Jilid 033 Halaman 2


Ki Tambak Wedi mengangguk-anggukkan kepalanya mendengar keterangan Argajaya itu. Bahkan kemudian ia tersenyum. Memang masuk akal, bahwa dengan demikian, orang-orang yang tidak puas dengan Argapati akan mendapat saluran untuk menentukan sikap, mencari orang baru yang dapat diharapkan memenuhi keinginan mereka. Dan orang baru itu adalah jalur yang tidak menyimpang dari lajer induk.
“Sidanti akan bernama Argapati dan bergelar Ki Gede Menoreh,” desis Ki Tambak Wedi di dalam hati.
“Apabila demikian, maka Argajaya pada saatnya tidak akan berguna lagi. Ia adalah duri di dalam daging yang setiap saat dapat menumbuhkan luka yang berbahaya. Ia akan dapat berkhianat dan menyingkirkan Sidanti, apalagi setelah diketahuinya bahwa Sidanti sama sekali bukan putera Argapati.” Ki Tambak Wedi itu tersenyum di dalam hati.
“Tetapi aku memerlukannya sekarang untuk memecah kekuatan Menoreh.”
Namun pada saat itu Argajaya tersenyum juga di dalam hatinya.
“Aku sudah memegang rahasia itu. Pada saatnya kau akan tersingkirkan dari Menoreh, setelah orang-orang Menoreh mengetahui, bahwa kau bukan trah Argapati, Sidanti.”

Pada saat yang bersamaan, Argapati sendiri sedang sibuk dengan puterinya Pandan Wangi. Pada saat gadis itu menyadari kenyataan yang dihadapinya, tiba-tiba wajahnya menjadi pucat. Tidak sepatah kata  pun yang dapat diucapkannya. Tubuhnya menjadi gemetar, dan keringat dingin mengalir dari segenap tubuhnya. Argapati terkejut ketika ia mendengar Pandan Wangi memekik kecil. Tetapi sejenak kemudian gadis itu jatuh terkulai lemas. Pingsan. Bukan saja Argapati yang menjadi cemas, tetapi pelayan-pelayan yang dipanggilnya pun menjadi bingung pula. Mereka kemudian menggelusut tubuh Pandan Wangi dengan berambang, jahe, dan minyak kelapa. Beberapa orang menggosok keningnya dengan jeruk dan air hangat. Sedang beberapa orang yang lain berkumat-kumit tanpa mengetahui apa yang sedang diucapkannya sendiri.
“Kenapa Pandan Wangi menjadi pingsan?” bertanya salah seorang sambil berbisik.
Kawannya menggelengkan kepalanya. “Aku tidak tahu.”
Argapati sendiri kemudian menekan dadanya sambil menarik nafas dalam-dalam. Agaknya Pandan Wangi mengalami kejutan yang sangat, sehingga ia tidak dapat mempertahankan kesadarannya. Karena itu setelah usaha yang wajar tidak dapat membangunkan Pandan Wangi, maka berkatalah Argapati,
“Bawalah Pandan Wangi ke dalam biliknya. Hati-hati. Aku sendiri akan mencoba menyadarkannya.”
Perlahan-lahan tubuh Pandan Wangi dipapah oleh beberapa orang, dibawa ke dalam biliknya. Setelah gadis itu dibaringkan di pembaringannya, maka Argapati pun berkata,
“Tinggalkan gadis ini seorang diri.”
Para pelayan menjadi semakin bingung. Mereka bertanya-tanya di dalam hati, apakah yang akan dilakukan oleh Ki Gede Menoreh? Tetapi para pelayan itu dengan penuh pertanyaan di dalam hati, satu-satu melangkah meninggalkan bilik itu. Namun meskipun bilik itu kemudian ditutup oleh Argapati, mereka sama sekali tidak beranjak dari samping pintu. Mereka ingin mengetahui, apakah yang akan terjadi atas Pandan Wangi. Bagi para pelayan, Pandan Wangi adalah seorang gadis kesayangan. Para pelayan tahu, bahwa gadis itu telah ditinggalkan oleh ibunya. Apalagi Pandan Wangi adalah gadis yang ramah dan baik, sehingga para pelayan senang kepadanya. Di dalam bilik itu, Argapati duduk di samping puterinya. Tubuh gadis itu telah dibasahi oleh minyak kelapa, berambang, air jeruk dan bermacam-macam ramuan untuk mencoba menyadarkannya. Tetapi Pandan Wangi masih tetap pingsan. Argapati tidak dapat membiarkannya dalam keadaan yang demikian maka dirabanya dahi anak itu. Dipusatkannya segenap kekuatan batinnya, memanjat langsung kepada Tuhan Maha Pencipta. Terasa tangan Argapati itu menjadi gemetar. Kepalanya semakin lama menjadi semakin menunduk. Dengan dada yang semakin lama menjadi semakin bergetar. Argapati berusaha sekuat-kuat tenaga batinnya untuk memohon agar anaknya segera menjadi sadar. Setitik air seakan-akan menetes ke atas bara api di bawah kakinya ketika ia merasakan gerak yang lemah sekali pada anaknya itu. Agaknya saluran kekuatan hati dan kemantapannya memohon telah bergetar pula di dalam dada anak itu.

Argapati yang telah mencurahkan segenap kemungkinan yang ada di dalam dirinya itu kemudian menarik nafas dalam-dalam. Wajah puterinya menjadi berangsur merah. Meskipun Pandan Wangi masih belum sadar, namun tampaklah bahwa gelombang dadanya menjadi semakin keras. Perlahan-lahan Argapati kemudian bangkit. Diambilnya air dingin di dalam kendi yang terletak di geledeg di sudut bilik itu. Dengan hati-hati dititikkan air dari dalamnya. Perlahan-lahan sekali, dengan sangat hati-hati. Setitik demi setitik. Argapati hampir berteriak kegirangan ketika ia melihat puterinya itu membukakan matanya. Yang pertama-tama dipandangnya adalah pelita yang terletak di atas ajuk-ajuk, yang melekat pada tiang bilik itu. Kemudian perlahan-lahan kepalanya bergerak, beredar ke seluruh ruangan. Ketika terpandang olehnya, Argapati, ayahnya, maka dengan serta-merta Pandan Wangi itu berusaha bangkit. Tetapi tubuhnya menjadi terlampau lemah, sehingga ia terjatuh lagi di pembaringannya.
“Jangan bergerak, Wangi,” desis ayahnya perlahan-lahan.
Pandan Wangi tidak berusaha bangkit lagi dari pembaringannya. Ditatapnya saja wajah ayahnya dengan mata yang basah. Ketika kemudian Argapati itu duduk lagi di sampingnya setelah meletakkan kendi di tempatnya, maka dengan serta-merta diraihnya tangan ayahnya, diletakkannya di atas wajahnya. Maka meledaklah tangis Pandan Wangi, seperti bendungan yang pecah oleh banjir bandang. Argapati menarik nafas dalam-dalam. Betapa hatinya serasa diiris dengan ujung senjata yang paling tajam. Namun sedikit kelegaan menyusup di dalam relung hatinya. Pandan Wangi telah dapat menangis. Telah dapat meluapkan perasaan yang tertahan. Semoga dengan demikian dadanya menjadi agak lapang. Sejenak Argapati duduk saja berdiam diri di samping puterinya yang sedang menangis. Dibiarkannya saja Pandan Wangi menumpahkan sesak di dadanya, meskipun dadanya sendiri serasa akan retak. Setiap isak tangis puterinya seolah-olah seujung tombak yang menyentuh jantungnya. Baru ketika tangis Pandan Wangi telah sedikit mereda, Argapati mencoba menghiburnya. Katanya,
“Pandan Wangi. Aku sudah menyangka bahwa kau akan terkejut mendengar ceritera itu. Tetapi aku mengharap bahwa kau dapat menanggapinya secara dewasa. Jangan kau tangkap ceritera itu dengan sikap kekanak-kanakan.”
Dada Pandan Wangi masih terasa terlampau sesak. Meskipun demikian terlontar juga kata-katanya di sela-sela isak tangisnya,
“Ayah, kenapa aku dilahirkan?”
Argapati mengerutkan keningnya. Pertanyaan itu tidak diduga-duganya. Pandan Wangi tidak bertanya tentang Sidanti, tetapi ia bertanya tentang diri sendiri. Karena itu maka Argapati pun bertanya pula,
“Apakah yang kau maksudkan Sidanti?
Pandan Wangi menggeleng lemah. Katanya,
“Bukan, Ayah. Bukan Kakang Sidanti. Tetapi aku, ya kenapa aku dilahirkan dalam keadaan ini.”
Argapati menjadi semakin tidak mengerti.
“Kenapa Wangi? Tidak ada persoalan apa-apa padamu. Persoalan kakakmu, Sidanti, pun sebenarnya telah selesai. Aku tidak akan mengusiknya. Bagaimana pahit perasaanku, tetapi aku sudah menerimanya sebagai anakku. Aku mengharap bahwa Ki Tambak Wedi akan bersikap jujur. Ia mengangkat Sidanti sebagai muridnya, tidak sebagai anaknya yang dimanjakannya dengan berlebih-lebihan. Kini Sidanti terperosok ke dalam kesulitan, dan kesulitan itu akan dibebankan kepadaku, kepada Tanah Perdikan Menoreh. Sebenarnya aku  pun tidak akan ingkar. Aku memang wajib menyelesaikan karena Sidanti adalah anakku. Tetapi tidak dengan cara yang ditempuh oleh Ki Tambak Wedi. Aku memilih cara yang lain, ya lebih sesuai dengan sikap dan kedudukanku. Tetapi Ki Tambak Wedi salah paham. Dan ia menganggapku berkhianat.”
“Aku mengerti, Ayah,” sahut Pandan Wangi sambil terisak.
“Aku mengerti. Tetapi justru Kakang Sidanti telah mendapat tempat yang wajar seandainya kini ia tidak berbuat kesalahan, seandainya ia kini menurut kehendak Ayah.”
“Ya, lalu kenapa dengan kau?”
“Bagaimanapun juga kelahiran Kakang Sidanti didasari atas kehendak bersama dari ayahnya dan ibunya, meskipun akhirnya disesali. Tetapi pada saat-saat itu, ada sentuhan kehendak bersama di antara keduanya.”
“Tetapi itu tidak ada hubungan apa-apa dengan kau, Wangi.”
“Tidak, Ayah,” sahut Pandan Wangi. “Aku dilahirkan tanpa kesediaan yang jujur dari ayah dan ibu. Ayah dan ibu ternyata tidak saling mencintai lagi. Setelah peristiwa itu terjadi, maka hubungan Ayah dan ibu hanyalah sekedar hubungan yang diikat ketentuan lahiriah. Tetapi di antara Ayah dan ibu sama sekali sudah tidak ada ikatan batin, ikatan jiwa secara murni. Dalam keadaan yang demikian itulah aku dilahirkan.”
“Wangi, apakah yang kau katakan itu?”
“Hubungan antara Ayah dan ibu adalah hubungan yang diatur oleh keharusan duniawi. Ayah dan ibu seolah-olah hanya ingin memenuhi kuwajiban masing-masing sebagai suami isteri. Tetapi kelahiran yang demikian adalah kelahiran tanpa arti. Kelahiran yang hanya dipaksakan oleh ikatan duniawi semata-mata tanpa hakekat yang sebenarnya dari hubungan antara suami dan isteri.”
“Wangi, dari mana kau dapat berkata begitu?”
“Bukankah aku sudah dewasa ayah?”

Argapati menarik nafas dalam-dalam. Hatinya menjadi kian pedih ketika tangis Pandan Wangi menjadi semakin meledak-ledak.
“Wangi,” berkata Argapati,
“tanggapanmu atas Sidanti dan dirimu sendiri terlampau dipengaruhi oleh kedirianmu. Kau terlampau kecewa melihat kenyataan itu. Tetapi sebenarnya tidak tepat seperti apa yang kau katakan. Coba Wangi, apakah kau masih juga menganggap bahwa kelahiran Sidanti diciptakan oleh hakekat hubungan antara seorang ayah dan seorang ibu? Kau telah membuat pertentangan yang tajam dari peristiwa-peristiwa itu. Kau memandang pada puncak-puncak peristiwa tanpa memperhatikan perkembangan jiwa yang terjadi kemudian padaku dan pada ibumu. Wangi, kau dapat membayangkan bahwa dapat terjadi kelahiran Sidanti, betapa kemudian ibumu menyesalinya. Sedang kelahiranmu memberikan kebahagiaan kepadanya dan kepadaku. Kami mengharapkan bahwa dengan kelahiranmu keretakan yang pernah ada itu akan dapat terhapuskan, setidak-tidaknya dikurangi. Bukankah dengan demikian kelahiranmu itu merupakan karunia atas kami berdua tanpa menilik perasaan kami masing-masing pada saat-saat sebelumnya?”
“Tetapi perasaan bahagia itu adalah sekedar pelarian dari kekecewaan yang pernah mencengkam hati Ayah dan ibu,” tangis Pandan Wangi menjadi semakin mengeras.
“Wangi, jangan terlampau dilanda oleh perasaan.”
“Ayah,” terdengar suara Pandan Wangi di antara isaknya,
“aku tidak menyalahkan Ayah apabila Ayah selain diliputi oleh kekecewaan di dalam lingkungan keluarga. Betapa ayah mengasihi aku dan ibu dan bahkan Kakang Sidanti, tetapi sejak aku meningkat dewasa, aku merasakan sesuatu yang aneh tersimpan di hati ayah. Ayah sering menyendiri. Ayah sering melakukan pekerjaan ayah jauh melampaui batas waktu yang sewajarnya. Ayah sering pergi berburu dan bahkan Ayah mengajarku berburu pula. Bukan sekedar berburu, tetapi Ayah mendidik aku seperti Ayah mendidik seorang anak laki-laki dalam olah kanuragan.” Pandan Wangi terhenti sejenak. Isaknya serasa menyumbat kerongkongan. Sejenak kemudian terdengar ia berkata sendat,
“Apakah sebenarnya maksud ayah mengajariku ilmu itu? Ilmu cabang perguruan Menoreh menurut istilah Ayah? Kenapa tidak kepada Kakang Sidanti yang justru dibawa oleh ayahnya yang sebenarnya ke Tambak Wedi?” Sekali lagi Pandan Wangi berhenti, tetapi ketika ayahnya ingin menjawab, dipotongnya,
“Aku kini dapat meraba perasaan Ayah waktu itu. Waktu Ayah memutuskan untuk memberi aku ilmu perguruan Menoreh meskipun aku tidak dapat memenuhi keinginan Ayah maju dengan cepat seperti seorang anak laki-laki.”
Argapati tidak segera menjawab. Ia merasakan kehalusan perasaan Pandan Wangi. Perasaan seorang gadis yang kecewa. Rara Wulan bagi Pandan Wangi adalah seorang perempuan yang putih bersih tanpa cacat. Ibu bagi seorang putri adalah gambaran dari kesucian yang mulus. Namun tiba-tiba anggapan itu telah berbenturan dengan kenyataan yang dihadapkan kepadanya. Sebersit penyesalan mengorek hati Argapati. Tetapi kemudian ia merasa bersyukur, bahwa ia cukup mempunyai kekuatan untuk mengatakan kenyataan itu. Pandan Wangi mendengar langsung dari mulutnya sendiri, dari mulut ayahnya, bukan dari orang lain, meskipun kejutan perasaan itu akan terlampau parah baginya.
“Ayah,” terdengar suara Pandan Wangi lemah,
“bukankah Ayah ingin mendapatkan imbangan dari kekecewaan Ayah terhadap kelahiran Kakang Sidanti? Ayah ingin seorang anak laki-laki yang dapat memberi kebanggaan bagi Ayah. Tetapi Kakang Sidanti tidak dapat Ayah terima dengan sepenuh hati. Karena itulah maki Ayah mencoba membuat aku menjadi seorang anak laki-laki meskipun dalam hidupku sehari-hari aku tetap seorang gadis.”

Argapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Betapa tajamnya perasaanmu, Wangi. Sebagian terbesar kau telah benar menebak perasaanku. Tetapi kau kurang tepat menilai hakekat dari persoalannya. Seperti bibi pernah menganggapku sebagai seorang pemimpi, maka aku  pun pernah mengutuk kenyataan itu. Tetapi itu sudah terjadi, Wangi. Dan aku mencoba untuk pasrah diri pada keharusan itu. Jangan berpijak pada ledakan kenyataan itu sendiri. Tetapi kau harus mencoba menyelusur perkembangan jiwaku dan ibumu. Kau lahir dalam pengharapan.”
“Itulah yang Ayah lakukan. Ayah terlampau sadar dalam keutuhan nalar, bahwa harus lahir seorang anak yang akan menjadi adik Sidanti, karena Sidanti tidak sepenuhnya menjadi isi dari keluarga ini. Bukan didorong oleh tambatan batin di antara Ayah dan ibu. Kesadaran atas suatu keharusan mendapatkan anak itulah yang telah mengurangi nilai daripada kelahiran anak itu sendiri. Kesadaran itu telah mendorong Ayah dan ibu dalam suatu kuwajiban yang harus dilakukan. Hanya sekedar kewajiban.”
“Kau membedakan antara kuwajiban dan harapan di dalam persoalan ini, Wangi. Di dalam persoalan kelahiranmu, jangan terlampau tajam menarik garis antaranya. Cobalah kau menenangkan hatimu, supaya kau dapat berpikir lebih bening. Bahwa aku melakukan kuwajiban memang selalu didasari oleh pengharapan. Jangan kau samakan antara pengharapan atas sesuatu dengan pamrih untuk diri sendiri, meskipun keduanya saling mengait.”
Isak Pandan Wangi masih terdengar satu-satu. Kelembutan suara ayahnya memberinya sedikit ketenteraman. Tetapi setiap kali teringat olehnya, apa yang telah terjadi atas ibunya, maka hatinya serasa ditusuk dengan sembilu.
“Kau harus menilai hal ini sebagai suatu kenyataan yang sudah tidak dapat diingkari lagi, Wangi. Kau harus menerimanya, meskipun aku tahu, betapa sakit luka yang tergores di hatimu. Aku tahu, bagaimana hatimu hancur melihat kenyataan tentang ibumu. Tetapi seperti aku pada saat itu, yang hampir-hampir kehilangan pegangan dan kehilangan akal, sehingga aku hampir-hampir berbuat sesuatu di luar sadarku, maka kau pun akhirnya harus menerimanya. Mau tidak mau. Kenyataan itu tidak akan terhapuskan meskipun seandainya kau ingin menolaknya, sebab kenyataan itu telah terjadi. Seperti aku pada saat itu mendengar kata-kata tentang keadaanku, Wangi, bahwa sebaiknya aku tidak terpukau pada peristiwa yang sudah terjadi. Tetapi, bagaimana dengan hari-hari mendatang. Demikian juga hendaknya kau. Jangan terpukau oleh peristiwa yang sudah lama lalu. Tetapi apakah yang akan segera terjadi?”
“Apakah hal itu mungkin, Ayah?”
“Dalam batas kemungkinan, Wangi. Tetapi kita harus berusaha.”
“Aku tidak dapat melepaskan diri dari hari kemarin, Ayah. Seperti Ayah katakan, bahwa yang terjadi kemarin adalah kenyataan yang tidak dapat aku ingkari. Kenyataan tentang diriku, tentang ibuku dan tentang Kakang Sidanti. Apakah sekarang aku dapat melepaskan diri dari kenyataan itu, sehingga aku, Pandan Wangi yang sekarang bukan Pandan Wangi yang lahir karena Ayah menjadi suami ibu, dalam ikatan lahiriah? Apakah Kakang Sidanti dapat melepaskan diri dari kenyataan bahwa ia adalah anak Paguhan yang bergelar Ki Tambak Wedi? Apakah ibu dapat menghapus noda yang telah tercoreng di keningnya, sebagai seorang gadis yang menyerahkan kehormatannya karena nafsu yang menyala di dalam dadanya? Apakah ibu dapat mencuci dirinya dan membersihkan namanya meskipun ia menjadi isteri Kepala Tanah Perdikan Menoreh? Tidak, Ayah. Tidak. Ibu telah berbuat sesuatu yang paling keji, yang paling kotor. Dan aku, aku adalah anaknya.”
Tiba-tiba tangis Pandan Wangi itu menjadi semakin keras kembali setelah agak mereda. Dihentak-hentakkannya tangannya pada dadanya yang terasa terlampau sesak. Pelayan-pelayannya yang berdiri di luar pintu menjadi heran. Mereka mendengar Pandan Wangi menangis. Mereka mendengar seakan-akan Pandan Wangi itu berbantah dengan ayahnya. Tetapi mereka tidak mendengarnya dengan jelas. Mereka tidak mengerti apakah sebenarnya yang dipersoalkan.

Karena itu, maka mereka menjadi semakin lama semakin cemas. Namun mereka sama sekali tidak dapat berbuat apa-apa. Mereka tidak berani mengetuk pintu dan bertanya, apakah sebenarnya yang telah terjadi.
“Wangi,” Argapati kemudian berbisik perlahan-lahan,
“tenanglah. Jangan menyesali diri dan kehadiran dirimu. Ingat, bahwa segala sesuatu tergantung sekali kepada kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa. Kelahiranmu adalah karena kuasanya. Jangan mempersoalkan lantaran kelahiranmu. Tetapi kau adalah hamba-Nya, seperti orang-orang lain adalah hamba-Nya terkasih pula. Terimalah segalanya dengan ikhlas. Kalau kau ikhlas Wangi, tidak ada lagi persoalan bagimu. Persoalan masa lalu itu akan selesai. Marilah kita mulai berbicara dengan masa depan. Masa depanmu dan masa depanku, masa depan Tanah Perdikan Menoreh.” Argapati berhenti sejenak, lalu,
“Sekarang tidak ada lagi yang dapat aku bawa berbicara Wangi, kecuali kau, meskipun kau seorang gadis.”
Pandan Wangi masih juga menangis. Tetapi tangisnya kini telah mereda. Namun masih terasa luka di hatinya terlampau pedih. Ternyata kebahagiaan keluarganya selama ini adalah kebahagiaan yang semu. Kebahagiaan yang dibuat-buat bahkan dipaksakan oleh ayah dan ibunya. Meskipun demikian kata-kata ayahnya berhasil juga sedikit memberinya harapan. Masa depan, dan menerima semuanya dengan ikhlas. Masih terngiang suara ayahnya,
“Kau adalah hamba-Nyi terkasih, seperti orang-orang lain adalah hamba-Nya terkasih pula.”
Pandan Wangi mencoba menghibur hatinya sendiri untuk mengurangi sesak nafasnya. Bahwa Tuhan adalah Maha Kasih Kepada-Nya-lah setiap orang harus menyandarkan dirinya. Ketika tangis Pandan Wangi kemudian mereda kembali, berkatalah Argapati,
“Beristirahatlah, Wangi. Nanti aku ingin berbicara denganmu. Mudah-mudahan kau mendapat ketenteraman hati. Tetapi kita nanti akan berbicara dengan nalar. Sejauh dapat kita pergunakan dan sejauh kita dapat menyeimbangkan perasaan.”
Pandan Wangi tidak menjawab, tetapi ia mengangguk kecil.
“Kau menebak hampir tepat, kenapa aku menyerahkan ilmu kepadamu dan mendidikmu seperti seorang anak laki-laki dalam olah kanuragan. Kenapa tidak kepada Sidanti.” Argapati diam sejenak, lalu,
“Kini kau mendapat jawabnya. Perasaan itu seolah-olah menjadi firasat bagiku, bahwa aku harus berbuat demikian.”
Sekali lagi Pandan Wangi menganggukkan kepalanya.
“Kalau kau dapat tidur, tidurlah, Wangi. Kita besok melihat hari yang bakal datang dengan hati yang dipenuhi oleh gairah akan masa mendatang. Kita berdiri di tempat yang berbeda dengan hari-hari yang lampau. Yang kita hadapi kini jauh lebih berat daripada mengatur Tanah Perdikan ini, daripada berusaha melenyapkan segala macam kemaksiatan dari Tanah tercinta ini.”
Terdengar Pandan Wangi berdesis meskipun tidak jelas. Tetapi Argapati dapat menangkap maksudnya, bahwa Pandan Wangi akan mencoba melakukan pesannya. Beristirahat.
Argapati  pun kemudian meninggalkan Pandan Wangi seorang diri. Para pelayan yang masih ada di muka pintu segera menyibak. Mereka, melihat betapa wajah Argapati diliputi oleh kecemasan dan kemuraman. Tetapi tidak seorang  pun yang berani bertanya. Mereka hanya berani mengintip bilik Pandan Wangi yang luas itu dari sela-sela pintu yang tidak tertutup rapat. Ketika mereka melihat Pandan Wangi masih berbaring diam, maka mereka  pun tidak berani masuk ke dalamnya.
“Biarlah ia tidur,” desis salah seorang pelayan.
“Ya, biarlah ia tidur. Marilah kita pergi ke belakang.”
“Bagaimanakah kalau ia memerlukan sesuatu?”
“Salah seorang dari kita bergantian menjaganya di sini. Di muka pintu, supaya tidak mengganggunya.”
Para pelayan itu  pun kemudian satu-satu pergi meninggalkan bilik itu. Salah seorang dari mereka menungguinya sambil duduk bersandar uger-uger. Sekali-sekali diintipnya Pandan Wangi yang masih saja berbaring. Tetapi pelayan itu tidak berani berbuat apa  pun selain duduk terkantuk-kantuk. Namun dalam pada itu dada Pandan Wangi masih bergolak dengan dahsyat. Betapa ia mencoba berdiri tegak, melepaskan diri dari persoalan-persoalan itu, selalu saja ia terdampar kembali ke dalamnya. Ia tidak dapat melepaskan diri dari kenyataan yang pahit itu. Tetapi seperti kata ayahnya, ia tidak boleh terbenam pula di dalamnya dan tidak mampu lagi untuk bangkit menghadapi masa depannya yang panjang.

Kini ia sadar, bahwa tanpa dirinya, ayahnya akan benar-benar berdiri seorang diri. Sidanti dan bahkan pamannya sendiri, adik ayahnya itu, Argajaya, telah meninggalkannya, meninggalkan ayahnya. Maka perlahan-lahan tumbuhlah perasaan ibanya kepada ayahnya. Kepada ayah yang dikasihinya, seperti ia mengasihi ibunya. Tetapi ternyata bahwa peristiwa yang baru saja didengarnya itu telah menodai pula kasihnya kepada ibunya itu.
“Ayah seorang diri akan berhadapan dengan Ki Tambak Wedi, Paman Argajaya, dan Kakang Sidanti,” desisnya.
Namun sekali lagi ia dilemparkan pada kesulitan perasaan. Sidanti adalah kakaknya. Sejak kecil ia menganggap Sidanti itu kakaknya. Memang sebenarnyalah Sidanti itu kakaknya seibu meskipun kemudian ternyata tidak seayah. Tetapi karena tidak ada orang lain, maka hubungan mereka benar-benar diikat oleh kasih seorang kakak-beradik. Apakah yang akan dilakukannya seandainya kakaknya Sidanti itu kini memusuhi ayahnya.
“Ayah memerlukan seorang yang berada di pihaknya. Ayah memerlukan kawan untuk berbincang. Dan tidak ada orang lain, selain aku,” desis Pandan Wangi.
“Tetapi apakah aku dapat berbuat sesuatu atas Kakang Sidanti dan Paman Argajaya?”
Tiba-tiba sekilas teringatlah ia apa yang baru terjadi kemarin, ketika ia harus berkelahi melawan Sidanti yang menutup wajahnya dengan ikat kepalanya. Ternyata ia masih belum dapat menyamai ilmu Sidanti, meskipun tidak terpaut terlampau banyak.
“Apakah aku harus berangan-angan bahwa suatu ketika aku akan berhadapan dengan Kakang Sidanti sendiri?”
Terasa segores luka menyentuh hati Pandan Wangi. Air matanya yang masih belum kering benar, meleleh semakin deras di pipinya. Dibayangkannya apa yang mungkin dapat terjadi, dan dibayangkannya masa kanak-kanaknya. Sidanti selalu mendukungnya apabila mereka bermain-main bersama-sama. Kadang-kadang ia merengek untuk diantar ke neneknya, ke bibi Arya Teja, di mana tinggal Sidanti. Atau Sidanti-lah yang pergi ke rumahnya untuk sehari penuh. Mereka bermain berkejar-kejaran, menangkap kupu-kupu dan bilalang. Memetik bunga dan bermain air di pinggir sumur.
“Ah,” Pandan Wangi berdesah. Namun apabila kemudian terbayang wajah ibunya, wajah Ki Tambak Wedi yang memang mempunyai beberapa persamaan dengan wajah Sidanti, tiba-tiba gadis itu menggeretakkan giginya. Sekejap seolah-olah lenyaplah sifat kegadisannya. Namun yang tidak dapat ditinggalkannya, adalah air mata yang meleleh di pipinya itu, Betapapun ia bersikap garang.
Pandan Wangi memiringkan kepalanya ketika terdengar ayam jantan berkokok bersahutan. Ternyata sebentar lagi fajar akan menyingsing sebelum ia sempat memejamkan matanya barang sekejap.
Sementara itu Argapati duduk di pringgitan seorang diri, merenungi mangkuk yang masih berisi air jahe yang masih belum diminumnya. Tetapi air itu sudah menjadi dingin, sedingin sisa-sisa malam yang sebentar lagi akan dihalaukan oleh sinar fajar.

Argapati menarik nafas dalam-dalam. Perlahan-lahan ia berdiri, dan pergi ke belakang untuk membersihkan diri. Ketika ia membuka pintu pringgitan, maka dilihatnya pendapa rumahnya yang remang-remang oleh cahaya pelita yang redup. Pendapa itu terasa terlampau sepi baginya kini. Rumah itu seakan-akan menjadi hambar. Tidak ada lagi yang memberinya isi. Tetapi ketika diingatnya Pandan Wangi di dalam biliknya, maka Argapati itu berdesis,
“Semuanya kini tinggal untuknya. Untuk Pandan Wangi. Apabila Sidanti tidak mau kembali, dan Ki Tambak Wedi tetap pada pendiriannya, maka Tanah ini akan menjadi milik Pandan Wangi, bukan Sidanti, meskipun aku masih belum menutup pintu baginya. Tetapi untuk seterusnya, Sidanti pasti hanya akan dibayangi oleh gurunya dan didorongnya untuk masuk ke dalam jurang yang paling dalam seperti saat ini. Menentang Pajang bukanlah mainan anak-anak.”
Argapati menarik nafas dalam-dalam. Terasa kesegaran pagi menyusup kedalam lubang-lubang hidungnya. Ketika ia kemudian melangkahkan kakinya menyentuh halaman, maka di langit telah membayang warna-warna merah yang menjadi semakin rata. Ketika matahari terbit di ujung timur, dan ketika perempuan laki-laki berjalan berurutan di sepanjang jalan pedukuhan dan di sepanjang pematang-pematang, menuju ke pasar, terdengarlah percakapan yang meloncat dari mulut ke mulut tentang datangnya kembali Sidanti, putera Kepala Tanah Perdikan mereka. Agaknya ada perselisihan antara Sidanti dan gurunya dengan Argapati. Bahkan secepat sinar pagi menebar di atas Tanah Perdikan Menoreh, secepat itu pula berita tentang Pandan Wangi yang menangis semalam suntuk tersebar di seluruh sudut Tanah itu. Betapa panjang jalan, masih juga lebih panjang tenggorokan, demikianlah ceritera itu mendapatkan tanggapan yang luar biasa. Setiap mulut yang menyampaikan ke mulut yang lain, terdapat beberapa tambahan sesuai dengan selera masing-masing, sehingga ceritera itu  pun menjadi bersimpang siur tanpa ujung dan pangkal.
“Argapati ingkar akan kuwajibannya,” desis seorang laki-laki bertubuh besar tinggi dan berkumis jarang.
“He,” kawannya terperanjat, “janji apakah yang diingkarinya?”
“Agaknya Argapati membedakan kedua anaknya. Emban cinde, emban siladan.”
“Aku tidak mengerti.”
“Sidanti mutung. Ia tidak mau tinggal bersama ayahnya yang menganggapnya tidak menurut kehendak orang tua itu.”
“He, darimana kau tahu?”
“Tadi pagi aku mendengar sendiri dari mulut adiknya.”
“Adik siapa?”
“Adik Ki Gede Menoreh yang garang itu, Ki Argajaya. Ketika aku bertemu di dekat rumahnya.”
Kawannya berbicara itu seolah-olah menjadi pening mendengar keterangan orang yang bertubuh besar tinggi dan berkumis. Maka ia  pun bertanya pula,
“Kau mendengar dari Ki Argajaya?”
“Ya. Tadi pagi.”
“Tadi pagi, kapan?”
“Ya tadi pagi, ketika aku berangkat ke pasar ini.”
“He,” sahut kawannya,
“apakah kau bermimpi? Kapan kau bertemu dengan Ki Argajaya? Bukankah kita berangkat bersama-sama dari rumahmu?”
Orang yang bertubuh tinggi besar itu mengerutkan keningnya.
“Oh, ya kita berangkat bersama-sama.”
“Jadi kapan kau bertemu dengan Argajaya?”
“Bukan, bukan. Maksudku si Patra yang bertemu dengan Ki Argajaya sendiri. Si Patra-lah yang berkata kepadaku. Tetapi ia bertemu sendiri dengan Argajaya dan mendengar langsung dari mulutnya.”
“Kapan kau bertemu dengan si Patra?”
“Sebelum fajar. Bukankah ia sering mengambil gula kelapa dari padaku? Pagi tadi ia mengambil setenggok gula kelapa. Ia bertemu dengan Ki Argajaya langsung.”
“Bohong. Si Patra sebelum fajar datang pula ke rumahku mengambil gula kelapa pula. Ia tidak berkata-kata apa-apa. Kalau ia telah bertemu dengan Argajaya, ia pasti akan berkata pula kepadaku. Dari rumahku ia berkata, akan segera menemuimu, karena ia takut kalau gulamu jatuh ke tangan orang lain.”
Orang yang tinggi besar itu mengerutkan dahinya. Dan tiba-tiba ia berkata,
“O, ya begitulah. Dari rumahmu ia memang langsung pergi ke rumahku. Di jalan itulah ia mendengarnya.”
“Tidak mungkin. Apakah kerja Ki Argajaya di sepanjang jalan di antara rumahku dan rumahmu yang tidak lebih dari limapuluh langkah itu.”
“Aku tidak tahu,” jawab orang bertubuh tinggi, lalu,
“tetapi aku kira ia berkata bahwa ia mendengar dari Busik. Ya, aku lupa. Ia mendengar dari Busik, bahwa Sidanti menjadi mutung. Dan Busik-lah yang langsung mendengarnya dari Ki Argajaya.”
“He, darimanakah sebenarnya sumber kabar itu?”
“Aku mendengar, dari Patra, tetapi pasti bahwa sumber kabar itu dari Argajaya.”
Kawannya mengerutkan keningnya, lalu katanya, “Tetapi apa kepentingan kita atas hal itu?”
“Aku tidak tahu pasti. Tetapi menurut pendengaranku, demikianlah yang terjadi.”
“Tetapi agaknya kau menyambut kabar itu dengan penuh gairah.”
“Aku tidak mengharapkan yang tidak baik dari persoalan ini. Tetapi aku berkepentingan untuk mendapatkan kebebasan.”
“Kebebasan apakah yang kau maksud?”
“Aku tidak ingin selalu terganggu. Aku tidak mempunyai banyak kesenangan selain sedikit bersabung ayam. Dan Ki Argapati setiap saat mencari jalan untuk mencegahnya. Apalagi jirak kemiri dan beradu gemak. Tetapi, coba, apakah hal itu mereda? Bukankah semakin hari semakin ngambra-ambra.”

Kawannya terdiam sejenak. Ia tidak segera mengetahui maksudnya. Hubungan antara Sidanti dan bebotohan itu tidak begitu jelas baginya. Karena itu maka ia bertanya,
“Apakah yang akan dilakukan Argapati setelah Sidanti mutung? Apakah dengan demikian ia akan membiarkan saja segala macam bentuk perjudian itu, atau Sidanti mutung karena Sidanti sendiri menghendaki hal itu dibiarkan saja, sedang ayahnya menghendaki lain.”
“Demikianlah di antaranya,” jawab orang yang bertubuh besar tinggi dan berkumis jarang itu. “Sidanti memang tidak sependapat dengan ayahnya dalam banyak hal. Sedang Argajaya menganggap bahwa Sidanti berada di pihak yang benar. Demikianlah Sidanti meninggalkan rumahnya bersama gurunya. Tetapi ia tidak kembali ke perguruannya karena ia ingin mengabdikan diri kepada Tanah Perdikan ini.”
“Aku menjadi semakin tidak mengerti.”
“O, kau memang terlampau bodoh. Kau hanya dapat memanjat pohon kelapa dan nderes, kemudian membuatnya menjadi gula kelapa. Selebihnya tidak.”
“Mungkin kau benar. Tetapi aku ingin tahu, apakah yang sebenarnya akan terjadi di sini?”
“Sidanti adalah putera Ki Gede Menoreh yang berhak atas Tanah ini. Bukankah begitu?”
“Ya.”
“Dan ia sudah tidak dapat sesuai lagi dengan pendirian ayahnya.”
“Ya.”
“Tidak ada orang lain yang berhak untuk memegang pimpinan di sini, di atas Tanah Menoreh selain trah Argapati. Bukankah begitu?”
“Ya.”
“Nah, seharusnya kau sudah tahu. Kita tidak senang dengan cara Argapati memerintah. Kini telah ada di Tanah ini Sidanti, yang mempunyai hak pula atas Tanah ini. Jelas.”
“O,” wajah orang itu menjadi merah. Katanya dengan nada yang tinggi, “Jadi kau membayangkan bahwa akan terjadi benturan antara ayah dan anak? Kau membayangkan bahwa Sidanti akan nggege mangsa, mempercepat hak itu turun kepadanya, kalau perlu dengan kekerasan?”
“Bukan begitu,” jawab kawannya, “tetapi apabila terpaksa begitu, ya, apa boleh buat.”
“Tidak, tidak mungkin,” tiba-tiba kawannya hampir berteriak sehingga keduanya terhenti,
“itu tidak mungkin. Argapati adalah lambang keteguhan Tanah Perdikan ini. Ia berdiri tegak di dalam keyakinannya seperti bukit-bukit karang itu. Tidak akan goyah oleh apa pun. Tidak seorang  pun yang berhak mendorongnya ke samping. Puteranya laki-laki itu pun tidak.”
Orang yang bertubuh besar dan tinggi itu terkejut. Kemudian katanya,
“Kenapakah kau ini? Aku hanya sekedar mengatakan bahwa aku mengharapkan pembaharuan di dalam pemerintahan di Tanah Perdikan ini. Aku mengharap bahwa aku tidak merasa dikejar-kejar lagi apa  pun yang akan aku lakukan. Kau kira bahwa aku berpendirian demikian itu hanya seorang diri?”
“Katakan, katakan, siapa yang lain.”
“Patra, Busik, dan masih banyak lagi.”

Kawannya berbicara itu mengerutkan dahinya. Kabar ini adalah kabar yang aneh baginya. Dan kabar yang demikian, itu pasti sudah tersebar di seluruh Tanah Perdikan Menoreh. Tanah yang selama ini hampir tidak pernah dilanda oleh persoalan-persoalan yang mencemaskan selain kerja keras untuk kepentingan bersama. Hanya kadang-kadang terjadi benturan-benturan perasaan, apabila Argapati terpaksa, sedikit berbuat kekerasan untuk mencegah akibat buruk dari segala macam taruhan dan perjudian. Sabung ayam, gemak, jirak kemiri dan sebangsanya, yang kadang-kadang dapat menjerumuskan seseorang kedalam neraka yang paling dalam. Tetapi tiba-tiba tanpa ada mendung dan hujan, meledaklah petir di langit. Sekelompok orang-orang yang kecewa menghendaki pembaharuan. Pembaharuan yang tidak dilandasi atas ketentuan yang berlaku. Orang itu bukanlah orang yang mempunyai pengetahuan cukup untuk memikirkannya. Ia hanya dibayangi oleh kecemasan bahwa akan terjadi sesuatu yang tidak menyenangkan. Ia hanya tahu bahwa Argapati adalah seorang yang baik, karena ia bukan seorang yang sering mempertaruhkan nasibnya dengan segala macam cara. Yang ditempuhnya untuk mendapatkan perbaikan adalah dengan kerja. Kerja.
Tetapi ia mendengar kawannya yang bertubuh tinggi besar itu berkata,
“Marilah, kita masih belum sampai ke pasar. Bukankah kita akan pergi ke pasar? Lupakan saja kabar itu. Kalau kau sependapat, sambutlah, kalau tidak jangan risaukan lagi. Aku kira tidak akan terjadi apa-apa.”
Kawannya tidak menyahut. Mereka melangkahkan kaki mereka, meneruskan perjalanan. Tetapi mereka kemudian saling berdiam diri di sepanjang jalan. Masing-masing dibayangi oleh angan-angan sendiri. Namun kabar yang demikian itu sebenarnya memang terlampau cepat menjalar. Hampir setiap mulut segera mengucapkannya. Sidanti mutung, meninggalkan ayahnya dan tinggal di rumah pamannya bersama gurunya, karena tidak sependapat dengan cara ayahnya memerintah Tanah Perdikan Menoreh.
Beberapa orang penting, akhirnya, sebelum matahari terbenam di ujung Barat, pada hari itu juga, mendengar pula kabar itu. Tetapi mereka menganggap bahwa kabar itu agaknya terlampau dibesar-besarkan. Memang mungkin sekali terjadi perselisihan pendapat antara ayah dan puteranya yang sudah dewasa. Tetapi perselisihan itu pasti hanya akan berlangsung sementara.
“Aku mendengar, bahwa pertentangan yang paling tajam justru terjadi antara Ki Argapati dan Ki Tambak Wedi,” desis seseorang. “Bahkan mereka berjanji untuk menyelesaikannya di bawah Pucang Kembar.”
“Ah, jangan mengigau,” sahut yang lain,” itu hanya sekedar mimpi yang buruk.”
Yang mula-mula berbicara mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Mudah-mudahan itu hanya sekedar mimpi yang buruk, atau pendengaran orang yang membuat kabar ini salah dengar. Tetapi keduanya menyebut-nyebut Pucang Kembar dan saat purnama naik.”
Ternyata kabar-kabar yang bersimpang siur, telah menggetarkan seluruh Tanah Perdikan Menoreh. Bahkan seakan-akan Bukit Menoreh yang membujur membeku itu pun ikut bergetar pula. Namun dalam pada itu, hati Sidanti selalu dicemaskan oleh rahasia tentang dirinya. Bagaimanakah jadinya seandainya Argapati sendiri yang menyebarluaskan rahasia itu?

“Itu tidak akan terjadi,” berkata Ki Tambak Wedi.
“Argapati tidak akan mencoreng arang di kening sendiri. Ia tidak akan mau membukakan rahasia itu kepada siapa pun, sebab dengan demikian hanya akan membuat dirinya sendiri terpercik noda dan malu.”
Sidanti mengangguk-anggukkan kepalanya, meskipun dadanya masih diamuk oleh keragu-raguan. Tetapi dugaan Ki Tambak Wedi itu ternyata tidak salah. Argapati berusaha menutup rahasia itu serapat-rapatnya. Dipesankannya kepada Pandan Wangi untuk menyimpan rahasia itu di dalam hatinya. Rahasia keluarga mereka yang telah dipendamnya bertahun-tahun.
“Bagaimana kalau Ki Tambak Wedi sendiri yang membuka rahasia ini?” bertanya Pandan Wangi.
“Aku kira tidak Wangi, setidak-tidaknya untuk sementara ini. Aku mempunyai dugaan yang kuat, bahwa Sidanti dan Ki Tambak Wedi masih tetap berkepentingan, apabila orang-orang Menoreh menganggap ia sebagai anakku, yang akan berhak sepenuhnya atas Tanah ini.”
“Tetapi bukankah semua orang menganggap bahwa yang kelak akan mewarisi Tanah ini adalah Sidanti?”
“Ya, apabila ia menurut jalan yang aku gariskan. Kalau jika menyimpang dari jalan itu, apalagi membenturkan Tanah ini dengan kekuatan Pajang, aku tidak dapat menerimanya. Hak itu dapat aku cabut dan aku serahkan kepada orang lain.”
Pandan Wangi tidak menjawab. Ditundukkan kepalanya dalam-dalam. Ia sudah dapat menduga, bahwa dirinya pasti akan tersangkut di dalamnya. Putera Argapati sebenarnya ternyata hanya satu. Dirinya sendiri. Dan sejenak kemudian ia mendengar ayahnya berkata,
“Wangi, apabila Sidanti hanya menurut kehendaknya sendiri, atau menurut kehendak gurunya yang melonjak-lonjak itu, aku tidak akan dapat mengikutinya. Terpaksa aku melepaskan mereka bertindak sendiri.”
Pandan Wangi masih belum menjawab.
“Karena itu aku memerlukan kau, Wangi. Aku mengharap supaya kau dapat melepaskan dirimu dari himpitan perasaan. Aku mengharap kau dapat mempergunakan nalar sejauh-jauh mungkin, meskipun kau seorang gadis. Tidak ada lain yang dapat membantu aku dalam setiap keadaan kecuali kau.”
Pandan Wangi semakin menundukkan kepalanya. Dan ayahnya berkata seterusnya,
“Aku tahu, bahwa kau akan mendapat beban yang terlampau berat bagi seorang gadis. Tetapi aku minta keikhlasanmu untuk melakukannya. Karena aku tidak melibat orang lain.”
Terasa dada gadis itu berdesir. Ia mencoba sekuat-kuat tenaganya untuk bertahan supaya perasaan kegadisannya tidak mendorongnya untuk menitikkan air mata. Namun dengan demikian, terasa tenggorokannya menjadi pepat, dan matanya menjadi pedih.
Dan ia mendengar ayahnya berkata seterusnya,
“Tidak ada jalan lain bagi kita Wangi. Demi keselamatan Tanah ini, Tanah nenek moyang yang kemudian telah dikuatkan dengan kekancingan, bahwa Tanah ini telah menjadi Tanah Perdikan.”
Pandan Wangi mengusap wajahnya dengan tangannya. Keringat dingin terasa membasahi punggungnya.
“Kalau kau sudah bersuami, Wangi, maka keadaannya akan berbeda. Tetapi hal itu belum terjadi, sehingga semuanya masih tergantung kepadamu.”

Tanpa disengaja, Pandan Wangi menganggukkan kepalanya. Tiba-tiba terasa hatinya dirayapi oleh getaran yang semula tidak begitu dikenalnya. Tetapi lambat laun menjadi semakin jelas baginya, bahwa getaran itu adalah getaran tekadnya untuk berbuat seperti yang dikatakan oleh ayahnya. Tidak ada kesempatan lagi untuk merajuk dan bermanja-manja. Di hadapannya terbentang tanah garapan yang hampir menjadi kering. Memang sekilas-sekilas melintas wajah ibunya yang sejuk dan dalam. Sorot mata yang suram dan senyum yang terlampau lembut. Tetapi kini diketahuinya, bahwa di balik sorot mata yang suram dan senyum yang terlampau lembut itu tersembunyi penyesalan tiada taranya. Penyesalan yang menjerat hidupnya.
Perlahan-lahan Pandan Wangi mengangkat wajahnya. Dan ayahnya berkata seterusnya,
“Tetapi aku masih mempunyai banyak harapan, Wangi, bahwa segalanya akan dapat diselesaikan dengan baik.”
“Tetapi,” suara Pandan Wangi terlampau dalam,
“bagaimana dengan janji Ayah dan Ki Tambak Wedi bahwa pada saat purnama naik akan bertemu di bawah Pucang Kembar itu lagi.”
“Hem,” ayahnya berdesah,
“kenangan yang paling pahit. Tetapi aku mengharap Tambak Wedi akan berbuat jujur seperti pada masa mudanya. Kita menyelesaikan persoalan pribadi dengan cara jantan.”
“Tetapi ….,” suara Pandan Wangi terputus.
“Aku tahu, Wangi. Kau ingin tahu apakah yang seharusnya kau lakukan dalam keadaan dan kemungkinan yang paling parah.”
Pandan Wangi tidak menyahut.
“Karena itu kau harus dapat berdiri di atas kedua belah kakimu, meskipun kau seorang gadis. Kita masih mempunyai waktu beberapa hari Wangi. Yang beberapa hari ini harus kau pergunakan sebaik-baiknya, supaya kau memiliki bekal yang cukup untuk membentuk diri kelak, meskipun tanpa tuntunan seorang guru pun.”
“Ayah,” Pandan Wangi memotong.
“Aku hanya mengatakan, apabila kemungkinan itu harus terjadi. Sebab semuanya tergantung kepada Yang Maha Kuasa. Kita wajib berusaha, namun ketentuan terakhir berada di tangan-Nya.”
Sekali lagi Pandan Wangi terdiam.
“Kau sudah mempunyai pengetahuan serba sedikit untuk itu. Karena itu, maka kita harus mempergunakan waktu sebaik-baiknya.”
Pandan Wangi tidak menjawab. Argapati  pun kemudian sejenak berdiam diri. Dicarinya kemungkinan yang paling baik yang dapat dilakukannya bersama satu-satunya puterinya. Pandan Wangi. Pandan Wangi tidak segera menjawab. Ia masih belum dapat meredakan pergolakan yang bergulat di dalam dadanya. Benturan-benturan perasaan dan nalar, benturan-benturan tanggapan dan bayangan tentang masa-masa depan selalu mengganggunya, sehingga sulitlah baginya untuk dapat mengerti, apakah sebenarnya yang dikehendakinya sendiri. Kadang-kadang hatinya terbakar oleh perasaan bencinya terhadap keadaan yang telah membuat keluarganya retak sejak dibentuk oleh ayah dan ibunya. Kadang ia ingin melepaskan kebencian dan kemarahannya. Tetapi kadang-kadang tumbuhlah sifat-sifat kegadisannya. Ia ingin merajuk dan bahkan kemudian menjauhkan diri dari setiap persoalan. Ia ingin lari. Lari saja entah ke mana. Tetapi setiap kali dipandanginya wajah ayahnya yang suram, maka tumbuhlah getaran yang panas di dalam dirinya. Ayahnya kini tinggal berdiri sendiri. Apabila ia pergi pula meninggalkannya, maka ayahnya, satu-satunya orang yang masih ada di dekatnya itu, akan ditelan oleh Ki Tambak Wedi.
Pandan Wangi tidak dapat mengerti, dorongan apakah yang telah membawa pamannya ikut di dalamnya. Pandan Wangi tidak dapat mengerti, kenapa adik ayahnya itu memusuhi ayahnya pula. Seharusnya Argajaya ikut pula mendendam, bahwa Ki Tambak Wedi telah menodai kemulusan keluarga kakaknya. Tetapi yang terjadi adalah sebaliknya.

Argapati telah mendengar pula apa yang bergolak di dalam daerahnya dalam waktu yang terlampau singkat. Argapati yang mempunyai tanggapan yang tajam itu segera dapat mengerti, bahwa Ki Tambak Wedi telah mempergunakan Argajaya dan Sidat untuk memecah Padang, dan dimulainya dari Tanah Perdikan Menoreh.
“Aku dapat menghubungi Adipati Pajang,” berkata Argapati di dalam hatinya,
“tetapi harga diriku akan terkorbankan, seolah-olah aku tidak dapat mengatasi persoalan yang tumbuh di dalam daerahku, daerah yang sudah diberi wewenang untuk menjadi Tanah Perdikan. Aku sudah dibebaskan dari sebagian besar kewajiban-kewajiban yang mengikat, sehingga seharusnya aku tidak membuat Pajang menjadi sulit dan terpaksa menitikkan keringat dan apalagi darah prajurit-prajuritnya.”
Itulah sebabnya maka Argapati berpendirian untuk menyelesaikan masalah Tanah Perdikannya tanpa campur tangan orang luar. Pandan Wangi mengangkat wajahnya ketika ia mendengar ayahnya kemudian berkata,
“Bagaimana, Wangi, apakah kau dapat mengerti maksudku?”
Sejenak Pandan Wangi terbungkam. Namun kemudian kepalanya mengangguk kecil.
“Bagus, Wangi,” berkata ayahnya,
“Harapanku satu-satunya kini adalah kau. Tidak ada orang lain yang dapat aku percaya sepenuhnya. Apalagi setelah Argajaya dan Sidanti menyebarkan segala macam desas-desus yang telah merusak sendi kehidupan di Tanah Perdikan ini, menumbuhkan kegelisahan dan kecurigaan di antara kita dan menyalakan api ketidak-puasan yang sama sekali tidak beralasan. Tetapi aku tahu, Wangi, bahwa di antara orang-orang yang tidak puas adalah orang-orang kaya. Dengan uangnya mereka berusaha untuk menyebarkan pendiriannya. Dan kita ternyata masih belum siap untuk melawannya,”
“Dan ayah masih belum bertindak apa-apa?” bertanya Pandan Wangi.
Pertanyaan itu telah menyentuh hati Argapati, sehingga wajahnya yang suram itu tiba-tiba seolah-olah menjadi cerah. Dengan nada yang dalam ia berkata,
“Pertanyaanmu telah menumbuhkan gairah di dalam hatiku, Wangi. Aku memang belum berbuat apa-apa. Aku menunggumu. Aku ingin mendengar ketetapan hatimu. Karena kau seorang gadis, Wangi. Aku ingin tahu, di mana kau hendak berdiri. Apakah kau akan berdiri di samping ayahmu sebagai seorang Kepala Tanah Perdikan yang kini sedang diguncang-guncang oleh orang lain, ataukah kau akan berdiri sebagai seorang gadis yang sedang kecewa menghadapi masalah dirinya, dan masalah keluarganya. Ketidak jujuran dan noda-noda yang kotor telah melekat di wajah kita, karena persoalan yang mengejutkan hati itu.”

Getaran yang panas, yang seolah-olah menyala di dalam dada Pandan Wangi menjadi semakin berkobar. Tiba-tiba air matanya serasa kering. Jari-jarinya yang halus itu tergenggam seperti sedang menggenggam hulu pedang. Katanya,
“Ayah. Aku adalah satu-satunya keturunan Kepala Tanah Perdikan Menoreh. Apa pun yang telah terjadi atas diriku, atas keluargaku, tetapi aku bertanggung jawab atas kelangsungan hidup Tanah ini. Karena itu, aku akan berdiri di samping Ayah sebagai seorang putera satu-satunya Kepala Tanah Perdikan Menoreh. Akulah trah Argapati yang berhak atas Tanah ini.”
Dada Argapati menjadi berdebar-debar karenanya. Dan ia mendengar anak gadisnya itu berkata seterusnya,
“Aku sama sekali tidak diburu oleh nafsu untuk merampas hak atas Tanah ini dari Kakang Sidanti. Tetapi aku dihadapkan pada keadaan yang meskipun tidak aku kehendaki. Kakang Sidanti telah melawan Ayah sebagai Kepala Tanah Perdikan Menoreh bersama Paman Argajaya dan Ki Tambak Wedi.”
Argapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya,
“Terima kasih, Pandan Wangi. Memang tidak ada orang lain yang dapat berbuat demikian selain kau. Aku sudah berkeputusan, apabila kau berdiri tegak dengan dada tengadah, maka aku akan berbuat apa saja buatmu, Wangi. Meskipun aku sudah lama meletakkan tombak pendekku, tetapi untuk mempertahankan Tanah ini, untuk menempatkan kau di tempat yang seharusnya, aku akan menariknya dari wrangka dan selongsongnya. Aku akan dapat mempergunakan lagi seperti aku pernah mempergunakannya dahulu. Tetapi apabila kau berdiri di atas kegadisanmu, merajuk dan berputus asa, maka kau hanya akan menemukan mayatku besok sesudah purnama naik di bawah Pucang Kembar.”
“Ayah.”
“Tidak, Wangi,” potong ayahnya,
“Sekarang aku berpendirian lain, justru kau telah menyatakan tekadmu. Aku masih ingin melihat betapa cerahnya matahari pagi sesudah purnama yang cerah itu.” Ayahnya berhenti sejenak, lalu,
“Karena itu pula aku harus cepat bertindak. Hari ini aku akan mengumpulkan tetua Tanah Perdikan. Aku tidak dapat memberi kesempatan terlalu lama kepada orang-orang yang sengaja membuat kegelisahan itu. Aku harus memberi batasan waktu kepada mereka untuk menghentikan kegiatan mereka. Kalau mereka tidak, bersedia, apa boleh buat. Aku akan bertindak sesuai dengan kewajibanku, Kepala Tanah Perdikan Menoreh.”
Dan Ki Argapati itu benar-benar bertindak cepat. Saat itu juga ia memanggil beberapa orang tetua Tanah Perdikannya. Tetapi, meskipun demikian Argapati tidak ingin membuat kesan yang dapat menambah kegelisahan rakyatnya. Karena itu maka ia  pun berbuat dengan sangat berhati-hati.
Pembicaraan-pembicaraan di antara mereka segera dilakukan. Argapati ingin mendapatkan laporan dan pendapat beberapa orang tetua Tanah Perdikannya. Tetapi. Argapati sebagai seorang laki-laki jantan, sama sekali tidak menyinggung-nyinggung janjinya dengan Ki Tambak Wedi di bawah Pucang Kembar nanti pada saat purnama naik.

Yang dibicarakan di antara mereka adalah desas-desus yang makin tersebar luas. Yang dapat menumbuhkan tanggapan yang berbeda-beda di antara rakyat Tanah Perdikan Menoreh. Ada yang dengan sepenuh hati menyambut Argajaya bersama Sidanti untuk menumbuhkan suasana baru di Menoreh. Tetapi ada pula di antaranya yang berkata,
“Kami tidak ingin terjerumus ke dalam neraka yang paling jahanam. Seandainya benar kata orang bahwa Sidanti telah kembali bersama gurunya, untuk memberikan nafas baru di daerah ini, maka kami harus menentangnya. Argapati adalah seorang pemimpin yang terbaik yang pernah kami kenal. Apabila Sidanti ingin menjadi seorang pemimpin yang baik, ia harus belajar dari ayahnya Jangan sebaliknya justru memusuhinya.”
Dan yang lain berkata,
“Huh, anak durhaka. Apakah ia tidak sabar menunggu sampai saatnya ia menerima waris itu dengan sah menurut ketentuan yang seharusnya?”
Namun di antara sekian banyak orang-orang yang menganggap bahwa Sidanti telah berbuat kesalahan, ada juga yang dengan acuh tak acuh, menunggu apa yang akan terjadi di Tanah Perdikan Menoreh. Di antara mereka berkata,
“Itu adalah urusan mereka. Bagiku lebih baik menunggu saja apa yang akan terjadi, sambil melihat arah angin yang sedang bertiup.”
Demikianlah, maka suasana Tanah Perdikan itu benar-benar telah diguncangkan oleh kabar-kabar itu, meskipun tampaknya di permukaan masih juga tenang dan seperti biasa. Tetapi di antara orang-orang yang merasa tidak senang terhadap perlakuan Argapati, segera mengadakan pertemuan-pertemuan rahasia. Berbicara berbisik-bisik.
“Mudah-mudahan trah Argapati yang masih muda itu memenuhi harapan kita,” berkata salah seorang dari mereka.
“Apakah kita hanya cukup berharap?”
“Tidak. Kita harus berbuat sesuatu.”
“Banyak yang setia kepada Argapati yang sekarang.”
Yang lain tertawa. Katanya,
“Biarlah Argapati membuat rumahnya berbenteng baja. Kita sebarkan emas di halaman, maka benteng baja itu pasti akan pecah oleh rakyat yang justru sebelumnya setia kepadanya.”

Beberapa orang yang lain mengangguk-anggukkan kepalanya. Berkata salah seorang dari mereka,
“Kalau begitu kita temui Sidanti. Kita taruhkan harapan kita kepadanya, supaya kita tidak selalu dihantui oleh sikap Argapati yang memuakkan itu.”
Tetapi ternyata semua bisik-bisik itu sampai juga ke telinga Argapati. Dan bisik-bisik yang demikian itulah yang dibicarakan oleh. Argapati dengan beberapa orang tetua, pemimpin, dan agul-agul di Tanah Perdikan Menoreh.
“Apa yang harus aku lakukan?” bertanya salah seorang pemimpin pengawal Tanah Perdikan itu.
“Kita tidak boleh tergesa-gesa. Kita harus melihat setiap perkembangan dengan saksama,” jawab Argapati. Lalu,
“Jangan membuat rakyat semakin gelisah. Semua gerakan harus dibuat sandi.”
Pemimpin pengawal itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Tetapi Ki Argajaya agaknya sudah jauh bertindak. Beberapa kelompok pengawal telah berada di pihaknya. Dan beberapa kelompok anak-anak muda telah dipengaruhi pula oleh Sidanti.”
Argapati mengerutkan keningnya. Ia memang sudah menyangka bahwa akibatnya akan sampai sekian jauh. Tetapi ia masih juga berkata,
“Aku tahu, tetapi aku masih ingin mencoba untuk menyelesaikan masalah ini dengan baik. Sekian lama kita bekerja keras untuk membangun Tanah ini. Apakah sekarang kita akan membiarkan Tanah ini terbelah? Apakah kita akan membiarkan rakyat kita hancur oleh kita sendiri?”
“Tidak,” sahut pemimpin pengawal yang sudah setengah umur itu, yang selama ini, sebelum peristiwa ini terjadi, selalu mendampingi Argajaya.
“Kami tidak menghendaki. Tetapi kalau kami tidak bertindak cepat, maka keadaan pasti akan menjadi semakin parah. Kalau kita tidak memberi mereka kesempatan, maka kita pasti akan segera dapat mengatasinya.”
“Tunggulah,” jawab Argapati, “aku akan membuat perhitungan.”
“Hem,” pemimpin pengawal itu menggeram.
Namun dada Argapati  pun digetarkan pula oleh geram di dalam pusat jantungnya. Tetapi nalarnya masih cukup kuat untuk membuat pertimbangan yang bagi pemimpin pengawal itu dianggapnya terlampau lamban.
“Yang harus kau lakukan adalah membuat perhitungan yang tepat,” berkata Argapati.
“Apabila ada di antara kalian yang menyeberang, maka kau harus mengetahui imbangan kekuatan itu. Tugasmu yang lain adalah mempersiapkan diri. Setiap saat kalian harus dapat bergerak cepat.”
Pemimpin pengawal Tanah Perdikan itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Aku akan segera memberikan petunjuk-petunjuk baru. Tetapi kau harus menyampaikan laporan-laporan setiap saat.”
Sekali lagi pemimpin pengawal itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Selebihnya Argapati telah memberikan petunjuk-laporan bagi para pemimpin Tanah Perdikan itu, bagaimana mereka harus menghadapi kabar yang semakin merata. Kabar yang sebenarnya. telah benar-benar menggelisahkan Argapati sendiri.

Tetapi Argapati itu terikat oleh janjinya. Pada saat purnama naik, di bawah Pucang Kembar. Pada saat ia mengucapkan janji itu, ia sama sekali tidak mempertimbangkan, bahwa ia sekarang bukan lagi Arya Teja yang dahulu. Tetapi ia adalah Kepala Tanah Perdikan yang mempunyai tanggung jawab yang besar atas kuwajibannya. Dengan demikian maka setiap persoalan pribadinya, mau tidak mau pasti akan menyangkut persoalannya sebagai seorang Kepala Tanah Perdikan. Persoalannya dengan Ki Tambak Wedi yang tampaknya sebagai persoalan pribadi itu  pun ternyata tidak dapat terlepas dari kaitan persoalannya dengan Sidanti. Argapati menyadari persoalannya setelah ia terlibat dalam kesulitan. Ternyata perkembangan keadaan tidak menjadi semakin baik. Kabar yang tersiar semakin lama menjadi semakin menggelisahkan, sehingga Argapati terpaksa mengirimkan beberapa orang untuk langsung menemui Ki Tambak Wedi membawa pesan pribadinya.
“Tidak, aku tidak akan berbicara apa pun,” berkata Ki Tambak Wedi setelah ia mendengar pesan dari utusan Argapati.
“Ki Argapati minta jawaban,” jawab utusan itu.
“Tidak, kau dengar. Aku tidak akan memberikan jawaban apa pun.”
“Baik. Kalau demikian, berarti kedatanganku tidak berarti. Bagi Ki Argapati ini adalah keputusan yang akan jatuh,” berkata utusan itu.
“Aku hanya sekedar utusan. Tetapi keputusan yang diberikan oleh Ki Argapati akan mengikat seluruh Tanah Perdikan Menoreh.”
Mendengar jawaban itu Ki Tambak Wedi mengerutkan keningnya. Ia tahu benar, bahwa Argapati tidak ingin melihat pertumpahan darah. Ia pasti, akan berusaha sekuat-kuat tenaganya untuk menyelesaikannya dengan cara yang sebaik-baiknya. Maka berkata Ki Tambak Wedi yang licik itu,
“Baiklah. Aku akan menjawab. Katakan kepada Ki Argapati, bahwa aku tetap pada pendirianku. Kalau Ki Argapati bersedia menempatkan dirinya bersama aku dan puteranya yang digadangnya untuk menduduki tempatnya kelak, maka semuanya akan menjadi baik. Tidak ada pertentangan yang dalam. Kami hanya ingin mendapat perlindungan pertanggungan jawab. Terutama puteranya yang kini terancam bahaya. Sebaiknya Argapati mempertimbangkan keputusannya.”
“Bukan itu yang ditanyakannya,” jawab utusan itu,


Halaman 1 2 3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar