Jilid 024 Halaman 2


Bahkan orang-orang berkuda itu agaknya lebih tangkas dari orang-orang yang bertempur di halaman banjar. Tiba-tiba Ki Tambak Wedi menarik nafas dalam-dalam. Ia sama sekali tidak berminat lagi untuk menyerang orang-orang yang berada di halaman banjar dengan gelang-gelangnya. Orang-orang Pajang itu ternyata kini sedang bertempur dengan orang-orang Jipang. Perhatiannya kini di tujukan kepada orang-orangnya yang telah meloncati dinding halaman. Ki Tambak Wedi adalah seorang yang mempunyai pandangan yang jauh dan cukup terang. Ia tidak percaya bahwa Untara hanya akan bertempur dengan orang-orangnya itu. Perhitungannya telah mengatakan kepadanya, bahwa di belakang barisan berkuda ini pasti akan segera menyusul pasukannya yang lain. Tetapi ia sengaja tidak mengatakannya kepada siapa pun, sebab ia sengaja membiarkan perkelahian ini berkecamuk terus untuk memberinya kesempatan melarikan diri. Sedang Sanakeling yang sedang menjadi mata gelap karena persoalan yang bertubi-tubi, tidak sempat membuat perhitungkan lain. Meskipun ia telah menduga bahwa prajurit Pajang mungkin akan bertambah, namun ia merasa bahwa pasukan yang ada akan segera dapat mengatasi keadaan melawan pasukan Untara yang tidak begitu kuat. Kemudian sesudah ini, entahlah apa yang akan dilakukannya. Melarikan diri, bersembunyi atau apa pun untuk mendapat kesempatan bertempur dengan Sidanti. Pertempuran di halaman banjar, di halaman sebelah, di jalan-jalan  pun menjadi semakin seru. Untara ternyata tidak dapat mengingkari kenyataan bahwa jumlah orang-orang Jipang dan Tambak Wedi masih cukup berbahaya bagi anak buahnya. Karena itu, maka ia harus berhati-hati, dan menjaga supaya pasukannya mampu bertahan sampai pasukannya yang lain datang ke padepokan ini.

Hatinya menjadi berdebar-debar ketika ia melihat Sidanti, Argajaya, dan sebagian besar orang-orangnya telah meloncati halaman. Bahkan kemudian Ki Tambak Wedi  pun kini telah berdiri di atas dinding batu melihat keseluruhan dari pertempuran itu.
“Dari sana setan itu akan dapat membidik setiap orang yang dikehendaki,” desis Untara di dalam hatinya. Namun ternyata perwira bawahannya  pun telah memperhitungkannya pula. Karena itu, maka hampir bersamaan beberapa ekor kuda menyambarnya beruntun, sedang penunggangnya mencoba menyentuh tubuh itu dengan pedang. Ki Tambak Wedi yang sedang memperhitungkan pertempuran itu terkejut mendapat serangan yang tiba-tiba. Sekali lagi terpaksa meloncat turun ke halaman banjar.
“Gila,” desisnya.
Pada saat yang demikian, pada saat pasukan Untara berada dalam keadaan, yang cukup gawat, seorang penghubung telah mendatanginya. Karena itu maka Untara tidak segera menyerang Sanakeling. Diterimanya penghubung itu dengan harapan, bahwa pasukannya yang berjalan kaki telah datang. Dibiarkannya beberapa orang lebih dahulu menahan Sanakeling dan pasukannya. Ternyata harapannya itu terjadi. Penghubung itu mengabarkan bahwa pasukannya yang berjalan kaki kini telah memasuki pintu gerbang padepokan itu.
“Bagus,” desis Untara,
“bawalah mereka langsung ke pertempuran ini. Aku kini mempunyai perhitungan bahwa kita akan segera menyelesaikan tugas kita. Usahakan pasukan itu mengepung pertempuran ini, usahakan bahwa tidak seorang  pun dapat lolos, termasuk Ki Tambak Wedi itu.”
Penghubung itu pun segera melakukan tugasnya. Dengan cepat menemui pasukan yang baru datang memasuki regol padepokan Tambak Wedi, yang seakan-akan terbuka tanpa seorang penjaga pun bertugas di tempat itu. Pasukan itu pun dengan tergesa-gesa melakukan perintah Untara. Dengan diam-diam pasukan itu menebar dan segera mendekati tempat pertempuran itu dari segala arah.
Tepat pada saat-saat Untara merasa terdesak, dan memerlukan bantuan dari pasukannya itu, pertempuran itu telah dikejutkan oleh kehadiran prajurit Pajang yang lebih banyak dari prajurit-prajurit berkuda. Ki Tambak Wedi yang melihat kedatangan pasukan itu, menggeram. Meskipun ia telah menduga bahwa hal itu akan terjadi, namun kedatangan itu agak terlampau cepat dari perhitungannya. Dan iblis itu tidak habis berpikir, siapakah yang telah membawa Untara itu memasuki padepokannya. Siapakah yang telah memberitahukan kepada senapati yang seakan-akan memiliki beribu telinga dan mata itu, bahwa pasukan di padepokannya sedang kisruh di antara mereka sendiri, sehingga Senapati Pajang yang masih muda itu, tiba-tiba saja telah berada di padepokannya. Sedangkan Sanakeling, Sidanti, dan Argajaya  pun tidak kalah terkejut seperti setiap prajurit Jipang dan Tambak Wedi yang lain.
Dengan kehadiran pasukan itu maka keadaan hampir telah dapat diperhitungkan, bagaimana akan berakhir. Karena itu, maka dalam hiruk-pikuk pertempuran, Untara masih mencoba sekali lagi berteriak sekeras-kerasnya, katanya,
“He, Sanakeling dan Ki Tambak Wedi, apakah kalian masih tetap dalam pendirian kalian untuk tidak menyerah? Sebaiknya kalian membuat pertimbangan-pertimbangan baru. Kini keadaan telah memberikan keyakinan, bagaimana akan jadinya pasukan kalian apabila kalian tetap berkeras kepala?”
Yang menyahut adalah Ki Tiambak Wedi dengan suara yang tidak kalah kerasnya,
“Hanya betina-betina pengecut sajalah yang menyerah dalam pertempuran seperti ini. Ayo Untara, kerahkan semua prajuritmu. Gelang-gelang besiku tidak terbatas jumlahnya. Aku akan membunuh mereka satu demi satu dari atas dinding halaman itu.”
Namun Untara menyahut,
“Jangan membual. Betapa tinggi kesaktian yang kau miliki, tetapi tenaga manusia pasti mempunyai batas. Kau tidak akan dapat melawan duapuluh lima orang sekaligus.”
Ki Tambak Wedi menggeram mendengar kata-kata Untara itu. Meskipun demikian ia menyadari bahwa kata-kata itu mengandung kebenaran. Ia tidak akan dapat melewati duapuluh lima orang sekaligus. Apalagi apabila orang yang berjumlah duapuluh lima itu seakan-akan tidak dapat berkurang. Sebab apabila salah seorang dari mereka terbunuh, maka orang lain lagi datang menggantikannya.

Tetapi Ki Tambak Wedi harus tetap di tempatnya. Bahkan apabila mungkin ia harus tetap membakar hati Sanakeling untuk bertempur terus bersama orang-orangnya, sementara ia mendapat kesempatan untuk melarikan diri. Jangankan orang-orang Jipang, sedang orang-orangnya sendiri, Ki Tambak Wedi tidak segan-segan untuk mengorbankannya. Baginya sudah tidak akan ada gunanya lagi mempertahankan padepokan yang sudah mulai runtuh itu. Biarlah yang tidak dapat di selamatkan ini runtuh sama sekali, tetapi asal dirinya sendiri dan muridnya yang kelak akan meneruskan perguruannya dapat di selamatkannya. Itulah sebabnya, maka perhitungan Tambak Wedi kini sama sekali tidak tertuju pada keseimbangan pasukan lagi, tetapi bagaimana ia mendapat perisai untuk membebaskan dirinya. Sanakeling yang sedang dibakar oleh keadaan itu, sama sekali tidak menyangka, bahwa Ki Tambak Wedi, Sidanti, dan Argajaya telah bersiap untuk mengkhianatinya. Apalagi ketika ia melihat, bahwa pasukan Tambak Wedi sendiri benar-benar telah ditelan oleh peperangan yang dahsyat. Sanakeling masih sempat melihat Sidanti meloncat-loncat di tengah-tengah api peperangan itu, sedang di sampingnya itu melihat Argajaya mengamuk seperti harimau luka. Sedang Ki Tambak Wedi sendiri melakukan apa yang dikatakannya. Dari atas dinding batu ia melontarkan beberapa gelang besinya. Setiap kali ia melepaskan senjatanya itu, terdengar lawannya mengaduh, dan kemudian jatuh terbanting di tanah. Tetapi ia tidak dapat bertahan di tempatnya terlampau lama. Beberapa orang terpilih selalu menyerangnya. Kini bukan saja orang-orang berkuda yang menyambar-nyambarnya seperti burung-burung elang yang beriringan, tetapi orang-orang yang berdiri di atas kaki mereka  pun datang beruntun seperti arus banjir yang melanda tanggul. Terus-menerus tidak pernah terputus. Dengan demikian maka akhirnya Ki Tambak Wedi itu harus sekali lagi meloncat turun dan bertempur di antara perkelahian yang hiruk-pikuk. Namun iblis yang licik itu tersenyum di dalam hati, ketika ia melihat Untara meloncat turun dari kudanya dan dengan mantap mendapatkan Sanakeling. Sejenak kemudian keduanya telah terlibat dalam perkelahian yang sengit di antara anak buah masing-masing. Meskipun Sanakeling tidak setangguh Tohpati yang bergelar Macan Kepatihan, namun melawan orang ini pun Untara harus cukup berhati-hati. Apalagi ketika tumbuh keinginan di dalam hatinya untuk menangkap Sanakeling hidup-hidup. Apabila demikian, maka Sanakeling akan dapat dipergunakannya untuk alat di bagian-bagian lain daripada bekas kekuasaan Demak, untuk menenteramkan sisa-sisa pasukannya yang liar. Apalagi di bagian Utara, bekas medan tempur yang dipilihnya. Gerombolan-gerobolan kecil yang masih berkeliaran di tempat itu pasti akan patah tekad dan kemauan mereka, apabila mereka mendengar dan melihat, bahwa Sanakeling benar-benar telah tertangkap.

Tetapi Sanakeling sendiri sudah bertekad, bahwa jangan seorang pun di antara mereka yang tertangkap hidup. Itu adalah suatu peristiwa yang sangat memalukan baginya dan bagi orang-orangnya. Mereka akan mengalami penghinaan yang jauh lebih berat daripada mati bagi seorang prajurit. Sebab menurut gambaran angan-angan Sanakeling, apabila mereka tertangkap hidup, maka mereka akan diarak di sepanjang jalan. Orang-orang yang melihat mereka akan bersorak-sorak sambil melempari mereka dengan batu. Kemudian mereka akan diikat di alun-alun. Karena mereka telah menyia-nyiakan kesempatan pertama untuk menyerah, maka mereka akan mendapat hukuman picis. Mati pelahan-lahan di tiang hukuman, karena goresan-goresan pisau setiap orang yang lewat sambil menaburi luka mereka dengan garam dan air asam.
Karena itu, maka yang terjadi selanjutnya adalah pertempuran yang sangat dahsyat. Orang-orang Jipang yang putus asa, berkelahi membabi buta. Demikian juga orang-orang Tambak Wedi yang menganggap, bahwa peperangan ini bagi mereka adalah mempertahankan padepokan mereka. Mereka menganggap bahwa adalah menjadi kewajiban mereka untuk mempertahankan setiap jengkal tanah dengan darahnya dan bahkan nyawanya.
Untara yang langsung bertempur melawan Sanakeling merasakan, betapa Sanakeling telah kehilangan segala macam pertimbangannya. Seakan-akan wajah orang yang hitam itu telah memancarkan tekadnya, tidak untuk bertempur dan membinasakan lawannya, tetapi perkelahian itu hanya merupakan alat baginya untuk membunuh diri. Dalam keadaan itu Sanakeling telah lupa segala-galanya. Lupa kepada Sidanti dan janjinya untuk melakukan perang tanding. Meskipun demikian, sepasang senjata Sanakeling tetap berbahaya bagi Untara. Bindi di tangan kiri dan pedang di tangan kanan adalah pasangan senjata ciri kegarangan Sanakeling. Dan sepasang senjata itu kini menyambar-nyambar mengerikan. Namun, yang dihadapinya adalah Senapati Pajang yang bertugas langsung menyelesaikan persoalannya di daerah itu. Meskipun Untara hanya bersenjata tunggal, tetapi senjata itu cukup lincah untuk melawan sepasang senjata lawannya yang mengerikan.
Di sisi lain, Sidanti dan Argajaya pun mengalami tekanan yang tidak mudah di atasinya. Empat lima orang sekaligus mengepungnya dengan rapat dan rapi, seakan-akan mereka sengaja disiapkan untuk melawannya. Setiap kali mereka berpaling ke arah Ki Tambak Wedi yang berkelahi di sampingnya, maka setiap kali mereka melihat bahwa orang tua itu pun ternyata sedang sibuk melayani musuh-musuhnya. Betapa buasnya seekor harimau, namun melawan serigala yang baik, yang jumlahnya tidak terbatas, maka akhirnya harimau itu  pun akan jatuh terkapar di tanah. Demikian pula agaknya nasib iblis lereng Merapi yang merasa dirinya tak terkalahkan, apabila ia masih tetap berada di pertempuran itu. Karena itu, maka setelah pertempuran itu menjadi semakin ribut, sampailah ia pada rencananya. Menghindar dari padepokannya yang sebentar lagi akan hancur dilanda arus prajurit Pajang.

Tetapi sudah barang tentu ia tidak akan dapat pergi begitu saja, sebab prajurit Pajang telah mengepungnya dengan ketat. Juga ia tidak boleh dilihat oleh orang-orang Jipang yang sedang berkelahi mati-matian, bahkan oleh orang-orangnya sendiri. Itulah sebabnya, maka setelah keputusannya jatuh untuk melarikan diri, Ki Tambak Wedi itu tampaknya menjadi semakin garang. Dilontar-lontarkannya beberapa gelang besinya dan diamuknya setiap orang yang dekat. Orang tua yang mengerikan itu berloncatan kian-kemari, menyusup di antara kawan dan bahkan di antara lawan. Dengan demikian, maka pertempuran menjadi kacau. Beberapa orang menjadi ngeri melihat tandangnya. Sidanti melihat sikap gurunya itu. Segera ia tanggap pada keadaan, sehingga dengan isyarat ia memberitahukannya kepada pamannya untuk mempersiapkan diri meninggalkan perkelahian. Betapa kisruhnya perkelahian itu, sehingga ketiga orang yang limpat tetapi licik itu akhirnya berhasil menyusup ke dalam pasukan sendiri, perlahan-lahan mereka berlindung di antara orang-orang Tambak Wedi yang berkelahi membabi buta. Setiap kali mereka mendengar Tambak Wedi membakar nafsu mereka dengan meneriakkan beberapa kata-kata. Menyusupkan pengertian, bahwa mereka sedang berkelahi untuk kepentingan kampung halaman. Sedumuk batuk, senyari bumi, totohane pati. Ki Tambak Wedi, Sidanti, dan Argajaya kemudian dengan saling memberikan isyarat, melepaskan diri dari setiap ikatan peperangan yang kacau. Mereka adalah orang-orang yang mengenal padepokan itu dengan baiknya. Segala sudut dan seginya telah mereka ketahui dengan saksama. Itulah sebabnya, maka mereka berhasil melenyapkan diri mereka di balik pagar dinding yang rendah, di belakang garis peperangan itu. Kemudian menyusup menghilang di dalam gerumbul-gerumbul yang lebat. Dengan diam-diam mereka meloncat dari gerumbul yang satu ke gerumbul yang lain. Mereka sadar, bahwa sebentar lagi, orang-orang di dalam peperangan itu pasti akan menyadari, bahwa mereka bertiga telah hilang dari antara mereka. Setelah beberapa langkah mereka menghindar, maka segera mereka mencari jalan untuk menembus lingkaran orang-orang Pajang yang menebar, mengawasi medan dengan amat cermatnya. Tetapi orang-orang Pajang tidak mengenal padepokan itu sebaik Ki Tambak Wedi. Orang-orang Pajang tidak mengenal batas-batas rumpun-rumpun bambu yang lebat dan tanaman-tanaman liar yang tumbuh di antara dinding-dinding yang bersilang melintang membatasi setiap halaman. Dengan demikian, maka akhirnya ketiganya berhasil menghilang dari peperangan. Untuk sementara tak seorang pun yang mengetahuinya. Setiap orang di medan peperangan itu sedang di sibukkan oleh lawan masing-masing. Bahkan kemudian, perang itu menjadi seolah-olah perang brubuh. Mereka tidak dapat mengenal lawan-lawan mereka seorang demi seorang. Mereka bertempur bersama-sama dalam pergumulan yang kacau. Mereka menikam lawan yang dekat dari setiap orang, dan mereka menyerang siapa saja yang lengah di sekitarnya tanpa pilih. Bahkan orang-orang yang semula dipersiapkan untuk khusus melawan Ki Tombak Wedi pun tidak berhasil selalu membayanginya. Sejenak sebelum melarikan diri Ki Tambak Wedi meloncat-loncat dari satu tempat ke tempat yang lain, hampir menyusur sepanjang halaman. Bahkan sekali-sekali orang tua itu meloncat pula ke pertempuran yang memanjang di jalan di muka halaman banjar. Dengan demikian maka orang tua itu hampir mengitari tidak saja satu halaman, tetapi di mana peperangan berkecamuk, di situ Ki Tambak Wedi tiba-tiba saja muncul. Namun apa yang dilakukan itu, semata-mata sebagai persiapannya untuk menghilang. Dengan demikian, maka orang-orangnya sendiri maupun lawan-lawannya menganggap bahwa Ki Tambak Wedi sedang berada di medan yang lain.

Setelah mereka bertiga berhasil keluar dari pengawasan para prajurit Pajang, maka segera mereka berlari semakin menjauhi peperangan. Namun tiba-tiba Sidanti berkata,
“Guru, aku harus mengambil Sekar Mirah dahulu sebelum keluar dari padepokan ini.”
“He,” Ki Tambak Wedi berkerut.
“Gadis itu harus kita bawa serta. Banyak manfaatnya. Tidak saja bagiku, tetapi juga bagi kita semua. Apabila kita kehilangan kesempatan untuk keluar, maka Sekar Mirah akan dapat kita jadikan alat.”
Ki Tambak Wedi berpikir sejenak. Kemudian ia bergumam,
“Ada untungnya, tetapi ada pula kesulitannya. Kita tidak akan dapat lari dengan cepat, sebab kita harus membawa gadis itu. Namun benar juga katamu, bahwa gadis itu pun dapat kita jadikan perisai demi keselamatan kita.”
“Jadi, bagaimana Guru?”
Ki Tambak Wedi menjadi ragu-ragu sejenak. Tanpa sesadarnya dipandanginya Argajaya yang berlari di sampingnya.
“Bagaimana, Ngger?” bertanya Ki Tambak Wedi.
“Terserah kepada Kiai,” jawab Argajaya.
“Baiklah. Kita pergunakan gadis itu sebagai tanggungan. Kecuali itu, aku takut kalau seterusnya kau akan kehilangan segenap gairah untuk melanjutkan hidupmu, apabila gadis itu lepas dari tanganmu.”
Sidanti tidak menjawab. Tetapi ia menjadi gembira mendengar ijin gurunya. Karena itu maka mereka pun segera berlari ke pondok Sekar Mirah. Sementara itu pertempuran masih juga berkecamuk dengan dahsyatnya. Namun segera dapat dirasakan bahwa prajurit Pajang segera akan dapat menguasai keadaan. Mereka segera berusaha untuk memperpanjang garis peperangan dan memancing orang-orang Jipang dan Tambak Wedi dalam perkelahian yang lebih luas. Dengan demikian maka lapisan orang-orang yang bertempur itu menjadi semakin tipis. Sementara itu, para prajurit Pajang yang melingkari daerah peperangan itu  pun segera menjadi semakin menyempitkan diri. Seperti sehelai jaring yang besar, mereka merapat tanpa melepaskan seorang  pun dari tangkapan. Tetapi mereka tidak menyadari, justru ikan yang paling besarlah yang sudah berhasil lolos dari tangan mereka. Tetapi sisa-sisa yang masih ada di dalam kepungan itu pasti sudah tidak akan dapat lolos lagi. Semakin sempit jaring-jaring kepungan prajurit Pajang, maka jarak mereka  pun menjadi semakin rapat. Akhirnya, setiap prajurit Pajang seakan-akan telah merapat yang satu dengan yang lain. Dalam keadaan yang demikian, seandainya Ki Tambak Wedi terlambat beberapa lama, maka ia pun pasti tidak akan dapat lolos lagi tanpa membunuh beberapa orang yang mengepung pertempuran itu.
Semakin dekat kepungan itu, maka pertempuran itu  pun semakin mendekati akhirnya. Prajurit Pajang semakin mendesak maju, dan orang-orang Jipang dan Tambak Wedi yang payah menjadi semakin payah. Namun seperti juga Sanakeling, orang-orang Jipang menjadi seperti orang-orang yang sedang kesurupan. Mereka mengamuk sejadi-jadinya. Tetapi Untara, senapati yang berpengalaman itu segera mengenal, bahwa sikap itu adalah sikap putus-asa. Justru menghadapi orang-orang yang demikian Untara harus berhati-hati. Orang yang demikian sudah tidak lagi dapat menghitung kalah atau menang, tidak lagi memikirkan siasat dan cara yang sebaik-baiknya. Tetapi orang yang demikian hanya cukup berpikir cukup mendapatkan korban sebanyak-banyaknya yang akan bersama-sama pergi ke lubang kematian. Demikian juga yang dilakukan Sanakeling saat itu. Ia sama sekali sudah tidak mengharap bahwa pasukannya bersama pasukan Tambak Wedi akan dapat memenangkan pertempuran. Secara naluriah, sebagai seorang senapati, ia dapat merasakan, bahwa pasukannya pasti akan segera hancur, demikian juga pasukan Tambak Wedi. Dengan demikian, maka sudah tidak ada lagi gunanya bagi Sanakeling untuk mempertimbangkan kemungkinan berperang tanding melawan Sidanti.
“Kami semuanya akan mati bersama-sama di sini,” katanya di dalam hati.

Dengan demikian, maka tandangnya menjadi semakin garang. Ia sudah tidak berpikir apa pun, kecuali membunuh sebanyak-banyaknya. Kalau mungkin membunuh Untara dan membawanya bersama-sama menjelang kematian. Tetapi agaknya Untara tidak dengan sukarela menyerahkan dirinya. Ia masih mencoba untuk menangkap Sanakeling hidup-hidup. Tetapi karena tandang Sanakeling, maka tak ada yang dapat dilakukan kecuali menyelesaikan tugasnya tanpa mempertimbangkan apa yang akan terjadi atas lawannya. Seandainya ia berhasil melumpuhkan Sanakeling hanya dengan melukainya, tanpa membunuhnya, adalah lebih baik. Tetapi apabila orang itu terpaksa mati terbunuh di dalam peperangan, itu adalah kemungkinan yang sudah diketahuinya. Diketahui oleh Untara dan oleh Sanakeling sendiri. Dalam pertempuran yang semakin sengit, maka Untara dan Sanakeling tidak segera mengetahui, bahwa Tambak Wedi, Sidanti, dan Argajaya telah hilang dari medan peperangan. Dengan licik mereka telah mengorbankan orang lain untuk kepentingan mereka. Tanpa pertimbangan-pertimbangan lain, mereka sengaja bersembunyi di balik bangkai kawan-kawan mereka sendiri. Pertempuran di sela-sela pepohonan, dinding-dinding batu dan rumpun-rumpun bambu, ternyata mampunyai pengaruh tersendiri. Untara dan Sanakeling tidak dapat melihat medan itu secara keseluruhan atau setidak-tidaknya gambaran yang agak luas, karena terhalang oleh dedaunan dan batang-batang pepohonan. Namun Untara telah mempercayakan seluruh pasukannya kepada perwira-perwira bawahannya dan kepada pemimpin-pemimpin kelompoknya. Ia ingin memusatkan segenap perhatiannya kepada Sanakeling. Kali ini ia harus dapat menyelesaikan tugas yang dibebankan kepadanya oleh Panglima Wira Tamtama Pajang, setelah ia membuat Panglima itu kecewa di Sangkal Putung. Setelah ia hampir menjerumuskan Ki Gede Pemanahan dan puteranya Sutawijaya ke dalam kesulitan yang berbahaya. Bahkan tugas yang diterimanya ini seakan-akan suatu hukuman atas kesalahan dan kekhilafan yang pernah dilakukannya itu. Sebagai seorang senapati di daerah yang luas, ia mendapat perintah langsung menangani penangkapan dan penyelesaian orang-orang Jipang yang berada di Tambak Wedi. Demikianlah, pertempuran antara keduanya semakin lama menjadi semakin sengit. Sanakeling yang putus asa benar-benar mengamuk seperti serigala yang kelaparan. Menerkam dengan sepasang senjatanya dengan garangnya, meskipun tubuhnya dan pakaiannya menjadi semakin dibasahi oleh keringat dan darahnya. Pedang Untara ternyata telah menambah goresan-goresan luka di tubuh Sanakeling. Semakin lama semakin banyak. Namun Sanakeling sama sekali tidak menjadi semakin lemah. Tampaknya justru menjadi semakin garang dan buas. Dalam keputus-asaan ia bertempur, seakan-akan kesadarannya telah tidak dimilikinya lagi. Menghadapi orang yang demikian, Untara harus semakin berhati-hati. Ia telah berhasil mengalahkan Senapati Jipang yang tangguh tanggon. Raden Tohpati yang bergelar Macan Kepatihan. Namun Tohpati di saat-saat terakhirnya tidak menjadi gila seperti Sanakeling dengan kedua jenis senjatanya. Namun Untara adalah orang yang cukup mempunyai bekal menghadapi keadaan itu, sehingga lambat laun ia  pun berhasil menguasai keadaan. Setiap kali ia berhasil menekan lawannya dan setiap kali ia dapat menambah luka di tubuh Sanakeling, dengan harapan orang itu akan jatuh lemas sebelum terbunuh. Saat demi saat, pertempuran itu memanjat ke titik puncaknya. Kini orang-orang Tambak Wedi dan orang-orang Jipang sudah hampir tidak mendapat tempat lagi untuk mempertahankan diri. Medan peperangan menjadi semakin lama semakin sempit. Untara sudah tidak berusaha lagi untuk memperluas garis pertempuran, karena orangnya kini cukup banyak untuk menghadapi lawannya. Bahkan prajurit-prajuritnya telah memaksa lawan-lawannya untuk berkumpul di satu lingkaran yang semakin sempit.

Sementara itu Ki Tambak Wedi, Sidanti, dan Argajaya berlari semakin cepat menyusup gerumbul dan meloncati pagar-pagar batu. Mereka ingin segera sampai di gubug Sekar Mirah untuk mengambilnya, dan membawanya sebagai perisai yang hidup. Sementara itu di gubug tempat Sekar Mirah disimpan, Swandaru, Agung Sedayu, Wuranta dan Sekar Mirah sedang bergumul dengan persoalan mereka sendiri. Mereka dicengkam oleh kebingungan dan ketidakpastian, kenapa tiba-tiba saja suasana perasaan mereka bergetar. Sikap Wuranta benar-benar menjadi sebab, seakan-akan Agung Sedayu dan Swandaru menjadi kehilangan pegangan untuk menghadapinya. Untuk menghilangkan perasaan canggungnya, maka Agung Sedayu tiba-tiba membentak kepada kedua orang Tambak Wedi itu.
“He, kenapa kalian diam saja mematung di situ?”
Kedua orang itu  pun terkejut. Anak ini memang anak muda yang aneh bagi mereka. Ketangkasannya hampir tak dapat dibayangkannya. Bahkan mereka telah mencoba memperbandingkan Agung Sedayu itu dengan Sidanti. Dengan cemas kedua orang itu memandang wajah Agung Sedayu yang tegang. Salah seorang dari mereka itu dengen nada yang dalam menjawab,
“Apakah yang harus, kami lakukan?”
Agung Sedayu tidak segera dapat menjawab pertanyaan itu. Tetapi tiba-tiba ia menyadari bahwa ia berada di antara lawan-lawannya. Karena itu untuk menjaga setiap kemungkinan yang bakal terjadi apabila ada orang-orang lain yang datang, maka tiba-tiba ia berkata,
“Aku akan mengikat kalian di sini.”
Wajah kedua orang itu tiba-tiba menjadi kian menegang. Namun bagi mereka, hal itu akan lebih baik untuk keselamatan mereka. Apabila Sidanti datang kepada mereka, maka ia akan melihat, bahwa mereka telah berbuat sesuatu, tetapi mereka tidak mampu.
Jawaban mereka benar-benar telah mengejutkan Agung Sedayu. Berkata salah seorang dari mereka,
“Silahkanlah Tuan, apabila hal itu baik bagi Tuan.”
“Pengecut!” Agung Sedayu hampir berteriak, perasaan yang bersimpang siur telah saling mendorong di dalam hatinya, sehingga menumbuhkan loncatan-loncatan yang kadang-kadang membuat dirinya sendiri menjadi terkejut.
Kedua orang Tambak Wedi itu  pun terkejut. Tetapi mereka tidak tahu apakah yang sedang bergolak di dalam dada Agung Sedayu. Kebingungannya menghadapi Wuranta, dan keheranannya melihat sikap orang-orang Tambak Wedi itu membuatnya menjadi meledak-ledak. Mereka sama sekali bukan orang-orang yang tidak berdaya. Bahkan salah seorang dari mereka mampu mengimbangi, bahkan di dalam keadaan yang khusus, di ruang yang sempit, ia mampu mendesak Wuranta. Namun tiba-tiba mereka dengan tanpa berbuat sesuatu menyerahkan diri mereka untuk diikat. Agung Sedayu menganggap sikap itu sangat memuakkan. Tetapi sebenarnyalah orang-orang Tambak Wedi belum seluruhnya dapat disamakan ketahanan sikapnya dengan orang-orang Jipang, prajurit-prajurit Pajang, atau mereka yang pernah mendapat tuntunan khusus tentang olah kanuragan dan sikap kejantanan. Orang-orang Tambak Wedi, betapa mereka pernah melatih diri dalam tata perkelahian di bawah tuntunan-tuntunan orang yang berilmu, namun ketahanan jiwa mereka belum mendapat bentuk yang serupa di antara mereka. Para pemimpin Tambak Wedi tidak sempat menilai setiap orangnya satu demi satu. Ada di antara mereka yang dengan gigih bertahan atas suatu keyakinan, bahwa Tambak Wedi adalah kampung halaman yaug harus dipertahankan sampai saat terakhir dari hayatnya. Tetapi ada juga yang acuh tidak acuh, hanyut dalam arus ketamakan para pemimpinnya. Dalam keadaan yang sulit, maka mereka akan lebih senang memilih keselamatan nyawa mereka dan memeluk keyakinan yang tidak pernah dapat tertanam dalam-dalam di dalam hati mereka. Meskipun para pemimpin berusaha membuat orang-orangnya kehilangan nilai kediriannya, sehingga mereka berpendirian bahwa sikap mereka itulah yang paling benar.
Kedua orang itu adalah bagian dari mereka yang belum dapat dibentuk oleh orang-orang Tambak Wedi. Karena itu, maka keduanya tidak akan bertahan sampai mengorbankan nyawanya, meskipun keduanya mempunyai beberapa kelebihan dari orang-orang kebanyakan. Tetapi bagaimanapun juga Agung Sedayu masih tetap menyadari keadaannya. Dengan nanar ditebarkannya pandangan matanya ke sekeliling ruangan, kalau-kalau dapat ditemukannya tali atau tampar atau apa pun.

