi. Semakin lama menjadi semakin terang. Meskipun
tidak secerah sinar matahari, namun cahaya bulan memiliki wataknya sendiri.
Arya Teja
masih memandang purnama yang tepat naik. Ia mendengar telapak kaki semakin
dekat kepadanya. Tanpa berpaling ia bergumam,
“Kau datang
tepat pada waktunya, Paguhan.”
“Ya,”
terdengar jawaban dalam nada yang berat,
“aku tidak
mempunyai waktu sebanyak waktumu yang kau sia-siakan di bawah Pucang Kembar ini
dalam kegelisahan. Aku datang tepat pada waktunya, dan segera akan pergi tepat
pada waktu yang aku kehendaki pula.”
Dada Arya Teja
berdesir mendengar jawaban itu. Tetapi ia masih menghadap ke arah bulan yang
semakin terang. Dilihatnya sehelai awan yang putih mengalir ke utara, kemudian
buyar ditiup angin yang kencang. Arya Teja menarik nafas dalam-dalam. Tidak
terasa olehnya betapa sejuknya angin malam di daerah terbuka, karena hatinya
yang membara.
Perlahan-lahan
ia berpaling. Dilihatnya Paguhan berdiri tegak di sisi sebatang dari sepasang
pucang itu. Dalam cahaya bulan yang kekuning-kuningan tampaklah wajahnya
seolah-olah memancarkan api dari dalam dadanya.
“Kau terlampau
sombong, Paguhan,” Arya Teja menggeram.
“Terserah menurut
penilaianmu, Arya. Aku sebenarnya tidak ingin melakukan pembunuhan. Apalagi
atas suami Rara Wulan. Tetapi kau terlampau keras hati. Karena itu, apa boleh
buat.”
“Apakah kau
yakin bahwa kau akan dapat membunuhku?”
“Tidak ada
seorang pun yang dapat lepas dari tanganku.”
“Hem, kau
memang terlampau sombong.”
“Jangankan
kau, Arya, bawalah serta ayah dan kakekmu. Aku akan membunuh mereka
bersama-sama.”
Terdengar Arya
Teja menggeram.
“Jangan sakit
hati mendengar kata-kataku,” berkata Paguhan, “sebentar lagi kau harus melihat
kenyataan itu.”
“Agaknya
karena kau terlampau yakin akan dirimu sendiri, kau telah melakukan perbuatan
terkutuk itu.”
“Hampir tidak
ada hubungannya,” sahut Paguhan.
“Kau sendiri
harus mengakui kesalahanmu. Kau tinggalkan gadis bakal isterimu itu dalam waktu
yang tidak terbatas. Dalam kesempatan itulah, ia mencari tempat untuk
melepaskan kesepiannya. Tetapi aku bukan seorang pengecut, Arya. Kaulah
pengecut itu. Seandainya kau tidak mengikatnya jauh-jauh sebelum waktunya, maka
aku akan mengawininya. Tetapi pembicaraan antara orang tuamu dan orang tua Rara
Wulan agaknya terlampau mengikat, sehingga terpaksa perkawinanmu itu
berlangsung. Tetapi bukan salahku dan bukan salah Rara Wulan kalau kau tidak
mendapatkan isterimu itu seperti yang kau kehendaki.”
Terasa darah
Arya Teja mendidih di dalam jantungnya. Kata-kata Paguhan benar-benar merupakan
penghinaan yang tiada taranya. Justru karena itu, maka mulutnya menjadi
seolah-olah terbungkam. Meskipun bibirnya tampak bergerak-gerak, tetapi tidak sepatah
kata pun yang melontar.
“Sekarang kau
menepuk dada sebagai Laki-laki jantan,” Paguhan meneruskannya.
“Arya, jangan
kau sangka bahwa karena kau baru saja menerima anugerah dari Demak, yang akan
menempatkan kau sebagai Kepala Tanah Perdikan Menoreh, tidak ada seorang pun di tanah ini yang dapat mengimbangimu.
Bukankah kita bersama-sama pergi berguru pada saat itu, meskipun pada orang
yang berbeda? Nah, seterusnya kau tenggelamkan dirimu pada tugas-tugasmu. Tetapi
aku masih selalu meningkatkan ilmuku. Sekarang, kita mendapat kesempatan untuk
memperbandingkan, siapakah yang lebih baik di antara kita. Tetapi, sekali lagi
kau harus melihat kenyataan, meskipun untuk saat terakhir dalam hidupmu.
Sepeninggalmu, Rara Wulan adalah isteriku. Anak itu adalah anakku.”
Terdengar gigi
Arya Teja gemeretak, seperti gemerasak di dalam jantungnya. Semakin lama
semakin keras. Wajahnya yang membara menjadi semakin merah seperti saga. Dengan
susah payah, ia mencoba menyabarkan perasaannya, supaya ia tidak kehilangan
pengamatan diri dalam perkelahian yang akan terjadi. Sejenak kemudian terdengar
suara Arya Teja terbata-bata,
“Apa pun
menurut perasaan dan penilaianmu atas persoalan ini, Paguhan, tetapi kita telah
menentukan, bagaimana kita akan menyelesaikannya. Nah, jangan banyak berbicara
lagi. Marilah kita lihat, siapakah yang akan dapat keluar dari daerah ini.
Siapakah yang besok masih dapat menyebut bahwa malam ini kita telah berkelahi
di bawah Pucang Kembar.”
“Huh,” ujung-ujung
bibir Paguhan tergerak,
“kau memang
seorang pemimpi. Baiklah, semakin cepat memang semakin baik. Ayo, apakah kau
telah bersiap? Besok orang-orang Menoreh akan menemukan bangkaimu di sini.
Mungkin tinggal kerangkamu saja yang akan diketemukan orang, karena
anjing-anjing liar itu.”
Seadainya Arya
Teja tidak berhasil menahan dirinya, ia akar benar-benar jatuh ke dalam
pengaruh kemarahannya, sehingga ia akan kehilangan kejernihan berpikir. Apabila
demikian, maka keadaannya pasti akan sangat berbahaya, sebab ia berhadapan
dengan seorang yang sebenarnya memang pilih tanding.
“Nah, apa
katamu Arya Teja? Kenapa kau berdiri saja seperti patung? Apakah kau menyesal
bahwa kau telah mengambil keputusan untuk melakukan penyelesaian dengan cara
ini?”
Hampir saja
Arya Teja meloncat menyerang Paguhan. Tetapi ia masih sempat menahan diri
sekuat-kuatnya. Justru kini ia sadar, bahwa Paguhan memang sedang memancing
kemarahannya. Sebab kemarahan yang meluap-luap, akan membuatnya kehilangan
perhitungan. Kesadaran itulah yang justru menahan Arya Teja untuk tetap berdiri
di tempatnya, meskipun dadanya seakan-akan hampir meledak. Bahkan ia masih
dapat mengucapkan kata-kata,
“Ayolah
Paguhan. Apakah kau hanya pandai berbicara tanpa ujung pangkal tetapi tidak
pandai menggenggam senjata? Kita sudah tidak perlu berbicara lagi. Apakah besok
bangkaiku atau bangkaimu yang akan menjadi makanan anjing-anjing liar, marilah
kita tentukan dengan perbuatan. Tidak dengan kata-kata.”
Dada Arya Teja
berdesir ketika ia mendengar Paguhan justru tertawa.
“Kau agaknya
menjadi ngeri membayangkan apa yang akan terjadi atasmu. Jangan takut. Bukankah
kau seorang laki-laki jantan yang telah membawa nama cemerlang di dalam
pengabdianmu kepada Demak? Kau tidak perlu takut mati.”
“Apakah kau
sedang mencoba membuat aku marah dan kehilangan akal?” sahut Arya Teja.
“Paguhan, aku
sudah bukan anak-anak lagi yang mudah kau bakar dengan kata-kata penghinaan.
Kau akan menjadi salah hitung. Sebaiknya kita berhadapan sebagai orang
laki-laki, tanpa banyak usaha untuk mengalahkan lawan dengan licik seperti yang
sedang kau lakukan. Kau tidak perlu membuat aku marah, karena sebenarnya aku
memang sedang marah Tetapi kemarahanku bukan kemarahan anak-anak lagi.”
Dada Paguhan
berdesir mendengar kata-kata Arya Teja. Hampir-hampir ia sendirilah yang jatuh
ke dalam perangkapnya sendiri. Hampir-hampir ia kehilangan pengamatan diri.
Tetapi sejenak kemudian ia pun menyadari
keadaannya. Sekali, lagi ia tertawa dan berkata,
“Kau selalu
berprasangka jelek. Baiklah, aku tidak akan berbicara lagi tentang kemungkinan
yang akan terjadi, supaya kau tidak menjadi ketakutan. Marilah kita bersiap
untuk menentukan siapakah di antara kita yang akan dapat keluar dari daerah
ini.”
Arya Teja sama
sekali sudah tidak bernafsu lagi untuk berbicara. Namun kini ia telah menemukan
kemantapan diri. Ia tidak boleh terpancing dengan cara apa pun juga, supaya ia dapat melakukan
perlawanan dengan wajar. Perlahan-lahan ia mengangkat tombaknya, dan
perlahan-lahan ujung tombaknya merunduk setinggi dada. Tombak itu adalah tombak
yang jarang sekali dipergunakannya. Namun kali ini ia akan berhadapan dengan
seorang yang dianggapnya mempunyai beberapa kelebihan dari anak-anak muda yang
lain, sehingga tombak itulah yang dibawanya untuk menemaninya melawan Paguhan
yang telah berkhianat terhadap persahabatan mereka.
Paguhan yang
menyadari bahwa ia tidak dapat lagi membakar hati Arya Teja, segera bersiap
pula. Dari selongsong putihnya, ia mengambil sepasang senjata yang dahsyat
sekali. Sepasang nenggala, yang bermata dua, di pangkal dan di ujungnya. Dada
Arya Teja berdesir melihat sepasang senjata yang mengerikan itu. Senjata yang
khusus dimiliki oleh Paguhan dari gurunya. Sepasang senjata di kedua tangannya
itu berarti empat ujung yang tajamnya melampaui senjata-senjata biasa.
“Apakah kau
heran melihat senjataku,” terdengar suara Paguhan datar.
Arya Teja
menggeleng. “Tidak. Kau pernah memperlihatkan kepadaku.”
“Oh,” Paguhan mengangguk-anggukkan
kepalanya,
“aku memang
pernah memperlihatkan kepadamu. Tetapi kau belum pernah melihat bagaimana aku
mempergunakannya.”
“Aku ingin segera
melihatnya, karena itu jangan banyak berbicara.”
Sekali lagi
dada Paguhan berdesir. Tetapi sekali lagi ia bertahan untuk tidak masuk ke
dalam perangkapnya sendiri.
Sejenak
kemudian, kedua anak muda itu telah berdiri berhadapan dengan senjata di tangan
masing-masing. Paguhan dengan sepasang senjata yang khusus, sedang Arya Teja
menggenggam tombak pendeknya dengan kedua tangannya. Ujung tombak itu kini
menjadi semakin merendah. Setapak ia maju mendekati Paguhan. Matanya yang tajam
menyambar kedua senjata itu berganti-ganti, namun kemudian ditatapnya mata
Paguhan yang semakin membara.
Arya Teja
sadar bahwa ia tidak akan dapat mengikuti sepasang senjata itu dengan matanya.
Keduanya pasti akan bergerak dengan arah dan irama yang berbeda. Tetapi Arya
Teja tidak akan dapat ditipu lagi oleh arah pandangan mata Paguhan.
Pengalamannya telah cukup luas menghadapi segala macam senjata. Juga
jenis-jenis senjata berpasangan. Bulan yang bulat telah memanjat langit semakin
tinggi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar