Jilid 020 Halaman 2


Pasukan yang akan diberikan kepada Untara untuk menghadapi hantu di lereng Merapi bersama Sanakeling dan pasukannya. Tetapi ternyata sampai lewat senja pasukan itu belum juga datang.
“Kenapa kita harus menunggu Kiai?” bertanya Agung Sedayu.
“Maksudku, aku akan dapat melihat pasukan itu lebih dahulu. Kemudian apabila kita dapat melihat kekuatan Tambak Wedi, maka segera kita akan dapat membuat perbandingan.”
“Ah. Apakah kita perlu menunggu lebih lama lagi?” bertanya Swandaru pula. Biarlah kita berangkat. Hari telah menjadi gelap. Kita telah kehilangan waktu lagi satu hari.”
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Baiklah kita segera berangkat. Lebih baik kita berangkat lebih dahulu.”
Kiai Gringsing itu  pun segera menemui Untara dan Widura. Diberitahukannya kepada Senapati itu bahwa ia tidak dapat menunggu lebih lama lagi.
“Kalau keberangkatan kami tertunda, Ngger, maka akibatnya pasti kurang baik bagi adikmu, Ki Demang dan Swandaru. Apalagi kalau kedatangan kami di lereng Merapi ternyata terlambat, maka kesalahan pasti akan ditimpakan kepadaku dan Angger.”
Untara dan Widura saling berpandangan sejenak. Tetapi Untara masih mencoba menahannya,
“Aku kira pasukan itu pasti datang hari ini Kiai. Kiai akan segera dapat melihat kekuatan itu dan langsung dapat menilainya. Perjalanan Kiai kemudian akan mendapat dua nilai sekaligus. Melihat keadaan Sekar Mirah dan memperbandingkan kekuatan kita dan kekuatan Tambak Wedi.”
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Sudut pandangan itu akan bermanfaat bagi Untara sebagai seorang Senapati. Tetapi ia tidak sampai hati untuk membiarkan kedua murid-muridnya menjadi tegang, Ketegangan itu akan berbahaya bagi anak-anak muda. Mereka akan dapat kehilangan pertimbangan dan bertindak di luar perhitungan oleh desakan perasaan mudanya. Karena itu sejenak Kiai Gringsing menjadi bimbang. Menurut pendapatnya, selisih waktu yang beberapa saat pasti tidak akan banyak pengaruhnya. Kalau Agung Sedayu dan Swandaru dapat menunggunya lagi, maka prajurit Pajang itu pasti akan datang, Namun perasaan kedua anak muda itu agaknya telah mencengkam mereka, sehingga nalar mereka tidak lagi dapat bekerja dengan baik.
“Angger Untara,” berkata Kiai Gringsing itu kemudian,
“sebenarnya aku dapat mengerti perhitungan Angger. Tetapi adik Angger itu benar-benar telah menjadi waringuten. Demikian pula Swandaru. Kalau kami tidak segera berangkat, aku menjadi cemas bahwa mereka akan pergi lebih dahulu tanpa aku. Nah, apabila demikian keselamatan mereka pasti terancam.”

Untara menarik nafas dalam-dalam. Demikian juga Widura. Tetapi agaknya Widura yang telah lebih tua dari Untara itu lebih dapat merasakan perasaan kedua anak-anak muda itu. Karena itu maka katanya,
“Untara, biarlah mereka berangkat. Tetapi Kiai Gringsing pasti akan dapat mengatur perjalanan mereka, sehingga mereka akan dapat melihat kekuatanmu nanti di Jati Anom. Yang penting bagi mereka adalah segera berangkat meninggalkan Sangkal Putung. Mereka hanya ingin segera berbuat sesuatu.”
Akhirnya Untara tidak dapat menahan Kiai Gringsing lebih lama lagi, kalau dengan demikian akan berbahaya bagi adiknya dan Swandaru. Meskipun demikian mereka sempat juga membicarakan cara-cara yang terbaik untuk menyelesaikan tugas mereka.
“Kalau malam ini pasukan itu telah datang, Kiai,” berkata Untara,
“dalam waktu yang singkat aku pasti sudah berada di Jati Anom. Kiai dapat melihat kekuatan itu di sana. Aku akan memasang rontek dan umbul-umbul untuk sedikit memberi sentuhan pada perasaan orang-orang Jipang. Mudah-mudahan mereka segera akan terpengaruh, sehingga mereka  pun akan menjadi berkecil hati.”
“Bagus, Ngger,” sahut Kiai Gringsing,
“berilah tanda-tanda. Kebesaran pasukanmu akan memperkecil daya tahan orang-orang Jipang. Dengan demikian, maka pekerjaanku mencari Sekar Mirah  pun akan menjadi lebih mudah. Mudah-mudahan perhatian mereka terpecah. Mudah-mudahan mereka tidak menjadi gila dan berbuat liar di luar batas-batas perikemanusiaan atas Sekar Mirah.”
“Baiklah, Kiai,” berkata Untara kemudian,
“mudah-mudahan Kiai besok sempat menghubungi aku di Jati Anom untuk segala keperluan.”
Kiai Gringsing pun segera mengabarkan kepada Agung Sedayu dan Swandaru, bahwa mereka dapat berangkat segera. Agung Sedayu dan Swandaru pun dengan tergesa-gesa minta diri kepada Untara, Widura dan Ki Demang berdua. Sekali lagi Swandaru berjanji kepada ibunya bahwa ia akan membawa Sekar Mirah kembali bersama guru dan saudara seperguruannya. Sedang ibunya melepas anak itu seperti melepasnya masuk ke dalam api peperangan. Orang tua mereka sadar, bahwa apa yang mereka lakukan adalah lebih berbahaya daripada menghadapi lawan di dalam garis perang. Sesaat kemudian maka mereka bertiga, Kiai Gringsing, Agung Sedayu, dan Swandaru pun segera berangkat meninggalkan induk Kademangan. Langkah mereka tampaknya tergesa-gesa seakan-akan sesuatu telah menunggu mereka di luar sana. Namun mereka hampir-hampir tidak mengucapkan sepatah kata pun. Yang terdengar hanyalah gemerisik langkah mereka. Kadang-kadang angin yang agak kencang bertiup menggerakkan dedaunan. Dan malam  pun menjadi semakin lama semakin pekat, meskiupn di langit bintang bertabur seperti biji padi di sawah.

Tetapi tiba-tiba langkah mereka itu  pun tertegun. Di kejauhan mereka melihat dua tiga buah obor berjalan ke arah Kademangan Sangkal Putung. Sejenak mereka bertanya-tanya di dalam hati. Namun kemudian terdengar Kiai Gringsing bergumam,
“Aku kira mereka itulah pasukan yang datang dari Pajang.”
“Mungkin,” sahut Agung Sedayu.
“Apakah kita akan menunggu?” bertanya Kiai Gringsing pula.
“Tidak,” jawab Swandaru, “apakah gunanya?”
“Dengan pasukan itu kita akan lebih banyak dapat berbuat.”
“Menyerang padepokan Ki Tambak Wedi?” bertanya Swandaru,
“Bukankah itu akan sangat berbahaya bagi Sekar Mirah? Seperti tadi Kiai mengatakannya.”
“Tidak, Swandaru. Tetapi pasukan itu dapat menarik perhatian setiap orang di dalam padepokan itu, sehingga perhatian mereka terbagi. Mereka tidak saja terikat untuk mengawasi Sekar Mirah di dalam ruang yang menahannya.”
“Pasukan itu dapat datang kemudian,” berkata Agung Sedayu,
“Lebih baik kita berusaha memasuki padepokan itu. Apabila kemudian pasukan kakang Untara datang maka keadaan kita akan menjadi lebih baik. Kalau terjadi sesuatu dengan Sekar Mirah karena pasukan kakang Untara, kita dapat mengawasinya, dan mudah-mudahan dapat membebaskannya.”
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Perasaan anak-anak muda yang sedang terbakar memang kadang-kadang kurang mempunyai nilai pemikiran. Tetapi Kiai Gringsing tidak membantah. Seperti seorang yang memancing ikan. Sekali-kali talinya diulurnya, Namun sekali-sekali ditariknya pula.
“Baiklah, Ngger. Kita tidak menunggu. Tetapi aku ingin melihat jumlah pasukan itu.”
“Apakah gunanya?”
“Kita akan membuat perbandingan.”
“Itu adalah pekerjaan Kakang Untara,” sahut Swandaru.
“Itu adalah pekerjaan petugas sandi dari Pajang. Tugas kita adalah melepaskan Sekar Mirah.”
Sekali lagi Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam, “Baiklah,” katanya dalam nada yang rendah. Meskipun demikian Kiai Gringsing itu sudah dapat menduga dengan pasti bahwa segera Untara sudah berada di Jati Anom.
Tetapi tiba-tiba Kiai Gringsing itu  pun tertegun. Dengan nada yang datar ia berkata,
“Apakah mereka itu benar-benar pasukan dari Pajang yang akan diperbantukan kepada Angger Untara?”
Agung Sedayu dan Swandaru  pun mengerutkan keningnya, Dengan serta merta mereka bertanya,
“Lalu siapakah mereka itu, Kiai?”
Kembali terdengar suara Kiai Gringsing,
“Bagaimana kalau mereka itu orang-orang Sanakeling atau orang-orang Sidanti atau bahkan bersama-sama?”
Kedua anak muda itu tertegun. Terasa denyut jantung mereka menjadi lebih cepat.
“Apakah mungkin demikian?” desis Agung Sedayu.
“Kenapa tidak?” sahut Kiai Gringsing.
“Mereka tahu bahwa sebagian dari prajurit Pajang sedang pergi mengantarkan orang-orang Jipang bersama Ki Gede Pemanahan. Bukankah saat ini adalah waktu yang tepat untuk menyerang Sangkal Putung?”
“Kalau demikian, maka para penjaga dan para peronda pasti akan mengetahuinya dan akan segera memberi tanda kepada Kakang Untara. Mungkin dengan panah sendaren, panah api atau kentongan.”
“Benar. Namun dengan demikian mereka akan menjadi terlampau tergesa-gesa. Persiapan, mereka pasti kurang matang.”
“Lalu, maksud Guru?” bertanya Swandaru.
“Kita tunggu sejenak. Kita tidak akan menjumpai mereka, siapa pun mereka itu. Kalau mereka pasukan yang datang dari Pajang, maka kita tinggal saja mereka pergi tanpa menyapanya supaya langkah kita tidak tertunda lagi. Tetapi kalau mereka orang-orang Sanakeling, maka kita wajib mengabari Untara supaya korban kita tidak bertambah-tambah.”
“Bagaimana kita akan mengabarinya? Kita tidak membawa tanda apapun.”
“Serahkan kepadaku,” sahut Kiai Gringsing.
“Meskipun aku sudah bertambah tua, tetapi aku masih juga seorang pelari yang cukup baik.”

Agung Sedayu dan Swandaru terdiam. Bahkan mereka menjadi canggung akan pertanyaan mereka sendiri. Yang berdiri di hadapan mereka itu adalah Kiai Gringsing. Guru mereka. Kenapa mereka masih juga bertanya berbagai macam hal seperti sedang mengujinya. Namun yang mendorong mereka sebenarnya adalah kegelisahan mereka atas keselamatan Sekar Mirah. Karena itu mereka segera ingin dapat berbuat sesuatu. Apa saja yang segera dapat dilakukan. Tetapi kini mereka tidak berkata apa pun lagi. Mereka mengikuti saja ketika guru mereka yang tua itu bersembunyi di balik rimbunnya dedaunan di sudut pategalan.
“Jangan membuat suara apapun. Kalau mereka orang-orang Pajang, dan melihat kehadiran kita maka mau tidak mau kita harus menyambutnya. Bahkan mungkin kita terpaksa kembali ke kademangan. Sedang apabila mereka orang-orang Sanakeling, tinggallah di sini. Jangan sampai kalian terpaksa lari karena mereka beramai-ramai menyerang kalian. Biarlah aku saja yang memberitahukan kehadiran mereka itu kepada Angger Untara.”
Agung Sedayu dan Swandaru tidak menjawab. Namun mereka  pun segera berlindung di balik dedaunan. Obor-obor itu kini sudah menjadi semakin dekat. Namun tiba-tiba dada mereka berdesir. Mereka melihat remang-remang sebuah pasukan yang kuat, hampir sekuat pasukan Widura di Sangkal Putung. Ternyata barisan itu adalah prajurit-prajurit dari Pajang. Sebagian adalah prajurit-prajurit Widura yang kembali ke induk pasukannya setelah mengantarkan orang-orang Jipang, sedang sebagian lagi adalah prajurit-prajurit yang baru yang akan diserahkan kepada Untara untuk langsung dipimpinnya, memecahkan pertahanan padepokan Ki Tambak Wedi. Tetapi Agung Sedayu dan Swandaru hanya dapat menahan nafasnya. Mereka tidak mau terlihat oleh orang-orang di dalam pasukan itu, supaya mereka tidak usah menampakkan dirinya dan terpaksa kembali lagi ke kademangan untuk ikut serta dalam upacara penyambutan. Bagi mereka adalah lebih baik meneruskan perjalanan ke Jati Anom daripada kembali ke Sangkal Putung. Ketika pasukan itu telah lewat, maka barulah mereka meloncat ke luar dari persembunyian mereka.
“Sebuah pasukan yang kuat dan meyakinkan,” gumam Kiai Gringsing.
“Tetapi pasukan itu adalah suatu gabungan dengan pasukan Paman Widura,” sahut Agung Sedayu.
“Ya. Tetapi menilik derap langkah mereka, maka aku benar-benar yakin bahwa mereka akan dapat mengatasi keadaan.”
Ketiganya kemudian mengangguk-anggukkan kepala mereka. Tanpa sesadar mereka, mereka berdiri saja di tengah jalan mengagumi iring-iringan yang sudah menjadi semakin jauh. Perlahan-lahan terdengar Kiai Gringsing bergumam,
“Mudah-mudahan semuanya akan segera selesai. Mudah-mudahan besok mereka sudah berada di Jati Anom. Nah, pekerjaan kita akan menjadi lebih mantap.”
Seperti orang terbangun dari tidurnya, maka Agung Sedayu dan Swandaru itu  pun berkata hampir bersamaan,
“Marilah Kiai, kita berjalam terus.”
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Marilah.”
Kembali mereka meneruskan langkah mereka. Namun tiba-tiba Agung Sedayu berkata,
“Kita memilih jalan yang mana, Kiai?”
“Kita jalan Timur. Bukankah jalan itu lebih pendek dari jalan yang Angger pilih dahulu? Bukankah Angger memilih jalan Kali Asat. Sekarang kita memilih jalan yang lain. Aku tidak berani lewat ujung Bulak Dawa. Di pohon randu alas itu ada Gendruwo Bermata Satu. Bukankah begitu?”
Betapa kisruhnya perasaan Agung Sedayu tentang hilangnya Sekar Mirah, namun sempat juga ia bergumam,
“Ah. Itu sudah lama terjadi, Kiai. Dan di bulak itu pula aku bertemu dengan seorang penari topeng yang kehilangan niaganya.”

Kiai Gringsing tertawa kecil, namun Swandaru hanya dapat bersungut-sungut saja. Ia tidak tahu ujung pangkal dari pembicaraan itu. Demikianlah, maka mereka pun segera berjalan semakin cepat menembus gelapnya malam. Ditelusurinya pematang-pematang sawah dan tegalan. Mereka menempuh jalan yang sedekat-dekatnya yang dapat mereka lalui. Ternyata Kiai Gringsing telah mengenal segala lekuk dan sudut daerah itu. Bahkan pematang-pematang sawah  pun dikenalnya dengan baik. Mereka berjalan dari satu desa ke desa yang lain. Sehingga kemudian mereka  pun sampai ke sebuah hutan yang tidak terlampau lebat. Hampir tengah malam maka mereka sampai ke suatu pedukuhan kecil. Mereka datang dari arah Timur lewat sebuah simpang tiga.
“Nah,” berkata Kiai Gringsing,
“apakah kalian berdua mengenal tempat ini?”
Agung Sedayu dan Swandaru bersama-sama menggelengkan kepalanya. Dan hampir bersamaan pula mereka menjawab,
“Tidak, Kiai.”
“Aneh. Apalagi Angger Agung Sedayu. Sebelum pecah peperangan antara Pajang dan Jipang apakah Angger berdua belum juga pernah kemari?”
“Belum, Kiai,” jawab mereka hampir bersamaan pula.
“Aku tidak percaya,” sahut Kiai Gringsing,
“terutama Angger Agung Sedayu.”
Agung Sedayu menjadi heran. Kenapa Kiai Gringsing itu tidak mempercayainya. Ia sejak kecil memang jarang sekali pergi menjelajahi daerah-daerah kecil dan pedukuhan-pedukuhan kecil. Meskipun agaknya padukuhan ini tidak terlampau jauh dari Jati Anom.
“Entahlah, Kiai,” berkata Agung Sedayu kemudian.
“Mungkin aku memang pernah datang ke padukuhan ini pada masa kecilku. Tetapi di malam hari begini aku tidak dapat mengenalnya lagi.”
“Angger ingat simpang tiga itu?”
Agung Sedayu mencoba mengingat-ingat.
“Lihatlah jalan ini, Ngger.”
Tiba-tiba Agung Sedayu mengangkat alisnya.
“Jalan ini adalah jalan ke Macanan. Apakah Angger ingat sekarang? Simpang tiga itu adalah simpangan yang membawa kita ke Sagkal Putung lewat dua jalan. Ke Barat kita akan melewati Kali Asat, sedang ke Timur adalah jalan yang kita lewati tadi.”
Agung Sedayu  pun kemudian seakan-akan bertemu dengan seorang kenalan lamanya. Kini ia ingat dengan jelas pedukuhan itu. Ya, ia pernah mengenalnya. Tidak hanya satu kali.
“Jalan ini jalan ke Macanan, Kiai?”
“Bukankah begitu, dan jalan ini akan sampai ke Tangkil.”
“Simpang tiga itu adalah simpang tiga yang menuju ke Kali Asat?”
“Nah, kenalilah.”
“Oh,” Agung Sedayu mencoba memandangi jalan yang membujur di hadapannya. Sebuah kelokan kecil yang memasuki padukuhan kecil itu. Tiba-tiba ia berkata,
“Bukankah jalan ini menuju ke rumah dukun tua di dukuh Pakuwon?”
Kiai Gringsing tertawa, “Ya, begitulah.”
“Siapakah dukun tua itu,” bertanya Swandaru yang mendengarkan pembicaraan itu dengan wajah berkerut-merut.
“Kau kenal juga orang itu, Adi Swandaru.”
“He,” wajah Swandaru yang gemuk itu menjadi aneh.
“Namanya Ki Tanu Metir.”
“Oh,” Swandaru menarik nafas,
“jadi di Dukuh Pakuwon inikah rumah Kiai?”
“Ya. Di sinilah rumahku.”
“Lalu bagaimana dengan rumah itu saat Kiai tinggalkan selama ini?”
“Aku pernah mengunjunginya sebelum aku menetap di Sangkal Putung. Aku titipkan rumah itu kepada seorang tetangga yang baik, yang mau memelihara rumah tua dan halaman yang kotor itu.”

Kedua muridnya itu  pun mengangguk-anggukkan kepalanya. Semula rumah dan halaman itu tidak menimbulkan persoalan di hati Agung Sedayu. Tetapi tiba-tiba kini tumbuhlah pertanyaan di dalam dadanya. Apakah benar Ki Tanu Metir itu memang seorang dukun yang sejak masa kanak-kanaknya berasal dari padukuhan yang kecil itu? Pertanyaan itu demikian mendesaknya sehingga Agung Sedayu tidak dapat menahannya lagi dan meloncatlah pertanyaannya,
“Kiai, apakah Kiai memang sejak kecil berdiam di padukuhan ini?”
Kiai Gringsing memandangi wajah Agung Sedayu. Tetapi sesaat kemudian dilemparkannya pandangan matanya menyelusur jalan yang membujur di hadapannya. Dengan nada rendah ia berkata,
“Ya, Ngger. Sejak kecil aku berada di padukuhan ini.”
Tetapi jawaban itu sama sekali tidak meyakinkan Agung Sedayu. Jawaban itu terlampau datar menyentuh hatinya, sehingga tanpa sesadarnya ia berkata,
“Ah, aku berpendapat lain, Kiai.”
Sekali lagi Kiai Gringsing memandangi wajah muridnya itu. Tetapi tiba-tiba ia berkata,
“Marilah kita berjalan lebih cepat lagi. Kita masih belum sampai ke Tangkil.”
Yang segera menyahut adalah Swandaru,
“Marilah Kiai.” Agung Sedayu tidak berkata-kata lagi. Ia tahu bahwa Swandaru menjadi kesal mendengar pembicaraan yang tidak diketahuinya. Karena itu, maka ketika langkah-langkah mereka menjadi semaki panjang dan cepat, mereka tidak lagi bercakap-cakap. Mereka melangkah di dalam malam yang gelap, berjalan di atas jalan berbatu-batu. Tetapi jalan itu kini kering. Tidak digenangi air yang seolah-olah ditumpahkan dari langit, seperti pada saat Agung Sedayu datang berkuda ke padukuhan ini bersama kakaknya Untara, yang pada saat itu sedang terluka. Bukan saja jalan ini yang kini menjadi jauh berbeda dengan saat-saat ia melewatinya dahulu, tetapi hatinya  pun kini sama sekali tidak lagi dicengkam oleh ketakutan dan kecemasan. Ia tidak lagi hampir pingsan melihat tonggak yang tegak di pinggir jalan disambar oleh sinar tatit. Dan ia tidak lagi menjadi lemas melihat sebuah bambu yang menyilang di tengah jalan. Seandainya ia kini bertemu dengan apa yang ditemuinya saat ia berjalan dengan kakaknya, maka hatinya justru akan menjadi gembira. Apalagi kalau yang ditemuinya di jalan ini adalah Sidanti.
Tetapi jalan yang ditempuhnya itu amatlah lengang. Tak seorang  pun yang mereka jumpai di perjalanan. Bahkan rumah-rumah di padukuhan kecil itu  pun tampaknya gelap dan tidak berpenghuni. Hanya kadang-kadang saja terdengar lamat-lamat rengek anak-anak yang kepanasan oleh udara yang kering. Namun sejenak kemudian suara itu  pun terputus. Buru-buru ibunya menyumbatkan air susu ke dalam mulut anaknya.

Mereka yang berjalan di malam yang kelam itu  pun merasakan betapa daerah ini tertekan oleh suatu keadaan yang tidak menyenangkan. Dan Agung Sedayu  pun menyadari, apalagi setelah Tohpati meninggal, maka laskar Jipang pasti akan menjadi semakin garang berkeliaran di daerah ini. Dalam kekelaman malam itu Kiai Gringsing dan kedua muridnya berjalan semakin cepat. Ternyata jalan yang mereka tempuh bukanlah jalan yang dahulu dilewati Agung Sedayu bersama Untara. Jalan ini adalah jalan nyidat, langsung dari Dukuh Pakuwon ke Jati Anom. Bahkan kadang-kadang mereka harus meloncati parit-parit dan menyeberangi sungai. Menerobos pategalan dan sawah-sawah menyusup lewat padesan-padesan kecil. Padesan kecil yang sepi. Akhirnya mereka  pun menjadi semakin dekat. Tetapi mereka baru semakin dekat dengan Jati Anom. Mereka masih balum mendaki lereng Merapi mencari padepokan orang yang bernama Ki Tambak Wedi. Padepokan itu masih jauh di arah Barat. Ketika mereka sampai di jalan yang cukup lebar, maka segera Agung Sedayu mengetahui bahwa mereka telah berada di Sendang Gabus. Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ia adalah anak Jati Anom sejak kecil, tetapi ternyata Kiai Gringsing lebih banyak mengenal lekuk-lekuk padesan di sekitar tempat kelahirannya. Tetapi Agung Sedayu kemudian tergagap ketika ia mendengar Kiai Gringsing bertanya,
“Nah, kita sudah sampai di Sendang Gabus. Apakah kita akan pergi ke Jati Anom, ataukah kita mempunyai tujuan lain?” Agung Sedayu tidak dapat segera menjawab. Seharusnya ialah yang mengajukan pertanyaan itu. Bukan gurunya.
Ternyata Kiai Gringsing  pun berkata seterusnya,
“Angger berdua. Sudah tentu kita tidak akan dapat langsung masuk ke padepokan Tambak Wedi malam ini. Kita masih belum mengenal jalan-jalan di daerah itu dengan baik. Kita masih harus mendengar apakah yang ada di padepokan itu. Sudah tentu bahwa Ki Tambak Wedi menyadari keadaan mereka setelah mereka dengan dada terbuka menentang kekuasaan Pajang. Kalau Di Tambak Wedi tidak mempunyai kekuatan yang cukup, maka ia tidak akan berani berbuat demikian. Sehingga dengan demikian, maka sudah pasti bahwa padepokan itu akan dibentengi oleh kekuatan yang dapat mereka percayai. Karena itu, maka kita harus mencari tempat peristirahatan. Tempat yang baik sebagai pancadan menuju ke padepokan Tambak Wedi itu.”
Agung Sedaya dan Swandaru tidak segera menjawab. Baru sekarang mereka menyadari, bahwa apa yang mereka lakukan itu adalah suatu pekerjaan yang berbahaya. Meskipun mereka sama sekali tidak takut menghadapi bahaya, namun sudah tentu bahwa mereka menginginkan pekerjaan mereka berhasil. Sedang apa yang mereka hadapi kini adalah suatu daerah yang masih gelap bagi mereka. Suatu daerah yang seolah-olah berada di belakang tabir yang tak tertembus oleh penglihatan.
Dalam pada itu terdengar Kiai Gringsing berkata pula,
“Bagaimanakah pendapat kalian?”
Agung Sedayu dan Swandaru tidak tahu, bagaimana mereka harus menjawab pertanyaan itu. Tetapi terasa oleh mereka, bahwa sebenarnya mereka telah dibakar oleh kemarahan yang hampir tak terkendali.
“Jadi,” berkata orang tua itu,
“apa yang akan kita lakukan sekarang? Bukankah aku hanya menuruti kehendak kalian?” Agung Sedayu dan Swandaru masih juga terbungkam.
“Nah,” berkata orang tua itu kemudian,
“Jadikanlah kali ini pelajaran buat kalian. Kalian ternyata masih terlampau mudah dibakar oleh perasaan tanpa mempertimbangkan nalar. Aku telah membawa kalian ke kaki Gunung Merapi seperti yang kalian kehendaki. Agaknya sampai di tempat ini kalian masih belum tahu apa yang akan kalian lakukan. Seandainya kalian berdua pergi tanpa aku, apakah kalian akan langsung mendaki kaki Gunung Merapi dan masuk ke dalam padepokan Tambak Wedi?”
Agung Sedayu dan Swandaru masih belum dapat menjawab. Namun kini mereka menjadi semakin menyadari keadaan. Ketika sekali lagi Kiai Gringsing menasehati mereka, maka perasaan mereka pun segera tersentuh. Berkatalah orang tua itu,
“Tetapi apa yang terjadi ini merupakan suatu pelajaran yang berharga bagi kalian.”

Kini sejenak mereka terdiam. Langkah mereka terdengar berdesah di antara daun-daun kering yang menyentuh tubuh-tubuh mereka yang basah oleh keringat. Jati Anom kini sudah berada di hadapan hidung mereka.
“Kita berhenti di Jati Anom” berkata Kiai Gringsing.
“Bukankah ada rumahmu di Jati Anom” katanya kemudian kepada Agung Sedayu.
“Ya Kiai,” sahut Agung Sedayu,
“tetapi rumah itu agaknya telah kosong. Hanya seorang perempuan tua dan anaknya yang masih kecil sajalah yang menungguinya, pada saat kami tinggalkan.”
“Kita hanya menumpang tidur,” berkata Kiai Gringsing pula. Segera mereka  pun menuju ke rumah Agung Sedayu. Dalam malam yang semakin dalam maka jalan-jalan di padukuhan itu  pun telah benar-benar sepi. Namun kesepian padukuhan itu agaknya terasa berlebih-lebihan. Hampir tak terlihat nyala pelita dari rumah-rumah di tepi-tepi jalan. Bahkan regol-regol halaman  pun tertutup rapat-rapat. Tak ada peronda di gardu-gardu ronda seperti di padesan-padesan kecil yang telah dilaluinya. Tetapi mereka  pun segera memaklumi. Daerah ini adalah daerah yang tidak terlampau jauh dari padepokan di Lereng Merapi itu. Adalah mungkin sekali bahwa orang-orang Jipang di lereng Merapi itu berkeliaran sampai ke padukuhan ini pula. Bahkan mungkin Alap-alap Jalatunda telah mempergunakan daerahnya yang lama untuk mencari apa saja yang diinginkannya. Dengan cara-cara yang lama pula. Merampok dan menyamun. Meskipun malam menjadi semakin pekat, tetapi Agung Sedayu mengenal daerah itu dengan baik. Setiap lorong dan tikungan dikenalnya seperti mengenali halaman rumah sendiri. Akhirnya mereka  pun sampai ke depan sebuah regol pada halaman yang luas. Tetapi halaman yang luas itu tampaknya gelap bukan main. Tidak ada pelita tersangkut di halaman, bahkan tak ada sorot yang menerobos dari sela-sela dinding rumah itu. Mereka bertiga, Kiai Gringsing, Agung Sedayu dan Swandaru berhenti sejenak. Perlahan-lahan terdengar Agung Sedayu berkata,
“Inilah rumahku, Kiai.”
Kiai Gringsing tersenyum. Jawabnya, “Aku sudah mengetahuinya, Ngger.”
“He?” Agung Sedayu terkejut.
“Jadi Kiai sudah mengetahui bahwa ini adalah rumahku?”
“Tentu.”
“Darimana Kiai mengetahuinya?”
“Seperti ayahmu pernah mengenal pondokku yang jelek di Dukuh Pakuwon, maka aku  pun pernah juga datang ke rumah ini.”
“Oh,” Agung Sedayu menarik nafas dalam. Tetapi lebih-lebih ia terkejut ketika Kiai Gringsing berkata,
“Aku pernah pula mengunjungi rumah ini bersama Angger Untara.”
“Kakang Untara?”
“Ya, Angger Untara yang terluka itu harus bersembunyi. Tetapi untuk keselamatannya sebagai seorang senapati, maka ia harus benar-benar tidak diketahui tempatnya. Sekali-sekali kami harus berpindah tempat. Dalam kesempatan itu kami pernah bersembunyi pula di rumah ini.”
“Oh,” Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun yang terdengar adalah pertanyaan Swandaru,
“Tetapi apakah halamanmu ini sengaja kau jadikan rumah hantu?”
“Kenapa?” sahut Agung Sedayu.
“Tercium olehku bau bunga kantil. Terbayang juga pohonnya yang besar rimbun. Tetapi gelapnya bukan main.”
Agung Sedayu tersenyum. Tiba-tiba terkenanglah masa kanak-kanaknya. Ia sama sekali tidak berani bermain-main di bawah pohon kantil itu, meskipun di sudut halaman rumahnya sendiri. Tetapi kini ia mendapat kesan yang lain. Ketika kemudian angin malam berhembus agak kencang, terdengarlah benda berjatuhan. Tidak hanya satu dua, tetapi lima, enam, sepuluh.
“Apakah itu?” bertanya Swandaru.
“Apakah kira-kira?”
Swandaru menggeleng. “Aku tidak tahu.”
Agung Sedayu tersenyum.
“Di halaman itu terdapat pula sebatang pohon kemiri. Agaknya pohon kemiri itu sedang berbuah. Buahnya yang sudah tua akan berjatuhan ditiup angin.
“Hem,” desah Swandaru, “rumahmu memang rumah hantu.”
“Apakah kau takut hantu?” bertanya Kiai Gringsing.
“Aku hanya takut kepada hantu di bekas perkemahan orang-orang Jipang itu” sahut Swandaru.
Kiai Gringsing tertawa kecil. Sedang Agung Sedayu pun kemudian mempersilahkan mereka masuk. Terdengar sebuah gerit pintu regol itu terbuka, dan ketiganya pun kemudian hilang ditelan oleh gelap malam di balik regol halaman itu.

Halaman itu memang gelap bukan main. Pohon-pohon yang besar tumbuh di sebelah menyebelah. Meskipun demikian Agung Sedayu masih mengenal halamannya dengan baik. Dengan langkah yang tetap ia berjalan lewat sisi rumahnya langsung ke belakang, ke tempat penunggu rumahnya itu berdiam.
“Mudah-mudahan ia masih berada di sana,” desisnya.
“Ketika aku datang bersama Angger Untara, perempuan itu masih di sana,” berkata Kiai Gringsing.
Dan ternyata di sebuah bilik kecil di belakang rumah itu masih mereka lihat sebuah pelita yang menyala. Agung Sedayu  pun menarik nafas bergumam,
“Ha itulah ia. Ternyata perempuan itu masih di sana.”
Perlahan-lahan Agung Sedayu mengetuk pintu bilik itu. Dan dari dalam rumah itu  pun terdengar suara menyapa,
“Siapa?”
“Aku. Sedayu.”
“Oh, Angger Sedayu? Apakah Angger datang bersama Angger Untara?”
“Tidak, Bibi. Aku bersama dua orang kawanku.”
Yang terdengar kemudian adalah langkah kaki perempuan itu perlahan-lahan. Terdengar sebuah gerit kecil dan pintu itu  pun terbuka.
“Angger Agung Sedayu,” desis perempuan itu.
“Ya, Bibi.”
“Marilah. Marilah masuk dahulu,” berkata perempuan itu terbata-bata. Tetapi hal itu mula-mula sama sekali tidak menarik perhatian Agung Sedayu. Disangkanya perempuan yang sudah lama tidak melihatnya itu hanya sekedar terkejut melihat kehadiran yang tiba-tiba jauh di tengah malam.
Tetapi ketika mereka bertiga melangkah masuk, dengan tergesa-gesa pintu itu  pun ditutupnya sambil bergumam,
“Setiap sorot lampu yang meloncat ke luar, akan dapat memanggil orang-orang itu untuk datang.”
“Siapa?” bertanya Agung Sedayu yang mulai menjadi curiga.
Sejak perempuan itu memandangi ketiga orang yang kini duduk di atas sebuah amben bambu. Di amben itu pula, anaknya, seorang anak laki-laki, tidur mendengkur. Bilik itu  pun kemudian menjadi sepi. Yang terdengar hanyalah tarikan nafas-nafas mereka, dan dengkur anak yang sedang tidur dengan nyenyaknya itu.

Wajah perempuan itu tiba-tiba menjadi tegang. Ia telah mengenal Agung Sedayu sejak masa kana-kanak. Ia mengenal Agung Sedayu sebagai seorang anak laki-laki yang manja, yang tidak berani beranjak dari sisi ibunya. Karena itu maka sejenak perempuan itu menjadi ragu-ragu. Bahkan kemudian ia bertanya,
“Angger, apakah Angger datang hanya bertiga di malam begini?”
“Ya, Bibi. Aku datang bertiga dari Sangkal Putung. Tetapi siapa yang sering datang kemari?”
“Angger,” bisik orang itu seakan-akan takut didengar oleh dedaunan di luar dinding biliknya,
“sebaiknya Angger Agung Sedayu menjauhi tempat ini.”
“Ya, kenapa?” Agung Sedayu menjadi tidak sabar. Kembali perempuan tua itu menjadi ragu-ragu. Ditatapnya Agung Sedayu dan kedua temannya berganti-ganti.
Akhirnya Agung Sedayu dapat memaklumi perasaan perampuan itu. Dengan sungguh-sungguh ia berkata untuk meyakinkan pepempuan itu,
“Bibi. Katakanlah. Sekarang barangkali aku tidak akan pingsan mendengar nama siapa  pun yang akan Bibi sebutkan. Mungkin Bibi masih menganggapku seperti Agung Sedayu yang dahulu, yang sambil menangis mengikuti Kakang Untara meninggalkan Jati Anom di malam yang gelap di bawah hujan yang lebat. Tetapi sekarang tidak, Bibi. Bukan karena aku menjadi seorang yang sakti, tetapi aku sekarang mempunyai seorang teman yang tidak akan dapat dilukai oleh tajamnya senjata.” Sambil menunjuk kepada Swandaru ia berkata,
“Lihatlah temanku yang gemuk ini. Ia akan mampu melindungi rumah ini.”
Perempuan tua itu memandangi Swandaru dengan sorot mata yang diwarnai oleh kebimbangan hatinya. Namun sekali lagi Agung Sedayu meyakinkannya,
“Bibi, namanya adalah Swandaru. Swandaru Geni. Tangannya dapat menjadi sepanas bara dan sorot matanya apabila ia sedang marah dapat menyala seperti semburan api.”
“Uh,” Swandaru berdesah. Tetapi ia tidak memotong kata-kata Agung Sedayu.
Perempuan itu akhirnya dapat meyakini kata-kata Agung Sedayu. Wajah Swandaru yang bulat itu dapat melenyapkan keragu-raguannya, sehingga perlahan sekali ia berkata,
“Angger Agung Sedayu. Daerah ini sekarang terlalu sering didatangi oleh orang-orang dari lereng Merapi. Bahkan rumah ini pernah dimasukinya dan diaduk-aduk seluruh isinya. Sambil memaki-maki mereka bertanya dengan kasar, apakah ini rumah Untara dan Agung Sedayu. Angger Agung Sedayu, aku ternyata tidak dapat ingkar. Mereka tahu benar bahwa rumah ini adalah rumah Angger berdua. Kalau nanti Angger masuk ke ruang dalam, maka Angger akan melihat, bahwa perabot rumah ini telah menjadi rusak.”

Dada Agung Sedayu menggelegak mendengar kata-kata perempuan tua itu. Hatinya baru saja dibakar oleh peristiwa hilangnya Sekar Mirah, sehingga di malam yang gelap ini ia merayapi jalan-jalan kecil, pematang-pematang, dan kadang-kadang lumpur sawah untuk mendekati lereng Merapi, tempat Ki Tambak Wedi membuat sarangnya. Dan kini ia mendengar rumahnya diobrak-abrik orang. Dengan gemetar Agung Sedayu kemudian bertanya,
“Bibi siapakah yang berani masuk ke rumah ini dengan kasar?”
“Orang-orang dari lereng Merapi, Ngger. Mereka sengaja meninggalkan pesan untuk membuat Angger dan Angger Untara marah.”
“Apa kata mereka?”
“Mereka menyebut nama-nama mereka dengan Sidanti, Sanakeling, Argajaya, Alap-alap Jalatunda, dan beberapa orang lain.”
Nama-nama itu telah menyengat hati Agung Sedayu demikian dahsyatnya sehingga anak muda itu terlonjak berdiri. Dengan suara yang bergetar Agung Sedayu bertanya,
“Kapan, kapan Bibi? Kapan mereka itu datang kemari?”
“Kemarin, Ngger. Baru kemarin. Dan hampir setiap hari ada saja orang-orang mereka yang berkeliaran. Siang dan malam.”
Kemarahan Agung Sedayu kini memuncak. Bukan saja Agung Sedayu, tetapi Swandaru  pun tiba-tiba telah terbakar pula. Dengan lantang ia berkata,
“Mari kita cari orang-orang itu.”
“Mari,” sahut Agung Sedayu, “mudah-mudahan kita dapat bertemu.”
Namun dalam pada itu terdengar Kiai Gringsing bertanya,
“Kemana kita harus mencari mereka itu, Ngger? Mengelilingi padukuhan ini, atau mendaki lereng Merapi?”
Agung Sedayu dan Swandaru terdiam.
“Kalau kita mengelilingi padukuhan ini, semalam suntuk, bahkan ditambah lima hari lima malam, tetapi kebetulan mereka tidak datang kemari, maka kita pasti tidak akan dapat bertemu. Sedang apabila kita naik ke lereng Merapi, maka pertanyaan yang serupa seperti tadi, tentang benteng yang mengelilingi padepokan itu, akan berulang kembali.”

Swandaru dan Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepala mereka, Kembali mereka terpaksa menyadari ketergesa-gesaan mereka. Namun meskipun demikian Agung Sedayu masih juga menemukan sebab, supaya mereka dapat bertemu dengan orang-orang lareng Merapi itu. Dengan serta-merta ia berkata,
“Bibi, bukalah pintunya.”
Perempuan tua itu memandang Agung Sedayu dengan ragu-ragu. Tetapi Agung Sedayu berkata sekali lagi,
“Bukalah pintu. Biarlah sorot lampumu meloncat ke luar. Biarlah orang-orang itu melihatnya apabila ia berada di padukuhan ini. Biarlah mereka datang kemari. Kami ingin bertemu dengan mereka.”
“Tetapi, Ngger……….,” sahut perempuan itu cemas.
“Jangan cemas, Bibi. Kami bertiga membawa senjata di lambung kami. Aku bukan Agung Sedayu beberapa bulan yang lampau.”
Tetapi perempuan tua itu masih juga ragu-ragu sehingga sekali lagi Agung Sedayu berkata,
“Bukalah bibi. Bukalah.” Bahkan kemudian Agung Sedayu berkata,
“Apakah di rumah ini ada lampu yang lain? Kalau ada pasanglah di luar rumah, aku ingin melihat sekali lagi mereka masuk ke halaman rumahku.”
Kiai Gringsing menggelengkan kepala melihat anak-anak muda yang sedang marah itu. Tetapi ia dapat mengerti, betapa darah muda yang sedang bergolak itu melampaui bergolaknya ombak lautan yang paling dahsyat. Meskipun demikian Kiai Gringsing merasa perlu untuk memperingatkannya.
“Angger Agung Sedayu. Apakah perlunya kalian memanggil orang-orang Merapi itu sekarang.”
Agung Sedayu menjadi heran mendengar pertanyaan gurunya. Dengan pandangan mata yang aneh ia menjawab,
“Guru, apakah masih belum jelas, bahwa mereka telah menghina aku beberapa kali? Hilangnya Sekar Mirah dan kini rumahku diobrak-abriknya.
“Benar, Ngger. Angger pasti merasa terhina. Tetapi apakah dengan perbuatan itu Angger akan mendapat keuntungan, justru dalam usaha Angger menebus kekalahan yang pernah terjadi.”
“Aku belum pernah dikalahkannya, Kiai,” sahut Agung Sedayu, sedang Swandaru menyelanya,
“Kapan kami mengalami kekalahan sejak ia meninggalkan Sangkal Putung?”
“Kekalahan itu telah membawa Angger berdua kemari. Hilangnya Sekar Mirah.”
“Itu bukan kekalahan, Kiai. Itu adalah kecurangan,” sahut Swandaru.
“Ya, ya. Demikianlah,” berkata Kiai Gringsing memperbaiki istilahnya.
“Kenapa usaha itu akan dapat mengganggu, Kiai?”
“Dengan demikian mereka akan mengetahui bahwa Angger telah berada di sini. Selebihnya mereka akan dapat membawa orang-orangnya kemari, mengepung tempat ini dan menangkap kita bertiga. Kalau kita berhasil lolos misalnya, maka penjagaan atas diri Sekar Mirah akan menjadi semakin ketat.”
“Ah,” terdengar kedua anak muda itu mengeluh,
“lalu apa yang dapat kami lakukan, Kiai. Segala perbuatan tidak dapat dibenarkan. Apakah keperluan kita ini kemari?” bertanya Swandaru.
“Kita mencari Sekar Mirah,” sahut Kiai Gringsing.
“karena itu, tahanlah perasaan kalian. Jangan menimbulkan sesuatu yang dapat mengganggu usaha itu.”
Swandaru menggeretakkan giginya, sedang Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam.

Sekarang tidurlah. Beristirahatlah dengan baik. Kecuali kalau malam ini mereka datang dan kita tidak mempunyai waktu untuk menyingkir, maka kita harus berkelahi. Tetapi kalau tidak, kita harus mempergunakan saat ini sebaik-baiknya untuk beristirahat. Waktu kita hanya sedikit, sedang pekerjaan yang kita hadapi adalah pekerjaan yang cukup berat.”
Kembali terdengar gemeretak gigi Swandaru. Tetapi anak-anak muda itu tidak membantah.
“Nyai” berkata Kiai Gringsing,
“dimanakah kami dapat beristirahat sejenak untuk menghabiskan malam ini?
Perempuan penunggu rumah Agung Sedayu menjadi agak bingung mendengar pertanyaan itu. Sejenak dipadanginya wajah Agung Sedayu, seakan-akan ingin bertanya kepadanya, dimana mereka akan beristirahat. Agung Sedayu pun kemudian menangkap maksud perempuan tua itu, sehingga dengan ragu-ragu ia bertanya,
“Bagaimana ruang dalam?”
“Ruang dalam itu telah menjadi morat-marit, Ngger. Tetapi kalau saja kalian bersedia membentangkan tikar di lantai.”
“O, itu sudah cukup,” sahut Kiai Gringsing.
“Sehelai tikar sudah cukup baik untuk kami.”
Agung Sedayu dan Swandaru, tidak menyahut lagi. Mereka pun kemudian mengikuti perempuan itu masuk ke ruang dalam dengan sehelai tikar dan sebuah pelita kecil.
Demikian mereka melangkah masuk, demikian dada mereka menjadi seolah-olah berguncang. Mereka melihat perabot rumah mereka menjadi rusak. Bahkan beberapa bagian dari dinding sentong tengah pun, menjadi rusak. Pembaringan, gelodok-gelodok dan paga-paga, menjadi potongan-potongan kayu yang berserakan.
“Hem,” Agung Sedayu menggeretakkan giginya.
“Aku belum mengumpulkannya,” desis perempuan tua itu.
“Aku ingin salah seorang dari kalian berdua, kau atau Angger Untara, melihatnya bahwa rumah ini telah menjadi berantakan.”
“Ya,” sahut Agung Sedayu singkat. Dan tiba-tiba ia ingat akan bibinya yang tinggal di Banyu Asri. Mungkin sekali bibinya pun akan dapat menjadi sasaran kekasaran orang-orang Sanakeling. Maka dengan serta-merta ia bertanya,
“Bibi, bagaimana dengan bibi di Banyu Asri?”
“Bibimu tiba-tiba telah hilang, Ngger.”
“He? Apakah bibi diambil pula oleh orang-orang dari lereng Gunung Merapi itu?”
“Tidak, Ngger. Mungkin bibimu mengetahui pula kemungkinan itu. Beruntunglah bahwa bibimu sempat mengungsi. Tak seorang pun diberitahukannya, kemana ia pergi. Tetapi rumahnya pun menjadi sasaran kemarahan orang-orang itu seperti rumah ini.”
“Hem,” Agung Sedayu menggeram.
“Untunglah bibi mempunyai ketajaman firasat. Sebagai isteri seorang prajurit ia harus sigap bertindak sendiri.”

Dalam pada itu, maka mereka pun kemudian membentangkan tikar di tengah-tengah ruangan. Sejenak kemudian mereka pun telah membaringkan diri, sementara perempuan penunggu rumah itu merebus air. Tidak didapur, tetapi di dalam biliknya. Meskipun di dalam rumah itu kini ada Agung Sedayu dan kedua orang teman-temannya, namun perempuan tua itu masih juga berusaha supaya apinya tidak menarik perhatian orang di luar halaman rumah. Bahkan ia menjadi cemas, kalau orang-orang itu akan menangkap Agung Sedayu dan teman-temannya. Belum lagi ketiga orang itu sempat memejamkan mata mereka, maka lamat-lamat telah terdengar kokok ayam jantan bersahut-sahutan. Semakin lama semakin riuh. Sedang di ujung Timur warna-warna merah telah tersembul dari balik cakrawala. Tetapi ketiga orang yang berada di ruang dalam itu telah hampir dua malam sama sekali tidak memejamkan mata mereka. Karena itu, meskipun kemudian fajar memerah, namun karena lelah dan kantuk, maka ketiganya pun kemudian tertidur juga. Meskipun demikian, meskipun di dalam tidur mereka tidak dapat melenyapkan perasaan mereka. Perasaan marah, cemas, dan ragu-ragu, sehingga tidur mereka pun sama sekali tidak dapat nyenyak. Maka ketika matahari kemudian menjenguk di atas dedaunan di Timur, maka mereka pun telah terbangun. Agung Sedayu dan Swandaru sendiri tidak tahu, apakah sebabnya mereka tergesa-gesa mandi dan kemudian duduk dengan gelisah menghadapi air hangat.
“Kiai belum mandi?” bertanya Swandaru kepada Kiai Gringsing yang masih duduk berkerudung kain gringsingnya yang sudah semakin lungset.
“Kenapa tergesa-gesa?” bertanya Kiai Gringsing. Swandaru terdiam. Tetapi Agung Sedayu-lah yang menjawab,
“Kita akan dapat segera berbuat sesuatu Kiai.”
Kiai Gringsing tersenyum. Perlahan-lahan ia berdiri sambil menggeliat. Kemudian melangkah ke luar, ke perigi. Sementara itu matahari telah merayap semakin tinggi di kaki langit. Di kejauhan terdengar burung-burung liar bernyanyi bersahut-sahutan. Sekali-sekali gerit senggot timba yang ditarik oleh Kiai Gringsing seolah-olah menjerit-jerit di antara kicau burung yang melengking-lengking. Tetapi tiba-tiba tangan Kiai Gringsing yang sedang menarik senggot timba itu pun tertegun. Ia mendengar langkah kaki tergesa-gesa di balik dinding belakang halaman rumah Agung Sedayu. Telinganya yang tajam segera dapat menduga bahwa langkah itu adalah langkah yang kurang wajar. Ketika ia sedang memperhatikan langkah itu dengan saksama, maka didengarnya perempuan tua penunggu rumah Agung Sedayu mendekatinya untuk mengambil air ke sumur itu. Tetapi langkah yang tergesa-gesa itu disusul oleh langkah yang lain. Bahkan tidak hanya seorang, tetapi dua, tiga orang. Sebelum Kiai Gringsing bertanya maka perempuan tua itu telah berkata,
“Kiai, ada beberapa orang di antara anak-anak muda yang tidak betah tinggal di rumahnya. Mereka lebih senang dengan tergesa-gesa pergi ke sawah atau ke ladang. Tidur sehari penuh di antara tanaman-tanamannya. Mereka takut, apabila orang-orang dari lereng Merapi itu turun dan memaksa mereka untuk berbuat sesuatu. Kadang-kadang mengambil milik orang lain untuk kepentingan orang-orang dari lereng Merapi itu. Bukan saja bahan makanan, tetapi juga perhiasan.”
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian orang tua itu pun bertanya, \
“Bagaimana kalau mereka tidak mau Nyai?”
“Ah,” sahut perempuan tua itu,
“tak seorang pun yang dapat menolak. Itulah sebabnya mereka lebih baik menghindar. Baru nanti malam mereka kembali ke rumah masing-masing. Bahkan ada juga yang lebih baik tidur di gubug-gubug di ladang mereka.”

Kembali Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Sedang di luar halaman masih juga terdengar beberapa orang melangkah menjauh. Tetapi tiba-tiba Kiai Gringsing dan perempuan tua itu terkejut. Ternyata anak-anak muda itu tidak saja pergi dengan tergesa-gesa meninggalkan desa mereka, tetapi kini mereka yang terlambat pergi harus bersembunyi dengan segera. Seseorang dengan wajah yang tegang, tersembul dari balik dinding halaman yang agak lebih tinggi dari tubuhnya sendiri, dan dengan nafas terengah-engah memanjat masuk ke dalam halaman.
“Nyai,” desis pemuda itu,
“aku terpaksa masuk ke halaman ini. Aku mengharap Nyai tidak berkeberatan.”
Perempuan tua itu tiba-tiba menjadi pucat. Dengan terbata-bata ia bertanya,
“Kenapa Angger masuk kemari? Apakah Angger tidak berusaha melarikan diri saja seperti kawan-kawan Angger yang lain?”
“Aku tidak sempat, Nyai. Aku baru saja memberitahukan kepada kawan-kawan untuk segera pergi. Tetapi agaknya aku sendiri tidak mendapat waktu. Beberapa orang dari lereng Merapi telah memasuki desa ini.”
“Oh,” perempuan tua itu menjadi semakin kecut,
“bagaimanakah kalau mereka menemukan Angger di sini?”
“Aku akan bersembunyi, Nyai. Aku akan bersembunyi di atas kandang, atau di bawah timbunan kaju.”
“Kenapa Angger mesti bersembunyi?” bertanya Kiai Gringsing.
“Apakah mereka berbahaya bagi Angger?”
“Tidak, Kiai,” sahut anak muda itu yang tiba-tiba menjadi heran melihat kehadiran orang yang belum pernah dikenalnya. “Siapakah kau?”
“Aku adalah saudara laki-laki dari perempuan ini,” sahut Kiai Gringsing. Namun ia menjadi ragu-ragu sendiri. Ia belum tahu siapakah perempuan itu sesungguhnya, tetapi ia berkata terus,
“Tetapi jangan hiraukan siapa aku. Sekarang bagaimana dengan orang-orang dari lereng Merapi itu? Apakah mereka akan menangkap Angger?”
“Kalau mereka tahu ada seorang anak muda di sini, pasti mereka akan memasuki halaman ini. Mereka akan membujuk supaya kami ikut serta dengan mereka, kalau kita berkeberatan kadang-kadang mereka menakut-nakuti dan mengancam. Bahkan mungkin kita akan dibawanya untuk berbuat sesuatu yang tidak kita kehendaki. Kita harus menunjukkan di mana mereka dapat menemukan berbagai macam barang-barang berharga dan bahan-bahan makanan.”
“Bagaimana kalau Angger tidak mau?”
“Nah apabila demikian, maka barulah mereka berbahaya bagi kami,” sahut anak muda itu.
“Tetapi waktuku tinggal sedikit. Aku telah melihat mereka memasuki desa ini. Biarlah aku bersembunyi, Nyai.”
“Berapa orangkah mereka itu?” bertanya Kiai Gringsing.
“Enam atau tujuh orang. Mungkin ada yang lain lewat jalan lain.”
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya di dalam hati,
“Mudah-mudahan bukan Ki Tambak Wedi sendiri bersama Sidanti dan Argajaya.” Namun kepada anak muda itu ia berkata,
“jangan tergesa-gesa bersembunyi. Dua orang menunggumu di ruang dalam rumah ini.”
Anak muda itu terkejut mendengar kata-kata Kiai Gringsing. Bahkan wajahnya yang tegang menjadi bertambah tegang. Dengan tergagap ia bertanya,
“Siapakah Kiai ini sebenarnya?”
“Sudah aku katakan,” sahut Kiai Gringsing,
“jangan hiraukan aku. Marilah, masuklah ke dalam rumah ini. Ada dua orang yang sedang menunggumu.”
“Tetapi…….,” katanya terputus, dan keragu-raguan mulai melanda perasaannya.
Kiai Gringsing tersenyum. Katanya,
“Apakah kau sangka aku salah seorang dari mereka itu? Bukan, Ngger. Aku bukan salah seorang dari mereka.”
Anak muda itu menarik nafas dalam-dalam. Namun ia menjawab,
“Kalau demikian, aku tidak ada waktu lagi. Aku harus bersembunyi. Saat ini mereka pasti sudah berjalan-jalan di jalan-jalan padesan kami. Suatu ketika ia akan melihat halaman demi halaman. Dan aku harus tidak mereka lihat di sini. Bahkan Kiai pun sebaiknya masuk ke dalam rumah. Tetapi siapakah kedua orang yang menunggu aku di dalam rumah? Kalau mereka itu anak-anak muda, sebaiknya mereka bersembunyi juga supaya mereka tidak terpaksa melakukan hal-hal yang tidak mereka kehendaki sendiri.”
“Jangan tergesa-gesa, Ngger. Nanti baiklah kau bersembunyi. Tetapi marilah masuk dahulu. Orang-orang dari lereng Merapi itu pasti memerlukan waktu yang lama untuk melihat setiap halaman sebelum ia sampai ke halaman ini. Bahkan mungkin sekali mereka tidak akan masuk ke rumah ini.”
“Memang,” sahut anak muda itu,
“kemungkinan itu memang dapat terjadi, tetapi kemungkinan yang lain pun dapat pula terjadi. Satu dari dua. Kalau yang satu itu terjadi, maka celakalah aku.”
“Rumah ini sudah dihancurkan, Ngger. Perabot-perabotnya sudah porak-poranda tidak keruan. Apakah mereka masih mungkin datang kemari?”
“Kemungkinan itu selalu ada.”
“Tetapi masuklah sejenak. Di dalam rumah ini ada dua orang anak muda. Yang seorang mungkin Angger telah mengenalnya. Namanya Agung Sedayu.”
“Agung Sedayu?” anak muda itu mengulangi.
“Agung Sedayu yang mempunyai rumah ini?”
“Ya,” sahut Kiai Gringsing.
“O, kasihan anak itu. Ia harus segera tahu bahaya yang dapat mengancamnya. Tetapi ia akan dapat membeku mendengar kemungkinan yang dapat terjadi atasnya.”
“Tidak, Ngger. Ia tidak akan menjadi gentar mendengar apapun yang dapat terjadi atasnya, Karena itu marilah, beritahukan kepadanya apa yang dapat terjadi.”
Anak muda itu menjadi bimbang sejenak. Tiba-tiba ia berkata,
“Marilah Kiai, cepat-cepat. Waktu kita tidak terlampau banyak.” Kepada perempuan tua penunggu rumah itu anak muda itu berkata,
“Nyai, aku minta ijin untuk bertemu dengan Agung Sedayu sejenak supaya aku dapat memberitahukannya, bahwa ia pun harus bersembunyi pula.”
“Silahkan, Ngger.”

Kiai Gringsing yang belum jadi mandi itu pun kembali masuk ke dalam rumah bersama anak muda itu. Demikan ia memasuki pintu belakang masuk ke ruang dalam, maka dadanya pun menjadi berdebar-debar. Ia melihat bahwa Agung Sedayu benar-benar duduk di dalam rumah itu menghadapi semangkuk air hangat bersama seorang kawannya.
“Adi Sedayu,” sapa anak muda itu.
Agung Sedayu berpaling. Ia terperanjat ketika dilihatnya Kiai Gringsing masuk ke rumah itu bersama seorang anak muda. Tetapi kemudian terdengar ia menyapa sambil berdiri tergopoh-gopoh,
“Kakang Wuranta.”
Pertemuan itu adalah pertemuan yang tidak terduga-duga. Keduanya pun kemudian duduk di samping Swandaru yang kemudian di perkenalkannya kepada anak muda yang bernama Wuranta itu.
“Aku tidak tahu bahwa kau berada di sini, Sedayu,” berkata Wuranta.
“Adalah nasibmu memang kurang baik. Sejak kau meninggalkan rumah ini, agaknya baru kali ini kau kembali.”
“Ya,” sahut Agung Sedayu.
“Kalau saja kakakmu Untara ada.”
“Kenapa?” bertanya Agung Sedayu.
“Aku masuk ke halaman ini untuk bersembunyi. Kau dan tamumu itu pun sebaiknya bersembunyi pula. Hari ini orang-orang dari lereng Merapi kembali memasuki padesan ini. Hampir dua hari sekali, bahkan kadang-kadang setiap hari, mereka datang kembali ke padesan ini. Kemarin dulu mereka telah merusak rumah dan perabot ramahmu ini.”
Tetapi tanggapan Agung Sedayu telah mengejutkan temannya itu. Ia menyangka Agung Sedayu akan gemetar dan ketakutan. Kemudian lari terbirit-birit ke atas kandang atau ke bawah kolong lumbung rumahnya. Namun kadi ini ia melihat Agung Sedayu tersenyum dan berkata,
“Aku akan menunggu mereka, Kakang Wuranta. Siapa sajakah yang kali ini datang ke padesanku ini?”
Sejenak Wuranta terbungkam. Hampir-hampir ia tidak percaya melihat sikap itu.
“Siapa sajakah yang datang kali ini Wuranta?” kembali Agung Sedayu bertanya.
“Sidanti, Argajaya, Sanakeling, atau Alap-alap Jalatunda.”
“Kau telah mengenal nama-nama mereka, Adi Sedayu. Memang demikianlah nama-nama mereka. Kadang-kadang mereka datang bersama-sama, tetapi kadang-kadang salah seorang dari mereka datang bersama beberapa orang laskarnya.”
“Kali ini berapa orangkah yang datang?”
“Aku hanya melihatnya dari kejauhan. Enam atau tujuh orang. Tetapi aku tidak melihat para pemimpin itu datang bersama-sama. Mungkin hanya satu dua orang saja yang datang, yang tidak dapat aku lihat dengan jelas. Mungkin datang pula rombongan yang lain.”
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Tiba-tiba ia tersenyum sambil bergumam,
“Kita berempat. Nah, kalau demikian, marilah kita songsong kedatangan mereka.”

Kembali Wuranta terheran-heran melihat sikap Agung Sedayu. Ia mengenal Untara dan Agung Sedayu dengan baik, sebagai anak-anak muda sepedukuhan. Wuranta mengenal dan mengagumi Untara, yang segera dapat mendapat tempat yang baik di dalam lingkungan Wira Tamtama Pajang. Tetapi ia mengenal juga Agung Sedayu yang hanya berani mondar-mandir dari Jati Anom ke Banyu Asri. Bahkan anak itu kadang-kadang menggigil ketakutan apabila ia agak kemalaman di jalan. Anak-anak muda sepadukuhan menyebut kedua bersaudara itu seperti anak siang dan anak malam. Mereka menganggap, tanpa mengetahui kebenarannya, bahwa Agung Sedayu lahir di tengah hari dan Untara lahir di tengah malam. Sehingga Agung Sedayu tidak berani melihat gelap, sedang Untara dapat hidup di segala keadaan. Tetapi tiba-tiba ia kini melihat Agung Sedayu tersenyum mendengar enam atau tujuh orang bersenjata datang memasuki padesan ini.
“Bagaimana, Kakang Wuranta?” bertanya Agung Sedayu.
“Apakah kau tidak membawa senjata?”
Tanpa sesadarnya Wuranta menggeleng sambil menjawab,
“Tidak, Sedayu,”
“Dahulu ayah menyimpan bermacam-macam senjata. Kalau kita mencarinya, maka aku kira masih ada satu dua yang tertinggal di rumah ini meskipun baru saja rumah ini diobrak-abrik oleh demit-demit itu.”
“Tetapi,” potong Wuranta bimbang,
“mereka adalah prajurit-prajurit Wira Tamtama dari Jipang.”
“Apa salahnya?” sahut Agung Sedayu.
Melihat sikap Agung Sedayu itu, Wuranta justru menjadi bercuriga. Seharusnya Agung Sedayu menjadi pucat dan menggigil kecemesan, Seharusnya anak muda itu bertanya kepadanya sambil gemetar,
“Wuranta kemana aku harus bersembunyi.” Tetapi Agung Sedayu tidak berbuat demikian. Meskipun demikian Wuranta tidak akan dapat menyangka, bahwa Agung Sedayu termasuk di dalam lingkungan orang-orang yang kini berada di lereng Merapi itu, sebab kakaknya, Untara adalah Senapati Wira Tamtama Pajang. Karena itu maka Wuranta sejenak tidak segera dapat menjawab.
Swandaru-lah yang agaknya tidak bersabar lagi. Tiba-tiba ia berdiri. Sambil mengingsar pedangnya ia menggeliat. Katanya,
“Hem, untunglah, aku sudah minum air hangat pagi ini. Mungkin aku harus segera minum darah Sidanti.”
Wuranta terkejut mendengar kata-kata anak yang gemuk dan bernama Swandaru Geni itu. Dengan wajah yang tegang dipandanginya wajah yang bulat, yang kini sedang menguap. Sidanti menurut pendengarannya adalah seorang anak muda yang ditakuti di lereng Merapi, sebab ia adalah murid Ki Tambak Wedi. Tetapi anak yang gemuk itu dengan seenaknya menyebut namanya. Bahkan sambil menggeliat dan menguap.
“Marilah, Kakang Wuranta,” ajak Agung Sedayu.


Halaman 1 2 3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar