“tetapi Ki Argapati ingini tahu, apakah kalian bersedia menghentikan segala macam kegiatan yang bertentangan dengan ketentuan yang berlaku di Tanah Perdikan ini.”
“Diam!” bentak
Ki Tambak Wedi yang hampir kehilangan kesabaran,
“Katakan saja
kepada Ki Argapati. Aku tidak mau berbicara dengan cecurut-cecurut macam kau.”
“Ki Tambak
Wedi,” wajah orang itu menjadi merah padam,
“aku tahu bahwa
sepuluh orang seperti aku, bahkan seratus orang mungkin tidak dapat menyamaimu.
Tetapi bahwa aku sekarang sedang mengemban tugas dari Ki Gede Menoreh,
kedudukanku adalah kedudukan seorang utusan dari seorang yang paling berkuasa
di sini. Karena itu jawablah pertanyaan Ki Gede Menoreh. Apakah kau bersedia
menghentikan segala kegiatan atau tidak. Hanya itu, dan jawabnya pun hanya ada satu diantara dua, ‘ya, atau
tidak’.”
“Gila!” yang
berteriak kemudian adalah Sidanti. Hampir saja ia meloncat menerkam utusan itu.
Tetapi Ki Tambak Wedi telah menahannya.
“Tunggu dulu
Sidanti.”
“Apa lagi yang
ditunggu? Orang ini ternyata bermulut besar. Betapa ia menjadi sombong hanya
karena ia menjadi orang utusan. Sudah sepantasnya ia dicincang di halaman.”
“Ia hanya
sekedar seorang utusan,” berkata Ki Tambak Wedi.
“Tanganmu
terlampau bernilai untuk melakukannya. Orang ini tidak sepantasnya mendapat
pelayanan dari kau apalagi aku.”
“Lalu apakah
yang akan Guru lakukan atasnya?”
“Biarkan saja
ia pergi dan menghadap Argapati. Aku sudah memberi penjelasan.”
“Bukan itulah
soalnya,” utusan itu masih saja memotong.
Sidanti
menggeram. Bahkan darah Ki Tambak Wedi sendiri terasa telah mendidih. Tetapi ia
adalah seorang yang licik. Sehingga ia
pun berkata,
“Biarkan saja
ia Sidanti. Meskipun bukan itu yang ditanyakan, tetapi ia akan berceritera juga
di hadapan Ki Argapati. Ia akan berceritera tentang sikapku dan semua yang
didengarnya.”
Kini utusan
itulah yang menggeram. Tetapi ia berkata,
“Aku akan
berceritera. Tetapi apakah kau yakin bahwa ceriteraku tidak akan membakar hati
Ki Argapati dan memaksanya untuk bertindak hari ini juga? Aku tahu benar, bahwa
kalian masih belum siap seandainya Argapati mengambil tindakan hari ini.”
“Bodoh
sekali,” sahut Sidanti.
“Apakah kau
tidak mempertimbangkan bahwa dengan demikian aku dapat membunuhmu.”
“Kematianku
tidak akan berarti apa-apa. Baik bagi Menoreh, maupun bagi Ki Argapati. Aku
hanyalah seorang pengawal Tanah Perdikan dari antara sekian banyak orang.
Tetapi arti kematianku akan sangat penting bagi kalian. Sebab kematianku adalah
jawaban yang tegas dari pertanyaan Ki Argapati. Ya atau tidak.”
“Setan!” sahut
Ki Tambak Wedi.
“Pergi, cepat
pergi! Terserahlah apa yang akan kau katakan kepada Ki Argapati. Aku sudah
mengemukakan pendirianku. Aku tahu bahwa Argapati masih berusaha mencari jalan
yang baik untuk menemukan penyelesaian. Aku pun berpendirian demikian. Kalau
kau sebagai seorang utusan telah memotong hasrat yang bersamaan yang menyala
dari dalam dada Argapati dan puteranya bersama-sama, maka kutuk yang paling
jahat akan jatuh kepadamu. Seandainya kelak berkobar persoalan yang sama-sama
tidak kita kehendaki, maka kaulah sumber dari segala macam sebab. Karena
seandainya kau tidak membakar hati Argapati, maka semuanya itu tidak akan
terjadi.”
Utusan itu
mengerutkan keningnya. Ia dapat mengerti kata-kata Ki Tambak Wedi. Tetapi
ia pun curiga pula atas segala macam
kemauan baik yang diucapkannya. Karena itu maka akhirnya ia berkata,
“Aku hanya
sekedar utusan. Aku akan menghadap Ki Argapati, apabila aku tidak kau bunuh di
sini. Sebab untuk membunuhku kalian tidak akan mengalami kesulitan meskipun aku
pasti akan melawan dengan segenap hati.”
“Pergi!
Pergi!” teriak Sidanti.
“Kau terlampau
memuakkan bagiku. Katakan kepada ayah Argapati semuanya yang pernah kau dengar
di sini.”
Pengawal Tanah
Perdikan Menoreh yang menjadi utusan Ki Argapati untuk menemui Ki Tambak Wedi
dan Sidanti itu pun kemudian
meninggalkan rumah Argajaya yang seolah-olah telah menjadi pusat dari segala
kegiatan dan gerakan yang dilakukan oleh ketiga orang itu. Mereka telah membuat
rumah itu sebagai pancadan untuk menggenggam seluruh kekuasaan tidak saja di
Menoreh, tetapi kekuasaan Pajang seluruhnya, apabila saatnya telah datang.
Argapati
mendengar keterangan utusannya dengan hati yang pedih. Terbayang di dalam
rongga matanya bahwa sesuatu yang tidak diharapkan benar-benar akan terjadi.
Sudah tentu ia tidak akan dapat membiarkan hal itu. Tidak dapat membiarkan
Sidanti merebut kekuasaannya alas Tanah Perdikan ini, meskipun memang pernah dijanjikannya.
Tetapi cara yang ditempuh oleh Sidanti adalah cara yang sangat menyakitkan
hati.
“Soalnya bukan
karena aku tidak mau menyerahkan kekuasaan itu kepada anakku,” berkata Argapati
kepada pembantu-pembantunya,
“tetapi yang
lebih penting lagi bagiku, adalah cara yang mereka pilih. Dan terlebih-lebih
lagi, apakah yang akan terjadi sesudah itu. Aku tidak berani membayangkan,
apakah yang akan dilakukan oleh Sidanti dengan orang-orang yang kini
mendukungnya. Orang-orang yang kecewa, orang-orang yang ingin berbuat
sekehendak sendiri, tanpa dikendalikan lagi, orang-orang yang kaya tanpa
mempertimbangkan dari mana ia mendapat kekayaan itu, orang-orang yang ingin
berkuasa, dan orang-orang yang mendapat keuntungan dari segala macam
benturan-benturan yang terjadi. Bahkan orang-orang yang sekedar mendapat janji
untuk kepentingan pribadi. Orang-orang yang terlampau miskin dengan
harapan-harapan yang dibayangkan akan dapat berlaku kelak.
Kepentingan-kepentingan yang berbeda, tetapi mempunyai satu titik tumpuan, yaitu
perubahan atas pimpinan Tanah Perdikan ini akan sangat berbahaya bagi
kelangsungan hidup Menoreh. Berbahaya bagi keturunan kita kelak.”
Pembantu-pembantu
dan tetua-tetua Tanah Perdikan Menoreh menyadari, betapa keadaan telah meluncur
dengan cepatnya ke dalam suatu kesulitan yang hampir tidak dapat dicegah lagi. Para
pemimpin Pengawal Tanah Perdikan itu hampir-hampir sudah tidak dapat bersabar
lagi. Membiarkan hal itu berlarut-larut berarti membiarkan dirinya diintai oleh
seekor harimau lapar. Setiap saat dalam kelengahan yang sekejap saja, pasti
segera akan menerkam dengan garangnya.
