Bahkan orang-orang berkuda itu agaknya lebih tangkas dari orang-orang yang bertempur di halaman banjar. Tiba-tiba Ki Tambak Wedi menarik nafas dalam-dalam. Ia sama sekali tidak berminat lagi untuk menyerang orang-orang yang berada di halaman banjar dengan gelang-gelangnya. Orang-orang Pajang itu ternyata kini sedang bertempur dengan orang-orang Jipang. Perhatiannya kini di tujukan kepada orang-orangnya yang telah meloncati dinding halaman. Ki Tambak Wedi adalah seorang yang mempunyai pandangan yang jauh dan cukup terang. Ia tidak percaya bahwa Untara hanya akan bertempur dengan orang-orangnya itu. Perhitungannya telah mengatakan kepadanya, bahwa di belakang barisan berkuda ini pasti akan segera menyusul pasukannya yang lain. Tetapi ia sengaja tidak mengatakannya kepada siapa pun, sebab ia sengaja membiarkan perkelahian ini berkecamuk terus untuk memberinya kesempatan melarikan diri. Sedang Sanakeling yang sedang menjadi mata gelap karena persoalan yang bertubi-tubi, tidak sempat membuat perhitungkan lain. Meskipun ia telah menduga bahwa prajurit Pajang mungkin akan bertambah, namun ia merasa bahwa pasukan yang ada akan segera dapat mengatasi keadaan melawan pasukan Untara yang tidak begitu kuat. Kemudian sesudah ini, entahlah apa yang akan dilakukannya. Melarikan diri, bersembunyi atau apa pun untuk mendapat kesempatan bertempur dengan Sidanti. Pertempuran di halaman banjar, di halaman sebelah, di jalan-jalan pun menjadi semakin seru. Untara ternyata tidak dapat mengingkari kenyataan bahwa jumlah orang-orang Jipang dan Tambak Wedi masih cukup berbahaya bagi anak buahnya. Karena itu, maka ia harus berhati-hati, dan menjaga supaya pasukannya mampu bertahan sampai pasukannya yang lain datang ke padepokan ini.
Hatinya
menjadi berdebar-debar ketika ia melihat Sidanti, Argajaya, dan sebagian besar
orang-orangnya telah meloncati halaman. Bahkan kemudian Ki Tambak Wedi pun kini telah berdiri di atas dinding batu
melihat keseluruhan dari pertempuran itu.
“Dari sana
setan itu akan dapat membidik setiap orang yang dikehendaki,” desis Untara di
dalam hatinya. Namun ternyata perwira bawahannya pun telah memperhitungkannya pula. Karena
itu, maka hampir bersamaan beberapa ekor kuda menyambarnya beruntun, sedang
penunggangnya mencoba menyentuh tubuh itu dengan pedang. Ki Tambak Wedi yang
sedang memperhitungkan pertempuran itu terkejut mendapat serangan yang
tiba-tiba. Sekali lagi terpaksa meloncat turun ke halaman banjar.
“Gila,”
desisnya.
Pada saat yang
demikian, pada saat pasukan Untara berada dalam keadaan, yang cukup gawat,
seorang penghubung telah mendatanginya. Karena itu maka Untara tidak segera
menyerang Sanakeling. Diterimanya penghubung itu dengan harapan, bahwa
pasukannya yang berjalan kaki telah datang. Dibiarkannya beberapa orang lebih
dahulu menahan Sanakeling dan pasukannya. Ternyata harapannya itu terjadi.
Penghubung itu mengabarkan bahwa pasukannya yang berjalan kaki kini telah
memasuki pintu gerbang padepokan itu.
“Bagus,” desis
Untara,
“bawalah
mereka langsung ke pertempuran ini. Aku kini mempunyai perhitungan bahwa kita
akan segera menyelesaikan tugas kita. Usahakan pasukan itu mengepung
pertempuran ini, usahakan bahwa tidak seorang
pun dapat lolos, termasuk Ki Tambak Wedi itu.”
Penghubung itu
pun segera melakukan tugasnya. Dengan cepat menemui pasukan yang baru datang
memasuki regol padepokan Tambak Wedi, yang seakan-akan terbuka tanpa seorang
penjaga pun bertugas di tempat itu. Pasukan itu pun dengan tergesa-gesa
melakukan perintah Untara. Dengan diam-diam pasukan itu menebar dan segera
mendekati tempat pertempuran itu dari segala arah.
Tepat pada
saat-saat Untara merasa terdesak, dan memerlukan bantuan dari pasukannya itu,
pertempuran itu telah dikejutkan oleh kehadiran prajurit Pajang yang lebih
banyak dari prajurit-prajurit berkuda. Ki Tambak Wedi yang melihat kedatangan
pasukan itu, menggeram. Meskipun ia telah menduga bahwa hal itu akan terjadi,
namun kedatangan itu agak terlampau cepat dari perhitungannya. Dan iblis itu
tidak habis berpikir, siapakah yang telah membawa Untara itu memasuki
padepokannya. Siapakah yang telah memberitahukan kepada senapati yang
seakan-akan memiliki beribu telinga dan mata itu, bahwa pasukan di padepokannya
sedang kisruh di antara mereka sendiri, sehingga Senapati Pajang yang masih
muda itu, tiba-tiba saja telah berada di padepokannya. Sedangkan Sanakeling,
Sidanti, dan Argajaya pun tidak kalah
terkejut seperti setiap prajurit Jipang dan Tambak Wedi yang lain.
Dengan
kehadiran pasukan itu maka keadaan hampir telah dapat diperhitungkan, bagaimana
akan berakhir. Karena itu, maka dalam hiruk-pikuk pertempuran, Untara masih
mencoba sekali lagi berteriak sekeras-kerasnya, katanya,
“He,
Sanakeling dan Ki Tambak Wedi, apakah kalian masih tetap dalam pendirian kalian
untuk tidak menyerah? Sebaiknya kalian membuat pertimbangan-pertimbangan baru.
Kini keadaan telah memberikan keyakinan, bagaimana akan jadinya pasukan kalian
apabila kalian tetap berkeras kepala?”
Yang menyahut
adalah Ki Tiambak Wedi dengan suara yang tidak kalah kerasnya,
“Hanya
betina-betina pengecut sajalah yang menyerah dalam pertempuran seperti ini. Ayo
Untara, kerahkan semua prajuritmu. Gelang-gelang besiku tidak terbatas
jumlahnya. Aku akan membunuh mereka satu demi satu dari atas dinding halaman
itu.”
Namun Untara
menyahut,
“Jangan
membual. Betapa tinggi kesaktian yang kau miliki, tetapi tenaga manusia pasti
mempunyai batas. Kau tidak akan dapat melawan duapuluh lima orang sekaligus.”
Ki Tambak Wedi
menggeram mendengar kata-kata Untara itu. Meskipun demikian ia menyadari bahwa
kata-kata itu mengandung kebenaran. Ia tidak akan dapat melewati duapuluh lima
orang sekaligus. Apalagi apabila orang yang berjumlah duapuluh lima itu
seakan-akan tidak dapat berkurang. Sebab apabila salah seorang dari mereka
terbunuh, maka orang lain lagi datang menggantikannya.
Tetapi Ki
Tambak Wedi harus tetap di tempatnya. Bahkan apabila mungkin ia harus tetap
membakar hati Sanakeling untuk bertempur terus bersama orang-orangnya,
sementara ia mendapat kesempatan untuk melarikan diri. Jangankan orang-orang
Jipang, sedang orang-orangnya sendiri, Ki Tambak Wedi tidak segan-segan untuk
mengorbankannya. Baginya sudah tidak akan ada gunanya lagi mempertahankan
padepokan yang sudah mulai runtuh itu. Biarlah yang tidak dapat di selamatkan
ini runtuh sama sekali, tetapi asal dirinya sendiri dan muridnya yang kelak
akan meneruskan perguruannya dapat di selamatkannya. Itulah sebabnya, maka
perhitungan Tambak Wedi kini sama sekali tidak tertuju pada keseimbangan
pasukan lagi, tetapi bagaimana ia mendapat perisai untuk membebaskan dirinya. Sanakeling
yang sedang dibakar oleh keadaan itu, sama sekali tidak menyangka, bahwa Ki
Tambak Wedi, Sidanti, dan Argajaya telah bersiap untuk mengkhianatinya. Apalagi
ketika ia melihat, bahwa pasukan Tambak Wedi sendiri benar-benar telah ditelan
oleh peperangan yang dahsyat. Sanakeling masih sempat melihat Sidanti
meloncat-loncat di tengah-tengah api peperangan itu, sedang di sampingnya itu
melihat Argajaya mengamuk seperti harimau luka. Sedang Ki Tambak Wedi sendiri
melakukan apa yang dikatakannya. Dari atas dinding batu ia melontarkan beberapa
gelang besinya. Setiap kali ia melepaskan senjatanya itu, terdengar lawannya
mengaduh, dan kemudian jatuh terbanting di tanah. Tetapi ia tidak dapat
bertahan di tempatnya terlampau lama. Beberapa orang terpilih selalu
menyerangnya. Kini bukan saja orang-orang berkuda yang menyambar-nyambarnya
seperti burung-burung elang yang beriringan, tetapi orang-orang yang berdiri di
atas kaki mereka pun datang beruntun
seperti arus banjir yang melanda tanggul. Terus-menerus tidak pernah terputus.
Dengan demikian maka akhirnya Ki Tambak Wedi itu harus sekali lagi meloncat
turun dan bertempur di antara perkelahian yang hiruk-pikuk. Namun iblis yang
licik itu tersenyum di dalam hati, ketika ia melihat Untara meloncat turun dari
kudanya dan dengan mantap mendapatkan Sanakeling. Sejenak kemudian keduanya
telah terlibat dalam perkelahian yang sengit di antara anak buah masing-masing.
Meskipun Sanakeling tidak setangguh Tohpati yang bergelar Macan Kepatihan,
namun melawan orang ini pun Untara harus cukup berhati-hati. Apalagi ketika
tumbuh keinginan di dalam hatinya untuk menangkap Sanakeling hidup-hidup.
Apabila demikian, maka Sanakeling akan dapat dipergunakannya untuk alat di
bagian-bagian lain daripada bekas kekuasaan Demak, untuk menenteramkan
sisa-sisa pasukannya yang liar. Apalagi di bagian Utara, bekas medan tempur
yang dipilihnya. Gerombolan-gerobolan kecil yang masih berkeliaran di tempat
itu pasti akan patah tekad dan kemauan mereka, apabila mereka mendengar dan
melihat, bahwa Sanakeling benar-benar telah tertangkap.
Tetapi
Sanakeling sendiri sudah bertekad, bahwa jangan seorang pun di antara mereka
yang tertangkap hidup. Itu adalah suatu peristiwa yang sangat memalukan baginya
dan bagi orang-orangnya. Mereka akan mengalami penghinaan yang jauh lebih berat
daripada mati bagi seorang prajurit. Sebab menurut gambaran angan-angan
Sanakeling, apabila mereka tertangkap hidup, maka mereka akan diarak di
sepanjang jalan. Orang-orang yang melihat mereka akan bersorak-sorak sambil
melempari mereka dengan batu. Kemudian mereka akan diikat di alun-alun. Karena
mereka telah menyia-nyiakan kesempatan pertama untuk menyerah, maka mereka akan
mendapat hukuman picis. Mati pelahan-lahan di tiang hukuman, karena
goresan-goresan pisau setiap orang yang lewat sambil menaburi luka mereka
dengan garam dan air asam.
Karena itu,
maka yang terjadi selanjutnya adalah pertempuran yang sangat dahsyat.
Orang-orang Jipang yang putus asa, berkelahi membabi buta. Demikian juga
orang-orang Tambak Wedi yang menganggap, bahwa peperangan ini bagi mereka
adalah mempertahankan padepokan mereka. Mereka menganggap bahwa adalah menjadi
kewajiban mereka untuk mempertahankan setiap jengkal tanah dengan darahnya dan
bahkan nyawanya.
Untara yang
langsung bertempur melawan Sanakeling merasakan, betapa Sanakeling telah
kehilangan segala macam pertimbangannya. Seakan-akan wajah orang yang hitam itu
telah memancarkan tekadnya, tidak untuk bertempur dan membinasakan lawannya,
tetapi perkelahian itu hanya merupakan alat baginya untuk membunuh diri. Dalam
keadaan itu Sanakeling telah lupa segala-galanya. Lupa kepada Sidanti dan
janjinya untuk melakukan perang tanding. Meskipun demikian, sepasang senjata
Sanakeling tetap berbahaya bagi Untara. Bindi di tangan kiri dan pedang di
tangan kanan adalah pasangan senjata ciri kegarangan Sanakeling. Dan sepasang
senjata itu kini menyambar-nyambar mengerikan. Namun, yang dihadapinya adalah
Senapati Pajang yang bertugas langsung menyelesaikan persoalannya di daerah
itu. Meskipun Untara hanya bersenjata tunggal, tetapi senjata itu cukup lincah
untuk melawan sepasang senjata lawannya yang mengerikan.
Di sisi lain,
Sidanti dan Argajaya pun mengalami tekanan yang tidak mudah di atasinya. Empat
lima orang sekaligus mengepungnya dengan rapat dan rapi, seakan-akan mereka
sengaja disiapkan untuk melawannya. Setiap kali mereka berpaling ke arah Ki
Tambak Wedi yang berkelahi di sampingnya, maka setiap kali mereka melihat bahwa
orang tua itu pun ternyata sedang sibuk melayani musuh-musuhnya. Betapa buasnya
seekor harimau, namun melawan serigala yang baik, yang jumlahnya tidak
terbatas, maka akhirnya harimau itu pun
akan jatuh terkapar di tanah. Demikian pula agaknya nasib iblis lereng Merapi
yang merasa dirinya tak terkalahkan, apabila ia masih tetap berada di
pertempuran itu. Karena itu, maka setelah pertempuran itu menjadi semakin
ribut, sampailah ia pada rencananya. Menghindar dari padepokannya yang sebentar
lagi akan hancur dilanda arus prajurit Pajang.
Tetapi sudah
barang tentu ia tidak akan dapat pergi begitu saja, sebab prajurit Pajang telah
mengepungnya dengan ketat. Juga ia tidak boleh dilihat oleh orang-orang Jipang
yang sedang berkelahi mati-matian, bahkan oleh orang-orangnya sendiri. Itulah
sebabnya, maka setelah keputusannya jatuh untuk melarikan diri, Ki Tambak Wedi
itu tampaknya menjadi semakin garang. Dilontar-lontarkannya beberapa gelang
besinya dan diamuknya setiap orang yang dekat. Orang tua yang mengerikan itu
berloncatan kian-kemari, menyusup di antara kawan dan bahkan di antara lawan.
Dengan demikian, maka pertempuran menjadi kacau. Beberapa orang menjadi ngeri
melihat tandangnya. Sidanti melihat sikap gurunya itu. Segera ia tanggap pada
keadaan, sehingga dengan isyarat ia memberitahukannya kepada pamannya untuk
mempersiapkan diri meninggalkan perkelahian. Betapa kisruhnya perkelahian itu,
sehingga ketiga orang yang limpat tetapi licik itu akhirnya berhasil menyusup
ke dalam pasukan sendiri, perlahan-lahan mereka berlindung di antara
orang-orang Tambak Wedi yang berkelahi membabi buta. Setiap kali mereka
mendengar Tambak Wedi membakar nafsu mereka dengan meneriakkan beberapa
kata-kata. Menyusupkan pengertian, bahwa mereka sedang berkelahi untuk
kepentingan kampung halaman. Sedumuk batuk, senyari bumi, totohane pati. Ki
Tambak Wedi, Sidanti, dan Argajaya kemudian dengan saling memberikan isyarat,
melepaskan diri dari setiap ikatan peperangan yang kacau. Mereka adalah
orang-orang yang mengenal padepokan itu dengan baiknya. Segala sudut dan
seginya telah mereka ketahui dengan saksama. Itulah sebabnya, maka mereka
berhasil melenyapkan diri mereka di balik pagar dinding yang rendah, di
belakang garis peperangan itu. Kemudian menyusup menghilang di dalam
gerumbul-gerumbul yang lebat. Dengan diam-diam mereka meloncat dari gerumbul
yang satu ke gerumbul yang lain. Mereka sadar, bahwa sebentar lagi, orang-orang
di dalam peperangan itu pasti akan menyadari, bahwa mereka bertiga telah hilang
dari antara mereka. Setelah beberapa langkah mereka menghindar, maka segera
mereka mencari jalan untuk menembus lingkaran orang-orang Pajang yang menebar,
mengawasi medan dengan amat cermatnya. Tetapi orang-orang Pajang tidak mengenal
padepokan itu sebaik Ki Tambak Wedi. Orang-orang Pajang tidak mengenal
batas-batas rumpun-rumpun bambu yang lebat dan tanaman-tanaman liar yang tumbuh
di antara dinding-dinding yang bersilang melintang membatasi setiap halaman. Dengan
demikian, maka akhirnya ketiganya berhasil menghilang dari peperangan. Untuk
sementara tak seorang pun yang mengetahuinya. Setiap orang di medan peperangan
itu sedang di sibukkan oleh lawan masing-masing. Bahkan kemudian, perang itu
menjadi seolah-olah perang brubuh. Mereka tidak dapat mengenal lawan-lawan
mereka seorang demi seorang. Mereka bertempur bersama-sama dalam pergumulan
yang kacau. Mereka menikam lawan yang dekat dari setiap orang, dan mereka
menyerang siapa saja yang lengah di sekitarnya tanpa pilih. Bahkan orang-orang
yang semula dipersiapkan untuk khusus melawan Ki Tombak Wedi pun tidak berhasil
selalu membayanginya. Sejenak sebelum melarikan diri Ki Tambak Wedi
meloncat-loncat dari satu tempat ke tempat yang lain, hampir menyusur sepanjang
halaman. Bahkan sekali-sekali orang tua itu meloncat pula ke pertempuran yang
memanjang di jalan di muka halaman banjar. Dengan demikian maka orang tua itu
hampir mengitari tidak saja satu halaman, tetapi di mana peperangan berkecamuk,
di situ Ki Tambak Wedi tiba-tiba saja muncul. Namun apa yang dilakukan itu,
semata-mata sebagai persiapannya untuk menghilang. Dengan demikian, maka
orang-orangnya sendiri maupun lawan-lawannya menganggap bahwa Ki Tambak Wedi
sedang berada di medan yang lain.
Setelah mereka
bertiga berhasil keluar dari pengawasan para prajurit Pajang, maka segera
mereka berlari semakin menjauhi peperangan. Namun tiba-tiba Sidanti berkata,
“Guru, aku
harus mengambil Sekar Mirah dahulu sebelum keluar dari padepokan ini.”
“He,” Ki
Tambak Wedi berkerut.
“Gadis itu
harus kita bawa serta. Banyak manfaatnya. Tidak saja bagiku, tetapi juga bagi
kita semua. Apabila kita kehilangan kesempatan untuk keluar, maka Sekar Mirah
akan dapat kita jadikan alat.”
Ki Tambak Wedi
berpikir sejenak. Kemudian ia bergumam,
“Ada
untungnya, tetapi ada pula kesulitannya. Kita tidak akan dapat lari dengan
cepat, sebab kita harus membawa gadis itu. Namun benar juga katamu, bahwa gadis
itu pun dapat kita jadikan perisai demi keselamatan kita.”
“Jadi,
bagaimana Guru?”
Ki Tambak Wedi
menjadi ragu-ragu sejenak. Tanpa sesadarnya dipandanginya Argajaya yang berlari
di sampingnya.
“Bagaimana,
Ngger?” bertanya Ki Tambak Wedi.
“Terserah
kepada Kiai,” jawab Argajaya.
“Baiklah. Kita
pergunakan gadis itu sebagai tanggungan. Kecuali itu, aku takut kalau
seterusnya kau akan kehilangan segenap gairah untuk melanjutkan hidupmu,
apabila gadis itu lepas dari tanganmu.”
Sidanti tidak
menjawab. Tetapi ia menjadi gembira mendengar ijin gurunya. Karena itu maka
mereka pun segera berlari ke pondok Sekar Mirah. Sementara itu pertempuran
masih juga berkecamuk dengan dahsyatnya. Namun segera dapat dirasakan bahwa
prajurit Pajang segera akan dapat menguasai keadaan. Mereka segera berusaha
untuk memperpanjang garis peperangan dan memancing orang-orang Jipang dan
Tambak Wedi dalam perkelahian yang lebih luas. Dengan demikian maka lapisan
orang-orang yang bertempur itu menjadi semakin tipis. Sementara itu, para
prajurit Pajang yang melingkari daerah peperangan itu pun segera menjadi semakin menyempitkan diri.
Seperti sehelai jaring yang besar, mereka merapat tanpa melepaskan seorang pun dari tangkapan. Tetapi mereka tidak
menyadari, justru ikan yang paling besarlah yang sudah berhasil lolos dari
tangan mereka. Tetapi sisa-sisa yang masih ada di dalam kepungan itu pasti
sudah tidak akan dapat lolos lagi. Semakin sempit jaring-jaring kepungan
prajurit Pajang, maka jarak mereka pun
menjadi semakin rapat. Akhirnya, setiap prajurit Pajang seakan-akan telah
merapat yang satu dengan yang lain. Dalam keadaan yang demikian, seandainya Ki
Tambak Wedi terlambat beberapa lama, maka ia pun pasti tidak akan dapat lolos
lagi tanpa membunuh beberapa orang yang mengepung pertempuran itu.
Semakin dekat
kepungan itu, maka pertempuran itu pun
semakin mendekati akhirnya. Prajurit Pajang semakin mendesak maju, dan
orang-orang Jipang dan Tambak Wedi yang payah menjadi semakin payah. Namun
seperti juga Sanakeling, orang-orang Jipang menjadi seperti orang-orang yang
sedang kesurupan. Mereka mengamuk sejadi-jadinya. Tetapi Untara, senapati yang
berpengalaman itu segera mengenal, bahwa sikap itu adalah sikap putus-asa.
Justru menghadapi orang-orang yang demikian Untara harus berhati-hati. Orang
yang demikian sudah tidak lagi dapat menghitung kalah atau menang, tidak lagi
memikirkan siasat dan cara yang sebaik-baiknya. Tetapi orang yang demikian
hanya cukup berpikir cukup mendapatkan korban sebanyak-banyaknya yang akan
bersama-sama pergi ke lubang kematian. Demikian juga yang dilakukan Sanakeling
saat itu. Ia sama sekali sudah tidak mengharap bahwa pasukannya bersama pasukan
Tambak Wedi akan dapat memenangkan pertempuran. Secara naluriah, sebagai
seorang senapati, ia dapat merasakan, bahwa pasukannya pasti akan segera
hancur, demikian juga pasukan Tambak Wedi. Dengan demikian, maka sudah tidak
ada lagi gunanya bagi Sanakeling untuk mempertimbangkan kemungkinan berperang
tanding melawan Sidanti.
“Kami semuanya
akan mati bersama-sama di sini,” katanya di dalam hati.
Dengan
demikian, maka tandangnya menjadi semakin garang. Ia sudah tidak berpikir apa
pun, kecuali membunuh sebanyak-banyaknya. Kalau mungkin membunuh Untara dan
membawanya bersama-sama menjelang kematian. Tetapi agaknya Untara tidak dengan
sukarela menyerahkan dirinya. Ia masih mencoba untuk menangkap Sanakeling
hidup-hidup. Tetapi karena tandang Sanakeling, maka tak ada yang dapat
dilakukan kecuali menyelesaikan tugasnya tanpa mempertimbangkan apa yang akan
terjadi atas lawannya. Seandainya ia berhasil melumpuhkan Sanakeling hanya
dengan melukainya, tanpa membunuhnya, adalah lebih baik. Tetapi apabila orang
itu terpaksa mati terbunuh di dalam peperangan, itu adalah kemungkinan yang
sudah diketahuinya. Diketahui oleh Untara dan oleh Sanakeling sendiri. Dalam
pertempuran yang semakin sengit, maka Untara dan Sanakeling tidak segera
mengetahui, bahwa Tambak Wedi, Sidanti, dan Argajaya telah hilang dari medan
peperangan. Dengan licik mereka telah mengorbankan orang lain untuk kepentingan
mereka. Tanpa pertimbangan-pertimbangan lain, mereka sengaja bersembunyi di
balik bangkai kawan-kawan mereka sendiri. Pertempuran di sela-sela pepohonan,
dinding-dinding batu dan rumpun-rumpun bambu, ternyata mampunyai pengaruh
tersendiri. Untara dan Sanakeling tidak dapat melihat medan itu secara
keseluruhan atau setidak-tidaknya gambaran yang agak luas, karena terhalang
oleh dedaunan dan batang-batang pepohonan. Namun Untara telah mempercayakan
seluruh pasukannya kepada perwira-perwira bawahannya dan kepada
pemimpin-pemimpin kelompoknya. Ia ingin memusatkan segenap perhatiannya kepada
Sanakeling. Kali ini ia harus dapat menyelesaikan tugas yang dibebankan
kepadanya oleh Panglima Wira Tamtama Pajang, setelah ia membuat Panglima itu
kecewa di Sangkal Putung. Setelah ia hampir menjerumuskan Ki Gede Pemanahan dan
puteranya Sutawijaya ke dalam kesulitan yang berbahaya. Bahkan tugas yang
diterimanya ini seakan-akan suatu hukuman atas kesalahan dan kekhilafan yang
pernah dilakukannya itu. Sebagai seorang senapati di daerah yang luas, ia
mendapat perintah langsung menangani penangkapan dan penyelesaian orang-orang
Jipang yang berada di Tambak Wedi. Demikianlah, pertempuran antara keduanya
semakin lama menjadi semakin sengit. Sanakeling yang putus asa benar-benar
mengamuk seperti serigala yang kelaparan. Menerkam dengan sepasang senjatanya
dengan garangnya, meskipun tubuhnya dan pakaiannya menjadi semakin dibasahi
oleh keringat dan darahnya. Pedang Untara ternyata telah menambah
goresan-goresan luka di tubuh Sanakeling. Semakin lama semakin banyak. Namun
Sanakeling sama sekali tidak menjadi semakin lemah. Tampaknya justru menjadi
semakin garang dan buas. Dalam keputus-asaan ia bertempur, seakan-akan
kesadarannya telah tidak dimilikinya lagi. Menghadapi orang yang demikian,
Untara harus semakin berhati-hati. Ia telah berhasil mengalahkan Senapati
Jipang yang tangguh tanggon. Raden Tohpati yang bergelar Macan Kepatihan. Namun
Tohpati di saat-saat terakhirnya tidak menjadi gila seperti Sanakeling dengan
kedua jenis senjatanya. Namun Untara adalah orang yang cukup mempunyai bekal
menghadapi keadaan itu, sehingga lambat laun ia
pun berhasil menguasai keadaan. Setiap kali ia berhasil menekan lawannya
dan setiap kali ia dapat menambah luka di tubuh Sanakeling, dengan harapan
orang itu akan jatuh lemas sebelum terbunuh. Saat demi saat, pertempuran itu
memanjat ke titik puncaknya. Kini orang-orang Tambak Wedi dan orang-orang
Jipang sudah hampir tidak mendapat tempat lagi untuk mempertahankan diri. Medan
peperangan menjadi semakin lama semakin sempit. Untara sudah tidak berusaha
lagi untuk memperluas garis pertempuran, karena orangnya kini cukup banyak
untuk menghadapi lawannya. Bahkan prajurit-prajuritnya telah memaksa
lawan-lawannya untuk berkumpul di satu lingkaran yang semakin sempit.
Sementara itu
Ki Tambak Wedi, Sidanti, dan Argajaya berlari semakin cepat menyusup gerumbul
dan meloncati pagar-pagar batu. Mereka ingin segera sampai di gubug Sekar Mirah
untuk mengambilnya, dan membawanya sebagai perisai yang hidup. Sementara itu di
gubug tempat Sekar Mirah disimpan, Swandaru, Agung Sedayu, Wuranta dan Sekar
Mirah sedang bergumul dengan persoalan mereka sendiri. Mereka dicengkam oleh
kebingungan dan ketidakpastian, kenapa tiba-tiba saja suasana perasaan mereka
bergetar. Sikap Wuranta benar-benar menjadi sebab, seakan-akan Agung Sedayu dan
Swandaru menjadi kehilangan pegangan untuk menghadapinya. Untuk menghilangkan
perasaan canggungnya, maka Agung Sedayu tiba-tiba membentak kepada kedua orang
Tambak Wedi itu.
“He, kenapa
kalian diam saja mematung di situ?”
Kedua orang
itu pun terkejut. Anak ini memang anak
muda yang aneh bagi mereka. Ketangkasannya hampir tak dapat dibayangkannya.
Bahkan mereka telah mencoba memperbandingkan Agung Sedayu itu dengan Sidanti. Dengan
cemas kedua orang itu memandang wajah Agung Sedayu yang tegang. Salah seorang
dari mereka itu dengen nada yang dalam menjawab,
“Apakah yang
harus, kami lakukan?”
Agung Sedayu
tidak segera dapat menjawab pertanyaan itu. Tetapi tiba-tiba ia menyadari bahwa
ia berada di antara lawan-lawannya. Karena itu untuk menjaga setiap kemungkinan
yang bakal terjadi apabila ada orang-orang lain yang datang, maka tiba-tiba ia
berkata,
“Aku akan
mengikat kalian di sini.”
Wajah kedua
orang itu tiba-tiba menjadi kian menegang. Namun bagi mereka, hal itu akan
lebih baik untuk keselamatan mereka. Apabila Sidanti datang kepada mereka, maka
ia akan melihat, bahwa mereka telah berbuat sesuatu, tetapi mereka tidak mampu.
Jawaban mereka
benar-benar telah mengejutkan Agung Sedayu. Berkata salah seorang dari mereka,
“Silahkanlah
Tuan, apabila hal itu baik bagi Tuan.”
“Pengecut!”
Agung Sedayu hampir berteriak, perasaan yang bersimpang siur telah saling
mendorong di dalam hatinya, sehingga menumbuhkan loncatan-loncatan yang
kadang-kadang membuat dirinya sendiri menjadi terkejut.
Kedua orang
Tambak Wedi itu pun terkejut. Tetapi
mereka tidak tahu apakah yang sedang bergolak di dalam dada Agung Sedayu.
Kebingungannya menghadapi Wuranta, dan keheranannya melihat sikap orang-orang
Tambak Wedi itu membuatnya menjadi meledak-ledak. Mereka sama sekali bukan
orang-orang yang tidak berdaya. Bahkan salah seorang dari mereka mampu
mengimbangi, bahkan di dalam keadaan yang khusus, di ruang yang sempit, ia
mampu mendesak Wuranta. Namun tiba-tiba mereka dengan tanpa berbuat sesuatu
menyerahkan diri mereka untuk diikat. Agung Sedayu menganggap sikap itu sangat
memuakkan. Tetapi sebenarnyalah orang-orang Tambak Wedi belum seluruhnya dapat
disamakan ketahanan sikapnya dengan orang-orang Jipang, prajurit-prajurit
Pajang, atau mereka yang pernah mendapat tuntunan khusus tentang olah kanuragan
dan sikap kejantanan. Orang-orang Tambak Wedi, betapa mereka pernah melatih
diri dalam tata perkelahian di bawah tuntunan-tuntunan orang yang berilmu,
namun ketahanan jiwa mereka belum mendapat bentuk yang serupa di antara mereka.
Para pemimpin Tambak Wedi tidak sempat menilai setiap orangnya satu demi satu.
Ada di antara mereka yang dengan gigih bertahan atas suatu keyakinan, bahwa
Tambak Wedi adalah kampung halaman yaug harus dipertahankan sampai saat
terakhir dari hayatnya. Tetapi ada juga yang acuh tidak acuh, hanyut dalam arus
ketamakan para pemimpinnya. Dalam keadaan yang sulit, maka mereka akan lebih
senang memilih keselamatan nyawa mereka dan memeluk keyakinan yang tidak pernah
dapat tertanam dalam-dalam di dalam hati mereka. Meskipun para pemimpin
berusaha membuat orang-orangnya kehilangan nilai kediriannya, sehingga mereka
berpendirian bahwa sikap mereka itulah yang paling benar.
Kedua orang
itu adalah bagian dari mereka yang belum dapat dibentuk oleh orang-orang Tambak
Wedi. Karena itu, maka keduanya tidak akan bertahan sampai mengorbankan
nyawanya, meskipun keduanya mempunyai beberapa kelebihan dari orang-orang
kebanyakan. Tetapi bagaimanapun juga Agung Sedayu masih tetap menyadari
keadaannya. Dengan nanar ditebarkannya pandangan matanya ke sekeliling ruangan,
kalau-kalau dapat ditemukannya tali atau tampar atau apa pun.
Dan tiba-tiba
ia meloncat beberapa langkah, mendorong sebuah ajug-ajug gendi di sudut rumah
itu, kemudian dengan pedangnya di potongnya beberapa utas tali pengikat dinding
sudut. Dengan tali itu Agung Sedayu pergi mendapatkan kedua orang Tambak Wedi sambil
berdesis,
“Berdiri
beradu punggung.”
Kedua orang
itu tidak membantah. Mereka segera berdiri beradu punggung. Mereka tahu benar
bahwa Agung Sedayu akan mengikat tangan-tangan mereka dengan tali anyaman bambu
dan lulup batang melinjo yang diambilnya dari sudut rumah itu. Mereka
menyeringai menahan nyeri ketika tali itu melukai pergelangan tangan mereka.
Tetapi mereka tidak dapat berbuat sesuatu. Hanya mata mereka sajalah yang
bergerak-gerak dari seorang ke orang yang lain yang berdiri di dalam ruangan itu.
Mereka melihat Wuranta berdiri seperti patung. Betapa wajahnya menegang, tetapi
Wuranta sama sekali tidak bergerak. Namun perasaan di dalam dadanya sajalah
yang bergolak seperti angin prahara. Apa yang dilihatnya itu, semakin membuat
hatinya pedih. Wuranta menyangka bahwa Agung Sedayu sengaja berbuat aneh-aneh
untuk menunjukkan kelebihannya. Seolah-olah Agung Sedayu itu berkata kepadanya
dengan sikapnya itu,
“Lihat
Wuranta, bukankah aku mampu berbuat seperti ini? Dua orang ini dapat aku kuasai
dengan baik. Apalagi kau seorang diri.”
Namun untuk
sesaat, justru karena getar di dalam dadanya itu Wuranta seolah-olah menjadi
beku. Kehilangan kemampuannya berpikir untuk sesaat. Dengan mata yang hampir
tidak berkejap ia melihat saja apa yang telah terjadi di dalam ruangan itu. Tetapi
tiba-tiba ia menyadari keadaannya ketika ia mendengar suara derap kaki orang
berlari-lari. Semakin lama semakin dekat. Di antara derap langkah itu
didengarnya suara orang bergeramang. Bukan saja Wuranta yang terkejut
mendengarnya. Tetapi Swandaru dan Agung Sedayu yang baru saja selesai mengikat
orang-orang Tambak Wedi itu pun terkejut
pula. Suara derap itu pun semakin lama
menjadi semakin dekat. Mereka yang berada di dalam rumah itu pun segera menyadari bahwa mereka harus
menyiapkan diri mereka. Seandainya yang datang itu orang-orang yang berbahaya
bagi mereka, maka mereka pun harus sudah
bersiap untuk menghadapinya. Perlahan-lahan Swandaru melepaskan Sekar Mirah.
Didorongnya gadis itu menepi sambil berbisik,
“Hati-hatilah Mirah.”
Sekar Mirah
mengangguk, namun hatinya menjadi berdebar-debar ketika suara orang yang datang
itu didengarnya,
“Pintunya
terbuka sedikit guru.”
“Mungkin ada
orang di dalam,” jawab yang lain. Jawaban itu benar mengejutkan mereka yang ada
di dalam rumah itu. Mereka segera mengenal bahwa suara itu adalah suara Sidanti
dan pasti gurunya itu bernama Ki Tambak Wedi.
Suara langkah
orang berlari itu pun segera berhenti. Yang berada di dalam rumah itu tahu
dengan pasti, bahwa mereka berada di depan rumah itu di samping pintu.
Terdengar
Sidanti berkata, “Mungkin para pengawas.”
“Hati-hatilah,”
potong gurunya.
Sejenak mereka
berdiam diri. Namun tiba-tiba terdengar Sidanti berteriak, “Siapa di dalam?”
Swandaru dan
Agung Sedayu saling berpandangan, sedang Wuranta berdiri tegang di tempatnya
“Siapa, he?”
Tiba-tiba
Agung Sedayu menjulurkan pedangnya ke arah leher tawanannya yang diikat sambil
berdesis di dalam mulutnya,
“Jawab.”
Kedua orang
itu menjadi ragu-ragu. Tetapi pedang Agung Sedayu semakin menekan lehernya.
“Siapa?”
kembali Sidanti berteriak.
Dari luar
Sidanti mendengar suara tergagap, “Aku. Aku, Tuan.”
“He?” Sidanti
semakin berteriak, “kau pengawas yang mendapat tugas di sini?”
“Ya. Ya,
Tuan.”
Sidanti telah
mengenal suara itu. Karena itu maka tiba-tiba kemarahannya terungkat sampai ke
ubun-ubun. Ia menyangka bahwa para pengawas mempergunakan kesempatan
pertempuran di banjar untuk melakukan perbuatan yang jahat, seperti apa yang
akan dilakukan Alap-alap Jalatunda. Karena itu tiba-tiba saja, seperti orang
gila Sidanti meloncat masuk, melanggar uger-uger pintu sehingga berderak roboh.
“Setan!”
teriaknya. “Kau akan mati juga seperti Alap-alap Jalatunda.”
Agung Sedayu
yang berada di dalam rumah itu telah bersiap sepenuhnya. Ia telah
memperhitungkan bahwa Sidanti pasti akan memasuki rumah itu, tetapi ia tidak
menyangka bahwa anak muda itu akan melanggar uger-uger sehingga roboh. Beberapa
potong bambu yang menyilang di atas pintu itu pun rontok menimpa Sidanti,
tetapi sama sekali tidak dihiraukannya. Namun karena itu, maka untuk sejenak
Agung Sedayu tertegun karenanya. Ketika Sidanti kemudian melihat siapa yang
berada di dalam rumah itu, maka darahnya menjadi serasa berhenti mengalir.
Sesaat ia tegak seperti patung. Mulutnya bergetar, namun tak sepatah kata pun terloncat dari bibirnya. Dengan gemetar
ia menatap Agung Sedayu seperti melihat hantu. Kemudian dipandanginya wajah
Swandaru yang bulat. Pertemuan itu begitu tiba-tiba sehingga kedua belah pihak
kehilangan kesadarannya untuk sekejap. Masing-masing berdiri saja di tempatnya.
Namun sorot mata merekalah yang lebih dahulu berbicara. Dendam dan kebencian
yang tersimpan di dalam dada, seakan-akan tertumpah seluruhnya lewat tatapan
mata masing-masing. Sejenak kemudian, tiba-tiba ketegangan itu sekali lagi
dipecahkan oleh peristiwa yang tidak terduga. Tak seorang pun yang menyangka bahwa peristiwa itu akan
terjadi. Wuranta agaknya telah benar-benar ditelan oleh perasaannya, sehingga
ia sudah tidak mampu lagi berpikir bening. Terdorong oleh berbagai macam
perasaan yang bergolak di dalam dadanya, serta dugaannya yang keliru tentang
Agung Sedayu, maka tiba-tiba anak muda itu telah berbuat hal yang tidak
menguntungkannya. Ia merasa bahwa Agung Sedayu seolah-olah telah menghinanya
dengan mempertunjukkan berbagai macam kelebihan. Sehingga karena dorongan harga
dirinya, setelah ia merasa seakan-akan tidak berharga lagi di hadapan Sekar
Mirah dalam olah ketrampilan sebagai seorang laki-laki, maka tiba-tiba
timbullah kenekatan di hatinya. Itulah sebabnya, maka ia telah berbuat tanpa
pertimbangan. Ketika Sidanti masih berdiri membeku memandangi Swandaru dan
Agung Sedayu berganti-ganti tiba-tiba Wuranta meloncat menyerangnya. Pedangnya
terjulur lurus langsung menusuk lambung Sidanti. Tetapi Wuranta sama sekali
tidak mengingat, bahwa Sidanti sama sekali bukan kanak-kanak lagi. Apalagi anak
muda itu masih juga menggenggam pedang di tangannya.
Betapa pun Sidanti dicengkam oleh rasa terkejut,
namun dengan gerak naluriah ia bergeser ke samping. Dengan sepenuh tenaganya
maka dipukulnya pedang Wuranta. Sidanti tidak perlu mengulangi lagi. Pedang itu
pun terpelanting beberapa langkah daripadanya. Bahkan Wuranta sendiri terdorong
ke samping beberapa langkah karena tarikan kekuatannya sendiri dan pukulan
pedang Sidanti yang telah melepaskan pedangnya. Kini Wuranta berdiri
terhuyung-huyung. Dengan susah payah ia mencoba menjaga keseimbangannya.
Dadanya tiba-tiba berdesis ketika ia melihat dengan penuh kemarahan Sidanti
berteriak,
“Kau tikus
Jati Anom. Kenapa kau masih hidup dan berada di sini pula? Tetapi memang sudah
menjadi garis nasibmu. Kau harus mati hari ini.”
Wuranta yang
masih belum menemukan keseimbangan sepenuhnya itu hanya dapat memandang saja
apa yang akan dilakukan oleh Sidanti yang sedang dibakar oleh kemarahannya. Maka
sekali lagi Agung Sedayu dan Swandaru melihat, Wuranta berada dalam kesulitan.
Sidanti yang garang itu pasti sudah tidak akan melepaskannya lagi. Apabila
mereka membiarkannya, maka Wuranta pasti akan benar-benar dibunuhnya. Sejenak
Agung Sedayu dilanda oleh kebimbangan. Baru saja ia dibingungkan oleh sikap
Wuranta, karena ia berusaha menolongnya. Dan kini Wuranta berada dalam keadaan
yang serupa. Tetapi Agung Sedayu tidak akan sampai hati melihat pedang Sidanti
menghunjam ke dalam dada Wuranta. Maka tanpa mempedulikan lagi apa yang akan
dilakukan Wuranta atasnya, maka sekali lagi Agung Sedayu berusaha menolongnya. Namun
kini yang menyerang Wuranta bukan sekedar seorang pengawal padepokan Tambak
Wedi. Tetapi yang menyerang itu adalah Sidanti. Karena itu maka Agung Sedayu tidak
berani berbuat dengan tergesa-gesa. Ia harus mempertimbangkan kekuatan Sidanti.
Ternyata Agung Sedayu tidak mendapat kesempatan lebih lama lagi. Sejenak
kemudian ia melihat Sidanti dengan mata yang menyala berteriak,
“Kaulah yang
pertama-tama aku bunuh di dalam rumah ini di antara kalian.”
Wuranta tidak
dapat berbuat sesuatu. Tetapi ternyata hatinya cukup tabah. Anak muda itu sama
sekali tidak menjadi ketakutan melihat Sidanti siap menerkamnya dengan ujung
pedang. Wuranta telah menyiapkan dirinya untuk menerima ujung pedang itu dengan
dadanya. Seandainya ia harus mati, maka kesan yang ditinggalkannya adalah kesan
yang dapat membuatnya berbangga. Meskipun ia tidak seterampil Agung Sedayu,
tetapi ia bukan seorang pengecut. Mudah-mudahan Sekar Mirah dapat menangkap api
yang tersirat pada sikapnya itu. Tetapi sekali lagi Wuranta harus melihat Agung
Sedayu berusaha menolongnya. Kali ini Agung Sedayu tidak berani langsung
melawan pedang Sidanti. Tetapi untuk mengurungkan serangan Sidanti yang
langsung dapat berarti maut itu. Agung Sedayu dengan garangnya menyerangnya
pula. Seperti Sidanti, maka Agung Sedayu
pun berteriak nyaring,
“Sidanti, aku
dapat lebih cepat daripadamu. Ternyata kaulah yang mati pertama-tama.”
Sidanti
terperanjat melihat sikap Agung Sedayu. Suaranya telah membuat hati Sidanti
berdesir. Apalagi ketika ia melihat ujung pedang Agung Sedayu langsung mengarah
ke ulu hatinya. Tak ada cara lain kecuali menangkis pedang Agung Sedayu itu.
Tetapi Sidanti tidak ingin melepaskan korbannya. Karena itu maka ia berusaha
untuk melakukan keduanya. Membunuh Wuranta dan kemudian menangkis serangan
Agung Sedayu.
Namun waktu
terlampau sempit, sehingga Sidanti tidak dapat melakukan rencananya dengan
sempurna. Pedangnya kemudian tidak lagi terjulur lurus, tetapi pedang itu
terayun dengan cepatnya. Ia ingin menyobek dada Wuranta dan langsung memukul
pedang Agung Sedayu. Yang terdengar kemudian adalah desah Wuranta tertahan,
disusul oleh dentang kedua pedang beradu. Wuranta ternyata terdorong beberapa
langkah surut. Apabila ia tidak membentur dinding bambu maka ia pasti akan
terpelanting jatuh. Kedua tangannya tertekan di dadanya. Dan dari sela-sela
jari-jari tangannya itu mengalir darah yang merah segar. Namun ternyata Sidanti
yang tidak sepenuhnya dapat melawan tenaga Agung Sedayu itu pun terdorong
beberapa langkah mundur. Betapa kemarahan membayang di wajahnya sehingga wajah
itu seolah-olah telah membara. Tetapi ketika ia melihat darah di dada Wuranta,
maka ia masih juga dapat tertawa sambil berteriak.
“Nah, salahmulah
kalau kau hari ini diterkam maut.”
Wuranta
memandang Sidanti dengan mata yang memancarkan kebencian. Tampaklah mulutnya
bergerak-gerak, dan terdengarlah ia berkata perlahan-lahan,
“Lukaku tidak
seberapa Sidanti.”
“Persetan!”
teriak Sidanti. “Tetapi kau akan mati. Kau akan mati. Kalau tidak oleh lukamu
itu, maka sesudah aku membunuh Agung Sedayu dan Swandaru, maka akan datang juga
giliranmu.”
Wuranta tidak
menjawab tetapi bibirnya masih juga bergetar. Yang terdengar adalah suara
Swandaru tertawa menyakitkan hati. Katanya,
“Sidanti, kau
masih juga sempat menyombongkan dirimu. Aku sekarang bukan Swandaru yang akan
berdiam dirinya ditampar mulutnya. Aku sekarang mempunyai kesempatan yang
serupa dengan kau.”
“O, jangan
membual kau kerbau bodoh,” sahut Sidanti.
“Ayo, majulah
kalian berdua, aku sudah siap.”
Agung Sedayu
masih belum menjawab sepatah kata pun. Sekilas ia memandangi wajah Wuranta yang
menyeringai menahan sakit. Tetapi menurut penilaian Agung Sedayu, luka itu
tidak akan membahayakan jiwanya, seandainya Wuranta tidak kehabisan darah.
Diam-diam Agung Sedayu mengharap kehadiran Ki Tanu Metir. Bukan karena ia cemas
menghadapi lawan-lawannya, tetapi Ki Tanu Metir akan dapat menolong Wuranta
yang terluka itu.
Sebelum
seorang pun menjawab, maka terdengar
suara di luar pintu,
“Siapakah
orang-orang itu Sidanti?”
Ketika mereka
yang berada di dalam rumah itu berpaling, maka yang mereka lihat adalah
Argajaya dan Ki Tambak Wedi berdiri sambil memandang mereka yang berada di
dalam rumah itu dengan marahnya.
“Guru,” sahut
Sidanti,
“ternyata di
sini ada tikus-tikus dari Jati Anom dan Sangkal Putung bersama-sama.”
“O,” Ki Tambak
Wedi mengangguk-anggukkan kepalanya,
“ternyata
kalian telah berada di sini pula.”
Agung Sedayu,
Swandaru, Sekar Mirah, dan Wuranta seakan-akan membeku di tempatnya melihat
orang tua itu berdiri dengan wajah yang membayangkan kemarahan yang telah
membakar jantungnya.
Apalagi ketika
mereka mendengar Ki Tambak Wedi itu berkata,
“Sidanti,
jangan kau perturutkan perasaanmu. Kita harus segera menyelesaikan pekerjaan
ini. Karena itu, supaya semua dapat selesai dengan cepat, biarlah aku saja yang
menyelesaikannya. Aku akan membunuh mereka bertiga, dan sementara itu bawa
gadis itu pergi.”
Kata-kata itu
cukup tegas dan pasti. Tak akan ada orang yang dapat menghalangi Ki Tambak Wedi
berbuat demikian. Memang Ki Tambak Wedi akan dapat menyelesaikannya dengan
cepat. Tetapi yang berada di dalam gubug itu bukan hanya tiga ekor tikus dari
Jati Anom dan Sangkal Putung. Tetapi mereka cukup jantan yang mempunyai harga
diri sebagai seorang laki-laki. Karena itu maka Agung Sedayu menjawab,
“Ki Tambak
Wedi. Kalau Kiai akan melakukan hal itu, maka Kiai akan segera dapat
menyelesaikan. Dan biarlah murid Kiai dan pamannya itu melihat, bahwa ternyata
Ki Tambak Wedi adalah seorang pahlawan yang berani. Tetapi murid Kiai sendiri
sama sekali tidak mempunyai keberanian dan kemampuan berbuat sesuatu.”
Betapa
kata-kata itu menusuk jantung Sidanti. Dengan lantang ia berteriak,
“Cukup! Aku
mampu membunuhmu dengan tanganku.”
“Jangan
hiraukan Sidanti,” potong Ki Tambak Wedi,
“orang itu
sengaja membakar perasaanmu supaya ia mendapat waktu untuk menunggu bantuan
dari orang-orang Pajang. Dengarkan aku. Aku akan membunuhnya. Kita perlu
menghemat waktu. Nah, sekarang keluarlah.”
Terdengar gigi
Sidanti gemeretak. Betapa ia merasa tersinggung mendengar kata-kata Agung
Sedayu. Apalagi ketika kemudian terdengar Swandaru tertawa mengejeknya sambil
berkata,
“Keluarlah
Sidanti, supaya kau tidak menjadi pingsan mendengar aku dan Kakang Agung Sedayu
berteriak ketakutan, dan melihat darah yang memancar dari leher kami.”
“Tutup
mulutmu,” Sidanti berteriak semakin keras,
“aku masih
sanggup mencekikmu sampai mati.”
“Tetapi kau
tidak akan mendapat kesempatan untuk melakukannya. Juga pamanmu itu,” sahut
Swandaru.
“Bukankah
begitu Argajaya yang perkasa? Apakah kau masih ingat kepada kami yang menjadi
saksi betapa kau sama sekali tidak berdaya menghadapi anak muda pengawal
Kademangan Sangkal Putung yang bernama Sutajia.”
“Diam!”
Argajaya pun berteriak. Tetapi Ki Tambak
Wedi berteriak lebih keras,
“Cukup! Cukup.
Ayo, kau keluar Sidanti. Jangan hiraukan igauan mereka. Aku akan segera
membunuhnya.”
Sidanti tidak
dapat berbuat lain dari menuruti perintah itu. Perlahan-lahan ia melangkah ke
arah pintu. Sekali ia berhenti dan berpating memandangi wajah-wajah di dalam
gubug itu. Wajah Agung Sedayu, Swandaru, Wuranta, dan Sekar Mirah.
“Jangan
cemaskan gadis itu,” bentak Ki Tambak Wedi yang sudah tidak bersabar lagi,
“ia akan
selamat dan kau dapat membawanya setelah aku menyelesaikan pekerjaanku.”
“Baik, Guru,”
sahut Sidanti perlahan-lahan sambil meninggalkan ruangan itu. Tetapi ia masih
juga berhenti ketika ia mendengar suara tertawa Agung Sedayu,
“Nah,
keluarlah anak manis. Dengarlah ibu akan berdendang supaya kau segera tidur di
pangkuannya.”
“Gila, gila!”
teriak Sidanti. Tetapi disusul oleh suara Ki Tambak Wedi,
“Kau yang gila
Sidanti. Cepat keluar!”
Sidanti tidak
sempat berbuat apa-apa lagi ketika ia merasa sebuah tarikan yang kuat di
lengannya. Ternyata Ki Tambak Wedi telah benar-benar kehilangan kesabaran.
Didorongnya Sidanti keluar sehingga anak itu hampir jatuh terjerembab.
“Nah,
membuallah untuk yang terakhir kali,” geram Ki Tambak Wedi.
“Setelah ini
kau akan diam untuk selamanya. Dan Sekar Mirah akan ikut dengan kami
meninggalkan padepokan ini.”
Kali ini
terdengar jerit gadis itu melengking tinggi,
“Tidak! Aku
tidak mau. Lebih baik kau membunuh aku sama sekali bersama orang-orang lain di
dalam rumah ini.”
“Itu bukan
urusanku,” sahut Ki Tambak Wedi, “mintalah kepada Sidanti nanti sesudah aku
selesai.”
“Tidak!
Tidak!” Sekar Mirah memekik-mekik.
Tetapi Ki
Tambak Wedi sudah tidak menghiraukannya. Kini ia berjalan perlahan-lahan
memasuki rumah itu. Melangkahi tlundak dan berhenti sejenak. Di tangannya
ternyata tergenggam senjata ciri kebesaran padepokan Tambak Wedi. Nenggala.
Diputarnya
pandangan matanya di sekeliling ruangan. Dilihatnya Wuranta dengan lemah
bersandar dinding. Darahnya masih juga menetes dari luka di dadanya. Meskipun
luka itu tidak terlampau dalam, tetapi darah yang keluar itulah yang berbahaya
baginya.
“Tanpa
kusentuh kau sudah akan mati,” gumam Ki Tambak Wedi.
“Dengan
membiarkan kau tidur di sini sehari ini, kau sudah tidak akan mendapat
kesempatan bangun lagi karena kehabisan darah.”
Wuranta tidak
menjawab. Mulutnya serasa membeku melihat semua yang terjadi di sekitamya.
Tetapi sekali
lagi mereka terkejut. Mereka mendengar derit kecil di sudut rumah itu. Ketika
mereka berpaling, mereka melihat sesosok tubuh meluncur masuk ke dalam lewat dinding
yang terbuka di sudut. Hanya sekejap. Dan sekejap kemudian mereka telah melihat
tubuh itu tegak berdiri. Tampaklah oleh mereka sebuah wajah yang tersenyum
sambil berkata.
“Permainan di
sini agaknya lebih menarik daripada di banjar itu. Karena itu aku memilih ikut
bermain-main di sini saja.”
“Setan Alas!”
Ki Tambak Wedi berteriak dengan penuh kemarahan ketika ia menyadari siapakah
yang berdiri di luar rumah itu. Di tangan orang itu tergenggam sebuah cambuk
yang bertangkai pendek tetapi berjuntai panjang. Juntainya masih tergulung, dan
berada di dalam genggaman tangan yang lain.
“Selamat
bertemu lagi, Kiai,” berkata orang itu sambil membungkuk hormat.
“Persetan akan
kedatanganmu. Kau hanya akan menyaksikan orang-orang ini mati terbunuh.”
“Aku tahu
bahwa kau bersungguh-sungguh. Senjata di tanganmu yang bukan hanya sekedar
gelang-gelang besi menyatakan bahwa kau tidak sedang bermain-main. Senjata itu
biasanya berada di tangan muridmu setelah senjatanya tertinggal di Sangkal
Putung. Tetap kini kau telah menggenggamnya, tidak sekedar tergantung di
lambungmu, di dalam selongsongnya. Mungkin karena muridmu baru saja
menyelesaikan perang tanding, dan senjata itu tidak diperlukannya. Tetapi bahwa
senjata itu berada di tanganmu adalah sangat membahayakan sekali. Karena itu
aku terpaksa membawa cambukku ini pula. Mudah-mudahan kita tidak akan terganggu
lagi kali ini.”
Ki Tambak Wedi
menggeram mendengar kata-kata Ki Tanu Metir. Kata-kata itu tegas dan langsung
menyentuh dinding jantungnya. Tantangan Ki Tanu Metir agaknya juga tidak hanya
sekedar bersenda-gurau. Betapa kemarahan menyala di dada Ki Tambak Wedi.
Kehadiran Ki Tanu Metir benar-benar telah mengganggunya. Tetapi kini ia telah
berdiri berhadapan sehingga sulitlah untuk menghindari tantangannya itu. Sejenak
Ki Tambak Wedi tidak menjawab. Dipandanginya wajah Ki Tanu Metir yang tenang
tetapi dalam, kemudian wajah Agung Sedayu yang bersungguh-sungguh dan Swandaru
Geni yang gemuk.
“Kau dapat
membawa muridmu dan pamannya serta,” berkata Ki Tanu Metir,
“tetapi
apabila tidak kau kehendaki, maka biarlah mereka menjadi saksi. Kedua muridku
pun tidak akan mengganggumu. Bagaimana?”
Dada Ki Tambak
Wedi serasa akan bengkah mendengarnya. Namun ia masih harus mempertimbangkan
segala kemungkinan. Di dalam padepokan itu Untara dan pasukannya seakan-akan
telah melanda seperti banjir bandang yang tidak akan dapat dibendung lagi.
Tetapi Sidanti
yang melihat kehadiran Ki Tanu Metir dan mendengar tantangannya di luar pintu
berteriak,
“Baiklah kami
terima tantangan itu guru. Aku memang ingin membelah dada Agung Sedayu dan
Swandaru. Biarlah Sekar Mirah menjadi saksi, bahwa kedua laki-laki itu sama
sekali tidak berarti. Terutama Agung Sedayu itu.”
Sekali lagi Ki
Tambak Wedi menggeram. Ia pun menyadari bahwa kini ia tidak mempunyai pilihan
lain, kecuali Sidanti masih ada Argajaya. Mungkin perbedaan keseimbangan yang
kecil, akan sangat berarti dalam keadaan serupa itu. Mungkin Argajaya mempunyai
sedikit kelebihan atas salah seorang kedua murid Ki Tanu Metir atau mungkin
Sidanti sendiri. Karena itu, maka tidak ada kesempatan untuk berbuat lain
daripada menjawab,
“Baiklah Kiai
Gringsing. Tantanganmu aku terima. Tentang murid-muridmu dan muridku serta
pamannya. Biarlah mereka menentukan sikap mereka sendiri. Kalau mereka ingin
bertempur, biarlah mereka mencoba diri, apakah ilmu keturunan perguruan Tambak
Wedi lebih baik dari perguruan Kiai Gringsing.”
“Bagus,
bagus,” sahut Kiai Gringsing,
“marilah kita
berbuat seperti orang-orang yang sudah pikun. Kita pilih tempat yang luas,
tidak di dalam gubug yang sempit, supaya kita masing-masing mendapat kesempatan
leluasa untuk berbuat apa saja sesuai dengan kegemaran orang tua-tua.”
Ki Tambak Wedi
terdiam sesaat. Ia menggenggam senjata yang pendek. Baginya tempat yang sempit
mempunyai kemungkinan yang lebih baik daripada cambuk Ki Tanu Metir. Tetapi di
dalam tempat yang sempit, apabila tiba-tiba pasukan Untara itu meluas sampai ke
tempat ini, maka sangat sulitlah baginya untuk melepaskan diri. Ia juga tidak
akan dapat mengawasi murid dan pamannya, serta memberinya isarat apa pun,
karena mereka pasti akan berkelahi di luar. Dengan demikian maka Ki Tambak Wedi
itu pun menjawab,
“Baiklah,
Kiai. Tantangamnu aku terima penuh. Aku bersedia berkelahi di luar meskipun
bagiku di dalam ruangan yang sempit telah menguntungkan. Bukankah kau tidak
berani bertempur di dalam karena jenis senjata itu? Kau memerlukan tempat yang
cukup luas, supaya juntai cambukmu tidak tersangkut dinding.”
Ki Tanu Metir
tertawa mendengar dawaban Ki Tambak Wedi itu. Katanya,
“Jangan seperti
kanak-kanak, Kiai. Alasan semacam itu adalah alasan bagi anak-anak cengeng.
Kalau seandainya kau merasa mendapat keuntungan berkelahi di dalam, marilah
kita berkelahi di dalam ruangan ini. Aku sama sekali tidak berkeberatan.
Cambukku pun tidak akan terganggu pula,
sebab cambukku adalah senjata yang telah aku kenal sejak bertahun-tahun,
sehingga sifat-sifatnya pun aku kenal
dengan baik seperti engkau mengenal jenis senjatamu yang mengerikan itu.”
Wajah Ki
Tambak Wedi menjadi semakin merah mendengar jawaban itu. Sahutnya hampir
berteriak,
“Jangan banyak
bicara lagi. Aku tunggu kau di luar bersama kedua muridmu.”
“Baik. Di luar
udaranya cerah dan angin membuat tubuh kita menjadi segar. Kesempatan untuk
lari pun lebih luas terbuka. Seandainya salah satu pihak dari kita merasa tidak
mampu lagi untuk melawan, maka kita akan dapat segera meloncat meninggalkan
gelanggang. Tetapi di dalam ruangan yang sempat ini, kesempatan itu hampir
tidak ada.”
“Persetan!
Jangan mengigau lagi,” kini Ki Tambak Wedi benar-benar berteriak. Ia tidak lagi
menunggu jawaban Kiai Gringsing. Dengan tergesa-gesa ia melangkah ke luar. Dan
dengan garangnya berdiri bertolak pinggang di halaman, di samping muridnya.
Namun ia sempat berbisik,
“Kalau pasukan
Untara datang kemari, kita harus meninggalkan tempat ini.”
“Bagaimana
dengan Sekar Mirah?” bertanya Sidanti perlahan.
“Kita melihat
perkembangan keadaan. Tetapi setan itu benar-benar mengganggu.”
Dada Sidanti
menjadi pepat mendengar jawaban gurunya. Kehadiran Kiai Gringsing benar-benar
telah membuat jantungnya hampir meledak. Tetapi ia tidak dapat menutup
kenyataan, bahwa mengalahkan orang-orang itu bukan pekerjaan yang terlampau
mudah. Mungkin Sidanti dan Argajaya mempunyai beberapa kelebihan dari kedua
murid Kiai Gringsing. Namun kedua orang itu
pun masih memerlukan waktu untuk mengalahkannya. Kiai Gringsing pun segera melangkah menyusul Ki Tambak Wedi,
keluar rumah. Tetapi langkahnya tertegun ketika ia melihat Wuranta. Orang tua
itu melihat luka di dada anak muda itu, dan ia melihat darah masih saja menetes
dari luka itu. Maka Kiai Gringsing pun
segera mengambil sebuah bumbung kecil dari kantong ikat pinggangnya. “Inilah,
Ngger,” berkata orang tua itu,
“di dalam
bumbung ini ada bubuk yang dapat kau pakai untuk menahan darah itu. Taburkanlah
bubuk itu sedikit saja pada lukamu. Mudah-mudahan luka itu tidak akan
mengeluarkan darah lagi. Tetapi jangan terlampau banyak bergerak. Sisanya,
tolong simpanlah dahulu.”
Wuranta masih
saja berdiri seperti tonggak. Ditatapnya saja Kiai Gringsing seperti baru
dilihatnya kali itu. Tetapi ketika tangan Kiai Gringsing terjulur menyerahkan
bumbung kecil, maka seperti bukan kehendaknya sendiri, Wuranta pun menerima.
“Jangan kau
sia-siakan waktumu,” berkata Ki Tanu Metir.
“Cepat,
usahakan lukamu itu tidak lagi mengeluarkan darah supaya kau masih cukup
mempunyai kekuatan untuk kembali ke Jati Anom.”
Wuranta kini
mengangguk. Kata-kata Ki Tanu Metir itu seperti sebuah pesona yang tidak
dimengertinya. Namun terasa bahwa tak ada cara lain baginya daripada memenuhinya.
“Mudah-mudahan
obat itu menolong,” gumam Ki Tanu Metir.
“Kemudian
awasilah Sekar Mirah. Mungkin masih ada bahaya yang mengintainya. Kami akan
berusaha untuk menghindarkannya dari tangan Sidanti dan gurunya.”
Tanpa
sesadarnya Wuranta mengangguk.
“Nah, aku akan
melayani Ki Tambak Wedi,” guman Ki Tanu Metir sambil melangkah meninggalkan
anak muda itu. Sampai di muka pintu ia berpaling. Dilihatnya Sekar Mirah
berdiri menggigil di belakang Swandaru Geni. Di sisi dinding yang lain ia
melihat Agung Sedayu. Sedang kedua orang Tambak Wedi yang terikat tanganya
masih berdiri beradu punggung.
“Marilah,”
berkata Ki Tanu Metir,
”kalian
mempunyai pekerjaan. Di luar ada dua orang yang menunggu kalian selain Ki
Tambak Wedi. Menurut penilaianku maka kau berdua, Angger Swandaru Geni dan
angger Agung Sedayu akan dapat melayaninya apabila dikehendaki. Tetapi
dengarlah nasehatku. Keduanya adalah orang-orang yang tangguh tanggon.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar