Tetapi aku sudah tidak perlu takut lagi. Aku sekarang sudah tahu ke mana aku harus pergi.”
Wuranta tidak
menjawab. Tetapi hatinya menjadi semakin berdebar-debar. Apakah laki-laki tua
itu benar-benar akian mati? Alangkah sedih hati isterinya. Ternyata mereka
hanya hidup berdua saja selama ini. Agaknya mereka benar-benar tidak mempunyai
seorang anak pun.
Tiba-tiba
Wuranta teringat kepada Ki Tanu Metir. Ki Tanu Metir seorang dukun yang baik.
Seorang dukun yang berpengalaman mengobati segala macam penderitaan. Karena itu
maka tiba-tiba ia berkata,
“Kek,
tahankanlah sebentar. Aku akan memanggil seorang dukun yang baik, yang akan
bersedia menolongmu.”
“Siapa?”
“Ki Tanu
Metir.”
“Orang manakah
dukun itu?”
“Menurut
pendengaran ia berasal dari Dukuh Pakuwon. Ia adalah seorang dukun kepercayaan
Kakang Untara.
“Untara
Senapati Pajang?”
“Ya, Kek.”
“Tak ada
gunanya. Ia tidak akan bersedia mengobat aku.”
“Ia pasti
bersedia. Baginya akan terbuka kemungkinan yang sama bagi semua penderita. Ia
tidak memperhitungkan siapakah penderita itu. Tetapi setiap penderitaan harus
mendapat pertolongan.”
“Sudah aku
katakan, Ngger, apabila aku sembuh pun, aku pasti hanya akan naik ke tiang
gantungan.”
“Tidak, tidak
Kek. Aku akan menjadi tanggungan, sebab kakek telah menolong aku, melepaskan
aku dari tangan Sidanti.” Wuranta tidak menunggu jawaban orang tua itu. Segera
ia berdiri dan berkata kepada isteri laki-laki yang terluka itu,
“Aku akan
memanggilnya. Tunggulah di sini, Nek. Berilah kakek harapan supaya ia dapat
menahankan diri, sementara aku memanggil Ki Tanu Metir.”
Perempuan tua
itu mengangguk lemah. Dari matanya masih saja meleleh butiran-butiran air mata
yang bening.
Wuranta
itu pun kemudian melangkah dengan
tergesa-gesa. Ketika terlihat olehnya prajurit pengawal, maka ia berkata,
“Jangan kau
ganggu mereka.”
“Mereka harus
segera dikumpulkan di antara orang-orang yeng terluka.” jawab prajurit itu.
Wuranta
mengerutkan keningnya. Ketika ia berpaling dilihatnya nenek tua itu masih
memeluk suaminya sambil menangis. Karena itu maka ia pun kamudian menjawab,
“Jangan.
Laki-laki itu jangan disentuh.”
“Kami mendapat
perintah,” jawab prajurit itu.
“Khusus bagi
laki-laki tua itu. Ia adalah kakekku. Aku sendirilah yang akan mengobatinya.
Kemudian terserah kepadamu, apakah yang seharusnya kau lakukan terhadapnya.”
Prajurit itu
terdiam sejenak. Kawan-kawannya yang mengumpulkan orang-orang yang terluka
serta mengumpulkan mayat-mayat telah hampir selesai. Sebagian dari mereka kini
sudah mulai memilih, memisahkan mayat-mayat orang Tambak Wedi dan orang-orang
Jipang dari prajurit-prajurit Pajang. Mayat prajurit-prajurit Pajang yang gugur
mereka kumpulkan semuanya di halaman banjar padepokan Tambak Wedi.
“Nah, tolong,”
berkata Wuranta kemudian,
“awasi kedua
orang tua itu. Jangan diganggu dan jangan dipindahkan dahulu. Aku akan
memanggil Ki Tanu Metir.”
Prajurit itu
tidak sempat menjawab. Wuranta segera melangkahkan kakinya menuju ke banjar
padepokan. Namun sejenak langkahnya menjadi ragu-ragu. Ia tidak ingin bertemu
dengan Agung Sedayu dan Sekar Mirah. Ia sudah menolak ajakan Ki Tanu Metir
untuk pergi ke banjar.
“Hem,” Wuranta
menarik nafas dalam-dalam. Kini ia berdiri selangkah dari dinding belakang
banjar padepokan. Sekali lagi ia dicengkam oleh keragu-raguan.
“Tidak,”
desisnya,
“aku tidak
akan pergi ke banjar itu. Aku tidak ingin bertemu dengan Agung Sedayu dan Sekar
Mirah. Aku tidak ingin datang kepada Untara. Biarlah ia yang dahulu mencari
aku. Tidak.”
Wuranta
melangkah selangkah surut. Ketika ia memutar tubuhnya, maka terhalang kembali
di ruang matanya, seorang laki-laki tua yang terbaring di emper rumah di
halaman sebelah. Terbayang pula seorang perempuan tua yang menangisinya.
Perempuan yang tidak sadia bersedih karena suaminya berada di ambang pintu
maut, tetapi perempuan itu juga dicengkam oleh ketakutan pada hari-harinya
sendiri. Hari-harinya yang mendatang. Kini Wuranta itu berdiri seperti sebatang
tonggak mati. Ia benar-benar berada di dalam keragu-raguan yang sangat. Apakah
ia harus menemui Ki Tanu Metir di banjar untuk memintanya mengobati kakek tua
yang terluka itu, atau tidak. Kalau tidak, maka laki-laki itu pasti akan mati,
tetapi kalau ia melangkah terus ke banjar padepokan, maka hatinya pasti akan
menjadi semakin pedih. Dalam kebimbangan itu tiba-tiba Wuranta mendengar tangis
seorang perempuan. Ia terkejut. Namun kemudian disadarinya bahwa tangis itu
bukan tangis perempuan tua yang menangisi suaminya. Tangis itu datang dari
banjar padepokan. Namun tangis itu telah mempertebal ingatannya tentang
perempuan tua yang duduk bersimpuh di samping suaminya yang telah berada di
ujung maut.
Dengan
demikian maka pergolakan perasaan di dada Wuranta menjadi semakin dahsyat,
dibakar oleh kebimbangan. Sekali-sekali ia menggeram. Dan kemudian berdiri lesu
dengan kepala tertunduk dalam-dalam.
Senja semakin
lama menjadi semakin kelam. Perlahan-lahan angin lereng yang silir bertiup
mengusap tubuhnya. Tiba-tiba Wuranta itu menggeretakkan giginya. Sambil mengepalkan
tangannya ia menggeram,
“Aku akan
menemui Ki Tanu Metir. Persetan dengan Agung Sedayu, Sekar Mirah, dan Untara.
Aku akan berusaha menyelesaikan kedua orang tua itu.”
Wuranta itu
kemudian telah membulatkan hatinya. Ia berhasil melepaskan tekanan perasaan
tentang diri sendiri. Ia tidak dapat mengelakkan perasaannya tentang kedua
suami isteri tua yang kini sedang disentuh oleh ketakutan dan kecemasan,
apalagi atas tekanan jari-jari maut. Dengan mengatupkan giginya rapat-rapat,
Wuranta meloncati dinding halaman belakang banjar padepokan Tambak Wedi.
Kemudian dengan tergesa-gesa ia melangkah menuju ke banjar. Ketika seseorang
prajurit menegurnya, Wuranta sama sekali tidak mau berhenti.
“He tunggu,”
berkata prajurit itu.
Wuranta
mempercepat langkahnya. Sinar pelita dari pendapa banjar telah dilihatnya.
“Berhenti!”
tegur prajurit itu.
Wuranta
berjalan terus. Beberapa langkah lagi ia akan sampai ke sisi banjar. Tetapi
tiba-tiba langkahnya terhenti ketika prajurit yang lain tiba-tiba saja
seolah-olah jatuh dari langit, telah berdiri di hadapannya. Dengan pedang telanjang
prajurit itu berkata,
“Kau tidak
menurut perintah prajurit yang sedang berjaga-jaga di halaman belakang.
Siapakah kau?”
Sebelum
Wuranta menjawab, ia sempat melihat prajurit yang menegumya telah berdiri di
sampingnya. Dengan muka merah prajurit itu membentak,
“Apakah aku
perlu menghentikanmu dengan kekerasan he?”
“Kalau itu
yang kau anggap baik, maka lakukanlah,” sahut Wuranta.
Terdengar gigi
prajurit itu beradu. “Siapa kau?” bentaknya.
Hati Wuranta
yang sedang kalut itu menjadi terbakar kembali oleh perasaannya yang sudah
hampir padam. Perasaan kecewa, marah, rendah diri dan bermacam-macam lagi, yang
tersalur dalam ujud yang lain. Justru karena itu maka ia menjawab sambil
menengadahkan wajahnya,
“Bertanyalah
kepada Untara, siapakah aku.”
Sejenak kedua
prajurit yang menghentikannya itu saling berpandangan. Jawaban itu ternyata
telah mempengaruhi perasaan mereka. Namun demikian mereka sedang berada di
dalam kewajiban, sehingga salah seorang dari mereka berkata,
“Aku bertanya
kepadamu. Tidak kepada Ki Untara. Siapakah kau?”
Dada Wuranta
menjadi pepat. Serasa dada itu akan meledak. Niroun Ya tidak dapat berbuat lain
dari meniebut namanya, “Aku Wuranta, anak Jati Anom, Nah, kau dengar?”
Prajurit-prajurit
Pajang itu mengerutkan kening mereka. Sejenak mereka saling berpandangan.
Ternyata meskipun mereka termasuk di antara prajurit-prajurit Pajang yang belum
pernah melihat Wuranta, namun mereka telah mendengar nama itu. Nama yang saat
itu sering disebut-sebut oleh prajurit Pajang. Mereka mengenal Wuranta sebagai
seorang anak Jati Anom yang dengan suka-rela membantu mereka, mengetahui
keadaan padepokan Tambak Wedi. Meskipun demikian sikap anak muda itu sama
sekali tidak menyenangkan kedua prajurit itu. Bagaimanapun juga pentingnya
kedudukan seseorang, namun mereka harus menyatakan diri sejelas-jelasnya kepada
setiap petugas. Sehingga sikap Wturanta itu telah menimbulkan kebimbangan para
prajurit itu.
“Nah, apakah
kalian telah mendengar namaku?” tiba-tiba Wuranta berkata,
“Sekarang aku
akan bertemu Untara.”
“Ah,” salah
seorang prajurit itu hampir-hampir tidak dapat mengendalikan dirinya, dan yang
seorang menyambung,
“Ki Sanak,
siapa pun juga kau, bahkan Ki Untara
sendiri, harus berhenti apabila seorang petugas menghentikannya di tempat
semacam ini. Bahkan seandainya yang lewat ini Panglima Wira Tamtama sekalipun.
Aku yakin bahwa mereka mengerti apa yang sedang kami lakukan dan apa yang harus
mereka lakukan. Tetapi jangan menganggap kami tidak berarti. Kami tahu, bahwa
kami tidak sepantasnya menyejajarkan diri dengan kau, Ki Sanak. Kami telah
mendengar nama Wuranta dari Jati Anom, meskipun baru sekarang kami melihat
wajah Ki Sanak. Namun sikap Ki Sanak dapat menumbuhkan kekecewaan di hati
kami.”
“Terserahlah
kepada kalian. Pandangan kalian terhadap aku sama sekali tidak merubah sikapku,
sifatku dan watakku. Inilah Wuranta. Baik atau jelek, inilah keadaannya.”
Kedua prajurit
itu sekali lagi saling berpandangan. Seandainya yang berdiri di depan mereka
itu bukan Wuranta, anak Jati Anom yang mereka anggap telah membantu mereka
menyelesaikan pekerjaan yang berat ini, maka sikap mereka akan lain. Mereka
menyesal bahwa mereka telah lebih dahulu mendengar tentang Wuranta. Seandainya
belum, maka tindakan yang mereka lakukan atas anak yang mereka anggap sombong
itu tidak akan dapat disalahkan oleh siapa pun. Bahkan kedua prajurit itu
mengharap, mudah-mudahan Wuranta bertemu dengan orang-orang yang belum
mengenalinya dan belum mendengar namanya.
Kedua prajurit
itu sama sekali tidak menegurnya lagi. Bahkan ketika Wuranta berkata kepada
mereka,
“Aku akan
berjalan terus. Tak ada kepentinganku dengan kalian,” kedua pradiurit itu
bersikap acuh tak acuh sadia. Mereka memalingkan wajah-wajah mereka dan
berjalan menjauhinya tanpa menjawab sepatah kata pun.
Melihat sikap
keduanya justru Wuranta-lah yang tertegun sejenak. Tetapi ketika teringat
olehnya laki-laki tua dan isterinya yang menunggunya, maka kemarahannya
ditahankannya. Namun di dalam hati ia berkata, “Oh, kedua prajurit itu belum
mengenal Wuranta. Tanpa Wuranta mereka tidak berarti apa-apa lagi.”
Kemudian
dengan tergesa-gesa Wuranta meninggalkan kedua prajurit itu dengan wajah
bersungut-sungut.
“Aku tidak
memerlukan kalian. Aku memerlukan Ki Tanu Metir.”
Tetapi ketika
hatinya berdesis tentang orang tua itu, tentang dukun yang baik itu, maka
kesadarannya kembali merayapi dadanya. Kesadaran tentang diri sendiri dan
kesadaran tentang keadaan seluruhnya di dalam padepokan ini.”
“Oh,”
desahnya. Tanpa dikehendakinya ia berpaling ke arah kedua prajurit itu. Di
dalam dadanya menjalarlah perasaan sesal dan bahkan malu atas sikapnya sendiri.
Namun kedua prajurit itu sudah tidak dilihatnya. Mereka telah hilang di dalam
gelap.
Wuranta
menarik nafas dalam-dalam. Terasa kepedihan yang sangat menyentuh dadanya. Ketika
ia menjadi semakin dekat dengan pendapa banjar padepokan maka hatinya menjadi
kian berdebar-debar. Kini ia merasakan sekali lagi pertentangan di dalam
dirinya. Apakah ia akan berjalan terus, atau mengurungkan niatnya. Betapa ia
mencoba mempergunakan nalarnya, tetapi ia berniat untuk sama sekali tidak ingin
bertemu dengan Agung Sedayu dan Sekar Mirah.
“O,” Wuranta
mengeluh, “alangkah kacaunya perasaanku. Aku akan dapat menjadi gila
karenanya.”
Meskipun
demikian ia melangkah maju. Kalau-kalau ia melihat seseorang. Kalau-kalau ia
melihat Ki Tanu Metir.
Di muka
pendapa banjar itu beberapa orang prajurit dan perwira Pajang masih sibuk
dengan tugas masing-masing. Beberapa orang berjalan hilir-mudik. Yang lain
berdiri berbicara di antara mereka. Sedang di muka regol Wuranta melihat
prajurit-prajurit yang sedang berjaga-jaga. Kalau mereka melihatanya, maka
mereka pasti akan menanyakan kepadanya tentang dirinya seperti prajurit yang
lain.
“Aku harus
bersikap baik,” desisnya.
“Prajurit-prajurit
itu tidak tahu-menahu tentang aku dan kesulitanku.”
Beberapa saat
Wuranta masih berdiri di kegelapan. Ketika ia melihat orang yang sibuk
memisahkan orang-orang yang terluka berat dan yang agak ringan digandok sebelah
pendapa itu, maka dilihatnya orang tua yang dicarinya. Ternyata Ki Tanu Metir
sebagai seorang dukun tidak dapat duduk diam di dalam pringgitan. Sebagai
seorang dukun ia terdorong oleh panggilan hatinya untuk ikut serta meringankan
penderitaan orang-orang yang terluka.
Demikian
melihat Ki Tanu Metir, maka hati Wuranta sudah tidak tertahankan lagi. Dengan
serta-merta ia berjalan mendekatinya. Beberapa orang prajurit dan perwira yang
melihatnya sejenak tertegun diam. Namun kemudian seorang daripadanya bergerak
untuk menyusulnya. Tetapi seorang perwira berkata,
“Biarkan. Itu
adalah Wuranta, anak Jati Anom.”
Prajurit itu
berhenti, dan dibiarkannya Wuranta mendekati Ki Tanu Metir yang sedang sibuk.
Ki Tanu Metir
berpaling ketika ia merasa pundaknya digamit oleh seseorang. Ternyata yang
berdiri di belakangnya adalah Wuranta, sehingga dengan serta-merta orang tua
itu berkata,
“He, kaukah
itu, Ngger? Aku senang sekali melihat kau merubah pendirianmu. Ternyata kau mau
datang ke banjar ini. Marilah, Swandaru dan Agung Sedayu berada di dalam
banjar.”
“Maaf, Kiai,”
sahut Wuranta,
“aku tidak
akan menemui siapa pun di sini kecuali
Kiai.”
“Aku?”
“Ya.”
Ki Tanu Metir
mengerutkan keningnya. Wajahnya memancarkan pertanyaan yang bergelut di dalam
hatinya.
“Aku
memerlukan Kiai.”
“O, barangkali
Angger ingin mendapatkan obat bagi luka Angger itu? Apakah luka itu berdarah
lagi?”
“Lukaku sudah
sembuh, Kiai. Aku sudah tidak merasakan sakit sama sekali. Tetapi aku
memerlukan Kiai untuk seorang kakek yang terluka.”
“Siapakah
orang itu?”
“Seorang
laki-laki tua dari Tambak Wedi ini.”
“Kenapa?”
“Orang itu
terluka di lambungnya, Kiai. Lukanya cukup berat. Aku ingin minta Kiai
mengobatinya.”
Ki Tanu Metir
menarik nafas dalam-dalam. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata,
“Aku juga sedang
mengobati luka-luka, Ngger. Orang Pajang, orang Jipang, dan orang Tambak Wedi.”
“Luka itu
terlampau berat Kiai. Luka itu sangat membabayakan jiwanya. Jiwa orang tua
itu.”
“Ya,” Ki Tanu
Metir berdesah,
“di sini pun orang-orang yang terluka itu segera memerlukan
pertolongan. Jiwa mereka juga terancam. Karena itu, Ngger, mari silahkan duduk
di dalam. Angger Untara aku kira sudah berada di dalam pula bersama Swandaru
dan Agung Sedayu. Nanti sesudah aku menolong orang-orang di sini bersama
beberapa orang yang bertugas, aku akan pergi bersama Angger.”
“Tidak, Kiai.
Aku harap Kiai pergi sekarang. Di sini telah banyak orang yang merawat
orang-orang yang terluka. Apabila Kiai telah meninggalkan obat bagi mereka,
maka Kiai akan dapat meninggalkan mereka.”
“Aku belum
memberikan obat apa-apa, Ngger. Aku masih belum sempat membuat. Yang ada adalah
obat persediaan dari pasukan Pajang sendiri. Yang dibuat oleh para dukun di
Pajang itulah yang kami pergunakan sekarang. Di tempat-tempat lain, obat-obat
semacam ini pula yang dipergunakan, sehingga laki-laki tua yang Angger maksud
itu pasti akan mendapat perawatan yang serupa oleh petugas-petugas di tempat
itu, meskipun ia seorang dari Tambak Wedi.”
“Tidak, Kiai.
Ia sama sekali belum mendapat perawatan. Lukanya parah. Mungkin orang itu
kehabisan darah. Aku telah mencoba mengobati lukanya dengan sisa obat yang Kiai
berikan kepadaku. Tetapi obat itu tinggal sedikit, sehingga tidak begitu
bermanfaat lagi bagi lukanya.”
“Maaf, Ngger,
nanti aku akan datang. Di sini orang-orang yang terluka parah, dan segera harus
mendapat pertolongan terlampau, banyak. Aku akan menolong mereka, dan kemudian
aku akan pergi kepada laki-laki tua yang Angger maksud.”
“Kiai,”
Wuranta mulai menjadi cemas,
“kalau Kiai
tidak segera datang, laki-laki tua itu pasti akan mati. Laki-laki itu adalah
laki-laki yang lelah menolongku. Sebenarnya aku sama sekali tidak ingin
menginjakkan kakiku di banjar ini, bertemu dengan para prajurit yang selalu
marah-marah dan merendahkan aku. Aku tidak ingin bercermin atas kekerdilanku.
Tetapi aku terpaksa, Kiai, karena aku memikirkan orang itu. Aku korbankan
perasaan tentang diriku sendiri, karena aku tidak sampai hati melihat orang tua
itu menderita. Kiai, apabila laki-laki itu tidak memberi kesempatan aku lari
dari tahanan Sidanti, maka akhir dari peperangan ini pun akan berbeda, sebab
aku tidak akan sempat memberitahukan kepada Kiai apa yang telah terjadi. Dan
aku tidak akan dapat memenuhi perintah Kiai untuk pergi ke Jati Anom. Mungkin
aku pernah menceriterakannya kepada Kiai, bahwa seorang kakek yang pernah
memberikan tempat kepadaku tinggal di padepokan ini, dan kemudian mendapat
perintah untuk menangkap aku, tetapi kemudian memberi jalan kepadaku untuk
melarikan diri.”
“Ya, ya Ngger,
kau pernah mengatakannya.”
“Nah laki-laki
tua itulah yang kini terluka. Bahkan keadaannya telah menjadi terlampau gawat.
Aku mencegah ketika beberapa orang akan mengambilnya dan mengumpulkannya dengan
orang-orang yang lain, sebab aku berpengharapan bahwa aku akan dapat berusaha
untuk setidak-tidaknya membalas budi, memanggil Kiai kepadanya. Sebab aku
sendiri memang terlampau dungu untuk berbuat sesuatu.”
Ki Tanu Metir
menarik nafas. Alisnya yang telah satu-dua ditumbuhi rambut-rambut yang
berwarna putih tampak bergerak-gerak. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia
kemudian berkata,
“Apakah Angger
ingin aku datang kepadanya sekarang?”
“Ya.”
Ki Tanu Melir
terdiam sesaat. Ia dapat membayangkan perasaan Wuranta. Anak muda itu sama
sekali sudah tidak ingin datang ke banjar ini karena perasaannya yang tidak
menemukan keseimbangan. Sikapnya sebagai seorang anak muda yang masih terlampau
banyak dipengaruhi oleh darah mudanya. Tetapi perasaan itu telah dikorbankan
karena seorang laki-laki tua yang terluka. Namun orang tua yang terluka itu
ternyata telah menolong jiwa Wuranta, dan memungkinkan Wuranta melakukan
tugas-tugas terakhirnya menjelang benturan antara orang-orang Jipang dan
orang-orang Tambak Wedi.
Karena itu,
maka Ki Tanu Metir itu kemudian menjawab,
“Baiklah,
Ngger, aku pergi bersamamu. Tetapi apakah angger, tidak ingin singgah sebentar
di banjar ini untuk bertemu dengan Angger Untara, Swandaru, dan Agung Sedayu?
Mungkin ada sesuatu yang ingin mereka katakan kepadamu?”
Tetapi Wuranta
itu menggeleng sambil berkata,
“Tidak, Kiai.
Orang yang luka itu segera memerlukan pertolongan.”
Ki Tanu Metir
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian diselesaikannya pekerjaannya atas
seorang yang terluka, yang sudah terlanjur dimulainya. Kemudian kepada salah
seorang prajurit Pajang yang bertugas menolong para korban itu Ki Tanu Metir
berkata,
“Angger, aku
akan pergi sebentar. Ada orang terluka yang sangat memerlukan aku.”
Orang itu
mengerutkan keningnya. Di sekitarnya terbaring banyak sekali orang-orang yang
terluka. Tetapi seseorang yang terluka telah menunggu orang tua itu. Agaknya Ki
Tanu Metir dapat meraba apa yang tersirat di dalam hati prajurit itu. Maka ia
menjelaskannya,
“Angger,
agaknya orang-orang yang terbaring di sini akan segera mendapat perawatan dari
para prajurit yang bertugas untuk itu, sedang orang yang dikatakan oleh Angger
Wuranta ini adalah seorang yang terbaring di halaman, yang tidak akan segera
ditolong oleh para petugas. Maka aku akan mencoba menolongnya apabila mungkin.”
“Kenapa orang
itu tidak dibawa kemari, atau dikumpulkan di tempat terdekat? Dengan demikian
maka ia pun akan mendapat pertolongan
serupa dengan yang lain.”
Sebelum Ki
Tanu Metir menjawab, maka Wuranta telah mendahului,
“Apa pedulimu?
Orang yang terluka itu sama sekali bukan urusanmu. Sedang pekerjaan ini adalah pekerjaanmu,
bukan pekerjaan Ki Tanu Metir.”
Prajurit itu
mengerutkan keningnya. Tiba-tiba wajahnya menjadi merah. Dengan dada yang
bergelora ia berkata,
“Siapa kau?”
Sebelum
Wuranta menjawab, Ki Tanu Metir telah mendahului,
“Angger
Wuranta. Namanya Angger Wuranta. Bukankah begitu?”
Ketika Wuranta
memandangi wajah Ki Tanu Metir yang dalam namun penuh dengan ketenangan yang
serasa menghunjam jantungnya, tiba-tiba Wuranta menundukkan kepalanya.
Perlahan-lahan ia berkata,
“Maaf, maaf.”
Prajurit itu
mendengar suara Wuranta yang lambat itu. Tumbuhlah keheranan di dadanya. Apakah
gerangan yang telah terjadi atas anak muda yang bernama Wuranta itu? Tetapi
prajurit yang sehari-hari memang bertugas mengurusi orang-orang yang terluka
itu mencoba untuk memahami sikap, sifat, dan keadaan orang-orang di dalam
peperangan. Mereka kadang-kadang menjadi seorang yang aneh. Pemarah, kasar, dan
kadang-kadang tidak dapat dipahami.
“Nah,” berkata
Ki Tanu Metir kemudian,
“maaf, Ngger.
Aku akan pergi bersama Angger Wuranta sejenak. Aku akan segera kembali dan
membantu Angger menolong orang-orang yang terluka. Apabila aku tidak segera
datang, maka aku telah melakukannya pula di tempat yang lain. Bagiku sama saja,
di sini, di rumah sebelah, di halaman dan di mana saja aku menjumpai orang-orang
yang terluka.”
“Baiklah,
Kiai,” sahut prajurit itu. Tetapi sekali lagi ia mencoba memandangi wajah
Wuranta yang tunduk. Wajah itu membawa seribu macam kesan yang campur-baur. Dan
prajurit yang bertugas menolong orang-orang yang terluka itu tidak dapat
menebak, apakah yang sedang bergulat di dalam dada Wuranta sebenarnya. Sesaat
kemudian Ki Tanu Metir itu pun telah
mengikuti Wuranta turun ke halaman. Para prajurit dan perwira yang masih berada
di halaman dan yang berjalan hilir mudik di pendapa, melihat mereka berdua berjalan
melintasi halaman banjar.
“Mereka sama
sekali tidak singgah untuk menemui Untara atau Swandaru atau Agung Sedayu.
Bahkan mereka berjalan tergesa-gesa seperti takut kemalaman.”
Wuranta
membawa Ki Tanu Metir berjalan lewat jalan yang dilalumya. Melintasi kebun dan
halaman-halaman di belakang. Sekali mereka berpapasan dengan prajurit yang
menghentikan Wuranta ketika ia pergi ke banjar. Prajurit itu segera memalingkan
wajahnya dan berjalan menjauh. Tampaklah dalam sikapnya, betapa ia merasa
tersinggung atas kata-kata Wuranta. Semakin dekat dengan tempat kakek yang
terbaring luka, Wuranta menjadi semakin berdebar-debar. Senja kini telah
menjadi semakin malam. Di sana-sini tampak sinar obor yang dipasang oleh para
prajurit Pajang. Tidak saja di rumah-rumah yang dipergunakan, tetapi juga di
halaman-halaman. Di dalam keremangan cahaya obor, Wuranta tidak dapat segera
melihat, apakah laki-laki tua yang ditinggalkannya masih terbaring di
tempatnya. Ketika ditemui prajurit yang berjalan hilir-mudik mengawal halaman
itu, terbata-bata Wuranta bertanya,
“Apakah kakek
masih di tempatnya?”
“Masih. Tetapi
tidak seorang pun yang merawatnya, sebab
ia tidak berada di tempat yang telah disediakan. Aku mencegah para petugas yang
akan mengambil mereka seperti yang kau pesankan.”
“Terima
kasih,” desis Wuranta sambil meloncat ke emper tempat laki-laki tua itu
terbaring. Ketika ia berdiri beberapa langkah lagi, maka ia masih melihat
bayangan kehitam-hitaman di dalam cahaya yang terlampau lemah dari obor di
kejauhan.
“Kakek,”
Wuranta tidak sabar sampai ia berdiri di dekat orang yang terbaring itu.
“Kakek,”
Wuranta mengulang, tetapi tidak ada jawaban.
Akhirnya
Wuranta berdua bersama Ki Tanu Metir telah berdiri di samping kedua tubuh itu.
Wuranta masih melihat nenek itu memeluk suaminya dan meletakkan kepalanya di
dada laki-laki yang terbaring itu.
“Kakek,”
panggil Wuranta perlahan-lahan. Tak ada jawaban.
“Nenek,”
panggilnya pula. Tidak juga ada jawaban. Hati Wuranta menjadi berdebar-debar.
Sejenak ia berpaling kepada Ki Tanu Metir yang berdiri di sampingnya.
“Inilah, Kiai,
suami isteri yang aku katakan. Kakek terluka di lambungnya.”
Perlahan-lahan
Ki Tanu Metir berjongkok di samping kedua orang itu. Orang yang telah cukup
berpengalaman itu sama sekali tidak menyentuhnya. Perlahan-lahan ia
menggelengkan kepalanya sambil berdesis dalam sekali,
“Kita telah
terlambat, Ngger.”
Kata-kata Ki
Tanu Metir itu terdengar seperti ledakan petir yang menyambar tengkuk Wuranta.
Sejenak ia berdiri mematung, sedang mulutnya terkatup rapat-rapat. Tanpa
berkedip ia memandang Ki Tanu Metir dengan sorot mata yang aneh.
Ki Tanu Metir
menarik nafas dalam-dalam.
“Keduanya
telah meninggal, Ngger.”
“Kiai,” hanya
itu yang terlontar dari mulut Wuranta.
“Ya,” Ki Tanu
Metir mengangguk-anggukkan kepalanya.
Sejenak
Wuranta masih mematung. Namun tiba-tiba ia berjongkok di samping mayat kedua
suami isteri itu. Seperti orang yang kehilangan akal Wuranta. Menggoncang-goncangnya
dan memanggil-manggilnya,
“Kakek,
Kakek.”
Tetapi kakek
tua itu sama sekali tidak menjawab. Bahkan bergerak pun tidak. Wuranta masih juga tidak percaya
pada penglihatannya. Kini ia menggoncang nenek tua yang seolah-olah sedang
menangisi suaminya dengan meletakkan kepalanya di dada laki-laki itu.
“Nenek,
Nenek,” panggil Wuranta. Nenek tua itu
pun tidak menjawab.
Terasa dada
Wurantu seakan-akan menjadi pecah karenanya. Nafasnya terengah-engah dan
urat-urat di keningnya menegang.
“Kiai, apakah
mereka berdua telah benar-benar meninggal?”
“Ya, Ngger,
keduanya telah meninggal.”
“Oh, apakah
Kiai tidak dapat berbuat apa-apa. Kenapa Kiai hanya diam saja?”
“Apakah yang
harus aku lakukan? Terhadap mereka aku tidak kuasa berbuat apa-apa.”
“Tidak, Kiai.
Mereka belum meninggal. Aku meninggalkan mereka di sini belum begitu lama.
Mereka berdua masih hidup dan mereka masih bercakap-cakap.”
“Mungkin,
Ngger, tetapi sekarang mereka telah meninggal.”
“Berbuatlah
sesuatu, Kiai, berbuatlah sesuatu.”
Ki Tanu Metir
menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada yang berat ia menjawab,
“Sayang, tidak
ada seorang manusia pun yang mampu
berbuat sesuatu atas mereka.”
“Oh, bohong,
bohong. Kiai tidak mau menolongnya karena ia bukan prajurit Pajang, bukan orang
Sangkal Putung dan bukan pula pembantu Untara. Orang itu adalah orang Tambak
Wedi.”
“Anakmas
Wuranta,” desis Ki Tanu Metir,
“aku tidak
pernah membedakan orang mana pun juga
dan dalam keadaan apa pun juga. Apabila
orang itu terluka, apalagi dalam keadaan parah, maka aku wajib menolongnya.
Tetapi aku, dan siapa pun juga, tidak
akan dapat berbuat sesuatu atas orang ini. Mereka telah meninggal dunia.”
“Oh,”
kata-kata Wuranta terputus.
Dan tanpa
disangka-sangka oleh Ki Tanu Metir maka Wuranta itu pun terisak. Anak muda itu menangis. Ia
merasa kehilangan seorang yang telah menolongnya. Seorang yang baik, yang paling
baik yang pernah dikenalnya. Yang tidak merendahkannya, baik dengan kata-kata
mau pun dengan perbuatan. Wuranta yang merasa dirinya tidak berharga di mata
orang-orang Pajang setelah pertempuran berakhir, sama sekali merasa tidak mempunyai
seorang kawan pun di padepokan Tambak
Wedi. Kakek tua itu pasti akan menjadi orang yang baik untuk mengawaninya.
Terhadap kakek tua dari Tambak Wedi yang telah dikalahkan itu, Wuranta sama
sekali tidak merasa dirinya terlampau rendah. Tetapi kakek tua itu kini telah
mati. Ki Tanu Metir kini berdiri termangu-mangu melihat sikap Wuranta. Ia
menangisi laki-laki tua dari Tambak Wedi itu. Ki Tanu Metir pun merasa iba dan terharu melihat suami
isteri yang meninggal bersama-sama. Ia dapat menduga, bahwa isterinya menjadi
sangat terkejut melihat suaminya meninggal, kemudian karena kejutan perasaan
itu, kejutan yang tidak tertahankan oleh jantungnya yang lemah, maka ia pun meninggal juga. Tetapi bahwa Wuranta
sampai menangis, ternyata benar-benar telah menyentuh perasaannya.
“Mungkin
Angger Wuranta merasa berhutang budi kepadanya,” berkata Ki Tanu Metir di dalam
hatinya.
“Laki-laki tua
itu adalah orang yang telah menolongnya, membebaskannya dari tangan Sidanti.
Mungkin, ya mungkin. Anak mas Wuranta belum sempat membalas budi itu, dan
laki-laki itu telah meninggal bersama isterinya.”
Ki Tanu Metir
itu terperanjat ketika ia melihat tiba-tiba Wuranta berdiri. Dengan gigi
gemeretak ia menggeram,
“Kiai, lihat.
Inilah salah satu wajah dari tindakan prajurit Pajang atas Tambak Wedi. Suami
isteri yang telah lanjut, mati bersama-sama. Alangkah mengerikan.”
Ki Tanu Metir
tidak segera menjawab. Hanya keningnya sajalah yang berkerut.
“Apakah Kiai
tidak terharu melihatnya? Mungkin Kiai telah terlalu sering melihat kematian.
Justru Kiai adalah seorang dukun. Seperti seorang pande besi menghadapi
sepotong besi merah saja agaknya. Kiai menghadapi orang-orang sakit. Kalau Kiai
berhasil demikianlah yang Kiai kehendaki, seperti pande sedang membuat pedang.
Kalau pedang itu gagal, maka Kiai tidak begitu menyesal karenanya. Bagi Kiai
kegagalan itu adalah suatu keadaan yang wajar dan terlampau biasa. Tetapi
sepotong besi akan dapat dibakar untuk kedua kalinya, meskipun untuk alat-alat
yang lain. Sedang kematian adalah jauh berbeda daripadanya. Kiai harus menyesal
sekali, Kiai harus terharu dan berduka cita. Apakah hati Kiai telah membeku
karena terlampau sering melihat kematian? Dan kegagalan yang demikian adalah
suatu peristiwa yang wajar tanpa suatu kesan apa pun di hati Kiai?”
Ki Tanu Metir
tidak segera menjawab. Dibiarkannya saja anggapan anak muda itu atas dirinya.
Kalau ia membantah, maka hati anak muda itu akan menjadi semakin terbakar.
Meskipun demikian ia terpaksa bertanya kepada Wuranta,
“Apakah
prajurit Pajang yang telah membunuhnya?”
Pertanyaan itu
membuat Wuranta terdiam sesaat. Dahinya yang mengkilat oleh keringat tampak
berkerut-merut. Ditatapnya wajah Ki Tanu Metir dengan tajamnya. Namun ketika
pandangan mata mereka bertemu, cepat-cepat Wuranta berpaling. Tetapi untuk
menutupi kekecilan diri segera ia berkata lantang,
“Apakah
bedanya? Siapa pun yang telah membunuh kakek tua ini, namun ini adalah akibat
dari peperangan.”
“Ya,
peperangan memang selalu berakibat buruk. Tetapi siapakah yang telah
membunuhnya? Prajurit Pajang?”
Akhirnya Wuranta
terpaksa menggeleng lemah,
“Tidak, Kiai.
Kakek dibunuh oleh orang-orang Jipang dalam perselisihan yang terjadi sebelum
prajurit Pajang datang.”
Ki Tanu Metir mengangguk-anggukkan
kepalanya.
“Jadi yang
membunuh laki-laki tua itu sama sekali bukan prajurit Pajang?”
“Apa bedanya?”
tiba-tiba nada suara Wuranta meninggi.
“Apa bedanya
Kiai? Di halaman ini, di halaman banjar dan sekitarnya, bertebaran mayat
orang-orang Tambak Wedi. Mereka sebagian mati karena ujung senjata orang-orang
Pajang. Meskipun orang-orang Pajang tidak membunuh kakek tua ini, tetapi
orang-orang lain dibunuhnya. Orang-orang lain yang beranak dan beristeri pula.
Mereka mati meninggalkan anak dan isterinya dalam penderitaan dan kesedihan.”
Wuranta berhenti sejenak. Wajahnya tampak semerah tembaga dalam keremangan
cahaya obor di kejauhan.
“Kiai, aku
menyesali bahwa aku telah melakukan pekerjaan yang Kiai rencanakan. Pekerjaan
itu hampir membunuhku. Ketika aku terlepas dari maut maka akibat dari
pekerjaaaku adalah ini,” Wuranta menunjuk laki-laki tua itu beserta isterinya.
“Bukan saja
sepasang suami isteri, tetapi berpuluh-puluh. Sebaiknya aku tidak melakukannya,
dan pepati ini pasti akan terhindar. Aku tidak usah turut campur segala macam
persoalan di dalam padepokan ini. Seandainya aku diam saja, tidak
memberitahukan kepada orang-orang Sidanti, bahwa Alap-alap Jalatunda memasuki
rumah tempat Sidanti menyimpan Sekar Mirah, maka orang-orang Jipang tidak akan
saling membunuh dengan orang-orang Tambak Wedi.”
Ki Tanu Metir
menarik nafas dalam-dalam,
“Lalu Angger
akan membiarkan saja tingkah laku Alap-alap Jalatunda itu?”
“Apa peduliku.
Korban dari peristiwa itu hanyalah seorang gadis saja. Sekar Mirah. Tetapi
sekarang? Korban berjatuhan tidak terbilang.”
“Tidak akan
jauh berbeda, Ngger. Sekar Mirah akan mengatakan kepada Sidanti apa yang
terjadi. Dan pertempuran antara mereka tidak akan terhindar.”
“Belum pasti.
Kalau Alap-alap Jalatunda membunuh Sekar Mirah, maka rahasia itu akan tetap
tidak terbuka.”
Dada Ki Tanu
Metir berdesir mendengar kata-kata Wuranta, bahkan seluruh bulu-bulunya
meremang. Sejenak orang tua itu terdiam. Sesuatu bergelora di dalam hatinya.
Dahsyat sekali. Tetapi wajah orang tua itu sama sekali tidak membayangkan
perasaannya. Dengan susah payah, Ki Tanu Metir mencoba untuk menyembunyikan
getar jantungnya. Apalagi ketika Wuranta berkata,
“Kiai,
ternyata apa yang telah aku lakukan dengan hampir saja mengorbankan nyawaku,
dan sekarang ternyata telah menelan berpuluh jiwa di dalam peperangan ini
hanyalah sekedar menyenangkan hati Agung Sedayu.”
“Ah,”
terloncat suatu desah yang serta-merta dari mulut Ki Tanu Metir. Tetapi orang
itu kemudian mencoba untuk diam.
“Lalu, apakah
yang sebenarnya terjadi?” bertanya Wuranta.
“Apakah Kiai
dapat mengatakan lain daripada itu?”
Ki Tanu Metir mengangguk-anggukkan
kepalanya.
“Ya, ya Ngger.
Angger benar. Peperangan ini telah membunuh berpuluh-puluh korban dari segala
pihak. Terutama orang-orang Jipang dan orang-orang Tambak Wedi. Ya, seandainya
Sekar Mirah dikorbankan, maka keadaannya akan lain sekali, Ngger. Orang-orang
Jipang dan orang-orang Tambak Wedi tidak akan mengalami nasib sepahit ini.”
“Nah, bukankah
Kiai mengakui?”
“Ya, ya Ngger.
Aku sependapat,” Ki Tanu Metir terdiam sejenak, lalu ia meneruskan,
“Tetapi,
bagaimanakah kalau yang menjadi korban itu orang-orang Jati Anom? Apakah
kira-kira akan menjadi lebih baik?”
Wuranta
terkejut mendengar pertanyaan itu sehingga hampir-hampir ia terlonjak. Dengan
sorot mata yang aneh ditatapnya wajah Ki Tanu Metir. Namun sekali lagi Wuranta
melontarkan pandangan matanya jauh-jauh ketika pandangan mata mereka beradu.
“Angger Wuranta,”
berkata Ki Tanu Metir,
“peristiwa
seperti yang dialami oleh Sekar Mirah akan dapat saja terjadi atas gadis-gadis
Jati Anom. Seandainya benar terjadi demikian, dan gadis itu adalah adik Angger
Wuranta, maka Angger pasti akan berpendapat lain. Tetapi adalah kebetulan
sekali bahwa Angger Wuranta, anak Jati Anom, dapat membantu kami. Persoalannya
tidak hanya sekedar Sekar Mirah, tetapi, bagaimanakah kalau kemudian
orang-orang Jipang dan Tambak Wedi menjadi semakin kuat, dan dengan serta-merta
sebagian dari mereka menduduki Jati Anom? Selama ini mereka hanya sekedar
mendatangi kademangan itu, karena mereka tidak cukup kuat untuk mendudukinya
dengan membagi pasukan. Tetapi suatu ketika maka sebagian dari mereka akan
mengalir ke Timur, seperti bendungan yang penuh dan melimpah, menggenangi
kademangan Jati Anom. Apabila anak-anak muda dan setiap laki-laki Jati Anom
kemudian melakukan perlawanan setelah menghimpun diri, maka apa yang kita lihat
sekarang adalah gambaran dari apa yang terjadi. Tetapi yang bergelimpangan di
halaman, di jalan-jalan dan bahkan kakek-kakek tua dan nenek-nenek tua yang
menjadi korban, adalah orang-orang Jati Anom. Orang-orang Tambak Wedi dan orang
Jipang akan berada di pendapa kademangan, bertolak pinggang sambil memanggil
setiap perempuan dan gadis-gadis cantik untuk memenuhi panggilan nafsu mereka
beserta pasukan mereka. Begitu? Semua itu akan dapat terjadi. Dan aku sengaja
tidak menyebut-nyebut nama Untara, Senapati Pajang yang mencoba dengan caranya
membebaskan Sangkal Pulung dan kini Jati Anom dari bahaya orang-orang Jipang
dan orang-orang Tambak Wedi yang tamak.”
Wuranta
berdiri tegak seperti patung batu. Setiap kata yang diucapkan oleh Ki Tanu
Metir terasa bagaikan jarum yang langsung menusuk jantungnya. Pedih, namun
Wuranta tidak dapat menghindarkan diri dari pengakuan atas kebenaran dari
kata-kata itu. Bahkan sekali lagi hatinya yang gelap dan kehilangan
keseimbangan itu dapat terbuka. Ia melihat di dalam angan-angannya. peristiwa
yang mengerikan itu terjadi atas Jati Anom. Kepala Wuranta itu pun kemudian tertunduk dalam-dalam. Pedih
hatinya menjadi semakin pedih. Tetapi ia merasakan kebenaran dari kata-kata
itu. Wuranta melihat betapa besar kesalahan yang telah dilakukan. Namun yang
tidak diharapkan oleh Ki Tanu Metir, Wuranta yang kecil itu ternyata merasa
semakin kecil.
Dengan
kata-kata yang hampir tidak sempat meloncat dari mulutnya Wuranta berkata,
“Ya, Kiai. Aku
merasakan kebenaran kata-kata Kiai. Kini semakin nyata bagiku, alangkah cupet
budiku. Alangkah kerdilnya jiwaku. Aku tidak pantas berada di antara
murid-murid Kiai, di antara orang-orang Pajang, bahkan di antara anak-anak muda
Jati Anom sendiri. Meskipun baru terbatas pada angan-angan, namun aku telah
berkhianat kepada murid-murid Kiai, kepada para prajurit Pajang dan kepada
kampung halaman. Karena itu, maka aku tidak pantas lagi berada di antara
mereka.”
“Angger
Wuranta,” Ki Tanu Metir memotong kata-kata itu,
“apakah maksud
Angger?”
“Kesalahanku tidak
dapat dimaafkan Kiai. Karena itu lebih baik bagiku untuk meninggalkan mereka
yang telah aku khianati di dalam angan-angan. Kalau angan-angan itu terwujud
dalam tindakan, alangkah mudahnya. Aku dapat segera dihukum mati. Tetapi
pengkhianatan yang aku lakukan, baru aku sendirilah yang melihatnya, sehingga
aku sajalah yang dapat menghukumnya.”
“Apakah yang
akan Angger lakukan?”
“Pergi, Kiai.
Kesalahanku telah bertimbun-timbun. Bahkan aku pula yang telah menyebabkan
kematian kakek tua ini. Seandainya aku tidak menahannya karena aku ingin
memanggil Kiai dan berbuat jasa kepada orang tua itu, maka aku kira pertolongan
baginya tidak akan begitu lambat.”
“Ah,” Ki Tanu
Metir berdesah,
“Angger
terlampau perasa. Suatu goncangan telah mengejutkan perasaan Angger, sehingga
Angger kehilangan keseimbangan. Dengarlah, Ngger, beberapa kali aku katakan,
Angger kehilangan keseimbangan. Dalam keadaan demikian, janganlah Angger
mencoba mengambil keputusan mengenai masalah yang penting.”
“Tidak, Kiai,
aku tidak kehilangan keseimbangan. Mungkin sebelum aku mendengar keterangan
Kiai tentang persoalan yang sedang aku hadapi. Tetapi sekarang aku telah
mendapat keyakinan tentang diriku. Supaya aku tidak kehilangan keseimbangan
lagi di antara orang-orang Sangkal Putung, para prajurit Pajang dan bahkan
orang-orang Jati Anom sendiri, maka sebaiknya aku meninggalkan mereka.”
“Hem,” Ki Tanu
Metir menarik nafas dalam-dalam. Ia menjadi semakin mengenal anak muda yang
sedang dihadapinya. Anak muda yang sedang kehilangan kepercayaan kepada diri
sendiri. Anak muda yang sedang mengalami goncangan jiwa yang dahsyat.
“Anakmas
Wuranta,” berkata Ki Tanu Metir mencoba untuk menggugah kebanggaan atas diri
sendiri,
“memang kita
harus menghargai setiap sumbangan bagi terbebasnya padepokan ini dari tangan
orang-orang Jipang dan Ki Tambak Wedi, Sidanti dan Argajaya. Tetapi dari sekian
banyak kebanggaan ini, maka Angger Wuranta lah yang seharusnya paling berbangga
atas segala hasil usaha dan perjuangannya.”
“Kiai
mengulangi lagi hal itu? Kiai, hatiku telah berkeriput menjadi semenir. Apakah
aku harus berkata dalam kegilaan seperti yang pernah aku ucapkan bahwa tanpa
Wuranta padepokan ini tidak akan dapat dilepaskan dari tangan mereka.”
“Tidak, Ngger,
juga bukan itu maksudku. Sekarang aku akan berkata wajar, seperti juga Angger
sekarang memerlukan kewajaran. Memang Angger bukan satu-satunya pahlawan yang
dapat merebut padepokan. Semuanya mempunyai sumbangan yang serupa, dan semuanya
telah mempertaruhkan nyawa masing-masing. Bukankah begitu? Tetapi Angger masih
mempunyai kebanggaan yang tidak dipunyai oleh orang lain, atau setidak-tidaknya
lebih besar dari orang lain. Agung Sedayu mempertaruhkan nyawanya karena ia
mempunyai pamrih yang jelas. Ia akan mendapatkan sesuatu setelah padepokan ini
bedah. Seperti juga Swandaru berbuat demikian, karena ia ingin membebaskan
adiknya. Sedang Angger Untara membawa pasukannya, bahkan para prajurit Pajang,
bertempur dan mempertaruhkan nyawa mereka karena kewajiban. Kewajiban seorang
satria. Nah, di sinilah kelebihan Angger. Angger dengan sukarela melakukan
perjuangan ini. Angger tidak berkepentingan langsung dengan orang-seorang di
dalam padepokan ini. Angger tidak mempunyai seorang adik atau saudara yang lain
di dalam padepokan ini. Dan Angger bukan seorang prajurit. Inilah kelebihan
Angger. Dan Angger harus berbangga karenanya. Angger tidak perlu merasa diri
Angger terlampau kecil. Dalam bidang yang Angger lakukan, maka Angger adalah
seorang yang besar, seperti Untara di dalam bidangnya. Ternyata tidak seorang pun dari pasukan sandi yang berhasil masuk.
Pasukan sandi yang disusun oleh Untara, dan terlatih pula. Mereka hanya
berbasil mendekati dan melihat padepokan ini dari luar. Tetapi Angger dapat
masuk ke dalamnya, meskipun harus bertaruh nyawa. Nah, Angger harus melihat semuanya
ini dengan wajar. Angger tidak boleh berkecil hati. Dan Angger tidak perlu
merasa diri Angger terlampau kecil. Apalagi apabila Angger mengambil keputusan
untuk meninggalkan Jati Anom.” Ki Tanu Metir berhenti sejenak. Dibiarkannya
kata-katanya mengendap di dalam hati anak muda itu.
Karena Wuranta
tidak segera menjawab, maka Ki Tanu Metir meneruskan,
“Nah, lihatlah
ke depan, ke hari depan yang terang bagimu dan bagi Jati Anom.”
Wuranta tidak
menjawab. Tetapi terasa sesuatu bergetar di dalam dadanya. Masa depannya dan
masa depan Jati Anom memang masih cukup panjang. Selama ini ia sudah mulai
menginjakkan kakinya bagi pembinaan masa depan itu. Masa depannya dan masa
depan Jati Anom. Bahkan sebelum padepokan Tambak Wedi menyatakan dirinya lepas
dari kekuasaan Pajang, maka Wuranta telah mencoba untuk membentuk Jati Anom
siap menyongsong masa depannya. Tetapi yang terjadi terlampau cepat. Sebelum
Jati Anom sempat berbuat sesuatu mereka telah dihadapkan pada suatu keadaan
yang tidak mungkin ditanggulangi. Sidanti, Sanakeling, Alap-alap Jalatunda,
bahkan kemudian Argajaya dan Ki Tambak Wedi sendiri, selalu menakut-nakuti
kademangan yang belum berhasil menyusun diri itu, sehingga sebagian dari mereka
terpaksa menyingkir dan menghimpun kekuatan di luar kademangan mereka. Anak
muda Jati Anom yang dapat dibanggakan, Untara, ternyata memikul tugas terlampau
berat untuk dapat membagi dirinya. Namun kini Untara itu berada di dalam
lingkungannya kembali. Jati Anom dan anak-anak muda kawan bermain semasa
kanak-anak. Tetapi kedudukan Untara telah membuat jarak antara anak-anak muda
kawannya bermain semasa kanak-anak dengan dirinya. Jarak yang sebenarnya tidak
dikehendakinya sendiri. Namun kesadaran, itu telah berhasil mencegah Wuranta
semakin dalam terseret arus perasaannya. Terbayang kembali segalanya yang
pernah dilakukannya. Terbayang kembali bagaimana Ki Tanu Metir mendorongnya
untuk masuk ke dalam padepokan ini. Anak muda itu menarik nafas dalam-dalam.
Namun terbersit kata-kata di dalam hatinya,
“Melarikan diri
ternyata memang bukan suatu penyelesaian. Apakah yang akan aku lakukan di
pelarian itu? Tetapi untuk terus-menerus menyiksa diri adalah terlampau sakit.”
Angin malam
berhembus menyapu lereng Merapi. Terasa digin mulai menyusup tulang. Di
kejauhan terdengar anjing-anjing liar menggonggong bersahut-sahutan.
Seolah-olah mereka telah mencium bau darah yang sedang mengalir di padepokan
Tambak Wedi. Lamat-lamat suara burung hantu mengetuk hati. Sayu, seperti
rintihan mereka yang sedang terluka. Dalam kesepian itu Wuranta mampu melihat
ke dalam dirinya sendiri. Meskipun ia menjadi ngeri melihat kenyataan itu,
tetapi yang tampak padanya adalah terlampau jelas. Adalah terlalu dibuat-buat
apabila ia merasa seolah-olah orang-orang Pajang kini mengesampingkannya bahkan
merendahkan dan mengabaikannya setelah semuanya rampung dengan baik. Adalah
terlalu dicari-cari apabila ia mengatakan bahwa Untara kini merasa dirinya
terlampau besar sehingga tidak sempat lagi menemuinya.
Wuranta
memejamkan matanya ketika mau tidak mau ia harus menghadapi pengakuan diri,
bahwa alasan sebenarnya adalah hatinya yang pecah karena hubungan yang
dilihatnya telah terjalin antara Agung Sedayu dan Sekar Mirah, hatinya yang
semakin parah ketika ia melihat kenyataan betapa jauhnya jarak antara dirinya
dengan Agung Sedayu. Ia tidak akan dapat menyamainya dalam pacuan di segenap
bidang. Berpacu merebut hati Sekar Mirah dan berpacu sebagai anak muda Jati
Anom dihadapkan pada lawan-lawannya, meskipun ia tidak pernah berhasil
melupakan, bahwa di masa kanak-kanak mereka, Agung Sedayu adalah seorang
penakut yang cengeng.
Wuranta
terkejut ketika tiba-tiba ia mendengar Ki Tanu Metir berkata,
“Bagaimana,
Ngger? Kenapa Angger diam saja?”
“Oh,” Wuranta
kini mengangkat wajahnya. Dalam keremangan cahaya obor yang kemerah-merahan,
dilihatnya wajah Ki Tanu Metir yang sareh lunak. Betapa dalam dan lapangnya
hati orang tua itu. Kesabarannya hampir tidak terbatas, seperti luasnya lautan
tanpa tepi. Justru karena itu, maka kembali wajah Wuranta tertunduk. Tetapi
kini ia menjawab,
“Aku dapat
mengerti, Kiai. Sekali lagi aku merasakan kekerdilan diri.”
Ki Tanu Metir
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kini ia mendengar kata-kata tiu diucapkan
dengan wajar. Meskipun kata-kata itu searti, tetapi tidak senada.
“Jadi, apakah
Angger tetap pada keputusan Angger itu?”
Wuranta
ragu-ragu sejenak. Tetapi kemudian ia menggelengkan kepalanya,
“Tidak Kiai.
Aku tidak akan melarikan diri dari kepahitan ini.”
“Bagus,”
dengan serta-merta Ki Tanu Metir menyahut sambil menepuk bahu anak muda itu.
“Ternyata
Angger Wuranta benar-benar berhati jantan.”
“Jangan
memuji, Kiai. Hatiku telah luluh menjadi debu.”
“Tetapi aku
masih melihat bara yang menyala di dalam dada Angger Wuranta, bukan sekedar
debu. Nah, karena itu, marilah kita pergi ke banjar padepokan. Di sana Angger
akan bertemu dengan Untara, Agung Sedayu, dan Swandaru dalam keadaan yang
wajar.”
“Terima kasih,
Kiai. Aku tidak akan lari, tetapi aku tidak akan pergi ke banjar.”
Sekali lagi
dahi Ki Tanu Metir berkerut-merut. Tetapi ia merasakan perbedaan arti yaag
tersirat dalam kalimat itu. Karena itu maka ia segera mengerti, Betapapun juga
Wuranta masih belum dapat melepaskan perasaannya. Tetapi itu pun masih dapat dianggapnya wajar.
“Kiai,”
berkata Wuranta seterusnya,
“aku masih
harus menunggu jenazah kedua suami isteri ini.”
“Oh,” sahut
KiTanu Metir, “bukankah jenazah ini dapat diserahkan kepada mereka yang
berkewajiban.”
Ki Tanu Metir
terkejut ketika wajah Wuranta itu tiba-tiba saja menegang. Namun hanya
sebentar. Kali ini anak muda itu berhasil menguasai dirinya dan tidak lagi
terseret oleh perasaannya tanpa pertimbangan. Katanya,
“Kiai, aku
tidak dapat menganggap suami isteri ini seperti orang-orang lain di padepokan
ini. Pada laki-laki tua ini terdapat kekhususan. Setidak-tidaknya ia tidak
dapat dianggap bersalah sebesar orang-orang Tambak Wedi yang lain. Tanpa orang
tua ini, maka segalanya akan menjadi berbeda.”
“O, baik,
baiklah,” Ki Tanu Metir cepat-cepat memotongnya.
“Aku minta
maaf atas kealpaan ini. Aku kira Untara
pun tidak akan berkeberatan sama sekali.”
Wuranta
menarik nafas dalam-dalam. Ia sadar, bahwa segala sesuatu yang dilakukan di
sini harus mendapat ijin dahulu dari Untara atau orang yang dikuasakannya.
Dalam hal laki-laki tua itu pun, ia tidak akan dapat berbuat sekehendak hatinya.
Pengkhususan pemakaman orang itu pun harus mendapat ijin dahulu. Tetapi hatinya
pasti tidak akan rela, apabila laki-laki tua itu akan dianggap sama saja dengan
orang-orang Tambak Wedi yang lain. Orang tua itu setidak-tidaknya harus
mendapat kehormatan seperti para prajurit Pajang yang gugur di peperangan ini.
Karena itu
maka Wuranta itu pun kemudian berkata,
“Kiai, aku
harap Kiai akan menyampaikan kepada Kakang Untara, bahwa aku minta laki-laki
tua ini mendapat perhatian khusus, sesuai dengan jasa semasa hidupnya atas
Pajang, meskipun seandainya ia tidak sengaja berbuat demikian.”
“Kita dapat
pergi bersama, Ngger,” jawab Kiai Gringsing.
“Angger Untara
akan menjadi lebih banyak memperhatikan pendapat Angger sendiri daripada
pendapatku.”
“Terima kasih,
Kiai,” sahut Wuranta.
“Malam ini aku
akan menunggui mayat suami isteri ini di sini.”
“Bukankah
sudah ada orang yang berkewajiban.”
“Biarlah,
Kiai, aku akan menemaninya.”
Ki Tanu Metir
tidak akan dapat memaksanya. Namun terasa bahwa Wuranta telah mulai menemukan
kesadaran tentang dirinya, meskipun ia masih tetap merasa rendah diri. Tetapi
ia tidak menjadi liar dan meledak-ledak mencari saluran untuk menyembunyikan
kekecilannya.
“Jadi Angger
akan tetap di sini?”
“Ya, Kiai, aku
akan berkata kepada prajurit yang bertugas itu, bahwa aku akan menunggui mayat
ini sampai besok. Sampai dikuburkan.”
Ki Tanu Metir
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak mencemaskan Wuranta lagi,
kalau-kalau ia akan pergi tanpa pamit. Ia merasa mempunyai kewajiban atas laki-laki
tua itu suami isteri. Dan kewajiban itu pasti akan mengikatnya.
“Baiklah,
Anakmas,” berkata Ki Tanu Metir kemudian,
“aku akan
mencoba menyampaikannya kepada Angger Untara. Mudah-mudahan Angger Untara dapat
mengerti.”
“Terima kasih,
Kiai.”
Ki Tanu Metir
itu pun kemudian meninggalkan Wuranta
seorang diri menunggui mayat suami isteri itu. Anak muda itu tidak sampai hati
untuk mengangkat nenek tua yang masih saja membeku di dada suaminya. Ketika
terlihat oleh Wuranta prajurit yang mengawal tempat itu lewat beberapa langkah
dari regol halaman, maka Wuranta pun mendekatinya.
“Bagaimana?”
bertanya prajurit itu,
“Apakah dukun
itu dapat mengobatinya?”
“Terlambat.
Keduanya sudah meninggal.”
“Keduanya?”
prajurit itu terkejut.
“Ya keduanya,”
sahut Wuranta.
“Kenapa
perempuan itu mati juga?”
“Aku tidak
tahu. Mungkin ia terkejut atau terlalu sedih ketika ia melihat suaminya
menghembuskan nafasnya yang terakhir. Tetapi perempuan itu memang sudah
sakit-sakitan saja. Dadanya sering menjadi berdebar-debar dan tubuhnya
seolah-olah menjadi lumpuh. Agaknya kejutan yang dialaminya kali ini tidak
tertahankan lagi. Dan ia meninggal pula bersama suaminya.”
Prajurit itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ia berdesah,
“Aku tidak
mendekatinya. Kau melarang setiap orang untuk berbuat sesuatu. Seandainya kau
biarkan saja kakek tua itu, maka ia pasti sudah mendapat pertolongan sementara.
Mungkin ia akan mati juga, tetapi usaha untuk menolongnya sempat dilakukan.
Tidak terlambat. Agaknya kau tidak percaya kepada para prajurit yang bertugas
untuk itu, atau mungkin kau menyangka bahwa karena laki-laki itu orang dari
padepokan Tambak Wedi, maka prajurit Pajang akan mencekiknya.”
Belum lagi
Wuranta menjawab, maka datanglah dua orang prajurit yang sedang bertugas
berkeliling. Ternyata kedua prajurit itu adalah prajurit yang telah bertengkar
dengan Wuranta. Dengan nada yang tinggi salah seorang dari mereka bertanya,
“Ada apa
dengan anak Jati Anom itu? Apakah kau sedang diperintahkanya memanggil Untara?”
Prajurit yang
sedang mengawal tempat itu menjawab,
“Tidak. Tetapi
ia tidak percaya kepada para prajurit Pajang. Laki-laki yang terluka itu
dibiarkannya tanpa pertolongan apa pun
sampai ia mati.”
“Kenapa?”
“Anak muda ini
ingin memanggil dukun pribadinya.”
Kedua prajurit
yang baru datang itu tertawa dengan pandangan yang menyakitkan hati. Mereka
menatap wajah Wuranta yang kemerah-merahan oleh sinar obor di kejauhan. Terasa
dada Wuranta itu bergolak. Hampir-hampir saja ia menjadi kambuh dan mengangkat
wajahnya sambil menepuk dada,
“Inilah
pahlawan yang telah memecah pertahanan Tambak Wedi.” Tetapi kali ini tidak,
Wuranta tidak berteriak menyebut namanya. Namun perlahan-lahan ia berkata,
“Maafkan aku
Ki Sanak. Aku telah kehilangan keseimbangan. Mungkin aku telah menyakitkan hati
kalian. Mungkin ada kata-kataku atau sikapku yang kasar.”
Prajurit-prajurit
itu justru terkejut mendengar pengakuan itu. Terasa keikhlasan memancar dalam
kata-kata anak muda itu. Terasa bahwa penyesalan itu mendalam sampai ke tulang
sungsumnya. Sejenak para prajurit itu terdiam. Ketika sekali lagi mereka
mencoba menatap wajah Wuranta, maka anak muda itu telah menundukkan wajahnya. Keempat
orang itu kemudian berdiri saja seperti patung. Mereka merasakan kebekuan sikap
di antara mereka. Tidak seorang pun yang
segera dapat mulai berbuat sesuatu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar