Jilid 033 Halaman 3


“tetapi Ki Argapati ingini tahu, apakah kalian bersedia menghentikan segala macam kegiatan yang bertentangan dengan ketentuan yang berlaku di Tanah Perdikan ini.”
“Diam!” bentak Ki Tambak Wedi yang hampir kehilangan kesabaran,
“Katakan saja kepada Ki Argapati. Aku tidak mau berbicara dengan cecurut-cecurut macam kau.”
“Ki Tambak Wedi,” wajah orang itu menjadi merah padam,
“aku tahu bahwa sepuluh orang seperti aku, bahkan seratus orang mungkin tidak dapat menyamaimu. Tetapi bahwa aku sekarang sedang mengemban tugas dari Ki Gede Menoreh, kedudukanku adalah kedudukan seorang utusan dari seorang yang paling berkuasa di sini. Karena itu jawablah pertanyaan Ki Gede Menoreh. Apakah kau bersedia menghentikan segala kegiatan atau tidak. Hanya itu, dan jawabnya  pun hanya ada satu diantara dua, ‘ya, atau tidak’.”
“Gila!” yang berteriak kemudian adalah Sidanti. Hampir saja ia meloncat menerkam utusan itu. Tetapi Ki Tambak Wedi telah menahannya.
“Tunggu dulu Sidanti.”
“Apa lagi yang ditunggu? Orang ini ternyata bermulut besar. Betapa ia menjadi sombong hanya karena ia menjadi orang utusan. Sudah sepantasnya ia dicincang di halaman.”
“Ia hanya sekedar seorang utusan,” berkata Ki Tambak Wedi.
“Tanganmu terlampau bernilai untuk melakukannya. Orang ini tidak sepantasnya mendapat pelayanan dari kau apalagi aku.”
“Lalu apakah yang akan Guru lakukan atasnya?”
“Biarkan saja ia pergi dan menghadap Argapati. Aku sudah memberi penjelasan.”
“Bukan itulah soalnya,” utusan itu masih saja memotong.
Sidanti menggeram. Bahkan darah Ki Tambak Wedi sendiri terasa telah mendidih. Tetapi ia adalah seorang yang licik. Sehingga ia  pun berkata,
“Biarkan saja ia Sidanti. Meskipun bukan itu yang ditanyakan, tetapi ia akan berceritera juga di hadapan Ki Argapati. Ia akan berceritera tentang sikapku dan semua yang didengarnya.”

Kini utusan itulah yang menggeram. Tetapi ia berkata,
“Aku akan berceritera. Tetapi apakah kau yakin bahwa ceriteraku tidak akan membakar hati Ki Argapati dan memaksanya untuk bertindak hari ini juga? Aku tahu benar, bahwa kalian masih belum siap seandainya Argapati mengambil tindakan hari ini.”
“Bodoh sekali,” sahut Sidanti.
“Apakah kau tidak mempertimbangkan bahwa dengan demikian aku dapat membunuhmu.”
“Kematianku tidak akan berarti apa-apa. Baik bagi Menoreh, maupun bagi Ki Argapati. Aku hanyalah seorang pengawal Tanah Perdikan dari antara sekian banyak orang. Tetapi arti kematianku akan sangat penting bagi kalian. Sebab kematianku adalah jawaban yang tegas dari pertanyaan Ki Argapati. Ya atau tidak.”
“Setan!” sahut Ki Tambak Wedi.
“Pergi, cepat pergi! Terserahlah apa yang akan kau katakan kepada Ki Argapati. Aku sudah mengemukakan pendirianku. Aku tahu bahwa Argapati masih berusaha mencari jalan yang baik untuk menemukan penyelesaian. Aku pun berpendirian demikian. Kalau kau sebagai seorang utusan telah memotong hasrat yang bersamaan yang menyala dari dalam dada Argapati dan puteranya bersama-sama, maka kutuk yang paling jahat akan jatuh kepadamu. Seandainya kelak berkobar persoalan yang sama-sama tidak kita kehendaki, maka kaulah sumber dari segala macam sebab. Karena seandainya kau tidak membakar hati Argapati, maka semuanya itu tidak akan terjadi.”
Utusan itu mengerutkan keningnya. Ia dapat mengerti kata-kata Ki Tambak Wedi. Tetapi ia  pun curiga pula atas segala macam kemauan baik yang diucapkannya. Karena itu maka akhirnya ia berkata,
“Aku hanya sekedar utusan. Aku akan menghadap Ki Argapati, apabila aku tidak kau bunuh di sini. Sebab untuk membunuhku kalian tidak akan mengalami kesulitan meskipun aku pasti akan melawan dengan segenap hati.”
“Pergi! Pergi!” teriak Sidanti.
“Kau terlampau memuakkan bagiku. Katakan kepada ayah Argapati semuanya yang pernah kau dengar di sini.”
Pengawal Tanah Perdikan Menoreh yang menjadi utusan Ki Argapati untuk menemui Ki Tambak Wedi dan Sidanti itu  pun kemudian meninggalkan rumah Argajaya yang seolah-olah telah menjadi pusat dari segala kegiatan dan gerakan yang dilakukan oleh ketiga orang itu. Mereka telah membuat rumah itu sebagai pancadan untuk menggenggam seluruh kekuasaan tidak saja di Menoreh, tetapi kekuasaan Pajang seluruhnya, apabila saatnya telah datang.
Argapati mendengar keterangan utusannya dengan hati yang pedih. Terbayang di dalam rongga matanya bahwa sesuatu yang tidak diharapkan benar-benar akan terjadi. Sudah tentu ia tidak akan dapat membiarkan hal itu. Tidak dapat membiarkan Sidanti merebut kekuasaannya alas Tanah Perdikan ini, meskipun memang pernah dijanjikannya. Tetapi cara yang ditempuh oleh Sidanti adalah cara yang sangat menyakitkan hati.
“Soalnya bukan karena aku tidak mau menyerahkan kekuasaan itu kepada anakku,” berkata Argapati kepada pembantu-pembantunya,
“tetapi yang lebih penting lagi bagiku, adalah cara yang mereka pilih. Dan terlebih-lebih lagi, apakah yang akan terjadi sesudah itu. Aku tidak berani membayangkan, apakah yang akan dilakukan oleh Sidanti dengan orang-orang yang kini mendukungnya. Orang-orang yang kecewa, orang-orang yang ingin berbuat sekehendak sendiri, tanpa dikendalikan lagi, orang-orang yang kaya tanpa mempertimbangkan dari mana ia mendapat kekayaan itu, orang-orang yang ingin berkuasa, dan orang-orang yang mendapat keuntungan dari segala macam benturan-benturan yang terjadi. Bahkan orang-orang yang sekedar mendapat janji untuk kepentingan pribadi. Orang-orang yang terlampau miskin dengan harapan-harapan yang dibayangkan akan dapat berlaku kelak. Kepentingan-kepentingan yang berbeda, tetapi mempunyai satu titik tumpuan, yaitu perubahan atas pimpinan Tanah Perdikan ini akan sangat berbahaya bagi kelangsungan hidup Menoreh. Berbahaya bagi keturunan kita kelak.”

Pembantu-pembantu dan tetua-tetua Tanah Perdikan Menoreh menyadari, betapa keadaan telah meluncur dengan cepatnya ke dalam suatu kesulitan yang hampir tidak dapat dicegah lagi. Para pemimpin Pengawal Tanah Perdikan itu hampir-hampir sudah tidak dapat bersabar lagi. Membiarkan hal itu berlarut-larut berarti membiarkan dirinya diintai oleh seekor harimau lapar. Setiap saat dalam kelengahan yang sekejap saja, pasti segera akan menerkam dengan garangnya.

Tetapi Ki Argapati selalu mencoba menunggu sampai saat purnama naik. Ia ingin menyelesaikan janjinya. Janji jantan yang tidak dapat diingkarinya. Memang kadang-kadang tumbuh pertentangan di dalam dirinya. Apakah ia akan membiarkan Menoreh ditelan oleh kesulitan yang lebih parah, dengan taruhan yang lebih mahal sekedar memenuhi harga diri pribadinya?
“Tidak. Saat purnama akan segera datang. Hanya tinggal beberapa hari lagi. Selain itu, aku pun akan sudah siap untuk bertindak serentak. Sekali pukul, Ki Tambak Wedi harus hancur. Kalau tidak, maka keadaan akan menjadi lebih parah lagi,” kata Argapati di dalam hati.
Maka yang dilakukan oleh Argapati kemudian adalah mempersiapkan pasukan pengawal sejauh-jauhnya. Kepada para pemimpin Tanah Perdikan, Argapati memerintahkan untuk melakukan perlawanan atas kabar yang tersiar. Mereka harus tegas-tegas mengatakan, bahwa pada saatnya apabila orang-orang yang sesat itu tidak segera kembali ke jalan yang lurus, Argapati akan melakukan tindakan yang keras kepada mereka. Para pengawal Tanah Perdikan Menoreh harus menarik garis yang jelas, di manakah orang-orang yang melakukan perlawanan itu menempatkan dirinya. Sejak saat itu, peronda-peronda harus di tempatkan di tempat-tempat tertentu. Para pengawal harus berada dalam kesiap-siagaan penuh setiap saat. Gardu peronda harus segera dilengkapi dengan alat-alat untuk tengara setiap gerakan yang mencurigakan.
“Kita tidak dapat melakukannya dengan bersembunyi-sembunyi lagi,” berkata Argapati.
“Kita terpaksa melakukannya dengan terbuka justru untuk menenteramkan hati rakyat, bahwa kita  pun telah bersiap untuk menghadapi setiap kemungkinan yang tidak kita kehendaki. Sementara itu setiap cara untuk menempuh jalan lain, masih harus kita usahakan, agar Menoreh tidak terjerumus ke dalam api yang dapat membakar seluruh bukit ini, menjadi karang abang tanpa arti.”
Ternyata setiap pemimpin Tanah Perdikan Menoreh dan setiap pengawal yang masih setia kepada Argapati telah melakukan perintah itu dengan baik. Di tempat-tempat tertentu telah di tempatkan satuan-satuan pengawal yang dapat bertindak setiap saat. Tetapi para pemimpin itu  pun tidak dapat menutup mata dari kenyataan bahwa sebagian dari mereka  pun telah terpengaruh oleh berbagai macam janji dan harapan yang diberikan oleh Ki Tambak Wedi, Sidanti, dan Argajaya. Mereka tidak segan-segan untuk melontarkan segala macam fitnah yang paling keji sekalipun, untuk membangkitkan kebencian rakyat kepada Ki Gede Menoreh.
“Aku tidak menyangka, bahwa hal ini dapat terjadi,” berkata Ki Argapati kepada Pandan Wangi ketika mereka duduk berdua di pringgitan rumahnya.
“Ternyata, benih yang ditaburkan, oleh Ki Tambak Wedi itu telah tumbuh menjadi sebatang pohon berduri yang meracuni Tanah ini.”
Pandan Wangi tidak menyahut. Tetapi tekadnya telah bulat, untuk berbuat apa saja di samping ayahnya sebagai Kepala Tanah Perdikan.
“Pandan Wangi,” berkata ayahnya,
“ilmumu ternyata telah menjadi jauh sekali maju. Kau tidak boleh berhenti. Setiap malam kau masih harus melakukannya tanpa dilihat orang lain, supaya tempat latihan kita itu tidak menjadi sasaran tindakan licik Ki Tambak Wedi dan pengikut-pengikutnya.”
Pandan Wangi mengangguk.
“Malam nanti aku akan sampai kepada puncak unsur-unsur gerak yang menjiwai seluruh perguruan Menoreh. Kau sudah saatnya untuk menerimanya. Aku mempunyai perhitungan, dengan demikian, kau akan berada lebih tinggi di dalam tataran ilmumu dari Sidanti yang saat ini pasti tidak sempat melakukan latihan-latihan yang berarti. Tetapi aku telah menyisihkan waktu untuk itu. Untuk kepentinganmu. Seandainya terpaksa terjadi sesuatu atas Tanah Perdikan ini, maka kau akan mampu melindungi dirimu sendiri dari bencana.”
Pandan Wangi tidak menyahut. Tetapi ternyata bahwa ayahnya telah sampai pada suatu kemungkinan baginya untuk melakukan perlawanan atas Sidanti, kakaknya. Meskipun Sidanti bukan putera Ki Gede Menoreh, tetapi Sidanti itu telah dilahirkan pula oleh Rara Wulan, ibunya.

Terasa desir yang tajam tergores di dinding hatinya. Tetapi Pandan. Wangi mencoba menggeretakkan giginya untuk mengusir perasaan yang mengganggu dirinya itu. Ia ingin berdiri di tempat yang telah dipilihnya menurut nalarnya. Ia tidak mau terombang-ambing oleh perasaannya yang kadang-kadang kehilangan keseimbangan. Tetapi Betapapun juga ia berusaha, namun setiap kali terngiang di telinganya,
“Sidanti adalah kakakmu seibu. Kakak yang dengan sayang membawamu bermain-main di masa kanak-kanak.”
“Kami bukan anak-anak lagi,” Pandan Wangi mencoba menahan gelora perasaannya. Namun ia tidak dapat menahan ketika setitik-setitik air membasahi pelupuk matanya.
Ayahnya menyadari betapa beratnya bagi Pandan Wangi untuk memilih sikap. Tetapi adalah kewajibannya untuk mencoba menunjukkan arah. Seperti seseorang yang berdiri di simpang jalan, yang sama-sama menuju ke dalam kesulitan, maka Pandan Wangi harus memilih salah satu di antaranya. Salah satu yang paling baik betapa, pun sulitnya. Ketika kemudian malam tiba, yang semakin lama menjadi semakin dalam, maka Ki Argapati dan Pandan Wangi telah berada di sebuah tanah lapang sempit yang sepi. Tempat yang mereka pilih untuk menempa satu-satunya anak yang akan dapat meneruskan hadirnya Tanah Perdikan Menoreh apabila Sidanti sama sekali sudah tidak menghiraukan lagi peringatan-peringatan yang diberikan oleh Ki Argapati. Angin yang silir telah mengusap tubuh-tubuh yang basah oleh keringat. Pandan Wangi telah mencoba untuk mencurahkan segenap kemampuan yang ada padanya supaya ia tidak mengecewakan ayahnya yang sedang dikalutkan oleh kakak seibunya. Ternyata harapan Ki Argapati yang ditumpahkan kepada puterinya itu tidak sia-sia. Pandan Wangi kini sedang berada di dalam latihan yang paling sulit. Keringatnya telah membasahi seluruh wajah kulitnya, dari ujung kakinya sampai ke ujung rambutnya. Terasa getaran-getaran yang semakin cepat mengalir di segenap otot bebayu, bahkan terasa seolah-olah bergetar di seluruh bagian tubuhnya menyelusuri segenap tulang sungsumnya. Getaran-getaran itulah sumber pancaran ilmu yang harus dipelajarinya, diluluhkan dengan getar di dalam dirinya, dan kemudian akan terpancar dalam satu bentuk yang dahsyat. Dengan getaran-getaran yang harus dikenali bentuk dan wataknya, Pandan Wangi akan mampu membangunkan segenap tenaga cadangan di dalam dirinya seperti yang dikehendakinya, yang kadang-kadang di dalam ujudnya, hampir-hampir tidak dapat digapai oleh akal. Tetapi sebenarnyalah bahwa sumber kekuatan itu telah ada di dalam diri, lahir bersama-sama dengan kelahiran dirinya dari Sumber Yang Esa. Kekuatan itu sama sekali bukanlah hasil buatan manusia, bukan karena kepandaian dan kemampuan manusia menciptakan kekuatan dan kelebihan di dalam dirinya dari orang-orang lain, tetapi manusia hanya dapat mengenali dan mempergunakannya, yang sebelumnya memang telah ada di dalam diri. Sesuai dengan sumbernya, maka tidak ada lain, bahwa tenaga cadangan dan setiap pancaran kekuatan, hendaknya dipergunakan menurut arah yang telah ditentukan. Untuk kepentingan kasih sesama, dan untuk kepentingan Sumber itu sendiri, dalam segala macam tuntutannya. Tetapi ternyata bahwa di dalam diri manusia terdapat pengenalan yang kadang-kadang sesat dari arah pancaran Sumbernya. Sesat dan tidak ingin menemukan jalan kembali. Dibangkitkannya kekuatan di dalam diri manusia dengan landasan yang samar, dan bahkan dengan landasan yang kelam dan hitam. Untuk tujuan yang kelam dan hitam pula, sehingga manusia yang demikian semakin lama akan menjadi semakin jauh tersesat.
Ternyata Pandan Wangi benar-benar tidak mengecewakan ayahnya. Ketika keringatnya seolah-olah telah terperas habis dari dalam tubuhnya, maka sampailah ia pada puncak ilmu yang diturunkan ayahnya kepadanya. Unsur gerak yang merampas segenap kekuatan lahir dari batinnya. Memukaunya dalam pengaruh yang semula kurang dikenalnya. Tetapi kemudian dimengertinya, bahwa yang kurang dikenalnya itu adalah dirinya sendiri dalam bentuknya yang paling wajar. Tanpa pulasan lahiriah dan bahkan seakan-akan tidak mengenal wadagnya sendiri. Hakekat dari kekuatan manusiawi yang tersimpan di dalam diri, dalam pancaran pribadi yang lengkap.
Ketika getaran itu terasa mencengkam seluruh tubuhnya, maka Pandan Wangi merasakan betapa sulitnya ia melawan kehendak di dalam diri. Seolah-olah suatu kekuatan yang dahsyat telah menyeretnya ke dalam suatu keadaan yang tidak dimengertinya. Tetapi Pandan Wangi tetap bertahan, ia mencoba untuk tetap sadar dan mendengar kata-kata petunjuk ayahnya. Ia mendengar kata demi kata meskipun seolah-olah semakin lama menjadi semakin jauh. Dipusatkannya inderanya untuk tetap mendengar suara itu.

Kini Pandan Wangi justru tidak bergerak sama sekali, ia berdiri tegak dengan kaki rapat. Tangannya disilangkannya di dadanya, sedang senjatanya, sepasang pedang, mencuat di depan pundaknya. Didengarnya petunjuk-petunjuk ayahnya, untuk melakukan unsur-unsur gerak yang paling sulit dari ilmunya. Tetapi Pandan Wangi sudah tidak bergerak dengan wadagnya. Dipusatkan inderanya, didengarkannya petunjuk-petunjuk ayahnya meskipun ia sudah tidak dapat melihat lagi, di mana ayahnya berdiri karena matanya sedang terpejam, dan ia tidak tahu lagi dari mana arah suara itu menyentuh lubang telinganya. Namun meskipun demikian, Pandan Wangi merasakan, bahwa ia telah melakukan gerak itu. Gerak yang justru paling sempurna. Gerak yang telah memeras segenap kemampuan batinnya. Semakin lama suara ayahnya itu  pun menjadi semakin samar, Ia tinggal harus melakukan satu unsur gerak. Yang terakhir. Terasa dadanya berguncang dahsyat sekali ketika ia merasa membenturkan kekuatannya itu dengan kekuatan ayahnya. Dilontarkannya kekuatan terakhirnya dalam unsur gerak terakhir. Pandan Wangi hanya merasakan dunia ini kemudian menjadi gelap. Terlampau gelap, sehingga kemudian ia tidak melihat dan mendengar apa  pun lagi. Pingsan. Argapati menarik nafas dalam-dalam. Diusapnya keringat yang, mengalir dikeningnya. Kemudian didekatinya puterinya yang terbaring diam di atas rerumputan yang basah oleh embun. Perlahan-lahan ia berjongkok di sampingnya. Dirabanya kening Pandan Wangi, kemudian tangannya dan dadanya. Nafasnya dan darahnya terasa terlampau cepat mengalir.
“Agak terlampau berat baginya,” desis ayahnya,
”tetapi ia mampu menyelesaikannya sampai unsur yang terakhir dari ilmu perguruan Menoreh.”
Ketika angin silir mengusap dahinya, Ki Gede Menoreh menengadahkan wajahnya. Di langit bintang gemintang berkeredipan memenuhi layar yang biru kehitam-hitaman. Bulan yang belum bulat telah bertengger di punggung bukit di sebelah Barat.
Sejenak dibiarkannya Pandan Wangi terbaring. Argapati yakin bahwa puterinya itu tidak mengalami cidera apa  pun kecuali kelelahan dari pemusatan indera yang berlebih-lebihan. Sesudah itu ia pasti akan menyadari dirinya sebagai seorang gadis yang telah memiliki bekal yang cukup untuk menempuh kehidupan yang Betapapun sulitnya. Argapati mengerutkan keningnya ketika ia melihat Pandan Wangi menarik nafas perlahan-lahan. Kemudian dibukanya matanya perlahan-lahan pula. Yang pertama-tama diucapkannya adalah,
“Ayah.”
“Bangunlah, Wangi. Kau telah berhasil.”
Perlahan-lahan sekali Pandan Wangi mencoba menggerakkan tangannya, kemudian kakinya. Berkali-kali ia menarik nafas dalam-dalam. Terasa tubuhnya masih nyeri dan sendi-sendi tulangnya terlampau lemah.
“Kekuatanmu akan segera pulih kembali, bahkan dengan kemungkinan yang jauh lebih baik dari keadaanmu sebelumnya.”
Perlahan-lahan Pandan Wangi mengingat kembali apa yang telah terjadi padanya sebelum ia jatuh pingsan. Latihan yang terlampau berat dan yang terakhir, pemusatan indera untuk menangkap unsur gerak yang paling sulit dari ilmunya. Meskipun ia kemudian pingsan, tetapi ia sudah menyelesaikan apa yang seharusnya dilakukannya. Ia mendengar petunjuk-petunjuk ayahnya sampai kalimat yang terakhir.
Tetapi ia adalah seorang gadis. Secara alami ia mempunyai perbedaan dengan seorang anak laki-laki muda. Itulah sebabnya, maka baginya latihan itu menjadi terlampau berat, meskipun ia kemudian berhasil menyelesaikannya. Pandan Wangi itu  pun kemudian bangkit dan duduk di depan ayahnya. Nafasnya masih terasa berkejaran dan darahnya masih terlampau cepat mengalir. Jantungnya seakan-akan berdetak lebih cepat dari biasanya.
“Berdirilah, Wangi,” berkata ayahnya.
Perlahan-lahan Pandan Wangi mencoba berdiri, betapa lemahnya sendi tulangnya, namun ia kemudian tegak di atas kedua kakinya.
“Ambillah pedangmu.”
Pandan Wangi menyadari bahwa kedua senjatanya itu ternyata telah terlepas dari tangannya. Perlahan-lahan ia membungkukkan badannya. Punggungnya masih terasa terlampau penat. Diraihnya kedua pedangnya dan kemudian disarungkannya di lambungnya.
“Kau telah selesai, Wangi,” berkata ayahnya yang kemudian berdiri di sampingnya.
“Tetapi sama sekali bukan berarti bahwa kau telah menjadi sempurna. Kau baru dapat menyelesaikan latihan-latihan untuk menguasai unsur-unsur gerak itu sendiri. Tetapi kau masih harus mengembangkannya dalam waktu-waktu yang akan datang. Kau harus dapat mempergunakan, memilih dan menggabungkan unsur yang telah kau kuasai itu, untuk menanggapi keadaan yang berbeda-beda. Nah, untuk itu kau memerlukan pengalaman. Tetapi dasar pengetahuanmu kini sama sekali pasti tidak akan kalah lagi dari Sidanti, meskipun kau sudah pasti kalah dalam pengalaman.”

Pandan Wangi masih berdiri tegak sambil berdiam diri. Berbagai macam perasaan bergelut di dalam dirinya. Sekali lagi ia merasakan desir yang tajam menggores hatinya. Sidanti itu adalah kakaknya. Memang tidak ada pertalian apa  pun antara ayahnya dan Sidanti meskipun selama ini Sidanti benar-benar di tempatkan pada tempat yang baik di dalam keluarganya. Tidak seorang  pun yang merasakan sikap yang kurang baik dari ayahnya terhadap anak muda itu. Namun ternyata ayahnya tidak dapat melupakannya sama sekali apa yang telah terjadi itu. Ternyata, ketika ayahnya dihadapkan pada suatu persoalan, maka perasaan itu meledak tanpa dapat ditahan-tahankan lagi. Bahkan dengan serta-merta ayahnya telah menempatkannya langsung berhadapan dengan kakaknya. Tetapi baginya, Sidanti adalah saudara yang dilahirkan dari ibu yang sama. Dan Betapapun juga, samar-samar terbayang di wajah Sidanti garis-garis wajah ibunya, meskipun kakaknya itu jauh lebih serupa dengan Ki Tambak Wedi.
Pandan Wangi itu mengangkat wajahnya ketika ia mendengar ayahnya berkata,
“Marilah kita pulang, Wangi. Hari telah terlampau jauh malam. Bahkan mungkin sebentar lagi fajar akan memancar di Timur. Kau perlu beristirahat.”
Pandan Wangi mengangguk-anggukkan kepalanya dengan lemahnya. Ketika ia memandang ke Barat, maka bulan sudah tidak dilihatnya lagi. Bulan yang masih belum bulat. Tetapi dada Pandan Wangi berdesir karenanya. Sekilas teringat olehnya, janji ayahnya dengan Ki Tambak Wedi. Pada saat purnama naik. Dan purnama itu semakin lama menjadi semakin dekat. Beberapa hari lagi. Dan beberapa hari lagi itu adalah hari yang sangat menegangkan baginya, bagi keluarga Tanah Perdikan Menoreh. Hari itu akan mempunyai banyak sekali kemungkinan. Di antaranya adalah, perubahan yang mendadak di atas Tanah Perdikan ini. Bahkan Tanah ini akan dapat dibakar, oleh api yang dahsyat, dan memusnahkan segala macam bentuk dan peradaban.
Dapat terjadi saling membunuh di antara tetangga-tetangga dan di antara sanak-kadang. Dapat pula terjadi pembantaian besar-besaran di antara mereka yang berbeda pendirian. Bulu-bulu kuduk Pandan Wangi terasa meremang. Mengerikan sekali. Ternyata kedatangan Sidanti dan Tambak Wedi di atas Bukit Menoreh sama sekali tidak membawa kesentausaan. Tetapi yang dibawanya adalah bencana. Apakah bencana itu harus terjadi?Dan sekali lagi Pandan Wangi mendengar ayahnya berkata,
“Marilah kita pulang, Wangi. Kau perlu beristirahat. Kemudian kita perlu segera mempertimbangkan perkembangan-perkembangan terakhir yang terlampau cepat terjadi.”
Pandan Wangi, yang kelelahan itu  pun kemudian melangkah perlahan-lahan bersama ayahnya, meninggalkan lapangan sempit itu, pulang ke rumahnya. Ketika mereka memasuki jalan padukuhan induk dari Tanah Perdikan Menoreh, terdengar suara ayam jantan berkokok bersahut-sahutan merambat dari kandang ke kandang, menyongsong cahaya yang kemerah-merahan di langit sebelah Timur.
“Fajar,” desis Argapati.

Pandan Wangi mengangkat wajahuya. Dipandanginya fajar yang mulai memancar. Sebentar lagi matahari akan naik di hari yang baru.
“Kita masih sempat beristirahat meskipun hanya sekejap,” berkata Argapati.
“Aku akan pergi ke belakang, membersihkan diri.”
Pandan Wangi mengangguk. Tetapi ia berkata,
“Aku akan kesiangan bangun apabila aku jatuh tertidur, Ayah.”
“Meskipun kau tidak tidur, tetapi beristirahatlah.”
“Baik, Ayah,” sahut Pandan Wangi.
“Hari-hari mendatang, pekerjaan kita akan bertambah banyak. Jauh lebih banyak dari yang kita duga semula.”
Pandan Wangi tidak menjawab, tetapi dianggukkannya kepalanya.
Ketika mereka memasuki regol halaman rumahnya, para peronda memandangi mereka dengan penuh keheranan. Tetapi tidak seorang  pun yang bertanya, dari manakah ayah dan anak itu semalam-malaman. Argapati dan Pandan Wangi  pun sama sekali sudah tidak bernafsu lagi untuk terlampau banyak berbicara. Mereka hanya menganggukkan kepala mereka kepada para peronda yang masih ada di dalam gardunya sambil bergumam,
“Apakah kalian baik-baik?”
“Ya, Ki Gede. Tidak ada apa-apa semalaman di rumah ini.”
“Terima kasih.”
Ki Gede Menoreh itu  pun sama sekali tidak berhenti. Langkahnya yang lemah membawanya langsung ke belakang, ke perigi. Sedang Pandan Wangi langsung masuk ke dalam biliknya, menyiapkan pakaian-pakaian untuk mengganti pakaiannya yang kotor sesudah mandi. Ketika fajar menyingsing, pada saat sinarnya yang kekuning-kuningan menyentuh ujung pepohonan, seorang pemimpin pengawal Tanah Perdikan itu dengan tergesa-gesa datang menemui Ki Argapati yang baru saja selesai, dan duduk-duduk di pringgitan seorang diri menghadapi minuman hangat.
“Maaf, Ki Gede, aku datang terlampau pagi.”
Ki Argapati mengerutkan keningnya. Terlintas di dalam hatinya, sesuatu yang kurang wajar pasti telah terjadi, sehingga salah seorang pemimpin pengawal ini dengan tergesa-gesa menemuinya.
“Duduklah,” Argapati mempersilahkan.
Dengan nafas terengah-engah pemimpin pengawal itu duduk di hadapan Ki Argapati. Belum lagi debar jantungnya mereda, ia sudah mulai berbicara,
“Ki Gede. Kita benar-benar berada di dalam kesulitan.”
Argapati mengerutkan keningnya. Dengan sareh ia bertanya, “Apakah yang sudah terjadi?”
“Sidanti dan Ki Argajaya benar-benar telah tersesat,” berkata orang itu pula.
“Mereka telah kehilangan sama sekali kecintaan mereka kepada Tanah Kelahiran ini.”
“Apakah yang telah mereka lakukan?” bertanya Ki Gede Menoreh seterusnya.
Pemimpin pengawal itu menggeser setapak maju. Katanya,
“Beberapa orang pengawal dan bahkan beberapa pemimpin pengawal melihat beberapa orang tidak dikenal di dalam lingkungan Tanah Perdikan ini. Mereka telah membuat hubungan dengan Ki Argajaya dan Sidanti.”

Sepercik warna mereka menjalar di wajah Argapati. Ia sama sekali tidak menduga, bahwa tindakan adiknya dan anak muda yang telah diakunya sebagai anaknya itu akan menjadi sedemikian jauh. Namun kemudian Argapati itu teringat, bahwa di dalam lingkungan mereka terdapat Ki Tambak Wedi. Meskipun Ki Tambak Wedi pernah tinggal di atas Tanah ini, tetapi sudah terlampau lama ia meninggalkannya, dan menjadikan dirinya seorang yang paling berkuasa di padepokannya, padepokan Tambak Wedi. Dengan demikian, maka kecintaannya kepada Tanah ini  pun pasti tidak dapat dipertanggung jawabkan. Betapapun juga, Argajaya dan Sidanti pasti masih mempunyai kesadaran, bahwa di sinilah mereka dilahirkan, dibesarkan dan di sini pulalah mereka telah meneguk air di saat haus dan menelan makanan di saat lapar. Tanah inilah yang telah memberikan segala-galanya kepada mereka. Apakah dengan demikian mereka akan sampai hati menghubungi orang-orang yang tidak dikenal untuk ikut serta merusak Tanah ini? Untuk ikut serta menitikkan darah orang-orang Menoreh yang kini sedang diamuk oleh perpecahan yang semakin meruncing?
Sejenak Argapati terdiam. Ia tidak segera dapat mengucapkan kata-kata. Pringgitan itu  pun menjadi sunyi untuk sesaat. Kemudian terdengar Argapati menarik nafas dalam-dalam sambil berdesah, “Bencana benar-benar akan menimpa Tanah ini. Apakah orang-orang yang tidak dikenal itu telah dapat dipastikan, akan ikut campur di dalam persoalan antara aku dan Sidanti yang telah dinyalakan oleh Ki Tambak Wedi?”
“Kami mempunyai penilaian yang demikian Ki Gede. Dua orang dari orang-orang itu telah berada di rumah Ki Argajaya pula.”
“Apakah kau kenal mereka, atau setidak-tidaknya dapat menduga dari manakah mereka datang atau dari lingkungan apa?”
“Ki Gede, menurut perhitunganku dan beberapa kawan, mereka ternyata dapat digolongkan orang-orang yang kurang mendapat tempat di dalam lingkungan orang yang baik-baik. Mereka datang di antar oleh Ki Prastawa.”
“Oh,” Ki Argapati tiba-tiba menjadi tegang.
“Orang itu telah melibatkan dirinya pula.”
“Bagaimanakah penilaian Ki Gede tentang orang itu?”
“Ia adalah seorang yang paling senang melihat benturan-benturan yang dapat terjadi di Tanah ini. Ia adalah seorang penjudi yang tidak saja melakukan kegiataanya di Tanah ini, tetapi ia telah mendatangi tempat-tempat judi, sabung ayam, dan tempat lain semacamnya sampai ke tempat-tempat yang jauh. Orang-orang itu pasti dibawanya dari lingkungannya. Bahkan tidak mustahil bahwa orang-orang jahat untuk membuat Tanah ini menjadi karang abang.”

Pemimpin pengawal itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Penilaian itu tepat seperti penilaiannya. Orang itu bukannya orang yang bermaksud baik, tetapi ia akan mempergunakan kesempatan yang jelek ini untuk kepentingannya sendiri. Karena itu maka ia bertanya,
“Ki Gede, sudah tentu Ki Prastawa akan mengambil keuntungan dari persoalan ini. Tetapi keuntungan apakah yang diinginkannya? Apakah yang didapatnya dari kekisruhan yang dapat timbul di Tanah Perdikan ini?”
Ki Gede Menoreh mengerutkan dahinya. Tampaklah betapa ia menahan gelora hatinya. Jawabnya perlahan-lahan,
“Orang-orang semacam itu kadang-kadang tidak mempunyai landasan berpikir tertentu. Ia hanya ingin terjadi sesuatu. Mungkin perubahan pimpinan atas Tanah Perdikan ini yang diharapkannya dapat, memberikan keleluasaan bergerak baginya dan bagi lingkungannya. Tetapi seandainya yang dibawanya itu adalah orang-orang yang diangkatnya dari dunia yang hitam, maka akibat daripadanya adalah parah sekali. Setiap kesempatan dapat dipergunakan oleh mereka untuk menumbuhkan malapetaka. Mungkin, perampokan, perampasan, dan sebagainya.”
“Hem,” pemimpin pengawal itu menggeram.
“Ki Gede mumpung masih belum berlarut-larut. Aku kira Ki Gede harus berbuat sesuatu.”

Ki Gede Menoreh tidak segera menyahut. Perhitungannya memang berkata demikian. Tetapi apakah ia akan dapat melihat pertumpahan darah terjadi di atas Tanah Perdikan ini? Tanah yang dibinanya sejak bertahun-tahun? Hampir sepanjang umurnya diberikannya untuk membuat Tanah ini menjadi Tanah Perdikan yang baik. Tetapi kini ia dihadapkan kepada pilihan yang sulit. Bahkan, ia terdorong kepada suatu pikiran di kepalanya, “Bagaimanakah apabila aku serahkan saja pimpinan atas Tanah ini kepada Sidanti. Betapapun juga jeleknya, ia adalah orang yang dilahirkan di Tanah ini. Ia adalah seorang yang merasa dirinya mampu dan berhak pula. Dengan demikian akan terhindarlah segala macam pertumpahan darah dan keributan di atas Tanah ini. Namun kemudian ia menggeretakkan giginya. Desisnya di dalam hati,
“Aku akan berkhianat atas Tanah ini apabila aku biarkan Sidanti merebut pimpinan. Ia akan dikendalikan oleh Tambak Wedi dan orang-orang yang kelak akan mempengaruhinya dengan kekuatan masing-masing. Orang-orang yang memiliki kekuatan, karena kekayaannya, orang-orang yang dapat memberinya kepuasan lahiriah, dan mungkin juga orang-orang yang merasa hidupnya terlampau sulit dan mengharapkan perubahan keadaan, bagi Tanah ini dan bagi diri mereka. Campur baur dari kepentingan yang berbeda-beda, namun menempatkan harapan pada keadaan yang sama itulah yang akan membakar Tanah ini menjadi abu.”
“Bagaimana, Ki Gede?” bertanya pemimpin pengawal itu.
Wajah Ki Gede Menoreh tampak ragu-ragu. Ia masih dikuasai oleh perasaannya yang kadang-kadang belum sejalan dengan pikirannya. Kejantanan yang mengikatnya dalam janji dengan Ki Tambak Wedi mempengaruhinya pula.
“Tunggulah,” desis Ki Gede Menoreh.
Wajah orang itu menjadi kecewa. Perlahan-lahan ia berkata,
“Ki Gede, apakah kita menunggu banjir bandang yang akan memecah Tanah Perdikan ini menjadi berkeping-keping?”
Ki Argapati terdiam sejenak. Ia dapat memahami pendapat pengawal yang setia itu. Tetapi ia kemudian menjawab,
“Aku perhatikan pendapatmu. Tunggulah, hari ini aku akan mengambil sikap. Aku akan memanggil kalian untuk menentukan setiap tindakan yang akan kita ambil.”
Pemimpin pengawal itu menundukkan kepalanya. Ki Argapati dikenalnya sebagai seorang yang keras hati. Tetapi ketika ia di hadapkan pada kekisruhan yang terjadi di Tanah sendiri, maka terasa ia selalu diselubungi oleh keragu-raguan.
“Lakukanlah tugasmu baik-baik. Aku sendiri akan melihat keadaan dengan saksama.”
Pemimpin pengawal itu mengangguk lemah. “Baiklah Ki Gede. Aku menunggu perintah.”

Sepeninggal orang itu Ki Gede Menoreh menarik nafas dalam-dalam. Keningnya tampak berkerut-kerut. Di dalam dadanya terjadi suatu pergolakan yang dahsyat, yang mendorongnya ke dalam suatu keadaan yang tidak menentu. Namun tiba-tiba Ki Argapati itu teringat kepada puterinya, Pandan Wangi. Satu-satunya keluarga yang dapat diajaknya berbincang. Pandan Wangi lah yang kelak diharapkan akan dapat menegakkan Tanah Perdikan ini menjadi Tanah Perdikan yang jauh lebih baik dari keadaannya kini. Karena itu, maka Ki Argapati itu segera berdiri. Perlahan-lahan ia berjalan ke bilik Pandan Wangi. Perlahan-lahan pula ia mengetuk pintunya yang masih tertutup sambil memanggil namanya,
“Pandan Wangi.”
Tidak ada jawaban. Ki Argapati menyangka bahwa Pandan Wangi masih terlampau lelah. Mungkin ia tertidur setelah menyiapkan minuman paginya.
“Wangi,” ia mengulangi.
Masih belum ada jawaban.
Ki Gede Menoreh menarik nafas dalam-dalam. “Ia terlampau lelah,” desisnya.
Kini Ki Gede Menoreh tidak memanggilnya lagi. Perlahan-lahan didorongnya daun pintu leregan itu ke samping. Perlahan-lahan sekali supaya puterinya tidak terkejut.
Tetapi Ki Gede-lah yang kemudian terkejut. Ternyata bilik itu telah kosong.
“Kemanakah anak ini?” desisnya.
Ki Argapati itu  pun kemudian pergi ke belakang. Ditanyakannya kepada pelayan-pelayannya, apakah mereka melihat Pandan Wangi. Tetapi pelayan-pelayan itu menggeleng sambil menjawab,
“Tidak Ki Gede, kami tidak melihatnya.”
Sepercik kecemasan merambat di hati Argapati. Karena itu maka kemudian disusurinya halaman rumahnya. Kalau-kalau Pandan Wangi sedang berada di halaman, atau sedang berada di kebun belakang.
“Apakah Ki Gede sedang mencari Pandan Wangi bertanya seorang pelayan tua.”
“Ya,” sahut Ki Gede.
“Ia mengenakan pakaian berburunya. Mungkin ia pergi.”
Jantung Ki Argapati berdesir mendengarnya. Terkilas di dalam angan-angan Argapati, bahwa sudah pasti Pandan Wangi tidak akan pergi berburu. Tetapi Ki Argapati tidak segera dapat menentukan, kemanakah puterinya itu pergi. Karena itu maka sejenak kemudian ia bertanya,
“Apakah kau tahu kemana ia pergi?”
“Sudah tentu ia akan pergi berburu,” jawab pelayan tua itu.
“Apakah ia membawa busur dan anak panah?”
Pelayan tua itu mengerutkan keningnya. Kemudian ia menjawab agak ragu-ragu,
“Tidak. Aku kira ia tidak membawa busur dan anak panah.”
Ki Argapati menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya,
“Ia tidak akan pergi berburu.”
“Lalu kemanakah ia akan pergi?”
Argapati tidak segera menjawab, tetapi tampak keningnya menjadi berkerut-merut.
“Apakah Pandan Wangi pergi berkuda?” ia bertanya.
“Ya, ia pergi berkuda.”
“Mungkin para penjaga di regol depan mengetahuinya,” gumam Ki Argapati.
“Tidak Ki Gede, Pandan Wangi tidak lewat regol depan tetapi ia membuka pintu butulan. Akulah yang disuruhnya menutup.”
Argapati mengerutkan keningnya. Meskipun, ia terkejut mendengar keterangan itu, tetapi ia mencoba untuk tidak memberikan kesan apa pun. Perlahan-lahan ia mengangguk-angguk, kemudian ia bertanya,
“Kemanakah ia pergi. Ke Utara atau ke Selatan?”
Pelayan tua itu mengingat-ingat sebentar. Kemudian katanya,
“Mungkin ia pergi ke Selatan. Aku tidak begitu menaruh perhatian. Begitu ia keluar dari regol, aku segera menutupnya.”
“Anak nakal,” desis Argapati.
“Apakah Pandan Wangi tidak minta ijin lebih dahulu kepada Ki Gede?”
Ki Gede Menoreh itu tidak menyahut.
“Bukankah biasanya Pandan Wangi mendapat ijin dari Ki Gede untuk pergi berburu.”
Ki Gede hanya mengangguk saja. Tetapi di dalam hati ia berkata,
“Aku tidak pernah melepaskannya seorang diri meskipun ia hanya pergi berburu. Apalagi dalam keadaan serupa ini.”
“Hem,” Ki Argapati itu berdesah, sedang pelayan tua itu memandanginya dengan heran. Ia melihat kegelisahan pada wajah Argapati Betapapun ia mencoba menyembunyikannya. Tetapi pelayan tua itu tidak tahu apakah yang sebenarnya digelisahkannya. Bukankah Pandan Wangi itu pergi di siang hari? Pelayan tua itu sama sekali tidak tahu, betapa ketegangan yang kemelut menyelubungi udara Tanah Perdikan Menoreh. Apabila Argapati tidak berhasil mengatasinya dengan cara yang diinginkannya maka api akan segera menyala.

Dalam keadaan demikian Pandan Wangi pergi seorang diri. Berbagai macam persoalan telah menggelegak di dalam dadanya. Bahkan kemudian keringat dingin membasahi seluruh tubuhnya ketika terlintas di dalam hatinya,
“Apakah Pandan Wangi memilih kakaknya daripada ayahnya?”
“Tidak,” Argapati mencoba membantahnya di dalam hati. “Mustahil hal itu dilakukannya.”
Tetapi Argapati tidak mengucapkan sepatah kata pun. Dengan kepala tunduk ia melangkah masuk ke dalam rumah. Sedang pelayan tua itu masih berdiri termangu-mangu di tempatnya. Sambil menggeleng-gelengkan kepalanya ia bergumam,
“Hem, apakah Pandan Wangi pergi tanpa pamit setelah ayahnya melarangnya?”
Dengan hati yang gelisah Argapati duduk kembali di pringgitan. Dicobanya menenangkan hatinya dengan meneguk minuman paginya yang telah menjadi dingin. Tetapi debar di jantungnya justru menjadi semakin tajam.
“Anak itu pasti pergi ke rumah pamannya,” desis Argapati seorang diri. Arah yang diambilnya adalah arah yang menuju ke rumah Argajaya.
“Aku tidak tahu, apakah maksudnya Dalam keadaan yang panas ini, perjalanan yang pendek itu dapat berbahaya baginya.”
Tetapi Argapati tidak dapat segera pergi menyusulnya. Ia merasa segan untuk datang ke rumah itu, seolah-olah ia memerlukan menemui orang-orang yang selama ini telah membuat kekisruhan di dalam wilayahnya. Dengan demikian, maka bagi mereka yang melihat kehadirannya ke rumah itu akan dapat memberikan tanggapan yang bermacam-macam, seolah-olah ia telah merendahkan dirinya, memohon kepada Sidanti untuk melepaskan tuntutannya.
“Tetapi bagaimana dengan Pandan Wangi?” desisnya. Tiba-tiba Argapati itu meloncat berdiri. Dengan tergesa-gesa ia pergi ke pendapa dan memanggil seorang penjaga regol halamannya.
“Panggil pemimpin pengawal,” ia menggeram.
Perintah itu tidak perlu diulanginya. Segera penjaga regol itu pergi memenuhinya, memanggil pemimpin pengawal. Kepadanya, Argapati memberitahukan bahwa Pandan Wangi telah pergi. Menurut pertimbangannya ia pergi ke rumah Argajaya.
“Apakah kepentingannya?” bertanya pemimpin pengawal itu.
“Aku tidak tahu. Tetapi aku yakin bahwa Pandan Wangi ingin membantuku memecahkan kesulitan ini. Mungkin ia ingin menemui kakaknya dan mencoba mempengaruhinya. Namun aku mengkhawatirkannya. Aku tidak yakin bahwa ia berhasil, meskipun seandainya demikian aku akan sangat berterima kasih kepadanya. Tetapi seandainya Sidanti mengambil sikap-sikap yang tidak mencerminkan persaudaraannya, misalnya menahannya dan tidak diberikan kesempatan kepadanya untuk kembali ke rumah ini dengan kekerasan, maka kita harus bertindak. Aku menunggu sampai tengah hari. Apabila tengah hari Pandan Wangi tidak kembali, kau harus menyusulnya. Kau minta Pandan Wangi. Kalau tidak diberikannya, aku tidak tahu akibat apa yang dapat terjadi. Pasukanmu harus bersiap menghadapi setiap kemungkinan.”
Wajah pemimpin pengawal itu menjadi tegang. Tetapi kemudian matanya memancarkan api yang seolah-olah telah membakar jantungnya. Dengan tegas ia berkata,
“Aku akan melakukannya. Aku dan pasukan pengawal Tanah Perdikan ini sudah siap melakukan apa saja. Aku kira memang tidak ada jalan lain selain perang. Kalau Pandan Wangi mengusahakan jalan lain, itu pasti hanya akan sia-sia saja, meskipun aku ikut mengharap, mudah-mudahan ada juga pengaruhnya.”

Argapati melihat pancaran perasaan pemimpin pengawal itu. Agaknya ia sudah menjadi jemu melihat perkembangan keadaan yang seakan-akan tidak menentu. Tetapi kegelisahan dan kecemasan telah merayapi hampir setiap hati di dalam dada orang-orang Menoreh. Sehingga bentuk kehidupan sehari-hari telah berubah sama sekali. Pasar-pasar menjadi semakin sepi, dan sawah-sawah tidak lagi terpelihara sewajarnya. Sebagian dari setiap laki-laki di Menoreh telah mengelompokkan diri mereka dengan orang-orang yang mempunyai persamaan sikap dan pandangan. Menoreh telah terpecah dari dalam. Ketika pemimpin pengawal itu kemudian meninggalkan rumah Ki Gede Menoreh, maka Ki Gede itu berpesan,
“Datanglah sebelum tengah hari kemari, setelah kau selesai dengan segala bentuk persiapanmu. Kau akan mendapat kepastian, apakah Pandan Wangi telah kembali atau belum. Jangan kau bunyikan tengara untuk mempersiapkan pasukanmu, supaya orang-orang yang tidak mengerti masalahnya menjadi bingung dan ketakutan.”
“Baik,” sahut pengawal itu meskipun ia tidak sependapat sepenuhnya. Sebenarnya ia ingin langsung membunyikan tengara, memanggil mereka yang masih cukup kuat untuk mengangkat senjata, kemudian langsung menghancurkan Sidanti dan Argajaya.
Tetapi pengawal itu menyadari, bahwa dengan demikian akan terjadi pergolakan yang dahsyat dan mengerikan. Campur baur antara lawan dan kawan akan membuat Tanah Perdikan ini merah oleh darah sesama. Sepeninggal pengawal itu, Argapati masih saja selalu diliputi oleh kegelisahan. Tanpa disengajanya ia memasuki bilik Pandan Wangi. Hatinya berdesir ketika ia tidak melihat sepasang pedang puterinya itu tergantung di tempatnya.
“Anak itu bersenjata,” desisnya. Dan Argapati semakin yakin bahwa Pandan Wangi pergi ke rumah pamannya karena ia masih melihat busur dan anak panahnya berada di atas pembaringannya, tergantung di dinding. Dalam kegelisahannya, Argapati itu merasa bahwa hari merangkak terlampau lamban. Matahari seolah-olah terpancang saja di tempatnya, tanpa bergerak sama sekali. Bayangan-bayangan matahari yang lolos dari lubang-lubang dinding masih tampak terlampau condong.
“Hem,” Ki Gede Menoreh itu berdesah. Dan sekali lagi tanpa disadarinya ia pergi ke biliknya sendiri. Perlahan-lahan ia pergi ke geledeg di sudut biliknya. Beberapa saat ia berdiri termangu-mangu. Namun kemudian tangannya itu bergerak meraih sebuah selongsong kain putih.
Argapati menarik nafas dalam-dalam. Perlahan-lahan dengan tangan gemetar dibukanya selongsong itu. Perlahan-lahan ditariknya sebatang tombak pendek dari dalamnya. Tombak pendek yang disimpannya beberapa lama, namun tiba-tiba kini begitu menarik perhatiannya, dan seolah-olah telah menghisapnya untuk membukanya. Ki Argapati mengerutkan keningnya. Ia melihat sesuatu yang agak lain pada tombaknya. Maka dengan serta-merta tangannya meraih wrangkanya. Dan ketika wrangkanya telah terbuka, dadanya berdesir tajam sekali. Tombak itu bukan tombaknya sendiri. Argapati menggeretakkan giginya. Wrangka itu adalah wrangka tombaknya. Selongsong itu adalah selongsong tombaknya. Tangkai itu  pun memang tidak banyak berbeda dengan tangkai tombaknya. Seandainya ia tidak merabanya, maka ia tidak akan segera dapat melihat perbedaannya. Tetapi jelas tombak itu bukan miliknya. Tombak itu agaknya adalah tombak Argajaya.
“Hem,” Ki Gede Menoreh menggeram. Ternyata adiknya benar-benar tidak tahu diri. Tombak itu telah dipertukarkannya. Tombaknya yang selama ini menjadi kawan di dalam segala keadaan, sebagai seorang prajurit, kemudian sebagai seorang Kepala Tanah Perdikan. Tiba-tiba tombak itu kini lenyap. Hilang.
Tetapi Argapati dapat menduga, siapakah yang telah mengambilnya. Adiknya sendiri, Argajaya, dan menukarnya dengan tombaknya sendiri.
“Kapankah ia masuk ke dalam bilik ini?” Argapati menggeram. Tetapi hal itu mungkin sekali terjadi. Rumah itu seolah-olah sudah menjadi rumah Argajaya sendiri. Ia berada di dalam rumah itu seperti ia berada di dalam rumahnya. Argapati sama sekali tidak berprasangka apa  pun terhadap adiknya, sebelum peristiwa yang memilukan terjadi atas Tanah Perdikan Menoreh. Bahkan seandainya benar Argajaya yang telah melakukannya, tetapi tidak terjadi hal seperti ini, maka hatinya  pun tidak akan menjadi terlampau marah. Tetapi ternyata tombaknya telah ditukarnya.

Dengan kesal Argapati menyarungkan tombak itu kembali. Dimasukkannya pula ke dalam selongsong dan meletakkannya di atas geledegnya.
“Argajaya benar-benar telah menempatkan dirinya di seberang,” desisnya.
“Apakah aku masih harus merasa terikat oleh kasih sayang seorang saudara tua di saat-saat begini? Aku sudah tua, Argajaya  pun telah menambat ke usia tuanya. Harapan di masa datang kini tergantung kepada anakku. Kepada Pandan Wangi. Pandan Wangi-lah yang harus di selamatkan dari bencana. Bukan Argajaya, dan bahkan bukan diriku sendiri. Apalagi Sidanti.”
Wajah Argapati tiba-tiba menegang. Argajaya agaknya telah menukar tombak itu tidak baru kemarin. Tetapi sudah agak lama terjadi. Sekilas teringat olehnya perjanjian yang dibuatnya dengan Ki Tambak Wedi. Sepercik ingatan tentang peristiwa yang jarang terjadi di bawah Pucang Kembar beberapa puluh tahun yang lalu telah menyala pula di hatinya. Tetapi tombak itu sudah tidak ada lagi di tangannya. Tombak yang masih akan dipergunakan sekali lagi untuk melawan senjata Tambak Wedi yang mengerikan itu. Sepasang nenggala yang masing-masing mempunyai mata tajam rangkap. Tetapi Argapati tidak mengerti, bahwa sepasang nenggala itu  pun sudah tidak utuh lagi. Satu dari padanya ternyata telah tertinggal di Sangkal Putung.

Sementara itu, Pandan Wangi sedang berpacu di atas kudanya menuju ke rumah pamannya seperti yang diduga oleh ayahnya. Ia sendiri tidak tahu, dorongan apakah yang memaksanya untuk pergi menemui kakaknya. Ia menyadari, bahwa ayahnya pasti tidak akan mengijinkannya. Karena itu, maka ia pergi tanpa minta ijin dahulu kepadanya. Keinginannya untuk bertemu dan berbicara dengan Sidanti tidak dapat ditahan-tahankannya lagi. Berbicara kepada seorang kakak, meskipun kini ia tahu bahwa Sidanti bukanlah kakaknya seayah. Tetapi bukan saja karena ia ingin berbicara dengan kakaknya, bukan saja karena ada sesuatu yang telah mengikatnya dengan Sidanti Betapapun keadaan anak itu, karena mereka seibu, namun lebih dari pada itu. Pandan Wangi telah dilanda oleh kecemasan melihat nasib tanah kelahirannya. Tanah Perdikan Menoreh yang diancam oleh bahaya yang justru meledak dari dalam.
“Aku harus menemui Kakang Sidanti dan paman Argajaya,” katanya di dalam hati.
“Aku harus berbicara dan mencoba mengurungkan niat mereka. Seandainya Kakang Sidanti tahu, bahwa ayah bukan ayahnya pula, namun seharusnya ia tidak mengorbankan tanah ini untuk kepentingannya sendiri.”
Sekali-sekali Pandan Wangi menggeretakkan giginya melihat keadaan yang menyedihkan. Jalan-jalan menjadi sepi dan pintu-pintu rumah tertutup rapat-rapat. Tanah ini seolah-olah sedang dilanda oleh bahaya yang akan menelan seluruh isinya menjadi abu.
Dengan demikian maka hasratnya untuk berbicara dengan kakak dan pamannya menjadi semakin kuat di dalam hatinya. Di perjalanan kadang-kadang Pandan Wangi bertemu juga orang berjalan dengan tergesa-gesa. Satu-satu membawa beberapa macam barang yang akan dipertukarkan dengan kebutuhan-kebutuhan lain, karena pasar menjadi sepi. Ketika orang-orang itu mendengar derap kudanya, maka dengan tergesa-gesa mereka menyusup masuk ke regol halaman yang terdekat dan bersembunyi di balik dinding halaman.
“Tanah ini menjadi sepi sesepi pekuburan,” desis Pandan Wangi.
Tetapi derap kuda Pandan Wangi seolah-olah telah menggetarkan seluruh Tanah Perdikan yang sedang dihantui oleh perpecahan yang semakin lama semakin tajam. Semakin dekat dengan rumah pamannya, hati Pandan Wangi menjadi semakin berdebar-debar. Seolah-olah ia tidak sabar lagi untuk segera meloncat dan menemui mereka. Bahkan sekali-kali ia berpaling. Seandainya ayahnya atau orang-orang yang diperintahkan olehnya menyusul perjalanannya dan membawanya kembali sebelum ia bertemu dengan Sidanti dan pamannya Argajaya, maka ia akan berkeberatan. Tetapi tiba-tiba dada Pandan Wangi itu berdesir. Di tikungan di hadapannya, dilihatnya beberapa orang sedang berdiri bertebaran. Mereka agaknya sedang asyik bercakap-cakap, berkelakar atau apa saja.
“Siapakah mereka itu?” pertanyaan itu tumbuh di dada Pandan Wangi.
Ternyata bahwa derap kaki-kaki kudanya telah menarik perhatian orang-orang itu. Serentak mereka berloncatan justru ke tengah jalan. Beberapa orang bertolak pinggang dan yang lain meraba hulu pedangnya.
“Enam atau tujuh orang,” desis Pandan Wangi,
“Mungkin mereka para pengawal Tanah Perdikan yang sudah dipengaruhi oleh kakang Sidanti.”
Tetapi Pandan Wangi tidak menghentikan langkah kudanya. Ia akan memberi penjelasan, bahwa ia hanya sekedar ingin bertemu saja dengan Sidanti dan Ki Argajaya.
“Mudah-mudahan mereka dapat mengerti,” gumamnya sambil memacu kudanya.
Tetapi dada Pandan Wangi itu berdesir semakin tajam. Semakin dekat, maka semakin jelas baginya, bahwa agaknya orang-orang itu bukan orang-orang Tanah Perdikan Menoreh.
“Siapakah mereka itu?” pertanyaan itu sekali lagi menyentuh dadanya.
“Apakah mereka orang-orang yang tidak kami kenal yang berusaha ikut serta membuat keadaan semakin kisruh, supaya mereka mendapat kesempatan untuk mengail di air keruh?”

Tanpa disengaja, Pandan Wangi menarik kendali kudanya, sehingga derap larinya menjadi susut. Dengan hati-hati Pandan Wangi mencoba untuk menilai keadaan. Tetapi bagaimanapun juga ia tidak ingin kembali sebelum bertemu dengan kakaknya. Dengan demikian maka tekadnya menjadi bulat, untuk meneruskan perjalanannya. Rumah pamannya sudah tidak begitu jauh lagi dari tikungan itu. Meskipun demikian, Pandan Wangi harus berwaspada. Segala macam peristiwa dapat saja terjadi dalam keadaan yang kisruh ini. Orang-orang yang berada di tikungan masih berdiri di tengah jalan. Mereka sengaja menghadang kuda Pandan Wangi. Dengan berbagai macam sikap yang mengancam, mereka kini melangkah perlahan-lahan menyongsong kuda yang semakin dekat itu.
Tiba-tiba salah seorang dari mereka melangkah ke paling depan. Sambil mengangkat tangannya ia berseru,
“Berhenti!”
Pandan Wangi terpaksa menghentikan kudanya. Kini perlahan-lahan ia maju.
“Siapa kau?” bertanya orang itu. Dan orang itu sama sekali belum pernah dilihatnya. Orang itu terasa asing dan mendebarkan hati.
Tetapi supaya tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, maka Pandan Wangi menjawab,
“Aku, Pandan Wangi.”
Orang itu mengerutkan keningnya. Kemudian ia berpaling memandangi kawan-kawannya yang berdiri di belakangnya. Tiba-tiba tanpa diketahui sebabnya orang itu tertawa terbahak-bahak.
Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Sikap itu benar-benar sikap yang tidak menyenangkan. Meskipun demikian ia masih mencoba menahan hati dan duduk diam di atas punggung kudanya.
“Aku sudah menduga,” berkata orang itu,
“bahwa kau adalah seorang perempuan sejak aku melihatmu dari kejauhan. Tetapi aku tidak menduga bahwa kau sedemikian cantiknya.”
“Benar-benar memuakkan,” desis Pandan Wangi di dalam hatinya. Tetapi ia masih berdiam diri.
“Kenapa kau pergi seorang diri dalam keadaan begini? Apakah kau tidak pernah mendengar berita, bahwa di Tanah Perdikan ini akan menyala api yang dapat membakar hangus seluruh isi dan penghuninya?”


Halaman 1 2 3


<<< Jilid 032                                                                                                       Jilid 034 >>>

Tidak ada komentar:

Posting Komentar