Karena itu maka segera Tohpati dapat mengambil kesimpulan bahwa laskar Widura ini telah bergabung dengan anak-anak Sangkal Putung sendiri.
“Biarlah aku
memberikan tekanan kepada laskar lawan itu. Mungkin dengan demikian Widura akan
menghampiri aku” berkata Tohpati itu di dalam hatinya.
Karena itu
maka segera ia meloncat menyusup di antara anak buahnya, sehingga sesaat
kemudian senjatanya telah berputaran di arena itu. Tongkatnya yang putih
mengkilap dengan ujung yang kekuning-kuningan segera memberitahukan kepada
lawan-lawannya bahwa Tohpati sendiri telah hadir digaris peperangan. Karena
itu, sebelum mereka sempat berbuat apa-apa, maka seorang dua orang telah
terpelanting jatuh. Setiap ia bergerak, maka tak ada seorang pun yang berani
menyongsongnya seorang diri. Kalau terpaksa mereka harus melawan Macan
Kepatihan itu, maka mereka berusaha untuk melawan berpasangan, tiga empat orang
sekaligus. Tetapi lawan-lawan mereka yang lain pun segera menyerang mereka
juga, sehingga setiap titik yang dihampiri oleh Tohpati itu, maka seseorang
dari laskar lawannya pasti akan jatuh. Tetapi Tohpati itu tidak terlalu lama
dapat berbuat demikian. Tiba-tiba dari laskar Pajang, muncullah seseorang
dengan sebuah pedang di tangan. Ketika tongkat Tohpati itu terayun dengan
derasnya ke arah salah seorang prajurit Pajang yang telah menjadi berputus asa
karenanya, maka tiba-tiba pedang itu telah menyentuhnya. Tidak terlalu keras,
namun dari arah yang tepat sehingga tongkat Tohpati itu tergeser dari arahnya. Tohpati
menggeram keras sekali. Ketika ia melihat orang yang menyentuh senjatanya itu
di dalam remang-remang cahaya obor ia terkejut. Hampir berteriak ia berkata,
“He, adakah
kau adi Untara?”
Orang yang
memegang pedang itu menyahut,
“Ya”
Sekali lagi
Tohpati menggeram. Kini ia menemukan lawan yang sebenarnya. Karena itu maka ia
tidak mau membuang waktu. Bertempur melawan Widura, Sidanti atau siapapun,
Tohpati tidak akan memerlukan waktu yang terlalu banyak. Namun kini Untara
berdiri di hadapannya, maka dengan demikian ada kemungkinan ia harus bertempur
lebih lama lagi, mungkin setengah malam, mungkin lebih. Untara kini telah
benar-benar siap untuk melawannya. Pedangnya terjulur setinggi dada.
“Kakang
Tohpati” katanya,
“Aku mendapat
tugas untuk menyambut kedatanganmu”
Tohpati
menggertakkan giginya. Dengan sekali loncat, tongkatnya telah mulai menyerang
Untara. Namun Untara telah benar-benar siap. Meskipun Untara tidak mempunyai
senjata khusus seperti Tohpati itu, namun Untara mampu mempergunakan setiap
senjata untuk melawan Tohpati. Karena itu ketika tongkat Tohpati itu terayun ke
arah kepalanya, dengan tangkasnya ia merendahkan dirinya, sedang tangannya
segera menggerakkan pedangnya, mematuk lambung lawannya. Namun Tohpati pun
mampu bergerak secepat kilat, sehingga dengan memiringkan tubuhnya, serangan
pedang Untara telah dapat dihindari. Kini Tohpati itu kembali mempersiapkan
sebuah serangan. Tongkatnya telah mulai berputaran seperti baling-baling.
Bahkan kemudian seakan-akan menjadi sebuah gumpalan cahaya yang putih. Sedang
kepala tongkatnya itu menjadi seakan-akan seleret cahaya kuning yang
beterbangan di antara gumpalan yang berkilat-kilat itu. Dalam pada itu terdengar
Tohpati itu menggeram,
“Kenapa kau
berada di sini adi?”
Untara
tersenyum, pada saat itu tongkat Tohpati menyambarnya kembali. Karena itu, ia
terpaksa bergeser surut, namun kemudian ia meloncat maju dengan tangkasnya.
Kini ia menyerang dengan sebuah sabetan menyilang. Tohpati terkejut. Cepat ia
menarik diri setengah langkah, dan mencondongkan badannya ke belakang. Ketika
pedang Untara itu lewat, maka tongkatnyalah kini langsung menyambar tangan
Untara itu. Namun Untara pun cukup cekatan. Dengan lincahnya ia memutar dirinya
dan menarik tangannya, sehingga tongkat lawannya terayun tanpa menyentuhnya. Meksi
pun mereka telah bertempur semakin cepat, namun Untara masih sempat berkata,
“Huh. Hampir
aku tidak sempat menjawab untuk selama-lamanya. Nah kakang, aku datang kemari
khusus untuk menerima kedatangan kakang”
“Gila” Tohpati
mengumpat,
“Apakah paman
Widura sudah ditarik ke Pajang?”
“Kakang
mencari paman Widura?”
“Aku hampir
membunuhnya” sahut Tohpati. Dalam pada itu serangannya telah meluncur kembali.
Tetapi Untara
sama sekali tidak lengah. Setiap saat ia selalu siap menghadapi serangan
lawannya. Bahkan dengan garangnya Untara itu pun segera menyerang kembali.
Untara dan
Macan Kepatihan itu pun kemudian terlibat dalam perkelahian yang semakin lama
menjadi semakin seru. Mereka masing-masing adalah pemimpin yang mendapat
kepercayaan. Pada masa Jipang masih tegak, maka di samping Mantahun sendiri,
pepatih Jipang, maka Tohpatilah prajurit yang paling dipercaya. Sedang Untara
walau pun masih agak lebih muda dari Tohpati, namun ia telah menunjukkan
kelebihan dari prajurit-prajurit yang lain, sehingga panglima Wiratamtama
memberinya kepercayaan di daerah-daerah yang gawat, di sekitar lereng gunung
Merapi. Tohpati itu bertempur semakin lama menjadi semakin garang. Tongkatnya
menyambar-nyambar seperti elang, sedang kakinya meloncat-loncat dengan
cepatnya, seperti seorang yang sedang menari di atas bara api. Tetapi Untara
mampu melawannya dengan gigih. Seperti seekor banteng ia siap menghadapi
kemungkinan apa pun juga. Tenang tetapi yakin. Anak buah masing-masing pun
terpengaruh pula oleh pertempuran kedua pemimpin itu. Mereka pun kemudian
melepaskan segenap kemampuan yang ada pada mereka. Karena itu, maka diarena
pertempura itu semakin lama menjadi semakin riuh. Suara senjata beradu,
diselingi pekik mereka yang lengah sehingga ujung senjata lawannya hinggap
ditubuhnya. Malam yang gelap itu menjadi semakin gelap. Perlahan-lahan
bintang-bintang di langit merabat melewati garis edarnya. Angin malam yang
dingin berhembus perlahan-lahan mengusap tubuh mereka yang sedang basah oleh
keringat.
Di pinggir
selatan induk desa Sangkal Putung, Widura sedang berjuang dengan gigihnya.
Sanakeling yang melawannya telah memeras segenap kemampuan yang ada padanya.
Ternyata apa yang pernah didengarnya tentang Widura, adalah bukan sekedar
cerita belaka. Kini ia berhadapan langsung dengan orang yang bernama Widura
itu. Tidak saja ia mempunyai kecepatan dan ketrampilan bertempur, namun caranya
mengatur anak buahnya benar-benar mengagumkan. Karena itu, maka Sanakeling
harus bertempur mati-matian sehingga dengan demikian ia akan dapat mempengaruhi
keadaan keseimbangan laskar mereka.
“Kalau aku
mampu membunuh Widura, maka laskar mereka akan dapat aku cerai-beraikan” pikir
Sanakeling itu. Namun ternyata Widura tidak mudah di desaknya. Bahkan semakin
lama menjadi semakin terasa bahwa Widura menjadi semakin mapan. Karena itu,
maka timbullah berbagai persoalan di dalam dirinya. Sudah cukup lama Sanakeling
berusaha mempertahankan kedudukannya. Namun laskar yang lain, masih belum
dilihatnya memasuki Sangkal Putung. Apalagi kemudian terasa bahwa laskar
Sangkal Putung itu benar-benar sulit untuk dikuasai. Anak-anak muda Sangkal
Putung sendiri bertempur dengan gigihnya, di samping laskar Widura yang telah
masak menghadapi segala macam keadaan pertempuran. Karena itu, maka Sanakeling
itu sama sekali tidak dapat memberikan tekanan-tekanan seperti yang diharapkan,
apalagi merambas jalan ke kademangan. Tetapi Sanakeling bukannya prajurit yang
berpikiran pendek. Ia bukan seorang yang lekas menjadi berputus asa. Ia masih
tetap dalam pendiriannya, kalau ia dapat membunuh Widura maka pekerjaannya akan
dapat dilakukan dengan baik. Dalam keadaan yang demikian itulah pertempuran itu
menjadi semakin sengit. Laskar Widura dan laskar Sangkal Putung ternyata
melebihi jumlah laskar lawan. Namun ternyata bahwa laskar Sanakeling memiliki
pengalaman dan kelincahan lebih baik dari laskar Sangkal Putung sendiri.
Untunglah bahwa laskar Widura mampu mengimbanginya, meskipun jumlahnya tidak
dapat memadai.
Di bagian
lain, Agung Sedayu masih juga bertempur melawan Alap-alap Jalatunda. Laskar
Citra Gati di sayap itu pun ternyata mampu mengimbangi lawannya. Beberapa orang
laskar Sangkal Putung yang tidak saja terdiri dari anak-anak muda, tetapi
beberapa orang tua, namun justru bekas prajurit-prajurit di masa mudanya,
ternyata memberinya banyak bantuan. Meskipun tenaga orang-orang tua itu sudah
tidak sekuat anak-anak muda, namun pengalamannya benar-benar dapat memberi
beberapa keuntunga. Mereka masih dapat membingungkan lawan-lawan dengan
gerak-gerak yang aneh. Kadang-kadang mereka menghilang di dalam keriuhan
pertempuran, namun dengan tiba-tiba mereka muncul kembali dengan sebuah
serangan yang mengejutkan. Bahkan kadang-kadang mereka bertempur berpasangan
dengan anak-anak muda sambil memberi beberapa petunjuk kepada mereka. Citra
Gati yang melihat cara mereka bertempur, sempat juga tersenyum, mereka adalah
bekas prajurit Demak yang tangguh di masa muda mereka.
Tetapi Agung
Sedayu sendiri, masih saja merasa kebingungan. Ia ragu-ragu untuk segera
mengakhiri pertempuran. Kalau ia segera mengerahkan segenap kemampuannya,
apakah Alap-alap Jalatunda itu tidak menjadi beruntung karenanya? Apakah
Alap-alap Jalatunda sengaja membuatnya tidak sabar, dan menunggu sampai ia
menjadi lemah? Karena itu, maka akhirnya ia memutuskan untuk melayani saja
lawannya. Dibiarkannya lawannya mengambil sikap lebih dahulu, baru kemudian ia
akan menyelesaikannya.
“Biarlah”
katanya dalam hati,
“Akan aku
layani Alap-alap Jalatunda ini. Sehari, dua hari atau seminggu sekalipun. Kalau
ia masih mampu menggerakkan senjatanya, masa aku tidak dapat melawannya dengan
senjataku”
Dengan
demikian Agung Sedayu itu bertempur saja sekedar untuk melindungi dirinya dari
sentuhan senjata lawannya. Tetapi disayap yang lain, keadaan Sidanti agak lebih
sulit. Laskar Plasa Ireng benar-benar memiliki kemampuan yang baik. Dengan
dahsyatnya mereka berhasil menekan laskar yang dipimpin oleh Sidanti, sehingga
pertempuran itu telah bergeser beberapa langkah surut. Sidanti terpaksa
mengambil kebijaksanaan untuk menarik laskarnya mendekati induk pasukan.
Diharapkannya bahwa induk pasukan akan dapat memberinya bantuan.
Untara pun
kemudian melihat kesulitan Sidanti. Beberapa kali ia mencoba untuk menilai
induk pasukan itu. Namun keadaan induk pasukan itu sendiri tidak sedemikian
baiknya. Ternyata laskar Tohpati pun mampu mengimbangi laskar Untara. Bahkan
terasa bahwa anak-anak muda Sangkal Putung telah mulai susut tenaganya. Mereka
belum biasa memeras tenaganya untuk waktu yang lama, apalagi dalam kesibukan
yang membingungkan. Karena itu, maka Untara menjadi prihatin. Walau pun
demikian, ia berusaha untuk memberi isyarat kepada Hudaya. Isyarat sandi yang
sudah mereka bicarakan sebelumnya. Hudaya melihat gerak tangan kiri Untara.
Karena itu, maka ia mengerutkan keningnya. Di dalam hati ia bergumam,
“Biarlah
Sidanti itu mampus. Kenapa Untara itu memerintahkan aku untuk membantunya?”
Sebenarnya
bahwa isyarat sandi Untara itu adalah,
“Hudaya dan
beberapa orang, pergi membantu sayap kanan” Bantuan itu memang hampir tak
berarti. Tetapi sedikit banyak cukup berpengaruh sekedar untuk mengurangi
kesibukan Sidanti.
Sidanti
melihat Hudaya dan beberapa orang memisahkan diri dari induk pasukannya dan
pergi ke sayap yang dipimpinnya. Tetapi ia menjadi sangat kecewa. Bantuan itu
sama sekali tidak berarti. Bahkan tersembullah suatu prasangka di dalam hati
Sidanti yang mudah menjadi panas itu.
“Hem. Untara
sengaja membiarkanku dalam kesulitan. Setan. Telah menjadi sumpahku, bahwa
Untara itu harus disingkirkan”
Dan ternyata
bahwa bantuan Hudaya itu hampir tak berarti. Namun Hudaya sendiri telah
berusaha sebaik-baiknya. Bahkan hampir seperti orang yang kehilangan kesadaran
diri. Mengamuk sejadi-jadinya. Namun hal itu telah mendorong Sidanti untuk
berbuat lebih banyak. Kemarahannya kepada Plasa Ireng, dirangkapi oleh
kemarahannya kepada Untara menjadikannya berjuang sekuat-kuat tenaganya. Tetapi
betapapun juga, kehadiran Hudaya di dalam sayapnya, telah mengurangi kesibukan
pikirannya. Ia menjadi agak tenang untuk menghadapi Plasa Ireng tanpa banyak
berpikir tentang laskarnya. Meskipun bantuan yang didapatnya tidak banyak
memberi kekuatan pada laskarnya, namun ternyata banyak membantu ketenangannya.
Ia kini mencoba memusatkan perhatiannya kepada lawannya. Plasa Ireng. Ia
mencoba untuk sesaat melupakan orang-orang lain di dalam sayapnya yang dalam
keadaan sulit itu.
Dalam keadaan
yang demikian itu, maka Sidanti benar-benar menjadi seorang anak muda yang
pilih tanding. Kalau beberapa saat yang lampau ia berhasil menyelamatkan
dirinya setelah bertempur beberapa lama melawan Tohpati, maka kini ia berusaha
memeras segenap kemampuan yang ada padanya untuk membinasakan lawannya. Selain
itu, ternyata Sidanti pun seorang yang keras hati. Sekali ia bertekad untuk
membunuh lawannya, maka tak ada alasan apa pun yang dapat mencegahnya. Kali ini
pun ia bertekad membunuh Plasa Ireng, seperti Plasa Ireng berusaha membunuhnya.
