Kalau mereka ingin bertempur pula, maka bagi Angger Agung Sedayu, lebih baik memilih Angger Sidanti untuk mendapatkan keseimbangan, sedang Angger Swandaru dapat melayani tamu paman Angger Sidanti itu.”
Kedua muridnya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Hampir bersamaan mereka menyahut,
“Baik, Kiai.”
“Ingat-ingatlah.”
Sekali lagi
keduanya menganggukkan kepala mereka. Kalau gurunya berpesan, itu bukannya
tidak berarti bagi mereka keduanya.
Dan keduanya
menyadari, bahwa pesan itu harus di jalani. Gurunya pasti mempunyai
perhitungan-perhitungan tersendiri atas kekuatan mereka masing-masing. Sebab
mau tidak mau, harus diakui bahwa kekuatan Swandaru dan Agung Sedayu pun masih berselisih beberapa lapis tipis. Ki
Tanu. Metir itu mengangkat kepalanya ketika ia mendengar Ki Tambak Wedi
membentak,
“Cepat sedikit
Kiai! Aku sudah tidak sabar lagi. Kau tidak perlu banyak berpesan kepada
murid-muridmu. Pesan itu sama sekali tidak akan berarti. Sebab kau dan
murid-muridmu sebentar lagi sudah akan terbunuh di sini.”
“Baik, Ki
Tambak Wedi. Baik. Aku akan cepat datang.” Kiai Gringsing itu segera melangkah
keluar ketika ia melihat Ki Tambak Wedi menebarkan pandangan matanya ke
sekeliling halaman. Sebagai seorang yang berpengalaman, maka segera ia
menangkap apa yang tersirat di hati orang tua yang selama ini menghantui lereng
Gunung Merapi.
“Apakah kau
sedang mencari sesuatu, Kiai?” bertanya Kiai Gringsing.
“Aku hanya
tidak sabar lagi menunggumu. Apakah kau sedang mengulur waktu?”
“Tidak, aku
memang harus segera mulai. Bukankah kau sedang mencari jalan keluar? Seharusnya
kau tidak perlu lagi mencari, bukankah daerah ini kau kenal dengan baik?”
“Cukup!”
potong Ki Tambak Wedi lantang.
“Ternyata
memang kau ajari muridmu untuk membual. Ayo, bersiaplah kita akan segera
mulai.”
Kiai Gringsing
menganggukkan kepalanya. Kini wajahnya yang biasanya selalu dihiasi dengan
senyumnya yang jernih, tampak, menjadi bersungguh-sungguh. Orang tua itu
melihat wajah Ki Tambak Wedi yang menyala. Menghadapinya kini sama sekali bukan
permainan yang dapat dianggap ringan. Ia harus bersungguh-sungguh pula seperti
Ki Tambak Wedi.
Sementara itu
Agung Sedayu dan Swandaru telah keluar pula dari dalam rumah. Tak ada pesan
yang mereka ucapkan kepada Wuranta. Tiba-tiba saja hubungan mereka menjadi
sangat kaku. Mereka ingin berkata seperti apa yang dikatakan oleh Ki Tanu
Metir. Menitipkan Sekar Mirah kepadanya. Tetapi Wuranta sama sekali tidak memandang
mereka ketika mereka melangkahi tlundak pintu. Bahkan kemudian Sekar Mirah pun berdiri saja membeku. Sekali ia mencoba
mencuri pandang ke arah wajah Wuranta yang pucat. Tetapi Wuranta melemparkan
pandangan matanya jauh menembus pintu ke luar. Ia sama sekali tidak tertarik
pada beberapa orang yang berdiri di luar pintu. Tetapi sorot matanya hinggap
pada hijaunya dedaunan di kejauhan. Ditatapnya sinar matahari yang seolah-olah
menari-nari pada ujung pepohonan. Angin yang lembut berhembus membelai ranting-ranting
yang bergerak-gerak di bawah bayangan yang seolah-olah berloncatan dari daun ke
daun.
“Alangkah
nikmatnya menghayati sinar matahari yang cemerlang,” desisnya di dalam hati.
Tiba-tiba
Wuranta teringat kepada obat yang digenggamnya. Perlahan-lahan tangannya yang
gemetar membuka sumbat bumbung kecil itu. Ditaburkannya beberapa berkas serbuk
di tangannya yang merah karena darah. Kemudian diulaskannya taburan itu pada
luka di dadanya. Terasa pada lukanya seolah-olah dijalari oleh perasaan yang
dingin. Setelah bumbung itu disumbatnya kembali, maka tanpa disengaja matanya
hinggap pada wajah Sekar Mirah yang tunduk. Terasa dadanya bergetar. Gadis itu
masih saja berdiri kaku di tempatnya. Seperti dirinya sendiri yang sama sekali
belum beranjak selangkah pun. Sedang di luar beberapa orang laki-laki telah
bersiap untuk bertempur.
Wuranta
terkejut ketika ia mendengar gemeletarnya suara cambuk. Terasa dadanya
berdesir. Suara cambuk itu telah membuat tulang-tulang iganya seolah-olah akan
rontok. Apalagi ketika suara itu disusul oleh pekik kecil Sekar Mirah yang
ketakutan.
Sejenak
Wuranta menjadi bingung. Hampir-hampir ia meloncat mendekati Sekar Mirah dan
menenteramkan hati gadis itu supaya ia menjadi tidak terlampau takut. Tetapi
niat itu tidak pernah dilakukannya. Bukan karena lukanya yang membahayakan
jiwanya. Sebab luka itu dalam keadaan yang demikian seakan-akan tidak lagi
terasa begitu pedih. Namun ada perasaan yang lain yang mencegahnya untuk
mendekati Sekar Mirah. Dan perasaan itulah yang kini terasa sakit. Ketika ia
memandangi Sekar Mirah sekali lagi, maka dilihatnya wajah gadis itu amat
pucatnya, dan bahkan tubuhnya menjadi gemetar. Lewat lubang pintu yang miring,
gadis itu melihat bayangan Ki Tambak Wedi dan Ki Tanu Metir sambar-menyambar.
Bahkan kemudian suara cambuk Kiai Gringsing itu ternyata tidak hanya
menggeletar satu kali, tetapi dua kali, tiga kali dan berulang kali. Sekar
Mirah akhirnya tidak tahan lagi. Tiba-tiba ia duduk dengan lemahnya di atas
tanah. Sekali-sekali dilontarkannya pandangan matanya kepada Wuranta,
seolah-olah minta anak muda itu menemaninya. Tetapi Sekar Mirah pun tiba-tiba menjadi segan dan bingung
menghadapinya.
Di dalam
ruangan itu, kedua orang Tambak Wedi masih saja terikat erat-erat. Sekilas
mereka memandang Wuranta yang lemah, kemudian Sekar Mirah yang pucat. Tetapi
mereka sendiri kemudian menjadi gemetar pula mendengar suara lecutan yang
dahsyat di luar rumah. Ternyata Ki Tanu Metir dan Ki Tambak Wedi sudah terlibat
dalam perkelahian yang sengit. Perkelahian antara dua orang yang jarang-jarang
dicari tandingannya. Sementara itu Sidanti dan Argajaya pun telah bersiap pula menghadapi kedua murid
Kiai Gringsing. Tetapi sejenak mereka terpesona melihat pertempuran yang
dahsyat itu. Mereka melihat senjata ciri kebesaran perguruan Tambak Wedi
menyambar-nyambar seperti seribu tatit yang melonjak-lonjak di udara menyerang
Kiai Gringsing dari segala arah. Tetapi kemudian mereka melihat Kiai Gringsing
mengambil jarak beberapa langkah. Dan bergetarlah udara di atas padepokan Tambak
Wedi karena ledakan cambuk Kiai Gringsing. Ledakan cambuk yang seolah-olah
ledakan guruh yang menyusul sambaran kilat yang mendahuluinya. Dan cambuk
itu pun kemudian berputar melampaui
kecepatan baling-baling yang ditiup angin prahara. Bergulung-bergulung melanda
hantu yang selama ini merajai lereng Merapi. Tetapi nenggala Ki Tambak Wedi pun
seolah-olah memiliki mata tujuh kali lipat tajam mata manusia. Betapa rapatnya
putaran cambuk Kiai Gringsing, namun senjata yang runcing di kedua ujungnya itu
mampu menyusup, untuk mematuk tubuh Ki Tanu Metir. Namun Ki Tanu Metir pun
cukat seperti sikatan. Sehingga setiap kali serangan masing-masing tidak menyentuh
sasarannya. Pertempuran itu semakin lama menjadi semakin dahsyat, seperti angin
pusaran di musim peralihan. Berputaran mengerikan. Agung Sedayu dan
Swandaru pun memperhatikan pertempuran
itu dengan dada berdebar-debar. Mereka sering melihat gurunya bergerak-gerak
dengan lincah dalam latihan-latihan hampir setiap hari. Tetapi perkelahian kali
ini agaknya telah memeras hampir segenap kemampuan orang tua itu sehingga tata
geraknya menjadi semakin cepat dan lincah. Tetapi kedua anak muda itu segera
menyadari keadaannya ketika mereka melihat Sidanti dan Argajaya telah siap
menerkam mereka dengan senjata masing-masing. Kali ini Argajaya telah bersiap
dengan tombak pendeknya, sedang Sidanti menggenggam pedang.
“Kau tidak
akan dapat lari lagi,” desis Sidanti.
Agung Sedayu
tidak menjawab. Tetapi mengingat pesan gurunya segera ia menempatkan diri untuk
melawan murid Tambak Wedi itu. Sedang Swandaru Geni telah bersedia pula melawan
Argajaya.
Seleret Ki
Tanu Metir memandang mereka. Hatinya menjadi tenteram ketika murid-muridnya
menuruti nasehatnya. Ia tahu benar perbandingan kekuatan kedua muridnya dan
kedua lawannya. Kiai Gringsing pernah melihat Sidanti berkelahi dan pernah
melihat Argajaya bertempur. Ia melihat pula kedua-duanya ketika mereka melawan
para prajurit Pajang yang datang bersama Untara. Karena itu maka ia dengan
sungguh-sungguh berpesan kepada kedua muridnya untuk menempatkan dirinya sesuai
dengan keseimbangannya.
Dalam pada itu
Swandaru telah berdiri beberapa langkah dari Argajaya. Tiba-tiba ia membungkuk
hormat sambil lersenyum. Katanya,
“Bukankah Tuan
tidak lupa kepadaku?”
“Persetan!”
geram Argajaya.
“Di Prambanan
Tuan bertempur melawan anak muda yang bernama Sutajia. Kini Tuan berhadapan
dengan aku, Swandaru Geni.”
“Tutup
mulutmu. Aku sudah tahu siapa kalian dan siapa anak yang menyebut dirinya
Sutajia itu.”
“O,” Swandaru
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Kau sangka
aku takut karenanya?” Argajaya semakin marah.
Swandaru
menggeleng,
“Tidak. Aku
tahu bahwa Tuan tidak mengenal takut seperti apa yang aku lihat di Prambanan
dahulu. Tuan memang luar biasa.”
“Sekarang apa
yang akan kau lakukan?”
“Sekarang aku
akan bertempur melawan Tuan. Tetapi aku tidak akan sekedar menakut-nakuti
seperti Sutawijaya. Tetapi aku ingin benar-benar membenamkan pedangku ini ke
dalam perut Tuan.”
Argajaya
menjadi semakin marah. Wajahnya seolah-olah terbakar oleh api yang menyala di
dalam dadanya. Tetapi ia ternyata lebih lambat dari Sidanti. Sebab saat itu
Sidanti telah meloncat menyerang Agung Sedayu sejadi-jadinya.
“Nah, lihat,
kemanakan Tuan sudah mulai. Apa lagi yang Tuan tunggu?”
Argajaya tidak
ingin menjawab lagi. Segera ditundukkannya tombaknya. Selangkah demi selangkah
ia maju mendekati Swandaru ynng kemudian menyilangkan pedangnya di muka
dadanya.
Jarak antara
Swandaru Geni dan Argajaya itu pun
menjadi semakin pendek, dan sejalan dengan itu wajah-wajah mereka pun menjadi semakin tegang. Swandaru pernah
melihat Argajaya bertempur, melawan Sutawijaya, dan melihat betapa keras hati
orang itu. Dengan demikian maka ia tidak lagi berani bermain-main. Ia harus
bersungguh-sungguh menghadapi tombak pendek yang siap mematuknya itu. Beberapa
langkah dari Swandaru, Argajaya berhenti. Tetapi ia sudah tidak ingin berbicara
lagi. Sekilas ia melihat Sidanti telah berkelahi semakin sengit dan Ki Tambak
Wedi bertempur semakin dahsyat. Karena itu, maka segera ia pun akan membuka perkelahian pula. Sejenak
kemudian Swandaru melihat Argajaya mengambil ancang-ancang. Dan sekejap
kemudian orang itu telah meloncat sambil menjulurkan tombaknya ke arah dadanya.
Swandaru dapat menduga kekuatan yang tersalur lewat tombak itu. Dengan demikian
maka ia harus sangat berhati-hati. Tetapi Swandaru pun memiliki kekuatan dasar yang cukup,
apalagi setelah mendapat petunjuk dari Kiai Gringsing bagaimana ia harus
menyalurkannya. Karena itu maka Swandaru
pun mempunyai kebanggaan pula atas tenaganya. Kali ini pun Swandaru akan menjajagi kekuatan tenaga
lawannya, selagi Argajaya agaknya belum menumpukkan segenap kekuatannya. Karena
itu, maka Swandaru sama sekali tidak menghindar. Dibiarkannya tombak itu
semakin lama menjadi semakin dekat ke dadanya. Namun ia telah mempersiapkan
pedangnya untuk menangkisnya. Argajaya yang melihat sikap Swandaru itu
mengumpat di dalam, hatinya,
“Setan kecil
ini benar-benar sombong.” Dan dengan demikian maka Argajaya pun menambah
tenaganya lagi.
Sejenak
kemudian terjadilah sebuah benturan dari kedua senjata itu. Senjata Argajaya,
sebuah tombak pendek dan pedang Swandaru Geni. Benturan yang cukup kuat,
sehingga telah menarik perhatian Ki Tanu Melir dan Agung Sedayu serta
lawan-lawannya.
“Bukan main,”
desah Kiai Gringsing,
“anak itu
memang terlalu banyak yang ingin diketahui. Dalam keadaan serupa ini pun ia masih juga mencoba-coba.”
Akibat dari
benturan itu pun ternyata mengejutkan
kedua belah pihak. Swandaru Geni bergetar dan meloncat surut selangkah.
Tangannya merasakan betapa kuat tenaga Argajaya yang tersalur lewat tombaknya,
ditambah tenaga dorong dari loncatannya. Namun Argajaya pun terdorong pula ke samping. Hampir saja ia
harus berputar karena tarikan tombaknya yang dipukul ke samping oleh Swandaru
Geni. Hampir bersamaan mereka berdua menggeram. Tetapi wajah Argajaya-lah yang
tampak seolah-olah menyala karena kemarahannya. Ternyata anak yang gemuk itu
mempunyai kekuatan yang cukup, meskipun tidak berhasil melepaskan tombaknya
seperti Sutawijaya di pinggir Kali Opak. Namun apabila anak muda itu sudah
melepaskan seluruh kekuatannya, maka tidak mustahil bahwa kali ini pun
tombaknya akan meloncat dari tangannya. Justru karena itu maka Argajaya menjadi
semakin berhati-hati. Ia tidak dapat lagi merendahkan lawannya. Ia tidak mau
peristiwa di pinggir Kali Opak itu terulang lagi meskipun ia sama sekali tidak
takut menghadapi akibat daripadanya. Namun mati di ujung senjata anak-anak sama
sekali tidak menyenangkannya. Maka perkelahian itu pun segera berkobar pula dengan dahsyatnya.
Tiga lingkaran perkelahian yang seimbang. Ki Tanu Metir dan Ki Tambak Wedi pun
ternyata telah mengerahkan kekuatan dan ilmu mereka. Bukan main dahsyat
perkelahian itu.
Sedahsyat
angin prahara yang mengamuk di lautan. Senjata-senjata mereka menyambar-nyambar
dan menukik-nukik seperti panggilan maut dari ujung bumi. Sentuhan-sentuhan
senjata itu telah menggoyangkan pepohonan dan menggugurkan daun-daunnya. Sedang
tanah tempat mereka berjejak menjadi seperti baru saja dibajak.
Di sisi lain
Sidanti bertempur melawan Agung Sedayu dengan nyala dendam di dalam dada
masing-masing. Bukan saja karena mereka berdiri pada pihak yang berlawanan
dalam persoalan tata pemerintahan, tetapi ternyata di dalam dada mereka telah
berkobar pula kebencian dan kedengkian karena seorang gadis. Bukan saja karena
yang seorang berdiri pada barisan Tambak Wedi dan yang lain sebagai seorang
adik Senapati Pajang yang bertugas untuk menyelesaikan masalah itu, tetapi juga
karena keduanya telah mencoba menambatkan hati mereka kepada tambatan yang
sama. Sekar Mirah. Dengan demikian maka pertempuran di antara mereka
benar-benar merupakan usaha untuk menyelesaikan persoalan yang bertimbun itu.
Sebagai seorang murid Ki Tambak Wedi, betapa Sidanti membenci adik Untara itu
dan sebaliknya juga sebagai seorang anak muda yang menginginkan Sekar Mirah,
maka mereka tidak melihat jalan lain daripada memusnahkan lawannya.
Ternyata Agung
Sedayu tidak mengecewakan gurunya. Setelah mendapat tuntunan dengan
sebaik-baiknya, serta usaha yang tekun tanpa mengenal lelah, Agung Sedayu tidak
lagi mengalami banyak kesulitan menghadapi murid Tambak Wedi. Gerak dan tandang
Agung Sedayu memberikan beberapa kebanggaan kepada gurunya. Cepat, namun
dilambari oleh kekuatan yang cukup. Sebagai seorang murid dari Kiai Gringsing,
maka anak muda ini benar-benar mencerminkan gurunya. Tetapi sebagai putera dari
seorang yang bernama Ki Sadewa, Agung Sedayu telah membawa dasar kekuatan tubuh
serta otot bebayu. Ketajaman pandangan mata dan perhitungan yang terang
menghadapi keadaan. Bahkan bekal yang sudah dibawanya pada saat ia mendapat
tuntunan dari Kiai Gringsing, ilmu yang didapat dari ayahnya, kakaknya dan
pamannya, ternyata telah luluh menjadi susunan gerak yang manis tetapi cukup
berbahaya bagi Sidanti yang perkasa. Sedang di sudut lain, Swandaru Geni
menghadapi lawannya dengan hati yang tegang. Ternyata Argajaya benar-benar
tangguh dan kuat. Ia mampu bergerak cepat dan cukup membingungkan. Dengan
demikian maka Swandaru kini sudah tidak sempat lagi untuk tersenyum dan
bergurau. Ia harus memusatkan segenap tenaga dan pikirannya untuk menghadapi
lawannya. Namun, bekal Swandaru pun
ternyata cukup baik untuk menghadapinya. Meskipun Swandaru tidak, dapat berbuat
terlampau banyak seperti Sutawijaya, tetapi menghadapinya, Argajaya pun tidak
dapat berbuat sekehendak hatinya. Ternyata anak ini pun meskipun bertubuh
gemuk, namun cukup lincah pula melawan segala macam serangannya. Maka
perkelahian itu pun menjadi semakin lama
semakin seru. Keduanya mengerahkan segenap kemampuan yang ada pada diri masing-masing.
Argajaya melihat bahwa yang terjadi saat ini adalah berbeda dengan apa yang
terjadi di pinggir Kali Opak. Dahulu ia berkelahi benar-benar hanya menuruti
perasaan, tanpa sebab dan tanpa taruhan yang berarti. Tetapi kini sebabnya
adalah jelas dan taruhannya pun jelas. Argajaya pun telah merasakan, bahwa Tambak Wedi pasti
tidak akan dapat dipertahankan lagi. Dengan demikian maka satu taruhan telah
pasti pula lepas dari tangan. Namun kini kemanakannya baru mempertahankanya
yang kedua. Bagi Sidanti, taruhan ini tidak kalah penting dengan mempertahankan
Tambak Wedi ini sendiri. Sebagai seorang paman, maka ia wajib ikut serta
berbuat sesuatu dengan kemampuannya untuk kepentingan kemanakannya, selain
dendamnya sendiri karena kekalahannya di pinggir Kali Opak.
Maka tak ada
pikiran lain yang bergolak di dalam kepala Argajaya selain membunuh anak yang
gemuk ini. Apalagi setelah mereka bertempur beberapa lama. Terasa oleh Argajaya
bahwa kekuatan lawannya kali ini tidak sama seperti anak muda yang dilawannya di
pinggir Kali Opak. Pada anak ini ternyata masih dapat diketemukan beberapa segi
kelemahannya. Ternyata kecepatan bergerak Swandaru Geni masih agak lambat
dibanding dengan Argajaya yang cekatan. Tetapi kekuatan tenaga Swandaru masih
dapat dibanggakan. Karena itulah maka Swandaru lebih banyak membenturkan
tenaganya daripada berusaha menghindar. Namun setiap kali Argajaya masih harus
mengumpat di dalam hatinya. Apabila Swandaru dibingungkan oleh kecepatan
serangan lawannya, maka jalan yang ditempuhnya adalah meloncat jauh-jauh untuk
mengambil jarak. Kemudian dengan demikian ia menemukan kesempatan untuk
memperbaiki keadaannya. Apabila lawannya tidak segera menyerangnya, maka
serangannyalah yang datang seperti runtuhnya lereng Gunung Merapi.
Bertubi-tubi, sehingga kadang-kadang Argajaya
pun terpaksa menghindarinya agak jauh.
Ki Tanu Metir
sempat juga sekilas melihat perkelahian, murid-muridnya. Ternyata Swandaru
telah membuatnya agak cemas. Meskipun Argajaya pasti tidak akan dapat
menguasainya dalam waktu yang singkat, tetapi orang tua itu dapat melihat
beberapa kelemahan muridnya menghadapi Argajaya yang agaknya telah memiliki
pengalaman yang cukup menghadapi lawan yang tangguh. Kekalahan yang pernah
dialaminya di pinggir Kali Opak agaknya telah mendorongnya menjadi semakin
garang. Bahkan di dalam hati orang itu berjanji untuk menebus kekalahannya.
Karena yang ada kini adalah Swandaru maka kepadanyalah dendam dan pembalasan
itu akan ditumpahkan.
“Mudah-mudahan
anak itu tetap tenang dan tidak kehilangan akal,” gumam orang tua itu di dalam
hatinya.
“Yang dapat
menolongnya kali ini hanyalah ketenangan dan perhitungan yang cermat menghadapi
segala macam keadaan.”
Untunglah
bahwa Swandaru mempunyai sifat-sifat yang agak luar biasa. Menghadapi kesulitan
yang bagaimanapun juga anak itu tidak segera menjadi bingung dan bermata gelap.
Bahkan kadang-kadang dalam keadaan yang berbahaya ia masih juga dapat bergurau.
Namun kali ini wajahnya menjadi tegang dan bersungguh-sungguh. Tetapi seperti
harapan gurunya, Swandaru tidak kehilangan akal dan menjadi mata gelap. Dengan
demikian maka ia masih mampu menghadapi lawannya dalam keadaan yang cukup baik.
Ki Tanu Metir
sendiri pasti tidak akan segera dapat menolongnya. Ki Tambak Wedi ternyata
telah memeras segenap ilmu untuk menguasai keadaan. Namun keduanya adalah
orang-orang yang cukup menyimpan ilmu dan pengalaman, sehingga sampai sejauh
itu, sama sekali tidak ada tanda-tanda bahwa salah seorang dari padanya akan
memenangkan perkelahian itu. Hanya sekali-sekali saja ujung cambuk Kiai
Gringsing mampu menyentuh tubuh K Tambak Wedi. Sekali-sekali dan terlampau
jarang. Itulah kemenangan yang dapat dinikmati oleh Kiai Gringsing. Sedang
senjata lawannya sama sekali tidak dapat menyentuh kulitnya. Tetapi tubuh Ki
Tambak Wedi pun cukup kuat untuk
bertahan atas sengatan ujung cambuk lawannya, meskipun ia terpaksa menyeringai
menahan pedih.
Wuranta yang
luka itu akhirnya tidak tahan berdiri saja di tempatnya. Apalagi melihat Sekar
Mirah yang duduk dengan lemahnya di lantai dengan tubuh yang gemetar. Ia tidak
dapat pula mendekatinya dan berkata kepadanya supaya gadis itu tidak takut
melihat perkelahian di luar dan tidak gentar mendengar suara ledakan cambuk
itu, karena cambuk itu adalah suara cambuk Ki Tanu Metir. Tidak. Tak ada tenaga
yang cukup mendorongnya untuk mendekati Sekar Mirah. Tiba-tiba saja terasa ada
sebuah tirai yang memisahkannya. Tirai yang tidak mampu ditembusnya. Maka tanpa
dikehendakiuya sendiri, anak muda itu melangkah dengan lemahnya ke arah pintu
yang telah menjadi miring. Ia tidak bernafsu lagi untuk segera memungut
pedangnya yang terlepas dari tangannya.
Sejenak ia
berdiri mematung. Tanpa berkedip ia menyaksikan tiga lingkaran perkelahian di
halaman rumah itu. Pertempuran antara Ki Tanu Metir dan Ki Tambak Wedi membuatnya
menjadi pening. Keduanya seolah-olah telah kehilangan bentuknya. Seolah-olah
keduanya telah berubah menjadi bayangan yang melontar-lontar tanpa berhenti,
melingkar-lingkar dengan kecepatan yang tidak pernah dapat dibayangkan. Di
sudut lain ia melihat Swandaru bertempur melawan Argajaya. Meskipun ia sendiri
tidak mampu berkelahi secepat dan sekuat itu, namun ia dapat menangkap betapa
dahsyatnya perkelahian itu, betapa berbahayanya ujung senjata masing-masing
yang seolah-olah menjadi kehausan, untuk menghisap darah. Sedang Agung Sedayu
dan Sidanti pun bertempur tidak kalah sengitnya. Bahkan terasa betapa nyata
dendam di hati masing-masing berkobar dengan dahsyatnya. Ujung-ujung pedang
mereka berputaran dan melonjak-lonjak, mematuk ke segenap bagian tubuh lawan
masing-masing. Wuranta tertegun menyaksikan pertempuran itu. Semakin seru kedua
orang itu berkelahi, semakin terasa betapa kecil dirinya sendiri. Anak muda itu
merasa, bahwa ia sama sekali bukan akan dapat berbuat serupa itu. Apalagi
serupa itu, bahkan mengikuti perkelahian itu
pun hampir-hampir ia tidak mampu lagi. Gerak masing-masing terlampau
cepat baginya. Apalagi gerak ujung senjatanya. Tiba-tiba Wuranta itu merasa
bahwa dirinya sama sekali tidak berarti dalam persoalan ini. Apa yang dilakukan
hanyalah sekedar melakukan perintah. Ia tidak akan mampu berbuat demikian tanpa
petunjuk-petunjuk dari orang tua yang menamakan dirinya Ki Tenu Metir. Dan
bahkan ia merasa bahwa dirinya tidak lebih berharga dari sehelai pedang.
“Aku hanya
alat,” desisnya,
“apabila sudah
tidak terpakai lagi maka aku akan dibuang. Betapa pentingnya sebuah alat, maka
yang lebih penting adalah yang menggerakkannya.”
Wuranta
menarik nafas dalam-dalam.
“Apa gunanya
aku mengobati lukaku,” katanya pula di dalam hati,
“bukankah aku
sudah tidak diperlukan lagi? Selama ini aku merupakan alat yang hidup untuk
melepaskan gadis itu. Kini saat pelepasan sudah semakin dekat. Dan aku
tinggallah di tempatku yang lama.”
Kini sakit
lukanya sudah tidak terasa lagi. Yang lebih pedih adalah luka di hatinya.
Hubungannya yang terjadi hanya beberapa hari dengan Sekar Mirah, ternyata telah
membekas terlampau dalam di dadanya. Ia tidak lagi dapat berpura-pura, seperti
kepada Sidanti dan Alap-alap Jalatunda. Ia tidak lagi dapat menipu seperti ia
menipu orang-orang Tampak Wedi dan orang-orang Jipang. Kali ini yang dihadapi
adalah perasaan sendiri. Dan ia tidak dapat mengingkari kenyataan yang ada di
dalam dirinya sendiri itu. Tanpa disengaja, sekali Wuranta berpaling.
Dilihatnya Sekar Mirah yang duduk di lantai itu justru sedang memandanginya.
Terasa betapa hatinya meratap seperti belanga yang terbanting di atas batu.
Pecah hancur berserakan.
“Hem,” Wuranta
itu menarik nafas dalam-dalam,
“seandainya
aku dapat bermain pedang dan berkelahi secepat Agung Sedayu. Aku akan dapat
menengadahkan dada dan berkata seperti Sidanti, ‘Ayo, kita selenggarakan perang
tanding,’ Tetapi aku tidak lebih dari anak padesan. Anak padesan yang hanya
pantas dipakai sebagai alat. Seandainya aku mati dalam tugas yang diberikan
oleh Ki Tanu Metir itu pun tak seorang
akan menangisi aku. Dan apakah sebenarnya hak Ki Tanu Metir saat itu memberi
tugas yang berbahaya ini? Tugas yang ternyata telah hampir membunuhku, bukan
karena ujung pedang, tetapi oleh perasaan sendiri yang justru hancur di dalam
tugas ini?”
Wuranta sekali
lagi menarik nafas dalam-dalam.
“Seharusnya
aku tidak melarikan diri dari tiang gantungan yang segera akan dipasang oleh
Sidanti hari ini. Aku tidak akan menyaksikan dan merasakan kepahitan seperti
ini.”
Wuranta itu terkejut
ketika kemudian ia mendengar lecutan meledak di halaman itu. Agak lebih keras
dari yang mendahuluinya. Dan Wuranta itu kemudian melihat Ki Tambak Wedi
meloncat agak jauh ke belakang. Tetapi sejenak kemudian keduanya telah terlibat
lagi dalam perkelahian yang kisruh menurut pandangan mata Wuranta. Sedang di
tempat lain Swandaru masih melawan Argajaya dengan gigihnya meskipun beberapa
kali ia harus meloncat surut. Sedang Agung Sedayu dan Sidanti pun berkelahi dengan dahsyatnya. Dan
perkelahian yang semakin sengit itu ternyata telah menyiksa perasaan Wuranta
semakin pedih. Perkelahian itu seolah-olah seperti sebuah cermin yang
menunjukkan betapa kerdil dirinya dalam lingkaran keprajuritan.
“Aku memang
bukan prajurit. Aku tidak ingin menjadi seorang prajurit. Apakah tidak ada lain
bidang kebaktian selain menjadi seorang prajurt? Bukankah aku seorang petani
yang mempunyai bidang tersendiri dalam mengabdikan diriku kepada lingkungan
hidupku, kepada kampung halaman dan kepada Pajang. Biarlah mereka yang mampu
bertempur sebagai seorang prajurit berbuat dan mengabdi sesuai dengan kemampuan
mereka. Mereka pun pasti tidak akan mampu memberikan pengabdian seperti aku.
Dan biarlah aku berbangga karena itu.”
Dengan
demikian maka Wuranta sedikit menemukan ketenteraman di dalam dirinya. Ia
mencoba membangunkan kebanggaan atas dirinya sendiri yang hampir-hampir jatuh
tersungkur di dalam rasa rendah diri dan tidak berarti. Meskipun demikian
kepahitan yang dirasakannya, sama sekali tidak dapat dimuntahkannya kembali. Gadis
itu benar-benar telah menyiksanya. Di luar pengetahuan Wuranta, maka Ki Tanu
Metir selalu diganggu oleh kecemasannya tentang Swandaru. Semakin lama terasa
bahwa kecepatan bergerak Argajaya agak membahayakan anak muda itu. Untunglah
bahwa Swandaru menyadari kekurangannya, dan anak muda itu tidak kehilangan akal
karenanya. Setiap kali Swandaru berusaha untuk beradu kekuatan. Setiap kali ada
kesempatan, Swandaru berusaha untuk membenturkan senjatanya. Dengan demikian
maka getaran-getaran yang timbul dari benturan-benturan itu telah merayapi
tangan Argajaya. Kadang-kadang benturan itu terlampau keras, sehingga tangan
Argajaya terasa menjadi pedih. Namun sesaat kemudian Swandaru telah
dibingungkan oleh gerak yang cepat dari lawannya itu. Hanya ketenangannyalah
yang membantunya setiap kali melepaskannya dari bahaya. Setiap kali tepat pada
saatnya pedangnya berhasil menggeser ujung tombak lawannya yang hampir
menyentuh kulitnya.
“Sampai berapa
lama anak itu akan dapat bertahan,” desah Ki Tanu Metir di dalam hatinya.
Tetapi adalah lebih baik melawan Argajaya itu daripada harus melawan Sidanti
yang garang dan terlampau buas.
Mereka yang
bertempur itu telah tenggelam dalam suatu pemusatan segala macam kemampuan
mereka. Ki Tanu Metir telah mencoba pula mengatasi lawannya. Tetapi setiap kali
ia sadar, bahwa Ki Tambak Wedi pun telah
berbuat serupa pula sehingga tidak mungkin baginya untuk menguasai lawannya
dalam waktu yang singkat. Sedang keadaan Swandaru semakin lama menjadi semakin
sulit. Agung Sedayu pun tidak akan dapat
berbuat apa-apa, sebab perkelahiannya sendiri tidak juga tampak segera sampai
ke ujung.
Namun ada satu
harapan yang masih membersit di dalam dada Ki Tanu Metir. Untara. Kalau anak
muda itu segera menyelesaikan perkelahiannya atau segera mengetahui bahwa Ki
Tambak Wedi dan Sidanti berserta pamannya hilang dari pertempuran, maka ia
pasti akan mencarinya. Setidak-tidaknya beberapa orang perwiranya akan
disebarnya di seluruh padepokan ini. Ki Tambak Wedi pasti diketahui tidak akan
meninggalkan padepokan ini lewat pintu padepokan, sebab Untara telah
menempatkan beberapa orang di sana.
“Ternyata
Argajaya masih terlampau kuat untuknya,” desis Ki Tanu Metir di dalam hatinya.
Meskipun demikian, tak ada cara lain bagi orang tua itu, apabila keadaan
memaksa, adalah mencoba menggabungkan kekuatan kedua muridnya. Bertempur
berpasangan. Ia mengharap bahwa Agung Sedayu dan Swandaru akan dapat bekerja
sama lebih rapi dari Sidanti dan pamannya. Kelincahan dan kecepatan bergerak
Agung Sedayu dan kekuatan tenaga Swandaru akan dapat bergabung menghadapi kedua
lawannya. Tetapi tiba-tiba perkelahian itu terganggu. Di kejauhan samar-samar
mereka mendengar suara sorak sorai membelah udara padepokan Tambaik Wedi. Suara
itu bergelombang seolah-olah memecahkan dinding-dinding padepokan yang kokoh
kuat itu.
“Gila,” geram
Ki Tambak Wedi, “apa yang telah terjadi?”
“Selesai,”
sahut Ki Tanu Metir, “pertempuran itu pasti sudah selesai.”
“Kau sangka
bahwa pasukan Untara akan menang?”
“Ya.”
“Omong
kosong!” bentak Ki Tambak Wedi. Sementara itu mereka masih juga sibuk bertempur
dengan serunya,
“Untara
terbunuh. Yang bersorak itu adalah orang-orang Tambak Wedi dan orang-orang
Jipang. Kau mau mencoba mempengaruhi perasaanku, supaya kau mendapat kesempatan
baik untuk menolong muridmu yang sebentar lagi pasti akan mati terbunuh oleh
tombak Angger Argajaya. Sesudah itu, maka keseimbangan dari kekuatan kita akan
miring. Agung Sedayu harus melawan dua orang. Sidanti dan Angger Argajaya. Nah
akibat seterusnya dapat kau perhitungkan. Kau sendiri pasti akan mati berkubur
di padepokan ini.”
Ki Tanu Metir
tidak segera menjawab. Tetapi terdengar suara tertawanya menyakitkan hati. Baru
kemudian ia berkata,
“Kau sangka
aku tidak melihat perkelahian di halaman banjar itu? Perkelahian yang
menyenangkan? Pasukanmu dan orang-orang Jipang ternyata telah terlampau lelah
untuk melawan pasukan Angger Untara yang masih segar. Apalagi setelah
pasukannya yang berjalan kaki memasuki padepokan ini. Kalau tidak demikian,
maka kau pasti tidak akan lari dari arena bersama muridmu dan pamannya itu.”
“Tutup
mulutmu!” bentak Ki Tambak Wedi. Serangannya tiba-tiba melonjak mengerikan.
Hampir saja mulut Ki Tanu Metir tersentuh ujung senjata hantu lereng Merapi
itu.
“Ut,” Ki Tanu
Metir terpaksa mengelak mundur. Dengan serta-merta cambuknya menyambar
lawannya. Terdengar ledakannya memekakkan telinga. Tetapi Ki Tambak Wedi sempat
menghindarkan dirinya. Namun sorak yang terdengar di kejauhan telah
mempengaruhi hati Ki Tambak Wedi. Sebenarnya ia pun tahu bahwa pasukannya sama
sekali tidak akan memenangkan pertempuran. Tepat seperti kata-kata Ki Tanu
Metir, apabila imbangan pertempuran itu tidak terlampau berat sebelah, maka ia
tidak akan lari dari arena.
“Sorak itu
adalah akhir dari pertempuran,” desis Ki Tanu Metir kemudian.
Ki Tambak Wedi
tidak menjawab. Ia berusaha semakin kuat untuk menekan lawannya. Tetapi seperti
Kiai Gringsing, usaha yang demikian pasti hanya akan sia-sia.
Ketika sekali
Ki Tambak Wedi melihat Argajaya dan Swandaru Geni, maka segera ia melihat bahwa
agaknya Argajaya akan lebih cepat daripadanya menyelesaikan perkelahiannya.
Tetapi apakah Argajaya dapat lebih cepat dari kedatangan pasukan Untara itu? Dengan
demikian maka Ki Tambak Wedi sudah mulai dijalari oleh perasaan gelisah. Sorak
di kejauhan sudah mulai menurun. Hampir dapat dipastikan bahwa sebentar lagi
pasukan berkuda yang tersisa akan berlari-larian di sepanjang padepokan ini.
Satu dua orang dari mereka tidak akan berarti apa-apa bagi Ki Tambak Wedi.
Tetapi selanjutnya pasti akan menyusul yang lain lagi. Empat, lima, sepuluh dan
kemudian berpuluh-puluh bersama-sama dengan Untara sendiri. Dalam kegelisahan
itu Ki Tambak Wedi terpaksa meloncat surut untuk menghidari serangan Kiai
Gringsing yang justru menjadi semakin garang. Berkali-kali cambuknya
meledak-ledak memekakkan telinga. Kedua muridnya seakan-akan telah menjadi
kebal mendengar suara cambuk itu. Tetapi bagi Sidanti dan Argajaya suara itu
agaknya cukup mengganggu ketenangan mereka. Setiap kali cambuk itu meledak,
maka Swandaru merasa mendapat kekuatan baru. Setiap kali ia mendengar Argajaya
berdesah, dan bahkan mengumpat. Kesempatan yang kecil itu dimanfaatkan oleh
Swandaru sebaik-baiknya, sebab ia merasa bahwa tekanan Argajaya semakin lama
menjadi semakin berat. Bahkan kemudian Argajaya seakan-akan telah membuat
telinganya menjadi tuli. Meskipun suara cambuk Ki Tanu Metir masih juga
kadang-kadang menghentak dadanya, tetapi Argajaya telah memusatkan segenap perhatiannya
atas lawannya. Ia yakin bahwa lawannya yang gemuk itu akan dapat dikalahkan
apabila ia mendapat waktu yang cukup. Ia pun sadar, bahwa pengaruh suara cambuk
itu telah memperlambat kemenangannya. Namun kini ia telah berhasil memusatkan
segenap tenaganya tanpa menghiraukan suara cambuk yang meledak-ledak itu lagi. Tetapi
meskipun demikian, meskipun ia berhasil melenyapkan pengaruh suara cambuk Ki
Tanu Metir, namun Argajaya sama sekali tidak berhasil meniadakan pendengarannya
atas suara sorak-sorai di kejauhan yang seolah-olah membelah langit. Suara itu
langsung menyentuh hatinya.
“Setan alas!”
orang itu mengumpat. “Aku tinggal memerlukan waktu sedikit untuk membinasakan
anak gemuk yang sombong ini. Apakah sorak itu pertanda bahwa pertempuran telah selesai?”
Dengan
demikian maka Argajaya pun menjadi gelisah pula. Kegelisahannya kini yang
mempengaruhinya, sehingga justru kemenangannya menjadi tertunda pula. Setiap
kali ia mencoba memandang kemenakannya dan Ki Tambak Wedi. Dan setiap kali pula
suara sorak di kejauhan mengetuk dadanya.
Bukan saja
Argajaya yang menjadi gelisah seperti Ki Tambak Wedi, tetapi Sidanti pun demikian pula. Anak muda itu pun mendengar suara sorak yang riuh
menggetarkan udara padepokan Tambak Wedi. Dengan demikian maka pemusatan
pikirannya pun menjadi terganggu. Setiap
kali ia terpaksa menghindar surut dan bahkan meloncat jauh-jauh. Suara sorak
yang gemuruh itu kini sudah mereda. Bahkan hampir tidak terdengar lagi. Yang
terdengar kini adalah gemerincing senjata beradu. Tombak Argajaya yang sering
benar berbenturan dengan pedang Swandaru. Senjata Sidanti dan Agung Sedayu,
serta ledakan-ledakan cambuk Ki Tanu Metir yang memekik-mekik tinggi.
“Setan tua ini
licik sekali,” geram Ki Tambak Wedi di dalam hatinya.
“Sengaja ia
meledakkan cambuknya keras-keras untuk memanggil kawan-kawannya.”
Namun ternyata
bukan saja demikian, tetapi Ki Tambak Wedi yang terganggu itu benar-benar mulai
terdesak. Beberapa kali ia meloncat mundur seperti Sidanti. Beberapa kali pula
ia terkejut melihat serangan lawannya yang terlampau cepat dan tiba-tiba. Tetapi
perhatian Ki Tambak Wedi kini sudah tidak lagi pada lawan-lawannya. Beberapa
kali ia memandangi keadaan di sekitarnya. Dan akhirnya ditemukannya jalan yang
sebaik-baiknya untuk menghindarkan diri dari bencana. Kalau Untara dan
pasukannya sebentar lagi datang, itu berarti bencana baginya, bagi Sidanti
beserta pamannya, Argajaya.
Karena itu,
maka Ki Tambak Wedi segera mengambil keputusan untuk melarikan dirinya. Orang
tua itu yakin, bahwa ia tidak akan dapat keluar lewat regol padepokannya.
Karena itu ia harus mempergunakan jalan lain. Tetapi satu hal yang membuatnya
ragu-ragu. Dengan demikian maka Sidanti tidak akan dapat membawa Sekar Mirah
bersama mereka. Betapa akan kecewanya anak muda itu. Mungkin akan melampaui
segala macam kegagalannya yang lain. Hal ini akan dapat membahayakan masa
depannya. Tetapi Ki Tambak Wedi tidak melihat jalan yang dapat ditempuhnya
untuk mengambil Sekar Mirah. Meskipun mungkin Sekar Mirah kini sama sekali
tidak diawasi oleh siapa pun, namun tak ada jalan baginya untuk masuk ke dalam
gubug itu. Ki Tambak Wedi terkejut ketika tiba-tiba saja ia mendengar kuda
berderap. Terlampau cepat mendekati tempat perkelahian itu. Terdengar Ki Tambak
Wedi mengumpat. Kini tidak ada kesempatan lagi untuk menimbang-nimbang. Ia
harus segera meninggalkan tempat itu bersama dengan Sidanti dan pamannya. Ketika
suara derap kaki kuda itu menjadi semakin dekat, maka tiba-tiba terdengar Ki
Tambak Wedi bersuit nyaring. Dengan cekatan ia meloncat mundur, melepaskan diri
dari lawannya dan kemudian berlari meninggalkannya. Sidanti dan Argajaya telah
mengenal tanda itu. Mereka pun dapat
mengerti kesulitan yang bakal datang. Betapa kecewa hati Sidanti dan Argajaya,
namun mereka harus meninggalkan tempat itu. Sidanti kecewa karena ia tidak
berhasil membawa Sekar Mirah yang dengan susah payah telah diambilnya dari
Sangkal Putung, sedang Argajaya kecewa karena ia tidak berhasil melepaskan
dendamnya karena kekalahannya di pinggir Kali Opak. Tetapi keadaan telah memaksa
mereka pergi. Dan mereka pun mendengar
derap kuda semakin dekat. Ketika mereka melihat Ki Tambak Wedi telah
meninggalkan lawannya maka dengan tergesa-gesa mereka pun segera melepaskan diri. Meloncat dan
berlari secepat-cepat mereka dapat. Semula mereka tidak mengerti, kenapa
tiba-tiba saja Ki Tambak Wedi mendahului meninggalkan mereka. Namun mereka
kemudian menyadari, bahwa orang itu ternyata telah mencoba melindungi mereka
dari kejaran lawan-lawannya. Ternyata ketika Agung Sedayu meloncat dengan pedang
terjulur mengejar Sidanti, terdengar Ki Tambak Wedi berteriak nyaring
memanggilnya. Tetapi Agung Sedayu tidak dapat mengekang diri untuk berhenti.
Untunglah bahwa Ki Tanu Metir berhasil meloncat mendekatinya. Sejenak kemudian
terdengar cambuk meledak, dekat sekali di muka Agung Sedayu. Mau tidak mau
Agung Sedayu terpaksa berhenti. Alangkah terkejut anak muda itu ketika ia
melihat sebuah gelang-gelang besi menggelepar di bawah kakinya.
“Hati-hatilah,”
desis Ki Tanu Metir, “iblis itu sangat licik.”
Agung Sedayu
sesaat berdiri saja seperti patung. Demikian juga Swandaru yang tidak pula
kalah terperanjat dari Agung Sedayu ketika ia melihat gelang-gelang itu.
“Apakah mereka
akan kita biarkan saja?” bertanya Agung Sedayu.
“Ikutlah di
belakangku. Marilah mereka kita kejar,” jawab gurunya. Namun dengan demikian
mereka telah kehilangan waktu sejenak.
Waktu yang
sejenak itu ternyata telah dipergunakan sebaik-baiknya oleh Ki Tambak Wedi.
Dengan secepat-cepatnya ia berlari diikuti oleh Sidanti dan Argajaya meloncati
pagar halaman yang tidak begitu tinggi menuju ke jalan sempit di sebelah.
“Kita
kehilangan waktu sesaat,” desis Ki Tanu Metir sambil berlari mengejar. Di
belakangnya kedua muridnya mengikutinya
“Uh,” desah
Swandaru sambil berlari-lari, “ternyata aku bukan pelari yang baik.”
Meskipun
demikian Swandaru itu tidak tertinggal terlampau jauh dari saudara
seperguruannya.
Sebenarnya
kali ini Ki Tanu Metir benar-benar tidak ingin lagi melepaskan lawannya. Namun
ternyata lawannya mempunyai cara yang licik untuk melepaskan dirinya. Untunglah
bahwa ia melihat orang tua yang selama ini menggetarkan lereng Merapi itu
mengambil gelang-gelang besinya dan siap untuk melemparkan. Dengan demikian
maka ia dapat menyelamatkan Agung Sedayu, meskipun ia tahu juga bahwa itu hanyalah
suatu cara untuk mendapatkan sekedar waktu. Tetapi ternyata Ki Tambak Wedi
telah beberapa puluh langkah berada di depan. Namun seandainya ia mempunyai
kesempatan yang cukup, setidak-tidaknya ia akan mendapatkan Sidanti atau
Argajaya, atau akan lebih baik lagi kalau Ki Tambak Wedi sendiri mencoba
melindungi muridnya. Ketika Ki Tambak Wedi hampir mencapai jalan sempit di
sebelah halaman di samping, maka derap kuda yang mereka dengar telah menjadi
dekat sekali. Bahkan kemudian mereka melihat seleret bayangan yang berlari di
balik dedaunan. Ki Tanu Metir menjadi berdebar-debar sejenak. Orang berkuda itu
pasti akan melihat Ki Tambak Wedi berlari melintasi jalan yang dilalui kudanya.
Tetapi apakah, yang akan terjadi kemudian apabila mereka justru bertemu?
“Mudah-mudahan
Ki Tambak Wedi terhambat meskipun hanya sekejap,” desis Kiai Gringsing di dalam
hatinya.
Tetapi yang
terjadi telah mengguncangkan dadanya. Penunggang kuda itu ternyata adalah
seorang prajurit Pajang. Beberapa puluh langkah di belakangnya kuda yang kedua
menyusulnya. Ketika prajurit itu melihat seorang berlari melintas halaman, maka
segera prajurit itu bermaksud memotong jalan. Namun nasibnya ternyata tidak
terlampau baik. Begitu ia mencoba menghalangi orang yang sedang berlari itu,
maka hampir tak dapat diketahui sangkan parannya, sebuah gelang-gelang besi
menghantam pundak kanannya. Terasa pundaknya terdorong oleh kekuatan yang tidak
dapat dibayangkannya sehingga prajurit itu terpelanting dari kudanya. Tanpa
sesadarnya prajurit itu pun memekik tinggi.
Untunglah
bahwa kaki-kaki kuda kawannya yang berada di belakangnya sempat menghindar,
sehingga tubuhnya yang terbanting di tanah itu tidak terinjak. Meskipun
demikian, maka prajurit itu menjadi pingsan. Ia tidak tahu apa yang terjadi
atas dirinya. Ia tidak menyadari lagi bahwa kawannya itu kemudian meloncat
turun dan mencoba merawatnya. Ternyata apa yang diharapkan Kiai Gringsing
terjadi sebaliknya. Ia ingin prajurit berkuda itu meskipun hanya sekejap
menghambat Ki Tambak Wedi, tetapi yang terjadi adalah, Ki Tanu Metir sendirilah
yang sekali lagi terpaksa melepaskan waktu sesaat. Sebagai seorang dukun, maka
secara naluriah orang tua, itu berhenti sambil berteriak kepada prajurit yang
seorang,
“Rawatlah
kawanmu itu sejenak, bawalah ia masuk ke rumah itu.”
Meskipun
dengan demikian maka jarak Ki Tambak Wedi menjadi semakin jauh, tetapi ia tidak
dapat melihat dan membiarkan seseorang yang sedang dibelai maut. Setelah Ki
Tanu Metir yakin bahwa prajurit yang seorang itu akan merawat kawannya, maka
segera ia pun meneruskan langkahnya
mengejar Ki Tambak Wedi.
“Mudah-mudahan
tak ada jalan yang dapat dilaluinya,” berkata orang tua itu kepada kedua
muridnya yang berlarian di belakangnya.
“Kalau mereka
memanjat dinding halaman, maka kita akan sempat menangkapnya. Tidak mudah untuk
memanjat dinding yang cukup tinggi ini. Sedang apabila mereka mencoba terjun ke
sungai, maka kitalah yang akan mendapat giliran, melempar mereka dengan batu.”
“Tetapi kalau
mereka terjun lewat urung-urung, maka mereka akan dapat meloloskan diri guru.”
Ki Tanu Metir
terdiam sejenak. Namun langkahnya justru menjadi semakin cepat.
“Ya,”
gumamnya, “tetapi mereka tidak menuju ke urung-urung.”
“Ya,” Agung
Sedayu menyahut.
Mereka
kemudian terdiam. Mereka mencoba mempercepat langkah mereka. Tetapi Ki Tambak
Wedi, Sidanti, dan Argajaya pun berlari
semakin cepat.
“Kemanakah
mereka,” Ki Tanu Metir dan kedua muridnya berpikir di dalam hatinya.
Orang-orang yang mereka kejar ternyata berlari ke arah yang tidak mereka
mengerti.
“Apakah ada
pintu rahasia?” pertanyaan itu berputar-putar di dalam hati mereka.
Sejenak
kemudian Ki Tanu Metir dan kedua muridnya melihat Ki Tambak Wedi, Sidanti, dan
Argajaya menyeberangi sungai. Mereka sama sekali tidak berlari menyusur sungai
itu. Apabila demikian maka mereka akan dapat mencari jalan memintas. Tetapi
tidak, ketiganya berlari melintas sungai.
“Kemana
mereka?” bertanya Swandaru yang ketinggalan beberapa langkah di belakang.
Ki Tanu Metir
tidak menjawab. Ia berlari semakin cepat, sehingga kedua muridnya pun kini tertinggal semakin jauh. Orang tua
itu ingin setidak-tidaknya untuk menangkap Sidanti atau Argajaya.
Seperti kedua
murid Ki Tanu Metir, maka jarak antara Sidanti dan Argajaya dengan Ki Tambak
Wedi pun menjadi semakin jauh pula. Namun Ki Tanu Metir menyadari, bahwa setiap
saat Ki Tambak Wedi akan berhenti, berbalik dan melontarkan gelang-gelang
besinya untuk melindungi Sidanti beserta pamannya. Dengan demikian maka Ki Tanu
Metir tidak kehilangan kewaspadaan meskipun tampaknya ia sedang mengejar
musuhnya. Setiap kali ia bersiap menerima serangan yang bagaimanapun bentuknya.
Tetapi yang
masih menjadi teka-teki baginya, kemana Ki Tambak Wedi ini akan berlari.
Satu-satunya kemungkinan yang sedang dilakukan adalah, keluar dari padepokan
ini lewat pintu rahasia. Karena itu maka ia harus menjadi semakin dekat. Begitu
pintu rahasia itu terbuka bagi Ki Tambak Wedi dan Sidanti serta pamannya, maka
ia pun harus dapat lewat pula di situ. Ki Tanu Metir menjadi berdebar-debar
ketika mereka sudah hampir mencapai dinding padepokan. Beberapa puluh langkah
di muka mereka, dinding itu seakan-akan raksasa yang berdiri tegak, bertolak
pinggang menghadang jalan.
“Kemana mereka
akan lari?” desis Ki Tanu Metir di dalam hatinya.
Beberapa
langkah di hadapannya Sidanti dan Argajaya tersuruk-suruk mempercepat larinya.
Namun jarak mereka dengan Ki Tanu Metir menjadi semakin dekat.
“Dalam keadaan
yang wajar aku akan mendapatkan salah seorang dari mereka,” berkata Ki Tanu
Metir di dalam hatinya,
“meskipun
seandainya di muka itu ada sebuah pintu rahasia yang tiba-tiba saja terbuka.”
Tetapi apa
yang diduganya sejak semula benar-benar terjadi. Ketika Ki Tambak Wedi telah
berdiri di bawah dinding padepokan itu, maka tiba-tiba ia berbalik, dan sebuah
gelang-gelang besi meluncur ke arah Ki Tanu Metir. Terdengar cambuk Ki Tanu
Metir meledak. Ia ingin tetap tidak berhenti di tempatnya meskipun ia harus
menangkis serangan-erangan Ki Tambak Wedi. Tetapi ketika Ki Tambak Wedi
melepaskan gelang-gelang besinya yang kedua, sasarannya bukan Ki Tanu Metir. Kali
ini sasarannya adalah Agung Sedayu. Untunglah bahwa Ki Tanu Metir melihat arah
pandangan mata iblis itu, sehingga cepat ia dapat mengetahui apa yang akan
dilakukan. Sekali lagi cambuk Ki Tanu Metir menggeletar. Tetapi ia tidak dapat
menghindarkan Agung Sedayu dari bencana sambil tetap berlari. Ki Tanu Metir
terpaksa berhenti dan bahkan mundur selangkah mendekati Agung Sedayu.
Bagaimanapun juga Ki Tanu Metir telah kehilangan lagi beberapa langkah. Yang
kemudian menghentak dada Ki Tanu Metir dan kedua muridnya adalah soal-soal yang
sama sekali tidak diduganya. Ternyata mereka benar-benar mempergunakan pintu
rahasia. Tetapi sama sekali tidak terdapat pada dinding padepokan itu. Sama
sekali tidak ada sebuah pintu yang tiba-tiba saja terbuka, atau sebuah goa tempat
mereka menyuruk ke luar dan yang tiba-tiba bibirnya runtuh menutup jalan. Ternyata
pintu rahasia itu adalah sebatang pohon. Merek bertiga dengan cepatnya meloncat
memanjat sebatang pohon preh yang rimbun.
“Oh, kalian
sangka aku tidak dapat secepat itu,” geram Ki Tanu Metir di dalam hatinya, “aku
akan mengejar mereka sekalipun akan sampai ke puncak gunung ini.”
Tetapi sekali
lagi Ki Tanu Metir menggeram. Ternyata pohon preh itu adalah pohon yang memang
telah dipersiapkan sebagai sebuah pintu rahasia untuk meninggalkan padepokan
ini tanpa melalui regol.
Meskipun Ki
Tanu Metir dan kedua muridnya telah memanjat pohon itu pula, namun mereka
terpaksa menarik nafas dalam-dalam untuk menenteramkan gelora di dada mereka.
Mereka hanya dapat saling berpandangan ketika mereka melihat Argajaya, orang
yang terakhir dari ketiga orang yang mereka kejar itu lelah mencapai dinding
padepokan. Dengan sebuah sentuhan kaki, maka sebatang kayu yang mereka
pergunakan untuk melempar dari dahan pohon preh itu ke dinding, terlempar
jatuh.
“Setan!”
Swandaru berteriak tanpa sesadarnya ketika ia melihat, ketiga orang itu
meloncat turun dan hilang di seberang dinding.
“Ambil kayu
itu,” teriak Agung Sedayu kepada Swandaru yang berada di paling bawah dari
ketiganya.
“Tak ada
gunanya,” sahut Ki Tanu Metir dengan nada yang dalam, “mereka sudah berlari
semakin jauh, atau mereka menunggu di bawah dinding itu. Setiap kepala yang
tersembul, pasti akan segera dipecahkan oleh gelang-gelang besi Ki Tambak Wedi.
Ia sudah mendapat waktu untuk mempersiapkan dirinya. Tetapi apabila kita berada
dekat di belakangnya, maka ia tidak mendapat kesempatan itu.”
“Kita meloncat
dari dahan pohon ini langsung ke dinding itu,” berkata Swandaru.”
“Tak ada
kemungkinan. Aku sangka mereka akan berbuat demikian juga. Dari bawah, kayu
yang menyilang dari dahan pohon ini ke dinding batu itu tidak begitu tampak,
tertutup oleh daun-daunnya. Sedang dahan-dahannya yang langsung tumelung ke
atas dinding itu terlampau kecil,” sahut gurunya.
“Jadi
bagaimana sekarang?” bertanya Agung Sedayu.
“Gagal,” jawab
gurunya.
“Tak ada jalan
lain?”
Kiai Gringsing
menggelengkan kepalanya.
“Satu-satunya
kemungkinan kita mencari kuda. Kita mencoba menjelajahi daerah di sekitar
padepokan ini. Tetapi kemungkinan untuk menemukannya terlampau kecil.”
Kedua muridnya
mengangguk-anggukkan kepalanya mereka. Mereka
pun menyadari, bahwa mereka telab kehilangan kemungkinan untuk segera
dapat menemukan ketiga orang itu.
Terdengar
Swandaru menggeretakkan giginya. Ia menjadi sangat kecewa. Ia ingin menangkap
orang-orang yang melarikan adiknya dan membawanya ke Sangkal Pulung mati atau
hidup. Tetapi mereka telah lepas dari tangan.
“Mereka telah
memelihara dan mengatur pohon preh ini baik-baik,” berkata Kiai Gringsing
kemudian.
“Mereka
menebas setiap dahan yang cukup besar yang dapat mencapai dinding batu itu.
Tetapi mereka sengaja membiarkan dahan2 yang kecil dan berdaun agak rimbun
untuk menutupi kayu yang mereka silangkan itu.”
Sejenak
kemudian mereka bertiga saling berdiam diri. Tetapi, mereka tidak segera turun
dari atas pohon preh itu. Bahkan Agung Sedayu mencoba memanjat semakin tinggi.
Ia mencoba untuk melihat ke luar dinding padepokan itu dari atas pohon. Tetapi
anak muda itu tidak melihat sesuatu. Yang terbentang di luar padepokan itu
adalah sebuah lapangan rumput yang sempit, kemudian di sebelah lapangan rumput
itu adalah sebuah pategalan yang rimbun. Pategalan salak yang digarap oleh
orang-orang yang tinggal di dalam padepokan Ki Tambak Wedi. Dengan demikian
seandainya Ki Tambak Wedi, Sidanti, dan Argajaya menyusup ke dalam kebun salak
itu, maka amat sukarlah untuk mencarinya.
“Dapatkah
Kakang melihat?” bertanya Swandaru. Agung Sedayu menggelengkan kepalanya.
“Kebun salak,” jawabnya.
“Marilah kita
turun,” berkata Kiai Gringsing kemudian,
“kita melihat
Sekar Mirah. Apakah ia tidak terganggu selama ini.”
“O,” Swandaru
berdesis, “marilah. Hampir aku lupa.”
Tiba-tiba
Agung Sedayu pun menjadi tergesa-gesa
turun dari pohon itu. Bahkan seolah-olah anak muda itu menyelusur saja ke
bawah.
Ketiganya pun kemudian melangkah kembali ke gubug Sekar
Mirah. Swandaru dan Agung Sedayu merasa langkah mereka itu terlampau lambat.
Sekali-sekali mereka mendahului gurunya, Ki Tanu Metir yang dapat mengetahui
perasaan anak-anak muda itu pun kemudian
mempercepat langkahnya pula. Tetapi ia tidak menjadi terlampau cemas. Menurut
perhitungannya, maka beberapa orang prajurit Untara pasti sudah sampai ke
tempat itu pula.
Namun tanpa
mereka duga-duga, tiba-tiba terdengar Swandaru berdesah, “Aneh.”
“Apa yang
aneh?” bertanya Agung Scdatu tidak mengerti.
“Argajaya,”
jawab Swandaru.
“Kenapa?”
“Di Prambanan,
ia tidak gentar melihat ujung tombak Sutawijaya. Bahkan tombak itu telah
melekat di lambungnya. Tetapi kini ia terpaksa melarikan diri seperti seekor
tikus melihat kucing.”
“Keadaannya sangat
berbeda,” potong gurunya.
“Di Prambanan
Argajaya mempertaruhkan segalanya untuk harga diri serta kehormatannya. Di sini
ia sama sekali hampir tidak berperan. Kebetulan ia adalah paman Sidanti. Ketika
Sidanti dan gurunya berlari meninggalkan arena, maka ia pun akan lari juga.
Bukan seharusnya ia bertahan mati-matian di padepokan yang asing baginya.
Apalagi mempertaruhkan nyawanya.”
Swandaru dan
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya mereka. Mereka dapat mengerti
keterangan gurunya. Argajaya hampir tidak berkepentingan apa pun dengan padepokan ini, selain secara
kebetulan kemanakannya berada di sini. Dan kemanakannya itu pun telah menghindarkan diri pula. Mereka
bertiga kini telah menyeberangi sungai yang membujur membelah padepokan itu. Semakin
dekat mereka dengan tempat tinggal Sekar Mirah, mereka menjadi semakin cepat
melangkah. Mereka selalu diganggu oleh perasaan cemas, karena mereka merasa
bahwa mereka berada di tengah-tengah bahaya yang setiap saat dapat menerkam
mereka dari segala penjuru. Mungkin dari balik-balik dinding batu halaman,
mungkin dari dalam gerumbul atau rumpun-rumpun bambu. Apabila bahaya itu
menimpa Sekar Mirah, maka gadis itu pasti tidak akan dapat berbuat apa-apa.
Wuranta yang berada di rumah itu pun
telah terluka. Tak akan banyak yang dapat dilakukannya seandainya ada seorang
saja orang padepokan ini yang datang menyerang rumah itu. Mudah-mudahan
prajurit Pajang yang merawat kawannya yang terluka masih berada di sana. Ketika
mereka muncul di mulut sebuah lorong sempit, mereka tertegun sejenak. Mereka
melihat beberapa ekor kuda di halaman rumah yang dipergunakan oleh Sekar Mirah.
Sejenak mereka saling berpandangan, namun kemudian Ki Tanu Metir berkata,
“Mereka pasti
prajurit-prajurit Pajang. Aku memang sudah menyangka bahwa mereka pasti akan
segera datang.”
“Bahkan
mungkin Kakang Untara ada di antara mereka,” desis Swandaru.
“Mungkin,”
sahut Ki Tanu Metir.
Agung Sedayu
tidak berkata sepatah kata pun. Tetapi langkahnya menjadi semakin panjang dan
cepat. Seolah-olah jarak di hadapannya itu mau diloncatinya dengan sekali
langkah. Sebenarnyalah bahwa di rumah itu telah berkumpul beberapa orang
prajurit Pajang, tetapi ternyata Untara tidak ada di antara mereka. Ketika
salah seorang dari mereka melihat Ki Tanu Metir dan kedua muridnya, maka segera
dipanggilnya kawan-kawannya ke luar. Demikian Ki Tanu Metir beserta Agung
Sedayu dan Swandaru menginjakkan kakinya di halaman itu, maka segera para
prajurit Pajang mengerumuninya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar