Jilid 006 Halaman 3


Karena itu maka segera Tohpati dapat mengambil kesimpulan bahwa laskar Widura ini telah bergabung dengan anak-anak Sangkal Putung sendiri.
“Biarlah aku memberikan tekanan kepada laskar lawan itu. Mungkin dengan demikian Widura akan menghampiri aku” berkata Tohpati itu di dalam hatinya.
Karena itu maka segera ia meloncat menyusup di antara anak buahnya, sehingga sesaat kemudian senjatanya telah berputaran di arena itu. Tongkatnya yang putih mengkilap dengan ujung yang kekuning-kuningan segera memberitahukan kepada lawan-lawannya bahwa Tohpati sendiri telah hadir digaris peperangan. Karena itu, sebelum mereka sempat berbuat apa-apa, maka seorang dua orang telah terpelanting jatuh. Setiap ia bergerak, maka tak ada seorang pun yang berani menyongsongnya seorang diri. Kalau terpaksa mereka harus melawan Macan Kepatihan itu, maka mereka berusaha untuk melawan berpasangan, tiga empat orang sekaligus. Tetapi lawan-lawan mereka yang lain pun segera menyerang mereka juga, sehingga setiap titik yang dihampiri oleh Tohpati itu, maka seseorang dari laskar lawannya pasti akan jatuh. Tetapi Tohpati itu tidak terlalu lama dapat berbuat demikian. Tiba-tiba dari laskar Pajang, muncullah seseorang dengan sebuah pedang di tangan. Ketika tongkat Tohpati itu terayun dengan derasnya ke arah salah seorang prajurit Pajang yang telah menjadi berputus asa karenanya, maka tiba-tiba pedang itu telah menyentuhnya. Tidak terlalu keras, namun dari arah yang tepat sehingga tongkat Tohpati itu tergeser dari arahnya. Tohpati menggeram keras sekali. Ketika ia melihat orang yang menyentuh senjatanya itu di dalam remang-remang cahaya obor ia terkejut. Hampir berteriak ia berkata,
“He, adakah kau adi Untara?”
Orang yang memegang pedang itu menyahut,
“Ya”
Sekali lagi Tohpati menggeram. Kini ia menemukan lawan yang sebenarnya. Karena itu maka ia tidak mau membuang waktu. Bertempur melawan Widura, Sidanti atau siapapun, Tohpati tidak akan memerlukan waktu yang terlalu banyak. Namun kini Untara berdiri di hadapannya, maka dengan demikian ada kemungkinan ia harus bertempur lebih lama lagi, mungkin setengah malam, mungkin lebih. Untara kini telah benar-benar siap untuk melawannya. Pedangnya terjulur setinggi dada.
“Kakang Tohpati” katanya,
“Aku mendapat tugas untuk menyambut kedatanganmu”

Tohpati menggertakkan giginya. Dengan sekali loncat, tongkatnya telah mulai menyerang Untara. Namun Untara telah benar-benar siap. Meskipun Untara tidak mempunyai senjata khusus seperti Tohpati itu, namun Untara mampu mempergunakan setiap senjata untuk melawan Tohpati. Karena itu ketika tongkat Tohpati itu terayun ke arah kepalanya, dengan tangkasnya ia merendahkan dirinya, sedang tangannya segera menggerakkan pedangnya, mematuk lambung lawannya. Namun Tohpati pun mampu bergerak secepat kilat, sehingga dengan memiringkan tubuhnya, serangan pedang Untara telah dapat dihindari. Kini Tohpati itu kembali mempersiapkan sebuah serangan. Tongkatnya telah mulai berputaran seperti baling-baling. Bahkan kemudian seakan-akan menjadi sebuah gumpalan cahaya yang putih. Sedang kepala tongkatnya itu menjadi seakan-akan seleret cahaya kuning yang beterbangan di antara gumpalan yang berkilat-kilat itu. Dalam pada itu terdengar Tohpati itu menggeram,
“Kenapa kau berada di sini adi?”
Untara tersenyum, pada saat itu tongkat Tohpati menyambarnya kembali. Karena itu, ia terpaksa bergeser surut, namun kemudian ia meloncat maju dengan tangkasnya. Kini ia menyerang dengan sebuah sabetan menyilang. Tohpati terkejut. Cepat ia menarik diri setengah langkah, dan mencondongkan badannya ke belakang. Ketika pedang Untara itu lewat, maka tongkatnyalah kini langsung menyambar tangan Untara itu. Namun Untara pun cukup cekatan. Dengan lincahnya ia memutar dirinya dan menarik tangannya, sehingga tongkat lawannya terayun tanpa menyentuhnya. Meksi pun mereka telah bertempur semakin cepat, namun Untara masih sempat berkata,
“Huh. Hampir aku tidak sempat menjawab untuk selama-lamanya. Nah kakang, aku datang kemari khusus untuk menerima kedatangan kakang”
“Gila” Tohpati mengumpat,
“Apakah paman Widura sudah ditarik ke Pajang?”
“Kakang mencari paman Widura?”
“Aku hampir membunuhnya” sahut Tohpati. Dalam pada itu serangannya telah meluncur kembali.
Tetapi Untara sama sekali tidak lengah. Setiap saat ia selalu siap menghadapi serangan lawannya. Bahkan dengan garangnya Untara itu pun segera menyerang kembali.

Untara dan Macan Kepatihan itu pun kemudian terlibat dalam perkelahian yang semakin lama menjadi semakin seru. Mereka masing-masing adalah pemimpin yang mendapat kepercayaan. Pada masa Jipang masih tegak, maka di samping Mantahun sendiri, pepatih Jipang, maka Tohpatilah prajurit yang paling dipercaya. Sedang Untara walau pun masih agak lebih muda dari Tohpati, namun ia telah menunjukkan kelebihan dari prajurit-prajurit yang lain, sehingga panglima Wiratamtama memberinya kepercayaan di daerah-daerah yang gawat, di sekitar lereng gunung Merapi. Tohpati itu bertempur semakin lama menjadi semakin garang. Tongkatnya menyambar-nyambar seperti elang, sedang kakinya meloncat-loncat dengan cepatnya, seperti seorang yang sedang menari di atas bara api. Tetapi Untara mampu melawannya dengan gigih. Seperti seekor banteng ia siap menghadapi kemungkinan apa pun juga. Tenang tetapi yakin. Anak buah masing-masing pun terpengaruh pula oleh pertempuran kedua pemimpin itu. Mereka pun kemudian melepaskan segenap kemampuan yang ada pada mereka. Karena itu, maka diarena pertempura itu semakin lama menjadi semakin riuh. Suara senjata beradu, diselingi pekik mereka yang lengah sehingga ujung senjata lawannya hinggap ditubuhnya. Malam yang gelap itu menjadi semakin gelap. Perlahan-lahan bintang-bintang di langit merabat melewati garis edarnya. Angin malam yang dingin berhembus perlahan-lahan mengusap tubuh mereka yang sedang basah oleh keringat.

Di pinggir selatan induk desa Sangkal Putung, Widura sedang berjuang dengan gigihnya. Sanakeling yang melawannya telah memeras segenap kemampuan yang ada padanya. Ternyata apa yang pernah didengarnya tentang Widura, adalah bukan sekedar cerita belaka. Kini ia berhadapan langsung dengan orang yang bernama Widura itu. Tidak saja ia mempunyai kecepatan dan ketrampilan bertempur, namun caranya mengatur anak buahnya benar-benar mengagumkan. Karena itu, maka Sanakeling harus bertempur mati-matian sehingga dengan demikian ia akan dapat mempengaruhi keadaan keseimbangan laskar mereka.
“Kalau aku mampu membunuh Widura, maka laskar mereka akan dapat aku cerai-beraikan” pikir Sanakeling itu. Namun ternyata Widura tidak mudah di desaknya. Bahkan semakin lama menjadi semakin terasa bahwa Widura menjadi semakin mapan. Karena itu, maka timbullah berbagai persoalan di dalam dirinya. Sudah cukup lama Sanakeling berusaha mempertahankan kedudukannya. Namun laskar yang lain, masih belum dilihatnya memasuki Sangkal Putung. Apalagi kemudian terasa bahwa laskar Sangkal Putung itu benar-benar sulit untuk dikuasai. Anak-anak muda Sangkal Putung sendiri bertempur dengan gigihnya, di samping laskar Widura yang telah masak menghadapi segala macam keadaan pertempuran. Karena itu, maka Sanakeling itu sama sekali tidak dapat memberikan tekanan-tekanan seperti yang diharapkan, apalagi merambas jalan ke kademangan. Tetapi Sanakeling bukannya prajurit yang berpikiran pendek. Ia bukan seorang yang lekas menjadi berputus asa. Ia masih tetap dalam pendiriannya, kalau ia dapat membunuh Widura maka pekerjaannya akan dapat dilakukan dengan baik. Dalam keadaan yang demikian itulah pertempuran itu menjadi semakin sengit. Laskar Widura dan laskar Sangkal Putung ternyata melebihi jumlah laskar lawan. Namun ternyata bahwa laskar Sanakeling memiliki pengalaman dan kelincahan lebih baik dari laskar Sangkal Putung sendiri. Untunglah bahwa laskar Widura mampu mengimbanginya, meskipun jumlahnya tidak dapat memadai.

Di bagian lain, Agung Sedayu masih juga bertempur melawan Alap-alap Jalatunda. Laskar Citra Gati di sayap itu pun ternyata mampu mengimbangi lawannya. Beberapa orang laskar Sangkal Putung yang tidak saja terdiri dari anak-anak muda, tetapi beberapa orang tua, namun justru bekas prajurit-prajurit di masa mudanya, ternyata memberinya banyak bantuan. Meskipun tenaga orang-orang tua itu sudah tidak sekuat anak-anak muda, namun pengalamannya benar-benar dapat memberi beberapa keuntunga. Mereka masih dapat membingungkan lawan-lawan dengan gerak-gerak yang aneh. Kadang-kadang mereka menghilang di dalam keriuhan pertempuran, namun dengan tiba-tiba mereka muncul kembali dengan sebuah serangan yang mengejutkan. Bahkan kadang-kadang mereka bertempur berpasangan dengan anak-anak muda sambil memberi beberapa petunjuk kepada mereka. Citra Gati yang melihat cara mereka bertempur, sempat juga tersenyum, mereka adalah bekas prajurit Demak yang tangguh di masa muda mereka.

Tetapi Agung Sedayu sendiri, masih saja merasa kebingungan. Ia ragu-ragu untuk segera mengakhiri pertempuran. Kalau ia segera mengerahkan segenap kemampuannya, apakah Alap-alap Jalatunda itu tidak menjadi beruntung karenanya? Apakah Alap-alap Jalatunda sengaja membuatnya tidak sabar, dan menunggu sampai ia menjadi lemah? Karena itu, maka akhirnya ia memutuskan untuk melayani saja lawannya. Dibiarkannya lawannya mengambil sikap lebih dahulu, baru kemudian ia akan menyelesaikannya.
“Biarlah” katanya dalam hati,
“Akan aku layani Alap-alap Jalatunda ini. Sehari, dua hari atau seminggu sekalipun. Kalau ia masih mampu menggerakkan senjatanya, masa aku tidak dapat melawannya dengan senjataku”
Dengan demikian Agung Sedayu itu bertempur saja sekedar untuk melindungi dirinya dari sentuhan senjata lawannya. Tetapi disayap yang lain, keadaan Sidanti agak lebih sulit. Laskar Plasa Ireng benar-benar memiliki kemampuan yang baik. Dengan dahsyatnya mereka berhasil menekan laskar yang dipimpin oleh Sidanti, sehingga pertempuran itu telah bergeser beberapa langkah surut. Sidanti terpaksa mengambil kebijaksanaan untuk menarik laskarnya mendekati induk pasukan. Diharapkannya bahwa induk pasukan akan dapat memberinya bantuan.

Untara pun kemudian melihat kesulitan Sidanti. Beberapa kali ia mencoba untuk menilai induk pasukan itu. Namun keadaan induk pasukan itu sendiri tidak sedemikian baiknya. Ternyata laskar Tohpati pun mampu mengimbangi laskar Untara. Bahkan terasa bahwa anak-anak muda Sangkal Putung telah mulai susut tenaganya. Mereka belum biasa memeras tenaganya untuk waktu yang lama, apalagi dalam kesibukan yang membingungkan. Karena itu, maka Untara menjadi prihatin. Walau pun demikian, ia berusaha untuk memberi isyarat kepada Hudaya. Isyarat sandi yang sudah mereka bicarakan sebelumnya. Hudaya melihat gerak tangan kiri Untara. Karena itu, maka ia mengerutkan keningnya. Di dalam hati ia bergumam,
“Biarlah Sidanti itu mampus. Kenapa Untara itu memerintahkan aku untuk membantunya?”
Sebenarnya bahwa isyarat sandi Untara itu adalah,
“Hudaya dan beberapa orang, pergi membantu sayap kanan” Bantuan itu memang hampir tak berarti. Tetapi sedikit banyak cukup berpengaruh sekedar untuk mengurangi kesibukan Sidanti.
Sidanti melihat Hudaya dan beberapa orang memisahkan diri dari induk pasukannya dan pergi ke sayap yang dipimpinnya. Tetapi ia menjadi sangat kecewa. Bantuan itu sama sekali tidak berarti. Bahkan tersembullah suatu prasangka di dalam hati Sidanti yang mudah menjadi panas itu.
“Hem. Untara sengaja membiarkanku dalam kesulitan. Setan. Telah menjadi sumpahku, bahwa Untara itu harus disingkirkan”
Dan ternyata bahwa bantuan Hudaya itu hampir tak berarti. Namun Hudaya sendiri telah berusaha sebaik-baiknya. Bahkan hampir seperti orang yang kehilangan kesadaran diri. Mengamuk sejadi-jadinya. Namun hal itu telah mendorong Sidanti untuk berbuat lebih banyak. Kemarahannya kepada Plasa Ireng, dirangkapi oleh kemarahannya kepada Untara menjadikannya berjuang sekuat-kuat tenaganya. Tetapi betapapun juga, kehadiran Hudaya di dalam sayapnya, telah mengurangi kesibukan pikirannya. Ia menjadi agak tenang untuk menghadapi Plasa Ireng tanpa banyak berpikir tentang laskarnya. Meskipun bantuan yang didapatnya tidak banyak memberi kekuatan pada laskarnya, namun ternyata banyak membantu ketenangannya. Ia kini mencoba memusatkan perhatiannya kepada lawannya. Plasa Ireng. Ia mencoba untuk sesaat melupakan orang-orang lain di dalam sayapnya yang dalam keadaan sulit itu.

Dalam keadaan yang demikian itu, maka Sidanti benar-benar menjadi seorang anak muda yang pilih tanding. Kalau beberapa saat yang lampau ia berhasil menyelamatkan dirinya setelah bertempur beberapa lama melawan Tohpati, maka kini ia berusaha memeras segenap kemampuan yang ada padanya untuk membinasakan lawannya. Selain itu, ternyata Sidanti pun seorang yang keras hati. Sekali ia bertekad untuk membunuh lawannya, maka tak ada alasan apa pun yang dapat mencegahnya. Kali ini pun ia bertekad membunuh Plasa Ireng, seperti Plasa Ireng berusaha membunuhnya. Tak ada pikiran lain di dalam benaknya. Membunuh. Hanya itu. Membunuh. Dengan demikian maka Sidanti itu pun kemudian memeras segenap kemampuan yang ada padanya. Senjatanya bergerak berputaran sehingga kemudian seakan-akan telah berubah menjadi asap yang hitam kebiru-biruan. Senjata yang hanya sebatang, namun berujung sepasang timbal-balik itu, seakan-akan berubah menjadi senjata serupa yang berpuluh-puluh jumlahnya. Menyerang tubuh Plasa Ireng dari segenap arah. Meskipun Plasa Ireng bukan seorang prajurit yang baru saja belajar memegang senjata, namun tiba-tiba ia menjadi bingung menghadapi permainan Sidanti. Permainan murid Ki Tambak Wedi itu benar-benar memeningkan kepalanya. Meskipun demikian, Plasa Ireng pun tidak segera menjadi cemas. Plasa Ireng adalah seorang prajurit yang tabah. Berpuluh bahkan beratus kali ia mengalami kesulitan di dalam peperangan dan perkelahian perseorangan. Namun berpuluh bahkan beratus kali ia dapat menghindarkan kesulitan itu. Karena itu, maka dengan sekuat-kuat tenaga yang ada padanya, maka ia berusaha untuk mematahkan gumpalan sinar hitam kebiru-biruan yang melandanya. Tetapi gumpalan sinar hitam kebiru-biruan itu benar-benar seperti asap yang tak dapat disentuh oleh senjatanya. Sidanti yang menjadi semakin bernafsu itu, telah menyerangnya tanpa pertimbangan kecuali membinasakan. Sekali-sekali Plasa Ireng itu pun meloncat mundur. Ia menjadi berbesar hati ketika ia melihat laskarnya berhasil menekan laskar Sidanti. Tetapi ia tidak dapat menutup kenyataan bahwa desing senjata Sidanti itu seakan-akan sebuah siulan maut yang selalu mengejarnya. Karena itu, maka ia sama sekali tidak menjadi cemas. Kalau perlu ia dapat menarik satu dua orang untuk mengganggu Sidanti.

Hudaya yang bertempur di dekat Sidanti melihat kelebihan Sidanti dari lawannya. Meskipun kebenciannya kepada anak itu sampai ke ujung rambutnya, tetapi, dalam menghadapi musuhnya, Hudaya berbesar hati juga melihat kemenangan Sidanti. Karena itu, maka ia berusaha untuk selalu berada di dekatnya. Ia sudah dapat memperhitungkan apa yang kira-kira akan terjadi. Sebagai seorang prajurit yang telah bertahun-tahun hidup di dalam arena pertempuran, maka ia dapat menduga, bahwa apabila terpaksa Plasa Ireng pasti tidak akan segan-segan memanggil satu dua orang untuk membantunya. Pertempuran di sayap kanan itu menjadi semakin ribut. Laskar Sidanti menjadi semakin lama menjadi semakin sulit pula. Plasa Ireng pun semakin lama menjadi semakin sulit pula. Sekali-sekali ia meloncat berkisar di sekitar garis pertempuran berlindung di belakang beberapa orang laskar yang sedang berjuang. Namun akhirnya Sidanti berhasil menekannya semakin dalam. Sidanti pun mampu memperhitungkan keadaan, bahwa daya tahan laskarnya masih lebih baik dari daya tahan Plasa Ireng. Sehingga meskipun ia melupakan laskarnya sejenak, tetapi ia akan mencapai hasil yang pasti lebih baik. Sehingga karena itu, maka Sidanti kemudian memusatkan segenap kemampuannya untuk membinasakan lawannya itu. Plasa Ireng pun benar-benar merasakan, betapa serangan-serangan Sidanti semakin menekannya. Senjatanya yang aneh benar-benar telah berputar-putar ditelinganya. Betapapun Plasa Ireng mencoba mempertahankan dirinya, namun Sidanti itu mendesaknya semakin kuat. Akhirnya Plasa Ireng itu menganggap bahwa tak akan ada gunanya ia bertahan seorang diri. Dalam peperangan, tak akan ada celanya, apabila ia harus bertempur berpasangan. Karena itu, tiba-tiba terdengar ia bersuit nyaring. Sidanti mendengar suara suitan itu. Terasa dadanya bergetar. Ia pun tahu pasti, bahwa Plasa Ireng memanggil seorang atau dua orang untuk membantunya. Dan sebenarnyalah, seseorang yang bertubuh tinggi, namun tidak cukup besar dibandingkan dengan tingginya, meloncat dengan lincahnya, menyerbu ke tempat pertempuran antara Plasa Ireng dan Sidanti. Di tangannya tergenggam sebilah tombak pendek. Dengan cepatnya ujung tombak itu bergetar, dan dengan tangkasnya ia memotong serangan-serangan Sidanti. Sidanti surut selangkah. Terdengar ia menggeram parau,
“Setan. Apakah kau sudah kehabisan akal?”
Plasa Ireng tertawa,
“Di dalam pertempuran, maka setiap orang di pihak lawan adalah musuhnya. Panggillah orang-orangmu untuk ikut serta dalam pertempuran berpasangan ini”

Sidanti menjadi semakin marah. Plasa Ireng ternyata mampu memperhitungkan kekuatan laskarnya. Karena itu, maka sekali lagi Sidanti dipengaruhi oleh keadaan laskarnya. Namun tiba-tiba tanpa diduga-duga, Hudaya yang dengan cepatnya memperhitungkan kemungkinan itu, meloncat dengan cepatnya. Pedangnya terjulur lurus, langsung ke lambung orang yang tinggi itu. Orang itu terkejut, sekali ia melangkah ke samping dan kemudian dengan memutar tombaknya dan mencoba menghindarkan serangan Hudaya berikutnya. Tidak saja orang yang tinggi itu yang terkejut. Plasa Ireng pun terkejut pula, ia sama sekali tidak melihat tanda-tanda Sidanti memanggil seseorang untuk melibatkan diri dalam pertempuran di antara mereka. Tetapi Hudaya bukan seorang yang hanya mampu berbuat karena diperintah. Ia pun mampu mengambil sikap dalam setiap pertempuran. Demikianlah pada saat-saat yang penting itu Hudaya mampu membuat perhitungan-perhitungan yang cermat. Ia menjadi marah pula, ketika ia melihat saat-saat terkhir dari lawan Sidanti itu diganggu oleh orang lain. Dalam keadaan yang demikian itulah Sidanti yang berotak cerdas itu mempergunakan keadaan sebaik-baiknya. Pada saat orang yang tinggi itu masih dalam usaha menyelamatkan dirinya, maka Sidanti meloncat dengan garangnya. Memutar senjatanya dan mendesak Plasa Ireng sejadi-jadinya. Plasa Ireng benar-benar terkejut dan karena itu sesaat ia kehilangan keseimbangan. Keseimbangan gerak dan keseimbangan pikiran. Dengan demikian maka justru ia lupa untuk memberi isyarat kepada orang lain lagi untuk membantunya. Perhatiannya tercurah sepenuhnya dalam usahanya untuk mempertahankan dirinya. Tetapi ketika kembali terasa nyawanya seakan-akan telah melekat di ujung senjata Sidanti, maka barulah ia teringat kembali kepada orang-orang yang berdiri mengitarinya. Tetapi Plasa Ireng itu telah terlambat. Getar senjata Sidanti telah benar-benar memusingkan kepalanya. Maka demikian terdengar ia bersuit dua kali untuk memanggil orangnya yang lain, maka demikian pundaknya tergores oleh senjata Sidanti. Plasa Ireng terkejut bukan buatan. Sekali ia melontar mundur, namun Sidanti itu sempat mengejarnya, dengan satu loncatan pula. Dan sebelum seseorang berhasil datang membantunya, terdengarlah Plasa Ireng memekik pendek. Sekali lagi senjata ciri perguruan Tambak Wedi yang dahsyat itu merobek dadanya. Kini Plasa Ireng benar-benar telah kehilangan keseimbangannya. Matanya kemudian seakan-akan mejadi gelap, dan sinar-sinar obor di sekitarnya itu serasa menjadi padam bersama-sama. Yang terasa kemudian sekali lagi sebuah tusukan menghunjam dadanya, langsung menembus jantungnya. Plasa Ireng itu mengaduh sekali, kemudian ketika Sidanti menarik senjatanya yang berlumuran darah, Plasa Ireng itu terseret selangkah maju untuk kemudian jatuh terjerebab di bawah kaki anak muda itu.

Ketika seseorang datang mendekatinya, orang itu terkejut. Yang dilihatnya adalah Sidanti berdiri tegak di atas tubuh Plasa Ireng. Karena itu betapa marahnya orang itu. Dengan serta-merta ia menyerang Sidanti tepat di dadanya. Tetapi serangan itu tidak banyak berarti buat Sidanti. Sekali Sidanti mengelak dan ketika senjata orang itu terjulur di samping tubuh Sidanti, maka tangan Sidanti bergerak dengan cepatnya. Sebuah goresan yang panjang telah melukai lambung orang itu. Ketika orang itu berteriak ngeri, maka sekali lagi Sidanti menusuk perutnya. Orang itu pun terbanting jatuh di samping tubuh Plasa Ireng. Tetapi agaknya kemarahan Sidanti masih belum tercurahkan seluruhnya. Ketika sekali lagi ia melihat tubuh Plasa Ireng, maka terungkatlah geram di hatinya. Karena itu dengan serta-merta ia menggerakkan senjatanya, menyobek punggun lawannya yang sudah tidak bernafas itu. Sekali, dua kali dan dipuaskannya hatinya. Hudaya yang semula tersenyum melihat kemenangan Sidanti, tiba-tiba mengerutkan keningnya. Sambil melayani lawannya ia melihat betapa Sidanti berbuat melampaui batas. Hudaya sama sekali tidak menyangka, bahwa di dalam hati Sidanti itu tersimpan kekerasan, kekejaman dan kekasaran. Di tubuh anak muda itu ternyata mengalir darah yang buram, sehingga dengan tangannya, anak muda itu sampai hati berbuat demikian atas lawannya yang sudah tidak dapat melawannya.
“Anak setan” geram Hudaya itu,
“Alangkah kotornya tangan anak muda itu”
Sidanti itu benar-benar seperti orang yang sedang kesurupan. Dengan mata yang merah liar dan gigi gemeretak, disobeknya tubuh lawannya yang terbaring diam
“Adi Sidanti” desis Hudaya yang tidak tahan lagi melihat perbuatan Sidanti,
“Sudahlah. Jangan kau turuti hatimu yang gelap”
“Tutup mulutmu” Sidanti itu membentak.

Dan Hudaya menutup mulutnya. Dalam keadaan itu, ia lebih baik tidak membuat persoalan, sebab kemungkinan menjadi salah paham sangat besar. Pada saat Sidanti sedang kehilangan segenap pertimbangannya. Karena itu, maka ia lebih baik memusatkan perhatiannya pada lawannya. Diputarnya senjatanya dan dengan dahsyatnya ia menyerang seperti taufan. Tetapi bukan saja Hudaya yang heran melihat perbuatan Sidanti. Hampir setiap orang, baik dari laskar Pajang maupun dari laskar Jipang, hatinya tergetar melihat perbuatan itu. Perbuatan yang melampaui batas-batas yang dibenarkan dalam tata pergaulan keprajuritan. Apalagi anak-anak muda Sangkal Putung. Mereka menjadi ngeri. Bagi mereka, lebih baik memalingkan wajah-wajah mereka, dan memusatkan segenap perhatian mereka untuk menyelamatkan diri mereka dari kemungkinan yang sama dengan Plasa Ireng. Perbuatan Sidanti itu ternyata berpengaruh bagi lawannya. Mereka menjadi ngeri dan cemas. Selain kematian pemimpin mereka, maka apa yang mereka lihat itu benar-benar telah mengerutkan hati mereka. Setelah puas dengan perbuatannya, Sidanti tegak berdiri di atas mayat lawannya, satu kakinya menginjak punggung, dan satu kakinya di atas kepala. Dengan lantang ia berkata kepada laskar Jipang yang masih bertempur dengan gigihnya,
“He, laskar Jipang yang keras kepala. Lihatlah, pemimpinmu telah terbunuh mati oleh tangan Sidanti. Ayo, siapa yang berani mengangkat diri menjadi senapati. Inilah Sidanti, murid Tambak Wedi”
Suara Sidanti itu menggelegar, menyusup di antara dentang senjata dan jerit kesakitan, menggema berputar-putar di dalam malam yang kelam, seakan-akan getar suara dari neraka, memanggil-manggil setiap nama yang ikut serta dalam pertempuran itu. Malam menjadi semakin dalam. Bintang-bintang yang gemerlapan di langit bergeser setapak-setapak kebarat dalam hembusan angin malam yang dingin. Selembar-selembar awan yang putiih mengalir keutara seperti gumpalan-gumpalan kapuk raksasa yang sedang hanyut.
Pertempuran diperbatasan kademangan Sangkal Putung masih berlangsung dengan sengitnya. Disayap kanan, laskar Jipang seakan-akan telah kehilangan semangat untuk bertempur, setelah mereka menyaksikan pemimpin mereka jatuh. Kekasaran Sidanti, meskipun menumbuhkan kengerian di dalam dada laskar Jipang, namun di dalam dada itu juga menyala dendam yang tiada taranya. Dendam yang seakan-akan tidak akan kunjung padam. Betapa perbuatan Sidanti itu tergores di dinding jantung mereka. Sebelum nyawa mereka melayang, maka peristiwa itu tidak akan mereka lupakan. Beberapa orang yang tidak dapat menahan hatinya melihat pemimpinnya mendapat perlakuan yang sedemikian menyakitkan hati, segera menyerbu bersama-sama. Namun Sidanti benar-benar memiliki tenaga dan ketrampilan yang luar biasa. Meskipun beberapa orang datang bersama-sama, namun anak muda itu masih saja mampu untk mengalahkan mereka. Tetapi, ketika lawan Sidanti menjadi semakin banyak, maka Hudaya juga berasa bertanggung-jawab pula atas kemenangan yang harus mereka perjuangkan, Betapapun hatinya menjadi pedih melihat perbuatan Sidanti, namun ia datang juga untuk membantunya.

Kemenangan-kemenangan yang didapatnya itu telah mendorong Sidanti lebih jauh ke dalam ketamakan dan kesombongannya. Kematian Plasa Ireng merupakan racun yang tajam yang menusuk langsung ke otaknya. Dengan membunuh Plasa Ireng maka Sidanti merasa bahwa ia wajar untuk menerima kehormatan yang jauh dari semestinya. Bahkan kematian Plasa Ireng itu telah menumbuhkan suatu impian yang mengerikan. Laskar Jipang yang kehilangan pemimpinnya itu pun kemudian menjadi semakin kacau. Seorang yang bertubuh tinggi kurus, yang bertempur melawan Hudaya mencoba untuk mengambil alih pimpinan. Dipanggilnya beberapa orang untuk menggantikan perlawanannya terhadap Hudaya, dan ia sendiri meloncat ke sana ke mari, memekik tinggi memberikan aba-aba kepada sisa-sisa laskarnya. Namun usahanya itu tidak banyak memberikan perubahan apa-apa. bahkan dengan demikian maka ia memberi kesempatan kepada Hudaya untuk menghindari seitap lawannya, dan membantu Sidanti yang harus bertempur melawan beberapa orang sekaligus. Serangan orang-orang lain yang berusaha untuk mencegahnya, terpaksa berhadapan dengan laskar Pajang yang lain pula. Maka laskar Jipang disayap itu menjadi semakin lemah. Kini orang yang tinggi kurus itulah yang mengambil alih kebijaksanaan, mendekati induk pasukannya.

Di dalam induk pasukan itu Tohpati bertempur dengan dahsyatnya melawan Untara. Murid kepatihan Jipang yang mendapat julukan Macan Kepatihan itu menggeram tidak habis-habisnya. Untara ternyata mampu menandingi dalam segala hal. Ketrampilannya, kecepatannya, bahkan kekuatannya. Karena itu, maka Tohpati itu semakin lama menjadi semakin marah. Namun Untara tetap tak dapat di atasinya. Sedang Untara pun terpaksa mengerahkan segenap kemampuan yang ada padanya. Tetapi bekal yang didapatnya dari ayahnya Ki Sadewa, ternyata cukup banyak untuk menghadapi murid Mantahun ini. Ketika mereka itu masih dicengkam oleh ketegangan, karena pertempuran yang dahsyat di antara mereka, datanglah seorang penghubung yang dengan hati-hati memberitahukan kekalahan yang terjadi di sayap kiri laskar Jipang itu. Dengan tanda sandi, penghubung itu mengabarkan bahwa Plasa Ireng terbunuh di peperangan. Alangkah terkejutnya Tohpati itu. Sekali ia meloncat jauh ke belakang sambil berteriak nyaring,
“Siapa disayap laskar Pajang itu?”
Orang itu berhenti sejenak untuk berpikir. Ia mendengar pimimpin laskar Pajang itu sesumbar menyebut namanya sendiri, ketika kemudian teringat olehnya nama itu, maka jawabnya,
“Namanya Sidanti”
“Sidanti?” ulang Tohpati
Yang menjawab adalah Untara,
“Orang itu berkata benar”
Tohpati menggertakkan giginya. Ingin pada saat itu ia meremas tulang murid Tambak Wedi itu.
“Hem, kenapa aku tidak berusaha membunuhnya beberapa waktu dahulu? Aku terlambat sesaat sehingga paman Widura mampu membebaskannya” katanya dalam hati.

Kini Sidanti itu telah sempat membunuh seorang kepercayaannya, Plasa Ireng. Karena itu, maka kemarahan Tohpati itu pun telah meluap sampai ke ubun-ubunnya. Namun ia tidak mendapat kesempatan sama sekali untuk menumpahkan kemarahannya kepada Sidanti, sebab di hadapannya masih berdiri Untara. Dan Untara ini masih belum dapat dikalahkannya. Karena itu, maka segera ia menggeram,
“Pertahankan diri pada keadaan kalian kini. Usahakan untuk menahan Sidanti dengan dua tiga kekuatan. Sebentar lagi aku akan datang membunuhnya”. Orang itu kemudian menghilang di dalam hiruk-pikuk perkelahian, kembali ke sayap kiri. Disampaikannya pesan tu kepada orang yang tinggi kurus, yang mengambil alih pimpinan dari tangan Plasa Ireng. Mendengar pesan itu maka orang itu pun berteriak,
“Pertahankan keadaan kalian. Macan Kepatihan sendiri segera akan datang, membalaskan dendam kakang Plasa Ireng”
“Plasa Ireng” desis Sidanti. Jadi orang yang dibunuhnya itu adalah orang yang namanya ditakuti pula hampir seperti Macan Kepatihan sendiri, dan karena itulah maka Sidanti itu menjadi semakin membanggakan dirinya.
Berita itu telah membangkitkan kembali semangat bertempur prajurit-prajurit Jipang itu. Sebagian dari mereka segera menyerbu dengan dahsyatnya, sedang sebagian yang lain berusaha untuk tetap mengurung Sidanti dalam satu lingkaran yang pepat. Tetapi Hudaya tidak membiarkannya terpisah dari laskarnya. Karena itu, maka ia pun segera berusaha memecahkan kepungan itu, dan bertempur bersama-sama dengan Sidanti. Namun meskipun Sidanti melihat usaha-usaha yang dilakukan oleh Hudaya itu, tetapi ia tetap merasa, bahwa dirinya sumber kemenangan dari laskar Pajang. Ia yakin bahwa kekalahan sayap ini akan memperngaruhi pertempuran keseluruhannya. Tohpati yang marah itu pun kini benar-benar memeras tenaganya. Untara harus segera dibinasakan. Namun membinasakan Untara adalah pekerjaan yang sulit. Tohpati itu terpaksa melihat kenyataan yang dihadapinya, bahwa Untara adalah seorang anak muda yang perkasa. Karena itu, maka perkelahian antara Macan Kepatihan dan Untara itu pun menjadi semakin sengit. Masing-masing telah sampai ke puncak kemampuan mereka. Namun kini Untara dapat memusatkan segenap perhatiannya pada lawannya yang menakutkan ini, sebab dari pertanda yang ditangkapnya, maka agaknya keadaan sayap kiri lawannya menjadi parah. Dan Untara itu dapat memperhitungkan pula, bahwa Sidanti berhasil membinasakan pimpinan sayap itu. Namun Tohpati yang marah itu sedang membuat perhitungan pula atas keadaannya. Karena itu, maka kini ia membiarkan Untara menyerangnya dan Tohpati menempatkan dirinya dalam suatu pertahanan yang rapat. Ia mencoba menilai sayap-sayap lainnya dan laskar yang dibawa oleh Sanakeling.
“Di samping Untara dan Sidanti masih ada paman Widura” katanya dalam hati. Namun Tohpati itu masih memiliki satu kelebihan menurut dugaannya. Alap-alap Jalatunda.
“Meskipun demikian anak itu mampu mempengaruhi keseimbangan keadaan”

Menurut perhitungan Macan Kepatihan yang berotak cair itu, maka Widura lah yang telah mundur kembali ketika didengarnya tanda bahaya, dan menyerahkan pimpinan kepada Untara. Karena itu, maka Tohpati mengharap bahwa Widura itu akan menemukan lawannya yang seimbang, Sanakeling. Sedang Alap-alap Jalatunda akan merupakan seorang yang akan dapat menggilas laskar Pajang di arenanya. Kalau orang-orang disayap kiri mampu bertahan terhadap Sidanti, maka orang-orangya di sayap kanan pasti akan dapat menguasai lawannya di bawah pimpinan Alap-alap Jalatunda. Perhitungan Macan Kepatihan itu hanya sebagian saja yang tepat. Namun ia tidak tahu, bahwa di sayap kiri lawannya, terdapat seorang anak muda yang bernama Agung Sedayu. Yang meskipun masih sangat hijaunya, namun ia memiliki persiapan yang jauh dari cukup. Persiapan-persiapan yang selama ini tersimpan saja di dalam dirinya. Kini sedikit demi sedikit kekuatan yang membeku itu mulai dicairkannya. Maka akhirnya Tohpati mengambil kesimpulan, bahwa keadaan laskarnya tidak terlalu parah. Tetapi kemenangan-kemenangan kecil yang semula mulai tampak di pihaknya, kini telah runtuh satu demi satu. Dengan penuh tanggung-jawab Tohpati telah mengirim beberapa orang untuk membantu sayap yang lemah di sebelah kiri. Orang-orang itu diharap dapat membantu menutup kebebasan gerak Sidanti. Beru kemudian ia memusatkan perhatiannya atas lawannya. Untara. Untara yang bertempur dengan dahsyatnya itu pun menyadari, bahwa ia harus memeras segenap kemampuannya. Dan kini hal itu telah dilakukannya. Sehingga betapapun Tohpati berusaha untuk menguasainya, namun usaha itu akan sia-sia saja. Bahkan ketika Untara telah sampai kepuncak segala macam ilmu yang tersimpan di dalam dirinya, terasa bahwa Macan Kepatihan bukanlah seorang yang tak dapat dikalahkan. Dalam remang-remang cahaya obor, Untara yang menerima turunan ilmu ayahnya itu, ternyata sempat membingungkan Macan Kepatihan. Tongkat putih yang menakutkan berujung kuning itu, sama sekali tidak lebih mengerikan dari gerak pedang Untara. Pedang itu mampu berputar dan mematuk dari segenap arah, menembus gumpalan cahaya putih dan garis-garis kuning yang membentengi Tohpati. Sekali-sekali terdengar kedua macam senjata itu beradu, dan meloncatlah bunga-bunga api ke udara. Senjata Tohpati itu memang sebenarnya merupakan senjata yang luar biasa. Hampir dalam setiap benturan dengan pedang Untara, pasti meninggalkan bekas luka pada pedang itu. Beberapa bagian tajamnya telah terpecah-pecah sehingga pedang itu benar-benar mirip sebuah gergaji. Untunglah pedang yang dipinjamnya dari Widura itu bukan pula sembarang pedang. Sehingga Betapapun kerasnya benturan yang terjadi di antara kedua senjata yang digerakkan oleh tenaga-tenaga raksasa itu, namun pedang itu tidak juga dapat dipatahkan. Meskipun demikian, menyadari perbedaan sifat kedua senjata itu, Untara kemudian tidak mau membenturkan senjatanya langsung dalam arah yang bertentangan. Untara selalu berusaha untuk memukul senjata lawannya agak ke samping. Namun Untara itu pun terpaksa memperhitungkan apabila perkelahian itu berlangsung terlalu lama, maka senjatanya akan menjadi semakin lemah.

Tetapi kelincahan, ketangkasan dan ketrampilan Untara yang telah memeras segala macam ilmu yang dimilikinya itu, ternyata benar-benar membingungkan Tohpati. Tohpati yang ditakuti di setiap pertempuran dan bahkan setiap prajurit musuhnya tidak berani menyebut namanya, namun ternyata kini ia menemukan lawan yang tanggon. Nama Untara pun merupakan nama yang mengerikan bagi laskar Jipang hampir disetiap garis peperangan. Di samping kecerdasannya mengatur laskarnya, Untara pun memiliki beberapa kelebihan dari beberapa senapati yang lain. Dan ternyata Untara pun mempunyai beberapa kelebihan dari Tohpati. Keadaan Tohpati semakin lama menjadi semakin sulit. Apalagi ketika disadarinya, bahwa laskarnya di sayap kiri benar-benar hampir pecah bercerai berai. Karena itu, maka Macan Kepatihan yang garang itu menjadi cemas. Cemas akan nasib laskarnya yang sudah tidak begitu besar lagi jumlahnya, yang dengan susah payah dikumpulkan dari segala medan khusus untuk merebut daerah perbekalan ini. Namun sekali lagi Macan Kepatihan itu terpaksa mengumpat tak habis-habisnya. Ia merasa kini, bahwa gerakannya pasti sudah tercium oleh hidung Untara itu sebelumnya, sehingga Sangkal Putung benar-benar sudah siap menghadapi kedatangannya. Dua kali ia dikecewakan oleh laskar Pajang di Sangkal Putung,
“Namun akan datang saatnya aku menebus setiap kekalahan” geramnya.
Tetapi Untara itu seakan-akan menjadi semakin lama menjadi semakin lincah. Pedangnya berputaran mengitari segenap tubuhnya dari segala arah. Bahkan kemudian, sekali-sekali terasa ujung pedang itu menyentuhnya.
“Setan” geramnya. Dan diputarnya tongkatnya semakin cepat. Tetapi Untara pun bergerak semakin cepat pula. anak muda, yang mendapat kepercayaan langsung dari panglima Wiratamtama itu benar-benar tidak mengecewakan. Dan ia benar-benar dapat menanggulangi kedahsyatan Tohpati.
Alangkah terkejutnya Macan Kepatihan itu, ketika dalam sebuah benturan yang dahsyat, tongkatnya tergetar ke samping. Hanya sesaat yang sangat pendek, ia melihat pedang Untara terjulur lurus ke dadanya. Tohpati berusaha untuk memukul pedang itu kembali dengan tongkatnya, namun pedang itu berputar, dan dengan cepatnya pedang itu menyentuh lengannya. Ketika Untara menarik pedang itu, maka tajamnya yang menyerupai gergaji itu meninggalkan bekas luka di tangan Tohpati. Luka yang menganga seperti luka bekas gergaji. Terdengar Tohpati menggeram pendek. Dengan cepatnya ia meloncat ke samping, dan sesaat ia berusaha menjauhi Untara. Ketika ia memandang lengannya, dilihatnya darah mengalir dari lukanya yang menganga, seolah-olah dagingnya telah disayat dengan sebuah gergaji yang tumpul.

“Gila kau Untara” desis Tohpati. Matanya yang meyala menjadi semakin merah karena kemarahannya yang memuncak. Mulutnya itu meskipun terkatub rapat, namun terdengar giginya gemeretak. Dengan sebuah teriakan tinggi Macan Kepatihan itu meloncat dengan garangnya, langsung menyerang Untara dengan tongkatnya. Sebuah ayunan yang deras sekali menyambar kepala Untara. Namun Untara tidak tertidur karena kemenangan kecil itu. Segera ia merendahkan dirinya dan tongkat Tohpati itu terbang lewat di atas kepalanya. Pertempuran yang sangat seru segera berkobar kembali. Tohpati yang membara karena kemarahannya, melawan Untara yang dengan sekuat tenaga ingin segera menyelesaikan pekerjaannya yang sudah mulai tampak akan berhasil. Sehingga dengan demikian kembali mereka bertempur dalam puncak ilmu masing-masing. Namun kali ini pun segera terasam bahwa Untara memang luar biasa. Meskipun ia masih lebih muda dari Tohpati, namun Tohpati itu tidak dapat menutup kenyataan, bahwa Untara mampu menandinginya dari selaga segi. Kini Tohpati terpaksa membuat pertimbangan-pertimbangan baru. Ia tidak boleh tenggelam dalam arus perasaan melulu. Ia harus mampu meninjau pertempuran itu dalam segala segi, segala kemungkinan dan segala akibat yang dapat timbul karenanya. Keringkihan di sayap kiri benar-benar sangat mengganggunya. Sedang Alap-alap Jalatunda yang diharap akan dapat menimbulkan pengaruh yang baru bagi perimbangan kedua pihak, ternyata masih belum mampu berbuat apa-apa. Karena itu maka Tohpati terpaksa sampai pada suatu keputusan untuk menghindarkan laskarnya dari kehancuran. Dalam kekalutan itu, sekali lagi Tohpati mencoba melihat pertempuran itu. Namun malam sangat pekatnya. Ia hanya melihat titik pertempuran di sayap kirinya telah bergeser jauh ke belakang, dan sayap kanannya masih saja belum mencapai kemajuan. Sedang di induk pasukannya, meskipun laskarnya mendapat beberapa kesempatan yang baik, namun ia sendiri telah terluka. Untara yang telah masak itu melihat setiap kemungkinan yang akan dilakukan oleh Tohpati. Ketika ia melihat sikapnya, serta usahanya untuk melihat seluruh laskarnya, maka Untara dapat meraba maksudnya. Karena itu, maka tekanannya diperketat, sehingga hampir-hampir Tohpati itu tidak sempat berbuat lain daripada mempertahankan diri dari ujung pedang Untara yang seakan-akan terbang memgelilingi kepalanya. Sementara itu, laskar Tohpati disayap kiri telah benar-benar hampir lumpuh, sehingga mereka tidak mampu lagi untuk bertahan sendiri, mereka itu kemudian segera menggabungkan diri dengan induk pasukan mereka.

Keadaan kedua pasukan diinduk pasukan itu kini menjadi semakin ribut. Pertempuran di antara mereka menjadi seakan-akan tidak teratur lagi. Tetapi meskipun demikian, kedua laskar itu masih tetap bertempur dengan gigihnya. Hanya anak-anak muda Sangkal Putung kini benar-benar telah menjadi pening. Meskipun beberapa orang laskar Widura terus menerus berusaha untuk menuntun mereka dan bahkan selalu mendampingi mereka, namun keadaan mereka itu agak berbeda dengan laskar Pajang maupun laskar Jipang. Sehingga dengan demikian maka keseimbangan kedua laskar itu semakin lama menjadi semakin berat sebelah pula. Tetapi di pihak Pajang mempunyai kelebihan yang ikut serta menemtukan keseimbangan itu. Sidanti yang lepas tidak mempunyai lawan yang seimbang itu, mengamuk seperti serigala lapar. Namun beberapa orang Jipang yang berani telah mengepungnya. Mereka berusaha untuk selalu membatasi gerak Sidanti itu. Tetapi setiap saat Hudaya selalu berhasil memecahkan kurungan itu, dan melepaskan Sidanti untuk bertempur seperti elang yang merajai udara. Tohpati adalah seorang pemimpin yang bertanggung-jawab. Ia tidak mau membiarkan korban berjatuhan tanpa arti. Setelah memperhitungkan keadaan masak-masak, maka yakinlah ia, bahwa ia tidak akan dapat menembus benteng yang dipertahankan oleh Untara itu. Bahkan tangannya yang telah terluka itu, semakin lama menjadi semakin lemah. Dan darah yang mengalir menjadi semakin banyak pula. Betapa Macan Kepatihan itu menjadi marah, dan betapa ia menjadi sangat buas, namun ia tidak dapat menuruti perasaannya tanpa menghiraukan kenyataan. Sesaat kemudian terdengarlah Macan Kepatihan itu bersuit panjang. Suitannya itu segera disambut oleh beberapa pemimpin kelompok di dalam pasukannya. Dan sesaat kemudian menyalalah berpuluh-puluh anak panah berapi. Untara terkejut melihat hal itu. Tetapi sebelum ia sepat berbuat apa-apa, maka panah-panah api itu seperti hujan berjatuhan di daerah laskarnya.
“Gila” Untara mengumpat. Ia tidak menyangka bahwa hal itu akan dilakukan oleh laskar Tohpati. Meskipun ia tahu betul bahwa Macan Kepatihan membuat anak panah api, tetapi disangkanya anak panah itu hanya untuk dipergunakan untuk membakar rumah atau apa pun di Sangkal Putung sehingga menimbulkan kekacauan dan mempengaruhi ketahanan orang-orang Sangkal Putung.
Usaha Tohpati itu sebagian berhasil. Beberapa anak-anak muda Sangkal Putung menjadi kacau dan hampir kehilangan akal. Namun tiba-tiba terdengar Untara berteriak,
“Berlindung di daerah lawan”

Anak-anak muda Sangkal Putung mula-mula tak mengerti maksud aba-aba itu. Namun orang-orang Widura mendahului mereka, menyerang dan langsung menyusup ke daerah perlawanan musuh. Tetapi suitan itu ternyata mempunyai arti yang lain pula. demikian laskar Pajang berusaha masuk dalam garis pertahanan itu, maka laskar Jipang pun surut ke belakang. Bahkan semakin lama menjadi semakin cepat. Dan kemudian ternyatalah bahwa laskar Jipang sedang menarik diri. Untara melihat kenyataan itu. Ia berusaha untuk tidak melepaskan lawannya. Mereka harus dapat melumpuhkan pasukan Macan Kepatihan, sehingga untuk seterusnya tidak mendapat kesempatan berbuat serupa. Menyerang Sangkal Putung dengan kekuatan yang berbahaya. Demikian pula terjadi di sayap kanan laskar Tohpati itu. Agung Sedayu yang menunggu kekuatan terakhir yang akan diungkapkan oleh Alap-alap Jalatunda menjadi bertanya-tanya di dalam hati. Apakah Alap-alap Jalatunda itu sudah sampai pada puncak kekuatannya? Kalau demikian, apakah yang didengar tentang Alap-alap Jalatunda hanya sekedar dongengan untuk menakutkan orang-orang yang mendengarnya. Atau kemampuan dirinya telah cukup mengatasi alap-alap itu dengan mudah? Dalam kebingungan itulah Agung Sedayu melihat laskar lawannya surut dengan cepat. Betapa ia berusaha mengejar lawannya, namun Alap-alap Jalatunda itu kemudian menenggelamkan diri dalam hiruk pikuk laskarnya. Mereka mundur sambil melawan serta melepaskan anak panah.
“Bukan main” desah Agung Sedayu.
“Mereka mempergunakan anak panah” Agung Sedayu itu menyesal bahwa ia tidak membawa anak panah dan busur. Tetapi tiba-tiba ia teringat, bahwa dalam sakunya ada beberapa butir batu. Timbullah keinginannya untuk bermain-main dengan batu itu. Sekali ia melepaskan sebuah batu, maka terdengarlah seorang lawannya yang sedang membidikkan anak panah memekik tinggi, dan dalam remang-remang Agung Sedayu melihat orang itu jatuh terjerebab. Sesaat ia melihat orang itu menggeliat dan menahan sakit. Agung Sedayu terkejut melihat akibat perbuatannya. Orang itu tampaknya menjadi sangat menderita. Karena itu, maka tiba-tiba ia berlari-lari mendekatinya.
“Kenapa kau?” terndengar Agung Sedayu bertanya.
Orang itu masih menggeliat dan menyeringai kesakitan. Dipegangnya perutnya sambil mengaduh tak habis-habisnya. Sementara itu kawan-kawannya telah semakin jauh, mundur dari pertempuran.
Agung Sedayu mencoba menangkap lawannya yang kesakitan itu dan dicobanya untuk menenangkannya,
“Jangan berguling-guling”
Tetapi alangkah terkejutnya Agung Sedayu itu, karena sesaat kemudian orang itu pun menjadi diam membeku.
“Oh” desah Sedayu, “Apakah kau mati he?”
Dan sebenarnya orang itu pun telah mati. Karena itu, maka Agung Sedayu menyesal bukan main. Tetapi ia tidak akan dapat menghidupkannya lagi.
Swandaru juga melihat Agung Sedayu sibuk dengan orang itu mendekatinya sambil bertanya,
“Kenapa dengan orang itu?”
“Aku tidak sengaja membunuhnya. Tetapi orang ini mati”
“Kenapa kalau mati? Bukankah orang itu orang Jipang?”
Agung Sedayu kini telah tegak berdiri. Digigitnya bibirnya. Dan terasa sesuatu berdesir di dadanya.
“Ya” katanya dalam hati.
“Apakah kita sudah sampai sedemikian jauh menyimpang dari peradaban manusia? Meskipun orang itu orang Jipang, Pajang atau orang yang ditemuinya di pinggir jalan sekalipun namun selama ia masih bernama manusia, apakah kita biarkan saja mereka mati selagi masih ada kesempatan untuk menolongnya?”

Tetapi ketika Agung Sedayu melayangkan pandangan matanya, maka dilihatnya diberbagai tempat, tubuh-tubuh yang terbaring membeku. Tetapi ada juga di antaranya terdengar merintih menahan sakit. Agung Sedayu belum pernah melihat medan pertempuran. Kali ini adalah kali yang pertama. Karena itu ia menjadi ngeri. Meskipun kini ia tidak tahut lagi untuk bertempur, tetapi apa yang dilihatnya benar-benar mendirikan bulu romanya.
Namun sesaat kemudian Agung Sedayu itu mendengar Swandaru berkata,
“Marilah. Musuh kita masih berada di pelupuk mata kita”
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Sesaat kemudian dilihatnya Swandaru meloncat dan berlari ke arah laskar Jipang mengundurkan dirinya. Agung Sedayu pun kemudian mengikutinya pula, namun hatinya benar-benar digelisahkan oleh pengalamannya yang pertama itu.
Meskipun demikian, ada sesuatu yang didapatkannya di medan peperangan itu. Disadarinya kemudian bahwa Alap-alap Jalatunda pada saat-saat bertempur, sama sekali bukan sekedar menunggunya lelah sambil menyimpan kekuatan terakhirnya. Tetapi Alap-alap Jalatunda itu benar-benar telah mengerahkan segenap kemampuannya. Maka hatinya menjadi semakin besar. Agung Sedayu itu semakin melihat kemampuan yang tersimpan di dalam dirinya. Ternyata Alap-alap Jalatunda yang pernah menghantuinya itu tidak lebih daripada yang disaksikannya itu, yang ternyata masih berada dibawah kepandaiannya bermain pedang.
“Aneh” desahnya di dalam hati.
“Apakah yang selama ini memagari keberanianku untuk berbuat seperti ini?”
Agung Sedayu itu menjadi semakin percaya kepada diri sendiri. Tetapi ia masih belum dapat melihat tubuh-tubuh yang bergelimpangan di bekas medan pertempuran itu.

Laskar Jipang itu pun kemudian mengundurkan dirinya dengan cepat sambil melawan terus, sehingga dengan demikian maka laskar Pajang pun tidak dapat berbuat banyak. Mereka hanya dapat mendesak laskar musuhnya itu. Dalam keadaan yang demikian, maka laskar di kedua belah pihak hampir bercampur baur dalam satu lingkaran pertempuran. Namun kemudian laskar Jipang itu menyebar dan dengan cepat berusaha menyusup ke dalam sebuah desa yang pertama-tama mereka temui. Di ujung selatan induk desa Sangkal Putung, Sanakeling melihat di arah barat, panah api menari-nari di udara. Karena itu, maka ia menjadi terkejut. Ia tidak menyangka bahwa laskar induknya terpaksa mengundurkan diri.
“Kalau demikian” katanya dalam hati,
“Maka laskar yang aku hadapi dan dipimpin oleh Widura sendiri ini bukan laskar induk. Jadi siapakah yang memimpin laskar induk lawan ini?”
Tetapi Sanakeling tidak mendapat jawabannya. Dan ia tidak sempat untuk menanyakannya. Kini ia harus mematuhi perintah itu meskipun sebenarnya keadaan laskarnya sendiri sama sekali tidak mengkhawatirkan. Tetapi kalau laskar induk lawannya yang telah ditinggalkan oleh laskar Jipang itu mengepungnya, maka laskarnya pasti akan tumpas. Karena itu, maka tidak ada pilihan lain daripada mengundurkan diri pula. Demikianlah maka seluruh pasukan Tohpati itu kini telah ditarik mundur. Widura pun tidak berusaha mengejar lawannya terlampau jauh. Sanakeling berhasil juga mengundurkan dirinya dengan teratur, sehingga dari pihaknya tidak terlalu banyak korban yang jatuh. Induk pasukan yang dipimpin oleh Untara itu mengejar lawannya sampai ke desa pertama yang dapat dicapai oleh laskar lawannya. Demikian mereka memasuki desa itu, maka seakan-akan mereka telah lenyap ditelan kegelapan. Obor-obor mereka segera menjadi padam, dan orang-orang mereka pun segera menyelinap dan hilang di balik daun-daunan yang rimbun serta rumpun-rumpun bambu yang lebat. Laskar Pajang sejenak menjadi ragu-ragu. Mereka sama sekali tidak mendengar seorang pun memberikan aba-aba kepada mereka. Apakah mereka harus mengejar lawan itu terus atau mereka harus berhenti di batas desa itu. Sebab alangkah berbahayanya melakukan pengejaran di dalam gelap yang pekat itu.
Yang terdengar kemudian adalah suara Sidanti,
“He, apakah yang harus kami lakukan?”
Tak ada suara yang menyahut. Karena itu sekali lagi Sidanti berteriak,
“Apakah laskar Pajang ini laskar yang liar, yang dapat berbuat sekehendak diri kita masing-masing? Ayo, bagi yang memegang pimpinan, berikan perintah”
Kembali suara itu bergulung-gulung dan hilang ditelan kabut malam.

Semua yang mendengar suara Sidanti itu menjadi tegang. Mereka menunggu jawaban dari pimpinan mereka. Namun jawaban yang ditunggunya itu tidak juga kunjung datang. Hudaya, Sidanti dan beberapa orang lagi menjadi gelisah. Citra Gati dan Agung Sedayu dari sayap yang lain pun telah bergabung dalam induk pasukan itu pula.
Dalam ketegangan itu terdengar suara Agung Sedayu gelisah,
“Kakang Untara, kakang Untara”
Tetapi Untara tidak menyahut. Karena itu seluruh laskar Pajang pun menjadi gelisah. Dalam hiruk pikuk pengejaran mereka tidak melihat kemana Untara pergi. Beberapa orang dari mereka masih melihat Untara berhasil melukai Tohpati. Dan kemudian berusaha mengejarnya. Tetapi tiba-tiba Untara itu seakan-akan menjadi hilang lenyap ditelan oleh malam yang kelam. Suasana segera meningkat menjadi semakin tegang. Ternyata Untara telah hilang. Dengan demikian, maka laskar Pajang iu benar-benar menjadi bingung. Mereka tidak tahu apa yang mereka lakukan. Dalam ketegangan itu terdengar suara Citra Gati,
“Siapakah yang melihat ki Untara untuk yang terakhir kalinya?”
“Aku” jawab salah seorang,
“Pemimpin kita itu telah melukai Macan Kepatihan. Tetapi dalam hiruk pikuk pengejaran aku tidak melihatnya”
“Dimana?” bertanya Citra Gati pula.
“Di garis pertempuran tadi”
“Mari kita cari”

Beberapa orang segera bergerak kembali ke garis pertempuran beberapa langkah di belakang mereka. Tetapi terdengar Sidanti berkata,
“Kenapa kita cari ia di sana. Bukankah ia telah berhasil melukai Macan Kepatihan dan mengejarnya. Marilah kita cari ke depan, ke dalam desa ini”
Citra Gati berpikir sejenak. Untara pasti tidak akan berbuat demikian. Berbuat sendiri dan meninggalkan laskarnya dalam keragu-raguan. Pemimpin yang bodoh pun akan tahu, bahwa keragu-raguan dalam barisannya adalah sangat berbahaya. Maka sesaat kemudian ia menyahut,
“Kita cari di garis pertempuran”
“Tidak” sahut Sidanti, “Jangan membuang waktu”


Halaman 1 2 3


<<< Jilid 005                                                                                                       Jilid 007 >>>

Tidak ada komentar:

Posting Komentar