Tak ada pikiran lain di dalam benaknya. Membunuh. Hanya itu. Membunuh. Dengan
demikian maka Sidanti itu pun kemudian memeras segenap kemampuan yang ada
padanya. Senjatanya bergerak berputaran sehingga kemudian seakan-akan telah
berubah menjadi asap yang hitam kebiru-biruan. Senjata yang hanya sebatang,
namun berujung sepasang timbal-balik itu, seakan-akan berubah menjadi senjata
serupa yang berpuluh-puluh jumlahnya. Menyerang tubuh Plasa Ireng dari segenap
arah. Meskipun Plasa Ireng bukan seorang prajurit yang baru saja belajar
memegang senjata, namun tiba-tiba ia menjadi bingung menghadapi permainan
Sidanti. Permainan murid Ki Tambak Wedi itu benar-benar memeningkan kepalanya.
Meskipun demikian, Plasa Ireng pun tidak segera menjadi cemas. Plasa Ireng
adalah seorang prajurit yang tabah. Berpuluh bahkan beratus kali ia mengalami
kesulitan di dalam peperangan dan perkelahian perseorangan. Namun berpuluh
bahkan beratus kali ia dapat menghindarkan kesulitan itu. Karena itu, maka
dengan sekuat-kuat tenaga yang ada padanya, maka ia berusaha untuk mematahkan
gumpalan sinar hitam kebiru-biruan yang melandanya. Tetapi gumpalan sinar hitam
kebiru-biruan itu benar-benar seperti asap yang tak dapat disentuh oleh
senjatanya. Sidanti yang menjadi semakin bernafsu itu, telah menyerangnya tanpa
pertimbangan kecuali membinasakan. Sekali-sekali Plasa Ireng itu pun meloncat
mundur. Ia menjadi berbesar hati ketika ia melihat laskarnya berhasil menekan
laskar Sidanti. Tetapi ia tidak dapat menutup kenyataan bahwa desing senjata
Sidanti itu seakan-akan sebuah siulan maut yang selalu mengejarnya. Karena itu,
maka ia sama sekali tidak menjadi cemas. Kalau perlu ia dapat menarik satu dua
orang untuk mengganggu Sidanti.
Hudaya yang
bertempur di dekat Sidanti melihat kelebihan Sidanti dari lawannya. Meskipun
kebenciannya kepada anak itu sampai ke ujung rambutnya, tetapi, dalam
menghadapi musuhnya, Hudaya berbesar hati juga melihat kemenangan Sidanti.
Karena itu, maka ia berusaha untuk selalu berada di dekatnya. Ia sudah dapat
memperhitungkan apa yang kira-kira akan terjadi. Sebagai seorang prajurit yang
telah bertahun-tahun hidup di dalam arena pertempuran, maka ia dapat menduga,
bahwa apabila terpaksa Plasa Ireng pasti tidak akan segan-segan memanggil satu
dua orang untuk membantunya. Pertempuran di sayap kanan itu menjadi semakin
ribut. Laskar Sidanti menjadi semakin lama menjadi semakin sulit pula. Plasa
Ireng pun semakin lama menjadi semakin sulit pula. Sekali-sekali ia meloncat
berkisar di sekitar garis pertempuran berlindung di belakang beberapa orang
laskar yang sedang berjuang. Namun akhirnya Sidanti berhasil menekannya semakin
dalam. Sidanti pun mampu memperhitungkan keadaan, bahwa daya tahan laskarnya
masih lebih baik dari daya tahan Plasa Ireng. Sehingga meskipun ia melupakan
laskarnya sejenak, tetapi ia akan mencapai hasil yang pasti lebih baik. Sehingga
karena itu, maka Sidanti kemudian memusatkan segenap kemampuannya untuk
membinasakan lawannya itu. Plasa Ireng pun benar-benar merasakan, betapa
serangan-serangan Sidanti semakin menekannya. Senjatanya yang aneh benar-benar
telah berputar-putar ditelinganya. Betapapun Plasa Ireng mencoba mempertahankan
dirinya, namun Sidanti itu mendesaknya semakin kuat. Akhirnya Plasa Ireng itu
menganggap bahwa tak akan ada gunanya ia bertahan seorang diri. Dalam
peperangan, tak akan ada celanya, apabila ia harus bertempur berpasangan.
Karena itu, tiba-tiba terdengar ia bersuit nyaring. Sidanti mendengar suara
suitan itu. Terasa dadanya bergetar. Ia pun tahu pasti, bahwa Plasa Ireng
memanggil seorang atau dua orang untuk membantunya. Dan sebenarnyalah,
seseorang yang bertubuh tinggi, namun tidak cukup besar dibandingkan dengan
tingginya, meloncat dengan lincahnya, menyerbu ke tempat pertempuran antara
Plasa Ireng dan Sidanti. Di tangannya tergenggam sebilah tombak pendek. Dengan
cepatnya ujung tombak itu bergetar, dan dengan tangkasnya ia memotong
serangan-serangan Sidanti. Sidanti surut selangkah. Terdengar ia menggeram
parau,
“Setan. Apakah
kau sudah kehabisan akal?”
Plasa Ireng
tertawa,
“Di dalam
pertempuran, maka setiap orang di pihak lawan adalah musuhnya. Panggillah
orang-orangmu untuk ikut serta dalam pertempuran berpasangan ini”
Sidanti
menjadi semakin marah. Plasa Ireng ternyata mampu memperhitungkan kekuatan
laskarnya. Karena itu, maka sekali lagi Sidanti dipengaruhi oleh keadaan
laskarnya. Namun tiba-tiba tanpa diduga-duga, Hudaya yang dengan cepatnya
memperhitungkan kemungkinan itu, meloncat dengan cepatnya. Pedangnya terjulur
lurus, langsung ke lambung orang yang tinggi itu. Orang itu terkejut, sekali ia
melangkah ke samping dan kemudian dengan memutar tombaknya dan mencoba
menghindarkan serangan Hudaya berikutnya. Tidak saja orang yang tinggi itu yang
terkejut. Plasa Ireng pun terkejut pula, ia sama sekali tidak melihat
tanda-tanda Sidanti memanggil seseorang untuk melibatkan diri dalam pertempuran
di antara mereka. Tetapi Hudaya bukan seorang yang hanya mampu berbuat karena
diperintah. Ia pun mampu mengambil sikap dalam setiap pertempuran. Demikianlah
pada saat-saat yang penting itu Hudaya mampu membuat perhitungan-perhitungan
yang cermat. Ia menjadi marah pula, ketika ia melihat saat-saat terkhir dari
lawan Sidanti itu diganggu oleh orang lain. Dalam keadaan yang demikian itulah
Sidanti yang berotak cerdas itu mempergunakan keadaan sebaik-baiknya. Pada saat
orang yang tinggi itu masih dalam usaha menyelamatkan dirinya, maka Sidanti
meloncat dengan garangnya. Memutar senjatanya dan mendesak Plasa Ireng
sejadi-jadinya. Plasa Ireng benar-benar terkejut dan karena itu sesaat ia
kehilangan keseimbangan. Keseimbangan gerak dan keseimbangan pikiran. Dengan
demikian maka justru ia lupa untuk memberi isyarat kepada orang lain lagi untuk
membantunya. Perhatiannya tercurah sepenuhnya dalam usahanya untuk
mempertahankan dirinya. Tetapi ketika kembali terasa nyawanya seakan-akan telah
melekat di ujung senjata Sidanti, maka barulah ia teringat kembali kepada
orang-orang yang berdiri mengitarinya. Tetapi Plasa Ireng itu telah terlambat.
Getar senjata Sidanti telah benar-benar memusingkan kepalanya. Maka demikian
terdengar ia bersuit dua kali untuk memanggil orangnya yang lain, maka demikian
pundaknya tergores oleh senjata Sidanti. Plasa Ireng terkejut bukan buatan.
Sekali ia melontar mundur, namun Sidanti itu sempat mengejarnya, dengan satu
loncatan pula. Dan sebelum seseorang berhasil datang membantunya, terdengarlah
Plasa Ireng memekik pendek. Sekali lagi senjata ciri perguruan Tambak Wedi yang
dahsyat itu merobek dadanya. Kini Plasa Ireng benar-benar telah kehilangan
keseimbangannya. Matanya kemudian seakan-akan mejadi gelap, dan sinar-sinar
obor di sekitarnya itu serasa menjadi padam bersama-sama. Yang terasa kemudian
sekali lagi sebuah tusukan menghunjam dadanya, langsung menembus jantungnya.
Plasa Ireng itu mengaduh sekali, kemudian ketika Sidanti menarik senjatanya
yang berlumuran darah, Plasa Ireng itu terseret selangkah maju untuk kemudian
jatuh terjerebab di bawah kaki anak muda itu.
Ketika
seseorang datang mendekatinya, orang itu terkejut. Yang dilihatnya adalah
Sidanti berdiri tegak di atas tubuh Plasa Ireng. Karena itu betapa marahnya
orang itu. Dengan serta-merta ia menyerang Sidanti tepat di dadanya. Tetapi
serangan itu tidak banyak berarti buat Sidanti. Sekali Sidanti mengelak dan
ketika senjata orang itu terjulur di samping tubuh Sidanti, maka tangan Sidanti
bergerak dengan cepatnya. Sebuah goresan yang panjang telah melukai lambung
orang itu. Ketika orang itu berteriak ngeri, maka sekali lagi Sidanti menusuk
perutnya. Orang itu pun terbanting jatuh di samping tubuh Plasa Ireng. Tetapi
agaknya kemarahan Sidanti masih belum tercurahkan seluruhnya. Ketika sekali
lagi ia melihat tubuh Plasa Ireng, maka terungkatlah geram di hatinya. Karena
itu dengan serta-merta ia menggerakkan senjatanya, menyobek punggun lawannya
yang sudah tidak bernafas itu. Sekali, dua kali dan dipuaskannya hatinya. Hudaya
yang semula tersenyum melihat kemenangan Sidanti, tiba-tiba mengerutkan
keningnya. Sambil melayani lawannya ia melihat betapa Sidanti berbuat melampaui
batas. Hudaya sama sekali tidak menyangka, bahwa di dalam hati Sidanti itu
tersimpan kekerasan, kekejaman dan kekasaran. Di tubuh anak muda itu ternyata
mengalir darah yang buram, sehingga dengan tangannya, anak muda itu sampai hati
berbuat demikian atas lawannya yang sudah tidak dapat melawannya.
“Anak setan”
geram Hudaya itu,
“Alangkah
kotornya tangan anak muda itu”
Sidanti itu
benar-benar seperti orang yang sedang kesurupan. Dengan mata yang merah liar
dan gigi gemeretak, disobeknya tubuh lawannya yang terbaring diam
“Adi Sidanti”
desis Hudaya yang tidak tahan lagi melihat perbuatan Sidanti,
“Sudahlah.
Jangan kau turuti hatimu yang gelap”
“Tutup
mulutmu” Sidanti itu membentak.
Dan Hudaya
menutup mulutnya. Dalam keadaan itu, ia lebih baik tidak membuat persoalan,
sebab kemungkinan menjadi salah paham sangat besar. Pada saat Sidanti sedang
kehilangan segenap pertimbangannya. Karena itu, maka ia lebih baik memusatkan
perhatiannya pada lawannya. Diputarnya senjatanya dan dengan dahsyatnya ia
menyerang seperti taufan. Tetapi bukan saja Hudaya yang heran melihat perbuatan
Sidanti. Hampir setiap orang, baik dari laskar Pajang maupun dari laskar
Jipang, hatinya tergetar melihat perbuatan itu. Perbuatan yang melampaui
batas-batas yang dibenarkan dalam tata pergaulan keprajuritan. Apalagi
anak-anak muda Sangkal Putung. Mereka menjadi ngeri. Bagi mereka, lebih baik
memalingkan wajah-wajah mereka, dan memusatkan segenap perhatian mereka untuk
menyelamatkan diri mereka dari kemungkinan yang sama dengan Plasa Ireng. Perbuatan
Sidanti itu ternyata berpengaruh bagi lawannya. Mereka menjadi ngeri dan cemas.
Selain kematian pemimpin mereka, maka apa yang mereka lihat itu benar-benar
telah mengerutkan hati mereka. Setelah puas dengan perbuatannya, Sidanti tegak
berdiri di atas mayat lawannya, satu kakinya menginjak punggung, dan satu
kakinya di atas kepala. Dengan lantang ia berkata kepada laskar Jipang yang
masih bertempur dengan gigihnya,
“He, laskar
Jipang yang keras kepala. Lihatlah, pemimpinmu telah terbunuh mati oleh tangan
Sidanti. Ayo, siapa yang berani mengangkat diri menjadi senapati. Inilah
Sidanti, murid Tambak Wedi”
Suara Sidanti
itu menggelegar, menyusup di antara dentang senjata dan jerit kesakitan,
menggema berputar-putar di dalam malam yang kelam, seakan-akan getar suara dari
neraka, memanggil-manggil setiap nama yang ikut serta dalam pertempuran itu. Malam
menjadi semakin dalam. Bintang-bintang yang gemerlapan di langit bergeser
setapak-setapak kebarat dalam hembusan angin malam yang dingin.
Selembar-selembar awan yang putiih mengalir keutara seperti gumpalan-gumpalan
kapuk raksasa yang sedang hanyut.
Pertempuran
diperbatasan kademangan Sangkal Putung masih berlangsung dengan sengitnya.
Disayap kanan, laskar Jipang seakan-akan telah kehilangan semangat untuk
bertempur, setelah mereka menyaksikan pemimpin mereka jatuh. Kekasaran Sidanti,
meskipun menumbuhkan kengerian di dalam dada laskar Jipang, namun di dalam dada
itu juga menyala dendam yang tiada taranya. Dendam yang seakan-akan tidak akan
kunjung padam. Betapa perbuatan Sidanti itu tergores di dinding jantung mereka.
Sebelum nyawa mereka melayang, maka peristiwa itu tidak akan mereka lupakan. Beberapa
orang yang tidak dapat menahan hatinya melihat pemimpinnya mendapat perlakuan
yang sedemikian menyakitkan hati, segera menyerbu bersama-sama. Namun Sidanti
benar-benar memiliki tenaga dan ketrampilan yang luar biasa. Meskipun beberapa
orang datang bersama-sama, namun anak muda itu masih saja mampu untk
mengalahkan mereka. Tetapi, ketika lawan Sidanti menjadi semakin banyak, maka
Hudaya juga berasa bertanggung-jawab pula atas kemenangan yang harus mereka
perjuangkan, Betapapun hatinya menjadi pedih melihat perbuatan Sidanti, namun
ia datang juga untuk membantunya.
Kemenangan-kemenangan
yang didapatnya itu telah mendorong Sidanti lebih jauh ke dalam ketamakan dan
kesombongannya. Kematian Plasa Ireng merupakan racun yang tajam yang menusuk
langsung ke otaknya. Dengan membunuh Plasa Ireng maka Sidanti merasa bahwa ia
wajar untuk menerima kehormatan yang jauh dari semestinya. Bahkan kematian
Plasa Ireng itu telah menumbuhkan suatu impian yang mengerikan. Laskar Jipang
yang kehilangan pemimpinnya itu pun kemudian menjadi semakin kacau. Seorang
yang bertubuh tinggi kurus, yang bertempur melawan Hudaya mencoba untuk
mengambil alih pimpinan. Dipanggilnya beberapa orang untuk menggantikan
perlawanannya terhadap Hudaya, dan ia sendiri meloncat ke sana ke mari, memekik
tinggi memberikan aba-aba kepada sisa-sisa laskarnya. Namun usahanya itu tidak
banyak memberikan perubahan apa-apa. bahkan dengan demikian maka ia memberi
kesempatan kepada Hudaya untuk menghindari seitap lawannya, dan membantu
Sidanti yang harus bertempur melawan beberapa orang sekaligus. Serangan
orang-orang lain yang berusaha untuk mencegahnya, terpaksa berhadapan dengan
laskar Pajang yang lain pula. Maka laskar Jipang disayap itu menjadi semakin
lemah. Kini orang yang tinggi kurus itulah yang mengambil alih kebijaksanaan,
mendekati induk pasukannya.
Di dalam induk
pasukan itu Tohpati bertempur dengan dahsyatnya melawan Untara. Murid kepatihan
Jipang yang mendapat julukan Macan Kepatihan itu menggeram tidak
habis-habisnya. Untara ternyata mampu menandingi dalam segala hal.
Ketrampilannya, kecepatannya, bahkan kekuatannya. Karena itu, maka Tohpati itu
semakin lama menjadi semakin marah. Namun Untara tetap tak dapat di atasinya. Sedang
Untara pun terpaksa mengerahkan segenap kemampuan yang ada padanya. Tetapi
bekal yang didapatnya dari ayahnya Ki Sadewa, ternyata cukup banyak untuk
menghadapi murid Mantahun ini. Ketika mereka itu masih dicengkam oleh
ketegangan, karena pertempuran yang dahsyat di antara mereka, datanglah seorang
penghubung yang dengan hati-hati memberitahukan kekalahan yang terjadi di sayap
kiri laskar Jipang itu. Dengan tanda sandi, penghubung itu mengabarkan bahwa
Plasa Ireng terbunuh di peperangan. Alangkah terkejutnya Tohpati itu. Sekali ia
meloncat jauh ke belakang sambil berteriak nyaring,
“Siapa disayap
laskar Pajang itu?”
Orang itu
berhenti sejenak untuk berpikir. Ia mendengar pimimpin laskar Pajang itu
sesumbar menyebut namanya sendiri, ketika kemudian teringat olehnya nama itu,
maka jawabnya,
“Namanya
Sidanti”
“Sidanti?”
ulang Tohpati
Yang menjawab
adalah Untara,
“Orang itu
berkata benar”
Tohpati
menggertakkan giginya. Ingin pada saat itu ia meremas tulang murid Tambak Wedi
itu.
“Hem, kenapa
aku tidak berusaha membunuhnya beberapa waktu dahulu? Aku terlambat sesaat
sehingga paman Widura mampu membebaskannya” katanya dalam hati.
Kini Sidanti
itu telah sempat membunuh seorang kepercayaannya, Plasa Ireng. Karena itu, maka
kemarahan Tohpati itu pun telah meluap sampai ke ubun-ubunnya. Namun ia tidak
mendapat kesempatan sama sekali untuk menumpahkan kemarahannya kepada Sidanti,
sebab di hadapannya masih berdiri Untara. Dan Untara ini masih belum dapat dikalahkannya.
Karena itu, maka segera ia menggeram,
“Pertahankan
diri pada keadaan kalian kini. Usahakan untuk menahan Sidanti dengan dua tiga
kekuatan. Sebentar lagi aku akan datang membunuhnya”. Orang itu kemudian
menghilang di dalam hiruk-pikuk perkelahian, kembali ke sayap kiri.
Disampaikannya pesan tu kepada orang yang tinggi kurus, yang mengambil alih
pimpinan dari tangan Plasa Ireng. Mendengar pesan itu maka orang itu pun
berteriak,
“Pertahankan
keadaan kalian. Macan Kepatihan sendiri segera akan datang, membalaskan dendam
kakang Plasa Ireng”
“Plasa Ireng”
desis Sidanti. Jadi orang yang dibunuhnya itu adalah orang yang namanya
ditakuti pula hampir seperti Macan Kepatihan sendiri, dan karena itulah maka
Sidanti itu menjadi semakin membanggakan dirinya.
Berita itu
telah membangkitkan kembali semangat bertempur prajurit-prajurit Jipang itu.
Sebagian dari mereka segera menyerbu dengan dahsyatnya, sedang sebagian yang
lain berusaha untuk tetap mengurung Sidanti dalam satu lingkaran yang pepat. Tetapi
Hudaya tidak membiarkannya terpisah dari laskarnya. Karena itu, maka ia pun
segera berusaha memecahkan kepungan itu, dan bertempur bersama-sama dengan
Sidanti. Namun meskipun Sidanti melihat usaha-usaha yang dilakukan oleh Hudaya
itu, tetapi ia tetap merasa, bahwa dirinya sumber kemenangan dari laskar
Pajang. Ia yakin bahwa kekalahan sayap ini akan memperngaruhi pertempuran
keseluruhannya. Tohpati yang marah itu pun kini benar-benar memeras tenaganya.
Untara harus segera dibinasakan. Namun membinasakan Untara adalah pekerjaan
yang sulit. Tohpati itu terpaksa melihat kenyataan yang dihadapinya, bahwa
Untara adalah seorang anak muda yang perkasa. Karena itu, maka perkelahian
antara Macan Kepatihan dan Untara itu pun menjadi semakin sengit. Masing-masing
telah sampai ke puncak kemampuan mereka. Namun kini Untara dapat memusatkan
segenap perhatiannya pada lawannya yang menakutkan ini, sebab dari pertanda
yang ditangkapnya, maka agaknya keadaan sayap kiri lawannya menjadi parah. Dan
Untara itu dapat memperhitungkan pula, bahwa Sidanti berhasil membinasakan
pimpinan sayap itu. Namun Tohpati yang marah itu sedang membuat perhitungan
pula atas keadaannya. Karena itu, maka kini ia membiarkan Untara menyerangnya
dan Tohpati menempatkan dirinya dalam suatu pertahanan yang rapat. Ia mencoba
menilai sayap-sayap lainnya dan laskar yang dibawa oleh Sanakeling.
“Di samping
Untara dan Sidanti masih ada paman Widura” katanya dalam hati. Namun Tohpati
itu masih memiliki satu kelebihan menurut dugaannya. Alap-alap Jalatunda.
“Meskipun demikian
anak itu mampu mempengaruhi keseimbangan keadaan”
Menurut
perhitungan Macan Kepatihan yang berotak cair itu, maka Widura lah yang telah
mundur kembali ketika didengarnya tanda bahaya, dan menyerahkan pimpinan kepada
Untara. Karena itu, maka Tohpati mengharap bahwa Widura itu akan menemukan
lawannya yang seimbang, Sanakeling. Sedang Alap-alap Jalatunda akan merupakan
seorang yang akan dapat menggilas laskar Pajang di arenanya. Kalau orang-orang
disayap kiri mampu bertahan terhadap Sidanti, maka orang-orangya di sayap kanan
pasti akan dapat menguasai lawannya di bawah pimpinan Alap-alap Jalatunda. Perhitungan
Macan Kepatihan itu hanya sebagian saja yang tepat. Namun ia tidak tahu, bahwa
di sayap kiri lawannya, terdapat seorang anak muda yang bernama Agung Sedayu.
Yang meskipun masih sangat hijaunya, namun ia memiliki persiapan yang jauh dari
cukup. Persiapan-persiapan yang selama ini tersimpan saja di dalam dirinya.
Kini sedikit demi sedikit kekuatan yang membeku itu mulai dicairkannya. Maka
akhirnya Tohpati mengambil kesimpulan, bahwa keadaan laskarnya tidak terlalu
parah. Tetapi kemenangan-kemenangan kecil yang semula mulai tampak di pihaknya,
kini telah runtuh satu demi satu. Dengan penuh tanggung-jawab Tohpati telah
mengirim beberapa orang untuk membantu sayap yang lemah di sebelah kiri.
Orang-orang itu diharap dapat membantu menutup kebebasan gerak Sidanti. Beru
kemudian ia memusatkan perhatiannya atas lawannya. Untara. Untara yang
bertempur dengan dahsyatnya itu pun menyadari, bahwa ia harus memeras segenap
kemampuannya. Dan kini hal itu telah dilakukannya. Sehingga betapapun Tohpati
berusaha untuk menguasainya, namun usaha itu akan sia-sia saja. Bahkan ketika
Untara telah sampai kepuncak segala macam ilmu yang tersimpan di dalam dirinya,
terasa bahwa Macan Kepatihan bukanlah seorang yang tak dapat dikalahkan. Dalam
remang-remang cahaya obor, Untara yang menerima turunan ilmu ayahnya itu,
ternyata sempat membingungkan Macan Kepatihan. Tongkat putih yang menakutkan
berujung kuning itu, sama sekali tidak lebih mengerikan dari gerak pedang
Untara. Pedang itu mampu berputar dan mematuk dari segenap arah, menembus
gumpalan cahaya putih dan garis-garis kuning yang membentengi Tohpati.
Sekali-sekali terdengar kedua macam senjata itu beradu, dan meloncatlah bunga-bunga
api ke udara. Senjata Tohpati itu memang sebenarnya merupakan senjata yang luar
biasa. Hampir dalam setiap benturan dengan pedang Untara, pasti meninggalkan
bekas luka pada pedang itu. Beberapa bagian tajamnya telah terpecah-pecah
sehingga pedang itu benar-benar mirip sebuah gergaji. Untunglah pedang yang
dipinjamnya dari Widura itu bukan pula sembarang pedang. Sehingga Betapapun
kerasnya benturan yang terjadi di antara kedua senjata yang digerakkan oleh
tenaga-tenaga raksasa itu, namun pedang itu tidak juga dapat dipatahkan.
Meskipun demikian, menyadari perbedaan sifat kedua senjata itu, Untara kemudian
tidak mau membenturkan senjatanya langsung dalam arah yang bertentangan. Untara
selalu berusaha untuk memukul senjata lawannya agak ke samping. Namun Untara
itu pun terpaksa memperhitungkan apabila perkelahian itu berlangsung terlalu
lama, maka senjatanya akan menjadi semakin lemah.
Tetapi
kelincahan, ketangkasan dan ketrampilan Untara yang telah memeras segala macam
ilmu yang dimilikinya itu, ternyata benar-benar membingungkan Tohpati. Tohpati
yang ditakuti di setiap pertempuran dan bahkan setiap prajurit musuhnya tidak
berani menyebut namanya, namun ternyata kini ia menemukan lawan yang tanggon.
Nama Untara pun merupakan nama yang mengerikan bagi laskar Jipang hampir
disetiap garis peperangan. Di samping kecerdasannya mengatur laskarnya, Untara
pun memiliki beberapa kelebihan dari beberapa senapati yang lain. Dan ternyata
Untara pun mempunyai beberapa kelebihan dari Tohpati. Keadaan Tohpati semakin
lama menjadi semakin sulit. Apalagi ketika disadarinya, bahwa laskarnya di sayap
kiri benar-benar hampir pecah bercerai berai. Karena itu, maka Macan Kepatihan
yang garang itu menjadi cemas. Cemas akan nasib laskarnya yang sudah tidak
begitu besar lagi jumlahnya, yang dengan susah payah dikumpulkan dari segala
medan khusus untuk merebut daerah perbekalan ini. Namun sekali lagi Macan
Kepatihan itu terpaksa mengumpat tak habis-habisnya. Ia merasa kini, bahwa
gerakannya pasti sudah tercium oleh hidung Untara itu sebelumnya, sehingga
Sangkal Putung benar-benar sudah siap menghadapi kedatangannya. Dua kali ia
dikecewakan oleh laskar Pajang di Sangkal Putung,
“Namun akan
datang saatnya aku menebus setiap kekalahan” geramnya.
Tetapi Untara
itu seakan-akan menjadi semakin lama menjadi semakin lincah. Pedangnya
berputaran mengitari segenap tubuhnya dari segala arah. Bahkan kemudian,
sekali-sekali terasa ujung pedang itu menyentuhnya.
“Setan”
geramnya. Dan diputarnya tongkatnya semakin cepat. Tetapi Untara pun bergerak
semakin cepat pula. anak muda, yang mendapat kepercayaan langsung dari panglima
Wiratamtama itu benar-benar tidak mengecewakan. Dan ia benar-benar dapat
menanggulangi kedahsyatan Tohpati.
Alangkah
terkejutnya Macan Kepatihan itu, ketika dalam sebuah benturan yang dahsyat,
tongkatnya tergetar ke samping. Hanya sesaat yang sangat pendek, ia melihat
pedang Untara terjulur lurus ke dadanya. Tohpati berusaha untuk memukul pedang
itu kembali dengan tongkatnya, namun pedang itu berputar, dan dengan cepatnya
pedang itu menyentuh lengannya. Ketika Untara menarik pedang itu, maka tajamnya
yang menyerupai gergaji itu meninggalkan bekas luka di tangan Tohpati. Luka
yang menganga seperti luka bekas gergaji. Terdengar Tohpati menggeram pendek.
Dengan cepatnya ia meloncat ke samping, dan sesaat ia berusaha menjauhi Untara.
Ketika ia memandang lengannya, dilihatnya darah mengalir dari lukanya yang
menganga, seolah-olah dagingnya telah disayat dengan sebuah gergaji yang
tumpul.
“Gila kau
Untara” desis Tohpati. Matanya yang meyala menjadi semakin merah karena
kemarahannya yang memuncak. Mulutnya itu meskipun terkatub rapat, namun
terdengar giginya gemeretak. Dengan sebuah teriakan tinggi Macan Kepatihan itu
meloncat dengan garangnya, langsung menyerang Untara dengan tongkatnya. Sebuah
ayunan yang deras sekali menyambar kepala Untara. Namun Untara tidak tertidur
karena kemenangan kecil itu. Segera ia merendahkan dirinya dan tongkat Tohpati
itu terbang lewat di atas kepalanya. Pertempuran yang sangat seru segera
berkobar kembali. Tohpati yang membara karena kemarahannya, melawan Untara yang
dengan sekuat tenaga ingin segera menyelesaikan pekerjaannya yang sudah mulai
tampak akan berhasil. Sehingga dengan demikian kembali mereka bertempur dalam
puncak ilmu masing-masing. Namun kali ini pun segera terasam bahwa Untara
memang luar biasa. Meskipun ia masih lebih muda dari Tohpati, namun Tohpati itu
tidak dapat menutup kenyataan, bahwa Untara mampu menandinginya dari selaga
segi. Kini Tohpati terpaksa membuat pertimbangan-pertimbangan baru. Ia tidak
boleh tenggelam dalam arus perasaan melulu. Ia harus mampu meninjau pertempuran
itu dalam segala segi, segala kemungkinan dan segala akibat yang dapat timbul
karenanya. Keringkihan di sayap kiri benar-benar sangat mengganggunya. Sedang
Alap-alap Jalatunda yang diharap akan dapat menimbulkan pengaruh yang baru bagi
perimbangan kedua pihak, ternyata masih belum mampu berbuat apa-apa. Karena itu
maka Tohpati terpaksa sampai pada suatu keputusan untuk menghindarkan laskarnya
dari kehancuran. Dalam kekalutan itu, sekali lagi Tohpati mencoba melihat
pertempuran itu. Namun malam sangat pekatnya. Ia hanya melihat titik
pertempuran di sayap kirinya telah bergeser jauh ke belakang, dan sayap
kanannya masih saja belum mencapai kemajuan. Sedang di induk pasukannya,
meskipun laskarnya mendapat beberapa kesempatan yang baik, namun ia sendiri
telah terluka. Untara yang telah masak itu melihat setiap kemungkinan yang akan
dilakukan oleh Tohpati. Ketika ia melihat sikapnya, serta usahanya untuk
melihat seluruh laskarnya, maka Untara dapat meraba maksudnya. Karena itu, maka
tekanannya diperketat, sehingga hampir-hampir Tohpati itu tidak sempat berbuat
lain daripada mempertahankan diri dari ujung pedang Untara yang seakan-akan
terbang memgelilingi kepalanya. Sementara itu, laskar Tohpati disayap kiri
telah benar-benar hampir lumpuh, sehingga mereka tidak mampu lagi untuk
bertahan sendiri, mereka itu kemudian segera menggabungkan diri dengan induk
pasukan mereka.
Keadaan kedua
pasukan diinduk pasukan itu kini menjadi semakin ribut. Pertempuran di antara
mereka menjadi seakan-akan tidak teratur lagi. Tetapi meskipun demikian, kedua
laskar itu masih tetap bertempur dengan gigihnya. Hanya anak-anak muda Sangkal
Putung kini benar-benar telah menjadi pening. Meskipun beberapa orang laskar
Widura terus menerus berusaha untuk menuntun mereka dan bahkan selalu
mendampingi mereka, namun keadaan mereka itu agak berbeda dengan laskar Pajang
maupun laskar Jipang. Sehingga dengan demikian maka keseimbangan kedua laskar
itu semakin lama menjadi semakin berat sebelah pula. Tetapi di pihak Pajang
mempunyai kelebihan yang ikut serta menemtukan keseimbangan itu. Sidanti yang
lepas tidak mempunyai lawan yang seimbang itu, mengamuk seperti serigala lapar.
Namun beberapa orang Jipang yang berani telah mengepungnya. Mereka berusaha
untuk selalu membatasi gerak Sidanti itu. Tetapi setiap saat Hudaya selalu
berhasil memecahkan kurungan itu, dan melepaskan Sidanti untuk bertempur
seperti elang yang merajai udara. Tohpati adalah seorang pemimpin yang
bertanggung-jawab. Ia tidak mau membiarkan korban berjatuhan tanpa arti.
Setelah memperhitungkan keadaan masak-masak, maka yakinlah ia, bahwa ia tidak
akan dapat menembus benteng yang dipertahankan oleh Untara itu. Bahkan
tangannya yang telah terluka itu, semakin lama menjadi semakin lemah. Dan darah
yang mengalir menjadi semakin banyak pula. Betapa Macan Kepatihan itu menjadi
marah, dan betapa ia menjadi sangat buas, namun ia tidak dapat menuruti perasaannya
tanpa menghiraukan kenyataan. Sesaat kemudian terdengarlah Macan Kepatihan itu
bersuit panjang. Suitannya itu segera disambut oleh beberapa pemimpin kelompok
di dalam pasukannya. Dan sesaat kemudian menyalalah berpuluh-puluh anak panah
berapi. Untara terkejut melihat hal itu. Tetapi sebelum ia sepat berbuat
apa-apa, maka panah-panah api itu seperti hujan berjatuhan di daerah laskarnya.
“Gila” Untara
mengumpat. Ia tidak menyangka bahwa hal itu akan dilakukan oleh laskar Tohpati.
Meskipun ia tahu betul bahwa Macan Kepatihan membuat anak panah api, tetapi
disangkanya anak panah itu hanya untuk dipergunakan untuk membakar rumah atau
apa pun di Sangkal Putung sehingga menimbulkan kekacauan dan mempengaruhi
ketahanan orang-orang Sangkal Putung.
Usaha Tohpati
itu sebagian berhasil. Beberapa anak-anak muda Sangkal Putung menjadi kacau dan
hampir kehilangan akal. Namun tiba-tiba terdengar Untara berteriak,
“Berlindung di
daerah lawan”
Anak-anak muda
Sangkal Putung mula-mula tak mengerti maksud aba-aba itu. Namun orang-orang
Widura mendahului mereka, menyerang dan langsung menyusup ke daerah perlawanan
musuh. Tetapi suitan itu ternyata mempunyai arti yang lain pula. demikian
laskar Pajang berusaha masuk dalam garis pertahanan itu, maka laskar Jipang pun
surut ke belakang. Bahkan semakin lama menjadi semakin cepat. Dan kemudian
ternyatalah bahwa laskar Jipang sedang menarik diri. Untara melihat kenyataan
itu. Ia berusaha untuk tidak melepaskan lawannya. Mereka harus dapat
melumpuhkan pasukan Macan Kepatihan, sehingga untuk seterusnya tidak mendapat
kesempatan berbuat serupa. Menyerang Sangkal Putung dengan kekuatan yang
berbahaya. Demikian pula terjadi di sayap kanan laskar Tohpati itu. Agung
Sedayu yang menunggu kekuatan terakhir yang akan diungkapkan oleh Alap-alap
Jalatunda menjadi bertanya-tanya di dalam hati. Apakah Alap-alap Jalatunda itu
sudah sampai pada puncak kekuatannya? Kalau demikian, apakah yang didengar
tentang Alap-alap Jalatunda hanya sekedar dongengan untuk menakutkan
orang-orang yang mendengarnya. Atau kemampuan dirinya telah cukup mengatasi
alap-alap itu dengan mudah? Dalam kebingungan itulah Agung Sedayu melihat
laskar lawannya surut dengan cepat. Betapa ia berusaha mengejar lawannya, namun
Alap-alap Jalatunda itu kemudian menenggelamkan diri dalam hiruk pikuk
laskarnya. Mereka mundur sambil melawan serta melepaskan anak panah.
“Bukan main”
desah Agung Sedayu.
“Mereka
mempergunakan anak panah” Agung Sedayu itu menyesal bahwa ia tidak membawa anak
panah dan busur. Tetapi tiba-tiba ia teringat, bahwa dalam sakunya ada beberapa
butir batu. Timbullah keinginannya untuk bermain-main dengan batu itu. Sekali
ia melepaskan sebuah batu, maka terdengarlah seorang lawannya yang sedang
membidikkan anak panah memekik tinggi, dan dalam remang-remang Agung Sedayu
melihat orang itu jatuh terjerebab. Sesaat ia melihat orang itu menggeliat dan
menahan sakit. Agung Sedayu terkejut melihat akibat perbuatannya. Orang itu
tampaknya menjadi sangat menderita. Karena itu, maka tiba-tiba ia berlari-lari
mendekatinya.
“Kenapa kau?”
terndengar Agung Sedayu bertanya.
Orang itu
masih menggeliat dan menyeringai kesakitan. Dipegangnya perutnya sambil
mengaduh tak habis-habisnya. Sementara itu kawan-kawannya telah semakin jauh,
mundur dari pertempuran.
Agung Sedayu
mencoba menangkap lawannya yang kesakitan itu dan dicobanya untuk
menenangkannya,
“Jangan
berguling-guling”
Tetapi
alangkah terkejutnya Agung Sedayu itu, karena sesaat kemudian orang itu pun
menjadi diam membeku.
“Oh” desah
Sedayu, “Apakah kau mati he?”
Dan sebenarnya
orang itu pun telah mati. Karena itu, maka Agung Sedayu menyesal bukan main.
Tetapi ia tidak akan dapat menghidupkannya lagi.
Swandaru juga
melihat Agung Sedayu sibuk dengan orang itu mendekatinya sambil bertanya,
“Kenapa dengan
orang itu?”
“Aku tidak
sengaja membunuhnya. Tetapi orang ini mati”
“Kenapa kalau
mati? Bukankah orang itu orang Jipang?”
Agung Sedayu
kini telah tegak berdiri. Digigitnya bibirnya. Dan terasa sesuatu berdesir di
dadanya.
“Ya” katanya
dalam hati.
“Apakah kita
sudah sampai sedemikian jauh menyimpang dari peradaban manusia? Meskipun orang
itu orang Jipang, Pajang atau orang yang ditemuinya di pinggir jalan sekalipun
namun selama ia masih bernama manusia, apakah kita biarkan saja mereka mati
selagi masih ada kesempatan untuk menolongnya?”
Tetapi ketika
Agung Sedayu melayangkan pandangan matanya, maka dilihatnya diberbagai tempat,
tubuh-tubuh yang terbaring membeku. Tetapi ada juga di antaranya terdengar
merintih menahan sakit. Agung Sedayu belum pernah melihat medan pertempuran.
Kali ini adalah kali yang pertama. Karena itu ia menjadi ngeri. Meskipun kini
ia tidak tahut lagi untuk bertempur, tetapi apa yang dilihatnya benar-benar
mendirikan bulu romanya.
Namun sesaat
kemudian Agung Sedayu itu mendengar Swandaru berkata,
“Marilah.
Musuh kita masih berada di pelupuk mata kita”
Agung Sedayu
menarik nafas dalam-dalam. Sesaat kemudian dilihatnya Swandaru meloncat dan
berlari ke arah laskar Jipang mengundurkan dirinya. Agung Sedayu pun kemudian
mengikutinya pula, namun hatinya benar-benar digelisahkan oleh pengalamannya
yang pertama itu.
Meskipun
demikian, ada sesuatu yang didapatkannya di medan peperangan itu. Disadarinya
kemudian bahwa Alap-alap Jalatunda pada saat-saat bertempur, sama sekali bukan
sekedar menunggunya lelah sambil menyimpan kekuatan terakhirnya. Tetapi
Alap-alap Jalatunda itu benar-benar telah mengerahkan segenap kemampuannya.
Maka hatinya menjadi semakin besar. Agung Sedayu itu semakin melihat kemampuan
yang tersimpan di dalam dirinya. Ternyata Alap-alap Jalatunda yang pernah menghantuinya
itu tidak lebih daripada yang disaksikannya itu, yang ternyata masih berada
dibawah kepandaiannya bermain pedang.
“Aneh”
desahnya di dalam hati.
“Apakah yang
selama ini memagari keberanianku untuk berbuat seperti ini?”
Agung Sedayu
itu menjadi semakin percaya kepada diri sendiri. Tetapi ia masih belum dapat
melihat tubuh-tubuh yang bergelimpangan di bekas medan pertempuran itu.
Laskar Jipang
itu pun kemudian mengundurkan dirinya dengan cepat sambil melawan terus,
sehingga dengan demikian maka laskar Pajang pun tidak dapat berbuat banyak.
Mereka hanya dapat mendesak laskar musuhnya itu. Dalam keadaan yang demikian,
maka laskar di kedua belah pihak hampir bercampur baur dalam satu lingkaran
pertempuran. Namun kemudian laskar Jipang itu menyebar dan dengan cepat
berusaha menyusup ke dalam sebuah desa yang pertama-tama mereka temui. Di ujung
selatan induk desa Sangkal Putung, Sanakeling melihat di arah barat, panah api
menari-nari di udara. Karena itu, maka ia menjadi terkejut. Ia tidak menyangka
bahwa laskar induknya terpaksa mengundurkan diri.
“Kalau
demikian” katanya dalam hati,
“Maka laskar
yang aku hadapi dan dipimpin oleh Widura sendiri ini bukan laskar induk. Jadi
siapakah yang memimpin laskar induk lawan ini?”
Tetapi
Sanakeling tidak mendapat jawabannya. Dan ia tidak sempat untuk menanyakannya.
Kini ia harus mematuhi perintah itu meskipun sebenarnya keadaan laskarnya
sendiri sama sekali tidak mengkhawatirkan. Tetapi kalau laskar induk lawannya
yang telah ditinggalkan oleh laskar Jipang itu mengepungnya, maka laskarnya
pasti akan tumpas. Karena itu, maka tidak ada pilihan lain daripada
mengundurkan diri pula. Demikianlah maka seluruh pasukan Tohpati itu kini telah
ditarik mundur. Widura pun tidak berusaha mengejar lawannya terlampau jauh.
Sanakeling berhasil juga mengundurkan dirinya dengan teratur, sehingga dari
pihaknya tidak terlalu banyak korban yang jatuh. Induk pasukan yang dipimpin
oleh Untara itu mengejar lawannya sampai ke desa pertama yang dapat dicapai
oleh laskar lawannya. Demikian mereka memasuki desa itu, maka seakan-akan
mereka telah lenyap ditelan kegelapan. Obor-obor mereka segera menjadi padam,
dan orang-orang mereka pun segera menyelinap dan hilang di balik daun-daunan
yang rimbun serta rumpun-rumpun bambu yang lebat. Laskar Pajang sejenak menjadi
ragu-ragu. Mereka sama sekali tidak mendengar seorang pun memberikan aba-aba
kepada mereka. Apakah mereka harus mengejar lawan itu terus atau mereka harus
berhenti di batas desa itu. Sebab alangkah berbahayanya melakukan pengejaran di
dalam gelap yang pekat itu.
Yang terdengar
kemudian adalah suara Sidanti,
“He, apakah
yang harus kami lakukan?”
Tak ada suara
yang menyahut. Karena itu sekali lagi Sidanti berteriak,
“Apakah laskar
Pajang ini laskar yang liar, yang dapat berbuat sekehendak diri kita
masing-masing? Ayo, bagi yang memegang pimpinan, berikan perintah”
Kembali suara
itu bergulung-gulung dan hilang ditelan kabut malam.
Semua yang
mendengar suara Sidanti itu menjadi tegang. Mereka menunggu jawaban dari
pimpinan mereka. Namun jawaban yang ditunggunya itu tidak juga kunjung datang. Hudaya,
Sidanti dan beberapa orang lagi menjadi gelisah. Citra Gati dan Agung Sedayu
dari sayap yang lain pun telah bergabung dalam induk pasukan itu pula.
Dalam
ketegangan itu terdengar suara Agung Sedayu gelisah,
“Kakang
Untara, kakang Untara”
Tetapi Untara
tidak menyahut. Karena itu seluruh laskar Pajang pun menjadi gelisah. Dalam
hiruk pikuk pengejaran mereka tidak melihat kemana Untara pergi. Beberapa orang
dari mereka masih melihat Untara berhasil melukai Tohpati. Dan kemudian
berusaha mengejarnya. Tetapi tiba-tiba Untara itu seakan-akan menjadi hilang
lenyap ditelan oleh malam yang kelam. Suasana segera meningkat menjadi semakin
tegang. Ternyata Untara telah hilang. Dengan demikian, maka laskar Pajang iu
benar-benar menjadi bingung. Mereka tidak tahu apa yang mereka lakukan. Dalam
ketegangan itu terdengar suara Citra Gati,
“Siapakah yang
melihat ki Untara untuk yang terakhir kalinya?”
“Aku” jawab
salah seorang,
“Pemimpin kita
itu telah melukai Macan Kepatihan. Tetapi dalam hiruk pikuk pengejaran aku
tidak melihatnya”
“Dimana?”
bertanya Citra Gati pula.
“Di garis
pertempuran tadi”
“Mari kita
cari”
Beberapa orang
segera bergerak kembali ke garis pertempuran beberapa langkah di belakang
mereka. Tetapi terdengar Sidanti berkata,
“Kenapa kita
cari ia di sana. Bukankah ia telah berhasil melukai Macan Kepatihan dan
mengejarnya. Marilah kita cari ke depan, ke dalam desa ini”
Citra Gati
berpikir sejenak. Untara pasti tidak akan berbuat demikian. Berbuat sendiri dan
meninggalkan laskarnya dalam keragu-raguan. Pemimpin yang bodoh pun akan tahu,
bahwa keragu-raguan dalam barisannya adalah sangat berbahaya. Maka sesaat
kemudian ia menyahut,
“Kita cari di
garis pertempuran”
“Tidak” sahut
Sidanti, “Jangan membuang waktu”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar