Jilid 025 Halaman 3


Tetapi aku sudah tidak perlu takut lagi. Aku sekarang sudah tahu ke mana aku harus pergi.”
Wuranta tidak menjawab. Tetapi hatinya menjadi semakin berdebar-debar. Apakah laki-laki tua itu benar-benar akian mati? Alangkah sedih hati isterinya. Ternyata mereka hanya hidup berdua saja selama ini. Agaknya mereka benar-benar tidak mempunyai seorang anak pun.
Tiba-tiba Wuranta teringat kepada Ki Tanu Metir. Ki Tanu Metir seorang dukun yang baik. Seorang dukun yang berpengalaman mengobati segala macam penderitaan. Karena itu maka tiba-tiba ia berkata,
“Kek, tahankanlah sebentar. Aku akan memanggil seorang dukun yang baik, yang akan bersedia menolongmu.”
“Siapa?”
“Ki Tanu Metir.”
“Orang manakah dukun itu?”
“Menurut pendengaran ia berasal dari Dukuh Pakuwon. Ia adalah seorang dukun kepercayaan Kakang Untara.
“Untara Senapati Pajang?”
“Ya, Kek.”
“Tak ada gunanya. Ia tidak akan bersedia mengobat aku.”
“Ia pasti bersedia. Baginya akan terbuka kemungkinan yang sama bagi semua penderita. Ia tidak memperhitungkan siapakah penderita itu. Tetapi setiap penderitaan harus mendapat pertolongan.”
“Sudah aku katakan, Ngger, apabila aku sembuh pun, aku pasti hanya akan naik ke tiang gantungan.”
“Tidak, tidak Kek. Aku akan menjadi tanggungan, sebab kakek telah menolong aku, melepaskan aku dari tangan Sidanti.” Wuranta tidak menunggu jawaban orang tua itu. Segera ia berdiri dan berkata kepada isteri laki-laki yang terluka itu,
“Aku akan memanggilnya. Tunggulah di sini, Nek. Berilah kakek harapan supaya ia dapat menahankan diri, sementara aku memanggil Ki Tanu Metir.”
Perempuan tua itu mengangguk lemah. Dari matanya masih saja meleleh butiran-butiran air mata yang bening.
Wuranta itu  pun kemudian melangkah dengan tergesa-gesa. Ketika terlihat olehnya prajurit pengawal, maka ia berkata,
“Jangan kau ganggu mereka.”
“Mereka harus segera dikumpulkan di antara orang-orang yeng terluka.” jawab prajurit itu.
Wuranta mengerutkan keningnya. Ketika ia berpaling dilihatnya nenek tua itu masih memeluk suaminya sambil menangis. Karena itu maka ia pun kamudian menjawab,
“Jangan. Laki-laki itu jangan disentuh.”
“Kami mendapat perintah,” jawab prajurit itu.
“Khusus bagi laki-laki tua itu. Ia adalah kakekku. Aku sendirilah yang akan mengobatinya. Kemudian terserah kepadamu, apakah yang seharusnya kau lakukan terhadapnya.”

Prajurit itu terdiam sejenak. Kawan-kawannya yang mengumpulkan orang-orang yang terluka serta mengumpulkan mayat-mayat telah hampir selesai. Sebagian dari mereka kini sudah mulai memilih, memisahkan mayat-mayat orang Tambak Wedi dan orang-orang Jipang dari prajurit-prajurit Pajang. Mayat prajurit-prajurit Pajang yang gugur mereka kumpulkan semuanya di halaman banjar padepokan Tambak Wedi.
“Nah, tolong,” berkata Wuranta kemudian,
“awasi kedua orang tua itu. Jangan diganggu dan jangan dipindahkan dahulu. Aku akan memanggil Ki Tanu Metir.”
Prajurit itu tidak sempat menjawab. Wuranta segera melangkahkan kakinya menuju ke banjar padepokan. Namun sejenak langkahnya menjadi ragu-ragu. Ia tidak ingin bertemu dengan Agung Sedayu dan Sekar Mirah. Ia sudah menolak ajakan Ki Tanu Metir untuk pergi ke banjar.
“Hem,” Wuranta menarik nafas dalam-dalam. Kini ia berdiri selangkah dari dinding belakang banjar padepokan. Sekali lagi ia dicengkam oleh keragu-raguan.
“Tidak,” desisnya,
“aku tidak akan pergi ke banjar itu. Aku tidak ingin bertemu dengan Agung Sedayu dan Sekar Mirah. Aku tidak ingin datang kepada Untara. Biarlah ia yang dahulu mencari aku. Tidak.”
Wuranta melangkah selangkah surut. Ketika ia memutar tubuhnya, maka terhalang kembali di ruang matanya, seorang laki-laki tua yang terbaring di emper rumah di halaman sebelah. Terbayang pula seorang perempuan tua yang menangisinya. Perempuan yang tidak sadia bersedih karena suaminya berada di ambang pintu maut, tetapi perempuan itu juga dicengkam oleh ketakutan pada hari-harinya sendiri. Hari-harinya yang mendatang. Kini Wuranta itu berdiri seperti sebatang tonggak mati. Ia benar-benar berada di dalam keragu-raguan yang sangat. Apakah ia harus menemui Ki Tanu Metir di banjar untuk memintanya mengobati kakek tua yang terluka itu, atau tidak. Kalau tidak, maka laki-laki itu pasti akan mati, tetapi kalau ia melangkah terus ke banjar padepokan, maka hatinya pasti akan menjadi semakin pedih. Dalam kebimbangan itu tiba-tiba Wuranta mendengar tangis seorang perempuan. Ia terkejut. Namun kemudian disadarinya bahwa tangis itu bukan tangis perempuan tua yang menangisi suaminya. Tangis itu datang dari banjar padepokan. Namun tangis itu telah mempertebal ingatannya tentang perempuan tua yang duduk bersimpuh di samping suaminya yang telah berada di ujung maut.
Dengan demikian maka pergolakan perasaan di dada Wuranta menjadi semakin dahsyat, dibakar oleh kebimbangan. Sekali-sekali ia menggeram. Dan kemudian berdiri lesu dengan kepala tertunduk dalam-dalam.

Senja semakin lama menjadi semakin kelam. Perlahan-lahan angin lereng yang silir bertiup mengusap tubuhnya. Tiba-tiba Wuranta itu menggeretakkan giginya. Sambil mengepalkan tangannya ia menggeram,
“Aku akan menemui Ki Tanu Metir. Persetan dengan Agung Sedayu, Sekar Mirah, dan Untara. Aku akan berusaha menyelesaikan kedua orang tua itu.”
Wuranta itu kemudian telah membulatkan hatinya. Ia berhasil melepaskan tekanan perasaan tentang diri sendiri. Ia tidak dapat mengelakkan perasaannya tentang kedua suami isteri tua yang kini sedang disentuh oleh ketakutan dan kecemasan, apalagi atas tekanan jari-jari maut. Dengan mengatupkan giginya rapat-rapat, Wuranta meloncati dinding halaman belakang banjar padepokan Tambak Wedi. Kemudian dengan tergesa-gesa ia melangkah menuju ke banjar. Ketika seseorang prajurit menegurnya, Wuranta sama sekali tidak mau berhenti.
“He tunggu,” berkata prajurit itu.
Wuranta mempercepat langkahnya. Sinar pelita dari pendapa banjar telah dilihatnya.
“Berhenti!” tegur prajurit itu.
Wuranta berjalan terus. Beberapa langkah lagi ia akan sampai ke sisi banjar. Tetapi tiba-tiba langkahnya terhenti ketika prajurit yang lain tiba-tiba saja seolah-olah jatuh dari langit, telah berdiri di hadapannya. Dengan pedang telanjang prajurit itu berkata,
“Kau tidak menurut perintah prajurit yang sedang berjaga-jaga di halaman belakang. Siapakah kau?”
Sebelum Wuranta menjawab, ia sempat melihat prajurit yang menegumya telah berdiri di sampingnya. Dengan muka merah prajurit itu membentak,
“Apakah aku perlu menghentikanmu dengan kekerasan he?”
“Kalau itu yang kau anggap baik, maka lakukanlah,” sahut Wuranta.
Terdengar gigi prajurit itu beradu. “Siapa kau?” bentaknya.
Hati Wuranta yang sedang kalut itu menjadi terbakar kembali oleh perasaannya yang sudah hampir padam. Perasaan kecewa, marah, rendah diri dan bermacam-macam lagi, yang tersalur dalam ujud yang lain. Justru karena itu maka ia menjawab sambil menengadahkan wajahnya,
“Bertanyalah kepada Untara, siapakah aku.”

Sejenak kedua prajurit yang menghentikannya itu saling berpandangan. Jawaban itu ternyata telah mempengaruhi perasaan mereka. Namun demikian mereka sedang berada di dalam kewajiban, sehingga salah seorang dari mereka berkata,
“Aku bertanya kepadamu. Tidak kepada Ki Untara. Siapakah kau?”
Dada Wuranta menjadi pepat. Serasa dada itu akan meledak. Niroun Ya tidak dapat berbuat lain dari meniebut namanya, “Aku Wuranta, anak Jati Anom, Nah, kau dengar?”
Prajurit-prajurit Pajang itu mengerutkan kening mereka. Sejenak mereka saling berpandangan. Ternyata meskipun mereka termasuk di antara prajurit-prajurit Pajang yang belum pernah melihat Wuranta, namun mereka telah mendengar nama itu. Nama yang saat itu sering disebut-sebut oleh prajurit Pajang. Mereka mengenal Wuranta sebagai seorang anak Jati Anom yang dengan suka-rela membantu mereka, mengetahui keadaan padepokan Tambak Wedi. Meskipun demikian sikap anak muda itu sama sekali tidak menyenangkan kedua prajurit itu. Bagaimanapun juga pentingnya kedudukan seseorang, namun mereka harus menyatakan diri sejelas-jelasnya kepada setiap petugas. Sehingga sikap Wturanta itu telah menimbulkan kebimbangan para prajurit itu.
“Nah, apakah kalian telah mendengar namaku?” tiba-tiba Wuranta berkata,
“Sekarang aku akan bertemu Untara.”
“Ah,” salah seorang prajurit itu hampir-hampir tidak dapat mengendalikan dirinya, dan yang seorang menyambung,
“Ki Sanak, siapa  pun juga kau, bahkan Ki Untara sendiri, harus berhenti apabila seorang petugas menghentikannya di tempat semacam ini. Bahkan seandainya yang lewat ini Panglima Wira Tamtama sekalipun. Aku yakin bahwa mereka mengerti apa yang sedang kami lakukan dan apa yang harus mereka lakukan. Tetapi jangan menganggap kami tidak berarti. Kami tahu, bahwa kami tidak sepantasnya menyejajarkan diri dengan kau, Ki Sanak. Kami telah mendengar nama Wuranta dari Jati Anom, meskipun baru sekarang kami melihat wajah Ki Sanak. Namun sikap Ki Sanak dapat menumbuhkan kekecewaan di hati kami.”
“Terserahlah kepada kalian. Pandangan kalian terhadap aku sama sekali tidak merubah sikapku, sifatku dan watakku. Inilah Wuranta. Baik atau jelek, inilah keadaannya.”
Kedua prajurit itu sekali lagi saling berpandangan. Seandainya yang berdiri di depan mereka itu bukan Wuranta, anak Jati Anom yang mereka anggap telah membantu mereka menyelesaikan pekerjaan yang berat ini, maka sikap mereka akan lain. Mereka menyesal bahwa mereka telah lebih dahulu mendengar tentang Wuranta. Seandainya belum, maka tindakan yang mereka lakukan atas anak yang mereka anggap sombong itu tidak akan dapat disalahkan oleh siapa pun. Bahkan kedua prajurit itu mengharap, mudah-mudahan Wuranta bertemu dengan orang-orang yang belum mengenalinya dan belum mendengar namanya.
Kedua prajurit itu sama sekali tidak menegurnya lagi. Bahkan ketika Wuranta berkata kepada mereka,
“Aku akan berjalan terus. Tak ada kepentinganku dengan kalian,” kedua pradiurit itu bersikap acuh tak acuh sadia. Mereka memalingkan wajah-wajah mereka dan berjalan menjauhinya tanpa menjawab sepatah kata pun.

Melihat sikap keduanya justru Wuranta-lah yang tertegun sejenak. Tetapi ketika teringat olehnya laki-laki tua dan isterinya yang menunggunya, maka kemarahannya ditahankannya. Namun di dalam hati ia berkata, “Oh, kedua prajurit itu belum mengenal Wuranta. Tanpa Wuranta mereka tidak berarti apa-apa lagi.”
Kemudian dengan tergesa-gesa Wuranta meninggalkan kedua prajurit itu dengan wajah bersungut-sungut.
“Aku tidak memerlukan kalian. Aku memerlukan Ki Tanu Metir.”
Tetapi ketika hatinya berdesis tentang orang tua itu, tentang dukun yang baik itu, maka kesadarannya kembali merayapi dadanya. Kesadaran tentang diri sendiri dan kesadaran tentang keadaan seluruhnya di dalam padepokan ini.”
“Oh,” desahnya. Tanpa dikehendakinya ia berpaling ke arah kedua prajurit itu. Di dalam dadanya menjalarlah perasaan sesal dan bahkan malu atas sikapnya sendiri. Namun kedua prajurit itu sudah tidak dilihatnya. Mereka telah hilang di dalam gelap.
Wuranta menarik nafas dalam-dalam. Terasa kepedihan yang sangat menyentuh dadanya. Ketika ia menjadi semakin dekat dengan pendapa banjar padepokan maka hatinya menjadi kian berdebar-debar. Kini ia merasakan sekali lagi pertentangan di dalam dirinya. Apakah ia akan berjalan terus, atau mengurungkan niatnya. Betapa ia mencoba mempergunakan nalarnya, tetapi ia berniat untuk sama sekali tidak ingin bertemu dengan Agung Sedayu dan Sekar Mirah.
“O,” Wuranta mengeluh, “alangkah kacaunya perasaanku. Aku akan dapat menjadi gila karenanya.”
Meskipun demikian ia melangkah maju. Kalau-kalau ia melihat seseorang. Kalau-kalau ia melihat Ki Tanu Metir.
Di muka pendapa banjar itu beberapa orang prajurit dan perwira Pajang masih sibuk dengan tugas masing-masing. Beberapa orang berjalan hilir-mudik. Yang lain berdiri berbicara di antara mereka. Sedang di muka regol Wuranta melihat prajurit-prajurit yang sedang berjaga-jaga. Kalau mereka melihatanya, maka mereka pasti akan menanyakan kepadanya tentang dirinya seperti prajurit yang lain.
“Aku harus bersikap baik,” desisnya.
“Prajurit-prajurit itu tidak tahu-menahu tentang aku dan kesulitanku.”
Beberapa saat Wuranta masih berdiri di kegelapan. Ketika ia melihat orang yang sibuk memisahkan orang-orang yang terluka berat dan yang agak ringan digandok sebelah pendapa itu, maka dilihatnya orang tua yang dicarinya. Ternyata Ki Tanu Metir sebagai seorang dukun tidak dapat duduk diam di dalam pringgitan. Sebagai seorang dukun ia terdorong oleh panggilan hatinya untuk ikut serta meringankan penderitaan orang-orang yang terluka.
Demikian melihat Ki Tanu Metir, maka hati Wuranta sudah tidak tertahankan lagi. Dengan serta-merta ia berjalan mendekatinya. Beberapa orang prajurit dan perwira yang melihatnya sejenak tertegun diam. Namun kemudian seorang daripadanya bergerak untuk menyusulnya. Tetapi seorang perwira berkata,
“Biarkan. Itu adalah Wuranta, anak Jati Anom.”
Prajurit itu berhenti, dan dibiarkannya Wuranta mendekati Ki Tanu Metir yang sedang sibuk.
Ki Tanu Metir berpaling ketika ia merasa pundaknya digamit oleh seseorang. Ternyata yang berdiri di belakangnya adalah Wuranta, sehingga dengan serta-merta orang tua itu berkata,
“He, kaukah itu, Ngger? Aku senang sekali melihat kau merubah pendirianmu. Ternyata kau mau datang ke banjar ini. Marilah, Swandaru dan Agung Sedayu berada di dalam banjar.”
“Maaf, Kiai,” sahut Wuranta,
“aku tidak akan menemui siapa  pun di sini kecuali Kiai.”
“Aku?”
“Ya.”

Ki Tanu Metir mengerutkan keningnya. Wajahnya memancarkan pertanyaan yang bergelut di dalam hatinya.
“Aku memerlukan Kiai.”
“O, barangkali Angger ingin mendapatkan obat bagi luka Angger itu? Apakah luka itu berdarah lagi?”
“Lukaku sudah sembuh, Kiai. Aku sudah tidak merasakan sakit sama sekali. Tetapi aku memerlukan Kiai untuk seorang kakek yang terluka.”
“Siapakah orang itu?”
“Seorang laki-laki tua dari Tambak Wedi ini.”
“Kenapa?”
“Orang itu terluka di lambungnya, Kiai. Lukanya cukup berat. Aku ingin minta Kiai mengobatinya.”
Ki Tanu Metir menarik nafas dalam-dalam. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata,
“Aku juga sedang mengobati luka-luka, Ngger. Orang Pajang, orang Jipang, dan orang Tambak Wedi.”
“Luka itu terlampau berat Kiai. Luka itu sangat membabayakan jiwanya. Jiwa orang tua itu.”
“Ya,” Ki Tanu Metir berdesah,
“di sini  pun orang-orang yang terluka itu segera memerlukan pertolongan. Jiwa mereka juga terancam. Karena itu, Ngger, mari silahkan duduk di dalam. Angger Untara aku kira sudah berada di dalam pula bersama Swandaru dan Agung Sedayu. Nanti sesudah aku menolong orang-orang di sini bersama beberapa orang yang bertugas, aku akan pergi bersama Angger.”
“Tidak, Kiai. Aku harap Kiai pergi sekarang. Di sini telah banyak orang yang merawat orang-orang yang terluka. Apabila Kiai telah meninggalkan obat bagi mereka, maka Kiai akan dapat meninggalkan mereka.”
“Aku belum memberikan obat apa-apa, Ngger. Aku masih belum sempat membuat. Yang ada adalah obat persediaan dari pasukan Pajang sendiri. Yang dibuat oleh para dukun di Pajang itulah yang kami pergunakan sekarang. Di tempat-tempat lain, obat-obat semacam ini pula yang dipergunakan, sehingga laki-laki tua yang Angger maksud itu pasti akan mendapat perawatan yang serupa oleh petugas-petugas di tempat itu, meskipun ia seorang dari Tambak Wedi.”
“Tidak, Kiai. Ia sama sekali belum mendapat perawatan. Lukanya parah. Mungkin orang itu kehabisan darah. Aku telah mencoba mengobati lukanya dengan sisa obat yang Kiai berikan kepadaku. Tetapi obat itu tinggal sedikit, sehingga tidak begitu bermanfaat lagi bagi lukanya.”
“Maaf, Ngger, nanti aku akan datang. Di sini orang-orang yang terluka parah, dan segera harus mendapat pertolongan terlampau, banyak. Aku akan menolong mereka, dan kemudian aku akan pergi kepada laki-laki tua yang Angger maksud.”
“Kiai,” Wuranta mulai menjadi cemas,
“kalau Kiai tidak segera datang, laki-laki tua itu pasti akan mati. Laki-laki itu adalah laki-laki yang lelah menolongku. Sebenarnya aku sama sekali tidak ingin menginjakkan kakiku di banjar ini, bertemu dengan para prajurit yang selalu marah-marah dan merendahkan aku. Aku tidak ingin bercermin atas kekerdilanku. Tetapi aku terpaksa, Kiai, karena aku memikirkan orang itu. Aku korbankan perasaan tentang diriku sendiri, karena aku tidak sampai hati melihat orang tua itu menderita. Kiai, apabila laki-laki itu tidak memberi kesempatan aku lari dari tahanan Sidanti, maka akhir dari peperangan ini pun akan berbeda, sebab aku tidak akan sempat memberitahukan kepada Kiai apa yang telah terjadi. Dan aku tidak akan dapat memenuhi perintah Kiai untuk pergi ke Jati Anom. Mungkin aku pernah menceriterakannya kepada Kiai, bahwa seorang kakek yang pernah memberikan tempat kepadaku tinggal di padepokan ini, dan kemudian mendapat perintah untuk menangkap aku, tetapi kemudian memberi jalan kepadaku untuk melarikan diri.”
“Ya, ya Ngger, kau pernah mengatakannya.”
“Nah laki-laki tua itulah yang kini terluka. Bahkan keadaannya telah menjadi terlampau gawat. Aku mencegah ketika beberapa orang akan mengambilnya dan mengumpulkannya dengan orang-orang yang lain, sebab aku berpengharapan bahwa aku akan dapat berusaha untuk setidak-tidaknya membalas budi, memanggil Kiai kepadanya. Sebab aku sendiri memang terlampau dungu untuk berbuat sesuatu.”

Ki Tanu Metir menarik nafas. Alisnya yang telah satu-dua ditumbuhi rambut-rambut yang berwarna putih tampak bergerak-gerak. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia kemudian berkata,
“Apakah Angger ingin aku datang kepadanya sekarang?”
“Ya.”
Ki Tanu Melir terdiam sesaat. Ia dapat membayangkan perasaan Wuranta. Anak muda itu sama sekali sudah tidak ingin datang ke banjar ini karena perasaannya yang tidak menemukan keseimbangan. Sikapnya sebagai seorang anak muda yang masih terlampau banyak dipengaruhi oleh darah mudanya. Tetapi perasaan itu telah dikorbankan karena seorang laki-laki tua yang terluka. Namun orang tua yang terluka itu ternyata telah menolong jiwa Wuranta, dan memungkinkan Wuranta melakukan tugas-tugas terakhirnya menjelang benturan antara orang-orang Jipang dan orang-orang Tambak Wedi.
Karena itu, maka Ki Tanu Metir itu kemudian menjawab,
“Baiklah, Ngger, aku pergi bersamamu. Tetapi apakah angger, tidak ingin singgah sebentar di banjar ini untuk bertemu dengan Angger Untara, Swandaru, dan Agung Sedayu? Mungkin ada sesuatu yang ingin mereka katakan kepadamu?”
Tetapi Wuranta itu menggeleng sambil berkata,
“Tidak, Kiai. Orang yang luka itu segera memerlukan pertolongan.”
Ki Tanu Metir mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian diselesaikannya pekerjaannya atas seorang yang terluka, yang sudah terlanjur dimulainya. Kemudian kepada salah seorang prajurit Pajang yang bertugas menolong para korban itu Ki Tanu Metir berkata,
“Angger, aku akan pergi sebentar. Ada orang terluka yang sangat memerlukan aku.”
Orang itu mengerutkan keningnya. Di sekitarnya terbaring banyak sekali orang-orang yang terluka. Tetapi seseorang yang terluka telah menunggu orang tua itu. Agaknya Ki Tanu Metir dapat meraba apa yang tersirat di dalam hati prajurit itu. Maka ia menjelaskannya,
“Angger, agaknya orang-orang yang terbaring di sini akan segera mendapat perawatan dari para prajurit yang bertugas untuk itu, sedang orang yang dikatakan oleh Angger Wuranta ini adalah seorang yang terbaring di halaman, yang tidak akan segera ditolong oleh para petugas. Maka aku akan mencoba menolongnya apabila mungkin.”
“Kenapa orang itu tidak dibawa kemari, atau dikumpulkan di tempat terdekat? Dengan demikian maka ia  pun akan mendapat pertolongan serupa dengan yang lain.”
Sebelum Ki Tanu Metir menjawab, maka Wuranta telah mendahului,
“Apa pedulimu? Orang yang terluka itu sama sekali bukan urusanmu. Sedang pekerjaan ini adalah pekerjaanmu, bukan pekerjaan Ki Tanu Metir.”
Prajurit itu mengerutkan keningnya. Tiba-tiba wajahnya menjadi merah. Dengan dada yang bergelora ia berkata,
“Siapa kau?”
Sebelum Wuranta menjawab, Ki Tanu Metir telah mendahului,
“Angger Wuranta. Namanya Angger Wuranta. Bukankah begitu?”

Ketika Wuranta memandangi wajah Ki Tanu Metir yang dalam namun penuh dengan ketenangan yang serasa menghunjam jantungnya, tiba-tiba Wuranta menundukkan kepalanya. Perlahan-lahan ia berkata,
“Maaf, maaf.”
Prajurit itu mendengar suara Wuranta yang lambat itu. Tumbuhlah keheranan di dadanya. Apakah gerangan yang telah terjadi atas anak muda yang bernama Wuranta itu? Tetapi prajurit yang sehari-hari memang bertugas mengurusi orang-orang yang terluka itu mencoba untuk memahami sikap, sifat, dan keadaan orang-orang di dalam peperangan. Mereka kadang-kadang menjadi seorang yang aneh. Pemarah, kasar, dan kadang-kadang tidak dapat dipahami.
“Nah,” berkata Ki Tanu Metir kemudian,
“maaf, Ngger. Aku akan pergi bersama Angger Wuranta sejenak. Aku akan segera kembali dan membantu Angger menolong orang-orang yang terluka. Apabila aku tidak segera datang, maka aku telah melakukannya pula di tempat yang lain. Bagiku sama saja, di sini, di rumah sebelah, di halaman dan di mana saja aku menjumpai orang-orang yang terluka.”
“Baiklah, Kiai,” sahut prajurit itu. Tetapi sekali lagi ia mencoba memandangi wajah Wuranta yang tunduk. Wajah itu membawa seribu macam kesan yang campur-baur. Dan prajurit yang bertugas menolong orang-orang yang terluka itu tidak dapat menebak, apakah yang sedang bergulat di dalam dada Wuranta sebenarnya. Sesaat kemudian Ki Tanu Metir itu  pun telah mengikuti Wuranta turun ke halaman. Para prajurit dan perwira yang masih berada di halaman dan yang berjalan hilir mudik di pendapa, melihat mereka berdua berjalan melintasi halaman banjar.
“Mereka sama sekali tidak singgah untuk menemui Untara atau Swandaru atau Agung Sedayu. Bahkan mereka berjalan tergesa-gesa seperti takut kemalaman.”
Wuranta membawa Ki Tanu Metir berjalan lewat jalan yang dilalumya. Melintasi kebun dan halaman-halaman di belakang. Sekali mereka berpapasan dengan prajurit yang menghentikan Wuranta ketika ia pergi ke banjar. Prajurit itu segera memalingkan wajahnya dan berjalan menjauh. Tampaklah dalam sikapnya, betapa ia merasa tersinggung atas kata-kata Wuranta. Semakin dekat dengan tempat kakek yang terbaring luka, Wuranta menjadi semakin berdebar-debar. Senja kini telah menjadi semakin malam. Di sana-sini tampak sinar obor yang dipasang oleh para prajurit Pajang. Tidak saja di rumah-rumah yang dipergunakan, tetapi juga di halaman-halaman. Di dalam keremangan cahaya obor, Wuranta tidak dapat segera melihat, apakah laki-laki tua yang ditinggalkannya masih terbaring di tempatnya. Ketika ditemui prajurit yang berjalan hilir-mudik mengawal halaman itu, terbata-bata Wuranta bertanya,
“Apakah kakek masih di tempatnya?”
“Masih. Tetapi tidak seorang  pun yang merawatnya, sebab ia tidak berada di tempat yang telah disediakan. Aku mencegah para petugas yang akan mengambil mereka seperti yang kau pesankan.”
“Terima kasih,” desis Wuranta sambil meloncat ke emper tempat laki-laki tua itu terbaring. Ketika ia berdiri beberapa langkah lagi, maka ia masih melihat bayangan kehitam-hitaman di dalam cahaya yang terlampau lemah dari obor di kejauhan.
“Kakek,” Wuranta tidak sabar sampai ia berdiri di dekat orang yang terbaring itu.
“Kakek,” Wuranta mengulang, tetapi tidak ada jawaban.

Akhirnya Wuranta berdua bersama Ki Tanu Metir telah berdiri di samping kedua tubuh itu. Wuranta masih melihat nenek itu memeluk suaminya dan meletakkan kepalanya di dada laki-laki yang terbaring itu.
“Kakek,” panggil Wuranta perlahan-lahan. Tak ada jawaban.
“Nenek,” panggilnya pula. Tidak juga ada jawaban. Hati Wuranta menjadi berdebar-debar. Sejenak ia berpaling kepada Ki Tanu Metir yang berdiri di sampingnya.
“Inilah, Kiai, suami isteri yang aku katakan. Kakek terluka di lambungnya.”
Perlahan-lahan Ki Tanu Metir berjongkok di samping kedua orang itu. Orang yang telah cukup berpengalaman itu sama sekali tidak menyentuhnya. Perlahan-lahan ia menggelengkan kepalanya sambil berdesis dalam sekali,
“Kita telah terlambat, Ngger.”
Kata-kata Ki Tanu Metir itu terdengar seperti ledakan petir yang menyambar tengkuk Wuranta. Sejenak ia berdiri mematung, sedang mulutnya terkatup rapat-rapat. Tanpa berkedip ia memandang Ki Tanu Metir dengan sorot mata yang aneh.
Ki Tanu Metir menarik nafas dalam-dalam.
“Keduanya telah meninggal, Ngger.”
“Kiai,” hanya itu yang terlontar dari mulut Wuranta.
“Ya,” Ki Tanu Metir mengangguk-anggukkan kepalanya.
Sejenak Wuranta masih mematung. Namun tiba-tiba ia berjongkok di samping mayat kedua suami isteri itu. Seperti orang yang kehilangan akal Wuranta. Menggoncang-goncangnya dan memanggil-manggilnya,
“Kakek, Kakek.”
Tetapi kakek tua itu sama sekali tidak menjawab. Bahkan bergerak  pun tidak. Wuranta masih juga tidak percaya pada penglihatannya. Kini ia menggoncang nenek tua yang seolah-olah sedang menangisi suaminya dengan meletakkan kepalanya di dada laki-laki itu.
“Nenek, Nenek,” panggil Wuranta. Nenek tua itu  pun tidak menjawab.
Terasa dada Wurantu seakan-akan menjadi pecah karenanya. Nafasnya terengah-engah dan urat-urat di keningnya menegang.
“Kiai, apakah mereka berdua telah benar-benar meninggal?”
“Ya, Ngger, keduanya telah meninggal.”
“Oh, apakah Kiai tidak dapat berbuat apa-apa. Kenapa Kiai hanya diam saja?”
“Apakah yang harus aku lakukan? Terhadap mereka aku tidak kuasa berbuat apa-apa.”
“Tidak, Kiai. Mereka belum meninggal. Aku meninggalkan mereka di sini belum begitu lama. Mereka berdua masih hidup dan mereka masih bercakap-cakap.”
“Mungkin, Ngger, tetapi sekarang mereka telah meninggal.”
“Berbuatlah sesuatu, Kiai, berbuatlah sesuatu.”
Ki Tanu Metir menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada yang berat ia menjawab,
“Sayang, tidak ada seorang manusia  pun yang mampu berbuat sesuatu atas mereka.”
“Oh, bohong, bohong. Kiai tidak mau menolongnya karena ia bukan prajurit Pajang, bukan orang Sangkal Putung dan bukan pula pembantu Untara. Orang itu adalah orang Tambak Wedi.”
“Anakmas Wuranta,” desis Ki Tanu Metir,
“aku tidak pernah membedakan orang mana  pun juga dan dalam keadaan apa  pun juga. Apabila orang itu terluka, apalagi dalam keadaan parah, maka aku wajib menolongnya. Tetapi aku, dan siapa  pun juga, tidak akan dapat berbuat sesuatu atas orang ini. Mereka telah meninggal dunia.”
“Oh,” kata-kata Wuranta terputus.

Dan tanpa disangka-sangka oleh Ki Tanu Metir maka Wuranta itu  pun terisak. Anak muda itu menangis. Ia merasa kehilangan seorang yang telah menolongnya. Seorang yang baik, yang paling baik yang pernah dikenalnya. Yang tidak merendahkannya, baik dengan kata-kata mau pun dengan perbuatan. Wuranta yang merasa dirinya tidak berharga di mata orang-orang Pajang setelah pertempuran berakhir, sama sekali merasa tidak mempunyai seorang kawan  pun di padepokan Tambak Wedi. Kakek tua itu pasti akan menjadi orang yang baik untuk mengawaninya. Terhadap kakek tua dari Tambak Wedi yang telah dikalahkan itu, Wuranta sama sekali tidak merasa dirinya terlampau rendah. Tetapi kakek tua itu kini telah mati. Ki Tanu Metir kini berdiri termangu-mangu melihat sikap Wuranta. Ia menangisi laki-laki tua dari Tambak Wedi itu. Ki Tanu Metir  pun merasa iba dan terharu melihat suami isteri yang meninggal bersama-sama. Ia dapat menduga, bahwa isterinya menjadi sangat terkejut melihat suaminya meninggal, kemudian karena kejutan perasaan itu, kejutan yang tidak tertahankan oleh jantungnya yang lemah, maka ia  pun meninggal juga. Tetapi bahwa Wuranta sampai menangis, ternyata benar-benar telah menyentuh perasaannya.
“Mungkin Angger Wuranta merasa berhutang budi kepadanya,” berkata Ki Tanu Metir di dalam hatinya.
“Laki-laki tua itu adalah orang yang telah menolongnya, membebaskannya dari tangan Sidanti. Mungkin, ya mungkin. Anak mas Wuranta belum sempat membalas budi itu, dan laki-laki itu telah meninggal bersama isterinya.”
Ki Tanu Metir itu terperanjat ketika ia melihat tiba-tiba Wuranta berdiri. Dengan gigi gemeretak ia menggeram,
“Kiai, lihat. Inilah salah satu wajah dari tindakan prajurit Pajang atas Tambak Wedi. Suami isteri yang telah lanjut, mati bersama-sama. Alangkah mengerikan.”
Ki Tanu Metir tidak segera menjawab. Hanya keningnya sajalah yang berkerut.
“Apakah Kiai tidak terharu melihatnya? Mungkin Kiai telah terlalu sering melihat kematian. Justru Kiai adalah seorang dukun. Seperti seorang pande besi menghadapi sepotong besi merah saja agaknya. Kiai menghadapi orang-orang sakit. Kalau Kiai berhasil demikianlah yang Kiai kehendaki, seperti pande sedang membuat pedang. Kalau pedang itu gagal, maka Kiai tidak begitu menyesal karenanya. Bagi Kiai kegagalan itu adalah suatu keadaan yang wajar dan terlampau biasa. Tetapi sepotong besi akan dapat dibakar untuk kedua kalinya, meskipun untuk alat-alat yang lain. Sedang kematian adalah jauh berbeda daripadanya. Kiai harus menyesal sekali, Kiai harus terharu dan berduka cita. Apakah hati Kiai telah membeku karena terlampau sering melihat kematian? Dan kegagalan yang demikian adalah suatu peristiwa yang wajar tanpa suatu kesan apa  pun di hati Kiai?”

Ki Tanu Metir tidak segera menjawab. Dibiarkannya saja anggapan anak muda itu atas dirinya. Kalau ia membantah, maka hati anak muda itu akan menjadi semakin terbakar. Meskipun demikian ia terpaksa bertanya kepada Wuranta,
“Apakah prajurit Pajang yang telah membunuhnya?”
Pertanyaan itu membuat Wuranta terdiam sesaat. Dahinya yang mengkilat oleh keringat tampak berkerut-merut. Ditatapnya wajah Ki Tanu Metir dengan tajamnya. Namun ketika pandangan mata mereka bertemu, cepat-cepat Wuranta berpaling. Tetapi untuk menutupi kekecilan diri segera ia berkata lantang,
“Apakah bedanya? Siapa pun yang telah membunuh kakek tua ini, namun ini adalah akibat dari peperangan.”
“Ya, peperangan memang selalu berakibat buruk. Tetapi siapakah yang telah membunuhnya? Prajurit Pajang?”
Akhirnya Wuranta terpaksa menggeleng lemah,
“Tidak, Kiai. Kakek dibunuh oleh orang-orang Jipang dalam perselisihan yang terjadi sebelum prajurit Pajang datang.”
Ki Tanu Metir mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Jadi yang membunuh laki-laki tua itu sama sekali bukan prajurit Pajang?”
“Apa bedanya?” tiba-tiba nada suara Wuranta meninggi.
“Apa bedanya Kiai? Di halaman ini, di halaman banjar dan sekitarnya, bertebaran mayat orang-orang Tambak Wedi. Mereka sebagian mati karena ujung senjata orang-orang Pajang. Meskipun orang-orang Pajang tidak membunuh kakek tua ini, tetapi orang-orang lain dibunuhnya. Orang-orang lain yang beranak dan beristeri pula. Mereka mati meninggalkan anak dan isterinya dalam penderitaan dan kesedihan.” Wuranta berhenti sejenak. Wajahnya tampak semerah tembaga dalam keremangan cahaya obor di kejauhan.
“Kiai, aku menyesali bahwa aku telah melakukan pekerjaan yang Kiai rencanakan. Pekerjaan itu hampir membunuhku. Ketika aku terlepas dari maut maka akibat dari pekerjaaaku adalah ini,” Wuranta menunjuk laki-laki tua itu beserta isterinya.
“Bukan saja sepasang suami isteri, tetapi berpuluh-puluh. Sebaiknya aku tidak melakukannya, dan pepati ini pasti akan terhindar. Aku tidak usah turut campur segala macam persoalan di dalam padepokan ini. Seandainya aku diam saja, tidak memberitahukan kepada orang-orang Sidanti, bahwa Alap-alap Jalatunda memasuki rumah tempat Sidanti menyimpan Sekar Mirah, maka orang-orang Jipang tidak akan saling membunuh dengan orang-orang Tambak Wedi.”
Ki Tanu Metir menarik nafas dalam-dalam,
“Lalu Angger akan membiarkan saja tingkah laku Alap-alap Jalatunda itu?”
“Apa peduliku. Korban dari peristiwa itu hanyalah seorang gadis saja. Sekar Mirah. Tetapi sekarang? Korban berjatuhan tidak terbilang.”
“Tidak akan jauh berbeda, Ngger. Sekar Mirah akan mengatakan kepada Sidanti apa yang terjadi. Dan pertempuran antara mereka tidak akan terhindar.”
“Belum pasti. Kalau Alap-alap Jalatunda membunuh Sekar Mirah, maka rahasia itu akan tetap tidak terbuka.”

Dada Ki Tanu Metir berdesir mendengar kata-kata Wuranta, bahkan seluruh bulu-bulunya meremang. Sejenak orang tua itu terdiam. Sesuatu bergelora di dalam hatinya. Dahsyat sekali. Tetapi wajah orang tua itu sama sekali tidak membayangkan perasaannya. Dengan susah payah, Ki Tanu Metir mencoba untuk menyembunyikan getar jantungnya. Apalagi ketika Wuranta berkata,
“Kiai, ternyata apa yang telah aku lakukan dengan hampir saja mengorbankan nyawaku, dan sekarang ternyata telah menelan berpuluh jiwa di dalam peperangan ini hanyalah sekedar menyenangkan hati Agung Sedayu.”
“Ah,” terloncat suatu desah yang serta-merta dari mulut Ki Tanu Metir. Tetapi orang itu kemudian mencoba untuk diam.
“Lalu, apakah yang sebenarnya terjadi?” bertanya Wuranta.
“Apakah Kiai dapat mengatakan lain daripada itu?”
Ki Tanu Metir mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Ya, ya Ngger. Angger benar. Peperangan ini telah membunuh berpuluh-puluh korban dari segala pihak. Terutama orang-orang Jipang dan orang-orang Tambak Wedi. Ya, seandainya Sekar Mirah dikorbankan, maka keadaannya akan lain sekali, Ngger. Orang-orang Jipang dan orang-orang Tambak Wedi tidak akan mengalami nasib sepahit ini.”
“Nah, bukankah Kiai mengakui?”
“Ya, ya Ngger. Aku sependapat,” Ki Tanu Metir terdiam sejenak, lalu ia meneruskan,
“Tetapi, bagaimanakah kalau yang menjadi korban itu orang-orang Jati Anom? Apakah kira-kira akan menjadi lebih baik?”
Wuranta terkejut mendengar pertanyaan itu sehingga hampir-hampir ia terlonjak. Dengan sorot mata yang aneh ditatapnya wajah Ki Tanu Metir. Namun sekali lagi Wuranta melontarkan pandangan matanya jauh-jauh ketika pandangan mata mereka beradu.
“Angger Wuranta,” berkata Ki Tanu Metir,
“peristiwa seperti yang dialami oleh Sekar Mirah akan dapat saja terjadi atas gadis-gadis Jati Anom. Seandainya benar terjadi demikian, dan gadis itu adalah adik Angger Wuranta, maka Angger pasti akan berpendapat lain. Tetapi adalah kebetulan sekali bahwa Angger Wuranta, anak Jati Anom, dapat membantu kami. Persoalannya tidak hanya sekedar Sekar Mirah, tetapi, bagaimanakah kalau kemudian orang-orang Jipang dan Tambak Wedi menjadi semakin kuat, dan dengan serta-merta sebagian dari mereka menduduki Jati Anom? Selama ini mereka hanya sekedar mendatangi kademangan itu, karena mereka tidak cukup kuat untuk mendudukinya dengan membagi pasukan. Tetapi suatu ketika maka sebagian dari mereka akan mengalir ke Timur, seperti bendungan yang penuh dan melimpah, menggenangi kademangan Jati Anom. Apabila anak-anak muda dan setiap laki-laki Jati Anom kemudian melakukan perlawanan setelah menghimpun diri, maka apa yang kita lihat sekarang adalah gambaran dari apa yang terjadi. Tetapi yang bergelimpangan di halaman, di jalan-jalan dan bahkan kakek-kakek tua dan nenek-nenek tua yang menjadi korban, adalah orang-orang Jati Anom. Orang-orang Tambak Wedi dan orang Jipang akan berada di pendapa kademangan, bertolak pinggang sambil memanggil setiap perempuan dan gadis-gadis cantik untuk memenuhi panggilan nafsu mereka beserta pasukan mereka. Begitu? Semua itu akan dapat terjadi. Dan aku sengaja tidak menyebut-nyebut nama Untara, Senapati Pajang yang mencoba dengan caranya membebaskan Sangkal Pulung dan kini Jati Anom dari bahaya orang-orang Jipang dan orang-orang Tambak Wedi yang tamak.”

Wuranta berdiri tegak seperti patung batu. Setiap kata yang diucapkan oleh Ki Tanu Metir terasa bagaikan jarum yang langsung menusuk jantungnya. Pedih, namun Wuranta tidak dapat menghindarkan diri dari pengakuan atas kebenaran dari kata-kata itu. Bahkan sekali lagi hatinya yang gelap dan kehilangan keseimbangan itu dapat terbuka. Ia melihat di dalam angan-angannya. peristiwa yang mengerikan itu terjadi atas Jati Anom. Kepala Wuranta itu  pun kemudian tertunduk dalam-dalam. Pedih hatinya menjadi semakin pedih. Tetapi ia merasakan kebenaran dari kata-kata itu. Wuranta melihat betapa besar kesalahan yang telah dilakukan. Namun yang tidak diharapkan oleh Ki Tanu Metir, Wuranta yang kecil itu ternyata merasa semakin kecil.
Dengan kata-kata yang hampir tidak sempat meloncat dari mulutnya Wuranta berkata,
“Ya, Kiai. Aku merasakan kebenaran kata-kata Kiai. Kini semakin nyata bagiku, alangkah cupet budiku. Alangkah kerdilnya jiwaku. Aku tidak pantas berada di antara murid-murid Kiai, di antara orang-orang Pajang, bahkan di antara anak-anak muda Jati Anom sendiri. Meskipun baru terbatas pada angan-angan, namun aku telah berkhianat kepada murid-murid Kiai, kepada para prajurit Pajang dan kepada kampung halaman. Karena itu, maka aku tidak pantas lagi berada di antara mereka.”
“Angger Wuranta,” Ki Tanu Metir memotong kata-kata itu,
“apakah maksud Angger?”
“Kesalahanku tidak dapat dimaafkan Kiai. Karena itu lebih baik bagiku untuk meninggalkan mereka yang telah aku khianati di dalam angan-angan. Kalau angan-angan itu terwujud dalam tindakan, alangkah mudahnya. Aku dapat segera dihukum mati. Tetapi pengkhianatan yang aku lakukan, baru aku sendirilah yang melihatnya, sehingga aku sajalah yang dapat menghukumnya.”
“Apakah yang akan Angger lakukan?”
“Pergi, Kiai. Kesalahanku telah bertimbun-timbun. Bahkan aku pula yang telah menyebabkan kematian kakek tua ini. Seandainya aku tidak menahannya karena aku ingin memanggil Kiai dan berbuat jasa kepada orang tua itu, maka aku kira pertolongan baginya tidak akan begitu lambat.”
“Ah,” Ki Tanu Metir berdesah,
“Angger terlampau perasa. Suatu goncangan telah mengejutkan perasaan Angger, sehingga Angger kehilangan keseimbangan. Dengarlah, Ngger, beberapa kali aku katakan, Angger kehilangan keseimbangan. Dalam keadaan demikian, janganlah Angger mencoba mengambil keputusan mengenai masalah yang penting.”
“Tidak, Kiai, aku tidak kehilangan keseimbangan. Mungkin sebelum aku mendengar keterangan Kiai tentang persoalan yang sedang aku hadapi. Tetapi sekarang aku telah mendapat keyakinan tentang diriku. Supaya aku tidak kehilangan keseimbangan lagi di antara orang-orang Sangkal Putung, para prajurit Pajang dan bahkan orang-orang Jati Anom sendiri, maka sebaiknya aku meninggalkan mereka.”
“Hem,” Ki Tanu Metir menarik nafas dalam-dalam. Ia menjadi semakin mengenal anak muda yang sedang dihadapinya. Anak muda yang sedang kehilangan kepercayaan kepada diri sendiri. Anak muda yang sedang mengalami goncangan jiwa yang dahsyat.
“Anakmas Wuranta,” berkata Ki Tanu Metir mencoba untuk menggugah kebanggaan atas diri sendiri,
“memang kita harus menghargai setiap sumbangan bagi terbebasnya padepokan ini dari tangan orang-orang Jipang dan Ki Tambak Wedi, Sidanti dan Argajaya. Tetapi dari sekian banyak kebanggaan ini, maka Angger Wuranta lah yang seharusnya paling berbangga atas segala hasil usaha dan perjuangannya.”
“Kiai mengulangi lagi hal itu? Kiai, hatiku telah berkeriput menjadi semenir. Apakah aku harus berkata dalam kegilaan seperti yang pernah aku ucapkan bahwa tanpa Wuranta padepokan ini tidak akan dapat dilepaskan dari tangan mereka.”
“Tidak, Ngger, juga bukan itu maksudku. Sekarang aku akan berkata wajar, seperti juga Angger sekarang memerlukan kewajaran. Memang Angger bukan satu-satunya pahlawan yang dapat merebut padepokan. Semuanya mempunyai sumbangan yang serupa, dan semuanya telah mempertaruhkan nyawa masing-masing. Bukankah begitu? Tetapi Angger masih mempunyai kebanggaan yang tidak dipunyai oleh orang lain, atau setidak-tidaknya lebih besar dari orang lain. Agung Sedayu mempertaruhkan nyawanya karena ia mempunyai pamrih yang jelas. Ia akan mendapatkan sesuatu setelah padepokan ini bedah. Seperti juga Swandaru berbuat demikian, karena ia ingin membebaskan adiknya. Sedang Angger Untara membawa pasukannya, bahkan para prajurit Pajang, bertempur dan mempertaruhkan nyawa mereka karena kewajiban. Kewajiban seorang satria. Nah, di sinilah kelebihan Angger. Angger dengan sukarela melakukan perjuangan ini. Angger tidak berkepentingan langsung dengan orang-seorang di dalam padepokan ini. Angger tidak mempunyai seorang adik atau saudara yang lain di dalam padepokan ini. Dan Angger bukan seorang prajurit. Inilah kelebihan Angger. Dan Angger harus berbangga karenanya. Angger tidak perlu merasa diri Angger terlampau kecil. Dalam bidang yang Angger lakukan, maka Angger adalah seorang yang besar, seperti Untara di dalam bidangnya. Ternyata tidak seorang  pun dari pasukan sandi yang berhasil masuk. Pasukan sandi yang disusun oleh Untara, dan terlatih pula. Mereka hanya berbasil mendekati dan melihat padepokan ini dari luar. Tetapi Angger dapat masuk ke dalamnya, meskipun harus bertaruh nyawa. Nah, Angger harus melihat semuanya ini dengan wajar. Angger tidak boleh berkecil hati. Dan Angger tidak perlu merasa diri Angger terlampau kecil. Apalagi apabila Angger mengambil keputusan untuk meninggalkan Jati Anom.” Ki Tanu Metir berhenti sejenak. Dibiarkannya kata-katanya mengendap di dalam hati anak muda itu.
Karena Wuranta tidak segera menjawab, maka Ki Tanu Metir meneruskan,
“Nah, lihatlah ke depan, ke hari depan yang terang bagimu dan bagi Jati Anom.”

Wuranta tidak menjawab. Tetapi terasa sesuatu bergetar di dalam dadanya. Masa depannya dan masa depan Jati Anom memang masih cukup panjang. Selama ini ia sudah mulai menginjakkan kakinya bagi pembinaan masa depan itu. Masa depannya dan masa depan Jati Anom. Bahkan sebelum padepokan Tambak Wedi menyatakan dirinya lepas dari kekuasaan Pajang, maka Wuranta telah mencoba untuk membentuk Jati Anom siap menyongsong masa depannya. Tetapi yang terjadi terlampau cepat. Sebelum Jati Anom sempat berbuat sesuatu mereka telah dihadapkan pada suatu keadaan yang tidak mungkin ditanggulangi. Sidanti, Sanakeling, Alap-alap Jalatunda, bahkan kemudian Argajaya dan Ki Tambak Wedi sendiri, selalu menakut-nakuti kademangan yang belum berhasil menyusun diri itu, sehingga sebagian dari mereka terpaksa menyingkir dan menghimpun kekuatan di luar kademangan mereka. Anak muda Jati Anom yang dapat dibanggakan, Untara, ternyata memikul tugas terlampau berat untuk dapat membagi dirinya. Namun kini Untara itu berada di dalam lingkungannya kembali. Jati Anom dan anak-anak muda kawan bermain semasa kanak-anak. Tetapi kedudukan Untara telah membuat jarak antara anak-anak muda kawannya bermain semasa kanak-anak dengan dirinya. Jarak yang sebenarnya tidak dikehendakinya sendiri. Namun kesadaran, itu telah berhasil mencegah Wuranta semakin dalam terseret arus perasaannya. Terbayang kembali segalanya yang pernah dilakukannya. Terbayang kembali bagaimana Ki Tanu Metir mendorongnya untuk masuk ke dalam padepokan ini. Anak muda itu menarik nafas dalam-dalam. Namun terbersit kata-kata di dalam hatinya,
“Melarikan diri ternyata memang bukan suatu penyelesaian. Apakah yang akan aku lakukan di pelarian itu? Tetapi untuk terus-menerus menyiksa diri adalah terlampau sakit.”
Angin malam berhembus menyapu lereng Merapi. Terasa digin mulai menyusup tulang. Di kejauhan terdengar anjing-anjing liar menggonggong bersahut-sahutan. Seolah-olah mereka telah mencium bau darah yang sedang mengalir di padepokan Tambak Wedi. Lamat-lamat suara burung hantu mengetuk hati. Sayu, seperti rintihan mereka yang sedang terluka. Dalam kesepian itu Wuranta mampu melihat ke dalam dirinya sendiri. Meskipun ia menjadi ngeri melihat kenyataan itu, tetapi yang tampak padanya adalah terlampau jelas. Adalah terlalu dibuat-buat apabila ia merasa seolah-olah orang-orang Pajang kini mengesampingkannya bahkan merendahkan dan mengabaikannya setelah semuanya rampung dengan baik. Adalah terlalu dicari-cari apabila ia mengatakan bahwa Untara kini merasa dirinya terlampau besar sehingga tidak sempat lagi menemuinya.

Wuranta memejamkan matanya ketika mau tidak mau ia harus menghadapi pengakuan diri, bahwa alasan sebenarnya adalah hatinya yang pecah karena hubungan yang dilihatnya telah terjalin antara Agung Sedayu dan Sekar Mirah, hatinya yang semakin parah ketika ia melihat kenyataan betapa jauhnya jarak antara dirinya dengan Agung Sedayu. Ia tidak akan dapat menyamainya dalam pacuan di segenap bidang. Berpacu merebut hati Sekar Mirah dan berpacu sebagai anak muda Jati Anom dihadapkan pada lawan-lawannya, meskipun ia tidak pernah berhasil melupakan, bahwa di masa kanak-kanak mereka, Agung Sedayu adalah seorang penakut yang cengeng.
Wuranta terkejut ketika tiba-tiba ia mendengar Ki Tanu Metir berkata,
“Bagaimana, Ngger? Kenapa Angger diam saja?”
“Oh,” Wuranta kini mengangkat wajahnya. Dalam keremangan cahaya obor yang kemerah-merahan, dilihatnya wajah Ki Tanu Metir yang sareh lunak. Betapa dalam dan lapangnya hati orang tua itu. Kesabarannya hampir tidak terbatas, seperti luasnya lautan tanpa tepi. Justru karena itu, maka kembali wajah Wuranta tertunduk. Tetapi kini ia menjawab,
“Aku dapat mengerti, Kiai. Sekali lagi aku merasakan kekerdilan diri.”
Ki Tanu Metir mengangguk-anggukkan kepalanya. Kini ia mendengar kata-kata tiu diucapkan dengan wajar. Meskipun kata-kata itu searti, tetapi tidak senada.
“Jadi, apakah Angger tetap pada keputusan Angger itu?”
Wuranta ragu-ragu sejenak. Tetapi kemudian ia menggelengkan kepalanya,
“Tidak Kiai. Aku tidak akan melarikan diri dari kepahitan ini.”
“Bagus,” dengan serta-merta Ki Tanu Metir menyahut sambil menepuk bahu anak muda itu.
“Ternyata Angger Wuranta benar-benar berhati jantan.”
“Jangan memuji, Kiai. Hatiku telah luluh menjadi debu.”
“Tetapi aku masih melihat bara yang menyala di dalam dada Angger Wuranta, bukan sekedar debu. Nah, karena itu, marilah kita pergi ke banjar padepokan. Di sana Angger akan bertemu dengan Untara, Agung Sedayu, dan Swandaru dalam keadaan yang wajar.”
“Terima kasih, Kiai. Aku tidak akan lari, tetapi aku tidak akan pergi ke banjar.”
Sekali lagi dahi Ki Tanu Metir berkerut-merut. Tetapi ia merasakan perbedaan arti yaag tersirat dalam kalimat itu. Karena itu maka ia segera mengerti, Betapapun juga Wuranta masih belum dapat melepaskan perasaannya. Tetapi itu  pun masih dapat dianggapnya wajar.
“Kiai,” berkata Wuranta seterusnya,
“aku masih harus menunggu jenazah kedua suami isteri ini.”
“Oh,” sahut KiTanu Metir, “bukankah jenazah ini dapat diserahkan kepada mereka yang berkewajiban.”

Ki Tanu Metir terkejut ketika wajah Wuranta itu tiba-tiba saja menegang. Namun hanya sebentar. Kali ini anak muda itu berhasil menguasai dirinya dan tidak lagi terseret oleh perasaannya tanpa pertimbangan. Katanya,
“Kiai, aku tidak dapat menganggap suami isteri ini seperti orang-orang lain di padepokan ini. Pada laki-laki tua ini terdapat kekhususan. Setidak-tidaknya ia tidak dapat dianggap bersalah sebesar orang-orang Tambak Wedi yang lain. Tanpa orang tua ini, maka segalanya akan menjadi berbeda.”
“O, baik, baiklah,” Ki Tanu Metir cepat-cepat memotongnya.
“Aku minta maaf atas kealpaan ini. Aku kira Untara  pun tidak akan berkeberatan sama sekali.”
Wuranta menarik nafas dalam-dalam. Ia sadar, bahwa segala sesuatu yang dilakukan di sini harus mendapat ijin dahulu dari Untara atau orang yang dikuasakannya. Dalam hal laki-laki tua itu pun, ia tidak akan dapat berbuat sekehendak hatinya. Pengkhususan pemakaman orang itu pun harus mendapat ijin dahulu. Tetapi hatinya pasti tidak akan rela, apabila laki-laki tua itu akan dianggap sama saja dengan orang-orang Tambak Wedi yang lain. Orang tua itu setidak-tidaknya harus mendapat kehormatan seperti para prajurit Pajang yang gugur di peperangan ini.
Karena itu maka Wuranta itu  pun kemudian berkata,
“Kiai, aku harap Kiai akan menyampaikan kepada Kakang Untara, bahwa aku minta laki-laki tua ini mendapat perhatian khusus, sesuai dengan jasa semasa hidupnya atas Pajang, meskipun seandainya ia tidak sengaja berbuat demikian.”
“Kita dapat pergi bersama, Ngger,” jawab Kiai Gringsing.
“Angger Untara akan menjadi lebih banyak memperhatikan pendapat Angger sendiri daripada pendapatku.”
“Terima kasih, Kiai,” sahut Wuranta.
“Malam ini aku akan menunggui mayat suami isteri ini di sini.”
“Bukankah sudah ada orang yang berkewajiban.”
“Biarlah, Kiai, aku akan menemaninya.”
Ki Tanu Metir tidak akan dapat memaksanya. Namun terasa bahwa Wuranta telah mulai menemukan kesadaran tentang dirinya, meskipun ia masih tetap merasa rendah diri. Tetapi ia tidak menjadi liar dan meledak-ledak mencari saluran untuk menyembunyikan kekecilannya.
“Jadi Angger akan tetap di sini?”
“Ya, Kiai, aku akan berkata kepada prajurit yang bertugas itu, bahwa aku akan menunggui mayat ini sampai besok. Sampai dikuburkan.”
Ki Tanu Metir mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak mencemaskan Wuranta lagi, kalau-kalau ia akan pergi tanpa pamit. Ia merasa mempunyai kewajiban atas laki-laki tua itu suami isteri. Dan kewajiban itu pasti akan mengikatnya.
“Baiklah, Anakmas,” berkata Ki Tanu Metir kemudian,
“aku akan mencoba menyampaikannya kepada Angger Untara. Mudah-mudahan Angger Untara dapat mengerti.”
“Terima kasih, Kiai.”

Ki Tanu Metir itu  pun kemudian meninggalkan Wuranta seorang diri menunggui mayat suami isteri itu. Anak muda itu tidak sampai hati untuk mengangkat nenek tua yang masih saja membeku di dada suaminya. Ketika terlihat oleh Wuranta prajurit yang mengawal tempat itu lewat beberapa langkah dari regol halaman, maka Wuranta pun mendekatinya.
“Bagaimana?” bertanya prajurit itu,
“Apakah dukun itu dapat mengobatinya?”
“Terlambat. Keduanya sudah meninggal.”
“Keduanya?” prajurit itu terkejut.
“Ya keduanya,” sahut Wuranta.
“Kenapa perempuan itu mati juga?”
“Aku tidak tahu. Mungkin ia terkejut atau terlalu sedih ketika ia melihat suaminya menghembuskan nafasnya yang terakhir. Tetapi perempuan itu memang sudah sakit-sakitan saja. Dadanya sering menjadi berdebar-debar dan tubuhnya seolah-olah menjadi lumpuh. Agaknya kejutan yang dialaminya kali ini tidak tertahankan lagi. Dan ia meninggal pula bersama suaminya.”
Prajurit itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ia berdesah,
“Aku tidak mendekatinya. Kau melarang setiap orang untuk berbuat sesuatu. Seandainya kau biarkan saja kakek tua itu, maka ia pasti sudah mendapat pertolongan sementara. Mungkin ia akan mati juga, tetapi usaha untuk menolongnya sempat dilakukan. Tidak terlambat. Agaknya kau tidak percaya kepada para prajurit yang bertugas untuk itu, atau mungkin kau menyangka bahwa karena laki-laki itu orang dari padepokan Tambak Wedi, maka prajurit Pajang akan mencekiknya.”
Belum lagi Wuranta menjawab, maka datanglah dua orang prajurit yang sedang bertugas berkeliling. Ternyata kedua prajurit itu adalah prajurit yang telah bertengkar dengan Wuranta. Dengan nada yang tinggi salah seorang dari mereka bertanya,
“Ada apa dengan anak Jati Anom itu? Apakah kau sedang diperintahkanya memanggil Untara?”
Prajurit yang sedang mengawal tempat itu menjawab,
“Tidak. Tetapi ia tidak percaya kepada para prajurit Pajang. Laki-laki yang terluka itu dibiarkannya tanpa pertolongan apa  pun sampai ia mati.”
“Kenapa?”
“Anak muda ini ingin memanggil dukun pribadinya.”
Kedua prajurit yang baru datang itu tertawa dengan pandangan yang menyakitkan hati. Mereka menatap wajah Wuranta yang kemerah-merahan oleh sinar obor di kejauhan. Terasa dada Wuranta itu bergolak. Hampir-hampir saja ia menjadi kambuh dan mengangkat wajahnya sambil menepuk dada,
“Inilah pahlawan yang telah memecah pertahanan Tambak Wedi.” Tetapi kali ini tidak, Wuranta tidak berteriak menyebut namanya. Namun perlahan-lahan ia berkata,
“Maafkan aku Ki Sanak. Aku telah kehilangan keseimbangan. Mungkin aku telah menyakitkan hati kalian. Mungkin ada kata-kataku atau sikapku yang kasar.”
Prajurit-prajurit itu justru terkejut mendengar pengakuan itu. Terasa keikhlasan memancar dalam kata-kata anak muda itu. Terasa bahwa penyesalan itu mendalam sampai ke tulang sungsumnya. Sejenak para prajurit itu terdiam. Ketika sekali lagi mereka mencoba menatap wajah Wuranta, maka anak muda itu telah menundukkan wajahnya. Keempat orang itu kemudian berdiri saja seperti patung. Mereka merasakan kebekuan sikap di antara mereka. Tidak seorang  pun yang segera dapat mulai berbuat sesuatu.


Halaman 1 2 3


<<< Jilid 024                                                                                                       Jilid 026 >>>

Tidak ada komentar:

Posting Komentar