Tetapi Ki
Argapati selalu mencoba menunggu sampai saat purnama naik. Ia ingin
menyelesaikan janjinya. Janji jantan yang tidak dapat diingkarinya. Memang
kadang-kadang tumbuh pertentangan di dalam dirinya. Apakah ia akan membiarkan
Menoreh ditelan oleh kesulitan yang lebih parah, dengan taruhan yang lebih
mahal sekedar memenuhi harga diri pribadinya?
“Tidak. Saat
purnama akan segera datang. Hanya tinggal beberapa hari lagi. Selain itu, aku
pun akan sudah siap untuk bertindak serentak. Sekali pukul, Ki Tambak Wedi
harus hancur. Kalau tidak, maka keadaan akan menjadi lebih parah lagi,” kata
Argapati di dalam hati.
Maka yang
dilakukan oleh Argapati kemudian adalah mempersiapkan pasukan pengawal
sejauh-jauhnya. Kepada para pemimpin Tanah Perdikan, Argapati memerintahkan
untuk melakukan perlawanan atas kabar yang tersiar. Mereka harus tegas-tegas
mengatakan, bahwa pada saatnya apabila orang-orang yang sesat itu tidak segera
kembali ke jalan yang lurus, Argapati akan melakukan tindakan yang keras kepada
mereka. Para pengawal Tanah Perdikan Menoreh harus menarik garis yang jelas, di
manakah orang-orang yang melakukan perlawanan itu menempatkan dirinya. Sejak
saat itu, peronda-peronda harus di tempatkan di tempat-tempat tertentu. Para
pengawal harus berada dalam kesiap-siagaan penuh setiap saat. Gardu peronda
harus segera dilengkapi dengan alat-alat untuk tengara setiap gerakan yang
mencurigakan.
“Kita tidak
dapat melakukannya dengan bersembunyi-sembunyi lagi,” berkata Argapati.
“Kita terpaksa
melakukannya dengan terbuka justru untuk menenteramkan hati rakyat, bahwa
kita pun telah bersiap untuk menghadapi
setiap kemungkinan yang tidak kita kehendaki. Sementara itu setiap cara untuk
menempuh jalan lain, masih harus kita usahakan, agar Menoreh tidak terjerumus
ke dalam api yang dapat membakar seluruh bukit ini, menjadi karang abang tanpa
arti.”
Ternyata
setiap pemimpin Tanah Perdikan Menoreh dan setiap pengawal yang masih setia
kepada Argapati telah melakukan perintah itu dengan baik. Di tempat-tempat
tertentu telah di tempatkan satuan-satuan pengawal yang dapat bertindak setiap
saat. Tetapi para pemimpin itu pun tidak
dapat menutup mata dari kenyataan bahwa sebagian dari mereka pun telah terpengaruh oleh berbagai macam
janji dan harapan yang diberikan oleh Ki Tambak Wedi, Sidanti, dan Argajaya.
Mereka tidak segan-segan untuk melontarkan segala macam fitnah yang paling keji
sekalipun, untuk membangkitkan kebencian rakyat kepada Ki Gede Menoreh.
“Aku tidak
menyangka, bahwa hal ini dapat terjadi,” berkata Ki Argapati kepada Pandan
Wangi ketika mereka duduk berdua di pringgitan rumahnya.
“Ternyata,
benih yang ditaburkan, oleh Ki Tambak Wedi itu telah tumbuh menjadi sebatang
pohon berduri yang meracuni Tanah ini.”
Pandan Wangi
tidak menyahut. Tetapi tekadnya telah bulat, untuk berbuat apa saja di samping
ayahnya sebagai Kepala Tanah Perdikan.
“Pandan
Wangi,” berkata ayahnya,
“ilmumu
ternyata telah menjadi jauh sekali maju. Kau tidak boleh berhenti. Setiap malam
kau masih harus melakukannya tanpa dilihat orang lain, supaya tempat latihan
kita itu tidak menjadi sasaran tindakan licik Ki Tambak Wedi dan
pengikut-pengikutnya.”
Pandan Wangi
mengangguk.
“Malam nanti
aku akan sampai kepada puncak unsur-unsur gerak yang menjiwai seluruh perguruan
Menoreh. Kau sudah saatnya untuk menerimanya. Aku mempunyai perhitungan, dengan
demikian, kau akan berada lebih tinggi di dalam tataran ilmumu dari Sidanti
yang saat ini pasti tidak sempat melakukan latihan-latihan yang berarti. Tetapi
aku telah menyisihkan waktu untuk itu. Untuk kepentinganmu. Seandainya terpaksa
terjadi sesuatu atas Tanah Perdikan ini, maka kau akan mampu melindungi dirimu
sendiri dari bencana.”
Pandan Wangi
tidak menyahut. Tetapi ternyata bahwa ayahnya telah sampai pada suatu
kemungkinan baginya untuk melakukan perlawanan atas Sidanti, kakaknya. Meskipun
Sidanti bukan putera Ki Gede Menoreh, tetapi Sidanti itu telah dilahirkan pula
oleh Rara Wulan, ibunya.
Terasa desir
yang tajam tergores di dinding hatinya. Tetapi Pandan. Wangi mencoba
menggeretakkan giginya untuk mengusir perasaan yang mengganggu dirinya itu. Ia
ingin berdiri di tempat yang telah dipilihnya menurut nalarnya. Ia tidak mau
terombang-ambing oleh perasaannya yang kadang-kadang kehilangan keseimbangan. Tetapi
Betapapun juga ia berusaha, namun setiap kali terngiang di telinganya,
“Sidanti
adalah kakakmu seibu. Kakak yang dengan sayang membawamu bermain-main di masa
kanak-kanak.”
“Kami bukan
anak-anak lagi,” Pandan Wangi mencoba menahan gelora perasaannya. Namun ia
tidak dapat menahan ketika setitik-setitik air membasahi pelupuk matanya.
Ayahnya
menyadari betapa beratnya bagi Pandan Wangi untuk memilih sikap. Tetapi adalah
kewajibannya untuk mencoba menunjukkan arah. Seperti seseorang yang berdiri di
simpang jalan, yang sama-sama menuju ke dalam kesulitan, maka Pandan Wangi
harus memilih salah satu di antaranya. Salah satu yang paling baik betapa, pun
sulitnya. Ketika kemudian malam tiba, yang semakin lama menjadi semakin dalam,
maka Ki Argapati dan Pandan Wangi telah berada di sebuah tanah lapang sempit
yang sepi. Tempat yang mereka pilih untuk menempa satu-satunya anak yang akan
dapat meneruskan hadirnya Tanah Perdikan Menoreh apabila Sidanti sama sekali
sudah tidak menghiraukan lagi peringatan-peringatan yang diberikan oleh Ki
Argapati. Angin yang silir telah mengusap tubuh-tubuh yang basah oleh keringat.
Pandan Wangi telah mencoba untuk mencurahkan segenap kemampuan yang ada padanya
supaya ia tidak mengecewakan ayahnya yang sedang dikalutkan oleh kakak
seibunya. Ternyata harapan Ki Argapati yang ditumpahkan kepada puterinya itu
tidak sia-sia. Pandan Wangi kini sedang berada di dalam latihan yang paling
sulit. Keringatnya telah membasahi seluruh wajah kulitnya, dari ujung kakinya sampai
ke ujung rambutnya. Terasa getaran-getaran yang semakin cepat mengalir di
segenap otot bebayu, bahkan terasa seolah-olah bergetar di seluruh bagian
tubuhnya menyelusuri segenap tulang sungsumnya. Getaran-getaran itulah sumber
pancaran ilmu yang harus dipelajarinya, diluluhkan dengan getar di dalam
dirinya, dan kemudian akan terpancar dalam satu bentuk yang dahsyat. Dengan
getaran-getaran yang harus dikenali bentuk dan wataknya, Pandan Wangi akan
mampu membangunkan segenap tenaga cadangan di dalam dirinya seperti yang
dikehendakinya, yang kadang-kadang di dalam ujudnya, hampir-hampir tidak dapat
digapai oleh akal. Tetapi sebenarnyalah bahwa sumber kekuatan itu telah ada di
dalam diri, lahir bersama-sama dengan kelahiran dirinya dari Sumber Yang Esa. Kekuatan
itu sama sekali bukanlah hasil buatan manusia, bukan karena kepandaian dan
kemampuan manusia menciptakan kekuatan dan kelebihan di dalam dirinya dari
orang-orang lain, tetapi manusia hanya dapat mengenali dan mempergunakannya,
yang sebelumnya memang telah ada di dalam diri. Sesuai dengan sumbernya, maka
tidak ada lain, bahwa tenaga cadangan dan setiap pancaran kekuatan, hendaknya
dipergunakan menurut arah yang telah ditentukan. Untuk kepentingan kasih
sesama, dan untuk kepentingan Sumber itu sendiri, dalam segala macam
tuntutannya. Tetapi ternyata bahwa di dalam diri manusia terdapat pengenalan
yang kadang-kadang sesat dari arah pancaran Sumbernya. Sesat dan tidak ingin
menemukan jalan kembali. Dibangkitkannya kekuatan di dalam diri manusia dengan
landasan yang samar, dan bahkan dengan landasan yang kelam dan hitam. Untuk
tujuan yang kelam dan hitam pula, sehingga manusia yang demikian semakin lama
akan menjadi semakin jauh tersesat.
Ternyata
Pandan Wangi benar-benar tidak mengecewakan ayahnya. Ketika keringatnya
seolah-olah telah terperas habis dari dalam tubuhnya, maka sampailah ia pada
puncak ilmu yang diturunkan ayahnya kepadanya. Unsur gerak yang merampas
segenap kekuatan lahir dari batinnya. Memukaunya dalam pengaruh yang semula
kurang dikenalnya. Tetapi kemudian dimengertinya, bahwa yang kurang dikenalnya
itu adalah dirinya sendiri dalam bentuknya yang paling wajar. Tanpa pulasan
lahiriah dan bahkan seakan-akan tidak mengenal wadagnya sendiri. Hakekat dari
kekuatan manusiawi yang tersimpan di dalam diri, dalam pancaran pribadi yang
lengkap.
Ketika getaran
itu terasa mencengkam seluruh tubuhnya, maka Pandan Wangi merasakan betapa
sulitnya ia melawan kehendak di dalam diri. Seolah-olah suatu kekuatan yang
dahsyat telah menyeretnya ke dalam suatu keadaan yang tidak dimengertinya.
Tetapi Pandan Wangi tetap bertahan, ia mencoba untuk tetap sadar dan mendengar
kata-kata petunjuk ayahnya. Ia mendengar kata demi kata meskipun seolah-olah
semakin lama menjadi semakin jauh. Dipusatkannya inderanya untuk tetap
mendengar suara itu.
Kini Pandan
Wangi justru tidak bergerak sama sekali, ia berdiri tegak dengan kaki rapat.
Tangannya disilangkannya di dadanya, sedang senjatanya, sepasang pedang,
mencuat di depan pundaknya. Didengarnya petunjuk-petunjuk ayahnya, untuk
melakukan unsur-unsur gerak yang paling sulit dari ilmunya. Tetapi Pandan Wangi
sudah tidak bergerak dengan wadagnya. Dipusatkan inderanya, didengarkannya
petunjuk-petunjuk ayahnya meskipun ia sudah tidak dapat melihat lagi, di mana
ayahnya berdiri karena matanya sedang terpejam, dan ia tidak tahu lagi dari
mana arah suara itu menyentuh lubang telinganya. Namun meskipun demikian,
Pandan Wangi merasakan, bahwa ia telah melakukan gerak itu. Gerak yang justru
paling sempurna. Gerak yang telah memeras segenap kemampuan batinnya. Semakin
lama suara ayahnya itu pun menjadi
semakin samar, Ia tinggal harus melakukan satu unsur gerak. Yang terakhir.
Terasa dadanya berguncang dahsyat sekali ketika ia merasa membenturkan
kekuatannya itu dengan kekuatan ayahnya. Dilontarkannya kekuatan terakhirnya
dalam unsur gerak terakhir. Pandan Wangi hanya merasakan dunia ini kemudian
menjadi gelap. Terlampau gelap, sehingga kemudian ia tidak melihat dan
mendengar apa pun lagi. Pingsan. Argapati
menarik nafas dalam-dalam. Diusapnya keringat yang, mengalir dikeningnya.
Kemudian didekatinya puterinya yang terbaring diam di atas rerumputan yang
basah oleh embun. Perlahan-lahan ia berjongkok di sampingnya. Dirabanya kening
Pandan Wangi, kemudian tangannya dan dadanya. Nafasnya dan darahnya terasa
terlampau cepat mengalir.
“Agak
terlampau berat baginya,” desis ayahnya,
”tetapi ia
mampu menyelesaikannya sampai unsur yang terakhir dari ilmu perguruan Menoreh.”
Ketika angin
silir mengusap dahinya, Ki Gede Menoreh menengadahkan wajahnya. Di langit
bintang gemintang berkeredipan memenuhi layar yang biru kehitam-hitaman. Bulan
yang belum bulat telah bertengger di punggung bukit di sebelah Barat.
Sejenak
dibiarkannya Pandan Wangi terbaring. Argapati yakin bahwa puterinya itu tidak
mengalami cidera apa pun kecuali
kelelahan dari pemusatan indera yang berlebih-lebihan. Sesudah itu ia pasti
akan menyadari dirinya sebagai seorang gadis yang telah memiliki bekal yang
cukup untuk menempuh kehidupan yang Betapapun sulitnya. Argapati mengerutkan
keningnya ketika ia melihat Pandan Wangi menarik nafas perlahan-lahan. Kemudian
dibukanya matanya perlahan-lahan pula. Yang pertama-tama diucapkannya adalah,
“Ayah.”
“Bangunlah,
Wangi. Kau telah berhasil.”
Perlahan-lahan
sekali Pandan Wangi mencoba menggerakkan tangannya, kemudian kakinya.
Berkali-kali ia menarik nafas dalam-dalam. Terasa tubuhnya masih nyeri dan
sendi-sendi tulangnya terlampau lemah.
“Kekuatanmu
akan segera pulih kembali, bahkan dengan kemungkinan yang jauh lebih baik dari
keadaanmu sebelumnya.”
Perlahan-lahan
Pandan Wangi mengingat kembali apa yang telah terjadi padanya sebelum ia jatuh
pingsan. Latihan yang terlampau berat dan yang terakhir, pemusatan indera untuk
menangkap unsur gerak yang paling sulit dari ilmunya. Meskipun ia kemudian
pingsan, tetapi ia sudah menyelesaikan apa yang seharusnya dilakukannya. Ia
mendengar petunjuk-petunjuk ayahnya sampai kalimat yang terakhir.
Tetapi ia
adalah seorang gadis. Secara alami ia mempunyai perbedaan dengan seorang anak
laki-laki muda. Itulah sebabnya, maka baginya latihan itu menjadi terlampau
berat, meskipun ia kemudian berhasil menyelesaikannya. Pandan Wangi itu pun kemudian bangkit dan duduk di depan
ayahnya. Nafasnya masih terasa berkejaran dan darahnya masih terlampau cepat
mengalir. Jantungnya seakan-akan berdetak lebih cepat dari biasanya.
“Berdirilah,
Wangi,” berkata ayahnya.
Perlahan-lahan
Pandan Wangi mencoba berdiri, betapa lemahnya sendi tulangnya, namun ia
kemudian tegak di atas kedua kakinya.
“Ambillah
pedangmu.”
Pandan Wangi
menyadari bahwa kedua senjatanya itu ternyata telah terlepas dari tangannya.
Perlahan-lahan ia membungkukkan badannya. Punggungnya masih terasa terlampau
penat. Diraihnya kedua pedangnya dan kemudian disarungkannya di lambungnya.
“Kau telah
selesai, Wangi,” berkata ayahnya yang kemudian berdiri di sampingnya.
“Tetapi sama
sekali bukan berarti bahwa kau telah menjadi sempurna. Kau baru dapat
menyelesaikan latihan-latihan untuk menguasai unsur-unsur gerak itu sendiri.
Tetapi kau masih harus mengembangkannya dalam waktu-waktu yang akan datang. Kau
harus dapat mempergunakan, memilih dan menggabungkan unsur yang telah kau
kuasai itu, untuk menanggapi keadaan yang berbeda-beda. Nah, untuk itu kau
memerlukan pengalaman. Tetapi dasar pengetahuanmu kini sama sekali pasti tidak
akan kalah lagi dari Sidanti, meskipun kau sudah pasti kalah dalam pengalaman.”
Pandan Wangi
masih berdiri tegak sambil berdiam diri. Berbagai macam perasaan bergelut di
dalam dirinya. Sekali lagi ia merasakan desir yang tajam menggores hatinya.
Sidanti itu adalah kakaknya. Memang tidak ada pertalian apa pun antara ayahnya dan Sidanti meskipun
selama ini Sidanti benar-benar di tempatkan pada tempat yang baik di dalam
keluarganya. Tidak seorang pun yang
merasakan sikap yang kurang baik dari ayahnya terhadap anak muda itu. Namun
ternyata ayahnya tidak dapat melupakannya sama sekali apa yang telah terjadi
itu. Ternyata, ketika ayahnya dihadapkan pada suatu persoalan, maka perasaan
itu meledak tanpa dapat ditahan-tahankan lagi. Bahkan dengan serta-merta ayahnya
telah menempatkannya langsung berhadapan dengan kakaknya. Tetapi baginya,
Sidanti adalah saudara yang dilahirkan dari ibu yang sama. Dan Betapapun juga,
samar-samar terbayang di wajah Sidanti garis-garis wajah ibunya, meskipun
kakaknya itu jauh lebih serupa dengan Ki Tambak Wedi.
Pandan Wangi
itu mengangkat wajahnya ketika ia mendengar ayahnya berkata,
“Marilah kita
pulang, Wangi. Hari telah terlampau jauh malam. Bahkan mungkin sebentar lagi
fajar akan memancar di Timur. Kau perlu beristirahat.”
Pandan Wangi
mengangguk-anggukkan kepalanya dengan lemahnya. Ketika ia memandang ke Barat,
maka bulan sudah tidak dilihatnya lagi. Bulan yang masih belum bulat. Tetapi
dada Pandan Wangi berdesir karenanya. Sekilas teringat olehnya, janji ayahnya
dengan Ki Tambak Wedi. Pada saat purnama naik. Dan purnama itu semakin lama
menjadi semakin dekat. Beberapa hari lagi. Dan beberapa hari lagi itu adalah
hari yang sangat menegangkan baginya, bagi keluarga Tanah Perdikan Menoreh.
Hari itu akan mempunyai banyak sekali kemungkinan. Di antaranya adalah,
perubahan yang mendadak di atas Tanah Perdikan ini. Bahkan Tanah ini akan dapat
dibakar, oleh api yang dahsyat, dan memusnahkan segala macam bentuk dan
peradaban.
Dapat terjadi
saling membunuh di antara tetangga-tetangga dan di antara sanak-kadang. Dapat
pula terjadi pembantaian besar-besaran di antara mereka yang berbeda pendirian.
Bulu-bulu kuduk Pandan Wangi terasa meremang. Mengerikan sekali. Ternyata
kedatangan Sidanti dan Tambak Wedi di atas Bukit Menoreh sama sekali tidak membawa
kesentausaan. Tetapi yang dibawanya adalah bencana. Apakah bencana itu harus
terjadi?Dan sekali lagi Pandan Wangi mendengar ayahnya berkata,
“Marilah kita
pulang, Wangi. Kau perlu beristirahat. Kemudian kita perlu segera
mempertimbangkan perkembangan-perkembangan terakhir yang terlampau cepat
terjadi.”
Pandan Wangi,
yang kelelahan itu pun kemudian
melangkah perlahan-lahan bersama ayahnya, meninggalkan lapangan sempit itu,
pulang ke rumahnya. Ketika mereka memasuki jalan padukuhan induk dari Tanah Perdikan
Menoreh, terdengar suara ayam jantan berkokok bersahut-sahutan merambat dari
kandang ke kandang, menyongsong cahaya yang kemerah-merahan di langit sebelah
Timur.
“Fajar,” desis
Argapati.
Pandan Wangi
mengangkat wajahuya. Dipandanginya fajar yang mulai memancar. Sebentar lagi
matahari akan naik di hari yang baru.
“Kita masih
sempat beristirahat meskipun hanya sekejap,” berkata Argapati.
“Aku akan
pergi ke belakang, membersihkan diri.”
Pandan Wangi
mengangguk. Tetapi ia berkata,
“Aku akan kesiangan
bangun apabila aku jatuh tertidur, Ayah.”
“Meskipun kau
tidak tidur, tetapi beristirahatlah.”
“Baik, Ayah,”
sahut Pandan Wangi.
“Hari-hari
mendatang, pekerjaan kita akan bertambah banyak. Jauh lebih banyak dari yang
kita duga semula.”
Pandan Wangi
tidak menjawab, tetapi dianggukkannya kepalanya.
Ketika mereka
memasuki regol halaman rumahnya, para peronda memandangi mereka dengan penuh
keheranan. Tetapi tidak seorang pun yang
bertanya, dari manakah ayah dan anak itu semalam-malaman. Argapati dan Pandan
Wangi pun sama sekali sudah tidak
bernafsu lagi untuk terlampau banyak berbicara. Mereka hanya menganggukkan
kepala mereka kepada para peronda yang masih ada di dalam gardunya sambil
bergumam,
“Apakah kalian
baik-baik?”
“Ya, Ki Gede.
Tidak ada apa-apa semalaman di rumah ini.”
“Terima
kasih.”
Ki Gede
Menoreh itu pun sama sekali tidak
berhenti. Langkahnya yang lemah membawanya langsung ke belakang, ke perigi.
Sedang Pandan Wangi langsung masuk ke dalam biliknya, menyiapkan
pakaian-pakaian untuk mengganti pakaiannya yang kotor sesudah mandi. Ketika
fajar menyingsing, pada saat sinarnya yang kekuning-kuningan menyentuh ujung
pepohonan, seorang pemimpin pengawal Tanah Perdikan itu dengan tergesa-gesa
datang menemui Ki Argapati yang baru saja selesai, dan duduk-duduk di
pringgitan seorang diri menghadapi minuman hangat.
“Maaf, Ki
Gede, aku datang terlampau pagi.”
Ki Argapati
mengerutkan keningnya. Terlintas di dalam hatinya, sesuatu yang kurang wajar
pasti telah terjadi, sehingga salah seorang pemimpin pengawal ini dengan
tergesa-gesa menemuinya.
“Duduklah,”
Argapati mempersilahkan.
Dengan nafas
terengah-engah pemimpin pengawal itu duduk di hadapan Ki Argapati. Belum lagi
debar jantungnya mereda, ia sudah mulai berbicara,
“Ki Gede. Kita
benar-benar berada di dalam kesulitan.”
Argapati
mengerutkan keningnya. Dengan sareh ia bertanya, “Apakah yang sudah terjadi?”
“Sidanti dan
Ki Argajaya benar-benar telah tersesat,” berkata orang itu pula.
“Mereka telah
kehilangan sama sekali kecintaan mereka kepada Tanah Kelahiran ini.”
“Apakah yang
telah mereka lakukan?” bertanya Ki Gede Menoreh seterusnya.
Pemimpin
pengawal itu menggeser setapak maju. Katanya,
“Beberapa
orang pengawal dan bahkan beberapa pemimpin pengawal melihat beberapa orang
tidak dikenal di dalam lingkungan Tanah Perdikan ini. Mereka telah membuat
hubungan dengan Ki Argajaya dan Sidanti.”
Sepercik warna
mereka menjalar di wajah Argapati. Ia sama sekali tidak menduga, bahwa tindakan
adiknya dan anak muda yang telah diakunya sebagai anaknya itu akan menjadi
sedemikian jauh. Namun kemudian Argapati itu teringat, bahwa di dalam
lingkungan mereka terdapat Ki Tambak Wedi. Meskipun Ki Tambak Wedi pernah
tinggal di atas Tanah ini, tetapi sudah terlampau lama ia meninggalkannya, dan
menjadikan dirinya seorang yang paling berkuasa di padepokannya, padepokan
Tambak Wedi. Dengan demikian, maka kecintaannya kepada Tanah ini pun pasti tidak dapat dipertanggung jawabkan.
Betapapun juga, Argajaya dan Sidanti pasti masih mempunyai kesadaran, bahwa di
sinilah mereka dilahirkan, dibesarkan dan di sini pulalah mereka telah meneguk
air di saat haus dan menelan makanan di saat lapar. Tanah inilah yang telah
memberikan segala-galanya kepada mereka. Apakah dengan demikian mereka akan
sampai hati menghubungi orang-orang yang tidak dikenal untuk ikut serta merusak
Tanah ini? Untuk ikut serta menitikkan darah orang-orang Menoreh yang kini
sedang diamuk oleh perpecahan yang semakin meruncing?
Sejenak
Argapati terdiam. Ia tidak segera dapat mengucapkan kata-kata. Pringgitan
itu pun menjadi sunyi untuk sesaat.
Kemudian terdengar Argapati menarik nafas dalam-dalam sambil berdesah, “Bencana
benar-benar akan menimpa Tanah ini. Apakah orang-orang yang tidak dikenal itu
telah dapat dipastikan, akan ikut campur di dalam persoalan antara aku dan Sidanti
yang telah dinyalakan oleh Ki Tambak Wedi?”
“Kami
mempunyai penilaian yang demikian Ki Gede. Dua orang dari orang-orang itu telah
berada di rumah Ki Argajaya pula.”
“Apakah kau
kenal mereka, atau setidak-tidaknya dapat menduga dari manakah mereka datang
atau dari lingkungan apa?”
“Ki Gede,
menurut perhitunganku dan beberapa kawan, mereka ternyata dapat digolongkan
orang-orang yang kurang mendapat tempat di dalam lingkungan orang yang
baik-baik. Mereka datang di antar oleh Ki Prastawa.”
“Oh,” Ki
Argapati tiba-tiba menjadi tegang.
“Orang itu
telah melibatkan dirinya pula.”
“Bagaimanakah
penilaian Ki Gede tentang orang itu?”
“Ia adalah
seorang yang paling senang melihat benturan-benturan yang dapat terjadi di
Tanah ini. Ia adalah seorang penjudi yang tidak saja melakukan kegiataanya di
Tanah ini, tetapi ia telah mendatangi tempat-tempat judi, sabung ayam, dan
tempat lain semacamnya sampai ke tempat-tempat yang jauh. Orang-orang itu pasti
dibawanya dari lingkungannya. Bahkan tidak mustahil bahwa orang-orang jahat
untuk membuat Tanah ini menjadi karang abang.”
Pemimpin
pengawal itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Penilaian itu tepat seperti
penilaiannya. Orang itu bukannya orang yang bermaksud baik, tetapi ia akan
mempergunakan kesempatan yang jelek ini untuk kepentingannya sendiri. Karena
itu maka ia bertanya,
“Ki Gede,
sudah tentu Ki Prastawa akan mengambil keuntungan dari persoalan ini. Tetapi
keuntungan apakah yang diinginkannya? Apakah yang didapatnya dari kekisruhan
yang dapat timbul di Tanah Perdikan ini?”
Ki Gede
Menoreh mengerutkan dahinya. Tampaklah betapa ia menahan gelora hatinya.
Jawabnya perlahan-lahan,
“Orang-orang
semacam itu kadang-kadang tidak mempunyai landasan berpikir tertentu. Ia hanya
ingin terjadi sesuatu. Mungkin perubahan pimpinan atas Tanah Perdikan ini yang
diharapkannya dapat, memberikan keleluasaan bergerak baginya dan bagi
lingkungannya. Tetapi seandainya yang dibawanya itu adalah orang-orang yang
diangkatnya dari dunia yang hitam, maka akibat daripadanya adalah parah sekali.
Setiap kesempatan dapat dipergunakan oleh mereka untuk menumbuhkan malapetaka.
Mungkin, perampokan, perampasan, dan sebagainya.”
“Hem,” pemimpin
pengawal itu menggeram.
“Ki Gede
mumpung masih belum berlarut-larut. Aku kira Ki Gede harus berbuat sesuatu.”
Ki Gede
Menoreh tidak segera menyahut. Perhitungannya memang berkata demikian. Tetapi
apakah ia akan dapat melihat pertumpahan darah terjadi di atas Tanah Perdikan
ini? Tanah yang dibinanya sejak bertahun-tahun? Hampir sepanjang umurnya
diberikannya untuk membuat Tanah ini menjadi Tanah Perdikan yang baik. Tetapi
kini ia dihadapkan kepada pilihan yang sulit. Bahkan, ia terdorong kepada suatu
pikiran di kepalanya, “Bagaimanakah apabila aku serahkan saja pimpinan atas
Tanah ini kepada Sidanti. Betapapun juga jeleknya, ia adalah orang yang
dilahirkan di Tanah ini. Ia adalah seorang yang merasa dirinya mampu dan berhak
pula. Dengan demikian akan terhindarlah segala macam pertumpahan darah dan
keributan di atas Tanah ini. Namun kemudian ia menggeretakkan giginya. Desisnya
di dalam hati,
“Aku akan
berkhianat atas Tanah ini apabila aku biarkan Sidanti merebut pimpinan. Ia akan
dikendalikan oleh Tambak Wedi dan orang-orang yang kelak akan mempengaruhinya
dengan kekuatan masing-masing. Orang-orang yang memiliki kekuatan, karena
kekayaannya, orang-orang yang dapat memberinya kepuasan lahiriah, dan mungkin
juga orang-orang yang merasa hidupnya terlampau sulit dan mengharapkan
perubahan keadaan, bagi Tanah ini dan bagi diri mereka. Campur baur dari
kepentingan yang berbeda-beda, namun menempatkan harapan pada keadaan yang sama
itulah yang akan membakar Tanah ini menjadi abu.”
“Bagaimana, Ki
Gede?” bertanya pemimpin pengawal itu.
Wajah Ki Gede
Menoreh tampak ragu-ragu. Ia masih dikuasai oleh perasaannya yang kadang-kadang
belum sejalan dengan pikirannya. Kejantanan yang mengikatnya dalam janji dengan
Ki Tambak Wedi mempengaruhinya pula.
“Tunggulah,”
desis Ki Gede Menoreh.
Wajah orang
itu menjadi kecewa. Perlahan-lahan ia berkata,
“Ki Gede,
apakah kita menunggu banjir bandang yang akan memecah Tanah Perdikan ini
menjadi berkeping-keping?”
Ki Argapati
terdiam sejenak. Ia dapat memahami pendapat pengawal yang setia itu. Tetapi ia
kemudian menjawab,
“Aku
perhatikan pendapatmu. Tunggulah, hari ini aku akan mengambil sikap. Aku akan
memanggil kalian untuk menentukan setiap tindakan yang akan kita ambil.”
Pemimpin
pengawal itu menundukkan kepalanya. Ki Argapati dikenalnya sebagai seorang yang
keras hati. Tetapi ketika ia di hadapkan pada kekisruhan yang terjadi di Tanah
sendiri, maka terasa ia selalu diselubungi oleh keragu-raguan.
“Lakukanlah
tugasmu baik-baik. Aku sendiri akan melihat keadaan dengan saksama.”
Pemimpin
pengawal itu mengangguk lemah. “Baiklah Ki Gede. Aku menunggu perintah.”
Sepeninggal
orang itu Ki Gede Menoreh menarik nafas dalam-dalam. Keningnya tampak
berkerut-kerut. Di dalam dadanya terjadi suatu pergolakan yang dahsyat, yang
mendorongnya ke dalam suatu keadaan yang tidak menentu. Namun tiba-tiba Ki
Argapati itu teringat kepada puterinya, Pandan Wangi. Satu-satunya keluarga
yang dapat diajaknya berbincang. Pandan Wangi lah yang kelak diharapkan akan
dapat menegakkan Tanah Perdikan ini menjadi Tanah Perdikan yang jauh lebih baik
dari keadaannya kini. Karena itu, maka Ki Argapati itu segera berdiri.
Perlahan-lahan ia berjalan ke bilik Pandan Wangi. Perlahan-lahan pula ia
mengetuk pintunya yang masih tertutup sambil memanggil namanya,
“Pandan
Wangi.”
Tidak ada
jawaban. Ki Argapati menyangka bahwa Pandan Wangi masih terlampau lelah.
Mungkin ia tertidur setelah menyiapkan minuman paginya.
“Wangi,” ia
mengulangi.
Masih belum
ada jawaban.
Ki Gede
Menoreh menarik nafas dalam-dalam. “Ia terlampau lelah,” desisnya.
Kini Ki Gede
Menoreh tidak memanggilnya lagi. Perlahan-lahan didorongnya daun pintu leregan
itu ke samping. Perlahan-lahan sekali supaya puterinya tidak terkejut.
Tetapi Ki
Gede-lah yang kemudian terkejut. Ternyata bilik itu telah kosong.
“Kemanakah
anak ini?” desisnya.
Ki Argapati
itu pun kemudian pergi ke belakang.
Ditanyakannya kepada pelayan-pelayannya, apakah mereka melihat Pandan Wangi. Tetapi
pelayan-pelayan itu menggeleng sambil menjawab,
“Tidak Ki
Gede, kami tidak melihatnya.”
Sepercik
kecemasan merambat di hati Argapati. Karena itu maka kemudian disusurinya
halaman rumahnya. Kalau-kalau Pandan Wangi sedang berada di halaman, atau
sedang berada di kebun belakang.
“Apakah Ki
Gede sedang mencari Pandan Wangi bertanya seorang pelayan tua.”
“Ya,” sahut Ki
Gede.
“Ia mengenakan
pakaian berburunya. Mungkin ia pergi.”
Jantung Ki
Argapati berdesir mendengarnya. Terkilas di dalam angan-angan Argapati, bahwa
sudah pasti Pandan Wangi tidak akan pergi berburu. Tetapi Ki Argapati tidak
segera dapat menentukan, kemanakah puterinya itu pergi. Karena itu maka sejenak
kemudian ia bertanya,
“Apakah kau
tahu kemana ia pergi?”
“Sudah tentu
ia akan pergi berburu,” jawab pelayan tua itu.
“Apakah ia
membawa busur dan anak panah?”
Pelayan tua
itu mengerutkan keningnya. Kemudian ia menjawab agak ragu-ragu,
“Tidak. Aku
kira ia tidak membawa busur dan anak panah.”
Ki Argapati
menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya,
“Ia tidak akan
pergi berburu.”
“Lalu
kemanakah ia akan pergi?”
Argapati tidak
segera menjawab, tetapi tampak keningnya menjadi berkerut-merut.
“Apakah Pandan
Wangi pergi berkuda?” ia bertanya.
“Ya, ia pergi
berkuda.”
“Mungkin para
penjaga di regol depan mengetahuinya,” gumam Ki Argapati.
“Tidak Ki
Gede, Pandan Wangi tidak lewat regol depan tetapi ia membuka pintu butulan.
Akulah yang disuruhnya menutup.”
Argapati
mengerutkan keningnya. Meskipun, ia terkejut mendengar keterangan itu, tetapi
ia mencoba untuk tidak memberikan kesan apa pun. Perlahan-lahan ia mengangguk-angguk,
kemudian ia bertanya,
“Kemanakah ia
pergi. Ke Utara atau ke Selatan?”
Pelayan tua
itu mengingat-ingat sebentar. Kemudian katanya,
“Mungkin ia
pergi ke Selatan. Aku tidak begitu menaruh perhatian. Begitu ia keluar dari
regol, aku segera menutupnya.”
“Anak nakal,”
desis Argapati.
“Apakah Pandan
Wangi tidak minta ijin lebih dahulu kepada Ki Gede?”
Ki Gede
Menoreh itu tidak menyahut.
“Bukankah
biasanya Pandan Wangi mendapat ijin dari Ki Gede untuk pergi berburu.”
Ki Gede hanya
mengangguk saja. Tetapi di dalam hati ia berkata,
“Aku tidak
pernah melepaskannya seorang diri meskipun ia hanya pergi berburu. Apalagi
dalam keadaan serupa ini.”
“Hem,” Ki
Argapati itu berdesah, sedang pelayan tua itu memandanginya dengan heran. Ia
melihat kegelisahan pada wajah Argapati Betapapun ia mencoba menyembunyikannya.
Tetapi pelayan tua itu tidak tahu apakah yang sebenarnya digelisahkannya.
Bukankah Pandan Wangi itu pergi di siang hari? Pelayan tua itu sama sekali
tidak tahu, betapa ketegangan yang kemelut menyelubungi udara Tanah Perdikan
Menoreh. Apabila Argapati tidak berhasil mengatasinya dengan cara yang
diinginkannya maka api akan segera menyala.
Dalam keadaan
demikian Pandan Wangi pergi seorang diri. Berbagai macam persoalan telah
menggelegak di dalam dadanya. Bahkan kemudian keringat dingin membasahi seluruh
tubuhnya ketika terlintas di dalam hatinya,
“Apakah Pandan
Wangi memilih kakaknya daripada ayahnya?”
“Tidak,”
Argapati mencoba membantahnya di dalam hati. “Mustahil hal itu dilakukannya.”
Tetapi
Argapati tidak mengucapkan sepatah kata pun. Dengan kepala tunduk ia melangkah
masuk ke dalam rumah. Sedang pelayan tua itu masih berdiri termangu-mangu di
tempatnya. Sambil menggeleng-gelengkan kepalanya ia bergumam,
“Hem, apakah
Pandan Wangi pergi tanpa pamit setelah ayahnya melarangnya?”
Dengan hati
yang gelisah Argapati duduk kembali di pringgitan. Dicobanya menenangkan
hatinya dengan meneguk minuman paginya yang telah menjadi dingin. Tetapi debar
di jantungnya justru menjadi semakin tajam.
“Anak itu
pasti pergi ke rumah pamannya,” desis Argapati seorang diri. Arah yang
diambilnya adalah arah yang menuju ke rumah Argajaya.
“Aku tidak
tahu, apakah maksudnya Dalam keadaan yang panas ini, perjalanan yang pendek itu
dapat berbahaya baginya.”
Tetapi
Argapati tidak dapat segera pergi menyusulnya. Ia merasa segan untuk datang ke
rumah itu, seolah-olah ia memerlukan menemui orang-orang yang selama ini telah
membuat kekisruhan di dalam wilayahnya. Dengan demikian, maka bagi mereka yang
melihat kehadirannya ke rumah itu akan dapat memberikan tanggapan yang
bermacam-macam, seolah-olah ia telah merendahkan dirinya, memohon kepada
Sidanti untuk melepaskan tuntutannya.
“Tetapi
bagaimana dengan Pandan Wangi?” desisnya. Tiba-tiba Argapati itu meloncat
berdiri. Dengan tergesa-gesa ia pergi ke pendapa dan memanggil seorang penjaga
regol halamannya.
“Panggil
pemimpin pengawal,” ia menggeram.
Perintah itu
tidak perlu diulanginya. Segera penjaga regol itu pergi memenuhinya, memanggil
pemimpin pengawal. Kepadanya, Argapati memberitahukan bahwa Pandan Wangi telah
pergi. Menurut pertimbangannya ia pergi ke rumah Argajaya.
“Apakah
kepentingannya?” bertanya pemimpin pengawal itu.
“Aku tidak
tahu. Tetapi aku yakin bahwa Pandan Wangi ingin membantuku memecahkan kesulitan
ini. Mungkin ia ingin menemui kakaknya dan mencoba mempengaruhinya. Namun aku
mengkhawatirkannya. Aku tidak yakin bahwa ia berhasil, meskipun seandainya
demikian aku akan sangat berterima kasih kepadanya. Tetapi seandainya Sidanti
mengambil sikap-sikap yang tidak mencerminkan persaudaraannya, misalnya
menahannya dan tidak diberikan kesempatan kepadanya untuk kembali ke rumah ini
dengan kekerasan, maka kita harus bertindak. Aku menunggu sampai tengah hari.
Apabila tengah hari Pandan Wangi tidak kembali, kau harus menyusulnya. Kau
minta Pandan Wangi. Kalau tidak diberikannya, aku tidak tahu akibat apa yang
dapat terjadi. Pasukanmu harus bersiap menghadapi setiap kemungkinan.”
Wajah pemimpin
pengawal itu menjadi tegang. Tetapi kemudian matanya memancarkan api yang
seolah-olah telah membakar jantungnya. Dengan tegas ia berkata,
“Aku akan
melakukannya. Aku dan pasukan pengawal Tanah Perdikan ini sudah siap melakukan
apa saja. Aku kira memang tidak ada jalan lain selain perang. Kalau Pandan
Wangi mengusahakan jalan lain, itu pasti hanya akan sia-sia saja, meskipun aku
ikut mengharap, mudah-mudahan ada juga pengaruhnya.”
Argapati
melihat pancaran perasaan pemimpin pengawal itu. Agaknya ia sudah menjadi jemu
melihat perkembangan keadaan yang seakan-akan tidak menentu. Tetapi kegelisahan
dan kecemasan telah merayapi hampir setiap hati di dalam dada orang-orang
Menoreh. Sehingga bentuk kehidupan sehari-hari telah berubah sama sekali.
Pasar-pasar menjadi semakin sepi, dan sawah-sawah tidak lagi terpelihara
sewajarnya. Sebagian dari setiap laki-laki di Menoreh telah mengelompokkan diri
mereka dengan orang-orang yang mempunyai persamaan sikap dan pandangan. Menoreh
telah terpecah dari dalam. Ketika pemimpin pengawal itu kemudian meninggalkan
rumah Ki Gede Menoreh, maka Ki Gede itu berpesan,
“Datanglah
sebelum tengah hari kemari, setelah kau selesai dengan segala bentuk
persiapanmu. Kau akan mendapat kepastian, apakah Pandan Wangi telah kembali
atau belum. Jangan kau bunyikan tengara untuk mempersiapkan pasukanmu, supaya
orang-orang yang tidak mengerti masalahnya menjadi bingung dan ketakutan.”
“Baik,” sahut
pengawal itu meskipun ia tidak sependapat sepenuhnya. Sebenarnya ia ingin
langsung membunyikan tengara, memanggil mereka yang masih cukup kuat untuk
mengangkat senjata, kemudian langsung menghancurkan Sidanti dan Argajaya.
Tetapi
pengawal itu menyadari, bahwa dengan demikian akan terjadi pergolakan yang
dahsyat dan mengerikan. Campur baur antara lawan dan kawan akan membuat Tanah
Perdikan ini merah oleh darah sesama. Sepeninggal pengawal itu, Argapati masih
saja selalu diliputi oleh kegelisahan. Tanpa disengajanya ia memasuki bilik
Pandan Wangi. Hatinya berdesir ketika ia tidak melihat sepasang pedang puterinya
itu tergantung di tempatnya.
“Anak itu
bersenjata,” desisnya. Dan Argapati semakin yakin bahwa Pandan Wangi pergi ke
rumah pamannya karena ia masih melihat busur dan anak panahnya berada di atas
pembaringannya, tergantung di dinding. Dalam kegelisahannya, Argapati itu
merasa bahwa hari merangkak terlampau lamban. Matahari seolah-olah terpancang
saja di tempatnya, tanpa bergerak sama sekali. Bayangan-bayangan matahari yang
lolos dari lubang-lubang dinding masih tampak terlampau condong.
“Hem,” Ki Gede
Menoreh itu berdesah. Dan sekali lagi tanpa disadarinya ia pergi ke biliknya
sendiri. Perlahan-lahan ia pergi ke geledeg di sudut biliknya. Beberapa saat ia
berdiri termangu-mangu. Namun kemudian tangannya itu bergerak meraih sebuah
selongsong kain putih.
Argapati
menarik nafas dalam-dalam. Perlahan-lahan dengan tangan gemetar dibukanya
selongsong itu. Perlahan-lahan ditariknya sebatang tombak pendek dari dalamnya.
Tombak pendek yang disimpannya beberapa lama, namun tiba-tiba kini begitu
menarik perhatiannya, dan seolah-olah telah menghisapnya untuk membukanya. Ki
Argapati mengerutkan keningnya. Ia melihat sesuatu yang agak lain pada
tombaknya. Maka dengan serta-merta tangannya meraih wrangkanya. Dan ketika
wrangkanya telah terbuka, dadanya berdesir tajam sekali. Tombak itu bukan
tombaknya sendiri. Argapati menggeretakkan giginya. Wrangka itu adalah wrangka
tombaknya. Selongsong itu adalah selongsong tombaknya. Tangkai itu pun memang tidak banyak berbeda dengan
tangkai tombaknya. Seandainya ia tidak merabanya, maka ia tidak akan segera
dapat melihat perbedaannya. Tetapi jelas tombak itu bukan miliknya. Tombak itu
agaknya adalah tombak Argajaya.
“Hem,” Ki Gede
Menoreh menggeram. Ternyata adiknya benar-benar tidak tahu diri. Tombak itu
telah dipertukarkannya. Tombaknya yang selama ini menjadi kawan di dalam segala
keadaan, sebagai seorang prajurit, kemudian sebagai seorang Kepala Tanah
Perdikan. Tiba-tiba tombak itu kini lenyap. Hilang.
Tetapi
Argapati dapat menduga, siapakah yang telah mengambilnya. Adiknya sendiri,
Argajaya, dan menukarnya dengan tombaknya sendiri.
“Kapankah ia
masuk ke dalam bilik ini?” Argapati menggeram. Tetapi hal itu mungkin sekali
terjadi. Rumah itu seolah-olah sudah menjadi rumah Argajaya sendiri. Ia berada
di dalam rumah itu seperti ia berada di dalam rumahnya. Argapati sama sekali
tidak berprasangka apa pun terhadap
adiknya, sebelum peristiwa yang memilukan terjadi atas Tanah Perdikan Menoreh.
Bahkan seandainya benar Argajaya yang telah melakukannya, tetapi tidak terjadi
hal seperti ini, maka hatinya pun tidak
akan menjadi terlampau marah. Tetapi ternyata tombaknya telah ditukarnya.
Dengan kesal
Argapati menyarungkan tombak itu kembali. Dimasukkannya pula ke dalam
selongsong dan meletakkannya di atas geledegnya.
“Argajaya
benar-benar telah menempatkan dirinya di seberang,” desisnya.
“Apakah aku
masih harus merasa terikat oleh kasih sayang seorang saudara tua di saat-saat
begini? Aku sudah tua, Argajaya pun
telah menambat ke usia tuanya. Harapan di masa datang kini tergantung kepada
anakku. Kepada Pandan Wangi. Pandan Wangi-lah yang harus di selamatkan dari
bencana. Bukan Argajaya, dan bahkan bukan diriku sendiri. Apalagi Sidanti.”
Wajah Argapati
tiba-tiba menegang. Argajaya agaknya telah menukar tombak itu tidak baru
kemarin. Tetapi sudah agak lama terjadi. Sekilas teringat olehnya perjanjian
yang dibuatnya dengan Ki Tambak Wedi. Sepercik ingatan tentang peristiwa yang
jarang terjadi di bawah Pucang Kembar beberapa puluh tahun yang lalu telah
menyala pula di hatinya. Tetapi tombak itu sudah tidak ada lagi di tangannya.
Tombak yang masih akan dipergunakan sekali lagi untuk melawan senjata Tambak
Wedi yang mengerikan itu. Sepasang nenggala yang masing-masing mempunyai mata
tajam rangkap. Tetapi Argapati tidak mengerti, bahwa sepasang nenggala itu pun sudah tidak utuh lagi. Satu dari padanya
ternyata telah tertinggal di Sangkal Putung.
Sementara itu,
Pandan Wangi sedang berpacu di atas kudanya menuju ke rumah pamannya seperti
yang diduga oleh ayahnya. Ia sendiri tidak tahu, dorongan apakah yang
memaksanya untuk pergi menemui kakaknya. Ia menyadari, bahwa ayahnya pasti
tidak akan mengijinkannya. Karena itu, maka ia pergi tanpa minta ijin dahulu
kepadanya. Keinginannya untuk bertemu dan berbicara dengan Sidanti tidak dapat
ditahan-tahankannya lagi. Berbicara kepada seorang kakak, meskipun kini ia tahu
bahwa Sidanti bukanlah kakaknya seayah. Tetapi bukan saja karena ia ingin
berbicara dengan kakaknya, bukan saja karena ada sesuatu yang telah mengikatnya
dengan Sidanti Betapapun keadaan anak itu, karena mereka seibu, namun lebih
dari pada itu. Pandan Wangi telah dilanda oleh kecemasan melihat nasib tanah
kelahirannya. Tanah Perdikan Menoreh yang diancam oleh bahaya yang justru
meledak dari dalam.
“Aku harus
menemui Kakang Sidanti dan paman Argajaya,” katanya di dalam hati.
“Aku harus
berbicara dan mencoba mengurungkan niat mereka. Seandainya Kakang Sidanti tahu,
bahwa ayah bukan ayahnya pula, namun seharusnya ia tidak mengorbankan tanah ini
untuk kepentingannya sendiri.”
Sekali-sekali
Pandan Wangi menggeretakkan giginya melihat keadaan yang menyedihkan.
Jalan-jalan menjadi sepi dan pintu-pintu rumah tertutup rapat-rapat. Tanah ini
seolah-olah sedang dilanda oleh bahaya yang akan menelan seluruh isinya menjadi
abu.
Dengan
demikian maka hasratnya untuk berbicara dengan kakak dan pamannya menjadi
semakin kuat di dalam hatinya. Di perjalanan kadang-kadang Pandan Wangi bertemu
juga orang berjalan dengan tergesa-gesa. Satu-satu membawa beberapa macam
barang yang akan dipertukarkan dengan kebutuhan-kebutuhan lain, karena pasar
menjadi sepi. Ketika orang-orang itu mendengar derap kudanya, maka dengan
tergesa-gesa mereka menyusup masuk ke regol halaman yang terdekat dan
bersembunyi di balik dinding halaman.
“Tanah ini
menjadi sepi sesepi pekuburan,” desis Pandan Wangi.
Tetapi derap
kuda Pandan Wangi seolah-olah telah menggetarkan seluruh Tanah Perdikan yang
sedang dihantui oleh perpecahan yang semakin lama semakin tajam. Semakin dekat
dengan rumah pamannya, hati Pandan Wangi menjadi semakin berdebar-debar. Seolah-olah
ia tidak sabar lagi untuk segera meloncat dan menemui mereka. Bahkan
sekali-kali ia berpaling. Seandainya ayahnya atau orang-orang yang
diperintahkan olehnya menyusul perjalanannya dan membawanya kembali sebelum ia
bertemu dengan Sidanti dan pamannya Argajaya, maka ia akan berkeberatan. Tetapi
tiba-tiba dada Pandan Wangi itu berdesir. Di tikungan di hadapannya, dilihatnya
beberapa orang sedang berdiri bertebaran. Mereka agaknya sedang asyik
bercakap-cakap, berkelakar atau apa saja.
“Siapakah
mereka itu?” pertanyaan itu tumbuh di dada Pandan Wangi.
Ternyata bahwa
derap kaki-kaki kudanya telah menarik perhatian orang-orang itu. Serentak
mereka berloncatan justru ke tengah jalan. Beberapa orang bertolak pinggang dan
yang lain meraba hulu pedangnya.
“Enam atau tujuh
orang,” desis Pandan Wangi,
“Mungkin
mereka para pengawal Tanah Perdikan yang sudah dipengaruhi oleh kakang
Sidanti.”
Tetapi Pandan
Wangi tidak menghentikan langkah kudanya. Ia akan memberi penjelasan, bahwa ia
hanya sekedar ingin bertemu saja dengan Sidanti dan Ki Argajaya.
“Mudah-mudahan
mereka dapat mengerti,” gumamnya sambil memacu kudanya.
Tetapi dada
Pandan Wangi itu berdesir semakin tajam. Semakin dekat, maka semakin jelas
baginya, bahwa agaknya orang-orang itu bukan orang-orang Tanah Perdikan
Menoreh.
“Siapakah
mereka itu?” pertanyaan itu sekali lagi menyentuh dadanya.
“Apakah mereka
orang-orang yang tidak kami kenal yang berusaha ikut serta membuat keadaan
semakin kisruh, supaya mereka mendapat kesempatan untuk mengail di air keruh?”
Tanpa
disengaja, Pandan Wangi menarik kendali kudanya, sehingga derap larinya menjadi
susut. Dengan hati-hati Pandan Wangi mencoba untuk menilai keadaan. Tetapi
bagaimanapun juga ia tidak ingin kembali sebelum bertemu dengan kakaknya.
Dengan demikian maka tekadnya menjadi bulat, untuk meneruskan perjalanannya.
Rumah pamannya sudah tidak begitu jauh lagi dari tikungan itu. Meskipun
demikian, Pandan Wangi harus berwaspada. Segala macam peristiwa dapat saja
terjadi dalam keadaan yang kisruh ini. Orang-orang yang berada di tikungan
masih berdiri di tengah jalan. Mereka sengaja menghadang kuda Pandan Wangi.
Dengan berbagai macam sikap yang mengancam, mereka kini melangkah
perlahan-lahan menyongsong kuda yang semakin dekat itu.
Tiba-tiba
salah seorang dari mereka melangkah ke paling depan. Sambil mengangkat
tangannya ia berseru,
“Berhenti!”
Pandan Wangi
terpaksa menghentikan kudanya. Kini perlahan-lahan ia maju.
“Siapa kau?”
bertanya orang itu. Dan orang itu sama sekali belum pernah dilihatnya. Orang
itu terasa asing dan mendebarkan hati.
Tetapi supaya
tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, maka Pandan Wangi menjawab,
“Aku, Pandan
Wangi.”
Orang itu
mengerutkan keningnya. Kemudian ia berpaling memandangi kawan-kawannya yang
berdiri di belakangnya. Tiba-tiba tanpa diketahui sebabnya orang itu tertawa
terbahak-bahak.
Pandan Wangi
mengerutkan keningnya. Sikap itu benar-benar sikap yang tidak menyenangkan.
Meskipun demikian ia masih mencoba menahan hati dan duduk diam di atas punggung
kudanya.
“Aku sudah
menduga,” berkata orang itu,
“bahwa kau
adalah seorang perempuan sejak aku melihatmu dari kejauhan. Tetapi aku tidak
menduga bahwa kau sedemikian cantiknya.”
“Benar-benar
memuakkan,” desis Pandan Wangi di dalam hatinya. Tetapi ia masih berdiam diri.
“Kenapa kau
pergi seorang diri dalam keadaan begini? Apakah kau tidak pernah mendengar
berita, bahwa di Tanah Perdikan ini akan menyala api yang dapat membakar hangus
seluruh isi dan penghuninya?”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar