Jilid 020 Halaman 3


“Bukankah kau masih Wuranta yang dahulu? Wuranta jago binten yang ditakuti?”

Wuranta menarik keningnya. Sejenak ia terhenyak dalam keragu-raguan. Kalau Agung Sedayu itu kini telah berani menyongsong kedatangan orang-orang dari lereng Merapi itu dengan pedang di lambungnya, kenapa ia tidak?
Dalam kebimbangan itu tiba-tiba terdengar Kiai Gringsing berkata,
“Angger Wuranta. Tunggulah sebentar. Aku mempunyai pendapat yang barangkali baik buat kita sekalian. Duduklah Swandaru.”
“Aku tidak mau kehilangan mereka Kiai. Kalau mereka masuk ke halaman ini beruntunglah kami. Tetapi kalau tidak, maka aku akan kecewa sepanjang umurku.”
“Ah,” desah Kiai Gringsing,
“duduklah.”
Swandaru menjadi kecewa. Tetapi ia tidak berani membantah perintah gurunya.
“Angger,” berkata Kiai Gringsing kepada Wuranta,
“menilik sikap Angger, yang ternyata bahwa Angger telah berbuat banyak untuk kawan-kawan Angger, anak-anak muda Jati Anom, maka menurut penilaianku maka Angger adalah salah seorang dari tetua anak-anak muda di padukuhan ini. Benarkah demikian?”
“Tak ada yang mengangkat aku demikian, Kiai,” sahut Wuranta pendek.
“Namun aku berbuat sekedar untuk kepentingan padukuhan serta anak-anak mudanya.”
“Ya, ya,” berkata Kiai Gringsing kemudian,
“agaknya Angger Agung Sedayu pun telah mengenal Angger sebagai seorang anak muda yang pantas berdiri di depan.”
“Ah, agaknya anggapan Adi Sedayu salah.”
“Tidak, Ngger,” potong Kiai Gringsing.
“Tetapi aku mempunyai usul yang barangkali bermanfaat bagi kalian, bagi Jati Anom khususnya dan bagi Pajang umumnya, asal Angger bersedia melakukannya. Tetapi apa yang harus Angger lakukan adalah sesuatu yang cukup berbahaya.”
Wuranta mengerutkan keningnya. Jawabnya ragu-ragu,
“Apakah itu Kiai? Meskipun demikian, meskipun aku harus berbuat sesuatu yang berbahaya, namun asalkan dapat menguntungkan padesan ini dan apalagi Pajang, maka mudah-mudahan aku dapat melakukannya.”
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun sekarang orang tua itulah yang ragu-ragu. Katanya,
“Tetapi taruhannya bukanlah taruhan yang dapat diperhitungkan dengan cacah. Taruhannya adalah nyawa. Namun kalau Angger berhasil, maka seluruh Pajang akan berhutang budi kepada Angger.”
Wuranta terdiam sejenak. Ditatapnya wajah kedua anak muda yang duduk di hadapannya, seakan-akan ia ingin bertanya,
“Kenapa bukan anak-anak muda itu yang harus menjalani?”
“Angger Wuranta,” berkata Kiai Gringsing yang seakan-akan dapat menjajagi perasaan anak muda itu.
“Agung Sedayu dan Swandaru tidak akan dapat melakukan pekerjaan itu, sebab mereka berdua telah dikenal dengan baik. Oleh Sidanti maupun oleh Sanakeling.”

Wuranta mengerutkan keningnya mendengar kata-kata orang tua itu. Ternyata Agung Sedayu dan kawannya yang bulat itu telah mengenal dan bahkan dikenal oleh pemimpin laskar yang berada di lereng Gunung Merapi itu. Tetapi apa yang harus dilakukan menurut orang tua itu pun telah mendebarkan hatinya. Dengan nada yang datar Wuranta bertanya,
“Apakah sebenarnya pekerjaan yang harus aku lakukan itu Kiai?”
“Angger Wuranta,” berkata Kiai Gringsing,
“apakah Angger satu dua kali pernah ditangkap oleh orang-orang Merapi itu?”
“Aku sendiri belum, Kiai,” dtawab Wuranta,
“tetapi beberapa di antara kami pernah mengalami.”
“Bagaimanakah perlakuan mereka atas kalian?”
“Mereka tidak begitu menakutkan Kiai. Tetapi kadang-kadang mereka bersikap kasar. Apalagi kalau kami tidak mau menuruti perintah-perintah mereka. Meskipun demikian, kami tidak ingin bekerja bersama dengan mereka, justru karena kami tahu, bahwa mereka adalah orang-orang yang tidak memihak Pajang.”
“Adakah kadang-kadang mereka membujuk kalian untuk ikut dengan mereka?”
“Sekali dua kali hal itu pernah dilakukan, Kiai.”
“Bagus,” sahut Kiai Gringsing,
“itulah yang aku harapkan. Angger Wuranta, Angger adalah anak muda yang akan dapat membantu kami. Tetapi kami tidak akan menekankan maksud ini. Terserahlah kepada Angger. Kami hanya menawarkan kesempatan kepada Angger untuk mencoba memberikan sesuatu kepada Pajang dan sudah tentu kepada padukuhan ini, kepada kademangan ini. Namun sekali lagi aku beritahukan, taruhannya adalah nyawa.”
Wuranta tertegun sejenak. Bahkan Agung Sedayu dan Swandaru pun sama sekali tidak mengerti maksud gurunya. Anak-anak muda itu pun sejenak terdiam. Wajah mereka memancarkan keragu-raguan hati mereka.
“Angger Wuranta,” berkata Kiai Gringsing lebih lanjut,
“bagaimana kalau Angger bersedia menerima tawaran mereka apabila kesempatan itu terbuka bagi Angger?”
“Kiai,” hampir bersamaan. Agung Sedayu dan Swandaru memotong kata-kata gurunya. Sedang Wuranta memandangi wajah orang tua itu dengan tegangnya.
“Tunggu dulu,” sambung Kiai Gringsing,
“aku belum selesai. Pekerjaan ini adalah pekerjaan yang jauh lebih berat dari pekerjaan prajurit yang bertempur di medan-medan perang.” Orang tua itu berhenti sejenak, kemudian dilanjutkannya,
“Bukankah dengan demikian Angger ada di antara mereka? Nah, kami percaya bahwa meskipun Angger dalam ujud jasmaniah berada di antara mereka, namun Angger akan tetap berjuang untuk kepentingan Pajang dan Jati Anom.”
Kening Agung Sedayu. Swandaru, dan Wuranta itu menjadi berkerut- merut. Kini mereka dapat membayangkan apa yang harus dilakukan oleh anak muda itu. Sejenak mereka saling berdiam diri. Wajah Wuranta yang tegang menjadi bertambah tegang. Dipandanginya wajah Agung Sedayu dan Swandaru berganti-ganti.
“Pekerjaan itu memang sangat berat, Ngger,” berkata Kiai Gringsing kemudian.
“Tetapi apabila Angger berhasil, maka Angger telah ikut serta membebaskan daerah ini dari ketakutan dan kecemasan.

Sejenak Wuranta mencoba mencernakan kata-kata orang tua itu. Dicobanya membayangkan apakah yang dapat dilakukan di antara orang-orang yang menakutkan itu. Apakah yang dapat diperbuatnya seorang diri di dalam sangkar bekas-bekas prajurit Jipang dan orang-orang dari padepokan Ki Tambak Wedi.
“Kalau Angger dapat berhasil berada di antara mereka,” berkata Kiai Gringsing seterusnya,
“maka pekerjaan Angger seterusnya adalah, memberi kami beberapa penjelasan mengenai keadaan di dalam lingkungan mereka.”
Wuranta menarik nafas dalam-dalam. Ia telah dapat menggambarkan pekerjaan apa yang harus dilakukannya. Tetapi anak muda itu tidak segera dapat memberikan jawaban.
“Angger,” berkata Kiai Gringsing lebih lanjut,
“ketahuilah, bahwa hari ini, selambat-lambatnya besok, Angger Untara akan datang bersama sepasukan prajurit yang cukup kuat. Tetapi mereka tidak akan dengan begitu saja memasuki padepokan Ki Tambak Wedi tanpa mengetahui seluk belum di dalamnya. Nah, kalau Angger berada di antara mereka, maka kami bertiga, Agung Sedayu, Swandaru, dan aku sendiri, akan berusaha selalu berada di dekat Angger di sekitar padepokan itu. Kami akan memasuki padepokan mereka menurut petunjuk-petunjuk Angger. Sedang dari luar, Angger Untara akan datang bersama pasukannya yang kuat, yang pasti akan dapat mengimbangi kekuatan Sidanti dan Sanakeling.”
Setitik keringat meleleh di kening Wuranta. Di dalam dadanya terjadilah suatu pergolakan yang dahsyat. Ia tahu, bahwa dengan demikian ia telah memberikan sumbangan bagi perjuangan prajurit Pajang dalam menghadapi sisa-sisa laskar Sanakeling dan orang-orang Sidanti dari padepokan Ki Tambak Wedi. Namun pekerjaan itu memerlukan ketabahan, kecerdikan, dan keberanian.
“Tetapi segala sesuatu terserah kepada Angger Wuranta,” akhirnya Kiai Gringsing berkata.
“Kami menanti pilihan Angger. Kalau Angger bersedia, maka sekarang kami harus berbuat sesuatu. Mencoba mengelabuhi orang-orang lereng Merapi yang sedang turun itu, sehingga Angger mendapat kepercayaan dari padanya. Tetapi kalau Angger tidak bersedia karena sesuatu hal, maka kami harus mengambil sikap lain, misalnya dengan membinasakan ketujuh orang itu.”
Wuranta masih belum menjawab. Terasa darahnya bergelora di dalam dadanya. Agung Sedayu dan Swandaru pun seolah-olah menjadi terbungkam karenanya. Ia tahu betapa beratnya pekerjaan itu. Namun mereka pun menyadari, bahwa mereka masing-masing tidak akan dapat melakukannya seperti kata gurunya, bahwa mereka telah dikenal oleh orang-orang yang kini berada di padepokan Ki Tambak Wedi itu.

Sejenak ruangan itu dicengkam oleh kesepian. Masing-masing terdiam, namun dadanya bergelora oleh berbagai macam perasaan. Wuranta masih juga membungkam. Keringatnya menjadi semakin banyak mengalir dari lubang-lubang kulitnya.
“Bagaimana, Ngger?” pertanyaan Kiai Gringsing itu diucapkannya perlahan-lahan, namun meskipun demikian ketiga anak-anak muda yang sedang dilanda oleh arus perasaan mereka itu terkejut. Suara Kiai Gringsing yang perlahan-lahan itu terdengar seperti pecahnya jambangan yang jatuh di atas batu.
Wuranta menarik nafas dalam-dalam. Katanya ragu-ragu,
“Tugas itu menarik perhatianku Kiai. Tetapi apakah aku akan dapat melakukannya dengan baik?”
“Semuanya tergantung kepada keadaan dan Angger sendiri,” jawab Kiai Gringsing,
“tetapi apabila Angger benar-benar bertekad untuk melakukannya, maka mudah-mudahan Angger dapat berhasil.”
Wuranta mengangguk-anggukkan kepalanya. Anak muda itu memang bukan seorang penakut, tetapi disadarinya bahwa tugas itu adalah bukan sebuah permainan yang mengasyikkan. Ia sependapat dengan Kiai Gringsing, bahwa taruhannya adalah nyawanya.
“Kiai,” bertanya Wuranta,
“sebelumnya aku menjawab pertanyaan itu, apakah Kiai tidak berkeberatan kalau aku bertanya, siapakah Kiai ini sebenarnya?”
Kiai Gringsing tersenyum. Jawabnya,
“Namaku Ki Tanu Metir, Ngger.”
“He,” Wuranta terkejut,
“maksud Kiai, Kiai itulah dukun dari Dukuh Pakuwon?”
“Ya, akulah Ki Tanu Metir itu. Mungkin Angger pernah mendengar namaku. Aku memang sering berusaha menyembuhkan orang yang sedang sakit.”
Kening Wuranta kini menjadi berkerut-kerut. Nama itu sama sekali tidak memberinya jaminan apapun. Apakah hubungannya dengan Pajang? Yang dapat langsung berhubungan dengan pasukan Pajang di antara mereka hanyalah Agung Sedayu, karena kebetulan Agung Sedayu adalah adik Untara. Tetapi apabila ia sudah berada di antara orang-orang Jipang, apakah Agung Sedayu dapat menjaminnya, bahwa tidak aka nada salah paham kelak antara orang-orang Pajang dengan dirinya seandainya ia masih hidup. Keragu-raguan itu memancar pada sorot mata Wuranta. Sekali-sekali dipandanginya dukun tua itu, dan sekali-sekali wajah Agung Sedayu dan Swandaru berganti-ganti. Kiai Gringsing adalah seorang yang memiliki simpanan pengalaman yang cukup. Itulah sebabnya ia merasakan getar kebimbangan di dalam hati Wuranta. Karena itu maka orang tua itu berkata,
“Terhadap prajurit Pajang, Angger jangan bimbang. Aku akan menjadi jaminan. Sampai saat ini Angger Untara percaya kepadaku sebagai seorang penasehat yang tidak diangkat.”

Wuranta mengangguk-anggukkan kepanya. Tetapi ia masih bimbang. Sehingga Agung Sedayu yang sedikit banyak dapat ikut merasakannya berkata,
“Wuranta, Ki Tanu Metir adalah orang yang selama ini telah membimbing aku dan Adi Swandaru. Ia adalah orang yang mendapat banyak kepercayaan dari Kakang Untara pula. Itulah sebabnya, kadang-kadang Ki Tanu Metir dapat berbuat sesuatu sebelum Kakang Untara sendiri melakukannya.”
Kembali Wuranta mengangguk-anggukkan kepalanya. Meskipun di dalam dadanya masih juga bergetar keraguan dan kecemasan, tetapi ia sudah mulai dapat menjajagi, bahwa Ki Tanu Metir di dalam tata keprajuritan Pajang, setidak-tidaknya dalam perjuangan ini, adalah orang yang dapat dipercaya.
“Nah, sekarang terserah kepadamu, Ngger.”
Dada Wuranta masih bergolak. Ia berdiri di sudut jalan simpang. Kedua-duanya dapat dilaluinya. Ia melihat bahaya bertebaran di simpang yang seaman-amannya baginya. Tetapi kesempatannya untuk mengabdi kepada Pajang dan kademangannya telah sangat menarik perhatiannya. Itulah sebabnya, maka tiba-tiba wajahnya menjadi kian tegang. Ia sudah sampai pada puncak pergolakan di dalam dirinya. Anak muda itu kemudian menghentakkan giginya untuk menemukan kekuatan buat menentukan pilihannya. Akhirnya dengan suara bergetar ia berkata,
“Kiai, aku bersedia. Tetapi tunjukkanlah aku jalan itu.”
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Katanya,
“Yang pertama-tama mengucapkan terima kasih adalah aku dan kedua anak-anak muda ini, Ngger. Tetapi hati-hatilah. Kalau Angger sudah berada di antara mereka, maka usahakanlah agar Angger tetap mendapat banyak kesempatan untuk datang ke kademangan ini. Kalau tidak maka Angger harus mendapat suatu tempat untuk meletakkan tanda-tanda dan keterangan yang akan kami ambil di saat-saat tertentu. Misalnya di sudut Tegal Mlanding. Angger dapat meninggalkan rontal dengan beberapa tulisan dan tanda-tanda.”
“Baik, Kiai. Tetapi dari mana aku mendapat rontal?”
“Angger dapat mempergunakan apa saja. Secarik kain dengan cocokan daun sirih atau apa saja yang dapat Angger pergunakan. Batang-batang pohon dan mungkin orang-orang yang Angger percayai.”
Wuranta mengangguk-anggukkan kepalanya. Kembali setitik keringat meleleh di keningnya.
“Akan aku usahakan menghubungi Kiai dan Adi Agung Sedayu atau Adi Swandaru. Sudut Tegal Mlanding memang tempat yang baik. Di sudut Utara ada sebatang pohon beringin. Pohon itulah tempat yang ditentukan apabila aku meletakkan sesuatu.”
“Baik. Baik, Ngger,” berkata Ki Tanu Metir.
“Sekarang bagaimana Angger dapat mengelabuhi orang-orang itu sehingga Angger akan mendapat kepercayaan?”
“Terserahlah kepada Kiai.”
“Baiklah. Angger akan mengambil sesuatu dari rumah ini. Agung Sedayu akan mengejar sampai orang-orang lereng Merapi itu melihat Anger. Angger Wuranta akan mengatakan bahwa Angger telah mengambil benda-benda itu dari rumah ini, tetapi ternyata Agung Sedayu berada di dalam rumahnya. Tetapi ingat bahwa Agung Sedayu seorang diri.”
Wuranta mendengarkan kata-kata Kiai Gringsing itu dengan seksama. Lamat-lamat ia segera dapat menangkap maksudnya. Meskipun demikian ia bertanya,
“Kenapa Agung Sedayu hanya seorang diri?”
Dengan demikian, maka mereka tidak akan terlampau bersiaga. Pengaruhnya pun tidak akan terlampau banyak bagi orang-orang di lereng Merapi itu. Mereka dapat menyangka bahwa Agung Sedayu hanya sekedar melihat rumahnya. Wuranta mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi sebelum ia berkata selanjutnya, Ki Tanu Metir telah mendahuluinya,
“Tetapi Ngger, ada soal lain yang harus kau mengerti. Orang-orang lereng Merapi itu mendendam Agung Sedayu sampai ke ubun-ubun.”
Ki Tanu Metir berhenti sejenak. Kemudian sambil menarik nafas dalam-dalam ia berkata,
“Kalau mereka mendengar nama Agung Sedayu, maka jantung mereka akan segera menyala. Tetapi kalau Agung Sedayu itu seorang diri, maka tanggapan merekapun akan berbeda daripada apabila Agung Sedayu datang bersama Swandaru atau seorang tua yang bernama Ki Tanu Metir. Bahkan mereka pasti ingin menjebak Agung Sedayu ke dalam perangkapnya, sebab di lereng Merapi itu memang telah tersedia umpannya.”

Wuranta tidak segera menangkap maksud Kiai Gringsing, sementara itu wajah Agung Sedayu pun menjadi kemerah-merahan.
“Angger Wuranta,” berkata Ki Tanu Metir itu selanjutnya,
“ketahuilah, bahwa adik Swandaru yang bernama Sekar Mirah, sejak beberapa hari yang lalu telah hilang. Ternyata Sekar Mirah itu telah dilarikan oleh Sidanti. Hal ini adalah salah satu sebab yang mendorong kami mendahului pasukan Untara. Dan hal ini pula termasuk salah satu yang harus Angger perhitungkan apabila Angger berhasil masuk ke dalam lingkungan Sidanti itu. Angger harus secepatnya berusaha memberi kami kabar, dari mana kami akan mendapat kesempatan yang paling aman untuk memasuki padepokan Ki Tambak Wedi dan mendekati tempat Sekar Mirah itu disimpan. Kami harus dapat mencegah supaya Sekar Mirah tidak akan dapat dijadikan barang taruhan untuk memeras kekuatan pasukan Angger Untara kelak. Sebab mau tidak mau, Angger Untara pasti akan terpengaruh seandainya Sekar Mirah itu masih tetap berada di padepokan. Nah, barangkali Angger Wuranta kini telah dapat membayangkan, apakah kira-kira yang harus Angger lakukan apabila Angger bersedia mengorbankan diri untuk tugas itu.”
Sekali lagi Wuranta mengangguk-anggukkan kepalanya. Gambaran tentang tugas yang disanggupinya itu menjadi kian jelas. Anak muda itu tahu benar hubungan apakah yang ada antara kedua anak muda itu dengan Sekar Mirah. Sekar Mirah itu adalah adik Swandaru dan adik Swandaru itu adalah umpan yang baik untuk memancing Agung Sedayu.
Tiba-tiba Wuranta itu tersenyum, meskipun hatinya masih juga berdebar-debar. Sambil memandangi Agung Sedayu ia berkata,
“Baiklah Ki Tanu Metir. Aku akan mencoba melihat, darimana sebaiknya Adi Swandaru harus menangkap umpannya, tetapi tidak tersangkut kailnya, atau mungkin Adi Agung Sedayu?”
“Ah,” Agung Sedayu berdesah. Tetapi Swandaru tertawa hampir tak terkendali, sehingga Ki Tanu Metir mencegahnya.
“He, Swandaru, jangan menunggu Ki Tambak Wedi menutup mulutmu.”
Suara tertawa Swandaru itu  pun terhenti. Tetapi mulutnya masih juga tersenyum. Katanya,
“Nah, ternyata kita mendapat suatu cara yang baik untuk membebaskan Sekar Mirah karena pertolongan Kakang Wuranta.” Kemudian kepada Wuranta ia berkata, “Kakang Wuranta, mudah-mudahan usaha ini akan bermanfaat bagi kita semua. Bagi kami yang datang dari Sangkal Putung ini dan bagi Jati Anom.
“Mudah-mudahan, Adi,” jawab Wuranta pendek.
“Sekarang,” berkata Ki Tanu Metir,
“Angger Wuranta harus meninggalkan rumah ini. Usahakan supaya orang-orang lereng Merapi mencari Angger Agung Sedayu lewat halaman depan. Kau dapat berbuat seakan-akan kau menentangnya dengan dengan mencegah orang-orang itu dengan tergesa-gesa memasuki halaman ini. Dengan demikian kau memberi kesempatan kepada kami untuk meninggalkan rumah ini lewat pintu belakang. Apakah kau dapat mengerti?”
“Baik, Kiai.”
“Nah, sekarang pergilah. Kau merasa dikejar oleh Agung Sedayu. Kau harus dilihat oleh orang-orang yang memasuki desa ini. Lalu kau kembali bersama mereka untuk menunjukkan bahwa di rumah itu ada seorang anak muda yang bernama Agung Sedayu yang mengejarmu karena kau mengambil sesuatu dari rumah ini. Berangkatlah supaya orang-orang lereng Merapi itu sempat melihatmu sebelum mereka pergi meninggalkan padukuhan ini.
“Baik, Kiai.”
“Yang lain-lain akan menyusul. Mudah-mudahan kita akan segera bertemu lagi. Atau tinggalkan pesan di sudut Tegal Mlanding.”
“Baik, Kiai. Sekarang, baiklah aku pergi.” Wuranta berhenti sesaat, lalu katanya,
“Tetapi kemana aku harus berlari. Apakah aku harus mengelilingi padukuhan ini sampai aku bertemu dengan orang-orang itu?”
“Kau dapat bertanya kepada seorang dua orang yang melihatnya. Bukankah perempuan dan anak-anak tidak perlu melarikan dirinya apabila orang-orang itu datang?”
“Sampai sekarang anak-anak dan perempuan tidak pernah mereka ganggu Kiai. Mungkin orang-orang itu sedang mengambil hati orang-orang Jati Anom.”
“Demikianlah. Dan kau pasti cukup bijaksana.”

Kemudian Wuranta itu  pun minta diri kepada Kiai Gringsing dan kedua anak muda, murid orang tua itu. Dengan tergesa-gesa meninggalkan rumah itu. Sampai di luar regol halaman ia menjadi ragu-ragu sejenak, namun kemudian ia  pun berlari ke arah Barat.
Tiba-tiba ia berhenti ketika terdengar seorang perempuan memanggilnya dari balik pintu regol. Ketika Wuranta mendekat, perempuan itu berbisik,
“Sst, Wuranta, larilah. Orang-orang itu berada beberapa puluh langkah darimu. Dua halaman di sebelah barat itu.”
Dada Wuranta berdesir mendengar bisik orang itu. Sejenak ia menjadi ragu-ragu kembali. Apakah ia dapat melakukan tugas yang diberikan kepadanya itu? Ia tahu pasti bahwa Ki Tanu Metir dan Agung Sedayu bukanlah prajurit-prajurit Pajang yang berwenang untuk memberinya tugas-tugas demikian. Apakah ia akan sampai hati untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan yang kemudian diberikan kepadanya oleh orang-orang lereng Merapi, yang mungkin akan sangat bertentangan dengan hatinya. Apakah kata orang-orang Jati Anom sendiri tentang dirinya dan apakah orang-orang itu kelak akan dapat mengerti, bahwa apa yang dilakukan itu justru untuk kepentingan mereka. Dalam keragu-raguan itu, kembali Wuranta mendengar perempuan di belakang regol itu berkata,
“Cepat, masuklah kemari Wuranta. Cepat. Mereka berada di halaman sebelah barat itu.”
Tetapi Wuranta kini benar-benar tidak dapat berbuat lain. Pada saat itu ia melihat beberapa orang laki-laki dengan senjata di lambungnya keluar dari halaman di sebelah Barat itu berantara satu pomahan. Ketika tampak oleh mereka itu seorang anak muda berdiri di depan regol, maka tiba-tiba salah seorang dari mereka melambaikan tangan mereka memanggil Wuranta mendekat.
“Masuklah,” desis perempuan di belakang regol.
“Mereka telah melihat aku,” desis Wuranta perlahan.
“Oh, kau terlambat, Nak,” kata perempuan itu sambil bergegas-gegas meninggalkan regol halamannya naik ke rumah. Dengan tergesa-gesa pula didorongnya pintu leregnya dan kemudian di selaraknya rapat-rapat.
Wuranta berjalan dengan hati yang berdebar-debar mendekati orang-orang itu. Ketika ia menjadi semakin dekat, maka tahulah ia bahwa orang-orang itu hanyalah berjumlah enam orang. Ketika dilihatnya seorang anak muda di antara mereka yang berwajah tampan namun keras, segera dikenalnya anak muda itu. Anak muda itu adalah Sidanti, seperti yang dikatakan oleh beberapa orang kawan-kawannya yang pernah ditangkap pula. Di dalam rombongan kecil itu pula dilihatnya seorang yang bersenjatakan tombak pendek. Maka ia pun menduga, bahwa orang itulah yang sering disebut oleh kawan-kawannya bernama Argajaya.
Ketika Wuranta menjadi semakin dekat, maka kini ia menjadi semakin jelas. Di samping kedua orang yang berada di depan itu, maka yang lain hanyalah beberapa orang prajurit pengawalnya saja.
“Kemarilah,” berkata anak muda yang disangkanya bernama Sidanti.

Wuranta melangkah perlahan-lahan. Dadanya diamuk oleh kecemasan dan keragu-raguan. Namun akhirnya ia membulatkan tekadnya bahwa ia akan berbuat sebaik-baiknya seperti yang dipesankan oleh Ki Tanu Metir.
“Siapakah kau anak muda?” bertanya orang yang disangkanya Sidanti itu.
Keringat dingin telah mengalir membasahi punggung Wuranta. Perlahan-lahan ia menjawab,“Namaku Wuranta, Tuan.”
“Nama yang baik,” desis orang yang bertanya itu.
“Sebaiknya kau mengenal aku pula. Namaku Sidanti.”
“O,” Wuranta mengangguk-anggukkan kepalanya,
“aku telah pernah mendengar nama Tuan. Apakah Tuan yang membawa tombak pendek itu bernama Argajaya?”
Sidanti tertawa, “Darimana kau mengenal kami?”
“Kawan-kawanku mengatakan kepadaku, Tuan.”
“O,” desis Sidanti,
“aku memang pernah bertemu dengan beberapa anak-anak muda dari Jati Anom. Sayang di antara kita belum ada sentuhan perasaan yang dapat mempererat hubungan kita. Sebagian dari anak-anak muda Jati Anom sengaja menghindari apabila kami datang ke kademangan ini untuk memperkenalkan diri.”
“Ya, Tuan. Kami, anak-anak Jati Anom kadang-kadang menjadi takut kepada Tuan-tuan.”
“Kenapa takut?” bertanya Sidanti.
“Justru karena kami belum mengenal Tuan.”
Sidanti tertawa.
“Alasanmu bagus sekali. Kita terperosok ke dalam suatu lingkaran yang tak berpangkal dan berujung. Kalian takut berkenalan dengan kami, karena itu kalian selalu menghindari kami. Ada pun sebabnya kalian takut karena kalian belum mengenal kami. Begitu?”
Wuranta tersenyum pula. Senyum yang dipaksakannya. Tetapi kini ia telah mencoba melakukan pekerjaannya. Berkali-kali ia berpaling ke belakang dengan gelisahnya. Ia mengharap Sidanti akan bertanya tentang sikapnya itu.
Ternyata harapannya itu berlaku. Dengan dahi yang berkerut-kerut, Sidanti bertanya,
“Apakah kau sedang menunggu seseorang?”
“Tidak, Tuan,” sahut Wuranta.
“Tetapi seseorang tadi mengejarku. Hampir aku bersembunyi di halaman sebelah seandainya Tuan tidak memanggilku.”
“Siapa yang mengejarmu?” bertanya Sidanti dengan serta merta.
“Dan kenapa kau dikejar orang?”
“Ah, soalnya agak memalukan, Tuan.”
“Kenapa?”
“Hanya sebilah keris”
“Bagaimana dengan sebilah keris?” Argajaya tidak dapat bersabar.
“Aku mendapatkan sebilah keris di sebuah rumah yang aku sangka kosong, Tuan. Tiba-tiba dari belakang datang seorang anak muda penghuni rumah itu. Penghuni yang sebenarnya telah lama sekali menghilang.”
“Siapa?”
“Agung Sedayu, Tuan.”
“He,” terasa darah Sidanti tersirap,
“kau berkata bahwa Agung Sedayu berada di rumahnya?”
“Ya, Tuan. Agung Sedayu adalah lawan berkelahi sejak kami masih kanak-kanak.”
Wajah Sidanti tiba-tiba menjadi merah. Dengan mata yangmenyala ia bertanya,
“Wuranta, mari tunjukkan di mana Agung Sedayu sekarang?”
“Di rumahnya, Tuan. Baru saja aku dikejarnya.”
“Apakah kau tidak berani melawan Agung Sedayu?”
“Aku tidak bersenjata, Tuan.”
“Kalau kau bersenjata?”

Wuranta terdiam sejenak. Dipandanginya Sidanti dengan wajah bertanya-tanya. Tiba-tiba Sidanti tertawa. Katanya,
“Mungkin kau memang tidak akan dapat melawannya. Agung Sedayu tumbuh terlampau cepat. Tetapi serahkan ia kepadaku.”
“Siapakah anak muda itu?” bertanya Argajaya. “Agung Sedayu?”
“Ya.”
“Yang aku jumpai di Prambanan?”
“Nah, itulah, Paman. Agung Sedayu.”
Dada Argajaya  pun berdesir. Ia mengenal tiga anak-anak muda di Prambanan. Tetapi Agung Sedayu itu bukanlah anak muda yang berkelahi melawannya.
“Apakah mereka juga bertiga?” bertanya Argajaya.
Wuranta mengerutkan keningnya. Kenapa Argajaya itu dapat menebak bahwa Agung Sedayu datang bertiga? Tetapi maksud Argajaya adalah tiga anak-anak muda, Agung Sedayu, Swandaru, dan seorang lagi yang mengaku bernama Sutajia. Untunglah bahwa Wuranta segera ingat pesan Ki Tanu Metir, bahwa Agung Sedayu datang seorang diri ke rumahnya. Maka jawabnya,
“Sendiri Tuan. Agung Sedayu hanya seorang diri menurut penglihatanku, Tetapi entahlah aku tidak tahu apakah ia datang bersama kawan-kawannya.”
“Beruntunglah kalau aku dapat bertemu dengan setan itu,” desis Argajaya.
“Sidanti,” katanya kepada kemenakannya, “serahkan anak itu kepadaku.”
Sidanti tersenyum. Jawabnya,
“Jangan seperti berebut durian runtuh, Paman. Aku ingin menangkapnya hidup-hidup. Membawanya kembali ke padepokan dan mempertemukannya dengan Sekar Mirah. Tetapi tidak dalam keadaan yang wajar. Aku ingin supaya Sekar Mirah melihat, Agung Sedayu akan aku ikat seperti anjing. Aku pukuli sampai Sekar Mirah mau menerima aku sebagai suaminya.”
“Kau terlampau mementingkan dirimu sendiri Sidanti. Kau tidak mengingat bahwa kita berada dalam keadaan perang melawan Pajang. Persoalan-persoalan pribadi akan dapat mengganggu bagi persoalan-persoalan yang lebih penting.”
Sidanti masih saja tersenyum. Tetapi kini ia tidak dapat menjawab kata-kata pamannya. Kepada Wuranta ia berkata,
“Ayo bawa aku kepadanya. Kalau kau berhasil menunjukkan di mana Agung Sedayu berada, maka kau akan mendapat keris yang kau kehendaki dan bukan itu saja. Mungkin kau mempunyai beberapa permintaan.”
“Baik, Tuan,” sahut Wuranta. “Marilah, sebelum anak itu lari.”
Mereka  pun kemudian berjalan beriringan dengan tergesa-gesa. Wuranta berjalan di paling depan dengan tegapnya. Sekali-kali ia meloncat berlari-lari seakan-akan ia benar-benar segera ingin melihat Agung Sedayu itu tertangkap. Di belakangnya, Sidanti dan Argajaya berjalan sambil memperhatikan Wuranta. Sambil tersenyum Sidanti berkata lirih,
“Lagaknya anak itu. Seakan-akan ia sendirilah yang akan menangkap Agung Sedayu. Ternyata ia lari pontang-panting ketika dikejarnya.”

Argajaya tidak menjawab. Tetapi dendamnya kepada Sutajia masih belum dapat dilupakannya, kalau nanti ia benar-benar bertemu dengan Agung Sedayu maka sekali lagi ia ingin minta kepada Sidanti agar menyerahkan anak muda itu kepadanya, sebagai pelepas dendamnya. Namun tiba-tiba di kepalanya melontar sebuah pertanyaan,
“Bagaimanakah kalau Sutajia itu kini bersama Agung Sedayu itu pula?”
Tanpa disengajanya ia berpaling. Di belakang berjalan empat orang prajurit dengan senjata di lambungnya. Tetapi bagi Argajaya, empat orang prajurit itu sama sekali tidak banyak berarti apabila mereka benar-benar bertemu dengan ketiga anak-anak muda yang ditemuinya di Prambanan. Semakin dekat mereka dengan regol halaman rumah Agung Sedayu, maka hati mereka  pun menjadi semakin berdebar-debar. Wuranta menjadi cemas, apakah Agung Sedayu benar-benar akan berhasil melepaskan dirinya, sedang Sidanti dan Argajaya menjadi cemas kalau anak itu telah meninggalkan rumahnya.
Sampai di muka regol halaman, Wuranta berhenti. Ia menjadi ragu-ragu. Dalam keragu-raguan itu terdengar Sidanti bertanya,
“Kenapa berhenti?”
“Aku akan memanggilnya, Tuan.”
“Tak usah. Kita masuki saja rumahnya.”
“Bagaimana kalau Agung Sedayu membawa beberapa orang kawan?”
Sidanti tersenyum, katanya,
“Aku  pun membawa beberapa orang kawan pula.”
Tetapi Argajaya-lah yang menyahut,
“Panggil anak itu keluar. Kita lebih baik tidak menampakkan diri. Kita akan lebih mudah menangkapnya apabila kita telah melihat orangnya.”
Sidanti tidak membantah. Pendapat itu baik juga agaknya. Karena itu maka katanya kepada Wuranta,
“Bagaimana caramu untuk memanggilnya. Apakah ia akan keluar juga?”
“Tunggulah, Tuan. Aku akan membuat ia marah.”
Sidanti tersenyum. Katanya, “Lakukanlah.”
Wuranta itu pun kemudian berdiri di tengah-tengah regol halaman rumah Agung Sedayu. Tetapi sebelum berteriak, sekali lagi berpaling kepada Sidanti sambil berkata,
“Tetapi Tuan jangan melepaskan aku sendiri. Aku akan dibunuhnya nanti.”
“Penakut,” geram Sidanti. “Aku di sini. Jangan takut.”
Beberapa orang dibelakan Sidanti hampir tak dapat menahan tertawa mereka melihat sikap Wuranta. Sedang Argajaya dengan garangnya berkata,
“Lekas, jangan membuang waktu.”

Wuranta memandangi rumah itu lagi. Dilihatnya pintu depan rumah Agung Sedayu tertutup. Tetapi ia mengharap bahwa Agung Sedaya dan kawan-kawannya telah melihatnya dair balik dinding. Sekali lagi ia berpaling kepada Sidanti, dan dilihatnya mata anak muda itu hampir saja meloncat dari pelupuknya. Wuranta itu  pun kemudian menengadahkan wajahnya. Dengan lantang ia berteriak,
“He, Agung Sedayu. Kenapa kau bersembunyi? Hampir mati kepayahan aku menunggumu di prapatan. Ayo kalau kau benar-benar jantan.”
Tidak segera terdengar jawaban dari dalam rumah itu. Sidanti dan Argajaya menjadi gelisah. Mereka masih berdiri di balik dinding halaman, sehingga mereka tidak melihat ke dalam halaman.
“Agung Sedayu!” teriak Wuranta kemudian.
“He, Agung Sedayu! Kenapa kau tidak mengejarku terus? Aku menunggumu di prapatan.”
Masih belum terdengar jawaban, dan Wuranta berteriak lagi,
“He, kalau kau tidak berani keluar, jangan sebut dirimu Agung Sedayu. Jangan sebut dirimu putera Ki Sadewa dan jangan sebut dirimu adik Untara. Ayo, keluarlah!”
Dada Sidanti tiba-tiba berdesir, sedang jantung Argajaya terasa berderak ketika mereka mendengar suara dari dalam halaman.
“Wuranta, jangan terlampau sombong. Halaman ini cukup luas untuk mengadu liatnya kulit, kerasnya tulang. Jangan lari. Marilah kita jajagi, siapakah yang jantan di antara kita.”
Tiba-tiba Wuranta tertawa menyakitkan hati. Dengan nada yang tinggi ia berkata,
“O, kau agaknya ingin menjebak aku he? Ayo, keluarlah dari regol halaman rumahmu. Kalau kita berkelahi di dalam halaman, maka mungkin kau menyimpan kawan di dalam rumahmu yang jelek itu. Ayo, keluarlah!”
“Kaukah yang akan menjebak aku? Apakah kau sudah mendapat kawan baru sehingga kau kembali lagi ke halaman ini? Ha, jangan ingkar. Aku melihat kau sekali-sekali berpaling. Siapakah kawanmu, he?”
“Persetan! Aku bukan pengecut. Ayo, kemarilah!” sahut Wuranta.
Namun dada Sidanti-lah yang tidak tahan lagi. Seakan-akan dada itu akan bengkah. Ia bukan pengecut yang hanya berani bersembunyi, kemudian menyerang lawanya dalam kelengahan. Karena itu, maka terdengar giginya gemeretak menahan diri. Ternyata Argajaya  pun hampir-hampir tidak dapat menguasai perasaannya lagi. Dengan parau ia menggeram,
“Jangan bermain sembunyi-sembunyian. Ayolah Sidanti, kita selesaikan tikus itu.”
Sidanti tidak menunggu ajakan berikutnya. Cepat ia meloncat dari balik diding regol hampir bersamaan dengan Argajaya.
“Agung Sedayu!” teriak Sidanti. “Kita bertemu kembali. Apakah kau memang mencari aku.”
“O,” sahut Agung Sedayu,
“kaukah itu Sidanti? Dan yang satu itu bukankah pamanmu yang bernama Argajaya? Apakah kau datang bersama gurumu Ki Tambak Wedi?”
Kata-kata itu terasa seperti bara api menyentuh telinga Sidanti. Dengan gigi gemeretak ia menjawab,
“Agung Sedayu. Jangan merasa dirimu jantan sendiri. Aku bersedia untuk sekali lagi melakukan perang tanding dengan jujur. Ayo, turunlah. Kita berhadapan sebagai laki-laki.”
Terdengar Agung Sedayu tertawa. Nadanya menyakitkan hati. Katanya,
“Wuranta, itukah minta-srayamu?”
“Jangan hanya berbicara!” sahut Wuranta.
“Sekarang kau sudah berhadapan dengan lawanmu.”
“Pengecut! Agaknya kau hanya berani bersembunyi di balik punggungnya.”
“Jangan menghina Wuranta! Aku terpengaruh oleh keadaan, karena aku berada di dalam rumahmu tanpa ijinmu,” Jawab Wuranta.
Sidanti hampir tidak sabar lagi mendengar percakapan yang tidak ada ujung pangkalnya, sekali lagi ia membentak,
“Sedayu, ayo, kita mulai!”

Agung Sedayu terdiam. Tampaklah wajahnya menjadi tegang. Keringat dingin mengalir dari keningnya. Ia mendapat pesan dari gurunya, untuk kepentingan yang lebih besar, ia harus menghindari perkelahian kali ini. Ia harus masuk ke dalam rumahnya dan lari bersama-sama lewat pintu belakang dan meloncati dinding halaman belakang. Tetapi ketika ia melihat Sidanti telah berdiri di hadapannya. Tiba-tiba darahnya menggelegak. Hampir-hampir ia tidak dapat mengingat lagi, apa yang harus dilakukan seandainya gurunya tidak berbisik dari balik dinding,
“Tinggalkan mereka. Cepat, kita lari sebelum rencana ini bubrah.”
Agung Sedayu masih diam mematung. Bahkan tangan Swandaru pun menjadi gemetar. Dengan penuh kekecewaan ia berkata,
“Guru, kenapa mereka tidak kita bantai sekarang? Bukankah guru dan kami berdua mampu melakukannya? Wuranta itu tidak lagi perlu mencari jalan untuk masuk kedalam padepokan Tambak Wedi.”
“Kau tidak ingin adikmu kembali? Dan apakah kau ingin melihat Jati Anom menjadi karang abang?”
Swandaru terdiam. Yang terdengar kemudian adalah suara Sidanti,
“Turunlah atau aku akan naik ke rumahmu?”
“Cepat Agung Sedayu!” perintah gurunya dari balik dinding.
“Katakan kepadanya, suatu ketika kau akan menerimanya menjadi tamumu.”
Mulut Agung Sedayu serasa terbungkam. Namun ketika Kiai Gringsing berkata,
“Agung Sedayu, taati perintah gurumu,” maka Agung Sedayu itu  pun tidak dapat menolak lagi. Ketika ia melihat Sidanti maju setapak maka ia pun berteriak,
“Sidanti kali ini aku berkeberatan menerimamu. Tetapi lain kali aku harap kau sudi berkunjung ke rumahku lagi.”
Agung Sedayu tidak menunggu jawaban Sidanti. Hatinya sendiri berguncang dahsyat sekali karena ia harus meninggalkan lawan bebuyutan itu. Melihat Agung Sedayu meloncat dan hilang di balik pintu, Sidanti terkejut bukan kepalang. Sama sekali tidak disangkanya bahwa begitu cepat Agung Sedayu meninggalkannya dengan tergesa-gesa. Ia mengharap bahwa Agung Sedayu menerima tantangannya dan berkelahi di halaman. Namun tiba-tiba Agung Sedayu berlari seperti tikus melihat kucing. Justru karena itu maka sejenak ia berdiri diam seperti patung. Argajaya terkejut pula. Sifat anak itu sama sekali berubah dari sifat Agung Sedayu yang ditemuinya di Prambanan, yang melihat ujung senjata dengan tengadah. Apalagi anak muda yang bernama Sutajia. Tetapi adalah mengherankan kalau kali ini tanpa malu-malu Agung Sedayu itu meloncat berlari sipat kuping.
Sejenak kemudian Sidanti menyadari keadaanya. Menyentak ia berkata,
“Setan itu harus aku tangkap.”
Tetapi ketika Sidanti meloncat terdengar Wuranta berkata,
“Tuan. Tunggulah.”
Sidanti tertegun. Diawasinya wajah anak muda Jati Anom itu dengan heran.
“Tuan, siapa tahu di dalam rumah itu ada beberapa orang yang telah siap menjebak Tuan.”
Sidanti ragu-ragu sesaat. Tetapi kemudian ia bertanya,
“Bukankah kau berkata bahwa Agung Sedayu hanya seorang diri saja.”
“Itu menurut penglihatanku, Tuan. Tetapi siapa tahu, bahwa sepuluh atau dua puluh orang telah siap menanti Tuan.”

Argajaya ternyata tidak sabar menunggu mereka berbincang. Ia tanpa berkata sepatah kata  pun segera meloncat mendahului. Sidanti berlari melintasi halaman rumah Agung Sedayu. Sidanti  pun segera menyusul sambil berkata,
“Kalau kau takut, tinggallah di luar. Kalau ia tidak sendiri, maka mereka pasti sudah beramai-ramai mengejarmu tadi.”
Wuranta tidak menjawab lagi. Ia mengharap bahwa waktu yang diusahakannya telah cukup panjang bagi Agung Sedayu dan kedua kawannya. Dalam pada itu Argajaya telah naik ke pendapa disusul oleh Sidanti. Dengan kasarnya ia mendorong pintu sambil berteriak,
“He pengecut! Di manakah kejantananmu? Pilihlah di antara kami, siapakah yang akan kau jadikan lawanmu.”
Suara Argajaya itu berderak memukul dinding-dinding rumah yang kosong. Sama sekali ia tidak mendengar jawaban. Meskipun demikian ia tidak dapat masuk dengan tanpa bersiaga menghadapi setiap kemungkinan yang dapat terjadi. Peringatan Wuranta ternyata mempengaruhinya juga.
“Ayo, keluarlah. Siapa yang berada di rumah ini?”
Masih tak ada jawaban. Sidanti pun kini telah berada di dalam rumah itu. Tangannya telah melekat dihulu pedangnya. Bahkan orang-orangnya yang berada di belakangnya telah menggenggam senjata masing-masing. Sedang tombak pendek Argajaya  pun telah siap bergerak apabila terjadi sesuatu dengan tiba-tiba.
“Agung Sedayu,” terdengar Sidanti memanggil-manggil.
Masih tidak ada jawaban. Dengan marahnya Sidanti  pun segera menendang pintu-pintu dan perabot rumah yang memang telah porak-poranda. Suaranya berderak-derak tak keruan. Orang-orangnya  pun menirukan saja apa yang diperbuat oleh Sidanti itu.
Tiba-tiba terdengar Sidanti berkata,
“Kita cari ke belakang.”
Mereka  pun kemudian berlari kehalaman belakang. Wuranta  pun ikut pula deng mereka, bahkan seperti mereka juga Wuranta ikut menendang-nendang beberapa macam barang.
“Sedayu!” teriak Sidanti.
Sepi. Tak seorang  pun yang menyahut.
“Agung Sedayu, pengecut!”
Suara itu saja yang melontar menyentuh dedaunan. Seolah-olah memenuhi seluruh pedukukan Jati Anom.
“Gila,” geram Sidanti, “apakah aku akan kehilangan dia?”

Tiba-tiba Sidanti itu melihat sesuatu yang bergerak-gerak di dalam bilik belakang. Cepat ia meloncat mendekati. Dengan gerak seperti kilat pedangnya telah tergenggam di dalam tangannya. Kali ini ia tidak membawa pusakanya, nenggala.
“Keluar!” teriaknya. “Ayo keluar! Apakah kau Agung Sedayu?”
Yang terdengar kemudian adalah suara tangis kanak-kanak yang meledak. Dengan penuh ketakutan seorang perempuan dengan anak laki-laki yang masih kecil terbongkok-bongkok keluar dari bilik kecil itu.
“O, gila kau,” bentak Sidanti. “Di mana Agung Sedayu, he?”
“Agung Sedayu lari, Tuan,” sahut perempuan itu.
“Suruh anak itu diam!” teriak Argajaya sambil menunjuk kepala anak itu dengan ujung tombaknya.
“Cup, Ngger,” desis perempuan itu sambil menggigil. Didekapnya anak itu di dadanya.
“Suruh anak itu diam!” bentak Argajaya pula.
Perempuan itu menjadi semakin ketakutan. Dengan gemetar ia mencoba manahan tangis anaknya,
“Cup diam ya Ngger.” Tetapi anak itu masih juga menangis.
“Di mana Sedayu?” sekali lagi Sidanti membentak.
“Lari, Tuan. Ia lari meloncat pagar dinding itu.”
“Kau berkata sebenarnya? Apakah anak itu tidak kau sembunyikan?”
“Tidak, Tuan. Tuan dapat mencari di seluruh halaman ini.”
“Kalau aku ketemukan dia, aku penggal kepalamu.”
Perempuan itu tidak menjawab, tetapi ia menggigil ketakutan.
“Ayo, tunjukkan di mana ia bersembunyi!” perintah Argajaya.
Tiba-tiba Wuranta maju selangkah sambil berkata,
“Maaf Tuan-tuan, perempuan ini adalah bibiku. Memang ia menjadi pembantu dan penunggu rumah Agung Sedayu sejak ayahnya masih hidup. Karena petunjuknya pula aku ingin mengambil keris hari ini, tetapi tiba-tiba saja Agung Sedayu itu datang.”
Argajaya dan Sidanti serentak berpaling memandangi Wuranta. Dan Wuranta mencoba meyakinkan,
“Ia berada di pihakku, Tuan. Ia tidak akan menyembunyikan Agung Sedayu.”
Sidanti dan Argajaya menjadi ragu-ragu sejenak. Ditatapnya wajah Wuranta dan perempuan itu berganti-ganti. Kemudian berkata Sidanti,
“Apakah kau berkata sebenarnya?”
“Buat apa aku membohong, Tuan. Bibi inilah yang mengatakan bahwa Untara telah menyimpan sebuah pusaka berbentuk keris di dalam rumah ini. Tetapi ketika aku mencoba mencarinya, aku masih belum menemukannya. Malahan hari ini Agung Sedayu yang datang tanpa disangka-sangka telah mengejarku.”

Sidanti dan Argajaya mengerutkan keningnya. Tetapi mereka tidak segera berbuat sesuatu. Ketika mereka masih saja berdiri diam, maka tiba-tiba bertanyalah Wuranta kepada perempuan tua itu,
“Bibi, kemana Agung Sedayu melarikan dirinya? Ke samping atau ke belakang?”
“Ke belakang, Ngger,” sahut perempuan itu ragu-ragu.
“Apakah Tuan masih akan mengejarnya?” bertanya Wuranta.
Sidanti dan Argajaya tiba-tiba tersadar. Tanpa berkata sepatah kata pun segera mereka berlari dan dengan tangkasnya mereka meloncat dinding di bagian belakang. Wuranta pun tidak ketinggalan pula. Ternyata ia  pun cukup tangkas untuk meloncat dinding itu tanpa kesulitan.
Tetapi mereka sudah tidak menemukan seseorang di belakang dinding itu. Meskipun demikian mereka masih mencoba mencarinya ke sekitar halaman rumah Agung Sedayu, bahkan sampai ke halaman rumah tetangga-tetangganya. Namun mereka sudah tidak menemukan Agung Sedayu.
“Sayang,” desis Wuranta.
“Apa yang sayang?” bertanya Sidanti.
“Monyet itu.”
“Huh,” Argajaya mencibirkan bibirnya.
“Apa yang dapat kau lakukan seandainya kami menemukannya? Kau hanya mampu lari terbirit-birit seperti anjing kena cambuk.”
Terasa dada Wuranta berdesir. Sesaat darahnya bergolak, namun sesaat kemudian ia tersenyum kecut. Tetapi ia tidak menjawab sepatah katapun. Meskipun demikian, terasa alangkah menyakitkan kata-kata Argajaya itu. Ia tahu, bahwa orang-orang dari lereng Merapi adalah orang-orang yang pilih tanding. Bahkan anak muda yang bernama Sidanti itu memiliki kemampuan bertempur yang hampir di luar kemampuan prajurit biasa. Argajaya itu adalah pemimpin yang agaknya disegani juga. Tetapi untuk mendengarkan hinaan dari mereka terasa telinganya menjadi sakit juga. Meskipun demikian Wuranta harus menahan diri. Ia sedang melakukan tugas yang sangat berat. Karena itu ia harus dapat mengorbankan perasaannya dan bahkan harga dirinya.
“Pekerjaan yang tidak menyenangkan,” ia berdesah di dalam hantinya.

Namun sedikit banyak terasa olehnya, bahwa orang-orang lereng Merapi sampai saat itu tidak mencurigainya. Pekerjaannya kini tinggallah mencari kepercayaan yang lebih besar dan berusaha untuk turut serta ke sarang mereka. Setelah mereka tidak dapat menemukan jejak Agung Sedayu, maka Sidanti kemudian berkata,
“Apakah yang harus kita lakukan kini, Paman?”
Argajaya tidak segera menjawab. Diawasinya wajah Wuranta yang kemudian berpaling. Ia tidak mau berpandangan mata dengan paman Sidanti yang kasar itu supaya ia tetap dapat menahan diri dalam tugasnya.
“Bertanyalah kepada pengecut itu,” jawab Argajaya,
“apa saja yang ingin dilakukan di kampung halamannya ini.”
Sidanti mengerutkan keningnya. Baginya pamannya memang terlampau kasar menghadapi orang-orang yang sedang dipancing untuk berpihak kepada mereka.
“Baiklah,” akhirnya Sidanti itu menjawab, dan kepada Wuranta ia bertanya,
“Wuranta, apakah yang sebaiknya kita lakukan. Apakah ada yang menarik di kademangan ini untuk dikunjungi?”
Wuranta menarik nafas dalam-dalam. Ia tahu arti pertanyaan itu. Sidanti dan Argajaya ingin menemukan sesuatu yang mungkin berharga bagi mereka. Tetapi Wuranta pura-pura tidak mengerti maksud Sidanti. Karena itu ia bertanya,
“Apakah maksud Tuan?”
Sidanti tersenyum. Kemudian katanya,
“Apakah kau tahu, di mana kami mendapat sesuatu yang dapat disumbangkan untuk perjuangan kami melawan ketamakan orang-orang Pajang? Pusaka misalnya atau perhiasan untuk menambah bekal?”
“Di rumah Agung Sedayu ada pusaka, Tuan, tetapi beberapa hari aku sudah mencarinya, namun belum juga ketemu.”
“Bodoh kau!” bentak Argajaya.
“Apakah kau tahu, di mana ada orang-orang kaya di kademangan ini?”
“O,” desis Wuranta. Sekali lagi telinganya menjadi pedih.
“Tetapi Tuan, rumah-rumah itu telah pernah Tuan kunjungi.”
Mata Argajaya terbelalak karenanya. Hampir ia mengumpat sejadi-jadinya. Tetapi Sidanti-lah yang mendahului sambil tertawa,
“Baik. Memang barangkali kau benar. Hampir setiap rumah yang cukup menarik telah kami kunjungi. Lalu barangkali kau mempunyai pertimbangan lain?”
Wuranta menggelengkan kepalanya.
“Selain harta benda apakah yang dapat kau sumbangkan?” bertanya Sidanti.
“Apakah maksud Tuan?”
Sidanti tidak meneruskan kata-katanya. Tetapi sambil tersenyum ia berkata,
“Ah, hari telah siang. Apakah kita sudah cukup, Paman?”
“Lalu anak ini?” berkata Argajaya sambil menunjuk kepada Wuranta.
Sebelum Sidanti menjawab Wuranta telah mendahului,
“Apakah Tuan akan segera kembali naik ke lereng Merapi? Aku menjadi takut Tuan apabila nanti Agung Sedayu datang kembali.”
Sidanti tersenyum melihat Wuranta yang kecemasan itu, katanya,
“Lalu? Apa yang kau kehendaki?”
Wuranta tidak segera menjawab. Ditatapnya wajah kedua pemimpin dari lereng Merapi itu berganti-ganti. Namun agaknya Argajaya tidak begitu senang melihat sikapnya. Maka katanya,
“Kenapa kau bertanya kepadanya? Biarkan saja, apa yang akan dilakukannya.”


Halaman 1 2 3


<<< Jilid 019                                                                                                       Jilid 021 >>>

Tidak ada komentar:

Posting Komentar