Dan tiba-tiba ia meloncat beberapa langkah, mendorong sebuah ajug-ajug gendi di sudut rumah itu, kemudian dengan pedangnya di potongnya beberapa utas tali pengikat dinding sudut. Dengan tali itu Agung Sedayu pergi mendapatkan kedua orang Tambak Wedi sambil berdesis,
“Berdiri beradu punggung.”
Kedua orang itu tidak membantah. Mereka segera berdiri beradu punggung. Mereka tahu benar bahwa Agung Sedayu akan mengikat tangan-tangan mereka dengan tali anyaman bambu dan lulup batang melinjo yang diambilnya dari sudut rumah itu. Mereka menyeringai menahan nyeri ketika tali itu melukai pergelangan tangan mereka. Tetapi mereka tidak dapat berbuat sesuatu. Hanya mata mereka sajalah yang bergerak-gerak dari seorang ke orang yang lain yang berdiri di dalam ruangan itu. Mereka melihat Wuranta berdiri seperti patung. Betapa wajahnya menegang, tetapi Wuranta sama sekali tidak bergerak. Namun perasaan di dalam dadanya sajalah yang bergolak seperti angin prahara. Apa yang dilihatnya itu, semakin membuat hatinya pedih. Wuranta menyangka bahwa Agung Sedayu sengaja berbuat aneh-aneh untuk menunjukkan kelebihannya. Seolah-olah Agung Sedayu itu berkata kepadanya dengan sikapnya itu,
“Lihat Wuranta, bukankah aku mampu berbuat seperti ini? Dua orang ini dapat aku kuasai dengan baik. Apalagi kau seorang diri.”
Namun untuk sesaat, justru karena getar di dalam dadanya itu Wuranta seolah-olah menjadi beku. Kehilangan kemampuannya berpikir untuk sesaat. Dengan mata yang hampir tidak berkejap ia melihat saja apa yang telah terjadi di dalam ruangan itu. Tetapi tiba-tiba ia menyadari keadaannya ketika ia mendengar suara derap kaki orang berlari-lari. Semakin lama semakin dekat. Di antara derap langkah itu didengarnya suara orang bergeramang. Bukan saja Wuranta yang terkejut mendengarnya. Tetapi Swandaru dan Agung Sedayu yang baru saja selesai mengikat orang-orang Tambak Wedi itu  pun terkejut pula. Suara derap itu  pun semakin lama menjadi semakin dekat. Mereka yang berada di dalam rumah itu  pun segera menyadari bahwa mereka harus menyiapkan diri mereka. Seandainya yang datang itu orang-orang yang berbahaya bagi mereka, maka mereka  pun harus sudah bersiap untuk menghadapinya. Perlahan-lahan Swandaru melepaskan Sekar Mirah. Didorongnya gadis itu menepi sambil berbisik,
“Hati-hatilah Mirah.”
Sekar Mirah mengangguk, namun hatinya menjadi berdebar-debar ketika suara orang yang datang itu didengarnya,
“Pintunya terbuka sedikit guru.”
“Mungkin ada orang di dalam,” jawab yang lain. Jawaban itu benar mengejutkan mereka yang ada di dalam rumah itu. Mereka segera mengenal bahwa suara itu adalah suara Sidanti dan pasti gurunya itu bernama Ki Tambak Wedi.

Suara langkah orang berlari itu pun segera berhenti. Yang berada di dalam rumah itu tahu dengan pasti, bahwa mereka berada di depan rumah itu di samping pintu.
Terdengar Sidanti berkata, “Mungkin para pengawas.”
“Hati-hatilah,” potong gurunya.
Sejenak mereka berdiam diri. Namun tiba-tiba terdengar Sidanti berteriak, “Siapa di dalam?”
Swandaru dan Agung Sedayu saling berpandangan, sedang Wuranta berdiri tegang di tempatnya
“Siapa, he?”
Tiba-tiba Agung Sedayu menjulurkan pedangnya ke arah leher tawanannya yang diikat sambil berdesis di dalam mulutnya,
“Jawab.”
Kedua orang itu menjadi ragu-ragu. Tetapi pedang Agung Sedayu semakin menekan lehernya.
“Siapa?” kembali Sidanti berteriak.
Dari luar Sidanti mendengar suara tergagap, “Aku. Aku, Tuan.”
“He?” Sidanti semakin berteriak, “kau pengawas yang mendapat tugas di sini?”
“Ya. Ya, Tuan.”
Sidanti telah mengenal suara itu. Karena itu maka tiba-tiba kemarahannya terungkat sampai ke ubun-ubun. Ia menyangka bahwa para pengawas mempergunakan kesempatan pertempuran di banjar untuk melakukan perbuatan yang jahat, seperti apa yang akan dilakukan Alap-alap Jalatunda. Karena itu tiba-tiba saja, seperti orang gila Sidanti meloncat masuk, melanggar uger-uger pintu sehingga berderak roboh.
“Setan!” teriaknya. “Kau akan mati juga seperti Alap-alap Jalatunda.”
Agung Sedayu yang berada di dalam rumah itu telah bersiap sepenuhnya. Ia telah memperhitungkan bahwa Sidanti pasti akan memasuki rumah itu, tetapi ia tidak menyangka bahwa anak muda itu akan melanggar uger-uger sehingga roboh. Beberapa potong bambu yang menyilang di atas pintu itu pun rontok menimpa Sidanti, tetapi sama sekali tidak dihiraukannya. Namun karena itu, maka untuk sejenak Agung Sedayu tertegun karenanya. Ketika Sidanti kemudian melihat siapa yang berada di dalam rumah itu, maka darahnya menjadi serasa berhenti mengalir. Sesaat ia tegak seperti patung. Mulutnya bergetar, namun tak sepatah kata  pun terloncat dari bibirnya. Dengan gemetar ia menatap Agung Sedayu seperti melihat hantu. Kemudian dipandanginya wajah Swandaru yang bulat. Pertemuan itu begitu tiba-tiba sehingga kedua belah pihak kehilangan kesadarannya untuk sekejap. Masing-masing berdiri saja di tempatnya. Namun sorot mata merekalah yang lebih dahulu berbicara. Dendam dan kebencian yang tersimpan di dalam dada, seakan-akan tertumpah seluruhnya lewat tatapan mata masing-masing. Sejenak kemudian, tiba-tiba ketegangan itu sekali lagi dipecahkan oleh peristiwa yang tidak terduga. Tak seorang  pun yang menyangka bahwa peristiwa itu akan terjadi. Wuranta agaknya telah benar-benar ditelan oleh perasaannya, sehingga ia sudah tidak mampu lagi berpikir bening. Terdorong oleh berbagai macam perasaan yang bergolak di dalam dadanya, serta dugaannya yang keliru tentang Agung Sedayu, maka tiba-tiba anak muda itu telah berbuat hal yang tidak menguntungkannya. Ia merasa bahwa Agung Sedayu seolah-olah telah menghinanya dengan mempertunjukkan berbagai macam kelebihan. Sehingga karena dorongan harga dirinya, setelah ia merasa seakan-akan tidak berharga lagi di hadapan Sekar Mirah dalam olah ketrampilan sebagai seorang laki-laki, maka tiba-tiba timbullah kenekatan di hatinya. Itulah sebabnya, maka ia telah berbuat tanpa pertimbangan. Ketika Sidanti masih berdiri membeku memandangi Swandaru dan Agung Sedayu berganti-ganti tiba-tiba Wuranta meloncat menyerangnya. Pedangnya terjulur lurus langsung menusuk lambung Sidanti. Tetapi Wuranta sama sekali tidak mengingat, bahwa Sidanti sama sekali bukan kanak-kanak lagi. Apalagi anak muda itu masih juga menggenggam pedang di tangannya.

Betapa  pun Sidanti dicengkam oleh rasa terkejut, namun dengan gerak naluriah ia bergeser ke samping. Dengan sepenuh tenaganya maka dipukulnya pedang Wuranta. Sidanti tidak perlu mengulangi lagi. Pedang itu pun terpelanting beberapa langkah daripadanya. Bahkan Wuranta sendiri terdorong ke samping beberapa langkah karena tarikan kekuatannya sendiri dan pukulan pedang Sidanti yang telah melepaskan pedangnya. Kini Wuranta berdiri terhuyung-huyung. Dengan susah payah ia mencoba menjaga keseimbangannya. Dadanya tiba-tiba berdesis ketika ia melihat dengan penuh kemarahan Sidanti berteriak,
“Kau tikus Jati Anom. Kenapa kau masih hidup dan berada di sini pula? Tetapi memang sudah menjadi garis nasibmu. Kau harus mati hari ini.”
Wuranta yang masih belum menemukan keseimbangan sepenuhnya itu hanya dapat memandang saja apa yang akan dilakukan oleh Sidanti yang sedang dibakar oleh kemarahannya. Maka sekali lagi Agung Sedayu dan Swandaru melihat, Wuranta berada dalam kesulitan. Sidanti yang garang itu pasti sudah tidak akan melepaskannya lagi. Apabila mereka membiarkannya, maka Wuranta pasti akan benar-benar dibunuhnya. Sejenak Agung Sedayu dilanda oleh kebimbangan. Baru saja ia dibingungkan oleh sikap Wuranta, karena ia berusaha menolongnya. Dan kini Wuranta berada dalam keadaan yang serupa. Tetapi Agung Sedayu tidak akan sampai hati melihat pedang Sidanti menghunjam ke dalam dada Wuranta. Maka tanpa mempedulikan lagi apa yang akan dilakukan Wuranta atasnya, maka sekali lagi Agung Sedayu berusaha menolongnya. Namun kini yang menyerang Wuranta bukan sekedar seorang pengawal padepokan Tambak Wedi. Tetapi yang menyerang itu adalah Sidanti. Karena itu maka Agung Sedayu tidak berani berbuat dengan tergesa-gesa. Ia harus mempertimbangkan kekuatan Sidanti. Ternyata Agung Sedayu tidak mendapat kesempatan lebih lama lagi. Sejenak kemudian ia melihat Sidanti dengan mata yang menyala berteriak,
“Kaulah yang pertama-tama aku bunuh di dalam rumah ini di antara kalian.”
Wuranta tidak dapat berbuat sesuatu. Tetapi ternyata hatinya cukup tabah. Anak muda itu sama sekali tidak menjadi ketakutan melihat Sidanti siap menerkamnya dengan ujung pedang. Wuranta telah menyiapkan dirinya untuk menerima ujung pedang itu dengan dadanya. Seandainya ia harus mati, maka kesan yang ditinggalkannya adalah kesan yang dapat membuatnya berbangga. Meskipun ia tidak seterampil Agung Sedayu, tetapi ia bukan seorang pengecut. Mudah-mudahan Sekar Mirah dapat menangkap api yang tersirat pada sikapnya itu. Tetapi sekali lagi Wuranta harus melihat Agung Sedayu berusaha menolongnya. Kali ini Agung Sedayu tidak berani langsung melawan pedang Sidanti. Tetapi untuk mengurungkan serangan Sidanti yang langsung dapat berarti maut itu. Agung Sedayu dengan garangnya menyerangnya pula. Seperti Sidanti, maka Agung Sedayu  pun berteriak nyaring,
“Sidanti, aku dapat lebih cepat daripadamu. Ternyata kaulah yang mati pertama-tama.”
Sidanti terperanjat melihat sikap Agung Sedayu. Suaranya telah membuat hati Sidanti berdesir. Apalagi ketika ia melihat ujung pedang Agung Sedayu langsung mengarah ke ulu hatinya. Tak ada cara lain kecuali menangkis pedang Agung Sedayu itu. Tetapi Sidanti tidak ingin melepaskan korbannya. Karena itu maka ia berusaha untuk melakukan keduanya. Membunuh Wuranta dan kemudian menangkis serangan Agung Sedayu.

Namun waktu terlampau sempit, sehingga Sidanti tidak dapat melakukan rencananya dengan sempurna. Pedangnya kemudian tidak lagi terjulur lurus, tetapi pedang itu terayun dengan cepatnya. Ia ingin menyobek dada Wuranta dan langsung memukul pedang Agung Sedayu. Yang terdengar kemudian adalah desah Wuranta tertahan, disusul oleh dentang kedua pedang beradu. Wuranta ternyata terdorong beberapa langkah surut. Apabila ia tidak membentur dinding bambu maka ia pasti akan terpelanting jatuh. Kedua tangannya tertekan di dadanya. Dan dari sela-sela jari-jari tangannya itu mengalir darah yang merah segar. Namun ternyata Sidanti yang tidak sepenuhnya dapat melawan tenaga Agung Sedayu itu pun terdorong beberapa langkah mundur. Betapa kemarahan membayang di wajahnya sehingga wajah itu seolah-olah telah membara. Tetapi ketika ia melihat darah di dada Wuranta, maka ia masih juga dapat tertawa sambil berteriak.
“Nah, salahmulah kalau kau hari ini diterkam maut.”
Wuranta memandang Sidanti dengan mata yang memancarkan kebencian. Tampaklah mulutnya bergerak-gerak, dan terdengarlah ia berkata perlahan-lahan,
“Lukaku tidak seberapa Sidanti.”
“Persetan!” teriak Sidanti. “Tetapi kau akan mati. Kau akan mati. Kalau tidak oleh lukamu itu, maka sesudah aku membunuh Agung Sedayu dan Swandaru, maka akan datang juga giliranmu.”
Wuranta tidak menjawab tetapi bibirnya masih juga bergetar. Yang terdengar adalah suara Swandaru tertawa menyakitkan hati. Katanya,
“Sidanti, kau masih juga sempat menyombongkan dirimu. Aku sekarang bukan Swandaru yang akan berdiam dirinya ditampar mulutnya. Aku sekarang mempunyai kesempatan yang serupa dengan kau.”
“O, jangan membual kau kerbau bodoh,” sahut Sidanti.
“Ayo, majulah kalian berdua, aku sudah siap.”
Agung Sedayu masih belum menjawab sepatah kata pun. Sekilas ia memandangi wajah Wuranta yang menyeringai menahan sakit. Tetapi menurut penilaian Agung Sedayu, luka itu tidak akan membahayakan jiwanya, seandainya Wuranta tidak kehabisan darah. Diam-diam Agung Sedayu mengharap kehadiran Ki Tanu Metir. Bukan karena ia cemas menghadapi lawan-lawannya, tetapi Ki Tanu Metir akan dapat menolong Wuranta yang terluka itu.
Sebelum seorang  pun menjawab, maka terdengar suara di luar pintu,
“Siapakah orang-orang itu Sidanti?”
Ketika mereka yang berada di dalam rumah itu berpaling, maka yang mereka lihat adalah Argajaya dan Ki Tambak Wedi berdiri sambil memandang mereka yang berada di dalam rumah itu dengan marahnya.
“Guru,” sahut Sidanti,
“ternyata di sini ada tikus-tikus dari Jati Anom dan Sangkal Putung bersama-sama.”
“O,” Ki Tambak Wedi mengangguk-anggukkan kepalanya,
“ternyata kalian telah berada di sini pula.”
Agung Sedayu, Swandaru, Sekar Mirah, dan Wuranta seakan-akan membeku di tempatnya melihat orang tua itu berdiri dengan wajah yang membayangkan kemarahan yang telah membakar jantungnya.
Apalagi ketika mereka mendengar Ki Tambak Wedi itu berkata,
“Sidanti, jangan kau perturutkan perasaanmu. Kita harus segera menyelesaikan pekerjaan ini. Karena itu, supaya semua dapat selesai dengan cepat, biarlah aku saja yang menyelesaikannya. Aku akan membunuh mereka bertiga, dan sementara itu bawa gadis itu pergi.”

Kata-kata itu cukup tegas dan pasti. Tak akan ada orang yang dapat menghalangi Ki Tambak Wedi berbuat demikian. Memang Ki Tambak Wedi akan dapat menyelesaikannya dengan cepat. Tetapi yang berada di dalam gubug itu bukan hanya tiga ekor tikus dari Jati Anom dan Sangkal Putung. Tetapi mereka cukup jantan yang mempunyai harga diri sebagai seorang laki-laki. Karena itu maka Agung Sedayu menjawab,
“Ki Tambak Wedi. Kalau Kiai akan melakukan hal itu, maka Kiai akan segera dapat menyelesaikan. Dan biarlah murid Kiai dan pamannya itu melihat, bahwa ternyata Ki Tambak Wedi adalah seorang pahlawan yang berani. Tetapi murid Kiai sendiri sama sekali tidak mempunyai keberanian dan kemampuan berbuat sesuatu.”
Betapa kata-kata itu menusuk jantung Sidanti. Dengan lantang ia berteriak,
“Cukup! Aku mampu membunuhmu dengan tanganku.”
“Jangan hiraukan Sidanti,” potong Ki Tambak Wedi,
“orang itu sengaja membakar perasaanmu supaya ia mendapat waktu untuk menunggu bantuan dari orang-orang Pajang. Dengarkan aku. Aku akan membunuhnya. Kita perlu menghemat waktu. Nah, sekarang keluarlah.”
Terdengar gigi Sidanti gemeretak. Betapa ia merasa tersinggung mendengar kata-kata Agung Sedayu. Apalagi ketika kemudian terdengar Swandaru tertawa mengejeknya sambil berkata,
“Keluarlah Sidanti, supaya kau tidak menjadi pingsan mendengar aku dan Kakang Agung Sedayu berteriak ketakutan, dan melihat darah yang memancar dari leher kami.”
“Tutup mulutmu,” Sidanti berteriak semakin keras,
“aku masih sanggup mencekikmu sampai mati.”
“Tetapi kau tidak akan mendapat kesempatan untuk melakukannya. Juga pamanmu itu,” sahut Swandaru.
“Bukankah begitu Argajaya yang perkasa? Apakah kau masih ingat kepada kami yang menjadi saksi betapa kau sama sekali tidak berdaya menghadapi anak muda pengawal Kademangan Sangkal Putung yang bernama Sutajia.”
“Diam!” Argajaya  pun berteriak. Tetapi Ki Tambak Wedi berteriak lebih keras,
“Cukup! Cukup. Ayo, kau keluar Sidanti. Jangan hiraukan igauan mereka. Aku akan segera membunuhnya.”

Sidanti tidak dapat berbuat lain dari menuruti perintah itu. Perlahan-lahan ia melangkah ke arah pintu. Sekali ia berhenti dan berpating memandangi wajah-wajah di dalam gubug itu. Wajah Agung Sedayu, Swandaru, Wuranta, dan Sekar Mirah.
“Jangan cemaskan gadis itu,” bentak Ki Tambak Wedi yang sudah tidak bersabar lagi,
“ia akan selamat dan kau dapat membawanya setelah aku menyelesaikan pekerjaanku.”
“Baik, Guru,” sahut Sidanti perlahan-lahan sambil meninggalkan ruangan itu. Tetapi ia masih juga berhenti ketika ia mendengar suara tertawa Agung Sedayu,
“Nah, keluarlah anak manis. Dengarlah ibu akan berdendang supaya kau segera tidur di pangkuannya.”
“Gila, gila!” teriak Sidanti. Tetapi disusul oleh suara Ki Tambak Wedi,
“Kau yang gila Sidanti. Cepat keluar!”
Sidanti tidak sempat berbuat apa-apa lagi ketika ia merasa sebuah tarikan yang kuat di lengannya. Ternyata Ki Tambak Wedi telah benar-benar kehilangan kesabaran. Didorongnya Sidanti keluar sehingga anak itu hampir jatuh terjerembab.
“Nah, membuallah untuk yang terakhir kali,” geram Ki Tambak Wedi.
“Setelah ini kau akan diam untuk selamanya. Dan Sekar Mirah akan ikut dengan kami meninggalkan padepokan ini.”
Kali ini terdengar jerit gadis itu melengking tinggi,
“Tidak! Aku tidak mau. Lebih baik kau membunuh aku sama sekali bersama orang-orang lain di dalam rumah ini.”
“Itu bukan urusanku,” sahut Ki Tambak Wedi, “mintalah kepada Sidanti nanti sesudah aku selesai.”
“Tidak! Tidak!” Sekar Mirah memekik-mekik.
Tetapi Ki Tambak Wedi sudah tidak menghiraukannya. Kini ia berjalan perlahan-lahan memasuki rumah itu. Melangkahi tlundak dan berhenti sejenak. Di tangannya ternyata tergenggam senjata ciri kebesaran padepokan Tambak Wedi. Nenggala.
Diputarnya pandangan matanya di sekeliling ruangan. Dilihatnya Wuranta dengan lemah bersandar dinding. Darahnya masih juga menetes dari luka di dadanya. Meskipun luka itu tidak terlampau dalam, tetapi darah yang keluar itulah yang berbahaya baginya.
“Tanpa kusentuh kau sudah akan mati,” gumam Ki Tambak Wedi.
“Dengan membiarkan kau tidur di sini sehari ini, kau sudah tidak akan mendapat kesempatan bangun lagi karena kehabisan darah.”
Wuranta tidak menjawab. Mulutnya serasa membeku melihat semua yang terjadi di sekitamya.

Tetapi sekali lagi mereka terkejut. Mereka mendengar derit kecil di sudut rumah itu. Ketika mereka berpaling, mereka melihat sesosok tubuh meluncur masuk ke dalam lewat dinding yang terbuka di sudut. Hanya sekejap. Dan sekejap kemudian mereka telah melihat tubuh itu tegak berdiri. Tampaklah oleh mereka sebuah wajah yang tersenyum sambil berkata.
“Permainan di sini agaknya lebih menarik daripada di banjar itu. Karena itu aku memilih ikut bermain-main di sini saja.”
“Setan Alas!” Ki Tambak Wedi berteriak dengan penuh kemarahan ketika ia menyadari siapakah yang berdiri di luar rumah itu. Di tangan orang itu tergenggam sebuah cambuk yang bertangkai pendek tetapi berjuntai panjang. Juntainya masih tergulung, dan berada di dalam genggaman tangan yang lain.
“Selamat bertemu lagi, Kiai,” berkata orang itu sambil membungkuk hormat.
“Persetan akan kedatanganmu. Kau hanya akan menyaksikan orang-orang ini mati terbunuh.”
“Aku tahu bahwa kau bersungguh-sungguh. Senjata di tanganmu yang bukan hanya sekedar gelang-gelang besi menyatakan bahwa kau tidak sedang bermain-main. Senjata itu biasanya berada di tangan muridmu setelah senjatanya tertinggal di Sangkal Putung. Tetap kini kau telah menggenggamnya, tidak sekedar tergantung di lambungmu, di dalam selongsongnya. Mungkin karena muridmu baru saja menyelesaikan perang tanding, dan senjata itu tidak diperlukannya. Tetapi bahwa senjata itu berada di tanganmu adalah sangat membahayakan sekali. Karena itu aku terpaksa membawa cambukku ini pula. Mudah-mudahan kita tidak akan terganggu lagi kali ini.”
Ki Tambak Wedi menggeram mendengar kata-kata Ki Tanu Metir. Kata-kata itu tegas dan langsung menyentuh dinding jantungnya. Tantangan Ki Tanu Metir agaknya juga tidak hanya sekedar bersenda-gurau. Betapa kemarahan menyala di dada Ki Tambak Wedi. Kehadiran Ki Tanu Metir benar-benar telah mengganggunya. Tetapi kini ia telah berdiri berhadapan sehingga sulitlah untuk menghindari tantangannya itu. Sejenak Ki Tambak Wedi tidak menjawab. Dipandanginya wajah Ki Tanu Metir yang tenang tetapi dalam, kemudian wajah Agung Sedayu yang bersungguh-sungguh dan Swandaru Geni yang gemuk.
“Kau dapat membawa muridmu dan pamannya serta,” berkata Ki Tanu Metir,
“tetapi apabila tidak kau kehendaki, maka biarlah mereka menjadi saksi. Kedua muridku pun tidak akan mengganggumu. Bagaimana?”
Dada Ki Tambak Wedi serasa akan bengkah mendengarnya. Namun ia masih harus mempertimbangkan segala kemungkinan. Di dalam padepokan itu Untara dan pasukannya seakan-akan telah melanda seperti banjir bandang yang tidak akan dapat dibendung lagi.

Tetapi Sidanti yang melihat kehadiran Ki Tanu Metir dan mendengar tantangannya di luar pintu berteriak,
“Baiklah kami terima tantangan itu guru. Aku memang ingin membelah dada Agung Sedayu dan Swandaru. Biarlah Sekar Mirah menjadi saksi, bahwa kedua laki-laki itu sama sekali tidak berarti. Terutama Agung Sedayu itu.”
Sekali lagi Ki Tambak Wedi menggeram. Ia pun menyadari bahwa kini ia tidak mempunyai pilihan lain, kecuali Sidanti masih ada Argajaya. Mungkin perbedaan keseimbangan yang kecil, akan sangat berarti dalam keadaan serupa itu. Mungkin Argajaya mempunyai sedikit kelebihan atas salah seorang kedua murid Ki Tanu Metir atau mungkin Sidanti sendiri. Karena itu, maka tidak ada kesempatan untuk berbuat lain daripada menjawab,
“Baiklah Kiai Gringsing. Tantanganmu aku terima. Tentang murid-muridmu dan muridku serta pamannya. Biarlah mereka menentukan sikap mereka sendiri. Kalau mereka ingin bertempur, biarlah mereka mencoba diri, apakah ilmu keturunan perguruan Tambak Wedi lebih baik dari perguruan Kiai Gringsing.”
“Bagus, bagus,” sahut Kiai Gringsing,
“marilah kita berbuat seperti orang-orang yang sudah pikun. Kita pilih tempat yang luas, tidak di dalam gubug yang sempit, supaya kita masing-masing mendapat kesempatan leluasa untuk berbuat apa saja sesuai dengan kegemaran orang tua-tua.”
Ki Tambak Wedi terdiam sesaat. Ia menggenggam senjata yang pendek. Baginya tempat yang sempit mempunyai kemungkinan yang lebih baik daripada cambuk Ki Tanu Metir. Tetapi di dalam tempat yang sempit, apabila tiba-tiba pasukan Untara itu meluas sampai ke tempat ini, maka sangat sulitlah baginya untuk melepaskan diri. Ia juga tidak akan dapat mengawasi murid dan pamannya, serta memberinya isarat apa pun, karena mereka pasti akan berkelahi di luar. Dengan demikian maka Ki Tambak Wedi itu  pun menjawab,
“Baiklah, Kiai. Tantangamnu aku terima penuh. Aku bersedia berkelahi di luar meskipun bagiku di dalam ruangan yang sempit telah menguntungkan. Bukankah kau tidak berani bertempur di dalam karena jenis senjata itu? Kau memerlukan tempat yang cukup luas, supaya juntai cambukmu tidak tersangkut dinding.”
Ki Tanu Metir tertawa mendengar dawaban Ki Tambak Wedi itu. Katanya,
“Jangan seperti kanak-kanak, Kiai. Alasan semacam itu adalah alasan bagi anak-anak cengeng. Kalau seandainya kau merasa mendapat keuntungan berkelahi di dalam, marilah kita berkelahi di dalam ruangan ini. Aku sama sekali tidak berkeberatan. Cambukku  pun tidak akan terganggu pula, sebab cambukku adalah senjata yang telah aku kenal sejak bertahun-tahun, sehingga sifat-sifatnya  pun aku kenal dengan baik seperti engkau mengenal jenis senjatamu yang mengerikan itu.”
Wajah Ki Tambak Wedi menjadi semakin merah mendengar jawaban itu. Sahutnya hampir berteriak,
“Jangan banyak bicara lagi. Aku tunggu kau di luar bersama kedua muridmu.”
“Baik. Di luar udaranya cerah dan angin membuat tubuh kita menjadi segar. Kesempatan untuk lari pun lebih luas terbuka. Seandainya salah satu pihak dari kita merasa tidak mampu lagi untuk melawan, maka kita akan dapat segera meloncat meninggalkan gelanggang. Tetapi di dalam ruangan yang sempat ini, kesempatan itu hampir tidak ada.”
“Persetan! Jangan mengigau lagi,” kini Ki Tambak Wedi benar-benar berteriak. Ia tidak lagi menunggu jawaban Kiai Gringsing. Dengan tergesa-gesa ia melangkah ke luar. Dan dengan garangnya berdiri bertolak pinggang di halaman, di samping muridnya. Namun ia sempat berbisik,
“Kalau pasukan Untara datang kemari, kita harus meninggalkan tempat ini.”
“Bagaimana dengan Sekar Mirah?” bertanya Sidanti perlahan.
“Kita melihat perkembangan keadaan. Tetapi setan itu benar-benar mengganggu.”

Dada Sidanti menjadi pepat mendengar jawaban gurunya. Kehadiran Kiai Gringsing benar-benar telah membuat jantungnya hampir meledak. Tetapi ia tidak dapat menutup kenyataan, bahwa mengalahkan orang-orang itu bukan pekerjaan yang terlampau mudah. Mungkin Sidanti dan Argajaya mempunyai beberapa kelebihan dari kedua murid Kiai Gringsing. Namun kedua orang itu  pun masih memerlukan waktu untuk mengalahkannya. Kiai Gringsing  pun segera melangkah menyusul Ki Tambak Wedi, keluar rumah. Tetapi langkahnya tertegun ketika ia melihat Wuranta. Orang tua itu melihat luka di dada anak muda itu, dan ia melihat darah masih saja menetes dari luka itu. Maka Kiai Gringsing  pun segera mengambil sebuah bumbung kecil dari kantong ikat pinggangnya. “Inilah, Ngger,” berkata orang tua itu,
“di dalam bumbung ini ada bubuk yang dapat kau pakai untuk menahan darah itu. Taburkanlah bubuk itu sedikit saja pada lukamu. Mudah-mudahan luka itu tidak akan mengeluarkan darah lagi. Tetapi jangan terlampau banyak bergerak. Sisanya, tolong simpanlah dahulu.”
Wuranta masih saja berdiri seperti tonggak. Ditatapnya saja Kiai Gringsing seperti baru dilihatnya kali itu. Tetapi ketika tangan Kiai Gringsing terjulur menyerahkan bumbung kecil, maka seperti bukan kehendaknya sendiri, Wuranta  pun menerima.
“Jangan kau sia-siakan waktumu,” berkata Ki Tanu Metir.
“Cepat, usahakan lukamu itu tidak lagi mengeluarkan darah supaya kau masih cukup mempunyai kekuatan untuk kembali ke Jati Anom.”
Wuranta kini mengangguk. Kata-kata Ki Tanu Metir itu seperti sebuah pesona yang tidak dimengertinya. Namun terasa bahwa tak ada cara lain baginya daripada memenuhinya.
“Mudah-mudahan obat itu menolong,” gumam Ki Tanu Metir.
“Kemudian awasilah Sekar Mirah. Mungkin masih ada bahaya yang mengintainya. Kami akan berusaha untuk menghindarkannya dari tangan Sidanti dan gurunya.”
Tanpa sesadarnya Wuranta mengangguk.
“Nah, aku akan melayani Ki Tambak Wedi,” guman Ki Tanu Metir sambil melangkah meninggalkan anak muda itu. Sampai di muka pintu ia berpaling. Dilihatnya Sekar Mirah berdiri menggigil di belakang Swandaru Geni. Di sisi dinding yang lain ia melihat Agung Sedayu. Sedang kedua orang Tambak Wedi yang terikat tanganya masih berdiri beradu punggung.
“Marilah,” berkata Ki Tanu Metir,
”kalian mempunyai pekerjaan. Di luar ada dua orang yang menunggu kalian selain Ki Tambak Wedi. Menurut penilaianku maka kau berdua, Angger Swandaru Geni dan angger Agung Sedayu akan dapat melayaninya apabila dikehendaki. Tetapi dengarlah nasehatku. Keduanya adalah orang-orang yang tangguh tanggon.


Halaman 1 2 3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar